Budaya Politik
Budaya Politik
Instruksi:
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------
MODUL 4
Pendahuluan__________________________________
Bagian modul empat akan mendiskusikan pendekatan budaya politik sebagai perspektif
dalam mengkaji perbandingan pemerintahan. Sebagai perspektif yang cukup berpengaruh
pada era 50-an hingga 60-an, seiring dengan menguatnya paradigma modernisasi serta
munculnya revolusi behavioralisme, pendekatan budaya politik mendapatkan ruang dalam
berbagai kajian-kajian perbandingan politik dan pemerintahan. Namun pendekatan ini mulai
meredup seiring dengan menguatnya perspektif kelembagaan baru (New Institutionalism)
pada dekade 70-an, dan kembali mendapat perhatian pada dekade 90-an seiring dengan
munculnya era baru yakni globalisasi yang oleh Fukuyama (1999) disebut zaman dengan
“Guncangan Besar”.
Modul ini akan mengulas tentang apa (ontologi), bagaimana (epistimologi) serta
mengapa (aksiologi) pendekatan budaya politik sebagai pendekatan layak dikaji. Secara
ontologis, pendekatan yang dirintis pada periode paska Perang Dunia II ini, memusatkan
perhatian pada nilai, keyakinan dan sikap politik sebagai obyek kajiannya. Budaya politik
memberi pemahaman tentang bagaimana orang berperilaku. Perilaku memiliki dampak
langsung dan besar pada kehidupan politik. Agar memahami apa dan mengapa orang
mengambil sikap, menjadi penting memahami apa yang mereka pikirkan. Sebagai deskripsi,
tidak cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa seseorang tidak memilih dalam pemilu. Kita
memerlukan pengetahuan apakah pilihan tersebut disebabkan oleh apatisme, keterasingan
atau digerakkan oleh ketidakpuasan. Oleh karena itu, agenda utama dalam riset budaya politik
terutama diarahkan pada penemuan pola-pola nilai, keyakinan dan sikap pada suatu
entitas politik berupa kelompok sosial dalam suatu negara atau negara yang melibatkan
atribut kultural (etnis, religiusitas, lokalitas, kelas sosial, atau tingkat ekonomi).
melibatkan sejumlah paradigma yang muncul dalam setiap episode sejarah. Revolusi
behavioralisme kiranya menjadi babak sejarah kritis, di mana pendekatan budaya yang
sebelumnya dikembangkan oleh kaum tradisionalis dinilai tidak saintifik. Di bawah pengaruh
behavioralisme, pendekatan ini menemukan bentuknya: tentang bagaimana
menginstrumentasikan pendekatan ini dalam riset empiris yang tergambar dalam survei–
survei tentang nilai, keyakinan dan sikap politik masyarakat di berbagai belahan dunia.
Sumbangan behavioralisme terhadap pendekatan ini juga tampak dalam bagaimana
pendekatan ini dipahami dalam kerangka sistem politik Eastonian. Namun dalam
perkembangannya, studi budaya politik dengan kerangka behavioralisme tak lagi memadai
menjelaskan beragam fenomena politik, di mana dunia tengah berubah sangat cepat. Kajian
budaya politik tampil kembali dengan dukungan gerakan post-behavioralism yang
memusatkan perhatian pada budaya dan perubahan politik yang ditandai dengan menurunnya
kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi demokratik lainnya.
Munculnya pendekatan budaya politik acapkali ditempatkan sebagai salah satu variabel
mendasar yang turut mempengaruhi bekerjanya demokratisasi suatu sistem politik dan
pemerintahan. Struktur dan institusi pemerintah sesungguhnya menyandarkan budaya politik
sebagai fondasi bagi stabilnya demokrasi. Jika rakyat puas dengan cara sistem pemerintahan
bekerja, maka kemungkinan besar akan stabil dalam jangka waktu lama. Jika sebagian besar
tidak puas dan memunculkan aksi-aksi politik, maka sistem politik berada dalam tekanan
untuk memulai perubahan. Institusi politis demokratik menyandarkan eksistensinya pada
budaya demokratis. Kombinasi keduanya akan memproduksi demokrasi yang stabil.
Ringkasnya, terdapat dua alasan mendasar tentang pentingnya mengkaji budaya politik: (1)
konsep budaya politik membantu para pengkajinya dalam menjelaskan perilaku individual;
dan (2) membantu menjelaskan institusi demokratis dan struktur pemerintahan yang ada.
Pada titik inilah aspek aksiologis dari pendekatan ini menemukan konteksnya.
Modul ini terdiri dari dua bagian bahan ajar. Bagian pertama (bahan ajar satu)
menyajikan tentang lintasan sejarah pendekatan budaya politik beserta konteks yang
melingkupinya. Bagian ini akan mengulas pula sejumlah karya monumental dalam budaya
politik. Kemudian bagian kedua (bahan ajar dua) akan membahas pembaruan terhadap
pendekatan budaya politik yang dinilai tak lagi memadai, seiring dengan merosotnya
kepercayaan publik terhadap institusi-institusi pemerintahan. Pada bagian ini juga akan
menyajikan argumentasi dasar beserta asumsi-asumsi yang digunakan dalam pendekatan
budaya politik serta bagaimana pendekatan ini bekerja dalam memahami fenomena politik
yang hadir, termasuk saat mengkaji perbandingan pemerintahan. Selanjutnya, pada bagian
akhir dari bahan ajar dua ini akan menyuguhkan timbangan tentang berbagai keunggulan
maupun keterbatasan yang memuat kritik atas pendekatan ini. Dengan mempelajari modul
ini, diharapkan mahasiswa akan memperoleh kompetensi dasar dalam menggunakan
pendekatan budaya politik secara menyeluruh yang memuat:
Sejarah dan konteks perkembangan pendekatan budaya politik
Pembaharuan pendekatan budaya politik
Argumen dan asumsi dasar pendekatan budaya politik
Keunggulan dan keterbatasan pendekatan budaya politik
Kegiatan Belajar 1
Pendekatan Budaya Politik “Tradisional”
Pendekatan budaya merupakan salah satu metode baru dalam analisis politik. Pendekatan
budaya dalam perbandingan politik dan pemerintahan marak selama tahun 60-an, dari karya-
karya tradisional tentang budaya dan antropologi, studi-studi tentang sosialisasi dan
kelompok kecil dalam sosiologi; serta studi tentang kepribadian dalam psikologi. Konsep
budaya politik dikaitkan dengan konsep negara atau budaya nasional. Dalam hal ini budaya
politik dilihat sebagai penjelmaan kembali konsep lama tentang karakter nasional (Chilcote,
2010: 11).
Lahir di era 50-an, pendekatan ini seiring dengan adanya konteks agenda menghadirkan
proyek modernisasi di negara-negara post kolonial yang baru saja merdeka. Para pengusung
paradigma modernisasi optimis bahwa masyarakat di negara-negara baru yang kemudian
dikenal sebagai negara dunia ketiga akan mencapai kemajuan dengan prasyarat mengikuti
rute seperti pengalaman Eropa dan Amerika Utara. Para sarjana politik di era tersebut
meyakini jalan modernisasi akan menghantarkan masyarakat baru di dunia ketiga ini
mencapai kemajuan dengan menempuh demokrasi liberal.
Tidak mengherankan agenda teoritisi politik saat itu, banyak memfokuskan diri pada
variabel sosial, ekonomi dan budaya dalam mendorong tumbuhnya sistem politik dan
pemerintahan yang demokratis. Merangkum berbagai kajian modernisasi sistem politik dan
pemerintahan yang demokratis di era 50-an dan 60-an, Mas‟oed (1996: 6) menyatakan bahwa
paradigma ini mendasarkan pada tiga asumsi dasar yakni: ekonomi yang makmur dan merata;
struktur sosial yang modern yang ditandai dengan diversifikasi dan didominasi kelas
menengah yang kuat; serta budaya politik yang demokratis yang ditandai dengan toleransi
terhadap perbedaan dan akomodatif. Dengan konteks historis semacam itu, pendekatan
budaya politik mendapatkan ruangnya dalam agenda teorisasi demokrasi para sarjana politik
terutama di Eropa dan Amerika.
Kedua, kajian budaya politik Indonesia di era tersebut juga diramaikan dengan
perdebatan tentang absennya demokrasi sebagai nilai dalam struktur sosial masyarakat.
Konteks historis dalam perdebatan tersebut terutama merujuk pada upaya mendorong
demokrasi sebagai salah satu pilar proyek modernisasi terutama di negara-negara post-
kolonial. Perdebatan dibuka dengan debat substantif antara Herbert Feith dan Harry J. Benda
tentang kegagalan sistem parlementer tahun 1950-an di Indonesia. Dalam karya
monumentalnya The Decline of Constitutional Democracy, Feith (1962) menyatakan bahwa
kegagalan demokrasi parlementer sampai terjadinya pembubaran konstituante disebabkan
minimnya sosok administrator yang kompeten serta gagalnya faksi-faksi politik dalam
memecahkan kebuntuan politik di mana para elit politik memperjuangkan dengan keras
ideologi politik masing-masing. Pada saat itu, tipe kepemimpinan solidarity maker yang
melekat pada beberapa tokoh seperti Soekarno begitu mendominasi kancah perpolitikan
nasional, sementara Hatta sebagai representasi pemimpin dengan corak administrator
semakin tersisihkan. Sementara Benda (1964) melancarkan kritik terhadap argumentasi Feith
dengan menyatakan bahwa kegagalan demokrasi di Indonesia karena demokrasi merupakan
barang asing bagi masyarakat Indonesia. Tradisi panjang dalam sejarah masyarakat lokal
Indonesia menunjukkan konstruksi kekuasaan bersifat personal, dengan langgam institusi
pemerintahan berciri monarki yang dikuasasi kaum aristokrat, serta kepemimpinan yang
mengandalkan kharisma seorang figur. Bagi Benda, corak semacam itu tidak compatible
dengan bangunan sistem politik demokrasi yang hendak dipromosikan.
Box. 4.1.
Pendapat Harry J. Benda ini juga diperkuat dengan sejumlah kajian Indonesianis yang
pemerintahan Orde Baru yang berkembang di tahun 70-an hingga 80-an. Perbedaan
mendasar studi budaya politik pada masa tersebut, terletak pada upaya menggeser
analisis pada level negara seiring dengan munculnya fenomena munculnya negara-
negara otoritarian di sejumlah negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia di
Karya klasik tentang budaya politik yang paling banyak dirujuk sejauh ini adalah karya
Gabriel A. Almond dan Sydney Verba (1963) yang tertuang dalam “Civic Culture”. Karya
tersebut merupakan hasil kajian atas 5000 responden yang tersebar di 5 negara: Amerika
Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat. Dalam karya tersebut, Almond dan Verba
menunjukkan pembacaan pola terhadap budaya politik di beberapa negara mungkin dilakukan
dengan melakukan riset perbandingan secara empirik. Dalam “Civic Culture”, Almond dan
Verba mendefiniskan budaya politik sebagai pola tentang orientasi politik terhadap sistem
politik yang mewujud dalam parlemen, pemilu atau bangsa (Newton dan van Deth, 2009:
175). Mereka membagi orientasi menjadi tiga dimensi:
1) Kognitif
2) Orientasi afektif
3) Orientasi evaluatif
Orientasi ini mewujud dalam bentuk keputusan atau tindakan. Orientasi Evaluatif
muncul akibat bekerjanya orientasi kognitif dan afektif. Misalnya, setelah mengetahui
bahwa partai tertentu memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan,
individu memilih mereka di dalam suatu pemilu dan sebagainya.
Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik di mana individu tidak merasa
bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya
merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya
suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka. Ikatan seorang individu
terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun
afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus.
Dalam budaya politik subyek, individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari
warga suatu negara, namun mereka melihat diri sendiri bukan sebagai bagian dari
partisipan dalam proses politik. Individu yang berbudaya politik subyek
sesungguhnya memberi perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif.
Saat berhadapan dengan institusi negara mereka juga merasa lemah dan tidak dapat
mengubah keadaan, seperti masyarakat yang hidup dalam kediktatoran.
Dalam budaya politik partisipan, individu memiliki kesadaran bahwa mereka dapat
berkontribusi terhadap keberlangsungan sistem maupun dipengaruhi oleh sistem
politik. Mereka juga menyadari akan sejumlah hak maupun kewajiban sebagai warga
negara. Hak warga negara misalnya menyatakan pendapat dan berserikat,
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan di sisi lain kewajiban untuk,
membayar pajak. Individu merasa bebas mendiskusikan masalah politik serta
memiliki kesadaran dapat mempengaruhi jalannya proses politik. Mereka terlibat
dalam organisasi baik organisasi politik maupun organisasi sukarela dalam kerangka
mengukur budaya politik mensyaratkan perlunya pengumpulan data secara sistematik yang
diambil sampel dari populasi yang ada untuk menentukan aspek paling penting dari tiga
dimensi tersebut (Newton dan Van Deth, 2009: 175). Hasil kajian mereka menunjukkan
adanya kombinasi dari ketiga dimensi tersebut dalam perbedaan proposisi di negara-negara
yang mereka survei seperti tersaji dalam tabel 4.1.
Tipe
Budaya Karakter Budaya Politik Model
Politik
Parokial Masyarakat tidak memiliki kesadaran Negara dunia ketiga dengan ciri
baik berupa pengetahuan, perasaan pendidikan rendah,
maupun bertindak dalam kerangka pembangunan ekonomi lemah
merespon sistem (baik aspek input serta terbatasnya komunikasi.
maupun output). Ringkasnya Tipe seperti ini dekat dalam
pengetahuan, kesadaran, dan kasus seperti Meksiko
keterlibatan masyarakat sangat
rendah dalam pemerintahan
Sementara negara Italia dalam kajian Almond dan Verba ditempatkan sebagai negara
dengan tipikal warga yang tidak terlibat dalam proses politik dan teralienasi dari politik.
Kasus Italia dalam studi ini, menunjukkan kuatnya kombinasi elemen budaya subyek dan
parokial.
Menimbang ketiga tipologi di atas, tipe budaya politik partisipan tampak menjadi model
ideal bagi demokrasi yang stabil. Namun, bagi Almond dan Verba, demokrasi yang stabil
akan terbukti dalam masyarakat yang terdiri dari percampuran tiga tipologi budaya politik
yang mereka sebut dengan civic culture (Hague dan Harrop, 2004: 90). Mereka menyarankan,
kondisi ideal bagi demokrasi akan terjadi manakala perilaku parokial dan subyek
menyediakan penyeimbang bagi budaya partisipan. Bagi mereka tingginya budaya partisipan
mengandung bahaya bagi kestabilan demokrasi berupa tingginya permintaan (demand) dalam
sistem politik. Civic Culture memberikan daya dukung bagi sistem untuk mampu
menyeimbangkan tegangan dalam demokrasi antara kontrol publik dan pemerintahan yang
efektif: di mana memberi ruang bagi hadirnya partisipasi warga negara dan pada saat
bersamaan memberikan keleluasaan bagi elite yang tengah memerintah (Hague dan Harrop,
2004: 90).
Dalam pengertian itu, studi sosialisasi politik menempatkan konsekuensi soisialisasi bagi
sistem secara utuh. Konsep Coleman (1965) tentang sosialisasi politik misalnya, yang
diadopsi dari pendekatan Almond dan Verba, merujuk pada interpretasi yang luas di mana “Ia
merujuk pada proses di mana individu-individu mendapatkan sikap dan perasaan menyangkut
sistem politik dan peran mereka didalamnya, termasuk perenungan, perasaan, dan rasa
kompetensi politik seseorang” (Coleman, 1965: 18). Riset sosialisasi politik telah
menghasilkan banyak studi perbandingan yang menguji data dua atau lebih negara seperti
tersaji dalam box 4.2.
Box 4.2.
Langton dan Kans (1974) memanfaatkan data survei lima negara Almond dan
Verba untuk mempelajari sosialisasi politik.
Koplin (1968), Mishler dkk., (1974), Mosko dan Bell ( 1964) melaporkan riset
tentang pelajar, partai-partai dan demokrasi.
Putnam (1971) mengamati ideologi dan budaya elit politik di Inggris dan Italia.
Stern dkk., (1973) menyajikan analisis 48 variabel dari studi lima negara
Almond dan Verba.
Berbeda dengan studi tentang sosialisasi politik komparatif sebagai varian dalam
pendekatan budaya politik yang berkembang pesat, studi komunikasi politik kurang
mendapatkan perhatian di antara para pengkaji budaya politik dalam konteks perbandingan.
Meski demikian, studi komunikasi politik tetaplah memiliki arti penting dalam menyediakan
pemahaman dan perkembangan budaya. Tekanan komunikasi dalam bentuk revolusi
komunikasi misalnya, seringkali mempercepat bangkrutnya masyarakat tradisional dan
saluran komunikasi yang baru memainkan peran kunci dalam menentukan arah pembentukan
tata sosial baru.
Para pemerhati studi komunikasi politik komparatif meyakini bahwa budaya politik
sebagian ditentukan oleh hubungan antara komunikasi dan proses-proses yang menjadi
saluran ekspresi kepentingan politik seperti fungsi artikulasi dan agregasi dalam sistem. Oleh
Almond, proses-proses tersebut ditempatkan sebagai fungsi input dalam sistem politik. Pye
kepentingan, klaim, dan permintaan tindakan politik yang diekspresikan melalui kelompok
Artikulasi ini dapat membentuk nilai dan pandangan baru dan artikulasi kepentingan
menyentuh proses-proses dalam sistem seperti mobilisasi, partisipasi dan pengaruh. Sebagai
salah satu varian dalam pendekatan budaya, studi komunikasi politik pada gilirannya juga
Box 4.3.
Karl Deutsch (1963 & 1965) mengajukan pemikiran tentang pengaruh gagasan
sistem politik ala Eastonian pada studi komunikasi serta studi perbandingan
politik.
Lucian W. Pye (1953, 1962, 1963 & 1964) memperluas karya Deutsch dengan
studi komparatif mengenai komunikasi.
Pasca “Civic Culture” karya Almond dan Verba, kajian budaya politik kemudian
ditinggalkan. Sejumlah negara demokrasi yang mapan mengalami turbulensi: Perang Vietnam
yang melahirkan gerakan protes kaum muda di tahun 60-an, krisis minyak pada dekade 70-
an, anti nuklir dan gerakan lingkungan sepanjang dasawarsa 80-an, munculnya privatisasi dan
bangkrutnya negara kesejahteraan, hingga terorisme pada pergantian milenium (Hague dan
Harrop, 2004: 90). Almond dan Verba (1980) dalam studi terbaru mereka mengakui bahwa
banyak peristiwa telah membuat kerangka teoritis yang mereka ajukan tidak lagi memadai.
Sejumlah riset terbaru budaya politik kemudian memfokuskan pada apakah negara demokrasi
yang mapan mengalami kejatuhan dalam merawat kepercayaan sosial dan politik warganya.
Sebagian besar dalam riset terbaru secara umum membenarkan gejala tersebut, meski fokus
persoalan terletak pada kepercayaan diri publik terhadap kinerja institusi demokrasi
ketimbang prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri (Hague dan Harrop, 2004: 90).
Studi Norris (1999: 20) di 17 negara menyimpulkan secara umum kepercayaan publik
terhadap institusi parlemen, birokrasi dan angkatan bersenjata menurun antara tahun 1981 dan
1991. Norris juga menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi telah diterima secara luas
sebagai nilai ideal, namun pada saat yang sama warga menjadi lebih kritis terhadap kinerja
institusi dalam demokrasi perwakilan. Dalam konteks tersebut, Amerika Serikat menyajikan
gambaran yang jelas tentang menurunnya kepercayaan terhadap pemerintah. Studi Brewer
dkk., (2002: 59) menunjukkan bahwa pada tahun 1964 tiga perempat masyarakat Amerika
menyatakan mereka percaya bahwa pemerintah melakukan hal tepat dan benar, namun pada
tahun 1994 hanya seperempat warga saja yang masih meyakini hal tersebut. Kemunduran
tersebut disebabkan oleh perang Vietnam dan Skandal Watergate, yang sedikit membaik
selama periode damai dan kemakmuran dengan terjadinya perbaikan kondisi ekonomi pada
akhir 90-an.
Tren menurunnya kepercayaan politik juga terjadi di negara demokrasi lain. Di Inggris,
kepercayaan pada pemerintah menurun dari 47% pada tahun 1987 menjadi 28% pada tahun
2001 (Bromley dan Curtice, 2002). Kedua hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa di kedua
negara yang menjadi model ideal Civic Culture, Amerika dan Inggris, menjadi bukti adanya
pergeseran yang lebih skeptis terhadap politik sejak lahirnya karya Almond dan
Verba. Trend tersebut menjadi lebih negatif apabila melihat survei dari sejumlah negara
demokrasi di Eropa yang menunjukkan publik memberikan kepercayaan lebih tinggi pada
institusi hukum dan keamanan seperti polisi dan militer ketimbang agen representasi seperti
partai politik. Menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem politik yang
direpresentasikan oleh kinerja lembaga-lembaga demokrasi turut menyurutkan kajian budaya
politik yang dikembangkan oleh Almond dan Verba.
Namun, sejak tahun 1990-an kajian budaya politik kembali mendapatkan tempat dari
para pengkaji perbandingan politik dan pemerintahan. Terdapat dua isu sentral dalam kajian
budaya politik pada era ini: Pertama, isu difokuskan pada menyoal trust warga negara
terhadap pengelolaan sistem politik oleh institusi negara. Diinisiasi oleh studi Robert D.
Putnam (1993) di Italia dalam karya monumentalnya “Making Democracy Work”, dia
menunjukkan bagaimana dukungan lingkungan sosial meningkatkan performa sistem politik.
Putnam memperkenalkan tentang konsep inti dalam kajiannya yang disebutnya sebagai modal
sosial (social capital); Kedua, kajian budaya politik yang berpusat pada budaya dan
perubahan politik yang diinisasi oleh Ronald Ingelhart (1997). Kajian Ingelhart terutama
menghubungkan antara tradisi, agama dan tingkat pembangunan ekonomi terhadap
munculnya nilai-nilai baru dalam berpolitik yang kemudian dikenal sebagai post
materialisme.
Box 4.4
Definisi: Modal Sosial
kawasan utara lebih makmur dan demokratis karena intensitas network dan asosiasi
kemasyarakatan di sana jauh lebih tinggi daripada Italia wilayah selatan yang berakar dari
kepercayaan antara anggota (interpersonal trust) masyarakat di Italia sebelah utara jauh lebih
tinggi.
Putnam menggunakan konsep modal sosial untuk lebih banyak menerangkan perbedaan-
perbedaan dalam keterlibatan yang dilakukan warga: “dalam hal merujuk pada bagian
organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan
efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi” (Putnam, 1993:
167). Ringkasnya, Putnam melihat modal sosial meliputi kompleksitas relasi sosial, norma
sosial, dan kepercayaan (trust) yang menekankan pada pembangunan jaringan (networks) dan
adanya pemahaman norma bersama.
Seperti Almond dan Verba, bagi Putnam modal sosial yang dicirikan oleh masyarakat
yang mampu meletakkan dasar saling percaya muncul secara menyejarah (Hague dan Harrop,
2004: 92). Pada masa Italia di era modern, modal sosial yang terdistribusi secara tidak merata
tersebut bekerja pada entitas masyarakat dalam sejarahnya masing-masing. Pemerintah yang
lebih efektif di utara mewakili sebuah tradisi pemerintahan komunal mandiri yang terbentuk
pada awal abad keduapuluh; Sementara pemerintahan di selatan dibebani dengan sejarah
panjang yang feodal, birokratik dan bercirikan otoritarian. Dengan demikian, analisis Putnam
mengilustrasikan bagaimana budaya politik sebagai perangkat untuk membaca masa lalu
akan mempengaruhi kondisi saat ini.
Memperluas ide tentang kepercayaan, gagasan modal sosial melampaui domain politik
dalam gugus relasi sosial yang lebih luas. Putnam mengajukan bahwa menurunnya
kepercayaan masyarakat Amerika terhadap pemerintah mereka sebangun dengan perubahan
sosial di Amerika –merosotnya kepercayaan pada orang lain. Di Amerika, kepercayaan
tersebut menurun dari 46% di tahun 1972 menjadi 34% di tahun 1994 (Wuthnow, 2002: 71).
Dalam karyanya Bowling Alone (1995), Putnam mempertajam argumennya. Ia menyatakan
bahwa modal sosial masyarakat Amerika mengalami kemerosotan jangka panjang, dan sebab
utama masalah kemunduran ini adalah pengaruh teknologi yang mengindividuasi masyarakat
menjadi individualistik. Putnam mencatat menurunnya jumlah keanggotaan organisasi pada
banyak organisasi kemasyarakatan di Amerika dan menunjuk bahwa tindakan anggota yang
aktif tidak ditularkan pada yang lain. Hal ini menjadi problematik bagi kestabilan demokrasi.
Sebuah metafor diajukan oleh Putnam yang menggambarkan merosotnya keanggotaan orang
Amerika dalam organisasi sosial, digambarkanya dalam aktivitas bowling. Meskipun jumlah
orang yang gemar melakukan bowling meningkat pesat selama kurun waktu 20 tahun
terakhir, namun jumlah orang yang tergabung dalam perkumpulan bowling menurun. Jika
orang melakukan bowling secara tersendiri, mereka tidak terlibat dalam interaksi sosial dan
diskusi warga yang lazim terjadi dalam lingkungan perkumpulan atau organisasi liga. Temuan
tersebut segera memicu debat tentang bahaya disintegrasi modal sosial di Amerika. Putnam
kemudian mengajukan pentingnya memupuk modal sosial melalui mendorong kembali warga
untuk terlibat dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan yang menyatukan orang-orang yang
relatif asing secara rutin dan sering, membantu membangun dan memelihara jaringan yang
lebih luas dan nilai yang mendukung resiprositas dan kepercayaan secara umum.
Namun, temuan tentang menurunnya kepercayaan sosial di Amerika tersebut tidak terjadi
di sejumlah negara demokrasi lainnya. Studi Newton (1999: 175) di negara Uni Eropa
menunjukkan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan
kepercayaan. Sebaliknya, 9 dari 12 negara anggota Uni Eropa menunjukkan tingginya tingkat
kepercayaan antar anggota masyarakat pada tahun 1993 dibandingkan tahun 1976. Di
Swedia, dua pertiga warga mengatakan mereka mempercayai orang lain, meski perdana
menteri negara ini terbunuh pada tahun 1986 dan menteri luar negerinya mengalami hal yang
sama pada tahun 2003. Gambaran tentang tingkat kepercayaan di Amerika secara umum
menunjukkan wajah yang penuh kekerasan, jauh lebih rendah dibandingkan di Swedia
(Rothstein, 2002: 320). Di Eropa, hanya Inggris yang memiliki pola seperti Amerika di mana
telah terjadi penurunan kepercayaan interpersonal. Populasi para pemirsa televisi yang sangat
besar di kedua negara tersebut, menjadi catatan penting telah membawa dampak bagi
hadirnya perilaku yang mereduksi interaksi sosial dan komunikasi antar warga.
Paparan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara tingkat kepercayaan sosial
dan secara politik yang terlihat begitu kuat. Newton menemukan korelasi yang sangat lemah
antara kepercayaan antar warga dan kepercayaan terhadap pemerintah. Demikian pula kajian
Rothstein (2002: 321) di Swedia juga menunjukkan korelasi yang sangat lemah di antara dua
konsep tersebut. Secara pasti, menurunnya kepercayaan terhadap pemerintah menjadi tren di
negara-negara demokratis; namun tingkat kepercayaan sosial dengan modal sosial,
tampaknya menjadi isu yang terpisah (Hague dan Harrop, 2004: 92).
Sejalan dengan Almond dan Verba, tema modal sosial Putnam dalam kajian budaya
politik diorientasikan pada upaya mengembangkan budaya politik dan keterkaitannya dengan
upaya membangun kestabilan demokrasi. Meski demikian Putnam berupaya memperbaharui
pendekatan Almond dan Verba. Jika Almond dan Verba menempatkan budaya sebagai habitat
bagi sistem politik yang diukur dari bekerjanya fungsi input (demand) dan output sistem
(supply), maka Putnam mengajukan budaya sebagai modal (capital) dalam mencapai
kestabilan demokrasi. Karenanya, Putnam mengajukan pentingnya mempertebal social trust
di antara warga yang selanjutnya memperkuat political trust yang ditujukan pada institusi
pemerintahan. Dalam konteks tersebut, sumbangan gagasan Putnam terutama diletakkan pada
perbaikan input maupun output sistem politik demokratis.
Berbeda dengan Putnam, Ingelhart (1970) justru memulai kajiannya dalam tema budaya
dan perubahan politik yang menelaah tentang pergeseran masyarakat Barat dari materialisme
menuju post materialisme. Melalui serial survei sosial di banyak negara lebih dari tiga puluh
tahun lamanya, Ingelhart melihat gejala yang dibangun dari proporsi dasar berikut ini
(Newton dan van Deth, 2009: 177).
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam seratus tahun terakhir telah membawa
kondisi kecukupan secara material di sebagian besar masyarakat Barat. Dari akhir dekade 40-
an hingga awal 70-an, dunia masyarakat Barat menyaksikan sebuah episode sejarah yang
belum pernah terjadi sebelumnya berupa tingginya pertumbuhan ekonomi. Pada era ini, jauh
kehidupan menyebabkan transformasi nilai-nilai politik dari material menuju post material.
Kedua, masyarakat berada dalam budaya politik mereka melalui sosialisasi yang sangat
awal dan perubahan pandangan hidup mereka sangat lambat setelah pencapaian tersebut.
Tanda-tanda yang paling nyata dari pergeseran tersebut ditunjukkan dengan adanya kaum
muda yang sejahtera dan munculnya generasi dengan pendidikan lebih baik. Perubahan
kultur dari materialisme menuju post materialisme begitu lambat dan senyap tampak tidak
mengubah kehidupan politik secara menyeluruh yang oleh Ingelhart disebut sebagai Revolusi
senyap (The Silent Revolution) yang kemudian menjadi judul karyanya yang terbit pada 1977.
Ringkasnya, kombinasi unik antara kemakmuran, perdamaian dan keamanan mengarahkan
pada revolusi senyap dalam budaya politik Barat (Hague dan Harrop, 2004: 93).
Karya Ingelhart tersebut, segera membawa dampak yang luas, karena terlibat dalam isu-
isu perubahan sosial tentang partipasi, persamaan, komunitas dan ekspresi pribadi. Tema post
material terlibat dalam isu publik seperti toleransi aborsi, euthanasia, kelompok minoritas
dalam orientasi seksual, orang tua tunggal, kelompok minoritas, penolakan tehadap nuklir,
hingga eksploitasi lingkungan. Para pengusung budaya post material digambarkan sebagai
kaum muda, kaya dan berpendidikan yang menjadi bagian dari masyarakat Amerika dan
Eropa Barat di era 60-an. Tanda-tanda kemunculan awal dari generasi ini yang melahirkan
protes mahasiwa pada dekade tersebut. Pergeseran menuju nilai post material, membantu
penjelasan tentang fakta bahwa meningkatnya kemakmuran pada dasawarsa 60-an tidak serta
merta mendorong kepuasan terhadap masyarakat, namun justru memunculkan gelombang
protes politik untuk merubah sistem politik (Newton dan van Deth, 2009: 177). Pengusung
post materialis adalah elite baru yang tertantang untuk mengadvokasi pandangan politik baru,
ketimbang sebagai elite yang melanggengkan politik ala militer atau totalitarianisme dalam
pertarungan di ranah politik praktis seperti elektoral dan pemerintahan (Hague dan Harrop,
2004: 93). Kemunculan post material di sejumlah negara Barat membuat Ingelhart
menyajikan penjelasan bahwa penekanan pada kemajuan ekonomi justru memicu munculnya
tema kualitas kehidupan: di mana perjuangan terhadap norma yang berorientasi pada
masyarakat industrial memberi jalan menuju pilihan pada gaya hidup berlebihan yang
merupakan ciri ekonomi post industrial (Inglehart, 1997: 28).
Box 4.6
Budaya Politik Post Material dalam Studi Perbandingan
Amerika adalah pelopor yang ditunjukkan dengan fenomena yuppies pada awal
70-an dan hadirnya babyboom tiga dekade kemudian.
Diikuti dengan negara Eropa yang paling makmur seperti Denmark, Belanda
dan Jerman Barat.
Post material kurang dapat diterima di negara yang kurang demokratis dengan
tingkat pendidikan masyarakat yang rendah seperti Yunani.
Menurut Ingelhart post material kini telah meluas di belahan barat dan menuju belahan
dunia lainnya yang juga mengalami kemakmuran. Generasi materialis yang terpinggirkan
kini digantikan oleh kaum post materialis yang diprediksi akan menjadi kelompok mayoritas
di negara-negara Barat pada 2010. Di antara negara-negara demokrasi, proporsi tertinggi
kelompok ini ditemukan di Australia, Austria, Kanada, Italia, Belanda, Amerika Serikat; dan
yang lebih rendah di Estonia, India, Israel dan Latvia. Selain itu, sebagai generasi muda
mereka akan menguasai posisi dalam kekuasan politik di mana kelompok ini akan
memainkan kendali terhadap pemerintahan (Newton dan van Deth, 2009: 178). Mereka
adalah kelompok aktif, opinion leader, dan telah bergerak dalam posisi kekuasaan untuk
mengamankan platform yang berasal dari nilai-nilai mereka yang secara langsung
berpengaruh pada keputusan pemerintah (Hague dan Harrop, 2004: 95). Bill Clinton (lahir
1946, presiden pertama yang lahir pada era pasca perang) menawarkan agenda yang lebih
liberal pada masyarakat Amerika daripada pemangku sebelumnya George Bush (lahir 1924).
Serupa dengan klaim tersebut, Inggris memiliki Tony Blair (lahir 1953) menggantikan John
Major (lahir 1943). Fenomena post materialisme ini tidak terbatas pada negara-negara Barat
yang kaya. Kini ditemukan pula di negara-negara dengan pertumbuhaan ekonomi tinggi
seperti China, Polandia, dan Korea Selatan di mana masyarakatnya kini menikmati
kemakmuran dan pendidikan yang jauh lebih baik.
6. Maraknya isu-isu mutakhir dalam politik. Post materialis tidak dekat dengan isu
politik kanan maupun kiri, dan lebih tertarik pada isu lingkungan, feminisme,
Tesis post material didukung dengan baik dengan bukti survei dari seluruh dunia, namun
tak semuanya menunjukkan konsistensi. Sejumlah kajian tentang perubahan nilai pada
masyarakat Eropa Barat pasca perang menunjukkan sebuah pola yang sedikit berbeda
(Newton dan van Deth, 2009: 178):
1. Pembagian politik dalam Kiri dan Kanan tetap mengakar, meski politik kaum Kiri dan
Kanan telah mengalami perubahan dan melemah;
4. Hampir seluruh penganut post materialisme adalah kaum muda, terdidik dan berasal
dari kelas menengah. Namun, tidak semua yang kaum muda, terdidik dan kelas
menengah adalah penganut post materialisme.
Analisis budaya politik yang berpijak dari karya-karya tradisional tentang budaya dalam
antropologi, studi sosialisasi dan kelompok kecil dalam sosiologi serta studi-studi kepribadian
dalam psikologi menunjukkan keragaman dalam membangun interpretasi tentang pendekatan
ini. Pada satu sisi keragaman tersebut menghadirkan kesulitan tersendiri dalam membangun
kerangka kerja yang membentuk teorisasi tentang budaya politik. Seperti dipaparkan dalam
bagian sebelumnya, budaya politik tidak dapat ditempatkan dalam satu kerangka kerja yang
menjadi kesepakatan di antara para pengkajinya. Di bawah pengaruh tradisionalis, pengertian
budaya politik cenderung diletakkan dalam pengertian antropologis: di mana budaya politik
tidak dibedakan dengan aspek kebudayaan lainnya dan merupakan warisan sosial yang utuh.
Sementara di bawah tradisi behavioralisme, budaya politik ditempatkan secara otonom
namun tetap berkaitan dengan budaya umum: ia tidak hadir bersama-sama dengan sistem
politik, karena pola orientasi politik melampaui batas-batas
sistem politik (Chilcote, 2010: 301). Pada sisi lain, keragaman atas interpretasi budaya politik
menjadi kekayaan tersendiri bagi pendekatan ini yang memungkinkan budaya politik
menggunakan kerangka kerja antropologi, sosiologi dan psikologi. Almond dan Verba (1963)
menyatakan bahwa pemikiran tersebut terkayakan saat menggunakan kategori-kategori
antropologi, konflik budaya dan akulturasi (Almond dan Verba, 1963: 13).
1) Budaya politik merujuk pada “pola” tentang nilai, sikap dan keyakinan yang mewakili
gambaran perilaku dan tindakan politik individu yang ditarik secara agregat menjadi
gejala umum pada entitas masyarakat. Sementara dalam tradisi antropologi “pola”
mewujud dalam kebiasaan-kebiasaan, adat, dalam suatu komunitas yang membentuk
tindakan dan reaksi anggota komunitas tersebut.
3) Budaya politik merujuk pula pada bridging concept yang memadukan dua tingkat
orientasi: individu dan kolektifitas. Pye (1965) merujuk suatu batas-batas subyektif
politik yang teratur yang bagi individu memberikan panduan perilaku politik,
sementara bagi kolektivitas ia memberikan satu struktur sistematis nilai-nilai dan
pertimbangan yang memastikan koherensi kinerja lembaga-lembaga dan organisasi-
organisasi (Pye 1965, dalam Chilcote, 2010: 303). Kendati dalam tradisi antropologis,
pengertian tersebut agak sulit diterima, di mana keberatan kaum tradisional diletakkan
pada orientasi budaya politik pada sistem politik, namun gagasan pendekatan ini yang
menjangkau tegangan individu-kolektivitas (masyarakat) dalam suatu entitas politik
(misal: negara) sebagai unit analisis, dapat diterima oleh pengkaji budaya politik
antropologis.
Perbedaan mendasar kedua paradigma tersebut terletak pada cara merumuskan kerangka
kerja (frame work) budaya politik sebagai pendekatan dalam suatu disiplin ilmiah.
Konsekuensi dari perbedaan kerangka kerja tersebut melahirkan perbedaan model analisis
yang didalamnya melekat karakter khas pada masing-masing model. Di bawah ini pengaruh
studi-studi antropologis yang diinisiasi kelompok tradisionalis, model pendekatan budaya
politik dibangun dari karakter sebagai berikut:
1. Orientasi studi budaya politik tidak ditujukan untuk memisahkan kerangka kerja
budaya politik dari budaya umumnya. Ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
studi budaya pada umumnya. Kecenderungan ini tampak kuat dari karya-karya
antropolog yang cenderung memberi perhatian pada seluruh aspek kehidupan dalam
suatu komunitas, meski mereka mencari jawaban guna memahami gejala-gejala
politis yang tengah dikajinya. Percampuran berbagai aspek kebudayaan dalam model
analisis semacam ini berkecenderungan membuat para pengkajinya tidak memisahkan
fakta dan nilai yang kerap kali menghasilkan argumen bersifat spekulatif;
2. Kajian budaya politik antropologis concern pada karakter khas atau unik yang
menyediakan keragaman pola kebudayaan dan tidak seragam. Hal ini membuat kajian
budaya politik antropologis berlaku spesifik, partikular, kasuistik, serta menghindari
generalisasi dalam model analisisnya. Dampak dari model semacam ini tidak
membuka ruang bagi berkembanganya studi perbandingan;
3. Kendati ditujukan untuk mengungkap pola-pola khas dari suatu komunitas dalam adat
maupun kebiasaan yang diasumsikan menciptakan orde keteraturan, studi budaya
politik antropologis menyediakan kerangka kerja dalam mengkaji isu-isu perubahan
yang merepresentasikan gambaran situasi kebudayaan yang tidak teratur;
4. Metode kerja yang digunakan bersifat kualitatif dan disajikan secara deskriptif.
Konsekuensi logis dari pilihan model analisis ini membawa akibat kajian budaya
politik tidak dilakukan dalam kerangka membangun penjelasan dengan cara
mengukur pola-pola orientasi yang diamati berdasarkan kategori-kategori obyektif.
Namun lebih ditujukan untuk menuju pemahaman substantif tentang pola-pola
kebudayaan politik yang bekerja pada suatu komunitas.
4. Metode kerja yang dipakai menggunakan metode kuantitatif serta empirik guna
memenuhi klaim saintifik. Metode kuantitatif yang menekankan pada kesucian fakta-
fakta empirik dalam model analisis ini ditujukan untuk mencari pola-pola general
yang dilakukan melalui perangkat pengukuran yang telah diuji secara obyektif.
Karena itu, model analisis budaya politik semacam ini berkecenderungan membangun
“penjelasan budaya” tentang gejala-gejala dalam sistem politik yang bersifat
kausalitas.
Salah satu pendekatan yang paling berpengaruh untuk mempelajari sikap politik, nilai-
nilai dan perilaku dalam periode pasca-perang adalah studi budaya politik. Konsep ini
merupakan salah satu yang sulit dipahami (elusif) kompleks, longgar dan tidak jelas (vague).
Meskipun demikian, kita dapat melihat perangkat budaya politik sebagai semacam peta
bagaimana orang berpikir dan berperilaku. Sebuah peta tentu bukan dibayangkan sebagai hal
yang nyata, namun berhubungan dengan pilihan terhadap cara pandang yang menjadi
panduan berguna untuk menuntun hal yang nyata.
Dengan cara yang sama, pendekatan budaya politik tidak mereproduksi setiap detail
tentang apa yang masyarakat ketahui, pikirkan dan rasakan tentang politik, tetapi dapat
menjadi panduan yang berguna dan sederhana untuk menuntun hal mendasar dari individu
terhadap keyakinan, nilai dan sikap. Konsep ini membantu kita untuk memfokuskan pada apa
yang penting dan melihat pola-pola yang hidup untuk mengurai kebingungan dan bercampur
baur.
1. Kajian budaya politik banyak menyajikan temuan empiris tentang sikap dan perilaku
politik. Misalnya peran pendidikan dan keluarga, pentingnya kompetensi dalam
politik, dan studi tentang kepercayaan sosial (social trust) dan kebanggaan sebagai
warga negara dan bangsa (national pride) yang kerap diabaikan dan kurang mendapat
tempat dalam kajian perbandingan pada masa sebelumnya.
2. Budaya Politik diklaim sebagai hal yang sulit diubah di mana budaya berubah secara
perlahan dan menyediakan kelestarian. Sebagai fondasi demokrasi, nilai-nilai politik
jauh lebih penting dari pada perilaku politik yang lebih mudah berubah.
3. Konsep Budaya Politik menyediakan linkage antara individu (micro-politics) dan
institusi atau negara (macro-politics); subyektifitas (nilai dan sikap) dengan
obyektifitas (misal: perilaku memilih); serta sejarah dan tradisi dengan arus peristiwa
yang melingkupinya.
4. Sejumlah survei kajian budaya politik mengungkapkan perbedaan sikap dan perilaku
dengan menggunakan soft variable (seperti nilai, latar belakang agama dan
pendidikan) daripada hard variabel seperti (kelas sosial, tingkat kesejahteraan) atau
variabel struktural (kekuasaan pemerintah, tata aturan pemilu) memberikan penjelasan
yang lebih memadai.
5. Budaya politik tentu tidak dapat menjelaskan secara seluruhnya, namun membantu
menjelaskan fenomena dengan melibatkan rentang aspek yang luas dari
perkembangan ekonomi dan stabilitas politik, perkembangan demokrasi dan perilaku
politik.
1) Budaya politik kerap ditempatkan sebagai konsep sampah (dustbin, residual) dan
kabur (fuzzy) yang biasanya digunakan setelah penjelasan dengan variabel lain (seperti
variabel ekonomi, kelas sosial, dan lainnya) gagal menjelaskan gejala yang diamati.
Ketika variabel lain gagal, penjelasan selalu dibebankan pada budaya. Budaya juga
kerap digunakan untuk menjelaskan gejala yang bersifat post hoc (setelah peristiwa
terjadi) yang tidak dapat diujikan secara empiris.
6) Penjelasan budaya politik hanya terkait dengan mata rantai akhir dari rantai panjang
perilaku politik. Akar yang mendasar perilaku boleh jadi bersifat historis, ekonomis
(dalam teori Marxis atau kelas sosial) atau mungkin terletak dalam aspek psikologis
yang bersifat individual.