Anda di halaman 1dari 6

Fundamentalisme di dalam kekristenan adalah studi yang berfokus pada gerakan

fundamentalisme di dalam kekristenan.[1] Fundamentalisme sendiri sebenarnya sulit untuk


didefinisikan dan dibicarakan sebab batas-batasnya tidak jelas.[1] Kelompok-kelompok Kristen
yang ada memiliki beragam sikap terhadap penggunaan istilah ini.[1] Ada yang terang-terangan
menolak sebutan fundamentalis seperti kelompok di Inggris yang lebih suka disebut evangelikal-
konservatif.[1] Ada juga yang dengan bangga menyatakan diri sebagai kelompok fundamentalis,
seperti William B. Riley yang mendirikan Asosiasi Kristen Fundamentalis Dunia pada tahun
1919.[2] Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa fundamentalisme secara organisasi bukanlah
suatu kelompok yang khusus dan spesifik, sebab ciri-ciri dan semangat fundamentalisme dapat
tersebar di dalam banyak gereja dan denominasi.[1]

Definisi
Kendati sulit mendefinisikan gerakan ini, namun ada beberapa definisi yang berasal dari orang-
orang yang mengaku diri sebagai seorang fundamentalis Kristen:

 Menurut George W. Dollar, fundamentalisme adalah eksposisi literal terhadap seluruh


perintah dan perilaku-perilaku yang berasal dari Alkitab dan militansi terbuka terhadap
segala perintah dan perilaku yang tidak Alkitabiah.[3]

 Kemudian Jerry Falwel mendefinisikan fundamentalisme sebagai afirmasi terhadap


kepercayaan Kristen dan gaya hidup Kristen tertentu yang menentang masyarakat sekuler
pada umumnya.[4]

Latar Belakang
Penerbitan buku "Hal-Hal Fundamental" [5] (dalam bahasa Inggris The Fundamentals)
merupakan salah satu tonggak awal dari gerakan fundamentalisme Kristen.[6] Buku tersebut
berisi doktrin-doktrin fundamental kekristenan yang ditegakkan kembali dan perlu
diejawantahkan di dalam kehidupan setiap orang Kristen.[7] Buku ini diterbitkan sebagai reaksi
terhadap situasi kekristenan dan gereja-gereja di Amerika Serikat pada waktu itu yang dipandang
mengalami kemerosotan iman menghadapi dunia sekitarnya.[7] Memang sejak abad ke-19 hingga
awal abad ke-20 ketika buku itu terbit, gereja-gereja di Amerika Serikat sedang tertekan oleh
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ajaran Charles Darwin tentang teori evolusi.[7] Ada
lima doktrin yang menjadi inti dari pemikiran fundamentalisme, yaitu:

 1. Pengakuan terhadap doktrin ineransi Alkitab (Alkitab tidak dapat salah).[6]


 2. Pengakuan akan keilahian Kristus.[6]
 3. Kelahirannya dari seorang perawan bernama Maria.[6]
 4. Kematian Kristus sebagai penebusan dosa dunia.[6]
 5. Kebangkitan Kristus secara jasmaniah dan kedatangan Kristus kembali ke bumi.[6]

Setelah itu, selama tahun 1930-an hingga tahun 1960-an, gerakan kaum Fundamentalis berfokus
pada pemisahan diri dengan denominasi-denominasi Kristen yang ada, seperti Baptis,
Presbiterian, Metodis, Episkopalian, Pentakostal, dan sebagainya.[8] Akan tetapi, tetap saja
gerakan tersebut bukanlah sebuah kelompok yang satu melainkan terpisah-pisah dan hanya
dipersatukan oleh kesamaan ciri-ciri.[8]

Ciri-Ciri
Secara umum, ada beberapa doktrin Kristen yang dianggap sebagai dasar iman, seperti lima
doktrin yang disebutkan di atas.[6] Akan tetapi, ada beberapa ciri lain dari gerakan
fundamentalisme Kristen.

Kontra Teologi Liberal-Modern dan Sekularisasi

Perhatian utama dari gerakan fundamentalisme adalah reduksi yang terjadi di dalam kekristenan
akibat liberalisme keagamaan serta sekularisasi masyarakat Amerika.[9] Mereka berupaya
menjaga apa yang mereka anggap sebagai dasar utama dari kekristenan yang Ortodoks, yang
mereka anggap telah direduksi oleh perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan, misalnya
soal penafsiran Alkitab yang terlalu liberal.[9]

Untuk melawan dampak sekularisasi yang dianggap tidak sesuai dengan iman Kristen, kaum
fundamentalis melawan dengan cara menegakkan standar moral dan perilaku hidup tertentu,
yang serupa dengan tradisi revivalisme Amerika Serikat, misalnya pelarangan atas rokok,
minum-minuman keras, berdansa, bermain kartu, pakaian yang dianggap tidak sopan, dan
pembatasan aktivitas seksual.[2] Pembatasan-pembatasan seperti ini menolong mereka untuk
hidup suci menurut apa yang mereka yakini.[2] Meskipun demikian, mereka tidak menolak untuk
berpartisipasi di dalam aspek-aspek lain dari kehidupan modern, seperti berbisnis dan
sebagainya.[2]

Ineransi Alkitab

Menurut gerakan ini, kepercayaan Kristen yang fundamental terhadap ineransi Alkitab sedang
diserang oleh pendekatan liberal-kritis terhadap Alkitab, yang berarti menyerang dasar iman
Kristen.[2] Selain itu, mereka melihat bahwa peradaban Amerika Serikat didasarkan pada Alkitab,
sehingga membela kebenaran Alkitab berarti membela peradaban Amerika Serikat pula.[2] Bagi
mereka, penafsiran Alkitab yang benar dan menghargai ineransi Alkitab adalah penafsiran yang
literal, yang berarti juga mempercayai bahwa Alkitab akurat secara historis dan saintifik.[2] Cara
penafsiran yang tidak mengakui hal-hal itu sama saja dengan tidak mengakui ineransi Alkitab.[2]
Dari keteguhan mengenai ineransi Alkitab inilah, kaum fundamentalis menyusun doktrin-doktrin
yang dianggap fundamental, seperti lima doktrin yang telah disampaikan di atas.[2]

Militansi

George M. Marsden berpendapat bahwa gerakan fundamentalisme memiliki akar dari gerakan
evangelikal, namun perbedaan di antara keduanya adalah militansi yang inheren pada gerakan
fundamentalisme.[8] Mereka dituntut bukan hanya percaya terhadap doktrin-doktrin fundamental
kekristenan, tetapi juga harus mau memperjuangkannya melalui pertarungan melawan teologi
liberal, humanisme sekuler, dan sebagainya.[2] Militansi tersebut juga dilakukan melalui gaya
hidup tertentu, seperti dijelaskan di atas, serta dengan memenangkan ‘jiwa-jiwa bagi Kristus’.[2]
Selain itu, militansi mereka ditunjukkan melalui perjuangan dalam bidang politik yang
mengusahakan legislasi tertentu, misalnya dalam hal diwajibkannya doa dan pembacaan di
sekolah-sekolah umum, pelarangan ketat terhadap pornografi, pelarangan terhadap perjuangan
hak-hak sipil kaum gay dan feminis radikal, dan sebagainya.[10] Militansi tersebut juga seringkali
membawa pemisahan antara gerakan fundamentalisme dengan kelompok-kelompok Kristen
lainnya, dan juga menjadi batas pemisah antara kaum fundamentalisme keras dan kaum
fundamentalisme moderat.[9]

Jenis-jenis
Fundamentalisme Keras

Fundamentalisme keras memiliki karakteristik tertentu seperti pemisahan sepenuhnya dari


liberalisme agama, kepercayaan sepenuhnya terhadap inspirasi mekanis Alkitab tanpa ada
distorsi sama sekali, dan menganggap Alkitab versi Raja James sebagai teks Alkitab yang paling
benar.[9] Akan tetapi, dua hal yang benar-benar memisahkan mereka dari kaum fundamentalisme
moderat adalah doktrin dispensionalisme dan separatisme.[9] Doktrin dispensionalisme pada
intinya melihat bahwa dunia akan hancur karena kejahatannya, dan orang-orang Kristen tidak
dapat berbuat sesuatu selain menunggu Allah yang akan bertindak secara ajaib.[2] Kemudian ciri
lain adalah separatisme total terhadap orang-orang Kristen lain yang tidak sepaham dengan
mereka serta dengan dunia yang jahat.[9] Bila ada orang-orang Kristen yang tidak sepaham
dengan mereka berarti mereka bukan Kristen sejati dan berkompromi dengan dunia.[9]

Fundamentalisme Moderat

Fundamentalisme moderat adalah varian gerakan fundamentalisme yang mengambil jarak dari
gerakan fundamentalisme keras, serta lebih terbuka dalam beberapa hal.[9] Tokoh utamanya
adalah Jerry Falwell.[9]. Keterbukaan mereka tampak dalam hal memberi tempat kepada
intelektualitas Kristen, berkomitmen pada reformasi sosial, serta mau melakukan oto-kritik
terhadap gerakan fundamentalisme.[9] Oto-kritik yang dilakukan terhadap gerakan fundamentalis
adalah mentalitas yang tidak mau mengubah diri, terlalu bergantung pada pemimpin tertentu,
terlalu hitam-putih dalam melihat sesuatu, terlalu otoriter, dan terlalu sering terpecah-belah
karena merasa benar.[9] Kemudian mereka juga tidak menyetujui doktrin dispensionalisme
sehingga kaum fundamentalisme moderat turut berjuang dalam mereformasi masyarakat dan
keterlibatan sosial.[9]

Menangkal Fundamentalisme Agama


Diskursus seputar fundamentalisme berkedok agama marak terjadi dua dekade terakhir di
pelbagai belahan dunia. Fundamentalisme telah menimbulkan kecemasan, bahkan ketakutan,
pada hampir tiap orang, lantaran ia dapat menghunus eksistensi individu dan mengusik
kehidupan bersama warga, juga masyarakat Indonesia.
Sejatinya, istilah fundamentalisme lahir berawal dari konteks reaksioner Kristen Protestan di
Amerika Serikat terhadap modernisme pada abad ke-19. Modernisme dipandang membawa
dampak negatif bagi penghayatan iman jemaat Kristen Protestan. Karena itu, upaya menangkal
ekspansi modernisme dilakukan melalui jalan kembali kepada fundamen (ad fontes) agama,
yakni Alkitab dan kebenaran iman. James Barr (1994: 1) menyebutkan tiga karakteristik
fundamentalisme Protestan. Pertama, percaya akan ketidaksalahan (inerrancy) Alkitab. Kedua,
adanya kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta, metode, hasil, dan dampak
studi kritik modern terhadap Alkitab. Ketiga, jaminan kepastian bahwa orang yang tidak
menganut pandangan keagamaan mereka sama-sekali bukanlah "Kristen Sejati".

Senada dengan Barr, Abdul-Rahman Momin (1987) menambahkan bahwa kala itu gereja Kristen
Protestan terbelah ke dalam dua kelompok, yakni modernis dan fundamentalis. Kelompok
modernis tidak melihat modernisme sebagai hal yang membahayakan. Kelompok ini berusaha
mengasimilasikan modernitas ke dalam kitab suci. Di pihak lain, kaum fundamentalis
memandang modernitas sebagai kondisi yang mengancam keberadaan agamanya. Kelompok ini
berusaha mempertahankan apa yang dianggap sebagai “the total infallibility of the Bible in all
matters of faith and doctrine”.

Fundamentalisme agama telah bersifat transreligions dan transnational (bdk. Armstrong, 2002).
Meski tak satu agama pun mengajarkan kekerasaan, praksis fundamentalisme dapat dijumpai
pada umat beragama, dan bahkan menyebar di berbagai negara.

Kini, gerakan fundamentalisme agama mengalami perluasan makna dan dipahami dalam
beberapa hal (Jainuri, dkk., 2003: 51-52). Pertama, memiliki prinsip hermeneutika yang
berlawanan dengan tradisi yang sedang berlangsung. Mereka melakukan perlawanan secara aktif
terhadap kelompok lain yang punya penafsiran berbeda melalui kritik dan protes baik dengan
pendekataan persuasif maupun represif.

Kedua, dari perbedaan hermeneutika tersebut, kaum fundamentalis lantas bersikap eksklusif serta
mencurigai eksistensi pihak lain, meski di sisi lain, mereka cukup terbuka berdialog dengan
individu atau kelompok lain guna menguji kebenaran pemahamannya.

Ketiga, kaum fundamentalis meyakini secara sungguh kebenaran yang diimaninya serta
berpegang teguh pada kebenaran itu. Keyakinan tersebut disebarkan kepada pihak lain secara
masif-agresif, sembari merekrut anggota baru untuk menambah jumlah keanggotaan dan
memperkuat barisan fundamentalis.

Keempat, kaum fundamentalis percaya bahwa jihad merupakan sarana memperoleh keselamatan
hidup di dunia dan di akhirat. Karena itu mereka mempertahankan keyakinan secara militan,
serta menyelaraskan tindakan seturut keyakinan sempitnya.

Kelompok Sosial dan Negara


Di Indonesia, gerakan fundamentalisme berkedok agama dipraktikkan secara terbuka oleh
kelompok sosial (massa), bahkan negara yang hadir dalam state apparatus-nya. Kelompok sosial
tertentu menghalangi pembangunan tempat ibadah, membatasi kebebasan warga dalam
mengekspresikan keyakinan dan perusakan sejumlah tempat ibadah. Pengusiran terhadap warga
Ahmadiyah, baik di NTB maupun di Cikeusik, Jawa Barat, adalah bentuk konkret ekstremisme
warga yang juga merupakan ekspresi kesempitan paradigma berpikir, tafsiran literer biblis yang
rigid, sikap ekslusif yang berlebihan, serta berorientasi kepentingan ekonomi-politiknya.
Ironisnya, aksi massa mendapat justifikasi oleh para pemegang otoritas agama (Lay, 2009).

Selain massa, negara melalui para aparaturnya melakukan kekerasan atas warga. Kebijakan-
kebijakan negara bersifat diskriminasi terhadap kelompok sosial-agama tertentu. Aparatur
negara, entah sadar atau tidak, telah mencederai hak dan martabat warga. Negara terlibat dalam
mendiskreditkan eksistensi warga melalui stigmatisasi "sesat" (Ibid.). Terlebih lagi, berhadapan
dengan aksi kekerasan massa, negara hanya bersikap netral dan menjadi penonton, tanpa ada
keberpihakan tegas pada yang didiskriminasi. Netralitas seperti ini adalah suatu bentuk kejahatan
permisif negara atas warganya sendiri yang seharusnya dijaga dan dilindungi.

Dari “To Have a Religion” Menuju “Being Religious”


YB Mangunwijaya dalam Sastra dan Religiositas (1982: 11-12) menarik demarkasi yang tegas
antara agama dan religius. Ia menulis,“Pada awal mula, segala sastra adalah religius." Menarik
untuk disimak bahwa dari kutipan tersebut, Mangunwijaya dengan sengaja tidak memakai istilah
agama atau religi, tetapi religius atau religiositas.

Agama bagi Mangunwijaya lebih merujuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, atau
kepada “Dunia Atas”. Agama tampil dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan,
hukum-hukum, serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab, dan lain-lain, yang mencakup segi-
segi kemasyarakatan. Religiositas, di pihak lain, baginya, lebih menunjuk pada aspek lubuk hati,
hati nurani pribadi, serta sikap personal yang menampakkan intimitas jiwa. Religiositas
mengatasi, atau lebih tinggi tingkatannya daripada agama yang tampak formal. Religiositas
bergerak dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang sifatnya lebih intim (Ibid.).

Dalam terang pemikiran Mangunwijaya, umat beriman tidak bisa berhenti hanya pada memeluk
agama. Yang terpenting adalah menjadi religius atau menghidupi religiositas. Aspek yang
terakhir itu, hemat Mangunwijaya (Sarapung, Ena, Agoeng, 2004: 14) dirasakan sebagai paling
urgen, sehingga pantas untuk didialogkan dan diusahakan di dunia.

Pengalaman kekerasan atas nama agama di Tanah Air boleh jadi disebabkan karena orang
berhenti pada “to have a religion”. Ketika seseorang berhenti pada “to have a religion”, ia hanya
bertahan pada aturan-aturan agama yang rigid, melihat agama sebagai organisasi dan bergulat
dengan aturan atau hukum agama. Tafsiran terhadap kitab suci pun akhirnya bersifat literer,
persis seperti yang dilakukan kaum fundamentalis.

Karena itu paradigma “to have a religion” harus beralih menuju “being religious”. Ada semangat
passing over dalam beriman. Mangunwijaya menekankan pentingnya transformasi mendalam
dari manusia agamawan menjadi manusia religius. Manusia religius adalah manusia yang
beriman, bertakwa, berpengharapan, manusia yang menghayati cinta kasih, saling menolong,
menjunjung tinggi solidaritas, saling menjaga perdamaian di tengah dialektika konflik, dan yang
membawa dunia ke arah yang lebih baik (Ibid., hlm. 17).
Yang religius adalah yang berpihak pada orang lain dalam terang cinta kasih dan solidaritas.
Seseorang yang religius tidak memandang sesama sebagai musuh yang harus dijauhi dan patut
diwaspadai. Ia merangkul semua orang dengan segala kekuatan dan kelemahan, kemudahan dan
kesulitan, keberhasilan dan kegagalan, serta kekayaan dan kemiskinan. Yang religius adalah
yang berjuang bersama orang lain untuk membuat dunia menjadi hunian yang layak; yang
berjuang mengurangi permusuhan dan kekerasan; yang menciptakan perdamaian diantara umat
manusia; yang menjamin kebebasan ekspresi bagi pihak lain.

Paradigma Pluralis-Dialogal
Selain being religious, paradigma pluralis-dialogal merupakan suatu paradigma ideal bagi
kerukunan umat beragama di tengah radikalisme agama. Ia mengakui realitas pluralisme iman
dan agama. Paradigma ini berada di antara paradigma inklusifis dan pluralis-indiferen, tapi
bedanya bahwa ia tidak indiferen. Sebab, kekhasan tiap agama dan iman mendapat pengakuan
yang signifikan (JB Banawiratma, dalam Th. Sumartana, St Sunardi, Farid Wajidi (ed.), 1993:
14-17).

Pendekatan pluralis-dialogal membuka ruang bagi sumbangan kolaboratif tiap umat beragama
terhadap umat beragama lain. Ada upaya saling "berbagi" dan mendengarkan serta membiarkan
diri disapa oleh iman dan kehidupan sesama umat beragama. Di dalam dialog kita tidak membuat
perbandingan dan evaluasi mana yang paling benar dan mana yang salah. Dialog dalam
perspektif ini mengantar kita untuk menempatkan umat beragama dan beriman lain dari
perspektif agama dan iman kita. Di dalamnya kita juga menghormati jati diri mereka, tanpa
mereduksi mereka pada agama dan iman kita, serta tanpa peleburan yang menghancurkan
identitas satu sama lain. Paradigma ini bermanfaat bukan hanya untuk menciptakan kerukunan
antar umat beragama dan beriman, tetapi juga membentuk penghayatan agama dan iman yang
lebih mendalam dan bertanggungjawab (Ibid.).

Dialog ditujukan kepada dua entitas fundamentalis. Pertama, dialog dengan kelompok-kelompok
sosial. Tiap umat beragama dan kaum beriman harus keluar dari kerangkeng ketertutupan diri
hanya pada agama dan keyakinannya. Ia berusaha membangun dialog dengan agama dan
keyakinan orang lain yang berbeda darinya.

Umat Katolik membangun dialog dengan umat Muslim. Umat Islam membangun komunikasi
intens dengan umat Kristen Protestan. Jemaat Protestan meningkatkan dialog dengan Hindu dan
Buddha, demikian pula sebaliknya. Semua umat beragama ini pun membangun dialog dengan
kelompok yang beraliran kepercayaan berbeda yang tidak diakomodasi oleh negara sebagai
agama resmi.

Selain terhadap kelompok sosial, dialog dilakukan juga terhadap negara. Negara menjadi bagian
dari spiral fundamentalisme (ekstremisme) terhadap umat beriman di Tanah Air. Karena itu,
perjuangan menolak fundamentalisme negara menjadi proyek bersama seluruh warga negara.
Dengan kedua paradigma: being religious dan pluralis-dialogal, diharapkan agar
fundamentalisme agama di Indonesia dan ekses-eksesnya dapat diminimalisasi, sehingga
Indonesia menjadi hunian yang layak bagi semua warga negara.

Anda mungkin juga menyukai