Anda di halaman 1dari 16

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

A. PENYELESAIAN SENGKETA DI PERADILAN UMUM


Sengketa konsumen disini dibatasi pada sengketa perdata. Masuknya suatu
sengketa/perkara ke depan pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim, melainkan
karena inisiatif dari pihak yang bersengketa dalam hal ini penggugat baik itu produsen
ataupun konsumen. Pengadilan yang memberikan pemecahan atas hukum perdata yang
tidak dapat bekerja di antara para pihak secara sukarela. Dalam hubungan ini Satjipto
Rahardjo mengatakan:
Pembicaraan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungan dengan proses peradilam
secara konvensional melibatkan pembicaraan tentang kekuasaan kehakiman, prosedur
berperkara dan sebagainya.
Isitilah “prosedur berperkara” didahului dengan pendaftaran surat gugatan di
kepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri. Sebelumnya, itu berarti surat gugatan
harus sudah dipersiapkan terlebih dahulu secara teliti dan cermat. Pasal 45 ayat (1)
UUPK menyatakan:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Peneyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
(4) Apabila telah dipillih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa

Melalui ketentuan Pasal 45 ayat (1) dapat diketahui bahwa untuk meneyelesaikan
sengeketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu:

1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha.
2. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberikan hak
mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UUPK adalah:

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.


2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya.
4. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.

Pada klasifikasi yang pertama, yaitu seorang konsumen (atau ahli warisnya) tentu saja
tidak ada yang istimewa dilihat dari ketentuan beracara. Hal yang menarik adalah
klasifikasi kedua dan seterusnya.

Pada klasifikasi kedua, gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama. Ketentuan ini harus dibedakan dengan gugatan
dengan mewakilkan kepada orang lain seperti diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR.
Penejelasan pasal 46 menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action.
Kemudian klasifikasi ketiga adalah lembaga swadaya masyarakat. Disini sipakai istilah
“lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”. Klasifikasi ketiga ini berkaitan
dengan legal standing.

Klasifikasi penggugat dalam sengketa konsumen yang keempat atau terakhir adalah
pemerintah dan / atau instansi terkait. Mereka baru akan menggugat pelaku usaha jika ada
kerugian materi yang besar dan / atau korban yang tidak sedikit. Namun, tidak disebutkan
apakah gugatan demikian masih diperlukan jika ada gugatan dari para konsumen, atau
dapat dilakukan bersamaan waktunya dengan gugatan dari pihak konsumen yang
termasuk klasifikasi-klasifikasi satu sampai tiga. Tampaknya, hal-hal itu tetap dibiarkan
tanpa penjelasan karena menurut ketentuan pasal 46 ayat (3), masalah itu masih
diperlukan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sebelum penyusunan surat gugatan hendaknya dipertimbangkan beberapa hal pertama,


menggali fakta-fakta dari konsumen termasuk siapa saja dari produsen yang terlibat
dalam sengketa tersebut. sebelum sengketa nya ditangani kuasa hukum biasanya pada
waktu mengadu keorganisasi konsumen atau instansi yang berkompeten, konsumen
sudah membuat kronologis permasalahan atas inisiatif sendiri, baik secara lisan atau
tertulis.

Kedua, mempelajari bukti-bukti yang dimiliki konsumen, termasuk disini surat-surat dan
saksi-saksi. Hasil penelitian/pengujian laboraturium untuk komoditas tertentu, seperti
makanan/minuman, otomotif/kendaraan, air minum (PAM), dan listrik (PLN),
sebenarnya dapat membantu mengungkap/membuktikan dalil-dalil gugatan konsumen.

Ketiga, kuasa hukum konsumen hendaknya menggali sejauh mungkin hal-hal apasaja
yang sudah dilakukan konsumen, misalnya menyurati produsen, wawancara degan media
masa/elektronik atau menulis surat pembaca dimedia masa. Ini penting guna
memperhitungkan kemungkinan adanya gugatan balik berupa pencemaran nama baik dari
produsen.

Keempat, menyangkut kompetensi/kewenangan mengadili secara absolute (atribusi


kekuasaan kehakiman diantara peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, atau
peradilan tata usaha negara) maupun kewenangan mengadili secara relative (diantara
peradilan sejenis, mana yang berwenang mangadili). Kompetensi relative ini menyangkut
mengenai kewenangan pengadilan sejenis untuk mengadili tergugat sesuai ketentuan
pasal 118 HIR.

Syarat-syarat surat gugatan tidak ditentukan secara limitative dalam ketentuan hukum
acara perdata (HIR/RBg). Dalam praktek berkembang setidaknya surat gugatan
memenuhi beberapa persyaratan berikut ini.

a. Syarat formal, meliputi :


1. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan
2. Pembubuhan meterai
3. Tanda tangan penggugat sendiri atau kuasa hukumnya.

Dalam praktik, semula surat gugatan tidak dibubuhi meterai. Kemudian, muncul
praktik disejumlah pengadilan bahwa surat gugatan dibubuhi meterai. Dipengadilan negri
Jakarta Selatan, surat gugatan baru diberi nomor perkara stelah dibubuhi meterai.

b. Syarat substansial/material, meliputi:


1. Identitas pengugat / para penggugat dan tergugat / para tergugat
2. Posita / fundamentum petendi (dalil-dalil kongkret/alasan-alasan yang
menunjukkan perikatan berdasarkan perjanjian atau perbuatan melawan hukum
guna mengajukan tuntutan).
3. Petitum (hal-hal yang dimohonkan penggugat / para penggugat untuk diputuskan
oleh hakim / pengadilan).

Dalam praktik uraian dalam posita menyangkut fakta-fakta hukum (uraian mengenai hal-
hal yang menimbulkan sengketa), objek, sengketa/perkara (tanah, perjanjian, dan
sebagainya), kualifikasi perbuatan terugat/para tergugat (wanpres-tasi, perbuatan
melawan hukum, perbuatan melawan hukum penguasa), uraian mengani kerugian, serta
perlunya tindakan untuk menjamin gugatan penggugat (sita jaminan) bila gugatan
penggugat dimenangkan.

Mengenai petitumnya, penggugat dapat pengajukan petitum primer dan petitum


subsidair. Petitum primer memuat hal-hal pokok yang dimohonkan penggugat untuk
dikabulkan pengadilan, sedangkan petitum subsidair memberi kebebasan kepada hakim
untuk mengabulkan lain dari petitum primer.
Yusuf Shofie berpandangan untuk permasalahan konsumen dengan lembaga pengadilan
tidak diketahui dengan pasti secara kuantitatif. Namun demikian, ada saja pertimbangan-
pertimbangan hakim yang bernuansa perlindungan konsumen meskipun minim. Dalam
perkara merek Kamper Bagus dan Lily Ball (Putusan Mahkamah Agung Nomor 3994
K/Pdt/1985 tanggal 9 September 1987. Mahkamah Agung memberikan catatan tentang
perlindungan konsumen terhadap perbuatan-perbuatan yang lazim disebut unfair trade
practices dari para produsen. Juga, dalam masalah kehilangan kendaraan sepeda motor di
tempat parkir, Mahkamah Agung menghukum pengusaha parkir untuk membayar
kerugian pemilik sepeda motor melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 3416
K/Pdt/1985 tanggal 28 Januari 1987 jo Putusan PT Yogyakarta Nomor 19/1983/Pdt/PT.Y
tanggal 31 Desember 1984 jo Putusan Pengadilan Negeri Sleman No.
1/1982/Pdt/G/PN.SLM tanggal 10 Agustus 1982. Konstruksi yang digunakan dalam
perjanjian baku ini, yaitu perjanjian penitipan.

Minimnya masalah-masalah konsumen di pengadilan (tidak termasuk di luar pengadilan)


mungkin disebabkan sikap konsumen Indonesia yang enggan beperkara di pengadilan.
Penyebab keengganan mereka meminta keadilan dari pengadilan disebabkan oleh yang
bersifat yuridis-politis-sosiologis:

Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas putusan-putusannya. Sering
terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus yang serupa. Dalam
kasus-kasus beskala nasional saja, pengadilan belum mampu bersikap konsisten,
bagaimana dengan kasus-kasus konsumen pada era perdagangan bebas yang bersuasana
internasional.

Kedua, konsumen enggan beperkara di pengadilan padahal telah (sangat) dirugikan


pengusaha. Keengganan mereka sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen pada 20 April 1999, lebih didasarkan pada:

a. Belum jelasnya norma-norma perlindungan konsumen (sebelum diundangkannya


Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)
b. Peradilan kita yang belum sederhana, cepat dan biaya ringan
c. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar.

Ketiga, tarik-menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang bukan
konsumen, yang memiliki akses kuat di berbagai bidang, termasuk akses kepada
pengambil keputusan. Yang terakhir ini secara sosiologis berada di laur jangkauan
hukum. Kalaupun hukum mampu menjangkaunya itu pun hanya sebatas pada mereka
yang menjadi tumbal (spacegoat) tarik-menarik kepentingan tersebut.

Yusuf Shofie berpendapat secara teroritis, dapat saja. Dari perspektif konsumerisme
kalah atau menang bukan itu tujuannya. Tujuannya, yaitu perbaikan nasib kebanyakan
konsumen, terutama yang berakses lemah terhadap hukum apalagi di negara-negara yang
belum menempatkan konsumennya sebagai subjek hukum. Adapun bagaimana
pengadilan menjalankan fungsinya tidak akan sama dari masa ke masa. Diharapkan
semakin bertambah terobosan-terobosan baru melalui pengadilan, untuk menyuarakan
rasa keadilan masyarakat konsumen. Hendaknya pengadilan tidak lagi hanya menunggu
undang-undang sebagai dasar hukum mengadili sengketa/perkara yang diajukan para
pencari keadilan. Sudah bukan saatnya lagi pengadilan hanya sebagai “corong” undang-
undang. Di tengah krisis moneter ini, dapat saja pengadilan membuat terobosan baru atas
kemungkinan penyalahgunaan krisis moneter sebagai alasan force majeur dari
produsen/pengusaha

B. PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN


Asas hukum yang berbunyi point d’interet, point d’action (tiada kepentingan, maka tidak
ada saksi) menggambarkan bahwa gugatan diajukan untuk mempertahankan hak
(kepentingan) orang atau badan hukum yang dilanggar. O;eh karena itu, apabila
seseorang tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak dapat mengajukan gugatan. Pada
umumnya, suatu gugatan diajukan oleh seseorang atau beberapa orang pribadi untuk
kepentingan mereka, atau juga oleh satu atau beberapa badan hukum untuk kepentingan
badan hukum itu sendiri, yang dapat diwakilkan kepada seseorang atau beberapa orang
kuasa. Kompetensi ini didasarkan pada kualitas mereka sebagai persona standi in judicio,
yang memberikan kewenangan dalam hukum untuk bertindak sebagai pihak dalam suatu
proses perkara perdata, baik sebagai pihak yang menggugat maupun sebagai pihak yang
digugat.
Di Indonesia, peneyelesaian sengketa di luar peradilan atau yang lebih dikenal dengan
Alternative Dispute Resolution (ADR) mempunyai daya tarik khusus karena
keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat.
Beberapa hal di bawah ini merupakan keuntungan yang sering muncul dalam ADR,
yaitu:
(1) Sifat kesukarelaan dalam proses
(2) Prosedur yang cepat
a. Keputusan nonyudisial
b. Kontrol tentang kebutuhan organisasi
c. Prosedur rahasia (confidential)
d. Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat peneylesaian masalah
e. Hemat waktu
f. Hemat biaya
g. Pemeliharaan hubungan
h. Tingginya kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan
i. Kontrol dan lebih mudah memperlihatkan hasil
j. Keputusan bertahan sepenjang waktu
Menurut pasal 47,yang berbunyi “ Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan /atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau
tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.”

Penjelasannya,” Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis
yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan
konsumen tersebut.”

Ketentuan pasal 47 ini tidak jelas, apabila penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan (agreement), maka logika
hukum akan menunjuk bentuk penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi oleh
BPSK, dan bukan secara arbitrase oleh karena hasil akhir penyelesaian melalui arbitrase
adalah putusan.

Selanjutnya mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa telah diatur dalam


Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi:

Arbitrae adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.

Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa menurut Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi:

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda


pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Menurut Altschul, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ialah:

Suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis swasta yang disepakati oleh para pihak dengan
tujuan menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas dan meniadakan pemeriksaan
yang bertele-tele ( a trial of a case before aprivate tribunal agreed to by the parties so as
to save legal costs, avoid publicity, and avoid lengthy trial delays).

Kemudian berdasarkan isi Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 di
atas, maka alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara berikut:

1. Konsultasi
Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara
suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan
pihak “konsultan” yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk
memenuhi keperluan klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan
kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat, artinya klien bebas untuk menerima
pendapatnya atau tidak.
2. Negosiasi
Negosiasi adalah proses konsesus yang digunakan para pihak untuk memperoleh
kesepakatan di antara mereka. Negosiasi menurut Roger Fisher dan William Ury
adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat
kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda.
Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk
mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga penengah yang tidak
berwenang mengambil keputusan (mediasi) dan pihak ketiga pengambil keputusan
(arbitrase dan litigasi).
3. Mediasi
Dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan bahwa ats
kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui
bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator.
Menurut Riskin dan Wesbrook mediasi merupakan:
Mediation is an informal process in which a neutral third party helps other resove
a dispute or plan a transaction but does not (and ordinarily does not have the power
to) impose a solution.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mediasi merupakan proses negosiasi
pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama
dengan pihak yang bersengketa untuk membanru memperoleh kesepakatan perjanjian
dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.
Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan
kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk menyetarakannya.
Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi karena pihak yang bersengketa berhasil
mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa
tanpa arahan konkret dari pihak ketiga.
4. Konsiliasi
Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam Pasal
1851 KUH Perdata. Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa diluar
pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar
pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakannya proses peradilan (litigasi), melainkan
juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun
di luar pengadilan. Dalam konsiliasi pihak ketiga mengupayakan perdamaian. Pihak
ketiga selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan para
pihak yang berselisih, konsiliator biasanya tidak terlibat secara mendalam atas
substansi dari perselisihan. Ketentuan tentang konsiliasi dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (10) dan alinea ke-9 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999. Hasil dari kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama
oleh para pihak yang bersenketa, dan didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan
tertulis dari konsiliasi ini bersifat final dan mengikat para pihak.
5. Penilaian Ahli
Yang dimaksud dengan penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase.
Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi:
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa
untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu
dalam hal belum timbul sengketa.
Dalam suatu bentuk kelembagaan, arbitrase ternyata tidak hanya bertugas untuk
menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi di
antara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan
konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak
yang melakukannya. Oleh sebab itu, pendapat tersebut diberikan atas permintaan dari
para pihak secara bersama-sama dengan melalui mekanisme sebagaimana halnya
suatu penunjukan (lembaga) arbitrase untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau
sengketa, maka pendapat hukum ini juga bersifat final. Sebenarnya sifat dari pendapat
hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase ini termasuk dalam pengertian atau
bentuk putusan lembaga arbitrase.
Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen yang sering terjadi adalah tuntutan
hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa dirugikan oleh suatu produk
barang dan jasa. Dalam kaitan ini, setidak-tidaknya ada tiga masalah yang sering
menjadi bahan diskusi, yakni:
1. Masalah prinsip ganti rugi yang di dalamnya mencakup sistem pembuktian.
2. Masalah lembaga tempat penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya peranan
lembaga-lembaga di luar pengadilan.
3. Yang akhir-akhir ini sering dibicarakan adalah cara mengajukan tuntutan hak
(gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok
(class/representative action).

Secara bebas dapat diartikan suatu class action adalah suatu cara yang diberikan
kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik
seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok
tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok.

Kriteria untuk menentukan suatu perkara dapat tidaknya menjadi class action:

a. Orang yang terlibat sangat banyak, dengan kelompok yang jelas.


b. Adanya kesamaan tuntutan dari suatu fakta dan hukum yang sama dan sejenis.
c. Tidak memerlukan kehadiran setiap orang yang dirugikan.
d. Upaya class action lebih baik daripada gugatan individual.
e. Perwakilan harus jujur, layak dan dapat melindungi kepentingan orang yang
diwakili.
f. Disahkan oleh pengadilan.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 menerapkan konsep class action


sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46, yang antara lain menyatakan, bahwa
gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh “sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. “Pasal ini pun menyatakan
bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen diajukan kepada
peradilan umum (ayat(2)). Di dalam penjelasan Pasal 46 tersebut dinyatakan
bahwa undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action harus
diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara
hukum, yang salah satu di antaranya adalah adanya bukti transaksi. Dengan
demikian menurut undang-undang ini, class action diajukan oleh konsumen
apabila memenuhi ketentuan bahwa:

1. Konsumen benar-benar dirugikan.


2. Secara hukum dapat dibuktikan.

1. Prosedur Class Action pada Penyelesaian Masalah Konsumen


Gugatan kelompok atau lebih lazim disebut class action atau class representative
adalah pranata hukum yang berasal dari sistem Common Law. Walaupun demikian, di
banyak negara penganut Civil Law, prinsip tersebut diadopsi, termasuk dalam UUPK
Indonesia.
Class action merupakan instrumen hukum yang dapat menjamin tuntutan ganti
kerugian yang bersifat massal. Di negara maju seperti Amerika class action
mempunyai tujuan, yakni
One of the goals of the class action lawsuit is to compense large number of
similarly situated individuals who have been injured as a result of the conduct of a
defendants. Such a class action serves several purpose, but two are paramount. First,
the class action allows for a collective suit brought on behalf of individuals whose
injuries may not be large enough to justify the expense of individiual litigation.
Second, the class action provides for the efficient use of judicial and litigant resource
by consolidating several claims involving one or more common question of fact or
law. Thus, the needs of class action plaintiffs, the liability of defendants, and the
goals of an efficient and just society are served by the class action lawsuit.
Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu cara pengajuan gugatan, dalam mana
satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau
diri mereka sendiri sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak,
yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota
kelompok dimaksud. Namun, konsep tersebut belum memberikan penjelasan terhadap
beberapa rumusan gugatan perwakilan yang dituangkan dalam beberapa undang-
undang.
Walaupun baru dimasukkan dalam UUPK, tidak berarti gugatan-gugatan konsumen
selama ini belum mencoba menggunakan prinsip class action. Gugatan class action di
Indonesia pernah diajukan oleh pengacara R.O. Tambunan terhadap PT Bentoel
dalam kasus “Bentoel Remaja”; kemudian gugatan Mochtar Pakpahan dalam kasus
“Demam Berdarah” di DKI Jakarta. Juga tercatat kasus lain, yaitu gugatan warga atas
pencemaran sungai Ciunjung dan gugatan YLKI atas pemadaman listrik oleh PLN.
UUPK mengakomodasikan gugatan kelompok (class action) ini dalam Pasal 46 ayat
(1) huruf (b). Ketentuan itu menyatakan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
Penjelasan dari rumusan itu menyatakan, gugatan kelompok tersebut harus diajukan
oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah
satu diantaranya adanya bukti transaksi.
Prinsip class action berbeda dengan legal standing. Umumnya class action wajib
memenuhi empat syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam Pasal 23 US Federal of
Civil Procedure meliputi:
1. Numerosity (jumlah orang yang mengajukan harus sedemikian banyaknya).
Persyaratan ini mengharuskan kelas yang diwakili (class members) sedemikian besar
jumlahnya karena apabila gugatan diajukan satu demi satu (individual) sangat tidak
praktis dan tidak efisien.
2. Commonality (kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta maupun question of law
antara pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili.
3. Typically, artinya tuntutan (bagi penggugat) maupun pembelaan (bagi tergugat) pada
class action haruslah sejenis.
4. Adequancy of Representation (kelayakan perwakilan), artinya mewajibkan
perwakilan kelas (class representative) untuk menjamin secara jujur dan adil serta
mampu melindungi kepentingan pihak yang diwakili.

Selanjutnya Federal Blue secara umum mengatur terhadap 3 (tiga) hal yaitu:

1. Class action dapat merupakan class action sebagai penggugat maupun class
action sebagai tergugat.
2. Class action memberikan otorisasi dalam mengajukan permohonan yang tidak
terkait dengan ganti rugi uang (injuntive atau declaratory relief).
3. Class action yang memberikan dasar tuntutan ganti rugi uang (damage class
action).

Mekanisme penentuan apakah suatu gagasan dapat dikategorikan sebagai class


action atau kah gugatan biasa melalui mekanisme judicial certification atau
prepliminary certification test. Juga diatur pada tahap awal, hakim akan
melakukan penilaian tentang isu hukum dan faktual yang dipersoalkan,
kemampuan pengacara, dan motivasi para pihak beserta pengacara. Penilaian
(prepliminary certification test) bersifat fleksibel dan bergantung pada diskresi
hakim. Tujuan preliminary certification test mencakup:

1. Apakah gugatan memenuhi kriteria atau kondisi dasar untuk pengajuan


class action.
2. Apakah class action merupakan upaya yang benar-benar efesien dan
berpegang pada prinsip keadilan (fair).
3. Apakah pihak yang mewakili secara jujur dan sungguh-sungguh dapat
melindungi kepentingan pihak yang diwakili.

2. Legal standing untuk LPKSM


Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima kemungkinan proses
beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Hak
yang memiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM (NGO’s standing).
Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c:
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas,tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Dalam definisi yang diberikan oleh Pasal 1 angka 9 UUPK, jelas ada keinginan agar
setiap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) itu
diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran dan pengakuan
itu, ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak dalam proses beracara di
pengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing LPKSM.
Kembali kepada persoalan legal standing ini. Selain dalam UUPK, NGO’s legal
standing ternyata juga diterima dalam Undang-Undang No. 23 Tahun1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang yang disebutkan terakhir ini
menamakan NGO’s legal standing ini dengan sebutan “hak gugat organisasi
lingkungan”
Pasal 38 UU No. 23 Tahun 1997 menyatakan:
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup
sesuai dengan pola kemitraan,organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan
gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud ayat (1) terbatas pada
tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti
rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) jika memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum atau yayasan.
b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
c. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya

Pasal 39 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 selanjutnya menyatakan: Tatacara


pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau
organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.

Dibandingkan dengan UUPK, uraian dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan


Hidup jauh lebih rinci. Penjelasan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, misalnya, secara tegas menyatakan, gugatan yang diajukan oleh
organisasi lingkungan hidup tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan
hanya terbatas gugatan lain, yaitu:

a) Memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkan untuk melakukan


tindakan hukum tertentu yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
b) Menyatakan seseorang melakukan perbuatan melanggar hukum karena
mencemarkan atau merusak lingkungan hidup.
c) Memerintahkan seseorang yang melakukan usaha/atau kegiatan untuk membuat
atau memperbaiki unit pengolahan limbah. Yang dimaksud dengan biaya atau
pengeluaran rill adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan dikeluarkan oleh
organisasi lingkungan hidup.

Penjelasan Pasal 38 ayat (3) juga memuat uraian yang cukup baik, yang tidak ditemukan
dalam UUPK. Penjelasan tersebut menyatakan:

Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan lingkungan


hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan sebagaimana lingkungan hidup diakui
memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke
pengadilan, baik ke peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara, tergantung
pada kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memerilksa dan mengadili perkara
yang dimaksud.
Penjelasan ini dapat pula digunakan untuk memahami maksud Pasal 46 UUPK.
Tampaknya pembentuk UUPK banyak mengambil referensi pada Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Untuk memiliki legal standing tersebut LPKSM yang menjadi wakil konsumen harus
tidak berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Inilah perbedaan pokok
antara gugatan berdasarkan class action dan NGO’s legal standing. Oleh karena itu,
unsur commonality dan typically tidak dipersyaratkan dalam NGO’s legal standing.
Selanjutnya, syarat adequancy of representation dalam NGO’s legal standing tidak lagi
diserahkan sepenuhnya kepada penilaian hakim, melainkan ada kondisi objektif, yaitu
harus memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK atau Pasal 38 ayat (3)
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam sejarah peradilan di Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)


merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang banyak mengajukan gugatan atas
dasar NGO’s legal standing,walaupun dalam pokok perkaranya Walhi dikalahkan.
Waktu itu, Walhi menggugat Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat, Gubernur
Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri
Kehutanan, dan PT Inti Indorayon di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

3. Small Claim Court


Konsep small claim court merupakan suatu usaha untuk membantu konsumen dalam
mendapatkan perlindungan hukum dengan menerapkan asas hukum beperkara dengan
murah, cepat, sederahana, dan biaya ringan. Hal ini disebabkan oleh small claim court
adalah semacam peradilan kilat, dengan hakim tunggal, tanpa ada keharusan
menggunakan pengacara, berbiaya ringan, dan tidak ada upaya hukum banding.
Sengketa konsumen pada umumnya mempunyai nilai nominal yang kecil, sehingga
tidak praktis apabila gugatan untuk meminta ganti rugi dilakukan melalui peradilan
umum. Peradilan umum selain mahal juga membutuhkan waktu yang relatif lama
dan prosedurnya yang cukup rumit. Adanya small claim court diharapkan mampu
memberikan akses kepada konsumen untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku
usaha, meskipun nilai nominal yang disengketakan sangat kecil.
Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK untuk mendapatkan
kesepakatan dari pelaku usaha (tergugat) mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
serta untuk tidak terjadinya kesalahan yang sama maka di dalam Pasal 45 UUPK
dicantumkan bahwa:
1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melaui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang.
4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para yang
bersengketa.

Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempunyai


kewajiban menjaga ketertiban jalannya persidangan (Pasal 27 SK
Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, yaitu:
a) Persidangan dengan cara konsiliasi
b) Persidangan dengan cara mediasi
c) Persidangan dengan cara arbitrase

Ad.1. Persidangan dengan cara konsiliasi

Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK
ditangani Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bersikap pasif dalam
persidangan dengan cara konsilisasi. Sebagai pemerantara antara para pihak yang
bersengketa, Majelis BPSK bertugas (Pasal 28 SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001:

a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.


b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan.
c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
d. Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan konsumen.

Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara konsiliasi ada
2 (dua) (Pasal 29 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, proses
penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi
diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK bertindak pasif
sebagai konsiliato. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan
dalam bentuk keputusan BPSK.

Ad. 2. Persidangan dengan cara mediasi


Cara mediasi ditempuh atas iniasiatif salah satu pihak atau para pihak, sama
halnya dengan cara konsiliasi. Keaktifan Majelis BPSK sebagai pemeratan dan penasihat
Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara mediasi terlihat dari tugas Majelis
BPSK, yaitu

a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.


b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan.
c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
d. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
e. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen
sesui dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.

Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan cara mediasi ada 2
(dua) (Pasal 31 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001/. Pertama , proses
penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi
diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK bertindak aktif
sebagai mediator dengan memberikan nasihat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain
dalam menyelesaikan sengleta. Kedua, hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha
dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.

Ad. 3. Persidangan dengan cara arbitrase

Pada persidangan dengan cara ini para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada
Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi.
Proses pemilihan Majelis BPSK dengan cara arbitrase ditempu melaui 2 (dua) tahap
(Pasal 32 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. Pertama, para pihak memilih
arbitor dari anggota BPSk yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai
anggota Majelis BPSK. Kedua, arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian
memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis
BPSK. Jadi, unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi Ketua Majelis.

Prinsip-Prinsip untuk Mencapai Efeltivitas Pelaksanaan UUPK

Demi terwujudnya pelaksanaan UUPK yang bernuansa keadilan dan kepastian


hukum bagi konsumen, maka pengaturan UUPK harus mencakup: (a) prinsip strict
liability dalam arti pelaku usaha bertanggung jawab langsung terhadap korban
produknya; (b) small claim court, sistem peradilan yang cepat, murah, dan sederhana.
Sistem ini sangat cocok bagi kondisi konsumen yang tergolong memiliki tingkat ekonomi
lemah. Perkara membutuhkan biaya perkara yang cukup besar dan memakan waktu; (d)
reformasi sistem pembuktian terbalik.

Disamping itu, ada dua jenis sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku
usaha/penjual,yakni:
a. Sanksi administrasi diatur dalam Pasal 60 UUPK, bahwa:
 Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administratif terhadap pelaku usaha.
 Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
 Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dalam perundang-undangan.
b. Sanksi pidana pokok diatur dalam Pasal 61 UUPK bahwa:
 Pelaku usaha dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima
tahun) atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
 Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
c. Sanksi pidana tambahan diatur dalam Pasal 63 UUPK berupa:
 Perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim, pembayaran
ganti rugi, pemerintah kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran atau
pencabutan izin usaha.

Anda mungkin juga menyukai