Anda di halaman 1dari 9

KEPERAWATAN KOMUNITAS II

(Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

SULFIANI C051171339
CHINTYA REZKY AMALIYA PUTRI C051171007
IKA DIAN RAHAYU C051171003
NURUL PRATIWI C051171520
ANDI DHIYA AQILAH PARASETIA C051171302
IKA ALFIONITA LILING C051171037
RIDHA RAMADHANI C051171013
ANNISA SUSIANTI C051171019
INDAH SUCI PERMATASARI C051171504
MUSFIRAH C051171032
WA ODE NUR RAHMA C051171311
KARTIKA GHAYATRI BUGIS C051171318
LA ODE NUR ABDUL TAMRIN C051171327
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004, pemerintah berupaya
menghapus kekerasan khususnya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi
dalam rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan dalam Undang-undang
tersebut didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Dalam undang-undang tersebut,
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan untuk mencegah segala
bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2015 yang diterbitkan oleh Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, angka kasus Kekerasan terhadap
Perempuan (KtP) yang dilaporkan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan
yang cukup signifikan.

B. Prevelensi Kekerasan Dalam Rumah Tangga


a. Di Dunia
European Commission (2010) dalam laporannya tentang kekerasan
terhadap perempuan dalam rumahtangga mencatat bahwa kekerasan dalam
rumahtangga masih sangat umum terjadi. Di seluruh Eropa, 1 dari 4 responden
mengetahui salah seorang di antara teman-temannya atau di lingkungan
keluarganya yang menjadi korban kekerasan. Bahkan persentasenya
meningkat di tahun 2010 dibandingkan hasil survei sebelumnya dari 19 persen
menjadi 24 persen. Kekerasan seksual dan fisik dipandang sebagai bentuk
kekerasan yang paling serius yang diderita oleh perempuan. Sekitar 85 persen
responden menilai kedua jenis kekerasan tersebut sebagai “sangat serius”
b. Di Indonesia
Komnas Perempuan Indonesia mengungkapkan terdapat 259.150 kasus
kekerasan atas perempuan sepanjang tahun 2016, yang dihimpun dari data di
Pengadilan Agama dan yang ditangani lembaga mitra pengadaan layanan di
Indonesia (Lestari, 2017).
C. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga mencakup kekerasan yang dilakukan oleh
pasangan dan anggota keluarga lainnya, dan diwujudkan melalui:
 Kekerasan fisik seperti menampar, memukul, memutar lengan, menikam,
mencekik, membakar, menendang, ancaman dengan benda atau senjata, dan
pembunuhan. Ini juga termasuk praktek berbahaya bagi perempuan seperti
mutilasi alat kelamin perempuan
 Kekerasan seksual seperti pemaksaan hubungan seksual melalui ancaman,
intimidasi atau kekuatan fisik, memaksakan hubungan seksual yang tidak
diinginkan atau memaksa hubungan seksual dengan orang lain.
 Kekerasan psikologis yang meliputi perilaku yang dimaksudkan untuk
mengintimidasi dan menganiaya, dan bentuk ancaman berupa ditinggalkan atau
disiksa, dikurung di rumah, ancaman untuk mengambil hak asuh anak-anak,
penghancuran benda-benda, isolasi, agresi verbal dan penghinaan terus
menerus.
 Kekerasan ekonomi termasuk tindakan menolak memberikan uang belanja,
menolak memberikan makan dan kebutuhan dasar, dan mengendalikan akses
terhadap pekerjaan, dll (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2017).

D. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Hosking (2005) dalam (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2017) menyebutkan bahwa secara umum penyebab terjadinya
tindak kekerasan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor individu dan
faktor sosial. Faktor individu berkaitan erat dengan kecendrungan individu untuk
berbuat kekerasan. Sementara itu, faktor sosial merupakan kondisi lingkungan yang
mendorong seseorang berbuat kekerasan.
a. Faktor Individu
Dari sisi psikologis, motivasi utama untuk melakukan tindak kekerasan
dapat dipandang sebagai ketidakmampuan untuk menahan emosi, bahkan
kekerasan digunakan media mengeskpresikan perasaan seseorang seperti
marah, frustasi atau sedih (Jacobson 2011). Kesulitan mengontrol emosi sering
menjadikan seseorang berbuat kekerasan. Perilaku kekerasan terkadang juga
disebabkan karena orang tumbuh di lingkungan dimana kekerasan sering
dipertontonkan, sehingga kekerasan dipahami sebagai perilaku yang wajar.
Terkadang kekerasan yang dilakukan individu digunakan sebagai cara-cara
memengaruhi orang lain untuk mengendalikan situasi.
Beberapa faktor yang melekat pada individu pelaku kekerasan juga
dapat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti pengaruh teman sejawat, kurang
perhatian, merasa tidak berharga keberadaannya, pernah mengalami perlakuan
buruk, dan menyaksikan kekerasan di rumah atau di luar rumah. Menurut
Hosking (2005), faktor utama akan kecenderungan seseorang untuk berbuat
kekerasan adalah kurangnya rasa empati. Meskipun seorang bayi yang lahir
dipenuhi kapasitas empati pada dirinya, akan tetapi tumbuhnya rasa empati
tersebut bergantung pada apa yang dia pelajarai dan lihat dari reaksi orang
dewasa terhadap penderitaan atau rasa sakit orang lain.

Permasalahan Ekonomi dalam Keluarga Melatarbelakangi Terjadinya KDRT


terhadap Istri
Menurut (Donny, 2016) beberapa permasalahan ekonomi dalam keluarga
melatarbelakangi terjadinya KDRT terhadap istri sebagai berikut :
1. Suami Tidak Memiliki Pekerjaan atau Menjadi Pengangguran
Ada dua hal yang menjadikan seorang suami sebagai tulang punggung
keluarga melakukan tindak KdRT terhadap istrinya sendiri terkait
permasalahan ekonomi ini. Pertama, sikap ketidakmandirian seorang suami
yang masih bergantung secara ekonomi terhadap orang tuanya sendiri.
Dimana seorang suami hingga saat ini masih saja berusaha untuk
menggantungkan diri secara ekonomi terhadap orang tuanya yang memang
terbilang memiliki penghasilan cukup tinggi. Bahkan ia (suami) juga tidak
pernah menggunakan uang yang selama ini diberikan oleh orang tuanya
tersebut untuk kepentingan menafkahi seluruh kebutuhan dari anggota
keluarganya, namun hal ini terus saja ia (suami) lakukan demi kepentingan
pribadinya sendiri.
Dan kedua, seorang suami yang menghabiskan terlalu banyak waktu
dan aktifitasnya di dalam rumah karena tidak memiliki pekerjaan atau
menjadi pengangguran. Korban (istri) mengakui bahwa berbagai tindak
KdRT yang dialaminya selama ini bisa terjadi karena terlalu banyak waktu
dan aktifitas yang di habiskan oleh suaminya di dalam rumah. Apalagi secara
psikis, seorang suami akan merasa tertekan dan sangat mudah mengalami
stres dalam dirinya sebagai tulang punggung keluarga yang
mengharuskannya untuk bisa memenuhi seluruh kebutuhan dari anggota
keluarganya sendiri. Sehingga ketika terlihat sedikit saja permasalahan yang
dihadapi dalam kehidupan rumah tangganya tersebut, ia (suami) akan
cenderung melakukan berbagai tindakan yang dapat menyakiti pasangannya
sendiri (istri) sebagai satu bentuk pelampiasan emosinya selama ini.

2. Penghasilan Berlebihan dalam Keluarga


Selanjutnya penghasilan yang berlebihan dalam keluarga turut pula
melatarbelakangi seorang suami melakukan tindak KdRT terhadap istrinya
sendiri. Hal ini bisa terjadi dikarenakan seorang suami sebagai tulang
punggung keluarga ternyata memiliki keputusan lebih dominan untuk
mengatur keuangan dalam keluarga, sementara bagi sang istri hanya
berusaha untuk mengalah dan mengikuti setiap keputusan yang diambil oleh
suaminya tersebut. Keputusan yang diambil untuk mengatur keuangan
dalam keluarga memang lebih dominan berada di tangan seorang suami, dan
ketika istrinya berusaha untuk mengambil keputusan sendiri dalam keluarga,
maka di sisi lain akan menimbulkan suatu perselisihan dan masalah baru
antara keduanya dalam kehidupan rumah tangga tersebut.
Pihak suami (laki-laki) memang masih dianggap masyarakat pada
umumnya memiliki sifat instrumental yang mendominasi, seperti lebih
besarnya kekuatan, kekuasaan ataupun wewenang sebagai kepala keluarga
jika dibandingkan dengan pihak istri (perempuan) yang dominan memiliki
sifat ekspresif, seperti sifat kasih sayang, perhatian, empati, lemah lembut,
ataupun sifat-sifat “feminis” lainnya yang terdapat dalam kehidupan rumah
tangga mereka tersebut. Sehingga pemahaman seperti inilah yang sampai
sekarang menjadikan pihak dari para suami (laki-laki) percaya atau yakini
bahwa merekalah yang memang harus berkuasa atas pengambilan keputusan
dari semua hal dalam keluarganya tersebut, terutama terkait dengan
mengatur keuangan dalam keluarga. Selain itu, keputusan untuk mengatur
keuangan dalam keluarga bisa terjadi tanpa sepengetahuan dari pihak istri
dan menimbulkan berbagai penyalahgunakan yang dilakukan oleh seorang
suami demi kepentingan pribadinya sendiri, diantaranya seperti berjudi,
minumminuman beralkohol, atau bahkan sampai menggunakan obat-obat
terlarang (NARKOBA). Tentu saja hal-hal seperti ini akan berpotensi
memicu terjadinya berbagai tindak KdRT yang dilakukan oleh seorang
suami terhadap istrinya sendiri ketika berada di rumah, dikarenakan adanya
pengaruh buruk yang ditimbulkan dari hal-hal tersebut di atas, baik itu bagi
dirinya sendiri sebagai seorang tulang punggung keluarga, maupun bagi
anggota keluarganya yang lain yang tinggal bersama dalam satu rumah,
seperti anak-anak, kerabat dekat dan pasangannya sendiri (istri).

3. Penghasilan Istri Lebih Besar Daripada Penghasilan Suami


Permasalahan ekonomi ini ternyata akan menimbulkan
ketidakharmonisan dalam rumah tangga, dimana seorang suami
menganggap dirinya sebagai tulang punggung keluarga seakan-akan di
pandang rendah oleh istrinya sendiri yang memiliki penghasilan lebih besar
daripada dirinya (suami) di dalam kehidupan rumah tangga mereka tersebut.
Walaupun nyatanya dari pihak sang istri sendiri tidak sepenuhnya
beranggapan seperti itu, namun hal ini tetap saja memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap sikap dan perilaku sang suami sebagai seorang tulang
punggung keluarga. Sehingga di saat permasalahan antara keduanya terlihat
kepermukaan, maka sang suami bisa dengan seketika melampiaskan
emosinya itu terhadap lingkungan yang ada disekitarnya, terutama terhadap
pasangannya sendiri (istri). Hal ini dilakukan oleh seorang suami
dikarenakan adanya maksud dan tujuan untuk menunjukkan kembali
kekuasaan yang dimilikinya sebagai tulang punggung keluarga, serta
mengendalikan sikap dan perilaku dari istrinya sendiri dalam kehidupan
rumah tangga tersebut.
Terdapat beberapa perbedaan antara pihak istri yang bekerja, dengan
pihak istri yang tidak bekerja atau yang masih bergantung secara ekonomi
kepada suaminya. Pertama, adalah peran yang dimiliki dalam keluarganya
tersebut, bagi pihak istri yang bekerja ditemukan bahwa memiliki peran
lebih dari satu atau peran ganda yakni sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) dan
juga berperan sebagai pemberi nafkah dalam keluarga, sementara bagi pihak
istri yang tidak bekerja hanya ditemukan memiliki satu peran tunggal saja
dalam keluarganya yakni sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Dan kedua,
adalah sifat dan perilaku yang dimiliki dari dirinya dalam keluarga, bagi
pihak istri yang tidak bekerja ditemukan bahwa hanya dominan memiliki
sifat dan perilaku dari ekspresif atau “feminis” saja. Sementara bagi pihak
istri yang bekerja ternyata ditemukan bahwa tidak hanya memiliki sifat dan
perilaku ekspresif atau “feminis”, namun ia juga memiliki sebagian sifat dan
perilaku dari instrumental atau “maskulin” dalam dirinya. Walaupun
kenyataannya sifat dan perilaku di atas memang tidak begitu mendominasi
jika dibandingkan dengan seorang suami (laki-laki) sebagai pemimpin dalam
rumah tangga, namun hal ini cukup membuktikan kenyataan bahwa
terdapatnya beberapa perbedaan pada pihak istri (perempuan) yang memiliki
penghasilan/pekerjaan dalam keluarga.

4. Ketidakterbukaan Suami tentang Masalah Ekonomi


Ketidakterbukaan seorang suami tentang masalah ekonomi ternyata
turut pula melatarbelakangi terjadinya tindak KdRT terhadap istri.
Permasalahan ekonomi ini menimbulkan berbagai ketidakharmonisan dalam
keluarga, seorang suami lebih memilih untuk merahasiakan seluruh tindakan
yang selama ini dilakukannya. Namun di saat permasalahan ini mulai
diketahui kebenarannya oleh sang istri, maka ia (suami) pun mulai berdalih
atau tidak berkata jujur setiap kali sang istri berusaha untuk terus
menanyakan kembali. Pada akhirnya hal inilah yang berpotensi memicu
seorang suami menjadi mudah marah, tertekan, bahkan melakukan berbagai
tindak KdRT terhadap istrinya sendiri, karena tidak terima jika dirinya
(suami) harus disalahkan terkait dengan ketidakterbukaannya tersebut
selama ini. Bahkan seluruh anggota keluarganya yang lain pula bisa terkena
dampak dari permasalahan keduanya, terutama anak-anaknya sendiri yang
tinggal bersama dalam satu rumah.

5. Suami Menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


Masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) akan menjadi masalah yang
cukup menyulitkan untuk dihadapi bagi setiap keluarga manapun yang baru
saja mengalaminya, dimana kehilangan sumber penghasilan dalam keluarga,
sama artinya dengan kesulitan untuk memenuhi seluruh kebutuhan pokok
dalam keluarga tersebut. Keluarga yang menerima PHK akan menimbulkan
berbagai permasalahan bagi seluruh anggota keluarga yang ada di dalamnya,
salah satu diantaranya adalah terjadinya tindak KdRT terhadap istri yang
dilakukan oleh suaminya sendiri, dikarenakan seorang suami akan merasa
cemas, frustasi dan tertekan dengan keadaan yang baru saja dialaminya
tersebut, dari sebelumnya memiliki penghasilan atau pekerjaan, berubah
menjadi tidak memilikinya lagi. Tentunya saja hal ini pun akan berpengaruh
cukup besar terhadap fisik, maupun mentalnya (suami) sesudah menerima
PHK tersebut.

b. Faktor Sosial Budaya


Kondisi sosial yang dapat mendorong terjadinya kekerasan sering
merefleksikan adanya ketimpangan sosial atau ekonomi antar kelompok
masyarakat. Terkait dengan kekerasan terhadap perempuan Hosking (2005)
menyatakan bahwa sejumlah penelitian mengidentifikasi keterkaitan antara
ketimpangan gender dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan. Jacobson
(2011) mengidentifikasi beberapa faktor sosial yang mungkin menciptakan
kondisi yang mengantarkan pada terjadinya kekerasan antara lain:
o Sikap permisif masyarakat akan kekerasan terhadap perempuan
o Kontrol laki-laki dalam pengambilan keputusan dan pembatasan terhadap
kebebasan perempuan
o Identitas dan peran laki-laki dan perempuan yang kaku di masyarakat
o Hubungan antar sesama yang merendahkan perempuan
o Lingkungan kumuh dan padat penduduk • Keterpaparan pada kekerasan

E. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga


WHO (2012) secara spesifik menyoroti dampak kekerasan terhadap perempuan
oleh pasangan (intimate partner violence). Kekerasan terhadap perempuan oleh
pasangan berdampak secara langsung seperti cidera dan dampak tidak langsung
seperti masalah kesehatan yang bersifat kronis akibat stress berkepanjangan
Dari literatur yang ada (misal UNICEF 2000; WHO 2012; Johnson dkk 2008),
secara umum dampak kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dari berbagai
aspek seperti kesehatan mental, perilaku, kesehatan fisik, ekonomi dan sosial.
Terkait dengan kesehatan mental, perempuan yang mengalami kekerasan mungkin
dapat mengalami berbagai gangguan mental seperti depresi, kehilangan rasa
percaya diri, malu, trauma, stress, merasa terasing, suka marah, kesepian, dan
merasa tak berguna atau tanpa harapan dalam hidupnya. Terkait tingkah laku,
kekerasan terhadap perempuan dapat memengaruhi perilaku perempuan seperti
berfikir atau melakukan tindakan untuk mengakhiri hidupnya, penyalahgunan
alkohol dan obat-obatan terlarang, dan makan yang tidak teratur. Permasalahan
kesehatan fisik yang umumnya terjadi akibat kekerasan terhadap perempuan antara
lain mencakup cedera fisik berupa luka, patah tulang, atau lebam, sakit punggung,
sakit kronis, sulit tidur, tekanan darah tinggi, keguguran kandungan dan
sebagainya. Dari sisi ekonomi, kekerasan terhadap perempuan dapat berakibat
pada kesulitan ekonomi seperti kehilangan pendapatan karena kehilangan
pekerjaan, biaya perawatan kesehatan, dan biaya-biaya lain yang mungkin harus
dikeluarkan. Sementara itu, dampak sosial dari kekerasan terhadap perempuan
yang mungkin langsung dirasakan oleh perempuan dalam berbagai aspek.
Stigmatisasi dan diskriminasi mungkin bisa terjadi pada perempuan yang
mengalami kekerasan. Selain itu, perempuan korban kekerasan juga mungkin bisa
merasa asing atau khawatir dalam berhubungan dengan teman atau keluarga, atau
bahkan terisolasi dari keluarga dan teman-temannya.

DAFTAR PUSTAKA

Donny, A. (2016). KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP ISTRI


(Studi pada Lima Permasalahan Ekonomi dalam Keluarga di Kota Samarinda
Kalimatan Timur). Sosiatri Sosiologi, 58-74.
Lestari, S. (2017, Maret 7). KDRT tertinggi dalam kekerasan atas perempuan di
Indonesia. Retrieved from BBC Indonesia:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39180341
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2017). Mengakhiri
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta : Ebook Statistik
Gender Tematik.

Anda mungkin juga menyukai