Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limfogranuloma Venereum

Limfogranuloma venereum merupakan infeksi menular seksual yang


disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serovar L1,L2 dan L3. LGV memiliki
manifestasi akut dan kronis yang bervariasi. Penyakit ini juga dikenal dengan
nama tropical bubo, climatic bubo, strumous bubo, poradenitis inguinalis,
penyakit Durand-Nicolas Favre, limfogranuloma inguinal, limfopatia venera dan
the fourth, fifth, sixth venereal disease. Limfogranuloma venereum mengenai
pembuluh limfe dan kelenjar limfe terutama pada daerah genital, inguinal, anus
dan rektum. Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan sekret infeksius,
umumnya melalui berbagai macam hubungan seksual baik oral, genital atau
anal.7,8

2.2 Epidemiologi Limfogranuloma

Venereum Limfogranuloma venereum terjadi pada semua usia dengan


puncak insiden usia antara 15-40 tahun. Gotz dkk di Belanda melaporkan bahwa
wabah LGV mengenai seluruh pasien dengan rentang usia antara 26-48 tahun.
Studi Halioua dkk di Paris menunjukkan bahwa rata-rata usia pasien dengan
LGV adalah 39,2 tahun. Limfogranuloma venereum akut lebih sering dilaporkan
pada laki-laki daripada wanita dengan rasio 5:1. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena kasus pada wanita bersifat asimptomatis.5

Limfogranuloma venereum bersifat endemik pada heteroseksual di


sebagian besar Afrika, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Karibia. Pada tahun
2003 dilaporkan kasus LGV tersebar sporadis di Eropa, Amerika Utara,
Australia, sebagian besar Asia dan Amerika Selatan. Kasus ini banyak ditemukan
terutama di kalangan pelaut, militer dan wisatawan yang terinfeksi selama
melakukan kunjungan ke daerah endemik. Pada tahun 2003 Gotz dkk
melaporkan 13 kasus LGV proktitis pada laki-laki yang berhubungan seksual
dengan laki-laki dari klinik rawat jalan di kota Rotterdam, Belanda. Wabah LGV
diikuti oleh negara-negara tetangga seperti Prancis, Inggris, Jerman dan Kanada
serta Amerika Utara dan Australia.9 Pada bulan Oktober 2004 hingga April 2007
terdapat 327 kasus LGV di Inggris.4 Klint dkk melaporkan 3 kasus LGV di
Swedia pada tahun 2004.10 Liassine dkk di Switzerland mengkonfirmasi 1 kasus
LGV pada seorang laki-laki berusia 31 tahun.11 Pada November 2004 hingga
Januari 2006 terdapat 180 kasus LGV, dengan 27 orang diidentifikasi terinfeksi
dari laki-laki homoseksual. Gambaran khas wabah LGV ini yaitu sebagian besar
kasus disebabkan oleh varian baru yaitu L2b (varian Amsterdam), mengenai
kalangan LSL, melakukan hubungan seksual per anal dengan manifestasi klinis
berupa lesi genital atau proktitis.6

2.3 Etiologi Limfogranuloma

Venereum Agen etiologi yang terlibat dalam patogenesis LGV adalah C.


trachomatis. C. trachomatis telah diidentifikasi menjadi 15 serovar yaitu A, B,
Ba, C-K, L1-L3. LGV disebabkan oleh C. trachomatis serovar L1-L3. Serovar
L2 dibagi menjadi L2, L2’, L2a dan L2b berdasarkan perbedaan komponen asam
amino. Serovar A-C merupakan penyebab infeksi okular trakoma. Serovar D-K
menyebabkan infeksi urogenital. Serovar A-K hanya terbatas pada mukosa,
sedangkan serovar L1-L3 bersifat lebih invasif.12,13

C. trachomatis merupakan organisme dengan sifat sebagian seperti bakteri


dalam hal pembelahan sel, metabolisme, struktur maupun kepekaan terhadap
antibiotika dan sebagian bersifat seperti virus yaitu memerlukan sel hidup untuk
berkembang biak. Berdasarkan hal ini maka dikatakan bahwa C. trachomatis
bersifat parasit obligat intraseluler. Organisme ini memiliki ukuran lebih kecil
dari bakteri, berdiameter 250-500 mm, namun lebih besar dari ukuran virus pada
umumnya. Tanda patognomonik infeksi ini adalah ditemukannya bentukan badan
inklusi Chlamydia di dalam jaringan host. Organisme ini memiliki 2 fase siklus
hidup. Fase 1 (fase non infeksius) atau badan retikuler dan fase 2 (fase
penularan) atau badan elementer.14,15

Gambar 1. Chlamydia trachomatis (badan elementer) dengan


menggunakan elektron fotomikrograf.16

C. trachomatis dibedakan dari organisme yang lain berdasarkan siklus


pertumbuhannya yang unik. Siklus pertumbuhannya diawali dengan perlekatan
dan penetrasi pada hospes yang cocok. Proses perlekatan ini melibatkan reseptor
yang spesifik. Molekul heparan sulfat akan memediasi perlekatan C.trachomatis
pada sel hospes yang cocok hingga memicu proses endositosis dan menghambat
fusi fagosom. Siklus hidup C.trachomatis dapat dibagi menjadi beberapa tahap:
1. Perlekatan partikel awal yang infeksius pada sel hospes

2. Masuknya partikel ke sel hospes

3. Perubahan morfologi menjadi partikel retikuler yang berada di dalam


intraseluler dan mengalami replikasi di dalam vakuola, letaknya melekat pada
inti sel hospes. Bentuk ini disebut sebagai badan inklusi

4. Vakuola yang pecah menyebabkan perubahan morfologi dari partikel retikuler


menjadi badan elementer

5. Pelepasan partikel yang infeksius

Badan elementer relatif resisten terhadap lingkungan ekstraseluler, namun


tidak pada metabolit aktifnya. Partikel ini berubah menjadi metabolit aktif dan
terbagi menjadi bentuk yang disebut badan retikuler dalam waktu 6-8 jam setelah
masuk ke dalam sel hospes. Setelah mencapai stadium badan retikuler,
C.trachomatis mensintesis makromolekul RNA, DNA dan protein menggunakan
prekursor dari sel hospes. Glikogen tampak menumpuk dan tampak sebagai
inklusi pada C.trachomatis. Badan retikuler membelah diri melalui fusi biner
dalam waktu kurang lebih 8 hingga 18 atau 24 jam setelah masuk sel hospes.
Selanjutnya badan retikuler akan berubah menjadi badan elementer yang
infeksius. Dalam waktu 18-24 jam, jumlah badan elementer akan meningkat.
Badan elementer bersifat toksik. Apabila sel hospes memakan >100 partikel
badan elementer, hal ini dapat mematikan sel tersebut.
Gambar 2. Siklus hidup Chlamydia trachomatis.16

2.4 Patogenesis Limfogranuloma

Venereum Limfogranuloma venereum merupakan penyakit jaringan


limfatik. C. trachomatis tidak dapat menembus kulit sehat. Organisme ini masuk
ke pembuluh limfatik melalui mikrotrauma pada kulit atau sel epitel membran
mukosa. Kuman patogen menginfeksi kelenjar getah bening dan menyebabkan
limfangitis serta limfadenitis. Prosesnya melibatkan trombolimfangitis dan
perilimfangitis disertai penyebaran reaksi inflamasi kelenjar getah bening yang
terinfeksi menuju ke jaringan sekitar.7,17

Limfangitis ditandai adanya proliferasi sel endotel yang menyebabkan


pembesaran kelenjar getah bening dan pembentukan area nekrosis. Area nekrosis
menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan membentuk stelate absceses
berbentuk segitiga atau segiempat yang dikelilingi oleh sel epiteloid, makrofag
dan giant cell. Abses dapat bergabung dan pecah spontan membentuk fistula atau
saluran sinus. Pada proses inflamasi terjadi penyembuhan dengan fibrosis setelah
beberapa minggu atau bulan. Pembentukan fibrosis akan menghancurkan struktur
normal dari kelenjar getah bening dan menghalangi aliran limfe.7,18

Limfangitis yang kronis progresif menyebabkan edema kronis dan


fibrosis sklerosis sehingga aliran limfe terbendung. Hal ini mengakibatkan
striktur dan fistula yang dapat menyebabkan elefantiasis dari genital, esthiomene
dan frozen pelvis syndrome. Fibrosis juga mengakibatkan gangguan suplai darah
menuju kulit atau membran mukosa. Hal ini menyebabkan terjadinya ulserasi
mukosa rektum, inflamasi transmural dinding usus, obstruksi drainase limfatik,
perlekatan antara kolon sigmoid dan rektum ke dinding panggul atau organ
sekitar serta pembentukan striktur fibrotik. Proses patologi pada LGV bersifat
lokal pada satu atau dua kelenjar getah bening, namun organisme ini dapat
menyebar secara sistemik di pembuluh darah dan mencapai sistem saraf pusat.
Imunitas host, persistensi bakteri di jaringan atau infeksi berulang yang
diakibatkan serovar serupa atau serovar yang terkait C. trachomatis berperan
penting dalam perkembangan sistemik penyakit ini.7,19

2.5 Manifestasi Klinis Limfogranuloma Venereum

Manifestasi klinis LGV bervariasi tergantung pada jenis kelamin pasien,


stadium penyakit dan cara penularan. Limfogranuloma venereum bersifat kronis
progresif dengan 3 stadium klinis yaitu primer, sekunder dan tersier.
2.5.1 Limfogranuloma primer

Lesi primer LGV muncul dalam bentuk papul yang tidak nyeri,
pustul, nodul, erosi yang dangkal, atau ulkus herpetiform. Lesi muncul
setelah masa inkubasi selama 3-30 hari. Lokasi lesi primer LGV pada laki-
laki paling sering di sulkus koronarius, frenulum, preputium, penis, glans
penis, skrotum sedangkan pada wanita di dinding vagina posterior,
fourchette, serviks posterior dan vulva. Lesi primer bersifat sementara,
membaik dalam waktu 1 minggu dan dapat tidak diketahui apabila terdapat
lesi di uretra, serviks atau rektum. Sekret mukopurulen dari uretra, serviks
atau rektum dapat muncul tergantung pada tempat inokulasi. Lesi ekstra
genital telah dilaporkan dalam bentuk ulkus dan fisura di area perianal pada
LSL, bibir atau kavum oris (tonsil) dan kelenjar getah bening ekstra
genital. Bentuk lesi primer yang jarang yaitu balanitis, balanopostitis,
bubonulus, servisitis, salpingitis atau parametritis.7,8,20

Gambar 3. Lesi erosi di preputium yang tidak nyeri.8


Proktitis akibat rectal intercourse merupakan manifestasi klinis
utama dari infeksi primer pada kalangan LSL. Gejala proktitis berupa nyeri
anorektal, perdarahan anorektal, duh tubuh mukoid dan atau hemopurulen
pada rektal, tenesmus, konstipasi, diare dan gejala lain dari inflamasi
saluran gastrointestinal bawah. Studi terbaru menurut Ward dkk (2007) di
Inggris menunjukkan bahwa hampir 96% pasien memiliki gejala dan tanda
proktitis. Pada studi ini gejala dan tanda proktitis yang paling sering
ditemui yaitu duh tubuh rektal (79%), nyeri anorektal (69%) dan
perdarahan anorektal (58%). Beberapa kasus infeksi LGV faringeal pada
LSL telah dilaporkan akhir-akhir ini.5,17

2.5.2 Limfogranuloma sekunder

Dua sampai enam minggu setelah muncul lesi primer, terjadi


diseminasi melalui kelenjar getah bening dan hematogen. Limfogranuloma
sekunder dapat menyebabkan sindrom inguinal dan sindrom anorektal
bergantung pada lokasi inokulasi. Sindrom inguinal muncul setelah lesi
primer pada vulva anterior, penis atau uretra. Sindrom ini ditandai dengan
keterlibatan kelenjar limfe inguinal dan atau femoral yang sering
ditemukan pada laki-laki. Pada sindrom ini yang terkena yaitu kelenjar
limfe inguinal medial yang merupakan kelenjar regional bagi genitalia
eksterna. Episode limfadenitis sering menyembuh secara spontan dalam 8-
12 minggu. Kelenjar getah bening lain dapat terlibat tergantung dari lokasi
lesi primer.18,21,22
Tabel 1. Lokasi infeksi primer LGV menentukan limfatik yang
terlibat.7

Bubo inguinal ditemukan pertama kali oleh William Wallace pada


tahun 1833. Kulit disekitar kelenjar limfe terkena menjadi eritema, kelenjar
limfe membesar dalam 1-2 minggu kemudian bergabung membentuk
massa padat apabila melibatkan satu atau lebih kelenjar limfe yang
berdekatan, nyeri berdenyut, tidak bisa digerakkan. Kondisi ini disertai
dengan peningkatan denyut nadi (takikardi), demam tinggi, nafsu makan
menurun dan gangguan tidur. Gejala konstitusi yang muncul berkaitan
dengan penyebaran sistemik dari C. trachomatis. Manifestasi penyebaran
sistemik yang jarang seperti meningoensefalitis, pneumonitis, hepatitis,
hepatosplenomegali, arthritis dan iritis. Kelenjar limfe mengalami
perlunakan yang tidak serentak ditandai dengan fluktuasi pada 75% kasus
dan terbentuk abses multipel. Kulit yang melapisi bubo berubah warna
menjadi merah kebiruan (blue balls) yang menandai adanya ruptur bubo.
Bubo yang ruptur akan keluar mengalir ke kulit melalui pembentukan
saluran sinus pada 1/3 kasus. Bubo juga dapat berkembang menjadi massa
yang keras dan pecah tanpa mengalami supurasi. Keterlibatan kelenjar
limfe unilateral terjadi pada 2/3 kasus.7,8,20
Gambar 4. Bubo awal berupa pembesaran KGB unilateral yang
berkoalesen. Kulit dibawahnya eritema dan berindurasi.8

Gambar 5. Bubo inguinal yang ruptur dan mengering.18


Pembesaran kelenjar limfe inguinal dan femoral yang dipisahkan
oleh ligamentum inguinal Pouparti menyebabkan terbentuknya celah yang
disebut sign of groove (Greenblatt’s sign). Tanda ini patognomonik untuk
LGV, namun hanya ditemukan pada 15-20% kasus. Pembesaran kelenjar
femoralis, inguinalis superfisialis dan profundus menyebabkan bentukan
seperti tangga yang disebut ettage bubo. Sindrom inguinal hanya
ditemukan 20-30% pada wanita. Lesi primer wanita terutama pada vagina
2/3 atas dan serviks. Keterlibatan lesi primer rektum dijumpai pada wanita
yang reseptif anal seks. Pada lokasi ini, drainase limfatik ke kelenjar limfe
iliaka profundus/perirektal. Hal ini menyebabkan limfadenopati
intraabdominal atau retroperitoneal dengan gejala nyeri abdomen bawah
atau nyeri punggung bawah (low back pain).6,7,8

Gambar 6. Sindrom inguinal yang menunjukkan “sign of the groove”. 23


Sindrom anorektal akut ditandai dengan keterlibatan kelenjar limfe
perirektal, proktitis hemoragik akut dan gejala sistemik. Sindrom ini
merupakan gambaran umum pada wanita dan laki-laki homoseksual yang
melakukan anal seks. Gejalanya berupa pruritus ani, perdarahan anus yang
diikuti duh anal purulen, tenesmus, diare, konstipasi dan nyeri abdomen
bawah. Studi terkini menunjukkan 96% pasien LSL disertai gejala dan
tanda proktitis. Sebagian besar kasus LSL disertai Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif, namun gambaran klinis antara
kasus HIV positif dan HIV negatif tidak dibedakan.8,18

2.5.3 Limfogranuloma Tersier

Limfogranuloma venereum sering juga disebut sebagai sindroma


genitoanorektal atau anogenitorektal. Stadium ini banyak ditemukan pada
wanita dengan sindrom anorektal yang tidak diterapi dan laki-laki
homoseksual. Mukosa rektal wanita terinokulasi langsung saat
berhubungan anal atau melalui penyebaran limfatik dari serviks dan
dinding posterior vagina. Pada laki-laki, mukosa rektal terinokulasi
langsung dengan Chlamydia saat berhubungan anal atau melalui
penyebaran limfatik dari uretra posterior. Gambaran khasnya berupa
proktitis atau proktokolitis kronis diikuti pembentukan abses perirektal,
striktur anorektal, stenosis rektal, sinus perineal, fistula
rektovaginal/rektovesika, fistula anal, limfedema genital (elefantiasis
genital), esthiomene dan lymphorrhoids (hiperplasia jaringan limfatik
perirektal). Sindrom inguinal yang tidak diterapi dapat menyebabkan
terbentuknya fibrosis pada kelenjar inguinal medial. Akibatnya aliran limfe
terbendung dan terjadi edema serta elefantiasis. Pada pria, elefantiasis
terjadi di penis dan skrotum, sedangkan wanita di labia dan klitoris. Edema
pada penis dan skrotum sering disebut “saxophone penis”. Elefantiasis
penoskrotal muncul 120 tahun setelah infeksi. Jika meluas terbentuk
elefantiasis genitoanorektal yang disebut sindrom Jersild.6,8,18

Gambar 7. Elefantiasis penis dan skrotum “Saxophone penis”.24

Esthiomene berawal dari infeksi primer pada kelenjar limfe


skrotum, penis dan vulva yang mengalami limfangitis kronis progresif,
edema kronis dan sklerosis fibrosis jaringan subkutan. Hal ini
menyebabkan terjadinya indurasi, pembesaran bagian yang terkena dan
akhirnya menjadi ulserasi. Pada tahap awal, ulserasi terjadi superfisial
namun kemudian menjadi invasif dan destruktif. Sebagian besar pasien
dengan esthiomene adalah wanita. Ulserasi kronis terasa sangat nyeri
dengan lokasi tersering di permukaan eksternal labium mayor, lipatan
genitokrural dan bagian lateral perineum. Pada wanita dapat terjadi
pembentukan papiler di mukosa meatus uretra, berupa tumor poliploid pada
permukaan elefantiasis akibat tekanan paha yang disebut buchblatt
condiloma. Infertilitas dan “frozen pelvis syndrome” merupakan sekuele
dari ruptur kelenjar limfe pelvis profundus pada wanita. Konjungtivitis
folikuler disertai dengan limfadenitis maksila dan aurikula posterior dapat
terjadi pada setiap stadium LGV. Infeksi konjungtiva akibat autoinokulasi
dari sekret genital yang infeksius. Kondisi ini serupa dengan Parinaud’s
oculoglandular syndrome. Lesi primer LGV pada mulut dan faring akibat
felasio atau cunnilingus, sehingga menyebabkan limfadenitis kelenjar limfe
submaksila atau servikal.6,7,20

Anda mungkin juga menyukai