PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia yang hidup di dunia pasti akan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan, baik itu dari segi fisik dan mental Hal ini dikarenakan
mereka akan mengalami proses penurunan fungsi tumbuh, seperti kulit,
tulang, dan lain-lain. Proses penurunan fungsi tubuh ini dapat
diartikatakan sebagai proses penuaan. Penuaan menurut
Constantinindes yang dikutip dalam karangan Darmojo (2009)
Osteoporosis adalah salah satu penyakit kronis tidak menular yang
dikarakteristikan dengan adanya penurunan kepadatan, kekuatan dan
struktur tulang menyebakan penderitanya lebih rentan dibandingkan
tulang patah (Rachner, 2011). World Health anization WHO memasukkan
osteoporosis dalam daftar 10 penyakit degeneratif utama di dunia.
Banyak orang tidak menyadari bahwa osteoporosis merupakan
pembunuh tersembunyi (silent killer). Berbeda dengan radang pada sendi
artritis, osteoporosis hanya sedikit menunjukkan tanda-tanda pada
kondisi dini dan sering penyakit ini baru di ketahui setelah terjadinya
komplikasi berupa patah tulang (tjandra,2009).
osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah (Setiyohadi, 2009).
Indonesia pada tahun 1999-2000 memiliki rata-rata usia hidup 64-67
tahun, tahun 2000-2005 meningkat menjadi 67-68 tahun. Tahun 2008
usia harapan hidup Indonesia meningkat menjadi 70,7 tahun (Setiyohadi,
2009). Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan berbagai penyakit
degeneratif dan metabolik termasuk osteoporosis akan menjadi masalah
muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus. terutama di negara
berkembang, termasuk Indonesia karena kasus osteoporosis dengan
berbagai akibatnya termasuk fraktur diperkirakan juga akan meningkat
(Setiyohadi, 2009).
Pada Osteoarthritis (OA) juga dikenal sebagai artrritis degeneratif
atau penyakit sendi degeneratif, adalah sekelompok kelainan mekanik
degradasi yang melibatkan sendi, termasuk tulang rawan artikular dan
tulang subchondral. OA merupakan bentuk yang paling umum dari artritis.
Penyakit ini memiliki pravalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang
tua (Fauci et. Al, 2012). Dan merupakan masalah kedokteran yang paling
sering terjadi pada usia lanjut maupun setengah baya. Terjadi pada orang
dari segala etnis, lebih sering mengenai wanita, Lebih dari sepetiga orang
dengan sensasi kekakuan sendi tertentu dan rasa nyeri intermiten yang
berhubungan dengan aktivitas, sampai kelumpuhan anggota gerak dan
nyeri hebat yang menetap, biasanya dirasakan akibat deformitas dan
ketidak stabilan sendi. Degenerasi sendi yang menyebabkan sindrom
klinis osteoarthritis muncul paling sering pada sendi tangan, kaki,
punggug, dan spine, meskipun dapat terjadi pada sendi synovial mana
pun. Pravalensi kerusakan sendi synobvial ini meningkat dengan
bertambahnya usia (Wiken, 2009).
Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui apakah ada hubungan antara osteoporosis pada
kejadian osteoarthritis pada gambaran foto radiologis
Tujuan Khusus
Manfaat
Bagi Masyarakat
b) Tulang pendek (short bone) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat,
misalnya tulang-tulang karpal.
c) Tulang sutura (sutural bone) terdiri atas dua lapisan tulang padat
dengan lapisan luar adalah tulang concellous, misalnya tulang tengkorak.
1. Ligamentum
Ligamen Ligamen adalah pita fibrosa atau lembaran jaringan ikat yang
menghubungkan dua atau lebih tulang rawan, atau struktur bersama-
sama. Satu atau lebih ligamen memberikan stabilitas pada sendi selama
istirahat dan gerakan. Gerakan yang berlebihan seperti hiper-ekstensi
atau hiperfleksi, dapat dibatasi oleh ligamen. Selanjutnya beberapa
ligamen mencegah gerakan dalam arah tertentu (Bridwell, 2010)
Ligamentum mempunyai sifat extensibility dan tensile strength yang
berfungsi sebagai pembatas gerakan dan stabilisator sendi. Lutut
memiliki beberapa ligamentum, di antaranya :
a. Ligametum cruciatum anterior yang berfungsi menahan hiperekstensi
dan menahan bergesernya tibia ke depan,
2. MENISKUS
Meniskus adalah dua bagian semilunar yang berbentuk baji jaringan
fibrocartilaginous. Mereka ditemukan di antara permukaan femoral dan
tibialis dari sendi lutut, dengan satu meniskus di kompartemen medial dan
satu di lateral kompartemen. Meniskus medial memiliki radius yang lebih
luas kelengkungan dari lateral. Mereka berdua menempel pada tibia di
tanduk anterior dan posterior mereka dan juga melekat pada jaringan
sekitarnya. Meniskus medial melekat pada bagian dalam ligamen
kolateral medial. Lateral meniskus melekat pada tulang paha oleh
meniscofemoral
ligamen. Kedua meniskus melekat satu sama lain anterior oleh ligamen
intermeniscal transversal. Lampiran ini penting karena mereka
mempertahankan posisi menisci, tetapi juga situs yang mempengaruhi
menisci cedera di lutut yang tidak stabil. Secara mikroskopis, menisci
terdiri dari seluler komponen yang tertanam dalam matriks ekstraseluler.
Tidak diketahui apakah sel meniscal adalah chondrocytes atau fibroblas.
Karena mereka mengandung unsur-unsur kedua ini
sel-sel yang telah mereka sebut 'fibrochondrocytes' (Gelbart,2009).
Meniskus merupakan fibrocartilago yang berbentuk seperti huruf C.
Pinggir luarnya tebal dan melekat pada capsula, dan pinggir dalamnya
tipis, cekung dan membentuk pinggir yang bebas. Permukaan atasnya
berhubungan langsung dengan condylus femoris. Permukaan bawahnya
berhubungan dengan condylus tibiae. Fungsinya adalah memperdalam
facies articularis condylus tibiae untuk menerima condylus femoris yang
cembung, selain juga berfungsi sebagai bantalan di antara kedua tulang
tersebut. Masing-masing meniscus melekat pada permukaan atas tibia
melalui cornu anterior dan posteriornya. Karena meniskus medialis
melekat juga pada ligamentum collaterale mediale maka meniscus ini
relatif tidak mudah bergerak (Moore, 2007).
3. Membran Synovial
Membrane synovialis sendi genus melekat pada tepi tepi facies
articularis dan pada tepi tepi luar bagian superior dan inferior meniskus
Kedua ligamentum cruciatum, yang melekat pada daerah intercondylaris
tibia di bawah dan fossa intercondylaris femoris di atas, terletak di luar
cavitas articularis, namun tertutup di dalam membrana fibrosum sendi
genus.
4. Membrana Fibrosum
1. Osteoblas
2. Osteoblas
3. Osteoklas
Osteoklas adalah sel motil bercabang yang sangat besar dengan inti
multipel Ukuran yang besar dan inti yang multipel pada osteoklas terjadi
karena asalnya dari penggabungan sel yang berasal dari sumsum tulang.
Di lekukan jadinya reasorpsi tulang, osteoklas terdapat di dalam matriks
atau kriptus yang terbentuk akibat kerja enzim pada yang dikenal sebagai
resorption bays (dulu disebut lakuna Howship) Pada osteoklas yang aktif,
permukaan yang menghadap matriks tulang terlipat secara iregular, yang
membentuk batas bergelombang (ruffled border). Pembentukan batas
bergelombang tersebut berhubungan dengan aktivitas osteoklas. Batas
bergelombang ini dikelilingi oleh zona sitoplasma terang yang kaya akan
filamen aktin dan merupakan tempat adhesi osteoklas pada matriks
tulang. Zona adhesi sirkumferensial ini menciptakan lingkungan mikro di
antara osteoklas dan matriks tempat terjadinya resorpsi tulang osteoklas
menyekresi kolagenase dan enzim lain dan proton pompa ke dalam
kantong subselular tersebut, yang menciptakan lingkungan yang asam
untuk melarutkan hidroksiapatit dan pencernaan kolagen setempat dan
hormon memiliki reseptor untuk kalsitonin, yakni suatu hormon tiroid,
tetapi bukan untuk hormon paratiroid. Osteoblas yang diaktifkan oleh
PTH akan memproduksi suatu sitokin yang disebut faktor perangsang
osteoklas. Jadi, aktivitas kedua sel tersebut terkoordinasikan dan
keduanya penting pada remodeling tulang. (Junqueira, 2015).
2.4 Osteoporosis
2.4.2 Epidemiologi
Hasil analisa data resiko osteoporosis pada tahun 2005 dengan jumlah
sampel 65.727 orang (22.799 laki-laki dan 42.928 orang perempuan)
yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes RI dan sebuah perusahaan
nutrisi pada 16 wilayah di Indonesia secara selected people (Sumatera
Utara & NAD, Sumatera Barat, Riau, Kep.Riau, Jambi, Sumatera Selatan
& Bangka Belitung & Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali & NTB & NTT,
Kalimantan, Sulawesi & Maluku & Papua) dengan metode pemeriksaan
DMT (Densitas Massa Tulang) menggunakan alat diagnostic clinical bone
sonometer, menunjukkan angka prevalensi osteopenia (osteoporosis
dini) sebesar 41,7% dan prevalensi osteoporosis sebesar 10,3%. Ini
berarti 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki resiko untuk terkena
osteoporosis usia <5 tahun pada pria cenderung lebih tinggi disbanding
wanita, sedangkan >55 tahun peningkatan osteopenia pada wanita enam
kali lebih besar dari pria dan peningkatan osteoporosis pada wanita dua
kali lebih besar dari pria (Depkes RI, 2008).
2.4.3 Klasifikasi
Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut
penyebabnya, yaitu:
5. Osteoporosis primer yaitu osteoporosis yang bukan disebabkan
oleh suatu penyakit (proses alamiah). Osteoporosis primer
berhubungan dengan berkurangnya massa tulang dan atau
terhentinya produksi hormon (khusus perempuan yaitu estrogen)
disamping bertambahnya usia dan juga dapat terjadi pada tiap
kelompok umur. Hal ini disebabkan dengan faktor risikonya, antara
lain: merokok, aktifitas, pubertas tertunda, berat badan rendah,
kebiasaan minum alcohol, ras kulit putih / asia, riwayat keluarga, postur
tubuh, dan defisiensi kalsium (DepKes RI,2008).
Osteoporosis primer terdiri dari beberapa tipe yaitu:
a. Osteoporosis primer tipe 1 (post menoposal) :
Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (usia 53-75 tahun). Hal ini
ditandai oleh adanya fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang
belakang), iga atau tulang radius hal ini disebabkan oleh luasnya jaringan
trabecular pada tempat tersebut, dimana jaringan trabecular lebih
responsive terhadapa defisiensi estrogen (DepKes RI,2008).
2. Tubuh memendek
6. Keturunan
7. Usia
Pada lanjut usia daya serap kalsium akan menurun seiring dengan
bertambahnya usia (Kemenkes, 2008). Setelah usia 35 tahun
kepadatan tulang akan berkurang secara alami (Javier,2010).
8. Hormon
Hormon. Setelah berhentinya haid, perempuan lebih rentan terhadap
osteoporosis karena terjadi perubahan hormonal yang dapat
menurunkan drastis kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium
(Javier,2010).
9. Jenis Kelamin
1. Makanan
2. Pola hidup
Pola hidup sehat (mereka yang pola hidup sehat lebih kurang berisiko
menderita osteoporosis dibandingkan dengan yang menerapkan pola
hidup sehari-hari yang sembarangan (Yatim, 2003).
4. Penggunaan obat
5. Merokok
2.4.7 Diagnosis
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent),
kadang-kadang tidak memberikan tanda-tanda atau gejala sebelum
patah tulang terjadi. Diagnose penyakit osteoporosis kadangkadang baru
diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul,
tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik
pria atau wanita. Biasanya dari waktu ke waktu massa tulangnya terus
berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat diubah kembali
(Kusumawidjaya K,2006).
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, tes rutin yang dilakukan adalah
pengukuran kalsium serum dan kadar kreatinin, fungsi hati, pengukuran
kadar tirotropin, dan hitung darah lengkap. Jika diindikasikan secara
klinis, pemeriksaan elektroforesis protein serum, dan tes protein Bence
Jones urin, kortisol dan kalsium dalam urin 24 jam, dan antibodi HIV dapat
dilakukan. Hipogonadisme sulit di deteksi berdasarkan riwayat pasien
dan pemeriksaan fisik saja, maka pengukuran kadar testosteron
direkomendasikan pada semua pria dengan osteoporosis. Kadar
serum25-hidroksivitamin D juga dapat diukur. Kadar dibawah 30 ng!ml T5
nmovL) harus di berikan pengobatan (Ebeling, 2008)
e. Penentuan massa tulang
Pengukuran massa tulang dapat memberi informasi massa tulangnya
saat itu, dan terjasdinya risiko patah tulang di masa yang akan datang.
Salah satu prediktor terbaik akan terjadinya patah tulang osteoporosis
adalah besarnya massa tulang. Pengukuran massa tulang dilakukan oleh
karena massa tulang berkaitan dengan kekuatan tulang. Ini berarti
semakin banyak massa tulang yang dimiliki, semakin kuat tulang tersebut
dan semakin besar beban yang dibutuhkan untuk menimbulkan patah
tulang. Untuk itu maka pengukuran massa tulang merupakan salah satu
alat diagnose yang sangat penting. Selama 10 tahun terakhir, telah
ditemukan beberapa tehnik yang non-invasif untuk mengukur massa
tulang. Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer kita akan
mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang
antara lain
1 Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram
2. Kandungan mineral tulang dalam satuan gram.
3. Perbandingan hasil densitas mineral tulang degan nilai normal rata rata
densitas mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang
sama, yang dinyatakan dalam persentase.
4. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata
rata densitas mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis
yang samaa, yang dinyatakan dalam score standar deviasi (Z-score atau
T- score).
5. Tscore hanya digunakan untuk wanita post atau permenopuase dan
laki-laki daiatas 50 tahun, sedangkan Z-score digunakan pada wanita
premenopause dan laki-laki dibawah 50 tahun. (Kawiyana, 2009).
2.5. Osteoarthritis
Sendi yang paling sering terkena adalah tulang vertebra, pinggul, lutut,
dan beberapa sendi-sendi kecil yang terdapat pada tangan dan kaki.
Menurut temuan radiologi, osteoarthritis terjadi 7,3% pada tangan, 2,3
pada kaki, 1,5% pada pinggul. Pravalensi osteoarthritis menurut gejala
yang ditemui yaitu pada tangan 8%, kaki 2%, lutut 12,1% pada orang
dewasa berusia lebih dari 60 tahun keatas dan 16% pada orang dewasa
usia 45-60 tahun (Apley's, 2010). Osteoarthritis pada lutut merupakan
tipe osteoarthritis yang paling umum dijumpai pada orang dewasa
dengan kelompok umur 60-64 tahun (Felson, 2009). Dan orang kulit
berwarna lebih banyak menderita osteoarthritis lutut dari pada
osteoarthritis panggul, sebaliknya orang kulit putih lebih banyak
osteoarthritis panggul (Pratini, 2011).
.
2.5.5 Faktor resiko osteoarthritis
Faktor resiko terjadinya osteoarthritis adslah:
1. Usia
Osteoarthritis (OA) sering terjadi pada usia lanjut, jarang dijumpai
penderita OA yang berusia dibawah 40 tahun. Usia rata laki laki yang
mendeita OA sendi lutut yaitu pada umur 59 tahun dengan puncaknya
pada usia 55 – 64 tahun, sedangkan wanita 65 tahun dengan
puncaknya pada usia 65 – 74 tahun (arissa, 2012). Hal ini disebabkan
karena adanya hubungan antara umur dengan penurunan kekuatan
kolagen dan proteoglikan pada kartilago sendi (Soeroso J, 2006).
2. Faktor Genetik
4. Riwayat trauma.
Cedera sendi, terutama pada sendi – sendi penumpu berat tubuh
seperti sendi pada lutut berkaitan dengan risiko osteoartritis yang lebih
tinggi. Trauma lutut yang akut termasuk robekan terhadap ligamentum
krusiatum dan meniskus merupakan faktor timbulnya osteoartritis lutut
(Wahyuningsih, 2009). Pekerjaan berat maupun pemakaian suatu sendi
yang terus menerus, berkaitan dengan peningkatan resiko osteoarthritis
tertentu (Soeroso, 2006).
Bekerja dengan beban rata-rata 24,2 kg, lama kerja lebih dari 10 tahun
dan kondisi geografis berbukit-bukit merupakan faktor resiko dari
osteoarthritis lutut (Maharani, 2007). Dan orang yang mengangkat berat
beban 25 kg pada usia 43 tahun, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadinya osteoarthritis dan akan meningkat tajam pada usia setelah 50
tahun (Martin, 2013).
2.5.6 Patofisiologi
Fase 1
Fase 2
Pada fase ini terjadi fibrilasi dan erosi dari permukaan kartilago, disertai
adanya pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan
synovia (Helmi, 2012).
Fase 3
- Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan
pada sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat
osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau
ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang
lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat
perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat.
2.5.8 Diagnosis
kriteria diagnosis osteoarthritis lutut:
1. Berdasarkan kriteria klinis nyeri sendi lutut dan paling sedikit 3 dari
gejala berikut: (Rekomendasi IRA 2014).
A. Umur > 50 tahun
B. Kaku sendi < 30 menit
C. Krepitasi pada gerakan aktif
D. Pembesaran tulang sendi lutut
E. Nyeri tekan tepi tulang
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologis nyeri sendi
lutut dan paling sedikit 1 dari gejala berikut: (Pratini, 2011).
A. Umur > 50 tahun
B. Kaku sendi < 30 menit
C. Krepitasi pada gerakan aktif dan osteofit
3. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium nyeri
sendi lutut dan paling sedikit 5 diantara gejala berikut: (Pratini, 2011).
A. Umur > 50 tahun
B. Kaku sendi < 30 menit
C. Krepitasi pada gerakan aktif
A. Pembesaran sendi
B. Nyeri tulang
C. Tidak hangat pada perabaan
D. LED < 40 mm/jam
E. Analisis cairan sendi menunjukkan OA
4. Gambaran radiografi sendi yang mendukung diagnosis OA adalah:
(Soeroso et al., 2014)
A. Penyempitan celah sendi yang sering kali asimetris (lebih berat
pada bagian yang menagnggung beban)
B. Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkhondrial
C. Kista tulang
D. Osteofit pada pinggir sendi
E. Perubahan struktur anatomi sendi
Sendi pinggul dan lutut adalah lokasi yang paling umum, tingkat
keparahan radiografi tidak selalu berkorelasi dengan gejala klinis.
Lutut adalah sendi kompleks yang terdiri dari tiga kompartemen utama
yaitu: femorotibial medial, femorotibial lateral, dan femoropatellar. dan
masing-masingnya dapat dipengaruhi oleh perubahan degeneratif.
Gambaran radiografi dari perubahan ini mirip dengan yang terlihat pada
osteoartritis pinggul, termasuk penyempitan ruang sendi (biasanya satu
atau dua kompartemen), sklerosis subkondral, osteofitosis, dan
pembentukan kista subkondral (atau pseudocyst). Proyeksi
anteroposterior dan lateral standar lutut cukup untuk menunjukkan
proses ini
Gambar 2.8 Anteroposterior ( A ) dan lateral ( B ) radiografi lutut
menunjukkan penyempitan kompartemen femorotibial dan
femoropatellar medial, sklerosis subkondral, dan osteofitosis, yang
merupakan ciri khas osteoarthritis. Perhatikan bahwa osteofit yang tidak
jelas pada proyeksi frontal jauh lebih baik ditunjukkan pada radiografi
lateral.
2.5.9 Management
Tujuan pengobatan pada pasien OA adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya kontraktur atau atrofi otot. Terapi OA pada
umumnya simptomatik, misalnya dengan pengendalian faktor-faktor
resiko, latihan intervensi fisioterapi dan terapi farmakologis. Pada fase
lanjut sering diperlukan pembedahan.
Terapi non obat terdiri dari edukasi, penurunan berat badan,terapi fisik
dan terapi kerja. Pada edukasi, yang penting adalah meyakinkan pasien
untuk dapat mandiri, tidak selalu tergantung pada orang lain. Walaupun
OA tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup pasien dapat
ditingkatkan. Penurunan berat badan merupakan tindakan yang penting,
terutama pada pasien-pasien obesitas, untuk mengurangi beban pada
sendi yang terserang OA dan meningkatkan (Imayati, 2011).
BAB 3
Kerangka Konsep
Proses Degeneratif
Osteoporosis
Gambaran Radiologis