Anda di halaman 1dari 24

PEREMPUAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN

Partisipasi dan Keterwakilan Politik Perempuan di Indonesia

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti


“LATIHAN KHUSUS KOHATI (LKK) TINGKAT NASIONAL
KOHATI CABANG SERANG ”

Disusun Oleh :
Shalma Nurmilla

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM KOMISARIAT PAMULANG CABANG CIPUTAT


TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT Tuhan semesta alam yang telah
mencurahkan Rahmat, Taufiq dan HidayahNya kepada kita sekalian sehingga kita
dapat menjalani aktivitas sehari-hari. Sholawat serta salam tak lupa kita haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya yang
telah membawa kita dari jalan yang penuh kegelapan menuju jalan yang terang
benderang.
Suatu karunia yang besar sekali dari ALLAH SWT bagi penulis,karena
kehendak, Taufiq dan HidayahNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna
melengkapi persyaratan untuk mengikuti Latihan Khusus Kohati (LKK) tingkat
nasional yang dilaksanakan oleh KOHATI Cabang serang pada tanggal 21
maret-29 maret 2019 di BPSDM PROVINSI BANTEN Kabupaten serang.
Adapun judul makalah ini “Partisipasi dan Keterwakilan Politik Perempuan di
Indonesia”

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1


1.2. Rumusan masalah .................................................................................. 3
1.3. Tujuan Penulisan .................................................................................... 3
1.4. Metode Penulisan ................................................................................... 3

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................. 4


2.1. Pengertian Konsep Gender .................................................................... 4
2.2.Hak Perempuan dalam politik................................................................. 6

BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................... 8


3.1 Sejarah Tentang Representasi Perempuan Di Parlemen Indonesia......8
3.2 Partisipasi Perempuan Konteks Nasional.............................................8
3.3 Perempuan Dalam Pembangunan................................................ .........11
3.4 Masalah Yang Menghalangi Perempuan Menjadi Anggota Parlemen16
3.5 Perkaderan HMI dan Penguatan Politik Perempuan..............................17

BAB IV KESIMPULAN & SARAN ..................................................................... 18

4.1 Kesimpulan............................................................................................18
4.2 Saran......................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menjelang pemilihan umum 2019 berkembang banyak wacana seputar seperti
apa pelaksanaannya nanti. di Indonesia menjadi pelaksanan pemilu langsung
presiden, wakil presiden, anggota legislatif RI Provinsi dan Kabupaten
Pembicaraan. perdebatan dan diskusi banyak di temukan di tengah-tengah
masyarakat yang mengupas masalah-masalah pemilu, partai politik seperti apakah
dimungkinkan calon presiden independen, electoral threshold dan yang tidak
ketinggalan ada partisipasi politik perempuan dalam kehidupan berbangsa yang
dalam hal ini dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga politik. hukum Pemerintah
dan DPR perlu banyak masukan dari masyakat yang dihasilkan melalui seminar-
seminar, kajian-kajina, diskusi dan terutama aspirasi yang berkebang ditengah
masyarakat.
Wacana partisipasi politik perempuan dalam beberapa hari terakhir ini cukup
ramai menjadi pembicaraan publik yang sedikit banyak kembali mempertanyakan
tentang sudah seberapa besar partisipsi politik perempuan saat ini, apakah
perempuan sudah diberikan peluang yang cukup untuk berpolitik dan kesempatan
yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan politik di tingkat pemerintahan dan
lembaga-lembaga negara lainya, bagaimana cara untuk meningkatkan partisipasi
politik perempuan sehingga tercipta keseimbangan peran antara laki-laki dan
perempuan dan mempunyai andil yang sama membangun bangsa dan negara ini.
Menggagas peran perempuan dalam politik indonesia masih terlihat sebagai
cerita klasik yang menempati ruang pinggir dirkusus kontemporer selama lebih
kurang lima dekade. Perjuangan kartini pada masa pra kemerdekaan menemukan
relevansinya bahwa domistikasi peran perempuan, ketidaksetaraan kesempatan
dalam pendidikan dan peran publik bukan merupakan hal baru.
Posisi perempuan yang selalu dinomorduakan menjadi permasalahn tersendiri bagi
bangsa ini mengingat perempuan seharusnya mengambil peran yang penting dalam
pembangunan. Perempuan selalu di asosiasikan hanya mengambil peran sebatas
urusan-urusan domestik yang hanya seputar rumah tangga. Hal ini bukan suatu
kebetulan tapi sudah menjadi konstruksi budaya yang sudah menjadi tradisi dan

1
merugikan pihak perempuan, karena akan berimbas kepada ketidakadilan dalam
mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam kehidupan politik.
Ruang menuju perubahan terbuka ketika reformasi bergulir. Kemenangan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dibawah kepemimpinan Megawati
pada pemilu 1999 menjadi simbol titik balik wacanan mendomestikasikan peran
perempuan. Meskipun dari segi komitmen terhadap kepentingan perempuan masih
dipertanyakan , tetapi eksistensi megawati sebagai pemimpin perempuan menjadi
momentum berharga bahwa perempuan layak memegang posisi stategis dalam
politik termasuk jabatan presiden.
Kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik pada tahun
2004 terbuka lebar dengan dicantumkannya kuota 30% sesuai undang-undang nomer
2 tahun 2008 pasal 2 ayat 1 tentang partai politik.bahwa pendirian dan pembentukan
partai politik sebagaimana di maksud pada ayat 1 menyertakan 30% keterwakilan
perempuan.sebagai nominasi calon legislatif dalam undang-undang pemilihan
umum. Hal ini merupakan terobosan positif yang masih sangat awal bagi
peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia khususnya diparlemen.
Pencantuman kuota 30 persen bagi perempuan ternyata tidak cukup untuk
mewujudkan partisipasi politik perempuam karena hal ini tidak memberikan
pengaruh yang significant terhadap keterwakilan perempuan di parlemen pada
khusus, mengingat pencantuman kuota 30 persen pada pemilu 2004 hanya sekedar
sarat yang tekesan ’’basa-basi’’ untuk menyenangkan kaum perempuan karena pada
akhirnya laki-laki yang akan masuk ke parlemen. Banyak hal yang mempengaruhi
hal tersebut, disamping calon legislatif perempuan ditempatkan pada nomor urut
bawah juga mereka bukanlan pengurus ’’teras’’ partai. Meraka menjadi calon hanya
sekedar untuk melengkapi kuota calon perempuan 30 persen.
Untuk memperkuat partisipasi politik perempuan maka perlu penguatan peran dan
kesempatan yang sama baik bai laki-laki untuk terlibat dalam politik yang dimulai
dari pelibatan langsung dengan cara memasukkan porsi perempuan yang lebih besar
dalam struktur partai politik. hal ini mestinya diatur dalam undang-undang partai
politik dan setiap partai politik wajib untuk mengikutinya sebagai bagian dari upaya
keberpihakan kepada perempuan dan untuk memberikankesempatan yang sebesar-
besarnya kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.

2
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis paparkan, rumusan masalah yang di bahas
dari makalah ini yaitu :
1. Bagaimana kontribusi perempuan di dalam parlemen?.
2. Apakah keterwakilan perempuan di parlemen mampu menjawab persoalan
perempuan di indonesia?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah pembaca dapat mengetahui peran-peran
perempuan dan keterwakilannya di dalam ranah politik serta mengetahui informasi-
informasi terkait isu yang ada di ranah perpolitikan.

1.4 Metode Penulisan


Adapun metode yang digunakan penulis dalam pembuatan makalah ini
yaitu menggunakan metode libary research (penelitian kepustakaan), metode
kepustakaan ini penulis gunakan untuk mendalami teori-teori dan hal lain yang ada
dalam buku-buku serta tulisan-tulisan yang ada di buku sebagai refrensi.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Konsep Gender


Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan
perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan
dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak
kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali mencampur
adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati
(gender). Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan
kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada
manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang
dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran
perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah
melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat
dimana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat
pada cara pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan
sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri
biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki. Kata „gender‟ dapat
diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-
laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial budaya yang
tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak
bersifat kodrati. Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain
dan dari satu waktu ke waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat
berubah dan dapat dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya
tergantung waktu dan budaya setempat.
Definisi gender menurut berbagai pustaka adalah sebagai berikut:
1. “Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran,
fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai
sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat
berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Tanggung jawab dan
perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari

4
kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi
setempat.
2. “Gender refers to the economic, social, political, and cultural attributes and
opportunities associated with being female and male. The social definitions
of what it means to be female or male vary among cultures and changes
over time.” (gender 2 merujuk pada atribut ekonomi, sosial, politik dan
budaya serta kesempatan yang dikaitkan dengan menjadi seorang
perempuan dan laki-laki. Definisi sosial tentang bagaimana artinya menjadi
perempuan dan laki-laki beragam menurut budaya dan berubah sepanjang
jaman).
3. “Gender should be conceptualized as a set of relations, existing in social
institutions and reproduced in interpersonal interaction“ (Smith 1987; West
& Zimmerman 1987 dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (gender diartikan sebagai
suatu set hubungan yang nyata di institusi sosial dan dihasilkan kembali
dari interaksi antar personal).
4. “Gender is not a property of individuals but an ongoing interaction between
actors and structures with tremendous variation across men‟s and women‟s
lives “individually over the life course and structurally in the historical
context of race and class” (Ferree 1990 dalam Lloyd et al. 2009: p.8)
(Gender bukan merupakan property individual namun merupakan interaksi
yang sedang berlangsung antar aktor dan struktur dengan variasi yang
sangat besar antara kehidupan laki-laki dan perempuan „secara individual‟
sepanjang siklus hidupnya dan secara struktural dalam sejarah ras dan
kelas).

Dengan demikian gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan


jenis kelamin manusia laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat
reproduksi antara laki-laki dan perempuan memang membawa konsekuensi fungsi
reproduksi yang berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan
dan menyusui; laki-laki membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis
inilah merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat
dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman. Namun demikian, kebudayaan yang
dimotori oleh budaya patriarki menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi
indikator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya berujung pada pembatasan

5
hak, akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat dari sumberdaya dan
informasi. Akhirnya tuntutan peran, tugas, kedudukan dan kewajiban yang pantas
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dan yang tidak pantas dilakukan oleh
laki-laki atau perempuan sangat bervariasi dari masyarakat satu ke masyarakat
lainnya. Ada sebagian masyarakat yang sangat kaku membatasi peran yang pantas
dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan, misalnya tabu bagi seorang
laki-laki masuk ke dapur atau mengendong anaknya di depan umum dan tabu bagi
seorang perempuan untuk sering keluar rumah untuk bekerja. Namun demikian,
ada juga sebagian masyarakat yang fleksibel dalam memperbolehkan laki-laki
dan perempuan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya perempuan
diperbolehkan bekerja sebagai kuli bangunan sampai naik ke atap rumah atau
memanjat pohon kelapa, sedangkan laki-laki sebagian besar menyabung ayam
untuk berjudi.

2.2 Hak Perempuan dalam Politik


Dua isu penting yang dibahas pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) tentang Perempuan di Beijing, tahun 1995, adalah perlunya meningkatkan
jumlah kaum perempuan di dunia politik serta memperkokoh basis kekuatan
mereka. Meningkatnya partisipasi politik perempuan baik di tingkat lokal maupun
nasional akan berpengaruh pada karakter demokrasi Indonesia bagi seluruh warga
negara. Memperkuat partisipasi politik, dan ‘bukan semata jumlah’ berarti
menempuh upaya-upaya yang tak hanya terbatas pada meningkatkan jumlah
perempuan di dunia politik, namun juga memperbaiki kinerja dan keberhasilan
perempuan dalam berpolitik, mengkaji dampak yang ditimbulkan partisipasi
mereka di dalam sistem politik, memonitor perkembangan agenda politik, dan
memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam
sistem politik.
Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun
1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan. Di dalamnya, mengatur
mengenai Perwujudan Kesamaan Kedudukan (non-diskriminasi), jaminan
persamaan hak memilih dan dipilih, jaminan partisipasi dalam perumusan
kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan
partisipasi dalam organisasi sosial politik. Namun, peningkatan keterwakilan
perempuan terjadi setelah berlakunya perubahan Undang-Undang Dasar Negara

6
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yaitu Pasal 28 H ayat (2) yang
menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.”

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Tentang Representasi Perempuan Di Parlemen Indonesia


Merupakan sebuah proses panjang, tentang perjuangan perempuan di
wilayah publik. Kongres Wanita Indonesia pertama, pada tahun 1928, yang
membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan
perempuan merupakan tonggak sejarah, karena berperan dalam meningkatkan
kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan,
termasuk dalam politik. Dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, 6,5
persen dari anggota parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi
perempuan Indonesia di parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka
tertinggi sebesar 13,0 persen pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan
mencapai 8,8 persen dari seluruh anggota perwakilan terpilih.
Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh
serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Oleh karena itu,
berbagai strategi harus dipelajari secara simultan untuk mengatasi hambatan
tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di
parlemen bisa diwujudkan. Tulisan ini akan menggambarkan tingkat
partisipasi/representasi politik perempuan di Indonesia, dan mengkaji beberapa
dari hambatan yang menghalangi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Selain
itu, ditawarkan berbagai strategi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi
permasalahan keterwakilan ini.

3.2 Partisipasi Perempuan Konteks Nasional


Dalam kondisi politik normal, pemilihan umum di Indonesia diadakan
setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum pertama diadakan sepuluh tahun
setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan pada
tahun 1955, dibawah pemerintahan Soekarno. Pemilu kedua tidak dilaksanakan
karena Konstituante yang bertugas mengamandemen UUD 1945 tidak dapat
menyelesaikan tugasnya, sehingga pada tahun 1959 pemerintah mengeluarkan
dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Indonesia menjadi negara demokrasi

8
terpimpin. Pada tahun 1965 terjadi peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru,
tanpa melalui proses pemilihan umum.
Setelah transisi ini, pemilihan umum secara berturut-turut diadakan pada
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Semua pemilihan ini terjadi pada
masa Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Peralihan dari pemerintahan
Soeharto ke B.J. Habibie setelah Pemilu 1997 diikuti oleh satu pemilihan yang
dipercepat pada tahun 1999. Pada saat ini, rakyat yang dimotori oleh mahasiswa,
menuntut reformasi, yang memainkan peranan besar dalam mengantarkan
seorang pemimpin baru nasional, Abdurrahman Wahid, pemimpin dari sebuah
partai baru.
Perubahan dalam cara penyelenggaraan pemilu, dengan jumlah partai
politik yang cukup besar dibawah pemerintahan Orde Lama, menjadi tiga partai
di bawah rezim Orde Baru, kemudian berkembang menjadi 48 partai di era
reformasi, menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pola representasi
perempuan dalam berbagai lembaga negara, khususnya Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), pada berbagai tingkatan administrasi pemerintahan.
Meskipun secara nasional, sejak pemilu tahun 1955, unsur perempuan
selalu terwakili di DPR dan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
persentase keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Kongres Wanita
Indonesia pertama pada tahun 1928 merupakan tonggak sejarah bagi wanita
Indonesia dalam upaya memperluas peran publik mereka, khususnya dalam
politik. Dalam forum ini organisasi-organisasi perempuan dari berbagai kelompok
etnis, agama dan bahasa dipersatukan.
Kemunculan dan perkembangan organisasi-organisasi ini memainkan
peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri perempuan, seperti
meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan, dan
mengembangkan jaringan. Organisasi dan gerakan wanita ini meningkatkan
posisi tawar perempuan, sebagaimana terlihat dari frekuensi keterlibatan para
pemimpin organisasi-organisasi tersebut dalam berbagai kegiatan pembangunan,
yang dilaksanakan oleh masyarakat, pemerintah dan institusi lainnya. Dalam
konteks politik, organisasi-organisasi yang melatih dan meningkatkan kapasitas
diri perempuan ini merupakan jaringan yang efektif untuk merekrut kendidat
anggota legislatif. Pada pemilihan umum pertama, tahun 1955, beberapa calon
anggota legislatif perempuan merupakan anggota organisasi perempuan yang

9
berafiliasi pada partai. Pada pemilu berikutnya, ada kecenderungan bahwa
kandidat anggota legislatif berasal dari kalangan pimpinan organisasi-organisasi
perempuan yang bernaung di bawah partai atau berafiliasi dengan partai.
Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia,
kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi
masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang
cenderung bias kearah membatasi peran perempuan wanita pada urusan rumah
tangga. Namun demikian, pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan kan
kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka
kesempatan luas bagi para wanita untuk berkiprah di luar lingkup domestik
dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan
menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam
pendidikan, dalam pengobatan, dan dalam pengelolaan logistik. Kesempatan ini
memberi kemudahan pada perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang
berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka,
selain isu politik.
Pada pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah
perempuan di DPR mencapai 17 orang, empat diantaranya dari organisasi
Gerwani dan lima dari Muslimat NU. Pemilihan umum pertama dinilai sebagai
demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik didasarkan pada
kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-
organisasi partai.
Berbeda dengan periode Orde Lama (era Soekarno), pada masa Orde Baru
(era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan
dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh
para pemimpin partai di tingkat pusat, sejumlah tertentu elit. Akibatnya, sebagian
perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga/
kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal
ini dimungkinkan karena dalam sistem pemilu proporsional pemilih tidak
memilih kandidat (orang), tetapi simbol partai, untuk berbagai tingkatan
pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya,
sebagian dari mereka tidak melewati tahapan dalam proses pencalonan/
pemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan mengartikulasikan
kepentingan konstituennya.

10
Dalam pemilihan umum 1999, proses pemilihan mengalami perubahan
cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif,
termasuk perempuan, harus disetujui oleh daerah, para pengambil keputusan
partai di daerah (hal ini tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan
polisi). Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses
pemilu, antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi,
ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu.
Pada zaman orde baru Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi
pedoman pelaksanaan pemerintahan dan berbagai kebijakan nasiona termasuk
didalamnya ketetapan mengenai peranan perempuan, selain keberadaan Menteri
Negara Urusan Peremuan dalam kabinet. Posisi ini terus dipertahankan dan
GBHN tahun 1999 dinyatakan pemberdayaan perempuan dilaksanakan melalui
upaya, pertama, peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga
yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender,
kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan
dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis
perjuangan kaum perempuan dalam melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan
serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

3.3 Perempuan Dalam Pembangunan


Keikutsertaan wanita indonesia dalam pembangunan tidak terlepas dari
peranan yang pernah di lakukan secara nyata 0leh para tokoh perjuangan wanita
sejak zaman dahulu. Peranan yang pernah di mainkan oleh paratokoh tersebut baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan dorongan dan inspirasi
bagi perkembangan pergerakan wanita indonesia. Pergerakan tersebut terus berlanjut
dan terbukti dengan tumbuhnya berbagai organisasi wanita yang di latar belakangi
oleh berbagai inspirasi. Kongres wanita 22 desember 1928 di yogyakarta merupakan
titik sejarah bagi kesatuan pergerakan wanita indonesia. Sejak itu kongres dan
pertemuan membicarakan berbagai masalah yang pada akhirnya menjadi program
kerja kongres wanita (KOWANI).
Tahun 1978 adalah tahun yang penting bagi waniata indonesia karena pada
tahun tersebut :

11
1) GBHN dab Pelita III secara ekplisit memuat butir tentang peran wanita dalam
pembangunan dan pembinaan bangsa.
2) Pada kabinet pembangunan III di bentuk suatu lembaga yaitu Kantor mentri
muda urusan paranan wanita.

Kenyataan tersebut menunjukan bahwa bangsa indonesia mengakui sepenuhnya


pentingnya peranan wanita sebagai mitra sejajar [pria dalam pembangunan. Sebagai
konsekuensinya, maka perwujudan partisipasi penuh wanaita, baik sebagai pelaku
kegiatan, penikmat hasil pembangunan bukan hanya sekedar permasalahan hak asasi
dan keadilan sosial, tetapi juga menyangkut pertembuhan ekonomi.

Dalam GBHN 1988 kehendak bangsa indonesia tersebut tertuang dalam tujuh esensi
yaitu :

a) Wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria
dalam pembangunan nasional.
b) Meningkatkan kedudukan wanita dalam masyarakat mulai dari lingkungan
keluarga dan peranannya dalam pembangunan,.
c) Peran ganda wanita dalam keluarga dan di dalam masyarakat secara selaras
dan serasi.
d) Pengakuan terhadap kodrat wanita yang harus di lindungi harkat dan
martabat wanita yang perlu di junjung tinggi.
e) Perlu peningkatan pendidikan dan keterampilan wanita untuk mampu
memanfaatkan kesempatan kerja.
f) Perlu pengembanmgan iklimsosial budaya yang lebih mendorong kemajuan
wanita.
g) Dalam rangka peningkatan partisipasi wanita dalam pembangunan,
kesejahtraan keluarga antara lain melalui gerakan PKK perlu di tingkatkan.

Hal tersebut berarti bahwa peranan wanita harus di manfaaatkan dan di


kembangkan. Sehubunga dengan itu, kedudukan wanita dalam masyarakat dan
peranannya dalam pembangunan perlu terus di tingkatkan serta di arahkan sehingga
dapat meningkatkan partisipasi dan memberikan sumbangan yang sebesar besarnya
bagi pembangunan. Peningkatan peranan wanita dalam pembangunan ini selaras
dengan Dasa Warsa PBB untuk wanita dan pembangunan (1975-1985) dengan

12
tujuan integrasi wanita ke dalam pembangunan sebagai mitra sejajar pria. Konsep
integrasi wanita dalam pembangunan ini asumsinya bahwa ada kelompok tertentu
yaitu kelompok wanita yang belum tercakup dalam pembangunan sehingga itu akan
di integrasikan ke dalam pembangunan. Data menunjukan bahwa :
a) Wanita di rugikan dalam pembangunan.
b) 2/3 pekerjaan di lakukan oleh wanita, tetapi wanita hanya memperoleh 10
persen income dunia.
c) Hanya 1 persen saja faktor produksi yang di miliki oleh wanita.

Dari kenyataan ini di simpulkan perlu mengintegrasikan wanita dalam


pembangunan. Namun demikian belum jelas ke dalam proses apa wanita tidak atau
belum tercakup, ke dalam proses yang mana wanita akan integrasikan? Benarkah
selama ini wanita belum terintegrasi dalam pembangunan? Apa tolak ukur
partisipasi wanita dalam pembangunan. Banyak orang mengatakan wanita belum
terintegrasi dalam kerja atau proses produktif. Konsep kerja yang di pakai adalah
melakukan pekerjaan yang di upah atau di bayar. Sehubungan dengan konsep
tersebut timbul pertanyaan bagaimana wanita di negara dunia ketiga, sebagian besar
mereka bekerja di sektor yang tidak dapat di ukur dengan uang. Mereka melaukan
kegiatan produksi tidak di rekam secara statistik. Mereka bekerja di sektor informal
dan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak di bayar. Pertentangan ini bisa
terjadi karena adanya batasan yang tajam antara sektor domestik dengan sektor
publik. Padahal kita tahu pada kelompok-kelompok wanita tertentu batas kedua
sektor tersebut kurang begitu jelas. Dengan konsep tersebut akibatnya peran wanita
menjadi tidak nampak (peran produktif) padahal selama ini wanita telah terintegrasi
hanya sajah berada di lapis bawah hierarki masyarakat.

Untuk menintegrasikan wanita dalam pembangunan berarti harus di akui bahwa :


 Posisi wanita adalah sentral dan bukan marginal sehingga kebijaksanaan
yang di tunjukan untuk wanita tidak sama dengan untuk kelompok minoritas,
program-program untuk wanita bukan hanya sekedar membuat program baru,
harus ada pertimbangan apa yang akan terjadi terhadap wanita akibat
pembangunan. Peran apa yang akan di berikan kepada wanita dalam
pembangunan tentu saja peran aktual dan bukan peran ideal.
 Melibatkan wanita baik sebagai pelaku maupun penerima pembangunan,
selama ini wanita di anggap tidak mampu sebagai agen pembangunan oleh

13
karena oitu hanya di beri porsi sebagai penikmat saja sehingga tidak perlu
ada peningkatan pendidikan dan pengetahuan bagi wanita.
 Selama ini wanita tidak di beri peluang yang sama dengan pria contoh :
pendidikan, fasilitas kredit, kesempatan kerja, tingkat upah, dan sebagainya.

Hal tersebut perlu di ingatkankarena pada praktiknya seringkali perencanaan


pembangunan mengabaikan peran wanita sebagai agent of change. Akibatnya
pembangunan justru berpengaruh negatif bagi wanita. Selama ini wanita belum
kelihatan dalam perencanaan karena, kepentingan wanaita di anggap sudah tercakup
dalam perencanaan pembangunan dalam berbagai kelompok contoh : (TKW) Peria
dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga mengabaikan peran
ekonomis wanita, wanita di anggap tanggungan pria, mengabaikan perbedaan
kepentingan antar anggota rumah tangga sehingga rumah tangga di anggap menjadi
satu unit analisis.

Adanya konsep kerja yang tidak sesuai, adanya konsep wanita yang salah yaitu :

1. by omission (pengecualian)
2. by reinforcement (penekanan)
3. by addition (penambahan)

Ada beberapa sudut pandang untuk melihat peranan wanita, antara lain :
1. Dualisme kultural
Dualisme kultural juga sering di sebut dengan asimetri dalam penilaian
kultural, dengan pembagian dalam dunia domenstik bagi wanita dan dunia
publik bagi peria. Di samping itu penilaian bahwa wanita adalah second class
juga terjadi di mana-mana, seolah olah memang harus begitu, sehingga secara
tidak sadar bisa di terima sebagai suatu yang wajar. Wanita di sektor domestik
dan wanita adalah second class ini identik dengan subordinasi wanita.
Subordinasi bisa terjadi karena
a) Hubungan wanita dengan alam yaitu mengenai pungsi reproduksi
wanita (haid, hamil, melahirkan dan menyusui.). akibatnya fungsi
reproduksi ini justru di pakai sebagai kelemahan wanita di dalam
pasaran kerja.

14
b) Hubungan wanita dengan alam dan kultur(streotype). Karena pungsi
reproduksinya itu, sebaiknya wanita di rumah saja, dia harus di
lindungi dan di jaga kesehatannya, karena dia yang harus melahirkan
dan menyusui.sebaiknya dia pilalah yang mengasuh anak-anaknya dan
sterusnya.
2. Evolusi Sosial
Akan selalu terjadi perubahan di dalam masyarakat sebagai akibat
adanya perubahan keseimbangan antara masyarakat dengan sumber daya
alam. Pembangunan menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Apakah
perubahan atau pembangunan menyebabkan posisi wanita menjadi lebih baik
atau justru sebaliknya. Perubahan akan meningkatkan pembagian kerja,
sedangkan ide pembagian kerja ini menimbulkan adanya gap equality di antara
masyarakat atau yang di sebut dengan inequality, menimbulkan gap
produktivitas dan sebagainya. Wanita sebagai anggota masyarakat juga akan
terkena akibat yang di timbulkan oleh perubahan tersebut.
3. Pembangunan
Timbul pertanyaan mengapa dampak pembangunan terhadap wanita tidak
sama dengan terhadap pria hal ini dapat terjadi karena :
a) Masyarakat tidak di pandang sebagai unit organik tunggal, sehingga
pembangunan yang diproritaskan dan ditujukan pada pria tidak selalu
bisa me netes pada wanita.
b) Pembangunan bukan sesuatu Yang mulus. Ada sesuatu yang di
harapkan dari pembangunan, tetapi di sisi lain ada dampak
pembangunan yang tidak di harapkan. Ada kontra diksi dalam
perubahan sosial. Sebagai contoh, akibat pembangunan, maka peluang
kerja bagi wanaita meningkat tetapi tingkat upah dan kondisi kerja
tidak layak, hal tersebut justru mengundang masalah. Eksploitasi
terhadap tenanga kerja wanita makin tinggi.
c) Ada kekuatan dari luar dan pemimpin yang memegang peranan kunci,
sehingga apa yang melatar belakangi dan apa yanag di inginkan si
pimpinan kadangkala mewarnai kebijaksanaan yang di tularkan.
4. Ketergantungan
Timbul pertanyaan mengapa dunia ketiga tetap tebelakang dan miskin.,
mengapa masyarakat maju selalu mengekspoitasi masyarakat pinggiran?

15
Sebagai contoh masuknya konglomerat HPH ke kalimantan menyebabkan
suku dayak terdesak, mereka menjadi miskin dan tidak punya hak ulayat lagi.
Untuk menerangkan pertanyaan tersebut bisa meminjam teori marxis yaitu
mode of production teori ini mendeskripsikan hubungan antara pemilik kapital
dengan buruhnya. Buruh selalu menjadi pihak yang tidak berdaya, sebaliknya
pemikik kapital selalu menentgukan segalanya, analogi dari hal tersebut
adalah: upah buruh wanita lebih rendah dari pria, upah buruh wanita di
pinggiran lebih rendah dari pusat.
Hal ini di sebabkan oleh struktur dunia dan bukan hanya sekedar patriarki saja,
kapitalisme itu bisa terjadi karena keterbelakangan rumah tangga., karena
rumah tanga miskin maka wanita mau bekerja dengan kondisi dan upah yang
tidak layak. Upah wanita lebih kurang 40% upah pria. Wanita tidak memsuki
sektor formal maka di dunia ketiga wanita memasuki sektor informal yang
kondisinya tidak sebaik sektor formal.
5. Penguatann.
Ide penguatan ini timbul karena adanya anggapan bahwa wanita pasif
dan tidak terlibat dalam kegiatan pembangunan. Namun, jika wanita di beri
kesempatan dia bisa mencapai berbagai macam hal. Dari anggapan tersebut
lalu di pandang perlu agar wanita bisa berubah.( women empowaring)
sehingga harus di beri akses dan stim ulan yang tepat. Tujuan women
empowering ini adalah power terhadap orang lain, power terhadap diri sendiri
dan power terhadap lingkungan. Tentu sajah dalam pelaksanaannya mengacu
pada pengetahuan, sikap dan praktik. Sebagai contoh :
a) Susu segar berlebihan yang tidak di beli koperasi, oleh kelompok
wanita di buat krupuk atau makanan yang lain.ini power terhadap
orang lain.
b) Wanita A bisa melakukan, lalu di contoh oleh yang lain karena
mereka berpedoman kalo dia bisa saya juga pasti bisa, ini power pada
diri sendiri.

Namun demikian perlu diingat bahwa yang telah empowered dalam mencari
nafkah belum tentu dia empowered pula dalam sektor domestik, dan
sebaliknya.dimensi empowerment ini terdiri atas antara lain :

a) Cara merasa (ways of feeling)

16
b) Cara berpikir (ways of thinking)
c) Cara bertindak (ways of behaveioring)

3.4 Masalah Yang Menghalangi Perempuan Menjadi Anggota Parlemen


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan
perempuan sebagai anggota legislatif. Faktor pertama, berhubungan dengan
konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya.
Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik adalah untuk laki-laki,
dan bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Faktor
kedua, berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap
para kandidat biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan
partai, yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di
mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah,
pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak
proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan
tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur
kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. Ketiga, berhubungan dengan
media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai
pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya
jaringan antara organisasi massa, LSM dan partai-partai politik untuk
memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan organisasi-organisasi wanita
di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999. Kelima,
kurang kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk mendapat
kedudukan yang setara dengan laki-laki.

3.5 Perkaderan HMI dan Penguatan Politik Perempuan


Untuk mewujudkan upaya-upaya diatas sangatlah dibutuhkan peran aktif
dari kader-kader HMI. Keterwakilan perempuan sangatlah penting terkait sistem
perkaderan HMI yang saat ini dinamis dalam menjawab perubahan sosial dan
tantangan zaman. Segala aspek dalam kehidupan secara menyeluruh harus dapat
ditopang oleh kader-kader khususnya dalam keterwakilan gender dimasa kini
demi terwujudnya tujuan HMI. Melalui peran aktif kader-kader HMI, hal ini
merupakan gambaran sederhana HMI tentang tatanan masyarakat yang diimpikan
dan diharapkan. Upaya dari kader-kader HMI dalam meningkatkan dan

17
menguatkan keterwakilan politik perempuan juga merupakan salah satu fungsi
dari insan cita. Insan yang akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam
dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang
diridhoi Allah SWT dapat membantu penguatan keterwakilan politik perempuan
dari lingkungan perguruan tinggi yang strategis dan lapisan masyarakat.HMI
dapat menjadi titik awal untuk pencerdasan dan peningkatan kualitas perempuan,
karena HMI membina kader-kadernya sejak dini. HMI yang tersebar di Indonesia
dapat berkontribusi penuh melalui aktifitas organisasinya ke seluruh lapisan
masyarakat. Bahagia HMI, Jayalah HMI.

18
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keterwakilan politik perempuan saat ini merupakan hal yang sudah
harus dapat ditingkatkan saat ini karena syariat Islam dan sistem demokrasi
Indonesia pun sudah menjamin hak-hak politik perempuan. Sedikitnya jumlah
keterwakilan politik perempuan disebabkan oleh kendala kultural dan
struktural, diantaranya persoalan bahwa citra politik itu kotor, adanya
pemahaman mengenai relasi kekuasaan, yakni subordinasi terhadap kaum
perempuan, kurangnya akses dan kesempatan mengenai peran dan sistem
internal organisasi politik yang kurang memberi akses dan peluang terhadap
perempuan.

Kendala-kendala tersebut dapat di kendalikan dengan upaya-upaya


nyata dari berbagai pihak, diantaranya adalah perempuan dihimbau untuk
peduli terhadap masalah-masalah politik yang berkembang dalam masyarakat,
membangun Mind-set perempuan dan masyarakat keseluruhan mengenai
pentingnya kesetaraan dan keadilan gender, memberikan pendidikan sosio-
politis kepada kaum perempuan sejak dini, menyediakan faktor-faktor
pendukung untuk perempuan dalam mengeksplor perannya dalam berpolitik,
serta melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Upaya peningkatan
keterwakilan politik perempuan membutuhkan proses panjang, dan
keberhasilannya sangat bergantung dari kesiapan perempuan itu sendiri.

3.2 Saran
Bagi perempuan yang hendak menggeluti dunia politik, hendaknya
mempersiapkan diri dengan matang. Politik bukanlah hal yang mudah untuk
dijalani, dibutuhkan kualitas diri yang mumpuni bagi seorang perempuan agar
dapat berperan dengan baik dalam dunia politik. Bagi kader-kader HMI, sebagai
insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT,
dengan keberadaan HMI yang dapat masuk ke seluruh kalangan, hendaknya dapat
mengadakan kegiatan atau acara-acara dalam rangka pencerdasan hak-hak politik

19
perempuan. Dalam Internal HMI sendiri sudah banyak contoh-contoh politik,
karena politik merupakan suatu hal yang statis dan dinamis. Maka berpolitiklah
dengan baik agar menjadi contoh dan tauladan bagi masyarakat.

20
DAFTAR PUSTAKA.

Azza Karam, 1999, Pendahuluan: Jender dan Demokrasi–Mengapa?,


Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International IDEA

Budiardjo, Miriam, 2002, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

F. Isjwara, 1982, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta.

Fransisca S.S.E. Seda, “Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan: Bukan Jumlah


Semata”, Laporan Konferensi: Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di
Indonesia, Jakarta, 11 September 2002.

Ignatius Mulyono, “Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan”, Makalah


disampaikan dalam Diskusi Panel RUU Pemilu-Peluang untuk Keterwakilan
Perempuan, Jakarta, 2 Februari 2010.

Komisi Pemilihan Umun, Himpunan Undang-Undang Politik, Jakarta: KPU 2003

Matland, Richard E. “Sistem Perwakilan dan Pemilihan Kaum Perempuan: Pelajaran


untuk Indonesia”, di dalam Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan
Umum. Jakarta: National Democratic Institute dan Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, 2001

National Democratic Institute, Women dan Politics Compilations of References,


Jakarta: National Democratic Institute for International Affairs, April 2001.

Naskah Pidato Presiden RI, Megawati Soekarnopoetri, pada Peringatan Hari Ibu di
Jakarta, 27 December 2001.

Perempuan Indonesia di Partai Politik dan Lembaga Legislatif, 1999-2001”


(Ringkasan Eksekutif). Jakarta: Divisi Perempuan dan Pemilu. 8 Maret
(tidakditerbitkan)

21

Anda mungkin juga menyukai