Anda di halaman 1dari 20

Referat

Obat Anestesi Lokal

Oleh:
Namira Nurul Hidayati - G99181047

Pembimbing
Andy Nugroho, dr., Sp. An., M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019

1
PENDAHULUAN

Obat anestesi lokal adalah obat yang menghambat konduksi saraf perifer dengan
mencegah proses terjadinya depolarisasi membrane saraf. Keadaan ini menyebabkan aliran
impuls yang melewati saraf tersebut berhenti sehingga segala macam rangsang atau sensasi tidak
sampai ke sistem saraf pusat. (Mangku, 2017)
Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi persyaratan
yaitu blokade motorik dan sensorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak neurotoksik dan
pemulihan blockade motorik yang cepat paska operasi yang selanjutnya mobilisasi dapat
dilakukan secepatnya. Hal ini tentunya akan mengurangi resiko toksisitas sistemik serta
memberikan kenyamanan pada pasien (Motiani, 2010).

DEFINISI

Agen anestesi lokal bisa didefinisikan sebagai obat yang secara klinis digunakan untuk
menghasilkan hilang sensasi secara reversibel pada area yang terbatas pada tubuh. Kebanyakan
agen anestesi lokal mengandung cincin aromatik yang dihubungkan oleh suatu gugus karbonil
melalui rantai karbon untuk menggantikan kelompok amino.

Zat anestestetik lokal yang dipergunakan terdiri dari golongan ester dan amida, yang akan
berbeda dalam hal bagaimana masing-masing golongan obat akan mengalami metabolisme,
kestabilan kimiawi dalam larutan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan alergik.
Sementara itu profil dari anestesi lokal yang dipakai akan berkaitan dengan (1) kelarutan obat
tersebut dalam lemak yang makin tinggi kelarutannya dalam lemak, maka potensi zat tersebut
semakin besar, (2) ikatan dengan protein yang tinggi akan memperpanjang durasi aktivitas zat
anestesi, (3) pKa yang mendekati nilai PH jaringan akan memiliki mula kerja yang lebih cepat
(4) aktivitas vasodilator intrinsic. Oleh karenanya, berdasarkan potensi anestesi dan durasi
kerjanya, maka anestesi lokal akan dibagi atas tiga kelas, yaitu :

 Group I, Agen dengan potensi anestetik rendah serta durasi kerja yang pendek
(prokain dan khloroprokain)

2
 Group II, Agen dengan potensi anestesi dan durasi kerja yang sedang (Lidokain,
Mepivakain dan prokain)
 Group III, Agen dengan potensi anestesi yang tinggi dan durasi kerja yang
panjang (tetrakain, bupivakain, dan etidokain) (Stoelting, 2006: Morgan, 2006)

MEKANISME AKSI

Obat anestesi lokal menghambat transmisi impuls saraf atau blokade konduksi dengan
mencegah peningkatan permeabilitas membrane saraf terhadap ion Na +. Konduksi impuls
sepanjang jaringan saraf disebabkan oleh perubahan derajat elektrikal yang melintasi membrane
saraf sebagai akibat dari pergerakan ion Na dan ion K. depolarisasi pada satu segmen saraf yang
tidak bermielin akan menyebar ke segmen lain karena perbedaan potensial elektrikal antara area
depolarisasi dan repolarisasi. Pada saraf yang bermielin, impuls akan melompat secara konduksi
Saltatori dai satu nodus Ranvier ke nodus lainnya yang berdekatan, setelah itu akan terjadi
repolarisasi kembali kedalam fase istirahat (Lou, 2002).

Secara umum mekanisme kerjanya terdiri dari keadaan istirahat, depolarisasi, repolarisasi
dan depolarisasi penuh. Depolarisasi satu segmen dari jaringan saraf yang tidak bermielin
menyebar ke segmen lain. Hal ini disebabkan oleh masuknya ion Na dari ekstra seluler ke ruang
intra seluler melalui kanal Na yang spesifik pada membrane. Aliran ion Na dari intra seluler ke
ekstra seluler mengakibatkan terjadinya repolarisasi. Sesudah potensial aksi terjadi lengkap,
terjadi keseimbangan ion, melalui aktivasi pompa ion Na dan K terjadi proses seperti semula.
Obat anestesi lokal mencegah proses depolarisasi membran saraf dengan memblok aliran ion-ion
Na. Akibatnya terjadi hantaran transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan mencegah ion
Na. Kegagalan permeabilitas masuknya ion Na meningkatkan perlambatan kecepatan
depolarisasi menyebabkan ambang potensial yang tidak sampai dan atau aksi potensial yang
tidak menyebar, tetapi tidak mengubah potensial membrane antar membrane pada saat istirahat.
(Lou, 2002).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa blokade konduksi saraf oleh obat anestesi lokal
terjadi melalui proses difusi dari bentuk basa melalui membrane saraf dan masuk kedalam
aksoplasma, reekuilibrasi antara basa dan kation pada aksoplasma, penetrasi kation masuk ke
dalam kanal Na dan melekat pada reseptor, blokade kanal Na, hambatan konduksi Na, penurunan

3
kecepatan dan derajat fase depolarisasi aksi potensial, kegagalan mencapai potensial ambang,
penurunan aksi potensial sehingga terjadi blokade konduksi (Covino, 1994)

FARMAKOLOGIS KLINIS

Karena obat anestesi lokal secara khusus diinjeksikan atau diaplikasikan sangat dekat
dengan lokasi tindakan yang diharapkan, profil farmakologinya secara umum penting untuk
dipahami (Morgan, 2006).

FARMAKOLOGI OBAT ANESTESI LOKAL PADA DEWASA

Farmakokinetik
Anestesi lokal merupakan basa yang lemah yang memiliki nilai pK diatas pH fisiologis.
Sebagai akibatnya, <50% anestesi lokal berada dalam bentuk larut lemak tak terionisasi pada pH
fisiologis. Sebagai contoh, pada pH 7,4 hanya 5% tetrakain yang berada dalam bentuk tak
terionisasi. Asidosis dalam lingkungan dimana diinjeksikan anestesi lokal (seperti yang terlihat
pada infeksi jaringan) lebih lanjut meningkatkan fraksi obat yang terionisasi. Hal ini konsisten
dengan kualitas anestesi lokal yang buruk yang sering dihasilkan jika sebuah anestesi lokal
diinjeksikan kedalam area terinfeksi yang asam. Anestesi lokal dengan pKs yang paling dekat
dengan pH fisiologis memiliki onset yang paling cepat, mencerminkan keberadaan rasio fraksi
obat terionisasi dan tak terionisasi yang optimal (Stoelting, 2006).

Aktivitas vasodilator intrinsik juga akan mempengaruhi potensi yang terlihat dan durasi
aksi. Sebagai contoh, aksi lidokain sebagai vasodilator yang lebih besar dibandingkan dengan
mepivakain mengakibatkan absorsi sistemik yang lebih besar dan durasi aksi yang lebih pendek
pada lidokain. Bupivakain dan etidokain menghasilkan vasodilatasi yang sama, tetapi konsentrasi
plasma bupivakain setelah pemberian epidural melebihi etidokain. Diduga, kelarutan lipid
etidokain yang lebih besar menghasilkan sekuestrasi jaringan dan lebih sedikit obat yang tersedia
untuk absorbsi sistemik. Pemanjangan blokade sensoris yang kadang terjadi setelah injeksi
etidokain telah dianggap terjadi karena sekuestrasi jaringan ini.

Metabolisme

Kecuali dalam jumlah sedikit yang diekskresikan tanpa perubahan dalam urine, anestesi
lokal amida secara enzimatik berubah dalam hati lebih dahulu untuk diekskresi dalam urine dan

4
feses. dengan obat lipofilik lainnya, metabolitnya secara umum lebih hidrofilik dibandingkan
dengan senyawa aslinya. Meskipun toksisitas metabolitnya secara umum lebih rendah daripada
senyawa utamanya, hal ini tidak selalu sebagai alasan (Laidler, 1997).

Absorbsi dan distribusi

Absorbsi dan distribusi anestesi lokal dari tempat penyuntikannya kedalam sirkulasi
sistemik dipengaruhi oleh tempat injeksi dan dosis, penggunaan epinefrin, dan karakteristik
farmakologis dari obat. Konsentrasi plasma anestesi lokal ditentukan dengan kecepatan distribusi
jaringan dan kecepatan klirens dari obat. Sebagai contoh, infus lidokain selama 1 menit diikuti
dengan sebuah penurunan yang cepat pada konsentrasi plasma obat yang paralel dengan uptake
inisial yang tinggi kedalam paru-paru dan distribusi anestesi lokal ke dalam jaringan yang
memiliki perfusi tinggi (otak, jantung, ginjal). Kelarutan dalam lemak penting dalam redistribusi
ini, dan menjadi penentu utama potensi intrinsik anestesi lokal, setelah distribusi pada jaringan
yang memiliki perfusi tinggi, anestesi lokal diredistribusikan kepada jaringan yang memiliki
perfusi lebih sedikit, yang meliputi otot skelet dan lemak. Memperhatikan output jantung penting
untuk menjelaskan keseluruhan distribusi jaringan anestesi lokal dan mungkin juga klirens
intrakomprementalnya. Akhirnya, anestesi lokal dieliminasi dari plasma dengan metabolisme
dan ekskresi.

Selain aliran darah jaringan dan kelarutan dalam lemak, faktor-faktor yang berhubungan
dengan pasien seperti usia, status kardiovaskular, dan fungsi hepar juga akan mempengaruhi
absorbsi dan konsentrasi plasma resultan dari anestesi lokal. Pengikatan protein anestesi lokal
akan mempengaruhi distribusi dan ekskresinya. Dalam hal ini, pengikatan protein paralel dengan
kelarutan lemak anestesi lokal dan berbanding terbalik dengan konsentrasi obat dalam plasma.
Secara keseluruhan, setelah absorbsi sistemik, anestesi lokal amida lebih luas terdistribusi dalam
jaringan daripada anestesi lokal ester (Stoelting, 2006).

Klirens
Nilai klirens dan waktu paruh eliminasi untuk anestesi lokal amida mungkin terutama
mencerminkan metabolisme hepatik, karena ekskresi renal dari obat yang tidak berubah adalah
minimal. Penelitian farmakokinetik untuk anestesi lokal ester masih terbatas karena pendeknya
waktu paruh eliminasi karena hidrolisisnya yang cepat dalam plasma dan liver (Stoelting, 2006).

5
Klasifikasi Anestetikum Lokal

Anestetikum lokal diklasifikasikan menjadi dua kategori umum sesuai dengan ikatan,
yaitu ikatan golongan amida (-NHCO-) dan ikatan golongan ester (-COO-). Perbedaan ini
berguna karena ada perbedaan ditandai dalam alergenitas dan metabolisme antara dua kategori
bahan anestetikum local

A. Golongan Ester (-COO-)

1. Prokain

2. Tetrakain

3. Kokain

4. Benzokain

5. Kloroprokain

B. Golongan Amida (-NHCO-)

1. Lidokain

2. Mepivakain

3. Bupivacaine

4. Prilokain

5. Artikain

6. Dibukain

7. Ropivakain

8. Etidokain

9. Levobupivakain

6
Table 2. Perbandingan Farmakologi obat anestesi lokal
Klasifikasi Potensi Onset Durasi Maksimal Konsentrasi pK Protein
setelah dosis toksis dalam binding
infiltasi tunggal plasma (%)
(mnt) untuk (µg /ml)
infiltrasi
(mg)
Procaine 1 Slow 45-60 500 8,9 6
Chloroprocaine 4 Rapid 30-45 600 8,7 -
Tetracaine 16 Slow 60-180 100 8,5 76
(topical)
Lidocaine 1 Rapid 60-120 300 >5 7,9 70
Etidocaine 4 Slow 240-480 300 -2 7,7 94
Prilocaine 1 Slow 60-120 400 >5 7,9 55
Mepivacaine 1 Slow 90-180 300 >5 7,6 77
Bupivacaine 4 Slow 240-480 175 >3 8,1 95
Levobupivacaine 4 Slow 240-480 175 8,1 >97
Ropivacaine 4 Slow 240-480 200 >4 8,1 94

Klasifikasi Fraksi Fraksi Fraksi Kelarutan Volume Klirens Eliminasi


non ion nonion nonion dalam distribusi (liter/menit) paruh
(%) pada (%) pada (%) pada lemak (liter) waktu
PH 7,2 PH 7,2 PH 7,6 (mnt)
Procaine 2 3 5 0,6 65 - 9
Chloroprocaine 3 5 7 - 35 - 7
Tetracaine 5 7 11 80 - - -
Lidocaine 17 25 33 2,9 91 0,95 96
Etidocaine 24 33 44 141 133 1,22 156
Prilocaine 17 24 33 0,9 191 - 96
Mepivacaine 28 39 50 1 84 9,78 114
Bupivacaine 11 17 24 28 73 0,47 210
Levobupivacaine 11 17 24 - 55 - 156
Ropivacaine - 17 - - 59 0,44 108

Sumber : Stoelting, 2006

7
PENGGUNAAN OBAT ANESTESI LOKAL DALAM KLINIS

Obat anestesi lokal adalah yang paling sering digunakan untuk anestesi topikal, infiltrasi
dan regional. Alasan yang lebih jarang digunakan untuk memilih anestesi lokal adalah untuk
mencegah atau mengobati disritmia jantung, mencegah atau mengobati peningkatan tekanan
intrakranial, memberikan analgesia, dan mencegah kejang. Efek antiinflamasi anestesi lokal
mungkin bertanggungjawab terhadap efek menguntungkan dalam periode perioperatif pada
anestesi spinal dan epidural (Stoelting, 2006).
Table 6. Penggunaan klinis obat anestesi lokal
Penggunaan Konsentrasi Onset Durasi (min) Rekomendasi
klinis (%) dosis maksimal
(mg)
Lidocaine Topical 4 Fast 30-60 300
Infiltasi 0,5-1 Fast 60-240 300 atau 500
IVRA 0,25-0,5 Fast 30-60 300
PNB 1-1,5 Fast 60-180 300 atau 500
Epidural 1,5-2 Fast 60-120 300 atau 500
Spinal 1,5-5 Fast 30-60 100
Mepivacaine Infiltasi 0,5-1 Fast 60-240 400 atau 500
PNB 1-1,5 Fast 120-240 400 atau 500
Epidural 1,5-2 Fast 60-180 400 atau 500
Spinal 2-4 Fast 60-120 100

Bupivacaine Infiltrasi 0,25 Fast 120-480 175 atau 225


PNB 0,25-0,5 Slow 240-960 175 atau 225
Epidural 0,5-0,75 Moderate 120-300 175 atau 225
Spinal 0,5-0,75 Fast 60-240 20
Levobupivacaine Infiltasi 0,25 Fast 120-480 150
PNB 0,25-0,5 Slow 840-1,020 150
Epidural 0,5-0,75 Moderate 300-540 150
Spinal 0,5-0,75 Fast 60-360 20
Ropivacaine Infiltrasi 0,2-0,5 Fast 120-360 200
PNB 0,-1 Slow 300-480 250

8
Epidural 0,5-1 Moderate 120-360 200
Spinal
Chloroprocaine Infiltrasi 1 Fast 30-60 800 atau 1000
PNB 2 Fast 30-60 800 atau 1000
Epidural 2-3 Fast 30-60 800 atau 1000
Spinal 2-3 Fast 30-60

Sumber : Stoelting, 2006


Anestesi Regional

Anestesi regional diklasifikasikan sesuai dengan enam tempat berikut yang sering
digunakan untuk pemberian larutan anestesi lokal: (a) anestesi topikal atau permukaan, (b)
infilrasi lokal, (c) blok saraf perifer, (d) anestesi regional IV (blok Bier), (e) anestesi epidural dan
(f) anestesi spinal (Stoelting, 2006).

Anestesi topikal

Anestesi lokal digunakan untuk menghasilkan anestesi topikal dengan pemberian pada
membrana mukosa seperti hidung, mulut, cabang trakeobronkial, esofagus, atau saluran
genitourinaria. Kokain (4% smpai 10%), tetrakain (1% sampai 2%), dan lidokain (2% sampai
4%) adalah yang paling sering digunakan. Diperkirakan bahwa anestesi topikal kokain
digunakan dalam >5% prosedur rinolaringologi yang dilakukan setiap tahunnya di USA.
Popularitas kokain untuk anestesi topikal mencerminkan kemampuan uniknya untuk
menghasilkan vasokonstriksi lokal yang menurunkan kehilangan darah dan meningkatkan
visualisasi pembedahan. Lidokain nebulisasi digunakan untuk menghasilkan anestesi permukaan
pada saluran respirasi atas dan bawah sebelum laringoskopi fiberoptik dan/atau bronkoskopi dan
sebagai sebuah pengobatan untuak pasien yang mengalami batuk yang membandel (Stoelting,
2006).

Infiltrasi lokal

Anestesi infiltrasi lokal melibatkan pemberian anestesi lokal ekstravaskular pada wilayah
yang akan dianestesi. Injeksi anestesi lokal subkutan pada daerah yang akan diiris untuk
pemasangan kanula intravaskular adalah sebuah contoh. Lidokain adalah anestesi lokal yang

9
peing sering dipilih untuk anestesi infiltrasi. Infiltrasi ropivakain 0,25% atau bupivakain sama
efektifnya dalam penanganan nyeri pada tempat operasi inguinal.
Durasi anestesi infiltrasi bisa dilipatgandakan sekitar dua kalinya dengan menambahkan
epinefrin 1:200.000 kedalam larutan anestesi lokal. Namun demikian larutan yang berisi
epinefrin tidak boleh diinnjeksikan secara intrakutan atau kedalam jaringan yang dipasok oleh
arteri ujung (jari, telinga, dan hidung) karena vasokonstriksi yang dihasilkan bisa menyebabkan
iskemia bahkan gangren (Stoelting, 2006).

Anestesi blok perifer


Anestesi blok perifer dicapai dengan penyuntikan anestesi lokal kedalam jaringan yang
megelilingi saraf perifer individual atau pleksus saraf seperti pleksus brakhial. Jika larutan
anestesi lokal disimpan dalam disekitar saraf perifer, mereka menyebar dari permukaan luar
(mantel) menuju pusat (inti) saraf sesuai dengan gradien konsentrasi. Akibatnya, serabut safar
yang terletak didalam mantel saraf campuran teranestesi terlebih dahulu. Serabut-serabut mantel
ini biasanya didistribusikan ke struktur anatomis yang lebih proksimal yang berkebalikan dengan
struktur distal yang diinervasi oleh serabut saraf yang dekat dengan inti saraf. Ini menjelaskan
terjadinya anestesi proksimal pada awalnya, dengan penyebaran ke distal sementara larutan
anestesi lokal berdifusi untuk mencapai serabut saraf inti yang lebih ke sentral. Sebaliknya,
pemulihan sensasi terjadi dengan arah yang terbalik, serabut saraf dalam mantel yang terpapar
terhaadp cairan ekstraneural adalah yang pertama kehilangan anestesi lokal, sehingga sensasi
kembali lebih awal dan terakhir pada bagian distal lengan.
Kecepatan onset anestesi sensoris setelah injeksi larutan anestesi lokal kedalam jaringan
disekitar saraf periferal tergantung pada pK obat. pK menentukan jumlah anestesi lokal yang ada
didalam bentuk aktif yang tidak terionisasi pada pH jaringan. Sebagai contoh, onset aksi lidokain
terjadi dalam waktu sekitar 3 menit, sementara onset setelah injeksi bupivakain, levobupivakain,
atau ropivakain memerlukan sekitar 15 menit, mencerminkan fraksi lidokain lebih besar yang
ada dalam bentuk tak terionisasi larut lemak. Onset dan durasi anestesi sensoris untuk blok
pleksus brakial dihasilkan oleh bupivakain, levobupivakain, atau ropivakain 0,5%. Ropivakain,
33 mL larutan 0,5% yang digunakan untuk melakukan blok perivaskular subklavia,
menghasilkan onset anestesi sensori yang cepat (sekitar 4 menit) dengan pemanjangan sensoris
(>13 jam) dan blokade motoris. Untuk blok saraf ulnar, ropivakain ditemukan efektif maksimal

10
pada konsentrasi antara 0,5% dan 0,75% dan onset serta durasinya menyerupai bupivakain.
Tetrakain, dengan onset anestesi yang lambat dan potensi yang tinggi untuk menyebabkan
toksisitas sistemik, tidak direkomendasikan untuk infiltrasi lokal atau anestesi blok saraf perifer.
Durasi blok saraf perifer tergantung pada dosis anestesi lokal, kelarutannya dalam lemak,
derajat pengikatan protein, dan penggunaan bersamaan dengan vasokonstriktor seperti epinefrin.
Durasi aksi diperpanjang dengan lebih awal dengan penggunaan epinefrin daripada dengan
meningkatkan dosis anestesi lokal, yang juga meningkatkan kecenderungan toksisitas sistemik.
Bupivakain jika dikombinasikan epinefrin bisa menghasilkan anestesi blok saraf perifer yang
berlangsung sampai 14 jam. Sebaliknya, tidak semua laporan mendokumentasikan pemanjangan
durasi aksi jika epinefrin ditambahkan kedalam bupivakain atau ropivakain (Stoelting, 2006).

Anestesi regional intravena (Bier block)

Injeksi larutan anestesi lokal secara IV kedalam ekstremitas yang terisolasi dari sirkulasi
sistemik oleh tornikuet menghasilkan onset anestesi dan relaksasi otot skelet yang cepat. Durasi
anestesi independen sesuai dengan anestesi lokal itu sendiri dan ditentukan oleh seberapa lama
tornikuet masih terpasang. Mekanisme bagaimana anestesi lokal menghasilkan anestesi regional
IV tidak diketahui secara pasti tetapi mungkin mencerminkan aksi obat pada akhiran saraf seperti
pada badan. Sensasi normal dan tonus otot skelet kembali dengan cepat setelah pelepasan
tornikuet, yang memungkinkan aliran darah untuk mengencerkan konsentrasi anestesi lokal.
Anestesi lokal ester dan amida menghasilkan efek yang memuaskan jika digunakan untuk
anestesi regional IV. Lidokain adalah anestesi lokal amida yang paling sering dipilih untuk
menghasilkan anestesi regional tipe ini. Alternatif untuk lidokain meliputi prilokain, mepivakain,
dan ropivakain. Onset, durasi, dan kualitas anestesi regional IV yang dihasilkan oleh 50 mL
larutan lidokain atau prilokain 0,5% adalah sama, tetapi konsentrasi plasma prilokain lebih
rendah daripada lidokain setelah pengempisan tornikuet. Derajat methemoglobinemia yang
berhubungan (3% hemoglobin sebagai methemoglobin) terlihat jika prilokain jauh berada
dibawah kadar yang dibutuhkan untuk menghasilkan sianosis (10% hemoglobin sebagai
methemoglobin). Konsentrasi plasma prilokain yang lebih rendah secara bermakna setelah
pengempisan tornikuet mungkin menunjukkan batas keamanan yang lebih besar untuk prilokain
dibandingkan dengan lidokain dapat juga diartikan sebagai potensi toksisitas sistemik.
Konsentrasi plasma lidokain menurun secara bermakna dalam 60 menit pertama setelah

11
pengempisan tornikuet, sementara konsentrasi mepivakain dalam darah masih berada dibawah
konsentrasi toksik. Ropivakain, 1,2 mg/kg dan 1,8 mg/kg dibandingkan dengan lidokain 3 mg/kg
menghasilkan anestesi regional IV yang sebanding tetapi anestesi residual lebih lama pada
ropivakain. Klorprokain tidak dipilih untuk anestesi regional karena tingginya insidensi
tromboflebitis. Bupivakain tidak direkomendasikan untuk anetsesi regional IV karena
kecenderungannya yang lebih besar daripada anestesi lokal yang lain untuk menimbulkan
kardiotoksisitas jika tornikuet dikempiskan di akhir anestesi. Ropivakain, meskipun kurang
kardiotoksik daripada bupivakain, tidak direkomendasikan untuk anestesi regional IV.

Anestesi epidural
Larutan anestesi lokal diduga diberikan dalam ruang epidural atau kaudosakral dengan
dua mekanisme. Pertama, anestesi lokal berdifusi melintasi dura untuk bekerja pada akar saraf
dan korda spinal saat diinjeksi secara langsung kedalam ruang subarakhnoid lumbal untuk
menghasilkana anestesi spinal. Kedua, anestesi lokal juga berdifusi kedalam daerah paravertebral
melalui foramina intervertebral yang menghasilkan blok saraf paravertebral. Ini memperlambat
proses difusi yang bertanggungjawab terhadap penundaan onset anestesi sensoris selama 15-30
menit setelah pemberian larutan anestesi lokal dalam ruang epidural. Lidokain sering digunakan
untuk anestesi epidural karena memiliki kemampuan difusi yang bagus melalui jaringan.
Bupivakain dan ropivakain dalam konsentrasi yang sama (0,5% sampai 0,75%)
menghasilkan anestesi sensoris memanjang yang sama (ropivakain memiliki kecenderungan
yang lebih besar untuk mengeblok serabut A-delta danC) jika digunakan untuk anestesi epidural,
tetapi anestesi motor yang dihasilkan oleh ropivakain kurang kuat dan memiliki durasi yang
lebih singkat. Karakteristik ropivakain mungkin menguntungkan untuk pasien obstetri dalam
persalinan atau mereka yang mengalami nyeri akut dan kronik. Penambahan epinefrin 1:200.000
kedalam bupivakain 0,5% atau 0,75% nampaknya tidak memberikan keuntungan dalam hal
durasi aksi. Penggunaan ropivakain 1% bisa memberikan anestesi sensoris yang lebih besar
daripada bupivakain 0,75%, sementara blok motoris sama. Toksisitas sistemik ropivakain yang
lebih rendah dibandingkan dengan bupivakain memungkinkan ropivakain untuk digunakan
dalam anestesi bedah dengan konsentrasi sampai 1%. Untuk analgesi postoperasi, infus
ropivakain 0,2% pada 6 sampai 10 mL per jam adalah efektif. Pada anak-anak, tidak ada
perbedaan dalam hal anelgesia postoperasi yang diberikan oleh bupivakain, levobupivakain, atau
ropivakain tetapi blokade motor yang tak diinginkan sering terjadi pada pasien yang menerima

12
bupivakain. Analgesi atau anestesi epidural untuk persalinan atau SC sama dengan penggunaan
bupivakain 0,5% maupun ropivakain tetapi durasi blok motor lebih pendek pada orang
melahirkan yang menerima ropivakain. Sama halnya, ropivakain 0,25% dan bupivakain 0,25%
yang diberikan sebagai dosis intermiten kedalam ruang epidural sama efektifnya dalam
memberikan pereda rasa nyeri pada persalinan. Peningkatan konsentrasi plasma anestesi lokal
setelah anestesi epidural merupakan nilai penting khusus jika tehnik ini digunakan untuk
memberikan anestesi pada orang yang melahirkan. Anestei lokal melewati plasenta dan bisa
menghasilkan efek merugikan yang bisa terdeteksi meskipun tidak terlalu merugikan pada fetus
yang brusia 24 sampai 48 jam. Fetus dan neonatus kurang bisa memetabolisme mepivakain,
mengakibatkan pemanjangan waktu paruh eliminasi jika dibandingkan dengan dewasa.
Penggunaan anestesi lokal yang lebih larut lemak dan terikat protein seperti bupivakain bisa
membatasi pasase melalui plasenta kedalam fetus. Bahkan dosis lidokain yang rendah, seperti
yang digunakan untuk anestesi spinal selama persalinan, memiliki hasil absorbsi sistemik yang
sama, seperti yang dicerminkan dengafn keberadaan lidokain dan metabolitnya pada neonatus.
Sebaliknya, bupivakain tidak terdeteksi dalam plasma neonatus 24 jam setelah SC menggunakan
anestesi spinal bupivakain. Konsentrsi plasma bupivakain pada ibu dari neonatus tersebut kira-
kira 5% dari yang ada setelah anestesi epidural, dan konsentrasi plasma vena umbilikus sekitar
7% dari yang ada pada anestesi epidural.

Berlawanan dengan anestesi spinal, selama anestesi epidural tidak ada zona blokade
sensoris yang berbeda, dan zona perbedaan blokade motoris rata-rata sampai 4, bukan 2, segmen
dibawah tingkat sensoris. Perbedaan lain dari anestesi spinal adalah dosis lebih besar yang
digunakan untuk menghasilkan anestesi epidural, menyebabkan absorbsis sistemik anestesi lokal
yang substansial. Sebagai contoh, konsentrasi plasma puncak lidokain adalah 3 sampai 4 μg/mL
setelah pemberian 400 mg kedalam ruang epidural. Bupivakain, 70 sampai 100 mg 0,5% dengan
epinefrin 1: 200.000 yang diberikan kedalam ruang epidural, menghasilkan konsentrasi plasma
puncak rata-rata 0,335 μg/mL yang terjadi sekitar 30 menit setelah pemberian anestesi lokal.
Konsentrasi plasma puncak bupivakain mendekati 1 μg/mL terjadi jika epinefrin tidak
ditambahkan kedalam larutan anestesi lokal yang diberikan kedalam ruang epidural. Dalam hal
ini, penambahan epinefrin kedalam larutan anestesi lokal bisa menurunkan absorbsi sistemik
anestesi lokal sekitar sepertiganya. Puncak konsentrasi plasma vena ropivakain adalah 1,3μg/mL
setelah pemberian epidural sebanyak 200 mg anestesi lokal. Penambahan epinefrin 1:200.000

13
menurunkan absorbsi sistemik ropivakain sekitar sepertiganya. Absorbsi sistemik epinefrin
menghasilkan stimulasi beta adrenergik yang ditandai dengan vasodilatasi perifer, dengan
penurunan resultan dalam tekanan darah sistemik, bahkan meskipun cardiac output ditingkatkan
dengan efek inotropik dan kronotropik epinefrin (Stoelting, 2006).

Anestesi spinal
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal kedalam ruang subarakhnoid
lumbar. Larutan anestesi lokal dimasukkan kedalam cairan serebrospinal lumbar, bekerja pada
lapisan superfisial dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut
preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami anterior. Karena konsentrasi
anestesi lokal dalam cairan serebrospinal menurun sebagai sebuah fungsi dari jarak dari tempat
penyuntikan, dan karena tipe serabut saraf yang berbeda dalam hal sensitivitasnya terhadap efek
anestesi lokal, terjadilah perbedaan zona anestesi. Karena serabut sistem saraf simpatetik
preganglionik terblokade dengan konsentrasi anestesi lokal yang tidak memadai untuk
mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkar denervasi sistem saraf simpatetik selama
anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua segmen spinal cefal dari tingkat anestesi sensoris.
Untuk alasan yang sama, tingkat anestesi motoris rata-rata dua segmen dibawah anestesi
sensoris.

Dosis anestesi lokal yang digunakan untuk anestesi spinal bervariasi menurut (a) berat
pasien, yang menentukan volume dalam ruang subarakhnoid, (b) tingkat segmental anestesi yang
diinginkan, dan (c) durasi anestesi yang diinginkan. Dosis total anestesi lokal yang diberikan
untuk anestesi spinal lebih penting daripada konsentrasi obat atau volume larutan yang
diinjeksikan. Tetrakain, lidokain, bupivakain, ropivakain, dan levobupivakain adalah anestesi
lokal yang paling sering diberikan untuk anestesi spinal.

Anestesi spinal dengan lidokain telah dilaporkan menghasilkan insidensi gejala


neurologis sementara yang tinggi daripada anestesi spinal yang dilakukan dengan bupivakain.
Untuk alasan ini, bupivakain telah diusulkan sebagai alternatif bagi anestesi lokal bagi lidokain
untuk anestesi spinal. Jika dipilih lidokain, mungkin bijaksana untuk membatasi dosis sampai 60
mg. bupivakain yang digunakan untuk anestesi spinal lebih efektif daripada tetrakain dalam
mencegah nyeri tornikuet ekstremitas bawah selama bedah ortopedi. Kefeektifan ini mungkin
mencerminkan kemampuan bupivakain untuk menghasilkan blokade konduksi tergantung

14
frekuensi yang lebih besar pada serabut saraf daripada tetrakain. Pada wanita yang melahirkan,
pemberian bupivakain 2,5 mg secara intratekhal plus sufentanil 10 μg, membrikan analgesi
persalinan dan memungkinkan pasien untuk langsung rawat jalan. Penambahan fentanil 5 μg
intratekhal memberikan sebuah efek penghematan dosis bupivakain sama seperti yang bisa
diberikan oleh fentanil 15 μg atau 25μg, menghasilkan lebih sedikit tetapi pemendekan dalam
durasi aksi.

Ropivakain 0,5% atau 0,75% 3 mL memberikan anestesi sensoris, meskipun blokade


motor yang lengkap hanya terlihat pada 50% pasien yang menerima dosis yang lebih rendah.
Ropivakain adalah sebuah anestesi lokal yang diterima untuk menghasilkan anestesi spinal untuk
SC, dan menurunkan blokade ekstremitas bawah dibandingkan jika menggunakan bupivakain.
Levobupivakain memiliki efikasi klinis yang sama dengan bupivakain untuk anestesi spinal.
Dibukain adalah 1,5 sampai 2,0 kali lebih poten dibandingkan dengan tetrakain jika digunakan
untuk anestesi spinal. Pada masa lalu, kloroprokain tidak direkomendasikan untuk diberikan
kedalam ruang subarakhnoid karena potensi neurotoksisitas. Namun demikian, larutan 2-
kloroprokain yang bebas pengawet (2% dan 3%) tersedia untuk injeksi intratrakeal dan telah
menunjukkan mampu menghasilkan blokade motoris dan sensoris dengan durasi yang singkat
dengan sedikit atau tanpa gejala neurologis sementara, membuat anestesi lokal ini menjadi
pilihan yang menarik untuk prosedur pembedahan pasien rawat jalan yang menggunakan
anestesi spinal.
Gaya berat spesifik larutan anestesi lokal yang diinjeksikan kedalam cairan serebrospinal
lumbar penting untuk menentukan penyebaran dari obat. Penambahan glukosa kedalam larutan
anestesi lokal meningkatkan gaya berat spesifik larutan anestesi lokal diatas cairan anestesi lokal
(hiperbarik). Penambahan air terdestilasi memperendah gaya berat spesifik larutan anestesi lokal
dibawah cairan serebrospinal (hipobarik). Cairan serebrospinal tidak berisi ezim kolinesterase
dalam jumlah yang bermakna, karenanya durasi aksi anestesi lokal ester dan amida yang
dimasukkan kedalam ruang subarakhnoid terhgantung pada absorbsi sistemik obat (Stoelting,
2006).

15
1. Lidokain

Lidokain disintesis pada tahun 1943 dan pada tahun 1948, anestetikum lokal golongan
amida pertama telah dipasarkan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih ekstensif
daripada yang ditunjukkan oleh prokain pada konsentrasi yang sebanding. Lidokain merupakan
aminoetilamid dan merupakan prototik dari anestetikum lokal golongan amida. Penggunaan
lidokain sebagai larutan polos dalam konsentrasi sampai 2% memberikan efek anestesi yang
pendek pada jaringan lunak. Ketika vasokonstriktor ditambahkan ke 2% lidokain, maka efek
anestesi bertambah. Vasokonstriktor yang paling umum digunakan adalah epinefrin (adrenalin)
biasanya sekitar konsentrasi 1:200.000 ke 1:80.000. Oleh karena itu, lidokain cocok untuk
anestesi infiltrasi, blok dan topikal. Selain itu, lidokain memiliki keuntungan dari mula kerja
yang lebih cepat, penambahan epinefrin menyebabkan vasokonstriktor dari arteri mengurangi
perdarahan dan juga penundaan resorpsi lidokain sehingga memperpanjang masa lama kerja
hampir dua kali lipat.

2. Mepivakain

Mepivakain merupakan anestetikum lokal golongan amida yang bersifat farmakologiknya


mirip lidokain. Mepivakain memiliki mula kerja yang lebih cepat daripada prokain dan masa
lama kerja yang menengah. Mepivakain menghasilkan vasodilatasi yang lebih sedikit dari
lidokain. Mepivakain ketika disuntik dengan konsentrasi 2% dikombinasikan dengan 1:100 000
epinefrin, memberikan efek anestesi yang mirip seperti lidokain 2% dengan epinefrin. Larutan
mepivakain 3% tanpa vasokonstriktor akan memberikan efek anestesi yang lebih baik dari
lidokain 2% . Mepivakain digunakan untuk anestesi infiltrasi, blok saraf regional dan anestesi
spinal.

3. Prilokain

Anestetikum lokal golongan amida ini efek farmakologiknya mirip lidokain, tetapi mula
kerja dan masa kerjanya lebih lama. Efek vasodilatasinya lebih kecil daripada lidokain, sehingga
tidak memerlukan vasokonstriktor. Toksisitas terhadap sistem saraf pusat (SSP) lebih ringan,
penggunaan intravena blok regional lebih aman. Sifat toksik yang unik dari prilokain yaitu dapat

16
menimbulkan methemoglobinemia, hal ini disebabkan oleh adanya metabolit prilokain yaitu
orto-toluidin dan nitroso-toluidin yang mempengaruhi masa kerja prilokain. Efek anestesi
prilokain kurang kuat dibandingkan lidokain. Prilokain dipasarkan sebagai solusi 4% dengan dan
tanpa 1:200.000 epinefrin. Efek toksisitas sistemik prilokain kurang dibandingkan lidokain.
Biasanya digunakan untuk mendapatkan anestesi infiltrasi dan blok.

4. Artikain

Struktur amida dari artikain mirip dengan anestetikum lokal lainnya, tetapi struktur
molekulnya berbeda melalui kehadiran cincin thiophene bukan cincin benzena. Artikain
mengandung gugus ester tambahan yang dimetabolisme oleh estearases dalam darah dan
jaringan. Artikain dapat digunakan pada konsentrasi yang lebih tinggi, yaitu artikain 4% dengan
epinefrin 1:100 000 atau 1:200 000. Ada beberapa kekhawatiran, bahwa anestetikum lokal ini
apabila digunakan pada konsentrasi tinggi dapat meningkatkan toksisitas lokal yang dapat
menyebabkan kerja anestesia menjadi lama, parestesia atau dysaesthesia ketika digunakan untuk
blok regional. Artikain digunakan baik untuk anestesi infiltrasi maupun blok, dengan teknik blok
dapat menghasilkan masa kerja yang lebih lama.

5. Bupivakain

Bupivakain merupakan anestetikum lokal yang termasuk dalam golongan amida amino.
Bupivakain mempunyai masa kerja panjang. Ketika digunakan sebagai injeksi intraoral, bahan
ini telah terbukti mengurangi jumlah analgesik yang dibutuhkan untuk mengontrol rasa nyeri
pasca operasi setelah pembedahan. Formulasi bupivakain sekitar 0,25-0,75% dengan dan tanpa
epinefrin (biasanya 1:200 000). Mula kerjanya lambat tapi masa kerjanya panjang. Digunakan
untuk anestesi infiltrasi, blok saraf, epidural dan anestesi intratekal.

6. Etidokain

Etidokain dalam konsentrasi 1,5% dengan 1:200.000 epinefrin telah digunakan dalam
prosedur bedah mulut. Ia memiliki masa kerja yang lebih lama dari lidokain 2% dengan
epinefrin 1:100.000 bila digunakan sebagai anestesi blok tetapi tidak seefektif lidokain dengan
epinefrin saat digunakan untuk anestesi infiltrasi.

7. Ropivakain

17
Ropivakain dikembangkan setelah bupivakain tercatat dikaitkan dengan serangan
jantung, terutama pada wanita hamil. Ropivakain ditemukan memiliki kardiotoksisitas kurang
dari bupivakain. Ropivakain diindikasikan untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, blok saraf,
epidural dan anestesi intratekal pada orang dewasa dan anak di atas 12 tahun. Karakteristiknya,
yaitu memiliki mula kerja dan masa lama kerja yang sama dengan bupivakain, dengan
potensinya yang lebih rendah sedikit.

8. Kokain

Kokain merupakan anestetikum lokal yang pertama digunakan dalam dunia kedokteran.
Bahan anestetikum lokal yang alami dan merupakan ester asam benzoat dengan basa yang
mengandungi nitrogen (N). Efek kokain yang paling penting bila digunakan secara lokal yaitu
menghambat hantaran saraf. Efek sistemik yang paling mencolok yaitu rangsangan susunan saraf
pusat (SSP). Berdasarkan efek ini, kokain pernah digunakan secara luas untuk tindakan di bidang
optalmologi, tetapi kokain ini dapat menyebabkan terkelupasnya epitel kornea.

9. Prokain

Prokain disintesis dan diperkenalkan pada tahun 1905 dengan nama dagang novokain.
Selama lebih dari 50 tahun obat ini merupakan bahan terpilih untuk anestesi lokal, namun
kegunaannya tergantikan oleh anestetikum lain, lidokain yang ternyata lebih kuat dan lebih aman
dibanding dengan prokain. Larutan polos 2% prokain tidak memberikan efek anestesi pada pulpa
dan efek anestesi pada jaringan lunak 15 sampai 30 menit. Hasilnya didapatkan sifat vasodilatasi
yang mendalam. Prokain menghasilkan efek vasodilatasi terbesar dibandingkan dengan
anestetikum lokal lain. Maka lebih sulit untuk mempertahankan prokain karena meningkatnya
perdarahan sewaktu pembedahan. Prokain secara klinis mempunyai masa kerja yang lambat
karena daya penetrasinya yang kurang baik. Prokain digunakan untuk anestesi infilrasi, blok
saraf, epidural, kaudal, dan spinal.

10. Tetrakain

Tetrakain merupakan anestetikum lokal golongan ester yang mempunyai masa kerja yang
lama. Tetrakain adalah derivat asam para-aminobenzoat. Anestetikum lokal ini 10 kali lebih kuat
dan lebih toksik daripada prokain. Tetrakain menjadi salah satu anestesi topikal yang efektif.

18
Tetrakain mempunyai mula kerja yang lambat untuk anestesi topikal dan masa kerjanya adalah
sekitar 45 menit setelah anestesi topikal.

11. Levobupivakain

Levobupivakain merupakan isomer tunggal bupivakain dan memiliki keuntungan hanya


sedikit efek kardiotoksiknya. Telah terbukti bahwa bahan ini seefektif bupivakain dan
anestetikum lain. Penggunaannya sebagai injeksi intraoral pada saat anestesi umum dapat
mengurangi kebutuhan analgesik pasca operasi setelah pembedahan mulut. Levobupivakain ini
tersedia dalam konsentrasi antara 0,25-0,75%.

Toksisitas
Overdosis terhadap obat anestesi lokal dapat bermanifestasi pada system saraf sentral dan
sistem kardiovaskuler yang dapat disebabkan oleh kelebihan dosis obat, absorbs yang terlalu
cepat, injeksi masuk ke intravaskuler. Adapun gejala-gejala yang mungkin timbul antara lain
tinnitus, pusing, tremor, gelisah, mual muntah, delirium, kehilangan kesadaran, kejang otot,
kejang tonik klonik karena rangsangan sentral, nafas tidak teratur, gagal nafas, bradikardi,
hipotensi sampai dengan asistol, paralisis komplit dan koma. Absorbsi sistemik dari anestesi
lokal akan mengakibatkan efek pada sistem kardiovaskuler dan saraf pusat. Pada konstentrasi
dalam darah yang mendekati dosis terapi normal, maka perubahan konduksi jantung,
eksitabilitas, refraktoris toksis dalam darah akan menekan konduksi dan eksitabilitas jantung
yang memivu timbulnya blok atrioventrikuler, aritmia ventrikuler dan henti jantung yang fatal
(Stoelting, 2006 ; Rathmell, 2004 ; Huford, 2002)

SIMPULAN
Anestesia regional semakin sering digunakan pada anak dan dewasa terutama untuk
memfasilitasi jalannya operasi dan untuk menghilangkan nyeri pasca operatif. Perlu pengetahuan
anatomi yang mendasar, fisiologi dan farmakologi untuk melakukan prosedur anestesi lokal pada
pasien.

19
DAFTAR PUSTAKA

Covino, B.G., Scott, D.B. Lambert, D.H., 1994, Handbook Of Spinal Anesthesia and Analgesia,
W.B. Saunder Company, Philadelphia, p.11-145.
Edgcombe H., Hocking G. 2005. Local Anaesthetic Pharmacology. John Radcliffe Hospital,
Oxford, UK. www.anaesthesiaUK.com/worldAnaesthesia

Krane E.,J. 2002. Guideline For Pediatric Regional Anesthesia. Department Of Anesthesia &
Pain Management. Stanford University Medical Center.

Laidler, James R, Local Anesthetic Pharmacology in Weinberg, G.L, Basic Science Review of
Anesthesiology, International Edition, pp 33-41, McGraw Hill, USA, 1997

Lou, L., Sabar,R., Kaye, 2002. Local anesthesia in Raj, P., Textbook of Regional Anesthesia,
Churcchill Livingstone, p : 177-211.
Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks 2017.
Miller RD., 2005. Regional Anesthesia in Children , Millers Anesthesia. Sixth edition 1B,
Elsevier Churchill Livingstone, p 1446-1771.

Morgan, E.G., Mikhail, M.S., 2006. Regional Anesthesia in Clinical Anesthesiology, 4th edition,
Lange Medical Book.
Motiani, P., Chaudary, S., Bahl, M., Sethi, K., 2010. Intrathecal Sufentanil Versus Fentanyl For
Lower Limb Surgeries-Randomized Controlled Trial, www.Medind.nic.in
Prithvi Raj, P. 2002, Textbook of Regional Anesthesia, Churchill Livingstone, Philadelphia, p.
379-384.

Rathmell JP., 2004. Acute Pain in Regional Anesthesia ; The Requisites in Anesthesiology. Series
Ed. Elsevier Mosby. Philadelphia.

Stoelting RK, 2006, Local Anesthetic in Pharmacology and Physiology in Anesthesia Practice,
Lippicott Williams dan Wilkins, p : 179-203.

20

Anda mungkin juga menyukai