Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia yang hidup di dunia pasti akan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan, baik itu dari segi fisik dan mental Hal ini dikarenakan
mereka akan mengalami proses penurunan fungsi tumbuh, seperti kulit,
tulang, dan lain-lain. Proses penurunan fungsi tubuh ini dapat
diartikatakan sebagai proses penuaan. Penuaan menurut
Constantinindes yang dikutip dalam karangan Darmojo (2009)
Osteoporosis adalah salah satu penyakit kronis tidak menular yang
dikarakteristikan dengan adanya penurunan kepadatan, kekuatan dan
struktur tulang menyebakan penderitanya lebih rentan dibandingkan
tulang patah (Rachner, 2011). World Health anization WHO memasukkan
osteoporosis dalam daftar 10 penyakit degeneratif utama di dunia.
Banyak orang tidak menyadari bahwa osteoporosis merupakan
pembunuh tersembunyi (silent killer). Berbeda dengan radang pada sendi
artritis, osteoporosis hanya sedikit menunjukkan tanda-tanda pada
kondisi dini dan sering penyakit ini baru di ketahui setelah terjadinya
komplikasi berupa patah tulang (tjandra,2009).
osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah (Setiyohadi, 2009).
Indonesia pada tahun 1999-2000 memiliki rata-rata usia hidup 64-67
tahun, tahun 2000-2005 meningkat menjadi 67-68 tahun. Tahun 2008
usia harapan hidup Indonesia meningkat menjadi 70,7 tahun (Setiyohadi,
2009). Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan berbagai penyakit
degeneratif dan metabolik termasuk osteoporosis akan menjadi masalah
muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus. terutama di negara
berkembang, termasuk Indonesia karena kasus osteoporosis dengan
berbagai akibatnya termasuk fraktur diperkirakan juga akan meningkat
(Setiyohadi, 2009).
Pada Osteoarthritis (OA) juga dikenal sebagai artrritis degeneratif
atau penyakit sendi degeneratif, adalah sekelompok kelainan mekanik
degradasi yang melibatkan sendi, termasuk tulang rawan artikular dan
tulang subchondral. OA merupakan bentuk yang paling umum dari artritis.
Penyakit ini memiliki pravalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang
tua (Fauci et. Al, 2012). Dan merupakan masalah kedokteran yang paling
sering terjadi pada usia lanjut maupun setengah baya. Terjadi pada orang
dari segala etnis, lebih sering mengenai wanita, Lebih dari sepetiga orang
dengan sensasi kekakuan sendi tertentu dan rasa nyeri intermiten yang
berhubungan dengan aktivitas, sampai kelumpuhan anggota gerak dan
nyeri hebat yang menetap, biasanya dirasakan akibat deformitas dan
ketidak stabilan sendi. Degenerasi sendi yang menyebabkan sindrom
klinis osteoarthritis muncul paling sering pada sendi tangan, kaki,
punggug, dan spine, meskipun dapat terjadi pada sendi synovial mana
pun. Pravalensi kerusakan sendi synobvial ini meningkat dengan
bertambahnya usia (Wiken, 2009).

Menurut World Health Organization (WHO osteoporosis menduduki


peringkat kedua, di bawah penyakit jantung sebagai masalah kesehatan
utama dunia. Masalah utama pada penyakit ini adalah diagnosis penyakit
ini biasanya baru ditegakkan setelah terjadi fraktur ataupun lama setelah
gejala awal penyakit ini, oleh karena hilangnya substansi tulang pada
osteoporosis berijalan sangat lambat dan selama itu gejala yang ada
asimptomatis. Dan juga meningkatnya harapan hidup masyarakat serta
perubahan pola hidup yang dapat meningkatkan risiko teradinya
osteoporosis , Menurut data International osteoporosis Foundation, lebih
dari 30% wanita diseluruh dunia mengalami risiko seumur hidup untuk
patah tulang akibat osteoporosis bahkan mendekati 40%, sedangkan
pada pria risikonya berada pada angka 13%. Indonesia yang memiliki
sekitar 237 juta penduduk akan memiliki 71 juta penduduk berusia lebih
dari 60 tahun pada tahun 2050. Berdasarkan hasil pengujian
menggunakan mesin Dual Energy A-ray Absorpsiometry (DXA)
diperkirakan sekitar sebanyak 28,8% laki-laki dan 32,3% perempuan
sudah mengalami osteoporosis. Berdasarkan laporan Perhimpunan
osteoporosis Indonesia, sebanyak 41,8% laki-laki dan 90% perempuan
sudah memiliki osteoporosis, sedangkan 28,8% laki-laki dan 32,3%
perempuan sudah menderita osteoporosis (Tandra, 2009).
Teknik yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya osteoporosis
saat ini salah satunya adalah melalui foto polos, pemeriksaan Bone
MineralDensity (BMD assessment) dengan menggunakan Dual Energy
X-ray Absorptiometry (DXA) yangtelah lama dikembangkan. Namun
banyak perhatian untuk pemeriksaan ini,disamping harganya yang relatif
mahal. Kurangnya perhatian pasien disebabkan karena
osteoporosistidak memiliki gejala tertentu (silent disease) Secara umum
dipercaya bahwa foto x-raydapat mendeteksi osteoporosis apabila
deficitmineral tulangnya mencapai > 30%. Lachmanndan Welan
melaporkan deficit mineral yang lebihkecil (8-14%) dapat dideteksi pada
pada tulangtulang dengan komponen trabekula yang tinggi(misal
vertebra, femur dan metakarpal) sehinggacepat mengalami perubahan
metabolic aktif trabekula (Mulyaningsih ,2008).
Berdasarkan permasalahan yang di paparkan data di
atas,Osteoporosis merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan
Osteoathritis sehingga peneliti tertarik melakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh osteoporosis pada osteoarthritis genu.
Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan osteoporosis pada osteoarthritis
genu pada foto radiologis

Tujuan

Tujuan Umum
Mengetahui apakah ada hubungan antara osteoporosis pada
kejadian osteoarthritis pada gambaran foto radiologis

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara


gambaran foto radiologis osteoporosis pada kejadian
osteoarthritis.
2. Untuk mengetahui proses terjadinya osteoporosis yang dapat
menyebabkan osteoarthritis.

Manfaat

Manfaat Bagi Peneliti

1. Memperoleh pengalaman dan pengetahuan dalam


melakukan penelitian.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah lagi
wawasan peneliti, terutama dalam bidang kesehatan
masyarakat dan ilmu kedokteran umum, juga dapat
digunakan untuk penelitian selanjutnya.
3. Pengembangan daya nalar, minat, dan kemampuan peneliti
dalam bidang penelitian.
Bagi ilmu pengetahuan

1. Menambah perbendaharaan ilmu mengenai pengaruh


osteoporosis yang berhubungan dengan osteoarthrosis di
Surabaya pada umumnya.
2. Sebagai bahan kajian pustaka terutama karena
pertimbangan tertentu ingin melakukan penelitian lebih
lanjut atau penelitian yang sejenis.

Bagi Masyarakat

Sebagai sumber informasi kepada masyarakat agar


masyarakat mengetahui faktor yang mempengaruhi
osteoporosis terhadap osteoarhtitis genu, selanjutnya
masyarakat dapat melaksanakan dan pengendalian secara
mandiri
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sendi Genu
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler. Tulang berasal
dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
“Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang
disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan
garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan
dalam enam kelompok berdasarkan bentuknya : (Arif Muttaqin, 2008)
a) Tulang panjang (long bone), misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan
humerus. Daerah batas disebut diafisi dan daerah yang berdekatan
dengan garis epifisis disebut metafasis. Di daerah ini sangat sering
ditemukan adanya kelainan atau penyakit karena daerah ini merupakan
daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung pembuluh darah.
Kerusakan tau kelainan perkembangan pada daerah lempeng epifisis
akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang.

b) Tulang pendek (short bone) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat,
misalnya tulang-tulang karpal.

c) Tulang sutura (sutural bone) terdiri atas dua lapisan tulang padat
dengan lapisan luar adalah tulang concellous, misalnya tulang tengkorak.

d) Tulang tidak beraturan (irreguler bone) sama seperti dengan tulang


pendek misalnya tulang vertebrata

e) Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar


tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon
dan jaringan fasial, misalnya patella.
f) Tulang pipih (flat bone), misalnya parietal, iga, skapula dan pelvis.
Lutut merupakan sendi terbesar dari sendi tubuh lainnya. Sendi ini
terletak di antara sendi ankle dan sendi hip yang berperan sebagai
stabilisator dan penggerak.

Sendi lutut merupakan sendi sinovium yang memiliki ciri-ciri sebagai


berikut : (Suriani & Lesmana, 2013).

a. Permukaan artikular dilapisi tulang rawan hialin

b. Mempunyai kapsul sendi

c. Mempunyai membran sinovium yang memproduksi cairan sinovium

d. Intra-artikular di beberapa sendi terdapat meniscus yang berfungsi


sebagai peredam kejut

e. Persarafan umumnya dari saraf yang memasok otot-otot yang bekerja


pada sendi

f. Akhir saraf atau nerves ending mechanoreceptors terdapat pada kapsul


dan ligamen, proprioceptor sebagai sensasi posisi dan gerak, serta
nociceptor sebagai sensasi sakit, ada pula ujung saraf simpatik saraf
otonom. Semua komponen tersebut memiliki pembuluh darah sebagai
suplai nutrisi, kecuali tulang rawan sendi yang diketahui memperoleh
nutrisi dari cairan sinovium yang juga berfungsi sebagai pelumas.

Terdiri dari beberapa bagian sendi yaitu:

1. Ligamentum
Ligamen Ligamen adalah pita fibrosa atau lembaran jaringan ikat yang
menghubungkan dua atau lebih tulang rawan, atau struktur bersama-
sama. Satu atau lebih ligamen memberikan stabilitas pada sendi selama
istirahat dan gerakan. Gerakan yang berlebihan seperti hiper-ekstensi
atau hiperfleksi, dapat dibatasi oleh ligamen. Selanjutnya beberapa
ligamen mencegah gerakan dalam arah tertentu (Bridwell, 2010)
Ligamentum mempunyai sifat extensibility dan tensile strength yang
berfungsi sebagai pembatas gerakan dan stabilisator sendi. Lutut
memiliki beberapa ligamentum, di antaranya :
a. Ligametum cruciatum anterior yang berfungsi menahan hiperekstensi
dan menahan bergesernya tibia ke depan,

b. Ligamentum cruciatum posterior, yang berjalan dari lateral kondilus


medialis femoris menuju ke fossa intercondyloidea tibia, berperan
menahan bergesernya tibia ke arah belakang,

c. Ligamentum kolateral fibular yang berjalan dari epicondylus lateralis ke


capitulum fibula yang berfungsi menahan gerakkan varus,

d. Ligamentum kolateral tibia berjalan dari epicondylus medialis ke


permukaan medial tibia (epicondylus medialis tibia), berfungsi menahan
gerakan valgus. Namun secara bersamaan, fungsi-fungsi ligamen
kolateral menahan bergesemya tibia ke depan pada posisi lutut 90°,

e. Ligamentum popliteum obliqum berasal dari kondilus lateralis femur


menuju ke insertio musculus semi membranosus, melekat pada fascia
musculus popliteum,

f. Ligamentum transversum genu membentang pada permukaan anterior


meniscus medialis dan lateralis (Anwar, 2012).

2. MENISKUS
Meniskus adalah dua bagian semilunar yang berbentuk baji jaringan
fibrocartilaginous. Mereka ditemukan di antara permukaan femoral dan
tibialis dari sendi lutut, dengan satu meniskus di kompartemen medial dan
satu di lateral kompartemen. Meniskus medial memiliki radius yang lebih
luas kelengkungan dari lateral. Mereka berdua menempel pada tibia di
tanduk anterior dan posterior mereka dan juga melekat pada jaringan
sekitarnya. Meniskus medial melekat pada bagian dalam ligamen
kolateral medial. Lateral meniskus melekat pada tulang paha oleh
meniscofemoral
ligamen. Kedua meniskus melekat satu sama lain anterior oleh ligamen
intermeniscal transversal. Lampiran ini penting karena mereka
mempertahankan posisi menisci, tetapi juga situs yang mempengaruhi
menisci cedera di lutut yang tidak stabil. Secara mikroskopis, menisci
terdiri dari seluler komponen yang tertanam dalam matriks ekstraseluler.
Tidak diketahui apakah sel meniscal adalah chondrocytes atau fibroblas.
Karena mereka mengandung unsur-unsur kedua ini
sel-sel yang telah mereka sebut 'fibrochondrocytes' (Gelbart,2009).
Meniskus merupakan fibrocartilago yang berbentuk seperti huruf C.
Pinggir luarnya tebal dan melekat pada capsula, dan pinggir dalamnya
tipis, cekung dan membentuk pinggir yang bebas. Permukaan atasnya
berhubungan langsung dengan condylus femoris. Permukaan bawahnya
berhubungan dengan condylus tibiae. Fungsinya adalah memperdalam
facies articularis condylus tibiae untuk menerima condylus femoris yang
cembung, selain juga berfungsi sebagai bantalan di antara kedua tulang
tersebut. Masing-masing meniscus melekat pada permukaan atas tibia
melalui cornu anterior dan posteriornya. Karena meniskus medialis
melekat juga pada ligamentum collaterale mediale maka meniscus ini
relatif tidak mudah bergerak (Moore, 2007).
3. Membran Synovial
Membrane synovialis sendi genus melekat pada tepi tepi facies
articularis dan pada tepi tepi luar bagian superior dan inferior meniskus
Kedua ligamentum cruciatum, yang melekat pada daerah intercondylaris
tibia di bawah dan fossa intercondylaris femoris di atas, terletak di luar
cavitas articularis, namun tertutup di dalam membrana fibrosum sendi
genus.

Ke arah anterior, membrana synovialis terpisah dari ligamentum


patellae oleh bantalan lemak corpus adiposum infrapatellare. Pada
masing-masing sisi itu, membrana synovialis membuat parasa (plika
alaris), yang menonjol ke dalam cavitas artikularis. Selain itu, membrana
sinovialis yang melindungi bagian bawah korpus adiposum infrapatellare
terangkat menjadi suatu. lipatan tajam pada garis tengah dan mengarah
ke posterior (plica synovialis infrapatellaris), yang melekat pada bagian
fossa intercondylaris femoris.

Membrana synovialis sendi genus membentuk lipatan-lipatan kantung


pada dua lokasi untuk memberikan permukaan-gesekan yang rendah
untuk gerak tendo yang berhubungan dengan sendi:

A. recessus subpopliteus yang kecil yang membentang antara meniscus


lateralis dan tendo musculus popliteus, dan

B. bursa suprapatellaris yang besar merupakan kelanjutan cavitas


articularis ke arah superior di antara ujung distal corpus ossis femoris
dan musculus serta tendo musculus quadriceps femoris . Apex bursa
suprapatellaris dilekatkan pada musculus articularis genus yang kecil.
yang menarik bursa menjauhi sendi selama extensi genus.

Bursae lain yang berkaitan dengan genus, namun norma tidak


berhubungan dengan cavitas artikularis meliputi bursa subcutanea
bursa prepatellaris, bursa profunda dan bursa subcutanea infrapatelaris
dan sejumlah bursae lain berkaitan dengan tendo dan ligamentum di
sekitar sendi.

Bursa prepatellaris terletak subcutaneus dan anterior dari patella. Bursa


infrapatellaris profunda dan bursa subcutanea infrapatellaris, secara
berturut-turut. terletak pada sisi profundus dan subcutaneus ligamentum
patellae (Gray,2014)

4. Membrana Fibrosum

Membrana fibrosum sendi genus luas dan sebagian Membrana


fibrosum sendi genus luas dan sebagian terbentuk dan diperkuat oleh
perpanjangan tendo musculi yang mengelilinginya. pada umumnya,
membrana fibrosum menutupi cavitas articularis dan area
intercondylaris.
Pada sisi medial sendi genus, membrana fibrosum menutupi cavitas
menyatu dengan ligamentum collaterale tibiale dan dilekatkan oleh
permukaan dalamnya pada meniscus medialis.
Ke arah lateral, permukaan luar membrana fibrosum dipisahkan oleh
suatu ruangan dari ligamentum collaterale fibulare dan permukaan
dalam membrana fibrosum tidak melekat pada meniscus lateral.
Ke arah anterior, membrana fibrosum melekat pada tepi tepi patella dan
membrana fibrosum diperkuat oleh perluasan tendo dari muskulus
vastus medialis, yang bergabung kearah atas dengan tendo quadriceps
femoris dan ke arah bawah dengan ligamentum patellae.
Membrane fibrosum diperkuat kearah anterolateral oleh perpanjangan
fibrosa dari tractus iliotibialis dan ke arah posteromedial oleh suatu
perpanjangan dari tendon muskulus semimembranosus (ligamentum
popliteum obliquum), yang berefleksi di sebelah superior melintasi
bagian belakang membrane fibrosum dari medial ke lateral
Ujung atas musculus popliteus Berjalan melalui pintu / apertura pada
aspekus membrana fibrosum genus dan ditutup oleh membrane
fibrosum genus dan tertutup oleh membrana fibrosum sendi untuk
berinsertio ke dalam aspectus lateralis condyles lateralis femoris
(Gray,2014).
2.2 Histologi Sel Tulang
Sel sel tulang terdiri dari beberapa bagian yaitu:

1. Osteoblas

Osteoblast berperan pada sintesis komponen organik matriks tulang,


yang terdiri atas kolagen tipe I, proteoglikan, dan glikoprotein termasuk
osteonektin. Deposisi komponen an organik tulang juga bergantung pada
adanya osteoblas aktif Osteoblas hanya terdapat pada permukaan
matriks tulang, dan letaknya bersebelahan, yang mirip dengan epitel
selapis. Bila osteoblas aktif menyintesis matriks, osteoblas memiliki
bentuk kuboid sampai silindris dengan sitoplasma basofilik. Bila aktivitas
sintesisnya menurun, sel tersebut menjadi gepeng dan sifat basofilik
pada sitoplasmanya akan berkurang. Aktivitas osteoblas dirangsang oleh
hormon paratiroid (PTH). Selama sintesis matriks, osteoblas memiliki
struktur ultra sel yang secara aktif menyintesis protein untuk dikeluarkan.
matriks osteoblas merupakan sel yang terpolarisasi: komponen matriks
disekresi pada permukaan sel, yang menempel pada matriks tulang yang
lebih tua, dan menghasilkan lapisan matriks baru (tetapi belum berkapur)
yang disebut osteoid, di antara lapisan osteoblas dan tulang yang baru
dibentuk Proses pertumbuhan aposisional tulang di tuntaskan dengan
pengendapan garam-garam kalsium ke dalam matriks yang baru
terbentuk Kalsifikasi matriks tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi aspek
dasar proses tersebut bergantung-vitamin K,Merupakan salah satu
protein non-kolagen yang mencolok (Junqueira, 2015).

2. Osteoblas

Setiap osteoblas secara bertahap dikelilingi oleh produk sekresinya


sendiri dan menjadi osteosit yang terselubung sendiri-sendiri dalam
ruang yang disebut lakuna. Pada transisi dari osteoblas menjadi osteosit,
sel menjulurkan banyak tonjolanan sitoplasma panjang, yang juga
diselubungi oleh matriks berkapur. Suatu osteosit dan prosessusnya
menempati setiap lakuna dan kanalikuli yang menyebar darinya
Prosessus sel yang berdekatan berkontak melalui taut erat, dan molekul
lalu lalang melalui struktur tersebut dari sel ke sel. Pertukaran melalui taut
erat dapat memberikan nutrisi untuk sebaris yang terdiri atas sekitar 10
sel. Sejumlah per- tukaran molekul antara osteosit dan pembuluh darah
juga teriadi melalui sejumlah kecil cairan ekstrasel yang berada di antara
osteosit dan matriks tulang. Bila dibandingkan dengan osteoblas, osteosit
yang pipi dan berbentuk kenari tersebut memiliki sedikit RE kasar dan
apparatus Golgi serta kromatin inti yang lebih padat. Sel-sel ini secara
aktif terlibat dalam mempertahankan tulang, dan kematiannya diikuti oleh
resorpsi matriks tersebut (Junqueira, 2015).

3. Osteoklas

Osteoklas adalah sel motil bercabang yang sangat besar dengan inti
multipel Ukuran yang besar dan inti yang multipel pada osteoklas terjadi
karena asalnya dari penggabungan sel yang berasal dari sumsum tulang.
Di lekukan jadinya reasorpsi tulang, osteoklas terdapat di dalam matriks
atau kriptus yang terbentuk akibat kerja enzim pada yang dikenal sebagai
resorption bays (dulu disebut lakuna Howship) Pada osteoklas yang aktif,
permukaan yang menghadap matriks tulang terlipat secara iregular, yang
membentuk batas bergelombang (ruffled border). Pembentukan batas
bergelombang tersebut berhubungan dengan aktivitas osteoklas. Batas
bergelombang ini dikelilingi oleh zona sitoplasma terang yang kaya akan
filamen aktin dan merupakan tempat adhesi osteoklas pada matriks
tulang. Zona adhesi sirkumferensial ini menciptakan lingkungan mikro di
antara osteoklas dan matriks tempat terjadinya resorpsi tulang osteoklas
menyekresi kolagenase dan enzim lain dan proton pompa ke dalam
kantong subselular tersebut, yang menciptakan lingkungan yang asam
untuk melarutkan hidroksiapatit dan pencernaan kolagen setempat dan
hormon memiliki reseptor untuk kalsitonin, yakni suatu hormon tiroid,
tetapi bukan untuk hormon paratiroid. Osteoblas yang diaktifkan oleh
PTH akan memproduksi suatu sitokin yang disebut faktor perangsang
osteoklas. Jadi, aktivitas kedua sel tersebut terkoordinasikan dan
keduanya penting pada remodeling tulang. (Junqueira, 2015).

2.3 Fisiologi Tulang


Tulang adalah jaringan yang tersusun oleh sel dan didominasi oleh
matrix kolagen ekstraselular (kolagen tipe I) yang disebut sebagai osteoid
(Joehanezharther, 2011). Tulang merupakan objek yang sering terkena
beban eksternal sehingga memicu perubahan pada ketahanan internal
tulang tersebut. Ketahanan internal yang mengenainya
disebut stress. Stress adalah gaya per unit area yang dapat
berupa compresive, shear, tension maupun kombinasinya. Gaya
eksternal ini memicu terjadinya perubahan bentuk dan ukuran pada
tulang yang disebut dengan strain.
Strain adalah perubahan perbandingan dimensi pada panjang tulang
yang dapat berupa fraksi, persentase maupun microstrain. Sifat mekanik
tulang tergantung dari nilai rata-rata strain sebab tulang adalah material
yang bersifat viskoelastis. Tulang dapat bertahan terhadap tekanan pada
tingkatanstrain terbesar ketika rata-rata strain meningkat. Bahkan pada
rata-rata strain yang sangat tinggi tulang dapat menjadi lebih getas
(Vainionpaa, 2007). Sifat mekanik tulang merupakan kombinasi antara
kekuatan (strength) yaitu stress yang dapat ditahan tulang tanpa
menimbulkan fraktur, keuletan (toughness) yaitu jumlah energi yang
dapat diserap oleh tulang sebelum fraktur, kekakuan
(stiffness) yaitu kemampuan tulang untuk bertahan terhadap deformasi
akibat gaya yang mengenainya, dan keletihan (fatigue) yaitu kemampuan
tulang untuk bertahan terhadap beban yang berulang (Laurney et al.,
2010). Sifat mekanik tulang juga bergantung pada jumlah material yang
mencukupi. Sifat material tulang di tingkat jaringan dan sifat struktural di
tingkat organ, berhubungan erat dengan sifat geometris tulang.
Umumnya sifat material dari tulang ditentukan oleh kalsifikasi matriks
tulang
dan faktor mikrostruktur seperti kristal dan komposisi serabut kolagen.
Kekakuan dan kekerasan tulang ditentukan oleh matriks anorganik
tulang, sedangkan komponen organik menentukan elastisitas tulang.
Sifat geometris tulang berhubungan dengan masa dan distribusi dari
ukuran dan desain arsitektur dari material terkalsifikasi. Sifat struktural
tulang yaitu seperti kepadatan dan kekuatan struktural yang merupakan
kombinasi dari sifat material dan sifat geometris tulang (Vainionpaa,
2007).

2.4 Osteoporosis

2.4.1 Definisi Osteoporosis


Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang,
dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis
adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas
berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan
mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat
menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra, 2009).

Osteoporosis merupakan kondisi atau penyakit dimana tulang menjadi


rapuh dan mudah retak atau patah. Osteoporosis merupakan penyakit
tulang degeratif yang ditandai oleh berkurangnya massa tulang, dan
adanya kelainan mikroarsitektur jaringan tulang selama jangka waktu
yang cukup lama. Bersamaan dengan penuaan, isi mineral tulang
menurun secara lebih cepat pada wanita dari pada laki-laki, dan setelah
menopause sampai 8% masa tulang hilang per dekade. Meskipun itu
telah dipercaya efek dari penuaan dan perubahan hormonal, secara jelas
dipercepat oleh kurangnya aktivitas fisik (inactivity) (Cosman, 2013). Dan
merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh kekuatan tulang yang
berkurang, biasanya terjadi pada perempuan yang telah mengalami
menopause tetapi juga dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan
dengan didasari kondisi-kondisi tertentu atau faktor resiko utama yang
berhubungan dengan demineralisasi tulang. Manifestasiklinik utamanya
adalah fraktur vertebra dan panggul, walaupun hal tersebut dapat terjadi
di berbagai lokasi. (harrisons,2011).

2.4.2 Epidemiologi
Hasil analisa data resiko osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah
sampel 65.727 orang (22.799 laki-laki dan 42.928 orang perempuan)
yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes RI dan sebuah perusahaan
nutrisi pada 16 wilayah di Indonesia secara selected people (Sumatera
Utara & NAD, Sumatera Barat, Riau, Kep.Riau, Jambi, Sumatera Selatan
& Bangka Belitung & Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali & NTB & NTT,
Kalimantan, Sulawesi & Maluku & Papua) dengan metode pemeriksaan
DMT (Densitas Massa Tulang) menggunakan alat diagnostic clinical bone
sonometer, menunjukkan angka prevalensi osteopenia (osteoporosis
dini) sebesar 41,7% dan prevalensi osteoporosis sebesar 10,3%. Ini
berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki resiko untuk terkena
osteoporosis usia <5 tahun pada pria cenderung lebih tinggi disbanding
wanita, sedangkan >55 tahun peningkatan osteopenia pada wanita enam
kali lebih besar dari pria dan peningkatan osteoporosis pada wanita dua
kali lebih besar dari pria (Depkes RI, 2008).

2.4.3 Klasifikasi
Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut
penyebabnya, yaitu:
5. Osteoporosis primer yaitu osteoporosis yang bukan disebabkan
oleh suatu penyakit (proses alamiah). Osteoporosis primer
berhubungan dengan berkurangnya massa tulang dan atau
terhentinya produksi hormon (khusus perempuan yaitu estrogen)
disamping bertambahnya usia dan juga dapat terjadi pada tiap
kelompok umur. Hal ini disebabkan dengan faktor risikonya, antara
lain: merokok, aktifitas, pubertas tertunda, berat badan rendah,
kebiasaan minum alcohol, ras kulit putih / asia, riwayat keluarga, postur
tubuh, dan defisiensi kalsium (DepKes RI,2008).
Osteoporosis primer terdiri dari beberapa tipe yaitu:
a. Osteoporosis primer tipe 1 (post menoposal) :
Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (usia 53-75 tahun). Hal ini
ditandai oleh adanya fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang
belakang), iga atau tulang radius hal ini disebabkan oleh luasnya jaringan
trabecular pada tempat tersebut, dimana jaringan trabecular lebih
responsive terhadapa defisiensi estrogen (DepKes RI,2008).

b. Osteoporosis primer tipe 2 (Osteoporosis Senilis)


Terjadi lebih dari usia 50 tahun, Hal ini kemungkinan merupakan akibat
dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan
pembentukan tulang baru (osteoblas) (Junaidi, 2007).
C. Osteoporosis Idiopatik yaitu osteoporosis yang tidak di ketahui
penyebabnya (Sudoyo, 2005). Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin
yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang
(Junaidi, 2007)
2. Osteoporosis sekunder
Terjadi karena adanya penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi
kepadatan massa tulang dan gaya hidup yang tidak dapat mempengaruhi
kepadatan massa tulang dan gaya hidup yang tidak sehat. Faktor
pencetus dominan osteoporosis sekunder adalah seperti dibawah
(Wirakusumah, 2007)
a. Penyakit endokrin : tiroid, hiperparatiroid, hipogonadisme
b. Penyakit saluran cerna yang menyebabkan absorbs gizi kalsium,
fosfor, vitamin D terganggu
c. Penyakit keganasan (Kanker)
d. Konsumsi obat obatan seperti kortikosteroid
e. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang olahraga.

2.4.5 Gejala Osteoporosis


Kepadatan tulang berkurang secara perlahan, sehingga pada awalnya
osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak
memiliki gejala. Biasanya gejala timbul pada wanita berusia 51-75
tahun, meski bisa lebih cepat ataupun lambat. Jika kepadatan
berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan
timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.

Beberapa kasus yang sering terjadi adalah:

1. Nyeri terus-menerus yang tidak kunjung hilang

Jika kepadatan tulang tulang sangat berkurang sehingga tulang


tulangmenjadi menipis, timbulah nyeri tulang dan kelainan bentuk.
Menipisnya tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.
Tulang belakang yang rapuh bisa patah secara spontan atau terkena
infeksi ringan. Biasanya nyeri muncul tiba-tiba muncul di daerah
tertentu, yang akan menambah nyeri jika pasien berdiri atau berjalan.
Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, akan tetapi akan
menimbulkan rasa sakit yang akan menghilang dari beberapa minggu
atau bulan (Junaidi, 2007).
Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.
Kolaps secara spontan karena cedera ringan ini biasanya menimbulkan
nyeri secara tibatiba di bagian tertentu punggung. Nyeri makin berat jika
penderita berdiri, berjalan, atau disentuh. Nyeri ini perlahan-lahan
menghilang dalam waktu beberapa minggu atau bulan. Jika ada
beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan
abnormal dari tulang belakang, yang menyebabkan ketegangan otot
sakit (Sarasvati, 2009).

2. Tubuh memendek

Beberapa tulang rusak, akan terbentuk kelengkungan yang abnormal


dari tulang yang menyebalkan otot dan timbul rasa sakit. Tulang lain
bisa ikut patah, kerap kali obat oleh ringan dan ringan (Junaidi, 2007),

3. Kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi (Hannan,


2001).

2.4.6. Faktor Resiko


Osteoporosis terjadi karena berbagai sebab, ada yang bisa dihindari
tapi ada juga yang tidak. Faktor penyebab yang tidak bisa dihindari
antara lain:

6. Keturunan

Bila dari garis keturunan memang ada osteoporosis (misal bungkuk),


maka resiko terkena keropos tulang kian besar (Javier,2010).

7. Usia

Pada lanjut usia daya serap kalsium akan menurun seiring dengan
bertambahnya usia (Kemenkes, 2008). Setelah usia 35 tahun
kepadatan tulang akan berkurang secara alami (Javier,2010).

8. Hormon
Hormon. Setelah berhentinya haid, perempuan lebih rentan terhadap
osteoporosis karena terjadi perubahan hormonal yang dapat
menurunkan drastis kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium
(Javier,2010).

9. Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Diperkirakan selama hidup, wanita akan kehilangan


massa tulang 30% -50% sedangkan pria hanya 20% -30% namun tidak
berarti semua wanita yang mengalami menopause akan mengalami

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor resiko terjadinya


osteoporosis. Wanita memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadnya
osteoporosis dari pada laki laki. Pada osteoporosis primer,
perbandingan antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Pria memiliki
prevalensi yang lebih tinggi untuk melahirkan osteoporosis sekunder
yaitu sekitar 40-60% akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol atau
pemakaian kortikosteroid yang berlebihan ( Migliaccio, 2009) secara
keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1 (Foundation,
2011).

10. Riwayat Fraktur

Orang yang pernah mengalami riwayat fraktur akan beresiko terkena


fraktur lagi karena mungkin tulangnya sudah keropos. Pada wanita
dengan riwayar patah tulang belakang resiko mengalami patah tulang
pergelangan tangan sebanyak 1-2 kali, tulang belakang 4-19 kali dan
tulang panggul 2-3kali. Pada orang yang pernah menglami patah tulang
pergelangan tangan akan beresiko mengalami patah tulang
pergelangan 3-4 kali. Pada tulang belakang 2-7 kali dan patah tulang
panggul 1-2 kali. Pada orang yang pernah patah tulang pangguk akan
beresiko mengalami patah tulang belakang 2-3 kali dan patah tulang
panggul 1-2 kali (Tandra,2009).
Tetapi juga terdapat faktor resiko yang dapat dihindari yaitu: (Yatim,
2003).

1. Makanan

Makanan (mereka yang makanan sehari-harinya kurang zat kapur lebih


berisiko mendapat osteoporosis dibandingkan dengan yang diet sehari
cukup Ca) (Yatim, 2003).

2. Pola hidup

Pola hidup sehat (mereka yang pola hidup sehat lebih kurang berisiko
menderita osteoporosis dibandingkan dengan yang menerapkan pola
hidup sehari-hari yang sembarangan (Yatim, 2003).

3. Kalsium dan asupan vitamin D

Diet rendah kalsium dan vitamin D seumur hidup membuat seseorang


lebih rentan terhadap keropos tulang (NIH, 2015).

4. Penggunaan obat

Penggunaan jangka panjang obat tertentu, seperti glukokortikoid dan


beberapa antikonvulsan dapat menyebabkan hilangnya kepadatan
tulang dan patah tulang (NIH, 2015).

5. Merokok

Merokok buruk bagi tulang serta jantung dan paru-paru. 7. Asupan


alkohol Konsumsi alkohol yang berlebihan meningkatkan risiko
keropos tulang dan patah tulang (NIH, 2015)

2.4.7 Diagnosis
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent),
kadang-kadang tidak memberikan tanda-tanda atau gejala sebelum
patah tulang terjadi. Diagnose penyakit osteoporosis kadangkadang baru
diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul,
tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik
pria atau wanita. Biasanya dari waktu ke waktu massa tulangnya terus
berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat diubah kembali
(Kusumawidjaya K,2006).

Diagnosis osteoporosis menurut Rachman,2006 menjelaskan bahwa:

1. Sangat bergantung pada alat radiologi yang digunakan.


2. Sangat bergantung pada keahlian dan subyektivitas pemeriksaan.
3. Sangat bergantung pada kualitas film dan cara-cara pecucian film.
4. produk pemecahan kolagen tulang oleh osteoklas.
Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, sebagaimana penyakit
lainnya perlu untuk melakukan:
a. Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting pada evaluasi osteoporosis.
Keluhan utama biasanya dapat langsung mengarah kepada diagnosis
misalnya fraktur kolom femoris. Faktor lain yang harus ditanyakan juga
adalah fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama, turunnya tinggi
badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan
kalsium, fosfor, vitamin D, latihan yang teratur yang bersifat weight-
bearing obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus
diperhatikan, seperti kortikosteroid hormon tiroid, antikonvulsan, parin,
antasid yang mengandung aluminium, sodium-fluorida dan bifosfonat
etidronat. Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi alkohol dan merokok
dan juga penyakit-penyakit lain seperti penyakit ginjal, saluran cerna,
hati, endokrin dan insufiesiensi pankreas Riwayat haid, umur menarke
dan menopause, penggunaan obat-obat kontrasepsi, dan riwayat
keluarga dengan osteoporosis juga perlu diperhatikan (Setiyohadi,
2009).
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan penting pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan
osteoporosis dapat berupa kelanjutan fraktur lama (kifosis yang
disebabkan fraktur veterbra terdahulu, fraktur baru, atau abnormalitas
karena penyebab sekunder osteoporosis (tiromegali dengan
tirotoksikosis). Pengukuran tinggi badan secara akurat, dapat membantu
evaluasi pasien dengan risiko patah tulang Kehilangan tinggi badan 4 m
atau lebih dibandingkan dengan tinggi badan maksimal atau kehilangan
2 cm atau lebih dibandingkan pengukuran sebelumnya dapat
menunjukkan adanya fraktur vertebra. Pengukuran berat badan juga
merupakan bagian evaluasi osteoporosis karena berat badan yang
rendah (kurang dari 127 lbs), IMT rendah (20 atau kurang) dan penurunan
berat badan 5% atau lebih berkaitan dengan peningkatan risiko fraktur.
Kerapuhan tulang spinal, kifosis, atau berkurangnya jarak antara tulang
rusuk bagian bawah dan pelvis dapat merupakan hasil dari satu atau lebih
fraktur vertebra. Kelainan cara berjalan, postur, keseimbangan, kekuatan
otot, atau adanya hipotensi postural atau menurunnya kesadaran dapat
dikaitkan dengan risiko jatuh. Atrofi testis menunjukkan hipogonadisme.
Pasien harus diobservasi apakah terdapat gejala hipertiroidisme atau
sindrom Cushing. sklera berwarna biru, penurunan pendengaran, gigi
kuning kecoklatan dapat menunjukkan osteogenesis imperfecta
(Lewiecky, 2010)
c. Pemeriksaan Radiologi
X-ray digunakan untuk mendiagnosis semua tipe fraktur dan dapat
menentukan p sekunder osteoporosis. Pseudofraktur (zona Looser's
yang memberikan gambaran radiolusen tegak lurus pada korteks tulang
dapat dilihat pada pasien dengan osteomalasia. Hal ini menunjukkan
fraktur yang disebabkan oleh stress fisik yang mengalami penyembuhan
dengan mineralisasi osteoid yang buruk. Gambaran radiolusen pungtata,
dapat terlihat pada X-ray tulang pasien dengan mastositosis sistemik
Hiperparatiroidisme primer dapat menyebabkan kista tulang, resorpsi
tulang subperiosteal, brown tumor, dan demineralisasi tulang kranial.
Magnetic Resonance Imaging (MR), Computed Tomography (CT) scan,
atau nuclear imaging dapat digunakan untuk mendeteksi fraktur karena
stress fisik yang tidak dapat dilihat dengan X-ray (Lewiecky, 2010).
Terdapat adanya beberapa gambaran radiologis foto polos:
(Greenspan, 2011)

1. Gambaran radiologis osteoporosis secara umum

Pemeriksaan radiografis digunakan untuk semua gejala osteoporosis.


Ditandai dengan penurunan ketebalan kortikal dan penurunan jumlah
ketebalan trabekula tulang spons

Gambar 2.1 Gambaran Osteoporosis secara umum


Keterangan: (A) Anteroposterior dan (B) Lateral pada lutut kiri
mengungkapkan peningkatan radiolusen tulang, penipisan korteks, dan
pola trabecular jarang. Dimana perubahan ini lebih efektif diperlihatkan
pada bagian CT axial yang diperoleh melalui proksimal tibia (C) dan
femur distal (D).

2. Radiologis periartikular osteoporosis menurut (Greenspan, 2011)

Perubahan ini bersifat prominent tanpa bantalan yang berat. Daerah


pertama yang terkena osteoporosis serta yang paling baik dari studi
radiologi adalah daerah periartikular, dimana korteks secara anatomis
lebih tipis.

Gambar 2.2 Gambaran Radiologis Periartikular osteoporosis

Keterangan gambar: (A) anteroposterior dan Lateral (B) gambaran


radiografi pergelangan kaki mengungkapkan pola trabekular jarang dan
meningkatkan radiolusen didaerah subchondral.

3. Radiologis osteoporosis yang disebabkan oleh komplikasi fraktur

Pada tulang panjang ketebalan korteks menurun, tulang menjadi rapuh,


dan ada peningkatan insiden klinis fraktur, terutama pada femur
proximal
Gambar 2.3 Osteoporosis yang disebabkan oleh kompliasi fraktur

Keterangan: Osteoporosis pasca menopouse mengalami fraktur


intertrochanteric femur kiri. Terlihat pada anteroposterior adanya
penipisan korteks dan penigkatan radiolusen tulang.

Pada tulang paha, perubahan dapat di evaluasi menggunakan index


singh yang didasarkan pada arsitektur trabekula femur proksimal.

Gambar 2.4 index trabekula singh

(A) Pola trabekular ujung proksimal tulang paha adalah indikator


yang sangat baik dari tingkat keparahan osteoporosis
(B) Arcade trabekula penting untuk index trabekular singh
Dileher femoralis membentu daerah segitiga radiolusen, segitiga
ward.

Gambar 2.5. Terdapat adanya tingkatan Index Singh yang terbagi


menjadi 6 grades yaitu:
Grade 6: Semua struktur kelompok trabekla terlihat, sigitiga Ward kurang
jelas dan didalamnya tampak struktur trabekula tipis yangtidak lengkap
yang mendalakan tulang normal.
Grade 5: tampak atenuasi struktur kelompok principal compressive dan
principal tensile karena resorp si trabekula tipis. Secondary
compressivekurang jelas. Setiga ward tampak kosong dan lebih
prominen. Stadium ini menunjukan stadium dini Osteoporosis.
Grade 4: trabekula tensile tampak lebih berkurang, terjadi resorpsi
dimulai bagian medial, sehingga principal tensile bagian lateral masih
dapat diikuti garisnya, sementara secodary tensile telah menghilang.
Sehingga segitiga Ward batas lateralnya terbuka. Stadium ini
menunjukkan transisi antara tulang normal dengan Osteoporosis.
Grade 3: tampak pricipal tensile terputus di area yang berseberangan
dengan trochanter mayor sehingga trabekula tensile hanya terlihat di
bagian atas Collum femoris. Stadium ini menunjukan keadaan definitive
Osteoporosis.
Grade 2: hanya tampak principal compressive yang prominen sedangkan
kelompok trabekula lain tidak / kurang jelas karena sebagian besar telah
teresorpsi. Keadaan ini menunjukan moderantly advanced Osteoporosis.
Grade 1: principal compressive tidak menonjol dan berkurang jumlanya,
keadaan ini menunjukan kedaan Osteoporosis berat.
4. Gambaran radiologis Involunsional osteoporosis

area lain perubahan osteoporosis yang dievaluasi adalah kerangka axial


terutama tulang belakang hal ini berlaku terutama pada osteoporosis
yang berhubungan dengan penuaan yaitu, involusional (pikun dan
postmenopouse)

Gambar 2.6 pada gambar kanan adanya peningkatan kepadatan


tulang belakang dan reabsorbsi dari spons trabekula membentuk
bentukan ruang kosong. Dan pada gambar kiri: terlihat kelemahan
dari tulang belakang dan lempeng ujung vertebral dan ekspansi
intravertebral dari nukleus pulposus.

d. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, tes rutin yang dilakukan adalah
pengukuran kalsium serum dan kadar kreatinin, fungsi hati, pengukuran
kadar tirotropin, dan hitung darah lengkap. Jika diindikasikan secara
klinis, pemeriksaan elektroforesis protein serum, dan tes protein Bence
Jones urin, kortisol dan kalsium dalam urin 24 jam, dan antibodi HIV dapat
dilakukan. Hipogonadisme sulit di deteksi berdasarkan riwayat pasien
dan pemeriksaan fisik saja, maka pengukuran kadar testosteron
direkomendasikan pada semua pria dengan osteoporosis. Kadar
serum25-hidroksivitamin D juga dapat diukur. Kadar dibawah 30 ng!ml T5
nmovL) harus di berikan pengobatan (Ebeling, 2008)
e. Penentuan massa tulang
Pengukuran massa tulang dapat memberi informasi massa tulangnya
saat itu, dan terjasdinya risiko patah tulang di masa yang akan datang.
Salah satu prediktor terbaik akan terjadinya patah tulang osteoporosis
adalah besarnya massa tulang. Pengukuran massa tulang dilakukan oleh
karena massa tulang berkaitan dengan kekuatan tulang. Ini berarti
semakin banyak massa tulang yang dimiliki, semakin kuat tulang tersebut
dan semakin besar beban yang dibutuhkan untuk menimbulkan patah
tulang. Untuk itu maka pengukuran massa tulang merupakan salah satu
alat diagnose yang sangat penting. Selama 10 tahun terakhir, telah
ditemukan beberapa tehnik yang non-invasif untuk mengukur massa
tulang. Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer kita akan
mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang
antara lain
1 Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram
2. Kandungan mineral tulang dalam satuan gram.
3. Perbandingan hasil densitas mineral tulang degan nilai normal rata rata
densitas mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang
sama, yang dinyatakan dalam persentase.
4. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata
rata densitas mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis
yang samaa, yang dinyatakan dalam score standar deviasi (Z-score atau
T- score).
5. Tscore hanya digunakan untuk wanita post atau permenopuase dan
laki-laki daiatas 50 tahun, sedangkan Z-score digunakan pada wanita
premenopause dan laki-laki dibawah 50 tahun. (Kawiyana, 2009).
2.5. Osteoarthritis

2.5.1 Definisi Osteoarhtritis


Osteoarthritis (OA), juga kadang kadang disebut osteoarthrosis atau
penyakit sendi degeneratif, bukan penyakit tunggal, melainkan hasil
klinis dan patologis dari berbagai gangguan dan kondisi yang
menyebabkan rasa sakit, cacat dan kegagalan struktural dalam sendi
synovial. osteoarthritis merupakan gangguan kronis dari sendi sinovial
yang di dalamnya ada perlunakan progresif dan disintegrasi tulang
rawan artikular disertai dengan pertumbuhan baru dari tulang rawan dan
tulang pada margin sendi (osteofit), pembentukan kista dan sklerosis
pada tulang subkondral, sinovitis ringan dan fibrosis kapsuler. Sering
terlokalisasi hanya satu bagian dari sendi dan sering dikaitkan dengan
beban abnormal (Apley's, 2010). Osteoarthritis adalah penyakit
degenerative sendi yang bersifat kronik, berjalan progresif lambat,
seringkali tidak meradang atau hanya menyebabkan inflamasi ringan,
dan ditandai dengan adanya kerusakan dan abrasi rawan sendi serta
pembentuka tulang baru pada permukaan sendi. Terjadinya
osteoarthritis dipengaruhi oleh faktor-faktor resiko yaitu umur (proses
penuaan), genetik, kegemukan, cedera sendi, pekerjaan, olahraga,
anomali anatomi, penyakit metabolik, dan penyakit inflmasi sendi
(soeroso, 2006).
2.5.2 Epidemiologi Oateoarthritis
Osteoarthritis merupakan penyakit rematik sendi yang paling banyak
mengenai terutama pada orang orang diatas 50 tahun. Di atas 85%
orang yang berusia 65 tahun menggambarkan osteoarthritis pada
gambaran x-ray, meskipun hanya 35%-50% hanya mengalami gejala.
(Ariani, 2009)

Sendi yang paling sering terkena adalah tulang vertebra, pinggul, lutut,
dan beberapa sendi-sendi kecil yang terdapat pada tangan dan kaki.
Menurut temuan radiologi, osteoarthritis terjadi 7,3% pada tangan, 2,3
pada kaki, 1,5% pada pinggul. Pravalensi osteoarthritis menurut gejala
yang ditemui yaitu pada tangan 8%, kaki 2%, lutut 12,1% pada orang
dewasa berusia lebih dari 60 tahun keatas dan 16% pada orang dewasa
usia 45-60 tahun (Apley's, 2010). Osteoarthritis pada lutut merupakan
tipe osteoarthritis yang paling umum dijumpai pada orang dewasa
dengan kelompok umur 60-64 tahun (Felson, 2009). Dan orang kulit
berwarna lebih banyak menderita osteoarthritis lutut dari pada
osteoarthritis panggul, sebaliknya orang kulit putih lebih banyak
osteoarthritis panggul (Pratini, 2011).

2.5.3 Etiologi osteoarthritis


Meskipun etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun
faktor biomekanik dan biokimia merupkan faktor terpenting dalam
proses terjadinya osteoarhtirits. Faktor biomekanik yaitu kegagalan
mekanisme protektif antara kapsul sendi, ligament, otot-otot persendian,
serabut aferen, dan tulang tulang. dan juga bias terjadi akibat komplikasi
dari penyakit lain seperti gout, rheumatoid arthritis, dan sebagainya
(Fauci,2012).

2.5.4 Klasifikasi Osteoarthritis


Berdasarkan penyebabnya osteoartritis diklasifikasikan oleh menjadi 2
golongan, yaitu OA primer dan OA sekunder
a. Osteoarthritis Primer
osteoartritis primer atau OA idiopatik belum diketahui penyebabnya dan
tidak berhubungan dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan
lokal pada sendi. Meski demikian, osteoartritis primer banyak
dihubungkan Meski pada penuaan. Pada orang tua, volume air dari
tulang muda meningkat dan susunan protein tulang mengalami
degenerasi. Akhirnya, kartilago mulai degenerasi dengan mengelupas
atau membentuk tulang muda yang kecil Pada kasus-kasus lanjut, ada
kehilangan total dari bantal kartilago antara tulang-tulang dan sendi-
sendi. Penggunaan berulang dari sendi yang terpakai dari tahun ke
tahun dapat membuat bantalan tulang mengalami iritasi dan meradang,
menyebabkan nyeri dan pembengkakan sendi (Atman et. Al 2006).
Penyakit ini sering menyerang sendi penahan beban tubuh (weight
bearing joint), atau tekanan yang normal pada sendi dan kerusakan
akibat proses penuaan. Paling sering terjadi pada sendi lutut dan sendi
panggul, tapi ini juga ditemukan pada sendi lumbal, sendi jari tangan,
dan jari pada kaki (Lawrence, 2008).
b. Osteoartritis Sekunder
Osteoartritis sekunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit atau
kondisi lainnya seperti pada post-traumatik, kelainan kongenital dan
pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan
sendi, penyakit akibat deposit kalsium, kelalnan endokrin metabolik,
inflamasi, imobilitas yang terlalu lama, serta faktor resiko lainnya seperti
obesitas, operasi yang berulangkali pada struktur-struktur sendi dan
sebagainya (Altman et al. 2006)

Menurut Lawrence, 2008 Osteoarthritis sekunder biasanya terjadi pada


umur yang lebih awal dari pada osteoarthritis primer.

.
2.5.5 Faktor resiko osteoarthritis
Faktor resiko terjadinya osteoarthritis adslah:

1. Usia
Osteoarthritis (OA) sering terjadi pada usia lanjut, jarang dijumpai
penderita OA yang berusia dibawah 40 tahun. Usia rata laki laki yang
mendeita OA sendi lutut yaitu pada umur 59 tahun dengan puncaknya
pada usia 55 – 64 tahun, sedangkan wanita 65 tahun dengan
puncaknya pada usia 65 – 74 tahun (arissa, 2012). Hal ini disebabkan
karena adanya hubungan antara umur dengan penurunan kekuatan
kolagen dan proteoglikan pada kartilago sendi (Soeroso J, 2006).
2. Faktor Genetik

Faktor heredier juga berperan pada timbulnya OA. Adanya mutasi


dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur unsur
tulang rawan sendi seperti kolagen dan proteoglikan berperan dalam
timbulnya kecenderungan familial pada OA (wahyuningsih, 2009).

3. Obesitas dan penyakit metabolik

Membawa beban lebih berat akan membuat sendi sambungan tulang


bekerja dengan lebih berat, diduga memberi adil pada terjadinya
osteoarthritis. Setiap kilogram penambahan berat badan atau masa
tubuh dapat meningkatkan beban tekan lutut sekitar 4 kilogram. Dan
terbukti bahwa penurunan berat badan dapat mengurangi resiko
terjadinya osteoarthritis atau memperparah keadaan steoarthritis lutut

(Meisser, 2005). Dan juga terdapatnya faktor lain (metabolik) yang


berperan dalam timbulnya kaitan tersebut antara lain penyakit jantung
coroner, diabetes mellitus dan hipertensi (soerosa, 2006)

4. Riwayat trauma.
Cedera sendi, terutama pada sendi – sendi penumpu berat tubuh
seperti sendi pada lutut berkaitan dengan risiko osteoartritis yang lebih
tinggi. Trauma lutut yang akut termasuk robekan terhadap ligamentum
krusiatum dan meniskus merupakan faktor timbulnya osteoartritis lutut
(Wahyuningsih, 2009). Pekerjaan berat maupun pemakaian suatu sendi
yang terus menerus, berkaitan dengan peningkatan resiko osteoarthritis
tertentu (Soeroso, 2006).

5. Pekerjaan dengan beban berat.

Bekerja dengan beban rata-rata 24,2 kg, lama kerja lebih dari 10 tahun
dan kondisi geografis berbukit-bukit merupakan faktor resiko dari
osteoarthritis lutut (Maharani, 2007). Dan orang yang mengangkat berat
beban 25 kg pada usia 43 tahun, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadinya osteoarthritis dan akan meningkat tajam pada usia setelah 50
tahun (Martin, 2013).

2.5.6 Patofisiologi

Osteoartritis terjadi akibat kondrosit (sel pembentuk proteoglikan dan


kolagen pada rawan sendi) gagal dalam memelihara keseimbangan
antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler, sehingga terjadi
perubahan diameter dan orientasi serat kolagen yang mengubah
biomekanik dari tulang rawan, yang menjadikan tulang rawan sendi
kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik (Price dan Wilson, 2013)

Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama


setelah terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak
nyaman. Sinoviosit yang mengalami peradangan akan menghasilkan
Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan berbagai sitokin yang akan
dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriks rawan sendi
serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan
ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan
enzim proteolitik (Robbins, 2007)

Perkembangan perjalanan penyakit osteoarthritis dibagi


menjadi 3 fase, yaitu sebagai berikut :

Fase 1

Terjadinya penguraian proteolitik pada matriks kartilago. Metabolisme


kondrosit menjadi terpengaruh dan meningkatkan produksi enzim seperti
metalloproteinases yang kemudian hancur dalam matriks kartilago.
Kondrosit juga memproduksi penghambat protease yang mempengaruhi
proteolitik. Kondisi ini memberikan manifestasi pada penipisan kartilago
(Helmi, 2012).

Fase 2

Pada fase ini terjadi fibrilasi dan erosi dari permukaan kartilago, disertai
adanya pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan
synovia (Helmi, 2012).

Fase 3

Proses penguraian dari produk kartilago yang menginduksi respons


inflamasi pada sinovia. Produksi magrofag sinovia seperti interleukin 1
(IL-1), tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), dan metalloproteinase
menjadi meningkat. Kondisi ini memberikan manifestasi balik pada
kartilago dan secara langsung memberikan dampak adanya destruksi
pada kartilago. Molekul-molekul proinflamasi lainnya seperti nitric oxide
(NO) juga ikut terlibat. Kondisi ini memberikan manifestasi perubahan
arsitektur sendi dan memberikan dampak terhadap pertumbuhan tulang
akibat stabilitas sendi. Perubahan arsitektur sendi dan stress inflamasi
memberikan 18 pengaruh pada permukaan artikular menjadi kondisi
gangguan yang progresif (Helmi, 2012)

Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth


factor (GF-1), growth hormone, transforming growth factor b (TGF-b) dan
coloni stimulating factor (CSFs).IGF-1 penting dalam proses perbaikan
tulang rawan sendi. Pada saat inflamasi, sel menjadi kurang sensitif
terhadap efek IGF-1. Sedangkan TGF-b mempunyai efek merangsang
sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin, yaitu enzim
yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi prostaglandin
E2 (PGE2. dan melawan efek sintesis PGE2 oleh interleukin-1 (L 1).
Apabila makrofag dirangsang oleh CSFs (material asing hasil nekrosis
jaringan akan memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA) yang
disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF-a, TNF-b, dan
interferon (IFN) a dan t. sitokin ini akan merangsang kondrosit untuk
memproduksi CSFs yang akan mempengaruhi monosit dan PA untuk
degradasi rawan sendi secara langsung. Sehingga, pasien OA memiliki
kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya Interleukin-1 mempunyai efek
meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu
stromelisin dan kolagenosa, dan menghambat proses sintesis dan
perbaikan normal kondroisit Kondroisit pasien OA mempunyai reseptor
IL-1 dua kali lipat lebih banyak dibanding orang normal Tulang subkondral
mengalami perubahan metabolik, termasuk turnover (pertukaran) tulang
meningkat, yang merupakan prekursor untuk penusakan jaringan. Faktor
pemicu utamanya adalah interleukin-1 (L-1), sitokin yang dihasilkan oleh
sel mononukleus dan disintesis oleh kondroisit IL-1 menekan sintesis PG
oleh kondroisit dan menghambat pembentukan matriks (Soeroso et al,
2014).

Pada tulang rawan sendi pasien OA terjadi peningkatan


aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Hal ini
menyebabkan penumpukan thrombus dan lipid pada pembuluh darah
subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis Jaringan
subkhondral yang selanjutnya akan mengakibatkan pelepasan
prostaglandin dan interleukin yang menimbulkan bohe angina lewat
subkhondral yang diketahui mengandung ujung saraf Sensibel yang
dapat menghantarkan rasa sakit (Soeroso,2014).

2.5.7 Manifestasi Klinis


OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil.

Distribusi OA dapat mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul,


lutut (Setiati S et al, 2014).

- Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan
pada sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat
osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau
ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang
lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat
perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat.

- Hambatan gerak sendi: gangguan ini biasanya semakin bertambah


berat dengan pelan pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.

- Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi


hari ketika setelah duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi

- Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang


sendi rawan.
- Perubahan Gaya Berjalan: gejala ini merupakan gejala yang
menyusahkan pasien. Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit,
lutut, atau panggul berkembang menjadi pincang. GAngguan berjalan
dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar
untuk kemandirian OA yang umurnya tua.

- Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-


lahan mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau
lutut

2.5.8 Diagnosis
kriteria diagnosis osteoarthritis lutut:

1. Berdasarkan kriteria klinis nyeri sendi lutut dan paling sedikit 3 dari
gejala berikut: (Rekomendasi IRA 2014).
A. Umur > 50 tahun
B. Kaku sendi < 30 menit
C. Krepitasi pada gerakan aktif
D. Pembesaran tulang sendi lutut
E. Nyeri tekan tepi tulang
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologis nyeri sendi
lutut dan paling sedikit 1 dari gejala berikut: (Pratini, 2011).
A. Umur > 50 tahun
B. Kaku sendi < 30 menit
C. Krepitasi pada gerakan aktif dan osteofit
3. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium nyeri
sendi lutut dan paling sedikit 5 diantara gejala berikut: (Pratini, 2011).
A. Umur > 50 tahun
B. Kaku sendi < 30 menit
C. Krepitasi pada gerakan aktif
A. Pembesaran sendi
B. Nyeri tulang
C. Tidak hangat pada perabaan
D. LED < 40 mm/jam
E. Analisis cairan sendi menunjukkan OA
4. Gambaran radiografi sendi yang mendukung diagnosis OA adalah:
(Soeroso et al., 2014)
A. Penyempitan celah sendi yang sering kali asimetris (lebih berat
pada bagian yang menagnggung beban)
B. Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkhondrial
C. Kista tulang
D. Osteofit pada pinggir sendi
E. Perubahan struktur anatomi sendi

Klasifikasi Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam


pemeriksaan radiologis diklasifikasikan sebagai berikut: ( Hunter dkk,
2009)

1. Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada


radiologis.
2. Grade 1: Ragu-ragu, tanpa osteofit.
3. Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar
sendi. Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar
sendi yang cukup besar.
4. Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar
sendi yang lebar dengan sklerosis pada tulang subkondral.

Sendi pinggul dan lutut adalah lokasi yang paling umum, tingkat
keparahan radiografi tidak selalu berkorelasi dengan gejala klinis.

1. Osteoarthritis pada pinggul

Tanda tanda penyakit degeneratis (OA) sangat mudah ditunjukkan pada


proyeksi standar pinggul
Gambar 2.7 menunjukkan tanda-tanda radiografi osteoarthritis yaitu
adanya penyempitan ruang sendi, terutama pada segmen yang
menahan beban (pada panah), pembentukan os teophytes marjinal
(panah terbuka), dan sclerosis subkhondral.

2. Osteoarthritis pada lutut

Lutut adalah sendi kompleks yang terdiri dari tiga kompartemen utama
yaitu: femorotibial medial, femorotibial lateral, dan femoropatellar. dan
masing-masingnya dapat dipengaruhi oleh perubahan degeneratif.
Gambaran radiografi dari perubahan ini mirip dengan yang terlihat pada
osteoartritis pinggul, termasuk penyempitan ruang sendi (biasanya satu
atau dua kompartemen), sklerosis subkondral, osteofitosis, dan
pembentukan kista subkondral (atau pseudocyst). Proyeksi
anteroposterior dan lateral standar lutut cukup untuk menunjukkan
proses ini
Gambar 2.8 Anteroposterior ( A ) dan lateral ( B ) radiografi lutut
menunjukkan penyempitan kompartemen femorotibial dan
femoropatellar medial, sklerosis subkondral, dan osteofitosis, yang
merupakan ciri khas osteoarthritis. Perhatikan bahwa osteofit yang tidak
jelas pada proyeksi frontal jauh lebih baik ditunjukkan pada radiografi
lateral.

2.5.9 Management
Tujuan pengobatan pada pasien OA adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya kontraktur atau atrofi otot. Terapi OA pada
umumnya simptomatik, misalnya dengan pengendalian faktor-faktor
resiko, latihan intervensi fisioterapi dan terapi farmakologis. Pada fase
lanjut sering diperlukan pembedahan.
Terapi non obat terdiri dari edukasi, penurunan berat badan,terapi fisik
dan terapi kerja. Pada edukasi, yang penting adalah meyakinkan pasien
untuk dapat mandiri, tidak selalu tergantung pada orang lain. Walaupun
OA tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup pasien dapat
ditingkatkan. Penurunan berat badan merupakan tindakan yang penting,
terutama pada pasien-pasien obesitas, untuk mengurangi beban pada
sendi yang terserang OA dan meningkatkan (Imayati, 2011).
BAB 3
Kerangka Konsep

Proses Degeneratif

Gangguan Mineralisasi Tulang

Osteoporosis

Gambaran Radiologis

Penumpukan Berat Badan Obesitas


Hubungan Dengan
Osteoarthritis

Suatu Peradangan Penyakit yang berhubungan

Anda mungkin juga menyukai