Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Abortus
2.1.1. Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup diluar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1
Adapun menurut Cunningham, abortus adalah janin atau mudigah
yang dikeluarkan atau keluar dari uterus delama trimester pertama
kehamilan 20 minggu atau kurang, atau bila usia kehamilan yang akurat
tidak diketahui, beratnya kurang dari 500 gram.2

2.1.2. Etiologi
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering
diperdebatkan. Penyebab-penyebab abortus antara lain :
1. Faktor Genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kariotip
embrio.Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama
merupakan kelainan sitogenetik. Kelainan sitogenetik embrio biasanya
berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya
non disjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal.1
Sekitar 95% kelainan kromosom disebabkan kesalahan
gametogenesis ibu, sisanya akibat ayah.Walaupun sekitar 75% abortus
aneuploidi terjadi sebelum 8 minggu tetapi abortus euploidi
memuncak pada usia 13 minggu kehamilan.2
Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin
karena adanya mutasi gen yang bisa mengganggu proses implantasi
bahkan menyebabkan abortus.1
Sudah banyak klinik antenatal sekarang yang menyediakan
beberapa tes yang dapat menguji ketidaknormalan janin. Tes-tes ini
tidak dapat memberitahukan secara pasti apakah terdapat suatu

3
4

kesalahan tetapi dapat menunjukkan probabilitas. Dapat dilakukan tes


diagnostik lanjutan untuk mengkonfirmasi masalah yang terjadi atau
menepiskannya.1

2. Penyebab Anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas serta malpresentasi
janin. Insidensi kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600
perempuan.1
Sindroma Asherman bias menyebabkan gangguan implantasi
serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus
berkisar antara 25-80% bergantung pada berat ringannya gangguan.1
Insufiensi serviks atau inkompetensi serviks adalah kondisi
ketidakmampuan serviks untuk menyokong kehamilan hingga saat
kelahiran tiba akibat defek fungsional serviks. Komplikasi dari
inkompetensi serviks ini meningkat seiring dengan pertambahan usia
gestasi dan peningkatan pembukaan serviks. Komplikasi jangka
pendek (<48 jam) adalah kehilangan darah dalam jumlah besar,
ketuban pecah dini dan keguguran spontan (3-20%).2

3. Penyebab Autoimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dengan
penyakit autoimun. Misalnya Systematic Lupus Erithematosus (SLE)
dan Antiphospolipid Antibodies (aPA). aPA merupakan antibody
spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Kejadian abortus
spontan di antara pasien SLE sekitar 10%, disbanding populasi umum.
Bila digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan
trimester 2 dan 3, maka diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan
berakhir dengan terhentinya kehamilan.1
Autoantibodi ini juga dtemukan pada wanita tanpa lupus.
Memang hampir 5% wanita hamil normal, antikoagulan lupus dan
5

antikardiolipin dilaporkan berkaitan dengan peningkatan kematian


janin.2

4. Penyebab Infeksi
Infeksi jarang menjadi penyebab abortus dini. Data mengenai
hubungan antara sebagian infeksi lain dan peningkatan angka abortus
masih bertentangan. Beberapa penelitian yang dilakuakn diakhir abad-
20 melaporkan bahwa infeksi dan abortus tidak berhubungan secara
langsung.2

5. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1-10% malformasi janin akibat dari paparan obat,
bahan kimia atau radiasi umumnya berakhir dengan abortus.1
Merokok berkaitan dengan peningkatan kejadian abortus
euploidi. Baik abortus spontan maupun anomali janin dapat
ditimbulkan oleh seringnya konsumsi alkohol. Selain itu, kafein,
radiasi dan alat kontrasepsi juga menyumbang meningkatnya risiko
kejadian abortus.2

6. Faktor Hormonal
a. Kadar Progesterone Rendah
Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas
endometrium terhadap implantasi embrio. Support fase luteal
punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat di
mana trofoblas harus menghasilkan cukup steroid untuk
menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia
7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan bila progesterone
diberikan pada pasien ini, kehamilan bias diselamatkan.1
b. Defek Fase Luteal
Defek fase luteal adalah kelainan endokrinologik yang ditandai
dengan adanya gangguan fungsi korpus luteum yang tidak mampu
6

menghasilkan progestrone yang adekuat. Akibatnya terjadi


gangguan pada endometrium berupa tidak sinkronya keadaan
stroma kelenjar yang pada akhirnya menyebabkan gangguan
implantasi. Angka kejadian defek fase luteal adalah 25-60% pada
abortus berulang.2
Abortus spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat
pada wanita dengan diabetes dependen-insulin. Risiko ini berkaitan
dengan derajat kontrol metabolik pada trimester pertama. Dalam
suatu studi prospektif, Mills dkk. (1998) mendapatkan bahwa
control glukosa yang baik dalam 21 hari setelah konsepsi
menghasilkan angka keguguran yang setara dengan angka control
nondiabetes. Namun, kurangnya pengendalian glukosa
menyebabkan peningkatan mencolok angka abortus.2

7. Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek
plasentasi dan adanya mikrotrombin pada pembuluh darah plasenta.
Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peran
penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada
kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan peningkatan
kadar factor pro koagulan, penurunan factor antikoagulan, dan
penurunan aktivitas fibrinolitik. Kadar faktor VII, VIII, X, dan
fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama pada
kehamilan sebelum 12 minggu.1
Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering
didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang,
sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan
pada usia kehamilan 4-6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin
saat usia kehamilan 8-11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-
prostasiklin memacu vasospasme serta agregrasi trombosit, yang akan
7

menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta. Juga sering disertai


penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida.1

2.1.3 Faktor Risiko


Berikut ini adalah beberapa factor risiko yang dapat mempengaruhi
terjadinya abortus:
1. Usia Ibu
Insidensi abortus euploidi meningkat drastis setelah ibu
berusia 35 tahun. Frekuensi abortus bertambah dari 12% pada
wanita 20 tahun, menjadi 26 % pada wanita yang berusia di atas
40 tahun.2
Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1 : 80 pada usia
diatas 35 tahun, karena angka kejadian kelainan kromosom
/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun.1
2. Paritas Ibu
Faktor risiko terjadinya abortus adalah usia ibu, paritas
dan keguguran sebelumnya. Risiko terjadinya abortus meningkat
dengan meningkatnya jumlah kehamilan dan kelahiran,usia ibu
dan umur ayah serta jarak kelahiran.2
3. Riwayat Abortus
Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap
kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan
maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat
abortus mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya
persalinan prematur, abortus berulang, bayi dengan Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR).2
Pada suatu studi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
risiko kejadian abortus spontan berulang pada wanita yang
pernah mengalami abortus spontan. Hal ini terjadi pada semua
usia gestasi. Berdasarkan sebuah studi risiko abortus spontan
8

meningkat 20% setelah 1 kali abortus menjadi 43% setelah 3


kali atau lebih mengalami abortus spontan.2
Risiko abortus pada trimester pertama setelah 1 kali
keguguran adalah 24%, setelah 2 kali keguguran 26% dan
setelah 3 kali keguguran menjadi 32%.2

2.1.4. Klasifikasi
Prawirohardjo (2010) membagi macam-macam abortus berdasarkan
gejala, tanda dan proses patologinya masing-masing. Berikut adalah
macam-macam abortus:
1. Abortus Imminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancama
terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri
masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.
Sekitar 20-50% dari abortus imminens akan berakhir dengan
gugurnya kehamilan.1
2. Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan
serviks uteri telah mendatar dan ostium uteri telah membuka,
akantetapi hasil konsepsi masih didalam kavum uteri dan dalam
proses pengeluaran.1
3. Abortus Kompletus
Abortus kompletus adalah keluarnya seluruh hasil
konsepsi (desidua dan fetus) sehingga rongga rahim kosong.
Abortus ini ditandai dengan semua hasil konsepsi telah
dikeluarkan, ostium uteri telah menutup, uterus sudah mengecil
sehingga pendarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan
umur kehamilan walaupun hCG masih terdapat dalam urin.1
4. Abortus Inkompletus
Perdarahan terjadi jika plasenta, secara keseluruhan atau
sebagian, terlepas dari uterus. Pada abortus ini ostium
9

uterinternum membukan dan menjadi tempat keluarnya darah.


Hasil konsepsi dan plasenta mungkin sebagian besar banyak
yang berada di dalam uterus atau mungkin keluar bersamaan
dengan ostium uteri yang terbuka.2
5. Missed Abortion
Missed abortion adalah hasil konsepsi yang telah mati
yang tertahan selama beberapa hari, minggu atau bahkan bulan
dengan ostium uteri masih tertutup. Pada beberapa kasus, pasien
mengalami kehamilan muda yang tampak normal, dengan
amenorrea, mual dan muntah, perubahan payudara dan
pembesaran uterus.2 Walaupun tes kehamilan dari urin tetap
normal dalam jangka waktu yang lama tetapi kadar hCG subunit
beta tetap stabil atau menurun dan diikuti volume rahim yang
menetap atau mengecil. Apabila janin tertahan cukup lama di
dalam uterus dapat terjadi maserasi fetus dan carneous mole.1
6. Abortus Habitualis
Abortus habtitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3
kali atau lebih secara berturut-turut. Angka kejadian abortus
habitualis adalah 0,4% dari seluruh kehamilan. Umumnya
wanita tersebut tidak susah untuk hamil, namun kehamilannya
tidak dapat bertahan dan terhenti pada trimester pertama atau
sedikit lebih tua.1
7. Abortus Infeksiosus dan Abortus Septik
Abortus infeksiosus adalah abortus yang disertai infeksi
pada alat genitalia sedangkan abortus septi adalah abortus yang
disertai dengan penyebaran infeksi pada peredarah darah atau
peritoneum.1
8. Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum)
Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi
dimana mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun kantung
10

gestasi tetap terbentuk. Kelainan ini baru dapat terdeteksi setelah


berkembangnya ulstrasonografi.1

Klasifikasi abortus yang dipaparkan diatas merupakan abortus yang


spontan. Selain itu terdapat pula klasifikasi abortus yang lain, yaitu abortus
provokatus. Abortus provokatus adalah pengakhiran secara medis atau
bedah kehamilan sebelum kehamilan viable (mampu hidup). Selanjutnya
abortus provokatus dibagi menjadi 2 macam yaitu :
1. Abortus Terapetik
Abortus terapetik atau medisinalis adalah abortus karena
tindakan kita (dokter) sendiri, dengan alas an bila kehamilan
dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan
indikasi medis).2
2. Abortus Elektif (Voluntary)
Pengakhiran kehamilan sebelum janin mampu hidup atas
permintaan wanita itu sendiri, tetapi bukan atas alasan medis.2

2.1.5 Penatalaksanaan
1. Abortus Imminens
Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai
pendarahan berhenti. Diberi obat spasmolitik agar uterus tidak
berkontraksi atau diberi tambahan hormon progesteronatau
derivatnya untuk mencegah terjadinya pengeluaran janin.
Pendertita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi pendarahn
dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu
sampai kurang lebih 2 minggu. Dapat digunakan analgesia
dengan asetaminofen untuk mengurangi nyeri.1
2. Abortus Insipiens
Penanagan abortus ini harus memperhatikan keadaan
umum dan perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan
11

segera dilakukan tindakan evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi


disusul kuretase bila banyak pendarahan.1
3. Abortus Inkomplet
Pendarahan akibat abortus inkompletus tahap lebih lanjut
terkadang banyak mengeluarkan darah namun jarang
mematikan. Tetapi harus tetap memikirkan keadaan umum
pasien. Karena itu penderita harus segera dievakuasi. Jika terjadi
demam diberikan antibiotik yang sesuai sebelum kuretase
dilakukan.2
Perlu difikirkan apakah telah dilakukan usaha abortus
provokatus. Apabila iya, perlu diberikan antibiotika walapun
belum ada tanda-tanda infeksi secara intravena dengan dosis
tinggi.1
4. Abortus Komplet
Pengelolaan penderita abortus komplet tidak memerlukan
pengelolaan khusus. Biasanya hanya diberi roborantia atau
hematinik jika penderita memerlukan. Uterotonik tidak perlu
diberikan.1
5. Abortus Habitualis
Penentuan waktu dan tingkat evaluasi wanita dengan
abortus habitualis didasarkan pada usia ibu, ada tidaknya
infertilitas, gejala dan tingkat kecemasan. Perlu dilakukan
penggalian akar masalah dari abortus habitualis yang diderita.
Pemeriksaan kariotipe pasangan, evaluasi rongga uterus dan
pemeriksaan antibodi antifosfolipid.2
6. Missed Abortion
Berikan obat dengan maksud agar terjadi his sehingga
fetus dan desidua dapat dikeluarkan. Apabila tidak berhasil,
maka lakukan dilatasi dan kuretase. Dapat juga dilakukan
histeretomia anterior. Hendaknya pada penderita juga diberikan
tonika dan antibiotic.3
12

7. Abortus Infeksiosus
Penatalaksanaan pasien ini harus mempertimbangkan
keseimbangan cairan tubuh dan perlunya antibiotika yang
adekuat dan sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman
yang diambil dari kultur darah dan cairan fluksus yang keluar
pervaginam. Untuk pertolongan pertama dapat diberikan
Ampisilin 4 x 1 gram ditambah Gentamisin 2 x 80 mg dan
Metronidazol 2 x 1 gram. Selanjutnya antibiotik disesuaikan
dengan kultur.1
Kuretase dapat dilakukan jika uterus tidak lebih besar dari
ukuran uterus pada usia kehamilan 8-10 minggu. Selama
kuretase tranfusi darah harus tersedia. Mifepristone, sebuah obat
progesterone receptor blocker dapat digunakan sebagai
tatalaksana awal.3

2.1.6 Komplikasi
Menurut Rock (2003) komplikasi dari abortus antara lain :
1. Perdarahan (Hemorrhage)
Perdarahan yang terjadi sangat bervariasi antara 100
sampai 1000 mL darah. Angka kejadian terjadinya pendarahan
antara 0.05 sampai 4,9 per 1000 abortus.4
2. Perforasi
Sering terjadi sewaktu dilatasi dan kuretase yang
dilakukan oleh tenaga yang tidak ahli seperti bidan dan dukun
(Mochtar, 2012). Perforasi berpotensi menjadi masalah yang
serius namun jarang sekali terjadi. Berdasarkan banyak laporan
studi, insidensi perforasi pada abortus terjadi sekitar 0,2 per 100
kuretase aborsi.4
3. Infeksi
4. Hematometra Akut
5. Cedera Serviks
13

Cedera servik yang paling sering terjadi adalah laserasi


superfisial akibat robekan tenaculum sewaktu dilatasi.
6. Syok
Pada abortus dapat disebabkan oleh perdarahan hebat yang
disebut syok hemoragik dan infeksi berat atau sepsis yang
disebut syok septic atau endoseptik.4

2.2 Hipertensi Dalam Kehamilan


2.2.1 Definisi
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis
setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12
minggu pascapersalinan.1
Terdapat 2 jenis hipertensi yaitu hipertensi esensial dan hipertensi
sekunder. Penyebab hipertensi primer/esensial adalah multifaktorial yaitu
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan
terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktibvitas pembuluh darah
terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan faktor
lingkungan antara lain;diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas, dan
lain-lain.5,6
Selain itu minoritas individu (5-10%) mempunyai hipertensi
sekunder. Artinya hipertensi yang diderita merupakan efek dari riwayat
penyakit lain seperti; penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi
endokrin, hipertensi akibat obat-obatan serta hipertensi akibat kelainan
saraf pusat. 5,6

2.2.2 Etiologi
Hipertensi kronik dapat disebabkan oleh faktor primer yaitu
idiopatik sebesar 90 % dan faktor sekunder 10 % berhubungan dengan
penyakit ginjal, endokrin, dan pembuluh darah.1
14

Namun terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan


hipertensi kronik dalam kehamilan sebagai berikut :
a) Usia.
b) Paritas.
c) Faktor gen.
d) Riwayat preeklampsia atau eklampsia sebelumnya
e) Riwayat hipertensi yang menetap pasca persalinan
f) Diet atau gizi.

2.2.3 Klasifikasi
Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan
darah dan etiologinya. Bersarkan tingginya TD seseorang dikatakan
hipertensi apabila tekanan sistolik mencapai ≥ 140 mmHg dan tekanan
diastolik mencapai ≥ 90 mmHg.5 The Joint National Commitee VII
membuat klasifikasi sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah7


Kategori Sistol Diastol
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tingkat 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tingkat 2 ≥160 atau ≥100

2.2.4 Diagnosis
Diagnosis pada hipertensi kronik bila ditemukan pada pengukuran
tekanan darah ibu ≥ 140/90 mmhg sebelum kehamilan atau pada saat
kehamilan mencapai 20 minggu serta didasarkan atas faktor risiko yang
dimiliki ibu, yaitu : pernah eklampsia, umur ibu > 40 tahun, hipertensi > 4
tahun, adanya kelainan ginjal, adanya diabetes mellitus, kardiomiopati,
riwayat pemakaian obat anti hipertensi. Diperlukan juga adanya
15

pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium ( darah lengkap,


ureum, kreatinin, asam urat, SGOT, SGPT ), EKG, Opthalmology, USG).8
Dahulu direkomendasikan bahwa yang digunakan sebagai kriteria
diagnosis adalah peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 30 mmhg atau
diastolik 15 mmhg, bahkan apabila angka absolut dibawah 140/90 mmhg.
Kriteria ini tidak lagi dianjurkan. Namun, wanita yang mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmhg atau diastolik 15 mmhg perlu
diawasi dengan ketat.1
Diagnosis hipertensi kronik ialah bila didapatkan hipertensi yang
telah timbul sebelum kehamilan, atau timbul hipertensi < 20 minggu umur
kehamilan.
Ciri-ciri hipertensi kronik adalah sbegai berikut :
 Umur ibu relatif tua diats 35 tahun
 Tekanan darah sangat tinggi
 Umumnya multipara
 Umumnya ditemukan kelainan jantung, ginjal dan diabetes mellitus
 Obesitas
 Penggunaan obat-obatan antihipertensi sebelum kehamilan
 Hipertensi yang menetap pasca persalinan.1

Tabel 2. Diagnosis banding Hipertensi kronis dalam kehamilan.


Klinis Hipertensi Hipertensi Superimposed Preklampsia
kronik gestasional preeclampsia
Awal Sebelum Trimester Sebelum Diatas
terjadinya kehamilan ketiga kehamilan 20 kehamilan
20 minggu minggu 20 minggu
Menetap Menetap Tidak Tidak Tidak
setelah 12
minggu
persalinan
16

Peroteinuria (-) (-) (+) (≥1+)


Tekanan ≥ 140/90 Sistolik ≥ ≥ 140/90 ≥ 140/90
darah 140 atau
diastolik ≥
90
Nyeri kepala + Jarang ++ ++
Kejang (-) (-) (+/-) (-)
Nyeri (-) (-) ++ +
epigastrik
Gangguan + jika stage (-) (+) (+)
visus II
Peningkatan (-) (-) (++) (+)
enzim hati
Gangguan (-) (-) ++ +
fungsi ginjal
Edema (-) (-) ++ +
anasarka
Dimodifikasi dari : Saifudin (2009), Cuningham (2012) dan Sudoyo, dkk (2009).

2.2.5 Penatalaksanaan
Tujuan penanganan pada wanita hamil yang mempunyai penyulit
berupa hipertensi kronis adalah memperkecil dan mencegah semua
gangguan hasil akhir ibu atau perinatal. Secara umum, penatalkasanaan
ditujukan untuk mencegah hipertensi sedang atau berat serta mencegah
timbulnya preeklampsia. Modifikasi perilaku yang dianjurkan adalah
konsultasi gizi dan mengurangi kebiasaan merokok, alkohol, kokain, atau
penyalahgunaan zat lain. Diakui bahwa wanita dengan hipertensi berat
harus selalu diterapi atas indikasi Ibu, apapun status kehamilanya. Hal ini
mencakup wanita hamil dengan penyulit, meningkatkan risiko terjadinya
cedera serebrovaskular, infark miokardium, dan disfungsi jantung atau
ginjal.2
17

Selain itu, tujuan pengobatan hipertensi kronik dalam kehamilan


ialah :
 Menekan risiko pada ibu terhadap kenaikan desakan darah
 Menghindari pemberian obat-obat yang membahayakan janin.1

Pemilihan obat antihipertensi dalam kehamilan sangat penting,


mengingat ada beberapa obat yang merupakan kontraindikasi dalam
kehamilan karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin. Obat
antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai selama kehamilan
dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

 Tabel 3. Obat antihipertensi pada kehamilan


Golongan Contoh obat Efek dalam kehamilan
dan dosis
anjuran
Agonis alfa Metildopa, Merupakan lini pertama, bekerja
sentral 250 mg- dengan mengahambat aliran simpatis
1500mg di sentral sehingga menurunkan efek
perhari/oral tonus vaskular secara generalisata.
Penghambat Labetolol, Lini pertama, dapat memperburuk
alfa dan Dosis 2x100- asma. Bekerja pada reseptor alfa atau
beta 1200 mg beta pada bagian perifer. Efektif
peroral seperti metildopa
Penyekat Nifedipin, Mengontrol hipertensi berat secara
kanal tablet 10 mg cepat. Efek hipotensi kuat. Biasanya
kalsium dengan digunakan sebagai tokolisis pada
anjuran dosis persalinan kurang bulan.
3-4 kali
sehari
18

Penghambat Atenolol, dan Menhambat tonus otot diperifer. Sering


beta metoprolol, menyebabkan hipertensi postural.dapat
dosis 2x25- menyebabkan gangguan pertumbuhan
200 mg janin. aman untuk kehamilan trimester
peroral. akhir
ACE Kaptopril, Merupakan kontraindikasi dalam
inhibitor 50-75mg/hari kehamilan, karena dapat
atau memperngaruhi aliran darah utero
penghambat plasenta.
angiotensin
lain
Vasodilator Hidralazine, Merupakan vasodilator perifer yang
Dosis 50-300 menimbulkan relaksasi otot polos
mg perhari arteri. Pada hipertensi kronis tidak lagi
dalam dosis digunakan karena efek
terbagi 2 atau antihipertensinya lemah dan
4 menyebabkan takikardi
Diuretik Thiazid, 20- Diuresis air dan natrium dengan
80 mg sehari deplesi volume. Bekerja dengan
peroral atau menghambat reabsorpsi air dan
intravena natrium serta menghambat transport
Na,K dan CL. Karena efek volume
ekspansi plasma maternal diuretik
tidak digunakan pada kehamilan
 Dimodifikasi dari: Katzung (2012), FKUI (2011), Sudoyo, dkk (2009)
dan Cuningham (2012).

Anda mungkin juga menyukai