Anda di halaman 1dari 13

Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan Sakitnya


Soekarno Saat Membacakannya
18 Agustus 2017 12:01 Diperbarui: 19 Agustus 2017 09:20 1 7 1

Tanggal 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima, Jepang,
kemudian pada tanggal 9 Agustus di Nagasaki, akibatnya pada 15 Agustus 1945 Jepang pun
menyatakan menyerah kalah tanpa syarat kepada sekutu.

Di Jakarta, Soekarno (bersama Mohammad Hatta) yang baru saja pulang dari Saigon, Vietnam,
untuk memenuhi undangan penguasa Jepang untuk merunding mengenai cara Jepang
menyerahkan kemerdekaan kepada Indonesia, dipaksa oleh para pemuda pejuang untuk hari itu
juga memimpin mereka angkat senjata melucuti tentara Jepang, untuk merebut kemerdekaan,
sebelum nanti Jepang menyerahkan status quo Indonesia kepada sekutu, dan sekutu
menyerahkannya kepada Belanda kembali. Mereka juga menghendaki kemerdekaan Indonesia
itu diperoleh dari usaha sendiri, bukan berupa pemberian (hadiah) dari Jepang, sebagaimana
dijanjikan Jepang.

Namun, Soekarno tidak mau memenuhi permintaan para pemuda pejuang yang berdarah panas
itu, karena ia berpikir bukan caranya begitu kita merebutkan kemerdekaan kita dari Jepang.
Karena jika cara-cara emosional itu yang dipakai untuk melawan Jepang, tanpa berpikir panjang
dan tanpa perhitungan yang benar-benar matang, maka meskipun Jepang sudah menyerah kalah
kepada sekutu, tetapi di Jakarta, jika diserang secara militer tentu akan timbul perlawanan dan
peperangan, sedangkan kekuatan militer Jepang masih jauh lebih kuat daripada para pejuang itu.
Sehingga besar kemungkinan yang terjadi justru pertumpahan darah secara besar-besaran,
sedangkan tujuan kemerdekaan bisa justru tak tercapai.

Demikianlah terjadi pertentangan pendapat antara angkatan tua yang diwakili oleh antara lain
Soekarno dengan angkatan muda Indonesia yang diwakili antara lain oleh Soekarni dan Wikana,
tentang cara mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia, setelah Jepang kalah perang dan
menyerah kepada sekutu.

Angkatan muda yang lebih menuruti darah panasnya, tak sabar, ingin dengan cara cepat, mengira
dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu, otomatis mereka akan dengan mudah dapat
menaklukkan militer Jepang di Indonesia dengan cara kekerasan, yaitu dengan kontak senjata.

Sedangkan angkatan tua, yang jauh lebih berpengalaman, memilih cara pendekatan diplomatis
terhadap Gunseikan (penguasa militer Jepang) agar dapat membiarkan rakyat Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya sendiri.

Konflik tersebut dikisahkan Soekarno di dalam bukunya biografinya: Soekarno, Penyambung


Lidah Rakyat Indonesia. Betapa ia begitu marah terhadap sikap para pejuang muda yang
dipimpin oleh Wikana dan Sukarni itu yang terus mendesak dia agar segera hari itu juga
memimpin para pejuang untuk memberontak, merebutkan persenjataan Gunseikan, dan
mengambil-alih kekuasaan, dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Terjadi perdebatan yang sengit, sampai-sampai beberapa pemuda yang mempersenjatai dirinya
dengan pisau dan golok mengejek dan mengancam Soekarno. Soekarno disebut penakut, dan
disindir menunggu perintah dari Tenno Heika (Kaisar Hirohito).

Dengan menggerakkan pisau yang dipegangnya ke arah Soekarno, Wikana berkata: "Kita tidak
ingin mengancammu, Bung. Revolusi berada di tangan kami serang dan kami
MEMERINTAHKAN Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu ..."

"Lalu apa?" teriak Soekarno sambil meloncat berdiri dari kursinya dengan kemarahan meluap-
luap. "Jangan aku diancam. Jangan aku diperintah. Engkau harus mengerjakan apa yang
kuingini. Pantangku untuk dipaksa menurut kemauanmu."

Dengan melakukan gerakan menggorok leher dengan tangannya, Soekarno berkata lagi kepada
para pemuda itu: "INI, ini kudukku. Boleh potong, ... ayo! Boleh penggal kepalaku ... engkau
membunuhku, tapi jangan kira aku bisa dipaksa untuk mengadakan pertumpahan darah yang sia-
sia, hanya karena hendak menjalankan sesuatu menurut kemauanmu."

Setelah suasana tenang kembali, Soekarno menjelaskan bahwa di Saigon, ia telah memikirkan
dan memilih memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Para muda itu
bertanya, kenapa harus menunggu sampai tanggal 17, kenapa bukan hari ini juga, atau besoknya
saja (tanggal 16).

Soekarno menjelaskan, ia seorang yang percaya mistik. Ia tidak dapat menjelaskan secara akal
sehat kenapa tanggal 17 yang diapilih. Yang dirasakan adalah dua hari lagi itu adalah hari yang
terbaik. Angka 17 adalah angka keramat dan suci. Karena, saat itu sedang berada dalam bulan
Ramadhan, waktunya umat Islam berpuasa.

Soekarno menjelaskan, hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah Jumat Legi. Jumat yang
berbahagia, yang suci. Al Qur'an diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 raka'at
dalam sehari. Mengapa Nabi Mohammad memerintahkan 17 raka'at, bukan 10 atau 20 raka'at?
Oleh karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.

Pertemuan dengan para pemuda pejuang itu berakhir.

Namun, keesokan harinya, dini hari tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda berseragam dipimpin
oleh Soekarni yang memegang pistol kembali menemui Soekarno di rumahnya itu. Mereka
kembali memaksa Soekarno agar hari itu juga memimpin mereka melakukan gerakan
pemberontakan bersenjata melawan Jepang, dan memproklamasikan kemerdekaan.

Kembali terjadi perdebatan sengit di antara Soekarno dengan para pemuda yang bersenjata
pistol, pisau dan pedang itu. Tapi, Soekarno bersikeras tidak mau memenuhi permintaan para
pemuda itu, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk "menculik" Soekarno, untuk diamankan
dari incaran dan pengaruh Jepang, karena katanya, ribuan pejuang segera akan melakukan
gerakan pemberontakan hari itu juga (yang belakangan tidak terbukti, tidak ada gerakan
bersenjata apapun untuk melawan militer Jepang).

Para pemuda itu lalu membawa Soekarno bersama istrinya, Fatmawati, dan bayi laki-lakinya,
Guntur, meninggalkan rumahnya. Saat keluar rumah, ternyata sudah ada juga Mohammad Hatta
di mobil. Kedua tokoh besar itu dibawa bersama-sama oleh para pemuda pejuang itu ke
Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.

Di Rengasdengklok, mereka menempatkan Soekarno dan Mohammad Hatta di sebuah rumah


petani yang jauh dari jalan raya, di tepian sungai Citarum.

Soekarno menggambarkan rumah itu sebagai sebuah rumah petani Tionghoa yang jauh dari jalan
raya, di tepian sungai, yang tidak menarik perhatian, tidak jauh dari asrama PETA,
pekarangannya penuh dengan babi. Anak pemiliknya adalah sahabat baik dari seorang Letnan.
Letnan itu sudah berbicara dengannya, meminta agar meminjamkan rumah orangtuanya itu
kepada para pemuda pejuang untuk dipakai bermalam tamu penting dari Jakarta.

Saat tiba di rumah itu, Letnan itu masuk ke dalam rumah, tak lama kemudian dengan patuh,
pemilik rumah bersama seluruh keluarganya, yang terdiri dari tujuh orang, termasuk bayi-bayi,
pindah ke rumah anak tertuanya yang tidak jauh dari situ.

Rumah tersebut milik seorang petani Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong (wafat 1964).

Rumah Djiaw Kie Song yang bersejarah itu masih ada sampai sekarang, hanya saja pada 1957,
rumah itu dibongkar dan dibangun kembali sekitar 250-500 meter dari lokasi sebenarnya, karena
untuk menghindari abrasi sungai. Semua bagian dari rumah tersebut adalah asli sama dengan saat
Soekarno dan Mohammad Hatta bermalam di sana.
Sekarang, rumah itu dijadikan museum bersejarah, lengkap dengan dua kamar yang pernah
dipakai Soekarno dan Mohammad Hatta, ranjang dan perabot lainnya masih asli. Salah satu cucu
dari Djiaw Kie Song, Djiauw Kwin Moy atau Iin tinggal di bagian belakang rumah tersebut.

Sementara itu di Jakarta, para anggota badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia sedang
kebingungan mencari Soekarno, setelah ditanya ke sana-kemari, barulah mereka tahu bahwa
ternyata Soekarno dan Mohammad Hatta sudah "diamankan" oleh para pemuda pejuang di
Rengasdengklok.

Salah satu anggota Badan Persiapan Kemerdekaan itu, Achmad Subardjo, yang dekat dengan
angkatan muda pejuang, dan angkatan tua pejuang, menjalankan tugasnya sebagai penghubung
di antara kedua angkatan yang berbeda paham tentang cara memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia itu. Akhirnya, berhasil dicapai kata sepakat, untuk membawa kembali Soekarno dan
Mohammad Hatta ke Jakarta, untuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Soekarno dan Mohammad Hatta dibawa kembali ke Jakarta, pada 16 Agustus 1945 malam.

Selain dekat dengan angkatan muda dan angkatan tua pejuang, Subardjo juga dekat dengan
Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan
Angkatan Darat. Maeda sangat bersimpatik besar dengan semangat kemerdekaan para pejuang
itu. Berkat hubungan baik tersebut, dan pendekatan diplomatis angkatan tua yang dipimpin
Soekarno, Laksamana Muda Maeda bersedia meminjamkan rumahnya untuk digunakan para
pejuang mempersiapkan segala sesuatu tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Kolonel Nishimura dari Gunseikan berkeberatan dengan maksud para pejuang Indonesia yang
hendak memproklamasikan kemerdekannya itu. Kepada Soekarno yang berunding dengannya, ia
berkata, Gunseikan tidak bisa mengizinkan proklamasi itu dilakukan, karena Jepang sudah
menyerah kepada sekutu, sehingga status Indonesia adalah status quo, yang harus diserahkan
Jepang kepada sekutu ketika sekutu datang ke Indonesia. Tetapi, Soekarno tetap bersikeras
proklamasi harus tetap dilakukan sesuai dengan rencana. Akhirnya Kolonel Nishimura pun
membiarkannya, dental mengutus wakilnya, Miyoshi uituk mengawasi jalannya proses
proklamasi itu di rumah Laksmana Muda Maeda.

Di rumah Maeda inilah, pada tanggal 17 Agustus 1945, Jumat Legi, sekitar pukul 3 dini hari hari,
naskah Proklamasi dirumuskan bersama oleh Soekarno, Hatta, dan Soebardjo, disaksikan oleh
Miyoshi, Soekarni, dan B.M Diah, seorang penyiar Radio Hosokyoku. Tokoh-tokoh lainnya
menunggu di serambi depan rumah.

Kalimat pertama naskah Proklamasi berasal dari Soebardjo, dan kalimat terakhirnya berasal dari
Mohammad Hatta, dan ditulis tangan oleh Soekarno, dan diketik oleh Sayuti Melik.

Saat mengetik naskah Proklamasi itu, Sayuti memperbaiki tulisan Soekarno, "tempoh" menjadi
"tempo"; dan mengganti "17-8-05" menjadi "hari 17 boelan 8 tahoen '05; "wakil-wakil bangsa
Indonesia" menjadi "atas nama bangsa Indonesia".

Tahun '05 ditulis berdasarkan kalender kekaisaran Jepang, bukan singkatan dari tahun 1945.
Sistem penanggalan ini sama dengan sistem penanggalan masehi, hanya lebih cepat 660 tahun.
Angka ini didapat dari tahun Kaisar Jimmu naik tahta (660SM).

"Indonesia pakai sistem penanggalan ini, karena saat itu negara yang punya sistem penanggalan
sendiri dipandang negara beradab," terang Pemandu Jakarta Good Guide, Candha dalam
Menteng Walking Tour, Minggu (18/10/2015), sebagaimana dikutip Kompas.com.

Naskah Proklamasi tulisan tangan Soekarno, tidak mencantumkan nama dari "wakil-wakil
bangsa Indonesia". Setelah diketik Sayuti Melik barulah nama itu: "Soekarno-Hatta"
dicantumkan. Ini pun ada kisahnya.

Menurut Mohammad Hatta di dalam bukunya "Menuju Gerbang Kemerdekaan (Untuk Negeriku
#3)", sebelum dicantumkan nama dan ditandatangani Soekarno-Hatta itu, terjadi perdebatan
antara para tokoh yang hadir di situ, yang seluruhnya ada 29 orang, tentang nama siapa yang
harus ditulis mewakili bangsa Indonesia itu.

Hatta mengusulkan "atas nama bangsa Indonesia" itu disertai dengan nama dan tanda tangan dari
semua nama tokoh yang hadir, yaitu nama 29 orang yang hadir ketika itu, tetapi para pemuda
menghendaki lain, Soekarni menyatakan, tidak perlu seluruh nama dari mereka ditulis, tetapi
cukup nama Soekarno dan Mohammad Hatta saja, sebab merekalah yang selama ini memimpin
gerakan kemerdekaan Indonesia.

Soekarno, di dalam bukunya "Soekarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" berkisah, saat
perumusan naskah Proklamasi itu, mereka semua dalam kondisi yang sangat terburu-buru,
karena pada tanggal 17 Agustus itu juga Proklamasi sudah harus dibacakan. Tidak ada waktu
untuk mencari kata-kata yang pedih menggetarkan kalbu.
Naskah Proklamsi tulisan asli Soekarno, dan setelah diketik oleh Sayuti Melik (Wikipedia)
Kertas yang dipakai Soekarno untuk menulis teks Proklamasi itu pun, menurut Soekarno, hanya
dia sobek dari sebuah buku tulis yang disodorkan oleh seseorang kepadanya. Buku tulis itu
seperti buku tulis umumnya yang digunakan anak sekolah ketika itu, yaitu yang lembaran-
lembarannya bergaris-garis biru. Soekarno menyobek selembar dari buku itu, lalu menulis teks
Proklamasi tersebut. Mereka yang merumuskan teks Proklamasi itu bahkan tak berpikir untuk
menyimpan bolpen yang dipakai Soekarno menulis teks Proklamasi yang sangat bersejarah itu.
Soekarno mengaku, setelah menulis teks Proklamasi itu, ia meletakkan begitu saja bolpen yang
diapakai menulis itu di atas meja. Setelah itu tidak ada seorang pun yang tahu di mana bolpen itu
bread.

Bahkan lembaran yang ditulis tangan Soekarno itu pun sempat dibuang oleh Sayuti Melik,
setelah selesai mengetik teks Proklamasi tersebut. Untungnya, BM Diah memungutnya kembali
dan menyimpannya. Lembaran teks Proklamasi asli tulisan tangan Soekarno itu sempat hilang
selama sekitar 46 tahun, yang baru ditemukan kembali dan diserahkan kepada negara pada 1992.

Di dalam buku biografinya itu Soekarno mennggambarkan tentang bagaimana suasana


perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang sangat sederhana, apa adanya,
seolah-olah itu bukan peristiwa penting.

Tidak ada iringan tiupan terompet yang megah, tidak ada orang yang mengenakan seragam yang
megah, tidak ada doa dan upacara keagamaan yang khidmat. Tidak ada perwira-perwira
berpakaian seragam, tidak diabadikan oleh wartawan juru potret, dan sebagainya. Ruangannya
pun bukan di ruangan-mahkota dari Istana Juliana (Ratu Belanda ketika itu), melainkan hanya di
sebuah kamar depan yang kecil di sebelah ruangan besar dari rumah seorang Laksamana Jepang.

Tidak ada juga acara "mengangkat gelas" untuk keselamatan. Minuman yang tersedia pun hanya
berupa air soda panas untuk membangkitkan kembali kekuatan dari segelintir manusia yang
sudah tidak keruan dan tidak tidur selama dua hari.

Soekarno mengaku, ketika itu, perumusan naskah Proklamasi itu tidak memberikan perasaan
apa-apa terhadapnya, tidak ada perasaan kegirangan, atau kebanggaan. Yang adalah rasa lelah
yang luar biasa. Saat naskah Proklamasi itu selesai diketik, jam di dinding menunjukkan angka 4
dini hari.

Rumah gedung tempat tinggal Laksamana Muda Maeda, tempat perumusan naskah Proklamasi
itu, sejak 1992, diresmikan menjadi museum dengan nama "Museum Perumusan Naskah
Proklamasi", letaknya di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat.

Soekarno bukan hanya tidak tidur selama dua hari, tetapi penyakit malarianya juga kumat, ia
merasa seluruh badannya menggigil dari ujung kepala sampai dengan ujung kaki, suhu badannya
mencapai 40 derajat Celcius. Dalam keadaan sakit, Soekarno pun pulang ke rumahnya, di Jalan
Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.

Di rumah, Soekarno tidak tidur, karena ia masih menulis banyak instruksi untuk pimpinan-
pimpinan di daerah tentang bagaimana bersikap dam bertindak setelah nanti deklarasi
Proklamasi Kemerdekaan diumumkan.

Namun akhirnya, ia tak kuat lagi, dan atas petunjuk Soeharto, dokter pribadinya, Soekarno pergi
tidur di kamarnya, semua orang dilarang mengganggunya.
Berita bahwa Soekarno akan mengdeklarasikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada hari itu
juga, 17 Agustus 1945, sudah tersebar di seantero Jakarta. Ribuan rakyat pun turun ke jalan-
jalan, keliling Jakarta, mengetok rumah satu per satu, berteriak memberitahukan Soekarno akan
menyatakan kemerdekaan Indonesia di rumahnya, di Pegangsaan Timur 56 itu.

Pukul sembilan pagi, sudah ada sekitar 500 orang sudah mengepung untuk melindungi Soekarno
yang berada di rumahnya itu, dengan maksud agar deklarasi Proklamasi Kemerdekaan itu dapat
dibacakan Soekarno dengan lancar tanpa ada gangguan apapun, terutama dari militer Jepang.
Jika ada ganggauan, termasuk halangan dari tentara Jepang, rakyat siap melawannya.

Orang banyak itu pun semakin tidak sabar, berteriak-teriak mendesak Soekarno agar segera
keluar rumah mengdeklarasikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

"Sekarang, Bung, sekarang! Nyatakanlah sekarang kemerdekaan, nyatakan sekarang


kemerdekaan, ... Hai, Bung Karno, hari sudah tinggi , ... hari sudah panas, ... rakyat sudah tidak
sabar lagi. Rakyat sudah gelisah. Rakyat sudah berkumpul. Ucapkanlah Proklamasi!".

Namun, Soekarno belum mau membaca teks Proklamasi itu, ia menunggu kedatangan
Mohammad Hatta. Tanpa Hatta, Soekarno tidak mau membaca teks Proklamasi itu. Setelah
menunggu beberapa lama, Hatta pun datang. Dia menemui Soekarno di kamarnya, yang masih
terbaring sakit, di ranjangnya.

Sokarno bangkit, lalu berpakaian, pakaian serba putih. Tak ada satu pun perkataan kedua tokoh
besar itu yang bisa dicatat sebagai catatan sejarah. Tidak ada seorang pun dari mereka berdua
yang bersemangat menyala-nyala. Mereka berdua sangat letih. "Dan, yah, mungkin juga sedikit
takut, kukira", tulis Soekarno di bukunya itu.

Seorang anggota PETA yang masih mengenakan seragamnya, Abdul Latief Hendraningrat,
masuk kamar, bertanya, apakah semua sudah siap, waktunya mengdeklrasikan kemerdekaan
Indonesia telah tiba.

Ketika saatnya membaca teks Proklamasi itu tiba, juga tidak pakai segala macam protokol, tidak
ada yang berlangsung menurut susunan acara, karena memang tidak ada acara, selain membaca
teks Proklamasi.

Soekarno berjalan ke arah pengeras suara yang dicuri para pejuang muda dari stasiun-radio-
Jepang, dan dengan ringkas membacakan pernyataan kemerdekaan Indonesia, detik itu juga
Indonesia telah merdeka.

Setelah teks Proklamasi dibacakan, bendera Merah-Putih untuk pertama kali dikibarkan, di tiang
bendera yang berupa sebatang bambu kasar yang tidak tinggi, salu lagu Indonesia Raya
dinyanyikan.
Bendera itu, yang kini menjadi Bendera Pusaka dan disimpan di Istana Negara, dijahit oleh
Fatmawati dengan menggunakan mesin jahit tangan. Yaitu mesin jahit yang digerakkan dengan
tangan, bukan dengan kaki.

Menurut Fatmawati, di dalam bukunya, "Catatan Kecil Bersama Bung Karno" (1978),
mengatakan kain bendera pusaka itu diberikan oleh seorang perwira Jepang bernama Hitoshi
Shimizu, pada Oktober 1944 sebagai bentuk janji kemerdekaan Jepang kepada Indonesia.

"Yang satu blok berwarna merah, sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor
Jawa Hokokai," tulis Fatmawati di bukunya itu.

Foto Fatmawati ketika menjahit bendera pusaka (Perpunas.go.id)

Mesin jahit tangan yang digunakan Fatmawati menjadit bendera Merah-Putih pusaka (viva.co.id)
Tentang suasana Proklamasi pertama kalinya itu, Soekarno menulis:

Tidak ada orang yang ditugaskan untuk mengerek bendera. Tiada persiapan untuk itu. Dan tidak
seorang pun berpikir sampai ke situ. Kapten Latif Hendraningrat sebagai salah seorang di
antara beberapa gelintir orang berpakaian seragam berada dekat tiang. Setiap orang menunggu
dengan tegang ketika dia mengambil bendera itu, mengikatkan pada tali yang kasar dan
mengibarkannya, seorang diri, dengan kebanggaan, yah, untuk pertama kali setelah tiga
setengah abad.

Tidak ada musik. Tidak ada pencaraga. Setelah bendera naik melambai-lambai, kami
menyayikan lagu Indonesia Raya.

Selesai itu kudengar anggota PETA di kamar-kerjaku berteriak melalui telepon: "Ya, sudah
selesai!"

Kemudian ia meletakkan telepon, dan aku masuk ke dalam dan terus ke belakang menuju
kamarku. Hari jam sepuluh. Revolusi sudah dimulai.

(Jakarta45.worpress.com)

(Jakarta45.wordpress.com)
Foto-foto bersejarah, saat Soekarno membacakan teks Proklamasi, dan peristiwa pengibaran
bendera pusaka Merah-Putih untuk pertamakalinya, pada 17 Agustus 1945 itu, didokumentasikan
oleh Mendoer bersaudara. Alexius Imprung Mendoer yang menjabat sebagai kepala bagian
fotografi di kantor berita Jepang Domei, sedangkan Frans Sumarto Mendoer adalah
fotografernya.

Berbeda dengan nasib rumah gedung bekas tempat tinggal Laksmana Muda Maeda, tempat
perumusan naskah Proklamasi yang terpelihara sampai sekarang, rumah Soekarno di Jalan
Pegangsangan Timur 56, Menteng, Jakarta Pusat, tempat dideklarasikan kemerdekaan Indonesia
itu, tempat untuk pertamakalinya bendera Merah Putih pusaka dikibarkan itu, kini sudah tidak
ada lagi.
Pada tahun 1962 rumah itu dibongkar, konon atas print Soekarno sendiri. Apakah benar
Soekarno yang perintahkan pembongkaran itu, dan apa alasannya, masih misteri. Sungguh sangat
disayangkan.

Di lokasi di mana pernah berdiri rumah bersejarah itu, kini diganti dengan berdirinya Taman
Proklamasi, dengan tugu utama berbentuk patung Soekarno sedang membaca teks Proklamasi,
dan Mohammad Hatta yang berdiri di sampingnya, persis posisi mereka saat teks Proklamasi
dibacakan. Di belakangnya, ada 17 buah pilar, yang melambangkan tanggal 17 Agustus.

Nama jalannya juga diganti dengan nama Jalan Proklamasi Nomor 56.

Selain tugu tersebut, juga ada yang dinamakan Tugu Petir, berbentuk tiang bulat tinggi dengan
patung berbentuk petir di puncaknya. Di sinilah titik tempat Soekarno berdiri saat membaca teks
Proklamasi. Di tiang tugu itu ada tulisan: "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".

Ada juga sebuah tugu yang tidak terlalu tinggi, berbentuk obelisk, yang dibangun lebih dulu,
yaitu tugu peringatan satu tahun kemerdekaan Republik Indonesia, yang dibangun dan
diresmikan pada 1946.

Pada 2015, dengan alasan untuk "meluruskan sejarah", Pemprov DKI Jakarta telah
merencanakan untuk mengembalikan nama jalan itu menjadi Jalan Pegangsangan Timur Nomor
56.

Tugu Proklamasi (Liputan6.com)

Tugu Petir, titik berdirinya Soekarno ketika membaca teks Proklamasi, 17 Agustus 1945
(Jakartayuk.wordpress.com)
Tugu 1 Tahun Kemerdekaan Tugu peringatan 1 tahun kemerdekaan Indonesia yang dibangun
atas prakarsa Ikatan Wanita Djakarta yang terletak di Tugu Proklamasi, Pegangsaan, Jakarta,
Kamis (15/8). Kendati sempat dilarang walikota Jakarta Suwiryo waktu itu karena larangan dari
tentara sekutu, Tugu ini diresmikan pada 17 Agustus 1946 oleh Sutan Syahrir, perdana menteri
saat itu. (ANTARA FOTO/Paramayuda)
*****

Anda mungkin juga menyukai