ISBN 978-979-3137-53-7
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PADI
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung
Kedaulatan Pangan Nasional”
Medan 2 Desember 2015
Penyunting : Nurmalia
Pelaksana Muainah Hasibuan
Akmal
Khadijah El Ramija
Dorkas Parhusip
Ahmad Tohir Harahap
Risna Astika Daulay
Ahmad Azhar Nasution
Muhammad Fadly
KEMENTERIAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SUMATERA UTARA
2016
ii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Cetakan 2016
ISBN 978-979-3137-53-7
633.18
Penyunting :
T.M. Ibrahim, C. Hermanto, Musfal, A.Yusuf,P. Nainggolan, L. Haloho,
Asmanizar, S.E. Sumantri, dan M. Nuh
Penyunting Pelaksana :
Nurmalia, M. Hasibuan, Akmal, K.E. Ramija, D. Parhusip, A. T. Harahap,
R. A. Daulay, A. A. Nasution, dan M. Fadly
Makalah dalam buku ini telah disampaikan dalam Seminar Nasional Padi
di Medan, tanggal 2 Desember 2015
i
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KATA PENGANTAR
Semoga Bermanfaat
ii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
iii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
iv
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
v
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
vi
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Padi berperan penting dalam ketahanan pangan, untuk itu telah ditargetkan
pada tahun 2018 diharapkan tercapai 85 juta ton GKG, atau tambahan produksi
sekitar 4 juta ton GKG/tahun. Tantangan peningkatan produksi ini dapat dicapai
melalui upaya perbaikan sarana prasarana, penyediaan teknologi spesifik
lokasi, peningkatan kapasitas kelembagaan pendukung, dan penyediaan
informasi pasar yang tepat waktu.
Dari hasil seminar nasional padi ini dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
I. Tantangan dan Kendala Pencapaian Swasembada Beras Berkelanjutan
1. Penurunan lahan sawah produktif akibat konversi lahan untuk non-
pertanian (komersial, industri, dan perkotaan), kurangnya penyuluh
yang kompeten, dan penurunan pendapatan petani.
2. Meningkatnya degradasi sumber daya lahan dan infrastruktur terutama
jaringan irigasi dan jalan usahatani.
3. Perubahan iklim global, memberikan dampak langsung terhadap
peningkatan konsentrasi CO2, kenaikan suhu udara, kenaikan
permukaan laut dan perubahan pola hujan.
4. Suhu udara meningkat berpengaruh terhadap fisiologis tanaman dan
berpengaruh kuat terhadap penurunan hasil/produksi tanaman padi.
5. Dampak ikutan perubahan pola iklim meliputi: banjir, kekeringan,
salinitas, dan ledakan hama penyakit utama seperti WBC, HDB, blas.
6. Kelembagaan pertanian yang masih lemah sehingga tidak mudah bagi
petani untuk mendapatkan akses permodalan, sarana produksi
pertanian, pemasaran dan teknologi pertanian.
7. Kapasitas dan jumlah sumber daya insan pertanian terdepan dengan
pelaku usahatani yang masih kurang.
8. Khusus untuk Sumatera Utara, kemerataan pembangunan beserta
seluruh faktor pendukungnya masih menjadi masalah yang serius.
Perbedaan kemajuan pembangunan sector pertanian di wilayah timur,
tengah dan barat menyisakan pekerjaan rumah yang besar, yang harus
diselesaikan.
vii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
viii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ix
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR ISI
MAKALAH UTAMA
1. STRATEGI PENGEMBANGAN PADI UNTUK MENDUKUNG
KEBIJAKAN PANGAN NASIONAL
Laurensius Sihaloho dan Hasil Sembiring ......................................... 1
MAKALAH PENUNJANG
A. BUDIDAYA
8. PENAMPILAN EMPAT VARIETAS UNGGUL BARU PADI
SAWAH BERBASIS PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI
SUMATERA BARAT
Misran .............................................................................................. 97
x
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xi
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
B. PASCA PANEN
34. KARAKTERISTIK MUTU GABAH DAN BERAS GALUR-GALUR
HARAPAN PADI SAWAH TAHAN PENYAKIT TUNGRO DAN
HAWAR DAUN BAKTERI (HDB) .
Cucu Gunarsih, Suhartini, Trias Sitaresmi, Estria Furry P,
Nurmalia ..................................................................................... ... 300
xiii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xiv
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
D. SUMBERDAYA
xv
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xvi
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xvii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xviii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xix
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xx
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xxi
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xxii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
xxiii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Di masa yang akan datang, sektor pertanian juga tetap menjadi salah
satu andalan bagi ketahanan pangan dan energi nasional. Kebutuhan pangan
dan juga energi akan terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan dan
peningkatan kesejahteraan penduduk. Sebagai negara yang besar, ketahanan
1
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pangan merupakan pilar utama stabilitas nasional, sehingga menjadi salah satu
sasaran utama pembangunan pertanian yang tidak dapat ditawar tawar. Hingga
saat ini, beras masih merupakan komponen utama ketahanan pangan nasional,
sehingga swasembada beras tetap menjadi indikator utama ketahanan pangan
(Haryono, 2013)
2
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Lahan sawah yang saat ini luasnya sekitar 8,1 juta hektar cenderung
menciut akibat konversi, bahkan dalam 10 tahun terakhir, terjadi juga alih fungsi
lahan sawah menjadi lahan perkebunan sawit. Sekitar 3,1 juta ha atau 42%
lahan sawah juga dibayang-bayangi oleh ancaman alih fungsi, terkait dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Sementara itu dikarenakan keterbatasan anggaran, berbagai faktor sosial
ekonomi, serta aspek kepemilikan lahan dan kendala lainnya di lapang,
kemampuan pemerintah dalam pencetakan sawah hanya sekitar 30-40 ribu
hektar per tahun.
3
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
4
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dengan tersedianya cara/motode tanam yang lebih produktif (jajar legowo, SRI,
hazton, dan mina padi). Selanjutnya, penerapan pemupukan berimbang dan
penggunaan pupuk organik sesuai dengan kondisi spesifik lokasi perlu lebih
dikembangkan untuk meningkatkan provitas. Peningkatan provitas juga perlu
didukung oleh teknologi pengairan yang lebih efisien, teknologi pengendalian
OPT dan penanganan DPI.
5
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Untuk mencapai target produksi padi pada akhir tahun 2019 sebesar 82
juta ton GKG, diperlukan luas panen 15,45 juta ha atau tumbuh rerata 290 ribu
ha (1.97%) per tahun dan produktivitas sebesar 52.48 ku/ha atau tumbuh 0,44
ku/ha (0,84%) per tahun (Tabel 2).
6
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
7
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
8
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
PENDAHULUAN
9
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
10
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
11
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
12
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tanaman diharapkan dapat tumbuh dengan baik. Sekitar 90% VUB padi
Balitbangtan (Inpari, Inpago, dan Inpara) berbasis ZAE telah diadopsi dan
ditanam oleh petani. Ada lima varietas padi yaitu Ciherang, Mekongga,
Situbagendit, IR 64 dan varietas lokal yang mendominasi 66,15% adopsi
varietas padi pada tahun 2015, sisanya 8,02% varietas unggul baru lainnya
(Inpari, Inpago, Inpara, Hipa) termasuk di antaranya Inpari 13 sebesar 1,68%,
dan 25,83% adalah varietas unggul lainnya yaitu Cigeulis, Ciliwung, Cibogo,
dan IR 42 (Ditjen TP, 2015).
Proporsi VUB Balitbangtan 86,4% dari 13,768 juta ha luas areal panen.
Penggunaan VUB padi oleh petani selain dapat meningkatkan produksi padi
nasional, juga mempunyai efek mulitiplier terhadap perekonomian nasional,
yaitu terbangunnya sistem pertanian bioindustri, industri perbenihan,
peningkatan kesejahteraan petani, membuka lapangan kerja dan lain-lain, yang
diperkirakan mencapai 1,5 trilyun rupiah per tahun. Selain itu menurut Lesmana
(2014), Return of Investment (ROI) dari varietas Ciherang saja mencapai Rp
67,5 triliun/tahun. Sementara itu jumkah anggaran riset yang dialokasikan untuk
riset bidang padi baru sebesar Rp 200 miliar/tahun.
Hingga saat ini Balitbangtan telah menghasilkan sebanyak 276 varietas
unggul baru padi dan selama tahun 2010-2014 saja, Balitbangtan melalui BB
Padi telah melepas 53 varietas unggul baru (VUB) dan masing-masing memiliki
keunggulan (Tabel 1). Dalam rangka percepatan pelepasan varietas, salah satu
strategi Balitbangtan adalah melakukan koordinasi dengan instansi penelitian
di luar BB Padi melalui kegiatan Konsorsium Padi Nasional yang diikuti oleh
beberapa Institusi Penelitian Nasional.
Tabel 1. Varietas padi unggul baru padi yang dilepas tahun 2010-2014
No. Varietas Keunggulan
Tahun 2010 :
1. Inpari 11 Potensi hasil 8,8 t/ha, pulen, umur 105 hari, tahan HDB III, agak
tahan HDB IV dan VIII, tahan blas ras 033 dan 133. Cocok
ditanam di sawah tadah hujan dataran rendah sampai ketinggian
600 m dpl.
2. Inpari 12 Potensi hasil 8,0 t/ha, umur 99 hari, pera, agak tahan WBC biotipe
1 dan 2, agak tahan blas ras 133 dan 073. Cocok ditanam di
sawah tadah hujan dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl.
3. Inpari 13 Potensi hasil 8,0 t/ha, umur 99 hari, pulen, tahan WBC biotipe 1,
2 dan 3, tahan blas ras 033, agak tahan blas 133, 073 dan 173.
Cocok ditanam di sawah tadah hujan dataran rendah sampai
ketinggian 600 m dpl.
4. Hipa 9 Potensi hasil 10,4 t/ha, pulen, umur 115 hari, agak tahan HDB III.
Cocok ditanam di daerah dataran rendah < 450 m dpl.
5. Hipa 10 Potensi hasil 9,4 t/ha, pulen, umur 114 hari, agak tahan HDB III.
Cocok ditanam di daerah dataran rendah < 450 m dpl.
6. Hipa 11 Potensi hasil 10,6 t/ha, pulen, umur 114 hari, agak tahan HDB III.
7. Inpago 4 Potensi hasil 6,1 t/ha, pulen, umur 124 hari, tahan beberapa ras
blas, toleran keracunan Al (60 ppm). Cocok ditanam di lahan
13
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
14
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
15
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
16
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Budidaya padi di masa yang akan datang lebih diarahkan pada lahan-
lahan sub-optimal, seperti di lahan kering, lahan rawa, lahan gambut, hutan
tanaman industri dan perkebunan. Oleh karena itu teknologi budidaya yang
mendukung pertumbuhan VUB padi spesifik lokasi perlu disiapkan. Cara tanam
jajar legowo (jarwo) 2:1 telah direkomendasikan untuk peningkatan hasil panen
padi. Pengelolaan hara spesifik lokasi telah dikembangkan dengan aplikasi
telepon seluler (hape) menggunakan SMS. Aplikasi teknologi pemupukan
spesifik lokasi menggunakan hape mendukung mempermudah petani
mendapatkan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk peningkatan
produksi padi. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, Filipina, Thailand,
Vietnam, dan India diketahui bahwa hasil panen PHSL 400 kg/ha/musim tanam
lebih tinggi daripada hasil pemupukan cara petani. Melalui penerapan PHSL
petani berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan Rp. 2.000.000/ha/MT
dengan asumsi harga gabah Rp. 5000/kg. Teknologi produksi padi di lahan
pasang surut dan lahan berdampak salinitas dan budi daya padi gogo IP 200
telah tersedia. Teknologi pengendalian hama dan penyakit utama padi
dilakukan berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT).
Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu komponen PHT yang
murah dan tidak mencemari lingkungan. Penelitian peta sebaran
17
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
18
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Teknologi Pascapanen
Penelitian pasca panen ditekankan pada upaya menekan kehilangan
hasil dan meningkatkan mutu hasil. Pengurangan kehilangan hasil dari 18,8%
menjadi 3,8% dapat dilakukan dengan perbaikan pemanenan padi dengan
sistem panen kelompok dan penggunaan mesin perontokan hingga
pemanfaatan combine harvester. Jika teknik tersebut diterapkan pada 50%
areal panen nasional, maka diprakirakan dapat diselamatkan hasil panen
sekitar 3,1 juta ton gabah kering panen (GKP) atau sekitar 7,75 triliun rupiah.
Di tingkat penggilingan padi (PPK) diupayakan dapat menurunkan kehilangan
hasil dengan upaya revitalisasi PPK untuk meningkatkan rendemen beras
sebesar 4%.
Penelitian untuk menjaga mutu hasil dilakukan terhadap teknik
pengeringan, penggilingan, dan penyimpanan. Pengeringan dengan mesin
pengering (dryer) dengan ketebalan 50 cm suhu 42 oC menghasilkan beras
bermutu dengan persentase beras pecah kurang dari 15%. Peningkatan daya
saing dilakukan melalui teknologi pasca panen padi dan peningkatan nilai gizi
seperti kandungan vitamin B1 (thiamin), B3 (niacin), B2 (riboflavin), B6
(pyridoxin) vitamin B12 (cobalamin), asam pantothenat, asam folat dan
antocyanin, kadar mineral (Fe dan Zn), serta nilai indeks glikemik. Peningkatan
kandungan mineral dan vitamin pada padi telah diupayakan melalui perakitan
varietas padi dengan kandungan besi dan seng yang tinggi untuk menekan
prevalensi masalah anemia Gizi Besi dan Defisiensi seng. Galur BP9452F-12-
1-B yang memiliki kandungan besi antara 6,8-9,2 ppm dan kandungan seng
antara 20-26 ppm telah siap untuk dilepas sebagai varietas baru.
Gambar 1. Distribusi benih sumber padi kelas BS dan FS pada tahun 2005-
2013 (BB Padi, 2014)
19
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
20
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pupuk organik dan hayati, pestisida nabati dan hayati, pengelolaan lahan dan
air, alsintan dan teknologi panen serta pengolahan untuk peningkatan nilai
tambah yang berdaya saing. Penelitian padi harus ditujukan untuk
meningkatkan daya saing dengan karakteristik yang sesuai keinginan
konsumen, baik pasar domestik maupun pasar ekspor.
Penelitian kebijakan tetap diperlukan baik dalam rangka evaluasi
kebijakan maupun penyusunan usulan rekomendasi kebijakan pembangunan
pertanian. Rekomendasi kebijakan mencakup aspek teknologi, ekonomi, sosial
(kelembagaan) dan lingkungan serta fokus pada upaya untuk mendukung
terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumber
daya lokal.
Dalam kaitannya dengan kebijakan otonomi daerah perlu dirumuskan
mekanisme perencanaan penelitian maupun pengkajian dengan
memperhatikan keinginan petani, pelaku agribisnis dan pemangku kepentingan
lainnya di daerah. Selain itu, implikasi perlu dibangun sistem inovasi pertanian
yang utuh mulai dari hulu sampai ke hilir yang bersifat inovasi teknologi spesifik
lokasi.
21
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
22
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
23
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
24
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
season), (2) Ancaman perubahan iklim, (3) Alih fungsi lahan pertanian, (4)
Menurunnya jumlah tenaga kerja dan upah yang tinggi, (5) Kehilangan hasil
panen masih tinggi, dan (6) Fluktuasi harga. Keenam masalah tersebut
merupakan dan tantangan orientasi penciptaan inovasi teknologi mendukung
kedaulatan pangan, yakni: (1) Perakitan VUB dan akselerasi benih, (2)
Teknologi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim; Teknologi off-season dan
spesifik lokasi; Teknologi pengelolaan, (3) Penciptaan Teknologi Budidaya
pada Lahan Sub-optimal (Lahan rawa, lahan tadah hujan, lahan kering iklim
kering, lahan diantara tegakan tanaman tahunan), (4) Penciptaan teknologi
mekanisasi pertanian yang mampu mengatasi kekurangan tenaga kerja dan
biaya produksi, (5) Penciptaan Teknologi Pascapanen dan penanganan segar;
pengolahan primer dan sekunder; pengemasan,dan (6) Penyusunan
Rekomendasi Kebijakan: harga, penyediaan modal dan akses pasar, subsidi
benih dan pupuk, penguatan kelembagaan tani, peningkatan diseminasi,
hilirisasi dan pengawalan teknologi (Tabel 2) (Syakir, 2015).
Tabel 2. Masalah pembangunan pertanian dan tantangan litbang pertanian
PERMASALAHAN TANTANGAN
25
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
26
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
27
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
28
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
29
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
30
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Sarlan Abdulrachman
ABSTRAK
31
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
PENDAHULUAN
32
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
33
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pengembangan PTT
ke petani non kooperator
(dampak)
34
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
35
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
rata 8,4 t/ha; dengan peningkatan produksi sebesar 29% dibanding cara petani
(6,5 t/ha dan R/C = 1,97). Namun demikian respon terhadap PTT ternyata
berbeda antar varietas. Padi varietas Ciherang menghasilkan 7,3-7,7 t/ha, IR64
6,8-6,9 t/ha, dan Way Apo Buru 7,4-7,6 t/ha. Pada waktu yang sama, petani di
sekitar yang menggunakan cara biasa hanya memperoleh hasil sekitar 4,7; 4,9
dan 5,7 t/ha, berturut- turut untuk varietas IR64, Way Apo Buru dan Ciherang.
Pada ketiga varietas yang digunakan dalam PTT memberikan nilai R/C lebih
tinggi dibanding cara biasa. Komponen-komponen utama PTT seperti bibit
muda-tunggal, pengairan berkala (intermittent) dan peningkatan kandungan
bahan organik tanah, merupakan komponen produksi dalam sistem produksi
padi sawah irigasi.
Berdasarkan hasil tersebut maka pada tahun 2001 model PTT tersebut
mulai dikembangkan di luar Sukamandi, yaitu melalui jaringan Penelitian dan
Pengkajian (Litkaji) antara BB Padi dan BPTP.
Penggunaan benih. Introduksi komponen teknologi inovasi dalam
sistem PTT yang telah disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan
permasalahan setempat, juga ternyata beragam penerapannya oleh petani di
berbagai wilayah/kabupaten. Penggunaan benih erat hubungannya dengan
cara tanam, yaitu sistem tegel atau jajar legowo serta banyaknya bibit yang
ditanam per lubang. Penggunaan benih oleh petani peserta PTT di 20 contoh
kabupaten berkisar antara 15 kg/ha (di 4 kabupaten) hingga > 40 kg/ha (4
kabupaten) (Gambar 2).
36
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
12
Keterangan
nama varietas
10
:
Jumlah kabupaten
1 : Ciherang
8
2 : IR64
6 3 : IR66
4 : Kalimas
4 5 : Cisokan
Varietas 6 : widas
2 7 : Ciliwung
8 : Cisantana
0 9 : Caredek
1 2 3 4 5 6 7 8 9
37
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Takaran pupuk urea, SP36, dan KCL pada sistem PTT diberbagai
kabupaten dan besarnya penghemat pupuk
Dosis Penghemat Dosis Penghemat Penghema
Dosis
urea an urea Jml SP 36 an SP 36 Jml -tan KCl Jml
KCl
BWD (kg/ha) Kab PTT (kg/ha) Kab (kg/ha) Kab
PTT
< 100 > 150 3 < 50 > 50 2 0 100 2
100 - 200 50 – 150 13 50 – 100 0 – 50 12 50 - 100 0 - 50 12
250 0 3 > 100 - 4
> 250 - 1 - -
38
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
39
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
40
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
5. Kesuburan lahan rendah Aceh Besar, Madina, Simalungun, Karawang, Bojonegoro, Bima,
(11 kabupaten) Hulu Sungai Selatan, Bengkulu, Tanjung Jabung, Bolaang
Mongondow,
6. Air sering kurang/ Lampung Tengah, Subang, Sragen, Lanrang, Tanjung Jabung,
kekeringan Sumba Barat
(7 kabupaten)
7. Tungro Pidie, Lombok Barat, Bima dan Lanrang
( 4 kabupaten)
8. Blas Pidie, Ogan Komiring Ulu, Padang Pariaman, Solok
(4 kabupaten)
9. Belalang Cilacap, Bantul, Lombok Barat, Bima
(4 kabupaten)
10. Kepinding tanah Aceh Besar, Simalungun, Bantul, Padang Pariaman
(4 kabupaten)
11. Ulat grayak Lombok Barat, Pontianak, Donggala
(3 kabupaten)
12. Wereng coklat Musi Rawas, Karawang
(2 kabupaten)
13. Sundep Bantul, Asahan
(2 kabupaten)
14. Hawar daun bakteri Ogan Komiring Ulu, Sragen
( 2 kabupaten)
15. Keracunan besi Simalungun, Rokan Hulu
( 2 kabupaten)
41
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
42
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
2
Perubahan hasil (t/ha)
1.5
0.5
0
-400 -200 0 200 400 600 800 1000
Perubahan modal (Rp.000/ha)
43
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
2500
1500
II
I 1000
500
III
0
-400 -200 0 200 400 600 800 1000
Perubahan modal (Rp/ha)
44
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jumlah bibit <3 per lubang: (1) petani tidak mau kehilangan rumpun
tanaman akibat hama; (2) memerlukan tenaga kerja tambahan karena lebih
sulit dalam memisahkan bibit di saat akan ditanam.
Pengelolaan pupuk: belum tersedia BWD dalam jumlah yang memadai dan
belum tersedia peta status P dan K tanah. Rendahnya takaran pupuk
(under dosage) di daerah yang bermasalah adalah karena petani kurang
modal dan/atau lahannya memiliki banyak permasalahan sehingga target
hasil memang rendah dengan jumlah penggunaan pupuk yang rendah.
Pengaturan air irigasi secara berselang (intermittent) sulit dilaksanakan
karena harus dalam kondisi hamparan yang luas dan tata letak jaringan
irigasi tidak teratur, terutama saluran tersier dan kuarter. Bentuk dan luas
lahan sawah yang bervariasi antarpetani menambah sulitnya pengaturan air
dan pembuatan saluran irigasi.
Komponen teknologi yang mudah diadopsi petani umumnya adalah: (1)
benih sehat; (2) varietas unggul baru, (3) penanaman bibit muda (< 21 hari), (4)
jumlah bibit 2-3 tanaman per lubang, dan (5) pemberian pupuk N, P dan K
sesuai dengan cara PTT. Untuk komponen teknologi yang lain, petani
menerapkan secara selektif dan hati-hati.
Berdasarkan keragaan model PTT di berbagai lokasi dengan
karakteristik yang berbeda, maka dalam pengembangan lebih lanjut perlu
adanya perbaikan dan penyempurnaan dengan memperhatikan beberapa hal
berikut:
Perlu dipertegas kembali konsep dan prosedur model PTT, yaitu sistem alih
teknologi secara partisipatif, spesifik lokasi, dinamis dan terintegrasi,
dimulai dari kegiatan PRA atau pengenalan karakteristik wilayah,
dilanjutkan dengan penyusunan komponen teknologi spesifik lokasi,
penerapan teknologi di lahan petani, dan penyediaan lahan (+ 1 ha) untuk
pengujian (superimpose trial), demonstrasi plot, pelatihan, dan sekolah
lapang guna memperbaiki atau melengkapi komponen teknologi di suatu
lokasi.
Memilih komponen teknologi yang tepat, sesuai karakteristik lokasi,
termasuk permasalahan prioritas, sehingga efektivitas dan efisiensi model
PTT lebih nyata. Untuk itu "Sistem Pakar Padi" perlu segera dikembangkan
melalui validasi sistem, pelatihan, sosialisasi, dan pengembangan. Contoh
dari sistem ini disajikan dalam Lampiran 1.
Meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan komponen teknologi
melalui pelatihan, terutama untuk komponen teknologi yang mereka nilai
sulit, seperti tanam jajar Legowo 4:1 dan pembuatan kompos jerami dan
kompos sekam gabah sebagai alternatif pupuk kandang apabila belum
tersedia. Oleh karena itu kebutuhan pelatihan yang lebih spesifik di tiap
kabupaten perlu diinvetarisir.
45
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
46
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
47
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, S., A.K. Makarim, dan I. Las. 2003. Petunjuk teknis kajian
kebutuhan pupuk NPK pada padi sawah melalui petak omisi di wilayah
pengembangan PTT. Balai Penelitian Tanaman Padi. 27 hal.
Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A.S. Karama, dan I. Manwan. 1987. Peta
agroekologi utama tanaman pangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S. Abdulrachman.
2002. Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu
padi sawah irigasi. Departemen Pertanian. 37 hal.
Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S. Abdulrachman.
2003. Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu
padi sawah irigasi. Departemen Pertanian. 30 hal.
Makarim K., Djuber P., Zulkifli Z., dan Irsal l. 2005. Analisis dan Sintensis
Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah.
Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 18 hal.
Zaini, Z., I. Las, Suwarno, B. Haryanto, Suntoro, dan E.E. Ananto. 2003.
Pedoman umum kegiatan percontohan peningkatan produktivitas padi
terpadu 2003. Departemen Pertanian. 25 hal.
48
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Bambang Nuryanto
ABSTRAK
The integrated pest management (IPM) diterjemahkan “Pengelolaan”
hama terpadu (PHT), ini merupakan suatu konsep pengelolaan ekosistem
pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sejarah
pengembangan konsep, bahwa integrated pest management (IPM) atau
pengelolaan hama terpadu merupakan pengembangan konsep dari integrated
pest control (IPC) yang artinya pengendalian hama terpadu. Oleh karena itu,
di Indonesia PHT umum dikenal sebagai istilah pengendalian hama terpadu.
PHT merupakan salah satu komponen pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
yang sangat menonjol peranannya dibanding komponen lainnya, terutama saat
kondisi sudah ada pertanaman. Namun demikian, masih dirasakan bahwa
penerapan PHT di lapangan kurang sempurna, sehingga hama dan penyakit
masih punya peluang berkembang pesat. Banyak kelompok petani,
masyarakat, dan pihak industri yang belum memahami alasan pentingnya
menerapkan dan mengembangkan PHT. Organisme pengganggu tumbuhan
(OPT) umumnya bertahan hidup dalam bentuk aktif maupun dorman di
lingkungan sawah. Sejak sebelum ada tanaman budidaya sumber hama
maupun penyakit selalu tersedia karena OPT dapat bertahan pada inang
alternatif di lapangan. Peranan sanitasi lingkungan sangat penting untuk
mengurangi atau meniadakan sumber inokulum OPT sebelum mengawali
persemaian/tanam. Pemilihan varietas padi tahan yang disesuaikan dengan
kondisi lingkungan endemis OPT sangat mengurangi resiko timbulnya
kerusakan. Pengawalan ketat tanaman dari gangguan OPT harus dimulai dari
pertanaman awal, dimana populasi hama masih rendah. Observasi pertanaman
dan monitoring populasi dengan menggunakan lampu perangkap sangat
membantu untuk menentukan status OPT dan perlunya tindakan pengendalian
sepanjang pertumbuhan tanaman. Di pematang sekitar pertanaman padi dapat
ditanami bunga-bungaan, wijen, atau palawija untuk menyediakan pakan
(nektar) bagi parasitoid atau tempat berlindung musuh alami hama seperti
predator. Rekayasa ekologi ini untuk meningkatkan kinerja musuh alami dalam
menjaga keseimbangan alam. Bila semua taktik pengendalian sudah
diterapkan, OPT masih berkembang di atas ambang kerusakan perlu
dikendalikan dengan menggunakan pestisida. Pengendalian OPT dengan cara
mengelola komponen epidemiknya yang diterapkan secara terpadu mempunyai
peluang keberhasilan tinggi dengan tetap mempertahankan keseimbangan
biologi.
49
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
PENDAHULUAN
50
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
51
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
52
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
53
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Sekelompok individu hama dapat terhindar dari pestisida karena secara genetik
dapat memproduksi enzim penetral racun pestisida (detoksifikasi). Individu
yang seperti ini mampu bertahan hidup dalam tekanan berat lingkungan. Bila
kondisi lingkungan lebih cocok, hama tersebut akan berkembang pesat menjadi
sekelompok individu baru yang resisten terhadap pestisida. Oleh karena itu,
pada generasi berikutnya anggota populasi yang berkembang akan terdiri dari
lebih banyak individu yang tahan terhadap pestisida. Sehingga muncul populasi
hama baru yang benar-benar tahan (Solihin dkk., 2015).
Hama Sasaran. Pestisida sangat erat kaitanya dengan berbagai
kegiatan pertanian di Indonesia. Petani akan segera bereaksi apabila melihat
tanamannya terkena gangguan hama, tentu akan segera mencari pestisida.
Revolusi pestisida terjadi setelah ditemukan berbagai pestisida sintetik,
akibatnya semakin banyak jenis pestisida yang digunakan petani di lapangan.
Meskipun pestisida kimia terbukti memiliki banyak keuntungan ekonomi bagi
petani, tetapi resiko yang berupa dampak negatif bagi lingkungan dan
kesehatan semakin dirasakan oleh masyarakat. Di samping itu, beberapa
insektisida untuk mengendalikan serangga tertentu dapat berpengaruh memicu
terjadinya resistensi atau resurgensi terhadap hama lainnya (Baehaki, 2013).
Tiap kelompok insektisida dengan sifat-sifatnya secara tersendiri mempunyai
hama sasaran yang berbeda, sehingga tidak efektif digunakan untuk
pengendalian organisme lain dari golongan insektisida tertentu. Ketidaktahuan
atau kurangnya informasi terhadap sifat pestisida, sering menyebabkan petani
menggunakan pestisida tidak tepat sasaran. Kondisi seperti ini juga dapat
mempercepat proses terjadinya resistensi dan resurgensi hama.
Peranan Petugas Lapang. Petani sebagai pelaksana utama
pengendalian hama perlu menyadari dan mengerti tentang cara pendekatan
PHT, termasuk bagaimana menerapkannya di lapangan. Pemahaman lama
secara konvensional tentang “pemberantasan” hama, perlu diganti dengan
pengertian “pengendalian” atau “pengelolaan” hama. Petani perlu diberikan
kepercayaan dan kemampuan untuk dapat mengamati sendiri dan melaporkan
keadaan hama pada pertanamannya. Kinerja sektor pertanian sangat
ditentukan oleh kualitas kinerja petani.
Sistem PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efisien dan
efektif, yang dapat bekerja secara cepat dan tepat dalam menanggapi setiap
perubahan yang terjadi pada agroekosistem. Organisasi tersebut tersusun oleh
komponen monitoring, pengambil keputusan, program tindakan, dan
penyuluhan pada petani. Organisasi PHT merupakan suatu organisasi yang
mampu menyelesaikan permasalahan hama secara mandiri, pada daerah atau
unit kerja yang menjadi tanggungjawabnya. Pemerintah telah menetapkan
PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan
tanaman. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia ialah
intrusksi Presiden nomor 3 Tahun 1986 dan Undang-undang No. 12 Tahun
1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dengan berdasarkan pada program
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, diharapkan
program PHT dapat dikembangkan dan diterapkan oleh petani (Untung, 2004).
54
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
55
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
56
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
57
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
6. Rekayasa Ekologi
Pengelolaan agroekologi dengan menerapkan sistem integrasi
pertanaman palawija dalam padi (SIPALAPA) membuat keanekaragaman
agroekosistem meningkat sehingga musuh alami semakin eksis dan mampu
menjaga populasi serangga hama sampai pada tingkat yang tidak merugikan
secara ekonomi (Baehaki dan Djuniadi, 2011). Sebaliknya, pada pertanaman
monokultur hubungan tanaman dengan hama dan musuh alami menjadi
monoton. Yao dkk. (2012), melaporkan bahwa keberadaan wereng coklat lebih
rendah pada pertanaman tumpangsari padi dengan jagung dibanding tumpang
sari padi dengan kedelai dan pertanaman padi monokultur. Penanaman
palawija di pematang, selain menjadi tempat berlindung atau shelter bagi hama
dan musuh alami juga meningkatkan pendapatan hasil palawija (kedelai) yang
ditanam di pematang sebesar 377,3 kg/ha (Baehaki dkk., 2007).
7. Pemupukan dan Bahan Organik
Faktor lain yang berpengaruh terhadap perkembangan OPT adalah
kandungan nitrogen. Nitorgen pada pupuk urea sangat dibutuhkan oleh
tanaman padi untuk pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena itu, urea
yang diberikan pada pertanaman sebaiknya menggunakan Bagan Warna Daun
(BWD) agar dosisnya tidak berlebihan. Tanaman padi yang dipupuk N
berlebihan akan menampilkan jaringan yang muda dan lunak sehingga banyak
disukai oleh serangga hama dan mudah diinfeksi oleh patogen penyebab
penyakit. Pertumbuhan tanaman juga menghasilkan daun yang lebat sehingga
lingkungan di bawah kanopi menjadi gelap, hangat, dan lembab. Kondisi seperti
ini sangat cocok untuk perkembangan OPT yang berlindung di bawah kanopi
tanaman padi (Nuryanto dkk., 2014).
Pemberian bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah, karena
perombakan bahan organik oleh aktivitas mikroorganisme dalam kurun waktu
tertentu akan membentuk tanah yang subur, sehingga membantu ketersediaan
unsur mikro dan makro yang dibutuhkan tanaman. Penambahan bahan organik
membantu menjaga kesehatan tanamn melalui mekanisme sistem kekebalan
(Kremer, 2007). Tanah yang mengandung bahan organik dengan densitas
tinggi mempunyai kapas tukar kation (KTK) yang tinggi. KTK membantu
memelihara suplai nutrisi secara konstan (Wolf & Snyder, 2003).
8. Pestisida
PHT Konvensional masih cenderung mengandalkan pestisida untuk
pengendalian OPT. Kondisi saat ini PHT konvensional sudah tidak sesuai lagi
untuk diterapkan, karena umumnya konsumen memperhitungkan kualitas dan
kesehatan produk pertanian. Penggunaan pestisida diketahui mempunyai efek
negatif terutama terhadap kesehatan lingkungan dan adanya residu yang
terdapat pada produk pertanian. Oleh karena itu, paradigma baru PHT
Bioindustri yang lebih ramah lingkungan lebih tepat diterapkan saat ini. PHT
Bioindustri bersifat proaktif, segala upaya dilakukan untuk memanipulasi habitat
58
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
agar tidak menguntungkan bagi hama tetapi menguntungkan bagi musuh alami
sehingga mampu menekan perkembangan hama.
PENUTUP
Masalah kerusakan tanaman akibat serangan hama telah menjadi
bagian dari budidaya pertanian sejak manusia mengusahakan pertanian.
Dengan kemampuannya, manusia selalu berupaya mengubah ekosistem
pertanian agar dapat menghasilkan produk pertanian yang sesuai dengan
kebutuhan. Manusia mengeksploitasi lingkungan untuk usaha pertanian sering
menemukan kendala. Salah satu kendalanya adalah gangguan dari berbagai
binatang yang menjadi pesaing dalam memanfaatkan tanaman yang
dibudidayakan petani. Semakin intensif pertanian dilakukan semakin gencar
serangan dari binatang-binatang atau organisme pengganggu. Organisme
penggangu dikategorikan menjadi hama bukan karena alam tetapi karena
faktor-faktor kehidupan yang sangat berkaitan dengan kepentingan manusia itu
sendiri. Untuk mengamankan tanaman budidaya manusia berusaha
mengendalikan hama tersebut dengan berbagai cara, termasuk dengan
penyemprotan pestisida. Perkembangan penggunaan pestisida semakin pesat
di lapangan baik mengenai jenis, dosis maupun frekuensi aplikasinya. Berbagai
pengaruh negatif penggunaan pestisida mulai dirasakan hampir di semua
sistem kehidupan masyarakat.
Pestisida yang semula dirancang dan dikembangkan untuk
mendatangkan maanfaat dan keuntungan bagi manusia tetapi malah dapat
mendatangkan kesengsaraan bagi manusia itu sendiri. Keadaan ini tidak
diinginkan oleh semua pihak yang berkepentingan seperti pemerintah,
masyarakat umum termasuk petani, dan industri pestisida. Oleh karena itu,
semua pihak yang berkentingan telah sepakat untuk mengembangkan dan
menerapkan konsep, prinsip dan sistem pengelolaan hama terpadu. Praktiknya
di lapangan untuk mengelola tanaman budidaya diupayakan dengan
memaksimalkan potensi sumber daya lingkungan yang ada dan meminimalkan
penggunaan pestisida.
KESIMPULAN
Semakin banyak komponen pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang
penerapannya dipilih dan disesuaikan dengan kondisi keberadaan dan status
OPT setempat berarti telah melaksanakan PHT dengan menerapkan
komponen-komponennya secara kompatibel, sehingga peluang keberhasilan
dalam mengendaliakan OPT semakin besar. Pada kondisi pemahaman PHT
yang mulai luntur, di lapangan sangat dibutuhkan kampanye PHT dan
penelitian-penelitian yang mendukung PHT bioindustri/biointensif. Pencegahan
pencemaran lingkungan oleh pestisida, dapat dilakukan dengan adanya
regulasi pengendalian dengan pestisida dan rekomendasi pestisida yang
benar.
59
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
SARAN
Diperlukan pengawasan secara ketat terhadap distribusi pestisida yang
tidak dianjurkan. Memperkuat sistem preventif dengan melibatkan petani.
Peningkatan tenaga lapang POPT dan peningkatan pembekalan.
DAFTAR PUSTAKA
60
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
61
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
LATAR BELAKANG
62
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Better Rice Initiative Asia (BRIA) hadir di Indonesia untuk ikut serta
dalam mensukseskan program pemerintah mengenai ketahanan pangan.
Dengan misi untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan
mempromosikan system pertanian berkelanjutan dan akses pasar yang lebih
baik, BRIA Indonesia berkomitmen untuk menyelenggarakan program
peningkatan kesejahteraan secara komprehensif dan berkelanjutan (Gambar
1).
63
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
TEKNOLOGI BENIH
64
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kesehatan
benih
Kesehatan
tanaman
Panen/ hasil
65
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
66
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
67
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hama tikus adalah hama yang paling suka menyerang tanaman padi di
bahagian tengah dan jarang sekali menyerang bagian pematang. Menurut hasil
pengamatan, metode tanam legowo dapat memberi nuansa terang di bahagian
Pengendalian terhadap tikus
bawah atau di permukaan lahan sawah yang ditanami padi. Akibat adanya sinar
matahari yang masuk secara merata ke permukaan lahan yang menyebabkan
hama tikus tidak suka menyerang tanaman terutama pada siang hari.
Serangan penyakit kresek akan meningkat pada kelembaban tinggi dan sel
bakteri akan bebas tersebar dengan melarutnya embun-embun pada permukaan
daun. Perkembangan semakin cepat juga dipengaruhi oleh pemberian pupuk
nitrogen yang berlebihan dan jarak tanam yang rapat. Metode tanam legowo
Penyakit hawar daun atau
dapat menekan perkembangan penyakit kresek . Hal ini disebabkan akibat
sering disebut kresek
pengaruh masuknya sinar matahari secara merata ke dalam tanaman sehingga
suhu akan meningkat dan dapat memberi penurunan tingkat kelembaban. Pada
situasi kelembaban rendah proses perkembangan penyakit kresek dapat
ditekan.
Penyakit blas sering terjadi pada musim penghujan. Kelembapan tinggi
mendorong pertumbuhan dan perkembangan penyakit blas. Penanaman padi
yang rapat, pemupukan pupuk nitrogen yang berlebihan mendorong
Penyakit blas perkembangan penyakit blas. Penanaman sistim legowo menyebabkan
peredaran udara dan sinar matahari akan lebih baik dan merata sehingga
secara alami pengaturan kelembaban dapat menurun sehingga bisa menekan
perkerkembangan penyakit blas.
Source : Module Sekolah Lapang BRIA, 2015
Tabel 1. Populasi Tanaman antara Sistem tanam Jajar Legowo dan Tegel
Populasi
Sistem Tanam
Tanaman/ha
Tegel 20 x 20 cm 250.000
Tegel 25 x 25 cm 160.000
Legowo 2:1 (10 x 20 x 40) cm 333.333
Legowo 2:1 (12,5 x 25 x 50) cm 213.000
Legowo 4:1 (10 x 20 x 40) cm 400.000
Legowo 4:1 (12,5 x 25 x 50) cm 256.000
Source : Module Sekolah LApang BRIA, 2015
68
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
PEMUPUKAN BERIMBANG
Selain benih, pupuk juga menjadi salah satu faktor kunci dari
keberhasilan kegiatan usahatani. Pemberian pupuk sesuai dengan kebutuhan
tanaman (pemupukan berimbang) terbukti tidak hanya mampu meningkatkan
hasil panen namun juga berdampak pada kesehatan tanaman karena
pemupukan berlebih juga dipercaya meningkatkan serangan penyakit tertentu.
Pengetahuan petani Indonesia akan pemupukan berimbang masih tergolong
rendah, salah satu penyebabnya adalah pengujian status hara yang masih
sangat jarang untuk dilakukan. Petani cenderung untuk mengikuti kebiasaan
petani-petani terdahulu atau kebiasaan yang sudah sering mereka lakukan.
Pemberian pupuk tanpa mengetahui status hara didalam tanah ini seringkali
mengakibatkan kerugian pada kegaiatan usahatani. Kekurangan pupuk dapat
mengakibatkan nutrient deficiency sehingga menurunkan hasil panen dan
kelebihan pupuk berakibat keracunan hara dan mendukung perkembangan
beberapa penyakit tertentu.
Mahalnya biaya untuk melakukan uji tanah di laboratorium, lamanya
waktu yang dibutuhkan, serta ketidaktersediaan laboratorium tempat
melakukan pengujian membuat petani tidak pernah melakukan uji status hara
tanah. Sekolah lapang BRIA memperkenalkan sebuah metode sederhana
untuk melakukan uji hara pada tanah yaitu Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS)
(Gambar. 6).
69
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
BRIA Indonesia berusaha agar tekhnologi ini dapat terus digunakan oleh
petani karena penggunaannya yang mudah dan hasil yang dapat langsung
dilihat. Kendala yang dihadapi adalah pengadaan alat yang masih tergolong
mahal jika diadakan oleh perseorangan sehingga BRIA berusaha untuk
mendorong agar petani mengadakan PUTS ini sebagai kelompok.
70
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
71
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
72
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
BRIA Indonesia Team, 2015, Module Sekolah Lapang BRIA, GIZ and PT. BASF
Indonesia
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/leaflet/puts.pdf.
[diakses tanggal 1 September 2016]
http://bbppketindan.bppsdmp.pertanian.go.id/blog/sistem-jajar-legowo-dapat-
meningkatkan-produktifitas-padi . [diakses tanggal 1 september 2016]
73
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Pemerintah terus memperbaiki program pembangunan pertanian
ditengah berbagai dinamika perubahan kondisi alam, demografi, dan kemajuan
teknologi. Pengaruh perubahan ini juga berdampak pada kinerja usaha
pertanian. Diantara permasalahan mendasar yang dihadapi petani pangan
pada umumnya adalah terjadinya kelangkaan sarana produksi, rendahnya
penggunaan alat dan mesin, kurangnya akses terhadap modal kerja, serta
lemahnya penetrasi menjangkau pasar. Ketersediaan sarana dan prasarana
produksi pertanian untuk meningkatkan produksi padi sangat dibutuhkan,
terutama dalam penyediaan pupuk dan pestisida yang memenuhi azas enam
tepat (jenis, jumlah, tempat, waktu, mutu, dan harga), peningkatan pengelolaan
lahan dan air, penggunaan alat dan mesin pertanian, dan perbaikan akses
terhadap sumber-sumber permodalan. Penguatan kelembagaan pertanian
dengan menjalin kemitraan bisnis dengan pihak lain akan membantu petani
padi memperoleh manfaat secara sosial dan menjangkau pasar yang lebih
menguntungkan secara ekonomi.
Kata kunci: Alat dan mesin, kemitraan bisnis, modal kerja, sarana produksi
PENDAHULUAN
Pembangunan seluruh sub sektor pada sektor pertanian saat ini sedang
dikerahkan untuk menyediakan bahan pangan bagi masyarakat, menghasilkan
berbagai produk berbasis pertanian, membuka lapangan kerja, meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta memperbaiki kondisi
ekonomi dan lingkungan. Ketahanan dan kemandirian pangan adalah salah
satu tujuan utama pembangunan pertanian nasional. Kekurangan bahan
pangan, khususnya makanan pokok beras akan menimbulkan gejolak sosial
ekonomi dan politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masalah-
masalah multidimensional yang dihadapi untuk memenuhi permintaan berbagai
komoditas pertanian sangat beragam dan dalam konteks ini, pemerintah
berusaha untuk terus meningkatkan produksi melalui inovasi teknologi dan
penerapan program percepatan usaha pertanian.
Upaya pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan
terhadap lima komoditas unggulan dalam pembangunan pertanian nasional
2010-2014, yaitu (a) padi, (b) jagung, (c) kedelai, (d) gula, dan (e) daging sapi
telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian dalam kerangka pembangunan
pertanian nasional kedepan (Kementerian Pertanian, 2010). Dalam lima tahun
74
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
75
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
patut diduga sebagai dampak dari perubahan iklim global. Meskipun di tengah
tantangan itu terbuka peluang mengoptimalkan berbagai potensi yang tersedia
guna meningkatkan produksi berbagai produk pertanian, namun perlu
diwaspadai serangan hama penyakit secara endemik dan masif yang dapat
menghancurkan produksi pertanian nasional.
Sosialisasi penerapan teknologi budidaya yang adaptif terhadap
perubahan iklim sangat diperlukan disamping dilakukannya perbaikan
infrastruktur pertanian, perluasan areal pertanaman, sistem irigasi yang efisien,
dan manajemen usahatani yang lebih baik. Peluang meningkatkan produksi
beberapa komoditas pertanian sangat terbuka jika semua elemen penggerak
sektor pertanian di pusat dan di daerah berjalan secara konsisten dan
harmonis. Ini adalah kondisi ideal yang dibutuhkan untuk memberi keyakinan
bahwa ditengah tantangan berat perubahan iklim global, produksi pangan
nasional diharapkan dapat meningkat.
Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) tidak dapat
dianggap sederhana karena sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan
usahatani. OPT adalah organisme yang dapat mengganggu dan merusak
kehidupan tanaman atau menyebabkan kematian pada tanaman pangan,
termasuk di dalamnya adalah hama, penyakit, dan gulma. Beberapa jenis hama
dan penyakit yang umum dijumpai pada tanaman pangan, khususnya padi
adalah (a) penggerek batang, (b) wereng batang coklat, (c) walang sangit, (d)
tikus, dan (e) ulat grayak (hama tanaman); serta (a) blast, (b) bercak coklat, (c)
tungro, (d) busuk batang, dan (e) kerdil hampa (penyakit tanaman).
Undang-Undang (UU) No. 12/1992 tentang Budidaya Tanaman,
khususnya pasal 30 ayat 2 menyatakan bahwa perlindungan tanaman perlu
dilakukan sebagai upaya mencegah dampak negatif yang mengakibatkan gagal
panen (puso). Amanat UU No. 12/1992 ini dilengkapi dengan terbitnya UU No.
19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, khususnya pasar 37-
39 mengenai penyelenggaraan asuransi pertanian untuk melindungi usaha
pertanian. Amanat UU ini juga menyatakan bahwa pemerintah pusat dan
daerah wajib menyelenggarakan asuransi pertanian di wilayah masing-masing
untuk melindungi usaha pertanian dari kegagalan panen.
Masih dalam kaitan upaya peningkatan produksi usaha pertanian,
permasalahan paling mendasar dan sering dihadapi petani adalah kurangnya
modal kerja berupa uang tunai yang digunakan untuk membiayai usahatani
(Supanggih dan Widodo, 2013). Prosedur administrasi yang rumit dan tidak
memiliki agunan yang mencukupi, merupakan penghambat petani melakukan
pinjaman bank. Ini berarti bahwa petani tidak akan pernah dapat mengakses
fasilitas yang disediakan pihak perbankan selama kedua faktor diatas menjadi
syarat peminjaman uang tunai. Hingga tahun 2015, program bantuan sosial
dalam kegiatan agribisnis masih berlangsung dan sejumlah Gapoktan masih
menerima Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (BLM-PUAP). Sejak tahun 2008 tercatat lebih dari 50.000 Gapoktan
sudah menerima BLM-PUAP. Dari hasil penelitiannya, Pasaribu dkk (2011)
76
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
77
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Indonesia*
Catatan: * (000 ton)
Sumber: Pasandaran dan Suherman (2015), Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian (2015)
Suherman dan Suratno (2014) membahas efektivitas kebijakan
pengendalian alih fungsi lahan sawah beririgasi yang menyimpulkan bahwa
pelaksanaan pencegahan alih fungsi lahan sangat tergantung pada kejelasan
78
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
kebijakan penataan ruang itu sendiri. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang
dan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan ternyata harus dilengkapi dengan peta-peta peruntukan lahan
dengan sarana dan prasarana penunjangnya. Respons pemerintah daerah
terhadap undang-undang maupun peraturan lainnya masih diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan aspek legalitas dalam rangka penegakan hukum
terhadap pelanggaran atas ketentuan yang berlaku dalam alih fungsi lahan
diatas.
Mempertahankan lahan yang tersedia saat ini dinilai sangat penting
agar petani dapat terus berproduksi dan mempertahankan tingkat produksi
sekarang atau bahkan meningkatkan produktivitas. Fasilitas kebijakan
(peraturan) untuk menjaga ketersediaan lahan pertanian produktif sudah
tersedia, namun pemanfaatan dan tindak lanjut kegiatannya sangat
memerlukan inisiatif instansi berwenang/pemerintah setempat. Pembukaan
lahan di wilayah potensial di luar Pulau Jawa sudah menjadi keharusan, karena
ditengah ketiadaan varietas unggul baru berproduktivitas tinggi, peningkatan
produksi hanya dapat dicapai dengan program ekstensifikasi.
2.2. Ketersediaan input usahatani
Benih adalah salah satu input usahatani yang sangat penting. Benih
unggul yang berkualitas akan menentukan produktivitas hasil panen bersama-
sama dengan sarana produksi pupuk, air irigasi, dan lain-lain. Badan Litbang
Pertanian, Batan, dan Perguruan Tinggi termasuk diantara lembaga-lembaga
penghasil varietas padi. Para penangkar padi yang tersebar di berbagai
wilayah turut berpartisipasi menyediakan benih bermutu bagi para petani.
Secara garis besar penyediaan benih padi dapat digambarkan dalam
Gambar 1.
Benih Penjenis Benih Dasar Benih Pokok Benih Sebar
(BS) (BD) (BP) (BR)
BUMN; P
Koperasi (benih); Koperasi (benih);
UPT
BUMN; UPT Benih BUMN; UPT Benih Benih e
BB Padi/ (Kab/Prov); BPTP; (Kab/Prov); BPTP; (Kab); t
Litbangtan; PT; Batan, LIPI; PT; Batan, LIPI; Swasta
PT, Batan, Swasta/Penangkar Swasta/Penangkar /Penan a
LIPI, Swasta gkar n
i
79
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Produksi benih oleh perusahaan penyedia benih padi saat ini semakin
berkembang, khususnya pada kalangan swasta/penangkar. Data yang tersedia
sejak tahun 2010 hingga 2014 memperlihatkan banyaknya benih padi yang
disediakan oleh BUMN (dengan kecenderungan menurun) dan
swasta/penangkar (dengan kecenderungan meningkat) (Tabel 2).
Tabel 2. Volume benih padi produksi BUMN dan swasta/penangkar, 2010-2014
BUMN
Swasta
Pertani SHS Jumlah
Tahun Vol Vol
% % Vol (ton) % Vol (ton) %
(ton) (ton)
2010 49.925 20,84 78.402 32,73 128.347,79 53,58 111.174,53 46,42
2011 60.139 22,27 97.014 35,93 157.175,39 58,20 112.857,62 41,79
2012 31.071 11,38 90.773 33,25 121.855,15 44,64 151.120,51 55,36
2013 29.735 15,13 35.407 18,02 65.156,72 33,15 131.346,64 66,84
2014 10.397 4,88 37.978 17,82 48.379,48 22,69 164.778,63 77,30
80
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
81
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
selama ini terjadi karena kehilangan hasil harus dapat ditekan dengan
penggunaan alsintan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan.
Penggunaan alsintan juga berimplikasi pada peningkatan kualitas dan
daya saing produk yang bersangkutan. Fasilitasi alsintan diharapkan dapat
disediakan menurut kebutuhannya melalui kerjasama kemitraan antara petani
(kelompok tani) dengan pihak lain (perusahaan besar) dan didukung oleh
(instrumen) kebijakan pertanaman komoditas padi (pemerintah daerah).
2.5. Akses investasi dan modal kerja
Kelembagaan pertanian di perdesaan adalah aset yang sangat berharga
yang menggerakkan pembangunan pertanian menurut program dan kegiatan
yang ditetapkan. Sebagai sebuah lembaga, kelompok tani harus kuat dan
mampu melaksanakan kegiatan langsung di lapangan. Penguatan kelompok
tani menjadi strategis untuk mencapai tujuan program dan sekaligus
mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat tani melampaui kondisi saat ini.
Kelompok tani adalah mitra strategis lembaga keuangan di perdesaan.
Program pembangunan pemerintah untuk meningkatkan permodalan
masyarakat tani dikenal dalam Program Bantuan Langsung Masyarakat-
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM-PUAP) yang mendorong
lahirnya Lembaga Keuangan Mikro-Agribisnis (LKM-A) bermodal kecil yang
dikelola petani. LKM-A yang dinilai berkinerja baik perlu ditransformasikan
menjadi kelembagaan yang profesional dan berbadan hukum. Mengubah
seluruh pelaku usaha pada jaringan agribisnis, baik secara individual maupun
kelompok menjadi pelaku ekonomi produktif merupakan tantangan besar dalam
kebijakan pengembangan agribisnis di perdesaan (Saptana dkk., 2013).
Memerhatikan perkembangan ketersediaan modal kerja petani di perdesaan,
salah satu solusi yang diduga dapat efektif membantu adalah mentransformasi
LKM-A menjadi lembaga keuangan yang kuat dan mandiri. LKM-A dapat
menjadi alternatif lembaga keuangan yang dekat dengan petani baik secara
fisik maupun psikologis, sehingga upaya untuk memperkuat LKM-A
diperkirakan dapat membantu masalah permodalan/modal kerja bagi petani ke
depan. LKM-A yang berhasil menunjukkan kemampuan mengelola dana dan
mampu berkembang dengan memenuhi ketentuan yang berlaku perlu dipelajari
apakah bisa ditransformasikan menjadi lembaga keuangan yang kuat dan
mandiri. Artinya, LKM-A perlu dikembangkan menjadi lembaga keuangan
perdesaan yang mandiri. Pemberdayaan LKM-A mengarahkan fungsinya
menjadi alternatif lembaga keuangan yang berpihak kepada petani. Namun
demikian, rencana tersebut perlu memperoleh dukungan politik pembiayaan
pembangunan pertanian baik pemerintah pusat maupun daerah.
2.6. Peluang pemasaran hasil pertanian
Daya saing produk pertanian dan kebijakan yang mendukungnya belum
sepenuhnya mendorong kekuatan untuk memasuki pasar global. Dalam kaitan
ini, potensi dan kelemahan yang dihadapi menjadi sangat penting untuk
diidentifikasi serinci mungkin, sementara kesempatan dan ancaman yang
82
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
83
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
84
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
85
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2015. Program dan Kegiatan
Pengembangan Benih Tanaman Pangan TA 2015. Ditjen Tanaman
Pangan, Kementerian Pertanian. Jakarta. (Power point).
Hadimuljono, MB. 2014. Readiness Agriculture Infrastructure in Indonesia to
Face AEC (ASEAN Economic Community). Bahan presentasi dalam
Seminar Internasional FST UIN Syarif Hidayatullah, 17 November 2014.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian
Tahun 2010 – 2014. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2014. Kebijakan dan Program Pembangunan
Pertanian 2014-2019. Paparan Sekretaris Jenderal Kementerian
Pertanian dalam Musrenbangtan 2014. 13 Mei 2014. Jakarta. (Tidak
dipublikasikan).
Nugrayasa, O. 2012. Lima Masalah yang Membelit Pembangunan Pertanian di
Indonesia. www.setkab.go.id (1 Desember 2012).
Pasandaran, E. dan Suherman. 2015. “Kebijakan Investasi dan Pengelolaan
Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan”. Dalam
Pasandaran, E., M. Rachmat, Hermanto, M. Ariani, Sumedi, K.
Suradisastra, dan Haryono (Eds.): Memperkuat Kemampuan
Swasembada Pangan. IAARD Press. Jakarta.
Pasaribu, SM., JF. Sinuraya, NK. Agustin, S. Wahyuni, Y. Supriyatna, Y.
Marisa, J. Hestina, E. Jamal, B. Prasetyo, Saptana, Sugiarto, Supadi, dan
M. Iqbal. 2011. Penentuan Desa Calon Lokasi PUAP 2011 dan Evaluasi
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Laporan
Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.
Pasaribu, SM, K. Suradisastra, B. Sayaka, dan A. Dariah. 2010. “Pengendalian
dan Pemulihan Degradasi Ekosistem Pertanian”. Dalam Suradisastra, K.,
SM. Pasaribu, B. Sayaka, A. Dariah, I. Las, Haryono, dan E. Pasandaran
(Eds.): Membalik Kecenderungan Degradasi Sumberdaya Lahan dan Air.
IPB Press. Bogor.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Outlook Komoditas
Pertanian Subsektor Pangan: Padi. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian, Kementerian Peranian. Jakarta.
Saptana, S. Wahyuni, dan S.M. Pasaribu. 2013. Strategi Percepatan
Transformasi Kelembagaan Gapoktan dan Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis Dalam Memperkuat Ekonomi di Perdesaan. Jurnal Manajemen
dan Agribisnis 10 (1): 60-70.
Sayaka, B., Hermanto, M. Rachmat, V. Darwis, FBM Dabukke, S. Suharyono,
dan K. Kariyasa. 2015. Penguatan Kelembagaan Penangkar Benih untuk
Mendukung Kemandirian Benih Padi dan Kedelai. Pusat Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian
Pertanian. Bogor. (Laporan Teknis).
Suherman, A. dan U. Suratno. 2015. “Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih
Fungsi Lahan Sawah Beririgasi”. Dalam Haryono, E. Pasandaran, M.
Rahmat, S. Mardianto, Sumedi, H.P. Saliem, dan A. Hendriadi (Eds.):
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian.
IAARD Press. Jakarta.
86
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
87
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
TEKNOLOGI SALIBU
BUDIDAYA PADI HEMAT BENIH
(Tanam 1 Kali Panen Berkali-Kali)
Erdiman
ABSTRAK
88
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
89
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
A Tinggi Pemotongan
1 3-5 cm 22 a 132 a 7,7 a
2 8-10 cm 18 b 106 b 5,8 b
3 18-20 cm 12 c 62 c 2,9 c
B Perlakuan Pemotongan
3 (HSP) 16 b 120 b 5,4 b
7 (HSP) 19 a 134 a 7,6 a
15 (HSP) 17 b 124 b 5,9 b
C Pemupukan
1 100 Urea+100 Ponska 17 124 b 6,6 b
2 150 Urea+150 Ponska 22 137 a 8,3 a
90
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Hasil padi salibu di Kab. Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Solok.
Hasil Peningkatan
No Daerah Varietas
(t/ha) Hasil
1 Kab. Agam (2010) Lumuik 7,2 15 %
2 Kab. Agam (2011) Kurik Kusuik 6,4 10 %
3 Kab. Lima P. Kota (2011) Madang Pulau 5,3 5%
4 Kab. Lima P. Kota (2012) Batang 7,2 15 %
Piaman
5 Kab. Tanah Datar (2012) Cisokan 6,9 15 %
6 Kab. Tanah Datar (2013) Batang 8,3 15 %
Piaman
7 Kab. Tanah Datar (2014) Logawa 7,9 10 %
8 Kab. Tanah Datar (2014) Inpari 21 7,1 15 %
9. Kab. Tanah Datar (2015) Cisokan 7,3 10 %
10. Kab. Tanah Datar (2013) Hipa-5 8,6 15%
11. Kota. Padang (2014) Pak Tiwi 7,8 10 %
12. Kab. Pariaman (2014) Batang 7,3 15%
Piaman
13. Kab. Solok (2013) Cisokan 6,4 20 %
14. Kab. Solok (2014) Cisokan 7,1 5%
91
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 4. Analisa usahatani padi teknologi salibu dan tanam pindah tahun
2013
No Uraian Jumlah (Rp.) Selisih/Beda
I Pengeluaran Salibu T. pindah
A Biaya Upah (1.800.000) (4.450.000) - 2.650.000
B Biaya Saprodi ( 840.000) (1.100.000) - 260.000
Jumlah 8.080.000 10.670.000 - 2.590.000
II Penerimaan
Hasil Tanam pindah (5.5 t/ha) 25.600.000
Hasil Salibu (6,4 t/ha) 27.200.000 -
III Keuntungan bersih 19.120.000 14.930.000 + 4.190.000
IV Analisa Usahatani
BEP Harga (Rp/kg) 1.188 1.667 - 479
BEP Produksi (kg) 2020 2.667 - 647
92
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
93
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
94
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
95
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Panen Padi Salibu Oleh Bapak Wamen Pertanian Panen Padi Salibu Hasil 8,2 ton/ha
96
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kata Kunci: Varietas unggul baru, padi sawah, pengelolaan tanaman terpadu,
lokasi
PENDAHULUAN
97
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
98
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Penyiangan dilakukan dua kali yaitu pada umur 4 dan 7 minggu setelah
tanam.Pengendalian hama/penyakit dilaksanakan sesuai dengan konsep
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pengamatan dilakukan terhadap tinggi
tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai,
99
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
persentase gabah hampa, berat 1.000 biji, dan hasil.Data yang telah terkumpul
dianalisis secara statistik dengan sidik ragam (Uji F) sesuai dengan rancangan
yang digunakan. Bila uji F menunjukkan interaksi berpengaruh nyata maka
untuk membandingkan nilai antar perlakuan digunakan uji beda rata-rata
Duncan (UBD) pada taraf 5%.
Komponen Pertumbuhan
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan VUB padi
sawah memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman saat panen
danjumlah anakan produktif (Tabel 1).
Tabel 1. Rataan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif beberapa VUB
padi sawah Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, 2012.
Tinggi Tanaman Jumlah Anakan Produktif
No Perlakuan
(cm) (batang/rumpun)
1 Inpari-12 92,6 a 24,08 a
2 Logawa 81,6 c 14,80 d
3 Tukad Unda 85,0 b 17,20 c
4 Inpari-21 Batipuah 83,7 b 18,20 b
KK (%) 1,63 2,93
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT
5%.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa keragaan tinggi tanaman berkisar 81,6
- 92,6 cm. Tanaman tertinggi didapatkan pada VUB Inpari 12 (92,6 cm) berbeda
nyata dengan semua varietas unggul lainnya yaitu Tukad Unda (85,0 cm),
Inpari 21 Batipuah (83,7 cm) dan Logawa (81,6 cm). Dibandingkan dengan
deskripsinya (BPTP Sumbar, 2010; Badan Litbangtan, 2014), ternyata tinggi
tanaman ke empat varietas yang diuji menunjukkan pertumbuhan tinggi
tanaman yang lebih rendah dari deskripsinya, yaitu VUB Inpari 12 99,0 cm,
Tukad Unda 100-123 cm, Logawa 105 cm dan Inpari 21 Batipuah 96 cm.
100
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
101
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Hasil gabah kering panen (GKP) beberapa VUB padi sawah
Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, 2012.
Hasil Gabah
No Perlakuan
(t/ha GKP)
1 Inpari12 6,86 a
2 Logawa 5,98 b
3 Tukad Unda 5,62 b
4 Inpari21 Batipuah 6,58 a
KK (%) 4,65
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT
5%.
KESIMPULAN
1. VUB Inpari 12 dan Inpar i21 Batipuah merupakan varietas unggul baru padi
sawah yang adaptif pada lingkungan spesifik di Kabupaten Tanah Datar dan
memberikan hasil berturut-turut 6,86 dan 6,58 t/ha.
2. Untuk meningkatkan produksi padi sawah di Kabupaten Tanah Datar
disarankan untuk mengembangkan ke dua VUB (Inpari 12 dan Inpari-21
Batipuah). Selain mempunyai produksi yang cukup tinggi, kedua varietas
tersebut bertekstur nasi pera sehingga sesuai dengan selera Sumatera
Barat, khususnya Kabupaten Tanah Datar.
DAFTAR PUSTAKA
Atman. 2005. Pengaruh sistem tanam bershaf dengan P-starter (shafter) pada
padi sawah varietas Batang Piaman. Jurnal Stigma Vol. XIII No. 4,
Oktober-Desember 2005. Faperta Universitas Andalas Padang; hlm
579-582.
Badan Litbang Pertanian. 2014. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 37 hlm.
BPS Kabupaten Tanah Datar. 2011. Tanah Datar Dalam Angka 2011.
Kerjasama Datar. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Datar.Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal
Kabupaten Tanah
102
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
BPTP Sumbar. 2010. Varietas Unggul Padi Sawah Amilosa Tinggi (Beras Pera).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2009. Target Produksi Beras Nasional
tahun 2009. Unpublish 8 halm.
Distanhorti Sumbar. 2011. Peningkatan Produksi Beras Nasional Sumatera
Barat. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja P2BN tingkat propinsi
Sumatera Barat. Padang, 4 Mei 2011.
Gani, A. 2003. Pendekatan Terpadu dalam Produksi Padi. Makalah
disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi II, Bengkulu,
Desember 2003. 32 hal.
Lamid, Z. I. Manti, S. Zen, S. Abdullah, Burbey, Artuti. 2005. Inovasi Paket
Teknologi Padi Sawah. BPTP Sumbar. Sukarami.
Las, I, H. Syahbuddin, E. Surmaini, dan A. M. Fagi. 2008. Iklim dan Tnaman
Padi; Tantangan dan peluang. Dalam: Suyamto dkk (Eds). Buku Padi,
Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. p. 151-189.
Nurnayetti dan Atman. 2012. Adopsi Teknologi Budidaya Padi di Sumatera
Barat. Dalam: Ariani, dkk. (penyunting). Membangun Kemampuan
Inovasi Berbasis Potensi Wilayah. Balitbangtan. IAARD Press; 11-19
hlm.
Satoto dan Suprihatno B. 1998. Heterosis dan stabilitas hasil hibrida-hibrida
padi turunan galur mandul jantan IR 62829 A dan IR 58025 A. Jurnal
Penelitian Tanaman Pangan 17 (1): 27-40.
Sembiring, H. 2010. Ketersediaan Inovasi Teknologi Unggulan dalam
Meningkatkan Produksi Padi Menunjang Swasembada dan Ekspor.
Proseding Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Inovasi Teknologi Padi
untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Hal. : 1-16
Sudharto, T.J. Triastono, E. Sudjitno, A. Syam, dan Z. Zaini. 1995.Laporan
Tahunan Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering (UFDP) TA
1994/1995. Proyek Penelitian Usaha Lahan Kering. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
103
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
104
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
105
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pertumbuhan Tanaman
106
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
semua sistem tanam yang diuji, baik Jarwo 4:1, 6:1 maupun Tegel, tidak
berbeda nyata (Tabel 1).
107
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil Gabah
Tabel 3. Hasil gabah kering panen (GKP) dan peningkatan hasil gabah
(%)Inpari 21 Batipuah. KecamatanPadang Magek, Kabupaten Tanah
Datar, 2012.
Persentase
Hasil Gabah
No Perlakuan Peningkatan Hasil
(t GKP/ha)
Gabah (%)
1 Jarwo 4:1 7,68 a 35,93
2 Jarwo 6:1 7,19 ab 27,26
3 Tegel 5,65 b
KK (%) 11,35
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT
KESIMPULAN
1. Sistem tanam jajar legowo 4:1 pada padi sawah varietas Inpari 21 Batipuah
mampu meningkatkan hasil gabah sebesar 35,93% dibandingkan sistem
tanam biasa (tegel).
108
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
jajar legowo 6:1 (7,19 ton/ha), sedangkan sistem tanam cara biasa (tegel)
hasil gabah kering panen yang diperoleh sebesar 5,65 ton/ha.
3. Untuk mendapatkan hasil yang optimal bila menggunakan bibit varietas padi
sawah Inpari 21 Batipuah disarankan memakai sistem tanam jajar legowo
4:1.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. 2000. Teknologi P-starter dengan sistem tanam legowo (shaf) pada
budidaya padi sawah. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian
dan Pengkajian Pertanian. Buku I. Sukarami, 21-22 Maret 2000.
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Bogor; 76-81 hlm.
Badan Litbang Pertanian. 2014. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 37 hlm.
Badan Litbang Pertanian. 2010. Statistik Badan Litbang Pertanian 2010. Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
BPS Sumbar. 2011. Sumatera Barat Dalam Angka 2010/2011. Badan Pusat
Statistik dan Bappeda Tk I Sumatera Barat. Padang; 744 hlm.
Darwis, SN. 1982. Efisiensi pemupukan nitrogen terhadap padi sawah pada
berbagai lokasi agroklimat. Desertasi Doktor, Fakultas Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
Hafsah, M.J. 2003. Kebijakan peningkatan produksi padi melalui kegiatan
peningkatan produktivitas padi terpadu (P3T). Prosiding Lokakarya
Pelaksanaan Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T)
Tahun 2002. Puslitbangtan Bogor; 1-24 hlm.
Hafsah, M.J. 2005. Potensi, Peluang, dan Strategi Pencapaian Swasembada
Beras dan Kemandirian Pangan Nasional. Hlm. 55-70. Dalam B.
Suprihatno dkk. (Ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada
Beras Berkelanjutan. Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian.
Hamzah, Z. dan Atman. 2000. Pemberian pupuk SP36 dan system tanam padi
sawah varietas Cisokan. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil
Penelitian dan Pengkajian Pertanian. Buku I. Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian Bogor; 89-92 hlm.
Lamid, Z. I. Manti, S. Zen, S. Abdullah, Burbey, Artuti. 2005. Inovasi Paket
Teknologi Padi Sawah. BPTP Sumbar. Sukarami.
Las, I. Wirdata, I. N. dan Ruskandar A. 2004. Status dan peranan penelitian
padi dalam system perberasan nasional. Seminar Nasional Satu
Dasawarsa BPTP Sumatera Barat. 10-11 Agustus 2004 di Sukarami.
BPTP Sumatera Barat dan Pusat Sosial Ekonomi Pertanian.
Las, I, H. Syahbuddin, E. Surmaini, dan A. M. Fagi. 2008. Iklim dan Tnaman
Padi; Tantangan dan peluang. Dalam: Suyamto dkk (Eds). Buku Padi,
Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. p. 151-189.
Manti, I, F. Nurdin, I. Rusli, E. Afdi, dan Syafril. 2006. Review Teknologi
Pertanian Hasil Pengkajian BPTP Sumatera Barat. BPTP Sumatera
Barat. Sukarami. 175 hal.
Mujisihono, R. dan T. Santosa. 2001. Sistem budidaya teknologi tanam benih
langsung (TABELA) dan Tanam Jajar Legowo (TAJARWO). Makalah
Seminar Perekayasaan Sistem Produksi Komoditas Padi dan Palawija.
Diperta Provinsi D.I. Yogyakarta.
109
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pada tahun 2014, pemerintah menetapkan sasaran produksi padi
sebesar 76,57 juta ton GKG. Angka sasaran tersebut meningkat 6,25%
dibanding sasaran produksi tahun 2013 sebesar 72,06 ton GKG. Untuk tahun
2014 sasaran tanam 14,82 juta ha, sasaran panen 14,31 juta ha dan sasaran
produktivitas 53,50 ku/ha. Sasaran produksi jagung tahun 2014 adalah 20,82
juta ton PK atau 12,48% diatas produksi tahun 2013 yaitu sebesar 18,51 juta
ton PK (Hendayana, dkk., 2014).
Ada beberapa tiga strategi utama yang diimplementasikan dalam upaya
pencapaian swasembada beras (Dirjentan, 2015), yaitu: (1) peningkatan
produktivitas, dilakukan melalui peningkatan penggunaan benih varietas unggul
bermutu produktivitas tinggi termasuk benih hibrida, peningkatan jumlah
populasi tanaman melalu sistem tanam jajar legowo, pemupukan sesuai
rekomendasi spesifik lokasi serta berimbang dengan pemakaian pupuk organik;
(2) perluasan areal tanam, dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman
melalui upaya perbaikan jaringan irigasi; (3) pengamanan produksi, untuk
mengurangi dampak perubahan iklim seperti kebanjiran dan kekeringan,
gangguan OPT serta pengamanan kulaitas produksi dari residu pestisida; dan
(4) penguatan kelembagaan dan manajemen.
110
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Saat ini telah banyak varietas unggul baru (VUB) padi sawah yang
dihasikan oleh Balitbangtan Kementerian Pertanian, khusus untuk masyarakat
Sumatera Barat yang suka dengan rasa nasi pera (kandungan amilosa >25%)
dan memberikan produksi cukup tinggi yaitu Cisokan, Inpari 21-Batipuah dan
IR 66 yang perlu didiseminasikan kepada petani Sumatera Barat. Selain
memberikan hasil yang cukup tinggi, VUB juga mempunyai umur yang lebih
pendek. IR-66 termasuk varietas yang berumur cukup genjah, yaitu 110-120
hari dan mempunyai potensi hasil yaitu 5,5, t/ha, tahan terhadap hama wereng
coklat biotipe 1,2,dan 3, tahan wereng hijau, dan agak tahan wereng punggung
putih, serta tahan hawar daun, tungro dan agak tahan blas. IR-66 merupakan
varietas pilihan bagi daerah endemik tungro karena varietas unggul tersebut
tahan terhadap penyakit tungro yang akhir-akhir ini banyak menyerang
pertanaman padi sawah di Sumatera Barat. Pada tahun 2012 dilepas Inpari 21-
Batipuah yang merupakan hasil temuan BPTP Sumbar dan BB Padi. VUB ini
sesuai dengan selera masyarakat Sumbar dengan kadar amilosa 26 %, umur
120 hari, potensi hasil lebih tinggi yaitu 8,2 t/ha, agak rentan terhadap hama
wereng batang coklat biotipe 1 dan 2, rentan biotipe 3, tahan hawar daun bakteri
strain III, agak rentan terhadap strain IV dan VIII, tahan terhadap penyakit blas
ras 033, agak tahan terhadap ras 133 dan 073, rentan terhadap ras 173 serta
rentan terhadap penyakit tungro.
111
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
112
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
113
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 4. Hasil gabah kering giling (GKG) VUB padi sawah Kec. Sungai Tarab,
Tanah Datar Sumatera Barat 2013.
Varietas Hasil Gabah (ton GKG/ha)
Cisokan 7,31 a
Inpari 21 Batipuah 6,15 b
IR 66 5,63 c
Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda
tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%.
Selain itu, Atman (2005) menyatakan bahwa hasil gabah sangat
dipengaruhi oleh faktor komponen hasil tanaman, seperti : jumlah anakan
produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, dan menurunnya persentase
gabah hampa.
KESIMPULAN
Penerapan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah
ternyata mampu meningkatkan hasil gabah VUB Cisokan (7,31 t/ha), Inpari 21
Batipuah (6,15 t/ha), dan IR66 (5,63 t/ha). Ketiga VUB ini cocok dikembangkan
untuk memantapkan ketahanan pangan di Sumatera Barat
114
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Atman.2005. Pengaruh sistem tanam bershaf dengan P-starter (shafter) pada
padi sawah varietas Batang Piaman. Jurnal Stigma Vol. XIII No. 4,
Oktober-Desember 2005. Faperta Universitas Andalas Padang; hlm
579-582.
Bappeda dan BPS Provinsi Sumatera Barat. 2013. Sumatera Barat Dalam
Angka (Sumatera Barat in Figures) 2012/2013. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera
Barat;679 hlm.
Balitbangtan. 2007. Petunjuk Teknis Lapangan. Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Balitbangtan. 2013. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian;65 hlm.
Deptan. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) Padi. Departemen Pertanian; 38 hlm.
Dirjen Tanaman Pangan. 2015. Pedoman Teknis GP-PTT Padi 2015.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian; 100 hlm.
Distan Sumbar. 2013. Upaya Peningkatan Produksi Padi Tahun 2013 di
Provinsi Sumatera Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumatera
Barat; 72 hlm.
Hendayana, R., Zakiah, KG. Mudiarta dan E. Eko Ananto. 2014. Petunjukan
Pelaksanaan Pendampingan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu).
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian; 53 hlm.
Pikukuh, B., S. Roesmarkam, dan S.Z. Saadah. 2008. Pengenalan Varietas
Unggul Baru di Jawa Timur Untuk Mendukung Peningkatan Produksi
Beras Nasional (P2BN). Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitin
Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008; hlm. 219-225.
Simarmata, T. 2006. Teknologi Peningkatan Produksi Padi (TPPP ABG)
Berbasis Organik. PT. Gateway Internusa. Jakarta.
Suhendrata, T., E. Kushartanti, dan S. J. Munarso. 2008. Keragaan Beberapa
Varietas Unggul Baru Padi Di Lahan Sawah Irigasi Desa Pulir,
Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukohardjo. Prosiding Seminar
Apresiasi Hasil Penelitin Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2008; hlm. 245-264.
Sutaryo, B., dan T. Sudaryono.2012. Tanggap Sejumlah Genotipe Padi
Terhadap Tiga Tingkat Kepadatan Tanaman. Jurnal Ilmiah AGROS.
Fakultas Pertanian Universitas Janabadra Yogyakarta.
115
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Beras merupakan bahan pangan yang utama untuk pemenuhan
kebutuhan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Beras akan
mempunyai permintaan pasar yang terus meningkat sejalan dengan
pertumbuhan penduduk. Impor beras masih terus dilakukan untuk menjaga
persediaanberas nasional disebabkan tidak seimbang antara laju produksi
dengan besarnya konsumsi beras penduduk. Sudaryanto dkk. (2010),
memprediksi kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2020 sejalan dengan
pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dibutuhkan sekitar 37 juta ton.
Menurut Abdullah (2004), dengan laju pertambahan penduduk rata-rata 1,7 %
per tahun dan kebutuhan perkapita/tahun sebanyak 134 kg, maka pada tahun
2025 Indonesia harus mampu menghasilkan padi sebanyak 78 juta ton gabah
kering giling (GKG) untuk mencukupi kebutuhan beras nasional.
Menurut data BPS Sumut (2012), produktivitas rata-rata provinsi adalah
4,8 t /ha dengan rataan produktivitas di wilayah Pantai Timur sekitar lebih 6 t/ha
dan di wilayah Pantai Barat Sumatera masih sangat rendah sekitar 3,0-3,5 t/ha.
Rataan provinsi ini tentu masih di bawah produktivitas rata-rata nasional, yaitu
5,6 t/ha (BPS RI, 2012). Luas panen padi sawah di Kabupaten Mandailing
Natal tahun 2012 adalah seluas 35.308 ha, produksi 168.486 ton dengan
116
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
117
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
(Zaini dkk., 2009), baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman
maupun toleransi dan/atau ketahanannya terhadap cekaman biotik dan abiotik
(Jonharnas dan Chairuman, 2012). Makarim dan Las (2005) dan Imran dkk.
(2003), mengemukakan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dari
penggunaan varietas baru diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar
potensi hasil dan keunggulannya dapat terwujudkan. Penggunaan varietas
unggul merupakan paket teknologi yang paling murah dibandingkan dengan
komponen lainnya.
118
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
119
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
120
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Hasil gabah dan peningkatan hasil gabah enam varietas unggul padi
di Kabupaten Mandailing Natal.Tahun 2013.
Hasil GKG Persentase peningkatan
No. Varietas padi
(t/ha) Hasil (%)
1. Cibogo 7,00 a 37,2
2. Inpari 3 8,10 a 58,8
3. Inpari 10 6,50 ab 27,4
4. Inpari 13 7,50 a 47,1
5. Inpari 15 6,90 ab 35,3
6. Ciherang 5,10 b -
CV (%) 18,42
Keterangan : Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang
sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% DMRT.
Hasil gabah kering giling (GKG) berkisar antara 5,10-8,10 t/ha. Hasil
GKG tertinggi sebesar 8,10 t/ha diperoleh oleh varietas Inpari 3, kemudian
diikuti oleh varietas Inpari 13 (7,5 t/ha) dan Cibogo sebesar 7,0 t/ha. Produksi
GKG yang dicapai oleh ketiga varietas ini berbeda nyata dengan produksi GKG
yang dicapai oleh varietas Ciherang sebesar 5,10 t/ha. Persentase
peningkatan hasil gabah tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 3 (58,8%) dan
paling rendah pada varietas Inpari 10 (27,4%) dibanding hasil yang dicapai oleh
varietas Ciherang yang sudah eksis ditanam petani di lokasi penelitian.Jika
dibandingkan dengan potensi hasil gabah kering giling (BB Padi. 2010) ternyata
varietas Inpari 3 yang mampu memberikan hasil sebesar 8,10 t/hamelebihi dari
potensinya sebesar (7,50 t/ha). Sedangkan varietas Cibogo sebesar 7,00 t/ha
lebih rendah dari potensi hasilnya (8,10 t/ha), namun masih sama dengan rata-
rata hasilnya sebesar 7,00 t/ha. Inpari 13 dengan produksi sebesar 7,50 t/ha
mendekati potensi hasilnya sebesar 8,00t/ha, tetapi masih lebih tinggi dari rata-
rata hasilnya (6,60t/ha).
KESIMPULAN
Varietas Inpari 3, Cibogo, dan Inpari 13, memberikan hasil dan
persentase peningkatan hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Ciherang yang
merupakan varietas yang selalu dan banyak ditanam di lokasi pengkajian.
Ketiga varietas ini merupakan varietas unggul padi sawah yang adaptif pada
lingkungan spesifik, sehingga dapat dikembangkan di wilayah Kecamatan
Siabu, Kabupaten Mandailing Natal dan sekitarnya. Varietas Inpari 10 dan
Inpari 15 juga merupakan varietas yang memiliki potensi untuk dikembangkan
di wilayah sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
121
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
122
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
123
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Demas Wamaer
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Kabupaten Jayawijaya telah dijadikan salah satu lokasi SLPTT pada tahun
2011, sehingga perlu dilakukan studi bagaimana pelaksanaan kegiatan
tersebut dan dampaknya terhadap peningkatan produksi beras secara lokal di
Kabupaten Jayawijaya. Secara umum Papua merupakan salah satu provinsi
124
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
yang memiliki wilayah dan agroekosistem yang sangat beragam, mulai dari
dataran rendah berawah disekitar pesisir utara dan selatan sampai daerah
pegunungan yang memiliki tingkat kelerengan yang sangat curam di daerah
pegunungan tengah (Deptan 2007).
125
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
126
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jika bobot dan rating telah ditentukan, maka data-data tersebut dapat diolah
menjadi arahan strategi pengembangan padi dengan menggunakan analisis
SWOT. Matriks SWOT merupakan matching tools yang penting untuk
membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan empat tipe strategi,
yaitu: (1) SO Strategies : dimana kekuatan internal sistem digunakan untuk
meraih peluang-peluang yang ada di luar sistem; (2) WO Strategies : bertujuan
untuk memperkecil kelemahan internal sistem dengan memanfaatkan peluang-
peluang eksternal; (3) ST Strategies : dimana sistem berusaha agar mampu
menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal; (4)
WT Strategies : merupakan taktik untuk bertahan yang diarahkan untuk
mengurangi kelemahan-kelembahan internal dan menghindari dari ancaman-
ancaman lingkungan.
127
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
10 10 10
8
6
5 5
4 4
3 3
2 2 2
0 0 0 0
Mudah Agak Sulit Sulit Mudah Agak Sulit Sulit Mudah Agak Sulit Sulit
Modal Saprodi Pasar
128
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
10
8 9 9 8 9 8 7
4 5
2 1 1 2 1 1 1 1 1 2
0 0 0 0 0 0 0
Mudah Agak Sulit Sulit Mudah Agak Sulit Sulit Mudah Agak Sulit Sulit
TV Radio Media Cetak
2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0
129
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
3,300
Pikhe Aikima Tulem
1,500
900
390
205 280 125 75
275
25 25 25
Rata2 Produktivitas Rata2 produksi (kg) Nilai Jual (Rp000) Rata2 Konsumsi (kg)
(kw/ha)
Tabel 1. Teknologi padi yang telah dikenal petani di Jayawijaya, Tahun 2012
Jenis teknologi
No. Lokasi
Benih Produksi Pasca Panen
1. Pikhe Belum Sudah Belum
2. Aikima Belum Sudah Belum
3. Tulem Belum Sudah Belum
130
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
98 9 8 8 8
6 5
3 43 33 4 4 4 4 5
1 1 2 2 2 12 2 22
Gambar 7. Jml Kampung, Jml PPL dan Ratio PPL dengan WKPP di Jayawijaya,
Tahun 2012
Sumber: BP4K Kabupaten Jayawijaya, 2010. *)
Keterangan ratio PPL dengan Kampung : 1=1:1; 2=1:2; 3=1:3 dan
4=1:4
131
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1,101,529.00
1,071,917.00
42,258.32
151,917.00 112,579.07 112,258.00 62,258.30
32,487.45 22,767.00 12,487.00 42,487.00
Berdasarkan hasil evaluasi EFI dan EFE (Lampiran 1) dan juga analisis
SWOT (Lampiran 2), dapat dikemukakan 4 kebijakanyang perlu diambil terkait
dengan P2BN di Dataran Tinggi Jaywijaya, Papua, yaitu: (1) SO Strategi:
program yang mendorong terjalinnya kerjasama usaha pertanian dengan pihak
swasta (perusahaan pertanian yang ingin melakukan investasi) dengan
Pemerintah Daerah (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan), (2) ST Strategi:
program pembinaan/pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki, (3) WO Strategi: program penyediaan
sarana-prasarana maupun teknologi untuk mendukung pengembangandan (4)
WT Strategi: program penguatan kelembagaan, terutama kelembagaan adat
(hak penguasaan tanah/masalah tanah) dan kelembagaan yang terkait dengan
usahatani (BPR/BPD/Koperasi) maupun dengan kelompok tani melalui
pelatihan.
132
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Pengembangan padi dengan pendekatan SL-PTT di Kabupaten Jayawijaya
kurang berkembang, karena pelaksanaan SL-PTT tidak dilakukan secara
intensif dan berkesinambungan, sehingga petani belum memiliki kemampuan
untuk mengelola usahatani padinya dengan inovasi PTT yang dianjurkan.
SARAN
Untuk mengantisipasi kerawanan pangan perlu pengembangan padi
dengan pendekatan PTT agar produksi padi dapat ditingkatkan, dengan
demikian perlu upaya untuk memprogramkan SL-PTT padi, secara khusus
untuk pengembangan padi dataran tinggi, seperti Sarinah, sebagai inovasi yang
perlu dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2007. Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian
Provinsi Papua dan Papua Barat Berbasis Sumber Daya. Matriks dan
Daftar Pertanyaan Kunci Survei Biofisik dan Sosial Ekonomi Provinsi
Papua dan Papua Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian.
____________________. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.
BPS. 2004. Statistik Potensi Desa Provinsi Papua 2003. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
BPS. 2006. Papua Dalam Angka. Kantor Statistik Provinsi Papua. Jayapura.
Djufry, F. dan D. Wamaer, 2011. Kajian Strategi Kebijakan Kerawanan Pangan
di Provinsi Papua. Dalam Subejo, L.R.Waluyati, S.P. Wastuningsih, A.
Suryantini, A.W. Utami, D.W. Untari, dan Sugiyarto. Prosiding Seminar
Nasional Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
------------ dan A. Kasim. 2011. Pengembangan PTT Padi di Dataran
Tinggi melalui Introduksi Varietas Unggul Baru dan Pemupukan
Organik di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Laporan
Penelitian Kerjasama Ristek.
Hutabarat, B. 2001. Investasi Publik Pada Sektor Pertanian di Era
Otonomi Daerah. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 19, No. 2,
Desember 2001. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sinulingga, N.M. 2004. Kebijaksanaan Penganekaragaman Pangan Untuk
Meningkatkan Ketahanan Pangan. Prosiding Loka Karya
Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal, Jayapura 2 – 4 Desember
2003. Penyunting: Y.P. Karafir, H. Matanubun, Sunarto, Y. Abdullah, B.
Nugroho, dan M.J. Tokede. Universitas Negeri Papua. Manokwari.
Sudaryanto, T. dan Tri Pranadji. 2006. Transformasi Kelembagaan Untuk
Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian Pada Masyarakat
Papua.
Umar, H. 1999. Riset Strategi Perusahaan. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
133
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ancaman :
Fluktuasi harga/murahnya komoditi
1 0,118 3 0,354
pangan
Tingginya serangan hama
2 0,073 4 0,292
terhadap tanaman pangan
Implementasi program tidak sesuai
3 0,077 3 0,231
dengan perencanaan
Tingginya Isolasi wilayah
4 0,130 2 0,260
pengembangan
Jumlah Skor 1,000 2,366
134
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
135
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
136
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
PENDAHULUAN
Menyusutnya lahan pertanian subur akibat berbagai keperluan non
pertanian dan meningkatnya permintaan akan hasil pertanian khususnya
pangan menyebabkan perlunya pengembangan areal pertanian, misalnya
pemanfaatan lahan marginal seperti lahan pasang surut, yang selama ini
ditinggalkan (Manwan dkk., 1992 dan Alihamsyah, dkk. 2001). Lahan pasang
surut memiliki potensi yang besar untuk kegiatan usahatani apabila dikelola
dengan baik (Soewarno dan Susilowati, 1997). Untuk tanaman padi dengan
pengelolaan yang tepat beberapa varietas unggul padi lahan rawa pasang
surut seperti Lematang dan Sei Lilin mampu berproduksi 5–7 t/ha (Pane dkk.,
2007).
Luas lahan pasang surut di Sumatera Utara mencapai 11.149 ha, yang
tersebar di beberapa Kabupaten antara lain Kabupaten Langkat, Deli Serdang,
Serdang Bedagai, Labuhan Batu dan Nias selatan. Di Kabupaten Langkat luas
lahan pasang surut mencapai 6.135 ha dengan rata-rata produktivitas padi
pada lahan ini adalah 2,5–3,0 t/ha (BPS, 2008). Pemanfaatan lahan pasang
surut di daerah ini belum optimal karena berbagai kendala sehingga tingkat
produktivitas padi yang dihasilkan masih rendah 3-4 t/ha (Akmal dan Yufdy,
2009 dan Sudana, W. 2005) sehingga belum dapat meningkatkan
kesejahteraan petani. Beberapa permasalahan pada lahan pasang surut
adalah proses dekomposisi terhambat karena jeleknya drainase, tingkat
kemasaman tanah yang tinggi dan pada saat tanaman fase vegetatif sering
secara tiba-tiba pasang besar air laut naik sehingga tanaman
tenggelam/terendam (Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. 1998;
dan Widjaja Adhi, I.P.G. 1986). Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk
meningkatkan produktivitas padi lahan pasang surut dengan pengujian varietas
dan pengelolaan hara spesifik lokasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan varietas unggul padi yang mampu beradaptasi baik pada
agroekosistem lahan pasang surut dan teknologi pengelolaan pupuk yang
sesuai di lahan pasang surut spesifik lokasi di Sumatera Utara.
137
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
138
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Hasil analisis tanah lahan pasang surut, Desa Pulau Banyak,
Kabupaten Langkat. MK 2011
No Jenis analisis Nilai Status Hara Metode
1 C-organik (%) 5,98 Sangat Tinggi Spektrophotometry
2 N-total (%) 0,16 Rendah Kjedahl
3 P-bray I (ppm) 3,47 Rendah Spektrophotometry
4 K-dd (me/100g) 0,29 Sedang AAS
5 Na-dd (me/100g) 1,23 Sangat Tinggi AAS
6 pH (H2O) 4,98 Asam Elektometry
139
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
140
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
141
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dan P1 (cara petani) yaitu 26,8 gdan terendah (26,7 g) didapat pada perlakuan
P3 (berdasar permentan no 40).
Produksi gabah
Hasil analisis secara statistik terhadap produksi gabah kering giling per
hektar tidak terdapat interaksi antara varietas dan cara penentuan kebutuhan
pupuk (Tabel 7).
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
142
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
143
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat.
Jl. Raya Padang-Solok Km 40
2)
Biosindo Mitra Jaya Jakarta
Jl. Anggrek Cendrawasih VII Blok K No. 7,
Kemanggisan Slipi Jakarta Barat
Abstrak
Kata Kunci: pupuk kimia, pupuk hayati, biotrent, padi sawah, rekomendasi.
PENDAHULUAN
144
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pada tahun yang sama berturut-turut 4,99; 5,02; 4,98; 5,14; dan 5,15 t/ha (BPS,
2015). Sementara itu, dibanding produktivitas nasional, secara umum terlihat
produktivitas padi sawah Sumatera Barat relatif masih rendah.
Saat ini dipasaran banyak tersedia pupuk hayati berbagai merek, salah
satunya Biotrent. Pupuk hayati Biotrent (PHB) merupakan salah satu pupuk
organik cair (POC) yang mengandung tujuh jenis mikroba, yaitu: (1) Rhizobium
sp. 13,3x107sel/ml; (2) Azotobacter sp. 1,7x107sel/ml; (3) Bakteri Pelarut Fosfat
5,7x107sel/ml; (4) Lactobacillus sp. 3,7x107sel/ml; (5) Actinomycetes sp.
5,8x107 sel/ml; (6) Citrobacter sp. 4,8x102sel/ml; dan (7) Acetobacter sp. 1,3 x
105 sel/ml (PT Biosindo Mitra Jaya, 2015).Keunggulannya adalah: (1) efektif
meningkatkan ketersediaan hara dan produktivitas tanaman, baik yang bersifat
spesifik maupun non spesifik sehingga mampu menggurangi penggunaan
145
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
146
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
147
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tertinggi pada perlakuan pupuk rekomendasi + Biotrent (96,3 cm) yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Namun demikian, sebagian besar
perlakuan memiliki tinggi tanaman yang melebihi deskripsinya (90-105 cm)
(Balitpa, 2009; Balitpa, 2010). Artinya, perlakuan pengurangan pemberian
pupuk kimia dan penambahan pupuk hayati Biotrent pada padi sawah tidak
menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi tertekan.
Komponen Hasil
Komponen hasil yang diamati adalah jumlah anakan produktif, panjang
malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, dan berat 1.000 biji.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi pupuk
hayati dan kimia tidak berpengaruh nyata di Nagari Baringin. Sedangkan di
Nagari V Kaum, hanya berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah per malai
dan berat 1.000 biji (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata komponen hasil padi sawah di Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat, tahun 2015.
Perlakuan Paket Teknologi Lokasi Rata-
Pemupukan Nagari Baringin Nagari V Kaum rata
Jumlah Anakan Produktif (batang/rumpun)
Rekomendasi 27,7 a 30,7 a 29,2
Rekomendasi + Biotrent 33,7 a 34,3 a 34,0
¾ Rekomendasi + Biotrent 35,0 a 34,3 a 34,7
½ Rekomendasi + Biotrent 34,3 a 33,3 a 33,8
KK (%) 7,90 6,45
Panjang Malai (cm)
Rekomendasi 20,8 a 21,8 a 21,3
Rekomendasi + Biotrent 23,1 a 23,3 a 23,2
¾ Rekomendasi + Biotrent 22,4 a 23,4 a 22,9
½ Rekomendasi + Biotrent 22,6 a 22,4 a 22,5
KK (%) 5,37 4,79
Jumlah Gabah per Malai (butir)
Rekomendasi 125,0 a 97,3 b 111,2
Rekomendasi + Biotrent 167,8 a 137,3 a 152,6
¾ Rekomendasi + Biotrent 150,0 a 129,3 ab 139,7
½ Rekomendasi + Biotrent 150,3 a 130,7 ab 140,5
KK (%) 14,91 15,05
Gabah Hampa (%)
Rekomendasi 14,0 a 10,3 a 12,2
Rekomendasi + Biotrent 12,0 a 5,0 a 8,5
¾ Rekomendasi + Biotrent 16,6 a 5,7 a 11,2
½ Rekomendasi + Biotrent 14,3 a 9,6 a 12,0
KK (%) 37,24 36,19
Berat 1.000 Biji (g)
Rekomendasi 21,46 a 22,42 b 21,94
Rekomendasi + Biotrent 21,08 a 22,90 a 21,99
¾ Rekomendasi + Biotrent 21,14 a 22,88 a 22,01
½ Rekomendasi + Biotrent 21,36 a 23,18 a 22,27
KK (%) 1,35 0,89
Angka-angka setiap peubah dan setiap kolom diikuti huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Beda Duncan (UBD).
148
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil Gabah
Hasil analisis sidik ragam terhadap hasil gabah kering giling (GKG)
menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi pupuk hayati dan kimia memberikan
pengaruh nyata di kedua lokasi (Tabel 3).
Tabel 3. Rata-rata hasil gabah kering giling (GKG) dan peningkatan hasil padi
sawah di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, tahun 2015.
Perlakuan Lokasi Rata-rata
Paket Teknologi Nagari
Nagari V Kaum
Pemupukan Baringin
Hasil GKG (t/ha)
Rekomendasi 5,15 c 6,78 c 5,97
Rekomendasi + Biotrent 6,83 a 7,89 a 7,36
¾ Rekomendasi + Biotrent 5,87 bc 7,48 b 6,68
½ Rekomendasi + Biotrent 6,35 ab 7,10 c 6,73
KK (%) 6,76 2,55
Peningkatan Hasil (%)
Rekomendasi - - -
Rekomendasi + Biotrent 32,62 16,37 24,50
¾ Rekomendasi + Biotrent 13,98 10,32 12,15
½ Rekomendasi + Biotrent 23,30 4,72 14,01
Angka-angka setiap peubah dan setiap kolom diikuti huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Beda Duncan (UBD).
149
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
oleh faktor komponen hasil tanaman, seperti: jumlah anakan produktif, panjang
malai, jumlah gabah per malai, dan menurunnya persentase gabah hampa.
Analisis Usahatani
Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa rata-rata keuntungan
usahatani padi sawah berkisar Rp.14.995.000,- sampai Rp.22.525.000.- (Tabel
4).
150
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pemupukan @
4 300.000 300.000 200.000 150.000
Rp.50.000/HOK
Penyemprotan
5 Biotrent @ - 300.000 300.000 300.000
Rp.50.000/HOK
Penyemprotan
6 pestisida kimia @ 300.000 300.000 300.000 300.000
Rp.50.000/HOK
Panen dan pasca
7 panen @ 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
Rp.50.000/HOK
Jumlah (B) 6.350.000 6.650.000 6.550.000 6.500.000
Total (A+B) 20.795.000 21.635.000 21.342.500 21.100.000
II. Pendapatan
Nagari Baringin 40.680.000 47.340.000 44.880.000 42.600.000
Nagari V Kaum 30.900.000 40.980.000 35.220.000 38.100.000
III. Keuntungan (II-I)
Nagari Baringin 19.885.000 25.705.000 23.537.500 21.500.000
Nagari V Kaum 10.105.000 19.345.000 13.877.500 17.000.000
Rata-rata 14.995.000 22.525.000 18.707.500 19.250.000
IV. R/C rasio (II/I)
Nagari Baringin 1,96 2,19 2,10 2,01
Nagari V Kaum 1,49 1,89 1,65 1,81
Rata-rata 1,73 2,04 1,88 1,91
Catatan: harga GKG = Rp.6.000/kg.
Keuntungan tertinggi didapatkan pada perlakuan kombinasi pupuk
rekomendasi + Biotrent (Rp.22.525.000,-) diikuti kombinasi pupuk ½
rekomendasi + Biotrent (Rp.19.250.000,), dan ¾ rekomendasi + Biotrent
(Rp.18.707.500,-). Sedangkan perlakuan pupuk rekomendasi memberikan
keuntungan terendah (Rp.14.995.000,-). Selanjutnya, terlihat bahwa nilai R/C
rasio berkisar 1,73 sampai 2,04. Ini berarti keempat perlakuan yang diuji layak
diaplikasikan untuk padi sawah karena nilai R/C rasionya >1. Dapat disimpulkan
bahwa pemberian pupuk hayati Biotrent sebanyak 3 kali mampu meningkatkan
hasil GKG sekaligus meningkatkan keuntungan yang diterima petani. Artinya,
pemberian kombinasi pupuk rekomendasi + Biotrent, atau ¾ rekomendasi +
Biotrent, atau ½ rekomendasi + Biotrent dapat dianjurkan untuk diaplikasikan di
tingkat petani. Namun, untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia,
direkomendasikan penggunaan kombinasi pupuk ½ rekomendasi + Biotrent.
KESIMPULAN
151
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
152
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Produktivitas padi yang dicapai juga masih rendah, yaitu 4-6 t/ha GKP
(Distan Maluku, 2012). Rendahnya produktifitas padi tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya karena penggunaan varietas lokal atau tidak
melakukan pergantian varietas. Data di atas menunjukkan bahwa di kabupaten
SBB terdapat lahan yang masih cukup luas untuk pengembangan padi terutama
153
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tegalan, tanah rusak, dan lahan lainnya, baik untuk padi gogo maupun padi
lahan sawah (Susanto dkk., 2012; Susanto dan Sirappa, 2007).
Saat ini Badan Litbang Pertanian telah melepas varietas unggul padi
sudah cukup banyak, diantaranya varietas inbrida padi sawah irigasi (Inpari 1 –
20). Dalam dua tahun terakhir ini telah dilepas juga varietas baru varietas
Inpari21–30. Varietas-varietas baru tersebut memiliki beberapa karakteristik
diantaranya tahan terhadap hama penyakit, kekeringan dan berumur pendek
dengan potensi produksi yang tinggi dengan produktivitas berkisar antara 6 –
10 t/ha GKG.
154
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Komponen Pertumbuhan
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman
tertinggi dihasilkan oleh varietas Inpari 28 dan berbeda nyata dengan tinggi
tanaman varietas lainnya yang dikaji. Tinggi tanaman Inpari 28 (116 cm) yang
menunjukkan konsistensi pertumbuhan, baik pada umur 32 HST, maupun 72
HST dan 90 HST seperti terlihat pada Gambar 1.
155
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
140
120
100 Inpari 21
80
60 Inpari 24
40
Inpari 26
20
0 Inpari 27
Tinggi Jml Tinggi Jml Tinggi Jml
Inpari 28
Tanaman anakan Tanaman anakan Tanaman anakan
Umur 32 HST Umur 72 HST Umur 90 HST
Gambar 1. Tinggi tanaman (cm) dan jumlah anakan pada Umur 32, 72 dan 90
HST
100
80
60 jml malai/rmpn
40 panjang malai
jml biji/malai
20
0
Inpari 21 Inpari 24 Inpari 26 Inpari 27 Inpari 28
Gambar 2. Jumlah malai, panjang malai, dan jumlah biji per malai,
padapengkajian adaptasi varietas di Kabupaten Seram Bagian
Barat
156
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kondisi sebaliknya terjadi pada bobot biji hampa per malai. Gambar 3
menunjukkan bahwa jumlah biji hampa paling sedikit atau persentase gabah
berisi paling besar, dihasilkan secara berturut-turut oleh Inpari 28 (71,63 %),
Inpari 27 (66,60 %), dan Inpari 24 (57,40 %). Jumlah tersebut lebih sedikit dan
berbeda nyata dengan jumlah biji hampa terbesar atau persentase gabah berisi
paling sedikit pada varietas Inpari 21 (45,48 %) dan Inpari 26 (21,93 %).
80
70
60
50 jml biji hampa/malai
40
Bobot 1000 btr
30
20 persentase gabah isi (%)
10
0
Inpari 21 Inpari 24 Inpari 26 Inpari 27 Inpari 28
Gambar 3. Jumlah biji hampa, bobot 1.000 biji, dan persentase gabah berisi
pada pengkajian adaptasi VUB padi di Kabupaten Seram Bagian
Barat
157
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Semua VUB (Inpari 21, 24, 26, 27, 28) yang dikaji mampu mencapai
potensi genetik secara optimal pada lingkungan tumbuh padi sawah irigasi
di Kabupaten Seram Bagian Barat.
2. Penggunaan sistem tanam legowo 2:1 dan 4:1 menunjukkan perbedaan
produktivitas antar varietas yang diuji, namun terlihat bahwa sistem
tanaman legowo memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata
produktivitas padi yang dilaksanakan di tingkat petani pada lokasi kajian
(4.3 t/ha).
SARAN
Disarankan untuk VUB yang telah dihasilkan ini perlu ditindak lanjuti
dengan uji organoleptik atau uji tingkat kesukaan konsumen, agar dapat
direkomendasi untuk dikembangkan, jika konsumen suka terhadap rasa
nasi dari varietas-varietas ini.
DAFTAR PUSTAKA
158
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Susanto AN, Bustaman S. 2006. Data dan Informasi Sumberdaya Lahan Untuk
Mendukung Pengembangan Agribisnis di Wilayah Kepulauan
Provinsi Maluku. BPTPMaluku. Ambon.
Susanto, A.N, M. Titahena, S. Malawat, R. Senewe, A.A. Rivaie dan E. Ananto.
2012. Upaya Peningkatan Pemanfaatan Lahan Kering Mendukung
Kedaulatan Pangan di Maluku. Dalam (eds) Mewa Ariani, Ai Dariah, E.
Eko Ananto, Kedi Suradisastra, Kasdi Subagyono, Muhrizal Sarwani,
Efendi Pasandaran, Haryono Soeparno: Membangun Kemampuan
Inovasi Berbasis Potensi Wilayah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Susanto, A.N dan M.P. Sirappa. 2007. Karakteristik dan Ketersediaan Data
Sumber Daya Lahan Pulau-Pulau Kecil Untuk Perencanaan
Pembangunan Pertanian di Maluku. Jurnal Litbang Pertanian, 26 (2),
2007. p.41-53.
159
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
160
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
161
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Benih Varietas Inpari
28, Inpari 30, Inpari 33, Pupuk Majemuk (Ponska dan Petroganik), dan Pupuk
Tunggal (Urea), Label. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, mistar,
timbangan analitik, timbangan manual, cangkul, kamera dan alat tulis.
162
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
163
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada pengamatan jumlah GKP per malai, nilai tertinggi diperoleh pada
varietas inpari 33 dengan rerata 120,270 tidak berbeda nyata dengan varietas
inpari 28 dan inpari 30 dengan rerata gabah isi 118,723 dan 116,883 butir per
malai. Tidak ada perbedaan nyata antara ketiga varietas ini disebabkan oleh
kondisi lapangan, perlakuan serta potensi hasil jumlah GKP yang cenderung
sama.
Pada pengamatan jumlah persentase GKP isi per malai, nilai tertinggi
diperoleh pada varietas inpari 28 dengan rerata 93,552% tidak berbeda nyata
dengan varietas inpari 30 dan inpari 33 dengan rerata 92,445% dan 84,849%
per malai. Tidak ada perbedaan nyata antara ketiga varietas ini disebabkan
oleh kondisi lapangan, perlakuan serta potensi hasil jumlah persentase GKP isi
yang cenderung sama.
Pada pengamatan GKP per 1000 butir, nilai tertinggi diperoleh pada
perlakuan Inpari 28 dengan rerata nilai 30,560 g, tidak berbeda nyata dengan
varietas Inpari 28 dan Inpari30 dengan rerata berat 30,410 dan 29,750 g. Tidak
ada perbedaan nyata antara ketiga varietas ini disebabkan oleh kondisi
lapangan, perlakuan serta potensi berat 1000 bulir GKP yang cenderung sama.
Pada pengamatan berat produksi panen per ha, nilai tertinggi diperoleh
pada varietas Inpari28 dengan rerata 5.580 kg. Berbeda nyata dengan
perlakuan varietas Inpari 33 dengan rerata nilai 4.960 kg. Perlakuan terendah
diperoleh pada varietas Inpari 30 dengan rerata nilai 4.657 kg. Perbedaan nilai
rerata produksi ketiga varietas diduga disebabkan oleh kondisi cekaman
164
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Arafah dan Najma, 2012, Pengkajian Beberapa Varietas Unggul Baru Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah. J. Agrivigor 11(2):188-194,
Badan Litbang Pertanian. 2013. Sistem Tanam Legowo. Kementerian
Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.2015.Deskripsi Varietas
Unggul Baru Padi Inbrida Padi Sawah Irigasi (Inpari), Inbrida Padi Gogo
(Inpago), Inbrida Padi Rawa (Inpara), Hibrida padi (Hipa). Kementrian
Pertanian.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Gorontalo, 2015.
Produksi tanaman padi sawah tahun 2014. Gorontalo.
165
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
166
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Salah satu upaya meningkatkan produksi padi yaitu dengan
mengenalkan varietas unggul baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengenalkan
varietas unggul baru yang dapat beradaptasi dalam rangka meningkatkan
produktivitas padi di Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini dilakukan di Desa
Bawonifaoso, Kecamatan Teluk Dalam,Kabupetan Nias Selatanmulai
September – Desember 2012. Penelitian ini menggunakandata agronomis
ditabulasi dan analisis secara deskriptif. Varietas yang digunakan ada empat
yakni varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10 dan Inpari 13. Parameter yang diamati
meliputi tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif (batang/rumpun), jumlah
gabah isi (butir/malai), jumlah gabah hampa (butir/malai) dan produksi gabah
kering panen (ton/ha). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa varietas unggul
baru Inpari 3 dan Inpari 13 merupakan varietas dengan hasil gabah tertinggi
yaitu 5,8 ton/Ha dan memiliki peluang untuk dikembangkan di Kabupaten Nias
Selatan.
PENDAHULUAN
167
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
168
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Varietas Unggul Baru (VUB) yang digunakan yaitu Varietas Unggul Baru
Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10 dan Inpari 13 dengan pemakaian benih 25kg/Ha.
Benih yang digunakan diseleksi dengan cara diaduk di dalam rendaman air
garam 1 sendok/10 liter air, benih yang merapung dibuang, selanjutnya benih
dicuci bersih, direndam dengan air bersih selama 24 jam, diperam ditempat
yang teduh selama 24 jam. Pengolahan tanah masih secara manual dengan
menggunakan cangkul dengan sempurna sampai melumpur. Kemudian benih
disemai pada bedengan dengan ukuran lebar 1,2 m dan tinggi 0,3 m dengan
semai jarang 50 g/m2.
Metode Analisis
Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman (cm) pada saat panen, jumlah
anakan produktif (batang/rumpun) pada saat panen, jumlah gabah isi
(butir/malai), jumlah gabah hampa (butir/malai) dan produksi gabah kering
panen (ton/ha).
169
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keragaan rata-rata tinggi tanaman VUB Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10, dan
Inpari 13, masing-masing adalah 98,04 cm; 98,64 cm; 98,28 cm; dan 99,38 cm
(Tabel 2).
Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman pada display uji adaptasi VUB. Desa
Bawonifaoso, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan,
2012.
Tinggi tanaman (cm)
No Varietas
Inpari 3 Inpari4 Inpari 10 Inpari 13
1 98,6 97,5 101,4 98,7
2 98,2 99,3 98,3 101,5
3 99,2 101,3 97,9 101,3
4 97,4 96,6 98,4 96,8
5 96,8 98,5 95,4 98,6
Rataan 98,04 98,64 98,28 99,38
Deskripsi 95-100 95-105 100-120 ±101
Sumber : Balai Besar Penelitian Padi (2010)
Varietas yang paling rendah adalah Inpari 3 dan varietas yang paling
tinggi adalah Inpari 13. Jika dibandingkan tinggi tanaman masing-masing
varietas yang ditanam pada display uji VUB dengan deskripsinya, ternyata ada
beberapa varietas menunjukkan angka tinggi tanaman lebih rendah dari
deskripsinya, seperti varietas Inpari 10 dan Inpari 13 pada tabel 2. Hal ini
disebabkan oleh faktor ketinggian tempat, dimana tinggi tempat berpengaruh
pada radiasi matahari dan berpengaruh pada suhu. Semakin tinggi tempat
maka suhu semakin rendah. Suhu mempengaruhi metabolisme yang tercermin
dalam berbagai karakter seperti laju pertumbuhan, pembungaan, pembentukan
buah, dan pematangan jaringan atau organ tanaman yang pada akhirnya akan
mempengaruhi umur panen (Lakitan, 2007).
170
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
5,80
Inpari 13 99,38 19,00 143,00 16,80
Rata-rata 98,58 17,40 134,15 21,20 5,60
Untuk jumlah gabah isi tertinggi juga dicapai oleh varietas Inpari 3
dengan 145,6 butir/malai dan yang terendah oleh Inpari 10 dengan 109,6
butir/malai. Jumlah gabah hampa tertinggi pada varietas Inpari 4 sebesar 25
butir/malai dan yang terendah sebesar 16,80 butir/malai dengan varietas Inpari
13. Untuk hasil gabah kering panen, Inpari 3 dan Inpari 13 memperoleh hasil
5,8 ton/Ha ; dan yang terendah sebesar 5,40 butir/malai oleh varietas Inpari 4
dan Inpari 10.
Hasil Analisis Usahatani
Perbandingan analisis usaha tani padi sawah sebelum menerapkan
inovasi teknologi dan setelah menerapkan inovasi teknologi di Desa
Bawonifaoso, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, disajikan
padaTabel 4.
Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa setelah dilaksanakan
inovasi teknologi petani memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp
14.328.000,- dengan nilai R/C 2,42. Bila dibandingkan pada saat belum
dilaksanakan inovasi teknologi petani memperoleh pendapatan bersih sebesar
Rp 3.940.000,- dengan nilai R/C 1,82. Sehingga dengan menerapkan
komponen teknologi PTT terjadi peningkatan pendapatan pendapatan petani
yang sangat signifikan.
171
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Dari kegiatan varietas unggul baru padi yang diuji adaptasikan hasil
tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 3 dan Inpari 13 (5,8 t/ha) dan
hasil terendah pada Inpari 4 dan Inpari 10 (5,4 t/ha).
2. Keuntungan bersih petani sebesar Rp 14.328.000,- dengan R/C ratio
2,42 setelah dilakukan inovasi teknologi PTT.
3. Keempat varietas ini sangat berpotensi untuk dikembangkan di Nias
Selatan, terutama Inpari 3 dan Inpari 13 tetapi petani dapat memilih
varietas mana yang disukai sesua iselera konsumen
DAFTAR PUSTAKA
172
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
173
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) telah dilaksanakan di Desa
Mardinding, Kecamatan Mardinding, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera
Utara. Pengkajian ini dilakukan pada bulan Mei - Agustus 2012 dengan tujuan
untuk mengevaluasi keragaan pertumbuhan dan hasil beberapa varietas
unggul baru padi sawah serta memilih varietas yang cocok dikembangkan di
Kabupaten Karo. Varietas yang diuji sebanyak enam varietas yaitu varietas
Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10, Inpari 12, Mekongga dan Ciherang. Pengamatan
yang dilakukan meliputi pertumbuhan, hasil dan komponen hasil padi,
selanjutnya data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa varietas Inpari 3, 10, 4, Mekongga dan Inpari 12
menghasilkan gabah kering panen > 7,10 t/ha dan tertinggi dihasilkan varietas
Inpari 3 (8,3 t/ha), sedangkan varietas Ciherang hanya 5,50 t/ha. Semua
varietas yang dicoba sesuai untuk dikembangkan di Kabupaten Karo.
Penerapan inovasi teknologi padi dapat meningkatkan nilai R/C rasio menjadi
2,65 atau pendapatan bersih meningkat sebesar Rp 5.846.000,-/ha
dibandingkan dengan teknologi yang digunakan petani sebelumnya.
PENDAHULUAN
Padi adalah komoditas bahan pangan yang paling dominan di
Indonesia, salah satunya di Provinsi Sumatera Utara. Beras merupakan bahan
pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang akan terus meningkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Sementara laju peningkatan
produktivitas tanaman pangan termasuk padi di Indonesia saat ini cenderung
melandai. Menurut Abdullah (2004) laju peningkatan produktivitas di Indonesia
telah melandai meskipun upaya kultur teknis telah dilakukan secara maksimal.
Hal ini diduga ada kaitannya dengan belum adanya varietas unggul baru padi
yang berpotensi lebih tinggi dari varietas yang selama ini ditanam oleh petani.
Untuk itu diperlukan pengembangan padi dengan memanfaatkan potensi lahan
yang tersedia. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan pendekatan
dalam pengelolaan hara, air, tanaman dan organisme pengganggu tanaman
(OPT) secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan
produktivitas tanaman, pendapatan petani serta menjamin keberlanjutan
kelestarian lingkungan (Suryana dkk, 2008). Dengan pendekatan PTT, petani
disediakan komponen teknologi utama yang adaptasinya luas dan
pengaruhnya terhadap produktifitas jelas, serta komponen teknologi pilihan
yang disesuaikan dengan kondisi agroekologi setempat (Sembiring dkk, 2008)
174
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
175
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Hasil analisis lahan sawah pada lokasi kegiatan demfarm SL-PTT dan
display uji VUB Desa Mardinding, Kabupaten Karo, 2012.
Rekomendasi anjuran (kg/ha)
Hasil analisis Kriteria
Urea SP-36 KCl
Kadar N Tinggi 250 - -
Kadar P Rendah - 125 -
Kadar K Sedang - - 75
pH 5-6 (agak masam)
176
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tinggi tanaman
Rata-rata tinggi tanaman varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10, Inpari 12,
Mekongga dan Ciherang, masing-masing adalah 104,8 cm; 108,6 cm; 105,8
cm; 103 cm; 109 cm; dan 105,7 cm. Varietas yang paling rendah adalah Inpari
12 dan yang paling tinggi adalah Mekongga. Jika dibandingkan dengan tinggi
tanaman deskripsinya, nampaknya ada beberapa varietas menunjukkan lebih
tinggi dari deskripsinya, seperti varietas Inpari 3, Inpari 4 dan Inpari 12. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh ketinggian tempat, dimana tinggi tempat
berpengaruh pada radiasi matahari dan suhu udara. Semakin tinggi tempat
maka suhu semakin rendah. Suhu mempengaruhi metabolisme yang tercermin
dalam berbagai karakter seperti laju pertumbuhan, pembungaan, pembentukan
buah, dan pematangan jaringan atau organ tanaman yang pada akhirnya akan
mempengaruhi umur panen (Lakitan, 2007)
177
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Semua varietas padi yang diuji produksinya > 7,0 t/ha, sedangkan
varietas Ciherang yang biasa digunakan petani < 7,0 t/ha. Tingginya produksi
GKP varietas yang diadaptasikan didukung oleh jumlah anakan produktif lebih
banyak dan jumlah gabah isi lebih tinggi. Rendahnya produksi padi Ciherang
kemungkinan disebabkan penggunakan varietas yang terus-menerus oleh
petani mengakibatkan produk menurun. Berdasarkan hasil kajian ini semua
varietas yang diuji coba dapat direkomendasikan untuk dikembangkan
menggantikan varietas Ciherang di lokasi penelitian.
178
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Varietas padi yang diuji adaptasikan memberikan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan varietas Ciherang yang biasa digunakan oleh petani
setempat.
2. Varietas padi Inpari 3 memperoleh hasil yang terbanyak yaitu 8.30 t/ha
gabah kering panen dan disusul oleh varietas Inpari 10, 4, Mekongga
dan Inpari 12, sedangkan varietas Ciherang (kontrol) hanya 5,5 t/ha.
3. Penerapan inovasi teknologi padi dapat meningkatkan nilai R/C rasio
menjadi 2,65 atau pendapatan bersih meningkat sebesar Rp
5.846.000,-/hadibandingkan dengan teknologi yang digunakan petani
sebelumnya.
4. Disarankan petani setempat menanam varietas unggul baru tersebut
karena berpotensi untuk dikembangkan dan petani dapat memilih
varietas mana yang lebih disukai oleh konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B., 2004. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUTB lainnya. Balai
Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Badan Litbang Pertanian, 2007.Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi
Sawah Irigasi. Petunjuk Teknis Lapang. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2012. Sumatera Utara Dalam
Angka2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.
Badan Pusat Statistik Karo, 2012. Karo Dalam Angka 2011. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Karo
Balai Besar Penelitian Padi, 2010. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2010. Pedoman Pelaksanaan Tanaman
Padi, Jagung, Kedelai, dan Kacang Tanah Tahun 2010. Dirjen Tanaman
Pangan. Kementerian Pertanian.
Hasanuddin, A., 2005. Peranan Proses Sosialisasi terhadap Adapsi Varietas
Unggul Padi Tipe Baru dan Pengelolaannya. Lokakarya Pemuliaan
Partisipatif dan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB).
Sukamandi.
Lakitan, B., 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
179
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
180
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Helmi
ABSTRAK
PENDAHULUAN
181
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
lewat bantuan langsung benih unggul (BLBU), namun kenyataan dilapang hasil
yang diperoleh tidak melebihi varietas padi Non Hibrida, malah ada hasilnya
lebih rendah dari varietas non hibrida.
Dobermann dan Witt (2000) menyebutkan bahwa budidaya padi hibrida
perlu lebih intensif, mengingat ekspresi heterosis hasil padi hibrida ditentukan
oleh lingkungan dan pengelolaan air (teknik budidaya) yang baik. Ada
beberapa tipe padi yang dikembangkan saat ini, yaitu padi inbrida (padi unggul
lokal, padi unggul baru, padi tipe baru) dan padi hibrida. Khusus padi hibrida,
tujuan pembentukannya adalah untuk mendapatkan varietas hibrida yang
mempunyai potensi hasil minimal satu ton lebih tinggi dibandingkan dengan
padi inbrida (Satoto 2004). Padi hibrida adalah turunan pertama dari hasil
persilangan antara induk mandul jantan (GMJ = CMS = A) dan pemulih
kesuburan (Restorer = R). Turunan pertama tersebut memiliki sifat kedua
tetuanya. Jika sifat-sifat tetua yang saling mendukung bergabung akan
dihasilkan turunan yang memiliki gabungan sifat yang lebih baik dari kedua
tetuanya. Berbeda dengan padi biasa (inbrida), keturunan kedua hibrida yang
sama tidak sebaik hibridanya. Untuk itu harus selalu ada galur mandul jantan,
galur pelestari, dan galur pemulih kesuburan untuk setiap kali akan
memproduksi benih padi hibrida (Badan Litbang Pertanian, 2006). Teknologi
padi hibrida dikembangkan atas dasar pemanfaatan pengaruh heterosis dari
tetuatetuanya. Pada kombinasi persilangan, gejala heterosis yang muncul
mampu meningkatkan potensi hasil varietas padi sebesar 15-20% lebih tinggi
dibandingkan dengan varietasinbrida yang banyak ditanam petani (Suwarno
2002). Agar heterosis dapat terekspresi dengan baik, padi hibrida harus
ditanam di lingkungan optimal dengan teknik budi daya yang tepat. Di Cina,
hibrida tumbuh dengan baik pada suhu 28 oC, dan pada saat masak susu suhu
berkisar antara 24-29oC (Widiarta dkk.2005, Geng 2002 dalam Widiarta
dkk.2005).
Varietas unggul yang ditanam terus menerus kemungkinan akan
mengalami perubahan antara lain kemurnian varietas dan reaksinya terhadap
hama dan penyakit tertentu yang semakin menurun (Idris dkk. 2008). Oleh karena
itu mendapatkan varietas unggul melalui penelitian pemuliaan perlu mendapat
perhatian secara intensif sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ada (Manwan 1994). Setelah diperoleh varietas unggul baru
Hibrida maupun Non Hibrida perlu dilakukan uji adaptasinya di daerah
pengembangan dan daerah-daerah sentra produksi padi. Karena tidak semua
varietas unggul baru yang dilepas pemerintah adaptif di semua daerah
pengembangan. Tujuan dari kajian ini adalah mengevaluasi keragaan
beberapa varietas padi Hibrida yang adaptif dan cocok di Sumatera Utara, dan
keluaran yang diharapkan adalah diperoleh 1-2 varietas unggul padi hibrida
yang beradaptasi baik dan berpotensi hasil tinggi, sehingga kebutuhan beras
biasanya bertumpuh pada padi non hibrida, akan dapat didukung melalui
konstribusi peningkatan produktivitas padi hibrida.
182
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Data yang diamati meliputi: (1) Persentase daya kecambah benih; (2)
Tinggi tanaman pada masak fisiologis; (3) Jumlah anakan produktif/rumpun; (4)
Umur berbunga 50%; (5) Jumlah gabah isi / malai; (6) Jumlah gabah hampa/
malai (7) Bobot 1000 butir (g) (8) Produktivitas gabah kering panen t/ha.
183
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil uji daya kecambah secara statistik tidak berbeda nyata terhadap
beberapa varietas yang diuji (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata Uji daya kecambah, Umur 50% berbunga, dan Tinggi
tanaman, pada kegiatan keragaan varietas padi hibrida lahan
sawah irigasi di Desa Sungai Rakyat, Kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara
Umur populasi
Daya Kecambah Tinggi tanaman
No Varietas berbunga 50 %
(%) (cm)
(hari)
1 MARO 97,00 a 73,00 b 118,98 d
2 HIPA 5 97,50 a 78,00 a 127,75 c
3 HIPA 6 97,25 a 78,00 a 116,50 d
4 HIPA 7 97,25 a 76,00 a 120,50 d
5 HIPA 8 96,50 a 71,00 b 148,40 a
6 HIPA 10 96,75 a 81,00 a 121,90 cd
7 HIPA 11 97,25 a 71,00 b 121,10 d
8 HIPA 14 96,25 a 81,00 a 137,95 b
CV 1,11 % 15,75 % 3,35 %
Angka selajur yang dikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05
184
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tinggi Tanaman
185
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
186
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Bobot 1000 butir dari varietas yang diuji, varietas HIPA 10, dan HIPA 5,
memberikan bobot 1000 butir tertinggi namun tidak berbeda nyata dengan
varietas HIPA 6 dan HIPA 8. Bobot 1000 butir kedua varietas ini masing-masing
27,00 g. Secara statistik tidak berbeda nyata sesamanya. Sedangkan bobot
1000 butir terendah ditampilkan varietas HIPA 14, HIPA 7 dan varietas Maro
yaitu masing-masing 26,00g. Bobot 1000 butir dari varietas/galur akan
mempengaruhi produksi yang akan dihasilkan oleh suatu varietas kalau
didukung oleh komponen yang lain seperti jumlah anakan produktif, gabah per
malai , dan jumlah gabah bernas. Padi hibrida dengan jumlah gabah bernas
yang tinggi biasanya memiliki sifat pembungaan yang baik. Pada varietas yang
jumlah tepungsari yang banyak akan mudah terbentuk gabah. Faktor iklim
sangat berpengaruh terhadap pembungaan, seperti intensitas radiasi selama
fertilisasi berlangsung (Sembiring et. al. 2008).
Produksi Gabah Kering Panen (t/ha)
Varietas padi hibrida yang diuji berpengaruh nyata terhadap
Produktivitas Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Produktivitas berkisar
antara 5,79 sampai 8,77 t/ha. Ada empat varietas padi hibrida yang diuji
mampu beradaptasi baik. Keempat varietas tidak berbeda nyata sesamanya
terhadap produktivitas gabah kering panen (GKP), tetapi berbedanyata dengan
varietas Maro yang telah pernah ditanam petani. Keempat varietas yang punya
potensi hasil tinggi tersebut adalah 1) varietas HIPA 10 produktivitas 8,77 t/ha,
2). Varietas HIPA 6 produktivitas 8,25 t/ha, 3). Varietas HIPA 8 produktivitas
8,10 t/ha, 4). Varietas HIPA 5 produktivitas 7,91 t/ha.
Keempat varietas yang mempunyai daya adaptasi dan potensi hasil
tinggi merupakan suatu peluang pertumbuhan baru untuk pilihan bagi petani
menggunakan padi hibrida di lahannya. Berbedanya hasil yang ditampilkan
varietas diasumsikan pengaruh genotip dari varietas/galur dan juga pengaruh
kesesuaian adaptasi varietas-varietas tersebut dengan lingkungan yang ada.
187
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Varietas padi hibrida yang diuji mempunyai umur masak termasuk dalam
kategori sedang yaitu berkisar 115,00-125,00 hari stelah semai. Ada empat
varietas padi hibrida yang diuji mampu beradaptasi baik dan memberikan hasil
lebih tinggi dari varietas lainnya. Varietas padi hibrida yang telah biasa ditanam
petani varietas Maro, hanya memberikan hasil 6,35 t/ha. Keempat varietas
yang punya potensi hasil tinggi tersebut adalah 1). Varietas HIPA 10
produktivitas 8,77 t/ha, 2). Varietas HIPA 6 produktivitas 8,25 t/ha, 3). Varietas
HIPA 8 produktivitas 8,10 t/ha, 4). Varietas HIPA 5 produktivitas 7,91 t/ha.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
188
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
189
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan pertumbuhan dan
hasil enam varietas unggul baru padi sawah dan memilih varietas yang cocok
dikembangkan di Kabupaten Nias Utara. Penelitian dilaksanakan di kelompok
tani Sogau A di Desa Banua Gea, Kecamatan Tuhemberua, Nias Utara pada
pertanaman Musim Tanam I tahun 2013. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Variabel pengamatan
meliputi komponen pertumbuhan dan hasil gabah yang selanjutnya dianalisis
menggunakan analisis varians dan DMRT pada taraf 5 %. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Inpari 10 memiliki postur tanaman tertinggi dengan tinggi
tanaman 119,2 cm dan jumlah anakan produktif tertinggi varietas Inpari 10 dan
Inpari 14 (17,8 btg/rumpun), jumlah gabah isi/malai yang tertinggi adalah
varietas Inpari 4 (150,4 butir/malai) dan jumlah gabah hampa/malai tertinggi
adalah varietas Inpari 19 (38,6 butir/malai). Dari enam varietas yang diuji, Inpari
10 merupakan varietas terbaik dengan hasil gabah kering 8,1 ton/ha.
Berdasarkan pilihan varietas unggul padi sawah yang berpotensi untuk
dikembangkan adalah varietas Inpari 10, Inpari 20, Inpari 4 dan Inpari 14.
PENDAHULUAN
Padi berperan penting dalam stabilitas ekonomi, peningkatan
pendapatan petani, ketahanan pangan, dan pengembangan perekonomian
pedesaan. Padi merupakan makanan pokok sehingga menjadi yang paling
strategis dan politis dikembangkan di Indonesia. Selain itu, padi merupakan
usaha pertanian yang dominan dalam penciptaan lapangan kerja di pedesaan
untuk mendukung dan memantapkan program swasembada beras.
190
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
191
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
192
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman (cm) pada saat panen,
jumlah anakan produktif (btg/rumpun) pada saat panen, jumlah gabah isi
(butir/malai), jumlah gabah hampa (butir/malai) dan produksi gabah kering
panen (ton/ha). Data keragaan sifat agronomis tanaman dianalisis secara
statistik dengan metode Analysis of Variance (Anova). Untuk melihat
perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan Multiple Range
Test (DMRT). Analisis usaha tani model PTT dan non PTT menggunakan
analisis R/C ratio, yaitu perbandingan antara nilai produksi dengan biaya
produksi.
193
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
isi/malai dihasilkan oleh varietas Inpari 4 berbeda nyata dengan varietas Inpari
19, dan Inpari 20.
Untuk jumlah gabah hampa/malai tertinggi dihasilkan oleh varietas
Inpari 19 (38,6 butir/malai) tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 10 (17,8
butir/malai), varietas Inpari 14 (33,2 butir/malai), dan Inpari 4 (14,6 butir/malai).
Tetapijumlah gabah hampa/malai dihasilkan oleh varietas Inpari 19 berbeda
nyata dengan varietas Inpari 17 (10,6 butir/malai), dan Inpari 20 (13 butir/malai).
Hasil gabah kering panen (GKP) tertinggi adalah varietas Inpari 10 (8,1
ton/ha) tidak berbeda nyata dengan Inpari 4 (7,2 ton/Ha), Inpari 10 (7,2 ton/Ha),
dan Inpari 20 (7,3 ton/Ha), tetapi hasil gabah kering panen (GKP) varietas Inpari
10 berbeda nyata dengan Inpari 17 (6,3 ton/ha) dan Inpari 19 (5,76 ton/Ha).
Keragaan pertumbuhan dan produksi tanaman padi disajikan pada tabel 2.
Penyebaran benih varietas unggul baru ini berdasarkan kondisi
agroekosistem wilayah. Petani di Kabupaten Nias Utara telah lama menanam
varietas Lokal dan Ciherang tanpa pergantian. Dengan adanya uji adaptasi
varietas unggul baru ini diharapkan diperoleh varietas yang adaptif pada
lingkungan setempat dan diminati oleh petani, terutama berdasarkan hasil
produksi dan hasil nasinya. Menurut Sirappa dkk. (2007) beberapa faktor yang
dijadikan pemilihan varietas adalah karakteristik lokasi (jenis irigasi, ketinggian
tempat, kesuburan tanah, jenis hama dan penyakit yang dominan) dan sifat
produk yang diinginkan oleh petani (rasa nasi, bentuk dan warna gabah).
Peningkatan produktivitas padi yang dicapai disebabkan oleh dua faktor,
yaitu penggunaan varietas unggul yang berpotensi tinggi dan semakin
membaiknya sistem usaha tani padi seperti pengolahan tanah, cara tanam, dan
pemupukan (Irawan, 2004). Penerapan teknologi yang tepat, faktor alam
seperti anomali iklim juga sangat menenukan produksi dan keuntungan petani.
194
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Analisis usaha tani padi sawah sebelum penerapan teknologi dan
setelah penerapan teknologi. Desa Banua Gea, Kecamatan
Tuhemberua, Kabupaten Nias Utara, 2013.
Sebelum inovasi Setelah inovasi
No Uraian
teknologi teknologi
Volume Jumlah Volume Jumlah
A. Biaya Produksi
Benih (kg) 80 640.000 25 300.000
Pupuk kandang (kg) 0 - 2.000 1.000.000
Urea (kg) 350 700.000 200 400.000
Ponskha (kg) 100 450.000 150 1.350.000
SP 36 (kg) 200 800.000 150 600.000
Insektisida (ltr) 3 300.000 3 300.000
Pengolahan tanah
10 500.000 30 1.500.000
(HOK)
Tanam (HOK) 10 500.000 25 1.250.000
Pemupukan (HOK) 5 250.000 3 150.000
Penyiangan (HOK) 10 500.000 20 1.000.000
Penyemprotan
6 300.000 6 300.000
(HOK)
Panen (12%) 300 1.050.000 836,4 2.920.000
B. Jumlah Biaya 5.990.000 11.070.000
C. Penerimaan (ton) 2,5 8.750.000 6,97 24.395.000
D. Pendapatan bersih 2.760.000 13.325.000
E. R/C 1,46 2,20
KESIMPULAN
2. Hasil gabah kering panen (GKP) tertinggi diperoleh pada varietas Inpari
10 (8,1 t/ha) dan dan yang terendah adalah varietas Inpari 19 (5,76 t/ha),
sehingga varietas Inpari 10 ini sangat berpotensi untuk dikembangkan
di Kabupaten Nias Utara dan petani dapat memilih varietas mana yang
disukai sesuai selera konsumen.
195
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
196
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kata kunci: Keragaan padi VUB, pola tanam, pasang surut, Jambi
PENDAHULUAN
197
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
198
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
menjelang tanam lahan diberi kapur dolomitdengan dosis 400 kg/ha dan
trichoderma. Untuk mengurangi percepatan pertumbuhan gulma dilakukan
penyemprotan lahan dengan herbisida pra-tumbuh Alley.
Bibit dipindah setelah berumur tiga minggu di persemaian. Bibit ditanam
dengan jumlah 2 - 3 bibit per rumpun menggunakan sistem tanam jajar legowo
2:1 sesuai jarak tanam 25 x 25 cmdan 4:1 dengan jarak tanam 25 x 12.5 cm.
Pupuk diberikan dengan dosis : 250 kg urea/ha, 200 kg SP-36 /ha dan 100kg
KCl/ha. Pupuk diberikan saat tanam, kecuali pupuk urea diberikan 3
kali.Pemeliharaan berupa penyiangansecara manual dan dan herbisida selektif.
Pengendalian hama burung dilakukan dengan memasang jaring di seluruh
areal pertanaman padi.
Pengukuran radiasi surya dan kalibrasi alat. Sebelum alat pengukur
radiasi surya dipasang di lokasi, dilakukan kalibrasi alat yaitu membandingkan
setiap alat dengan input radiasi yang sama dengan satuan millivolt (mV).
Radiasi surya diukur menggunakan sensor radiasi surya tubesolarimeter.
Sensor pengukuran radiasi transmisi diletakkan pada ketinggian 5 cm di atas
permukaan tanah dan radiasi datang diletakkan pada ketinggian 1 m di atas
tempat terbuka. Pengambilan data dilakukan setiap 15 menit dengan 3 kali
pencatatan data, kemudian dihitung nilai rata-ratanya. Transmisi radiasi diukur
dengan menggunakan tube solarimeter yang dihubungkan dengan AVO
(Ampere Volt Meter) yang diletakkan di atas dan di bawah tajuk tanaman padi
selanjutnya digunakan untuk menghitung koefisien transmisi radiasi surya yang
datang pada tanaman tersebut dengan persamaan sebagai berikut :
𝑄𝜏
τ =
𝑄𝑜
(1)
199
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
200
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
(V1) (V2)
Gambar 2. Tinggi tanaman padi dengan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 (J1)
dan 4 : 1 (J2) serta varietas Inpara 1 (V1) dan Inpara 2 (V2)
Tinggi maksimum padi varietas Inpara 1 dan 2 sama-sama tercapai pada hari ke
77 setelah tanam yaitu terjadi pada saat masuk fase pembungaan, setelah tinggi
maksimum tercapai maka alokasi biomassa digunakan untuk gabah. Handoko
dkk (2008) menyatakan setelah fase pembungaan, semua produksi biomassa
dialokasikan ke bulir. Yoshida (1981) menyatakan tingginya hasil padi varietas
unggul baru terutama disebabkan oleh ketahanan terhadap kerebahan. Menurut
Suprihatno dkk (2010) varietas inpara 1 dan 2 merupakan varietas yang tahan
terhadap kerebahan.
201
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Gambar 3. Jumlah anakan padi dengan sistem tanam jarwo 2 : 1 (J1) dan 4 : 1
(J2) serta varietas Inpara 1 (V1) dan Inpara 2 (V2)
202
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
(a) (b)
Gambar 4. Berat kering tanaman dengan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 (J1)
dan 4 : 1 (J2) (a) dan varietas Inpara 1 (V1), inpara 2 (V2) (b).
Varietas inpara 1 dan 2 memiliki rata-rata berat kering yang hampir sama,
hal ini didukung oleh LAI yang tidak berbeda, sehingga radiasi yang diintersepsi
oleh tajuk tanaman ini juga hampir sama (Tabel 2). Nilai LAI akan mempengaruhi
jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman yang akan berpengaruh
terhadap biomassa yang dihasilkan.
Tabel 2. Rata-rata berat kering tanaman di atas tanah varietas Inpara 1 dan 2
Perlakuan Berat kering tanaman (gm-2) pada umur (HST) ke- Produksi
0 14 28 42 56 70 (t/ha)
J1V1 13,30 32,47 195,93 443,03 907,67 1196,40 3,7
J2V1 9,70 26,17 147,57 438,27 735,90 953,46 3,6
J1V2 13,40 46,33 279,20 598,08 904,80 1267,17 3,6
J2V2 9,90 28,33 148,37 391,60 658,10 1006,45 3,2
Secara umum nilai maksimum LAI pada tanaman ini terjadi pada saat padi
berumur 42 HST atau saat tanaman padi berada pada fase keluar malai sampai
pembungaan. Setelah mencapai nilai maksimum LAI semakin turun karena
setelah fase pembungaan di mana alokasi produksi biomassa semuanya
dialokasikan untuk pengisian biji (Horie dkk., 1997). Sedangkan menurut
Ismunadji (1988) nilai optimum LAI tanaman padi adalah 4 - 7. Pada penelitian ini
nilai LAI mencapai 4. Nilai LAI berpengaruh terhadap radiasi surya yang akan
diintersepsi oleh tajuk tanaman padi. Semakin berkurang nilai LAI maka radiasi
surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman padi juga semakin kecil. Winch (2006)
menyatakan berkurangnya nilai LAI pada periode pertumbuhan akan
mengakibatkan sejumlah radiasi yang diintersepsi akan berkurang karena
sebagian energi surya akan jatuh ke tanah.
KESIMPULAN
Keragaan pertumbuhan, hasil produksi dan perkembangan siklus hidup
varietas padi (Inpara 1 dan Inpara2) dengan pola tanam jajar legowo 1:2 dan
1:4 menunjukkan kecendrungan yang sama.
203
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
204
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DISKUSI
205
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
206
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kendala utama pada lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air
yang sangat tergantung kepada curah hujan, sehingga lahan mengalami
kekeringan pada musim kemarau. Lahan sawah tadah hujan umumnya tidak
subur, mempunyai kandungan hara terutama N, P, K yang rendah, tanah
masam (pH rendah), kandungan bahan organik rendah, dan petaninya tidak
memiliki modal yang cukup, sehingga agroekosistem ini disebut juga sebagai
daerah miskin sumber daya (Permadi dkk., 2005; Subagyono dkk, 2004;
Pirngadi danMakarim, 2006). Disisi lain, umumnya petani sering memberi
pupuk kurang dari kebutuhan tanaman dan/atau melebihi kebutuhan tanaman,
sehingga penggunaan pupuk tidak efisien untuk mendukung pertumbuhan dan
hasil tanaman.
207
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
kemarau (MK), dari bulan April sampai Juli 2013 dan musim hujan (MH), dari
bulan September sampai Desember 2013.
208
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pengamatan
Analisis Data
Komponen Pertumbuhan
Tabel 1. Tinggi tanaman, anakan vegetatif, dan anakan produktif padi pada lima
paket pemupukan di Kabupaten Deli Serdang, tahun 2013.
Paket Tinggi tanaman ∑ Anakan vegetatif ∑ Anakan produktif
Pemupukan (cm) (batang m-2) (batang m-2)
MK MH MK MH MK MH
A 101,0 a 115,7 a 428,1 a 633,7 a 320,2 a 343,3 a
B 102,3 a 117,3 a 381,5 a 603,7 a 297,3 ab 313,7 a
C 101,7 a 115,0 a 379,2 a 614,3 a 301,7 ab 322,7 a
D 100,0 a 115,7 a 364,1 a 611,0 a 312,3 a 322,0 a
E 100,0 a 116,9 a 343,3 a 542,0 a 225,3 b 305,3 a
Rata-rata 101,0 116,1 379,2 600,9 291,4 321,4
CV (%) 4,0 4,3 16,4 12,3 15,56 8,5
Keterangan : - A. PUTS, B. PuPS, C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/
2007, D. Analisis Laboratorium, dan E. Cara petani
- Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% DMRT
Rata-rata tinggi tanaman pada musim kemarau 101,0 cm dan pada
musim hujan adalah 116,1 cm. Tanaman tertinggi pada musim kemarau
terdapat pada paket pemupukan B (102,3 cm), pada musim hujan terdapat
pada paket pemupukan B (117, 3 cm). Rata-rata jumlah anakan vegetatif per
meter persegi pada musim hujan adalah 600,9 batang; sedangkan pada musim
kemarau 379,2 batang. Jumlah anakan vegetatif per meter persegi terbanyak
pada musim kemarau terdapat pada paket pemupukan A (428,1 batang),
sedangkan anakan vegetatif paling sedikit terdapat pada paket pemupukan E,
yaitu 343,3. Jumlah anakan vegetatif per meter persegi terbanyak pada musim
hujan, terdapat pada paket pemupukan A (633,7 batang) dan anakan vegetatif
209
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Komponen Hasil
Tabel 2. Gabah bernas, gabah hampa, dan bobot 1000 butir padi pada lima
paket pemupukan di Kabupaten Deli Serdang, tahun 2013.
Paket ∑ Gabah bernas ∑ Gabah hampa Bobot 1.000 butir
Pemupukan (butir malai-1) (butir malai-1) (g)
MK MH MK MH MK MH
A 79,0 a 132,8 a 33,7 a 9,1 a 27,5 a 26,7 B
B 67,2 a 112,3 a 31,7 a 19,5 a 27,2 a 28,6 A
C 71,9 a 107,5 a 28,0 a 22,2 a 27,3 a 27,5 Ab
D 71,8 a 118,0 a 24,6 a 15,8 a 27,7 a 28,1 A
E 66,1 a 98,6 a 25,1 a 22,5 a 27,0 a 28,0 A
Rata-rata 71,2 113,9 28,6 17,8 27,3 27,7
CV (%) 14,79 20,78 19,1 35,3 3,25 2,73
Keterangan : - A. PUTS, B. PuPS, C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/
2007, D Analisis Laboratorium, dan E. Cara petani
- Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% DMRT
Rata-rata jumlah gabah bernas per malai pada musim hujan adalah
113,9 butir; sedangkan pada musim kemarau 71,2 butir. Jumlah gabah bernas
terbanyak pada saat musim kemarau terdapat pada paket pemupukan A (79,0
butir), sedangkan jumlah gabah bernas paling sedikit terdapat pada paket
pemupukan E (66,1 butir). Jumlah gabah bernas per malai terbanyak pada
musim hujan, juga terdapat pada paket pempukan A (132,8 butir), dan paling
sedikit terdapat pada paket pemupukan E (98,6 butir).
Rata-rata jumlah gabah hampa per malai pada saat musim kemarau
adalah 28,6 butir, sedangkan pada saat pada musim hujan 17,8 butir. Jumlah
gabah hampa paling sedikit pada saat musim kemarau adalah pada paket
pemupukan D (24,6 butir), sedangkan pada musim hujan terdapat pada paket
pemupukan A (9,1 butir). Bobot 1.000 butir gabah paling berat pada saat musim
kemarau adalah pada paket pemupukan B (27,7 g); sedangkan bobot 1.000
210
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
butir gabah paling berat pada saat musim hujan adalah pada paket pemupukan
B (28,6 g).
Hasil Gabah
Sidik ragam hasil gabah kering giling tidak berbeda nyata terhadap
lima paket pemupukan pada saat musim kemarau, tetapi berbeda nyata pada
saat musim hujan (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil gabah kering giling pada lima paket pemupukan di Kabupaten
Deli Serdang, tahun 2013.
Hasil (t GKG ha-1)
Paket Pemupukan
MK MH
A 5,7 a 7,8 A
B 5,5 a 7,6 A
C 6,3 a 7,1 Ab
D 5,9 a 6,4 B
E 5,3 a 6,6 B
Rata-rata 5,7 7,1
CV (%) 10,78 7,71
Keterangan : - A. PUTS, B. PuPS, C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/
2007, D. Analisis Laboratorium, dan E. Cara petani
- Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% DMRT
Rata-rata hasil gabah kering giling pada musim kemarau adalah 5,7
t ha , dan pada musim hujan 7,1 t ha -1. Hasil gabah kering giling terbanyak
-1
pada saat musim kemarau terdapat pada paket pemupukan C (6,3 t ha -1) dan
paling sedikit pada paket pemupukan E (5,3 t ha -1) dan tidak berbeda nyata
antar perlakuan. Hasil gabah kering giling terbanyak pada musim hujan
terdapat pada paket pemupukan A (7,8 ha-1), tidak berbedanya nyata dengan
paket pemupukan B (7,6 t ha-1) dan paket pemupukan C (7,1 t ha-1), sedangkan
hasil gabah kering giling paling sedikit terdapat pada paket pemupukan D (6,4
ha-1), tidak berbeda nyata dengan paket pemupukan C dan E (6,6 t ha-1).
Secara umum, lima paket pemupukan yang diuji memberikan nilai yang
lebih tinggi terhadap semua peubah yang diukur pada saat musim hujan
dibandingkan musim kemarau. Paket pemupukan A (PUTS), merupakan paket
pemupukan yang memberikan nilai tertinggi terhadap peubah jumlah anakan
vegetatif, anakan produktif, gabah bernas, dan hasil, baik pada musim kemarau
maupun pada musim hujan. Berdasarkan analisis ragampaket pemupukan
antar perlakuan tidak berbeda pada saat musim kemarau, tetapi berbeda nyata
pada musim hujan. Paket pemupukan A (PUTS) pada musim hujan tidak
berbeda nyata dengan paket pemupukan B(PuPS) dan C (SK Mentan
No.40/Permentan/OT.140/2007), tetapi berbeda nyata dengan paket
pemupukan D (analisis laboratorium) dan E (cara petani).Pada musim hujan,
padi mendapatkan air yang cukup selama fase-fase pertumbuhannya sehingga
tanaman berkembang dengan baik. Ketersediaan air selama musim hujan akan
mendorong pelarutan pupuk dan pelepasan ion-ion hara, serta aliran massa
dan difusi larutan hara dari tanah ke akar.
211
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Rendahnya nilai semua peubah yang diukur pada saat musim kemarau
disebabkan oleh tanaman sering mengalami kekurangan air, meskipun adanya
kecukupan hara yang diberikan melalui pemupukan. Hal ini menunjukkan
bahwa air merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi pertumbuhan
vegetatif dan generatif selama musim kemarau. Penambahan air melalui
pompa tidak mencukupi kebutuhan airyang diperlukan tanaman selama fase-
fase pertumbuhan padi, karena rendahnya curah hujan. Respon tanaman padi
terhadap kekeringan tergantung pada tingkat dan waktu kekeringan, fase
tumbuh dan genotipe (Castillo dkk., 2006). Kekurangan air pada fase vegetatif
dapat menghambat pertumbuhan tinggi tanaman, anakan padi berkurang,
tanaman kerdil, sementara pada fase reproduktif dapat meningkatkan persen
gabah hampa dan menurunkan bobot gabah (Bouman dkk., 2007; Sarvestani
dkk., 2008; dan Ji dkk., 2010). Besarnya kehilangan hasil pada tanaman padi
akibat kekurangan air pada fase pembungaan jauh lebih besar dibanding
kehilangan hasil akibat kekurangan air pada fase vegetative (Greenland 1997
dalam Subagyono dkk., 2004).
Analisis Usahatani
Analisis usahatani terhadap lima paket pemupukan di lahan sawah
tadah hujan pada musim kemarau, disajikan pada Tabel 4 dan 5. Paket
pemupukan A, B, C, D, dan E mempunyai nilai rasio keuntungan dan biaya
(B/C) berturut-turut: 1,07; 0;97; 1,21; 1,12; dan 0,92 (Tabel 4).
Tabel 4. Analisis usahatani lima paket pemupukan di lahan sawah tadah hujan
pada musim kemarau (MK). Kabupaten Deli Serdang, 2013.
Paket Pemupukan (Rp 000)
Uraian
A B C D E
Hasil (kg GKG ha-1) 5.700 5.500 6.300 5.900 5.300
Harga jual Rp 5.500 kg-1 31.350,0 30.250,0 34.650,0 29.150,0
32.450,0
Biaya produksi ha-1 15.173,5 15.352,5 15.711,5 15.282,0 15.156,5
1. Benih 25 kg (@ Rp 250 250 250 250 250
10.000
2. Urea (Rp 2.000) 500 500 500 400 400
3. SP-36 (Rp 3.500) 175 - 350 262,5 -
4. KCl (Rp 8.000) 400 - 400 400 -
5. Phonska (Rp 3.500) - 875 - - 700
6. ZA (Rp 2.000) - - - - 200
7. Pompa air 3.500 3.500 3.500 3.500 3.500
8. Pestisida 1.180 1.180 1.180 1.180 1.180
Biaya tenaga kerja
9. Pengolahan tanah 1.420 1.420 1.420 1.420 1.420
10. Penanaman 1.400 1.400 1.400 1.400 1.400
11. Penyiangan 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500
12. Penyemprotan 400 400 400 400 400
13. Panen 3.448,5 3.327,5 3.811,5 3.569,5 3.206,5
Pendapatan bersih 16.176,5 14.897,5 18.938,5 17.168,0 13.993,5
B/C 1,07 0,97 1,21 1,12 0,92
Keterangan: A. PUTS, B. PuPS, C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/
2007, D. Analisis Lab. dan E. Cara petani
212
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
213
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada Tabel 4 dan 5 dapat dilihat bahwa biaya produksi usahatani pada
musim kemarau lebih tinggi dan keuntungan yang diperoleh lebih rendah dari
pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya hasil gabah kering
giling, sedangkan biaya pompa air dan biaya penyiangan lebih tinggi.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Atman., N. Chairuman, dan Dahono. 2013. Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru
Padi Sawah Berbasis Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sumatera
Barat. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik. BBPPTP.
Buku 1. Medan 6-7 Juni 2012:258-262.
Badan Litbang Pertanian, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2012. Statistik Lahan Sawah
Sumatera Utara Tahun 2012.
Bouman, B.A.M., E. Humphreys, T.P. Tuong, and R. Barker. 2007. Rice and
water. Adv. Agron. 92:187-237.
Castillo, E.G., T.P. Tuong, U. Singh, K. Inubushi, and J. Padilla. 2006. Drought
response of dry seeded rice to water stress timing, N-fertilizer rates and
sources. Soil Sci. Plant Nutr. 52:496-508.
Chairuman, N dan D. Harnowo. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Sawah
Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Kabupaten Deli
Serdang. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik.
BBPPTP. Buku 1. Medan 6-7 Juni 2012.
Chairuman, N. 2013. Kajian Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Padi
Sawah Berbasis Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di
Dataran Tinggi Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Jurnal online
Pertanian Tropik Pasca Sarjana FP USU1(1):47-54
Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang. 2011. Dinas Pertanian Dalam Angka
Kabupaten Deli Serdang.
214
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
215
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Abstrak
Kendala lahan pasang surut dalam sistem budidaya tanaman adalah
masalah air pengairannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air pasang dari
laut, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan terhadap sifat fisik dan kimia
lahan. Tujuan penelitian adalah untuk melihat pertumbuhan dan hasil beberapa
varietas padi dilahan rawa pasang surut Serdang Bedagai. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Juni hingga Oktober 2015 di lahan rawa pasang surut
Desa Pematang Cermei, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang
Bedagai. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa varietas padi pasang surut
yang diuji rata-rata memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan varietas
yang biasa digunakan oleh petani setempat. Hasil terbanyak diberikan oleh
varietas Inpara 4 sebanyak 7.50 t/ha gabah kering panen, selanjutnya disusul
oleh varietas Inpara 2 dan Banyu Asin 7.05 dan 6.70 t/ha.
PENDAHULUAN
Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan mencapai 24.7 juta
hektar tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Dari luasan
tersebut 9.53 juta hektar berpotensi untuk dikembangkan (Litbang Pertanian,
2008). Lahan pasang surut di Sumatera Utara banyak terdapat disepanjang
pantai timur diantaranya terluas terdapat di Kabupaten Langkat, Deli Serdang,
Serdang Bedagei, Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu.Akibat penyusutan
lahan sawah atau alih fungsi lahan pertanian di Sumatera Utara pada tahun
2012 menurut laporan Dinas Pertanian sudah mencapai 18.193 ha atau rata-
rata 4.16% per tahunnya (Medan Bisnis, 2013), maka pemanfaatan lahan
pasang surut yang ada sangat berpotensi untuk dikelola dengan baik secara
berkelanjutan.
Permasalahan lahan pasang surut yang utama adalah tata air
pengairan menurut Widjaja Adi dkk (1997) lahan pasang surut dapat dibagi atas
tiga tipe lahan. Tipe A yaitu lahan yang selalu terluapi baik pada waktu pasang
besar atau kecil. Tipe B yaitu terluapi pada saat pasang besar saja dan tipe C
adalah lahan yang tidak terluapi oleh pasang namun air tanahnya dangkal.
Ketiga tipe lahan ini dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian namun perlu
didukung dengan rakitan teknologi yang sesuai. Permasalahan lainnya adalah
lahan yang termasuk marginal, tingginya kadar unsur hara yang bersifat toksis,
216
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
seperti Fe dan S serta kadar garam yang dapat menghambat penyerapan hara
oleh tanaman. Disamping itu tanah umumnya bereaksi sangat masam.
Menurut Admin (2013) dalam mengelola lahan rawa pasang surut
terdapat empat kunci sukses yaitu (1) pengelolaan air bertujuan memenuhi
kebutuhan air pada penyiapan lahan, pertumbuhan tanaman, mengurangi
terjadinya oksidasi pirit pada tanah sulfat masam serta mencegah penurunan
permukaan tanah (subsidence), (2) penataan lahan yaitu melalui difersifikasi
tanaman, (3) pemilihan komoditas yang adaptif agar sesuai untuk daerah
penanaman dan (4) penerapan budidaya yang sesuai meliputi penyiapan lahan,
pemberian bahan amelioran, pemberian pupuk, pengaturan tanam serta
pengandalian hama dan penyakit. Karena berbedanya tipe lahan ini dengan
lahan sawah irigasi maka pengelolaan lahan pasang surut perlu dikaji paket
teknologi yang sesuai untuk dikembangkan, antara lain dalam tata kelola
penyiapan lahan, adaptasi varietas, dan pemberian pupuk.
Hasil kajian uji adaptasi varietas oleh BPTP Sumatera Utara (2008)
dilahan pasang surut Pematang Cengal Kabupaten Langkat, diperoleh hasil
tertinggi sebanyak 8.4 t/ha dari varietas Indragiri, 7.9 t/ha oleh varietas
Mandawa dan 5.72 t/ha dengan varietas Mekongga. Saat ini varietas unggul
baru sudah banyak dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian khususnya untuk
lahan pasang surut antara lain varietas Inpara. Kesesuaian varietas ini perlu
dikaji lebih lanjut khususnya untuk lokasi di Kabupaten Serdang Bedagai.
Tujuan penelitian adalah untuk melihat daya adaptasi beberapa
varietas padi terhadap pertumbuhan dan hasil dilahan rawa pasang surut
Serdang Bedagai.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan dilahan petani rawa pasang surut Desa
Pematang Cermei, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai
Provinsi Sumatera Utara dari bulan Juni hingga Oktober 2015.
Varietas yang diuji terdiri dari Inpara 2, 3, 4, Banyu Asin dan sebagai
pembanding digunakan varietas Ciherang yang biasa digunakan oleh petani
setempat.
Sebelum penanaman lahan diolah sempurna selanjutnya satu minggu
sebelum tanam diberikan pupuk organik granular sebanyak 500 kg/ha.Padi
sesuai varietas yang diuji ditanam secara legowo 4:1 dengan umur bibit 21 hari
dipersemaian. Bersamaan saat tanam diberikan pupuk dasar SP-36 sebanyak
50 kg/ha dan pupuk Phonska 100 kg/ha.Selanjutnya pada 15 dan 35 HST
diberikan pupuk susulan Phonska dan Urea masing-masing sebanyak 100
kg/ha.
Untuk pengendalian terhadap serangan hama dan penyakit pada saat
tanam diberikan 17 kg/ha Insektisida Curater dan Samponen untuk
pengendalian hama keong mas sesuai dosis anjuran. Pada pertanaman
selanjutnya tanaman disemprot dengan pestisida sesuai dosis anjuran atau
disesuaikan dengan tingkat serangan hama dan penyakit dilapangan.
217
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Penyiangan gulma dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada 15, 30 dan 45 HST.
Tanaman dipanen sesuai dengan umur varietas yang diuji atau gabah telah
menguning lebih dari 90%.
Peubah yang diamati selama kegiatan meliputi : tinggi tanaman dan
jumlah anakan pada umur 15, 30, 45 HST dan pada saat panen, umur panen,
komponen hasil dan hasil gabah.
Kecuali untuk tinggi tanaman pada saat panen khususnya padi rawa
pasang surut seperti Inpara dan Banyu Asin tidak memperlihatkan perbedaan
yang nyata. Umumnya padi rawa memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan varietas Ciherang yang biasa ditanam pada lahan sawah irigasi.
Perbedaan pertumbuhan ini diduga karena perbedaan sifat genetik dari masing
varietas yang diuji serta ketahanan tanaman terhadap bio-fisik lahan rawa
pasang surut yang diuji.
Tanaman tertinggi terdapat pada varietas Inpara3 yaitu 135.2 cm
selanjutnya diikuti oleh varietas Inpara 2 yaitu 133.4 cm. Dari penampilan ini
memperlihatkan bahwa varietas padi rawa yang diuji beradaptasi cukup baik
pada lahan rawa pasang surut di Desa Pematang Cermei. Sedangkan varietas
Ciherang yang biasa digunakan petani setempat terlihat memberikan
pertumbuhan yang terendah.
Jumlah anakan
Pertumbuhan jumlah anakan dari varietas yang diuji memberikan
penampilan yang berbeda pada setiap pengamatan. Rata-rata jumlah anakan
meningkat dengan meningkatnya umur tanaman kecuali untuk varietas Inpara3
jumlah anakan menurun pada pengamatan 45 HST (Tabel 2).
218
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Jumlah anakan beberapa varietas padi dilahan rawa pasang surut
Desa Pematang Cermei, Kec.Tanjung Beringin, Kab Serdang
Bedagai
Jumlah anakan (batang/rumpun)
No Varietas
15 HST 30 HST 45 HST
1 Inpara 2 12.4 b 24.4 ab 28.6 a
2 Inpara 3 14.6 a 21.6 bc 19.8 b
3 Inpara 4 13.0 b 21.2 c 25.2 a
4 Banyu Asin 15.6 a 26.2 a 29.4 a
5 Ciherang 12.6 b 18.0 d 20.4 b
CV (%) 10.23 14.16 18.13
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% DMRT
219
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Gambar 1. Umur panen beberapa varietas padi dilahan rawa pasang surut
Desa Pematang Cermei, Kec Tanjung Beringin, Kab Serdang
Bedagai
Komponen Hasil
Penampilan komponen hasil dari beberapa varietas yang diuji
memperlihatkan hasil yang berbeda.Jumlah malai varietas Inpara 2, 4 dan
Banyu Asin tidak berbeda nyata dan rata-rata memberikan hasil yang
terbanyak, sedangkan malai terrendah diberikan oleh varietas Ciherang (Tabel
3).
Tabel 3.Komponen hasil beberapa varietas padi dilahan rawa pasang surut
Desa Pematang Cermei, Kec. Tanjung Beringin, Kab Serdang
Bedagai
Jumlah Panjang Jumlah Gabah Bobot
No Varietas Malai Malai Gabah/malai Hampa 1.000 butir
(batang) (cm) (butir) (%) (g)
1 Inpara 2 17.8 a 24.5 a 133.6 ab 21.6 b 26.5 bc
2 Inpara 3 14.0 b 23.6 b 126.7 bc 30.9 a 27.3 a
3 Inpara 4 19.7 a 22.8 c 135.5 a 20.2 b 25.8 cd
4 Banyu Asin 20.0 a 23.4 bc 139.9 a 33.0 a 26.6 ab
5 Ciherang 13.6 b 24.0 ab 119.8 c 10.1 c 25.3 d
CV (%) 19.31 7.20 16.03 19.72 9.53
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% DMRT
220
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil gabah
Hasil gabah terberat dari kajian uji adaptasi varietas dilahan rawa
pasang surut Desa Pematang Cermei ini dihasilkan dari varietas Inpara 4 yaitu
sebanyak 7.50 t/ha gabah kering panen. Hasil selanjutnya disusul oleh varietas
Inpara 2 dan Banyu Asin masing-masing seberat 7.05 dan 6.70 t/ha (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil beberapa varietas padi dilahan rawa pasang surut di Desa
Pematang Cermei,Kec. Tanjung Beringin, Kab Serdang Bedagai
No Varietas Hasil (t/ha)
1 Inpara.2 7.05 a
2 Inpara.3 6.15 b
3 Inpara.4 7.50 a
4 Banyu Asin 6.70 ab
5 Ciherang 4.75 c
CV (%) 16.50
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5% DMRT
Rata-rata varietas padi rawa yang diuji dalam kegiatan ini memberikan
hasil yang lebih tinggi dibandingkan varietas Ciherang yang biasa digunakan
oleh petani setempat.Varietas Ciherang hanya mampu memberikan hasil
gabah kering panen seberat 4.75 t/ha. Gambaran ini memperlihatkan bahwa
untuk lahan rawa pasang surut lebih baik menggunakan varietas padi yang
khusus untuk lahan rawa pasang surut seperti varietas Inpara dan Banyu Asin
yang sudah teruji ketahanannya terhadap perubahan bio-fisik lahan maupun
terhadap kandungan Fe dan tingkat salinitas tanah. Menurut Admin (2013)
kunci sukses keberhasilan penanaman padi dilahan rawa pasang surut adalah
penggunaan varietas yang sesuai dan memiliki tingkat ketahanan terhadap
salinitas tanah dan beberapa unsur hara yang bersifat toksis bagi tanaman.
Varietas yang tahan akan memperlihatkan pertumbuhan tanaman dan hasil
yang baik. Rendahnya hasil dari varietas Ciherang diduga karena varietas ini
221
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tidak tahan terhadap perubahan salinitas air atau terhadap kandungan hara
yang bersifat toksis pada lahan yang diuji.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Varietas padi rawa yang diuji rata-rata memberikan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan varietas Ciherang yang biasa digunakan oleh petani
setempat.
2. Varietas Inpara 4 memperoleh hasil yang terbanyak yaitu 7.50 t/ha gabah
kering panen dan disusul oleh varietas Inpara 2 dan Banyu Asin masing-
masing seberat 7.05 dan 6.70 t/ha.
SARAN
Disarankan untuk lahan rawa pasang surut Serdang Bedagai sebaiknya
menggunakan varietas padi rawa seperti Inpara 4, 2, 3 atau Banyu Asin
DAFTAR PUSTAKA
222
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
BalaiPengkajianTeknologiPertanianSumateraUtara
Jl. A.H. Nasution No. 1B, Medan Sumatera Utara
Email : mabayang2001@yahoo.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pada tahun 2014 PDRB Pakpak Bharat atas dasar harga berlaku
mencapai Rp.479,46 miliar, sedangkan atas dasar harga konstan tahun 2000
sebesar Rp.196,12 miliar, dimana sektor pertanian masih mendominasi struktur
PDRB paling besar yaitu sebesar 64,30 persen. Sektor pertanian khususnya
bidang tanaman panganmerupakan sektor yang memiliki peranan yang cukup
penting di daerah ini, sehingga komoditas ini mendapat perhatian khusus dari
pemerintah karena sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah
umumnya hidup dari bertani.
Salah satu komoditi unggulan yang mendapat perhatian khusus adalah
komoditi padi. Pertanaman padi di Kabupaten Pakpak Bharat tersebar di 8
(delapan) kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1.
223
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Luas panen, produksi, dan rata-rata produksi padi sawah + ladang
menurut kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat. 2014.
Rata-rata
Luas Panen
No Kecamatan Produksi (ton) Produksi
(ha)
(kwt/ha)
1 Salak 706 2.389,41 33,84
2 Sitelu Tali Urang Jehe 500 1.515,17 30,30
3 Pagindar 222 458,43 20,65
4 Sitelu Tali Urang Julu 594 1.804,30 30,37
5 Pergeteng Geteng 698 2.249,72 32,65
Sengkut
6 Kerajaan 1.082 3.920,89 36,22
7 Tinada 736 2.408,89 32,72
8 Siempat Rube 449 1.571,16 34,99
Jumlah 4.978 16.317,13 31,46
224
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
225
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kepemilikan lahan
226
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Salak Kerajaan
Parameter
Ya (%) Ya (%)
Komponen SL PTT yang diterapkan:
1. Varietas Unggul Baru (VUB) 30 32
2. Benih bermutu dan berlabel (perlakuan benih) 22 27
3. Penggunaan bibit muda (<21hari) 16 5
4. Penggunaan bibit 1-3 batang perlubang tanam 14 8
5. Pengaturan populasi atau system tanam jajar 5 8
legowo 4 : 1 atau 2 : 1
6. Pengolahan lahan sempurna 21 24
7. Pemberian bahan organik 2 3
8. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman 26 31
dan status hara tanah
9. Penggunaan pupuk pelengkap cair (PPC) 26 30
10. Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT 15 34
11. Panen dan pascapanen 91 94
227
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Umur panen dilakukan petani sudah tepat pada waktunya dan telah
menggunakan peralatan mesin sebagai alat penanganan panen berupa
tresher. Hal ini menunjukkan bahwa sudah cukup banyak petani yang telah
memanfaatkan teknologi alat penanganan panen. Tetapi masih ada juga petani
yang masih melakukan penanganan panen secara manual tanpa peralatan
mesin. Penggunaan peralatan dan mesin perlu digunakan dalam penanganan
panen untuk mempercepat waktu pengerjaan, mengurangi upah tenaga kerja,
dan menekan kehilangan hasil panen. Hal ini sesuai dengan Pedoman Teknis
GP-PTT Padi (2015) bahwa penanganan panen dan pasca panen akan
228
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
memberikan hasil yang optimal jika panen dilakukan pada waktu dan cara yang
tepat. Pemanenan dilakukan dengan sistem kelompok yang dilengkapi dengan
peralatan dan mesin yang cocok sehingga menekan kehilangan hasil.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
229
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
230
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jl. Budi Utomo No.45 Siantan Hulu Pontianak
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A.H. Nasution No.1 B Medan, Sumatera Utara.
Email. subektiagus75@yahoo.com.sg
ABSTRAK
Peningkatan produksi padidi Kalimantan Barat dihadapkan pada
masalah karena sebagian besar lahan merupakan lahan tadah hujan yang
mudah mengalami kekeringan bila musim kemarau, bereaksi masam dengan
produktivitas 3,09 t/ha. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
mengintroduksikan Varietas Unggul Baru (VUB) dengan produkrivitas tinggi (6-
9 t/ha) diantaranya Inpari 20, Situ Bagendit, Inpari 30, Mekongga, Inpara 3.
Selain itu penerapan sistem tanam jajar legowo juga dapat meningkatkan
populasi dan hasil hingga 30%. Untuk itu perlu dilakukan uji adaptasi VUB dan
penerapan sistem tanam yang tepat. Penelitian ini bertujuan mendapatkan 1-2
varietas VUB padi yang adaptif dengan sistem tanam jajar legowo pada lahan
tadah hujan di Kalimantan Barat. Penelitian menggunkana rancangan Split
Plot. Main plot adalah sistem tanam dansub plot adalah varietas. Main
plotterdiri dari sistem tanam jajar legowo 2:1 dan tegel, sedangkan sub plot
terdiri VUB padi verietas Inpari 20, Inpari 30, Inpara 3, Situ Bagendit,
Mekongga, dan Ciherang, dengan 3 ulangan. Variabel yang diamati adalah
tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi per
malai, persentase gabah isi per malai, berat 1000 butir gabah, dan produktivitas
GKP. Data dianalisis dengan Anova dan diuji lanjut dengan uji Beda Nyata
Jujur (BNJ). Hasil penelitian menunjukkan VUB padi yang adaptif dan sistem
tanam yang memberikan hasil yang lebih baik pada lahan tadah hujan di
Kalimantan Barat adalah varietas Inpari 30 dengan produktivitas GKP 5,61 t/ha,
dan varietas Ciherang dengan produktivitas GKP 5,45 t/ha yang ditanam
dengan sistem tanam legowo 2 :1.
Kata Kunci : penampilan, VUB padi, sistem tanam , lahan tadah hujan.
PENDAHULUAN
231
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
232
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian
No Parameter Analisis Nilai Kriteria
1 pH H2O 5,26 Asam
2 pH KCl 4,26 Asam
3 C-Organik (%) 1,90 Rendah
4 Nitrogen Total (%) 0,22 Rendah
5 P2O5 (ppm) (Ekstraksi Bray I 34,45 Sedang
6 Kalium (cmol (+) kg-1 0,15 Rendah
7 Natrium (cmol (+) kg-1 0,27 Rendah
8 Kalsium (cmol (+) kg-1 0,70 SangatRendah
9 Magnesium (cmol (+) kg-1 0,23 SangatRendah
10 KTK (cmol (+) kg-1 8,19 Rendah
11 KejenuhanBasa (%) 16,48 SangatRendah
12 Hidrogen (cmol (+) kg-1 0,07 -
13 Aluminium (cmol (+) kg-1 0,18 Rendah
14 Pasir 6,80 -
15 Debu 37,85 -
16 Liat 55,35 -
Sumber: Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah UniversitasTanjungpura.
Berdasarkan hasil analisa tanah (Tabel 1) diperoleh informasi bahwa
tanah dilokasi kajian memiliki status hara yang rendah, di mana kandungan
unsur hara makro N dan K rendah, sedangkan P berstatus sedang.
Kemasaman tanah masam (pH = 5,26), dengan tekstur tanah liat berdebu.
Selain analisa tanah untuk mengetahui status kesuburan tanah, maka dilakukan
analisis kebutuhan pemupukan dilokasi pengkajian dengan menggunakan
Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Berdasarkan hasil uji PUTS diperoleh
informasi bahwa keperluan pupuk adalah sbb: Urea 250 kg/ha, SP-36 75 kg/ha,
dan KCl 100 kg/ha.
b. Keragaan Agronomi
233
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
genetik yang sama belum tentu memberikan penampilan fenotipik yang sama
bila ditanam pada kondisi lingkungan yang berbeda. Respons genotip
terhadap faktor lingkungan biasa terlihat pada penampilan fenotipik dari
tanaman tersebut. Berdasarkan pada penampilan fenotipik tanaman dapat
diperoleh genotip-genotip yang memberikan karakter yang baik di suatu
percobaan. Penampilan suatu tanaman dalam suatu populasi akan berbeda-
beda sesuai dengan susunan genotip yang dikandung dan lingkungan yang
mempengaruhinya (Poehlman dan Sleper, 1995). Interaksi antara genotip
dengan lingkungan memiliki arti penting bagi pemulia, karena interaksi genotip
dengan lingkungan menggambarkan kegagalan genotip untuk tampil sama
pada setiap kondisi lingkungan (Fehr, 1987).
Suatu daerah dengan daerah lain umumnya mempunyai kondisi
lingkungan yang berbeda, sehingga akan memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap penampilan fenotipik dari genotip yang bersangkutan. Respons
genotip terhadap faktor lingkungan biasanya terlihat dalam penampilan
fenotipik dari tanaman yang bersangkutan. Penampilan fenotipik tanaman
dapat digunakan untuk mengetahui genotip yang berpenampilan/beradaptasi
baik di suatu daerah (Poehlman dan Sleper, 1995).
Genotip yang diuji pada beberapa lingkungan seringkali tidak
memperlihatkan hasil yang sama pada setiap lingkungan. Hal ini disebabkan
selain faktor genetik, faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap
penampilan suatu karakter dalam suatu populasi. Bila genotip tanaman
ditanam pada lingkungan yang berbeda secara luas, maka genotip tersebut
dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Adanya interaksi genotip dengan
lingkungan menyebabkan adanya variasi penampilan suatu karakter yang
diamati. Besar kecilnya interaksi tergantung pada genotip tanaman dan
karakteristik dari lingkungan tersebut (Poehlman dan Sleper, 1995). Dalam hal
ini, seleksi perlu dilakukan untuk memisahkan genotip-genotip berpotensi hasil
tinggi dan mutu baik pada lingkungan tertentu.
Berdasarkan uji F untuk komponen varians VUB padi dengan sistem
tanam di lahan tadah hujan didapatkan interaksi antara varietas dan sistem
tanampada bobot 1.000 butir gabah dan produktivitas. Sedangkan pengaruh
tunggal varietas dan sistem tanam nyata pada karakter jumlah gabah per malai
dan persentase gabah isi, sedangkan pengaruh tunggal varietas nyata pada
karakter tinggi tanaman. Selain itu pengaruh varietas dan sistem tanam tidak
nyata pada karakter jumlah anakan produktif dan panjang malai. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan penampilan fenotipik di antara
genotip/varietas dan sistem tanam yang diuji (Tabel 2). Falconer dan Mackay
(1996) menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan spesifik dari lingkungan
dapat memberikan efek yang lebih besar terhadap suatu varietas, tetapi tidak
terhadap varietas yang lain. Allard (1960) mengemukakan, besarnya interaksi
varietas/genotip dengan lingkungan menunjukkan bahwa wilayah penanaman
suatu varietas menjadi pembatas dan merupakan lingkungan yang spesifik.
234
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Analisis varians karakter VUB padi dan sistem tanam pada lahan
tadah hujan
Varietas X Sistem
No Karakter yang diamati Sistem Varietas
Tanam
1. Tinggi tanaman (cm) tanam
0,361 tn 89,4278 * 17,361 tn
2. Jumlah anakan produktif (anakan) 7,4278 tn *5,9167 tn 78,0278 tn
tn
3. Panjang malai (cm) 0,4500 tn 1,5167 tn 2,2500 tn
tn
4. Jumlah gabah/malai (butir) 114,67 tn 5041,44* 1296,00 *
5. Persentase gabah isi (%) 7,524 tn *
427,002* 49,938 *
6. Bobot 1000 butir gabah isi (g) 1,5191 * *
1,3307* 8,6044 *
7. Produktivitas GKP (t/ha) 0,3542 * *0,3494* 5,6327 *
*
Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf Uji F 0.05
tn = berbeda tidak nyata
Pada Tabel 3 terlihat bahwa berdasarkan uji BNJ pada taraf 5%,
terdapat perbedaan yang nyata dari varietas-varietas padi dan sistem tanam
yang diuji di lahan tadah hujan pada karakter berat 1000 butir dan produktivitas.
235
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada karakter berat 1000 butir gabah interaksi antara sistem tanam legowo 2:1
dengan variteas Inpara 3, Situ Bagendit, Mekongga dan Ciherang lebih tinggi
bobot 1000 butir dibandingkan kombinasi lainnya. Sedangkan untuk karakter
produktivitas GKP, kombinasi antara sistem tanam legowo 2:1 dengan varietas
Ciherang (5,45 t/ha) dan Inpari 30 (5,61 t/ha) memiliki produktivitas yang lebih
tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan kombinasi lainnya.
Berdasarkan analisis varian pada Tabel 1 juga diperoleh informasi
bahwa terdapat perbedaan yang nyata untuk faktor tunggal dari sistem tanam
dan varietas pada karakter tinggi tanaman, jumlah gabah per malai dan
persentase gabah isi. Untuk mengetahui pengaruh dari faktor tunggal terhadap
ke 3 karakter ini maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji BNJ (Tabel
4 dan 5).
Tabel 4. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) nilai rata-rata pengaruh sistem tanam
padakarakter yang diamati
Karakter/variabel
No Sistem Tanam
Jumlah gabah per malai Persentase gabah isi (%)
1 Legowo 2:1 141,61 a 80,510 a
2 Tegel 129,61 b 78,154 b
Keterangan : * Berbeda dengan varietas lainnya di dalam uji BNJ pada taraf
5%.
Tabel 5. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) nilai rata-rata pengaruh varietas pada
karakter yang diamati
Karakter/variabel
No Sistem Tanam Tinggi Tanaman Jumlah gabah Persentase gabah
(cm) per malai isi (%)
1 Inpari 20 87,00 b 98,83 c 90,78 a
2 Inpari 30 89,50 b 137,33 b 84,04 a
3 Inpara 3 98,00 a 186,17 a 67,38 c
4 Situ Bagendit 89,00 b 122,50 b 71,95 bc
5 Mekongga 88,83 b 126,83 b 80,86 ab
6 Ciherang 90,50 ab 142,00 b 80,99 ab
Keterangan : * Berbeda dengan varietas lainnya di dalam uji BNJ pada taraf
5%.
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh informasi bahwa sistem tanam legowo
2:1 menghasilkan jumlah gabah per malai (141,61 bulir) dan persentase gabah
isi (80,51 %) lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan sistem tanam
tegel.
Tabel 5 menunjukkan bahwa varietas Inpara 3 (98,00 cm) dan
Ciherang (90,50 cm) memiliki tingggi yang lebih dan berbeda nyata dari varietas
lainnya. Untuk karakter jumlah gabah per malai varietas Inpara 3 (186,17 butir)
memiliki jumlah gabah per malai yang lebih tinggi dari varietas lainnya,
sedangkan untuk karakter persentase gabah isi varietas Inpari 20 (90,78%),
Inpari 30 (84,04%), Ciherang (80,99%), dan Mekongga (80,86%) memiliki
persentase gabah isi yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan varietas
lainnya.
236
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
237
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa VUB padi yang
adaptifdan sistem tanam yang memberikan hasil yang lebih baik pada lahan
tadah hujan di Kalimantan Barat adalah varietas Inpari 30 dengan produktivitas
GKP 5,61 t/ha, dan varietas Ciherang dengan produktivitas 5,45GKP t/ha yang
ditanam dengan sistem tanam legowo 2 :1.
SARAN
Dalam upaya mendukung peningkatan produksi padi di Kalimantan
Barat khususnya pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan maka
sebaiknya menggunakan VUB padi varietas Inpari 30.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimaksih disampaikan Kepada : 1) Kepala Badan
Penelitiandan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian yang telah
mendanai kegiatan penelitian ini,2) Kepala Balai PengkajianTekhnologi
Pertanian KaIimantan Barat yang telah memberikan berbagai kemudahan
dalam melaksanakan penelitian ini, 3) semua fihak yang telah membantu
kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Allard, R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons. New
York.
Baihaki, A. 2000. Teknik Rancangan dan Abalisis Penelitian Pemuliaan.
Fakultas Pertanian. UniversitasPadjadjaran. Bandung.
Falconer, D. S. and T.F.C. Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics.
Longman Group. Ltd. England. 464 p.
Fehr, W. R. 1987. Principles of Cultivar Developmment. Macmillan Publiiishing
Company. Vol. 1 New York.536 p.
Gaspersz, V., 1994. Metode Perancangan Percobaan, Armico, Bandung.
Gomez. K. A., and A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian
Pertanian. Ed. II. UI Press (terjemahan).
Ismunadji M. dan S. Partohardjono. 1985. Pengapuran Tanah Masam untuk
Meningkatkan Produksi Tanaman Pangan. Seminar. Jakarta 21 Sept.
1985 .Puslitbangtan, Bogor.
Jennings, P.R., Coffman W.R., and Kauffman H.E.,. 1979.Rice Improvement. IRRI.
Los Banos. Philippines.
Makarim A. K. dan Suhartatik E., 2009. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi.
http://www.litbang.pertanian.go.id/special/padi/bbpadi_2009_itkp_11.pdf
Manurung S.O., dan Ismunadji M. 1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Dalam
Padi. Buku 1.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Bogor. p. 55-102.
Murata, Y. and S. Matsusima, 1978. Rice, In L.T. Evans (ed), Crop Physiology.
Cambridge University Press.Cambridge. p. 73-99
Poehlman, J. M., and D. A. Sleper. 1995. Breeding Field Crops. 4 th ed. Ioawa
State University Press. Ames AVI Pbl. Company.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Science. International Rice Reserch
Institute. Losabanos, Philippines.
238
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Abstrak
PENDAHULUAN
239
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Data primer varietas Inpara 3 dan Batang Piaman diambil dari hasil
kajian VUB, sedang data primer varietas Ciherang bersumber dari hasil SL-PTT
dan data varietas lokal (Kulit Bawang) bersumber dari petani di kawasan kajian
VUB.
Lahan rawa lebak terjadi karena rejim airnya dipengaruhi topografi dan
hujan setempat dan mempunyai topografi relatif rendah atau cekung (Irianto,
2006). Rejim airnya fluktuatif dan sulit diduga (Van Mensvoort 1996 dalam
240
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ananto, dkk., 1998; Achmadi dan Irsal Las, 2006). Lahan rawa lebak memiliki
potensi besar dan merupakan salah satu pilihan strategis sebagai sumber
pertumbuhan produksi pertanian terutama tanaman pangan, antara lain padi
(Purwanto, S., 2006).
241
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
242
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
secara ekonomi, varietas ini diciptakan spesifik untuk lahan rawa dan tahan
terhadap genangan apabila terjadi banjir. Varietas Batang Piaman spesifik
untuk lahan irigasi dan apabila ditanam di lahan rawa dangkal dapat
memberikan produksi cukup tinggi dibanding varietas Ciherang dan Kulit
Bawang.
Sistem Tanam
Sistem tanam tandur jajar sudah berkembang semenjak petani
menanam padi dan telah terlaksana secara turun temurun. Sistem tanam jajar
legowo didemontrasikan di lahan petani bersama petani semenjak tahun 2012
terutama dalam pelaksanaan kegiatan displai VUB. Petani masih sulit
menerima sistem tanam jajar legowo tersebut, disebabkan : 1) petani belum
terbiasa sehingga membutuhkan waktu tanam lebih lama, 2) biaya/upah tanam
relatif lebih mahal, 3) sulit dilakukan karena untuk meluruskan barisan tanaman
padi petani harus memindahkan tali.
Dari hasil uji adaptasi ini terlihat bahwa varietas Inpara 3 dan Batang
Piaman yang ditanam dengan system jajar legowo memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan varietas Ciherang dan Kulit Bawang. Setelah petani
melihat dan mencoba sendiri sistem tanam jajar legowo pada varietas Inpara 3
dan Batang Piaman, maka petani merasakan adanya tambahan jumlah rumpun
panen, berkurangnya serangan hama tikus dan keong mas, mudah melakukan
pemeliharaan seperti memupuk susulan dan penyiangan.
KESIMPULAN
1. Varietas unggul baru merupakan salah satu faktor penentu dalam
peningkatan produksi dan pendapatan petani. Varietas Batang Piaman dan
Inpara 3 menghasil produksi lebih tinggi 4,88 dan 2,07 ton/ha dibanding
produksi varietas lokal Kulit Bawang dan Ciherang. Potensi hasil varietas
Ciherang lebih tinggi dibanding potensi hasil Inpara 3 namun pada hasil
kajian ini produksi varietas Ciherang lebih rendah dari pada produksi
varietas Inpara 3.
2. Secara ekonomis penggunaan VUB seperti varietas Batang Piaman, Inpara
3 dan Ciherang menguntungkan dibanding menggunakan Kulit Bawang.
Hasil analisis usahatani sederhana menunjukkan bahwa B/C keempat
varietas tersebut adalah 2,16, 1,13, dan 1,21 lebih tinggi dibanding B/C
varietas Kulit Bawang yaitu 0,94.
3. Sistem jajar legowo secara manual (tanpa alat) belum banyak diadopsi oleh
petani, antara lain disebabkan biaya tanam relatif besar dan waktu tanam
relatif lama, sulit dilakukan karena untuk meluruskan barisan tanaman
harus menggunakan tali.
243
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
244
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kajian dilaksanakan di Kecamatan Sukakarya pada musim hujan tahun
2014. Kegiatan dilaksanakan di lahan petani dan varietas yang diuji adalah
Inpara 2, Inpara 4 dan Inpara 5. Data dianalisis secara matematik sederhana
dan deskriptif, yang ditampilkan dalam bentuk tabel. Hasil studi
memperlihatkan bahwa varitas PSTG yang lebih mampu beradaptasi dengan
kondisi lahan terkena serangan banjir adalah varietas Inpara 4, disusul oleh
Inpara 2 dan Inpara 5. Data rata-rata jumlah anakan produktif varietas Inpara
4, Inpara 2 dan Inpara 5 berturut-turut 35,5; 28,6; dan 22,8 btg/rpn. Demikian
juga dengan data rata-rata komponen produksi panjang malai berturut-turut
25,6; 24; dan 23,3 cm, dan jumlah gabah isi per malai berturut-turut 211,3;
184,3; dan 175,3 butir/malai, serta jumlah gabah hampa per malai yaitu
berturut-turut 10,0; 12,3; dan 15,0 butir/malai. Selanjutnya untuk data hasil dan
bobot 1000 butir juga lebih unggul varietas Inpara 4, disusul oleh Inpara 2 dan
Inpara 5, dimana data rata-rata hasil per hektarnya berturut-turut 7,8; 5,9; dan
5,3 ton/ha, sementara data rata-rata bobot 1000 butir adalah berturut-turut
adalah 27,03; 25,06; dan 24,20 gram. Dengan begitu dapat direkomendasikan
bahwa varietas yang tepat untuk dikembangkan didaerah rawan banjir
Kabupaten Bekasi adalah varietas Inpara 4.
Kata Kunci: VUB, produktifitas, Padi Sawah Tahan Genangan, rawan banjir
PENDAHULUAN
Kabupaten Bekasi mempunyai permasalahan pengurangan lahan
sawah yang laju pengurangannya sangat pesat setiap tahunnya, terutama
sekali dibagian utara banyak beralih fungsi menjadi pabrik-pabrik dan
pemukiman, sehingga luasan lahan sawah sudah menjadi semakin sempit, saat
ini tercatat seluas 52.966 hektar (BPS, 2013). Selain itu karena system
drainase yang buruk dan juga berkurangnya lahan-lahan perembesan, maka
pada musim kering terjadi kekeringan dan pada musim hujan terjadi kebanjiran.
Pada tahun 2014 terjadi kerusakan akibat banjir terhadap sawah seluas
11.482,5 dan persemaian seluas 144,6 ha. Bencana banjir ini bukan saja
mengakibatkan kegagalan panen tetapi juga mewabahnya serangan hama dan
penyakit. Untuk itu penggunaan teknologi varietas unggul baru yang toleran
genangan/banjir sangat dianjurkan.
Varietas unggul diyakini sebagai salah satu teknologi inovatif yang
handal untuk meningkatkan produktivitas padi, baik melalui peningkatan
potensi atau daya hasil tanaman maupun toleransi dan atau ketahanannya
terhadap cekaman biotik dan abiotik. Sumarno (2013) menyusun 16 kriteria
pertanian modern yang ditinjau dari aspek produksi, penggunaan benih
bermutu varitas unggul diletakkan pada poin pertama, karena secara nyata
245
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kegiatan dilaksanakan di lahan sawah petani dengan luas 0,5 ha. Pada
lahan tersebut ditanam 3 macam varietas yaitu Inpara 2, Inpara 4 dan Inpara 5,
dalam bentuk Display Varietas. Untuk pembanding diambil varietas yang
ditanam oleh petani sekitar. Teknologi yang diterapkan adalah komponen
dasar dan pilihan yang terdapat dalam model pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) padi sawah. Parameter yang akan diukur adalah pertumbuhan
vegetative seperti tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif per rumpun,
kemudian produksi dan komponen produksi seperti panjang malai, jumlah
gabah isi dan gabah hampa per malai serta produktifitas per hektar.
246
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
247
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kemudian dari data rata-rata jumlah gabah isi terlihat bahwa varietas
Inpara 4 paling tinggi (211,3 btr/malai) disusul oleh varietas Inpara 2 (184,3
btr/malai) dan Inpara 5 (175,3 btr/malai). Tetapi kalau kita bandingkan dengan
deskripsi terlihat bahwa varietas Inpara 4 juga paling tinggi jumlah gabah per
malai nya dibanding kedua varietas lainnya, dibanding dengan varietas Inpara
5 lebih tinggi 77 butir/malai. Selanjutnya mengenai jumlah gabah hampa terlihat
tidak berbeda nyata antara ketiga varietas dan juga jumlah gabah hampanya
pun tidak terlalu banyak, dari ketiga varietas yang paling sedikit adalah varietas
Inpara 4, makin meningkat disusul oleh varietas Inpara 2 dan Inpara 5.
Tetapi sebetulnya di deskripsi varietas Inpara 4 (94 cm) adalah paling
rendah dari Inpara 2 (103 cm) dan Inpara 5 (115 cm). Hal ini mungkin
disebabkan karena tanaman sudah mendapat serangan tikus semenjak fase
vegetative sehingga sebelum berbunga varietas Inpara 5 sempat 3 kali disabit
daunnya dan Inpara 2 satu kali. Kemudian apabila kita lihat data rata-rata
jumlah anakan produktif terlihat bahwa jumlah anakan ketiga varietas berbeda
nyata, yaitu Inpara 4 (35,5 btg/rpn), Inpara 2 (28,6 btg/rpn) dan Inpara 5 (22,8
btg/rpn), dan yang paling tinggi adalah varietas Inpara 4. Dan apabila
dibandingkan dengan deskripsi (18 btg/rpn) terdapat jumlah anakan yang
hampir dua kali lipat.
Tabel 4. Keragaan hasil dan bobot seribu butir padi pada Display Varietas Padi
Sawah Tahan Genangan di Kecamatan Sukakarya, Kabupaten
Bekasi tahun 2015.
No Varietas Hasil (ton/ha) Bobot 1000 butir (gr)
1 Inpara 2 5,9 25,06
2 Inpara 4 7,8 27,03
3 Inpara 5 5,3 24,20
Catatan: Varietas Inpara 2 terkena serangan tikus 40%, varietas Inpara 5
terserang 60% dan varietas Inpara 4 terserang 5%.
Pada Tabel terlihat hasil varietas Inpara 4 adalah 7,8 ton/ha, disusul
oleh varietas Inpara 2 (5,9 ton/ha) dan Inpara 5 (5,3 ton/ha). Disamping itu juga
lebih tinggi dari rata-rata hasil deskripsi (7,6 ton/ha) dan hasil padi sawah petani
di lokasi. Petani disana biasanya menggunakan varietas Ciherang dengan rata
hasil 4 ton/ha dan Inpari 13 dengan rata-rata hasil 5 ton/ha. Tingginya hasil
pada petak display mungkin karena menerapkan komponen teknologi PTT.
248
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Inpara 4 juga cukup ampuh dalam menghadapi serangan tikus yang memang
endemi setiap tahun di Kabupaten Bekasi ini. Selanjutnya apabila kita lihat data
rata-rata bobot 1000 butir terlihat tidak berbeda nyata antara ketiga varietas,
tetapi varietas Inpara 4 tetap lebih unggul dari kedua varietas lainnya.
Selanjutnya pada tabel terlihat bahwa hasil varietas Inpara 2 lebih tinggi
hasilnya daripada Inpara 5, pada hal di deskripsi lebih tinggi potensi hasil
varietas Inpara 5 (7,2 ton/ha) dari pada Inpara 2 (6,08 ton/ha). Hal ini mungkin
disebabkan karena varietas Inpara 5 lebih rentan terhadap serangan tikus
daripada varietas Inpara 2
KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian, dapat diambil kesimpulan:
1. Dari hasil rata-rata pengamatan pertumbuhan vegetatif terlihat bahwa
varietas Inpara 4 paling unggul dibanding varietas Inpara 2 dan Inpara 5.
Hasil rata-rata tinggi tanaman bervariasi dan tidak berapa jauh berbeda
dengan rata-rata deskripsi.
2. Demikian juga untuk rata-rata komponen produksi ternyata hasil tertinggi
juga dicapai oleh varietas Inpara 4, tetapi secara umum rata-rata ketiga
varietas yang diuji angkanya jauh melebihi rata-rata pada deskripsi.
3. Untuk data rata-rata bobot 1000 butir varietas Inpara 4 paling unggul, tetapi
tidak berbeda nyata dengan Inpara 2 dan Inpara 5, tetapi untuk rata-rata
hasil varietas Inpara 4 jauh lebih tinggi dari varietas Inpara 2 dan Inpara 5.
Disamping itu varietas Inpara 4 jauh lebih tahan terhadap serangan tikus
(kurang disukai oleh tikus), berdasarkan hal tersebut varietas Inpara 4 ini
tepat direkomendasikan untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Bekasi,
karena lebih cocok dan sesuai dengan lingkungan fisik dan agronomis
setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Balitpa. 2004 Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi dan
Kesejahteraan Petani. 23 hal.
Biro Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Bekasi Dalam Angka.
Jatileksono, T. 1998. Impact of Rice Researh and Technology Dissemination
inIndonesia. In: Pingali P, L and M. Hossain. Impact of Rice Research.
TDRI And IRRI.
Nugraha, US.2001. Review Legislasi Kebijakan dan Kelembagaan
PembangunanPerbenihan. Makalah Seminar dan Peluncuran Buku
Restrospeksi Perjalanan Industri Benih di Indonesia, 22 Mei 2001.
Ruskandar A. 2007. Penyebaran varietas Unggul Baru di Jawa Barat. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 29 (3).
Sumarno. 2013. Evolusi Kemajuan Usaha Pertanian Tanaman Pangan
dalam Diversivikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian.
Buku Bunga Rampai Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. IAARD Press.
249
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1)
Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Papua
Jl. Yahimsentani. 49, Jayapura Papua
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A. H Nasution No. 1 B, Medan Sumatera Utara
Email peter.beding@yahoo.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas stategis yang bernilai sosial, politik dan
ekonomi, karena merupakan bahan makanan pokok. Oleh karena itu upaya
peningkatan produktivitas komoditas pangan ini mendapat prioritas yang lebih
tinggi. Salah satu inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian adalah
Variatas Unggul Baru. Sampai saat inivarietas unggul yang dilepas yang
dihasilkan oleh Lembaga di Indonesia, 85 % diantaranya produk Badan Litbang
Pertanian (Yahumuri dkk, 2015)
Varietas Unggul Baru (VUB) mempunyai peranan penting dalam upaya
peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan petani. Tiap wilayah
memerlukan varietas yang spesifik, karena tidak semua varietas mempunyai
tingkat kesesuaian yang baik di seluruh lokasi. Pengunaan benih unggul
dilapangan oleh masyakat relatif masih terbatas. Menurut Daradjad dkk.
(2008), benih padi yang digunakan oleh masyakat lebih dari 60 persen berasal
dari sektor informal yaitu berupa gabah yang disisihkan dari sebagian hasil
250
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
panen musim sebelumnya yang dilakukan berulang-ulang, hal ini berarti petani
belum merespon benih unggul padi dengan baik.
Keberhasilan peningkatan produksi padi tidak terlepas dari ketersedian
varietas unggul dan adopsi teknologi. Pengunaan varietas unggul padi yang
berdaya hasil tinggi, reponsif terhadap pemupukan dan tahan terhadap hama
utama disertai dengan perbaikan teknik budidaya telah terbukti dapat
meningkatkan produktivitas, efisensi produksi dan kecukupan pangan
(Nugraha.dkk. 2007). Tingkat produktivitas padi di kabupaten Sarmi masih
rendah hal ini dikarenakan komponen PTT padi seperti varietas unggul padi
gogo belum sepenuhnya diadopsi oleh petani.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu adanya terobosan
upanya peningkatan produktivitas tanaman padi dengan memanfaatkan lahan
kering yang masih tersedia melalui penekanan penerapan inovasi teknologi
pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Dalam penerapan inovasi
teknologi melalui pendekatan PTT, tidak hanya penggunaan varietas unggul,
akan tetapi perlu dibarengi dengan teknik budidaya yang benar dan spesifik
lokasi. Selain itu pendekatan yang dilakukan yaitu dengan menerapkan
komponen yang dapat diaplikasikan sesuai kondisi setempat, efisiensi input
produksi yang memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara
bijaksana, sehingga hasil padi meningkat yang pada akhirnya pendapatan
petani juga dapat meningkat (Dirjentan. 2007). Sawah irigasi merupakan fokus
lahan andalan bagi produksi padi nasional, dengan tingkat produktivitas padi
sawah mencapai 5,68 t/ha, sedangkan sumbangan lahan kering atau padi gogo
masih sangat terbatas 2,44 t/ha. Rata-rata produksi nasional selama 5 tahun
terakhir (2000-2004) mencapai 52,01 juta ton, dari produksi tersebut
sumbangan padi gogo hanya sebesar 2,699 juta ton (5,2%) (Roesmarkam dkk.
2009). Kabupaten Sarmi merupakan salah satu sentra pengembangan
tanaman pangan, khususnya padi gogo di Provinsi Papua. BPTP Papua (2008)
melaporkan terdapat seluas 134.631 ha yang sesuai untuk pengembangan
tanaman pangan, termasuk padi gogo di Kabupaten Sarmi.
251
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
252
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
disebabkan oleh tingkat daya beli petani yang masih rendah. Hal ini
mengakibatkan produktivitas padi gogo berbeda antar petani, lokasi dan musim.
Dari hasil diskusi dengan petani dan penyuluh lapangan, usahatani padi
gogo yang dilaksanakan petani dengan kisaran luas garapan 0,50-1,0 ha (rata-
rata 0,75ha/petani). Petani masih menggunakan varietas yang tersedia di
lapangan, yang bersumberdari hasil panen sendiri dan benihnya berasal dari
bantuan pemerintah daerah dan varietas yang digunakan ini sudah digunakan
secara terus menerus selama lima tahun terakhir.
Petani hanya menggunakan pupuk an organik (pupuk buatan) dan
tidak ditemukan petani yang menggunakan pupuk organik untuk pertanaman
padi gogo. Pupuk an organik yang digunakan petani di masing-masing lokasi
relatif hampir sama yaitu menggunakan pupuk merek dagang Phonska
danUrea dengan takaran yang masih rendah yaitu 50 kg Phonska/ha dan 100
kg Urea/ha. Penggunaan dosis pupuk ini diduga masih jauh dari rekomendasi.
Menurut Rachman dkk. (1994) penggunaan pupuk Urea 135 kg+200 kg SP-
36+100 kg KCl/ha untuk padi gogo di lahan kering cukup baik untuk
meningkatkan hasil persatuan luas.
Jarak tanam yang digunakan petani adalah secara acak atau tidak
beraturan dengan kisaran 20x20 cm atau 20x25 cm. Jarak tanam yang
digunakan petani akan lebih menyulitkan dalam penyiangan dan pemupukan.
Soplanit dkk. (2013b) melaporkan sistem tanam jajar legowo memudahkan
dalam penyiangan dan pemupukan dan memberikan produktivitas lebih tinggi
dari sistem petani dengan sistem tanam secara acak atau tidak beraturan.
Petani menggunakan benih jauh lebih banyak dari anjuran yaitu kisaran
60 kg/ha, hal ini dikarenakan tingkat penggunaan benih yang tinggi dari
penggunaan benih rekomendasi (30-40 kg/ha), disebabkan ketidakyakinan
petani terhadap kualitas benihnya. Menurut Daradjad dkk. (2008), benih padi
yang digunakan oleh masyarakat lebih dari 60 persen berasal dari sektor
informal yaitu berupa gabah yang disisikan dari hasil panen musim sebelumya
yang dilakukan berulang-ulang.
Keragaan tinggi tanaman dan komponen hasil
Hasil analisis terhadap tinggi tanaman dan komponen hasil dari 5
varietas unggul padi gogo yang dikaji disajikan pada Tabel 1. Keragaan
pertumbuhan tanaman cukup beragam sesuai dengan sifat genetis dari masing-
masing varietas dan kondisi lingkungan. Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa perlakuan varietas memberikan pengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman dan komponen hasil. Pada Tabel 1 menunjukkan terdapat
perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 30 HST, dimana
secara rata-rata tinggi tanamantertinggi dimiliki oleh varietasInpago 8 (70,2 cm),
berbeda nyata dengan Situ Patenggang (59,9 cm), Inpago 7 (59,6 cm) dan
varietas Towuti (50,0 cm). Selanjutnya pada saat panen tinggi tanaman yang
tertinggi juga dimiliki oleh varietas Inpago 8 (132,0 cm), namun hanya berbeda
nyata dengan varietas Situ Patenggang (107, 4 cm) dan varietas Towuti (97,6
253
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Menurut Ramija dkk. (2010), bahwa berbeda tinggi tanaman dan jumlah
anakan yang dimiliki varietas adalah sifat genetis dari varietas itu sendiri.
Jumlah anakan akan maksimal apabila tanaman memiliki sifat genietis yang
baik ditambah dengan keadaan lingkungan yang menguntungkan untuk
pertumbuhan dan pekembangan tanaman.
Keragaan komponen hasil dan produksi
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas
unggul padi gogo memberikan perbedaan nyata terhadap jumlah gabah
isi/malai dan persentase gabah hampa/malai dan produksi GKG (Tabel 2).
Tabel. 2. Keragaan komponen hasil dan produksi beberapa varietas padi gogo.
Kabupaten Sarmi 2015
Parameter komponen hasil dan produksi
Perlakuan Jumlah gabah isi Persentase gabah Produksi
(btr/malai) hampa (%) GKG(t/ha)
Inpago 7 75,3b 27,5d 1,20a
Inpago 8 124,4d 20,8ab 3,07b
Inpago 9 72,9bc 11,8bc 3,20a
Towuti 32,5a 31,1a 1,30a
Situ 106,9d 27,5,cd 3,50b
Patenggang
*)Angka sekolom yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT 5%
254
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Rata-rata jumlah gabah isi/malai dari lima varietas yang diuji berkisar
antara 32,5–124,4 butir. Gabah isi/malai terbanyak diperoleh pada varietas
Inpago 8 (124,4 butir) namun tidak berbeda nyata terhadap varietas Situ
Patenggang. Rata-rata persentase gabah hampa dari semua varietas berkisar
antara 11,8–33,1%.Persentase gabah hampa termasuk rendah didapatkan
pada varietas Inpago 9 (11,8%), sedangkan persentase gabah hampa tertinggi
diperoleh pada varietas Towuti. Hasil gabah kering giling (GKG) berkisar antara
5,10-8,10 t/ha. Hasil GKG tertinggi sebesar 3,50 t/ha diperoleh oleh varietas
Situ Patenggang, kemudian diikuti oleh varietas Inpago 9 (3,20 t/ha) dan Inpago
8sebesar 3,07 t/ha. Sebagai akumulasi dari keunggulan sifat-sifat setiap
varietas unggul yang diuji dibuktikan dari produktivitas yang dicapai. Sirapa
dkk. (2007), melaporkan bahwa introduksi VUB yang didukung teknologi
mampu meningkatkan hasil kisaran 21-54%. Hal ini menununjukkan bahwa
pencapaian hasil suatu varietas unggul harus didukung oleh teknologi dan
lingkungan tumbuh yang optimal.
KESIMPULAN
Dari aspek produktivitas yang dicapai, tiga varietas unggul padi gogo yaitu Situ
Patenggang, Inpago 9, dan Inpago 8 dapat dikembangkan di Wilayah
Kabupaten Sarmi sehingga ketiga varietas tersebut berpeluang untuk alternatif
pergiliran varietas dan dapat menggantikan varietas lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Baehaki, S.E. dan Widiarta, I.N. 2008.Hama wereng dan cara pengendaliannya
pada tanaman padi. Hal 347-383
Ditjen Tanaman Pangan. 2007. Pedoman Gerakan Peningkatan Produksi
Beras Nasional (P2BN). Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Deptan.
Drajat AA, Sutyono A, Makarim, Hasanuddin A. 2008. Padi Inovasi Teknologi
Produksi. Buku 2. LIPI Press. Jakarta.
Roesmarkam, S., Kasijadi, F dan Arifin, Z. 2009. Inovasi Teknologi Pengelolaan
Tanaman Terpadu. BPTP Jatim.
Toha, H.M. 2007 a. Pengembangan padi gogo menunjang program P2BN.
Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Padi. 295 -323
Yusuf, A. 2008. Pengkajian Empat Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman
Tumpangsari Perkebunan. DalamAbdulrachman, S., Toha, HM,
Setyobudi dan Agus SY. ProsidingSeminar NasionalPadi ” Inovasi
Teknologi Padi Mengantisipasi Perubahan Iklim Global Mendukung
Ketahanan pangan. Hal 1269-1279.
255
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
256
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Samrin, 1Raden Teguh Wijanarko, dan 2Tristiana Handayani
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Email : samrinkdi80@gmail.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
257
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Beberapa varietas unggul baru telah dilepas oleh BB Padi yang memilki
peluang yang cukup besar untuk dikembangkan karena memilki keunggulan
produksi dan produktivitas tinggi dengan umur genjah jika ditanam di daerah
yang sesuai (Astanto, 2005). Kriteria lokasi yang sesuai untuk pertanaman
VUB baru antara lain, tanah yang subur, irigasi terjamin dan bukan daerah
endemik hama dan penyakit.
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah Varietas Unggul Baru
(VUB) inpari 3, inpari 6, inpari 7, inpari 11 dan inpari 15, pupuk dan pestisida,
258
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
karung gabah, peralatan lapang (hand tracktor, pacul, mistar panjang, caplak,
sprayer, timbangan, tali rapia, arit, perontok gabah/tresher dan seed cleaner).
Rancangan Percobaan
Kajian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5
perlakuan, diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah 5 varietas unggul baru.
Luas petak yang digunakan mengikuti luas petak alami
Tahapan dan prosedur kegiatan
Prosedur kegiatan meliputi : 1) sosialisasi dengan instansi terkait,
bertujuan untuk memperkenalkan varietas unggul baru (VUB) Padi yang akan
diproduksi dan dikembangkan, 2).Pelaksanaan lapangan, diawali dengan
pengolahan lahan dengan menggunakan hand traktor, kemudian pembuatan
tempat persemaian. Penanaman dilakukan pada saat bibit telah berumur 15 –
20 Hari Setelah Sebar (HSS). Cara tanam dengan sistem tanam jajar legowo
2 : 1, jarak tanam 20 x 10 x 40 cm. Pemupukan berdasarkan hasil analisis
PUTS, yaitu pupuk urea 100 kg/ha dan NPK Phonska 350 kg/ha. Cara
pemberian yakni semua dosis pupuk NPK Phonska diberikan pada umur 7 – 14
Hari Setelah tanam (HST) dan pemupukan Urea 25 - 30 HST. Pengendalian
hama penyakit tanaman (OPT) di lakukan dengan prinsip PHT.
Pengumpulan dan analisis data
Parameter yang diamati meliputi : tinggi tanaman (cm), panjang malai
(cm), jumlah anakan produktif/rumpun, jumlah gabah isi/malai, produktivitas
(t/ha). Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif
Keragaan Tanaman
259
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman, jumlah anakan dan panjang malai, gabah
isi dan produktivitas varietas unggul baru.
Tinggi Jumlah % tase
Panjang Produksi
Varietas tanaman anakan gabah isi
malai (cm) (t/ha)
(cm) produktif (%)
Inpari 3 95.25 13.11 25.44 83.42 6.30
Inpari 6 99.85 14.23 27.56 80.22 6.80
Inpari 7 98.25 12.67 27.15 82.35 6.10
Inpari 11 97.45 12.12 26.33 80.78 6.12
Inpari 15 100 14.22 28.68 85.25 6.50
Bila dilihat dari tinggi tanaman ke-5 varietas lebih pendek dibandingkan
dengan deskripsi varietas padi (Gambar 1 dan Lampiran 1).
260
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Data panjang malai bervariasi antara 28,68 – 25,44 cm. Panjang malai
tertinggi terdapat pada varietas inpari 15 (28,68 cm), berikutnya inpari 6 (27,56
cm), inpari 7 (27,15 cm), inpari 11 (26,33 cm), dan terendah pada inpari 3 (25,44
cm). Menurut Susanti dkk. (2008) bahwa pembentukan malai sangat
dipengaruhi ketersediaan unsur hara dan air. Semakin tercukupinya kebutuhan
hara dan air, proses pembentukan malai semakin sempurna, sehingga peluang
terbentuknya bulir gabah per malai akan semakin banyak. Jumlah bulir gabah
akan mempengaruhi hasil panen.
261
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
262
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
263
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Aug Sept Okt Nop Des
32,5 11,74 0,0 255,5 161,7 3,8 11,2 2,2 1,2 0,2 4,5 4,5
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Aug Sept Okt Nop Des
27,2 27,2 27,2 27,2 26,6 26,2 24,7 25,4 26,3 27,5 26,9 26,6
264
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Aug Sept Okt Nop Des
77,0 77,6 78,3 80,0 81,8 84,9 87,7 77,7 73,0 67,6 76,2 83,3
265
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
266
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
267
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
268
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jumlah jenis gulma yang ditemukan pada lahan sawah dataran tinggi di
Kabupaten Rejang Lebong lebih sedikit jika dibandingkan dengan jenis gulma
pada lahan sawah di Kabupaten Gresik, Jawa Timur yaitu sebanyak 28 jenis
pada lahan sawah dengan sejarah bera-padi-bera. Pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan penyusun pada lahan bera-padi-bera lebih cepat
dibandingkan dengan tumbuhan penyusun pada lahan jagung-padi-bera dan
kacang hijau-padi-bera. Tanah yang diberakan terlebih dahulu akan memicu
munculnya tumbuh-tumbuhan alami, hal ini disebabkan karena tumbuhan yang
awalnya sudah ada pada lahan tersebut, akan tumbuh dengan cepat
dikarenakan benih sudah tersebar di tanah (Mardiyanti dkk., 2013).
269
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Komposisi gulma pada lahan sawah dataran tinggi di Desa Bangun
Jaya Kecamatan Bermani Ulu Raya Provinsi Bengkulu tahun 2015.
Jumlah
No Nama Spesies Famili
Spesies
1 Limnocharis flava (L.) Alismataceae 2
2 Ageratum conyzoides Asteraceae 123
3 Synedrella nudiflora Asteraceae 10
4 Erectites valerianipolia Asteraceae 1
5 Eclipta alba (L.) Asteraceae 16
6 Galinsoga palviflora Asteraceae 1
7 Drymaria cordata Caryophyllaceae 346
8 Cyperus distan Cyperaceae 62
9 Cyperus kyllingia Edl. Cyperaceae 2
10 Scirpus mucronatus Linn Cyperaceae 145
11 Fimbristylis globulosa Cyperaceae 1
12 Cyperus rotundus Cyperaceae 11
13 Cyperus compressus Cyperaceae 1
14 Murdannia cordata Commelinaceae 76
15 Commelina diffusa Commelinaceae 2
16 Murdannia nudiflora Commelinaceae 37
17 Sporobolus indicus auctt. non (Linn.) Gramineae 100
18 Hyptes brevipes Lamiaceae 62
19 Hyptis suaveolens (L.) Poit. Lamiaceae 14
20 Ludwigia adscendens (L.) Hara Onagraceae 2
21 Ludwigia perennis L. Onagraceae 14
22 Polygonum barbatum L. Polygonaceae 20
23 Monochria vaginalis Pontederiaceae 12
Sumber : Data primer diolah, 2015
270
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Struktur gulma pada lahan sawah dataran tinggi di Kabupaten Rejang
Lebong Provinsi Bengkulu
No. Nama Jenis C
KNSS FNSS DNSS NP SDR H1
0,035
1 Drymaria cordata 33,82 0,49 3,85 38,16 12,72 -0,25
0,034
2 Ludwigia perennis L. 1,37 0,39 36,23 37,99 12,66 -0,05
0,012
3 Scirpus mucronatus 14,17 0,39 7,60 22,16 7,39 -0,17
0,008
4 Ageratum conyzoides 12,02 0,29 5,44 17,75 5,92 -0,37
0,005
5 Cyperus distan 6,06 0,29 8,77 15,13 5,04 -0,01
0,005
6 Polygonum barbatum L.(penisetum) 8,99 0,20 4,62 13,81 4,60 -0,07
0,004
7 Hyptis suaveolens (L.) 1,37 0,20 11,57 13,13 4,38 -0,12
0,002
8 Sporobolus indicus auctt. non (Linn.) 2,74 0,10 5,75 8,59 2,86 -0,06
0,001
9 Hyptes brevipes 6,06 0,29 1,23 7,59 2,53 -0,05
0,001
10 Eclipta alba (L.) 1,56 0,29 3,01 4,87 1,62 -0,10
0,001
11 Murdannia nudiflora 3,62 0,39 0,69 4,70 1,57 -0,17
0,000
12 Murdannia cordata 3,81 0,10 0,53 4,44 1,48 -0,01
0,000
13 Monochria vaginalis 1,17 0,20 1,53 2,89 0,96 -0,01
0,000
14 Fimbristylis globulosa 0,10 0,10 2,28 2,48 0,83 -0,28
0,000
15 Cyperus rotundus 1,08 0,10 1,13 2,31 0,77 -0,01
0,000
16 Synedrella nudiflora 0,98 0,29 0,80 2,07 0,69 -0,01
0,000
17 Cyperus kyllingia Edl. 0,20 0,20 1,29 1,68 0,56 -0,05
0,000
18 Limnocharis flava (L.) 0,20 0,10 1,25 1,54 0,51 -0,06
0,000
19 Commelina diffusa 0,20 0,10 1,11 1,40 0,47 -0,01
0,000
20 Erectites valerianipolia 0,10 0,10 0,51 0,70 0,23 -0,01
0,000
21 Galinsoga palviflora 0,10 0,10 0,47 0,66 0,22 -0,22
0,004
22 Ludwigiaadscendens (L.) 0,20 0,10 0,15 0,45 0,15 -0,01
0,000
23 Cyperus compressus 0,10 0,10 0,19 0,39 0,13 -0,12
Nilai indeks keanekaragaman (H1) dan Indeks dominasi (C) -2,20 0,108
271
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
perbedaan yang besar. Pada tanah Alluvial atau Hidromorfik gulma golongan
teki-ttekian lebih banyak jenisnya dan lebih (Kastanja, 2011). Sedangkan, jenis
gulma berdaun lebar dijumpai lebih dominan pada pertanaman dengan jenis
tanahnya Podsolik (Nasution, 1981).
KESIMPULAN
SARAN
Perlu dilakukan identifikasi lebih mendalam dengan penambahan lokasi
terutama untuk lahan sawah dataran tinggi di Provinsi Bengkulu.
DAFTAR PUSTAKA
272
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Holm, L.R.G., R. L. Plucknett, J.V.Pancho, dan J.P. 1988. The world’s worst
weeds. University Press of Hawai.
Irwanto. 2012. Metode survei vegetasi. http:/ /www.irwantoshut.net/
analisis_vegetasi_Teknik_Analisis_Vegetasi.html [26 Oktober] 2015.
Kastanja, A. Y. 2011. Identifikasi jenis dan dominansi gulma pada pertanaman
padi gogo (studi kasus di Kecamatan Tobelo Barat, Kabupaten
Halmahera Utara). Jurnal Agroforestri VI (1) : 40-46.
Mardiyanti, D. E., K. P. Wicaksono dan M. Baskara. 2013. Dinamika
keanekaragaman spesies tumbuhan pasca pertanaman padi. Jurnal
Produksi Tanaman 1 (1) : 24-35.
Miranda, N., I. Suliansyah dan I. Chaniago. 2011. Eksplorasi dan identifikasi
gulma pada padi sawah lokal (Oryza sativa L.) di Kota Padang. Jerami
4 (1) : 45-54.
Moenandir, J. 1993. Pengantar ilmu dan pengendalian gulma. Rajawali Pers.
Jakarta.
Nasution, U. 1981. Inventarisasi gulma di perkebunan Karet Sumatera Utara
dan hubunganya dengan pengelolaan gulma. Prosiding Kongres ke-6
Himpunan Ilmu Gulma Indonesia, Medan.
Prasetyo, B. 2007. Keanekaragaman tanaman buah di pekarngan Desa Jabon
Mekar, Kecamatan Parung, Bogor. Jurnal Biodiversitas 8 (1) : 43-47.
Suryaningsih, M. Joni dan A. A. K. Darmadi. -. Inventarisasi gulma pada
tanamana jagung (Zea mays L.) di lahan sawah Kelurahan Padang
Galak, Denpasar Timur, Kodya Denpasar, Bali Province. Jurnal
Simbiosis (1) : 1-8.
Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan gulma
di perkebunan. Gramedia. Jakarta.
273
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
274
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
produksi padi sawah dengan jalan menata populasi tanaman menjadi lebih
tinggi 20-25 % dibandingkan dengan sistem tanam biasa (Azwir,
2008).Dibandingkan dengan sistem tegel yang biasa digunakan petani,
peningkatan populasi tanaman dengan penggunaan sistem tanam jajar legowo
mencapai 30% (jajar legowo 2:1), 20% (jajar legowo 4:1), 14,3% (jajar legowo
6:1). Dengan peningkatan populasi tanaman akan berpeluang meningkatkan
produksi padi (Pahrudin, dkk. 2004).
Benih bermutu dari VU dan VUB spesifik lokasi. VUB (Inpari, Inpara, dan
Inpago) yang dilepas sejak tahun 2008 masih belum dominan di petani. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem diseminasi masih lemah. Wahyuni (2011)
melaporkan bahwa lambatnya adopsi VUB juga dipicu oleh terbatasnya
ketersediaan benih sumberserta belum dapat dilayaninya permintaan VUB dari
stakeholders maupun petani secara tepat waktu, jumlah, varietas, tempat,
harga, dan kualitas.
275
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
penanaman, pengolahan tanah sempurna, umur bibit muda <21 Hari Setelah
Semai (HSS) dengan sistem tanam legowo 2:1 (jarak tanam 20 x 10 x 40 cm)
dan Pemupukan berdasarkan rekomendasi kalender tanam terpadu, dilakukan
sebanyak 3 kali selama musim tanam yaitu pemupukan I pada umur 7-14 Hari
setelah tanam (HST), pemupukkan II pada umur 25 – 30 HST dan pemupukkan
III pada umur 45-50 HST, pengendalian gulma secara manual, pengendalian
hama dan penyakit dengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) serta
panen dan gabah segera dirontok menggunakan power threser.
Tabel 1. Rata-rata hasil pengukuran tinggi tanaman (cm) dan jumlah anakan
produktif (anakan) masing-masing perlakuan.
Jumlah Anakan
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)
(anakan)
Inpari 16 103,38a 19,86a
Inpari 22 101,05a 20,37a
Cigeulis 99,05a 8,17b
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbedanyata pada uji Duncan taraf 5 %
Perbedaan tinggi tanaman dari empat varietas yang di uji ini diduga
karena sifat genetis dari varietas dan pengaruh keadaan lingkungan. Tinggi
tanaman juga merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, tetapi
pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingkat produksinya (Suprapto dan
Dradjat, 2005). Tanaman akan tumbuh lebih rendah bila ditanam pada lokasi
yang lebih tinggi dari permukaan laut (Simanulang, 2001). Pertumbuhan
276
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
277
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Data komponen hasil panjang malai (cm), jumlah anakan (batang),
gabah hampa (butir), gabah isi (butir), berat 1000 butir (g) masing-
masing perlakuan.
Panjang Gabah Gabah
Jumlah B-1000 Provitas
Perlakuan Malai Hampa Bernas
Gabah butir (g) (t/h)
(cm) (butir) (butir)
Inpari 16 23,12a 11,52a 122,54a 134,06a 28,04a 7,46a
Inpari 22 21,85a 12,66a 119,22a 131,88a 27,83a 7,01a
Cigeulis 20,26b 37,09b 70,03c 107,12b 24,22ab 4,71ab
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %
Potensi hasil suatu varietas padi ditentukan oleh empat komponen, yaitu
panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi, gabah hampa
dan berat 1000 butir gabah (Yoshida, 1981). Pada hasil kajian (Tabel 3) terlihat
bahwa semakin berat suatu gabah maka produktivitas yang dihasilkan tinggi hal
ini ditunjukkan bahwa varietas Inpari 16 merupakan tingkat kebernasan lebih
tinggi dibandingkan varietas Inpari 22
Menurut Setiobudi, dkk. (2009) banyaknya gabah selain ditentukan oleh
banyaknya malai yang dihasilkan juga oleh proses diferensiasi spikelet,
penyerbukan dan fertilisasi. Berkurangnya pasokan asimilat, dimensi ukuran
dan percabangan malai juga mengurangi potensi gabah yang dihasilkan.
Pengisian gabah dipengaruhi oleh suhu udara dimana semakin tinggi suhu
udara laju pengisian gabah makin cepat namun distribusi pengisian gabah tidak
merata sehingga mengakibatkan pengisian gabah tidak penuh atau partially
filled gain (Setiobudi, dkk. 2009).
Seiring dengan hasil penelitian Asep (2011) bahwa sistem tanam terbaik
untuk mendapatkan produksi gabah tertinggi dicapai oleh legowo 4:1, dan untuk
mendapat bulir gabah berkualitas benih dicapai oleh legowo 2:1.
Tingkat persaingan bergantung pada curah hujan, varietas, kondisi tanah,
kerapatan gulma, pertumbuhan gulma, serta umur tanaman saat gulma mulai
bersaing (Jatmiko, et.al., 2002). Selain persaingan antar tanaman, persaingan
juga terjadi dengan gulma untuk mempertahankan siklus hidupnya. Gulma
berinteraksi dengan tanaman melalui persaingan untuk mendapatkan satu atau
lebih faktor tumbuh yang terbatas, seperti cahaya, hara, dan airyang dapat
menyebabkan kehilangan hasil padi mencapai 10-15% di tingkat petani.
Persaingan antar tanaman yang sama jenisnya (kompetisi inter spesies)
lebih tinggi dibandingkan dengan persaingan pada jenis tanaman yang berbeda
(kompetisi antar spesies). Pada kompetesi tanaman yang sama jenis akan
mempunyai jenis kebutuhan intensitas cahaya matahari, unsur hara, air dan
tempat tumbuh yang sama (Mujisihono dan Santosa. 2001).
Seiring dengan hasil penelitian Anggraini, dkk (2013) bahwa tanaman
padi dengan perlakuan umur bibit 7 dan 14 hari mampu meningkatkan jumlah
malai per rumpun, bobot gabah per rumpun, produksi GKG t/ha bila
dibandingkan umur bibit 21 dan 28 hari. Sedangkan menurut Horie, dkk (2004)
bahwa bibit muda (< 10 hari) dengan 2-3 phyllochron mempunyai bahan
278
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
makanan cadangan pada endosperm benih untuk pertumbuhan bibit dan kadar
nitrogen pada daun yang lebih tinggi. Penggunaan umur bibit tua >21 hss
masih dapat dilakukan namun menurunkan hasil tanaman padi bila
dibandingkan umur bibit muda.
Tanaman padi mempunyai daya adaptasi yang cukup besar terhadap
kerapatan tanaman melalui mekanisme pengaturan terhadap jumlah malai,
jumlah gabah per malai, dan persentase gabah isi. Peningkatan populasi
tanaman dapat dilakukan dengan sistem tanam legowo 4:1 atau tandur jajar 20
cm x 20 cm. Pada kondisi radiasi matahari yang rendah, terutama pada musim
hujan, sekitar 65% areal padi di Indonesia, peningkatan populasi tanaman
menjadi sangat penting untuk meningkatkan hasil gabah dan efisiensi
penggunaan pupuk N karena lebih sedikitnya jumlah anakan yang terbentuk
(De Datta, 1981).Selain itu salah satu faktor penting dalam budidaya untuk
menunjang pertumbuhan hidup tanaman adalah pemupukan. Tanaman tidak
cukup hanya mengandalkan unsur hara dalam tanah, tetapi tanaman perlu
diberi unsur hara tambahan dari luar yaitu berupa pupuk (Simanungkalit, dkk.,
2006).
Perbandingan Hasil Pengujian dengan Deskripsi Varietas
Perbandingan antara produktivitas hasil pengkajian dengan deskripsi
varietas padi Inpari 14, 15, 22, 23 dan Cigeulis yang diintroduksi dapat dilihat
pada Tabel 3.
279
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, F., A. Suryanto dan N. Aini. 2013. Sistem Tanam Dan Umur Bibit
Pada Tanaman Padi Sawah (Oryza Sativa. L.) Varietas Inpari 13. Jurusan
Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya . Malang.
Jurnal Produksi Tanaman Vol. 1(2).
Asep, W. 2011. Tanam Padi Cara Jajar Legowo di Lahan Sawah, Balai
Penelitian Teknologi Pertanian Banten [6 Februari 2012].
Azwir. 2008. Sistem Tanam Legowo dan Pemberian P-Stater pada Padi Sawah
Dataran Tinggi. Jurnal Akta Agrosia 11(2) : 102-107.
BPS. 2012. Tabel Luas Panen, Produktivitas, Produksi Tanaman Padi Seluruh
Propinsi (http:// www,bps,go,id /tnmn_pgn,php? adodb_next_page
=2&eng=0&pgn=1&prov=99&thn1=2010&thn2=2011&luas=1&produktivitas=1
&produksi=1, [7 Juni 2012].
Daradjat, A.A., Agus S., A.K. Makarim, A. Hasanuddin. 2008. Padi – Inovasi
Teknologi Produksi. Buku 2. LIPI Press. Jakarta.
De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley &
Sons, Inc., USA.
Jatmiko, S,Y, Harsanti S, Sarwoto dan A,N, Ardiwinata. 2002. Apakah herbisida
yang digunakan cukup aman? hlm, 337-348, Dalam Noeriwan B,
Soerjandono,Buletin Teknik Pertanian. Vol. 10 (1) 2005. 8 hal
280
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
281
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1)
Balai Pengkajian Teknologi PertanianJawa Barat
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A.H Nasution No. 1 B Medan Sumatera Utara
Email : dotyhry@yahoo.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
282
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dalam dua tahun terakhir ini Badan Litbang Pertanian telah melepas
varietas baru untuk padi lahan sawah irigasi (Inpari 1-13), varietas unggul padi
gogo (Inpago 4-6) dan untuk ekosistim rawa yaitu varietas Inpara 1-6. Varietas-
varietas baru tersebut (Inpara 1-6) memiliki beberapa karakteristik diantaranya
memiliki toleransi atas rendaman air selama 7-14 hari pada fase vegetatif
dengan produktivitas yang lebih tinggi berkisar antara 4-6 ton per ha GKG.
Varietas Inpari, selain produktivitas tinggi 6-10 ton per ha, juga ketahanan
terhadap hama dan penyakit, mutu beras premium dan umur pendek.
Sedangkan untuk Inpago memiliki keunggulan yaitu produktivitas yang tinggi >4
ton per ha, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, toleran kekeringan
serta umur lebih pendek.
283
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dengan sistem jajar legowo 2:1jarak tanam (45 cm) x (30 x 12,5 cm)di
Kecamatan Leuwiliang dan di Kecamatan Cijeruk dengan jarak tanam (40 cm)
x (25 x 15 cm), 4) Pemupukan Urea susulan berdasarkan bagan warna daun
(BWD).Kadar N di Kecamatan Leuwiliang dan Cijeruk termasuk sedang
sehingga takaran Urea 200 kg/ha. Pupuk Urea diberikan pada saat tanam,
umur 21 dan 45 HST. 5) Pemupukan P dan K berdasarkan hara tanah dengan
menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), 6) Penyiangan dilakukan
dua kali yaitu pada umur 20 dan 40 HST dengan cara digasrok, 7) Pengendalian
hama dan penyakit berdasarkan konsep PHT, dan 8) Panen dan pasca panen
dilakukan pada saat tanaman padi memasuki masak fisiologis. Data yang
diamati yaitu tinggi tanaman (60 dan 102 HST), jumlah anakan produktif (60
HST) dan komponen hasil (jumlah malai, gabah isi/malai, gabah hampa/malai
dan produksi gabah. Data dianalisis menggunakan Uji Duncan dilanjutkan
dengan uji jarak berganda (DMRT) 5% dengan menggunakan SAS versi 9.0 for
windows.
Karakteristik lokasi
Kecamatan Leuwiliang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor
bagian Barat dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah Timur dengan
wilayah Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan, Selatan dengan
Kecamatan Pamijahan dan Kabupaten Sukabumi, Barat dengan Kecamatan
Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung dan sebelah Utara Kecamatan
Rumpin.Kondisi geografis wilayah Kecamatan Leuwiliang sebagian berupa
pegunungan, dengan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, sawah, tegalan,
ladang, perkebunan, dan hutan.
Kecamatan Cijeruk memiliki luas wilayah 5.729,9 ha, terletak di antara
dua gunung yaitu Gunung Pangrango dan Salak serta dilalui oleh beberapa
aliran sungai yaitu Sungai Cisadane, Cinagara dan Cimande. Sedangkan pusat
pemerintahan Kecamatan Caringin berlokasi di Desa Cimande Hilir, terdiri dari
12 Desa dengan 80 RW dan 346 RT. Iklim di Kabupaten Bogor menurut
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah)
di bagian Selatan dan tipe B (Basah) di bagian Utara. Suhu rata-rata berkisar
antara 200C sampai 300C Curah hujan tahunan antara 2.500 mm sampai lebih
dari 5.000 mm/tahun.
284
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
saat tanam, sedangkan pupuk KCl diberikan 2 kali yaitu pada saat tanam dan
umur 21 HST masing-masing 50 kg/ha.
Pertumbuhan tanaman padi
Hasil analisis terhadap tinggi tanaman dan anakan produktif dari 5
varietas unggul padi sawah yang diuji disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif beberapa
varietas unggul padi di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. MK
II 2014.
Peubah
Varietas Tinggi tanaman Jumlah anakan
60 HST 102 HST produktif
(cm) Cm (bt/rumpun)
Inpari 4 98,6b 103,0b 11,8a
Inpari 6 96,5b 101,3b 15,1bc
Sarinah 104,6c 113,9c 16,3c
Inpari 13 101,3bc 103,8b 12,7ab
Inpari 14 87,4a 94,8a 15,6bc
Keterangan :Angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Uji DMRT.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas
memberikan perbedaan nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan
produktif. Pada Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata tinggi tanaman pada umur
tanaman 60 HST berkisar antara 87,4-104,6 cm, dimana tinggi tanaman
tertinggi didapatkan oleh varietas Sarinah (104,6 cm) dan berbeda nyata
dengan varietas lainnya kecuali dengan Inpari 13 (101,3 cm). Tidak jauh
berbeda keragaanya pada umu 102 HST, tinggi tanaman tertinggi juga dimiliki
oleh varietas Sarinah (113,9 cm) namun berbeda nyata dengan empat varietas
lainnya.
Terhadap jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa varietas Sarinah
mampu memberikan jumlah anakan produktif tertinggi yaitu 16,3 bt/rumpun dan
berbeda nyata hanya dengan 2 varietas yaitu dengan Inpari 13 (12,7 bt/rumpun)
dan Inpari 4 (11,8 bt/rumpun). Keragaan pertumbuhan tanaman padi (tinggi
tanaman dan jumlah anakan produktif) yang paling baik di Kecamatan
Leuwiliang dimiliki oleh varietas Sarinah dibandingkan varietas lainnya. Hal ini
diduga varietas Sarinah sesuai dengan kondisi wilayah setempat sehingga
pertumbuhan tanaman optimal. Perbedaan tinggi tanaman antar varietas
tersebut sangat dipengaruhi oleh perbedaan faktor genetis masing-masing
varietas (Kaihatu dan Pesireron, 2011).
285
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keterangan :Angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Uji DMRT.
Pengelolaan ruang, cahaya, air dan nutrisi yang optimal bagi tanaman
padi, dapat meningkatkan efisiensi source dan kekuatan sink. Hal ini terlihat
dari meningkatnya jumlah anakan total, sehingga luas daun meningkat, dengan
demikian penyerapan cahaya matahari oleh daun lebih besar menyebabkan
peningkatan hasil tanaman padi, selain itu dengan jumlah anakan yang banyak
maka total jumlah gabah yang dihasilkan lebih banyak sehingga akan
berpengaruh pada total produksi padi yang dihasilkan (Palokitan dkk., 2011).
Selanjutnya menurut Mahmud dan Purnomo (2014), bahwa jumlah malai per
rumpun berkaitan erat dengan kemampuan tanaman menghasilkan anakan dan
kemampuan mempertahankan berbagai fungsi fisiologis tanaman. Semakin
banyak anakan yang terbentuk semakin besar peluang terbentuknya anakan
yang menghasilkan malai.
Komponen hasil dan hasil
Produksi padi ditentukan oleh komponen hasilnya, sedangkan komponen
hasil ditentukan oleh genetik tanaman maupun faktor lingkungan seperti iklim,
hara, tanah, dan air. Sifat-sifat kultivar dibedakan oleh persentase 50% muncul
malai (cepat atau lambat) dan panjang batang padi sampai malainya (pendek
atau panjang).
286
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keterangan :Angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Uji DMRT.
Hasil gabah kering panen (GKP) berkisar antara 5,30 - 7,10 t/ha, hasil
tertinggi pada varietas Inpari 14 (7,10 t/ha). Adanya perbedaan karakter
fenotipe yang tampak dari masing-masing varietas disebabkan oleh adanya
perbedaan gen yang mengatur karakter tersebut (Dahlan dkk. 2012).
Selanjutnya menurut Hatta (2011), bahwa varietas padi berpengaruh terhadap
komponen hasil, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah bulir per malai,
dan hasil padi.
Keterangan :Angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Uji DMRT.
287
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
nyata, sedangkan Varietas Sarinah menunjukkan hasil yang paling tinggi (10,99
t/ha) dan Varietas Inpari 4 paling rendah (8,97 t/ha).
Hasil penelitian Sirrapa (2011), penerapan inovasi teknologi PTT melalui
penggunaan varietas unggul baru (Memberamo, Mekongga, Cigeulis,
Ciherang) dengan sistem tanam legowo 2:1 atau 4:1, dengan menggunakan
tanam benih langsung (tabela) dan tanam pindah (tapin) menghasilkan produksi
gabah yang cukup tinggi (5,5-`8,3 t/ha) dibandingkan dengan teknologi yang
diterapkan dengan cara petani (4 t/ha). Pengaruh variabilitas dalam hal
pertumbuhan dan produksi dari masing-masing varietas, karena setiap varietas
padi memiliki daya adaptasi tersendiri terhadap kondisi biofisik lingkungan
(Gosh dan Kashyap, 2003).
TT-102 1 0,707*
0,089 0,024 0,143 0,231 *
GH 1 0,691**
Hasil 1
Korelasi jumlah gabah isi dengan gabah hampa negatif nyata, hal ini
menunjukkan bahwa penambahan gabah ini akandiikuti oleh pengurangan
gabah hampa. Sedangkan tinggi tanaman umur 102 HST dan gabah isi
berkorelasi positif sangat nyata dengan hasil, sehingga kedua komponen hasil
tersebut sangat berpengaruh terhadap peningkatan hasil (Tabel 6).
288
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
289
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hatta, M. 2011. Pengaruh tipe jarak tanam terhadap anakan, komponen hasil,
dan hasil dua varietas padi pada metode SRI. Jurnal Floratek 6 (2) : 104
- 113.
Kaihatu, S., S, dan Pesireron, S. 2011. Adaptasi Beberapa Varietas Unggul
Baru Padi Sawah Di Morokai. J. Agrivigor 11(2): 178-184.
Krismawati, Krismawati, A dan Angraeni, H. 2010. Kajian Penerapan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Kabupaten Madiun
(online). http:// www.google. co.id/url?sa=t&rct =j&q=jurnal+ peningkatan
+produktivitas+padi. (Diakses 22 Pebruari 2015). Bengkulu.
Mahmud, Y., dan Purnomo, S., S. 2014. Keragaman Agronomis Beberapa
Varietas Unggul Baru Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Pada Model
Pengelolaan Tanaman Terpadu. Jurnal Ilmiah Solusi 1 (1) : 1-10.
Polakitan, A., L.A Taulu, dan Derek Polakitan. 2011. Kajian Beberapa Varietas
Unggul Baru Padi Sawah Di Kabupaten Minhasa. Seminar Nasional
Serealia. 130-133.
Sembiring, H. 2010. Ketersediaan Inovasi TeknologiUnggulan Dalam
Meningkatkan ProduksiPadi Menunjang Swasembada dan Ekspor.
Dalam Suprihatno B, dkk. (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong
Ekspor Beras.Balai Besar PPenelitian Tanaman Padi. Buku 1.
Sukamandi.
Sirrapa, M., P. 2011. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Padi Melalui
Penggunaan Varietas Unggul Dan Ssistem Tanam Jajar Legowo Dalam
Meningkatkan Produktivitas Padi Mendukung Swasembada Pangan.
Jurnal Budidaya Pertanian, 7 (2) : 79 - 86.
Suriany dan Arman. 2009. Kajian Beberapa Varietas Unggul Padi Produktivitas
Di Atas7 Ton/Hektar Dan Peningkatan Pendapatan Petani Di Sulawesi
Selatan. Jurnal Agrisistem, 5 (2) : 94-110.
Utama, M., Z., H., dan Widodo Haryoko. 2009. Pengujian Empat Varietas Padi
Unggul pada Sawah Gambut Bukaan Baru di Kabupaten Padang
Pariaman. Jurnal Akta Agrosia, 12 (1) : 56 – 61.
290
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Padi tipe baru memiliki ciri khas jumlah anakan per rumpun sedikit dan
kelebatan malai yang tinggi. Sistem budidaya dengan jarak tanam yang
berbeda berpengaruh terhadap jumlah anakan per rumpun dan populasi per
hektar. Namun demikian, pengaruh jumlah anakan terhadap kelebatan malai
PTB belum diketahui. Penelitian dilaksanakan pada dua musim tanam (Juni–
Oktober 2009) dan (Nopember 2009-Mei 2010) di Bogor Jawa Barat.
Menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan tiga ulangan.
Sebagai perlakuan faktor I adalah tiga sistem teknik budidaya yaitu (SRI jarak
tanam 30 x 30 cm, Legowo jarak tanam (20 x 10 cm) x 40 cm, dan Tegel jarak
tanam 20 x 20 cm) Sistem Legowo dan Tegel menggunakan 2 bibit per lubang
tanam umur 21 HSS, sedangkan SRI menggunakan 1 bibit per lubang tanam
umur 10 HSS. Sedangkan faktor II adalah 17 galur harapan PTB dan 3 varietas
pembanding yaitu Ciherang, IR64 dan Fatmawati. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa jumlah anakan per rumpun galur-galur PTB meningkat
secara nyata pada jarak tanam lebar namun peningkatan jumlah anakan
produktif per rumpun menurunkan kelebatan malai. Didapat tiga galur harapan
PTB yang memiliki produktivitas lebih tinggi dibanding varietas pembanding
Ciherang (5.69 t/ha), IR64 (5.49 t/ha), dan Fatmawati (5.98 t/ha) adalah
IPB117–F–14–2–1 (6.26 t/ha),IPB117–F–17–4–1 (6.25 t/ha), dan IPB97–F–
20–2–1 (6.05 t/ha).
Kata Kunci: Padi tipe baru, kelebatan malai, SRI, legowo, tegel
PENDAHULUAN
Padi tipe baru (PTB) memiliki karakter unggul anakan sedikit dan
malai yang panjang dan lebat. Karena memiliki karakter unggul yang baik, PTB
diyakini dapat meningkatkan produksi hingga 15-20% lebih tinggi dari pada
varietas unggul biasa (Zhengjin dkk (2005); Virk dkk (2004).
IPB telah merintis kegiatan pemuliaan PTB sejak tahun 1999 dan telah
menghasilkan galur-galur harapan PTB yang memiliki potensi hasil 7-8 t/ha
(GKG). Teknik budidaya yang umum dilakukan petani belum mampu mencapai
potensi kenaikan produksi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu kajian
pengelolaan teknologi budidaya galur-galur harapan PTB tersebut masih perlu
dilakukan guna memperoleh suatu teknik budidaya yang tepat dan sesuai bagi
pertumbuhan dan perkembangan PTB sehingga mampu meningkatkan jumlah
anakan produktif dan produktivitasnya.
291
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Galur-galur PTB yang ditanam dengan sistem Legowo dan SRI tersebut
dapat atau tidak untuk meningkatkan jumlah anakan per hektarnya sehingga
mendekati jumlah anakan per hektar pada padi VUB yang ditanam pada teknik
budidaya biasa belum diketahui. Selain itu, karakter anakan tersebut apakah
akan mempengaruhi kelebatan malainya. Dengan adanya resultante antara
anakan per hektar dan kelebatan malai, maka diharapkan akan terjadi
peningkatan produksi.
292
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Galur PTB dan varietas pembanding yang digunakan dalam penelitian.
Bogor. 2009/2010.
No Galur Galur/Varietas
1 IPB97–F–15–1–1 11 IPB116–F–50–1–1
2 IPB97–F–20–2–1 12 IPB117–F–14–2–1
3 IPB97–F–44–2–1 13 IPB117–F–17–4–1
4 IPB102–F–92–1–1 14 IPB117–F–18–3–1
5 IPB107–F–8–3–3–1 15 IPB117–F–45–2–1
6 IPB115–F–3–2–1 16 IPB149–F–1–1–1
7 IPB115–F–11–1–1 17 IPB149–F–5–1–1
8 IPB116–F–42–2–1 18 IR-64
9 IPB116–F–45–2–1 19 Ciherang
10 IPB116–F–46–1–1 20 Fatmawati
293
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j dan lokasi
ke-k
μ = nilai rataan umum
Lk = pengaruh lingkungan ke-k
βi/k = pengaruh ulangan ke-i dalam lingkungan ke-k
Gj = pengaruh genotipe ke-j
(LG)kj = pengaruh interaksi lingkungan ke-k dengan genotipe ke-j
εijk = pengaruh galat percobaan
i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3, 4, ….20 k = 1, 2, 3, ….6
Keragaman antar lingkungan dianalisis sesuai dengan Tabel 2.
Tabel 2 . Analisis ragam gabungan antar lingkungan
No Sumber Keragaman Derajat Kuadrat Nilai Harapan
Bebas Tengah
1 Lingkungan (l-1) σ2e+ rσ2gl + rgσ2l
2 Ulangan (Lingkungan) l(r-1) σ2e+ gσ2r
3 Genotipe (g-1) M3 σ2e+ rσ2gl + rlσ2g
4 Lingkungan x Genotipe (g-1)(l-1) M2 σ2e + rσ2gl
5 Galat l(r-1)(g-1) M1 σ2e
Keterangan: r = ulangan; g = genotipe; l = lingkungan tumbuh; σ2g = komponen
ragam genotipe;
σ2gl = komponen ragam interaksi genotipe x lingkungan; σ2e =
komponen ragam acak.
294
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
295
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
296
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Bobot 1.000 butir pada sistem tanam SRI lebih rendah dibandingkan
bobot 1.000 butir pada sistem tanam Legowo dan Tegel. Hal ini diduga karena
tidak seimbangnya antara source dan sink pada tanaman dengan sistem tanam
SRI yang memiliki banyak anakan per rumpun. Teknik budidaya ditujukan
untuk memaksimumkan bagian-bagian tanaman yang akan dipanen. Galur-
galur yang ditanam pada sistem tanam SRI memiliki jumlah anakan per rumpun
yang banyak, sehingga source akan terbagi ke masing-masing anakan.
Akibatnya, jumlah bahan kering yang ditranslokasikan dari organ vegetatif ke
biji semakin berkurang. Pertumbuhan tanaman ditentukan oleh source yang
mensuplai asimilat ke sink.
Akan tetapi, jika dilihat per musimnya, bobot gabah musim pertama
memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim kedua. Galur-
galur harapan PTB seperti IPB97–F–15–1–1, IPB97–F–20–2–1, IPB117–F–
14–2–1, IPB117–F–17–4–1, IPB117–F–18–3–1, IPB149–F–1–1–1, dan
IPB149–F–5–1–1 memiliki bobot 1.000 butir yang lebih tinggi dibandingkan
varietas pembanding IR64 dan Ciherang.
297
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
kompetisi yang terjadi relatif kecil (Harjadi 1979). Hasil penelitian yang sama
juga dikemukakan oleh Khairuddin (2005) yang mendapatkan hasil tertinggi
pada varietas Ciherang didapat dengan sistem tanam Legowo 2:1 yaitu 5,5 t/ha
GKG, kemudian diikuti oleh sistem tanam Legowo 4:1, (5,4 t/ha GKG), Tegel
20 x 20 cm (5,3 t/ha GKG) dan cara petani sebesar 5,2 t/ha GKG.
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian.
Edisi Kedua. (Diterjemahkan oleh Endang Sjamsuddin dan Yustika S
Baharsjah). Jakarta. Universitas Indonesia Press.
Harjadi SS. 1979. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 198 hlm.
Khairuddin. 2005. Perbaikan teknologi budidaya padi melalui pendekatan
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di lahan sawah irigasi Kabupaten
Tabalong. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif
dan Peran Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi
Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. 2000-2005.
Makarim AK, Ikhwani. 2008. Respon komponen hasil varietas padi terhadap
perlakuan agronomis. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
27(3):148-153.
Masdar, Kasim M, Rusman B, Hakim N, Helmi, 2006. Tingkat Hasil dan
Komponen Hasil Sistem Intensifikasi Padi (SRI) Tanpa Pupuk Organik
di Daerah Curah Hujan Tinggi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia
8(2): 126-131.
Moedjiono, Mejaya MJ. 1994. Variabilitas genetik beberapa karakter plasma
nutfah jagung koleksi Balittas Malang. Zuriat 5(2):27-32.
298
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
299
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
Jl. Raya 9 Sukamandi Subang 41256 Jawa Barat
2
BPTP Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No. 1B Medan
Email :cucugunarsih@ymail.com
ABSTRAK
Mutu gabah dan beras suatu calon varietas sangat menentukan tingkat
adopsi varietas tersebut oleh petani. Pengujian ini merupakan rangkaian
kegiatan uji multilokasi untuk memperoleh galur harapan yang berdaya hasil
tinggi serta memiliki ketahanan terhadap penyakit tungro atau HDB. Dalam
pengujian ini, sembilan galur harapan dan 3 varietas pembanding telah diuji di
Kebun Percobaan Sukamandi, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi)
pada Musim Kemarau (MK) 2008. Varietas pembanding yang digunakan
sebagai varietas tahan tungro adalah Tukad Unda, varietas pembanding untuk
ketahanan HDB adalah Angke, dan varietas pembanding untuk karakter mutu
gabah dan beras adalah Ciherang yang merupakan varietas populer di
Indonesia. Hasil pengujian mutu gabah dan beras menunjukkan bahwa galur
BP2250-4E-22-3 memiliki rendemen beras giling dan prosentase beras kepala
cukup tinggi yaitu sebesar 71.06% dan 97.71%. Sementara Ciherang memiliki
rendemen beras giling sebesar 73.34% dan rendemen beras kepala sebesar
97.34%. Galur BP3688-E-38-1 memiliki kandungan amilosa terendah yaitu
sebesar 17.9% yang menunjukkan bahwa tekstur nasi yang dihasilkan sangat
lunak. Galur BPT164C-64-7-28 memiliki kandungan amilosa sebesar 27.6%
yang menunjukkan bahwa tekstur nasi yang dihasilkan pera. Sedangkan tujuh
galur harapan lainnya memiliki kandungan amilosa sedang (21.3-22.9%) yang
menghasilkan tekstur pulen pada nasi yang dihasilkan. Galur BP2250-4E-22-3
memiliki persentase beras kepala tertinggi dan memiliki tekstur nasi yang pulen,
sehingga galur ini berpotensi untuk dilepas sebagai varietas unggul baru.
Kata Kunci : Mutu gabah, mutu beras, galur harapan, uji multilokasi
PENDAHULUAN
Mutu gabah dan beras suatu varietas sangat menentukan tingkat adopsi
varietas yang bersangkutan oleh petani. Mutu fisik gabah utamanya ditentukan
oleh kadar air dan tingkat kerusakan gabah. Mutu fisik beras utamanya
ditentukan oleh kadar air, rendemen giling, persentase beras kepala dan beras
patah, serta proporsi kerusakan butir beras (butir kuning, merah); sedangkan
mutu rasa dan mutu tanak banyak ditentukan oleh subyektivitas konsumen
yang ditengarai ada kaitannya dengan karakteristik fisiko kimia beras atau nasi.
Mutu fisiko kimia beras sering kali dijadikan kriteria kedua setelah
produktivitas, pada saat petani menilai keunggulan varietas. Berdasarkan
300
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
301
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Gambar 1. Keragaan mutu gabah beberapa galur padi sawah dengan varietas
pembandingnya
Selain itu pemulia juga memperhatikan ukuran dan bentuk beras untuk
mengestimasi mutu giling beras yang dihasilkan sebagai pertimbangan dalam
seleksi pedigree (Tabel 1).
Mutu Beras
Kadar air beras tidak terlalu bervariasi dengan rata-rata 11.01%, dan
berkisar antara 10.5-11.35% (Tabel 2).
302
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ciherang
303
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Komponen Mutu Beras Sesuai SNI No. 6128 tahun 2008
Mutu Mutu Mutu Mutu Mutu
No Komponen mutu Satuan
I II III IV V
1. Kadar air (maks) % 14 14 14 14 15
2. Butir kepala (min) % 95 89 78 73 60
3. Butir patah (maks) % 5 10 20 25 35
4. Butir menir (maks) % 0 1 2 2 5
5. Butir merah (maks) % 0 1 2 3 3
6. Butir kuning/rusak (maks) % 0 1 2 3 5
7. Butir mengapur (maks) % 0 1 2 3 5
8. Benda asing (maks) % 0 0,02 0,02 0,05 0,20
9. Butir gabah (maks) (butir/100g) 0 1 1 2 3
Sumber:SNI beras No. 6128 tahun 2008
Derajat putih merupakan karakter yang dimiliki oleh beras yang berasal
dari kombinasi antara sifat genetik, perlakuan pascapanen, dan derajat sosoh.
Nilai rata-rata derajat putih sembilan galur harapan adalah 49,50%. Nilai
translucency (keterawangan/kebeningan)menggambarkan kemampuan biji
beras untuk meneruskan cahaya. Nilai translucency beras bervariasi antar
galur, dengan rata-rata sebesar 2,08%. Semakin besar nilai keterawangan,
semakin bening beras terlihat bagi konsumen. Nilai kesukaan kosumen
terhadap derajat putih beras sangat relatif, dan biasanya berkorelasi dengan
keterawangan.
304
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
305
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
306
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
307
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
308
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
309
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Adapun varietas padi yang ditanam di Kab Labura dapat dilihat pada
tabel 4.
Umur panen padi ditentukan dengan beberapa cara, yaitu : (1) umur
tanaman menurut deskripsi varietas, (2) kadar air gabah, (3) metode
optimalisasi, yaitu hari setelah berbunga rata, dan (4) ketampakan malai
(Setyono dan Hasanuddin, 1997). Waktu panen juga dipengaruhi oleh faktor
varietas, iklim dan tinggi tempat sehingga umur panen akan berbeda 5 – 10
hari. Padi yang dipanen pada kadar air 21%-26% akan menghasilkan beras
bermutu baik (Damardjati dkk., 1981). Umumnya padi di kedua Kecamatan
dipanen pada umur > 110 hari dengan hasil antara 2-5 t/ha (Tabel 5).
310
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Untuk daerah yang merupakan daerah sawah tadah hujan, areal sawah
tidak ada diberi perlakuan apapun sebelum pemanenan. Berbeda dengan
daerah sawah irigasi, areal sawah dikeringkan terlebih dahulu sebelum
pemanenan. Cara panen padi bergantung pada alat perontok gabah yang
digunakan, dimana petani di Kabupaten Labura melakukan cara manual
(83,33%) dengan menggunakan sabit memotong batang padi sekitar 15 – 20 cm
dari pada bagian atas rumpun tanaman (Tabel 6).
Alat dan cara perontokan padi dapat dikelompokkan menjadi (1) injak-
injak (2) pukul (3) banting (4) pedal thresher dan (5) mesin perontok
(BPS,1996). Di kabupaten Labura hanya 6,67% petani yang masih melakukan
perontokkan padi dengan cara dibanting, umumnya sudah menggunakan
mesin perontok power thresher. Kadar kotoran yang tinggi pada gabah padi
dipengaruhi oleh faktor teknis yaitu cara perontokan. Cara pemanenan
tradisional dimana merontokkan padi dilakukan dengan cara manual/ dibanting
ataupun dengan semi mekanis/ pedal thresher, umumnya akan memperoleh
gabah yang mengandung kotoran dan gabah hampa yang cukup tinggi.
Menurut Rachmat dkk (1993) bahwa ada pengaruh alat perontok padi
terhadap mutu dan kehilangan hasil, yaitu dengan cara dibanting dengan
kapasitas perontokan 41,8 kg/jam akan menghasilkan gabah hampa 3,52%,
gabah tidak terontok 2,84% dan kehilangan hasil 3,11%. Perontokan padi
menggunakan pedal thresher dengan kapasitas perontokan 81,8 kg/jam akan
menghasilkan gabah hampa 2,17%, gabah tidak terontok 1,54% dan
kehilangan hasil 2,37%. Perontokan padi menggunakan power thresher dengan
kapasitas perontokan 526,2 kg/jam akan menghasilkan gabah hampa 1,67%,
gabah tidak terontok 0,65% dan kehilangan hasil 1,20%.
Perontokan sebaiknya segera dilakukan setelah padi dipanen,
penundaan perontokan akan meningkatkan butir kuning/rusak dan beras patah
serta menurunkan rendemen giling (Iswari dan Sastrodipuro, 1996).
311
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
SARAN
Dengan adanya bantuan alokasi sarana dan peralatan pasca panen di Kab
Labura, perlunya pendampingan dari pihak penyuluhan kabupaten agar petani
mampu menerapkan teknologi pasca panen yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
312
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Mejia, D.J. 2008. An Overview of Rice Post Harvest Technology: Use of Small
Metallic Silos for Minimizing Losses. Proceedings of the 20th session
of the International Rice Commission. Bangkok : FAO Corporate
Document Repository.
Rachmat,R.,A. Setyono dan S. Nugraha. 1993. Evaluasi System Pemanenan
Beregu Menggunakan Beberapa Mesin Perontok. Agrimek. Vol 4 dan
5 no 1. (1992/1993).
Setyono, A. 2000. Pengujian Pemanenan Padi Sistem Kelompok dengan
Memanfaatkan Kelompok Jasa Pemanen dan Jasa Perontok. Seminar
Hasil Penelitian Balitpa. Sukamandi. 10-11 November 2000.
Setyono, A. 2010. Perbaikan teknologi pasca panen dalam upaya menekan
kehilangan hasil padi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. 3(3):
212-226.
Setyono, A.dan A. Hasanuddin. 1997. Teknologi Pascapanen Padi. Pelatihan
Pascapanen dan Pengolahan Hasil Tanaman Pangan, BPLPP
Cibitung, 21 – 25 Juli 1997.
DISKUSI
Nama Penanya : Jonni Firdaus (BPTP Sulawesi)
Pertanyaan : Diposter disebutkan persentase kehilangan hasil,
bagaimana cara menghitung/ memperolehnya ?.
Jawaban : Data persentase kehilangan hasil yang ditampilkan
diperoleh dari Studi literatur yang bersumber dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera
Utara.
313
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jonni Firdaus
ABSTRAK
Kata kunci : pengering gabah padi, bahan bakar sekam, lama pengeringan
PENDAHULUAN
314
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
315
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
316
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hal ini sangat tidak efisien dari segi waktu, tenaga dan energi sehingga terjadi
pemborosan biaya.
Untuk menduga seberapa lama sebenarnya kondisi kadar air 14%
dicapai maka perlu diketahui persamaan regresi antara penurunan kadar air
terhadap waktu pengeringan seperti pada Gambar 1.
Persamaan regresi yang dihasilkan berupa persamaan polinomial
dengan tingkat orde yang beragam dari orde 2 hingga orde 4 dengan tingkat
akurasi yang tinggi, hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi R 2 yang tinggi
dan lebih besar dari 0,9. Semakin tinggi nilai R2 menunjukkan model
persamaan regresi yang dibangun semakin mendekati pola/trend data yang
sebenarnya. Sehingga model yang dibangun layak untuk digunakan dalam
proses optimasi selanjutnya.
Berdasarkan SNI mutu gabah bahwa kadar air maksimal yang diizinkan
adalah 14% (BSN, 1993), maka melalui persamaan regresi yang terbentuk
dapat ditentukan lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air 14%
(Gambar 1).
1) Pengeringan 2 ton GKP, kadar air 2) Pengeringan 1,5 ton GKP, kadar
awal 17,95% air awal 22,2 %
3) Pengeringan 0,85 ton GKP, kadar 4) Pengeringan 0,85 ton GKP, kadar
air awal 17,9% air awal 17,3%
Gambar 1. Persamaan regresi antara kadar air (%) dengan lama waktu
pengeringan (jam) untuk setiap percobaan
Dengan mencari nilai x yang mungkin pada setiap persamaan maka diperoleh
lama waktu pengeringan seperti terlihat pada Tabel 2.
317
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2 Lama pengeringan saat mencapai kadar air 14% dan selisihnya
terhadap lama pengeringan menurut petani
Lama
Lama Kelebihan
Kadar pengeringan
Massa pengeringan waktu
Percobaan air awal saat mencapai
GKP (ton) oleh petani pengeringan
(%) kadar air 14%
(jam) (jam)
(jam)
1 2,00 17,9 4,4606 6 1,5394
2 1,50 22,2 5,4064 7 1,5936
3 0,85 17,9 2,2555 4 1,7445
4 0,85 17,3 1,6047 4 2,3953
Gambar 2. Plotting data untuk setiap ulangan ke dalam bidang tiga dimensi
(XYZ)
318
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Model Persamaan dan hasil curve fitting penentuan lama waktu
pengeringan
Model Persamaan R R2
Plane z = 2,0704x + 0,4698y - 8,1034 0,9964 0,9929
Parabolid z = 10,3932x2 + 0,0293y2 - 27,7031x + 0,0522y + 7,9612 1 1
z= 25,06 exp(-,5(((x-5,9692)/ 2,7683)2 + ((y-20,6308)/
Gaussian 1 1
2,3111)2 ))
Lorentzia z = 15,7172/((1+((x-1,7715)/ 0,8734)2)(1+((y-20,2273)/
1 1
n 1,5353)2))
Dimana : z = Lama pengeringan (jam) ; x = massa GKP (ton) ; y= kadar air
awal (%)
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa semua model optimasi yang dibangun
memiliki akurasi yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi
R2 yang tinggi (> 0,9) bahkan ada tiga model yang nilainya 1. Demikian juga
bila dilihat hubungan korelasi antara parameter yang diduga (z) dengan variabel
penduganya (x dan y) memiliki tingkat korelasi yang tinggi (> 0,9), hal ini
319
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
320
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Caya Khairani, M.Si dan
Dr. Soeharsono, S.Pt, M.Si yang telah memberikan bantuan dan bimbingan
dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
321
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
322
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
323
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tepung Bekatul
Bahan yang digunakan adalah bekatul danalat mencakup: oven,
timbangan, ayakan 70 mesh dan loyang. Tepung bekatul dibuat dengan cara
mengeringkan bekatul yang fresh (maksimal 24 jam setelah proses
penggilingan) pada oven dengan suhu 110 oC selama 2 jam sambil dibolak
balik, setelah itu diayak menggunakan ayakan 70 mesh.
324
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dari segi rasa brownies dari 0% tepung bekatul mendapat penilaian suka
(1.4), sedang untuk brownies dari 50% dan 100% tepung bekatul mendapat
penilaian cukup suka (1.7 dan 24). Walaupun secara statistik penilaian rasa
brownies 0% tepung bekatul tidak berbeda nyata dengan rasa brownies dari
50% tepung bekatul. Sedang dibanding rasa brownies dari 100% tepung
bekatul secara statistik berbeda nyata dengan rasa brownies dari 0% tepung
bekatul. Tidak berbeda nyatanya rasa brownies dari 50% tepung bekatul
dibanding 0% tepung bekatul, mungkin disebabkan pemberian 50% tepung
bekatul pada pembuatan brownies tidak meninggalkan rasa tepung bekatul
325
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
yang tajam pada browneis, sehingga masih dapat diterima oleh panelis.
Sedang untuk brownies dari tepung bekatul 100%, rasa tepung bekatulnya
terlalutajam, banyaknya konsentrasi tepung bekatul yang digunakan membuat
ada rasa after taste berupa rasa agak pahit, sehingga hanya mendapat
penilaian cukup suka dari panelis.
Hasil penilaian terhadap warna brownies secara statistik adalah tidak
berbeda nyata. Dari segi warna penambahan tepung bekatul pada pembuatan
brownies tidak memberi pengaruh terhadap warna akhir dari brownies yang
dibuat. Warna brownies yang mendapat penambahan tepung bekatul (50% dan
100%) adalah coklat sama dengan warna brownies dari 0% tepung bekatul.
Tekstur dari ketiga brownies tersebut mendapat penilaian yang sama,
yaitu cukup suka dan secara statistik tidak berbeda nyata. Tekstur dari
brownies dengan penambahan tepung bekatul (50% dan 100%) tersebut sudah
cukup lembut, mendekati tekstur dari brownies yang terbuat dari tepung terigu
(0% bekatul). Kelembutan dari tekstur brownies bekatul dimungkinkan karena
tepung bekatul yang digunakan memiliki tingkat kehalusan yang baik atau
memenuhi standar tingkat kehalusan tepung. Tepung bekatul yang digunakan
pada penelitian ini diayak menggunakan ayakan 70 mesh, dimana menurut
standar SNI tingkat kehalusan dari tepung terigu adalah lolos ayakan 70 mesh.
Secara keseluruhan dari segi rasa, warna dan tekstur dapat dilihat
penambahan tepung bekatul baik 50% dan 100% menunjukkan penilaian yang
cukup suka dari panelis, sehingga dapat diasumsikan bahwa penambahan
tepung bekatul dalam pembuatan brownies dapat diterima oleh panelis. Untuk
pembuatan brownies dengan penambahan tepung bekatul, maka formulasi
yang dinilai baik adalah 50% penambahan tepung bekatul, karena secara
statistik baik dari segi rasa, warna dan tekstur tidak berbeda nyata dengan
brownies dari 100% tepung terigu (0% tepung bekatul). Dengan penambahan
50% tepung bekatul pada pembuatan brownies berarti telah dapat menghemat
penggunaan tepung terigu sebesar 50%.
KESIMPULAN
Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa dari segi warna dan tekstur
brownies, ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Dari segi rasa
perlakuan subtitusi 0% tepung bekatul pada pembuatan brownies tidak berbeda
nyata dengan subtitusi tepung bekatul 50%, namun berbeda nyata dengan
perlakuan 100% tepung bekatul. Sehingga formulasi yang dinilai dapat diterima
oleh panelis/konsumen untuk membuat brownies dari tepung bekatul adalah
50% tepung bekatul : 50% tepung terigu.
DAFTAR PUSTAKA
Astawan M, Wresdiyati T, Widowati S, 2010. Pencegahan Pencoklatan
Hingga 50% dan Ketengikan Hingga 200% dalam Pembuatan Bekatul
Fungsional dan Aplikasinya sebagai Pangan Prebiotik,
Hipokolesterolemik dan Hipoglikemik. http://www .litbang.pertanian.
go.id/ks/one/503/file/85-86-PENCEGAHAN-PENCOKLAT.pdf
326
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
327
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
328
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
329
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
330
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dengan cara seperti ini, banyak gabah yang terlempar keluar alas dan kadang
masih banyak gabah yang belum lepas dari malai. Untuk menghindari hal itu,
jumlah potongan padi setiap kali banting jangan terlalu banyak dan jumlah
bantingan minimum delapan kali dan alas perontokan diperluas.
Pengeringan
Untuk menghasilkan beras berkualitas baik, gabah hasil panen harus
diturunkan kadar airnya secara cepat dengan penjemuran dengan sinar
matahari langsung ataupun dengan alat pengering buatan. Gabah yang
terlambat dikeringkan akan berakibat tidak baik terhadap kualitas berasnya. Hal
ini disebabkan gabah hasil panen dengan kadar air tinggi dan kondisi lembab
mengalami respirasi dengan cepat. Akibatnya butir gabah busuk, berjamur,
berkecambah maupun mengalami reaksi browning enzimatis sehinga beras
berwarna kuning/kuning kecoklatan. Kehilangan hasil pada tahapan
penjemuran umumnya disebabkan oleh: (1) fasilitas penjemuran seperti lantai
jemur maupun alas lainnya yang kurang baik, sehingga banyak gabah yang
tercecer dan terbuang saat proses penjemuran dan (2) adanya gangguan
hewan seperti ayam, burung, kambing dll.
Ada 2 cara pengeringan yang lazim digunakan oleh petani yaitu : (1)
pengeringan dengan cara penjemuran langsung menggunakan sinar matahari,
dan (2) pengeringan dengan menggunakan alat pengering buatan (artificial
dryer). Pengeringan dengan sinar matahari (penjemuran) harus memperhatikan
intensitas sinar, suhu pengeringan yang selalu berubah, ketebalan penjemuran
dan frekuensi pembalikan. Penjemuran yang dilakukan tanpa memperhatikan
hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan penurunan kualitas beras,
misalnya beras akan menjadi pecah waktu proses penggilingan. Penjemuran
pada lapisan semen yang dilakukan dengan ketebalan yang tipis kurang dari 1
cm dapat mengakibatkan persentase beras pecah lebih dari 70% dengan
rendemen giling rendah. Pengeringan dengan alat pengering buatan akan
menghasilkan gabah berkualitas lebih baik, hal ini disebabkan suhu pengering,
aliran udara panas dan laju penurunan kadar air dapat dikendalikan.
331
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
332
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
padi 3,31%, gabah tercecer dari malai 1,86%, gabah tercecer saat penggebotan
(perontokan) 4,97%, dan gabah yang tidak terontok 8,59%.
Kemampuan petani dalam menyediakan peralatan panen, selain cukup
mahal, penggunaan yang hanya satu kali dalam satu musim tanam juga
membuat pemilikan secara individual tidak ekonomis. Oleh karena itu, akan
lebih baik bila pemilikan peralatan tersebut dilakukan berkelompok dalam satu
wilayah hamparan. Melibatkan lembaga koperasi pedesaan bisa menjadi
pilihan terbaik.
Peluang dan Upaya
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi
penekanan kehilangan hasil pascapanen padi adalah bahwa secara ekonomis
penerapan teknologi tersebut memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak-
pihak yang terkait, seperti petani, buruh tani, kelompok tani maupun pengusaha
jasa alsintan. Besarnya produksi padi yang dapat diselamatkan tergantung
sejauh mana teknologi atau alat dan mesin (alsintan) panen dan pascapanen
dapat diterapkan di lapangan, sehingga dapat mengurangi kehilangan hasil dan
meningkatkan mutu hasil. Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian
Tanaman Padi Sukamandi tahun 1996, penggunaan sabit bergerigi dapat
menekan tingkat kehilangan hasil sebesar 1,78% dibanding sabit biasa, dan
penggunaan pedal thresher dan power thresher masing-masing dapat
menekan tingkat kehilangan hasil 2,78% dan 3,03% dibanding pelaksanaan
dengan sistem gebot/banting.
Untuk menghindari atau mengurangi terjadinya kehilangan hasil saat
panen sebaiknya pada waktu penumpukan padi dan pengangangkutan
menggunakan alas plastik, sehingga gabah yang rontok dan tercecer dapat
ditampung dalam wadah tersebut. Penggunaan alas dan wadah pada saat
penumpukan dan pengangkutan dapat menekan kehilangan hasil antara 0.94-
2.36%. Melalui penggunaan sabit bergerigi dapat ditekan kehilangan hasil
sampai di bawah 4%, reaper sampai di bawah 6%, paddy mower di bawah
0,7%, power thresher di bawah 3%, combine harvester kecil di bawah 2%, serta
combine harvester besar di bawah 0,5%.
Kehilangan hasil pada padi yang dipanen dengan cara manual sekitar
8%-15%. Sedangkan jika menggunakan mesin panen, kehilangan hasilnya bisa
menurun hingga 1%-3%. Setelah pemotongan, padi langsung ditransfer ke
perontok sehingga kehilangan bulir padi dapat dieliminasi. Selain itu, tidak
adanya batang padi yang tidak terpotong membuat kehilangan bulir padi
menjadi sangat kecil. Dengan mesin panen, hasil panen yang dapat
diselamatkan sekitar 5%-12%.
Perontokan dengan menggunakan power thresher dapat menekan
kehilangan hasil dari 15%-16% menjadi 4,31%-4,91% dibandingkan dengan
sistem individu atau keroyokan dan perontokan dengan cara banting atau
gebot. Pengeringan gabah dengan mesin pengering (dryer) memiliki resiko
kehilangan hasil lebih rendah (2,30%) daripada penjemuran (2,98%).
Kehilangan hasil dengan flat bed dryer berkisar antara 0,3-0,5% (Hosokakawa,
333
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Teknologi Pemanenan
Mini combine harvester adalah salah satu tipe mesin panen yang
kegiatan memotong, memegang, merontok dan membersihkan dilakukan
sekaligus. Mesin combine harvester dioperasikan oleh dua orang operator,
satu operator bertugas untuk mengendalikan mesin combine harvester,
operator yang lain bertugas memegang karung pada saat memasukkan gabah
ke dalam karung. Keunggulan alsin pertanian adalah : kapasitas kerja lebih
besar, mampu mengerjakan kegiatan panen, perontokan dan pembersihan
gabah dalam satu kali proses yang terintegrasi, sehingga meningkatkan
produktivitas tenaga kerja dan mengejar waktu tanam.
Introduksi alsin panen mini combine harvester sudah diuji coba oleh
BPTP Kalbar pada bulan Juli - Agustus 2015 di Kecamatan Sungai Kakap
Kabupaten Kubu Raya Kalbar. Unjuk kerja alsin tersebut menunjukkan
kapasitas pemanenan yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan panen
secara manual. Dari perhitungan yang dilakukan selama proses panen dengan
cara petani dan menggunakan alat ini diperoleh bahwa selisih kehilangan hasil
mencapai 400-500 kg/ha. Dengan menggunakan alsin ini persentase
kehilangan selama proses pemanenan kurang dari 2% dengan tingkat
kebersihan di atas 95%. Dari segi analisa usaha tani alsin ini juga sangat
menguntungkan dengan R/C sebesar 1,77 (Tabel 2).
Tabel 2. Analisa Usaha Mesin panen Mini combine harvester (per ha)
Harga/Satuan Jumlah
No Uraian Volume Satuan
(Rp) Biaya (Rp)
I Biaya variabel 833.000
Solar 300 Liter 9.000 90.000
Oli mesin 5 Liter 40.000 6.667
Oli Gardan 8 Liter 40.000 10.667
Oli Hidrolik 3 Liter 90.000 9.000
Perbaikan rupiah 16.667
Operator 105.000 Kg 200 700.000
II Biaya Tetap 650.000
Penyusutan (5 Thn) rupiah 325.000
Bunga Modal (15%/Thn) rupiah 325.000
III Biaya Total 1.483.000
IV Penerimaan 105.000 Kg 750 2.625.000
V Keuntungan rupiah 1.142.000
VI R/C 1,77
334
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Teknologi Pengeringan
Salah satu teknologi yang efektif untuk mengatasi permasalahan
pengeringan padi khususnya pada saat musim penghujan adalah mesin
pengering berbahan bakar sekam (BBS) model ABC. BPTP Kalimantan Barat
bekerja sama dengan BB Padi Sukamandi, dan pihak swasta (pemilik RMU di
Desa Sungai Itik, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya,
Kalimantan Barat) telah melakukan perakitan dan uji coba pengeringan gabah
menggunakan Box Dryer BBS untuk menghasilkan beras bermutu. Uji coba
pengeringan gabah dilakukan dengan menggunakan bahan gabah basah
varietas Ciherang. Uji coba pengeringan gabah ini menggunakan metoda
“Pengeringan biji-bijian lapisan tipis”. Hasil unjuk kerja mesin pengeringan
gabah menunjukkan bahwa proses pengeringan berjalan dengan baik.
Kehilangan hasil berkisar antara 0,5-0,7% sehingga dapat menyelamatkan
hasil sekitar 1% jika dibandingkan dengan rata-rata kehilangan hasil
pengeringan melalui penjemuran (2,13%). Dari hasil analisa biaya pengeringan
diperoleh bahwa biaya pengeringan dengan bahan bakar sekam Rp40,-/kg
GKP, biaya ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan pengering yang
menggunakan bahan bakar minyak tanah (Rp150/kg GKP).
Pemerintah melalui Dinas Pertanian Propinsi Kalimantan Barat telah
memberikan bantuan mesin pengering Box Dryer bahan bakar minyak di
sentra-sentra tanaman padi. Namun mesin-mesin pengering tersebut sampai
saat ini masih belum banyak dimanfatkan oleh petani yang disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu : petani tidak tahu bagaimana mengeset (merakit) mesin
pengering tersebut, petani tidak tahu cara mengoperasikan mesin pengering,
biaya operasionalnya mahal akibat harga minyak tanah yang mahal dan langka.
Dengan sentuhan dan penerapan teknologi penggantian tungku sekam model
ABC alat ini dapat dimodifikasi sehingga bisa bermanfaat dengan baik.
Operator lokal dapat melakukan perakitan (setting) mesin pengering seperti
yang dicontohkan. Juga dapat mengoperasikan mesin pengering gabah secara
benar sehingga dapat dihasilkan beras yang mutu serta harga jualnya tinggi.
Terjadi proses penyebar luasan informasi dari daerah satu ke daerah lain
sehingga penggunaan mesin pengering padi BBS dapat berkembang.
Dukungan Kelembagaan
Peningkatan Kemampuan dan Ketrampilan Sumber Daya Petani
Upaya penanganan pascapanen dimulai dengan memberikan
pengetahuan dan ketrampilan para petani dalam hal pascapanen padi.
Pengetahuan yang diberikan berupa tahapan pascapanen, titik kritis tahapan
pascapanen serta cara mengatasi kehilangan hasil tersebut. Teknologi yang
diberikan harus teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi, tidak
bertentangan dengan masyarakat pengguna (secara teknis, ekonomis maupun
sosial budaya).
Pembinaan kelompok tani (Poktan)dan Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan)
335
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ananto, E.E, Sutrisno, Astanto dan Soentoro. 2002. Pengembangan alat dan
mesin pertanian menunjang sistem usaha tani dan perbaikan
pascapanen di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal 479-491.
336
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
337
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
338
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
BPTP Kalimantan Barat
Jalan Budi Utomo no 45 Siantan Pontianak,
2
BPTP Sumatera Utara
Jalan Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan,
jhondavidsilalahi@yahoo.com
ABSTRAK
Penanganan pasca panen padi merupakan upaya sangat strategis
dalam rangka mendukung peningkatan produksi padi.Konstribusi penanganan
pasca panen terhadap peningkatan produksi padi dapat tercermin dari
penurunan kehilangan hasil dan tercapainya mutu gabah/ beras sesuai
persyaratan mutu. Penanganan pascapanen yang baik akan berdampak positif
terhadap kualitas gabah konsumsi, benih, dan beras. Oleh karena itu,
penanganan pascapanen perlu mengikuti persyaratan Good Agricultural
Practices (GAP) dan Standard Operational Procedure (SOP) Dengan demikian,
beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan mutu gizi yang baik sehingga
mempunyai daya saing yang tinggi. Penelitian ini dilakukan disentra produksi
beras Desa Manis Raya Kabupaten Sintang tahun 2015. Tujuannya untuk
mengetahui tingkat kehilangan hasil pada tahap pengeringan dan penggilingan
dan mengetahui rendemen beras giling. Adapun parameter yang diamati adalah
susut pengeringan gabah, kadar air sebelum pengeringan, kadar air setelah
pengeringan, susut Penggilingan, berat gabah (GKG), Berat beras hasil
penggilingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil kehilangan hasil pada
saat penjemuran gabah 1,82%, dan kehilangan hasil pada penggilingan gabah
2,50%.
Kata Kunci :Padi, pascapanen, pengeringan, dan penggilingan
PENDAHULUAN
339
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
mudah rusak dan akan mengalami susut pada saat penanganan pasca panen
dan pengolahan. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS, 1996) menunjukkan
bahwa susut hasil panen padi di Indonesia masih tinggi, yaitu sebesar 20,42%
yang terjadi pada saat panen (9,5%), perontokan (4,8%), pengeringan
(2,1%),penggilingan (2,2%), penyimpanan (1,6%) dan pengangkutan (0,2%).
Perbaikan teknologi pasca panen telah membawa banyak perubahan
baik dari segi waktu pemanenan mutu hasil panen dan juga dalam hal
menurunnya tingkat kehilangan panen dan pasca panen. Menurut Badan Pusat
Statistik (1996) kehilangan hasil panen dan pasca panen akibat dari
ketidaksempurnaan penanganan pasca panen mencapai 20,42%. Sedangkan
berdasarkan hasil survei tahun 2007 kehilangan panen dan pasca panen padi
menurun menjadi 11,27% (Hasbullah, R. 2010). Masalah utama dalam
penanganan pasca panen padi yang sering dialami oleh petani adalah tingginya
kehilangan hasil selama pasca panen. Kegiatan panen dan pasca panen padi
meliputi beberapa proses yaitu pemanenan padi, penumpukan sementara,
perontokan, pengangkutan, pengeringan gabah, penyimpanan gabah, dan
penggilingan gabah menjadi beras. Setiap proses kegiatan tersebut terdapat
kemungkinan adanya kehilangan hasil. Susut atau kehilangan hasil berupa
gabah atau beras yang tercecer pada saat panen ataupun pasca panen yang
dapat mengurangi jumlah produksi beras (Indaryani, 2009). Untuk
meningkatkan kualitas beras yang dihasilkan, maka diperlukan suatu teknologi
pasca panen. Penggilingan merupakan salah satu dari proses pasca panen
yang sudah dikenal sejak lama. Awalnya dilakukan dengan metode yang
sederhana. Tetapi pada prinsipnya sama, yakni menghilangkan kulit luar gabah
(sekam) serta komponen kulit ari sampai menghasilkan beras. Perkembangan
teknologi membawa perubahan pola pikir dan orientasi usaha pengelolahan
padi menjadi lebih baik, efisien dan efektif. Hal ini menyebabkan munculnya
berbagai teknologi penggilingan yang salah satunya adalah RMU (Rice Milling
Unit).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di sentra produksi padi Desa Manis Raya,
Kecamatan Sepauk Kabupaten Sintang pada bulan April sampai Juni 2015.
Penelitian dilakukan ditempat pengeringan, penggilingan padi dan
Laboratorium Balai Riset Industri Pontianak. Umumnya petani dalam
mengeringkan padi hanya mengandalkan sinar matahari dengan lama
pengeringan 2-4 hari, dan penggilingan padi yang digunakan telah berumur 10
tahun. Bahan yang digunakan adalah gabah dari tanaman padi varietas Inpari
13, dan peralatan yang dipakai antara lain: pengukur kadar air Multi Grain,
timbangan duduk, timbangan analitik, kantong plastik, alat tulis, dan alat
dokumentasi
340
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ket :
B1 = Berat gabah (GKG) yang digiling. (Kg)
B2 = Berat beras hasil penggilingan. (Kg)
341
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dari Tabel 1, terlihat bahwa nilai kehilangan hasil gabah pada saat
pengeringan di Dusun Buluh Kuning yang paling rendah yaitu di percobaan
pertama 1,12% dan yang paling tinggi yaitu di percobaan kedua yaitu 2,37%.
Sedangkan di Dusun L.Kedang, kehilangan hasil gabah yang paling rendah
terdapat di percobaan pertama yaitu 1,18% dan yang paling tinggi yaitu di
percobaan kelima yaitu 2,65%. Rata-rata kehilangan hasil Dusun Buluh kuning
1,79 %, dan di Dusun L. Kedang 1,84 %. Hasil ini lebih rendah dari data BPS
(2007) sebesar 3,59 %.
Pada kajian ini pengeringan gabah dengan sinar matahari dilakukan
keesokan hari setelah panen, 4-5 jam perhari selama 3-4 hari, dengan kondisi
cuaca cerah terik diselingi mendung. Suhu dan RH lingkungan sewaktu
penjemuran adalah 30-32oC, dan RH 74- 81%. Alas yang digunakan adalah
alas terpal dan ketebalan gabah berkisar 1-2 cm dan dilakukan pembalikan
setiap satu jam. Suhu gabah saat penjemuran berkisar 31-33 oC. Susut
pengeringan dihitung berdasarkan kadar air dan berat gabah.
Pengeringan dengan sinar matahari apabila dilakukan sesuai dengan
prosedur anjuran (SOP) dan pada kondisi cuaca yang cerah akan mendapatkan
hasil gabah kering giling yang baik. Menurut Raharjo dkk., (1999), pengeringan
alami memanfaatkan sinar matahari mempunyai beberapa keuggulan antara
lain: (1) Kualitas gabah relatif lebih baik karena adanya karakteristik sinar infra
merah yang berperan dominan dalam pengeringan gabah, (2) Biaya
pengeringan relatif lebih murah, dan (3) Cara pengeringannya yang lebih
mudah/praktis. Pada pengeringan dengan sinar matahari, energi dari sinar
matahari digunakan sebagai sumber tunggal untuk kebutuhan panas
pengeringan atau sebagai energi suplemen. Prosedur pengeringan dapat
melibatkan udara panas yang melewati bahan atau secara langsung
mengeringkan bahan dengan radiasi sinar matahari atau kedua cara tersebut
(Ekechukwu dan Norton, 1999). Jadi, pada pengeringan gabah pada sinar
matahri terjadi dua macam proses secara bersamaan, yaitu, (1) proses
pengeringan secara konduksi dimana terjadi proses pemanasan pada
permukaan bahan atau gabah yang kontak langsung dengan sinar matahari,
dan (2) secara bersamaan terjadi proses pengeringan di dalam gabah oleh
radiasi yang dapat menembus ke dalam. Kondisi ini akan berbeda apabila
342
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
panen dilakukan pada saat musim hujan, dimana jumlah gabah yang melimpah
tidak sebanding dengan fasilitas pengeringan yang dimiliki petani (lantai atau
terpal jemur), selain itu kondisi cuaca yang tidak mendukung (hujan atau
mendung) menyebabkan terjadi penundaan proses penjemuran. Menurut
Raharjo dkk., (1999), penundaan penjemuran akan kehilangan hasil gabah
pada saat penjemuran dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tercecernya
saat gabah dijemur dan akan dikumpulkansetelah dijemur. Pada saat musim
panas proses pengeringan akan berlangsung dengan cepat dan tidak terjadi
berulang-ulang, sementara pada saat musim hujan, proses pengeringan akan
berlangsung lebih lama dan dilakukan berulang-ulang sehingga resiko
tercecernya gabah akan semakin tinggi. Pengeringan juga dipengaruhiadanya
burung maupun ayam, lantai jemur yang tidak rata/ retak.Juga tenaga kerja
yang melakukan pengeringan menyebabkan turunnya mutu gabah dan beras
giling yang dicirikan adanya butir kuning dan gabah yang berkecambah. Hasil
penelitian Purwadaria dkk., (1994) menunjukkan penundaan pengeringan 1,3,
dan 5 hari gabah kering panen (GKP) dengan kadar air > 25 % di pada hujan
akan meningkatkan kandungan butir kuning menjadi 0,21%; 1,21% dan 3,38%.
343
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
344
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
345
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
346
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
BPTP Kalimantan Barat
Jalan Budi Utomo no 45 Siantan Pontianak
2
BPTP Sumatera Utara
Jalan Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan,
jhondavidsilalahi@yahoo.com
ABSTRAK
Perontokan adalah proses melepaskan butiran gabah dari malai padi
yang dapat dilakukan melalui proses mekanis yaitu dengan proses menyisir
atau membanting malai padi pada benda yang lebih keras ataupun alat
perontok tertentu. Kecepatan merontok selain dipengaruhi oleh cara dan alat
perontok juga dipengaruhi sifat tahan rontok dari varietas padinya. Modifikasi
beberapa model teknologi alat perontok dapat meningkatkan kapasitas dan
mengurangi susut yang terjadi selama perontokan. Pada beberapa kasus, tidak
semua petani langsung melakukan perontokan padinya setelah melakukan
pemotongan. Di beberapa daerah penundaan perontokan atau terjadinya
keterlambatan perontokan selalu terjadi. Beberapa hal yang mungkin terjadi
selama proses penundaan, antara lain : (1) kehilangan hasil yang disebabkan
oleh gabah yang rontok selama penumpukan atau dimakan binatang, dan (2)
kerusakan gabah karena adanya reaksi enzimatis, sehingga gabah cepat
tumbuh berkecambah, terjadinya butir kuning, berjamur atau rusak. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mngetahui tingkat kehilangan pada berbagai alat
perontok di lokasi sentra padi. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa
penggunaan power thresher memberikan nilai ekonomis yang paling tinggi.
347
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
padi tersebut. Salah satu tahapan kegiatan penanganan pasca panen padi yaitu
perontokan padi
Perontokan padi pada umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu cara
manual dengan dibanting atau gebot dan cara mekanis dengan pedal threser
atau power threser. Perontokan dengan pedal threser sudah mulai ditinggalkan
karena kapasitas kerjanya rendah, hampir sama dengan cara dibanting atau
gebot. Alasan penggunaan power threser umumnya adalah karena lebih cepat
dan gabah lebih bersih. Menurut Ananto dkk., (2003), berkembangnya mesin
perontok berkaitan dengan terbatasnya tenaga kerja dan kesempatan kerja
yang lebih baik di lua rsektor pertanian, serta berkembangnya sistem tebasan
dengan panen beregu. Di dalam pelaksanaankegiatan perontokan padi di
lapangan,telah diteliti dan dianalisa beberapa faktor yang mempengaruhi dalam
tahapan kegiatan tersebut.
Menurut Suismono dkk., (2006), untuk menghindari adanya kehilangan
hasil yang berlebihan, plastik yang berisi tumpukan padi yang masih dialasi
plastik atau karung untuk menghindari tercecernya gabah dibawa ke tempat
perontokan yang telah dialasi plastik terpal dengan ukuran 6 x 6 m yang
dilengkapi dengan tirai. Penggebotan dilakukan dengan cara membanting atau
memukulkan genggaman padi ke alat gebot sebanyak 6 sampai 8 kali.
Pembersihan sisa gabah yang masih menempel pada jerami dapat dilakukan
secara manual. Pemindahan gabah hasil panen dapat menggunakan karung
plastik yang bersih serta dijahit atau diikat agar tidak tercecer.
Keragaan Perontokan
Manual (Gebot); perontokan padi dengan cara gebot yaitu perontokan padi
dengan membantingkan segenggam batang padi pada alat gebot yang terbuat
dari kayu atau besi. Kapasitas perontokan dengan cara gebot sangat
bervariasi, tergantung kepada kekuatan orang, yaitu berkisar antara 41,8
kg/jam/orang (Setyono dkk.,1993) sampai 89,79 kg/jam/orang (Setyono dkk.,
2000). Perontokan padi dengan caragebot banyak gabah yang tidak terontok
berkisar antara 6,4 % - 8,9 % (Rachmat dkk., 1993;Setyono dkk.,2001).
Power Threser Model Pedal; power threser model pedal atau sering disebut
dengan pedal threser yaitu alat perontok yang menggunakan mekanisme
perontokan dengan menggunakan gigi berputar sebagaimana mekanisme
pada mesin power threser, akan tetapi dengan menggunakan tenaga manual
dengan cara dikayuh menggunakan pedal. Pedal threser biasanya dibuat dari
bahan kayu untuk efisiensi harga alat tersebut. Dalam pelaksanaan di
lapangan, alat pedal threser belum optimal untuk dapat diaplikasikan di
lapangan, seringkali terjadi modifikasi alat pedal threser dan kurang sesuai
dengan ergonimis pengguna. Pada akhirnya tenaga perontok lebih memilih
menggunakan alat gebot daripada menggunakan pedal threser.
348
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
349
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
350
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Beberapa faktor yang mempengaruhi kapasitas dan kinerja kegiatan
perontokan padi diantaranya, yaitu varietas padi,s istem pemanenan,
mekanisme perontokan, penundaan perontokan serta faktor kehilangan hasil.
351
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Ananto, E., A. Setyono dan Sutrisno. 2003. Panduan teknis penanganan panen
dan pascapanen padi dalam system usahatani tanaman-ternak.
Puslitbangtan, Bogor.
Damardjati, D.S., dan E. Y. Purwani. 1991. Mutu Beras. Dalam: Padi-Buku 3.
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman. Bogor.
Herawati, Heni. 2008. Mekanisme dan Kinerja pada Sistem Perontokan Padi.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008.Yogyakarta.
Rachmat, R., Setyono dan R. Thahir. 1993. Evaluasi system pemanenan
beregu menggunakan beberapa mesin perontok. Agrimex.Vol 4 dan 5,
No. 1 (1992/1993). Hal 1-7.
Rokhani, H. 2008. Susut Pascapanen: Lebih kepada Kendala Sosial. Artikel
Susut Permasalahan Pascapanen Padi. http://www.ipb.ac.id/ [ 10
Nopember 2015].
Setyono, A., R. Tahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan sistem
pemanenan padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan
hasil. Media Penelitian Sukamandi No. 13 hal 1-4.
Setyono, A., Sutrisno, dan S. Nugraha. 1998. Uji coba regu pemanen dan mesin
perontok padi dalam pemanenan padi sistem beregu. hlm. 56-69.
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Teknologi Spesifik Lokasi
dalam pengembangan Pertanian dengan Orientasi Agribisnis. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran.
Setyono, A., Sutrisno, Sigit Nugraha dan Jumali. 2001. Uji coba kelompok jasa
pemanen dan jasa perontok. Laporan Akhir Tahun TA. 2000. Balai
Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Suismono dkk. 2006. Standar operasional prosedur teknik pemanenan padi
pada lahan irigasi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Litbang Deptan. Bogor.
Sulistiadi, Anis. 1980. Studi Perbandingan Perontokan Padi secara “Iles”,
“Banting”, dan “Power Thresher” dengan Tenaga Penggerak 5 HP.
Skripsi.Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian.IPB. Bogor.
352
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Kabupaten Merauke merupakan sentra pengembangan tanaman padi
di Kawasan Timur Indonesia, khususnya di Provinsi Papua. Sebagai penghasil
produksi padi terbesar di Papua, selama lima tahun terakhir (Tahun 2009 –
2013) perkembangan produksi terus mengalami peningkatan dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata sebesar 12,45% per tahun. Pada tahun 2013 produksi
padi mencapai 177.581 ton, dengan produksi tertinggi yaitu Distrik Tanah Miring
(56.444 ton). Namun produk samping yang dihasilkan setelah panen berupa
jerami padi belum dimanfaatkan oleh petani/peternak secara optimal. Bahkan
jerami padi yang dihasilkan oleh petani pada umumnya dihancurkan dengan
cara membakar dilahan sawah. Potensi jerami padi yang dapat dihasilkan dari
luas panen sebesar 35.499 ha mencapai 62.123,25 ton (BPS Kabupaten
Merauke, 2014). Beberapa faktor penyebab petani belum memanfaakannya
jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia besar, diantaranya kurangnya
pengetahuan petani tentang teknologi pemanfaatan jerami, masih tersedianya
353
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
rumput lapangan, tidak disukai ternak karena tidak terbiasa dan rendahnya
kandungan gizi jerami.
Selain sebagai sentra pengembangan padi, Kabupaten Merauke juga
merupakan sentra pengembangan ternak ruminansia besar, seperti ternak sapi
potong. Populasi ruminansia besar sampai saat ini mencapai 33.037 ekor
(Dinas Peternakan Kabupaten Merauke, 2014). Perkembangan populasi
ruminansia besar terutama sapi potong terus meningkat, tetapi tingkat
pertumbuhannya terus menurun dibandingkan potensi genetik yang dimiliki.
Hal ini disebabkan karena rendahnya produktivitas ternak, dan tingginya
mortalitas ternak terutama di musim kemarau. Rendahnya produktivitas ternak
ruminansia besar, karena petani/peternak umumnya sulit memperoleh hijauan
pakan dan air minum di musim kemarau. Dengan demikian, perlu dilakukan
langkah antisipatif dalam menghadapi musim kemarau agar petani/peternak
tidak kesulitan memperoleh hijauan pakan, seperti membuat silase, hay, dan
fermentasi jerami padi disaat hijauan pakan berlimpah.
Salah satu strategi pengembangan ternak sapi di Indonesia pada sub-
sistem usahatani on farm adalah mempercepat pertambahan bobot hidup
ternak dengan memanfaatkan sumberdaya lokal, terutama yang berasal dari
limbah pertanian dan agroindustri (Badan Litbang Pertanian, 2002). Melihat
potensi ketersediaan jerami padi yang mencapai 62.123,23 ton, bila
dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia besar dengan kebutuhan
pakan minimun sebesar 1,14 BKC selama satu tahun (Sumanto dan Juarini,
2006), dapatmeningkatkan kapasitas tampung wilayah sebesar 54.425 ST,
atau setara dengan 77.750 ekor selama satu tahun. Namun pemanfaatan
jerami padi sebagai pakan untuk mendukung pengembangan ternak
ruminansia besar, perlu dilakukan perbaikan dalam pemberiannya yaitu dengan
meningkatkan kualitas nutrisinya melalui teknologi fermentasi jerami padi.
Tujuan penelitian menganalisis potensi jerami padi sebagai pakan
ruminansia besar dalam mendukung pengembangan integrasi tanaman-ternak
di Kabupaten Merauke Provinsi Papua.
BAHAN DAN METODE
Makalah ini merupakan bagian dari program pendampingan
pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Merauke, dan
dilaksanakan di Distrik Kurik yang merupakan salah satu kawasan
pengembangan tanaman padi dan sapi potong.Untuk mengetahui potensi
ketersediaan jerami padi sebagai hijauan pakan dan kapasitas tampung wilayah
(Dayadukung), jenis data sekunder yang dikumpulkan adalah data luas panen
padi dan populasi ternak sapi yang diperoleh dari BPS Kabupaten Merauke
(2014).
Daya dukung jerami padi dapat dihitung berdasarkan produksi bahan
kering (BK) jerami padi oleh Muller (1974) yaitu produksi jerami = (2,5 x luas
panen x 0,70) ton BK/tahun. Selanjutnya produksi BK jerami padi digunakan
354
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
untuk mendapatkan daya dukung (DD) hijauan pakan dengan persamaan oleh
Haryono dkk., 2002) sebagai berikut :
355
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Semangga dan terendah yaitu Sota. Salah satu faktor penyebab tingginya
produksi bahan kering pakan jerami padi di Tanah Miring, selain disebabkan
karena memiliki luas panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya.
Rata-rata produksi jerami padi dalam satu kali panen dapat diperoleh antara 5-
8 ton/ha dan tergantung pada lokasi dan varietas yang digunakan (Badan
Litbang Pertanian, 2002).
Tabel 1. Produksi bahan kering pakan jerami padi di Kabupaten Merauke,
Tahun 2014
Luas Panen Produksi BK Jerami
Distrik
(Ha) (ton) IKP Kategori
Kimaam 352,00 616,00 0,17 Rendah
Tabonji 50,00 87,50 0,02 Rendah
Waan 80,00 140,00 0,04 Rendah
Ilwayab 45,00 78,75 0,02 Rendah
Okaba 62,00 108,50 0,03 Rendah
Kurik 8.638,00 15.116,50 4,14 Tinggi
Animha 71,00 124,25 0,03 rendah
Malind 4.408,00 7.714,00 2,11 Tinggi
Merauke 1.433,00 2,507.75 0,69 Sedang
Naukenjeral 260,00 455,00 0,12 Rendah
Semangga 7.840,00 13.720,00 3,75 Tinggi
Tanah Miring 10.084.00 17.647,00 4,83 Tinggi
Jagebob 1.004.00 1.757,00 0,48 Rendah
Sota 6,00 10,50 0,00 Rendah
Mutin 169,00 295,75 0,08 Rendah
Elikobel 648,00 1.134,00 0,31 Rendah
Ulilin 349,00 610,75 0,17 Rendah
Kabupaten 35.499,00 62.123.25
Keterangan : IKP (indeks konsentrasi pakan)
Sumber : Data Sekunder di Olah, 2014
356
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
357
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
358
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Potensi ketersediaan jerami padi sebagai pakan di Kabupaten Merauke
cukupbesarsehinggamasih memungkinkan dilakukan penambahan ruminansia
besar sebanyak 31.360,70 ST atau setara dengan 44.801 ekor. Nilai IDD >2,
berarti ketersediaan produksi bahan kering jerami padi sebagai hijauan pakan
secara fungsional mencukupi kebutuhan lingkungan secara efisien.
Wilayah distrik yang mempunyai daya dukung tertinggidenganIDD >2
(kriteriaaman) yaitu Tanah Miring, Kurik, Semangga dan Malind. Sedangkan
IKP tertinggi yaitu Tanah Miring, Kurik, Semangga dan Malind. IKT tertinggi
yaitu Jagebob, Tanah Miring, Kurik, Semangga, Malind dan Merauke.
SARAN
1. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan jerami padi sebagai pakan,maka
pengembangan ternak ruminansia sebaiknya diarahkan pada empat
wilayah potensial yaitu Tanah Miring, Kurik, Semangga dan Malind.
2. Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan sebaiknya diberikan pada
ternak ruminansia setelah dilakukan fermentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, F., E. Juarini, Sumanto, B. Wibowo, Suratman, 1995. Pedoman analisis
potensi wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan. Balai
Penelitian Ternak dan Direktorat Bina Penyebaran dan Pengembangan
Peternakan. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2002. Panduan Teknis Integrasi Padi-Ternak.
Deptan, Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2014. Merauke dalam angka, 2013. Kabupaten
Merauke.
Badan Pusat Statistik. 2014. Papua dalam angka, 2013. Provinsi Papua.
Dinas Peternakan. 2014. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten
Merauke
Muller, Z.O. 1974. Livestock Nutrition in Indonesia. UNDP, FAO, Rome, Italy.
Syamsu, J.A., M. Achmad. 2002. Keunggulan kompetitif wilayah berdasarkan
sumberdayapakan untuk pengembangan ruminansia di Sulawesi Selatan.
JurnalAgribisnis, 6 (2)
Syamsu JA, L.A.Softyan, K.Mudikdjo,E.G.Sai’id. 2003. Daya dukung limbah
pertaniansebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia.
Wartazoa, 13 (1) : 30-37
Sumanto. E., Juarini, 2006. Potensi kesesuaian lahan untuk pengembangan
ternak ruminansia di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Iptek Sebagai Motor
Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan.
Bogor 4-5 Agustus 2004. Puslitbangnak, Balitbangtan. Bogor.
359
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1)
Usman, 1)Batseba M.W. Tiro, 1)Siska Tirajo, dan 2)L. Haloho
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Yahim Sentani – Jayapura
Email : usmanrauna@yahoo.com
ABSTRAK
Jerami padi merupakan salah satu jenis limbah tanaman pangan yang
paling potensial di Papua untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak
ruminansia, khususnya ternak sapi potong. Kajian ini bertujuan menyajikan
data dan informasi terkait pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai pakan
ternak sapi potong. Metode pendekatan dilakukan on far research di lahan
petani dengan melibatkan instansi terkait. Hasil kajian ini diperoleh peningkatan
nutrisi JP setelah proses fermentasi, yaitu protein kasar 7,09%, dan serat kasar
26,46%. Hasil uji biologis pakan jerami padi fermentasi pada ternak sapi potong
terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH) di desa Koya Barat dan
Koya Timur, masing-masing yaitu 0,34 kg/ekor dan 0,38 kg/ekor. Analisis
usahatani menunjukkan bahwa pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai
pakan sapi potong memberikan tambahan pendapatan sebesarRp 277.117.
Nilai R/C >1, berarti usaha ini layak untuk dilaksanakan. Nilai MBCR =1,2,
berarti pemanfaatan jerami padi fermentasi mampu memberikan tambahan
pendapatan sebesar 1,2 kali dari total tambahan investasi tunai yang
dikeluarkan sebagai akibat dari penerapan teknologi tersebut.
Kata kunci : Jerami padi, fermentasi, pakan, sapi potong
PENDAHULUAN
Jerami padi merupakan salah satu jenis limbah pertanian tanaman
pangan yang paling potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak
ruminansia di Papua. Namun keberadaannya setelah musim panen terbuang
begitu saja dan bahkan dibakar oleh petani untuk mempermudah petani
melakukan penanaman berbagai jenis tanaman pangan berikutnya seperti
jagung, kacang tanah, kacang kedelai, dan kacang panjang. Pada umumnya
petani-peternak di Papua belum memanfaatkan jerami padi secara optimal,
karena disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya petani-peternak secara
tradisional tidak terbiasa memberikan pada ternak sapi, ketersediaan hijauan
berupa rumput lapangan masih banyak, dan mempunyai kandungan nutrisi
pakan yang rendah. Potensi ketersediaanya melebihi jumlah yang dibutuhkan
oleh ruminansia khususnya di Indonesia (Kosilla, 1988, dalam Van Bruchem
dan Zemmelink, 1995). Bagian-bagian jerami padi dibedakan menjadi helai
daun (15-27%), pelepah daun (23-30%), dan batang yang dapat dipilah atas
ruas dan buku yang proporsinya (15-37%) (Soejono, 1996 dalam Sutrisno,
2002).
360
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
361
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
campuran probion dan urea pada lapisan terakhir/teratas cukup ditutupi dengan
jerami secukupnya dan tidak ditutup/diselimuti dengan plastik. Selama proses
fermentasi tidak boleh terkena sinar matahari dan air hujan dan berlangsung
selama ± 21 hari. JP yang sudah mngalami proses fermentasi diangin-
anginkan dan disimpan di tempat yang terhindar dari sinar matahari langsung
dan hujan sebelum digunakan sebagai pakan.
Uji biologis
Dalam uji biologis, teknik pemberian JPF pada ternak sapi potong
diberikan sedikit demi sedikit bersama hijauan rumput alam selama masa
adaptasi, dan diberikan selama ± 4 bulan menggunakan 4 ekor sapi betina dan9
ekor sapi jantan, umur 2 – 3 tahun dengan bobot badan awal sekitar 147-196
kg/ekor. Komposisi pakan yang diberikan pada ternak sapi potong disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi pakan ternak sapi potong di Koya Barat dan Koya Timur,
Distrik Muara Tami, Kota Jayapura
Komposisi pakan Koya Barat Koya Timur
Jerami Padi Fermentasi
(JPF) 5,0% BB 10,0% BB
Rumput lapangan 5,0% BB 5,0% BB
Dedak 1,5% BB 2 kg/ekor/hari
Garam 30 g/ekor/hari 24 g/ekor/hari
Parameter yang diamati yaitu nutrisi jerami padi fermentasi (JPF) dan
pertambahan berat badan harian (PBBH), konsumsi pakan, dan konversi
pakan.
Tabel 2. Hasil analisis kimia nutrisi jerami padi fermentasi dan non-fermentasi
di Jayapura
Bahan pakan Bahan Kering Protein Serat Kasar
(%) Kasar (%) (%)
- Jerami padi non-fermentasi1) 92,81 4,74 29,53
- Jerami padi fermentasi2) 82,44 7,09 26,46
- Dedak2) 93,72 9,08 24,45
- Rumput lapangan2) 33,59 4,77 32,92
Keterangan : 1)BPTP Sulawesi Tengah, 2000.
2)
Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak
UGM,2014
362
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Keragaan ternak sapi potong yang diberi JPF dan NJPF (cara petani)
di Desa Koya Barat dan Koya Timur, Distrik Muara Tami, Kota
Jayapura
Desa Koya Barat1) Desa Koya Timur2)
Keragaan Produksi
NJPF JPF NJPF JPF
- Rataan bobot badan awal (kg/ekor) - 195,50 151,26 146,98
- Rataan bobot badan akhir (kg/ekor) - 236,00 176,62 189,56
- Pertambahan berat badan (kg/ekor) 13,16 40,50 25,37b 42,58a
- PBBH (kg/ekor/hari) 0,10 0,34 0,23 0,38
- Konsumsi BK pakan (kg/ekor/hari) - 9,50 - -
- Konsumsi PK pakan (kg/ekor/hari) - 0,89 - -
Ket : NJPF (non-jerami padi fermentasi), JPF (Jerami padi fermentasi), BK
(Bahan kering), PK (Protein kasar)
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian JPF pada ternak
sapi potong di Koya Barat dan di Koya Timur memberikan pertambahan berat
badan dan PBBH, masing-masing yaitu 40,5 kg/ekor dan 0,34 kg/ekor/hari dan
42,6 kg/ekor dan 0,38 kg/ekor/hari, dan berbeda nyata dengan cara petani
(NJPF). Hasil kajian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
Antonius (2009) yang membrikan PBBH sekitar 0,84-0,95 kg/ekor/hari.
Terjadinya perbedaan PBBH yang dihasilkan dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu jenis ternak, komposisi pakan, daya cerna pakan, dan kondisi
wilayah. Pertambahan bobot hidup harianmerupakan suatu refleksi dari
akumulasi konsumsi, fermentasi, metabolisme dan penyerapan zat-zat
makanan di dalam tubuh dan merupakan cerminan kualitas dan nilai biologis
pakan (Simanihurukdkk., 2006). Naik turunnya PBBH sangat dipengaruhi oleh
tinggi rendahnya konsumsi pakan. Naiknya konsumsi pakan dapat menaikkan
PBBH dan rendahnya konsumsi pakan dapat menurunkan PBBH (Muck,
2004).Sementara efisiensi penggunaan pakan ternak ruminansia dipengaruhi
oleh kualitas dan nilai biologis pakan, besarnya pertambahan bobot hidup
harian dan nilai kecernaan pakan (Simanihuruk dkk., 2006).
Analisis Usahatani
Analisis usahatani bertujuan untuk mengetahui apakah inovasi teknologi
JPF yang diterapkan secara ekonomi memberikan keuntungan bagi petani atau
tidak. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.
363
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
364
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kelompok Tani Koya Barat dan Koya Timur atas kehadirannya dalam
pelaksanaan temu lapang yang telah memberikan dukungan dan partisifasinya
selama kegiatan ini berlangsung
DAFTAR PUSTAKA
Antonius. 2009. Pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai subtitusi rumput
gajah dalam ransum sapi JITV Vol. 14 No. 4 Th. 2009: 270-277.
Becker, K. dan C. Einfeldt. 1995. Multiple use of cultivated plants : straw
utilization in animal nutrition-indications for plant breeding. Amin. Res.
And Dev. 41: 23-37.
Chowdhury, S.A. dan K.S. Huque. 1997. Effect of graded levels of green grass
suplementation on nutrient digestibility, rumen fermentation and microbial
nitrogen production in cattle feed rice straw alone. Asian-Australasian J.
Of Anim. Sci. 10(5): 460-470.
El-Shobokshy, A.S., D.I.H. Jones, I.F.M. Marai, J.B. Owen dan C.J.C. Philips,
1989. New Techniques in feed Processing for Cattle. Dalam : C.J.C.
Philps (Ed.). New Techniques in Cattle Produkction. Butterworth & Co.
Ltd., London. Hal. 67-86.
Haryanto, B. 2000. Penggunaan probiotik dalam pakanuntuk meningkatkan
kualitas karkas dan daging domba. JITV. 5: 224-228.
Haryanto, B. Dan A. Djajanegara. 1993. Pemenuhan Kebutuhan Zat-Zat
Makanan Ternak Ruminansia Kecil. Dalam : Manika Wodzicka-
Tomaszewska, I.M. Mastika, A. Djajanegara, Susan Gardiner, T.R.
Wiradarya (Ed.). Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas
Maret University Press. Hal:159-203.
Juergenson, E. M. 1980. Approved Practices in Beef Cattle Production. The
Interstate Printers and Publishers, Inc., Danville, Illinois.
Maynard, L.A. dan J.K. Loosli. 1978. Animal Nutrition. 6 Ed., Tata McGraw
Hill Publishing Company Ltd, New Delhi.
Muck, R.E. 2004. Effects of corn silage inoculants on aerobicstability. American
Soc. Agric. Engin. 47: 1011-1016.
Preston, T.R. dan R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System
with Available Resources in the Tropics and Sub Tropics. Penambul
Books. Armidale, New South Wales.
Simanihuruk, K., K.G. Wiryawan And S.P. Ginting. 2006.The effect of passion
fruit hulls level (Passiflora edulisSims f. edulis Deg) as Kacang goat feed
component: I.Intake digestibility and nitrogen retention. JITV 11: 97-105.
Sutrisno, C.I. 2002. Peran Teknologi Pengolahan Limbah Pertanian dalam
Pengembangan Ternak Ruminansia. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Thalib, A., J. Bestari, Y. Widiawati, H. Hamid dan D.Suherman. 2000. Pengaruh
perlakuan silase jeramipadi dengan mikroba rumen kerbau terhadap daya
cernadan ekosistem rumen sapi. JITV 5: 1-6.
Van Bruchem, J. Dan G. Zemmelink. 1995. Toward Sustainable Livestock
Production in the Tropics and Imitations of Rice Straw Based System.
Bull. Of Anim. Sci. (Special Edition). A. Publication of the Faculty of
Animal Husbandry, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Hal: 39-51.
Wina, E. 2005. Teknologi pemanfaatan mikroorganismedalam pakan untuk
meningkatkan produktifitas ternakruminansia di Indonesia. Wartazoa. 15:
173-186.
365
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Suatu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan
tanaman bawang merah dengan pemaparan komposisi pemberian abu vulkanik
Sinabung, arang sekam padi dan kompos jerami, telah dilakukan di Kebun
Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Juli -
September 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) non faktorial dengan 10 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut
yaitu M0 (Kontrol/pemberian pupuk dasar) ; M1 (Abu vulkanik 20 ton/ha) ; M2
(Arang sekam 10 ton/ha) ; M3 (Kompos jerami 15 ton/ha) ; M4 (Abu Vulkanik
10 ton/ha + Arang sekam 5 ton/ha) ; M5 (Abu Vulkanik 5 ton/ha + Kompos
Jerami 7,5 ton/ha) ; M6 (Arang Sekam 5 ton/ha + Kompos Jerami 7,5 ton/ha) ;
M7 (Abu Vulkanik 10 ton/ha + Arang sekam 2,5 ton/ha + Kompos Jerami 3,75
ton /ha), M8 (Abu Vulkanik 5 ton/ ha + Arang sekam 5 ton/ha + Kompos Jerami
3,75 ton/ha) ; M9 (Abu Vulkanik 5 ton/ha + Arang sekam 2,5 ton/ha + Kompos
Jerami 7,5 ton/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi perlakuan
M5 yaitu abu vulkanik 5 ton/ha + kompos Jerami 7,5 ton/ha memberikan laju
pertumbuhan tanaman, laju pertumbuhan relatif dan laju asimilasi bersih yang
lebih baik dibandingkan komposisi perlakuan lainnya.
Kata Kunci : bawang merah, abu vulkanik, arang sekam padi, kompos jerami
PENDAHULUAN
Peristiwa erupsi Gunung Sinabung yang terdapat di dataran tinggi Karo
telah mengeluarkan material vulkanik berupa debu dan lahar dingin (bekas
awan panas) yang berdampak negatif terhadap lahan pertanian. Erupsi
tersebut berdampak terjadinya kerusakan tanaman, lahan dan lingkungan
pertanian. Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(2014) material vulkanik telah merusak lahan tanaman hortikultura (5.716 ha),
tanaman pangan (1.837 ha), tanaman perkebunan (2.856 ha), buah-buahan
(1.630 ha), serta biofarmaka (1.7 ha).
Dampak negatif abu vulkanik terjadi karena menutupi lahan pertanian dan
memiliki karakteristik cepat mengeras dan sulit ditembus air sehingga akan
meningkatkan volume tanah. Jika abu vulkanik menempel pada daun tanaman,
abu tidak mudah larut walaupun tersiram air sehingga tanaman akan rebah
(Hartosuwarno, 2010). Walaupun demikian, sebenarnya abu vulkanik juga
berdampak positif bagi tanah yaitu dapat memperkaya dan meremajakan tanah
dan berpotensi untuk menjadi hara penyubur tanah karena adanya kandungan
366
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
367
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
LPT = W 2 – W 1 LPR = ln W 2 – ln W 1
t2 – t 1 t2 – t1
LAB = W 2 – W 1 x ln A2 – ln A1
t2 – t1 A2 – A1
Keterangan : W2 = berat kering tanaman pada 40 HST
W1 = berat kering tanaman pada 30 HST
t2 = waktu pengamatan pada 40 HST
t1 = waktu pengamatan pada 30 HST
A2 = total luas daun pada 40 HST
A1 = total luas daun pada 30 HST
Data peubah dianalisis dengan analisis sidik ragam (Uji F).
368
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
369
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
370
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Penggunaan arang sekam padi, kompos jerami dan abu vulkanik
Gunung Sinabung berprospek baik untuk pertumbuhan bawang merah karena
dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman, laju pertumbuhan relatif dan
laju asimilasi bersih pada tanaman bawang merah. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk menggunakan abu
vulkanik Gunung Sinabung 5 ton/ha dan kompos jerami 7.5 ton/ha untuk
meningkatkan pertumbuhan bawang merah.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014. Hasil Kajian dan
Identifikasi Dampak Erupsi Sinabung pada Sektor Pertanian.
Kementerian Pertanian.Science Innovation Network.
www.litbang.deptan.go.id
Bahri, J. 2010. Kajian Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium
ascalonicum L.) dengan Penambahan Arang Sekam dan Pemupukan
Kalium. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Hanafiah, K. A. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Buku. Raja Grafindo Persada.
358 hal.
Harsanti, E. S. , Indratin, Wihardjaka, A. 2012. Multifungsi kompos jerami dan
sistem produksi padi berkelanjutan di ekosistem sawah tadah hujan.
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Jakarta.
Hartosuwarno, S. 2010. Sifat Fisik dan Komposisi Abu Vulkanik Gunungapi
Merapi. Informasi Kampus UPNVY 16(188) : 5.
McGeary, D., C. Pummer and D. Carlson. 2002. Physical Geology. A
handbook of silivate rock analysis. Edisi 9. New York : McGraw Hill.
Septiani, D. 2012. Pengaruh Pemberian Arang Sekam Padi terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai Rawit (Capsicum
frustescens). Seminar Program Studi Hortikultura. Politeknik Negeri
Lampung. Lampung
Sinuhaji, N.F. 2011. Analisis Logam berat dan unsur hara debu vulkanik
Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatera Utara. Skripsi.
Departemen Fisika. FMIPA Universitas Sumatera Utara. Medan
Sutarya, R. dan Grubben, G. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran
Rendah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
371
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Produksi jerami padi akan melimpah saat panen raya tiba, hal ini sering
dianggap sebagai limbah dan sangat jarang ditangani secara khusus. Jerami
padi mengandung nutrien yang masih dapat dicerna beberapa ternak, terutama
ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba dan kambing), sehingga sangat
potensial untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Penelitian dilakukan
untuk mengetahui potensi jerami padi yang ada di Kabupaten Langkat sehingga
pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal yaitu sebagai pakan ternak.
Analisis dilakukan menggunakan data luas panen tanaman padi tahun 2013.
Data yang diperoleh kemudian ditabulasi berdasarkan asumsi dari Direktorat
Budidaya Ternak Ruminansia, 2009. Hasil analisis menunjukkan potensi jerami
padi sebagai pakan ternak di Kabupaten Langkat sebesar:6.498 t BK, 2,697 t
TDN, 299 t PK dan memiliki daya tampung ternak ruminansia sebanyak 2.849
ST. Potensi jerami paling besar terdapat di kecamatan Secanggang yaitu
sebesar: 827 t BK, 343 t TDN, 30 t PK dengan daya tampung ternak 362,32 ST.
Hasil survey di Kelompok Tani Anyelir, di Desa Karang Anyer, Kecamatan
Secanggang, menunjukkan bahwa umumnya petani belum memanfaatkan
jerami padi sebagai makanan ternak, walaupun rata-rata petani yang
memelihara ternak juga memiki lahan sawah dengan kepemilikan rata-rata 0,48
ha/KK. Baru sebagian kecil yang telah memanfaatkanya, itupun tanpa
pengolahan terlebih dahulu. Berbagai hambatan dan alasan untuk
memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak antara lain penambahan biaya
dan tenaga kerja dalam pengolahannya, sehingga dibutuhkan teknologi
pembuatan pakan yang lebih sederhana, murah, ekonomis dan mudah diadopsi
peternak.
PENDAHULUAN
Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Langkat sebesar 160.821 ekor
sapi, 44 ekor sapi perah, 3.249 ekor kerbau, 284.438 ekor kambing dan 340.282
ekor domba (BPS, 2014). Rata-rata terjadi pemotongan ternak setiap
tahunnya dari populasi yang ada, artinya perlu adanya upaya peningkatan
populasi ternak dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada. Upaya
peningkatan populasi ternak dapat dilakukan dengan menyediakan bahan
pakan secara berkesinambungan baik jumlah maupun kualitasnya. Kabupaten
Langkat memiliki potensi pengembangan ternak yang besar, hal ini didukung
ketersediaan sumberdaya lokal yang tinggi. Sumberdaya bahan pakan lokal
potensial Kabupaten Langkat yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
372
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
adalah limbah tanaman padi. Limbah tanaman padi ini dapat menghasilkan
bahan kering sebagai bahan pakan sumber energi ternak ruminansia.
Hasil panen tanaman padi adalah berupa gabah, selain gabah akan
diperoleh juga hasil sampingan yaitu jerami. Saat panen tiba, produksi jerami
akan melimpah dan sering dianggap sebagai limbah. Penanganan secara
khusus masih sangat jarang dilakukan. Umumnya petani membakarnya dan
sebagian kecil yang mengolahnya menjadi kompos. Jerami padi memiliki
kandungan nutrien yang masih dapat dicerna beberapa ternak terutama ternak
ruminansia (sapi, kerbau, domba dan kambing), sehingga sangat potensial
untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Kandungan nutrien jerami padi
(% dari Bahan Kering) terdiri dari Protein Kasar (PK): 4,55, Serat Kasar (SK):
30,31, Total Digestable Nutrient (TDN);51,47, Neutral Detergent Fibre (NDF);
72,41, Acid Detergent Fibre (ADF); 46,72, Sellulosa: 35,91, Hemi Sellulosa:
25,69, Lignin: 6,13, Silika; 7,12 (Antonius,2009).
Jerami padi merupakan salah satu potensi sumberdaya alam andalan
dan strategis yang harus dikelola untuk mendukung peningkatan pendapatan
petani. Pengelolaan jerami padi dapat dilakukan dengan memanfaatkannya
sebagai pakan ternak. Perpaduan antara budidaya tanaman padi dan beternak
sapi diharapkan dapat menciptakan biaya produksi minimal dan pemanfaatan
potensi sumber daya lokal yang ada (Tumewu dkk., 2014). Penelitian dilakukan
untuk menganalisis potensi ketersediaan jerami padi sebagai sumber pakan
ternak ruminansia di Kabupaten Langkat sehingga diharapkan dapat
dioptimalkan pemanfaatannya sebagai wujud pengembangan usaha
peternakan.
BAHAN DAN METODE
373
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
374
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
setahun maka produksi jerami menjadi dua kali dari (5 t/ha/panen). Hal ini
menunjukkan potensi jerami padi yang cukup besar. Hasil survey di Desa
Karang Anyer, Kecamatan Secanggang menunjukkan bahwa usaha tanam
padi dilakukan hanya satu kali dalam setahun, hal ini disebabkan sistem
pengairan masih tadah hujan. Varietas padi yang digunakan juga masih padi
lokal yaitu padi Ramos, dimana varietas padi lokal ini memiliki umur
dalam/panjang yaitu 5-6 bulan.
Potensi bahan pakan ternak ruminansia dari jerami padi di Kabupaten
Langkat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Potensi Bahan Pakan Ternak Ruminansia dari Jerami Padi di
Kabupaten Langkat Tahun 2013
Daya
Tampung
Luas Potensi Pakan Ternak Ruminansia
No Ternak
Kecamatan Panen dari Jerami
Ruminansia
(ha)
(ST)
(t BK) (t TDN) (t PK)
1 Bohorok 1.158 94 39 4 41,09
2 Sirapit 4.782 387 161 18 169,66
3 Salapian 429 35 14 2 15,22
4 Kutambaru - - - - -
5 Sei Bingai 6.675 540 224 25 236,83
6 Kuala 1.806 146 61 7 64,08
7 Selesai 3.536 286 119 13 125,46
8 Binjai 4.164 337 140 16 147,74
9 Stabat 2.441 198 82 9 86,61
10 Wampu 2.342 190 79 9 83,09
11 Batang Serangan 325 26 11 1 11,53
12 Sawit Seberang - - - - -
13 Padang Tualang 812 66 27 3 28,81
14 Hinai 4.375 354 147 16 155,22
15 Secanggang 10.212 827 343 38 362,32
16 Tanjung Pura 6.088 493 204 23 216,00
17 Gebang 6.592 534 221 25 233,88
18 Babalan 8.578 694 288 32 304,34
19 Sei Lepan 4.142 335 139 15 146,96
20 Brandan Barat 2.669 216 90 10 94,69
21 Besitang 3.118 252 105 12 110,62
22 Pangkalan Susu 4.743 384 159 18 168,28
23 Pematang Jaya 1.302 105 44 5 46,19
Jumlah 80.289 6.498 2.697 299 2.849
Sumber: diolah dari data BPS (2014)
375
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
yaitu sebesar: 694 t BK, 288 t TDN, 32 t PK dana daya tampung ternak 304,34
ST.
Pola Sistem Integrasi Tanaman Padi-Ternak
Desa Karang anyer, Kecamatan Secanggang menunjukkan bahwa
bertanam padi dilakukan hanya 1 kali dalam setahun, varietas padi lokal jenis
Ramos dan hanya sedikit varietas IR-64. Hal ini dilakukan karena sistem
pengairan masih sistem tadah hujan. Bertanam padi dilakukan mulai bulan
Agustus dan panen di Januari-Februari. Bulan Maret-Juli adalah waktu
senggang bagi petani. Pada bulan-bulan ini umumnya petani menjadi buruh
tani (rombangan panen) diluar daerah dengan sistem regu upah 11% dari hasil
panen atau rata-rata Rp. 80.000/orang/hari. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap perekonomian petani di Kabupaten Langkat.
Penerapan sistem integrasi tanaman padi dengan ternak merupakan
salah satu solusi yang dapat membentuk suatu siklus yang berkesinambungan,
sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani secara kontinyum hal ini
dapat dilihat pada Gambar 1.
376
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
menjadi buruh tani keluar daerah. Hal ini juga dapat menjawab permasalahan
tenaga kerja dengan berkembangnya alat mekanisasi panen padi saat ini,
sudah tidak membutuhkan tenaga kerja manusia dalam jumlah yang banyak
lagi.
Peternakan memiliki kontribusi dalam pertumbuhan perekonomian
melalui penyerapan tenaga kerja dan peranan usaha ternak sebagai
pendapatan rumah tangga (Bangun, 2010). Dalam pengolahan jerami padi
menjadi pakan ternak membutuhkan tenaga kerja, hal ini dapat dilakukan
anggota keluarga, mulai dari pengumpulan, perlakuan fermentasi dan
penyimpanan. Saat musim kemarau tiba peternak dapat memanfaatkan jerami
padi yang telah disimpan sebagai pakan ternak. Jerami padi fermentasi dapat
disimpan selama 6 bulan kedepannya sebagai stok persediaan pakan.
377
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
378
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
379
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi di Pulau Jawa
sudah cukup populer, namun di Sumatera khususnya Sumatera Utara, masih
sangat jarang sekali. Dari luas panen tanaman padi di Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2013 sebesar 80.104 ha akan menghasilkan jerami padi sebesar
400.520 ton dan dapat digunakan sebagai pakan ternak sebanyak 160.208 ekor
sapi/tahun. Melihat potensi jerami padi yang cukup tersedia, maka perlu
dilakukan sosialisasi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak. Penelitian
dilakukan mulai bulan April-Nopember 2015, di Desa Sumberejo, Kecamatan
Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang. Sosialisasi dilakukan melalui
pelatihan, demonstrasi dan pemeliharaan ternak sapi milik kelompok peternak
Dirgantara. Sapi diperlihara dalam kandang komunal model Badan litbang
Pertanian dengan ukuran 14 x 24 m. Pengumpulan data dan informasi
dilakukan dengan cara pengamatan langsung (observasi) dan memanfaatkan
alat bantu berupa kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata
kepemilikan lahan sawah seluas 0,4-1 ha dan kepemilikan ternak sapi 1-3
ekor/KK. Sistem pola tanam yang diterapkan adalah kedele-padi-padi. Produksi
padi hasil panen petani antara 7,5–8,0 t/ha GKP dengan B/C ratio antara 1,6
hingga 2,4. Keragaan ternak sapi yang dipelihara kelompok diperoleh rata-rata
PBBH 0,3-0,4 kg/ekor/hari. Hasil survey menunjukkan bahwa peternak
kelompok binaan belum termotivasi untuk mengolah jerami padi sebagai pakan
ternak sapi, dengan alasan teknis yang rumit. 30% dari responden diluar
kelompok peternak yang berada dekat lokasi sosialisasi menyatakan ragu-ragu
untuk mengadopsi teknologi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak
sapi juga dengan pertimbangan masalah teknis. Perlu waktu untuk mengubah
perilaku petani untuk memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak sapi
secara optimal.
PENDAHULUAN
Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu kabupaten agraria yang
berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten
Deli Serdang berada pada 2 O57” Lintang Utara, 3O16” Lintang Selatan dan
98O33”-99O27” Bujur Timur dengan ketinggian 0-500 m diatas permukaan laut.
Luas area 2.497,72 km2/249.772 ha yang terdiri dari 22 kecamatan dan 394
desa/kelurahan defenitif. Wilayah Kabupaten Deli Serdang disebelah Utara
berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Selat Malaka, di sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Simalungun, disebelah Barat
380
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
381
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Rata-Rata Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan Desa Sumberejo
Tahun 2013.
Bulan Curah Hujan (mm) Jumlah Hari Hujan (hari)
Januari 119 17
Februari 199 20
Maret 74 4
April 150 13
Mei 96 17
Juni 121 12
Juli 173 15
Agustus 214 22
September 181 16
Oktober 345 22
Nopember 83 24
Desember 489 22
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Sampali dalam
BPS (2014)
382
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Umur 15-55 8 80 6 60 14 70
>55 2 20 4 40 6 30
Pendidikan SD 2 20 3 30 5 25
SLTP 3 30 5 50 8 40
SLTA/Sederajat 5 50 2 20 7 35
Sarjana 0 0 0 0 0 0
1 s/d 5 tahun 3 30 2 20 5 25
Pengalaman
Bertani 6 s/d 10 tahun 2 20 3 30 5 25
dan Beternak > 10 tahun 5 50 5 50 10 50
Kepemilikan < 1 ha 8 80 10 100 18 90
Sawah > 1 ha 2 20 0 0 2 10
Jumlah < 5 ekor 10 100 9 90 19 95
kepemilikan > 5 ekor 0 0 1 10 1 5
ternak sapi
383
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
384
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Gambar 1. Bank pakan sapi berisi jerami padi sebagai tempat stok pakan
Kelompok peternak dilibatkan secara langsung mulai pengumpulan
jerami padi, pengeringan, perlakuan fermentasi, penyimpanan dan
pemeliharaan ternak sapi. Dengan melibatkan langsung kelompok peternak
dalam kegiatan ini merupakan upaya bekerja sekalian pembelajaran, sehingga
dapat menambah keterampilan peternak dan akan menjadi terbiasa. Proses
pengolahan fermentasi jerami padi dapat dilihat pada Gambar 2.
385
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pengumpulan jerami padi seperti bahan bakar bensin mesin babat dan tenaga
kerja membabat dan pengumpulkan batang padi. Disatu sisi alat panen
Combine Harvester sangat membantu karena panen dapat dilakukan dengan
cepat dan tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak.
Hasil survey menunjukkan bahwa petani belum termotivasi untuk
mengolah jerami padi sebagai pakan ternak sapi, dengan beberapa alasannya
antara lain butuh tenaga kerja banyak untuk pengangkutan atau saat
mengumpulkan jerami, jerami padi bersifat bulky (butuh tempat yang besar
saat fermentasi maupun saat penyimpanan). Hal ini sesuai dengan pendapat
Davendra (1980) dalam Hanafi (2008) yang menyatakan bahwa umumnya
limbah pertanian itu bersifat bulky sehingga biaya anggutan menjadi mahal
karena membutuhkan tempat yang lebih banyak untuk satuan berat tertentu,
kelembaban yang tinggi dan menyulitkan penyimpanan. Dengan pertimbangan
alasan ini menyebabkan 30% dari responden diluar kelompok peternak yang
berada dekat lokasi sosialisasi menyatakan ragu-ragu untuk mengadopsi
teknologi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi.
Peternak masih memiliki kecenderungan menggunakan hijauan makanan
ternak sebagai pakan ternak sapi peliharaannya. Peternak memanfaatkan
jerami padi hanya sebagai pakan sampingan, dan cenderung digunakan saat
tertentu saja seperti apabila tidak ada waktu mengarit karena ada pesta, musim
hujan, aktivitas disawah yang tinggi, walaupun sebenarnya sapi yang dipelihara
sudah tidak perlu adaptasi yang lama untuk mau mengkonsumsi jerami padi
dalam jumlah banyak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi adalah karakteristik
sosial-ekonomi peternak, faktor kelembagaan dan karakter teknologi ,
penggunaan sarana produksi, risiko, jaringan komunikasi, agen penyuluhan
dan efisiensi teknis. Pengaruh dari masing-masing faktor bervariasi dan
merupakan faktor penentu keputusan suatu adopsi teknologi (Abdullah dkk.,
2015). Pada kegiatan ini faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi yang
diintroduksikan adalah efisiensi teknis, dimana selama ini peternak sudah
terbiasa memanfaatkan hijauan jenis rumput gajah yang ditanam dibantaran
Sungai Ular sebagai pakan ternak sapi. Jarak peternak untuk mengarit rumput
ke bantaran Sungai Ular ke kandang tenak tidak jauh hanya 5-10 menit,
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengarit rumput hanya 30-40 menit
saja. Rumput yang diarit diangkut dengan kendaraan sepeda motor dan
mengikatnya di bagian belakang. Waktu mengarit dilakukan disore hari saja
setiap harinya. Perlu waktu untuk mengubah perilaku petani untuk
memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak sapi secara optimal.
Keragaan Ternak Sapi yang Dipelihara
Hasil pengamatan keragaan ternak sapi yang dipeliharan melalui
pengukuran lingkar dada untuk estimasi Pertambahan Bobot Badan Harian
(PBBH) adalah rata-rata 0,3-0,4 kg/ekor/hari. Hasil penelitian Hidayat dan
Purnama (2006) menunjukkan bahwa PBBH sapi dengan pemberian pakan
jerami padi fermentasi untuk penggemukan berbagai jenis bangsa sapi rata-
rata 0,73-0,98 kg/ekor/hari. Hal ini menunjukkan PBBH hasil kegiatan masih
386
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
rendah, tetapi karena sapi yang dipelihara adalah sapi indukan. Ternak sapi
induk, tidak diharapkan peningkatan bobot badan yang terlalu tinggi, karena
bobot badan yang terlalu tinggi akan menyebabkan induk sapi tersebut
kegemukan, sehingga menyulitkan terjadinya proses kebuntingan (majir)
karena organ reproduksi tertutup lemak dan jika terjadi kebuntingan dapat
menyulitkan induk dalam proses melahirkan.
Kegiatan saat ini dirasakan belum optimal karena adanya kendala
pemberian jerami padi fermentasi yang belum kontinyu dan juga dari segi
jumlah pemberian yang belum maksimal. Diharapkan kedepannya pemberian
jerami padi fermentasi sebagai pakan sapi sudah dapat dilakukan secara
kentinyu dan maksimal. Kekompakan, kreativitas dan komitmen kelompok
sangat diharapkan untuk keberlanjutan kegiatan.
Selain mensosialisasikan pemanfaatan jerami padi sebagai pakan sapi,
peternak juga dilatih untuk mengestimasi berat badan ternak sapi dengan
rumus Lambourne yaitu dengan mengukur lingkar dada dan tinggi badan sapi.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui PBBH ternak yang dipelihara.
Disosialisasikan juga agar peternak memberikan pakan konsentrat dan
feed sumplement, kepada ternak peliharaannya. Feed sumplement yang
diberikan sejenis probiotik yang mudah diperoleh di kios saprodi ternak yaitu
Starbio, Probiotik. Dengan pemberian supplement feed dapat meningkatkan
kecernaan pakan (efisiensi pakan) ternak sapi sampai 30-40%. Tujuan
pemberian feed supplement adalah untuk meningkatkan aktivitas mikroba
didalam rumen, sehingga terjadi keseimbangan mikroflora rumen yang pada
akhirnya penyerapan nutrisi pada sistem pencernaan ternak menjadi lebih baik
(Zurriyati dkk., 2012).
Umumnya kelompok peternak sudah mengetahui manajemen reproduksi
ternak sapi betina. Umur ternak saat dikawinkan berkisar antara 1,5-1,8 tahun.
Peternak sudah mengetahui waktu yang tepat untuk mengawinkan sapi betina
karena sebelumnya peternak sudah melakukan Inseminasi Buatan (IB) untuk
mengawinkan ternak sapi peliharaannya. Apabila tanda-tanda birahi sapi
kelihatan, peternak langsung menghubungi petugas inseminator dari Dinas
Peternakan setempat untuk melakukan IB. Rata-rata service/conception IB
yang dilakukan 2-3 kali, dengan calving interval 12-15 bulan.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kepemilikan lahan sawah seluas
0,4-1 ha dan kepemilikan ternak sapi 1-3 ekor/KK. Sistem pola tanam yang
diterapkan adalah kedele-padi-padi. Produksi padi hasil panen petani antara
7,5–8,0 ton/ha GKP dengan B/C ratio antara 1,6 hingga 2,4. Keragaan ternak
sapi yang dipelihara kelompok diperoleh rata-rata PBBH 0,3-0,4 kg/ekor/hari.
Hasil survey menunjukkan bahwa peternak kelompok binaan belum termotivasi
untuk mengolah jerami padi sebagai pakan ternak sapi, dengan alasan teknis
yang rumit. Ada 30% dari responden diluar kelompok peternak yang berada
dekat lokasi sosialisasi menyatakan ragu-ragu untuk mengadopsi teknologi
387
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi juga dengan pertimbangan
masalah teknis. Perlu waktu untuk mengubah perilaku petani untuk
memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak sapi secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A., Hikmah M. Ali, Jasmal A S. 2015. Status Keberlanjutan Adopsi
Teknologi Pengolahan Limbah Ternak sebagai Pupuk Organik. Jurnal
Mimbar 1(1) : 11-20.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Deli Serdang dalam Angka 2014. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang.
Badan Litbang Pertanian. 2013. Pendampingan PSDSK. Efisiensi Pembibitan
Sapi Potong [Internet]. [11 Februari 2016]. Medan. Tersedia dari:
https://praktisbeternak.files.wordpress.com/2013/01/efisiensi-
pembibitan -sapi- potong.pdf
Basuni, R., Muladno, Cecep K dan Suryahadi. 2010. Sistem Integrasi Padi-Sapi
Potong di Lahan Sawah. Buletin Iptek Tanaman Pangan 5 (1): 31-48.
Chamidi, A.N. 2003. Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Ternak di Kecamatan
Kradenan Kabupaten Gabongan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Bogor:
Puslitbangnak Departemen Pertanian. Hlm: 312-317.
Dwiyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2004. Peran Litbang Dalam Mendukung
Usaha Agribisnis Pola Integrasi Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar
Nasional Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak. Puslitbangnak. Bogor.
Hanafi, D. N. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak [Internet]. [11
Februari 2016]. Medan. Tersedia dari: http://repository. usu.ac.id/
bitstream/123456789/801/1/nevy%20132143320.pdf
Nurhayati, Ali J, Rizqi S A. 2011. Potensi Limbah Pertanian sebagai Pupuk
Organik Lokal di Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah. Jurnal Iptek
Tanaman Pangan Vol. 6 No.2 Hlm: 193-202.
Zurriyati, Y., Irwan K, Sri HS dan A. A Kesma, 2012. Sosialisasi Pemanfaatan
Limbah sebagai Pakan Ternak Sapi di Desa Buana Bhakti, Kecamatan
Kerinci Kanan, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Medan 6-7 Juni 2012. Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor,
Hlm: 498-502.
388
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
389
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Selain masalah kualitas, harga dan daya beli, tidak adanya akses petani
terhadap benih berlabel, juga alasan petani tidak menggunakan benih
berlabelSimatupangdkk (2010). Alasan ini terutama terjadi pada petani yang
terisolir atau terpencil, penjual benih berlabel tidak ada. Tersedianya varietas
unggul tidak akan bermanfaat tanpa didukung oleh industri benih yang efisien
dalam menghasilkan benih bermutu secara tepat jumlah, waktu, dan tempat
secara berkesinambungan (Adiningrat, 2004). Tujuan pengkajian ini adalah
memperoleh sistem penyediaan benih unggul padi secara berkelanjutan di
tingkat penangkar benih di Sumatera Utara.
390
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
penangkar yang masih aktifdan yang pernah aktif tetapi tidak lagi aktif. Kepada
mereka ini ditanyakan sejarah dan alasan terbentuknya penangkaran benih
apakah disebabkan karena subsidi atau mandiri. Responden juga termasuk
pemasok benih sumber ke penangkar. Kemampuan penyediaan benih sumber
per varietas per satuan waktu, keterbatasan yang dihadapi sistem distribusi
benih, peluang kerjasama dengan stakeholder lain yang belum tercapai, dan
kendala yang muncul. Data sekunder tentang luas tanam, produksi dan
produktivitas, musim tanam, varietas dari masing-masing komoditas padi di
masing- masing kabupaten.
391
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
392
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Diperoleh
150 kg FS Dapat SS =
2 kg (asumsi 843,7
ditanam 11,25t
BS provitas 5 ton
pada ditanam
ES
areal 3,75 pada
(0,05 benih 3
ha 281,25 ha
ha) . t/ha)
Tabel 2. Kelas benih yang dijual petani penangkar dan frekuensi kunjungan
petugas BPSB selama proses produksi benih
%tase jumlah Kunjungan BPSB % jumlah
Kelas benih penangkar yang selama proses penangkar
menjual benih produksi benih produsen benih
Tanpa label 13 % 0 kali 07,0%
Benih sebar 33% 1 kali 13,0%
Benih pokok 7% 2 kali 07,0%
Benih sebar dan 47 % 3 kali 07,0%
benih pokok > 3 kali 67,0%
393
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Distribusi penyaluran benih dan persentase benih yang tidak terjual
per musim di tingkat penangkar benih padi di Sumatera Utara
%tase % tase benih % tase jmlh
No Penjualan benih padi oleh penangkar
jumlah tidak petani
laku/musim penangkar
1 Jual ke petani dlm desa 13% 0 - < 5% 80%
2 Jual ke petani dlm desa dan perusahaan 0% 5 - < 10% 13%
394
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kendala yang dirasakan sangat terbatas ialah lantai jemur yang kurang luas (87
%). Belum ada mesin pengering bila saat panen di musim hujan (47%).
Sedangkan hama gudang yaitu tikus hanya 7 %. Gudang penyimpan benih pun
menjadi kendala mereka. Hampir separuh penangkar tidak mempunyai gudang
penyimpan benih. Ini terjadi pada penangkar yang langsung menjual benih ke
perusahaan benih seperti Pertani. Gudang penyimpan benih hanya dimiliki
petani penangkar yang tidak memasok benih ke perusahaan benih. Blower
pun belum semua dimiliki petani penangkar (40 %). Hanya 60 % petani
penangkar yang mempunyai blower untuk memisahkan benih hampa dan
bernas dan dari kotoran benih. Tikar yang dimiliki penangkar pun terbatas,
umumnya tidak sampai luas tikar nya 400 m2.
Dari informasi UPT BPSB dan juga penangkar benih jumlah benih
bermutu yang tersedia di petani di Sumatera Utara sebenarnya lebih banyak 5
– 8 % dari angka yang data yang tercatat. Benih bermutu yang dimaksud
adalah pertanaman yang benih pokok kemudian dijadikan benih sebar. Benih
pokok yang digunakan bersertifikat. Karena yang akan menggunakan
395
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
kelompok penangkar itu sendiri mereka hanya melaporkan pada petugas pada
saat pertanaman tetapi tidak melakukan pelabelan, dengan alasan akan
menambah biaya, sedangkan mereka tidak melakukan penjualan.
Jumlah Poktan atau petani yang menjadi penangkar benih, yaitu 156.
Sedangkan swasta hanya ada 4, akan tetapi karena 2 perusahaan swasta
Pertani dan SHS membuka cabang pada kabupaten lainnya. Jumlah
kabupaten yang perusahaan swastanya terlibat menjadi 13. Jika pada satu
kabupaten terdapat perusahaan yang jumlahnya lebih dari 2, maka sisanya dari
2 tersebut dikelola oleh swasta lokal kabupaten yang bersangkutan. Tetapi jika
hanya ada satu atau duajumlah PT yang yang tertulis di data tersebut maka
yang mengkelola benih di kabupaten tersebut adalah Pertani atau SHS.
Instansi pemerintah yang langsung memproduksi benih, yaitu BBI Murni Tj.
Morawa danBBI Tj. Selamat (Deli Serdang), BBP di Madina, Marihat
Simalungun, dan Dinas Pertanian Binjai. Kebun Percobaan Pasarmiring yang
berada di bawah BPTP Sumatera Utara, terutama untuk menghasilkan benih
VUB dalam upaya mempercepat diseminasi teknologi benih.
KESIMPULAN
1. Benih yang paling banyak dijual di Sumatera Utara adalah benih sertifikasi
kelas benih sebar (86 %). Hampir semua benih yang diproduksi penangkar
laku terjual kecuali di Kabupaten Batubara 25 - < 50 %. Tidak terjualnya
benih ini karena petani di daerah tersebut mendapat BLBU dari program
SLPTT.
2. Varietas padi yang paling banyak diusahakanoleh penangkar benih saat ini
adalah Ciherang dan Mekongga. Varietas lainnya, Inpari 1, 9, 10 masih
dalam jumlah sangat terbatas.
3. Kendala yang dirasakan penangkar benih ialah keterbatasan lantai jemur
saat prosesing benih. Solusi yang dilakukan untuk mengatasi kendala
tersebut ialah menambah tikar jemur dan gudang benih.
4. Kebun Percobaan dan instansi Pemerintah yang ada di Sumatera Utara
dapat ditingkatkan fungsinya untuk penghasil benih sumber bagi Poktan
yang mau memperoleh benih sumber.
SARAN
1. Perlu sosialisasi berupa demplot var ietas unggul baru agar petani mau
segera mengganti varietas Ciherang yang produktivitasnya sudah menurun
dengan VUB Inpari atau Mekongga .
2. Perlu adanya bantuan sarana pemasaran untuk petani penangkar. Hal ini
terkait dengan pengadaan benih BLBU untuk SL-PTT yang dilakukan oleh
PT SHS dan PT Pertani.
3. Perlu bantuan sosialisasi bagi petani/masyarakat yang selama ini belum
menggunakan benih bermutu untuk secara sadar menggunakan benih
bermutu. Hal tersebut mempunyai pasar potensial bagi benih bermutu
yang diproduksi oleh para penangkar di daerah.
396
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Ameriana, M., 2006. Kesediaan Konsumen Membayar Premium untuk Tomat
Aman Residu Pestisida. J. Hort 16 (2) : 165-174.
Adini ngrat, E., 2004.Menggerakkan dan Membangun Industri Perbenihan di
Indonesia. Prosiding Lokakarya Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia
VII. Peripi dan Balitkabi. Malang. Hal.10-13.
BB Padi, 2007. Ketersediaan varietas unggul baru dan benih bermutu
pendukung P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Badan Litbang Pertanian, 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
BPS, 2009. Sumatera Utara dalam Angka 2009. BPS Provinsi Sumatera Utara
Medan.
Budi, P.S. dan M.K. Adysti, 2009.Analisis Kinerja Usahatani Padi melalui
Pendekatan Agribisnis.J. Organisasi dan Management5 (1): 35-48.
Makarim, A.K., I. Las, A.M. Fagi, I.N. Widiarta dan D. Pasaribu. 2004. Padi Tipe
Baru, Budidaya dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu,
Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Balitpa Sukamandi. 48 hal.
Simatupang, S., Evawati, T. Marbun, dan D. Hernowo, 2010. Kebutuhan dan
Ketersediaan Benih Padi dan Sistem Perbenihannya di Sumatera
Utara.ProsidingSemnas BBP2TP 9-11 Des 2010 :1216-1221
Susilawati,P.N.,2010. Keragaaan dan Analisis Finansial Petani Penangkar
Benih Padi : Kasus di Penangkar Benih Binaan BPTP Banten.
ProsidingSemnas Hasil Penelitian Padi 2009. Buku 3.
Wirawan B., dan S. Wahyuni. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat,
Padi,Jagung, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau. Penebar Swadaya,
Jakarta. 120 hal.
Zaini, Z., W.S.Diah dan M. Syam. 2004. Petunjuk Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Meningkatkan Hasil dan
Pendapatan Menjaga Kelestarian Lingkungan. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 57 hal.
397
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Musfal
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl.A.H.Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email : musfal_my@yahoo.co.id
ABSTRAK
Upaya peningkatan hasil padi sawah saat ini masih tergantung dari
pemberian pupuk dan varietas padi yang digunakan. Pemberian pupuk yang
tepat dan varietas padi yang sesuai akan memberikan hasil yang lebih baik.
Tujuan penelitian untuk melihat hubungan serapan hara NPK dan hasil dua
varietas padi sawah terhadap beberapa taraf pemberian pupuk. Penelitian
dilaksanakan di Desa Pasar Miring, Kecamatan Pagar Marbau, Kabupaten Deli
Serdang, Provinsi Sumatera Utara dari bulan April hingga Agustus 2012.
Perlakuan terdiri dari 5 taraf pemberian pupuk 0, 25, 50, 75 dan 100% dari dosis
rekomendasi PHSL (Phonska, SP-36 dan Urea masing-masing sebanyak 125,
50 dan 175 kg/ha) dan 2 varietas padi yaitu Inpari 3 dan Ciherang. Perlakuan
disusun menurut rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil
kegiatan memperlihatkan bahwa serapan hara NPK dan hasil gabah meningkat
sejalan dengan meningkatnya dosis pupuk. Hubungan serapan hara NPK
dengan hasil gabah adalah sangat linier. Serapan hara tertinggi dan hasil
terbanyak 10.07 t/ha gabah kering panen diperoleh dari varietas Inpari 3
dengan pemberian pupuk sebanyak 125,50 dan 175 kg/ha Phonska, SP-36 dan
Urea.
Kata kunci : serapan hara, pupuk NPK, varietas padi
PENDAHULUAN
Salah satu pendekatan untuk meningkatkan hasil tanaman padi sawah
adalah melalui pemberian pupuk yang efektif dan efisien sesuai dengan
kebutuhan tanaman.Menurut Dobermann dan Fairthurts (2000) untuk
mendapatkan hasil tanaman padi sawah yang optimal dan berwawasan
lingkungan pemberian pupuk haruslah disesuaikan dengan unsur hara yang
tersedia ditanah dan kebutuhan tanaman. Selanjutnya mengingat sering
terjadinya kelangkaan pupuk, terutama pada saat musim tanam dan dipicu
dengan tingginya harga pupuk tertentu ditingkat petani maka pemberian pupuk
yang lebih bijak perlu dikaji lebih lanjut.
Banyaknya dosis pupuk yang harus diberikan kelahan untuk kebutuhan
tanaman padi sawah saat ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan antara
lain menurut Setyorini dkk (2006) dapat melalui penggunaan alat PUTS
(Perangkat Uji Tanah Sawah), cara lain menurut IRRI (2012) dapat dilakukan
dengan penggunaan perangkat lunak PHSL (Pemupukan tanaman Padi
Spesifik Lokasi), peta status hara P dan K HCl 25% 1:50.000 dan berdasarkan
analisis ketersediaan unsur hara ditanah yang bersifat spesifik lokasi.
Sedangkan cara yang dilakukan kebanyakan petani saat ini adalah memberikan
398
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pupuk yang didasarkan kepada pengalaman dari hasil panen sebelumnya atau
menurut tingkat kemampuan dari petaninya dalam membeli pupuk. Akibatnya
banyak hasil penelitian yang melaporkan cara yang dilakukan petani rata-rata
memberikan hasil yang nyata lebih rendah. Menurut Zaini dkk (2009) melalui
pengelolaan tanaman terpadu atau PTT yang menggunakan teknologi spesifik
lokasi seperti pemberian pupuk yang berdasarkan analisis tanah atau PHSL
serta menggunakan varietas unggul baru akan memberikan peningkatan hasil
padi sawah yang signifikan dibandingkan cara petani. Banyaknya pupuk yang
diberikan ketanaman sangat berpengaruh terhadap banyaknya unsur hara
yang terserap oleh tanaman yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap
hasil. Hasil penelitian Musfal dkk (2009) melaporkan bahwa serapan hara NPK
pada tanaman jagung berkorelasi positif dengan produksi.
Tujuan penelitian untuk melihat hubungan serapan hara NPK dan hasil
dua varietas padi sawah terhadap beberapa taraf pemberian pupuk.
399
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
400
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
penyerapan yang optimal dari kegiatan ini belum terlihat dan ada
kecenderungan serapan hara NPK meningkat hingga pemberian pupuk lebih
100% dari dosis rekomendasi.
2.5
2
Serapan (g/rumpun)
1.5
Inpari 3
1 Ciherang
0.5
Dosis pupuk dari rekomendasi PHSL
0
0% 25% 50% 75% 100%
401
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ciherang. Perbedaan hasil gabah mencapai 1.53 t/ha. Dari data ini
menggambarkan bahwa varietas Inpari 3 memberikan hasil gabah yang lebih
unggul dibandingkan varietas Ciherang yaitu berkisar antara 1.53 hingga 1.80
t/ha.
12
10
Hasil Gabah (t/ha)
8
6
4
2 dosis pupuk dari rekomendasi
0
0% 25% 50% 75% 100%
Inpari 3 7.93 8.52 9.17 9.63 10.07
Ciherang 6.40 7.37 7.80 7.90 8.27
Gambar 2. Hasil padi varietas Inpari 3 dan Ciherang terhadap pemberian
pupuk
8
Hasil Gabah (t/ha)
2
Serapan hara NPK (g/rumpun)
0
0 0.5 1 1.5 2
Gambar 3. Hubungan serapan hara NPK dengan hasil gabah padi varietas
Ciherang terhadap pemberian pupuk
402
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
12
6
y = 0.192x2 + 0.7457x + 7.3466
4 R² = 0.9544
2
Serapan hara NPK (g/rumpun)
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Gambar 4. Hubungan serapan hara NPK dengan hasil gabah padi varietas
Inpari 3 terhadap pemberian pupuk
KESIMPULAN
1. Serapan hara NPK meningkat sejalan dengan meningkatnya dosis pupuk
dan mempunyai hubungan yang linier dengan hasil gabah.
2. Serapan hara NPK tertinggi dan hasil gabah terbanyak 10.07 t/ha diperoleh
dari varietas Inpari 3 dengan pemberian pupuk Phonska,SP-36 dan Urea
sebanyak 125,50 dan 175 kg/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Buckman, H. C. and N. C.Brady. 1969. The Nature and Properties of Soil. The
Mc Millan Co. N.York. p. 599
Dobermann, A., and T. H. Fairthurts. 2000. Rice Nutrient Disorders and Nutrient
Management.International Rice Research Institute (IRRI). Los Banos.
Philipinnes.192p
Gani, A. 2009. Keunggulan pupuk majemuk NPK lambat urai untuk tanaman
padi sawah. Jurnal Penelitian Pertanian28(3):148-157.
International Rice Research Institute, 2012. Pemberian pupuk padi sawah
spesifik lokasi.download PHSL melalui http://webapps.irri.org/nm/id
Marschner, H. 1995. Mineral nutrition of higher plants.Academic Press. New
York.p 265-587
Musfal, Delvian dan A.Jamil. 2009. Efisiensi penggunaan pupuk NPK melalui
pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskla pada jagung. Jurnal
Penelitian Pertanian 28(3): 165-169
403
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
404
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Musfal
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl.A.H.Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email : musfal_my@yahoo.co.id
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pupuk merupakan suatu kebutuhan utama dalam meningkatkan hasil
padi sawah. Namun yang sering menjadi kendala ditingkat petani adalah
ketersediaan pupuk yang kurang tepat waktu dan harga yang relatif mahal
untuk jenis pupuk tertentu. Untuk itu diperlukan alternatif cara pemberian pupuk
yang berimbang dan sesuai kebutuhan.
Pemberian pupuk berimbang adalah salah satu pengelolaan hara
spesifik lokasi sehingga efektivitasnya sangat bergantung pada kondisi tanah
dan lingkungan setempat. Menurut Setyorini dkk (2006) salah satu cara
pemberian pupuk berimbang khususnya untuk tanaman padi sawah dapat
dilakukan melalui penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Perangkat
ini dapat diaplikasikan dilapangan, penggunaannya sangat mudah dan dalam
waktu beberapa menit saja sudah dapat diketahui kebutuhan pupuk NPK dari
Urea, SP-36 dan KCl untuk lahan sawah yang direkomendasikan. Unsur hara
NPK merupakan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan oleh tanaman,
kekurangan salah satu unsur tersebut dapat mengganggu pertumbuhan dan
hasil tanaman (Cooke, 1985). Untuk itu diperlukan pemberian pupuk secara
optimal dan berimbang agar kebutuhan hara tanaman dapat terpenuhi.
Hasil penelitian Musfal (2012) melaporkan pemberian pupuk padi sawah
cara PUTS di Desa Sidua-dua, Kabupaten Labuhan Batu Utara memberikan
405
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
hasil gabah yang lebih tinggi dibandingkan cara petani yang tidak
menggunakan uji tanah dalam penentuan dosis pupuk.
Upaya peningkatan hasil padi sawah yang dilakukan selama ini sangat
tergantung dari pupuk kimia yang diberikan. Pemberian pupuk yang dilakukan
petani umumnya tidaklah berimbang atau tanpa melihat ketersediaan unsur
hara ditanah dan kebutuhan tanaman. Pemberian pupuk yang tidak berimbang
menurut Fairhurst and Witt (2002) akan berdampak terhadap menurunnya
tingkat kesuburan tanah seperti terjadinya defisiensi terhadap unsur hara
tertentu, meningkatnya fiksasi Phosfat dan pencemaran terhadap lingkungan.
Serapan hara oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh tingkat
ketersediaan unsur hara ditanah. Dobermann and Fairthurts (2000)
mengemukakan bahwa untuk mendapatkan hasil padi sawah yang optimal
pemberian pupuk haruslah dilakukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan
disesuaikan dengan tingkat ketersediaan unsur hara ditanah, agar unsur hara
yang terserap oleh tanaman dapat untuk memenuhi kebutuhannya. Tinggi atau
rendahnya ketersediaan unsur hara ditanah akan berpengaruh terhadap
serapannya oleh tanaman dan selanjutnya akan berdampak terhadap hasil
gabah.
Tujuan penelitian adalah untuk melihat pengaruh beberapa taraf
pemberian pupuk menurut PUTS terhadap serapan hara NPK dan hasil padi
sawah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Purbaganda, Kecamatan Pematang
Bandar, Kabupaten Simalungun dari bulan April hingga Juli 2012. Penelitian
diawali dengan penentuan rekomendasi pupuk pada lahan yang diuji dengan
alat Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Dosis yang diperoleh selanjutnya
dibagi dalam lima taraf pemberian yaitu sebanyak 0, 25, 50, 75 dan 100% dari
dosis rekomendasi. Dosis pupuk yang diperlakukan dari hasil pengujian PUTS
adalah seperti uraian Tabel 1.
Tabel 1. Dosis pupuk yang diperlakukan untuk tanaman padi sawah
Perlakuan (kg/ha)
Jenis Pupuk
0% 25% 50% 75% 100%
Urea 0 50 100 150 200
SP-36 0 25 50 75 100
KCl 0 12.5 25 37.5 50
406
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
diberikan dalam dua tahap pemberian yaitu ½ dosis pada 10 HST dan sisanya
pada 25 HST (Hari Setelah Tanam). Untuk pengendalian terhadap serangan
hama dan penyakit sebelum tanam diberikan insektisida samponen setara 50
kg/ha dan Curater 3 G sebanyak 16 kg/ha. Tanaman selanjutnya disemprot
dengan Insektisida dan Fungisida sesuai dosis anjuran. Penyiangan dilakukan
sebanyak tiga kali yaitu pada 15, 30 dan 45 HST. Panen dilakukan sesuai umur
varietas yang diuji atau lebih kurang 90% gabah telah menguning.
Parameter perubahan yang diamati selama penelitian meliputi :sifat
kimia tanah sebelum perlakuan, bobot kering tanaman pada 45 HST, total
serapan hara NPK, komponen hasil dan hasil gabah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat kimia tanah
Sifat kimia tanah sebelum perlakuan memperlihatkan kadar Nitrogen
digolongkan tinggi, Phosfor rendah dan Kalium dikelompokkan sedang (hasil uji
PUTS). Hasil uji lainnya, seperti pH tanah digolongkan agak asam, C-organik
rendah, KTK sedang dan Fe termasuk sedang (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil analisis contoh tanah sebelum perlakuan
No Sifat Kimia Nilai Metode Uji
1 pH (H2O) 5.86 pH meter
2 C-organik (%) 1.80 Walkley & Black
3 N-total Tinggi PUTS
4 P-tersedia Rendah PUTS
5 K-dd Sedang PUTS
6 KTK (me/100g) 20.11 Perkolasi NH4Oac
7 Fe-tersedia (ppm) 165 AAS/HCl 0.1 N
Unsur hara NPK yang tersedia menunjukan nilai yang tidak berimbang
mulai dari rendah hingga tinggi. Penyebab ketidak seimbangan ini diduga
karena pemberian pupuk dari musim sebelumnya. Rendahnya ketersediaan
Phosfor dimungkinkan karena terjadinya fiksasi oleh mineral liat, umumnya
lahan sawah dari jenis andosol mempunyai fiksasi terhadap Phosfor yang tinggi
(Subagyo dkk, 2000).
Ketersediaan Nitrogen yang tinggi dalam tanah akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi. Menurut Broadbent (1979)
tanaman padi sawah membutuhkan unsur Nitrogen yang lebih banyak
dibandingkan unsur hara lainnya untuk pertumbuhan dan produksi. Banyaknya
unsur Nitrogen yang dibutuhkan karena unsur Nitrogen yang berasal dari pupuk
dapat mengalami imobilisasi dan fiksasi amonium sehingga menyebabkan
unsur hara Nitrogen kurang tersedia bagi tanaman. Hasil kajian Freney dkk.
(1995) melaporkan bahwa lebih dari 55% Nitrogen yang berasal dari pupuk
pada tanaman padi sawah irigasi tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Kalium pada lahan yang diuji digolongkan sedang, hal ini kemungkinan berasal
dari hasil pelapukan jerami padi dari musim sebelumnya. Dari permasalahan
ini lahan yang diuji perlu dilakukan pemberian pupuk yang berimbang melalui
407
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
uji tanah agar serapan hara bagi tanaman dapat terpenuhi sesuai
kebutuhannya.
Tabel 3. Bobot kering tanaman padi sawah pada pemberian pupuk menurut
PUTS
Dosis pupuk Bobot kering tanaman
(%) 45 HST (g/rumpun)
0 31.16 b
25 33.47 b
50 34.40 b
75 35.28 b
100 49.70 a
CV (%) 20.03
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
padataraf 5% DMRT
408
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1.8
1.6
1.4
Serapan NPK
1.2
1
0.8 R² = 0.9305
0.6
0.4
0.2 Dosis Pupuk
0
0% 25% 50% 75% 100%
Gambar 1. Serapan hara NPK tanaman padi sawah pada pemberian pupuk
Meningkatnya total serapan hara NPK oleh tanaman sesuai dosis pupuk
yang diberikan hal ini menggambarkan bahwa varietas yang digunakan sangat
respon terhadap pemberian pupuk. Tanpa pemberian pupuk biasanya varietas
ini akan memberikan hasil yang sangat rendah. Varietas tanaman padi yang
respon dengan pemberian pupuk menurut Las dkk (2002) umumnya adalah
dari varietas unggul baru atau varietas hybrida. Varietas yang digunakan dalam
penelitian ini adalah varietas Ciherang yang merupakan varietas unggul yang
sudah digunakan oleh kebanyakan petani di Sumatera Utara.
Serapan hara NPK dengan hasil gabah memperlihatkan hubungan yang
erat dan linier yaitu R2=0.935 (Gambar 2).
Gambar 2. Hubungan serapan hara NPK dengan hasil gabah pada beberapa
taraf pemberian pupuk menurut PUTS
409
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pula. Namun pemberian pupuk 75% dari dosis rekomendasi rata-rata tidak
berbeda nyata dengan takaran pupuk pada pemberian 100% (Tabel 4).
Tabel 4. Komponen hasil dan hasil gabah padi sawah pada pemberian pupuk
menurut PUTS
Jumlah Panjang Jumlah Gabah Bobot Gabah
Dosis
malai/rpn malai gabah/malai hampa 1000 btr (t/ha)
Pupuk
(batang) (cm) (butir) (%) (g) GKG
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan :
1. Serapan hara NPK meningkat sejalan dengan meningkatnya dosis
pemberian pupuk
2. Serapan hara NPK dengan hasil gabah masih memperlihatkan hubungan
yang linier
410
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
3. Hasil gabah terbanyak 7,55 t/ha diperoleh dari pemberian pupuk sebanyak
75% Urea, SP-36 dan KCl (150, 75 dan 37.5 kg/ha) dan tidak berbeda
dengan pemberian pupuk sebanyak 100% dari dosis rekomendasi (Urea,
SP-36 dan KCl berturut 200, 100 dan 50 kg/ha).
DAFTAR PUSTAKA
411
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Luas lahan pasang surut di Kalimantan Barat adalah 1.904.100 ha atau
12,95% dari total luas wilayah 14,680.700 ha (BPS 2014). Lahan pasang surut
merupakan lahan marginal yang dicirikan adanya permasalahan keracunan
pirit, interusi air laut, salinitas, sehingga produktifitasnya rendah. Permasalahan
antara lain produktivitas tanah yang rendah dan proses fisikokimia masih
berlangsung dan adanya keracunan besi dan mangan (Nursyamsi dkk., 1996).
Produktivitas tanah yang rendah pada lahan sawah pasang surut karena
kosentrasi Al, Fe dan Mn cukup tinggi, kekahatan Ca dan Mg, unsur K mudah
tercuci dan adanya jerapan P, S dan Mo serta adanya pengaruh konsentrasi H +
yang tinggi. Pada kondisi reduksi atau tergenang terus menerus pada lahan
sawah pasang surut akan meningkatkan ketersediaan besi fero dalam yang
dalam konsentrasi teertentu dapat meracuni taaman padi. Konsentrasi besi fero
setelah penggenangan selama 3 – 4 minggu meningkat sekitar 600 ppm
(Ponnamperuma, 1997), Batas kritis konsentrasi besi fero yang dapat meracuni
padi sekitar 300 ppm.
412
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
413
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dan hampa, bobot gabah perumpun, berat 1000 butir gabah, dan persentase
butir gabah bernas), serta hasil gabah.
Lokasi tanah rerata memiliki pH tanah 4.5 dengan kandungan hara tanah lokasi
pengkajian memiliki kemasaman tanah (pH) 4.50 tergolong masam,
kandungan hara N total (sangat tinggi), P (sedang), K (rendah), Ca (rendah)
dan Mg (tinggi), KTK (sangat inggi), KB (rendah). Berdasarkah hasil analisis
ternyata lokasi pengkajian ini memiliki tingkat kesuburan sangat rendah. Untuk
memperbaiki kesuburan tanah ini sangat diperlukan pemberian kapur dan
pemupukan.
414
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
415
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
sedangkan kandungan pirit (H2S) pada tanah, dengan perlakuan (T2) teknologi
anjuran yaitu pengairan satu arah, pemmberian kapur sebanyak 5 ton/ha,
pemupukan berdasarkan hasil analisis tanah serta diberi bahan organik 5
ton/ha dapat mengurangi kadar pirit sebesar 28.22 ppm dibanding dengan cara
petani (T1). Menurut Scherer et. al., (2007) bahwa kemasaman tanah (H+)
dapat diatasi dengan aplikasi basa - basa terutama Ca atau Mg oksida, Ca atau
Mg karbonat dan Ca atau Mg silikat, dimana Ca dan Mg terkandung pada kapur.
Ditambahkan oleh Kertonegoro (2006), bahan organik ini dapat menyediakan
unsur – unsur hara yang diperlukan tanaman seperti nitrogen (N), fosfor (P),
dan belerang (S), dapat memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik,
memperbaiki aerasi tanah, permeabilitas tanah, lengas tanah dan
meningkatkan kemampuan pertukaran ion dalam tanah.
416
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
417
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Atman (2005), salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan hasil gabah
adalah meningkatnya nilai komponen pertumbuhan dan komponen hasil
tanaman, antara lain: jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah
per malai, dan persentase gabah bernas.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Atman. 2005. Pengaruh sistem tanam bershaf dengan P-starter (shafter) pada
padi sawah varietas Batang Piaman. Jurnal Stigma Vol. XIII No. 4,
Oktober-Desember 2005. Faperta Universitas Andalas Padang; hlm
579-582. Balai Penelitian Tanah. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia
Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Besar Litbang Sumber Daya
Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 90 p.
BPS Propinsi Kalbar. 2014. Kalimantan Barat Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 441 p.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Pedoman Teknis
Perluasan Areal Tanaman Pangan : Cetak Sawah Tahun 2012.
Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal
Prasarana dan Sarana Pertanian. 76 p.
Gomez, Kwanchai A, and Arturo A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for
Agricultural Research. Second Edition. An International Rice Research
Institute Book. A wiley Interscience Publication. P. 1-15; 97-116;121-
156.
Hartatik. 1998. Pengaruh Potensial Redoks Terhadap Ketersediaan Hara pada
Tanaman Padi Sawah p. 19 – 33. Pros. Pertemuan. Pembahasan dan
komunikai Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Kertonegoro, B.D. 2006. Bahan Humus Tanah. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian UGM Yogyakarta.
Makarim, A. K. 2007. Cekaman Abiotik Utama dalam Peningkatan
Produktivitas Tanaman, Seminar Nasional Pemanfaatan Bioteknologi
untuk Mengatasi Cekaman Abiotik pada Tanaman, Balai Besar
Penelitian Padi
Nursyamsi, D. , D. Setyorini dan J. Sri Adiningsih. 1996. Pengelolaan Hara dan
Pengaturan Drainase untuk Menanggulangi Kendala Produktivitas
Sawah Baru. P. 113 – 127. Pros. Pertemuan. Pembahasan dan
komunikai Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Ponnamperuma, F.M. 1996. Spesific Soil Chemical Characteristic for Rice
Production in Asia. IRRI Research Paper Series Nanta. Philippines.
Ponnamperuma, F.M. 1997. The Chemestry of Submarged Soils. Adv. Arpen.
On. 29-96.
418
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Scherer H W., Mengel K., Dittmar H., Drach M., Vosskamp R., and Trenkel M.
E., 2.007. Fertilizers. Ullmann’s Agrochemicals, Vol. 1. Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim.
Sipayung, R. 2003. Stress Garam dan Mekanisme Toleransi Tanaman.
Http://www.library.USU.ac.id/download/fp/bdp.rosita2.pdf. diakses
pada tanggal 25 Maret 2008.
DISKUSI
Nama Penanya : Ir. Akmal, M.Si ( BPTP SUMUT)
Pertanyaan : Kenapa pada perlakuan V2 kerapatan hasil jumlah
anakan paling sedikit tetapi produksi gabah paling tinggi
ini ?
Jawaban : Karena yang kami amati jumlah anakan total ini ada
kaitannya dengan persentase gabah isi, panjang
malai dan komponen lainnnya.
419
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Azri
ABSTRAK
420
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
421
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Metode Analisis
1. Kecamatan Siantan
Kegiatan pendampingan SLPTT yang dilakukan pada Kecamatan
Siantan adalah di Desa Wajok Hilir dan sungai Nipah, berdasarkan hasil
pengamatan dilapangan daerah ini daerah pasang surut tipe B, dimana air
pasang akan masuk kelahan sawah bila pasang besar. Umumnya petani
menanam padi dengan 2 kali tanam yaitu musim gadu (bulan April sampai
dengan Agustus) dan musim rendengan (bulan September sampai dengan
Februari).
Hasil analisis dan penilaian terhadap kesuburan tanah, tanah Desa
Wajok Hilir memiliki tipologi lahan pasang surut tipe B dengan kandungan
Nitrogen sedang, phosphor rendah dan Kalium rendah. Sedangkan sampel
tanah Parit Haji Hasan desa sungai Nipah termasuk tipologi lahan pasang surut
tipe B dengan kandungan Nitrogen sedang, Phosphor rendah dan Kalium tinggi.
Kemasaman tanah daerah ini adaalah masam hal ini dicirikan dengan pH tanah
4-5 hal ini disajikan pada Tabel 1.
422
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
423
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
3. Kecamatan Anjongan
Kegiatan pendampingan SLPTT yang dilakukan pada Kecamatan
Anjongan adalah di Desa Anjongan, Pakbuluh dan Dema. Berdasarkan hasil
pengamatan dilapangan umumnya petani menanam padi dengan 3 kali tanam
yaitu musim Kemarau (bulan Januari sampai dengan April) Musim Kemarau 2
(bulan Mei sampai dengan September) dan musim hujan (bulan Oktober
424
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kemasaman tanah daerah ini adaalah masam hal ini dicirikan dengan
pH tanah 4-5 untuk sampel tanah dari Desa Pak Buluh dan Dema sedangkan
Desa Anjongan pH tanah 5-6 agak masam.
Kemasaman tanah desa Bakau Besar adaalah agak masam hal ini
dicirikan dengan pH tanah 5-6.
6. Kecamatan Toho
Kegiatan pendampingan SLPTT yang dilakukan pada Kecamatan Toho
adalah di Desa Sepang dan Kecurit. Berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan daerah ini daerah pasang surut tipe B, dimana air pasang akan
masuk kelahan sawah bila pasang besar. Umumnya petani menanam padi
425
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dengan 2 kali tanam yaitu musim gadu (bulan April sampai dengan Agustus)
dan musim rendengan (bulan September sampai dengan Februari). Hasil
analisis dan penilaian terhadap kesuburan tanah, tanah Desa Sepang dengan
kandungan Nitrogen rendah, phosphor rendah dan Kalium tinggi. Sedangkan
Desa Kecurit, kandungan Nitrogen rendah, phosphor rendah dan Kalium tinggi
Kemasaman tanah desa Sepang adaalah agak masam hal ini dicirikan
dengan pH tanah 5-6 dan Kecurit masam dengan pH 4-5.Pada prinsipnya,
penggenangan tanah sawah mineral masam merupakan self-liming effect (Al-
Jabri 2008), karena setelah empat minggu penggenangan pH tanah naik 1-2
unit. Tanaman padi dapat tumbuh baik pada kondisi kejenuhan Al < 60%, pH
tanah > 4,2, kalsium dapat ditukar (Ca-dd) > 2 cmol(+)/kg, kejenuhan Ca > 25%,
kebutuhan unsur hara N, P, dan K terpenuhi, dan kondisi tanah tergenang
(Haby dkk. 1990).
1. Kecamatan Siantan
Hasil rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi pasang surut
tipologi lahan B di Kecamatan Siantan, untuk Parit To’ Adam desa Wajok Hilir
pupuk urea Urea = 200 kg/ha, pupuk SP-36 =100 kg/ha dan KCl = 100 kg/ha,
Desa Sungai Nipah Urea = 200 kg, SP-36 = 100 kg dan KCl = 50 kg. Hasil
penelitian Syahri dan Renny Utamy Somantri (2013) bahwa pemupukan dilahan
rawa lebak Sumatera Selatan dengan menggunakan PUTS, KATAM terpadu
dan pemupukan cara petani produktivitas padi masing masing yaitu 5.6; 6,56
dan 5.3 ton/ha.
3. Kecamatan Anjongan
Hasil rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi sawah irigasi di
Kecamatan Ajongan, untuk desa Anjongan pupuk urea Urea = 200 kg/ha, pupuk
SP-36 = 100 kg/ha dan KCl = 50 kg/ha, Desa Dema Urea = 200 kg, SP-36 =
100 kg dan KCl = 100 kg, Desa Pak Buluh Urea = 200 k, SP-36 = 100 kg,
KCl = 50 kg
426
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
6. Kecamatan Toho
Hasil rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi sawah tadah hujan
di Kecamatan Toho di Desa Sepang dan Kecurit, untuk pupuk urea Urea = 200
kg/ha, pupuk SP-36=100 kg/ha dan KCl = 50 kg/ha.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
427
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
428
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Provinsi Jambi dengan luas wilayah 5,1 juta hektar terdiri dari lahan
kering seluas 2,65 juta ha dan lahan pertanian tanaman pangan seluas 352.410
ha. Berdasarkan identifikasi dan karakterisasi AEZ terdapat kurang lebih
1.380.700 ha lahan kering untuk lahan pertanian yang sesuai untuk
pengembangan tanaman padi gogo, jagung dan palawija, sedangkan lahan
yang sesuai untuk tanaman padi sawah 246.482 ha. Tanaman padi dan
palawija merupakan komoditas penting di Provinsi Jambi sehingga menjadi
prioritas dalam menunjang program pertanian (Busyra dkk., 2000).
429
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
petani untuk membeli pupuk, karena harga mahal dan petani tidak
menggunakan pupuk buatan/pupuk kandang.
430
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
100 cm
50 cm
431
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Komponen teknologi PTT padi dan ikan di lahan sawah irigasi
Desa SriAgung Kabupaten Tanjung Jabung Barat-Jambi
No. Komponen Teknologi PTT padi
1. Pengolahan tanah Traktor /sempurna
2. Benih Berlabel/bermutu (25 kg/ha)
3. Varietas Ciherang
4. Persemaian Basah
5. Penanaman/Sistem tanam Legowo 4:1
6. Umur bibit 15 hari setelah semai (HSS)
9. Penyiangan Gasrok/manual
10. Pengendalian OPT Penerapan PHT
11. Panen Tepat waktu
Ikan yang ditebar adalah ikan nila dan ikan patin dengan ukuran 8-12
cm sebanyak 4.000 ekor (Tabel 2).
Tabel 2. Komponen teknologi PTT padi dan ikan di lahan sawah irigasiDesa
Sri Agung Kabupaten Tanjung Jabung Barat-Jambi
432
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Karakteristik Wilayah
433
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 4. Rata-rata umur panen, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa di
lahan sawah irigasi desa Sri Agung Kabupaten Tanjung Jabung Barat
No. Parameter Keterangan
1. Umur panen (hari) 112,33
2. Jumlah gabah isi (butir) 141,67
3. Jumlah gabah hampa (butir) 25,33
4. Panjang malai (cm) 27,13
5. Berat 1000 butir (g) 29,97
6. Hasil (t/ha) 6,00
Umur panen padi sesuai dengan hasil penelitian bahwa dibagi dalam
tiga kategori yaitu umur sangat genjah (90-104 HSS), umur genjah (105-124
HSS), sedang ( 125-164HSS), dan dalam (>165HSS). Varietas Ciherang umur
panennya 112,33 hari termasuk umur genjah. Jumlah gabah isi per malai cukup
tinggi 141,67 butir sedangkan jumlah gabah hampanya 25,33 butir. Panjang
malai dan berat 1.000 butir masing-masing27,13 cm dan 29,97 g sedangkan
hasil yang diperoleh adalah 6,00 t/ha.
434
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pertumbuhan Ikan
Pada saat penebaran bibit ikan nila dan patin terlihat kedua jenis ikan
tersebut dapat beradaptasi dan persentase ikan mati cukup rendah.
Pertumbuhan ikan nila dan ikan patin cukup baik, hal ini menunjukkan bahwa
kedua jenis ikan tersebut dapat beradaptasi dengan baik. (Gambar 3).
250
200
Berat (gr)
150
100 Patin
50 Nila
0
0 2 4 6 8 10 12
minggu ke -
435
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Analisis Usahatani
KESIMPULAN
1. Keragaan tanaman padi varietas Ciherang dan ikan Nila serta ikan Patin
pertumbuhannya baik. Tanaman padi memberikan hasil yaitu 6,00 t/ha. Ikan
Nila dan Ikan Patin hasilnya rata-rata 5 ekor/kg. Hal ini menunjukan bahwa
varietas Ciherang, ikan Nila dan ikan Patin dapat beradaptasi pada lahan
sawah.
2. Pendapatan dari tanaman padi sebesar Rp 8.218.000. Pendapatan dari ikan
yaitu Rp 3.633.000. R/C tanaman padi dan ikan yaitu 1,84 dan 1,43. Hal ini
menunjukkan bahwa secara ekonomis cukup layak untuk dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, K., Suratman dan A. Kasno. 2007. Identifikasi dan evaluasi potensi
lahan untuk mendukung primatani di desa Sri Agung Kecamatan
Tungkal Ulu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Bogor. 20 hal
Abdullah, B., S. Tjokrowidjojo dan Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek
perakitan padi tipe baru di Indonesia. Jurnal penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Indonesian Agricultural Research and
Development Journal. 27(1):
436
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
437
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
438
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
439
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dengan kadar Fe yang meracun dan kekurangan Zn, terutama pada tanah yang
memiliki pH rendah.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka pengujian terhadap
beberapa dosis pupuk yang mengandung unsur P perlu dilakukan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan dosis pupuk phosphat
(P2O5= 36% dan N=18%) terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi
BAHAN DAN METODE
440
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Berdasarkan kriteria sifat fisik dan kimia tanah, lokasi kegiatan memiliki
kandungan pasir yang cukup tinggi. Disamping itu kadar P masuk kategori
tinggi dan kadar Fe masuk kategori tinggi, Sedangkan pH tanah pada waktu
penelitian berlangsung diukur memiliki netral (pH= 5,5 – 6) (Tabel 2).
Tinggi Tanaman
441
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jumlah Anakan
Jumlah anakan pada umur 40 hari dan pada saat panen pada
perlakuan kontrol dengan pemberian pupuk Phosphat (P 2O5= 36% dan
N=18%) tidak menunjukkan perbedaann yang nyata. Walaupun dari segi nilai
cenderung ada peningkatan dengan adanya peningkatan pemberian pupuk
Phosphat (P2O5= 36% dan N=18%). Jumlah anakan tertinggi terdapat pada
perlakuan D5 (33 tanaman) dan D6 (29 tanaman). Nilai masing-masing
perlakuan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil pengamatan secara statistik terhadap berat 1000 biji gabah isi
diketahui, antara perlakuan kontrol dengan pemberian pupuk Phosphat (P 2O5=
36% dan N=18%) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Tetapi,
dari segi nilai masing-masing perlakuan ada perbedaan, dan berat seribu biji
yang tertinggi terdapat pada perlakuan D5 ( 31.80 g) dan D0 kontrol (30.88 g).
Nilai masing-masing perlakuan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 5.
442
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
443
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Arimurti,S, Setyati,D dan Mujib, M. 2006. Efettivitas bakteri pelarut fosfat dan
pupuk P terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays) pada tanah
masam. Universitas Jember Jurusan FMIPA .
Breemen N Van and Pons L.J. 1997. Acid sulphate soil and rice. Di dlam IRRI.
Soil and Rice. Philippines. Hlm:739-762
Dariah, A., N.L. Nurida, dan Sutono. 2007. Formulasi bahan pembenah tanah
untuk rehabilitasi lahan terdegradasi. Disampaikan pada Seminar
Sumberdaya Lahan dan Lingkungan. Bogor, 7-8 November 2007.
Dinas Pertanian Prpopinsi Sumatera Utara. 2014. Buku Lima tahun statistk
pertanian (2009 – 2013). Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara
Medan.
Dobermann A and Fairhurst T. 2000. Rice nutrition disorder and nutrient
management. International Rice Research Institute and Potash &
Phosphate Institute of Canada
Suyamto dan Z. Zaini. 2010. Kapasitas produksi bahan pangan pada lahan
sawah irigasi dan tadah Hujan. Dalam Analisis Sumberdaya Lahan
Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Penyunting Sumarno dan N.
Suharta. Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta.
Veheye, W.H. 2007. Integrating land degradation issues into a national soils
policy. COUNTUR. Newsletter of The Asia Soil Conservation Network.
ASOCON. Vol. XIX, No. 1.
DISKUSI
444
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Salah satu prioritas utama pembangunan nasional adalah penyediaan
pangan terutama beras dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau. Selain
merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia, usaha padi sawah
juga telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 20 juta rumah tangga
petani di pedesaan, sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya
menjadi amat penting dan strategis (BB Padi, 2009). Salah satu indikator
penting kinerja pemerintah adalah terpenuhinya kebutuhan pangan secara
cukup dan berkualitas berdasarkan prinsip-prinsip kemandirian pangan. Target
surplus 10 juta ton beras sampai 2014, akhirnya dijadikan agenda penting
Kementerian Pertanian yang harus didukung oleh seluruh Provinsi di Indonesia
termasuk Sumatera Utara (INPRES, 2011). Pencapaian surplus ini dapat
445
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Berbagai program aksi yang dilaksanakan oleh SKPD sesuai tugas dan
fungsinya baik ditingkat Provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota adalah
untuk mendukung kebijakan Umum dan Kebijakan Operasional Pembangunan
Ketahanan Pangan Sumatera Utara yang difokuskan melalui Gerakan Gema
Pangan yaitu Swasembada pangan dan Pengembangan Desa Mandiri Pangan
yang muaranya untuk mewujudkan salah satu komitmen Gubernur dan Wakil
Gubernur Sumatera Utara yaitu”Rakyat Tidak Lapar” (BKP Sumut, 2009).
446
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
produktivitas padi lahan sawah tadah hujan yang juga termasuk lahan sub
optimal mempunyai tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan lahan
sawah irigasi. Namun demikian, melalui Implementasi KALENDER TANAM
(KATAM) Terpadu dapat dicapai peningkatan produksi secara nyata dan
berkelanjutan (Syahbuddin dan Runtunuwu, 2008).
447
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
2001; Samuelson dan Nordhaus, 1995; Debertin, 1986; Malian dkk., 1987):
Gross B/C = PxQ/Bi , dimana P= Harga Produksi (Rp/kg), Q= Jumlah Produksi
(kg/ha), Bi= Biaya produksi ke i (Rp/ha). Nilai B/C> 1 berarti usaha tani padi
sawah layak.
448
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keuntungan Usahatani.
449
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pendapatan bersih sebesar Rp 33.317.640 dan nilai B/C 2,6 yang menunjukkan
bahwa tiap Rp 1,00 tambahan biaya yang disebabkan perubahan teknologi
menyebabkan diperolehnya tambahan penerimaan sebesar Rp 2,6.
KESIMPULAN
Rekomendasi Katam Terpadu sesuai diterapkan pada lahan suboptimal di
kabupatenTapanuli Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
BB Padi, 2009. Peningkatan Produksi Padi Melalui Pelaksanaan IP Padi 400.
Pedum IP Padi 400. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
BKP Provinsi Sumatera Utara, 2009. Grand Design Pembangunan Ketahanan
Pangan Simatera Utara Tahun 3009-3013. Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Sumatera Utara. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan
Provinsi Sumater Utara.
BPS Republik Indonesia, 2011. Buku Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi.
Badan Pusat Statistik Edisi 10. Maret 2011.
Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2011. Pertanian Dalam Angka
ProvinsiSumatera Utara 2010. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Dinas Pertanian.
INPRES, 2011. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2011,
tentang instruksi pencapaian surplus beras sebanyak 10 juta ton pada
tahun 2014.
Kementan, 2011. Rancangan Rencana Strategis Kementrian PertanianTahun
2010-2014.
Las, I., Syahbuddin, H., Surmaini, E.,2008. Iklim dan tanaman padi: Tantangan
dan peluang. Dalam Buku Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan
Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Simatupang RS., Nurita, dan Noor R., 2001. Respon Tanaman Padi terhadap
Pemupukan N, P dan K pada Lahan Potensial Bukaan Baru. Di dalam
Prayudi B, dkk.(eds), Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa.
Prosiding Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Penelitian Tanaman Pangan
di Lahan Rawa Menuju Ketahanan Pangan, Kesejahteraan Petani dan
Konsumen; Banjarbaru, 4-5 Juli 2000 p 127-137.
Suyamto dan Zulkifli Zaini, 2010. Kapasitas Produksi Bahan Pangan Pada
Lahan Sawah Irigasi dan Tadah Hujan. Analisis Sumberdaya Lahan
Menuju Ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta. September 2010.
Syahbudin, H. Dan E. Runtunuwu. 2008. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Vol. 30. No. 3.
450
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
451
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
452
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
453
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
masam. Kadar abu 24,32% tergolong sedang. Kadar N total 0,52% dengan
kriteria tinggi. Kadar P tersedia 46,34 ppm dengan kriteria sangat tinggi. Kadar
KTK 38,85 me/100g dengan kriteria sangat tinggi. Kadar K tukar 0,33 me/100g
dengan kriteria tinggi dan kadar Mg tukar tidak terdeteksi (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia tanah sawah gambut di Kecamatan Dolok
Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan
Sifat Kimia Tanah HasilAnalisis Satuan
Ph 3,37 -
Kadar Abu 24,32 %
C-Organik 34,25 %
N-Total 0,52 %
P tersedia 46,34 Ppm
K-tukar 0,03 me/100g
Mg-tukar Td me/100g
KTK 38,85 me/100g
454
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
banyak proses seperti translokasi, volatilisasi, serta jenis vegetasi yang tumbuh
diatasnya. Menurut Dohong (1999) melaporkan bahwa kandungan N total
dalam tanah gambut pada beberapa daerah di Indonesia berkisar antara 0,3
hingga 2,1 %. Meskipun kandungan N-total pada tanah gambut relatif tinggi,
namun belum merupakan cerminan ketersediaan N bagi tanaman.
Ketersediaan N pada tanah gambut umumnya rendah. Perbandingan
kandungan C dan N tanah gambut relatif tinggi, umumnya berkisar 20-45 dan
meningkat dengan semakin meningkatnya kedalaman (Radjagukguk, 1997).
Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan N tanaman yang optimum
diperlukan pemupukan N.
Fosfor (P) tersedia
Kandungan P-tersedia adalah46,34 ppm dengan kriteria sangat tinggi.
Ketersediaan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg dalam tanah gambut umumnya
rendah meskipun pada kandungan totalnya tinggi. Sebagian besar N, P, K total
dalam gambut berada dalam bentuk organik (Stevenson, 1986; Andriesse
1988). Kandungan P tersedia sangat tinggi mencapai 46,34 ppm kemungkinan
disebabkan oleh penambahan tanah mineral pada tanah gambut dan
penambahan pupuk SP yang kontinu dilakukan setiap musim tanam.
Penambahan tanah mineral dalam media tanam gambut akan dapat
mengurangi asam-asam organik yang bersifat racun bagi tanaman, serta dapat
menghambat metabolisme tanaman dan berakibat terhadap penurunan
pertumbuhan dan produktifitasnya. Karena tanah mineral memiliki tingkat
kemasaman yang lebih rendah dibandingkan tanah gambut dan kaya akan
bahan polivenol. Selain itu tanah mineral juga mengandung kation polivalen
seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi
dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya
bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan
sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham dkk.,1997; Saragih, 1996).
Penambahan tanah mineral ke tanah gambut juga menunjukkan perbaikan
pertumbuhan dan hasil padi (Salampak 1999).
Kalium (K) dan Magnesium (Mg) dapat tukar
Kandungan kalium dapat tukar pada lahan gambut yang ditanami padi
sawah adalah 0,03 me/100g dengan kriteria sangat rendah. Kandungan Mg-
tukar adalah tidak terdeteksi. Hasil ini dimungkinkan oleh sangat rendahnya
kandungan Mg pada tanah gambut tersebut, sehingga tidak terdeteksi melalui
proses analisis. Kandungan basa-basa seperti K dan Mg pada tanah gambut
pada umumnya sangat rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada
gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang
lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978).
Kapasitas Tukar Kation
Kandungan kapasitas tukar kation adalah 38.85 me/100g dengan
kriteria tinggi. Tingginya nilai KTK tersebut disebabkan oleh muatan negatif
tergantung pH yang sebagian besar berasal dari gugus karboksilat dan
fenolat, dengan kontribusi terhadap KTK sebesar 10 -30% dan penyumbang
455
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
456
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Data yang diperoleh dari usaha tani padi sawah di lahan gambut ini
merupakan penerimaan yang didapat dari hasil penjualan padi berdasarkan
harga yang berlaku di Kecamatan Dolok Sanggul. Produksi rata-rata padi
sawah di lahan gambut di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang
Hasundutan adalah3,6 ton/ha dengan indeks tanam 1 kali setahun. Harga rata-
rata gabah adalahRp.3000/kg, sehingga rata-rata penerimaan yang diperoleh
oleh petani responden di daerahpenelitian selama musim tanam (6 bulan)
adalah sebesar Rp10.800.000,-. Penerimaan bersih yang diperoleh
merupakan selisih dari penerimaan dengan biaya produksi Rp. 10.800.000 –
Rp. 6.991.400 = Rp. 3.808.600,-.
Perhitungan BEP produksi menunjukkan bahwa hasil BEP 2.330.5
artinya dengan harga jual Rp. 3.000 per kg, usahatani padi sawah di lahan
gambut mengalami titik impas pada saat jumlah produksi mencapai 2.330,5kg.
Sementara itu, perhitungan BEP harga diperoleh hasil bahwa, usahatani padi
sawah di lahan gambut tidak akan mengalami kerugian maupun keuntungan
(impas) apabila dijual dengan harga Rp. 1.858/kg.
Hasil perhitungan R/C ratio sebesar 1,54 mempunyai arti bahwa dari
modal yang dikeluarkan sebesar Rp.1, maka akan diperoleh penerimaan
sebesar1, 54, atau dari total biaya usaha tani sebesar Rp.100 akan diperoleh
total penerimaan atau nilai produksi padi sebesar Rp.154. Selanjutnya hasil
perhitungan kelayakan usaha tani padi sawah di lahan gambut Kecamatan
Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan dinyatakan layak untuk
dikembangkan sebagaimana yang dinyatakan oleh Irawan dan Maftu’ah (2013)
bahwa kelayakan usaha tani untuk tanaman semusim dinilai dengan R/C Rasio,
yakni Selisih antara total penerimaan dengan total biaya . Secara sederhana
dan umum diaplikasikan adalah kelayakan usahatani tanaman semusim
dicirikan oleh nilai rasio R/C > 1.
KESIMPULAN
1. Hasil analisis sifat kimia tanah menunjukkan tingkat kesuburan
lahangambut yang ditelitirelatif baik dengan ketersediaan hara yang cukup.
2. Usaha tani padi sawah di lahan gambut Kecamatan Dolok Sanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan layak untuk dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
457
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
458
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Luas lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara tahun 2014 sebesar
156.799 ha, tahun 2013 sebesar 156.362 ha.Total luas lahan tadah hujan yang
diusahakan selama tahun 2014 adalah 95,61% atau seluas 149.920 ha
sedangkan sisanya 6.879 ha tidak diusahakan. Lahan sawah tadah hujan
terluas di Sumatera Utara berada di Kabupaten Langkat yaitu sebesar 28.452
ha (BPS, 2014). Kabupaten Langkat terdiri dari 17 kecamatan dan salah satu
kecamatan yang memiliki lahan sawah tadah hujan terluas berada di
Kecamatan Secanggang (9.985 ha).
Lahan sawah tadah hujan merupakan sumberdaya fisik yang potensial
untuk pengembangan pertanian, seperti padi, palawija dan tanaman
holtikultura. Pada umumnya lahan sawah tadah hujan hanya ditanami padi
sekali dalam setahun yaitu pada musim hujan, sedangkan pada musim
459
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
460
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
padi tahun 2014 sebesar 450 ha dengan nilai produksi tanaman padi dan
palawija sebesar Rp. 6.750.000.000, biaya pemupukan sebesar Rp.
675.000.000, biaya bibit Rp. 360.000.000, biaya obat Rp. 100.000.000,-. Desa
Karang Anyar terdiri dari 1.300 Kepala Keluarga (KK) dan jumlah penduduk
7.041 jiwa (4.125 perempuan, 2.916 laki-laki). Jarak ke ibukota kecamatan 13
km dan jarak ke ibukota kabupaten 7 km. Di Desa Karang Anyar, umumnya
masyarakat menggunakan padi lokal Ramos dalam usaha padi sawah tadah
hujan mereka.
Karakteristik Padi Ramos
Varietas Ramos memiliki ciri-ciri tanaman yang tinggi (±130 cm) dan
berumur panjang (± 162 hari) sehingga adaptif dibudidayakan di daerah tadah
hujan. Padi lokal mempunyai sifat adaptasi/kesesuaian daerah tertentu,
produksi rendah, berbatang tinggi dan kuat, berumur dalam/panjang, tidak
respon terhadap input/pemupukan berpenampilan masih beragam, mempunyai
rasa enak dan lebih disenangi konsumen serta mempunyai harga pasar lebih
tinggi (Utami, 2013).
Benih yang digunakan petani adalah hasil panen sebelumnya. Daradjat
dkk. (2008), berpendapat bahwa benih padi yang digunakan oleh masyarakat
lebih dari 60% berasal dari sektor informal yaitu berupa gabah yang disisihkan
dari sebagian hasil panen musim sebelumnya yang dilakukan berulang-ulang.
Hal ini menyebabkan nilai kemurnian varietas Ramos semakin menurun.
Keanekaragam genetik akan menyebabkan keanekaragaman
penampilan padi. Selain dipengaruhi genotip, fenotip juga mempengaruhi
penampilan padi. Hasil survey menunjukkan bahwa petani membedakan Padi
Ramos menjadi empatmacam yaitu Ramos Pulo, Ramos si Udang, Ramos
Dewi, dan Ramos Sudung.
Ramos Pulo. Ciri padi Ramos Pulo yaitu: bentuk padi bulat,warnanya
kuning emas dan bulir lebih rapat pada tangkainya. Nasinya perah, sehingga
tidak begitu disukai petani.Produksinya hampir sama dengan padi IR-64.
Ramos Si Udang. Cirinya : warna kulit padinya coklat, bulirnya lebih
panjang dan jarang pada tangkai. Batang lebih lembut.Berasnya pulen dan
tidak begitu wangi.Produksinya lebih rendah dari pada Padi IR-64 (GKP <5
ton/ha).
Ramos Dewi. Batangnya tinggi, lemah dan mudah rebah. Gabahnya
bulat, berwarna kuning emas. Nasinya pulen dan wangi.Produksi GKP 4
ton/ha.
Ramos Sudung. Daunnya tegak keatas dan lebih tinggi dari pada
malai, sehingga bulir tertutup kebawah. Gabahnya berwarna kuning
kecokelatan dan tersusun lebih jarang pada malai. Nasinya tidak pulen dan
tidak begitu wangi. Produksi GKP5 ton/ha.
Budidaya Padi Ramos.
Benih padi diseleksi dengan cara ditampi untuk memisahkan padi yang
hampa, lalu direndam dalam wadah yang berisi air selama 24 jam. Gabah yang
461
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
462
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Analisis finansial usahatani varietas padi Ramosdan IR-64 (per ha).
1. Pengeluaran Ramos IR-64
Olah Tanah 1,000,000 1,000,000
Upah menanam 1,000,000 1,000,000
Pembelian bibit 375,000 375,000
Pupuk 625.000 625.000
Pestisida 500.000 500.000
Herbisida 315,000 315,000
Tenaga Kerja Pengendalian OPT 280,000 420,000
Biaya panen: 20% dari hasil 4,000,000 4,000,000
Jumlah biaya /pengeluaran 8,095,000 8,235,000
2 Penerimaan (4.000 kg GKP x Rp. 5.000) 20,000,000 20,000,000
3 Keuntungan (Rp.) 11,905,000 11,485,000
4 B/C Ratio 1,47 1,35
Ditinjau dari harga jual GKP padi Ramos dengan IR-64 tidak ada
perbedaan dilapangan, walaupun hasil survey dipasar modern menunjukkan
bahwa harga jual beras Ramos lebih tinggi dibandingkan dengan IR-64. Begitu
padi dipanen, petani langsung menjual GKP ke pedagang pengumpul desa
dengan harga Rp. 4.000/kg baik jenis padi Ramos maupun padi IR-64.Rata-
rata produksi padi lokal Ramos dengan Padi IR-64 tidak berbeda jauh yaitu rata-
rata sebesar 5.000 kg/ha.
Komponen biaya padi Ramos sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
IR-64 disebabkan biaya pengendalian OPT yang lebih murah. Yang
membedakannya adalah ditinjau dari analisis ekonomi, dimana biaya
pengendalian OPT Padi IR-64 (Rp. 420.000) lebih besar dibandingkan dengan
padi Ramos (Rp. 280.000). Menurut Khush,1997; Khush dan Ling, 1974) dan
(Sitch dkk., 1989) dalam Suhartini (2010) menyatakan bahwa padi lokal
memiliki sumber gen ketahanan terhadap hama/penyakit penting padi seperti
ketahanan terhadap virus, penyakit blas, hawar daun bakteri, wereng coklat,
wereng punggung putih, wereng hijau, dan stemborer dan ketahanan terhadap
cekaman lingkungan. Hasil suvey juga menunjukkan bahwa Varietas Ramos
lebih tahan terhadap gangguan OPT jika dibandingkan dengan IR-64. Hal ini
berpengaruh terhadapa biaya penggunaan pestisida Varietas Ramos yang
lebih hemat dibandingkan dengan Varietas IR-64. Berdasarkan nilai B/C Ratio
menujukkan bahwa padi Ramos (1,47) lebih menguntungkan dibandingkan
dengan padi IR-64 (1,35).Menurut Sudaryanto dan Andang (2002), bahwa
Keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi sangat dipengaruhioleh
faktor teknis, ekonomis dan socialkelembagaan. Beberapa faktor teknis
yangmempengaruhi diantaranya: (a) iklim, yang sangat mempengaruhi
ketersediaandan akses petani ke sumberdaya air, (2) infrastruktur irigasi, yang
mempengaruhiketersediaan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya air, (c)
aksesibilitas lokasiterhadap sarana dan prasarana ekonomi, (d) tingkat adopsi
teknologi, sepertipenggunaanpupuk berimbang, pestisida dan benih berlabel,
yang akanmempengaruhi tingkat produktivitas dan kualitas hasil. Sedangkan
463
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
beberapa factor ekonomi yang sangat berpengaruh adalah harga input dan
output, ketersediaan tenaga kerja dan tingkat upah serta tingkat suku bunga.
Ketiganya sangat terkaitdengan mekanisme pasar input, tenaga kerja dan
pasar modal di pedesaan.
Perlakuan pasca panen dilakukan pedagang pengumpul dan rata-rata
pedagang pengumpul memiliki rice milling (mesin penggiling) sehingga produk
yang dihasilkan berupa beras, kemudian beras tersebut dijual kepedagang
pengumpul beras lagi. Beras tersebut bisa dijual sampai ke luar kota bahkan
keluar provinsi seperti Aceh. Harga jual beras Ramos mencapai Rp. 11.000-
12.000/kg sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan beras IR-64 yang dijual
dengan harga jual Rp. 9.000-10.000/kg.
KESIMPULAN
Padi lokal Ramos perlu dijaga eksistensinya karena cukup disukai
petani, cukup sesuai dengan ekosistem setempat, dan menguntungkan.
SARAN
Perlu adanya upaya pemurnian padi Ramos karena cukup tingginya
variasi di lapang.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Lahan Sawah Sumatera Utara 2014.
Baktiar, Elly K, Taufan H dan Marai R. 2011.Karakterisasi Plasma Nutfah Padi
Lokal Aceh untuk Perakitan Varietas Adaptif pada Tanah Masam.
Agrista Vol.15 No. 3, 2011.
Daradjat, A.A., Agus S., A.K. Makarim, A. dan Hasanuddin. 2008. Padi –
Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2.LIPI Press. Jakarta.
Hendayana. R. 2011. Metode Analisis Data Hasil Pengkajian. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP). Bogor.
Nafisah, Aan A. Daradjat, Dan Hasil Sembiring. Keragaman Genetik Padi Dan
Upaya Pemanfaatannya Dalam Mendukung Ketahanan Pangan
Nasional Lokakarya Nasional Pengelolaan Dan Perlindungan Sumber
Daya Genetik Di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan
Ketahanan Nasional. Bogor.
Reflis,M. Nurung, Juliana Dewi Pratiwi. 2011.Motivasi Petani Dalam
Mempertahankan Sistem Tradisional Pada Usahatani Padi Sawah Di
Desa Parbaju Julu Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera
Utara.Jurnal Agrisep. Vol 10, No 1 (2011) dalam: http://ejournal.
unib.ac.id/index.php/agrisep/issue/view/138. Tanggal akses: 17
Nopember 2015.
Sudaryanto, T dan Adang Agustian. 2002. Peningkatan Daya Saing Usahatani
Padi: Aspek Kelembagaan. Makalah disampaikan dalam Pelatihan
Tenaga Pendamping Kegiatan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu
(P3T) di Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor 8 Maret 2002. http://pse.
litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART01-3c.pdf
Sudjana. 1996. Metode Statistika. Tarsito, Bandung.
Suhartini, T. 2010. Keragaman Karakter Morfologis Plasma Nutfah Spesies
Padi (Oryza Spp.).Buletin Plasma Nutfah Vol.16 No.1 Th 2010.
Utami S. 2013. Uji viabilitas dan Vogoritas Benih Padi Lokal Ramos Adaptif Deli
Serdang dengan Berbagai Tingkat Dosis Irradiasi Sinar Gamma di
Persemaian. Agrium, Oktober Volume 18 N0. 2.
464
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Uji daya hasil galurdan varietas padi sawah dataran rendah dilakukan di
Kebun Percobaan Pasar Miring, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli
SerdangProvinsi Sumatera Utara pada bulanNovember 2014–Februari 2015,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan.
Sebagai perlakuan adalah 3 galur introduksi dan 2 varietas pembanding berasal
dari Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi yaitu galur I.R. 8314-BB-11, Zhong
Zu, Huang Huazhan, Inpari 30, dan Mekongga. Penelitian bertujuan untuk
melihat keragaan pertumbuhan dan potensi hasil dari galur dan varietas padi
sawah di dataran rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang nyata di antara perlakuan yang diuji terhadap komponen
produksi gabah kering panen (GKP), namun secara rata-rata produksi tertinggi
diperoleh pada galur introduksiHuang Huazhan (7,55 t/ha GKP), Zhong Zu
(7,30 t/ha GKP), sedangkan Mekongga sebagai varietas pembanding
memberikan produksi sebesar 7,00 t/ha GKP..
Kata Kunci : Varietas/galur introduksi, produktivitas, dataran rendah
PENDAHULUAN
Dalam rangka mencapai peningkatan swasembada pangan,
peningkatan produksi beras nasional sedang digalakkan dengan menggunakan
varietas lokal, hibrida, inbrida, maupun galur lintroduksi. Badan Litbang
Pertanian sudah banyak menghasilkan dan mengembangkan padi varietas
unggul sekitar 85% dari 200 varietas yang sudah dihasilkan dari berbagai
instansi penelitian yang ada di Indonesia (Wahyuni, 2011)
Produksi padi di Sumatera Utara tahun 2013 mencapai 3,57 juta ton
(BPS dalam angka 2014). Dengan adanya program UPSUS 2015-2017,
diharapkan Sumatera Utara tahun 2019 mengalami peningkatan produksi padi
mencapai 5,16 juta ton. Dengan demikian perlu diterapkan dan diperkenalkan
varietas-varietas unggul baru. Bertambahnya varietas-varietas unggul padi
dapat memberikan beberapa pilihan petani untuk meningkatkan hasil produksi
dalam penggunaan varietas spesifik lokasi. Masing-masing varietas memiliki
keunggulan, misalnya tahan terhadap hama dan penyakit utama, berumur
pendek/genjah, tahan rebah dan kerontokan, tahan genangan, serta
memberikan produksi yang tinggi.
Pengenalan varietas introduksi dari luar Indonesia juga dapat
memberikan peluang bagi peneliti serta petani untuk pengembangan di masa
akan datang. Penerapan varietas unggul baru diharapkan dapat diterima
465
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Uji daya hasil galur dan varietas padi sawah dataran rendah dilakukan
di Kebun Percobaan Pasar Miring, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli
Serdang Provinsi Sumatera Utara pada bulan November 2014–Februari 2015.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan acak kelompok
(RAK) dengan perlakuan 3 galur intoroduksi dan 2 varietas pembanding
galur/varietas tersebut adalah Zhong Zu, Huang Huazhan,dan galur IR. 8314-
B-11,sebagai pembanding menggunakan varietas yang tahan genangan yaitu
Inpari 30 Ciherang Sub. 1, dan Mekongga, masing-masing perlakuan di ulang
3 kali, dengan ukuran plot 3 x 4 m, jarak antar plot 0,5 dan jarak antar ulangan
1 m. .
466
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pertumbuhan tanaman
Hasil analisis pertumbuhan dari 3 varietas/galur introduksi dan 2
varietas pembanding dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tinggi tanaman varietas Zhong Zu hanya berbeda nyata dengan Huang
Huazhan sedangkan dengan varietas lainnya tidak berbeda nyata.Rata-rata
tinggi tanaman yang tertinggi adalah varietas Huang Huazhan (115,6 cm),
diikuti galur IR. 8314_B-11 (113,8 cm), Inpari 30 (112,6 cm), Mekongga (108,4
cm), dan yang terendah Zhong Zu (108,2 cm).Tinggi tanaman varietas Huang
Huazhan lebih tinggi dibandingkan dengan varitas/galur Zhong Zu danIR. 8314-
B-11. Badan Litbang Pertanian (2013), menjelaskan deskripsi varietas unggul
baru seperti Inpari 30 Ciherang sub 1 memiliki tinggi tanaman berkisar 101 cm
dan varietas Mekongga berkisar 91 - 106 cm. Deskripsi varietas Ciherang
menunjukkan tinggi tanaman 107–115 cm diduga salah satu tetuanya Inpari 30
adalah varietas Ciherang karena tinggi tanaman berkisar 112,6 cm,secara
umum semua perlakuan menunjukkan tinggi tanaman yang ideal artinya tidak
terlalu tinggi sehingga resiko kerebahan cukup rendah, Menurut Sutaryo dan
Sudaryono (2012), bahwa tanaman yang rebah dapat menurunkan hasil gabah
karena varietas padi yang memiliki tinggi tanaman dengan kriteria sangat tinggi
(>130 cm) beresiko terhadap kerebahan akibat angin kencang,sehingga akan
menurunkan produksi.Pada dasarnya tinggi tanaman tergantung dari genetik
suatu tanaman. Sehingga kemampuan tanaman untuk tumbuh sampai batas
tertentu dari suatu tanaman. Hasil Penelitian Hermawati (2012), menunjukkan
bahwa tinggi tanaman padi dikarenakan faktor genetis yang menentukan
ekspresi tanaman itusendiri serta adanya pengelolaan budidaya misalnya
pengaturan jarak tanam.
Hasil analisis jumlah anakan produktif dari setiap varietas menunjukkan
bahwa varietas Mekongga berbeda nyata dengan varietas Zhong Zu, Huang
Huazhan dan IR. 8314-B-11, namun tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari
30 (Tabel 1). Rata-rata jumlah anakan produktif yang tertinggi adalah varietas
Mekonggi (10,2 batang/rumpun), diikuti Inpari 30 (8,9 batang/rumpun), IR.
8314-B-11(7,5 batang/rumpun), Huang Huazhan (7,4 batang/rumpun), dan
jumlah anakan terendah didapat pada varietas Zhong Zu (6,4 batang/rumpun).
Jumlah anakan produktif merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil
gabah persatuan luas dari suatu varietas padi.
Panjang malai tertinggi terdapat pada galur IR. 8314-B-11 (22,4 cm) dan
diikuti Inpari 30 (21,6 cm), Mekongga (21,3 cm), Huang Huazhan (21,1 cm) dan
yang terendah terdapat pada varietas Zhong Zu (20,4 cm).
467
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama
tidakberbeda nyata berdasarkan Uji Tukey pada taraf 5%
Komponen hasil dan produksi
Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan Uji Tukey pada taraf 5%.
Pada Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa panjang malai, jumlah
gabah bernas/rumpun, gabah hampa/rumpun, bobot 1.000 butir dan produksi
tidak memberikan perbedaan yang nyata pada 5 varietas yang diuji. Secara
rata-rata panjang malai, jumlah gabah bernas/rumpun, jumlah gabah
hampa/rumpun, bobot 1.000 butir dan produksi gabah kering panen masing-
masingnya berkisar 21,1–22,4 cm, 724,3–1025,7 butir, 204,3 – 333,3 butir, 28,0
– 30,8 gr, dan 5,80 – 7,55 ton GKP/ha.
Jumlah gabah bernas/rumpun tertinggi didapat pada galur Huang
Huazhan (1.025,7 butir) diikuti varietas Mekongga (914,7 butir), IR. 8314-B-11
(761,7 butir), Inpari 30 (751,0 butir), dan terendah Zhong Zu (724,3 butir).
Sedangkan jumlah gabah hampa/rumpunyang tertinggi terdapat pada
varietasZhong Zu (333,3 butir) diikuti Mekongga (259,0 butir), Inpari 30 (216,7
468
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
butir), Huang Huazhan (204,3 butir), dan terendah pada alur IR 8314-B-11
(160,0 butir).
Bobot 1.000 butir yang tertinggi didapat pada varietas Inpari 30 (30,8 g)
diikuti galur IR 8314-B-11 (30,3 g), Mekongga (29,7 g), Zhong Zu (28,1 g), dan
terendah Huang Huazhan (28,0 g). Bobot 1.000 butir varietas Inpari 30 lebih
tinggi dibanding bobot 1.000 butir yang tertera pada deskripsinya, hal ini
disebabkan diduga oleh factor adaptasi varietas ini sesuai pada lingkungan
tumbuhnya sehingga memberikan hasil fotosintesa yang sempurna dan
akhirnya memberikan bobot gabah yang tinggi.
Produksi yang tertinggi terdapat pada varietas Huang Huazhan (7,55
t/ha), diikuti ZhongZu (7,30 t/ha), Mekongga (7,00 t/ha), Inpari 30 (6,97 ton/ha),
dan terendah IR 8314-B-11 (5,80 t/ha). Tingginya produksi gabah kering panen
galur Zhong Zu dan Huang Huazhan juga diikuti oleh komponen hasilnya yang
juga tinggi seperti jumlah gabah bernas/rumpun dan jumlah anakan
produktif/rumpun.
Jumlah gabah bernas, jumlah gabah hampa, bobot 1.000 butir dan
produksi gabah kering panen/ha dari lima perlakuan yang diuji tidak berbeda
nyata, hal ini disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan seperti
kesuburan tanah. Menurut Yahumri dkk. (2015), menyatakan bahwa kurang
baiknya suatu varietas beradaptasi diduga dari faktor genetik dan dan faktor
lainnya yang tidak mendukung seperti curah hujan, suhu, kelembaban,
ketinggian tempat, penyinaran matahari dan kesuburan tanah. Suatu varietas
dapat hidup dan tumbuh dengan baik tergantung dari kemampuannya suatu
varietas mampu berinteraksi terhadap pupuk yang diberikan serta pengaturan
penyinaran yang optimal. Menurut Fagi et al. (1996), penggunaan varietas
unggul yang disertai dengan perbaikan pemupukan dan pengaturan air dapat
memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi sebesar 75%.
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
469
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
470
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Proporsi luas tanam padi gogo dibanding tanaman pangan lain lebih
besar yaitu 60% (10.282 ha) kemudian diikuti jagung 21%, padi sawah 14% dan
5% terdiri dari ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan cabai (Pakpak Bharat
Dalam Angka, 2014). Padi gogo ditanam penduduk di semua kecamatan di
Kabupaten Pakpak Bharat, luas panen tertinggi yaitu 484 ha terdapat di
Kecamatan Kerajaan kemudian Pergetteng-getteng Sengkut (PGGS) sebesar
360 ha, Tinada 346 ha, Sitelu Tali Urang (STTU) Jehe 308 ha, Salak 257 ha,
471
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Sitelu Tali Urang (STTU) Julu 255 ha, Pangidar 214 ha, dan Siempat Rube 166
ha (Pakpak Bharat Dalam Angka. 2014)
Pada tahun 2013 sektor pertanian masih menjadi sektor utama
pendukung perekonomian di Kabupaten ini, dari total 17.197 ha luas areal
tanaman pangan dan hortikultura, sebanyak 12.738 ha (74,07%) merupakan
tanaman padi yaitu padi sawah dan padi gogo (Dinas Pertanian Kab Pakpak
Bharat, 2014). Untuk tahun 2013, luas panen padi sawah dan padi ladang
adalah sebesar 4.978 ha, menurun 27,87% dari tahun 2012 yaitu sebesar 6.902
ha. Sedangkan untuk produksi padi sawah dan padi ladang mencapai
16.317,13 t di tahun 2013, menurun 36,57% dari tahun 2012 sebesar 25.725,36
t. Selain masalah penurunan produksi padi, pengembangan pertanian di
Kabupaten Pakpak Bharat pada dasarnya masih dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan antara lain pengelolaan usaha tani yang masih
bersifat tradisional, skala usahatani yang relatif kecil (skala kepemilikan lahan),
mutu produk sangat beragam, belum berorientasi pasar (market oriented),
pengelolaan usahatani masih perorangan belum secara berkelompok,
penggunaan pupuk dan pestisida yang belum memperhatikan kelestarian
lingkungan serta penanganan pasca panen belum sesuai anjuran.
Untuk meningkatkan produksi selain intensifikasi/ optimalisasi lahan
perlu pengembangan lahan kering yang berpotensi untuk ditanami padi gogo
sedangkan untuk padi sawah pengembangannya terbatas. Di Pakpak Bharat,
lahan kering cukup luas sebesar 120.010 ha memberi peluang pengembangan
lahan-lahan yang sesuai untuk padi gogo. Oleh karena itu dilakukan pengkajian
untuk mendapatkan informasi arah pengembangan kesesuaian lahan padi
gogo sebagai skala acuan operasional di Kabupaten Pakpak Bharat, dalam
bentuk peta kesesuaian lahan yang potensial untuk padi gogo.
472
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
473
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada peta kesesuaian lahan padi gogo di bawah ini terlihat pada
legenda bahwa warna hijau,hijau muda, coklat, coklat muda, merah, merah
muda menunjukan kelas kesesuaian lahanyang bervariasi terdapat di setiap
kecamatan (BPTP Sumut, 2012) (Gambar 1).
474
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Kabupaten Pakpak Bharat memiliki kelas kesesuaian lahan untuk padi
gogo yang termasuk kriteria kelas lahan sesuai (S2) seluas 14.335 ha
(10,57%), kelas lahan sesuai bersyarat (S3) seluas 49.811 ha (36,74%),
dan kelas lahan tidak sesuai (N) seluas 77.456 ha (52,70 %).
2. Masih tersedia lahan yang sesuai untuk padi gogo seluas 11.945 ha,
sementara itu luas pertanaman padi gogo saat ini seluas 2.390 ha.
SARAN
Peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Pakpak Bharat sangat penting
dalam hal ini untuk bisa membangun sarana-prasarana pertanian serta
peningkatan kualitas sumber daya manusianya (SDM) petani dan petugas
pertanian khususnya untuk pengembangan dan pembangunan pertanian
komoditas padi gogo.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, I. Dan S Karama. 1993. Zona Agro-Ekologi dan Alternatif
Pengembangan Pertanian Bul. Perhimpi 1(2) : 55-71.
Amien, I. 1996. Panduan Karakterisasi dan Analisis Zona Agro-Ekologi.
Pembahasan Pemantapan Metodologi Karakterisasi Zone Agro-
Ekologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Puslittanak
Berkerjasama dengan Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Pekanbaru.
Badan Pusat Statistik, 2014. Kabupaten Pakpak Bharat Dalam Angka. Badan
Pusat Statistik Pakpak Bharat.
BPTP Sumatera Utara, 2012. Pewilayahan Komoditas Pertanian Skala 1 :
50.000 di Kabupaten Pakpak Bharat. Kerjasama Pemerintahan
Kabupaten Pakpak Bharat dengan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Utara. 71 hal.
Dinas Pertanian Kabupaten Pakpak Bharat, 2014. Budidaya Beberapa
Komoditas Tanaman di Kabupaten Pakpak Bharat. 118 hal.
Djaenudin, Marwan H., H. Subagyo, A. Mulyana dan N. Suharta. 2000. Kriteria
Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Versi 3 : 3-13.
Puslittanak. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian.
Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Bogor. Versi 3.
Rossiter D.G. dan A.R.V. Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System
ALESVersion 4.65 User’s Manual. Cornell University.Ithaca. NY USA.
Sembiring H, Lukman Hakim, I Nyoman Widiarta, dan Zulkifi Zaini. 2013.
Evaluasi Adopsi. Pengelolaan Tanaman Terpadu Dalam Sekolah
Lapang (SL) Pada Program Nasional Peningkatan Produksi Tanaman
Pangan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian
Spesifik Lokasi. Medan, 6 – 7 Juni 2012. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Bogor, 2013.
475
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
476
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
477
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
digenangi. Setelah padi berbunga, tanah digenangi lagi sampai ketinggian 1-2
cm sampai padi berumur 15-20 hari sebelum panen. Kemudian tanah
dikeringkan sampai saat panen tiba. Pada metode konvensional, umur bibit 20
hari, jumlah bibit 5 tanaman per lobang tanam dengan jarak tanam 20 cm x 20
cm. lahan digenangi air dengan ketinggian 4 cm mulai pindah tanam hingga
pengisian malai selanjutnya setelah padi mulai menguning lahan dikeringkan.
Parameter yang diamati C-organik tanah (Metode Walkley and Black) dan
bobot kering tajuk. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada umur 7 minggu
setelah tanam. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Riset Fakultas
Pertanian USU.
478
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jika dibandingkan antara sistem tanam pada lahan yang diberi pupuk
anorganik, diantara perlakuan pupuk organik, hanya pemberian pupuk kandang
yang memberikan efek yang berbeda yaitu kadar bahan organik pada sistem
SRI lebih rendah dibanding sistem konvensional. Sementara pada lahan yang
tidak diberi pupuk anorganik, kombinasi jerami dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:1 dan 1:2 menyebabkan kadar bahan organik tanah pada
sistem SRI lebih tinggi dibanding sistem konvensional.
Tabel 2. Bobot kering tajuk (g) pada berbagai perlakuan pemberian pupuk
anorganik, sistem tanam dan pupuk organik. Batubara. 2010
Dengan pupuk anorganik Tanpa pupuk anorganik
Pupuk organic
Konvensional SRI Konvensional SRI
Tanpa 16,66 Cd 11,14 Fghi 27,89 A 9,83 Ghi
Jerami (J) 22,17 B 9,28 Hi 21,72 B 12,84 defgh
Pupuk kandang (K) 22,58 B 11,04 Fghi 14,20 Def 7,88 I
J:K=1:1 22,12 B 9,53 Ghi 13,09 defgh 8,88 Hi
J:K=1:2 16,81 Cd 13,55 Defg 11,04 Fghi 7,73 I
J:K=2:1 19,26 Bc 12,19 Efgh 15,95 Cde 8,98 Hi
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom (aspek pupuk
anorganik dan sistem tanam) dan baris yang sama (aspek pupuk
organik) menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT
pada taraf 5%
479
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pupuk organik dan pupuk anorganik pada sistem konvensional terhadap kadar
bahan organik tanah dikarenakan tanah sawah di lokasi penelitian mengandung
C-organik yang rendah dan miskin hara. Jamilah dan Hanum (2011)
menyatakan 81,25% dari luasan lahan sawah di Kabupaten Batubara
mengandung C-organik <2%. Tidak adanya efek dari pupuk anorganik dan
pupuk organik dikarenakan adanya penambahan hara tanah dari pupuk
anorganik yang dapat memacu perkembangan mikroba perombak sehingga
meningkatkan proses dekomposisi. Sebaliknya menurunnya kadar bahan
organik tanah pada kondisi tidak diberi pupuk anorganik tetapi diberi pupuk
kandang dan jerami disebabkan peranan pupuk kandang sebagai sumber
nutrisi dan mengandung mikroba decomposer sehingga aktif melakukan proses
dekomposisi. Efek interaksi pupuk kandang dan jerami berkaitan dengan
jerami segar yang diaplikasikan mengandung C-organik 42.9%..dan C/N
sebesar 36.36 sehingga merupakan sumber energy dan sumber karbon untuk
mikroba decomposer. Jerami cacah dapat meningkatkan kadar bahan organik
tanah mencapai 2.8% pada penelitian di laboratorium (Perdana, 2009). Kyuma
(2004) menyatakan karena dekomposisi yang lambat di tanah sawah, salah
satu pengaruh penggenangan adalah akumulasi bahan organik tanah.
Berdasarkan penelitian Harahap (2008) jerami cacah dapat meningkatkan C-
organik, jumlah anakan, dan serapan K. Selain itu pertumbuhan dan produksi
padi yang terbaik terdapat pada perlakuan jerami cacah dengan masa inkubasi
30 hari dengan dosis 7.5 ton/ha dimana produksi dapat mencapai 7.2 ton/ha
Berdasarkan keragaman perubahan kadar bahan organik tanah pada
sistem SRI, menunjukkan sistem SRI lebih respon terhadap aplikasi pupuk
organik terutama jika tidak ada masukan pupuk NPK. Status bahan organik
tanah meningkat menjadi sangat tinggi khususnya pada aplikasi pupuk organik
berupa pupuk kandang, dan kombinasinya dengan jerami padi dengan
perbandingan 1:! dan 1:2. Hal ini menunjukkan pupuk kandang lebih berperan
dalam meningkatkan kadar bahan organik tanah pada system SRI dibanding
pupuk jerami. Pertambahan bahan organik tanah berasal dari pupuk organik
dan perakaran tanaman termasuk eksudat akar. Sistem SRI dapat memacu
perkembangan akar terutama karena efek dari pupuk kandang terhadap sifat
tanah dan efek dari perlakuan pengairan dimana kondisi tanah selama
pertumbuhan vegetatif macak-macak hingga kering (Mutakin, 2005)
Berdasarkan data bobot kering tajuk diketahui bahwa secara umum
pada sistem konvensional lebih tinggi dibanding sistem SRI. Hal ini disebabkan
perbedaan dari jumlah bibit pada sistem konvensional yang lebih tinggi (5 bibit)
sedangkan pada SRI hanya 1 bibit. Meningkatnya bobot kering tanaman
karena pemberian pupuk anorganik dikarenakan suplai hara tersedia dari pupuk
anorganik sehingga jumlah hara yang diserap akan meningkat juga.
Pemupukan N,P K meningkatkan serapan hara pada system konvensional
lebih tinggi dibanding sistem SRI (Hanum, dkk., 2011). Dari hasil penelitian ini
diketahui bahwa sistem SRI berpotensi untuk diterapkan berdasarkan bobot
kering yang tidak berbeda dengan sistem konvensional meskipun jumlah
bibitnya hanya 1 tanaman khususnya pada perlakuan tanpa pupuk anorganik
480
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tetapi diberi pupuk kandang saja maupun dikombinasikan dengan jerami. Hal
ini disebabkan jerami dapat memperbaiki sifat tanah terutama meningkatkan
bahan organik dan kandungan hara tanah. Jerami mengandung sejumlah hara
antara lain: N (0.5-0.8%), P (0.07-0.12%), K (1.2-1.7%), S (0.05-0.10%) dan Si
(4-7%) (Dobermann dan Fairhurst, 2000). Pada percobaan aplikasi jerami dan
pupuk NPK di lahan sawah irigasi di Kabupaten Pinrang Maros diketahui bahwa
penggunaan jerami pada musim tanam pertama belum berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan dan komponen hasil tanaman, namun ada
kecenderungan aplikasi jerami 2 t/ha meningkatkan pertumbuhan dan hasil,
tetapi efektivitas aplikasi jerami terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
diperoleh pada lahan bekas pemberian jerami selama 3 musim tanam (Arafah
dan Sirappa, 2003) Menurut Kumarsinka, dkk.,., (2007) SRI merupakan
alternatif yang signifikan tidak hanya meningkatkan hasil tetapi merupakan
sistem pengelolaan padi berbasis petani terutama di daerah miskin.
KESIMPULAN
1. Terdapat keragaman efek interaksi antara pupuk anorganik dan pupuk
organik pada sistem konvensional dan SRI terhadap kadar bahan organik
tanah
2. Status bahan organik tanah meningkat menjadi sangat tinggi pada sistem
SRI yang diaplikasi pupuk organik berupa pupuk kandang, dan
kombinasinya dengan jerami padi dengan perbandingan 1:! dan 1:2
3. Aplikasi jerami dan pupuk kandang dan kombinasi keduanya dengan
perbandingan 1:1.pada sistem tanam konvensional meningkatkan bobot
kering tajuk.
4. Sistem SRI tanpa pupuk anorganik tetapi diberi pupuk kandang saja
maupun dikombinasikan dengan jerami meningkatkan bobot kering tajuk
setara dengan sistem konvensional.
SARAN
Untuk meningkatkan status bahan organik tanah di lahan sawah
Kabupaten Batubara disarankan menerapkan sistem SRI yang diaplikasikan
pupuk organik berupa pupuk kandang 10 ton/ha, dan kombinasi jerami padi dan
pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 (jerami 5 ton/ha dan pupuk kandang
5 ton/ha) dan 1:2 ( jerami 3.3 ton/ha dan pupuk kandang 6.7 ton/ha)
.
UCAPAN TERIMA KASIH
Tim Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah memberikan
biaya penelitian ini melalui DIPA USU sesuai surat Perjanjian Pelaksanaan
Penelitian Strategi Nasional Tahun Anggaran 2010 Nomor :
2693/H5.1.R/KEU/SP2 H/2010 Tanggal 3 Mei 2010.
481
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Arafah dan M.P Sirappa. 2003. Kajian Penggunaan Jerami dan Pupuk N, P,
dan K Pada Lahan Sawah Irigasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan
Vol 4 (1) pp 15-24.
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknik Reklamasi lahan Sawah
Berbahan Organik Rendah Tahun 2008. Direktorat Pengelolaan lahan.
Direktorat Pengelolaan Lahan dan Air Jakarta.
Departemen Pertanian, 2009. Pedoman Teknis Perbaikan Kesuburan Lahan
Sawah Berbasis Jerami. Direktorat Pengolahan Lahan. Dirjen
Pengelolaan Lahan dan Air. Departmen Pertanian.
Dobermann, A. dan T .Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders dan Nutrient
Management. Potash and Potash Institute/Potash and Potash Institute
of Canada.
Hanum, H. H.Guchi dan Jamilah. 2011. Pengelolaan Hara Berbasis Jerami
Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah Berbahan Organik
Rendah. Prosiding Seminar Nasional BKS-PTN Wilayah Barat.
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Harahap. S.M. 2008. Aplikasi Jerami Padi untuk Perbaikan Sifat Tanah dan
Produksi Padi Sawah. Pasca Sarjana. Fakultas Pertanian. USU, Medan.
Jamilah dan H.Hanum. Evaluasi Tingkat kesuburan Tanah Sawah Akibat
Pemberian Pupuk Anorganik secara Terus Menerus di Kabupaten
Batubara. Prosiding Seminar Nasional BKS-PTN Wilayah Barat.
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Kumarsinha, S dan J. Talati. 2007. Productivity impacts of the System of Rice
Intensification (SRI): A case study in West Bengal India. Elsevier
Science Direct Agricultural Water Management 87: 55-60.
Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science. Kyoto University Press. Japan
Mutakin, J. 2005. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System
of Rice Intensification) Tesis. Pascasarjana. UNPAD. Bandung.
Perdana, M.I. 2009. Perubahan Beberapa Sifat Kimia Tanah Akibat Pemberian
Jerami Padi Pada Berbagai Masa Inkubasi. Skripsi. Fakultas Pertanian
USU. Medan.
482
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan
2)
Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB
Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor
vivi_aryati@yahoo.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pengembangan varietas padi gogo toleran kekeringan sangat diperlukan
untuk mendukung peningkatan produksi padi nasional tersebut. Kontribusi padi
gogo terhadap produksi padi nasional masih relatif rendah, sehingga
pengembangannya masih terus diupayakan.Produktivitas padi gogo pada
tahun 2009 sebesar 2.96 ton/ha, jauh lebih rendah dibandingkan dengan
produktivitas padi sawah yang mencapai 5.18 ton/ha (KEMENTAN 2010).
Serangkaian program pemuliaan yang cukup panjang dibutuhkan
untukmenghasilkan varietas padi gogo yang diinginkan. Seleksi galur toleran
kekeringan yang dilakukan di lapangan sangat sulit, membutuhkan biaya yang
lebih mahal dan waktu yang lebih lama (Lestari & Mariska 2006).
Penelitian mengenai uji toleransi terhadap kekeringan pada padi telah
banyak dilakukan, namun umumnya dilakukan pada fase pertanaman di
lapangan dan di rumah kaca yang membutuhkan waktu yang panjang dan biaya
483
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
yang relatif mahal serta tempat yang lebih luas.Suardi (2002) menguji daya
tembus akar tanaman padi karena sifat perakaran menjadi salah satu
penentutoleransi tanaman terhadap kekeringan. Satria (2009) melakukan
pengujian toleransi kekeringan padi gogo pada stadia awal pertumbuhan di
rumah kaca dengan metode pengujian menggunakan media kompos dengan
penyiraman tiga hari sekali yang merupakan metode paling efektif untuk
menyeleksi genotipe padi gogo yang toleran kekeringan.
Identifikasi dini toleransi kekeringan pada benih padi gogo selama ini
dilakukan dengan menggunakan larutan PEG (Polyethylene glycol) namun
dilakukan secara in vitro. Lestari & Mariska (2006) mengidentifikasi beberapa
varietas padi toleran kekeringan menggunakan PEG untuk mendapatkan
nomor-nomor harapan padi yang diduga toleran kekeringan pada somaklon
yang berasal dari varietas Gajahmungkur, Towuti dan IR64 hasil radiasi dan
seleksi in vitro. Metode ini tergolong sederhana dan singkat, meskipun memiliki
kelemahan antara lain harga PEG yang relatif mahal dan sering terjadinya
serangan cendawan pada saat benih dikecambahkan.
Identifikasi dinibeberapa genotipe padi yang toleran terhadap kekeringan
dengan metode PEG perlu dipelajari karena sangat diperlukan dalam rangka
mengembangkan tanaman padi gogo dan mengembangkan metode identifikasi
yang mudah dan sederhana serta diharapkan dapat mendorong kemajuan
pertanian terutama bidang perbenihan di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan level tekanan osmotik
larutan PEG (BM 6000) yang digunakan terkait dengan cekaman kekeringan
484
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
yang menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap variabel yang diamati, maka
dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT pada taraf nyata 5%.
Percobaan ini diawali dengan menanam benih pada substrat kertas
merang. Sebelumnya substrat dilembabkan dengan larutan PEG 6000
menggunakan kuas dan volume (ml) PEG 6000 pada setiap substrat sama
jumlahnya. Kertas merang yang digunakan dalam setiap gulungan sebanyak 5
(lima) lembar dengan masing-masing lembar kertas merang membutuhkan 10
ml larutan PEG 6000.
Level tekanan osmotik PEG 6000 terdiri dari empat tingkat yaitu 0 bar, -
2 bar, -4 bar, dan -6 bar. Rumus perhitungan tekanan osmotik PEG 6000
menurut Michel & Kaufmann (1973) adalah sebagai berikut:
485
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada tekanan osmotik PEG 6000 0 bar (kontrol) untuk semua variabel
pengamatan (DB, KCT, IV dan PA) tidak menunjukkan banyak variasi antar
varietas dan nilai masing-masing variabel mas. Peningkatan tekanan osmotik
PEG 6000 yang diberikan mengakibatkan penurunan persentase daya
berkecambah yang berbeda-beda pada masing-masing varietas (Tabel
1)Peningkatan tekanan osmotik PEG 6000 hingga -2 bar mengakibatkan persentase
daya berkecambah masing-masing varietas mulai menunjukkan adanya penurunan
walaupun belum nyata secara statistik, namun telah terdapat beda nyata antar
varietas, sehingga telah dapat dibedakan antara varietas yang toleran dan tidak
486
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
487
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
488
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
489
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
490
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
viabilitas benih pada fase kecambah, dimana dengan menggunakan PEG 6000
bertekanan osmotik -2.139 bar telah dapat mengindikasikan benih yang toleran dan
yang peka.Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Effendi dkk., (2009)
menunjukkan bahwa berdasarkan nilai indeks sensitivitas cekaman kekeringan (ISK)
yang dihitung berdasarkan peubah bobot kering akar kecambah diketahui bahwa
perlakuan PEG 10% (setara dengan -2 bar) pada media perkecambahan
merupakan kondisi cekaman kekeringan yang dapat mengelompokkan genotipe
jagung toleran, medium toleran dan peka kekeringan.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. PEG 6000 bertekanan osmotik -2 bar merupakan level yang tepat untuk
mengidentifikasi toleransi benih padi terhadap cekaman kekeringan.
2. Varietas yang toleran terhadap kekeringan yaitu varietas Inpago 5, IR20 dan
Batutegi, sedangkan varietas Inpago 4, Inpago 6 dan Towuti tergolong
dalam varietas yang tidakak toleran.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2010. Deskripsi varietas padi.Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Dubrovsky JG, Gomez-lomeli LF. 2003.Water deficit accelerates determinate
developmental program of the primary root and does not affect lateral
root initiation in a sonorant desert cactus (Pachycereus pringlei,
Cactaceae). Am J Bot 90(6): 823-831.
Effendi R, Sudarsono, Ilyas S, Sulistiono E. 2009.Seleksi dini toleransi genotipe
jagung terhadap kekeringan.Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
28(2): 63-68.
Fauzi A. 1997. Studi beberapa tolok ukur viabilitas benih padi gogo (Oryza
sativa L.) untuk indikasi fisiologis sifat tahan terhadap kekeringan
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
International Seed Testing Association. 2010. International Rules for Seed
Testing. Ed 2010. ISTA. Zurich. Switzerland.
Jones MM, Turner NC, Osmond CB. 1981. Mechanisms of drought resistance.
Di dalam: Paleg LG, Aspinall D, editor. The Physiology and Biochemistry
of Drought Resistance in Plants.Sydney: Academic Pr. hlm 15-37.
Junaidi. 1998. Indikasi ketahanan padi gogo (Oryza sativa L.) terhadap
kekeringan berdasarkan viabilitas benih dan kandungan prolin bebas
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2010. Basis Data Statistik
Pertanian. Departemen Pertanian RI, Jakarta.
http://database.deptan.go.id [21 Mei 2010].
Lestari EG, Mariska I. 2006.Identifikasi somaklon padi Gajahmungkur, Towuti
dan IR64 tahan kekeringan menggunakan Polyethylene Glycol.Bul
Agron 34(2): 71-78.
Lubis E, Hermanasari R, Sunaryo, Santika A, Suparman E. 2008. Toleransi
galur padi gogo terhadap cekaman abiotik. Di dalam: Prosiding Seminar
Apresiasi Hasil Penelitian Padi; Sukamandi, 19-20 Nopember 2007.
Sukamandi: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. hlm 725-739.
491
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Michel BE, Kaufmann MR. 1973. The osmotic potential of polyethylene glycol
6000. Plant Physiol 51: 914-916.
Miguel MVC, Filho JM. 2002. Potassium leakage and maize seed physiological
potential. Sci Agric 59(2): 315-319.
Molphe-Balch EP, Gidekel M, Segura-Nieto M, Estrella LH, Ochoa-Alejo N.
1996.Effect of water stress on plant growth and root proteins in three
cultivars of rice (Oryza sativa) with different levels of drought
tolerance.Physiol Plant 96: 284-290.
Sadjad S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Jakarta: Grasindo.
Sadjad S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Sadjad S, Murniati E, Ilyas S. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih Dari
Komparatif Ke Simulatif. Jakarta: Grasindo.
Satria A. 2009. Pengujian toleransi kekeringan padi gogo (Oryza sativa L.) pada
stadia awal pertumbuhan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Suardi D. 2002.Perakaran padi dalam hubungannya dengan toleransi tanaman
terhadap kekeringan dan hasil.J Litbang Pert 21(3): 100-108.
Turner NC. 1979. Drought resistance and adaptation to water deficits in crop
plants. Di dalam: Mussell H, Staples RC, editor. Stress Physiology in
Crop Plants. New York: Wiley-Interscience. hlm 343-372.
Widoretno W, Guhardja E, Ilyas S, Sudarsono. 2002. Efektivitas Polietilena
Glikol untuk mengevaluasi tanggapan genotipe kedelai terhadap
cekaman kekeringan pada fase perkecambahan.Hayati 9(2): 33-36.
492
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Dewasa ini perkembangan dan pertambahan penduduk dunia semakin
pesat, tetapi kurang diikuti oleh peningkatan produksi komoditas dan perluasan
areal pertanian khususnya tanaman pangan. Namun yang terjadi saat ini,
bukannya produksi pertanian yang semakin meningkat, tetapi adalah
penurunan produksi komoditas tanaman pertanian tertentu yang disebabkan
oleh perubahan iklim global. Perubahan iklim tersebut berakibat pada
timbulnya perubahan cuaca ekstrim seperti kekeringan yang panjang dan banjir
yang semakin meluas. Kondisi lingkungan yang semakin terdegradasi seperti
efek rumah kaca, pemanasan global, dan perusakan hutan, semakin
memperburuk keadaan alam dan mengancam pertanian dunia.Akibatnya akhir
selain kerusakan alam, pada beberapa daerah di belahan dunia telah terjadi
musibah kelaparan dan krisis pangan. Diperkirakan sekitar lebih dari 70 miliar
penduduk dunia termasuk pada kondisi rawan pangan (Mohanty, dkk., 2000).
Perubahan kondisi lingkungan global,secara langsung berpengaruh
terhadap pola kehidupan penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia yang
termasuk kedalam 5 besar penduduk terpadat di Dunia, mensyaratkan tingkat
konsumsi komoditas pertanian khususnya tanaman pangan yang besar.Namun
dengan adanya fenomena yang mengakibatkan alam semakin terdegradasi
dan daya dukungnya semakin berkurang dalam memperoleh produksi
pertanian yang optimal, berakibat semakin beratnya upaya-upaya yang
dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan produk komoditas pertanian
khususnya tanaman pangan tersebut (Sumardi, dkk., 2007)
493
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
494
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
495
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Liaogen - + + + IR40931-26
Japonica Sub1A-1 T1 Famili Indica
Gambar 3. Fenotipe dari M202 dan M202 (Sub1) Tanaman Setelah Banjir (
Fukao dkk. 2006 dan Fukao and Julia 2008). Keterangan A.
adalah padi yang berumur 14 hari, telah di beri perlakuan banjir
selama 7 hari (kiri) dan 14 hari (kanan); B. Pertumbuhan coleoptil
tanaman dan beberapa daun padi setelah penggenangan; dan C.
penurunan kandungan klorofil a/b dalam daun selama
pengenangan dengan pengambilan sampel hari ke 0, 1, 3, 6, 10
dan 14 saat banjir.
496
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Terlihat perbedaan dari beberapa jenis kultivar padi dari yang tahan
terhadap banjir dan padi yang tidak toleran. Yang tahan terhadap banjir akan
tetap mempertahankan pertumbuhan hidup normalnya melalui pertumbuhan
yang konstan. Sedangkan padi yang tidak tahan banjir akan memberikan
perbandingan morfologi yang semakin nyata dengan perpanjangan pada
bagian batang/daun (Serres dan Voesenek, 2008). Pada dasarnya proses
metabolisme tanaman padi pada saat tergenang oleh banjir adalah upaya untuk
mencegah kekurangan oksigen. Beberapa metabolisme yang dilakukan adalah:
Mempertahankan pasokan gula dan energi metabolisme. Padi yang
toleran banjir memerlukan suplai karbohidrat yang banyak Pada bibit yang
lambat, terkandung cadangan karbohidrat tinggi dan pada pangkal batang
tanaman yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi akan lebih tahan
terhadap cekaman banjir. Experimen di IRRI memberikan gambaran efek banjir
selama (600 dan 1800 jam) mengunakan fitotron, dimana kandungan
karbohidrat masih banyak pada IR 42 (tidak toleran) selama 8-10 hari dan pada
hari berikutnya (12-20 hari) menunjukan penurunan kandungan karbohidrat
yang drastis dan mengakibatkan tanaman mati (Macintosh., 2006). Sedangkan
pada varietas padi yang tahan setelah tergenang 20 hari masih menunjukan
konsentrasi yang tinggi terhadap kandungan gula dan karbohidrat dalam
tanaman (Gambar 4).
497
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
beracun dalam jumlah tertentu namun mencegah kerusakan sel saat anoxia
dan banjir. Selain itu acetaldehid juga berperang dalam ketahanan tanaman
pada saat banjir (Sarkar dkk. 2006).
Protein anaerob (ANPs). Sebagian besar enzim pada proses glikolisis
dan fermentasi dipengaruhi oleh ANPs seperti enzim pengangkut sukrosa
(sucrose synthase) atau -amylase, glycolytik enzim (Glikose phosphate
isomerase, fructose-1,6-biophosphate aldolase, glyceraldehyde-3-phospat
dehidrogenase) dan fermentasi alkoholic enzim (PDC dan ADH).
Pengaturan hormon. Etilen dan gibberallin mempengaruhi
perpanjangan batang dan orientasi perkembangan daun (Xu dkk. 2000)
(Gambar 5).
498
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
daun. Menurut Fukao dkk. 2006, padi tahan banjir akan memproses biosintesis
1-aminocyclopopane-1-carboxilic acid yang akan berubah menjadi etilen dan
etilen sintesa akan membantu memproduksi oksigen saat banjir. Fukao dan
Julia (2008), menambahkan keterangan bahwa etilen mengkoordinasi
keseimbangan kandungan Gibberellic acid (GA) dan Abscisic acis (ABA),
dimana GA merangsang perpanjangan batang/daun saat banjir dan
mempengaruhi perkembangan akar.
Beberapa penelitian menginformasikan hubungan antara beberapa
hormon tumbuh seperi Gibberellin (GA), etilen, dan ABA (Grafik 2).
Perpanjangan batang dipengaruhi oleh GA dan etilen, sedangkan ABA lebih
berfungsi sebagai kontrol dan inhibitor perpanjangan batang. Beberapa
penelitian menerangkan bahwa gen Sub1A kemungkinan bisa bertahan dalam
kondisi banjir karena respon dari tanaman seperti etilen dan giberalin. Kedua
hormon meningkatkan kemampuan tanaman padi bertahan hidup di dalam air
pada waktu tertentu (Macintosh D. 2006).
KESIMPULAN
Mekanisme tanaman padi terhadap cekaman air ialah respon morfologi dan
metabolisme. Mekanisme tanaman padi yang mengandung gen toleran
terhadap banjir akan bertahan dan tumbuh sesuai dengan pertumbuhan
bertahap dan normal, sedangkan padi yang lain akan memanjang selanjutnya
akan terkulai apabila banjir mereda dan padi dapat berkurang pertumbuhannya
atau mati. Respon metabolisme tanaman padi dengan mempertahankan
internal energi dalam tubuh, fermentasi alkohol dan pemanfaatan hormon
tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
499
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ram P.C., BB Singh, A.K Sing, Parashu R., P.N Sing, H.P Sing, Iulia B, Frans
H., Edi S., MB Jakson, T.L Setter, J. Reuss, L.J Wade, V.P Sing, and
R.K Sing. 2002. Submergence Tolerance in Rainfed Low Land Rice:
Physiological Basis and Prospect for Cultivar Improvement through
Marker-aidded Breeding. Field Crops Research Vol 76. Page 131-
152.
Sarkar R.K., J.N Reddy, S.G. Sarma, and Abdelbagi M.I. 2006. Physiological
Basis of Submerge Toleran in Rice and Application for Crop
Improvement. Current Science. Vol 9 No 7. October 2006. Page
899-906.
Serres J.B., and L A C J Voesenek. 2008. Flooding Stress: Acclimations and
Genetic Diversity. Annual Review Plant Biology. Vol 59. Page 31-
39
Sumardi, Kasli, Musliar K, Auzar S, dan Nasrez A. 2007. Rospon Padi Sawah
pada Teknik Budidaya Secara Aerobik dan Pemberian Bahan
Organik. Jurnal Akta Agrosia Vol. 10 No.1 Jan.-Jun. 2007. hal 65-
71.
Xu K., Xia X., Takeshi F., Patrick C., Reycel M.R., Sigrid H., Abdelbagi M.I.,
Julia B.S, Pamela C. R. and David J. M. 2006. Sub1A is an
Ethylene-Response-Factor-like Gene that Confers Submergence
Tolerance to Rice. Nature Publishing Group. Vol 442.10 August
2006 doi:10.1038/nature04920. Page 705-708
Xu. K, Xu X., P.C Ronald, and D.J Mackill. 2000. A high-resolution Lingkage
Map of the Vicity of the Rice Submerge Tolerance Locus Sub.
Journal of Molecular Gen Genetic. Vol. 263. Page 681-689.
500
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Cucu Gunarsih, 1Aan A. Daradjat, 1Nafisah, 1Trias Sitaresmi, dan 2Akmal
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya 9 Sukamandi Subang 41256 Jawa Barat
2
BPTP Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan
1
Email : cucugunarsih@ymail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi galur-galur mutan padi
sawah varietas lokal dataran tinggi yang berumur genjah (105-124 HSS) dan
toleran suhu rendah (< 21 oC). Sebanyak 20 galur mutan padi varietas lokal
dataran tinggi generasi kelima (M5) yang telah diradiasi menggunakan sinar
gamma dosis 10, 20 dan 30 KRad dengan 4 varietas pembanding (Randah Batu
Hampa, Kuning, Kutu, dan Sarinah) telah dievaluasi di sentra produksi padi
sawah dataran tinggi di Bayongbong- Garut (Jawa Barat) yang memiliki
ketinggian tempat 1.101 m dpl pada bulan Mei-Agustus 2011. Percobaan
menggunakan rancangan acak kelompok yang diulang 3 kali. Ukuran plot 3 x 4
m2, dengan bibit berumur 25 hari setelah sebar ditanam 1 bibit/lubang tanam,
dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
diperoleh 6 galur secara statistik memiliki produktivitas nyata lebih tinggi
dibanding dengan varietas lokal Kuning. Keenam galur tersebut adalah
BP14518-3C-2-GRT, BP14518-9C-3-GRT, BP14518-30C-2-GRT, BP14526-
1C-2-GRT, BP14514-21C-1-GRT, BP14514-22C-1-GRT. Sehingga keenam
galur tersebut memiliki potensi untuk dievaluasi daya hasilnya di beberapa
sentra padi sawah dataran tinggi.
Kata kunci: Galur mutan, dataran tinggi, umur genjah
PENDAHULUAN
Beras merupakan makanan pokok utama bagi masyarakat Indonesia.
Kebutuhan beras untuk pangan penduduk Indonesia akan terus meningkat,
sejalan dengan tingkat laju pertumbuhan penduduk masih relatif tinggi ( 1,49
% per tahun), dengan konsumsi beras per kapita sebesar 139,15 kg (BPS,
2010). Ditambah lagi dengan ada perubahan pola konsumsi masyarakat dari
yang asalnya mengkonsumsi komoditas non beras menjadi konsumen beras.
Pertanaman padi di daerah dataran tinggi (>700 m dpl) sangat penting
peranannya sebagai sumber pasokan beras bagi daerah-daerah terpencil.
Meskipun luasnya mencapai 14% dari total luas areal pertanaman padi di
Indonesia, produktivitas padi di ekosistem dataran tinggi masih sangat rendah
antara 0.9–2.0 t/ha. Harahap (1979) melaporkan bahwa sekitar 1 juta hektar
lahan sawah di Indonesia berada pada daerah dengan ketinggian di atas 500
m dpl. Ekosistem tersebut tersebar di daerah pegunungan Bukit Barisan di
Sumatera, dan di beberapa perbukitan lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Nusa Tenggara, dan Papua. Rendahnya produktivitas padi di
501
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
502
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dan Sarinah) telah dievaluasi di sentra produksi padi sawah dataran tinggi di
Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat yang memiliki
ketinggian tempat 1.100 m dpl. Percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok yang diulang 3 kali. Ukuran plot 3 x 4 m2, dengan bibit berumur 25
hari setelah semai (HSS) ditanam 1 bibit/lubang, dengan jarak tanam 20 cm x
20 cm.
Lahan tempat percobaan pada saat pengolahan tanah pertama telah
diaplikasikan pupuk kandang (bahan organik) sebanyak 8 t/ha. Selanjutnya
pertanaman diberi pupuk N, P, dan K dalam bentuk Urea dan Phonska. Aplikasi
pupuk dilakukan sebagai berikut: 300 kg Phonska/ha telah diberikan saat
tanam. Pemupukan Urea susulan masing-masing sebanyak 95 kg/ha diberikan
pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST) dan fase primordia
bunga. Pengendalian organisme pengganggu tanaman dilaksanakan secara
optimal atau intensif dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah PHT.
Pengamatan pertumbuhan tanaman dan gejala toleransi suhu rendah
dilakukan terhadap parameter sebagai berikut: tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif per rumpun,umur berbunga 50%, jumlah gabah isi dan gabah hampa
per malai,bobot 1.000 butir, dan hasil gabah bersih per plot. Data yang
terkumpul dari penelitian ini dianalisis menggunakan analisis varians.
Perbedaan antara rata-rata galur dengan rata-rata varietas terbaik akan diuji
menggunakan nilai beda rata-rata terkecil (LSD) pada taraf beda nyata 5 %
(Gomez, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
503
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keterangan : * berbeda nyata lebih tinggi dari varieta Kuning berdasarkan uji
LSD taraf 5%; ns tidak berbeda nyata dari varietas Kuning
berdasarkan uji LSD 5%.
504
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pengamatan terhadap hasil gabah per plot dari galur-galur mutan yang
diuji menunjukkan bahwa hasil gabah kering giling (GKG) dari tiga varietas
pembanding yang digunakan berkisar antara 0.70 (varietas lokal Kutu dan
varietas Sarinah) – 1,08 t/ha (varietas lokal Kuning). Rendahnya produktivitas
yang dicapai oleh galur-galur yang diuji serta ceknya kemungkinan disebabkan
oleh tingginya cekaman suhu rendah di wilayah tersebut, sehingga
menyebabkan tingginya tingkat kehampaan yang dimiliki oleh setiap
galur/varietas yang diuji (Gambar 2 dan 3).
505
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dengan varietas lokal Kutu, namun secara statistik tidak berbeda nyata. Galur-
galur tersebut adalah BP14518-35C-1-GRT, BP14520-23C-1-GRT, BP14520-
26C-1-GRT, BP14514-6C-1-GRT, BP14514-10C-3-GRT, BP14514-12C-1-
GRT, BP14514-13C-2-GRT, BP14514-14C-2-GRT, BP14514-17C-2-GRT,
BP14514-21C-2-GRT, BP14514-23C-1-GRT, BP14516-2C-3-GRT, dan
BP14516-4C-1-GRT. Hasil penelitian yang dilaporkan Zen (2013) bahwa di
Kayu Aro Solok, Sumatera Barat telah memperoleh 7 galur padi sawah yang
mampu beradaptasi pada lingkungan dataran tinggi dengan peningkatan
produksi diatas varietas Sarinah sebesar 0.31-0.82 t/ha, dengan umur yang
lebih genjah dibandingkan Sarinah dan INPARI 28 Kerinci.
Komponen hasil
Umumnya untuk karakter tinggi tanaman dari sebagian galur-galur
mutan yang memiliki tingkat produktivitas nyata lebih tinggi daripada varietas
lokal Kuning, kecuali galur mutan BP14514-21C-1-GRT, dan BP14514-22C-1-
GRT yang menampilkan postur yang setara dengan varietas lokal Kuning.
Anakan produktif dari galur-galur yang diuji berkisar antara 15-18
malai/rumpun dengan rata-rata 16 malai/rumpun. Dari aspek jumlah malai
produktif per rumpun tersebut, galur BP14514-21C-1-GRT memiliki jumlah
malai produktif nyata lebih sedikit dibandingkan varietas pembanding dan galur-
galur yang diuji yaitu, 15 malai/rumpun.
Umur berbunga 50% dari 20 galur yang diuji berkisar antara 114– 117
HSS. Keenam galur yang memiliki produktivitas yang nyata lebih tinggi dari
varietas lokal Kuning, pada umumnya memiliki umur yang setara dengan
varietas pembanding. Zen (2007) melaporkan bahwa terdapat selisih umur
berbunga dengan umur masak/matang fisiologi tanaman padi dengan kisaran
25–30 hari pada agroekosistem dataran rendah sampai sedang (0-600 m dpl),
dan kisaran 30-40 hari pada agroekostem dataran tinggi (600-1000 m dpl), serta
pada musim hujan umumnya bertambah panjang sekitar 2–5 hari.
Jumlah gabah isi per malai dari 6 galur yang memiliki produktivitas nyata
lebih tinggi dibandingkan varietas lokal Kuning menunjukkan jumlah gabah isi
per malai yang setara dengan varietas pembanding, keenam galur tersebut
memiliki jumlah gabah isi per malai berkisar antara 46–71 butir.
Bobot 1.000 butir dari 6 galur yang memiliki produktivitas nyata lebih
tinggi daripada varietas lokal Kuning menunjukkan bobot 1.000 butir yang
setara kebernasannya dengan bobot 1.000 butir gabah varietas lokal Kuning,
kecuali galur BP14518-9C-3-GRT, dan BP14518-30C-2-GRT, yang memiliki
bobot 1.000 butir yang nyata lebih bernas dibandingkan varietas lokal Kuning.
Sebagian besar galur mutan yang memiliki hasil gabah yang lebih tinggi
dibanding varietas lokal Kuning memiliki karakteristik seperti : jumlah anakan
produktif yang setara, menampilkan jumlah gabah isi yang lebih tinggi, jumlah
gabah hampa yang lebih sedikit, dan bobot 1.000 butir gabah isi yang nyata
lebih besar dibandingkan dengan varietas lokal Kuning.
506
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia 2009. BPS. Jakarta.
[Internet]. [Diunduh tanggal 23 Maret 2013]. Tersedia pada http:/ /www.
datastatistik-indonesia.com/.
Da Cruz, R. P., and S. C. K. Milach. 2000. Breeding for cold tolerance in irrigated
rice. Ciencia Rural 30:909–917.
Da Cruz R. P, Sperotto R. A., D. Cargnelutti, J. M. Adamski,T. de FreitasTerra,
dan J.P. Fett. 2013. Avoiding damage and achieving cold tolerance in rice
plants. Food and Energy Security 2(2): 96–119.
Daradjat,A.A, Gani A, Kadir TS, Susanti Z, Gunarsih C. 2010. Identifikasi galur-
galur unggul padi sawah berumur genjah (104-124 hss), dan berpotensi
hasil tinggi ( ± 6 t/ha), di sejumlah ekosistem dataran tinggi ( ≥ 900 m dpl).
Laporan Akhir Program Insentif Riset Terapan. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Sukamandi. Hlm 1-19.
Daradjat A.A, S. Silitonga dan Nafisah. 2009. Ketersediaan Plasma Nutfah
untuk Perbaikan Varietas Padi. P : 1 - 27. Diunduh dari
Bbpadi_2009_itp_01.pdf.
Gomez, Kwanchai A. 1995. Prosedur statistic untuk penelitian pertanian.
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Hamdani, A.R. 1979. Low temperature problems and cold tolerance research
activities for rice in India. Pp. 41 – 52 . In. Report of a rice cold tolerance
workshop. IRRI, Los Banos.
Harahap, 1979. Rice Improvement for cold tolerance in Indonesia.pp. 53 – 60.
In. Report of a rice cold tolerance workshop. IRRI, Los Banos.
IRRI [International Rice Research Institute]. 1986. Rice Genetics. Proceedings
of the International Rice Genetic Symposium. Manila, Philipines.
507
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jena K.K, Kim S.M., Suh J.P. and Kim Y.G. 2010. Development of cold-tolerant
breeding lines using QTL analysis in rice. Second Africa Rice Congress,
Bamako, Mali, 22–26 March 2010: Innovation and Partnerships to Realize
Africa’s Rice Potential p: 1.7.1 – 1.7.9.
Satake T, dan Hayase H. 1970. Male sterility caused by cooling treatment at
the young microspore stage in rice plants. V. Estimation of pollen
developmental stage and the most sensitive stage to coolness. Proc Crop
Sci Soc Jpn. 39:468-473.
Zen, S. 2007. Penyebaran varietas unggul dan produktivitas padi sawah di
propinsi Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Tambua. VI (2). Universitas
Mahaputra Muhammad Yamin.
Zen, S. 2013. Galur harapan padi sawah dataran tinggi berumur genjah. Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan 13(3): 197-205.
508
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Penelitian dilaksanakan di Desa Sungai Solok Kecamatan Kuala
Kampar Kabupaten Pelalawan dengan tipe luapan B dilaksanakan pada bulan
Februari sampai Juni 2014, menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 11 perlakuan dan 3 ulangan dengan uji lanjut BNJ taraf 5 %.11 jenis
galur padi pasang surut yang diuji : G1, G3, G4, G6, G7, G8, G17, G20,G23,
G45, G53. Petak perlakuan berukuran 5x5 m, jarak antar petak 0.5 m .Variabel
pertumbuhan dan hasil yang diamati adalah: pertumbuhan vegetatif : tinggi
tanaman (cm),. jumlah anakan (batang) ,anakan produktif (batang) sedangkan
pengamatan generatif : komponen hasil (ton/ha), jumlah biji bernas per malai
(butir), bobot 1000 biji (g). pupuk dasar Urea 100 kg/ha, TSP 150 kg/ha, KCl 50
kg/ha, Furadan 16 kg/ha, dolomit, pupuk kandang (1 ton/ha), herbisida,
pestisida. Hasil penelitian penunjukkan bahwa galur padi yang baik
beradaptasi terhadap lahan pasang surut adalah G.1 dengan tinggi tanaman
124.63 cm, G.4 dengan jumlah anakan 7.43 batang, G.53 dengan jumlah
anakan produktif 6.33 (batang), sedangkan untuk pertumbuhan generatif hasil
G53 (9.43 t/ha), panjang malai G4 (33.29 cm), gabah bernas G23 (187,67
gram), berat seribu butir G8 (29.20 gram). Untuk galur yang dapat beradaptasi
dan dapat dikembangkan di Kabupaten Pelalawan adalah galur G53 , G1 dan
G20. Namun demikian, tingkat produktivitas padi Galur tersebut masih di
bawah potensi genetiknya.
Kata kunci : adaptasi, galur, pasang surut
PENDAHULUAN
509
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
510
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
511
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
512
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Komponen Hasil
Tinggi rendahnya persentase gabah bernas per malai disebabkan oleh
perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap galur terhadap kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan terutama pada fase reproduktif dan pemasakan.
Semakin tinggi persentase gabah bernas maka semakin rendah persentase
gabah hampa. Dikemukakan oleh Suwarno dkk., (1988) bahwa potensi hasil
tinggi merupakan salah satu sifat yang diperlukan bagi varietas unggul.
Panjang malai yang terpanjang terdapat pada G4 sedangkan jumlah gabah
bernas G23 dan hasil yang tertinggi G53 (Tabel 2).
Tabel 2. Panjang malai, jumlah gabah bernas, hasil, dan berat 1000 butir galur-
galur padi di lahan pasang surut Pelalawan Riau.
Panjang Malai Jumlah Gabah Hasil Berat 1000
Galur
(cm) Bernas (gram) (t/ha) Butir (gram)
G1 28.75 c 168.07 8.07 b 28.43 b
G3 31.56 b 183.93 6.40 b 23.90 b
G4 33.29 a 182.93 6.90 b 25.57 b
G6 32.32 b 180.60 7.50 b 24.43 b
G7 33.02 a 165.53 7.87 b 28.83 b
G8 29.32 b 149.73 7.13 b 29.20 a
G17 31.01 b 180.00 5.87 b 25.90 b
G20 30.17 a 166.67 7.98 b 28.43 b
G23 30.11 b 187.67 6.60 b 23.93 b
G45 29.83 b 155.33 7.87 b 28.53 b
G53 25.23 c 166.33 9.43 a 26.97 b
KK (%) 8.57 10.75 12.03 6.72
Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut BNJ pada taraf 5 %.
513
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada persentase gabah isi per malai pembentukan dan pengisian buah
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara P. Menurut Rinsema (1983)
dalam Sarkawi (1995) unsur P mempunyai pengaruh positif dalam
meningkatkan produksi gabah, bila jumlah kelarutan P kecil, akibatnya tanaman
tidak mampu berproduksi dengan baik. Jumlah gabah yang terbentuk pada
setiap malai ditentukan pada fase reproduktif, Sarief (1986).
Uji adaptasi merupakan salah satu persyaratan apabila suatu
galur/mutan/hibrida baru hasil pemuliaan dan atau introduksi akan dilepas
sebagai suatu varietas unggul. Tujuan uji adaptasi ini adalah untuk mengetahui
keunggulan dan interaksi galur/mutan/hibrida terhadap lingkungan. (Syukur,
2012). Salah satu faktor yang menentukan hasil gabah persatuan luas dari
suatu varietas padi adalah jumlah anakan produktif. Hal ini sejalan seperti yang
dinyatakan oleh Zairin dkk., (2009) bahwa umur tanaman, jumlah anakan
produktif, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan bobot 1000 butir
merupakan karakter agronomis yang berpengaruh langsung terhadap hasil
gabah.
Uji multilokasi genotype baru sering menampilkan perbedaan hasil yang
berubah-ubah dari satu lokasi dengan lokasi lainnya. Suatu genotype
memberikan hasil tertinggi di lokasi tertentu namun belum tentu di lokasi
lainnya. Terdapatnya perbedaan antara rata-rata hasil dengan potensi hasil
disebabkan karena adanya kerentanan terhadap berbagai cekaman biotik dan
abiotik (Shah dkk., 2005). Stabilitas hasil diukur berdasarkan variasi hasil dari
berbagai kondisi lingkungan (Cleveland, 2001). Menurut Susilawati dkk. (2010)
bahwa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi cekaman salinitas
514
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
515
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
makin lambat umur berbunga. Pada umumnya padi yang ditanam di dataran
tinggi umurnya panjang disebabkan karena suhu dan intensitas cahaya
matahari yang tinggi Pada musim kemarau suhu cenderung meningkat, kondisi
ini sangat berpengaruh terhadappertumbuhan pada fase generatif, suhu yang
rendah menyebabkan pembungaan padi terhambat sehingga umur padi makin
panjang. Makin tinggi suhu makin pendek umur tanaman padi (Fagi dan Las,
1988).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa galur –galur padi yang
baik beradaptasi terhadap lahan pasang surut adalah untuk pertumbuhan
vegetative adalah tinggi tanaman pada G1 (124.63 cm), Jumlah Anakan G4
(7.43 batang) , jumlah anakan produktif G53 (6.33 batang), sedangkan untuk
pertumbuhan generatif hasil G53 (9.43 t/ha) , panjang malai G4 (33.29 cm),
gabah bernas G23 (187,67 gram), berat seribu butir G8 (29.20 gram).
SARAN
Galur G.53, G.1 dan G.20 dapat disarankan untuk dikembangkan pada
lahan pasang surut Pelalawan Riau dengan rata-rata potensi hasil lebih dari
7.98 t/ha.
DAFTAR PUSTAKA
.
Anwar, K., M. Alwi, S. Saragih, A. Supriyo, D. Nazemi, dan K. Sari. 2001.
Karakterisasi Dinamika Tanah dan Air untuk Perbaikan Pengelolaan
Lahan Pasang Surut.
Badan Pusat Statistik. 2011. Berita Resmi Statistik No. 18/03/Th. XIV.
Fagi, A. M., B. Abdullah, dan S. Kertaadmaja. 2001. Peran Padi Sebagai
Sumber Daya Genetik Padi Modern. Dalam. Budidaya Padi, Prosiding
Diskusi Panel dan Pameran Budaya Padi Surakarta 28 Agustus
2001. Yayasan Padi Indonesia.
Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi
Riau, Tahun 2011.
Kurniawan, A. Y. 2008. Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani
Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan.
Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Pelalawan Dalam Angka, 2010. Laporan Tahunan .Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah .Pusat Statistik Kabupaten Pelalawan
Pelalawan Dalam Angka, 2011. Laporan Tahunan .Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah .Pusat Statistik Kabupaten Pelalawan
Rosmini, H., M. Saleh. 1998. Daya Hasil Galur Padi di Lahan Pasang Surut.
Laporan Hasil Penelitian 1998/1999. Balittra Banjarbaru.
Rosmini, H. 1999. Penampilan Daya Hasil Galur Padi di Laha Pasang Surut.
Laporan Hasil Penelitian 1999/2000. Balittra Banjarbaru.
Susilawati., B.S. Purwoko, H. Aswidinnoor, E. Santosa. 2010. Keragaan
Varietas dan Galur Padi Tipe Baru Indonesia dalam System Ratun. J.
Agron. Indonesia. 38:77-84.
516
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Tanaman padi adalah tanaman sereal yang banyak disukai di Asia, dan
merupakan sumber bahan makanan pokok mayoritas penduduknya. Lebih dari
90% padi tumbuh dan dikonsumsi di Asia. Menurut FAO (2008), padi
merupakan tanaman sereal terbesar kedua setelah gandum di dunia. Revolusi
hijau membantu untuk memecahkan permintaan dunia untuk pangan, tapi tidak
cukup untuk memenuhi ledakanpopulasi padaabad ke-21. Varietas padi hibrida
telah dikembangkan oleh lembaga di seluruh dunia termasuk IRRI yang telah
membantu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi padi.
Padi merupakan tanaman sereal utama dari banyak negara termasuk
Indonesia, namun umumnya tidak tahan terhadap cekaman garam (salinitas).
Salinitas adalah salah satu cekaman abiotik penting yang dapat membatasi
pertumbuhan dan produksi padi di seluruh dunia. Kemampuan untuk mentolerir
salinitas merupakan faktor kunci dalam meningkatkanproduktivitas tanaman
(Siringam dkk., 2011). Pengaruhcekaman garam terhadap metabolisme
tanaman, terutama pada penuaandaunsangatberhubungan dengan akumulasi
ion beracunNa+ dan Cl- dan defisiensi K (Al-Karaki, 2000). Salinitas terkait
dengan kelebihan garam NaCl yang merugikan dan menyebabkan
terhambatnya prose penyerapan air, mineral dan metabolisme tanaman
sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman (Akram dkk, 2001).
517
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
518
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
100
Perkecambahan (%)
50
Persentase
0 0
4000
8000
Varietas
519
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Varietas
10
Jumlah Akar Lateral (pc)
8
6 0
4 4000
2
0 8000
Varietas
Gambar 3. Jumlah akar lateral Sembilan varietas padi akibat cekaman garam
20
15
Volume Akar (cm3 )
10
5
0 0
Lambur
IR 64
IR 42
Ciherang
Dendang
Banyuasin
Inpara 10
Batanghari
Indragiri
4000
8000
Varietas
520
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
semua karakter morfologi. Rad dkk. (2012), Ali,dkk. (2012) dan Zhang et.al
(2012), melaporkan bahwa stres garam sangat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan komponen morfologi. Sejalan dengan itu, Sitompul dan
Guritno (1995), melaporkan bahwa tanaman memiliki perbedaan fenotipe dan
genotipe. Perbedaan genetik adalah salah satu faktor yang menyebabkan
munculnya keanekaragaman tanaman. Program genetik yang akan disajikan
dalam fase yang berbeda dari pertumbuhan dapat dinyatakan dalam berbagai
sifat tanaman yang mencakup bentuk dan fungsi tanaman yang menghasilkan
keragaman pertumbuhan tanaman. Selanjutnya, karakter fisiologi sembilan
varietas yang diuji dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
250
Absisik (nmol k g-1
Kandungan Asam
200
fresh mass)
150
100
50 0 4000
0 8000
Varietas
100
Kandungan AsamtAskorbat
80
(µmol g-1f.wt)
60
40 0
4000
20
8000
0
Varietas
Gambar 6. Kandungan Absisic Acid (nmol kg-1 µmol fresh) Sembilan Varietas
Padi Akibat Cekaman Garam
521
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dan peka. Temuan serupa dilaporkan oleh Gossett dkk. (1994) dan Benavides
dkk. (2000) pada tanaman kapas dan kentang yang toleran NaCl. Sebaliknya,
penurunan total jumlah askorbat terdapat pada tanaman Pisum sativum L. yang
peka dalam merespon terhadap stres garam untuk jangka panjang (Hernandez
dkk., 2000). Kandungan askorbat juga berkurang dalam merespon cekaman
abiotik lain seperti stres air pada tanaman kacang panjang (Mukherjee dan
Chaudhari, 1983) dan dalam menanggapi dingin dan tinggi iradiasi pada
Cucumis sativus (Wise dan Naylor, 1987). Berkurang askorbat akibat berbagai
stres mungkin karena perubahan glutathione yang terkait dalam daur ulang
askorbat (Foyer dkk., 1991).
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Akram, M., Hussain, M., Akhtar, S. and Rasul, E., 2001. Impact of NaCl Salinity
on Yield Components of Some Wheat Accessions/Varieties. Int. J. Agr.
Biol., 4(1): 156–158.
Alamgir, A. N. M. and Yousuf Ali, M., 2006. Effects of NaCl Salinity on Leaf
Charactersand Physiological Growth Attributes of Different Genotypes
of Rice (oryza sativa L.). Bangladesh J.Bot., 35(2): 99–107.
Al-Karaki G.N dan A. Al-Raddad. 1997. Effect of arbuscularmycorrhizal fungi
and drought stress on growth and nutrient uptake of two wheat genotypes
differing in drought resistance. Mycorrhiza 7: 83–88.
Azooz, M.M., A.M. Alzahranidan M. M. Youssef. 2013. The potential role of
seed priming with ascorbic acid and nicotinamide and their interactions to
enhance salt tolerance in broad bean (Viciafaba L.). AJCS 7(13):2091-
2100.
522
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Benavides M.P, P.L. Marconi, S.M. Gallego, M.E. Comba, dan M.L. Tomaro.
2000. Relationship between antioxidant defense systems and salt tolerance
in Solanum tuberosum. Australian Journal of Plant Physiology 27: 273–278.
FAO. 2008. 20 Things on salinity. http://www.fao.com.
Francois, L.E. and Kleiman, R., 1990. Salinity Effects on Vegetative Growth,
Seed Yield andFatty Acid Composition of Crambe. Agron. J., 82: 1110–
1114.
Karami, A., Homaee, M. and Basirat, S., 2010. Quantitative and Qualitative
Responses of Rice Genotypes (Oryza Sativa) to Salinity Levels of Drained
Water, 19th World Congress of Soil Science, Brisbane, Australia.
Linghe, Z. and Shannon, C.M., 2000. Salinity Effects on Seedling Growth and
YieldComponents of Rice. Crop Sci., 40: 996–1003.
Mahmood, ImdadAli ; S. Nawaz and M. Aslam. 2000. Screening of Rice (Oryza
sativa L.) Genotypes AgainstNaCl Salinity.
Munns R. (2002): Comparative physiology of salt and water stress. Plant, Cell
and Environment, 25: 239–250.
Sembiring, Hasil dan A. Gani. 2005. Adaptasi Varietas Padi pada Tanah
Terkena Tsunami. http://io.ppi.jepang.org.
Shereen, A., Mumtaz, S., Raza, S., Khan, M.A. and Solangi, S., 2005. Salinity
Effects on Seedling Growth and Yield Components of Different Inbred
Rice Line. Pak. J. Bot.,37(1): 131–139.
Siringam, K., Juntawong, N., Cha-um, S. and Kirdmanee, C., 2011. Salt Stress
Induced ion Accumulation, Ion Homeostasis, Membrane Injury and Sugar
Contents in Salt-Sensitive Rice (OryzasativaL. spp. indica) Roots
UnderIsoosmotic Conditions. Afr.J.Biotech., 10(8): 1340–1346.
Sitompul, S.M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
523
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
524
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
PENDAHULUAN
525
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
maka perlu dilakukan konservasi yang lebih dinamis seperti pelestarian in situ
dan lekat lahan (on-farmconservation).
Padi (Oryza sativa L.) merupakan sumber makanan pokok sebagian
besar penduduk dunia, tulang punggung pembangunan subsektor tanaman
pangan dan berperanan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan. Padi
juga memberikan konstribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB)
nasional (Damardjati. 2006). Produksi padi meningkat dari 52 juta ton tahun
2000 menjadi sekitar 66 juta ton tahun 2010, atau laju kenaikan 2,68% per
tahun bersumber dari peningkatan luas panen sebesar 1,24% dan peningkatan
produktivitas sebesar 1,41% per tahun.Rendahnya peningkatan luas panen
menunjukkan bahwa peningkatan produksi padi sudah semakin sulit
diusahakan khususnya di Jawa, Sumatera, dan Nusatenggara (Kementan.
2013). Menurut BPS (2011) dan (Susenas. 2011)produksi beras Indonesia
menurun 1,08 juta ton bila dibanding tahun sebelumnya.
Padi gogo merupakan padi yang dibudidayakan di lahan kering, umumnya
ditanam sekali setahun pada awal musim hujan. Pengembangan padi gogo
merupakan alternatif untuk meningkatkan produksi padi nasional, karena
perluasan padi sawah semakin sulit dilakukan. Strategi ini dilakukan di
antaranya melalui optimalisasi pemanfaatan lahan tidur. Tahun 2002 terdapat
sekitar 59.3 juta ha lahan kering berpotensi di berbagai provinsi, dan sekitar
24.7 juta ha di antaranya digunakan sebagai lahan perkebunan dan hutan
tanaman industri negara dan swasta (Departemen Pertanian. 2004). Sebagian
besar di antaranya (sekitar 11 juta ha lebih) berpotensi untuk dikembangkan
sebagai lahan pertanaman padi gogo (Puslitbangtan. 2006). Konstribusi padi
gogo terhadap produksi padi nasional masih relatif rendah, sehingga
pengembangannya masih terus diupayakan. Produktivitasnya sebesar 2.57
ton/ha, jauh lebih rendah dibandingkan produktivitas padi sawah (4.75 ton/ha)
(Departemen Pertanian. 2004). Rendahnya produktivitas padi gogo
disebabkan kondisi iklim dan tanah yang bervariasi, penerapan teknologi
budidaya yang belum optimal terutama penggunaan varietas unggul,
pemupukan dan pengendalian penyakit blas (Toha, 2005).
526
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
527
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keragaan kultivar
Keragaan kultivar hasil ekplorasi pada tanaman padi gogo di delapan
Kabupaten dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Lokasi pengumpulan kultivar padi gogo di 8 Kabupaten Provinsi
Sumatera Utara. 2015
No. Nama kultivar Desa Kecamatan Kabupaten Keterangan
1. Gara Geduk (M) Tanjung Muda STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
2. Belacan (M) Tanjung Muda STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
3. Tambur Kersik (P) Tanjung Muda STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
4. Pagai Gara (M) Tiga Juhar STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
5. Belacan (M) Tangga Batu STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
6. Si Puteh (M) Buho Bintang Bayu Serdang Bedagai Dataran sedang
7. Si Banur (P) Buho Bintang Bayu Serdang Bedagai Dataran sedang
8. Si Mandailing (P) Buho Bintang Bayu Serdang Bedagai Dataran sedang
9. Si Pala (M) Batu Ganjang Raya Simalungun Dataran sedang
10. Si Buah (M) Batu Ganjang Raya Simalungun Dataran sedang
11. Si Gambiri (M) Raya Kahean Seribu Dolok Simalungun Dataran sedang
12. Ramos Dewi (P) Pantai Gading Sicanggang Langkat Dataran rendah
13. Si Kembiri (M) Kubu Colia Dolat Rayat Karo Dataran tinggi
14. Si Kembiri (P) Kubu Colia Dolat Rayat Karo Dataran tinggi
15. SiKembiriLumat(M) Kubu Colia Dolat Rayat Karo Dataran tinggi
16. Si Penuh (M) Serdang Barus Jahe Karo Dataran tinggi
17. Condong (M) Serdang Barus Jahe Karo Dataran tinggi
18. Condong (P) Serdang Barus Jahe Karo Dataran tinggi
19. Pandan (P) Pasi Brampu Dairi Dataran tinggi
20. Rukun (P) Pasi Brampu Dairi Dataran tinggi
21. Kabanjahe (M) Pasi Brampu Dairi Dataran tinggi
22. Si Labundong (M) Bg. Bondar 10 P.Sidempuan P.Sidempuan Dataran tinggi
23. Si Babimbing (M) Si Loting Sipirok Tap. Selatan Dataran tinggi
528
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pertanaman padi gogo. Bagi petani yang tidak memiliki lahan sawah atau lahan
sawahnya terbatas, maka pada lahan kering yang dimilikinya akan diusahakan
padi gogo. Dengan kata lain, pertanaman padi gogo lebih diarahkan untuk
memenuhi kepentingan konsumsi rumah tangga petani itu sendiri.
Karakter agronomis dan morfologi
Keragaan karakter agronomis dan morfologi dari beberapa kultivar padi
gogo lokal hasil ekplorasi dari 8 Kabupaten disajikan pada Tabel 3.
529
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
bahwa faktor lingkungan yang kurang optimal dan faktor genetik yang berasal
dari varietas tidak unggul akan mempengaruhi tinggi tanaman. Ditambahkan
Gardner dkk., (1991) faktor eksternal (iklim, tanah, biologis) dan faktor internal
(laju foto sintesis, respirasi, aktivitas enzim) akan mempengaruhi pertumbuhan
vegetatif. Selain itu hasil gabah dipengaruhi oleh jumlah anakan produktif yang
dimilikinya. Selain faktor genetik faktor pemupukan juga menjadi salah satu
penentu banyak atau sedikitnya jumlah anakan. Pupuk Nitrogen mempunyai
fungsi untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman termasuk jumlah
anakan yang dihasilkan (Hardjowigeno. 2003). Sesuai dengan pernyataan Peng
dkk., (1994) dan Lakitan (1993) melaporkan bahwa kemampuan pembentukan
anakan produktif merupakan hal yang penting dalam penentuan perolehan hasil
gabah dan juga hal ini sangat erat kaitannya terhadap jumlah gabah permalai.
Tuntutan peningkatan produktivitas padi terus bertambah akibat semakin
bertambahnya jumlah penduduk serta semakin berkurangnya luas lahan subur
akibat alih fungsi lahan pertanian. Salah satu upaya adalah dengan
mengembangkan teknolgi tepat guna yang bersifat spesifik lokasi dan spesifik
komoditi, demi keterjaminan penyediaan pangan dan mampu mengatasi berbagai
kendala utama yang termasuk didalamnya peningkatan produksi. Pemerintah
terus berupaya meningkatkan luas lahan untuk mendukung surplus beras 10 juta
ton pada tahun 2014. Salah satu upaya tersebut dapat dilakukan melalui
pengembangan padi gogo di lahan kering. Peluang pengembangan padi gogo
masih sangat potensial, karena ketersediaan lahan non irigasi yang cukup
tersedia luas (sekitar 5,1 juta hektar lahan kering yang belum dioptimalkan
pemanfaataannya) yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia (Tim Peneliti
Badan Litbang Pertanian, 1999; Hidayat dkk. 2000; Dephutbun, 2000), serta
kondisi perubahan iklim yang cenderung dominan musim kering.Maka untuk
pengembangan penanaman padi gogo harus mempertimbangkan aspek
konservasi tanah, tingkat produktivitas, rasa, juga ketahanan terhadap hama dan
penyakit melalui pendekatan model pengelolaan tanaman dan sumberdaya
terpadu (PTT) di kawasan spesifik lokasi (Toha, 2005), guna untuk memenuhi
kebutuhan pangan penduduk kedepan agar ketergantungan terhadap beras
impor dapat teratasi, serta tercapai ketahanan pangan dan sistem pertanian
berkelanjutan.
KESIMPULAN
1. Melakukan eksplorasi dan konservasi sangat penting melalui pola kerjasama
dengan pihak pemerintah, swasta, dan pihak terkait serta melibatkan petani
sebagai pengguna langsung kultivar dan pewaris kultivar-kultivar lokal spesifik
lokasi, agar pelestarian plasma nutfah dan pemuliaan tanaman dapat terus
berlanjut dalam era otonomi daerah untuk penghasilan varietas unggul baru.
2. Konservasi plasma nutfah berperan penting untuk menghindari kepunahan
spesies padi lokal akibat pesatnya penanaman varietas unggul modern yang
mempunyai produksi tinggi, pembukaan lahan baru, peralihan pengusahaan
tanaman padi ke tanaman lain, dan pengembangan pemukiman.
530
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
531
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
532
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Program Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara
2
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas HKBP Nommensen
3
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
e-mail: benedicta.siregar@gmail.com
ABSTRAK
Kata kunci: cekaman kekeringan, toleransi, akar padi gogo, varietas lokal
PENDAHULUAN
533
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
534
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
535
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Bobot kering akar (g) pada berbagai perlakuan kadar PEG dan
varietas padi gogo
Varietas Kadar PEG Rataan
38 88 138 188 238
..............................................(g PEG/kg H2O)...............................................
Jatiluhur 0,0039 0,0026 0,0021 0,0022 0,0019 0,0026 bc
Towuti 0,0035 0,0035 0,0032 0,0016 0,0009 0,0025 bc
Danau Gaung 0,0041 0,0027 0,0030 0,0016 0,0012 0,0025 bc
Situ Patenggang 0,0034 0,0036 0,0037 0,0022 0,0019 0,0030 b
Inpago 7 0,0041 0,0035 0,0032 0,0020 0,0010 0,0028 bc
Inpago 8 0,0028 0,0026 0,0025 0,0019 0,0009 0,0021 c
Inpago 9 0,0042 0,0037 0,0029 0,0023 0,0017 0,0030 b
Inpago 10 0,0040 0,0037 0,0033 0,0025 0,0014 0,0030 b
Sigambiri Putih 0,0059 0,0043 0,0043 0,0026 0,0020 0,0038 a
Sigambiri Merah 0,0055 0,0046 0,0034 0,0030 0,0018 0,0037 a
Rataan 0,0042 a 0,0035 B 0,0032 b 0,0022 C 0,0015 d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada
perlakuan yang sama menunjukkantidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNJ pada taraf ά = 5%; data ditransformasi
menggunakan(X+0.5); PEG=polietilen glikol
Rata-rata akar terpanjang dimiliki oleh varietas Siga mbiri Putih dan
Sigambiri Merah, secara bergantian, pada semua level kadar PEG (tingkat
kekeringan), termasuk pada kadar PEG yang paling besar 238 g PEG/kg H 2O
(paling kering) (Tabel 1, Gambar 1a dan 2).
14 0.007
12 0.006
Bobot Kering Akar (g)
Panjang Akar (cm)
10 0.005
8 0.004
6 0.003
4 0.002
2 0.001
0 0
38 88 138 188 238 38 88 138 188 238
Kadar PEG (g PEG/kg H2O) Kadar PEG (g PEG/kg H2O)
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10 V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10
(a) (b)
Gambar 1. Panjang akar (a) dan bobot kering akar (b) Beberapa varietas
padi gogo pada berbagai kadar PEG.
Keterangan : V1:Jatiluhur, V2:Towuti, V3: Danau Gaung, V4:Situ Patenggang,
V5:Inpago 7, V6:Inpago 8, V7:Inpago 9, V8:Inpago 10,
V9:Sigambiri putih, V10:Sigambiri merah
536
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
(a)
(b)
Gambar 2. Kecambah varietas padi gogo lokal dengan potensi akarnya (a);dan
varietas padi gogo toleran kekeringan (b)pada perlakuan 238 g
PEG/kgH2O.
537
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ekstensif tumbuh lebih baik pada area yang mudah terkena stres kekeringan
dan stres panas (Lipiec dkk., 2013). Karakter akar merupakan variabel yang
paling dominan mempengaruhi penurunan hasil padakondisi cekaman
kekeringan. Untuk merakit varietas jagung toleran kekeringan perlu
memperhitungkan karakter akar dalam seleksi genotipe toleran kekeringan atau
mencari gen pengendali pertumbuhan akar (Effendi dan Azrai, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe toleran cekaman
kekeringan memiliki karakter bobot kering akar, panjang akar, jumlah akar
seminal, dan kandungan prolin di akar primer yang besar dibanding genotipe
peka. Pada kondisi cekaman PEG (kekeringan) kandungan prolin berkorelasi
nyata positif dengan pertumbuhan akar (Effendi, 2009). Prolin merupakan
senyawa yang dapat mengatur potensial osmotik sel(Sopandiedkk, 1996;
Farooq dkk. 2009; Szabados dan Savoure, 2009; Verslues dan Sharma, 2010).
Berbagai spesies tanaman dengan akumulasi prolin tertinggi menunjukkan
resistensi yang baik terhadap stres kekeringan (Siregar, 2015b).
KESIMPULAN
Akar terpanjang dan bobot kering akar terbesar diperoleh dari varietas
Sigambiri Putih dan varietas Sigambiri Merah, berbeda nyata dengan panjang
akar dan bobot kering akar varietas lainnya (varietas Jatiluhur, Towuti, Danau
Gaung, Situ Patenggang, Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, dan Inpago 10).
Rata-rata akar terpanjang dimiliki oleh varietas Sigambiri Putih dan
Sigambiri Merah, secara bergantian, pada semua level kadar PEG, termasuk
pada kadar PEG yang paling besar 238 g PEG/kg H 2O. Rata-rata bobot kering
akar terbesar dimiliki oleh varietas Sigambiri Putih pada kadar 38, 138, dan 238
g PEG/kg H2O. Rata-rata bobot kering akar terbesar dimiliki oleh varietas
Sigambiri Merah pada kadar 88 dan 188 g PEG/kg H 2O.
SARAN
Arsitektur morfologi akar yang terpapar kekeringan penting bagi pemulia
tanaman sebagai indicator seleksi (penapisan) untuk mendapatkan tanaman
padi gogo toleran kekeringan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada UPT Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura serta Fakultas Pertanian
Unika St. Thomas SU atas penggunaan fasilitas laboratorium. Demikian juga
kepada BBPT Padi Sukamandi atas pemberian benih beberapa varietas padi
gogo unggul nasional dan BPTP Sumut pemberian benih padi gogo lokal
Sumatera Utara.
DAFTAR PUSTAKA
538
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
539
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
540
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Lampiran 1. Sidik ragam panjang akar (cm) dan bobot kering akar (g)
541
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Wage R. Rohaeni,1Untung Susanto, 1Rina H. Wening dan 2S.R. Dalimunthe
1)
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jalan Raya IX Sukamandi – Subang Kode Pos 41256
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
e-mail: wagebbpadi@gmail.com
ABSTRAK
Evaluasi karakter agronomis galur perlu dilakukan pada setiap generasi
terutama pada generasi lanjut. Informasi karakter agronomis dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk pengujian pada tahap pemuliaan selanjutnya. Galur
yang sudah pada generasi lanjut harus memiliki penampilan yang sudah
homogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan karakter
agronomis galur-galur generasi lanjutpada sawah tadah hujan.Penelitian
dilakukan di sawah tadah hujan Ds. Margasari, Pasawahan, Kab. Purwakarta
MT1 2015. Rancangan yang digunakan adalah RAK4 ulangan dengan
perlakuan galur sebanyak 12 nomor galur dan 2 varietas cek(Inpari 10 dan
Inpari 38). Hasil menunjukkan bahwa keragaan karakter agronomis sudah
homogen pada masing-masing nomor galur.Pengaruh ulangan tidak nyata.
Nilai rata-rata karakter tinggi tanaman adalah 105.76 cm, jumlah anakan 20,
umur berbunga 80 HSS, pengisian gabah (seed set) 69 %, bobot 1000 butir
25.35 gram, dan potensi hasil 7.90 ton/ha. Terdapat keragaman antar galur
pada karakter semua karakter kecuali jumlah gabah isi/malai dan jumlah
anakan produktif. Bentuk rumpun pada galur-galur yang diujikan memiliki kelas
bentuk rumpun yang terdiri dari kelas bentuk rumpun terkulai, agak terkulai, dan
tegak sedangkan warna batang bawah terdiri dari dua kelas yaitu hijau dan
ungu. Terdapat 7 galur tadah hujan yang memiliki nilai potensi hasil lebih tinggi
dari rata-rata yaitu B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 (9.41 ton/ha),
BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 (9.30 ton/ha), Inpari 38 (B12497E-MR-45) (9.28
ton/ha), PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 (8.53 ton/ha), HHZ5-DT1-DT1 (8.48
ton/ha), B12272D-MR-15-3-2 (8.26 ton/ha), B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-2-2-4
(8.18 ton/ha). Kandidat galur gterbaik adalah B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-
MR-3 (tegak dan vigor bagus).
Kata kunci : evaluasi, karakter agronomis, galur padi tadah hujan.
PENDAHULUAN
Perakitan padi sawah tadah hujan terus digarap oleh Balai Besar
Tanaman Padi. Produktivitas padi pada lahan ini umumnya lebih rendah dari
hasil padi di lahan sawah irigasi dan di tingkat petani produktivitas padi sawah
tadah hujan berkisar 3,0 – 3,5 t/ha. Potensi padi tadah hujan dapat mencapai
6.95 ton/ha dengan pendekatan teknologi PTT (Widiantoro dan Toha, 2010).
Teknologi VUB masih menjadi teknologi unggulan dalam meningkatkan
produksi. Beberapa varietas unggul baru yang dilepas oleh Balitbangtan
mampu berproduksi di lahan tadah hujan dengan nilai produksi setara apabila
ditanam pada sawah irigasi (Pane dkk., 2009).
542
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Materi genetik yang lengkap seperti populasi generasi awal (< F4),
menengah (F5-F7), dan lanjut (> F8) merupakan modal dasar dalam perakitan.
Populasi generasi lanjut merupakan populasi yang siap dilepas dengan sifat
genetik yang sudah homogen homozigot dan sudah memiliki keunggulan sifat
tertentu. Varietas galur murni memiliki sifat homogeny homozigot (Widura,
Homogen homozigot artinya secara genetik dan secara fenotipe sudah
seragam (Syukur dkk., 2012).
Karakter agronomis merupakan karakter kuantitatif seperti tinggi
tanaman, jumlah anakan, gabah isi, potensi hasil dan lainnya yang dapat
menjabarkan keragaan genotipe/galur/varietas di lapang. Karakter agronomis
pada populasi generasi lanjut biasanya dijadikan patokan dalam pembuatan
deskripsi varietas dari galur yang dilepas. Keragaan dari karakter agronomis
pada populasi generasi lanjut yang diharapkan adalah sudah homogen antar
individu dalam populasi dan memiliki potensi hasil dan keunggulan tertentu
(tergantung tujuan pemuliaan) yang lebih dari rata-rata antar galur/populasi
lainnya.
Galur-galur padi generasi lanjut untuk sawah tadah hujan telah
terbentuk dari hasil proses seleksi dan observasi serta uji daya hasil.Galur-galur
siap diujikan dan diharapkan memiliki potensi hasil tinggi, tahan OPT
(organisme pengganggu tanaman) pada lahan tadah hujan serta sudah
homogen antar individu dalam populasi. Menurut Bredemeijer dkk., (2002),
varietas yang dilepas harus sudah memenuhi kriteria DUS, salah satunya harus
menunjukkan keseragaman dan stabilitas karakter.Sampai dengan tahun 2014,
varietas yang dikhususkan dilepas untuk sawah tadah hujan adalah Inpari 38.
Pilihan untuk padi adaptip sawah tadah hujan masih terbatas dan diperlukan
varietas-varietas baru yang lebih unggul. Adapun VUB yang adaptip lahan
kering dan cocok dilahan tadah hujan adalah Inpari 10 (Balitbangtan, 2015).
Untuk hal itu diperlukan galur-galur calon varietas adaptip sawah tadah hujan.
Evaluasi terhadap galur-galur generasi lanjut sangat perlu dilakukan.
Evaluasi adalah penilaian sifat-sifatnya sehingga diperoleh sifat-sifat yang
dapat dikombinasikan untuk mendapatkan genotipe yang diinginkan (Makmur,
1985).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan karakter
agronomis galur-galur generasi lanjut pada sawah tadah hujan dan diharapkan
memiliki potensi hasil yang lebih tinggi dibandingkan VUB untuk sawah tadah
hujan yang sudah dilepas.
BAHAN DAN METODE
Evaluasi galur-galur generasi lanjut dilaksanakan di lahan tadah hujan
ds. Margasari, Kec. Pasawahan, Kab. Purwakarta. Penelitian dilakukan pada
MT1 2015 (Mei – September). Sebanyak 12 nomor galur generasi lanjut padi
tadah hujan dievaluasi dengan mengunakan 2 cek VUB adaptif sawah tadah
hujan (Inpari 10 dan 38). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) 4 ulangan.
543
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
544
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
545
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
jumlah gabah hampa, bobot 1000 butir, dan hasil. Evaluasi terhadap karakter
agronomis menunjukkan nilai rata-rata karakter pada diantaranya: tinggi
tanaman 105.76 cm, jumlah anakan 20, umur berbunga 80 % %, bobot 1000
butir 25.35 gram, dan potensi hasil 7.90 ton/ha (Tabel 3).
Tabel 3. Keragaan agronomis masing-masing galur padi sawah tadah hujan.
No Galur/Varietas TT JA UB JM GI GH B1000 Hasil
1 HHZ5-DT1-DT1 92.9 20 80 75 87 33 22.67 8.48
2 BP14352e-1-2-3Op-Jk-0 107.35 17 81 70 89 39 25.70 7.39
3 PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 108.6 20 83 62 81 50 25.34 8.53
4 BP17280-M-15D-IND 101.3 20 80 67 90 52 25.40 6.88
5 BP17280-M-53D-IND 101.1 20 79 70 81 41 24.68 7.36
6 B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 93.95 16 80 64 104 21 25.35 9.41
7 B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-2-2-4 104.15 21 82 65 84 53 24.29 8.18
8 B12272D-MR-15-3-2 91.95 20 82 71 84 32 25.48 8.26
9 B13653G-TB-18 121.15 18 80 48 96 64 27.52 6.87
10 B14288F-MR-1 147.8 16 79 62 93 41 25.38 6.60
11 BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 98.85 21 80 64 103 27 24.72 9.30
12 IR77674-3B-8-2-2-14-2-AJY4-Ind1 116.45 20 80 59 84 45 30.82 7.31
13 Inpari 10 95.7 19 81 73 79 31 25.54 6.77
14 Inpari 38 (B12497E-MR-45) 99.45 17 80 69 92 37 23.36 9.28
Keterangan : TT = tinggi tanaman (cm), JA = jumlah anakan, UB = umur
berbunga, JM = jumlah malai/3 rumpun, GI = gabah isi/malai, GH =
gabah hampa/malai, B1000 = bobot 1000 butir,
546
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Terdapat 7 galur tadah hujan yang memiliki nilai potensi hasil lebih tinggi
dari rata-rata yaitu B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 (9.41 ton/ha),
BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 (9.30 ton/ha), Inpari 38 (B12497E-MR-45) (9.28
ton/ha), PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 (8.53 ton/ha), HHZ5-DT1-DT1 (8.48
ton/ha), B12272D-MR-15-3-2 (8.26 ton/ha), B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-2-2-4
(8.18 ton/ha). Galur yang memiliki potensi hasil tinggi lebih tinggi dari kedua
cek, bentuk rumpun tegak, vigor bagus (skor 1 atau 3) dan sehat (tidak terjadi
kasus serangan OPT) adalah B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 (9.4
ton/ha). Galur-galur yang memiliki potensi hasil lebih tinggi dari rata-rata
direkomendasikan untuk diujikan kestabilannya pada percobaan selanjutnya.
KESIMPULAN
Sebagian besar galur-galur generasi lanjut padi sawah tadah hujan
sudah homogen untuk semua karakter. Galur yang belum homogen yaitu
BP14352e-1-2-3Op-Jk-0yang terdapat pada karakter jumlah malai per 3
rumpun.Terdapat keragaman antar galur pada karakter tinggi tanaman, umur
berbunga 80%, jumlah malai per 3 rumpun, jumlah gabah hampa, bobot 1000
butir, dan hasil. Terdapat 7 galur tadah hujan yang memiliki nilai potensi hasil
lebih tinggi dari rata-rata yaitu B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 (9.41
ton/ha), BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 (9.30 ton/ha), Inpari 38 (B12497E-MR-
45) (9.28 ton/ha), PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 (8.53 ton/ha), HHZ5-DT1-DT1
(8.48 ton/ha), B12272D-MR-15-3-2 (8.26 ton/ha), B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-
2-2-4 (8.18 ton/ha).
SARAN
Galur-galur sawah tadah hujan yang memiliki potensi hasil lebih tinggi
dari rata-rata direkomendasikan untuk diuji kestabilannya pada percobaan
selanjutnya. Galur BP14352e-1-2-3Op-Jk-0 perlu dievaluasi kembali
kehomogenannya.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbangtan. 2015. Deskripsi varietas unggul baru. Balai Besar Tanaman Padi,
Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bredemeijer, M., J. Cooke, W. Ganal, R. Peeters, P. Isaac,Y. Noordijk, S.
Rendell, J. Jackson, S. Roder, K.Wendehake, M. Dijcks, M. Amelaine, V.
Wickaert, L.Bertrand, and B. Vosman. 2002. Construction andtesting of a
microsatellite containing more than 500tomato varieties. Theor. Appl.
Genet. 105:1019-1026.
Falconer DS. 1989. Introduction to Quantitative Genetiks. English Language
Book Society. London
Limbongan, Y.L., H. Aswidinnoor, B.S. Purwoko, dan Trikoesoemaningtyas.
2008. Pewarisan Sifat Toleransi Padi Sawah (Oryza sativa L)Terhadap
Cekaman Suhu Rendah. Bul. Agron. (36)(2): 111 – 117.
Makmur, A. 1985. Pokok-pokok Pernuliaan Tanaman. PT. Bina Aksara, Jakarta.
Mariadi, P. 2012. Variabilitas. http://maridi .staff.fkip. uns.ac.id/files/
2012/09/BAB-3.-VARIABILITAS-Maridi-P. pdf Mattjik, A.A., dan I.M.
Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab Jilid I. IPB PRESS, Bogor.
547
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pane, W., A. Wiradjaka, A.M. Fagi. 2009. Menggali potensi produksi padi sawah
tadahhujan.www.litbang.pertanian.go.id/special/padi/bbpadi_2009_itp_07.
pdf.
Singh RK, BD. Chaudary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetik
Analysis. Kalyani Publisher. New Delhi.
Sunanto, J. 2015. Ukuran Variabilitas Data http://file .upi.edu/ Direktori/FIP/
JUR._PEND._LUAR_BIASA/196105151987031JUANG_SUNANTO/UKU
RAN_VARIABILITAS_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf
Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman.
Penebar Swadaya. 348 hal.
Widyantoro dan H.M.Toha. 2010. Optimalisasi Pengelolaan Padi Sawah Tadah
Hujan Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Maros,
Sulawesi Selatan, 26 – 30 Juli 2010. Prosiding Pekan Serealia Nasional:
648-657.
DISKUSI
548
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
549
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
550
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
551
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
552
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
553
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Diameter
Sumber/ Asal Tinggi Tanaman (Cm) Panjang
Warna Telinga Warna Buku Warna Helaian Warna Pelepah Warna Lidah Bentuk Lidah Ruas Warna Ruas
Kode Warna Leher Daun Lidah Sudut Batang
Daun Daun Daun Daun Daun Daun Batang Batang
Kulti Nama Kultivar Daun
(Cm)
var Nilai Skor Skala Katego Katego Katego Katego
Kategori Skor Skor Skor Kategori Skor Kategori Skor Nilai Skor Skor Tipe Skor Kategori Skor
ri ri ri ri
K1 Pulut Putih Tanjung leidong, 115 /5 5 Sedang Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1 Tega
3 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Labura Muda k
K2 Kuku balam Desa Teluk pulai 86/1 1 Pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
Dalam, Leidong, Muda 2.5 Putih 1 cleft 2 1 0.9 Hijau 1
k
Labura
K3 Kuku Balam (2) Buah Dialas, Ds Blok 72/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
2, Kel. Tanjung Muda 2.5 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Leidong
K4 Kuku Balam Desa Urat, Samosir 89/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1.5 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
(KKA) 1 Muda k
K5 Kuku Balam Desa Urat, samosir 63/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 0.4 Hijau 1
(KKB) A2 Muda k
K6 Padi pulut Desa Stabat Lama 99/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Bergaris 2
Tega Bergaris
Barat, Kec. Wampu, Muda ungu 2 Putih 1 cleft 2 1 1 3
k Ungu
Kab. Langkat s
K7 Ramos Tebing Desa Aek Siancimun, 106/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
2 Putih 1 cleft 2 1 1.3 Hijau 1
Tarutung Muda k
K8 Ramos kuning Desa Aek Siancimun, 94/1 1 Pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Acumi Seda Bergaris
(12) Tanjung Maribun, Muda 2 Putih 1 1 3 1 3
nate ng Ungu
Tarutung
K9 Si Ramos Desa Hutapea 84/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
banuarea, Tarutung, Muda 1.2 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Tapanuli Utara
K10 Sikancang Gomuk Desa Ari Niato, Dusun 85/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Pardu Pasar, Samosir Muda k
K11 Si Kancang Desa Ari Niate, dusun 64/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Acumi Tega
0.5 Putih 1 1 1 1 Hijau 1
Gomuk (4) Pardu Pasar, Samosir Muda nate k
554
K12 Si Peget Desa Lumban Suhi- 80/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 0.8 Hijau 1
suhi, Dolok, Samosir Muda k
K13 Aries Lumban sui-sui, Dolok, 55/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
samosir Muda 1 Putih 1 cleft 2 1 0.5 Hijau 1
k
K14 Pulut Hitam Desa Hutapea 100/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
Banuarea, Tarutung, Muda 2.5 Putih 1 cleft 2 1 1.4 Hijau 1
k
Tapanuli Utara
K15 Pulut Putih Desa Hutapea 70/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Acumi Tega
Banuarea, Tarutung, Muda 1 Putih 1 1 1 0.4 Hijau 1
nate k
Tapanuli Utara
K16 Si Pulo manggil Sait Nihuta, Tarutung 87/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
2.2 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Muda k
K17 Si Cantik Manis Humbang Hasundutan 129s/9 9 tinggi Hijau 1 Putih 1 Bergari 3 Hijau tua 3 Bergaris 2 Tega Bergaris
1 Putih 1 cleft 2 1 2.3 3
Pendek Muda s ungu ungu k Ungu
K18 Sicantik Manis Humbang Hasundutan 128/9 9 tinggi Hijau 1 Putih 1 Bergari 3 Hijau 2 Bergaris 2 Tega Bergaris
2.5 Putih 1 cleft 2 1 1.3 3
Muda s ungu ungu k Ungu
K19 Si Tamba Tua Desa Pardamean, 66/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
Nainggolan, Pahae Muda 0.9 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Jae, Taput
K20 Si 64 Narara Desa Negeri 103/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Nainggolan, lumban Muda Acumi Tega
1 Putih 1 1 1 0.5 Hijau 1
Pardomuan, Pahae nate k
Jae, Taput
K21 Si Ramos Majanggut I, pakpak 96/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Bharat Muda k
K22 Kuku Balam Desa Karing, kec. 99/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1.5 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Berampu, Dairi Muda k
K23 Cengkareng esa Siatas Barita, 109/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1 Acumi Tega
2.6 Putih 1 1 1 1 Hijau 1
Tapanuli Utara Muda nate k
K24 Sirogi Dusun IV, Desa 70/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1
Tega 1
Tetehosi Afia, Gunung Muda 0.8 Putih 1 cleft 2 1 0.7 Hijau
k
Sitoli, Nias
554
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Diameter
Panjang Ruas
Warna Telinga Warna Buku Warna Helaian Warna Pelepah Warna Lidah Bentuk Lidah Warna Ruas
Kode Tinggi Tanaman (Cm) Warna Leher Daun Lidah Sudut Batang Batang
Sumber/ Asal Daun Daun Daun Daun Daun Daun Batang
Kulti Nama Kultivar Daun (Cm)
var
Nilai Skor Skala Katego Katego Katego Katego
Kategori Skor Skor Skor Kategori Skor Kategori Skor Nilai Skor Skor Tipe Skor Kategori Skor
ri ri ri ri
K25 Siregi Dusun IV, Desa 71/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
Tetehosi Afia, Gunung Muda 1 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Sitoli, Nias
K26 Si Lebah /Ketan Sibolangit, Deli 66/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Serdang Muda k
K27 Si Jambe Sibolangit, Deli 107/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 0.8 Hijau 1
Serdang Muda k
K28 Si Angkat Sawah Kuala Tanjung Asam 95/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1
Tega
Botik, Kec. Sei Suka, Muda 1.8 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Batubara
K29 Kadus Sumber Desa Sumber harapan, 116/9 9 tinggi Hijau 1 Bergari 2 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1
Seda Bergaris
Sari (1A) Kec. Tinggi Raja, Muda s Ungu 2.1 Putih 1 cleft 2 1 2 3
ng Ungu
Asahan
K30 Sitappe Maya Sitanggang 87/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
(tidak dijelaskan asal Muda Tega
2 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
daerahnya oleh k
pemulia)
K31 Bakong Tidak dijelaskan 89/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
sumber asalnya oleh Muda 2 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
pemulia
K32 3 Hanya kode, tidak 90/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
dijelaskan sumber Muda 1.5 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
asalnya oleh pemulia
555
Keterangan :
Skala Tinggi Tanaman Skala Panjang Daun (PjD)
1 pendek (sawah :<110 cm, gogo : >90 cm) 1 Sangat Pendek (<21 cm)
Sedang (sawah : 110 -130 cm, gogo: 90- 2 Pendek (21-40 cm)
5 125 cm) 3 Sedang (41-60 cm)
9 Tinggi (sawah: >130 cm, gogo: >125 cm) 4 Panjang (61-80 cm)
5 Sangat Panjang (>80 cm)
555
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Lidah daun
Hasil pengamatan pada karakter panjang lidah daun diperoleh panjang
lidah daun 0,5 – 3 cm, dengan warna lidah daun keseluruhan kultivar berwarna
putih. Sedangkan bentuk lidah daun dominan cleft dan ada 5 kultivar yang masuk
kategori acuminate. Adapun yang termasuk ke Acuminate adalah Ramos Kuning
(12), Si Kancang Gomuk (4), Pulut Putih, dan si 64 Narara.
Batang
Berdasarkan dari sudut batang, hampir seluruh kultivar tergolong tipe tegak
dan terdapat 2 kultivar yang termasuk sedang. Adapun kultivar yang termasuk
sedang yaitu Ramos Kuning (12) dan Kadus Sumber Sari (1A). Batang tanaman
memiliki diameter ruas berkisar 0,4 – 2,3 cm. Dimana diameter ruas batang
terbesar adalah kultivar Si Cantik Manis Pendek dan terkecil adalah Pulut Putih.
Warna ruas batang padi yang dikarakterisasi diperoleh dua kategori yakni
hijau sebanyak 85% dan bergaris ungu sebanyak 15%. Perbedaan yang terdapat
pada masing-masing kultivar merupakan keunikan tersendiri yang terdapat pada
masing-masing kultivar yang dapat memperkaya sumber daya genetik padi di
Sumatera Utara.
KESIMPULAN
1. Aksesi yang sudah dikoleksi berjumlah ± 100 kultivar dan yang dikarakterisasi
berjumlah 32 kultivar.
2. Karakter panjang daun diperoleh 12 kultivar yang tergolong panjang, 1 kultivar
pendek, 3 kultivar sangat panjang, dan 15 kultivar tergolong sedang. Untuk
lebar daun berkisar antara 0,5 – 2 cm. Permukaan daun tanaman padi yang
dikarakterisasi 13 kultivar tidak berambut, 15 kultivar sedang dan 4 kultivar
berambut. Sedangkan karakter sudut daun, 2 kultivar yang tergolong sedang
(45o ) dan 30 kultivar yang tergolong tegak (<45o). Warna buku daun seluruh
kultivar berwarna hijau kecuali Si Cantik Manis dan Si Cantik Manis Pendek
yang berwarna hijau bergaris ungu. Warna pelepah daun ada 3 kultivar yang
berwarna hijau bergaris ungu dan 29 berwarna hijau.
3. Terdapat kultivar yang memiliki keunikan pada batang dengan sudut batang
tipe sedang danwarna ruas batang yang bergaris ungu yakni Ramos Kuning
(12) dan Kadus Sumber Sari (1A)
SARAN
Identifikasi dan karakterisasi padi lokal Sumatera Utara masih pada tahap
vegetatif dan diharapkan identifikasi dan karakterisasi berlanjut sampai tahap
generatif sehingga diketahui adanya perbedaan komponen hasil dari setiap
kultivar yang akan dapat dimanfaatkan pemulia untuk mendapatkan varietas
unggul padi yang baru.
556
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
557
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Irfan Suliansyah1), Syahrul Zen2), Sobrizal3), Hendra Alfi4), dan Benny Warman 4)
1)
Fakultas Pertanian Universitas Andalas
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat
3)
PAIR BATAN
4)
Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang saat ini
masih memiliki keragaman genetik padi lokal. Padi lokal tersebut umumnya masih
dibudidayakan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh daya adaptasi
lingkungan yang lebih sesuai ditambah lagi oleh kesesuaian preferensi rasa.
Umumnya masyarakat di Sumatera Barat lebih menyukai preferensi rasa pera
seperti yang dimiliki oleh padi lokal. Sehingga pemanfaatan padi varietas modern
yang memiliki preferensi rasa pulen kurang diminati oleh masyarakat di Sumatera
Barat.
Seperti umumnya, salah satu kekurangan yang dimiliki oleh padi lokal
adalah umur produksi yang masih dalam (> 120 hari). Apabila hal tersebut dapat
diperbaiki tentunya akan lebih menguntungkan dalam upaya peningkatan
intensitas produksi serta lebih menguntungkan bagi petani. Salah satu cara yang
dapat digunakan untuk mengubah karakter genetik tanaman adalah melalui
pemuliaan mutasi. Mutasi adalah suatu perubahan yang terjadi pada materi
558
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
559
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Bahan yang digunakan adalah 3 galur padi mutan harapan hasil perbaikan
genetik padi lokal Sumatera Barat melalui pemuliaan mutasi, yaitu (nomor 1477-
4/3; nomor 1520-6/2; dan nomor 1524-1/3; beserta kultivar asalnya (var. Junjung)
dan kultivar diferensial (var. Asahan; var. Cisokan; var. IR 64; var. Krueng Aceh
var. Cisadane; var. Cisanggarung; serta var. Kencana Bali), ras patogen blas yaitu
ras 033, 073, 133 dan 173 serta ras dominan lokal, pupuk, serta komponen bahan
lainnya yang digunakan dalam perbanyakan isolate dan untuk skrining.
Persiapan inokulum patogen blas
Biakan murni patogen blas (ras 033, 133, 073 dan 173) diperoleh dari BB.
Padi Sukamandi selanjutnya diperbanyak pada media PDA selama 5 hari dan
dipindahkan ke media sporulasi yaitu media oat meal agar di Laboratorium Biologi
Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Pada media OMA isolat blas
ditumbuhkan selama 12 hari. Pada hari kesepuluh dilakukan penggosokan koloni
untuk membersihkan miselia udara dengan air steril yang mengandung
streptomycin 100 ppm. Penggosokan miselia dengan menggunakan kuas gambar
No. 10 yang sudah disterilkan. Koloni yang telah digosok diinkubasikan dalam
inkubator bercahaya neon 20 watt selama 2 x 24 jam. Pembuatan larutan konidia
sebagai inokulum dilakukan dengan cara menggosok koloni dengan kwas gambar
No. 10 pada umur 12 hari. Sebelum digosok pada masing-masing cawan petri
ditambahkan air steril yang mengandung Tween 20 sebanyak 0,02%. Konsentrasi
inokulum yang digunakan 2 x 105 konidia/mL (IRRI 2002), sesuai SOP BB Padi
(Anggiani 2012).
Persiapan tanaman, inokulasi dan analisis ketahanan
Pengolahan tanah dilakukan setelah dua kali turun hujan. Tanah diolah
hingga memperoleh struktur gembur. Tanah yang telah diolah lalu diratakan, dan
kemudian dibuat dua baris larikan pada sekeliling dan bagian tengah petakan.
Jarak antarlarikan 25 cm. Selanjutnya, pada lubang larikan ditaburkan benih peka
blas varietas Kencana Bali. Hal ini dilakukan untuk menarik dan mengumpulkan
ras blas yang berkembang di lokasi tersebut. Tiga minggu setelah benih tersebut
tumbuh, benih galur-galur yang diuji ditabur dengan cara membuat larikan searah
lebar petakan sepanjang 5 m. Jarak antarlarikan 25 cm. Setiap galur dan varietas
pembanding ditanam masing-masing tiga baris. Varietas pembanding ditanam
pada setiap kelipatan 100 nomor. Ajir bambu untuk nomor urut lapangan
digunakan pada setiap lima nomor galur.
560
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pengamatan
Bercak dapat berkembang hingga berbentuk bulat atau elips, dengan tepi
berwarna coklat pada varietas dengan ketahanan sedang. Pada varietas tahan,
bercak tidak akan berkembang dan tetap seperti titik kecil. Perbedaan bentuk,
warna, dan ukuran bercak dapat digunakan untuk membedakan ketahanan
varietas. Bercak penyakit blas daun pada varietas atau galur yang peka tidak
membentuk tepi yang jelas, terutama dalam keadaan lembap dan ternaungi.
Karakter ketahanan padi terhadap serangan penyakit blas daun diamati
dan dihitung menggunakan skor penyakit dan intensitas serangan berdasarkan
SES IRRI (1996). Perhitungan Skala Penyakit Setiap rumpun diamati dan diberi
skor. Skor penyakit diamati pada setiap pengamatan (14 hari, 21 hari, 28 hari dan
35 hari. Penentuan skor serangan penyakit blas daun berdasarkan Standard
Evaluation System for Rice (IRRI, 1996) seperti terlihat pada Tabel 1 :
Skor penilaian serangan penyakit blas leher (neck blas) pada padi
Skor Serangan blas leher Malai yang terserang
0 Tidak ada serangan
1 Kurang dari 5%
3 5-10%
5 11-25%
7 26-50%
9 >50%
561
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1477-4/3 1 ST 1 ST 1 ST 1 ST 2 T
1520-6/2 7 R 4 AR 4 AR 5 AR 5 AR
1524-1/3 1 ST 1 ST 1 ST 1 ST 2 T
Asahan 0 T 1 T 2 T 1 T 1 T
Cisokan 9 R 5 T 7 R 4 T 8 R
IR 64 5 T 4 T 4 T 7 R 7 R
Krueng Aceh 0 T 7 R 7 R 7 R 8 R
Cisadane 0 T 8 R 7 R 8 R 8 R
Cisanggarung 0 T 7 R 8 R 7 R 7 R
Kencana Bali 7 R 7 R 8 R 8 R 8 R
Pada Tabel 2 terlihat bahwa galur 1520-6/2 cenderung memiliki daya tahan
yang lebih rendah (rentan) terhadap ras blas yang diujikan bila dibandingkan
dengan kedua galur mutan yang lainnya 1477-4/3 dan 1524-1/3. Galur 1520-6/2
memiliki reaksi yang peka terhadap ras dominan dan agak peka terhadap ras 033,
133, 073 dan 173. Sedangkan pada galur 1477-4/3 dan galur 1524-1/3 memiliki
toleransi yang tinggi terhadap ras dominan lokal, ras 133. Ras 073 serta ras 173.
Dari hasil identifikasi terhadap blas ras dominan lokal yang dilakukan
terhadap varietas diferensial diperoleh informasi bahwa saat ini ras dominan lokal
memiliki nilai ras 101. Hasil identifikasi ras dominan lokal tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3.
562
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hal ini berbeda dengan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Handayani
(2007) yang menunjukkan bahwa ras dominan lokal Sitiung, Dharmasraya memiliki
nilai ras 173. Hal ini menunjukkan bahwa P. orizae Cav telah bermutasi dan
menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Menurut Chin
(1975), cendawan P. oryzae Cav. adalah cendawan dapat menyesuaikan
hidupnya dengan perubahan-perubahan dalam lingkungan hidupnya. Yaegashi
dan Yamada (1986) menjelaskan bahwa cendawan P. oryzae sangat dinamik
sehingga ketahanan varietas mudah patah dalam menghadapi ras baru yang lebih
virulen. Ras-ras baru akan segera terbentuk jika populasi tanaman berubah atau
ketahanan tanaman berubah. Perubahan ras juga terjadi dari hasil reisolasi dari
bercak varietas diferensial yang digunakan.
Dinamisnya perkembangan hidup P. oryzae Cav. dapat dilihat dari
perubahan ras dominan, dimana hasil identifikasi pada tahun 2007 memiliki nilai
ras 173 (Handayani, 2007), menjadi 101 pada tahun 2015 (Tabel 5). Menurut
Yaegashi dan Yamada (1986) dan Zeigler dkk. (1994) patogen blas merupakan
patogen polisiklus yaitu patogen yang menghasilkan lebih dari 1 siklus infeksi
dalam satu musim tanam. Cendawan Pyricularia mempunyai keragaman genetik
yang tinggi. Kemampuan untuk melakukan mutasi spontan merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan adanya keragaman genetik yang tinggi pada populasi
blas. Tingginya frekuensi terjadinya mutasi spontan pada cendawan blas, pada
umumnya berhubungan dengan kapasitas pembentukan spora. Cendawan P.
oryzae mudah beradaptasi dengan lingkungan seperti varietas padi yang ditanam.
Pada pengamatan toleransi galur mutan terhadap infeksi P. oryzae Cav
pada pangkal malai (neck blas) diketahui bahwa galur 1520-6/2 juga memiliki
reaksi yang peka terhadap ras dominan dan agak peka terhadap ras 133, 073 dan
173, namun agak tahan terhadap ras 033. Sedangkan pada galur 1477-4/3 dan
galur 1524-1/3 memiliki toleransi yang tinggi terhadap ras dominan lokal, ras 133.
ras 073 serta ras 173. Rangkuman pengamatan ketahanan galur mutan terhadap
infeksi P. oryzae Cav. yang menyerang leher malai (neck blas) dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata keparahan infeksi P. oryzae Cav. (Penyakit Blas) pada leher
malai (Neck Blas) dan tingkat ketahanan galur
Ras Dominan
Ras 033 Ras 133 Ras 073 Ras 173
Galur (G) Lokal
Skala Reaksi Skala Reaksi Skala Reaksi Skala Reaksi Skala Reaksi
1477-4/3 2 T 1 T 2 T 1 T 0 T
1520-6/2 7 R 3 AT 4 AR 5 AR 5 AR
1524-1/3 1 T 1 T 0 T 1 T 1 T
Asahan 1 T 1 T 2 T 1 T 1 T
Cisokan 8 R 5 T 7 R 4 T 8 R
IR 64 3 T 4 T 4 T 7 R 7 R
Krueng Aceh 9 R 7 R 7 R 7 R 8 R
Cisadane 0 T 8 R 7 R 8 R 8 R
Cisanggarung 1 T 7 R 8 R 7 R 7 R
Kencana Bali 9 R 7 R 8 R 8 R 8 R
563
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa toleransi galur mutan yang
diujikan terhadap infeksi neck blas (P. oryzae Cav.) tidak jauh berbeda dengan
informasi toleransi pada P. oryzae yang menginfeksi daun (leaf blas). Galur 1520-
6/2 memiliki toleransi yang rendah bila dibanding dengan kedua galur yang
lainnya. Hal ini menunjukkan kesamaan potensi genetik yang dimiliki galur-galur
tersebut terhadap toleransinya pada P. oryzae, baik pada leaf blas maupun pada
neck blas. Di samping kemampuan P. oryzae beradaptasi secara dinamis menurut
kondisi lingkungan, kemampuan tanaman untuk toleran terhadap infeksi juga
sangat mempengaruhi kemampuan dan potensinya. Kemampuan galur yang
toleran tersebut dapat menjadi potensi positif dalam pengambangan tanaman
yang tahan terhadap penyakit blas. Hal ini seiring dengan pendapat Ou (1985),
bahwa ketahanan tanaman padi terhadap blas dipengaruhi oleh ras Pyricularia
grisea makin tinggi derajat ketahanan padi makin sedikit ras jamur yang dapat
menginfeksi tanaman padi Kultivar padi yang berbeda-beda ketahannya terhadap
patogen ini, hal ini tidak hanya dipegaruhi oleh gen ketahanan yang mengontrol
yang dikandung oleh tanaman tersebut, banyak gen tahan (Poligenik) atau gen
tunggal (monogenik) tapi dipengaruhi juga oleh ketebalan kutikula dan silika pada
sel epidermis daun, ketahanan secara mekanis. Selain itu Howard dan Valent
(1996) menyebutkan gen ketahanan pada tanaman spesifik untuk ras patogen
tertentu. Sehingga suatu tanaman akan lebih tahan terhadap patogen tertentu jika
memiliki banyak gen ketahanan
Dari hasil karakterisasi ras terhadap ras dominan lokal yang menginfeksi
leher malai (neck blas) diperoleh informasi bahwa pengujian dengan
menggunakan varietas diferensial diketahui bahwa ras dominan lokal untuk neck
blas termasuk pada ras 121. Hasil karakterisasi P. oryzae pada leher malai (neck)
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Penentuan Nilai Neck Blas Ras Dominan Lokal
Varietas Diferensial Skor (%) Reaksi No. Kode
Asahan 5 T 200
Cisokan 100 R 100
IR 64 10 T 40
Krueng Aceh 75 R 20
Cisadane 0 T 10
Cisanggarung 5 T 2
Kencana Bali 85 R 1
121
Hal ini menunjukkan bahwa ras dominan lokal tersebut merupakan ras
yang memiliki potensi virulen yang dominan pada suatu lingkungan. Potensi ini
didukung selain kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya juga didukung oleh
ketersediaan tanaman inang untuk tempat bertahannya P. oryzae Cav. (Chin,
1975; Zeigler dkk., 1994, dan Yaegashi dan Yamada 1986).
564
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Ras dominan lokal yang menginfeksi (lebih virulen) termasuk ras 101 untuk
P. oryzae Cav yang menginfeksi daun (leaf blas), dan ras 121 yang menginfeksi
malai leher (neck blas).
DAFTAR PUSTAKA
Alfi, H., B. Warman, I. Suliansyah, E. Swasti dan Sobrizal. 2011. Seleksi mutan
genjah pada populasi M2 padi lokal Sumatera Barat. Prosiding Seminar
Nasional PERIPI Komda. SUMBAR.
Alfi, H., B. Warman, I. Suliansyah, E. Swasti dan Sobrizal. 2012. Karakterisasi
agronomi dan potensi produksi beberapa galur mutan harapan padi lokal
Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Agroindustri
Untuk Mendukung Perekonomian Rakyat. Politeknik Pertanian Negeri
Payakumbuh.
Alfi, H., B. Warman, I. Suliansyah, E. Swasti dan Sobrizal. 2013. Uji Daya Hasil
dan Mutu Beras Beberapa Galur Mutan Harapan dari Perbaikan Genetik
Padi Lokal Sumatera Barat Melalui Pemuliaan Mutasi
Amir, M. dan A. Nasution. 1993. Status dan pengendalian blas di Indonesia.
Risalah Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, 23-25 Agustus 1993. hlm. 583-
601.
Amir, M. 1995. Petunjuk Teknis Pengendalian Penyakit Blas (Pyricularia grisea)
pada Padi Gogo di Indonesia. Pelatihan Teknis PGUVB bagi Kepala UPP-
BLN dan Asisten PTP pada Proyek-proyek Direktorat Jenderal
Perkebunan, Cipayung, Bogor, 23-24 Maret 1995. 14 hlm.
Chin, K.M. 1975 Fungisidal control of the rice blas disease. Mardi Reseacrh
Bulletin. 2(2): 82-84
Handayani, D. 2007. Studi keragaman genetik jamur Pyricularia oryzae Cav. asal
Sitiung Tahun 2006. Skripsi. Fak. Pertanian Universitas Andalas. (Tidak
Dipublikasikan)
Howard RJ, B Valent. 1996. Breaking and entering: host penetration by the fungal
rice blas pathogen Magnaporthe grisea. Annu Rev Microbiol 50: 491–512.
International Rice Research Institute (IRRI). 1996. Standard evaluation system for
rice. INGER Genetic Resources Center. International Rice Research
Institute, Manila, Philippines.
Ou, S.H. 1985. Rice Disease. Commonwealth. Inst. Kiew, Surrey, England. 368 p.
Ou, S.H. 1979. A Handbook of Rice Diseases in the Tropics. 3rd ed. International
Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. p. 17-25
Yaegashi H, Yamada M. 1996. Pathogenic race and mating Type of Pyricularia
oryzae from Soviet Union, China, Nepal, Thailand, Indonesia and
Columbia. Ann Phytopath Soc Japan 52 : 225-234.
Zeigler RS, Tohme J, Nelson R, Levy M, Correa-Victoria FJ. 1994. Lineage
exclusion : A proposal for linjing blas population analysis to resistance
breeding. rice blas disease. CAB International IRRI 267-2.
565
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
566
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk
tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah
teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan
penggunaan lahan sesuai dengan keperluan serta memberikan arah tindak lanjut
dari sistem pengelolaan kedepannya melalui informasi kesuburan lahan baik fisik,
kimia dan biologinya (Ritung dkk. 2007).
Dengan melihat begitu pentingnya arti dari evaluasi sumberdaya lahan ini
dalam mendukung potensi dan pengembangan padi sawah di Kabupaten
Batubara, makalah ini memberikan informasi karakteristik sumberdaya lahan
sehubungan dengan pertanaman padi di Kabupaten Batubara, dan memberikan
arah tindak lanjut sebagai strategi teknis dalam meningkatkan produksi dan
produktivitas padi di Kabupaten ini.
567
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Bahan yang diperlukan pada kegiatan ini adalah peta rupa bumi skala
1:50.000 lembar Dolok Merawan (0719-11), Perdagangan (0719-12), Tebing
Tinggi (0719-13), Indrapura (0719-14) dan Labuhan Ruku (0719-21). Peta satuan
lahan dan tanah skala 1:250.000 lembar Pematang Siantar (0718) dan Tebing
Tinggi (0719). Data iklim meliputi curah hujan, suhu dan kelembaban.Adapun
peralatan yang digunakan meliputi komputer dengan software Arc GIS, ER
Mapper, Envi dan IDRISI. Dilengkapi lagi Musell Soil Color Chart, GPS, kantong
plastik dan label, bor tanah dan skop, ember dan cangkul.
568
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil analisis LQ yang juga turut dilakukan untuk melihat potensi komoditas
unggulan tanaman pangan khususnya padi sawah menunjukkan bahwa padi
sawah memang merupakan komoditas unggulan di Kab. Batubara karena terlihat
bahwa nilai LQ>1 tersebar di 5 kecamatan, yakni Kec. Sei Balai, Tanjung Tiram,
Talawi, Air Putih dan Kec. Medang Deras. Nilai LQ tertinggi untuk komoditas padi
sawah terdapat di Kec. Medang Deras yakni 1,07 (Tabel 1).
569
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
570
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dari peta tersebut terlihat adanya kemungkinan yang sangat tinggi untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas padi sawah di Kab. Batubara. Hal ini
disebabkan oleh kelas kesesuaian lahan yang didominasi oleh S2 (Sesuai) dan S3
(Cukup Sesuai) untuk ditanami tanaman padi dan yang menjadi kendala dalam
berusaha tani untuk Kab. Batubara adalah media perakaran (rc), retensi hara (nr),
hara tersedia (na), kemiringan lereng (eh) dan ketersediaan air (wa).
Beberapa langkah yang dapat diambil oleh petani dan pemerintah daerah
dalam meningkatkan produksi dan produktivitas padi dengan memanfaatkan peta
tersebut diatas adalah:
a. Penggunaan pupuk organik dan anorganik yang tepat jenis, tepat dosis
dan tepat waktu aplikasi karena permasalahan yang ada pada lahan
sawah adalah rendahnya tingkat kesuburan tanah baik fisika, kimia dan
biologi. Diharapkan dengan pemberian pupuk akan dapat meningkatkan
produktivitas yang secara tidak langsung akan meningkatkan produksi
padi di Kab. Batubara.
b. Pengembalian jerami ke lahan sawah juga akan memperbaiki sifat fisik
dan kimia tanah, diharapkan petani dapat mengaplikasikan teknologi ini ke
lahan mereka.
c. Penerapan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT),
merupakan pendekatan yang sering didesiminasikan oleh peneliti dan
penyuluh BPTP Sumatera Utara. Tidak perlu diragukan lagi bahwa
571
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
572
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
573
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Sektor pertanian dalam arti luas masih menjadi sektor andalan dan masih
menjadi mesin penggerak pertumbuhan perekonomian di Provinsi Sumatera
Utara, khususnya di Kab. Simalungun. Pertanian menjadi sangat penting karena
574
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
575
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Bahan yang diperlukan pada kegiatan ini adalah peta-peta dasar (peta rupa
bumi skala 1:50.000, geologi, citra satelit dan peta administratif). Data iklim
meliputi curah hujan, suhu dan kelembaban. Peralatan yang digunakan meliputi
komputer dengan software ArcGIS, ER Mapper dan IDRISI. Selain itu digunakan
Musell Soil Color Chart, GPS, kantong plastik dan label, bor tanah dan skop, ember
dan cangkul yang diperlukan pada saat survey dan pengambilan sampel.
576
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
(dataran rendah hingga dataran tinggi). Kab. Simalungun memiliki letak yang
cukup strategis karena wilayahnya berada di kawasan wisata Danau Toba –
Parapat. Temperatur suhu udara rata-rata di Kab. Simalungun adalah 25,2 0C,
dengan suhu terendah 21,1 0C dan suhu tertinggi 30,4 0C. Penyinaran matahari
rata-rata 5,2 jam/hari dengan kecepatan angin 0,21 m/det dan penguapan 3,08
mm/hari serta kelembaban udara 85% (BPS Simalungun, 2014).
577
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk padi sawah (Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan Komoditas Pertanian, 2011)
Melalui tabel diatas terlihat bahwa Kab. Simalungun memiliki potensi yang
sangat tinggi terkait dengan temperatur/ suhu dan kelembaban karena wilayah
Simalungun termasuk dalam kelas S1 (Sangat Sesuai), yakni wilayah Simalungun
sangat sesuai dilihat dari sisi temperatur/ suhu dan kelembaban untuk ditanami
padi sawah. Namun demikian, penentuan kelas kesesuaian lahan dalam suatu
pemetaan, tidak hanya dilihat dari sisi temperatur ataupun kelembaban saja
melainkan penilaian itu dilakukan secara menyeluruh. Sistem Penilaian
Kesesuaian Lahan (SPKL) yang digunakan dalam penentuan kelas kesesuaian
lahan sangat berguna dan membantu mempercepat hasilnya. Setiap SPT yang
telah dikerjakan diawal kegiatan dianalisa nilai kesesuaian lahannya. Dalam SPKL
578
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
semua data baik biofisik lingkungan, observasi lapangan, kesuburan tanah (fisika
dan kimianya) dientry guna mendapatkan hasil yang benar-benar baik.
1. Alih fungsi lahan sawah ke peruntukkan yang lain, seperti: perumahan, industri,
komoditas pertanian lain, perkantoran dan lain sebagainya.
2. Pengaruh iklim yang dapat menimbulkan banjir, kekeringan dan serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT) sehingga menyebabkan gagal panen
3. Kurang tersedianya sarana produksi dan juga harganya yang sulit dijangkau
petani
579
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
4. Rata-rata kepemilikan lahan sawah yang hanya 0,3-0,5 ha, membuat usaha tani
tidak secara signifikan dalam meningkatkan pendapatan/ kesejahteraan
5. Harga gabah yang tidak memihak petani, sehingga membuat petani merubah
profesi atau merubah komoditi pertaniannya
6. dan lain-lain
Sejalan dengan potensi dan kendala yang ada dilapangan diatas, dan
tingkat kesesuaian lahan maka sangat diperlukan beberapa strategi dalam upaya
antisipasi permasalahan yang ada sebagai berikut :
580
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
581
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pengembangan komoditas pertanian unggulan suatu wilayah seperti
tanaman pangan, dapat secara optimal dilakukan dengan memperhatikan
dukungan sumberdaya alam seperti tanah dan air. Pewilayahan komoditas
tanaman pangan khususnya padi perlu diketahui sebagai dasar pertimbangan
pembangunan pertanian yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan memberikan
hasil yang optimal (FAO. 1996; Babel danTuryatungga. 2015).
Pewilayahan komoditas pertanian adalah suatu bentuk usaha untuk
membuat wilayah-wilayah sesuatu atau kelompok komoditas dengan
mempertimbangkan kualitas dan ketersediaan sumberdaya lahan, manusia, dan
infrastruktur yang tersedia agar diperoleh produk pertanian yang optimal dan
berwawasan lingkungan dengan melalui pendekatan sistem dan usaha agribisnis
(Tian dkk, 2014).
Pewilayahan komoditas tanaman pangan khususnya padiadalah melalui
pemanfaatan peta AEZ skala 1 : 250.000 secara operasional, lalu ditindaklanjuti
melalui pemetaan lebih detail pada skala 1 : 50.000 dengan mempertimbangkan
sifat dan karakteristik tanah sebagai prasyarat utama. Faktor-faktor tanah dan fisik
lingkungan yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan adalah tanah
(media perakaran, retensi hara, toksisitas), iklim (suhu udara, elevasi, curah hujan)
582
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
583
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
- Peta dasar yang terdiri dari peta topografi/peta rupa bumi skala 1:50.000,
peta administrasi skala 1:50.000 Kabupaten Bintan.
- Citra satelit untuk Kabupaten Bintan.
- Peta tematik yang terdiri dari peta tanah, peta observasi, dan penggunaan
lahan.
- Peta pendukung yang terdiri dari peta-peta yang tersedia seperti peta
AEZ, peta tanah tinjau, peta arahan tata ruang pertanian dan peta arahan
pengggunaan lahan, masing-masing skala 1:250.000.
Tingkat ketelitian hasil pemetaan tergantung pada tingkat skala peta yang
dihasilkan serta variabel sifat tanah/lahan dan komoditas yang dinilai. Makin detail
skala peta, makin detail informasi kelas kesesuaian lahannya. Parameter biofisik
yang digunakan untuk evaluasi lahan tersebut adalah iklim, terrain, dan tanah
(Tabel 1).
Tabel 1. Parameter biofisik untuk evaluasi kesesuaian lahan skala 1:50.000
Parameter Kualitas lahan Karakteristik lahan
1. Iklim Rejim suhu, ketersediaan air Suhu udara, curah hujan ratarata tahunan,
bulan kering, dan bulan basah.
2. Tanah Kondisi media perakaran, retensi Kedalaman tanah, drainase, tekstur, bahan
hara, ketersediaan hara, kasar, KTK tanah, pH, C organik, NPK,
toksisitas keracunan/ bahan sulfidik, dan salinitas.
3. Terrain Bahaya erosi, bahaya banjir, Bentuk wilayah/ lereng, bahaya banjir,
penyiapan lahan singkapan batuan, dan keadaan batuan di
permukaan.
584
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Lahan dengan bentuk wilayah datar yang sangat luas merupakan wilayah
yang mempunyai potensi cukup besar (38.470 ha) untuk pengembangan pertanian
tanaman pangan seperti tanaman padi. Wilayah perbukitan (lereng, <25%), masih
memungkinkan untuk pengembangan pertanian, terutama untuk tanaman
tahunan/perkebunan dengan penerapan teknik konservasi tanah (Serres dan
Voesenek, 2008).
585
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Komponen hasil padi dari beberapa VUB yang diuji terdiri dari panjang
malai, jumlah tangkai/malai, jumlah biji dan prosentase hampa serta
produktivitas/ha dapat dilihat pada Tabel 5.
586
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Padi merupakan salah satu komoditas utama sektor pertanian yang memiliki
peluang baik untuk dikembangkan dan dibudidayakan di Kabupaten Bintan.
Potensi lahan mencapai 20.275 ha padi sawah dengan potensi hasil padi
mencapai 5 ton/ha oleh VUB Inpara 5. Potensi lahan untuk padi gogo tersedia
adalah 45.051 ha.
587
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Azwir,. Ismon, L. 2011. Pertumbuhan dan Potensi Hasil Tiga Varietas Padi di
Lahan Sawah Bukaan Baru dengan Menggunakan Paket Teknologi Lado
21, Prosiding Seminar Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai
Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian :265-
272 p.
Babel, M.S., Turyatungga E. 2015. Evaluation of climate change impact and
adaptation measure for maize cultivation in the western Uganda agro-
ecological zone. TeorApplClimatol, 199: 239-254
Badan Litbang Pertanian. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian; 20 p.
Balitpa. 2010. Deskripsi varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi; 109
p.
BPS. Kabupaten Bintan. 2012. Bintan dalam angka 2012. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bintan.
Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. 2008.
http://www.depkominfo.go.id/. 2008. Departemen Komunikasi dan
Informasi Republik Indonesia-Newsroom. Jakarta, 9/1/2008
Deptan. 2008. Peningkatan produksi padi menuju 2020, memperkuat kemandirian
pangan dan peluang ekspor. Departemen Pertanian, Jakarta.
Fadjry, D., Arifuddin K, , Syafruddin K., Nicholas. 2012. Pengkajian varietas unggul
baru padi yang adaptif pada Lahan sawah bukaan baru untuk
meningkatkan Produksi 4 ton/ha gkp di kabupaten merauke provinsi,
Papua. Dalam Prosiding Sinas, 29-30 November 2012
FAO. 1996. Agro-ecological zoning guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome.
Hendrata, R., Sutardi, S., Widyayanti. 2011. Penampilan Agronomis Galur
Harapan Padi Sawah Pada Tanah Vertisol di Kabupaten Gunung Kidul.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Penelitian
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian:239-245 p.
Rina, D.N., Khairatun, N. 2012. Penggunaan pupuk organik untuk mengatasi
keracunan Besi di Lahan pasang surut kalimantan selatan. Seminar
Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas
Trunojoyo Madura Juni, 2012, 9 hal.
Serres, J.B., L.A.C. J Voesenek. 2008. Flooding Stress: Acclimations and Genetic
Diversity. Annual Review of Plant Biology.Vol 59. Page 31-39
Tian, Z., zhong H., Sun L., Fisher B., Van Velthuizen, Liang Z. 2014. Improving
performance of agro-ecological zone (AEZ) modeling by cross-scale
model coupling: an application to japonica rice production in Northeast
China. Ecological Moddeling: vol 290: 155-164.
588
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kata Kunci : Adopsi, PTT padi, Limbah cair pabrik gula, Langkat
PENDAHULUAN
Pabrik Gula Kwala Madu (PGKM), suatu perusahaan penghasil gula yang
didirikan di luar pulau Jawa. Proses produksi PGKM menghasilkan limbah yaitu
limbah padat dan limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan PGKM di wilayah
manajer perkebunan Tanjung Jati Kabupaten Langkat sebelum dibuang ke
saluran irigasi, terlebih dulu ditampung di bak penampung. Limbah cair yang
berasal dari proses pembersihan atau pencucian dan pemasakan meghasilkan
efek asam atau alkali dengan mengandung kadar garam yang cukup tinggi.
Limbah cair ini mengandung unsur-unsur hara yang berguna (N, P, K, Ca, Mg dan
sebagainya) yang dapat membantu memelihara kesuburan tanah dan
meningkatkan produksi tanaman baik padi, tebu maupun tanaman lainnya, selaras
www.digilib.ui.ac.id diakses November 2013. Limbah cair tersebut, diantaranya
dialirkan melalui saluran irigasi ke areal pertanian (tadah hujan) di Desa Sambirejo
dan Sendangrejo. Kedua desa merupakan daerah pertanian, kondisi tanah datar,
lapisan tanahnya cukup tebal dan subur sehingga cocok untuk pertanian tanaman
padi (pangan). Keberadaan PGKM ini mengakibatkan lahan pertanian di desa
589
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
sekitarnya terbagi menjadi dua lahan pertanian yang teraliri maupun yang tidak
teraliri limbah cair pabrik gula tersebut. Dusun yang lahan pertaniannya teraliri
limbah cair pabrik gula tahun 2012 terdiri dari empat dusun, sedangkan dusun
yang lahan pertaniannya tidak teraliri limbah cair meliputi dua belas dusun.
Desa Sambirejo, Sendangrejo, atau Suka Makmur berada di Kecamatan
Binjai, Kabupaten Langkat. Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah
yang mempunyai lahan sawah tadah hujan lebih luas dibandingkan dengan lahan
sawah irigasi. Luas lahan sawah nya adalah 40.436 ha, dimana luas lahan tadah
hujan sebesar 80% dari luas total lahan sawah, yaitu 32.348 ha (Distan Langkat,
2011). Menurut data BPS Sumut (2011), SumateraUtara mempunyai luas lahan
sawah irigasi 135.872 ha dan luas sawah tadah hujan 149.547 ha. Produktivitas
padi pada lahan tadah hujan umumnya lebih rendah dari hasil padi di lahan sawah
irigasi. Pada tingkat petani produktivitas padi sawah tadah hujan berkisar antara
3,0-3,5 t/ha (Fagi, 1995; Setiobudi and Suprihatno, 1996).
Pemanfaatan limbah cair PGKM yang mengandung senyawa organik dan
anorganik pada usahatani padi mempunyai banyak manfaat. Selaras dengan
konsep sistem usaha tani padi ramah lingkungan berbasis limbah cair PGKM,
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan pendekatan untuk integrasi
pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan
dalam upaya peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kelestarian lingkungan.
PTT menekankan empat prinsip yang saling memengaruhi, yaitu prinsip
terintegrasi, sinergis, dinamis, dan partisipatif (Las dkk., 2003; Badan Litbangtan,
2010). Komponen teknologi dasar yang diterapkan dalam PTT (Zaini, et.al., 2009),
yaitu VUB, benih bermutu/berlabel, bahan organik, populasi tanaman optimum,
pemupukan berimbang, dan PHT, sedangkan komponen teknologi pilihan,
meliputi pengolahan tanah, bibit muda (< 21 hari), tanam bibit 1 – 3 batang,
pengairan intermiten, penyiangan, panen tepat waktu, dan gabah segera dirontok.
Berpijak pada pokok pikiran di atas maka telah dilakukan pengkajian
penerapan PTT padi berbasis limbah cair PGKM di Kabupaten Langkat Sumatera
Utara.
Metode pengkajian
Format pengkajian bersifat cross-sectional dan longitudinal yaitu
pengumpulan data beberapa variabel pada periode waktu tertentu. Hal ini untuk
mengetahui hubungan satu variabel dengan variabel lain, dan perubahan variabel
tersebut dari populasi yang di amati di lapangan dalam periode waktu yang
berbeda. Kajian dilakukan di Desa Sambirejo dan Sendangrejo, Suka Makmur
Kec. Binjai, Kab. Langkat pada April - September 2015. P1 : petani memanfaatkan
limbah cair PGKM (pupuk organik + anorganik), P11 : adopsi PTT padi (5 petani),
P12 : non PTT padi (5 petani). P0 (tanpa limbah cair; pupuk anorganik), P01 :
590
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
adopsi PTT padi (5 petani), P02 : non PTT padi (5 petani). Parameter utama yang
diamati, yaitu adopsi teknologi PTT padi, eksistensi penyakit padi berbasis limbah
cair PGKM, dan produktivitas, dan analisis lainnya. Pengumpulan data primer
diawali dengan mengamati dan melibatkan diri pada komunitas masyarakat petani
secara alami (natural setting) (Denzin dan Lincoln, 1994). Selanjutnya diskusi
kelompok terfokus responden secara sengaja (purposive), pada 10 petani P1 dan
10 petani PO. Data sekunder dari Poktan, Gapoktan, penyuluh pertanian lapangan
(PPL), instansi terkait, serta hasil dan laporan penelitian/pengkajian.
Parameter pengukuran
a. Pengukuran Senjang Penerapan Teknologi PTT Padi
Senjang penerapan teknologi pada PTT padi merupakan perbedaan antara
proses penentuan dan penerapan teknologi oleh petani dibandingkan dengan
proses penentuan dan penerapan teknologi yang ditawarkan PTT. Komponen
teknologi dasar PTT padi : (a) VUB; (b) benih bermutu dan berlabel; (c) pemberian
bahan organik; (d) populasi tanaman optimum; (e) pemupukan sesuai
rekomendasi; (f) PHT. Komponen teknologi pilihan : (a) pengolahan tanah sesuai
MT dan pola tanam; (b) penggunaan bibit muda (< 21 hari); (c) tanam bibit 1 – 3
batang/rumpun; (d) pengairan secara intermitten; (e) penyiangan dengan landak,
gasrok; (f) panen tepat waktu, dan gabah segera dirontok.
b. Pengukuran Senjang Eksistensi Penyakit Padi
Senjang eksistensi penyakit padi merupakan perbedaan antara
eksistensinya pada pemanfaatan limbah cair PGKM atau PTT padi dan
eksistensinya yang tidak memanfaakan limbah cair PGKM atau non PTT padi oleh
petani dibandingkan dengan proses penentuan dan penerapan teknologi yang
ditawarkan PTT.
Analisis Data
1. Analisis deskriptif untuk menganalisis metode pendekatan secara kualitatif,
untuk menemukan makna yang melandasi kajian (Bungin 2003).
2. Penerapan teknologi : analisis Cochran dengan pilihan ”ya” : 1 = adopsi, dan
”tidak” : 0 = non adopsi. Jika nilai Q hitung (Cochran-test) < X² (chi-square)
tabel, maka item-item yang telah diuji dapat diterima. Nilai Q dapat dihitung
dengan rumus:
3. Senjang penerapan PTT padi, eksistensi penyakit padi, dan produktivitas padi
dengan teori himpunan dan kategori. Teori probabilitas (Hasan, 2003)
mengadaptasi teori himpunan dimana operasi irisan (interseksi) dari
himpunan A (penerapan teknologi rekomendasi pada PTT, eksistensi
penyakit, produktivitas) dan himpunan B (penerapan teknologi pada non
PTT, eksistensi penyakit, produktivitas) = A п B = (X : x є A dan x є B), A dan
B tidak saling lepas, peristiwa bersamaan (Gambar 1).
591
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
A
B
Irisan/Interseksi
Karakteristik Lokasi
Desa Sambirejo, Sendangrejo, dan Suka Makmur
Data pemilikan lahan di desa Sambirejo, Sendangrejo, atau Suka Makmur
dapat dihitung dari total lahan, sehingga secara keseluruhan ± 33,75% KK tidak
memiliki lahan. Terdapat ± 44,02% menguasai kurang dari 0,5 ha lahan, dan ±
49,20% menguasai 0,6 – 1 ha. Hasil studi tentang kasus penguasaan lahan bahwa
± 26% menguasai lahan kurang dari 0,25 ha, ± 41% menguasai 0,25 – 0,5 ha dan
sisanya 33% diatas 0,5 ha. Sekitar 32% petani, kontribusi padi terhadap total
pendapatan keluarga adalah kurang dari 50%, bahkan bagi 23% petani, peranan
sawah kurang dari 30%.
Kendala utama pada lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air
yang sangat tergantung kepada curah hujan. Pengalaman penerapan model PTT
padi sawah tadah hujan pada tingkat penelitian, meningkat 37%. Pada skala
pengkajian meningkat 27% dan pada tingkat petani meningkat 16 %. Masalah
agronomis yang dihadapi petani pada lahan tersebut umumnya : (1) penggunaan
varietas lokal yang berdaya hasil rendah dan berumur panjang, (2) mutu benih
rendah, (3) pemupukan tidak tepat dan cenderung kurang, (4) cara tanam tidak
teratur dan populasi tanaman rendah, dan (5) pengendalian gulma tidak optimal.
Selain itu, tingkat penerapan teknologi introduksi di lahan sawah tadah hujan
relative rendah karena pendapatan dan modal petani tidak memadai (Pane dkk.
2002).
Karakteristik Petani
Karakteristik petani yang dianggap penting, meliputi status usaha, status
kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, usia, pengalaman usahatani padi, dan
sumber modal. Umumnya bertani sebagai mata pencaharian utama, sedangkan
sampinganya berdagang, beternak, dan kuli bangunan. Rata-rata status
kepemilikan lahan sebagian penggarap dan sebagian pemilik. Jumlah petani yang
menyelesaikan pendidikan setingkat SD ± 20 persen, sisanya pendidikan SLTP -
SLTA (80 persen). Profesi sebagai petani, merupakan usaha turun-temurun. Rata-
rata berprofesi sebagai petani ± 22 - 32 tahun, lebih paham terhadap usahatani
padi. Pemahaman petani semakin bertambah karena dibantu petugas PPL melalui
592
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada tabel 1, pada pengujian tahap ke-3 diperoleh hasil Q tabel 16,92 dan
Q hitung 10,28, keputusan adalah terima Ho, karena Q tabel lebih besar dari Q
hitung. Penerapan kolektif (asosiasi) komponen teknologi pada PTT padi, meliputi
: (1) pengolahan tanah sesuai musim tanam, (2) VUB berlabel, (7) tanam bibit umur
< 16 hari, (12) merumput dengan menggunakan landak > 4 kali per musim tanam,
dan (13) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Sedangkan penerapan
kolektif non PTT, meliputi : (6) tanam pindah (tapin) beraturan, (8) tanam bibit < 5
batang per lubang, (9) penggunaan pestisida non organik, (10) PHT non
rekomendasi, (11) sistem pengairan non intermitten.
593
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
594
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pertumbuhan yang baik dan seragam bagi tanaman padi, serta mengendalikan
gulma, selaras Zaini et.al. (2009). Sumberdaya air, infrastruktur pengairan, dan
sistem ekologi yang kurang baik mengakibatkan teknis pengairan yang efektif dan
efisien, atau intermitten sulit diterapkan. Selaras dengan Zaini et.al. (2009a),
karena tidak adanya jaminan air irigasi, petani di Kabupaten Serang, Pandeglang,
dan Lebak tidak menerapkan metode pengairan irigasi berselang. Air sebagai
dominan faktor pada usahatani padi, teknis pengairan secara efektif dan efisien,
seperti teknik berselang, gilir giring, gilir glontor, dan basah – kering, dapat
menghemat pemakaian air « 30% (Zaini et.al, 2009a).
Limbah Cair PGKM dan Eksistensi Penyakit Padi
Eksistensi hama dan penyakit padi dipengaruhi lingkungan biotik (fase
pertumbuhan tanaman, populasi organisme lain, lainya) dan abiotik (iklim, musim,
agroekosistem, dan lainnya). Untuk pengendalianya, hal penting adalah jenis,
kapan keberadaannya di lokasi, apa yang mengganggu keseimbangannya
sehingga perkembangannya dapat diantisipasi sesuai tahapan pertumbuhan
tanaman (Makarim, et. al., 2003).
Penyakit utama, yaitu blas leher (cekik leher), hawar daun bakteri (HDB),
hama utama yaitu walang sangit, penggerek batang, burung. Periode bera, pada
singgang (tunggul jerami padi) adakalanya terdapat larva penggerek batang, virus
tungro, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan jamur.Teknis PHT
yang benar, yaitu melakukan pengamatan lapangan secara rutin setiap 2 – 3 hari
sekali, belum menjadi kebiasaan bertindak. Sebagian besar penerapan tergantung
waktu luang, karena petani mencari usaha sambilan. Selain itu, pembagian kerja
anggota kelompok, dinamika kelompok yang kolektif belum ada. Umumnya petani
tidak melakukan monitoring tingkat serangan hama dan infeksi penyakit. Teknis
pengendalian dengan ambang ekonomi, atau ambang tindakan (Zaini et.al, 2009)
belum menjadi kebiasaan bertindak.
Hasil analisis terjadi kesenjangan nyata (p < 0,05) eksistensi penyakit padi
berbasis pemanfaatan limbah cair PGKM, atau pada PTT padi (Gambar 2).
Nilai
80
70 P1
60 P0
50
40
30
20
10 Teknologi
0
PTT Non PTT
Gambar
Gambar 2. 1. Eksistensi
Eksistensi PenyakitPadi
Penyakit Padi
595
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
% PTT
non
PTT
80
60
40
20
0 U.tani padi
Padi+limbah Padi+non limbah
Komponen teknologi PTT padi (olah tanah), VUB berlabel, dan merumput
+ peremahan tanah masuk ke dalam himpunan besar paket teknologi PTT padi,
peristiwanya tidak saling “lepas (nonexclusive) dan bebas (dependent)” (Gambar
4).
Pupuk
organik
VUB Pengairan
Merumput+
berlabe inter-mitten,
peremahan
Olah l pupuk
tanah MT,
rekomendasi
Panen te-
pat waktu
Paket Teknologi
Benih muda, 1-3
PTT Padi btg/rum pun, pestisida
organik
596
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Penerapan komponen teknologi dasar dan pilihan PTT padi dominan (± 58
persen) selaras penerapan pada usahatani padi berbasis limbah cair PGKM (P1).
Sedangkan teknologi non PTT padi dominan (± 66,67 persen) diterapkan pada
usahatani padi non limbah cair PGKM (P0).Terjadi senjang penerapan teknologi
PTT, atau eksistensi penyakit padi masing-masing mencapai 0,25 – 0,35, dan
senjang hasil sekitar 0,10 – 0,15.
597
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A.Gani, H. Pane dan S. Abdulrachman. 2003.
Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu padi sawah
irigasi. Deptan, Jakarta.
Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003.Petunjuk
Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi
Secara Terpadu. Departemen Pertanian; 38 hlm.
Mala, Yanti. 1998. Peningkatan Produksi Sawah Bukaan Baru Dengan
Penggunaan Kompos Jerami Padi. Pros. Seminar Peningkatan Produksi
Padi Nasional, B. Lam-pung 9 – 10 Desember 1998. HIGI – PERAGI – Univ.
Lampung. Hal. 401 – 405.
Pane, H., P. Bangun dan S.Y. Jatmiko, 1999. Pengendalian gulma pada
pertanamn padi gogorancah dan walikjerami di lahan sawah tadah hujan. p.:
150-159 Dalam Menuju Sistem Produksi Padi.
Setiobudi, D. and B. Suprihatno, 1996. Res-ponse of flooding in gogorancah rice
and moisture stress effect at repro-ductive stage in walik jerami rice. p.: 80-
90 In Physiology of Stress Toleran-ce in Rice (V.P. Singh, R.K. Singh, B.B.
Sing and R.S. Zeigler, ed.). NDUAT, India – IRRI, Philippines.
Thamrin. 2000. Perbaikan Beberapa Sifat Fisik dan Typic Kanhapludults dengan
Pemberi-an Bahan Organik Pada Tanaman Padi Sawah. Makalah Seminar
Skripsi, Faperta Universitas Pajajaran, Bandung. Tidak Publikasi.
Wasito, T. Sembiring, N. Primawati, D. Harahap, Rinaldi, dan H. Sembiring. 2006.
Diseminasi dan Adopsi Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi di
Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Inovasi Teknologi Padi Menuju
Swasembada Beras Berkelanjutan, Buku 2. Puslitbangtan, Balitbangtan.
Bogor. p. 437 – 447.
Zaini, Z., S. Abdurrahman, N. Widiarta, P. Wardana, D. Setyorini, S. Kartaatmadja,
dan M. Yamin. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. p. 30.
Zaini, Z., U.G. Kartasasmita, dan L. Hakim. 2009a. Senjang Hasil dan Senjang
Adopsi Teknologi Padi Sawah. Makalah Seminar Puslitbangtan. Tidak
publikasi.
598
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Muainah Hasibuan
ABSTRAK
Salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman padi adalah serangan
Wereng Batang Cokelat (WBC) yang merupakan hama penting pada tanaman
padi. Hama ini dapat merugikan petani hingga 100% (puso). Pada bulanJuni 2015
hama tersebut menyerang tanaman padi di Desa Mangga, Kecamatan Stabat,
Kabupaten Langkat. Varietas yang ditanam adalah Inpari 30 seluas 40 ha, Inpari
3 seluas 40 ha, Ciherang 34 ha, Mekongga 5 ha, Padi Ketan 0,2 ha, varietas
Pesantren JawaTimur 0,2 ha. Metode tanam legowo 2:1, legowo 4:1 dan sistem
tegel jarak tanam 25 x 25 cm. Untuk mengetahui populasi dan intensitas
serangan WBC tersebut,peneliti BPTP Sumatera Utara pada bulan Mei 2015
melaksanakan survei serangan hama WBC tersebut. Kegiatan ini dilaksanakan
dengan cara wawancara dengan petani dan penyuluh kemudian dilanjutkan
pengamatan ke lapangan. Dari luas areal 120 ha, diambil sampelnya setiap
varietas 3 titik. Setiap titik diamati 25 tanaman sampel yang ditentukan secara
diagonal dan acak. Parameter yang diamati adalah populasi WBC, intensitas
serangan, pengendalian OPT dan produksi. Hasil yang diperoleh adalah 1)
Populasi WBC tertinggi pada varietas yang berasal dari Pesantren Jawa Timur
yaitu 57,6 ekor/rumpun, intesitas serangan mencapai 80,7% dan produksi 1,2
ton/ha. Varietas Mekongga, Inpari 3 dan Inpari 30 populasi hanya mencapai
secara berurutan 2,7 ekor, 4,0ekor dan 6,5 ekor/rumpun, intesitas serangan
15,3%, 21,8% dan 20,4%. Produksi teringgi pada varietas Inpari30 dan inpari3
yaitu 5,8 dan 5,7 ton/ha.
PENDAHULUAN
Pada tahun 2014 luas tanam padi sawah di Kabupeten Langkat mencapai
83.349 ha, sedangkan luas tanam padi ladang hanya mencapai 610 ha, produksi
padi tersebut untuk keperluan pangan penduduk sebanyak 978.734 jiwa
(Anonimus, 2014), kalau setiap tahun jumlah penduduk bertambah maka produksi
padi perlu ditingkatkan.
Dalam melaksanakan budidaya tanaman padi sawah maupun pada ladang
selalu terdapat kendala. Salah satu kendala dalam budidaya tanaman padi adalah
adanya serangan hama. Pada bulan Juni 2015 di Desa Mangga yang menanam
padi sawah seluas 120,5 ha, terdapat serangan WBC. Hama ini dapat menurunkan
produksi hingga 100% bila tidak dikendalikan (Baehaki dan Widiarta, 2009).
599
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
600
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
601
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil pengamatan
Dari hasil pengamatan serangan hama WBC diperoleh data yang disajikan
pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Keragaan data pengamatan jumlah anakan/rumpun, populasi WBC,
intensitas serangan danproduksi
Luas tanam Jumlah Populasi Intensitas
Varietas terserang anakan/ WBC/ serangan Produksi
/ha rumpun Rumpun WBC ( %) (ton/ha)
(ekor)
Inpari 30 40 20,9 6,5 20,4 5,8
Inpari 3 40 19,2 4,0 21, 8 5,7
Ciherang 35 20,8 13,7 30,5 3,0
Mikongga 5 18,7 2,7 15,3 5,0
Ketan 0,3 11,2 10,9 19,1 2,0
Pesantren 0,2 21,7 57,6 80,7 1,2
Jawa Timur
1. Jumlah anakan
Dari Tabel 1 diatas secara visual dapat dikemukakan bahwa, jumlah
anakan tertinggi terdapat pada varietas Inpari 30 rata-rata mencapai 20,9
anakan/rumpun, kemudian diikuti oleh Ciherang, rata-rata jumlah anakan
mencapai 20,8 anakan/rumpun. Sedangkan terendah ditemukan pada varietas
padi Ketan yang hanya mencapai 11,2 anakan/rumpun. Tinggi rendahnya jumlah
anakan diakibatkan oleh sifat gen/karakter dari setiap varietas padi dan tidak jauh
dari diskripsi varietas itu sendiri. Tinggi rendahnya jumlah anakan tergantung dari
umur bibit yang ditanam. Kalau bibit masih muda (umur 2 minggu) anakan lebih
tinggi dibanding penanaman bibit umur 30 hari. Disamping itu jumlah anakkan
pada tabel diatas sudah mendekati dari Deskripsi Varietas unggul Padi (Jamil dkk.,
2012).
602
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
603
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
lain sekitar Kecamatan Perbaungan, Pagar Merbau. Hal ini diduga telah terjadi
perubahan biotipe WBC di Sumatera Utara. Diskripsi IR 64 yang dilepas tahun
1986 adalah tahan WBC biotipe 1 dan 2 serta wereng hijau, dan tahan penyakit
virus kerdil rumput. Menurut Baehaki dan Widiarta (2009) dalam Wasito dkk.
(2012), sejarah perubahan biotipe WBC di Sumatera Utara tahun 1982 terjadi
karena ledakan serangan WBC yang hebat di Simalungun dan beberapa daerah
lainnya sehingga menyebabkan perubahan biotipe WBC dari biotipe 2 ke biotipe
3. Oleh karena itu, diintroduksikan varietas padi IR 56 (gen tahan Bph3) tetapi tidak
disukai petani. Tahun 1986 diitroduksikan IR 64 (gen tahan Bph1+) dan sukses
diterima petani, karena rasa nasi enak, produksi tinggi dan tahanWBC biotipe 3
selama 24 tahun sejak tahun 1981 dan pada tahun 2006 sudah ditemukan WBC
biotipe 4 di Asahan (Baehaki dan Munawar 2008).
SARAN
1. Dalam budidaya padi agar menggunakan varietas unggul tahan WBC.
2. Tanam serempak dalam satu hamparan.
3. Menggunakan varietas yang sudah dilepas dan berlabel.
4. Pemupukan kandung N agar sesuai dengan anjuran, sebaiknya sesuikan
hasil analisa tanah dengan alat PUTS.
5. Penggunaan insektisida sesuaikan dengan program PHT.
6. Penanaman sebaiknya sistem jajar Legowo 2:1
7. Varietas selalu dirotasi /diganti.
604
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2014. Langkat dalam Angka Badan pusat statistik Kabupaten langkat.
Baehaki S. E, A Rifki dan A Salim yahya, 1991 Penentuan Biotipe Wereng coklat
di daerah sentra Produksi padi Media Penelitian sukamandi No. 9 P. 29 - 30
Baehaki. 2000. Teknologi pengendalian wereng cokelat Nilapervatan lugens (stal)
dengan rekayasa dinamika populasi pada tanaman padi di Indonesia.
Disampaikan pada seminar Review pertimbangan Kepangkatan Badan
Litbang Pertanian. Jakarta.
Baehaki,Abdullah, B. 2008. Evaluasi karakter ketahanan galur padi terhadap
wereng cokelat Biotipe 3 melalui uji penapisan dan uji peningkatan populasi.
Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku I.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi .
Baehaki,Munawar, D. 2008.Indentifikasi biotipe wereng cokelat di Jawa, Sumatera
danSulawesi dan reaksi ketahanan kultivar padi. Prosiding Seminar
Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjanf P2BN. Buku I. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi.
Baehaki, Widiarta, N. 2009. Hama wereng dan cara pengendaliannya pada
tanaman padi. Prosiding padi: InovasiTeknologiProduksi , Buku 2 Balai
Besar PenelitianTanaman Padi. LIPI Press, Jakarta p. 347-383.
IRRI , 1976. Annual report for 1975.IRRI.Los Banos, Laguna, Philipines.
Jamil, A., Akmal, Siti Romaito, Nurmalia, Sit iSuryani, Hutagalung, M. 2012.
Diskripsi varietas unggul padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Utara
Mochida, O. 1979. Brown planthopper reduce rice production.Ind.Agric.res.DevJ1
(1&2).Oka, I. N dan Bahagiawati, 1979 wereng Coklat dan Pengendaliannya
dalam prospektif.Puslitbangtan, Bogor.
Untung, K., Trisyono, Y.A. 2010. Wereng Batang Cokelat mengancam
swasembada beras. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian UGM, Yogyakarta.
Wasito, Muhrizal Sarwani, Khairiah dan Lemansius Haloho. 2012. Eksistensi
Adopsi Varietas Ciherang dan Dinamika Wereng Batang Cokelat di Lima
Desa Lahan sawah Irigasi Sungai Ular Sumatera Utara. Prosiding Siminar
Nasional Hasil Penelitian padi 2011. Inovasi Teknologi Padi mengantisipasi
Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik. Balai Besar .Penelitian Padi.
Sukamandi.
Winarto, Hubagyo dan Amral Feri, 1993. Pengaruh pemupukan N terhadap
serangan Penyakit Phytopthora investans pada tanaman Tomat.
Bull.Penel.Hort. Lembang Bandung Vol 25.
605
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DISKUSI
606
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Loka Penelitian Penyakit Tungro
Jl.bulo 101 Lanrang Panca Rijang Sidrap Sulawesi Selatan
email: azamsp84@yahoo.com
ABSTRAK
Pinang sebagai komoditi perdagangan ekspor ternyata memiliki khasiat
baik obat-obatan maupun biopestisida. Penelitian ini sebagai pengujian awal
potensi biopestisida ekstrak biji pinang (Areca catechu L.) terhadap wereng hijau
(Nephotetic verescens). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
konsentrasi yang tepat dari ekstrak buah pinang untuk mengontrol wereng hijau
sebagai vector virus tungro pada tanaman padi. Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium dan Green House Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang,
Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan pada bulan Agustus-Oktober 2015.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan
perlakuan yaitu padi varietas TN1 umur 10 hari sebanyak 5 tanaman diulang 4
kali pada tiap aplikasi ekstrak pinang yaitu0 g/0.2l, 10 g/0.2l, 20 g/0.2l, 30 g/0.2l,
40 g/0.2l, dan 50 g/0.2l. Mortalitas wereng hijau pada perlakuan ekstrak biji pinang
konsentrasi 20 g/0,2L pada hari ke-2 setelah perlakuan merupakan yang paling
efektif (cepat dan mortalitas banyak).
PENDAHULUAN
Penyakit tungro merupakan salah satu penykit penting pada padi yang
sampai saat ini masih menjadi kendala bagi peningkatan produksi padi nasional
terutama bagi beberapa daerah endemis. Upaya pengendalian telah banyak
dilaksanakan melalui berbagai teknologi sebagai hasil dari penelitian dan praktek
lapangan. Tiga komponen utama dalam pengendalian tungro yaitu: tanaman
serempak dengan menggunakan varietas tahan, penghilangan sumber inolukum,
dan penentuan pemilihan varietas serta pengaturan waktu tanam.Ketiga
komponen tersebut dapat dikombinasikan dengan pengelolaan lingkungan dan
penggunaan insektisida (Savary dkk., 2012).
Secara nasional, luas serangan hama dan penyakit utama pada tanaman
padi pada tahun 2011 turun 50% dibandingkan rata-rata lima tahun terakhir (2006-
2010), namun luas pertanaman yang puso meningkat sembilan kali lipat, mencapai
35.000 ha atau setara dengan kerugian sebesar Rp 525 milyar. Penurunan
produksi padi akibat serangan OPT mencapai 1 juta ton ( Anonim, 2015b)
Berdasarkan data 10 tahun terakhir, ledakan tungro yang terjadi di sentra
produksi beras nasional seperti di pulau Jawa, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi,
607
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
608
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
609
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Sedangkan pada perlakuan 0 g/0.2l, 10 g/0.2l dan 40 g/0.2l tidak ada mortalitas.
Wereng hijau langsung bereaksi pada hari ke-1 hal ini dapat diketahui bahwa
biopestisida ekstrak pinang pada konsentrasi 20 g/0,2l sangat efektif. Sedangkan
konsentrasi 50 g/0,2l pada hari ke-4 baru diperoleh mortalitas wereng hijau paling
besar.
Pada hari ke-5 dan ke-6 pada diagram perlakuan 30 g/0.2l; 40 g/0.2l dan
50 g/0.2l masih ada mortalitas sedangkan perlakuan lain tidak ada, hal ini wajar
karena racun atau zat yang ada pada ekstrak dengan konsentrasi 3 paling besar
bekerjanya membutuhkan waktu (Gambar 4).
Hal ini sesuai dengan pendapat Parkinson dan Ogiloe (2008) dalam Arneti
(2012) yang menyatakan bahwa senyawa biopestisida tidak dapat langsung
bekerja seperti pestisida kimia apabila takaran atau dosis kurang tepat.
610
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada perlakuan control 0 g/0.2l tidak ada wereng hijau yang mati, sehingga
dari pengamatan ini semakin memperkuat dugaan bahwa senyawa alami
biopestisida ekstrak biji pinang bekerja dengan efektif dan efisien. Kematian
wereng hijau bukan disebabkan daur siklus hidupnya berakhir atau makanan tidak
tersedia. Ada kemungkinan ekstrak pinang bekerja secara sistemik masuk dalam
jaringan tanaman terikut dimakan oleh serangga sehingga mati. Kemungkinan
juga terjadinya kerusakan organ serangga karena terkena langsung ekstrak
pinang melalui membran tubuhnya.
KESIMPULAN
Uji beberapa konsentrasi ekstrak biji pinang terhadap wereng hjau
diperoleh kesimpulan bahwa konsentrasi ekstrak biji pinang 20 g/0.2l air efektif
mengendalikan hama wereng hijau (Nephotetic veressens) karena menyebabkan
kematian paling cepat dan paling banyak setelah perlakuan.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di lapangan tentang ekstrak biji
pinang terhadap wereng hijau agar keefektifannya meningkat, mengingat banyak
factor yang ada di lapangan dapat mempengaruhi hasil pengendaliaan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan pada pihak yang memberikan dukungan
dalam penelitian atau penulisan makalah, Bapak Kepala Loka DR.Ir. Ahmad
Muliadi, MP, dan Yusran Arifin SP (Teknisi) yang membantu penelitian, Bapak H.
Amiruddin, S.Ag yang selalu mendoakan, keluarga, anak dan istri yang selalu setia
menemani.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Hanafiah, Kemas. 2004. Rancangan Percobaan. PT. Radja Graindo Jakarta:
259 hal
Anonim. 2015a. Pinang.https://id.wikipedia.org/wiki/Pinang [Diakses tanggal 6
Juni 2015].
Anonim. 2014. Tungro.grobogan.go.id. [Diakses tanggal 3 November
2015]
Anonim. 2015b. Hal terpenting tentang penyakit tungro. http://
lolittungro.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/seminar-workshop/49-
hal-terpenting-tentang-penyakit-tungro.[Diakses tanggal 3 November
2015].
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan. 1994. Pedoman Pengenalan
Pestisida Botani. Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan, Departeman
Pertanian. Jakarta. 85 hlm.
Djunaedy, Ahmad. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali Organisme
Pengganggu Tanaman Yang Ramah Lingkungan. Jurnal Embryo 6(1):89-
95.
611
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Fitriani, M;JH. Laoh; dan R Rustam. 2014. Uji Beberapa Konsentrasi Ekstrak Biji
Pinang ( Areca cathechu) Untuk Mengendalikan Kepik Hijau (nezara
viridulla L) Di Laboratorium [ Tidak dipublikasikan].
Gomes dan Gomez. 2010. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press) Edisi kedua. Jakarta. 698 hal.
Grainge, M. and S. Achmed. 1998. Handbook of Plants with Pest Control
Properties. JohnWiley & Sons. New York. Heyne, K. 1987. Tumbuhan
Berguna Indonesia, jil. 1. Yay. Sarana Wana Jaya,Jakarta. Hal. 460-465.
Muhammad,Nur. 2015. Puluhan Hektar Sawah Petani Di Serang Tungro.
http://www.antarabengkulu.com/berita/33172/puluhan-hektare-sawah-
petani-diserang-penyakit-tungro. [Diakses tanggal 4 November 2015].
Oka, I.N. 1994. Penggunaan, Permasalahan serta Prospek Pestisida Nabati
dalam Pengendalian Hama Terpadu. Prosiding Seminar HasilPenelitian
dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor, 1-2 Desember
1993. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm. 1-10.
Savary, S.,F. Morgan., L Wilocquet and K.L. Heong. 2012. A.Review of principles
for sustainable pest management in rice. Crop Protection 32:54.
Shahadi dan Naczk. 1995. Food Phenoliks.Technomic Inc. Basel
Widiarta, IN dan Kusdiaman. 2008. Pengaruh Sub Letal Sambilata Terhadap
Keperindian Musuh alami dan Wereng hijau. Jurnal HPT Tropika. 8(2):
75-81.
612
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
email: diniyuliani2010@gmail.com
ABSTRAK
613
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
614
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf
5%.
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa VUB padi hibrida
berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit padi yang ditemukan selama
penelitian berlangsung.
Penyakit busuk batang dengan keparahan tertinggi sebesar 40,0%
ditemukan pada varietas Hipa 11. Penyakit busuk batang padi merupakan
penyakit yang endemis dan selalu dijumpai di daerah pertanaman padi yang
intensif. Tingkat keparahan penyakit ini berkaitan erat dengan cara budidaya yang
diterapkan oleh petani (Nuryanto, 2011). Saat ini, praktek budidaya padi varietas
unggul harus didukung dengan penggunaan pupuk an-organik untuk mencapai
hasil yang optimum. Akibatnya, penggunaan pupuk Urea di lapangan ada
kecenderungan melebihi dosis anjuran. Menurut Suprihanto dkk., (2009),
semakin tinggi dosis pupuk nitrogen menyebabkan tanaman padi semakin
rentan terhadap penyakit busuk batang.
Tingkat keparahan hawar pelepah tertinggi sebesar 6,7% ditemukan pada
varietas Hipa Jatim 3. Penyakit hawar pelepah yang disebabkan oleh cendawan
Rizoctonia solani memiliki kemampuan bertahan dalam tanah dan kisaran inang
yang luas sehingga sulit dikendalikan (Ou, 1985). Penyakit ini berkembang
615
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dengan baik di semua lokasi pengamatan dengan tingkat keparahan yang lebih
tinggi di dataran rendah (0-200 m dpl). Namun di dataran tinggi (500-700 m dpl),
tingkat keparahan penyakit menurun (Nuryanto, 2014). Suhu dan kelembaban
udara di lingkungan persawahan di dataran rendah umumnya cocok untuk
perkembangan penyakit hawar pelepah. Infeksi R. solani dapat terjadi pada
kisaran suhu 24-35oC dengan suhu optimum antara 28-32oC dan kelembaban
relatif 96-98% (Kobayashi dkk. 2006). Keparahan penyakit hawar pelepah
meningkat pada suhu dan kelembaban udara yang tinggi di lingkungan.
Keparahan penyakit hawar pelepah yang tinggi akan ditemukan pada varietas padi
tipe pendek dengan anakan banyak, dan lebih rendah tngkat keparahannya pada
varietas padi tipe tanaman tinggi dengan anakan sedikit (Nuryanto, 2014).
Penyakit HDJ dengan keparahan tertinggi sebesar 39,6% dijumpai pada
varietas Hipa 6 Jete dan Hipa 11. Dari 12 varietas unggul baru padi hibrida, Hipa
11 menunjukkan tingkat keparahan yang signifikan terhadap penyakit busuk
batang dan HDJ. Penyakit HDJ akan berkembang dengan baik secara alamiah di
lapangan, namun terdapat perbedaan reaksi yang sangat jelas diantara genotipe
padi terhadap penyakit HDJ (Sudir dan Suparyono, 1996). Penyakit HDJ tidak
dapat muncul gejalanya bila diinokulasi secara buatan, dan sukar diisolasi di
laboratorium
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf
5%.
616
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Terdapat enam penyakit padi yang menginfeksi VUB padi hibrida yaitu
busuk batang, hawar pelepah, hawar daun jingga, bercak daun cercospora, hawar
daun bakteri, dan bakteri daun bergaris. Tingkat keparahan tertinggi untuk
penyakit hawar daun bakteri dijumpai pada Hipa 6 Jete (51,5%), bakteri daun
bergaris pada Hipa Jatim 3 (41,1%). busuk batang pada Hipa 11 (40,0%), hawar
daun jingga pada Hipa 6 Jete dan Hipa 11 masing-masing sebesar 39,6%, bercak
daun cercospora pada Hipa 10 (11,7%), dan penyakit hawar pelepah ditemukan
pada Hipa Jatim 3 sebesar 6,7%. Dari 12 varietas unggul baru padi hibrida yang
dikaji, Hipa 11 menunjukkan tingkat keparahan yang nyata terhadap penyakit
busuk batang dan hawar daun jingga masing-masing sebesar 40,0% dan 39,6%.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2004. Inovasi teknologi perakitan varietas. Makalah
disampaikan pada Pekan Padi Nasional kedua. 24 hal.
Ditlin (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan). 2011. Laporan Tahunan 2010
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Dirjen Tanaman Pangan.
Kementerian Pertanian, Jakarta.
617
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ginting MS. 2008. Intensitas serangan penyakit bercak daun sempit (Cercospora
janseana) (Rocib) O. Const pada beberapa varietas padi sawah (Oryzae
sativa L) dengan jarak tanam yang berbeda di lapangan. Departemen
Hama dan Penyakit Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera
Utara. 54 Hal.
Gomez AK and Gomez AA. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian.
(Terjemahan oleh Enang Sjamsudin & Justika Baharsjah). Edisi 11. UI
Press, Jakarta. 698 Hal.
IRRI. 2002. Standard evaluation system for rice. 4th Edition. International Rice
Research Institute. Los Banos, Phillipines. 56 p.
Kobayashi T, Ishiguro K, Nakajima T, Kim HY, Okada M, and Kobayashi K. 2006.
Effect of elevated atmospheric CO2 cocentration on the infection of rice
blast and sheath blight. Phytopathology 96: 425-431.
Nuryanto B. 2011. Varietas, kompos, dan cara pengairan sebagai komponen
pengendali penyakit hawar upih. Disertasi. Program Pasca Sarjana.
Universitas Gadjah. Yoyakarta.
Nuryanto B, Priyatmojo A, Hadisutrisno B. 2014. Pengaruh tinggi tempat dan tipe
tanaman padi terhadap keparahan penyakit hawar pelepah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 33 (1): 1-8.
Ou, SH. 1985. Rice diseases. Second Edition. Great Britain: The Cambrian News
Ltd. 380 p.
Satoto, dan B. Suprihatno. 2008. Pengembangan padi hibrida di Indonesia. IPTEK
Tanaman Pangan 3 (1): 27-40.
Sudir dan Suparyono. 1996. Keparahan penyakit hawar daun jingga pada
beberapa galur dan varietas padi. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia
2(1): 5-11.
Sudir, Suprihanto, dan Suparyono. 2001. Pengaruh pupuk, varietas, dan fungisida
terhadap perkembangan beberapa penyakit padi. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 20 (1): 32-39.
Sudir, Suprihanto, dan T.S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae
pv. oryzae, penyebab penyakit penyakit hawar daun bakteri di sentra
produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(3):
131-138.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas
campestris pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian
Journal of Agric. Science 5 (2): 63-69.
Suprihanto, Guswara A, dan Satoto. 2009. Pengaruh dosis pupuk nitrogen
terhadap beberapa penyakit pada varietas padi hibrida. Prosiding Seminar
Nasional Padi 2008. Balai Besar Penelitian Padi. Sukamandi. Hal: 443-451.
618
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kabupaten Muaro Jambi memiliki potensi rawa lebak seluas 17.900 ha.
Pemanfaatannya sebagai lahan sawah sekitar3.800-an ha,yang didominasi oleh
pertanaman padi pada musim penghujan dan pertanaman jagung pada musim
kemarau. Permasalahan utama yang dijumpai yaitu fluktuasi tinggi muka air yang
sangat berbeda dan serangan hama tikus yang berasal dari kebun sawit di
sekitarnya. Hal ini sering menyebabkan kegagalan panen. Cara pengendalian
hama tikus pada lahan sawah menggunakan pestisida dalam bentuk umpan
beracun dan pengemposan kurang efektif di lapangan karena aplikasinya sering
terlambat dan serangan tikus sudah kategori sedang atau berat. Pengendalian
hama tikus secara terpadu berbasis teknologi TBS dan LTBS diperlukan dengan
tujuan memperoleh keberhasilan dalam usaha tani padi dengan menekan
kehilangan hasil di lapangan. Pengendalian hama tikus yang dilakukan yaitu: 1.
Penggunaan teknologi Trap barrier system (TBS) awal musim tanam, 2.
Penggunaan teknologi Linear trap barrier system (LTBS) yang membatasi lahan
sawah dan kebun sawit. Hasil kajian menunjukkan bahwa penggunaan teknologi
Trap barrier system (TBS) awal musim tanam dapat memerangkap 293 ekor
dengan perbandingan tikus jantan dan betina sebesar (3:7). Penggunaan teknologi
Linear trap barrier system (LTBS) dapat memerangkap tikus yang melakukan
migrasi antara lahan sawah dan habitat tikus (kebun sawit) atau sebaliknya.
Pengendalian hama tikus terpadu menggunakan TBS dan LTBS dapat
mengendalikan tikus di pertanaman padi.
PENDAHULUAN
Potensi sawah rawa lebak di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi yaitu
seluas 17.900 ha, sementara lahan yang telah dapat digunakan untuk pertanaman
tanaman pangan seluas sekitar 3.800 ha (Busyra danHendri, 2015).
Pemanfaatan sebagai lahan sawah didominasi oleh pertanaman padi pada musim
penghujan (MT I), dan pertanaman jagung pada musim kemarau (MT II) (Busyra
dkk.,2014; Busyra dan Hendri, 2015). Selain keberadaan air menjadi faktor
pembatas dalam usaha tani padi, serangan hama tikus seringkali menjadi faktor
utama kegagalan panen padi, berasal dari kebun sawit yang berbatasan langsung
dengan sawah. Beberapa cara pengendalian hama tikus sawah berbasis
penggunaan pestisida dalam bentuk umpan beracun dan fumigasi, diperoleh hasil
kurang efektif di lapangan karena kondisi lahan pasang surut dan pelaksanaan
aplikasinya setelah muncul serangan dalam kategori kerusakan sedang atau
berat. Teknik pengendalian hama tikus alternatif diperlukan dengan tujuan
619
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
620
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
621
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
120
100
80
Ekor
60
40
20
0
Sawah Sawit 1 Permukiman Sawit 2
Arah Hadap Bubu
Banyak Tikus Terperangkap Teknologi TBS
Menurut Anggara (2008), pada saat lahan bera, tikus menjalani fase
bertahan dengan kembali ke perkampungan, semak, dan kebun sawit. Pada saat
telah terdapat padi yang tumbuh, maka tikus akan segera mendatangi padi, untuk
memenuhi kebutuhan pelengkap hormon perkembangbiakan yang terdapat di
pangkal tunas padi. Dari kondisi ini menunjukkan pengendalian tikus sawah
menggunakan teknologi TBS dapat efektif digunakan.
Hasil penggunaan teknologi LTBS menunjukkan bahwa dari letak
perangkap yang terdapat berbatasan dengan kebun sawit saja yang dapat
memerangkap tikus, yaitu sebanyak 16 ekor. (Gambar 3).
a b
Hal ini dapat terjadi mungkin disebabkan tikus telah tertarik dengan
tanaman perangkap dalam TBS dan lebih awal dapat terperangkap dalam bubu.
Kondisi letak petak perangkap TBS yang berdekatan dengan kebun sawit dapat
efektif memrangkap tikus sejak fase awal tanam. Keadaan ini menunjukkan
potensi pengendalian tikus sawah yang mengadakan migrasi dari habitatnya
(kebun sawit) menuju ke sawah dapat efektif digunakan.
KESIMPULAN
622
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
2. Tikus yang dapat diperangkap dalam petak perangkap sebanyak 293 ekor
terdiri dari 88 jantan dan 205 betina. Hal ini menunjukkan potensi tikus yang
dapat dikendalikan yaitu sebesar 16.400 ekor dalam 1 musim tanam.
3. Sisi petak perangkap TBS yang menghadap ke arah kebun sawit dapat
memerangkap tikus lebih banyak.
4. Penggunaan teknik LTBS menunjukkan potensi pengendalian tikus sawah
yang mengadakan migrasi dari habitat menuju sawah dan sebaliknya.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
623
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Dini Yuliani, 2Muainah Hasibuan, dan 1Sudir
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. (0260) 520157/(0260) 520158
email: diniyuliani2010@gmail.com
ABSTRAK
Varietas unggul baru (VUB) padi merupakan teknologi yang murah dan
mudah diadopsi oleh petani. Pemilihan VUB padi harus mempertimbangkan
potensi hasil tinggi, kualitas yang baik, dan tahan terhadap hama-penyakit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan varietas unggul baru padi
terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDB) patotipe III, IV, dan VIII. Penelitian
dilaksanakan di Screen Field Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
pada musim hujan 2013/2014 dan musim kemarau 2014 menggunakan
rancangan petak terpisah dan diulang 3 kali. Sebagai petak utama adalah tiga
patotipe bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) yaitu patotipe III, IV, dan
VIII. Sedangkan anak petak adalah 8 varietas unggul baru (VUB) yaitu Inpari 1,
Inpari 11, Inpari 30, Ciherang, Angke, Conde, Hipa 11, dan Hipa Jatim 3.
Pengamatan intensitas penyakit HDB dilakukan dengan mengukur gejala
terpanjang pada umur tiga minggu setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa patotipe Xoo dan VUB padi berpengaruh terhadap keparahan penyakit
HDB. Terjadi interaksi antara keduanya pada musim hujan, namun tidak terjadi
interaksi pada musim kemarau. Varietas Conde dan Angke menunjukkan
keparahan penyakit paling rendah dibandingkan varietas lainnya dan konsisten
bereaksi agak tahan terhadap patotipe III, IV, dan VIII pada dua musim tanam.
Hipa Jatim 3 memiliki potensi hasil lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya dan
konsisten pada dua musim tanam, meskipun memiliki keparahan penyakit HDB
yang cukup tinggi. Patotipe Xoo tidak berpengaruh terhadap komponen hasil padi,
sedangkan VUB berpengaruh terhadap komponen hasil padi pada dua musim
tanam. Untuk pemilihan VUB tahan HDB dapat disesuaikan dengan kebutuhan
dan kondisi lahan setempat. Untuk daerah endemis penyakit HDB, dapat
digunakan Conde dan Angke untuk menurunkan keparahan penyakit. Hipa Jatim
3 memiliki ketahanan terhadap penyakit HDB dibandingkan varietas lainnya dan
memiliki potensi hasil yang tinggi.
Kata kunci: Reaksi ketahanan, varietas unggul baru, padi, hawar daun bakteri
PENDAHULUAN
Varietas unggul baru (VUB) memiliki peran nyata dalam meningkatkan
produksi padi nasional yaitu varietas yang adaptif dan berpotensi hasil tinggi di
lahan sawah irigasi. Namun potensi hasil padi menghadapi kendala biotik yaitu
serangan hama dan penyakit. Penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang
disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo), merupakan salah satu
penyakit yang sangat penting di negara-negara penghasil padi termasuk Indonesia
(Suparyono dkk. 2004, Jeung dkk. 2006, Nayak dkk. 2008). Penyakit ini menyebar
624
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
di berbagai ekosistem padi baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dan sulit
dikendalikan. Penyakit HDB dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai lebih
dari 50% (Shen and Ronald. 2002).
Sejak varietas IR20 yang memiliki gen tahan terhadap HDB diperoleh,
pemuliaan padi tahan HDB menjadi salah satu program penting dalam perbaikan
varietas. Berbagai varietas padi dengan berbagai tingkat ketahanan terhadap
HDB telah dikembangkan. Namun kemudian diketahui bahwa varietas tahan
hanya efektif terhadap patotipe tertentu pada lokasi tertentu. Berawal dari yang
dialami varietas IR20 di Filipina, kemudian IR36 di Indonesia. Setelah dilepas
tahun 1970, IR20 rentan terhadap patotipe Isabela di Filipina (Ou. 1985),
sementara IR36 yang dilepas di Indonesia pada sekitar tahun 1979 rentan
terhadap patotipe IV (Suparyono. 1984). Informasi ini mengisyaratkan bahwa
bukan saja dominasi dan distribusi patotipe yang berbeda di berbagai daerah,
namun juga bahwa dalam kurun waktu tertentu, dominasi patotipe di suatu daerah
dapat berubah (Sudir dkk. 2012). Hal ini menyebabkan suatu varietas padi yang
semula tahan terhadap HDB dapat menjadi patah ketahanannya. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui reaksi ketahanan varietas unggul baru padi terhadap
penyakit hawar daun bakteri.
625
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
padi dan patotipe Xoo terhadap intensitas penyakit HDB, data dianalisis secara
statistik dengan uji F pada taraf 5%. Jika hasil perlakuan berpengaruh nyata maka
dilakukan uji lanjut DMRT 5% (Gomez and Gomez. 1995).
Ket.: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5%
2. Huruf kecil untuk arah vertikal patotipe Xoo, huruf besar untuk arah
horizontal varietas.
626
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
diketahui bereaksi tahan terhadap Xoo patotipe III, IV, dan VIII (Suprihatno dkk
2011).
Tabel 2. Reaksi ketahanan VUB padi terhadap hawar daun bakteri. Sukamandi.
MH 2013/2014
Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII
Varietas
Severity Skala Reaksi Severity Skala Reaksi Severity Skala Reaksi
Inpari 1 21,7 5 AR 57,3 9 SR 37,3 7 R
Inpari 11 18,6 5 AR 56,2 9 SR 24,7 5 AR
Inpari 30 20,7 5 AR 51,4 9 SR 29,4 7 R
Ciherang 21,9 5 AR 53,3 9 SR 30,8 7 R
Angke 6,9 3 AT 9,8 3 AT 8,0 3 AT
Conde 6,5 3 AT 8,0 3 AT 7,2 3 AT
Hipa 11 27,9 7 R 58,5 9 SR 37,8 7 R
Hipa Jatim 3 31,1 7 R 58,1 9 SR 36,3 7 R
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT 5%.
Hal ini menunjukkan Hipa Jatim 3, meskipun memiliki keparahan penyakit HDB
yang cukup tinggi, namun memiliki potensi hasil lebih tinggi dibandingkan varietas
lainnya.
Hasil sidik ragam pada pengamatan tiga MSI menunjukan patotipe Xoo dan
varietas padi masing-masing berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit
HDB, namun tidak terjadi interaksi di antara keduanya pada MK 2014. Keparahan
penyakit HDB terendah dijumpai pada patotipe III, sedangkan keparahan penyakit
HDB tertinggi diperoleh pada patotipe IV. Varietas Conde dan Angke menunjukkan
keparahan penyakit HDB terendah dibandingkan varietas lainnya (Tabel 4).
627
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 4. Keparahan hawar daun bakteri pada VUB padi. Sukamandi. MK 2014
Perlakuan Keparahan Penyakit (%)
Patotipe Xoo
Patotipe III 8,9 c
Patotipe IV 22,7 a
Patotipe VIII 13,7 b
Varietas
Inpari 1 16,6 ab
Inpari 11 16,5 ab
Inpari 30 15,6 b
Ciherang 17,2 ab
Conde 9,1 c
Angke 9,7 c
Hipa 11 16,5 ab
Hipa Jatim 3 19,5 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5%.
Hasil pengamatan pada MK 2014 diperoleh tujuh VUB padi bereaksi agak
tahan terhadap Xoo patotipe III, sedangkan Hipa Jatim 3 bereaksi agak rentan.
Reaksi ketahanan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII diperoleh dua varietas yaitu
Conde dan Angke bereaksi agak tahan. Varietas padi lainnya menunjukkan reaksi
agak rentan hingga rentan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII (Tabel 5).
Tabel 5. Reaksi ketahanan VUB padi terhadap hawar daun bakteri. Sukamandi.
MK 2014
Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII
Varietas
Severity Skala Reaksi Severity Skala Reaksi Severity Skala Reaksi
Inpari 1 8,95 3 AT 26,1 7 R 14,7 5 AR
Inpari 11 9,1 3 AT 25,97 7 R 14,5 5 AR
Inpari 30 7,7 3 AT 24,5 5 AR 14,6 5 AR
Ciherang 8,8 3 AT 26,9 7 R 16,1 5 AR
Angke 6,1 3 AT 10,7 3 AT 10,6 3 AT
Conde 7,5 3 AT 12,4 5 AR 9,2 3 AT
Hipa 11 10,5 3 AT 26,2 7 R 12,7 5 AR
Hipa Jatim 3 12,4 5 AR 28,5 7 R 17,5 5 AR
Menurut Sudir dkk. (2012), jenis varietas yang ditanam akan menentukan
perkembangan penyakit HDB.
Patotipe Xoo tidak berpengaruh nyata terhadap komponen hasil pada MK
2014. Sedangkan varietas berpengaruh nyata terhadap BGI dan BGH, Hipa Jatim
3 memiliki BGI tertinggi sebesar 160,3 gr, sedangkan BGI terendah dijumpai pada
Angke sebesar 142,2 gr. Bobot gabah hampa tertinggi diperoleh pada Hipa 11
sebesar 30,9 g. Sama halnya pada musim sebelumnya Hipa Jatim 3 memiliki
BGKG tertinggi sebesar 1,96 kg/20 m2 dibandingkan varietas lainnya (Tabel 6).
Hal ini menunjukkan Hipa Jatim 3 memiliki potensi hasil lebih tinggi dibandingkan
varietas lainnya dan konsisten pada dua musim tanam, meskipun memiliki
keparahan penyakit HDB yang cukup tinggi.
628
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5%.
Hasil gabah kering giling pada MK 2014 relatif lebih tinggi dibandingkan
MH 2013/2014, namun tidak konsisten pada masing-masing varietas yang dikaji.
Menurut Satoto dkk. (2013), terdapat perbedaan hasil gabah antar musim pada
tanaman padi dan bersifat kompleks dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan seperti teknik budidaya, kondisi iklim, dan potensi serangan
hama/penyakit. Intensitas penyakit HDB pada varietas yang dikaji dipengaruhi
oleh patotipe Xoo (Yuliani dkk. 2015). Varietas padi dan musim tanam
berpengaruh terhadap intensitas penyakit HDB. Intensitas penyakit berkaitan
dengan ketahanan varietas terhadap patogen. Periode waktu ketahanan varietas
padi ditentukan oleh beberapa faktor seperti komposisi dan dominasi patotipe
Xoo, kecepatan perubahan patotipe Xoo, frekuensi penanaman padi, dan
komposisi varietas dengan latar belakang genetik berbeda yang ditanam pada
waktu dan hamparan tertentu (Suparyono dkk. 2003).
Di samping penanaman varietas tahan, budi daya tanaman sehat dengan
penggunaan benih sehat, pengaturan jarak tanam tidak terlalu rapat, pemupukan
sesuai kebutuhan tanaman, sanitasi lingkungan dapat mengantisipasi serangan
penyakit HDB. Teknik pengendalian penyakit HDB lainnya yaitu pergiliran
varietas tahan yang perlu dirancang secara cermat, agar varietas tahan dapat
berfungsi dengan baik (Sudir dkk. 2012).
KESIMPULAN
Patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) dan varietas unggul baru
(VUB) padi berpengaruh terhadap keparahan penyakit hawar daun bakteri (HDB).
Terjadi interaksi antara keduanya pada musim hujan, namun tidak terjadi interaksi
pada musim kemarau. Varietas Conde dan Angke menunjukkan keparahan
penyakit paling rendah dibandingkan varietas lainnya dan konsisten bereaksi agak
tahan terhadap patotipe III, IV, dan VIII pada dua musim tanam. Hipa Jatim 3
memiliki potensi hasil lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya dan konsisten
pada dua musim tanam, meskipun memiliki keparahan penyakit HDB yang cukup
629
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tinggi. Patotipe Xoo tidak berpengaruh terhadap komponen hasil padi, sedangkan
VUB berpengaruh terhadap komponen hasil padi pada dua musim tanam. Untuk
pemilihan VUB tahan HDB dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lahan
setempat. Untuk daerah endemis penyakit HDB, dapat digunakan varietas Conde
dan Angke untuk menurunkan keparahan penyakit. Hipa Jatim 3 memiliki
ketahanan terhadap penyakit HDB dibandingkan varietas lainnya dan memiliki
potensi hasil yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Gomez AK and AA Gomez. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian.
(Terjemahan oleh Enang Sjamsudin & Justika Baharsjah). Edisi 11. UI
Press. Jakarta.
IRRI. 2002. Standard Evaluation System for Rice. 4th edition. IRRI, Los Banos,
Philippines.
Jeung, JU., SG Heu., MS Shin., CMV Cruz, and KK Jena. 2006. Dynamics of
Xanthomonas oryzae pv. oryzae populations in Korea and their relationship
to known bacterial blight resistance genes. Phytopathology 96: 867-875.
Nayak, D., ML Shanti., LK Bose., UD Singh, and P Nayak. 2008. Pathogenicity
association in Xanthomonas oryzae pv. oryzae the causal organism of rice
bacterial blight disease. J. Agric. Biol. Sci. 3 (1): 12-27.
Ou, SH. 1985. Rice diseases. Second Edition. Great Britain: The Cambrian News
Ltd. 380 p.
Satoto, Y. Widyastuti., U. Susanto dan MJ Mejaya. 2013. Perbedaan hasil padi
antar musim di lahan sawah irigasi. Buletin IPTEK Tanaman pangan 8 (2):
55-61.
Shen Y and P Ronald. 2002. Molecular determinant of disease and resistance in
interaction of Xanthomonas oryzae pv. oryzae and rice. J. Microbe and
Infection 4 (13): 1361-1367.
Sudir, B. Nuryanto, dan TS Kadir. 2012. Epidemiologi, patotipe, dan strategi
pengendaliam penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi. Buletin
IPTEK Tanaman pangan 7 (2): 79-87.
Suprihatno, B., A.A Daradjat, Satoto, Suwarno, E Lubis, S.E Baehaki, Sudir, SD
Indrasari, IP Wardana dan MJ Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas padi. Edisi
Revisi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Suparyono. 1984. Pathotype shifting of Xanthomonas campestris pv. oryzae, the
cause of bacterial leaf blight in West Java. Indonesian J. of Crop Science.
Suparyono, Sudir dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar daun
bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 22(1): 45-50.
Suparyono, Sudir dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas
campestris pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian
J. Agric. Sci. 5(2): 63-69.
Yuliani, D., RH Wening dan Sudir. 2015. Karakterisasi morfologi dan agronomi serta
evaluasi ketahanan genotype padi terhadap penyakit hawar daun bakteri.
Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 35 (2).
630
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kerusakan yang diakibatkan serangan hama tikus (Rattus argentiver) pada
setiap tahunnya adalah sekitar 17 % tanaman atau setara dengan ukuran
kemampuan untuk konsumsi makanan lebih dari 20 juta orang setiap tahunnya.
Pada umumnya, habitat tikus adalah di permukaan tanah, persawahan, padang
rumput, perkebunan dan semak belukar. Tikus seringkali melakukan migrasi untuk
mencari pakan yang mencukupi. Migrasi ini bisa sampai sejauh 1-2 km dari tempat
asalnya. Pemukiman, gudang maupun areal sekitar persawahan, merupakan
tujuan migrasinya, oleh karena itu informasi mengenai kelimpahan tikus pada
lahan pertanian yang memiliki batasan tipe penggunaan lahan yang berbeda
adalah penting untuk diketahui. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari kelimpahan tikus pada berbagai tipe batasan habitat yang berbeda
dengan lahan pertanian. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur, Batanghari, dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi pada tiga tipe batasan habitat
yang berbeda, yaitu lahan pertanian yang berbatasan dengan perkebunan kelapa
sawit, berbatasan dengan semak belukar, dan berbatasan dengan hutan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa total tikus tertangkap adalah 572 ekor selama 40
hari, dengan jenis kelamin jantan sebanyak 165 ekor dan 407 ekor tikus betina.
Jumlah terbanyak diperoleh dari lahan pertanian yang berbatasan dengan hutan,
kemudian kelapa sawit dan terakhir semak belukar. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kelimpahan tikus dipengaruhi oleh batasan habitat lahan pertanian.
Kata kunci: Rattus argentiver, migrasi, habitat, tipe penggunaan lahan
PENDAHULUAN
Tikus menyebabkan kerusakan mulai persemaian hingga padi siap
dipanen. Kerusakan tanaman padi akibat tikus di Negara-negara Asia mencapai
10-15% setiap tahun dan di Indonesia luas serangan tikus rata-rata mencapai lebih
dari 100.000 ha setiap tahun. Kerusakan tanaman padi yang disebabkan oleh
enam pasang tikus dan keturunannya selama satu musim tanam padi mencapai
37%, setara dengan kehilangan gabah 3 ton atau 4,5 juta rupiah dalam 1 ha
sawah. Perhitungan tersebut dengan asumsi hasil panen mencapai 8 t/ha gabah
kering panen dengan harga jual Rp. 1.500/kg (Kementan, 2012).
Usaha pengendalian hama pada pertanaman padi setelah wereng adalah
pengembangan langkah-langkah pengendalian hama tikus (Anggara dan
Herawati, 2007). Strategi pengendalian tikus sawah terutama harus dilakukan
pada saat populasi tikus masih rendah dan mudah pelaksanaannya yaitu pada
periode awal tanam, dengan sasaran menurunkan populasi tikus betina dewasa
sebelum terjadi perkembangbiakan. Membunuh satu ekor tikus betina dewasa
631
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pada awal tanam, setara dengan membunuh 80 ekor tikus setelah terjadi
perkembangbiakan pada saat setelah panen (Sudarmaji, 2005).
Salah satu tindakan sebelum merekomendasikan suatu metode
pengendalian adalah dengan mempelajari ekologi hama tikus sehingga
menghasilkan teknik pengendalianyang berbasis pada manajemen ekologi.
Dengan manajemen ekologi pengendalian dapat dimanfaatkan ketika lahan kering
maupun banjir (Sudarmaji, 2002).
Dalam beberapa komponen teknologi pengendalian tikus secara garis
besar juga terdapat manipulasi habitat yang erat kaitannya dengan manajemen
ekologi. Manipulasi habitat bertujuan mengurangi unsur-unsur yang memberi
kesempatan pada tikus untuk leluasa berkembang misalnya pembersihan gulma,
jadwal tanam yang sinkron, merampingkan dan mengurang tinggi pematang,
pembersihan vegetasi yang ada disekitar sawah serta penundaan waktu tanam.
Manajemen terpadu yang menekankan pendekatan ekologi terhadap
keberadaan tikus yang dipengaruhi oleh lingkungannya dan untuk alasan ini tikus
diketahui memiliki perilaku migrasi sehingga menjadi salah satu kajian untuk
mengetahui pengaruh tipe lahan yang berbatasan dengan pertanaman padi
terhadap kelimpahan tikus (Pech dkk.,2003). Dengan melakukan manajemen
berdasarkan tipe lahan yang berbatasan dengan pertanaman padi maka dapat
meminimalkan kecenderungan tikus untuk membangun dan pindah ke tanaman
baru dalam hal ini pertanaman padi. Informasi yang diperoleh dapat menjadi
rekomendasi dalam menentukan tindakan pengendalian hama tikus untuk
meminimalkan populasi awal serta mengurangi ruang lingkup tikus untuk
berkembang biak dan menyerang.
Dengan demikian diperlukan informasi terkait kelimpahan tikus sehingga
dapat diketahui batasan tipe habitat manakah yang memberi konstribusi yang
tinggi terhadap kelimpahan tikus. Dari hasil penelitian ini makan akan diperoleh
informasi model pengendalian hama tikusyang sesuai pada berbagai pertanaman
padi yang memiliki batasan dengan habitat lain yaitu semak belukar, hutan, dan
perkebunan sawit.
632
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
633
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
jumlah kurang mencukupi, tikus melakukan migrasi untuk mencari pakan yang
mencukupi. Migrasi ini bisa sampai sejauh 1-2 km dari tempat semula.
Pemukiman, gudang maupun areal persawahan yang cukup pakannya,
merupakan tujuan migrasinya. Pada saat sawah sedang tidak ditanami, tikus
masih memiliki habitat yang sesuai di hutan dan perkebunan kelapa sawit dengan
ketersediaan biji-bijian.
6 ab
a
Rata-rata kelimpahan tikus
5 b
0
Hutan Semak Kelapa Sawit
Gambar 2. Kelimpahan tikus pada tiga tipe lahan batasan yang berbeda
Sebaran data kelimpahan tikus pada sawah yang berbatasan dengan tipe
lahan yang berbeda disajikan dalam diagram box-plot (Gambar 3).
Jenis kelamin
Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan
Tipe batasan Hutan Semak Kelapa Sawit
Gambar 3. Box-plot kelimpahan tikus pada sawah yang berbatasan dengan tipe
lahan yang berbeda
634
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Tipe lahan yang berbatasan dengan sawah berpengaruh pada kelimpahan
tikus. Jenis kelamin tikus yang tertangkap memiliki perbedaan, dimana tikus betina
lebih banyak tertangkap daripada tikus jantan. Manipulasi habitat dengan tujuan
mengeleminir unsur-unsur yang memberi kesempatan pada tikus untuk leluasa
berkembang yaitu dengan pembersihan gulma, jadwal tanam yang sinkron,
merampingkan dan mengurangi tinggi pematang, pembersihan vegetasi yang ada
disekitar sawah dan penundaan waktu tanam.
SARAN
635
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Anggara A.W, dan N. Herawati, 2007. Pengendalian Hama Tikus Sawah. Di dalam:
Pelatihan Budidaya Tanaman Padi Dinas Pertanian Kabupaten
Temanggung; 2007 Jun 4-8. BB Penelitian Padi Sukamandi
[Kementan] Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
2012. Inovasi Teknologi Padi dan Palawija, (ID): Kementan.
Pech, R.P., S.A.Davis, and G.R,Singleton. 2003. Outbreaks of rodents in
agricultural systems: pest control problems or symptoms of dysfunctional
ecosystems. Di dalam Symposium Population Ecology and Modelling.
2003. Canberra (AU): ACIAR.
Sudarmaji. 2001. Pengendalian tikus sawah dengan TBS dan LTBS. Didalam
Diskusi Panel Pengendalian Hama Tikus,Jatisari, Jawa Barat (ID): HKTI
Pusat di BPHP-TPH. 113 hal.
Sudarmaji, 2002. Strategi pengendalian tikus terpadu. Di dalamWorkshop dan
Pelatihan Site Specifik Nutrient Management; Balitpa Sukamandi. 6-10 Mei
2002. Hal. 1-18.
Sudarmaji, 2005. Permasalahan hama tikus dan penanganannya pada padi
(hibrida). Di dalam: Training Produksi Benih Padi Hibrida. 16-18 Mei 2005.
BB Penelitian Padi.
636
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Yulimasni
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Produksi padi di Indonesia tahun 2014 mencapai 70,83 juta ton gabah
kering giling (GKG), dibandingkan produksi padi tahun 2013 sebanyak 71,28 juta
ton GKG, maka produksi padi tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 0,45
juta ton atau turun sebesar 0,63%. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya luas
panen dan produktivitas. Pada tahun 2013 luas panen padi seluas 13,83 juta
hektar turun menjadi 13,79 juta hektar pada tahun 2014 atau mengalami
penurunan sekitar 0,30%. Produktivitas padi pada tahun 2014 turun sebesar 0,17
kuintal/hektar dibanding tahun 2013 atau mengalami penurunan sekitar 0,33%
(BPS RI, 2014).
Peningkatan produksi padi secara nasional dapat dilakukan melalui
program peluasan areal (ekstensifikasi) dan menciptakan serta menerapkan
teknologi terobosan yang dapat memacu produksi optimal tanaman pangan pada
luas areal tertentu (intensifikasi). Maintang (2012) mengatakan bahwa
peningkatan produktivitas padi melalui penerapan teknologi dengan pendekatan
Pengelolaan Tanaman (dan Sumber Daya) Terpadu (PTT) diyakini mampu
mendukung pencapaian produksi yang tinggi sesuai dengan potensi genetik
tanaman dengan memperhatikan faktor lingkungan dan pengelolaan tanaman.
637
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
638
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
kali pemberian yaitu umur 15 dan 30 hari setelah tabur (HST), masing-masing
setengah dosis. Bersamaan dengan pemberian pupuk dasar, juga dilakukan
pemberian herbisida pra tumbuh (Saturn-D) dengan dosis 16 kg/ha kemudian
diulangi dengan penyemprotan herbisida pra tumbuh (DM-6) dosis 1,5 l/ha yang
diberikan pada umur 30 HST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara
berkala dengan menggunakan pestisida kimia.
c) Parameter
Pengamatan jenis, populasi dan intensitas serangan hama dan penyakit
serta musuh alaminya dilakukan petakan sub-sampel berukuran 1x1 m pada umur
40 HST (stadia vegetatif) dan umur 80 HST (stadia generatif) dengan mengamati
seluruh jenis hama dan penyakit yang ditemui serta jenis musuh alaminya.
Populasi hama dan musuh alami dilakukan dengan menghitung populasi setiap
serangga hama dan musuh alami yang di temui pada setiap rumpun tanaman
sampel. Serangan hama penggerek batang dan perusak daun dilakukan dengan
menghitung jumlah tanaman terserang dan jumlah tanaman yang diamati,
selanjutnya diformulasikan dengan rumus sebagai berikut;
a
P x100% (P = Persentase tanaman terserang, a = jumlah
b
tanaman terserang, b = jumlah tanaman yang diamati).
Untuk menghitung intensitas serangan penyakit dilakukan pengamatan
pada 50 helaian daun yang diambil secara acak pada petakan sub-sampel seluas
1x1 meter Selanjutnya pada masing-masing daun dilakukan pengamatan
serangan berdasarkan nilai skala serangan sebagai berikut (Tabel 1):
d) Analisis data
Penelitian ini hanya bersifat observasi dan tidak ada perlakuan, sehingga
analisis data tidak dilakukan.
639
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
640
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Jenis dan persentase serangan penyakit pada tanaman padi di lahan
Sawah bukaan baru, Koto Salak, April-September 2009.
Serangan pada umur (%)
Jenis Penyakit
40 HST 85 HST
Blast 6,50 12,50
Helminthosporium 0,55 0,55
Cercospora 0,55 4,00
Penyakit blas disebabkan oleh jamur Pyricularia oryzae Cav. Jamur ini
pada tanaman padi menimbulkan kerusakan pada daun, ruas batang , leher malai,
dan kulit gabah, dengan bentuk khas dari bercak blas adalah elips dengan dua
ujungnya kurang lebih runcing. Bercak yang telah berkembang, bagian tepi
berwarna coklat dan bagian tengah bewarna putih keabu-abuan. Infeksi pada
batang menyebabkan bercak hitam dan batang patah yang mungkin
mengakibatkan kehampaan (Mukelar dan Kardin, 1991). Persentase kerusakan
641
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
oleh penyakit ini sebesar 6,50% dan 12,5% masing-masing pada pengamatan
umur 40 dan 85 HST.
Penyakit Helminthosporium atau dikenal juga dengan penyakit bercak
daun coklat disebabkan oleh jamur Helminthosporium oryzae. Gejala khas dari
penyakit ini adalah adanya bercak coklat pada daun dan kulit gabah. Intensitas
serangan penyakit ini relatif rendah yaitu sebesar 0,55%. Selanjutnya penyakit
yang umum juga dijumpai menyerang adalah penyakit Cercospora, penyakit
Cercospora disebabkan oleh jamur Cercospora oryzae Miyake yang dikenal juga
dengan penyakitbercak daun coklat bergaris. Intensitas kerusakan oleh kedua
penyakit ini juga rendah yaitu sebesar 0,55% dan 4,0% masing-masing pada
pengamatan umur40 dan 85 HST.
Jenis musuh alami yang dijumpai umumnya musuh alami dari hama
wereng yaitu laba-laba, kumbang phaedorus, coccinella dan capung. Populasi
musuh alami tersebut relatif tinggi, terutama jenis laba-laba yang mencapai 15,3
ekor/m2 dan 12,5 ekor/m2 masing-masing pada pengamatan umur 40 HST dan 85
HST (Tabel 4).
Tabel 4. Jenis dan populasi musuh alami hama padi di lahan sawah bukaan
baru, Kota Salak April-September 2009.
Pengamatan umur
Jenis Musuh Alami Populasi
40 HST 85 HST
KESIMPULAN
642
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
BPSRI. 2014. Statistik Pangan Indonesia 2014. Biro Pusat Statistik Republik
Indonesia, Jakarta. 128 hal.
Duriat, A.S., 2006. Dukungan Penelitian Virus dalam Pengembangan Perbenihan
Kentang. Orasi Pengukuhan Peneliti Utama sebagai Profesor Riset Bidang
Hama dan Penyakit Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor, 7 Desember 2006.
Israel, P. 1967. Varieties resistance to rice stem borer in India. P.391-403. In The
Major Insect Pest of Rice Plant. Proc. Symp. Inst. Philippines. John
Hopkins, Baltimore.
Maintang, 2012. Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Teknologi Pilihan Petani :
Kasus Sulawesi Selatan. Iptek Tanaman Pangan. Puslitbangtan. Vol. 7,
No. 2. Hal ; 88-97.
Manti, Ishak, K. Zen, R. Wahab dan Yulimasni. 1994. Identifikasi hama-hama
utama padi sawah di Sumatera Barat. Laporan akhir hasil penelitian. 25
hal.
Mukelar, A., dan..M.K. Kardin. 1991. Pengendalian Penyakit Jamur. Hal 825-
844. Dalam Padi Buku 3. Edi Soenaryo, D.S. Damardjati, dan M. Syam
(penyunting) Puslitbangtan Bogor.
Satta, W. 1982. Perubahan populasi penggerek batang padi kuning (Tryporyza
incertulas Walker) dan hubungannya dengan kehilangan hasil padi.
Disertasi FPS,IPB,Bogor.
Suharto, H., dan S.S. Siwi. 1991. Walang Sangit dan Kepinding Tanah, Hama
putih Palsu. Ulat Grayak, dan Lalat Hidrellia. Hal. 737-750. Dalam Padi
Buku 3. Edi Soenarjo, D.S. Damardjati, dan M. Syam (penyunting).
Puslitbangtan Bogor.
Sutanto, Ato. 2013. Ambang Ekonomi Hama dan Penyakit.
cybex.pertanian.go.id. di akses tanggal 15 November 2015.
Zen Khairul, Dasmal dan Ismon, L. 2007. Pertumbuhan dan Produktivitan 10
Varietas Padi di Lahan Sawah Bukaan Baru. Jurnal Ilmiah Tambua. Vol.
VI, No. 3. Hal. 305-309.
643
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Teknologi light trap dan sex feromon merupakan alternatif teknologi yang
saat ini diterapkan dan diseminasikan kepada petani untuk mengatasi maupun
mengantisipasi terjadinya ledakan populasi ngengat penggerek batang padi. Light
trap berfungsi sebagai alat pemantau penerbangan ngengat untuk menentukan
waktu aplikasi insektisida kontak sedangkan sex feromon berfungsi untuk
mengendalikan populasi penggerek. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pola ledakan populasi ngengat penggerek batang padi berdasarkan
alat light trap dan sex feromon. Penelitian dilakukan di Kecamatan Cilamaya
wetan, Kabupaten Karawang. Jawa Barat pada MT1 2013 (Juni - September).
Penelitian dilakukan terhadap jumlah hasil tangkapan ngengat penggerek dengan
memasang light trap 2 m di luar areal sawah dan sex feromon sebanyak 30 stoples
yang dipasang di tengah areal sawah dimana 3 stoples per areal sawah petani.
Jumlah petani yang ikut serta dan memasang sex feromon sebanyak 10 petani.
Luas areal sawah yang diteliti adalah 50 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
informasi pola penerbangan populasi berdasarkan light trap adalah sama dengan
informasi pola serangan berdasarkan sex feromon yang ditandai dengan pola
kurva hasil tangkapan kedua alat yang memperlihatkan sebaran yang
sama.Puncak serangan terjadi pada bulan Agustus. Informasi serangan ngengat
penggerek menunjukkan bahwa populasi pada bulan Juli – Agustus – September
tahun 2013 adalah rendah – tinggi – sedang. Informasi pola serangan ngengat
penggerek hasil penelitian dapat dijadikan dasar acuan untuk penelitian pada
tahun selanjutnya.
PENDAHULUAN
Salah satu Faktor yang membuat sulitnya pengendalian hama penggerek
batang antara lain kurangnya pemahaman alat pengendali hama dan belum
tertatanya sistem pertanaman di lapang (Reji dkk., 2008). Monitoring
penerbangan ngengat penggerek perlu dilakukan untuk mengetahui ambang
ekonomi terbaru untuk pelaksanaan pengendalian hama penggerek.Teknologi
pengendalian hama penggerek telah tersedia dan telah diimplementasikan baik
oleh semua pihak namun banyak mengalami kegagalan. Strategi yang ampuh
untuk mengendalikan hama adalah dengan menerapkan segitiga strategi, yaitu:
penerapkan SOP pengendalian dengan benar, membangun kebersamaan
pengendalian di masyarakat, dan dukungan kebijakan dan komitmen pemerintah
pusat maupun daerah.
644
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Teknologi light trap dan sex feromon merupakan alternative teknologi yang
saat ini diterapkan dan diseminasikan kepada petani untuk mengatasi maupun
mengantisipasi terjadinya ledakan populasi ngengat penggerek batang padi. Dua
alat ini bertujuan untuk melakukan tindakan preventif mengendalikan hama
penggerek (Balitbangtan, 2015).Light trap berfungsi sebagai alat pemantau
penerbangan ngengat untuk menentukan waktu aplikasi insektisida kontak
sedangkan sexferomon berfungsi untuk mengendalikan populasi penggerek. Dua
alat ini dapat digunakan untuk pemantauan tingkat populasi dan perangkap massal
(Suharto dan Sembiring, 2007; Raffiudin dan Samudra, 2011).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola ledakan populasi
ngengat penggerek batang padi berdasarkan alat light trap dan sex feromon.
645
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Informasi pola ledakan populasi berdasarkan hasil tangkapan light trap
adalah sama dengan informasi pola serangan berdasarkan sex feromon. Puncak
populasi penerbangan terjadi pada bulan tengah Agustus dan penurunan populasi
ngengat mulai tejadi pada akhir Agustus.
646
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
647
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Asmanizar
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Beras (Oryza sativaL.) merupakan salah satu makanan pokok untuk lebih
separuh penduduk dunia. Di Benua Asia beras menjadi bahan makanan pokok
mayoritas penduduk dan lebih 90% total produksi beras dunia berasal dari Asia
(IRRI, 1997). Di Indonesia, seiring dengan laju pertumbuhan penduduk maka
kebutuhan beras sebagai bahan makanan pokok semakin meningkat pula.
Berbagai usaha peningkatan produksipun dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan
secara nasional.
Penyimpanan yang aman merupakan hal penting untuk memastikan suplai
bahan makan pokok yang cukup dan layak dikonsumsi oleh konsumen. Walaupun
produksi bahan pangan meningkat sebagai keberhasilan teknik budidaya yang
baik di lapangan, sejumlah bahan yang dipanen akan hilang disebabkan
perlindungan pascapanen yang tidak memadai di tempat penyimpanan.
Bahan pangan biji-bijian sangat mudah rusak selama dalam waktu
penyimpanan.Salah satu organisme penyebab kerusakan tersebut adalah
serangga hama. Nakakita (1998) melaporkan 20-30% bahan produk biji-bijian
yang disimpan rusak akibat serangan serangga hama. Beberapa hama bahan
simpan yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup berarti adalah Sitoroga
cerealella, Plodia interpunctella dan Sitophilus zeamais(Wilbur, 1971; Kalshoven
1981).Kerusakan dapat disebabkan karena bahan tersebut dimakan oleh
serangga hama, maupun kontaminasi kotorannya. Di Indonesia kehilangan berat
648
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
PEMBAHASAN
Perkembangan Penggunaan Insektisida Botanis untuk Mengendalikan Hama
Bahan Simpan
649
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
650
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
651
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Mengingat sistem penyimpanan beras di Indonesia umumnya masih
dengan sistem penyimpanan karung (bag storage), baik pada BULOG maupun
pedagang pengecer, maka pemanfaatan bahan tanaman sebagai insektisida
botanis sangat berpeluang untuk diterapkan. Beberapa insektisida botanis telah
diuji efektifitasnya terhadap hama-hama yang menyerang beras pada saat
penyimpanan di dalam gudang. Pemanfaatan ketersediaan bahan alami yang ada
dilingkunganlokal/setempat sangat mendukung sistem pertanian berkelanjutan. Di
samping itu masih diperlukan kajian-kajian lebih lanjut untuk aplikasinya di
lapangan dengan beberapa pilihan yang sesuai dengan metode penyimpanan
beras yang diterapkan. Berkaitan pula dengan kelemahan yang ada pada
insektisida botanis, maka perlu kajian pula dalam pemanfaatannya pada setiap
bahan tanaman yang dipilih. Pemanfaatan bahan dari tanaman untuk
mengendalikan hama beras dapat diikutsertakan dengan metode lainnya dalam
suatu teknologi yang komprehensif sebagai sistem peyimpanan dan perawatan
kualitas beras yang terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, F.H. 1996. Grain protectant; current status and prospects for the future.
Journal of Stored Products Research 32(4):293-302.
Asmanizar., A., Djamin and A.B. Idris, 2008. Effect of selected plant extract on
mortality of adult Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera:
Curculionidae), a pest of stored rice grain. Malaysian Applied Biology
37(2):41-46.
652
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Asmanizar., A. Djamin and A.B. Idris, 2012. Effect of four selected plant powder as
rice grain protectant against Sitophilus zeamais (Coleoptera:
Curculionidae). Sains Malaysiana 41(7):861-867.
Asmanizar., A. Djamin, and A.B. Idris, 2014. The potential of Jatropha curcas seed
crude extract in protecting rice grain stored in woven plastic bag against
Sitophilus zeamais Motschulsky. Proceeding of the International
Conference on Multidisciplinary Reseacrh. Medan.
Belmain, S.R., G.E. Neal, D.E. Ray and P. Golop, 2001. Insecticidal and vertebrate
toxicity associated with ethnobotanicals used as post-harvest protectants
in Ghana. Food and Chemicals Toxicology39:287-291.
Bouda, H., L.A. Tapondjou, and M.Y. Gumedzoe, 2001. Effect of essential oils from
leaves of Ageratum conyzoides, Lantana camara and Chromolaena
odorata on the mortality of Sitophilus zeamais (Coleoptera, Curculionidae).
Journal of Stored Product Research 37(2):103-109.
Daglish, G.J. 1998. Efficacy of six grain protectants applied alone or in combination
against three species of Coleoptera. Journal of Stored Products Research
34(4):263-268.
Dodia, D.A., I.S. Patel, and G.M. Patel, 2008. Botanical Pesticides for Pest
Management. Jodhpur: Pawan Kumar Scientific Pub.
Dirjen Pangan. 2015. Pedoman Teknis GP-PTT Padi 2015. Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan.
Golob, P., J.M wambula, V.Mhango, and F.Ngulube, 1982. The used of locally
available materials as protectants of maize grain against insect infestation
during storage in Malawi. Journal of Stored Products Research 18: 67-74.
Golob, P., G. Moss, M. Dalas, A.Fidgen and J.Evans, 1999. The use of spices and
medicinals as bioactive protectants for grain. Natural Resources Institute
Chathan.http://www.fao.org/docrep/x2230e/x2230e04.htm
Hussain, I. 1982. The Suscebtibility of milled and rough rice to attack by Sitophilus
oryzae (Linn.) and Sitophilus zeamais (Motsch.). Bogor: Biotrop.
IRRI, 1997. IRRI Rice Facts. The International Rice Research Institute(IRRI). Los
Banos, Philippines.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve.
Nakakita, H. 1998. Stored rice and stored product insects. In: Rice Inspection
Technology Manual 49-65. A Corporation, Tokyo, Japan.
Okunade, A.L. 2002. Ageratum conyzoides L. (Asteraceae). Review. Fitoterapia
(73): 1-16.
Pandey, N.D., K.K. Mathur, P.Sanjeev and R.A. Tripathi, 1986. Effect of some
plant extracts against pulse beetle, Callobruchus chinensis L. Indian
Journal Entomology 48 (1): 85-90.
Perum BULOG, 2012. Perawatan dan Pengendalian Hama.
www.bulog.co.id/phgt.php. Diakses 16 november 2015.
Prakash, A. and J.Rao, 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. New York: Lewis
Publishers.
Prakash, A., J.Rao, S.P. Gupta and T.C. Binh, 1989. Evaluation of certain plant
products as paddy grain protectants against Angoumois moth. Journal of
Natural Conservation 1:7-13.
Rejesus, M.M. and R.S. Rejesus, 1992. Methods of insecticide application for grain
protection. In Semple, R.L., Hicks, P.A., Lozare, J.V. & Castermans, A.
(eds) Towards integrated commodity and pest management in grain
storage. A Training Manual for Application in Humid Tropical Storage
Systems. http//www.fao.org/doc rep/x5048E/x5048E00.htm
653
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DISKUSI
654
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Jl. Moh. Van Gobel 270, Desa Iloheluma, Kec. Kabila,
Kab. Bone Bolango, Gorontalo.
Email: erwinnajamuddin@gmail.com
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, No. 1B, Medan, Sumatera Utara.
Email: suheri.sitepu12@gmail.com.
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas pangan utama di Indonesia. Tingkat produksi
maupun konsumsi padi selalu menempati urutan pertama diantara komoditas
tanaman pangan lainnya. Konsumsi padi dari tahun ke tahun selalu mengalami
peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura (2015) melaporkan Produksi beras Provinsi Gorontalo
tahun 2014 mencapai 303, 627 ton dengan luasan 58.264 Ha. Angka produksi ini
meningkat 10% jika dibandingkan tahun 2013 yakni 290,231 ton dengan luasan
60.396 Ha. Namun jika diamati dari sudut pandang produktivitas, Produktivitas
tanaman padi di Provinsi Gorontalo berkisar antara 4,5 ton hingga 5,0 ton per ha.
Lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas tanaman padi Nasional yang
655
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
berkisar antara 5,0-5,5 ton/ha (BPS, 2014). Banyak faktor yang menyebabkan
rendahnya hasil dilapangan diantaranya adalah kemampuan adaptasi varietas
serta gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT). salah satu OPT
yang sering dijumpai pada pertanaman padi adalah keberadaan penyakit dari
golongan bakteri pathogen tanaman yakni Hawar Daun Bakteri.
Penyakit Hawar Daun Bakteri merupakan penyakit penting tanaman padi
sekaligus menjadi kendala dalam upaya mempertahankan produksi. Penyakit
Hawar Daun Bakteri disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Xoo
adalah bakteri gram negatif yang sangat sulit untuk dikendalikan karena
penyebarannya yang cukup mudah. Penyebaran Xoo dapat dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya adalah stadium pertumbuhan tanaman terinfeksi,
tingkat kerentanan kultivar padi, dan kondisi lingkungan.
Informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan infeksi penyakit
hawar daun bakteri pada suatu varietas diwilayah tertentu menjadi sangat penting
melihat gencarnya diseminasi paket teknologi varietas unggul baru Badan Litbang
Pertanian untuk mencapai swasembada beras. Untuk memprediski besarnya
kehilangan hasil serta untuk menjadi referensi dasar untuk suatu pengujian lebih
lanjut maka semua faktor produksi menjadi sangat penting.
Berdasarkan hal tersebut maka dianggap penting untuk menyusun suatu
laporan singkat tentang karakteristik spesifik varietas, keberadaan, intensitas
serangan serta keparahan infeksi Xoo pada display pertanaman VUB Mekongga
di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo.
656
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Penyemaian benih
Benih padi varietas Mekongga yang diperoleh dari stok UPBS
BPTPdisemai disekitar lokasi penelitian. Setelah benih berkecambah normal,
benih dibiarkan tumbuh baik dan diawasi hingga umur 21 hari.
Penyiapan petak percobaan.
Petak Percobaan yang akan digunakan, disiapkan terlebih dahulu
sekaligus menunggu tanaman hingga siap untuk dipindahkan. Petak Percobaan
sesuai dengan rancangan display VUB. Pupuk disiapkan sesuai dengan masing-
masing dosis yang akan diaplikasikan.
Pemindahan bibit.
Bibit yang telah berumur 21 hari ditanam dengan pola tanam legowo 2:1.
Bibit yang dipindahkan dipilih yang memiliki pertumbuhan yang paling baik dan
sehat sehingga akan diperoleh tanaman yang baik.
Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan pengendalian gulma dan
pemupukan. Pemupukan pertama dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam
(HST) menggunakan pupuk PONSKA 150 kg dan Urea 50 kg/ha, dan pemupukan
kedua saat tanaman berumur 20 HST dengan PONSKA 150 kg dan Urea 50 kg/ha,
kemudian pemupukan ketiga saat tanaman berumur 35 HST (Urea 100 kg/ha).
Pengamatan.
Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan
maksimum (umur 42 dan 75 HST), jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi dan
gabah hampa serta produksi gabah kering panen (GKP). Pengamatan tingkat
keparahan penyakit dihitung dengan menentukan persentase kerusakan daun
yakni panjang daun keseluruhan dibagi panjang daun yang memperlihatkan gejala
HDB.
Tingkat kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan rumus :
𝑛
KP = 𝑁 𝑥100%
Keterangan : KP = Tingkat kejadian penyakit (%)
n = Panjang gejala pada daun tanaman
N = Panjang daun tanaman
Perhitungan hasil pengamatan keparahan penyakit dilanjutkan dengan penentuan
skor untuk mengetahui tingkat keparahannya berdasarkan skor (Tabel 1)
Tabel 1. Skor dan respon tanaman berdasarkan kriteria gejala hawar pada daun
padi.
Skor Kriteria gejala penyakit hawar daun Tingkat keparahan
1 = 0-3% luas`daun yang bergejala hawar Sangat sehat
2 = 4-6% luas daun yang bergejala hawar Sehat
3 = 7-12% luas daun yang bergejala hawar Agak sehat
4 = 13 – 50% luas daun yang bergejala hawar Agak parah
5 = 51 – 75% luas daun yang bergejala hawar Parah
6 = > 75 % luas daun yang bergejala hawar Sangat parah
657
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
658
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Gorontalo, 2015, Data
Produksi Tanaman padi 2015.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2015.Deskripsi Varietas Unggul
Baru Padi Inbrida Padi Sawah Irigasi (Inpari), Inbrida Padi Gogo (Inpago),
Inbrida Padi Rawa (Inpara), Hibrida padi (Hipa). Kementrian Pertanian.
Badan Pusat Statistik. 2014. Produktivitas Tanaman Padi tahun 2013. Berita
Resmi Statistik No. 28/03/th.XVIII, 2 Maret 2015. Jakarta
Wahyudi A.T., S. Meliah dan A.A. Nawangsih, 2011. Xanthomonas oryzae pv.
oryzae Bakteri Penyebab Hawar Daun Pada Padi: Isolasi, Karakterisasi,
dan Telaah Mutagenesis Dengan Transposon, MakaraSains 15(1): 89-96.
659
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pengerek Batang Padi Kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas merupakan
salah satu hama utama pada tanaman padi di beberapa negara di Asia termasuk
di Indonesia (Kartaatmadja dkk., 1997). Kehadiran hama ini pada pertanaman
padi hampir selalu dilaporkan di berbagai daerah di Indonesia. PBPKadalah hama
yang paling dominan dan paling luas serangannya di Indonesia (Kalshoven. 1981).
Pada tahun 2005, dilaporkan di beberapa daerah di Indonesia intensitas serangan
PBPK pada tanaman padi mencapai 10 sampai 20%. Tingkat kerusakan pada
660
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
fase vegetatif yang diakibatkan oleh hama ini dapat mencapai 20,5% dengan luas
daerah yang terserang mencapai 151.577 ha (BB Padi. 2009).
Kerusakan yang timbul akibat serangan PBPK tergantung pada fase
pertumbuhan tanaman padi. Pada fase vegetatif (pembentukan batang, daun,
dan anakan), daun tengah atau pucuk tanaman mati karena titik tumbuhnya
dimakan oleh larva. Satu larva dapat menyerang 6 anakan (Hashmi. 1994). Pucuk
yang mati akan berwarna coklat dan mudah dicabut (gejala sundep). Sedangkan
serangan pada fase generatif (pembentukan malai), maka malai akan mati karena
pangkalnya digigit oleh larva. Malai yang mati akan tetap tegak, berwarna abu-
abu putih dan bulir-bulirnya hampa, mudah dicabut dan pada pangkalnya terdapat
bekas gigitan larva (gejala beluk) (Santoso dan Sulistyo. 2007).
Teknologi yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama padi telah
banyak dihasilkan. Namun tidak semua teknologi tersebut dapat diterapkan pada
satu atau semua jenis hama pada berbagai agroekosistem padi. Penggunaan
insektisida kontak tidak efektif sedangkan insektisida sistemik seperti karbofuran
dapat menjadi tidak efektif penggunaannya pada musim hujan karena efek
pencucian. Penggunaan feromon dalam komponen Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) pada tanaman padi merupakan alternatif untuk pengganti penggunaaan
insektisida sintetik (Untung. 1993; Islam. 2012). Menurut Cork dan Basu (1996)
menyatakan gejala beluk (white head) pada pengendalian dengan feromon lebih
sedikit dibandingkan dengan pengendalian konvensional oleh petani dan tanpa
perlakuan pengendalian. Feromon serangga dapat dimanfaatkan sebagai
komponen pengendalian melalui proses pengurangan jantan maupun betina
(Blum. 1985). Pengendalian PBPK dengan feromon diharapkan populasi serangga
jantan menjadi sedikit, kopulasi (perkawinan) tidak terjadi sehingga betina tidak
meletakkan telur, maka serangan pada tanaman padi dapat menurun (Knipling.
1979). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk perangkap yang sesuai
untuk feromon dalam mengendalikan PBPK Scirpophaga incertulas.
661
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
a b c
d eb f
Perangkap digantung dengan cara diikat dengan tali pada bambu yang
dipacak sebagai tiang dengan ketinggian 1,5 m. Posisi jarak perangkap dengan
tanaman + 20 cm. Perangkap bola, delta, botol plastik dipasang tergantung
mengikuti arah angin dan perangkap baskom, fanel/corong dipasang kearah Barat
agar perangkap tidak terkena langsung oleh matahari sehingga vaselin tidak
mudah meleleh dan plastik corong/fanel tidak cepat hancur. PBPK yang masuk
ke dalam perangkap diamati setiap 3 hari selama 1 bulan. Data diolah dengan
662
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Analisa Sidik Ragam. Jika jenis perangkap mempengaruhi jumlah PBPK yang
tertangkap, dilanjutkan dengan Uji Beda rata-rata Duncan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggerek batang padi kuning (PBPK)yang tertangkap
Jumlah PBPK yang tertangkap selama 1 bulan dipengaruhi oleh bentuk
perangkap feromon (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata jumlah PBPK yang tertangkap selama 1 bulan
Jumlah
Kode Bentuk perangkap
PBPK/perangkap
A Perangkap delta dengan perekat 1,5 b
B Perangkap botol plastik 1,5 l dengan deterjen 37,2 a
C Perangkap berbentuk corong/fanel dengan plastik 1,0 b
D Perangkap baskom dengan vaselin 0,2 c
E Perangkap bola plastic 0,2 c
F Perangkap botol plastik 1,5 l denganvaselin 5,6 b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
Bentuk perangkap botol plastik air mineral dengan deterjen pada bagian
dasarnya mampu menangkap PBPK sebanyak 37,2 ekor/perangkap/bulan
berbeda nyata dengan lima bentuk perangkap lainnya. PBPK yang tertangkap
dalam jumlah yang sangat sedikit didapat pada bentuk perangkap baskom dengan
vaselin dan perangkap bola plastik dengan vaselin masing-masingnya sebanyak
0,25 buah/perangkap/bulan.
Tingginya jumlah PBPK yang tertangkap pada bentuk perangkap botol
plastik air mineral dengan deterjen pada bagian dasarnya, diduga karena lubang
ukuran 2x3 cm yang terdapat pada keempat sisi botol menjadi tempat masuk yang
cukup baik untuk hama ini. Serangga yang telah masuk ke dalam perangkap,
sangat kecil kemungkinan untuk keluar kembali dari botol karena terjebak dengan
larutan deterjen. Sementara itu, bentuk perangkap botol plastik air mineral 1,5 l
yang diberi vaselin hanya mampu menangkap PBPK sebanyak 5,6
ekor/perangkap/bulan, hal ini diduga karena tempat masuk PBPK hanya satu
lubang sehingga peluang masuk serangga ini menjadi sedikit.
Orientasi PBPK nampaknya kepada perangkap dengan pelepasan
feromon melalui lubang kecil. Keadaan ini dapat dilihat pada bentuk perangkap
yang dengan pelepasan feromon sangat terbuka (perangkap delta, perangkap
corong, perangkap bola dan baskom) jumlah PBPK yang tertangkap sangat
sedikit. Hal ini diduga karena konsentrasi feromon menjadi cepat berkurang
seiring dengan berjalannya waktu sehingga tidak atau sulit terdeteksi oleh PBPK.
Menurut Happ (1984), untuk membangkitkan respon serangga terhadap suatu
feromon, maka feromon tersebut harus diterima serangga pada konsentrasi
ambang (threshold concentration). Zona dimana serangga masih dapat merespon
disebut zona aktif (active space), semakin kecil konsentrasi feromon yang ada di
udara maka zona aktifnya makin kecil, sehingga serangga yang merespon sedikit
atau bahkan tidak ada.
663
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Perangkap botol bekas air mineral 1,5 l merupakan bentuk perangkap yang
sesuai untuk menangkap PBPK Scirpophaga incertulas.
SARAN
Perlu diuji jumlah perangkap yang optimum untuk luasan tertentu pada areal
pertanaman padi.
664
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Tanaman Padi-BB Padi. 2009. Penggerek Batang Padi. Http://www.
litbang deptan.htm (16 Januari 2010).
Blum, M.S. 1985. Exocrine System. In M.S. Blum (ed.) Fundamentals of Insect
Physiology. A Wiley Interscience Publication.
Cork, A., Basu, S.K. 1996. Control of the yellow stem borer Scirpophaga incertulis
by mating disruption with a PVC resin formulation of the sex pheromones
of Chilosuppresalis (Lepidoptera: Pyralidae) in India. Bulletin of
Entomological Research. 86(1): 1-9.
Happ, G.M. 1984. Pheromone and Allomones. In Evans, H.E. (ed.) Insect Biology.
Wesley Pub.Company. Canada.
Hashmi, A.A. 1994. Insects pests of paddy crop. In A.A. Hasmi (ed.) Insect Pest
Management: Cereal and cash Crops. PARCS, Islamabad, pp. 1-61.
Islam, M.A. 2012. Pheromone used for insect control: present status and prospect
in Bangladesh. Inter J Agril Res. Innov. and Tech. 2(1);47-55.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve.
Kartaatmadja, S., Soejito, J., Wardana, I.P. 1997. Pest management practices of
rice farmers in west Java. In Heong, K.L., Escalada, M.M. (eds.) Pest
Management of Rice Farmers in Asia. International Rice Research
Institute, Philippines.
Knipling, E.F. 1979. The Basic Principles of Insect Population Suppression and
Management. Agriculture Handbook.Washingtin, D.C.
Santoso, S.J. dan Sulistyo. 2007. Peranan Musuh Alami Hama Utama Padi pada
Ekososistem Sawah. Jurnal Inovasi Pertanian 6 (1) : 1-10.
Untung, K. 1993. Konsep pengendalian hama terpadu. Peberbit Andi offset,
Yogyakarta.
665
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kementerian Pertanian telah menetapkan sasaran strategis pembangunan
pertanian yaitu pencapaian swasembada pangan. Program swasembada pangan
lagi giat - giatnya digalakkan pemerintah dalam memelihara ketahanan nasional,
berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan
tetapi masih dijumpai tantangan dan kendala yang dihadapi. Berbagai kendala
yang dihadapi dalam meningkatkan produksi pangan.Salah satu adalah
meningkatnya serangan hama walang sangit yang dapat menurunkan produksi
dan pendapatan petani. Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui luas serangan
walang sangit di Sumatera Utara dan cara pengendaliannya. Di Sumatera Utara
luas areal tanaman terserang hama walang sangit (Leptocorixa acuta) pada tahun
2014 telah mencapai 1.067.2 ha. Walang sangit menyerang tanaman padi
dengan merusak bulir padi yang sedang berkembang dengan cara menghisap
cairan susu dari biji padi pada waktu fase awal pembentukan biji. Hama walang
sangit bukan saja menurunkan hasil tetapi juga menurunkan kualitas gabah seperti
bintik - bintik coklat pada gabah akibat isapan cairan dan hama tersebut pada saat
padi matang susu, dan serangan paling tinggi menyebabkan gagal panen.
Kata kunci : Walang Sangit, luas serangan, padi, Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Walang sangit adalah serangga yang menjadi hama penting pada tanaman
padi. Hewan ini mudah dikenali dari bentuknya yang memanjang, berukuran
sekitar 2 cm, berwarna coklat kelabu, dan memiliki “belalai” (proboscis) untuk
menghisap cairan tumbuhan. Walang sangit adalah anggota ordo Hemiptera
(bangsa kepik sejati). Walang sangit menghisap cairan tanaman dari tangkai
bunga (paniculae) dan juga cairan buah padi yang masih pada tahap masak susu
sehingga menyebabkan tanaman kekurangan hara dan menguning (klorosis), dan
perlahan-lahan melemah. Nama hewan ini menunjukkan bentuk pertahanan
dirinya, yaitu mengeluarkan aroma yang menyengat hidung sehingga dinamakan
“sangit”.
Kehilangan hasil padi akibat serangan walang sangit biasanya tidak begitu
besar karena mereka hanya meyerang selama fase susu. Akan tetapi untuk
daerah – daerah yang tidak melakukan penanaman serempak maka tanaman
yang terakhir akan mendapat serangan terberat. Didaerah – daerah seperti ini
kehilangan hasil panen mencapai 20-60 %. Selain itu faktor – faktor yang
mendukung peningkatan kepadatan populasi walang sangit adalah terdapatnya
hutan disekitar sawah dan penanaman tidak serempak. Penanaman yang tidak
666
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
serentak akan memudahkan hama berpindah dari satu tanaman ke tanaman yang
lain (Harahap dan Tjahjono, 1994).
Akibat serangan hama ini pertumbuhan bulir padi kurang sempurna,
biji/bulir tidak terisi penuh ataupun hampa sama sekali. Dengan demikian dapat
mengakibatkan penurunan kualitas maupun kuantitas hasil. Sesuai dengan sifat
serangan dari hama walang sangit maka pada umumnya bulir padi menjadi hampa
sebab cairan sel bulir padi yang sedang terisi dihisap sehingga bulir padi menjadi
setengah hampa dan akan mudah pecah jika masuk dalam penggilingan.
Kerusakan yang hebat disebabkan oleh imago yang menyerang tepat pada masa
berbunga, sedangkan nimpa terlihat merusak secara nyata setelah pada instar
ketiga dan seterusnya (Kalshoven, 1981)
BIOLOGI DAN SIKLUS HIDUP WALANG SANGIT
Biologi walang sangit sebagai berikut :Kingdom:Animalia; Phylum:
Arthropoda; Kelas : Insecta; Ordo: Hemiptera; Famili : Alydidae; Genus
:Leptocorixa; Spesies : Acuta. Walang sangit mempunyai daerah sebaran yang
sangat luas, hampir di semua negara produsen padi. Daerah penyebaran
(Leptocorixa acuta) antara lain Asia Tenggara, Kepulauan Fiji, Australia, Srilangka,
India, Jepang, Cina, Pakistan dan Indonesia. Di Indonesia L. Acuta tersebar di
daerah Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi.Walang sangit selain menyerang
tanaman padi yang sudah bermalai dapat pula berkembang pada rumput-
rumputan seperti Panicium crusgalli L., Paspalumdilatatum Scop., rumput teki
(Echinocloa crusgalli dan Echinocloacolonum). Walang sangit (Leptocorixa
acuta)mengalami metamorfosis sederhana yang perkembangannya dimulai dari
stadia telur, nimfa dan imago.
Telur. Telur berbentuk seperti cakram berwarna merah coklat gelap dan
diletakkan secara berkelompok. Kelompok telur biasanya terdiri dari 10 – 20 butir.
Telur-telur tersebut biasanya diletakkan pada permukaan atas daun di dekat ibu
tulang daun. Peletakan telur umumnya dilakukan pada saat padi berbunga. Telur
akan menetas 5 – 8 hari setelah diletakkan. Perkembangan dari telur sampai
imago adalah 25 hari dan satu generasi mencapai 46 hari. Menurut Siwi dkk.,
1981 Walang sangit bertelur pada permukaan daun bagian atas padi dan rumput
– rumputan lainnya secara kelompok dalam satu sampai dua baris. Telur berwarna
hitam berbentuk segi enam dan pipih. Satu kelompok telur terdiri dari 1 – 21 butir,
lama periode telur rata – rata 5,2 hari.
Nimfa. Nimfa berwarna kekuningan, kadang-kadang nimfa tidak terlihat karena
warnanya sama dengan warna daun. Stadium nimfa 17 – 27 hari yang terdiri dari
5 instar.
Imago. Imago walang sangit yang hidup pada tanaman padi, bagian ventral
abdomennya berwarna coklat kekuning-kuningan dan yang hidup pada
rerumputan bagian ventral abdomennya berwarna hijau keputihan. Bertelur pada
permukaan daun bagian atas padi dan rumput-rumputan lainnya secara kelompok
dalam satu sampai dua baris. Imago berbentuk seperti kepik, bertubuh ramping,
antena dan tungkai relatif panjang. Warna tubuh hijau kuning kecoklatan dan
panjangnya berkisar antara 15 – 30 mm. Aktif menyerang pada pagi dan sore hari,
667
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
sedangkan di siang hari berlindung di bawah pohon yang lembab dan dingin
(Rukmana dan Sugandi, 1997)
668
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
669
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
670
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hilangnya cairan biji menyebabkan biji padi menjadi mengecil tetapi jarang
yang menjadi hampa karena walang sangit tidak dapat mengosongkan seluruh isi
biji yang sedang tumbuh. Jika bulir yang matang susu tidak tersedia, walang sangit
juga masih dapat menyerang atau menghisap bulir padi yang mulai mengeras
dengan cara mengeluarkan enzim yang dapat mencerna karbohidrat. Dalam
prosesnya walang sangit mengkontaminasi biji dengan mikroorganisme yang
dapat mengakibatkan biji berubah warna dan rapuh.sKerusakan dalam fase ini
lebih bersifat kualitatif. Pada proses penggilingan, bulir-bulir padi akan rapuh dan
mudah patah. Walang sangit juga bisa menjadi vektor patogen Helminthosporium
oryzae (Rismunandar, 2003).
STRATEGI PENGENDALIAN HAMA WALANG SANGIT
Kehidupan dan perkembangan serangga hama tanaman dipengaruhi oleh
banyak faktor, meliputi faktor dalam yang dimiliki jenis serangga itu sendiri dan
faktor luar yaitu kondisi lingkungan tempat serangga hama melakukan
aktivitasnya. Faktor dalam kondisi lingkungan meliputi kemampuan berkembang
biak, sifat mempertahankan diri dan umur imago. Sedangkan faktor luar kondisi
lingkungan meliputi iklim (suhu), kelembaban, cahaya, curah hujan dan angin
(Rukmana dan Sugandi, 1997).
Pengendalian walang sangit dapat dilakukan menurut para ahli dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain : (1) pengendalian walang sangit
dapat dilakukan dengan pengasapan dengan menggunakan daun tumbuhan
mercon dapat mengurangi populasi walang sangit, (2) kapur barus dapat menolak
kedatangan walang sangit karena bau yang dipancarkan oleh bahan tersebut
sehingga kerusakan padi dapt dihindari. Cara pengendalian tersebut dapat
mengurangi kerusakan gabah padi yang disebabkan walang sangit berkisar 15 –
20 %, (3) mengendalikan gulma, baik yang ada di sawah maupun yang ada di
sekitar pertanaman, (4) meratakan lahan dengan baik dan memupuk tanaman
secara merata agar tanaman tumbuh seragam, (5) menangkap walang sangit
dengan menggunakan jaring sebelum stadia pembungaan, (6) mengumpan
walang sangit dengan ikan yang sudah busuk, claging yang sudah rusak, atau
dengan kotoran ayam dan (7) menggunakan insektisida bila diperlukan dan
sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari ketika walang sangit berada di
kanopi.
Dengan mengendalikan keberadaan walang sangit sejak dini, sejak
pertanaman padi memasuki periode masak susu, maka produksi gabah akan
dapat diselamatkan kuantitas dan kualitasnya. Pertanaman padi yang bebas dari
serangan walang sangit akan menghasilkan produksi gabah yang bermutu baik
dan produktifitas yang optimal. Dengan pengendalian yang optimal terhadap
walang sangit akan dihasilkan beras yang baik, dengan ukuran dan beras bernas,
berwarna putih normal, beraroma wangi khas beras dan berasa enak/tidak pahit.
671
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Luas serangan terbesar walang sangit di Sumatera Utara terdapat di
kabupaten Nias Selatan dengan serangan sebesar 255.0 ha terdiri dari
serangan ringan (175.0 ha), dan serangan sedang (80.0 ha).
2. Walang sangit merupakan hama pengisap cairan bulir pada fase masak susu.
Saat pengendalian walang sangit sebaiknya sejak dini, yaitu saat pertanaman
padi memasuki periode masak susu, dengan demikian maka produksi gabah
akan dapat diselamatkan secara kuantitas dan kualitasnya.
3. Pengendalian hama walang sangit pada tanaman padi dapat dilakukan
dengan cara sanitasi lingkungan, kultur teknik, biologi, dan secara kimia .
DAFTAR PUSTAKA
Baehaki, 1992 Dasar – dasar Serangga Bagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian,
IPB Bogor
Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara, Perkembangan Serangan OPT pada
Tanaman Padi dan Palawija di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2014
Domingo, L.T., E.A. Heinrichs and F. G Medrano, 1982.Life history of rice bug
Leptocoxa oratorius F. IRRN No. 6 IRRI, Los Banos Philippines.
Harahap dan Tjahyono, 1997. Hama dan Penyakit Utama Padi di Lahan Pasang
Surut. Monograf
Kalshoven, L.G.E. Pest of Crops in Indonesia. Revised translated by P.A Van Der
Laan, University of Asmesterdam with assintance ogf G. H.L. Rothschild,
CSIRO, Canberra. PT. Ichtiar Baru – Vanhoeve, Jakarta 1981
Rismunandar.2003.Gejala Hama Walang Sangit. Online.http:/ /nusantarastore
.com/herbal-samarinda/search/gejala-gejala-hama-walang-sangit. Diakses 8
Juni 2012.
Rukmana dan Sugandi, 1997 Hama Tanaman dan Teknik Pengendaliannya
penerbit Kanisius Yogyakarta
Siwi, S.S., A Yassin and D. Sukarna. 1981. Slender rice bugs and its ecology and
economic threshold. Syiposium on Pest Ecology and Pest management,
Bogor Nov 30 – Dec 2 1981.
Suharto, H dan D.S. Damardjati 1988. Pengaruh waktu serangan walang sangit
terhadap hasil dan mutu hasil padi IR 36. Reflektor 1 (2) :5 -28
Willis, M. 2001. Hama dan Penyakit utama padi di lahan pasang surut. Monograf.
Badan litbang pertanian. Balittra. Banjarbaru.
672
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Tikus merupakan salah satu hama penting pada berbagai jenis tanaman
pertanian, peternakan dan perumahan. Teknik pengendalian hama Tikus yang
paling sering dilakukan adalah penggunaan rodentisida kimiawi. Namun
penggunaan rodentisida kimia tersebut sering menimbulkan pengaruh buruk
terhadap musuh alami, hewan peliharaan dan kehidupan liar (Priyambodo, 1995;
Buckle, 1999).
673
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
S. Singaporensis memerlukan dua inang yang spesifik yaitu ular sawah kembang
Python reticulatus dan Tikus (Hafner dan Frank, 1984; Jakel dkk., 1996).
Sampel kotoran ular yang digunakan diambil dari ular P. reticulates yang
ditangkap di Kabupaten Langkat pada awal Maret 2006 pada lima kecamatan
yaitu, Sei Wampu, Hinai, Stabat, Tanjung Pura, dan Gebang. Ular dipelihara dalam
husbandry di Kebun Percobaan Pasar Miring selama ± 1 minggu (Gambar 1).
Jumlah ular yang dijadikan sampel adalah 25 ekor dengan ukuran panjang rata-
rata 150-300 cm. Ular-ular tersebut dikelompokkan menjadi lima kelompok
berdasarkan lokasi penangkapannya, dan dari tiap kelompok diambil kotorannya
sebanyak 3g sebagai sampel untuk digunakan pada perlakuan selanjutnya.
a b
674
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
675
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
676
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dan Colley(1975) serta Jakel dkk.(1997) yang melaporkan bahwa salah satu ciri
khas dari S.singaporensis adalah sporocyst tersebut memiliki 4 buah sporozoites.
Stabat 1. - - - - 0
2. - - - - 0
3. - - - - 0
4. - - - - 0
5. - - - - 0
677
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Buckle, A.P. 1999. Rodenticides – their role in rodent pest management in tropical
agriculture. In Ecologically Based Management of Rodent Pests. G.R.
Singleton, A.H. Lyn, L. Herwing and Z. Zhang (eds.). ACIAR Monograph,
Canberra, p. 163-177.
Hafner, U. and W. Frank. 1984. Host specificity and host range of the genus
Sarcocystis in three snake-rodent life cycles. Zentralblatt fuer Bakteriologie,
Mikrobiologie und Hygiene Originale –A. 256: 296-299.
Jakel, T., H. Burgstaller and W. Frank. 1996. Sarcocystis singaporensis: Studies
on host specificity, pathogenicity, and potential use as a bio-control agent
of wild rats. Journal of Parasitology 82: 280-287.
Jakel, T., Y. Khoprasert, I. Sorger, D. Kliemt, V. Seehabutr, K. Suasa-ard and S.
Hongnark. 1997. Sarcosporidiasis in rodents from Thailand. Journal of
Wildlife Diseases 33: 860-867.
Jakel, T., Y. Khoprasert, S. Endepols, C. Archer-Baumann, K. Suasa-ard, P.
Promkerd, D. Kliemt, P.Boonsong and S. Hongnark. 1999. Biological
control of rodents using Sarcocystis singaporensis. International Journal for
Parasitology 29: 1321-1330.
Khopraset, Y., Hongnark, S. and Jakel, T. 2003. Field trials to assess the
effectiveness of the biocontrol agent Sarcocystis singaporensis in
protecting ricefields against rodent damage. Special Report, Department of
Agriculture Thailand and German Technical Cooperation. Bangkok, 14 pp.
Priyambodo, S. 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penerbit Swadaya,
Jakarta.
Sulaiman, G. 2004. Potential use of biological rodenticide (Sarcocystis
singaporensis) in Sumatra, Indonesia. Workshop on Commercialization of
Bio-pesticides in Southeast Asia, Bangkok 24-26 November 2004. German
Technical Cooperation-GTZ, 22 pp.
Sulaiman, G. dan Jakel, T.2005a. Penemuan Sarcocystis singaporensis, protozoa
parasit pengendali hama tikus di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian
Pertanian. Volume 24, Nomor 1, 57-60.
678
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
679
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
680
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
681
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ton/ha. Bibit padi berumur 15 hari setelah semai (HSS), ditanam 2 bibit/rumpun
menggunakan sistem Jajar Legowo (Jarwo) 4:1 dengan jarak tanam (40 cm)x
(20x10 cm). Pemeliharaan lainnya seperti pengendalian gulma dilakukan secara
manual tangan dilakukan sesuai dengan keadaan gulma, pemupukan yang
diberikan dengan dosis sesuai hasil analisa tanah menggunakan alat bantu PUTS
dengan dosis 250 kg Urea/ha, 75 kg SP 36/ha dan 50 kg KCL/ha, pupuk dasar
(1/3 dosis Urea + seluruh dosis SP 36) diberikan pada umur 7 hari setelah tanam
(HST), pupuk susulan I (1/3 dosis Urea + ½ dosis KCL) diberikan pada umur 30
HST dan pupuk susulan II (1/3 dosis Urea + ½ dosis KCL) diberikan pada umur
50 HST sesuai dengan petunjuk teknis Pelaksanaan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (Puslitbangtan, 2007), sedangkan pengendalian hama dan penyakit
dilakukan menggunakan prinsif PHT. Panen dilakukan apabila penampilan
tanaman sudah masak fisiologis atau penampakan gabah padi 95% menguning,
cara panen dilakukan dengan menggunakan sabit bergerigi lalu dirontok dengan
menggunakan power tresher, lalu dimasukkan kedalam goni
Display Varietas Unggul Baru padi sawah dilaksanakan pada lahan petani
kooperator dengan luasan 1 ha berdekatan dengan pendekatan pengelolaan
tanaman terpadu (PTT) padi. Teknologi yang dilaksanakan sesuai dengan
komponen teknologi padi sawah dengan pendekatan pengelolaan tanaman
terpadu (BPTP Sumut, 2010 dan Badan Litbang, 2009) disajikan pada (Tabel 1).
Tabel 1. Inovasi teknologi yang dilaksanakan di Display / Uji Varietas Unggul Baru
di Kelurahan Hutabalang, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli
Tengah Tahun 2013
No. Pengelolaan Komponen teknologi
1. Benih
a. Varietas Varietas Unggul Baru Inpari 3, 4, 14, 15,
16 dan Mekongga
b. Pemakaian benih 25 kg/ha
c. Perlakuan benih Seleksi benih dengan cara diaduk di
dalam rendaman air garam 1 sendok/10
liter air, benih yang merapung dibuang,
selanjutnya benih dicuci bersih, direndam
dengan air bersih selama 24 jam,
diperam ditempat yang teduh selama 24
jam
2. Persemaian
a. Pengolahan tanah Sempurna sampai halus melumpur
b. Bedengan Ukuran lebar 1,2 m dan tinggi 0,3 m
c. Semai benih Semai jarang 50 g/m2
3. Pengolahan Tanah Sempurna 2 kali bajak dan 1 kali garu,
permukaan lahan rata, dibuat parit
keliling
4. Penanaman
a. Umur bibit 15-21 hari setelah sebar
b. Sistem tanam Legowo 4:1
682
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
683
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keragaan agronomis
Keragaan tinggi tanaman, anakan maksimum, anakan produktif, dan
panjang malai disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Keragaan agronomis (tinggi tanaman, anakan maksimum, anakan
produktif, dan panjang malai) display VUB Padi di Kelurahan Hutabalang
Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. MH 2013
Tinggi Anakan Anakan Panjang
No Varietas tanaman maksimum produktif malai
(cm) (batang/rumpun) (batang/rumpun) (cm)
1. Inpari 3 116,7 20,3 18,7 25,5
2. Inpari 4 112,3 22,3 16,7 26,3
3. Inpari 14 106,7 22,0 16,0 24,0
4. Inpari 15 110,3 18,3 13,7 25,3
5. Inpari 16 116,3 24,7 15,0 24,0
6. Mekongga 113,7 19,0 15,7 24,8
Tinggi tanaman secara rata-rata dari enam varietas yang diuji berkisar
antara 106,7-116,7, dimana varietas Inpari 3 memberikan tinggi tanaman tertinggi
(116,7 cm); diikuti oleh Inpari 16 (116,3 cm), Mekongga (113,7 cm), Inpari 4 (112,3
cm), tinggi tanaman paling rendah adalah varietas Inpari 14 yaitu 106,7 cm.
Tampilan tinggi tanaman pada pengkaian inilebih tinggi dibanding potensi yang
dimilikinya berdasarkan deskripsi (Jamil, A. dkk., 2012).
Terhadap parameter jumlah anakan maksimum berkisar antara 18,3-24,7
batang/rumpun, dimana jumlah anakan maksimum terbanyak diperoleh pada
varietas Inpari 16 (24,7 batang/rumpun); selanjutnya Inpari 4 (22,3
batang/rumpun), Inpari 14 (22,0 batang/rumpun); dan Mekongga (19,0
batang/rumpun), sedangkan varietas Inpari 15 mempunyai jumlah anakan
maksimum paling sedikit; yaitu 18,3 batang/rumpun. Sedangkan untuk parameter
jumlah anakan produktif per rumpun, varietas Inpari 3 mempunyai anakan
produktif terbanyak yaitu 18,7 batang/rumpun, selanjutnya varietas Inpari 4 (16,7
batang/rumpun), Inpari 14 (16,0 batang/rumpun), Mekongga (15,7
batang/rumpun), Inpari 16 (15,0 batang/rumpun) dan jumlah anakan produktif
paling sedikit diperoleh pada varietas Inpari 15, yaitu 13,7 batang/rumpun.
Rata-rata panjang malai dari keenam VUB berkisar antara 24,0-26,3 cm,
dimana varietas Inpari 4 mempunyai malai terpanjang (26,3 cm); selanjutnya
Inpari 3 (25,5 cm); Inpari 15 (25,3 cm); Mekongga (24,8 cm), sedangkan malai
paling pendek ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 dan 16, yaitu 24,0 cm.
Keragaan komponen hasil dan hasil gabah disajikan pada Tabel 4. Rata-
rata gabah isi/malai dari keenam varietas yang diuji berkisar antara 122,7-176,3
butir/malai, dimana gabah isi terbanyak didapat pada varietas Inpari 3 (176,3
butir/malai); selanjutnya varietas Inpari 4 (168,0 butir/malai), Mekongga (165,0
684
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
685
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Balitpa. 1996. Rencana strategis Balai Penelitian Tanaman Padi Tahun 1997-
2005. Balai Penelitian Tanaman Padi, Puslitbangtan, Badan Libang
Pertanian. Hal. 10-37.
BPS Provinsi Sumatera Utara. 2012. Sumatera Utara Dalam Angka 2012.
BPS Tapanuli Tengah. 2012. Tapanuli Tengah Dalam Angka.2012
Badan Litbang Pertanian. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
BPTP Sumut. 2010. Petunjuk Teknis Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian
Hapsah., 2005. Potensi, Peluang, dan Strategi Pencapaian Swasembada
Beras dan Kemandirian Pangan Nasional. Hlm. 55-70. Dalam B. Suprihatno dkk.
(Ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan.
Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian.
Jamil, A. Akmal, Siti Suryani, Sri Romaito, Nurmalia dan Mustafa Hutagalung,
2012. Deskripsi Varietas Unggul Padi. Badan Penelitian dan
pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Utara
Moersidi., Prawirasumantri, W. Hartatik, A. Pramudia dan M. Sudjadi, 1991.
Evaluasi kedua keperluan pospat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa.
Puslitbangtan, 2007. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah irigasi.
Pusat Penelitian Tanaman Pangan Bogor
Rauf., Syamsuddin T., Sri Rahayu. S, 2000. Peranan Pupuk NPK pada Tanaman
Padi. Loka Pengkajian Teknologi Koya Barat. Badan Libang Pertanian.
Suryana, A., Suyamto, Baehaki SE., S. Abdurachman., I. N. Widiarta., H. M. Toha.,
H. Sembiring., Hermanto., dan H. Kasim. 2008. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Sri Adiningsih, K., Moersidi. M Sudjadi, dan A.M Fagi, 1989. Evaluasi keperluan
fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya
Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat Bogor.
Zaini Z, Diah WS, dan M. Syam. 2004. Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah (Petunjuk Lapangan) Tahun 2004.
686
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Helmi
ABSTRAK
Penggunaan varietas unggul yang cocok dan adaptif merupakan salah satu
komponen teknologi yang nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas
tanaman dan dapat dengan cepat diadopsi petani karena murah dan
penggunaannya lebih praktis. Karena keterbatasan pengetahuan petani akan
varietas yang cocok ditanam di lahannya, menyebabkan petani menggunakan
varietas-varietas unggul lama dan varietas lokal lainnya. Padahal, Badan Litbang
Pertanian telah banyak menghasilkan varietas-varietas unggul baru yang dapat
digunakan pada lahan sawah, namun penyebarannya dirasakan sangat lambat.
Untuk itu diperlukan upaya percepatan diseminasi agar penyebarannya sampai ke
pengguna. Pengkajian dilakukan di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang
Deras, Kabupaten Batubara. Bahan yang digunakan 6 varietas unggul baru yaitu
varietas (1). Inpari 3, (2). Inpari 10, (3). Inpari 14, (4). Inpari 15, (5). Inpari 16
dan (6). Mekongga. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: Display varietas
unggul baru padi, dapat memotivasi petani untuk menggunakan varietas unggul
baru dalam usahataninya.Penggunaan varietas unggul salah satu upaya dalam
meningkatkan produktivitas. Kegiatan display varietas menambah pemahaman
petani terhadap varietas unggul dan petani dapat memilih varietas yang adaptif
untuk diusahakan di usahataninya. Acara temu lapang merupakan suatu teknik
diseminasi yang baik bagi pemegang kebijakan dan petani untuk dapat
mengadopsi teknologi yang diterapkan dalam upaya peningkatan produktivitas.
Empat varietas yang mempunyai daya adaptasi dan potensi hasil tinggi yaitu
Inpari 3, Inpari 16, Inpari 15 dan Mekongga masing-masing produktivitasnya (8,70;
8,50; 833; 8,16, t/ha. Merupakan suatu peluang pertumbuhan baru untuk pilihan
bagi petani menggunakan Varietas yang potensi hasilnya tinggi di lahannya
PENDAHULUAN
687
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
semakin sering melanda pertanaman petani. Naiknya permukaan air laut akibat
pemanasan global telah menyebabkan semakin meluasnya lahan salin yang
mengancam produksi padi (Departemen Pertanian, 2008).
688
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KCl), pupuk organik, insektisida dan fungisida. Alat-alat yang digunakan adalah
meteran, alat pengukur kadar air, timbangan, cangkul, bajak, termometer suhu,
ajir, sprayer, kantong plastik, tali plastik, cat, meja lapangan, seng plat, spidol dan
alat-alat tulis lainnya.
25 – 35 kg/ha
Kebutuhan Benih
Garam 1 sendok dilarutkan dalam 10 liter air, biji yang
Uji benih
mengapung dibuang
Selama 24 jam dengan air bersih
Perendaman Sebelum diperam diberi insektisida Regent 50 EC 10
Pemeraman/perlakuan cc/1kg benih
benih
2. Persemaian
Pengolahan tanah
Sempurna sampai halus melumpur
Bedengan
Ukuran lebar 1,2 m, tinggi 0,3 m, panjang sesuai
kebutuhan
Semai benih
Semai jarang 50 gr/m2
Pemeliharaan
Disesuaikan dengan teknologi budidaya
3. Pengolahan tanah . Tanah melumpur dan permukaan rata.
4. Penanaman
689
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keong mas
3 hari sebelum tanam lahan digenangi kemudian
disemprot dengan Acodan 2 l/ha atau samponen
Carbofuran 17 kg/ha bersamaan pupuk dasar
Applaud 2 kg/ha, umur 3-4 minggu
Penggerek batang
Bestok 2 l/ha, lahan digenangi
Wereng Coklat
Pastak 2 l/ha, lahan digenangi
Kepinding tanah
Keringkan selama 1 minggu
Walang sangit
Fujwan 2 l/ha
Busuk pelepah
Confidor dan Bavestin
Blas dan bercak daun
Tungro
9. Panen . Disabit, dikumpul dan dirontok dengan power Tresher
690
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
sumber air dan memiliki drainase yang baik, akar tempat pembibitan bisa cepat
diairi dan cepat pula dikeringkan bilamana perlu.
Semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya
memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir).
Pengendalian hama, penyakit dan gulma lebih mudah.
Menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpul keong
mas, atau untuk mina padi.
Penggunaan pupuk lebih berdaya guna, rumpun yang hilang karena tanaman
mati, terlewat ditanami, atau rusak karena hama segera ditanami ulang tidak
lewat dari 14 HST. Bibit yang di tanam berasal dari pembibitan yang sama
digunakan untuk penanaman.
Varietas unggul yang digunakan pada display varietas adalah Inpari 3, Inpari
10, Inpari 14, Inpari 15, Inpari 16, dan Varietas Mekongga sebagai pembanding.
Pengkajian dilakukan di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara. Hasil rata-rata pengamatan tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif.Display varietas unggul baru yang diuji disajikan pada Gambar 1.
Btg
Varietas
691
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Gambar 2. Hasil rata-rata tinggi tanaman (cm) display beberapa varietas padi
sawah di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara
692
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
yang berpotensi hasil tinggi, dan karakter tinggi tanaman yang sedang sampai
rendah. Hal ini dilakukan petani untuk menghindari resiko kegagalan panen akibat
rebah pada musim hujan.
Hasil rata-rata produktivitas t/ha GKP pada display beberapa varietas padi
sawah di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara
disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Rata-rata produktivitas GKP t/ha display beberapa varietas padi sawah
di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten
Batubara.
Hasil kajian ini merupakan suatu peluang pertumbuhan baru untuk pilihan
bagi petani menggunakan varietas yang potensi hasilnya tinggi di lahannya.
Berbedanya hasil yang ditampilkan varietas diasumsikan pengaruh genetik dari
varietas/galur dan juga pengaruh kesesuaian adaptasi varietas-varietas tersebut
dengan lingkungan yang ada. Satari (1988) menyatakan bahwa peningkatan
produksi pada lahan sepesifik dapat membantu distribusi pengembangan suatu
varietas pada lingkungan tertentu dan sekaligus mendukung pelestarian
swasembada beras. Adanya pengkajian display varietas ini merupakan suatu
peluang besar bagi pemegang kebijakan Kabupaten Batubara untuk dapat
mereplikasikan teknoogi yang diterapkan pada display ke lahan-lahan petani yang
ada di Kabupaten Batubara.
693
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
694
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Keragaan dan adopsi inovasi PTT padi sawah di Sumatera Barat telah
dilaksanakan padan bulan Maret sampai Desember 2011. Penelitian bertujuan
untuk mengetahui kinerja inovasi teknologi dan untuk mengukur tingkat adopsi
inovasi teknologi. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Desember 2011
di provinsi Sumatera Barat dengan menggunakan metode survei. Lokasi dipilih
secara purposive dengan 4 (empat) kabupaten pelaksana program PTT padi
sawah dan bantuan pelaksanaan oleh BPTP Sumatera Barat pada kabpaten
produsen utama padi sawah di Provinsi Sumatera Barat seperti: Kabupaten
Padang Pariaman, Kabupaten Kota Limapuluh, Kabupaten Agam dan Kabupaten
Tanah Datar. Setiap kabupaten dipilih dua kecamatan. Penentuan sampel
menggunakan teknik stratified dengan menggunakan kooperator dan petani non-
kooperator. Setiap kecamatan dipilih 30 petani sebagai responden secara acak.
Data yang dikumpulkan ditabulasi dan ukuran persentase, rata-rata hasil dan
rasio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penerapan inovasi teknologi PTT
padi sawah telah diadopsi oleh kelompok tani kooperator sebanyak 4-7 inovasi
teknologi dengan jumlah tertinggi inovasi diadopsi oleh petani di Kabupaten Tanah
Datar, sementara petani non kooperator telah mengadopsi 1-4 inovasi teknologi
dengan jumlah tertinggi inovasi diadopsi oleh petani di Kabupaten Padang
Pariaman; (2). Petani kooperator di semua lokasi studi di Sumatera Barat telah
mengadopsi inovasi teknologi PTT padi sawah lebih tinggi daripada petani non-
kooperator, dan (3) Sebagian besar responden milik kelompok tani kooperator
menyatakan bahwa penerapan inovasi teknologi padi sawah lebih menguntungkan
daripada cara yang biasa dan penerapan inovasi teknologi PTT padi sawah tidak
sulit untuk dilaksanakan.
PENDAHULUAN
695
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tingkat produktivitas pada tahun 2010 yaitu sebesar 4,86 ton per hektar (BPS
Sumbar, 2014).
Program PTT telah menjadi program nasional sejak tahun 2003, dan
dijadikan sebagai landmark pangan nasional oleh Kementerian Riset dan
Teknologi dan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN)
Kementerian Pertanian. Melalui program PTT diharapkan kebutuhan beras
nasional dapat dipenuhi, pendapatan petani padi dapat ditingkatkan, dan usaha
pertanian padi sawah dapat menjadi usahatani berkelanjutan (Badan Litbangtan,
2009). Di Provinsi Sumbar penerapan PTT padi sawah telah dilaksanakan sejak
tahun 2008 dan telah dilakukan introduksi secara luas melalui program SL-PTT,
tetapi saat ini masih dirasakan bahwa inovasi teknologi tersebut belum
sepenuhnya di adopsi oleh petani. Hasil penelitian Hasan, dkk (2009) melaporkan
bahwa rendahnya produktivitas dan pendapatan petani padi sawah di lima daerah
pelaksana program FEATI di Sumbar disebabkan karena: 1) Benih tidak berlabel
(benih adalah benih turunan yang diproduksi sendiri); (2) Jumlah bibit banyak; (3)
Jarak tanam tidak teratur; (4) Pupuk tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman; dan
(5) Serangan hama dan penyakit.
Untuk melihat keragaan dan adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah di
Provinsi Sumatera Barat perlu dilakukan penelitian. Penelitian bertujuan untuk:
mengetahui keragaan inovasi teknologi dan mengukur tingkat adopsi inovasi
teknologi PTT padi sawah diterapkan oleh petani di Sumatera Barat.
696
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
697
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tanam jajar legowo (6:1), dan pemberian bahan organik melalui pemanfaatan
jerami. Sedangkan pada kelompok tani non koperator inovasi teknologi telah
diadopsi adalah: umur benih muda (≤21 hss).
Tabel 1. Keragaan Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah Oleh Anggota Kelompok
Tani di Provinsi Sumatera Barat, 2011.
Keragaan Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah Oleh Petani
No. Lokasi Koperator Non Koperator
1. Padang 1. Benih berlabel 1. Benih berlabel
Pariaman 2. Umur benih muda (≤21 hss) 2. Umur benih muda (≤21
3. Jumlah benih 1-3 hss)
batang/rumpun 3. Jumlah benih 1-3
4. Sistem tanam jajar legowo (6:1) batang/rumpun
5. Pemberian bahan organik 4. Pemberian bahan organik
melalui pemanfaatan jerami melalui pemanfaatan
jerami
2. Agam 1. Umur benih muda (≤21 hss) 1. Umur benih muda (≤21
2. Jumlah benih 1-3 batang/ hss)
rumpun 2. Jumlah benih 1-3 batang/
3. Sistem tanam jajar legowo (6:1) rumpun
4. Pemberian bahan organik 3. Pemberian bahanorganik
melalui pemanfaatan jerami melalui pemanfatan
5. PHT jerami
3. Limapuluh 1. Umur benih muda (≤21 hss) 1. Umur benih muda (≤21
Kota 2. Jumlah benih 1-3 batang/ hss)
rumpun
3. Sistem tanam jajar legowo (6:1)
4. Pemberian bahan organik
melalui pemanfaatan jerami
4. Tanah Datar 1. Benih berlabel 1. Umur benih muda (≤21
2. Umur benih muda (≤21 hss) hss)
3. Jumlah benih 1-3 batang/ 2. Jumlah benih 1-3 batang/
rumpun rumpun
4. Pemupukan N berdasarkan
BWD
5. Sistem tanam jajar legowo
(6:1)
6. Pemberian bahan organik
melalui pemanfaatan jerami
7. PHT
Dilihat dari persentase adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah pada
kelompok tani koperator dan non koperator di Provinsi Sumatera Barat
berdasarkan hasil survei terstruktur dapat dilihat pada Tabel 2.
698
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Persentase Adopsi Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah Pada Kelompok
Tani Koperator dan Non Koperator di Provinsi Sumatera Barat, 2011.
Persentase Adopsi Inovasi Teknologi/Lokasi (%)
Padang Pariaman Agam Limapuluh Kota Tanah Datar Rata-rata
Inovasi teknologi
K NK K NK K NK K NK K NK
Penggunaan VUB 26,67 0,00 50,00 23,33 43,33 26,67 63,33 36,67 45,83 21,67
Benih berlabel 70,00 63,33 53,33 20,00 33,33 16,67 46,67 33,33 50,83 33,33
Umur benih muda 66,67 60,00 63,33 50,00 86,67 76,67 63,33 50,00 70,00 59,17
<21 hss
Jumlah benih 1-3 53,33 33,33 53,33 13,33 40,00 3,33 46,67 16,67 48,33 16,67
batang/rumpun
Sistem tanam jajar 30,00 13,33 6,67 10,00 20,00 20,00 36,67 10,00 23,33 13,33
legowo
Pemanfaatan jerami 36,67 40,00 53,33 16,67 30,00 43,33 73,33 53,33 48,33 38,33
untuk pupuk organic
Pemupukan N 13,33 3,33 3,33 0,00 10,00 3,33 23,33 0,00 12,50 1,67
dengan BWD
PHT 46,67 40,00 33,33 16,67 16,67 6,67 46,67 13,33 35,83 19,17
Dari Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa petani koperator pada semua lokasi
penelitian di Provinsi Sumatera Barat telah mengadopsi inovasi teknologi PTT padi
sawah lebih tinggi dibandingkan dengan petani non koperator. Rata-rata adopsi
inovasi teknologi PTT padi sawah untuk inovasi teknologi penggunaan benih muda
(<21 hss) dengan besaran persentase inovasi 70,00%, kemudian diikuti dengan
inovasi teknologi penggunaan benih berlabel (50,83%), penggunaan benih 1-3
batang/rumpun (48,33%) dan penggunaan jerami untuk pupuk organik (48,33%)
sedangkan persentas adopsi inovasi paling rendah adalah inovasi teknologi
pemupukan N dengan penggunaan BWD (12,50%).
Dari uraian di atas terlihat bahwa inovasi teknologi PTT padi sawah yang
paling tinggi di adopsi oleh petani tergabung pada kelompok tani koperator
dibandingkan dengan petani tegabung pada kelompok tani non koperator. Adopsi
adalah proses perubahan perilaku, baik pengetahuan (cognitive), sikap (affective)
maupun keterampilan (psychomotoric) pada seseorang setelah menerima inovasi
yang disampaikan oleh penyuluh (Mardikanto, 1993). Hasil penelitian Nurbaeti,
dkk (2008) di Kabupaten Sumedang melaporkan bahwa sebagian petani (40%)
belum sepenuhnya mengadopsi sistem PTT sesuai dengan anjuran, karena petani
masih ragu menerima perubahan yang harus dilakukan, terutama dalam sistem
tanam jajar legowo, pengaturan air dan penggunaan pupuk. Kemudian hasil
penelitian Adnyana dan Kariyasa (2006) melaporkan bahwa tingkat adopsi petani
terhadap sistem PTT padi sawah di provinsi Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali dan
Nusa Tenggara Barat sudah cukup baik namun belum dilakukan sepenuhnya
akibat beberapa kendala teknis dan kondisi sosial ekonomi petani setempat.
Pendekatan PTT telah mendorong penghematan penggunaan benih, peningkatan
penggunaan benih berlabel, penanaman benih muda, pengurangan jumlah benih
per lubang, penghematan penggunaan pupuk Urea, adanya penggunaan pupuk
kandang dan makin banyaknya petani yang menerapkan PHT dan sistem
pengairan berselang.
699
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kompleksitas
Tidak tahu 36,67 36,67 16,67 60,00 20,00 30,00 10,00 30,00 30,83 39,17
Sulit 0,00 6,67 20,00 3,33 10,00 0,00 0,00 0,00 7,50 2,50
Tidak sulit 63,33 56,67 63,33 36,67 70,00 70,00 90,00 70,00 71,67 58,33
KESIMPULAN
1. Penerapan inovasi teknologi PTT padi sawah telah di adopsi kelompok tani
koperator sebanyak 4-7 inovasi teknologi dengan jumlah inovasi terbanyak
diadopsi oleh petani di Kabupaten Tanah Datar, sedangkan petani non
koperator telah mengadopsi 1-4 inovasi teknologi dengan jumlah inovasi
terbanyak diadopsi petani di Kabupaten Padang Pariaman.
2. Petani koperator pada semua lokasi penelitian di Sumatera Barat mengadopsi
inovasi teknologi PTT padi sawah lebih tinggi dibandingkan dengan petani non
koperator.
3. Sebagian besar responden tergabung dalam kelompok tani koperator
menyatakan bahwa dengan penerapan inovasi teknologi PTT padi sawah lebih
menguntungkan dibandingkan dengan cara biasa dan penerapan inovasi
teknologi PTT padi sawah tidak sulit.
700
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O, dan K. Kariyasa. 2006. Dampak dan Persepsi Petani Terhadap
Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol. 25 No. 1. hal 21-29.
Badan Litbang. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 20 hal
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat. 2014. Sumatera Barat dalam Angka.
Padang 2014. Bappeda dan BPS Sumbar. 688 hal.
Badan Litbang. 2013. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. 46 hal.
Dinas Pertanian Provinsi Sumbar. 2015. Bahan Tayangan Bidang Tanaman
Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumbar Pada Rapat Koordinasi
Upaya Khusus Percepatan Swasembada Pangan Di Sumatera Barat
tanggal 22-23 Januari 2015 di Padang.
Hasan, N., Rifda R., Nurnayetti, Aryunis, M. Jamalin, EM Yusnardi, M. Ali, dan
Aryawaita. 2009. Laporan Akhir Sosialisasi, Pendampingan dan
Pelaksanaan FSA di Provinsi Sumatera Barat. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Barat. 302 hal.
Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Nurbaeti, B., S.L. Muljanti dan T. Fahmi. 2008. Penerapan Model Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi di Kabupaten
Sumedang. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Vol. 11 No. 3, Nopember 2008. P. 268-279.
Rogers, E., M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. The Free Press, New
York.
701
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Keragaan dan produksi panen yang optimal pada tanaman padi selain
dapat dicapai melalui intensifikasi dan ekstensifikasi juga dipengaruhi oleh faktor
lainnya yang tidak kalah penting yaitu karakteristik pelaku perberasan yang dapat
mempengaruhi ketersediaan beras di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui karakteristik pelaku perberasan di Provinsi Aceh dan
memberikan rekomendasi kepada Pemda.Penelitian dilaksanakan di kabupaten
Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie dan Pidie Jaya mulai bulan Januari sampai dengan
Desember2011. Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer.
Penarikan sampel menggunakan teknik kuota yang jumlahnya 20 responden per
kabupaten dan tetap berpegang pada prinsip representatif. Metode analisis data
dilakukan secara deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar
gabah/beras di Aceh cukup kompetitif, ditandai banyaknya pelaku pasar baik
ditingkat desa, kecamatan maupun kabupaten. Pola distribusi gabah/beras sudah
terbentuk sejak lama didukung oleh infrastruktur yang memadai, distribusi
gabah/beras mulai dari produsen (petani) ke pengumpul desa, penggilingan padi
(RMU), sub BULOG, maupun ke pedagang besar dan pedagang antar provinsi
cukup lancar. Penurunan harga gabah di tingkat petani disebabkan oleh faktor
alam dan teknologi pasca panen, meliputi kondisi biofisik tanah, dan cuaca, serta
alat panen dan prosesing yang digunakan petani yang mengakibatkan terjadinya
penurunan kualitas gabah.Antisipasi turunnya harga dapat dilakukan melalui
pengaturan pola tanam padi yang disesuaikan dengan ketersediaan air, serta
meningkatkan efektivitas operasi pasar yang dilakukan oleh BULOG. Kelompok
tani atau petani sebagai produsen tidak lagi menjual gabah tetapi diharapkan
mampu menjual beras, sehingga nilai tambahnya akan dapat dinikmati oleh
anggota kelompoknya sendiri. Dengan demikian agribisnis beras ditingkat
kelompok tani bisa berjalan dengan baik.
PENDAHULUAN
Keragaan dan produksi panen yang optimal pada tanaman padi, selain
dapat dicapai melalui intensifikasi dan ekstensifikasi juga dipengaruhi faktor yang
tidak kalah penting yaitu karakteristik pelaku perberasan yang dapat menetukan
ketersediaan beras di masyarakat. Pembangunan pertanian juga dipengaruhi oleh
dinamika lingkungan strategis baik global maupun dalam negeri. Perubahan
lingkungan strategis global yang mengarah semakin kuatnya liberalisasi dan
globalisasi perdagangan akan membawa berbagai konsekuensi terhadap daya
saing komoditas pertanian Indonesia di pasar global.
702
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2010 yang diukur dari nilai PDRB
(Produk Domestik Regional Bruto) tanpa migas mengalami pertumbuhan sebesar
5,32%. Sektor pertanian masih menjadi penopang utama PDRB Aceh dengan
sumbangan sebesar 34 persen. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Aceh ini
masih di bawah Nasional yang tumbuh sekitar 6,6 persen. Pertumbuhan tertinggi
terjadi pada sektor listrik dan air bersih (16,97 persen), pengangkutan dan
komunikasi (6,57 persen), perdagangan, hotel dan restauran (6,536 persen),
keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (5,54 persen), sektor bangunan (5,11
persen), pertanian (5,02 persen), dan terakhir sektor jasa-jasa (3,62 persen).
703
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Metode.
Kajian dalam penelitian ini adalah masalah dan isu kebijaksanaan yang
berlangsung (isu hangat) terkait sektor pertanian. Antisipasi agar tidak
ketinggalan dan kehilangan relevansi, analisis kebijaksanaan perlu dilakukan
secara cepat sehingga diperoleh hasil kajian yang masih tetap relevan dalam
perumusan kebijaksanaan. Metoda penelitian tetap memperhatikan landasan
teoritis dan mempertahankan objektivitas.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan
data primer. Data sekunder adalah data mengenai perkembangan sektor
pertanian dalam bentuk data deret waktu 15 tahun terakhir, sedangkan data primer
adalah data mengenai dampak dari suatu kebijaksanaan pembangunan yang
diperoleh dengan teknik pemahaman secara singkat (Rapid Appraisal). Penarikan
contoh untuk memperoleh data primer menggunakan teknik kuota sampling.
Penarikan sampel menggunakan teknik kuota sampling yang jumlahnya 20
responden per kabupaten tetap berpegang pada prinsip representatif.
Analisis Data.
Untuk menjawab tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini analisis data
digunakan sesuai dengan topik kajian dan landasan teoritis yang
mendukung.Analisis data dilakukan secara statistik dan deskriptif.
704
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Luas panen menurun 1,2 persen yaitu dari 352.006 hektar menjadi 347.727
hektar. Dari keempat kabupaten, hanya kabupaten Pidie Jaya yang mengalami
penurunan produksi sebesar 0,7 persen, sedangkan kabupaten Aceh Barat luas
panen terjadi penurunan dari 11.302 hektar pada tahun 2009 turun menjadi 10.889
hektar pada tahun 2011 atau sebesar 3,6 persen. Kabupaten Aceh Besar dan Pidie
untuk ketiga variabel mengalami peningkatan baik pada luas panen, produksi
maupun produktivitas (Tabel 1).
Setiap tahun ada tiga periode tanam padi atau disebut dengan Sub Round
(SB) yaitu periode Januari April (Subround I), Mei–Agustus (Subround II) dan
September–Desember (Subround III).Di Provinsi Aceh umumnya Januari-April
merupakan periode produksi padi paling tinggi dalam setahun, dibandingkan
dengan periode lainnya produksi subround I mencapai 732.409 ton GKG atau
sekitar 46,61 persen dari total produksi setahun, dilanjutkan dengan subround III
sebesar 32,89 persen atau sekitar 516.870 tonGKG dan subround II sebesar 20,45
persen (321.761). Pada periode Januari-April produksi padi mengalami
peningkatan sebesar 74.711 ton GKG dengan perbandingan produksi Januari–
April tahun 2009 sebesar 660.179 ton GKG, sedangkan pada tahun 2010 sebesar
732.409 ton GKG. Dengan demikian ada kenaikan produksi sebanyak 1,61
persen.
Dengan melihat perilaku panen padi di atas, dimana panen raya terjadi
pada bulan Januari–April, maka untuk mengamankan hasil padi petani agar harga
gabah yang diterima petani tidak jatuh, minimal sesuai dengan harga dasar yang
ditetapkan pemerintah, seyogyanya operasi pasar oleh pihak Bulog dan instansi
terkait dilakukan pada periode di atas. Dengan demikian perlu perencanaan yang
matang, karena pada periode tersebut curah hujan dibeberapa daerah terutama
dibagian Barat Selatan masih cukup tinggi. Kegagalan mengantisipasi hal ini akan
mengakibatkan turunnya kualitas gabah sehingga harga gabah menjadi rendah.
705
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah pada Tahun 2009 dan 2010 di Kabupaten Aceh Besar,
Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya, serta Provinsi Aceh.
KABUPATEN PROVINSI
ACEH BESAR PIDIE JAYA ACEH BARAT PIDIE
Tahun
Luas Luas Luas Luas Produkti Luas
Panen Produktivitas Produksi Produktivitas Produksi Produktivi Produk Produk Produktivi Produk
Panen Panen Panen Panen vitas Panen
(t/ha) (ton) (t/ha) (ton) tas (t/ha) si (ton) si (ton) tas (t/ha) si (ton)
(ha) (ha) (ha) (ha) (t/ha) (ha)
706
706
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Karakteristik Petani
Pelaku perberasan di Aceh dapat dibagi tiga bagian besar yaitu pihak
produsen dalam hal ini adalah petani, pihak pengolah dan distributor adalah
pedagang dan Bulog, serta pihak konsumen (Gambar 1).
PETANI(PRODUSEN)
GABAH GABAH
GABAH
PENGGILINGAN PADI PDG, PENGUMPUL, AGEN
AGEN DESA / TOKE GABAH KECIL KEC. RMU
GABAH/BERAS
PDG BESAR
(KONTRAKTOR)
GABAH/BERAS
SUB BULOG
GABAH GABAH GABAH/BERAS
GROSIR BERAS
KONSUMEN
Rata-rata luas pemilikan lahan sawah di keempat desa contoh relatif kecil
yaitu berkisar 0,25 ha–0,75 ha, dengan rata-rata luas garapan di atas luas
pemilikan, penambahan luas garapan ini melalui sistem bagi hasil atau sewa.
Berbeda dengan kasus di desa Lung Tanoh Tho Kecamatan Woyla Kabupaten
Aceh Barat luas lahan milik sendiri sama dengan luas lahan garapan, karena lahan
707
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
garapan merupakan tanah milik orang tuanya yang diwariskan kepada anak-
anaknya.
Berbeda dengan petani di tiga Kabupaten lainnya Aceh Besar, Pidie, dan
Pidie Jaya yang menyimpan gabah untuk keperluan konsumsi rata-rata 0,5 sampai
1,5 ton GKG (Tabel 2). Termotivasinya petani tersebut menyimpan gabah untuk
keperluan konsumsi disebabkan oleh berfluktuasinya harga beras saat ini,
kegagalan panen serta antisipasi kebutuhan dana mendadak.
Teknologi Produksi
Tingkat teknologi yang diterapkan oleh petani di desa contoh Aceh Besar,
Pidie Jaya dan Pidie relatif maju dalam hal penggunaan benih, pemakaian pupuk
dan alat perontok. Rata-rata produktivitas ketiga desa contoh relatif tinggi yaitu di
atas produktivitas rata-rata nasional. Berbeda halnya di Aceh Barat produktivitas
masih rata-rata 4,5 ton/hektar, disebabkan lahan sawah tadah hujan.
708
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2.Karakteristik petani produsen beras di kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya Provinsi Aceh 2010.
NO URAIAN ACEH BESAR PIDIE JAYA ACEH BARAT PIDIE
I Karakteristik Petani
1. Rata-rata pemilikan lahan (Ha) 0,25 0,5 0,75 0,5
2. Rata-rata luas garapan (Ha) 0,5 0,5 0,75 0,75
3. Rata-rata jumlah tanggungan (jiwa) 4 3 5 4
4. stok gabah 0,4 – 1 ton/musim, cukup 0,75 – 1,8 ton/musim 1,75 – 1,5 ton/musim
II Teknologi Produksi
1. Varietas yang di tanam VUB (Ciherang) VUB (Ciherang, Cibogo) VUB (Ciherang) VUB (Ciherang, impari 13)
2. Klasifikasi benih Berlabel Berlabel Berlabel Berlabel
3. Penggunaan pupuk Urea, TSP, KCl TSP, Poska, Urea Urea Urea, NPK
4. Dosis pemupukan Blm sesuai rekomendasi Belum sesuai rekomendasi Belum sesuai rekomendasi Belum sesuai rekomendasi
5. Pengendalian OPT sasaran Pestisida, belum PHT Pestisida Kimiawi Pestisida, semi PHT
6. Sistem panen Arit Arit Arit Arit
7. Alat perontok Power threser Power threser Power threser Power threser
8. Produktivitas (t/ha) 5,6 5,6 4,5 5,5
709
4. Sistem pembayaran Cast/ tunai tunai Tawar menawar tunai
5. Penentuan harga Tawar menawar Tawar menawar Tawar menawar
IV Sumber modal Sendiri, agen pengumpul, K Padi Sendiri, Kilang Padi Swadaya, pedagang Sendiri, Kilang Padi
V Hambatan Hama tikus, parairan Tikus dan Air Tikus dan Air Tikus, kepinding tanah
709
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Sistem Penjualan
Perilaku petani dalam menjual hasil padinya sangat tergantung kepada
kondisi daerah. Hasil survey menunjukkan bahwa, waktu penjualan gabah sangat
di pengaruhi oleh kebutuhan petani dan harga pada saat panen. Jika harga gabah
tinggi pada saat panen, maka hasil panennya akan dijual sebagian dan sisanya
dibawa pulang untuk persediaan selama musim tanam. Selama ini tidak dijumpai
waktu penjualan disaat panen dengan sistem tebasan. Sistem ini banyak terjadi di
daerah Malang Jawa Timur dimana tenaga kerja relatif mahal petani lebih banyak
menjual padinya dengan sistem tebasan.
Umumnya petani di Aceh Besar, Pidie dan Pidie Jaya menjual padi adalah
untuk kebutuhan keluarga.Sedangkan di Kabupaten Pidie Jaya, RASKIN sangat
berpengaruh terhadap penjualan gabah petani. Selain pengaruh RASKIN, petani
tidak ada tempat penyimpanan gabah di rumah yang aman dari serangan tikus.
Pembeli gabah umumnya pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang ini
merupakan mitra Kilang Padi (RMU) setempat, cara pembayarannya secara tunai,
harga ditentukan melalui kesepakatan tawar menawar.
710
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jika gabah dan beras tidak dijual ke Medan, Perum Bulog Provinsi Aceh
tidak sanggup menampung gabah petani, pada akhirnya harga gabah akan turun.
Realisasi pengadaan beras Perum BULOG Provinsi Aceh hingga Juni mencapai
sekitar 24 persen atau 16.678 ribu tondari target 65 ribu tonpada 2011. Minimnya
realisasi pengadaan beras dalam negeri itu akibat tingginya harga beli beras di
pasaran sedangkan Bulog menampung sesuai dengan harga pembelian
pemerintah (HPP). Target realisasi akan sulit tercapai, jika harga komoditas
tersebut terus mengalami lonjakan, jika BULOG tetap menampung dengan harga
HPP.
Harga beras yang lebih tinggi dari HPP menunjukkan dua sisi yang
berbeda.Di satu sisi mencerminkan keberhasilan kebijakan perberasan dalam
menjaga kepentingan petani dengan menikmati harga yang lebih baik.Sementara,
penyerapan beras oleh Bulog jadi tersendat karena kesulitan Bulog menambah
stok akibat harga HPP dibawah harga pasar.Padahal stok tersebut digunakan
tidak hanya untuk stabilisasi harga tetapi yang tak kalah penting adalah untuk
melayani keluarga miskin dengan penyaluran raskin oleh Bulog.
Setiap kabupaten (Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya) memiliki dua sampai
tiga pedagang beras skala besar aktif melakukan kegiatan pemasaran beras.
Pedagang beras tersebut umumnya memiliki RMU dan lantai jemur. Pedagang
711
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
besar ini disamping mensuplai beras ke tingkat grosir di kabupaten atau antar
kabupaten juga sampai tingkat provinsi di Medan. Tingkat harga gabah yang
diterima petani berkisar dari Rp 3.800−Rp4.200/kg GKP.
Pola panen padi musim hujan dimulai dari wilayah Timur yaitu kabupaten
Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Biruen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang
kemudian berlanjut ke bagian Barat yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya,
Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Masa panen dengan areal yang cukup luas
terjadi pada periode Januari-April, dengan masa puncak panen terjadi pada bulan
Pebruari-Maret. Lima kabupaten yang memiliki areal panen diatas puluhan ribu
hektar adalah kabupaten Aceh Utara, Bireun, Aceh Tamiang, Aceh Timur (BPS
Aceh, 2011).
Tantangan bagi BPTP Aceh untuk membuat peta produksi padi diwilayah
kerjanya untuk mengetahui daerah-daerah dengan produksi riil petani sudah
mendekati produksi potensial lahannya. Pengkajian dapat diarahkan kedaerah-
daerah yang masih memiliki kesenjangan hasil yang cukup besar, agar potensi
sumberdaya lahannya dapat dimanfaatkan secara lebih optimal.
Turun naiknya harga gabah ditingkat petani disebabkan oleh : 1). Kualitas
gabah. Kualitas gabah yang dihasilkan petani sangat mempengaruhi tingkat
harga yang diterima. Kualitas gabah dapat disebabkan oleh faktor biofisik tanah,
sebagai contoh kualitas gabah di kabupaten Aceh Utara lebih baik dibandingkan
dengan gabah di kabupaten Aceh Barat (jumlah butir hampa, dan rendemen).
Curah hujan saat panen sangat mempengaruhi kualitas gabah, curah hujan yang
cukup tinggi pada saat panen mengakibatkan kadar air gabah menjadi tinggi,
proses pengeringan menjadi masalah sehingga akan menurunkan harga gabah.
Kualitas gabah juga dipengaruhi oleh cara dan alat panen yang digunakan,
712
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Rekomendasi
1. Penyediaan stok pupuk dan obat dapat meminimalisir peran spekulan yang
dapat menyebabkan biaya produksi beras menjadi tinggi.
2. Penyediaan bibit unggul membantu petani menghasilkan kualitas padi dan
jumlah panen yang meningkat, sehingga mampu mendongkrak margin
keuntungan petani. Bantuan sarana pertanian dapat dijadikan insentif untuk
meminimalisir keinginan petani padi dalam mengalihfungsikan lahannya.
3. Perlunya pembangunan jalur irigasi yang mendukung peningkatan produksi
padi terutama di daerah-daerah yang belum memiliki saluran irigasi yang
memadai sekaligus pemeliharaan jalur irigasi yang telah ada di sentra-sentra
produksi padi.
4. Alih Fungsi lahan pertanian (sawah) menjadi lahan perkebunan serta ancaman
menyusutnya lahan pertanian akibat komersialisasi perlu dibatasi dan diatur
dengan baik sehingga pemenuhan kebutuhan stok pangan yang berasal dari
dalam Provinsi Aceh minimal dapat dipertahankan/ditingkatkan.
5. Perbaikan infrastruktur jalan dan jembatan diperlukan dalam rangka
memperlancar kegiatan arus barang keluar masuk Provinsi Aceh.
KESIMPULAN
713
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
5. Kelompok tani atau petani sebagai produsen tidak lagi menjual gabah tetapi
mampu menjual beras, nilai tambah beras akan dapat dinikmati oleh anggota
kelompoknya sendiri. Dengan demikian agribisnis beras ditingkat kelompok
tani bisa berjalan dengan baik.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
DAFTAR PUSTAKA
714
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
715
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Nazariah
ABSTRAK
PENDAHULUAN
716
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
sudah mulai diperkenalkan kepada petani di Aceh sejak tahun 2004. Dalam upaya
pencapaian surplus beras 10 juta ton di tahun 2014, provinsi Aceh di tahun 2012
melaksanakan kegiatan SL-PTT padi pada 2.922 unit dengan luas areal 29.300
ha. Kabupaten Bireuen merupakan salah satu wilayah yang mendapat program
SL-PTT padi sawah dari pemerintah. Pengkajian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menganalisis faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi
PTT padi sawah di Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh.
Karakteristik Responden
Sumber mata pencaharian utama petani padi sawah juga sangat tergantung
pada luas lahan yang mereka garap. Petani yang mempunyai lahan yang luas
cenderung lebih mudah menerima inovasi baru dibandingkan dengan petani yang
lahannya sempit. Petani kecil yang memiliki luas lahan skala 0,1 - 0,5 ha, pada
umumnya lemah modal, sehingga kemampuan untuk menyediakan sarana
produksi (pupuk, pestisida) sebatas kemampuan yang ada (Sumarno. 2012).
Semakin luas lahan biasanya akan semakin cepat dalam mengadopsi inovasi.
Bagi petani yang mempunyai lahan sempit resiko menjadi pertimbangan utama
untuk menerapkan teknologi baru.
717
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
718
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kurschner dkk., (2010) menyatakan hasil panen padi meningkat sekitar 400 –
500 kg/ha atau setara 10%, disamping tanaman padi dibawah irigasi berselang
nampaknya lebih kuat dan sehat serta mempunyai anakan dan malai lebih banyak.
Sementara petani mengungkapkan kekhawatiran apabila melakukan irigasi
berselang kemungkinan besar mereka tidak mendapatkan air lagi saat tanaman
padi membutuhkannya. Semua petani cenderung mempertahankan air yang
menggenangi sawah mereka.
Pengelolaan panen dan pasca panen telah sesuai dilakukan oleh petani
sebanyak 83%, sedangkan 17% lainnya mengungkapkan bukan tidak melakukan
pasca panen yang benar akan tetapi kendala mereka adalah terbatasnya mesin
perontok gabah (tresher) sehingga harus menunggu 1 – 2 hari baru mendapat
giliran untuk perontokan.
Adopsi teknologi PTT padi sawah masih terbatas pada komponen teknologi
pemakaian varietas unggul baru dan benih berlabel. Mudahnya petani menerima
varietas baru dan benih berlabel karena dari pengalaman bercocok tanam padi,
varietas unggul baru dan benih berlabel menjadi faktor utama dalam peningkatan
produksi padi. Disamping itu, sudah membudaya petani tidak lagi menyimpan
benih sendiri akan tetapi membeli benih baru setiap musim tanam. Sedangkan
komponen teknologilainnya masih dalam tahapan uji coba.
719
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pendampingan yang baru dapat dilakukan penyuluh pertanian jauh dari ideal,
hal ini disebabkanjumlah penyuluh tidak sebanding dengan jumlah kelompok tani,
akibatnya pertemuan kelompok hanya dapat dilakukan 3-5 kali pertemuan setiap
musim, dengan tingkat kehadiran peserta saat pertemuan, bervariasi antar
kelompok tani sekitar 80-95 persen (Supriadi dkk.,2012).
Dari berbagai komponen teknologi dasar dan pilihan PTT padi sawah, yang
belum diadopsi responden ialah: pengairan berselang,penggunaan pupuk organik,
penyiangan dengan gasrok. Beberapa komponen teknologi yang masih terbatas
diadopsi oleh beberapa petani yaitusistem tanam jajar legowo, penambahan
bahan organik ke dalam tanah, penggunaan bibt muda, tanam bibit 1-3
batang/rumpun per lubang, pengairan intermiten dan pemupukan N menggunakan
BWD (Sumarno dan Kartasasmita 2011; Ariani dkk., 2012).
Adopsi teknologi padi masih berjalan lambat, hal ini disebabkan tidak
semua pilihan komponen teknologi yang tersedia dalam pendekatan PTT padi
dapat dengan mudah diadopsi oleh petani (Sembiring dkk., 2012). Penerapan
inovasi baru bukan hanya keputusan ya atau tidak, petani dapat memutuskan
untuk menerapkan inovasi tertentu saja, ketika beberapa komponen terlibat dan
tidak untuk yang lainnya (Noltze, dkk., 2012).
720
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
721
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
722
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Data BPS (2014): luas baku sawah di Kabupaten Asahan 10.415 Ha,
dengan produktivitas padi 56,11 Kw/Ha. Rata-rata kepemilikan lahan petani adalah
1,17 Ha, mengindikasikan bahwa mayoritas petani di kabupaten ini adalah petani
berlahan sempit (small scale farming) dan pengelolaan lahan masih secara
sederhana. Rata-rata produktivitas padi yang dicapai masih termasuk rendah
dibandingkan dengan potensi hasil dari suatu benih unggul padi. Banyak faktor
yang mempengaruhi dalam usaha meningkatkan produktivitas padi, antara lain:
penggunaan benih unggul yang adaptif, pengelolaan lahan, teknik irigasi,
manajemen pemupukan, pengendalian hama terpadu serta penanganan pasca
panen. Berbagai program telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengedukasi
petani agar memahami dan melaksanakan teknik budidaya padi yang baik.
Pendekatan yang dianjurkan pemerintah tidak hanya memprioritaskan
peningkatan kesejahteraan petani, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan
lingkungan, serta menjamin keamanan dan kesehatan pangan. Salah satu
pendekatan yang ditawarkan pemerintah adalah pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) Padi. Pendekatan PTT telah dilaksanakan secara
nasional mulai tahun 2008 dan berlanjut hingga sekarang dengan berbagai
perbaikan dan penyempurnaan dari sisi perencanaan, pelaksanaan dan
pengawalan serta pendampingan. Pendekatan PTT menawarkan pendekatan
intensifikasi bersifat spesifik lokasi, tergantung pada masalah yang akan diatasi
723
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tujuan survei untuk mengetahui sejauh mana implementasi PTT padi yang
telah diterapkan oleh petani di Kabupaten Asahan (studi kasus : Kecamatan
Meranti dan Kecamatan Rawang Panca Arga). Melalui hasil survei ini, diharapkan
dapat memberikan informasi tentang komponen-komponen mana pada PTT Padi
yang belum optimal dilaksanakan oleh petani dilapangan, serta penyebabnya
sehingga pemerintah pusat maupun daerah dapat menyusun strategi untuk
menuntaskan permasalahan tersebut.
Analisa statistik dilakukan dengan SPSS versi 20. Analisa statistik secara
deskriptif frekuensi dengan menghitung persentasi, mean, median, minimum,
maksimum, dan standar deviasi dari setiap variabel.
Kepemilikan lahan
724
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
memiliki lahan 3 ha (lahan terluas). Mayoritas petani (29 orang) mempunyai lahan
seluas 1 Ha.
Perlakuan benih yang dilakukan oleh petani sangat bervariasi (Tabel 1).
725
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pengendalian HPT yang dilakukan oleh petani sangat bervariasi (Tabel 2).
726
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
menjadi pilihan terakhir bila serangan OPT berada di atas ambang ekonomi.
Dengan adanya penggunaan pestisida nabati, penggunaan pestisida kimia dapat
dikurangi untuk mencegah terjadinya resistensi OPT. Penggunaan pestisida kimia
yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi OPT dan kerusakan lingkungan.
Hal ini sesuai dengan Pedoman Teknis GP-PTT Padi (2015) bahwa penggunaan
pestisida harus memperhatikan jenis, jumlah dan cara penggunaannya sesuai
dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan
resurjensi atau resistensi OPT atau dampak lain yang merugikan lingkungan.
6. Umur bibit
Umur tanam bibit secara berturut-turut adalah 18 HSS (23 orang), 17 HSS
(13 orang), 20 dan 21 HSS (6 orang). Rata-rata alasan petani menanam di umur
tersebut adalah karena khawatir akan serangan keong. Penanaman bibit muda
memang tidak dianjurkan untuk daerah endemik keong. Petani dianjurkan
menanam pada bibit muda karena berdasarkan banyak hasil penelitian dan
pengamatan di lapangan, umur pindah tanam yang baik adalah antara 10-15 HSS
(bibit muda) karena pada umur ini bibit mulai beranak, sehingga menanam bibit
berumur lebih dari 21 HSS, sama dengan membiarkannya mengalami masa
beranak pada kondisi berdesakan di persemaian dan hal ini akan mengurangi
kemampuannya beranak di lahan (Helmi, 2009). Bibit muda, cukup ditanam 1-2
bibit per titik tanam, sehingga lebih hemat. Jika ditanam umur 10-15 HSS dengan
727
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1-2 bibit per titik tanam, jumlah anakan maksimalnya sama dengan jika ditanam
umur > 21 HSS dengan 5 bibit per titik tanam.
728
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
729
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
SARAN
Pemerintah melalui PPL harus lebih intensif membina petani. Jika penyuluh
memiliki demplot sebagai display kemungkinan akan meningkatkan kepercayaan
petani untuk mengadopsi teknologi yang dianjurkan. Selain itu jaringan irigasi
harus segera diperbaiki (primer, sekunder dan tersier) sehingga tidak ada kendala
untuk peningkatan provitas padi.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Asahan, 2013. Berita Resmi Statistik Kabupaten Asahan No.
02/12/1208/Th.VI, 2 Desember 2013.
BPS Kabupaten Asahan, 2014. Berita Resmi Statistik Kabupaten Asahan
No.02/10/1208/Thn. XVII, 20 Oktober 2014 No. 02/10/1208/Thn. XVII, 20
Oktober 2014.
Damanik, M.M.B., B.E. Hasibuan, Fauzi, Sarifuddin, dan H. Hanum, 2010.
Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press, Medan.
Haryono, 2012. Lahan Rawa Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia. IAARD
Press, Jakarta.
Helmi, 2009. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu. Informasi Teknologi Pertanian. Untuk Penyuluh
Pendamping, Penyelia Mitra Tani, Petani dan Pengguna Lainnya. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara.
Integrated Pest Management Research Brief No. 4, 2006, CGIAR, Cotonou-
Republic of Benin
730
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Mukhlis, Sarifuddin, dan H. Hanum, 2011. Kimia Tanah Teori dan Aplikasi. USU
Press, Medan.
Mutakin, J., 2010. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System
of Rice Intensification). Universitas Garut.
Pedoman Teknis Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT)
Padi, 2015. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian.
Sinar Indonesia Baru, 2015. Ribuan Hektar Tanaman Padi di Sei Payang Asahan
Terancam Gagal Panen. Jumat, 20 Februari 2015. http://hariansib.co/
Siregar, I.H., 2015. Permasalahan-permasalahan Irigasi Di Sumatera Utara.
Buletin Informasi Pertanian Medan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Utara Volume VIII Nomor 1 April 2015.
Sutanto dan A. Iryani, 2011. Hujan Asam dan Perubahan Kadar Nitrat dan Sulfat
dalam Air Sumur Di Wilayah Industri Cibinong-Citeureup Bogor. Pusat
Teknologi Limbah Radioaktif. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah
Volume 14 Nomor 1 Juli 2011.
731
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
732
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
733
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
data diambil dan sampel untuk generalisasi. Pada umumnya yang merupakan unit
analisa dalam penelitian survey adalah individu yang bersangkutan. Sedangkan
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif.
Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang ada di Nagari Jawi-Jawi
yang tergabung ke dalam 4 Kelompok Tani yaitu : Kelompok Tani Buah Palo,
Kelompok Tani Munggu Indah, Kelompok Tani Kubang Laweh, dan Kelompok
Pancang Kuriang yang berjumlah sebanyak 205 orang petani. Jumlah anggota
kelompok tani atau petani berdasarkan luas penguasaan lahan adalah seperti
terlihat pada Tabel 1.
Sesuai dengan kebutuhan penelitian, maka populasi yang akan diteliti adalah
petani yang memiliki lahan 0,5 ha kebawah yang berjumlah sebanyak 158 orang
(Gambar 1).
POPULASI RESPONDEN
0
JUMLAH ANGGOTA
734
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Sebaran petani yang menjadi responden lebih dari 84 % berada pada usia
produktif dan akan berpengaruh terhadap kinerja serta produktivitas petani dalam
pelaksanaan atau kegiatan proses produksi usahatani (Tabel 2).
735
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tersebut memiliki lahan yang lebih besar dengan jumlah anggota keluarga yang
tidak terlalu banyak.
736
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Cukup banyak jenis usahatani selain padi sawah yang dilakukan oleh para
petani (Tabel 8). Jenis tanaman yang paling banyak diusahakan adalah tanaman
bayam, jagung manis, dan sayur kangkung.
Usaha tani non padi umumnya dilakukan seluruhnya oleh petani kecuali
pada kegiatan pengolahan tanah (Tabel 9).
737
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil survey memperlihatkan bahwa biaya rumah tangga petani per bulan
berkisar antara Rp. 1,5 juta sampai dengan Rp. 5,2 juta (Tabel 10). Berdasarkan
sebaran biaya yang ada terlihat bahwa umumnya (> 50%) petani membutuhkan
biaya Ro. 1,5 juta sampai dengan Rp. 2,7 juta sebulan.
1) Pendapatan rumah tangga yang 100% berasal dan sektor pertanian dalam hal
ini adalah tanaman padi sawah dan kegiatan usaha tani non padi sawah ada
sebanyak 5 orang responden atau sekitar 12 ;
2) Pendapatan rumah tangga petani yang sumbangan terbesarnya berasal dan
pendapatan sektor pertanian selcitar 30% ; dan
3) Pendapatan rumah tangga petani yang sumbangan terbesarnya berasal dan
sektor non pertanian dengan jumlah terbesar yaitu sekitar 58%.
KESIMPULAN
3. Selain itu jika dilihat dari rasio ketergantungan penduduk dan tingkat
kepadatan lahan terhadap jumlah rumah tangga responden yang
melakukan usaha tambahan di luar usaha tani padi sawah, maka diketahui
ternyata rumah tangga petani responden yang banyak melakukan hal
tersebut adalah rumah tangga petani responden yang memiliki rasio
ketergantungan penduduk dan tingkat kepadatan lahan yang rendah.
738
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
739
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Afrizal Malik 1), Sri Rahayu D. Sihombing 2), dan Yunita Indah Wulandari 3)
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Jl. Bukit Tegalepek Ungaran Semarang
2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
Jl. Yahim Sentani Jayapura
Email : bptppapua@yahoo.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
740
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
741
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
742
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jumlah penduduk 209.980 jiwa (110.592 jiwa laki-laki dan 99.388 jiwa
perempuan) atau 49.461 rumah tangga. Angkatan kerja 111.317 jiwa, dari
angkatan kerja tersebut terdapat 51,35% (29,94% laki-laki dan 21,41%
perempuan) yang bekerja di sektor pertanian tanaman pangan, terutama
mengelola usahatani padi sawah (BPS Merauke, 2014).
743
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Luas panen, produksi dan produktivitas padi sawah berdasarkan distrik
di Kabupaten Merauke
Luas tanam Luas panen Produksi Provitas
No Distrik
(ha) (ha) (ton) (ton/ha)
1 Kimaan 352 352 1.408 4,00
2 Tabonji 50 50 160 3,20
3 Waam 87 87 291 3,34
4 Ilwayab 45 45 159 3,50
5 Okaba 62 62 214 3,45
6 Tubang 0 0 0 0
7 Ngguti 0 0 0 0
8 Kaptel 0 0 0 0
9 Kurik 8.670 8.638 42.309 4,90
10 Animha 7 171 257 3,61
11 Malind 4.685 4.408 19.746 4,48
12 Merauke 1.514 1.433 8.607 6,00
13 Naukenjerai 260 260 1.281 4.93
14 Semangga 8.215 7.840 39.727 5,07
15 Tanah Miring 11.287 10.084 56.444 5,60
16 Jagebob 1.033 1.004 3.550 3,54
17 Sota 6 6 20 3,30
18 Muting 169 169 419 2,48
19 Elikobel 650 648 1.944 3,00
20 Ulilin 349 349 1.046 3,00
Jumlah 37.505 35.507 177.581 5,00
Sumber: BPS Kabupaten Merauke (2014)
Penduduk Kabupaten Merauke terdiri dari penduduk asli Papua, penduduk
non Papua yang didominasi etnis dan berasal dari NTT, NTB, Sunda, Maluku,
Bugis dan Makasar. Pada kawasan sentra pertanian didominasi penduduk dari
etnis Jawa (turun temuruan sejak zaman kolonial Belanda), namun penduduk yang
bermata percaharian pedagang didominasi oleh etnis Bugis, Makasar, Buton, dan
dari suku Minang serta sebagian dari etnis Jawa. Dari data BPS Merauke (2012),
terdapat 120.720 jiwa penduduk non Papua, sedangkan penduduk asli Papua
74.141 jiwa.
Sejak tahun 2009 peningkatan produktifitas padi sawah sudah dilaksanakan
dengan pendekatan SL-PTT. Luasan pengembangan SL-PTT setiap tahun
berfluktuasi. Fluktuatifnya pengembangan ini sangat dipengaruhi dari anggaran yang
tersedia. Untuk Kabupaten Merauke pengembangan SL-PTT lebih luas dari pada
kabupaten lain yang ada di sentra padi sawah di Provinsi Papua (Tabel 3).
Tabel 3. Luas perkembangan SLPTT per Kabupaten di Provinsi Papua 2009- 2013
Tahun
No Kabupaten/Kota
2009 2010 2011 2012 2013
1 Kota Jayapura 800 500 600 500 500
2 Kab. Jayapura 400 600 500 500 500
3 Kab. Nabire 700 1.125 1.500 500 700
4 Kab. Merauke 14.900 10.350 15.000 9.200 15.400
5 Kab. Mimika 150 0 0 0 200
6 Kab. Waropen 200 500 300 0 0
7 Kab. Keerom 300 300 400 300 300
8 Kab. Sarmi 100 328 0 0 200
9 Kab. Jayawijaya 0 500 0 0 0
Jumlah 17.550 14.203 18.300 11.000 17.800
Sumber: Laporan Tahunan Dinas PKP Papua (2009, 2010, 2011, 2012)
744
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Karakteristik responden
Tabel 4. Jumlah dan kisaran umur petani responden padi sawah di Kabupaten
Merauke, 2014
No Kisaran umur Jumlah (jiwa) Persentase
1. 26 – 55 82 83,67
2. >56 16 16,33
Jumlah 98 100,00
Sumber : Data primer, 2014
745
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
semuanya. Alasan yang dikemukan petani adalah benih yang diinginkan tidak
tersedia saat dibutuhkan dan ketidakyakinan petani terhadap mutu dari hasil VUB
tersebut, hal senada juga diungkapkan Malik dan Kadir (2015). VUB yang ditanam
dan berkembang ditingkat petani saat ini dikembangkana oleh petani penangkar
berasal dari BPTP Papua melalui pihak ketiga (Sang Hyang Sri).
Pengolahan tanah yang baik dan benar untuk mencapai produktivitas tinggi
sudah dilakukan sebagian besar petani, terutama pelumpuran yang dalam, bebas
gulma sudah diketahui petani dengan menggunakan traktor dan mengolah tanah
dengan ternak (sapi). Namun dari hasil kajian terdapat <10% petani yang tidak
menerapkan dengan baik, terutama disebabkan kondisi lahan yang agak dalam
(rawa).
Sistem tanam jajar legowo adalah pola bertanam berselang seling antara
dua atau lebih baris tanaman padi dan satu baris kosong. Baris tanaman (dua
atau lebih) dan baris kosong (setengah lebar di kanan dan kirinya) disebut satu
unit legowo. Bila terdapat dua baris tanam unit legowo disebut legowo 4:1 dan
seterusnya Abdulrachman dkk., (2013). Petani mengetahui 100% tentang legowo,
terutama keunggulannya untuk meningkatkan populasi tanaman dan menggurangi
746
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
serangan tikus, mudah penyiangan dan mudah dalam mengendalikan keong mas
dan pertumbuhan tanaman lebih sehat dan seragam dan mudah dalam melakukan
penyiangan.
Semua petani yang ada di sentra produksi padi sawah mengetahui manfaat
dari penggunaan alsintan, namun dalam penerapannya tidak semua petani
menggunakannya. Dari hasil kajian terdapat 70,17% petani menerapkan alsintan
dalam berusahatani padi sawah. Alsintan yang digunakan petani di antaranya
pengolahan tanah. Alasan tidak menerapkan alsintan yang dikemukakan petani
(hand traktor dan tresher) dalam usahatani padi sawah disebabkan kelangkaan
modal saat dibutuhkan dan alsintan tersebut tidak dimiliki secara pribadi, namun
dimiliki oleh kelompok dan harus bergantian dalam penggunaannya. Penanganan
panen dan pasca panen yang baik sudah diketahui petani, namun dalam
penerapannya terkadang terkendala dari saat panen hujan turun.
747
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 6. Persentase komponen teknologi dalam PTT padi sawah yang diketahui
petani dan yang diterapkan di Kabupaten Merauke, MH 2014
No Komponen teknologi Diketahui (%) Diterapkan (%)
1. Penggunaan VUB 98,24 89,72
2. Bibit muda (< 15 hari) 92,98 87,20
3. Penggunaan pupuk organic 96,49 62,10
4. Irigasi berselang (intermitten) 92,77 40,36
5. Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD) 89,77 43,85
6. Perlakuan Benih 98,40 24,56
7. Cara pengolahan tanah 100 90,78
8. Cara tanam jajar legowo 100 67,40
9. Pengendalian hama terpadu 98,30 77,19
10. Pengendalian gulma 100 100
11. Penggunaan Alat mesin pertanian 100 70,17
12. Penanganan panen dan pasca panen 100 84,21
Rata-rata
Sumber : Data Primer, 2014
748
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
749
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Penggunaan dosis pupuk ini masih jauh dari rekomendasi. BPTP Papua
(2004) menyarankan pada tanah dengan kandungan N rendah di lokasi
pengkajian (Semangga, Tanah Miring dan Merauke) kebutuhan pupuk Urea 175-
200/ha, sedangkan pada tanah P tinggi pada lokasi yang sama disarankan
penggunaan SP-36 dengan kisaran 100-125 kg/ha dan 75-100 kg/ha KCl. BPTP
Papua (2010) rekomendasi pemupukan untuk padi sawah di sentra produksi di
Kabupaten Merauke adalah Urea 150 kg:100 kg SP-36+150 kg KCl/ha
Rendahnya penggunaan pupuk ini oleh petani lebih banyak disebabkan
ketersediaan pupuk tepat waktu tidak tersedia di ini petani. Kalau itupun pupuk
ada kelangkaan modal oleh petani sangat mempengaruhi dalam penggunaan
pupuk yang diberikan kepada padi sawah. Hal senada juga dikatakan Widjono
(2006) penyebab lainnya rendahnya produktivitas padi sawah di Merauke
disebabkan penggunaan input yang rendah dan teknologi budidaya belum banyak
750
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dikuasai petani serta masalah sosial ekonomi seperti kelangkaan modal, budaya
dll.
Disamping itu, rendahnya produktivitas padi sawah yang dihasilkan di
tingkat petani di sentra padi Kabupaten Merauke menurut Djaenudin dan
Hendrisman (2008) kurangnya hara untuk diperlukan penambahan pupuk organik,
fosfat dan kalium sehingga hasil yang dicapai optimal.
Dari hasil kajian tingkat produktivitas padi sawah yang dicapai petani dalam
pendekatan PTT berkisar 4.225-5.930 kg/ha gkg dengan rata-rata 4.830 kg/ha
gkg. Hasil yang dicapai ini jauh lebih rendah dari tingkat hasil yang dicapai dari
hasil pengkajian. Rauf dkk., (2009) dan Djufry dkk., (2010) melaporkan jika
pemberian input sesuai dengan rekomendasi dan dikelola secara optimal maka
produktivitas padi sawah bisa dicapai 5,6-7,1 ton/ha gkg (gabah kering panen) di
sentra produkdi di Merauke.
KESIMPULAN
4. Rata-rata penggunaan benih 29,5 kg/ha, Urea 85,50 kg/ha, 109,50 kg/ha SP-
36, Fhonska 30,50 kg/ha dan NPK pelangi 85,50 kg/ha, kompos 200,50 dengan
tingkat produktivitas 4,830 kg/ha gkg.
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kebijakan dalam penerapan teknologi peningkatan produktivitas padi
sawah melalui PTT Padi, terutama penggunaan komponen teknologi pokok, di
antaranya menerapkan rekomendasi pemupukan, terutama penggunaan pupuk
SP-36, KCl dan kompos (pupuk organik), regulasi mengenai pengadaan pupuk
tepat waktu dan jumlah di lini petani serta menyakinkan petani menggunakan
sistem tanam jajar legowo, meningkatkan produktivitas perlu diintensifkan dengan
menggunakannya sebagai materi penyuluhan pertanian
DAFTAR PUSTAKA
751
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
752
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Lahan tadah hujan merupakan salah satu jenis lahan yang potensial untuk
difungsikan sebagai sentra produksi padi, mendukung swasembada beras
berkelanjutan, termasuk lahan-lahan tadah hujan di wilayah Kabupaten
Sarolangun Provinsi Jambi. Upaya optimalisasi peran lahan tadah hujan sebagai
salah satu sentra produksi padi terus dilakukan antara lain dengan meningkatkan
produktivitas padi melalui pengembangan varietas unggul baru (VUB) spesifik
lahan tadah hujan. Namun demikian, upaya pengembangan VUB di lahan tadah
hujan juga dihadapkan pada kendala rendahnya adopsi VUB karena masih
tingginya penggunaan varietas lokal sehingga rata-rata produktivitas padi di lahan
tadah hujan Kabupaten Sarolangun belum sesuai dengan yang diharapkan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengungkap faktor-faktor pendorong dan
penghambat adopsi VUB serta merumuskan upaya percepatannya. Kajian
dilakukan di 3 Kecamatan (Sarolangun, Pelawan, dan Air Hitam) Kabupaten
Sarolangun pada tahun 2014 dengan pendekatan survei, focus group discussion,
dan wawancara individual kepada kelompok tani pengguna VUB dan varietas
lokal. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum varietas yang banyak
berkembang di lokasi kajian masih didominasi varietas lokal. Faktor-faktor yang
mendorong percepatan adopsi adalah potensi biofisik lahan, penyediaan benih,
dan sumberdaya manusia. Peluang pengembangan VUB juga terbuka dengan
adanya dukungan kebijakan pemerintah pusat, teknologi, dan infrastruktur.
Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan VUB adalah
persaingan usahatani padi dengan usaha produktif lainnya dan preferensi
masyarakat. Mengacu pada identifikasi tersebut, maka upaya percepatan adopsi
VUB di lahan tadah hujan Kabupaten Sarolangun menggunakan pendekatan peta
jalan yang diterapkan secara bertahap melalui model upaya percepatan selama
satu sampai dua tahun. Upaya percepatan juga perlu didukung dengan kebijakan
pemerintah daerah melalui penumbuhan penangkar benih tingkat petani dan
alokasi dana khusus untuk pengembangan VUB yang terintegrasi dalam program
Pemda.
PENDAHULUAN
753
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ditinjau dari capaian produksinya, Jambi menghasilkan sekitar 515 ribu ton
GKG.Jika dihubungkan dengan luas tanamnya, maka diketahui produktivitas padi
di Jambi adalah 4,3 t/ha. Angka produktivitas padi itu masih relatif rendah jika
dibandingkan dengan potensinya yang dapat mencapai 6 – 7 t/ha. Menurut
Makarim et.al. (2004), rendahnya produktivitas padi sawah terkait dengan
penggunaan varietas. Upaya Pemda Jambi untuk meningkatkan produktivitas padi
itu mengacu pada Program Peningkatan Beras Nasional yakni melalui pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) (Balitbangtan, 2011). PTT merupakan
suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan
pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif
bersama petani.
754
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pendekatan
Metode Pengkajian
755
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Deskripsi faktor-faktor internal dan eksternal petani lahan tadah hujan
Faktor internal petani Faktor eksternal petani
- Pengalaman berusaha tani padi - Lembaga permodalan
- Pola usahatani - Kondisi infrastruktur
- Penguasaan asset - Kelompok tani dan lembaga
penyuluhan
- Tingkat pendidikan formal petani - Dukungan kios saprotan
- Mata pencaharian utama dan - Lembaga pengolahan dan
sampingan pemasaran
- Jumlah tanggungan keluarga - Kebijakan pemda propinsi,
kabupaten, BPTP terkait VUB
padi
- Pendapatan dan pengeluaran
usahatani
- Persepsi dan apresiasi petani
terhadap VUB
- Kearifan local
Analisis Data
756
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
757
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
bahwa faktor umur berkorelasi positif dengan adopsi, seperti pada kasus adopsi
tabela. Sedangkan Rangkuti (2009) menghubungkan antara umur dengan tingkat
keaktifan responden dalam jaringan komunikasi untuk menyebarkan informasi
inovasi yang mempengaruhi upaya percepatan adopsi. Tingkat keterlibatan petani
dalam jaringan komunikasi berbanding terbalik dengan bertambahnya umur atau
semakin tua usia responden, tingkat partisipasinya justru menurun, sehingga
kurang berkontribusi terhadap upaya percepatan adopsi inovasi. Dengan kondisi
tersebut, maka dapat dijadikan peluang untuk mempercepat adopsi inovasi VUB
di lokasi kajian, karena dengan usia responden yang tergolong produktif,
menyebabkan petani lebih terbuka terhadap perubahan dan hal baru, termasuk
apabila ada introduksi inovasi VUB yang diperkenalkan.
Dari hasil survey diketahui terdapat sekitar 20% rumah tangga responden
tidak memiliki asset tenaga keluarga. Selebihnya (80%) responden memiliki asset
tenaga keluarga yang jumlahnya berkisar satu hingga 6 orang, dengan mayoritas
1 – 2 orang per rumah tangga. Kondisi tersebut mencerminkan adanya
kemampuan responden dalam mendukung kegiatan usahatani. Dalam kontek
adopsi teknologi, dukungan ketersediaan tenaga kerja memberi andil yang besar.
758
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Analisis Usahatani
Tabel 3. Analisis usahatani padi (per ha) varietas ciherang dan tukad bulian
dengan menggunakan teknologi introduksi dan teknologi diperbaiki.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Ciherang Tekad bulian
Uraian Introduksi Diperbaiki Introduksi Diperbaiki
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------
Biaya produksi (Rp)
Benih 375.000 375.000 375.000 375.000
Urea 300.000 150.000 300.000 150.000
SP-36 250.000 125.000 250.000 125.000
KCl 400.000 200.000 400.000 200.000
Pupuk kandang 900.000 - 900.000 -
Round up 175.000 175.000 175.000 175.000
Score 400.000 400.000 400.000 400.000
Curater 300.000 300.000 300.000 300.000
Manuver 170.000 170.000 170.000 170.000
Jumlah 3.270.000 1.895.000 3.270.000 1.895.000
Biaya tenaga kerja (Rp)
Persiapan lahan 600.000 600.000 600.000 600.000
Persemaian 250.000 250.000 250.000 250 000
Tanam 300.000 300.000 300.000 300.000
Pemupukan 100.000 50.000 100.000 100.000
Penyiangan 250.000 250.000 250.000 250.000
Pengendalian H/P 150.000 150.000 150.000 150.000
Pasca panen Bawon Bawon Bawon Bawon
Jumlah 1.700.000 1.650.000 1.700.000 1.650.000
Total (A+B) 4.970.000 3.545.000 4.970.000 3.545.000
Keuntungan
Produksi (kg) 5079,67 4132,67 4651 3210
Harga (Rp/kg) 2000 2000 2000 2000
Penerimaan (Rp) 10.159.340 8.265.340 9.302.000 6.420.000
Keuntungan (Rp) 5.189.340 4.720.340 4.332.000 2.875.000
R/C ratio 2,04 2,33 1,87 1,80
759
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
keuntungan melalui teknoloogi diperbaiki sebesar Rp. 4.720.340 dengan nilai R/C
ratio 2,33.
Potensi
Ketersediaan benih VUB yang tetap (varietas, jumlah, waktu, lokasi, mutu
dan harga), sangat penting untuk mengembangkan adopsi VUB di tingkat petani.
Meskipun dari hasil identifikasi di lapangan ditemukan bahwa proporsi
penggunaan varietas lokal masih lebih tinggi dibandingkan dengan VUB (Dinas
Pertanian Propinsi Jambi, 2012), namun dari potensi penyediaan benih, memiliki
beberapa sentra penangkar benih. Sejumlah wilayah di Provinsi Jambi merupakan
sentra penangkar benih padi seperti di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro
Bungo, Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Kerinci.
760
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Peluang pengembangan
Terdapat tiga titik kritis yang terungkap sebagai peluang percepatan adopsi
VUB di lahan tadah hujan yaitu dukungan kebijakan, teknologi, dan infrastruktur
(Tabel 3). Dukungan kebijakan yang mendukung upaya percepatan adopsi VUB
adalah program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Kedua kebijakan yang bersifat nasional
tersebut dapat dijadikan pijakan untuk mengembangkan VUB adaptif lahan tadah
hujan dalam rangka mendukung swasembada beras berkelanjutan. Namun
demikian, dari hasil identifikasi di lapangan ditemukan bahwa secara umum
pemerintah daerah belum memiliki kebijakan khusus pengembangan VUB di lahan
tadah hujan. Kebijakan pengelolaan tadah hujan sangat bersifat umum dan tidak
khusus menyentuh peningkatan adopsi VUB. Kondisi ini menyebabkan, belum
adanya alokasi dana untuk percepatan adopsi VUB karena pengalokasian
anggaran menjadi kesatuan dalam program pengembangan lahan sub optimal
secara umum.
Tantangan
761
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
lag) dan perluasan adopter. Senjang adopsi ditunjukkan oleh adanya senjang
waktu antara kesadaran akan adanya teknologi introduksi sampai teknologi itu
diterapkan, sedangkan perluasan adopter merujuk pada fakta semakin banyaknya
penyebaran adopsi pada satuan waktu tertentu.
Identifikasi potensi dan peluang yang juga menjadi faktor pendukung dalam
upaya percepatan adopsi dilakukan di tahun pertama, setelah ada komitmen dari
seluruh stakeholder untuk mengembangkan VUB. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi VUB di lahan sub optimal selanjutnya ditindaklanjuti dalam
perumusan rencana aksi melalui beberapa kegiatan, misalnya lokakarya, temu
usaha, atau pertemuan stakeholder. Menghadapi tantangan yang menjadi kendala
dalam mempercepat adopsi VUB, maka perlu dilakukan beberapa kegiatan
advokasi, baik secara vertikal maupun horizontal, agar stakeholder memperoleh
keyakinan terhadap implementasi model pengembangan VUB yang adaptif di
lahan sub optimal. Selain itu, di tingkat petani sebagai pelaku usahatani, perlu
dilakukan upaya diseminasi, seperti sosialisasi, uji adaptasi, pelatihan, studi
banding, kios penangkar dan lain-lain.
KESIMPULAN
Lahan tadah hujan sangat berpotensi untuk menjadi sentra produksi padi
nasional selain lahan sawah, sehingga perlu dimanfaatkan secara optimal melalui
peningkatan adopsi VUB, masih terdapat tantangan yang dihadapi pada
rendahnya adopsi VUB karena aspek teknis (teknologi VUB) dan non teknis
(petani, kelembagaan, dan dukungan kebijakan), upaya percepatan adopsi VUB
di lahan tadah hujan dapat ditempuh dengan menyusun peta jalan strategi
percepatan secara bertahap. Dalam rangka mempercepat adopsi VUB di lahan
tadah hujan tidak bisa dipungkiri, bahwa preferensi masyarakat menjadi kunci
utama sehingga upaya sosialiasi dan diseminasi harus terus ditingkatkan. Salah
satu langkah yang dapat ditempuh melalui demplot melalui pendekatan sekolah
lapang. Selain itu, dukungan pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan dalam
pengembangan VUB padi dijadikan program Pemda dengan alokasi dana khusus.
Pengembangan kelompok penangkar benih VUB di tingkat petani juga perlu
didorong melalui fasilitasi kredit lunak dan jaminan pasar benih oleh pemerintah.
SARAN
762
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
763
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Provinsi Bali yang memiliki luas areal usahatani padi sawah relatif lebih kecil
(14,40% dari dari luas wilayah) dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia,
namun tingkat produktivitasnya yang relatif lebih tinggi dibandingkan produktivitas
nasional (BPS Prov Bali, 2013). Produktivitas tersebut sesungguhnya masih dapat
ditingkatkan hingga mendekati potensinya, namun berbagai permasalahan muncul
seiring dengan munculnya berbagai kepentingan dan kondisi perubahan
sumberdaya alam. Suryana dkk., (2009) mengungkapkan bahwa beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan usahatani padi sawah antara lain : (a)
kepemilikan lahan usahatani yang relatif kecil dan tersebar dan bahkan cenderung
mengecil karena adanya proses fragmentasi lahan sebagai akibat dari sistem/pola
warisan, (b) terjadinya alih fungsi lahan sawah untuk penggunaan lainnya sebagai
akibat perkembangan perekonomian daerah baik untuk pariwisata, perumahan
maupun sektor lainnya, (c) keterbatasan debit air irigasi pada beberapa wilayah,
terutama pada musim kemarau yang disebabkan oleh persaingan dalam
penggunaan air irigasi, (d) keterbatasan tenaga kerja terutama pada saat panen
764
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
raya, sehingga kebutuhan tenaga kerja umumnya berasal dari luar Bali, (e)
keterbatasan modal usahatani, sehingga produktivitas yang dicapai masih
dibawah produktivitas potensialnya dan (f) tingkat serangan hama penyakit yang
masih cenderung tinggi dan beragam antar wilayah dan antar musim tanam.
765
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ln Y = α + β1 ln X1 + β2 ln X2+ β3 ln X3 + β4 ln X4 + β5 ln X5 +β6 ln X6 +
β7 ln X7+ ɛ………………………………………………….........(1)
Keterangan :
Y = produksi padi sawah (kw)
α = intersept
βi = koefisien regresi (parameter yang ditaksir) (i = 1 s/d 7)
X1 = benih (kg)
X2 = pupuk N (kg)
X3 = pupuk P (kg)
X4 = pupuk K (kg)
X5 = pupuk organik (kg)
X6 = pestisida (liter)
X7 = tenaga kerja (HOK)
ɛ = error term
Tahapan analisis yang dilakukan sebagai berikut : (a) menaksir model fungsi
produksi Cobb-Douglas melalui metode ordinary least square (OLS) untuk
memperoleh koefisien regresi, koefisien determinasi (R 2) dan sebagainya
menggunakan program SPSS, (b) mencari nilai K melalui pemilihan variabel yang
paling nyata berpengaruh, kemudian digunakan untuk menentukan tingkat perilaku
petani dalam menghindari resiko, dimana nilai parameter menghindari resiko
diperoleh dari persamaan berikut :
𝛿𝑦
θ= µ𝑦
…………………….…………………………………...………………(2)
Keterangan :
θ = koefisien variasi hasil
δy = standar deviasi dari hasil
μy = rata-rata hasil
766
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa nilai R2 sebesar 87%. Hal ini
menunjukkan bahwa 87% variasi variabel dependen dijelaskan oleh variasi
variabel independen dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas usahatani padi
sawah (Tabel 1).
Koefisien Standar
Variabel t-hitung Prob
Regresi Error
Konstanta 4.444 *** 0.113 39.395 0.000
Ln Benih 0.246 *** 0.052 6.874 0.000
Ln Pupuk N 0.357 *** 0.043 8.652 0.000
Ln Pupuk P 0.090 *** 0.034 2.629 0.009
Ln Pupuk K 0.076 ** 0.036 2.135 0.034
Ln Pupuk Organik 0.018 *** 0.002 5.673 0.000
ns
Lh Pestisida 0.008 0.011 0.759 0.448
Ln Tenaga Kerja 0.303 *** 0.042 7.285 0.000
R-Square 0.870
Adjusted R- Square 0.867
F-hitung 226.506 ***
Prob (F-hit) 0.000
767
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1 diatas diperoleh input yang dipilih untuk menentukan nilai parameter
K(s) adalah pupuk N. Dari hasil analisis nilai parameter K(s)berdasarkan kriteria
perilaku menurut Moscardi dan de Janvry (1977), makaperilaku petani terhadap
resiko usahatani padi sawah di daerah penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perilaku Petani Terhadap Resiko Usahatani Padi Sawah di Provinsi Bali
Kriteria Perilaku Resiko Jumlah Petani (org) Persentase (%) Rata-rata (K(s)
Risk lover 13 13.83 0.32
Risk neutral 32 34.04 0.68
Risk averter 49 52.13 1.54
Total 94 100
768
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
SARAN
769
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2013. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di
Provinsi Bali Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Denpasar. 94
hal.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2014. Potensi Pertanian Provinsi Bali. Analisis
Hasil Pendataan Lengkap Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali. Denpasar. 130 hal.
Ellis, F. 2003. Peasant Economics (Petani Gurem : Rumah Tangga Usahatani dan
Pembangunan Pertanian). Diterjemahkan oleh Adi Sutanto dkk. Bayu Media
dan UMM Press. Malang.
Fariyanti, A., Kuntjoro, S Hartoyo dan A. Daryanto. 2007. Perilaku Ekonmi
Rumahtangga Sayuran pada Kondisi Resiko Produksi dan Harga di
Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Juarnal Agro Ekonomi 25 (2)
: 178-206.
Fauziyah, E., Hartoyo, S., Kusnadi, N., Kuntjoro, S. U., 2010. Analisis Produktivitas
Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan. Jurnal Organisasi dan
Manajemen, 6 : 119-131.
Juarini, 2003. Perilaku Ekonomi Petani Terhadap Resiko Usahatani di Lahan
Pantai Kabupaten Kulon Progo. Disertasi. Program Pasca Sarjana UGM.
Yogyakarta. (tidak diterbitkan).
Kurniati, D. 2015. Perilaku Petani Terhadap Resiko Usahatani Kedelai di
Kecamatan Jawai Selatan Kabupaten Sambas. Jurnal Social Economic of
Agriculture 4 (1) : 32 -36.
Moscardi, E., and A de Janvry, 1977. Attitudes Toward Risk among Peasants:
AnEconometric Approach. American Journal of Agricultural Economics 59 (4)
: 710-716
Patrick, G.R., P.H. Wilson, P.J. Barry, W.G. Bogges and D.L. Young. 1985. Risk
Perceptions and Management Response: Producer-Generated Hypotheses
for Risk Modelling. Southern Journal Agricultural Economics 17: 231-238.
Purwoto, A. 1993. Sikap Petani Terhadap Resiko Produksi Padi dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya. Jurnal Agroekonomi 12((2) : 1-23.
Soedjana, T.D. 2007. Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman Ternak Sebagai
Respons Petani Terhadap Faktor Resiko. Jurnal Litbang Pertanian 26 (2) :
82-87.
Sriyadi. 2010. Resiko Produksi dan Keefisienan Relatif Usahatani Bawang Putih
di Kabupaten Karanganyar. Jurnal Pembangunan Pedesaan 10 (2) : 69-76.
Suryana A., S. Mardianto, K. Kariyasa dan I.P. Wardhana. 2009. Kedudukan Padi
Dalam Perekonomian Indonesia dalam Padi, Inovasi Teknologi dan
Ketahanan Pangan. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Hal 7- 31
770
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Delima Napitupulu
ABSTRAK
PENDAHULUAN
771
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
772
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Produksi, luas areal panen, produksi gabah kering giling dan kebutuhan
beras di Kabupaten Simalungun, Tahun 2009-2014.
Luas areal Produksi Kebutuhan beras
Tahun Surplus
panen (ha) GKG (ton) (ton)
2009 98.078 465.977 134.141
2010 93.343 416.294 127.564
2011 96.200 511.089 129.633
2012 89.806 418.181 129.987
2013 97.478 490.838 156.000
2014 103.338 576.310 156.121
Keterangan : Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun, Tahun 2015 (data telah
diolah).
Sejauh ini, kabupaten ini masih terus berupaya untuk meningkatkan hasil
pertanian. Pemerintah melalui Kementerian pertanian yang didukung oleh
perangkat / instansi terkait Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Simalungun
terus berupaya untuk meningkatkan produksi pertanian, agar petani sejahtera dan
harga beras terus terjangkau. Pada tahun 2012 lalu, ada perbaikan saluran irigasi
Primer di Pematang Bandar sehingga mengakibatkan produksi sedikit menurun.
773
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
kehilangan ini mulai dapat terjadi dari memanen dengan menggunakan sabit,
perontokan, pengangkutan, penjemuran, sampai penggilingan.
5. Kerusakan Irigasi Teknis. Tingkat kerusakan bangunan irigasi teknis areal
persawahan, saat ini telah mencapai hampir 50% baik primer, sekunder dan
tersier. Hal ini, menjadi persoalan sendiri karena daerah-daerah kerapkali
masih berharap dan bergantung kepada pemerintah pusat baik untuk
operasional ataupun pemeliharaannya. Sawah yang semula beririgasi teknis,
kini menjadi tadah hujan dan hanya dapat ditanami padi satu kali setahun.
Sawah sejenis ini sangat rentan terhadap kekeringan dan musim kemarau,
sehingga secara perlahan berubah status menjadi lahan kering, tidak subur,
dan bahkan tidak produktif (Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun, 2015)
Ke lima masalah di atas sangat mempengaruhi tingginya kekurangan
beras di Indonesia sehingga mendorong pemerintah untuk mengimpor beras.
774
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
775
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
beralih fungsi, yaitu : Kecamatan Tanah Jawa 1.018 ha dan Kecamatan Hutabayu
Raja 1.060 ha.Hal ini, disebabkan rusaknya jaringan irigasi tertier dan debit air
yang tidak cukup untuk mengairii lahan. Keseluruhan lahan telah beralih fungsi
dengan jagung dan kedelai. Bahkan beberapa petani telah alih fungsi pada
tanaman sawit dan ubi.
Jaringan irigasi di Kecamatan Tanah Jawa masih dalam perbaikan. Ada 3
desa yang mengalami kerusakan jaringan irigasi yaitu: Desa Tanjung Pasir, Desa
Bosar Galugur dan Desa Muara Mulia masing-masing 211 ha, 285 ha dan 477 ha
yang menyebabkan terkendalanya penanaman padi seluas kurang lebih 1000 Ha
mulai dari Juni 2015- Desember 2015. Petani menanam jagung dan kedelai agar
lahan jangan kosong dalam jangka waktu yang lama. Kendala yang dihadapi
adalah bibit kedelai kegiatan UPSUS hanya cukup memenuhi 30% dari luas lahan
yang ada di tiga desa tersebut, sementara bibit jagung masih swadaya.
Kondisi jaringan irigasi di Desa Tanjung Pasir Kecamatan Tanah Jawa
tergolong kurang baik karena fungsi pelayanan irigasi hanya sebesar 70% dan
jaringan irigasi tidak mampu mengairi sawah secara keseluruhan. Debit air irigasi
pada periode pertumbuhan umumnya mengalami kekurangan air dan pada
periode panen mengalami kelebihan air. Pengelolaan irigasi kurang baik karena
sebelum adanya upaya khusus, ketidakaktifan organisasi dalam merawat dan
menjaga jaringan irigasi sehingga berdampak pada jaringan yang mengalami
kerusakan sehingga mempengaruhi laju air dan kondisi debit air yang tidak sesuai
dengan kebutuhan.
Jaringan irigasi di Kecamatan Huta Bayu Raja juga sedang bermasalah
seluas 1.060 ha dengan rincian :
- Desa Pukan Baru 200 Ha mengalami kekeringan karena perbaikan jaringan
irigasi. Tanaman sudah berumur 1,5 bulan setelah perbaikan jaringan irigasi
dimulai.
- Desa Silakidir seluas 700 Ha kekurangan air karena sedang merehab jaringan
irigasi yang rusak.
- Desa Maria Hombang seluas 160 Ha, umur padi rata-rata 1,5 bulan pada saat
perbaikan jaringan irigasi dimuai sekitar bulan Juni tahun 2015. Tanaman
mengalami kekeringan sehingga produksi menurun.
Harapan pemerintah dan masyarakat melalui perbaikan jaringan irigasi
tahun 2015, dengan tersedianya air yang cukup bagi tanaman akan meningkatkan
produktivitasnya karena bertambah suburnya tanah, penanaman yang tidak
tergantung musim hujan, mengurangi serangan hama dan penyakit.
Hambatan lain yang terjadi dalam menuju swasembada pangan adalah
kekurangan lahan untuk bercocok tanam karena jumlah penduduk yang semakin
bertambah tiap tahunnya. Solusinya adalah pemerintah harus menetapkankan di
setiap provinsi untuk mempunyai lahan yang luas untuk lahan sawah. Pemeritah
bersama-sama perangkat setempat harus menjaga setiap lahan sawah yang
sudah tersedia tidak menjadi proyek bisnis untuk menghasilkan keuntungan pihak
tertentu atau pribadi. Sehingga lahan yang seharusnya digunakan dalam
menjalakan program swasembada malah menjadi suatu bisnis yang menyebabkan
776
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
777
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DISKUSI
Saran:
1. Berdasarkan judul penelitian dan analisis yang ditujukan untuk tulisan ini
adalah analisis SWAT
a. Jadi tampak masalah dan kelemahan sebagai tantangan yang dihadapi di
simalungun
b. Untuk menghadapi masalah dan kelemahan peluang dan langkah –
langkah ke depan untuk swasembada pangan
Jawaban :
Berdasarkan tujuan penelitian dimana ada paktor yang mempengaruhi
pertamanan padi akan tetapi analisisnya sudah jelas. Contoh saran factor –
factor adalah : a. Pupuk urea, b.Tenaga kerja, c.Luas lahan, semua factor ini
di analisis sebagai variabel factor.
778
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Provinsi Jawa Barat (Jabar) sebagai salah satu sentra produksi padi di
Indonesia. Berdasarkan data Departemen Pertanian (2015), dalam 45 tahun
terakhir rata-rata menyumbang sekitar 19,62 % terhadap produksi padi nasional
dan lebih dari 93 % produksi padi dihasilkan dari lahan sawah. Laju pertumbuhan
produktivitas padi selama tahun 1970-2015 mencapai sekitar 8,96% per tahun.
Dalam kurun waktu yang sama, luas panen padi menyumbang sekitar 0,94 %,
dan intensifikasi usaha dengan inovasi teknologi atau produktivitas menyumbang
sekitar 7,68 %. Akan tetapi, dalam lima tahun terakhir ini laju produktivitas padi di
daerah sentra produksi di Jabar stagnan dan menurun hingga mencapai rata-rata
4,72% per tahun.
779
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
sebagai dampak dari anomali iklim dan serangan OPT, (5) adopsi inovasi teknologi
di tingkat petani masih relatif rendah, (6) pemilikan lahan sempit, rata-rata 0,25
hektar per keluarga, sehingga sulit untuk meningkatkan efisiensi, (7) nilai tukar
petani masih rendah, (8) kelembagaan petani masih lemah, dan (9) akses
terhadap permodalan di tingkat petani masih rendah (Bappeda Provinsi Jawa
Barat, 2007).
780
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
n m
Misalkan; Z j X ji k Dki , sehingga model (1) dapat dituliskan
j 1 k 1
menjadi:
1
Pi ei ,...........................................(2)
1 Exp Z
Dari persamaan (2) diperoleh bahwa persamaan:
1
1 Pi 1 ei ,...............................................(3),
1 Exp Z
Sehingga menjadi :
Pi 1 Exp( Z )
Exp( Z )..................................(4)
(1 Pi) [1 Exp( Z )]Exp( Z )
Dalam bentuk logaritma dari persamaan (4) dapat ditulis sebagai berikut:
n m
Pi
Ln j X ji k Dki ei .....................................................(5)
(1 Pi ) j 1 k 1
781
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
782
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
(30,20%); hanya sebagian kecil berada pada kisaran kelompok umur 35-44 tahun
(25,77%).
Berdasarkan data kisaran umur petani responden dapat dikomparasikan,
bahwa semua kelompok buruh/jasa tanam padi tergolong usia produktif, dan
rataan jumlah anggota keluarga petani yang paling tinggi terdapat dalam Pokja
berketerampilan rendah (PKR), yakni mencapai 5,15 orang/keluarga.
Rataan tingkat pendidikan petani, pengalaman bekerja buruhtani,
mengikuti pelatihan Jarwo, dan keikutsertaan penyuluhan pertanian yang relatif
paling tinggi adalah terdapat pada Pokja berketerampilan tinggi (PKT), yakni: 6,43
tahun, 2,71 kali/tahun, dan 0,86 kali/tahun. Sedangkan rataan tingkat
keterampilan atau tempo waktu kerja tanam padi yang relatif paling cepat adalah
dimiliki oleh Pokja buruh/jasa tanam PKR, yakni mencapai 6,37 jam/ha/kelompok,
atau 127,48 jam/orang/hektar.
783
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
negatif. Tapi seberapa besar tingkat pengaruh dari setiap faktor peubah tersebut,
besaran koefisien korelasi ini tidak mampu menjelaskannya.
Tabel 2. Koefisien korelasi antara karakteristik RT petani buruh/jasa tanam
dengan keterampilan Jarwo di Kabupaten Sukabumi, 2015
Pengalam Pelatih Garapan
Karak- Keteram- Umur Jumlah Pendidik Penyul Upah/hari
an an lahan
teristik pilan petani Angkel an petani u-han (Rp.000)
berburuh Jarwo (ha)
RT
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
Y 1.000
X1 0.026 1.000
X2 -0.120 0.009 1.000
- -
X3 1.000
-0.332 0.039 0.450
X4 0.296 0.696 0.255 -0.27 1.000
X5 -0.569 0.304 0.193 -0.11 -0.003 1.000
0.002 0.124 0.334 0.576 0.987 .
X6 -0.614 0.290 0.275 0.139 -0.019 0.634 1.000
0.001 0.143 0.165 0.489 0.926 0.000 .
- - -
X7 0.439 -0.556 -0.445 1.000
0.094 0.423 0.538 0.299
- - -
X8 0.334 -0.352 -0.146 0.175
0.030 0.220 0.166 0.260
0.881 0.270 0.409 0.088 0.072 0.190 0.468 0.384 1.000
784
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keterangan : *) Signifikan pada α < 10% , **) Signifikan pada α < 5%,
***) Signifikan pada α < 1%.
785
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Hasil identifikasi menunjukkan ada delapan faktor sosial ekonomi yang diduga
dapat mempengaruhi tingkat keterampilan petani buruh/jasa dalam pengerjaan
sistem tanam jajar legowo di lokasi kabupaten Sukabumi, yakni : (1) umur
petani, (2) jumlah anggota keluarga, (3) tingkat pendidikan, (4) pengalaman
berburuh tani, (5) mengikuti pelatihan jarwo, (6) mengikuti penyuluhan, (7) luas
garapan sawah, dan (8) tingkat upah buruh tani.
2. Hampir semua peubah faktor sosial ekonomi petani menunjukkan hubungan
yang lemah dengan tingkat keterampilan kerja tanam padi petani, kecuali dua
variabel: frekuensi penyuluhan (X6) dan tingkat upah tanam (X7).
3. Terdapat tiga faktor sosial ekonomi yang berpengaruh sangat nyata terhadap
tingkat keterampilan petani buruh/jasa tanam legowo di lokasi Kajian, yaitu: dua
faktor yang berpengaruh positif, yakni: umur petani (X1) dan pengalaman
berburuhtani (X4); dan satu faktor berpengaruh negatif, yaitu upah buruh tanam
(X8).
SARAN
Supaya tingkat keterampilan petani kelompok buruh/jasa tanam jajar
legowo lebih baik, perlu ditingkatkan melalui pelatihan, studi banding, magang.
DAFTAR PUSTAKA
Bapeda Prov. Jawa Barat. 2007. Penanganan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa
Barat: Gerakan Lumbung Kedaulatan Pangan. Badan Perencana Daerah
Provinsi Jawa Barat, Bandung.
Departemen Pertanian. 2015. Data Base. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas
Padi Provinsi di Indonesia. Website Departemen Pertanian. Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Jawa Barat. 2010-2014. Laporan
Tahunan Dinas Pertanian Prov. Jawa Barat, Bandung.
Gujarati, D.N. 1988. Basic Econometrics. Second Edition. McGraw Hill Book
Company.
Ilham N., K.Suradisastra, Tri Pranadji, A.Agustian, E.Lestari, dan G.S. Hardono.
2007. Analisis Profil Petani dan Pertanian Indonesia. Laporah Akhir
Penelitian PSEKP Litbang Pertanian Bogor, 2007.
Irawan, 2010. Konversi Lahan Sawah di Jawa Barat: Kecenderungan 1980-2000
dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi. Agribisnis Perberasan Jawa
Barat. BPTP Jawa Barat, 2010.
Karmana M.H. dan I. Ayesha. 2010. Mengangkat Posisi Tawar Petani Padi di Jawa
Barat. Agribisnis Perberasan Jawa Barat. BPTP Jawa Barat, 2010.
786
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
787
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Ikin Sadikin
ABSTRAK
PENDAHULUAN
788
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Namun dibalik itu semua perlu disadari bahwa, yang menjadi tujuan utama
dilaksanakannya pembangunan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat. Karena itu sebaik apa pun bentuk suatu kebijakan,
tidak akan dapat berhasil mencapai target sasaran, mana kala derap langkah
pelaksanaan di lapangan hanya dilakukan secara spasial, temporal dan sektoral.
Berarti ke depan, kebijakan pembangunan pertanian di Jabar perlu ditempuh
dengan taktik dan strategik “sapu jagat”, dimana semua komponen bangsa, semua
sektor lembaga pemerintah dan swasta harus berperan aktif, dinamis dan
koodinatif; berjalan dalam frame keadilan, kejujuran, tanggung jawab dan
kebersamaan, serta tetap kokoh dalam prinsif efisiensi dan berdaya saing.
Kerangka Pemikiran
789
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dalam hal ini, penulis melakukan pendekatan analisis NTP, sebab secara
konsepsional NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang dihasilkan
petani terhadap produk yang dibeli petani untuk keperluan konsumsi dan
keperluan dalam memproduksi komoditas (Rachmat M.,2000, dan Supryati, atal.,
2001). Dengan demikian, NTP merupakan nisbah antara harga yang diterima
petani dengan harga yang dibayar petani yang dapat dirumuskan sebagai berikut
(Rachmat M., at al, 1999, Nurmanaf, atal.,2005, Abidin Z., Idris dan
Amiruddin,2005, dan PSEKP, 2007).
790
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Nilai Tukar Petani diatas 100 berarti indeks yang diterima petani lebih tinggi
dari yang dibayar petani, sehingga dapat dikatakan: pada periode waktu tertentu,
petani lebih sejahtera dibandingkan dengan pada periode waktu sebelumnya.
Untuk menggambarkan dinamika nilai tukar petani antar waktu, harga yang
diterima dan harga yang dibayar petani diukur dalam nilai Indeks Nilai Tukar
Petani:INTP = IT/IB. Dalam hal ini, IT/IB= Indeks harga yang diterima
petani/Indeks harga yang dibayar petani yang dihitung dengan menggunakan
Indeks Laspeyers yang dimodifikasi sbb:
m
Pni
P P( n 1)i Qoi
ir ( n 1)i
IHn
m
PoiQoi
i 1
Disini: IHn = Indeks harga bulan ke n (untuk IT atau IB), Pni= Harga bulan
ke n untuk jenis produk i, P(n-1)i = Harga bulan ke n-1 untuk jenis produk i; Pni/P(n-1)i
= Harga relatif bulan ke n untuk jenis produk i, P oi=Harga produk tahun dasar untuk
jenis produk i, Qoi = Kuantiítas pada tahun dasar untuk jenis produk i, m =
Banyaknya jenis produk.
791
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
stratified random sampling, dengan strata pemilikan lahan (luas: >1,00 ha, sedang:
0,50-1,00 ha, sempit: ≤ 0,50 ha); dimana, pada setiap strata dipilih 5 orang petani,
sehingga total responden 30 orang dan 8 unit lembaga pasar, yang kemudian
diagregasi untuk menggambarkan keragaan rumah tangga (Rtg) petani perdesaan
tingkat Kabupaten. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai
Desember 2011.
Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Data
sekunder dikumpulkan dari Lembaga/Dinas terkait tingkat provinsi sampai desa.
Sedangkan data primer dikumpulkan dari Rumah tangga petani berupa: (1) Data
input-output usahatani, (2) Data produksi dan penerimaan dari seluruh cabang
usaha pertanian, dalam kurun waktu mulai MH tahun 2010/2011 sampai MK-1
tahun 2011, (3) Data pendapatan dan pengeluaran konsumsi Rtg, (4) Data harga
sarana produksi, hasil produksi, dan harga barang konsumsi yang berlaku di
tingkat desa contoh, dan (5) Data upah buruh pertanian dan non pertanian.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik sederhana dengan
membangun/mengidentifikasi variabel-variabel indikator kesejahteraan petani.
Tingkat kesejahteraan/daya beli petani pada 2-3 tahun terakhir relatif lebih
baik dari pada tahun-tahun sebelumnya, karena daya saing harga komoditas
pertanian-primer relatif lebih tinggi dari harga-harga komoditas manufaktur,
termasuk barang-barang kebutuhan konsumen sehari-hari, dan juga barang-
barang sarana produksi.
792
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dengan laju pertumbuhan 0,95% per bulan. Akankah perbaikan itu sampai atau
berlaku untuk jangka panjang? Nampaknya, pada era reformasi dan demokrasi
nekonomi sekarang ini, arah pemihakan kebijakan dari berbagai unsur
pemerintahan akan menjadi determinan kunci.
Tabel 1. Kinerja Nilai Tukar Pertanian di Kabupaten Cirebon, Jabar (AHD Maret
2011)
Uraian Maret April Mei Juni Juli Agus. Sept. Okt. Nov. Des. Rataan
H-prod 3500 3500 3500 3500 4000 4250 4500 4500 4600 4600 4045.00
IHT 100.00 100.00 100.00 100.00 114.29 121.43 128.57 128.57 131.43 131.43 115.57
Upah-TKP 23000 23500 24000 23250 22875 23250 23250 24000 24500 25000 23662.50
Upah-TKnP 60000 60000 58750 60000 60000 60000 60000 60000 60000 60000 59875.00
H-BnhJg 105000 105000 105000 103500 88000 167250 181333 183333 183333 183333 140508.20
H-Purea 2210 2210 2217 2310 2310 2310 2310 2310 2340 2370 2289.70
H-BrKon 39547 40454 39532 39853 39812 43193 46157 45540 47540 47307 42893.50
IHB 100.48 100.9 100.51 100.99 102.17 99.73 116.32 119.35 121.44 122.03 108.39
NTP 99.52 99.12 99.49 99.02 111.86 121.76 110.53 107.73 108.23 107.70 106.50
Tren (%) 0 -0.41 0.38 -0.48 12.97 8.85 -9.22 -2.54 0.46 -0.48 0.95
Tabel 2. Nilai Tukar Petani di Kabupaten Cirebon Jawa Barat 2011 (AHD
Desember 2010)
Cirebon Agregat (Jabar)1 Data Makro BPS (Jabar)2
Periode
IHB IHT NTP Tren IHB IHT NTP Tren IHB IHT NTP Tren
Januari 100 100 100 0 100 100 100 0 136.82 140.05 102.36 0
Februari 100.14 102.36 102.22 0.83 99.86 99.72 99.85 -0.74 137.05 140.48 102.50 0.14
Maret 101.07 95.93 94.92 -4.14 100.23 96.87 96.62 -1.13 136.89 141.07 103.05 0.54
April 101.37 97.64 96.32 1.80 100.00 98.13 98.11 0.80 136.12 140.34 103.10 0.05
Mei 102.76 103.16 100.39 1.56 100.96 98.94 98.07 0.14 136.17 141.15 103.65 0.53
Juni 105.14 105.64 100.48 0.70 102.32 103.38 101.11 1.85 142.20 104.30 137.05 32.22
Juli 105.71 117.57 111.22 4.62 103.29 109.80 106.30 2.35 137.05 143.56 104.75 -23.57
Agustus 105.94 115.71 109.18 -2.99 104.02 111.40 107.10 0.08 138.07 145.78 105.59 0.80
September 105.53 112.07 106.20 1.31 100.57 109.59 109.49 1.46 138.13 146.63 106.16 0.54
Oktober 106.82 115.21 107.87 -0.19 101.90 112.76 111.41 0.76 138.15 148.25 107.31 1.08
Nopember 110.90 119.00 107.31 0.84 102.93 108.79 106.19 -1.07 138.78 149.76 107.91 0.56
Desember 121.72 119.00 97.77 -0.68 104.40 110.46 106.59 1.19 139.48 150.88 108.17 0.24
AVR 105.59 108.61 102.82 0.3 101.71 104.99 103.4 0.47 137.91 141.02 107.63 1.19
MAX 121.72 119 111.22 4.62 104.4 112.76 111.4 2.35 142.2 150.88 137.05 32.22
MIN 100 95.93 94.92 -4.14 99.86 96.87 96.62 -1.13 136.12 104.3 102.36 -23.57
CV 36.116 75.919 28.916 5.092 2.758 35.918 24.83 1.274 2.882 148.77 90.187 158.12
STD 6.01 8.713 5.377 2.257 1.661 5.993 4.983 1.129 1.698 12.197 9.497 12.575
Sumber : Data Primer (diolah). Keterangan : 1 Sadikin I., at al. (2011), 2 : BPS
Jawa Barat (2012).
793
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Fakta lain yang berkaitan dengan fenomena tersebut, adalah kinerja NTP
di lokasi kajian pada tahun 2011, memang relatif lebih baik dan meningkat
dibandingkan dengan NTP (102,4) di lokasi yang sama pada tahun 2007 (Sadikin
atal., 2007) dan juga lebih baik dari NTP di perdesaan Kalimantan Barat, yaitu
90,82 dan 90,90 (Burhansyah R. dan Melia P. 2010). Hal ini mengindikasikan
bahwa, kebijakan Pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan di
perdesaan Kabupaten Cirebon, relatif cukup berhasil. Namun dalam kualitas
kesejahteraan tersebut, masih perlu ditingkatkan lagi, diantaranya melalui
perbaikan stabilitas harga-harga produksi yang diterima petani yang sekaligus
menjadi kekuatan daya tawar petani.
794
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Abidin Z., Idris dan Amiruddin S. 2005. Pembangunan Pertanian: Dinamika Nilai
Tukar Usahatani Padi Sawah di Sulawesi Tenggara. Jurnal Sosial-
Ekonomi Pertanian. SOCA Vo.5. No.3. November 2005. Fakultas
Pertanian Universitas Udayana, Bali. p.261-266.
Arifin Bustanul. 2000. Pembangunan Pertanian: Paradigma. Kinerja dan Opsi
Kebijakan. Pustaka Indef. Jakarta.
BPS. 2012. Perkembangan Nilai Tukar Petani, Harga Produsen Gabah Dan Upah
Buruh Februari 2012. http://www.bps. go.id/sector/ntp/tables /ID=689).
Diakses 8 November 2012.
BPS. 2012a.Indeks Harga Yang Diterima Petani (It), Indeks Harga Yang Dibayar
Petani (Ib), dan Nilai Tukar Petani (NTP), Serta Perubahannya, Tahun
2011.http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_su
byek =22& notab=13. Diakses 10 Jan. 2012.
BPS. 2011. Nilai Tukar Petani Provinsi dan Persentase Perubahannya Juni 2011
(2007=100). http://www.bps.go.id/sector/ntp/tables. Diakses 8-11-
2011.
Burhansyah R. dan Melia P. 2010. Kinerja Usahatani Padi dan Indikator
Kesejahteraan Petani di Sentra Produksi Padi Kab. Kubu Raya.
DalamKedi Suradisastra, at al. (Peny.). Prosiding Seminar Nasional
"Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan
Petani" 2010. PSEKP, Bogor. P.304-323.
795
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. 2014. Laporan Tahunan Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat.
Irawan Bambang. 2004. Kelembagaan Program Rintisan dan Akselerasi
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Dalam
Edi Basuno, dkk.(Peny.). Aspek Kelembagaan dan Aplikasi Dalam
Pembangunan Pertanian. Monograph Series No. 25. PSEKP. Bogor.
Nurmanaf A.R., atal. 2005. Laporan Penelitian PATANAS: Dinamika Sosial
Ekonomi Rumahtangga dan Masyarakat Pedesaan: Analisis
Profitabilitas Usahatani dan Dinamika Harga dan Upah Pertanian.
PSEKP. Bogor.
PSEKP. 2007. Laporan Penelitian PATANAS: Dinamika Sosial Ekonomi
Rumahtangga dan Masyarakat Pedesaan: Analisis Indikator
Pembangunan Ekonomi Perdesaan. Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Rachmat, Muchjidin, Jeferson Situmorang, Supriati dan D. Hidayat. 1999.
Perumusan Kebijakan Nilai Tukar Petani dan Komoditas Pertanian.
Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Rachmat M. 2000. Analisis Nilai Tukar Petani Indonesia. Disertasi. Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Sadikin, I. 2013. Kinerja Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Dua Desa
Kabupaten Garut-Jawa Barat. AGROS Jurnal Ilmiah Ilmu Pertanian. Vol.
15, No. 2. Fakultas Pertanian Universitas Janabadra. Yogyakarta,
p.123-136.
Sadikin, I. 2012. Kinerja Kesejahteraan Petani Sayuran di Kabupaten Bandung
Jawa Barat. ProsidingSeminar Nasional "Kemandirian Pangan".FTIP
UNPAD-BPTP -DRD Jawa Barat. Bandung. p.480-492.
Sadikin, I.,at al. 2011. Analisi Kebijakan Pembangunan Pertanian di Jawa Barat.BPTP
Jawa Barat. Laporan Akhir Tahuan Pengkajian ANJAK.
Sadikin I., dan Kasdi Subagyono. 2009. Kinerja Beberapa Indikator Kesejahteraan
Petani Padi di Pedesaan Kabupaten Karawang. ProsidingSeminar
Nasional "Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan:
Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani".
PSEKP. Bogor. p.183-196.
Sadikin I, I.Djatnika, N.Sunandar, D.Firdaus, S.Tedy dan S.P.Tarigan. 2007.
Pengkajian Indikator Pembangunan Ekonomi Pedesaan Jawa Barat.
Laporan Akhir Penelitian. BPTP Jawa Barat. Badan Litbang Pertanian.
Bandung.
Simatupang Pantjar. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor
Pertanian. Jurnal Argro Ekonomi. Vol.11, No.1, Mei. 1992. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
p.37-50.
Simatupang Pantjar. 2005. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan
Sistem dan Usaha Agribisnis Industrial. Paper Disampaikan pada
Seminar Nasional BPTP NTT. 13 -15 Juni. 2005. Ende.
Sudana W., S.Mardianto, M.Mardiharini, E.Jamal, K.Kariyasa, Sumedi, Y.Anggita,
E.Asriyana, L.M. Lena, Istriningsih dan A.Murtiningsih. 2007. Laporan
Akhir Kajian Pembangunan Wilayah Pedesaan. BBP2TP. Bogor.
Supriyati, M. Rachmat, K. Suci, T. Nurasa, R.E. Manurung dan R. Sajuti. 2001.
Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Laporan
Akhir Penelitian. PSEKP. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
796
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1)
Viktor Siagian,,1)Muchamad Yusron dan 2)Lermansius Haloho
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten
Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas- Kab. Serang,
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A.H Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email: siagian.vicky@yahoo.com
ABSTRAK
Kabupaten Serang memiliki luas panen padi tahun 2104 seluas 79.879
ha, dan produksi sebesar 433.745 ton gkg atau produktivitas 5,4 ton gkg/ha.
Tujuan dari kajian ini adalah: 1) Mengetahui perkembangan usahatani padi sawah
di Kabupaten (Kab.) Serang, 2) Mengetahui respon produksi padi sawah
terhadap perubahan faktor-faktor produksi di Kab. Serang, 3) Mengetahui
pendapatan rumah tangga petani. Metoda pengambilan contoh menggunakan
simple random sampling dengan jumlah 30 responden. Metode analisis
menggunakan analisis tabulasi deskriptif dan regresi logaritmalinier berganda.
Hasil dari kajian adalah: 1) Pola tanam sebagian besar padi –padi –
bera.Produktivitas padi sawah pada MH 2013/2014 rata-rata 6,4 ton gkp/ha.
Usahatani padi sawah pada MH 2013/2014 memiliki nilai B/C rasio 2,2, artinya
menguntungkan secara finansial, 2) Produksi padi sawah dipengaruhi secara
nyata oleh Jumlah Penggunaan Pupuk Urea, Jumlah Penggunaan Zat
Perangsang Tumbuh Padat, Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja Sewa, dan
Pendapatan Rumah Tangga Petani, dan keempatnya bersifat in elastis, artinya
Produksi padi sawah tidak responsif terhadap perubahan keempat faktor produksi
tersebut, 3) Tingkat pendapatan rumah tangga petani sebesar Rp
29.030.330/tahun dimana Rp 20.673.663 (71,2%) dari on farm dan 28,8% dari off
farm dan non farm. Pemerintah perlu meningkatkan produksi padi melalui
introdusir VUB (Varitas Unggu Baru) dan rehabilitasi jaringan irigasi.
Kata kunci: analisis respon, padi sawah, produksi, Kabupaten Serang.
PENDAHULUAN
Pada tahun 2013 luas lahan sawah di Kabupaten Serang seluas 51.510
ha dan bukan sawah seluas 74.539 ha. Luas lahan sawah berdasarkan
pengairannya adalah: sawah irigasi teknis seluas 16.158 ha, setengah teknis
5.380 ha, irigasi sederhana 4.076 ha, irigasi sederhana non PU seluas 10.173,
tadah hujan seluas 15.104 ha, pasang surut, rawa, folder dan lainnya seluas 620
ha (BPS, Kabupaten Serang 2014). Produksi tanaman padi pada tahun 2013
sebesar 433.745 t dengan luas panen 79.879 ha atau produktivitas 5,4 t/ha GKG
(BPS, Kabupaten Serang 2014).
797
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tujuan kajian ini adalah: 1) untuk mengetahui pola usahatani dan analisis
usahatani padi sawah di Kab. Serang, Provinsi Banten, 2) untuk mengetahui
faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi padi sawah pada MH
2013/2014 di Kabupaten Serang, Provinsi Banten dan respon produksi terhadap
perubahan factor-faktor produksi, 3) pendapatan rumah tangga petani di Kab.
Serang, Provinsi Banten.
Analisis data yang akan digunakan dalam kajian ini adalah analisis
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif menggunakan tabulasi yang
diinterpretasikan secara deskriptif. Analisis kuantitatif menggunakan regresi
logaritma linear berganda.
Dimana:
PRODKT1 = Produksi kotor padi gabah kering panen (kg).
JBES1 = Jumlah Benih Bersertifikat(kg)
JURE1 = Jumlah Penggunaan Urea (kg)
JSP361 = Jumlah Penggunaan Pupuk SP-36 (kg)
JNPK1 = Jumlah Penggunaan Pupuk NPK (kg).
798
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Desa contoh dalam pengkajian ini adalah Desa Panenjoan, Kec. Carenang
yang merupakan dominan sawah irigasi teknis dengan sumber air dari daerah
irigasi Ciujung. Luas sawah di Kec. Carenang adalah 2.200 ha. Pada umumnya
musim tanam kemarau dibantu dengan pompa air karena debit air daerah irigasi.
Ciujung yang tidak mencukupi. Letak desa ± 25 km dari kota Serang dan terletak
di tepi jalan raya Carenang – Kragilan. Topografi desa datar. Luas desa 215,56
ha terdiri sawah irigasi teknis dan tadah hujan seluas 210 ha dan sisanya lahan
darat yang umumnya untuk perumahan.
Karateristik Responden
Varitas yang ditanam 100% adalah Ciherang. Pola tanam adalah padi
–padi–bera. Tanam Musim Hujan 2013 – 2014 umumnya bulan
Nopember/Desember 2013 dan panen bulan Maret/April. Dari hasil survei dapat
diketahui analisis usahatani padi sawah,dimana produksi padi rata-rata 6,4 ton
gkp/ha, dengan harga jual Rp 3.520/kg sehingga diperoleh Penerimaan Rp 22,54
juta. Biaya total sebesar Rp 6,96 juta sehingga Pendapatan sebesar Rp 15,58
juta/ha. Sebagian besar biaya produksi berasal dari sub biaya tenaga kerja
dengan total Rp 4.705.913/ha (67,6%). Sehingga nilai B/C rasio diperoleh 2,2
799
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
800
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Pola tanam umumnya padi – padi – bera dengan nilai B/C rasio 2,2, artinya
usahatani padi sawah menguntungkan secara finansial. Varitas yang
dibudidayakan seluruhnya Ciherang. Produktivitas padi sawah rata-rata
6,4 ton gkp/ha pada MH 2013/2014 dan 5,2 ton gkp/ha pada MK – I 2013.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan produksi padi sawah
pada Musim Hujan 2013/2014 adalah: Jumlah Penggunaan Pupuk Urea
(JURE1),Jumlah Penggunaan Zat Perangsang Tumbuh Padat (JZPTP1),
Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja Sewa (JTKSW1), dan Pendapatan
Rumah Tangga petani (INCHHF). Produksi padi sawah tidak responsif
terhadap perubahan keempat faktor produksi di atas.
3. Pendapatan rumah tangga petani rata-rata Rp 29.030.330/tahun dan
pendapatan per kapita sebesar Rp 5.924.557/tahun.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten 2014, Banten Dalam Angka 2014Serang.
Provinsi Banten
Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang 2014. Kabupaten Serang Dalam Angka
2014, Serang. Provinsi Banten
Koutsoyiannis, A., 1978. Theory of Econometrics. Harper and Row Publishers,
Inc., Great Britain.
Soekartawi, 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. PT Radja
Grafindo Persada, Jakarta.
801
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Siagian, V., Iin Setyowati, Rina Sintawati, Dewi Widiastuti, dan Tian Mulyaqin,
2014. Dampak Kenaikan Harga Input dan Output terhadap Produksi Padi
dan Pendapatan Petani di Provinsi Banten. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Banten, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, Bogor.
Singarimbun, M, dan Sofyan Effendy, 1989. Metode Penelitian Survai.
Penerbit LP3ES, Jakarta.
DISKUSI
Pertanyaan :
Jawaban :
1. Produksi padi dipengaruhi oleh berbagai faktor : kondisi lahan, air, benih,
pupuk, pestisida, dll yang saling mempengaruhi. Pada kondisi sarana produksi
terbatas produksi petani misalnya 6,4 ton tentu menguntungkan petani dan
dikatakan berhasil. Disisi lain penggunan input maksimal mungkin dengan
produksi 7 ton masih belum menguntungkan dan belum berhasil jadi
tergantung kondisi yang ada.
2. Pendekatan PTT padi adalah pertanaman padi dengan menerapkan
komponen utama dan komponen pilihan. Namun kenyataannya petani belum
menerapkan PTT secara benar, misalnya sistem tanam jajar legowo 2 :1, yang
belum diterapkan secara sempurna sehingga peningkatan populasi padi tidak
tercapai.
802
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
803
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
804
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
secara langsung di lapangan dengan relatif cepat, mudah dan akurat. Perangkat
Uji Tanah Sawah (PUTS) terdiri dari pelarut atau pereaksi N,P,K dan pH tanah
serta peralatan pendukungnya.
Karakteristik Responden
805
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) merupakan salah satu alat bantu bagi
petani untuk menentukan rekomendasi pemupukan N, P,K dan pH tanah pada
padi sawah secara spesifik lokasi. Pemberian pupuk secara tepat dan tidak
berlebihan akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani,
keberlanjutan sistem produksi dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Gambar 1
menunjukan persentase aspek pengetahuan petani terhadap PUTS, sebesar 3,3
% atau1 orang petani yang menyatakan sangat tahu, tahu 9 petani (30%), 12
petani (40%) kurang tahu dan tidak tahu 8 orang (26,6%). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa resonden yang kurang tahu lebih dominan, setelah dilakukan
penggalian informasi secara mendalam petani mengatakan bahwa selama ini
petani kurang mendapatkan informasi tentang penggunaan dan manfaat
rekomendasi pemupukan menggunakan PUTS. Pengetahuan terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dikarenakan
806
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Aspek Pengetahuan
3,33%
40 %
807
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Aspek Sikap
10 % -
16,67 %
Sangat Setuju
setuju
Kurang Setuju
Tidak setuju
73,33 %
Sesuai pengolahan data menggunakan SPSS Test Chi Square (X²) dengan
nilai ɑ = 0.05 menunjukkan bahwa nilai Chi Square (X²) tabel bernilai 0.000
sedangkan nilai Chi Square (X²) hitung bernilai 0.060 sehingga Chi Square (X²)
tabel lebih kecil dari Chi Square (X²) hitung maka hipotesis Ho ditolak yang artinya
terdapat hubungan antara tingkat sikap responden terhadap tingkat penerapan,
semakin tinggi sikap petani terhadap penerapan PUTS, maka tingkat
penerapannya di lapangan juga semakin meningkat dan sebaliknya semakin
rendah pengetahuan petani terhadap PUTS maka tingkat penerapan PUTS oleh
petani juga rendah.
Aspek Keterampilan
-
26,67 %
Terampil
30%
Kurang terampil
Tidak terampil
Sangat terampil
43,33%
808
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Tingkat penerapan PUTS di Desa Mangga Dua masih rendah, dari hasil
survey diketahui bahwa tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan petani masih
rendah, petani belum banyak yang mengetahui manfaat dan cara penggunaan
PUTS di lapangan.
SARAN
809
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
diterapkan secara berkelanjutan dan tidak hanya diterapkan saat petani hanya
menjadi petani kooperator saja. Selanjutnya diperlukan dukungan penuh dari
stakeholder dan pihak berkepentingan lainnya untuk mendukung pelaksanaan
PTT padi secara terpadu di Desa Mangga Dua sehingga mendukung keberhasilan
pencapaian target produksi padidan pencapaian sasaran utama pembangunan
pertaniandi Desa Mangga Dua khususnya dan Kabupaten Serdang Bedagai pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, S. A.K Makarim dan Irsal Las. 2003. Kajian Kebutuhan Pupuk NPK
pada Padi Sawah melalui Petak Omisi di Wilayah Pengembangan PTT.
Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Ahmadi, A. 2009. Psikologi Umum. Edisi Revisi 2009.Rineka Cipta. Jakarta.
Azwar,S.2002.Sikap Manusia,Teori dan Pengukurannya. Pustaka
Pelajar.Yogyakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. 2013. Petunjuk Teknis
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi.
BP2KP. 2015 Programa Penyuluhan Pertanian Badan Pelaksana Penyuluhan dan
Ketahanan Pangan Tahun 2015. Kabupan Serdang Bedagai.
BP2KP. 2015. Programa Penyuluhan Pertanian Balai Penyuluhan dan Ketahanan
Pangan UPTB-BPKP Kecamatan Tanjung Beringin. Kabupaten Serdang
Bedagai.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2014. Rekomendasi Teknologi Spesifik
Lokasi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN)
di Sumatera Utara, Edisi ke-3. Sumatera Utara.
Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara. 2014. Buku Lima Tahun Statistik
Pertanian 2009 – 2013. Medan
ffendy, Lukman. 2009. Kinerja Petani Pemandu dalam Pengembangan PHT dan
Dampaknya pada Perilaku Petani di Jawa Barat. Disertasi Doktor, Sekolah
Pascasarjana, IPB: Bogor.
Sadono, D. 2009. Perkembangan Pola Komunikasi dalam Penyuuhan Pertanian
di Indonesia. Jurnal Komunikasi Pembangunan, Juli 2009, Vol. 07, No.2,
IPB : Bogor.
810
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
811
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
merupakan suatu pendekatan agar sumberdaya tanaman, tanah dan air dapat
dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu, (2). PTT memanfaatkan teknologi
pertanian terbaik dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung
antar komponen teknologi, (3). PTT memperhatikan kesesuaian teknologi dengan
lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat, (4) PTT
bersifat partisipatif yang berarti petani berperan serta menguji dan memilih
teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui
proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapang (Zaini, 2009).
Pemakaian VUB adalah satu teknologi yang paling signifikan
meningkatkan hasil dan mudah diadopsi petani. Serjak 2005-2010 Balai Besar
Penelitian Padi telah merilis 32 varietas unggul baru dengan keunggulan tiap
varietas (Sembiring, 2011). Hal tersebut membuat pilihan varietas yang akan
ditanam oleh petani semakin beragam dari tahun ke tahun. Sehingga petani
terkadang menjadi bingung untuk memilih. Dilain pihak, fenotipe tanaman sangat
dipengaruhi oleh faktor genetik dan kondisi lingkungan. Varietas unggul baru
sudah melalui berbagai tahap uji adaptasi diberbagai musim dan lokasi, namun
pengulangan uji adaptasi sekaligus memperkenalkan VUB dalam bentuk display
varietas sangat penting dilakukan pada kegiatan diseminasi. Terdapat dua
keuntungan dilakukannya display VUB, yaitu : adaptasi VUB di lokasi
pengembangan dapat diketahui dan petani dapat melihat langsung keragaan VUB
dan menentukan pilihan VUB yang akan dikembangkan.
812
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
(b) Sebelum (before) dan Sesudah (after), artinya dilakukan pengukuran data
terhadap beberapa hal yang menjadi cakupan kegiatan melalui seperangkat
instrumen pengukuran. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik
wawancara, observasi dan pengukuran terha-dap objek yang diamati pada
saat sebelum (before) introduksi teknologi dibandingkan dengan sesudah
(after) introduksi teknologi.
Keterangan:
Ka : Kadar air (%)
GKP : Gabah Kering Panen
GKG : Gabah Kering Giling
813
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil analisa tanah dapat diperoleh data kandungan unsur hara tanah
untuk menentukan rekomendasi pemupukan (Tabel 2).
Produktivitas Padi
814
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
varietas lainnya yaitu Inpari 6, Inpari 14 dan Sarinah masih berada di bawah
produktivitas rata-rata Kecamatan Darmaraja (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil Ubinan Display VUB (ton/ha) di Lokasi Display Kab. Sumedang,
2014
Kec. Darmaraja, Ds Kec. Situraja Kec. Cimanggung
Varietas
Leuwihideung Ds Mekarmulya Ds Sindanggalih
Inpari 6 4,8 5,4 1,2
Inpari 14 5,5 6,7 7,9
Inpari 16 6,0 7,5 8,7
Sarinah 4,4 4,2 0,1
Sumber : Data Primer 2014
Secara umum produktivitas tertinggi adalah Inpari 16, yaitu berkisar 6,0 –
8,7 ton/ha dan telah mampu melampaui tingkat produktivitas kecamatan masing-
masing. Sedangkan varetas Sarinah sebagai kontrol tingkat produktivitasnya
masih di bawah tingkat produktivitas VUB. Hal ini menunjukkan penggunaan
varietas unggul baru dapat meningkatkan produktivitas padi di 3 Kecamatan di
Kabupaten Sumedang.
Hasil penilaian petani di tiga lokasi Display VUB Padi Sawah menunjukan
bahwa varietas yang paling diminati dan disukai, yaitu Inpari 16 dan Inpari 14.
Selain dari penampilan tinggi, malai maupun gabah, penilaian ini juga didasarkan
pada produksi yang dihasilkan cukup tinggi dibanding ke dua varietas lainnya
(Tabel 4).
815
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
816
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Varietas yang paling tinggi produktivitasnya adalah Inpari 16, diikuti
varietas Inpari 14 dan Inpari 6. Preferensi pengguna lebih banyak menyukai Inpari
16 berdasarkan tingkat produktivitasnya dan perfomance tanaman dilihat dari
panjang malai, jumlah bulir per malai, bentuk dan warna gabah.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Bachrein, S., I. Ishaq, Muhamad dan A. Dimyati. 1997. Perakitan Teknologi Sistem
Usaha Tani Pisang pada Lahan Kering Kecamatan Cibinong, Cianjur. h
1-32 dalam Bachrein dkk., 1997 (Eds.) : Monograf No. 001 Sistem
Usaha Tani Berbasis Pisang Pada Lahan Kering di Jawa Barat, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Lembang, Badan Litbang Pertanian.
116h.
BPS Jawa Barat. 2010. Jawa Barat Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat. Bandung.
BPS Jawa Barat. 2013. Sumedang Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat. Sumedang
Diperta Provinsi Jawa Barat, 2010. Laporan Kegiatan Peningkatan Produktivitas
Padi Terpadu di Jawa Barat, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat.
Irianto G.S. 2009. Peningkatan produksi padi melalui IP padi 400. Balai Besar
Penelitian tanaman padi. Badan Penelitian dan pengembangan
pertanian Jakarta.
Ishaq, I. 2011. Konsumsi dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Beras pada 2015 di
Jawa Barat h.217-229 dalam Sumarno dkk (Eds.): IPTEK Tanaman
Pangan 6(2):2011. 274h.
Ishaq, I dan S. Ramdhaniati, 2009. Petunjuk Teknis Display Varietas. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Badan Litbang Pertanian.
h6-7.
Kotler, P. 1997. Manajemen Pemasaran Jilid II. Teguh H, penerjemah; Jakarta:
Prenhallindo. Terjemahan dari: Marketing management II.
Sembiring. H, 2011. Kesiapan Teknologi Budidaya Padi menanggulangi Dampak
Perubahan Iklim Global. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi
Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
817
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Alih fungsi lahan sawah dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Alih fungsi secara langsung terjadi akibat keputusan para pemilik lahan yang
memanfaatkan lahan sawah mereka ke penggunaan lain, misalnya untuk
pariwisata, industri, perumahan, prasarana dan sarana atau pertanian lahan
kering. Alih fungsi kategori ini didorong oleh motif ekonomi, dimana penggunaan
lahan setelah dimanfaatkan untuk keperluan non pertanian memiliki nilai jual/sewa
yang lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan lahan untuk sawah. Sementara itu,
alih fungsi tidak langsung terkait dengan makin menurunnya kualitas lahan sawah
atau makin rendahnya peluang dalam memperoleh pendapatan dari lahan tersebut
akibat kegiatan tertentu, seperti terisolirnya petak-petak sawah di pingiran
perkotaan karena konversi lahan di sekitarnya, keterbatasan air irigasi (Hidayat,
2008).
818
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ratakan penurunan lahan sawah per tahun sekitar 327 ha (0,45%) (BPS Prov Bali,
2013). Pasandaran (2006) menyatakan bahwa permintaan lahan cenderung tinggi
pada kawasan pertanian yang sudah berkembang, terutama yang berdekatan
dengan sasaran konsumen seperti pinggiran kota. Demikian pula perlindungan
oleh pemerintah terhadap lahan produktif relatif lemah yang antara lain akibat
permintaan pasar yang underestimate, yang hanya menganggap lahan pertanian
sebagai penghasil komoditas yang bernilai ekonomi rendah. Hasil penelitian As-
syakur (2011) secara spasial memperlihatkan bahwa wilayah selatan dan tengah
Provinsi Bali merupakan wilayah yang paling banyak mengalami perubahan. Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung adalah dua wilayah administrasi yang paling
luas mengalami perubahan penggunaan lahan.
Bagi Provinsi Bali dampak dari alih fungsi lahan sawah akan bersifat
multiplier effect. Bagi sebagian besar petani lahan merupakan determinan
pendapatan rumah tangga dan berkaitan dengan status social. Oleh karena itu
keputusan untuk melepaskan hak pemilikan atas lahan merupakan salah satu
keputusan petani yang sifatnya strategis (Sumaryanto, 2010). Sutawan (2008)
menyatakan bahwa jika penyusutan areal lahan sawah beririgasi terus berlanjut
dikhawatirkan bahwa organisasi subak yang merupakan warisan leluhur yang
sudah terkenal sampai ke mancanegara akan terancam punah. Kalau subak yang
merupakan organisasi bersifat sosio-agraris-religius hilang, maka itu akan
berimbas pada terdegradasinya kebudayaan Bali dan dampaknya akan sangat
besar bukan hanya bagi pertanian juga akan berdampak terhadap pariwisata Bali
dan sektor pendukung lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan
mengidentifikasi faktor-faktor penentu alih fungsi lahan sawah ke penggunan non
pertanian lainnya.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder runtun
waktu selama 15 tahun (1999-2013) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi dan
instansi lainnya. Data yang digunakan meliputi data pertumbuhanluas lahan
sawah, PDRB Provinsi, produksi padi sawah, jumlah penduduk, jalan beraspal,
hotel dan akomodasi lainnya, nilai tukar petani dan regulasi (Perda). Data
dianalisis menggunakan regresi linier berganda dengan metode kuadrat terkecil
(Ordinary Least Square) dengan menggunakan software SPSS.
819
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Keterangan :
Y = laju pertumbuhan luas lahan sawah (%)
β0 = intersept
β1-7 = koefisien regresi
δ1 = Koefisien regresi variabel dummy regulasi
X1 = laju pertumbuhan produksi padi sawah (%)
X2 = laju pertumbuhan PDRB non pertanian (%)
X3 = laju pertumbuhan penduduk (%)
X4 = laju pertumbuhan nilai tukar petani (%)
X5 = laju pertumbuhan jalan beraspal (%)
X6 = laju pertumbuhan hotel/villa/perumahan (%)
Dr = variabel Dummy regulasi (0=sebelum Perda RTRW 2009 ; 1=setelah
Perda RTRW 2009)
e = error term (kesalahan pengganggu)
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa faktor penentu laju alih fungsi
lahan sawah ke penggunaan non pertanian di tingkat wilayah secara nyata
dipengaruhi oleh laju pertumbuhan ekonomi/PDRB, pertumbuhan produksi,
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan hotel dan akomodasi lainnya, dan nilai
tukar petani sedangkan pertumbuhan jalan beraspal dan regulasi Perda RTRW
tidak memberikan pengaruh yang nyata (Tabel 1).
Alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah dapat dikatakan
sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama pembangunan
masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami
peningkatan dan tekanan terhadap lahan meningkat maka konversi lahan sawah
sangat sulit dihindari. Hidayat (2008) bahwa pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi laju
konversi lahan sawah. Meningkatnya pembangunan sektor-sektor ekonomi
lainnya sebagai dampak dari perkembangan sektor pariwisata, tampaknya tidak
hanya menyedot perhatian bagi masyarakat Bali, namun masyarakat di luar Bali
pun tertarik untuk meraih peluang kerja di sektor pariwisata. Hasil penelitian Harini
dkk., (2012) dan Jiang dkk., (2013) juga menyebutkan bahwa laju pertumbuhan
PDRB berpengaruh nyata terhadap peningkatan laju konversi lahan sawah.
820
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa laju pertumbuhan nilai tukar
petani (NTP) berpengaruh nyata positif terhadap laju pertumbuhan lahan sawah,
hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi NTP maka laju alih fungsi lahan
sawah akan semakin dapat dikurangi. Terjadinya konversi lahan juga disebabkan
oleh nilai tukar petani, menurut Ashari (2003) NTP yang rendah menyebabkan
821
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tidak adanya insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertniannya
sehingga mereka cenderung mengkonversi lahan sawahnya. Sementara itu
kejadian kronis setiap musim panen mengenai anjloknya harga gabah petani
adalah akibat dari ketidakampuhan kebijakan pembelian pemerintah (HPP) yang
memang dipengaruhi oleh bias perkotaan. Masyarakat konsumen perkotaan yang
lebih banyak menerima manfaat dari sekian macam program pemerintah, yang
bahkan memberikan subsidi pada sektor pertanian.
Secara empiris alih fungsi lahan sawah memang terus berlangsung. Ironi
memang disatu pihak negara harus memiliki ketahanan pangan bahkan kedaulan
pangan, namun disisi laini alih fungsi lahan lahan sawah terus berlangsung.
Situasi ini jelas dapat mengancam ketahanan pangan sekaligus kedaulatan
pangan berbasis beras. Oleh karena itu Santosa dkk, (2011) menyarankan sangat
perlu adanya regulasi untuk melindungi lahan sawah sehingga ada lahan sawah
abadi untuk mengasilkan beras secara berkelanjutan. Adanya perencanaan tata
ruang wilayah yang mantap baik regional maupun nasional yang memposisikan
lahan sawah sebagai ruang yang abadi akan sangat mendukung kebijakan ini.
822
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
pengawasan yang konsisten dari pemerintah. Menurut Irawan (2005); Irawan dan
Friyatno (2002) pertaturan-peraturan yang bertujuan untuk mencegah
konversilahan secara umum lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan
sanksi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sangsi maupun pihak yang
dikenai sanksi sehingga terkesan tumpul akibat berbagai faktor. Kelemahan-
kelemahan tersebut pada gilirannya membuka peluang bagi aparat daerah tertentu
untukmeraih keuntungan pribadi dari kegiatan konversi lahan dengan dalih untuk
mendorongpertumbuhan ekonomi daerah. Hal senada juga dinyatakan oleh
Hadiwinata dkk., (2014) bahwa masih rendahnya political will dari pemerintah
daerah yang secara konsisten untuk mengimplementasikan peraturan daerah
terkait konversi lahan pertanian, yang menyebabkan masih tingginya insidensi
konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ashari. 2003. Tinjauan Tentang Alih Fungsi Lahan Sawah ke Non Sawah dan
Dampaknya di Pulau Jawa. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi 21 (2) :
83-98
As-syakur, A.R. 2011. Perubahan Penggunaan Lahan di Provinsi Bali. Ecotrophic
6 (1) : 1-7.
BPS Provinsi Bali. 2013. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Provinsi Bali.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Denpasar. 112 hal.
Fahri, A., L.M. Kolopaking dan D.B. Hakim. 2014. Laju konversi lahan sawah
menjadi perkebunan sawit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta
dampaknya terhadap produksi padi di Kabupaten Kampar, Riau. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 17 (1) : 69-79.
Hadiwinata, K., Sudarsono, Isrok and M Ridwan. 2014. Legal Politics of License
Regulation in the Conversion of Agricultural Soilto Non-Agricultural in the
Era of Regional Autonomy. Academic Research International 5 (4) : 494 –
502.
Harini, R., H.S. Yunus., Kasto dan S. Hartono. 2012. Agricultural Land Conversion
: Determinants and Impact for Food Sufficiency in Sleman Regency.
Indonesian Journal of Geography 44 (2) : 120 – 133.
823
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hidayat, S.I. 2008. Analisis Konversi Lahan Sawah di Jawa Timur. Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian J-SEP 2 (3) : 48-58.
Iqbal, M. 2007. Fenomena dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam
Pengendalian Konversi Lahan Sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 5 (4) : 287-303.
Irawan, B. dan S. Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa
TerhadapProduksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal Sosial-
EkonomiPertanian dan Agribisnis SOCA2 (2) : 79 – 95.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya
dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23 (1) : 1-18.
Jiang, L., X. Deng and K.C. Seto. 2013. The Impact of Urban Expansion on
Agricultural land Use Intensity in China. Land Use Policy (35) : 33 – 39.
Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (4) : 123-129.
Pindyck, R. S., and D. L. Rubinfeld, 1998. Econometric Models And Economic
Forecasts. Mcgraw-Hill. New York.
Rai, I. N., dan Adnyana, G. M. 2011. Persaingan Pemanfaatan Lahan dan Air
Perspektif Keberlanjutan Pertanian dan Kelestarian Lingkungan. Udayana
University Press. Denpasar.
Santosa, I.G.N., G.M. Adnyana dan I.K.K. Dinata. 2011. Dampak alih fungsi lahan
sawah terhadap ketahanan pangan beras. Prosiding Seminar Nasional
Budidaya Pertanian : Urgensi dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian. Faperta Universitas Bengkulu.
Sudibia, I.K., I.N.D. Rimbawan dan I.B. Adnyana. 2012. Pola Migrasi dan
Karakteristik Migran Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010 di Provinsi
Bali. Piramida 8 (2) : 59-75.
Sumaryanto. 2010. Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keputusan
Petani Menjual Lahan. Jurnal Informatika Pertanian 19 (2) : 1 – 15.
Sutawan, N. 2008. Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Penerbit PT Offset
BP. Denpasar
824
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Padi merupakan bahan makanan pokok bagi penduduk Indonesia,
sehingga peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan pula permintaan
terhadap komoditas ini. Dalam upaya peningkatan produksi padi di Indonesia,
pemerintah melaksanakan dua program, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi.
Ekstensifikasi adalah penambahan luas areal untuk peningkatan produksi padi
untuk mengantisipasi berkurangnya lahan pertanian yang subur karena berubah
fungsi untuk perumahan, industri dan keperluan lainnya (Fagi dan Eko, 2005).
Di Provinsi Bali alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman dan
kawasan industri juga diduga sebagai penyebab sulitnya meningkatkan produksi
padi. BPS Bali (2012) menginformasikan produksi padi di Bali tahun 2011
mencapai 865,554 ton gabah kering giling (GKG) menurun sebesar 13,210 ton
dibandingkan dengan produksi pada tahun 2009 yang mencapai 878,764 ton
GKG. Penurunan produksi padi ini salah satunya disebabkan oleh menurunnya
luas panen oleh karena semakin sempitnya lahan pertanian yang mengalami alih
fungsi lahan menjadi pemukiman dan kawasan industri. Usahatani padi dinilai
tidak berdaya saing dan kurang menguntungkan karena mahalnya input produksi
yang dibeli yang tidak seimbang dengan harga output yang dihasilkan.
825
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
826
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
827
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Selain itu divergensi positif senilai Rp. 20.000 pada penerimaan output
terjadi karena harga yang diterima petani lebih tinggi dari harga sosial padi. Begitu
juga pada pendapatan divergensi menujukkan nilai yang positif yaitu sebesar Rp.
451.758,60, yang artinya pendapatan finansial petani lebih besar daripada
pendapatan sosialnya. Besarnya pendapatan yang dihasilkan petani disebabkan
karena hasil produksi gabah kering panen (GKP) yang diterima petani dihargai
lebih besar dari HPP.Akan tetapi selisih harga yang diterima petani tidak terlalu
jauh dari harga HPP yang menyebabkan divegensi penerimaan dan pendapatan
usahatani padi di kabupaten Tabanan tidak terlalu besar. Jika hal tersebut
berlangsung lama, maka dimungkinkan petani akan merubah komoditas yang
diusahakannya atau menjual lahan usahataninya.
Berdasarkan Matriks Analisis Kebijakan, nilai keunggulan komparatif dan
kompetitif diperoleh seperti terlihat pada Tabel 4.
828
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dari analisis PAM juga diperoleh nilai PCR sebesar 0,54. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa usahatani padi yang dilakukan oleh petani efisien secara
finansial dan memiliki keunggulan secara kompetitif. Nilai PCR 0,54 memiliki arti
bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar Rp. 1.000.000,- pada
harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp. 540.000,-.
Hal ini berarti penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk
diusahakan karena untuk meningkatkan nilai tambah usahatani padi sebesar satu
juta rupiah dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah.Makin
kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif
yang dimiliki oleh usahatani tersebut.
Apabila nilai PCR dibandingkan dengan DRC, maka diperoleh nilai PCR
lebih kecil dari DRC. Kondisi ini menindikasikan bahwa terdapat kebijakan
pemerintah yang dapat meningkatkan efisiensi produsen dalam berproduksi padi.
Dalam hal ini, kebijakan pemerintah terhadap input output usahatani padi seperti
subsidi pupuk dan kebijakan HPP dapat dikatakan berpengaruh, karena kebijakan
tersebut mampu meningkatkan tingkat keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif usahatani padi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa di Jawa maupun di luar Jawa, bahwa usahatani padi yang
dilakukan masyarakat secara tradisional masih memiliki keunggulan komparatif
maupun kompetitif (Sudaryanto dan Agustian, 2003).
Bentuk distorsi atau campur tangan pemerintah pada input dapat berupa
penetapan pajak atau subsidi. Dalam kasus usahatani padiadanya kebijakan input
subsidi pupuk yang dapat memacu peningkatan produksi petani. Dampak
kebijakan pemerintah terhadap input dalam penelitian ini ditunjukkan oleh nilai
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCl), dan Transfer Input (IT). Tabel 5
menunjukkan bahwa nilai NPCL kurang dari 1 (NPCl<1). Artinya harga input yang
829
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dibayar pada usahatani padi tersebut lebih rendah dari seharusnya, yaitu senilai
67 persen.
Tabel 5. Dampak Kebijakan terhadap Harga Tradable Input pada Usahatani Padi
di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2015
No. Indikator Nilai
1. NPCI [B/F] 0,67
2. IT -433.090
Terlihat juga bahwa secara umum, kebijakan input dan kinerja pasar input
yang berjalan berpihak kepada usahatani padi. Hal ini disebabkan oleh
keterlibatan pemerintah dalam memberikan subsidi pupuk urea, TSP, dan NPK,
meskipun kebijakan subsidi tersebut belum secara optimal termanfaatkan oleh
petani karena sering kali pasokan tidak mencukupi kebutuhan petani untuk
meningkatkan produksi usahataninya.
Selanjutnya dampak kebijakan input juga terlihat dari nilai Transfer Input
(IT). Berdasarkan hasil analisis PAM diketahui bahwa nilai Transfer Input adalah
negatif.Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada input
tradable menguntungkan produsen padi/petani, yaitu sebesar Rp. 433.090 per
luas areal tanam sebesar 40 are. Artinya, secara implisit terdapat subsidi yang
diberikan oleh pemerintah, sehingga efek divergennya lebih banyak diakibatkan
oleh distorsing policies. Dalam hal ini adalah subsidi pupuk yang diberikan oleh
pemerintah untuk pupuk urea, TSP, dan NPK. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
transfer pendapatan dari produsen input kepada petani padi.
Tingkat ukuran intervensi pemerintah pada output dapat dilihat dari nilai
Transfer Output (OT) dan koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Bentuk
distorsi pemerintah tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan
perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor. Dalam hal ini, kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah adalah kebijakan harga output atau kebijakan harga
pembelian pemerintah (HPP) gabah. Nilai OT dari usahatani adalah positif
sebesar Rp. 20.000,- pe luas tanam sebesar 40 are atau sebesar Rp. 50,000,-/ha
(Tabel 6).
Hal tersebut berarti harga beras di pasar domestik lebih tinggi daripada harga
ekspornya. Hal ini yang membuktikan bahwa importir beras berusaha membeli
beras dari luar untuk mendapatkan selisih harga tersebut.
830
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dari hasil analisis juga diperoleh nilai NPCO pada usahatani padi sebesar
1,002 atau nilai NPCO > 1. Angka ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah
menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga sosialnya.
Produsen padi/petani menerima harga 100 persen dari harga yang seharusnya
diterima bila tidak ada distorsi pasar output. Hal ini berarti terjadi transfer
pendapatan dari konsumen ke produsen. Kondisi ini yang menjadikan petani padi
mendapat insentif untuk meningkatkan produksinya karena harga yang diterima
petani lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Menurut Sudaryanto dan Agustian
(2003), kebijakan proteksi harga atau penetapan harga popok produksi dapat
merangsang petani untuk dapat memproduksi padi.
Dampak Kebijakan Input-Output
Tabel 7. Dampak Kebijakan terhadap Harga Input dan Output Usahatani Padi
diKabupaten Tabanan, Bali Tahun 2015
No. Indikator Nilai
1. EPC [(A-B)/(E-F)] 1,06
2. NT 451.758,60
3. PC [D/H] 1,14
4. SRP [L/E] 0,05
831
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Usahatani padi di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali masih memiliki daya saing
yang kuat secara komparatif dan kompetitif dilihat dari indikator DRC dan PCR
kurang dari satu.
2. Kebijakan input output dari pemerintah yang berupa kebijakan subsidi pupuk
dan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah berdampak positif
pada pengembangan usahatani padi di Bali. Hal ini terbukti dari adanya nilai
keuntungan yang diterima oleh petani dalam berusahatani padi walaupun tidak
terlalu besar.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Albert, I., Ugochukwu, and C.I. Ezedinma. 2011. Intensification of Rice Production
Systems in Southeastern Nigeria: A Policy Analysis Matrix Approach.
International Journal of Agricultural Management & Development
(IJAMAD) 1 ( 2 ) : 89 -100 , June , 2011.
BPS Provinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali.
Denpasar.
Fagi, A.M., dan Eko.A. 2005. Lahan Rawa Dalam Perspektif Pembangunan
Pertanian Kedepan. Dalam : Ar-Riza,I., Undang Kurnia, Izzuddin Noor
dan Achmadi Jumberi (ed). 2005. Proseding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendaian
Pencemaran Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pegembangan Pertanian.
Husaini, M. Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan terhadap Usahatani
Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan
Selatan.Jurnal Agribisnis Pedesaan, Vol. 02 No. 0, Juni 2012: 122-143.
Kustiari, R., H.J. Purba dan Hermanto. 2012. Analisis Daya Saing Manggis
Indonesia di Pasar Dunia (Studi Kasus Sumatera Barat). Jurnal Agro
Ekonomi. Volume 30 No. 1, Mei 2012: 81-107.
Mahmoud, S., A. Ghanbari, F. Rastegaripour, A. Tavassoli, and Y. Esmaeilian.
2011. Economic Evaluation and Applications of the Policy Analysis Matrix
of Sole and lntercropping of Leguminous and Cereals_Gake study:
Shirvan City-Iran. African Journal of Biotechnology. 10(78): 948-953.
Monke, E.A. and S.K. Pearson. 1989 The Policy Analysis Matrix for Agricultural
Development.Cornell University Press. Ithaca and London.
Ogbe, 0., Agatha, 0. Okoruwa, Victor, J. Saka, and Olaide. 2011. Competitiveness
Of Nigerian Rice and Maize Production Ecologies: A Policy Analysis
Approach. Tropical and Subtropical Agroecosystems. 14(2): 493-500.
832
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Reig, M., A.J. Picazo and V. Estruch. 2008. The Policy Analysis Matrix with Profit-
Efficient Data: Evaluating Profitability in Rice Cultivation. Departamento de
Economia Aplicada.Spanish Journal of Agricultural Research. 6(3): 309-
319.
Scoot dan Carl Gotsch. 2005. Aplication of Policy Analysis Matrix for Indonesia
Agrilcultural. Terjemahan Syaiful Bahri :Aplikasi Policy Analysis Matrix
pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta.
Sudaryanto, T., dan A. Agustian. 2003. Penigkatan Daya Saing Usahatani Padi:
Aspek Kelembagaan. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 1 No. 3,
September 2003: 255-274.
833
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Lermansius Haloho
ABSTRAK
Usahatani padi masih menjadi salah satu andalan petani untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga dan menjadi sumber pendapatan, terbukti semua
petani di Kabupaten Samosir menanam padi. Melalui kajian ini akan dipaparkan
tingkat penerapan komponen PTT dan analisis usahatani Padi. Kajian
dilaksanakan di Samosir sekitar bulan Juni 2015 di dua kecamatan, yaitu Palipi
dan Sianjur Mula-Mula menggunakan metode survey di 4 desa dengan 48 orang
petani PTT responden. Selanjutnya dilakukan diskusi secara kelompok melalui
pendekatan FGD (focus group discussion). Data yang dikumpulkan ditabulasi dan
dianalisis secara deskriptif selanjutnya diinterpretasikan sesuai tujuan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan komponen PTT Padi masih
rendah karena a) pemahaman terhadap konsepsi PTT yang masih belum
maksimal, b) terbatasnya penyediaan modal kerja,dan c) topografi bergelombang.
Usahatani padi memberikan R/C Rasio yang cukup baik yaitu 2,5 di Palipi dan 2,4
di Sianjur Mula-Mula yang berarti memberikan kelayakan usahatani PTT Padi di
Samosir.
PENDAHULUAN
834
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
835
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah Per Kecamatan di
Kabupaten Samosir, Tahun 2013
Luas Panen Produktivitas
No Kecamatan Produksi (ton/ha)
(ha) (kw/ha
1. Sianjur Mula-mula 1.731 10.853 62,70
2. Harian 1.084 6.808 62,80
3. Sitio-tio 501 3.116 62,20
4. Onanrunggu 979 5.805 59,30
5. Nainggolan 894 5.301 59,30
6. Pali 1.385 8.310 60,00
7. Ronggurnihuta 306 1.778 58,00
8. Pangururan 855 5.045 59,00
9. Simanindo 568 3.408 60,00
Tahun 2013 8.303 50.424 60,72
Tahun 2012 8.891 51.248 57,64
Tahun 2011 8.864 50.862 57,38
Tahun 2010 8.336 48.307 57,34
Sumber: BPS Samosir, 2014
836
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Mengacu pada data BPS, batas kisaran umur produktif < 56 tahun, artinya
petani di Samosir dikategorikan usia produktif sehingga dapat mengelola
usahatani dengan baik. Pendidikan petani di Kecamatan Palipi adalah SLTA 37%,
SLTP 50%, SD 13% berarti masih dominan berpendidikan menengah, sedangkan
di Kecamatan Sianjur Mula-mula tingkat pendidikan petani SLTA 44%, SLTP 33%,
SD 23% didominasi sekolah menengah ke bawah sebesar 56%. Data ini
menunjukkan bahwa sumber daya petani masih rendah sehingga diperlukan
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petani melalui pelatihan yang
berkesinambungan, magang, pembimbingan sehingga meningkatkan kemampuan
dalam menerima teknologi baru dan dapat menerapkannya dengan baik. Sejalan
dengan hasil penelitian Kasyrino (1995) yang mengemukakan bahwa kegiatan
penyuluhan masih tetap dibutuhkan karena kualitas sumberdaya manusia (SDM)
petani masih relatif rendah, sehingga perlu dibina secaraberkesinambungan dalam
hal pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah yang lebih maju.
837
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
838
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
839
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tingkat R/C Rasio masing-masing sebesar 2,5 dan 2,4 berarti memberikan
kelayakan usahatani PTT Padi di Samosir (Tabel 6)
Tabel 6. Perhitungan Biaya Produksi dan Pendapatan Petani PTT Padi Sawah
untuk 1 Ha di Kabupaten Samosir, Tahun 2014
Kecamatan
No Uraian
Palipi Sianjur Mula-mula
1. Benih padi (Rp) 540.000 490.000
2. Pupuk:
Urea (Rp) 410.000 512.000
SP36 (Rp) 240.000 120.000
KCl (Rp) 644.000 506.000
ZA (Rp) 132.000 260.000
Phonska (Rp) 364.000 390.000
3. Pestisida (Rp) 234.000 300.000
Herbisida (Rp) 60.000 100.000
4. Tenaga kerja (Rp)
Persemaian 60.000 60.000
Bajak 830.000 830.000
Tanam 400.000 480.000
Menyiangi 480.000 600.000
Memupuk/ menyemprot 240.000 400.000
Panen 960.000 560.000
5. Total biaya Produksi 5.594.000 5.608.000
6. Penerimaan 13.760.000 13.440.000
7. R/C Rasio 2,5 2,4
8. B/C Rasio 1,5 1,4
KESIMPULAN
SARAN
1. Diperlukan pembinaan yang berkelanjutan oleh instansi yang
berhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
petani, yaitu Dinas Pertanian, dan Penyuluhan.
2. Pengenalan inovasi teknologi PTT Padi melalui komponen kepada
pengguna/petani, sebaiknya dilakukan secara bertahap, satu demi satu
tetapi dapat meyakinkan petani bahwa adopsi teknologi tersebut akan
meningkatkan produktivitas sehingga diikuti perbaikan pendapatan petani
dan sekaligus mewujudkan swasembada beras berkelanjutan.
840
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Samosir. 2014. Samosir Dalam Angka Tahun 2013.
Kerjasama Biro Pusat Statistik Samosir dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Samosir.
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2013. Sumatera Utara Dalam Angka
Tahun 2012. Kerjasama Biro Pusat Statistik Sumatera Utara dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
BKP.2004. Laporan Posko Bulanan, Tahun 2004. Badan Ketahanan Pangan
Propinsi Sumatera Utara.
Gittinger, J.P. 1986. Analisa ekonomi proyek-proyek pertanian.Diterjemahkan :
Slamet Sutono dan Komet Mangiri. Edisi kedua, Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press).
Kasryno, F. 1995. Reorientasi penelitian dan penyuluhan pertanian pada PJP
II.ProsidingLokakarya Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian
pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap ke- II. Badan Litbang
Pertanian, Jakarta.
Kementan.2014. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah
Tahun 2014. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian
Pertanian, Jakarta.
Sembiring H, Lukman Hakim, I Nyoman Widiarta, dan Zulkifi Zaini.2013. Evaluasi
Adopsi Pengelolaan Tanaman TerpaduDalam Sekolah Lapang (SL) Pada
Program NasionalPeningkatan Produksi Tanaman
Pangan.ProsidingSeminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik
Lokasi. Medan, 6 – 7 Juni 2012.Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Bogor, 2013.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi (Editor). 1995. Metode Penelitian Survai.
Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Cetakan Kedua.
Suryana, A., Suyamto, Baehaki SE., S. Abdurachman., I. N. Widiarta., H. M. Toha.,
H. Sembiring., Hermanto., dan H. Kasim. 2008. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Togatorop dan Wayan. 2007. Peran Serta Ternak Sebagai Salah Satu Komponen
Usahatani Ekosistem Lahan Sawah Untuk Peningkatan Pendapatan
Petani. Prosiding Seminar Nasional, Medan. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor.
841
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Jl. Bukit Tegalepek Ungaran Semarang
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
Jl. Yahim Sentani Jayapura
Email : bptppapua@yahoo.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
842
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Menurut BPS Provinsi Papua (2014) luas panen padi sawah di Provinsi
Papua 38.338 ha dengan tingkat produktivitas 4,197 ton/ha, di Kota Jayapura
terdapat 1.095 ha atau 2,85% dari luas sawah yang yang ada di Provinsi Papua
dengan tingkat produktivitas 4,254 ton/ha. Produktivitas yang dihasilkan jauh lebih
rendah dari hasil pengkajian yang sudah dilakukan BPTP Papua (2011); Nunuela
(2013), yaitu 5,7 ton/ha. Bahkan Palobo dan Ayekeding (2013) melaporkan
produktivitas padi sawah di Merauke mencapai 5,8 ton/ha.
Jika disimak dari data di atas terlihat senjang hasil aktual dengan
produktivitas penelitian/pengkajian, untuk itu sangat diperlukan dorongan dan
motivasi serta adopsi teknologi peningkatan hasil padi sawah ditingkat petani
sehingga didapatkan produktivitas yang optimal. Rendahnya produktivitas yang
dicapai petani dalam berusahatani padi sawah akan berpengaruh kepada tingkat
pendapatan petani itu sendiri. Secara teori semakin tinggi produktivitas padi
sawah yang dihasilkan akan semakin tinggi pula pendapatan yang diterima petani
dalam berusahatani padi sawah. Untuk itu perlu dilihat kondisi exsisting dan
peluang peningkatan produktivitas.
843
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pengkajian dilaksanakan di Kota Jayapura atas dasar salah satu sentra padi
sawah setelah Kabupaten Merauke, Kabupaten Nabire dan Kabupaten Jayapura
di Provinsi Papua. Selanjutnya ditentukan Kelurahan Koya Barat Distrik Muara
Tami sebagai lokasi pengkajian. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Pebruari
2015 dari hasil tanam bulan Oktober 2014-Januari 2015. Jumlah petani yang
dijadikan sampel responden sebanyak 48 petani yang mengusahakan padi sawah
secara terus menerus 2 tahun terakhir.
Menurut BPS Kota Jayapura (2014), luas wilayah Kota Jayapura 940 Km 2
terdiri dari 5 distrik, yaitu Distrik tersempit adalah Jayapura Selatan 43,4 Km 2
(4,62%) dari jumlah luas wilayah Kota Jayapura dan terluas Distrik Muara Tami
626,7 Km2 (66,67%) luas wilayah Kota Jayapura.
844
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
kepadatan 470 jiwa/Km2. Sedangkan Distrik Muara Tami yang menjadi lokasi
pengkajian merupakan kepadatan penduduk yang paling sedikit, yaitu 11.137 jiwa
dengan kepadatan 18 jiwa/Km2 (Tabel 1).
Jika dihubungkan dengan luas lahan yang ada, maka Distrik Muara Tami
berpeluang untuk dikembangkan. Disamping itu, Kelurahan Koya Barat dan Koya
Timur adalah penduduk transmigran yang berasal dari pulau Jawa (Jateng dan
Jatim) dan sebagian translok berasal dari etnis Bugis dan Makasar. Dari data BPS
Kota Jayapura (2014) terdapat 6.642 jiwa sumber tenaga kerja, baik laki-laki
maupun wanita. Sumber tenaga kerja ini sangat dimungkinkan untuk bekerja di
sektor pertanian sesuai dengan potensi lahan yang ada.
Hasil pengkajian bahwa kisaran umur petani padi sawah di lokasi kajian 38-
55 tahun dengan rata-rata umur didominasi sebagian berusia produktif (46,01
tahun). Menurut Amin (2014) kemampuan manusia dalam bekerja dengan
curahan tenaga kerja yang efektif berada kategori umur produktif berada 30-50
tahun. Persentase umur responden dengan 35-50 tahun sebanyak 44,28%.
845
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
846
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
varietas tersebut adalah produktivitas tinggi dan harga jual beras kompetitif. Hal
senada juga ditemukan di sentra padi sawah Kabupaten Merauke, petani dalam
pemilihan varietas lebih cenderung kepada produktivitas tinggi, harga jual beras
dan mutu dan rasa menempati rangking pertama pilihan petani (Malik dan Kadir,
2015). Namun ada beberapa petani sudah menanam varietas Inpari 22 dan 25
dari hasil pengembangan dari BPTP Papua.
Usahatani padi sawah yang dilaksanakan petani pada bulan Maret/April-
Juni/Juli dan bulan September/Oktober-Desember/Januari dengan kisaran luas
garapan 0,50–2,00 ha dengan rata-rata 1,15 ha/petani. Luasnya garapan lahan
sawah yang diusahakan setiap petani disebabkan hak kepemilikan lahan saat
kedatangan sebagai transmigran.
Dosis pupuk yang digunakan antar petani dan lokasi beragam, hal ini
disebabkan kelangkaan modal petani saat aplikasi. Dosis anjuran penggunaan
pupuk persatuan luas sudah diketahui petani, namun pada prakteknya tidak
seluruh petani menerapkan dosis anjuran yang dimaksud. Rata-rata penggunaan
pupuk oleh petani responden Urea 206 kg + 254 kg Phonska per ha. Petani tidak
menggunakan pupuk KCl. Harga pupuk KCl cukup mahal dan tidak tersedia saat
dibutuhkan. Nunuela (2013) menyarankan penggunaan pupuk Urea 150 kg + 150
kg SP-36 + 100 kg KCl dapat meningkatkan produktivitas padi sawah 5,7 ton/ha
gkg.
Petani melakukan pengolahan tanah dengan membajak menggunakan
hand traktor dengan nilai upah Rp 1.500.000/ha siap tanam. Sedangkan curahan
tenaga kerja tanam sampai panen 72,25 HOK (hari orang kerja). Petani
menggunakan beberapa jenis herbisida untuk membantu pengendalian gulma
sebelum pengolahan lahan dilakukan dan penyiangan. Lahan bekas pertanaman
padi sawah sebelumnya dibersihkan dan disemprot menggunakan herbisida,
setelah itu lahan dibiarkan 15–30 hari, setelah itu dilakukan penanaman.
Petani melakukan penyemprotan herbisida pra tumbuh dengan jenis merek
dagang DMA, Gramaxone dan Run Up. DMA digunakan untuk gulma yang
berdaun lebar, sedangkan jenis Gramaxone dan Run Up digunakan pada tanaman
pra tumbuh.
Umumnya petani sudah menerapkan sistem jajar legowo, namun lebih
banyak dikenal sistem tegel dengan jarak tanam yang digunakan tidak beraturan
dengan kisaran 20x20 cm dan 25x25 cm. Namun sebagian petani sudah
menerapkan jajar legowo yang didominasi legowo 4:1, petani menggunakan bibit
5-8 batang/rumpun. Dalam pengendalian gulma, petani lebih banyak
menggunakan herbisida pra tumbuh (saat tanah belum diolah). Penyiangan lebih
banyak dilakukan oleh wanita. Penyiangan dilakukan petani rata-rata hanya satu
kali pada umur lebih dari 35 HST (hari setelah tanam).
Pemupukan pertaman dilakukan petani pada umur 10-20 HST; sebagian
besar petani melakukan pemupukan kedua bersamaan dengan penyiangan, yaitu
pada umur 35-50 HST. Petani mencampur kedua jenis pupuk (Urea dan Phonska)
dan menabur di antara tanaman saat air tanaman macak-macak.
847
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Untuk melihat efisiensi atau kelayakan usahatani padi sawah irigasi yang
diusahakan petani padi sawah di Kelurahan Koya Barat Muara Tami Kota
Jayapura, dapat digunakan analisis B/C ratio atau Benefit Cost Ratio. B/C ratio
dapat dihitung melalui penerimaan dibagi dengan pengeluaran. Berdasarkan hasil
perhitungan garapan perhektar, didapatkan nilai B/C ratio sebesar 1,72. Nilai ini
berarti setiap pengeluaran sebesar Rp 1,00 maka penerimaan akan bertambah
sebesar Rp 172 dan nilai tersebut dapat menunjukkan bahwa usahatani padi
sawah irigasi di Kelurahan Koya Barat Muara Tami Kota Jayapura ini efisien dan
layak untuk dikembangkan (Tabel 3).
Jika usahatani padi sawah yang diusahakan petani di lokasi kajian Kelurahan
Koya Barat Distrik Muara Tami Kota Jayapura selama 4 bulan maka pendapatan
yang diterima petani Rp 2.423.125/bulan. Pendapatan ini hampir sama dengan
upah regional Papua (UMR) 2015 sebesar Rp 2.385.000/bulan. Jika teknologi
peningkatan produktivitas padi sawah irigasi diterapkan petani seperti PTT maka
produktivitas dapat ditingkatkan lebih tinggi. Peningkatan produktivitas akan
berdampak kepada penerimaan yang diterima petani padi sawah.
848
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Rata-rata luas garapan padi sawah di Kelurahan Koya Barat Distrik Muara
Tami Kota Jayapura 1,15 ha/petani dengan kisaran 0,50 ha-2,00 ha, tingkat
produktivitas 4.610 kg/ha. Biaya usahatani padi sawah irigasi Rp13.357.500/ha
dengan penerimaan Rp 23.050.000/ha. Keuntungan yang diterima petani Rp
9.692.500/ha dengan nilai B/C 1,72. Terdapat 10.222 ha lahan basah potensial
untuk dikembangkan menjadi sawah. Jika luas lahan potensial ini dijadikan sawah
maka didapatkan 33.835 ton beras dan dapat mencukupi kebutuhan penduduk
Kota Jayapura. Sangat diperlukan kebijakan pemerintah daerah melalui dinas
teknis untuk percepatan diseminasi teknologi PTT Padi untuk peningkatan
produktivitas padi sawah persatuan luas. Kebijakan lain untuk pemanfaatan lahan
potensial untuk pengembangan sawah sangat diperlukan untuk keberlanjutan
ketersedian beras setiap tahun.
DAFTAR PUSTAKA
849
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DISKUSI
850
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
851
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dan tanaman lainnya, serta telah jutaan alumni SLPHT dihasilkan sebagai Petani
Ahli PHT (Pertiwi, 2015).
Lahan / lapangan dan ekologi pertanian setempat yang hidup dan dinamis
merupakan sarana belajar utama, jika diperlukan sarana belajar lain, maka hanya
berupa ”Petunjuk Teknis”, yaitu petunjuk/pedoman langkah-langkah proses belajar
(Dinas Pertanian Kab.Lima Puluh Kota, 2013 ).
Peserta Sekolah Lapangan PHT Padi adalah petani pemilik dan penggarap
lahan Sawah yang responsif terhadap teknologi baru, produktif, baik pria maupun
wanita. Sebagai petani mereka bukan milik dan bawahan siapapun.
852
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dan fasilitator, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :1) Pemandu adalah juga
warga belajar; 2) Berpegang pada prinsip pendidikan orang dewasa (cara belajar
lewat pengalaman); 3) Kebersamaan dan kesetaraan; 4) Demokratis, bahwa
keberagaman merupakan kekayaan; 5) Partisipatif; 6) Rasa tanggung jawab
(Pertiwi. 2015).
A. Persiapan SLPHT
B. Pelaksanaan SLPHT
853
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
WAKTU KEGIATAN
07.00-07.15 Kontrak belajar harian/kesepakatan hasil belajar hari ini
07.15-08.00 Kerja lapangan dan pengamatan agroekosistem
Mengambar keadaan agroekosistem, dan diskusi sub kelompok
08.00-10.00
(proses analisis)
10.00-1030 Diskusi pleno dan keputusan kelompok
10.30-10.45 Istirahat
10.45-11.15 Dinamika kelompok
11.15-11.45 Topik khusus
11.45-12.00 Evaluasi capaian hari ini dan Rencana Tindak Lanjut (RTL)
KELOMPOK MATERI
No KELOMPOK MATERI WAJIB
MUATAN LOKAL
1. Lahan PHT dan pembandingnya - Studi petani, dan materi lain
Test Ballot Box (awal dan Akhir) yang ditetapkan berdasarkan
2. Topik Khusus: Penerapan Prinsip- Prinsip PHT, permasalahan yang dihasilkan
Analisis Agroekosistem, Teknik Budidaya, dari pertemuan perencanaan
Pelestarian Musuh alami dan agens hayati,
Pengendalian OPT dan gulma, Panen/Pasca Panen)
Dinamika kelompok: tentang kerjasama, pemecah
3. suasana, kelembagaan, dan lain-lain.
854
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kerja lapangan
Pengamatan Agroekosistem
Menggambar Agroekosistem
855
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Secara umum isi diskusi sub kelompok mencakup hal-hal sebagai berikut:
APA : Apa yang ditemukan dalam pengamatan, baik berupa jenis jumlah
Serangga hama, musuh alami, organisme lain, kerusakan atau
kelainan tanaman dan lainnya.
856
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DIMANA : Dimana tempat ditemukan, atau di bagian mana saja hal–hal yang
telah ditemukan dalam pengamatan.
Materi tentang akar dan jaringan tanaman diberikan agar peserta dapat
mengetahui sifat sifat fisiologis tanaman padi sehingga pada saat budidaya
tanaman padi dapat meberi perlakuan yang tepat sehingga hasil produksi padi
dapat se optimal mungkin (Gambar 3).
857
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dinamika Kelompok
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pertanian Kab.Lima Puluh Kota, 2013. Petunjuk Teknis SLPHT Padi
Kabupaten Lima Puluh Kota.
Pertiwi, DAA. 2015. Mengenal SLPHT, SLPHT Tindak Lanjut dan SLPHT Skala
Luas. Dinas Pertanian DIY. http://distan.jogjaprov.go.id
Van den Ban.A.W dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius.
Yogyakarta.
858
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kata kunci : indo jarwo transplanter, indo combine harvester, respon, petani
kooperator
PENDAHULUAN
859
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Mesin panen padi Indo Combine Harvester dirancang oleh Badan Litbang
Pertanian untuk mendukung pencapaian program swa-sembada beras nasional
melalui usaha penurunan susut hasil panen. Kemampuan kerja mesin tersebut
mampu menggabungkan kegiatan potong-angkut-rontok-pembersihan-sortasi-
pengantongan dalam satu proses kegiatan yang terkontrol. Adanya proses
kegiatan panen yang tergabung dan terkontrol menyebabkan susut hasil yang
terjadi hanya sebesar 1,87 % atau berada di bawah rata-rata susut hasil metode
“gropyokan” (sekitar 10%). Sedangkan tingkat kebersihan gabah panen yang
dihasilkan oleh mesin tersebut mencapai 99,5%. Mesin panen padi Indo Combine
Harvester yang dioperasikan oleh 1 orang operator dan 2 pembantu mampu
menggantikan tenaga kerja panen sekitar 50 HOK/ha. Kapasitas kerja mesin
mencapai 5 jam per hektar. (Ahmad dan Haryono, 2007).
860
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Karakteristik responden
861
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jumlah 16 100,00
Sumber : Tabulasi data primer
Respon petani kooperator terhadap alat dan mesin pertanian dalam rangka
meningkatkan produksi padi
862
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Indikator yang digunakan untuk melihat tingkat respon petani terhadap alat
dan mesin pertanian dilihat dari aspek sulit, cukup, manfaat dan meningkatkan.
Hasil pengkajian memperlihatkan bahwa rata-rata respon petani terhadap alat dan
mesin pertanian berada pada kriteria Tidak Susah/sulit dengan skor 3,55 dan
Sangat cukup dengan skor 4,55 dan 5,45, Sangat bermanfaat dengan skor 5,09
dan 6,09 dan Sangat membantu meningkatkan hasil dengan skor 4,73. Ini
menunjukkan bahwa alat dan mesin pertanian (indo jarwo transplanter dan indo
combine harvester) tidak susah/sulit penggunaannya, sangat cukup dalam
penyampaian, alat dan mesin pertanian sangat bermanfaat dan sangat membantu
meningkatkan hasil (Tabel 2).
863
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Respon petani terhadap alat dan mesin pertanian berada pada kriteria sangat
baik, menunjukkan bahwa alat dan mesin pertanian tidak susah/sulit
penggunaanya, sangat cukup dalam penyampain penggunaan alat, sangat
bermanfaat (alat dan mesin pertanian) dan sangat membantu meningkatkan
produksi padi.
864
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, D.R. dan Haryono. 2007. Peluang Usaha Jasa penanaman Padi Secara
Mekanis Dengan Dukungan Industri Persemaian. Apresiasi Hasil
Penelitian Padi.
Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2010.
Menerapkan Metode Penyuluhan Level Supervisor. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
BBP Mektan. 2014. Mesin Tanam Padi Indo Jarwo Transplanter,
http://mekanisasi.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_conte
nt&view=article&id=655:mesin-ta-nam-padi-indo-jarwo-transplanter-&
catid=14:alsin & Itemid=160. Diakses 1 Agustus 2015.
Bandolan, Y. 2008. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya
Rambutan di Desa Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten
Gowa (Online). http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/42085966_2089-
0036.pdf. Diakses 16 Oktober 2012.
Drakel, Arman. 2008. Analisis Usahatani Terhadap Masyarakat Kehutanan di
Dusun Gumi Desa Akelamo Kota Tidore Kepulauan. Jurnal Ilmiah
Agribisnis dan Perikanan Volume I Oktober 2008.
Mayasari, Rika. 2012. Dampak Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan,
Sikap, dan Perilaku Masyarakat Tentang Malaria di Desa Sukajadi
Kabupaten OKU. Jurnal Pembangunan Manusia Volume 6 No.3 Tahun
2012.
Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi
Sawah Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di
Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas
Sriwijaya. Palembang.
Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian
Hama Tanaman Terpadu (Online). http: //ejournal .unud. ac.id/ abstrak /
(6)%20soca-sudarta-pks%20pht(2).pdf diakses 30 Desember 2009.
Suhendra, T., 2013. Prospek Pengembangan Mesin Tanam Pindah Bibit (rice
transplanter) dalam Rangka Mengatasi Klangkaan Tenaga Kerja Tanam
Bibit Padi. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Angibisnis (SEPA) Fakutas
Pertanian UNS. Surakarta (inpress).
Syafruddin. 2006. Hubungan Sejumlah Karakteristik Petani Mete dengan
Pengetahuan Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten Bombana,
Sulawesi Tenggara. Jurnal Penyuluhan Juni 2006, Vol. 2 No.2.
Umi P. A., Bunaiyah H. 2013. Peranan Metode Penyuluhan (Temu Lapang)
Terhadap Peningkatan Pengetahuan Penyuluh Pendamping P2KP Dalam
Teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Terpadu Di Provinsi Bengkulu.
Prosiding Temu Teknis Jabatan Non Peneliti Lingkup Litbang Pertanian,
Agustus 2013. Hal 350-359.
865
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
866
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
PTT padi sawah diujicobakan sejak sekitar tahun 2002, Namun baru tahun
2007 intensif dimassalkan. Percepatan dan penyampaian inovasinya melalui
pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) padi sawah.
Beberapa kajian tentang produksi padi terkait sekolah lapang PTT padi sawah telah
banyak dilakukan penelitian. Di Lampung rata-rata peningkatan produktivitas padi
sawah jenis padi inbrida pada areal SL-PTTrata-rata 11,59 % lebih tinggi dibanding
Non SL-PTT. Demikian juga rata-rata peningkatan produktivitas jenis padi hibrida
areal SL-PTT13,70 % lebih tinggi dibanding Non SL-PTT (BPTP Lampung, 2010).
Kajian Pujiharti dkk. 2008 bahwa PTT padi apabila diintegrasikan dengan
pemeliharaan ternak untuk menambah kebutuhan pupuk tanaman padi mampu
meningkatkan produktivitas padi sebesar 16,67-33,50%.
Hanya saja menurut Nurasa dan Supriadi (2012) sejalan juga dengan evaluasi
dari Sembiring dkk., (2012) bahwa akselerasi serta tingkat adopsinya cenderung
berjalan lambat. Pilihan komponen inovasi yang diadopsi petani terjadi interaksi
antara aspek biofisik, sosial, budaya, dan ekonomi dari petani dengan karakteristik
inovasi itu sendiri. Menurut Erythrina dkk., (2013) metode dan pola diseminasi untuk
setiap komponen inovasi bergantung pada keragaan karakteristik inovasi dan kondisi
spesifik wilayah.
Tujuan penelitian ini adalah analisis usahatani padi sawah melalui penerapan
sistem pengelolaan tanaman terpadu di Lampung.
867
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Unit penelitian yang menjadi objek adalah individu petani padi sawah.Sampel
petani dipilih secara acak sederhana (simple random sampling) yang masing-masing
etnis berasal dari 6 kelompok tani, 6 dusun, 3 desa per kabupaten. Sehingga jumlah
keseluruhan sampel adalah 286 petani meliputi: 96 orang petani padi sawah etnis
Lampung di Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat, 95 orang petani
padi sawah etnis Bali di Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah, dan
95 orang petani padi sawah etnis Jawa di Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung
Selatan. Untuk menganalisis usahatani padi sawah dilakukan dengan menyusun
struktur atau komponen usahatani yang telah dilakukan petani serta pendapatan petani.
Analisis dilakukan menggunakan B/C rasio.
868
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
869
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 4. Distribusi jumlah tenaga kerja produktif dalam keluarga petanidi Lampung.
Jumlah tenaga kerja produktif dalam keluarga
Kisaran tenaga
petani
Kategori kerja produktif
No Total Petani (n=286)
(orang)
Jumlah(orang) %
1. Sedikit 0-4 274 95,80
2. Sedang 5-7 11 3,85
3. Banyak 8-10 1 0,35
Jumlah: 286 100
Sumber: Analisa Data Primer, 2013.
870
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
melakukan panen tepat waktu jika padi telah berwarna kuning semua. Kesemua
komponen inovasi PTT padi sawah menunjukkan dominan berada ada kategori
jawaban sering dilakukan oleh petani.
Tabel 5. Adopsi Inovasi PTT Padi Sawah menurut Kategori Jawaban Petani di
Lampung Tahun 2013 (%).
Prosentase Kategori Jawaban Petani
Pengadopsi
(n=286)
No Item komponen inovasi
TP J K S SS
(%) (%) (%) (%) (%)
1. Menggunakan varietas padi unggul baru 0,70 4,20 14,34 61,89 18,88
2. Menggunakan benih berlabel 0,35 2,45 12,59 61,89 22,73
3. Menggunakan pupuk 8,39 9,79 25,17 46,15 10,49
kandang/kompos/bahan organik
4. Melakukan pengaturan populasi tanam 11,19 7,69 20,28 46,15 14,69
(tanam jejer legowo)
5. Melakukan pemupukan berdasar 0,35 5,59 16,78 63,99 13,29
kebutuhan tanaman dengan
mempertimbangkan kondisi kesuburan
tanah
6. Melakukan Pengendalian organisme 0,00 3,85 8,04 67,48 20,63
pengganggu tanaman (OPT)
7. Melakukan pengolahan tanah dengan 0,35 2,10 4,20 62,94 30,42
baik
8. Menggunakan bibit muda (umur 3,50 6,99 18,18 48,60 22,73
< 21 hari)
9. Menanam bibit secukupnya saja 3,50 5,24 10,84 61,89 18,53
(maksimal 3 batang per rumpun)
10. Melakukan pemberian air dengan cara 5,94 6,29 18,88 54,55 14,34
bergilir atau selang seling (intermiten)
11. Melakukan penyiangan menggunakan 23,08 17,48 21,68 32,17 5,59
landak/gasrok
12. Melakukan panen tepat waktu jika padi 0,35 1,40 6,29 63,64 28,32
telah berwarna kuning semua
Sumber: Analisis data primer, 2013.
871
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 6. Distribusi Petani Menurut 3 Kategori Adopsi Inovasi dan Asal Etnis (%).
Adopsi inovasi
Etnis Etnis Jawa (n=95) Etnis Bali(n=95)
Kategori
No Skor Lampung(n=96)
adopsi
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(orang) (orang) (orang)
1. Rendah 0-16 20 20,83 3 3,16 3 3,16
2. Sedang 17-32 74 77,08 87 91,58 85 89,47
3. Tinggi 33-48 2 2,09 5 5,26 7 7,37
Jumlah: 96 100 95 100 95 100
Sumber: Analisa Data Primer, 2013
Tabel 7. Distribusi pendapatan petani padi sawah per hektar lahan sawah per musim
Tanam di Lampung
Kisaran nilai Distribusi pendapatan petani padi sawah
Kategori pendapatan Total Petani(n=286)
(Rp/ha) %
Rendah 2.650.000–10.766.000 26,57
Sedang 10.767.000–18.884.000 48,60
Tinggi 18.885.000–27.000.000 24,83
Jumlah: 100
Sumber: Analisa Data Primer (2013).
Apabila dibedakan berdasar asal etnis petani, maka pendapatan terendah
pada petani etnis Lampung sebesar Rp.2.650.000,-/ha/musim dan pendapatan
tertinggi petani etnis Lampung sebesar Rp.27.000.000,-/ha/musim. Untuk pendapatan
terendah pada petani etnis Jawa sebesar Rp.3.000.000,-/ha/musim dan pendapatan
tertinggi petani etnis Jawa sebesar Rp.25.550.000,-/ha/musim. Sedangkan
pendapatan terendah pada petani etnis Bali sebesar Rp.5.785.000,-/ha/musim dan
pendapatan tertinggi petani etnis Bali sebesar 27.000.000. Hal tersebut menunjukkan
interval atau jarak atau range pendapatan petani etnis Jawa adalah lebih sempit.
Analisis struktur dan kelayakan usahatani rata-rata per hektar oleh petani padi
sawah di Lampung selengkapnya seperti pada Tabel 8. Rata-rata pendapatan petani
per hektar luasan lahan padi sawah di Lampung sebesar Rp.14.530.000,- (Tabel 8).
Apabila dibedakan secara rinci atas asal etnis petani, untuk petani etnis Lampung rata-
rata pendapatan petani per hektar sebesar Rp. 12.122.645,-. Rata-rata pendapatan
petani etnis Jawa per hektar sebesar Rp.17.183.650,- sedangkan untuk petani etnis
Bali rata-rata pendapatan per hektar sebesar Rp.14.062.140,-. Pendapatan tersebut
mengindikasikan bahwa usahatani padi sawah yang dilakukan oleh petani etnis Jawa
lebih intensif dibanding petani etnis lainnya, yang mana menghasilkan pendapatan
tertinggi per luasan lahan yang diusahakan.
872
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
2. Biaya Tenaga
Kerja:
-Persemaian 180.000 180.000 2,10
-Olah Tanah Borongan 800.000 800.000 9,33
-Penanaman Borongan 350.000 350.000 4,08
-Popok Galeng 250.000 250.000 2,92
-Penyiangan 1 200.000 200.000 2,33
-Penyiangan 2 200.000 200.000 2,33
-Penyemprotan 300.000 300.000 3,50
-Panen Borongan 2.200.000 2.200.000 25,67
Jumlah B: 4.480.000 52,28
Total (A+B): 8.570.000
3. Penerimaan: 23.100.000
Produksi 7.000 kg
Harga jual Rp.3.300/kg
4. Pendapatan: 14.530.000
(Penerimaan -
Biaya)
5. B/C rasio 1,70
Sumber: Analisis data primer (2013).
Apabila dilihat struktur usahatani padi sawah di Lampung seperti terlihat pada
Tabel 8. menunjukkan bahwa komponen biaya sarana produksi memberikan
kontribusi 47,72% dari total biaya usahatani, sedangkan biaya tenaga kerja
memberikan kontribusi sebesar 52,28% dari total biaya usahatani. Per hektar luasan
lahan usahatani padi sawah di Lampung dengan implementasi inovasi PTT padi
sawah mampu menghasilkan produksi rata-rata sebanyak 7.000 kg. Dengan harga
jual per kg gabah kering giling sebesar Rp. 3.300,- maka memberikan penerimaan
usahatani sebesar Rp.23.100.000,-. Penerimaan tersebut setelah dikurangi biaya
produksi memberikan pendapatan usahatani rata-rata sebesar Rp. 14.530.000,- per
ha. Apabila dilihat nilai indikator kelayakan usahataninya maka memberikan nila B/C
rasio sebesar 1,70 yang berarti usahatani layak dilakukan.
873
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Tingkat adopsi inovasi PTT padi sawah bagi petani di Lampung cenderung berada
pada kategori sedang.
2. Pendapatan petani dimungkinkan dilakukan peningkatan karena sebagian besar
petani dalam berusahatani padi sawah cenderung masih berada pada kategori
rendah sampai sedang.
3. Usahatani padi sawah dengan menerapkan inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu
memberikan nilai B/C rasio sebesar 1,70 yang berarti usahatani tersebut layak
dilakukan.
4. Demi mencapai swasembada pangan khususnya beras dan peningkatan
pendapatan petani, maka dimasa mendatang perlu kebijakan penyebar luasan
inovasi PTT padi sawah pada sentra produksi padi sawah dengan cara melakukan
massalisasi program melalui sekolah lapang inovasi pertanian.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Yth. Ir. F. Trisakti Haryadi, M.Si.,
Ph.D. dan Subejo, SP., M.Sc., Ph.D. atas bimbingan selama melakukan penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bachrein, S., Bahtiar, dan Hasanuddin, A., 1993. Percepatan Adopsi Teknologi Melalui
Pendekatan Partisipasi Petani dan Teknologi Sederhana. Prosiding
Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Kinerja Penelitian Tanaman
Pangan,Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004. Rancangan Dasar Prima Tani
(Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian). Badan Litbang Pertanian. Jakarta
BPS Lampung. 2009. Lampung Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.
BPTP Lampung, 2004. Satu Dasawarsa Kiprah BPTP Lampung: Membangun Sistem
dan Usaha Agribisnis Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Spesifik
Lokasi, 1994-2004. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Bandar
Lampung
BPTP Lampung, 2010. Diseminasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Mendukung
Program P2BN (Laporan Tahunan). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Lampung. Bandar Lampung
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Lampung. 2011. Laporan
Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi
Lampung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Lampung. 2013. Laporan
CP/CL, BLBU SLPTT. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Propinsi Lampung. Bandar Lampung.
Erythrina, R. Indrasti, dan A. Muharam. 2013. Kajian Sifat Inovasi Komponen
Teknologi Untuk Menentukan Pola Diseminasi Pengelolaan Tanaman Terpadu
Padi Sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
16(1) Maret 2013 p:45-55.
874
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Manwan dan Adnyana, M.O., 1990. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Tanaman
Pangan : Pokok-pokok Pemikiran dan Cara Pelaksanaan. Makalah disampaikan
pada rapat kerja Puslitbang Tanaman Pangan Maros, 1-3 Juni 1990. Maros:
Balittan.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia. Jakarta.
Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta
Nurasa, T dan H. Supriadi. 2012. Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu Padi (Kinerja dan Antisipasi Kebijakan Mendukung Swasembada
Pangan Berkelanjutan). Analisis Kebijakan 10(4):313-329.
Pudjianto, K., 2009, Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan Dan
Konservasi Sumberdaya Air Di Sub Das Keduang, Daerah Hulu Das
Bengawan Solo, Tesis: Institiut Pertanian Bogor.
Pujiharti,Y., Muchlas, Ernawati dan B. Wijayanto, 2008. Kajian Penerapan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Lampung. Prosiding
Seminar Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian kerjasama
dengan Perhiptani Lampung serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Propinsi Lampung.
Rogers, E.M. dan F. Floyd Shoemaker, 1971. Communication of Innovations.
Terjemahan Abdillah Hanafi Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha
Nasional. Surabaya. 197p.
Rogers, E. M., 2003. Diffusion of Innovations: 5th Edition. Free Press. New York. 518p
Sembiring, H., L. Hakim, I. Nyoman W, dan Z. Zaini. 2012. Evaluasi Adopsi
Pengelolaan Tanaman Terpadu Dalam Sekolah Lapang pada Program
Nasional Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Seminar Nasional Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Medan-2012. (belum published)
875
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
876
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
877
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
hal ini terkait dengan adanya inovasi cara tanam legowo, seseorang pada umur
non produktif akan cenderung sulit menerima inovasi, sebaliknya seseorang pada
umur produktif akan lebih mudah dan cepat menerima inovasi. Menurut
Mardikanto (1993) semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban
mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan kegiatan yang
sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat
Kelompok I (yang
pernah) (N=22), Kelompok I (yang
Kelompok I (yang % status lahan pernah) (N=22),
pernah) (N=22), (Milik ), 72.73 % Modal usaha
% Kepemilikan (Kurang
Kelompok I (yang
(Warisan) , 62.5 tersedia), 63.64
pernah) (N=22),
Umur Petani
(Thn), 55.3
Kelompok I (yang
pernah) (N=22),
% Kepemilikan Kelompok I (yang
(Membeli dr pernah) (N=22),
hasil lainnya) , % Modal usaha
Kelompok I (yang 37.5 (Tersedia) , 36.36
pernah) (N=22),
Pengalaman
usahatani (Thn), Kelompok I (yang
23.6 pernah) (N=22),
% status lahan
Kelompok I (yang (Garap), 18.18
pernah) (N=22), Kelompok I (yang Kelompok I (yang
Pendidikan pernah) (N=22), pernah) (N=22),
(Thn), 7.4 Luas lahan rata- % Modal usaha
rata petani (Ha), (Tidak tersedia),
0.41 0
Gambar 1. Karakteristik rata-rata Petani yang pernah, dan yang terus menerus
Menerapkan sistem tanam jajar legowo di 4 Kecamatan, Kabupaten
Cianjur, 2014.
878
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Gambar 2. Karakteristik rata-rata Petani yang pernah, dan yang terus menerus
Menerapkan sistem tanam jajar legowo di 4 Kecamatan, Kabupaten
Cianjur, 2014.
879
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kel II (Terus
menerus), % Kel II (Terus
Pengetahuan menerus), %
tentang prinsip Pengetahuan
teknologi jajar tentang alat
legowo (tahu), caplak jajar
86.8 legowo (Ya), 79.0
Kel II (Terus
menerus), %
Keuntungan
Jarwo
(meningkatkan
produksi) , Kel
39.5II (Terus Kel II (Terus
menerus), % menerus), %
Kel II (Terus
Keuntungan Pengetahuan
Kel II (Terus menerus), %
Jarwo tentang alat
menerus), % Keuntungan
(memudahkan caplak jajar
Pengetahuan Jarwo
pemupukan), legowo (Tidak),
tentang prinsip (memudahkan
21.1 21.1
teknologi jajar pemeliharaan
legowo (tidak dgn alat gasrok) ,
tahu), 13.2 13.2
Lanjutan Gambar 2
880
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kelompok I (yang
pernah) (N=22), %
Sumber infomasi
(Penyuluh Lapangan,
95.5
Kelompok I (yang
pernah) (N=22), %
Sumber infomasi
(Ketua Kelompok Tani,
Kelompok I (yang 72.7
pernah) (N=22), %
Kelompok I (yang Aktif mencari
pernah) (N=22), % informasi dan ide Kelompok I (yang
Partisipasi petani baru (Kadang2), 59.1 pernah) (N=22), %
(Jarang), 54.6 Sumber infomasi
(Petugas BP3K
Kecamatan dan
Diperta), 45.5
Kelompok I (yang Kelompok I (yang
Kelompok I (yang
pernah) (N=22), % Kelompok I (yang pernah) (N=22), %
pernah) (N=22), %
Aktif mencari pernah) (N=22), % Sumber infomasi (Kios
Partisipasi petani
tani), 31.8
(Rutin), 22.7 Kelompok I (yang informasi dan ide Sumber infomasi
pernah) (N=22), % baru (Aktif) , 22.7 (Formulator), 27.3
Aktif mencari
informasi dan ide
baru (Tidak), 18.2
881
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
(Gambar 4.). Lalla dkk. (2012) melaporkan bahwa teknologi legowo tergolong rumit
untuk diterapkan petani dan tenaga kerja yang mau menerapkannya masih
terbatas. Petani Kelompok I lamanya mengadopsi jajar legowo antara 1 sampai 4
musim, yaitu pada tahun 2008, 2009 dan 2013, sedangkan petani kelompok II
telah mengadopsi sejak tahun 2011 sampai 2013, bahkan ada petani yang
mengadopsi jajar legowo sejak tahun 2004 sampai sekarang (20 musim).
KESIMPULAN
882
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
883
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kata kunci :konversi, lahan sawah, ketahanan pangan dan strategi pengendalian
PENDAHULUAN
884
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
885
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Konversi lahan dimulai pada lahan sawah yang menurut petani lebih sulit
pengelolaannya dibanding lahan sawah lainnya dengan kondisi drainase yang
kurang mendukung. Proses ini menghasilkan spot-spot kebun diantara areal
persawahan. Keberadaan tanaman kelapa sawit ini lama-kelamaan akan
mengancam lahan sawah disekitarnya karena menganggu intensitas cahaya
matahari yang sangat dibutuhkan tanaman padi dan menjadi tempat
persembunyian dan bersarang hama tanaman padi seperti burung, tikus, babi,
belalang dan lainnya. Akibat kondisi ini, mau tidak mau petani di sekitar yang terus
dirugikan akibat keberadaan kebun juga akan ikut mengkonversi lahan sawah
yang dimilikinya.
886
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Produksi padi yang hilang akibat terjadinya konversi lahan sawah di
Kabupaten Kampar tahun 2002 – 2010 (ton).
Tahun Luas sawah Konversi Kehilangan produksi (ton)
(ha) (ha) Padi Beras
2002 13.152 4.831 22.966 14.427
2003 13.419 (267) (1.271) (797)
2004 11.330 2.089 9.944 6.239
2005 12.608 (1.278) (6.083) (3.817)
2006 11.542 1.066 5.074 3.184
2007 10.853 689 3.280 2.058
2008 10.780 73 347 218
2009 7.932 2.848 13.556 8.505
2010 8.006 (74) (352) (221)
Jumlah 9.977 47.491 29.796
Rata – rata 1.109 5.277 3.311
Melihat produksi pada kondisi yang terjadi saat ini (existing) dimana telah
terjadi konversi lahan sawah dan penambahan lahan sawah karena ada
pencetakan, maka tampak bahwa tetap terjadi pengurangan produksi padi sebesar
47,49 ton akibat konversi lahan pada kurun waktu tersebut. Hal ini menunjukkan
peningkatan produksi padi sebagai akibat pencetakan sawah dan adopsi teknologi
masih lebih rendah atau tidak sebanding dengan penurunan produksi akibat
konversi lahan sawah.
887
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
888
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
c. Pemberdayaan
Bagian yang fundamental dari sistem pengendalian konversi lahan adalah
petani. Sebagai pemilik lahan dan pelaku dalam kelembagaan lokal, petani
belum banyak dilibatkan secara aktif dalam berbagai upaya pendendalian.
Selain itu belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi serta
pengembangan kompetensi lembaga – lembaga formal dalam menangani
konversi lahan. Beberapa kelemahan dan keterbatasan tersebut diatas,
menyebabkan instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan yang
selama ini telah disusun tidak dapat menyentuh secara langsung simpul –
simpul kritis yang terjadi di lapangan. Fakta yang ada, bahwa keterlibatan
masyarakat dalam upaya pengendalian lahan pertanian masih sangat rendah.
Hal ini dapat dilihat belum terlibatnya lembaga - lembaga sosial di masyarakat
dalam upaya pengendalian konversi lahan, disebabkan juga minimmya
informasi yang diperoleh serta rendahnya respon masyarakat terhadap
keberlanjutan lahan pertanian.
d. Pendekatan Hukum
Melalaui pendekatan hukum/ regulasi, Pemerintah Daerah diharapkan
menetapkan aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada, berdasarkan
889
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
e. Pendekatan Ekonomi
Instrumen Ekonomi dalam upaya pengendalian konversi lahan berperan
dalam menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan
fungsi lahan sebagai lahan usahatani, menciptkan kondisi disinsentif bagi
pihak – pihak yang ingin mengalih fungsikan lahan sawah ke penggunaan lain,
sert kombinasi antara kedua hal tersebut diatas. Pendekatan ekonomi yang
dapat dilakukan melalui pendekatan incentive dan charges, pemberian subsidi
(insentif) kepada petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang
dimiliknya, serta penerapan keringan pajak.
890
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar. 2011. Kampar Dalam Angka. Kerja
sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Kampar.
Badan Pusat Statistik Riau. 2011. Riau Dalam Angka . Kerja sama dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau.
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau. 2010. Laporan Tahunan
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau.
891
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Fahri A, L.M. Kolopaking, dan D.B. Hakim. 2014. Laju Konversi Lahan Menjadi
Perkebunan Sawit Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Serta
Dampaknya Terhadap Produksi Padi Di Kabupaten Kampar, Riau. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 17, Nomor
1. Maret 2014. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Bogor.
Hamdan. 2012. Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di
Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Tesis.
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ilham N, Syaukat Y, Friyatno S.2005. Perkembangan Dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya
.[Internet]. [diunduh 2012 Maret 25]. Tersedia pada :
http://ejournal.unud.ac.id/. SOCA (Socio-Economic of Agriculture and
Agribusiness). 5(2). Bali (ID) : Universitas Udayana.
Irawan B dan Friatno S. 2005. Dampak Konversi Lahan sawah di Jawa Terhadap
Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Ejournal. Unud.ac.id
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta (ID) Crespent Press dan Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Simatupang P, Irawan B. 2002. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian: Tinjauan
Ulang Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Prosiding Seminar Nasional Multi
fungsi dan Konversi Lahan Pertanian.
Witjaksono R. 2006. Konversi lahan: Suatu tinjauan sosiologis. Dalam Prosiding
Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”:
Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: Bogor (ID). Kerja
sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.
113 – 120p.
DISKUSI
Langkah – langkah yang dilakukan untuk mengatasi konversi lahan sawah adalah:
892
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
893
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tumpal Sipahutar
ABSTRAK
PENDAHULUAN
894
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
895
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Metode Analisis
Untuk mengetahui kelayakan usahatani dilakukan dengan analisis
imbangan penerimaan dan biaya (B/C ratio). Tingkat efisiensi usahatani padi dapat
di ukur dengan analisis B/C ratio (Kadariah, 1988).
Total Penerimaan
B/ C =
Total Biaya
Keterangan:
B/C = imbangan penerimaan dan biaya; TP = Total Penerimaan; TB = Total Biaya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan wilayah
Desa Aritonang merupakan desa yang berada ditengah-tengah antara
desa yang ada pada Kecamatan Muara. Jarak ibukota kecamatan dengan Desa
Aritonang sekitar 4 km. Luas Desa Aritonang sekitar 4,36 km2. Batas desa/
wilayah Desa Aritonang: Batas sebelah Utara: Danau Toba; Batas sebelah
Selatan: Kecamatan Bakara; Batas Sebelah Barat: Desa Batu Binumbur atau
Desa Simatupang; Batas Sebelah Timur : Desa Dolok Martumbur atau Desa
Sitanggur. Titik koordinat Desa Aritonang adalah 2ºº19’52,28” Bujur Timur dan 98º
53’51,76” Lintang Utara.
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk di Kecamatan Muara sekitar 13.727 jiwa berada di 15
desa/kelurahan, dan jumlah penduduk Desa Aritonang sekitar 875 jiwa yang terdiri
dari laki laki 406 jiwa dan perempuan 496 jiwa (Tabel 1).
Tabel 1: Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per desa/ kelurahan 2014 (jiwa)
Desa/ kelurahan Laki laki Perempuan Total
1. Huta Lontung 264 276 540
2. Barita Niaek 356 371 727
3. Silali Toruan 369 368 737
4. Hutana Nagodang 782 821 1603
5. Unte Mungkur 583 588 1171
6. Batu Binumbun 355 362 717
7. Simatupang 552 548 1100
8. Aritonang 406 469 875
9. Dolok Martumbur 330 345 675
10. Sitanggor 415 447 862
11. Huta Ginjang 751 759 1710
12. Silando 604 599 1203
13. Papande 326 359 685
14. Sibandang 403 481 884
15. Sampurna 194 244 438
2014 6690 7037 13727
Luas wilayah
896
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tanah kering 265 ha, bangunan 10 ha, lainnya 97 ha. Ketinggian dari dasar
permukaan laut (dpl) sekitar 950 m.
Karakteristik responden
Varietas Padi
Produktivitas Padi
897
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Analisis Usahatani
Umumnya banyak petani tidak mencatat dan menghitung secara rinci biaya
yang dikeluarkan dalam usahataninya. Hal ini, disebabkan pengetahuan petani
masih rendah dan merasa kurang perlu, akan tetapi untuk megetahui tingkat
pendapatan dan keuntungan yang diperoleh perlu dibuat analisis usahataninya.
Komponen analisis tersebut dibedakan 2 komponen, yaitu komponen biaya dan
komponen pendapatan. Keuntungan usahatani dapat dilihat dari selisih
penerimaan dengan total biaya produksi. Secara rinci analisis usahatani petani
responden di Desa Aritonang (Tabel 3). Tuliskan sedikit berapa biaya sewa lahan,
pupuk, obat-obatan, pengolahan lahan dan berapa ton hasil serta berapa harga
per kg.
898
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
-Penyemprotan 198.201,12
-Penyiangan 301.211,23
-Pemupukan 235.300,20
-Panen 1,102.441,39
-perontokan 1.102.310,34
-Total biaya pemupukan 686.145.92
-Total biaya pestisida 735.765,78
-Total biaya tetap 3.165.789,56
-Total biaya tenaga kerja 5.023.325,34
-Total biaya dikeluarkan petani 8.121.455,56
-Penerimaan 16.616.323,78
B/C Ratio 2,30
KESIMPULAN
899
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Muhammad Abid
ABSTRAK
Padi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga
kebutuhannya sangat banyak; maka menjadi target utama di Kementerian
Pertanian guna mewujudkan swasembada pangan. Keberhasilan program ini
tergantung pada penerapan teknologi di petani. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Juni sampai dengan Agustus tahun 2013 di Desa Lakea Dua, Kecamatan Lakea,
Kabupaten Buol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan sikap petani
dalam sistem penanaman benih langsung (tabela) untuk meningkatkan
pendapatan usahatani padi. Penelitian dilakukan dengan metode survei di 25%
rumah tangga (80 orang) yang menggunakan sistem penanaman benih langsung
(tabela) sebagai responden atau 20 rumah tangga petani. Teknik pengambilan
sampel untuk mengklasifikasikan data berdasarkan petani rumah tangga di pusat-
pusat pengembangan padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap petani
pada sistem penanaman benih langsung (atabela) di mana pada dasarnya
menerima dan dapat meningkatkan pendapatan petani di pertanian padi Rp.
2.878.052 per hektar untuk setiap musim tanam.
Kata Kunci : Sikap, teknologi, tabela, pendapatan, dan padi sawah
PENDAHULUAN
900
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
sebesar 1.234.342 ton (51.11 kw/ha) dan 1.324.228 ton (52,10 kw/ha) pada tahun
2014 (Dinas Pertanian, 2014). Pencapaian target tersebut maka dibutuhkan suatu
terobosan yang sifatnya nyata dilapangan. Peranan inovasi teknologi sangat
diharapkan dalam pencapian target tersebut sehingga beberapa teknologi yang
dapat diintroduksikan, yaitu penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB), pengaturan
sistem tanam, pemupukan berimbang dan pemberantasan hama dan penyakit.
Keberhasilan tentunya tidak mutlak dicapai apabila dipandang sebelah mata saja
(dari sisi teknis), tetapi beberapa hal pendukung dan dapat menentukan, yaitu
pembinaan kelompok dan koordinasi antara institusi terkait.
Kajian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agutus Tahun
2013 di Desa Lakea Dua Kecamatan Lakea Kabupaten Buol. Pemilihan lokasi
ditentukan secara sengaja (purpossive sampling) dengan pertimbangan bahwa
lokasi tersebut merupakan salah satu sentra tanaman padi sawah yang ada di
Kabupetan Buol. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode survey sebanyak
20% dari 30 RT petani padi sawah yang menggunakan sistem tabela untuk
menjadi responden. Teknik pengambilan sampel yaitu dengan mengelompokkan
data berdasarkan Desa yang merupakan sentra pengembangan padi.
Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari hasil
wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari instansi yang terkait.
Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan diskriptif,
menggunakan metode analisis sebagai berikut :
901
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
902
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ini, karena sistem perakarannya tidak terbenam dalam tanah, maka mudah
menyerap udara untuk bernafas. Berbeda dengan tanaman padi sistem pindah-
tanam yang mengalami stagnasi pertumbuhan pada saat bibit dipindah dari lahan
persemaian ke lahan budidaya. Bila dipindah, tanaman perlu waktu untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Kebiasaan petani selama ini, bibit
tanaman dibenam dalam tanah sampai semua perakarannya terbenam. Kondisi
ini menyebabkan sistem perakarannya kurang cepat untuk berkembang.
903
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
904
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
untuk biaya tetap Rp. 106.785. Total biaya yang dikeluarkan Rp. 1.085.552.
Sedangkan rata-rata penerimaan dalam satu musim tanam Rp. 3.963.604/ha.
Dengan demikian, rata-rata pendapatan petani satu musim tanam per hektar Rp.
2.878.052, maka rata-rata pendapatan yang diterima oleh petani relatif tinggi. Hal
ini mengindikasikan bahwa rata-rata pendapatan petani yang melakukan
usahatani padi memberikan kontribusi yang nyata terhadap pendapatan keluarga
petani.
KESIMPULAN
Hasil kajian dan analisis yang dilakukan terhadap data dan informasi yang
diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Anwar.K, dkk. 2005. Prospek Tanaman Padi Sebar Langsung di Lahan Irigasi.
Laporan hasil kunjungan lapang pada Pelatihan Metodologi dan Prosedur
Penelitian Pengembangan. Badan Litbang Pertanian
Anonim,---http://cahndeso-mbangundeso.blogspot.com/2011/03/tanam-benih-
padi-secara-langsung-tabela.html) diakses pada tanggal 26 November
2013, jam 08.00 Wita
BPS. 2012. Sulawesi Tengah Dalam Angka, BPS Provinsi Sulawesi Tengah, Palu.
Damardjati, D.S., I.G. Ismail dan T. Alihamsyah, 2007. Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan
Pengembangan Agribisnis. Dalam : Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbang
Tanaman Pangan Bogor.
Dinas Pertanian Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. 2014. Sambutan Gubernur
Sulawesi Tengah pada Acara Panen Perdana Padi Sawah di Desa
Ogoamas 1 Kec. Sojol Utara Kab. Donggala. Sulawesi Tengah.
Soekartawi, Soeharja A. Tohan L, Dillon, Hardaku 1994, Ilmu Usaha Tani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil, Universitas Indonesia,
Jakarta
________, 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasinya,
Universitas Indonesia Press, Jakarta.
905
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kata kunci :Kelembagaan formal dan informal, inovasi, dan analisis SWOT
PENDAHULUAN
906
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
a. Kekuatan (strength):
Dari sisi aspek internal, kekuatan yang dapat mendukung pengembangan
inovasi teknologi padi di provinsi Banten adalah : 1) Tersedianya berbagai
lembagaan formal dan informal; 2)Tersedianya Anggaran (APBN dan APBD);
3) Respon petani masih relatiftinggi terhadap inovasi padi.
b. Kelemahan (weakness):
Aspek internal, kelemahan dominan yang dapat mengganggu pengembangan
inovasi teknologi padi di Banten adalah : 1) Kurangnya koordinasi antara
lembaga formal dan informal; 2) Rendahnya kualitas dan kuantitas SDM
penyelenggaran program; 3) Hambatan birokrasi dalam penyaluran informasi.
c. Peluang (opportunity) : Dari sisi aspek eksternal, ada beberapa harapan
berupa peluang yang dapat mendukung pengembangan inovasi teknologi
padi di Banten adalah : 1) Dukungan kebijakan swasembada padi
berkelanjutan ; 2) Tersedianya teknologi inovasi padi : 3) Permintaan beras
masih tinggi.
d. Ancaman (threat): aspek eksternal, yang harus diperhitungkan kemungkinan
ada gangguan terhadap keberhasilan pengembangan inovasi padi di Banten
adalah : 1) Adanya perubahan iklim global : 2) Tersedianya laju konversi yang
tinggi ; 3) Alokasi anggaran riset inovasi tidak konsisten.
907
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kekuatan (S) :
Tersedianya berbagai kelembagaan formal dan
a informal X B a A a A 4 26.67
Peluang (O) :
Dukungan kebijakan swasemda padi
a berkelanjutan X A c d a A 3 20.00
908
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
faktor, nilai keterkaitan (NK), nilai bobot dukungan (NBD), nilai rata-rata keterkaitan
(NRK), nilai bobot keterkaitan (NBK) dan total nilai bobot (TNB).
NBD = BF * ND ;
NRK = Jumlah NK/(n-1) ;
NBK = NRK * BF ;
TNB = NBK + NBD
Selanjutnya memilih faktor kunci sukses (FKS), yaitu dengan cara memilih nilai
TNB terbesar pada masing-masing faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman.
Hasil analisis faktor tersebut di atas dapat dipilih sebagai faktor kunci
keberhasilannya seperti tertera pada Tabel 3.
Kekuatan (S) :
1 Tersedianya berbagai kelembagaan formal dan informal 26.67 5 1.33 0 2 4 5 1 1 2 2 1 2 3 1 2.18 0.58 0.78
2 Tersedianya Anggaran (APBN dan APBD) 20.00 3 0.60 2 0 5 2 2 3 5 5 1 5 5 5 3.64 0.73 0.44
3 Respon petani masih relative tinggi terhadap inovasi padi 6.67 3 0.20 4 5 0 3 1 1 3 5 1 4 5 5 3.36 0.22 0.04
Kelemahan (W) :
4 Kurangnya koordinasi antara kelembagaan formal-informal 13.33 3 0.40 5 2 3 0 5 5 2 1 1 2 5 5 3.27 0.44 0.17
5 Rendahnya kualitas dan kuantitas SDM di Padi 26.67 4 1.07 1 2 1 5 0 2 3 5 1 1 4 1 2.36 0.63 0.67
6 Hambatan birokrasi dalam penyaluran 6.67 3 0.20 1 3 1 5 2 0 1 5 1 1 4 4 2.55 0.17 0.03
Peluang (O) :
7 Dukungan kebijakan swasemda padi berkelanjutan 20.00 5 1.00 2 5 3 2 3 1 0 5 5 2 4 5 3.36 0.67 0.67
8 Tersedianya teknologi inovasi padi 6.67 5 0.33 2 5 5 1 5 5 5 0 4 4 1 5 3.82 0.25 0.08
9 Permintaan beras masih tinggi sebagai makanan pokok 6.67 3 0.20 1 1 1 1 1 1 5 4 0 1 1 1 1.64 0.11 0.02
Ancaman (T)
10 Adanya perubahan iklim global yang tidak menentu 33.33 2 0.67 2 5 4 2 1 1 2 4 1 0 5 5 2.91 0.97 0.65
11 Laju konversi lahan ke non sawah terus meningkat 13.33 3 0.40 3 5 5 5 4 4 4 1 1 5 0 3 3.64 0.48 0.19
12 Alokasi anggaran riset inovasi padi tidak konsistem 20.00 3 0.60 1 5 5 5 1 4 5 5 1 5 3 0 3.64 0.73 0.44
909
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Faktor Internal :
Faktor Eksternal :
Jika dari hasil analisis tersebut dipetakan kedalam suatu grafik 4 kuadran
sebagai gambaran kekuatan dalam pengembangan inovasi teknologi
padi,sehingga dapat membantu langkah-langkah apa yang dapat dilakukan dalam
rangka mengembangkan inovasi padi di provinsi Banten. Hasil pemetaan faktor-
faktor tersebut dapat dicermati pada gambar berikut ini (Gambar 1).
910
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
S=0,78
Kuadran IV Kuadran I
0,11
0,02
T=0,65 O=0,67
Kuadran II
Kuadran III
W=0,67
911
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
912
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
913
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Dewi Haryani
ABSTRAK
Kata kunci : Tingkat konsumsi, Pola Pangan Harapan (PPH), dan Ketahanan
pangan
PENDAHULUAN
Isu ketahanan pangan sering dikaitkan dengan krisis pangan dan
kemampuan negara (wilayah) menyediakan pangan bagi masyarakatnya.
Sehingga negara atau wilayah yang mengalami krisis pangan dan warganya
mengalami kelaparan dikatakan belum memiliki ketahanan pangan. Pada
perkembangan selanjutnya, kasus kelaparan ternyata masih terjadi meski negara
atau wilayah tidak lagi dalam kondisi krisis pangan. Lebih dari itu, prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk sebagai dampak kelaparan ternyata dapat terjadi pada
anggota rumah tangga yang secara ekonomi tergolong mampu.
Ketahanan pangan didefenisikan sebagai terjaminnya akses pangan bagi
setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya agar dapat hidup sehat dan
beraktivitas (Ariningsih, dan Handewi, 2008). Ada tiga dimensi yang saling terkait,
yaitu: 1) ketersediaan pangan, 2) aksesibilitas pangan, dan 3) stabilitas harga
pangan (Lantarsih , dkk). Menurut Gardjito dan Rauf (2009), tujuan dari
pembangunan ketahanan pangan adalah terwujudnya kemandirian pangan yang
cukup dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk melalui produksi dalam negeri.
Ketersediaan pangan di suatu daerah dapat dipenuhi dari tiga sumber, yakni
produksi dalam negeri, impor pangan dan cadangan pangan.
914
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
915
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
916
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
917
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
918
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
919
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Suryana A., Sudi, M, Ketut, K. dan I Putu W. 2009. Kedudukan Padi dalam
Perekonomian Indonesia dalam Padi Inovasi Teknologi dan Ketahanan
Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Sukamandi.
Singarimbun, M., Sofian E., 1989. Metode Penelitian Survai. Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
Sambutan Menko Bidang Perekonomian. Rapat Koordinasi Evaluasi Inpres
2/2005 dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Bidang
Pangan. 20 Juli 2005. Jakarta
Udhoro, K.A. 2011. Politik Pembangunan Pangan Indonesia dalam mengahadapi
era globalisasi dan meningkatkan kesejahteraan petani indonesia. Seminar
series of lecture dalam rangka LUSTRUM XIII Fakultas Pertanian UGM,
14Mei 2011.
www.erhaye.com. Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi.
2011
920
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Delima Napitupulu
ABSTRAK
Upaya khusus padi yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah masih
berjalan lambat karena petani kesulitan mendapatkan saprodi. Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) yang merupakan pendekatan dalam pengelolaan lahan,
air, tanaman, dan organisme pengganggu secara terpadu telah diterapkan
pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi padi nasional. Di Sumatera
Utara, kajian lapang menunjukkan bahwa petani tidak menerapkan semua
komponen teknologi yang diperkenalkan secara utuh. Mereka mempunyai
pertimbangan sendiri dalam menerapkan teknologi, terutama yang memberikan
produktivitas tinggi dan mudah diterapkan.Pengkajian dilaksanakan pada petani
padi di Kecamatan Gunung Malela dan Kecamatan Pematang Bandar. Tujuan
penelitian ini adalah untuk : 1)melihat penerapan komponen PTT padi petani, 2)
melihat analisa usaha padi di Kecamatan Gunung Malela dan Pematang Bandar.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian menggunakan metode Participatory
Rural Appraisal (PRA) dengan pendekatan Simpel Random Sampling dimana
petani sebagai titik awal (starting point). Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara dengan panduan pertanyaan terstruktur (kuesioner). Data dianalisis
secara deskriptif. Data primer dikumpulkan dari 60 petani (mewakili dua
kecamatan) dan 4 penggilingan padi. Data sekunder dikumpulkan dari Dinas
Pertanian Kabupaten Simalungun, Lembaga Penelitian, dan Dinas/Instansi terkait
lain. Petani yang menerapkan komponen PTT lebih banyak dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan. Petani dengan pendidikan yang tinggi lebih mengerti dan mau
melakukan komponen PTT dalam usahataninya. Produksi padi yang dihasilkan
petani di Kecamatan Gunung Malela lebih tinggi dibanding di Kecamatan
Pematang Bandar dengan nilai masing-masing 6 ton/ha dan 5,5 ton/ha.
Pendapatan petani dan B/C ratio di Kecamatan Gunung Malela lebih tinggi
dibanding Kecamatan Pematang Bandar dengan nilai masing-masing
Rp.14.602.000,- , B/C ratio 1,30 dan Rp.13.063.000,- , B/C ratio 1,23.
PENDAHULUAN
921
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
922
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui hasil wawancara
dengan petani dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan). Data
sekunder dikumpulkan dari Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun, Lembaga
Penelitian, dan Dinas/Instansi terkait lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
923
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
tempat 300 m dpl) dan Pematang Bandar (ketinggian tempat 200 m dpl) untuk
usahatani padi tergolong dalam kriteria sempit, yaitu sekitar 0,2-0,5 ha (Tabel 1).
Menurut Suryana dan Sudi (2001), bahwa setidaknya ada empat ciri utama
petani padi Indonesia yaitu; rata-rata skala penguasaan lahan usahatani tergolong
sempit sekitar 0,3 ha/petani, sekitar 70 persen petani (khususnya buruh tani dan
petani berskala kecil) termasuk golongan masyarakat miskin atau berpendapatan
rendah, sekitar 60 persen petani adalah net consumer beras, dan rata-rata
pendapatan usahatani memberikan kontribusi sekitar 30 persen dari total
pendapatan rumah tangga
Padi yang ditanam petani masih didominasi oleh varietas lokal lokal. Dari
hasil survey, 85% petani masih menanam varietas lokal yang mereka duga adalah
varietas Ramos karena rasanya enak dan manis sehingga lebih disukai oleh
konsumen. Petani yang menggunakan benih berlabel sebanyak 15%.
924
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
925
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
yang aktif di kelompok tani maupun petani yang sering diikutsertakan dalam
pelatihan PTT.
Aspek pemupukan
Pada waktu memupuk padi, petani masih tetap menggunakan majemuk
Phonska walaupun sudah memberikan pupuk tunggal Urea, SP-36 dan KCl.
Pupuk tunggal diminimalkan petani untuk mengurangi beban transportasi ke
lapangan, sehingga pupuk yang diberikan tidak efisien. Petani tertarik
menggunakan pupuk majemuk Phonska karena transportasi yang lebih mudah di
lapangan dengan aplikasi yang lebih cepat, tidak memakan waktu yang lama.
Sementara pupuk tunggal memakan biaya yang lebih tinggi dari sisi transportasi
dan tenaga kerja karena harus mencampur pupuk dan jumlahnya lebih banyak.
Petani sudah 10% mengenal Bagan Warna daun (BWD) tetapi belum terbiasa
menggunakannya. Hal ini karena petani menggunakan BWD pada saat PPL
datang ke lokasi kegiatan untuk membantu dalam penerapan teknologi
pemupukan. Petani sendiri belum sepenuhnya memahami manfaat BWD. Untuk
itu sosialisasi BWD masih perlu dilakukan lebih intens lagi bagi petani (Tabel 2).
926
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 3. Usahatani padi yang diterapkan petani di Kecamatan Gunung Malela dan
Kecamatan Pematang Bandar Kabupaten Simalungun. 2015
Kecamatan
Uraian
Gunung Malela Pematang Bandar
Biaya produksi (Rp) 2.567.500 2.279.000
Tenaga kerja (Rp) 8.630.000 8.307.500
Produksi (ton /ha) 5-6,5 5-6
Persediaan gabah/musim/ RT(kg) 100-400 100-400
Biaya Produksi (Rp) 11.198.000 10.587.000
Penerimaan (Rp) 25.800.000 23.650.000
Pendapatan petani (Rp) 14.602.000 13.063.000
R/C Ratio 2,30 2,23
B/C Ratio 1,30 1,23
Tabel 4. Keadaan umum dari petani sampel di Kecamatan Gunung Malela dan
Kecamatan Pematang Bandar
Jumlah petani (%)
Umur (%) Tingkat Pendidikan PTT Padi
Yang
Komponen
Kecamatan D3- sudah
20-60 >60 SD SMP SMA yang
S1 sosialis
dilaksanakan
asi
Gunung 62,2 37,8 43,33 23,33 26,67 6,67 33,3 3
Malela
P. Bandar 54,8 45,2 46,67 30 23,34 0 33,3 1
927
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
928
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social
Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.
BPS. 2014. Statistik Pertanian Kabupaten Simalungun Tahun 2014.
Buckman, R. H. 2004. Bulding a Knowledge-Driven Organization.Electronical
Jurnal of Knowledge Management.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. 2006. Pedoman Umum
Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Lahan dan Air. Jakarta.
Direktorat Perlindungan Tanaman. 2011. Laporan serangan hama dan penyakit
di Indonesia tahun 2011.
Irianto, A. 2004. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya. Penerbit Kencana.
Jakarta.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Nurbaeti, B., Siti Lia Mulijanti, dan Taemi Fahmi. 2008. Penerapan model
pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu padi sawah irigasi di
Kabupaten Sumedang. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian 11(3): 268-279.
Oka, M. Adnyana., A. M. Hurun, dan A. Djulin. 1990. Perubahan Struktur
Usahatani Padi Sebagai Dampak Penerapan Teknologi Supra Insus.
Bogor. 10(1):46-53.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 2008. Peningkatan
Produksi Padi Menuju 2020.http://pangan.litbang.deptan.go.id/repositori-
20.html
Puslitbangtan. 2008. Panduan pelaksanaan SL-PTT. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Swastika, D.K.S. 2004. Beberapa Teknis Analisis Dalam Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian Vol. 7:90-103.
Suryana, A. & Sudi Mardianto, 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM FEUI,
Jakarta.
929
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
BalaiPengkajianTeknologiPertanianSumatera Utara
Jl. A.H Nasution No. 1B Medan Sumatera Utara
Email : harahaptohir@gmail.com
ABSTRAK
Kata Kunci :Sistem Tanam Jajar Legowo, PTT Padi, Tapanuli Tengah
PENDAHULUAN
930
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada umumnya, varietas padi pada kondisi jarak tanam yang sempit akan
mengalami penurunan kualitas pertumbuhan, seperti jumlah anakan dan malai
yang lebih sedikit, panjang malai yang lebih pendek dan tentunya jumlah gabah
permalai berkurang dibandingkan pada kondisi jarak tanam lebar. Fakta dilapang
membuktikan bahwa penampilan individu tanaman padi pada jarak tanam lebar
lebih bagus dibandingkan dengan jarak tanam rapat. Pada jarak tanam lebar 50
x 50 cm, varietas inpari 9 dapat menghasilkan lebih dari 50 anakan/rumpun,
dengan vigor vegetative yang sangat baik terutama apabila tanah cukup air dan
hara. Sebaiknya, pada kondisi jarak tanam rapat (20x20) cm hanya menghasilkan
anakan <20 anakan/rumpun (BB padi 2013).
931
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
932
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pada awalnya, yaitudalam MT-1 tahun 2010, hanya sedikit petani yang
menerapkan system tanam jarwo yaitu sekitar 4,7% (Tabel 1).
Tabel 1. Kelompok tani dan petani yang menerapkan jajar legowo 4:1 di
Kabupaten Tapanuli Tengah
Jumlah Jumlah anggota yang menerapkan
No Nama Kelompok
anggota MT I 2010 MT I 2011 MT II 2011 MT I 2012
1 Abadi 45 2 14 18 21
2 Sepakat 53 2 5 14 18
3 Bergiat 30 2 6 9 12
4 Maju Bersama 36 2 7 12 11
5 Katya Maju 46 2 15 17 17
Total 210 10 47 70 79
% 4.7 22 33 38
Pada tahun 2011, jumlahpetani yang menerapkan system tanam jarwo 4:1
semakin meningkat (22%). Peningkatan penerapan system tanam jarwo juga
terjadi di musim tanam berikutnya walaupun tidak terlalu besar. Secara
keseluruhan terlihat bahwa respon petani terhadap sistem tanam jajar legowo
masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase petani yang
menerapkan sistem tanam jajar legowo masih dibawah 50%.
933
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil-Hasil Penelitian
Sistem tanam Legowo merupakan salah satu bentuk rekayasa teknologi
untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman padi dengan pengaturan populasi
sehingga tanaman mendapatkan ruang tumbuh dan sinar matahari yang optimum
(Suriapermana, dkk. 2000). Terutama pada musim penghujan dengan intensitas
matahari yang rendah, De Datta (1981) dalam Zaini (2009) menyatakan bahwa
peningkatan populasi tanaman sangat penting untuk meningkatkan hasil gabah
dan efisiensi pemanfaatan pupuk N karena jumlah anakan yang terbentuk pada
kondisi tersebut menjadi lebih rendah.
Pengelolaan populasi tanaman saja tidak cukup tetapi harus disertai
pengelolaan air yang benar. Sesbany (2011) mengemukakan bahwa pada kondisi
air macak-macak pertumbuhan tanaman lebih baik. Hasil penelitian Kamandalu
dkk., (2006) berbagai keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan sistem
tanam Jarwo antara lain kemudahan dalam hal penyiangan, pemupukan serta
pemeliharaan tanaman.
Pada umumnya petani belum menerapkan tanam jajar legowo seperti yang
sesuai dengan petunjuk teknis, misalnya legowo 4:1 ataulegowo 2:1 dengan jarak
tanam (20x10x40) cm atau (25x12,5x50) cm. Petani menggunakan system tanam
jajar legowo 6:1 dimana jarak antar baris 25 cm dan jarak dalam baris 15-20 cm
sertaj arak setiap 6 baris 30 cm, dengan demikian populasi tanaman per hektar
tidak bertambah dibandingkan dengan cara tanam system tegel. Hal ini berkaitan
dengan masih belum terampilnya regu tanam dalam menerapkan system tanam
jarwo sesuaianjuran. Oleh karena itu penanaman membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan system tegel sehingga menyebabkan biaya tanam
lebih mahal sekitar10-15%.
934
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
1. Respon petani terhadap sistem tanam jajar legowo di Kecamatan Pandan,
Kabupaten Tapanuli Tengah masih tergolong rendah.
2. Kendala penerapan system tanam jajar legowo utamanya adalah kurangnnya
pemahaman akan manfaat, belum terampilnya regu tanam, dan belum
tersedianya alat bantu untukpenanaman.
SARAN
1. Sosialisasi akan manfaat system tanam jarwo perlu dilakukan lebih intensif.
2. Demplot system tanam jarwo perlu dibuat dan dibandingkan dengan pola
tanam petani.
3. Pelatihan regu tanam jarwo perlu ditingkatkan dan didukung oleh alat bantu
tanam yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O. dan Kariyasa, K. 2006. Dampak dan persepsi petani terhadap
penerapan sistem pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 25(1): 21-29.
Abdulrachman, S., N. Agustiani, L.M. Zarwazi, dan I. Syarifah. 2011. Peningkatan
efisiensi penggunaan air pada padi sawah (>20%) melalui sistem aerobik.
Laporan Hasil penelitian. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
BPS Tapanuli Tengah, 2013.Tapanuli Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Tapanuli Tengah.
BB Padi, 2013. Panduan Teknis Sistem Tanam Jarwo. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kemeterian Pertanian. Jakarta.
Dirjen Tanaman Pangan, 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan
Kacang Tanah Tahun 2010. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Kementerian Pertanian, Jakarta.
Kamandalu A.A.N.B., I B.K Suastika, dan I K.D Arsana, 2006. Kajian Sistem
Tanam Jajar Legowo terhadap produksi padi sawah. Prosiding Seminar
Nasional Percepatan Transformasi Teknologi Pertanian untuk mendukung
pembangunan wilayah. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Bogor. 586 p
Suryana, A., Suyamto, Baehaki SE., S. Abdurachman., I. N. Widiarta., H. M. Toha.,
H. Sembiring., Hermanto., dan H. Kasim. 2008. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Suryapermana S, N Indah, dan Y Surdianto. 2000. Teknologi Budidaya padi
dengan cara tanam legowo pada lahan sawah irigasi. Simposium
Penelitian Tanaman Pangan IV: Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi
935
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
936
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
937
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Bengkulu tahun 2013, tingkat produktivitas padi sawah di Kabupaten Seluma yaitu
3,90 ton/ha, masih di bawah rata-rata produktivitas padi di Provinsi Bengkulu yaitu
4,29 ton/ha. Produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan, salah satunya adalah
dengan peningkatan adopsi atau penggunaan teknologi pertanian.
938
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jenis data yang digunakan dalam pengkajian ini adalah data primer,
meliputi karakteristik petani, pengetahuan dan afektif petani dalam berusahatani
padi. Pengetahuan petani dalam berusahatani padi dilihat dari 6 indikator, yaitu
(1) VUB dan benih bermutu dan berlabel, (2) penyemaian, (3) penanaman, (4)
pemupukan; (5) perbenihan, dan (6) komponen teknologi PTT padi sawah. Afektif
petani dilihat dari 6 indikator, yaitu (1) kesesuaian teknologi PTT dengan
lingkungan/kondisi setempat, (2) kesesuaian teknologi PTT dengan kebutuhan
petani; (3) kemudahan penerapan teknologi PTT di lapangan, (4) kesesuaian
penerapan teknologi PTT dengan ketersediaan modal petani; (5) kesesuaian
teknologi PTT dengan kebiasaan cara budidaya petani; (6) manfaat teknologi
perbenihan dalam peningkatan kemampuan petani tentang penangkaran benih.
Secara rinci nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator tersaji
pada Tabel 1, 2 dan 3.
Tabel 1. Nilai indikator pengetahuan petani dalam kegiatan usahatani padi sawah
No. Indikator NST NSR JIK NR PI
1. VUB dan benih bermutu 2 0 3 2 0,67
dan berlabel
2. Persemaian 2 0 3 2 0,67
3. Penanaman 6 0 3 6 2,00
4. Pemupukan 3 0 3 3 1,00
5. Perbenihan 1 0 3 1 0,33
6. Komponen teknologi PTT 4 0 3 4 1,33
Skor Total Pengetahuan 18 0 3 18 6,00
939
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Nilai interval kelas skor total dan kriteria nilai indikator pengetahuan
petani dalam usahatani padi sawah
VUB dan Penyemaian
benih dan
Kriteria
No. bermutu Komponen Penanaman Pemupukan Perbenihan
Nilai
dan teknologi
berlabel PTT
Tabel 3. Nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator afektif petani
dalam usahatani padi sawah
No. Interval Kelas (Per Pertanyaan) Kriteria Nilai
1. 1,00 ≤ x ≤ 1,80 Sangat negatif
2. 1,80 < x ≤ 2,60 Negatif
3. 2,60 < x ≤ 3,40 Netral
4. 3,40 < x ≤ 4,20 Positif
5. 4,20 < x ≤ 5,00 Sangat positif
D
T =
𝑺𝑫
[ ]
√𝑵
Dimana : t : nilai t hitung
D : rata-rata selisih pengukuran 1 dan 2
SD : standar deviasi pengukuran 1 dan 2
N : jumlah sampel
940
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Rata-rata luas lahan petani adalah 0,61 hektar dengan kisaran luas 0,25 –
1,75 hektar. Besar kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh petani akan
mempengaruhi aktivitasnya dalam melakukan aktivitas usahatani. Semakin luas
lahan biasanya petani semakin cepat mengadopsi, karena memiliki kemampuan
ekonomi yang lebih baik (Mardikanto dalam Choirotunnisa, 2008).
941
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
942
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
943
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 7. Sikap Petani dalam Budidaya Padi Sawah dengan Pendekatan PTT di
Kabupaten Seluma Tahun 2015
No Uraian Skor Kriteria
1. Kesesuaian teknologi PTT dengan 4,25 Sangat postif
lingkungan/kondisi setempat
2. Kesesuaian teknologi PTT dengan kebutuhan 4,46 Sangat postif
petani
3. Kemudahan penerapan teknologi PTT di 4,38 Sangat postif
lapangan
4. Kesesuaian teknologi PTT dengan ketersediaan 3,92 Positif
modal petani
5. Kesesuaian teknologi PTT dengan kebiasaan 3,79 Positif
cara budidaya petani
6. Manfaat teknologi perbenihan dalam 4,25 Sangat postif
peningkatan kemampuan petani tentang
penangkaran benih
Rata-Rata 4,17 Positif
Sumber : data primer terolah, 2015
Keterangan : *1,00 ≤ x ≤ 1,80 = Sangat negatif; 1,80 < x ≤ 2,60 = Negatif; 2,60 <
x ≤ 3,40 = Netral; 3,40 ≤ x ≤ 4,20 = Positif; 4,20 ≤ x ≤ 5,00 =
Sangat positif
944
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Apps, J.W. 1973. Toward A Working Philosophy of Adult Education. New York:
Publication In Continuing Education. Syracuse University.
Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2010.
Menerapkan Metode Penyuluhan Level Supervisor. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu. 2013. Bengkulu Dalam Angka.
Bengkulu. BPS Bengkulu.
Choirotunnisa, Sutarto, dan Supanggyo. 2008. Hubungan Karakteristik Sosial
Ekonomi Petani dengan Tingkat Penerapan Model Pengelolaan Tanaman
Terpadu Padi Sawah di Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten
Sukoharjo. Agritexts No. 24 Desember 2008.
Cruz, F. A. 1987. Adoption and Diffusion on Agricultural Innovations. Hal 97 –
124. dalam Valera. Jaime B. et. al. 1987. An Introduction to Extension
Delivery Systems. Island Publishing House. Inc. Manila.
Hanafi, A. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha Nasional :
Surabaya.
Indraningsih, K.S. 2011. Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam
Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Jurnal Agro Ekonomi
29(1):1-24.
Makarim, A.K. & I. Las. 2005. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah
Irigasi Melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT). Dalam Suprihatno dkk. (Penyunting). Inovasi
Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Puslitbangtan,
Badan Litbang Pertanian. Hal. 115-127.
Mandias, R. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Masyarakat
Desa dalam Memanfaatkan Fasilitas Kesehatan di Desa Pulisan
Kecamatan Likupang Timur Minahasa Utara. JKU 1(1):46-52.
Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS. Press Surakarta
Musyafak, A dan T.M. Ibrahim. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi
Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Jurnal Analisis Kebijakan
Pertanian Volume 3 (1): 20-37
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi
Sawah Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di
Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas
Sriwijaya. Palembang.
945
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
946
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
947
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Karakteristik Responden
948
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Inovasi PTT sarat akan teknologi teknis salah satu komponen dasar PTT
adalah penggunaan varietas unggul baru, penggunaan benih bermutu, sistem
tanam, penggunaan pupuk berimbang, pengendalian OPT. Hasil analisis dampak
penerapan komponen PTT terhadap pengetahuan petani menunjukkan bahwa
yang sangat mengetahui tentang varietas unggul hanya 3 orang, yang tahu 19
orang, kurang tahu 6 orang dan yang sama sekali tidak tahu 2 orang. Pada
penggunaan benih bermutu responden yang sangat mengetahui tidak ada, yang
tahu 24 orang, yang kurang tahu 5 orang dan yang sama sekali tidak tahu 1 orang.
Untuk komponen sistem tanam pada PTT yang sangat mengetahui 1 orang, yang
tahu16 orang, yang kurang tahu 9 orang dan yang sama sekali tidak tahu 4 orang.
Pada komponen PTT penggunaan pupuk berimbang yang sangat mengetahui 1
orang, yang tahu 10 orang, yang kurang tahu 12 orang dan yang sama sekali tidak
tahu 7 orang. Pada komponen pengendalian OPT yang sangat mengetahui
tentang pengendalian OPT 1 orang, yang tahu tentang pengendalian OPT 16
orang, yang kurang tahu 11 orang dan yang sama sekali tidak tahu 2 orang (Tabel
2).
949
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
950
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
0.014 < (0.050) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan
Komponen PTT terhadap ketrampilan petani. Dalam hal ini dapat dilihat terdapat
petani yang sudah sangat terampil dan terampil dalam penggunaan komponen
PTT.Pada tabel juga masih terdapat nilai kurang terampil dan tidak terampil yang
tinggi pada komponen penggunaan pupuk berimbang dan pengendalian OPT, hal
ini di sebabkan kurangnya ketersediaan alat PUTS dan BWD di daerah tersebut
dan kurangnya modal petani untuk membeli pupuk.
951
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
hasil analisis pada Tabel 4. Dapat dilihat sikap setuju terhadap penerapan
komponen PTT sangat tinggi terutama pada komponen varietas unggul hal ini
disebab kan bahwa petani menyadari bahwa dengan menerapkan komponen PTT
dapat meningkatkan produksi. Arsyad (2011) menyatakan bahwa inovasi yang
berpeluang tinggi akan diadopsi petani adalah Varietas Unggul Baru. Hali ini
disebabkan penggunaan VUB secara teknis mudah dilakukan, daya hasil tinggi,
tahan terhadap hama penyakit tertentu.
KESIMPULAN
Adnyana, M.O. dan Kariyasa, K. 2006. Dampak dan persepsi petani terhadap
penerapan sistem pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 25(1): 21-29.
Arsyad, D.Mdan E. Jamal. 2011. Kajian Karakter Inovasi Teknologi padi sawah
Guna Percepatan Adopsinya. Prosiding. Seminar Nasional Pengkajian dan
diseminasi Inovasi Pertanian mendukung Program Strategis Kementerian
Pertanian: 1473-1481
BPS,2012. Serdang Bedagai Dalam Angka. 2011.
Bananiek, S, Agussalim, Qomariah, R, 2014, Peningkatan Pendapatan Usaha
Tani Padi Sawah Melalui Penerapan Komponen Teknologi PTT di Sulawesi
Tenggara. Prosiding Seminar Nasional” Inovasi Teknologi Pertanian
Spesifik Lokasi. Banjar baru.
Deptan, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Departemen Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Herawati, 2002. Untuk Menentukan Pola Diseminasi Pengelolaan Tanaman
Terpadu Padi Sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian Vol. 16 No. 1, Maret 2013:44-45
Notoadmojo, soehidjo. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta . rineka cipta
Sumarno. 2008. Memfasilitasi petani agar responsif terhadap inovasi
teknologi. P. 1-18. Dalam Sudarmadi Purnomo (ed.). Prosiding Seminar
Pembangunan Petani Melalui Informasi dan Teknologi Pertanian. BPTP
JawaTimur dan Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya. Malang.
Soemarno, 2008. Memfasilitasi petani agar responsive terhadap inovasi teknologi
P 1-18 Dalam Sudarmadi Purnomo (ed) Prosiding seminar Pembangunan
Petani Melalui Informasi dan Teknologi Pertanian BPTP Jawa Timur dan
Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya Malang
952
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Asrul Koes , Nuning Argo Subekti, I Nyoman Widiarta, dan I Made Jana Mejaya
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang, beras masih menjadi
pilihan pertama sumber karbohidrat bagi lebih dari 80% penduduk di Indonesia.
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% pertahun dan tingkat
konsumsi perkapita yang masih tinggi, maka diperlukan upaya peningkatan
produksi pangan khususnya beras untuk mempertahankan swasembada beras
berkelanjutan dan pemantapan kondisi ketahanan pangan yang berdaulat.
Untuk mencapai swasembada beras nasional yang berkelanjutan
dibutuhkan peningkatan produksi dan produktifitas padi nasional. Selama ini
953
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
peningkatan produksi padi lebih banyak disumbang oleh perluasan areal panen,
sedangkan kenaikan produktivitas hanya sebesar 1,02% (Kementan, 2012). Untuk
mengungkit peningkatan produksi melalui produktivitas salah satu strategi yang
ditempuh oleh Kementerian Pertanian adalah melalui penyediaan benih bermutu
tinggi dari varietas unggul padi yang dihasilkan dari sistem perbenihan yang maju.
Dalam periode 2000-2015, Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah melepas 77 varietas unggul padi
yang 58 varietas padi sawah diantaranya untuk lahan sawah irigasi (INPARI), 10
varietas padi gogo (INPAGO), dan 9 varietas unggul padi rawa/lebak (INPARA).
Peran varietas unggul dalam peningkatan produksi dan produktivitas adalah
melalui pencapaian potensi dan kualitas hasil yang tinggi serta melalui keunggulan
adaptasi atau toleran terhadap faktor pembatas biotik dan abiotik.
954
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
955
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
956
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Selain itu, terkadang calon penangkar benih dalam model ini melakukan
kemitraan dengan produsen benih dalam memproduksi calon benih. Hal ini
957
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
958
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
959
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
960
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
memenuhi standar gizi yang dianjurkan. Pola konsumsi pangan rumah tangga
dipengaruhi oleh pola makan sebagian besar penduduk, ketersediaan bahan
pangan, dan tingkat pendapatan (Suhardjo, 1996).
961
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Berdasarkan hasil uji chi-square yaitu 0,0000 lebih kecil dari nilai a (0,05).
Dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras berdampak signifikan terhadap
frekuensi pembelian beras. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan rumah tangga
strata pendapatan rendah lebih sering melakukan pembelian beras dibandingkan
dengan rumah tangga strata pendapatan yang lain. Perilaku pembelian responden
yang membeli beras dalam jumlah sedikit karena rendahnya daya beli yang
mereka miliki (Tabel 2).
962
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Maka dihasilkan :
963
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
964
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
965
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jl. Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu, Pontianak Utara Kalimantan Barat
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A.H. Nasution No. 1 B Medan 20143 Sumatera Utara
Email: malyaputri@yahoo.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Kalimantan Barat dengan luas areal seluas Pulau Jawa dan Bali dan
dengan penduduk kurang dari 5 juta jiwa, terdiri dari 14 kabupaten/kota. Luas
966
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
panen tanaman padi sawah di Kabupaten Mempawah sekitar 45.799 ha, dengan
rata-rata produksi 33,14 kuintal/ha dan total produksi 151.796 ton (BPS 2014).
Badan Litbang Pertanian sebagai sumber inovasi pertanian dan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi sebagai penyedia teknologi
spesifik lokasi pada lima tahun terakhir ini, terus melaksanakan program akselerasi
diseminasi dan proses alih teknologi hasil penelitian guna mendukung
keberhasilan pelaksanaan program strategis Kementerian Pertanian. Program
tersebut meliputi Prima Tani, pendampingan teknologi SL-PTT, penyebaran materi
diseminasi dalam bentuk cetak dan elektronik, display varietas unggul baru di
beberapa lokasi, dan demplot penerapan teknologi anjuran.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi merupakan suatu pendekatan
yang akan mengembalikan tingkat hasil panen padi seperti semula, karena dengan
PTT hasil gabah dan kualitas beras meningkat melalui penggunaan teknologi
yang tepat selain itu biaya usahatani padi juga berkurang (Babihoe, 2007). Faktor-
faktor penentu distribusi penerapan inovasi pertanian spesifik lokasi di Kalimantan
Barat masih belum didokumentasikan dengan baik, seperti penyebaran varietas
unggul baru, faktor penentu keberhasilan distribusi inovasi pertanian, maupun
karakter sosial, ekonomi dan budaya yang dipahami sangat menentukan
penerimaan dan adopsi teknologi anjuran baru. Informasi tersebut diperlukan
untuk perbaikan strategi diseminasi hasil pengkajian BPTP Kalbar ke depan.
Pengkajian bertujuan untuk memetakan pola distribusi penerapan inovasi
PTT padi, mengetahui faktor penentu keberhasilan distribusi inovasi, memetakan
karakteristik sosial, ekonomi dan budaya, serta sasaran penerima inovasi.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Mempawah pada 2 kecamatan
yaitu Kecamatan Toho dan Siantan dan dari masing-masing kecamatan dipilih 2
desa dengan kriteria yang sudah baik dan kurang baik adopsi PTT nya yaitu Desa
Kecurit dan Desa Terap di Kecamatan Toho serta Desa Sungai Nipah dan Wajok
Hilir di Kecamatan Siantan Untuk setiap desa kemudian dipilih 20 responden yang
dianggap mewakili dan pemilihannya dilakukan secara purposive (sengaja).
Kegiatan kajian dilakukan beberapa tahapan yaitu koordinasi dengan
instansi terkait dan pertemuan dengan kelompok tani serta wawancara dengan
menggunakan kuesioner, dilakukan selama 10 (sepuluh) bulan dari bulan Maret
sampai dengan Nopember 2014
Metode yang digunakan dalam kegiatan yaitu metode survey dengan
pendekatan PRA/RRA dan wawancara dengan petani atau penerima inovasi
pertanian dengan membuat daftar pertanyaan dan pengambilan data primer dan
sekunder. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi serta dianalisis secara
diskriptif (persentase dan distribusi frekuensi, kisaran dan rata-rata). Adapun
parameter yang diamati dalam kajian ini adalah: karakteristik dari petani
responden di lokasi kajian (umur, pendidikan, pengalaman berusaha tani), luas
penguasaan lahan, penerapan PTT, tingkat pendapatan petani dan pola
penyampaian informasi yang sesuai.
967
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
968
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Penguasaan lahan
Tingkat kepemelikan dan status lahan dari petani responden pada desa
PTT maupun desa Non PTT dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Penguasaan Lahan (ha)
Ds. Kecurit Ds. Terap Ds. Sui Nipah Ds. Wajok Hilir
Luas Penguasaan (PTT) (Non PTT) (PTT) (Non PTT)
Lahan (ha) Jmlh Jmlh Jmlh Jmlh
% % % %
(org) (org) (org) (org)
Milik Sendiri
< 0,25 0 0 0 0 5 25 1 5
0,26-0,50 3 15 6 30 1 5 2 10
0,51-1,0 6 30 6 30 0 0 3 15
>1,0 2 10 2 10 0 0 0 0
Sewa
< 0,25 1 5 2 10 2 10 0 0
0,26-0,50 5 25 4 20 6 30 4 20
0,51-1,0 2 10 0 0 6 30 6 30
>1,0 1 5 0 0 0 0 4 20
Jumlah Total 20 100 20 100 20 100 20 100
969
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Sekitar 5-25% petani di Kec Siantan memiliki luas lahan < 0,25 ha, 5-10%
memiliki lahan seluas 0,26-0,50 ha dan sekitar 15 % memiliki lahan seluas 0,51-
1 ha. Selanjutnya sekitar 10 % petani di Kec. Siantan menyewa lahan orang lain
dengan rata luas lahan < 0,25 ha, 20-30 % menyewa lahan seluas 0,26-0,50 ha
dan sekitar 30 % petani menyewa laha seluas 0,51-1 ha
Penerapan PTT
Di desa PTT yaitu Desa Kecurit sekitar 95% (19 orang) petani pernah
mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)
padi sehingga umumnya memiliki pengetahuan tentang PTT. Sementara itu di
desa Non PTT yaitu desa Terap sekitar 60% petani menyatakan belum pernah
mengikuti kegiatan SL-PTT, namun sekitar 40% nya sudah pernah mendengar dan
menerapkan komponen PTT tersebut.
Terhadap penggunaan bahan oganik di daerah PTT yaitu desa Kecurit,
kecamatan Toho dan desa Sungai Nipah, kecamatan Siantan, sebagian besar
petani yaiu kiaran 65-85% sudah menggunakan bahan organik pada lahan usaha
taninya. Petani sudah mengerti bahwa dengan penambahan bahan organik dapat
meningkatkan unsur hara dan dapat menghemat penggunaan pupuk an-organik.
Adapun bahan organik yang digunakan berupa pupuk kandang, sisa tanaman,
pupuk hijau dan kompos sebanyak 5 ton/ha. Selain itu jerami padi sisa panen
dikembalikan lagi ke lahan dengan cara dibenamkan atai dalam bentuk kompos
atau dijadikan pakan ternak yang kotorannya diolah menjadi pupuk kandang,
sehingga tidak perlu lagi membeli pupuk organik.
Menurut Miftahul (2005), penggunaan lahan sawah secara intensif dan
terus menerus menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan sifat fisika-kimia
tanah. Sehingga untuk memperoleh hasil produksi yang tinggi pada pengelolaan
lahan sawah irigasi selalu digunakan pupuk an-organik tanpa disertai penambahan
bahan organik. Akibatnya, jumlah dan kualitas bahan organik tanah kian menurun.
Penanaman bibit umur muda (<21 hari setelah semai=HSS) sudah
diterapkan di seluruh desa, salah satu komponen teknologi PTT adalah
pemakaian bibit muda <21 HSS, kecuali pada daerah-daerah yang endemis keong
emas. Teknologi penanaman padi sawah dengan umur bibit yang relatif muda
memiliki keunggulan antara lain dapat mengurangi kerusakan bibit, tanaman tidak
mengalami stagnasi, dan pertumbuhan tanaman lebih cepat.
Sekitar 50% dari petani di daerah yang sudah menerapkan PTT sudah
mulai menggunakan Bagan Warna Daun (BWD) untuk mengetahui dosis
pemupukan Nitrogen (Urea). Dengan penggunaan BWD dapat meningkatkan
efisiensi pemupukan Nitrogen pada tanaman padi. Pemupukan susulan Urea
berdasarkan bagan warna daun dapat meningkatkan efisiensi pemupukan Urea
sehingga mampu menghemat penggunaan pupuk Urea hingga 40%.
Kartaatmadja dkk. (2001) menyataan bahwa penerapan BWD dapat menghemat
penggunaan pupuk N dalam usaha tani padi. Abdulrachman dkk. (2001) juga
970
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Pengolahan tanah untuk daerah PTT maupun non PTT bervariasi di Desa.
Sungai Nipah dan Wajok Hilir (Kecamatan Siantan), petani di daerah tersebut
melakukan pengolahan tanah secara tradisional, dimana tanah dibersihkan dari
gulma dengan menggunakan herbisida dan sisa tanaman dengan menggunakan
tajak, setelah itu tanah dicangkul secara manual. Pengolahan tanah yang
dilakukan tidak terlalu dalam untuk menghindari terakumulasinya lapisan pirit ke
atas permukaan tanah. Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah
pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang
masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit
tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit
berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni
tanaman. Pirit dapat terkena udara apabila diangkat ke permukaan tanah
(misalnya pada waktu mengolah tanah, membuat saluran, atau membuat surjan).
(Gambar 1).
971
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
petani yang menggunakan benih hasil panenan sendiri. Di antara kelompok tani
yang ada di daerah tersebut juga sudah ada yang menjadi penangkar benih yaitu
kelompok tani Tapioka dan Usaha Bersama. Sedangkan di Desa Terap yang
merupakan desa Non PTT, 11 kelompok tani masih ada yang menggunakan
varietas lokal, sedangkan varietas unggul yang digunakan adalah Ciherang, Inpara
2 dan Inpara 3. Selain itu, di Desa ini petaninya sangat sulit untuk menggunakan
benih bermutu jika harus membeli karena selama ini mereka menggunakan benih
bermutu jika ada bantuan dari Pemerintah.
Sebanyak 65-85% petani di Desa PTT maupun Non PTT sudah mengerti
dalam hal perlakuan benih sebelum disemai. Sebagian dari petani tersebut sudah
memberi perlakuan pada benihnya dengan direndam air garam atau dengan
pestisida, sebagian lainnya hanya merendam dengan air biasa.
Pemupukan P dan K juga sudah dilakukan di masing-masing daerah PTT
maupun Non PTT. Adapun pemupukan P dan K biasanya diberikan dalam bentuk
pupuk majemuk NPK, dan apabila mereka memiliki modal lebih dilakukan juga
pemupukan dengan SP36 dan KCl. Namun dosis yang digunakan belum sesuai
dengan dosis anjuran, untuk itu perlu adanya analisa tanah untuk masing-masing
daerah sebagai dasar dalam penentuan rekomendasi pemupukan yang tepat
untuk daerah tersebut.
Pengendalian gulma dilakukan dengan melakukan penyiangan teratur
pada lahan sawah. Pada seluruh desa yang diambil sampelnya, seluruh petaninya
sudah melakukan sanitasi terhadap lahannya secara teratur. Pembersihan lahan
dan saluran air/irigasi dilakukan secara periodik secara manual.
Sebanyak 65–80% petani di daerah PTT maupun Non PTT sudah mengerti
dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan dengan sebelumnya melakukan pengamatan secara periodik
oleh kelompok tani dibantu dengan Petugas Pengamat Organisme Pengganggu
Tanaman (POPT) di lapangan. Pengendalian dengan penggunaan pestisida
dilakukan sesuai ambang batas ekonomi.
Di Kecamatan Toho baik pada desa PTT maupun Non PTT hampir seluruh
petani (90-95%) sudah melakukan panen sesuai dengan saat yang dianjurkan
yaitu setelah 90–95% gabah berisi dan berwarna kuning. Perontokan gabah
dilakukan dengan menggunakan mesin perontok (Power Thresher), sehingga
kehilangan hasilnya dapat ditekan.
Baik petani di Desa PTT maupun Non PTT di Kecamatan Toho rata –rata
memiliki pendapatan dari usahatani diatas 2 juta/musim. Sementara Kec Siantan
di Desa Wajok Hilir (Non PTT) pendapatan petaninya berkisar antara Rp. 1- 1,4
juta. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi padi didaerah
tersebut adalah belum adanya saluran air, sehingga lahan mengalami kebanjiran
pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau menyebabkan hasil yang
diperoleh tidak terlalu tinggi.
Di Kecamatan Siantan, baik di Desa PTT maupun non PTT sekitar 58,95% petani
telah memahami cara panendan pasca panen secara benar. Dimana panen
972
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 2. Analisa Usaha Tani Padi di Kec. Toho dan Kec. Siantan
Pola Informasi
973
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
kompleksitas/tidak rumit, dapat dicoba serta dapat diamati (Van den Ban dan
Hawkins, 1999)
KESIMPULAN
1. Karakteristik petani seperti umur, pendidikan dan luas peguasaan lahan untuk
daerah PTT dan Non PTT bervariasi dan berpengaruh terhadap tingkat adopsi
penerapan PTT.
2. Di setiap Desa PTT maupun Non PTT memiliki tingkat penerapan teknologi
dengan pendekatan PTT yang berbeda.
3. Sekitar 95-100% petani telah menggunakan varietas unggul baru di desa PTT
maupun desa Non PTT
1. Media Informasi yang paling mudah dipahami dan diinginkan oleh petani adalah
dengan temu lapang dibandingkan dengan media informasi lainnya.
SARAN
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai sejauh mana penerapan PTT dapat
meningkatkan kesejahteraan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, S., Suparyono, I N. Widiarta, U. S. Nugraha, dan A. Hasanuddin.
2001.Teknologi untuk peningkatan produksi padi nasional. Lokakarya Padi:
Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi
Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Sukamandi 22 Maret 2000.
hlm.49−67. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan, Bogor.
BPS. 2014. Kalimantan Barat Dalam Angka .2014.
BPS. 2015. Kabupaten Dalam Angka, Prop. Kalimantan Barat.2014
Bobihoe, J. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTTt) Padi Sawah. Inovasi
Teknologi Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Padi. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jambi. Badan Litbang Pertanian Kementan. 2007.
Kartaatmadja, S., T. Alihamsyah, Suwarno, dan Sumarno. 2001. Strategi
peningkatan produksi padi untuk keamanan pangan nasional. Lokakarya
Padi. Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi
Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. hlm. 12−24. Pusat Penelitian dan
PengembanganTanaman Pangan, Bogor.
Sutedjo, M. M dan A. G. Kartasapoetra., 1991. Pengantar Ilmu Tanah. Penerbit
Rineka Cipta. Jakarta.
Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah, 2005, “Metode-Penelitian Kuantitatif
: Teori dan Aplikasi” PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Mundy, P. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. Training and
Communication Specialist. PAATP, 3 November 2000. Badan Litbang
Pertanian. 6 hal
Soekartawi . 1988. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil Pertanian Teori
dan Aplikasi. Rajawali Press. Jakarta
Van Den Ban. A.W. dan H.S Hawkins., 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius.
Yogyakarta.
974
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
Kata Kunci: Adopsi padi, komponen PTT Padi dan Toba Samosir
PENDAHULUAN
975
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
976
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
977
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
sendiri 67%, non milik 33% dan kombinasi milik + non milik 79%. Pengusahaan
lahan masing-masing, yaitu ladang/tegalan 0,31 ha dan kebun 0,13 ha (Tabel 2).
978
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
979
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
DAFTAR PUSTAKA
980
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
981
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
PENDAHULUAN
Penggunaan pestisida semakin lama semakin tinggi terutama di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia. Negara-negara berkembang ini hanya
menggunakan 25% dari total penggunaan pestisida di seluruh dunia (world-wide),
tetapi dalam hal kematian akibat pestisida 99% dialami oleh negara-negara
tersebut. Menurut WHO (World Health Organization), hal ini disebabkan
rendahnya tingkat edukasi petani-petani di negara tersebut sehingga cara
penggunaannya cenderung tidak aman atau tidak sesuai dengan aturan yang
ada.Penelitian terbaru mengenai bahaya pestisida terhadap keselamatan nyawa
dan kesehatan manusia sangat mencengangkan. WHO (World Health
Organization) dan Program Lingkungan PBB memperkirakan ada 3 juta orang
yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena racun
pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya (Miller,
2004 dalam Zaenab, 2009).
Dengan semakin berkembangnya kesadaran manusia terhadap bahaya
penggunaan pestisida, terutama bagi lingkungan hidup dan kesejahteraan
manusia, maka berkembanglah konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang
merupakan wujud dari pembangunan pertanian berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan (Untung, 2006). Konsep Pengendalian Hama Terpadu merupakan
salah satu acuan yang dapat dipedomani dalam hal penggunaan pestisida pada
sistem budidaya tanaman dan dapat mendukung pertanian berkelanjutan.
982
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
983
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
984
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
985
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
986
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
987
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
988
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Pestisida Pertanian dan Kehutanan Tahun 2013. Direktorat Pupuk
dan Pestisida. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Dirjen PSP. 2014. Pedoman Peningkatan Kinerja Komisi Pengawasan Pupuk dan
Pestisida (KPPP) serta Pemberdayaan PPNS Tahun 2014. Direktorat
Pupuk dan Pestisida. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian,
Kementerian Pertanian.
Laba, I.W. 2010. Analisis empiris penggunaan insektisida menuju pertanian
berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2), 2010: 120-137
Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Zaenab. 2009. Toksikologi Pestisida. https://keslingmks.wordpress.com/2009/
02/14/toksilogi-pestisida/
989
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Inovasi teknologi untuk dapat cepat digunakan oleh petani dan masyarakat,
perlu adanya pendekatan dan sinergisitas yang terpadu terhadap kegiatan
penelitian dan pengkajian dengan kepentingan pengguna stakeholder, yaitu
petani, pemerintah daerah dan instansi terkait, KUD, Perguruan Tinggi, LSM, dan
pengusaha swasta yang bergerak di sektor pertanian.
Penelitian, pengkajian dan penyuluhan pertanian dilaksanakan dalam
upaya menciptakan teknologi adaptif yang spesifik lokasi dengan pendekatan
partisipatif yang merupakan titik strategis meningkatkan akses komunikasi kepada
petani sebagai pengguna teknologi (Kasryno dan Simatupang, 1997).
Hasil yang sudah diperoleh oleh Balai Komoditas Nasional dapat
memberikan keuntungan multiguna, namun perlu ditata dan diimplementasikan
990
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Kabupaten Aceh Timur secara geografis terletak paling ujung sebelah timur
dari ibukota Provinsi Aceh. Selama ini pembinaan dan pendampingan teknologi di
bidang padi masih sangat minim dibandingkan kabupaten lain akibatnya, tingkat
adopsi teknologi masih rendah.
991
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tahapan dan Waktu Pelaksanan Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Pasir Putih
Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur mulai bulan April – Desember
2013.
Pendekatan
Pendekatan partisipatif petani melalui penerapan inovasi teknologi adaptif,
pada lahan yang sudah ditanami padi dan pisang. Khusus demfarm padi seluas 5
hektar melibatkan 10 petani kooperator diuji adaptasikan beberapa varietas unggul
untuk mengetahui varietas yang adaptif dengan hasil optimal. Peningkatan SDM
melalui pelatihan, temu lapang dan farmer to farmer visit.
Data yang dikumpulkan
Peningkatan produktivitas padi, identifikasi tanah dan iklim, identifikasi hama
dan penyakit, analisa peluang pasar, identifikasi masalah, peningkatan adopsi
inovasi oleh petani dan dampak penerapan teknologi kepada petani non
kooperator.
Analisis Data
Data dikumpulkan secara priodik selama kegiatan pengkajian berlangsung,
baik data teknis maupun ekonomis pada akhir kegiatan dianalisis dengan
menggunakan analisis baku (deskriptif dan analisis finansial).
HASIL DAN PEMBAHASAN
992
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dengan komoditi Kelapa Sawit, Kakao, Karet, Kopi dan Kelapa; Sub sektor
pertanian pangan komoditi yang diunggulkan berupa Padi, Jagung dan Ubi kayu,
Pariwisatanya, yaitu wisata alam, wisata adat dan budaya.
Sebagai penunjang kegiatan perekonomian, di Kabupaten ini tersedia satu
Pelabuhan Industri, yaitu Pelabuhan Idi. Di kabupaten ini juga terdapat tiga jalan,
yaitu jalan negara, jalan kabupaten dan jalan provinsi. Panjang jalan Provinsi
adalah 89 km, jalan kebupaten 1.100 km dan jalan negara 102 km. Untuk industri
tersedia 6 kawasan industri, yaitu Kawasan Industri UMKM Pisang Sale, Kawasan
Industri Kelapa Terpadu, Kawasan Industri Pengolahan Rotan, Kawasan Industri
Agro dan Perikanan, Kawasan Industri Kelapa Terpadu Timur (KITAT) dan
Kawasan Industri Migas Pertambangan dan Energi yang didukung juga oleh
fasilitas listrik dan telekomunikasi.
Wilayah kerja BPP Peureulak
993
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Jumlah penduduk Kabupaten Acerh Timur 2013, tercatat 49.687 jiwa terdiri
23.600 laki-laki dan 26.087 perempuan. Sarana umum yang ada di Kabupaten
Aceh Timur (Tabel 4).
994
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
dengan perbaikan irigasi dan teknik budidaya telah terbukti dapat meningkatkan
produktivitas padi sawah.
Penggunaan verietas Unggul Baru (VUB) di Desa Pasir Putih relatif masih
terbatas. Menurut Koordinator BP4K, selama ini benih padi yang digunakan oleh
petani lebih dari 60 persen berasal dari sektor informal, yaitu berupa gabah yang
disisihkan dari sebagian hasil panen musim sebelumnya yang dilakukan berulang-
ulang. Hal ini berarti bahwa petani padi belum menggunakan benih unggul padi
dengan dalam usahatani mereka.
Setelah menerima teori tentang PTT padi sawah di ruangan, petani dan
penyuluh dipraktekkan cara menggunakan alat tanam legowo caplak roda,
dilanjutkan penanaman perdana padi sawah VUB Inpari 16. Penggunaan legowo
di lokasi tersebut merupakan sesuatu yang baru apalagi tersedia alat tanam caplak
roda yang dapat membantu kerja lebih cepat. Selama ini para petani mengaku
susah menanam legowo karena membutuhkan waktu lama untuk
mempersiapkannya, sibuk dan tenaga lebih dari 2 orang. Tapi setelah
mempraktekkan langsung alat caplak mereka sangat berminat menanam legowo
dalam hamparan yang lebih luas. Menurut mereka, manfaat dan keuntungan
tanam legowo sudah mereka tahu melalui penyuluhan sebelumnya.
995
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 5. Produktivitas rata-rata beberapa varietas padi sistem Jajar Legowo 2:1
Tinggi Jumlah Jumlah Produktivitas
No Varietas
Tanaman Anakan Butir (ton/ha)
1 Inpari 7 97 cm 20 btg 80 5,2
2 Inpari 10 101 cm 25 btg 85 6,1
3 Inpari 12 98 cm 18 btg 78 5,1
4 Inpari 14 97 cm 16 btg 75 5,0
5 Inpari 16 100 cm 24 btg 82 5,6
996
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
perlakuan benih; (b) pemilihan varietas; (c) penanaman tunggal bibit muda; (d)
jarak tanam lebih rapat; (e) sistem pengairan; (f) penggunaan bahan organik; (g)
penggunaan bagan warna daun dan pemupukan; (h) pengendalian gulma dengan
gasrok. Implementasi model ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil padi dari
sekitar 5,6 menjadi 7,3 – 9,6 t/ha, dan pendapatan petani meningkat dari Rp, 1,6
juta menjadi Rp. 4,1 juta/ha (Puslitbangtan, 2000)
Komponen teknologi dalam PTT, telah dikaji dan diteliti diberbagai lembaga
penelitian. Berdasarkan laporan Sembiring (2001) dan Pramono, dkk (2001),
bahwa pemberian pupuk N berdasarkan panduan Bagan Warna Daun (LCC )
dapat menghemat penggunaan pupuk urea antara 30 – 40%, dengan tanpa
menurunkan hasil persatuan luas. Hasil penelitian Suismono, dkk (2001 ),
mengemukakan bahwa penggunaan bibit umur muda tidak berpengaruh terhadap
kualitas gabah. Penggunaan bibit umur 15 hari dengan jarak tanam 25 x 25 cm
kadar butir hijau dan mengapur sebesar 0,07%, jauh lebih rendah dari standart
mutu gabah yang mensyaratkan maksimal 3%. Pemberian air pada lahan padi
hanya sampai basah dapat menghemat 40% air bila dibandingkan dengan sistem
penggenangan lahan padi secara kontinyu, tanpa menurunkan hasil padi (Tabbal,
dkk., 1992). Demikian pula, pemberian bahan organik pada lahan sawah,
walaupun penelitian jangka pendek kurang menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap peningkatan hasil, namun pada jangka panjang diyakini akan
meningkatkan kualtas sumberdaya lahan yang pada gilirannya dapat
meningkatkan produktivitas padi.
Sejak lebih dari satu dekade yang lalu sebahagian lahan sawah mengalami
penurunan produktivitas, sebagaimana tercermin pada laju pelandaian produksi
padi. Puslitbang Tanaman Pangan telah berupaya menghasilkan inovasi
penigkatan produksi padi melalui penelitian secara intensif telah dihasilkan inovasi
SL-PTT. SL-PTT merupakan Sekolah Lapangan bagi petani dalam menerapkan
berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien dan
menurut spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk
997
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Untuk meningkatkan produktivitas padi di lokasi M-P3MI telah dilakukan uji
adaptasi beberapa varietas padi unggul. Produktivitas tertinggi diperoleh pada
Inpari 10 (6,2 ton/ha).
Adopsi dan penerapan teknologi PTT padi sawah terutama tanam legowo
terjadi peningkatan dengan diperkenalkan alat tanam legowo “caplak” oleh BPTP
Aceh. Namun dari segi produktivitas, belum memuaskan karena adanya serangan
hama tikus saat padi berumur 30 HST dan menjelang panen.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 2011. Panduan Umum Model Pengembangan
Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI), Badan Litbang
Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Badan Litbang Pertanian, 2001. Inovasi Pertanian untuk Membangun Agribisnis.
Rumusan Raker Badan Litbang Pertanian. Jakarta, 24 – 26 April 2001.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1998. Membangun
Kelembagaan dan Jaringan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Dalam Inovasi Teknologi Pertanian, Seperempat Abad Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 1998 Buku I.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004 a. Rancangan Dasar Prima
Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian). Pasar Minggu. Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2009. Laporan Tahunan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Fagi, AM dan Kartaatmaja, S (2003). Teknologi Budidaya Padi, Perkembangan
dan Peluang. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Jakarta.
Kasryno, F dan Pasandaran, E, 1996. Program Nasional Ristek Sektor Pertanian
Untuk Memacu Inovasi Teknologi Pertanian Memasuki Abad XXI Dalam
Inovasi Teknologi Pertanian Seperempat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Badan Litbang Pertanian jakarta 1998. Pasar Minggu, Jakarta.
Kasryno, F dan P. Simatupang, 1997. Inovasi dan Rekayasa Teknologi Sebagai
Upaya Peningkatan Produktivitas dan Pertumbuhan Sektor Pertanian.
Dalam Inovasi Teknologi Pertanian Seperempat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Jakarta 1998. Pasar
Minggu – Jakarta.
998
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Makarim, A.K., U.S. Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi Produksi
Padi Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor.
Ploetz. RC dan Pegg KG. 2000. Fungal disease of the root. Corn and Pseudostem
: Fusarium wilt. Di dalam. Jones PR. Editor. Disease of Banana, Abaca
and Enset. Walling ford: CAB International. Hal 143 - 159
Stover, R.H. 1972. Banana, Plaintain and Abaca Disease. Common-wealth
Mycological Istitute, Kew, Survey. England. 316 pp.
Sulyo, Y. 1992. Major Banana Disease and Their Control. IARD journal. Vol 14
(3&4): 55-62
Sumarno, I.G. Ismail, dan S. Partohardjono. 2000. Konsep usahatani ramah
lingkungan. DalamMakarim dkk. (Eds). Prosiding Simposium Penelitian
Tanaman Pangan IV. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman
Pangan. Konsep dan Strategis Peningkatan Paroduksi Pangan.
Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Sumarno dan Suyamto. 1998. Agroekoteknologi untuk keberlanjutan usaha
pertanian. RisalahSimposium Ketahanan Pangan. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Supriadi. 2002. Perkembangan penelitian penyakit darah pada tanaman pisang
dan strategi pengendaliannya. Gelar teknologi pengendalian lalat buah,
CVPD dan penyakit layu pisang. Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura. Cipayung. 7 halaman.
Marwan, I dan Made Oka, 1991. Konsep Penelitian Sistem Usahatani dan
Penelitian Pengembangan. Hasil Perumusan Raker Badan Litbang,
Jakarta 27 – 28 Februari 1991, Jakarta.
999
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Khairiah
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Lahan pasang surut memiliki prospek besar dari segi potensi luas maupun
daya dukung agronomis untuk dijadikan sebagai areal produksi padi. Luas lahan
rawa di Sumatera Utara 317.675 hektar dengan luas lahan pasang surut sebesar
247.293 hektar dan lahan lebak seluas 70.382 hektar. Luas areal yang sudah
direklamasi 147.500 hektar dengan areal persawahan seluas 93.990 hektar.
Dengan demikian lahan pasang surut merupakan salah satu lahan alternatif yang
mempunyai potensi cukup luas bagi pembangunan pertanian jika dikelola dengan
baik, produktivitasnya tidak kalah dengan lahan-lahan subur lainnya.
Lahan pasang surut berbeda dengan lahan irigasi atau lahan kering yang
sudah dikenal masyarakat. Perbedaanya menyangkut kesuburan tanah,
ketersediaan air dan teknik pengelolaannya. Hasil yang diperoleh pada lahan
pasang surut sangat tergantung pada cara pengelolaannya. Untuk itu, petani
perlu memahami sifat dan kondisi tanah dan air di lahan pasang surut. (Tan, 1995).
1000
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
menjadi bersifat asin, sedang kalau tidak bercampur, air rawa akan tetap bersifat
tawar sama seperti air sungainya (Hardjowigeno, 1993).
Desa pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu, Kab Langkat jarak dari
kota Medan lebih kurang 96 km, dan dari Stabat sekitar 53 km. Untuk menuju ke
Pulau Kampai bisa ditempuh melalui jalur darat dan laut. Pulau Kampai terdiri dari
tujuh dusun, dua dusun berada diluar pulau. Keadaan air minum untuk dusun
1.2.3.4 tetap bersifat tawar sama seperti air sungai sedangkan didusun 5 bersifat
payau. Jumlah penduduk sebanyak 1300 KK. Pulau ini dihuni oleh etnis Jawa,
Aceh, Karo, Melayu, Toba, Kalimantan, dan Nias. Lahan sawah mulai dibuka sejak
tahuan 1974. Luas lahan pertanaman padi di Pulau Kampai mencapai ±800 ha,
keadaan persawahannya seperti pada Gambar 1.
1001
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Gambar 1. Kondisi lahan pertanian setelah banjir Oktober 2015 dan peta letak
Pulau Kampai
Kepemilikan lahan 80% milik petani luar Desa, 20% saja milik petani Desa
Pulau Kampai. Petani desa Pulau Kampai menyewa lahan untuk pertaniannya.
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah nelayan tradisional, bertani
padi dan hortikultura. Pada umumnya petani bertanam padi sekali dalam setahun
ketika musim hujan Tanam pada bulan September, Oktober dan Panen pada
bulan Januari dan Februari. Ada 10% petani menggunakan lahannya untuk
bertanam padi, padi, sayuran, mereka sebut dengan sistem mentong. Tanaman
padi lebih dapat bertahan pada tingkat keasinan (salinitas) tertentu selama musim
hujan dari pada musim kemarau (Suparyono dkk. 1997) Menurut Widjaja – Adi
(1995) untuk keperluan praktis dan kemudahan dalam mengelompokkan lahan
pasang surut dikelompokkan menjadi empat tipologi berdasarkan jangkauan air
pasang. Lahan sawah di P Kampai termasuk dalam tipologi C adalah lahan yang
tidak teruapi air baik pada pasang besar maupun pasang kecil, akan tetapi air
pasang mempengaruhi secara tidak langsung tinggi muka air tanahnya yang
kurang dari 50 cm. Hasil pengukuran pH yang dilaksanakan BPTP Sumatera Utara
rata-rata 4,05 serta degan pirit dibawah 10 cm.
Masalah Usaha Tani Padi di Pulau Kampai
Permasalahan usaha tani padi dilahan pasang surut Pulau Kampai adalah
pada Tabel.1. Banyak kendala yang ditemui menurut Subagyo dan Widjaja Adhi
(1995) usaha tani pada lahan pasang surut ada beberapa masalah yang ditemui
seperti kesuburan tanah yang rendah, reaksi tanah yang masam, adanya pirit,
tingginya kadar Al, Fe, Mn, dan asam organic, kahat P, miskin kation basa seperti
Ca, K, Mg serta tertekannya aktivitas mikroba.
Table 1. Permasalahan usaha tani padi dilahan pasang surut Pulau Kampai
No Uraian
1 Pengolahan tanah yang dilaksanakan jika masih ada lekukan yang membuat
air tergenang macak – macak jika pada tempat yang seperti ini ditanam maka
padi lama kelamaan akan mati
2 Ada lapisan minyak dipermukaan air berwarna hijau
3 Ciri tanaman padi yang mati terdapat kristal dibatang akar membusuk hitam
dan berbau.
4 Pada bulan Oktober 2015 ini kondisi 90% tanam padi terendam banjir 45% mati
1002
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
5 Varietas yang ditanam petani ramos dan sipirok (siudang) mati terkena banjir
digantikan dengan varietas ciherang karena ada bantuan
6 Penggunakan herbisida tinggi
7 Penggunaan pupuk sesuai dengan kondisi keuangan petani. Pada umumnya
rendah
8 Penataan air tidak teratur
9 Serangan OPT tinggi (tikus, penggerek batang, lembing batu, wereng, burung,
kresek, hama putih palsu, sundep)
10 Produksi 3 sampai dengan 4 ton per ha
Sumber Data FGD 2015
Petani di Pulau Kampai 70% menanam padinya tanpa olah tanah (TOT),
pengalaman petani yang mengolah tanahnya dengan hand traktor dibiarkan terleh
dahulu selama 2 bulan setelah diolah baru ditanam Menurut Ar-Riza, (2001);
Akmal, dan Yufdi, (2008) untuk mengatasi permasalahan pengelolaan lahan
pasang surut tersebut diperlukan beberapa komponen teknologi optimalisasi
lahan pasang surut untuk tanaman padi antara lain : (1) pemilihan varietas unggul
padi adaptif, (2) sistem pengelolaan air, (3) penyiapan lahan, (4) pengelolaan hara
dan amelioran, (5). pengendalian gulma terpadu, dan (6). penentuan pola tanam.
Pengelolaan tanah dan air ini merupakan kunci keberhasilan usahatani pada lahan
pasang surut.
Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut
saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada
musim kemarau. Pirit dapat berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam
belerang yang dapat meracuni tanaman. Ciri tanah yang telah teracuni pirit adalah
: tampak gejala keracunan besi pada tanaman, ada lapisan seperti minyak di
permukaan air, ada lapisan merah di pinggiran saluran, tanaman mudah
terserang penyakit,hasil panen rendah. Tanah berbau busuk (seperti telur yang
busuk), maka zat asam belerangnya banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang
dengan membuat saluran cacing dan diganti dengan air baru dari air hujan atau
saluran.
Pertumbuhan tanaman padi di lahan pasang surut terganggu jika tidak dipupuk
dengan salah satu dari ketiga unsur pupuk NPK (Fauziati dan Masganti, 2001).
Selain ketiga unsur tersebut, tidak maksimum jika tidak dilakukan penambahan
kapur. Pemupukan dan ameliorasi menjadi komponen penting dalam mengatasi
masalah pengembangan padi di lahan pasang surut. Selain itu penggunaan
varietas unggul yang tahan terhadap salinitas, perlu dilakukan penurunan kadar
1003
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
garam dalam tanah dengan penggunaan bahan organik seperti kompos dan
mikroba.
1004
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
langsung dengan daun - daun gulma. Oleh sebab itu petakan sawah harus di
drainase agar supaya herbisida dan daun gulma dapat kontak langsung.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Wasito MSi, Dr Siti Maryam
Harahap, Ir Loso Winarto, Rita Kasih dan Maulana Siregar adalah sebagai tim
Pulau Kampai yang telah membantu penulis dalam kegiatan ini.
DAFTAR PUSTAKA
1005
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1006
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Khairiah
ABSTRAK
Luas lahan tadah hujan di desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan barat
seluas 668 Ha. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pendapatan usaha tani
padi di lahan tadah hujan dalam mendukung ketahanan pangan. Menggunakan
metode survey dengan mewawancarai secara mendalam (Indepth interview)
petani yang menanam padi dilokasi kajian sebanyak 30 responden dilaksanakan
pada bulan Oktober 2015. Hasil kajian menunjukkan bahwa kepemilikan lahan
petani 0.5- 075 ha. Pengolahan tanah dilakukan secara intensif, dibajak 2 kali dan
digaru 1 kali sebelum tanam, bibit dipindahkan ke lapangan umur 21 hari, jarak
tanam 20x20 cm. Pupuk diberikan sesuai dengan keadaan keuangan petani,.
Penyiangan 2 kali yaitu 20 dan 42 hst dan pengendalian hama dan penyakit
berdasarkan pemantauan dilapangan. Pendapatan petani mencapai
Rp18.107.000 dengan total biaya (saprodi dan tenaga kerja) Rp 10.273.000
dengan nilai R/C 2.76 (R/C >1) usahatani padi pada lahan tadah hujan sangat
menguntungkan jadi layak untuk diusahan dan dikembangkan
Kata Kunci: analisa, usaha tani padi, tadah hujan, kab Langkat
PENDAHULUAN
Sampai saat ini sekitar 90% produksi padi nasional dipasok dari lahan
sawah irigasi. Sementara lahan sawah tadah hujan, lahan kering, dan lahan
pasang surut yang tersebar luas di berbagai daerah belum banyak berkontribusi
dalam peningkatan produksi padi. Komonitas international dibidang penelitian padi
menggolongkan lahan sawah tadah hujan sebagai ekosistem yang beresiko tinggi
karena terancam oleh kekeringan, kebanjiran atau keragaman antisipasi resiko itu
diupayakan melalui pemuliaan tanaman dan teknik budidaya (Ingram,1995) dan
pengelolaan hara tanaman padi ( Ladha dkk 1998) ekosistem lahan tadah hujan
1007
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Luas lahan sawah tadah hujan di desa Lubuk Kertang 668 ha, pada tahun
2015 yang bisa ditanami padi seluas ± 500 ha yang ditanam pada bulan Mei
sampai Oktober 2015 sedangkan 168 ha gagal tanam akibat kekeringan. Pada
MH 2015 ada 5 kelompok tani yang menerima optimalisasi lahan (Tabel 1).
1008
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Tabel 1. Kelompok tani yang menerima optimalisasi lahan di desa Lubuk Kertang
pada tahun 2015
No Kelompok tani Luas (ha)
1 Tunas baru I 20
2 Tunas baru II 20
3 Sepakat 40
4 Harapan baru 20
5 Jaya tani 20
Pola tanam yang dilaksanakan pada lahan yang lebih rendah yaitu padi,
padi palawija/hortikultura (74.85%) sedangkan lahan yang agak tinggi (25.14%)
relatif kekurangan air hanya menanam padi sekali dalam setahun. Jenis tanaman
palawija yang ditanam yaitu kacang hijau, kedele dan jagung sedangkan tanaman
hortikultura yang ditanami petani adalah semangka dan bawang merah.
Penanaman padi sering dilakukan petani dengan bibit yang sudah tua
dipersemaian baru ditanam karena turunnya hujan terlambat disamping itu
banyaknya hama keong mas.
Varietas padi yang digunakan pada musim tanam 2015 adalah ciherang,
mekongga, cibogo, inpari 3, 9, 13 dan padi Taiwan yang berasal dari Taiwan.
Benih padi yang ditanam berasal dari hasil panen sebelumnya dan hanya
sebagian kecil saja yang membeli benih. Kebiasaan petani menanam dengan
sistem tegel dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Kebutuhan benih mencapai 50 s/d
80 kg/ha dengan jumlah bibit 2-3 bibit/lubang tanam.
Pupuk dasar yang digunakan Urea, ZA, SP-36 dan Phonska yang
diberikan pada 0-10 HST, sedangkan pupuk susulan diberikan pada saat tanaman
padi berumur ± 30 HST. Takaran pupuk yang diberikan disesuaikan dengan
kemampuan petani dalam membeli pupuk.
Hama yang dijumpai pada tanaman padi di desa ini adalah hama keong
mas, penggerek batang, hama walang sangit dan hama putih palsu, blas (cekik
leher) dan kresek. Pemberantasan hama dan penyakit dengan menggunakan
pestisida seperti Destoc, Metindo. Antracol dan juga menggunakan perangsang
tumbuh seperti Atonic. Untuk menanggulangi serangan hama burung dilakukan
pengusiran dengan tali dan benda-benda yang menimbulkan bunyi-bunyian
apabila ditarik. Menurut Suparyono dkk (1992) penyakit bercak daun coklat
Helminthosporium oryzae dan bercak daun bergaris cercospora oryzae
merupakan penyakit utama padi sawah tadah hujan.
1009
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
KESIMPULAN
Usahatani padi pada lahan tadah hujan di Desa Lubuk Kertang Kecamatan
Brandan Barat layak untuk diusahakan dan dikembangkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Wasito MSi yang telah
memberikan bantuan sehingga tulisan ini selesai dengan sebagaimana mestinya
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Ancok Djamaludin,1989. Tehnik Skala Penyusunan Pengukur. Pusat Penelitian
Kependudukan UGM Yogyakarta
Arikunto Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Balai Besar Penelitian Padi. 2009. Peningkatan Produksi Padi Melalui
Pelaksanaan IP Padi 400. Balai Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. 48p.
BPS 2012. Sumatera Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Medan
1010
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Burhan Bugin. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja. Grafindo
Persada. Depdiknas. 2003. Akuntansi Pendidikan. Jakarta: Erlangga
Ingram KT. 1995 Rainfed lowland rice agricultural research for high-risk
environments Manila IRRI 248p
Ladha,J.K 1998 Reinfed low land rice advance in nutrient management research
Proc int workshop on nutrient res in reinfed lowland 12-15 Oct 1998 ubon
Ratchantahani Thailand manila (Philippines) IRRI 304p
Lampe. K 1993 Rice research in crucial environment. IRRI 1992-1993 Manila.65p
Suparyono, S. Kartaatmadja dan A.M. Fagi.,1992. Relationship between
potassium
1011
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
ABSTRAK
PENDAHULUAN
1012
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1013
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah petani sebelum dan sesudah
menjadi peserta Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) di
Nagari Lareh Nan Panjang Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman
yang tergabung dalam Gapoktan Ampalu Gemilang.
1014
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
digunakan dalam penelitian ini dapat dihitung berdasarkan formula berikut (Nazir,
2003) :
Dimana Sp adalah :
Keterangan :
Xa = Rata-rata Kelompok a ( Pendapatan Petani Sebelum
MenjadiPeserta PUAP )
Xb = Rata-rata Kelompok b (Pendapatan Petani Sesudah Menjadi
PesertaPUAP )
Sp = Standar Deviasi Gabungan
Sa = Standar Deviasi Kelompok a ( Sebelum Menjadi Peserta PUAP )
Sb = Standar Deviasi Kelompok b ( Sesudah Menjadi Peserta PUAP )
na = Banyaknya Sampel di Kelompok a ( Jumlah Peserta
SebelumMenjadi Peserta PUAP )
nb = Banyaknya Sampel di Kelompok b ( Jumlah Peserta
SesudahMenjadi Peserta PUAP )
DF = na + nb -2 ( Degree of Freedom pada α = 5% )
Pengujian Hipotesis
Total rata-rata pendapatan usaha tani petani responden dengan luas lahan
rata-rata 0,7 hektar sebelum menjadi peserta PUAP berjumlah Rp. 5.545.578,-
.Pendapatan petani sesudah menerima BLM-PUAP berjumlah Rp. 6.579.805,
menunjukkan terjadi peningkatan pendapatan pada petani yang menerima BLM-
PUAP dengan selisih sebesar Rp. 1.034.227 atau sekitar 18,65 %.
1015
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Hasil analisis statistic menunjukkan bahwa pendapatan usaha tani antara petani
sebelum menjadi peserta PUAP dan Petani sesudah menjadi peserta PUAP
adalah berbeda nyata.
Analisis R/C Rasio Petani Sebelum dan Sesudah Menjadi Peserta PUAP
Tabel 3. Perbandingan R/C rasio Petani Sebelum dan Sesudah Menjadi Peserta
PUAP Pada Budidaya Tanaman Padi ( Per Ha )
Uraian Sebelum PUAP Sesudah PUAP
Tabel 4. Perbandingan R/C rasio Petani Sebelum dan Sesudah Menjadi Peserta
PUAP Pada Budidaya Tanaman Jagung ( Per Ha )
Uraian Sebelum PUAP Sesudah PUAP
1016
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
efisensi usaha yang lebih tinggi. Peningkatan pendapatan dari usahatani padi dan
jagung tersebut menjadi factor yang mendukung adanya perbaikan pendapatan
dari petani setelah mereka mendapatkan bantuan BLM-PUAP. Oleh karena itu,
secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa PUAP memberikan pengaruh yang
baik terhadap aspek perekonomian masyarakat di perdesaan.
KESIMPULAN
SARAN
Pembinaan yang berkelanjutan dari Tim pusat sampai Tim Teknis Kecamatan.
DAFTAR PUSTAKA
1017
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1018
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1019
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1020
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1021
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1022
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1023
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1024
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
1025