Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MANAJEMEN KESEHATAN IBU DAN ANAK

Oleh :
Andi Rara Pramei
70600116043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2018
A. Manajemen bayi yang lahir dari ibu dengan TB aktif

1. Definisi1
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang menyebar luas yang disebabkan
oleh berbagai Mycobacterium tuberculosis. Yang penyebaran infeksinya melaui
udara. Sebagian besar bakteri ini meyerang paru, tetapi juga dapat mengenai organ
tubuh lainnya.
2. Epidemiologi1,2
Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu ancaman terbesar di dunia yang
merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh dunia. Pada tahun 2014
TB membunuh 1,5 juta orang dengan lebih dari 95% terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Dari 60% total penderita TB disumbangkan
oleh 6 negara yaitu India, diikuti oleh Indonesia, China, Nigeria, Pakistan dan
Afrika Selatan. Secara epidemiologi, sebaran TB lebih banyak menyerang orang
dewasa pada usia produktif. Akan tetapi, semua kelompok usia berisiko TB. Pada
kelompok anak-anak ditemukan satu juta anak-anak (0-14 tahun) jatuh sakit karena
TB, dan 170.000 anak-anak meninggal karena TB pada tahun 2015. Risiko TB aktif
lebih besar pada orang yang menderita kondisi yang mengganggu sistem kekebalan
tubuh. Proporsi kasus TB anak di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4 %,
kemudian menjadi 8,5 % pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada tahun
2013, 7,16% pada tahun 2014, dan 9% pada than 2015. Tuberkulosis pada
kehamilan merupakan masalah tersendiri karena selain mengenai ibu, juga dapat
menulari bayi yang dikandung atau dilahirkannya. Infeksi TB pada neonatus dapat
terjadi melalui intrauterin, selama persalinan, maupun pasca natal oleh ibu pengidap
TB aktif. Kejadian TB kongenital sangat jarang. Di seluruh dunia kasus TB
kongenital hanya tercatat 329 kasus.
3. Gejala klinis1
Gejala klinis Tb anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ
target. Gejala umum TB anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat
badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-
gejala tersebutsering dianggap tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit lain.
Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat kahs, yaitu menetap (lebih dari 2
minggu) walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau
anti malarial untuk demam,dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat
badan)
4. Diagnosis dan Penatalaksanaan3
Penedekatan diagnosis TB anak menggunakan sistem skoring yang disusun
Kementerian Kesehatan bersama dengan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)
adalah sebagai berikut :
(Bagan I. Algoritma tatalaksana TB anak)
Ket;
(*) gejala TB anak sesuai dengan parameter skoring
(**) pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor <6 bila
ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis
lainnya pada fsyankes yang tidak tersedia uji tuberculin
(Bagan II. Tatalaksana TB anak)
Tatalaksana bayi yang lahir dari ibu terduga TB atau terdiagnosis TB1
 Bayi yang lahir dari ibu terduga TB atau terdiagnosis TB harus dievaluasi untuk
menentukan apakah bayi menderita TB perinatal.
a. Jika bayi tidak mempunyai gejala TB perinatal, dapat diberi pengobatan
pencegahan dengan isoniazid (PP INH) selama 6 bulan dengan dosis 10
mg/kgBB. Bayi harus dipantau secara rutin setiap bulan dan divaluasi
kemungkianan adanya gejala TB untuk memastikan T akif tidak berkembang.
Jika timbul geajal, maka dilakukan evaluasi untuk menentukan ada tidaknya
sakit TB. Pada akhir bulan ke 6, bila bayi tetap asimptomatik, PP INH
dihentikan. Jika uji tuberkulin negatif dan tidak terinfeksi HIv, maka dApat
diberikan BCG.
b. Jika bayi mempunyai gejala TB perinatal, harus dilakukan investigasi lengkap
pada ibu dan bayi. Lakukan pemeriksaan foto toraks dan pengambilan specimen
dari lokasi yang memungkinan untuk pemeriksaan mikroskopis, TCM dan
biakan serta uji kepekaan jika fasilitas tersedia.
Obat anti TB harus segara diberikan pada bayi yang dicurigai TB sambil menunggu
konfirmasi bakteriologis, karena TB berkembang dengan cepat pada neonatus. Obat
TB yang digunakan untuk TB kongnital dan TB neonatus sama. Tuberkulosis
perinatal biasanya dalam bentuk berat an fatal sehingga pengobatan menggunakan
rejimen 4 obat selama fase intensif (2RHZE) dan 2 obat selama fase lanjutan (4RH)
dengan dosis sesuai BB. Bayi yang didiagnosis sakit TB harus dirawat di ruang
NICU.
 Ibu dengan TB tetap dapat menyusui, kecuali pada ibu terdiagnosis TB MDR.
Menyusui bayi tetap dilakukan oleh karena risiko penularan M.tuberculosis melalui
ASI dapat diabaikan dan OAT yang dikomsumsi ibu dieksresikan melalui ASI
dalam jumah kecil dan tidak terbukti dapat menginduksi resistensi obat.
 Bayi tidak boleh dipisahkan dari ibu, oleh karena menyusui merupakan salah satu
faktor yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup neonatus dengan TB.
 Neonatus yang lahir dari ibu dengan TB RO harus segera dirujuk ke RS rujukan
MTPTRO dan bayi diberi ASI perah.
 Pencegahan dan pengendalian infeksi TB (PP TB) diperlukan untuk mengurangi
kemungkinan transmisi dari ibu ke anak dengan menggunakan masker.

(Bagan III. Algoritma tatalaksana bayi dengan Ibu Aktif)


B. Manajemen bayi yang lahir dari ibu dengan Diabetes Melitus
1. Definisi4,5

Diabetes dalam kehamilan dibagi menjadi 2 macam yaitu diabetes


pregestasional (didiagnosa sejak sebelum hamil) dan diabetes gestasional
(didiagnosa saat kehamilan). Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah suatu
gangguan toleransi glukosa yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat hamil.
Keadaan ini biasa terjadi pada saat 24-28 minggu usia kehamilan.
2. Epidemiologi4,5,7
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2000, diabetes
melitus gestasional terjadi 7% pada kehamilan setiap tahunnya. Pada ibu hamil
dengan riwayat keluarga diabetes melitus, prevalensi diabetes gestasional sebesar
5,1%. Diabetes mellitus gestasional menjadi masalah kesehatan masyarakat sebab
penyakit ini berdampak langsung pada kesehatan ibu dan janin. Insidens bayi
makrosomia sekitar 5 % dari semua kelahiran. Istilah makrosomia digunakan untuk
menggambarkan fetus atau bayi yang dengan ukuran yang lebih besar dari ukuran
normal. Berat badan lahir lebih dari 4000 gram merupakan patokan yang sering
digunakan dalam mendefinisikan makrosomia. Prevalensi prediabetes di Indonesia
pada tahun 2007 sebesar 10% sedangkan prevalensi diabetes melitus gestasional di
Indonesia sebesar 1,9%- 3,6% pada kehamilan umumnya.
World Health Organization (WHO) memprediksi adanya peningkatan
jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta pada tahun 2030 . Prevalensi DM meningkat sesuai dengan bertambahnya
usia. Prevalensi DM lebih tinggi pada individu yang mempunyai berat badan lebih
dan obesitas, pada kelompok hipertensi dan pada kelompok yang mempunyai
aktifitas fisik kurang . Menurut laporan Riskesdas tahun 2013, Provinsi Jawa Timur
merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan prevalensi penderita DM sebesar
2,1%.
3. Dampak diabetes gestasional terhadap janin 1,5,6
Pada diabetes melitus gestasional akan terjadi suatu keadaan di mana
fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan kinetika insulin dan
resistensi terhadap efek insulin, akibatnya kandungan glukosa dalam plasma ibu
bertambah, kadar gula darah tinggi, tetapi kadar insulin tetap tinggi. Melalui difusi
terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana sirkulasi janin juga ikut terjadi
kandungan glukosa abnormal. Peningkatan tingkat serum metabolit pada ibu yang
mengalami diabetes akan memicu peningkatan transfer nutrien pada janin yang pada
gilirannya akan menimbulkan hiperglikemik dalam lingkungan uterus sehingga
dapat merubah pertumbuhan dan komposisi tubuh janin. Kemudian pada trimester
kedua kehamilan, pankreas janin dengan ibu diabetes mellitus gestasional akan
beradaptasi dengan hiperglikemik dalam lingkungan uterus dengan meningkatkan
produksi insulin, yang mengakibatkan hiperinsulinemia pada janin. Titik kulminasi
dari peristiwa metabolik yang terjadi di dalam uterus ini akan mengakibatkan
hipoglikemia, polisitemia, hiperbilirubinemia, komplikasi gawat nafas (respiratory
distress syndrome), dan pertumbuhan fetus yang beratnya berlebihan atau
makrosomia. Makrosomia atau bayi besar adalah berat badan lahir bayi melebihi
dari 4000 gram. Makrosomia disebut juga dengan giant baby. Semua neonatus
dengan berat badan 4000 gram atau lebih tanpa memandang usia kehamilan
dianggap sebagai makrosomia. Ibu hamil dengan riwayat melahirkan bayi
makrosomia, berisiko 5-10 kali lebih tinggi ntuk kembali melahirkan bayi
makrosomia dibandingkan ibu yang belum pernah melahirkan bayi makrosomia.
4. Diagnosis dan Penatalaksanaan8
 Semua ibu hamil dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan untuk melihat adanya
diabetes melitus gestasional, namun waktu dan jenis pemeriksaannya bergantung
pada faktor risiko yang dimiliki ibu.
 Faktor risiko diabetes melitus gestasional meliputi: obesitas, adanya riwayat
diabetes melitus gestasional sebelumya, glukosuria, adanya riwayat keluarga dengan
diabetes, abortus berulang, adanya riwayat melahirkan dengan cacat bawaan atau
bayi >4000 gram, dan adanya riwayat preeklampsia.
 Pasien dengan faktor risiko tersebut perlu diperiksa lebih lanjut sesuai standar
diagnosis diabetes melitus di kunjungan antenatal pertama. Diagnosis diabetes
melitus ditegakkan bila kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl (disertai gejala
klasik hiperglikemia) ATAU kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl ATAU kadar
glukosa 2 jam setelah TTGO >200 mg/dl ATAU kadar HbA1C >6,5%. Hasil yang
lebih rendah perlu dikonfirmasi dengan melakukan pemeriksaan TTGO di usia
kehamilan antara 24-28 minggu.
 Diagnosis diabetes melitus gestasional ditegakkan apabila ditemukan:
- Kadar gula darah puasa > 92 mg/dl, atau
- Kadar gula darah setelah 1 jam > 180 mg/dl, atau
- Kadar gula darah setelah 2 jam > 153 mg/dl

(Bagan IV. Algoritma diagnosis DMG)


 Penatalaksanaan pada bayi makrosomia antara lain menjaga kehangatan,
membersihkan jalan nafas, memotong tali pusat dan perawatan tali pusat,
melakukan inisiasi menyusui dini, membersihkan badan bayi dengan kapas baby
oil memberikan obat mata, memberikan injeksi vitamin K, membungkus bayi
dengan kain hangat, mengkaji keadaan kesehatan pada bayi dengan makrosomia
dengan mengobservasi keadaan umum dan vital sign serta memeriksa kadar
glukosa darah sewaktu pada umur 3 jam, memantau tanda gejala komplikasi
yang mungkin terjadi, dan memberikan terapi sesuai komplikasi yang dialami
oleh bayi. Makrosomia yang tidak ditangani secara adekuat berisiko
menimbulkan beberapa komplikasi seperti hipoglikemia, hipokalsemia,
hiperbilirubinemia.5
 Bayi lahir dari ibu penderita diabetes mellitus beresiko untuk mengalami
hipoglikemia pada 3 hari pertama setelah lahir, walaupun bayi sudah dapat
minum dengan baik.9
1. Anjurkan ibu untuk menyusu secara dini dan lebih sering paling tidak 3 kali
sehari siang dan malam.

2. Bila bayi berusia kurang dari 3 hari, amati sampai usia 3 hari, periksa glukosa
darah pada:

- Saat bayi datang atau pada usia 3 jam


- Tiga jam setelah pemeriksaan pertama , ulangi pemeriksaan tiap 6 jam selama
24 jam atau sampai kadar glukosa dalam batas normal setelah 2 kali
pemeriksaan berturut-turut.

3. Bila kadar glukosa ≤45 mg/dL atau bayi menunjukkan tanda hipoglikemia maka
tangani hipoglikemia.

4. Bila dalam pengamatan tidak ada tanda hipoglikemia atau masalah lain dan bayi
dapat minum dengan baik, pulangkan bayi pada hari ke 3.

(Bagan V. Penatalaksanaan Hipoglikemia)10

C. Manajemen bayi yang lahir dari ibu dengan Toxoplasmosis


1. Definisi4
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh protozoa
bersel tunggal yang disebut Toxoplasma gondii. Pada wanita yang terinfeksi
Toxoplasma gondii, selama kehamilan akan meneruskan infeksinya kepada janin
yang dikandung melalui tali plasenta dan menimbulkan infeksi, janin yang
dikandung mengalami keguguran atau bayi lahir namun mengalami beberapa
gangguan baik cacat fisik maupun nonfisik.
2. Epidemiologi4,12
Sekitar 30% - 65% dari populasi dunia adalah diperkirakan mengalami
infeksi Toxoplasma kronis. Sebenarnya, prevalensi bervariasi antar negara (dari 10
sampai 80%) dan sering dalam suatu negara tertentu atau antara komunitas yang
berbeda di wilayah yang sama. Seroprevalences yang rendah (10 sampai 30%) telah
ditemukan di Amerika Utara, di Asia Tenggara, di Eropa Utara, dan di negara-
negara Sahelian di Afrika. Prevalensi sedang (30 sampai 50%) telah ditemukan di
negara-negara Tengah dan Eropa Selatan, dan prevalensi tinggi telah ditemukan di
Amerika Latin dan di negara-negara Afrika tropis. Insiden toxoplasmosis pada
wanita hamil bervariasi di Prancis 10 kejadian dari 1000, di Amerika serikat 1,1 tiap
1000. Prevalensi Toxoplasma Gondii di Indonesia 2–63%. Jawa Timur di laporkan
bahwa prevalensi toksoplasmosis pada penduduk di Surabaya menunjukkan 63%.
Hasil pemeriksaan dari IgM dan IgG anti Toxoplasma di Indonesia, tentang manusia
2-63%, kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing 75% dan ternak
lainnya di bawah 10%.
3. Gejala klinis9
Umumnya gejala toxoplasmosis kongenital mulai timbul pada usia 3 bulan ke atas:
1. Neurologis: mikrosefali, bertambahnya lingkar kepala tidak sebandingan dengan
parameter pertumbuhan yang lain, kejang opistotonus, paralisis, sulit menelan,
gangguan pernapasan, tuli, retardasi pertumbuhan intrauterina, ketidakstabilan
pengaturan suhu, ensefali dan hidrosefalus obstruktif.
2. Oftalmologis: yang paling sering korioretinitis yang menyebabkan gangguan
pengelihatan dan biasanya baru timbul pada usia beberapa tahun kehidupan. Selain
itu juga ditemukan strabismus, nistagmus, katarak, mikrokornea, renitis fokal
nekrositing, skar korioretinal, ptisis (destruksi bola mata), atrofi optik, retinal
detachment, iritis, skleritis, uveitis, dan vitreitis. Penderita juga dapat menderita
retinopathy of prematurity dan korioretinitis sekaligus.
3. Gejala lain yang ditemuakan antara lain hepatosplenomegali, hiperbilirubinemia
persisten, trombositopenia, limfadenopati, anemia, hipogammaglobulinemia,
sindrom nefrotik.
4. Diagnosis dan Penatalaksanaan 9,11,12
Toksoplasmosis kongenital hanya akan terjadi jika seorang wanita mendapat
infeksi selama hamil. Satu-satunya cara untuk menentukan infeksi adalah dengan
skrining serologi. Tidak semua wanita hamil menunjukkan gejala saat terinfeksi
toksoplasmosis dan hanya sebagian kecil janin yang menunjukkan tanda abnormal
yang dapat dideteksi dengan ultrasonografi rutin. Hal ini menjadi pertimbangan
perlunya skrining dan tes serial terhadap setiap wanita hamil.
Metode laboratorium yang umum digunakan untuk diagnosis toksoplasmosis
kongenital pada bayi baru lahir adalah deteksi serologi berbagai antibodi
Toxoplasma dalam serum darah perifer. IgG, IgM, IgA Toxoplasma harus selalu
diperiksa. Kombinasi hasil pemeriksaan IgM dan IgA, ditambah dengan
pemeriksaan IgG memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan hanya satu
jenis pemeriksaan. Pemeriksaan Toxoplasma PCR pada cairan serebrospinal (CSF),
darah perifer, dan urin dapat menjadi cara lain untuk diagnosis awal toksoplasmosis
kongenital.
(Bagan VI. Diagram Alur Diagnosis Toksoplasmosis Kongenital)
 Terapi pre-natal untuk mencegah transmisi infeksi dari maternal ke fetus
- Spiramisin diberikan pada kehamilan kurang dari 18 minggu sampai aterm.

- Pirimetamin, sulfaniazid, asam folat diberikan pada kehamilan diatas 18


minggu. Bila umur kehamilan kurang dari 17 minggu diberikan cukup diberikan
sulfaniazid sampai setelah trimester pertama karena pirimetamin mempengaruhi
organogenesis.

 Terapi post-natal untuk mengobati infeksi pada bayi yang positif


terdiagnosis toxoplasmosis kongenital.

- Pirimetamin 1 mg/kgBB/12 jam selama 2 hari dilanjutkan tiap hari sampai usia
2-6 bulan dan 3x perminggu sampai usia 1 tahun

- Sulfadiazin 50 mg/kgBB/12 jam sampai usia 1 tahun.


- Asam folat 10 mg 10 mg 3x/minggu sampai 1 minggu setelah pemberian
pirimetamin berhenti. Berguna untuk mencegah supresi sumsum tulang.

- Prednison 0,5 mg/kgBB/12 jam diberikan pada infeksi SSP yang aktif,
korioretinitis aktif, penglihatan yang mengancam.

- Shunt ventrikel hidrosefalus.


REFERENSI
1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis, Manajemen Dan
Tatalaksana TB Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan. 2016.

2. Emma Novita, Zata Ismah. Studi Karakteristik Pasien Tuberkulosis di Puskesmas


Seberang Ulu 1 Palembang. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang,
Indonesia. Unnes Journal of Public Health 6 (4) .2017 : 219
3. Dirjen-P2PL. Petunjuk Teknis Manajemen Tuberkulosis Anak. Jakarta : Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan Kementrian Republik
Indonesia. 2013
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.2014
5. Anita Rahayu, Rodiani. Efek Diabetes Melitus Gestasional terhadap Kelahiran Bayi
Makrosomia. Bagian Ilmu Kandungan, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
Volume 5 Nomor 4.2016 : 17-20
6. Arlia Oroh, Maria Loho, Suzanna Mongan. Kaitan Makrosomia dengan Diabetes
Melitus Gestasional di Bagian Obsgin Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Periode September 2012-September 2013. Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado. Jurnal E-Clinic (Ecl), Vol. 3, No. 2. 2015
7. Meggeria Dyah, dkk. Description of Pregnant Women Condition with Diabetes
Mellitus in RSD dr. Soebandi Jember on 2013-2017. Bagian Epidemiologi dan
Biostatistika Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember. e-
Jurnal Pustaka Kesehatan, Vol.6 No.1. 2018 : 47

8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan kesehatan ibu di fasilitasi


kesehatan dasar dan rujukan. Edisi pertama. Jakarta . 2013
9. Pudjiadi AH et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi
II. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.

10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Bagan Tatalaksana Gizi Buruk 1. Edisi
Ketujuh. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2013.
11. Aryani, I Gusti Ayu Dwi. Toksoplasmosis Kongenital. Continuing Medical
Education. 2017; 44(8): 537-539.

12. Basri, saiful. Toksoplasmosis okular kongenital. Jurnal kedokteran syiah kuala.
Agustus 2017; 17(2): 133-139.

Anda mungkin juga menyukai