Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit degeneratif menjadi salah satu kekhawatiran masyarakat di era

modern saat ini. Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang sulit untuk

diobati, ditandai dengan adanya degenerasi organ tubuh yang dipengaruhi oleh

gaya hidup. Salah satu penyakit degeneratif yang sering dijumpai di masyarakat

adalah diabetes melitus (DM). Diabetes melitus merupakan penyakit yang

memerlukan upaya penanganan khusus, tepat, dan serius (Rahmadiliyani dan

Muhlisin 2008). Diabetes melitus adalah penyakit degeneratif akibat gangguan

metabolisme dalam tubuh yang dicirikan oleh hiperglikemia karena adanya

gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (ADA 2004).

Terdapat beberapa jenis diabetes melitus yaitu diabetes melitus tipe 1,

diabetes melitus tipe 2, dan diabetes melitus gestasional. Jenis diabetes melitus

yang paling banyak diderita adalah diabetes melitus tipe 2 (DMT2). DMT2 adalah

penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh kenaikan glukosa darah akibat

adanya gangguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Trisnawati dan Setyorogo

2013). Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh sel-sel sasaran insulin gagal atau

tidak mampu merespon insulin secara normal sehingga disebut sebagai resistensi

insulin (Leroith et al. 2000).

Menurut American Diabetes Association (ADA), pada tahun 2003 WHO

memperkirakan 194 juta jiwa atau 5.1% dari 3.8 miliar penduduk dunia yang

berusia 20–79 tahun menderita DM dan pada 2025 akan meningkat menjadi 333
juta jiwa. World Health Organization (WHO) memprediksi kejadian DM di

Indonesia akan mengalami peningkatan dari 8.4 juta penderita DM pada tahun

2000 akan meningkat menjadi 21.3 juta penderita DM pada tahun 2020.

Peningkatan penderita DM tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan gaya

hidup yang saat ini semakin tidak sehat. Hal ini menyebabkan Indonesia berada di

urutan 4 dunia penderita DM tertinggi setelah Amerika Serikat, China, dan India

(ADA 2004).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas (2013), proporsi

penderita DM di Indonesia sebesar 6.9%. Penderita DM di Indonesia diperkirakan

akan terus meningkat setiap tahunnya (Balitbang Kemenkes RI 2013). Data

Riskesdas (2013) menunjukkan masyarakat Indonesia berusia ≥15 tahun yang

mengalami permasalahan glukosa darah puasa (GDP) terganggu sebesar 36.6%

dan toleransi glukosa terganggu (TGT) sebesar 29.9%. Hal tersebut menunjukkan

semakin tingginya masyarakat yang berisiko terkena diabetes melitus. Beberapa

faktor risiko yang diperkirakan menjadi penyebab DM antara lain, usia, gaya

hidup, dan aktivitas fisik. Diabetes dapat terjadi akibat kelebihan berat badan

(obesitas), gaya hidup yang tidak sehat, kurang olahraga, dan faktor keturunan

(Wulandari dan Isfandiari 2013).

Gaya hidup yang tidak sehat salah satunya ditandai oleh perubahan pola

konsumsi masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Pola konsumsi makanan

dan minuman berisiko seperti makanan tinggi lemak, gula, dan garam, serta

kurang mengonsumsi sayur dan buah menjadi faktor risiko terjadinya DM


(Nuryati 2009). Kurang aktivitas fisik atau olahraga, khususnya pada masyarakat
perkotaan, dapat disebabkan oleh peningkatan teknologi yang mempermudah

pekerjaan manusia. Aktivitas fisik juga akan memengaruhi berat badan atau status

gizi seseorang. Orang yang melakukan aktivitas fisik cukup cenderung memiliki

berat badan yang ideal, sedangkan orang yang kurang melakukan aktivitas fisik

cenderung memiliki berat badan lebih karena aktivitas fisik yang menurun dapat

menimbulkan timbunan energi dalam tubuh. Selain itu, diabetes melitus

merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi

yang sangat memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Komplikasi yang dapat

terjadi pada penderita DM diantaranya neuropati, penyakit jantung koroner,

kelainan pembuluh darah, dll (Perkeni 2011).

Meskipun telah diketahui faktor risiko DM secara umum, perlu dilakukan

penelitian mengenai faktor yang berhubungan dengan DM pada tingkat

masyarakat yang lebih kecil. Penderita DM di provinsi Riau berada di urutan

nomor tiga tertinggi di Indonesia. Prevalensi DM tertinggi di Indonesia terdapat di

Kalimantan Barat 11.1%, Maluku Utara 11.1%, dan Riau sekitar 10.4%

(Balitbang Depkes 2008). Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Riau (2011), jumlah

penderita diabetes melitus tertinggi terdapat pada kelompok umur 45-54 tahun

(191 kasus), diikuti kelompok umur 60-69 (120 kasus), dan kelompok umur 25-44

tahun (108 kasus). Masyarakat di Provinsi Riau memiliki kebiasaan mengonsumsi

makanan yang diolah dengan cara digoreng, digulai, dan direndang, sehingga

konsumsi masyarakat terhadap minyak dan santan cukup tinggi. Selain itu,

kemudahan teknologi menjadikan masyarakat cenderung tergolong kedalam


kelompok sedentary atau aktivitas fisik kurang. Hal-hal tersebut dapat menjadi

faktor risiko terjadinya DM di Provinsi Riau.

Saat ini, penanganan pertama kasus diabetes melitus berada pada tingkat

Puskesmas. Puskesmas Harapan Raya dan Puskesmas Simpang Tiga merupakan

dua buah Puskesmas yang mendapatkan kunjungan tertinggi pasien DM tipe 2 di

Kota Pekanbaru pada tahun 2016. Berdasarkan permasalahan-permasalahan

diatas, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan

dengan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 di Kota

Pekanbar

Anda mungkin juga menyukai