Anda di halaman 1dari 1050

Seminar Nasional Padi

“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ISBN 978-979-3137-53-7

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PADI
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung
Kedaulatan Pangan Nasional”
Medan 2 Desember 2015

Penanggung Jawab : Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian


Sumatera Utara
Penyunting : Tatang M. Ibrahim
Catur Hermanto
Musfal
Amrizal Yusuf
Palmarum Nainggolan
Lermansius Haloho
Asmanizar
S. Edy Sumantri
Muhammad Nuh

Penyunting : Nurmalia
Pelaksana Muainah Hasibuan
Akmal
Khadijah El Ramija
Dorkas Parhusip
Ahmad Tohir Harahap
Risna Astika Daulay
Ahmad Azhar Nasution
Muhammad Fadly

KEMENTERIAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SUMATERA UTARA

2016

ii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SEMINAR NASIONAL PADI


“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan
Nasional”
Medan, 2 Desember 2015

Cetakan 2016

Hak Cipta@ 2016. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera


Utara
Isi prosiding dilindungi Undang-undang Hak Cipta.
Isi dapat disitasi dengan menyebutkan sumbernya

Katalog dalam Terbitan (KDT)


SEMINAR NASIONAL PADI (2015 : Medan)
Prosiding seminar nasional padi :membangun pertanian
berkelanjutan mendukung kedaulatan pangan Nasional, Medan, 2
Desember 2015/Penyunting, Ibrahim... [dkk],--Medan, Anak Kampung
Advertising, 2016

xxiii ; 1024 hlm ; ill ; 29,7 cm

ISBN 978-979-3137-53-7

1.Padi 2. Pertanian berkelanjutan 3. Kedaulatan pangan

I.Judul II. Ibrahim, T.M III. BPTP Sumut

633.18

Penyunting :
T.M. Ibrahim, C. Hermanto, Musfal, A.Yusuf,P. Nainggolan, L. Haloho,
Asmanizar, S.E. Sumantri, dan M. Nuh

Penyunting Pelaksana :
Nurmalia, M. Hasibuan, Akmal, K.E. Ramija, D. Parhusip, A. T. Harahap,
R. A. Daulay, A. A. Nasution, dan M. Fadly

Makalah dalam buku ini telah disampaikan dalam Seminar Nasional Padi
di Medan, tanggal 2 Desember 2015

Informasi lebih lanjut hubungi :


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Jend. Besar AH Nasution No. 1B, Medan 20143
Telp. 061-7870710, Fax 061-7861020
Website : sumut.litbang.pertanian.go.id
Email : bptp-sumut@litbang.pertanian.go.id

i
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KATA PENGANTAR

Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49%


per tahun, maka diperlukan upaya peningkatan produksi pangan khususnya
beras untuk dapat mempertahankan swasembada pangan dan memantapkan
kondisi ketahanan pangan yang berdaulat. Kedaulatan pangan merupakan
amanah UUD 1945 yaitu menjamin kesejahteraan masyarakat di bidang
sandang, pangan dan papan. Oleh karena itu konsep kedaulatan pangan tidak
hanya menekankan pada tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup, tapi
juga harus diproduksi melalui teknologi yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Tercapainya kedaulatan pangan tentu memerlukan dukungan
dari berbagai pihak meliputi pemerintah, swasta dan masyarakat. Salah satu
upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut German International Cooperation
(GIZ) dan BASF menjalankan program “Better Rice Initiative Asia“ (BRIA) untuk
peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi dan akses
pasar.
Padi berperan penting dalam ketahanan pangan, untuk itu telah
ditargetkan pada tahun 2018 tercapai 85 juta ton GKG, atau pertumbuhan
produksi sekitar 4 juta ton GKG/tahun. Tantangan peningkatan produksi ini
dapat dicapai melalui upaya perbaikan sarana prasarana, penyediaan teknologi
spesifik lokasi, peningkatan kapasitas kelembagaan pendukung dan penyediaan
informasi pasar yang tepat waktu.
Bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
GIZ dan BASF melaksanakan Seminar Sehari Padi dengan Tema “Membangun
Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”, pada
tanggal 2 Desember 2015 di Medan. Seminar ini bertujuan untuk menghimpun
informasi kebijakan pembangunan pertanian, teknologi usahatani padi dan
pemanfaatan limbahnya, dalam upaya peningkatan provitas padi dan
pertambahan nilai provitas lahan.
Prosiding ini menyajikan tulisan ilmiah hasil penelitian, pengkajian dan
tinjauan tentang kebijakan, teknologi usahatani padi dan pemanfaatan
limbahnya oleh para peneliti dari berbagai daerah di Indonesia. Tulisan ilmiah
tersebut telah melalui proses suntingan yang diperlukan. Untuk itu diucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi - tingginya terhadap tim
penyunting.

Semoga Bermanfaat

Medan, Oktober 2016


Kepala Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sumatera Utara

Dr. Andriko Noto Susanto,SP, MP

ii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SAMBUTAN GUBERNUR SUMATERA UTARA


PADA SEMINAR NASIONAL PADI
Medan, 2 Desember 2015

Yang saya hormati:


1. Pangdam I Bukit Barisan
2. Dirjen Tanaman Pangan - Kementerian Pertanian
3. Kepala Badan beserta unsur pimpinan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian - Kementerian Pertanian,
4. Kepala Bappeda Sumatera Utara
5. Para Pimpinan SKPD Propinsi dan Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara
6. Para Pimpinan Perguruan Tinggi di Sumatera Utara
7. Para Pimpinan Satker Kementerian/Lembaga yang berada di Sumatera
Utara
8. Asisten Deputi Bidang Ketahanan Pangan, Pertanian, Lingkungan Hidup
dan Kehutanan – Sekretariat Kabinet RI
9. Para narasumber dan peserta seminar

Assalamu'alaikum wr. wb,


Pertama-tama, saya mengajak kita semua untuk memanjatkan puji dan syukur
kehadirat Allah Subhanahu waa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua, sehingga pada hari ini kita dapat menghadiri
seminar nasional padi dengan tema “Membangun pertanian berkelanjutan
mendukung kedaulatan pangan nasional”. Semoga pertemuan ini dapat
bermanfaat dalam mewujudkan target sukses kementerian pertanian tahun
2015 yaitu tercapainya swasembada pangan berkelanjutan khususnya padi.
Seraya memanjatkan syukur kepada Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa, dengan
bangga kami menyambut Bapak/Ibu sekalian, yang telah memberikan
perhatian dan waktunya untuk menghadiri acara yang saya anggap sangat
penting dan strategis ini, terlebih-lebih kebanggaan saya atas kunjungan
Bapak/Ibu di Medan - Sumatera Utara. Selamat datang dan salam hangat dari
kami keluarga besar masyarakat Sumatera Utara.
Bapak/Ibu hadirin yang saya muliakan
Seminar ini saya anggap penting dan strategis ditengah permasalahan nasional
dalam mencukupi kebutuhan pangan. Jumlah penduduk Indonesia yang besar
dan terus bertambah, mengharuskan kita semua, baik pemerintah maupun
masyarakat untuk secara bersama-sama berjuang untuk memenuhi kebutuhan
pangan nasional. Pembangunan pertanian ke depan untuk mewujudkan
kedaulatan pangan dapat diterjemahkan dalam bentuk kemampuan bangsa
dalam hal: (1) mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, (2)
mengatur kebijakan pangan secara mandiri, serta (3) melindungi dan
menyejahterakan petani sebagai pelaku utama usaha pertanian pangan.
Memposisikan sektor pertanian dalam pembangunan nasional merupakan

iii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kunci utama keberhasilan dalam mewujudkan indonesia yang bermartabat,


mandiri, maju, adil dan makmur.
Pencapaian kebutuhan pangan nasional, yang selama ini mengandalkan
sepenuhnya pada beras, dapat dicapai melalui beberapa strategi, yaitu:
peningkatan produksi, pengurangan konsumsi beras melalui diversifikasi
dengan berbagai sumber karbohidrat yang lain, serta peningkatan kualitas
beras kita.
Upaya pencapaian dan peningkatan produksi beras dapat dilakukan melalui
penyediaan dan perbaikan infrastruktur pertanian (meliputi jaringan irigasi, jalan
usahatani), optimasi lahan melalui penyediaan input produksi, penyediaan alat
dan mesin pertanian yang bertujuan untuk peningkatan efisiensi biaya, efisiensi
waktu budidaya, penerapan teknologi budidaya yang lebih efisien dan produktif,
penataan kelembagaan pertanian untuk memperbaiki akses petani terhadap
permodalan, agro input, pasar dan teknologi, serta penambahan areal tanam
pada daerah-daerah yang memungkinkan. Penyediaan teknologi juga
membuka kemungkinan untuk memanfaatkan lahan-lahan sub optimal secara
lebih produktif. Sementara itu, dinamika iklim yang semakin ekstrim, perubahan
ilmu pengetahuan, perubahan paradigma masyarakat, serta pekembangan
telekomunikasi yang semakin canggih, mengharuskan kita untuk menerapkan
sistem pertanian yang lebih modern, berbasis pada penguasaan bio-science,
bio-engineering dan teknologi informasi yang lebih akurat.
Peningkatan kualitas beras dengan kandungan nutrisi tertentu yang lebih tinggi
diharapkan dapat mengurangi kebutuhan beras. Dengan beras yang lebih
berkualitas maka kebutuhan kalori dan nutrisi lain sesuai dengan standard
kesehatan dapat dipenuhi dengan volume beras yang lebih sedikit. Perbaikan
penampilan beras harus diupayakan agar tidak mengurangi, atau bahkan
menghilangkan kandungan nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh (seperti
kompleks vitamin B yang terdapat pada kulit/lapisan luar beras), serta tidak
menambahkan bahan-bahan yang berbahaya, baik sebagai pewarna maupun
pengharum. Perbaikan kualitas beras, pada akhirnya ditujukan untuk
meningkatkan daya saing beras nasional kita, baik dipasaran dalam negeri
maupun internasional.
Pengurangan konsumsi beras tidak berarti mengurangi kecukupan nutrisi untuk
pertumbuhan dan kesehatan tubuh. Issue kesehatan, tingginya angka
penderita diabetes akibat kelebihan konsumsi beras, harus disikapi dengan
bijak dan tepat. Pencukupan kebutuhan tubuh melalui pemanfaatan sumber
pangan non-beras terus didorong. Di Sumatera Utara, dikenal secara turun-
temurun pola makan MANGGADONG, yakni perilaku makan produk-produk
non beras sebelum makan nasi. Namun demikian, sejalan dengan perubahan
pola hidup masyarakat, kebiasaan ini semakin luntur. Perbaikan teknologi
pengolahan dan penyajian pangan non beras harus dilakukan untuk
mengembalikan dan menggalakkan pola makan yang lebih beragam.

iv
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Bapak/Ibu hadirin yang saya banggakan


Beberapa issue menjadi kendala bagi pelaksanaan dan sukses strategi di atas,
antara lain:
 Berkurangnya lahan pangan akibat alih fungsi lahan, baik alih fungsi lahan
menjadi infrastruktur maupun alih fungsi untuk komoditas pertanian yang
lain. Selain itu, juga terjadi penurunan kualitas dan produktivitas lahan
akibat pengelolaan lahan secara eksesif dan kurang tepat;
 Dinamika iklim yang berdampak semakin ekstrim berupa kekeringan di
musim kemarau dan banjir di musim hujan. Kondisi ini diperparah oleh
perusakan dan alih fungsi hutan yang menyebabkan resapan air berkurang
dan aliran permukaan meningkat. Aliran permukaan tersebut juga
membawa materi sedimen yang menyebabkan pendangkalan sungai dan
berdampak banjir;
 Kelembagaan pertanian yang masih lemah sehingga tidak mudah bagi
petani untuk mendapatkan akses permodalan, sarana produksi pertanian,
pemasaran dan teknologi pertanian;
 Sumberdaya insan pertanian yang masih kurang, baik dalam jumlah
maupun kapasitas. Untuk penyuluhan contohnya, untuk memenuhi
program satu desa satu penyuluh, dari total 6008 desa dan kelurahan di
Sumatera Utara, baru tersedia 3.250 penyuluh. Sedangkan untuk petani
secara umum, tingkat pendidikan petani kita baru mencapai 9 tahun,
sehingga relatif sulit untuk menerima, memahami dan mengadopsi
teknologi:
 Khusus untuk Sumatera Utara, kemerataan pembangunan beserta seluruh
faktor pendukungnya masih menjadi masalah yang serius. Perbedaan
kemajuan pembangunan sektor pertanian di wilayah timur, tengah dan
barat menyisakan pekerjaan rumah yang besar, yang harus diselesaikan.
Saya yakin bahwa invensi, inovasi dan teknologi telah banyak dihasilkan oleh
para peneliti dan akademisi. Beberapa kegiatan untuk menghasilkan
performance budidaya dan produksi yang lebih baik telah dilaksanakan oleh
berbagai pihak, misalnya Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu
(GP PTT) dari Kementan, Better rice initiative in Asia (BRIA) dalam koridor
kerjasama dengan pemerintah Jerman, System of rice intensification (SRI), dll.
Oleh karena itu, dari seminar ini saya sangat mengharapkan munculnya
informasi dan inovasi teknologi yang berbasis ilmu pengetahuan yang kuat,
khususnya pada komoditas padi dan pada bidang pangan secara lebih luas.
Saya juga sangat mengharapkan dihasilkannya rekomendasi yang kuat,
realistis dan dapat diterapkan, baik untuk pengambil kebijakan maupun
rekomendasi teknis/praktis di lapangan. Rekomendasi tersebut harus dapat
menyikapi, mengakomodasi dan mengompromikan dikotomi kepentingan
kemajuan ekonomi dan kelestarian sumber daya lingkungan.
Penyelenggaraan seminar ini juga saya nilai sangat bagus, karena adanya
kerjasama antara pihak Kementerian Pertanian, Perguruan Tinggi dan
Organisasi non profit, sehingga menghasilkan sinergi yang lebih mutualistik.

v
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Keikut-sertaan mahasiswa dan petani juga memperkaya sambungan antara


generasi senior dengan generasi penerus, antara saintis/akademisi dengan
praktisi (petani). Saya berharap yang demikian ini dapat menjadi model bagi
seminar-seminar yang akan datang.
Akhirnya, dengan memohon ridho Allah swt dan mengucap Bismillahi rohmani
rohim, SEMINAR NASIONAL PADI dengan tema “Membangun Pertanian
Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”, secara resmi dibuka.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Gubernur Sumatera Utara
Plt.
Ir. H. Tengku Erry Nuradi, MSi

vi
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

RUMUSAN SEMINAR NASIONAL PADI


KERJASAMA BADAN LITBANG PERTANIAN DENGAN
GIZ,USU, STTP, UISU, dan BASF
Medan 2 DESEMBER 2015
DenganTema
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung
Kedaulatan Pangan Nasional”

Padi berperan penting dalam ketahanan pangan, untuk itu telah ditargetkan
pada tahun 2018 diharapkan tercapai 85 juta ton GKG, atau tambahan produksi
sekitar 4 juta ton GKG/tahun. Tantangan peningkatan produksi ini dapat dicapai
melalui upaya perbaikan sarana prasarana, penyediaan teknologi spesifik
lokasi, peningkatan kapasitas kelembagaan pendukung, dan penyediaan
informasi pasar yang tepat waktu.
Dari hasil seminar nasional padi ini dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
I. Tantangan dan Kendala Pencapaian Swasembada Beras Berkelanjutan
1. Penurunan lahan sawah produktif akibat konversi lahan untuk non-
pertanian (komersial, industri, dan perkotaan), kurangnya penyuluh
yang kompeten, dan penurunan pendapatan petani.
2. Meningkatnya degradasi sumber daya lahan dan infrastruktur terutama
jaringan irigasi dan jalan usahatani.
3. Perubahan iklim global, memberikan dampak langsung terhadap
peningkatan konsentrasi CO2, kenaikan suhu udara, kenaikan
permukaan laut dan perubahan pola hujan.
4. Suhu udara meningkat berpengaruh terhadap fisiologis tanaman dan
berpengaruh kuat terhadap penurunan hasil/produksi tanaman padi.
5. Dampak ikutan perubahan pola iklim meliputi: banjir, kekeringan,
salinitas, dan ledakan hama penyakit utama seperti WBC, HDB, blas.
6. Kelembagaan pertanian yang masih lemah sehingga tidak mudah bagi
petani untuk mendapatkan akses permodalan, sarana produksi
pertanian, pemasaran dan teknologi pertanian.
7. Kapasitas dan jumlah sumber daya insan pertanian terdepan dengan
pelaku usahatani yang masih kurang.
8. Khusus untuk Sumatera Utara, kemerataan pembangunan beserta
seluruh faktor pendukungnya masih menjadi masalah yang serius.
Perbedaan kemajuan pembangunan sector pertanian di wilayah timur,
tengah dan barat menyisakan pekerjaan rumah yang besar, yang harus
diselesaikan.

II. Informasi dan Inovasi Teknologi Padi Terkini


9. Kesiapan tekonologi terkini padi antara lain:
a. Varietas unggul tahan kekeringan, tahan rendaman, tahan salinitas,
tahan hama
penyakit utama, umur sangat genjah, dan toleran suhu rendah di
dataran tinggi.

vii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

b. Rekayasa teknologi budidaya lainnya adalah: pengelolaan pupuk


spesifik lokasi dengan alat bantu PUTS, penggunaan BWD, hemat
air, penggunaan pupuk organik dan kombinasi dengan pupuk kimia,
Sistem tanam benih langsung (TABELA), JARWO, Sistem Integrasi
Padi Ternak (SIPT), pengelolaaan brangkasan tanaman (jerami),
pengendalian hama dan penyakit terpadu serta pengendalian tikus
terpadu.
10. Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi memberikan efisiensi produksi
padi, baik di lahan sawah irigasi, rawa, dan lahan kering.
11. Banyak galur-galur harapan padi yang potensial, galur-galur tersebut
memiliki rendemen beras giling dan prosentase beras kepala cukup
tinggi dibanding Ciherang yang merupakan varietas populer di
Indonesia termasuk di Sumatera Utara.
12. Banyak galur-galur mutan padi sawah lokal spesifik dataran tinggi
memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibanding varietas lokal dataran
tinggi.
13. Usahatani padi sawah masih menguntungkan, memberikan R/C rasio
antara 1,8-2,2.
14. Pengurangan 50% dari penggunaan pupuk kimia melalui penggunaan
pupuk hayati Biotrent, masih mampu meningkatkan produktivitas padi
sawah.
15. Arsitektur morfologi akar yang terpapar kekeringan penting bagi pemulia
tanaman sebagai indikator seleksi untuk mendapatkan tanaman yang
toleran kekeringan pada kultivar padi gogo.
16. Penemuan Sarcocystissingaporensis yang terdapat di kotoran ular
Phyton. Reticulates secara alami di suatu daerah pertanian merupakan
langkah awal dalam pengembangan dan pembiakan missal dalam
pemanfaatan S. singaporensis untuk pengendalian hama tikus secara
biologi.
17. Penerapan teknologi pascapanen yang baik sangat diperlukan untuk
mendukung pembangunan pertanian tradisional menuju pertanian yang
berwawasan agribisnis dan modern.
18. Teknologi SALIBU merupakan kearifan local yang cukup potensial untuk
meningkatkan efisiensi usaha padi sawah.
19. Kontribusi Better Rice Initiative Asia (BRIA) dalam peningkatan
kemakmuran petani dan keamanan pangan di Indonesia cukup
signifikan melalui promosi produksi pertanian berkelanjutan dan
peningkatan akses pasar yang salah satu tujuannya ditargetkan petani
binaan menjadi produsen benih padi yang mandiri.
20. Aktivitas peyuluhan berperan penting dalam upaya meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan petani dalam teknologi budiadaya padi
sawah maupun padi gogo.
21. Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dilakukan
melalui pendekatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang dilakukan
dengan pertimbangan agar kondisi tanaman dan lingkungan tetap sehat
dan produksi maksimal tercapai.

viii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

III. Strategi dan Implikasi Kebijakan untuk Pemantapan Swasembada


Beras Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional
22. Telah dilakukan pemetaan daerah rawan banjir dan kekeringan,
sehingga dapat menurunkan resiko usahatani padi.
23. Pemetaan varietas unggul spesifik lokasi juga telah dilakukan dalam
upaya mempermudah pengembangan benih padi bermutu dan
distribusinya.
24. Diperlukan peningkatan kapasitas SDM pertanian, utamanya petugas
penyuluh pertanian lapangan dan petani melalui pemahaman dan
implementasi teknologi inovatif padi untuk peningkatan produksi.
25. Sistem perbenihan yang handal perlu dibangun, karena dimanapun
pertanian yang maju selalu dimulai dengan upaya penyediaan benih
bermutu dari varietas unggul spesifik lokasi secara konsisten.
26. Diperlukan pengembangan jaringan komunikasi dan konsultasi antara
pihak terkait.
27. Dalam pengembangan usaha padi perlu ditingkatkan peran serta dari
Perguruan Tinggi, pemerintah daerah maupun pusat, dan swasta.
28. Rekayasa inovasi teknologi budidaya padi perlu dilakukan
berkelanjutan, meliputi penggunaan varietas unggul toleransi cekaman
biotik, terutama rendaman, kekeringan, salinitas, dan suhu rendah di
dataran tinggi, benih bermutu, bibit muda, pemupukan spesifik lokasi,
dan teknologi jarwo, teknologi hemat air, pengendalian hama/penyakit
terpadu.
29. Perlu dilakukan penyesuaian pola tanam, pengembangan sistem usaha
tani adaptif yang sifatnya spesifik lokasi.
30. Telah dilakukan upaya optimalisasi lahan sub-optimal seperti lahan
rawa, tadah hujan dan lahan kerng marginal.
31. Upaya penguatan kelembagaan tingkat Gapoktan/Kelompok tani perlu
dilakukan secara terus menerus.
32. Telah direncanakan untuk mendirikan Pusat Informasi Dan Pelatihan
Penangkaran Benih Padi di Fakultas Pertanian Universitas Islam
Sumatera Utara.
Demikian Rumusan Sementara ini disampaikan, semoga dengan upaya
bersama dalam seminar ini, dapat kita tingkatkan kontribusi kita semua, dalam
pencapaian target produksi padi yang sudah ditetapkan.
Medan, 2 Desember 2015
Tim Perumus :
1. Amrizal Yusuf
2. S. Edy Sumantri
3. Asmanizar
4. L Haloho
5. P Nainggolan
6. Helmi
7. Tatang M Ibrahim

ix
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii


SAMBUTAN GUBERNUR SUMATERA UTARA .................................... iii
RUMUSAN SEMINAR ............................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................ x

MAKALAH UTAMA
1. STRATEGI PENGEMBANGAN PADI UNTUK MENDUKUNG
KEBIJAKAN PANGAN NASIONAL
Laurensius Sihaloho dan Hasil Sembiring ......................................... 1

2. STRATEGI PENYIAPAN INOVASI TEKNOLOGI PADI MENDUKUNG


KEDAULATAN PANGAN
Ali Jamil dan Yuliantoro Baliadi .......................................................... 8

3. PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) : Hasil Penelitian dan


Prospek Pengembangan
Sarlan Abdulrachman ........................................................................ 31

4. PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA PADI SAWAH


Bambang Nuryanto ............................................................................ 49

5. UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI INDONESIA


Muhammad Abdillah .......................................................................... 62

6. KETERSEDIAAN SARANA DAN PRASARANA PERTANIAN UNTUK


MENDUKUNG PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI
Sahat M. Pasaribu ............................................................................. 74

7. TEKNOLOGI SALIBU BUDIDAYA PADI HEMAT BENIH


(Tanam 1 Kali Panen Berkali-kali)
Erdiman ............................................................................................. 88

MAKALAH PENUNJANG
A. BUDIDAYA
8. PENAMPILAN EMPAT VARIETAS UNGGUL BARU PADI
SAWAH BERBASIS PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI
SUMATERA BARAT
Misran .............................................................................................. 97

9. PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN


DAN HASIL PADI SAWAH VARIETAS INPARI 21 BATIPUAH DI
SUMATERA BARAT
Misran dan Atman ............................................................................ 104

x
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

10. KERAGAAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH


BERBASIS PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI
SUMATERA BARAT
Sumilah dan Atman .......................................................................... 110

11. KERAGAAN VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH DI LOKASI


PENDAMPINGAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN
TANAMAN TERPADU KABUPATEN MANDAILING NATAL
Jonharnas, Novia Chairuman dan Nieldalina ................................... 116

12. PERBAIKAN INOVASI TEKNOLOGI MENDUKUNG PROGRAM


PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI DATARAN TINGGI JAYA
WIJAYA, PAPUA
Demas Wamaer ............................................................................... 124

13. PENGARUH TIGA METODA PENENTUAN DOSIS PUPUK


PADA LIMA VARIETAS PADI SAWAH PASANG SURUT DI
DESA PULAU BANYAK KABUPATEN LANGKAT SUMATERA
UTARA
Akmal dan Khadijah El Ramija ......................................................... 136

14. KOMBINASI PUPUK HAYATI BIOTRENT DENGAN PUPUK


KIMIA DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADI
SAWAH DAN MENURUNKAN PENGGUNAAN PUPUK KIMIA DI
SUMATERA BARAT
Atman, Hardiyanto dan Setia Budi Keliat ......................................... 144

15. UJI ADAPTASI VARIETAS PADI UNGGUL BARU DI


KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT, MALUKU
Alexander J. Rieuwpassa dan Demas Wamaer ............................... 153

16. ADAPTASI TIGA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH DI


BOLIYOHUTO, KAB. GORONTALO, PROVINSI GORONTALO
Erwin Najamuddin, A. Yulyani Fadwiwaty, dan Suheri Sitepu ......... 160

17. PENAMPILAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI VARIETAS


UNGGUL BARU PADI SAWAH DI KABUPATEN NIAS SELATAN
Perdinanta Sembiring dan Hendri F. Purba ..................................... 167

18. KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA


VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH DI KABUPATEN
KARO
Perdinanta Sembiring dan Dorkas Parhusip ................................... 174

19. KERAGAAN VARIETAS PADI HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH


IRIGASI DI KABUPATEN BATUBARA
Helmi .............................................................................................. 181

xi
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

20. KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL ENAM VARIETAS


PADI SAWAH UNGGUL BARU DI KABUPATEN NIAS UTARA
Perdinanta Sembiring dan Hendri F. Purba .................................... 190

21. KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL VUB PADI DI


LAHAN PASANG SURUT KABUPATEN TANJUNG JABUNG
TIMUR, JAMBI
Lutfi Izhar dan Salwati .................................................................... 197

22. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI


PENERAPAN PAKET TEKNOLOGI PEMUPUKAN DI LAHAN
SAWAH TADAH HUJAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN
PANGAN NASIONAL
Novia Chairuman, Jonharnas, dan Catur Hermanto ....................... 206

23. ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS PADI DI LAHAN RAWA


PASANG SURUT SERDANG BEDAGAI
Musfal, Tristiana Handayani dan Helmi .......................................... 216

24. IDENTIFIKASI TINGKAT PENERAPAN KOMPONEN


PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADI DI
KABUPATEN PAKPAK BHARAT SUMATERA UTARA (Kasus
Kecamatan Salak dan Kecamatan Kerajaan)
Lukas Sebayang, Tumpal Sipahutar dan Listiawati ........................ 223

25. PENAMPILAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA


BERBAGAI SISTEM TANAM DI LAHAN TADAH HUJAN
KALIMANTAN BARAT
Agus Subekti dan Khadijah El Ramija ........................................... 231

26. UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADI MELALUI VARIETAS


UNGGUL BARU DAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO DI
LAHAN RAWA LEBAK KABUPATEN MUARO JAMBI
Firdaus dan Adri ............................................................................. 239

27. KERAGAAN VARIETAS PADI SAWAH TAHAN GENANGAN


(PSTG) DIDAERAH RAWAN BANJIR KABUPATEN BEKASI
JAWA BARAT
Nurnayetti dan Budiman ................................................................. 245

28. KESESUAIAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO


DENGAN PENDEKATAN PTT DI KABUPATEN SARMI, PAPUA
Petrus A Beding, Rohimah S HL dan Siti Fatimah Batubara .......... 250

xii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

29. ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI


SAWAH DI SULAWESI TENGGARA
Samrin, Raden Teguh Wijanarko, danTristiana Handayani ............ 257

30. KEANEKARAGAMAN DAN DOMINASI GULMA PADA LAHAN


SAWAH DATARAN TINGGI DI KABUPATEN REJANG LEBONG
PROVINSI BENGKULU (Studi Kasus Desa Bangun Jaya
Kecamatan Bermani Ulu Raya)
Yong Farmanta, Siti Rosmanah dan Alfayanti ................................ 266

31. INTRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) INPARI 16


DAN 22 DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI
KABUPATEN SELUMA
Yong Farmanta, Yartiwi dan Nurmegawati .................................... 274

32. PENGUJIAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL


BARU PADI DI KECAMATAN LEUWILIANG DAN CIJERUK,
KABUPATEN BOGOR
Yati Haryati, Sukmaya, Anna Sinaga dan Ahmad Tohir
Harahap ......................................................................................... 282

33. PENGARUH TIGA SISTEM TANAM PADA DUA MUSIM TANAM


TERHADAP KARAKTER AGRONOMI GALUR HARAPAN PADI
TIPE BARU.
Sri Romaito Dalimunthe.................................................................. 291

B. PASCA PANEN
34. KARAKTERISTIK MUTU GABAH DAN BERAS GALUR-GALUR
HARAPAN PADI SAWAH TAHAN PENYAKIT TUNGRO DAN
HAWAR DAUN BAKTERI (HDB) .
Cucu Gunarsih, Suhartini, Trias Sitaresmi, Estria Furry P,
Nurmalia ..................................................................................... ... 300

35. KAJIAN PENERAPAN PENANGANAN PASCA PANEN PADI DI


KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA .
N.D.M.Romauli Hutabarat .............................................................. 307

36. OPTIMASI LAMA PENGERINGAN GABAH DENGAN


BERBAGAI MASSA DAN KADAR AIR PADA PENGERING
BERBAHAN BAKAR SEKAM
Jonni Firdaus................................................................................. 314

37. PREFERENSI DAN PEMANFAATAN LIMBAH PENGGILINGAN


PADI (BEKATUL) SEBAGAI SUBSTITUSI GANDUM PADA KUE
BROWNIES
Sumarni, A. Dalapati, Jonni Firdaus dan Soeharsono..................... 322

xiii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

38. TEKNOLOGI PEMANENAN DAN PENGERINGAN PADI


UNTUK MENGURANGI KEHILANGAN HASIL DI KALIMANTAN
BARAT
Tommy Purba dan Nurmalia .......................................................... 328

39. KEHILANGAN HASIL PENGERINGAN DAN PENGGILINGAN


GABAH DI SENTRA PADI KALIMANTAN BARAT
Jhon David H dan Nurmalia .......................................................... 339

40. TEKNOLOGI PERONTOKAN UNTUK MENEKAN


KEHILANGAN HASIL PADI DI KABUPATEN SINTANG (Kasus
Desa Kebong Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang)
Jhon David H dan Nurmalia ............................................................ 347

C. PEMANFAATAN LIMBAH TANAMAN PADI


41. POTENSI JERAMI PADI SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK
RUMINANSIA BESAR DALAM MENDUKUNG
PENGEMBANGAN INTEGRASI TANAMAN TERNAK DI
KABUPATEN MERAUKE,PAPUA
Usman, Siska Tirajoh, Batseba. M.W. Tiro dan
Sarman P.L. Tobing ....................................................................... 353

42. PEMANFAATAN JERAMI PADI FERMENTASI SEBAGAI


PAKAN ALTERNATIF DALAM USAHA AGRIBISNIS SAPI
POTONG RAKYAT DI KOTA JAYAPURA, PAPUA
Usman, Batseba M.W. Tiro, Siska Tirajo, dan Sarman
P.L.Tobing ...................................................................................... 360

43. ANALISIS PENGGUNAAN ARANG SEKAM PADI, KOMPOS


JERAMI DAN ABU VULKANIK GUNUNG SINABUNG DALAM
PERTUMBUHAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L. )
Yaya Hasanah, Lis Amelia Anggun Purba dan Haryati .................. 366

44. POTENSI JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN TERNAK


RUMINANSIA DI KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA
Sri Haryani Sitindaon ..................................................................... 372

45. SOSIALISASI PEMANFAATAN JERAMI PADI SEBAGAI


PAKAN TERNAK SAPI DENGAN POLA TERINTEGRASI DI
DELI SERDANG SUMATERA UTARA
Sri Haryani Sitindaon, Tatang M. Ibrahim dan Helmi ..................... 380

xiv
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

D. SUMBERDAYA

46. PENGKAJIAN SISTEM PENYEDIAAN BENIH UNGGUL


BERMUTU PADI SECARA BERKELANJUTAN DI TINGKAT
PENANGKAR BENIH SUMATERA UTARA
Sortha Simatupang dan Didik Harnowo .......................................... 389

47. HUBUNGAN SERAPAN HARA NPK DAN HASIL DUA


VARIETAS PADI SAWAH TERHADAP TARAF PEMBERIAN
PUPUK MENURUT PHSL
Musfal ............................................................................................ 398

48. SERAPAN NPK PADI SAWAH PADA BEBERAPA TARAF


PEMBERIAN PUPUK MENURUT PUTS DI KABUPATEN
SIMALUNGUN
Musfal ............................................................................................ 405

49. PENGKAJIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR DAN HARA


PADA TANAMAN PADI DI LAHAN PASANG SURUT
Azri dan Muhammad Hatta ............................................................. 412

50. REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN PADI DI


KABUPATEN MEMPAWAH KALIMANTAN BARAT
Azri ................................................................................................. 420

51. OPTIMASI LAHAN SAWAH IRIGASI MELALUI DIVERSIFIKASI


TANAMAN DENGAN PENDEKATAN PTT DI PROVINSI JAMBI
Endrizal, Jumakir dan Julistia Bobihoe ......................................... 429

52. UJI BEBERAPA DOSIS PUPUK PHOSPHATE TERHADAP


PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI SAWAH
Siti Maryam Harahap, Timbul Marbun dan Muhammad Fadly ........ 438

53. OPTIMALISASI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN MELALUI


IMPLEMENTASI KALENDER TANAM MENDUKUNG
PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI BERAS NASIONAL
(P2BN) DI SUMATERA UTARA
Ahmad Tohir, Ayi Sudrajat, dan Timbul Marbun ............................. 445

54. KARAKTERISTIK LAHAN SAWAH GAMBUT DAN ANALISIS


KELAYAKAN USAHA TANI PADI SAWAH DI KECAMATAN
DOLOK SANGGUL KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
Siti Fatimah Batubara dan Deni Elfiati ............................................ 452

55. VARIETAS PADI LOKAL TADAH HUJAN DESA KARANG


ANYAR, SECANGGANG, LANGKAT, SUMATERA UTARA
Lely Zulhaida Nasution dan Sri Haryani Sitindaon .......................... 459

xv
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

56. UJI DAYA HASIL GALUR/ VARIETAS PADI SAWAH DATARAN


RENDAH
Akmal, Catur Hermanto dan Lely Zulhaida Nasution ..................... .465

57. KESESUAIAN LAHAN PADI GOGO DI KABUPATEN PAKPAK


BHARAT SUMATERA UTARA
Lukas Sebayang, Sarman P. L.Tobing dan Mieke Afni Hardyani .. 471

58. PENINGKATAN KADAR BAHAN ORGANIK DAN


PERTUMBUHAN PADI MELALUI APLIKASI PUPUK ORGANIK
DAN ANORGANIK DI LAHAN SAWAH DENGAN SISTEM
TANAM SRI DAN KONVENSIONAL
Hamidah Hanum, Hardy Guchi dan Jamilah ................................. 476

59. IDENTIFIKASI GENOTIPE PADI GOGO TOLERAN


KEKERINGAN
Vivi Aryati, Maryati Sari dan Nurmalia ........................................... 483

60. RESPON MORFOLOGI DAN METABOLIS TANAMAN PADI


TERHADAP CEKAMAN KELEBIHAN AIR
Yardha dan Lutfi Izhar ................................................................... 493

61. IDENTIFIKASI GALUR – GALUR MUTAN PADI SAWAH


DATARAN TINGGI BERUMUR GENJAH
Cucu Gunarsih, Aan A. Daradjat, Nafisah,Trias Sitaresmi,
Akmal ............................................................................................ 501

62. UJI ADAPTASI GALUR PADI TIPE BARU LAHAN PASANG


SURUT KABUPATEN PELELAWAN RIAU
Emisari Ritonga, Saripah Ulpah, dan Idri Hastuty Siregar ............. 509

63. KAJIAN MORFOLOGI DAN FISIOLOGI BEBERAPA VARIETAS


PADI AKIBAT CEKAMAN GARAM DI SEMAIAN
Wan Arfiani Barus dan Narendra K. Singh .................................... 517

64. KONSERVASI SUMBER DAYA GENETIK PADI GOGO LOKAL


DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Rahmad Setia Budi, Irfan Suliyansyah, Yusniwati, dan
Sobrizal ......................................................................................... 524

65. POTENSI AKAR VARIETAS PADI GOGO LOKAL SIGAMBIRI


PUTIH DAN SIGAMBIRI MERAH UNTUK TOLERANSI
TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
Benedicta Lamria Siregar, Rosmayati, dan Amrizal Yusuf ............. 533

xvi
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

66. EVALUASI KARAKTER AGRONOMIS GALUR PADI SAWAH


TADAH HUJAN GENERASI LANJUT
Wage R. Rohaeni, Untung Susanto, Rina H.Wening
dan S.R.Dalimunthe ..................................................................... 542

67. IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI MORFOLOGI PLASMA


NUTFAH PADI LOKAL SUMATERA UTARA
Lely Zulhaida Nasution, Sri Romaito Dalimunthe dan
Sortha Simatupang ........................................................................ 549

68. SKRINING TOLERANSI GALUR PADI MUTAN HARAPAN


HASIL PERBAIKAN GENETIK PADI LOKAL SUMATERA
BARAT MELALUI PEMULIAAN MUTASI TERHADAP
PENYAKIT BLAS (Pyricularia oryzae Cav.)
Irfan Suliansyah, Syahrul Zen, Sobrizal, Hendra Alfi dan
Benny Warman.............................................................................. 558

69. EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN DALAM MENDUKUNG


PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS PADI DI
KABUPATEN BATUBARA
Deddy Romulo Siagian danTimbul Marbun .................................. 566

70. POTENSI DAN KENDALA PENGEMBANGAN PADI SAWAH


MELALUI PEMANFAATAN PETA KESESUAIAN LAHAN
SKALA 1:50.000 DIKABUPATEN SIMALUNGUN
Deddy Romulo Siagian danTimbul Marbun ................................... 574

71. POTENSI PENGEMBANGAN PADI DI PULAU BINTAN


Lutfi Izhar, Dahono, dan Salwati .................................................... 582

E. PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT


72. EKSISTENSI HAMA PENYAKIT PADI PADA PENGELOLAAN
TANAMAN TERPADU (PTT) PADI BERBASIS LIMBAH CAIR
PABRIK GULA KWALA MADU DI KABUPATEN LANGKAT
Wasito, Loso Winarto dan Khairiah................................................ 589

73. SERANGAN HAMA WERENG BATANG COKELAT PADA


TANAMAN PADI DI KECAMATAN STABAT KABUPATEN
LANGKAT
Muainah Hasibuan ........................................................................ 599

74. UJI BEBERAPA KONSENTRASI EKSTRAK BIJI PINANG


(Areca catechu L.) UNTUK MENGENDALIKAN POPULASI
WERENG HIJAU (Nephotetic verescens) PADA PADI
TAICHUNG NATIVE (TN1) YANG RENTAN TERHADAP
VIRUS TUNGRO
Arif Muazam dan Ahmad Muliadi .................................................. 607

xvii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

75. EVALUASI PENYAKIT PADI PADA VARIETAS UNGGUL BARU


HIBRIDA
Dini Yuliani, Muainah Hasibuan dan Sudir ..................................... 613

76. KAJIAN MODEL PHTT BERBASIS TEKNOLOGI TBS DAN


LTBS DI HAMPARAN SAWAH BERBATASAN KEBUN SAWIT
Sigid Handoko, Adri, Endrizal, dan Rima Purnamayani ................. 619

77. REAKSI KETAHANAN DELAPAN VARIETAS UNGGUL BARU


TERHADAP HAWAR DAUN BAKTERI PADI
Dini Yuliani, Muainah Hasibuan, dan Sudir .................................... 624

78. PENGARUH BATASAN LAHAN PERTANIAN TERHADAP


KELIMPAHAN TIKUS DI JAMBI
Ratna Rubiana, Adri, dan Endrizal................................................. 631

79. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI SAWAH PADA


LAHAN BUKAAN BARU
Yulimasni....................................................................................... 637

80. PERBANDINGAN INFORMASI POLA LEDAKAN POPULASI


NGENGAT PENGGEREK BATANG PADI BERDASARKAN
HASIL TANGKAPAN LIGHT TRAP DAN SEX FEROMON
Wage R. Rohaeni, Anna Sinaga, Oshwald Marbun dan
S.R. Dalimunthe ............................................................................ 644

81. POTENSI INSEKTISIDA BOTANIS DALAM MENGENDALIKAN


HAMA BAHAN SIMPAN PADA BERAS
Asmanizar ..................................................................................... 648

82. KARAKTERISASI SPESIFIK WILAYAH DAN LAPORAN AWAL


KEBERADAAN HAWAR DAUN BAKTERI PADA VARIETAS
MEKONGGA DI KABUPATEN GORONTALO PROVINSI
GORONTALO.
Erwin Najamuddin, A. Yulyani Fadwiwaty, dan Suheri Sitepu ........ 655

83. UJI BEBERAPA BENTUK PERANGKAP FEROMON


TERHADAP HAMA PENGGEREK BATANG PADI KUNING
Scirpophaga incertulas PADA TANAMAN PADI
Asmanizar, Sulaiman Ginting, S. Edy Sumantri, dan
Dwija Pratama .............................................................................. 660

84. PERKEMBANGAN DAN TINGKAT SERANGAN WALANG


SANGIT (Leptocorixa acuta) DI SUMATERA UTARA
Muainah Hasibuan dan Nazaruddin Hutapea ................................ 666

xviii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

85. EKSPLORASI Sarcocystis singaporensis PADA LAHAN PADI


SAWAH DI KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
Sulaiman Ginting, S. Edy Sumantri, Asmanizar dan
Fausziah Damanik......................................................................... 673

F. SOSIAL EKONOMI, DISEMINASI DAN KEBIJAKAN

86. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI DISPLAY


VARIETAS DENGAN PENDEKATAN PENGELOLAAN
TANAMAN TERPADU (PTT) DI KABUPATEN TAPANULI
TENGAH, SUMATERA UTARA
Akmal dan Dorkas Parhusip .......................................................... 680

87. DISPLAY PRODUKTIVITAS BEBERAPA VARIETAS UNGGUL


BARU PADI SAWAH
Helmi ............................................................................................. 687

88. KERAGAAN DAN ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI


PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH DI
PROVINSI SUMATERA BARAT
Nusyirwan Hasan, Rifda Roswita dan Yulimasni ........................... 695

89. ANALISIS KEBIJAKAN ISU AKTUAL KARAKTERISTIK


PELAKU PERBERASAN DI PROVINSI ACEH
Abdul Azis, BA. Bakar dan T. Iskandar .......................................... 702

90. KAJIAN FAKTOR PERCEPATAN ADOPSI TEKNOLOGI


PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADI SAWAH DI
KABUPATEN BIREUEN PROVINSI ACEH
Nazariah ........................................................................................ 716

91. KAJIAN PENERAPAN SISTEM PTT PADI DI KAB. ASAHAN


(Studi Kasus Kecamatan Meranti dan Kecamatan Rawang
Panca Arga)
Idri Hastuty Siregar, Helmi, Riri Rizki Chairiyah ............................. 723

92. STRUKTUR PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI PADI


SAWAH SKALA KECIL DI NAGARI JAWI – JAWI KECAMATAN
GUNUNG TALANG KABUPATEN SOLOK
Muhammad Ichwan dan Nieldalina ............................................... 732

93. TINGKAT ADOPSI PTT DISENTRA PRODUKSI PADI SAWAH


KABUPATEN MERAUKE PAPUA
Afrizal Malik, Sri Rahayu D.Sihombing, Yunita Indah
Wulandari ...................................................................................... 740

xix
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

94. UPAYA PERCEPATAN ADOPSI VARIETAS UNGGUL BARU


(VUB) DI LAHAN SUB OPTIMAL (LAHAN TADAH HUJAN):
STUDI KASUS DI KABUPATEN SAROLANGUN JAMBI
Suharyon, Busyra Buyung Saidi, dan Jainal Abidin Hutagaol ........ 753

95. PERILAKU PETANI TERHADAP RISIKO DI SENTRA


PRODUKSI PADI SAWAH PROVINSI BALI
Suharyanto dan Jemmy Rinaldi ..................................................... 764

96. TANTANGAN DAN UPAYA DALAM PENCAPAIAN


SWASEMBADA PANGAN DI KABUPATEN SIMALUNGUN,
SUMATERA UTARA
Delima Napitupulu ......................................................................... 771

97. FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI YANG


MEMPENGARUHI KETERAMPILAN BURUH TANAM
LEGOWO PADI DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT
Ikin Sadikin dan Bambang Sunandar............................................. 779

98. KINERJA KESEJAHTERAAN PETANI PADI DI KABUPATEN


CIREBON JAWA BARAT
Ikin Sadikin .................................................................................... 788

99. ANALISIS RESPON PRODUKSI PADI SAWAH DI KABUPATEN


SERANG PROVINSI BANTEN
Viktor Siagian, Muchamad Yusron dan Lermansius Haloho .......... 797

100. PENGARUH PERILAKU PETANI TERHADAP TINGKAT


PENERAPAN TEKNOLOGI PERANGKAT UJI TANAH SAWAH
(PUTS) DI DESA MANGGA KECAMATAN TANJUNG
BERINGIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Putri Nirwana Sari ......................................................................... 803

101. PREFERENSI VARIETAS UNGGUL BARU DI KABUPATEN


SUMEDANG
Siti Lia Mulijanti ............................................................................. 811
102. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU
PERTUMBUHAN KONVERSI LAHAN SAWAH KE
PENGGUNAAN NON PERTANIAN DI PROVINSI BALI
Suharyanto, Ketut Mahaputra, Nyoman Ngurah Arya dan
Jemmy Rinaldi ............................................................................... 818
103. DAMPAK KEBIJAKAN INPUT OUTPUT TERHADAP DAYA
SAING USAHATANI PADI DI KABUPATEN TABANAN
PROVINSI BALI
Jemmy Rinaldi dan Suharyanto .................................................... 825

xx
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

104. KAJIAN PENERAPAN KOMPONEN PTT PADI DI KABUPATEN


SAMOSIR (Kasus Kecamatan Palipi dan Sianjur Mula-mula)
Lermansius Haloho ....................................................................... 834

105. TEKNOLOGI EXISTING, TINGKAT PENDAPATAN DAN


PELUANG PENGEMBANGAN USAHATANI PADI SAWAH
IRIGASI DI KOTA JAYAPURA, PAPUA
Afrizal Malik, Yunita Indah Wulandari, Sri Rahayu
D. Sihombing ................................................................................. 842

106. PERAN SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA


TERPADU (SLPHT) PADI DALAM PENINGKATAN
KETERAMPILAN PETANI
Alfan Sagito dan Winda Rahayu .................................................... 851
107. RESPON PETANI KOOPERATOR TERHADAP ALAT DAN
MESIN PERTANIAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN
PRODUKSI PADI DI KABUPATEN BENGKULU UTARA
Yong Farmanta, Dedi Sugandi dan Rahmat Oktafia ..................... 859
108. ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH MELALUI SISTEM
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI LAMPUNG
Slameto, Erwan Wahyudi dan Dorkas Parhusip ...................... 866
109. TINGKAT PENGETAHUAN DAN ADOPSI PETANI
TERHADAP SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO DI
KABUPATEN CIANJUR
Arti Djatiharti, S.L. Mulijanti, dan A. M.Safei .................................. 876
110. ANCAMAN KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP
KETAHANAN PANGAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN DI
KABUPATEN KAMPAR
Anis Fahri ...................................................................................... 884
111. ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH DI KECAMATAN
MUARA KABUPATEN TAPANULI UTARA .
Tumpal Sipahutar .......................................................................... 894

112. SIKAP PETANI TERHADAP TEKNOLOGI SISTEM TANAM


BENIH LANGSUNG (TABELA) DALAM MENINGKATKAN
PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH (Studi Kasus Di
Desa Lakea Dua Kecamatan Lakea Kabupaten Buol)
Muhammad Abid .......................................................................... 900

113. ANALISIS SISTEM KELEMBAGAAN FORMAL DAN


INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN INOVASI SPESIFIK
LOKASI DI PROVINSI BANTEN
Dewi Haryani dan Yati Astuti ....................................................... 906

xxi
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

114. ANALISIS KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI BANTEN


Dewi Haryani ................................................................................. 914

115. IDENTIFIKASI SERAPAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN


TANAMAN TERPADU (PTT) PADI DI KABUPATEN
SIMALUNGUN (Studi Kasus di Kecamatan Gunung Malela dan
Pematang Bandar)
Delima Napitupulu ......................................................................... 921

116. TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI SISTEM


TANAM JAJAR LEGOWO DI KABUPATEN TAPANULI
TENGAH
Ahmad Tohir, Nazaruddin Hutapea dan Listiawati ......................... 930

117. PERANAN PENYULUHAN TERHADAP PENINGKATAN


PENGETAHUAN DAN AFEKTIF PETANI DALAM
BERUSAHATANI PADI SAWAH DI KELURAHAN RIMBO
KEDUI KABUPATEN SELUMA
Dedi Sugandi, Bunaiyah Honorita dan Alfayanti ............................ 937

118. DAMPAK PENERAPAN KOMPONEN PTT TERHADAP


PERILAKU PETANI DI SUMATERA UTARA
Tristiana Handayani....................................................................... 947

119. PENGEMBANGAN MODEL DESA MANDIRI BENIH PADI


Asrul Koes , Nuning Argo Subekti, I Nyoman Widiarta, dan
I Made Jana Mejaya ...................................................................... 953
120. KAJIAN PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG POLA
KONSUMSI DAN HARGA PANGAN TERHADAP
PENGELUARAN PANGAN DI SUMATERA UTARA
Mhd Ilham Riyadh ......................................................................... 960

121. KAJIAN FAKTOR PENENTU DISTRIBUSI PENERAPAN


PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SPESIFIK
LOKASI DI KALIMANTAN BARAT (Studi Kasus Di Kab
Mempawah, Kalimantan Barat)
Dina Omayani Dewi dan Khadijah El Ramija ............................... 966

122. PEMETAAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN


TERPADU (PTT) PADI DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR
Tumpal Sipahutar dan Lermansius Haloho ................................... 975
123. PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN PETANI DALAM
PENGGUNAAN PESTISIDA PADA PERTANAMAN PADI DI
PROVINSI JAMBI
Araz Meilin, Yardha dan Endrizal.................................................. 982

xxii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

124. MODEL INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN PERDESAAN


BERBASIS PADI DI ACEH TIMUR.
Basri A. Bakar, Abdul Azis, Firdaus dan Mehran ........................... 990

125. STUDI PENDAHULUAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN


PADI LAHAN PASANG SURUT DI PULAU KAMPAI
KABUPATEN LANGKAT
Khairiah ........................................................................................ 1000

126. ANALISA USAHA TANI PADI PADA LAHAN TADAH HUJAN


DESA LUBUK KERTANG KECAMATAN BERANDAN BARAT
Khairiah ........................................................................................ 1007

127. ANALISIS PENGARUH PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA


AGRIBISNIS PERDESAAN TERHADAP PENINGKATAN
PENDAPATAN USAHATANI PADI DI NAGARI LAREH NAN
PANJANG KABUPATEN PADANG PARIAMAN .
Muhammad Ichwan dan Nieldalina .............................................. 1012

DAFTAR HADIR SEMINAR ................................................................... 1018

xxiii
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

STRATEGI PENGEMBANGAN PADI


UNTUK MENDUKUNG KEBIJAKAN PANGAN NASIONAL

Laurensius Sihaloho dan Hasil Sembiring

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan


Kementerian Pertanian-RI
Jl. AUP No.3 Pasar Minggu , Jakarta Selatan 12520
Telp. (021) 7806819, Fax (021) 7806309

ABSTRAK

Sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi


245 juta penduduk Indonesia. Sektor pertanian juga tetap menjadi salah satu
andalan bagi ketahanan pangan dan energi nasional yang merupakan pilar
utama stabilitas nasional, sehingga menjadi salah satu sasaran utama
pembangunan pertanian. Swasembada padi, jagung, dan kedelai berkelanjutan
merupakan program utama Kementerian Pertanian di periode 2015-2019.
Untuk itu dilakukan langkah operasional peningkatan produktivitas melalui 2
aspek yaitu peningkatan luas tanam dan peningkatan produktivitas. Strategi
dapat dilakukan melalui empat aspek yaitu pertama aspek intesifikasi atau
peningkatan produktivitas, aspek ektensifikasi atau perluasan areal tanam,
aspek perlindungan tanaman, dan aspek peningkatan kualitas hasil dan
penurunan losses. Dalam mendukung peningkatan produksi padi, pemerintah
melaksanakan berbagai program yang telah dan akan dilakukan oleh
Kementerian Pertanian seperti : (1) Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (GP-PTT). (2) Optimasi Lahan (3) Perbaikan Jaringan Irigasi Tersier
(4) Cetak Sawah Baru (5) bantuan Alsintan Pra-panen (pompa air, traktor,
transplanter) (6) Bantuan Alsintan Pasca-panen (7) gerakan Perlindungan
Tanaman dari Gangguan OPT dan DPI (8) bantuan dan Subsidi Pupuk dan
Benih (9) Penyuluhan, Pendampingan dan Pengawalan di 34 Provinsi. Melalui
implementasi strategi dan langkah operasional diikuti oleh pelaksanaan
program yang efektif dan efisien maka dapat meningkatkan produktivitas dan
produksi sehingga kedaulatan pangan dapat terwujud.

Kata Kunci : padi, strategi pengembangan, kedaulatan pangan

PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan tumpuan utama penyediaan pangan bagi


245 juta penduduk Indonesia, penyedia sekitar 87% bahan baku industri kecil
dan menengah, serta penyumbang 15% PDB dengan nilai devisa sekitar US $
43 Milyar. Selain itu, Sektor Pertanian menyerap sekitar 33% tenaga kerja dan
menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70% rumah tangga di
perdesaan.

Di masa yang akan datang, sektor pertanian juga tetap menjadi salah
satu andalan bagi ketahanan pangan dan energi nasional. Kebutuhan pangan
dan juga energi akan terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan dan
peningkatan kesejahteraan penduduk. Sebagai negara yang besar, ketahanan

1
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pangan merupakan pilar utama stabilitas nasional, sehingga menjadi salah satu
sasaran utama pembangunan pertanian yang tidak dapat ditawar tawar. Hingga
saat ini, beras masih merupakan komponen utama ketahanan pangan nasional,
sehingga swasembada beras tetap menjadi indikator utama ketahanan pangan
(Haryono, 2013)

Nawa Cita atau agenda prioritas kabinet kerja mengarahkan


pembangunan pertanian kedepan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, agar
Indonesia sebagai bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan
rakyatnya secara berdaulat. Kedaulatan pangan diterjemahkan dalam bentuk
kemampuan bangsa dalam 3 hal yaitu, mampu mencukupi kebutuhan pangan
dari produksi sendiri, mampu mengatur kebijakan pangan secara mandiri, dan
mampu melindungi dan menyejahterakan petani sebagai pelaku usaha
pertanian pangan (Kementan, 2015).

Swasembada padi dan jagung berkelanjutan dan target swasembada


kedelai merupakan program utama Kementerian Pertanian di periode 2015-
2019 (Haryono, 2015). Untuk mencapai swasembada pangan yang ditargetkan
tercapai pada tahun 2017, langkah operasional peningkatan produksi padi,
jagung dan kedelai dapat ditempuh melalui 2 aspek yaitu peningkatan luas
tanam dan peningkatan produktivitas.

Dari aspek peningkatan produktivitas, komponen perbenihan


merupakan faktor penting yang perlu dilaksanakan melalui penyediaan benih
unggul padi dan jagung, pemberdayaan penangkar benih dan pembangunan
1.000 desa mandiri benih disamping faktor lainnya seperti pengembangan
penerapan PTT pajale, subsidi dan penyediaan pupuk, bantuan pengolahan
pupuk organik, dan bantuan alsintan (Kementan, 2015).
Selanjutnya, dalam program aksi (quick win), Pemerintah memandang
penting arti benih yang tercermin dari visi dan misi Jokowi-JK yang salah
satunya menyebutkan akan mengembangkan 1.000 desa berdaulat benih
untuk mewujudkan swasembada padi, jagung dan kedelai yang diharapkan
dapat tercapai pada tahun 2017.

Sebagai bangsa besar Indonesia harus mandiri pangan sebagai kunci


dari ketahanan nasional menuju kedaulatan pangan yaitu mampu mencukupi
kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, mampu mengatur kebijakan
pangan secara mandiri dan melindungi dan menyejahterakan petani sebagai
pelaku usaha pertanian tanaman pangan.

TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN


Pencapaian target ketahanan pangan dan energi dibayangi-bayangi
oleh beberapa ancaman dan kendala biofisik yang harus diantisipasi dan
ditanggulangi. Selain alih fungsi lahan sawah produktif dan perubahan iklim
sebagai derivasi dari pemanasan global, ancaman serius lain yang dihadapi

2
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

adalah degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan (erosi, longsor,


pencemaran), serta meluasnya lahan yang terdegradasi dan terlantar (Gbr.1)

Gambar 1. Tantangan Pembangunan Pertanian di Indonesia

Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang didukung oleh kebijakan


terpadu dan sinergi antar sektor-sektor pembangunan terkait, khususnya dalam
optimalisasi sumberdaya pertanian.

Lahan sawah yang saat ini luasnya sekitar 8,1 juta hektar cenderung
menciut akibat konversi, bahkan dalam 10 tahun terakhir, terjadi juga alih fungsi
lahan sawah menjadi lahan perkebunan sawit. Sekitar 3,1 juta ha atau 42%
lahan sawah juga dibayang-bayangi oleh ancaman alih fungsi, terkait dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Sementara itu dikarenakan keterbatasan anggaran, berbagai faktor sosial
ekonomi, serta aspek kepemilikan lahan dan kendala lainnya di lapang,
kemampuan pemerintah dalam pencetakan sawah hanya sekitar 30-40 ribu
hektar per tahun.

Secara rinci permasalahan dalam memproduksi padi akibat beberapa


aspek diantaranya meliputi tingginya konversi lahan pertanian, munculnya
fenomena degradasi sumber daya lahan dan infrastruktur terutama jaringan
irigasi dan jalan usahatani, fenomena perubahan iklim global, langka dan
mahalnya biaya tenaga kerja, terbatasnya alsintan pertanian, kurangnya tenaga
penyuluh, tingginya kehilangan hasil, rendahnya mutu beras, IP dan
produktivitas masih rendah, benih dan pupuk belum tersedia 6 tepat, dan harga
produk pertanian yang berfluktuasi.

3
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Terdapat tiga faktor penyebab pelandaian luas panen dan produktivitas


padi yaitu pertama adalah faktor lahan seperti munculnya penurunan kualitas
lahan, terjadinya alih fungsi lahan, dan keterbatasan cetak lahan baru. Faktor
yang kedua adalah faktor infrastruktur seperti kerusakan jaringan irigasi,
pendangkalan waduk-waduk, dan sarana transportasi kurang memadai.
Sedangkan faktor ketiga adalah aspek teknologi dikarenakan beberapa hal
seperti diseminasi inovasi teknologi yang lambat diterima oleh pelaku utama,
permodalan terbatas, petugas penyuluh pertanian terbatas dan regenerasi
SDM petani rendah berkaitan dengan generasi muda yang kurang berminat di
bidang pertanian padi.

LANGKAH OPERASIONAL PENINGKATAN PRODUKSI PADI

Peningkatan produksi padi dapat ditempuh melalui strategi, langkah


operasional dan sasaran yang akan dicapai. Strategi yang dapat dilakukan
melalui empat aspek yaitu pertama aspek intesifikasi atau peningkatan
produktivitas meliputi penggunaan benih bermutu dari varietas unggul baru
yang memiliki potensi produksi tinggi, umur genjah, adaptif terhadap lingkungan
dan penggunaan varietas padi dari golongan hibrida, perbaikan teknologi
budidaya seperti Jarwo, Haston, SRI, penggunaan pupuk berimbang dan
organik serta perbaikan cara pengairan. Aspek kedua adalah ektensifikasi atau
perluasan areal tanam seperti upaya peningkatan Indeks Pertanaman (IP),
perluasan lahan baru/cetak sawah, intercropping di lahan HUT/BUN,
pemanfaatan lahan tidur/terlantar, konservasi dan rehabilitasi lahan, rehabilitasi
jaringan irigasi, dan penggunaan alsintan pra panen (traktor, pompa air, jarwo
transplanter dll). Selanjutnya aspek ketiga adalah aspek perlindungan tanaman
meliputi penguatan peramalan organisme penggangu tanaman (OPT),
pemasyarakatan penerapan PHT, penguatan brigade proteksi, penanganan
DPI (banjir, kekeringan), dan pengembangan agensia hayati dan musuh alami.
Aspek keempat adalah peningkatan kualitas hasil dan penurunan losses seperti
upaya penyebarluasan penggunaan alsin panen, penyebarluasan penggunaan
alsin pascapanen, penyebarluasan teknologi pengolahan hasil, dan perbaikan
penyimpanan hasil.

POTENSI DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI

Potensi dan peluang peningkatan produksi padi masih cukup tinggi


mengingat masih adanya senjang produktivitas riel di tingkat petani
dibandingkan dengan potensi produksi varietas. Provitas padi sawah tahun
2015-ARAM II BPS rerata nasional 5,45 ton GKG/ha dengan variasi antar
provinsi 3,27-6,47 ton GKG/ha, padi ladang rerata nasional 3,3 ton GKG/ha,
dengan variasi antar provinsi 1,85-4,74 ton GKG/ha.

Untuk mewujudkan peluang di atas, cukup tersedia beberapa varietas


unggul baru spesifik lokasi dengan potensi hasil tinggi untuk ekosistem lahan
sawah irigasi, pasang surut, tadah hujan, dan lahan kering. Hal ini didukung

4
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan tersedianya cara/motode tanam yang lebih produktif (jajar legowo, SRI,
hazton, dan mina padi). Selanjutnya, penerapan pemupukan berimbang dan
penggunaan pupuk organik sesuai dengan kondisi spesifik lokasi perlu lebih
dikembangkan untuk meningkatkan provitas. Peningkatan provitas juga perlu
didukung oleh teknologi pengairan yang lebih efisien, teknologi pengendalian
OPT dan penanganan DPI.

Peningkatan produksi juga dapat dilakukan melalui peningkatan Indeks


Pertanaman (IP) yang pada tahun 2015 IP padi sawah rerata nasional adalah
1,67. Luas pertanaman padi dengan IP<1 = 250 ribu ha, IP 1-1,5 = 1,93 juta ha,
IP I,5-1,75 = 1,92 juta ha, IP 1,75-2,00 = 3,67 juta ha, dan IP > 2,00=340 ribu
ha (Tabel 1).

Tabel 1. Indeks Pertanaman Padi (IP) Indonesia Tahun 2015


Luas Baku Sawah Luas Tanam 2015**) Indeks Pertanaman
No. Provinsi
(Ha) *) (Ha) (IP)
(1) (2) (3) (4) (5) = (4:3)
I IP < 1 256,614 229,776 0.90
1 Kalimantan Utara 23,587 17,228 0.73
2 Papua Barat 9,587 7,615 0.79
3 Kepulauan Bangka Belitung 7,490 6,377 0.85
4 Kepulauan Riau 405 345 0.85
5 Kalimantan Tengah 215,545 198,211 0.92
II 1 ≤ IP < 1,5 1,931,492 2,384,184 1.23
1 Papua 42,843 45,509 1.06
2 Riau 87,594 93,102 1.06
3 Jambi 101,195 109,349 1.08
4 Kalimantan Selatan 431,437 479,850 1.11
5 Nusa Tenggara Timur 172,954 197,718 1.14
6 Kalimantan Barat 323,959 389,752 1.20
7 Kalimantan Timur 55,485 75,346 1.36
8 Sumatera Selatan 616,753 850,160 1.38
9 Bengkulu 88,756 127,918 1.44
10 Maluku Utara 10,516 15,480 1.47

Selain IP, potensi perluasan lahan di lahan sub optimal tersedia


terutama di luar jawa meliputi lahan kering, rawa lebak, dan pasang surut.

5
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tersedianya alsin mekanisasi (olah tanah, tanam, panen, pengolahan hasil)


yang lebih modern diharapkan meningkatkan provitas dan efisiensi usaha tani
padi.

KEGIATAN APBN MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI PADI


TAHUN 2015 DAN RENCANA 2016

Untuk mencapai target produksi padi pada akhir tahun 2019 sebesar 82
juta ton GKG, diperlukan luas panen 15,45 juta ha atau tumbuh rerata 290 ribu
ha (1.97%) per tahun dan produktivitas sebesar 52.48 ku/ha atau tumbuh 0,44
ku/ha (0,84%) per tahun (Tabel 2).

Tabel 2. Target swasembada berkelanjutan dan surplus beras

Rerata 2015- Pertumbuhan


No Uraian 2015 2016 2017 2018 2019
2019 Absolut %
1 Luas Panen (000 ha) 14,288 14,349 14,851 15,146 15,446 14,816 290 1.97
2 Produktivitas (ku/ha) 51.40 52.36 52.61 52.87 53.14 52.48 0.44 0.84
3 Produksi (000 ton) 73,445 75,131 78,132 80,085 82,078 77,774 2,158 2.82

Dalam mendukung peningkatan produksi padi, pemerintah pusat


memberikan anggaran yang cukup besar kepada Kementerian Pertanian untuk
dapat melakukan berbagai program peningkatan produksi padi. Berbagai
program yang telah dan akan dilakukan oleh Kementerian Pertanian
diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT) Padi


seluas 350.000 ha pada tahun 2015 dan seluas 835.000 ha pada tahun
2016 dengan target menyebarkan penerapan teknologi budidaya sesuai
dengan kondisi spesifik lokasi dan peningkantan produktivitas 1,0 ton/ha.
2. Optimasi Lahan seluas 1 juta ha pada tahun 2015 dan seluas 129.000 ha
dengan target meningkatan IP sebesar 0,5 dan peningkatan produktivitas
1,0 ton/ha.
3. Perbaikan Jaringan Irigasi Tersier seluas 2,6 juta ha pada tahun 2015 dan
seluas 500.000 ha dengan target meningkatan IP sebesar 0,3-0,5 pada
daerah irigasi dan sebesar 1,0 pada daerah rawa lebak serta peningkatan
produktivitas 0,5-1,0 ton/ha.
4. Cetak Sawah Baru seluas 31.000 pada tahun 2015 dan seluas 200.000 ha
pada tahun 2016 dengan tujuan untuk meningkatan luas arel tanam yang
baru.
5. Bantuan Alsintan Pra-panen (pompa air, traktor, transplanter) sebanyak
41.000 unit pada tahun 2015 dan 83.000 unit pada tahun 2016 dengan
tujuan mempercepat persiapan lahan/olah tanah dan tanam dan efisiensi
biaya usahatani.
6. Bantuan Alsin Pasca-panen dan Pengolahan Hasil (Combine Harvester,
Power Tresher, Dryer, RMU) sebanyak 6.680 unit pada tahun 2015 dan

6
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

4.700 unit pada tahun 2016 dengan tujuan mengurangi kehilangan


hasil/losses, meningkatkan mutu/kualitas hasil, mempercepat waktu panen
dan pengolahan hasil dan mengurangi biaya usaha tani
7. Gerakan Perlindungan Tanaman dari Gangguan OPT dan DPI yang
dilakukan pada 34 Provinsi pada tahun 2015 maupun pada tahun 2016
dengan tujuan mengamankan pertanaman dari gangguan OPT dan DPI
serta mempertahankan potensi produktivitas dan kualitas hasil.
8. Bantuan dan Subsidi Pupuk dan Benih yang dilakukan pada 34 Provinsi
pada tahun 2015 maupun pada tahun 2016 dengan tujuan meringankan
beban petani dalam penyediaan pupuk dan benih unggul bermutu serta
meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil.
9. Penyuluhan, pendampingan dan pengawalan 34 Provinsi pada tahun 2015
maupun pada tahun 2016 dengan tujuan mempercepat pemasyarakatan
penerapan teknologi dan meningkatkan pemberdayaan kelompok tani.

DAFTAR PUSTAKA

Haryono. 2013. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal “Intensifikasi


Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung
Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013.
Kementan. 2015. Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2015-2019.
Kementerian Pertanian. Jakarta.

7
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

STRATEGI PENYIAPAN INOVASI TEKNOLOGI PADI MENDUKUNG


KEDAULATAN PANGAN
Ali Jamil dan Yuliantoro Baliadi

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi


Jl. Raya 9 Sukamandi Subang 41256 Jawa Barat

ABSTRAK

Pencapaian dan keberlanjutan kedaulatan pangan harus didukung dan


berbasis IPTEK maju dan inovasi hasil-hasil penelitian padi sesuai kondisi
agroekologi dan sosial budaya masyarakat setempat dengan pemanfaatan dan
pengelolaan tiga sumberdaya, yaitu: (1) Pemanfaatan, pengelolaan dan
rekayasa sumberdaya genetik padi, (2) Pengelolaan dan optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya lahan, air dan iklim, dan (3) Pengelolaan dan
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya biomassa (produk utama dan
samping/limbah organik). Dalam penerapannya dibagi menjadi dua hal pokok,
yaitu: (1) Pertanian yang merupakan sinergi dari beberapa komponen teknologi
maju dari temuan atau hasil riset (PTT padi) dan (2) Pertanian yang didasarkan
atas pengembangan komponen teknologi maju. Komponen inovasi teknologi
padi yang perlu disempurnakan secara terus-menerus mendukung kedaulatan
pangan, antara lain: (1) Updating informasi sumberdaya genetik padi (2)
Varietas unggul padi yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim, spesifik
lokasi, lebih produktif, dan menghasilkan produk yang lebih sesuai dengan
permintaan pasar yang terus berkembang, (3) Teknologi budidaya yang
mendukung pencapaian potensi hasil varetas unggul padi lebih ramah
lingkungan, lebih efisien dan meminimalkan penggunaan eksternal input atau
dikenal dengan LEISA (low external input sustainable agriculture) (4) Teknologi
pascapanen primer-sekunder untuk menurunkan tingkat kehilangan hasil
(losses) saat panen di lapangan (umur panen, cara dan metode panen) dan
pascapanen (di pengilingan padi/PPK), (5) Teknologi produksi benih padi untuk
penyediaan benih sumber (BS, FS, SS) untuk pemenuhan kebutuhan benih
sebar (BR) di tingkat petani. Inovasi teknologi padi mutlak dibutuhkan untuk
mewujudkan kedaulatan pangan. Inovasi teknologi hanya akan berkontribusi
nyata pada kedaulatan pangan jika diadopsi dan diterapkan oleh petani dalam
seluruh proses. Kedaulatan pangan bersifat multidimensi, selain masalah
teknis, juga melibatkan masalah sosial, ekonomi, kelembagaan, budaya,
hukum, dan politik. Sehingga dalam pengembangannya inovasi teknologi padi
tidak boleh hanya fokus pada dimensi teknisnya semata tetapi harus
disesuaikan dengan kondisi dimensi non-teknis lainnya agar dapat efektif
berkontribusi dalam keberlanjutan kedaulatan pangan. Policy statement strategi
penelitian dan pengembangan inovasi teknologi padi mendukung kedaulatan
pangan harus semakin bermutu, berbasis azas produktivitas dan manfaat
output, outcome dan impact sehingga penting melaksanakan refocusing
program dan efisiensi anggaran dan sumber daya penelitian agar arah
penelitian padi fokus pada demand-driven. Salah satu nya adalah dengan
memperhatikan novelti/kebaruan penelitian serta pemahaman yang holistik
terhadap tagline Balitbangtan: Science. Innovation. Networks. Balitbangtan
akan terus melakukan perubahan dinamis secara berkesinambungan untuk
pembangunan pertanian yang efektif dan efisien.

Kata kunci : kedaulatan pangan,strategi, inovasi teknologi, penelitian

8
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENDAHULUAN

Mencapai kedaulatan pangan, khususnya beras di era global merupakan


kesepakatan atau komitmen para peneliti di Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), setidaknya ada satu kesimpulan
besar, yaitu Indonesia perlu mengambil langkah untuk memajukan
pertaniannya utamanya dengan memperkuat penelitian dan pengembangan
demi menghasilkan produk dalam negeri yang mampu menyeimbangkan
kebutuhan konsumen dan kemampuan produksi (Anugerah, 2014;
Balitbangtan, 2014; BB Padi, 2015a). Kedaulatan pangan merupakan agenda
ketujuh Nawacita yang dicerminkan pada kekuatan untuk mengatur masalah
pangan secara mandiri, yang perlu didukung dengan: (1) Ketahanan pangan,
terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri, (2)
Pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa
sendiri, dan (3) Mampu melindungi dan menyejahterakan pelaku utama
pangan, terutama petani dan nelayan (Syakir, 2015). Menurut UU No 8 Tahun
2012 tentang Pangan, menuju kedaulatan pangan membutuhkan tahapan
capaian ketahanan pangan, yakni keseimbangan neraca pangan tanpa
memperhatikan asal/sumber pangan, kemudian kemandirian pangan, yakni
ketahanan pangan yang dicapai melalui pengoptimalisasian sumberdaya
domestik, potensi sumber daya alam (lahan, air, iklim) serta keberagaman
sumber daya pangan (nabati dan hewani) (Anonimous, 2012). Kinerja satu
tahun Kementerian Pertanian Oktober 2014 – Oktober 2015 salah satunya
ditunjukkan dengan tidak ada impor beras dan penghematan devisa Rp 52
triliun. Data ARAM-1 BPS (2015) menunjukkan produksi padi tahun 2015
sebesar 75,55 juta ton GKG atau naik 4,70 juta ton (6,64%) dibandingkan ATAP
tahun 2014 dan mampu memberikan kontribusi ekonomi sekitar Rp 24,28 triliun
(Kementan, 2015). Upaya Khusus (UPSUS) padi yang dicanangkan oleh
Presiden Jokowi dengan menugaskan Kementerian Pertanian (Kementan)
untuk mewujudkan swasembada pangan dalam tiga tahun diimplementasi
melalui program perbaikan jaringan irigasi dan sarana pendukungnya juga
mendukung kinerja satu tahun Kementan.
Beras hingga saat ini masih menjadi tumpuan untuk pemenuhan
kebutuhan kalori dan protein sebagian besar penduduk Indonesia. Untuk
memenuhi kebutuhan beras dari produksi dalam negeri, telah ditetapkan
sasaran produksi padi tahun 2015 sebesar 74,68 juta ton GKG atau meningkat
3,23% dibanding sasaran produksi tahun 2014 sebesar 72,34 ton GKG.
Target produksi tahun 2015-2019 berturut-turut sebesar 74,68; 76,39;
78,15; 79,95; dan 81,79 juta ton GKG atau dengan pertumbuhan 2,30%/tahun
serta target produktivitas meningkat 0,29%/tahun pada penambahan luas areal
panen 2,0%/tahun (Ditjen TP, 2015).
Produksi padi dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 1,89%/tahun,
dari 66,47 juta ton GKG pada tahun 2010 menjadi 70,61 juta ton GKG pada
tahun 2014 sedangkan laju peningkatan produktivitas mencapai rata-rata
0,52%/tahun dan luas panen meningkat rata-rata 1,35 %/tahun. Oleh karena

9
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

itu, di Indonesia padi merupakan komoditas yang strategis sebagai sumber


utama bahan pangan dan usahatani padi juga masih merupakan sarana usaha
untuk mendapatkan penghasilan yang layak akibat terus meningkatnya
kebutuhan beras sebagai bahan pangan dan bahan baku industri.
Mempertahankan swasembada dan surplus beras sangat penting bagi
ketahanan pangan di Indonesia untuk mengantisipasi munculnya gejolak sosial,
ekonomi, dan politik yang tidak dikehendaki.
Peningkatan kebutuhan beras yang konsisten karena peningkatan
jumlah penduduk kedepan akan terkendala oleh fragmentasi lahan yang
menyebabkan rata-rata kepemilikan lahan usahatani petani semakin sempit,
yaitu kurang dari 0,25 ha per rumah tangga petani atau kurang 360 m 2/kapita,
dan secara nasional luas total lahan pertanian 10 tahun terakhir relatif tetap,
bahkan cenderung semakin berkurang, terutama lahan untuk pangan.
Hal tersebut terkait dengan alih fungsi lahan semakin tidak terkendali
akibat persaingan pemanfaatan lahan untuk berbagai penggunaan, dan dalam
banyak kasus sektor pertanian berada pada posisi yang kurang
menguntungkan. Selain itu, degradasi dan pencemaran lahan, kelangkaan air
yang makin diperburuk oleh ancaman perubahan iklim merupakan tantangan
yang dihadapi oleh sektor pertanian, terutama komoditas padi di masa yang
akan datang.
Peningkatan produksi padi selama kurun waktu 2010-2015 disebabkan
oleh peningkatan provitas sebagai dampak adopsi-inovasi teknologi varietas
unggul dan teknologi budidaya pendukungnya dalam Pengelolaan Tanaman
dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi, sehingga berdampak pada peningkatan
indeks pertanaman dan optimalisasi pemanfaatan lahan sawah tadah hujan
dan sub optimal lahan kering dan lahan rawa pasang surut. Inovasi teknologi
yang dihasilkan pada tahun 2010-2014 terbukti mampu meningkatkan
produktivitas tanaman padi pada berbagai agroekosistem secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, penting upaya-upaya terobosan inovasi padi untuk
peningkatan produksi yang luar biasa.
Selain itu, inovasi teknologi yang dihasilkan telah memasukkan aspek
kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal
sebagai faktor penting dalam perhitungan efisiensinya (Baliadi dan Jamil,
2015b). Pada kurun waktu lima tahun mendatang, posisi BB Padi dalam
menghasilkan inovasi teknologi padi handal semakin strategis dengan
dukungan pertanian modern yang ditandai dengan pengembangan: bio-
science (genom research), inovasi teknologi menjawab dinamika perubahan
iklim, dan aplikasi IT untuk hulu-hilir pertanian (bio-informatika, agrimap info dan
diseminasi).
Makalah ini mengemukakan strategi penyiapan inovasi teknologi padi
mendukung kedaulatan pangan, khususnya beras karena upaya peningkatan
produksi beras nasional secara berkelanjutan dimasa depan adalah penting
melalui penggunaan inovasi teknologi yang ramah lingkungan pada sistem
pertanian bioindustri berkelanjutan yang sesuai konsepnya dikembangkan

10
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan pendekatan kawasan. Keberadaan inovasi ini merupakan langkah


antisipatif terhadap trend perubahan pertanian masa depan dan diharapkan
dapat menjawab berbagai persoalan yang dihadapi mulai dari masalah lahan
dan persaingan pemanfaatannya, tantangan perubahan iklim serta dukungan
sektor lain dan soliditas organisasi serta posisi tawar petani.
DUKUNGAN IPTEK DAN INOVASI PADI
Belanja penelitian Indonesia setiap tahunnya baru mencapai 0,08% dari
product domestic bruto (PDB). Jauh dibawah Singapura yang mencapai 2,43%,
Malaysia 1,01%, dan Thailand 0,25% dari PDB masing-masing. Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia tahun 2013 mencapai Rp 9.084 triliun.
Artinya total belanja penelitian Indonesia hanya sekitar Rp 7,2 triliun. Alokasi
untuk anggaran penelitian pertanian mencapai Rp 1 triliun per tahun dan 20%
nya atau sekitar Rp 200 miliar untuk penelitian bidang padi (Lesmana, 2014)
dan 25% nya atau sebesar Rp 50 miliar dialokasikan ke BB Padi untuk
menghasilkan varietas unggul baru padi, teknologi budidaya pendukung, benih
sumber padi (kelas benih NS, BS, FS, SS dan F1 hibrida) (BB Padi, 2015).
Pencapaian dan keberlanjutan kedaulatan pangan tetap harus didukung
dan berbasis IPTEK maju dan inovasi hasil-hasil penelitian padi sesuai kondisi
agroekologi dan sosial budaya masyarakat setempat dengan pemanfaatan dan
pengelolaan tiga sumberdaya, yaitu: (1) Pemanfaatan, pengelolaan dan
rekayasa sumberdaya genetik padi, (2) Pengelolaan dan optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya lahan, air dan iklim, dan (3) Pengelolaan dan
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya biomassa (produk utama dan
samping/limbah organik). Dalam penerapannya dibagi menjadi dua hal pokok,
yaitu: (1) Pertanian yang merupakan sinergi dari beberapa komponen teknologi
maju dari temuan atau hasil riset (PTT padi) dan (2) Pertanian yang didasarkan
atas pengembangan komponen teknologi maju, termasuk pengembangan
lanjut dari pohon industri suatu komoditas.
Balitbangtan terus berupaya mengatasi masalah dan kendala yang
dihadapi petani dalam berproduksi melalui penelitian dan pengembangan
inovasi teknologi berbasis sumberdaya lokal. Dalam kurun waktu 2010-2014,
selain inovasi VUB padi dan teknologi budidaya, inovasi Kalender Tanam
Terpadu (KATAM Terpadu) yang diselaraskan dengan MODIS sangat
bermanfaat untuk meminimalkan risiko pergeseran waktu tanam sebagai
dampak perubahan iklim (Balitbangtan, 2014).
Komponen inovasi teknologi padi yang perlu disempurnakan secara
terus-menerus mendukung kedaulatan pangan, antara lain: (1) Updating
informasi sumberdaya genetik padi yang telah terkarakterisasi/teridentifikasi
sebagai sumber gen untuk ketahanan/toleransi terhadap cekaman biotik (hama
dan penyakit tanaman)/abiotik (kekeringan, rendaman, salinitas, naungan, suhu
rendah-tinggi, kemasaman, keracunan Al dan Fe), mutu dan fungsional, (2)
Varietas unggul padi yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim, spesifik
lokasi, lebih produktif, dan menghasilkan produk yang lebih sesuai dengan
permintaan pasar yang terus berkembang, (3) Teknologi budidaya yang

11
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mendukung pencapaian potensi hasil varetas unggul padi lebih ramah


lingkungan, lebih efisien dan meminimalkan penggunaan eksternal input atau
dikenal dengan LEISA (low external input sustainable agriculture) untuk
meningkatkan peran dan fungsi pupuk organik, pupuk hayati, dan kompetitor
alami (parasitoid, predator, patogen serangga), (4) Teknologi pascapanen
primer-sekunder untuk menurunkan tingkat kehilangan hasil (losses) saat
panen di lapangan (umur panen, cara dan metode panen) dan pascapanen (di
pengilingan padi/PPK), (5) Teknologi produksi benih padi untuk penyediaan
benih sumber (BS, FS, SS) untuk pemenuhan kebutuhan benih sebar (BR) di
tingkat petani.
Updating Informasi Sumberdaya Genetik Padi
Plasmanutfah tanaman padi merupakan sumberdaya genetik berbagai
karakter yang diinginkan sebagai bahan dasar perakitan varietas unggul.
Kegiatan pengelolaan sumber daya genetik padi meliputi eksplorasi,
konservasi, rejuvinasi, dan karakterisasi. Hasil karakterisasi plasma nutfah
hingga akhir 2014 telah didokumentasikan dalam data base yang telah memuat
3824 aksesi introduksi dan padi lokal. Pada akhir 2012 telah terkumpul dan
dikonservasi sebanyak 3249 aksesi yang terdiri atas 1287 aksesi hasil
introduksi, 1729 aksesi padi lokal, 157 aksesi varietas unggul, 26 aksesi galur
harapan, dan 50 aksesi padi liar.
Dalam kegiatan tersebut telah terseleksi sejumlah aksesi lokal yang
memiliki salah satu atau lebih karakter-karakter berikut, yaitu agak toleran
cekaman salinitas pada tingkat konduktivitas elektron sebesar 12 dS/m, umur
ultra genjah-sangat genjah (85–94 hss), toleran cekaman kekeringan, dan
toleran cekaman suhu rendah yang nantinya akan digunakan sebagai
variabilitas genetik dalam perakitan varietas unggul berdaya saing dan spesifik
lokasi. Indikator kinerja litbang padi pada tahun 2015-2019 untuk kegiatan
sumberdaya genetik adalah eksplorasi dengan target 300 SDG baru/tahun dan
pengelolaan SDG sebanyak 2980 aksesi untuk kegiatan: (1) rejuvinasi, (2)
pemanfaatan aksesi untuk program pemukiaan, (3) karakterisasi fenotipik, (4)
karakterisasi genotipik, (5) karakterisasi fisik dan kimia, (6) skrining untuk
cekaman biotik, dan (7) skrining untuk cekaman abiotik. Dalam kerangka kerja
sama international INGER, telah dievaluasi populasi tanaman tahan penyakit
hawar daun bakteri (IRBBN), populasi tanaman tahan hama wereng batang
coklat (IRBPHN), populasi tanaman toleran cekaman salinitas (IRSSTN),
populasi tanaman toleran suhu rendah (IRCTN), populasi tanaman padi aerobik
(AERON), populasi tanaman padi toleran kekeringan (IRDTN), dan populasi
tanaman padi sawah irigasi (IRLON).

Varietas Unggul Padi Adaptif Perubahan Iklim dan Spesifik Lokasi


Dalam usaha meningkatkan produktivitas padi nasional, peran inovasi
teknologi varietas unggul sangat besar untuk memenuhi kebutuhan sembilan
zone agroekologi (ZAE) yakni pengelompokan suatu wilayah berdasarkan
keadaan fisik lingkungan pertanian yang hampir sama dimana keragaan

12
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tanaman diharapkan dapat tumbuh dengan baik. Sekitar 90% VUB padi
Balitbangtan (Inpari, Inpago, dan Inpara) berbasis ZAE telah diadopsi dan
ditanam oleh petani. Ada lima varietas padi yaitu Ciherang, Mekongga,
Situbagendit, IR 64 dan varietas lokal yang mendominasi 66,15% adopsi
varietas padi pada tahun 2015, sisanya 8,02% varietas unggul baru lainnya
(Inpari, Inpago, Inpara, Hipa) termasuk di antaranya Inpari 13 sebesar 1,68%,
dan 25,83% adalah varietas unggul lainnya yaitu Cigeulis, Ciliwung, Cibogo,
dan IR 42 (Ditjen TP, 2015).
Proporsi VUB Balitbangtan 86,4% dari 13,768 juta ha luas areal panen.
Penggunaan VUB padi oleh petani selain dapat meningkatkan produksi padi
nasional, juga mempunyai efek mulitiplier terhadap perekonomian nasional,
yaitu terbangunnya sistem pertanian bioindustri, industri perbenihan,
peningkatan kesejahteraan petani, membuka lapangan kerja dan lain-lain, yang
diperkirakan mencapai 1,5 trilyun rupiah per tahun. Selain itu menurut Lesmana
(2014), Return of Investment (ROI) dari varietas Ciherang saja mencapai Rp
67,5 triliun/tahun. Sementara itu jumkah anggaran riset yang dialokasikan untuk
riset bidang padi baru sebesar Rp 200 miliar/tahun.
Hingga saat ini Balitbangtan telah menghasilkan sebanyak 276 varietas
unggul baru padi dan selama tahun 2010-2014 saja, Balitbangtan melalui BB
Padi telah melepas 53 varietas unggul baru (VUB) dan masing-masing memiliki
keunggulan (Tabel 1). Dalam rangka percepatan pelepasan varietas, salah satu
strategi Balitbangtan adalah melakukan koordinasi dengan instansi penelitian
di luar BB Padi melalui kegiatan Konsorsium Padi Nasional yang diikuti oleh
beberapa Institusi Penelitian Nasional.

Tabel 1. Varietas padi unggul baru padi yang dilepas tahun 2010-2014
No. Varietas Keunggulan
Tahun 2010 :
1. Inpari 11 Potensi hasil 8,8 t/ha, pulen, umur 105 hari, tahan HDB III, agak
tahan HDB IV dan VIII, tahan blas ras 033 dan 133. Cocok
ditanam di sawah tadah hujan dataran rendah sampai ketinggian
600 m dpl.
2. Inpari 12 Potensi hasil 8,0 t/ha, umur 99 hari, pera, agak tahan WBC biotipe
1 dan 2, agak tahan blas ras 133 dan 073. Cocok ditanam di
sawah tadah hujan dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl.
3. Inpari 13 Potensi hasil 8,0 t/ha, umur 99 hari, pulen, tahan WBC biotipe 1,
2 dan 3, tahan blas ras 033, agak tahan blas 133, 073 dan 173.
Cocok ditanam di sawah tadah hujan dataran rendah sampai
ketinggian 600 m dpl.
4. Hipa 9 Potensi hasil 10,4 t/ha, pulen, umur 115 hari, agak tahan HDB III.
Cocok ditanam di daerah dataran rendah < 450 m dpl.
5. Hipa 10 Potensi hasil 9,4 t/ha, pulen, umur 114 hari, agak tahan HDB III.
Cocok ditanam di daerah dataran rendah < 450 m dpl.
6. Hipa 11 Potensi hasil 10,6 t/ha, pulen, umur 114 hari, agak tahan HDB III.
7. Inpago 4 Potensi hasil 6,1 t/ha, pulen, umur 124 hari, tahan beberapa ras
blas, toleran keracunan Al (60 ppm). Cocok ditanam di lahan

13
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

No. Varietas Keunggulan


kering subur, lahan kering podzolik merah kuning dengan tingkat
keracunan Al sedang.
8. Inpago 5 Potensi hasil 6,2 t/ha, sangat pulen, umur 118 hari, tahan
beberapa ras blas, toleran kekeringan, toleran keracunan Al (60
ppm). Cocok ditanam di lahan kering subur, lahan kering podzolik
merah kuning dengan tingkat keracunan Al sedang
9. Inpago 6 Potensi hasil 5,8 t/ha, pulen, umur 113 hari, tahan beberapa ras
blas, toleran keracunan Al (60 ppm). Cocok ditanam di lahan
kering subur, lahan kering podzolik merah kuning dengan tingkat
keracunan Al sedang
10. Inpara 4 Potensi hasil 7,6 t/ha, pera, umur 135 hari, agak tahan WBC
biotipe 3, tahan HDB IV dan VIII, toleran rendaman selama 14
hari pada fase vegetatif. Cocok ditanam di daerah rawa lebak
dangkal dan sawah rawan banjir.
11. Inpara 5 Potensi hasil 7,2 t/ha, tekstur nasi sedang, umur 115 hari, tahan
HDB IV dan VIII, toleran rendaman selama 14 hari pada fase
vegetatif. Cocok ditanam di daerah rawa lebak dangkal dan
sawah rawan banjir.
12. Inpara 6 Potensi hasil 6,0 t/ha, tekstur nasi sedang, umur 117 hari, tahan
blas, agak tahan HDB IV, toleran keracunan Fe. Cocok ditanam
di daerah rawa pasang surut sulfat masam potensial dan rawa
lebak.
Tahun 2011 :
13. Inpari 14 Potensi hasil 8,2 t/ha, pulen, umur 113 hari, agak tahan HDB III,
Pakuan agak tahan blas 033 dan 133. Cocok ditanam di sawah tadah
hujan dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl.
14. Inpari 15 Potensi hasil 7,5 t/ha, pulen, umur 117 hari, agak tahan WBC
Parahyangan biotipe 1, agak tahan HDB III, tahan blas ras 033, agak tahan blas
133, 073 dan 173. Cocok ditanam di sawah tadah hujan dataran
rendah sampai ketinggian 600 m dpl.
15. Inpari 16 Potensi hasil 7,6 t/ha, pulen, umur 118 hari, tahan HDB III, tahan
Pasundan blas ras 033, agak tahan blas 133, 073 dan 173. Cocok ditanam
di sawah tadah hujan dataran rendah sampai ketinggian 600 m
dpl.
16. Inpari 17 Potensi hasil 7,9 t/ha, pera, umur 111 hari, agak tahan WBC
biotipe 1 dan 2, tahan HDB III, IV dan VIII, agak tahan blas ras
073. Cocok ditanam di sawah dataran rendah sampai ketinggian
600 m dpl.
17. Inpari 18 Potensi hasil 9,5 t/ha, umur 102 hari, pulen, tahan WBC biotipe
1, 2 dan agak tahan biotipe 3, tahan HDB III, agak tahan HDB IV.
Cocok ditanam di lahan irigasi dan tadah hujan dengan
ketinggian 0- 600 m dpl.
18. Inpari 19 Potensi hasil 9,5 t/ha, umur 104 hari, pulen, agak tahan WBC
biotipe 1 dan 2 dan agak tahan biotipe 3, tahan HDB III, agak
tahan HDB IV. Cocok ditanam di lahan irigasi dan tadah hujan
dengan ketinggian 0- 600 m dpl.
19. Inpari 20 Potensi hasil 8,8 t/ha, umur 104 hari, pulen, agak tahan WBC
biotipe 1, tahan HDB III, agak tahan blas ras 033. Cocok untuk

14
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

No. Varietas Keunggulan


ditanam di ekosistem sawah dataran rendah sampai ketinggian
0- 600 m dpl.
20. Inpari Sidenuk Potensi hasil 8,8 t/ha, umur 104 hari, pulen, agak tahan WBC
biotipe 1, tahan HDB III, agak tahan blas ras 033. Cocok ditanam
di lahan irigasi dan tadah hujan dengan ketinggian 0- 600 m dpl.
21. Hipa 12 SBU Potensi hasil 10,5 t/ha, pulen, umur 105 hari, agak tahan WBC
biotipe 2 dan 3, agak tahan HDB III. Cocok ditanam di lahan
irigasi dengan mengikuti anjura PTT.
22. Hipa 13 Potensi hasil 10,5 t/ha, pulen, umur 105 hari, agak tahan WBC
biotipe 2, agak tahan HDB III. Cocok ditanam di lahan irigasi
dengan mengikuti anjura PTT.
23. Hipa 14 SBU Potensi hasil 12,1 t/ha, pulen, umur 112 hari, agak tahan WBC
biotipe 2, agak tahan HDB III. Cocok ditanam di lahan irigasi
dengan mengikuti anjura PTT.
24. Hipa Jatim 1 Potensi hasil 10,0 t/ha, pulen, umur 119 hari
25. Hipa Jatim 2 Potensi hasil 10,9 t/ha, pulen, umur 119 hari, agak tahan HDB III.
26. Hipa Jatim 3 Potensi hasil 10,7 t/ha, pulen, umur 117 hari.
27. Inpago 7 Potensi hasil 7,4 t/ha, pulen, umur 118 hari,agak tahan WBC
biotipe 1 dan 2, tahan blas ras 133, agak tahan blas ras 073, 173
dan 033. Cocok ditanam di lahan kering dataran rendah sampai
sedang < 700 m dpl.
28. Inpago 8 Potensi hasil 8,1 t/ha, pulen, umur 119 hari, tahan blas ras 133,
073, 173 dan 033, toleran kekeringan, agak toleran terhadap
keracunan Al dan Fe. Cocok ditanam di lahan kering dataran
rendah sampai sedang < 700 m dpl.
Tahun 2012 :
29. Inpari 21 Potensi hasil 8,2 t/ha, pera, umur 120 hari, tahan HDB III, tahan
Batipuah blas 033, agak tahan blas 133 dan 073. Cocok ditanam di
ekosistem sawah sampai ketinggian 600 m dpl.
30. Inpari 22 Potensi hasil 7,9 t/ha, pulen, umur 118 hari, agak tahan WBC
biotipe 1,2, dan 3, tahan HDB III, tahan blas ras 033 dan 133,
agak tahan blas ras 073 dan 137. Cocok ditanam di sawah
dataran rendah 0 - 600 m dpl.
31. Inpari 23 Potensi hasil 9,2 t/ha, pulen, umur 113 hari, tahan WBC biotipe
Bantul 1, agak tahan WBC biotipe 2 dan 3, tahan HDB III dan agak tahan
HDB IV. Cocok ditanam di sawah dataran rendah 0 - 600 m dpl.
32. Inpari 24 Potensi hasil 7,7 t/ha, pulen, umur 111 hari, tahan HDB III dan
Gabusan agak tahan HDB IV. Cocok ditanam di sawah dataran rendah 0 -
600 m dpl.
33. Inpari 25 Potensi hasil 9,4 t/ha, ketan merah/sangat pulen, umur 115 hari,
Opak Jaya agak tahan WBC biotipe 1, tahan HDB III dan agak tahan HDB IV
dan VIII. Cocok ditanam di sawah dataran rendah 0 - 600 m dpl.
34. Inpari 26 Potensi hasil 7,9 t/ha, pulen, umur 124 hari, tahan HDB III, agak
tahan blas ras 033, agak tahan blas ras 073 dan 173. Cocok
ditanam di sawah dataran tinggi sampai ketinggian 900 m dpl.
35. Inpari 27 Potensi hasil 7,6 t/ha, pulen, umur 125 hari, tahan HDB III, tahan
blas ras 073, agak tahan ras 173. Cocok ditanam di sawah
sampai ketinggian 900 m dpl.

15
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

No. Varietas Keunggulan


36. Inpari 28 Potensi hasil 9,5 t/ha, pulen, umur 120 hari, tahan HDB III, agak
Kerinci tahan blas ras 033 dan 073. Cocok ditanam di sawah sampai
ketinggan 1100 m dpl.
37. Inpari 29 Potensi hasil 9,5 t/ha, pulen, umur 110 hari. Cocok ditanam di
Rendaman sawah irigasi di daerah rawan banjir dengan rendaman
keseluruhan fase vegetatif selama 14 hari.
38. Inpari 30 Potensi hasil 9,6 t/ha, pulen, umur 111 hari. Cocok ditanam di
Ciherang Sub- sawah irigasi di daerah rawan banjir dengan rendaman
1 keseluruhan fase vegetatif selama 15 hari.
39. Inpago 9 Potensi hasil 8,4 t/ha, tekstur nasi sedang, umur 109 hari, agak
tahan WBC biotipe 1, agak tahan HDB III, agak tahan blas ras
033 dan 173, agak toleran kekeringan dan keracunan Al pada
tingkat 60 ppm Al 3+. Cocok ditanam di lahan subur di Jawa dan
lahan podzolik merah kuning di Lampung.
40. Inpara 7 Potensi hasil 5,1 t/ha, pulen, umur 114 hari, agak tahan tungro
isolat Subang, tahan blas ras 033 dan 173, agak tahan ras 133,
agak toleran keracunan Fe dan Al. Cocok ditanam di daerah rawa
pasang surut dan rawa lebak.
Tahun 2013 :
41. Inpari 31 Potensi hasil 8,5 t/ha, pulen, umur 119 hari, tahan WBC biotipe
1,2 dan 3. Tahan HDB III, agak tahan HDB IV dan VIII. Tahan
blas ras 033, agak tahan blas ras 133, tahan tungro ras Lanrang.
42. Inpari 32 HDB Potensi hasil 8,42 t/ha, pulen, umur 120 hari, tahan HDB III, agak
tahan HDB IV dan VIII, tahan blas ras 033, agak tahan blas ras
073, agak tahan tungro. Cocok ditanam di ekosistem sawah
dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl.
43. Inpari 33 Potensi hasil 9,80 t/ha, pulen, umur tanaman ± 107 hari setelah
sebar. tahan WBC biotipe 1, 2 dan 3, agak tahan HDB III, agak
tahan HDB VIII. Agak tahan blas ras 033, tahan blas ras 073,
Cocok ditanam di ekosistem sawah dataran rendah sampai
ketinggian 600 m dpl
44. HIPA 18 Potensi hasil 10,3 t/ha, pulen (wangi), umur ± 113 hari, agak
tahan WBC biotipe 1, agak rentan biotipe 2 dan 3, agak tahan
HDB IV dan VIII. Tahan blas ras 073 dan 173, serta agak tahan
ras 133.
45. HIPA 19 Potensi hasil 10,10 t/ha, pulen, umur tanaman ± 111 hari, agak
tahan WBC biotipe 1, 2 dan 3, tahan blas ras 033, agak tahan
ras 073, 133 dan 173.
46. Inpago Lipigo Potensi hasil 7,10 t/ha, pera, umur tanaman ±113 hari, agak
4 tahan blas ras 073. Toleran kekeringan, baik ditanam pada lahan
kering dataran rendah sampai < 700 m dpl.
47. Inpago 10 Potensi hasil 7,31 t/ha, rasa nasi sedang, umur ±115 hari, tahan
blas ras 033, agak tahan ras blas 133 dan 073. Agak toleran
kekeringan dan keracunan Al pada tingkat 60 ppm Al 3+, baik
ditanam pada lahan kering dataran rendah sampai < 700 m dpl.
Tahun 2014 :
48. Inpari 34 Salin Potensi hasil 8,10 t/ha, agak pera, umur 102 hari, toleran salin
Agritan pada fase bibit pada cekaman 12 dSm-1, agak tahan HDB III,

16
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

No. Varietas Keunggulan


tahan blas ras 033 dan 173, agak tahan blas ras 073. Cocok
ditanam di sawah dataran rendah 0 - 600 m dpl.
49. Inpari 35 Salin Potensi hasil 8,30 t/ha, agak pera, umur 106 hari, toleran salin
Agritan pada fase bibit pada cekaman 12 dSm-1, agak tahan HDB III,
tahan blas ras 033. Cocok ditanam di sawah dataran rendah 0 -
600 m dpl.
50. Inpari Unsoed Potensi hasil 8,20 t/ha, agak pera, umur 109 hari, toleran salin
79 Agritan pada fase bibit pada cekaman 12 dSm-1, agak tahan HDB III,
tahan blas ras 033. Cocok ditanam di sawah dataran rendah 0 -
600 m dpl.
51. Inpago IPB Potensi hasil 7,80 t/ha, pulen, umur tanaman ±115 hari, agak
8G tahan blas ras 133. Toleran kekeringan, baik ditanam pada lahan
kering dataran rendah sampai < 700 m dpl.
52. Inpara 8 Potensi hasil 6,0 t/ha, pera, umur ±115 hari, tahan HDB patotipe
Agritan III, agak tahan HDB IV dan VIII, agak tahan blas ras 133, toleran
keracunan Fe. Cocok ditanam di daerah rawa pasang surut dan
rawa lebak dangkal dan tengahan.
53. Inpara 9 Potensi hasil 5,6 t/ha, pera, umur ±114 hari, tahan HDB patotipe
Agritan III, tahan tungro inokulum Garut dan Purwakarta, toleran
keracunan Fe. Cocok ditanam di daerah rawa pasang surut dan
rawa lebak dangkal dan tengahan.

Keterangan: WBC: wereng batang coklat; HDB : hawar daun bakteri


Sumber: Jamil dkk. (2015)

Teknologi Budidaya Mendukung Pencapaian Potensi Hasil VUB Padi


Lebih Ramah Lingkungan

Budidaya padi di masa yang akan datang lebih diarahkan pada lahan-
lahan sub-optimal, seperti di lahan kering, lahan rawa, lahan gambut, hutan
tanaman industri dan perkebunan. Oleh karena itu teknologi budidaya yang
mendukung pertumbuhan VUB padi spesifik lokasi perlu disiapkan. Cara tanam
jajar legowo (jarwo) 2:1 telah direkomendasikan untuk peningkatan hasil panen
padi. Pengelolaan hara spesifik lokasi telah dikembangkan dengan aplikasi
telepon seluler (hape) menggunakan SMS. Aplikasi teknologi pemupukan
spesifik lokasi menggunakan hape mendukung mempermudah petani
mendapatkan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk peningkatan
produksi padi. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, Filipina, Thailand,
Vietnam, dan India diketahui bahwa hasil panen PHSL 400 kg/ha/musim tanam
lebih tinggi daripada hasil pemupukan cara petani. Melalui penerapan PHSL
petani berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan Rp. 2.000.000/ha/MT
dengan asumsi harga gabah Rp. 5000/kg. Teknologi produksi padi di lahan
pasang surut dan lahan berdampak salinitas dan budi daya padi gogo IP 200
telah tersedia. Teknologi pengendalian hama dan penyakit utama padi
dilakukan berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT).
Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu komponen PHT yang
murah dan tidak mencemari lingkungan. Penelitian peta sebaran

17
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

patotipe/strain/ras penyakit dan biotipe hama dilakukan untuk menentukan arah


perakitan varietas tahan hama dan penyakit yang sesuai yang sekaligus
digunakan sebagai komponen terintegrasi dalam PHT padi. Komponen PHT
lainnya adalah penelitian epidemiologi penyakit dan bioekologi hama, status
dan peranan musuh alami hama (predator, parasitoid, patogen serangga),
pestisida botani, rekayasa ekologi untuk meningkatkan fungsi dan peran musuh
alami, tanam berjamaah, pemanfaatan light trap untuk monitoring dan
pengambilan keputusan waktu tanam serta aplikasi pengendalian hama
berbasis pestisida biorasional (Baliadi dan Jamil 2015a).
Teknologi budidaya tersebut disinergikan dalam PTT padi, yakni salah
satu pendekatan untuk paket teknologi padi spesifik lokasi dengan empat
prinsip: 1) dinamis, senantiasa melakukan perbaikan berkelanjutan komponen
teknologi, 2) integrasi, dengan mengintegrasikan komponen teknologi, 3)
sinergis, antar-komponen teknologi yang diintroduksikan, dan 4) petani aktif
berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah dan introduksi teknologi untuk
memecahkan masalah setempat. Rekomendasi teknologi untuk PTT padi
sawah irigasi terdiri dari: (a) Varietas unggul, (b) Benih bermutu dan berlabel,
(c) Sistem tanam Jajar Legowo 2:1, (d) Pemupukan spesifik lokasi
menggunakan : PHSL berbasis web, android, dan HP, BWD, PUTS, Petak
omisi, dan Permentan No 40/2007, (e) Pengelolaan air: intermittent (Basah
Kering) menggunakan paralon berlubang, (e) Bahan organik ke dalam tanah,
(f) Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) sesuai masalah OPT (Hama/Penyakit),
dan (e) Panen dengan thresher (mesin perontok). Kedepan alat dan mesin
pertanian (alsintan) perlu disinergikan dalam PTT untuk meningkatkan efisiensi
biaya produksi karena dapat mengurangi alokasi biaya olah tanah, tanam,
penyiangan gulma dan panen.
PTT telah diimplementasikan untuk berbagai tipologi lahan sawah sejak
tahun 2008 dan dengan perbaikan komponen teknologi yang dihasilkan pada
periode 2010-2014 diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lebih tinggi
dari 0,5 ton GKG/ha. Agar mudah dipahami oleh petani, diseminasi PTT oleh
Ditjen TP dilakukan dengan praktek langsung di lapangan, melalui kegiatan
sekolah lapangan. Pada periode 2010-2013 telah dilaksanakan SLPTT Padi
pada luasan berturut-turut 2,5 juta ha, 2,78 juta ha, 3,5 juta ha dan 2,99 juta ha.
Dengan rata-rata peningkatan produktivitas padi secara berurutan 0,75 t/ha, 2
t/ha dan 0,4 t/ha diperoleh tambahan produksi secara berurutan 1,5-2,25 juta
ton GKG. Luas lahan SL-PTT pada tahun 2014 meningkat menjadi 4,62 juta ha.
Sejak tahun 2015, Ditjen TP melaksanakan peningkatan produksi padi berbasis
kawasan agribisnis melalui Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (GP-PTT) seluas 350.000 ha dan petani secara langsung menerapkan
teknologi budidaya spesifik lokasi rekomendasi Balitbangtan (Ditjen TP, 2015).
Pendekatan tersebut sebagai bukti bahwa PTT diyakini dapat meningkatkan
produksi padi nasional sehingga perlu diterapkan oleh semua petani di
Indonesia.

18
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Teknologi Pascapanen
Penelitian pasca panen ditekankan pada upaya menekan kehilangan
hasil dan meningkatkan mutu hasil. Pengurangan kehilangan hasil dari 18,8%
menjadi 3,8% dapat dilakukan dengan perbaikan pemanenan padi dengan
sistem panen kelompok dan penggunaan mesin perontokan hingga
pemanfaatan combine harvester. Jika teknik tersebut diterapkan pada 50%
areal panen nasional, maka diprakirakan dapat diselamatkan hasil panen
sekitar 3,1 juta ton gabah kering panen (GKP) atau sekitar 7,75 triliun rupiah.
Di tingkat penggilingan padi (PPK) diupayakan dapat menurunkan kehilangan
hasil dengan upaya revitalisasi PPK untuk meningkatkan rendemen beras
sebesar 4%.
Penelitian untuk menjaga mutu hasil dilakukan terhadap teknik
pengeringan, penggilingan, dan penyimpanan. Pengeringan dengan mesin
pengering (dryer) dengan ketebalan 50 cm suhu 42 oC menghasilkan beras
bermutu dengan persentase beras pecah kurang dari 15%. Peningkatan daya
saing dilakukan melalui teknologi pasca panen padi dan peningkatan nilai gizi
seperti kandungan vitamin B1 (thiamin), B3 (niacin), B2 (riboflavin), B6
(pyridoxin) vitamin B12 (cobalamin), asam pantothenat, asam folat dan
antocyanin, kadar mineral (Fe dan Zn), serta nilai indeks glikemik. Peningkatan
kandungan mineral dan vitamin pada padi telah diupayakan melalui perakitan
varietas padi dengan kandungan besi dan seng yang tinggi untuk menekan
prevalensi masalah anemia Gizi Besi dan Defisiensi seng. Galur BP9452F-12-
1-B yang memiliki kandungan besi antara 6,8-9,2 ppm dan kandungan seng
antara 20-26 ppm telah siap untuk dilepas sebagai varietas baru.

Teknologi Produksi Benih Padi


Kebutuhan benih kelas ES padi untuk memenuhi 13,5 juta ha adalah
sebanyak 362.500 ton. Balitbangtan melalui UPBS BB Padi dan BPTP
memperoleh mandat untuk penyiapan benih sumber kelas BS, FS dan SS.
Kebutuhan akan benih sumber padi meningkat setiap tahunnya. Pada Gambar
1 menunjukkan adanya peningkatan distribusi benih sumber kelas BS dan FS
dari UPBS Balitbangtan di BB Padi, misalnya pada tahun 2013 distribusi benih
BS dan FS masing-masing sebanyak 15 dan 25 ton.

Gambar 1. Distribusi benih sumber padi kelas BS dan FS pada tahun 2005-
2013 (BB Padi, 2014)

19
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Untuk meningkatkan efektivitas jaminan mutu dan ketersediaan benih


sumber dari VUB padi, pada tahun 2010-2014 UPBS Balitbangtan di BB-Padi
telah melaksanakan 5 jenis kegiatan yaitu : (1) Database stok dan distribusi
benih sumber (BS/FS) tanaman padi, (2) Penguatan SDM dan fasilitas UPBS
Padi, (3) Sistem Manajemen Mutu (SMM) berbasis ISO 9001:2001 dalam
produksi benih sumber, (4) Produksi benih penjenis dengan menerapkan SMM,
(5) Jaringan alih teknologi, produksi dan distribusi benih sumber. Sejak tahun
2005 UPBS Balitbangtan di BB Padi telah menerapkan sistem manajemen mutu
dalam produksi benih sesuai dengan persyaratan ISO 9001:2000, pada tahun
2006 sistem tersebut mulai diterapkan dalam kegiatan produksi BS (Breeder
Seed) padi, dan pada tahun 2007 telah terakreditasi ISO 9001:2008. Kinerja
UPBS meningkat dengan penerapan ISO 9001, antara lain berupa peningkatan
produksi, efisiensi produksi ±3,78 t/ha, dan penurunan keluhan pelanggan
secara drastis (1 keluhan selama Mei 2007-2014). Jaringan alih teknologi
produksi dan distribusi benih sumber padi telah dilakukan oleh UPBS BB Padi
dengan seluruh UPBS BPTP Badan Litbang Pertanian, BBI/BBU dan
penangkar benih.

IMPLIKASI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PADI

Pertanian modern ditandai dengan penguasaan bioscience, engineering


support system, teknologi dan inovasi merespon dinamika iklim, serta teknologi
informasi, sehingga Balitbangtan terus melakukan perubahan dinamis secara
berkesinambungan untuk pembangunan pertanian yang efektif dan efisien.
Inovasi teknologi Balitbangtan menjadi titik sentrum atau mempunyai peran
yang sangat vital untuk mendukung pencapaian dan keberlanjutan kedaulatan
pangan di Kementerian Pertanian (Anonimous, 2014).

Penelitian untuk Strategi Penyiapan Inovasi Padi

Tuntutan jaman menghendaki pergeseran peranan masyarakat yang


lebih dominan dan pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator. Dengan
demikian, reformasi total menuntut perlunya segera melaksanakan rekonstruksi
kelembagaan pemerintahan publik berdasarkan prinsip good governance
dengan tiga karakteristik utama, yaitu kredibilitas, akuntabilitas, dan
transparansi. Kebijakan pembangunan dirancang secara transparan dan
melalui debat publik, dilaksanakan secara transparan dan diawasi oleh publik,
sedangkan pejabat pelaksana bertanggung jawab penuh atas keberhasilan dari
kebijakan tersebut.
Implikasi penting bagi Litbang padi: (1) meningkatkan akuntabilitas dan
kredibilitas lembaga dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi program,
ouput serta peningkatan kualitas SDM; (2) meningkatkan penguasaan IPTEK
mutakhir dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan pertanian serta
kemutakhiran teknologi yang dihasilkan, (3) memperluas jaringan kerjasama
penelitian antar lembaga penelitian nasional secara sinergis dalam rangka
pemanfaatan/diseminasi hasil penelitian. Litbang padi harus fokus pada
penciptaan inovasi teknologi varietas unggul, benih bermutu/bersertifikat,

20
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pupuk organik dan hayati, pestisida nabati dan hayati, pengelolaan lahan dan
air, alsintan dan teknologi panen serta pengolahan untuk peningkatan nilai
tambah yang berdaya saing. Penelitian padi harus ditujukan untuk
meningkatkan daya saing dengan karakteristik yang sesuai keinginan
konsumen, baik pasar domestik maupun pasar ekspor.
Penelitian kebijakan tetap diperlukan baik dalam rangka evaluasi
kebijakan maupun penyusunan usulan rekomendasi kebijakan pembangunan
pertanian. Rekomendasi kebijakan mencakup aspek teknologi, ekonomi, sosial
(kelembagaan) dan lingkungan serta fokus pada upaya untuk mendukung
terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumber
daya lokal.
Dalam kaitannya dengan kebijakan otonomi daerah perlu dirumuskan
mekanisme perencanaan penelitian maupun pengkajian dengan
memperhatikan keinginan petani, pelaku agribisnis dan pemangku kepentingan
lainnya di daerah. Selain itu, implikasi perlu dibangun sistem inovasi pertanian
yang utuh mulai dari hulu sampai ke hilir yang bersifat inovasi teknologi spesifik
lokasi.

Penelitian Food and Feed


Secara umum orientasi dan strategi penelitian tanaman padi adalah
mendukung pencapaian produktivitas dan produksi. Hal ini terkait dengan dua
dari 4-F pertama, yaitu Food, Feed, Fibre, and Fuel. Mengingat
tekanan/tuntutan terhadap peningkatan produksi beras akan makin meningkat
pada tahun-tahun mendatang, maka litbang padi harus memanfaatkan all
possible opportunities to increase rice production. Berdasarkan potensi dan
peluang pengembangan prioritas tanaman padi untuk food dan feed adalah
pengembangan VUB inbrida dan padi hibrida. Dalam kurun waktu 2010-2014
produksi tanaman padi mengalami peningkatan yang nyata dibandingkan
periode sebelumnya. Produksi padi meningkat dari 66,47 juta ton pada tahun
2010 menjadi 75,57 juta ton pada tahun 2014 atau meningkat sebesar 1,82%
per tahun. Bersinergi dengan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan
Pemerintah Daerah, BB Padi selama tahun 2010-2014 di bawah koordinasi
Puslitbangtan dan Balitbangtan meningkatkan mengembangkan berbagai
inovasi teknologi, seperti varietas unggul dan pendekatan PTT padi sawah
melalui Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Kegiatan ini
membuahkan hasil yang menggembirakan yang terbukti dengan tercapainya
produksi padi sebesar 70,86 juta ton pada tahun 2013. Keberhasilan ini
mengantarkan Indonesia untuk kembali berswasembada beras.
Di samping meningkatkan produksi, strategi inovasi padi menekankan
pula pada penanganan kehilangan produksi dan mutu hasil. Pengurangan
kehilangan hasil dari 18,8% menjadi 3,8% dapat dilakukan dengan penggunaan
sistem kelompok panen dan mesin perontokan padi. Jika teknik tersebut
diterapkan pada 50% areal panen nasional, diprakirakan sekitar 3,1 juta ton
GKP atau sekitar Rp 7,75 triliun dapat diselamatkan. Penelitian untuk menjaga

21
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mutu hasil dilakukan terhadap teknik pengeringan, penggilingan, dan


penyimpanan. Pengeringan dengan mesin pengering (dryer) dengan ketebalan
lapisan gabah 50 cm dan suhu pengeringan 42oC menghasilkan beras bermutu
tinggi dengan persentase beras pecah kurang dari 15%. Penelitian bahan
pengemas untuk penyimpanan mendapatkan kantong/karung plastik yang
terbuat dari bahan High Density Poly Etylena (HDPE) dan High Density Poly
Propylena (HDPP) merupakan bahan pengemas yang baik.

Penelitian Antisipasi Konversi Lahan, Perubahan Iklim dan Pemuliaan


molekuler (molecular breeding)
Dalam lima tahun ke depan, optimalisasi pemanfaatan lahan sub optimal
yang banyak tersedia di luar Jawa menjadi sangat penting. Akan tetapi
ketersediaan lahan tersebut mempunyai kendala faktor abiotik maupun biotik.
Lahan sub optimal yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pertanaman
padi meliputi lahan kering (1,3 juta ha), lahan tadah hujan (1,9 juta ha), dan
lahan rawa pasang surut (1,1 juta ha). Berkaitan dengan hal tersebut, perlu
dicari inovasi teknologi antara lain: (1) varietas unggul baru berumur genjah
yang tahan/toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik, serta memiliki
produktivitas tinggi; (2) pola manajemen air irigasi yang efisien; (3) teknologi
penanggulangan kelelahan lahan (soil fatigue); (4) sistem usahatani konservasi
di DAS yang berwawasan lingkungan; (5) pengembangan komoditas pertanian
bernilai tinggi, khususnya untuk lahan sawah di Jawa.
Dalam rangka mengimbangi konversi lahan pertanian ke depan dan
kebutuhan untuk tetap mempertahankan produksi padi maka diperlukan
peningkatan indek panen. IP Padi 400 didasari pemikiran untuk
memaksimalkan indek panen padi dari suatu areal lahan dalam satu tahun.
Berbagai komponen teknologi seperti varietas unggul umur ultra genjah, pola
pergiliran varietas, teknologi produksi, proteksi tanaman, panen dan pasca
panen perlu disiapkan untuk mendukung IP Padi 400. Di samping faktor
ketersediaan air irigasi serta gangguan hama dan penyakit, ketersediaan
varietas padi berumur ultra genjah (dapat dipanen pada umur <90 hss)
merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan penanaman padi
empat musim dalam satu tahun (IP Padi 400). Terkait dengan peluang adanya
anomali iklim yang berupa fenomena La-Nina, maka penanaman tanam
palawija tidak mungkin dilaksanakan, dan IP Padi 400 adalah salah satu opsi
yang paling memungkinkan.
Sebagai konsekuensi dari strategi dan kebijakan umum penanggulangan
dampak perubahan iklim pada sektor pertanian seperti yang digariskan oleh
Kementerian Pertanian, maka Balitbangtan bekerjasama dengan Lembaga
Riset lainnya melakukan: (1) Perakitan varietas unggul (toleran genangan,
kekeringan, salinitas, umur genjah, tahan terhadap organisme pengganggu
tanaman), teknologi pengelolaan tanaman/tanah/pemupukan dan air dan
pengelolaan hama dan penyakit serta pengelolaan panen dan pasca panen
primer dan (2) Sosialisasi dan pengembangan teknologi model untuk adaptasi
perubahan iklim, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Teknologi hemat air,

22
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Teknologi hemat pupuk, pengendalian hama dan penyakit ramah lingkungan,


dan mengefektifkan dan mengefisienkan teknologi Carbon Efficient Farming
(CEF) mewujudkan sistem pertanian bio-industri.
Sedangkan untuk penurunan emisi gas rumah kaca, Balitbangtan
bekerja sama dengan lembaga riset lainnya mendukung Program Utama
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-PE-GRK)
melalui : (1) Penelitian dan pengembangan teknologi budidaya tanaman padi
ramah lingkungan, (2) Penelitian dan pengembangan biopestisida, dan (3)
Penelitian dan pengembangan pemanfaatan kotoran/urine ternak dan limbah
pertanian untuk energi dan pupuk organik. Balitbangtan pada tahun 2015
melaunching 12 VUB amfibi, yakni padi yang mampu bertahan pada dua kondisi
berbeda, kondisi kekeringan dan kebasahan atau tergenang, yakni: varietas
Limboto, Batutegi, Towuti, Situ Patenggang, Situ Bagendit, Inpari 10 Laeya,
Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8 dan Inpago 9 (Anonimous,
2015).
Program pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul lebih terarah
dan dapat dipercepat melalui molecular breeding. Pemanfaatan bioteknologi
untuk mempercepat perakitan varietas dan memperluas gene pool. Marker-
assisted breeding dan anther culture membuka peluang untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi breeding. Beberapa gen yang terlibat dalam
pengendalian sifat-sifat unggul telah teridentifikasi, misal miRNA yang
menginduksi male sterility, SUB1-A1 gene yang memungkinkan tanaman padi
tahan genangan selama 10-14 hari. IRRI telah melaporkan bahwa kemajuan
dalam pemanfaatan bioteknologi telah diperoleh terutama untuk sifat-sifat yang
terkait dengan ketahanan/ toleransi tanaman terhadap cekaman biotik (hama &
penyakit tanaman) dan abiotik (kekeringan, hypoxia/anaerob, salinitas), dan
peningkatan gizi (biofortifikasi Fe, vitamin A); dan kemajuan lainnya masih
dapat diharapkan untuk peningkatan hasil dan efisiensi penggunaan input.
Untuk mendapatkan manfaat maksimum dari peluang penggunaan bioteknologi
ini, BB-Padi perlu meningkatkan kerja sama dengan lembaga R&D lain, seperti
BB-Biogen, IRRI dan China.
Program pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul, untuk
perbaikan karakter tertentu yang pola pewarisannya sederhana dapat lebih
terarah dan dapat dipercepat melalui molecular breeding. Aspek penting
lainnya dari bioteknologi adalah rekayasa genetik untuk merakit tanaman
transgenik, atau integrasi gen tertentu langsung kedalam genom tanaman
target. Dengan rekayasa genetik gen tertentu yang secara alami tidak
ditemukan pada tanaman padi, dapat terekpresi pada tanaman transgenik
sehingga menjadikan nilai tambah untuk manusia, contohnya gen crt1 dari
bakteri Erwina eroduvora dapat terekpresi pada tanaman padi kaya pro vitamin
A (golden rice), dengan Cry dari Bacillus thuringiensis untuk ketahanan
terhadap penggerek batang. Namun demikian pemanfaatan produk transgenik
perlu dilakukan secara hati-hati karena terkait dengan keamanan hayati dan
keamanan pangan dan hayati dari produk tersebut.

23
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Permasalahan penting yang dihadapi di Indonesia dan diharapkan dapat


diatasi dengan bioteknologi antara lain pembentukan varietas tanaman padi
dengan produktivitas tinggi dan umur sangat genjah, tahan terhadap cekaman
biotik dan abiotik tertentu, dan efisien terhadap input produksi seperti pupuk dan
air.

Pemanfaatan Hasil dan Jejaring Kerja


Penerapan inovasi padi dalam rangka percepatan diseminasi inovasi
teknologi, merupakan faktor penentu bagi upaya percepatan pelaksanaan
program pembangunan pertanian dalam arti umum. Balitbangtan sebagai
sumber utama inovasi teknologi pertanian harus menghasilkan invensi yang
terencana, terfokus dengan sasaran yang jelas dan dapat diterapkan pada
skala industri untuk memecahkan masalah aktual yang dihadapi masyarakat
dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara umum kegiatan kerjasama dan peningkatan jejaring kerja dapat
dikategorikan menjadi: (1) memperkuat dan memperluas jejaring kerja dengan
lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan perguruan tinggi untuk
mengoptimalkan penggunaan sumberdaya, menghilangkan tumpang-tindih
penelitian, konvergensi program litbang dan meningkatkan kualitas penelitian,
(2) memperkuat keterkaitan dengan swasta, lembaga penyuluhan dan
pengambil kebijakan dengan melibatkan mereka pada tahap penyusunan
program dan perancangan penelitian untuk mengefektifkan diseminasi hasil
penelitian, dan (3) meningkatkan keterlibatan Balitbangtan dalam jejaring kerja
internasional baik bilateral, multilateral maupun regional.

STRATEGI PENYIAPAN INOVASI TEKNOLOGI PADI


Strategi Balitbangtan merupakan bagian dari arah kebijakan dan strategi
Kementan, khususnya yang terkait langsung dengan program penciptaan
teknologi dan varietas unggul berdaya saing untuk bidang tanaman pangan.
Sifat kebaharuan dan keunggulan menjadi ciri khas dari inovasi teknologi padi
yang akan dikembangkan.

Orientasi Inovasi Teknologi


Masih rendahnya kontribusi teknologi terhadap pembangunan
perekonomian nasional sering dikaitkan dengan alokasi anggaran negara yang
kecil dalam mendukung kegiatan riset, ketidak-paduan (mismatch) antara
teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan dan problema nyata yang
dihadapi publik dan para pengguna teknologi. Masalah ketidak-paduan perlu
dipecahkan karena merupakan faktor kunci keberhasilan pengembangan
sistem inovasi. Pemahaman konsep demand-driven (memahami terlebih
dahulu kebutuhan pengguna, baru kemudian mengembangkan teknologi yang
sesuai) sangat penting untuk pengembangan suatu inovasi untuk
menghindarkan rendahnya inovasi yang diadopsi oleh petani (Lakitan, 2012).
Masalah pembangunan pertanian adalah: (1) Keterbatasan dan
distribusi benih sumber khususnya VUB baru (bermutu, provitas tinggi, dan off-

24
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

season), (2) Ancaman perubahan iklim, (3) Alih fungsi lahan pertanian, (4)
Menurunnya jumlah tenaga kerja dan upah yang tinggi, (5) Kehilangan hasil
panen masih tinggi, dan (6) Fluktuasi harga. Keenam masalah tersebut
merupakan dan tantangan orientasi penciptaan inovasi teknologi mendukung
kedaulatan pangan, yakni: (1) Perakitan VUB dan akselerasi benih, (2)
Teknologi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim; Teknologi off-season dan
spesifik lokasi; Teknologi pengelolaan, (3) Penciptaan Teknologi Budidaya
pada Lahan Sub-optimal (Lahan rawa, lahan tadah hujan, lahan kering iklim
kering, lahan diantara tegakan tanaman tahunan), (4) Penciptaan teknologi
mekanisasi pertanian yang mampu mengatasi kekurangan tenaga kerja dan
biaya produksi, (5) Penciptaan Teknologi Pascapanen dan penanganan segar;
pengolahan primer dan sekunder; pengemasan,dan (6) Penyusunan
Rekomendasi Kebijakan: harga, penyediaan modal dan akses pasar, subsidi
benih dan pupuk, penguatan kelembagaan tani, peningkatan diseminasi,
hilirisasi dan pengawalan teknologi (Tabel 2) (Syakir, 2015).
Tabel 2. Masalah pembangunan pertanian dan tantangan litbang pertanian
PERMASALAHAN TANTANGAN

1 Keterbatasan dan distribusi Penciptaan VUB dan akselerasi


benih sumber khususnya VUB perbanyakan benih sebar dan
baru (bermutu, provitas tinggi, penyempurnaan sistem logistik benih
dan off-season)

2 Ancaman perubahan iklim Teknologi Adaptasi dan Mitigasi


Perubahan Iklim; Teknologi off-season dan
spesifik lokasi; Teknologi pengelolaan

3 Alih fungsi lahan pertanian dan Penciptaan Teknologi Budidaya pada


terbatasnya lahan produktif Lahan Sub-optimal (Lahan rawa, lahan
tadah hujan, lahan kering iklim kering,
lahan diantara tegakan tanaman tahunan)

4 Menurunnya jumlah tenaga kerja Penciptaan teknologi mekanisasi


pertanian; Biaya produksi yang pertanian yang mampu mengatasi
relatif tinggi kekurangan tenaga kerja dan biaya
produksi

5 Kehilangan hasil panen relatif Penciptaan Teknologi Pascapanen dan


tinggi; rendemen relatif rendah; penanganan segar; pengolahan primer
penanganan segar; nilai tambah dan sekunder; pengemasan
dan daya saing

6 Fluktuasi Harga; Akses Pasar Penyusunan Rekomendasi Kebijakan:


dan Modal Rendah; subsidi harga, penyediaan modal dan akses
benih dan pupuk belum pasar, subsidi benih dan pupuk,
sempurna; kelembagaan penguatan kelembagaan tani, peningkatan
usahatani lemah; adopsi diseminasi, hilirisasi dan pengawalan
teknologi rendah teknologi
Sumber: Syakir (2015)

25
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pendekatan demand-driven membutuhkan perubahan mendasar dalam


mindset dan prilaku kerja para akademisi, peneliti, dan perekayasa. Para
pengembang teknologi yang selama ini mengambil peran sebagai penentu arah
pengembangan teknologi, perlu bermetamorfosis menjadi sebagai pemasok
teknologi yang dibutuhkan pengguna; sebaliknya pengguna teknologi perlu
diposisikan sebagai penunjuk arah dalam pengembangan teknologi.
Strategi yang dapat dipilih untuk meningkatkan kinerja sistem inovasi
guna meningkatkan kontribusi inovasi padi dalam upaya pencapaian
kedaulatan pangan adalah sinkronisasi antara inovasi teknologi yang akan
dikembangkan dengan permasalahan yang dihadapi oleh petani dan industri
pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan konsumen domestik
(Lakitan, 2009). Khusus terkait dengan arah penelitian untuk perakitan
teknologi mitigasi di tanaman pangan, terutama padi, difokuskan pada
perakitan dan pengembangan varietas padi rendah emisi gas rumah kaca
(GRK) (Setyanto dkk., 2011).
Arah Kebijakan Penelitian Tanaman Padi
Arah kebijakan penelitian tanaman padi untuk menyiapkan inovasi
teknologi mendukung kedaulatan pangan ada empat, yaitu: (1) Memfokuskan
perakitan inovasi teknologi VUB dan teknologi budidaya dan pasca panen
primer pendukungnya serta penyediaan logistik benih sumber untuk
mendukung swasembada beras berkelanjutan, (2) Memperluas jejaring
kerjasama dan diseminasi hasil penelitian kepada seluruh pemangku
kepentingan nasional maupun internasional untuk mempercepat proses
pencapaian sasaran pembangunan pertanian (impact recognation) pengakuan
ilmiah internasional (scientific recognation) dan perolehan sumber-sumber
pendanaan penelitian lainnya diluar APBN, (3) Meningkatkan kuantitas, kualitas
dan kapabilitas sumberdaya penelitian melalui pelatihan/sekolah SDM,
penambahan sarana dan prasarana laboratorium, rumah kaca dan kebun
percobaan, dan refocusing kegiatan dan efektivitas serta efisiensi
penganggaran yang berbasis kinerja, dan (4) Meningkatkan penerapan
manajemen penelitian pertanian yang akuntabel dan good governance.

Strategi Penelitian Tanaman Padi


Strategi yang diterapkan untuk pencapaian dilakukan dengan cara: (1)
Menyusun cetak biru kebutuhan inovasi teknologi padi melalui padu-padan
dengan pemangku kepentingan untuk pencapaian sasaran pembangunan
pertanian dan benchmark hasil penelitian, (2) Mengoptimalkan kapasitas unit
kerja untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas penelitian (scientific
recognition), untuk memperkuat inovasi teknologi tanaman padi yang
berorientasi ke depan, memecahkan masalah, berwawasan lingkungan, aman
bagi kesehatan dan menjamin keselamatan manusia serta dihasilkan dalam
waktu yang relatif cepat, efisien dan berdampak luas, (3) Meningkatkan
intensitas diseminasi hasil penelitian, komunikasi dan partisipasi pada kegiatan
ilmiah nasional dan internasional, (4) Meningkatkan intensitas pendampingan
penerapan inovasi teknologi kepada calon pengguna, (5) Meningkatkan kerja

26
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sama penelitian dengan lembaga internasional/nasional berkelas dunia dalam


rangka memacu peningkatan produktivitas dan kualitas penelitian untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan pengguna dan pasar. Kerjasama penelitian
ini juga diarahkan untuk pencapaian pengakuan kompetensi sebagai impact
recoqnition yang mengarah pada peningkatan perolehan pendanaan diluar
APBN, dan (6) Menerapkan kebijakan reformasi birokrasi secara konsisten
pada semua jajaran BB Padi.
Konsorsium Padi Nasional (KPN) adalah salah satu strategi percepatan
pelepasan varietas padi telah dirintis sejak tahun 2009 melibatkan sumber daya
peneliti dari luar BB Padi (BB Biogen, LIPI, BATAN, IPB, UNSOED, UNRAM,
UNLAM) telah melepas sebanyak 31 VUB Padi. KPN Padi merupakan salah
satu bentuk Konsorsium di Balitbangtan yang berhasil dan dinyatakan terbaik,
KPN 2015-2019 bentuk dan tujuan konsorsium disesuaikan dengan arah
kebijakan penelitian padi, yakni fokus untuk perakitan VUB padi adaptif lahan
sub optimal dan tidak lagi hanya fokus pada kegiatan Uji Multi Lokasi (UML)
tetapi kegiatan dilakukan secara bersama-sama sejak awal untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan bersama (Baliadi dan Jamil, 2015a).
Strategi percepatan penyiapan inovasi padi tahun 2016-2019 adalah
melalui Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Nasional (KKP3N) dengan konsep kontrak output seperti varietas, protipe, alat
dan paket teknologi dengan peneliti padi di Perguruan Tinggi. Dua fokus output
KKP3N 2016 untuk komoditas padi adalah: (1) Teknologi produksi benih padi
hibrida yang bermutu dengan produktivitas >2 ton/ha dan (2) Perakitan varietas
padi dengan produktivitas > 11 ton/ha dan mutu hasil setara varietas Ciherang.
Kegiatan penelitian in house komoditas padi tahun 2016 Balitbangtan meliputi:
(1) perakitan enam VUB padi, (2) Penyediaan benih sumber, (3) Teknologi PTT
lahan sub optimal, pascapanen dan alsin, (4) Revitalisasi PPK meningkatkan
rendemen beras, dan (5) Pendampingan UPSUS di 31 provinsi (Gambar 2).

Gambar 2. Rencana penelitian dan pengembangan inovasi teknologi padi


tahun 2016 mendukung kedaulatan pangan

27
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Strategi hilirisasi dan massalisasi inovasi teknologi pertanian, termasuk


padi, yang modern dilakukan melalui: (1) Pengembangan padi lahan suboptimal
(lahan gogo, tadah hujan, dan rawa) masing-masng seluas 100 ha, (2) Model
pertanian bioindustri yang dilakukan pada 90 kabupaten, (3) Pelaksanaan Gelar
Lapang Inovasi Pertanian Padi di 18 provinsi sentra utama dan pendukung padi,
(4) Sekolah lapang kedaulatan pangan mendukung swasembada pangan
terintegrasi dengan desa mandiri benih di 24 provinsi, dan (5) Pengembangan
Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) yaitu penyediaan benih sumber dan
pembinaan produsen benih padi.
PENUTUP
Inovasi teknologi padi memang mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan
kedaulatan pangan, khususnya beras dan untuk meningkatkan kesejahteraan
petani dan masyarakat perdesaan. Inovasi teknologi hanya akan berkontribusi
nyata pada kedaulatan pangan jika diadopsi dan diterapkan oleh petani dalam
proses budidaya, pengolahan pangan, atau pada subsistem agribisnis lainnya.
Peluang bagi inovasi teknologi untuk digunakan sangat tergantung pada: (1)
Relevansinya dengan kebutuhan nyata menjawab persoalan yang dihadapi
dalam usaha tani padi dalam mewujudkan kedaulatan pangan, (2) Sepadan
dengan kapasitas adopsi petani, dan (3) Mampu memberikan keuntungan
untuk meningkatkan kesejahteraan bagi keluarga petani. Kedaulatan pangan
bersifat multidimensi, selain masalah teknis, juga melibatkan masalah sosial,
ekonomi, kelembagaan, budaya, hukum, dan politik. Sehingga dalam
pengembangannya inovasi teknologi padi tidak boleh hanya fokus pada
dimensi teknisnya semata tetapi harus disesuaikan dengan kondisi dimensi
non-teknis lainnya agar dapat efektif berkontribusi dalam keberlanjutan
kedaulatan pangan.
Kedepan, dalam mendukung kedaulatan pangan, pertanian harus bisa
melihat dan memanfaatkan potensi lahan seoptimal mungkin. Hal tersebut
tentunya harus didukung dengan inovasi teknologi padi yang dikembangkan
sesuai dengan lahannya, sesuai dengan kebutuhan di daerah, bersifat spesifik
lokasi, mempunyai potensi ekonomi dan berbasis agroekosistem
pengembangan. Inovasi teknologi spesifik lokasi akan lebih mudah diterima
dan diterapkan oleh petani setempat karena lebih mudah, murah, dan
menguntungkan seiring dengan semakin menurunnya minat generasi muda di
bidang pertanian, tampak dari jumlah petani dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir turun dari 31 juta menjadi 26 juta petani.
Policy statement strategi penelitian dan pengembangan inovasi teknologi
padi mendukung kedaulatan pangan harus semakin bermutu, berbasis azas
produktivitas dan manfaat output, outcome dan impact sehingga penting
melaksanakan refocusing program dan efisiensi anggaran dan sumber daya
penelitian agar arah penelitian padi fokus pada demand-driven. Salah satu nya
adalah dengan memperhatikan novelti/kebaruan penelitian serta pemahaman
yang holistik terhadap tagline Balitbangtan: Science. Innovation. Networks.

28
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Inovasi teknologi membutuhkan sosialisasi yang gencar karena teknologi


senantiasa berubah dan itu merupakan syarat mutlak adanya pembangunan
pertanian. Kalau tidak ada perubahan perubahan dalam inovasi teknologi maka
pembangunan pertanian pun akan terhenti. Oleh karena itu inovasi teknologi
adalah kunci utamanya. Kini dengan konsep diseminasi multi channel,
mengaplikasikan inovasi teknologi menjadi lebih mudah karena tidak hanya
melalui penyuluh saja, tetapi juga melalui berbagai media yang berkembang
sehingga petani akan lebih mudah menerapkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
Tentang Pangan. 65 hal.
Anonimous. 2014. Badan Litbang Pertanian, berpacu dengan teknologi.
Swadaya 4 (37): 6-9.
Anonimous. 2015. Padi amfibi hiasi lahan kering. Swadaya. Media Bisnis
Pertanian 5 (48): 24-25.
Anugerah, P.R. 2014. Mencapai kemandirian pangan di era global. Majalah
Sains Indonesia: 42-43.
Baliadi, Y dan A. Jamil. 2015a. Status terkini dan kebijakan penelitian padi
indonesia dimasa datang. Makalah disampaikan pada Forum Group
Discussion Penyusunan Rencana Induk Kampus, Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada, 5 November 2015. 25 hal.
Baliadi, Y dan A. Jamil. 2015b. Tanaman pangan yang sesuai untuk kawasan
rawan bencana dampak perubahan iklim. Forum Group Discussion, Kajian
Potensi Kawasan Rawan Bencana utk Mendukung Kedaulatan Pangan
Nasional. Direktorat Jenderal Tata Ruang Kemen ATR/BPN, Jumat 13
November 2015. 15 hal.
Balitbangkan, 2014. Inovasi Pertanian Untuk Peningkatan Daya Saing Bangsa.
Kinerja Badan Litbang Pertanian 2010-2014. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 222 hal.
BB Padi, 2015a. Rencana Strategis Penelitian Tanaman Padi 2015-2019. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. 43 hal.
Ditjen TP. 2015. Pedoman Teknis GP-PTT Padi 2015. Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan, Kementan. 99 hal.
Haryono, M. Syakir, A. Hendriadi, Rohlini, B. Prastowo, I. Las, C.
Tafakresnanto, S. Ritung, N. Richana dan S. Mardianto. 2015. Model
Pengembangan Kawasan Pertanian Bioindustri. IAARD Press. 97 hal.
Hendayana, R. dan L. Hutahaean. 2014. Perspektif sosial ekonomi
pengembangan pertanian bioindustri berbasis padi. Proseding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi Padi Mendukung Pertanian Bioindustri. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi.
Jamil, A., Satoto, P. Sasmita, Y. Baliadi, A. Guswara dan Suharna. 2015.
Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Inbrida Padi Sawah Irigasi, Hibrida
Padi, Inbrida Padi Gogo, Inbrida Padi Rawa. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementan. 77 hal.
Kementan. 2013. Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-20145.
Pertanian Bioindustri Berkelanjutan. Solusi Pembangunan Pertanian
Indonesia Masa Depan. Kementerian Pertanian.
Kementan. 2015. Kinerja satu tahun Kementerian Pertanian, Oktober 2014-
Oktober 2015. Kementerian Pertanian. 20 hal.

29
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Lakitan, B. 2009. Kontribusi teknologi dalam pencapaian ketahanan pangan.


Makalah Utama pada Seminar Hari Pangan Sedunia, Jakarta 12 Oktober
2009.
Lakitan, B. 2012a. Kebijakan riset dan teknologi untuk mewujudkan ketahanan
pangan nasional. Makalah pada FGD dalam rangka Pra-Widyakarya
Pangan dan Gizi, Jakarta, 15 Juni 2012.
Lakitan, B. 2012b. Inovasi teknologi untuk mewujudkan ketahanan dan
kedaulatan Pangan. Keynote Speech pada Kegiatan Up-grading
Pemberdayaan Masyarakat Regional Sumatera, diselenggarakan oleh
Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di
Palembang, 20 Oktober 2012.
Lesmana, S. 2014. ROI varietas Ciherang capai Rp 67,5 triliun/tahun. Majalah
Sains Indonesia: 40-41.
Setyanto, P dkk. 2011. Pedoman umum Inventori Gas Rumah Kaca dan
Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 85
hal.
Syakir, M. 2015. Penguatan iptek menjawab kedaulatan pangan. Seminar
Nasional Universitas Islam Sumatera Utara, Medan 14 November 2015.

30
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) :


Hasil Penelitian dan Prospek Pengembangan

Sarlan Abdulrachman

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi


Jl. Raya 9 Sukamandi, Subang 41256
Tlp. 0260 520157, Fax 0260 520158,
Email : sarlan@telkom.net

ABSTRAK

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan suatu upaya untuk


mewujudkan program peningkatan produksi tanaman keberlanjutan. Selain itu,
dengan PTT ternyata juga mampu menekan biaya produksi, sehingga petani
dapat memperoleh penghasilan lebih tinggi. Untuk mencapai produktivitas yang
tinggi dengan biaya produksi yang lebih hemat, ditempuh melalui strategi
pemanfaatkan sumber daya alam dengan menerapkan komponen teknologi
budidaya yang sinergis. Komponen teknologi berupa penggunaan VUB dengan
benih bermutu, penanaman bibit umur muda, pemupukan berdasar analisis
hara dan kebutuhan tanaman, penerapan sistem pengairan intermitten,
pengendalian OPT menurut konsep PHT, dan penggunaan mesin untuk
kegiatan panen dan pascapanen apabila diterapkan dengan tepat dapat
menghemat input secara signifikan. Namun demikian komponen teknologi
yang dinilai mudah diadopsi petani pada umumnya adalah penggunaan VUB
dengan benih sehat, penanaman bibit <21 hari dengan jumlah bibit 2-3 tanaman
per lubang, dan pemberian pupuk N, P dan K sesuai konsep PHSL dan
pengendalian OPT berdasarkan konsep PHT. Semula model PTT hanya
diimplementasikan pada lahan sawah irigasi subur yang sudah mulai
terdegradasi karena intensifnya pengelolaan, sehingga komponen teknologi
yang diterapkan dapat meningkatkan efisiensi yang akhirnya pendapatan
petani dan/atau hasil. Namun, dengan makin meluasnya pengembangan
model PTT maka lahan dengan tingkat kesuburan sedang dan rendah juga
dimanfaatkan. Di lokasi-lokasi seperti ini komponen teknologi yang diterapkan
lebih bersifat pemecahan masalah setempat, bukan untuk meningkatkan
efisiensi. Akibatnya, produktivitas tanaman, biaya produksi, dan keuntungan
yang diperoleh petani serta nilai kelayakan adopsi teknologi menjadi lebih
bervariasi. Terlepas dari keberhasilan di atas, sampai saat ini yang masih
dirasakan menjadi bagian tersulit dalam usaha memperkenalkan konsep PTT
kepada berbagai pihak adalah mencari teknik diseminasi terbaik agar berbagai
pihak terkait cepat meyakini manfaat usaha intensifikasi padi menggunakan
teknologi PTT. Dukungan konsep organisasi pelaksanaan, pembagian tugas
dan tanggung jawab berbagai pihak terkait sangat dibutuhkan sebagai acuan
implementasi pelaksanaan diseminasi PTT dilapangan.
Kata Kunci : PTT, Komponen teknologi, Budidaya

31
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENDAHULUAN

Sistem produksi pertanian yang telah ada, khususnya di lahan sawah


irigasi, hingga kini masih lebih bertujuan untuk meningkatkan produksi, tanpa
memikirkan efisiensi input produksi yang semakin menurun; apalagi kerusakan
lahan yang berhubungan langsung dengan keberlanjutan (sustainability) sistem
produksi. Oleh sebab itu produksi padi sejak pasca swasembada sering kali
tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan beras nasional. Laju peningkatan
produktivitas tanaman padi cenderung melandai, bahkan di beberapa sentra
produksi padi cenderung menurun. Pelandaian atau penurunan laju kenaikan
produksi dialami di sentra produksi padi yang mayoritas ditanami IR64.
Pertanaman sejenis IR64 (Ciherang) hingga kini masih mencapai di atas 30%
dari total area padi sawah yang diintensifkan. Varietas padi lain, sekalipun
memiliki potensi hasil dan kualitas lebih tinggi dari Ciherang, tetapi masih belum
mampu mengangkat kembali laju peningkatan produktivitas dan produksi padi
secara signifikan.
Selama ini pengelolaan secara intensif lahan sawah irigasi tidak diikuti
oleh penerapan kaidah pelestarian kesuburan dan produktivitas lahan.
Eksploitasi lapisan olah lahan sawah secara intensif berlangsung bertahun-
tahun sehingga terjadi deteriorasi fisiko-kimia tanah. Sebaik apapun varietas
padi, apabila tidak ditunjang oleh lingkungan tumbuh perakaran yang baik,
penampilan tanaman padi tidak akan optimal. Gejala ini telah dipelajari oleh
IRRI dalam suatu penelitian mega proyek berjudul Reversing Trend of Declining
Productivity tahun 1994-2003.
Sistem produksi tanaman padi saat ini ternyata rentan terhadap
penyimpangan iklim (El Nino) sebagaimana telah dialami pada tahun 1991,
1994, 1997, 2004, dan 2013. Produksi turun setiap kali terjadi penyimpangan
iklim. Penurunan produksi beras sangat drastis pada 1997, selain akibat
kekurangan air dan ledakan serangan hama serta penyakit, juga kelangkaan
pupuk. Penanganan masalah secara parsial yang telah ditempuh selama ini
ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang kompleks dan juga tidak efisien
ditinjau dari segi biaya (Kartaatmadja dan Fagi, 2000).
Pendekatan parsial untuk mengatasi masalah produktivitas tanaman
adalah ciri suatu penelitian yang berbasis komoditas. Sementara CGIAR
(Consultative Group on International Agricultural Research) telah mengubah
strategi penelitian melalui pendekatan holistik dengan fokus sumber daya.
Dalam skala makro strateginya disebut ecoregional initiative dan dalam skala
mikro dijabarkan dalam integrated crop management (pengelolaan tanaman
terpadu yang disingkat dengan PTT).
Menteri Pertanian periode 1998-2003 dalam sambutan pembukaan
Lokakarya PHT di Sukamandi menyatakan bahwa penelitian-penelitian yang
ditujukan untuk meningkatkan produktivitas atau untuk meningkatkan stabilitas
produksi masih terlalu menyederhanakan permasalahan. Padahal, masalah
yang dihadapi petani cukup kompleks sehingga penanganannya harus holistik

32
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan pendekatan sistem. Kemudian Menteri Pertanian pada Kabinet


Persatuan (periode 1999-2004) memfokuskan program Kementerian Pertanian
pada pemantapan ketahanan pangan dan pengembangan sistem agribisnis
yang efisien. Pada periode berikutnya (mulai 2005 hingga kini) Kementerian
Pertanian mengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
untuk mendukung program ketahanan pangan, khususnya dalam penyediaan
beras nasional. Oleh karena itu, menghadapi perubahan persaingan global,
penerapan konsep CGIAR melalui aplikasi pengelolaan tanaman terpadu
menjadi sangat relevan.
Diharapkan, sistem produksi padi sawah irigasi yang akan datang
adalah sistem produksi yang tidak saja bertujuan untuk peningkatan produksi,
tetapi juga meningkatkan pendapatan petani. Peningkatan produktivitas dan
efisiensi input produksi, serta dapat mempertahankan keberlanjutan sisitem
produksi perlu dibarengi dengan peningkatan kesuburan lahan. Dengan
terpelihara dan meningkatnya kesuburan lahan maka produktivitas padi bisa
dipertahankan sehingga keberlanjutan usahatani padi dapat dipertahankan.
LANDASAN PEMIKIRAN

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan suatu upaya


melestarikan program produksi tanaman. Selain sistem produksi yang
berkelanjutan, pendekatan PTT mampu meningkatkan produktivitas tanaman
dengan biaya produksi yang lebih efisien, sehingga petani dapat memperoleh
penghasilan tinggi. Untuk mencapai produktivitas tanaman tinggi dengan biaya
produksi yang lebih hemat, maka ditempuh strategi memanfaatkan sumber
daya alam dengan menerapkan komponen-komponen teknologi budi daya
tanaman yang sinergis. Pendekatan PTT untuk tanaman padi pada dasarnya
sudah lama dipraktekkan petani. Petani sudah menyadari pentingnya
memahami kualitas sumber daya, masalah yang dihadapi, dan upaya
mengatasi masalah sesuai dengan ketersediaan sumber daya. Pengetahuan
petani tentang pengelolaan tanaman padi unik, karena itu, setiap daerah
memiliki kekhususan cara pengelolaan tanaman.

Pemahaman PTT dewasa ini diperkaya dengan pengetahuan yang


selalu berkembang, yang dapat menjelaskan fenomena yang selama ini
dihadapi. Pemikiran untuk mengetengahkan pendekatan PTT pada tanaman
padi terkait dengan upaya peningkatan pendapatan petani, penanganan
stagnasi produksi beras melalui peningkatan produktivitas tanaman
dilandaskan pada pertimbangan: (a) pelajaran dari program-program
intensifikasi yang sudah berjalan, (b) sosial ekonomi, dan (c) akademis.
Walaupun terjadi gejala pelandaian produksi dan penurunan produktivitas
lahan sawah intensif di daerah-daerah pusat produksi padi, sistem intensifikasi
padi sawah, khususnya sawah irigasi tetap menjadi prioritas utama bagi
peningkatan produksi padi nasional. Sistem produksi padi sawah merupakan
sistem produksi padi paling dominan di Indonesia, menyumbang hingga 90%
produksi padi nasional sejak 30 tahun terakhir ini. Karena itu usaha-usaha yang

33
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ditujukan untuk peningkatan produksi padi sawah akan berdampak langsung


bagi peningkatan produksi padi nasional. Namun, situasi perpadian akhir-akhir
ini agak mengkhawatirkan dengan terlihatnya kecenderungan penurunan
pertumbuhan luas panen dan produktivitas, sebagai komponen produksi yang
berperan langsung terhadap produksi.
Strategi yang digunakan bagi pengembangan pertanian selama ini yang
ditekankan pada pertumbuhan yang cepat dan tingkat produksi lebih tinggi tidak
dapat dipertahankan lagi. Pada kenyataannya produksi padi nasional
meningkat dari 66,47 juta ton tahun 2010 menjadi 70,85 juta ton tahun 2014.
Namun, kecepatan peningkatan produksi tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan. Sistem perpadian di Indonesia nampaknya perlu ditata
dengan lebih baik untuk tujuan peningkatan produksi di masa-masa
mendatang, terutama sekali bila dihubungkan dengan pelandaian produksi dan
kejenuhan teknologi yang telah terjadi di lahan sawah irigasi, yang berkaitan
erat dengan keberlanjutan sistem produksi padi.
METODE DAN HASIL PENELITIAN
Sistem PTT dilaksanakan melalui tahap kegiatan sebagai berikut: (1)
Melaksanakan PRA untuk menggali permasalahan utama petani mengetahui
keinginan/harapan petani, serta memahami karakteristik lingkungan biofisik,
kondisi sosial -ekonomi -budaya petani dan masyarakatnya, (2) Menyusun
komponen-komponen teknologi inovasi yang sesuai dengan karakteristik dan
permasalahan wilayah. Komponen teknologi tersebut selalu ada perbaikan
teknologi dari hasil inovasi baru dan masukan dari perkembangan di lapangan
(lahan) petani, dan (3) Penerapan teknologi PTT dihamparan sawah sekitar 100
ha, dan secara paralel dilaksanakan pula peragaan komponen-komponen
teknologi inovasi terbaru dalam luasan sekitar 1 ha sebagai superimpose/petak
demonstrasi. Superimpose ini digunakan sebagai sarana pelatihan petani dan
petugas lapangan guna persiapan untuk penggantian/substitusi komponen
teknologi PTT pada luasan 100 ha yang kurang sesuai dengan teknologi yang
lebih baik.
Sistem PTT dapat digambarkan dalam bentuk diagram alir seperti
terlihat pada Gambar 1.
Peragaan Komponen
Teknologi Inovasi
(superimpose)
Karakteristik dan Teknologi Inovasi
PRA masalah prioritas Badan Litbang
wilayah Pertanian yang sesuai
Penerapan PTT di hamparan
sawah sekitar
100 ha

Pengembangan PTT
ke petani non kooperator
(dampak)

Gambar 1. Diagram alir strategi pelaksanaan sistem PTT yang bersifat


partisipatif, spesifik lokasi dan dinamis.

34
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sebagai tahap awal introduksi teknologi inovasi Badan Litbang


Pertanian yang diterapkan dalam sistem PTT terdiri dari komponen-komponen
teknologi sebagai berikut:
(1) benih bermutu (kemurnian dan daya kecambah tinggi)
(2) varietas unggul baru yang sesuai lokasi, termasuk padi hibrida dan padi
tipe baru
(3) bibit muda (<21 hss)
(4) menggunakan 1-3 bibit perlubang
(5) pemupukan N bedasarkan bagan warna daun (BWD)
(6) pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah serta pemecahan
masalah kesuburan tanah apabila terjadi
(7) pemberian bahan organik atau kompos sebanyak 2 t/ha
(8) sistem tanam jajar legowo 2:1 atau 4:1
(9) irigasi (intermitten) berselang terputus-putus
(10) pengendalian gulma terpadu
(11) pengendalian hama dan penyakit menggunakan konsep PHT
(12) panen dan pascapanen menggunakan alat perontok, threser atau
combine harvester

Berdasarkan sifatnya, teknologi di atas terbagi atas: (1) teknologi untuk


pemecahan masalah setempat/spesifik; dan (2) teknologi untuk perbaikan cara
budidaya yang lebih efisien dan efektif. Dalam pelaksanaannya tidak semua
komponen teknologi di atas harus diterapkan sekaligus, terutama pada lokasi
yang mempunyai permasalahan spesifik. Namun, ada 4 komponen PTT yang
merupakan “keharusan” (compulsory) sebagai penciri PTT, yaitu (1) varietas
unggul baru yang sesuai lokasi; (2) pemupukan N berdasarkan bagan warna
daun (BWD), pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah serta
pemecah masalah kesuburan tanah apabila terjadi, (3), penerapan sistem
tanam jajar legowo 2:1, dan (4) pengendalian hama dan penyakit menggunakan
konsep PHT. Teknologi compulsory tersebut selain sebagai penciri PTT, pada
umumnya komponen teknologi tersebut dapat diterapkan langsung dilapangan
dan besar pengaruhnya terhadap kenaikan hasil, dan pendapatan petani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanaman padi yang dikelola
menurut PTT pada MK 1999 memberikan hasil gabah di Sukamandi sebesar
6,2 t/ha, yaitu 51% lebih tinggi dibanding hasil petani yang menggunakan cara
biasa. Petani menggunakan bibit berumur 21 hari, 3 bibit per lubang tanam,
tanpa pemberian bahan organik, digenangi terus menerus, dan dipupuk sesuai
rekomendasi. Sedangkan hasil gabah pada MH 1999/2000 berkisar antara 7,2
sampai 9,3 t/ha dengan nisbah R/C 1,63 sampai 2,08. Sementara itu rata-rata
hasil gabah dengan cara petani adalah 6,5 t/ha dengan nisbah R/C 1,61.
Pada tahun kedua (2000-2001), yaitu pada MH 2000/2001, perlakuan
PTT mampu menghasilkan 7,7 sampai 9,1 t/ha (R/C = 2,00 sampai 2,48), rata-

35
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

rata 8,4 t/ha; dengan peningkatan produksi sebesar 29% dibanding cara petani
(6,5 t/ha dan R/C = 1,97). Namun demikian respon terhadap PTT ternyata
berbeda antar varietas. Padi varietas Ciherang menghasilkan 7,3-7,7 t/ha, IR64
6,8-6,9 t/ha, dan Way Apo Buru 7,4-7,6 t/ha. Pada waktu yang sama, petani di
sekitar yang menggunakan cara biasa hanya memperoleh hasil sekitar 4,7; 4,9
dan 5,7 t/ha, berturut- turut untuk varietas IR64, Way Apo Buru dan Ciherang.
Pada ketiga varietas yang digunakan dalam PTT memberikan nilai R/C lebih
tinggi dibanding cara biasa. Komponen-komponen utama PTT seperti bibit
muda-tunggal, pengairan berkala (intermittent) dan peningkatan kandungan
bahan organik tanah, merupakan komponen produksi dalam sistem produksi
padi sawah irigasi.
Berdasarkan hasil tersebut maka pada tahun 2001 model PTT tersebut
mulai dikembangkan di luar Sukamandi, yaitu melalui jaringan Penelitian dan
Pengkajian (Litkaji) antara BB Padi dan BPTP.
Penggunaan benih. Introduksi komponen teknologi inovasi dalam
sistem PTT yang telah disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan
permasalahan setempat, juga ternyata beragam penerapannya oleh petani di
berbagai wilayah/kabupaten. Penggunaan benih erat hubungannya dengan
cara tanam, yaitu sistem tegel atau jajar legowo serta banyaknya bibit yang
ditanam per lubang. Penggunaan benih oleh petani peserta PTT di 20 contoh
kabupaten berkisar antara 15 kg/ha (di 4 kabupaten) hingga > 40 kg/ha (4
kabupaten) (Gambar 2).

Gambar 2. Keragaan penggunaan benih di 20 kabupaten peserta PTT

Di beberapa kabupaten yang biasa menggunakan benih hingga 100


kg/ha telah merasakan manfaat penghematan benih dengan menerapkan
tanam 1-3 bibit per lubang, yang ternyata tidak mengurangi hasil panen.
Sebagai contoh adalah Kabupaten Bima di Propinsi NTB yang biasa
menggunakan 50-100 kg benih/ha.

36
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Varietas. Mungkin komponen teknologi PTT yang sangat mudah


diadopsi dan bahkan ditunggu petani adalah varietas unggul baru yang memiliki
potensi hasil tinggi, toleran hama dan penyakit endemik setempat, serta rasa
nasi sesuai selera pasar dan petani. Dengan telah dilepaskannya berbagai
varietas unggul baru oleh Balitpa, maka petani memiliki banyak pilihan. Pada
beberapa kabupaten tertentu pilihan varietas untuk PTT didasarkan pada rasa
nasi (pera), sedangkan pada umumnya pilihan varietas berdasarkan pada
ketahanan terhadap hama dan penyakit utama setempat. Keragaan
pengggunaan varietas di 27 kabupaten disajikan pada Gambar 3.

12
Keterangan
nama varietas
10
:
Jumlah kabupaten

1 : Ciherang
8
2 : IR64
6 3 : IR66
4 : Kalimas
4 5 : Cisokan
Varietas 6 : widas
2 7 : Ciliwung
8 : Cisantana
0 9 : Caredek
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 3. Penyebaran varietas utama di kabupaten pelaksana PTT-


P3T

Umur bibit. Keragaan penggunaan bibit muda oleh petani kooperator


di 19 kabupaten peserta PTT disajikan pada Tabel 1. Sebanyak 68% kabupaten
menerapkan tanam bibit muda (<21), sedangkan sisanya masih menggunakan
bibit umur >21 dengan alasan adanya permasalahan keong emas dan tingginya
genangan air yang sulit dikeringkan pada saat tanam atau karena lambatnya
penyiapan lahan (menunggu traktor untuk pengolahan tanah) sedangkan umur
bibit sudah tidak muda lagi.
Tabel 1. Keragaan penggunaan bibit berdasarkan umur oleh petani kooperator
PTT di 19 kabupaten peserta PTT.
Jumlah kabupaten yang
Umur bibit %
menerapkan
<15 2 10
15-21 11 58
>21 6 32
Total 19 100

37
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pemupukan. Pemberian pupuk N berdasar keragaan warna daun


dengan menggunakan BWD (bagan warna daun) telah diterapkan di hampir
semua kabupaten. Dengan menerapkan cara BWD, penggunaan pupuk urea
oleh petani pada umumnya menjadi lebih efisien. Dari 20 contoh kabupaten, 13
kabupaten menggunakan urea antara 100-200 kg/ha, lebih rendah daripada
rekomendasi pemupukan yaitu 250 kg/ha atau dari kebiasaan petani yaitu >
300 kg urea/ha. Dengan demikian, penggunaan pupuk urea dapat dihemat 50-
150 kg/ha pada 13 kabupaten, bahkan>150 kg/ha pada 3 kabupaten;
peningkatan dosis urea hanya terjadi di 1 kabupaten. Pupuk SP36 dapat
dihemat penggunaanya sebesar 0-50 kg/ha pada sebagian besar lokasi PTT
(Tabel 2) dan hanya 4 kabupaten yang memerlukan tambahan pupuk SP36.
Penggunaan pupuk KCL dapat dihemat antara 0-50 kg/ha di sebagian besar
lokasi PTT (Tabel 2). Penghematan pupuk diatas selain dapat menghemat
biaya/modal usahatani, juga dapat dimanfaatkan untuk daerah-daerah lainnya
yang memerlukan.

Tabel 2. Takaran pupuk urea, SP36, dan KCL pada sistem PTT diberbagai
kabupaten dan besarnya penghemat pupuk
Dosis Penghemat Dosis Penghemat Penghema
Dosis
urea an urea Jml SP 36 an SP 36 Jml -tan KCl Jml
KCl
BWD (kg/ha) Kab PTT (kg/ha) Kab (kg/ha) Kab
PTT
< 100 > 150 3 < 50 > 50 2 0 100 2
100 - 200 50 – 150 13 50 – 100 0 – 50 12 50 - 100 0 - 50 12
250 0 3 > 100 - 4
> 250 - 1 - -

Pemberian takaran P maupun K tersebut sebagian besar telah


berdasarkan hasil analisis tanah atau peta status hara P dan K yang dianjurkan
dalam PTT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komponen pemupukan
dalam PTT mudah diterapkan petani. Namun permasalahannya adalah: (1)
perlu pengadaan BWD dalam jumlah besar bila PTT akan dikembangkan, (2)
peta status P dan K atau analisis tanah secara tepat masih banyak yang belum
tersedia, dan (3) perlu dipertimbangkan sosialisasi penerapan petak omisi untuk
penetapan kebutuhan pupuk P dan K spesifik varietas padi dan musim tanam
yang lebih sederhana dan mudah dilaksanakan petani sendiri atau dengan
bantuan penyuluh setempat (Abdulrahman dkk, 2003).
Meskipun pemberian bahan organik menjadi komponen utama PTT,
namun dalam penerapannya masih bergantung pada kondisi setempat,
terutama ketersediaannya, harga, biaya pengangkutannya, dan sebagainya.
Dalam jangka panjang pemanfaatan bahan organik dapat dilaksanakan karena
adanya sistem integrasi padi-ternak (SIPT) yang mensuplai kompos pupuk
kandang serta jerami yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, sehingga
limbah padi dapat berharga. Hingga saat ini ada 12 kabupaten yang
menerapkan pemberian pupuk kandang dengan takaran 1-2 t/ha yaitu

38
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kabupaten Madina, Rokan Hulu, Padang Pariaman, Solok, Cilacap, Sragen,


Tabanan, Lombok Barat, Banjar, Pinrang, Bone dan Minahasa meskipun belum
diterapkan oleh semua peserta.
Jajar Legowo. Cara tanam jajar legowo dianggap sebagian petani
kooperator PTT sulit diterapkan, karena biasanya mereka menanam padi
secara tidak beraturan. Pengaturan cara tanam memerlukan keterampilan
khusus. Sebagian petani meskipun dapat menerapkan jajar legowo, namun
masih keberatan karena memerlukan lebih banyak tenaga, sedangkan tenaga
kerja jarang dan mahal. Namun untuk sebagian petani yang biasa menanam
dengan jarak sama (tegel), cara jajar legowo mudah diterapkan karena (1)
populasi tanaman lebih banyak dan berpeluang dapat meningkatkan hasil; (2)
apabila terdapat gejala keracunan besi seperti pada lahan-lahan berdrainase
buruk, pembuatan parit diantara unit legowo dapat memfasilitasi terangkutnya
besi ke parit kecil tersebut; (3) mempermudah pergerakan petani dalam
melakukan penyiangan gulma, pemberian pupuk, pemberantasan hama dan
penyakit. Dalam pelaksanaan PTT hingga MT 2003 ternyata jumlah kabupaten
yang menerapkan sistem tanam jajar legowo sama banyaknya dengan yang
menerapkan sistem tegel 20 cm x 20 cm atau 25 cm x 25 cm.
Hasil tanaman padi dan permasalahannya. Penerapan komponen
PTT pada padi sawah di berbagai kabupaten di Indonesia ternyata
menghasilkan gabah yang bervariasi dari 3 hingga 10 t/ha. Besarnya
keragaman ini disebabkan oleh beragamnya kondisi lingkungan biofisik
tanaman seperti intensitas hama dan penyakit tanaman, kondisi kesuburan
lahan, ketersediaan air dan tingkat pengelolaan lahan (Tabel 3). Dari 20
kabupaten contoh, 13 kabupaten mempunyai kisaran hasil tanaman antara 5-7
ton gabah kering giling. Dua kabupaten yaitu Deli Serdang (Sumatera Utara)
dan Blitar (Jawa Timur) menghasilkan 7-8 t GKG. Hanya satu kabupaten yaitu
Madina, Sumatera Utara yang melaporkan mendapat hasil 10 t/ha. Sebaliknya
hasil yang sangat rendah (3 t/ha) terjadi di kabupaten Sambas yaitu petani yang
menerapkan PTT dan non-PTT masing-masing memperoleh 3 t/ha dan 2,3 t/ha.
Di lokasi ini lingkungan tanaman tidak menguntungkan, karena selain lahannya
sering terkena banjir dengan kualitas air rendah (salinitas dan kadar besi tinggi),
juga tingginya serangan hama dan penyakit. Hasil PTT antara 4-5 t/ha terjadi
di 4 kabupaten, yaitu Rokan Hulu, Banjar, dan Pinrang dimana ketiganya
memiliki kendala kesuburan lahan termasuk keracunan besi, serta serangan
hama dan penyakit.
Sebagai gambaran penyebab beragamnya hasil tanaman padi
meskipun telah menerapkan PTT adalah beragamnya kendala biofisik,
terutama hama, kesuburan tanah, air, dan penyakit (Tabel 3). Tikus merupakan
hama populer di lahan sawah termasuk pada sistem PTT. Pengendalian tikus
perlu dilakukan serempak (sistem gropyokan) secara rutin dan pencegahannya
memakai sistem bubu linier. Pada Tabel 3 menunjukkan perlunya prioritas
pengendalian hama atau kendala tertentu, disosialisasikan ke kelompok tani
dan petugas lapang serta anjuran penerapan varietas toleran hama dan
penyakit tertentu. Daftar prioritas hama, penyakit, dan permasalahan lainnya

39
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dapat dijadikan bahan untuk menerapkan prioritas penelitian pada program


penelitian padi sawah.
Keragaan Finansial. Hasil analisis usahatani padi dari petani-petani
kooperator dan non-kooperator pada MT 2002/2003 dan MT 2003 disajikan
pada Tabel 4. Biaya usahatani yang menerapkan sistem PTT umumnya
meningkat (Tipe I), dan hanya 9 dari 26 kasus (kabupaten dan musim tanam)
yang berbeda menunjukkan adanya penurunan biaya usahatani atau
penghematan input dengan menerapkan sistem PTT (Tipe II). Pada 19 kasus
kabupaten dan musim tanam (Tipe I), ternyata sistem usaha tani secara PTT
menaikkan biaya produksi yang berkisar antara Rp 66.500 (Kabupaten Deli
Serdang MT 2002/03) hingga Rp 867.500 (Rokan Hulu MT 2003) (Tabel 4,
Gambar 3). Kenaikan biaya produksi pada umumnya disebabkan oleh: (1)
penggunaan bahan organik yang masih mahal dan belum biasa digunakan
petani, dan (2) tambahan penggunaan tenaga yang mahal pada beberapa
kegiatan budidaya seperti tanam jajar legowo dan panen. Namun demikian,
pada semua kabupaten maupun musim tanam, kenaikan biaya produksi
tersebut meningkatkan keuntungan petani dan hasil tanaman. Keuntungan
penerapan PTT berkisar antara Rp 309.000 (Ogan Komering Ulu MT 2002/02)
hingga Rp Rp 2.294.800 (Kabupaten Deli Serdang MT 2003). Besarnya
keragaman keuntungan tersebut erat hubungannya dengan kondisi infra
struktur dan lingkungan biofisik yang sudah baik. Kabupaten yang mengalami
penurunan modal usahatani akibat menerapkan sistem PTT karena lebih efisien
dalam penggunaan input antara lain Mandailing Natal selama satu musim
tanam, Padang Pariaman pada kedua musim tanam, Lampung Tengah pada
ketiga musim tanam, dan Bima pada kedua musim tanam (Tabel 4, Gambar 4).
Penghematan biaya produksi tersebut meskipun tidak besar berkisar antara Rp
17.800 (Kabupaten Mandailing Natal) dan Rp 263.700 (Kabupaten Bima), tetapi
juga dapat meningkatkan hasil dan keuntungan. Besar kenaikan keuntungan
petani kooperator PTT dibandingkan petani non-PTT adalah berkisar Rp
599.600 (Kabupaten Lombok Barat) dan Rp 5.307.000 (Kabupaten Mandailing
Natal).

Tabel 3. Penyebaran masalah utama berdasarkan prioritas pada padi sawah


di hamparan PTT pada MT 2002-2003.
Jenis Kendala Kabupaten
1. Tikus Pidie, Aceh Besar, Madina, Simalungun, Lampung Tengah, Ogan
(22 kabupaten) Komiring Ulu, Musi Rawas, Subang, Karawang, Cilacap, Sragen,
Bantul, Bojonegoro, Blitar, Banjar, Hulu Sungai Selatan,
Pontianak, Pinrang, Bone, Solok, Donggala
2. Penggerek batang Simalungun, Deli Serdang, Lampung Tengah, Ogan Komiring
(20 kabupaten) Ulu, Musi Rawas, Subang, Karawang, Cilacap, Sragen, Bantul,
Bojonegoro, Blitar, Lombok Barat, Bima, Pontianak, Pinrang,
Bone, Solok, Donggala
3. Keong Emas Aceh Besar, Madina, Simalungun, Lampung Tengah, Lampung
(13kabupate) Selatan, Ogan Komiring Ulu, Subang, Cilacap, Bima, Pinrang,
Asahan, Padang Pariaman
4. Walang Sangit Aceh Besar, Madina, Lampung Tengah, Ogan Komiring Ulu,
(13 kabupaten) Bantul, Lombok Barat, Bima, Banjar, Bone, Asahan, Padang
Pariaman, Solok, Donggala

40
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

5. Kesuburan lahan rendah Aceh Besar, Madina, Simalungun, Karawang, Bojonegoro, Bima,
(11 kabupaten) Hulu Sungai Selatan, Bengkulu, Tanjung Jabung, Bolaang
Mongondow,
6. Air sering kurang/ Lampung Tengah, Subang, Sragen, Lanrang, Tanjung Jabung,
kekeringan Sumba Barat
(7 kabupaten)
7. Tungro Pidie, Lombok Barat, Bima dan Lanrang
( 4 kabupaten)
8. Blas Pidie, Ogan Komiring Ulu, Padang Pariaman, Solok
(4 kabupaten)
9. Belalang Cilacap, Bantul, Lombok Barat, Bima
(4 kabupaten)
10. Kepinding tanah Aceh Besar, Simalungun, Bantul, Padang Pariaman
(4 kabupaten)
11. Ulat grayak Lombok Barat, Pontianak, Donggala
(3 kabupaten)
12. Wereng coklat Musi Rawas, Karawang
(2 kabupaten)
13. Sundep Bantul, Asahan
(2 kabupaten)
14. Hawar daun bakteri Ogan Komiring Ulu, Sragen
( 2 kabupaten)
15. Keracunan besi Simalungun, Rokan Hulu
( 2 kabupaten)

Tabel 4. Keragaan perubahan finansial sistem usahatani padi antara petani


kooperator dan non-kooperator pada MT 2002/03 dan MT 2003
Nilai kelaya
Perubahan
Perubahan Perubahan kan adopsi
Musim biaya
Kabupaten hasil padi keuntungan teknologi
Tanam usahatani
(t GKG/ha) (Rp 000/ha) (Rp/kg
(Rp 000/ha)
gabah)
Mandailing MT 2003 - 17,8 + 3,68 + 5.307,0
Deli Serdang MT02/03 + 66,5 + 1,31 + 1.636,5 51
MT 03 + 191,5 +1,95 + 2.294,8 98
Solok MT 02/03 + 378,3 + 1,04 + 1.035,9 364
MT 03 + 390,3 + 0,90 + 970,5 434
Asahan MT 02/03 + 283,2 + 2,04 + 2.164,8 139
Padang MT 02/03 - 57,0 + 0.58 + 724.0
Pariaman MT 03 - 57,5 + 0.49 + 743,5
Lampung MT 02/03 - 67,0 + 1,29 + 1.422,5
Tengah MT 03 - 33,1 + 1,02 + 1.261,6
MT 02 - 67,5 + 1,29 + 1.328,3
Lombok Barat MT 02/03 - 88,6 + 0,06 + 599,6
Pinrang MT 02/03 + 539,9 + 1,76 + 1.933,4 307
MT 03 + 399,8 + 1,73 + 1.797,2 231
Rokan Hulu MT 03 + 867,8 + 1,70 + 1.166,5 511
OKU MT 02/03 + 766,9 + 0,78 + 309,0 98

41
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

MT 03 + 55,0 + 1,27 + 1.065,0 43


Bone MT 02/03 + 456,2 + 1,10 + 1.360,0 415
Bima MT 02/03 - 121,4 + 1,09 + 1.321,3
MT 03 - 263,7 + 0,28 + 534,6
Bojonegoro MT 02/03 + 287,0 + 1,05 + 868,0 273
MT 03 + 278,0 + 1,01 + 934,0 275
Sambas MT 02/03 + 518,2 + 1,04 + 729,8 498
MT 03 + 239,2 + 0,40 + 640,8 508
Blitar MT 02/03 + 360,0 + 1,14 + 1.008,0 316
MT 03 + 340,0 + 1,35 + 1.212,5 252
Karawang + 1,0 + 1,43
Subang + 85,2 0,00
Majalengka - 57,8 + 0,25
Kuningan - 83,6 + 0,98

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN


Keberhasilan program peningkatan produksi padi nasional dari 20,183
juta ton pada tahun 1971 menjadi sekitar 50 juta ton pada tahun 2000, lebih
didominasi oleh keberhasilan peningkatan produktivitas dibanding peningkatan
luas areal panen (Napitupulu, 2000). Kontribusi peningkatan produksi melalui
peningkatan produktivitas mencapai 56,12%, sedangkan perluasan areal
panen sekitar 26,34 % dan sisanya adalah interaksi keduanya.
Berdasarkan hal-hal di atas, opsi yang paling memungkinkan bagi
peningkatan produksi padi di Indonesia, dalam waktu dekat ini, adalah
peningkatan produktivitas dengan perbaikan teknologi budidaya melalui PTT.
Tindakan usahatani secara terpadu yang bertujuan untuk memperoleh
pertumbuhan tanaman optimal, kepastian panen, mutu produk tinggi, dan
kelestarian lingkungan. PTT menggabungkan semua komponen usahatani
terpilih, serasi, dan saling komplementer; untuk mendapatkan hasil panen
optimal dan kelestarian lingkungan. Pada dasarnya PTT bukanlah suatu paket
teknologi, tetapi lebih merupakan strategi atau metodologi, bahkan filosofi bagi
peningkatan produksi tanaman yang bertujuan untuk mengelola tanaman,
tanah, air dan unsur hara secara terintegrasi; mendapatkan pertumbuhan
tanaman yang lebih baik, produksi hasil lebih tinggi dan berkelanjutan.
Dalam Konferensi Pertanian dan Lingkungan FAO tahun 1991 yang
diadakan dinegeri Belanda, ICM/PTT telah dibahas dan diterima sebagai suatu
pendekatan baru bagi keberlanjutan program produksi pangan. Lebih jauh, IRRI
telah mencoba mengintegrasikan penelitian-penelitian yang berorientasi disiplin
pada padi sawah dalam Integrated Rice Research Consortium (IRRC). Namun,
dalam pertemuan di Vietnam pada tahun 1999 disimpulkan bahwa pelaksanaan
penelitian di lapang masih sangat kental dengan orientasi disiplin. Oleh karena
itu, pendekatan penelitian tersebut harus dirancang ulang mengikuti

42
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pendekatan integrated crop managemant (ICM/PTT) (Kartaatmadja dan Fagi,


2000).
Tujuan pengembangan model PTT antara lain adalah mengintroduksi
dan mempercepat adopsi teknologi oleh petani. Proses adopsi dipengaruhi oleh
banyak faktor. Salah satu indikator yang berkaitan dengan adopsi teknologi
adalah harga adopsi teknologi atau besarnya perubahan biaya produksi akibat
penerapan suatu teknologi kemudian dibagi dengan besarnya perubahan
produktivitas tanaman. Harga adopsi teknologi di lokasi pengembangan model
PTT disajikan pada Tabel 4.
Kalau biaya produksi meningkat (+), makin tinggi harga adopsi makin
mahal biaya adopsi teknologi per kenaikan satu kilogram gabah dan sebaliknya.
Bila biaya produksi turun dengan mengadopsi teknologi (-), maka interpretasi
harga adopsi tidak sama lagi. Biaya adopsi teknologi berkisar antara Rp7/kg
gabah di Karawang Jawa Barat dan Rp511/kg gabah di Rokan Hulu Riau.
Semula model PTT hanya diimplementasikan pada lahan sawah irigasi
subur yang sudah mulai terdegradasi karena intensifnya pengelolaan (Gambar
4), sehingga komponen teknologi yang diterapkan dapat meningkatkan efisiensi
yang akhirnya pendapatan petani dan/atau hasil (Tipe II). Namun, dengan
makin meluasnya pengembangan model PTT maka lahan dengan tingkat
kesuburan sedang dan rendah juga dimanfaatkan. Di lokasi-lokasi seperti ini
komponen teknologi yang diterapkan lebih bersifat pemecahan masalah
setempat, bukan meningkatkan efisiensi. Akibatnya, produktivitas tanaman,
biaya produksi, dan keuntungan yang diperoleh petani serta nilai kelayakan
adopsi teknologi menjadi lebih bervariasi. Pada Gambar 5 disajikan perubahan
biaya produksi sebagai dampak dari penerapan model PTT, termasuk nilai
kenaikan hasil padi dan keuntungan bagi petani yang mengadopsi teknologi
PTT. Kondisi pengembangan model PTT di ilustrasikan ke dalam tiga kelompok
sebagaimana tertera pada Tabel 5.
2.5

2
Perubahan hasil (t/ha)

1.5

0.5

0
-400 -200 0 200 400 600 800 1000
Perubahan modal (Rp.000/ha)

Gambar 4. Hubungan antara penambahan biaya produksi dengan kenaikan


hasil gabah di beberapa daerah pengembangan model PTT.

43
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

2500

Perubahan keuntungan (Rp/ha)


2000

1500
II
I 1000
500
III
0
-400 -200 0 200 400 600 800 1000
Perubahan modal (Rp/ha)

Gambar 5. Hubungan antara penambahan biaya produksi dengan kenaikan


keuntungan di beberapa daerah pengembangan model PTT.

Tabel 5. Kelompok pengembangan model PTT


Kelompok Perubahan biaya produksi dan Strategi PTT selanjutnya
keuntungan
I Berhasil mengurangi biaya Meningkatkan keuntungan,
produksi dan meningkatkan termasuk menaikkan hasil tanpa
produktivitas merubah modal
II Berhasil meningkatkan Meningkatkan efisiensi biaya
keuntungan hingga dua kali produksi
peningkatan biaya produksi
III Belum berhasil mendapatkan Meningkatkan keuntungan dan
tambahan keuntungan yang efisiensi biaya produksi
layak atau dua kali peningkatan
biaya produksi

Beberapa alasan petani yang belum mau menerapkan komponen


teknologi PTT seperti:
 Untuk penggunaan bibit muda, petani sulit menyesuaikan umur bibit dengan
penyiapan lahan. Hal ini terjadi di daerah yang langka tenaga kerja
sehingga traktor menjadi andalan bagi petani untuk pengolahan tanah
sedangkan jumlahnya terbatas. Karena itu mereka harus antri untuk dapat
menggunakan traktor. Selain itu, hama keong mas yang lebih menyukai
bibit muda dan kondisi air yang sulit dikeringkan pada saat tanam
menyebabkan petani lebih memilih bibit yang lebih tinggi/lebih tua. Alasan
lain untuk tidak menggunakan bibit muda adalah karena belum terbiasa dan
khawatir rusaknya perakaran bibit pada saat pencabutan di pesemaian.

44
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

 Jumlah bibit <3 per lubang: (1) petani tidak mau kehilangan rumpun
tanaman akibat hama; (2) memerlukan tenaga kerja tambahan karena lebih
sulit dalam memisahkan bibit di saat akan ditanam.
 Pengelolaan pupuk: belum tersedia BWD dalam jumlah yang memadai dan
belum tersedia peta status P dan K tanah. Rendahnya takaran pupuk
(under dosage) di daerah yang bermasalah adalah karena petani kurang
modal dan/atau lahannya memiliki banyak permasalahan sehingga target
hasil memang rendah dengan jumlah penggunaan pupuk yang rendah.
 Pengaturan air irigasi secara berselang (intermittent) sulit dilaksanakan
karena harus dalam kondisi hamparan yang luas dan tata letak jaringan
irigasi tidak teratur, terutama saluran tersier dan kuarter. Bentuk dan luas
lahan sawah yang bervariasi antarpetani menambah sulitnya pengaturan air
dan pembuatan saluran irigasi.
Komponen teknologi yang mudah diadopsi petani umumnya adalah: (1)
benih sehat; (2) varietas unggul baru, (3) penanaman bibit muda (< 21 hari), (4)
jumlah bibit 2-3 tanaman per lubang, dan (5) pemberian pupuk N, P dan K
sesuai dengan cara PTT. Untuk komponen teknologi yang lain, petani
menerapkan secara selektif dan hati-hati.
Berdasarkan keragaan model PTT di berbagai lokasi dengan
karakteristik yang berbeda, maka dalam pengembangan lebih lanjut perlu
adanya perbaikan dan penyempurnaan dengan memperhatikan beberapa hal
berikut:
 Perlu dipertegas kembali konsep dan prosedur model PTT, yaitu sistem alih
teknologi secara partisipatif, spesifik lokasi, dinamis dan terintegrasi,
dimulai dari kegiatan PRA atau pengenalan karakteristik wilayah,
dilanjutkan dengan penyusunan komponen teknologi spesifik lokasi,
penerapan teknologi di lahan petani, dan penyediaan lahan (+ 1 ha) untuk
pengujian (superimpose trial), demonstrasi plot, pelatihan, dan sekolah
lapang guna memperbaiki atau melengkapi komponen teknologi di suatu
lokasi.
 Memilih komponen teknologi yang tepat, sesuai karakteristik lokasi,
termasuk permasalahan prioritas, sehingga efektivitas dan efisiensi model
PTT lebih nyata. Untuk itu "Sistem Pakar Padi" perlu segera dikembangkan
melalui validasi sistem, pelatihan, sosialisasi, dan pengembangan. Contoh
dari sistem ini disajikan dalam Lampiran 1.
 Meningkatkan kemampuan petani dalam penerapan komponen teknologi
melalui pelatihan, terutama untuk komponen teknologi yang mereka nilai
sulit, seperti tanam jajar Legowo 4:1 dan pembuatan kompos jerami dan
kompos sekam gabah sebagai alternatif pupuk kandang apabila belum
tersedia. Oleh karena itu kebutuhan pelatihan yang lebih spesifik di tiap
kabupaten perlu diinvetarisir.

45
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

 Rasionalisasi penggunaan input, misalnya penggunaan benih kurang


bermutu yang banyak, ditukar dengan benih bermutu meskipun lebih
sedikit. Penggunaan bahan organik yang terlalu mahal sebaiknya
ditangguhkan sampai tersedia sumber lain yang lebih murah. Untuk
sementara waktu, bahan organik dapat digantikan oleh pupuk anorganik
(urea, SP36 dan KCl).
 Pengembangan model PTT memerlukan koordinasi yang lebih tegas dan
terpadu, termasuk pembagian tugas, peran, dan tanggung jawab Dinas
Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), dan Puslit/Balit.
 Mengaktifkan sistem perbaikan komponen teknologi. Misalnya sosialisasi
penerapan Petak Omisi bagi penetapan kebutuhan pupuk P dan K yang
lebih sederhana dan mudah dilaksanakan petani sendiri atau dengan
bantuan penyuluh setempat.
 Mengaktifkan penelitian dasar untuk mendukung kontinuitas inovasi yang
lebih efektif meningkatkan hasil dan efisien dalam penggunaan input.
Misalnya, pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas unggul baru,
padi varietas unggul tipe baru, dan padi hibrida.
 Perbaikan sistem penyaluran sarana produksi atau Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM) yang tepat waktu agar semua kegiatan berjalan sesuai
rencana.
 Lokasi pengembangan model PTT digolongkan ke dalam tiga kelompok,
yaitu: (a) Kelompok 1, adopsi teknologi menyebabkan turunnya biaya
produksi dan meningkatkan produktivitas dan keuntungan; (b) Kelompok II,
adopsi teknologi menyebabkan kenaikan biaya produksi namun kenaikan
keuntungan lebih dua kali kenaikan biaya produksi; (c) Kelompok III, adopsi
teknologi terlalu tinggi, tidak sebanding dengan kenaikan keuntungan.
 Untuk pengembangan ke depan, Kelompok I diarahkan untuk meningkatkan
hasil dan keuntungan, bukan efisiensi atau mengurangi biaya produksi.
Kelompok II diarahkan untuk lebih efisien dalam penggunaan sarana
produksi. Kelompok III diarahkan untuk meningkatkan keuntungan, hasil,
dan mengurangi biaya produksi agar lebih efisien dan efektif.
UPAYA PEMASARAKATAN PTT
Produktivitas padi dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 3,49%
yaitu dari 50,15 kw/ha pada tahun 2010 menjadi 53,39 kw/ha pada tahun 2015.
Kemudian sasaran produksi padi pada tahun 2015 seperti telah dicanangkan
oleh Pemerintah adalah 75,36 juta ton GKG atau meningkat sekitar 6%
dibanding tahun sebelumnya.
Strategi peningkatan produktivitas padi akan ditempuh melalui
perbaikan budidaya dengan penerapan PTT yang disertai dengan pengawalan,
pendampingan dan koordinasi. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) sebagai piranti mensukseskan program Peningkatan
Produktivitas Padi Nasional (P2BN) dirancang menyerupai model SL-PHT

46
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

semasa program Pengendalian Hama Terpadu mulai dikembangkan. Oleh


sebab itu SL-PTT dimaksudkan sebagai suatu tempat pendidikan non formal
bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan,
mengambil keputusan dan menerapkan teknologi. Sehingga teknologi yang
digunakan dapat sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat, sinergis dan
berwawasan lingkungan serta efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan.
Peningkatan produktivitas padi melalui SL-PTT akan difokuskan pada
kegiatan peningkatan produktivitas padi dikawasan areal tanam seluas 1,585
juta ha. Kegiatan tersebut dibagi menjadi: (1) Kegiatan peningkatan
produktivitas SL-PTT padi non hibrida dilakukan pada kawasan luas tanam 1,5
juta ha dengan melibatkan 60.000 kelompoktani/ unit SL-PTT padi di 32 propinsi
(313 kabupaten/kota). Dengan kegiatan SL-PTT padi non hibrida diharapkan
dapat meningkatkan roduktivitas 1 ton GKG/ha, sehingga mampu menyumbang
tambahan produksi sebesar 1,5 juta ton GKG, dan (2) Kegiatan peningkatan
produktivitas SL-PTT padi hibrida dilakukan pada kawasan luas tanam 85,7 ribu
ha dengan melibatkan 6.500 kelompoktani/ unit SL-PTT padi hibrida di 8 provisi
(43 kabupaten/kota). Dengan kegiatan SL-PTT padi hibrida diperkirakan dapat
meningkatkan produktivitas 3 ton GKG/ha, sehingga mampu menyumbang
tambahan produksi sebesar 258 ribu ton GKG.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa selain permasalahan dalam
replikasi PTT yang telah disebut di atas, kendala antar sektoral dalam
peningkatan produksi semakin kompleks karena berbagai perubahan dan
perkembangan lingkungan strategis di luar sektor pertanian juga dapat
berpengaruh. Semakin berkurangnya ketersediaan lahan produksi akibat alih
fungsi lahan, berkurangnya ketersediaan air irigasi karena sumber-sumber air
yang semakin berkurang dan persaingan penggunaan air diluar sektor
pertanian serta laju pertumbuhan penduduk juga dapat mempengaruhi upaya
penaikan produksi tanaman.
Diperkirakan bagian tersulit dalam usaha memperkenalkan konsep PTT
kepada berbagai fihak adalah mencari teknik diseminasi terbaik agar berbagai
pihak terkait cepat meyakini manfaat usaha intensifikasi padi menggunakan
teknologi PTT. Oleh sebab itu berikut disampaikan konsep organisasi
pelaksanaan, pembagian tugas dan tanggung jawab berbagai pihak terkait
guna kelancaran diseminasi PTT dilapangan (Tabel 6).

47
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 6. Organisasi pelaksanaan, pembagian tugas dan tanggung jawab


berbagai pihak terkait dalam diseminasi PTT
Kelompok Koperasi/KUAT
Mitra-Swasta Bank Pemerintah
tani/petani /SKE
 Menyediakan  KUAT  Bersedia  Mengucurkan  Memfasilit
lahan berbadan menjadi kredit lewat asi BLM
 Tenaga kerja hukum AVALIST AVALIST dalam
 Membentuk  Menyalurkan  Mengevaluasi bentuk
 Menjadi
pengurus kredit kelayakan kredit atau
anggota
usulan KUAT subsidi
KUAT  Menyiapkan  Pemasaran
bunga
 Mengusulkan proposal yang hasil  Bekerjasama
kredit
susunan layak usaha  Mengatur dengan
AVALIST  Menyalurk
pengurus  Mengajukan angsuran
dalam an BLM
KUAT kredit ke bank kredit
menentukan lewat bank
 Menerapkan  Menyusun  Membantu
angsuran  Melakukan
teknologi agenda KUAT dalam
kredit pembinaa
anjuran kegiatan menyusun
 Melakukan n (Ditjen di
dengan tepat dengan proposal
pengendalian pusat dan
dan benar anggota  Melakukan
adan Dinas
 Menerapkan pengendalian maupun
pengawasan
manajemen dan BPTP di
korporasi pengawasan  Melakukan
daerah
pembinaan
 Membuat  Membuat  Menjadi
manajemen
kesepakatan kesepakatan faslitator
dengan Mitra dengan
KUAT

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S., A.K. Makarim, dan I. Las. 2003. Petunjuk teknis kajian
kebutuhan pupuk NPK pada padi sawah melalui petak omisi di wilayah
pengembangan PTT. Balai Penelitian Tanaman Padi. 27 hal.
Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A.S. Karama, dan I. Manwan. 1987. Peta
agroekologi utama tanaman pangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S. Abdulrachman.
2002. Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu
padi sawah irigasi. Departemen Pertanian. 37 hal.
Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S. Abdulrachman.
2003. Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu
padi sawah irigasi. Departemen Pertanian. 30 hal.
Makarim K., Djuber P., Zulkifli Z., dan Irsal l. 2005. Analisis dan Sintensis
Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah.
Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 18 hal.
Zaini, Z., I. Las, Suwarno, B. Haryanto, Suntoro, dan E.E. Ananto. 2003.
Pedoman umum kegiatan percontohan peningkatan produktivitas padi
terpadu 2003. Departemen Pertanian. 25 hal.

48
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA PADI SAWAH

Bambang Nuryanto

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi


Jln Raya 9 Sukamandi, Subang, Jawa Barat 41256
bnuryanto@gmail.com

ABSTRAK
The integrated pest management (IPM) diterjemahkan “Pengelolaan”
hama terpadu (PHT), ini merupakan suatu konsep pengelolaan ekosistem
pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sejarah
pengembangan konsep, bahwa integrated pest management (IPM) atau
pengelolaan hama terpadu merupakan pengembangan konsep dari integrated
pest control (IPC) yang artinya pengendalian hama terpadu. Oleh karena itu,
di Indonesia PHT umum dikenal sebagai istilah pengendalian hama terpadu.
PHT merupakan salah satu komponen pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
yang sangat menonjol peranannya dibanding komponen lainnya, terutama saat
kondisi sudah ada pertanaman. Namun demikian, masih dirasakan bahwa
penerapan PHT di lapangan kurang sempurna, sehingga hama dan penyakit
masih punya peluang berkembang pesat. Banyak kelompok petani,
masyarakat, dan pihak industri yang belum memahami alasan pentingnya
menerapkan dan mengembangkan PHT. Organisme pengganggu tumbuhan
(OPT) umumnya bertahan hidup dalam bentuk aktif maupun dorman di
lingkungan sawah. Sejak sebelum ada tanaman budidaya sumber hama
maupun penyakit selalu tersedia karena OPT dapat bertahan pada inang
alternatif di lapangan. Peranan sanitasi lingkungan sangat penting untuk
mengurangi atau meniadakan sumber inokulum OPT sebelum mengawali
persemaian/tanam. Pemilihan varietas padi tahan yang disesuaikan dengan
kondisi lingkungan endemis OPT sangat mengurangi resiko timbulnya
kerusakan. Pengawalan ketat tanaman dari gangguan OPT harus dimulai dari
pertanaman awal, dimana populasi hama masih rendah. Observasi pertanaman
dan monitoring populasi dengan menggunakan lampu perangkap sangat
membantu untuk menentukan status OPT dan perlunya tindakan pengendalian
sepanjang pertumbuhan tanaman. Di pematang sekitar pertanaman padi dapat
ditanami bunga-bungaan, wijen, atau palawija untuk menyediakan pakan
(nektar) bagi parasitoid atau tempat berlindung musuh alami hama seperti
predator. Rekayasa ekologi ini untuk meningkatkan kinerja musuh alami dalam
menjaga keseimbangan alam. Bila semua taktik pengendalian sudah
diterapkan, OPT masih berkembang di atas ambang kerusakan perlu
dikendalikan dengan menggunakan pestisida. Pengendalian OPT dengan cara
mengelola komponen epidemiknya yang diterapkan secara terpadu mempunyai
peluang keberhasilan tinggi dengan tetap mempertahankan keseimbangan
biologi.

Kata kunci: PHT, Pestisida, PTT, Padi Sawah.

49
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENDAHULUAN

PHT adalah suatu teknik pengendalian hama dan penyakit dengan


manipulasi agroekosistem secara menyeluruh dengan menggunakan berbagai
macam taktik yang dilakukan secara terpadu dan bijaksana. PHT tidak
mengandalkan kepada satu cara saja tetapi mengkombinasikan berbagai cara
sehingga populasi serangga hama dapat ditekan sampai tidak merugikan
secara ekonomi. Pengendalian cara ini diharapkan seminimal mungkin
mengganggu musuh alami bahkan dipacu untuk meningkatkan kinerjanya
dalam menjaga keseimbangan alami.
Suatu mahluk hidup dikategorikan sebagai hama baik secara permanen
maupun temporal karena telah mampu menimbulkan kerusakan yang
menyebabkan kerugian. Beberapa organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
dapat menyerang tanaman secara bersamaan atau datang silih berganti.
Pergeseran status OPT menjadi hama pada rantai kehidupan sangat terkait
oleh kegiatan manusia dalam menerapkan praktik budidaya dalam suatu
agroekosistem. Manusia menganggap OPT sebagai hama, karena ada
kesamaan kebutuhan antara manusia dan OPT tersebut dalam hal makanan
(Baehaki, 2012). Hama dan penyakit berkembang dan merusak tanaman padi
di Indonesia pada Musim Tanam 2014 seluas 205.131 ha, angka ini lebih lebih
tinggi dibandingkan dengan musim tanam 2013 yaitu 191.186 ha. Secara
berurutan dari hama yang menyerang lebih luas yaitu penggerek batang padi (
87.702 ha), tikus (47.302 ha), wereng coklat (43.743 ha), ulat grayak (2,206
ha), sedangkan penyakit adalah hawar daun bakteri /HDB (15.362 ha), blas
(5,441 ha), dan tungro (3,376 ha) (Nuzulullia dan Gabriel, 2014). Manusia
berusaha merakit teknologi pengendalian hama maupun penyakit untuk
mempertahankan kesehatan tanaman. Pengelolaan hama terus diupayakan
agar berada pada tingkat populasi yang tidak merugikan (Baehaki, 2012).
Pengelolaan hama dan penyakit selanjutnya berkembang menjadi
sistem pengendalian berdasarkan ekologi yang bertujuan untuk mengurangi
dampak negatif dari penggunaan pestisida. Sampai saat ini, penggunaan
pestisida terus bertambah di lapangan, baik mengenai jenis, dosis maupun
frekuensi pemberiannya. Penggunaan pestisida secara berlebihan tanpa
disadari dapat menyebabkan terbunuhnya musuh alami berbagai serangga
hama, akibatnya memicu terjadinya biological explosion dan terganggunya
keseimbangan ekosistem. Munculnya ledakan hama dengan frekuaensi yang
tinggi menandakan bahwa ekosistem sudah tidak stabil, akibatnya budidaya
pertanian tanaman pangan sudah tidak efisien. Upaya menyetabilkan
agroekosistem dapat dilakukan dengan pemulihan lingkungan, salah satunya
dengan rekayasa ekologi (ecological enginering). Keanekaragaman hayati
dapat ditingkatkan dengan penambahan tanaman yang bermanfaat selain
tanaman pokok di lingkungan agroekosistem (Heong, 2011).
Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali kepada para pelaku
PHT. Perbaikan ekologi menjadi modal dasar menuju keseimbangan dan
kesetabilan lingkungan, agar komponen-komponen dalam ekosistem dapat

50
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

berperan secara aktif dalam menjaga keseimbangan lingkungan secara alami.


Praktik penerapan PHT, dalam pelaksanaan di lapangan agar memanfaatkan
sumber daya alam yang ada untuk mengendalikan hama. Penggunaan
pestisida ditempatkan menjadi alternatif terakhir dan aplikasinya harus secara
bijak untuk tujuan pelestarian lingkungan. Pada akhirnya diharapkan
lingkungan mampu mendukung pertanian secara optimum, budidaya dapat
dilaksanakan secara efisien dan mendapatkan keuntungan karena tanaman
mempunyai peluang berproduksi maksimal.
KONSEP PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)
PHT adalah suatu konsep atau pandangan, suatu pendekatan, suatu
program dan suatu strategi, bahkan merupakan subuah filosofi. Praktik
pengendalian hama untuk menekan populasi dan memperkecil kerusakan
tanaman dengan cara mengelola beberapa komponen epidemik yang
penerapannya dilakukan secara terpadu (Waage, 1996). Konsep PHT muncul
karena kekhawatiran masyarakat terhadap dampak negatif penggunaan
pestisida bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup disekitarnya.
Penggunaan pestisida oleh petani pada pertanian tanaman padi terus
meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, kerusakan tanaman karena
serangan hama atau penyakit tidak kunjung berhenti bahkan di beberapa sentra
penghasil padi, serangga hama cenderung meningkat baik jenis maupun
jumlahnya. Beberapa hama atau penyakit berkembang pesat dan
menyebabkan tanaman padi puso. Kerusakan tanaman dan kerugian usaha
tani mamicu para pakar pertanian mengembangkan konsep PHT ekologi
melalui SLPHT di lapangan, metode ini merupakan pendekatan yang tepat
untuk memandirikan petani padi dalam menerapkan konsep PHT (Untung,
2006).
Implementasi teknologi PHT harus sampai di lahan petani karena lebih
mudah dipahami, dapat dilihat, dirasakan, diterima dan ditiru oleh petani.
Dengan cara ini petani dapat melaksanakan pengendalian hama secara
mandiri dan benar. Filosofinya petani melihat jadi ingat, melakukan jadi paham,
menemukan sendiri jadi tahu dan menguasai. Petani lebih membutuhkan
implementasi teknologi secara riil di lapangan bukan hanya sekedar konsep
(Baehaki, 2012). Dikemukakan oleh Smith (1983), bahwa pengendalian hama
terpadu adalah pendekatan pengelolaan secara ekologi yang multidisiplin
terhadap populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam taktik
pengendalian secara kompatibel dalam satu kesatuan koordinasi sistem
pengelolaan. PHT yang diterapkan dengan mempertimbangkan konsep
keseimbangan lingkungan melalui rekayasa ekologi untuk merangsang
pertumbuhan parasitoid dan predator atau musuh alami lainnya, oleh sebagian
pakar PHT disebut sebagai PHT bioindustri.
Sekolah Lapang PHT (SLPHT), mengajarkan petani untuk menerapkan
konsep PHT bioindustri yang ramah lingkungan secara langsung di lapangan
karena PHT konvensional yang masih cenderung mengandalkan pestisida
dalam pengendalian hama tanaman dirasa sudah kurang relevan lagi. PHT

51
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

bioindustri merupakan sistem pengelolaan hama yang berdasarkan


pemahaman ekologi. PHT bioindustri penerapannya dengan memanfaatkan
pendekatan hubungan antara serangga dengan lingkungan pertanian agar
populasi serangga hama serendah mungkin (Ravi, 2013). Keberadaan suatu
spesies serangga pada tempat tertentu sangat tergantung oleh faktor
lingkungan. Disamping ketersediaan makanan, hubungan suatu spesies
organisme dengan organisme lainnya juga sangat menentukan eksistensinya.
Prinsip ekologi adalah mengatur hubungan atau interaksi antara serangga
dengan organisme lain dan juga manusia. Perkembangan teknologi yang pesat
mendorong manusia untuk semakin jauh memodifikasi lingkungan dan interaksi
antar organisme dalam lingkup keseimbangan alam pertanian.
Penanaman bunga-bungaan, wijen dan palawija di lingkungan
persawahan berguna untuk penyediaan pakan (madu) bagi predator dan
parasitoid serta sebagai tempat berlindung bagi serangga-serangga netral.
Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja predator dan parasitoid
dalam mengendalikan lonjakan populasi serangga hama. Rekayasa ekologi
berperan penting dalam meningkatkan efektivitas pengendalian serangga
hama dan mengurangi frekuensi penggunaan insektisida (Heong, 2011).
PHT bioindustri bersifat proaktif, segala upaya dilakukan untuk
memanipulasi habitat agar tidak menguntungkan bagi hama tetapi
menguntungkan bagi musuh alami sehingga mampu meningkatkan kinerja
musuh alami hama. Upaya tersebut dapat dimulai sebelum ada pertanaman
misalnya pemilihan varietas, tanam serempak, pengaturan pola tanam dan
integrasi dengan palawija atau tanaman lainnya. Pada kondisi lingkungan
seperti tersebut diharapkan musuh alami mampu menjaga populasi hama agar
selalu dibawah ambang ekonomi sehingga tidak perlu dilakukan penyemprotan
insektisida. Penyedian nektar dengan penanaman tanaman berbunga seperti
tanaman wijen (Sesamum indicum) dan bunga widelia (Sphagneticola trilobata)
di pematang dapat meningkatkan peran/kinerja parasitoid. Manipulasi habitat
dengan penanaman palawija di pematang dapat menjadi tempat shelter bagi
serangga-serangga predator sehingga sangat bermanfaat bagi keberadaan
dan perkembangan serangga berguna dalam mengontrol populasi serangga
hama (Zhu dkk., 2013).
PERMASALAHAN DI LAPANGAN
Pelaksanaan program intensifikasi pangan melalui program nasional
BIMAS, telah memasukkan pestisida sebagai paket teknologi budidaya yang
wajib digunakan oleh petani pada saat itu. Bagi petani yang tidak menggunakan
pestisida, oleh pemerintah dianggap tidak layak menerima bantuan BIMAS,
akibatnya petani dirangsang harus menggunakan pestisida. Bahkan
pemerintah juga memberi subsidi pengadaan pestisida mencapai 80 persen,
sehingga harga pestisida di pasaran menjadi sangat murah. Pada waktu itu
orientasi pemerintah hanya tertumpu pada peningkatan hasil sebanyak-
banyaknya tanpa mempertimbangkan dampak negatif pada lingkungan.

52
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sampai saat ini sebagian besar petani masih beranggapan bahwa


pestisida atau insektisida merupakan “dewa penyelamat” yang sangat vital di
bidang pertanian. Pestisida sebagai sarana yang sangat diperlukan terutama
untuk melindungi tanaman dan hasil tanaman dari kerusakan yang ditimbulkan
akibat serangan jasad pengganggu. Petani meyakini dengan bantuan pestisida
dapat terhindar dari kerugian akibat serangan hama, penyakit maupun gulma.
Keyakinan tersebut, memicu pengunaan pestisida dari waktu ke waktu
cenderung terus meningkat baik mengenai jenis, dosis, dan waktu aplikasinya
(Girsang, 2009).
DAMPAK NEGATIF PENGGUNAAN PESTISIDA
Penggunaan pestisida bertujuan untuk mengurangi populasi suatu
hama, kenyataannya di lapangan malah dapat meningkatkan populasi hama
yang sama atau hama yang berbeda, sehingga penggunaan pestisida untuk
menyelamatkan tanaman dari kerusakan tidak berhasil. Para praktisi lapangan
dalam menggunakan pestisida sering tidak sesuai dengan anjuran dan kurang
memperhitungkan dampak negatifnya. Ada beberapa faktor yang
mengakibatkan pestisida menjadi tidak efektif dan gagal menekan kerusakan
tanaman akibat dari serangan jasad pengganggu tanaman.
Munculnya ketahanan (resistensi) hama terhadap pestisida.
Resistensi hama sebagai bentuk evolusi untuk menghadapi suatu tekanan
(strees), karena dihadapkan pada lingkungan yang kurang menguntungkan.
Timbulnya reaksi resistensi hama terhadap pestisida yang diberikan secara
terus menerus, merupakan fenomena alam dan dalam ekologi ini umum terjadi.
Suatu spesies hama mempertahankan kelangsungan hidupnya harus mampu
membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap pestisida yang digunakan
petani (Solihin dkk., 2015). Hampir setiap individu memiliki potensi untuk
menjadi tahan terhadap pestisida. Namun demikian, waktu dan tingkat
ketahanannya bervariasi, dipengaruhi oleh jenis hama, jenis pestisida yang
diberikan, intensitas pemberian pestisida dan faktor-faktor lingkungan lainnya.
Sifat resistensi dikendalikan oleh faktor genetis, maka fenomena resistensi
dapat permanent. Bila sesuatu jenis serangga telah menunjukkan sifat
ketahanan dalam waktu yang cukup lama, serangga tersebut tidak akan pernah
berubah kembali lagi menjadi serangga yang peka terhadap pestisida. Hama
tanaman padi yang dilaporkan mengalami peningkatan ketahanan terhadap
pestisida seperti wereng coklat (Nilaparvata lugens), ulat grayak Spodoptera
litura, walang sangit (Leptocorisa acuta) dan ulat penggerek batang (Chilo
suppressalis) (Girsang, 2009). Semakin banyak hama yang tahan terhadap
pestisida, mendorong petani semakin sering melakukan penyemprotan dan
sekaligus melipat gandakan dosis. Penggunaan pestisida yang berlebihan
berarti meningkatkan pencemaran lingkungan.
Resurgensi hama. Resurgensi adalah peristiwa peningkatan populasi
hama sehingga lebih tinggi daripada tingkat populasi sebelumnya. Populasi
hama terkadang dapat jauh melampaui ambang ekonomi saat setelah
dilakukan tindakan pengendalian dengan pestisida tertentu (BPOPT, 2010).

53
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sekelompok individu hama dapat terhindar dari pestisida karena secara genetik
dapat memproduksi enzim penetral racun pestisida (detoksifikasi). Individu
yang seperti ini mampu bertahan hidup dalam tekanan berat lingkungan. Bila
kondisi lingkungan lebih cocok, hama tersebut akan berkembang pesat menjadi
sekelompok individu baru yang resisten terhadap pestisida. Oleh karena itu,
pada generasi berikutnya anggota populasi yang berkembang akan terdiri dari
lebih banyak individu yang tahan terhadap pestisida. Sehingga muncul populasi
hama baru yang benar-benar tahan (Solihin dkk., 2015).
Hama Sasaran. Pestisida sangat erat kaitanya dengan berbagai
kegiatan pertanian di Indonesia. Petani akan segera bereaksi apabila melihat
tanamannya terkena gangguan hama, tentu akan segera mencari pestisida.
Revolusi pestisida terjadi setelah ditemukan berbagai pestisida sintetik,
akibatnya semakin banyak jenis pestisida yang digunakan petani di lapangan.
Meskipun pestisida kimia terbukti memiliki banyak keuntungan ekonomi bagi
petani, tetapi resiko yang berupa dampak negatif bagi lingkungan dan
kesehatan semakin dirasakan oleh masyarakat. Di samping itu, beberapa
insektisida untuk mengendalikan serangga tertentu dapat berpengaruh memicu
terjadinya resistensi atau resurgensi terhadap hama lainnya (Baehaki, 2013).
Tiap kelompok insektisida dengan sifat-sifatnya secara tersendiri mempunyai
hama sasaran yang berbeda, sehingga tidak efektif digunakan untuk
pengendalian organisme lain dari golongan insektisida tertentu. Ketidaktahuan
atau kurangnya informasi terhadap sifat pestisida, sering menyebabkan petani
menggunakan pestisida tidak tepat sasaran. Kondisi seperti ini juga dapat
mempercepat proses terjadinya resistensi dan resurgensi hama.
Peranan Petugas Lapang. Petani sebagai pelaksana utama
pengendalian hama perlu menyadari dan mengerti tentang cara pendekatan
PHT, termasuk bagaimana menerapkannya di lapangan. Pemahaman lama
secara konvensional tentang “pemberantasan” hama, perlu diganti dengan
pengertian “pengendalian” atau “pengelolaan” hama. Petani perlu diberikan
kepercayaan dan kemampuan untuk dapat mengamati sendiri dan melaporkan
keadaan hama pada pertanamannya. Kinerja sektor pertanian sangat
ditentukan oleh kualitas kinerja petani.
Sistem PHT mengharuskan adanya suatu organisasi yang efisien dan
efektif, yang dapat bekerja secara cepat dan tepat dalam menanggapi setiap
perubahan yang terjadi pada agroekosistem. Organisasi tersebut tersusun oleh
komponen monitoring, pengambil keputusan, program tindakan, dan
penyuluhan pada petani. Organisasi PHT merupakan suatu organisasi yang
mampu menyelesaikan permasalahan hama secara mandiri, pada daerah atau
unit kerja yang menjadi tanggungjawabnya. Pemerintah telah menetapkan
PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan
tanaman. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia ialah
intrusksi Presiden nomor 3 Tahun 1986 dan Undang-undang No. 12 Tahun
1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dengan berdasarkan pada program
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, diharapkan
program PHT dapat dikembangkan dan diterapkan oleh petani (Untung, 2004).

54
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Aspek sosial, termasuk di dalamnya adalah persepsi, pengetahuan dan


sikap petani sampai pembuat kebijakan juga berperan dalam penerapan
teknologi pengendalian di lapangan (Savary dkk., 2012). Peran Penyuluh
Pertanian (PPL), KCD, Pengamat organisme pengganggu tanaman (POPT),
Dinas Pertanian, Kepala Desa, Camat, Bupati, Kepala Daerah, Dinas
Pengairan dan swasta sangat penting dalam mendampingi petani atau
kelompok tani untuk melaksanakan tanam serempak. Koordinasi untuk
menentukan waktu tanam yang tepat, serta keputusan mengambil tindakan
yang terjadi setiap musim tanam.
KETERKAITAN PHT DENGAN PTT
PHT merupakan salah satu komponen pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) yang sangat penting peranannya dibanding komponen lainnya.
Modifikasi lingkungan untuk tujuan pengendalian hama dan penyakit sangat
terkait dengan pengelolaan komponen-komponen budidaya yang diterapkan.
PTT sebagai pendekatan dasar praktik pertanian menuju pertanian
berkelanjutan. Pemilihan komponen-komponen budidaya dalam PTT yang
disesuaikan dengan kondisi lingkungan termasuk keberadaan OPTnya, akan
berperan sebagai komponen-komopen epidemi hama maupun penyakit.
Komponen-komponen epidemi yang dikelola dengan baik dan benar
merupakan dasar dari pengendalian OPT yang lebih bijak.
Sebagai contoh pengendalian wereng coklat dapat disesuaikan dengan
komponen pengendali yang ada mulai dari bercocok tanam, sanitasi
lingkungan, pemilihan varietas, pergiliran varietas, keserempakan waktu tanam,
pemupukan, cara tanam, manipulasi musuh alami, dan pemilihan insektisida.
Insektisida digunakan bila hasil pengamatan di pertanaman diketahui populasi
sudah melewati ambang ekonomi, bila semua usaha untuk menurunkan
populasi hama mulai dari tanam secara serempak varietas tahan dan
penggunaan lampu perangkap untuk menentukan waktu tanam telah dilakukan,
akan tetapi populasi hama masih tinggi maka segera dilakukan pengendalian.
Agens hayati seperti Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana dapat
digunakan untuk menekan perkembangan wereng coklat pada saat populasi
masih rendah dan dapat dilakukan mulai dari persemaian. Wereng coklat
dengan populasi di atas ambang ekonomi dapat dikendalikan dengan
insektisida kimia (Kartohardjono, 2011; Iswanto dkk., 2014). Penggunaan
Insektisida harus tepat dosis/konsentrasi. Hal ini untuk menjaga agar insektisida
tetap efektif dan tidak memicu terjadi resistensi atau resurjensi.
Penelitian di bidang proteksi tanaman yang berupa teknologi
pengendalian hama dan penyakit, mempunyai peranan strategis dalam
mendukung penyebarluasan varietas-varietas unggul baru. Varietas unggul
baru (VUB) yang dilepas harus diperkuat dengan teknologi budidaya secara
menyeluruh termasuk teknik-teknik penyelamatan dari gangguan hama
maupun penyakit, sehingga varietas tersebut di lapangan dapat menampilkan
produksinya secara optimum. Upaya untuk meredam gangguan OPT tersebut
dapat dengan berbagai metode yang penerapannya dilakukan secara selektif

55
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Teknologi pengendalian hama dan


penyakit yang didasarkan pada pemahaman ekologi dan perilaku masing-
masing hama maupun patogennya, mempunyai peluang keberhasilan tinggi.
Munculnya ekplosi hama dan epidemi suatu penyakit sangat menurunkan
produksi padi baik secara kualitatif maupun kuantitatif sehingga sasaran
produksi dari varietas baru yang ditanam tidak tercapai. Oleh karena itu PHT
merupakan teknologi strategis sebagai terobosan untuk mengatasi kekurangan
atau kehilangan produksi padi (Baehaki, 2012).
1. Tanam Serempak
Tanam serempak merupakan kegiatan awal budidaya padi yang dilakukan
bersama-sama dalam hamparan luas dan dalam kurun waktu tertentu. Tanam
padi secara serempak pada areal sawah dengan golongan air yang sama. Pada
daerah yang pengairannya tersedia sepanjang tahun, perlu adanya penegasan
pengaturan jadwal tanam agar dapat melaksanakan tanam serempak. Tanam
serempak dalam skala hamparan yang luas bertujuan untuk mengatur irama
perkembangan OPT setempat, sedangkan pada pertanaman yang tidak
serempak, tanaman sakit, menjadi sumber inokulum bagi pertanaman lain
karena adanya berbagai stadia tumbuh tanaman berbeda yang memicu
perbedaan irama perkembangan OPT dalam satu hamparan. Stadia tumbuh
tanaman yang berbeda dapat mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda
terhadap suatu hama maupun penyakit. Pada pertanaman yang serempak,
serangga hama imigran yang datang akan tersebar merata pada suatu
hamparan, sehingga populasi hama tiap rumpun menjadi lebih rendah dan
dapat dikendalikan oleh musuh alami baik predator maupun parasitoid. Tanam
serempak akan memudahkan dalam pengendalian OPT (Baehaki, 2014).
2. Pemilihan Varietas Tahan
Varietas tahan merupakan salah satu teknologi pengendalian OPT yang
praktis, murah, ramah lingkungan, dan mudah dilakukan oleh petani. Varietas
tahan selalu menjadi pilihan utama dalam meredam ledakan wereng coklat di
Indonesia. Namun demikian, penggunaan varietas tahan sering tidak bertahan
lama karena wereng coklat dapat cepat beradaptasi membentuk biotipe baru
(Chen dkk., 2011). Varietas IR64 yang mempunyai gen Bph1 dan 7 quantitative
trait loci (QTLs) mampu bertahan selama lebih dari 20 tahun, namun akhirnya
wereng coklat dilaporkan hopperburn pada varietas tersebut (Myint dkk., 2012).
Hasil pengujian di laboratorium diketahui bahwa varietas tahan IR74 dan
Ciherang mampu menurunkan nimfa wereng coklat generasi pertama berturut-
turut sebesar 52,0 dan 19,1% dibanding populasi nimfa wereng coklat pada
varietas rentan (Muncul). Dilaporkan juga bahwa penanaman padi varietas
Inpari 13 seluas 804 ha di kabupaten Klaten, berhasil panen dengan baik
setelah 5 musim menanam varietas lain tidak panen terkena serangan wereng
coklat. Produksi rata-rata padi Inpari 13 yang ditanam secara serentak berkisar
8-10 ton/ha (Baehaki dkk., 2011).

56
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

3. Penggunaan Benih Bermutu dan Berlabel


Benih dikatakan sehat apabila tidak mengalami penyimpangan baik
mengenai bentuk, ukuran maupun warna. Benih yang berubah bentuk dan
warnanya biasanya telah mengalami gangguan fisiologi yang disebabkan oleh
faktor lingkungan atau mikroorganisme. Banyak patogen yang
mengkontaminasi dan terbawa atau bahkan menginfeksi benih, sehingga
menyebabkan perubahan warna dan bentuk benih. Benih bersertifikat telah
mengalami berbagai seleksi dan proses seperti yang dipersayaratkan pada
standar mutu benih. Oleh karena itu, benih bersertifikat harus diyakini lebih baik
dan sehat. Menggunakan benih bersertifikat berarti tidak mengintroduksikan
mikroorganisme patogen dari daerah lain (Mew dkk., 2004).
4. Sanitasi Lingkungan.
Serangga hama pada tanaman padi, dapat bertahan hidup di lingkungan
sawah dalam kondisi telur, diapause, atau berkepompong, sedangkan patogen
penyebab penyakit dapat bertahan dalam bentuk aktif maupun dorman.
Organisme pengganggu tanaman tersebut banyak berlindung pada seresah
tanaman, bongkahan tanah, gulma, atau pada ratun sisa tanaman padi. OPT
ini akan segera berkembang kalau menemukan lingkungan yang cocok dan
mendapatkan tanaman inang yang baru (misal padi). Berdasarkan hal itu, siklus
hidup OPT tersebut dapat diputus dengan cara melakukan sanitasi lingkungan.
Sanitasi sangat mengurangi inokulum awal penyakit atau sumber infestasi
serangga hama. Implikasi di lapangan persemaian padi sebaiknya dilakukan
pada saat lingkungan sudah dibersihkan sehingga bibit padi tumbuh sehat tidak
terancam gangguan hama atau terinfeksi oleh patogen di persemaian.
Selanjutnya pengawalan bibit melalui monitoring dilakukan dengan ketat, agar
gangguan yang muncul segera dapat diatasi. Pengawalan tanaman relatif lebih
mudah saat stadia bibit dibanding saat stadia pertanaman, karena berada pada
skala hamparan yang masih lebih sempit.
5. Pengamatan Populasi Serangga hama

Pemantauan populasi serangga hama menggunakan lampu perangkap


untuk mengetahui waktu tanam yang tepat yaitu ketika populasi hama rendah.
Wereng (makroptera) termasuk serangga yang tertarik cahaya sehingga
wereng imigran yang pertama kali datang ke pertanaman dapat diketahui dari
hasil tangkapan lampu perangkap. Hama yang tertangkap lampu perangkap
dapat dijadikan indikator datangnya hama di pesemaian atau di pertanaman.
Pada saat sudah ada pertanaman (stadia vegetatif dan generatif), bila terdapat
wereng makroptera tertangkap di lampu perangkap perlu dilajutkan
pengamatan populasi di pertanaman, jika populasi di atas ambang ekonomi
segera dilakukan pengendalian. Bila wereng tertangkap lampu lebih dari 50
ekor/malam segera keringkan pertanaman padi dan lakukan penyemprotan
insektisida dengan bahan aktif yang masih efektif, misalnya dinotefuran atau
pymetrozine.

57
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

6. Rekayasa Ekologi
Pengelolaan agroekologi dengan menerapkan sistem integrasi
pertanaman palawija dalam padi (SIPALAPA) membuat keanekaragaman
agroekosistem meningkat sehingga musuh alami semakin eksis dan mampu
menjaga populasi serangga hama sampai pada tingkat yang tidak merugikan
secara ekonomi (Baehaki dan Djuniadi, 2011). Sebaliknya, pada pertanaman
monokultur hubungan tanaman dengan hama dan musuh alami menjadi
monoton. Yao dkk. (2012), melaporkan bahwa keberadaan wereng coklat lebih
rendah pada pertanaman tumpangsari padi dengan jagung dibanding tumpang
sari padi dengan kedelai dan pertanaman padi monokultur. Penanaman
palawija di pematang, selain menjadi tempat berlindung atau shelter bagi hama
dan musuh alami juga meningkatkan pendapatan hasil palawija (kedelai) yang
ditanam di pematang sebesar 377,3 kg/ha (Baehaki dkk., 2007).
7. Pemupukan dan Bahan Organik
Faktor lain yang berpengaruh terhadap perkembangan OPT adalah
kandungan nitrogen. Nitorgen pada pupuk urea sangat dibutuhkan oleh
tanaman padi untuk pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karena itu, urea
yang diberikan pada pertanaman sebaiknya menggunakan Bagan Warna Daun
(BWD) agar dosisnya tidak berlebihan. Tanaman padi yang dipupuk N
berlebihan akan menampilkan jaringan yang muda dan lunak sehingga banyak
disukai oleh serangga hama dan mudah diinfeksi oleh patogen penyebab
penyakit. Pertumbuhan tanaman juga menghasilkan daun yang lebat sehingga
lingkungan di bawah kanopi menjadi gelap, hangat, dan lembab. Kondisi seperti
ini sangat cocok untuk perkembangan OPT yang berlindung di bawah kanopi
tanaman padi (Nuryanto dkk., 2014).
Pemberian bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah, karena
perombakan bahan organik oleh aktivitas mikroorganisme dalam kurun waktu
tertentu akan membentuk tanah yang subur, sehingga membantu ketersediaan
unsur mikro dan makro yang dibutuhkan tanaman. Penambahan bahan organik
membantu menjaga kesehatan tanamn melalui mekanisme sistem kekebalan
(Kremer, 2007). Tanah yang mengandung bahan organik dengan densitas
tinggi mempunyai kapas tukar kation (KTK) yang tinggi. KTK membantu
memelihara suplai nutrisi secara konstan (Wolf & Snyder, 2003).
8. Pestisida
PHT Konvensional masih cenderung mengandalkan pestisida untuk
pengendalian OPT. Kondisi saat ini PHT konvensional sudah tidak sesuai lagi
untuk diterapkan, karena umumnya konsumen memperhitungkan kualitas dan
kesehatan produk pertanian. Penggunaan pestisida diketahui mempunyai efek
negatif terutama terhadap kesehatan lingkungan dan adanya residu yang
terdapat pada produk pertanian. Oleh karena itu, paradigma baru PHT
Bioindustri yang lebih ramah lingkungan lebih tepat diterapkan saat ini. PHT
Bioindustri bersifat proaktif, segala upaya dilakukan untuk memanipulasi habitat

58
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

agar tidak menguntungkan bagi hama tetapi menguntungkan bagi musuh alami
sehingga mampu menekan perkembangan hama.
PENUTUP
Masalah kerusakan tanaman akibat serangan hama telah menjadi
bagian dari budidaya pertanian sejak manusia mengusahakan pertanian.
Dengan kemampuannya, manusia selalu berupaya mengubah ekosistem
pertanian agar dapat menghasilkan produk pertanian yang sesuai dengan
kebutuhan. Manusia mengeksploitasi lingkungan untuk usaha pertanian sering
menemukan kendala. Salah satu kendalanya adalah gangguan dari berbagai
binatang yang menjadi pesaing dalam memanfaatkan tanaman yang
dibudidayakan petani. Semakin intensif pertanian dilakukan semakin gencar
serangan dari binatang-binatang atau organisme pengganggu. Organisme
penggangu dikategorikan menjadi hama bukan karena alam tetapi karena
faktor-faktor kehidupan yang sangat berkaitan dengan kepentingan manusia itu
sendiri. Untuk mengamankan tanaman budidaya manusia berusaha
mengendalikan hama tersebut dengan berbagai cara, termasuk dengan
penyemprotan pestisida. Perkembangan penggunaan pestisida semakin pesat
di lapangan baik mengenai jenis, dosis maupun frekuensi aplikasinya. Berbagai
pengaruh negatif penggunaan pestisida mulai dirasakan hampir di semua
sistem kehidupan masyarakat.
Pestisida yang semula dirancang dan dikembangkan untuk
mendatangkan maanfaat dan keuntungan bagi manusia tetapi malah dapat
mendatangkan kesengsaraan bagi manusia itu sendiri. Keadaan ini tidak
diinginkan oleh semua pihak yang berkepentingan seperti pemerintah,
masyarakat umum termasuk petani, dan industri pestisida. Oleh karena itu,
semua pihak yang berkentingan telah sepakat untuk mengembangkan dan
menerapkan konsep, prinsip dan sistem pengelolaan hama terpadu. Praktiknya
di lapangan untuk mengelola tanaman budidaya diupayakan dengan
memaksimalkan potensi sumber daya lingkungan yang ada dan meminimalkan
penggunaan pestisida.
KESIMPULAN
Semakin banyak komponen pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang
penerapannya dipilih dan disesuaikan dengan kondisi keberadaan dan status
OPT setempat berarti telah melaksanakan PHT dengan menerapkan
komponen-komponennya secara kompatibel, sehingga peluang keberhasilan
dalam mengendaliakan OPT semakin besar. Pada kondisi pemahaman PHT
yang mulai luntur, di lapangan sangat dibutuhkan kampanye PHT dan
penelitian-penelitian yang mendukung PHT bioindustri/biointensif. Pencegahan
pencemaran lingkungan oleh pestisida, dapat dilakukan dengan adanya
regulasi pengendalian dengan pestisida dan rekomendasi pestisida yang
benar.

59
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SARAN
Diperlukan pengawasan secara ketat terhadap distribusi pestisida yang
tidak dianjurkan. Memperkuat sistem preventif dengan melibatkan petani.
Peningkatan tenaga lapang POPT dan peningkatan pembekalan.
DAFTAR PUSTAKA

Baehaki, S.E. dan D, Djunaedi. 2011. Sistem integrasi palawija-padi sebagai


teknologi pengendalian hama terpadu. Pros. Sem. Nas. Inovasi
teknologi Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Bogor, 14
Agustus 2009. Puslitbangtan. Badan Litbang TP. Buku 2. Pp.188-202.
Baehaki, S.E, D. Djunaedi dan A. Kartohardjono. 2007. Sistem integrasi
tanaman padi dan palawija sebagai alternatif pengendalian hama
secara terpadu. Risalah Seminar 2006. Puslitbang Tanaman Pangan.
Badan Litbang, Kementerian Pertanian. 290p.
Chen, Y.H,, C.C. Bernal, J. Tan, F.G. Horgan and F.A. Fitzgerald. 2011.
Planthopper ‘adaptation’ to resistance rice varieties: Changes in amino
acid composition over time. Journal of Insect Physiology 57:1375-1384.
Girsang, Warlinson. 2009. Dampak negatif penggunaan pestisida. https://id-
id.facebook. Com/ permalink.php?story_fbid/ upload/2009/02/26
Heong, K.L. 2011. Ecological engineering- a strategy to restore biodiversity and
ecosystem services for pest management in rice production.
http://ricehoppers.net/wp-content/uploads/2011/12/SP-IPM-Technical-
Innovation-Brief-15.pdf
Iswanto, E.H., Baehaki S.E., A. Kartohardjono dan D. Munawar. 2014. Efikasi
formulasi Metarhizium anisopliae (Metarian 10 WP) terhadap wereng
coklat di pertanaman.. Dalam S. Abdulrachman, GR Pratiwi, A
Ruskandar, B Nuryanto, N Usyati, Widyantoro, A Guswara, P Sasmita
dan MJ Mejaya (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Padi Adaptif Perubahan Iklim Global Mendukung Surplus 10 Juta Ton
Beras, Subang 4-5 Juli 2013. Badan Litbang, Kementerian Pertanian.
pp.949-959
Kartohardjono, A. 2011. Penggunaan musuh alami sebagai komponen
pengendalian hama padi berbasis ekologi. Pengembangan Inovasi
Pertanian 4(1): 29-46.
Kremer, J.R. 2007. Deleterious rhizobacteria. In: Gnanamanickam (ed), Plant
associated bacteria. pp.335-357.
Mew, T.W., B. Cottyn, R. Pomplona, H. Barrios, L. Xiangmin, C. Zhiyi, L. Fan,
N. Nilpanit, P. Arunyanarat, P.V. Kim, & P.V. Du. 2004. Applying rice
seed-associated antagonistic bacteria to manage rice sheath blight in
developingcountries. Plant Dis. 88:557-564.
Myint, K.K.M., D. Fujita, M. Matsumura, T. Sonoda, A. Yoshimura, and H. Yasui.
2012. Mapping and pyramiding of two major genes for resistance to the
brown planthopper (Nilaparvata lugens Stal) in rice cultivar ADR52.
Theor. Appl. Genet. 124 : 495-504.
Nuryanto, B., A. Priyatmojo, B. Hadisutrisno. 2014. Pengaruh tinggi tempat dan
tipe tanaman terhadap keparahan penyakit hawar pelepah. Jurnal
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 33(1) : 1-8.

60
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Nuzulullia, U., D. R. Gabriel. 2014. Prakiraan serangan OPT utama padi MT


2014. dalam Media Komunikasi Masyarakat Perlindungan. Peramalan
OPT. 13(1): 4-9p.
Ravi, Rajesh. 2013. Pest management priciples and practices. Anmol
Publication Pvt, Ltd. 248p.
Savary, S, F. Horgan, L. Willocquet and K.L. Heong. 2012. A review of principles
for sustainable pest management in rice. Crop Protection (32): 54-63.
Smith, R.F. 1983. Multidisiplinary conceptual statement: Integrated Pest
Control: An Introduction Statement from the FAO/UNEP panel on
Integrated Pest Control Consotium for Internal Crop Protection. Barkeley
USA. 30pp.
Untung, K. 2004. Dampak pengendalian hama terpadu terhadap pendaftaran
dan penggunaan pestisida di Indonesia. Jurnal Perlindungan Tanaman
Indonesia. 10(1): 1-7
Untung, K. 2006. Pengantar pengelolaan hama terpadu (edisi kedua). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta. 348pp.
Waage. 1996. Integrated pest management and biotecnology: An analysis of
their potensial for integration. In Persley, G.J. (ed.). Biotecnology and
Integrated Pest Management. CAB International. Cambridge.
Wolf, B., G.H. Snyder. 2003. Sustainable soils: The place of organic matter in
sustaining soils and their productivity. Food Products Press. New York.
London. Oxford. 352p.
Yao, F.L, M.S. You, L. Vasseur, G. Yang and Y.K. Zheng. 2012. Polycurtural
manipulation for better regulation of planthopper populations in irrigated
rice-based ecosystem. Crop Protection 34:104-111.
Zhu, P., G.M. Gurr, Z. Lu, K.L. Heong, G. Chen, X. Zheng, H. Xu and Y. Yang.
2013. Laboratory screening supports the selection of the Sesame
(Sesamum indicum) to enhance Annagrus spp. Parasitoids
(Hymenoptera: Mymaridae) of rice planthoppers. Biological Control 64:
83-89

61
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI INDONESIA


Muhammad Abdillah

BRIA (Better Rice Initiative Asia)


Terrace Garden Blok B-9 No.10 Komplek Citra Garden
Jl. Djamin Ginting, Padang Bulan 20155, Medan
muhammad.abdillah@partners.basf.com

ABSTRAK

Padi sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Indonesia


sehari-hari, ketergantungan masyarakat Indonesia akan padi/beras sangatlah
tinggi sehingga di Indonesia, “Rice is Life” (Beras adalah kehidupan). Dengan
total jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa, kebutuhan Indonesia akan beras
sangatlah tinggi, berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan beras telah
dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Upaya-upaya tersebut dapat dibagi
menjadi 2 kategori yaitu Off-farm dan on-farm. Upaya on-farm yang dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas berupa program
pengendalian hama penyakit, program pemupukan berimbang, pengenalan
varietas-varietas baru yang lebih unggul, system tanam yang sesuai dengan
kondisi lahan spesifik, dll. Namun, berbagai program tersebut bukan tanpa
kendala, adopsi petani yang masih sangat rendah, waktu pengenalan, serta
metode pengenalan/penyampaian masih menjadi issue kurang maksimalnya
berbagai program tersebut dalam kontribusi meningkatkan produksi padi
Indonesia. Better Rice Initiative Asia (BRIA) hadir di Indonesia dengan tujuan
untuk “Meningkatkan Kesejahteraan Petani Dengan Mempromosikan Kegiatan
Pertanian Berkelanjutan dan Akses Pasar Yang Lebih Baik”. BRIA merupakan
program yang diinisiasi oleh kementerian Keuangan dan Pembangunan
Jerman dan dilaksanakan oleh salah satu agency mereka yaitu GIZ bekerja
sama dengan PT. BASF Indonesia. Keberadaan BRIA Indonesia mendapat
dukungan penuh dari Kementerian Pertanian Indonesia melalui Dirjen
Tanaman Pangan. Dalam implementasinya di lapangan, BRIA Indonesia
mendapatkan banyak support dari lembaga-lembaga penelitian dan
pengembangan pertanian di bawah Kementerian Pertanian Indonesia seperti
BPTP Sumatera Utara, BB Padi, Dinas Pertanian di wilayah kerja BRIA, dll.

Kata kunci : Padi, BRIA, Pertanian,

LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya


hidup dari kegiatan usaha pertanian. Kegiatan usaha pertanian sendiri sudah
lama menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia, kondisi alam yang sangat
mendukung seperti tanah yang subur, iklim yang memungkinkan untuk
melakukan pertanaman sepanjang tahun dan lain-lain menjadikan pertanian
menjadi hal yang mudah untuk diupayakan di Indonesia. Berbagai komoditi
dapat diusahakan di Indonesia seperti padi, sayuran, berbagai macam tanaman
perkebunan serta tanaman obat-obatan dan rempah. Dari banyaknya komoditi
yang diusahakan, padi menjadi komoditi yang paling penting.

62
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pentingnya komoditi padi di Indonesia disebabkan karena padi


merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, dengan jumlah penduduk
mencapai 250 juta jiwa, konsumsi beras menjadi sangat tinggi di Indonesia.
Pemenuhan kebutuhan beras di Indonesia selalu menjadi tantangan utama
pemerintah. Melalui Kementrian Pertanian, pemerintah membuat berbagai
program untuk memastikan ketersediaan beras nasional. Beberapa program
tersebut diantaranya adalah program peningkatan produksi dengan
mengenalkan berbagai system tanam seperti Jajar legowo, Hazton, Salibu dll.
Selain itu, pemerintah juga mengadakan program untuk menjamin ketersediaan
pupuk dengan harga yang dapat dijangkau oleh petani (Pupuk bersubsidi).
Perbaikan dan pembangunan system irigasi juga terus dilakukan oleh
pemerintah. Selain isu peningkatan produksi, isu kesejahteraan petani juga
menjadi hal yang mendapatkan perhatian lebih. Berdasarkan data BPS melalui
sensus pertanian 2013 menyebutkan bahwa tingkat pendapatan masyarakat
tani sebesar 2,2 juta rupiah per bulan atau 550,000 ribu per kapita (asumsi satu
keluarga berjumlah 4 orang). Rendahnya nilai pendapatan tersebut
mengakibatkan penurunan jumlah rumah tangga pertanian sebesar 58,400
rumah tangga (0.41%). Melihat fenomena ini, sangat penting untuk
meningkatkan pendapatan petani agar kegiatan usahatani dapat diminati
kembali.

Better Rice Initiative Asia (BRIA) hadir di Indonesia untuk ikut serta
dalam mensukseskan program pemerintah mengenai ketahanan pangan.
Dengan misi untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan
mempromosikan system pertanian berkelanjutan dan akses pasar yang lebih
baik, BRIA Indonesia berkomitmen untuk menyelenggarakan program
peningkatan kesejahteraan secara komprehensif dan berkelanjutan (Gambar
1).

Gambar 1. Program peningkatan kesejahteraan petani (BRIA Indonesia)

BRIA Indonesia melaksanakan kegiatannya di dua provinsi yaitu


Sumatera Utara dan Jawa Timur. Di wilayah Sumatera Utara BRIA berada di
Kabupaten Langkat, Serdang Bedagai dan Deli Serdang. Di Jawa Timur BRIA
memfokuskan kegiatannya di wilayah Jember. Dengan dukungan 22 orang
petugas dilapangan, BRIA Indonesia melaksanakan 56 sekolah lapang
permusim.

63
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Untuk merealisasikan tujuannya, BRIA Indonesia merancang program


untuk mengedukasi petani dengan berbagai kegiatan yang berkelanjutan.
Program-program tersebut adalah :

SEKOLAH LAPANG BRIA

Kegiatan ini bertujuan sebagai wadah untuk transfer tekhnologi kepada


petani. Dirancang untuk membimbing petani dalam setiap fase perkembangan
tanaman, Sekolah Lapang BRIA melakukan 10 kali pertemuan dalam satu
musim tanam dimana setiap pertemuan disesuaikan dengan perkembangan
tanaman (Gambar 2).

Gambar 2. Sekolah Lapang BRIA Indonesia

Dimulai dengan materi persiapan lahan dan diakhiri dengan materi


panen, pasca panen dan analisis usahatani. Penerapan tekhnologi sederhana
namun efektif adalah prinsip dasar kegiatan ini, dengan menerapkan tekhnologi
yang sederhana namun efektif diharapkan petani tertarik untuk menerapkan
dalam kegiatan pertanian mereka. Dari kegiatan ini diharapkan petani dapat
memahami sistem pertanian terbaik dalam rangka mendukung peningkatan
produksi dan keberlanjutan usahatani yang mereka usahakan.
Didalam sekolah lapang ini, BRIA mempromosikan 4 teknologi utama yaitu :

TEKNOLOGI BENIH

Benih merupakan salah satu komponen pertanian yang sangat penting.


menggunakan benih varietas unggul dengan tingkat daya berkecambah yang
baik dapat meningkatkan produksi pertanian sekaligus menghemat biaya
produksi. Hal ini karena beberapa varietas sengaja dirancang selain untuk
meningkatkan produksi, juga untuk mengatasi masalah tertentu dalam proses

64
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

produksi pertanian seperti ketahanan terhadap kekeringan, rendaman air,


hama wereng dll (Gambar 3).

Kesehatan
benih

Kesehatan
tanaman

Panen/ hasil

Gambar 3. Pentingnya Benih yang baik mendukung hasil yang diharapkan

Hanya saja, permasalahan benih dilapangan masih sering kali ditemui,


masalah-masalah tersebut meliputi :
 Benih yang tersedia berkualitas buruk
 Petani menggunakan varietas local yang pada umumnya berdaya hasil
rendah dan berumur panjang, tetapi mungkin memiliki sifat-sifat yang
diinginkan petani
 Petani menggunakan benih dari hasil panen sendiri untuk musim tanam
berikutnya.
 Petani menggunakan benih dari gabah yang disimpan untuk konsumsi
rumah tangga mereka.
 Petani mengalami kesulitan mengakses benih yang sesuai dengan
keinginan petani.

BRIA Indonesia melalui sekolah lapang menginisisasi petani untuk


melakukan seleksi benih sehingga petani dapat membedakan benih baik dan
rusak (Gambar 4).

Gambar 4. Kegiatan Seleksi Benih Ditingkat Petani

65
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Harapannya jumlah benih rusak yang ikut tersemai berkurang. Benih


rusak dapat mengakibatkan berbagai masalah dikarenakan benih rusak
menjadi inang untuk beberapa penyakit yang biasa dikenal dengan seed borne
disease. Selain itu, seleksi benih juga dapat menghindarkan dari biji gulma yang
terbawa benih sehingga menghemat waktu, biaya dan tenaga.

Grafik diatas menunjukkan kebiasaan petani dalam melakukan seleksi


benih diwilayah sekolah lapang BRIA dilaksanakan, dapat dilihat bahwa
sebagian besar petani tidak melakukan seleksi benih saat melakukan kegiatan
usahatani. Beberapa petani yang melakukan seleksi benih hanya
menggunakan air sebagai bahan perendam sehingga yang terseleksi hanya
benih kosong saja, benih rusak sebagian biasanya masih belum terseleksi.
Sekolah lapang BRIA memperkenalkan kepada petani untuk menggunakan air
garam dalam melakukan seleksi benih (Gambar 5).

Gambar 5. Perlakuan Benih

Tujuan dari penggunaan air garam ini adalah untuk meningkatkan


massa jenis air sehingga seluruh banih rusak (kosong, rusak sebagian) dapat
terseleksi dengan baik. Air garam juga dapat berfungsi sebagai anti septic
untuk membunuh beberapa mikroorganisme pengganggu yang menempel
pada benih.

Selain menginisiasi petani untuk melakukan seleksi benih, sekolah


lapang juga menginisiasi petani untuk melakukan seed treatment. Tujuannya
untuk menghindari serangan hama penyakit serta mempercepat stress
recovery saat transplanting. Beberapa serangan hama pada benih yang dapat
diatasi dengan seed treatment ini adalah semut dan orong-orong. Dari grafik
diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar petani belum melaksanakan seed
treatment. Diharapkan dengan melakukan seed treatment, petani dapat
menghemat biaya pemeliharaan tanaman karena pertumbuhan tanaman yang
lebih sehat dan sudah terhindar dari beberapa jenis organisme pengganggu
tanaman.

66
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO

Ada beberapa sistem tanam padi yang dikembangkan di Indonesia,


Hazton, Salibu, Tabela, Jajar Legowo dll. Setiap sistem tanam memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing, seperti Hazton yang memiliki
hasil yang tinggi namun juga membutuhkan benih dalam jumlah yang sangat
banyak, 400% lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tanam yang biasa
diterapkan petani. Sistem tanam Salibu sangat hemat dalam biaya produksi
terutama pada penggunaan benih dan biaya olah lahan, namun, sistem tanam
ini sangat rentan akan ledakan hama penyakit dan harus diusahakan bersama-
sama dalam satu hamparan tanam sehingga diperlukan koordinasi yang sangat
baik antar pemilik lahan. Selain itu, beberapa sistem tanam yang telah
disebutkan diatas direkomendasikan untuk wilayah tertentu saja (specific
location).
Sekolah lapang BRIA mempromosikan sistem tanam Jajar legowo untuk
digunakan dalam kegiatan usaha tani. Alasan pemilihan system tanam ini
adalah karena sistem tanam ini dapat diterapkan diseluruh wilayah Indonesia
(tidak specific location). Selain itu, sistem tanam ini juga memiliki beberapa
keunggulan lain yaitu,
 Menambah jumlah tanaman padi ;
 Meningkatkan produksi tanaman padi;
 Memperbaiki kualitas gabah dengan semakin banyaknya tanaman
pinggir;
 Mengurangi serangan penyakit;
 Mengurangi tingkat serangan hama;
 Mempermudah dalam perawatan baik itu pemupukan maupun
penyemprotan
 Pestisida;
 Menghemat pupuk karena yang dipupuk hanya bagian dalam baris
tanaman.
(Saerodji, 2013)

Sistem tanam ini bukanlah system baru, beberapa petani telah


mengetahui sebelumnya. Namun, berdasarkan pengamatan dilapangan,
banyak terjadi kesalahan dalam pengaplikasiannya. Salah satu yang paling
sering ditemui adalah tidak adanya tanaman sisipan sehingga jumlah populasi
tanaman cenderung sama atau bahkan lebih sedikit dibandingkan sistem tanam
tegel/ubinan. Selain itu, tipe tanam jajar legowo juga banyak dimodifikasi
sehingga bisa ditemukan tipe 6:1 bahkan 8:1 dilapangan.

67
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Beberapa hama dan penyakit yang dapat dikendalikan dengan sistem


tanam jajar legowo adalah :

Hama tikus adalah hama yang paling suka menyerang tanaman padi di
bahagian tengah dan jarang sekali menyerang bagian pematang. Menurut hasil
pengamatan, metode tanam legowo dapat memberi nuansa terang di bahagian
Pengendalian terhadap tikus
bawah atau di permukaan lahan sawah yang ditanami padi. Akibat adanya sinar
matahari yang masuk secara merata ke permukaan lahan yang menyebabkan
hama tikus tidak suka menyerang tanaman terutama pada siang hari.
Serangan penyakit kresek akan meningkat pada kelembaban tinggi dan sel
bakteri akan bebas tersebar dengan melarutnya embun-embun pada permukaan
daun. Perkembangan semakin cepat juga dipengaruhi oleh pemberian pupuk
nitrogen yang berlebihan dan jarak tanam yang rapat. Metode tanam legowo
Penyakit hawar daun atau
dapat menekan perkembangan penyakit kresek . Hal ini disebabkan akibat
sering disebut kresek
pengaruh masuknya sinar matahari secara merata ke dalam tanaman sehingga
suhu akan meningkat dan dapat memberi penurunan tingkat kelembaban. Pada
situasi kelembaban rendah proses perkembangan penyakit kresek dapat
ditekan.
Penyakit blas sering terjadi pada musim penghujan. Kelembapan tinggi
mendorong pertumbuhan dan perkembangan penyakit blas. Penanaman padi
yang rapat, pemupukan pupuk nitrogen yang berlebihan mendorong
Penyakit blas perkembangan penyakit blas. Penanaman sistim legowo menyebabkan
peredaran udara dan sinar matahari akan lebih baik dan merata sehingga
secara alami pengaturan kelembaban dapat menurun sehingga bisa menekan
perkerkembangan penyakit blas.
Source : Module Sekolah Lapang BRIA, 2015

Perbandingan populasi antara sistem tanam jajar legowo dan sistem


tegel cukup signifikan (Tabel 1) .

Tabel 1. Populasi Tanaman antara Sistem tanam Jajar Legowo dan Tegel

Populasi
Sistem Tanam
Tanaman/ha
Tegel 20 x 20 cm 250.000
Tegel 25 x 25 cm 160.000
Legowo 2:1 (10 x 20 x 40) cm 333.333
Legowo 2:1 (12,5 x 25 x 50) cm 213.000
Legowo 4:1 (10 x 20 x 40) cm 400.000
Legowo 4:1 (12,5 x 25 x 50) cm 256.000
Source : Module Sekolah LApang BRIA, 2015

Diharapkan dengan petani menerapkan system tanam jajar legowo,


produksi pertanian meningkat dan biaya produksi menurun karena terhindar
dari beberapa hama dan penyakit.
Selain penerapan system tanam jajar legowo, sekolah lapang BRIA juga
mengininsiasi petani untuk melakukan transplanting pada bibit muda (dibwah

68
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

21 hari). Hal ini karena memindahkan benih muda memiliki beberapa


keunggulan yaitu
 Tanaman akan lebih cepat beradaptasi
 Tanaman padi akan menghasilkan anakan lebih banyak
 Memperdalam perakaran
 Lebih efektif dalam memanfaatkan unsur hara dalam tanah.

PEMUPUKAN BERIMBANG

Selain benih, pupuk juga menjadi salah satu faktor kunci dari
keberhasilan kegiatan usahatani. Pemberian pupuk sesuai dengan kebutuhan
tanaman (pemupukan berimbang) terbukti tidak hanya mampu meningkatkan
hasil panen namun juga berdampak pada kesehatan tanaman karena
pemupukan berlebih juga dipercaya meningkatkan serangan penyakit tertentu.
Pengetahuan petani Indonesia akan pemupukan berimbang masih tergolong
rendah, salah satu penyebabnya adalah pengujian status hara yang masih
sangat jarang untuk dilakukan. Petani cenderung untuk mengikuti kebiasaan
petani-petani terdahulu atau kebiasaan yang sudah sering mereka lakukan.
Pemberian pupuk tanpa mengetahui status hara didalam tanah ini seringkali
mengakibatkan kerugian pada kegaiatan usahatani. Kekurangan pupuk dapat
mengakibatkan nutrient deficiency sehingga menurunkan hasil panen dan
kelebihan pupuk berakibat keracunan hara dan mendukung perkembangan
beberapa penyakit tertentu.
Mahalnya biaya untuk melakukan uji tanah di laboratorium, lamanya
waktu yang dibutuhkan, serta ketidaktersediaan laboratorium tempat
melakukan pengujian membuat petani tidak pernah melakukan uji status hara
tanah. Sekolah lapang BRIA memperkenalkan sebuah metode sederhana
untuk melakukan uji hara pada tanah yaitu Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS)
(Gambar. 6).

Gambar 6. KIT PUTS

Metode ini menggunakan beberapa cairan kimia tertentu untuk


mengukur status hara yang terkandung didalam tanah, unsur hara yang diukur
adalah N, P dan K serta pH tanah.

69
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PUTS ini merupakan tekhnologi sederhana yang dikembangkan oleh


Balai Penelitian Tanah Kementrian Pertanian untuk memudahkan pengujian
unsur hara tanah sawah. Dari hasil pengujian pada demoplot sekolah lapang
BRIA diperoleh hasil bahwa kebanyakan petani mengaplikasikan pupuk secara
berlebihan (Tabel 2).

Tabel 2. Rekomendasi Pemupukan berdasarkan PUTS

Pupuk Kebiasaan Petani Rekomendasi PUTS


Urea 200 150
SP36 100 50
KCL - 50
ZA 100 -
Phonska 100 -
Sumber : Hasil Pengujian demoplot BRIA

Prinsip yang digunakan untuk menyusun PUTS ini adalah dapat


mengukur hara N, P, dan K tanah yang terdapat dalam bentuk tersedia untuk
tanaman secara semi-kuantitatif dengan metode kolorimetri (pewarnaan).
Bentuk hara tersedia menggambarkan suatu indeks ketersediaan hara yang
terdapat dalam larutan tanah dan dapat dengan mudah diambil/diserap oleh
tanaman. Bentuk hara inilah yang diukur di laboratorium maupun dengan
PUTS.

Kadar hara dalam tanah ditentukan dengan cara mengekstrak hara


tersedia dari tanah dan kemudian mengukur kadar hara yang terekstrak
tersebut. Oleh karena itu, pereaksi atau bahan kimia yang digunakan dalam alat
uji tanah pada umumnya terdiri atas larutan pengekstrak dan pembangkit
warna. Bentuk hara yang diekstrak dengan PUTS untuk nitrogen adalah N-
NO3- dan N-NH4+, untuk fosfat bentuk orthophosphate yaitu PO43-, HPO42-,
dan H2PO4- dan untuk kalium adalah K+. (Balittanah, 2005)

BRIA Indonesia berusaha agar tekhnologi ini dapat terus digunakan oleh
petani karena penggunaannya yang mudah dan hasil yang dapat langsung
dilihat. Kendala yang dihadapi adalah pengadaan alat yang masih tergolong
mahal jika diadakan oleh perseorangan sehingga BRIA berusaha untuk
mendorong agar petani mengadakan PUTS ini sebagai kelompok.

PENGENDALIAN HAMA TERPADU


Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) telah lama dikenal oleh
masyarakat pertanian Indonesia. Salah satu topik yang banyak mendapatkan
perhatian adalah penggunaan pestisida. Masalah utama yang sering dijumpai
dilapangan adalah penggunaan pestisida secara berlebihan, tekhnik dan waktu
aplikasi yang salah serta jenis pestisida yang tidak tepat. Seringkali ditemui
dilapangan petani menyemprotkan fungisida untuk mengatasi serangan hama
maupun sebaliknya. Ketidaktepatan dalam aplikasi pestisida ini dapat
menimbulkan kerugian yang sangat besar, selain meningkatnya biaya untuk

70
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pengadaan pestisida, resiko resistensi juga dapat menimbulkan kerugian yang


lebih besar lagi.
Selain masalah pengaplikasian, hal lain yang tidak kalah pentingnya
adalah factor keamanan petani dalam penanganan (penggunaan, pembelian,
penyimpanan) pestisida. Potensi paparan pestisida yang dapat mengakibatkan
keracunan sangat besar jika pestisida ditangani secara tidak bertanggung
jawab.
BRIA Indonesia melalui sekolah lapang Indonesia, memberikan
pemahaman kepada petani untuk lebih memperhatikan penggunaan pestisida.
Prinsipnya adalah
 Tepat Waktu
 Tepat Sasaran
 Tepat Jenis
 Tepat Dosis
 Tepat Cara (Module Sekolah Lapang BRIA, 2015)

Prinsip-prinsip diatas sangat penting untuk diterapkan karena dapat


memastikan keefektifitasan dari penggunaan pestisida. Selain itu, penerapan
prinsip-prinsip diatas juga dapat menghindarkan dari resistensi hama penyakit
dan resiko peningkatan biaya produksi.
Data dilapangan menunjukkan bahwa 90% petani tidak membaca label
pada kemasan pestisida sehingga tidak mengerti mengenai keguanaan, cara
pemakaian dan petunjuk keselamatan dari pestisida yang digunakan. Melalui
sekolah lapang BRIA, petani juga diajak untuk menggunakan pelindung diri saat
mengaplikasikan pestisida. Penggunaan alat proteksi diri (PPE) dalam
pengaplikasian pestisida sangatlah penting karena PPE dapat melindungi
petani dari kontak langsung dengan pestisida, maupun pestisida terhirup atau
tertelan. Pengadaan PPE dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat
sederhana dengan menggunakan bahan-bahan sisa seperti karung pupuk dll.
Dengan pemberian materi mengenai PPE ini, diharapkan petani dapat
memahami pentingnya penggunaan PPE sebagai pelindung diri dari paparan
pestisida.
PROGRAM PENANGKAR BENIH

Peningkatan produksi padi Indonesia adalah salah satu program utama


pemerintah saat ini, salah satu faktor yang mempengaruhi meningkatnya
produksi adalah penggunaan benih berkualitas. Data kementrian pertanian
menyebutkan bahwa tahun 2015, kebutuhan benih berkualitas baru bisa
terpenuhi sebesar 48% saja. Ketersediaan benih berkualitas dan kesadaran
petani untuk menggunakan benih berkualitas ini adalah 2 masalah utama yang
dihadapi dalam upaya mendorong petani untuk menggunakan benih
berkualitas.

71
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BRIA Indonesia melalui Program Penangkar Benih mencoba untuk


menjawab tantangan ini. Pada bulan Agustus 2015, BRIA mengirimkan
beberapa petani untuk mengikuti pelatihan penangkar benih di BB Padi
Sukamandi, Subang. Melalui pelatihan intensif selama satu minggu dari tenaga
ahli BB Padi, petani mendapatkan berbagai pengetahuan untuk memproduksi
benih padi berkualitas. Sekembalinya ke tempat masing-masing, petani
langsung mempraktekkan pengetahuan yang mereka dapatkan di BB Padi dan
juga mengurus berbagai kelengkapan administrasi.
Panen perdana penangkar benih BRIA dilakukan dibulan Maret 2016,
total produksi benih sebesar 24,2 ton benih siap pakai yang diperkirakan dapat
digunakan untuk 968 ha lahan atau digunakan oleh kurang lebih 4000 petani.
Kedepannya petani BRIA akan menambah jumlah produksi dengan menambah
luas lahan untuk produksi benih. Selain petani yang dikirimkan ke BB Padi,
BRIA juga akan menginisiasi pelatihan penangkar benih di Sumatera Utara
pada tahun 2016 ini. Total aka nada 30 petani yang dilatih untuk menjadi
penangkar benih di Sumatera Utara, dengan membangun learning center di
daerah Percut Sei Tuan, diharapkan program yang juga bekerja sama dengan
BB Padi ini dapat menginisiasi munculnya penangkar-penangkart benih baru
untuk mendukung ketersediaan benih berkualitas agar dapat dijangkau oleh
petani.
PENUTUP

BRIA Indonesia bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup petani


dengan mempromosikan sistem pertanian berkelanjutan dan akses pasar yang
lebih baik. Diharapkan sampai berakhirnya kegiatan ini, Petani dapat lebih
memahami system pertanian berkelanjutan yang memberikan dampak positif
terhadap kegiatan usahatani yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan
mereka.
Kehadiran program BRIA Indonesia sejalan dengan program
pemerintah dalam bidang ketahanan pangan. Dengan kerjasama yang baik
antara BRIA Indonesia dan Kementerian Pertanian, diharapkan dapat
mempercepat tercapainya ketahanan pangan Indonesia.
Sejauh ini hasil dari sekolah lapang BRIA menunjukkan bahwa rata-rata
petani yang menerapkan teknologi yang diajarkan disekolah lapang BRIA dapat
meningkatkan hasil sebesar 15% dengan peningkatan income sebesar 40%.
Berdasarkan survey yang dilakukan, tingkat adopsi tekhnologi petani
sangat tinggi, mencapai 97%. Hal ini sangat menggembirakan mengingat salah
satu kendala yang sering dihadapi dalam setiap program pertanian adalah
tingkat adopsi yang sangat rendah. Dengan pendampingan yang intensif serta
tekhnologi yang mudah diterapkan dan efektif, petani bisa dengan mudah
meng-copy apa yang dilakukan dalam sekolah lapang BRIA.

72
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

BRIA Indonesia Team, 2015, Module Sekolah Lapang BRIA, GIZ and PT. BASF
Indonesia
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/leaflet/puts.pdf.
[diakses tanggal 1 September 2016]
http://bbppketindan.bppsdmp.pertanian.go.id/blog/sistem-jajar-legowo-dapat-
meningkatkan-produktifitas-padi . [diakses tanggal 1 september 2016]

73
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KETERSEDIAAN SARANA DAN PRASARANA PERTANIAN UNTUK


MENDUKUNG PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI
Sahat M. Pasaribu

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian
Jl.Jend.Ahmad Yani No.70 Bogor 16161
Telp.(0251) 8325177, 833964, Faks (0251) 8314496
Email : sahatp@gmail.com

ABSTRAK
Pemerintah terus memperbaiki program pembangunan pertanian
ditengah berbagai dinamika perubahan kondisi alam, demografi, dan kemajuan
teknologi. Pengaruh perubahan ini juga berdampak pada kinerja usaha
pertanian. Diantara permasalahan mendasar yang dihadapi petani pangan
pada umumnya adalah terjadinya kelangkaan sarana produksi, rendahnya
penggunaan alat dan mesin, kurangnya akses terhadap modal kerja, serta
lemahnya penetrasi menjangkau pasar. Ketersediaan sarana dan prasarana
produksi pertanian untuk meningkatkan produksi padi sangat dibutuhkan,
terutama dalam penyediaan pupuk dan pestisida yang memenuhi azas enam
tepat (jenis, jumlah, tempat, waktu, mutu, dan harga), peningkatan pengelolaan
lahan dan air, penggunaan alat dan mesin pertanian, dan perbaikan akses
terhadap sumber-sumber permodalan. Penguatan kelembagaan pertanian
dengan menjalin kemitraan bisnis dengan pihak lain akan membantu petani
padi memperoleh manfaat secara sosial dan menjangkau pasar yang lebih
menguntungkan secara ekonomi.

Kata kunci: Alat dan mesin, kemitraan bisnis, modal kerja, sarana produksi

PENDAHULUAN

Pembangunan seluruh sub sektor pada sektor pertanian saat ini sedang
dikerahkan untuk menyediakan bahan pangan bagi masyarakat, menghasilkan
berbagai produk berbasis pertanian, membuka lapangan kerja, meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta memperbaiki kondisi
ekonomi dan lingkungan. Ketahanan dan kemandirian pangan adalah salah
satu tujuan utama pembangunan pertanian nasional. Kekurangan bahan
pangan, khususnya makanan pokok beras akan menimbulkan gejolak sosial
ekonomi dan politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masalah-
masalah multidimensional yang dihadapi untuk memenuhi permintaan berbagai
komoditas pertanian sangat beragam dan dalam konteks ini, pemerintah
berusaha untuk terus meningkatkan produksi melalui inovasi teknologi dan
penerapan program percepatan usaha pertanian.
Upaya pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan
terhadap lima komoditas unggulan dalam pembangunan pertanian nasional
2010-2014, yaitu (a) padi, (b) jagung, (c) kedelai, (d) gula, dan (e) daging sapi
telah ditetapkan oleh Kementerian Pertanian dalam kerangka pembangunan
pertanian nasional kedepan (Kementerian Pertanian, 2010). Dalam lima tahun

74
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

terakhir ini, Kementerian Pertanian telah berupaya keras untuk mempercepat


peningkatan produksi komoditas diatas. Namun demikian, harus diakui bahwa
dalam pelaksanaan di lapangan, banyak tantangan yang harus dilalui dan tidak
semua target dapat dicapai. Memasuki masa pembangunan pertanian nasional
tahun 2015-2019, Kementerian Pertanian lebih memfokuskan kebijakan
pembangunan pada upaya peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai
secara nasional dalam tiga tahun kedepan (UPSUS 2015-2017). Political will
yang diperlihatkan dalam kebijakan ini didasarkan atas keinginan menekan
bahan pangan impor dan semakin mendorong pasokan pangan dari dalam
negeri.
Pelaksanaan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai
macam masalah yang dihadapi. Nugrayasa (2012) mencatat diantara masalah-
masalah tersebut adalah (a) penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya
lahan pertanian; (b) terbatasnya aspek ketersediaan infrastruktur penunjang
pertanian, khususnya terkait dengan pembangunan dan pengembangan
waduk; dan (c) adanya kelemahan dalam sistem alih teknologi. Ciri utama
pertanian modern adalah produktivitas, efisiensi, mutu dan kontinuitas pasokan
yang terus menerus harus selalu meningkat dan terpelihara. Hal lainnya
sebagai masalah keempat, muncul dari terbatasnya akses layanan usaha
terutama di permodalan. Kemampuan petani untuk membiayai usaha taninya
sangat terbatas sehingga produktivitas yang dicapai masih di bawah
produktivitas potensial. Mengingat keterbatasan petani dalam permodalan
tersebut dan rendahnya aksesibilitas terhadap sumber permodalan formal,
maka dilakukan pengembangan dan mempertahankan beberapa penyerapan
input produksi biaya rendah (low cost production) yang sudah berjalan ditingkat
petani. Selain itu, penanganan pasca panen dan pemberian kredit lunak serta
bantuan langsung kepada para petani sebagai pembiayaan usaha tani
cakupannya diperluas.
Senada dengan hal tersebut diatas, Suprapto (1999) mengungkapkan
bahwa pengembangan pertanian yang ideal memerlukan dukungan kebijakan
seperti: (a) Kebijakan makro yang konsisten, (b) Penguasaan teknologi; (c)
Dukungan sarana dan prasarana (infrastruktur); (d) Dukungan sumber daya
manusia; dan (e) Dukungan kelembagaan, termasuk kelembagaan
permodalan.
1. Tantangan Program Pembangunan Pertanian
Tantangan pembangunan pertanian kedepan akan semakin berat dalam
kaitan dengan fenomena perubahan iklim global, meskipun hal ini dapat
sekaligus menjadi peluang memperbaiki kinerja usaha pertanian. Iklim ekstrim
yang sulit diprediksi menjadi penghalang bagi kegiatan pengembangan usaha
pertanian, khususnya usahatani padi. Berbagai jenis tanaman budidaya sulit
diharapkan dapat berproduksi secara optimal, sehingga petani dihadapkan
pada risiko kerusakan tanaman yang berujung pada kerugian. Serangan hama
penyakit pada berbagai tumbuhan, khususnya pada komoditas pangan yang
saat ini menjadi pusat perhatian (padi, jagung, dan kedelai). Kejadian serangan
hama dan penyakit di berbagai sentra produksi tidak dapat dihindarkan dan

75
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

patut diduga sebagai dampak dari perubahan iklim global. Meskipun di tengah
tantangan itu terbuka peluang mengoptimalkan berbagai potensi yang tersedia
guna meningkatkan produksi berbagai produk pertanian, namun perlu
diwaspadai serangan hama penyakit secara endemik dan masif yang dapat
menghancurkan produksi pertanian nasional.
Sosialisasi penerapan teknologi budidaya yang adaptif terhadap
perubahan iklim sangat diperlukan disamping dilakukannya perbaikan
infrastruktur pertanian, perluasan areal pertanaman, sistem irigasi yang efisien,
dan manajemen usahatani yang lebih baik. Peluang meningkatkan produksi
beberapa komoditas pertanian sangat terbuka jika semua elemen penggerak
sektor pertanian di pusat dan di daerah berjalan secara konsisten dan
harmonis. Ini adalah kondisi ideal yang dibutuhkan untuk memberi keyakinan
bahwa ditengah tantangan berat perubahan iklim global, produksi pangan
nasional diharapkan dapat meningkat.
Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) tidak dapat
dianggap sederhana karena sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan
usahatani. OPT adalah organisme yang dapat mengganggu dan merusak
kehidupan tanaman atau menyebabkan kematian pada tanaman pangan,
termasuk di dalamnya adalah hama, penyakit, dan gulma. Beberapa jenis hama
dan penyakit yang umum dijumpai pada tanaman pangan, khususnya padi
adalah (a) penggerek batang, (b) wereng batang coklat, (c) walang sangit, (d)
tikus, dan (e) ulat grayak (hama tanaman); serta (a) blast, (b) bercak coklat, (c)
tungro, (d) busuk batang, dan (e) kerdil hampa (penyakit tanaman).
Undang-Undang (UU) No. 12/1992 tentang Budidaya Tanaman,
khususnya pasal 30 ayat 2 menyatakan bahwa perlindungan tanaman perlu
dilakukan sebagai upaya mencegah dampak negatif yang mengakibatkan gagal
panen (puso). Amanat UU No. 12/1992 ini dilengkapi dengan terbitnya UU No.
19/2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, khususnya pasar 37-
39 mengenai penyelenggaraan asuransi pertanian untuk melindungi usaha
pertanian. Amanat UU ini juga menyatakan bahwa pemerintah pusat dan
daerah wajib menyelenggarakan asuransi pertanian di wilayah masing-masing
untuk melindungi usaha pertanian dari kegagalan panen.
Masih dalam kaitan upaya peningkatan produksi usaha pertanian,
permasalahan paling mendasar dan sering dihadapi petani adalah kurangnya
modal kerja berupa uang tunai yang digunakan untuk membiayai usahatani
(Supanggih dan Widodo, 2013). Prosedur administrasi yang rumit dan tidak
memiliki agunan yang mencukupi, merupakan penghambat petani melakukan
pinjaman bank. Ini berarti bahwa petani tidak akan pernah dapat mengakses
fasilitas yang disediakan pihak perbankan selama kedua faktor diatas menjadi
syarat peminjaman uang tunai. Hingga tahun 2015, program bantuan sosial
dalam kegiatan agribisnis masih berlangsung dan sejumlah Gapoktan masih
menerima Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (BLM-PUAP). Sejak tahun 2008 tercatat lebih dari 50.000 Gapoktan
sudah menerima BLM-PUAP. Dari hasil penelitiannya, Pasaribu dkk (2011)

76
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

melaporkan bahwa meskipun sebagian penerima BLM-PUAP berhasil


mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro-Agribisnis (LKM-A), namun
sebagian besar lainnya belum menunjukkan perubahan yang nyata.
Sektor pertanian adalah bidang usaha ekonomi yang terkait dengan
masalah tata guna air. Teknologi pemanfaatan air mulai dari konsep reservasi,
konservasi, penyadapan, penggunaan hingga pemeliharaan sumberdaya air
sangat diperlukan untuk membantu pengelola menentukan kebijakan maupun
upaya pelayanan pada kepentingan yang ada. Dalam konteks pemanfaatan air
untuk usaha pertanian, aspek kelembagaan pengelolaan sumber daya air
secara terpadu di tingkat lapangan memegang peranan penting, khususnya
dalam hal pengelolaan air secara berkeadilan.
Harus diakui bahwa P3A masih memerlukan penguatan kapasitas yang
dapat diandalkan dalam hal perbaikan jaringan, namun akan berperan penting
dalam pemeliharaan dan distribusi air. Kuat dugaan bahwa kelembagaan P3A
yang kapasitasnya semakin diperbaiki (improved institutional capacity) akan
secara signifikan dapat meningkatkan aksesibilitas terhadap air dan
menggunakannya untuk keperluan produktif. Dengan prinsip kesetaraan
pemanfaatan sumberdaya dan fasilitas yang tersedia kelak akan mampu
membantu mengurangi kemiskinan (equity in poverty reduction) setempat.
Deskripsi diatas menyimpulkan beberapa masalah pokok yang harus
dihadapi sebagai tantangan pembangunan pertanian di masa mendatang,
yakni (a) menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya lahan dan air, (b)
terbatasnya atau tidak tersedianya infrastruktur pertanian, (c) lemahnya sistem
alih teknologi yang memengaruhi adopsi teknologi, (d) kurangnya akses
layanan permodalan yang menghambat ketersediaan modal kerja, dan (e)
panjangnya rantai tataniaga komoditas pertanian, termasuk padi. Kedepan,
Kementerian Pertanian berupaya untuk menerobos sejumlah isu strategis
pembangunan pertanian, yakni (a) kecukupan produksi (7 komoditas utama:
padi, jagung, kedelai, daging sapi, gula, bawang merah, dan cabai) dan
mengurangi ketergantungan terhadap impor, (b) peningkatan daya saing
komoditas pertanian di dalam negeri untuk mengantisipasi persaingan global
dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, (c) perbaikan daya saing komoditas
strategis dalam perdagangan internasional, (d) promosi diversifikasi pangan
untuk mengurangi permintaan beras, dan (e) menaikkan pendapatan dan
kesejahteraan petani (Kementerian Pertanian, 2014).
Tulisan ini menguraikan pentingnya ketersediaan sarana dan prasarana
pertanian untuk mendukung berbagai program peningkatan produksi pertanian,
khususnya komoditas padi. Diakui bahwa tulisan ini tidak dapat mencakup
seluruh aspek terkait dengan sarana dan prasarana pertanian untuk
mendukung program peningkatan produksi padi, namun diharapkan dapat
memberikan deksripsi tentang ketersediaan lahan untuk berproduksi, input
usahatani, jaringan irigasi, alat dan mesin pertanian, modal kerja, dan
pemasaran hasil yang menguntungkan bagi petani.

77
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

2. Peluang Program Peningkatan Produksi Padi


2.1. Ketersediaan lahan usahatani
Ancaman alih fungsi lahan pertanaman padi ke penggunaan lain, seperti
perumahan, jalan, pasar, dan lain-lain semakin tidak terbendung sejalan
dengan pertumbuhan penduduk, meningkatnya pendapatan, dan semakin
bertambahnya kebutuhan masyarakat. Pasandaran dan Suherman (2015)
memperkirakan terjadinya penurunan luas lahan pertanian per kapita,
khususnya lahan sawah beririgasi, karena kecenderungan peningkatan
konversi lahan. Pada tahun 1950, luas lahan sawah yang digarap rumahtangga
petani rata-rata sekitar 0,75 hektar (6 juta keluarga tani dengan luas lahan
sawah sekitar 4,5 juta ha), sementara luas penguasaan lahan sawah per
rumahtangga petani saat ini hanya sekitar 40 persen luas penguasaan pada
tahun 1950. Diakui bahwa meskipun luas penguasaan lahan semakin menurun,
namun produktivitas tanaman padi dapat meningkat hingga tiga kali lipat
karena dukungan revolusi hijau. Uphoff (2007) bahkan memperkirakan bahwa
secara global, luas rata-rata lahan pertanian per kapita pada tahun 2050
diperkirakan akan menurun hingga sepertiga luas lahan pertanian per kapita
tahun 1950. Perkiraan ini menunjukkan bahwa luas lahan garapan (untuk
tanaman padi ) di perdesaan semakin sempit yang akan berdampak pada
peningkatan petani gurem, buruh tani, penduduk miskin, dan semakin
bertambahnya masalah dalam penyediaan pangan dan kemandirian pangan
nasional.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk ditengah maraknya alih fungsi
lahan, kontribusi Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi diduga terus
menurun. Beralihnya lahan produktif tanaman padi ke penggunaan lain telah
menurunkan pangsa produksi dengan cukup mengejutkan (dari 62,5% tahun
1980 menjadi hanya 51,8% tahun 2014), meskipun produktivitas rata-rata di
Pulau Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan sentra produksi di luar Pulau
Jawa (Pasandaran dan Suherman, 2015). Tabel 1 menunjukkan perubahan
pangsa produksi padi yang terjadi selama lebih dari tiga dekade terakhir ini.
Tabel 1. Pangsa produksi padi menurut wilayah (%)
Wilayah 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2014
Jawa 62,1 62,1 60,2 56,7 56,1 55,0 54,7 51,8
Sumatera 19,2 19,6 20,9 22,7 22,8 23,4 22,9 23,5
Bali & NT 5,4 5,0 5,1 5,0 5,3 4,8 4,8 5,4
Kalimantan 5,5 4,7 4,8 5,5 5,8 6,7 6,7 6,8
Sulawesi 7,7 8,5 8,9 10,0 9,8 9,8 10,5 12,0
Maluku & 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 0,3 0,4 0,5
Papua
Indonesia 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Produksi 29.651,9 39.032,9 45.132,6 49.697,4 51.898,8 54.151,1 66.469,4 70.846,4

Indonesia*
Catatan: * (000 ton)
Sumber: Pasandaran dan Suherman (2015), Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian (2015)
Suherman dan Suratno (2014) membahas efektivitas kebijakan
pengendalian alih fungsi lahan sawah beririgasi yang menyimpulkan bahwa
pelaksanaan pencegahan alih fungsi lahan sangat tergantung pada kejelasan

78
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kebijakan penataan ruang itu sendiri. UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang
dan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan ternyata harus dilengkapi dengan peta-peta peruntukan lahan
dengan sarana dan prasarana penunjangnya. Respons pemerintah daerah
terhadap undang-undang maupun peraturan lainnya masih diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan aspek legalitas dalam rangka penegakan hukum
terhadap pelanggaran atas ketentuan yang berlaku dalam alih fungsi lahan
diatas.
Mempertahankan lahan yang tersedia saat ini dinilai sangat penting
agar petani dapat terus berproduksi dan mempertahankan tingkat produksi
sekarang atau bahkan meningkatkan produktivitas. Fasilitas kebijakan
(peraturan) untuk menjaga ketersediaan lahan pertanian produktif sudah
tersedia, namun pemanfaatan dan tindak lanjut kegiatannya sangat
memerlukan inisiatif instansi berwenang/pemerintah setempat. Pembukaan
lahan di wilayah potensial di luar Pulau Jawa sudah menjadi keharusan, karena
ditengah ketiadaan varietas unggul baru berproduktivitas tinggi, peningkatan
produksi hanya dapat dicapai dengan program ekstensifikasi.
2.2. Ketersediaan input usahatani
Benih adalah salah satu input usahatani yang sangat penting. Benih
unggul yang berkualitas akan menentukan produktivitas hasil panen bersama-
sama dengan sarana produksi pupuk, air irigasi, dan lain-lain. Badan Litbang
Pertanian, Batan, dan Perguruan Tinggi termasuk diantara lembaga-lembaga
penghasil varietas padi. Para penangkar padi yang tersebar di berbagai
wilayah turut berpartisipasi menyediakan benih bermutu bagi para petani.
Secara garis besar penyediaan benih padi dapat digambarkan dalam
Gambar 1.
Benih Penjenis Benih Dasar Benih Pokok Benih Sebar
(BS) (BD) (BP) (BR)

BUMN; P
Koperasi (benih); Koperasi (benih);
UPT
BUMN; UPT Benih BUMN; UPT Benih Benih e
BB Padi/ (Kab/Prov); BPTP; (Kab/Prov); BPTP; (Kab); t
Litbangtan; PT; Batan, LIPI; PT; Batan, LIPI; Swasta
PT, Batan, Swasta/Penangkar Swasta/Penangkar /Penan a
LIPI, Swasta gkar n
i

Gambar 1. Sistem penyaluran benih padi nasional


(Sumber: Sayaka dkk., 2015; diolah)
Benih penjenis (BS) dihasilkan oleh lembaga penghasil benih, kemudian
disebarkan ke berbagai lembaga penyedia benih dasar (BD) dan benih pokok
(BP) sebelum menghasilkan benih sebar (BS) yang akan digunakan/ditanam
oleh petani. Usaha perbenihan semakin berkembang, bahkan semakin

79
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

meningkatkan persaingan antar lembaga penghasil benih. Hal ini dapat


berdampak negatif jika pengawasan mutu benih diabaikan. Dalam kaitan ini,
peran lembaga pengawas mutu benih (BPSB) sangat strategis, khususnya
dalam upaya meningkatkan produksi padi nasional.

Produksi benih oleh perusahaan penyedia benih padi saat ini semakin
berkembang, khususnya pada kalangan swasta/penangkar. Data yang tersedia
sejak tahun 2010 hingga 2014 memperlihatkan banyaknya benih padi yang
disediakan oleh BUMN (dengan kecenderungan menurun) dan
swasta/penangkar (dengan kecenderungan meningkat) (Tabel 2).
Tabel 2. Volume benih padi produksi BUMN dan swasta/penangkar, 2010-2014
BUMN
Swasta
Pertani SHS Jumlah
Tahun Vol Vol
% % Vol (ton) % Vol (ton) %
(ton) (ton)
2010 49.925 20,84 78.402 32,73 128.347,79 53,58 111.174,53 46,42
2011 60.139 22,27 97.014 35,93 157.175,39 58,20 112.857,62 41,79
2012 31.071 11,38 90.773 33,25 121.855,15 44,64 151.120,51 55,36
2013 29.735 15,13 35.407 18,02 65.156,72 33,15 131.346,64 66,84
2014 10.397 4,88 37.978 17,82 48.379,48 22,69 164.778,63 77,30

Sumber: Sayaka dkk., 2015.

Kondisi ini menunjukkan meningkatnya peran swasta/penangkar dalam


penyediaan benih padi konsumsi nasional (perubahan produksi benih sejak
tahun 2012 dengan peningkatan persentase produksi 55,36% oleh pihak
swasta dibandingkan dengan BUMN sebesar 58,20% pada tahun 2011). Tidak
tertutup kemungkinan bahwa peran swasta ini akan terus didorong
meningkatkan kemampuan menyediakan benih berkualitas secara
bertanggungjawab dan bahkan mengambil alih penyediaan benih secara
nasional. Perlu dicatat bahwa penyediaan benih secara bertanggungjawab
mencakup kesungguhan perusahaan produsen benih menyediakan benih
unggul bermutu tinggi menurut varietas yang dihasilkan (sesuai dengan
kebutuhan petani).
2.3. Kondisi jaringan irigasi
Padi membutuhkan air yang cukup banyak, sehingga baik program
intensifikasi maupun ekstensifikasi memerlukan pengembangan irigasi untuk
keberhasilan pertanaman padi ini. Degradasi sumberdaya lahan dan air akan
terus berlangsung karena tekanan penduduk dan berbagai penggunaan air.
Kebijakan penanggulangan degradasi lahan dan air harus mendapat porsi
pengaturan yang komprehensif yang mencakup sumberdaya yang
bersangkutan (obyek yang dikelola) dan pengelolaannya (oleh pemangku
kepentingan). Diperlukan keterpaduan kelembagaan untuk mengendalikan
degradasi sumberdaya lahan dan air ini, termasuk kelembagaan sosial,
ekonomi dan teknis (Pasaribu dkk., 2010). Dalam kaitan ini, pemerintah kini
sudah berupaya membangun dan memperbaiki jaringan irigasi yang

80
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

terdegradasi dan meningkatkan peran daerah aliran sungai serta sumber-


sumber air lainnya untuk mendorong peningkatan produksi pangan.
Sutrisno dan Heryani (2015) melaporkan bahwa untuk mewujudkan
program peningkatan produksi padi, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana
Pertanian telah menargetkan pembangunan irigasi tersier seluas 118.721 ha
yang tersebar di banyak provinsi. Disamping itu, Kementerian PUPR juga akan
membangun jaringan irigasi baru (irigasi permukaan, rawa, tambak, airtanah
dalam) seluas 1 juta ha selama periode 2015-2019 di semua pulau besar di
Indonesia. Target pembangunan irigasi permukaan tahun 2015 adalah seluas
99.000 ha dan perbaikan jaringan irigasi permukaan seluas 178.000 ha. Upaya
ini menunjukkan keseriusan membangun jaringan irigasi baru dan
merehabilitasi jaringan irigasi yang ada untuk mendorong peningkatan produksi
padi nasional.
Kementerian PUPR telah ditugaskan untuk membangun dan mengelola
sumberdaya air, termasuk jaringan irigasi untuk mendukung program
ketahanan pangan. Termasuk di dalam penugasan ini adalah pengendalian
banjir dan kekeringan untuk melindungi daerah irigasi (pertanian). Dalam tahun
2015-2019, Kementerian ini juga akan merehabilitasi 3 juta hektar daerah irigasi
yang memerlukan perbaikan saat ini disamping terus melakukan kegiatan
operasi dan pemeliharaan (Hadimuljono, 2014). Melihat perencanaan
pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi ini, Kementerian PUPR dan
Kementerian Pertanian perlu terus berkoordinasi untuk memuluskan rancangan
besar penyediaan air irigasi untuk menuju pencapaian kedaulatan pangan.
2.4. Kondisi alat dan mesin pertanian
Alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam proses berusahatani
diperlukan, diantaranya untuk mempermudah pekerjaan, menyingkat waktu
pelaksanaan kegiatan, dan memenuhi upaya peningkatan kualitas produk yang
dihasilkan. Dalam konteks pertanaman padi, ketersediaan alat pengolah lahan
(traktor), penanam, perontok, penyiang, sampai pada mesin pompa dan
combined harvester sangat penting ditengah semakin langkanya tenaga kerja
di sektor pertanian. Ketersediaan alsintan juga dimaksudkan untuk mengurangi
tingkat kehilangan hasil pada saat panen. Alat transportasi (untuk
pengangkutan hasil) juga sangat diperlukan untuk menekan kehilangan hasil.
Penggunaan alat transportasi perlu didukung oleh ketersediaan jalan pertanian
pada hamparan sawah. Permintaan terhadap alsintan diperkirakan akan terus
meningkat di masa mendatang untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam
berusahatani. Namun demikian, setiap kelompok tani dalam gabungan
kelompok tani di wilayah masing-masing perlu menghitung dengan cermat
tentang apa alat dan mesin yang dibutuhkan dan berapa banyak (unit)
diperlukan untuk digunakan secara efisien oleh para petani anggotanya. Inisiatif
pemerintah daerah (di tingkat kecamatan/perdesaan) untuk menyediakan data
akurat tentang kebutuhan alsintan di daerah masing-masing yang didukung
oleh kebijakan di tingkat kabupaten atau provinsi harus mampu mendorong
efisiensi kinerja usahatani. Disamping itu, faktor pengurang produksi yang

81
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

selama ini terjadi karena kehilangan hasil harus dapat ditekan dengan
penggunaan alsintan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan.
Penggunaan alsintan juga berimplikasi pada peningkatan kualitas dan
daya saing produk yang bersangkutan. Fasilitasi alsintan diharapkan dapat
disediakan menurut kebutuhannya melalui kerjasama kemitraan antara petani
(kelompok tani) dengan pihak lain (perusahaan besar) dan didukung oleh
(instrumen) kebijakan pertanaman komoditas padi (pemerintah daerah).
2.5. Akses investasi dan modal kerja
Kelembagaan pertanian di perdesaan adalah aset yang sangat berharga
yang menggerakkan pembangunan pertanian menurut program dan kegiatan
yang ditetapkan. Sebagai sebuah lembaga, kelompok tani harus kuat dan
mampu melaksanakan kegiatan langsung di lapangan. Penguatan kelompok
tani menjadi strategis untuk mencapai tujuan program dan sekaligus
mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat tani melampaui kondisi saat ini.
Kelompok tani adalah mitra strategis lembaga keuangan di perdesaan.
Program pembangunan pemerintah untuk meningkatkan permodalan
masyarakat tani dikenal dalam Program Bantuan Langsung Masyarakat-
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM-PUAP) yang mendorong
lahirnya Lembaga Keuangan Mikro-Agribisnis (LKM-A) bermodal kecil yang
dikelola petani. LKM-A yang dinilai berkinerja baik perlu ditransformasikan
menjadi kelembagaan yang profesional dan berbadan hukum. Mengubah
seluruh pelaku usaha pada jaringan agribisnis, baik secara individual maupun
kelompok menjadi pelaku ekonomi produktif merupakan tantangan besar dalam
kebijakan pengembangan agribisnis di perdesaan (Saptana dkk., 2013).
Memerhatikan perkembangan ketersediaan modal kerja petani di perdesaan,
salah satu solusi yang diduga dapat efektif membantu adalah mentransformasi
LKM-A menjadi lembaga keuangan yang kuat dan mandiri. LKM-A dapat
menjadi alternatif lembaga keuangan yang dekat dengan petani baik secara
fisik maupun psikologis, sehingga upaya untuk memperkuat LKM-A
diperkirakan dapat membantu masalah permodalan/modal kerja bagi petani ke
depan. LKM-A yang berhasil menunjukkan kemampuan mengelola dana dan
mampu berkembang dengan memenuhi ketentuan yang berlaku perlu dipelajari
apakah bisa ditransformasikan menjadi lembaga keuangan yang kuat dan
mandiri. Artinya, LKM-A perlu dikembangkan menjadi lembaga keuangan
perdesaan yang mandiri. Pemberdayaan LKM-A mengarahkan fungsinya
menjadi alternatif lembaga keuangan yang berpihak kepada petani. Namun
demikian, rencana tersebut perlu memperoleh dukungan politik pembiayaan
pembangunan pertanian baik pemerintah pusat maupun daerah.
2.6. Peluang pemasaran hasil pertanian
Daya saing produk pertanian dan kebijakan yang mendukungnya belum
sepenuhnya mendorong kekuatan untuk memasuki pasar global. Dalam kaitan
ini, potensi dan kelemahan yang dihadapi menjadi sangat penting untuk
diidentifikasi serinci mungkin, sementara kesempatan dan ancaman yang

82
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

memengaruhi keberhasilan produk pertanian yang bersangkutan perlu


didorong untuk merebut pasar yang tersedia. Permintaan produk pertanian
berkualitas diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan
penduduk dan kemampuan ekonomi masyarakat. Produk agro-industri diduga
akan semakin banyak dan beragam karena dimungkinkannya peluang pasar
bagi produk tersebut pada kawasan yang lebih luas.
Dalam konteks ini, meskipun tidak sepenuhnya ditujukan untuk
menghasilkan produk strategis berbasis padi/beras, namun peluang untuk
menyediakannya di pasar dalam negeri akan selalu terbuka. Situasi ini
mengundang kekuatan produksi lokal untuk bersaing dengan produksi yang
masuk ke Indonesia (impor) dan mendorong keberhasilan program ketahanan
pangan bahkan kedaulatan pangan dari sudut pandang ketersediaan
komoditas strategis nasional. Dengan bebasnya arus barang keluar dan masuk
ke pasar di kawasan Asia Tenggara dalam kaitan ketersediaan pasa dalam
perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN, maka kekuatan daya saing harus
cukup lentur untuk bertahan dan atau meningkatkan kekuatan di pasar.
Fasilitasi yang disediakan pemerintah dengan kerjasama yang saling
menguntungkan antara pihak swasta dengan petani/pengolah bahan baku hasil
pertanian diharapkan dapat menghasilkan padi berkualitas (beras prima),
bahkan membuka lapangan kerja baru di perdesaan dan membuka pasar yang
lebih luas serta memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya
petani padi atau penghasil produk lokal berbasis padi/beras yang khas
lokal/daerah.
3. Implikasi Kebijakan Peningkatan Produksi Padi

Program pembangunan pertanian selalu dihadapkan pada berbagai


permasalahan yang bersifat multidimensional yang mempengaruhi peluang
peningkatan produksi. Diantara permasalahan mendasar dalam upaya
peningkatan produksi pertanian, khususnya produksi pangan tercakup:
a. Meluasnya praktek alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian.
b. Banyaknya kerusakan pada infrastruktur pertanian, khususnya jaringan
irigasi.
c. Semakin berkurangnya jumlah dan mahalnya upah tenaga kerja
pertanian.
d. Masih tingginya susut atau kehilangan hasil (produksi).
e. Sulitnya distribusi dan pemenuhan kebutuhan pupuk dan benih.
f. Belum terjangkaunya kebutuhan finansial untuk pembiayaan usaha
pertanian (lemahnya permodalan petani).
g. Pengaruh kondisi pasar global dan fluktuasi harga (terutama pada masa
panen raya).

Dalam kaitan inilah, kebijakan pembangunan pertanian menjadi sangat


penting sebagai landasan penyusunan program dan kegiatan di lapangan.
Konsep kebijakan pertanian 2015-2019, seperti diuraikan dibawah ini, perlu

83
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dikembangkan lebih lanjut agar mampu mendorong peningkatan produksi


(Kementerian Pertanian, 2014):
a. Peningkatan ketahanan pangan (padi, jagung, kedelai, tebu, sapi, cabai
dan bawang merah) yang berdampak bagi perekonomian.
b. Pengembangan komoditas ekspor dan substitusi impor serta komoditas
penyedia bahan baku bio-industri dan bio-energi.
c. Peningkatan daya saing produk pertanian melalui standarisasi produk
dan proses, peningkatan rantai pasok (supply chain) dan rantai nilai
(value chain), mutu dan keamanan pangan.
d. Pengembangan infrastruktur (lahan, air, sarana dan prasarana) dan agro-
industri di perdesaan, sebagai dasar/landasan pengembangan bio-
industri berkelanjutan.
e. Reorientasi produksi dari satu jenis produk menjadi multi produk (produk
utama, bioenergi, produk sampingan, produk dari limbah, zero waste dan
lainnya).
f. Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta penanganan pasca bencana
alam dan kebijakan pengembangan kawasan/klaster pada kawasan yang
dapat mengungkit pencapaian target nasional.
g. Sistem perbenihan/pembibitan, perlindungan petani, kelembagaan
ekonomi petani, inovasi dan diseminasi teknologi, penyuluhan, dan
kebijakan sistem perkarantinaan pertanian.
h. Penyediaan subsidi: (a) subsidi pupuk tetap diperlukan dengan fokus
mengurangi pupuk tunggal, dan menaikan subsidi pupuk majemuk; (b)
pupuk organik tetap dikembangkan bukan dengan dukungan subsidi,
tetapi dialihkan menjadi kegiatan pengembangan pupuk organik; dan (c)
subsidi benih yang difokuskan pada penyediaan benih sumber (subsidi)
dan kegiatan penguatan penangkar benih/bibit memproduksi benih sebar.
i. Fasilitas pembiayaan pertanian: (a) kredit ketahanan pangan dilanjutkan
untuk mendorong dan meningkatkan produksi dan produktivitas pangan
guna mendukung ketahanan pangan; (b) untuk lebih menjamin
teralokasinya kredit untuk pangan, maka plafon kredit dialokasikan
menurut subsektor; (c) untuk memecahkan kelangkaan tenaga kerja &
menjamin pengelolaan pangan skala luas, maka kredit mekanisasi
pertanian sangat diperlukan, dan (d) kegiatan sertifikasi tanah perlu
dilakukan, agar layak kredit.
Memerhatikan sasaran produksi padi dalam tiga tahun kedepan
(Kementerian Pertanian, 2014) sebesar 75.134.134 ton (2016), 76.862.219 ton
(2017), dan 78.630.050 ton (2018), upaya percepatan produksi sangat
diperlukan. Dalam kaitan ini, strategi pembangunan pertanian 2015-2019 harus
segera diterjemahkan kedalam program dan kegiatan. Strategi tersebut adalah:
a. Menjadikan basis produksi komoditas pangan, komoditas ekspor,
penyedia bahan baku bio-industri dan bio-energi dengan pendekatan
kawasan.
b. Meningkatkan kualitas, nilai tambah dan daya saing produk pertanian
c. Menyediakan/peningkatan prasarana dan sarana dasar pertanian

84
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

d. Memberikan perlindungan dan pemberdayaan petani


e. Meningkatkan tata kelola kepemerintahan yang baik

Percepatan pembangunan pertanian membutuhkan fasilitas pendorong


untuk membangun sunergitas program dan kegiatan dalam bentuk regulasi,
baik yang diterbitkan di tingkat pusat maupun di daerah. Diantara regulasi yang
sangat mendesak untuk peningkatan produksi padi adalah regulasi di bidang:
a. Lahan: mempercepat penerbitan Perda Provinsi/ Kab/Kota selaras dan
sesuai dengan amanat UU No. 41/2009.
b. Sarana pertanian: perbaikan subsidi pupuk dan subsidi benih dan
pengembangan sistem perbenihan.
c. Pembiayaan pertanian: mempercepat dan mempermudah persyaratan
akses petani pada skim kredit.
d. Perlindungan petani: implementasi UU 19/2013 dalam bentuk asuransi
usahatani padi.
e. Investasi pertanian: Kemudahan menanamkan modal dalam bentuk
investasi (budidaya, pengolahan, dan pemasaran).
PENUTUP
Ketersediaan lahan pertanian dan input usahatani yang berkualitas
sangat menentukan keberhasilan tanaman padi. Sejalan dengan ketersediaan
input usahatani, penggunaan alat dan mesin pertanian secara efisien ditengah
kelangkaan tenaga kerja pertanian di perdesaan diharapkan dapat mengurangi
kehilangan hasil (losses). Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain yang
masih berlangsung hingga saat ini perlu dikendalikan dengan mendorong
penerapan hukum sesuai ketentuan yang ada.
Ketepatan/kesesuaian kebutuhan input berusahatani padi (saprodi,
alsintan) dan penguatan kelembagaan (produksi/pasca panen, pasar)
memerlukan perbaikan dan penajaman dalam kerangka ketahanan pangan
nasional. Selanjutnya, peluang pemasaran produk pertanian yang dihasilkan
secara lokal (termasuk beras) di dalam negeri masih tetap terbuka sejalan
dengan peningkatan permintaan. Namun, produksi padi berkualitas diharapkan
dapat dihasilkan melalui manajemen usahatani yang baik, sehingga dapat
bersaing dengan produk sejenis di pasar dalam negeri, bahkan dalam pasar
terintegrasi regional (MEA).
Keterbatasan modal kerja sebagai masalah paling mendasar bagi petani
perlu disiasati dengan memperkuat lembaga keuangan mikro di perdesaan.
LKM-A dapat didorong menjadi lembaga keuangan mikro yang mandiri,
diorientasikan untuk membiayai usahatani pangan (padi) dengan: (a)
mengupayakan badan hukum; (b) memperkuat modal usaha (akses ke
lembaga formal dan subsidi bunga); dan (c) menjalin kerjasama produksi dan
pemasaran dengan para pihak (kalangan swasta).

85
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2015. Program dan Kegiatan
Pengembangan Benih Tanaman Pangan TA 2015. Ditjen Tanaman
Pangan, Kementerian Pertanian. Jakarta. (Power point).
Hadimuljono, MB. 2014. Readiness Agriculture Infrastructure in Indonesia to
Face AEC (ASEAN Economic Community). Bahan presentasi dalam
Seminar Internasional FST UIN Syarif Hidayatullah, 17 November 2014.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian
Tahun 2010 – 2014. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2014. Kebijakan dan Program Pembangunan
Pertanian 2014-2019. Paparan Sekretaris Jenderal Kementerian
Pertanian dalam Musrenbangtan 2014. 13 Mei 2014. Jakarta. (Tidak
dipublikasikan).
Nugrayasa, O. 2012. Lima Masalah yang Membelit Pembangunan Pertanian di
Indonesia. www.setkab.go.id (1 Desember 2012).
Pasandaran, E. dan Suherman. 2015. “Kebijakan Investasi dan Pengelolaan
Sumber Daya Lahan Mendukung Kemandirian Pangan”. Dalam
Pasandaran, E., M. Rachmat, Hermanto, M. Ariani, Sumedi, K.
Suradisastra, dan Haryono (Eds.): Memperkuat Kemampuan
Swasembada Pangan. IAARD Press. Jakarta.
Pasaribu, SM., JF. Sinuraya, NK. Agustin, S. Wahyuni, Y. Supriyatna, Y.
Marisa, J. Hestina, E. Jamal, B. Prasetyo, Saptana, Sugiarto, Supadi, dan
M. Iqbal. 2011. Penentuan Desa Calon Lokasi PUAP 2011 dan Evaluasi
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Laporan
Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.
Pasaribu, SM, K. Suradisastra, B. Sayaka, dan A. Dariah. 2010. “Pengendalian
dan Pemulihan Degradasi Ekosistem Pertanian”. Dalam Suradisastra, K.,
SM. Pasaribu, B. Sayaka, A. Dariah, I. Las, Haryono, dan E. Pasandaran
(Eds.): Membalik Kecenderungan Degradasi Sumberdaya Lahan dan Air.
IPB Press. Bogor.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Outlook Komoditas
Pertanian Subsektor Pangan: Padi. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian, Kementerian Peranian. Jakarta.
Saptana, S. Wahyuni, dan S.M. Pasaribu. 2013. Strategi Percepatan
Transformasi Kelembagaan Gapoktan dan Lembaga Keuangan Mikro
Agribisnis Dalam Memperkuat Ekonomi di Perdesaan. Jurnal Manajemen
dan Agribisnis 10 (1): 60-70.
Sayaka, B., Hermanto, M. Rachmat, V. Darwis, FBM Dabukke, S. Suharyono,
dan K. Kariyasa. 2015. Penguatan Kelembagaan Penangkar Benih untuk
Mendukung Kemandirian Benih Padi dan Kedelai. Pusat Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian
Pertanian. Bogor. (Laporan Teknis).
Suherman, A. dan U. Suratno. 2015. “Efektivitas Kebijakan Pengendalian Alih
Fungsi Lahan Sawah Beririgasi”. Dalam Haryono, E. Pasandaran, M.
Rahmat, S. Mardianto, Sumedi, H.P. Saliem, dan A. Hendriadi (Eds.):
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian.
IAARD Press. Jakarta.

86
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Supanggih, D. dan Widodo, S. 2013. Aksesibilitas Petani terhadap Lembaga


Keuangan: Studi Kasus pada Petani di Desa Sidodadi, Kecamatan
Sukosewu, Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Agriekonomika, Volume 2,
Nomor 2, Nopember 2013. http://download.portalgaruda.org/
article.php?. Didownload 16 Nopember 2015.
Suprapto, A. 1999. Faktor Essensial dan Faktor Pemacu Pembangunan
Agribisnis dan Agroindustri. Makalah disampaikan dalam diskusi Tim
Reformasi Pembangunan Pertanian, 5 – 8 Oktober 1999. Semarang.
Sutrisno, N. dan N. Heryani. 2015. “Dukungan Pembangunan Irigasi dan Lahan
Kering terhadap Kemandirian Pangan”. Dalam Pasandaran, E., M.
Rachmat, Hermanto, M. Ariani, Sumedi, K. Suradisastra, dan Haryono
(Eds.): Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan. IAARD Press.
Jakarta.
Uphoff, N. 2007. Agriculture Futures. What Lies Beyond “Modern Agriculture”.
2nd Hugh Bunting Memorial Lecture. A presentation material delivered at
the University of Reading, June 4, 2007.

87
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

TEKNOLOGI SALIBU
BUDIDAYA PADI HEMAT BENIH
(Tanam 1 Kali Panen Berkali-Kali)

Erdiman

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat


Jl. Raya Padang-Solok Km 40 Sukarami, Kabupaten Solok 27365
Email : erdimantanjung@gmail.com

ABSTRAK

Teknologi Salibu (ratun yang dimodifikasi) adalah suatu teknologi


budidaya padi dengan memanfaatkan batang bawah padi setelah panen
sebagai penghasil tunas/anakan yang akan dipelihara. Nilai lebih teknologi
salibu dibandingkan dengan sistem tanam pindah adalah meningkatkan
hasil,hemat biaya produksi, hemat benih, hemat air, hemat tenaga kerja, ramah
lingkungan, memacu produksi daerah yang kekurangan tenaga kerja serta
mendukung swasembada beras dan kemandirian pangan. Budidaya padi
teknologi salibu dipengaruhi beberapa faktor antara lain; 1) varietas yang
ditanam sebagai tanam induk, 2) kondisi air tanah akan dan setelah panen, 3)
tinggi dan waktu pemotongan batang sisa panen, 4) penjarangan, 5)
penyulaman, 6) pemupukan dan 7) penyiangan. Manfaat dari cara tanam salibu
meningkatkan produktivitas padi melalui peningkatan IP (indek panen) dan hasil
setiap panen, mendukung swasembada pangan berkelajutan,terjadinya
penghematan biaya produksi, terutama untuk pengolahan tanah, tanam dan
benih,menanggulagi masalah kelangkaan benih,meningkatkan pendapatan
petani padi karena biaya produksi berkurang dan produksi pertahun juga
meningkat, peluang pengembalian bahan organik (jerami) lebih besar, terutama
dari sisa potongan batang setelah panen, bagi daerah yang kekurangan tenaga
kerja sangat membantu proses produksi. Budidaya padi teknologi salibu,
mempunyai prospek yang baik kita kembangkan dimasa yang akan datang.

Kata Kunci :Teknologi, Salibu, Budidaya, Produktivitas


PENDAHULUAN

Teknologi Salibu (ratun yang dimodifikasi) adalah suatu teknologi budidaya


padi dengan memanfaatkan batang bawah padi setelah panen sebagai
penghasil tunas/anakan yang akan dipelihara. Tunas ini berfungsi sebagai
penganti bibit pada sistim tanam pidah.

Nilai lebih teknologi salibu dibanding tanam pindah adalah :

1. Meningkatkan hasil (5-15% dan Ip 0,5-1 x panen/tahun)


2. Hemat biaya produksi (60% setiap MT)
3. Hemat benih (tidak mengunakan benih)
4. Hemat air (20-30%)
5. Hemat tenaga kerja (60%)
6. Ramah lingkungan (pengembalian bahan organik lebih banyak)
7. Memacu produksi daerah kekurangan tenaga kerja
8. Mendukung swasembada beras dan kemandirian pangan

88
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Teknik/Tata Cara Pelaksanaan Teknologi Salibu


 Tanaman induk MT1/tapin sebaiknya ditanam sistim legowo.
 Tiga minggu sebelum panen sampai 2 minggu sesudah panen tanah
dalam kapasitas lapang (lembab).
 Panen dilakukan lebih awal (7-10 hari), untuk menjaga kesegaran
batang bawah supaya tunas tumbuh baik.
 Setelah panen lakukan pembersihan gulma, atau semprot
 Dengan herbisida kontak secara spot, ini bertujuan untuk menahan
pertumbuhan gulma diawal pertumbuhan tunas.
 Jika tanah kering setelah panen lakukan pengenangan 1-2 hari,
kemudian air dibuang sampai tanah dalam keadaan lembab.
 Pemotongan ulang batang sisa panen dilkukan pada 7-10 hari setelah
panen, tinggi pemotongan 3-5 cm dari muka tanah.
 Selama 1 minggu setelah pemotongan tanah dalam keadaan lembab,
setelah tunas keluar setinggi 5-7 cm baru diairi.
 Pada umur 15-20 hari setelah pemotongan dilakukan
penjarang/pembelahan rumpun yang anakannya banyak, kemudian
disulamkan pada rumpun yang tidak tumbuh.
 Pemupukan pertama dilakukan pada umur 15-20 hari setelah
pemotongan, kemudian diikuti dengan penyiangan.
Keragaan Teknologi Salibu di banding sistim tanam pindah tabel 1.

Tabel 1. Keragaan Teknologi Salibu dan tanam pindah.


Parameter Teknologi Salibu Tanam Pindah
Panen MT-1 Lebih awal 7- 10 hari Biasa
Persiapan lahan Penyemprotan gulma (herbisida Pembersihan jerami
kontak), Pengenangan 1- 2 hari sisa panen
Pemotongan Ulang Tinggi pemotogan 3-5 cm, Pembersihan jerami
Pada 7-10 hari setelah panen. sisa panen
Pengolahan tanah Tidak ada Di bajak 2 x kali
Persemaian Tidak ada Ada
Tanam Tidak ada Tanam pindah
Pemupukan Awal sesuai rekomendasi dan Sesuai rekomendasi
susulan ditingkat 20 -25 % dari Setempat
rekomendasi
Penjarangan Penjarangan dilakukan Ada,
umur 15-20hari umur 25-30 hari
Penyulaman Penjarangan dilakukan Ada,
umur 15-20hari umur 25-30 hari
Pengendalian gulma Lebih awal dan membenam jerami Standar PHT
(siang) bersamaan penyiangan
Pemeliharan Standar PHT Standar PHT
Umur Panen Lebih awal 10 -15 dari umur biasa Biasa
Hasil 110-115% dari hasil tanam pindah 100 %

89
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Budidaya padi teknologi salibu dipengaruhi beberapa faktor antara lain; 1)


varietas yang ditanam sebagai tanam induk, 2) kondisi air tanah akan dan
setelah panen, 3) tinggi dan waktu pemotongan batang sisa panen, 4)
penjarangan, 5) penyulaman, 6) pemupukan dan 7) penyiangan.
HASIL
Hasil uji komponen teknologi salibu ditampilkan pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji komponen Teknologi Salibu di Nagari Tabek, Kecamatan
Pariangan, Kabupaten Tanah Datar.
No Perlakuan Juml. Anakan Butir/malai Hasil (t/ha)

A Tinggi Pemotongan
1 3-5 cm 22 a 132 a 7,7 a
2 8-10 cm 18 b 106 b 5,8 b
3 18-20 cm 12 c 62 c 2,9 c
B Perlakuan Pemotongan
3 (HSP) 16 b 120 b 5,4 b
7 (HSP) 19 a 134 a 7,6 a
15 (HSP) 17 b 124 b 5,9 b
C Pemupukan
1 100 Urea+100 Ponska 17 124 b 6,6 b
2 150 Urea+150 Ponska 22 137 a 8,3 a

Di Nagari Tabek Kab. Tanah Datar telah melaksanakan 5 kali


disalibukan berarti 1 kali tanam, 6 kali panen, dalam waktu 22 bulan, hasilnya
tetap stabil, total hasil 40,5 ton/ha (Gambar 1).

Keragaan Produksi 1 tapin + 5 kali Salibu (ton/ha)


8
7
6
5,8 6,3 6,8 7,3 7,1 7,2
5
4
3
2
1
0
MT1/Tapin MT2/SLB-1 MT3/SLB-2 MT4/SLB-3 MT5/SLB-4 MT6/SLB-5

Gambar 1. Hasil padi tekologi salibu selama 5 MT + 1 Tapin

Hasil teknologi salibu di tingkat petani di Sumatera Barat dapat dilihat


pada Tabel 3.

90
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Hasil padi salibu di Kab. Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Solok.
Hasil Peningkatan
No Daerah Varietas
(t/ha) Hasil
1 Kab. Agam (2010) Lumuik 7,2 15 %
2 Kab. Agam (2011) Kurik Kusuik 6,4 10 %
3 Kab. Lima P. Kota (2011) Madang Pulau 5,3 5%
4 Kab. Lima P. Kota (2012) Batang 7,2 15 %
Piaman
5 Kab. Tanah Datar (2012) Cisokan 6,9 15 %
6 Kab. Tanah Datar (2013) Batang 8,3 15 %
Piaman
7 Kab. Tanah Datar (2014) Logawa 7,9 10 %
8 Kab. Tanah Datar (2014) Inpari 21 7,1 15 %
9. Kab. Tanah Datar (2015) Cisokan 7,3 10 %
10. Kab. Tanah Datar (2013) Hipa-5 8,6 15%
11. Kota. Padang (2014) Pak Tiwi 7,8 10 %
12. Kab. Pariaman (2014) Batang 7,3 15%
Piaman
13. Kab. Solok (2013) Cisokan 6,4 20 %
14. Kab. Solok (2014) Cisokan 7,1 5%

Teknologi Salibu sudah dicoba dibeberapa daerah di luar Sumatera


Barat, antara lain Provinsi :
1. Aceh ( Kota Cane dan Aceh Pidi),
2. Sumatera Utara (Tapanulin Selatan dan Serdang Bedagai)
3. Sumatera Selatan ( Musi Bayu Asin, Pagar Alam, Muara
Enim,Prabumulih dan Pali),
4. Riau (Bangkinang, Pasir Pangaraian dan Teluk Kuantan)
5. Jambi (Muaro Bungo, Tebo dan Sungai Penuh)
6. Bangka Belitung
7. Jawa Barat
8. Jawa Tengah (Brebes),
9. Jawa Timur (Sumenep dan Ngawi),
10. Kalimantan Utara (Tanjung selor, Nunukan),
11. Kalimantan Tengah
12. Kalimantan Selatan
13. Nusa Tenggara Barat (Lombok)
14. Sulawesi Tengah ( Palu, Donggala)
15. Maluku

Perbandingan keuntungan usaha tani padi dengan teknologi salibu dan


tanam pindah disajikan pada Tabel 4.

91
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Analisa usahatani padi teknologi salibu dan tanam pindah tahun
2013
No Uraian Jumlah (Rp.) Selisih/Beda
I Pengeluaran Salibu T. pindah
A Biaya Upah (1.800.000) (4.450.000) - 2.650.000
B Biaya Saprodi ( 840.000) (1.100.000) - 260.000
Jumlah 8.080.000 10.670.000 - 2.590.000
II Penerimaan
Hasil Tanam pindah (5.5 t/ha) 25.600.000
Hasil Salibu (6,4 t/ha) 27.200.000 -
III Keuntungan bersih 19.120.000 14.930.000 + 4.190.000
IV Analisa Usahatani
BEP Harga (Rp/kg) 1.188 1.667 - 479
BEP Produksi (kg) 2020 2.667 - 647

ROI (return on ivestment) (%) 239 137 + 1,02


R/C ( revenue cost ratio) 3, 37 2,40 + 0,97
Keterangan : (+ dan -) keunggulan untuk teknologi salibu

MANFAAT DAN DAMPAK

Beberapa manfaat dan dampak dari penerapan teknologi Slaibu adalah


sebagai berikut :
1. Meningkatkan produktivitas padi melalui peningkatan IP (indek panen)
dan hasil setiap panen, mendukung swasembada pangan berkelajutan
2. Terjadinya penghematan biaya produksi, terutama untuk pengolahan
tanah, tanam dan benih
3. Menanggulangi masalah kelangkaan benih.
4. Meningkatkan pendapatan petani padi karena biaya produksi berkurang
dan produksi pertahun juga meningkat.
5. Peluang pengembalian bahan organik (jerami) lebih besar, terutama
dari sisa potongan batang setelah panen.
6. Bagi daerah yang kekurangan tenaga kerja sangat membantu proses
produksi.

Budidaya padi teknologi salibu, mempunyai prospek yang baik kita


kembangkan dimasa yang akan datang karena;
 Ditinjau dari aspek teknis:
Mudah diaplikasikan, Wilayah adaptasi luas, Ramah Lingkungan,
Produktivitas Tinggi.
 Dari aspek ekonomi :
Biaya produksi lebih rendah, meningkatkan pendapatan petani sebesar
Rp. 20-30 juta/ha/tahun

92
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Bila 1 Gapoktan mengembangkan teknologi salibu 50 ha akan mening-


katkan produksi sekitar 250 ton gabah/tahun, dengan harga Rp. 5 juta/ton
terjadi peningkatan pendapatan petani sebesar Rp 1,25 miliar/tahun
Bila 1 Kecamatan mengembangkan teknologi salibu 500 ha, akan
meningkatkan produksi sekitar 2.500 ton gabah/tahun, terjadi peningkatan
pendapatan petani sebesar Rp 12,5 miliar/tahun
Bila 1 Kabupaten mengembangkan teknologi salibu 5.000 ha, akan
meningkatkan produksi sekitar 25.000 ton gabah/tahun, terjadi peningkatan
pendapatan petani sebesar Rp 125 miliar/tahun
Bila 1 Propinsi mengembangkan teknologi salibu 50.000 ha, meningkatkan
produksi sekitar 250.000 ton gabah/tahun, terjadi peningkatan pendapatan
petani sebesar Rp 1,25 triliun/tahun
Bila TEKNOLOGI SALIBU di Kembangkan 1.000.000 Ha di Indonesia
1. Penghematan Benih =1.000.000 x 25 kg = 25.000.000 kg x Rp.
8.000/k = Rp. 200 miliar setiap MT (satu kali panen).
Bila 1 tahun 2 kali Salibu penghematan dari benih 2 x Rp. 200 miliyar =
400 Miliyar
2. Penghematan biaya pengolahan tanah, persemaian dan tanam
1.000.000 x Rp. 3 juta/ha/MT = 3 triliun /satu kali panen
Bila 1 tahun 2 kali Salibu penghematan dari biaya pengolahan tanah,
persemaian dan tanam berjumlah 2 x Rp. 3 triliun = Rp.6 triliun
3. Terjadi peningkatan IP 1 x dalam satu tahun dengan hasil 5
ton/ha/tahun yaitu sebesar 1.000.000 Ha x 5 t/ha/thn x Rp.
5.000.000/ton = Rp. 25 triliun/tahun
Total keuntungan = 400 miliar + 6 triliun + 25 triliun = Rp 31,4
triliun/tahun
Sebaran luas sawah, luas penen, indeks panen dan peluang peningkatan
indeks panen padi sawah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas sawah, luas panen, indeks panen, peluang peningkatan
indeks panen sawah di Indonesia
Peluang Peluang
Luas sawah Luas panen Indeks
No Provinsi penigkatan penigkatan
(Ha) (Ha) panen
IP 0,5/thn IP 1/thn
1 ACEH 307.556 387.803 1,26 307.556
2 SUMUT 461.442 765.099 1,66 461.442
3 SUMBAR 231.463 476.422 2,06 231.463
4 RIAU 115.897 144.015 1,24 115.897
5 JAMBI 113.757 149.369 1,31 113.757
6 SUMSEL 629.355 769.725 1,22 629.355
7 BENGKULU 90.217 144.448 1,60 90.217
8 LAMPUNG 348.435 641.876 1,84 348.435
9 JABAR 930.507 1.918.799 2,06 930.507
10 BANTEN 197.165 362.636 1,84 197.165
11 JATENG 960.970 1.773.558 1,85 960.970

93
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

12 DIY 55.291 125.912 2,27 55.291


13 JATIM 1.106.449 1.975.719 1,79 1.106.449
14 BALI 80.060 149.000 1,86 80.060
15 NTB 240.180 425.448 1,77 240.180
16 NTT 144.574 200.098 1,38 144.574
17 KALBAR 318.581 427.798 1,34 318.581
18 KALTENG 202.237 251.787 1,25 202.237
19 KALSEL 457.155 496.082 1,09 457.155
20 KALTIM 90.518 101.689 1,12 90.518
21 SULUT 56.181 126.931 2,26 56.181
22 SULTENG 137.786 229.080 1,66 137.786
23 SULSEL 576.559 981.164 1,70 576.559
24 SULBAR 55.016 83.796 1,52 55.016
25 SULTGARA 85.585 124.511 1,45 85.585
Jumlah 7.992.936 12.868.627 1,62 4.921.046 3.071.890
Sumber : BPS, 2014
Dari tabel 5, terlihat potensi sawah di Indonesia hampir 8 juta ha dengan
indeks panen rata-rata 1,62 per tahun. Dari luasan tersebut sekitar 3 juta
mempunyai indeks panen kurang dari 1,62, daerah ini punya peluang kita
tingkatkan IP-nya 1 kali menjadi 2,5. Daerah yang IP-nya lebih dari rata-rata
Nasional ada hampir 5 juta ha, daerah ini punya peluang kita tingkatkan IP-nya
0,5 /tahun.
Jika daerah yang IP nya lebih dari rata-rata Nasional di kembangkan
teknologi salibu sebesar 20 % (1 juta ha) dengan produksi rata 4 ton/ha,
dengan peningkatan IP 0,5, maka kan terjadi peningkatan produksi sebesar 2
juta ton, jika harga gabah Rp 5 juta/ton terjadi peningkatan pendapatan di
tingkat petani Rp. 10 triliun/tahun.
Jika daerah yang IP nya kurang dari rata-rata Nasional di kembangkan
teknologi salibu sebesar 20 % (600.000 ha) dengan produksi rata 4 ton/ha,
dengan peningkatan IP 1, maka kan terjadi peningkatan produksi sebesar 2,4
juta ton, jika harga gabah Rp 5 juta/ton terjadi peningkatan pendapatan di
tingkat petani Rp. 12 triliun/tahun.
PROGRAM KE DEPAN
1. Memberikan pemahaman kepda Pengambil kebijakan, penyuluh dan
petani tentang keuntungan Teknologi Salibu.
2. Pengembangan Teknologi Salibu pada berbagai kawasan sentra
produsi padi.
3. Memperbanyak demplot Teknologi Salibu.
4. Membuat sekolah lapang teknologi salibu (SL-BPTS).
5. Membentuk kelompok kerja pengembangan Teknologi Salibu.
INFO KHUSUS

Bila Teknologi Salibu direkomendasikan secara nasional, banyak keuntungan


yang di dapat pemerintah antara lain:

1. Subsidi benih bisa dicabut/dialihkan (tidak mengunakan benih).


2. Subsidi traktor dapat dialihkan atau ditiadakan (tidak mengolah tanah).
3. Tidak perlu buat irigasi baru, mengoptimalkan yang ada.

94
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

4. Menekan pemakai pupuk an organik dapat mengurangi subsidi pupuk.


5. Meningkatkan produktivitas lahan dan produksi beras nasional.
6. Mendukung swasembada dan kemandirian pangan berkelajutan.

SELAYANG PANDANG BUDIDAYA PADI TEKNOLOGI SALIBU (BPTS)

Padi Salibu Umur 15-20 hari

Anakan Padi Teknologi salibu


Padi Salibu Umur 25 hari 25-40 batang/rumpun

95
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Padi Teknologi Salibu Umur 65


hari sejak dipotong

Panen Padi Salibu Oleh Bapak Wamen Pertanian Panen Padi Salibu Hasil 8,2 ton/ha

Ka. BB padi Sukamandi Direktur Serelia Peneliti JIRCAS, Jepang

Kunjungan Presiden RI Bapak SBY dan Ka. Badan Litbang ke lokasi


display padi teknologi salibu, HPS ke XXXIII, Padang, Okt. 2013

96
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENAMPILAN EMPAT VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH


BERBASIS PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU
DI SUMATERA BARAT
Misran

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat


Jl. Raya Padang-Solok Km 40 Sukarami, Kabupaten Solok 27365
Email: misranmisman@gmail.com

ABSTRAK

Penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) yang diikuti dengan


Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan faktor penting dalam upaya
peningkatan produksi padi sawah. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui
penampilan pertumbuhan dan hasil empat varietas unggul baru padi sawah di
Sumatera Barat. Pengkajian dilaksanakan dilahan sawah petani Batipuh,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, pada bulan Mei-September 2012.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali
ulangan. Perlakuan yang diuji empat VUB padi sawah, yaitu: Inpari 12, Logawa,
TukadUnda, dan Inpari 21 Batipuah. Teknologi yang diterapkan adalah
komponen dasar dan pilihan yang terdapat dalam model PTT padi sawah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diuji berpengaruh nyata
terhadap seluruh peubah yang diamati. Keempat VUB yang digunakan
menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang baik. VUB Inpari 12 dan Inpari 21
Batipuah merupakan VUB padi sawah yang adaptif di Kabupaten Tanah Datar
dengan memberikan hasil tertinggi, berturut-turut 6,86 dan 6,58 t/ha gabah
kering panen. Kedua VUB ini berpotensi untuk dikembangkan dikawasan
pengembangan padi Kabupaten Tanah Datar dan wilayah sekitarnya.

Kata Kunci: Varietas unggul baru, padi sawah, pengelolaan tanaman terpadu,
lokasi

PENDAHULUAN

Produksi padi di Sumatera Barat didominasi oleh padi sawah yaitu


sebesar 98% - 99% dan hanya 1% - 2% yang berasal dari padi lahan kering
(padi gogo). Secara nasional produksi padi juga didominasi oleh padi sawah
yaitu sebesar 92-95%. Untuk keberhasilan peningkatan produksi padi perlu
adanya terobosan yaitu menerapkan metoda pengelolaan tanaman dan
sumberdaya terpadu (Gani, 2003). Rata-rata laju pertambahan penduduk
Indonesia sekitar 1,27-1,29% per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut
pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 296 juta
jiwa dengan kebutuhan beras sekitar 41,5 juta ton atau setara dengan 78,3 juta
ton gabah kering giling (Las dkk, 2008).

Untuk mencapai target tersebut diimplementasikan melalui; (1)


Perluasan areal tanam dengan mencetak sawah baru, (2) Peningkatan
produktifitas dengan penerapan budidaya tanaman sesuai dengan konsep
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. Salah satu komponen
teknologi PTT padi sawah adalah Varietas Unggul Baru (VUB) baik melalui

97
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

peningkatan potensi atau daya hasil maupun toleransi ataupun ketahanannya


terhadap cekaman biotik atau abiotik. Varietas unggul merupakan komponen
teknologi utama pertanaman padi yang telah memberikan kontribusi sebesar
56% dalam peningkatan produksi pada dekade 1970-2000 (Lamid dkk, 2005).

Varietas unggul baru memegang peranan yang paling menonjol


kontribusinya terhadap peningkatan hasil maupun dalam pengendalian hama
dan penyakit. Disamping itu varietas unggul padi umumnya berumur pendek
sehingga sangat penting artinya bagi petani dalam mengatur pola tanam
(Sudharto, 1995). Penggunaan varietas unggul baru (VUB) inbrida atau hibrida
merupakan salah satu komponen teknologi dasar PTT yang dianjurkan untuk
diterapkan di semua lokasi padi sawah. Hingga saat ini Kementerian Pertanian
telah melepas lebih dari 233 varietas unggul yang terdiri atas 144 varietas
unggul padi sawah inbrida, 35 varietas unggul padi hibrida, 30 varietas unggul
padi gogo, dan 24 varietas unggul padi rawa. Sebagian besar dari varietas
unggul tersebut dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian (Sembiring, 2010).
Penggunaan benih padi varietas unggul merupakan salah satu upaya
peningkatan produktivitas padi (Ditjen Tanaman Pangan, 2009).

Luas lahan sawah di Sumatera Barat sekitar 225.165 ha dengan target


peningkatan produksi padi pada tahun 2011 sebesar 5,08% dari 2.211.248 ton
GKG (gabah kering giling) pada tahun 2010 menjadi 2.323.655 ton GKG pada
tahun 2011. Peningkatan produksi ini dapat dicapai manakala produksi disetiap
kabupaten/kota dapat ditingkatkan secara signifikan, salah satunya melalui
peningkatan produktivitas. Rata-rata produktivitas padi sawah di Sumatera
Barat tahun 2010 baru mencapai 4,7 t/ha. Tingkat produktivitas lahan sawah di
Sumatera Barat dibedakan atas rendah (<4,5 t/ha) tergolong kriteria merah,
sedang (4,5-5,0 t/ha) masuk dalam kriteria kuning, tinggi (5,0-5,5 t/ha) kriteria
hijau dan sangat tinggi (>5,5 t/ha) kriteria biru (Distan horti Sumbar, 2011).
Berdasarkan data di atas, Provinsi Sumatera Barat tergolong wilayah dengan
produktivitas sedang.

Produksi padi Kabupaten Tanah Datar pada tahun 2011 tercatat


sebanyak 248.651,48 ton atau mengalami peningkatan dibandingkan produksi
pada tahun 2010 yang tercatat sebesar 242.120,00 ton. Walaupun jumlah
produksi meningkat pada tahun 2011, luas panen pada 2011 justru mengalami
penurunan dari semula seluas 43.015 ha sawah pada 2010 menjadi hanya
42.949 ha sawah di tahun 2011. Ini berarti bahwa pada tahun 2011 ini tingkat
produktivitas padi sawah meningkat dibandingkan tahun 2010, yaitu dari 5,63
t/ha menjadi 5,79 t/ha. Berdasarkan data tersebut, Kabupaten Tanah Datar
tergolong wilayah dengan produktivitas tinggi sehingga dijadikan sebagai salah
satu sentra produksi padi andalan di Provinsi Sumatera Barat (BPS Kabupaten
Tanah Datar, 2011).

Produktivitas padi sawah di Kabupaten Tanah Datar masih dapat


ditingkatkan, salah satunya melalui penggunaan VUB. Hasil penelitian

98
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Nurnayetti dan Atman (2012) menunjukkan bahwa adopsi penggunaan VUB


sesuai anjuran di Kabupaten Tanah Datar baru mencapai 52,2%.

Peningkatan produktivitas padi sawah akan lebih terjamin bila


berbasiskan model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dengan
mengintroduksikan enam komponen teknologi dasar serta enam komponen
teknologi pilihan. Enam komponen teknologi dasar yang merupakan suatu
keharusan diterapkan dalam pendekatan PTT, yaitu: (1) Penggunaan varietas
unggul sesuai anjuran (hibrida atau inbrida); (2) Penggunaan benih bermutu
dan bibit sehat; (3) Penambahan bahan organik (pengembalian jerami ke
sawah atau kompos/pupuk kandang); (4) Pengaturan populasi tanaman secara
optimum (jajar legowo, dll); (5) Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan
tanaman dan status hara tanah (menggunakan Bagan Warna Daun (BWD) dan
Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS)); dan (6) Pengendalian hama terpadu
(PHT) sesuai organisme pengganggu tanaman (OPT) sasaran. Sementara itu,
komponen teknologi pilihan juga terdiri dari enam komponen, yaitu: (1)
Pengolahan tanah sesuai dengan musim tanam; (2) Umur bibit muda saat
dipindahkan (<21 hari setelah semai, HSS); (3) Tanam bibit sebanyak 1-3
batang per rumpun; (4) Perbaikan aerasi tanah/penyiangan; (5) Pengairan
sesuai anjuran; dan (6) Panen sesuai anjuran (tepat waktu dan gabah segera
dirontok) (Badan Litbang Pertanian, 2007).

Dalam mencapai sasaran peningkatan produksi dan produktivitas padi


sawah pengelolaan tanaman dan penerapan sumberdaya terpadu perlu untuk
diupayakan, terutama terhadap penggunaan varietas unggul baru padi sawah.
Berdasarkan hal diatas, pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui potensi
penampilan empat varietas unggul baru padi sawah di Kabupaten Tanah Datar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian telah dilaksanakan di lahan sawah petani Kecamatan Batipuh


Kabupaten Tanah Datar, pada bulan Juni sampai Oktober 2012. Percobaan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan.
Perlakuan yang di uji adalah empat macam Varietas Unggul Baru padi sawah
yaitu; Inpari-12, Logawa, Tukad Unda, dan Inpari-21 Batipuah. Bibit ditanam
sebanyak 3 batang/rumpun, jarak tanam 20x20 cm dan sistem tanam jajar
legowo 4:1. Pemupukan P dan K diberikan berdasarkan hasil Perangkat Uji
Tanah Sawah (PUTS) yaitu 50 kg KCl dan 100 kg SP36/ha, sedangkan pupuk
N diberikan berdasarkan Bagan Warna Daun (100 kg Urea/ha) dimana pada
saat tanam diberikan sebanyak 50 kg/ha dan selanjutnya diberikan
berdasarkan Bagan Warna Daun. Bahan organik (pupuk kandang sapi)
diberikan sebanyak 2 t/ha.

Penyiangan dilakukan dua kali yaitu pada umur 4 dan 7 minggu setelah
tanam.Pengendalian hama/penyakit dilaksanakan sesuai dengan konsep
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pengamatan dilakukan terhadap tinggi
tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai,

99
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

persentase gabah hampa, berat 1.000 biji, dan hasil.Data yang telah terkumpul
dianalisis secara statistik dengan sidik ragam (Uji F) sesuai dengan rancangan
yang digunakan. Bila uji F menunjukkan interaksi berpengaruh nyata maka
untuk membandingkan nilai antar perlakuan digunakan uji beda rata-rata
Duncan (UBD) pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 Komponen Pertumbuhan
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan VUB padi
sawah memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman saat panen
danjumlah anakan produktif (Tabel 1).

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif beberapa VUB
padi sawah Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, 2012.
Tinggi Tanaman Jumlah Anakan Produktif
No Perlakuan
(cm) (batang/rumpun)
1 Inpari-12 92,6 a 24,08 a
2 Logawa 81,6 c 14,80 d
3 Tukad Unda 85,0 b 17,20 c
4 Inpari-21 Batipuah 83,7 b 18,20 b
KK (%) 1,63 2,93
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT
5%.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa keragaan tinggi tanaman berkisar 81,6
- 92,6 cm. Tanaman tertinggi didapatkan pada VUB Inpari 12 (92,6 cm) berbeda
nyata dengan semua varietas unggul lainnya yaitu Tukad Unda (85,0 cm),
Inpari 21 Batipuah (83,7 cm) dan Logawa (81,6 cm). Dibandingkan dengan
deskripsinya (BPTP Sumbar, 2010; Badan Litbangtan, 2014), ternyata tinggi
tanaman ke empat varietas yang diuji menunjukkan pertumbuhan tinggi
tanaman yang lebih rendah dari deskripsinya, yaitu VUB Inpari 12 99,0 cm,
Tukad Unda 100-123 cm, Logawa 105 cm dan Inpari 21 Batipuah 96 cm.

Keragaan jumlah anakan produktif berkisar 14,80 -24,08 batang/rumpun.


Jumlah anakan produktif terbanyak didapatkan pada VUB Inpari 12 (24,08
batang/rumpun), berbeda nyata dengan semua VUB lainnya yaitu; Inpari 21
Batipuah (18,20 batang/rumpun), Tukad Unda (17,20 batang/rumpun) dan
Logawa (14,80 batang/rumpun). Dibandingkan dengan deskripsinya (BPTP
Sumbar, 2010; Badan Litbangtan, 2014), ternyata VUB yang diuji menunjukkan
jumlah anakan produktif yang lebih tinggi dari deskripsinya kecuali VUB Tukad
Unda, yaitu; Inpari 12 (20 batang/rumpun), Logawa (10 batang/rumpun), Inpari
21 Batipuah (17,20 batang/rumpun) dan Tukad Unda (21,50 batang/rumpun)
sedikit lebih rendah. Berbedanya tinggi tanaman atau anakan produktif masing-
masing varietas, hal ini diduga karena faktor genetik tanaman. Hal yang sama
dinyatakan Satoto dan Suprihatno (1998), bahwa keragaman sifat tanaman
padi ditentukan oleh faktor lingkungan dan genotip serta interaksi keduanya.

100
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

 Komponen Hasil Tanaman


Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil analisis sidik ragam perlakuan
VUB padi sawah memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah gabah per
malai,persentase gabah hampa dan berat 1.000 biji, sedangkan terhadap
panjang malai tidak menunjukkan pengaruh yang nyata.

Tabel 2. Rataan komponen hasil beberapa VUB padi sawah. Kecamatan


Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, 2012.
Panjang Jumlah Gabah Persentase
Berat 1.000
No Perlakuan Malai per Malai Gabah
Biji (g)
(cm) (butir) Hampa (%)
1 Inpari12 22,20 a 150,88 a 8,59 c 25,96 c
2 Logawa 23,30 a 147,26 a 32,43 a 26,24 c
3 Tukad Unda 22,40 a 107,80 b 25,14 b 27,10 b
Inpari21
4 21,80 a 149,00 a 8,35 c 29,21 a
Batipuah
KK (%) 5,68 12,05 13,66 1,73
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT
5%.

Tabel 2 memperlihatkan bahwa keragaan panjang malai berkisar 21,80-


23,30 cm. Masing-masing sebagai berikut VUB Logawa (23,30 cm), Tukad
Unda (22,40 cm), Inpari-12 (22,20 cm), dan VUB Inpari-21 Batipuah (21,80 cm).
Selanjutnya, keragaan jumlah gabah per malai berkisar 107,80-150,88 butir.
Jumlah gabah per malai terendah diperoleh pada VUB Tukad Unda (107,80
butir) berbeda nyata dengan Inpari 12 (150,88 butir) dan diikuti oleh Inpari 21
Batipuah (149,00 butir) serta Logawa (147,26 butir). Kemudian keragaan
persentase gabah hampa berkisar 8,35-32,43%. Persentase gabah hampa
terbanyak didapatkan pada VUB Logawa (32,43%), berbeda nyata dengan
ketiga VUB lainnya.
Keragaan berat 1.000 biji berkisar 25,96-29,21 g. Bobot 1.000 biji
terberat didapatkan pada VUB Inpari 21 Batipuah (29,21 g) berbeda nyata
dengan semua varietas unggul baru lainnya, yaitu Tukad Unda (26,10
g),Logawa (26,24 g) dan Inpari12 (25,96 g). Dibandingkan dengan deskripsinya
(BPTP Sumbar, 2010; Badan Litbangtan, 2014), ternyata VUB Inpari21
Batipuah dan Tukad Unda lebih tinggi bobot/1000 butir gabah dari deskripsinya
masing-masing 25,9 g dan 24 g, sedangkan VUB Logawa dan Inpari 12
bobot/1000 butir gabah lebih rendah dibandingkan dengan deskripsinya,
yaitu;Inpari 12 (27 g) dan Logawa (27 g).

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil analisis sidik ragam perlakuan


VUB padi sawah memberikan pengaruh nyata terhadap hasil gabah kering
panen (GKP). Terlihat, keragaan hasil gabah berkisar 5,62-6,68 t/ha. Hasil
terbanyak didapatkan pada VUB Inpari 12 (6,86 t/ha) dan diikuti oleh Inpari 21
Batipuah (6,58 t/ha) akan tetapi berbeda nyata dengan VUB Logawa (5,98 t/ha)
dan Tukad Unda (5,62 t/ha). Perolehan perbedaan hasil gabah kering panen
ini diduga karena berbedanya jumlah gabah/malai oleh masing-masing VUB.
Hal ini sesuai dengan pendapat Atman (2005), yang menyatakan bahwa, faktor

101
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yang mempengaruhi hasil gabah adalah meningkatnya nilai komponen


pertumbuhan dan komponen hasil tanaman. Dibandingkan dengan
deskripsinya (BPTP Sumbar, 2010; Badan Litbangtan, 2014), ternyata keempat
VUB yang diuji menunjukkan hasil gabah yang lebih tinggi dari rata-rata hasil
deskripsinya, yaitu: VUB Inpari 12 (6,2 t/ha), Inpari 21 Batipuah (6,4 t/ha) dan
Tukad Unda (4,0 t/ha), sedangkan VUB logawa menunjukkan hasil yang lebih
rendah yaitu 6,8 t/ha.

Tabel 3. Hasil gabah kering panen (GKP) beberapa VUB padi sawah
Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, 2012.
Hasil Gabah
No Perlakuan
(t/ha GKP)
1 Inpari12 6,86 a
2 Logawa 5,98 b
3 Tukad Unda 5,62 b
4 Inpari21 Batipuah 6,58 a
KK (%) 4,65
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT
5%.

KESIMPULAN

Dari pengujian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan dan disarankan


sebagai berikut :

1. VUB Inpari 12 dan Inpar i21 Batipuah merupakan varietas unggul baru padi
sawah yang adaptif pada lingkungan spesifik di Kabupaten Tanah Datar dan
memberikan hasil berturut-turut 6,86 dan 6,58 t/ha.
2. Untuk meningkatkan produksi padi sawah di Kabupaten Tanah Datar
disarankan untuk mengembangkan ke dua VUB (Inpari 12 dan Inpari-21
Batipuah). Selain mempunyai produksi yang cukup tinggi, kedua varietas
tersebut bertekstur nasi pera sehingga sesuai dengan selera Sumatera
Barat, khususnya Kabupaten Tanah Datar.

DAFTAR PUSTAKA

Atman. 2005. Pengaruh sistem tanam bershaf dengan P-starter (shafter) pada
padi sawah varietas Batang Piaman. Jurnal Stigma Vol. XIII No. 4,
Oktober-Desember 2005. Faperta Universitas Andalas Padang; hlm
579-582.
Badan Litbang Pertanian. 2014. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 37 hlm.
BPS Kabupaten Tanah Datar. 2011. Tanah Datar Dalam Angka 2011.
Kerjasama Datar. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanah Datar.Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal
Kabupaten Tanah

102
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BPTP Sumbar. 2010. Varietas Unggul Padi Sawah Amilosa Tinggi (Beras Pera).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2009. Target Produksi Beras Nasional
tahun 2009. Unpublish 8 halm.
Distanhorti Sumbar. 2011. Peningkatan Produksi Beras Nasional Sumatera
Barat. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja P2BN tingkat propinsi
Sumatera Barat. Padang, 4 Mei 2011.
Gani, A. 2003. Pendekatan Terpadu dalam Produksi Padi. Makalah
disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi II, Bengkulu,
Desember 2003. 32 hal.
Lamid, Z. I. Manti, S. Zen, S. Abdullah, Burbey, Artuti. 2005. Inovasi Paket
Teknologi Padi Sawah. BPTP Sumbar. Sukarami.
Las, I, H. Syahbuddin, E. Surmaini, dan A. M. Fagi. 2008. Iklim dan Tnaman
Padi; Tantangan dan peluang. Dalam: Suyamto dkk (Eds). Buku Padi,
Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. p. 151-189.
Nurnayetti dan Atman. 2012. Adopsi Teknologi Budidaya Padi di Sumatera
Barat. Dalam: Ariani, dkk. (penyunting). Membangun Kemampuan
Inovasi Berbasis Potensi Wilayah. Balitbangtan. IAARD Press; 11-19
hlm.
Satoto dan Suprihatno B. 1998. Heterosis dan stabilitas hasil hibrida-hibrida
padi turunan galur mandul jantan IR 62829 A dan IR 58025 A. Jurnal
Penelitian Tanaman Pangan 17 (1): 27-40.
Sembiring, H. 2010. Ketersediaan Inovasi Teknologi Unggulan dalam
Meningkatkan Produksi Padi Menunjang Swasembada dan Ekspor.
Proseding Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Inovasi Teknologi Padi
untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong Ekspor Beras.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Hal. : 1-16
Sudharto, T.J. Triastono, E. Sudjitno, A. Syam, dan Z. Zaini. 1995.Laporan
Tahunan Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering (UFDP) TA
1994/1995. Proyek Penelitian Usaha Lahan Kering. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

103
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL


PADI SAWAH VARIETAS INPARI 21 BATIPUAH DI SUMATERA BARAT

Misran dan Atman

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat


Jl. Raya Padang-Solok Km 40 Sukarami, Kabupaten Solok 27365
Email: misranmisman@gmail.com

ABSTRAK

Penggunaan sistem tanam dan pemasyarakatan varietas unggul baru


adalah salah satu cara dalam upaya mendapatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman yang optimal. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui sistem
tanam yang tepat untuk tanaman padi sawah varietas Inpari 21 Batipuah.
Penelitian dilaksanakan di lahan sawah petani Padang Magek, Rambatan,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dari bulan Juli sampai November
2012. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dengan lima kali
ulangan. Perlakuan yang diuji adalah tiga sistem tanam, yaitu: (1) Jarwo 4:1,
(2) Jarwo 6:1, dan (3) Tegel. Penanaman bibit umur 20 hari setelah semai,
jumlah bibit 3 batang/rumpun, jarak tanam 20x20 cm. Pupuk Urea diberikan 50
kg/ha umur 7 hari, selanjutnya berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD)
sehingga jumlah Urea yang diberikan sebanyak 100 kg/ha. Pupuk SP-36 dan
KCl masing-masing sebanyak 100 kg/ha dan 50 kg/ha yang diberikan pada
umur 7, 30 dan 50 hari setelah tanam (hst), kecuali SP36 diberikan seluruhnya
pada 7 hst. Pengamatan dilakukan terhadap; tinggi tanaman, anak
produktif/rumpun, komponen hasil dan hasil. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tanam jajar legowo cendrung menunjukkan pertumbuhan yang baik dan
dapat meningkatkan hasil gabah kering panen (GKP) sebesar 27,26 – 35,93%
dibandingkan dengan cara tanam tegel (5,65 t/ha GKP). Sistem tanam jajar
legowo 4:1 memberikan pertumbuhan dan hasil yang terbaik.

Kata Kunci: tanggap, varietas, padi sawah, sistem tanam.

PENDAHULUAN

Padi merupakan komoditas penting dan strategis sehingga produksi padi


kedepan harus terus ditingkatkan seiring dengan kenaikan jumlah penduduk.
Rata-rata laju pertambahan penduduk Indonesia sekitar 1,27-1,29% per tahun.
Dengan laju pertumbuhan tersebut pada tahun 2025 jumlah penduduk
Indonesia diproyeksikan mencapai 296 juta jiwa dengan kebutuhan beras
sekitar 41,5 juta ton atau setara dengan 78,3 juta ton gabah kering giling (Las
dkk, 2008). Upaya peningkatan produksi padi dilakukan secara ektensifikasi
maupun intensifikasi. Pada beberapa tahun terakhir ini, laju peningkatan
produksi padi belum mencapai tingkat yang diharapkan dan mulai terlihat gejala
kejenuhan teknologi yang diindikasikan dengan adanya pelandaian
produktivitas. Di pihak lain luas areal persawahan semakin berkurang setiap
tahunnya. Untuk mencapai target tersebut diimplementasikan melalui; (1)
Perluasan areal tanam dengan mencetak sawah baru, (2) Peningkatan
produktifitas dengan penerapan budidaya tanaman sesuai dengan konsep

104
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. Salah satu komponen


teknologi PTT padi sawah adalah Varietas Unggul Baru (VUB) baik melalui
peningkatan potensi atau daya hasil maupun toleransi ataupun ketahanannya
terhadap cekaman biotik atau abiotik. Varietas unggul merupakan komponen
teknologi utama pertanaman padi yang telah memberikan kontribusi sebesar
56% dalam peningkatan produksi pada dekade 1970-2000 (Lamid dkk, 2005).
Padi juga telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 20 juta rumah
tangga petani di perdesaan. Kondisi ini menjadikan pemerintah tetap
memprioritaskan penyediaan pangan terutama beras dalam jumlah yang cukup
dan harga terjangkau. Sementara itu, di Sumatera Barat sektor pertanian masih
merupakan sektor yang berkontribusi paling besar dalam struktur
perekonomian Sumatera Barat. Besarnya kontribusi sektor pertanian adalah
23,86% terhadap PDRB tahun 2010, dan 12,45% disumbangkan oleh subsektor
tanaman pangan (BPS Sumbar, 2011).
Hafsah (2003), menyatakan bahwa tantangan internal pembangunan
tanaman pangan yang patut menjadi perhatian antara lain adalah: (1) stagnasi
pertumbuhan produktivitas, dan (2) penurunan kapasitas lahan akibat adanya
alih fungsi lahan tanaman pangan ke komoditi pertanian lainnya dan non
pertanian.
Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan
capaian produksi dan efisiensi penggunaan lahan yaitu antara lain dengan
penerapan sistem tanam serta penggunaan varietas unggul.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah berperan penting
dalam pembangunan pertanian melalui penyediaan berbagai inovasi teknologi
untuk mendukung sistem usaha pertanian yang efisien dengan memanfaatkan
sumberdaya pertanian secara optimal (Badan Litbang Pertanian, 2010).
Selanjutnya Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi
teknologi yang mampu meningkatkan produktifitas padi sawah. Beberapa
inovasi teknologi tersebut diantaranya adalah budidaya sistem tanam jajar
legowo serta berbagai varietas unggul baru padi sawah yang sebagian telah
dikembangkan oleh petani.
Budidaya sistem tanam jajar legowo dikembangkan untuk memanfaatkan
pengaruh barisan pinggir tanaman padi yang lebih banyak. Sistem tanam jajar
legowo merupakan sistem tanam yang memperhatikan larikan tanaman, sistem
tanam jajar legowo merupakan tanam berselang seling antara 2 atau lebih baris
tanaman padi dan satu baris kosong. Menurut Mujisihono dan Santosa (2001),
mengatakan bahwa keuntungan dari sistem tanam jajar legowo adalah
menjadikan semua tanaman atau lebih banyak tanaman menjadi tanaman
pinggir. Tanaman pinggir akan memperoleh sinar matahari yang lebih banyak
dan sirkulasi udara yang lebih baik, memperoleh unsur hara yang lebih merata
serta mempermudah pemeliharaan tanaman.
Berbagai kendala ditemukan dalam sistem produksi perpadian Indonesia,
antara lain penggunaan input yang tidak efisien, pelandaian peningkatan

105
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

produksi dan belum dimanfaatkannya potensi genetik dalam bentuk varietas


unggul baru (Las dkk, 2004). Menurut Manti dkk (2006), pemilihan varietas
yang sesuai dengan agroekosistem lingkungan sangat mendukung
keberhasilan usahatani padi sawah. Untuk mendapatkan tingkat produksi yang
optimal, bibit merupakan salah satu komponen teknologi yang
sangatberpengaruh. Varietas unggul baru merupakan salah satu teknologi
yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk
pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2007). Kontribusi nyata varietas unggul
terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain tercermin dari
pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. Varietas sebagai salah satu
komponen produksi telah memberikan sumbangan sebesar 56% dalam
peningkatan produksi, yang pada dekade 1970-2000 mencapai hampir tiga kali
lipat. Hapsah (2005) menyatakan bahwa peningkatan produktivitas padi dapat
diupayakan melalui penggunaan varietas unggul baru. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari sistem tanam yang terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman padi sawah varietas Inpari 21 Batipuah di kabupaten Tanah Datar.
BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di lahan sawah petani Kecamatan Padang


Magek, Kabupaten Tanah Datar, pada bulan Juli sampai November 2012.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali
ulangan. Perlakuan yang di uji adalah tiga macam sistem tanam; jajar legowo
(Jarwo) dan tanam biasa (Tegel), yaitu; (1) Jarwo 4:1, (2) Jarwo 6:1, dan (3)
Tegel. Bibit ditanam sebanyak 3 batang/rumpun, jarak tanam 20x20 cm.
Pemupukan P dan K diberikan berdasarkan hasil Perangkat Uji Tanah Sawah
(PUTS) yaitu 50 kg KCl dan 100 kg SP36/ha, sedangkan pupuk N diberikan
berdasarkan Bagan Warna Daun (100 kg Urea/ha) dimana pada saat tanam
diberikan sebanyak 50 kg/ha dan selanjutnya diberikan berdasarkan Bagan
Warna Daun. Bahan organik (pupuk kandang sapi) diberikan sebanyak 2 t/ha.

Penyiangan dilakukan secara manual sebanyak 2 kali, yaitu pada umur


4 dan 7 minggu setelah tanam. Pengendalian hama/penyakit dilaksanakan
sesuai dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pengamatan
dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai,
jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, berat 1.000 biji, dan hasil.
Data yang telah terkumpul dianalisis secara statistik dengan sidik ragam (Uji F)
sesuai dengan rancangan yang digunakan. Bila uji F menunjukkan interaksi
berpengaruh nyata maka untuk membandingkan nilai antar perlakuan
digunakan uji beda rata-rata Duncan (UBD) pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Tanaman

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa rata-rata hasil


pengamatan tinggi tanaman saat panen danjumlah anakan produktif untuk

106
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

semua sistem tanam yang diuji, baik Jarwo 4:1, 6:1 maupun Tegel, tidak
berbeda nyata (Tabel 1).

Tabel 1. Rataan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif Inpari 21


Batipuah, Kecamatan Padang Magek, Kabupaten Tanah Datar,
2012.
Jumlah Anakan
Tinggi Tanaman
No Perlakuan Produktif
(cm)
(batang/rumpun)
1 Jarwo 4:1 95,53 a 21,90 a
2 Jarwo 6:1 94,80 a 21,27 a
3 Tegel 92,93 a 20,87 a
KK (%) 2,92 5,25
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT
5%.

Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata pada pengamatan rata-


rata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif, namun demikian secara
angka-angka sistem tanam jajar legowo 4:1 cendrung memperlihatkan rata-rata
tinggi tanaman lebih tinggi dan jumlah anakan produktif yang lebih banyak.
Dibandingkan dengan deskripsinya (Badan Litbang Pertanian, 2014), ternyata
semua sistem tanam yang diuji terhadap tinggi tanaman menunjukkan
pertumbuhan sedikit lebih rendah dari deskripsinya yaitu 96 cm, sedangkan
rata-rata jumlah anakan produktif pada semua sistem tanam yang diuji
menunjukkan rata-rata melebihi deskripsinya (17,20 batang/rumpun).
Komponen Hasil

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil analisis sidik ragam


menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah gabah per malai dan
persentase gabah hampa, sedangkan terhadap panjang malai dan berat 1.000
biji tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Pengamatan rata-rata panjang
malai berkisar antara 21,63-21,73 cm dan berat 1.000 biji berkisar 26,63-27,39
g, kedua pengamatan ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Dibandingkan dengan deskripsinya (Badan Litbangtan, 2014), ternyata semua
sistem tanam yang diuji terhadap berat gabah 1.000 biji menunjukkan bobot
yang lebih berat dari deskripsinya (25,9 g).

Tabel 2. Rataan komponen hasil Inpari 21 Batipuah. Kecamatan Padang


Magek, Kabupaten Tanah Datar, 2012.
Panjang Jumlah Persentase Berat
No Perlakuan Malai Gabah per Gabah 1.000 Biji
(cm) Malai (butir) Hampa (%) (g)
1 Jarwo 4:1 21,73 a 122,35 a 12,73 b 27,39 a
2 Jarwo 6:1 21,86 a 110,47 b 10,92 b 27,08 a
3 Tegel 21,63 a 107,13 b 16,39 a 26,63 a
KK (%) 2,53 3,09 7,04 4,36
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT
5%.

107
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Semua sistem tanam diuji terhadap pengamatan jumlah gabah permalai


dan persentase gabah hampa menunjukkan perbedaan yang nyata. Rata-rata
jumlah gabah permalai berkisar antara 107,13-122,35 butir, sistem tanam jajar
legowo 4:1 menunjukkan jumlah gabah permalai terbanyak dan berbeda nyata
dengan semua perlakuan lainnya. Ada kecendrungan bahwa semakin banyak
populasi tanaman maka jumlah gabah juga semakin meningkat. Hal ini
disebabkan makin banyak lorong yang terdapat pada sistem tanam jajar legowo
mengakibatkan intensitas cahaya matahari yang sampai ke permukaan daun
lebih banyak terutama pada pinggir lorong sehingga meningkatkan efisiensi
fotosintesa (Abdullahdkk, 2000). Laju serapan hara oleh akar tanaman
cenderung meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya matahari
(Darwis, 1982). Pengamatan persentase gabah hampa berkisar antara 10,92-
16,39%. Persentase gabah hampa terbanyak didapatkan pada sistem tanam
tegel (16,39%), berbeda nyata dengan sistem tanam lainnya.

Hasil Gabah

Pada Tabel 3 terlihat, persentase peningkatan hasil gabah kering panen


(GKP) berkisar 27,26-35,93% dibandingkan dengan cara tegel (5,65 t/ha).
Sistem tanam memberikan pengaruh nyata terhadap hasil gabah.
Dibandingkan dengan deskripsinya (Badan Litbangtan, 2014), ternyata semua
sistem tanam yang diuji menunjukkan hasil gabah yang lebih tinggi dari rata-
rata hasil deskripsinya (6,4 t/ha). Perbedaan ini diduga karena berbedanya
perolehan jumlah gabah/malai oleh masing-masing perlakuan. Menurut
Hamzah dan Atman (2000), peningkatan hasil gabah antara lain disebabkan
oleh hasil gabah juga disebabkan oleh meningkatnya nilai komponen hasil
tanaman.

Tabel 3. Hasil gabah kering panen (GKP) dan peningkatan hasil gabah
(%)Inpari 21 Batipuah. KecamatanPadang Magek, Kabupaten Tanah
Datar, 2012.
Persentase
Hasil Gabah
No Perlakuan Peningkatan Hasil
(t GKP/ha)
Gabah (%)
1 Jarwo 4:1 7,68 a 35,93
2 Jarwo 6:1 7,19 ab 27,26
3 Tegel 5,65 b
KK (%) 11,35
Angka pada lajur diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DMRT

KESIMPULAN

1. Sistem tanam jajar legowo 4:1 pada padi sawah varietas Inpari 21 Batipuah
mampu meningkatkan hasil gabah sebesar 35,93% dibandingkan sistem
tanam biasa (tegel).

2. Hasil padi sawah varietas Inpari 21 Batipuah tertinggi didapat pada


perlakuan sistem tanam jajar legowo 4:1 (7,68 ton/ha), diikuti sistem tanam

108
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

jajar legowo 6:1 (7,19 ton/ha), sedangkan sistem tanam cara biasa (tegel)
hasil gabah kering panen yang diperoleh sebesar 5,65 ton/ha.
3. Untuk mendapatkan hasil yang optimal bila menggunakan bibit varietas padi
sawah Inpari 21 Batipuah disarankan memakai sistem tanam jajar legowo
4:1.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. 2000. Teknologi P-starter dengan sistem tanam legowo (shaf) pada
budidaya padi sawah. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian
dan Pengkajian Pertanian. Buku I. Sukarami, 21-22 Maret 2000.
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Bogor; 76-81 hlm.
Badan Litbang Pertanian. 2014. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 37 hlm.
Badan Litbang Pertanian. 2010. Statistik Badan Litbang Pertanian 2010. Badan
Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
BPS Sumbar. 2011. Sumatera Barat Dalam Angka 2010/2011. Badan Pusat
Statistik dan Bappeda Tk I Sumatera Barat. Padang; 744 hlm.
Darwis, SN. 1982. Efisiensi pemupukan nitrogen terhadap padi sawah pada
berbagai lokasi agroklimat. Desertasi Doktor, Fakultas Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
Hafsah, M.J. 2003. Kebijakan peningkatan produksi padi melalui kegiatan
peningkatan produktivitas padi terpadu (P3T). Prosiding Lokakarya
Pelaksanaan Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T)
Tahun 2002. Puslitbangtan Bogor; 1-24 hlm.
Hafsah, M.J. 2005. Potensi, Peluang, dan Strategi Pencapaian Swasembada
Beras dan Kemandirian Pangan Nasional. Hlm. 55-70. Dalam B.
Suprihatno dkk. (Ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada
Beras Berkelanjutan. Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian.
Hamzah, Z. dan Atman. 2000. Pemberian pupuk SP36 dan system tanam padi
sawah varietas Cisokan. Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil
Penelitian dan Pengkajian Pertanian. Buku I. Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian Bogor; 89-92 hlm.
Lamid, Z. I. Manti, S. Zen, S. Abdullah, Burbey, Artuti. 2005. Inovasi Paket
Teknologi Padi Sawah. BPTP Sumbar. Sukarami.
Las, I. Wirdata, I. N. dan Ruskandar A. 2004. Status dan peranan penelitian
padi dalam system perberasan nasional. Seminar Nasional Satu
Dasawarsa BPTP Sumatera Barat. 10-11 Agustus 2004 di Sukarami.
BPTP Sumatera Barat dan Pusat Sosial Ekonomi Pertanian.
Las, I, H. Syahbuddin, E. Surmaini, dan A. M. Fagi. 2008. Iklim dan Tnaman
Padi; Tantangan dan peluang. Dalam: Suyamto dkk (Eds). Buku Padi,
Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. p. 151-189.
Manti, I, F. Nurdin, I. Rusli, E. Afdi, dan Syafril. 2006. Review Teknologi
Pertanian Hasil Pengkajian BPTP Sumatera Barat. BPTP Sumatera
Barat. Sukarami. 175 hal.
Mujisihono, R. dan T. Santosa. 2001. Sistem budidaya teknologi tanam benih
langsung (TABELA) dan Tanam Jajar Legowo (TAJARWO). Makalah
Seminar Perekayasaan Sistem Produksi Komoditas Padi dan Palawija.
Diperta Provinsi D.I. Yogyakarta.

109
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KERAGAAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH BERBASIS


PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI SUMATERA BARAT

Sumilah dan Atman


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat,
Jl. Raya Padang-Solok KM. 40 Sukarami-Solok,
Email: sumilah_utomo@yahoo.com

ABSTRAK

Keragaan teknologi varietas unggul baru padi sawah berbasis


pengelolaan tanaman terpadu (PTT) menggunakan tiga varietas unggul baru
yaitu Cisokan, Inpari 21 Batipuah dan IR 66 dilaksanakan di Kelompok Tani
Surau Jambu, Sungai Tarab, Tanah Datar Sumatera Barat Juni sampai Oktober
2013. Bibit berumur 15 hari ditanam dengan sistem tanam jajar legowo 5:1,
jarak tanam 25x12,5x50 cm. Luas plot per varietas 4x4,5 m. Penelitian
bertujuan untuk mengetahui keragaan varietas unggul baru padi sawah
berbasis PTT dalam upaya memantapkan ketahanan pangan dengan
meningkatkan produktivitas padi di Sumatera Barat. Menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan. Teknologi yang diterapkan
adalah komponen dasar dan pilihan yang terdapat dalam model PTT padi
sawah. Penerapan teknologi pengelolaan tanaman terpadu padi sawah
ternyata mampu meningkatkan hasil gabah VUB Cisokan (7,31 t/ha), Inpari 21
Batipuah (6,15 t/ha), dan IR66 (5,63 t/ha). Ketiga VUB ini cocok dikembangkan
untuk memantapkan ketahanan pangan di Sumatera Barat

Kata kunci: Cisokan, Inpari 21 Batipuah, IR 66, dan jajar legowo

PENDAHULUAN
Pada tahun 2014, pemerintah menetapkan sasaran produksi padi
sebesar 76,57 juta ton GKG. Angka sasaran tersebut meningkat 6,25%
dibanding sasaran produksi tahun 2013 sebesar 72,06 ton GKG. Untuk tahun
2014 sasaran tanam 14,82 juta ha, sasaran panen 14,31 juta ha dan sasaran
produktivitas 53,50 ku/ha. Sasaran produksi jagung tahun 2014 adalah 20,82
juta ton PK atau 12,48% diatas produksi tahun 2013 yaitu sebesar 18,51 juta
ton PK (Hendayana, dkk., 2014).
Ada beberapa tiga strategi utama yang diimplementasikan dalam upaya
pencapaian swasembada beras (Dirjentan, 2015), yaitu: (1) peningkatan
produktivitas, dilakukan melalui peningkatan penggunaan benih varietas unggul
bermutu produktivitas tinggi termasuk benih hibrida, peningkatan jumlah
populasi tanaman melalu sistem tanam jajar legowo, pemupukan sesuai
rekomendasi spesifik lokasi serta berimbang dengan pemakaian pupuk organik;
(2) perluasan areal tanam, dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman
melalui upaya perbaikan jaringan irigasi; (3) pengamanan produksi, untuk
mengurangi dampak perubahan iklim seperti kebanjiran dan kekeringan,
gangguan OPT serta pengamanan kulaitas produksi dari residu pestisida; dan
(4) penguatan kelembagaan dan manajemen.

110
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sasaran produksi padi sawah di Sumatera Barat pada tahun 2014


sebesar 2.628.586 ton GKG dengan sasaran luas panen sebesar 492.251 ha
dengan produktivitas sebesar 53,37 ku/ha. Sedangkan untuk tahun 2015
dengan sasaran produksi sebesar 2.675.700 ton GKG dengan sasaran luas
panen 495.500 ha dengan tingkat produktivitas sebesar 54,00 ku/ha (Distan
Sumbar, 2013; Bappeda dan BPS Sumbar, 2013). Upaya yang dilakukan untuk
pencapaian tersebut salah satu upayanya adalah melalui peningkatan peran
inovasi teknologi varietas unggul baru padi (VUB) dan pelaksanaan
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) (Pikukuh dkk., 2008; Suhendrata,dkk.,
2008).

Pengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)


ternyata mampu meningkatkan produktivitas padi dan efisiensi input produksi
(Deptan, 2008) melalui keterpaduan (integrasi) berbagai komponen teknologi
yang saling menunjang (sinergis) dengan sumberdaya setempat (spesifik
lokasi), dan partisipasi petani sejak awal pelaksanaan kegiatan (partisipatif)
(Balitbangtan, 2007). Dengan demikian, paket teknologi yang disiapkan bersifat
spesifik lokasi, yang dapat menghasilkan sinergisme dan efisiensi tinggi,
sebagai wahana pengelolaan tanaman dan sumberdaya spesifik lokasi. Salah
satu komponen PTT adalah penggunaan padi varietas unggul baru (VUB).

Saat ini telah banyak varietas unggul baru (VUB) padi sawah yang
dihasikan oleh Balitbangtan Kementerian Pertanian, khusus untuk masyarakat
Sumatera Barat yang suka dengan rasa nasi pera (kandungan amilosa >25%)
dan memberikan produksi cukup tinggi yaitu Cisokan, Inpari 21-Batipuah dan
IR 66 yang perlu didiseminasikan kepada petani Sumatera Barat. Selain
memberikan hasil yang cukup tinggi, VUB juga mempunyai umur yang lebih
pendek. IR-66 termasuk varietas yang berumur cukup genjah, yaitu 110-120
hari dan mempunyai potensi hasil yaitu 5,5, t/ha, tahan terhadap hama wereng
coklat biotipe 1,2,dan 3, tahan wereng hijau, dan agak tahan wereng punggung
putih, serta tahan hawar daun, tungro dan agak tahan blas. IR-66 merupakan
varietas pilihan bagi daerah endemik tungro karena varietas unggul tersebut
tahan terhadap penyakit tungro yang akhir-akhir ini banyak menyerang
pertanaman padi sawah di Sumatera Barat. Pada tahun 2012 dilepas Inpari 21-
Batipuah yang merupakan hasil temuan BPTP Sumbar dan BB Padi. VUB ini
sesuai dengan selera masyarakat Sumbar dengan kadar amilosa 26 %, umur
120 hari, potensi hasil lebih tinggi yaitu 8,2 t/ha, agak rentan terhadap hama
wereng batang coklat biotipe 1 dan 2, rentan biotipe 3, tahan hawar daun bakteri
strain III, agak rentan terhadap strain IV dan VIII, tahan terhadap penyakit blas
ras 033, agak tahan terhadap ras 133 dan 073, rentan terhadap ras 173 serta
rentan terhadap penyakit tungro.

Permasalahannya, VUB Inpari 21 Batipuah dan IR66 belum begitu


berkembang di masyarakat karena masih kurangnya kegiatan diseminasi untuk
varietas tersebut. Selain itu, rata-rata hasil yang didapat di tingkat petani relatif
masih rendah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain petani belum
mengadopsi teknologi PTT, utamanya pemberian bahan organik melalui

111
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pengembalian jerami ke sawah, pengaturan populasi tanaman secaraoptimum


dengan tanam jajar legowo, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan
status hara dan pengendalian organisme pengganggu tanaman dengan
pendekatan pengendalian hama terpadu.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukanlah penelitian
keragaan varietas unggul baru padi berbasis pengelolaan tanaman terpadu
yang bertujuan untuk mengetahui keragaan varietas unggul baru padi sawah
berbasis PTT dalam upaya memantapkan ketahanan pangan dengan
meningkatkan produktivitas padi di Sumatera Barat.
BAHAN DAN METODE
Kegiatan keragaan varietas unggul baru padi melalui pengelolaan
tanaman terpadu telah dilakukan di Kelompok Tani Surau Jambu, Sungai
Tarab, Tanah Datar Sumatera Barat bulan Juni–Oktober 2013. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 3 Varietas Unggul Baru (Cisokan,
Inpari Batipuah dan IR 66, pupuk anorganik dan pupuk organik (Urea, SP-
36, KCl, dan pupuk kandang). Sedangkan alat yang digunakan adalah alat
untuk bercocok tanam, meteran, timbangan dan lain-lain.
Luas plot 4x4,5 m untuk setiap perlakuan. Menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 5 kali ulangan. Perlakuannya adalah tiga VUB
padi sawah, yaitu: Cisokan, Inpari 21 Batipuahdan IR66. Komponen teknologi
PTT yang diterapkan dalam kegiatan penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Sedangkan peubah-peubah yang diamati adalah pertumbuhan tanaman dan
komponen hasil meliputi: (a) tinggi tanaman; (b) jumlah anakan per rumpun; (c)
panjang malai; (d) jumlah gabah isi per malai; (e) persentase gabah hampa; (f)
bobot 1000 butir; dan (g) hasil gabah kering giling. Data hasil pengamatan
dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji beda duncan (UBD).
Tabel 1. Komponen teknologi pada keragaan VUB, Tanah Datar, Provinsi
Sumatera Barat, 2013.
Komponen Teknologi Uraian
Varietas Cisokan, Inpari 21 Batipuah, IR 66
Umur Bibit 15 hari setelah semai
Jumlah bibit 1-3 batang per lubang
Pupuk Organik Pupuk kandang (2 t/ha)
Pemupukan Pemupukan berimbang, dimana pupuk N berdasarkan
Bagan Warna Daun (100 kg Urea/ha) dan pupuk P dan
K berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (50 kg
KCl/ha dan 100 kg SP-36/ha);
Sistem tanam Jajar legowo 5:1, semua barisan disisip, jarak tanam
25x12,5x50 cm
Pengairan Berselang
Pengendalian OPT Jika diperlukan

112
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Pertumbuhan Tanaman
Tinggi tanaman
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa tinggi tanaman varietas bervariasi
mulai 76,73 cm hingga 98,53 cm. Dengan demikian, Cisokan merupakan VUB
dengan tinggi tanaman paling tinggi dan berbeda nyata diantara varietas yang
lainnya yaitu sebesar 98,53 cm. Tanaman dengan tinggi yang relatif tidak tinggi
dapat terhindar dari kerebahan yang disebabkan oleh angin kencang akibatnya
dapatmenurunkan hasil gabah (Sutaryo dan Sudaryono, 2012).
Tabel 2. Keragaan rata-rata tinggi tanaman danjumlah anakan produktif per
rumpun berbagai VUBpadi Sawah Kec. Sungai Tarab, Tanah Datar,
Sumatera Barat 2013.
Tinggi Tanaman Jumlah Anakan
Varietas
(cm) (batang)
Cisokan 98,53 a 22,46 a
Inpari 21 Batipuah 85,33 b 19,13 b
IR 66 76,73 c 19,60 b
Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda
tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%.
Jumlah Anakan Produktif
Jumlah anakan produktif antar varietas beragam. Pada tabel 2 dapat
dilihat, varietas Cisokan memiliki jumlah anakan terbanyak dan berbeda nyata
dengan varietas lainnya. Sedangkan yang paling sedikit jumlah anakannya
adalah varietas Inpari 21 Batipuah. Makin banyak jumlah bibit yang ditanam per
lubangnya, semakin sedikit jumlah anakan produktifnya (Simarmata, 2006).
Jumlah anakan pada ketiga varitas tergolong cukup tinggi. Hal ini diduga oleh
penanaman bibit yang sudah mengikuti pola pengelolaan tanaman terpadu,
yaitu 2-3 batang perlubang. Diindikasi bahwa makin banyak jumlah bibit akan
menyebabkan terjadinya persaingan diantara bibit tanaman padi untuk
memperoleh nutrisi dan faktor tumbuh lainnya.
Komponen Hasil dan Hasil Padi
Pajang Malai, Jumlah Gabah Per Malai, Persentase Gabah Hampa dan
Berat 1000 Butir
Tabel 3 memperlihatkan panjang malai tidak berbeda nyata dari ketiga
varietas yang ada. Sebaliknya, jumlah gabah per malai, persentase gabah
hampa, dan berat 1000 butir menunjukkan perbedaan nyata. Jumlah gabah
per malai tertinggi pada VUB IR 66 tetapi juga memiliki persentase gabah
hampa tertinggi dibandingkan varietas Cisokan dan Inpari 21 Batipuah. Jumlah
gabah per malai yang cukup banyak merupakan salah satu faktor penentu
tingginya hasil yang diperoleh (Sutaryo, 2012). VUB Inpari 21 Batipuah memiliki
berat 1000 butir paling tinggi yaitu sebesar 26,50 g dan tidak berbeda nyata
dengan varietas IR66. Namun, berbeda nyata dengan varietas Cisokan.

113
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Keragaan rata-rata panjang malai, jumlah gabah per malai,


persentase gabah hampa,dan berat 1.000 biji VUB padi sawah. Kec.
Sungai Tarab, Tanah Datar Sumatera Barat 2013.
Panjang Jumlah Gabah Persentase Berat 1000
Varietas Malai per Malai Gabah Hampa Butir
(Cm) (butir) (%) (g)
Cisokan 21,56 a 179,93 a 8,60 b 21,31 b
Inpari 21 Batipuah 22,40 a 122,53 b 6,93 b 26,50 a
IR 66 21,20 a 153,46 ab 19,20 a 24,35 a
Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda
tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%.
Hasil Gabah Kering Giling (GKG)
Hasil gabah VUB padi sawah tertinggi diperoleh pada varietas Cisokan
yaitu mencapai 7,31 ton GKG/ha berbeda nyata dengan varietas Inpari 21
Batipuah dan IR 66. Hasil yang diperoleh dari keragaan varietas unggul baru
padi sawah Cisokan dan IR 66 melalui pengelolaan tanaman terpadu ini lebih
tinggi dibandingkan deskripsinya. Varietas unggul baru Inpari 21 Batipuah
memiliki produksi rata-rata mendekati rata-rata produksi pada deskripsi VUB
Inpari 21 Batipuah (Balitbangtan, 2013). Hal ini diduga bahwa peran dan
kontribusi pengelolaan tanaman secara terpadu secara nyata mampu
meningkatkan hasil gabah. Ketiga VUB ini (Cisokan, Inpari 21 Batipuah dan IR
66) merupakan varietas unggul baru padi sawah yang adaptif pada lingkungan
spesifik dan dapat diandalkan di Tanah Datar Sumatera Barat (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil gabah kering giling (GKG) VUB padi sawah Kec. Sungai Tarab,
Tanah Datar Sumatera Barat 2013.
Varietas Hasil Gabah (ton GKG/ha)
Cisokan 7,31 a
Inpari 21 Batipuah 6,15 b
IR 66 5,63 c
Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda
tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%.
Selain itu, Atman (2005) menyatakan bahwa hasil gabah sangat
dipengaruhi oleh faktor komponen hasil tanaman, seperti : jumlah anakan
produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, dan menurunnya persentase
gabah hampa.
KESIMPULAN
Penerapan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah
ternyata mampu meningkatkan hasil gabah VUB Cisokan (7,31 t/ha), Inpari 21
Batipuah (6,15 t/ha), dan IR66 (5,63 t/ha). Ketiga VUB ini cocok dikembangkan
untuk memantapkan ketahanan pangan di Sumatera Barat

114
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA
Atman.2005. Pengaruh sistem tanam bershaf dengan P-starter (shafter) pada
padi sawah varietas Batang Piaman. Jurnal Stigma Vol. XIII No. 4,
Oktober-Desember 2005. Faperta Universitas Andalas Padang; hlm
579-582.
Bappeda dan BPS Provinsi Sumatera Barat. 2013. Sumatera Barat Dalam
Angka (Sumatera Barat in Figures) 2012/2013. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera
Barat;679 hlm.
Balitbangtan. 2007. Petunjuk Teknis Lapangan. Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Balitbangtan. 2013. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian;65 hlm.
Deptan. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) Padi. Departemen Pertanian; 38 hlm.
Dirjen Tanaman Pangan. 2015. Pedoman Teknis GP-PTT Padi 2015.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian; 100 hlm.
Distan Sumbar. 2013. Upaya Peningkatan Produksi Padi Tahun 2013 di
Provinsi Sumatera Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumatera
Barat; 72 hlm.
Hendayana, R., Zakiah, KG. Mudiarta dan E. Eko Ananto. 2014. Petunjukan
Pelaksanaan Pendampingan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu).
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian; 53 hlm.
Pikukuh, B., S. Roesmarkam, dan S.Z. Saadah. 2008. Pengenalan Varietas
Unggul Baru di Jawa Timur Untuk Mendukung Peningkatan Produksi
Beras Nasional (P2BN). Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitin
Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008; hlm. 219-225.
Simarmata, T. 2006. Teknologi Peningkatan Produksi Padi (TPPP ABG)
Berbasis Organik. PT. Gateway Internusa. Jakarta.
Suhendrata, T., E. Kushartanti, dan S. J. Munarso. 2008. Keragaan Beberapa
Varietas Unggul Baru Padi Di Lahan Sawah Irigasi Desa Pulir,
Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukohardjo. Prosiding Seminar
Apresiasi Hasil Penelitin Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2008; hlm. 245-264.
Sutaryo, B., dan T. Sudaryono.2012. Tanggap Sejumlah Genotipe Padi
Terhadap Tiga Tingkat Kepadatan Tanaman. Jurnal Ilmiah AGROS.
Fakultas Pertanian Universitas Janabadra Yogyakarta.

115
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KERAGAAN VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH DI LOKASI


PENDAMPINGAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN
TERPADU KABUPATEN MANDAILING NATAL

Jonharnas, Novia Chairuman dan Nieldalina

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jln. A.H Nasution No. B. Medan Sumatera Utara
Email : jonharnas@ymail.com

ABSTRAK

Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting


dalam peningkatan kuantitas dan kualitas hasil pertanian. Penggunaan varietas
unggul merupakan komponen utama dalamPengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) padi sawah. Di lokasi pengkajian varietas unggul mampu meningkatkan
hasil padi sawah 27–59%. Pengkajian dilaksanakan di lokasi pendampingan
SL-PTT padi di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal,
dari bulan April sampai Juli 2013. Menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan lima kali ulangan. Sebagai perlakuan ditempatkan varietas
unggul padi sawah, yaitu Cibogo, Inpari 3, Inpari 10, Inpari 13, Inpari 15, dan
Ciherang. Pengkajian bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul padi yang
mampu beradaptasi baik dan memberikan produksi tinggi. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa varietas Inpari 3 memberikan hasil tertinggi yaitu 8,10 t/ha
diikuti Inpari 13 dan Cibogo, Inpari 15 dan Inpari 10, masing-masing 7,50 t/ha
dan 7,00 t/ha, 6,90 t/ha dan 6,50 t/ha sedangkan Ciherang yang merupakan
varietas eksisting di lokasi pengkajian memberikan produksi sebesar 5,10 t/ha.

Kata kunci : SL-PTT, varietas unggul, padi sawah,

PENDAHULUAN
Beras merupakan bahan pangan yang utama untuk pemenuhan
kebutuhan makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Beras akan
mempunyai permintaan pasar yang terus meningkat sejalan dengan
pertumbuhan penduduk. Impor beras masih terus dilakukan untuk menjaga
persediaanberas nasional disebabkan tidak seimbang antara laju produksi
dengan besarnya konsumsi beras penduduk. Sudaryanto dkk. (2010),
memprediksi kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2020 sejalan dengan
pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dibutuhkan sekitar 37 juta ton.
Menurut Abdullah (2004), dengan laju pertambahan penduduk rata-rata 1,7 %
per tahun dan kebutuhan perkapita/tahun sebanyak 134 kg, maka pada tahun
2025 Indonesia harus mampu menghasilkan padi sebanyak 78 juta ton gabah
kering giling (GKG) untuk mencukupi kebutuhan beras nasional.
Menurut data BPS Sumut (2012), produktivitas rata-rata provinsi adalah
4,8 t /ha dengan rataan produktivitas di wilayah Pantai Timur sekitar lebih 6 t/ha
dan di wilayah Pantai Barat Sumatera masih sangat rendah sekitar 3,0-3,5 t/ha.
Rataan provinsi ini tentu masih di bawah produktivitas rata-rata nasional, yaitu
5,6 t/ha (BPS RI, 2012). Luas panen padi sawah di Kabupaten Mandailing
Natal tahun 2012 adalah seluas 35.308 ha, produksi 168.486 ton dengan

116
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

produktivitas 4,7 ton/ha. Rendahnya produktivitas padi ini, selain disebabkan


oleh menurunnya tingkat kesuburan tanah akibat pemupukan yang tidak
berimbang tanpa berdasarkan atas penilaian status hara tanah serta kebutuhan
tanaman (Setyorini dkk., 2003) juga disebabkan oleh penggunaan varietas yang
sama dari musim ke musim yang diyakini akan memberikan hasil tinggi, baik
kualitas maupun kuantitas. Menurut Jonharnas dkk. 2012, hasil survei di
lapangan menunjukkan bahwa di Kabupaten Mandailing Natal sebagian besar
petani padi (40%) menanam varietas Ciherang secara terus menerus.
Penggunaan varietas secara terus menerus dari musim ke musim dalam suatu
hamparan akan dapat memberikan hasil yang cenderung menurun (Ardjasa
dkk., 2004). Jenis padi yang ditanam secara terus menerus tanpa adanya
pergiliran varietas, akan mendorong peningkatan populasi hama dan penyakit
yang sebelumnya tidak merupakan permasalahan utama, menyebabkan pada
penurunan hasil (Suprapto dan Hafif, 2011; Ladja dan Widiarta, 2012). Oleh
karena itu, perlu dilakukan pergiliran varietas dengan penggunaan varietas
lainnya
Penerapan PTT padi dilaksanakan melalui Program Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Kegiatan ini secara
operasionaldilaksanakan mulai tahun 2010 hampir pada seluruh kabupaten di
Sumatera Utara. Kabupaten Mandailing Natal merupakan salah satu lokasi
yang mendapat pendampingan program SL-PTT padi. Pengelolaan Tanaman
Terpadu merupakan pendekatan dalam pengelolaan hara, air, tanaman dan
organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu dan berkelanjutan
dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman, pendapatan petani serta
menjamin keberlanjutan kelestarian lingkungan (Suryana dkk., 2008).
Penerapan komponen PTT nyata meningkatkan hasil gabah mencapai 30%
dan keuntungan secara ekonomi sebesar 38% dibandingan tanpa penerapan
komponen PTT (Chairuman dan Harnowo, 2013). Melaluipendekatan PTT,
petani disediakan komponen teknologi dasaryang adaptasinya luas dan
pengaruh positifnya terhadap produktivitas jelas, dan komponen teknologi
pilihan yang dapat dipilih disesuaikan dengan kondisi agroekologi setempat.
Komponen teknologi dasarterdiri daripenggunaan varietas unggul, benih
bermutu, pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status
hara tanah, pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (Makarim dkk.,
2003). Komponen teknologi pilihan terdiri dari pengolahan tanah sesuai musim
dan pola tanam, penggunaan bibit muda (< 21 HSS), tanam dengan jumlah bibit
terbatas antara 1- 3 bibit/lubang, pengaturan populasi tanaman secara optimum
(jajar legowo), pemberian bahan organik/pupuk kandang, pengairan berselang
(intermiten irrigation) secara efektif dan efisien, pengendalian gulma dengan
landak atau gasrok, serta panen dan penanganan pasca panen yang tepat
(Badan Litbang Pertanian,2009).
Salah satu skenario untuk meningkatkan produksi padi adalah melalui
inovasi teknologi yang telah dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian melalui display uji varietas unggul padi. Varietas unggul merupakan
salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas padi

117
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(Zaini dkk., 2009), baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman
maupun toleransi dan/atau ketahanannya terhadap cekaman biotik dan abiotik
(Jonharnas dan Chairuman, 2012). Makarim dan Las (2005) dan Imran dkk.
(2003), mengemukakan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dari
penggunaan varietas baru diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar
potensi hasil dan keunggulannya dapat terwujudkan. Penggunaan varietas
unggul merupakan paket teknologi yang paling murah dibandingkan dengan
komponen lainnya.

Untuk memberikan alternatif pilihan varietas maka uji beberapa varietas


di suatu tempat perlu dilakukan. Oleh sebab itu perlu diuji apakah varietas-
varietas padi tersebut dapat beradaptasi baik pada lingkunganspesifik lokasi
(Kaihatu dan Pesireron, 2011; Chairuman. 2013; Atman dkk., 2013). Hal ini
sangat berkaitan dengan potensi suatu varietas akan memberikan hasil yang
berbeda pada keragaman tempat dan iklim yang berbeda. Pengkajian
bertujuan untuk mendapatkan varietas padi yang beradaptasi baik pada
lingkungan spesifik lokasi dan mampu memberikan produksi yang tinggi.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian uji varietas unggul padi sawah dilaksanakan pada lahan
petani kooperator Pendampingan SL-PTT padi di Desa Sihepeng, Kecamatan
Siabu, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara dari bulan April
sampai Juli 2013. Menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan
diulang lima kali. Sebagai perlakukan adalah varietas unggul padi sawah yaitu
Cibogo, Inpari 3, Inpari 10, Inpari 13, Inpari 15, dan Ciherang dan di tanam pada
petak berukuran 10 x 20 m.
Teknologi budidaya yang diterapkan adalah komponen dasar dan
pilihan pada PTT padi sawah. Sebagain komponen dasar antara lain: 1.
Varietas unggul, 2. Benih bermutu dan bibit sehat (label unggu), 3. Pemupukan
spesifik lokasi berdasarkan perangkat uji tanah sawah (PUTS), dan 4
Pengendalian hama dan penyakit dengan prinsip PHT. Sedangkan komponen
pilihan yang diterapkan adalah 1. Pengolahan tanah sempurna (satu kali bajak
dan satu kali garu menggunakan traktor), 2. Umur bibit 15 hari setelah semai
(HSS), 3. Tanam bibit sebanyak 3 bibit/rumpun, 4. Bahan organik (pupuk
kandang sapi) 2 t/ha, 5. Sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan jarak tanam
(40) x (20x 10 cm). 6. Penyiangan secara manual tangan 7. Pengairan sesuai
kebutuhan tanaman(pengairan berselang), dan 8. Panen menggunakan sabit
dan gabah dirontok dengan power tresher.

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah anakan produktif/m2(batang),


tinggi tanaman saat panen (cm),jumlah gabah bernas/malai (butir), jumlah
gabah hampa/malai (butir), persentase gabah hampa/malai (%), bobot 1.000
butir (g) dan hasil gabah kering giling( GKG) yang didapat dari konversi hasil
panen/plot ke hasil/hektar. Data-data ditabulasi kemudian dianalisis secara
statistik menggunakan analisis of variance (ANOVA) dan untuk melihat

118
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple


Range Test (DMRT) pada taraf 5 % (Gomez dan Gomez. 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keragaan tinggi tanaman dan anakan produktif
Hasil analisis terhadap tinggi tanaman dan anakan produktif dari 6
varietas unggul padi sawah yang dikaji disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif beberapa
varietas unggul padi sawah di Kabupaten Mandailing Natal. Tahun
2013
Tinggi tanaman Anakan produktif
No. Varietas Padi
(cm) (batang/m2)
1. Cibogo 114,1 a 316,2 ab
2. Inpari 3 111,2 ab 353,6 a
3. Inpari 10 110,0 ab 290,2 ab
4. Inpari 13 109,0 ab 319,2 ab
5. Inpari 15 103,4 b 304,3 ab
6. Ciherang 107,4 ab 174,8 b
KK (%) 5,37 40,04
Keterangan : Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang
sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% DMRT
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas
memberikan perbedaan nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan
produktif. Pada Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata tinggi tanaman berkisar antara
103,4-114,1 cm, dimana tinggi tanaman tertinggi didapatkan oleh varietas
Cibogo (114,1 cm) dan berbeda nyata dengan varietas Inpari 15 (103,4 cm),
tapi tidak berbeda nyata dengan empat varietas lainnya. Hasil pengamatan
keragaan tinggi tanamandari semua varietas yang dikaji menunjukkan angka
hampir mendekati dari deksripsinya (BB Padi, 2010).
Selanjutnya, jumlah anakan produktif yang diamati dalam luasan 1
meter persegi berkisar antara 174,8-353,6 atau setara dengan 4,4-9,1
batang/rumpun. Jumlah anakan produktif terbanyak dimiliki oleh varietas Inpari
3 (353,6 batang/m2) atau setara dengan 9,1 batang/rumpun dan berbeda nyata
dengan varietas Ciherang (174,8 batang/m2) atau setara dengan 4,4
batang/rumpun, varietas ini merupakan varietas yang banyak ditanam petani di
lokasi pengkajian. Namun jumlah anakan produktif yang dimiliki oleh varietas
Inpari 13 (319,2 batang/m2), Cibogo (316,2 batang/m2), Inpari 15 (304,3
batang/m2), dan Inpari 10 sebanyak 290,2 batang/m2secara statistik
menunjukkan tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 3. Varietas yang
memiliki jumlah anakan produktif terbanyak cenderung diikuti oleh tingkat hasil
gabah yang tinggi (Jonharnas, dkk. 2010).

Keragaan komponen hasil


Komponen hasil yang diamati adalah jumlah gabah bernas/malai (butir),
persentase gabah hampa/malai (%) dan bobot 1.000 butir (g). Hasil analisis

119
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas unggul padi sawah


memberikan perbedaan nyata terhadap jumlah gabah bernas/malai dan
persentase gabah hampa/malai, sedangkan terhadap bobot 1.000 butir tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 2).
Tabel 2. Gabah bernas, persentase gabah hampa, dan bobot 1.000 butirenam
varietas unggul padi di Kabupaten Mandailing Natal.Tahun 2013.
Gabah Persentase Bobot 1.000
No. Varietas padi bernas/malai gabah hampa butir
(butir) (%) (g)
1. Cibogo 96,2 ab 18,2 a 27,3 a
2. Inpari 3 115,2 ab 16,2 a 26,5 a
3. Inpari 10 98,2 ab 20,1 a 26,1 a
4. Inpari 13 118,9 a 22,1 a 24,6 a
5. Inpari 15 96,6 ab 21,0 a 25,2 a
6. Ciherang 93,3 b 35,6 b 26,2 a
CV (%) 15,76 36,43 5,14
Keterangan : Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama
berbeda tidak nyata pada taraf 5% DMRT.
Rata-rata jumlah gabah bernas/malai dari enam varietas yang diuji
berkisar antara 93,3–118,9 butir. Gabah bernas/malai terbanyak diperoleh
pada varietas Inpari 13 (118,9 butir) dan namun tidak berbeda nyata terhadap
varietas Cibogo, Inpari 3, Inpari 10 dan Inpari 15. Varietas Ciherang memiliki
jumlah gabah bernas paling sedikit (93,3 butir) dan berbeda nyata terhadap
varietas lainnya. Rata-rata persentase gabah hampa dari semua varietas
berkisar antara 18,2–35,6%. Persentase gabah hampa termasuk rendah
didapatkan pada varietas Inpari 3 dan Cibogo, sedangkan persentase gabah
hampa tertinggi diperoleh pada varietas eksisting Ciherang. Tingginya
persentase gabah hampa pada varietas Ciherang ini disebabkan tingginya
tingkat kerusakan tanaman akibat adanya gejala penyakit hawar daun bakteri,
menyebabkan pada penurunan hasil oleh karena itu pergiliran varietas sudah
harus dilakukan. Gejala dimulai dari tepi daun, berwarna keabu-abuan dan
lama-lama daun menjadi kering. Bila serangan terjadi saat berbunga, proses
pengisian gabah menjadi tidak sempurna, menyebabkan gabah tidak terisi
penuh atau bahkan hampa (Khaeruni dkk., 2014). Pada kondisi seperti ini
kehilangan hasil mencapai 50-70 persen.
Bobot 1.000 butir gabah berkisar antara 26,1-27,3 g, dimana bobot
1.000 butir gabah tertinggi adalah varietas Cibogo (27,3 g) dan hampir
mendekati pada deskripsinya yaitu 28 g sedangkan bobot 1.000 butir gabah
paling rendah adalah varietas Inpari 10 (26,1 g) dan lebih rendah dari
deksripsinya (27,7 g).
Hasil Gabah
Analisis sidik ragam terhadap hasil gabah kering giling diperoleh bahwa
perlakuan varietas unggul padi memberikan pengaruh nyata (Tabel 3).

120
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Hasil gabah dan peningkatan hasil gabah enam varietas unggul padi
di Kabupaten Mandailing Natal.Tahun 2013.
Hasil GKG Persentase peningkatan
No. Varietas padi
(t/ha) Hasil (%)
1. Cibogo 7,00 a 37,2
2. Inpari 3 8,10 a 58,8
3. Inpari 10 6,50 ab 27,4
4. Inpari 13 7,50 a 47,1
5. Inpari 15 6,90 ab 35,3
6. Ciherang 5,10 b -
CV (%) 18,42
Keterangan : Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang
sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% DMRT.
Hasil gabah kering giling (GKG) berkisar antara 5,10-8,10 t/ha. Hasil
GKG tertinggi sebesar 8,10 t/ha diperoleh oleh varietas Inpari 3, kemudian
diikuti oleh varietas Inpari 13 (7,5 t/ha) dan Cibogo sebesar 7,0 t/ha. Produksi
GKG yang dicapai oleh ketiga varietas ini berbeda nyata dengan produksi GKG
yang dicapai oleh varietas Ciherang sebesar 5,10 t/ha. Persentase
peningkatan hasil gabah tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 3 (58,8%) dan
paling rendah pada varietas Inpari 10 (27,4%) dibanding hasil yang dicapai oleh
varietas Ciherang yang sudah eksis ditanam petani di lokasi penelitian.Jika
dibandingkan dengan potensi hasil gabah kering giling (BB Padi. 2010) ternyata
varietas Inpari 3 yang mampu memberikan hasil sebesar 8,10 t/hamelebihi dari
potensinya sebesar (7,50 t/ha). Sedangkan varietas Cibogo sebesar 7,00 t/ha
lebih rendah dari potensi hasilnya (8,10 t/ha), namun masih sama dengan rata-
rata hasilnya sebesar 7,00 t/ha. Inpari 13 dengan produksi sebesar 7,50 t/ha
mendekati potensi hasilnya sebesar 8,00t/ha, tetapi masih lebih tinggi dari rata-
rata hasilnya (6,60t/ha).
KESIMPULAN
Varietas Inpari 3, Cibogo, dan Inpari 13, memberikan hasil dan
persentase peningkatan hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Ciherang yang
merupakan varietas yang selalu dan banyak ditanam di lokasi pengkajian.
Ketiga varietas ini merupakan varietas unggul padi sawah yang adaptif pada
lingkungan spesifik, sehingga dapat dikembangkan di wilayah Kecamatan
Siabu, Kabupaten Mandailing Natal dan sekitarnya. Varietas Inpari 10 dan
Inpari 15 juga merupakan varietas yang memiliki potensi untuk dikembangkan
di wilayah sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B. 2004. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUB lainnya. Makalah


disampaikan pada pelatihan pengembangan varietas unggul tipe baru
(VUTB) Fatmawati dan VUB lainnya, 31 Maret- 3 April 2004, di Balitpa
Sukamandi.
Atman, N. Chairuman, dan Dahono. 2013. Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru
Padi SawahBerbasis Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sumatera
Barat. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik. BBPPTP.
Buku 1. Medan 6-7 Juni 2012:258-262

121
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Ardjasa, W.S., Suprapto, dan B. Sudaryanto. 2004. Komponen teknologi


Unggulanusahatani padisawah irigasi di Lampung. Buku III Kebijakan
Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Puslitbang Tanaman Pangan
Bogor (III): 653-666.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2012. Sumatera Utara Dalam
Angka2012. Badan Pusat Statistik. Provinsi Sumatera Utara.
Badan Litbang Pertanian,2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian; 20 hlm.
BB Padi. 2010. Deskripsi varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi;
109
Chairuman, N dan D. Harnowo. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Sawah
Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Kabupaten Deli
Serdang. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik.
BBPPTP. Buku 1. Medan 6-7 Juni 2012.
Chairuman, N. 2013. Kajian Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Padi
Sawah Berbasis Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di
Dataran Tinggi Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara. Jurnal online
Pertanian Tropik Pasca Sarjana FP USU. Vol.1, No.1:47-54
Gomez, K.A dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian
pertanian. (terjemahan). Universitas Indonesia. Edisi ke-2.
Jonharnas 2012. Keragaan Varietas Unggul Baru Padi Sawah Dalam Upaya
Peningkatan Hasil Dan Pendapatan Petani Mendukung Program Mp3mi
Di Kabupaten Mandailing Natal. Prosiding Seminar Nasional Dan Rapat
Tahunan Bidang Ilmu-Ilmu PertanianBKS – PTN Wilayah Barat Tahun
2012. Tema Peningkatan Presesi Menuju Pertanian Berkelanjutan.
Medan 3 -5 April 2012. Hal 224-228.
Jonharnas dan N, Chairuman. 2012. Kajian Adaptasi Varietas Unggul Baru Padi
pada Lahan Sawah dengan Kandungan Besi (Fe) Tinggi di Desa Binjai
Serdang Bedagai Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional dan
Rapat Tahunan Bidang Ilmu-ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat
Tahun 2012. Vol. 1. Fakultas Pertanian USU.
Jonharnas, N Chairuman, dan S. Zein 2010. Penampilan Beberapa Galur
Harapan Padi Sawah di Deli Serdang Sumatera Utara. Inovasi
Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan mendorong
Ekspor Beras. Prosiding Seminar Nasional hasil Penelitian Padi 2009.
Hal 115-121.
Imran, A., S. Sama, Suriany& D. Baco. 2003. Uji Multilokasi Beberapa Galur
dan Kultivar Padi Superior Baru di Daerah Sidrap, Wajo dan Soppeng di
Sulawesi Selatan. Jurnal Agrivigor 3: 74-92.
Kaihatu, S. S. dan M. Pesireron. 2011. Adaptasi Beberapa Varietas Unggul
Baru Padi Sawah di Morokai. J. Agrivigor 11(2): 178-184.
Khaeruni, A., M. Taufik, T. Wijayanto, E. A. Johan. 2014. Perkembangan
Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Tiga Varietas Padi Sawah yang
Diinokulasi pada Beberapa Fase Pertumbuhan. Jurnal Fitopatologi
Indonesia. Vol. 10, No. 4, Hal. 119–125
Ladja, F. T. dan I. N. Widiarta. 2012. Varietas Unggul Baru Padi untuk
Mengantisipasi Ledakan Penyakit Tungro. Iptek Tanaman Pangan Vol.
7 No. 1.
Makarim, A. K., I.N. Widiarta, S. Hendarsih, dan S. Abdurachman. 2003.
Panduan Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit
Tanaman Padi Secara Terpadu. Puslitbangtan.

122
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Makarim, A.K. & I. Las. 2005. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi


Sawah Irigasi melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman
dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Hal. 115-127.
Setyorini, D., J. S. Adiningsih,&S. Rochayati. 2003. Uji TanahSebagai Dasar
Penyusunan Rekomendasi Pemupukan. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Sudaryanto, T., R. Kustiari, dan H.P. Saliem. 2010. Perkiraan kebutuhan
pangan tahun 2010 - 2050. hlm. 1 - 23 Dalam Buku Analisis Sumber
Daya Lahan Menuju Ketahanan Pangan Bekelanjutan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. hlm. 163.
Suprapto dan B. Hafif. 2011. Serangan Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis
Medinalis) (Guenee) dan Penampilan Agronomik pada Beberapa
Varietas Padi. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (1):36-42.
Suryana, A., Suyamto, Zubachtirodin, Mappaganggang, S. Pabbage, S.
Saenong, dan I N. Widiarta. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Zaini, Z, S. Abdurrahman, N. Widiarta, P. Wardana, D. Setyirini, S.
Kartaatmadja, dan M. Yamin. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah.
Departemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 20 hal.

123
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PERBAIKAN INOVASI TEKNOLOGI MENDUKUNG PROGRAM


PENINGKATAN PRODUKSI PADI DI DATARAN TINGGI
JAYA WIJAYA, PAPUA

Demas Wamaer

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku


Jl. CH. Soplanit, Rumah Tiga, Poka, Ambon
Email: wamaerdemas@yahoo.com

ABSTRAK

Kabupaten Jaya wijaya pada tahun 2011 telah dilaksanakan SLPTT


padi di tiga lokasi, yaitu Pikhe, Tulem dan Aikima. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif dengan teknik survey eksploratif. Data yang diperoleh
ditabulasi, dianalisis secara statistik dan dideskripsikan sesuai tujuan
pengkajian dengan menggunakan analisis SWOT. Yang bertujuan memperoleh
rekomendasi kebijakan pembangunan pertanian antisipatif terutama
menyangkut perbaikan inovasi teknologi bagi peningkatan produksi beras di
wilayah dataran tinggi Jayawijaya di Provinsi Papua. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengembangan padi dengan pendekatan SL-PTT di
Kabupaten Jayawijaya kurang berkembang, karena pelaksanaan SL-PTT tidak
dilakukan secara berkesinambungan, sehingga petani belum memiliki
kemampuan untuk mengelola usahatani padinya dengan inovasi PTT yang
pernah dianjurkan. Dari hasil analisis SWOT dikemukakan 4 strategi yang
diajukan terkait dengan P2BN, yaitu: (1) SO Strategi: program yang mendorong
terjalinnya kerjasama usaha pertanian dengan pihak swasta (perusahaan
pertanian yang ingin melakukan investasi) dengan Pemerintah Daerah (Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan), (2) ST Strategi: program
pembinaan/pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki, (3) WO Strategi: program penyediaan
sarana-prasarana maupun teknologi dan (4) WT Strategi: program penguatan
kelembagaan.

Kata Kunci: Inovasi Padi, P2BN, Dataran Tinggi, Papua

PENDAHULUAN

Program pendampingan SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan


Sumberdaya dan Tanaman Terpadu) telah dilaksanakan secara nasional
selama kurang lebih 3 tahun, termasuk di Provinsi Papua. Akan tetapi
pengembangan padi di Papua belum menunjukkan peningkatan produksi yang
signifikan. Tentu ada faktor-faktor yang menjadi penghambatnya, maka faktor-
faktor itu perlu diungkap, agar rencana aksi yang telah diprogramkan untuk
mendukung swasembada pangan terutama beras di dataran tinggi Papua.

Kabupaten Jayawijaya telah dijadikan salah satu lokasi SLPTT pada tahun
2011, sehingga perlu dilakukan studi bagaimana pelaksanaan kegiatan
tersebut dan dampaknya terhadap peningkatan produksi beras secara lokal di
Kabupaten Jayawijaya. Secara umum Papua merupakan salah satu provinsi

124
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yang memiliki wilayah dan agroekosistem yang sangat beragam, mulai dari
dataran rendah berawah disekitar pesisir utara dan selatan sampai daerah
pegunungan yang memiliki tingkat kelerengan yang sangat curam di daerah
pegunungan tengah (Deptan 2007).

Luas lahan sawah di Jayawijaya sekitar 500 ha tersebar pada 4 Distrik


dengan produksi baru mencapai 2,7 t/ha GKG (Distan Jayawijaya 2006).
Produktivitas tersebut masih sangat rendah bila dibandingkan dengan hasil
produksi padi dataran tinggi lainnya yang rata-rata 4 - 6 ton/ha GKG. Masalah
utama rendahnya produksi padi di Jayawijaya adalah pengetahuandan
kemampuan petani dalam menerapkan teknologi budidaya padi yang sesuai
dengan kondisi lahan setempat, dan ketersediaan benih varietas padi unggul di
tingkat petani, sehingga petani menggunakan varietas seadanya yang tidak
jelas dan tidak berlabel, masalah kekeringan/kebanjiran yang dapat terjadi
karena belum ditetapkannya jadwal tanam.

Hasil penelitian Djufry dan Kasim (2011) menunjukkan bahwa dari 7


varietas yang diintroduksi di dua lokasi (Pikhe dan Tulem), varietas sarina
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding 6 varietas lainnya. Walaupun
luas lahan dan produktivitas kecil, akan tetapi secara lokal produksi padi sawah
di Jayawijaya meningkat dari tahun ke tahun pada lima tahun terakhir (2006-
2010) menurut BPS (2011), yaitu 262 ton (2006), 275 ton (2007), 333 ton
(2008), 350 ton (2009) dan 778 ton (2010).

Menurut Hutabarat (2001), identifikasi kebutuhan investasi publik yang


dilakukan dengan tepat dan pembangunan sarana dan prasarana yang sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dan wilayah akan mendorong
pembangunan pertanian. Dengan demikian menurut Hutabarat (2001),
penelitian mempunyai dampak yang berbeda bagi kelompok masyarakat yang
berbeda. Namun, apabila jasa infrastruktur dan kelembagaan pedesaan yang
tersedia berjalan seiring mendukung penelitian dan pengembangan, dampak
diskriminatif tersebut dapat dikurangi.

Hasil penelitian Djufry dan Wamaer (2011), menyebutkan ketersediaan


pangan (padi, jagung, kedelai, ubi jalar) di beberapa kabupaten di provinsi
Papua masih terbatas, termasuk kabupaten Jayawijaya, oleh karena itu
diperlukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan produksi pangan,
salah satunya melalui peningkatan produksi beras.

Kajian ini bertujuan memperoleh strategi yang digunakan sebagai dasar


untuk membuat rekomendasi kebijakan pembangunan pertanian antisipatif
terutama menyangkut perbaikan inovasi teknologi bagi peningkatan produksi
beras di wilayah sentra pengembangan komoditas padi dataran tinggi di
Provinsi Papua.

125
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE


Metode Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan pengkajian menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif
melalui survey yang dilakukan dengan jalan pengumpulan data sekunder,
wawancara dengan pengambil kebijakan (kepala-kepala dinas terkait) dan
tokoh masyarakat adat, pengumpulan data dari petani lokal dengan
menggunakan kuisioner terstruktur melibatkan responden yang representatif
pada tiap lokasi terpilih (kecamatan atau desa) yang saat pelaksanaan kajian
masih melaksanakan usahatani padi. Dengan demikian tepilih tiga lokasi yang
masih mengusahakan padi, yaitu Pikhe, Tulem dan Aikima.

Metode analisis data

Data yang diperoleh ditabulasi, dianalisis secara statistik dan dideskripsikan


sesuai tujuan pengkajian dengan menggunakan analisis SWOT. Untuk analisis
SWOT, data kuantitatif mengenai penilaian faktor-faktor pengelolaan untuk
menentukan arahan strategi pengembangan padi, baik faktor internal maupun
eksternal dianalisis dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses,
Opportunities, and Threats) untuk memperoleh arahan kebijakan yang tepat
dalam pengembangan padi, khususnya pelaksanaan SLPTT di lokasi
penelitian. Sebelum melakukan analisis SWOT, perlu melakukan evaluasi
terhadap faktor internal dan faktor eksternal yang berdampak pada kesuksesan
atau kegagalan dalam pengembangan padi dengan pendekatan SLPTT.
Evaluasi tersebut dalam bentuk matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan
External Factor Evaluation (EFE).

Secara umum dikatakan kekuatan, apabila kondisi internal tersebut menjadi


pendorong keberhasilan sistem dan kelemahan apabila kondisi internal
tersebut menjadi hambatan bagi sistem. Sedangkan peluang, apabila kondisi
eksternal menjadi pendorong keberhasilan sistem dan ancaman, apabila
kondisi eksternal menjadi hambatan keberhasilan sistem. Semua faktor
tersebut ditentukan bobotnya, dimana bobot memperlihatkan tingkat
kepentingan faktor tersebut. Jumlah bobot seluruh faktor, baik internal maupun
eksternal harus sama dengan 1,0 atau 100 persen. Umar (2008) menyatakan
pilihan bobot terdiri dari: (1) 0,20 atau 20 persen : tinggi atau kuat; (2) 0,15 atau
15 persen : di atas rata-rata; (2) 0,10 atau 10 persen : rata-rata; (3) 0,05 atau 5
persen : di bawah rata-rata; (4) 0,00 atau 0 persen : tidak terpengaruhi.

Setelah menentukan bobot dari masing-masing faktor, kemudian


menentukan rating dari masing-masing faktor tersebut dengan pilihan rating
menurut Umar (2008) sebagai berikut: (1) Rating 4 : responden superior
terhadap faktor-faktor tersebut; (2) Rating 3 : responden di atas rata-rata
terhadap faktor-faktor tersebut; (4) Rating 2 : responden rata-rata terhadap
faktor-faktor tersebut; (3) Rating 1 : responden di bawah rata-rata terhadap
faktor-faktor tersebut.

126
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Jika bobot dan rating telah ditentukan, maka data-data tersebut dapat diolah
menjadi arahan strategi pengembangan padi dengan menggunakan analisis
SWOT. Matriks SWOT merupakan matching tools yang penting untuk
membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan empat tipe strategi,
yaitu: (1) SO Strategies : dimana kekuatan internal sistem digunakan untuk
meraih peluang-peluang yang ada di luar sistem; (2) WO Strategies : bertujuan
untuk memperkecil kelemahan internal sistem dengan memanfaatkan peluang-
peluang eksternal; (3) ST Strategies : dimana sistem berusaha agar mampu
menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal; (4)
WT Strategies : merupakan taktik untuk bertahan yang diarahkan untuk
mengurangi kelemahan-kelembahan internal dan menghindari dari ancaman-
ancaman lingkungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sebaran berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tingkat pendidikan di 3
lokasi penelitian (Gambar 1).

Pikhe Aikima Tulem


10 10
10
8
7 7
6
4 4
3 3 33
2 2 2 2 2
1 1
000 0

L P Prod Tdk SD SLP SLA PT


Jenis Kelamin Kategori Umur Tkt. Pendidikan

Gambar 1. Sebaran 30 responden petani padi menurut jenis kelamin, umur,


dan tingkat pendidikan di Lokasi Penelitian Tahun 2012.
Catatan : Umur produktif 15 – 55 th; umur tidak produktif: >55 th.

Sebaran tersebut menunjukkan bahwa jawaban-jawaban yang diberikan


dalam diskusi group (FGD) dapat mewakili petani yang berada di lokasi
pengkajian, karena terdapat variasi pada jenis kelamin, kategori umur dan
tingkat pendidikan.

Dalam upaya memahami kondisi petani sebagai sasaran penyuluhan, dapat


dipelajari pula dari kemampuan petani mengelola usahataninya, terutama
karena didukung tersedianya tenaga kerja keluarga dan juga pengalaman
berusahatani (Gambar 2).

127
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pikhe Aikima Tulem

10 10 10
8
6
5 5
4 4
3 3
2 2 2
0 0 0 0

L P Pengalaman Tidak < 1 ha ≥ 1 ha


Tenaga Kerja Pengalaman Berusahatani Luas Sawah

Gambar 2. Sebaran 30 Petani Padi Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja,


Pengalaman Berusahatani, dan Luas Sawah, di 3 Lokasi
Penelitian,Tahun 2012

Pada umumnya responden menyatakan bahwa modal dan sarana


produksi menjadi faktor produksi yang sangat dibutuhkan petani dalam
berusahatani, selain itu pasar juga menjadi salah satu faktor penting dalam
usahatani yang berorientasi agribisnis (Gambar 3).

Pikhe Aikima Tulem


7 7 7 7
6 6 6
5
4 4
3 3 3
2 2 2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1

Mudah Agak Sulit Sulit Mudah Agak Sulit Sulit Mudah Agak Sulit Sulit
Modal Saprodi Pasar

Gambar 3. Sebaran Jawaban 30 Petani Padi Berdasarkan Akses Thd Modal


Usahatani, Saprodi dan Pasar, di Jayawijaya, Tahun 2012
Percepatan adopsi teknologi dapat terjadi jika petani memiliki kemauan
dan kemampuan untuk mengakses informasi yang tersedia melalui berbagai
media komunikasi (Gambar 4). Umumnya responden menyatakan masih sulit
mengakses informasi.

128
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pikhe Aikima Tulem

10
8 9 9 8 9 8 7
4 5
2 1 1 2 1 1 1 1 1 2
0 0 0 0 0 0 0

Mudah Agak Sulit Sulit Mudah Agak Sulit Sulit Mudah Agak Sulit Sulit
TV Radio Media Cetak

Gambar 4. Sebaran Jawaban 30 Petani Sampel Berdasarkan Akses Terhadap


Informasi melalui TV, Radio, dan Media Cetak

Pemahaman tentang teknologi yang dilaksanakan dengan pendekatan


SL-PTT dapat pula dikaji melalui intensitas kunjungan PPL ke petani, kunjungan
petani ke BPP untuk mendapatkan informasi teknologi, dan juga pelaksanaan
demonstrasi plot (Gambar 5). Umumnya responden menyatakan PPL sudah
menjalankan tugasnya dengan baik, namun belum optimal.

Pikhe Aikima Tulem


9 9 9
8 8 8 8 8
7

2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0

Sering Kadang2 Tdk Sering Kadang2 Tdk Sering Kadang2 Tdk


pernah pernah pernah
Kunjungan PPL Ke petani Kunjungan Petani ke BPP Pelaksanaan Demplot

Gambar 5. Sebaran Jawaban 30 Petani Sampel Thd Kunjungan PPL ke Petani


dan BPP serta Pelaksanaan Demplot

Dari FDG yang dilakukan, petani menyebutkan kisaran produksi, kisaran


bagian yang dikonsumsi, serta proporsi yang dijual disertai kisaran nilai jualnya
seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

129
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

3,300
Pikhe Aikima Tulem

1,500

900

390
205 280 125 75
275
25 25 25

Rata2 Produktivitas Rata2 produksi (kg) Nilai Jual (Rp000) Rata2 Konsumsi (kg)
(kw/ha)

Gambar 6. Rata-rata Produktivitas, Rata-rata Produksi, Nilai Jual dan Rata-rata


Konsumsi di 3 Lokasi Penelitian, Tahun 2012
Catatan: Dijual dalam kemasan karung, 1 karung setara 20 kg
dengan harga Rp 240.000 dan 50 kg dengan harga Rp 600.000,-

Pada umumnya petani akan mengembangkan usahataninya, jika


didukung oleh ketersediaan teknologi di tingkat petani. Namun sebagian besar
petani belum mengenal dan memahami jenis teknologi padi yang telah
diajarkan melalui SL-PTT (Tabel 1).

Tabel 1. Teknologi padi yang telah dikenal petani di Jayawijaya, Tahun 2012
Jenis teknologi
No. Lokasi
Benih Produksi Pasca Panen
1. Pikhe Belum Sudah Belum
2. Aikima Belum Sudah Belum
3. Tulem Belum Sudah Belum

Kondisi Penyuluhan Pertanian di Kabupaten Jayawijaya

Tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) Badan Pelaksana Penyuluhan


Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Jayawijaya, telah
dijabarkan dalam Programa Penyuluhan sebagai suatu bentuk upaya yang
dilakukan dalam mengakomodir program-program sub sektor lingkup Dinas
Pertanian, Peternakan dan Kehutanan di Kabupaten Jayawijaya. Tujuannya
adala untuk merencanakan kegiatan penyuluhan yang dapat dikerjakan secara
sistematis dalam rangka meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian dan
sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat tani dan keluarganya.
Sasaran utama penyusunan programa ini adalah meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dan kelembagaan tani, serta pemanfaatan sumber daya
alam secara produktif dan bijaksana. Oleh karena itu penggunaan metode yang
tepat dalam implementasi program penyuluhan akan mendukung tercapainya
target/sasaran. Selain itu penyebaran tenaga PPL perlu dilakukan secara

130
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

merata dalam setiap WKPP. Penyebaran PPL di XI WKBPP lokasi penelitian


(Gambar 7).

Jumlah Kampung Jumlah PPL (org) Ratio*)


20
17
1414 15

98 9 8 8 8
6 5
3 43 33 4 4 4 4 5
1 1 2 2 2 12 2 22

Gambar 7. Jml Kampung, Jml PPL dan Ratio PPL dengan WKPP di Jayawijaya,
Tahun 2012
Sumber: BP4K Kabupaten Jayawijaya, 2010. *)
Keterangan ratio PPL dengan Kampung : 1=1:1; 2=1:2; 3=1:3 dan
4=1:4

Dilihat dari penyebaran petugas PPL memang belum merata ke seluruh


WKPP (Gambar 7) dengan rasio 1:2, akan tetapi dengan kehadiran PPL maka
pelaksanaan program SLPTT bisa dapat dilaksanakan dengan baik melalui
demonstrasi plot, media cetak, maupun melalui media elektronik seperti CD
dengan metode interpersonal untuk mendiseminasikan teknologi padi.

Untuk menunjang aktivitas masyarakat, termasuk penyebaran inovasi


teknologi pertanian di 3 lokasi penelitian, maka beberapa sarana transportasi
dan komunikasi cukup mendukung (Tabel 2).

Tabel 2. Ketersediaan sarana transportasi dan komunikasi pada 3 lokasi


penelitian, di Jayawijaya, Tahun 2012
No. Jenis Sarana Pikhe Aikima Tulem
1. Sepeda motor 47 3 17
2. Mobil 5 2 4
3. SSB 0 0 0
4. TV 23 8 26
5 Radio 42 10 20
6. Telephone 0 0 0
Sumber: BPP Hom-Hom (2011)

131
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Penduduk dan Wilayah

Jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya sampai dengan tahun 2010


berjumlah 196.085 jiwa yang tersebar di 11 distrik dan 117 kampung, dengan
luas wilayah 2.764.945,138 km2 (Gambar 8).

Luas Wilayah (km2)

1,101,529.00
1,071,917.00

42,258.32
151,917.00 112,579.07 112,258.00 62,258.30
32,487.45 22,767.00 12,487.00 42,487.00

Gambar 8. Nama 11 Distrik dan Luas Wilayah


Sumber: BPS, 2011.

Analisis Kebijakan dengan Pendekatan SWOT

Untuk menentukan arah kebijakan pengembangan padi dengan


pendekatan SLPTT mendukung P2BN, baik faktor internal maupun eksternal
dianalisis dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and
Threats). Sebelum melakukan analisis SWOT, telah dilakukan evaluasi
terhadap faktor internal dan faktor eksternal yang berdampak pada kesuksesan
atau kegagalan dalam pengembangan SLPTT. Evaluasi tersebut dalam bentuk
matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE).

Berdasarkan hasil evaluasi EFI dan EFE (Lampiran 1) dan juga analisis
SWOT (Lampiran 2), dapat dikemukakan 4 kebijakanyang perlu diambil terkait
dengan P2BN di Dataran Tinggi Jaywijaya, Papua, yaitu: (1) SO Strategi:
program yang mendorong terjalinnya kerjasama usaha pertanian dengan pihak
swasta (perusahaan pertanian yang ingin melakukan investasi) dengan
Pemerintah Daerah (Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan), (2) ST Strategi:
program pembinaan/pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki, (3) WO Strategi: program penyediaan
sarana-prasarana maupun teknologi untuk mendukung pengembangandan (4)
WT Strategi: program penguatan kelembagaan, terutama kelembagaan adat
(hak penguasaan tanah/masalah tanah) dan kelembagaan yang terkait dengan
usahatani (BPR/BPD/Koperasi) maupun dengan kelompok tani melalui
pelatihan.

132
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN
Pengembangan padi dengan pendekatan SL-PTT di Kabupaten Jayawijaya
kurang berkembang, karena pelaksanaan SL-PTT tidak dilakukan secara
intensif dan berkesinambungan, sehingga petani belum memiliki kemampuan
untuk mengelola usahatani padinya dengan inovasi PTT yang dianjurkan.
SARAN
Untuk mengantisipasi kerawanan pangan perlu pengembangan padi
dengan pendekatan PTT agar produksi padi dapat ditingkatkan, dengan
demikian perlu upaya untuk memprogramkan SL-PTT padi, secara khusus
untuk pengembangan padi dataran tinggi, seperti Sarinah, sebagai inovasi yang
perlu dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2007. Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian
Provinsi Papua dan Papua Barat Berbasis Sumber Daya. Matriks dan
Daftar Pertanyaan Kunci Survei Biofisik dan Sosial Ekonomi Provinsi
Papua dan Papua Barat. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian.
____________________. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.
BPS. 2004. Statistik Potensi Desa Provinsi Papua 2003. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
BPS. 2006. Papua Dalam Angka. Kantor Statistik Provinsi Papua. Jayapura.
Djufry, F. dan D. Wamaer, 2011. Kajian Strategi Kebijakan Kerawanan Pangan
di Provinsi Papua. Dalam Subejo, L.R.Waluyati, S.P. Wastuningsih, A.
Suryantini, A.W. Utami, D.W. Untari, dan Sugiyarto. Prosiding Seminar
Nasional Hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
------------ dan A. Kasim. 2011. Pengembangan PTT Padi di Dataran
Tinggi melalui Introduksi Varietas Unggul Baru dan Pemupukan
Organik di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Laporan
Penelitian Kerjasama Ristek.
Hutabarat, B. 2001. Investasi Publik Pada Sektor Pertanian di Era
Otonomi Daerah. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 19, No. 2,
Desember 2001. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Sinulingga, N.M. 2004. Kebijaksanaan Penganekaragaman Pangan Untuk
Meningkatkan Ketahanan Pangan. Prosiding Loka Karya
Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal, Jayapura 2 – 4 Desember
2003. Penyunting: Y.P. Karafir, H. Matanubun, Sunarto, Y. Abdullah, B.
Nugroho, dan M.J. Tokede. Universitas Negeri Papua. Manokwari.
Sudaryanto, T. dan Tri Pranadji. 2006. Transformasi Kelembagaan Untuk
Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian Pada Masyarakat
Papua.
Umar, H. 1999. Riset Strategi Perusahaan. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

133
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Lampiran 1. Hasil Evaluasi Faktor Internal (EFI) dan Eksternal (EFE)


Pengembangan Padi di Jayawijaya
Uraian Faktor Internal dan
No. Bobot Rating Skor
Eksternal
Kekuatan :
Kepemilikan asset sumberdaya
1 0,098 4 0,392
lahan
2 Gotong Royong 0.098 4 0,392
3 Motivasi untuk maju/berkembang 0,105 4 0,42
Kelemahan:
Rendahnya kemampuan modal
1 keluarga tani (kaitannya dengan 0,128 1 0,128
pembiayaan usahatani)
Rendahnya ketrampilan budidaya
tanaman pangan (kaitannya
2 0,097 2 0,194
dengan penerapan teknologi
secara baik)
Rendahnya kemampuan manejerial
3 (kaitannya dengan pengelolaan 0,098 2 0,196
usahatani)
Minimnya ketersediaan tenaga
4 0,143 1 0,143
kerja keluarga
5 Dinamika kelembagaan 0,135 2 0,27
Rendahnya persepsi masyarakat
6 0,098 1 0,098
tani terhadap program SLPTT
Jumlah Skor 1,000 2,233
Peluang :
Pengembangan padi didukung
1 0,086 3 0,172
kebijakan SLPTT
Pasar komoditi pangan selalu
2 0,073 3 0,146
tersedia
3 Tingkat kesesuain dan luasan SDL 0,058 4 0,232
4 Lancarnya sarana transportasi 0,123 2 0,256
5 Adanya institusi penyuluhan 0,087 2 0,174
Adanya institusi penelitian dan
6 0,068 2 0,136
pengkajian
7 Komoditi berorientasi ekspor 0,107 1 0,107

Ancaman :
Fluktuasi harga/murahnya komoditi
1 0,118 3 0,354
pangan
Tingginya serangan hama
2 0,073 4 0,292
terhadap tanaman pangan
Implementasi program tidak sesuai
3 0,077 3 0,231
dengan perencanaan
Tingginya Isolasi wilayah
4 0,130 2 0,260
pengembangan
Jumlah Skor 1,000 2,366

134
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Lampiran 2. Gambar Matriks Analisis SWOT pengembangan SL-PTT di


Jayawijaya

Faktor–faktor Internal Strenghts (S) Weaknesses (W)


 Potensi sumberdaya alam  Ketrampilan teknis relatif
tersedia rendah
 Terbentuknya Kelompok Tani  Sarana dan prasarana
 Tersedianya bahan baku produksi pertanian tidak
 Adanya kelembagaan memadai.
ekonomi  Harga faktor produksi
 Potensi pertumbuhan dengan produksi (TK) tidak
penduduk sebanding.
 Hubungan positif antara  Benih/bibit dan obat-
pendapatan dengan konsumsi obatan didatangkan dari
pangan luar .
 Kemajuan infrastruktur dan  Kekurangan modal usaha.
transportasi  Posisi tawar terhadap
 Kepemilikan asset (lahan) saprodi lemah.
 Sifat gotong royong dan  Tata niaga produk masih
ikatan sosial masih tinggi lemah
 Pengetahuan dan kearifan
lokal

Faktor-faktor Eksternal: (1) SO Strategies (2) WO Strategies


Oppurtinities (O)  Mendorong pengembangan  Prioritas peningkatan
 Peluang pasar padi akan menguntungkan SDM (ketrampilan,
 Lingkungan strategis masyarakat, karena memberi motivasi, manajerial,
 Peluang bisnis kemudahan bagi masyarakat pengetahuan dan
 Dukungan pemerintah untuk memperoleh pendapatan teknologi), akan
melalui dana yang memadai, harga beras mendukung pemanfaatan
pemberdayaan (otsus) yang menarik. Untuk itu dana pemberdayaan
 Pengembangan protipe dibutuhkan dukungan (seperti, RESPEK
mesin sederhana kebijakan pemerintah melalui maupun PUAP).
 Adanya Pola kemitraan jalinan kerja antara semua  Penyiapan sarana
 Diversifikasi usaha institusi baik pemerintah prasarana pendukung
maupun swasta. pengembangan padi
Threats (T) (3) ST Strategies (4) WT Strategies
 Penguasaan tanah adat  Memberikan pemahaman  Memberikan pelatihan-
 Penguasaan teknis melalui pembinaan, karena pelatihan praktis yang
pengoperasian mesin. masih kuatnya ikatan sosial berhubungan dengan
 Motivasi petani relatif dan jiwa gotong royong, maka pengelolaan industri,
rendah akan mempermudah pengembangan usaha,
 Endemi penyakit. masyarakat mengembangkan dan pengelolaan sumber
 Pasokan produk dari diri dengan mengusahakan daya alam secara lestari
luar daerah . komoditas tanaman pangan dalam upaya penguatan
 Persaingan pangan yang berdaya saing tinggi di kelembagaan.
lokal dan padi. pasar dengan pengetahuan  Menciptakan industri
dan kearifan lokal. pangan atau bahan baku
 untuk meningkatkan nilai
tambah.

135
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGARUH TIGA METODA PENENTUAN DOSIS PUPUK PADA LIMA


VARIETAS PADI SAWAH PASANG SURUT DI DESA PULAU BANYAK
KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
Akmal dan Khadijah El Ramija

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H Nasution No 1 B Medan Sumatera Utara
Email : Akmal.tanjung@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penyediaan pangan terutama beras dalam jumlah yang cukup dan


harga terjangkau tetap menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Beras
merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia. Usaha tani padi
menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 20 juta rumah tangga petani di
pedesaan, sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya menjadi
amat penting dan strategis. Untuk mempertahankan swasembada beras
berkelanjutan diperlukan terobosan-terobosan teknologi diantaranya adalah
pengembangan areal pertanian pada pemanfaatan lahan marginal seperti
lahan pasang surut. Sumatera Utara memiliki lahan pasang surut cukup luas
(>11.000 ha) yang belum terkelola secara optimal. Beberapa varietas unggul
padi sawah pasang surut yang sudah dilepas perlu diuji tingkat adaptasinya di
Sumatera Utara, sekaligus disosialisasikan dalam rangka peningkatan
produktivitas lahan pasang surut serta meningkatkan produksi padi/beras di
Sumatera Utara. Uji adaptasi perlu dilakukan bersama-sama pengelolaan hara
spesifik lokasi dalam rangka penyusunan rekomendasi teknologi budidayanya,
khususnya teknologi pemupukan. Pengkajian dilakukan di Desa Pulau Banyak,
Kabupaten Langkat, pada MK 20111. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan
beberapa varietas unggul padi yang beradaptasi baik pada lahan pasang surut
dan mendapatkan teknologi pengelolaan hara padi lahan pasang surut spesifik
lokasi di Sumatera Utara.Rancangan penelitian yang digunakan adalah Acak
Kelompok (RAK) faktorial, dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor I adalah
perlakuan takaran pupuk, yang terdiri atas P1 (pupuk berdasarkan cara petani),
P2 (pupuk berdasarkan hasil analisis tanah di laboratorium), dan P3 (pupuk
berdasarkan permentan no 40/2007. Faktor II meliputi perlakuan varietas, yang
terdiri atas: V1 (Indragiri), V2 (Punggur), V3 (Inpara 1), V4 (Inpara 2), dan V5
(Inpara 3). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa didapat 2 varietas yang
beradaptasi baik dan produksi tinggi yaitu varietas Inpara 3 dengan produksi
6,23 t/ha GKG dan varietas Punggur dengan produksi 6,18 t/ha GKG
sedangkan teknologi penentuan kebutuhan pupuk yang terrbaikadalah
berdasarkan analisis tanah dengan cara aplikasi N diberikan 3 kali sedangkan
P dan K diberikan satu kali pada umur 10 hari setelah tanam (HST).

Kata Kunci: Padi, lahan pasang surut, produktivitas

136
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENDAHULUAN
Menyusutnya lahan pertanian subur akibat berbagai keperluan non
pertanian dan meningkatnya permintaan akan hasil pertanian khususnya
pangan menyebabkan perlunya pengembangan areal pertanian, misalnya
pemanfaatan lahan marginal seperti lahan pasang surut, yang selama ini
ditinggalkan (Manwan dkk., 1992 dan Alihamsyah, dkk. 2001). Lahan pasang
surut memiliki potensi yang besar untuk kegiatan usahatani apabila dikelola
dengan baik (Soewarno dan Susilowati, 1997). Untuk tanaman padi dengan
pengelolaan yang tepat beberapa varietas unggul padi lahan rawa pasang
surut seperti Lematang dan Sei Lilin mampu berproduksi 5–7 t/ha (Pane dkk.,
2007).
Luas lahan pasang surut di Sumatera Utara mencapai 11.149 ha, yang
tersebar di beberapa Kabupaten antara lain Kabupaten Langkat, Deli Serdang,
Serdang Bedagai, Labuhan Batu dan Nias selatan. Di Kabupaten Langkat luas
lahan pasang surut mencapai 6.135 ha dengan rata-rata produktivitas padi
pada lahan ini adalah 2,5–3,0 t/ha (BPS, 2008). Pemanfaatan lahan pasang
surut di daerah ini belum optimal karena berbagai kendala sehingga tingkat
produktivitas padi yang dihasilkan masih rendah 3-4 t/ha (Akmal dan Yufdy,
2009 dan Sudana, W. 2005) sehingga belum dapat meningkatkan
kesejahteraan petani. Beberapa permasalahan pada lahan pasang surut
adalah proses dekomposisi terhambat karena jeleknya drainase, tingkat
kemasaman tanah yang tinggi dan pada saat tanaman fase vegetatif sering
secara tiba-tiba pasang besar air laut naik sehingga tanaman
tenggelam/terendam (Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. 1998;
dan Widjaja Adhi, I.P.G. 1986). Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk
meningkatkan produktivitas padi lahan pasang surut dengan pengujian varietas
dan pengelolaan hara spesifik lokasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan varietas unggul padi yang mampu beradaptasi baik pada
agroekosistem lahan pasang surut dan teknologi pengelolaan pupuk yang
sesuai di lahan pasang surut spesifik lokasi di Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di Desa Pulau Banyak, Kecamatan Tanjung Pura,
Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara pada bulan Januari-Juni 2011.
Lokasi terpilih berdasarkan sentra produksi padi pasang surut di Sumatera
Utara (BPTP Gedong Johor. 1997 dan BPTP Gedong Johor. 2001). Rancangan
yang digunakan adalah Acak Kelompok (RAK) faktorial,dengan dua faktor dan
tiga ulangan. Faktor I adalah perlakuan takaran pupuk, terdiri dari pupuk
berdasarkan kebiasaan petani (P1)yaitu 150 kg Urea/ha + 75 kg Phonska/ha +
50 kg ZA/ha; pupuk berdasarkan hasil analisis tanah (P2) yaitu 185 kg Urea/ha
+ 114 kg SP-36/ha+ 69 kg KCL/ha, dan pupuk berdasarkan permentan no 40
tahun 2007 (P3) yaitu 250 kg Urea/ha + 75 kg SP 36/ha + 50 kg KCL/ha.
Sedangkan sebagai Faktor II adalah varietas padi pasang surut yaitu Indragiri
(V1), Punggur (V2), Inpara 4(V3), Inpara 2 (V4), dan Inpara 3 (V5).

137
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna yaitu dibajak dua kali,


digaru satu kali lalu diratakan kemudian dibuat plot-plot perlakuan. Persemaian
dilakukan dengan sistem basah dengan cara tanah diolah secara sempurna
sampai melumpur kemudian dibuat bedengan dengan ukuran lebar 1,2 m dan
panjang 10 m. Sebelum ditabur dilakukan perlakuan benih dengancara
direndam dan diperam masing-masing selama 24 jam. Setelah bibit
berkecambah ditabur secara merata dengan sitem jarang yaitu kisaran 20
gram/meter2, kemudian bibit di persemaian dipelihara dari gangguan hama dan
penyakit, termasuk pengairannya diatur sesuai dengan perkembangan
tingginya bibit (Badan Litbang Pertanian, 2007. dan Manwan I.,dkk. 1992).
Penanaman dilakukan dengan sistem tandur jajar dengan jarak tanam
20x20 cm, 1-2.bibit/rumpun berumur 15 hari setelah semai (HSS). Untuk
mengendalikan hama siput murbey sebelum penanaman terlebih dahulu
dilakukan aplikasi molusida saponin dengan dosis 50 kg/ha.
Pemupukan disesuaikan dengan masing-masing perlakuan,pupuk Urea
diberikan 3 kali yaitu pemupukan pertama 1/3 dosis pada umur 7 hari setelah
tanam (HST), pemupukan kedua 1/3 dosis pada umur 30 HST dan pemupukan
ke tiga i/3 dosis pada umur 45 HST. Pupuk SP 36 seluruhnya diberikan pada
saat pemupukan pertama dan untuk pupuk KCL diberikan 2 kali yaitu ½ dosis
pada umur 30 HST dan ½ dosis diberikan pada umur 45 HST. Pengendalian
OPT dilakukan secara pengamatan dengan sisten pengelolaan hama terpadu
(PHT) yaitu apabila ada serangan hama atau penyakit baru dilakukan aplikasi
pengendalian sehingga tanaman dalam kondisi aman dari serangan hama dan
penyakit (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Pengamatan dilakukan terhadap peubahumur panen, tinggi tanaman,
jumlah anakan produktif/rumpun, jumlah gabah isi dan hampa/malai, panjang
malai, bobot 1.000 butir, dan produksi gabah kering per hektar. Pengamatan
dilakukan pada tanaman sampel (contoh) sebanyak 10 rumpun/plot yang
diambil secara acak di luar dua baris tanaman pinggir.
Hasil pengamatan di lapangan ditabulasi, kemudian dianalisis
menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Untuk melihat pengaruh masing-
masing perlakuan dilanjutkan dengan menggunakan Duncan New Multiple
Range Test (DNMRT) pada taraf 5% (Gomez & Gomez, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis tanah
Pada Tabel 1 keragaan status unsur hara tanah di lokasi pengkajian
menunjukkan bahwa kadar C-organik tanah dan Na-dd termasuk sangat tinggi
masing dengan 5,98% dan 1,23 me/100 g, N total termasuk kriteria rendah
(0,16%), kadar P adalah 3,47 ppm termasuk kriteria rendah, sedangkan kadar
K adalah 0,29 me/100g termasuk sedang, dan pH tanah 4,98 dengan kriteria
asam.

138
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Hasil analisis tanah lahan pasang surut, Desa Pulau Banyak,
Kabupaten Langkat. MK 2011
No Jenis analisis Nilai Status Hara Metode
1 C-organik (%) 5,98 Sangat Tinggi Spektrophotometry
2 N-total (%) 0,16 Rendah Kjedahl
3 P-bray I (ppm) 3,47 Rendah Spektrophotometry
4 K-dd (me/100g) 0,29 Sedang AAS
5 Na-dd (me/100g) 1,23 Sangat Tinggi AAS
6 pH (H2O) 4,98 Asam Elektometry

Tanah dianalisis di laboratorium BPTP Sumatera Utara bulan Januari 2011


Tinggi tanaman saat panen
Tidak adanya pengaruh interaksi antara varietas dan penerapan
pemupukan terhadap tinggi tanaman saat panen (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh interaksi varietas dan penerapan kebutuhan pupuk terhadap
tinggi tanaman saat panen. Desa Pulau Banyak.Kabupaten Langkat,
MK 2011
Perlakuan penentuan kebutuhan pupuk
Kode/Varietas Rata-rata
P1 P2 P3
V1 (indragiri) 114,7 109,1 111,9 111,9 a
V2 (Punggur) 113,6 108,2 107,7 109,8 a
V3 (Inpara 4) 106,7 107,2 105,8 106,6 a
V4 (Inpara 2) 109,1 109,2 109,8 109,4 a
V5 (Inpara 3) 109,8 113,1 109,2 110,7 a
Rata-rata 110,8 a 109,4 a 108,9 a

Keterangan: Angka-angka dalam kolomdan baris rata-rata yang diikuti dengan


huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Namun secara rata-rata terdapat perbedaan, tinggi tanaman berkisar
antara 106,6 cm-111,9 cm Tinggi tanaman tertinggi didapat pada varietas
Indragiri (111,9 cm) diikuti berturut-turut oleh Inpara 3 (110,7 cm), Punggur
(109,8 cm), Inpari 2 (109,4 cm), dan terendah didapat oleh varietas Inpari 4
(106,6 cm). Bila ditinjau dari aspek penentuan kebutuhan pupuk, tinggi
tanaman tertinggi didapat pada perlakuan P1 (cara petani yaitu 110,8 cm),
kemudian P2 ((berdasar analisis tanah yaitu 108,4 cm) dan tinggi tanaman
terendah didapat pada pemupukan P3 (berdasar permentan No 40) yaitu 108,9
cm.
Jumlah anakan produktif
Hasil analisis secara statistik terhadap jumlah anakan produktif per
rumpun tidak terdapat interaksi antara varietas dan penentuan kebutuhan
pupuk yang dikaji (Tabel 3). Jumlah anakan produktif berkisar antara 12,9-13,1
batang,jumlah anakan produktif tertinggi (13,7 batang/rumpun) didapat pada
perlakuan V3 (Inpara 4) dan terendah didapat pada varietas Inpara 3 (13,2
batang/rumpun) sedangkan ditinjau dari aspek penentuan kebutuhan pupuk
jumlah anakan produktif per rumpun tertinggi didapat pada perlakuan P3

139
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(berdasar permentan No 40) yaitu 13,2 batang/rumpun, P2 (berdasar analisis


tanah) yaitu 13,2 batang/rumpun sedangkan jumlah anakan paling sedikit
didapat pada perlakuan P1 (cara petani) yaitu 13,0 batang/rumpun.
Tabel 3. Pengaruh interaksi varietas dan penerapan kebutuhan pupuk terhadap
variabel jumlah anakan produktif per rumpun. Desa Pulau
Banyak.Kabupaten Langkat MK 2011.
Perlakuan penentuan kebutuhan pupuk
Kode/Varietas Rata-rata
P1 P2 P3
V1 (indragiri) 13,3 13,2 12,3 12,9 a
V2 (Punggur) 12,3 12,3 14,1 12,9 a
V3 (Inpara 4) 14,9 12,6 13,7 13,7 a
V4 (Inpara 2) 11,8 14,0 13,0 12,9 a
V5 (Inpara 3) 12,8 13,7 13,0 13,2 a
Rata-rata 13,0 a 13,2 a 13,2 a
Keterangan: Angka-angka dalam kolomdan baris rata-rata yang diikuti dengan
huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Jumlah gabah isi
Hasil analisis secara statistik terhadap jumlah gabah isi per rumpun
tidak terdapat interaksi antara varietas dan cara penentuan kebutuhan pupuk
yang dikaji (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh interaksi varietas dan penentuan kebutuhan pupuk terhadap
variabel jjumlah gabah isi per rumpun. Desa Pulau Banyak.Kabupaten
Langkat MK 2011.
Perlakuan penentuan kebutuhan pupuk
Kode/Varietas Rata-rata
P1 P2 P3
V1 (indragiri) 1.096.0 1.297.7 913.3 1.102.3 a
V2 (Punggur) 1.260.0 1.066.7 1.010.7 1.112.4 a
V3 (Inpara 4) 907.3 1.106.7 1.205.0 1.073.0 a
V4 (Inpara 2) 1.453.3 1.198.3 1.415.7 1.355.8 a
V5 (Inpara 3) 1.061.7 930.0 1.095.0 1.028.9 a
Rata-rata 1.155,7 a 1.119,9 a 1.127,9 a
Keterangan: Angka-angka dalam kolomdan baris rata-rata yang diikuti dengan
huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Jumlah gabah isi per rumpun berkisar antara 1.028,9–1.355,8 butir,


dimana jumlah gabah isi per rumpun tertinggi didapat pada perlakuan V5
(Inpara 3) dengan jumlah gabah isi per rumpun 1.355,8 butir, kemudian diikuti
oleh varietas Punggur (1.112,4 butir/rumpun), sedangkan ditinjau dari aspek
penentuan kebutuhan pupuk jumlah gabah isi per rumpun tertinggi didapat pada
perlakuan P3 (berdasar permentan No 40) yaitu 1.127,9 butir), kemudian P1
(cara petani) yaitu 1.155,7 butir dan jumlah gabah isi per rumpun terendah
didapat pada pemupukan P2 (berdasar analisis tanah) yaitu 1.119,9
butir/rumpun.

140
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Jumlah gabah hampa


Hasil analisis secara statistik terhadap jumlah gabah hampa per rumpun
terdapat interaksi antara varietas dan cara penentuan kebutuhan pupuk yang
dikaji (Tabel 5).
Tabel 5. Pengaruh interaksi varietas dan penentuan kebutuhan pupuk terhadap
variabel jumlah gabah hampa per rumpun. Desa Pulau Banyak
Kabupaten Langkat MK 2011.
Perlakuan penentuan kebutuhan pupuk
Kode/Varietas Rata-rata
P1 P2 P3
V1 (indragiri) 250.0 bcd 239.7 bcd 465.3 abc 318,33 a
V2 (Punggur) 415.0 abcd 291.7 bcd 323.3 bcd 343,33 a
V3 (Inpara 4) 379.3 abcd 489.0 ab 241.7 bcd 370,00 a
V4 (Inpara 2) 633.3 a 191.3 cd 404.7 abcd 409,77 a
V5 (Inpara 3) 277.7 d 276.3 d 393.0 cd 315,67 a
Rata-rata 391,1 a 297,6 a 3365,6 a
Keterangan: Angka-angka dalam kolom dan baris rata-rata yang diikuti dengan
huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Jumlah gabah hampa per rumpun termasuk tinggi pada perlakuan P1


diperoleh pada varietas Inpara 2 (633.3 butir/rumpun), pada perlakuan P2
diperoleh pada varietas Inpara 4 (489,0 butir/rumpun), dan pada perlakuan P3
diperoleh pada varietas Indragiri (465,3 butir/rumpun). Selanjutnya terlihat pada
perlakuan P2, varietas Inpara 2 memberikan gabah hampa terendah yaitu
sebesar 191,3 butir/rumpun.
Bobot 1.000 butir
Hasil analisis secara statistik terhadap bobot 1.000 butir tidak terdapat
interaksi antara varietas dan cara pennetuan kebutuhan pupuk yang dikaji
(Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh interaksi varietas dan penentuan kebutuahn pupuk terhadap
bobot 1.000 butir. Desa Pulau Banyak Langkat MK 2011.
Perlakuan penentuan kebutuhan pupuk
Kode/Varietas Rata-rata
P1 P2 P3
V1 (indragiri) 25.1 25.9 24.0 25.0 d
V2 (Punggur) 28.9 29.3 28,0 28.7 a
V3 (Inpara 4) 26.1 26,0 26.4 26.2 cd
V4 (Inpara 2) 26.4 26.2 27.2 26.6 bc
V5 (Inpara 3) 27.7 28.0 27.8 27.8 ab
Rata-rata 26,8a 27,1a 26,7a
Keterangan: Angka-angka dalam kolomdan baris rata-rata yang diikuti dengan
huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Bobot 1.000 butir dari 5 varietas yang diuji terdapat perbedaan yang
nyata dimana varietas Punggur memiliki bobot 1.000 butir terberat (28,7 g) tidak
berbeda nyata dengan varietas Inpara 3 (27,8 g), namun berbedanyata dengan
3 varietas lainnya. Ditinjau dari aspek cara penentuan kebutuhan pupuk bobot
1.000 butir tertinggi pada perlakuan P2 (berdasar analisis tanah) yaitu 27,1 g

141
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dan P1 (cara petani) yaitu 26,8 gdan terendah (26,7 g) didapat pada perlakuan
P3 (berdasar permentan no 40).
Produksi gabah

Hasil analisis secara statistik terhadap produksi gabah kering giling per
hektar tidak terdapat interaksi antara varietas dan cara penentuan kebutuhan
pupuk (Tabel 7).

Tabel 7. Pengaruh innteraksi varietas dan penentuan kebutuhan pupuk


terhadap produksi gabah kering giling (t/ha). Desa Pulau Banyak.
Langkat MK 2011.
Perlakuan penentuan kebutuhan pupuk
Kode/Varietas Rata-rata
P1 P2 P3
V1 (indragiri) 5,90 5,88 6,02 5,94 a
V2 (Punggur) 6,07 5,97 6,51 6,18 a
V3 (Inpara 4) 5,34 6,82 5,48 5,88 a
V4 (Inpara 2) 6,01 5,14 6,16 5,77 a
V5 (Inpara 3) 6,22 6,52 5,97 6,23 a
Rata-rata 5,91a 6,07a 6,03a
Keterangan: Angka-angka dalam kolomdan baris rata-rata yang diikuti dengan
huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
Produksi tertinggi didapat pada varietas Inpara 3 (6,23 t/ha GKG) diikuti
oleh varietas Punggur (6,18 t/ha GKG) dimana perlakuan ini tidak berbeda
nyata dengan seluruh perlakuan varietas lainnya. Ditinjau dari aspek perlakuan
penentuan kebutuhan pupuk produksi gabah kering giling tertinggi didapat pada
perlakuan P2 (berdasar analisis tanah) yaitu 6,07 t/ha kemudian P3 (berdasar
permentan No 40) yaitu 6,03 t/ha) dan produksi terendah didapat pada
perlakuan pupuk P1 (cara petani) yaitu 5,91 t/ha.

KESIMPULAN

1. Didapat 2 varietas yang beradaptasi baik dan berproduksi tinggi, adalah


varietas Inpara 3 dengan produksi 6,23 t/ha GKG dan Punggur dengan
produksi 6,18 t/ha GKG.
2. Penentuan kebutuhan pupuk berdasarkan analisis tanah dengan cara
aplikasi N diberikan 3 kali sedangkan P dan K diberikan satu kali pada umur
10 HST merupakan cara terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Akmal dan M. P. Yufdy. 2009. Peluang pengembangan varietas unggul baru


padi pasang surut di Kabupaten langkat, Sumatera Utara. Prosiding
Seminar Nasional padi Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi
Perubahan Iklim Global Mendukung Ketahanan pangan. Buku 2, Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. (hal 803 – 807)
Alihamsyah, T., D. Nazemi, Mukhlis, I. Khairullah, H.D. Noor, M. Sarwani, H.
Sutikno, Y. Rina, F. N. Saleh, dan S. Abdussamad. 2001. Empat Puluh
Tahun Balittra: Perkembangan dan Program Penelitian Kedepan. Balai
Penelitian Tanaman Lahan Rawa, Banjarbaru. (82 hal)

142
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Badan Litbang Pertanian. 2007. Pengolahan Tanaman Terpadu (PTT) Padi


Sawah Irigasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Jakarta. (55 hal)
Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. 1998. Laporan tahunan 1998-
1999. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru
BPS SumateraUtara. 2008. Sumatera Utara Dalam Angka.
BPTP Gedong Johor. 1997. Peta pewilayahan komoditas propinsi Sumatera
Utara Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gedong Johor Sumatera
Utara. ( 27 hal)
BPTP Gedong Johor, 2001. Karakterisasi zona agroekologi dan arahan
komoditas unggulan Kabupaten Serdang Badagei, Propinsi Sumatera
Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gedong Johor Sumatera
Utara 70 hal.
Gomez, K.A dan A.A Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian. (Terjemahan). Universitas Indonesia. (697 hal)
Manwan I., I.G. Ismail, T. Alihamsyah, dan Partohardjono. 1992. Teknologi
pengembangan pertanian lahan rawa pasang Surut. Dalam prosiding
pertemuan nasional pengembangan Teknologi pertanian lahan rawa
pasang surut dan lebak, Cisarua 7-9 maret 1992.
Pane, H., Suwarno, B. Kustianto, K. Makarim, Sudarmadji, Sutrisno, dan H.
Sembiring. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi lahan
pasang surut. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. ( 37
hal)
Sudana, W. 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi
pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian 3(2): 141-151.
Soewarno dan Susilowati. 1997. Pengkajian Sistem Usahatani Padi Pasang
Surut Desa Tajepan Kabupaten Kapuas. BPTP Kalimantan Tengah.
Palangkaraya.
Widjaja Adhi, I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian V(1). ( hal 1-9).

143
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KOMBINASI PUPUK HAYATI BIOTRENT DENGAN PUPUK KIMIA


DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH
DAN MENURUNKAN PENGGUNAAN PUPUK KIMIA
DI SUMATERA BARAT

Atman1), Hardiyanto1), dan Setia Budi Keliat2)

1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat.
Jl. Raya Padang-Solok Km 40
2)
Biosindo Mitra Jaya Jakarta
Jl. Anggrek Cendrawasih VII Blok K No. 7,
Kemanggisan Slipi Jakarta Barat

Abstrak

Sebagian besar lahan pertanian intensif diindikasikan menurun


produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan akibat penggunaan
pupuk kimia. Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui pengaruh kombinasi
pupuk hayati Biotrent dengan pupuk kimia terhadap peningkatan produktivitas,
penurunan penggunaan pupuk kimia, dan pendapatan petani padi sawah.
Pengkajian telah dilaksanakan pada dua lokasi, yaitu: Nagari Baringin dan
Nagari V Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Padi
varietas IR42 ditanam dengan sistem tegel, jarak tanam 25x25 cm.
Menggunakan pendekatan On Farm Research (OFAR) dimana petani beserta
kelompok tani dilibatkan secara partisipatif, pada lahan seluas masing-masing
0,5 ha. Pengkajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok, empat
perlakuan dan melibatkan tiga orang petani kooperator sebagai ulangan pada
masing-masing lokasi. Perlakuannya adalah tiga macam kombinasi pupuk
kimia + pupuk hayati Biotrent, dan pupuk rekomendasi sebagai pembanding,
yaitu: (1) Rekomendasi; (2) Rekomendasi + Biotrent; (3) ¾ Rekomendasi +
Biotrent; dan (4) ½ Rekomendasi + Biotrent. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa kombinasi pemupukan rekomendasi + Biotrent mampu meningkatkan
hasil, rata-rata berkisar 12,15-24,50%, dengan hasil tertinggi pada perlakuan
paket teknologi pemupukan rekomendasi + Biotrent (7,36 t/ha), diikuti ½
rekomendasi + Biotrent (6,73 t/ha), ¾ rekomendasi + Biotrent (6,68 t/ha), dan
rekomendasi (5,97 t/ha). Keempat perlakuan layak diaplikasikan karena nilai
R/C rasionya >1, berkisar 1,73-2,04, dengan nilai R/C tertinggi pada perlakuan
rekomendasi + Biotrent (2,04), diikuti ½ rekomendasi + Biotrent (1,91), ¾
rekomendasi + Biotrent (1,88), dan pupuk rekomendasi (1,73). Penurunan
penggunaan pupuk kima sampai separo yang dikombinasikan dengan pupuk
hayati Biotrent, masih mampu meningkatkan produktivitas padi sawah.

Kata Kunci: pupuk kimia, pupuk hayati, biotrent, padi sawah, rekomendasi.

PENDAHULUAN

Peningkatan produktivitas padi sawah di Provinsi Sumatera Barat


memperlihat tren melandai, yaitu: 4,83; 4,86; 4,98; 5,00; dan 5,02 t/ha berturut-
turut tahun 2009; 2010; 2011; 2012; dan 2013 (BPS Sumatera Barat, 2014).
Pelandaian produktivitas ini juga cenderung terlihat di tingkat nasional, yaitu

144
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pada tahun yang sama berturut-turut 4,99; 5,02; 4,98; 5,14; dan 5,15 t/ha (BPS,
2015). Sementara itu, dibanding produktivitas nasional, secara umum terlihat
produktivitas padi sawah Sumatera Barat relatif masih rendah.

Salah satu faktor penyebab menurunnya produktivitas padi sawah adalah


penggunaan pupuk kimia yang berlebihan secara terus menerus yang
mengakibatkan tanah mengalami kondisi tanah yang lelah dan tanah yang
sakit. Menurut Suriadikarta dan Simanungkalit (2012), berbagai hasil penelitian
mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun
produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan
sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah, yaitu <2%, bahkan pada
banyak lahan sawah intensif di Jawa, kandungannya <1%. Padahal, untuk
memproleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik >2,5%. Di lain pihak,
sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat
melimpah, namun masih belum dimanfaatkan secara optimal.

Untuk itu pemerintah telah berupaya menggalakkan program revolusi


hijau (go-green), go-organic, back to nature, ketahanan pangan, swasembada
pangan, bio-industri dan kedaulatan pangan. Demi mewujudkan upaya
pemerintah tersebut, diperlukan adanya kesadaran semua pihak ikut
bertanggungjawab atas kerusakan atau permasalahan yang ada di bidang
pertanian. Penggunaan pupuk organik/hayati merupakan salah satu upaya
untuk mengurangi dampak buruk penggunaan pupuk anorganik (sintetis).
Pupuk hayati adalah inokulan berbahan aktif organisme hidup yang berfungsi
untuk menambat hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah
bagi tanaman (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2012). Memfasiltasi
tersedianya hara ini dapat berlangsung melalui peningkatan akses tanaman
terhadap hara, misalnya oleh cendawan Mikoriza arbuskuler, pelarutan oleh
mikroba pelarut fosfat, maupun perombakan oleh fungi, aktinomiset atau cacing
tanah. Penyediaan hara in berlangsung secara simbiosis atau non simbiosis.

Selanjutnya Suriadikarta dan Simanungkalit (2012) juga menyatakan


bahwa penggunaan pupuk organik saja tidak dapat meningkatkan produktivitas
tanaman dan ketahanan pangan. Oleh karena itu, sistem pengelolaan hara
terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik/hayati dan pupuk
anorganik dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan kelestarian
lingkungan perlu digalakkan.

Saat ini dipasaran banyak tersedia pupuk hayati berbagai merek, salah
satunya Biotrent. Pupuk hayati Biotrent (PHB) merupakan salah satu pupuk
organik cair (POC) yang mengandung tujuh jenis mikroba, yaitu: (1) Rhizobium
sp. 13,3x107sel/ml; (2) Azotobacter sp. 1,7x107sel/ml; (3) Bakteri Pelarut Fosfat
5,7x107sel/ml; (4) Lactobacillus sp. 3,7x107sel/ml; (5) Actinomycetes sp.
5,8x107 sel/ml; (6) Citrobacter sp. 4,8x102sel/ml; dan (7) Acetobacter sp. 1,3 x
105 sel/ml (PT Biosindo Mitra Jaya, 2015).Keunggulannya adalah: (1) efektif
meningkatkan ketersediaan hara dan produktivitas tanaman, baik yang bersifat
spesifik maupun non spesifik sehingga mampu menggurangi penggunaan

145
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pupuk an-organik secara signifikan; (2) mampu meningkatkan ketersediaan


hara makro (N, P, K, dan Mg), ketersedian hara mikro (Zn, Mn, Fe, Ca, dan lain-
lain), memproduksi fito-hormon (auxin, gibirellin, sitokinin ), mencegah dan
mengurangi serangan hama, penyakit, dan menjadikan tanah sehat dan
tanaman sehat; dan (3) dapat meningkatkan hasil produksi sesuai dengan
komoditas tanaman dan penghematan penggunaan pupuk kimia (anorganik)
serta mengurangi pemakaian petisida secara berlebihan dan toleransi residu
kimia terhadap tanaman. Namun, efektifitas dari PHB ini yang digabung dengan
pupuk kimia pada tanaman padi sawah belum banyak diketahui. Untuk itu
dilakukanlah pengkajian ini yang bertujuan mengetahui pengaruh kombinasi
pupuk hayati Biotrent dengan pupuk kimia terhadap peningkatan produktivitas,
penurunan penggunaan pupuk kimia, dan pendapatan petani padi sawah.

BAHAN DAN METODE


Pengkajian dilaksanakan padadua lokasi lahan sawah di Kabupaten
Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, mulai bulan April-Agustus 2015. Petani
kooperator adalah anggota Kelompok Tani (Keltan) Sawah Lantai Batu (Nagari
Baringin) dan Keltan Talago (Nagari V Kaum) di Kecamatan V Kaum. Bahan–
bahan dan alat-alat yang diperlukan dalam pengkajian ini adalah: benih padi
sawah varietas IR42 (Balitpa, 2009), pupuk Urea, NPK Phonska, insektisida,
fungisida, herbisida, alat-alat tulis, dan lain-lain. Bibit padi varietas IR42 umur
20 hari ditanam dengan sistem tegel dengan jarak tanam 25x25 cm, sehingga
populasi tanaman menjadi 160.000 rumpun/ha.
Pengkajian dilakukan melalui pendekatan On Farm Research (OFAR)
dimana petani beserta kelompok tani dilibatkan secara partisipatif pada lahan
seluas masing-masing 0,5 hektare. Pengkajian menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK), dengan 4 (empat) macam perlakuan dan melibatkan 3
(tiga) orang petani kooperator sebagai ulangan. Perlakuannya adalah tiga
macam kombinasi pupuk kimia + pupuk hayati Biotrent, dan pupuk rekomendasi
sebagai pembanding, yaitu: (1) Rekomendasi; (2) Rekomendasi + Biotrent; (3)
¾ Rekomendasi + Biotrent; dan (4) ½ Rekomendasi + Biotrent. Rekomendasi
pupuk kimia dari BPTP Sumatera Barat untuk Kecamatan Lima Kaum adalah
250 kg NPK Phonska + 50 kg Urea yang seluruhnya diberikan pada saat tanam.
Pemupukan Urea selanjutnya berdasarkan skor Bagan Warna Daun (BWD)
umur 6 minggu setelah tanam (MST), sehingga Urea yang dibutuhkan selama
pertanaman adalah 150 kg/ha (Atman, dkk., 2012). Jadi, perlakuan pupuk
rekomendasi per hektare adalah 250 kg NPK Phonska + 150 kg Urea; pupuk ¾
rekomendasi adalah 187,5 kg NPK Phonska + 112,5 kg Urea; dan pupuk ½
rekomendasi adalah 125 kg NPK Phonska + 75 kg Urea. Sedangkan pupuk
hayati Biotrent diaplikasi ke tanah sebanyak tiga kali, yaitu: (1) saat pengolahan
tanah; (2) tanaman berumur 2 MST; dan (3) tanaman berumur 4 MST. Setiap
kali aplikasi membutuhkan sebanyak 2 liter Biotrent sehingga selama
pertanaman dibutuhkan sebanyak 6 liter Biotrent. Penyiangan gulma dilakukan
dengan cara manual. Sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilakukan
dengan metode pendekatan kearifan lokal atau konsep PHT (Pengendalian

146
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hama Terpadu). Interval aplikasi Biotrent dengan aplikasi pestisida (insektisida


dan fungisida) adalah 7-10 hari.

Pengamatan untuk masing-masing perlakuan dilakukan terhadap


komponen pertumbuhan (tinggi tanaman, skor BWD), komponen hasil (jumlah
anakan produktif, jumlah biji per malai, panjang malai, jumlah biji
bernas/hampa, berat 1.000 biji), dan hasil gabah (produktivitas) per hektare.
Kelayakan finansial untuk masing-masing paket teknologi didekati dengan
analisis imbangan penerimaan dan biaya atau R/C ratio (besaran nilai yang
menunjukkan perbandingan antara penerimaan usaha (revenue=R) dan total
biaya (Cost=C). Jika nilai R/C rasio >1 maka perlakuan layak diusahakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komponen Pertumbuhan
Hasil analisis sidik ragam terhadap skor warna daun menggunakan BWD
umur 6 MST menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi pupuk hayati dan kimia
tidak berpengaruh nyata di kedua lokasi (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata komponen pertumbuhan padi sawah di Kabupaten Tanah


Datar, Sumatera Barat, tahun 2015.
Perlakuan Lokasi Rata-
Kombinasi Pupuk Nagari Baringin Nagari V Kaum rata
Skor BWD umur 6 MST
Rekomendasi 3,3 a 3,7 a 3,50
Rekomendasi + Biotrent 4,0 a 4,0 a 4,00
¾ Rekomendasi + Biotrent 3,7 a 4,0 a 3,85
½ Rekomendasi + Biotrent 3,7 a 4,0 a 3,85
KK (%) 12,86 7,37
Tinggi Tanaman (cm)
Rekomendasi 86,8 bc 93,3 a 90,05
Rekomendasi + Biotrent 93,6 a 96,3 a 94,95
¾ Rekomendasi + Biotrent 85,2 c 94,0 a 89,60
½ Rekomendasi + Biotrent 89,7 ab 92,7 a 91,20
KK (%) 2,18 3,04
Angka-angka setiap peubah dan setiap kolom diikuti huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Beda Duncan (UBD).

Ternyata, rata-rata skor BWD tertinggi (nilai 4) didapatkan pada perlakuan


kombinasi pupuk rekomendasi + Biotrent. Sedangkan ketiga perlakuan lainnya,
nilainya mendekati angka 4 (berkisar 3,50-3,85). Menurut Puslitbangtan (2012),
tanaman masih memerlukan pupuk Urea sebanyak 100 kg/ha jika akan
mendapatkan tingkat hasil setara 7,0 t/ha.
Sementara itu, hasil analisis sidik ragam terhadap tinggi tanaman terlihat
bahwa perlakuan kombinasi pupuk hayati dan kimia berpengaruh nyata di
Nagari Baringin dan tidak berbeda nyata di Nagari V Kaum. Di Nagari Baringin,
tanaman tertinggi pada perlakuan kombinasi pupuk rekomendasi + Biotrent
(93,6 cm) yang tidak berbeda nyata dengan ½ rekomendasi + Biotrent (89,7
cm), dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Di Nagari V Kaum, tanaman

147
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tertinggi pada perlakuan pupuk rekomendasi + Biotrent (96,3 cm) yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Namun demikian, sebagian besar
perlakuan memiliki tinggi tanaman yang melebihi deskripsinya (90-105 cm)
(Balitpa, 2009; Balitpa, 2010). Artinya, perlakuan pengurangan pemberian
pupuk kimia dan penambahan pupuk hayati Biotrent pada padi sawah tidak
menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi tertekan.
Komponen Hasil
Komponen hasil yang diamati adalah jumlah anakan produktif, panjang
malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa, dan berat 1.000 biji.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi pupuk
hayati dan kimia tidak berpengaruh nyata di Nagari Baringin. Sedangkan di
Nagari V Kaum, hanya berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah per malai
dan berat 1.000 biji (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata komponen hasil padi sawah di Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat, tahun 2015.
Perlakuan Paket Teknologi Lokasi Rata-
Pemupukan Nagari Baringin Nagari V Kaum rata
Jumlah Anakan Produktif (batang/rumpun)
Rekomendasi 27,7 a 30,7 a 29,2
Rekomendasi + Biotrent 33,7 a 34,3 a 34,0
¾ Rekomendasi + Biotrent 35,0 a 34,3 a 34,7
½ Rekomendasi + Biotrent 34,3 a 33,3 a 33,8
KK (%) 7,90 6,45
Panjang Malai (cm)
Rekomendasi 20,8 a 21,8 a 21,3
Rekomendasi + Biotrent 23,1 a 23,3 a 23,2
¾ Rekomendasi + Biotrent 22,4 a 23,4 a 22,9
½ Rekomendasi + Biotrent 22,6 a 22,4 a 22,5
KK (%) 5,37 4,79
Jumlah Gabah per Malai (butir)
Rekomendasi 125,0 a 97,3 b 111,2
Rekomendasi + Biotrent 167,8 a 137,3 a 152,6
¾ Rekomendasi + Biotrent 150,0 a 129,3 ab 139,7
½ Rekomendasi + Biotrent 150,3 a 130,7 ab 140,5
KK (%) 14,91 15,05
Gabah Hampa (%)
Rekomendasi 14,0 a 10,3 a 12,2
Rekomendasi + Biotrent 12,0 a 5,0 a 8,5
¾ Rekomendasi + Biotrent 16,6 a 5,7 a 11,2
½ Rekomendasi + Biotrent 14,3 a 9,6 a 12,0
KK (%) 37,24 36,19
Berat 1.000 Biji (g)
Rekomendasi 21,46 a 22,42 b 21,94
Rekomendasi + Biotrent 21,08 a 22,90 a 21,99
¾ Rekomendasi + Biotrent 21,14 a 22,88 a 22,01
½ Rekomendasi + Biotrent 21,36 a 23,18 a 22,27
KK (%) 1,35 0,89
Angka-angka setiap peubah dan setiap kolom diikuti huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Beda Duncan (UBD).

148
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Terlihat, jumlah anakan produktif untuk seluruh perlakuan menunjukkan


nilai melebihi dari deskripsinya (20-25 batang) (Balitpa, 2009; Balitpa, 2010).
Artinya, baik dengan penambahan Biotrent maupun tanpa Biotrent akan
memberikan jumlah anakan yang banyak. Namun secara rata-rata,
penambahan Biotrent akan dapat meningkatkan jumlah anakan produktif. Hal
yang sama juga terlihat dengan komponen hasil lainnya. Diduga kandungan
mikroba-mikroba dalam pupuk hayati Biotrent mampu mempengaruhi
ketersediaan berbagai hara yang berguna bagi tanaman sehingga
menyebabkan komponen hasil tanaman menjadi lebih baik.

Hasil Gabah
Hasil analisis sidik ragam terhadap hasil gabah kering giling (GKG)
menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi pupuk hayati dan kimia memberikan
pengaruh nyata di kedua lokasi (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata hasil gabah kering giling (GKG) dan peningkatan hasil padi
sawah di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, tahun 2015.
Perlakuan Lokasi Rata-rata
Paket Teknologi Nagari
Nagari V Kaum
Pemupukan Baringin
Hasil GKG (t/ha)
Rekomendasi 5,15 c 6,78 c 5,97
Rekomendasi + Biotrent 6,83 a 7,89 a 7,36
¾ Rekomendasi + Biotrent 5,87 bc 7,48 b 6,68
½ Rekomendasi + Biotrent 6,35 ab 7,10 c 6,73
KK (%) 6,76 2,55
Peningkatan Hasil (%)
Rekomendasi - - -
Rekomendasi + Biotrent 32,62 16,37 24,50
¾ Rekomendasi + Biotrent 13,98 10,32 12,15
½ Rekomendasi + Biotrent 23,30 4,72 14,01
Angka-angka setiap peubah dan setiap kolom diikuti huruf kecil yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 0,05 Uji Beda Duncan (UBD).

Di Nagari Baringin, hasil gabah berkisar 5,15-6,83 t/ha, dimana yang


tertinggi pada perlakuan rekomendasi + Biotrent (6,83 t/ha) yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan ½ rekomendasi + Biotrent, dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Di Nagari V Kaum, hasil gabah berkisar 6,78-7,89 t/ha,
dimana yang tertinggi pada perlakuan rekomendasi + Biotrent (7,89 t/ha) yang
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Rata-rata dari kedua lokasi
didapatkan hasil gabah tertinggi pada perlakuan rekomendasi + Biotrent (7,36
t/ha), diikuti ½ rekomendasi + Biotrent (6,73 t/ha), ¾ rekomendasi + Biotrent
(6,68 t/ha), dan rekomendasi (5,97 t/ha). Jika dibandingkan dengan potensi
hasil varietas IR-42 (7,0 t/ha), ternyata secara rata-rata hanya perlakuan
rekomendasi + Biotrent yang melebihi dari potensi hasilnya (7,36 t/ha),
sedangkan perlakuan lain hanya melebihi dari rata-rata hasil (5,0 t/ha) (Balitpa,
2009; Balitpa, 2010). Menurut Atman (2005), hasil gabah sangat dipengaruhi

149
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

oleh faktor komponen hasil tanaman, seperti: jumlah anakan produktif, panjang
malai, jumlah gabah per malai, dan menurunnya persentase gabah hampa.

Sementara itu, terlihat bahwa persentase peningkatan hasil gabah rata-


rata berkisar 12,15-24,50%, dimana tertinggi pada perlakuan rekomendasi +
Biotrent (24,50%), diikuti ½ rekomendasi + Biotrent (14,01%), dan ¾
rekomendasi + Biotrent (12,15%). Ini mengindikasikan bahwa perlakuan
pengurangan pemberian pupuk kimia dan penambahan pupuk hayati Biotrent
pada padi sawah tidak menyebabkan hasil gabah menjadi menurun. Bahkan,
perlakuan kombinasi pupuk ½ rekomendasi + Biotrent sudah mampu
meningkatkan hasil gabah sampai 14,01%. Hasil penelitian Amilia (2011)
mendapatkan bahwa pemberian pupuk organik cair (POC) yang
dikombinasikan dengan 50% pupuk kimia NPK dapat meningkatkan hasil gabah
8-14%. Pada tanaman sorgum lokal juga didapatkan bahwa kombinasi pupuk
organik dan ½ pupuk anorganik memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman di lahan marjinal (Leomo, dkk., 2012).

Analisis Usahatani
Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa rata-rata keuntungan
usahatani padi sawah berkisar Rp.14.995.000,- sampai Rp.22.525.000.- (Tabel
4).

Tabel 4. Analisis usahatani (Rp/ha) perlakuan pemupukan pada padi sawah


di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, tahun 2015.
Perlakuan Kombinas Pupuk
¾ ½ Rekomen
No. Uraian Rekomen Rekomenda
Rekomenda dasi +
dasi si + Biotrent
si + Biotrent Biotrent
I. Pengeluaran
A. Modal
1 Sewa lahan 13.360.000 13.360.000 13.360.000 13.360.000
Benih 30 kg @
2 240.000 240.000 240.000 240.000
Rp.8.000
Pupuk Urea @
3 195.000 195.000 146.250 97.500
Rp.1.300
Pupuk Phonska @
4 575.000 575.000 431.250 287.500
Rp.2.300
Biotrent @
5 - 540.000 540.000 540.000
Rp.90.000
Pestisida @
6 75.000 75.000 75.000 75.000
Rp.75.000
Jumlah (A) 14.445.000 14.985.000 14.792.500 14.600.000
B Biaya Operasional/Upah Kerja
Pengolahan lahan
1 30 HOK @ 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
Rp.50.000
Pembibitan dan
2 penanaman 20 HOK 1.250.000 1.250.000 1.250.000 1.250.000
@ Rp.50.000
Penyiangan 30 HOK
3 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
@ Rp.50.000

150
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pemupukan @
4 300.000 300.000 200.000 150.000
Rp.50.000/HOK
Penyemprotan
5 Biotrent @ - 300.000 300.000 300.000
Rp.50.000/HOK
Penyemprotan
6 pestisida kimia @ 300.000 300.000 300.000 300.000
Rp.50.000/HOK
Panen dan pasca
7 panen @ 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
Rp.50.000/HOK
Jumlah (B) 6.350.000 6.650.000 6.550.000 6.500.000
Total (A+B) 20.795.000 21.635.000 21.342.500 21.100.000
II. Pendapatan
Nagari Baringin 40.680.000 47.340.000 44.880.000 42.600.000
Nagari V Kaum 30.900.000 40.980.000 35.220.000 38.100.000
III. Keuntungan (II-I)
Nagari Baringin 19.885.000 25.705.000 23.537.500 21.500.000
Nagari V Kaum 10.105.000 19.345.000 13.877.500 17.000.000
Rata-rata 14.995.000 22.525.000 18.707.500 19.250.000
IV. R/C rasio (II/I)
Nagari Baringin 1,96 2,19 2,10 2,01
Nagari V Kaum 1,49 1,89 1,65 1,81
Rata-rata 1,73 2,04 1,88 1,91
Catatan: harga GKG = Rp.6.000/kg.
Keuntungan tertinggi didapatkan pada perlakuan kombinasi pupuk
rekomendasi + Biotrent (Rp.22.525.000,-) diikuti kombinasi pupuk ½
rekomendasi + Biotrent (Rp.19.250.000,), dan ¾ rekomendasi + Biotrent
(Rp.18.707.500,-). Sedangkan perlakuan pupuk rekomendasi memberikan
keuntungan terendah (Rp.14.995.000,-). Selanjutnya, terlihat bahwa nilai R/C
rasio berkisar 1,73 sampai 2,04. Ini berarti keempat perlakuan yang diuji layak
diaplikasikan untuk padi sawah karena nilai R/C rasionya >1. Dapat disimpulkan
bahwa pemberian pupuk hayati Biotrent sebanyak 3 kali mampu meningkatkan
hasil GKG sekaligus meningkatkan keuntungan yang diterima petani. Artinya,
pemberian kombinasi pupuk rekomendasi + Biotrent, atau ¾ rekomendasi +
Biotrent, atau ½ rekomendasi + Biotrent dapat dianjurkan untuk diaplikasikan di
tingkat petani. Namun, untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia,
direkomendasikan penggunaan kombinasi pupuk ½ rekomendasi + Biotrent.

KESIMPULAN

1. Perlakuan kombinasi pupuk rekomendasi + Biotrent mampu meningkatkan


hasil GKG padi sawah, rata-rata berkisar 12,15-24,50%. Rata-rata hasil GKG
tertinggi didapatkan pada perlakuan kombinasi pupuk rekomendasi +
Biotrent (7,36 t/ha), diikuti ½ rekomendasi + Biotrent (6,73 t/ha), ¾
rekomendasi + Biotrent (6,68 t/ha), dan rekomendasi (5,97 t/ha).
2. Rata-rata keuntungan tertinggi didapatkan pada perlakuan kombinasi pupuk
rekomendasi + Biotrent (Rp.22.525.000,-), diikuti kombinasi pupuk ½
rekomendasi + Biotrent (Rp.19.250.000,), dan ¾ rekomendasi + Biotrent

151
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(Rp.18.707.500,-). Sedangkan perlakuan pupuk rekomendasi memberikan


keuntungan terendah (Rp.14.995.000,-).
3. Keempat perlakuan kombinasi pupuk pada padi sawah layak diaplikasikan
karena nilai R/C rasionya >1, dengan nilai berkisar 1,73 sampai 2,04.
4. Untuk meningkatkan produktivitas padi sawah pada daerah-daerah yang
produktivitasnya masih rendah, direkomendasikan penggunaan kombinasi
pupuk rekomendasi + Biotrent. Namun, untuk mengurangi pemakaian pupuk
kimia, direkomendasikan penggunaan kombinasi pupuk ½ rekomendasi +
Biotrent.
5. Perlu dilakukan pengkajian lanjutan pada daerah-daerah yang memiliki
agroekosistem yang berbeda dengan lokasi pengkajian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amilia, Y. 2011. Penggunaan pupuk orgaik cair untuk mengurangi dosis
penggunaan pupuk anorganik pada padi sawah (Oryza sativa L.). Tesis
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor; 47 hlm.
Atman.2005. Pengaruh sistem tanam bershaf dengan P-starter (shafter) pada
padi sawah varietas Batang Piaman. Jurnal Stigma Vol. XIII No. 4,
Oktober-Desember 2005. Faperta Universitas Andalas Padang; hlm
579-582.
Atman, K. Iswari, dan Hardiyanto. 2012. Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi
Mendukung Peningkatan Produksi Padi Sawah di Kabupaten Tanah
Datar. BPTP Sumatera Barat; 30 hlm.
Balitpa. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Padi-
Balitbangtan; 105 hlm
.Balitpa. 2010. Deskripsi varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi-
Balitbangtan; 109 hlm.
BPS. 2015. Ptoduktivitas padi menurut provinsi. http://bps.go.id. Diunduh, 13
November 2015.
BPS Sumatera Barat. 2014. Sumatera Barat Dalam Angka; 688 hlm.
Leomo, S., G.A.K. Sutariati, dan Agustina. 2012. Uji kombinasi pupuk organik
dan anorganik dalam pola Leisa terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman sorgum lokal pada lahan marginal. Jurnal Agroteknos. Vol. 2,
No. 3, Nopember 2012; 166-174 hlm.
PT Biosindo Mitra Jaya. 2015. Konsep Biotrent Multi Guna (pupuk hayati). PT
Biosindo Mitra Jaya. 2015; 22 hlm.
Panut dan Pratiwi. 2014. Laporan Diseminasi Hasil Pengkajian. Kerjasama
BPTP Kalimantan Barat dan PT Biosindo Mitra Jaya Cabang Kalimantan
Barat; 20 hlm.
Puslitbangtan. 2012. Bagan Warna Daun Menghemat Penggunaan Pupuk N
pada Padi Sawah. Puslitbangtan Bogor; 4 hlm.
Suriadikarta, D.A. dan R.D.M. Simanungkalit. 2012. Pendahuluan. Dalam:
Pupuk organik dan pupuk hayati. Balitbangtan; 1-10 hlm.

152
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UJI ADAPTASI VARIETAS PADI UNGGUL BARU


DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT MALUKU

Alexander J. Rieuwpassa dan Demas Wamaer

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku


Jl. Chr. Soplanit, Rumah Tiga, Ambon
Email: wamaerdemas@yahoo.com

ABSTRAK

Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul baru padi


yang adaptif lahan sawah di Desa Waihattu, Kecamatan Kairatu
Barat,Kabupaten Seram Bagian Barat, berlangsung padamusim tanam I (April
- September) 2014. Digunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga
ulangan. Perlakuan terdiri dari 5 Varietas Unggul Baru (VUB) padi meliputi :
Inpari 21, Inpari 24, Inpari 26, Inpari 27, dan Inpari 28. Ukuran petak 20 m x
15 m, jarak tanam legowo 2:1 dan 4:1, bibit ditanam tiga batang per rumpun
pada umur 25 – 30 hari. Parameter yang diamati, meliputi : jumlah anakan
produktif/rumpun, tinggi tanaman menjelang panen, jumlah malai per rumpun,
panjang malai, jumlah biji per malai, jumlah biji hampa per malai, bobot 1000
butir gabah isi kering pada tingkat kadar air 14%, persentase gabah isi (%).Hasil
gabah bersih per plot yaitu hasil gabah yang dipanen dari petak percobaan
netto. Data dianalisis menggunakan analisis varians dan uji beda. Hasil
pengkajian menunjukkan bahwa, beberapa varietas yang dikaji mampu
mencapai potensi genetik secara optimal pada lingkungan tumbuh di kabupaten
SBB; Untuk legowo 2:1, produktivitas Inpari 21 (5,25 t/ha), Inpari 24 (9,50 t/ha),
Inpari 26 (7,75 t/ha), Inpari 27 (9,50 t/ha), dan Inpari 28 (9,50 t/ha); untuk legowo
4:1 produktivitas Inpari 21 (9,20 t/ha), Inpari24 (9,20 t/ha), Inpari 26 (9,44 t/ha),
Inpari 27 (8,90 t/ha), dan Inpari 28 (7,50 t/ha).

Kata Kunci : VUB, pertumbuhan, produktivitas

PENDAHULUAN

Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) merupakan salah satu daerah


diProvinsi Maluku dengan luas 6.948,40km2, yang secara administratif terdiri 11
kecamatan dan 92 desa (BPS 2011, ; BPS, 2013). Sampai dengan tahun 2012,
pemanfaatan lahan untuk pengembangan padi seluas 1.100 ha, yang terdiri dari
lahan sawah irigasi teknis seluas 1.070 ha dan sawah irigasi non teknis atau
sawah tadah hujan seluas 30 ha yang hanya terdapat di dua kecamatan
(Kairatu dan Kairatu Barat) yang merupakan daerah ex-transmigrasi.

Produktivitas padi yang dicapai juga masih rendah, yaitu 4-6 t/ha GKP
(Distan Maluku, 2012). Rendahnya produktifitas padi tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya karena penggunaan varietas lokal atau tidak
melakukan pergantian varietas. Data di atas menunjukkan bahwa di kabupaten
SBB terdapat lahan yang masih cukup luas untuk pengembangan padi terutama

153
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tegalan, tanah rusak, dan lahan lainnya, baik untuk padi gogo maupun padi
lahan sawah (Susanto dkk., 2012; Susanto dan Sirappa, 2007).

Saat ini Badan Litbang Pertanian telah melepas varietas unggul padi
sudah cukup banyak, diantaranya varietas inbrida padi sawah irigasi (Inpari 1 –
20). Dalam dua tahun terakhir ini telah dilepas juga varietas baru varietas
Inpari21–30. Varietas-varietas baru tersebut memiliki beberapa karakteristik
diantaranya tahan terhadap hama penyakit, kekeringan dan berumur pendek
dengan potensi produksi yang tinggi dengan produktivitas berkisar antara 6 –
10 t/ha GKG.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi petani tersebut di atas


dibutuhkan suatu inovasi teknologi sebagai upaya peningkatan produktivitas
padi. Ada dua hal yang bisa menjadi pendekatan pada masalah tersebut yaitu
perbaikan varietas melalui introduksi varietas unggul baru padi dan perbaikan
teknologi budidaya padi di tingkat petani melalui introduksi pengelolaan
tanaman terpadu (PTT) padi sawah irigasi. Kajian adaptasi beberapa varietas
padi unggul baru diharapkan dapat meningkatkan produksi dan indeks
pertanaman padi di kabupaten SBB (Rieuwpasa, 2014).

Dilain pihak potensi pengembangan wilayah masih cukup besar (Irianto,


dkk., 1999; Rieuwpassa dkk., 1997; Susanto dan Bustaman, 2006), dalam hal
: (1) potensi luas lahan, (b) daya dukung agronomis, dan (c) peluang
peningkatan produktivitas. Sehingga diperlukan optimalisasi pemanfaatan
lahan melaluipendekatan holistik dan partisipatif dengan strategi
pengembangan selektif dan memperhatikan kelestarian sumberdaya. Selain
itu model usahatani yang dikembangkan hendaknya bersifat spesifik dan
dinamis sesuai dengan karakteristik biofisik lahan dan sosial budaya setempat
serta mempunyai prospek pemasaran.

Badan Litbang Pertanian sudah cukup lama mengintroduksi varietas


unggul yang dinilai adaptif di lahan sawah. Beberapa varietas padi unggul yang
sudah cukup lama dikembangkan petani di lahan sawah seperti varietas IR 64,
Ciherang, Mekongga, Cigeulis, Cisantana, dan lain-lain. Varietas tersebut
masih tetap dipertahankan karena berumur pendek dengan hasil yang tinggi,
dan rasa nasi enak sesuai dengan minat konsumen.

Dengan demikan pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan


VUB(Varietas Unggul Baru) padi yang adaptif lahan sawah di Kabupaten Seram
Bagian Barat dengan melakukan uji adaptasi terhadap 5 VUB padi yang
diintoduksi dari Balai Besar Padi Sukamandi. Kajian ini bertujuan untuk dapat
memperoleh 1-2 varietas padi unggul baru yang mampu beradaptasi dengan
produktivitas tinggi dan juga disukai konsumen, sehingga potensi lahan yang
ada dapat dimanfaatkan secara efisien dan efektif untuk mendukung
peningkatan produksi padi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani
padi sawah di Kabupaten Seram Bagian Barat.

154
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE


Pengkajian dilaksanakan di desa Waihatu, Kecamatan Kairatu Barat,
Kabupaten Seram Bagian Barat dan dilaksanakan pada April – September
2014. Pengkajian menggunakan rakitan teknologi spesifik lokasi. Komponen
teknologi yang diterapkan, seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen teknologi yang diterapkan


No. Komponen Teknologi Penerapan
1. Pengolahan tanah Sempurna, dibuat saluran drainase
2. Varietas Inpari 21,24,26,27 dan 28
3. Kebutuhan benih 25-30 kg/ha
4. Pembibitan/pesemaian Tanam Pindah
5. Jumlah tanaman/lubang 1-2 batang
6. Jarak tanam Legowo 2:1dan 4:1 (10 cm x 20 cm) x 40
cm
7. Pemupukan Urea: 300 kg/ha, SP36: 100kg/ha, KCl :
100 kg/ha dan Pupuk Kompos 5 ton/ha
(Pupuk Nitrogen berdasarkan BWD)
8. Pengairan Tata air konservasi
9. Penyiangan Pengendalian gulma manual
10. Pengendalian hama/penyakit Sesuai kondisi dilapangan
11 Panen dan Pascapanen Tepat waktu dan prosessing dengan
mesin

Data yang diamati adalah data agronomis, meliputi: jumlah anakan


produktif/rumpun, tinggi tanaman menjelang panen, jumlah malai per rumpun,
panjang malai, jumlah biji per malai,jumlah biji hampa per malai, bobot 1000
butir gabah isi kering pada tingkat kadar air 14%, persentase gabah isi (%),
pengambilan data dilakukan menjelang panen pada 20 tanaman contoh yang
ditentukan secara acak. Hasil gabah bersih per plot yaitu hasil gabah yang
dipanen dari petak percobaan netto (ubinan 2 m x 2,5 m). Data yang terkumpul
ditabulasi kemudian dianalisis menggunakan analisis varians dan uji beda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Pertumbuhan
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman
tertinggi dihasilkan oleh varietas Inpari 28 dan berbeda nyata dengan tinggi
tanaman varietas lainnya yang dikaji. Tinggi tanaman Inpari 28 (116 cm) yang
menunjukkan konsistensi pertumbuhan, baik pada umur 32 HST, maupun 72
HST dan 90 HST seperti terlihat pada Gambar 1.

155
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

140
120
100 Inpari 21
80
60 Inpari 24
40
Inpari 26
20
0 Inpari 27
Tinggi Jml Tinggi Jml Tinggi Jml
Inpari 28
Tanaman anakan Tanaman anakan Tanaman anakan
Umur 32 HST Umur 72 HST Umur 90 HST

Gambar 1. Tinggi tanaman (cm) dan jumlah anakan pada Umur 32, 72 dan 90
HST

Begitu pula untuk jumlah anakan produktif terbanyak dihasilkan oleh


varietas Inpari 28 (21,50 batang), dan berbeda nyata dengan jumlah anakan
yang diperoleh Inpari24 (19,30 batang). Jumlah anakan juga mengalami
pertumbuhan yang konsisten, baik untuk umur 32 HST, 72 HST dan 90 HST.

Komponen Hasil dan Produktivitas Tanaman


Hasil analisis statistik pada kegiatan uji adaptasi varietas, menunjukkan
bahwa secara umum rata-rata jumlah malai, panjang malai, jumlah biji permalai
terbanyak dihasilkan oleh varietas Inpari 28 dan dikuti Inpari 27. Pada Gambar
2 terlihat bahwa malai yang dihasilkan Inpari 28 (28,20 cm) dan 26 (25,78 cm)
lebih panjang dan berbeda nyata dengan panjang malai Inpari 27 (24,23 cm),
Inpari 21 dan (24,31 cm) dan akan tetapi tidak berbeda nyata dengan panjang
malai Inpari 24 (25,05 cm). Jumlah biji per malai pada Inpari 28 (93,2), Inpari
27 (91,93), Inpari 26 (90,45) dan Inpari 24 (90,43) lebih banyak dan berbeda
nyata dibandingkan dengan jumlah biji per malai pada varietas Inpari 21 yang
hanya mampu menghasilkan 85,91 biji per malai. Gambar 2 juga menunjukkan
bahwa terdapat korelasi positif antara panjang malai dengan jumlah biji
permalai, semakin panjang malai yang dihasilkan akan diikuti pula oleh jumlah
biji. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

100

80

60 jml malai/rmpn

40 panjang malai
jml biji/malai
20

0
Inpari 21 Inpari 24 Inpari 26 Inpari 27 Inpari 28

Gambar 2. Jumlah malai, panjang malai, dan jumlah biji per malai,
padapengkajian adaptasi varietas di Kabupaten Seram Bagian
Barat

156
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kondisi sebaliknya terjadi pada bobot biji hampa per malai. Gambar 3
menunjukkan bahwa jumlah biji hampa paling sedikit atau persentase gabah
berisi paling besar, dihasilkan secara berturut-turut oleh Inpari 28 (71,63 %),
Inpari 27 (66,60 %), dan Inpari 24 (57,40 %). Jumlah tersebut lebih sedikit dan
berbeda nyata dengan jumlah biji hampa terbesar atau persentase gabah berisi
paling sedikit pada varietas Inpari 21 (45,48 %) dan Inpari 26 (21,93 %).

80
70
60
50 jml biji hampa/malai
40
Bobot 1000 btr
30
20 persentase gabah isi (%)
10
0
Inpari 21 Inpari 24 Inpari 26 Inpari 27 Inpari 28

Gambar 3. Jumlah biji hampa, bobot 1.000 biji, dan persentase gabah berisi
pada pengkajian adaptasi VUB padi di Kabupaten Seram Bagian
Barat

Selanjutnya Gambar 3 memperlihatkan juga bahwa bobot 1000 biji


terberat dihasilkan oleh varietas Inpari 28 (26,05 gr) dan berbeda nyata dengan
varietas lain yang diuji. Kemudian menyusul Inpari 24 (25,40 gr)yang berbeda
nyata dengan bobot biji yang dihasilkan oleh Inpari 21 (22,89 gr), dan Inpari 26
(21,70 gr), namun tidak berbeda nyata dengan bobot biji Inpari 27 (25,20 gr).

Produktivitas masing-masing varietas dianalisis berdasarkan


penghitungan produksi ubinan (2 m x 2,5 m) kemudian dikonversi ke luasan
hektar. Berdasarkan hasil analisis statistik nampak bahwa produktivitas tertinggi
dicapai oleh varietas Inpari 28 (9,7 t/ha dengan sistem tanam legowo 2:1 dan
9,8 t/ha untuk legowo 4:1) namun tidak berbeda nyata dengan produksi seluruh
varietas yang dikaji, kecuali dengan varietas Inpari 21 dengan system tanam
2:1 (Tabel 2).

Tabel 2. Perbandingan produktivitas padi VUB dengan sistem tanam jajar


legowo 2:1 dan 4:1 di Kabupaten Seram Bagian Barat
Nama Varietas Unggul Hasil (t/ha) Hasil(t/ha)
No
Baru Introduksi legowo 2:1 legowo 4:1
1. Inpari 21 5,25 9,20
2. Inpari 24 9,50 9,20
3. Inpari 26 7,75 9,44
4. Inpari 27 9,50 8,90
5. Inpari 28 9,70 9,80

157
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Jika dilihat produktivitas yang dicapai masing-masing varietas pada


kegiatan uji adaptasi varietas di kabupaten SBB, maka hasil tersebut jauh lebih
tinggi dari hasil produksi rata-rata petani setempat yang baru mencapai 4,3
t/ha.Hal ini menunjukkan bahwa 5 VUB yang telah diadaptasikan tersebut dapat
menjadi pilihan bagi petani untuk meningkatkan produksi dan pendapatannya.

KESIMPULAN
1. Semua VUB (Inpari 21, 24, 26, 27, 28) yang dikaji mampu mencapai
potensi genetik secara optimal pada lingkungan tumbuh padi sawah irigasi
di Kabupaten Seram Bagian Barat.
2. Penggunaan sistem tanam legowo 2:1 dan 4:1 menunjukkan perbedaan
produktivitas antar varietas yang diuji, namun terlihat bahwa sistem
tanaman legowo memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata
produktivitas padi yang dilaksanakan di tingkat petani pada lokasi kajian
(4.3 t/ha).
SARAN
Disarankan untuk VUB yang telah dihasilkan ini perlu ditindak lanjuti
dengan uji organoleptik atau uji tingkat kesukaan konsumen, agar dapat
direkomendasi untuk dikembangkan, jika konsumen suka terhadap rasa
nasi dari varietas-varietas ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alfons, J.B., A. N. Susanto, A.J. Rieuwpassa, S. Malawat, B. Rumahrupute, R.


Swarda, M.P. Sirappa, P.R. Matitaputty, E. D. Waas, dan J. Tola. 2007.
Rekomendasi Teknologi Spesifik Lokasi Provinsi Maluku. Komisi
Teknologi Pertanian Maluku. Ambon.
BPS. 2011. Maluku Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku.
BPS. 2013. Maluku Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku.
Distan Provinsi Maluku. 2012. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Provinsi
Maluku. Ambon.
Irianto, B., Rieuwpassa AJ, Bustaman S, Waas ED. 1999. Karakterisasi zona
agro ekologi Maluku: Gugus Pulau I dan 11. Di dalam: Wairisal LD,
Irianto B, Rahardljo S, Dwiono AP, Latuconsina JR (penyunting).
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Pengkajian Pertanian TA 1997/1998.
Buku 11. Ambon, 15 - 16 Juli 1998. Ambon: Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Ambon, Badan Litbang Pertanian. Hlm. 57-96.O
Rieuwpassa, A.J. 2014. Laporan Akhir Pendampingan Inovasi Pertanian dan
Program Strategis di Provinsi Maluku. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Maluku. Ambon. I
Rieuwpassa AJ, Irianto B, Bustaman S, Waas ED. 1999. Karakterisasi zona
agro ekologi Maluku: Gugus Pulau IV, V, VI, VIl dan VIll. dalam:
Wairisal LD, Irianto B, Rahardjo S, Dwiono AP, Latuconsina JR
(penyunting). Prosiding Seminar Hasil-Hasil Pengkajian Pertanian T.A.
1997/1998. Buku II. Ambon, 15 - 16 Juli 1998. Ambon: Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Ambon, Badan Litbang Pertanian. Hal. 97-116.I:si
an kup

158
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Susanto AN, Bustaman S. 2006. Data dan Informasi Sumberdaya Lahan Untuk
Mendukung Pengembangan Agribisnis di Wilayah Kepulauan
Provinsi Maluku. BPTPMaluku. Ambon.
Susanto, A.N, M. Titahena, S. Malawat, R. Senewe, A.A. Rivaie dan E. Ananto.
2012. Upaya Peningkatan Pemanfaatan Lahan Kering Mendukung
Kedaulatan Pangan di Maluku. Dalam (eds) Mewa Ariani, Ai Dariah, E.
Eko Ananto, Kedi Suradisastra, Kasdi Subagyono, Muhrizal Sarwani,
Efendi Pasandaran, Haryono Soeparno: Membangun Kemampuan
Inovasi Berbasis Potensi Wilayah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Susanto, A.N dan M.P. Sirappa. 2007. Karakteristik dan Ketersediaan Data
Sumber Daya Lahan Pulau-Pulau Kecil Untuk Perencanaan
Pembangunan Pertanian di Maluku. Jurnal Litbang Pertanian, 26 (2),
2007. p.41-53.

159
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ADAPTASI TIGA VARIETAS UNGGUL BARU


PADI SAWAH DI BOLIYOHUTO, KAB. GORONTALO,
PROVINSI GORONTALO

Erwin Najamuddin1, A. Yulyani Fadwiwaty1, dan Suheri Sitepu2.


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Jl. Moh. Van Gobel 270, Desa Iloheluma, Kec. Kabila, Kab. Bone Bolango,
Gorontalo.
Email: erwinnajamuddin@gmail.com
2
Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Utara
Jl.A.H.Nasution 1B Medan, Sumatera Utara
Email: suheri.sitepu12@gmail.com

ABSTRAK

Beras merupakan pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia


dan memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap diantaranya sumber
karbohidrat, protein, lemak dan vitamin, serta kandungan mineral lainnya yang
dibutuhkan oleh tubuh seperti kalsium, magnesium, sodium dan fospor.
Pertambahan jumlah penduduk yang pesat menyebabkan terjadinya
peningkatan kebutuhan konsumsi beras baik secara nasional maupun lokal.
Sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitas padi masih terus dilakukan.
Produksi beras Provinsi Gorontalo Tahun 2014 meningkat 10% jika
dibandingkan tahun 2013. Peningkatan produksi merupakan hasil penerapan
intensifikasi melalui Adopsi teknologi Varietas Unggul Baru. Adopsi varietas
unggul telah terbukti mampu meningkatkan produksi padi dan pendapatan
petani. Peningkatan produktivitas dicapai melalui peningkatan potensi atau
daya hasil tanaman, toleransi dan atau ketahanannya terhadap organisme
pengganggu tanaman (OPT), serta adaptasi terhadap kondisi lingkungan
spesifik lokasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan
adaptasi 3 varietas unggul baru asal Badan Litbang Pertanian di Boliyohuto,
Kab. Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Hasil yang diperoleh yakni 3 varietas
unggul baru asal Badan Litbang Pertanian menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata untuk pertumbuhan fase vegetatif namun berbeda nyata pada
pengukuran produksi dengan kisaran rata-rata produksi berkisar 4,65 ton per
ha hingga 5,58 ton per ha.

Kata Kunci : Adaptasi, Varietas Unggul Baru, Kabupaten Gorontalo

PENDAHULUAN

Beras merupakan pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia


dan memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap diantaranya sumber
karbohidrat, protein, lemak dan vitamin, serta kandungan mineral lainnya yang
dibutuhkan oleh tubuh seperti kalsium, magnesium, sodium dan fospor.
Pertambahan jumlah penduduk yang pesat menyebabkan terjadinya
peningkatan kebutuhan konsumsi beras baik secara nasional maupun lokal.

160
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Produksi beras Provinsi Gorontalo Tahun 2014 mencapai 303,627 ton


dengan luasan 58.264 ha. Angka produksi ini meningkat 10% jika dibandingkan
tahun 2013 yakni 290,231 ton dengan luasan 60.396 ha (Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Gorontalo, 2015). Banyak faktor
yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi tersebut salah satunya
adalah penerapan intensifikasi melalui Adopsi teknologi Varietas Unggul Baru.

Adopsi varietas unggul telah terbukti mampu meningkatkan produksi


padi dan pendapatan petani. Peningkatan produktivitas dicapai melalui
peningkatan potensi atau daya hasil tanaman, toleransi dan atau ketahanannya
terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT), serta adaptasi terhadap
kondisi lingkungan spesifik lokasi (Raharjo dan Agus).

Nurhati dkk. (2008) melaporkan bahwa kontribusi varietas unggul baru


terhadap peningkatan produksi padi tanaman padi melalui adopsi varietas
unggul baru dengan pola tanam yang tepat dapat meningkatkan produktivitas
antara 3,4% hingga 20,6%. Pengkajian beberapa varietas unggul baru
terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah terus dilaksanakan dengan
tujuan untuk mendapatkan varietas unggul baru padi yang dapat beradaptasi
baik dan memberikan hasil tinggi. Hal ini terkait dengan sifat-sifat yang dimiliki
oleh varietas unggul padi, antara lain berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama
dan penyakit utama, umur genjah sehingga sesuai dikembangkan dalam pola
tanam tertentu, dan rasa nasi enak (pulen) dengan kadar protein relative tinggi
(Suprihatno dkk., 2007; Arafah dan Najma, 2012). Namun varietas yang
memiliki daya adaptasi tinggi tetap perlu dikaji pada spesifik wilayah untuk
menguatkan informasi terkait kemampuan adaptasi suatu varietas pada kondisi
tertentu pada suatu wilayah.

Penggunaan varietas unggul baru merupakan teknologi andalan yang


secara luas digunakan masyarakat, murah dan mudah untuk diperoleh
sepanjang benihnya tersedia. Apabila varietas yang digunakan mampu
beradaptasi dengan baik sesuai dengan kondisi iklim lokasi serta didukung
dengan teknik budidaya yang tepat, maka bukan hal mustahil negara mampu
mecapai swasembada beras.

Berdasarkan uraian tersebut dan belum adanya laporan awal, maka


observasi informasi terkait kemampuan adaptasi tiga varietas unggul baru di
desa Bandungrejo Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo dianggap
penting untuk dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan adaptasi 3 varietas


unggul baru asal Badan Litbang Pertanian di Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo,
Provinsi Gorontalo.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi serta


menjadi landasan berfikir dalam melaksanakan penelitian-penelitian terkait
kemampuan adaptasi 3 varietas unggul baru asal Badan Litbang Pertanian
terkhusus untuk wilayah Kabupaten. Gorontalo Provinsi Gorontalo.

161
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada bulan tanggal 15 Juni- 9 September 2015,


Bertempat di desa Bandungrejo, Kec. Boliyohuto di Kabupaten Gorontalo,
Provinsi Gorontalo. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, 3
perlakuan diantaranya Varietas Inpari 28, Inpari 30, Inpari 33, yang masing-
masing perlakuan diulang sebanyak lima kali sehingga terdapat total 15 petak
percobaan. Apabila dalam analisis sidik ragam menunjukkan Fhitung > Ftabel
maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (LSD) pada taraf
kepercayaan 95% untuk mengetahui kemampuan adaptasi terbaik dari 3
perlakuan berdasarkan data pertumbuhan vegetatif dan generatifnya.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Benih Varietas Inpari
28, Inpari 30, Inpari 33, Pupuk Majemuk (Ponska dan Petroganik), dan Pupuk
Tunggal (Urea), Label. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, mistar,
timbangan analitik, timbangan manual, cangkul, kamera dan alat tulis.

Adapun tahapan pelaksanaan penelitian yaitu, Penyiapan lahan


percobaan dan Lahan Persemaian, Penyemaian benih padi, Pemindahan bibit
ke petak percobaan, Pemeliharaan, Pengamatan. Beberapa variabel
pengamatan yang diamati diantaranya yakni ; Tinggi tanaman pada saat umur
55 dan 75 hst, jumlah anakan 55 dan 75 hst, jumlah gabah kering panen (GKP)
pada setiap malai, persentase GKP isi, berat GKP setiap seribu butir, serta
produksi GKP pada setiap perlakuan yang dilakukan dengan metode ubinan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Pengamatan Fase Vegetatif

Komponen vegetatif tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman dan


jumlah anakan tanaman umur 55 dan 75 hari setelah tanam sedangkan untuk
komponen generatif tanaman yang diamati adalah jumlah gabah kering panen
per malai, berat gabah kering panen per 1000 butir, serta produksi tanaman per
hektar.

Secara umum hasil pengamatan terhadap tanaman pada fase vegetatif


dan generatif menunjukkan bahwa ketiga varietas tanaman masih dapat
menunjukkan potensi genetiknya dengan hasil yang tidak jauh berbeda dengan
deskripsi tanaman, namun secara khusus untuk hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa pada masing-masing varietas disetiap parameter
pengamatan baik fase vegetatif maupun generatif menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan (Tabel 1 dan 2). Perbedaan varietas menghasilkan
pertumbuhan yang sangat bervariasi (Efendi dkk., 2012).

Pengamatan fase vegetatif tiga varietas tanaman padi di Desa


Bandungrejo, Kec. Boliyohuto dapat dilihat pada Tabel 1.

162
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Pengamatan fase vegetatif tiga varietas tanaman padi di Desa


Bandungrejo, Kec. Boliyohuto, Kab. Gorontalo
Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan
No Perlakuan
Umur 55 hst Umur 75 hst Umur 55 hst Umur 75 hst
1 Inpari 28 91,440b 110,360a 20,160b 24,240b
2 Inpari 30 94,560a 110,240a 25,640a 29,200a
3 Inpari 33 85,120c 110,680a 27,240a 30,720a
KK 1,68% 4,30% 12,08% 10,40%
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda
nyata terkecil pada taraf kepercayaan 95%.

Pada pengamatan tinggi tanaman umur 55 hst, tinggi tanaman terbaik


diperoleh dari varietas Inpari 30 dengan rerata tinggi tanaman 94,560 cm
berbeda nyata dengan varietas inpari 28 dengan rerata tinggi tanaman 91,440
cm. Tinggi tanaman terendah diperoleh pada varietas Inpari33 dengan rerata
tinggi tanaman 85,120 cm. Hal ini disebabkan oleh perbedaan potensi genetik
pada varietas tersebut (Lampiran deskripsi tanaman).

Pengamatan tinggi tanaman umur 75 hst, tidak diperoleh adanya


perbedaan yang signifikan dengan rerata tinggi tanaman untuk varietas Inpari
28, Inpari 30, dan Inpari 33 yang secara berturut-turut 110,360 cm, 110,240 cm,
dan 110, 680 cm. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan potensi genetik
pada varietas tersebut pada umur tertentu (Lampiran deskripsi tanaman).

Pada pengamatan jumlah anakan tanaman umur 55 hst, jumlah anakan


terbanyak diperoleh pada varietas Inpari 30 dan Inpari 33 dengan rerata 27,240
cm dan 25,640 cm, tidak berbeda nyata dengan jumlah anakan varietas
Inpari28, perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan potensi
genetik pada varietas tersebut pada umur tertentu sehingga menampakkan
ekspresi yang cenderung tidak berbeda nyata. Hal ini sejalan dengan Lestari
(2012) yang melaporkan bahwa perbedaan genetik dari masing-masing
varietas juga menjadi penyebab perbedaan hasil atau produksi.

Pada pengamatan jumlah anakan umur 75 hst, jumlah anakan


terbanyak diperoleh pada varietas Inpari 33 dan Inpari3 0 dengan rerata nilai
30,72 dan 29,20 berbeda nyata dengan jumlah anakan varietas Inpari28
dengan rerata jumlah anakan 24,24. Perbedaan jumlah anakan tersebut diduga
disebabkan oleh perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan
potensi genetik pada varietas tersebut pada umur tertentu sehingga
menampakkan ekspresi yang cenderung tidak berbeda nyata. Hal ini sejalan
dengan Lestari (2012) yang melaporkan bahwa perbedaan genetik dari masing-
masing varietas juga menjadi penyebab perbedaan hasil atau produksi.

163
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

b. Pengamatan Fase Generatif

Pengamatan fase generatife dilakukan pada saat tanaman berumur 120


HST dengan parameter Jumlah GKP per malai, berat GKP per seribu bulir serta
produksi GKP berdasarkan pengambilan data hasil Ubinan. Secara umum,
terdapat perbedaan hasil yang signifikan antara ketiga varietas yang diuji pada
pengamatan Produksi GKP per ha. Hal ini sejalan dengan Efendi dkk. (2012)
yang menyatakan bahwa perbedaan varietas menghasilkan pertumbuhan,
produksi berat gabah yang sangat bervariasi. Hasil pengamatan fase generatif
tiga varietas uji dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengamatan fase generatif tiga varietas tanaman padi di Desa


Bandungrejo, Kec. Boliyohuto, Kab. Gorontalo
Jumlah GKP/Malai (Butir) Berat GKP/ Produksi
No Perlakuan Jumlah GKP Persentase 1000 Butir Gabah Kering
(Butir) Gabah Isi (%) (g) Panen (kg/ha)
1 Inpari 28 118,723a 93,552a 30,410a 5.580a
2 Inpari 30 116,883a 92,445a 30,560a 4.657c
3 Inpari 33 120,270a 85,849a 29,750a 4.960b
KK 13,31% 7,22% 2,5% 3,55%
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda
nyata terkecil pada taraf kepercayaan 95%.

Pada pengamatan jumlah GKP per malai, nilai tertinggi diperoleh pada
varietas inpari 33 dengan rerata 120,270 tidak berbeda nyata dengan varietas
inpari 28 dan inpari 30 dengan rerata gabah isi 118,723 dan 116,883 butir per
malai. Tidak ada perbedaan nyata antara ketiga varietas ini disebabkan oleh
kondisi lapangan, perlakuan serta potensi hasil jumlah GKP yang cenderung
sama.

Pada pengamatan jumlah persentase GKP isi per malai, nilai tertinggi
diperoleh pada varietas inpari 28 dengan rerata 93,552% tidak berbeda nyata
dengan varietas inpari 30 dan inpari 33 dengan rerata 92,445% dan 84,849%
per malai. Tidak ada perbedaan nyata antara ketiga varietas ini disebabkan
oleh kondisi lapangan, perlakuan serta potensi hasil jumlah persentase GKP isi
yang cenderung sama.

Pada pengamatan GKP per 1000 butir, nilai tertinggi diperoleh pada
perlakuan Inpari 28 dengan rerata nilai 30,560 g, tidak berbeda nyata dengan
varietas Inpari 28 dan Inpari30 dengan rerata berat 30,410 dan 29,750 g. Tidak
ada perbedaan nyata antara ketiga varietas ini disebabkan oleh kondisi
lapangan, perlakuan serta potensi berat 1000 bulir GKP yang cenderung sama.

Pada pengamatan berat produksi panen per ha, nilai tertinggi diperoleh
pada varietas Inpari28 dengan rerata 5.580 kg. Berbeda nyata dengan
perlakuan varietas Inpari 33 dengan rerata nilai 4.960 kg. Perlakuan terendah
diperoleh pada varietas Inpari 30 dengan rerata nilai 4.657 kg. Perbedaan nilai
rerata produksi ketiga varietas diduga disebabkan oleh kondisi cekaman

164
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kekeringan pada pertanaman Inpari 30 dan Inpari 33 menjelang panen


(intensitas hujan rendah pada akhir masa tanam), Cekaman kekeringan
menyebabkan penurunan produksi (Sulistyono dkk., 2012), serta keberadaan
OPT dari golongan penyakit keberadaan penyakit hawar daun bakteri yang
dominan menyebabkan penurunan hasil pada produksi padi (Sudir dan Sutaryo,
2011).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh perbedaan tinggi tanaman, jumlah anakan dan produksi


gabah kering panen pada varietas Inpari 28, Inpari 30 dan Inpari 33 namun
tidak terdapat perbedaan pada jumlah gabah kering panen per malai,
persentase gabah isi per malai dan berat seribu butir gabah kering panen
pada ketiga varietas tersebut.

2. Varietas Inpari 28 memperoleh hasil produksi gabah kering panen tertinggi,


yaitu 5.580 kg/ha yang berbeda nyata dengan produksi gabah kering panen
varietas Inpari 30 dan Inpari 33.

SARAN

Berdasarkan hasil kajian ilmiah kami, secara agronomis karakteristik


varietas unggul baru telah varietas Inpari 28, Inpari 30 dan Inpari 33 telah
diperoleh namun perlu untuk dilakukan karakteristik spesifik lokasi terkait umur
panen yang baik serta ketahanannya terhadap hama dan penyakit yang
endemik di Provinsi Gorontalo sehingga akan diperoleh deskripsi varietas yang
lebih lengkap

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Litbang


Pertanian/Kementan, Bapak Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Gorontalo Ir. Hatta Muhammad, M.Si, para teknisi, petani pelaksana, tim peneliti
dan segenap anggota yang ikut terlibat dalam penyusunan laporan ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arafah dan Najma, 2012, Pengkajian Beberapa Varietas Unggul Baru Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah. J. Agrivigor 11(2):188-194,
Badan Litbang Pertanian. 2013. Sistem Tanam Legowo. Kementerian
Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.2015.Deskripsi Varietas
Unggul Baru Padi Inbrida Padi Sawah Irigasi (Inpari), Inbrida Padi Gogo
(Inpago), Inbrida Padi Rawa (Inpara), Hibrida padi (Hipa). Kementrian
Pertanian.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Gorontalo, 2015.
Produksi tanaman padi sawah tahun 2014. Gorontalo.

165
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Efendi, Halimursyadah, dan H.R. Simanjuntak, 2012, Respon Pertumbuhan


dan Produksi Plasma Nutfah Padi Lokal Aceh Terhadap Sistem
Budidaya Aerob. Jurnal Agrista Vol.16(3)
Lestari A., 2012, Uji Daya Hasil Beberapa Varietas Padi (Oryza sativa L.)
dengan Metode Metode SRI (the System of Rice Intensification) di Kota
Solok. Jurnal Budidaya Tanaman.
Nurhati I., S. Ramdhaniati, dan N. Zuraida, 2008, Peranan dan Dominasi
Varietas Unggul Baru dalam Peningkatan Produksi Padi di Jawa Barat.
Buletin Plasma Nutfah Vol.14(1).
Raharjo D., dan Agus H., 2014, Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi
Pertanian Spesifik Lokasi”. Banjar Baru. Kalimantan Selatan.
Sudir dan B. Sutaryo, 2011, Reaksi Padi Hibrida Introduksi Terhadap Penyakit
Hawar Daun Bakteri dan Hubungannya dengan Hasil Gabah.Jurnal
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 30(2).
Suprihatno, B., A A. Dradjat, Satoto, Baehaki, N. Widiarta, A. Setyono, S.D.
Indrasari, O.S. Lesmana dan Hasil Sembiring. 2007. Deskripsi varietas
padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar
Penelitian Padi. Sukamandi, Subang Jawa Barat.
Sulistyono E., Suwarno, I. Lubis, D. Suhendar, 2012, Pengaruh Frekuensi
Irigasi Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Lima Galur Padi Sawah.
Jurnal Agrivigor 5

166
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENAMPILAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI VARIETAS UNGGUL


BARU PADI SAWAH DI KABUPATEN NIAS SELATAN

Perdinanta Sembiring dan Hendri F. Purba

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl A.H. Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email: ferdinand366@yahoo.com

ABSTRAK
Salah satu upaya meningkatkan produksi padi yaitu dengan
mengenalkan varietas unggul baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengenalkan
varietas unggul baru yang dapat beradaptasi dalam rangka meningkatkan
produktivitas padi di Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini dilakukan di Desa
Bawonifaoso, Kecamatan Teluk Dalam,Kabupetan Nias Selatanmulai
September – Desember 2012. Penelitian ini menggunakandata agronomis
ditabulasi dan analisis secara deskriptif. Varietas yang digunakan ada empat
yakni varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10 dan Inpari 13. Parameter yang diamati
meliputi tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif (batang/rumpun), jumlah
gabah isi (butir/malai), jumlah gabah hampa (butir/malai) dan produksi gabah
kering panen (ton/ha). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa varietas unggul
baru Inpari 3 dan Inpari 13 merupakan varietas dengan hasil gabah tertinggi
yaitu 5,8 ton/Ha dan memiliki peluang untuk dikembangkan di Kabupaten Nias
Selatan.

Kata kunci: Padi, varietas unggul baru, pertumbuhan, produksi.

PENDAHULUAN

Komoditas yang berperan pokok sebagai pemenuh kebutuhan pangan


penduduk Indonesia adalah padi. Sehingga sampai saat ini padi masih
merupakan komoditas strategis yang dipandang sebagai produk kunci dalam
perekonomian Indonesia. Padi berperan penting dalam stabilitas ekonomi,
peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan, dan pengembangan
perekonomian pedesaan. Oleh sebab itu, usaha tani padi masih merupakan
tulang punggung ekonomi pedesaan, dan beras akan tetap menjadi sektor
strategis secara ekonomi, sosial dan politis (Fagi dkk., 2002; Budianto, 2002).
Kebijakan peningkatan kesejahteraan petani padi mempunyai arti yang sangat
srategis, mengingat peran beras dalam perekonomian Indonesia masih cukup
besar (Suryana dkk., 2008).

Provinsi Sumatera Utara merupakan wilayah yang mengkonsumsi


beras tertinggi di Indonesia. Hal ini berdasarkan analisis data Badan
Ketahanan Pangan Sumut yang dikumpulkan setiap bulan rata-rata konsumsi
beras sebanyak 136,85 kg/kapita/thn (BKP, 2004), memang penduduk
Sumatera Utara termasuk mengkonsumsi beras tertinggi di Indonesia.
Sedangkan Kabupaten Nias Selatan yang termasuk dalam wilayah Provinsi
Sumatera Utara masih harus mengimpor padi untuk kebutuhan daerah.
Komponen teknologi budi daya padi di Kabupaten Nias Selatan diterapkan

167
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

secara parsial, terutama pada lahan berproduktivitas rendah, sehingga tidak


memberikan dampak yang nyata terhadap peningkatan produksi. Memadukan
berbagai komponen teknologi yang sinergis diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas dan efisiensi sistem produksi padi. Untuk itu diperlukan
pengembangan padi dengan memanfaatkan potensi lahan yang tersedia
Padi (Oryza sativa L.) merupakan komoditas tanaman pangan yang
paling banyak diusahakan sebagai sumber bahan pangan utama di
Indonesia.Upaya peningkatan padi terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat dalam rangka mendukung ketahanan pangan (Hasbi,
2012). Penggunaan varietas berdaya hasil tinggi adalah salah satu cara untuk
meningkatkan produksi. Menurut Abdullah dkk. (2008) perakitan varietas
unggul padi sawah dengan potensi hasil lebih tinggi harus dilakukan untuk
mendukung ketahanan pangan.
Cara pemecahan yakni dengan sistem pengelolaan tanaman dan
sumber daya terpadu (PTT) yang merupakan sistem penerapan komponen-
komponen teknologi yang compatible satu dengan lainnya, mempertimbangkan
karakteristik biofisik lingkungan tanaman, serta kondisi sosial ekonomi budaya
petani. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) atau Integrated Crop
Management (ICM) merupakan suatu strategi dan metodologi dalam
peningkatan produksi dan produktivitas padi. Kelebihan PTT Padi
dibandingkan dengan teknologi lainnya yaitu bahwa komponen teknologi PTT
memperhatikan sumber daya setempat (spesifik lokasi) serta kemauan
(partisipasi) petani, serta dinamis dalam susunan teknologi karena adanya
sistem introduksi inovasi secara terus menerus (Makarim dan Irsal, 2004).
Menurut Siwi dan Kartowinoto (1989), penggunaan varietas unggul
merupakan paket teknologi yang paling murah dibandingkan dengan komponen
lainnya. Selain itu, varietas unggul merupakan salah satu teknologi produksi
yang mudah diadopsi oleh petani dan dengan penambahan biaya relatif murah
dapat memberi keuntungan yang nyata dibandingkan teknologi produksi
lainnya (Puslitbangtan, 2000). Penggunaan varietas unggul dan disertai
perbaikan komponen teknologi produksi lainnya dapat memberi kontribusi
terhadap peningkatan produksi padi hingga 75% (Fagi dkk., 1996). Oleh sebab
itu, varietas baru sebagai inovasi teknologi padi terus diciptakan, mengingat
berbagai macam agroekosistem yang ada di wilayah Indonesia dan prefensi
rasa nasi yang berbeda-beda di setiap provinsi (Sembiring, 2011).
Penelitian ini bertujuan untuk mengenalkan varietas unggul baru yang
dapat beradaptasi dalam rangka meningkatkan produktivitas padi di Kabupaten
Nias Selatan.
BAHAN DAN METODE

Lokasi pengkajian di Desa Bawonifaoso, Kecamatan Teluk Dalam,


Kabupetan Nias Selatan pada bulan September - Desember 2012. Kegiatan
pendampingan Inovasi Teknologi Padi dengan pendekatan PTT pada program
SL-PTT padi di Kabupaten Nias Selatan.

168
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Varietas Unggul Baru (VUB) yang digunakan yaitu Varietas Unggul Baru
Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10 dan Inpari 13 dengan pemakaian benih 25kg/Ha.
Benih yang digunakan diseleksi dengan cara diaduk di dalam rendaman air
garam 1 sendok/10 liter air, benih yang merapung dibuang, selanjutnya benih
dicuci bersih, direndam dengan air bersih selama 24 jam, diperam ditempat
yang teduh selama 24 jam. Pengolahan tanah masih secara manual dengan
menggunakan cangkul dengan sempurna sampai melumpur. Kemudian benih
disemai pada bedengan dengan ukuran lebar 1,2 m dan tinggi 0,3 m dengan
semai jarang 50 g/m2.

Penanaman dilakukan berumur 15-21 setelah semai, sistem tanam


Legowo 4:1 dengan jarak tanam (20 cm x 10 cm), menggunakan tali dan jumlah
bibit 1-2 batang per lubang tanam. Pemupukan spesifik lokasi dengan
menggunakan pupuk tunggal, diperoleh dosis pemupukan sebagai berikut :
Urea 200 kg/ha, SP-36 100 kg/ha, NPK200 kg/ha. Pemberian bahan organik
pupuk kotoran ayam 2 t/ha ditabur saat pengolahan tanah, pemupukan dasar
(7 HST)N, P, K, berdasarkan analisis status hara tanah awal dengan perangkat
uji tanah sawah (PUTS), Pemupukan susulan I (30 HST) N berdasarkan bagan
warna daun (BWD), Pemupukan susulan II (50 HST) N berdasarkan bagan
warna daun (BWD). Pengendalian gulma dilakukan dengan disiang dengan
tangan mulai umur 2 minggu. Pengelolaan hama terpadu sesuai tingkat
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan pemanenan dilakukan
dengan menggunakan sabit dan dirontok dengan power tresher.

Metode Analisis

1. Data agronomis ditabulasi dan analisis secara deskriptif.


2. Analisis usaha tani model PTT dan non PTT menggunakan analisis R/C
ratio, yaitu perbandingan antara nilai produksi dengan biaya produksi.

Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman (cm) pada saat panen, jumlah
anakan produktif (batang/rumpun) pada saat panen, jumlah gabah isi
(butir/malai), jumlah gabah hampa (butir/malai) dan produksi gabah kering
panen (ton/ha).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Padi
Keragaan anakan produktif pada display uji varietas unggul baru Inpari
3, Inpari 4, Inpari 10, dan Inpari 13 diamati pada lima sampel tanaman pada
masing-masing varietas, disajikan pada Tabel 1.

169
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Keragaan anakan produktif di display uji adaptasi VUB. Desa


Bawonifaoso, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan,
2012.
Anakan produktif (batang/rumpun)
No
Varietas
Inpari 3 Inpari 4 Inpari 10 Inpari 13
1 29 16 17 21
2 18 18 19 34
3 21 16 16 14
4 14 15 18 12
5 16 15 16 14
Rataan 19,6 16 17,2 19
Deskripsi 17 16 17 – 25 17
Sumber : Balai Besar Penelitian Padi (2010)
Rata-rata jumlah anakan produktif VUB pada tabel 1 adalah sebagai
berikut : varietas Inpari 3 jumlah anakan tertinggi dengan 19,6 batang/rumpun,
Inpari 13 berjumlah 19 batang/rumpun, Inpari 10 jumlah anakan 17,2
batang/rumpun, dan Inpari 4 dengan jumlah anakan terendah sebesar 16
batang/rumpun.

Keragaan rata-rata tinggi tanaman VUB Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10, dan
Inpari 13, masing-masing adalah 98,04 cm; 98,64 cm; 98,28 cm; dan 99,38 cm
(Tabel 2).

Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman pada display uji adaptasi VUB. Desa
Bawonifaoso, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan,
2012.
Tinggi tanaman (cm)
No Varietas
Inpari 3 Inpari4 Inpari 10 Inpari 13
1 98,6 97,5 101,4 98,7
2 98,2 99,3 98,3 101,5
3 99,2 101,3 97,9 101,3
4 97,4 96,6 98,4 96,8
5 96,8 98,5 95,4 98,6
Rataan 98,04 98,64 98,28 99,38
Deskripsi 95-100 95-105 100-120 ±101
Sumber : Balai Besar Penelitian Padi (2010)
Varietas yang paling rendah adalah Inpari 3 dan varietas yang paling
tinggi adalah Inpari 13. Jika dibandingkan tinggi tanaman masing-masing
varietas yang ditanam pada display uji VUB dengan deskripsinya, ternyata ada
beberapa varietas menunjukkan angka tinggi tanaman lebih rendah dari
deskripsinya, seperti varietas Inpari 10 dan Inpari 13 pada tabel 2. Hal ini
disebabkan oleh faktor ketinggian tempat, dimana tinggi tempat berpengaruh
pada radiasi matahari dan berpengaruh pada suhu. Semakin tinggi tempat
maka suhu semakin rendah. Suhu mempengaruhi metabolisme yang tercermin
dalam berbagai karakter seperti laju pertumbuhan, pembungaan, pembentukan
buah, dan pematangan jaringan atau organ tanaman yang pada akhirnya akan
mempengaruhi umur panen (Lakitan, 2007).

170
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Varietas Inpari 13 memiliki tinggi tanaman tertinggi dengan tinggi


tanaman 99,38 cm dan yang terendah varietas Inpari 3 sebesar 98,04 cm
sedangkan anakan produktif yang tertinggi adalah varietas Inpari 3 dengan
19,60 btg/rumpun dan yang terendah varietas Inpari 10 dengan 15 btg/rumpun
(Tabel 3).
Tabel 3. Keragaan agronomis kegiatan display (Uji Varietas) di Kegiatan
Pendampingan SL-PTT Padi di Desa Bawonifaoso, Kecamatan Teluk
Dalam, Kabupaten Nias Selatan, 2012
Tinggi Anakan Jumlah Jumlah Hasil
Varietas tanaman produktif Gabahisi gabahhampa GKP
(cm) (btg/rumpun) (butir/malai) (butir/malai) (t/ha)
5,80
Inpari 3 98,04 19,60 145,60 24,00
5,40
Inpari 4 98,64 16,00 138,40 25,00

Inpari 10 98,28 15,00 109,60 19,00 5,40

5,80
Inpari 13 99,38 19,00 143,00 16,80
Rata-rata 98,58 17,40 134,15 21,20 5,60

Untuk jumlah gabah isi tertinggi juga dicapai oleh varietas Inpari 3
dengan 145,6 butir/malai dan yang terendah oleh Inpari 10 dengan 109,6
butir/malai. Jumlah gabah hampa tertinggi pada varietas Inpari 4 sebesar 25
butir/malai dan yang terendah sebesar 16,80 butir/malai dengan varietas Inpari
13. Untuk hasil gabah kering panen, Inpari 3 dan Inpari 13 memperoleh hasil
5,8 ton/Ha ; dan yang terendah sebesar 5,40 butir/malai oleh varietas Inpari 4
dan Inpari 10.
Hasil Analisis Usahatani
Perbandingan analisis usaha tani padi sawah sebelum menerapkan
inovasi teknologi dan setelah menerapkan inovasi teknologi di Desa
Bawonifaoso, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, disajikan
padaTabel 4.
Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa setelah dilaksanakan
inovasi teknologi petani memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp
14.328.000,- dengan nilai R/C 2,42. Bila dibandingkan pada saat belum
dilaksanakan inovasi teknologi petani memperoleh pendapatan bersih sebesar
Rp 3.940.000,- dengan nilai R/C 1,82. Sehingga dengan menerapkan
komponen teknologi PTT terjadi peningkatan pendapatan pendapatan petani
yang sangat signifikan.

171
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Analisis usahatani padi sawah sebelum penerapan teknologi dan


setelah penerapan teknologi. Desa Bawonifaoso, Kecamatan Teluk
Dalam, Kabupaten Nias Selatan, 2012
No Uraian Sebelum inovasi teknologi Setelah inovasi teknologi
Volume Jumlah Volume Jumlah
A. Biaya Produksi
Benih (kg) 80 640.000 25 200.000
Pupuk kandang (kg) 0 - 2.000 1.000.000
Urea (kg) 250 600.000 200 480.000
SP 36 (kg) 50 140.000 100 280.000
Ponskha (kg)/NPK 50 170.000 200 680.000
Insektisida (ltr) 3 300.000 3 300.000
Pengolahan tanah
5 250.000 30 1.500.000
(HOK)
Tanam (HOK) 10 500.000 25 1.250.000
Pemupukan (HOK) 3 150.000 3 150.000
Penyiangan (HOK) 10 500.000 20 1.000.000
Penyemprotan (HOK) 6 300.000 6 300.000
Panen (12%) 240 1.260.000 836 2.927.000
B. Jumlah Biaya 4.810.000 10.067.000
C. Penerimaan (ton) 2,5 8.750.000 6,97 24.395.000
D. Pendapatan bersih 3.940.000 14.328.000
E. R/C 1,82 2,42

Keterangan : HOK = Hari Orang Kerja

KESIMPULAN

1. Dari kegiatan varietas unggul baru padi yang diuji adaptasikan hasil
tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 3 dan Inpari 13 (5,8 t/ha) dan
hasil terendah pada Inpari 4 dan Inpari 10 (5,4 t/ha).
2. Keuntungan bersih petani sebesar Rp 14.328.000,- dengan R/C ratio
2,42 setelah dilakukan inovasi teknologi PTT.
3. Keempat varietas ini sangat berpotensi untuk dikembangkan di Nias
Selatan, terutama Inpari 3 dan Inpari 13 tetapi petani dapat memilih
varietas mana yang disukai sesua iselera konsumen

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B. , Soewito Tjokrowidjoyo, dan Sularso. 2008. Status,


Perkembangan dan Prospek Pembentukan Padi Tipe Baru di Indonesia.
Inovasi Teknologi Tanaman Pangan (2) 269-287.
Balai Besar Penelitian Padi. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
BKP. 2004. Laporan Posko Bulanan Tahun 2004. Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Sumatera Utara.
Budianto, J. 2002. Tantangan dan Peluang Penelitian dan Pengembangan Padi
dalam Perspektif Agribisnis. Kebijakan Perberasan dan Inovasi
Teknologi Padi (Buku 1). Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang
Pertanian.

172
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Fagi, A.M, I. Las dan A. Hasanuddin. 1996. Keterpaduan Penelitian dan


Pengembangan Lahan Sawah Beririgasi. Rapat Kerja Badan Litbang
Pertanian 1996. Kementerian Pertanian.
Fagi, A.M, Soetjipto Partohardjono, dan E. Eko Ananto. 2002. Strategi
Pemenuhan Kebutuhan Pangan Beras 2010. Kebijakan Perberasan dan
Inovasi Teknologi Padi (Buku 1). Puslitbang Tanaman Pangan, Badan
Litbang Pertanian.
Hasbi. 2012. Perbaikan Teknologi Pasca Panen Padi di Lahan Suboptimal.
Jurnal Lahan Suboptimal Vol. 1, No. 2 : 186-196, Oktober 2012
Lakitan, Benyamin, 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Makarim dan Irsal, L. 2004. Sukamandi, Pekan Padi Nasional. Terobosan
Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi Melalui Pengembangan
Model Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu (PTT).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan). 2000.
Deskripsi Varietas Unggul Padi dan Palawija 1999-2000. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Sembiring, H. 2011. Kesiapan Teknologi Budidaya Padi Menanggulangi
Dampak Perubahan Iklim Global. Dalam : Prosiding Seminar Ilmiah
Hasil Penelitian Padi Nasional 2010 (Buku 1). Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.
Siwi, dan S Kartowinoto. 1989. Plasma Nutfah Padi dalam Padi Buku 2. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Suryana, A., Suyamto, Baehaki SE., S. Abdurachman., I. N. Widiarta., H. M.
Toha., H. Sembiring., Hermanto., dan H. Kasim. 2008. Panduan
Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-
PTT) Padi. Departemen Pertanian, Jakarta.

173
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS


UNGGUL BARU PADI SAWAH DI KABUPATEN KARO

Perdinanta Sembiring dan Dorkas Parhusip

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H. Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email : ferdinand366@yahoo.com

ABSTRAK
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) telah dilaksanakan di Desa
Mardinding, Kecamatan Mardinding, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera
Utara. Pengkajian ini dilakukan pada bulan Mei - Agustus 2012 dengan tujuan
untuk mengevaluasi keragaan pertumbuhan dan hasil beberapa varietas
unggul baru padi sawah serta memilih varietas yang cocok dikembangkan di
Kabupaten Karo. Varietas yang diuji sebanyak enam varietas yaitu varietas
Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10, Inpari 12, Mekongga dan Ciherang. Pengamatan
yang dilakukan meliputi pertumbuhan, hasil dan komponen hasil padi,
selanjutnya data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa varietas Inpari 3, 10, 4, Mekongga dan Inpari 12
menghasilkan gabah kering panen > 7,10 t/ha dan tertinggi dihasilkan varietas
Inpari 3 (8,3 t/ha), sedangkan varietas Ciherang hanya 5,50 t/ha. Semua
varietas yang dicoba sesuai untuk dikembangkan di Kabupaten Karo.
Penerapan inovasi teknologi padi dapat meningkatkan nilai R/C rasio menjadi
2,65 atau pendapatan bersih meningkat sebesar Rp 5.846.000,-/ha
dibandingkan dengan teknologi yang digunakan petani sebelumnya.

Kata kunci: Padi, varietas unggul baru, pertumbuhan, produksi.

PENDAHULUAN
Padi adalah komoditas bahan pangan yang paling dominan di
Indonesia, salah satunya di Provinsi Sumatera Utara. Beras merupakan bahan
pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang akan terus meningkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Sementara laju peningkatan
produktivitas tanaman pangan termasuk padi di Indonesia saat ini cenderung
melandai. Menurut Abdullah (2004) laju peningkatan produktivitas di Indonesia
telah melandai meskipun upaya kultur teknis telah dilakukan secara maksimal.
Hal ini diduga ada kaitannya dengan belum adanya varietas unggul baru padi
yang berpotensi lebih tinggi dari varietas yang selama ini ditanam oleh petani.
Untuk itu diperlukan pengembangan padi dengan memanfaatkan potensi lahan
yang tersedia. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan pendekatan
dalam pengelolaan hara, air, tanaman dan organisme pengganggu tanaman
(OPT) secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan
produktivitas tanaman, pendapatan petani serta menjamin keberlanjutan
kelestarian lingkungan (Suryana dkk, 2008). Dengan pendekatan PTT, petani
disediakan komponen teknologi utama yang adaptasinya luas dan
pengaruhnya terhadap produktifitas jelas, serta komponen teknologi pilihan
yang disesuaikan dengan kondisi agroekologi setempat (Sembiring dkk, 2008)

174
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Program swasembada pangan yang ingin diwujudkan oleh pemerintah


harus didukung oleh peranan inovasi teknologi pertanian. Salah satu inovasi
teknologi pertanian yang mampu meningkatkan produktivitas padi adalah
varietas unggul baru (VUB), baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil
tanaman maupun toleransi dan/atau ketahanannya terhadap cekaman biotik
dan abiotik (Sembiring, 2008). Varietas unggul baru padi merupakan salah satu
inovasi teknologi yang paling mudah diadopsi petani karena teknologinya
murah dan penggunaannya sangat praktis (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Selain itu, varietas unggul merupakan salah satu teknologi produksi yang
mudah diadopsi oleh petani dan dengan penambahan biaya relatif murah dapat
memberi keuntungan yang nyata dibandingkan teknologi produksi lainnya
(Puslitbangtan, 2000).

VUB ini kemudian diperkenalkan melalui program Sekolah Lapang


Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan salah satu pendekatan
percepatan adopsi inovasi teknologi sekaligus pembangunan pertanian
wilayah. SL-PTT merupakan wahana pembelajaran dan penyuluhan di tingkat
petani yang dipraktekkan secara langsung di lapangan dimana pengelolaan
tanaman menggunakan pendekatan PTT. Dalam pelaksanaan sekolah lapang,
petani peserta didampingi oleh pemandu teknologi yang bertugas membantu
petani dalam mengaplikasikan inovasi teknologi (Ditjentan, 2010). Sirappa dkk
(2007) menyatakan bahwa peran penggunaan varietas unggul diikuti teknik
pemupukan dan pengairan yang tepat memberikan kontribusi terhadap
peningkatan produktivitas padi dan sumbangan peningkatan produktivitas
varietas unggul terhadap produksi nasional cukup besar yaitu 56%
(Hasanuddin, 2005).
Kabupaten Karo juga merupakan salah satu kabupaten yang
mempunyai potensi untuk produksi padi sawah di Sumatera Utara, khusus yang
berada pada dataran rendah - medium. Kecamatan sentra produksi utama
terdapat di Kecamatan Mardinding, Laubalang, Munthe, Tiganderket dan
Payung. Produksi padi pada tahun 2011 tercatat untuk padi ladang (29.861 t),
mengalami penurunan jika dibanding tahun 2010 yang berjumlah 42.072 t.
Untuk padi sawah produksi 79.738 t pada tahun 2011, keadaan ini juga
menurun jika dibanding dengan produksi tahun 2010 yang berjumlah 99.035 t
(BPS Karo, 2012). Pada tahun 2011 luas panen mencapai 14.298 ha dengan
produksi sebesar 79.738 t, bila dilihat dari data produksi per satuan luas adalah
5,57 t/ha. Akan tetapi kondisi ini masih bisa ditingkatkan mengingat banyak
varietas-varietas baru hasil Litbang Pertanian yang mempunyai produktivitas
hingga 6 – 7 t/ha untuk dikembangkan. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk
mengevaluasi keragaan pertumbuhan dan hasil beberapa varietas unggul baru
padi sawah dan cocok dikembangkan di Kabupaten Karo.

175
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Desa Mardinding, Kecamatan Mardinding,
Kabupetan Karo dengan ketinggian tempat 400 m dpl. Pelaksanaan kegiatan
dlakukan bulan Mei hingga Agustus 2012. Beberapa komponen teknologi padi
yang dikaji adalah varietas unggul baru : Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10, Inpari 13
dan Mekongga. Komponen lainnya adalah menggunakan benih 25 kg/ha
sebelum disemaikan terlebih dahulu dengan perlakuan benih, semai jarang 50
g/m2, bibit muda (15 HSS), tanam bibit 1-2 batang per lubang tanam, dan
sistem tanam legowo 4:1 (jarak tanam: 20 cm x 10 cm) menggunakan caplak.
Pengolahan tanah sempurna, yaitu dibajak dua kali dan diratakan,
menggunakan pupuk kotoran ayam 2 t/ha, pemberian pupuk anorganik
berdasarkan hasil analisis status hara tanah dengan PUTS dan pupuk susulan
berdasarkan Bagan Warna Daun (BWD), pengendalian OPT secara terpadu,
dan panen tepat waktu dan dirontok menggunakan power tresher.

Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman saat panen, jumlah


anakan produktif, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan produksi gabah
kering panen. Data agronomis ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
Analisis usaha tani model PTT dan non PTT menggunakan analisis R/C rasio,
yaitu perbandingan antara nilai produksi dengan biaya produksi. Rekomendasi
pemupukan spesifik lokasi dengan menggunakan pupuk tunggal, dan dosis
pemupukan sebagai berikut : Urea 250 kg/ha, SP-36 125 kg/ha, KCl 75 kg/ha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis tanah


Berdasarkan hasil analisis tanah pada lokasi penelitian memperlihatkan
bahwa kadar Nitrogen (N) termasuk kriteria tinggi, Fosfor (P) rendah, Kalium
(K) sedang dan pH 5-6 (agak masam), seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis lahan sawah pada lokasi kegiatan demfarm SL-PTT dan
display uji VUB Desa Mardinding, Kabupaten Karo, 2012.
Rekomendasi anjuran (kg/ha)
Hasil analisis Kriteria
Urea SP-36 KCl
Kadar N Tinggi 250 - -
Kadar P Rendah - 125 -
Kadar K Sedang - - 75
pH 5-6 (agak masam)

Rekomendasi pemupukan spesifik lokasi dengan menggunakan pupuk


tunggal diperoleh dosis pemupukan sebagai berikut : Urea 250 kg/ha, SP-36
125 kg/ha, KCl 75 kg/ha. Oleh karena ketersediaan pupuk KCl tidak ada di
lokasi kegiatan, untuk memenuhi unsur K maka digunakan pupuk majemuk
NPK Ponskha 15:15:15, dengan dosis pemupukan : Urea 135 kg/ha, Ponskha
200 kg/ha, dan SP-36 20 kg/ha.

176
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tinggi tanaman

Keragaan tinggi tanaman pada adaptasi VUB Inpari 3, Inpari 4, Inpari


10, Inpari 12, Mekongga dan Ciherang diamati pada lima sampel tanaman,
disajikan pada Tabel 2

Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman VUB padi di Desa Mardinding, Kecamatan


Mardinding, Kabupaten Karo, 2012
Tinggi tanaman (cm)
No Varietas
Inpari 3 Inpari 4 Inpari 10 Inpari 12 Mekongga Ciherang
1 107 110 108 101 113 105,0
2 105 105 105 105 112 108,0
3 106 112 110 104 109 103,0
4 102 106 102 100 117 107,5
5 104 110 104 105 109 102,0
Rataan 104,8 108,6 105,8 103 109 105,7
Deskripsi 95-100 95-105 100-120 + 99 91-106 107-115

Rata-rata tinggi tanaman varietas Inpari 3, Inpari 4, Inpari 10, Inpari 12,
Mekongga dan Ciherang, masing-masing adalah 104,8 cm; 108,6 cm; 105,8
cm; 103 cm; 109 cm; dan 105,7 cm. Varietas yang paling rendah adalah Inpari
12 dan yang paling tinggi adalah Mekongga. Jika dibandingkan dengan tinggi
tanaman deskripsinya, nampaknya ada beberapa varietas menunjukkan lebih
tinggi dari deskripsinya, seperti varietas Inpari 3, Inpari 4 dan Inpari 12. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh ketinggian tempat, dimana tinggi tempat
berpengaruh pada radiasi matahari dan suhu udara. Semakin tinggi tempat
maka suhu semakin rendah. Suhu mempengaruhi metabolisme yang tercermin
dalam berbagai karakter seperti laju pertumbuhan, pembungaan, pembentukan
buah, dan pematangan jaringan atau organ tanaman yang pada akhirnya akan
mempengaruhi umur panen (Lakitan, 2007)

Rata-rata jumlah anakan produktif tertinggi terdapat pada varietas Inpari


3 (23,40 batang/rumpun) dan terendah pada varietas Ciherang (kontrol).
Jumlah gabah isi tertinggi terdapat pada varietas Inpari 4 (150,5 bulir/malai) dan
terrendah pada varietas Ciherang (102,80 bulir/malai). Dan semua varietas
yang diuji jumlah malainya lebih banyak dibandingkan dengan varietas yang
biasa digunakan petani setempat. Jumlah gabah hampa tertinggi dihasilkan
varietas Ciherang (19,0 bulir/malai) dan terendah pada varietas Mekongga.

Hasil dan komponen hasil


Hasil panen uji adaptasi varietas memperlihatkan bahwa GKP tertinggi
dihasilkan oleh Inpari 3 (8,3 t/ha), disusul Inpari 10 (8,2 t/ha) dan terendah
Ciherang (5,5 t/ha) (Tabel 3).

177
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Keragaan agronomis beberapa varietas unggul baru di Desa


Mardinding, Kabupaten Karo, 2012
Jumlah
Tinggi Anakan Jumlah Hasil
gabah
Varietas. tanaman produktif gabah isi GKP
hampa
(cm) (btg/rumpun) (butir/malai) (t/ha)
(butir/malai)
Inpari 3 104,80 23,40 145,75 18,20 8,30
Inpari 4 108,60 21,40 150,50 12,20 7,90
Inpari 10 105,80 19,00 140,00 14,40 8,20
Inpari 12 103,00 21,40 142,75 16,00 7,10
Mekongga 112,00 18,00 125,00 07,80 7,80
Ciherang 105,72 15,60 102,80 19,00 5,50
Rata-rata 106,65 19,80 134,47 14,60 7,8

Semua varietas padi yang diuji produksinya > 7,0 t/ha, sedangkan
varietas Ciherang yang biasa digunakan petani < 7,0 t/ha. Tingginya produksi
GKP varietas yang diadaptasikan didukung oleh jumlah anakan produktif lebih
banyak dan jumlah gabah isi lebih tinggi. Rendahnya produksi padi Ciherang
kemungkinan disebabkan penggunakan varietas yang terus-menerus oleh
petani mengakibatkan produk menurun. Berdasarkan hasil kajian ini semua
varietas yang diuji coba dapat direkomendasikan untuk dikembangkan
menggantikan varietas Ciherang di lokasi penelitian.

Hasil analisis usaha tani


Hasil analisis usahatani padi sawah sebelum menerapkan inovasi
teknologi dan setelah menerapkan inovasi teknologi di Desa Mardinding,
Kecamatan Mardinding, Kabupaten Karo, disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis usahatani padi sawah sebelum dan setelah penerapan


teknologi di Desa Mardinding, Kabupaten Karo, 2012
Sebelum inovasi teknologi Setelah inovasi teknologi
No Uraian
Volume Jumlah Volume Jumlah

A. Hasil GKP( kg/ha) 5.500 19.250.000 7.800 27.300.000


Benih (kg) 70 560.000 25 200.000
Pupuk kandang (kg) 0 0 2.000 1.000.000
Urea (kg) 200 400.000 135 270.000
Ponskha (kg) 50 200.000 200 800.000
SP 36 (kg) 50 150.000 20 60.000
ZA (kg) 100 200.000 0 0
Insektisida (ltr) 3 300.000 3 300.000
Pengolahan tanah 30 1.500.000 30 1.500.000
(HOK)
Tanam (HOK) 20 1.000.000 25 1.250.000
Pemupukan (HOK) 3 150.000 3 150.000
Penyiangan (HOK) 20 1.000.000 20 1.000.000
Penyemprotan (HOK) 6 300.000 6 300.000
Panen (k.a. 12%) 660 2.310.000 984 3.444.000
B. Biaya produksi/ha (Rp) 8.070.000 10.274.000
C. Pendapatan bersih 11.180.000 17.026.000
(Rp)
D. R/C 2,38 2,65

178
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa setelah dilaksanakan


inovasi teknologi, petani memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp
17.026.000,- dengan nilai R/C rasio2,65. Sedangkan pada saat sebelumnya
petani hanya memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp 11.180.000 dengan
nilai R/C rasio2,38. Dengan demikian, terjadi peningkatan pendapatan sebesar
Rp 5.846.000,-.

KESIMPULAN

1. Varietas padi yang diuji adaptasikan memberikan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan varietas Ciherang yang biasa digunakan oleh petani
setempat.
2. Varietas padi Inpari 3 memperoleh hasil yang terbanyak yaitu 8.30 t/ha
gabah kering panen dan disusul oleh varietas Inpari 10, 4, Mekongga
dan Inpari 12, sedangkan varietas Ciherang (kontrol) hanya 5,5 t/ha.
3. Penerapan inovasi teknologi padi dapat meningkatkan nilai R/C rasio
menjadi 2,65 atau pendapatan bersih meningkat sebesar Rp
5.846.000,-/hadibandingkan dengan teknologi yang digunakan petani
sebelumnya.
4. Disarankan petani setempat menanam varietas unggul baru tersebut
karena berpotensi untuk dikembangkan dan petani dapat memilih
varietas mana yang lebih disukai oleh konsumen.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B., 2004. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUTB lainnya. Balai
Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Badan Litbang Pertanian, 2007.Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi
Sawah Irigasi. Petunjuk Teknis Lapang. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2012. Sumatera Utara Dalam
Angka2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.
Badan Pusat Statistik Karo, 2012. Karo Dalam Angka 2011. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Karo
Balai Besar Penelitian Padi, 2010. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2010. Pedoman Pelaksanaan Tanaman
Padi, Jagung, Kedelai, dan Kacang Tanah Tahun 2010. Dirjen Tanaman
Pangan. Kementerian Pertanian.
Hasanuddin, A., 2005. Peranan Proses Sosialisasi terhadap Adapsi Varietas
Unggul Padi Tipe Baru dan Pengelolaannya. Lokakarya Pemuliaan
Partisipatif dan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB).
Sukamandi.
Lakitan, B., 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

179
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan), 2000.


Deskripsi Varietas Unggul Padi dan Palawija 1999-2000. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Sembiring, H., 2008. Dasar. Kebijakan Penelitian dan Rangkuman Hasil
Penelitian BB Padi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras
Nasional. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Pertanian Padi Menunjang
P2BN.Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Sembiring, H., Hermanto, dan H. Kasim. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Pertanian 10 (1) : 48-56.
Sirappa, M. P., A.J. Riewpassa dan E.D. Waas. 2007. Kajian Pemberian Pupuk
NPK pada Beberapa Varietas Unggul Padi Sawah di Seram Utara.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.10. Juni
2007 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Suryana, A., Suyamto, Baehaki SE., S. Abdurachman, I. N. Widiarta, dan H. M.
Toha, H. Sembiring, Hermanto dan H. Kasim. 2008. Panduan
Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. (SL-
PTT) Padi. Departemen Pertani

180
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KERAGAAN VARIETAS PADI HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH IRIGASI


DI KABUPATEN BATUBARA

Helmi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl A.H. Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email: helmi_syahnur@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan dan


produktivitas beberapa varietas padi hibrida. Teknologi padi hibrida yang
diterapkan secara intensif mampu meningkatkan produktifitas sebesar 15-20%.
Keberhasilan penanaman padi hibrida secara intensif menunjukkan bahwa
varietas padi hibrida merupakan teknologi yang praktis dalam peningkatan
produksi padi. Di Sumatera Utara petani telah mulai menanam padi hibrida
lewat bantuan langsung benih unggul (BLBU), namun kenyataan dilapang hasil
yang diperoleh tidak melebihi varietas padi Non Hibrida, malah ada hasilnya
lebih rendah dari varietas non hibrida. Penelitian dilakukan di Desa Sungai
Rakyat, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: Varietas padi hibrida yang diuji mempunyai umur masak
dalam kategori sedang yaitu berkisar 115,00-125,00 hari stelah semai. Varietas
padi hibrida yang diuji mampu beradaptasi baik dan hasil lebih tinggi dari
varietas Maro yang biasa ditanam petani dan varietas lainnya.Varietas padi
hibrida yang telah biasa ditanam petani varietas Maro, hanya memberikan hasil
6,35 t/ha.Keempat varietas yang punya potensi hasil tinggi tersebut adalah 1).
Varietas HIPA 10 produktivitas 8,77 t/ha, 2). Varietas HIPA 6 produktivitas 8,25
t/ha, 3). Varietas HIPA 8 produktivitas 8,10 t/ha, 4). Varietas HIPA 5
produktivitas 7,91 t/ha.

Kata Kunci : Irigasi, adaptasi, unggul, hibrida, varietas, produktivitas.

PENDAHULUAN

Padi hibrida merupakan salah satu teknologi andalan dalam program


peningkatan produksi padi nasional. Pemilihan teknologi ini berdasarkan pada
potensi heterosis padi hibrida yang tinggi. Pada agroekosistem yang sesuai,
padi hibrida mampu berproduksi 1,0–1,5 t/ha atau 15-20% lebih tinggi dari pada
padi inberida (Suwarno et.al. 2003). Padi hibrida juga mempunyai sifat
morfologis akar dan fisiologis daun yang lebih baik, dengan perakaran yang
lebih kuat, aktif, padi hibrida juga dikenal dengan adaptif pada lingkungan yang
kurang air (IRRI-CAAS 1981; Setiobudi 2007).

Padi hibrida berperan untuk meningkatkan produksi. Teknologi


pengembangan padi hibrida yang diterapkan secara intensif di daerah asalnya
China, India dan Vietnam mampu meningkatkan produktifitas sebesar 15 - 20%.
Keberhasilan penanaman padi hibrida secara intensif menunjukkan bahwa
varietas padi hibrida merupakan teknologi yang praktis dalam peningkatan
produksi padi. Di Sumatera Utara petani telah mulai menanam padi hibrida

181
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

lewat bantuan langsung benih unggul (BLBU), namun kenyataan dilapang hasil
yang diperoleh tidak melebihi varietas padi Non Hibrida, malah ada hasilnya
lebih rendah dari varietas non hibrida.
Dobermann dan Witt (2000) menyebutkan bahwa budidaya padi hibrida
perlu lebih intensif, mengingat ekspresi heterosis hasil padi hibrida ditentukan
oleh lingkungan dan pengelolaan air (teknik budidaya) yang baik. Ada
beberapa tipe padi yang dikembangkan saat ini, yaitu padi inbrida (padi unggul
lokal, padi unggul baru, padi tipe baru) dan padi hibrida. Khusus padi hibrida,
tujuan pembentukannya adalah untuk mendapatkan varietas hibrida yang
mempunyai potensi hasil minimal satu ton lebih tinggi dibandingkan dengan
padi inbrida (Satoto 2004). Padi hibrida adalah turunan pertama dari hasil
persilangan antara induk mandul jantan (GMJ = CMS = A) dan pemulih
kesuburan (Restorer = R). Turunan pertama tersebut memiliki sifat kedua
tetuanya. Jika sifat-sifat tetua yang saling mendukung bergabung akan
dihasilkan turunan yang memiliki gabungan sifat yang lebih baik dari kedua
tetuanya. Berbeda dengan padi biasa (inbrida), keturunan kedua hibrida yang
sama tidak sebaik hibridanya. Untuk itu harus selalu ada galur mandul jantan,
galur pelestari, dan galur pemulih kesuburan untuk setiap kali akan
memproduksi benih padi hibrida (Badan Litbang Pertanian, 2006). Teknologi
padi hibrida dikembangkan atas dasar pemanfaatan pengaruh heterosis dari
tetuatetuanya. Pada kombinasi persilangan, gejala heterosis yang muncul
mampu meningkatkan potensi hasil varietas padi sebesar 15-20% lebih tinggi
dibandingkan dengan varietasinbrida yang banyak ditanam petani (Suwarno
2002). Agar heterosis dapat terekspresi dengan baik, padi hibrida harus
ditanam di lingkungan optimal dengan teknik budi daya yang tepat. Di Cina,
hibrida tumbuh dengan baik pada suhu 28 oC, dan pada saat masak susu suhu
berkisar antara 24-29oC (Widiarta dkk.2005, Geng 2002 dalam Widiarta
dkk.2005).
Varietas unggul yang ditanam terus menerus kemungkinan akan
mengalami perubahan antara lain kemurnian varietas dan reaksinya terhadap
hama dan penyakit tertentu yang semakin menurun (Idris dkk. 2008). Oleh karena
itu mendapatkan varietas unggul melalui penelitian pemuliaan perlu mendapat
perhatian secara intensif sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ada (Manwan 1994). Setelah diperoleh varietas unggul baru
Hibrida maupun Non Hibrida perlu dilakukan uji adaptasinya di daerah
pengembangan dan daerah-daerah sentra produksi padi. Karena tidak semua
varietas unggul baru yang dilepas pemerintah adaptif di semua daerah
pengembangan. Tujuan dari kajian ini adalah mengevaluasi keragaan
beberapa varietas padi Hibrida yang adaptif dan cocok di Sumatera Utara, dan
keluaran yang diharapkan adalah diperoleh 1-2 varietas unggul padi hibrida
yang beradaptasi baik dan berpotensi hasil tinggi, sehingga kebutuhan beras
biasanya bertumpuh pada padi non hibrida, akan dapat didukung melalui
konstribusi peningkatan produktivitas padi hibrida.

182
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dimulai bulan April sampai Desember 2012. Pengkajian


dilakukan di Desa Sungai Rakyat, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten
Batubara. Materi yang digunakan adalah 8 Varietas padi hibrida yaitu (1)
Maro, (2) Hipa 5, (3) Hipa 6, (4) Hipa 7, (5) Hipa 8, (6) Hipa 10, (7) Hipa 11 dan
(8) Hipa 14. Pupuk an organik (Urea, Sp 36 dan KCl), pupuk organik, insektisida
dan fungisida. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, alat pengukur kadar
air, timbangan, cangkul, bajak, termometer suhu, ajir, sprayer, kantong plastik,
tali plastik, cat, meja lapangan, seng plat, spidol dan alat-alat tulis
lainnya.Pengolahan tanah dilakukan dua kali yaitu dengan bajak dan dirotari,
lahan diberi pupuk organik dengan takaran 2 t/ha, kemudian tanah diratakan.
Penanaman dilakukan dengan sistem tegel dengan jarak tanam 25 x 25 cm,
ukuran plot 4 m x 5 m, Pupuk an organik diberikan berdasarkan dosis anjuran,
yang diaplikasikan empat kali pemberian. Waktu dan cara aplikasi pupuk per
ha adalah: Pemupukan I, umur 7 HST: 100 kg urea + seluruh dosis SP 36 yaitu
100 kg + 40 kg KCl. Pemupukan II, umur 26 HST: 100 kg urea. Pemupukan III,
umur 40 HST: 100 kg urea + 30 kg KCl. Pemupukan IV, setelah 10% dari
populasi tanaman telah berbunga: 50 kg urea. Pemupukan dilakukan dengan
cara menebar pupuk merata ke seluruh areal tanam. Pada saat pemupukan
dan 3 hari setelah pemupukan saluran pemasukan dan pembuangan air ditutup.

Pemeliharaan pengendalian hama dengan insektisida anjuran dan


pengendalian penyakit dengan penyemprotan fungisida anjuran. Interval
penyemprotan dilakukan sesuai kondisi lapang tergantung keadaan cuaca dan
tingkat serangan. Pengendalian gulma dilakukan dengan menggunakan
herbisida dan secara manual sesuai pertumbuhan gulma di lapang dan panen
disesuaikan dengan umur panen masak fisiologis.

Pengkajian disusun mengikuti rancangan yang digunakan dalam


pengkajian ini adalah RAK (Rancangan Acak Kelompok), perlakuan diulang
empat kali. Uji Lanjutan dengan Duncan’s new Multple Range Test (DNMRT)
pada taraf 5%. Perlakuan yang diuji terdiri dari 8 varietas padi Hibrida yaitu (1)
Maro, (2) Hipa 5, (3) Hipa 6, (4) Hipa 7, (5) Hipa 8, (6) Hipa 10, (7) Hipa 11 dan
(8) Hipa 14.

Data yang diamati meliputi: (1) Persentase daya kecambah benih; (2)
Tinggi tanaman pada masak fisiologis; (3) Jumlah anakan produktif/rumpun; (4)
Umur berbunga 50%; (5) Jumlah gabah isi / malai; (6) Jumlah gabah hampa/
malai (7) Bobot 1000 butir (g) (8) Produktivitas gabah kering panen t/ha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil peneitian menunjukkan bahwa keragaan varietas padi hibrida


yang digunkana dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel 1 disajikan rata-rata hasil
uji daya kecambah, umur 50 % berbunga, dan tinggi tanaman 8 (delapan)
varietas unggul padi Hibrida pada kegiatan keragaan varietas padi hibrida

183
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

lahan sawah irigasi di Desa Sungai Rakyat, Kecamatan Medang Deras,


Kabupaten Batubara, pada MK 2012.

Uji Daya Kecambah Benih

Hasil uji daya kecambah secara statistik tidak berbeda nyata terhadap
beberapa varietas yang diuji (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata Uji daya kecambah, Umur 50% berbunga, dan Tinggi
tanaman, pada kegiatan keragaan varietas padi hibrida lahan
sawah irigasi di Desa Sungai Rakyat, Kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara
Umur populasi
Daya Kecambah Tinggi tanaman
No Varietas berbunga 50 %
(%) (cm)
(hari)
1 MARO 97,00 a 73,00 b 118,98 d
2 HIPA 5 97,50 a 78,00 a 127,75 c
3 HIPA 6 97,25 a 78,00 a 116,50 d
4 HIPA 7 97,25 a 76,00 a 120,50 d
5 HIPA 8 96,50 a 71,00 b 148,40 a
6 HIPA 10 96,75 a 81,00 a 121,90 cd
7 HIPA 11 97,25 a 71,00 b 121,10 d
8 HIPA 14 96,25 a 81,00 a 137,95 b
CV 1,11 % 15,75 % 3,35 %
Angka selajur yang dikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05

Persentase daya kecambah benih berkisar antara 96,25% - 97,50%.


Dari data uji daya kecambah yang diperoleh, bahwa benih yang diuji
mempunyai vigor dan daya kecambah yang baik. Benih yang baik tidak
menunjukkan perbedaan antara daya kecambah dengan pertumbuhan
dilapang. Artinya kalau daya kecambah benih baik, maka pertanaman di
lapang akan tumbuh dengan baik, populasi optimal akan tercapai, sehingga
tidak dibutuhkan tambahan benih, dan tenaga untuk menyisip tanaman yang
tidak tumbuh. Mutu benih erat hubungannya dengan sifat dari benih sebagai
hasil akhir dari pertumbuhan tanaman yang menentukan pertumbuhan
tanaman berikutnya dilapang.

Umur populasi 50% berbunga

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa Umur 50% berbunga


varietas yang diuji dipengaruhi oleh vaktor genotip. Umur berbunga varietas
yang diuji cukup bervariasi. Umur 50% berbunga berkisar antara 71-81 hari
setelah semai (HSS), (Tabel 1). Varietas Hipa 8 dan varietas Hipa 11
mempunyai umur berbunga lebih cepat dibandingkan dengan varietas lain yaitu
umur 71 HSS. Umur berbunga suatu varietas akan dipengaruhi oleh faktor
genotip dan lingkungan. Varietas yang ditanam pada dataran tinggi umur
berbunga akan lebih lama dibandingkan dengan varietas yang ditanam di
dataran rendah. Varietas yang umur berbunganya lebih cepat cenderung akan
umur panennya akan lebih cepat.

184
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tinggi Tanaman

Penampilan tinggi tanaman berkisar antara 116,50 cm sampai 148, 40


cm. Di kedua tempat varietas HIPA 8 dan HIPA 14 menampilkan tinggi tanaman
tertinggi masing-masing 148,40 – 150,95 cm dan 137,95 – 143,05 cm. Tinggi
tanaman terendah pada kedua lokasi ditampilkan oleh varietas HIPA 6 yaitu
berkisar antara 115,15 – 116,50 cm. Adanya keragaan tinggi yang ditampilkan
varietas, petani punya alternatif untuk memili varietas yang sesuai dengan
kondisi lahannya. Varietas HIPA 8 dan HIPA 14 tergolong pada kategori tinggi,
sedangkan varietas yang lain termasuk kategori sedang. Pada kenyataannya
petani cenderung memilih varietas yang berpotensi hasil tinggi, dan karakter
tinggi tanaman yang sedang. Hal ini disebabkan kategori sedang bagi petani
merupakan solusi untuk menghindarkan resiko kegagalan panen akibat rebah
dimusim hujan.

Koefisien keragaan (KK) dari parameter yang diamati ternyata


bervariasi, 1,11 – 15,75%. Gomez dan Gomez (1984) menyarankan bahwa
KK yang ideal untuk hasil pada penelitian padi adalah < 10%. Tim pelepasan
varietas memberikan toleransi, bila suatu galur padi sawah akan dilepas
sebagai varietas unggul, maka untuk KK hasilnya 15% (Direktorat Perbenihan
2001). Hal ini diperkuat oleh Sutjihno (1988) bahwa KK yang baik adalah <
20%.

Jumlah anakan produktif dipengaruhi oleh faktor genotip varietas yang


diuji (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-rata Jumlah anakan produktif/rumpun, Panjang malai (cm) dan


umur panen pada kegiatan keragaan varietas padi hibrida lahan
sawah irigasi di Desa Sungai Rakyat, Kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara.
Jumlah anakan Panjang malai Umur panen
No Varietas
Produktif/rumpun (cm) (hari)
1 MARO 14,25 bc 27,45 b 115,00 f
2 HIPA 5 14,35 b 27,10 b 118,00 d
3 HIPA 6 14,90 a 27,50 b 119,00 c
4 HIPA 7 13,70 cd 27,38 b 117,00 e
5 HIPA 8 14,15 bc 28,05 ab 122,00 b
6 HIPA 10 15,10 a 28,70 a 119,00 c
7 HIPA 11 13,90 bcd 27,25 b 117,00 e
8 HIPA 14 13,40 d 27,50 b 125,00 a
CV 2,53 % 2,16 % 1,67 %
Angka selajur yang dikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05

Anakan produktif tertinggi ditampilkan oleh varietas HIPA 10 yaitu


15,10 batang tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas HIPA 6 yaitu 14,90
batang. Sedangkan anakan produktif terendah diperoleh pada varietas HIPA 14
yaitu 13,40 batang. Berbedanya jumlah anakan produktif yang ditampilkan
varietas, disebabkan faktor genetik masing-masing varietas dan kemampuan
adaptasi varietas pada lingkungan tertentu.

185
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Asumsi ini diperkuat pendapat Suprihatno (1997) menyatakan bahwa


dalam penseleksian suatu galur/varietas untuk dirilis menjadi suatu varietas,
ruang lingkungan tumbuh dan ketinggian tempat perlu diperhatikan. Karena
selain faktor genotip, tanaman juga akan dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh.
Jumlah anakan yang banyak tidak menjamin hasil gabah yang tinggi. Varietas
yang mempunyai hasil gabah yang tinggi umumnya mempunyai jumlah anakan
yang sedang. Dengan jumlah anakan yang tidak terlalu banyak, tingkat
persaingan antara indifidu tanaman relatif lebih rendah. Oleh karena itu,
tanaman lebih efisien dalam memanfaatkan unsur hara, jumlah anakan yang
sedang juga menciptakan iklim mikro disekitar tanaman menjadi lebih baik,
sehingga memberikan hasil yang lebih tinggi.
Malai terpanjang dari beberapa varietas yang diuji ditampilkan oleh
varietas HIPA 10 yaitu 28,70 cm tidak berbeda nyata dengan panjang malai
varietas HIPA 6 namun berbeda nyata dengan varietas lainnya. Umur tanaman
saat panen (hari), varietas unggul padi hibrida yang diuji pengaruhnya nyata
terhadap penampilan umur masak. Jumlah rata-rata umur panen yang
ditampilkan varietas antara 115,00 sampai 125,00 hari setelah semai (HSS).
Varietas Maro menampilkan umur terpendek yaitu 115,00 HSS. Sedangkan
varietas HIPA 14 menampilkan umur terpanjang yaitu 125,00 HSS. Semua
varietas yang diuji bervariasi umur masaknya, tetapi tidak terpaut jauh dari umur
sesama varietas. Hampir semua umur panen Varietas tergolong pada umur
kategori sedang dan tidak ada yang berumur genjah dan umur dalam.
Pada kenyataannya petani cenderung memilih varietas yang berpotensi
hasil tinggi dengan penampilan umur lebih pendek. Hal ini memungkinkan bagi
petani untuk menanam padi 2 kali sampai 3 kali pertahun. Sehingga petani
termotivasi untuk menanam padi hibrida sekaligus akan dapat meningkatkan
pendapatan. Varietas yang diuji bepengaruh nyata terhadap persentase gabah
bernas. Persentase gabah bernas terendah diberikan oleh varietas HIPA 14
yaitu 68,38 % persentase gabah bernas tertinggi yaitu 78,00% namun tidak
berbeda nyata dengan varietas HIPA 8 dan HIPA 6 masing-masing 76,00% dan
74,88%. Persentase gabah bernas terendah diberikan oleh varietas HIPA 14
namun tidak berbeda nyata dengan varietas Maro, HIPA 7 dan HIPA 11 (tabel
3).

186
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Rata-rata Persentase gabah bernas, Bobot 1000 butir, dan


Produktivitas t/ha kegiatan keragaan varietas padi hibrida lahan
sawah irigasi di Desa Sungai Rakyat, Kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara
Produktivitas
Persentase Bobot 1000
Gabah Kering
No Varietas gabah bernas butir
Panen (GKP)
(%) (g)
(t/ha)
1 MARO 70,88 cde 26,00 c 6,35 b
2 HIPA 5 73,50 bcd 27,50 a 7,91 ab
3 HIPA 6 74,88 abc 27,00 ab 8,25 a
4 HIPA 7 70,13 de 26,00 c 6,45 b
5 HIPA 8 76,00 ab 27,00 ab 8,10 a
6 HIPA 10 78,00 a 27,50 a 8,77 a
7 HIPA 11 71,88 bcde 26,50 bc 6,12 b
8 HIPA 14 68,38 e 26,00 c 5,79 c
CV 3,93 % 1,97 % 16,61 %
Angka selajur yang dikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05

Bobot 1000 butir dari varietas yang diuji, varietas HIPA 10, dan HIPA 5,
memberikan bobot 1000 butir tertinggi namun tidak berbeda nyata dengan
varietas HIPA 6 dan HIPA 8. Bobot 1000 butir kedua varietas ini masing-masing
27,00 g. Secara statistik tidak berbeda nyata sesamanya. Sedangkan bobot
1000 butir terendah ditampilkan varietas HIPA 14, HIPA 7 dan varietas Maro
yaitu masing-masing 26,00g. Bobot 1000 butir dari varietas/galur akan
mempengaruhi produksi yang akan dihasilkan oleh suatu varietas kalau
didukung oleh komponen yang lain seperti jumlah anakan produktif, gabah per
malai , dan jumlah gabah bernas. Padi hibrida dengan jumlah gabah bernas
yang tinggi biasanya memiliki sifat pembungaan yang baik. Pada varietas yang
jumlah tepungsari yang banyak akan mudah terbentuk gabah. Faktor iklim
sangat berpengaruh terhadap pembungaan, seperti intensitas radiasi selama
fertilisasi berlangsung (Sembiring et. al. 2008).
Produksi Gabah Kering Panen (t/ha)
Varietas padi hibrida yang diuji berpengaruh nyata terhadap
Produktivitas Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Produktivitas berkisar
antara 5,79 sampai 8,77 t/ha. Ada empat varietas padi hibrida yang diuji
mampu beradaptasi baik. Keempat varietas tidak berbeda nyata sesamanya
terhadap produktivitas gabah kering panen (GKP), tetapi berbedanyata dengan
varietas Maro yang telah pernah ditanam petani. Keempat varietas yang punya
potensi hasil tinggi tersebut adalah 1) varietas HIPA 10 produktivitas 8,77 t/ha,
2). Varietas HIPA 6 produktivitas 8,25 t/ha, 3). Varietas HIPA 8 produktivitas
8,10 t/ha, 4). Varietas HIPA 5 produktivitas 7,91 t/ha.
Keempat varietas yang mempunyai daya adaptasi dan potensi hasil
tinggi merupakan suatu peluang pertumbuhan baru untuk pilihan bagi petani
menggunakan padi hibrida di lahannya. Berbedanya hasil yang ditampilkan
varietas diasumsikan pengaruh genotip dari varietas/galur dan juga pengaruh
kesesuaian adaptasi varietas-varietas tersebut dengan lingkungan yang ada.

187
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Satari (1988) menyatakan bahwa peningkatan produksi pada lahan sepesifik


dapat membantu distribusi pengembangan suatu varietas pada lingkungan
tertentu dan sekaligus mendukung pelestarian swasembada beras. Hasil
gabah seringkali dihubungkan dengan pertumbuhan tanaman. Tanaman yang
tinggi sering diperediksi akan memberikan hasil yang lebih baik. Kenyataannya
keadaan sebaliknya bisa terjadi seperti varietas HIPA 14 walaupun
pertumbuhan tanamannya cukup tinggi namun memberikan hasil yang rendah.
Ernawati (2010) melaporkan bahwa tinggi tanaman mempunyai tren yang
berkebalikan dengan hasil.
KESIMPULAN

Varietas padi hibrida yang diuji mempunyai umur masak termasuk dalam
kategori sedang yaitu berkisar 115,00-125,00 hari stelah semai. Ada empat
varietas padi hibrida yang diuji mampu beradaptasi baik dan memberikan hasil
lebih tinggi dari varietas lainnya. Varietas padi hibrida yang telah biasa ditanam
petani varietas Maro, hanya memberikan hasil 6,35 t/ha. Keempat varietas
yang punya potensi hasil tinggi tersebut adalah 1). Varietas HIPA 10
produktivitas 8,77 t/ha, 2). Varietas HIPA 6 produktivitas 8,25 t/ha, 3). Varietas
HIPA 8 produktivitas 8,10 t/ha, 4). Varietas HIPA 5 produktivitas 7,91 t/ha.

SARAN

Direkomendasikan jika petani menggunakan varietas padi hibrida


disarankan menggunakan Varietas HIPA 10, HIPA 6 dan HIPA 8 karena
produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan Varietas Maro.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Bersama Memacu


Perbaikan Padi Hibrida. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian
28(5):8-10.
Dobermann, A and C. Witt. 2000. The potential impact of crop intensification
on carbon and nitrogen cycling in intensive rice systems. In: G.J.D. Kirk
and D.C.olk (Eds). Carbon and nitrogen dynamics in flooded soil.
International Rice Reseach Institute. Los Banos, Philippines. P.1-25.
Ernawati, Rr. 2010. Evaluasi varietas unggul baru pada pengkajian budidaya
beberapa varietas padi sawah di Lampung Tengah. Prosidinf Seminar
Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Buku 2. Balai Besar Penelitian
Padi. P. 479-485.
Gomez, K. A and Gomez A.A. 1984. Statistical Procedures of Agricultural
research. Sec Ed. Jhon Wiley & Son. Inc, New York.
Idris, Y. Said, dan A.A. Daradjat, 2008. Keragaan galur-galur padi sawah di
Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Padi. Balai besar
Penelitian Tanaman Padi . Sukamandi 2008.
IRRI-CAAS. 1981. Functions of root system. In: The second hybrid rice training
program Changsha. Hunan, Sept. 14-Oct 7, 1981. P.13-19.
Manwan, I. 1994. Strategi dan langka operasional penelitian tanaman pangan
beerwawasan lingkungan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman
Pangan III, Tahun 1993. Puslitbangtan, Badan penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta. P.

188
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Satari, G. 1988. Sterategi penelitian dalam pencapaian dan pelestarian


swasembada beras. Risalah Simposium II Penelitian Tanaman Pangan.
Ciloto 21-23 Maret 1988.
Satoto. 2004. Status perkebangan program pembentukan varietas padi hibrida.
Makalah Disampaikan pada Lokakarya Program Litkaji Pemuliaan
Partisipatif dan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Sukamandi, 18-
20 Januari 2004. Balai Penelitian Tanaman Padi. 16 hlm
Sembiring , H., S, Didik, Akmal, T. Marbun, T. Woodhead, dan Kusnadi. 2008.
Sterategis pengelolaan pupuk nitrogen, modifikasi jarak tanam, dan
penambahan pupuk mikro untuk menekan kehampaan gabah padi tipe
baru. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang
P2BN. Buku 1. BB Padi. P. 173-196.
Setiobudi, D, 2007. Teknik pengelolaan air pada padi hibrida. Prosiding
Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 1. BB
Padi. P. 209-218.
Suprihatno, B., Satato and Z.Harahap. 1997. Progres of research and
Development of hybride rice technology in Indonesia. Paper presented
at the International Workshop on progress at the development and use
of Hybride Rice Outside China 28-30 May 1997. Hanoi, Vietnam.
Suwarno, N. W. Nuswantoro, Y.P.Munarso, and M. Direja. 2003. Hybrid rice
reseach and development in Indonesia. In: S.S. Virmani, C.X. Mao, and
B. Hardy (Eds). Hybrid rice for food security, poverty alleviation, and
environmental protection. IRRI. P. 287-296.
Suwarno. 2002. Pembentukan varietas padi hibrida dan prospek
pengembangannya. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Program
Pemuliaan Partisipatif.Sukamandi, 22-25 Juli 2002. Balai Penelitian
Tanaman Padi. 18 hlm.

189
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL ENAM VARIETAS PADI


SAWAH UNGGUL BARU DI KABUPATEN NIAS UTARA

Perdinanta Sembiring dan Hendri F. Purba

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl A.H. Nasution No.1 B Medan
Email: ferdinand366@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan pertumbuhan dan
hasil enam varietas unggul baru padi sawah dan memilih varietas yang cocok
dikembangkan di Kabupaten Nias Utara. Penelitian dilaksanakan di kelompok
tani Sogau A di Desa Banua Gea, Kecamatan Tuhemberua, Nias Utara pada
pertanaman Musim Tanam I tahun 2013. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Variabel pengamatan
meliputi komponen pertumbuhan dan hasil gabah yang selanjutnya dianalisis
menggunakan analisis varians dan DMRT pada taraf 5 %. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Inpari 10 memiliki postur tanaman tertinggi dengan tinggi
tanaman 119,2 cm dan jumlah anakan produktif tertinggi varietas Inpari 10 dan
Inpari 14 (17,8 btg/rumpun), jumlah gabah isi/malai yang tertinggi adalah
varietas Inpari 4 (150,4 butir/malai) dan jumlah gabah hampa/malai tertinggi
adalah varietas Inpari 19 (38,6 butir/malai). Dari enam varietas yang diuji, Inpari
10 merupakan varietas terbaik dengan hasil gabah kering 8,1 ton/ha.
Berdasarkan pilihan varietas unggul padi sawah yang berpotensi untuk
dikembangkan adalah varietas Inpari 10, Inpari 20, Inpari 4 dan Inpari 14.

Kata kunci: Padi, varietas unggul baru, pertumbuhan, produksi.

PENDAHULUAN
Padi berperan penting dalam stabilitas ekonomi, peningkatan
pendapatan petani, ketahanan pangan, dan pengembangan perekonomian
pedesaan. Padi merupakan makanan pokok sehingga menjadi yang paling
strategis dan politis dikembangkan di Indonesia. Selain itu, padi merupakan
usaha pertanian yang dominan dalam penciptaan lapangan kerja di pedesaan
untuk mendukung dan memantapkan program swasembada beras.

Pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu merupakan alternatif


pengelolaan padi secara intensif pada lahan sawah irigasi meliputi pengelolaan
tanah, air, hara, hama dan gulma terpadu (Zaini dkk., 2002).

Keberhasilan pengembangan padi dengan memanfaatkan potensi


lahan yang tersedia sangat dipengaruhi oleh tingkat keuntungan yang dapat
diperoleh petani.Kebijakan peningkatan kesejahteraan petani padi mempunyai
arti yang sangat srategis, mengingat peran beras dalam perekonomian
Indonesia masih cukup besar (Suryana, dkk., 2008).

190
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Salah satu strategi peningkatan produktivitas tanaman padi adalah


penerapan inovasi teknologi yang sesuai dengan sumber daya pertanian di
suatu tempat (spesifik lokasi). Teknologi usaha tani padi spesifik lokasi dirakit
menggunakan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang
merupakan pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efisiensi usaha tani
padi dengan menggunakan komponen teknologi yang memiliki efek sinergistik,
sehingga setiap komponen teknologi saling memberikan pengaruh yang baik
terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Pujiharti dkk., 2008).

Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) adalah suatu


tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan dalam mengenal potensi, menyusun rencana usaha,
mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi
sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat. Untuk mendukung pelaksanaan
SL-PTT padi yang dari tahun ke tahun semakin luas dilaksanakan di Sumatera
Utara diperlukan masukan teknologi pada unit SL-PTT. Pentingnya
pelaksanaan pendampingan SL-PTT karena adanya kesenjangan produktivitas
yang dicapai oleh petani dengan hasil litkaji, penyebaran VUB sampai kepada
petani berjalan lambat, pemakaian dosis pupuk tidak berimbang dan terjadinya
konversi lahan sawah irigasi kepada usaha non pertanian sangat tinggi setiap
tahunnya, sementara pembukaan sawah baru biaya cukup mahal.

Pertanian tanaman pangan di Kabupaten Nias Utara hingga saat ini


masih dikelola secara tradisional sehingga tingkat produksi dan
produktivitasnya relatif masih rendah (2,5 t/ha). Luas panen di Kabupaten Nias
Utara sebesar 8.029 Ha dengan jumlah produksi padi selama tahun 2012
adalah sebesar 20.091 ton meningkat jika dibandingkan tahun 2011 sebesar
18.465 ton Gabah Kering Giling (BPS Nias Utara, 2013).

Untuk mempercepat proses adopsi unggul baru spesifik lokasi maka


perlu dilakukan uji adaptasi varietas unggul baru padi sawah sehingga akan
diperoleh informasi daya adaptasi suatu varietas unggul baru untuk mendukung
peningkatan produksi dan provitas padi. Varietas unggul padi merupakan salah
satu komponen teknologi yang berperan penting di dalam meningkatkan
produksi beras dalam negeri. Pembentukan varietas unggul baru (VUB) terus
berlangsung untuk menghasilkan varietas dengan keunggulan yang makin
beragam atau makin spesifik lokasi sesuai dengan potensi agroekosistem,
kendala dan prefensi konsumen atau pengguna (Kustianto, 2001). Menurut
Siwi dan Kartowinoto (1989), penggunaan varietas unggul merupakan paket
teknologi yang paling murah dibandingkan dengan komponen
lainnya.Pengkajian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan pertumbuhan
dan hasil enam varietas unggul baru padi sawah dan memilih varietas yang
cocok dikembangkan di Kabupaten Nias Utara.

191
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di kelompok tani Sogau A di Desa Banua Gea,


Kecamatan Tuhemberua, Nias Utara pada pertanaman Musim Tanam I tahun
2013.Kegiatan pendampingan Inovasi Teknologi Padi dengan pendekatan PTT
pada program SL-PTT padi di Kabupaten Nias Utara. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan dan
enam perlakuan varietas unggul yaitu Inpari 4, Inpari 10, Inpari 14, Inpari 17,
Inpari 19 dan Inpari 20. komponen teknologi PTT yang diterapkan di lokasi
pengkajian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen teknologi PTT yang dilaksanakan di SL-PTT padi di Desa


Banua Gea,Kecamatan Tuhemberua, Kabupaten Nias Utara, 2013.
No. Pengelolaan Komponen teknologi
1. Benih
a.Varietas Varietas Unggul Baru Inpari 4, Inpari 10,
Inpari 14, Inpari 17, Inpari 19 dan Inpari
20 berlabel.
b.Pemakaian benih 25 g/ha
c.Perlakuan benih Seleksi benih dengan cara di rendamair
garam 1 sendok/10 liter air,
2. Persemaian
a.Pengolahan tanah Sempurna sampai halus melumpur
b.Bedengan Ukuran lebar 1,2 m dan tinggi 0,3 m
c.Semai benih Semai jarang 50 g/m2
3. Pengolahan Tanah Pengolahan Tanah secara manual
dengan menggunakan cangkul dan
menggunakan hand tractor
4. Penanaman
a.Umur bibit 15-21 ari setelah sebar
b.Sistem tanam Tanam legowo 4:1 (jarak tanam 20 cm x
10 cm), menggunakan tali
c.Jumlah bibit 1-2 batang per lubang tanam
5. Pengelolaan hara
a.Pemberian bahan Pupuk kotoran ayam 2 t/ha ditabur saat
organik pengolahan tanah
b.Pemupukan Dasar N, P, K, berdasarkan analisis status hara
(7 HST) tanah awal dengan Perangkat Uji Tanah
Sawah (PUTS)
c.Pemupukan susulan N berdasarkan Bagan Warna Daun
I (30 HST) (BWD)
d.Pemupukan susulan N berdasarkan Bagan Warna Daun
II (50 HST (BWD)
6. Pengendalian gulma Mulai umur 2 minggu disiang dengan
tangan
7. Pengelolaan Hama Terpadu Sesuai tingkat serangan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT)
8. Panen Panen tepat waktu, disabit, dikumpul dan
dirontok dengan power tresher

192
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Parameter yang diamati meliputi tinggi tanaman (cm) pada saat panen,
jumlah anakan produktif (btg/rumpun) pada saat panen, jumlah gabah isi
(butir/malai), jumlah gabah hampa (butir/malai) dan produksi gabah kering
panen (ton/ha). Data keragaan sifat agronomis tanaman dianalisis secara
statistik dengan metode Analysis of Variance (Anova). Untuk melihat
perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan Multiple Range
Test (DMRT). Analisis usaha tani model PTT dan non PTT menggunakan
analisis R/C ratio, yaitu perbandingan antara nilai produksi dengan biaya
produksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Padi


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman memiliki keragaan
yang berbeda terutama tinggi tanaman, walau dosis pemupukan dan
pemeliharaannya sama. Tinggi tanaman tidak berbeda nyata antar varietas
dimana varietas Inpari 10 lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya (119,2 cm).
Varietas Inpari 4, Inpari 14, Inpari 17, Inpari 19 dan Inpari 20 secara berturut-
turut memiliki tinggi tanaman 103, 2 cm; 103,2 cm; 105,8 cm; 94 cm dan 98,8
cm (Tabel 2).

Tabel 2. Keragaan pertumbuhan dan produksi tanaman padi Kegiatan


Pendampingan SL-PTT Padi di Desa Banua Gea, Kecamatan
Tuhemberua, Kabupaten Nias Utara, 2013.
Tinggi Anakan Jumlah Jumlah Hasil
Varietas tanaman produktif gabah isi gabah hampa GKP
(cm) (btg/rumpun) (butir/malai) (butir/malai) (t/ha)
Inpari 4 103,2 a 15,6 ab 150,4 a 14,6 bc 7,2 ab
Inpari 10 119,2 a 17,8 a 146,2 ab 17,8 abc 8,1 a
Inpari 14 103,2 a 17,8 a 145 abc 33,2 abc 7,2 ab
Inpari 17 105,8 a 14,4 b 145,6 abc 10,6 d 6,3 bc
Inpari 19 94.0 a 13,2 b 122.0 c 38,6 a 5,7 d
Inpari 20 98,8 a 14,6 b 118,4 c 13.0 c 7,3 ab
Rata-rata 104,03 15,56 137,39 17,84 6,97
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata
menurut uji lanjut DMRT pada taraf 5%.

Untuk jumlah anakan produktif dihasilkan oleh varietas Inpari 10 (17,8


btg/rumpun) dan Inpari 14 (17,8 btg/rumpun) tidak berbeda nyata dengan
varietas Inpari 4 (15,6 btg/rumpun), Inpari 17 (14,4 btg/rumpun), Inpari 19 (13,2
btg/rumpun), dan Inpari 20 (14,6 btg/rumpun). Tetapi jumlah anakan produktif
dihasilkan oleh varietas Inpari 10 berbeda nyata dengan varietas Inpari 17,
Inpari 19 dan Inpari 20.
Untuk jumlah gabah isi/malai tertinggi dihasilkan oleh varietas Inpari 4
(150,4 butir/malai) tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 10 (146,2
butir/malai), Inpari 14 (145 butir/malai), Inpari 17 (145,6 butir/malai), Inpari 19
(122 butir/malai) dan varietas Inpari 20 (118,4 butir/malai). Tetapi jumlah gabah

193
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

isi/malai dihasilkan oleh varietas Inpari 4 berbeda nyata dengan varietas Inpari
19, dan Inpari 20.
Untuk jumlah gabah hampa/malai tertinggi dihasilkan oleh varietas
Inpari 19 (38,6 butir/malai) tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 10 (17,8
butir/malai), varietas Inpari 14 (33,2 butir/malai), dan Inpari 4 (14,6 butir/malai).
Tetapijumlah gabah hampa/malai dihasilkan oleh varietas Inpari 19 berbeda
nyata dengan varietas Inpari 17 (10,6 butir/malai), dan Inpari 20 (13 butir/malai).
Hasil gabah kering panen (GKP) tertinggi adalah varietas Inpari 10 (8,1
ton/ha) tidak berbeda nyata dengan Inpari 4 (7,2 ton/Ha), Inpari 10 (7,2 ton/Ha),
dan Inpari 20 (7,3 ton/Ha), tetapi hasil gabah kering panen (GKP) varietas Inpari
10 berbeda nyata dengan Inpari 17 (6,3 ton/ha) dan Inpari 19 (5,76 ton/Ha).
Keragaan pertumbuhan dan produksi tanaman padi disajikan pada tabel 2.
Penyebaran benih varietas unggul baru ini berdasarkan kondisi
agroekosistem wilayah. Petani di Kabupaten Nias Utara telah lama menanam
varietas Lokal dan Ciherang tanpa pergantian. Dengan adanya uji adaptasi
varietas unggul baru ini diharapkan diperoleh varietas yang adaptif pada
lingkungan setempat dan diminati oleh petani, terutama berdasarkan hasil
produksi dan hasil nasinya. Menurut Sirappa dkk. (2007) beberapa faktor yang
dijadikan pemilihan varietas adalah karakteristik lokasi (jenis irigasi, ketinggian
tempat, kesuburan tanah, jenis hama dan penyakit yang dominan) dan sifat
produk yang diinginkan oleh petani (rasa nasi, bentuk dan warna gabah).
Peningkatan produktivitas padi yang dicapai disebabkan oleh dua faktor,
yaitu penggunaan varietas unggul yang berpotensi tinggi dan semakin
membaiknya sistem usaha tani padi seperti pengolahan tanah, cara tanam, dan
pemupukan (Irawan, 2004). Penerapan teknologi yang tepat, faktor alam
seperti anomali iklim juga sangat menenukan produksi dan keuntungan petani.

Salah satu penyebab penurunan produktivitas padi sawah adanya


penggunaan varietas yang sama pada suatu wilayah dalam kurun waktu yang
lama sehingga tidak mampu lagi berproduksi lebih tinggi. Hal ini disebabkan
oleh kemampuan genetik varietas tersebut menurun akibat terjadi mutasi atau
segresi gen yang diakibatkan oleh penyerbukan bebas sehingga kemurnian
benih semakin menurun (Makarim dkk., 2004). Lebih lanjut dijelaskan Sahara
dkk.(2007) bahwa salah satu upaya peningkatan produktivitas padi adalah
melalui penerapan teknologi spesifik lokasi seperti perbaikan teknologi
pemupukan, penggunaan benih unggul dan bermutu.

Analisis Usaha Tani


Perbandingan analisis usaha tani padi sawah sebelum menerapkan
inovasi teknologi dan setelah menerapkan inovasi teknologi di Desa Banua
Gea, Kecamatan Tuhemberua, Kabupaten Nias Utara, disajikan pada Tabel 3.

Hasil analisis usaha tani menunjukkan bahwa setelah dilaksanakan


inovasi teknologi petani memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp
13.325.000,- dengan nilai R/C 2,20. Bila dibandingkan pada saat belum

194
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dilaksanakan inovasi teknologi petani memperoleh pendapatan bersih sebesar


Rp 2.760.000,- dengan nilai R/C 1,46. Sehingga dengan menerapkan
komponen teknologi PTT terjadi peningkatan pendapatan sebesar
Rp 10.565.000,- atau meningkat 482,9% dari cara petani biasanya.

Tabel 3. Analisis usaha tani padi sawah sebelum penerapan teknologi dan
setelah penerapan teknologi. Desa Banua Gea, Kecamatan
Tuhemberua, Kabupaten Nias Utara, 2013.
Sebelum inovasi Setelah inovasi
No Uraian
teknologi teknologi
Volume Jumlah Volume Jumlah
A. Biaya Produksi
Benih (kg) 80 640.000 25 300.000
Pupuk kandang (kg) 0 - 2.000 1.000.000
Urea (kg) 350 700.000 200 400.000
Ponskha (kg) 100 450.000 150 1.350.000
SP 36 (kg) 200 800.000 150 600.000
Insektisida (ltr) 3 300.000 3 300.000
Pengolahan tanah
10 500.000 30 1.500.000
(HOK)
Tanam (HOK) 10 500.000 25 1.250.000
Pemupukan (HOK) 5 250.000 3 150.000
Penyiangan (HOK) 10 500.000 20 1.000.000
Penyemprotan
6 300.000 6 300.000
(HOK)
Panen (12%) 300 1.050.000 836,4 2.920.000
B. Jumlah Biaya 5.990.000 11.070.000
C. Penerimaan (ton) 2,5 8.750.000 6,97 24.395.000
D. Pendapatan bersih 2.760.000 13.325.000
E. R/C 1,46 2,20

KESIMPULAN

1. Secara agronomis keragaan varietas Inpari 10 menunjukkan tinggi


tanaman tertinggi (119,2 cm), jumlah anakan tertinggi varietas Inpari 10
dan Inpari 14 (17,8 btg/rumpun), jumlah gabah isi/malai yang tertinggi
adalah varietas Inpari 4 (150,4 butir/malai) dan jumlah gabah
hampa/malai tertinggi adalah varietas Inpari 19 (38,6 butir/malai)
dibandingkan varietas Inpari lainnya.

2. Hasil gabah kering panen (GKP) tertinggi diperoleh pada varietas Inpari
10 (8,1 t/ha) dan dan yang terendah adalah varietas Inpari 19 (5,76 t/ha),
sehingga varietas Inpari 10 ini sangat berpotensi untuk dikembangkan
di Kabupaten Nias Utara dan petani dapat memilih varietas mana yang
disukai sesuai selera konsumen.

3. Pendapatan bersih petani terjadi peningkatan sebesar Rp 10.565.000,-


(482,9 %) setelah dilakukan inovasi teknologi PTT.

195
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungsitoli. 2013. Nias Utara Dalam


AngkaBadan Pusat Statistik Kabupaten Nias Utara.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2013. Sumatera Utara Dalam
Angka2013 . Badan Pusat Statistik. Provinsi Sumatera Utara
Balai Besar Penelitian Padi. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. 2007. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Departemen Pertanian, Jakarta.
Irawan, B. 2004. Dinamika Produktivitas dan Kualitas Budidaya Padi Sawah.
Ekonomi Padi dan Beras di Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Kustianto, B. 2001. Kriteria Seleksi untuk Sifat Toleransi Cekaman Lingkungan
Biotik dan Abiotik. Makalah Pelatihan dan Koordinasi Program
Pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi, Sukamandi
9-14 April 2001. 19 hal.
Makarim, A.K., I. Las, A.M. Fagi, I.N. Widiarta, dan D. Pasaribu. 2004. Padi Tipe
Baru, Budidaya dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu.
Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Padi,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pujiharti, Y., J. Barus dan B. Wijayanto. 2008. Teknologi Budi Daya Padi. Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Sahara, D. Dan Idris. 2007. Kajian Struktur Biaya dan Alokasi Curahan Tenaga
Kerja pada Sistem Usahatani Padi Sawah (Studi Kasus di Kabupaten
Konawe). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Vol (10) Juli 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian.
Sirappa, M.P., A.J. Rieuwpassa dan E.D. Waas. 2007. Kajian Pemberian Pupuk
NPK pada Beberapa Varietas Unggul Padi Sawah di Seram Utara.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol (10)
Juni 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Siwi, B.H. dan S Kartowinoto. 1989. Plasma Nutfah Padi dalam Padi Buku 2.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Suryana, A., Suyamto, Baehaki SE., S. Abdurachman., I. N. Widiarta., H. M.
Toha., H. Sembiring., Hermanto., dan H. Kasim. 2008. Panduan
Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-
PTT) Padi. Departemen Pertanian, Jakarta.
Zaini, Z, I. Las., Suwarno, B. Haryanto dan E. E. Ananto. 2002. Pedoman Umum
Kegiatan Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu 2002.
Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.

196
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL VUB PADI DI LAHAN


PASANG SURUT KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR, JAMBI

Lutfi Izhar dan Salwati

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi


Jl. Samarinda Paal V Kota Baru, Jambi. 36128
Email: lutfiizhar@litbang.pertanian.go.id

ABSTRAK

Produksi padi sangat eratkaitannya dengan sistem usahatani. Sub-


sistem usahatani yang berpengaruh langsung terhadap keragaan pertumbuhan
danhasil padi antara lain: varietas unggul, pola tanaman dan karakterisasi
biofisik. Penelitian ini bertujuan membandingkan dua pola tanam yang berbeda
(legowo 2:1 dan legowo 4:1) dan dua varietas unggul (Inpara 1 danInpara 2)
sehingga diperoleh hasil padi yang terbaik untuk lahan pasang surut.
Percobaan dilakukan di Desa Simbur Naik, Kecamatan Muaro Sabak,
KabupatenTanjung Jabung Timur, mulai Maret sampai November 2014. Data
iklim diperoleh langsung dari lokasi dan BMKG setempat untuk mendukung
pembahasan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keragaan pertumbuhan,
hasil produksi dan perkembangan siklus hidup varietas padi (Inpara 1 dan
Inpara 2) dengan pola tanam jajar legowo 1:2 dan 1:4 menunjukkan
kecendrungan yang sama.

Kata kunci: Keragaan padi VUB, pola tanam, pasang surut, Jambi

PENDAHULUAN

Pengembangan dan produktivitas tanaman padi sangat berpengaruh


terhadap ketahanan pangan penduduk, sehingga harus menjadi perhatian
utama pemerintah Indonesia (Widjaja-Adhi dkk., 1992). Produksi padi pada
tahun 2011 mencapai 5.015 t ha-1 dan diperkirakan pada tahun 2012 mencapai
5.017 t ha-1 (Badan Pusat Statistik, 2013).
Kendala yang timbul saat ini adalah semakin menurunnya kesuburan
lahan, dimana padi biasa dibudidayakan dan memberikan produksi yang tinggi
(Alihamsyah dkk., 2004). Pola eksten sifikasi akhirnya dilakukan di lahan
marjinal, sehingga perlu upaya yang lebih intensif dan berkelanjutan (Balai
Besar Penelitian Padi, 2011). Kondisi lahan yang marginal dengan kendala
yang ada, maka dalam pengembangannya harus benar-benar dilakukan
secara cermat dan hati-hati melalui penerapan teknologi tepat guna sesuai
dengan karakteristik wilayahnya (Balittra, 2011). Pendekatan yang harus
secara holistik dan partisipatif serta dengan strategi selektif dan bertahap
(Handoko dkk., 1998).
Lahan rawa merupakan salah satu lahan marjinal yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai lahan budidaya tanaman (Ar-Riza, 2002). Diversifikasi
produksi di lahan rawa dapat dilakukan dengan mengembangkan usahatani
aneka komoditas seperti tanaman padi, palawija, sayuran, buah-buahan,
tanaman industri, ternak dan ikan. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan

197
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pertanian lahan rawa dapat meningkatkan produksi juga diversifikasi produksi,


baik produksi primer maupun olahan (Balittra, 2011).
Potensi luas lahan sawah untuk usahatani tanaman pangan di Provinsi
Jambi adalah seluas 166.766 ha dan sekitar 31% merupakan lahan sistem
irigasi tadah hujan dan 23,71% irigasi pasang surut (Bappeda Jambi, 2011).
Lahan rawa yang sudah dibuka adalah seluas 67.888 ha yang terdiri dari rawa
pasang surut seluas 39.538 ha dan rawa non pasang surut (rawa lebak) seluas
28.350 ha (BPS, 2013). Produksi padi di Provinsi Jambi masih rendah, yaitu
644.984 t dengan luas panen 155.802 ha (BPS, 2012). Produksi ini masih
rendah jika dibandingkan dengan potensi produksi dan produksi hasil padi
penelitian di Lembaga-lembaga Penelitian (hanya 60%). Kajian spesifik seperti
standar operasional prosedur (SOP) padi di lahan rawa perlu diaplikasi guna
pencapaian usahatani tanaman padi yang bekelanjutan dan mendukung
ketahanan pangan yang lebih kuat (Las dkk., 2006).
Alternatif peningkatkan produktivitas padi di lahan rawa pasang surut
dapat dilakukan melalui adaptasi teknologi terhadap perubahan iklim, perbaikan
teknik budidaya dan penggunaan bibit bermutu dengan menerapkan inovasi
teknologi yang telah dikembangkan melalui penelitian lapang (Wihardjaka dkk.,
1998; Jamal dkk., 2008). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh
pola tanam dan varietas terhadap hasil padi di lahan pasang surut.
BAHAN DAN METODE
Percobaan dilakukan di lahan rawapasang surut Desa Simbur Naik,
Kecamatan Muaro Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
dengan melibatkan petani kooperator, dilaksanakan mulai bulan Maret sampai
Desember 2014. Penanaman padi di lahan rawapasang surut dengan metode
on Farm adaptive research yaitu pengkajian di lahan petani. Komponen
teknologi yang dicobakan adalah varietas padi lahan pasang surut yaitu : Inpara
1 dan Inpara 2, dan pola tanam sistem tanam jajar legowo 2:1 (jarak tanam 25
cm x 25 cm) dan 4:1 (jarak tanam 25 cm x 12.5 cm).
Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah (split-block design)
dengan tiga ulangan. Sistem tanam jajar legowo sebagai petak utama dan
varietas sebagai anak petak dengan ombinasi perlakuan sebagai berikut :
Sistem tanam:
J1 : Legowo 2:1 dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm
J2 : Legowo 4:1 dengan jarak tanam 25 cm x 12.5 cm
Varietas:
V1 : Inpara 1
V2 : Inpara 2

Lokasi penanaman padi merupakan lahan rawa pasang surut disekitar


pematang sawah dan dibuat saluran air mikro dengan ukuran 20 x 20 cm.
Lahan terlebih dahulu disemprot menggunakan herbisida dosis 6 l/ha. Setelah
itu lahan diolah menggunakan hand traktor sampai melumpur.Seminggu

198
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

menjelang tanam lahan diberi kapur dolomitdengan dosis 400 kg/ha dan
trichoderma. Untuk mengurangi percepatan pertumbuhan gulma dilakukan
penyemprotan lahan dengan herbisida pra-tumbuh Alley.
Bibit dipindah setelah berumur tiga minggu di persemaian. Bibit ditanam
dengan jumlah 2 - 3 bibit per rumpun menggunakan sistem tanam jajar legowo
2:1 sesuai jarak tanam 25 x 25 cmdan 4:1 dengan jarak tanam 25 x 12.5 cm.
Pupuk diberikan dengan dosis : 250 kg urea/ha, 200 kg SP-36 /ha dan 100kg
KCl/ha. Pupuk diberikan saat tanam, kecuali pupuk urea diberikan 3
kali.Pemeliharaan berupa penyiangansecara manual dan dan herbisida selektif.
Pengendalian hama burung dilakukan dengan memasang jaring di seluruh
areal pertanaman padi.
Pengukuran radiasi surya dan kalibrasi alat. Sebelum alat pengukur
radiasi surya dipasang di lokasi, dilakukan kalibrasi alat yaitu membandingkan
setiap alat dengan input radiasi yang sama dengan satuan millivolt (mV).
Radiasi surya diukur menggunakan sensor radiasi surya tubesolarimeter.
Sensor pengukuran radiasi transmisi diletakkan pada ketinggian 5 cm di atas
permukaan tanah dan radiasi datang diletakkan pada ketinggian 1 m di atas
tempat terbuka. Pengambilan data dilakukan setiap 15 menit dengan 3 kali
pencatatan data, kemudian dihitung nilai rata-ratanya. Transmisi radiasi diukur
dengan menggunakan tube solarimeter yang dihubungkan dengan AVO
(Ampere Volt Meter) yang diletakkan di atas dan di bawah tajuk tanaman padi
selanjutnya digunakan untuk menghitung koefisien transmisi radiasi surya yang
datang pada tanaman tersebut dengan persamaan sebagai berikut :
𝑄𝜏
τ =
𝑄𝑜
(1)

Qτ : radiasi yang ditransmisikan tajuk tanaman (W.m-2)


Qo : radiasi surya datang (W.m-2)
Leaf Area Indeks (LAI) dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
𝐿𝑢𝑎𝑠𝑇𝑎𝑗𝑢𝑘 (2)
LAI =
𝐿𝑢𝑎𝑠𝑃𝑟𝑜𝑦𝑒𝑘𝑠𝑖
Koefisien pemadaman tajuk (k) diturunkan berdasarkan Hukum Beer dengan
persamaan sebagai berikut :
τ= e-k. LAI (3)
-k. LAI = Ln τ
(4)
𝐿𝑛𝜏
k = (−) 𝐿𝐴𝐼 (5)
Pengamatan pertumbuhan dilakukan sekali dalam dua minggu
sampai tanaman padi dipanenmeliputi : tinggi tanaman, jumlah anakan, umur
berbunga 80%, umur panen, jumlah malai per rumpun, panjang malai, jumlah
gabah per malai, persentase gabah hampa, bobot 1.000 butir kadar air 14%,
hasil gabah per petak dan dikonversi ke hektar, serta jenis dan intensitas hama
dan penyakit utama yang menyerang tanaman.

199
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengukuran biomassa tanaman (akar, batang, daun dan malai)


dilakukan bersamaan dengan pengukuran radiasi matahari. Pengukuran
biomassa dilakukan melalui pengambilan contoh tanaman dari masing-masing
perlakuan dan ulangan. Biomassa tersebut selanjutnya dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 80 oC selama 24 jam.

Contoh tanaman padi diambil secara destructive sampling dari setiap


perlakuan dan ulangan secara acak. Lima tanaman dari masing-masing
kombinasi perlakuan diambil setiap minggu, kemudian dipisahkan antara akar,
batang, daun, dan malai. Biomassa didapatkan dari penimbangan masing-
masing bagian tanaman tersebut setelah dikeringkan dalam oven pada suhu 70
o
C selama 48 jam. Bobot kering tanaman selanjutnya dihitung per satuan luas
dan ditimbang berdasarkan jarak tanam dari masing-masing contoh tanaman
yang diambil. Biomassa tanaman dihitung dari berat kering tanaman (akar,
batang, daun, dan malai) dibagi dengan jarak tanam (g/m 2).

Data iklim diambil dengan melakukan pemasang alat iklim


otomatis/Automatic Weather Station (AWS) di areal pertanaman padi yang
ditempatkan di tempat terbuka. Data iklim yang dikumpulkan dari AWS ini terdiri
dari : curah hujan (mm), intensitas radiasi surya (MJ.m-2 hari-1), suhu udara (0C),
kelembaban udara (%), dan kecepatan angin (m detik -1).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Paremater iklim pada lokasi sekitar percobaan lapangan antara lain: suhu
udara rata-rata harian adalah 26,7oC, suhu minimum 24,6oC dan suhu maksimum
adalah 29,3oC (Gambar 1). Kelembaban udara rata-rata harian bulan Juni
sampai Oktober 2014 adalah 82%. Rata-rata radiasi surya harian adalah 19,3
MJm-2hari-1. Radiasi tertinggi sebesar 22,2 MJm-2hari-1dan radiasi terendah
sebesar 7,8 MJm-2hari-1. Pada awal tanam intensitas curah hujan cukup tinggi
yaitu >63 mm. Suhu, kelembaban udara dan radiasi surya termasuk kondisi
optimum untuk tanaman padi. Sedangkan curah hujan saat memasuki bulan ke
dua dan ke tiga tidak ada hujan di lokasi. Kondisi curah hujan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Boer, 2007).

Suhu udara rata-rata harian Kelembaban udara rata-rata harian

200
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Radiasi surya rata-rata harian Curah hujan harian

Gambar 1. Data iklim selama penelitian di lokasi percobaan.


Rata-rata tinggi tanaman dengan sistem tanam jajar legowo 2:1
cenderung lebih baik dari sistem tanam jajar legowo 4:1 akan tetapi tidak
berbeda nyata (Gambar 2).

(V1) (V2)

Gambar 2. Tinggi tanaman padi dengan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 (J1)
dan 4 : 1 (J2) serta varietas Inpara 1 (V1) dan Inpara 2 (V2)

Tinggi maksimum padi varietas Inpara 1 dan 2 sama-sama tercapai pada hari ke
77 setelah tanam yaitu terjadi pada saat masuk fase pembungaan, setelah tinggi
maksimum tercapai maka alokasi biomassa digunakan untuk gabah. Handoko
dkk (2008) menyatakan setelah fase pembungaan, semua produksi biomassa
dialokasikan ke bulir. Yoshida (1981) menyatakan tingginya hasil padi varietas
unggul baru terutama disebabkan oleh ketahanan terhadap kerebahan. Menurut
Suprihatno dkk (2010) varietas inpara 1 dan 2 merupakan varietas yang tahan
terhadap kerebahan.

Tinggi tanaman cenderung bukan merupakan parameter utama baik


tidaknya varietas padi. Tanaman yang tinggi dengan batang yang lemah
menyebabkan tanaman mudah rebah yang dapat menurunkan produksi padi.
Jumlah anakan merupakan salah satu parameter yang mewakili produksi varietas
padi. Jumlah anakan adalah jumlah seluruh anakan padi yang menghasilkan
malai maupun yang tidak menghasilkan malai (Alihamsyah, 2003). Rata-rata
jumlah anakan menurut perlakuan sistem tanam dan varietas selama pengukuran
ditunjukkan pada Gambar 3.

201
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Gambar 3. Jumlah anakan padi dengan sistem tanam jarwo 2 : 1 (J1) dan 4 : 1
(J2) serta varietas Inpara 1 (V1) dan Inpara 2 (V2)

Secara umum gambar di atas memperlihatkan bahwa perbedaan sistem


tanam dan varietas tidak nyata berpengaruh terhadap jumlah anakan yang
dihasilkan. Pembentukan anakan tanaman padi berlangsung sejak anakan
pertama muncul sampai anakan maksimum. Setelah anakan maksimum tercapai,
sebagian anakan akan mati dan tidak menghasilkan malai. Anakan maksimum
pada padi varietas Inpara 1 dan Inpara 2 tercapai pada saat tanaman berumur 33
hari setelah tanam (HST) atau 54 hari setelah semai (HSS). Fase primordia dapat
terjadi bersamaan, sebelum atau sesudah pembentukan anakan maksimum.
Fase primordia pada penelitian ini terjadi sebelum anakan maksimum.

Varietas Inpara 1 dan 2 memiliki keragaan tanaman hampir sama karena


memiliki faktor genetik yang juga hampir sama. Pada penelitian ini umur padi
varietas Inpara 1 dan 2 juga hampir sama, yaitu umur panen 101 HST (Tabel 1).

Tabel 1. Fase perkembangan tanaman padi varietas inpara 1 dan inpara 2


Hari setelah tanam (HST)
Varietas Semai ∑ anakan Primor- Keluar Pengisian Pemasa- Panen
Maksimum Dia malai Bulir Kan (masak)
Inpara 1 0 54 52 73 80 86 101
Inpara 2 0 54 52 73 80 86 101

Gambar 4 merupakan grafik berat kering total batang, daun, dan


malai, menunjukkan bahwa nilai berat kering tanaman kedua varietas yang
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya LAI. Handoko dkk (2008)
menyatakan bahwa berat kering tanaman akan meningkat dengan
meningkatnya LAI sampai tingkat tertentu dan akhirnya tetap.

202
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(a) (b)
Gambar 4. Berat kering tanaman dengan sistem tanam jajar legowo 2 : 1 (J1)
dan 4 : 1 (J2) (a) dan varietas Inpara 1 (V1), inpara 2 (V2) (b).

Varietas inpara 1 dan 2 memiliki rata-rata berat kering yang hampir sama,
hal ini didukung oleh LAI yang tidak berbeda, sehingga radiasi yang diintersepsi
oleh tajuk tanaman ini juga hampir sama (Tabel 2). Nilai LAI akan mempengaruhi
jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman yang akan berpengaruh
terhadap biomassa yang dihasilkan.

Tabel 2. Rata-rata berat kering tanaman di atas tanah varietas Inpara 1 dan 2
Perlakuan Berat kering tanaman (gm-2) pada umur (HST) ke- Produksi
0 14 28 42 56 70 (t/ha)
J1V1 13,30 32,47 195,93 443,03 907,67 1196,40 3,7
J2V1 9,70 26,17 147,57 438,27 735,90 953,46 3,6
J1V2 13,40 46,33 279,20 598,08 904,80 1267,17 3,6
J2V2 9,90 28,33 148,37 391,60 658,10 1006,45 3,2

Keterangan : HST = Hari setelah tanam.

Secara umum nilai maksimum LAI pada tanaman ini terjadi pada saat padi
berumur 42 HST atau saat tanaman padi berada pada fase keluar malai sampai
pembungaan. Setelah mencapai nilai maksimum LAI semakin turun karena
setelah fase pembungaan di mana alokasi produksi biomassa semuanya
dialokasikan untuk pengisian biji (Horie dkk., 1997). Sedangkan menurut
Ismunadji (1988) nilai optimum LAI tanaman padi adalah 4 - 7. Pada penelitian ini
nilai LAI mencapai 4. Nilai LAI berpengaruh terhadap radiasi surya yang akan
diintersepsi oleh tajuk tanaman padi. Semakin berkurang nilai LAI maka radiasi
surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman padi juga semakin kecil. Winch (2006)
menyatakan berkurangnya nilai LAI pada periode pertumbuhan akan
mengakibatkan sejumlah radiasi yang diintersepsi akan berkurang karena
sebagian energi surya akan jatuh ke tanah.

KESIMPULAN
Keragaan pertumbuhan, hasil produksi dan perkembangan siklus hidup
varietas padi (Inpara 1 dan Inpara2) dengan pola tanam jajar legowo 1:2 dan
1:4 menunjukkan kecendrungan yang sama.

203
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T., B. Prayudi, S. Sulaiman, I. Ar-Riza, I. Noor, dan l. Sarwani.


2004. 40 Tahun Balittra. Perkembangan dan Program Penelitian ke
depan. Badan Litbang. Departemen Pertanian.
Alihamsyah, T. 2003. Hasil Penelitian Pertanian Pada Lahan Pasang Surut.
Makalah disajikan pada Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi, Jambi, 18-19 Desember 2003.
Ar-Riza, I. 2002. Peningkatan produksi padi lebak. Makalah Seminar Nasional.
Perhimpunan Agronomi Indonesia, PERAGI, tanggal 29-30 Oktober
2002 di Bogor.
BPS Jambi, 2013. Jambi dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi
Jambi.
Balai Besar Penelitian Padi, 2011. Inovasi Padi Menghadapi Perubahan Iklim.
Sinar Tani Edisi 5 - 11 Januari 2011 No.3387 Tahun XLI.
Balai Penelitian Tanaman Rawa, 2011. Setengah Abad (1961 – 2011) Balittra
“Rawa Lumbung Pangan Menghadapi Perubahan Iklim” .Balittra
Banjarbaru.
Bappeda Jambi, 2011. Potensi Pengembangan Wilayah Jambi.
LaporanBappeda Provinsi Jambi. 50 hal.
Boer, R. 2007. Deteksi Perubahan Iklim dan Dampak Sosio-ekonominya.
Laporan Proyek Kerjasama BMG dan IPB Bogor.
Handoko, I., Y. Sugiarto, dan Y. Syaukat, 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim
dan Produksi Pangan Strategis: Telaah kebijakan independen dalam
bidang perdagangan dan pembangunan. SEAMEO BIOTROP for
Kemitraan partnership.
Horie, T., M. Ohnishi, J.F. Angus, J.G. Lewin, T. Tsukaguchi, and T. Matano.
1997. Physiological Characteristics of High-Yielding Rice Inferred From
Cross-Location Experiments. Field Crops Res. 52:55–67
Ismunadji, M., S. Partohardjono, M. Syam, dan A. Widjono. 1988. Padi (buku-
1). Balai Penelitian Tanaman Padi. BadanLitbangPertanian.
Jamal, E., M.Mardiharini, danM. Sarwani. 2008. Proses Diseminasi
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Padi: Suatu
Pembelajaran dan Perspektif ke Depan.
Las, I., K. Subagyono, dan A.P. Setiyanto. 2006. Isu dan Pengelolaan
Lingkungan dalam Revitalisasi Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian,
25(3).
Suprihatno, B, A. A.Daradjat, Satoto, S. E. Baehaki, Suprihanto, A. Setyono,
S.D. Indrasari, I.P. Wardana, dan H. Sembiring. 2010. Deskripsi Varietas
Padi. Balai Besar Tanaman Padi Sukamandi.
Widjaja-Adhi, I.P.G., K. Nugroho, D.S. Ardi, dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya lahan rawa: Potensi keterbatasan dan pemanfaatan.
Dalam Partohardjono S danSyam M (Eds). Pengembangan Terpadu
Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Risalah Pertanian
Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa.
Cisarua 3-4 Maret 1992 Puslibangtan-SWAMPS II. Bogor.
Wihardjaka, A.,P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1998. Pengaruh penggunaan
bahan organik terhadap hasil padi dan emisi gas metana pada lahan
sawah. LaporanTahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan.
Yoshida, S. 1981. Fundamental of Rice Crop Science.International Rice
Research Institute. Los Banos. Philippines.

204
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DISKUSI

Nama Penanya : Siti Maryam Harahap (BPTP Sumut)

Pertanyaan : Informasi mengenai iklim sudah cukup lengkap,bagaimana


dengan kondisi air karena dilahan pasang surut sangat
mempengaruhi, tipe luapan air ditanam pada musim
kapan?

Jawaban : Managemen Pengolahan air dilakukan pada tahun kedua


penelitian yaitu tahun 2015 yang belum diolah lebih lanju

205
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI PENERAPAN PAKET


TEKNOLOGI PEMUPUKAN DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN UNTUK
MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Novia Chairuman, Jonharnas, dan Catur Hermanto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. AH Nasution No 1 B Medan Sumatera Utara
Email :noviachairuman@yahoo.com

ABSTRAK

Ketahanan pangan nasional merupakan prioritas utama dalam


kebijakan pembangunan pertanian. Ketersediaan beras secara mandiri yang
tidak tergantung impor adalah upaya menuju ketahanan pangan. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah melalui penerapan teknologi pemupukan yang
sangat berperan dalam peningkatan produktivitas pertanian. Penelitian
dilaksanakan di Desa Serdang, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara. Waktu penelitian pada musim kemarau (MK), dari bulan April
sampai Juli 2013 dan musim hujan (MH), dari bulan September sampai
Desember 2013. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui paket teknologi
pemupukan yang terbaik pada daerah spesifik lokasi dalam meningkatkan hasil
padi pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Deli Serdang. Menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan. Perlakuan terdiri
dari lima paket rekomendasi pemupukan yaitu: A. PUTS (Urea : SP-36 : KCl =
250 : 50 : 50 kg ha-1), B. PuPS (Urea : Phonska = 250 : 250 kg ha -1), C. SK
Mentan No.40/Permentan/OT.140/2007 (Urea : SP-36 : KCl = 250 : 100 : 50 kg
ha-1), D. Analisis laboratorium (Urea : SP-36 : KCl = 200 : 75 : 50 kg ha -1), dan
A. Cara Petani (Urea : Phonska : ZA = 200 : 200 : 100 kg ha-1). Hasil penelitian
menunjukkan paket C, memberikan hasil gabah kering giling paling tinggi pada
musim kemarau (MK); yaitu 6,3 t ha -1. Paket A, memberikan hasil paling tinggi
pada musim hujan (MH), yaitu 7,8 t ha -1. Hasil analisis usahatani terhadap rasio
keuntungan dan biaya, paket pemupukan SK Mentan No.40/Permentan
/OT.140/2007 mempunyai nilai B/C 2,12, sedangkan paket pemupukan PUTS
mempunyai nilai B/C 2,53.

Kata kunci : produktivitas padi, teknologi pemupukan, sawah tadah hujan

PENDAHULUAN

Saat ini pemerintah telah menetapkan program ketahanan pangan


sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan pertanian. Program ini
mencakup usaha-usaha untuk meraih kembali swasembada pangan yang pada
tahun 1984 berhasil dicapai. Kementerian Pertanian menargetkan pencapaian
swasembada dan swasembada berkelanjutan, menempatkan beras sebagai
salah satu komoditas pangan utama selain jagung dan kedelai. Ketersediaan
beras secara mandiri yang tidak tergantung impor adalah upaya menuju
ketahanan pangan (Kementan, 2013). Upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan produksi padi melalui: peningkatan indeks pertanaman (IP),
rehabilitasi sarana pertanian, pengembangan teknologi budidaya, pencetakan
lahan baru terutama pada lahan kritis yang layak untuk budidaya padi, dan

206
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pemanfaatan lahan-lahan sub optimal. Lahan sawah tadah hujan dikategorikan


sebagai lahan sub-optimal karena tanahnya kurang subur dan kurangnya
ketersediaan air (Prihasto, 2013).

Sumatera Utara mempunyai luas lahan sawah tadah hujan 160.315 ha


dan luas lahan sawah irigasi 135.872 ha (BPS Sumut, 2012). Kabupaten Deli
Serdang merupakan salah satu daerah yang mempunyai lahan sawah tadah
hujan cukup luas. Luas lahan sawah di Kabupaten Deli Serdang adalah 44.367
ha, dimana luas lahan sawah tadah hujan 19.365 ha dan luas lahan irigasi
25.002 ha (Distan Deli Serdang, 2011). Produksi padi sawah tadah hujan saat
ini masih tergolong rendah (3,0 - 4,0 t/ha), sementara hasil penelitian IRRI-
CRIFC sudah mencapai 6,5 - 7,5 t/ha.

Kendala utama pada lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air
yang sangat tergantung kepada curah hujan, sehingga lahan mengalami
kekeringan pada musim kemarau. Lahan sawah tadah hujan umumnya tidak
subur, mempunyai kandungan hara terutama N, P, K yang rendah, tanah
masam (pH rendah), kandungan bahan organik rendah, dan petaninya tidak
memiliki modal yang cukup, sehingga agroekosistem ini disebut juga sebagai
daerah miskin sumber daya (Permadi dkk., 2005; Subagyono dkk, 2004;
Pirngadi danMakarim, 2006). Disisi lain, umumnya petani sering memberi
pupuk kurang dari kebutuhan tanaman dan/atau melebihi kebutuhan tanaman,
sehingga penggunaan pupuk tidak efisien untuk mendukung pertumbuhan dan
hasil tanaman.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan pengelolaan,


baik dari aspek tanah dan tanaman. Penggunaan varietas unggul dan
pengelolaan hara sesuai kondisi tanah, nyata meningkatkan produktivitas padi
(Atman dkk, 2013; Chairuman dan Harnowo, 2013; Chairuman, 2013).
Telah banyak paket teknologi pemupukan padi sawah yang kembangkan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, antara lain: paket
teknologi pemupukan berdasarkan SK Mentan No. 40/Permentan
/OT.140/2007, Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), dan Pemupukan padi
sawah spesifik lokasi (PuPS). Dari beberapa paket teknologi pemupukan ini
perlu untuk diketahui paket teknologi yang paling sesuai untuk daerah spesifik
lokasi dalam meningkatkan hasil dan memberikan keuntungan secara
ekonomis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui paket teknologi


pemupukan yang terbaik pada daerah spesifik lokasi dalam meningkatkan hasil
padi pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Deli Serdang.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Serdang, Kecamatan Beringin,


Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Waktu penelitian pada musim

207
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kemarau (MK), dari bulan April sampai Juli 2013 dan musim hujan (MH), dari
bulan September sampai Desember 2013.

Bahan dan alat yang digunakan adalah benih padi varietas


Mekongga, pupuk Urea, SP-36, KCl, ZA, Ponskha, pupuk kandang kotoran
sapi, pestisida, timbangan, karung goni, ajir, tali rafia, meteran, amplop besar,
alat tulis, dan lain-lain.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan


lima kali ulangan. Perlakuan terdiri dari lima paket rekomendasi pemupukan
yaitu :

A. PUTS (Urea : SP-36 : KCl = 250 : 50 : 50 kg ha -1)


B. PuPS (Urea : Phonska = 250 : 250 kg ha -1)
C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/2007 (Urea : SP-36 : KCl = 250 : 100
: 50 kg ha-1)
D. Analisis laboratorium (Urea : SP-36 : KCl = 200 : 75 : 50 kg ha -1).
E. Cara Petani (Urea : Phonska : ZA = 200 : 200 : 100 kg ha -1)
Pelaksanaan Penelitian

Sebelum pengolahan lahan terlebih dahulu dilakukan pengambilan


sampel tanah acak sebanyak 10 titik. Tanah yang sudah dikumpulkan seberat
0,5 kg diaduk secara komposit dan dibersihkan dari sisa-sisa jerami, kayu dan
batuan kecil. Kemudian tanah dianalisis menggunakan Perangkat Uji Tanah
Sawah (PUTS) dan di laboratorium, sedangkan rekomendasi pemupukan
berdasarkan PuPS diunggah melalui website http://webapps.irri.org/nm/id/.
Petak percobaan dibuat dengan ukuran 4 x 5 m dengan membuat parit drainase
untuk mengatur saluran air masuk dan keluar. Pengolahan tanah dilakukan
secara sempurna, yaitu tanah diolah dengan cangkul kedalaman 20 cm,
dibiarkan satu minggu kemudian dilanjutkan dengan cangkul kedua sekaligus
diratakan.

Penanaman menggunakan sistem tanam legowo 2 : 1, jarak tanam 20


x 10 cm x 40 cm, varietas unggul Mekongga, umur bibit 15 hari dengan jumlah
bibit 1 - 2 batang per lubang tanam, penyisipan dilakukan pada umur 7 hari
setelah tanam. Air untuk pengolahan tanah sampai tanam dengan cara
menggunakan pompa yang sumbernya diambil dari sumur. Dosis pupuk yang
digunakan disesuaikan dengan perlakuan. Pupuk SP-36, Phonska, KCl,
diberikan sekaligus saat pemupukan I (7 HST), Urea diberikan masing-masing
sepertiga dosis pada saat pemupukan I, II (28 HST), dan III (40 HST),
sedangkan ZA diberikan pada saat pemupukan II sesuai perlakuan.
Pengendalian hama dan penyakit menggunakan insektisida dan fungisida
sesuai dosis anjuran dan tingkat serangan di lapangan dengan memperhatikan
konsep pengendalian hama terpadu.

208
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap peubah: tinggi tanaman, anakan


vegetatif dan anakan produktif per meter persegi, gabah isi permalai, jumlah
gabah hampa per malai, bobot 1.000 butir, hasil, dan analisis usahatani.

Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis statistik dengan uji F (analisis ragam).


Apabila uji F nyata, dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf uji 5% (Gomez dan Gomez, 1995). Data input dan output untuk
mengetahui kelayakan ekonomi dengan analisis keuntungan (Malian, 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Pertumbuhan

Hasil sidik ragam pada komponen pertumbuhan menunjukkan bahwa


tinggi tanaman dan jumlah anakan vegetatif tidak berbeda nyata terhadap lima
paket pemupukan, baik pada saat musim kemarau (MK) maupun musim hujan
(MH). Jumlah anakan produktif juga tidak berbeda nyata terhadap lima paket
pemupukan pada musim hujan, tetapi berbeda nyata pada musim kemarau
(Tabel 1.)

Tabel 1. Tinggi tanaman, anakan vegetatif, dan anakan produktif padi pada lima
paket pemupukan di Kabupaten Deli Serdang, tahun 2013.
Paket Tinggi tanaman ∑ Anakan vegetatif ∑ Anakan produktif
Pemupukan (cm) (batang m-2) (batang m-2)
MK MH MK MH MK MH
A 101,0 a 115,7 a 428,1 a 633,7 a 320,2 a 343,3 a
B 102,3 a 117,3 a 381,5 a 603,7 a 297,3 ab 313,7 a
C 101,7 a 115,0 a 379,2 a 614,3 a 301,7 ab 322,7 a
D 100,0 a 115,7 a 364,1 a 611,0 a 312,3 a 322,0 a
E 100,0 a 116,9 a 343,3 a 542,0 a 225,3 b 305,3 a
Rata-rata 101,0 116,1 379,2 600,9 291,4 321,4
CV (%) 4,0 4,3 16,4 12,3 15,56 8,5
Keterangan : - A. PUTS, B. PuPS, C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/
2007, D. Analisis Laboratorium, dan E. Cara petani
- Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% DMRT
Rata-rata tinggi tanaman pada musim kemarau 101,0 cm dan pada
musim hujan adalah 116,1 cm. Tanaman tertinggi pada musim kemarau
terdapat pada paket pemupukan B (102,3 cm), pada musim hujan terdapat
pada paket pemupukan B (117, 3 cm). Rata-rata jumlah anakan vegetatif per
meter persegi pada musim hujan adalah 600,9 batang; sedangkan pada musim
kemarau 379,2 batang. Jumlah anakan vegetatif per meter persegi terbanyak
pada musim kemarau terdapat pada paket pemupukan A (428,1 batang),
sedangkan anakan vegetatif paling sedikit terdapat pada paket pemupukan E,
yaitu 343,3. Jumlah anakan vegetatif per meter persegi terbanyak pada musim
hujan, terdapat pada paket pemupukan A (633,7 batang) dan anakan vegetatif

209
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

paling sedikit pada paket pemupukan E (542,0 batang). Rata-rata jumlah


anakan produktif per meter persegi pada musim kemarau adalah 291,4 batang,
sedangkan pada musim hujan adalah 321,4 batang dan anakan produktif paling
sedikit terdapat pada paket pemupukan E (225,3 batang). Jumlah anakan
produktif terbanyak pada musim kemarau terdapat pada paket pemupukan A
(320,2 batang), anakan produktif terbanyak pada musim hujan juga terdapat
pada paket pemupukan A (343,3 batang) dan anakan produktif paling sedikit
terdapat pada paket pemupukan E (305, 3 batang).

Komponen Hasil

Hasil sidik ragam pada komponen hasil menunjukkan bahwa jumlah


gabah bernas dan gabah hampa, tidak berbeda nyata terhadap lima paket
pemupukan, baik pada saat musim kemarau (MK) maupun musim hujan (MH).
Bobot 1.000 butir berbeda nyata terhadap lima paket pemupukan pada saat
musim hujan (MH), tetapi tidak berbeda nyata pada saat musim kemarau (MK),
seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Gabah bernas, gabah hampa, dan bobot 1000 butir padi pada lima
paket pemupukan di Kabupaten Deli Serdang, tahun 2013.
Paket ∑ Gabah bernas ∑ Gabah hampa Bobot 1.000 butir
Pemupukan (butir malai-1) (butir malai-1) (g)
MK MH MK MH MK MH
A 79,0 a 132,8 a 33,7 a 9,1 a 27,5 a 26,7 B
B 67,2 a 112,3 a 31,7 a 19,5 a 27,2 a 28,6 A
C 71,9 a 107,5 a 28,0 a 22,2 a 27,3 a 27,5 Ab
D 71,8 a 118,0 a 24,6 a 15,8 a 27,7 a 28,1 A
E 66,1 a 98,6 a 25,1 a 22,5 a 27,0 a 28,0 A
Rata-rata 71,2 113,9 28,6 17,8 27,3 27,7
CV (%) 14,79 20,78 19,1 35,3 3,25 2,73
Keterangan : - A. PUTS, B. PuPS, C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/
2007, D Analisis Laboratorium, dan E. Cara petani
- Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% DMRT

Rata-rata jumlah gabah bernas per malai pada musim hujan adalah
113,9 butir; sedangkan pada musim kemarau 71,2 butir. Jumlah gabah bernas
terbanyak pada saat musim kemarau terdapat pada paket pemupukan A (79,0
butir), sedangkan jumlah gabah bernas paling sedikit terdapat pada paket
pemupukan E (66,1 butir). Jumlah gabah bernas per malai terbanyak pada
musim hujan, juga terdapat pada paket pempukan A (132,8 butir), dan paling
sedikit terdapat pada paket pemupukan E (98,6 butir).

Rata-rata jumlah gabah hampa per malai pada saat musim kemarau
adalah 28,6 butir, sedangkan pada saat pada musim hujan 17,8 butir. Jumlah
gabah hampa paling sedikit pada saat musim kemarau adalah pada paket
pemupukan D (24,6 butir), sedangkan pada musim hujan terdapat pada paket
pemupukan A (9,1 butir). Bobot 1.000 butir gabah paling berat pada saat musim
kemarau adalah pada paket pemupukan B (27,7 g); sedangkan bobot 1.000

210
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

butir gabah paling berat pada saat musim hujan adalah pada paket pemupukan
B (28,6 g).

Hasil Gabah

Sidik ragam hasil gabah kering giling tidak berbeda nyata terhadap
lima paket pemupukan pada saat musim kemarau, tetapi berbeda nyata pada
saat musim hujan (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil gabah kering giling pada lima paket pemupukan di Kabupaten
Deli Serdang, tahun 2013.
Hasil (t GKG ha-1)
Paket Pemupukan
MK MH
A 5,7 a 7,8 A
B 5,5 a 7,6 A
C 6,3 a 7,1 Ab
D 5,9 a 6,4 B
E 5,3 a 6,6 B
Rata-rata 5,7 7,1
CV (%) 10,78 7,71
Keterangan : - A. PUTS, B. PuPS, C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/
2007, D. Analisis Laboratorium, dan E. Cara petani
- Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% DMRT

Rata-rata hasil gabah kering giling pada musim kemarau adalah 5,7
t ha , dan pada musim hujan 7,1 t ha -1. Hasil gabah kering giling terbanyak
-1

pada saat musim kemarau terdapat pada paket pemupukan C (6,3 t ha -1) dan
paling sedikit pada paket pemupukan E (5,3 t ha -1) dan tidak berbeda nyata
antar perlakuan. Hasil gabah kering giling terbanyak pada musim hujan
terdapat pada paket pemupukan A (7,8 ha-1), tidak berbedanya nyata dengan
paket pemupukan B (7,6 t ha-1) dan paket pemupukan C (7,1 t ha-1), sedangkan
hasil gabah kering giling paling sedikit terdapat pada paket pemupukan D (6,4
ha-1), tidak berbeda nyata dengan paket pemupukan C dan E (6,6 t ha-1).
Secara umum, lima paket pemupukan yang diuji memberikan nilai yang
lebih tinggi terhadap semua peubah yang diukur pada saat musim hujan
dibandingkan musim kemarau. Paket pemupukan A (PUTS), merupakan paket
pemupukan yang memberikan nilai tertinggi terhadap peubah jumlah anakan
vegetatif, anakan produktif, gabah bernas, dan hasil, baik pada musim kemarau
maupun pada musim hujan. Berdasarkan analisis ragampaket pemupukan
antar perlakuan tidak berbeda pada saat musim kemarau, tetapi berbeda nyata
pada musim hujan. Paket pemupukan A (PUTS) pada musim hujan tidak
berbeda nyata dengan paket pemupukan B(PuPS) dan C (SK Mentan
No.40/Permentan/OT.140/2007), tetapi berbeda nyata dengan paket
pemupukan D (analisis laboratorium) dan E (cara petani).Pada musim hujan,
padi mendapatkan air yang cukup selama fase-fase pertumbuhannya sehingga
tanaman berkembang dengan baik. Ketersediaan air selama musim hujan akan
mendorong pelarutan pupuk dan pelepasan ion-ion hara, serta aliran massa
dan difusi larutan hara dari tanah ke akar.

211
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Rendahnya nilai semua peubah yang diukur pada saat musim kemarau
disebabkan oleh tanaman sering mengalami kekurangan air, meskipun adanya
kecukupan hara yang diberikan melalui pemupukan. Hal ini menunjukkan
bahwa air merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi pertumbuhan
vegetatif dan generatif selama musim kemarau. Penambahan air melalui
pompa tidak mencukupi kebutuhan airyang diperlukan tanaman selama fase-
fase pertumbuhan padi, karena rendahnya curah hujan. Respon tanaman padi
terhadap kekeringan tergantung pada tingkat dan waktu kekeringan, fase
tumbuh dan genotipe (Castillo dkk., 2006). Kekurangan air pada fase vegetatif
dapat menghambat pertumbuhan tinggi tanaman, anakan padi berkurang,
tanaman kerdil, sementara pada fase reproduktif dapat meningkatkan persen
gabah hampa dan menurunkan bobot gabah (Bouman dkk., 2007; Sarvestani
dkk., 2008; dan Ji dkk., 2010). Besarnya kehilangan hasil pada tanaman padi
akibat kekurangan air pada fase pembungaan jauh lebih besar dibanding
kehilangan hasil akibat kekurangan air pada fase vegetative (Greenland 1997
dalam Subagyono dkk., 2004).
Analisis Usahatani
Analisis usahatani terhadap lima paket pemupukan di lahan sawah
tadah hujan pada musim kemarau, disajikan pada Tabel 4 dan 5. Paket
pemupukan A, B, C, D, dan E mempunyai nilai rasio keuntungan dan biaya
(B/C) berturut-turut: 1,07; 0;97; 1,21; 1,12; dan 0,92 (Tabel 4).
Tabel 4. Analisis usahatani lima paket pemupukan di lahan sawah tadah hujan
pada musim kemarau (MK). Kabupaten Deli Serdang, 2013.
Paket Pemupukan (Rp 000)
Uraian
A B C D E
Hasil (kg GKG ha-1) 5.700 5.500 6.300 5.900 5.300
Harga jual Rp 5.500 kg-1 31.350,0 30.250,0 34.650,0 29.150,0
32.450,0
Biaya produksi ha-1 15.173,5 15.352,5 15.711,5 15.282,0 15.156,5
1. Benih 25 kg (@ Rp 250 250 250 250 250
10.000
2. Urea (Rp 2.000) 500 500 500 400 400
3. SP-36 (Rp 3.500) 175 - 350 262,5 -
4. KCl (Rp 8.000) 400 - 400 400 -
5. Phonska (Rp 3.500) - 875 - - 700
6. ZA (Rp 2.000) - - - - 200
7. Pompa air 3.500 3.500 3.500 3.500 3.500
8. Pestisida 1.180 1.180 1.180 1.180 1.180
Biaya tenaga kerja
9. Pengolahan tanah 1.420 1.420 1.420 1.420 1.420
10. Penanaman 1.400 1.400 1.400 1.400 1.400
11. Penyiangan 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500
12. Penyemprotan 400 400 400 400 400
13. Panen 3.448,5 3.327,5 3.811,5 3.569,5 3.206,5
Pendapatan bersih 16.176,5 14.897,5 18.938,5 17.168,0 13.993,5
B/C 1,07 0,97 1,21 1,12 0,92
Keterangan: A. PUTS, B. PuPS, C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/
2007, D. Analisis Lab. dan E. Cara petani

212
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pemupukan C (SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/2007)


memperoleh pendapatan bersih tertinggi, yaitu Rp 18.938.500,- dibandingkan
paket pemupukan lainnya. Paket pemupukan E (cara petani) memperoleh
pendapatan bersih Rp13.993.500,00. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
menggunakan paket pemupukan SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/2007,
diperoleh kenaikan pendapatan bersih sebesar Rp 4.945.000,00 dibandingkan
dengan paket pemupukan cara petani.
Paket pemupukan A dan D juga memperoleh pendapatan bersih lebih
tinggi daripada cara petani (E), yaitu Rp 16.176.500 dan Rp
17.168.000,00.Berdasarkan nilai B/C, selain paket pemupukan C, paket
pemupukan A dan D juga layak untuk direkomendasikan pada musim kemarau
karena mempunyai nilai B/C >1.
Analisis usaha tani pada saat musim hujan, menunjukkan paket
pemupukan A, B, C, D, dan E mempunyai nilai B/C berturut-turut: 2,53; 2,39;
2,28; 2,12; dan 2,12 (Tabel 5).
Tabel 5. Analisis usahatani lima paket pemupukan di lahan sawah tadah hujan
pada musim hujan (MH), Kabupaten Deli Serdang, 2013.
Paket Pemupukan (Rp. 000)
Uraian
A B C D E
Hasil (kg GKG ha-1) 7.800 7.600 7.100 6.400 6.600
Harga jual Rp 5.500 kg-1 42.900,0 41.800,0 39.050,0 35.200,0 36.300,0
Biaya produksi ha-1 12,144,0 12,323,0 11,895,5 11,284,5 11,643,0
1. Benih 25 kg (@ Rp 250 250 250 250 250
10.000
2. Urea (Rp 2.000) 500 500 500 400 400
3. SP-36 (Rp 3.500) 175 - 350 262,5 -
4. KCl (Rp 8.000) 400 - 400 400 -
5. Phonska (Rp 3.500) - 875 - - 700
6. ZA (Rp 2.000) - - - - 200
7. Pompa air 200 200 200 200 200
8. Pestisida 1.180 1.180 1.180 1.180 1.180
Biaya tenaga kerja
9. Pengolahan tanah 1.420 1.420 1.420 1.420 1.420
10. Penanaman 1.400 1.400 1.400 1.400 1.400
11. Penyiangan 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500
12. Penyemprotan 400 400 400 400 400
13. Panen 4.719,0 4.598,0 4.295,5 3.872,0 3.993,0
Pendapatan bersih 30.756,0 29.477,0 27.154,5 23.915,5 24.657,0
B/C 2,53 2,39 2,28 2,12 2,12
Keterangan: A. PUTS, B. PuPS, C. SK Mentan No.40/Permentan/OT.140/
2007, D. Analisis Lab., dan E. Cara petani

Paket pemupukan A (PUTS) memperoleh pendapatan bersih tertinggi


dibandingkan paket pemupukan lainnya, yaitu Rp 30.756.000,00. Bila
dibandingkan dengan paket pemupukan E (cara petani) dengan pendapatan
bersih Rp 24.657.000,00; maka diperoleh kenaikan pendapatan bersih
sebesar Rp 6.189.500,00. Paket pemupukan B dan C memperoleh pendapatan

213
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

bersih sebesar Rp 29.477.000,00 dan Rp 27.154.500,00. Paket pemupukan D


memperoleh pendapatan bersih Rp 23.915.500,00 dengan nilai B/C yang sama
dengan paket pemupukan E (cara petani), yaitu 2,12. Berdasarkan kelayakan
usaha, maka lima paket pemupukan layak untuk direkomendasikan pada
musim hujan karena mempunyai nilai B/C >1.

Pada Tabel 4 dan 5 dapat dilihat bahwa biaya produksi usahatani pada
musim kemarau lebih tinggi dan keuntungan yang diperoleh lebih rendah dari
pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya hasil gabah kering
giling, sedangkan biaya pompa air dan biaya penyiangan lebih tinggi.

KESIMPULAN

1. Paket pemupukan berdasarkan rekomendasi SK Mentan No.


40/Permentan/OT.140/2007, memberikan hasil gabah kering giling paling
tinggi pada saat musim kemarau (MK), yaitu 6,3 t ha -1.
2. Paket pemupukan berdasarkan hasil analisis perangkat uji tanah sawah
(PUTS), memberikan hasil paling tinggi pada saat musim hujan (MH), yaitu
7,8 t ha-1.
3. Berdasarkan hasil analisis usahatani, paket pemupukan SK Mentan
No.40/Permentan/OT.140/2007 mempunyai nilai B/C tertinggi (2,12) pada
musim kemarau, sedangkan paket pemupukan PUTS mempunyai nilai B/C
tertinggi (2,53) pada musim hujan.

DAFTAR PUSTAKA

Atman., N. Chairuman, dan Dahono. 2013. Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru
Padi Sawah Berbasis Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sumatera
Barat. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik. BBPPTP.
Buku 1. Medan 6-7 Juni 2012:258-262.
Badan Litbang Pertanian, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2012. Statistik Lahan Sawah
Sumatera Utara Tahun 2012.
Bouman, B.A.M., E. Humphreys, T.P. Tuong, and R. Barker. 2007. Rice and
water. Adv. Agron. 92:187-237.
Castillo, E.G., T.P. Tuong, U. Singh, K. Inubushi, and J. Padilla. 2006. Drought
response of dry seeded rice to water stress timing, N-fertilizer rates and
sources. Soil Sci. Plant Nutr. 52:496-508.
Chairuman, N dan D. Harnowo. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi Sawah
Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Kabupaten Deli
Serdang. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pertanian Spesifik.
BBPPTP. Buku 1. Medan 6-7 Juni 2012.
Chairuman, N. 2013. Kajian Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Padi
Sawah Berbasis Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di
Dataran Tinggi Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Jurnal online
Pertanian Tropik Pasca Sarjana FP USU1(1):47-54
Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang. 2011. Dinas Pertanian Dalam Angka
Kabupaten Deli Serdang.

214
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Gomez, K. A dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian


Pertanian. (terjemahan). Universitas Indonesia. Edisi ke-2.
Ji, X., B. Shiran, J. Wan, D. C. Lewis, C. L. D. Jenkins, A. G. Condon, R. A.
Richards, and R. Delforus. 2010. Importance of pre-anthesis anther sink
strength for maintenance of grain number during reproductive stage
water stress in wheat. Plant, Cell & Environment 33: 926–942.
Kementerian Pertanian. 2013. Dikutip dari bahan presentasi Kepala Balitbang
Kemtanpada Rakornas Ristek 2013 di Jakarta.
Malian, H.A., A. Jauhari, dan M.G. Van Der Veen. 1987. Analisis Ekonomi
Dalam Penelitian Sistem Usahatani. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Prihasto, A. 2013. Model Pertanian Ramah Lingkungan pada Sawah dan Lahan
Sawah Tadah Hujan. Raker Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian 3-6 April 2013.
Permadi, K., Nurhati, dan . Haryati. 2005. Penampilan Padi
GogorancahVarietas Singkil dan Ciherang Melalui Model Teknologi
Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di Sawah Tadah
Hujan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Bandung.
Pirngadi, K. dan A. K. Makarim. 2006. Peningkatan Produktivitas Padi pada
Lahan Sawah Tadah Hujan melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan25(2): 116-123.
Sarvestani, Z. T., H. Pirdashti, S. A. M. M. Sanavy, and H. Balouchi. 2008. Study
of Water Stress Effects in Different Growth Stages and Yield and Yield
Component of Different Rice (Oryza sativa L.) Cultivars. Pakistan
Journal of Biological Sciences 11(10):1303-1309.
Subagyono, K., A. Dairiah, E. Surmaini, dan U. Kurnia, 2004. Pengelolaan Air
pada Tanah Sawah. dalam Tanah Sawah dan Teknologi
Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

215
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS PADI DILAHAN RAWA PASANG


SURUT SERDANG BEDAGAI

Musfal, Tristiana Handayani dan Helmi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl.A.H.Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email : musfal_my@yahoo.co.id

Abstrak
Kendala lahan pasang surut dalam sistem budidaya tanaman adalah
masalah air pengairannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air pasang dari
laut, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan terhadap sifat fisik dan kimia
lahan. Tujuan penelitian adalah untuk melihat pertumbuhan dan hasil beberapa
varietas padi dilahan rawa pasang surut Serdang Bedagai. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Juni hingga Oktober 2015 di lahan rawa pasang surut
Desa Pematang Cermei, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang
Bedagai. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa varietas padi pasang surut
yang diuji rata-rata memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan varietas
yang biasa digunakan oleh petani setempat. Hasil terbanyak diberikan oleh
varietas Inpara 4 sebanyak 7.50 t/ha gabah kering panen, selanjutnya disusul
oleh varietas Inpara 2 dan Banyu Asin 7.05 dan 6.70 t/ha.

Kata kunci : adaptasi, varietas padi, rawa pasang surut

PENDAHULUAN
Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan mencapai 24.7 juta
hektar tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Dari luasan
tersebut 9.53 juta hektar berpotensi untuk dikembangkan (Litbang Pertanian,
2008). Lahan pasang surut di Sumatera Utara banyak terdapat disepanjang
pantai timur diantaranya terluas terdapat di Kabupaten Langkat, Deli Serdang,
Serdang Bedagei, Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu.Akibat penyusutan
lahan sawah atau alih fungsi lahan pertanian di Sumatera Utara pada tahun
2012 menurut laporan Dinas Pertanian sudah mencapai 18.193 ha atau rata-
rata 4.16% per tahunnya (Medan Bisnis, 2013), maka pemanfaatan lahan
pasang surut yang ada sangat berpotensi untuk dikelola dengan baik secara
berkelanjutan.
Permasalahan lahan pasang surut yang utama adalah tata air
pengairan menurut Widjaja Adi dkk (1997) lahan pasang surut dapat dibagi atas
tiga tipe lahan. Tipe A yaitu lahan yang selalu terluapi baik pada waktu pasang
besar atau kecil. Tipe B yaitu terluapi pada saat pasang besar saja dan tipe C
adalah lahan yang tidak terluapi oleh pasang namun air tanahnya dangkal.
Ketiga tipe lahan ini dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian namun perlu
didukung dengan rakitan teknologi yang sesuai. Permasalahan lainnya adalah
lahan yang termasuk marginal, tingginya kadar unsur hara yang bersifat toksis,

216
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

seperti Fe dan S serta kadar garam yang dapat menghambat penyerapan hara
oleh tanaman. Disamping itu tanah umumnya bereaksi sangat masam.
Menurut Admin (2013) dalam mengelola lahan rawa pasang surut
terdapat empat kunci sukses yaitu (1) pengelolaan air bertujuan memenuhi
kebutuhan air pada penyiapan lahan, pertumbuhan tanaman, mengurangi
terjadinya oksidasi pirit pada tanah sulfat masam serta mencegah penurunan
permukaan tanah (subsidence), (2) penataan lahan yaitu melalui difersifikasi
tanaman, (3) pemilihan komoditas yang adaptif agar sesuai untuk daerah
penanaman dan (4) penerapan budidaya yang sesuai meliputi penyiapan lahan,
pemberian bahan amelioran, pemberian pupuk, pengaturan tanam serta
pengandalian hama dan penyakit. Karena berbedanya tipe lahan ini dengan
lahan sawah irigasi maka pengelolaan lahan pasang surut perlu dikaji paket
teknologi yang sesuai untuk dikembangkan, antara lain dalam tata kelola
penyiapan lahan, adaptasi varietas, dan pemberian pupuk.
Hasil kajian uji adaptasi varietas oleh BPTP Sumatera Utara (2008)
dilahan pasang surut Pematang Cengal Kabupaten Langkat, diperoleh hasil
tertinggi sebanyak 8.4 t/ha dari varietas Indragiri, 7.9 t/ha oleh varietas
Mandawa dan 5.72 t/ha dengan varietas Mekongga. Saat ini varietas unggul
baru sudah banyak dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian khususnya untuk
lahan pasang surut antara lain varietas Inpara. Kesesuaian varietas ini perlu
dikaji lebih lanjut khususnya untuk lokasi di Kabupaten Serdang Bedagai.
Tujuan penelitian adalah untuk melihat daya adaptasi beberapa
varietas padi terhadap pertumbuhan dan hasil dilahan rawa pasang surut
Serdang Bedagai.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan dilahan petani rawa pasang surut Desa
Pematang Cermei, Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai
Provinsi Sumatera Utara dari bulan Juni hingga Oktober 2015.
Varietas yang diuji terdiri dari Inpara 2, 3, 4, Banyu Asin dan sebagai
pembanding digunakan varietas Ciherang yang biasa digunakan oleh petani
setempat.
Sebelum penanaman lahan diolah sempurna selanjutnya satu minggu
sebelum tanam diberikan pupuk organik granular sebanyak 500 kg/ha.Padi
sesuai varietas yang diuji ditanam secara legowo 4:1 dengan umur bibit 21 hari
dipersemaian. Bersamaan saat tanam diberikan pupuk dasar SP-36 sebanyak
50 kg/ha dan pupuk Phonska 100 kg/ha.Selanjutnya pada 15 dan 35 HST
diberikan pupuk susulan Phonska dan Urea masing-masing sebanyak 100
kg/ha.
Untuk pengendalian terhadap serangan hama dan penyakit pada saat
tanam diberikan 17 kg/ha Insektisida Curater dan Samponen untuk
pengendalian hama keong mas sesuai dosis anjuran. Pada pertanaman
selanjutnya tanaman disemprot dengan pestisida sesuai dosis anjuran atau
disesuaikan dengan tingkat serangan hama dan penyakit dilapangan.

217
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Penyiangan gulma dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada 15, 30 dan 45 HST.
Tanaman dipanen sesuai dengan umur varietas yang diuji atau gabah telah
menguning lebih dari 90%.
Peubah yang diamati selama kegiatan meliputi : tinggi tanaman dan
jumlah anakan pada umur 15, 30, 45 HST dan pada saat panen, umur panen,
komponen hasil dan hasil gabah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tinggi tanaman
Tinggi tanaman dari beberapa varietas padi yang diuji memperlihatkan
penampilan yang berbeda pada awal pertumbuhan hingga saat panen (Tabel
1).
Tabel 1. Tinggi tanaman beberapa varietas padi dilahan rawa pasang surut
Desa Pematang Cermei, Kecamatan Tanjung Beringin, Kab Serdang
Bedagai
Tinggi Tanaman (cm)
No Varietas
15 HST 30 HST 45 HST Panen
1 Inpara.2 27.5 b 73.2 b 114.2 ab 133.4 a
2 Inpara.3 35.5 a 99.0 a 124.2 a 135.2 a
3 Inpara.4 25.2 bc 62.6 c 98.2 c 130.4 a
4 Banyu Asin 23.3 bc 77.0 b 111.0 b 127.6 a
5 Ciherang 20.1 c 71.0 b 94.4 c 113.6 b
CV (%) 22.05 17.78 11.20 6.70
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% DMRT

Kecuali untuk tinggi tanaman pada saat panen khususnya padi rawa
pasang surut seperti Inpara dan Banyu Asin tidak memperlihatkan perbedaan
yang nyata. Umumnya padi rawa memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan varietas Ciherang yang biasa ditanam pada lahan sawah irigasi.
Perbedaan pertumbuhan ini diduga karena perbedaan sifat genetik dari masing
varietas yang diuji serta ketahanan tanaman terhadap bio-fisik lahan rawa
pasang surut yang diuji.
Tanaman tertinggi terdapat pada varietas Inpara3 yaitu 135.2 cm
selanjutnya diikuti oleh varietas Inpara 2 yaitu 133.4 cm. Dari penampilan ini
memperlihatkan bahwa varietas padi rawa yang diuji beradaptasi cukup baik
pada lahan rawa pasang surut di Desa Pematang Cermei. Sedangkan varietas
Ciherang yang biasa digunakan petani setempat terlihat memberikan
pertumbuhan yang terendah.

Jumlah anakan
Pertumbuhan jumlah anakan dari varietas yang diuji memberikan
penampilan yang berbeda pada setiap pengamatan. Rata-rata jumlah anakan
meningkat dengan meningkatnya umur tanaman kecuali untuk varietas Inpara3
jumlah anakan menurun pada pengamatan 45 HST (Tabel 2).

218
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Jumlah anakan beberapa varietas padi dilahan rawa pasang surut
Desa Pematang Cermei, Kec.Tanjung Beringin, Kab Serdang
Bedagai
Jumlah anakan (batang/rumpun)
No Varietas
15 HST 30 HST 45 HST
1 Inpara 2 12.4 b 24.4 ab 28.6 a
2 Inpara 3 14.6 a 21.6 bc 19.8 b
3 Inpara 4 13.0 b 21.2 c 25.2 a
4 Banyu Asin 15.6 a 26.2 a 29.4 a
5 Ciherang 12.6 b 18.0 d 20.4 b
CV (%) 10.23 14.16 18.13
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% DMRT

Jumlah anakan terbanyak pada 45 HST diberikan oleh varietas Banyu


Asin yaitu 29.4 batang/rumpun dan selanjutnya oleh varietas Inpara 2 yaitu 28.6
batang/rumpun. Jumlah terkecil diberikan oleh varietas Inpara 3 yaitu dengan
jumlah anakan sebanyak 19.8 batang/rumpun dan tidak berbeda nyata dengan
jumlah anakan varietas Ciherang.

Lebih baiknya perkembangan jumlah anakan rata-rata padi rawa yang


diuji dilahan rawa pasang surut Serdang Bedagai, hal ini menunjukan bahwa
varietas tersebut memiliki tingkat ketahanannya terhadap perubahan bio-fisik
lahan atau kualitas air pengairannya seperti kadar salinitas. Menurut Widjaja
Adi dkk (1997) bahwa lahan pasang surut sering mengalami perubahan kualitas
air pengairannya baik yang datang dari air laut atau air hujan. Pasang yang
sering datang maka tingkat salinitas tanah akan meningkat namun kalau lebih
banyak air hujan maka tingkat salinitas akan dapat dikurangi.
Umur panen
Umur panen dari beberapa varietas tanaman padi yang diuji
memperlihatkan umur panen yang berbeda. Umur panen yang tercepat
diperlihatkan oleh varietas Ciherang yaitu 90 hari (Gambar 1). Sebaliknya umur
terpanjang diperlihatkan oleh varietas Inpara.4 yaitu sebanyak 115 hari.
Varietas Banyu Asin dan Inpara 3 memberikan umur panen yang sama yaitu 95
hari. Terjadinya perbedaan umur panen padi yang diuji hal ini sangat berkaitan
dengan sifat genetik atau turunan dari sifat asalnya. Disamping itu umur panen
suatu varietas juga dapat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan suatu lahan atau
akibat pemberian pupuk yang berlebihan. Menurut Dobermann dan Fairhurst
(2000) pemberian pupuk yang tepat pada tanaman padi akan memberikan
pertumbuhan dan hasil yang baik, namun pemberian pupuk yang berlebihan
seperti pupuk Nitrogen akan memberkan pertumbuhan vegetatif yang panjang
selanjutnya akan menghambat terhadap pertumbuhan generatifnya.
Selanjutnya diulas oleh De Datta (1981) bahwa akibat pemberian pupuk yang
berlebihan tanaman menjadi lebih subur dan selanjutnya akan berpengaruh
terhadap umur panen yang semakin panjang. Tanaman yang kurang subur
biasanya akan memperlihatkan vase pematangan yang lebih cepat.

219
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Gambar 1. Umur panen beberapa varietas padi dilahan rawa pasang surut
Desa Pematang Cermei, Kec Tanjung Beringin, Kab Serdang
Bedagai

Komponen Hasil
Penampilan komponen hasil dari beberapa varietas yang diuji
memperlihatkan hasil yang berbeda.Jumlah malai varietas Inpara 2, 4 dan
Banyu Asin tidak berbeda nyata dan rata-rata memberikan hasil yang
terbanyak, sedangkan malai terrendah diberikan oleh varietas Ciherang (Tabel
3).
Tabel 3.Komponen hasil beberapa varietas padi dilahan rawa pasang surut
Desa Pematang Cermei, Kec. Tanjung Beringin, Kab Serdang
Bedagai
Jumlah Panjang Jumlah Gabah Bobot
No Varietas Malai Malai Gabah/malai Hampa 1.000 butir
(batang) (cm) (butir) (%) (g)
1 Inpara 2 17.8 a 24.5 a 133.6 ab 21.6 b 26.5 bc
2 Inpara 3 14.0 b 23.6 b 126.7 bc 30.9 a 27.3 a
3 Inpara 4 19.7 a 22.8 c 135.5 a 20.2 b 25.8 cd
4 Banyu Asin 20.0 a 23.4 bc 139.9 a 33.0 a 26.6 ab
5 Ciherang 13.6 b 24.0 ab 119.8 c 10.1 c 25.3 d
CV (%) 19.31 7.20 16.03 19.72 9.53
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji 5% DMRT

Rendahnya jumlah malai atau pertumbuhan anakan produktif dari


varietas Ciherang dimungkinkan karena varietas Ciherang kurang sesuai untuk
pertumbuhannya dilahan pasang surut, umumnya varietas ini lebih banyak
digunakan untuk lahan sawah irigasi. Menurut Anwar dkk (2001) pertumbuhan
tanaman padi disamping dipengaruhi oleh faktor tanah juga dipengaruhi oleh
sumber air pengairannya. Air pengairan lahan pasang surut lebih banyak

220
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mengandung Na atau Fe sehingga hal ini akan mempengaruhi terhadap


ketahanan tanaman. Selanjutnya diulas oleh Suhartini dan Makarim (2009)
bahwa hasil tanaman padi mempunyai hubungan yang nyata dengan skor
tingkat keracunan Fe, kadar Fe yang tinggi akan memberikan hasil yang
rendah.
Jumlah gabah terbanyak juga diperlihatkan oleh varietas Inpara 2, 4 dan
Banyu Asin. Banyaknya jumlah gabah per malai akan mempengaruhi terhadap
hasil. Menurut Abayawickrama dkk. (2007) jumlah gabah isi permalai yang
dihasilkan oleh tanaman akan berkorelasi positif dengan hasil tanaman,
disamping itu hasil tanaman juga akan dipengaruhi oleh banyaknya jumlah
gabah hampa dan jumlah malai yang dihasilkan. Data hasil kajian ini
memperlihatkan bahwa rata-rata varietas padi rawa yang diuji memberikan
jumlah gabah hampa yang lebih banyak dibandingkan varietas Ciherang.
Namun kelebihan dari varietas ini adalah mampu memberikan jumlah gabah
dan jumlah malai yang lebih banyak.

Hasil gabah
Hasil gabah terberat dari kajian uji adaptasi varietas dilahan rawa
pasang surut Desa Pematang Cermei ini dihasilkan dari varietas Inpara 4 yaitu
sebanyak 7.50 t/ha gabah kering panen. Hasil selanjutnya disusul oleh varietas
Inpara 2 dan Banyu Asin masing-masing seberat 7.05 dan 6.70 t/ha (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil beberapa varietas padi dilahan rawa pasang surut di Desa
Pematang Cermei,Kec. Tanjung Beringin, Kab Serdang Bedagai
No Varietas Hasil (t/ha)
1 Inpara.2 7.05 a
2 Inpara.3 6.15 b
3 Inpara.4 7.50 a
4 Banyu Asin 6.70 ab
5 Ciherang 4.75 c
CV (%) 16.50
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5% DMRT

Rata-rata varietas padi rawa yang diuji dalam kegiatan ini memberikan
hasil yang lebih tinggi dibandingkan varietas Ciherang yang biasa digunakan
oleh petani setempat.Varietas Ciherang hanya mampu memberikan hasil
gabah kering panen seberat 4.75 t/ha. Gambaran ini memperlihatkan bahwa
untuk lahan rawa pasang surut lebih baik menggunakan varietas padi yang
khusus untuk lahan rawa pasang surut seperti varietas Inpara dan Banyu Asin
yang sudah teruji ketahanannya terhadap perubahan bio-fisik lahan maupun
terhadap kandungan Fe dan tingkat salinitas tanah. Menurut Admin (2013)
kunci sukses keberhasilan penanaman padi dilahan rawa pasang surut adalah
penggunaan varietas yang sesuai dan memiliki tingkat ketahanan terhadap
salinitas tanah dan beberapa unsur hara yang bersifat toksis bagi tanaman.
Varietas yang tahan akan memperlihatkan pertumbuhan tanaman dan hasil
yang baik. Rendahnya hasil dari varietas Ciherang diduga karena varietas ini

221
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tidak tahan terhadap perubahan salinitas air atau terhadap kandungan hara
yang bersifat toksis pada lahan yang diuji.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Varietas padi rawa yang diuji rata-rata memberikan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan varietas Ciherang yang biasa digunakan oleh petani
setempat.
2. Varietas Inpara 4 memperoleh hasil yang terbanyak yaitu 7.50 t/ha gabah
kering panen dan disusul oleh varietas Inpara 2 dan Banyu Asin masing-
masing seberat 7.05 dan 6.70 t/ha.
SARAN
Disarankan untuk lahan rawa pasang surut Serdang Bedagai sebaiknya
menggunakan varietas padi rawa seperti Inpara 4, 2, 3 atau Banyu Asin

DAFTAR PUSTAKA

Abayawickrama, A.S.M.T., M.Fahim, D.S.De Z.Abeysiriwarddena,


K.C.Madushani and R.M. Dharamaratne. 2007. Contribution of yield
related characters to grain yield improvement in defferent age groups of
rice. News and Events of the Departement of Agriculture.Agriculture
News in Srilangka.
Admin,2013. Empat Kunci Sukses Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut
untuk Usaha Pertanian Berkelanjutan.http.balittra.litbang.deptan.go.id
16 Agustus 2013.
Anwar, K., M. Alwi, S. Saragih, A. Supriyo, D. Nazemi, dan K.Sari.2001.
Karakterisasi Dinamika Tanah dan Air untukPerbaikan Pengelolaan
Lahan Pasang Surut. Laporan AkhirHasil Penelitian. Balai Penelitian
Tanaman Pangan LahanRawa. Banjarbaru.Hlm. 27 -28.
Badan Litbang Pertanian, 2008. Mengelola lahan pasang surut secara bijak.
Warta Litbang Pertanian. Jakarta
BPTP Sumatera Utara, 2008. Laporan hasil penelitian uji adaptasi varietas
padi dilahan pasang surut Sumatera Utara.
Dobermann, A. and T.H.Fairhurst. 2000. Nutrient disorders and nutrient
management. The International Rice Research Institute, Manilla,
Philippinnes,p.191
De Datta, S.K. 1981. Principples and practices of rice production.John Willey &
Sons.New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. 618p.
Medan Bisnis, 2013. Penyusutan Lahan Pertanian di Sumatera Utara. Media
Medan Bisnis terbitan 12 Juli 2013, Medan.
Suhartini,T. dan A.K.Makarim. 2009. Teknik Seleksi Genotipe Padi Toleran
Keracunan Besi. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan28(3): 125-130
Widjaja A., S. Ratmini., dan I.W. Suastika.1997. Pengelolaan Tanah dan Air di
Lahan Pasang Surut. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Widjaya Adhi, I.P.G., 1986. Pengelolaan Lahan Pasang Surut danLebak. Jurnal
Litbang Pertanian Jakarta. V(1):23-28

222
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

IDENTIFIKASI TINGKAT PENERAPAN KOMPONEN


PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADI
DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT SUMATERA UTARA
(Kasus Kecamatan Salak dan Kecamatan Kerajaan)

Lukas Sebayang, Tumpal Sipahutar dan Listiawati

BalaiPengkajianTeknologiPertanianSumateraUtara
Jl. A.H. Nasution No. 1B, Medan Sumatera Utara
Email : mabayang2001@yahoo.com

ABSTRAK

Sektor pertanian khususnya bidang tanaman pangan yaitu padi


merupakan sektor yang memiliki peranan yang cukup penting di Kabupaten
Pakpak Bharat. Proporsi luas tanam padi dibanding tanaman pangan lain lebih
besar 74% (12.738 Ha) kemudian jagung 21% dan 5% terdiri dari ubi kayu, ubi
jalar, kacang tanah dan cabai. Tetapi produktivitas padi di kabupaten ini masih
rendah di bawah produktivitas Provinsi Sumatera Utara yaitu 3,2 t/ha. Sementara
penerapan komponen PTT sudah dilakukan tapi belum maksimal, sehingga perlu
data yang terukur untuk menginformasikan sejauh mana penerapan komponen
PTT sudah dilakukan para petani untuk rencana perbaikan ke depannya.
Kegiatan ini dilakukan di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Salak dan Kecamatan
Kerajaan. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015. Metode dilakukan
dengan survei pengumpulan data secara wawancara ke petani sebagai
responden. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui tingkat penerapan
dari komponen teknologi PTT Padi di Kab. Pakpak Bharat. Hasil survei ternyata
masih sangat sedikit petani yang menerapkan/mempraktekkan komponen-
komponen teknologi yang direkomendasikan PTT,yaitu hanya ≤ 30%
responden petani yang mengimplementasikan komponen teknologi PTT.
Kata Kunci : Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Padi, Pakpak Bharat

PENDAHULUAN
Pada tahun 2014 PDRB Pakpak Bharat atas dasar harga berlaku
mencapai Rp.479,46 miliar, sedangkan atas dasar harga konstan tahun 2000
sebesar Rp.196,12 miliar, dimana sektor pertanian masih mendominasi struktur
PDRB paling besar yaitu sebesar 64,30 persen. Sektor pertanian khususnya
bidang tanaman panganmerupakan sektor yang memiliki peranan yang cukup
penting di daerah ini, sehingga komoditas ini mendapat perhatian khusus dari
pemerintah karena sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah
umumnya hidup dari bertani.
Salah satu komoditi unggulan yang mendapat perhatian khusus adalah
komoditi padi. Pertanaman padi di Kabupaten Pakpak Bharat tersebar di 8
(delapan) kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1.

223
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Luas panen, produksi, dan rata-rata produksi padi sawah + ladang
menurut kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat. 2014.
Rata-rata
Luas Panen
No Kecamatan Produksi (ton) Produksi
(ha)
(kwt/ha)
1 Salak 706 2.389,41 33,84
2 Sitelu Tali Urang Jehe 500 1.515,17 30,30
3 Pagindar 222 458,43 20,65
4 Sitelu Tali Urang Julu 594 1.804,30 30,37
5 Pergeteng Geteng 698 2.249,72 32,65
Sengkut
6 Kerajaan 1.082 3.920,89 36,22
7 Tinada 736 2.408,89 32,72
8 Siempat Rube 449 1.571,16 34,99
Jumlah 4.978 16.317,13 31,46

Sumber : Pakpak Bharat Dalam Angka, 2014.


Di kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2014, luas panen padi sawah dan padi
ladang sebesar 4.978 ha, menurun 27,87% dibanding tahun 2013, begitu juga
produksinyasebesar 16.317,13 ton menurun 36,57% dibanding tahun 2013
dengan rata-rata produktivitas padi 31,46 kwt/ha/ha (tabel 1). Rata-rata
kepemilikan lahan petani adalah 0,87 Ha, hal menunjukan bahwa kebanyakan
petani di kabupaten ini adalah petani yang memiliki lahan sempit dan budidaya
padi serta pengelolaannya masih rendah. Sementara potensi pengembangan
lahan dari kesesuaian lahan yang sesuai untuk padi terutama padi gogo masih
memberikan peluang untuk dikembangkan yaitu seluas 11.965 Ha (BPTP
Sumut 2012).

Untuk meningkatkan produktivitas dan produksi padi, pemerintah telah


melaksanakan bebeberapa program seperti Sistem Usahatani Padi (SUTPA),
Gema Palagung, INBIS. Saat ini program yang sedang dilaksanakan adalah
Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), program ini
selain mengutamakan peningkatan pendapatanpetani, tetapi juga
memperhatikan dan mempertimbangkan keseimbangan lingkungan sekitar
sebagai tempat kehidupan mahkluk hidup.

Sejalan dengan perkembangan dan pengalaman pelaksanaan PTT


selama 6 tahun dari tahun 2002-2007 dari 12 komponen teknologi alternatif
yang dapat diintroduksikan dalam pengembangan PTT saat ini dipilihlah
menjadi 2 komponen yaitu komponen dasar/utama dan komponen
pilihan/penunjang (Departemen Pertanian 2009). Komponen dasar/utama
terdiri dari penggunaan varietas unggul baru, bibit bermutu dan sehat dengan
perlakuan benih, pemupukan spesifik lokasi, dan pengendalian hama terpadu
(PHT). Sedangkan komponen pilihan/penunjang meliputi pengolahan tanah
sesuai musim dan pola tanam, sistem tanam (tegel, jajar legowo, larikan atau
sebar langsung), bibit muda umur ≥15 hari setelah sebar (HSS), penggunaan
bahan organik, irigasi berselang/terputus (intermiten irrigation), dan
pengelolaan panen dan pasca panen. Pengelolaan budidaya padi dengan

224
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pendekatan PTT juga menawarkan pendekatan intensifikasi bersifat spesifik


lokasi, tergantung pada masalah yang akan diatasi (demand driven technology)
(Pedoman Teknis GD-PTT Padi, 2015). Kegiatan survei ini dilakukan untuk
mengetahui seberapa jauh tingkat penerapan PTT padi yang telah dilakukan
oleh petani di Kabupaten Pakpak Bharat dan masalah-masalah yang menjadi
kendala pelaksanaan di lapangan selama ini.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan survey dilakukan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Salak
meliputi tiga desa(Desa Salak I, Huta Tinggi, dan Boang Manalu) dan Kecamatan
Kerajaan (Desa Kuta Dame, Parpulungan, dan Sukaramai pada pada bulan Juni
2015. Metode survey dilakukan dengan cara pengumpulan data melalui
wawancara langsung kepada 10 orang petani (responden) setiap desa.
Pengisian data-data kuisioner dibuat berdasarkan aspek-aspek yang
berhubungan dengan penerapan teknologi budidaya padi dengan pendekatan
PTT serta masalah-masalah yang dihadapi di lapangan. Penentuan lokasi
survey ditentukan secara purposive sampling( Singarimbun dan Sofian, 1995),
dengan pertimbangan daerah tersebut merupakan sentra produksi padi,
pelaksana program PTT padi dan berpengairan irigasi teknis maupun setengah
teknis. Data-data baik primer maupun sekunder ditabulasi kemudian
dientrymenggunakan excell, ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif
selanjutnya diinterpretasi sesuai tujuan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Petani PTT Padi di Pakpak Bharat


Hasil data survei yang diperoleh, tingkat pendidikan petani di
Kecamatan SalakadalahSD 21% SLTP 66% SLTA 13%. Sedangkan di
Kecamatan Kerajaan tingkat pendidikan petani SLTA 22%, SLTP 31%, SD
47%. Dari data 2 kecamatan diatas diperoleh bahwa tamatan sekolah
menengah dan sekolah dasar lebih mendominasi dibandingkan sekolah tingkat
atas, ini menunjukkan tingkat sumber daya petani masih rendah. Kabupaten
Pakpak Bharat memiliki 58 Sekolah Dasar, 27 Sekolah Menengah Pertama,
dan 6 Sekolah Menengah Atas (BPS, 2014). Ini salah satu faktor penyebab
kualitas sumber daya manusia rendah kurang tersedianya sekolah-sekolah
lanjutan atas selain jumlah sekolah lanjutan atas terbatas, jauh jarak ke
sekolah-sekolah tersebut.

Melalui penyuluhan tingkat pengetahuan, keterampilan dan sikap petani


masih bisa ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang berkelanjutan
sehingga meningkatkan kemampuan dalam menerima teknologi inovasi baru
dan kemudian menerapkannya dalam bertani. Menurut Kasyrino (1995)
,kegiatan penyuluhan masih tetap dibutuhkan karena kualitas sumberdaya
manusia (SDM) petani masih relatif rendah, sehingga perlu dibina secara
berkelanjutan dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah yang
lebih maju. Mayoritas (100 %) pekerjaan utama adalah petani padi lahan sawah
dan kering di 2 kecamatan, ini merupakan prinsip dari tradisi orang Batak yang

225
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mengutamakan kecukupan pangan beras, sehingga harkat keluarga terjaga


maka diutamakan menanam padi. Hal ini, sejalan dengan hasil penelitian
Togatorop dan Wayan (2007) bahwa produksi tanaman pangan bagi petani
masih dominan sebagai sumber kalori dan protein.

Kepemilikan lahan

Kepemilikan lahan petani di 2 (dua) Kecamatan yaitu Kecamatan Salak


dan Kerajaan, rata-rata adalah 0,71 ha. Terdapat 8 (tiga) dari 60 petani hanya
mempunyai lahan seluas 0,3 ha, yang merupakan lahan terkecil, dan 4 orang
petani memiliki lahan seluas 1 ha yang merupakan lahan terluas. Sedangkan,
mayoritas petani (38 orang) mempunyai rata-rata lahan seluas 0,8ha.

Penerapan Komponen Teknologi PTT Padi

Penerapan 2 komponen teknologi PTT (komponen teknologi dasar dan


komponen teknologi pilihan) di Kabupaten Pakpak Bharat belum sepenuhnya
bisa diaplikasikan. Penerapan petani responden terhadap komponen PTT Padi
di Salak: penggunaan varietas unggul baru (vub) 30%; benih bermutu dan
berlabel 22%, bibit muda < 21 hari 16%, bibit 1-3 batang perlubang tanam 14%,
sistim tanam jajar legowo 4:1/2:15%, pengolahan lahan sempurna 21%,
pemberian pupuk organik2%, pemupukan berdasarkankebutuhan tanaman
danstatus hara tanah26%, penggunaan pupuk cair (PPC) 26%, pengendalian
OPT dengan PHT 15% dan panen dan pasca panen 91%. Sementara
penerapan PTT di Kecamatan Kerajaan: penggunaan varietas unggul baru
(vub) 32%; benih bermutu dan berlabel 27%, bibit muda < 21 hari 5%, bibit 1-3
batang perlubang tanam 8%, sistem tanam jajar legowo 4:1 8%, pengolahan
lahan sempurna 24%, pemberian pupuk organik3%, pemupukan berdasarkan
kebutuhan tanaman dan status hara tanah31%, penggunaan pupuk cair (PPC)
30%, pengendalian OPT dengan PHT 34% dan panen dan pasca panen94%
(Tabel 2).

Penggunaan varietas unggul baru dan benih bermutu serta belabel


(perlakuan benih) di dua kecamatan masih sangat rendah hal ini disebabkan
tidak atau kurang tersedianya di kios-kios pertanian dan juga kurangnya
informasi tentang varietas unggul baru dan benih berlabel. Benih yang
digunakan para petani kebanyakan benih lokal dari petani ke petani dan dari
musim ke musim. Perlakuan benih dengan larutan garam 3% sangat perlu
dilakukan karena bertujuan untuk menyeleksi benih yang bernas dan vigor
tinggi (daya kecambah diatas 80%) (Pedoman Teknis GD-PTT Padi, 2015).
Ada juga petani merendam benihnya dengan bahan-bahan kimia tertentu
seperti Bio Seven, Cruiser, Saponen, Atonik, Dithan 45 dan lain-lain.
Kebanyakan bahan kimia tersebut bersifat sistemik. Zat ini diserap lewat akar
dengan sempurna dan ditranslokasikan ke semua bagian tanaman, termasuk
titik tumbuh. Beberapa ahli peneliti kima telah menyatakan bahwa bahan aktif
seperti Cruiser yaitu thiametoksan termasuk ke dalam grup polutan organik
yang persisten (POPs) yang dapat menyebabkan dampak negatif jangka

226
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

panjang yang serius terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Sehingga


penggunaan bahan ini harus mendapatkan kontrol yang ketat dari pemerintah
(Integrated Pest Management 2006).

Tabel 2. Penerapan Komponen PTT Padi di Kabupaten Pakpak Bharat

Salak Kerajaan
Parameter
Ya (%) Ya (%)
Komponen SL PTT yang diterapkan:
1. Varietas Unggul Baru (VUB) 30 32
2. Benih bermutu dan berlabel (perlakuan benih) 22 27
3. Penggunaan bibit muda (<21hari) 16 5
4. Penggunaan bibit 1-3 batang perlubang tanam 14 8
5. Pengaturan populasi atau system tanam jajar 5 8
legowo 4 : 1 atau 2 : 1
6. Pengolahan lahan sempurna 21 24
7. Pemberian bahan organik 2 3
8. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman 26 31
dan status hara tanah
9. Penggunaan pupuk pelengkap cair (PPC) 26 30
10. Pengendalian OPT dengan pendekatan PHT 15 34
11. Panen dan pascapanen 91 94

Berdasarkan data di atas, pemupukan berimbang sesuai kadar hara


tanah masih minim dilaksanakan oleh petani. Alasan yang dikemukakan oleh
petani antara lain mahalnya biaya untuk melakukan analisa tanah di
laboratorium atau uji dengan alat PUTS. Bantuan pemerintah terhadap
pengadaan alat PUTS secara gratis yang difasilitasi oleh lembaga penyuluh
kemungkinan dapat mengatasi permasalahan ini. Karena selama ini, dosis
pemupukan oleh petani tidak terkontrol. Hal ini berdampak pada produktivitas,
permasalahan lingkungan juga kesehatan manusia. Menurut
Mukhlisdkk.(2011), konsentrasi nitrat pada air tanah semakin meningkat
sebagai implikasi penggunaan pupuk N komersial yang makin meluas. Unsur
ini mencemari air tanah yang kemudian dikonsumsi sebagai air minum.
Berdasarkan penelitian di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, kadar nitrat
dalam air minum yang tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Sutanto dan Iryani (2011) menemukan kasus penyakit Blue Baby syndrome
atau methemoglobinemia. Gejala penyakit ini disebabkan oleh karena besi II
dalamdarah (hemoglobin) sebagai inti sel darah merah teroksidasi oleh nitrat
menjadi besi III (methemoglobin) sehingga darah tak dapat mengangkut
oksigen. Sedangkan pada tanaman padi, kelebihan aplikasi N, dapat
meningkatkan penyakit blast daun maupun blast leher, daun menjadi hijau
gelap, daun dan batang tanaman menjadi lebih sukulen dan kurang keras,
pertumbuhan vegetatif yang hebat, dan keterlambatan pematangan (Damanik
dkk. 2010).

227
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Penerapan penggunaan bibit muda masih rendah, alasan petani


menanam di umur tersebut adalah karena khawatir akan serangan keong.
Penanaman bibit muda memang tidak dianjurkan untuk daerah endemik keong
mas. Petani dianjurkan menanam pada bibit muda karena berdasarkan banyak
hasil penelitian dan pengamatan di lapangan, umur pindah tanam yang baik
adalah antara 10-15 HSS (bibit muda) karena pada umur ini bibit mulai beranak,
sehingga menanam bibit berumur lebih dari 21 HSS, sama dengan
membiarkannya mengalami masa beranak pada kondisi berdesakan di
persemaian dan hal ini akan mengurangi kemampuannya beranak di lahan
(Helmi 2009).Bibit muda, cukup ditanam 1-2 bibit per rumpun sehingga lebih
hemat. Jika ditanam umur 10-15 HSS dengan 1-2 bibit per rumpun, jumlah
anakan maksimalnya sama dengan jika ditanam umur > 21 HSS dengan 5 bibit
per rumpun.
Sistem tanam yang dipakai para petani di 2 (dua) kecamatan secara
umum masih menggunakan sistem tegel. Penerapan sistem tanam Legowo 4:1
dan Legowo 2:1 masih rendah. Berbagai alasan yaitu belum mengetahui
adanya sistem tanam sistem Legowo, regu tanam sulit menerapkannya, biaya
ongkos tanam mahal dan pada lahan-lahan yang bertingkat (tidak rata atau flat)
susah diaplikasikan.
Penggunaan pupuk organik di 2 (dua) Kecamatan masih belum sesuai
rekomendasi dan masih banyak belum memakai pupuk organik. Beberapa
kendala yang dikemukakan petani adalah masalah biaya, pengangkutan
(petani kesulitan mengangkut pupuk organik ke lahan mereka karena akses
jalan rusak atau hanya jalan setapak) serta kurangnya pemahaman petani
mengenai manfaat dari pupuk organik.
Penegendalian OPT dengan pendekatan PHT masih rendah di 2 (dua)
kecamatan ini. Pengendalian dengan menggunakan pestisida sebaiknya
menjadi pilihan terakhir bila serangan OPT berada di atas ambang ekonomi.
Dengan adanya penggunaan pestisida nabati, penggunaan pestisida kimia
dapat dikurangi untuk mencegah terjadinya resistensi OPT. Penggunaan
pestisida kimia yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi OPT dan
kerusakan lingkungan. Hal ini sesuai dengan Pedoman Teknis GP-PTT Padi
(2015) bahwa penggunaan pestisida harus memperhatikan jenis, jumlah dan
cara penggunaannya sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku
sehingga tidak menimbulkan resurjensi atau resistensi OPT atau dampak lain
yang merugikan lingkungan.

Umur panen dilakukan petani sudah tepat pada waktunya dan telah
menggunakan peralatan mesin sebagai alat penanganan panen berupa
tresher. Hal ini menunjukkan bahwa sudah cukup banyak petani yang telah
memanfaatkan teknologi alat penanganan panen. Tetapi masih ada juga petani
yang masih melakukan penanganan panen secara manual tanpa peralatan
mesin. Penggunaan peralatan dan mesin perlu digunakan dalam penanganan
panen untuk mempercepat waktu pengerjaan, mengurangi upah tenaga kerja,
dan menekan kehilangan hasil panen. Hal ini sesuai dengan Pedoman Teknis
GP-PTT Padi (2015) bahwa penanganan panen dan pasca panen akan

228
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

memberikan hasil yang optimal jika panen dilakukan pada waktu dan cara yang
tepat. Pemanenan dilakukan dengan sistem kelompok yang dilengkapi dengan
peralatan dan mesin yang cocok sehingga menekan kehilangan hasil.

Penerapan petani terhadap komponen PTT Padi masih belum


sempurna dan masih diperlukan kerja keras instansi yang mempunyai
hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan petani, yaitu
Dinas Pertanian, Penyuluhan, penyedia sarana produksi pertanian,
permodalan. Menurut penelitian Sembiringdkk., (2013) bahwa pemahaman
para petani masih beragambergantung pada intensitas penyuluhan dan
informasi yang mereka peroleh. Terjadinya pemahaman mengenai pola atau
pendekatan PTT yang masih beragam disebabkan antara lain masih kurang
intensifnya komunikasi serta pelaksanaan Pedoman Umum dan Panduan
Pelaksanaan.

Kendala dan Masalah

Sarana produksi pertanian di daerah ini sangat kurang seperti


ketersediaan benih padi dari varietas unggul, pupuk, pestisida (kios-kios
pertanian masih sangat terbatas), selain itu pengelolaan usaha tani padiyang
masih bersifat tradisional, mutu produk sangat beragam, belum berorientasi
pasar (market oriented), pengelolaan usahatani masih perorangan belum
secara berkelompok, penggunaan pupuk dan pestisida yang belum
memperhatikan kelestarian lingkungan serta penanganan pasca panen yang
baik. Selain itu posisi tawar petani masih rendah.

KESIMPULAN

1. Produktivitas padi di Kecamatan Salak dan Kerajaan 3,4 ha/ha (GKP).


2. Berdasarkan hasil survei ternyata masih sangat sedikit petani yang
mempraktekkan komponen-komponen teknologi yang
direkomendasikan PTT,hanya ≤ 30% responden petani yang
mengimplementasikan komponen teknologi PTT secara lengkap.
3. Pemerintah melalui Penyuluh Pertanian Lapangan harus lebih intensif
membina petani dengan membuat demplot-demplot di lapangan
sehingga para petani bisa melihat secara langsung dan dapat
menerapkannya dilahannya masing-masing.
4. Pemenuhan sarana prasarana produksi pertanian perlu segera
dilakukan oleh pihak pemerintah daerah atau swasta (stake holder)
untuk pemenuhan keperluan usaha tani di tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BPS, 2014. Pakpak Bharat Dalam Angka. 2014.


BPTP Sumatera Utara, 2012. PewilayahanKomoditasPertanianSkala 1 : 50.000
di Kabupaten Pakpak Bharat. Kerjasama Pemerintahan Kabupaten
Pakpak Bharat Dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera
Utara. 71 hal

229
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Damanik, M.M.B., B.E. Hasibuan, Fauzi, Sarifuddin, dan H. Hanum, 2010.


Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press, Medan.
Departemen Pertanian 2009. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai
Tahun 2000. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2009. 110 hal.
Helmi, 2009. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu. Informasi Teknologi Pertanian. Untuk Penyuluh
Pendamping, Penyelia Mitra Tani, Petani dan Pengguna Lainnya. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara.
Integrated Pest Management Research, 2006. CGIAR, Cotonou-Republic of
Benin.Brief No. 4, 2006
Kasryno, F. 1995. Reorientasi penelitian dan penyuluhan pertanian pada PJP
II. Prosiding Lokakarya Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian
pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap ke- II. Badan Litbang
Pertanian, Jakarta.
Mukhlis, Sarifuddin, dan H. Hanum, 2011. Kimia Tanah Teori dan Aplikasi. USU
Press, Medan.
Pedoman Teknis Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-
PTT) Padi, 2015.Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian
Pertanian.
Sembiring H, Lukman Hakim, I Nyoman Widiarta, dan Zulkifi Zaini. 2013.
Evaluasi Adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu Dalam Sekolah Lapang
(SL) Pada Program Nasional Peningkatan Produksi Tanaman Pangan.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi.
Medan, 6 – 7 Juni 2012. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Bogor, 2013
Singarimbun, M dan Sofian Effendi . 1995. Metode Penelitian Survai. Penerbit
PT. Pustaka LP3ES Indonesia, CetakanKedua.
Sutanto dan A. Iryani, 2011. Hujan Asam dan Perubahan Kadar Nitrat dan
Sulfat dalam Air Sumur Di Wilayah Industri Cibinong-Citeureup Bogor.
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif. Jurnal Teknologi Pengelolaan
Limbah Volume 14 Nomor 1 Juli 2011.
Togatorop dan Wayan, 2007. Indonesia Pertahankan Swasembada Beras.
https://www.suara merdeka.com/ cybernews/ harian/0510/09/nas1.hlm

230
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENAMPILAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI PADA BERBAGAI


SISTEM TANAM DI LAHAN TADAH HUJAN KALIMANTAN BARAT

Agus Subekti1*dan Khadijah El Ramija2

1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jl. Budi Utomo No.45 Siantan Hulu Pontianak
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A.H. Nasution No.1 B Medan, Sumatera Utara.
Email. subektiagus75@yahoo.com.sg

ABSTRAK
Peningkatan produksi padidi Kalimantan Barat dihadapkan pada
masalah karena sebagian besar lahan merupakan lahan tadah hujan yang
mudah mengalami kekeringan bila musim kemarau, bereaksi masam dengan
produktivitas 3,09 t/ha. Upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
mengintroduksikan Varietas Unggul Baru (VUB) dengan produkrivitas tinggi (6-
9 t/ha) diantaranya Inpari 20, Situ Bagendit, Inpari 30, Mekongga, Inpara 3.
Selain itu penerapan sistem tanam jajar legowo juga dapat meningkatkan
populasi dan hasil hingga 30%. Untuk itu perlu dilakukan uji adaptasi VUB dan
penerapan sistem tanam yang tepat. Penelitian ini bertujuan mendapatkan 1-2
varietas VUB padi yang adaptif dengan sistem tanam jajar legowo pada lahan
tadah hujan di Kalimantan Barat. Penelitian menggunkana rancangan Split
Plot. Main plot adalah sistem tanam dansub plot adalah varietas. Main
plotterdiri dari sistem tanam jajar legowo 2:1 dan tegel, sedangkan sub plot
terdiri VUB padi verietas Inpari 20, Inpari 30, Inpara 3, Situ Bagendit,
Mekongga, dan Ciherang, dengan 3 ulangan. Variabel yang diamati adalah
tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi per
malai, persentase gabah isi per malai, berat 1000 butir gabah, dan produktivitas
GKP. Data dianalisis dengan Anova dan diuji lanjut dengan uji Beda Nyata
Jujur (BNJ). Hasil penelitian menunjukkan VUB padi yang adaptif dan sistem
tanam yang memberikan hasil yang lebih baik pada lahan tadah hujan di
Kalimantan Barat adalah varietas Inpari 30 dengan produktivitas GKP 5,61 t/ha,
dan varietas Ciherang dengan produktivitas GKP 5,45 t/ha yang ditanam
dengan sistem tanam legowo 2 :1.

Kata Kunci : penampilan, VUB padi, sistem tanam , lahan tadah hujan.

PENDAHULUAN

Kebutuhan padi terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan


meningkatnya jumlah penduduk yang saat ini telah mencapai sekitar 255 juta
jiwa, dengan kebutuhan beras sekitar 124,89 kg per kapita per tahun. Oleh
sebab itu, beras tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan
ketahanan pangan nasional, sehingga menjadi basis utama dalam revitalisiasi
pertanian ke depan.

Stagnasi pengembangan dan peningkatan produksi padi akan


mengancam stabilitas nasional. Walaupun daya saing padi terhadap beberapa
komoditas lain cenderung turun, namun upaya pengembangan dan

231
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

peningkatan produksi beras nasional mutlak diperlukan dengan sasaran utama


pencapaian swasembada, peningkatan pendapatan, dan kesejahteraan petani.

Secara nasioal pemerintah menetapkan target pencapaian surplus 10


juta ton beras pada tahun 2014 untuk menjamin ketahanan pangan nasional,
dan untuk mendukung target tersebut di Kalimantan Barat ditetapkan target
surplus 340.000 ton. Pencapaian target tersebut di Kalimantan Barat
dihadapkan pada masalah sering terjadinya gagal panen akibat kekeringan.
Kalimantan Barat dengan luas areal sawah sekitar 546.594 ha, hampir 47%
atau 267.433 ha didominasi oleh lahan sawah tadah hujan.

Permasalahan utama yang dihadapi padi lahan tadah hujan adalah


ketersediaan air yang terbatas pada pertanaman musim kemarau, kondisi ini
diperparah jika adanya gejala El-Nino, dimana terjadi musim kemarau yang
berkepanjangan akibat adanya perubahan iklim global. Kondisi ini sering
mengakibatkan pertanaman padi pada musim kemarau mengalami puso/gagal
panen. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan mengitroduksikan varietas-varietas unggul yang adaptif pada lahan
tadah hujan.

Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan beberapa varietas padi


yang relatif toleran terdapap kondisi kekeringan yang dapat dikembangkan
pada lahan tadah hujan diantaranya Inpari 10, Situ Bagendit, Inpari 30, Inpara
3, dan lain-lain. Untuk itu perlu dilakukan uji adaptasi dari varietas-varietas
ungggul baru padi tersebut pada lahan tadah hujan di Kalimantan Barat. Tujuan
dari penelitian ini adalah menghasilkan varietas padi yang adaptif pada lahan
tadah hujan untuk mendukung program Kementerian Pertanian pencapaian
target 10 juta ton beras atau 340.000 ton beras di Kalimantan Barat.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan uji adaptasi padi pada lahan tadah hujan dilaksanakan
dengan metode percobaan lapang. Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten
Pontianak pada lahan tadah hujan, pada bulan Januari-Desember 2014.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Split Plot. Main plot adalah sistem
tanam dan sub plot adalah varietas. Main plot terdiri dari 2 sistem tanam yaitu
jajar legowo 2:1 (20x10x40 cm) dan tegel (20x20 cm), dan sub plot terdiri dari
6 (enam) varietas unggul padi yaitu Inpari 20, Inpari 30, Inpara 3, Situ Bagendit,
Mekongga, dan Ciherang, dengan 3 ulangan. Ukuran petak yang digunakan
5x6 m, bibit ditanam 2-3 batang per rumpun. Bibit ditanam pada umur 20 hari.
Tanaman diberi pupuk P dan K dengan dosis berdasarkan hasil uji dengan
PUTS, sedangkan pemberian pupuk urea berdasarkan BWD. Variabel yang
diamati adalah tinggi tanaman, umur berbunga, jumlah anakan produktif,
panjang malai, persentase gabah isi, berat 1000 butir, dan produktivitas GKP.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik menggunakan
Analisis Varian (Anova). Jika analisis arian nyata maka dilanjutkan dengan uji
lanjut menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) (Gaspersz, 1994; Gomez and
Gomez. 1995, Baihaki, 2000).

232
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Gambaran Umum Lokasi penelitiaan

Penelitian dilaksanakan di musim kemarau 2014 pada agroekosistem


lahan tadah hujan dengan jenis tanah Ultisol yang bereaksi masam, seperti
pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian
No Parameter Analisis Nilai Kriteria
1 pH H2O 5,26 Asam
2 pH KCl 4,26 Asam
3 C-Organik (%) 1,90 Rendah
4 Nitrogen Total (%) 0,22 Rendah
5 P2O5 (ppm) (Ekstraksi Bray I 34,45 Sedang
6 Kalium (cmol (+) kg-1 0,15 Rendah
7 Natrium (cmol (+) kg-1 0,27 Rendah
8 Kalsium (cmol (+) kg-1 0,70 SangatRendah
9 Magnesium (cmol (+) kg-1 0,23 SangatRendah
10 KTK (cmol (+) kg-1 8,19 Rendah
11 KejenuhanBasa (%) 16,48 SangatRendah
12 Hidrogen (cmol (+) kg-1 0,07 -
13 Aluminium (cmol (+) kg-1 0,18 Rendah
14 Pasir 6,80 -
15 Debu 37,85 -
16 Liat 55,35 -
Sumber: Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah UniversitasTanjungpura.
Berdasarkan hasil analisa tanah (Tabel 1) diperoleh informasi bahwa
tanah dilokasi kajian memiliki status hara yang rendah, di mana kandungan
unsur hara makro N dan K rendah, sedangkan P berstatus sedang.
Kemasaman tanah masam (pH = 5,26), dengan tekstur tanah liat berdebu.
Selain analisa tanah untuk mengetahui status kesuburan tanah, maka dilakukan
analisis kebutuhan pemupukan dilokasi pengkajian dengan menggunakan
Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Berdasarkan hasil uji PUTS diperoleh
informasi bahwa keperluan pupuk adalah sbb: Urea 250 kg/ha, SP-36 75 kg/ha,
dan KCl 100 kg/ha.

b. Keragaan Agronomi

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah banyak


melepas VUB yang dapat digunakan untuk mendukung peningkatan produksi
padi di Kalimantan Barat khususnya pada lahan-lahan tadah hujan.
Peningkatan produksi padi pada lahan tadah hujan melalui introduksi teknologi
VUB padi, sebelumnya perlu dilakukan uji adaptasi pada lokasi dimana
varietas-varietas tersebut akan dikembangkan.
Penampilan fenotipik suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik,
faktor lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan
(Falconer dan Mackay, 1996). Suatu tanaman yang mempunyai konstitusi

233
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

genetik yang sama belum tentu memberikan penampilan fenotipik yang sama
bila ditanam pada kondisi lingkungan yang berbeda. Respons genotip
terhadap faktor lingkungan biasa terlihat pada penampilan fenotipik dari
tanaman tersebut. Berdasarkan pada penampilan fenotipik tanaman dapat
diperoleh genotip-genotip yang memberikan karakter yang baik di suatu
percobaan. Penampilan suatu tanaman dalam suatu populasi akan berbeda-
beda sesuai dengan susunan genotip yang dikandung dan lingkungan yang
mempengaruhinya (Poehlman dan Sleper, 1995). Interaksi antara genotip
dengan lingkungan memiliki arti penting bagi pemulia, karena interaksi genotip
dengan lingkungan menggambarkan kegagalan genotip untuk tampil sama
pada setiap kondisi lingkungan (Fehr, 1987).
Suatu daerah dengan daerah lain umumnya mempunyai kondisi
lingkungan yang berbeda, sehingga akan memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap penampilan fenotipik dari genotip yang bersangkutan. Respons
genotip terhadap faktor lingkungan biasanya terlihat dalam penampilan
fenotipik dari tanaman yang bersangkutan. Penampilan fenotipik tanaman
dapat digunakan untuk mengetahui genotip yang berpenampilan/beradaptasi
baik di suatu daerah (Poehlman dan Sleper, 1995).
Genotip yang diuji pada beberapa lingkungan seringkali tidak
memperlihatkan hasil yang sama pada setiap lingkungan. Hal ini disebabkan
selain faktor genetik, faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap
penampilan suatu karakter dalam suatu populasi. Bila genotip tanaman
ditanam pada lingkungan yang berbeda secara luas, maka genotip tersebut
dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Adanya interaksi genotip dengan
lingkungan menyebabkan adanya variasi penampilan suatu karakter yang
diamati. Besar kecilnya interaksi tergantung pada genotip tanaman dan
karakteristik dari lingkungan tersebut (Poehlman dan Sleper, 1995). Dalam hal
ini, seleksi perlu dilakukan untuk memisahkan genotip-genotip berpotensi hasil
tinggi dan mutu baik pada lingkungan tertentu.
Berdasarkan uji F untuk komponen varians VUB padi dengan sistem
tanam di lahan tadah hujan didapatkan interaksi antara varietas dan sistem
tanampada bobot 1.000 butir gabah dan produktivitas. Sedangkan pengaruh
tunggal varietas dan sistem tanam nyata pada karakter jumlah gabah per malai
dan persentase gabah isi, sedangkan pengaruh tunggal varietas nyata pada
karakter tinggi tanaman. Selain itu pengaruh varietas dan sistem tanam tidak
nyata pada karakter jumlah anakan produktif dan panjang malai. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan penampilan fenotipik di antara
genotip/varietas dan sistem tanam yang diuji (Tabel 2). Falconer dan Mackay
(1996) menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan spesifik dari lingkungan
dapat memberikan efek yang lebih besar terhadap suatu varietas, tetapi tidak
terhadap varietas yang lain. Allard (1960) mengemukakan, besarnya interaksi
varietas/genotip dengan lingkungan menunjukkan bahwa wilayah penanaman
suatu varietas menjadi pembatas dan merupakan lingkungan yang spesifik.

234
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Analisis varians karakter VUB padi dan sistem tanam pada lahan
tadah hujan
Varietas X Sistem
No Karakter yang diamati Sistem Varietas
Tanam
1. Tinggi tanaman (cm) tanam
0,361 tn 89,4278 * 17,361 tn
2. Jumlah anakan produktif (anakan) 7,4278 tn *5,9167 tn 78,0278 tn
tn
3. Panjang malai (cm) 0,4500 tn 1,5167 tn 2,2500 tn
tn
4. Jumlah gabah/malai (butir) 114,67 tn 5041,44* 1296,00 *
5. Persentase gabah isi (%) 7,524 tn *
427,002* 49,938 *
6. Bobot 1000 butir gabah isi (g) 1,5191 * *
1,3307* 8,6044 *
7. Produktivitas GKP (t/ha) 0,3542 * *0,3494* 5,6327 *
*
Keterangan: * = berbeda nyata pada taraf Uji F 0.05
tn = berbeda tidak nyata

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dari


varietas-varietas padi yang diuji pada lahan tadah hujan untuk beberapa
variabel/karakter yang diamati yaitu pada karakter tinggi tanaman, jumlah
gabah/malai, persentase gabah isi, bobot 1000 butir dan produktivitas,
sedangkan untuk variabel jumlah anakan produktif dan panjang malai tidak
berbeda nyata diantara varietas-varietas dan sistem tanam yang diuji.
Untuk mengetahui varietas-varietas dan sistem tanam mana saja
yang memiliki keragaan penotifik dan pengaruh yang lebih baik pada lahan
tadah hujan dari varietas lainnya dan sistem tanam yang diuji maka di lanjutkan
dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dari variabel-variabel yang berbeda nyata
(Tabel 3).
Tabel 3. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) nilai rata-rata interaksi dari varietas dan
sistem tanam yang di uji
Karakter/variabel
No Sistem Tanam X Varietas Produktivitas
Bobot 1000 butir (g)
GKP (t/ha)
1 Legowo 2:1 X Inpari 20 25,60 bcd 5,17 bc
2 Legowo 2 : 1 X Inpari 30 25,60 bcd 5,61 a
3 Legowo 2:1 X Inpara 3 26,20 abc 4,79 de
4 Legowo 2:1 X Situ Bagendit 26,47 ab 5,06 cd
5 Legowo 2:1 X Mekongga 26,07 abcd 4,57 e
6 Legowo 2:1 X Ciherang 26,60 a 5,45 ab
7 Tegel X Inpari 20 25,13 de 4,69 e
8 Tegel X Inpari 30 25,40 cd 4,45 ef
9 Tegel X Inpara 3 25,20 de 4,05 g
10 Tegel X Situ Bagendit 26,53 ab 5,06 cd
11 Tegel X Mekongga 24,40 ef 4,56 e
12 Tegel X Ciherang 24,00 f 4,13 fg
Keterangan : * Berbeda dengan varietas lainnya di dalam uji BNJ pada taraf
5%.

Pada Tabel 3 terlihat bahwa berdasarkan uji BNJ pada taraf 5%,
terdapat perbedaan yang nyata dari varietas-varietas padi dan sistem tanam
yang diuji di lahan tadah hujan pada karakter berat 1000 butir dan produktivitas.

235
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pada karakter berat 1000 butir gabah interaksi antara sistem tanam legowo 2:1
dengan variteas Inpara 3, Situ Bagendit, Mekongga dan Ciherang lebih tinggi
bobot 1000 butir dibandingkan kombinasi lainnya. Sedangkan untuk karakter
produktivitas GKP, kombinasi antara sistem tanam legowo 2:1 dengan varietas
Ciherang (5,45 t/ha) dan Inpari 30 (5,61 t/ha) memiliki produktivitas yang lebih
tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan kombinasi lainnya.
Berdasarkan analisis varian pada Tabel 1 juga diperoleh informasi
bahwa terdapat perbedaan yang nyata untuk faktor tunggal dari sistem tanam
dan varietas pada karakter tinggi tanaman, jumlah gabah per malai dan
persentase gabah isi. Untuk mengetahui pengaruh dari faktor tunggal terhadap
ke 3 karakter ini maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji BNJ (Tabel
4 dan 5).
Tabel 4. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) nilai rata-rata pengaruh sistem tanam
padakarakter yang diamati
Karakter/variabel
No Sistem Tanam
Jumlah gabah per malai Persentase gabah isi (%)
1 Legowo 2:1 141,61 a 80,510 a
2 Tegel 129,61 b 78,154 b
Keterangan : * Berbeda dengan varietas lainnya di dalam uji BNJ pada taraf
5%.

Tabel 5. Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) nilai rata-rata pengaruh varietas pada
karakter yang diamati
Karakter/variabel
No Sistem Tanam Tinggi Tanaman Jumlah gabah Persentase gabah
(cm) per malai isi (%)
1 Inpari 20 87,00 b 98,83 c 90,78 a
2 Inpari 30 89,50 b 137,33 b 84,04 a
3 Inpara 3 98,00 a 186,17 a 67,38 c
4 Situ Bagendit 89,00 b 122,50 b 71,95 bc
5 Mekongga 88,83 b 126,83 b 80,86 ab
6 Ciherang 90,50 ab 142,00 b 80,99 ab
Keterangan : * Berbeda dengan varietas lainnya di dalam uji BNJ pada taraf
5%.
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh informasi bahwa sistem tanam legowo
2:1 menghasilkan jumlah gabah per malai (141,61 bulir) dan persentase gabah
isi (80,51 %) lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan sistem tanam
tegel.
Tabel 5 menunjukkan bahwa varietas Inpara 3 (98,00 cm) dan
Ciherang (90,50 cm) memiliki tingggi yang lebih dan berbeda nyata dari varietas
lainnya. Untuk karakter jumlah gabah per malai varietas Inpara 3 (186,17 butir)
memiliki jumlah gabah per malai yang lebih tinggi dari varietas lainnya,
sedangkan untuk karakter persentase gabah isi varietas Inpari 20 (90,78%),
Inpari 30 (84,04%), Ciherang (80,99%), dan Mekongga (80,86%) memiliki
persentase gabah isi yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan varietas
lainnya.

236
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Seleksi diarahkan kepada genotip-genotip yang lebih pendek karena


bila tanaman yang tinggi dengan batang yang lemah akan mudah rebah
terutama bila dipupuk dengan pupuk N dosis yang tinggi. Kerebahan
menyebabkan kerusakan pada pembuluh-pembuluh xylem dan floem, sehingga
menghambat pengangkutan hara mineral dan fotosintat, selain itu daun-daun
menjadi tidak beraturan dan saling menaungi dan akhirnya menghasilkan
gabah hampa. Murata dan Matsushima, (1978) mengatakan bahwa tanaman
padi yang bertunas banyak tetapi batangnya tidak memanjang adalah varietas
yang cocok untuk daerah tropik. Ditambahkan oleh Jennings dkk.(1979) dan
Yoshida, (1981) bahwa batang yang pendek dan kaku merupakan sifat yang
dikehendaki dalam pengembangan varietas-varietas unggul padi karena tanaman
menjadi tahan rebah, perbandingan antara gabah dan jerami lebih seimbang, dan
tanggap terhadap pemupukan nitrogen.
Hasil penelitian IRRI (1976) dikutip Ismunadji dan Partorahadjono
(1985) menunjukkan bahwa jumlah gabah/m2 akan meningkat dengan semakin
rendahnya bobot 1000 butir gabah, akan tetapi potensi hasil cenderung lebih
tinggi pada kultivar-kultivar yang bobot 1000 butir gabahnya tinggi.
Hasil yang berupa bobot gabah per rumpun merupakan karakteristik
tanaman yang ditentukan oleh sejumlah karakter-karakter lain yang disebut
komponen hasil. Manurung dan Ismunadji (1988) menyatakan bahwa dengan
memecah hasil menjadi komponen-komponennya, maka hasil gabah tiap
hektar sangat ditentukan oleh jumlah malai/m2 , jumlah gabah/malai, persentase
gabah isi, dan berat 1000 butir. Dengan demikian semakin tinggi komponen-
komponen hasil tersebut maka hasil gabah pun akan semakin tinggi.
Produktivitas suatu penanaman padi merupakan hasil akhir dari pengaruh
interaksi antara faktor genetik varietas tanaman dengan lingkungan dan
pengelolaan melalui suatu proses fisiologik dalam bentuk pertumbuhan
tanaman. Penampilan tanaman pada suatu wilayah merupakan respon dari
sifat tanaman terhadap lingkungannya dan juga pengelolaannya. Menurut
Makarim dan Suhartatik (2009), permasalahan dalam peningkatan hasil padi
sebagian besar akibat tidak tepatnya penerapan komponen teknologi terhadap
varietas yang ditanam pada kondisi lingkungan tertentu. Untuk pencapaian
hasil maksimum diperlukan ketepatan pemilihan komponen teknologi.
Berdasarkan hal tersebut, maka dari Tabel 3,4,5 dan uraian di atas diketahui
bahwa terdapat beberapa varietas unggul baru yang ditanam dengan sistem
tanam legowo 2:1 pada lahan tadah hujan yang secara konsisten menampilkan
karakter komponen hasil yang lebih baik dari varietas lainnya yaitu
varietasInpari 30 dengan produktivitas 5,61 t/ha dan Ciherang dengan
produktivitas 5,45 t/ha. Kedua varietas ini (Inpari 30 dan Ciherang) merupakan
VUB yang memiliki adaptasi yang lebih baik dan cocok untuk dikembangkan
pada lahan sawah tadah hujan dengan sistem tanam legowo 2:1.

237
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa VUB padi yang
adaptifdan sistem tanam yang memberikan hasil yang lebih baik pada lahan
tadah hujan di Kalimantan Barat adalah varietas Inpari 30 dengan produktivitas
GKP 5,61 t/ha, dan varietas Ciherang dengan produktivitas 5,45GKP t/ha yang
ditanam dengan sistem tanam legowo 2 :1.

SARAN
Dalam upaya mendukung peningkatan produksi padi di Kalimantan
Barat khususnya pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan maka
sebaiknya menggunakan VUB padi varietas Inpari 30.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimaksih disampaikan Kepada : 1) Kepala Badan
Penelitiandan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian yang telah
mendanai kegiatan penelitian ini,2) Kepala Balai PengkajianTekhnologi
Pertanian KaIimantan Barat yang telah memberikan berbagai kemudahan
dalam melaksanakan penelitian ini, 3) semua fihak yang telah membantu
kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Allard, R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons. New
York.
Baihaki, A. 2000. Teknik Rancangan dan Abalisis Penelitian Pemuliaan.
Fakultas Pertanian. UniversitasPadjadjaran. Bandung.
Falconer, D. S. and T.F.C. Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics.
Longman Group. Ltd. England. 464 p.
Fehr, W. R. 1987. Principles of Cultivar Developmment. Macmillan Publiiishing
Company. Vol. 1 New York.536 p.
Gaspersz, V., 1994. Metode Perancangan Percobaan, Armico, Bandung.
Gomez. K. A., and A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian
Pertanian. Ed. II. UI Press (terjemahan).
Ismunadji M. dan S. Partohardjono. 1985. Pengapuran Tanah Masam untuk
Meningkatkan Produksi Tanaman Pangan. Seminar. Jakarta 21 Sept.
1985 .Puslitbangtan, Bogor.
Jennings, P.R., Coffman W.R., and Kauffman H.E.,. 1979.Rice Improvement. IRRI.
Los Banos. Philippines.
Makarim A. K. dan Suhartatik E., 2009. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi.
http://www.litbang.pertanian.go.id/special/padi/bbpadi_2009_itkp_11.pdf
Manurung S.O., dan Ismunadji M. 1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Dalam
Padi. Buku 1.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Bogor. p. 55-102.
Murata, Y. and S. Matsusima, 1978. Rice, In L.T. Evans (ed), Crop Physiology.
Cambridge University Press.Cambridge. p. 73-99
Poehlman, J. M., and D. A. Sleper. 1995. Breeding Field Crops. 4 th ed. Ioawa
State University Press. Ames AVI Pbl. Company.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Science. International Rice Reserch
Institute. Losabanos, Philippines.

238
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADI MELALUI VARIETAS UNGGUL


BARU DAN SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO DI LAHAN RAWA LEBAK
KABUPATEN MUARO JAMBI

Firdaus dan Adri

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi


Jl. Samarinda Paal Lima Kota Baru - Jambi
Email : firdaus_osa@yahoo.com

Abstrak

Kajian upaya peningkatan produksi padi dilaksanakan di Desa Setiris


Kecamatan Maro Sebo dan Desa Senaung dan Rengas Bandung Kecamatan
Jaluko Kabupaten Muaro Jambi. Kajian dilakukan mulai tahun 2012 sampai
2014. Varietas yang digunakan Inpara Inpara 3 dan Batang Piaman. Sebagai
pembanding digunakan varietas Ciherang (varietas unggul yang sudah lama
digunakan oleh petani) dan Kulit Bawang (varietas lokal). Hasil rata-rata
varietas unggul baru varietas Inpara Inpara 3 dan Batang Piaman lebih tinggi
masing-masing 2,07 dan 4,88 t/ha dibanding produksi Kulit Bawang. Analisis
usahatani varietas Inpara 3, Batang Piaman, Ciherang dan Kulit Bawang
memberikan B/C masing-masing 2,16, 1,13, 1,21 dan 0,94.

Kata kunci : Produksi, vub, padi, legowo, lebak

PENDAHULUAN

Komitmen pemerintah mencapai produksi padi 70,6 juta ton pada


tahun 2011 dan surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015, menuntut terobosan
usaha. Salah satu strateginya menjadikan lahan rawa sebagai areal produksi.
Meskipun secara teknis lahan rawa ini tergolong sub-optimal dengan kendala
sifat fisik dan kimia tanahnya termasuk keasaman tanah, akan tetapi lahan ini
prospektif sebagai lahan pertanian produktif (Suriadikarta dan Mas Teddy
Sutriadi, 2007).

Menanam padi VUB di lahan rawa dapat mengkompensasi kehilangan


produksi padi akibat berkurangnya lahan subur karena konversi dan
menurunnya produktivitas lahan sawah akibat cekaman lingkungan dan
pemanfaatan intensif di masa lalu (Achmadi dan Irsal Las, 2006). Peluang
mengoptimalkan lahan rawa cukup besar mengingat potensi arealnya sangat
luas, dan pemanfaatannya belum intensif. Lahan rawa saat ini masih
underutilized dengan senjang (gap) produksi relatif besar (Irianto, 2006).

Menurut perhitungan ekonomi, pengembangan padi VUB di lahan rawa


menjadi pilihan untuk meningkatkan produksi padi. Kontribusi peningkatan
produktivitas yang dimotori varietas unggul terhadap produksi nasional
mencapai 56,1 %, lebih besar dibanding kontribusi perluasan areal yang hanya
26,3 % (Las, dkk., 2004 dalam Suprihatno, 2007). Lahan rawa berpotensi
menghasilkan padi 2 – 6 ton/ha (Adi, 2003). Apabila 10 % dikelola baik dengan
intensitas tanam satu kali, produktivitas 2 ton/ha (padi lokal), dapat

239
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

menghasilkan 2,375 juta ton. Jika menggunakan padi VUB yang


produktivitasnya 4,5 – 5 ton/ha, hasilnya bisa dua kali lipat. Namun demikian,
laju pengembangan padi VUB di lahan rawa berjalan lambat (Ananto,dkk.,1998;
Ismail,dkk., 1993; Herawati, 1995; Adi, 2003). Apresiasi terhadap inovasi
beragam dan tergantung pada faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal
yang mempengaruhinya (Hendayana, dkk.,2009). Introduksi harus memenuhi
persyaratan inovasi lebih menguntungkan dibanding cara petani (relative
advantages), sesuai dengan kebiasaan petani (compatible), tidak sulit 3
(complexity), mudah dicoba (trialability), dan perubahannya jelas dapat diamati
petani (observability).

Kajian ini bertujuan untuk meningkatkan produksi padi dan upaya


menaikkan indek pertanaman di lahan rawa lebak melalui penanaman VUB dan
sistem tanam jajar legowo.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilakukan di Desa Setiris Kecamatan Maro Sebo, Desa


Rengas Bandung Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi,
Provinsi Jambi sejak 2012 sampai 2014. VUB yang digunakan adalah Inpara 3
dan Batang Piaman, Varietas Ciherang (Varietas unggul) dan Kulit Bawang
(unggul lokal). Sistem tanam jajar legowo untuk varietas Inpara 3 dan Batang
Piaman (Depatemen Pertanian, 2009), tandur jajar varietas Ciherang dan Kulit
Bawang.

Data primer varietas Inpara 3 dan Batang Piaman diambil dari hasil
kajian VUB, sedang data primer varietas Ciherang bersumber dari hasil SL-PTT
dan data varietas lokal (Kulit Bawang) bersumber dari petani di kawasan kajian
VUB.

Metode analisis yang diterapkan adalah imbangan penerimaan dan


biaya (B/C)ratio, dengan rumus sebagai berikut: analisis kelayakan usahatani
dilakukan menggunakan rumus (Soekartawi, 1995), tujuan analisis ini untuk
melihat perbandingan (nisbah) penerimaan dan biaya dari masing-masing
varietas. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usahatani, digunakan analisis
imbangan penerimaan dan biaya atau B/C ratio, A = R/C, R=Py.Y,
C={(Py.Y)/(FC+VC)}
Dimana : R = penerimaan C = biayaPy = harga outputY = output
FC = biaya tetap VC = biaya variabe

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi dan Permasalahan Lahan rawa

Lahan rawa lebak terjadi karena rejim airnya dipengaruhi topografi dan
hujan setempat dan mempunyai topografi relatif rendah atau cekung (Irianto,
2006). Rejim airnya fluktuatif dan sulit diduga (Van Mensvoort 1996 dalam

240
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Ananto, dkk., 1998; Achmadi dan Irsal Las, 2006). Lahan rawa lebak memiliki
potensi besar dan merupakan salah satu pilihan strategis sebagai sumber
pertumbuhan produksi pertanian terutama tanaman pangan, antara lain padi
(Purwanto, S., 2006).

Karakteristik Usahatani Padi di Lahan Rawa

Lahan rawa lebak di kabupaten Muaro Jambi umumnya ditanami padi


satu kali dalam setahun. Untuk lebak dangkal sebagian petani sudah
menggunakan varietas unggul, sedang untuk lebak tengahan dan dalam petani
memggunakan varietas lokal seperti Kuatik, Kuli Bawang, Jarum Mas, Senapi,
dll. Varietas-varietas tersebut berumur panjang lebih dari enam bulan. Sehingga
dalam setahun hanya bisa menanam 1 kali (IP 100). Produktivitas rata-rata
dibawah 5 ton/ha.

Penggunaan VUB merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan


produktivitas padi dilahan rawa (Tabel 1).

Tabel 1. Produktivitas VUB Inapara 3, Batang Piaman, Ciherang dan Kulit


Bawang (lokal) di Kabupaten Muaro Jambi
Beda Produksi (t/ha)
No. Varietas Produksi (t/ha) VUB dengan Kulit
Bawang
1. Inpara 3 6,19 2,07
2. Batang Piaman 9,00 4,88
3. Ciherang 5,53 1,41
4. Kulit Bawang 4.12 -

Penggunaan varietas unggul seperti Ciherang dan varietas lokal seperti


Kulit Bawang sudah terlalu lama dikembangkan oleh petani secara perlahan-
lahan harus digantikan dengan VUB. Sistem tanam jajar legowo meningkatkan
produksi dibanding sistem tanam tandur jajar, karena sistem jajar legowo
meningkatkan populasi tanam per satuan luas dan juga pengaruh tanaman
pinggir.
Dari empat varietas yang dikaji varietas Inpara 3 dan Batang Piaman
menghasilkan produksi lebih tinggi dibanding kedua varietas lokal. Varietas
Batang Piaman menghasil produksi paling tinggi dibanding varietas lainnya dan
berbeda 118,45% dibanding apabila petani menggunakan varietas Kulit
Bawang. Selain perbedaan produksi cukup tinggi antara petani yang
menggunakan VUB dan varietas lokal, umur varietas lokal jauh lebih panjang
(berkisar 5-6 bulan) dibanding VUB yang berumur 3-4 bulan. Indek pertanaman
(IP) di lokasi kajian masih 100 (1 kali penanaman dalam setahun) baik petani
yang menggunakan VUB maupun petani yang menggunakan varietas lokal.
Petani yang menggunakan VUB berpeluang untuk meningkatkan IP dari 100
menjadi 200, namun petani tidak mau mengambil risiko kegagalan panen
akibat serangan hama terutama burung dan tikus dan penyakit apabila
menanam dua kali dalam setahun.

241
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Analisis Anggaran Parsial


Analisis anggaran parsial (Partial Budget Analysis) merupakan analisis
finansial yang paling sederhana dalam evaluasi kelayakan suatu teknologi
usahatani. Struktur biaya dan pendapatan dari usahatani tersebut adalah
seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Anggaran Parsial Sederhana Usahatani Padi Varietas Inpara
3, Batang Piaman, Ciherang, Kulit Bawang
Varietas dan sistem tanam
Batang Ciherang
No. Uraian Inpara 3 Kulit Bawang
Piaman (Tandur
(Jarwo) (Tandur jajar)
(Jarwo) jajar)
A. Komponen Biaya
(Rp/ha/musim)
1. Sewa traktor (borongan) 2.0000 800.000 2.000.000 2.000.000
Total biaya sewa 2.0000 800.000 2.000.000 800.000
2. Tenaga kerja :
Mencangkul 300.000 0 300.000 300.000
Membuat persemaian 200.000 0 200.000 200.000
Mencabut benih 160.000 0 160.000 160.000
Menanam : ( HKW a Rp 1.000.000 1.600.000 1.000.000 1.000.000
40.000)
( HKP a Rp 250.000 0 250.000 200.000
50.000)
Memupuk 125.000 150.000 125.000 125.000
Menyiang I + II 1.200.000 800.000 1.200.000 800.000
Menyemprot 180.000 250.000 180.000 180.000
Panen 480.000 900.000 480.000 700.000
Merontok 1.857.000 2.077.000 1.659.000 1.100.000
Total biaya tenaga kerja 5.752.000 5.777.000 5.554.000 4.765.000
3. Bahan
Benih 200.000 160.000 200.000 0
Pupuk : Urea 360.000 330.000 360.000 220.000
Pupuk SP 36 260.000 0 260.000 0
Pupuk KCl 380.000 570.000 380.000 0
Pupuk kendang 420.000 0 420.000 0
Pupuk cair 300.000 0 300.000 0
Pestisida/pestisida nabati 15.000 400.000 15.000 15.000
Ponska 0 260.000 0 260.000
Dolomit 0 250.000 0 0
Cair 70.000 70.000 0
Herbisida 393.600 393.600 320.000
Total biaya bahan 2.398.600 1.970.000 2.398.600 815.000
4. Total biaya (1+2+3) 10.150.600 8.547.000 9.952.600 6.380.000
B. Komponen Pendapatan
(Rp/ha/musim)
Produksi (kg) 6.190 9.000 5,530 4.120
Penerimaan 21.665.000 27.000.000 19.355.000 12.360.000
C. Keuntungan financial atas 11.514.400 18.453.000 9.402.400 5.980.000
biaya total (B-A.4)
D. B/C atas biaya total 1,13 2,16 1,21 0,94
R/C atas biaya total 2,13 3,16 2,21 1,94
catatan : harga Gabah Kering Panen (GKP) varietas Batang Piaman dan pada
saat panen Rp 3.000,-/kg, sedang harga GKP varietas Inpara 3,
Ciherang Rp 3.500,- kg. Berbedanya harga jual gabah disebabkan
oleh perbedaan waktu panen.
Secara ekonomi varietas Batang Piaman dan Inpara menguntungkan
dan layak untuk dikembangkan. Varietas Inpara 3 disamping menguntungkan

242
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

secara ekonomi, varietas ini diciptakan spesifik untuk lahan rawa dan tahan
terhadap genangan apabila terjadi banjir. Varietas Batang Piaman spesifik
untuk lahan irigasi dan apabila ditanam di lahan rawa dangkal dapat
memberikan produksi cukup tinggi dibanding varietas Ciherang dan Kulit
Bawang.
Sistem Tanam
Sistem tanam tandur jajar sudah berkembang semenjak petani
menanam padi dan telah terlaksana secara turun temurun. Sistem tanam jajar
legowo didemontrasikan di lahan petani bersama petani semenjak tahun 2012
terutama dalam pelaksanaan kegiatan displai VUB. Petani masih sulit
menerima sistem tanam jajar legowo tersebut, disebabkan : 1) petani belum
terbiasa sehingga membutuhkan waktu tanam lebih lama, 2) biaya/upah tanam
relatif lebih mahal, 3) sulit dilakukan karena untuk meluruskan barisan tanaman
padi petani harus memindahkan tali.
Dari hasil uji adaptasi ini terlihat bahwa varietas Inpara 3 dan Batang
Piaman yang ditanam dengan system jajar legowo memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan varietas Ciherang dan Kulit Bawang. Setelah petani
melihat dan mencoba sendiri sistem tanam jajar legowo pada varietas Inpara 3
dan Batang Piaman, maka petani merasakan adanya tambahan jumlah rumpun
panen, berkurangnya serangan hama tikus dan keong mas, mudah melakukan
pemeliharaan seperti memupuk susulan dan penyiangan.

Upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan adopsi system


tanam jajar legowo dalam rangka peningkatan produktivitas adalah melalui
penggunaan alat tanam sistem jajar legowo seperti Indo Jarwo Transplater.
Alat ini akan mampu menghemat tenaga kerja dan biaya sehingga input
produksi bisa dikurangi yang akhirnya efisiensi usahatani tercapai.

KESIMPULAN
1. Varietas unggul baru merupakan salah satu faktor penentu dalam
peningkatan produksi dan pendapatan petani. Varietas Batang Piaman dan
Inpara 3 menghasil produksi lebih tinggi 4,88 dan 2,07 ton/ha dibanding
produksi varietas lokal Kulit Bawang dan Ciherang. Potensi hasil varietas
Ciherang lebih tinggi dibanding potensi hasil Inpara 3 namun pada hasil
kajian ini produksi varietas Ciherang lebih rendah dari pada produksi
varietas Inpara 3.
2. Secara ekonomis penggunaan VUB seperti varietas Batang Piaman, Inpara
3 dan Ciherang menguntungkan dibanding menggunakan Kulit Bawang.
Hasil analisis usahatani sederhana menunjukkan bahwa B/C keempat
varietas tersebut adalah 2,16, 1,13, dan 1,21 lebih tinggi dibanding B/C
varietas Kulit Bawang yaitu 0,94.
3. Sistem jajar legowo secara manual (tanpa alat) belum banyak diadopsi oleh
petani, antara lain disebabkan biaya tanam relatif besar dan waktu tanam
relatif lama, sulit dilakukan karena untuk meluruskan barisan tanaman
harus menggunakan tali.

243
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi dan Irsal Las, 2006. Inovasi Teknologi Pengembangan Pertanian


Lahan Rawa Lebak. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi dan
Pengembangan Terpadu Lahan Rawa Lebak . Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa (Balittra).
Adi,A., 2003. Menghapus Trauma Kegagalan PLG Satu Juta Hektar. Tabloid
Sinar Tani.
Ananto, E.E., H Subagyo, Inu G Ismail, Uka Kusnadi, trip Alihamsyah, Ridwan
Thahir, Hermanto, Dewa KS Swastika, 1998. Prospek Pengembangan
Sistem Usaha Pertanian Modern di Lahan Pasang Surut Sumatera
Selatan. Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan
Pasanga Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Departemen Pertanian. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Departemen
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Hendayana,R., Deri Hidayat, Isbandi, Yuwono, Nur Indah Minsyah. 1998.
Pengkajian Pemasaran Dan Distribusi Hasil Pertanian Lahan Rawa
Pasang Surut Sumatera Selatan. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian
Puntikayu. Badan Litbang Pertanian.
Herawati, Tati;Wayan Suastika; Zakiah; Amirzal Yusuf; Nono Sutrisno; Nurjaya;
Dedin Kusnaedi Umat; Mansyur Dyajusman; Adi Hermawan. 1995.
Karakterisasi Wilayah Pengembangan Sistem Usahatani Lahan
Pasang Surut di Desa Bunga Raya dan Harapan Jaya, Riau. Proyek
Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu –ISDP. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Irianto, G., 2006. Kebijakan dan Pengelolaan Air Dalam Pengembangan Lahan
Rawa Lebak. Dalam Muhammad Noor, dkk. Penyunting. Pengelolaan
Lahan Terpadu. Prosiding Seminar Nasional. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru.
Ismail, IG, Trip Alihamsyah, IPG Wijaya Ali, Suwarno, Tati Herawati, R. Thahir,
D.E. Sianturi. 1993. 1985-1993 Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan
Rawa : Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Penelitian
Lahan Pasang Surut dan Rawa – SWAMPS II.
Soekartawi, 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia. Jakarta
Suprihatno, B., 2007. Peta Jalan Perakitan dan Pengembangan Varietas
Unggul Hibrida Tipe Baru Menuju Sistem Produksi Padi Berkelanjutan.
Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pemuliaan Tanaman. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Departemen Pertanian.
Suriadikarta, DA dan Mas Teddy Sutriadi, 2007. Jenis-Jenis Lahan Berpotensi
Untuk Pengembangan Pertanian Di Lahan Rawa. Jurnal Litbang
Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

244
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KERAGAAN VARIETAS PADI SAWAH TAHAN GENANGAN (PSTG) DI


DAERAH RAWAN BANJIR KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT
Nurnayetti dan Budiman
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayuambon No. 80 Lembang
Email : nurnayetti@yahoo.com

ABSTRAK
Kajian dilaksanakan di Kecamatan Sukakarya pada musim hujan tahun
2014. Kegiatan dilaksanakan di lahan petani dan varietas yang diuji adalah
Inpara 2, Inpara 4 dan Inpara 5. Data dianalisis secara matematik sederhana
dan deskriptif, yang ditampilkan dalam bentuk tabel. Hasil studi
memperlihatkan bahwa varitas PSTG yang lebih mampu beradaptasi dengan
kondisi lahan terkena serangan banjir adalah varietas Inpara 4, disusul oleh
Inpara 2 dan Inpara 5. Data rata-rata jumlah anakan produktif varietas Inpara
4, Inpara 2 dan Inpara 5 berturut-turut 35,5; 28,6; dan 22,8 btg/rpn. Demikian
juga dengan data rata-rata komponen produksi panjang malai berturut-turut
25,6; 24; dan 23,3 cm, dan jumlah gabah isi per malai berturut-turut 211,3;
184,3; dan 175,3 butir/malai, serta jumlah gabah hampa per malai yaitu
berturut-turut 10,0; 12,3; dan 15,0 butir/malai. Selanjutnya untuk data hasil dan
bobot 1000 butir juga lebih unggul varietas Inpara 4, disusul oleh Inpara 2 dan
Inpara 5, dimana data rata-rata hasil per hektarnya berturut-turut 7,8; 5,9; dan
5,3 ton/ha, sementara data rata-rata bobot 1000 butir adalah berturut-turut
adalah 27,03; 25,06; dan 24,20 gram. Dengan begitu dapat direkomendasikan
bahwa varietas yang tepat untuk dikembangkan didaerah rawan banjir
Kabupaten Bekasi adalah varietas Inpara 4.
Kata Kunci: VUB, produktifitas, Padi Sawah Tahan Genangan, rawan banjir

PENDAHULUAN
Kabupaten Bekasi mempunyai permasalahan pengurangan lahan
sawah yang laju pengurangannya sangat pesat setiap tahunnya, terutama
sekali dibagian utara banyak beralih fungsi menjadi pabrik-pabrik dan
pemukiman, sehingga luasan lahan sawah sudah menjadi semakin sempit, saat
ini tercatat seluas 52.966 hektar (BPS, 2013). Selain itu karena system
drainase yang buruk dan juga berkurangnya lahan-lahan perembesan, maka
pada musim kering terjadi kekeringan dan pada musim hujan terjadi kebanjiran.
Pada tahun 2014 terjadi kerusakan akibat banjir terhadap sawah seluas
11.482,5 dan persemaian seluas 144,6 ha. Bencana banjir ini bukan saja
mengakibatkan kegagalan panen tetapi juga mewabahnya serangan hama dan
penyakit. Untuk itu penggunaan teknologi varietas unggul baru yang toleran
genangan/banjir sangat dianjurkan.
Varietas unggul diyakini sebagai salah satu teknologi inovatif yang
handal untuk meningkatkan produktivitas padi, baik melalui peningkatan
potensi atau daya hasil tanaman maupun toleransi dan atau ketahanannya
terhadap cekaman biotik dan abiotik. Sumarno (2013) menyusun 16 kriteria
pertanian modern yang ditinjau dari aspek produksi, penggunaan benih
bermutu varitas unggul diletakkan pada poin pertama, karena secara nyata

245
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dapat meningkatkan produksi. Menurut Balitpa (2004) dan Nugraha, (2001),


varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi inovatif yang
mampu memberikan sumbangan nyata terhadap keberhasilan peningkatan
produksi sawah di Indonesia sebesar 56,1% pada dekade 1970-2000. Adopsi
varietas unggul meningkat tajam dari 11% areal padi sawah tahun 1969-1970
menjadi 66% tahun 1979-1980 dan 90% tahun 1989-1990 (Jatileksono, 1998),
peningkatan adopsi varietas unggul ini perlu diiringi dengan ketersediaan benih
yang cukup. Diantara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian, varietas
unggul memberikan sumbangan yang nyata terhadap peningkatan produksi
padi, interaksi antara komponen teknologi varietas unggul, pemupukan dan
irigasi akan mampu memberikan sumbangan peningkatan hasil mencapai 75%
(Ruskandar, 2007).
Oleh sebab itu uji pengembangan varitas unggul baru tahan genangan
yang dilaksanakan dalam bentuk Display Varitas, perlu dilaksanakan di
Kabupaten Bekasi, untuk mencari varitas yang toleran di daerah rawan banjir,
sesuai dan cocok untuk dikembangkan untuk mendukung peningkatan produksi
padi sawah di Kabupaten Bekasi. Tujuan dari studi adalah untuk menguji daya
adaptasi ketiga varietas terhadap keadaan banjir/genangan yang terjadi setiap
tahunnya di Kabupaten Bekasi. Kemudian juga merekomendasikan varitas
yang cocok untuk daerah rawan banjir di Kabupaten Bekasi, disamping itu juga
mendesiminasikan komponen teknologi PTT yang sesuai dengan lokasi.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan di daerah rawan banjir Kecamatan Sukakarya
Kabupaten Bekasi pada tahun 2014. Pemilihan lokasi dan responden secara
sengaja (purposive), dengan pertimbangan daerah tersebut sawahnya paling
rawan banjir setiap musim hujan sepanjang tahun. Tabel 1 dibawah
memperlihatkan luas serangan banjir dan merusak pertanaman dan
persemaian di Kabupaten Bekasi pada tahun 2014 dan 2015.
Tabel 1. Data luas pertanaman dan persemaian padi sawah yang rusak terkena
banjir di Kabupaten Bekasi Jawa Barat
Luas (Ha)
No. Tahun
Pertanaman Persemaian
1. 2014 11.482,5 144,6
2. 2015 511 398

Kegiatan dilaksanakan di lahan sawah petani dengan luas 0,5 ha. Pada
lahan tersebut ditanam 3 macam varietas yaitu Inpara 2, Inpara 4 dan Inpara 5,
dalam bentuk Display Varietas. Untuk pembanding diambil varietas yang
ditanam oleh petani sekitar. Teknologi yang diterapkan adalah komponen
dasar dan pilihan yang terdapat dalam model pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) padi sawah. Parameter yang akan diukur adalah pertumbuhan
vegetative seperti tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif per rumpun,
kemudian produksi dan komponen produksi seperti panjang malai, jumlah
gabah isi dan gabah hampa per malai serta produktifitas per hektar.

246
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Analisis data dilakukan dengan cara membandingkan baik sesama


varietas maupun dengan varietas petani, kemudian dianalisis secara deskriptif
dan matematik sederhana. Hasil analisis ditampilkan secara deskriptif dan
tabulasi silang dan grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan kegiatan yaitu menguji varietas unggul baru padi
sawah tahan genangan, maka pertanaman dilaksanakan pada musim hujan.
Pada saat pelaksanaan kegiatan tanaman sempat terendam banjir terus
menerus selama 1 bulan, pada umur 1 bulan setelah tanam. Selanjutnya akibat
banjir tersebut terjadi endemi serangan tikus diwilayah tersebut, yang membuat
banyak petani gagal panen. Beberapa petani melaksanakan panen muda
terhadap sisa tanam yang masih selamat dari serangan tikus. Dari tekanan
lingkungan seperti hal tersebut, hasil pengkajian memperlihatkan bahwa dari
ketiga varietas yang diuji, ketiganya mampu bertahan dalam tekanan banjir
selama 3 minggu berturut-turut. Tetapi menghadapi serangan tikus, hanya
varietas Inpara 4 yang tahan, dimana sampai panen hanya terkena serangan
5%. Sementara varietas Inpara 2 terkena serangan 40% dan Inpara 5 adalah
60%. Dari pengamatan lapangan tersebut menyebabkan petani-petani yang
sawahnya berada disekitar petak display, meminta padi hasil panen varietas
Inpara 4 untuk benih pertanaman mereka musim tanam berikutnya. Mulai dari
persemaian mereka sudah mengamati bahwa varietas Inpara 4 sudah terlihat
kuat dan warnanya lain dari padi kebanyakan, yaitu hijau tua agak kebiruan
seperti daun bawang sehingga padi Inpara 4 tersebut mereka sebut ‘padi
bawang’.
Dari pengamatan rata-rata tinggi tanaman terlihat bahwa yang paling
tinggi adalah varietas Inpara 4 (101,3 cm), disusul oleh Inpara 5 (92,0 cm) dan
Inpara 2 (89,0 cm) (Tabel 2).
Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif tanaman padi
pada Display Varietas Padi Sawah Tahan Genangan di Kecamatan
Sukakarya, Kabupaten Bekasi tahun 2015.
No Varietas Tinggi Tanaman (cm) Jl. Anakan produktif (btg/rpn)
1 Inpara 2 89,0 28,6
2 Inpara 4 101,3 35,5
3 Inpara 5 92,0 22,8

Selanjutnya terlihat rata-rata panjang malai tidak berbeda nyata antara


ketiga varietas, tetapi malai yang terpanjang adalah varietas Inpara 4 (Tabel 3).
Tabel 3. Keragaan panjang malai, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa
tanaman tanaman padi pada Display Varietas Padi Sawah Tahan
Genangan di Kecamatan Sukakarya, Kabupaten Bekasi tahun 2015.
Panjang malai Jl. Gabah isi Jl. Gabah hampa
No Varietas
(cm) (btr/malai) (btr/malai)
1 Inpara 2 24,0 184,3 12,3
2 Inpara 4 25,6 211,3 10,0
3 Inpara 5 23,3 175,3 15,0

247
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kemudian dari data rata-rata jumlah gabah isi terlihat bahwa varietas
Inpara 4 paling tinggi (211,3 btr/malai) disusul oleh varietas Inpara 2 (184,3
btr/malai) dan Inpara 5 (175,3 btr/malai). Tetapi kalau kita bandingkan dengan
deskripsi terlihat bahwa varietas Inpara 4 juga paling tinggi jumlah gabah per
malai nya dibanding kedua varietas lainnya, dibanding dengan varietas Inpara
5 lebih tinggi 77 butir/malai. Selanjutnya mengenai jumlah gabah hampa terlihat
tidak berbeda nyata antara ketiga varietas dan juga jumlah gabah hampanya
pun tidak terlalu banyak, dari ketiga varietas yang paling sedikit adalah varietas
Inpara 4, makin meningkat disusul oleh varietas Inpara 2 dan Inpara 5.
Tetapi sebetulnya di deskripsi varietas Inpara 4 (94 cm) adalah paling
rendah dari Inpara 2 (103 cm) dan Inpara 5 (115 cm). Hal ini mungkin
disebabkan karena tanaman sudah mendapat serangan tikus semenjak fase
vegetative sehingga sebelum berbunga varietas Inpara 5 sempat 3 kali disabit
daunnya dan Inpara 2 satu kali. Kemudian apabila kita lihat data rata-rata
jumlah anakan produktif terlihat bahwa jumlah anakan ketiga varietas berbeda
nyata, yaitu Inpara 4 (35,5 btg/rpn), Inpara 2 (28,6 btg/rpn) dan Inpara 5 (22,8
btg/rpn), dan yang paling tinggi adalah varietas Inpara 4. Dan apabila
dibandingkan dengan deskripsi (18 btg/rpn) terdapat jumlah anakan yang
hampir dua kali lipat.

Berpedoman pada data komponen hasil pada Tabel 3 diatas, dapat


dinyatakan bahwa hasil per hektar varietas Inpara 4 jauh lebih tinggi dari dua
varietas lainnya (Tabel 4).

Tabel 4. Keragaan hasil dan bobot seribu butir padi pada Display Varietas Padi
Sawah Tahan Genangan di Kecamatan Sukakarya, Kabupaten
Bekasi tahun 2015.
No Varietas Hasil (ton/ha) Bobot 1000 butir (gr)
1 Inpara 2 5,9 25,06
2 Inpara 4 7,8 27,03
3 Inpara 5 5,3 24,20
Catatan: Varietas Inpara 2 terkena serangan tikus 40%, varietas Inpara 5
terserang 60% dan varietas Inpara 4 terserang 5%.

Pada Tabel terlihat hasil varietas Inpara 4 adalah 7,8 ton/ha, disusul
oleh varietas Inpara 2 (5,9 ton/ha) dan Inpara 5 (5,3 ton/ha). Disamping itu juga
lebih tinggi dari rata-rata hasil deskripsi (7,6 ton/ha) dan hasil padi sawah petani
di lokasi. Petani disana biasanya menggunakan varietas Ciherang dengan rata
hasil 4 ton/ha dan Inpari 13 dengan rata-rata hasil 5 ton/ha. Tingginya hasil
pada petak display mungkin karena menerapkan komponen teknologi PTT.

Kemudian rendahnya hasil varietas Inpara 2 dan Inpara 5 mungkin


disebabkan karena serangan tikus yang cukup parah, pada hal di deskripsi
kemampuan hasil ketiga varietas hampir sama. Dari data tersebut dapat
dinyatakan bahwa varietas Inpara 4 lebih tepat direkomendasikan untuk
dikembangkan di daerah rawan banjir Kabupaten Bekasi. Apalagi varietas

248
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Inpara 4 juga cukup ampuh dalam menghadapi serangan tikus yang memang
endemi setiap tahun di Kabupaten Bekasi ini. Selanjutnya apabila kita lihat data
rata-rata bobot 1000 butir terlihat tidak berbeda nyata antara ketiga varietas,
tetapi varietas Inpara 4 tetap lebih unggul dari kedua varietas lainnya.
Selanjutnya pada tabel terlihat bahwa hasil varietas Inpara 2 lebih tinggi
hasilnya daripada Inpara 5, pada hal di deskripsi lebih tinggi potensi hasil
varietas Inpara 5 (7,2 ton/ha) dari pada Inpara 2 (6,08 ton/ha). Hal ini mungkin
disebabkan karena varietas Inpara 5 lebih rentan terhadap serangan tikus
daripada varietas Inpara 2

KESIMPULAN
Dari hasil pengkajian, dapat diambil kesimpulan:
1. Dari hasil rata-rata pengamatan pertumbuhan vegetatif terlihat bahwa
varietas Inpara 4 paling unggul dibanding varietas Inpara 2 dan Inpara 5.
Hasil rata-rata tinggi tanaman bervariasi dan tidak berapa jauh berbeda
dengan rata-rata deskripsi.
2. Demikian juga untuk rata-rata komponen produksi ternyata hasil tertinggi
juga dicapai oleh varietas Inpara 4, tetapi secara umum rata-rata ketiga
varietas yang diuji angkanya jauh melebihi rata-rata pada deskripsi.
3. Untuk data rata-rata bobot 1000 butir varietas Inpara 4 paling unggul, tetapi
tidak berbeda nyata dengan Inpara 2 dan Inpara 5, tetapi untuk rata-rata
hasil varietas Inpara 4 jauh lebih tinggi dari varietas Inpara 2 dan Inpara 5.
Disamping itu varietas Inpara 4 jauh lebih tahan terhadap serangan tikus
(kurang disukai oleh tikus), berdasarkan hal tersebut varietas Inpara 4 ini
tepat direkomendasikan untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Bekasi,
karena lebih cocok dan sesuai dengan lingkungan fisik dan agronomis
setempat.

DAFTAR PUSTAKA
Balitpa. 2004 Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi dan
Kesejahteraan Petani. 23 hal.
Biro Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Bekasi Dalam Angka.
Jatileksono, T. 1998. Impact of Rice Researh and Technology Dissemination
inIndonesia. In: Pingali P, L and M. Hossain. Impact of Rice Research.
TDRI And IRRI.
Nugraha, US.2001. Review Legislasi Kebijakan dan Kelembagaan
PembangunanPerbenihan. Makalah Seminar dan Peluncuran Buku
Restrospeksi Perjalanan Industri Benih di Indonesia, 22 Mei 2001.
Ruskandar A. 2007. Penyebaran varietas Unggul Baru di Jawa Barat. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 29 (3).
Sumarno. 2013. Evolusi Kemajuan Usaha Pertanian Tanaman Pangan
dalam Diversivikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian.
Buku Bunga Rampai Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. IAARD Press.

249
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESESUAIAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI GOGO DENGAN


PENDEKATAN PTT DI KABUPATEN SARMI, PAPUA

Petrus A Beding1), Rohimah S HL1), dan Siti Fatimah Batubara2

1)
Balai Pengakajian Teknologi Pertanian Papua
Jl. Yahimsentani. 49, Jayapura Papua
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A. H Nasution No. 1 B, Medan Sumatera Utara
Email peter.beding@yahoo.com

ABSTRAK

Peluang pengembangan pertanian di lahan kering di Kabupaten Sarmi


cukup besar, baik dari segi potensi maupun peluang peningkatan produktivitas
melalui penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi gogo. Kegiatan
ini dilaksanakan di lahan kering Kampung Mawes Mukti, Distrik Bonggo,
Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua, pada bulan April sampai Oktober 2015,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) diulang empat kali. Sebagai
perlakuan adalah 5 varietas unggul baru padi gogo yaitu Inpago 7, Inpago 8,
Inpago 9, Towuti, dan Situ Patenggang. Pengkajian bertujuan untuk mengkaji
kesesuian varietas unggul baru padi gogo melalui pendekatan PTT. Adapun
komponen PTT yang diterapkan disesuaikan dengan permasalahan, keinginan
dan kondisi lingkungan fisik maupun sosial ekonomi petani. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa produksi tertinggi diperoleh dari varietas Situ Patengang
(3,50 t/ha) dan terendah varietas Inpago 7(1,20 t/ha). Varietas Situ
Patenggang dan Inpago 9 mempunyai prospek kedepan dan menjadi alternatif
untuk pengembangan padi gogo di Kabupaten Sarmi.
Kata Kunci: PTT, padi gogo, varietas unggul

PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas stategis yang bernilai sosial, politik dan
ekonomi, karena merupakan bahan makanan pokok. Oleh karena itu upaya
peningkatan produktivitas komoditas pangan ini mendapat prioritas yang lebih
tinggi. Salah satu inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian adalah
Variatas Unggul Baru. Sampai saat inivarietas unggul yang dilepas yang
dihasilkan oleh Lembaga di Indonesia, 85 % diantaranya produk Badan Litbang
Pertanian (Yahumuri dkk, 2015)
Varietas Unggul Baru (VUB) mempunyai peranan penting dalam upaya
peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan petani. Tiap wilayah
memerlukan varietas yang spesifik, karena tidak semua varietas mempunyai
tingkat kesesuaian yang baik di seluruh lokasi. Pengunaan benih unggul
dilapangan oleh masyakat relatif masih terbatas. Menurut Daradjad dkk.
(2008), benih padi yang digunakan oleh masyakat lebih dari 60 persen berasal
dari sektor informal yaitu berupa gabah yang disisihkan dari sebagian hasil

250
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

panen musim sebelumnya yang dilakukan berulang-ulang, hal ini berarti petani
belum merespon benih unggul padi dengan baik.
Keberhasilan peningkatan produksi padi tidak terlepas dari ketersedian
varietas unggul dan adopsi teknologi. Pengunaan varietas unggul padi yang
berdaya hasil tinggi, reponsif terhadap pemupukan dan tahan terhadap hama
utama disertai dengan perbaikan teknik budidaya telah terbukti dapat
meningkatkan produktivitas, efisensi produksi dan kecukupan pangan
(Nugraha.dkk. 2007). Tingkat produktivitas padi di kabupaten Sarmi masih
rendah hal ini dikarenakan komponen PTT padi seperti varietas unggul padi
gogo belum sepenuhnya diadopsi oleh petani.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu adanya terobosan
upanya peningkatan produktivitas tanaman padi dengan memanfaatkan lahan
kering yang masih tersedia melalui penekanan penerapan inovasi teknologi
pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Dalam penerapan inovasi
teknologi melalui pendekatan PTT, tidak hanya penggunaan varietas unggul,
akan tetapi perlu dibarengi dengan teknik budidaya yang benar dan spesifik
lokasi. Selain itu pendekatan yang dilakukan yaitu dengan menerapkan
komponen yang dapat diaplikasikan sesuai kondisi setempat, efisiensi input
produksi yang memperhatikan penggunaan sumberdaya alam secara
bijaksana, sehingga hasil padi meningkat yang pada akhirnya pendapatan
petani juga dapat meningkat (Dirjentan. 2007). Sawah irigasi merupakan fokus
lahan andalan bagi produksi padi nasional, dengan tingkat produktivitas padi
sawah mencapai 5,68 t/ha, sedangkan sumbangan lahan kering atau padi gogo
masih sangat terbatas 2,44 t/ha. Rata-rata produksi nasional selama 5 tahun
terakhir (2000-2004) mencapai 52,01 juta ton, dari produksi tersebut
sumbangan padi gogo hanya sebesar 2,699 juta ton (5,2%) (Roesmarkam dkk.
2009). Kabupaten Sarmi merupakan salah satu sentra pengembangan
tanaman pangan, khususnya padi gogo di Provinsi Papua. BPTP Papua (2008)
melaporkan terdapat seluas 134.631 ha yang sesuai untuk pengembangan
tanaman pangan, termasuk padi gogo di Kabupaten Sarmi.

Pengembangan padi gogo dengan penerapan PTT di lahan kering dapat


menjadi salah satu solusi dalam menghadapi masalah ketahanan pangan,
karena berpeluang dapat meningkatkan produktivitas padi. Menurut Toha
(2007) paket utama PTT padi gogo menyangkut aspek penggunaan benih
bermutu, varietas unggul yang adaptif, cara tanam dan pengaturan populasi,
penggunaan bahan organik, pengaturan dosis dan cara pemberian pupuk
(pemupukan N berdasarkan bagan warna daun (BWD), pemupukan P dan K
berdasarkan status hara tanah (mengikuti rekomendasi pemupukan). Dengan
menerapkan PTT padi gogo, terutama komponen varietas unggul baru yang
sesuai, diharapkan dapat mempercepat adopsi teknologi oleh petani lahan
kering, mempercepat peningkatan produksi dan pendapatan petani.
Pengkajian ini bertujuan mengkaji kesesuian VUB padi gogo melalui
pendekatan PTT padi gogo.

251
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE


Pengkajian dilaksanakan di Kampung Mawes Mukti, Distrik Bonggo,
Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua, pada bulan April 2015 – Oktober 2015,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) diulang empat kali. Sebagai
perlakuan adalah 5 varietas unggul baru padi gogo yaitu Inpago 7, Inpago 8,
Inpago 9, Towuti, dan Situ Patenggang. Pemupukan terdiri dari 200 kg Urea/ha,
100 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha. Pemeliharaan tanaman seperti
pengendalian organisme pengganggu tanaman dilakukan secara optimal dan
disesuaikan dengan kondisi lapang berdasarkan prinsip pengendalian hama
terpadu (PHT). Penyiangan dilakukan dua kali yaitu pada umur 14 HST dan 35
HST. Pengamatan dilakukan terhadap komponen pertumbuhan dan komponen
hasil seperti tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah malai/rumpun,
jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai,panjang malai, dan hasil
gabah kering giling/ha. Tiap petak diamati sebanyak 10 rumpun yang diambil
secara acak sistematis. Data-data dianalisis menggunakan sidik ragam dan uji
DMRT taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keadaan umum daerah pengkajian
Kabupaten Sarmi merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi
Papua. Secara geografis, Kabupaten Sarmi terletak di pantai Utara Provinsi
Papua, pada posisi koordinat 138º05′ – 140º30′ BT dan antara 1º35′ – 3º35′ LS
dengan batas-batas sebagai berikut sebelah Utara berbatasan dengan
Samudera Pasifik, sebelah Selatan dengan Kabupaten Membramo Raya, sebelah
Barat dengan Tolikara dan sebelah Timur dengan Kabupaten Jayapura.
Kabupaten Sarmi mempunyai luas wilayah 13.965 km2 terbagi 10 distrik. Wilayah
terluas terdapat pada Distrik Senggi 2.767 km2 (23,04%).
Kondisi wilayah kabupaten Sarmi, yaitu lebih dari setengah bagian
wilayahnya (52,3%) merupakan dataran rendah dengan ketinggian <100 m dpl
meliputi daerah Distrik Sarmi, Bonggo Sarmi Timur, Sarmi Selatan, Pantai
Timur Bagian Barat, Bonggo Timur,pantai Barat, dan pantai Timur sedangkan
seluas 38,53% berada pada ketinggian antara 100 m – 500 m dpl terdiri dari
Distrik pantai timur, pantai Timur bagian Barat, Apawer Hulu dan Tor Atas serta
sisanya 9,17% berada pada ketinggian >1.000 m dpl yaitu wilayah Distrik
Apawer Hulu.
Keragaan teknologi eksisting padi gogo
Salah satu faktor keberhasilan pengelolaan usahatani padi gogo
ditentukan melalui penggunaan input produksi. Penggunaan input produksi
yang optimal akan menghasilkan produksi yang maksimal dan pada akhirnya
memberikan keuntungan usahatani yang relatif tinggi. Dosis anjuran
penggunaan input produksi seperti pemupukan sudah diketahui petani, namun
pada prakteknya tidak seluruh petani menerapkan dosis anjuran. Belum
dilaksanakannya penggunaan dosis pupuk oleh petani lebih banyak

252
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

disebabkan oleh tingkat daya beli petani yang masih rendah. Hal ini
mengakibatkan produktivitas padi gogo berbeda antar petani, lokasi dan musim.
Dari hasil diskusi dengan petani dan penyuluh lapangan, usahatani padi
gogo yang dilaksanakan petani dengan kisaran luas garapan 0,50-1,0 ha (rata-
rata 0,75ha/petani). Petani masih menggunakan varietas yang tersedia di
lapangan, yang bersumberdari hasil panen sendiri dan benihnya berasal dari
bantuan pemerintah daerah dan varietas yang digunakan ini sudah digunakan
secara terus menerus selama lima tahun terakhir.
Petani hanya menggunakan pupuk an organik (pupuk buatan) dan
tidak ditemukan petani yang menggunakan pupuk organik untuk pertanaman
padi gogo. Pupuk an organik yang digunakan petani di masing-masing lokasi
relatif hampir sama yaitu menggunakan pupuk merek dagang Phonska
danUrea dengan takaran yang masih rendah yaitu 50 kg Phonska/ha dan 100
kg Urea/ha. Penggunaan dosis pupuk ini diduga masih jauh dari rekomendasi.
Menurut Rachman dkk. (1994) penggunaan pupuk Urea 135 kg+200 kg SP-
36+100 kg KCl/ha untuk padi gogo di lahan kering cukup baik untuk
meningkatkan hasil persatuan luas.
Jarak tanam yang digunakan petani adalah secara acak atau tidak
beraturan dengan kisaran 20x20 cm atau 20x25 cm. Jarak tanam yang
digunakan petani akan lebih menyulitkan dalam penyiangan dan pemupukan.
Soplanit dkk. (2013b) melaporkan sistem tanam jajar legowo memudahkan
dalam penyiangan dan pemupukan dan memberikan produktivitas lebih tinggi
dari sistem petani dengan sistem tanam secara acak atau tidak beraturan.
Petani menggunakan benih jauh lebih banyak dari anjuran yaitu kisaran
60 kg/ha, hal ini dikarenakan tingkat penggunaan benih yang tinggi dari
penggunaan benih rekomendasi (30-40 kg/ha), disebabkan ketidakyakinan
petani terhadap kualitas benihnya. Menurut Daradjad dkk. (2008), benih padi
yang digunakan oleh masyarakat lebih dari 60 persen berasal dari sektor
informal yaitu berupa gabah yang disisikan dari hasil panen musim sebelumya
yang dilakukan berulang-ulang.
Keragaan tinggi tanaman dan komponen hasil
Hasil analisis terhadap tinggi tanaman dan komponen hasil dari 5
varietas unggul padi gogo yang dikaji disajikan pada Tabel 1. Keragaan
pertumbuhan tanaman cukup beragam sesuai dengan sifat genetis dari masing-
masing varietas dan kondisi lingkungan. Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa perlakuan varietas memberikan pengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman dan komponen hasil. Pada Tabel 1 menunjukkan terdapat
perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 30 HST, dimana
secara rata-rata tinggi tanamantertinggi dimiliki oleh varietasInpago 8 (70,2 cm),
berbeda nyata dengan Situ Patenggang (59,9 cm), Inpago 7 (59,6 cm) dan
varietas Towuti (50,0 cm). Selanjutnya pada saat panen tinggi tanaman yang
tertinggi juga dimiliki oleh varietas Inpago 8 (132,0 cm), namun hanya berbeda
nyata dengan varietas Situ Patenggang (107, 4 cm) dan varietas Towuti (97,6

253
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

cm). Terhadap parameter jumlah anakan produktif menunjukkan bahwavarietas


Towuti mampu memberikan jumlah anakan produktif tertinggi (20,8 bt/rumpun),
namun hanya berbeda nyata dengan varietas Inpago 7 (15,2 bt/rumpun dan
Situ Patenggang (13,6 bt/rumpun). Panjang malai tertinggi didapat pada
varietas Inpago 9 (25,4 cm), namun hanya berbeda nyata dengan panjang
malai yang dimiliki oleh varietas Towuti (23,3 cm). Terhadap jumlah malai
menunjukkan bahwa varietas Inpago 7 memberikan jumlah malai trrtinggi (12,5
malai/rumpun) sedangkan yang terendah dijumpai pada varietas Situ
Patenggang sebanyak 8,3 malai/rumpun.
Tabel 1. Keragaan komponen pertumbuhan dan komponen hasil beberapa
varietas padi gogo.Kabupaten Sarmi 2015
Parameter pertumbuhan
Tinggi Tinggi Jumlah Panjang Jumlai
Perlakuan tanaman tanaman anakan malai malai
30 HST saat panen produktif (cm) (malai/rumpun)
(cm) (cm) (bt/rumpun)
Inpago 7 59,6a 124,8c 15,2a 28,20bc 12,5cd
Inpago 8 70,2c 132,0c 18,8ab 26,6b 12,7d
Inpago 9 69,2bc 123,8c 16,4ab 25,4abc 10,6b
Towuti 50.0a 97,6a 20,8b 23,3a 12,4cd
Situ 59,9ab 107,4b 13,6a 23,9ab 8,3a
Patenggang
*)Angka sekolom yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT 5%

Menurut Ramija dkk. (2010), bahwa berbeda tinggi tanaman dan jumlah
anakan yang dimiliki varietas adalah sifat genetis dari varietas itu sendiri.
Jumlah anakan akan maksimal apabila tanaman memiliki sifat genietis yang
baik ditambah dengan keadaan lingkungan yang menguntungkan untuk
pertumbuhan dan pekembangan tanaman.
Keragaan komponen hasil dan produksi
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas
unggul padi gogo memberikan perbedaan nyata terhadap jumlah gabah
isi/malai dan persentase gabah hampa/malai dan produksi GKG (Tabel 2).

Tabel. 2. Keragaan komponen hasil dan produksi beberapa varietas padi gogo.
Kabupaten Sarmi 2015
Parameter komponen hasil dan produksi
Perlakuan Jumlah gabah isi Persentase gabah Produksi
(btr/malai) hampa (%) GKG(t/ha)
Inpago 7 75,3b 27,5d 1,20a
Inpago 8 124,4d 20,8ab 3,07b
Inpago 9 72,9bc 11,8bc 3,20a
Towuti 32,5a 31,1a 1,30a
Situ 106,9d 27,5,cd 3,50b
Patenggang
*)Angka sekolom yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada uji DMRT 5%

254
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Rata-rata jumlah gabah isi/malai dari lima varietas yang diuji berkisar
antara 32,5–124,4 butir. Gabah isi/malai terbanyak diperoleh pada varietas
Inpago 8 (124,4 butir) namun tidak berbeda nyata terhadap varietas Situ
Patenggang. Rata-rata persentase gabah hampa dari semua varietas berkisar
antara 11,8–33,1%.Persentase gabah hampa termasuk rendah didapatkan
pada varietas Inpago 9 (11,8%), sedangkan persentase gabah hampa tertinggi
diperoleh pada varietas Towuti. Hasil gabah kering giling (GKG) berkisar antara
5,10-8,10 t/ha. Hasil GKG tertinggi sebesar 3,50 t/ha diperoleh oleh varietas
Situ Patenggang, kemudian diikuti oleh varietas Inpago 9 (3,20 t/ha) dan Inpago
8sebesar 3,07 t/ha. Sebagai akumulasi dari keunggulan sifat-sifat setiap
varietas unggul yang diuji dibuktikan dari produktivitas yang dicapai. Sirapa
dkk. (2007), melaporkan bahwa introduksi VUB yang didukung teknologi
mampu meningkatkan hasil kisaran 21-54%. Hal ini menununjukkan bahwa
pencapaian hasil suatu varietas unggul harus didukung oleh teknologi dan
lingkungan tumbuh yang optimal.

KESIMPULAN

Dari aspek produktivitas yang dicapai, tiga varietas unggul padi gogo yaitu Situ
Patenggang, Inpago 9, dan Inpago 8 dapat dikembangkan di Wilayah
Kabupaten Sarmi sehingga ketiga varietas tersebut berpeluang untuk alternatif
pergiliran varietas dan dapat menggantikan varietas lokal.

UCAPAN TERIMA KASIH

Atas terselenggaranya kegiatan penelitian ini, peneliti mengucapkan


terima kasih kepada SMARTD Badan Litbang Pertanian yang telah memberi
dana penelitian, serta BPTP Papua, Dinas Pertanian Kabupaten Sarmi, BP3K
Kab. Sarmi yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Baehaki, S.E. dan Widiarta, I.N. 2008.Hama wereng dan cara pengendaliannya
pada tanaman padi. Hal 347-383
Ditjen Tanaman Pangan. 2007. Pedoman Gerakan Peningkatan Produksi
Beras Nasional (P2BN). Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Deptan.
Drajat AA, Sutyono A, Makarim, Hasanuddin A. 2008. Padi Inovasi Teknologi
Produksi. Buku 2. LIPI Press. Jakarta.
Roesmarkam, S., Kasijadi, F dan Arifin, Z. 2009. Inovasi Teknologi Pengelolaan
Tanaman Terpadu. BPTP Jatim.
Toha, H.M. 2007 a. Pengembangan padi gogo menunjang program P2BN.
Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Padi. 295 -323
Yusuf, A. 2008. Pengkajian Empat Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman
Tumpangsari Perkebunan. DalamAbdulrachman, S., Toha, HM,
Setyobudi dan Agus SY. ProsidingSeminar NasionalPadi ” Inovasi
Teknologi Padi Mengantisipasi Perubahan Iklim Global Mendukung
Ketahanan pangan. Hal 1269-1279.

255
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Yahumuri, at .al 2015. Keragaan pertumbuihan Variatas baru padi sawah di


Kabupaten Seluma, Bengulu. Pros Semnas Masy Biodiv Indo . volume 1,
no 5 agustus 2015 ha 1217-1221.
Ranmija KE, Chairuman N, Harnowo D, 2010. Keragaan dan pertumbuhan
komponen hasil dan produksi tiga varietas padi unggul baru di lokasi
Primatani Kabupaten Mandailing Natal. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan teknologi Pertanian (1) : 27-40
Sirapa MP, Reuwpassa AJ, Waas ED, 2007. Kajian [pemberian pupuk
beberapa vaireatas unggul padi sawah di Seram Utara. Jurnal Pengkajian
Pengembangan Teknologi Pertanian 10 (1) : 48-56
Soplanit, A., N. E. Lewaherilla., H. Masbaitubun., M. Rumbarar., Yen Nabiel.,
Husen Raharusun. 2013b. Pengkajian Produktivitas Tanaman Padi Gogo
pada Berbagai Sistem Tanam untuk Mendukung PTT lahan kering di
Kabupaten Keerom.. laporan Kegiatan Pengkajian BPTP Papua.
BBP2TP.
Nugraha US, Wahyuni S, Samaullah MY, Ruskandar A, 2007. Perbenihan di
Indonesia. Prosiding Hasil Penelitian Padi. Blai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Subang, 19 0-20 Nopember 2007.

256
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH


DI SULAWESI TENGGARA

1
Samrin, 1Raden Teguh Wijanarko, dan 2Tristiana Handayani
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Email : samrinkdi80@gmail.com

ABSTRAK

Varietas unggul baru merupakan salah satu teknologi yang berperan


penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian. Kontribusi
nyata varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain
tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. Varietas
sebagai salah satu komponen produksi telah memberikan sumbangan sebesar
56% dalam peningkatan produksi, yang pada dekade 1970-2000 mencapai
hampir tiga kali lipat. Selama periode tahun 2000-2006 telah dilepas 40 varietas
unggul baru padi sawah dengan produktivitas tinggi, mutu giling baik, tahan
terhadap hama wereng coklat, serta tahan penyakit hawar daun bakteri, tungro
dan blas. Di Sulawesi Tenggara sejak tahun 2010 Inpari sudah mulai
dikembangkan melalui display oleh BPTP Sulawesi Tenggara di beberapa
daerah sentra produksi padi. Tujuan pengkajian untuk mengetahui tingkat
adaptasi beberapa varietas unggul baru (VUB) yang diharapkan dapat
memberikan peningkatan produksi di Sulawesi tenggara. Kegiatan pengkajian
ini dilakukan di Kebun Percobaan Wawotobi BPTP Sulawesi Tenggara, dari
bulan Januari hingga Juli 2013. Menggunakan rancangan acak kelompok (RAK)
dengan 5 varietas padi VUB, diulang tiga kali. Hasil yang diperoleh bahwa
penampilan pertumbuhan dan daya hasil varietas inpari 3, inpari 6 dan inpari
15 lebih baik dibandingkan dengan varietas lainnya. Produksi GKP varietas
Inpari 6 lebih tinggi (6,80 t/ha) dibandingkan dengan Inpari 15 ( 6,50 t/ha), Inpari
3 (6,30 t/ha), Inpari 11 (6,12 t /ha), dan Inpari 7 (6,10 t/ha).

Kata Kunci : Varietas Unggul Baru (VUB), Teknologi, Produksi

PENDAHULUAN

Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi


telah dilakukan antara lain dengan intensifikasi dan perluasan areal panen
melalui penambahan indeks pertanaman (IP) dan pembukaan lahan sawah
baru. Tetapi usaha ini belum memberikan hasil yang optimal. Keterbatasan
varietas unggul baru merupakan kendala utama dalam pelaksanaan
penambahan indeks pertanaman (IP) padi. Sehingga dengan demikian, perlu
adanya upaya penambahan pelepasan VUB padi dengan keragaman sifat-sifat
unggul yang sesuai dengan agroekosistem, masalah spesifik dan preferensi
konsumen setempat.

Varietas unggul baru merupakan salah satu teknologi yang berperan


penting dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produk padi. Kontribusi nyata
varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional antara lain

257
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tercermin dari pencapaian swasembada beras pada tahun 1984. Varietas


sebagai salah satu komponen produksi telah menberikan sumbangan sebesar
56% dalam peningkatan produksi, yang pada dekade 1970-2000 mencapai
hampir tiga kali lipat. Oleh karena itu, maka salah satu titik tumpu utama
peningkatan produksi padi adalah perakitan dan perbaikan varietas unggul baru
(Balitpa, 2004).

Beberapa varietas unggul baru telah dilepas oleh BB Padi yang memilki
peluang yang cukup besar untuk dikembangkan karena memilki keunggulan
produksi dan produktivitas tinggi dengan umur genjah jika ditanam di daerah
yang sesuai (Astanto, 2005). Kriteria lokasi yang sesuai untuk pertanaman
VUB baru antara lain, tanah yang subur, irigasi terjamin dan bukan daerah
endemik hama dan penyakit.

Selama periode tahun 2000-2006 telah dilepas 40 varietas unggul baru


padi sawah dengan produktivitas tinggi, mutu giling baik, tahan terhadap hama
wereng coklat, serta tahan penyakit hawar daun bakteri, tungro dan blas. Padi
VUB tersebut antara lain: cisantana, ciliwung, konawe, ciguelis, mekongga dan
lainnya (Anonim, 2007). Bahkan akhir-akhir ini telah dilepas varietas unggul
baru seperti inpari (inbrida padi sawah irigasi)

Di Sulawesi Tenggara sejak tahun 2010 inpari sudah mulai


dikembangkan melalui display oleh BPTP di beberapa daerah sentra produksi
padi seperti di kabupaten konawe, Kolaka, Konawe selatan dan Bombana.

Varietas unggul baru Ciherang, Mekongga, Cisantana dan Cigeulis telah


lama dibudidayakan dan ditanam secara terus menerus oleh petani di Sulawesi
Tenggara. Penggunaan varietas secara terus menerus dari musim ke musim
dalam satu hamparan akan berdampak negatif yaitu produktivitas padi
cenderung menurun (Ardjasa et.al. 2004). Oleh karena itu, perlu dilakukan
pergiliran varietas dengan penggunaan varietas unggul baru lainnya.
Diharapkan varietas unggul baru ini mempunyai produktivitas yang lebih tinggi
dan berumur lebih genjah dibandingkan dengan varietas yang selama ini
dikembangkan oleh petani. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui
tingkat adaptasi beberapa varietas unggul baru (VUB) yang diharapkan dapat
memberikan peningkatan produksi di Sulawesi Tenggara.

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan waktu

Kegiatan pengkajian ini dilakukan di Kebun Percobaan Wawotobi BPTP


Sulawesi Tenggara pada luasan lahan 3 ha pada musim tanam (MT I) bulan
Januari sampai dengan Juli 2013

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah Varietas Unggul Baru
(VUB) inpari 3, inpari 6, inpari 7, inpari 11 dan inpari 15, pupuk dan pestisida,

258
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

karung gabah, peralatan lapang (hand tracktor, pacul, mistar panjang, caplak,
sprayer, timbangan, tali rapia, arit, perontok gabah/tresher dan seed cleaner).
Rancangan Percobaan
Kajian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5
perlakuan, diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah 5 varietas unggul baru.
Luas petak yang digunakan mengikuti luas petak alami
Tahapan dan prosedur kegiatan
Prosedur kegiatan meliputi : 1) sosialisasi dengan instansi terkait,
bertujuan untuk memperkenalkan varietas unggul baru (VUB) Padi yang akan
diproduksi dan dikembangkan, 2).Pelaksanaan lapangan, diawali dengan
pengolahan lahan dengan menggunakan hand traktor, kemudian pembuatan
tempat persemaian. Penanaman dilakukan pada saat bibit telah berumur 15 –
20 Hari Setelah Sebar (HSS). Cara tanam dengan sistem tanam jajar legowo
2 : 1, jarak tanam 20 x 10 x 40 cm. Pemupukan berdasarkan hasil analisis
PUTS, yaitu pupuk urea 100 kg/ha dan NPK Phonska 350 kg/ha. Cara
pemberian yakni semua dosis pupuk NPK Phonska diberikan pada umur 7 – 14
Hari Setelah tanam (HST) dan pemupukan Urea 25 - 30 HST. Pengendalian
hama penyakit tanaman (OPT) di lakukan dengan prinsip PHT.
Pengumpulan dan analisis data
Parameter yang diamati meliputi : tinggi tanaman (cm), panjang malai
(cm), jumlah anakan produktif/rumpun, jumlah gabah isi/malai, produktivitas
(t/ha). Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum lokasi

Kegiatan pengkajian ini di laksanakan di kebun percobaan Wawotobi


BPTP Sulawesi Tenggara yang terletak di Kelurahan Lalosabila, Kecamatan
Wawotobi, Kabupaten Konawe, Propinsi Sulawesi Tenggara. Letak KP
Wawotobi 67 km pada jalur poros Kendari - Kolakayang berada disebelah
barat ibu kota propinsi Sulawesi tenggara. Pada ketinggian tempat 55 m dpl,
dan berada pada posisi ordinat 3,55˚ LS dan 122,6˚ BT. Data curah hujan
terlampir.

Keragaan Tanaman

Varietas inpari 15 mempunyai tinggi tanaman yang tertinggi diantara


5 varietas yang ditanam yaitu (100 cm), inpari 6 (99.85 cm), inpari 7 (98.25 cm),
inpari 11 (97.45 cm), dan inpari 3 ( 95.25 cm) (Tabel 1).

259
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Keragaan tinggi tanaman, jumlah anakan dan panjang malai, gabah
isi dan produktivitas varietas unggul baru.
Tinggi Jumlah % tase
Panjang Produksi
Varietas tanaman anakan gabah isi
malai (cm) (t/ha)
(cm) produktif (%)
Inpari 3 95.25 13.11 25.44 83.42 6.30
Inpari 6 99.85 14.23 27.56 80.22 6.80
Inpari 7 98.25 12.67 27.15 82.35 6.10
Inpari 11 97.45 12.12 26.33 80.78 6.12
Inpari 15 100 14.22 28.68 85.25 6.50

Bila dilihat dari tinggi tanaman ke-5 varietas lebih pendek dibandingkan
dengan deskripsi varietas padi (Gambar 1 dan Lampiran 1).

Gambar 1. Perbandingan tinggi tanaman yang dicapai dengan tinggi tanaman


yang tercantum dalam deskripsi varietas

Tidak maksimalnya tinggi tanaman padi diduga oleh faktor lingkungan


tumbuh. Tanaman yang tumbuh dengan baik mampu menyerap hara dari
dalam tanah dan kemampuan tanaman memanfaatkan sinar matahari yang
lebih baik dapat meningkatkan aktivitas fotosintesis, sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman (Yoshida 1981).
Selanjutnya Allard dan Bradshaw (1964) dalam Fitri (2009), menyatakan bahwa
perbedaan penampilan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, setiap
varietas mempunyai gen yang sifatnya berlainan maka masing-masing
memberikan keragaan pertumbuhan yang berbeda. Menurut Blum dalam
Ernawati (2009) pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi menunjukkan
besarnya alokasi fotosintat terhadap pertumbuhan tanaman, selain itu juga
dipengaruhi oleh suhu terhadap proses-proses fisiologi tumbuhan. Suhu yang
baik bagi pertumbuhan tanaman adalah antara 22-370C. Suhu yang lebih atau
kurang dari batas normal dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat atau
bahkan berhenti.

260
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Rata-rata jumlah anakan produktif yang dicapai setiap varietas


berbeda-beda (Tabel 2), secara berurutan dari yang terbanyak adalah inpari 6
(14,23 batang), inpari 15 (14,22 batang), inpari 3 (13,11 batang), inpari 7 (12,67
batang), inpari 11 (12,12 batang). Bila dibandingkan antara jumlah anakan dari
setiap varietas padi yang diuji nampaknya lebih rendah dari deskripsi varietas
(Gambar 2 dan Lampiran 1).

Gambar 2. Perbandingan jumlah anakan produktif yang dicapai dengan jumlah


anakan produktif deskripsi varietas.

Hal ini dimungkinkan karena faktor lingkungan tumbuh dan pengelolaan


tanaman. Menurut Gardner dalam Husna (2010), jumlah anakan akan
maksimal tergantung pada umur benih, sistem tanam, kesuburan tanah dan
lingkungan tumbuh.

Data panjang malai bervariasi antara 28,68 – 25,44 cm. Panjang malai
tertinggi terdapat pada varietas inpari 15 (28,68 cm), berikutnya inpari 6 (27,56
cm), inpari 7 (27,15 cm), inpari 11 (26,33 cm), dan terendah pada inpari 3 (25,44
cm). Menurut Susanti dkk. (2008) bahwa pembentukan malai sangat
dipengaruhi ketersediaan unsur hara dan air. Semakin tercukupinya kebutuhan
hara dan air, proses pembentukan malai semakin sempurna, sehingga peluang
terbentuknya bulir gabah per malai akan semakin banyak. Jumlah bulir gabah
akan mempengaruhi hasil panen.

Persentase gabah isi tertinggi terdapat pada inpari 15 (85,25 %) dan


terendah inpari 6 (80,22 %). Jumlah gabah isi diduga di pengaruhi oleh
perbedaan varietas. Virmani (1994) menyatakan bahwa perbedaan varietas
akan menyebabkan perbedaan jumlah gabah isi permalai, karakter ini
merupakan karakter penting dalam menetukan hasil gabah. Sementara itu, Kim
(1985) melaporkan bahwa faktor lingkungan seperti kepadatan tanaman
berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah isi per malai.

261
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Produksi Gabah Kering Panen (GKP) tertinggi dihasilkan oleh varietas


inpari 6 (6,80 t /ha), inpari 15 (6,50 t /ha), inpari 3 (6,30 t /ha), inpari 11 (6,12 t
/ha), dan terendah inpari 7 (6,10 t /ha). Bila dilihat dari persentase gabah isi
inpari 6 memperlihatkan kecendrungan lebih rendah dibandingkan dengan
varietas lain, tetapi produksinya paling tinggi. Hal ini dimungkinkan karena rata-
rata jumlah anakan produktif varietas inpari 6 lebih tinggi.

Gambar 3 memperlihatkan bahwa rata-rata produksi gabah kering


panen varietas yang diuji (inpari 3, inpari 6, inpari 15) dapat melebihi rata-rata
produksi pada deskripsi varietas, tetapi belum mencapai potensi hasil.

Gambar 3. Perbandingan produksi yang dicapai dengan rata-rata produksi


pada deskripsi varietas.
KESIMPULAN

1. Penampilan pertumbuhan dan daya adaptasi varietas inpari 3, inpari 6 dan


inpari 15 lebih tinggi baik dibandingkan dengan varietas lainnya.
2. Produksi GKP varietas Inpari 6 lebih tinggi (6,80 t/ha) dibandingkan dengan
inpari 15 ( 6,50 t/ha), inpari 3 (6,30 t/ha), inpari 11 (6,12 t /ha), dan inpari 7
(6,10 t/ha.
3. Hasil uji varietas yang diperoleh dapat disarankan varietas Inpari 6, Inpari
15 dan Inpari 3 sesuai untuk dikembangkan di daerah penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2007. Ketersediaan varietas unggul baru dan benih bermutu


pendukung P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Ardjasa, W.S., Suprapto, dan B. Sudaryanto. 2004. Komponen teknologi
unggulan usaha tani padi sawah di Lampung. Buku III. Kebijakan
perberasan dan inovasi teknologi padi. Puslitbangtan. Bogor: 653-666

262
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Astanto, 2005. Teknologi unggulan Balai Penelitian Tanaman Padi. Makalah


pada Workshop Konsolidasi Pelaksanaan Kegiatan PAAT. Solo, 5-8
September 2005. 6 hal.
Balitpa. 2004. Inovasi Teknologi untuk peningkatan produksi padi dan
kesejahteraan petani. Balitpa, Puslitbangtan, Badan Litbang Pertanian.
23 Hal.
Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT Medyatama Perkasa. Jakarta. 216 hal.
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.K. Saul, M.A. Diha, G.B.
Hong dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas
Lampung. 488 hal.
Husna, Y. dan Ardian. 2010. Pengaruh penggunaan jarak tanam terhadap
pertumbuhan dan produksi padi sawah (oryza sativa L) varietas IR 42
dengan metode SRI. Jurnal SAGU 9(1): 21-27.
Yoshida, S. 1981. Fundamental of Rice Crop Science. IRRI. Manila, Philippines.
p. 111-176.
Tarya T., Z.A. Permadi, dan E.Sumadi. 2000. Keragaan padi unggul varietas
digul, Way Apo Buru, dan Widas di lahan potensial dan marginal. Paket
dan komponen Teknologi Produksi padi. Makalah disampaikan pada
Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor, 22-24 November
1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Kim, C.H. 1985. Studies on heterosis in F, rice hybrids using cytoplasmic-
genetic male sterile lines in rice. Res. Rep. Rural Dev. Administration,
Suweon, Korea 27(1): 1-33.
Virmani, S.S. 1994. Heterosis and hybrid rice breeding. In. Frankel dkk. (Ed),
Monograph on Theoritical and Applied Genetic 22. Springer-Verlag,
Berlin, NY, London, Paris, Tokyo, Hongkong, Barcelona, Budapest-IRRI.
Philipp. 189 p.

Lampiran 1. Diskripsi Varietas Padi Unggul Baru

Varietas INPARI 3 INPARI 6 INPARI 7 INPARI 11 INPARI 15


RUTTST96B
BP3448E-4- BP205D-KN- -15-1-2-2-2- BP1178-2F- BP3244-2E-8-8-3-
Nomor seleksi 2 78-1-8 1 26 3-1*B
S3054-2D- Cisadane/IR
Digul/BPT16 Dakava line 12-2/ultri 54742-1-19- TB168E-TB-4-0-
Asal seleksi 4C-68-7-2 85/Membramo merah-2 11-8 1/Widas//IR64
Umur tanaman 110 hari 118 hari 110-115 hari 105 hari 117 hari
Bentuk tanaman Sedang Tegak Tegak Tegak Tegak
Tinggi tanaman 95-100 cm 100 cm 104 cm 106 cm 105 cm
Daun Bendera Tegak Tegak Tegak Tegak Tegak
Panjang Sedang
Bentuk gabah ramping ramping Panjang Ramping Ramping
Kuning kuning Kuning
Warna gabah bersih Kuning bersih bersih Kuning bersih
Kerontokan Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Kerebahan Sedang Tahan Sedang Tahan
Tekstur nasi Pulen Sangat pulen Pulen Pulen Pulen

263
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kadar amilosa 20,57% 18% 20,78% 21,40% 20,70%


6,2 t/ha 6,5 t/ha
Rata-rata hasil 6,05 t/ha 6,82 t/ha GKG GKG GKG 6,1 t/ha GKG
8,60 t/ha
GKG; 12 t/ha 8,7 t/ha 8,8 t/ha
Potensi hasil 7,52 t/ha GKG GKG GKG 7,5 t/ha GKG
ketahanan WBC Agak Tahan Tahan Agak rentan Agak rentan Agak Tahan
Ketahanan HDB Agak Tahan Tahan Agak tahan Tahan Agak Tahan
Dilepas Tahun 2008 2008 2009 2010 2011

Curah Hujan Tahun 2013

Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Aug Sept Okt Nop Des
32,5 11,74 0,0 255,5 161,7 3,8 11,2 2,2 1,2 0,2 4,5 4,5

Suhu Tahun 2013

Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Aug Sept Okt Nop Des
27,2 27,2 27,2 27,2 26,6 26,2 24,7 25,4 26,3 27,5 26,9 26,6

264
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kelembaban Tahun 2013

Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Aug Sept Okt Nop Des
77,0 77,6 78,3 80,0 81,8 84,9 87,7 77,7 73,0 67,6 76,2 83,3

265
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KEANEKARAGAMAN DAN DOMINASI GULMA PADA LAHAN SAWAH


DATARAN TINGGI DI KABUPATEN REJANG LEBONG
PROVINSI BENGKULU
(Studi Kasus Desa Bangun Jaya Kecamatan Bermani Ulu Raya)

Yong Farmanta, Siti Rosmanah dan Alfayanti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu


Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu
Email : yfarmanta@gmail.com

ABSTRAK

Sawah merupakan area yang digunakan sebagai kegiatan budidaya


tanaman sehingga keanekaragaman jenis tumbuhan cenderung rendah. Kajian
ini bertujuan untuk menganalisis keanekaragaman dan dominasi gulma pada
lahan sawah dataran tinggi di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu.
Kajian dilaksanakan di Desa Bangun Jaya Kecamatan Bermani Ulu Raya
Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada Agustus – September 2015.
Kajian dilaksanakan pada lahan sawah bekas pertanaman padi seluas 0,5 ha
yang mempunyai ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (m dpl).
Pengambilan sampel gulma dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat
yang diambil secara acak. Sampling yang diamati sebanyak 5 titik dengan
menggunakan kuadrat berukuran 1 x 1 m. Data yang diambil meliputi nama
jenis, jumlah individu, dan kelindungan masing-masing spesies. Untuk
mengetahui tingkat keanekaragaman jenis gulma, data dianalisis dengan
menggunakan Indeks Shannon-Wienner, sedangkan untuk mengetahui
kekayaan spesies serta keseimbangan jumlah individu setiap spesies di dalam
ekosistem dianalisis dengan menggunakan Indeks Simpson. Hasil kajian
teridentifikasi sebanyak 23 jenis gulma. Indeks keanekaragaman sebesar 2,20
menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis gulma berada pada tingkat
sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang dan tekanan
ekologis sedang. Analisis dominasi berdasarkan Indeks Simpson diperoleh nilai
antara 0,00-0,034 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat spesies yang
mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.

Kata kunci : keanekaragaman, dominasi, gulma,dataran tinggi

PENDAHULUAN

Sawah sebagai suatu ekosistem yang digunakan untuk budidaya


tanaman pangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memiliki
keanekaragaman yang terbatas. Hal ini disebabkan karena manusia hanya
menginginkan tanaman tertentu di dalam ekosistem tersebut dan tanaman yang
lain dihilangkan. Menurut Mardiyanti dkk. (2013), keanekaragaman tumbuhan
pada ekosistem sawah cenderung terbatas tergantung pada kegiatan
pengelolaan yang dilakukan oleh manusia. Sebelum diolah menjadi sawah,
ekosistem tersebut mempunyai berbagai macam spesies yang tumbuh di
dalamnya.

266
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Gulma adalah tanaman yang tidak dikehendaki oleh para penanam,


karena gulma tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki dan merugikan.
Keberadaan gulma di sekitar tanaman yang dibudidayakan dapat menghambat
pertumbuhan serta menekan hasil akhir (Moenandir, 1993). Menurut Miranda
dkk. (2011), gulma merupakan salah satu permasalahan yang sangat
berpengaruh terhadap produktivitas padi. Keberadaaan gulma pada tanaman
padi akan menyebabkan penurunan produksi apabila gulma tidak dikendalikan
secara efektif (Pane dan Jatmiko, 2002). Adanya gulma pada kegiatan
budidaya dapat mempengaruhi pertumbuhan dan menurunkan produksi
tanaman pangan. Menurut Desvayanti (2002), pengaruh gulma dapat secara
langsung yaitu melalui mekanisme kompetisi seperti zat hara, air, cahaya,
tempat dan secara tidak langsung gulma menjadi inang hama dan penyakit.

Pada lahan irigasi, persaingan gulma dengan tanaman padi dapat


menurunkan hasil 10-40%, tergantung pada spesies dan kepadatan gulma,
jenis tanah, pasokan air dan keadaan iklim (Nantasomsaran dan Moody, 1993).
Menurut Sundaru (1976), beberapa jenis gulma utama pada lahan sawah di
Indonesia yaitu Cyperus iria L, Cyperus difformis L., Echinochloa cruss galli (L)
Beauv, Echinochloa colonum (L.) Link, Marsilea crenata Presl, Fimbristylis
miliacea (L.) Vahl, Pasapalum vaginatum Berg, Monochoria vaginalis (Burm. F.)
L, Salvinia molesta D.S. Mitchel, Scirpus juncoides Roxb, S. mucronatus L.,
Althernanthera sassilis L. (D.C.). Beberapa jenis gulma spesifik pada tanaman
padi bahkan mampu mengakibatkan kehilangan hasil yang sangat besar
diantaranya Leersia hexandra 60%, Echinochloa colonum dan Paspalum
distichum 85 %, dan Echinochloa crus-gall) bisa mencapai 100 % (Rukmana
dan Sugandi, 1999 dalam Miranda dkk., 2011). Gulma yang berasosiasi
dengan tanaman bukan bersifat merusak, tetapi merugikan bagi tanaman
pokok.

Identifikasi gulma dilakukan bertujuan untuk mengetahui jenis gulma


dominan pada suatu ekosistem, sehingga diketahui cara pengendalian yang
tepat terutama apabila pengendalian gulma dilakukan secara kimia. Kajian ini
bertujuan untuk menganalisis keanekaragaman dan dominasi gulma pada
lahan sawah dataran tinggi di Kabupaten Rejang Lebong.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Bangun Jaya Kecamatan Bermani


Ulu Raya Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada September 2015.
Penelitian dilaksanakan pada lahan sawah irigasi yang berada pada ketinggian
700 di atas permukaan laut (m dpl) dengan luas ± 0,5 ha.

Pengamatan dilakukan pada lahan sawah yang sedang diberakan pada


dataran tinggi. Pengambilan sampel gulma dilakukan dengan menggunakan
metode kuadrat yang diambil secara acak. Titik sampling yang diamati
sebanyak 5 kuadrat dengan ukuran kuadrat 1 x 1 m. Penggunaan kuadrat 1 x
1 m hal ini sesuai dengan saran Oosting (1956) dalam Irwanto (2012), bahwa

267
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

penggunaan kuadrat berukuran 10 x 10 m untuk lapisan pohon, 4 x 4 m untuk


lapisan vegetasi berkayu tingkat bawah (undergrowth) sampai ketinggian 3 m,
dan 1 x 1 m untuk vegetasi bawah atau herba. Data yang diambil meliputi nama
jenis, jumlah individu, dan kelindungan masing-masing spesies.

Parameter pengamatan yang dianalisis adalah Kerapatan Nisbi Suatu


Spesies (KNSS), Dominasi Nisbi Suatu Spesies (DNSS), Frekuensi Nisbi Suatu
Spesies (FNSS), Nilai Penting (NP) dan Summed Dominance Ratio (SDR).
Perhitungan parameter tersebut menggunakan rumus berdasarkan
Tjitrosoedirdjo, dkk. (1984) dimana :

Kerapatan mutlak jenis itu


KNSS (%) = x 100%
Jumlah kerapatan mutlak semua jenis

FNSS (%) = Nilai frekuensi mutlak suatu jenis


x 100%
Jumlah nilai frekuensi mutlak semua jenis

Nilai dominansi mutlak suatu jenis


DNSS (%) = x 100%
Jumlah semua petak contoh yang diambil

NP = Kerapatan Nisbi + Dominansi nisbi + frekuensi nisbi


SDR = NP/3

Tingkat keanekaragaman gulma dihitung dengan menggunakan Indeks


Shannon-Wienner (Prasetyo, 2007). Rumus yang digunakan adalah :

Keterangan : H1 = Indeks keanekaragaman

ni = Jumlah individu tiap spesies

N = Jumlah total individu dalam sampel

Nilai tolok ukur indeks keanekaragaman Shannon-Wienner disajikan


pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai tolok ukur indeks keanekaragaman tanaman

Nilai tolok ukur Keterangan


H’<1,0 Keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas sangat rendah
sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak
stabil.
1,0 < H’ < 3,322 Keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi
ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang.
H’ > 3,322 Keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap,
produktivitas tinggi, tahan terhadap tekanan ekologis.
Sumber : Restu (2002) dalam Fitriana (2006)

268
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui kekayaan spesies serta


keseimbangan jumlah individu setiap spesies dalam ekosistem. Jika dominasi
lebih terkonsentrasi pada satu spesies, nilai indeks dominasi akan meningkat
dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka
nilai indeks dominasi akan rendah. Untuk mengetahui dominasi spesies
tumbuhan, data dianalisis menggunakan Indeks Simpson menurut
Soerianegara dan Indrawan, 2005 dalam Marpaung 2009 dengan persamaan :

Dimana : C = Indeks Dominasi


ni = Nilai penting masing-masing spesies ke-n
N = Total nilai penting dari seluruh spesies
Indeks dominasi berkisar antara 0 - 1. Bila nilai C = 0, berarti tidak
terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas
dalam keadaan stabil. Bila nilai C = 1, berarti terdapat spesies yang
mendominasi spesies lainnya, atau struktur komunitas labil karena terjadi
tekanan ekologis (Odum, 1971 dalam Fachrul dkk., 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan diperoleh sebanyak 23 jenis gulma yang tersebar


pada 10 famili (Tabel 2). Famili Cyperaceae merupakan famili dengan jumlah
jenis terbanyak yaitu sebanyak 6 jenis dan ditemukan hampir pada setiap areal
penelitian. Gulma pada famili Cyperaceae merupakan merupakan salah satu
gulma yang mempunyai kemampuan beradaptasi pada berbagai jenis tanaman
dan dapat berkembang biak dengan biji dan umbi. Umbi terbentuk setelah tiga
minggu dari pertumbuhan awal, selanjutnya membentuk rimpang dan umbi.
Menurut Suryaningsih dkk. (2013), gulma famili Cyperaceae merupakan salah
satu jenis gulma ganas karena dapat tumbuh pada kondisi yang ekstrim. Gulma
tersebut dapat menguasai ruang tempat tumbuh dan unggul dalam bersaing
dengan tanaman pokok. Senada dengan pernyataan tersebut, Holm dkk.,
(1988), juga menyatakan bahwa famili Cyperaceae dan Poaceae termasuk
gulma yang mempunyai kemampuan adaptasi tinggi dan akar rimpang yang
kuat, serta dapat berkembang biak dengan biji dan umbi.

Jumlah jenis gulma yang ditemukan pada lahan sawah dataran tinggi di
Kabupaten Rejang Lebong lebih sedikit jika dibandingkan dengan jenis gulma
pada lahan sawah di Kabupaten Gresik, Jawa Timur yaitu sebanyak 28 jenis
pada lahan sawah dengan sejarah bera-padi-bera. Pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan penyusun pada lahan bera-padi-bera lebih cepat
dibandingkan dengan tumbuhan penyusun pada lahan jagung-padi-bera dan
kacang hijau-padi-bera. Tanah yang diberakan terlebih dahulu akan memicu
munculnya tumbuh-tumbuhan alami, hal ini disebabkan karena tumbuhan yang
awalnya sudah ada pada lahan tersebut, akan tumbuh dengan cepat
dikarenakan benih sudah tersebar di tanah (Mardiyanti dkk., 2013).

269
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Komposisi gulma pada lahan sawah dataran tinggi di Desa Bangun
Jaya Kecamatan Bermani Ulu Raya Provinsi Bengkulu tahun 2015.
Jumlah
No Nama Spesies Famili
Spesies
1 Limnocharis flava (L.) Alismataceae 2
2 Ageratum conyzoides Asteraceae 123
3 Synedrella nudiflora Asteraceae 10
4 Erectites valerianipolia Asteraceae 1
5 Eclipta alba (L.) Asteraceae 16
6 Galinsoga palviflora Asteraceae 1
7 Drymaria cordata Caryophyllaceae 346
8 Cyperus distan Cyperaceae 62
9 Cyperus kyllingia Edl. Cyperaceae 2
10 Scirpus mucronatus Linn Cyperaceae 145
11 Fimbristylis globulosa Cyperaceae 1
12 Cyperus rotundus Cyperaceae 11
13 Cyperus compressus Cyperaceae 1
14 Murdannia cordata Commelinaceae 76
15 Commelina diffusa Commelinaceae 2
16 Murdannia nudiflora Commelinaceae 37
17 Sporobolus indicus auctt. non (Linn.) Gramineae 100
18 Hyptes brevipes Lamiaceae 62
19 Hyptis suaveolens (L.) Poit. Lamiaceae 14
20 Ludwigia adscendens (L.) Hara Onagraceae 2
21 Ludwigia perennis L. Onagraceae 14
22 Polygonum barbatum L. Polygonaceae 20
23 Monochria vaginalis Pontederiaceae 12
Sumber : Data primer diolah, 2015

Drymaria cordata merupakan jenis gulma dengan kerapatan dan


frekuensi tertinggi yaitu sebesar 33,82% dan 0,49%, ini menunjukkan bahwa
gulma tersebut ditemukan dalam jumlah banyak serta ditemukan hampir pada
seluruh petak contoh. Struktur gulma pada lahan sawah dataran tinggi di
Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu pada Tabel 3.

Gulma dengan dominasi tertinggi adalah Ludwigia perennis (36,32%) ini


menunjukkan bahwa gulma tersebut memiliki nilai kelindungan tertinggi jika
dibandingkan dengan jenis gulma yang lain. Menurut Tjitrosoedirdjo dkk.
(1983), dominasi merupakan berapa luas area yang ditumbuhi oleh jenis
tumbuhan, atau kemampuan suatu jenis tumbuhan dalam hal bersaing
terhadap jenis lain. Dominasi juga dinyatakan dengan istilah kelindungan
(coverage), atau luas basal atau biomassa atau volume. Selain itu, terdapat dua
jenis gulma dengan nilai SDR tertinggi yaitu Drymaria cordata (12,72%) dan
Ludwigia perennis (12,66%).

270
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Struktur gulma pada lahan sawah dataran tinggi di Kabupaten Rejang
Lebong Provinsi Bengkulu
No. Nama Jenis C
KNSS FNSS DNSS NP SDR H1
0,035
1 Drymaria cordata 33,82 0,49 3,85 38,16 12,72 -0,25
0,034
2 Ludwigia perennis L. 1,37 0,39 36,23 37,99 12,66 -0,05
0,012
3 Scirpus mucronatus 14,17 0,39 7,60 22,16 7,39 -0,17
0,008
4 Ageratum conyzoides 12,02 0,29 5,44 17,75 5,92 -0,37
0,005
5 Cyperus distan 6,06 0,29 8,77 15,13 5,04 -0,01
0,005
6 Polygonum barbatum L.(penisetum) 8,99 0,20 4,62 13,81 4,60 -0,07
0,004
7 Hyptis suaveolens (L.) 1,37 0,20 11,57 13,13 4,38 -0,12
0,002
8 Sporobolus indicus auctt. non (Linn.) 2,74 0,10 5,75 8,59 2,86 -0,06
0,001
9 Hyptes brevipes 6,06 0,29 1,23 7,59 2,53 -0,05
0,001
10 Eclipta alba (L.) 1,56 0,29 3,01 4,87 1,62 -0,10
0,001
11 Murdannia nudiflora 3,62 0,39 0,69 4,70 1,57 -0,17
0,000
12 Murdannia cordata 3,81 0,10 0,53 4,44 1,48 -0,01
0,000
13 Monochria vaginalis 1,17 0,20 1,53 2,89 0,96 -0,01
0,000
14 Fimbristylis globulosa 0,10 0,10 2,28 2,48 0,83 -0,28
0,000
15 Cyperus rotundus 1,08 0,10 1,13 2,31 0,77 -0,01
0,000
16 Synedrella nudiflora 0,98 0,29 0,80 2,07 0,69 -0,01
0,000
17 Cyperus kyllingia Edl. 0,20 0,20 1,29 1,68 0,56 -0,05
0,000
18 Limnocharis flava (L.) 0,20 0,10 1,25 1,54 0,51 -0,06
0,000
19 Commelina diffusa 0,20 0,10 1,11 1,40 0,47 -0,01
0,000
20 Erectites valerianipolia 0,10 0,10 0,51 0,70 0,23 -0,01
0,000
21 Galinsoga palviflora 0,10 0,10 0,47 0,66 0,22 -0,22
0,004
22 Ludwigiaadscendens (L.) 0,20 0,10 0,15 0,45 0,15 -0,01
0,000
23 Cyperus compressus 0,10 0,10 0,19 0,39 0,13 -0,12
Nilai indeks keanekaragaman (H1) dan Indeks dominasi (C) -2,20 0,108

Keterangan : KNSS = Kerapatan Nisbi Suatu Spesies (%), DNSS = Dominasi


Nisbi Suatu Spesies (%), FNSS = Frekuenis Nisbi Suatu Spesies
(%), NP = Nilai Penting, SDR = Summed Dominance Ratio (%)

Nilai indeks keanekaragaman diperoleh sebesar 2,20 ini menunjukkan


bahwa indeks keanekaragaman gulma berada pada tingkat sedang, yang
berarti bahwa keanekaragaman sedang. Keanekaragaman pada tingkat
sedang berarti bahwa kondisi gulma berada keanekaragaman sedang,
produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis
sedang (Restu, 2002 dalam Fitriana, 2006). Menurut Odum (1996) tinggi
rendahnya keanekaragaman jenis suatu organisme di dalam komunitasnya
tergantung pada banyaknya jumlah individu yang terdapat pada komunitas
tersebut. Suatu komunitas akan memiliki diversitas jenis yang tinggi apabila
didalam komunitas tersebut didapatkan banyak jenis dan memiliki kelimpahan
jenis yang hampir sama dan begitu juga sebaliknya (Magurran, 2004).

Salah satu faktor yang diduga mempengaruhi keragaman komunitas


adalah jenis tanah. Komposisi gulma dan penutupannya pada pertanaman yang
berbeda jenis tanahnya di suatu daerah ekologi tertentu menunjukkan

271
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

perbedaan yang besar. Pada tanah Alluvial atau Hidromorfik gulma golongan
teki-ttekian lebih banyak jenisnya dan lebih (Kastanja, 2011). Sedangkan, jenis
gulma berdaun lebar dijumpai lebih dominan pada pertanaman dengan jenis
tanahnya Podsolik (Nasution, 1981).

Berdasarkan hasil perhitungan Nilai Penting, terdapat tiga jenis gulma


yang mempunyai nilai tertinggi yaitu Drymaria cordata, Ludwigia perennis L.dan
Scirpus mucronatus, ini menunjukkan bahwa ketiga jenis gulma tersebut lebih
mendominasi dibandingkan dengan jenis gulma lain. Akan tetapi dominasi
tersebut tidak berpengaruh terhadap jenis gulma lain. Hal ini berdasarkan
analisis dominasi dengan menggunakan Indeks Simpson (C) dimana diperoleh
nilai antara 0,000-0,034 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat spesies yang
mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil
(Odum, 1971 dalam Fachrul dan Listari, 2005). Menurut Sumitro (1985) dalam
Ariani (2004), makin stabil suatu ekosistem maka akan semakin banyak
didapatkan keanekaragaman spesies, baik spesies yang umum maupun yang
jarang dijumpai sebagai akibat penyesuaian terhadap keadaan lingkungannya.

KESIMPULAN

1. Teridentifikasi 23 jenis gulma dengan indeks keanekaragaman sebesar


2,20 yang menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis gulma berada pada
tingkat sedang.
2. Tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur
komunitas dalam keadaan stabil.

SARAN
Perlu dilakukan identifikasi lebih mendalam dengan penambahan lokasi
terutama untuk lahan sawah dataran tinggi di Provinsi Bengkulu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2015. Deskripsi singkat tentang gulma.


http://bumn.go.id/ptpn5/berita/13535/ Deskripsi.Singkat.Tentang.Gulma
[16 November 2015].
Ariani. S. R. 2004. Studi Keanekaragaman dan Kelimpahan Gastropoda di
Suaka Margasatwa Pulau Rambut, DKI Jakarta. Skripsi. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor. Jawa Barat
Departemen Pertanian. 1983. Pedoman pengenalan berbagai jenis gulma
penting pada tanaman perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan.
Jakarta.
Fachrul, M.F. dan Listari, C.S. 2005. Komunitas fitoplankton sebagai bio-
indikator kualitas Teluk Jakarta. Seminar Nasional MIPA 2005.
Universitas Indonesia. Depok.
Fitriana, Y.R. 2006. Keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos di
hutan mangrove hasil rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali.
Jurnal Biodiversitas 7 (1) : 67-72.

272
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Holm, L.R.G., R. L. Plucknett, J.V.Pancho, dan J.P. 1988. The world’s worst
weeds. University Press of Hawai.
Irwanto. 2012. Metode survei vegetasi. http:/ /www.irwantoshut.net/
analisis_vegetasi_Teknik_Analisis_Vegetasi.html [26 Oktober] 2015.
Kastanja, A. Y. 2011. Identifikasi jenis dan dominansi gulma pada pertanaman
padi gogo (studi kasus di Kecamatan Tobelo Barat, Kabupaten
Halmahera Utara). Jurnal Agroforestri VI (1) : 40-46.
Mardiyanti, D. E., K. P. Wicaksono dan M. Baskara. 2013. Dinamika
keanekaragaman spesies tumbuhan pasca pertanaman padi. Jurnal
Produksi Tanaman 1 (1) : 24-35.
Miranda, N., I. Suliansyah dan I. Chaniago. 2011. Eksplorasi dan identifikasi
gulma pada padi sawah lokal (Oryza sativa L.) di Kota Padang. Jerami
4 (1) : 45-54.
Moenandir, J. 1993. Pengantar ilmu dan pengendalian gulma. Rajawali Pers.
Jakarta.
Nasution, U. 1981. Inventarisasi gulma di perkebunan Karet Sumatera Utara
dan hubunganya dengan pengelolaan gulma. Prosiding Kongres ke-6
Himpunan Ilmu Gulma Indonesia, Medan.
Prasetyo, B. 2007. Keanekaragaman tanaman buah di pekarngan Desa Jabon
Mekar, Kecamatan Parung, Bogor. Jurnal Biodiversitas 8 (1) : 43-47.
Suryaningsih, M. Joni dan A. A. K. Darmadi. -. Inventarisasi gulma pada
tanamana jagung (Zea mays L.) di lahan sawah Kelurahan Padang
Galak, Denpasar Timur, Kodya Denpasar, Bali Province. Jurnal
Simbiosis (1) : 1-8.
Tjitrosoedirdjo, S., I. H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan gulma
di perkebunan. Gramedia. Jakarta.

273
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

INTRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) INPARI 16 DAN 22


DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN SELUMA

Yong Farmanta, Yartiwi dan Nurmegawati

Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bengkulu


Jl. Irian Km. 6,5 Kota Bengkulu
Email: yartiwitiwi@yahoo.co.id

ABSTRAK

Peluang untuk meningkatkan produksi padi di Provinsi Bengkulu masih


terbuka melalui intensifikasi dan efisiensi penggunaan lahan. Intensifikasi
dilakukan dengan penerapan PTT padi sawah diantaranya pengaturan populasi
tanaman dan penggunaan VUB yang spesifik Lokasi. Sedangkan efisiensi
penggunaan lahan dilaksanakan melalui peningkatan indeks pertanaman (IP).
Tujuan pengkajian untuk melihat keragaan pertumbuhan dan hasil padi varietas
inpari 16 dan 22 di Kabupaten Seluma. Pengkajian yang dilakukan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan faktor tunggal yaitu
varietas padi Inpari 16, 22 dan Cigeulis (pembanding) yang masing-masing
diulang sebanyak 10 kali. Data yang dikumpulkan yaitu data pertumbuhan
tanaman (tinggi tanaman dan jumlah anakan), dan komponen hasil (panjang
malai, gabah isi/malai, gabah hampa/malai, berat 1000 butir dan produktivitas).
Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan diuji lanjut dengan
DMRT untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Sedangkan untuk melihat
pertumbuhan dan hasil secara deskriptif yaitu membandingkan hasil pengkajian
dan deskripsi padi. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa dengan
mengimplementasikan sistem tanam legowo 2:1 dan VUB dapat meningkatkan
produktivitas yaitu rata-rata Inpari 16 dan 22 secara berturut-turut 7,4 t GKG/ha
dan 7,01 t GKG/ha.

Kata Kunci : VUB padi sawah, sistem tanam jarwo, produktivitas

PENDAHULUAN

Di Provinsi Bengkulu mulai muncul kesadaran petani untuk


menggunakan Peningkatan produktivitas padi sawah di Provinsi Bengkulu
dihadapkan pada rendahnya penerapan inovasi teknologi di tingkat petani.
Provinsi Bengkulu memiliki lahan sawah seluas 94.595 ha dengan produktivitas
yang masih rendah (4,12 t/ha) (BPS Provinsi Bengkulu, 2012). Peluang untuk
meningkatkan produksi padi di Provinsi Bengkulu masih terbuka melalui
intensifikasi dan efisiensi penggunaan lahan. Intensifikasi dilakukan dengan
penerapan PTT, sedangkan efisiensi penggunaan lahan dilaksanakan melalui
peningkatan indeks pertanaman (IP). Dengan pendekatan PTT tahun 2013,
hasil padi sawah di Provinsi Bengkulu dapat mencapai 7,5 t GKG/ha.

Sistem tanam jajar legowo merupakan suatu upaya memanipulasi lokasi


pertanaman sehingga akan memiliki jumlah tanaman pinggir yang lebih banyak
dengan adanya barisan kosong. Sistem tanam legowo dapat meningkatkan

274
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

produksi padi sawah dengan jalan menata populasi tanaman menjadi lebih
tinggi 20-25 % dibandingkan dengan sistem tanam biasa (Azwir,
2008).Dibandingkan dengan sistem tegel yang biasa digunakan petani,
peningkatan populasi tanaman dengan penggunaan sistem tanam jajar legowo
mencapai 30% (jajar legowo 2:1), 20% (jajar legowo 4:1), 14,3% (jajar legowo
6:1). Dengan peningkatan populasi tanaman akan berpeluang meningkatkan
produksi padi (Pahrudin, dkk. 2004).

Banyak permasalahan dan tantangan dalam penerapan system tanam


legowo Permasalahan tersebut diantaranya adalah: (1). Petani belum dapat
menerima lorong sangat yang banyak di pertanaman, (2). Tenaga tanam yang
mahir masih terbatas pada saat musim tanam serentak, (3). Tofografi lahan
sawah yang tidak rata, dan (4) Kebiasaan petani itu sendiri yang sulit untuk
berubah.

Selain penerapan sistem tanam jajar legowo penggunaan varietas unggul


yang berdaya hasil tinggi juga diperlukan untuk mendukung upaya peningkatan
penyediaan benih padi dan peningkatan produksi beras nasional menuju sistem
perbenihan yang tangguh (produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan).

Benih bermutu dari VU dan VUB spesifik lokasi. VUB (Inpari, Inpara, dan
Inpago) yang dilepas sejak tahun 2008 masih belum dominan di petani. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem diseminasi masih lemah. Wahyuni (2011)
melaporkan bahwa lambatnya adopsi VUB juga dipicu oleh terbatasnya
ketersediaan benih sumberserta belum dapat dilayaninya permintaan VUB dari
stakeholders maupun petani secara tepat waktu, jumlah, varietas, tempat,
harga, dan kualitas.

Penyebarluasan informasi tentang keunggulan VUB padi spesifik lokasi


serta ketersediaan benih sumber berpengaruh terhadap percepatan proses
adopsi. Keunggulan suatu varietas akan dapat dirasakan manfaatnya apabila
tersedia benih dalam jumlah cukup untuk ditanam oleh petani (Daradjat dkk.,
2008). Pengkajian ini bertujuan untuk melihat keragaan pertumbuhan dan hasil
padi varietas inpari 16 dan 22 di Kabupaten Seluma.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan pengkajian ini adalah percobaan lapangan pada lahan sawah


irigasi di Kelurahan Rimbo Kedui, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten
Seluma, Provinsi Bengkulu dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2015.
Pelaksanaan pengkajian dilakukan di lahan petani melalui pendekatan On Farm
Adaptive Research (OFAR), seluas 4 ha yang melibatkan 5 orang petani.
Rancangan yang digunakan dalam pengkajian adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) faktor tunggal yaitu varietas padi Inpari 16, 22 dan Cigeulis
(pembanding) yang masing-masing diulang sebanyak 10 kali.

Teknologi yang diterapkan adalah PTT yang terdiri atas komponen


varietas padi VUB, jumlah benih 25 kg/ha, dengan petak persemaian 1/20 luas

275
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

penanaman, pengolahan tanah sempurna, umur bibit muda <21 Hari Setelah
Semai (HSS) dengan sistem tanam legowo 2:1 (jarak tanam 20 x 10 x 40 cm)
dan Pemupukan berdasarkan rekomendasi kalender tanam terpadu, dilakukan
sebanyak 3 kali selama musim tanam yaitu pemupukan I pada umur 7-14 Hari
setelah tanam (HST), pemupukkan II pada umur 25 – 30 HST dan pemupukkan
III pada umur 45-50 HST, pengendalian gulma secara manual, pengendalian
hama dan penyakit dengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT) serta
panen dan gabah segera dirontok menggunakan power threser.

Data yang dikumpulkan yaitu data pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman


dan jumlah anakan), dan komponen hasil (panjang malai, gabah isi/malai,
gabah hampa/malai, berat 1000 butir dan produktivitas). Data dianalisis dengan
analisis sidik ragam (ANOVA) dan diuji lanjut dengan DMRT untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan. Sedangkan untuk melihat pertumbuhan dan hasil
secara deskriptif yaitu membandingkan hasil pengkajian dan deskripsi padi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

karakteristik tanaman yang diuji


Pertumbuhan Tanaman
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman kedua varietas
yang uji menunjukkan bahwa secara statistik bahwa tinggi tanaman dan jumlah
anakan tidak berbeda nyata. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan
produktif VUB yang di introduksikan rerata lebih tinggi dari varietas unggul yang
biasa ditanam oleh petani sebagai pembanding yaitu Cigeulis. Keragaan tinggi
tanaman yang berbeda disamping merupakan ekspresi faktor genetis, juga
dapat disebabkan karena tingkat pengelolaan usahatani yang berbeda.
Berdasarkan deskripsi padi tinggi tanaman VUB Inpari berkisar antara 100-120
cm (Suprihatno, dkk 2011). Adapun rata-rata hasil pengukuran terhadap tinggi
tanaman dan jumlah anakan produktif dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata hasil pengukuran tinggi tanaman (cm) dan jumlah anakan
produktif (anakan) masing-masing perlakuan.
Jumlah Anakan
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)
(anakan)
Inpari 16 103,38a 19,86a
Inpari 22 101,05a 20,37a
Cigeulis 99,05a 8,17b
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbedanyata pada uji Duncan taraf 5 %
Perbedaan tinggi tanaman dari empat varietas yang di uji ini diduga
karena sifat genetis dari varietas dan pengaruh keadaan lingkungan. Tinggi
tanaman juga merupakan salah satu kriteria seleksi pada tanaman padi, tetapi
pertumbuhan yang tinggi belum menjamin tingkat produksinya (Suprapto dan
Dradjat, 2005). Tanaman akan tumbuh lebih rendah bila ditanam pada lokasi
yang lebih tinggi dari permukaan laut (Simanulang, 2001). Pertumbuhan

276
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

merupakan proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan


ukuran, pertambahan bobot, volume dan diameter batang dari waktu ke waktu.
Keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman dikendalikan oleh faktor-faktor
pertumbuhan.
Ada dua faktor penting yang berpengaruh dalam pertumbuhan suatu
tanaman, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik berkaitan
dengan pewarisan sifat/perilaku tanaman itu sendiri, sedangkan faktor
lingkungan berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana tanaman itu tumbuh.
Setiap varietas tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal
memanfaatkan sarana tumbuh dan kemampuan untuk melakukan adaptasi
dengan lingkungan sekitar, sehingga mempengaruhi potensi hasil tanaman.
Anakan produktif merupakan anakan yang menghasilkan malai sebagai
tempat kedudukan biji/bulir padi. Varietas unggul baru biasanya mempunyai
20-25 anakan, namun hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen,
dengan jumlah gabah per malai 100-130 butir. Hal ini disebabkan anakan yang
tumbuh belakangan terlambat masak sehingga tidak dapat dipanen. Anakan
utama juga cenderung menghasilkan gabah yang lebih tinggi dari anakan
kedua, ketiga dan seterusnya
Jumlah anakan produktif per rumpun atau per satuan luas merupakan
penentu terhadap jumlah malai yang merupakan salah satu komponen hasil
yang berpengaruh langsung terhadap tinggi rendahnya hasil gabah
(Simanulang, 2001). Semakin banyak anakan produktif maka semakin banyak
jumlah malai yang terbentuk. Terdapat korelasi antara jumlah malai dengan
hasil karena semakin banyak jumlah malai semakin tinggi juga hasil tanaman
padi, sama halnya dengan hasil penelitian Muliadi dan Pratama (2008)
menunjukkan bahwa jumlah malai berkorelasi positif nyata terhadap hasil
tanaman.
Jumlah anakan padi juga berkaitan dengan periode pembentukan
phyllochron.Phyllochron adalah periode muncul satu sel batang, daun dan akar
yang muncul dari dasar tanaman dan perkecambahan selanjutnya. Semakin
tua bibit dipindah ke lapang, semakin sedikit jumlah phyllochron yang
dihasilkan, sedangkan semakin muda bibit dipindahkan, semakin banyak
jumlah phyllochron yang dihasilkan sehingga anakan yang dapat dihasilkan
juga semakin banyak (Sunadi, 2008).
Komponen Hasil
Pengamatan terhadap komponen jumlah panjang malai, jumlah gabah
hampa per malai, jumlah bernas per malai dan berat 1000 butir tertinggi dicapai
pada varietas Inpari 16, adapun hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2
berikut.

277
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Data komponen hasil panjang malai (cm), jumlah anakan (batang),
gabah hampa (butir), gabah isi (butir), berat 1000 butir (g) masing-
masing perlakuan.
Panjang Gabah Gabah
Jumlah B-1000 Provitas
Perlakuan Malai Hampa Bernas
Gabah butir (g) (t/h)
(cm) (butir) (butir)
Inpari 16 23,12a 11,52a 122,54a 134,06a 28,04a 7,46a
Inpari 22 21,85a 12,66a 119,22a 131,88a 27,83a 7,01a
Cigeulis 20,26b 37,09b 70,03c 107,12b 24,22ab 4,71ab
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5 %

Potensi hasil suatu varietas padi ditentukan oleh empat komponen, yaitu
panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi, gabah hampa
dan berat 1000 butir gabah (Yoshida, 1981). Pada hasil kajian (Tabel 3) terlihat
bahwa semakin berat suatu gabah maka produktivitas yang dihasilkan tinggi hal
ini ditunjukkan bahwa varietas Inpari 16 merupakan tingkat kebernasan lebih
tinggi dibandingkan varietas Inpari 22
Menurut Setiobudi, dkk. (2009) banyaknya gabah selain ditentukan oleh
banyaknya malai yang dihasilkan juga oleh proses diferensiasi spikelet,
penyerbukan dan fertilisasi. Berkurangnya pasokan asimilat, dimensi ukuran
dan percabangan malai juga mengurangi potensi gabah yang dihasilkan.
Pengisian gabah dipengaruhi oleh suhu udara dimana semakin tinggi suhu
udara laju pengisian gabah makin cepat namun distribusi pengisian gabah tidak
merata sehingga mengakibatkan pengisian gabah tidak penuh atau partially
filled gain (Setiobudi, dkk. 2009).
Seiring dengan hasil penelitian Asep (2011) bahwa sistem tanam terbaik
untuk mendapatkan produksi gabah tertinggi dicapai oleh legowo 4:1, dan untuk
mendapat bulir gabah berkualitas benih dicapai oleh legowo 2:1.
Tingkat persaingan bergantung pada curah hujan, varietas, kondisi tanah,
kerapatan gulma, pertumbuhan gulma, serta umur tanaman saat gulma mulai
bersaing (Jatmiko, et.al., 2002). Selain persaingan antar tanaman, persaingan
juga terjadi dengan gulma untuk mempertahankan siklus hidupnya. Gulma
berinteraksi dengan tanaman melalui persaingan untuk mendapatkan satu atau
lebih faktor tumbuh yang terbatas, seperti cahaya, hara, dan airyang dapat
menyebabkan kehilangan hasil padi mencapai 10-15% di tingkat petani.
Persaingan antar tanaman yang sama jenisnya (kompetisi inter spesies)
lebih tinggi dibandingkan dengan persaingan pada jenis tanaman yang berbeda
(kompetisi antar spesies). Pada kompetesi tanaman yang sama jenis akan
mempunyai jenis kebutuhan intensitas cahaya matahari, unsur hara, air dan
tempat tumbuh yang sama (Mujisihono dan Santosa. 2001).
Seiring dengan hasil penelitian Anggraini, dkk (2013) bahwa tanaman
padi dengan perlakuan umur bibit 7 dan 14 hari mampu meningkatkan jumlah
malai per rumpun, bobot gabah per rumpun, produksi GKG t/ha bila
dibandingkan umur bibit 21 dan 28 hari. Sedangkan menurut Horie, dkk (2004)
bahwa bibit muda (< 10 hari) dengan 2-3 phyllochron mempunyai bahan

278
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

makanan cadangan pada endosperm benih untuk pertumbuhan bibit dan kadar
nitrogen pada daun yang lebih tinggi. Penggunaan umur bibit tua >21 hss
masih dapat dilakukan namun menurunkan hasil tanaman padi bila
dibandingkan umur bibit muda.
Tanaman padi mempunyai daya adaptasi yang cukup besar terhadap
kerapatan tanaman melalui mekanisme pengaturan terhadap jumlah malai,
jumlah gabah per malai, dan persentase gabah isi. Peningkatan populasi
tanaman dapat dilakukan dengan sistem tanam legowo 4:1 atau tandur jajar 20
cm x 20 cm. Pada kondisi radiasi matahari yang rendah, terutama pada musim
hujan, sekitar 65% areal padi di Indonesia, peningkatan populasi tanaman
menjadi sangat penting untuk meningkatkan hasil gabah dan efisiensi
penggunaan pupuk N karena lebih sedikitnya jumlah anakan yang terbentuk
(De Datta, 1981).Selain itu salah satu faktor penting dalam budidaya untuk
menunjang pertumbuhan hidup tanaman adalah pemupukan. Tanaman tidak
cukup hanya mengandalkan unsur hara dalam tanah, tetapi tanaman perlu
diberi unsur hara tambahan dari luar yaitu berupa pupuk (Simanungkalit, dkk.,
2006).
Perbandingan Hasil Pengujian dengan Deskripsi Varietas
Perbandingan antara produktivitas hasil pengkajian dengan deskripsi
varietas padi Inpari 14, 15, 22, 23 dan Cigeulis yang diintroduksi dapat dilihat
pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan hasil pengujian dengan deskripsi varietas yang di


introduksi oleh Balai Besar Penelitian Padi
Produktivitas t/ha GKG
Uraian
Pengujian* Deskripsi** Potensi Hasil
Inpari 16 7,46a 6,3 7,6

Inpari 22 7,01a 5,8 7,9


Cigeulis 4,71ab 5,8 8,0
* Data primer diolah
**Deskripsi varietas padi menurut BB-Padi. 2009 dan Suprihatno, et. al.,
2011.
Pada Tabel 3, ditunjukkan bahwa hasil gabah atau GKG yang tinggi
dicapai pada VUB yang introduksikan, dan lebih tinggi dari varietas eksisting.
Namun hasil tertinggi dicapai pada vrietas Inpari 16 dengan rata-rata
produktivitasnya mencapai 7,46 t/hadan roduktivitas terendah dicapai pada
varietas Cigeulis 4,71 (sebagai kontrol).

Varietas Inpari 16 dan 22 ini dalam deskripsi varietas memiliki potensi


hasil hingga mencapai 7,6 t/ha dan 7,9 t/ha, namun berdasarkan hasil
produktivitas tersebut diatas masih ada peluang untuk meningkatkan
produktivitas keempat varietas yang dikaji jika teknologi yang digunakan tepat
guna. Tinggi dan rendahnya produktivitas tergantung dengan teknologi yang
diterapkan dan kesesuaian iklim di lahan setempat. Semakin baik teknologi
yang diterapkan dengan kondisi iklim yang mendukung, produktivitas yang
dicapai akan lebih baik. Menurut Sutardjo (2012), salah satu faktor untuk

279
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

meningkatkan produktivitas dengan diterapkannya cara tanam sistem jajar


legowo 4:1 yang menambah barisan tanaman untuk mengalami efek tanaman
pinggir, sinar matahari dapat dimanfaatkan lebih banyak untuk proses
fotosintesis.

Berdasarkan hasil penelitian Yartiwi, dkk (2012), bahwa penambahan


tinggi tanaman dan jumlah anakan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih
baik pada legowo 2:1 dan tidak terlihat berbeda nyata dengan legowo 4:1. Pada
komponen hasil belum menunjukkan adanya pengaruh sistem tanam yang
dilakukan dengan produksi tanaman kecuali pada pengamatan jumlah gabah
bernas. Jumlah gabah bernas terbanyak dihasilkan pada sistem tanam legowo.

KESIMPULAN

1. Introduksi VUB dan perbaikan manajemen usahatani menggunakan


pendekatan PTT mampu meningkatkan produktivitas padi sawah
dilokasi pengujian.
2. Capaian rata-rata produktivitas padi sawah dari VUB yang
diintroduksikan tertinggi dicapai Inpari 16 sebesar 7,46 t/ha dan Inpari
22 sebesar 7,01 t/ha. Kedua VUB menunjukkan capaian produktivitas
yang lebih tinggi dari kontrol pola petani dengan varietas Cigeulis yaitu
4,71 t/ha.
SARAN

Supaya varietas yang diintroduksikan tersebut dapat di tempat lain dengan


pendekatan PTT

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, F., A. Suryanto dan N. Aini. 2013. Sistem Tanam Dan Umur Bibit
Pada Tanaman Padi Sawah (Oryza Sativa. L.) Varietas Inpari 13. Jurusan
Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya . Malang.
Jurnal Produksi Tanaman Vol. 1(2).
Asep, W. 2011. Tanam Padi Cara Jajar Legowo di Lahan Sawah, Balai
Penelitian Teknologi Pertanian Banten [6 Februari 2012].
Azwir. 2008. Sistem Tanam Legowo dan Pemberian P-Stater pada Padi Sawah
Dataran Tinggi. Jurnal Akta Agrosia 11(2) : 102-107.
BPS. 2012. Tabel Luas Panen, Produktivitas, Produksi Tanaman Padi Seluruh
Propinsi (http:// www,bps,go,id /tnmn_pgn,php? adodb_next_page
=2&eng=0&pgn=1&prov=99&thn1=2010&thn2=2011&luas=1&produktivitas=1
&produksi=1, [7 Juni 2012].
Daradjat, A.A., Agus S., A.K. Makarim, A. Hasanuddin. 2008. Padi – Inovasi
Teknologi Produksi. Buku 2. LIPI Press. Jakarta.
De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley &
Sons, Inc., USA.
Jatmiko, S,Y, Harsanti S, Sarwoto dan A,N, Ardiwinata. 2002. Apakah herbisida
yang digunakan cukup aman? hlm, 337-348, Dalam Noeriwan B,
Soerjandono,Buletin Teknik Pertanian. Vol. 10 (1) 2005. 8 hal

280
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Mujisihono, R dan T, Santosa. 2001, Sistem Budidaya Teknologi Tanam Benih


Langsung (TABELA) dan Tanam Jajar Legowo (TAJARWO). Makalah
Seminar Perekayasaan Sistem Produksi Komoditas Padi dan Palawija,
Diperta Prop. DIY. Yogyakarta.
Muliadi A., R. Heru Pratama. 2008. Korelasi Antara Komponen Hasil dan Hasil
Galur Harapan Padi Sawah Tahan Tungro.Prosd. Seminar Nasional Padi;
Inovasi teknologi padi mengantisipasi perubahan iklim global mendukung
ketahanan pangan (1):165-171. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Sukamandi.
Pahrudin, A., Maripul, dan Philips Rido Dida. 2004. Cara Tanam Padi Sistem
Legowo Mendukung Usaha Tani di Desa Bojong Cikembar Sukabumi.
Buletin Teknik Pertanian 9 (I):10-12.
Pemda Kabupaten Seluma. 2014. Data Produktivitas Kabupaten Seluma. Dinas
Pertanian, Pereternakan dan Perkebunan Kabupaen Seluma.
Pemerintah Kabupaten Seluma. 2010. Daftar Isian Profil Desa/Kelurahan
Tingkat Desa. Desa Rimbo Kedui. Kecamatan Seluma Selatan.
Kabupaten Seluma.
Setiobudi, D., Y. Samaullah dan T. Rustiati. 2009. Kepekaan Relatif Padi Inbrida
dan Hibrida Terhadap Variasi Pasokan Air Selama Fase Vegetatif dan
Reproduktif. Inovasi Teknologi Padi untuk mempertahankan
Swasembada dan mendorong Ekspor beras. Buku 2. Balai Besar
Penelitian Padi. Sukamandi. p.683-700.
Simanulang, Z.A. 2001.Kriteria Seleksi untuk Sifat Agonomis dan
Mutu.Pelatihan dan Koordinasi Progam Pemuliaan Partisipatif (Shuttle
Breeding) dan Uji Multilokasi. Sukamandi 9-14 April 2001.
Balitpa.Sukamndi.
Simanungkalit, R.D.M, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Styorini, W. Hartatik.
2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati.Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian.
Sunadi. 2008. Modifikasi paket teknologi SRI (The System or Rice
Intensification) untuk meningkatkan hasil padi (Oryza sativa. L) sawah. ).
Disertasi Doktor Ilmu Pertanian pada Program Pascasarjanan Unand.
Padang.
Suprapto dan A. Dradjat. 2005 uletin Plasma Nutfah Vol. 11 No. 1 tahun 2005.
Suprihatno, B., Aan A. Daradjat., Satato., Erwin Lubis., Baehaki, SE., S. DEwi
Indrasari., I Putu Wardana, dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas
Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal.
Sutardjo, W. 2012. Tanam Padi Sistem Jajar Legowo. http://sekarmadjapahit,
wordpress,com/2012/01/30/tanam-padi-sistem-jajar-legowo/.
Wahyuni, S. 2011. Teknik Produksi Benih Sumber Padi. Makalah disampaikan
dalam Workshop Evaluasi Kegiatan Pendampingan SL-PTT 2001 dan
Koordinasi UPBS 2012 tanggal 28-29 November 2011. Balai Besar
Penelitian Padi. Tidak dipublikasikan.
Yartiwi, Y. Oktavia dan A. Ishak. 2013. Increasing Rice Production Using “Jajar
Legowo” Planting System. Procedings The 3rd International Siympos
ForbSustainable Humanosphere (ISSH) ; a Foru Humanosphere
Science School (HSS) : Universitas of Bengkulu ; Bengkulu- Indonesia.
September 17-18, 2013, ISSN : 2088-9127.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice
Research Institute. Los Banos. Laguna. Philippines.

281
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGUJIAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU PADI


DI KECAMATAN LEUWILIANG DAN CIJERUK, KABUPATEN BOGOR

Yati Haryati1), Sukmaya1), Anna Sinaga1), dan Ahmad Tohir Harahap2)

1)
Balai Pengkajian Teknologi PertanianJawa Barat
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A.H Nasution No. 1 B Medan Sumatera Utara
Email : dotyhry@yahoo.com

ABSTRAK

Varietas padi spesifiklokasi yang mempunyai keunggulan tertentu dapat


mendukung peningkatan produksi padi. Pengkajian dilaksanakan di lahan milik
Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Leuwiliang,
Kecamatan Leuwiliang dan di Kelompok Tani Maju, Desa Tajurhalang,
Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Kegiatan dilaksanakan pada bulan
Mei-Agustus 2014. Tujuan pengkajian untuk mengetahui varietas unggul baru
spesifik lokasi yang beradaptasi baik dan memiliki potensi hasil yang tinggi.
Menggunakan Rancangkan Acak Kelompok (RAK), sebagai perlakuan adalah
lima varietas unggul padi yaitu Inpari 4, Inpari 6, Sarinah, Inpari 13 dan Inpari
14 diulang 5 kali. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa varietas padi yang
beradaptasi baik di Kecamatan Leuwiliang adalah varietas Inpari 14 engan
produktivitas 7,08 t/ha (GKP) dan di Kecamatan Cijeruk varietas Sarinah
dengan produktivitas 10,99 t/ha (GKP).

Kata Kunci : Varietas unggul padi, adaptasi, spesifik lokasi

PENDAHULUAN

Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi Pengelolaan


Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi yang memberikan kontribusi
besar dalam meningkatkan produksi dan produktivitas padi. Banyaknya jumlah
varietas unggul baru yang dilepas memberikan peluang sebagai alternatif
kepadapetani untuk ditanam sesuai kondisi wilayah setempat (spesifik lokasi).

Varietas-varietas unggul baru padi yang sudah dilepas memiliki


keunggulan dan kelemahan. Keunggulan suatu varietas bila ditanam secara
meluas dan terus menerus secara intensif cenderung semakin berkurang, oleh
karena itu penggantian varietas lama dengan varietas baru harus mempunyai
keunggulan yang sama. Pemilihan suatu varietas oleh petani didasarkan pada:
1) potensi hasil, 2) tingkat ketahanan terhadap organisme pengganggu
tanaman (OPT), 3) umur panen, 4) rasa nasi dan 5) harga jual. Potensi hasil
dari setiap galur/varietas tersebut diharapkan dapat mencerminkan daya hasil
dan daya adaptasi dari galur/varietas di setiap lokasi untuk menunjang
pelepasan varietas secara regional (Kaihatu dan Pesireron, 2011).

Penggunaan varietas unggul baru yang mempunyai potensi hasil tinggi


dan dosis pemupukan spesifik lokasi menjadi kunci untuk meningkatkan

282
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

produktivitas usahatani padi (Suriany dan Arman, 2009). Menurut Sembiring


(2010), Kementerian Pertanian telah melepas lebih 233 varietas unggul yang
terdiri atas 144 varietas unggul padi sawah inbrida, 35 varietas unggul padi
hibrida, 30 varietas unggul padi gogo, dan 24 varietas padi rawa.

Dalam dua tahun terakhir ini Badan Litbang Pertanian telah melepas
varietas baru untuk padi lahan sawah irigasi (Inpari 1-13), varietas unggul padi
gogo (Inpago 4-6) dan untuk ekosistim rawa yaitu varietas Inpara 1-6. Varietas-
varietas baru tersebut (Inpara 1-6) memiliki beberapa karakteristik diantaranya
memiliki toleransi atas rendaman air selama 7-14 hari pada fase vegetatif
dengan produktivitas yang lebih tinggi berkisar antara 4-6 ton per ha GKG.
Varietas Inpari, selain produktivitas tinggi 6-10 ton per ha, juga ketahanan
terhadap hama dan penyakit, mutu beras premium dan umur pendek.
Sedangkan untuk Inpago memiliki keunggulan yaitu produktivitas yang tinggi >4
ton per ha, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, toleran kekeringan
serta umur lebih pendek.

Komponen inovasi teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya


Terpadu (PTT) merupakan gabungan semua komponen terpilih dan saling
komplementer untuk mendapatkan hasil panen optimal dan menjaga
kelestarian lingkungan untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi yang
optimal. Pengembangan PTT padi harus disesuaikan dengan syarat tumbuh
tanaman termasuk ketinggian tempat karena sangat berpengaruh pada proses
fisiologi tanaman. Pemilihan wilayah pengembangan dan syarat tumbuh
tanaman yang tepat maka hasil tanaman akan sesuai dengan potensi
genetiknya sehingga pengembangan varietas unggul baru sesuai kondisi
wilayah setempat (spesifik lokasi).

Terbatasnya varietas padi spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan


tertentu, menyebabkan terhambatnya peningkatan produksi padi. Oleh karena
itu upaya pengujian berbagai varietas unggul baru spesifik lokasi yang
beradaptasi baik dan mempunyai potensi hasil tinggi harus dilakukan untuk
mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di lahan sawah milik Badan Penyuluhan


Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Leuwiliang, Kecamatan
Leuwiliang dan di lahan sawah pada KelompokTani Maju, Desa Tajurhalang,
Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Kegiatan dilaksanakan pada bulanMei-
Agustus 2014, menggunakan Rancangkan Acak Kelompok (RAK), sebagai
perlakuan adalah lima varietas unggul padi yaitu Inpari 4, Inpari6, Sarinah,
Inpari13 dan Inpari14 diulang 5 kali. Masing-masing varietas ditanam pada
petakan alami lahan sawah milik BP3K dan petani. Pelaksanaan kegiatan
dilakukan dengan menerapkan komponen teknologi Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) padi, yaitu: 1) Menggunakan varietas unggul baru,2)
Menggunakan bibit muda (18 HSS) dengan 2-3 bibit per lubang, 3) Cara tanam

283
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan sistem jajar legowo 2:1jarak tanam (45 cm) x (30 x 12,5 cm)di
Kecamatan Leuwiliang dan di Kecamatan Cijeruk dengan jarak tanam (40 cm)
x (25 x 15 cm), 4) Pemupukan Urea susulan berdasarkan bagan warna daun
(BWD).Kadar N di Kecamatan Leuwiliang dan Cijeruk termasuk sedang
sehingga takaran Urea 200 kg/ha. Pupuk Urea diberikan pada saat tanam,
umur 21 dan 45 HST. 5) Pemupukan P dan K berdasarkan hara tanah dengan
menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), 6) Penyiangan dilakukan
dua kali yaitu pada umur 20 dan 40 HST dengan cara digasrok, 7) Pengendalian
hama dan penyakit berdasarkan konsep PHT, dan 8) Panen dan pasca panen
dilakukan pada saat tanaman padi memasuki masak fisiologis. Data yang
diamati yaitu tinggi tanaman (60 dan 102 HST), jumlah anakan produktif (60
HST) dan komponen hasil (jumlah malai, gabah isi/malai, gabah hampa/malai
dan produksi gabah. Data dianalisis menggunakan Uji Duncan dilanjutkan
dengan uji jarak berganda (DMRT) 5% dengan menggunakan SAS versi 9.0 for
windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik lokasi
Kecamatan Leuwiliang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor
bagian Barat dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah Timur dengan
wilayah Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan, Selatan dengan
Kecamatan Pamijahan dan Kabupaten Sukabumi, Barat dengan Kecamatan
Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung dan sebelah Utara Kecamatan
Rumpin.Kondisi geografis wilayah Kecamatan Leuwiliang sebagian berupa
pegunungan, dengan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, sawah, tegalan,
ladang, perkebunan, dan hutan.
Kecamatan Cijeruk memiliki luas wilayah 5.729,9 ha, terletak di antara
dua gunung yaitu Gunung Pangrango dan Salak serta dilalui oleh beberapa
aliran sungai yaitu Sungai Cisadane, Cinagara dan Cimande. Sedangkan pusat
pemerintahan Kecamatan Caringin berlokasi di Desa Cimande Hilir, terdiri dari
12 Desa dengan 80 RW dan 346 RT. Iklim di Kabupaten Bogor menurut
klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk Iklim Tropis tipe A (Sangat Basah)
di bagian Selatan dan tipe B (Basah) di bagian Utara. Suhu rata-rata berkisar
antara 200C sampai 300C Curah hujan tahunan antara 2.500 mm sampai lebih
dari 5.000 mm/tahun.

Hasil analisa tanah P dan K

Untuk menentukan dosis pemupukan P dan K dilakukan analisa tanah


dengan menggunakan PUTS. Berdasarkan hasil analisa tanah di Kecamatan
Leuwiliang dan Cijeruk, menunjukkan kandungan N termasuk sedang,
sehingga diberikan dosis Urea 200 kg/ha, P termasuk rendah (SP-36 100
kg/ha dan kadar K = rendah (KCl 100 kg/ha). Pupuk Urea diberikan 3 kali yaitu
pada saat tanam 100 kg/ha, umur 21 HST dan 45 HST diberikan masing-
masingnya dengan dosis 50 kg/ha. Pupuk SP-36seluruhnya diberikan pada

284
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

saat tanam, sedangkan pupuk KCl diberikan 2 kali yaitu pada saat tanam dan
umur 21 HST masing-masing 50 kg/ha.
Pertumbuhan tanaman padi
Hasil analisis terhadap tinggi tanaman dan anakan produktif dari 5
varietas unggul padi sawah yang diuji disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif beberapa
varietas unggul padi di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. MK
II 2014.
Peubah
Varietas Tinggi tanaman Jumlah anakan
60 HST 102 HST produktif
(cm) Cm (bt/rumpun)
Inpari 4 98,6b 103,0b 11,8a
Inpari 6 96,5b 101,3b 15,1bc
Sarinah 104,6c 113,9c 16,3c
Inpari 13 101,3bc 103,8b 12,7ab
Inpari 14 87,4a 94,8a 15,6bc

Keterangan :Angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Uji DMRT.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan varietas
memberikan perbedaan nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah anakan
produktif. Pada Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata tinggi tanaman pada umur
tanaman 60 HST berkisar antara 87,4-104,6 cm, dimana tinggi tanaman
tertinggi didapatkan oleh varietas Sarinah (104,6 cm) dan berbeda nyata
dengan varietas lainnya kecuali dengan Inpari 13 (101,3 cm). Tidak jauh
berbeda keragaanya pada umu 102 HST, tinggi tanaman tertinggi juga dimiliki
oleh varietas Sarinah (113,9 cm) namun berbeda nyata dengan empat varietas
lainnya.
Terhadap jumlah anakan produktif menunjukkan bahwa varietas Sarinah
mampu memberikan jumlah anakan produktif tertinggi yaitu 16,3 bt/rumpun dan
berbeda nyata hanya dengan 2 varietas yaitu dengan Inpari 13 (12,7 bt/rumpun)
dan Inpari 4 (11,8 bt/rumpun). Keragaan pertumbuhan tanaman padi (tinggi
tanaman dan jumlah anakan produktif) yang paling baik di Kecamatan
Leuwiliang dimiliki oleh varietas Sarinah dibandingkan varietas lainnya. Hal ini
diduga varietas Sarinah sesuai dengan kondisi wilayah setempat sehingga
pertumbuhan tanaman optimal. Perbedaan tinggi tanaman antar varietas
tersebut sangat dipengaruhi oleh perbedaan faktor genetis masing-masing
varietas (Kaihatu dan Pesireron, 2011).

Di Kecamatan Cijeruk, tinggi tanaman pada umur 60 HST berkisar


antara75,8 cm sampai 95,6 cm, dimana varietas Inparr13 memiliki tinggi
tanaman tertinggi dan berbeda nyata dengan keempat varietas lainnya (Tabel
2), sedangkan pada 102 HST tinggi tanaman yang paling tinggi didapat pada
varietas Inpari 4 (105,7 cm) dan berbeda nyata dengan varietas lainnya.
Sedangkan jumlah anakan produktif yang paling banyak didapat oleh varietas
Inpari 13(21,5 bt/rumpun) berbeda nyata dengan keempat varietaslainnya.

285
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Faktor genetik akan memperlihatkan sifatnya apabila didukung oleh faktor


lingkungan untuk pertumbuhan tanaman yang optimal, sedangkan perbaikan
faktor lingkungan tidak akan menyebabkan optimalnya suatu sifat, apabila
faktor genetik yang diperlukan tidak terdapat pada individu yang bersangkutan
(Dahlan dkk., 2012).
Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif beberapa
varietas unggul padi di Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. MK II
2014.
Peubah
Tinggi tanaman Jumlah anakan
Varietas
60 HST 102 HST produktif
Cm Cm (bt/rumpun)
Inpari 4 89,5c 105,7d 15,4a
Inpari 6 75,8a 99,9c 18,8c
Sarinah 79,5b 89,9b 16,6b
Inpari 13 90,6c 105,3d 21,5d
Inpari 14 76,5a 89,2a 17,5b

Keterangan :Angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Uji DMRT.

Pengelolaan ruang, cahaya, air dan nutrisi yang optimal bagi tanaman
padi, dapat meningkatkan efisiensi source dan kekuatan sink. Hal ini terlihat
dari meningkatnya jumlah anakan total, sehingga luas daun meningkat, dengan
demikian penyerapan cahaya matahari oleh daun lebih besar menyebabkan
peningkatan hasil tanaman padi, selain itu dengan jumlah anakan yang banyak
maka total jumlah gabah yang dihasilkan lebih banyak sehingga akan
berpengaruh pada total produksi padi yang dihasilkan (Palokitan dkk., 2011).
Selanjutnya menurut Mahmud dan Purnomo (2014), bahwa jumlah malai per
rumpun berkaitan erat dengan kemampuan tanaman menghasilkan anakan dan
kemampuan mempertahankan berbagai fungsi fisiologis tanaman. Semakin
banyak anakan yang terbentuk semakin besar peluang terbentuknya anakan
yang menghasilkan malai.
Komponen hasil dan hasil
Produksi padi ditentukan oleh komponen hasilnya, sedangkan komponen
hasil ditentukan oleh genetik tanaman maupun faktor lingkungan seperti iklim,
hara, tanah, dan air. Sifat-sifat kultivar dibedakan oleh persentase 50% muncul
malai (cepat atau lambat) dan panjang batang padi sampai malainya (pendek
atau panjang).

Di Kecamatan Leuwiliang, komponen hasil dari masing-masing varietas


untuk jumlah malai per rumpun maisng-masing varietas tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata, sedangkan untuk berat gabah bernas per malai pada
masing-masing varietas antara 42,7 g -123,3 g dan yang tertinggi dimiliki oleh
varietas Inpari 13 dan 14, sedangkan gabah hampa yang paling rendah Inpari
13 (16,4 g) (Tabel 3).

286
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Komponen hasil dan hasilbeberapa varietas unggul padi di Kecamatan


Leuwiliang, Kabupaten Bogor. MK II 2014.
Peubah
Varietas Jumlah malai Gabah bernas Gabah hampa Hasil GKP
(buah/rumpun) (g) (g) (t /ha1)
Inpari 4 14,0a 42,7a 77,5c 5,30a
Inpari 6 15,0a 104,8b 77,8c 6,10b
Sarinah 16,4a 98,4b 56,9b 5,30a
Inpari 13 12,7a 116,4c 16,4a 6,50c
Inpari 14 15,6a 123,3c 21,2a 7,10d

Keterangan :Angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Uji DMRT.

Hasil gabah kering panen (GKP) berkisar antara 5,30 - 7,10 t/ha, hasil
tertinggi pada varietas Inpari 14 (7,10 t/ha). Adanya perbedaan karakter
fenotipe yang tampak dari masing-masing varietas disebabkan oleh adanya
perbedaan gen yang mengatur karakter tersebut (Dahlan dkk. 2012).
Selanjutnya menurut Hatta (2011), bahwa varietas padi berpengaruh terhadap
komponen hasil, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah bulir per malai,
dan hasil padi.

Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produktivitas


padi yaitu penggunaan pupuk sesuai kebutuhan tanaman, penerapan sistem
tanam jajar legowo dan kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan
tanaman padi (Asnawi, 2014).
Di Kecamatan Cijeruk, jumlah malai per rumpun Inpari 13, 14 dan 6 tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata, sedangkan gabah bernas per malai
Varietas Sarinah, Inpari 13 dan 14 tidak berbeda nyata, dan gabah bernas
paling berat yaitu Inpari 6 (133,4 g) (Tabel 4).
Tabel 4. Komponen hasil dan hasilbeberapa varietas unggul padi di Kecamatan
Cijeruk, Kabupaten Bogor. MK II 2014.
Peubah
Varietas Jumlah malai Gabah bernas Gabah hampa (g) Hasil GKP
(buah/rumpun) (g) (t/ha)
Inpari 4 13,1a 122,5a 34,0c 8,97a
Inpari 6 15,9c 133,4c 33,0b 9,56b
Sarinah 14,7b 127,1b 31,0a 10,99c
Inpari 13 16,2c 125,6b 40,4d 9,53b
Inpari 14 16,2c 125,6b 40,4d 9,34b

Keterangan :Angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama
tidak menunjukkan beda nyata pada taraf 5% Uji DMRT.

Gabah hampa masing-masing varietas berkisar antara 31,0 - 40,4 g,


Varietas Inpari 13 dan 14 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Gabah
hampa berkisar antara 31,0 - 40,4 g. Gabah hampa paling rendah Varietas
Sarinah (31,0). Untuk hasil gabah kering panen (GKP) masing-maisng varietas
berbeda Varietas Inpari 6, Inpari 13 dan Inpari 14 tidak menunjukkan beda

287
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

nyata, sedangkan Varietas Sarinah menunjukkan hasil yang paling tinggi (10,99
t/ha) dan Varietas Inpari 4 paling rendah (8,97 t/ha).
Hasil penelitian Sirrapa (2011), penerapan inovasi teknologi PTT melalui
penggunaan varietas unggul baru (Memberamo, Mekongga, Cigeulis,
Ciherang) dengan sistem tanam legowo 2:1 atau 4:1, dengan menggunakan
tanam benih langsung (tabela) dan tanam pindah (tapin) menghasilkan produksi
gabah yang cukup tinggi (5,5-`8,3 t/ha) dibandingkan dengan teknologi yang
diterapkan dengan cara petani (4 t/ha). Pengaruh variabilitas dalam hal
pertumbuhan dan produksi dari masing-masing varietas, karena setiap varietas
padi memiliki daya adaptasi tersendiri terhadap kondisi biofisik lingkungan
(Gosh dan Kashyap, 2003).

Perbedaan hasil varietas Sarinah di Kecamatan Leuwiliang dan Cijeruk,


hal ini diduga varietas Sarinah dapat beradaptasi dengan baik di Kecamatan
Cijeruk sehingga produktivitasnya sesuai dengan potensi yang dimiliki varietas
tersebut. Menurut Utama dkk., (2009), bahwa sifat genetik tanaman padi dapat
muncul optimal, apabila didukung dengan faktor lingkungan yang sesuai untuk
lingkungan tumbuhnya sehingga mampu menghasilkan gabah bernas yang
optimal.

Korelasi antara sifat


Nilai koefisien korelasi menunjukkan keeratan hubungan antar karakter
peubah. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa tinggi tanaman umur 60
HST, tinggi tanaman 102 HST, gabah isi dan gabah hampa berkorelasi positif
dan nyata dengan hasil (Tabel 5.). Hal ini menunjukkan bahwa karakter
tersebut berpengaruh terhadap peningkatan hasil padi.
Tabel 5. Korelasi antar sifat di Kecamatan Leuwiliang

Peubah TT-60 JA TT-102 JM GI GH Hasil


TT-60 1 0,919* 0,683*
* 0,161 0,003 0,196 0,209 *

TT-102 1 0,707*
0,089 0,024 0,143 0,231 *

JA 1 0,213 0,313 0,032 0,158


JM 1 0,863** 0,612** 0,376
GI 1 0,675*
0,732** *

GH 1 0,691**
Hasil 1

Keterangan :TT-60 HST = tinggi tanaman 60 HST, JA = jumlah anakan, TT-


102 HST = tinggi tanaman 102 HST, JM = jumlah malai, GI =
gabah isi, GH = gabah hampa

Korelasi jumlah gabah isi dengan gabah hampa negatif nyata, hal ini
menunjukkan bahwa penambahan gabah ini akandiikuti oleh pengurangan
gabah hampa. Sedangkan tinggi tanaman umur 102 HST dan gabah isi
berkorelasi positif sangat nyata dengan hasil, sehingga kedua komponen hasil
tersebut sangat berpengaruh terhadap peningkatan hasil (Tabel 6).

288
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 6. Korelasi antar sifat di Kecamatan Cijeruk

Peubah TT-60 JA TT-102 JM GI GH Hasil


TT-60 1 0,176 0,770** 0,396 0,627** 0,238 0,321
TT-102 1 0,297 0,261 0,145 0,094 0,562**
JA 1 0,715** 0,296 0,548* 0,070
JM 1 0,543* 0,527* 0,017
GI 1 -0,493* 0,719**
GH 1 0,143
Hasil 1

Keterangan : TT-60 HST = tinggi tanaman 60 HST, JA = jumlah anakan, TT-


102 HST = tinggi tanaman 102 HST, JM = jumlah malai, GI =
gabah isi, GH = gabah hampa

Karakter komponen hasil berpengaruh terhadap daya hasil tanaman padi,


yaitu antara hasil gabah gabah isi per malai dan antara hasil gabah dengan
tinggi tanaman pada umur 102 HST, hal ini diduga dengan tinggi tanaman yang
optimal berhubungan dengan banyaknya cahaya matahari yang diterima oleh
tanaman padi, di mana cahaya matahari mempunyai pengaruh besar dalam
proses fisiologis terutama dalam proses fotosintesis untuk membentuk
karbohidrat.

Korelasi positif terjadi bila gen-gen yang mengendalikan dua karakter


yang berkorelasi tersebut meningkatkan keduanya, sedangkan korelasi negatif
bila terjadi berlawanan (Falconer, 1989).

KESIMPULAN

1. Varietas padi yang beradaptasi baik di Kecamatan Leuwiliang adalah


Varietas Inpari-14 dengan produktivitas 7,08 t/ha GKP dan di Kecamatan
Cijeruk Varietas Sarinah dengan produktivitas 10,99 t/haGKP.

2. Hasil analisa usahatani Varietas Inpari14 dan Sarinah memberikan


keuntungan yang cukup tinggi dengan nilai R/C 2,28 dan 2,93.

DAFTAR PUSTAKA

Asnawi, R. 2014. Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan Petani Melalui


Penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di
Kabupaten Pesawaran, Lampung, Jurnal Penelitian Pertanian Terapan
Vol. 14 (1):44-52.
Dahlan, D., Musa, Y., dan Ardah, M. I., 2012. Pertumbuhan Dan Produksi Dua
Varietas Padi Sawah Pada Berbagai Perlakuan Rekomendasi
Pemupukan, Jurnal Agrivigor11 (2): 262-274.
Falconer, D.S. 1989. Introduction to Quantitative Genetics. Longman. London.
Fehr, W.R. 1987. Principles of cultivar development. Volume I. Macmillan.
Ghosh, P., dan A.K. Kashyap. 2003. Effect of rice cultivars on rate of
Nmineralization, nitrification and nitrifier population size in an irrigated
ecosystem. Applied Soil Ecology (23) : 27 - 41.

289
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hatta, M. 2011. Pengaruh tipe jarak tanam terhadap anakan, komponen hasil,
dan hasil dua varietas padi pada metode SRI. Jurnal Floratek 6 (2) : 104
- 113.
Kaihatu, S., S, dan Pesireron, S. 2011. Adaptasi Beberapa Varietas Unggul
Baru Padi Sawah Di Morokai. J. Agrivigor 11(2): 178-184.
Krismawati, Krismawati, A dan Angraeni, H. 2010. Kajian Penerapan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Kabupaten Madiun
(online). http:// www.google. co.id/url?sa=t&rct =j&q=jurnal+ peningkatan
+produktivitas+padi. (Diakses 22 Pebruari 2015). Bengkulu.
Mahmud, Y., dan Purnomo, S., S. 2014. Keragaman Agronomis Beberapa
Varietas Unggul Baru Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Pada Model
Pengelolaan Tanaman Terpadu. Jurnal Ilmiah Solusi 1 (1) : 1-10.
Polakitan, A., L.A Taulu, dan Derek Polakitan. 2011. Kajian Beberapa Varietas
Unggul Baru Padi Sawah Di Kabupaten Minhasa. Seminar Nasional
Serealia. 130-133.
Sembiring, H. 2010. Ketersediaan Inovasi TeknologiUnggulan Dalam
Meningkatkan ProduksiPadi Menunjang Swasembada dan Ekspor.
Dalam Suprihatno B, dkk. (eds). Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Padi untuk Mempertahankan Swasembada dan Mendorong
Ekspor Beras.Balai Besar PPenelitian Tanaman Padi. Buku 1.
Sukamandi.
Sirrapa, M., P. 2011. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Padi Melalui
Penggunaan Varietas Unggul Dan Ssistem Tanam Jajar Legowo Dalam
Meningkatkan Produktivitas Padi Mendukung Swasembada Pangan.
Jurnal Budidaya Pertanian, 7 (2) : 79 - 86.
Suriany dan Arman. 2009. Kajian Beberapa Varietas Unggul Padi Produktivitas
Di Atas7 Ton/Hektar Dan Peningkatan Pendapatan Petani Di Sulawesi
Selatan. Jurnal Agrisistem, 5 (2) : 94-110.
Utama, M., Z., H., dan Widodo Haryoko. 2009. Pengujian Empat Varietas Padi
Unggul pada Sawah Gambut Bukaan Baru di Kabupaten Padang
Pariaman. Jurnal Akta Agrosia, 12 (1) : 56 – 61.

290
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGARUH TIGA SISTEM TANAM PADA DUA MUSIM TANAM


TERHADAP KARAKTER AGRONOMI GALUR HARAPAN PADI TIPE BARU

Sri Romaito Dalimunthe

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. AH. Nasution No. 1B Medan
Email : romaito_d@yahoo.com

ABSTRAK
Padi tipe baru memiliki ciri khas jumlah anakan per rumpun sedikit dan
kelebatan malai yang tinggi. Sistem budidaya dengan jarak tanam yang
berbeda berpengaruh terhadap jumlah anakan per rumpun dan populasi per
hektar. Namun demikian, pengaruh jumlah anakan terhadap kelebatan malai
PTB belum diketahui. Penelitian dilaksanakan pada dua musim tanam (Juni–
Oktober 2009) dan (Nopember 2009-Mei 2010) di Bogor Jawa Barat.
Menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan tiga ulangan.
Sebagai perlakuan faktor I adalah tiga sistem teknik budidaya yaitu (SRI jarak
tanam 30 x 30 cm, Legowo jarak tanam (20 x 10 cm) x 40 cm, dan Tegel jarak
tanam 20 x 20 cm) Sistem Legowo dan Tegel menggunakan 2 bibit per lubang
tanam umur 21 HSS, sedangkan SRI menggunakan 1 bibit per lubang tanam
umur 10 HSS. Sedangkan faktor II adalah 17 galur harapan PTB dan 3 varietas
pembanding yaitu Ciherang, IR64 dan Fatmawati. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa jumlah anakan per rumpun galur-galur PTB meningkat
secara nyata pada jarak tanam lebar namun peningkatan jumlah anakan
produktif per rumpun menurunkan kelebatan malai. Didapat tiga galur harapan
PTB yang memiliki produktivitas lebih tinggi dibanding varietas pembanding
Ciherang (5.69 t/ha), IR64 (5.49 t/ha), dan Fatmawati (5.98 t/ha) adalah
IPB117–F–14–2–1 (6.26 t/ha),IPB117–F–17–4–1 (6.25 t/ha), dan IPB97–F–
20–2–1 (6.05 t/ha).
Kata Kunci: Padi tipe baru, kelebatan malai, SRI, legowo, tegel
PENDAHULUAN
Padi tipe baru (PTB) memiliki karakter unggul anakan sedikit dan
malai yang panjang dan lebat. Karena memiliki karakter unggul yang baik, PTB
diyakini dapat meningkatkan produksi hingga 15-20% lebih tinggi dari pada
varietas unggul biasa (Zhengjin dkk (2005); Virk dkk (2004).

IPB telah merintis kegiatan pemuliaan PTB sejak tahun 1999 dan telah
menghasilkan galur-galur harapan PTB yang memiliki potensi hasil 7-8 t/ha
(GKG). Teknik budidaya yang umum dilakukan petani belum mampu mencapai
potensi kenaikan produksi seperti yang diharapkan. Oleh karena itu kajian
pengelolaan teknologi budidaya galur-galur harapan PTB tersebut masih perlu
dilakukan guna memperoleh suatu teknik budidaya yang tepat dan sesuai bagi
pertumbuhan dan perkembangan PTB sehingga mampu meningkatkan jumlah
anakan produktif dan produktivitasnya.

291
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Terdapat beberapa sistem tanam teratur, seperti Tegel, Legowo dan


jarak tanam lebih lebar yaitu (SRI). Teknologi Legowo merupakan rekayasa
teknik tanam dengan mengatur jarak tanam antar rumpun dan antar barisan
sehingga terjadi pemadatan rumpun padi dalam barisan dan melebar jarak
antar barisan sehingga seolah-olah rumpun padi berada dibarisan pinggir dari
pertanaman yang memperoleh manfaat sebagai tanaman pinggir (border
effect). Cara tanam padi sistem Legowo merupakan rekayasa teknologi yang
ditujukan untuk memperbaiki produktivitas usaha tani padi. Dengan
menggunakan sistem ini, jumlah rumpunnya meningkat 30% lebih tinggi dari
sistem tanam Tegel. Sedangkan SRI menggunakan jarak tanam lebar dengan
tujuan meningkatkan jumlah anakan per rumpun. Jumlah populasi tanaman
pada sistem Tegel (20 cm x 20 cm) dan Legowo 2:1 (20 x 10 cm) x 40 cm
masing-masing adalah 250 000 dan 330 000 tanaman/hektar. Menurut
penelitian Masdar dkk., (2006); Makarim dan Ikhwani (2008), penerapan jarak
tanam yang lebar pada padi sawah menghasilkan jumlah anakan yang banyak
dibandingkan dengan jarak tanam sempit. Berdasarkan penelitian tersebut,
PTB yang telah dirakit memiliki ideotype anakan yang tidak banyak (8-10
anakan), diharapkan akan dapat menghasilkan anakan yang lebih banyak dan
produktif, dengan kelebatan malai yang tinggi pula. Dengan kemampuan PTB
yang dapat menghasilkan malai yang lebat sekitar 200 butir gabah isi/malai,
maka satu tanaman akan dapat menghasilkan gabah sebanyak 2.000 butir.
Sehingga produktivitasnya dapat mencapai 10-20% lebih tinggi daripada padi
varietas unggul baru.

Galur-galur PTB yang ditanam dengan sistem Legowo dan SRI tersebut
dapat atau tidak untuk meningkatkan jumlah anakan per hektarnya sehingga
mendekati jumlah anakan per hektar pada padi VUB yang ditanam pada teknik
budidaya biasa belum diketahui. Selain itu, karakter anakan tersebut apakah
akan mempengaruhi kelebatan malainya. Dengan adanya resultante antara
anakan per hektar dan kelebatan malai, maka diharapkan akan terjadi
peningkatan produksi.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di lahan sawah irigasi Desa Sindang Barang,
Bogor dengan ketinggian tempat ±250 mdpl pada buan bulan Juni-Oktober2009
(MT I) dan Nopember 2009-Juni 2010 (MT II). Menggunakan Rancangan
Kelompok Lengkap Teracak dengan tiga ulangan. Sebagai perlakuan faktor I
adalah sistem tanam dan jarak tanam meliputi a. Tegel 20 x 20 cm, b.Legowo
2:1 (20 x 10 cm) x 40 cm, dan c. SRI (30 x 30 cm). Sedangkan faktor II adalah
17 galur PTB dan 3 varietas pembanding (Tabel 1). Bibit padi umur 21 hari dan
2 bibit per lubang untuk perlakuan sistem Tegel dan Legowo 2:1 sedangkan
untuk SRI umur bibit 10 hari 1 bibit per lubang ditanam pada petak berukuran 3
m x 4 m.

292
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Galur PTB dan varietas pembanding yang digunakan dalam penelitian.
Bogor. 2009/2010.
No Galur Galur/Varietas
1 IPB97–F–15–1–1 11 IPB116–F–50–1–1
2 IPB97–F–20–2–1 12 IPB117–F–14–2–1
3 IPB97–F–44–2–1 13 IPB117–F–17–4–1
4 IPB102–F–92–1–1 14 IPB117–F–18–3–1
5 IPB107–F–8–3–3–1 15 IPB117–F–45–2–1
6 IPB115–F–3–2–1 16 IPB149–F–1–1–1
7 IPB115–F–11–1–1 17 IPB149–F–5–1–1
8 IPB116–F–42–2–1 18 IR-64
9 IPB116–F–45–2–1 19 Ciherang
10 IPB116–F–46–1–1 20 Fatmawati

Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna dengan cara dibajak 2 kali,


digaru kemudian diratakan. Pupuk yang digunakan adalah 250 kg Urea/ha, 100
kg SP 36/ha dan 100 kg KCL/ha, pupuk dasar (1/3 dosis Urea + seluruh dosis
SP 36) diberikan pada umur 3 hari setelah tanam (HST), pupuk susulan I (1/3
dosis Urea + ½ dosis KCL) diberikan pada umur 30 HST dan pupuk susulan II
(1/3 dosis Urea + ½ dosis KCL) diberikan pada umur 50 HST. Pemeliharaan
lainnya seperti pengendalian gulma dilakukan secara manual tangan dilakukan
sesuai dengan keadaan gulma, sedangkan pengendalian hama dan penyakit
dilakukan menggunakan prinsif PHT. Panen dilakukan apabila penampilan
tanaman sudah masak fisiologis atau penampakan gabah padi 95%
menguning.

Pengamatan dilakukan terhadap parameter sebagai berikut jumlah


anakan produktif/rumpun, panjang malai, jumlah gabah isi/malai, persentase
gabah isi/malai, bobot 1.000 butir, dan hasil gabah kering giling/ha.
Pengamatan dilakukan pada tanaman sampel (contoh) sebanyak 5 rumpun/plot
yang diambil secara acak di luar dua baris tanaman pinggir. Hasil pengamatan
di lapangan ditabulasi, kemudian dianalisis menggunakan Analysis of Variance
(ANOVA). Untuk melihat pengaruh masing-masing perlakuan dilanjutkan
dengan menggunakan Duncan New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf
5% (Gomez & Gomez, 1995).

Pengaruh teknik budidaya pada galur dianalisis menggunakan


analisis varian. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji Dunnett dan
DMRT dengan taraf nyata 5%. Untuk mengetahui pengaruh lingkungan
percobaan, maka dilakukan analisis gabungan dari tiap sistem budidaya.
Model linier Rancangan Acak Kelompok dengan pola gabungan adalah sebagai
berikut (Gomez & Gomez 1995):

293
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Yijk = μ + Lk + βi/k + Gj + (LG)kj + εijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j dan lokasi
ke-k
μ = nilai rataan umum
Lk = pengaruh lingkungan ke-k
βi/k = pengaruh ulangan ke-i dalam lingkungan ke-k
Gj = pengaruh genotipe ke-j
(LG)kj = pengaruh interaksi lingkungan ke-k dengan genotipe ke-j
εijk = pengaruh galat percobaan
i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3, 4, ….20 k = 1, 2, 3, ….6
Keragaman antar lingkungan dianalisis sesuai dengan Tabel 2.
Tabel 2 . Analisis ragam gabungan antar lingkungan
No Sumber Keragaman Derajat Kuadrat Nilai Harapan
Bebas Tengah
1 Lingkungan (l-1) σ2e+ rσ2gl + rgσ2l
2 Ulangan (Lingkungan) l(r-1) σ2e+ gσ2r
3 Genotipe (g-1) M3 σ2e+ rσ2gl + rlσ2g
4 Lingkungan x Genotipe (g-1)(l-1) M2 σ2e + rσ2gl
5 Galat l(r-1)(g-1) M1 σ2e
Keterangan: r = ulangan; g = genotipe; l = lingkungan tumbuh; σ2g = komponen
ragam genotipe;
σ2gl = komponen ragam interaksi genotipe x lingkungan; σ2e =
komponen ragam acak.

Dari Tabel 2 tersebut, dapat dihitung ragam genetiknya dengan rumus


sebagai berikut :

σ2G = (M3 – M2) / rl


σ2GxE = (M2 – M1) / r
σ2e = M1

Untuk mengetahui bahwa genotype dan interaksi genotype xlingkungan


berbeda nyata, maka dapat dilihat nilai Fhitungnya. Jika nilai Fhitung>nilaiF
table pada taraf α0,01 atau α0,05 maka perlakuan tersebut dinyatakan berbeda
sangat nyata atau nyata.

Kriteria nilai heritabilitas menurut Stanfield (1983) sebagai berikut:


0.50< h2bs≤ 1.00 (tinggi); 0.20≤ h2bs≤ 0.50 (sedang) dan 0.00≤ h2bs< 0.20
(rendah).

294
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan galur-galur PTB


Hasil analisis varians menunjukkan bahwa penampilan genotipe yang
diuji berbeda pada lingkungan yang berbeda dan kemampuan antar genotipe
juga berbeda dan tidak konsisten untuk semua karakter yang diamati (Tabel 3).
Tabel 3. Analisis varians gabungan karakter padi PTB pada 6 lingkungan
tumbuh
Kuadrat Tengah (KT)
Karakter KK (%)
Genotipe Lingkungan Interaksi
Panjang malai 49.80** 39.11** 3.72tn 6.00
Jumlah anakan produktif 81.30** 1031.75** 15.82** 23.25
Jumlah gabah isi /malai 5915.56** 8116.49** 895.79tn 20.71
Jumlah gabah total/malai 26170.88** 3812.83tn 3168.08** 17.41
Persentase gabah isi/malai 359.14** 971.51** 100.50** 13.95
Bobot 1.000 butir 29.49** 66.81** 2.87** 5.42
Hasil (ton/ha) 4.07** 156.16** 1.21tn 18.57

Keterangan: ** Berbeda nyata pada taraf 0.01

Interaksi genotipe dengan lingkungan (GxE) nyata untuk jumlah anakan


produktif, jumlah gabah total/malai, persentase gabah isi/malai, dan bobot
1.000 butir. Interaksi GxE tidak berbeda nyata pada karakter panjang malai,
jumlah gabah isi/malai dan hasil. Seluruh karakter tanaman yang diamati secara
nyata dipengaruhi oleh genotipe, begitu pula halnya dengan lingkungan kecuali
jumlah gabah total per malai.

Heritabilitas sangat menentukan keberhasilan suatu seleksi untuk


lingkungan yang sesuai, karena heritabilitas dapat memberikan gambaran
apakah suatu sifat lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor lingkungan.
Heritabilitas untuk semua karakter tergolong tinggi berkisar dari 70% untuk
karakter hasil dan sampai 93% untuk panjang malai (Tabel 4). Nilai heritabilitas
yang tinggi ini menunjukkan besarnya pengaruh variasi genetik terhadap
penampilannya. Seleksi terhadap karakter yang heritabilitasnya tinggi dapat
dilakukan pada generasi awal.

Nilai koefisien variasi genotipe (KVG) tanaman berkisar antara 1.36-


22.52%. Dari nilai KVG absolut 0-22.52% ditetapkan nilai relatifnya. Nilai
absolut 22.52% sebagai nilai relatif 100%. Kriteria KVG relatif adalah rendah
(0 < x < 25%), agak rendah (25% < x < 50%), cukup tinggi (50% < x < 75%),
dan tinggi (75% < x ≤ 100%) (Moedjiono dan Mejaya 1994). Jadi nilai absolut
kriteria tersebut adalah rendah (0.0% < x < 5.63%), agak rendah
(5.63% < x < 11.26%), cukup tinggi (11.26% < x < 16.89%) dan tinggi
(16.89% < x ≤ 22.52%). Karakter dengan KVG relatif rendah dan agak rendah
digolongkan sebagai karakter yang variabilitas genetiknya sempit, sedangkan
karakter dengan kriteria KVG relatif cukup tinggi dan tinggi digolongkan sebagai
karakter variabilitas genetik luas (Murdaningsih dkk. 1990).

295
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Keragaman genetik gabungan serta korelasi fenotipik berbagai


karakter terhadap hasil padi tipe baru pada enam lingkungan
Karakter Rata-rata VG h2bs KVG r hasil
Panjang malai 29.14 2.56 0.93 5.49 0.22**
Jumlah anakan produktif 13.98 3.64 0.80 13.64 0.18**
Jumlah gabah isi /malai 150.44 278.88 0.85 11.10 0.13**
Jumlah gabah total/malai 247.67 1,277.93 0.88 14.43 0.05
Persentase gabah isi/malai 62.02 14.37 0.72 6.11 0.08
Bobot 1000 butir 26.49 1.48 0.90 4.59 0.34**
Hasil (ton/ha) 5.55 0.16 0.70 7.18

Keterangan: VG = ragam genetik; h2bs = heritabilitas arti luas; KVG = koefisien


keragaman genetik; r hasil = korelasi karakter terhadap hasil; ** =
berkorelasi nyata

Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat lima karakter dengan KVG


tergolong rendah dan agak rendah, yaitu panjang malai, jumlah gabah isi/malai,
persentase gabah isi/malai, bobot 1.000 butir dan hasil sedangkandua karakter
tergolong cukup tinggi yaitu jumlah anakan produktif/rumpun dan jumlah gabah
total/malai. Karakter dengan KVG rendah termasuk bervariabilitas genetik
sempit, sedangkan karakter dengan kriteria KVG cukup tinggi dan tinggi
termasuk bervariabilitas genetik luas. Dengan demikian, terdapat lima karakter
variabilitas rendah dan dua karakter variabilitas luas. Hal ini berarti terdapat
peluang perbaikan genetik melalui karakter jumlah anakan produktif/rumpun,
jumlah gabah total/malai dan jumlah gabah hampa per malai. Variabilitas
genetik luas berarti bahwa seleksi terhadap karakter tersebut berlangsung
efektif dan mampu meningkatkan potensi genetik karakter pada generasi
selanjutnya (Zen & Bahar 2001). Seleksi dapat dilakukan lebih leluasa pada
karakter yang mempunyai variabilitas genetik luas dan dapat digunakan dalam
perbaikan genotipe.
Dari nilai korelasi fenotipik antar karakter galur PTB yang diuji, diketahui
bahwa terdapat hubungan antara karakter satu dengan karakter yang lainnya
(Tabel 5). Karakter jumlah anakan produktif per rumpun berkorelasi negatif
dengan panjang malai, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah total/malai, bobot
1000 butir dan hasil. Karakter panjang malai berkorelasi positif terhadap
karakter jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah total/malai, bobot 1.000 butir dan
hasil.
Tabel 5 Korelasi fenotipik antar karakter galur PTB pada enam lingkungan
tumbuh
JAP PM GI GT BS Y
JAP -0.38** -0.19** -0.29** -0.25** -0.18**
PM 0.56** 0.69** 0.26** 0.22**
GI 0.74** 0.32** 0.13**
GT 0.17** 0.05tn
BS 0.34**
Y
Keterangan : JAP = Jumlah anakan produktif; PM = Panjang malai; GI = Jumlah gabah
isi /malai; GT = Jumlah gabah total/malai; BS = Bobot 1000 butir; Y = Hasil
(ton/ha)

296
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Keragaan komponen hasil dan hasil

Persentase gabah hampa per malai berbanding terbalik dengan nilai


persentase gabah isi per malai. Secara umum, genotipe yang diuji memiliki rata-
rata persentase gabah hampa/malai sebesar 38%. Persentase gabah isi per
malai terbesar terdapat pada musim pertama di setiap sistem budidaya.
Besarnya rataan persentase gabah isi pada musim pertama disebabkan karena
adanya perbedaan lingkungan dan musim. Musim pertama, tanaman berada
dalam kondisi kering atau kemarau, sedangkan di musim kedua tanaman
berada pada kondisi curah hujan yang cukup.

Bobot 1.000 butir pada sistem tanam SRI lebih rendah dibandingkan
bobot 1.000 butir pada sistem tanam Legowo dan Tegel. Hal ini diduga karena
tidak seimbangnya antara source dan sink pada tanaman dengan sistem tanam
SRI yang memiliki banyak anakan per rumpun. Teknik budidaya ditujukan
untuk memaksimumkan bagian-bagian tanaman yang akan dipanen. Galur-
galur yang ditanam pada sistem tanam SRI memiliki jumlah anakan per rumpun
yang banyak, sehingga source akan terbagi ke masing-masing anakan.
Akibatnya, jumlah bahan kering yang ditranslokasikan dari organ vegetatif ke
biji semakin berkurang. Pertumbuhan tanaman ditentukan oleh source yang
mensuplai asimilat ke sink.

Akan tetapi, jika dilihat per musimnya, bobot gabah musim pertama
memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim kedua. Galur-
galur harapan PTB seperti IPB97–F–15–1–1, IPB97–F–20–2–1, IPB117–F–
14–2–1, IPB117–F–17–4–1, IPB117–F–18–3–1, IPB149–F–1–1–1, dan
IPB149–F–5–1–1 memiliki bobot 1.000 butir yang lebih tinggi dibandingkan
varietas pembanding IR64 dan Ciherang.

Hasil padi ditentukan oleh beberapa karakter, yaitu jumlah anakan


produktif/ha, jumlah gabah total, persentase gabah isi, dan bobot 1.000 butir
gabah. Jumlah anakan produktif/ha pada sistem budidaya legowo 2:1
mengalami peningkatan. Jumlah gabah isi/ha juga mengalami kecendrungan
peningkatan pada sistem budidaya Legowo 2:1. Persentase gabah isi yang
besar dan bobot 1/000 butir yang cukup tinggi dapat meningkatkan hasil. Dilihat
dari nilai produksi yang diperoleh galur-galur yang berproduksi melebihi varietas
pembanding Ciherang (5.69 t/ha), IR64 (5.49 t/ha), dan Fatmawati (5.98 t/ha),
yaitu IPB117–F–14–2–1 (6.26 t/ha), IPB117–F–17–4–1 (6.25 t/ha), dan IPB97–
F–20–2–1 (6.05 t/ha1), namun tidak berbeda nyata secara statistik

Sedangkan sistem tanam Legowo 2:1 akan menjadikan semua barisan


rumpun tanaman berada pada bagian pinggir, sehingga semua tanaman
mendapat efek samping (border effect), dimana tanaman yang mendapat efek
samping produksinya lebih tinggi dari yang tidak mendapat efek samping.
Tanaman yang mendapat efek samping, menjadikan tanaman mampu
memanfaatkan faktor-faktor tumbuh yang tersedia seperti cahaya matahari, air
dan CO2 dengan lebih baik untuk pertumbuhan dan pembentukan hasil, karena

297
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kompetisi yang terjadi relatif kecil (Harjadi 1979). Hasil penelitian yang sama
juga dikemukakan oleh Khairuddin (2005) yang mendapatkan hasil tertinggi
pada varietas Ciherang didapat dengan sistem tanam Legowo 2:1 yaitu 5,5 t/ha
GKG, kemudian diikuti oleh sistem tanam Legowo 4:1, (5,4 t/ha GKG), Tegel
20 x 20 cm (5,3 t/ha GKG) dan cara petani sebesar 5,2 t/ha GKG.

KESIMPULAN

1. Heritabilitas dari karakter-karakter yang diuji tergolong tinggi, sehingga


seleksi dapat dilakukan pada generasi awal.
2. Penggunaan jarak tanam lebar (SRI) akan meningkatkan jumlah anakan
per rumpun tetapi tingkat hasil lebih ditentukan jumlah anakan produktif per
hektar karena penurunan kelebatan malai yang terjadi sangat kecil
3. Jumlah anakan per hektar paling baik untuk PTB yang diuji diperoleh pada
sistem tanamLegowo 2:1 (40 cm) x (20 x 10 cm).

SARAN

1. Galur-galur IPB117–F–14–2–1,IPB117–F–17–4–1, dan IPB97–F–20–2–1


dengan hasil yang lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding
Ciherang, IR 64 dan Fatmawati disarankan untuk diuji pada berbagai lokasi
(Uji Multi LokasI) .
2. Perlu dilakukan pengkajian optimasi populasi tanaman melalui pengaturan
jarak tanam pada musim tanam yang berbeda terhadap galur-galur PTB
sehingga diperoleh pertumbuhan dan perkembangan PTB yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian.
Edisi Kedua. (Diterjemahkan oleh Endang Sjamsuddin dan Yustika S
Baharsjah). Jakarta. Universitas Indonesia Press.
Harjadi SS. 1979. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 198 hlm.
Khairuddin. 2005. Perbaikan teknologi budidaya padi melalui pendekatan
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di lahan sawah irigasi Kabupaten
Tabalong. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif
dan Peran Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi
Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. 2000-2005.
Makarim AK, Ikhwani. 2008. Respon komponen hasil varietas padi terhadap
perlakuan agronomis. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
27(3):148-153.
Masdar, Kasim M, Rusman B, Hakim N, Helmi, 2006. Tingkat Hasil dan
Komponen Hasil Sistem Intensifikasi Padi (SRI) Tanpa Pupuk Organik
di Daerah Curah Hujan Tinggi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia
8(2): 126-131.
Moedjiono, Mejaya MJ. 1994. Variabilitas genetik beberapa karakter plasma
nutfah jagung koleksi Balittas Malang. Zuriat 5(2):27-32.

298
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Murdaningsih HK, Baihaki A, Satari G, Danakusuma T, dan Permadi AH. 1990.


Variasi genetik sifat-sifat tanaman bawang di Indonesia. Zuriat 1(1):32-
36.
Stanfield WD. 1983. Theory and problems of genetics, 2nd edition. Schain.s
Outline Series. Mc.Graw Hill Book Co. New Delhi.
Virk PS, Khush GS, Peng S. 2004. Breeding to enhance yield potential of rice
at IRRI: the ideotype approach. (Mini Review). International Rice
Research Notes 29(1):5-9.
Zen S, Bahar H. 2001. Variabilitas genetik, karakter tanaman, dan hasil padi
sawah dataran tinggi. Stigma 9(1):25-28.
Zhengjin XU, Wenfu C, Longbu Z, Shouren Y. 2005. Design Principles and
parameters of rice ideal panicle type. Chinese Science Bulletin
50(19):2253-2256.

299
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KARAKTERISTIK MUTU GABAH DAN BERAS GALUR-GALUR HARAPAN


PADI SAWAH TAHAN PENYAKIT TUNGRO DAN
HAWAR DAUN BAKTERI (HDB)

Cucu Gunarsih1, Suhartini1, Trias Sitaresmi1, Estria Furry P1 dan Nurmalia2

1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
Jl. Raya 9 Sukamandi Subang 41256 Jawa Barat
2
BPTP Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No. 1B Medan
Email :cucugunarsih@ymail.com

ABSTRAK

Mutu gabah dan beras suatu calon varietas sangat menentukan tingkat
adopsi varietas tersebut oleh petani. Pengujian ini merupakan rangkaian
kegiatan uji multilokasi untuk memperoleh galur harapan yang berdaya hasil
tinggi serta memiliki ketahanan terhadap penyakit tungro atau HDB. Dalam
pengujian ini, sembilan galur harapan dan 3 varietas pembanding telah diuji di
Kebun Percobaan Sukamandi, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi)
pada Musim Kemarau (MK) 2008. Varietas pembanding yang digunakan
sebagai varietas tahan tungro adalah Tukad Unda, varietas pembanding untuk
ketahanan HDB adalah Angke, dan varietas pembanding untuk karakter mutu
gabah dan beras adalah Ciherang yang merupakan varietas populer di
Indonesia. Hasil pengujian mutu gabah dan beras menunjukkan bahwa galur
BP2250-4E-22-3 memiliki rendemen beras giling dan prosentase beras kepala
cukup tinggi yaitu sebesar 71.06% dan 97.71%. Sementara Ciherang memiliki
rendemen beras giling sebesar 73.34% dan rendemen beras kepala sebesar
97.34%. Galur BP3688-E-38-1 memiliki kandungan amilosa terendah yaitu
sebesar 17.9% yang menunjukkan bahwa tekstur nasi yang dihasilkan sangat
lunak. Galur BPT164C-64-7-28 memiliki kandungan amilosa sebesar 27.6%
yang menunjukkan bahwa tekstur nasi yang dihasilkan pera. Sedangkan tujuh
galur harapan lainnya memiliki kandungan amilosa sedang (21.3-22.9%) yang
menghasilkan tekstur pulen pada nasi yang dihasilkan. Galur BP2250-4E-22-3
memiliki persentase beras kepala tertinggi dan memiliki tekstur nasi yang pulen,
sehingga galur ini berpotensi untuk dilepas sebagai varietas unggul baru.

Kata Kunci : Mutu gabah, mutu beras, galur harapan, uji multilokasi

PENDAHULUAN
Mutu gabah dan beras suatu varietas sangat menentukan tingkat adopsi
varietas yang bersangkutan oleh petani. Mutu fisik gabah utamanya ditentukan
oleh kadar air dan tingkat kerusakan gabah. Mutu fisik beras utamanya
ditentukan oleh kadar air, rendemen giling, persentase beras kepala dan beras
patah, serta proporsi kerusakan butir beras (butir kuning, merah); sedangkan
mutu rasa dan mutu tanak banyak ditentukan oleh subyektivitas konsumen
yang ditengarai ada kaitannya dengan karakteristik fisiko kimia beras atau nasi.
Mutu fisiko kimia beras sering kali dijadikan kriteria kedua setelah
produktivitas, pada saat petani menilai keunggulan varietas. Berdasarkan

300
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kesukaannya terhadap tekstur nasi, masyarakat Indonesia terbagi ke dalam


dua kelompok besar yaitu kelompok yang menyukai nasi bertekstur lunak
(pulen), dan masyarakat yang menyukai nasi bertekstur keras (pera). Secara
fisiko-kimia hal tersebut didekati dengan parameter kadar amilosa, suhu
gelatinisasi, dan konsistensi gel. Dalam kaitan dengan kelas penampilan
tekstur nasi di atas, beras yang berkadar amilosa sedang (22–23%) akan
bertekstur pulen, sedangkan beras dengan kadar amilosa tinggi (berkadar
amilosa >24%) akan bertekstur pera. Beberapa karakteristik umum yang
banyak mempengaruhi mutu beras di pasaran yaitu ukuran dan bentuk, derajat
sosoh, keterawangan, kebersihan dan kemurnian, kepulenan dan aroma
(Suherman, 1999).
Galur-galur yang diuji merupakan galur-galur uji multilokasi yang
memiliki ketahanan terhadap penyakit tungro dan HDB serta memiliki
produktivitas dan mutu produk yang lebih baik dari Tukad Unda. Galur-galur
tersebut banyak diminati oleh para petani di daerah endemik tungro. Untuk itu
maka penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai
karakterisasi mutu gabah dan beras galur-galur padi sawah yang akan
menentukkan tingkat adopsi oleh petani saat akan dilepas menjadi varietas.

BAHAN DAN METODE

Sebanyak sembilan galur harapan dan tiga varietas pembanding telah


diuji di Kebun Percobaan Sukamandi, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB
Padi) pada MK 2008. Varietas pembanding yang digunakan sebagai varietas
tahan tungro adalah Tukad Unda, varietas pembanding untuk ketahanan HDB
adalah Angke, dan varietas pembanding untuk karakter mutu gabah dan beras
adalah Ciherang yang merupakan varietas populer di Indonesia.
Penilaian mutu gabah dari suatu varietas diutamakan terhadap kadar
air, kotoran gabah, butir hijau, butir mengapur, butir kuning, butir rusak, butir
merah, benda asing, butiran gabah varietas lain, karakter bentuk dan ukuran
butiran gabah seperti panjang, lebar, dan rasio antara panjang dengan lebar
gabah.
Mutu beras giling dari suatu varietas dilihat dari aspek penampilan yaitu
perbedaan derajat sosoh, persentase beras kepala, beras patah, beras menir,
butir mengapur, butir kuning-rusak, butir merah, dan butir gabah, derajat putih,
serta kebeningan beras. Identifikasi karakter beras fisik beras giling dilakukan
menurut metode SNI No. 01-6128-2008 (BSN, 2008) dan metode IRRI (Anonim,
2006). Identifikasi karakter fisiko kimia terdiri atas kandungan amilosa, dan
konsistensi gel (IRRI, 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Mutu Fisik Gabah
Kadar air gabah cukup rendah berkisar antara 10.4–12.1%. Kadar air
gabah optimum untuk penggilingan adalah 13-14%, sedangkan untuk disimpan
sebagai benih sebesar 12%. Kadar air yang terlalu rendah mengurangi
perolehan rendemen beras kepala, karena mudah patah saat digiling. Ukuran

301
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

biji gabah berkisar 6.16–7.21 mm, sedangkan lebar berkisar 2.12–2.50


mm.Bentuk gabah yang dinyatakan dalam rasio panjang terhadap lebar
berkisar antara 2.9–3.32. Ukuran (panjang dan lebar) serta bentuk gabah
merupakan karakter yang digunakan pemulia untuk mendeteksi kemurnian
varietas (Gambar 1).

Gambar 1. Keragaan mutu gabah beberapa galur padi sawah dengan varietas
pembandingnya

Selain itu pemulia juga memperhatikan ukuran dan bentuk beras untuk
mengestimasi mutu giling beras yang dihasilkan sebagai pertimbangan dalam
seleksi pedigree (Tabel 1).

Tabel 1. Mutu gabah dari galur-galur padi sawah


Kadar Air Ukuran Bentuk
No. Galur
Gabah (%) P (mm) L (mm) (ratioP/L)
1 BP2182-2E-19 11.2 7.12 2.15 3.32
2 BP2189-2E-7 11.3 7 2.17 3.23
3 BP2250-4E-22-3 11.3 7.08 2.22 3.19
4 BPT164C-64-7-28 10.6 6.59 2.28 2.9
5 BP2450-15-1 11.2 6.9 2.2 3.14
6 BP3300-2C-2-3 11.7 7.21 2.25 3.21
7 BP3688-E-38-1 12.1 6.16 2.50 2.47
8 BP3800E-18-3-2 11.4 7 2.15 3.26
9 IR72176-4-2-2-3-1 11.1 6.73 2.27 2.97
10 TUKAD UNDA 10.6 7.14 2.16 3.31
11 ANGKE 10.4 6.97 2.12 3.3
12 CIHERANG 11.2 6.54 2.30 3.00

Karakter biji dapat berkontribusi pada persentase biji pecah selama


penggilingan, baik secara individual maupun berkorelasi dengan karakter lain.
Biji gabah yang terlalu ramping, terlalu tebal atau terlalu tipis berpeluang untuk
lebih mudah patah selama penggilingan.

Mutu Beras
Kadar air beras tidak terlalu bervariasi dengan rata-rata 11.01%, dan
berkisar antara 10.5-11.35% (Tabel 2).

302
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Mutu fisik beras dari galur-galur padi sawah.


Kada Butir Kete
Derajat
GALUR/ r Air Derajat BPK BG BK BP rang
No Menir Kapur Rusak Putih
VARIETAS Beras Sosoh an
% %
1 BP2182-2E-19 11.20 135.5 80.03 70.26 88.07 11.51 0.42 0.09 1.88 49.8 2.44
2 BP2189-2E-7 11.30 133.5 79.29 69.77 96.01 3.77 0.22 0.34 1.53 49.5 2.12
3 BP2250-4E-22-3 10.50 111 79.17 71.06 97.71 2.22 0.08 0.07 1.37 44.65 2.15
BPT164C-64-7-
4 11.30 147.5 76.57 66.15 33.58 62.19 4.24 0.02 0.03 52.95 1.37
28
5 BP2450-15-1 10.50 130.5 80.02 71.00 95.11 4.74 0.16 0.07 0.24 48.35 2.55
6 BP3300-2C-2-3 10.85 152 77.65 68.74 86.51 12.95 0.55 0.13 0.96 53.65 1.76
7 BP3688-E-38-1 11.20 109.50 79.15 70.28 86.70 12.83 0.47 0.10 1.22 43.60 2.36
8 BP3800E-18-3-2 10.95 139.5 77.74 67.5 76.5 21.87 1.63 0.15 1.93 51.25 1.63
IR72176-4-2-2-
9 11.35 144 76.64 67.3 93.41 6.3 0.29 0.16 0.27 51.8 2.38
3-1
10 TUKAD UNDA 11.10 99.5 80.78 72.93 97.57 2.33 0.11 0.02 0.68 41.35 2.52
11 ANGKE 11.15 127.5 80.07 70.3 86.86 16.58 7.95 0.02 0.52 48.15 2.38
12 CIHERANG 11.50 118.5 80.26 73.34 97.34 2.58 0.08 0.03 0.84 44.1 2.98

Keterangan: BPK=Beras Pecah Kulit; BG=Beras Giling; BK=Beras Kepala;


BP=Beras Patah

Pengukuran derajat sosoh dilakukan dengan milling meter yang diatur


pada waktu yang sama untuk menghilangkan lapisan bekatul. Derajat sosoh
BPT164C-64-7-28 memiliki nilai terbesar yaitu 147.5, menunjukkan lapisan
bekatul yang lebih tebal dibanding yang lain. Setelah proses penyosohan,
rendemen beras pecah kulit (BPK) yang didapatkan rata-rata mencapai
78.47%. Persentase BPK ketiga varietas pembanding masih diatas galur-galur
harapan, kecuali BP2450-15-1 yang persentasenya mendekati Angke, sebesar
80,02%. Rata-rata sampel menghasilkan rendemen beras giling sebesar
69,88%, dengan nilai terendah adalah 67,3%% (galur IR72176-4-2-2-3-1)
(Gambar 2).

Ciherang

Gambar 2. Keragaan mutu beras galur-galur padi sawah dengan varietas


pembandingnya.
Persentase beras kepala merupakan komponen mutu yang sangat
penting untuk pengkategorian beras giling. Untuk perolehan beras kepala
dengan perlakuan giling yang sama, persentase beras kepala beras BP2250-
4E-22-3 merupakan yang tertinggi (97.71%) diantara galur harapan lain,
bahkan lebih tinggi dari varietas pembanding. Persentase rendemen beras

303
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kepala terendah adalah pada galur harapan BPT164C-64-7-28 yang hanya


sebesar 33.58%. Berkorelasi negatif dengan persentase beras kepala, nilai
beras patah pada galur BPT164C-64-7-28 dan yang terkecil pada beras
BP2250-4E-22-3. Persentase butir menir, kapur, dan butir rusak dapat
menggambarkan tingkat cemaran mutu beras. Semakin kecil nilainya semakin
tinggi mutu beras tersebut. Beras dikatakan memiliki mutu giling/fisik yang baik
jika memiliki rendemen beras giling dan beras kepala yang besar, dan memiliki
nilai yang kecil untuk prosentase beras patah, menir, butir kapur dan butir
kuning rusak. SNI beras No. 6128 tahun 2008, yang diterbitkan oleh Badan
Standarisasi Nasional (BSN) (Tabel 3).

Tabel 3. Komponen Mutu Beras Sesuai SNI No. 6128 tahun 2008
Mutu Mutu Mutu Mutu Mutu
No Komponen mutu Satuan
I II III IV V
1. Kadar air (maks) % 14 14 14 14 15
2. Butir kepala (min) % 95 89 78 73 60
3. Butir patah (maks) % 5 10 20 25 35
4. Butir menir (maks) % 0 1 2 2 5
5. Butir merah (maks) % 0 1 2 3 3
6. Butir kuning/rusak (maks) % 0 1 2 3 5
7. Butir mengapur (maks) % 0 1 2 3 5
8. Benda asing (maks) % 0 0,02 0,02 0,05 0,20
9. Butir gabah (maks) (butir/100g) 0 1 1 2 3
Sumber:SNI beras No. 6128 tahun 2008

Derajat putih merupakan karakter yang dimiliki oleh beras yang berasal
dari kombinasi antara sifat genetik, perlakuan pascapanen, dan derajat sosoh.
Nilai rata-rata derajat putih sembilan galur harapan adalah 49,50%. Nilai
translucency (keterawangan/kebeningan)menggambarkan kemampuan biji
beras untuk meneruskan cahaya. Nilai translucency beras bervariasi antar
galur, dengan rata-rata sebesar 2,08%. Semakin besar nilai keterawangan,
semakin bening beras terlihat bagi konsumen. Nilai kesukaan kosumen
terhadap derajat putih beras sangat relatif, dan biasanya berkorelasi dengan
keterawangan.

Mutu tanak beras tidak dapat dipisahkan dari kandungan amilosanya.


Kandungan amilosa beras sangat mempengaruhi karakteristik nasi pada saat
ditanak maupun dimakan. Beras dengan kandungan amilosa tinggi (25-30%)
menghasilkan karakteristik nasi yang cenderung keras dan kering (pera) ketika
dimasak. Kandungan amilosa sedang (20-25%) menghasilkan tekstur nasi lebih
lunak dan agak lengket (pulen). Kandungan amilosa rendah (<20%)
menyebabkan tekstur nasi yang dihasilkan lembek dan lengket/ketan (IRRI,
2006). Sedangkan Fitzgerald (2008), menyatakan bahwa kandungan amilosa
beras merupakan penduga yang penting untuk mengetahui mutu sensori nasi.
Klasifikasi amilosa terdiri dari waxy (sangat lengket, 0-2%), sangat rendah (3-
9%), rendah (10-19%), sedang (20-25%), dan tinggi (>25%).

304
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Data menunjukkan bahwa sebagian besar galur harapan yang diuji


tergolong dalam kategori beramilosa sedang, kecuali BP3688-E-38-1 yang
tergolong beramilosa rendah (17,9%), dan BPT164C-64-7-28 yang memiliki
kandungan amilosa tinggi (27,6%) (Tabel 4).

Tabel 4. Fisiko kimia beras dari galur-galur padi sawah.


Konsistensi Gel
No GALUR/ VARIETAS Amilosa (%) Suhu gelatinisasi (ºC)
Panjang(mm) Keterangan
1 BP2182-2E-19 21.3 92.0 lunak >74
2 BP2189-2E-7 22.3 92.5 lunak >74
3 BP2250-4E-22-3 21.6 95.0 lunak >74
4 BPT164C-64-7-28 27.6 48.5 sedang <70
5 BP2450-15-1 22.9 66.0 lunak >74
6 BP3300-2C-2-3 21.9 76.0 lunak >74
7 BP3688-E-38-1 17.9 93.0 lunak 70-74
8 BP3800E-18-3-2 22.1 89.5 lunak >74
9 IR72176-4-2-2-3-1 22.1 78.0 lunak >74
10 TUKAD UNDA 21.3 81.0 lunak >74
11 ANGKE 22.9 80.5 lunak >74
12 CIHERANG 21.9 77.0 lunak >74

Kandungan amilosa sedang menyebabkan tekstur nasi yang dihasilkan


lunak (pulen), sedangkan kandungan amilosa rendah menyebabkan tekstur
nasi yang dimasak cenderung lengket (sangat lunak). Kandungan amilosa
tinggi pada BPT164C-64-7-28 akan menyebabkan nasinya bertekstur keras
dan pera. Konsistensi gel mengukur kecenderungan mengeras dari nasi pada
kondisi suhu mulai turun (mendingin). Data konsistensi gel dengan kisaran 41-
60 mm menunjukkan bahwa gel dari nasi tersebut tergolong dalam kategori
sedang, sementara itu kisaran 61-100 mm termasuk dalam kategori lunak.
Waktu yang dibutuhkan untuk memasak nasi ditentukan oleh suhu
dimana struktur kristal pati mulai leleh yang disebut suhu gelatinisasi. Pada
beras, suhu gelatinisasi berkisar antara 55-85 °C. Beras yang memiliki suhu
gelatinisasi tinggi memerlukan waktu pemasakan lebih lama, dan nasi yang
dihasilkan memiliki mutu tanak dengan tingkat penerimaan yang rendah
(Fitzgerald, dkk., 2008). Hasil pengujian galur-galur harapan menunjukkan
bahwa sebagian besar suhu gelatinisasi bernilai >74ºC, kecuali pada sampel
BPT164C-64-7-28 yang memiliki suhu gelatinisasi sebesar <70ºC, dan
BP3688-E-38-1 yang memiliki suhu gelatinisasi pada kisaran 70-74 ºC.
Kandungan amilosa sedikit banyak juga berpengaruh terhadap besarnya suhu
gelatinisasi. Pati tersusun atas komponen amilosa dan amilopektin dengan
perbandingan berbeda untuk setiap varietas/galur tergantung pada sifatnya
genetiknya.
KESIMPULAN
Galur BP2250-4E-22-3 berpotensi untuk dilepas menjadi varietas
karena memiliki persentase beras kepala yang tertinggi (97.71%), yang dapat
dikategorikan dalam mutu I beras sesuai SNI 6128:2008, serta memiliki tekstur
nasi pulen yang umum disukai oleh masyarakat Indonesia.

305
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Galur BPT164C-64-7-28 memiliki persentase beras kepala sebesar


33.58%, sangat kecil dan tidak dapat dikategorikan dalam mutu SNI 6128:2008,
selain itu dengan kandungan amilosa yang tinggi, tekstur nasi yang dihasilkan
keras dan hanya sesuai untuk preferensi beberapa golongan konsumen
tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Rice grain quality: determining the physical characteristics of


milled rice. www. knowledgebank. irri.org/grain Quality_loband/
module_5/04.htm. 4/12/2006
Anonim. 2008. SNI 6128:2008: Beras. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2008. Standar mutu dan cara uji beras
giling. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-6128.1999. Jakarta.
Fitzgerald, M.A, McCouch, S.R., dan Hall, R. D. 2008. Review: Not just a grain
of rice: the quest for quality. Trends in Plant Science Vol.14 No.3. Cell
Press. Elsevier Ltd. http://www.sciencedirect.com/science/sdarticle.pdf.
Tanggal akses: 30/03/2010.
IRRI. 2002. Rice grain quality evaluation procedures. Methods currently in use
in the PBGB (Plant Breeding, Genetic and Biochemistry) grain quality
laboratory. International Rice Research Institute. Los Banos,
Philippines:9p
IRRI. 2006. Course Module, Module 3 : Breeding Program Management Lesson
3: Breeding for Grain Quality. International Rice Research Institute, Los
Banos, Laguna,Philippines http://www. Knowledge bank. irri.org/
grainquality/ module_3/03.htm tanggal akses :18/1/2010.
Suherman, D. 1999. Peningkatan nilai tambah pada prosesing produk tanaman
pangan (beras).Makalah Seminar Strategi Peningkatan Nilai Tambah
Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura dalam Antisipasi Pasar
Global Era Milenium III.Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta.
9p.

306
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KAJIAN PENERAPAN PENANGANAN PASCA PANEN PADI


DI KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA
N.D.M.Romauli Hutabarat

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara


Jl. Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan
email: nauas.hutabarat@gmail.com
ABSTRAK
Pengkajian ini bertujuan untuk mencari data dan informasi tingkat
penerapan teknologi pasca panen dalam usaha tani padi di Kabupaten
Labuhan Batu Utara. Kehilangan hasil panen dan rendahnya mutu gabah padi
dipengaruhi pada tahapan pemanenannya, sehingga penanganan panen dan
pascapanen mempunyai peranan yang sangat penting. Metode
surveydigunakan yaitu dengan pengumpulan data secara langsung melalui
kegiatan wawancara dengan 60 orang responden petani di Kecamatan Kualuh
Selatan dan Kecamatan Kualuh Leidong pada bulan Juni 2015. Selain itu
dilakukan pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari bagian program
Dinas Pertanian Pemprovsu maupun Dinas Pertanian Kabupaten. Hasil kajian
menunjukkan bahwa petani di Kab Labuhan Batu Utara masih melakukan
panen padi dengan cara manual (83,33%) yaitu dengan menggunakan sabit
memotong batang padi sekitar 15 – 20 cm pada bagian atas rumpun tanaman.
Untuk proses perontokan, petani sudah menggunakan mesin perontok power
thresher sehingga mutu gabah rendah yang disebabkan tingginya kadar
kotoran sudah bisa dihindari,umumnya petani padi di Kabupaten Labuhan
batu Utara menggunakan jasa rombongan pemanen dengan sistem komisi
dalam persen. Kabupaten ini direncanakan akan mendapatkan bantuan
sarana dan peralatan pasca panen yaitu 4 unit combine harvester, 3 unit RMU,
3 unit Bangunan RMU, 1 unit dryer padi, 11 unit bangunan padi dan 5 unit
power thresher. Dengan begitu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi kerja
dan menekan kehilangan hasil panen.
Kata kunci : pascapanen, padi, labuhan batu utara
PENDAHULUAN
Salah satu startegi dalam rangka mendukung peningkatan produksi padi
adalah dengan menurunkan kehilangan hasil dan tercapainya mutu gabah/
beras sesuai persyaratan mutu melalui kegiatan pasca panen. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Setyono (2010) bahwa masalah utama yang terjadi
biasanya pada tahapan pemanenan, perontokan dan pengeringan.
Mata pencaharian utama penduduk Kabupaten Labuhan Batu Utara
adalah di bidang pertanian yang didukung oleh potensi pertanian yang cukup
luas dan sangat besar hasilnya. Pada tahun 2010 luas lahan sawah di
Kabupaten Labuhan Batu Utara mencapai 26 ribu ha dimana 2 kecamatan
memiliki areal persawahan yang cukup luas yaitu Kecamatan Kualuh Hilir
(8.164 ha) dan Kecamatan Kualuh Leidong (15.375 ha). Daerah Kualuh
Leidong dan Kualuh Hilir dikenal sebagai penghasil beras Ramos dan Kuku
Balam Leidong (Anonim, 2010).

307
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tahapan pasca panen padi meliputi pemanenan,perontokan gabah,


penampian, pengeringan, pengemasan, penyimpanan dan pengolahan sampai
siap dipasarkan atau dikonsumsi, yang bertujuan untuk meningkatkan mutu
benih atau beras (Anonim, 1986; Mejia, 2008). Masalah utama dalam
penanganan panen dan pascapanen padi yang sering ditemui oleh petani
adalah kehilangan hasil yang tinggi (20%) (BPS,1996) serta hasil mutu gabah
dan beras yang rendah. Mutu gabah rendah tersebut disebabkan tingginya
kadar kotoran, gabah hampa dan butir mengapur yang akhirnya mempengaruhi
rendemen beras giling menjadi rendah (Setyono,2000).
Pengkajian ini penting untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi
pascapanen dan kendala penerapannya di tingkat petani Kabupaten Labuhan
Batu Utara (Labura). Adapun tujuan pengkajian untuk mencari data dan
informasi tingkat penerapan teknologi pasca panen dalam usaha tani padi di
Kabupaten Labura.
BAHAN DAN METODE
Pengumpulan Data
Kajian ini dilakukan pada bulan Juni 2015 dengan mengumpulkan data
primer dan sekunder. Data primer didapatkan dengan menggunakan metode
survey yang dilakukan secara purposive di 2 Kecamatan yang memiliki luas
tanam padi terbesar di Kabupaten Labura yaitu Kec.Kualuh Selatan (3 desa)
dan Kualuh Leidong (3 desa). Total responden yang diwawancarai adalah 60
orang petani yang memberikan informasi tentang waktu panen padi,
produktivitas, dan proses pasca panen yang dilakukan. Sementara itu data
sekunder diperoleh dari bagian program Dinas Pertanian Pemprovsu maupun
Dinas Pertanian Kabupaten Labura.
Metode Analisis
Data yang dikumpulkan ditabulasi, diolah dengan menggunakan excel dan
disajikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Potensi Kehilangan Hasil dan Program Pengembangan Penanganan
Panen dan Pasca panen dalam Usaha Tani Padi di Sumatera Utara.
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sumatera Utara
(2011),tercatat total persentase kehilangan hasil padi di Sumatera Utara yaitu
sebesar 19,56% (Tabel 1).
Tabel 1 . Persentase Kehilangan Hasil Padi di Sumatera Utara Tahun 2011
Persentase Kehilangan
Uraian
Hasil
a. Penggunaan Varietas 6,30
b. Perawatan (Burung/Tikus) 0,12
c. Waktu Panen/Pemotongan 0,51
d. Mengumpul dan Mengangkat 0,68
e. Merontok 5,24
f. Pengeringan 3,00
g. Penggilingan 3,71
Total 19,56
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sumut (2011).

308
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Luas lahan pertanian di Kabupaten Labura dikhawatirkan akan terus


terjadi penurunan, hal ini disebabkan alih fungsi lahan menjadi tanaman
kelapa sawit. Pada tahun 2014 tercatat luasan lahan fungsionalnya sebesar
22.831 ha, dimana kecamatan yang mempunyai indeks pertanamannya = 1
(IP 1) yaitu Kecamatan Kualuh Hilir (13.471 ha) dan Kualuh Leidong (7045 ha)
dan kecamatan yang mempunyai IP 2 meliputi Kecamatan Na IX-X (189 ha),
Kecamatan Merbau (30 ha), Kecamatan Aek Kuo (25 ha), Kecamatan Aek
Natas (745 ha), Kecamatan Kualuh Selatan (1106 ha) dan Kecamatan Kualuh
Hulu (220 ha). Sebagian besar luasan tersebut (22.031ha) merupakan luas
baku sawah tadah hujan. Direncanakan adanya alokasi sarana dan peralatan
pasca panen untuk 23 Kabupaten yang ada di Sumatera Utara upaya
mendukung program percepatan UPSUS swasembada pangan. Untuk
kabupaten Labuhan Batu Utara, akan mendapatkan 4 unit combine harvester,
3 unit RMU, 3 unit Bangunan RMU, 1 unit dryer padi, 11 unit bangunan padi
dan 5 unit power thresher (Tabel 2).

Tabel 2. Alokasi Sarana dan Peralatan Pasca Panen


Sarana dan Peralatan
R Rehab/ Bangu Power
No. Kabupaten Combine Dryer
M Bangunan nan Thresher
Harvester Padi
U RMU Padi Multiguna
1 Asahan 12 4 4 2 2 5
2 Dairi 12 2 2
3 Deli Serdang 4 4 4 1 1 5
4 Tanah Karo 13 3 3
5 Labuhan Batu 5 1 1 5
6 Langkat 13 6 6 2 2 10
7 Mandailing Natal 5 2 2 1 1 5
8 Simalungun 13 4 4 1 1
9 Tapanuli Utara 5 4 4
10 Toba Samosir 5 3 3 1 1
11 Tapanuli Selatan 4 4 1 1
12 Pematang Siantar
13 Serdang Bedagai 1 1 1 1 4
14 Pak-pak Bharat 6 3 3
15 Nias Selatan 10
16 Labuhan Batu Utara 4 3 3 1 1 5
17 Batubara 12 1 1
18 Tapanuli Tengah 5
19 Padang Lawas 5
20 Binjai 2
21 Samosir 1 1
22 Padang Lawas Utara 3 3
23 Tanjung Balai 2 2
Jumlah 119 51 51 11 11 51
Sumber : Data dari Program Percepatan UPSUS Swasembada pangan Dinas
Pertanian Provinsi Sumatera Utara

309
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

II. Karakteristik Petani dan Tingkat Penerapan Teknologi Panen dan


Pasca Panen.
Responden yang terbanyak di jenjang pendidikan SD (50%), sehingga
diasumsikan akan sedikit sulit menerima suatu teknologi yang berbeda dari
kebiasaan yang selama ini sudah dilakukan (Tabel 3).

Tabel 3. Responden Petani


Data Responden Petani
Umur Responden Pendidikan Responden Penerima Kegiatan
(Thn) Tertentu
Tingkatan Usia Jumlah Tingkatan Jumlah Kegiatan Jumlah
(%) Pendidikan (%) (%)
<35 – 45 56,66 SMU 36,67 SL-PTT 40
45 – 55 26,67 SMP 13,33 Oplah 20
55 – 65 16,67 SD 50 Tidak ada 40
65 - 75 0

Adapun varietas padi yang ditanam di Kab Labura dapat dilihat pada
tabel 4.

Tabel 4. Jenis Varietas Yang Ditanam Pada 8 Kecamatan di Kabupaten


Labuhan Batu Utara
No Kecamatan Varietas
1 Na IX-X Ciherang, Mekongga
2 Merbau Ciherang, Mekongga
3 Aek Kuo Ciherang, Mekongga
4 Aek Natas Ciherang, Mekongga
5 Kualuh Selatan Inpari 3, Ciherang, Mekongga, Cibogo
6 Kualuh Hilir Ciherang, Mekongga, KKB
7 Kualuh Hulu Mekongga
8 Kualuh Leidong Ciherang, Mekongga
Sumber: Data primer Koordinator Penyuluhan Kecamatan.

Umur panen padi ditentukan dengan beberapa cara, yaitu : (1) umur
tanaman menurut deskripsi varietas, (2) kadar air gabah, (3) metode
optimalisasi, yaitu hari setelah berbunga rata, dan (4) ketampakan malai
(Setyono dan Hasanuddin, 1997). Waktu panen juga dipengaruhi oleh faktor
varietas, iklim dan tinggi tempat sehingga umur panen akan berbeda 5 – 10
hari. Padi yang dipanen pada kadar air 21%-26% akan menghasilkan beras
bermutu baik (Damardjati dkk., 1981). Umumnya padi di kedua Kecamatan
dipanen pada umur > 110 hari dengan hasil antara 2-5 t/ha (Tabel 5).

Tabel 5. Waktu Pemanenan Padi dan hasil


Jumlah Usia Panen Padi Hasil Produksi / ha Jumlah Petani
Luas Lahan (ha)
Petani (%) (hari) (ton) (%)
< 0,5 13,33 90 – 95 <2 0
0,5- <1,5 16,67 100 – 105 2–<4 40
1,5 - <2,5 36,67 110-120 4–<5 33,33
2,5 - < 3,5 33,33 >120 >5 26,67

310
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Untuk daerah yang merupakan daerah sawah tadah hujan, areal sawah
tidak ada diberi perlakuan apapun sebelum pemanenan. Berbeda dengan
daerah sawah irigasi, areal sawah dikeringkan terlebih dahulu sebelum
pemanenan. Cara panen padi bergantung pada alat perontok gabah yang
digunakan, dimana petani di Kabupaten Labura melakukan cara manual
(83,33%) dengan menggunakan sabit memotong batang padi sekitar 15 – 20 cm
dari pada bagian atas rumpun tanaman (Tabel 6).

Tabel 6. Proses Pasca Panen


Pasca Panen Padi
Cara Jumlah Jumlah
Jumlah Pembersihan
Cara Panen Perontokan Petani Petani
Petani (%) Gabah
Gabah (%) (%)
Manual 83,33 Manual 6,67 Manual 70
Mekanis 16,67 Semi Mekanis 3,33 Mekanis 30
Mekanis 90

Alat dan cara perontokan padi dapat dikelompokkan menjadi (1) injak-
injak (2) pukul (3) banting (4) pedal thresher dan (5) mesin perontok
(BPS,1996). Di kabupaten Labura hanya 6,67% petani yang masih melakukan
perontokkan padi dengan cara dibanting, umumnya sudah menggunakan
mesin perontok power thresher. Kadar kotoran yang tinggi pada gabah padi
dipengaruhi oleh faktor teknis yaitu cara perontokan. Cara pemanenan
tradisional dimana merontokkan padi dilakukan dengan cara manual/ dibanting
ataupun dengan semi mekanis/ pedal thresher, umumnya akan memperoleh
gabah yang mengandung kotoran dan gabah hampa yang cukup tinggi.
Menurut Rachmat dkk (1993) bahwa ada pengaruh alat perontok padi
terhadap mutu dan kehilangan hasil, yaitu dengan cara dibanting dengan
kapasitas perontokan 41,8 kg/jam akan menghasilkan gabah hampa 3,52%,
gabah tidak terontok 2,84% dan kehilangan hasil 3,11%. Perontokan padi
menggunakan pedal thresher dengan kapasitas perontokan 81,8 kg/jam akan
menghasilkan gabah hampa 2,17%, gabah tidak terontok 1,54% dan
kehilangan hasil 2,37%. Perontokan padi menggunakan power thresher dengan
kapasitas perontokan 526,2 kg/jam akan menghasilkan gabah hampa 1,67%,
gabah tidak terontok 0,65% dan kehilangan hasil 1,20%.
Perontokan sebaiknya segera dilakukan setelah padi dipanen,
penundaan perontokan akan meningkatkan butir kuning/rusak dan beras patah
serta menurunkan rendemen giling (Iswari dan Sastrodipuro, 1996).

III. Kendala dan Peluang Perbaikan

Adapun pada proses pembersihan gabah, 70% petani melakukan


dengan cara manual (menampi). Metode pengeringan gabah juga masih
dilakukan di atas lantai dengan penjemuran matahari, belum ada dilakukan
pengeringan mekanis. Gabah dihamparkan dengan ketebalan 3- 5 cm saat
cuaca cerah, dan dilakukan pembalikan secara berulang-ulang. Masalah akan
timbul saat akan melakukan penanganan gabah basah hasil panen pada musim

311
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

hujan. Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya


mesin pengeringan mekanis.
Untuk sistem penyimpanan gabah kering dilakukan dengan dipak dalam
karung dan ditempatkan secara teratur dalam ruang penyimpanan. Dimana
susunan karung diletakkan diatas alas balok- balok kayu sehingga tidak terjadi
kontak antara karung dengan lantai. Untuk menunjang keberhasilan
penyimpanan gabah sebaiknya penyimpanan dalam Silo.

KESIMPULAN

1. Kendala yang ditemui belum adanya mesin pengering sehingga petani


masih mengandalkan sinar matahari.
2. Masih terbatasnya mesin pemanenan, sehingga sebahagian besar petani
di Kab Labura masih memanen padi dengan cara manual.
3. Teknologi pascapanen yang dilakukan di tingkat petani belum dapat
mengimbangi teknologi pra-panen sehingga perlu sosialisasi untuk
mengurangi kehilangan hasil dengan terbatasnya kemampuan petani baik
dalam penguasaan teknologi maupun ketersediaan sarana.

SARAN

Dengan adanya bantuan alokasi sarana dan peralatan pasca panen di Kab
Labura, perlunya pendampingan dari pihak penyuluhan kabupaten agar petani
mampu menerapkan teknologi pasca panen yang tersedia.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1986. Surat keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun


1986, tentang Peningkatan Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian.
Jakarta.
Anonim. 2010. Petani labura Bisa Gagal Panen. http:// medanbisnisdaily.
com/news/arsip/read/2010/11/04/6300/petani_labura_bisa_gagal_pan
en/#.Ux5m2c7GEyI diakses tanggal 10 Maret 2014.

Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. 2011. Strategi


Pengembangan Iptek Untuk Pengurangan Kehilangan Hasil
(YieldLoss)Pada Sentra Usaha Padi Sawah Di Sumatera Utara.
Biro Pusat Statistik (BPS). 1996. Survei Susut Pascapanen, MT19994/1995
Kerjasama BPS. Ditjen Tanaman pangan. Badan Pengendali Bimas,
Bulog, Bappenas, IPB dan badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Damardjati, D.S., H. Suseno dan S. Wijandi. 1981. Penentuan Umur Panen
Optimum Padi Sawah (Oryza Sativa L). Penelitian Pertanian 1: 19 – 26.
Iswari, K. Dan D. Sastrodipuro. 1996. Pengaruh penundaan perontokan
terhadap sifat dan mutu beras. Jurnal Penelitian Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara 15(3): 186 – 193.

312
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Mejia, D.J. 2008. An Overview of Rice Post Harvest Technology: Use of Small
Metallic Silos for Minimizing Losses. Proceedings of the 20th session
of the International Rice Commission. Bangkok : FAO Corporate
Document Repository.
Rachmat,R.,A. Setyono dan S. Nugraha. 1993. Evaluasi System Pemanenan
Beregu Menggunakan Beberapa Mesin Perontok. Agrimek. Vol 4 dan
5 no 1. (1992/1993).
Setyono, A. 2000. Pengujian Pemanenan Padi Sistem Kelompok dengan
Memanfaatkan Kelompok Jasa Pemanen dan Jasa Perontok. Seminar
Hasil Penelitian Balitpa. Sukamandi. 10-11 November 2000.
Setyono, A. 2010. Perbaikan teknologi pasca panen dalam upaya menekan
kehilangan hasil padi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. 3(3):
212-226.
Setyono, A.dan A. Hasanuddin. 1997. Teknologi Pascapanen Padi. Pelatihan
Pascapanen dan Pengolahan Hasil Tanaman Pangan, BPLPP
Cibitung, 21 – 25 Juli 1997.

DISKUSI
Nama Penanya : Jonni Firdaus (BPTP Sulawesi)
Pertanyaan : Diposter disebutkan persentase kehilangan hasil,
bagaimana cara menghitung/ memperolehnya ?.
Jawaban : Data persentase kehilangan hasil yang ditampilkan
diperoleh dari Studi literatur yang bersumber dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera
Utara.

313
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

OPTIMASI LAMA PENGERINGAN GABAH DENGAN BERBAGAI MASSA


DAN KADAR AIR PADA PENGERING BERBAHAN BAKAR SEKAM

Jonni Firdaus

BPTP Sulawesi Tengah


Jl. Lasoso 62 Biromaru Palu Sulawesi Tengah
Email: jonni_firdaus@yahoo.com

ABSTRAK

Pengeringan merupakan salah satu proses penting dalam pasca panen


padi karena dapat mempengaruhi mutu dan rendemen beras yang dihasilkan.
Pengering berbahan sekam telah banyak digunakan namun operator
mengalami kesulitan untuk menentukan lama pengeringan hingga kadar air
gabah mencapai 14% karena sebagian produksi gabah petani tidak mencapai
kapasitas maksimum pengering. Penelitian ini bertujuan mengoptimasi lama
pengeringan melalui berbagai tingkat massa dan kadar air awal gabah kering
panen. Pengeringan gabah dilakukan dengan menggunakan alat pengering
berbahan bakar sekam dengan kapasitas 3 ton. Pengeringan dilakukan dengan
4 kali percobaan dengan berbagai massa dan kandungan kadar air. Data
berupa penurunan kadar air gabah. Data yang diperoleh diplotkan,kemudian
dilakukan curve fitting, selanjutnya dilakukan pemilihan model persamaan
berdasarkan nilai koefisien determinasi R2. Kemudian ditentukan lama waktu
yang dbutuhkan untuk menurunkan kadar air menjadi 14% untuk setiap
percobaan. Selanjutnya dilakukan curve fitting terhadap massa (x), kadar air
awal (y) dan lama waktu pengeringan (z) dalam bentuk grafik tiga dimensi (XYZ)
untuk mendapatkan persamaan hubungan antara ketiga parameter
tersebut.Pemilihan model persamaan berdasarkan besarnya koefisien
determinasi R2 dan realibilitas persamaan yang diperoleh dengan melihat
bentuk grafiknya. Dari hasil optimasi diperoleh model terbaik dengan model
plane dalam bidang 3 dimensi dengan persamaan z = 2,0704x + 0,4698y -
8,1034 dengan nilai R=0,9961 dan R2 = 0,9929.

Kata kunci : pengering gabah padi, bahan bakar sekam, lama pengeringan

PENDAHULUAN

Pengeringan merupakan salah satu proses penting dalam pasca panen


padi. Pengeringan dapat mempengaruhi mutu dan rendemen beras yang
dihasilkan. Pengeringan padi pada umumnya dilakukan dengan penjemuran
langsung di bawah sinar matahari. Cara penjemuran seperti ini memiliki
beberapa kelebihan dan kekurangan. Salah satu kelebihan penjemuran
langsung adalah tidak membutuhkan biaya untuk memperoleh energi
pemanasan. Namun cara ini memiliki kelemahan jika dilakukan pada musim
penghujan, dimana banyak terjadi kerusakan beras sehingga menurunkan
mutu dan rendemen beras. Keterlambatan proses pengeringan gabah
menyebabkan mutu beras giling rendah, yang ditunjukkan oleh tingginya bulir
pecah, menir, butir kuning, bulir merah, gabah berkecambah dan rendahnya

314
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

rendemen giling (Ananto, et.al., 2003). Beberapa hasil penelitian menunjukkan


bahwa penggunaan alat pengering berbahan bakar sekam dapat
meningkatkan/mempertahankan mutu beras (Sutrisno dan Ridwan Rachmad,
2003; Lubis, et. al., 2005 ), meningkatkan rendemen (Sutrisno dan Ridwan
Rachmad, 2003) dan menurunkan biaya pengeringan ( Sutrisno dan Ridwan
R., 2003).
Sekam merupakan hasil samping dari produksi padi dimana saat ini
masih dianggap sebagai limbah. Penggilingan padi menghasilkan sekitar 25%
sekam (Haryadi, 2006), sumber lain menyebutkan 18-28% (Juliano, 1980) dan
Thahir dalam Uning dkk ( 2006) menyebutkan bahwa potensi aktual sekam
dalam 1 butir gabah berkisar 21 - 25%. Sekam masih dapat dimanfaatkan
sebagai sumber energi alternatif karena masih memiliki nilai kalor sebesar 3300
kcal/kg (Van Ruiten, 1981).
Pengering padi berbahan bakar sekam yang dikembangkan Badan
Litbang Pertanian mampu telah mengeringkan padi (gabah basah) berkadar air
sekitar 27,5 % hingga 10 ton dalam sekali proses dengan waktu sekitar 12 jam
dengan konsumsi sekam 650 kg (Sutrisno dan Budi, 2008)
Beberapa alat pengering yang ada di masyarakat pada umumnya
memiliki kapasitas yang besar mulai dari 3 ton hingga 10 ton atau lebih (Lubis
dkk., 2005; Raharjo, 2009; Sutrisno dan Budi, 2008). Pada daerah tertetu, hal
ini menjadi suatu masalah tersendiri dalam proses pengeringan karena petani
memiliki luas lahan yang sempit sehingga produksinya tidak mencapai
kapasitas maksimum alat pengering. Di sisi lain umumnya petani tidak mau
menggabungkan hasil panennya saat menggunakan alat pengering sehingga
dalam setiap proses pengeringan tidak mencukupi kapasitas alat (Khairani dkk,
2011).
Banyaknya gabah yang tidak menentu dapat menyulitkan operator
dalam menentukan lama waktu pengeringan. Waktu pengeringan yang kurang
menyebabkan kadar air masih terlalu tinggi, hal ini dapat merusak dan
menurunkan mutu beras. Sebaliknya waktu yang terlalu lama menyebabkan
kadar air terlalu rendah, hal ini juga dapat menyebabkan kerusakan,
menurunkan mutu, menurunkan rendemen beras dan tidak efisien dari segi
penggunaan waktu dan energi. Penggunaan alat ukur kadar air sangat
menyulitkan bagi operator karena harus dikontrol setiap waktu hingga
memperoleh kadar air optimum (14%). Selain itu kebanyakan petani/operator
tidak memiliki alat ukur kadar air. Pengukuran tingkat kekeringan gabah
berdasarkan kebiasaan petani umumnya tidak selalu tepat dan cenderung
kadar air akhir pengeringan lebih rendah dari kadar air optimum (14%) (Khairani
dkk, 2011). Oleh karena itu diperlukan optimasi lama pengeringan sehingga
dapat membantu operator/petani dalam mengambil keputusan kapan proses
pengeringan dihentikan.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan optimasi terhadap lama
pengeringan dengan berbagai tingkat massa dan kadar air awal gabah kering
panen (GKP) menggunakan alat pengering berbahan bakar sekam yang
berkapasitas 3 ton.

315
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Pengeringan gabah dilakukan dengan menggunakan alat pengering


berbahan bakar sekam dengan kapasitas 3 ton. Pengeringan gabah dilakukan
dengan 4 kali percobaan pada berbagai massa dan kadar air GKP, tergantung
pada ketersediaan gabah yang dimiliki oleh petani. Pengambilan data
penelitian dilakukan pada usaha pengggilingan padi di Desa Berdikari,
Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada tahun 2011.
Gabah dikeringkan kemudian dicatat penurunan kadarairnya
menggunakan digital moister tester setiap jam hingga gabah menjadi kering
berdasarkan kriteria petani. Selanjutnya data yang diperoleh diplotkan kedalam
grafik kemudian dilakukan curve fitting untuk menentukan trend line dan
persamaan hubungan antara kadar air dengan lama pengeringan
menggunakan Ms Excel. Pemilihan persamaan yang tepat dilakukan dengan
mempertimbangkan besarnya nilai koefisien determinasi R 2. Selanjutnya
ditentukan lama waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan kadar air menjadi
14% untuk setiap percobaan dengan menggunakan program android Maths
Solver. Selanjutnya dilakukan curve fitting terhadap massa (x), kadar air awal
(y) dan lama pengeringan (z) dalam bentuk grafik tiga dimensi (XYZ)
menggunakan software Sigma Plot 13.0 untuk mendapatkan model persamaan
hubungan antara ketiga parameter tersebut. Pemilihan model persamaan
berdasarkan nilai koefisien determinasi R2 dan realibilitas model yang diperoleh
dengan melihat bentuk grafik yang terbentuk. Kemudian dilakukan penyusunan
tabel operasional dalam penentuan lama pengeringan berdasarkan persamaan
terpilih.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan terhadap kondisi dan


beberapa parameter pengeringan gabah berbahan bakar sekam dengan
kapasitas 3 tondapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Kondisi bahan dan proses pengeringan gabah berbahan bakar
sekam kapasitas 3 ton
Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3 Percobaan 4
Varietas Ciherang Lokal (Pulut) Ciherang Lokal
(Buri-Buri)
Massa (ton GKP) 2,0 1,5 0,85 0,85
Kadar air awal (%) 17,9 22,2 17,9 17,3
Kadar air akhir (%) 12,2 11,8 11,7 11,9
Lama Pengeringan (jam) 6 7 4 4
Rerata Suhu Pengeringan (oC) 37,8 41,7 38,2 41,9
Rerata RH Lingkungan (%) 72,1 65,5 64,1 51,6

Pada Tabel 1 terlihat bahwa dari keempat percobaan tidak satupun


petani yang memiliki produksi lebih dari 3 ton.Kondisi ini sangat menyulitkan
bagi operator untuk menentukan kapan seharusnya pengeringan dihentikan.
Sebagai langkah aman pada umumnya operator mengeringkan lebih lama
bahkan hingga melebihi kadar air gabah yang dianjurkan sesuai SNI yaitu 14%.

316
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hal ini sangat tidak efisien dari segi waktu, tenaga dan energi sehingga terjadi
pemborosan biaya.
Untuk menduga seberapa lama sebenarnya kondisi kadar air 14%
dicapai maka perlu diketahui persamaan regresi antara penurunan kadar air
terhadap waktu pengeringan seperti pada Gambar 1.
Persamaan regresi yang dihasilkan berupa persamaan polinomial
dengan tingkat orde yang beragam dari orde 2 hingga orde 4 dengan tingkat
akurasi yang tinggi, hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi R 2 yang tinggi
dan lebih besar dari 0,9. Semakin tinggi nilai R2 menunjukkan model
persamaan regresi yang dibangun semakin mendekati pola/trend data yang
sebenarnya. Sehingga model yang dibangun layak untuk digunakan dalam
proses optimasi selanjutnya.
Berdasarkan SNI mutu gabah bahwa kadar air maksimal yang diizinkan
adalah 14% (BSN, 1993), maka melalui persamaan regresi yang terbentuk
dapat ditentukan lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air 14%
(Gambar 1).

1) Pengeringan 2 ton GKP, kadar air 2) Pengeringan 1,5 ton GKP, kadar
awal 17,95% air awal 22,2 %

3) Pengeringan 0,85 ton GKP, kadar 4) Pengeringan 0,85 ton GKP, kadar
air awal 17,9% air awal 17,3%

Gambar 1. Persamaan regresi antara kadar air (%) dengan lama waktu
pengeringan (jam) untuk setiap percobaan

Dengan mencari nilai x yang mungkin pada setiap persamaan maka diperoleh
lama waktu pengeringan seperti terlihat pada Tabel 2.

317
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2 Lama pengeringan saat mencapai kadar air 14% dan selisihnya
terhadap lama pengeringan menurut petani
Lama
Lama Kelebihan
Kadar pengeringan
Massa pengeringan waktu
Percobaan air awal saat mencapai
GKP (ton) oleh petani pengeringan
(%) kadar air 14%
(jam) (jam)
(jam)
1 2,00 17,9 4,4606 6 1,5394
2 1,50 22,2 5,4064 7 1,5936
3 0,85 17,9 2,2555 4 1,7445
4 0,85 17,3 1,6047 4 2,3953

Pada Tabel 2 terlihat bahwa terdapat kelebihan waktu pengeringan yang


dilakukan operator/petani dalam proses pengeringan dimana seharusnya
pengeringan diberhentikan saat kadar air gabah telah mencapai 14%.
Selanjutnya dilakukan optimasi terhadap keempat percobaan tersebut
agar diperoleh waktu yang tepat untuk menghentikan proses pengeringan
(kadar air 14%) dengan menggunakan massa dan kadar air awal gabah
sebagai variabel penduga. Salah satu caranya adalah dengan memplotkan
ketiga parameter tersebut ke dalam bidang grafik tiga dimensi (Gambar 2),
dimana komponen X adalah massa gabah, komponen Y adalah kadar air dan
komponen Z adalah lama pengeringan.

Gambar 2. Plotting data untuk setiap ulangan ke dalam bidang tiga dimensi
(XYZ)

Setelah dilakukan plotting data pada bidang tiga dimensi, kemudian


dilakukan curve fitting kedalam beberapa model persamaan yaitu model plane,
parabolid, gaussian dan lorentzian untuk melihat model mana yang lebih tepat
digunakan. Keempat bentuk model tersebut dapat dilihat pada Gambar 3
sedangkan persamaan dan hasil curve fitting dapat dilihat pada Tabel 3

318
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Model Plane Model Parabolid

Model Gaussian Model Lorentzian

Gambar 3. Beberapa model yang digunakan untuk menduga lama waktu


pengeringan

Tabel 3. Model Persamaan dan hasil curve fitting penentuan lama waktu
pengeringan
Model Persamaan R R2
Plane z = 2,0704x + 0,4698y - 8,1034 0,9964 0,9929
Parabolid z = 10,3932x2 + 0,0293y2 - 27,7031x + 0,0522y + 7,9612 1 1
z= 25,06 exp(-,5(((x-5,9692)/ 2,7683)2 + ((y-20,6308)/
Gaussian 1 1
2,3111)2 ))
Lorentzia z = 15,7172/((1+((x-1,7715)/ 0,8734)2)(1+((y-20,2273)/
1 1
n 1,5353)2))
Dimana : z = Lama pengeringan (jam) ; x = massa GKP (ton) ; y= kadar air
awal (%)

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa semua model optimasi yang dibangun
memiliki akurasi yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi
R2 yang tinggi (> 0,9) bahkan ada tiga model yang nilainya 1. Demikian juga
bila dilihat hubungan korelasi antara parameter yang diduga (z) dengan variabel
penduganya (x dan y) memiliki tingkat korelasi yang tinggi (> 0,9), hal ini

319
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

menunjukkan adanya hubungan kuat yang saling mempengaruhi antara lama


pengeringan dengan massa dan kadar air gabah.
Namun bila diperhatikan bentuk kurva yang terbentuk pada Gambar 3,
model yang paling realistis dan logis adalah model plane, karena bentuknya
yang selalu konsisten naik dari nilai parameter terendah hingga nilai tertinggi.
Sedangkan pada ketiga model lainnya, terjadi nilai tertinggi atau terendah
(membentuk puncak atau lembah) di dalam area kurva, dan hal ini tidak logis
untuk proses pengeringan gabah. Oleh karena itu model plane dapat dijadikan
sebagai model untuk optimasi lama pengeringan dengan menggunakan massa
dan kadar air awal gabah sebagi variabel penduga.
Untuk memudahkan pengambilan keputusan oleh operator/petani pada
tingkat operasional, model terpilih dapat dikonversikan kedalam bentuk tabel
sehingga operator/petani dapat lebih mudah memahami. Contoh tabel dari
model plane dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penentuan lama pengeringan pengering berbahan sekam kapasitas


3 ton
Massa gabah
Kadar air awal gabah (%) Lama pengeringan (jam)
(ton)
22 8,4
21 8,0
3
20 7,5
19 7,0
22 6,4
21 5,9
2
20 5,4
19 5,0
22 4,3
21 3,8
1
20 3,4
19 2,9

KESIMPULAN

Optimasi lama pengeringan pada pengering gabah berbahan bakar


sekam pada berbagai tingkat massa dan kadar air gabah dapat dilakukan
menggunakan curve fitting pada koordinat tiga dimensi dengan model
persamaan plane. Massa gabah dan kadar air awal memiliki korelasi yang
sangat kuat terhadap lama waktu pengeringan. Semakin tinggi massa gabah
dan kadar air awal maka waktu pengeringan menjadi semakin lama.
Untuk mempermudah penggunaan persamaan tersebut disarankan
untuk dikonversi kedalam bentuk tabel sehingga dapat digunakan oleh
petani/operator sebagai panduan dalam menentukan lama pengeringan gabah.

320
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Caya Khairani, M.Si dan
Dr. Soeharsono, S.Pt, M.Si yang telah memberikan bantuan dan bimbingan
dalam penulisan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ananto, E. Eko, Agus S, dan Sutrisno. 2003. Panduan Teknis Penanganan


Panen dan Pasca Panen dalam Sistem Usahatani Ternak, Departemen
Pertanian.
BSN, 1993, Standar Mutu Gabah, SNI 0224-1987/SPI-TAN/01/01/1993
Haryadi, 2006. Teknologi Pengolahan Beras, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Juliano, B.O., 1980. Properties of Rice Caryopsis. In: Rice Production and
Utilization (B. S. Luh, ed., 1980) the AVI Piblishing Co., Westport
Connecticut.
Khairani, C., Sukarjo, Jonni F, Yogi PR, dan Pujo H, 2011. Laporan Optimalisasi
Pengeringan Gabah Menggunakan Sekam Padi Sebagai Bahan Bakar
Dan Meningkatkan Persentase Beras Kepala Sebesar 10% di Musim
Penghujan. BPTP Sulawesi Tengah. Badan litbang Pertanian.
Lubis, S, Sigit N., Sudaryono, dan Ridwan R. 2005. Evaluasi Penggunaan
Pengering Bahan Bakar Sekam Tipe Flat Bed, Jurnal Enjiniring
Peranian, Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Badan
Litbang Pertanian. Vol. III, No. 2, Oktober 2005, hal. 63-69.
Raharjo, B. 2009. Alat Pengering Padi Berbahan Bakar Sekam (BBS) Di Lahan
Pasang Surut Sumatera Selatan, Tabloid Sinar Tani, 8 April 2009.
Sutrisno dan Budi R. 2008, Rekayasa Mesin Pengering Padi Bahan Bakar
Sekam (BBS) Kapasitas 10T Terintegrasi pada Penggilingan Padi di
Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan, Jurnal Pembangunan Manusia
Vol.2 Edisi Desember: 50-59.
Sutrisno dan Ridwan R, 2003. Perbaikan Desain Tungku Sekam untuk
meningkatkan Efisiensi Panas Pada Pengering Gabah. Jurnal
Enginering Pertanian, Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Vol 1, No. 1, April 2003: 39-48.
Uning, B, Harsono dan R Juliana, 2006. Perbaikan konfigurasi mesin pada
penggilingan padi kecil untuk meningkatkan rendemen giling padi.
Prosiding seminar nasional pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian
sebagai penggerak ketahanan pangan. BBP2TP Badan Litbang
Pertanian. Jilid II : 373-378.
Van Ruiten, H.TH.L. 1981. Whitening and Polishing. The Third Course on Post
Harvest Technology Department of Agriculture. BULOG, Searca.
Tambun.

321
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PREFERENSI DAN PEMANFAATAN LIMBAH PENGGILINGAN PADI


(BEKATUL) SEBAGAI SUBSTITUSI GANDUM PADA KUE BROWNIES

Sumarni, A. Dalapati, Jonni Firdaus dan Soeharsono

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah


Jl. Lasoso 62 Biromaru Palu Sulawesi Tengah
email: sumarnibptpsulteng@gmail.com

ABSTRAK

Bekatul merupakan salah satu produk sampingan dari bioindustri padi.


Bekatul, di Sulawesi Tengah, umumnya hanya digunakan sebagai pakan,
belum dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Berdasarkan produksi padi di
Sulawesi Tengah pada tahun 2013 sekitar 1.024.315 ton dengan asumsi jumlah
bekatul yang dihasilkan 2% dari total produksi padi, maka produksi bekatul
20.486 ton. Bekatul berpotensi digunakan sebagai bahan pangan, karena
kandungan gizinya cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan melihat tingkat
kesukaan konsumen terhadap olahan pangan dari bekatul berupa kue
brownies. Perlakuan berupa subtitusi bekatul terhadap terigu, yaitu 0%, 50%
dan 100%. Bekatul diperoleh dari penggilingan padi kemudian dipanaskan
pada suhu 110oC selama 2 jam dan kemudian diayak. Hasil uji organoleptik
menunjukkan bahwa dari segi warna dan tekstur, ketiga perlakuan tidak
menunjukkan perbedaan nyata, namun dari segi rasa perlakuan 0% tidak
berbeda nyata dengan 50%, namun berbeda nyata dengan perlakuan 100%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan substitusi 50% lebih disukai dari
pada perlakuan 100%.

Kata kunci : Bekatul, limbah, brownies, dan pangan

PENDAHULUAN

Produksi padi dari tahun ke tahun di Sulawesi Tengah cukup meningkat,


dimana pada tahun 2012 sekitar 1.024.315 ton dan tahun 2013
mencapai1.031.364 ton (BPS Sulteng, 2014). Padi setelah digiling
menghasilkan beras yang akan dikonsumsi sebagai bahan pangan pokok, juga
menghasilkan produk sampingan berupa sekam, dedak dan bekatul.
Penggilingan gabah menghasilkan sekitar 65% beras giling, 25% sekam, 8%
dedak, dan 2% bekatul (Haryadi, 2006). Dari produksi padi sebesar 1.024.315
ton pada tahun 2013, maka dapat diasumsikan bahwa terdapat sekitar 256.078
ton sekam, 81.945 ton dedak dan 20.486 ton bekatul yang berpotensi untuk
diolah lebih lanjut.
Produk sampingan berupa sekam umumnya hanya digunakan sebagai
pakan ataupun bahan bakar, sedang untuk bekatul dapat digunakan sebagai
bahan pangan. Di Sulawesi Tengah, pemanfaatan sekam sebagai pakan atau
bahan bakar sudah dilakukan, sedang pemanfaatan bekatul sebagai bahan

322
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pangan belum dilakukan, masih terbatas sebagai bahan pencampur pakan


ataupun tidak dimanfaatkan sama sekali, hanya sebagai limbah.
Bekatul sebagai bahan pangan sangat memungkinkan untuk diusahakan,
mengingat kandungan gizi bekatul cukup tinggi karena mengandung
antioksidan, multivitamin dan serat tinggi untuk penangkal penyakit degeneratif
juga kaya akan pati, protein, lemak, vitamin dan mineral (Damayanthi, dkk.,
2007). Kandungan gizi yang dimiliki bekatul, yaitu protein 13,11 - 17,19%, lemak
2,52 - 5,05% dan serat kasar 370,91 – 387,3 kalori serta kaya akan vitamin B
terutama viatamin B1 (Wulandari dan Erma, 2010). Menurut Kahlon and Chow
(1997) dalam Suprijana, dkk (2002), bekatul dapat menurunkan kadar
trigliserida (sifat hipolipemik) dan kolesterol (sifat hipokolesterolemik) darah.
Hasil penelitian Astawan, dkk. (2010) menunjukkan bahwa tepung bekatul
fungsional dapat diaplikasikan sebagai pensubtitusi terigu pada pembuataan
cookies dan donat. Cookies dengan penambahan bekatul fungsional sebanyak
40% dari total tepung, dan donat dengan penambahan bekatu l35% dari total
tepung merupakan formula terbaik.
Bekatul yang diolah sebagai bahan pangan diambil dari penggilingan
dengan jangka waktu kurang dari 24 jam. Hal ini dilakukan agar bekatul yang
digunakan, kualitasnya masih baik dan tidak berbau tengik. Sebelum diolah
menjadi bahan pangan, terlebih dahulu bekatul perlu dibentuk menjadi tepung.
Tepung bekatul ini dapat dibuat menjadi brownies dengan campuran tepung
terigu, berarti kita telah dapat mengurangi ketergantungan produk pangan kita
terhadap tepung terigu.
Gandum bukan tanaman asli Indonesia dan pemenuhannya masih
melalui impor. Indonesia masih merupakan negara importir gandum terbesar
keenam di dunia. Untuk menciptakan kemandirian pangan sebaiknya
Indonesia membangun industri pangan yang sebagian besar bahan bakunya
berasal dari produksi dalam negeri, bukan food lose industri pangan (Sawit,
2003).
Pemanfaatan bekatul menjadi olahan pangan juga berarti telah
meminimalisir limbah pertanian, meningkatkan nilai tambah dari bekatul yang
pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani padi. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat tingkat kesukaan konsumen terhadap brownies dari
bekatul.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Pasca Panen Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah pada bulan Oktober 2015.
Tahapan kegiatan berupa pembuatan tepung bekatul dilanjutkan dengan
pembuatan brownies dari bekatul kemudian dilakukan uji organoleptik.

323
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tepung Bekatul
Bahan yang digunakan adalah bekatul danalat mencakup: oven,
timbangan, ayakan 70 mesh dan loyang. Tepung bekatul dibuat dengan cara
mengeringkan bekatul yang fresh (maksimal 24 jam setelah proses
penggilingan) pada oven dengan suhu 110 oC selama 2 jam sambil dibolak
balik, setelah itu diayak menggunakan ayakan 70 mesh.

Pembuatan Brownies Bekatul


Bahan yang digunakan adalah tepung bekatul, tepung terigu, gula pasir,
telur, margarine, coklat batang, pengembang kue. Alat yang digunakan adalah
mixer, timbangan, baskom, cetakan brownies dan kukusan.
Proses pembuatan brownies bekatul ini dimulai dengan penimbangan
bahan, pencampuran, dan pengukusan. Diagram alur pembuatan brownies
bekatul dapat dilihat pada Gambar 1.
Telur, gula pasir, pengembang kue dikocok
embang

Ditambahkan mentega dan coklat batang leleh, tepung bekatul

Adonan dicampur rata

Adonan dimasukkan dalam cetakan


brownies

Adonan dikukus hingga matang, ± 45


menit

Brownies kukus bekatul


Gambar 1. Diagram alur pembuatan brownies bekatul

Perlakuan subtitusi bekatul terhadap tepung terigu adalah:


A : Brownies yang dibuat dari 100% tepung bekatul dan 0% tepung terigu
B : Brownies yang dibuat dari 0% tepung bekatul dan 100% tepung terigu
C : Brownies yang dibuat dari 50% tepung bekatul dan 50% tepung terigu
Parameter yang diamati adalah sifat organoleptik (rasa, warna, dan
tekstur) yang diujikan terhadap 25 orang panelis. Data yang dihasilkan dianalisa
secara statistik dengan uji Anova dan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf
nyata 5% (Gomez dan Gomez, 2007).

324
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bekatul sebelum diolah menjadi brownies sebelumnya dilakukan


pengeringan terlebih dahulu menggunakan oven pada suhu 110°C selama 2
jam, sambil dibolak balik. Tujuan dari pengeringan ini, selain dari untuk
menstrerilkan bekatul, juga untuk menginaktifkan enzim lipase yang terdapat
pada bekatul. Enzim lipase jika tidak diinaktifkan dapat menghidrolisis
kandungan lemak yang terdapat dalam bekatul, yaitu kisaran 16,80% - 23,75%
(Hartati, dkk, 2015). Aktivitas enzim lipase ini dapat menyebabkan bekatul
mudah rusak, kurang tahan lama, cepat berbau dan menjadi tengik. Setelah
dikeringkan bekatul diayak menggunakan ayakan 70 mesh. Bekatul yang lolos
ayakan inilah yang digunakan sebagai tepung dalam pembuatan brownies.
Penggunaan ayakan 70 mesh didasari agar tepung yang dihasilkan dapat
memenuhi standar tingkat kehalusan yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi
Nasional (SNI, 2009) untuk tepung terigu, dimana tepung terigu yang
kehalusannya memenuhi standar adalah yang lolos ayakan 70 mesh minimal
95%.
Pemilihan brownies sebagai bentuk olahan dari tepung bekatul adalah
mengingat bahwa brownies merupakan kue yang rasanya lezat, proses
pembuatannya mudah serta sudah sangat dikenal oleh masyarakat luas.
Produk olahan brownies umumnya berbahan dasar tepung terigu, sehingga
untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu dan memanfaatkan
limbah penggilingan beras maka dibuatlah brownies dengan subtitusi tepung
bekatul. Hasil uji organoleptik berdasarkan tingkat kesukaan terhadap rasa,
aroma, dan tekstur brownies bekatul (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata tingkat kesukaan keseluruhan panelis terhadap rasa,


aroma dan tekstur dari brownies bekatul
Perlakuan
Penilaian
A B C
Rasa 2.4a 1.4b 1.7b
Warna 1.7tn 1.5tn 1.7tn
Tekstur 2.0tn 1.5tn 2.0tn
Keterangan : Huruf yang sama pada satu baris menunjukkan perbedaan
yang tidak nyata pada taraf 5%; tn = tidak nyata; Skor penilaian
:1 = suka, 2 = cukup suka, 3 = tidak suka; A = 100% bekatul :
0% terigu, B = 0% bekatul : 100% terigu, C = 50% bekatul : 50%
terigu

Dari segi rasa brownies dari 0% tepung bekatul mendapat penilaian suka
(1.4), sedang untuk brownies dari 50% dan 100% tepung bekatul mendapat
penilaian cukup suka (1.7 dan 24). Walaupun secara statistik penilaian rasa
brownies 0% tepung bekatul tidak berbeda nyata dengan rasa brownies dari
50% tepung bekatul. Sedang dibanding rasa brownies dari 100% tepung
bekatul secara statistik berbeda nyata dengan rasa brownies dari 0% tepung
bekatul. Tidak berbeda nyatanya rasa brownies dari 50% tepung bekatul
dibanding 0% tepung bekatul, mungkin disebabkan pemberian 50% tepung
bekatul pada pembuatan brownies tidak meninggalkan rasa tepung bekatul

325
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yang tajam pada browneis, sehingga masih dapat diterima oleh panelis.
Sedang untuk brownies dari tepung bekatul 100%, rasa tepung bekatulnya
terlalutajam, banyaknya konsentrasi tepung bekatul yang digunakan membuat
ada rasa after taste berupa rasa agak pahit, sehingga hanya mendapat
penilaian cukup suka dari panelis.
Hasil penilaian terhadap warna brownies secara statistik adalah tidak
berbeda nyata. Dari segi warna penambahan tepung bekatul pada pembuatan
brownies tidak memberi pengaruh terhadap warna akhir dari brownies yang
dibuat. Warna brownies yang mendapat penambahan tepung bekatul (50% dan
100%) adalah coklat sama dengan warna brownies dari 0% tepung bekatul.
Tekstur dari ketiga brownies tersebut mendapat penilaian yang sama,
yaitu cukup suka dan secara statistik tidak berbeda nyata. Tekstur dari
brownies dengan penambahan tepung bekatul (50% dan 100%) tersebut sudah
cukup lembut, mendekati tekstur dari brownies yang terbuat dari tepung terigu
(0% bekatul). Kelembutan dari tekstur brownies bekatul dimungkinkan karena
tepung bekatul yang digunakan memiliki tingkat kehalusan yang baik atau
memenuhi standar tingkat kehalusan tepung. Tepung bekatul yang digunakan
pada penelitian ini diayak menggunakan ayakan 70 mesh, dimana menurut
standar SNI tingkat kehalusan dari tepung terigu adalah lolos ayakan 70 mesh.
Secara keseluruhan dari segi rasa, warna dan tekstur dapat dilihat
penambahan tepung bekatul baik 50% dan 100% menunjukkan penilaian yang
cukup suka dari panelis, sehingga dapat diasumsikan bahwa penambahan
tepung bekatul dalam pembuatan brownies dapat diterima oleh panelis. Untuk
pembuatan brownies dengan penambahan tepung bekatul, maka formulasi
yang dinilai baik adalah 50% penambahan tepung bekatul, karena secara
statistik baik dari segi rasa, warna dan tekstur tidak berbeda nyata dengan
brownies dari 100% tepung terigu (0% tepung bekatul). Dengan penambahan
50% tepung bekatul pada pembuatan brownies berarti telah dapat menghemat
penggunaan tepung terigu sebesar 50%.
KESIMPULAN
Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa dari segi warna dan tekstur
brownies, ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Dari segi rasa
perlakuan subtitusi 0% tepung bekatul pada pembuatan brownies tidak berbeda
nyata dengan subtitusi tepung bekatul 50%, namun berbeda nyata dengan
perlakuan 100% tepung bekatul. Sehingga formulasi yang dinilai dapat diterima
oleh panelis/konsumen untuk membuat brownies dari tepung bekatul adalah
50% tepung bekatul : 50% tepung terigu.

DAFTAR PUSTAKA
Astawan M, Wresdiyati T, Widowati S, 2010. Pencegahan Pencoklatan
Hingga 50% dan Ketengikan Hingga 200% dalam Pembuatan Bekatul
Fungsional dan Aplikasinya sebagai Pangan Prebiotik,
Hipokolesterolemik dan Hipoglikemik. http://www .litbang.pertanian.
go.id/ks/one/503/file/85-86-PENCEGAHAN-PENCOKLAT.pdf

326
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Badan Standarisasi Nasional, 2009. Tepung Terigu sebagai Bahan Manakan


(SNI:3751-2009). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
BPS Sulteng, 2014. Sulawesi Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik,
Sulawesi Tengah.
Damayanthi E, Tjing LT dan Arbianto L. 2007. Rice Bran. Panebar Swadaya,
Depok
Gomez KA, Gomez AA. 2007. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian.
Edisi ke-2. Sjamsuddin E, Baharsjah JS, penerjemah; Jakarta: UI Pr.
Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research.
Hartati S, Yustinus M, Suparmo, Umar S., 2015. Komposisi Kimia Serta
Aktivitas Antioksidan Ekstrak HidrofilikBekatul Beberapa Varietas Padi.
Agritech, Vol. 35, No. 1, Februari 2015.
Haryadi, 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Kahlon, T and Chow, FI. 1997. Hypocholesterolemic effects of oat, rice and
barley dietary fiber and fractions. Cereal Food World, 42:86-92.
Sawit, MH., 2003. Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu
Menumbuhkembangkan Industri Pangan Dalam Negeri. Analisis
Kebijakan Pertanian, Vol 1(2):57-66.
Suprijana, O., AT. Hidayat, dan UMS Soedjanaatmadja, 2002, Bekatul Padi
Sebagai Sumber Produksi Minyak dan Isolat Protein, Jurnal Bionatura
Vol. 4(2): 61 – 68.
Wulandari M dan Erma H. 2010. Pengaruh Penambahan Bekatul Terhadap
Kadar Protein dan Sifat Organoleptik Biskuit. Jurnal Pangan dan Gizi Vol.
01 No. 02 Tahun 2010.

327
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

TEKNOLOGI PEMANENAN DAN PENGERINGAN PADI


UNTUK MENGURANGI KEHILANGAN HASIL DI KALIMANTAN BARAT

Tommy Purba¹ dan Nurmalia²

¹ Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat


Jln. Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu Pontianak
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Email : tompur.purtom@gmail.com

ABSTRAK

Penerapan teknologi pasca panen padi yang baik diperlukan untuk


mendukung pembangunan pertanian tradisional menuju pertanian yang
berwawasan agribisnis dan modern. Penanganan pasca panen padi yang tidak
tepat dapat menimbulkan susut atau kehilangan hasil, baik mutu maupun fisik.
Secara umum teknologi untuk menekan kehilangan hasil panen dapat dilakukan
dengan menggunakan alat dan mesin pertanian yang sederhana dan spesifik
lokasi mulai dari alat panen sabit, mesin perontok, dan mesin penggilingan
sederhana sampai pada alat yang modern seperti mini combine harvester,
mesin pengering berbahan bakar sekam dan mesin penggilingan skala besar.
Introduksi alsin panen mini combine harvester menunjukkan kapasitas
pemanenan yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan panen secara manual
dengan kehilangan hasil dibawah 2%. Hasil unjuk kerja mesin pengeringan
gabah berbahan bakar sekam menunjukkan bahwa proses pengeringan
berjalan dengan baik dengan kehilangan hasil berkisar antara 0,5-0,7%
sehingga dapat menyelamatkan hasil sekitar 1% jika dibandingkan dengan rata-
rata kehilangan hasil pengeringan melalui penjemuran (2,13%).

Kata Kunci: Padi, pemanenan, pengeringan, dan teknologi

PENDAHULUAN

Produksi padi di Kalimantan Barat selama kurun waktu 5 tahun terakhir


(2010-2014) mengalami trend peningkatan dan penurunan dimana pada tahun
2014 mencapai 1.372.695 ton dengan produktifitas 30,35 kw/ha. Walaupun
sedikit mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013 sebesar 69.181 ton
(4,80%). Penurunan produksi ini lebih banyak dipengaruhi oleh menurunnya
luas panen 2,72% (12.656 ha), dari 464.898 ha pada tahun 2013 menjadi
452.242 ha tahun 2014 (BPS Kalbar, 2014).
Dalam upaya meningkatkan produksi tanaman pangan di Kalimantan
Barat sebagaimana target yang telah ditetapkan maka salah satu hal yang
penting dilakukan adalah pengamanan hasil panen melalui penanganan panen
dan pascapanen yang baik dan benar di tingkat petani. Kegiatan pascapanen
padi meliputi beberapa kegiatan, yaitu pemanenan, perontokan, pengangkutan,
pengeringan, penggilingan, penyimpanan, dan pemasaran.

328
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat kehilangan hasil panen


padi, antara lain varietas, alat dan cara panen, perilaku/kebiasaan petani, umur
panen, alat dan mesin, lokasi, musim dan faktor teknis lainnya. Petani sering
mengabaikan cara penanganan padi yang baik dan benar. Proses kehilangan
hasil terjadi pada setiap tahapan produksi padi, mulai dari panen, perontokan,
pengeringan, pengangkutan, penggilingan dan penyimpanan. Kehilangan hasil
padi dari panen sampai penggilingan tidak selamanya karena faktor teknologi,
tapi juga aspek sosial, tata nilai ataupun kebiasaan petani dalam panen.
Kehilangan hasil pasca panen padi saat ini masih cukup tinggi, yaitu
lebih dari 20%. Titik kritis kehilangan hasil terjadi pada tahapan pemanenan dan
perontokan. Dengan tingkat kehilangan yang masih cukup tinggi, yaitu pada
tahapan pemanenan sekitar 9%, dan pada tahapan perontokan lebih dari 4%.
Teknologi penekanan kehilangan hasil padi pada tahapan kegiatan pemanenan
dan perontokan yang telah dilakukan, yaitu dengan rekayasa sosial budaya
pada cara dan sistem panen, dapat menekan kehilangan hasil menjadi 5,9%
(Setyono dkk., 1995). Keragaan kehilangan hasil yang dilaksanakan BB
Pascapanen di tiga ekosistem menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan
kehilangan hasil yang signifikan, yaitu berturut-turut pada ekosistem lahan
irigasi 13,35%, ekosistem lahan tadah hujan 10,39 dan ekosistem lahan pasang
surut 15,26% (Nugraha dkk., 2007).
Tabel 1 dibawah ini menunjukkan susut yang terjadi dalam kegiatan
pasca panen, mulai dari kegiatan panen sampai penyimpanan.

Tabel 1. Persentase Susut Hasil Padi dalam Kegiatan Pascapanen


Kegiatan Musim 1986/1987 Musim 1995 Musim 1996
Pemanenan 9,00 9,48 10,12
Perontokan 5,84 4,81 4,81
Translapang 0,45 0,24 0,36
Pengeringan 1,72 2,18 2,17
Penggilingan 2,91 2,46 2,04
Penyimpanan 1,38 1,34 0,42
Total 21,30 20,60 19,92
Sumber : Strategi Pengembangan Mekanisasi Pertanian dalam mendukung
ketahanan pagan dalam Pemikiran Guru Besar IPB, 2008
Masalah yang menjadi titik kritis kehilangan hasil pada pemanenan padi
terdapat pada kegiatan pemanenan/pemotongan padi, pengumpulan padi, dan
kegiatan perontokan. Pada pertanaman padi khususnya untuk musim tanam
gadu (musim kering) di Kalimantan Barat yang masa panennya jatuh pada
bulan basah kendala tingginya kadar air juga menjadi salah satu masalah
utama dalam pascapanen. Dengan kondisi demikian, sudah dapat dipastikan
mutu beras yang dihasilkan sangat rendah, apalagi dilokasi masih
menggunakan pengeringan dengan tenaga sinar matahari.

329
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

TEKNOLOGI PEMANENAN DAN PENGERINGAN

Usaha-usaha penanganan pasca panen sudah banyak dilakukan


melalui perbaikan sistem dan teknologi pasca panen dengan tujuan untuk
mengurangi atau menekan susut hasil, mempertahankan kualitas gabah dan
beras, meningkatkan rendemen giling serta meningkatkan nilai tambah dan
harga jual beras. Inovasi teknologi pascapanen padi dapat diuraikan sebagai
berikut:
 Panen
Penentuan waktu panen sangat penting untuk memperoleh mutu beras
yang baik dan menekan kehilangan hasil. Umumnya panen optimum dilakukan
pada saat gabah menguning 90-95%, kadar air gabah 25-27% pada musim
hujan dan 21-24% pada musim kemarau atau pada umur 50-60 hari setelah
pembungaan, bergantung pada varietas (Nugraha, 2008). Alat pemotong malai
padi berkembang dari ani-ani, kemudian menjadi sabit dan terakhir sabit
bergerigi dengan bahan baja yang sangat tajam untuk menekan kehilangan.
Penggunaan sabit gerigi dapat menekan kehilangan hasil sebesar 3%
(Damarjati, dkk., 1990 dan Nugraha, dkk., 1990).
Pada saat ini, alat dan mesin untuk memanen padi berkembang menjadi
mesin panen stripper, dan combine harvester (Purwadaria dan Sulistiadji,
2011). Reaper merupakan mesin pemanen untuk memotong padi dengan
sangat cepat. Prinsip kerjanya mirip dengan panen menggunakan sabit.
Purwadaria dan Sulistiadji (2011) melaporkan bahwa penggunaan reaper dapat
menekan kehilangan hasil 6,1%. Combine harvester adalah mesin panen padi
yang mampu menyelesaikan pekerjaan menuai, merontok, memisahkan,
membersihkan, dan mengayak gabah dalam satu urutan. Karena strukturnya
kompak, mobilitas tinggi, stabil, andal, ekonomis, dan kuat aksesibilitasnya ke
lahan sawah, pemanenan satu hektare padi hanya membutuhkan waktu 5 jam.
Keuntungan lain, mesin ini hemat bahan bakar. Untuk mengoperasikan alat
bermesin diesel 25 PK hanya membutuhkan solar 6,5 l/ha (Purwadaria,dkk.,
1994).
 Perontokan
Perontokan padi dapat dilakukan secara manual atau dengan mesin,
menurut Purwadaria, dkk., (1994), perontokan dengan mesin dapat menekan
kehilangan hasil hingga 1,3% dibanding cara manual (sabit dan gebot) dengan
kehilangan hasil 10,4%. Perontokan dengan mesin, selain menekan
kehilangan hasil juga menghemat waktu kerja. Panen dengan menggunakan
reaper dan perontok hanya membutuhkan waktu 17 jam/ha, sedangkan secara
manual memerlukan waktu hingga 252 jam/ha. Perontokan secara manual
dapat dilakukan dengan diiles, dipukul atau dibanting/digebot. Perontokan
dengan diiles menggunakan kaki pada alas tikar menyebabkan kehilangan hasil
7,48% lebih rendah dibandingkan dengan dibanting atau digebot, yaitu 9-13%.
Perontokan dengan membanting potongan padi sudah dikenal luas oleh petani.

330
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Dengan cara seperti ini, banyak gabah yang terlempar keluar alas dan kadang
masih banyak gabah yang belum lepas dari malai. Untuk menghindari hal itu,
jumlah potongan padi setiap kali banting jangan terlalu banyak dan jumlah
bantingan minimum delapan kali dan alas perontokan diperluas.

 Pengeringan
Untuk menghasilkan beras berkualitas baik, gabah hasil panen harus
diturunkan kadar airnya secara cepat dengan penjemuran dengan sinar
matahari langsung ataupun dengan alat pengering buatan. Gabah yang
terlambat dikeringkan akan berakibat tidak baik terhadap kualitas berasnya. Hal
ini disebabkan gabah hasil panen dengan kadar air tinggi dan kondisi lembab
mengalami respirasi dengan cepat. Akibatnya butir gabah busuk, berjamur,
berkecambah maupun mengalami reaksi browning enzimatis sehinga beras
berwarna kuning/kuning kecoklatan. Kehilangan hasil pada tahapan
penjemuran umumnya disebabkan oleh: (1) fasilitas penjemuran seperti lantai
jemur maupun alas lainnya yang kurang baik, sehingga banyak gabah yang
tercecer dan terbuang saat proses penjemuran dan (2) adanya gangguan
hewan seperti ayam, burung, kambing dll.
Ada 2 cara pengeringan yang lazim digunakan oleh petani yaitu : (1)
pengeringan dengan cara penjemuran langsung menggunakan sinar matahari,
dan (2) pengeringan dengan menggunakan alat pengering buatan (artificial
dryer). Pengeringan dengan sinar matahari (penjemuran) harus memperhatikan
intensitas sinar, suhu pengeringan yang selalu berubah, ketebalan penjemuran
dan frekuensi pembalikan. Penjemuran yang dilakukan tanpa memperhatikan
hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan penurunan kualitas beras,
misalnya beras akan menjadi pecah waktu proses penggilingan. Penjemuran
pada lapisan semen yang dilakukan dengan ketebalan yang tipis kurang dari 1
cm dapat mengakibatkan persentase beras pecah lebih dari 70% dengan
rendemen giling rendah. Pengeringan dengan alat pengering buatan akan
menghasilkan gabah berkualitas lebih baik, hal ini disebabkan suhu pengering,
aliran udara panas dan laju penurunan kadar air dapat dikendalikan.

STRATEGI MENGURANGI KEHILANGAN HASIL PADI


 Kendala
Beberapa penyebab kehilangan hasil pada proses pascapanen padi
adalah : karena terjadi penundaan atau keterlambatan perontokan,
penumpukan padi di sawah yang terlalu lama, terjadinya keterlambatan dalam
proses penjemuran/pengeringan, kerusakan yang terjadi karena kondisi
penyimpanan yang tidak memenuhi syarat, perilaku petani yang bekerja kurang
hati-hati, kecepatan silinder perontok dan ukuran plastik yang digunakan pada
saat merontok.
Cara-cara panen dan perontokan padi model tradisional, yang terbukti
membuat banyak padi hilang percuma perlu segera ditinggalkan dan diganti
dengan teknologi baru yang lebih efisien dan baik. Kebiasaan membiarkan padi
yang telah dipanen berlama-lama terlantar di tengah sawah. Membiarkan

331
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

batang-batang padi bersama bulir-bulirnya di tengah sawah membuat bulir-bulir


padi rontok dan jatuh sia-sia.
Permasalahan kehilangan hasil selain karena minim dan terbatasnya
penerapan teknologi, disebabkan juga oleh masalah non teknis dan masalah
sosial. Luas hamparan sawah yang panen serentak yang begitu besar
membuat jadwal panen tidak tepat waktu. Pemanenan yang tidak tepat waktu
akan menyebabkan terjadinya susut yang lebih tinggi. Terlambat panen satu
minggu meningkatkan susut panen dari 3,35% menjadi 8,64%. Tertunda satu
malam menyebabkan susut 0,87%, 2 malam 1,35% dan 3 malam menjadi
3,12% (Nugraha, dkk., 1990).
Potensi kehilangan hasil yang dapat terjadi pada proses pemanenan
padi adalah pada saat penumpukan dan pengumpulan padi untuk dirontok.
Pada beberapa kasus, tidak semua petani langsung melakukan perontokan
padinya setelah melakukan pemotongan. Beberapa hal yang mungkin terjadi
selama proses penundaan antara lain : (1) terjadi kehilangan hasil yang
disebabkan oleh gabah yang rontok selama penumpukan atau dimakan
binatang, dan (2) terjadi kerusakan gabah karena adanya reaksi enzimatis,
sehingga gabah cepat tumbuh berkecambah, terjadinya butir kuning, berjamur
atau rusak. Kerusakan gabah setelah penundaan perontokan selama 3 hari
pada musim kemarau mencapai 2,84%. Sedangkan kerusakan gabah karena
penundaan padi selama 1 malam pada 3 agroekosistem berturut-turut 1,25%
pada ekosistem irigasi, 1,47% lahan tadah hujan dan 1,85% lahan pasang
surut. Tingginya persentase gabah rusak menyebabkan gabah tidak memenuhi
standar kualitas yang ditentukan (BSN, 2000). Gabah yang rusak karena
tersengat serangga akan menimbulkan potensi terjadinya kerusakan karena
infeksi jamur yang merugikan kesehatan bagi manusia. Untuk mendukung
program keamanan pangan sebaiknya petani tidak melakukan penundaan
perontokan padi disawah lebih dari satu malam. Terjadinya beras busuk dan
berjamur diduga dapat menstimulir mikroba patogen yang merugikan bagi
pencernaan manusia.
Sistem panen juga mempengaruhi kehilangan hasil; Setyono (2009)
melaporkan bahwa semakin banyak anggota kelompok pemanen, kehilangan
hasil akan semakin tinggi karena setiap anggota berpotensi menyebabkan
kehilangan hasil panen. Jumlah anggota pemanen 50 orang (sistem keroyokan)
akan meningkatkan kehilanganhasil sampai 9,9%, sedangkan jika anggota
pemanen 20 orang kehilangan hasil hanya 4,39% dengan kemampuan
pemanen masing-masing 135 dan 132,6 jam/orang/ha (Nugraha,dkk., 1994).
Hasbullah (2008) telah menguji coba pemanenan padi sistem kelompok dengan
menggunakan kelompok jasa pemanen dan jasa perontok serta mengamati
besarnya ceceran gabah. Hasilnya menunjukkan bahwa kehilangan hasil pada
pemanenan sistem kelompok relatif rendah, yakni 3,75%. Rinciannya adalah
gabah rontok saat pemotongan padi 1,56%, gabah tercecer dari malai 0,85%,
dan gabah yang ikut terbuang bersama jerami dari mesin perontok 1,34%.
Sebaliknya, kehilangan hasil pada sistem keroyokan sangat tinggi, yaitu
18,75%. Kehilangan hasil tersebut terdiri atas gabah rontok saat pemotongan

332
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

padi 3,31%, gabah tercecer dari malai 1,86%, gabah tercecer saat penggebotan
(perontokan) 4,97%, dan gabah yang tidak terontok 8,59%.
Kemampuan petani dalam menyediakan peralatan panen, selain cukup
mahal, penggunaan yang hanya satu kali dalam satu musim tanam juga
membuat pemilikan secara individual tidak ekonomis. Oleh karena itu, akan
lebih baik bila pemilikan peralatan tersebut dilakukan berkelompok dalam satu
wilayah hamparan. Melibatkan lembaga koperasi pedesaan bisa menjadi
pilihan terbaik.
 Peluang dan Upaya
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi
penekanan kehilangan hasil pascapanen padi adalah bahwa secara ekonomis
penerapan teknologi tersebut memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak-
pihak yang terkait, seperti petani, buruh tani, kelompok tani maupun pengusaha
jasa alsintan. Besarnya produksi padi yang dapat diselamatkan tergantung
sejauh mana teknologi atau alat dan mesin (alsintan) panen dan pascapanen
dapat diterapkan di lapangan, sehingga dapat mengurangi kehilangan hasil dan
meningkatkan mutu hasil. Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian
Tanaman Padi Sukamandi tahun 1996, penggunaan sabit bergerigi dapat
menekan tingkat kehilangan hasil sebesar 1,78% dibanding sabit biasa, dan
penggunaan pedal thresher dan power thresher masing-masing dapat
menekan tingkat kehilangan hasil 2,78% dan 3,03% dibanding pelaksanaan
dengan sistem gebot/banting.
Untuk menghindari atau mengurangi terjadinya kehilangan hasil saat
panen sebaiknya pada waktu penumpukan padi dan pengangangkutan
menggunakan alas plastik, sehingga gabah yang rontok dan tercecer dapat
ditampung dalam wadah tersebut. Penggunaan alas dan wadah pada saat
penumpukan dan pengangkutan dapat menekan kehilangan hasil antara 0.94-
2.36%. Melalui penggunaan sabit bergerigi dapat ditekan kehilangan hasil
sampai di bawah 4%, reaper sampai di bawah 6%, paddy mower di bawah
0,7%, power thresher di bawah 3%, combine harvester kecil di bawah 2%, serta
combine harvester besar di bawah 0,5%.
Kehilangan hasil pada padi yang dipanen dengan cara manual sekitar
8%-15%. Sedangkan jika menggunakan mesin panen, kehilangan hasilnya bisa
menurun hingga 1%-3%. Setelah pemotongan, padi langsung ditransfer ke
perontok sehingga kehilangan bulir padi dapat dieliminasi. Selain itu, tidak
adanya batang padi yang tidak terpotong membuat kehilangan bulir padi
menjadi sangat kecil. Dengan mesin panen, hasil panen yang dapat
diselamatkan sekitar 5%-12%.
Perontokan dengan menggunakan power thresher dapat menekan
kehilangan hasil dari 15%-16% menjadi 4,31%-4,91% dibandingkan dengan
sistem individu atau keroyokan dan perontokan dengan cara banting atau
gebot. Pengeringan gabah dengan mesin pengering (dryer) memiliki resiko
kehilangan hasil lebih rendah (2,30%) daripada penjemuran (2,98%).
Kehilangan hasil dengan flat bed dryer berkisar antara 0,3-0,5% (Hosokakawa,

333
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

1995), sehingga dapat menyelamatkan hasil sekitar 1,63% jika dibandingkan


dengan rata-rata kehilangan hasil pengeringan melalui penjemuran (2,13%).

REKOMENDASI TEKNOLOGI SPESIFIK LOKASI

 Teknologi Pemanenan
Mini combine harvester adalah salah satu tipe mesin panen yang
kegiatan memotong, memegang, merontok dan membersihkan dilakukan
sekaligus. Mesin combine harvester dioperasikan oleh dua orang operator,
satu operator bertugas untuk mengendalikan mesin combine harvester,
operator yang lain bertugas memegang karung pada saat memasukkan gabah
ke dalam karung. Keunggulan alsin pertanian adalah : kapasitas kerja lebih
besar, mampu mengerjakan kegiatan panen, perontokan dan pembersihan
gabah dalam satu kali proses yang terintegrasi, sehingga meningkatkan
produktivitas tenaga kerja dan mengejar waktu tanam.
Introduksi alsin panen mini combine harvester sudah diuji coba oleh
BPTP Kalbar pada bulan Juli - Agustus 2015 di Kecamatan Sungai Kakap
Kabupaten Kubu Raya Kalbar. Unjuk kerja alsin tersebut menunjukkan
kapasitas pemanenan yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan panen
secara manual. Dari perhitungan yang dilakukan selama proses panen dengan
cara petani dan menggunakan alat ini diperoleh bahwa selisih kehilangan hasil
mencapai 400-500 kg/ha. Dengan menggunakan alsin ini persentase
kehilangan selama proses pemanenan kurang dari 2% dengan tingkat
kebersihan di atas 95%. Dari segi analisa usaha tani alsin ini juga sangat
menguntungkan dengan R/C sebesar 1,77 (Tabel 2).
Tabel 2. Analisa Usaha Mesin panen Mini combine harvester (per ha)
Harga/Satuan Jumlah
No Uraian Volume Satuan
(Rp) Biaya (Rp)
I Biaya variabel 833.000
Solar 300 Liter 9.000 90.000
Oli mesin 5 Liter 40.000 6.667
Oli Gardan 8 Liter 40.000 10.667
Oli Hidrolik 3 Liter 90.000 9.000
Perbaikan rupiah 16.667
Operator 105.000 Kg 200 700.000
II Biaya Tetap 650.000
Penyusutan (5 Thn) rupiah 325.000
Bunga Modal (15%/Thn) rupiah 325.000
III Biaya Total 1.483.000
IV Penerimaan 105.000 Kg 750 2.625.000
V Keuntungan rupiah 1.142.000
VI R/C 1,77

Alsin tersebut direkomendasikan untuk menekan kehilangan hasil


selama proses pemanenan padi di Kalimantan Barat. Kelemahan alat ini adalah
kurang sesuai jika dioperasikan pada lahan yang lembek/berlumpur dalam.

334
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

 Teknologi Pengeringan
Salah satu teknologi yang efektif untuk mengatasi permasalahan
pengeringan padi khususnya pada saat musim penghujan adalah mesin
pengering berbahan bakar sekam (BBS) model ABC. BPTP Kalimantan Barat
bekerja sama dengan BB Padi Sukamandi, dan pihak swasta (pemilik RMU di
Desa Sungai Itik, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya,
Kalimantan Barat) telah melakukan perakitan dan uji coba pengeringan gabah
menggunakan Box Dryer BBS untuk menghasilkan beras bermutu. Uji coba
pengeringan gabah dilakukan dengan menggunakan bahan gabah basah
varietas Ciherang. Uji coba pengeringan gabah ini menggunakan metoda
“Pengeringan biji-bijian lapisan tipis”. Hasil unjuk kerja mesin pengeringan
gabah menunjukkan bahwa proses pengeringan berjalan dengan baik.
Kehilangan hasil berkisar antara 0,5-0,7% sehingga dapat menyelamatkan
hasil sekitar 1% jika dibandingkan dengan rata-rata kehilangan hasil
pengeringan melalui penjemuran (2,13%). Dari hasil analisa biaya pengeringan
diperoleh bahwa biaya pengeringan dengan bahan bakar sekam Rp40,-/kg
GKP, biaya ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan pengering yang
menggunakan bahan bakar minyak tanah (Rp150/kg GKP).
Pemerintah melalui Dinas Pertanian Propinsi Kalimantan Barat telah
memberikan bantuan mesin pengering Box Dryer bahan bakar minyak di
sentra-sentra tanaman padi. Namun mesin-mesin pengering tersebut sampai
saat ini masih belum banyak dimanfatkan oleh petani yang disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu : petani tidak tahu bagaimana mengeset (merakit) mesin
pengering tersebut, petani tidak tahu cara mengoperasikan mesin pengering,
biaya operasionalnya mahal akibat harga minyak tanah yang mahal dan langka.
Dengan sentuhan dan penerapan teknologi penggantian tungku sekam model
ABC alat ini dapat dimodifikasi sehingga bisa bermanfaat dengan baik.
Operator lokal dapat melakukan perakitan (setting) mesin pengering seperti
yang dicontohkan. Juga dapat mengoperasikan mesin pengering gabah secara
benar sehingga dapat dihasilkan beras yang mutu serta harga jualnya tinggi.
Terjadi proses penyebar luasan informasi dari daerah satu ke daerah lain
sehingga penggunaan mesin pengering padi BBS dapat berkembang.

 Dukungan Kelembagaan
 Peningkatan Kemampuan dan Ketrampilan Sumber Daya Petani
Upaya penanganan pascapanen dimulai dengan memberikan
pengetahuan dan ketrampilan para petani dalam hal pascapanen padi.
Pengetahuan yang diberikan berupa tahapan pascapanen, titik kritis tahapan
pascapanen serta cara mengatasi kehilangan hasil tersebut. Teknologi yang
diberikan harus teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi, tidak
bertentangan dengan masyarakat pengguna (secara teknis, ekonomis maupun
sosial budaya).
 Pembinaan kelompok tani (Poktan)dan Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan)

335
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Perbaikan penanganan dan penekanan kehilangan hasil panen dengan


penerapan teknologi pascapanen yang baru, sebaiknya dilakukan secara
berkelompok yang bersifat komersial dan mandiri, baik oleh kelompok tani, regu
panen, dan pengusaha jasa alsintan dengan cara membentuk kelembagaan
(seksi) jasa pemanen, jasa perontok, jasa penjemuran, dan jasa penggilingan.
 Usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA)
Dalam mengembangkan kelompok jasa pemanenan dan pengeringan,
diharapkan akan mendorong tumbuhnya bengkel-bengkel alsintan yang
membuka lapangan kerja baru di pedesaan. Kerjasama yang baik antara
instansi terkait, kelompok tani, pemuka masyarakat, pemuka agama dan tenaga
pemanen perlu terus dilakukan. Peningkatan kemampuan sumber daya
manusia (SDM) terus ditingkatkan melalui pelatihan dan pembinaan dalam
penggunaan atau pengoperasian alat, pemeliharaan alat (perbengkelan)
sampai dengan pengetahuan administrasi (pembukuan).
 Peranan stake holders
Teknologi penekanan kehilangan hasil perlu didukung kelembagaan
yang kuat, misalnya kelembagaan keuangan desa (koperasi), kelembagaan
penyuluhan, kelembagaan teknis seperti Alsin center, penyebaran informasi,
yang diperkuat dengan kebijakan dan aturan yang dikeluarkan dari instansi
terkait. Untuk meningkatkan produktivitas, kualitas, efisiensi pengolahan dan
menurunkan tingkat kehilangan dapat dilakukan dengan teknologi yang tepat.
Bantuan alat dan mesin pertanian yang sudah dilakukan oleh pemerintah
adalah langkah tepat dan bukti nyata keseriusan pemerintah kabupaten untuk
menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan.

KESIMPULAN

Kondisi penanganan pascapanen padi yang ada di Kalimantan Barat


belum diterapkan secara maksimal khususnya dalam kegiatan pemanenan dan
pengeringan untuk menekan kehilangan hasil dan menyediakan beras dengan
mutu baik. Kehilangan hasil panen merupakan masalah inefisiensi yang dapat
dihindarkan atau diminimalisasi dengan penerapan teknologi yang ada.
Perbaikan sistem penanganan pascapanen padi dilakukan dengan tujuan
antara lain mengurangi atau menekan kehilangan hasil, memperbaiki kualitas
gabah dan beras, meningkatkan rendemen giling serta harga jual beras.
Penerapan teknologi pemanenan dengan alsin mini combine harvester dan
pengeringan dengan alsin pengering berbahan bakar sekam dapat mengurangi
kehilangan hasil dan biaya produksi padi untuk mendukung pembangunan
pertanian yang modern dan berwawasan agribisnis di Kalimantan Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Ananto, E.E, Sutrisno, Astanto dan Soentoro. 2002. Pengembangan alat dan
mesin pertanian menunjang sistem usaha tani dan perbaikan
pascapanen di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal 479-491.

336
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Anonimous. 1995. Rice Post-Harvest Technology. The Food Agency, Minisitry


of Agriculture, Forestry and Fisheries. Japan.
BPS Kalimantan Barat, 2014. Statistik Pertanian Tanaman Pangan Propinsi
Kalimantan Barat 2014.
Damardjati D S, Suseno H, Wijandi S. Penentuan umur panen optimum padi
sawah (Oryza sativa L.). Penelitian Pertanian. 1981; 1:19:26.
Damardjati DS. Pengaruh tingkat kematangan padi (Oryza sativa L.) terhadap
sifat dan mutu beras. [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 1984.
Grolleaud M. 2001. Postharvest Losses:Descovering the Full Story Overviewof
The Phenomenon of Losses During The Post Harvest System. Rome;
FAO. 2001.
Hasbullah, R. 2008. Menyiasati susut pascapanen. http://www.fateta-ipb.ac. id/
paper. php. [25 Juni 2011].
Lubis S, Soeharmadi, Nugraha S, Setyono A. 1990. Sistem pemanenan padi
untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan hasil. Media
Penelitian. Sukamandi 1990; 13 : 1-4.
Noer Gaybita. 2002. Paddy Processing and Marketing in Indonesia Problem
and Challenge. Executive Workshop on Rice Post-harvest. Jakarta, 15-
16 Agustus 2002.
Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990a. Penerapan teknologi
pemanenan padi dengan sabit. Hasil Penelitian Pascapanen 1988/1989.
Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. Buku II Hal 11-15.
Nugraha, S., A. Setyono dan D.S. Damardjati. 1990b. Pengaruh keterlambatan
perontokan padi terhadap kehilangan hasil dan mutu. Laporan Hasil
Penelitian 1988/89. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Buku II
hal 16-21.
Nugraha, S., A. Setyono dan Sutrisno, 1999a. Perbaikan penanganan
pascapanen padi melalui penerapan teknologi perontokan. Simposium
Penelitian Tanaman Pangan IV. Bogor, 22-24 November 1999.
Nugraha, S. Sudaryono, R. Rachmat dan S. Lubis. 1999b. Pengaruh
keterlambatan perontokan padi terhadap kehilangan dan mutu hasil.
Seminar Ilmu Pertanian Wilayah Barat. Universitas Sriwijaya.
Palembang, 20-21 Oktober 1999. B2.7-1- 8
Nugraha S, Setyono A, Thahir R. 1994. Studi optimasi sistem pemanenan padi
untuk mengurangi Kehilangan hasil. Laporan Hasil Penelitian.
Sukamandi; Balai Penelitian Sukamandi.
Nugraha S, Setyono A, Sutrisno. 1999. Perbaikan penanganan pascapanen
padi melalui penerapan teknologi perontokan. Simposium penelitian
tanaman pangan IV. Bogor, 22-24 November 1999.
Nugraha, S., R. Thahir dan Sudaryono. 2007. Keragaan kehilangan hasil
pascapanen padi pada tiga agroekosistem. Tidak dipublikasikan 20 hal.
Partohardjono, S. 2002. A Review of Empirical Studies on Post-Harvest loss in
Rice. Executive Workshop on Rice Post-harvest. Jakarta, 15-16 Agustus
2002.

337
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Purwadaria HK. Development of Stipping and Threshing type Harvester.


Postharvest Technologi for Rice in The Humid Tropic Indonesia.
Technical Report Sumitted to GTZIRRI Project. Philiphines, IRRI. 1994;
38p.
Setyono, A., R. Thahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan system
pemanenan padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan
hasil. Media Penelitian. Sukamandi. No. 13 Hal 1-4.
Setyono, A., .S. Nugraha. R. Thahir dan A. Hasanuddin. 1996. Seminar
Apresiasi Hasil Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi 23-25 Agustus
1995. Hal. 37 – 44.
Setyono A, Nugraha S, Sutrisno. 2009. Prinsip Penanganan Pascapanen. Buku
Padi, Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Bogor; 2009.
Sudana, W. 1998. Prospek pengembangan lahan pasang surut dalam
mendukung produksiberas. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Vol. XVll No. 3. P
Suismono, S. Nugraha dan W. Broto. 2007. Penekanan kehilangan hasil
pascapanen padi melalui penerapan GMP. Simposium Pangan V. 28-29
Agustus 2007. Puslitbangtan. Bogor. 495-516
Sutrisno. 2004. RPC Sebagai Suatu Alternatif Peningkatan Mutu dan Nilai
Tambah Beras. Lokakarya Nasional Upaya Peningkatan Nilai
Pengolahan Padi. Jakarta 20-21 Juli 2004.
Sutrisno. 2007. Penanganan Pasca Panen Padi di Indonesia. Jurnal
Keteknikan Pertanian. Vol. 21 (2). Hal.: 105-113.

338
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KEHILANGAN HASIL PENGERINGAN DAN PENGGILINGAN


GABAH DI SENTRA PADI KALIMANTAN BARAT

Jhon David H1 dan Nurmalia2

1
BPTP Kalimantan Barat
Jalan Budi Utomo no 45 Siantan Pontianak,
2
BPTP Sumatera Utara
Jalan Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan,
jhondavidsilalahi@yahoo.com

ABSTRAK
Penanganan pasca panen padi merupakan upaya sangat strategis
dalam rangka mendukung peningkatan produksi padi.Konstribusi penanganan
pasca panen terhadap peningkatan produksi padi dapat tercermin dari
penurunan kehilangan hasil dan tercapainya mutu gabah/ beras sesuai
persyaratan mutu. Penanganan pascapanen yang baik akan berdampak positif
terhadap kualitas gabah konsumsi, benih, dan beras. Oleh karena itu,
penanganan pascapanen perlu mengikuti persyaratan Good Agricultural
Practices (GAP) dan Standard Operational Procedure (SOP) Dengan demikian,
beras yang dihasilkan memiliki mutu fisik dan mutu gizi yang baik sehingga
mempunyai daya saing yang tinggi. Penelitian ini dilakukan disentra produksi
beras Desa Manis Raya Kabupaten Sintang tahun 2015. Tujuannya untuk
mengetahui tingkat kehilangan hasil pada tahap pengeringan dan penggilingan
dan mengetahui rendemen beras giling. Adapun parameter yang diamati adalah
susut pengeringan gabah, kadar air sebelum pengeringan, kadar air setelah
pengeringan, susut Penggilingan, berat gabah (GKG), Berat beras hasil
penggilingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil kehilangan hasil pada
saat penjemuran gabah 1,82%, dan kehilangan hasil pada penggilingan gabah
2,50%.
Kata Kunci :Padi, pascapanen, pengeringan, dan penggilingan

PENDAHULUAN

Penanganan pascapanen padi merupakan upaya sangat strategis


dalam rangka mendukung peningkatan produksi padi. Kontribusi penanganan
pasca panen terhadap peningkatan produksi padi dapat tercermin dari
penurunan kehilangan hasil dan tercapainya mutu gabah/ beras sesuai
persyaratan mutu. Setyono (2010) menyatakan masalah utama dalam
penanganan pasca panen padi adalah tingginya kehilangan hasil serta gabah
dan beras yang dihasilkan bermutu rendah. Hal tersebut terjadi pada tahapan
pemanenan, perontokan dan pengeringan. Masalah utama yang dihadapi
dalam penanganan pasca panen padi adalah tingginya susut (losses) baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Permasalahan tersebut berakibat adanya
kecenderungan tidak memberikan insentif kepada petani untuk memperbaiki
tingkat pendapatannya. Padi/gabah yang kadar airnya tinggi mempunyai sifat

339
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mudah rusak dan akan mengalami susut pada saat penanganan pasca panen
dan pengolahan. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS, 1996) menunjukkan
bahwa susut hasil panen padi di Indonesia masih tinggi, yaitu sebesar 20,42%
yang terjadi pada saat panen (9,5%), perontokan (4,8%), pengeringan
(2,1%),penggilingan (2,2%), penyimpanan (1,6%) dan pengangkutan (0,2%).
Perbaikan teknologi pasca panen telah membawa banyak perubahan
baik dari segi waktu pemanenan mutu hasil panen dan juga dalam hal
menurunnya tingkat kehilangan panen dan pasca panen. Menurut Badan Pusat
Statistik (1996) kehilangan hasil panen dan pasca panen akibat dari
ketidaksempurnaan penanganan pasca panen mencapai 20,42%. Sedangkan
berdasarkan hasil survei tahun 2007 kehilangan panen dan pasca panen padi
menurun menjadi 11,27% (Hasbullah, R. 2010). Masalah utama dalam
penanganan pasca panen padi yang sering dialami oleh petani adalah tingginya
kehilangan hasil selama pasca panen. Kegiatan panen dan pasca panen padi
meliputi beberapa proses yaitu pemanenan padi, penumpukan sementara,
perontokan, pengangkutan, pengeringan gabah, penyimpanan gabah, dan
penggilingan gabah menjadi beras. Setiap proses kegiatan tersebut terdapat
kemungkinan adanya kehilangan hasil. Susut atau kehilangan hasil berupa
gabah atau beras yang tercecer pada saat panen ataupun pasca panen yang
dapat mengurangi jumlah produksi beras (Indaryani, 2009). Untuk
meningkatkan kualitas beras yang dihasilkan, maka diperlukan suatu teknologi
pasca panen. Penggilingan merupakan salah satu dari proses pasca panen
yang sudah dikenal sejak lama. Awalnya dilakukan dengan metode yang
sederhana. Tetapi pada prinsipnya sama, yakni menghilangkan kulit luar gabah
(sekam) serta komponen kulit ari sampai menghasilkan beras. Perkembangan
teknologi membawa perubahan pola pikir dan orientasi usaha pengelolahan
padi menjadi lebih baik, efisien dan efektif. Hal ini menyebabkan munculnya
berbagai teknologi penggilingan yang salah satunya adalah RMU (Rice Milling
Unit).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di sentra produksi padi Desa Manis Raya,
Kecamatan Sepauk Kabupaten Sintang pada bulan April sampai Juni 2015.
Penelitian dilakukan ditempat pengeringan, penggilingan padi dan
Laboratorium Balai Riset Industri Pontianak. Umumnya petani dalam
mengeringkan padi hanya mengandalkan sinar matahari dengan lama
pengeringan 2-4 hari, dan penggilingan padi yang digunakan telah berumur 10
tahun. Bahan yang digunakan adalah gabah dari tanaman padi varietas Inpari
13, dan peralatan yang dipakai antara lain: pengukur kadar air Multi Grain,
timbangan duduk, timbangan analitik, kantong plastik, alat tulis, dan alat
dokumentasi

Pengeringan : metode pengukuran kehilangan pengeringan/penjemuran yaitu


dengan mengukur berat gabah sebelum dan sesudah pengeringan dengan
menggunakan timbangan duduk, serta mengukur kadar air gabah sebelum dan

340
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sesudah pengeringan dengan pengukur kadar air. Pengeringan dilakukan


sesuai dengan kebiasaan petani.

Rumus perhitungan susut pengeringan (Suismono dkk., 2008)


SPng = susut pengeringan gabah
BGb =berat gabah sebelum pengeringan (GKP)
BGk =berat gabah setelah pengeringan (GKP)
KA1 = kadar air gabah sebelum pengeringan (GKP)
KA2 =kadar air gabah sesudah pengeringan

(100-KA1) x BGb – (100 – KA2) x BGk


Spng = ----------------------------------------------------- x 100 %
(100-KA1) x BGb
Penggilingan : metode pengukuran kehilangan penggilingan yaitu
membandingkan rendemen antara penggilingan yang biasa dilakukan petani
untuk menggiling beras (rendemen lapang) dengan rendemen giling yang
dihasilkan oleh laboratorium pada tingkat derajat sosoh yang sama. Data
rendemen giling lapang diambil dengan mengukur berat gabah yang akan
digiling dan berat beras hasil giling dengan menggunakan timbangan duduk.
Penggilingan dilakukan sesuai dengan kebiasaan petani. Sedangkan data
rendemen giling hasil laboratorium dengan mengambil sampel gabah yang
akan digiling sebanyak 10 gr dan dikupas kulitnya setelah itu ditimbang dengan
timbangan analitik untuk diketahui berat beras pecah kulitnya dan kemudian
dikonversi ke beras giling menurut asumsi Van Ruiten (1981).

Rendemen Penggilingan = B2 / B1 x 100


Susut Penggilingan = Rendemen Penggilingan Laboratorium – Rendemen
Penggilingan Lapang

Ket :
B1 = Berat gabah (GKG) yang digiling. (Kg)
B2 = Berat beras hasil penggilingan. (Kg)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kehilangan pada pengeringan


Penanganan pascapanen padi Desa Manis Raya Kecamatan Sepauk
Kabupaten Sintang. Proses pengeringan gabah dilakukan dengan cara
menjemur gabah di bawah cahaya matahari pada lantai jemur / terpal, yaitu jam
07.00 - 17.00. Alat yang digunakan untuk membalikkan gabah saat penjemuran
yaitu garuk yang terbuat dari kayu, dilakukan setiap 60 menit. Penjemuran
gabah berlangsung selama dua sampai 4 hari tergantung cuaca. Hasil rata-
rata -rata kehilangan gabah pada saat penjemuran dapat dilihat pada Tabel 1.

341
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Kehilangan Hasil pada Penjemuran Gabah Desa Manis Raya

Percobaan ke Kehilangan hasil (%)


Buluh Kuning L. Kedang
1 1,12 1,18
2 2,37 2,46
3 1,76 1,21
4 1,52 1,71
5 2,21 2,65
Rata-rata 1,79 1,84

Dari Tabel 1, terlihat bahwa nilai kehilangan hasil gabah pada saat
pengeringan di Dusun Buluh Kuning yang paling rendah yaitu di percobaan
pertama 1,12% dan yang paling tinggi yaitu di percobaan kedua yaitu 2,37%.
Sedangkan di Dusun L.Kedang, kehilangan hasil gabah yang paling rendah
terdapat di percobaan pertama yaitu 1,18% dan yang paling tinggi yaitu di
percobaan kelima yaitu 2,65%. Rata-rata kehilangan hasil Dusun Buluh kuning
1,79 %, dan di Dusun L. Kedang 1,84 %. Hasil ini lebih rendah dari data BPS
(2007) sebesar 3,59 %.
Pada kajian ini pengeringan gabah dengan sinar matahari dilakukan
keesokan hari setelah panen, 4-5 jam perhari selama 3-4 hari, dengan kondisi
cuaca cerah terik diselingi mendung. Suhu dan RH lingkungan sewaktu
penjemuran adalah 30-32oC, dan RH 74- 81%. Alas yang digunakan adalah
alas terpal dan ketebalan gabah berkisar 1-2 cm dan dilakukan pembalikan
setiap satu jam. Suhu gabah saat penjemuran berkisar 31-33 oC. Susut
pengeringan dihitung berdasarkan kadar air dan berat gabah.
Pengeringan dengan sinar matahari apabila dilakukan sesuai dengan
prosedur anjuran (SOP) dan pada kondisi cuaca yang cerah akan mendapatkan
hasil gabah kering giling yang baik. Menurut Raharjo dkk., (1999), pengeringan
alami memanfaatkan sinar matahari mempunyai beberapa keuggulan antara
lain: (1) Kualitas gabah relatif lebih baik karena adanya karakteristik sinar infra
merah yang berperan dominan dalam pengeringan gabah, (2) Biaya
pengeringan relatif lebih murah, dan (3) Cara pengeringannya yang lebih
mudah/praktis. Pada pengeringan dengan sinar matahari, energi dari sinar
matahari digunakan sebagai sumber tunggal untuk kebutuhan panas
pengeringan atau sebagai energi suplemen. Prosedur pengeringan dapat
melibatkan udara panas yang melewati bahan atau secara langsung
mengeringkan bahan dengan radiasi sinar matahari atau kedua cara tersebut
(Ekechukwu dan Norton, 1999). Jadi, pada pengeringan gabah pada sinar
matahri terjadi dua macam proses secara bersamaan, yaitu, (1) proses
pengeringan secara konduksi dimana terjadi proses pemanasan pada
permukaan bahan atau gabah yang kontak langsung dengan sinar matahari,
dan (2) secara bersamaan terjadi proses pengeringan di dalam gabah oleh
radiasi yang dapat menembus ke dalam. Kondisi ini akan berbeda apabila

342
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

panen dilakukan pada saat musim hujan, dimana jumlah gabah yang melimpah
tidak sebanding dengan fasilitas pengeringan yang dimiliki petani (lantai atau
terpal jemur), selain itu kondisi cuaca yang tidak mendukung (hujan atau
mendung) menyebabkan terjadi penundaan proses penjemuran. Menurut
Raharjo dkk., (1999), penundaan penjemuran akan kehilangan hasil gabah
pada saat penjemuran dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tercecernya
saat gabah dijemur dan akan dikumpulkansetelah dijemur. Pada saat musim
panas proses pengeringan akan berlangsung dengan cepat dan tidak terjadi
berulang-ulang, sementara pada saat musim hujan, proses pengeringan akan
berlangsung lebih lama dan dilakukan berulang-ulang sehingga resiko
tercecernya gabah akan semakin tinggi. Pengeringan juga dipengaruhiadanya
burung maupun ayam, lantai jemur yang tidak rata/ retak.Juga tenaga kerja
yang melakukan pengeringan menyebabkan turunnya mutu gabah dan beras
giling yang dicirikan adanya butir kuning dan gabah yang berkecambah. Hasil
penelitian Purwadaria dkk., (1994) menunjukkan penundaan pengeringan 1,3,
dan 5 hari gabah kering panen (GKP) dengan kadar air > 25 % di pada hujan
akan meningkatkan kandungan butir kuning menjadi 0,21%; 1,21% dan 3,38%.

Kehilangan Hasil pada Penggilingan


Setelah pengeringan gabah dan telah mencapai kadar air 14 %, gabah
dimasukkan dalam karung plastik dan kemudian langsung digiling dengan
mesin penggiling. Mesin penggiling yang digunakan Dusun Buluh Kuning
adalah mesin Rice Milling Unit (RMU) dengan Huller Iseki sedangkan Dusun L.
Kedang adalah mesin Rice Milling Unit (RMU) dengan Huller Satake yang
berarti proses pengolahan gabah menjadi beras dilakukan dalam satu kali
proses. Nilai rendemen giling tergantung pada varietas padi. Tenaga kerja
dilakukan oleh 2 orang tenaga kerja laki-laki dan 1 orang mengumpulkan beras
hasil giling dengan wadah kotak yang terbuat dari kayu. Ketika wadah pertama
sudah mulai penuh dengan beras hasil giling maka akan digantikan dengan
wadah kedua, sementara itu beras hasil giling pada wadah pertama
dimasukkan ke dalam karung plastik. Demikian prosesnya bergantian sampai
gabah selesai digiling. Dalam proses pergantian wadah tersebut terdapat beras
yang tercecer. Sedangkan 1 orang yang lainnya mengumpulkan dedak dengan
karung plastik.
Rendemen giling lapang yang dihitung merupakan rendemen total dari
beras kepala, beras patah dan menir. Pada rendemen giling skala laboratorium
digunakan asumsi menurut Van Rulten yaitu dari beras pecah kulit menjadi
beras giling terjadi pengeluaran dedak sebesar lebih kurang 8% dan brewer rice
lebih kurang1%. Sehingga dari beras pecah kulit ke beras hasil giling terjadi
penurunan 9%. Kehilangan hasil gabah pada penggilingan di Dusun Buluh
Kuning sebesar 2,16% dan di Dusun L. Kedang sebesar 2,84% (Tabel 2).

343
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Rendemen giling Dusun Buluh Kuning dan L. Kedang


Rendemen giling Rendemen giling Susut
Lokasi
laboratorium (%) lapang(%) giling(%)
B. Kuning 67.91 65.75 2.16
L.Kedang 68.27 65.43 2.84

Maka rata-rata kehilangan hasil gabah pada saat penggilingan adalah


2,16% di Dusun B. Kuning dan 2,84% di Dusun L. Kedang. Hasil ini masih lebih
rendah dari data susut penggilingan BPS (2007) 3,07%. Besarnya kehilangan
hasil pada penggilingan bergantung pada baik tidaknya mesin penggiling yang
digunakan serta tenaga kerja yang menggunakannya.
Susut yang terjadi pada tahapan penggilingan umumnya disebabkan
oleh penyetelan blower penghisap, penghembus sekam dan
bekatul.Penyetelan yang tidak tepat dapat menyebabkan banyak gabah yang
terlempar ikut kedalam sekam atau beras yang terbawa kedalam dedak.Hal ini
menyebabkan rendemen giling rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
susut hasil pada tahapan penggilingan di agroekosistem padi lahan irigasi
2,16%, pada agroekosistem padi lahan tadah hujan 2,35% dan pada
agroekosistem padi lahan pasang surut 2,60% (Nugraha dkk., 2007). Kualitas
beras akan ditentukan dalam proses penyosohan (polish). Proses yang baik
akan menghasilkan beras dengan penampakan yang cerah dan mengkilat,
derajat sosoh yang tinggi. Proses penyosohan yang tidak baik akan
menghasilkan beras kusam, miling meter yang rendah dan persentase beras
pecah dan menir yang tinggi. Konfigurasi penggilingan akan berpengaruh
terhadap kualitas beras yang ditentukan dengan besaran derajat sosoh,
persentase beras pecah maupun butir menir yang terjadi.
Proses pengilingan adalah proses pengupasan gabah untuk
menghasilkan beras yaitu dengan cara memisahkan lapisan lemma dan palea
serta mengeluarkan biji beras. Rendemen giling sangat tergantung bahan
baku, varietas, derajat masak, cara perawatan gabah dan konfigurasi
penggilingan (Rokhani, 2007). Menurut Thahir 2002, dengan kandungan
sekam antara 21-25% dan lapisan aleuron 6-7% padabutiran gabah, maka
rendemen beras pecah kulit (BPK) ideal berkisar antara 75-79% dan
rendemengiling 68-73%. Pada proses ini ada dua tipe alat penggilingan padi
yang digunakan oleh petaniyaitu : tipe penggilingan padi 1 phase (single pass)
dan tipe penggilingan padi 2 phase (double pass). Penggilingan 1 phase yaitu
proses pemecah kulitdan penyosoh menyatu, sehingga proses kerjanya,gabah
masuk pada hoper pemasukan dan keluar sudah menjadi beras putih.
Sedangkan pada penggilingan 2 phase, dipisahkan antara proses pemecah
kulit dan proses penyosohan, sehingga merupakan dua tahap proses kegiatan.
Dari dua cara penggilingan ini akan menghasilkan beras dengan kualitas yang
berbeda.

344
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

1. Rata-rata kehilangan hasil pada saat penjemuran gabah di Desa Manis


Raya adalah 1,82 %.
2. Rata-rata kehilangan hasil pada saat penggilingan gabah di Desa Manis
Raya adalah sebesar 2,50%.

SARAN

Disarankan pengambilan data kehilangan hasil penggilingan padi dilakukan


dengan ulangan yang lebih banyak serta dilakukan pada varietas padi yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian.2008. Laporan Hasil Survei


Susut Panen dan Pasca Panen Padi Tahun 2005-2007.
Hasbullah, R. 2010. Gerakan Nasional Penurunan Susut Pasca Panen Suatu
UpayaMenangani Krisis Pangan http:// agrimedia.mb.ipb.ac.id/
uploads/doc/2010-07-06_Rokhani_Hasbullah-GERAKAN_NASIONAL_
PENURUNAN_SUSUT_PASCAPANEN.doc. Diakses 10 Nopember
2015.
Indaryani, R. 2009. Kajian Penggunaan Berbagai Jenis Alat/Mesin Perontok
Terhadap Susut Perontokan Pada Beberapa Varietas
Padi.http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/ 60611. Diakses 10
Nopember 2015
Nugraha S, Thahir R, Sudaryono.2007. Keragaan Kehilangan Hasil
Pascapanen padi pada 3 (tiga) Agroekosistem. Buletin Teknologi
Pascapanen Pertanian. 2007; 3(1).
Raharjo B, Sutrisno, Yanter H, Subowo, Rudy S. 2009. Pengembangan Alat
Pengering padi berbahan bakar sekam di lahan pasang surut Sumatera
Selatan.Makalah Seminar Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi BBP2TP
Bogor tanggal 10 Pebruari 2009. Bogor.
Rokhani H. Gerakan nasional penekanan susut pascapanen suatu upaya
menanggulangi krisis pangan.Agrimedia. 2007; (12) 21-30.
Setyono A, Suismono, Jumali, Sutrisno. 2006. Studi penerapan teknik
penggilingan unggul mutu untuk produksi beras bersertifikat. Dalam
Inovasi Teknologi Padi MenujuSwasembada Beras Berkelanjutan, Buku
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.633-
646.
Setyono A, Nugraha S, Sutrisno. 2008. Prinsip penanganan pascapanen padi.
hlm. 439-461. Dalam Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Buku I.
Balai BesarPenelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

345
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Setyono A. 2010. Perbaikan teknologi pasca panen dalam upaya menekan


kehilangan hasil padi. Jurnal Pengembangan inovasi
pertanian.3(3):212-226
Suismono, Sigit N, Wisnu B. 2008. Penekanan kehilanagan hasil pasca panen
padi melalui penerapan Good Manufacturing Practices.Prosiding
Simposium Tanaman Pangan V. Bogor.
Thahir R. Tinjauan penelitian peningkatan kualitasberas melalui perbaikan
teknologi penyosohan. Serpong: Balai Besar Pengembangan Alsintan;
2002.
Van Rulten, H.Th.L, 1981. The Quality of Paddy Related to The Performance of
Rice Mills Grain Post-Harvest Processing Technology. Publication of
Pustaka IPB

346
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

TEKNOLOGI PERONTOKAN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN


HASIL PADI DI KABUPATEN SINTANG
(Kasus Desa Kebong Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang)

Jhon David H1 dan Nurmalia2

1
BPTP Kalimantan Barat
Jalan Budi Utomo no 45 Siantan Pontianak
2
BPTP Sumatera Utara
Jalan Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan,
jhondavidsilalahi@yahoo.com

ABSTRAK
Perontokan adalah proses melepaskan butiran gabah dari malai padi
yang dapat dilakukan melalui proses mekanis yaitu dengan proses menyisir
atau membanting malai padi pada benda yang lebih keras ataupun alat
perontok tertentu. Kecepatan merontok selain dipengaruhi oleh cara dan alat
perontok juga dipengaruhi sifat tahan rontok dari varietas padinya. Modifikasi
beberapa model teknologi alat perontok dapat meningkatkan kapasitas dan
mengurangi susut yang terjadi selama perontokan. Pada beberapa kasus, tidak
semua petani langsung melakukan perontokan padinya setelah melakukan
pemotongan. Di beberapa daerah penundaan perontokan atau terjadinya
keterlambatan perontokan selalu terjadi. Beberapa hal yang mungkin terjadi
selama proses penundaan, antara lain : (1) kehilangan hasil yang disebabkan
oleh gabah yang rontok selama penumpukan atau dimakan binatang, dan (2)
kerusakan gabah karena adanya reaksi enzimatis, sehingga gabah cepat
tumbuh berkecambah, terjadinya butir kuning, berjamur atau rusak. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mngetahui tingkat kehilangan pada berbagai alat
perontok di lokasi sentra padi. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa
penggunaan power thresher memberikan nilai ekonomis yang paling tinggi.

Kata kunci : Perontok, pascapanen, power thresher,dan dan kualitas gabah


grain.
PENDAHULUAN

Peningkatan produksi padi, tidak hanya melalui penambahan luas areal


pertanaman padi tetapi juga dengan menekan kehilangan/ susut atau loss yang
terjadi selama penangangan panen atau pascapanen. Setiap proses
pascapanen terdapat kemungkinan adanya susut. Susut perontokan adalah
kehilangan hasil selama proses perontokan. Kehilangan hasil selama panen
dan perontokan merupakan beberapamasalah yang biasa dialami oleh para
petani yang hingga saat ini belum dapatdicegah. Hal ini dapat terjadi bukan
karena kurangnya penerapan teknologiterhadap proses pemanenan dan
perontokan, akan tetapi diakibatkan oleh adanya permasalahan non teknis dan
masalah sosial (Rokhani, 2008). Disamping untuk menekan kehilangan hasil,
faktor efisiensi pelaksanaan kegiatan di lapangan menjadi faktor utama dalam
pemilihan jenis, sistem dan alat yang dapat mendukung kegiatan pasca panen

347
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

padi tersebut. Salah satu tahapan kegiatan penanganan pasca panen padi yaitu
perontokan padi
Perontokan padi pada umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu cara
manual dengan dibanting atau gebot dan cara mekanis dengan pedal threser
atau power threser. Perontokan dengan pedal threser sudah mulai ditinggalkan
karena kapasitas kerjanya rendah, hampir sama dengan cara dibanting atau
gebot. Alasan penggunaan power threser umumnya adalah karena lebih cepat
dan gabah lebih bersih. Menurut Ananto dkk., (2003), berkembangnya mesin
perontok berkaitan dengan terbatasnya tenaga kerja dan kesempatan kerja
yang lebih baik di lua rsektor pertanian, serta berkembangnya sistem tebasan
dengan panen beregu. Di dalam pelaksanaankegiatan perontokan padi di
lapangan,telah diteliti dan dianalisa beberapa faktor yang mempengaruhi dalam
tahapan kegiatan tersebut.
Menurut Suismono dkk., (2006), untuk menghindari adanya kehilangan
hasil yang berlebihan, plastik yang berisi tumpukan padi yang masih dialasi
plastik atau karung untuk menghindari tercecernya gabah dibawa ke tempat
perontokan yang telah dialasi plastik terpal dengan ukuran 6 x 6 m yang
dilengkapi dengan tirai. Penggebotan dilakukan dengan cara membanting atau
memukulkan genggaman padi ke alat gebot sebanyak 6 sampai 8 kali.
Pembersihan sisa gabah yang masih menempel pada jerami dapat dilakukan
secara manual. Pemindahan gabah hasil panen dapat menggunakan karung
plastik yang bersih serta dijahit atau diikat agar tidak tercecer.

Keragaan Perontokan
Manual (Gebot); perontokan padi dengan cara gebot yaitu perontokan padi
dengan membantingkan segenggam batang padi pada alat gebot yang terbuat
dari kayu atau besi. Kapasitas perontokan dengan cara gebot sangat
bervariasi, tergantung kepada kekuatan orang, yaitu berkisar antara 41,8
kg/jam/orang (Setyono dkk.,1993) sampai 89,79 kg/jam/orang (Setyono dkk.,
2000). Perontokan padi dengan caragebot banyak gabah yang tidak terontok
berkisar antara 6,4 % - 8,9 % (Rachmat dkk., 1993;Setyono dkk.,2001).

Power Threser Model Pedal; power threser model pedal atau sering disebut
dengan pedal threser yaitu alat perontok yang menggunakan mekanisme
perontokan dengan menggunakan gigi berputar sebagaimana mekanisme
pada mesin power threser, akan tetapi dengan menggunakan tenaga manual
dengan cara dikayuh menggunakan pedal. Pedal threser biasanya dibuat dari
bahan kayu untuk efisiensi harga alat tersebut. Dalam pelaksanaan di
lapangan, alat pedal threser belum optimal untuk dapat diaplikasikan di
lapangan, seringkali terjadi modifikasi alat pedal threser dan kurang sesuai
dengan ergonimis pengguna. Pada akhirnya tenaga perontok lebih memilih
menggunakan alat gebot daripada menggunakan pedal threser.

Mesin Power Threser ;penggunaan mesin perontok tersebut dapat


meningkatkan kapasitas serta efisiensi kinerja perontokan. Disamping itu,

348
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

penggunaan mesin perontok menyebabkan gabah tidak terontok sangat rendah


yaitu kurang dari satu persen.Sewa power threser umumnya menjadi
tanggungan penderep, didasarkan pada jumlah gabah yangdirontokkan. Mesin
perontok (power threser) memiliki kapasitas kerja lebih tinggi, berkisar 400-
1000 kg/ jam, tergantung pada jenis dan tipenya.Beberapa faktor yang
mempengaruhi kapasitas dan alat perontokan padi diantaranya varietas padi,
sistem pemanenan, mekanisme perontokan, penundaan perontokan, serta
faktor kehilangan hasil (Herawati, 2008).

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan pada tahun 2015 di lokasi sentra padi Desa
Kebong Kecamatan Kelam Permai Kabupaten Sintang, Padi yang digunakan
VUB Inpari 10, Mekongga, Cibogo dan alat perontok yaitu alat “gebot”, pedal
thresher, dan power thresher. Hasil perontokan ditimbang dan butir gabah yang
tercecer dihitung. Data penimbangan dan penghitungan butir gabah tersebut
dimasukkan ke dalam suatu rumus hingga diperoleh susut perontokan,
keretakan butiran gabah, kapasitas perontokan, rendemen perontokan, kadar
air ( GKG), gabah bersih, benda asing, gabah hampa/kotoran, butir
kuning/rusak, butir hijau/mengapur,dan butir merah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perontokan dengan sistem power thresher akan memberikan tambahan


manfaat yang berlipat bila dibandingkan dengan sistem banting (beating) (Tabel
1).
Tabel 1. Pengaruh Alat/Mesin Perontok terhadap Beberapa Parameter Desa
Kebong, 2015
Susut Perontokan Keretakan Butiran Kapasitas Perontokan
Perlakuan
(%) Gabah(%) (kg/jam)
Inpari 10

Alat “Gebot” 2.95 7.2 60.23


Pedal Thresher 3.55 5.0 95.67
Power Thresher 0.62 2.4 686.00
Mekongga

Alat “Gebot” 4.17 9.15 71.87


Pedal Thresher 3.58 7.76 116.45
Power Thresher 0.83 4.36 921.26
Cibogo

Alat “Gebot” 3.23 5.40 64.19


Pedal Thresher 3.59 4.71 112.95
Power Thresher 0.78 3.23 854.82

Sementara itu penggunaan power thresher dibandingkan dibanting


(beating) dapat menurunkan biaya perontokan dari total produksi. Dengan
asumsi yang sama, maka penggunaan alat perontokan power thresher sangat

349
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

menguntungkan petani. Selain dapat menurunkan tingkat kehilangan hasil juga


dapat menurunkan biaya perontokan per satuan berat. Tambahan manfaat
yang berlipat dari penggunaan power thresher inilah yang menyebabkan cara
perontokan ini berkembang cukup pesat. Selain perontokan dengan power
thresher dapat menghemat waktu perontokan lebih dari 15 kali lipat. Bila
dengan menggunakan cara banting setiap jam dapat merontokkan 60 kg, maka
dengan menggunakan power thresher dapat merontokkan sekitar 900 kg. Alat
perontok mesin biasanya digunakan apabila pemanenan dilakukan dengan
sistem kelompok. Ini berarti, upaya introduksi alat perontok mesin (inovasi
teknologi) akan lebih berhasil jika dilakukan terintegrasi dengan upaya
menstransformasi institusi panen tradisional yang tidak efisien (inovasi
institusi). Kuatnya daya persistensi lembaga bawon (keroyokan panen)
merupakan penghambat utama introduksi perontok mesin.
Perontokan dengan gebot menghasilkan banyak gabah yang
mengalami kerusakan (demage). Adanya bantingan ataupun pukulan terhadap
tanaman padi menyebabkan terjadinya kerusakan pada gabah berupa
keretakan. Nilai persentase keretakan gabah yang paling rendah terdapat pada
perontokan dengan power thresher. Apabila perontokan menggunakan power
thresher, kecepatan silinder perontok mempengaruhi keretakan butiran gabah,
semakin tinggi kecepatannya semakin tinggi pula keretakan gabah yang terjadi.
Selain benturan dengan alat/mesin perontok, faktor keretakan gabah
dipengaruhi oleh karakteristik fisik, mutu, dan kandungan air dalam gabah
(Sulistiadi, 1980).
Penggunaan mesin perontok menghasilkan gabah rontok sebesar 99%.
Kapasitas mesin perontok bervariasi antara 523-1.125 kg/jam, bergantung
pada spesifikasi atau pabrik pembuatnya. Penggunaan mesin perontok dapat
menekan tingkat kehilangan hasil, meningkatkan kapasitas kerja, serta
memperbaiki mutu gabah dan beras yang dihasilkan (Setyono dkk., 1998).
Rendemen perontokan yang dihasilkan tiap petani berbeda-beda sesuai
dengan alat/mesin perontok yang digunakan. Susut perontokan mempengaruhi
rendemen GKP. Semakin rendah susut perontokan, semakin tinggi rendemen
GKP yang diperoleh, dan begitu sebaliknya. Rendemen perontokan
menggunakan cara yang menggunakan engine akan lebih tinggi daripada cara
manual, karena susut perontokan yang dihasilkan sangat rendah. Harapan
petani untuk mendapat rendemen perontokan yang tinggi akan diperoleh
dengan merontokkan gabahnyadengan menggunakan power thresher.
Persentase rendemen perontokan dapat di lihat pada Tabel. 2.

Tabel 2. Rendemen perontokan dengan berbagai alat perontok Desa Kebong


2015
Rendemen Perontokan
Alat perontok Rata-rata
Inpari 10 Mekongga Cibogo
 Alat Gebok 6.52 6.98 6.30 6.60
 Pedal Thresher 6.47 7.24 6.10 6.61
 Power thresher 6.64 8.26 7.82 7.57

350
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tingginya persentase gabah hampa/kotoran dan butir hijau/mengapur


disebabkan beberapa faktor. Gabah hampa/kotoran banyak ditemukan pada
ketiga varietas kemungkinan terjadi karena pemanenan terlalu dini atau kondisi
area penumpukan sementara dan area perontokan kurang bersih sehingga
terdapat butiran tanah atau kerikil. Sedangkan butir hijau/mengapur
kemungkinan disebabkan oleh pemupukan yang berlebihan, jarak tanam tidak
tepat, atau pemanenan terlalu dini. Butir mengapur dapat berasal dari biji yang
masih muda karena pertumbuhan yang kurang sempurna. Butir mengapur ini
dapat juga disebabkan karena adanya faktor genetik (Damardjati dan Purwani,
1991). Adapun beberapa faktor yang menyebabkan butir kuning yaitu kondisi
gabah yang lembab atau lamanya penundaan proses perontokan setelah
pemanenan. Butir rusak disebabkan oleh adanya serangan jamur, tingginya
kadar air yang terkandung, dan adanya sengatan walang sangit. Butir merah
merupakan varietas lain yang tercampur dengan ketiga varietas yang diuji.
Benda asing ditemukan karena kondisi area penumpukan sementara dan area
perontokan kurang bersih. Penggunaan alat/mesin perontok dalam proses
perontokan tidak berpengaruh pada mutu gabah beberapa varietas padi. Mutu
gabah dipengaruhi oleh varietas padi dan faktor lain (Tabel 3).

Tabel 3. Mutu Gabah dari berbagai varietas Desa Kebong 2015


Mutu gabah (%) Varietas Padi
Inpari 10 Mekongga Cibogo
Kadar air ( GKG) 15.1 13.4 15.53
Gabah Bersih 82.44 90.54 83.53
Benda Asing 0.05 0.07 0.26
Gabah Hampa/kotoran 5.17 1.29 1.58
Butir kuning/rusak 1.23 1.44 1.34
Butir hijau/mengapur 11.03 6.59 13.27
Butir merah 0.07 0.06 0.05

Beberapa faktor lain yang mempengaruhi mutu gabah yaitu penentuan


umur panen, kadar air, dan penanganan pascapanen. Penentuan umur panen
sangat penting karena akan mempengaruhi rendemen penggilingan.

Analisis Pemutuan Gabah


Varietas padi Inpari 10, Mekongga, Cibogo, memiliki mutu yang sesuai
dengan persyaratan kualitatif yaitu (1) bebas hama dan penyakit; (2) bebas bau
busuk, asam, atau bau lainnya; (3) bebas dari bahan kimia seperti sisa-sisa
pupuk, insektisida, fungisida dan bahan kimia lainnya; dan (4) gabah tidak
panas yang berarti memiliki kelembaban yang rendah sehingga jamur atau
organisme lain tidak dapat hidup.

KESIMPULAN
Beberapa faktor yang mempengaruhi kapasitas dan kinerja kegiatan
perontokan padi diantaranya, yaitu varietas padi,s istem pemanenan,
mekanisme perontokan, penundaan perontokan serta faktor kehilangan hasil.

351
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi perubahan dalam sistem


perontokan padi yang secara garis besar terbagi kedalam manual dengan
gebot, pedal threser serta penggunaan mesin power threser. Dalam
pelaksanaan kegiatan perontokan, faktor kelembagaan dan pengorganisasian
sistem panen sangat mempengaruhikegiatan perontokan.

DAFTAR PUSTAKA

Ananto, E., A. Setyono dan Sutrisno. 2003. Panduan teknis penanganan panen
dan pascapanen padi dalam system usahatani tanaman-ternak.
Puslitbangtan, Bogor.
Damardjati, D.S., dan E. Y. Purwani. 1991. Mutu Beras. Dalam: Padi-Buku 3.
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman. Bogor.
Herawati, Heni. 2008. Mekanisme dan Kinerja pada Sistem Perontokan Padi.
Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008.Yogyakarta.
Rachmat, R., Setyono dan R. Thahir. 1993. Evaluasi system pemanenan
beregu menggunakan beberapa mesin perontok. Agrimex.Vol 4 dan 5,
No. 1 (1992/1993). Hal 1-7.
Rokhani, H. 2008. Susut Pascapanen: Lebih kepada Kendala Sosial. Artikel
Susut Permasalahan Pascapanen Padi. http://www.ipb.ac.id/ [ 10
Nopember 2015].
Setyono, A., R. Tahir, Soeharmadi dan S. Nugraha. 1993. Perbaikan sistem
pemanenan padi untuk meningkatkan mutu dan mengurangi kehilangan
hasil. Media Penelitian Sukamandi No. 13 hal 1-4.
Setyono, A., Sutrisno, dan S. Nugraha. 1998. Uji coba regu pemanen dan mesin
perontok padi dalam pemanenan padi sistem beregu. hlm. 56-69.
Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Teknologi Spesifik Lokasi
dalam pengembangan Pertanian dengan Orientasi Agribisnis. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran.
Setyono, A., Sutrisno, Sigit Nugraha dan Jumali. 2001. Uji coba kelompok jasa
pemanen dan jasa perontok. Laporan Akhir Tahun TA. 2000. Balai
Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Suismono dkk. 2006. Standar operasional prosedur teknik pemanenan padi
pada lahan irigasi. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Litbang Deptan. Bogor.
Sulistiadi, Anis. 1980. Studi Perbandingan Perontokan Padi secara “Iles”,
“Banting”, dan “Power Thresher” dengan Tenaga Penggerak 5 HP.
Skripsi.Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian.IPB. Bogor.

352
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

POTENSI JERAMI PADI SEBAGAI SUMBER PAKAN TERNAK


RUMINANSIA BESAR DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN
INTEGRASI TANAMAN TERNAK DI KABUPATEN MERAUKE, PAPUA
1)
Usman, 1)Siska Tirajoh, 1)Batseba. M.W. Tiro dan 2)Sarman P.L. Tobing
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
Jl. Yahim Sentani – Jayapura
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No. 1B Medan
email : usmanrauna@yahoo.com

ABSTRAK

Kabupaten Merauke selain merupakan sentra pengembangan tanaman


padi di Provinsi Papua, juga sebagai pengembangan ruminansia besar,
khususnya ternak sapi potong. Makalah ini bertujuan menganalisis potensi
ketersediaan jerami padi sebagai sumber pakan ternak ruminansia besar di
Kabupaten Merauke. Data yang dikumpulkan antara lain; luas panen padi, dan
populasi ternak ruminansia besar. Hasil analisis menunjukkan bahwa
Kabupaten Merauke memiliki total produksi bahan kering pakan jerami padi
62.123,25 ton/tahun dan populasi ruminansia besar 23.126 ST. Wilayah Distrik
dengan produksi jerami tertinggi diperoleh Tanah Miringdan terendah Sota.
Distrik dengan populasi tertinggi diperoleh Tanah Miring dan terendah Ilwayab.
Total daya dukung jerami padi mencapai54.425 ST/tahun. Artinya Kabupaten
Merauke masih memungkinkan melakukan penambahan ruminansia besar
sebanyak 31.299 ST, atau setara dengan 44.713 ekor/tahun. Distrik yang
memiliki daya dukung tertinggi yaitu Tanah Miring dan terendah yaitu Sota.
Nilai IDD>2 (Aman) yaitu Tanah Miring, Kurik, Semangga, Malind, Kimaam,
Tabonji dan Ilwayab. Sedangkan nilai IDD >1-1,5 (Kritis) yaitu Merauke, dan
IDD <1 (Sangat Kritis) yaitu Jagebob, Okaba, Tubang, Animha, Naukenjeral,
Sota, Muting, Elikobel dan Ulilin.
Kata kunci : Jerami padi, ruminansia besar, daya dukung, pakan

PENDAHULUAN
Kabupaten Merauke merupakan sentra pengembangan tanaman padi
di Kawasan Timur Indonesia, khususnya di Provinsi Papua. Sebagai penghasil
produksi padi terbesar di Papua, selama lima tahun terakhir (Tahun 2009 –
2013) perkembangan produksi terus mengalami peningkatan dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata sebesar 12,45% per tahun. Pada tahun 2013 produksi
padi mencapai 177.581 ton, dengan produksi tertinggi yaitu Distrik Tanah Miring
(56.444 ton). Namun produk samping yang dihasilkan setelah panen berupa
jerami padi belum dimanfaatkan oleh petani/peternak secara optimal. Bahkan
jerami padi yang dihasilkan oleh petani pada umumnya dihancurkan dengan
cara membakar dilahan sawah. Potensi jerami padi yang dapat dihasilkan dari
luas panen sebesar 35.499 ha mencapai 62.123,25 ton (BPS Kabupaten
Merauke, 2014). Beberapa faktor penyebab petani belum memanfaakannya
jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia besar, diantaranya kurangnya
pengetahuan petani tentang teknologi pemanfaatan jerami, masih tersedianya

353
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

rumput lapangan, tidak disukai ternak karena tidak terbiasa dan rendahnya
kandungan gizi jerami.
Selain sebagai sentra pengembangan padi, Kabupaten Merauke juga
merupakan sentra pengembangan ternak ruminansia besar, seperti ternak sapi
potong. Populasi ruminansia besar sampai saat ini mencapai 33.037 ekor
(Dinas Peternakan Kabupaten Merauke, 2014). Perkembangan populasi
ruminansia besar terutama sapi potong terus meningkat, tetapi tingkat
pertumbuhannya terus menurun dibandingkan potensi genetik yang dimiliki.
Hal ini disebabkan karena rendahnya produktivitas ternak, dan tingginya
mortalitas ternak terutama di musim kemarau. Rendahnya produktivitas ternak
ruminansia besar, karena petani/peternak umumnya sulit memperoleh hijauan
pakan dan air minum di musim kemarau. Dengan demikian, perlu dilakukan
langkah antisipatif dalam menghadapi musim kemarau agar petani/peternak
tidak kesulitan memperoleh hijauan pakan, seperti membuat silase, hay, dan
fermentasi jerami padi disaat hijauan pakan berlimpah.
Salah satu strategi pengembangan ternak sapi di Indonesia pada sub-
sistem usahatani on farm adalah mempercepat pertambahan bobot hidup
ternak dengan memanfaatkan sumberdaya lokal, terutama yang berasal dari
limbah pertanian dan agroindustri (Badan Litbang Pertanian, 2002). Melihat
potensi ketersediaan jerami padi yang mencapai 62.123,23 ton, bila
dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia besar dengan kebutuhan
pakan minimun sebesar 1,14 BKC selama satu tahun (Sumanto dan Juarini,
2006), dapatmeningkatkan kapasitas tampung wilayah sebesar 54.425 ST,
atau setara dengan 77.750 ekor selama satu tahun. Namun pemanfaatan
jerami padi sebagai pakan untuk mendukung pengembangan ternak
ruminansia besar, perlu dilakukan perbaikan dalam pemberiannya yaitu dengan
meningkatkan kualitas nutrisinya melalui teknologi fermentasi jerami padi.
Tujuan penelitian menganalisis potensi jerami padi sebagai pakan
ruminansia besar dalam mendukung pengembangan integrasi tanaman-ternak
di Kabupaten Merauke Provinsi Papua.
BAHAN DAN METODE
Makalah ini merupakan bagian dari program pendampingan
pengembangan kawasan peternakan sapi potong di Kabupaten Merauke, dan
dilaksanakan di Distrik Kurik yang merupakan salah satu kawasan
pengembangan tanaman padi dan sapi potong.Untuk mengetahui potensi
ketersediaan jerami padi sebagai hijauan pakan dan kapasitas tampung wilayah
(Dayadukung), jenis data sekunder yang dikumpulkan adalah data luas panen
padi dan populasi ternak sapi yang diperoleh dari BPS Kabupaten Merauke
(2014).
Daya dukung jerami padi dapat dihitung berdasarkan produksi bahan
kering (BK) jerami padi oleh Muller (1974) yaitu produksi jerami = (2,5 x luas
panen x 0,70) ton BK/tahun. Selanjutnya produksi BK jerami padi digunakan

354
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

untuk mendapatkan daya dukung (DD) hijauan pakan dengan persamaan oleh
Haryono dkk., 2002) sebagai berikut :

Produksi Bahan Kering (BK) (ton)


DD (ST) =
Kebutuhan BK Ternak Ruminansi (ton/ST)

Sementara Indeks Daya Dukung (IDD) dihitung dari jumlah produksi


hijauan pakan yang tersedia terhadap jumlah kebutuhan hijauan bagi sejumlah
populasi ruminansia di suatu wilayah. IDD dihitung daribahan kering menurut
Ashari dkk., (1995) sebagai berikut :

Total Produksi Bahan Kering (BK) (ton)


IDD (ST) =
Total Ternak Ruminansia (ST) x Kebutuhan BK Ruminansi (ton/ST)

Indeks daya dukung mencerminkan keamanan pakan suatu wilayah,


untuk mendukung kehidupan ternak yang ada.Kriteria yaitua) Jika nilai IDD > 2
= Aman, b) Jika nilai IDD >1,5 – 2 = Rawan, c) Jika nilai IDD >1 – 1,5 = Kritis,
d) Jika nilai IDD <1 = Sangat Kritis.
Untuk Satu Satuan Ternak (ST) merupakan faktor konversi dari ternak
sapi : 0,7 dan kerbau : 0,8. Kebutuhan pakan minimun ternak pemakan hijauan
pakan untuk satu satuan ternak (ST) dihitung menurut Sumanto dan Juarini
(2006), yaitu K = 2,5% x 50% x 365 x 250 kg = 1,14 ton BKC. Dimana : K =
Kebutuhan pakan minimun untuk satu ST (ton BKC) selama satu tahun; 2,50=
Kebutuhan minimun hijauan pakan (bahan kering) terhadap berat badan; 50%=
nilai rata-rata daya cerna berbagai jenis tanaman; 365= jumlah hari dalam satu
tahun; dan 250 kg = jumlah biomassa untuk satu satuan ternak.
Sedangkan pola penyebaran produksi hijauan pakan dan populasi
ruminansia antar distrik dilakukan perhitungan indeks konsentrasi pakan (IKP)
dan indeks konsentrasi ternak (IKT). IKP yaitu nisbah produksi pakan terhadap
rataan produksi pakan distrik dalam kabupaten. Sementara IKT yaitu nisbah
populasi ternak antar distrik terhadap rataan populasi ternak distrik dalam
kabupaten. Kategori IKP dan IKT >1 adalah tinggi, IKP/IKT 0,5-1 adalah
sedang, dan IKP/IKT< 0,5 adalah rendah (Syamsu dkk., 2003, dan Syamsu dan
Ahmad, 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Jerami Padi
Potensi produksi bahan kering pakan jerami padi diketahui
berdasarkan total luas areal panen tanaman padi pada setiap wilayah di
Kabupaten Merauke (Tabel 1). Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa
Kabupaten Merauke mempunyai total produksi bahan kering pakan jerami padi
yaitu 62.123,25 ton. Wilayah Distrik yang mempunyai produksi bahan kering
pakan jerami padi tertinggi yaitu Tanah Miring, kemudian diikuti oleh Kurik,

355
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Semangga dan terendah yaitu Sota. Salah satu faktor penyebab tingginya
produksi bahan kering pakan jerami padi di Tanah Miring, selain disebabkan
karena memiliki luas panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya.
Rata-rata produksi jerami padi dalam satu kali panen dapat diperoleh antara 5-
8 ton/ha dan tergantung pada lokasi dan varietas yang digunakan (Badan
Litbang Pertanian, 2002).
Tabel 1. Produksi bahan kering pakan jerami padi di Kabupaten Merauke,
Tahun 2014
Luas Panen Produksi BK Jerami
Distrik
(Ha) (ton) IKP Kategori
Kimaam 352,00 616,00 0,17 Rendah
Tabonji 50,00 87,50 0,02 Rendah
Waan 80,00 140,00 0,04 Rendah
Ilwayab 45,00 78,75 0,02 Rendah
Okaba 62,00 108,50 0,03 Rendah
Kurik 8.638,00 15.116,50 4,14 Tinggi
Animha 71,00 124,25 0,03 rendah
Malind 4.408,00 7.714,00 2,11 Tinggi
Merauke 1.433,00 2,507.75 0,69 Sedang
Naukenjeral 260,00 455,00 0,12 Rendah
Semangga 7.840,00 13.720,00 3,75 Tinggi
Tanah Miring 10.084.00 17.647,00 4,83 Tinggi
Jagebob 1.004.00 1.757,00 0,48 Rendah
Sota 6,00 10,50 0,00 Rendah
Mutin 169,00 295,75 0,08 Rendah
Elikobel 648,00 1.134,00 0,31 Rendah
Ulilin 349,00 610,75 0,17 Rendah
Kabupaten 35.499,00 62.123.25
Keterangan : IKP (indeks konsentrasi pakan)
Sumber : Data Sekunder di Olah, 2014

Hasil analisis perbandingan terhadap pola penyebaran hijauan pakan


jerami padi menunjukkan bahwa wilayah yang mempunyai indeks konsentrasi
pakan (IKP) dengan kategori tinggi (IKP >1) yaitu Tanah Miring, Kurik,
Semangga, dan Malind. Sedangkan wilayah kategori sedang (IKP 0,5-1,0)
hanya satu wilayah yaitu Merauke. Sementara kategori rendah (IKP 0,5-1,0)
yaitu Kimaam, Tabonji, Waan, Ilwayab, Okaba, Animha, Naukenjeral, Jagebob,
Sota, Muting, Elikobel, dan Ulilin. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga wilayah
tersebut (Tanah Miring, Kurik, Semangga),memiliki potensi daya dukung atau
kapasitas tampung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Populasi Ternak Ruminansia Besar
Jenis ternak ruminansia besar yang dikembangkan oleh petani-peternak
di Kabupaten Merauke yaitu ternak sapi potong dan kerbau. Pengembangan
ternak ruminansia oleh petani-peternak lebih terfokus pada usaha ternak sapi,
karena ternak sapi selain dikembangkan untuk dijual juga digunakan sebagai

356
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ternak kerja menggunakan gerobak untuk mengangkut hasil panen, pupuk,


kayu dan lain sebagainya (Tabel 2).
Tabel 2. Populasi ternak ruminansia besar di Kabupaten Merauke, Tahun
2014
Jumlah Jumlah
Populasi Ruminasia IKT Kategori
Distrik (ekor) (ST)
Sapi Kerbau
Kimaam 65 - 65 45,5 0,04 Rendah
Tabonji 35 - 35 24,5 0,02 Rendah
Ilwayab 7 - 7 4,9 0,00 Rendah
Okaba 1.120 - 1.120 784 0,64 Sedang
Tubang 22 - 22 15,4 0,01 Rendah
Ngguti 25 - 25 17,5 0,01 Rendah
Kaptel 41 - 41 28,7 0,02 Rendah
Kurik 4.270 474 4.744 3.320,8 2,73 Tinggi
Animha 192 - 192 134,4 0,11 Rendah
Malind 2.970 618 3.588 2.511,6 2,06 Tinggi
Merauke 2.120 68 2.188 1.531,6 1,26 Tinggi
5
Naukenjeral 92 15 607 424,9 0,35 Rendah
Semangga 5.347 18 5.365 3.755,5 3,09 Tinggi
Tanah Miring 5.919 43 5.962 4.173,4 3,43 Tinggi
Jagebob 5.586 - 5.586 3.910,2 3,21 Tinggi
Sota 296 - 296 207,2 0,17 Rendah
Muting 452 2 454 317,8 0,26 Rendah
Elikobel 1.495 - 1.495 1.046,5 0,86 Rendah
Ulilin 1.245 - 1.245 871.5 0.72 Rendah
Kabupaten 31.799 1,238 33.037 23,126
Keterangan : IKT (indeks konsentrasi ternak)
Sumber : Data Sekunder di olah, (2014)
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa populasi ternak ruminansia besar
di Kabupaten Merauke sebanyak 23.126 ST, atau setara dengan 33.037 ekor.
Wilayah distrik yang memiliki tingkat populasi ruminansia tertinggi adalah Tanah
Miring, kemudian diikuti oleh Jagebob, Semangga, Kurik, dan terendah yaitu
Ilyawab. Hasil analisis terhadap rasio penyebaran populasi ternak ruminansia
antar wilayah distrik di Kabupaten Merauke, menunjukkan bahwa wilayah distrik
yang tergolong kategori tinggi (IKT >1) yaitu Tanah Miring, Jagebob,
Semangga, Kurik, Malind, dan Merauke. Sedangkan kategori sedang (IKT 0,5-
1,0) yaitu Elikobel, Ulilin, dan Okaba. Sementara kategori rendah (IKT<0,5)
yaitu Kimaam, Tabonji, Ilwayab, Tubang, Ngguti, Kaptel, Animha, Naukenjeral,
sota, dan Muting.

Daya Dukung Wilayah


Daya dukung wilayah dalam menyediakan hijauan pakan ternak
ruminansia adalah kemampuan wilayah untuk menghasilkan atau
menyediakan pakan dari jerami padi yang dapat menampung kebutuhan
sejumlah populasi ternak ruminansia besar tanpa melalui pengolahan.
Berdasarkan hasil analisis daya dukung jerami padi sebagai hijauan pakan

357
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ternak ruminansia pada masing-masing wilayah di Papua dapat dilihat pada


Tabel 3.
Tabel 3. Daya dukung jerami padi sebagai hijauan pakan ternak ruminansia di
Kabupaten Merauke, Tahun 2014.
Ketersediaa Populasi Kebutuha DD Tambhan
IDD
n Jerami Ruminansia n Pakan Wilayah Ternak Kriteria
Distrik Wilayah
(ton BK) (ST) (ton BK) (ST) (ST)

Kimaam 616,00 45,50 51,87 540,35 494,85 11,88 Aman


Tabonji 87,50 24,50 27,93 76,75 52,25 3,13 Aman
Ilwayab 140,00 4,0 5,59 122,81 117,91 25,06 Aman
Okaba 108,50 784,00 893,76 95,18 -688,82 0,12 S. Kritis
Kurik 15.116,0 3.320,80 3.785,71 13.260,09 9.939,29 3,99 Aman
Animha 124,25 134,40 153,22 108,99 -25,41 0,81 S.Kritis
Malind 7.714,00 2.511,60 2.863,22 6.766,67 4.255,07 2,69 Aman
Merauke 2.507,75 1.531,60 1.746,02 2.199,78 668,18 1,44 Kritis
Naukenjeral 455,00 424,90 484,39 399,12 -25,78 0,94 S.Kritis
Semangga 13.720,00 3.755,50 4.281,27 12.035,09 8.279,59 3,20 Aman
Tanah Miring 17.647,00 4.173,40 4.757,68 15.479,82 11.306,4 3,71 Aman
Jagebob 1.757,00 3.910,20 4.457,63 1.541,23 -2.368,97 0,39 S.Kritis
Sota 10,50 207,20 236,21 9,21 -197,99 0,04 S.Kritis
Muting 295,75 317,80 362,29 259,43 -58,37 0,82 S. Kritis
Elikobel 1.134,00 1.046,50 1.193,01 994,74 -51,76 0,95 S. Kritis
Ulilin 610,75 871,50 993,51 535,75 -335,75 0,61 S. Kritis
Kabupaten 62.044,50 23.064,30 26.293,30 54.425,00 31.360,7 2,36 Aman
Keterangan : BK (bahan kering), DD (daya dukung), IDD (indeks daya dukung),
S.Kritis (sangat kritis)

Terkait dengan kemampuan daya dukung wilayah, indeks daya dukung,


indeks konsentrasi pakan, dan indeks konsentrasi ternak, wilayah distrik
berpotensi sebagai kawasan pengembangan ruminansia yaitu Tanah Miring,
Kurik, Semangga, dan Malind. Karena keempat wilayah tersebut, selain
mempunyai DDJP tertinggi, juga memiliki nilai IDD >2 (kriteria = aman), nilai
IKP >1,0 (kategori = tinggi), dan nilai IKT >1,0 (kategori = tinggi).
Hasil analisis daya dukung wilayah (Tabel 3) menunjukkan bahwa
Kabupaten Merauke mempunyai potensi daya dukung wilayah di dalam
menyediakan hijauan pakan dari jerami padi untuk memenuhi kebutuhan hidup
pokok ternak ruminansia besar yaitu sebanyak 54.425 ST, atau setara dengan
77.750 ekor. Dengan demikian, Kabupaten Merauke masih memungkinkan
untuk melakukan penambahan populasi ruminansia besar sebanyak 31.360,70
ST atau setara dengan 44.801 ekor. Analisis indeks daya dukung (IDD)
diperoleh nilai IDD > 2 (Aman). Artinya ketersediaan sumberdaya pakan secara
fungsional mencukupi kebutuhan lingkungan secara efisien.
Wilayah distrik yang mempunyai daya dukung tertinggi yaitu Tanah
Miring, Kurik, Semangga, dan Malind. Sedangkan wilayah distrik dengan daya
dukung terendah yaitu Sota, Tabonji, dan Okaba.
Berdasarkan daya dukungdan indeks daya dukung jerami padi diketahui
wilayah distrik yang masih memungkinkan untuk dilakukan penambahan ternak
ruminansia besar dengan kriteria aman, tertinggi yaitu Tanah Miring, kemudian
diikuti oleh Kurik, Semangga, Malind, Kimaam, Ilwayab, dan terendah yaitu
Tabonji. Wilayah kriteria rawan yaitu Merauke.

358
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN
Potensi ketersediaan jerami padi sebagai pakan di Kabupaten Merauke
cukupbesarsehinggamasih memungkinkan dilakukan penambahan ruminansia
besar sebanyak 31.360,70 ST atau setara dengan 44.801 ekor. Nilai IDD >2,
berarti ketersediaan produksi bahan kering jerami padi sebagai hijauan pakan
secara fungsional mencukupi kebutuhan lingkungan secara efisien.
Wilayah distrik yang mempunyai daya dukung tertinggidenganIDD >2
(kriteriaaman) yaitu Tanah Miring, Kurik, Semangga dan Malind. Sedangkan
IKP tertinggi yaitu Tanah Miring, Kurik, Semangga dan Malind. IKT tertinggi
yaitu Jagebob, Tanah Miring, Kurik, Semangga, Malind dan Merauke.

SARAN
1. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan jerami padi sebagai pakan,maka
pengembangan ternak ruminansia sebaiknya diarahkan pada empat
wilayah potensial yaitu Tanah Miring, Kurik, Semangga dan Malind.
2. Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan sebaiknya diberikan pada
ternak ruminansia setelah dilakukan fermentasi.

DAFTAR PUSTAKA
Ashari, F., E. Juarini, Sumanto, B. Wibowo, Suratman, 1995. Pedoman analisis
potensi wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan. Balai
Penelitian Ternak dan Direktorat Bina Penyebaran dan Pengembangan
Peternakan. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2002. Panduan Teknis Integrasi Padi-Ternak.
Deptan, Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2014. Merauke dalam angka, 2013. Kabupaten
Merauke.
Badan Pusat Statistik. 2014. Papua dalam angka, 2013. Provinsi Papua.
Dinas Peternakan. 2014. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten
Merauke
Muller, Z.O. 1974. Livestock Nutrition in Indonesia. UNDP, FAO, Rome, Italy.
Syamsu, J.A., M. Achmad. 2002. Keunggulan kompetitif wilayah berdasarkan
sumberdayapakan untuk pengembangan ruminansia di Sulawesi Selatan.
JurnalAgribisnis, 6 (2)
Syamsu JA, L.A.Softyan, K.Mudikdjo,E.G.Sai’id. 2003. Daya dukung limbah
pertaniansebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia.
Wartazoa, 13 (1) : 30-37
Sumanto. E., Juarini, 2006. Potensi kesesuaian lahan untuk pengembangan
ternak ruminansia di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Iptek Sebagai Motor
Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan.
Bogor 4-5 Agustus 2004. Puslitbangnak, Balitbangtan. Bogor.

359
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PEMANFAATAN JERAMI PADI FERMENTASI SEBAGAI PAKAN


ALTERNATIF DALAM USAHA AGRIBISNIS SAPI POTONG RAKYAT
DI KOTA JAYAPURA, PAPUA

1)
Usman, 1)Batseba M.W. Tiro, 1)Siska Tirajo, dan 2)L. Haloho

1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Yahim Sentani – Jayapura
Email : usmanrauna@yahoo.com

ABSTRAK
Jerami padi merupakan salah satu jenis limbah tanaman pangan yang
paling potensial di Papua untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak
ruminansia, khususnya ternak sapi potong. Kajian ini bertujuan menyajikan
data dan informasi terkait pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai pakan
ternak sapi potong. Metode pendekatan dilakukan on far research di lahan
petani dengan melibatkan instansi terkait. Hasil kajian ini diperoleh peningkatan
nutrisi JP setelah proses fermentasi, yaitu protein kasar 7,09%, dan serat kasar
26,46%. Hasil uji biologis pakan jerami padi fermentasi pada ternak sapi potong
terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH) di desa Koya Barat dan
Koya Timur, masing-masing yaitu 0,34 kg/ekor dan 0,38 kg/ekor. Analisis
usahatani menunjukkan bahwa pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai
pakan sapi potong memberikan tambahan pendapatan sebesarRp 277.117.
Nilai R/C >1, berarti usaha ini layak untuk dilaksanakan. Nilai MBCR =1,2,
berarti pemanfaatan jerami padi fermentasi mampu memberikan tambahan
pendapatan sebesar 1,2 kali dari total tambahan investasi tunai yang
dikeluarkan sebagai akibat dari penerapan teknologi tersebut.
Kata kunci : Jerami padi, fermentasi, pakan, sapi potong
PENDAHULUAN
Jerami padi merupakan salah satu jenis limbah pertanian tanaman
pangan yang paling potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak
ruminansia di Papua. Namun keberadaannya setelah musim panen terbuang
begitu saja dan bahkan dibakar oleh petani untuk mempermudah petani
melakukan penanaman berbagai jenis tanaman pangan berikutnya seperti
jagung, kacang tanah, kacang kedelai, dan kacang panjang. Pada umumnya
petani-peternak di Papua belum memanfaatkan jerami padi secara optimal,
karena disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya petani-peternak secara
tradisional tidak terbiasa memberikan pada ternak sapi, ketersediaan hijauan
berupa rumput lapangan masih banyak, dan mempunyai kandungan nutrisi
pakan yang rendah. Potensi ketersediaanya melebihi jumlah yang dibutuhkan
oleh ruminansia khususnya di Indonesia (Kosilla, 1988, dalam Van Bruchem
dan Zemmelink, 1995). Bagian-bagian jerami padi dibedakan menjadi helai
daun (15-27%), pelepah daun (23-30%), dan batang yang dapat dipilah atas
ruas dan buku yang proporsinya (15-37%) (Soejono, 1996 dalam Sutrisno,
2002).

360
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kendala pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia


adalah karena rendahnya nilai nutrisi bila dibandingkkan dengan limbah hijauan
pakan lainnya (Preston dan Leng, 1987) dan diklasifikasikan sebagai pakan
berkualitas rendah karena tanaman padi dipanen setelah tanaman cukup tua
(Becker dan Einfeldt, 1995). Rendahnya nilai dan kualitas nutrisi jerami padi
disebabkan oleh kandungan protein kasar (nitrogen), mineral dan vitaminnya
yang rendah (El-Shobokshy dkk., 1989; Chowdhury dan Huque, 1997), dan
hampir seluruh kandungan nitrogen jerami padi terkait dengan bagian yang
tidak tercerna (Maynard dan Loosli, 1978; dan Joergenson, 1980). Selain itu,
tingginya kandungan lignoselulosa (ikatan lignin-hemiselulosa) mengakibatkan
polisakarida sulit dicerna oleh fermentasi mikrobia rumen (Haryanto dan
Djajanegara, 1993). Nilai kecernaan bahan kering jerami padi hanya mencapai
35-37% dan kandungan protein kasarnya hanya sekitar 3-4%, padahal temak
ruminansia membutuhkan bahan hijauan pakan dengan nilai kecernaan
minimal 50-55% dan kandungan protein kasar sekitar 8% (Thalib dkk., 2000).
Berdasarkan hal tersebut, menunjukkan bahwa jerami padi perlu
ditingkatkan nilai nutrisinya agar pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi
dapat menjadi lebih baik. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan yaitu
dengan proses fermentasi menggunakan probion. Melalui proses fermentasi
jerami padi dinilai lebih murah, memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi
dan lebih mudah untuk diterapkan di tingkat petani dibandingkan dengan proses
pengolahan lainnya (Wina, 2005). Probion merupakan produk campuran
berbagaimacam mikroba dengan enzim yang mampu merombak dan
merenggangkan ikatan lignosellulosa dan lignohemisellulosa, sehinga jerami
padi menjadi lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen (Haryanto, 2000).
Kajian ini bertujuan menyajikan data dan informasi terkait pemanfaatan
jerami padi fermentasi sebagai pakan alternatif dalam usaha agribisnis sapi
potongrakyat di Kota Jayapura Provinsi Papua.

BAHAN DAN METODE


Kajian pemanfaatan jerami padi fermentasi (JPF) sebagai pakan ternak
sapi potongtelah dilaksanakan di dua lokasi yang berbeda, yaitu Desa Koya
Barat dan Koya Timur Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Kegiatan ini
dilaksanakan dalam dua tahapan yaitu kegiatan teknologi fermentasi JP dan uji
biologis pakan JPF pada ternak sapi potong.

Teknologi fermentasi jerami padi


Jerami padi (JP) yang digunakan sebagai bahan fermentasi adalah
jerami padi sawah yang sudah kering dengan kandungan air ±40%. JP
dikumpulkan pada tempat yangtelah dipersiapkan. Campurkan sebanyak 0,50
kg probion dan 0,50 kgurea untuk proses fermentasi sebanyak 100 kg jerami
padi. Campuran probion dan urea diaduk merata menggunakan air secukupnya
(±40 l). Kemudian JP ditumpuk setebal ± 25 cm, dipadatkan dengan menginjak-
injak dan disiram dengan campuran probion dan urea secara merata. Proses
yang sama dilakukan untuk lapisan kedua dan seterusnya. Penyiraman

361
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

campuran probion dan urea pada lapisan terakhir/teratas cukup ditutupi dengan
jerami secukupnya dan tidak ditutup/diselimuti dengan plastik. Selama proses
fermentasi tidak boleh terkena sinar matahari dan air hujan dan berlangsung
selama ± 21 hari. JP yang sudah mngalami proses fermentasi diangin-
anginkan dan disimpan di tempat yang terhindar dari sinar matahari langsung
dan hujan sebelum digunakan sebagai pakan.
Uji biologis
Dalam uji biologis, teknik pemberian JPF pada ternak sapi potong
diberikan sedikit demi sedikit bersama hijauan rumput alam selama masa
adaptasi, dan diberikan selama ± 4 bulan menggunakan 4 ekor sapi betina dan9
ekor sapi jantan, umur 2 – 3 tahun dengan bobot badan awal sekitar 147-196
kg/ekor. Komposisi pakan yang diberikan pada ternak sapi potong disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi pakan ternak sapi potong di Koya Barat dan Koya Timur,
Distrik Muara Tami, Kota Jayapura
Komposisi pakan Koya Barat Koya Timur
Jerami Padi Fermentasi
(JPF) 5,0% BB 10,0% BB
Rumput lapangan 5,0% BB 5,0% BB
Dedak 1,5% BB 2 kg/ekor/hari
Garam 30 g/ekor/hari 24 g/ekor/hari

Parameter yang diamati yaitu nutrisi jerami padi fermentasi (JPF) dan
pertambahan berat badan harian (PBBH), konsumsi pakan, dan konversi
pakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Nutrisi Jerami Padi
Hasil analisis kimia terhadap nutirisi jerami padi fermentasi (JPF) dan
jerami padi non-fermentasi (JPNF) ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis kimia nutrisi jerami padi fermentasi dan non-fermentasi
di Jayapura
Bahan pakan Bahan Kering Protein Serat Kasar
(%) Kasar (%) (%)
- Jerami padi non-fermentasi1) 92,81 4,74 29,53
- Jerami padi fermentasi2) 82,44 7,09 26,46
- Dedak2) 93,72 9,08 24,45
- Rumput lapangan2) 33,59 4,77 32,92
Keterangan : 1)BPTP Sulawesi Tengah, 2000.
2)
Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak
UGM,2014

Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan protein kasar (PK)


dan serat kasar (SK) nutrisi JP setelah proses fermentasi dilakukan, masing-
masing yaitu 7,09% dan 26,46%. Nilai nutrisi JPF yang dihasilkan dalam kajian

362
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ini lebih rendah dibandingkan denganhasil penelitian Antonius (2009) yang


menggunakan starter yang sama (probion) diperoleh nutrisi JPF yaitu protein
kasar 9,43, serat kasar 22,31, lemak kasar 1,85%, TDN 48,31%, NDF 58,83%,
ADF 37,35%, sellulosa 26,88%, hemi sellulosa 21,48%, lignin 3,96% dan silika
5,13%. Perbedaan hasil dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
varietas padi, kondisi wilayah, pengolahan lahan, dan pemupukan.

Keragaan Ternak Sapi


Berdasarkan hasil uji biologis, pemberian JPF terhadap ternak sapi
potong diperoleh hasil seperti terlihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Keragaan ternak sapi potong yang diberi JPF dan NJPF (cara petani)
di Desa Koya Barat dan Koya Timur, Distrik Muara Tami, Kota
Jayapura
Desa Koya Barat1) Desa Koya Timur2)
Keragaan Produksi
NJPF JPF NJPF JPF
- Rataan bobot badan awal (kg/ekor) - 195,50 151,26 146,98
- Rataan bobot badan akhir (kg/ekor) - 236,00 176,62 189,56
- Pertambahan berat badan (kg/ekor) 13,16 40,50 25,37b 42,58a
- PBBH (kg/ekor/hari) 0,10 0,34 0,23 0,38
- Konsumsi BK pakan (kg/ekor/hari) - 9,50 - -
- Konsumsi PK pakan (kg/ekor/hari) - 0,89 - -
Ket : NJPF (non-jerami padi fermentasi), JPF (Jerami padi fermentasi), BK
(Bahan kering), PK (Protein kasar)
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian JPF pada ternak
sapi potong di Koya Barat dan di Koya Timur memberikan pertambahan berat
badan dan PBBH, masing-masing yaitu 40,5 kg/ekor dan 0,34 kg/ekor/hari dan
42,6 kg/ekor dan 0,38 kg/ekor/hari, dan berbeda nyata dengan cara petani
(NJPF). Hasil kajian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
Antonius (2009) yang membrikan PBBH sekitar 0,84-0,95 kg/ekor/hari.
Terjadinya perbedaan PBBH yang dihasilkan dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu jenis ternak, komposisi pakan, daya cerna pakan, dan kondisi
wilayah. Pertambahan bobot hidup harianmerupakan suatu refleksi dari
akumulasi konsumsi, fermentasi, metabolisme dan penyerapan zat-zat
makanan di dalam tubuh dan merupakan cerminan kualitas dan nilai biologis
pakan (Simanihurukdkk., 2006). Naik turunnya PBBH sangat dipengaruhi oleh
tinggi rendahnya konsumsi pakan. Naiknya konsumsi pakan dapat menaikkan
PBBH dan rendahnya konsumsi pakan dapat menurunkan PBBH (Muck,
2004).Sementara efisiensi penggunaan pakan ternak ruminansia dipengaruhi
oleh kualitas dan nilai biologis pakan, besarnya pertambahan bobot hidup
harian dan nilai kecernaan pakan (Simanihuruk dkk., 2006).

Analisis Usahatani
Analisis usahatani bertujuan untuk mengetahui apakah inovasi teknologi
JPF yang diterapkan secara ekonomi memberikan keuntungan bagi petani atau
tidak. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.

363
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Analisis usahatani pemanfaatan JPF sebagai pakan ternak sapi


potong di Kota Jayapura, Papua
Harga Harga
Jumlah Jumlah
Uraian Volume satuan Volume satuan
(Rp) (Rp)
(Rp) (Rp)
No
I. Biaya Pengeluaran
- Penyusutan 4 Bln 254.000 1.016.000 4 Bln 254.000 1.016.000
kandang
- Bibit sapi Bali 12 ekor 8.500.000 102.000.000 4 Ekor 8.500.000 34.000.000
- Pakan*) 12 ekor 797.500 9.570.000 4 Ekor 347.000 1.388.000
- Obat-obatan 9 Btl 120.000 1.080.000 2 Btl 120.000 240.000
- Tenaga kerja 112 HOK 50.000 5.600.000 25 HOK 50.000 1.250.000
Total pengeluaran : 119.266.000 37.894.000
II. Penerimaan
- Ternak Sapi (PBBH 12 ekor 11.135.200 133.622.400 4 9.744.400 38.977.600
x HBH + HP)
- Pupuk kandang (12 4392 Kg 500 2.196.000
ekor)
Total penerimaan : 135.818.400 38.977.600
III. Pendapatan (II – I) 16.552.400 1.083.600
- Pendapatan per 344.842 67.725
bulan/ekor
IV. R/C 1,1 1,0
V. MBCR 1,2
)
Ket : Pakan* (dedak, probion, urea), PBBH (Pertambahan bobot badan hidup),
HBH (Harga bobot hidup), HP (Harga pokok)
Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa pemanfaatan JPF sebagai
pakan memberikan pendapatan tertinggi (Rp 344.842/bulan/ekor) dibandingkan
dengan NJPF (cara petani) (Rp 67.725/bulan/ekor). Hasil ini mampu
memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp 277.117. Nilai R/C >1, berarti
pemanfaatan JPF sebagai pakan ternak sapi potong layak untuk dilaksanakan.
Sedangkan cara petani diperoleh nilai R/C =1, berarti pemberian pakan dengan
cara petani tidak menguntungkan karena hanya mampu mengembalikan modal
(tidak untung dan tidak rugi). Nilai MBCR =1,2, berarti pemanfaatan JPF mampu
memberikan tambahan pendapatan sebesar 1,2 kali dari total tambahan
investasi tunai yang dikeluarkan sebagai akibat dari penerapan teknologi
tersebut.
KESIMPULAN
Pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai pakan dalam budidaya
ternak sapi potong dapat meningkatkan pertambahan berat badan ternak
sebesar 40 – 68% dibandingkan dengan cara petani.
Analisis usahatani diperoleh nilai RC >1 dan MBCR >1, artinya
pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai pakan ternak sapi potong layak
untuk dilaksanakan, karena mampu memberikan tambahan pendapatan
sebesar 1,2 kali.
SARAN
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan sebaiknya diberikan pada
ternak sapi pada umur ±12 bulan dan diberikan pada ternak setelah dilakukan
fermentasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Kepala Dinas
Pertanian dan Peternakan Kota Jayapura, Badan Penyuluhan Pertanian, dan

364
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kelompok Tani Koya Barat dan Koya Timur atas kehadirannya dalam
pelaksanaan temu lapang yang telah memberikan dukungan dan partisifasinya
selama kegiatan ini berlangsung

DAFTAR PUSTAKA
Antonius. 2009. Pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai subtitusi rumput
gajah dalam ransum sapi JITV Vol. 14 No. 4 Th. 2009: 270-277.
Becker, K. dan C. Einfeldt. 1995. Multiple use of cultivated plants : straw
utilization in animal nutrition-indications for plant breeding. Amin. Res.
And Dev. 41: 23-37.
Chowdhury, S.A. dan K.S. Huque. 1997. Effect of graded levels of green grass
suplementation on nutrient digestibility, rumen fermentation and microbial
nitrogen production in cattle feed rice straw alone. Asian-Australasian J.
Of Anim. Sci. 10(5): 460-470.
El-Shobokshy, A.S., D.I.H. Jones, I.F.M. Marai, J.B. Owen dan C.J.C. Philips,
1989. New Techniques in feed Processing for Cattle. Dalam : C.J.C.
Philps (Ed.). New Techniques in Cattle Produkction. Butterworth & Co.
Ltd., London. Hal. 67-86.
Haryanto, B. 2000. Penggunaan probiotik dalam pakanuntuk meningkatkan
kualitas karkas dan daging domba. JITV. 5: 224-228.
Haryanto, B. Dan A. Djajanegara. 1993. Pemenuhan Kebutuhan Zat-Zat
Makanan Ternak Ruminansia Kecil. Dalam : Manika Wodzicka-
Tomaszewska, I.M. Mastika, A. Djajanegara, Susan Gardiner, T.R.
Wiradarya (Ed.). Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas
Maret University Press. Hal:159-203.
Juergenson, E. M. 1980. Approved Practices in Beef Cattle Production. The
Interstate Printers and Publishers, Inc., Danville, Illinois.
Maynard, L.A. dan J.K. Loosli. 1978. Animal Nutrition. 6 Ed., Tata McGraw
Hill Publishing Company Ltd, New Delhi.
Muck, R.E. 2004. Effects of corn silage inoculants on aerobicstability. American
Soc. Agric. Engin. 47: 1011-1016.
Preston, T.R. dan R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System
with Available Resources in the Tropics and Sub Tropics. Penambul
Books. Armidale, New South Wales.
Simanihuruk, K., K.G. Wiryawan And S.P. Ginting. 2006.The effect of passion
fruit hulls level (Passiflora edulisSims f. edulis Deg) as Kacang goat feed
component: I.Intake digestibility and nitrogen retention. JITV 11: 97-105.
Sutrisno, C.I. 2002. Peran Teknologi Pengolahan Limbah Pertanian dalam
Pengembangan Ternak Ruminansia. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Thalib, A., J. Bestari, Y. Widiawati, H. Hamid dan D.Suherman. 2000. Pengaruh
perlakuan silase jeramipadi dengan mikroba rumen kerbau terhadap daya
cernadan ekosistem rumen sapi. JITV 5: 1-6.
Van Bruchem, J. Dan G. Zemmelink. 1995. Toward Sustainable Livestock
Production in the Tropics and Imitations of Rice Straw Based System.
Bull. Of Anim. Sci. (Special Edition). A. Publication of the Faculty of
Animal Husbandry, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Hal: 39-51.
Wina, E. 2005. Teknologi pemanfaatan mikroorganismedalam pakan untuk
meningkatkan produktifitas ternakruminansia di Indonesia. Wartazoa. 15:
173-186.

365
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANALISIS PENGGUNAAN ARANG SEKAM PADI, KOMPOS JERAMI DAN


ABU VULKANIK GUNUNG SINABUNG DALAM
PERTUMBUHAN BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L. )

Yaya Hasanah, Lis Amelia Anggun Purba dan Haryati

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara


Jl. dr. T. Mansur No. 9, Medan 20155 Sumatera Utara
email : azkia_khairunnisa@yahoo.co.id

ABSTRAK
Suatu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan
tanaman bawang merah dengan pemaparan komposisi pemberian abu vulkanik
Sinabung, arang sekam padi dan kompos jerami, telah dilakukan di Kebun
Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Juli -
September 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) non faktorial dengan 10 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut
yaitu M0 (Kontrol/pemberian pupuk dasar) ; M1 (Abu vulkanik 20 ton/ha) ; M2
(Arang sekam 10 ton/ha) ; M3 (Kompos jerami 15 ton/ha) ; M4 (Abu Vulkanik
10 ton/ha + Arang sekam 5 ton/ha) ; M5 (Abu Vulkanik 5 ton/ha + Kompos
Jerami 7,5 ton/ha) ; M6 (Arang Sekam 5 ton/ha + Kompos Jerami 7,5 ton/ha) ;
M7 (Abu Vulkanik 10 ton/ha + Arang sekam 2,5 ton/ha + Kompos Jerami 3,75
ton /ha), M8 (Abu Vulkanik 5 ton/ ha + Arang sekam 5 ton/ha + Kompos Jerami
3,75 ton/ha) ; M9 (Abu Vulkanik 5 ton/ha + Arang sekam 2,5 ton/ha + Kompos
Jerami 7,5 ton/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi perlakuan
M5 yaitu abu vulkanik 5 ton/ha + kompos Jerami 7,5 ton/ha memberikan laju
pertumbuhan tanaman, laju pertumbuhan relatif dan laju asimilasi bersih yang
lebih baik dibandingkan komposisi perlakuan lainnya.

Kata Kunci : bawang merah, abu vulkanik, arang sekam padi, kompos jerami

PENDAHULUAN
Peristiwa erupsi Gunung Sinabung yang terdapat di dataran tinggi Karo
telah mengeluarkan material vulkanik berupa debu dan lahar dingin (bekas
awan panas) yang berdampak negatif terhadap lahan pertanian. Erupsi
tersebut berdampak terjadinya kerusakan tanaman, lahan dan lingkungan
pertanian. Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(2014) material vulkanik telah merusak lahan tanaman hortikultura (5.716 ha),
tanaman pangan (1.837 ha), tanaman perkebunan (2.856 ha), buah-buahan
(1.630 ha), serta biofarmaka (1.7 ha).
Dampak negatif abu vulkanik terjadi karena menutupi lahan pertanian dan
memiliki karakteristik cepat mengeras dan sulit ditembus air sehingga akan
meningkatkan volume tanah. Jika abu vulkanik menempel pada daun tanaman,
abu tidak mudah larut walaupun tersiram air sehingga tanaman akan rebah
(Hartosuwarno, 2010). Walaupun demikian, sebenarnya abu vulkanik juga
berdampak positif bagi tanah yaitu dapat memperkaya dan meremajakan tanah
dan berpotensi untuk menjadi hara penyubur tanah karena adanya kandungan

366
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

hara C organik, N, P, K, S dan SiO 2 yang berguna bagi pertumbuhan tanaman


(Sinuhaji, 2011)
Potensi abu vulkanik sebagai hara penyubur tanah sebenarnya baru
dapat dimanfaatkan sekitar 10 tahun setelah peristiwa erupsi abu vulkanik.
Akan tetapi, teknologi sederhana berupa pencampuran abu vulkanik dengan
bahan organik diharapkan mampu mempercepat pelarutan abu vulkanik,
karena adanya perbaikan pada sifat fisik tanah yang terkena tutupan abu
vulkanik. Bahan organik yang berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah
diantaranya adalah arang sekam padi dan kompos jerami padi. Arang sekam
padi mengandung N, P, K, Ca, Mg dan silikat yang menguntungkan bagi
tanaman karena dapat meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit
serta berpengaruh terhadap kelarutan P (Bahri, 2010; Septiani, 2012).
Disamping itu, pH arang sekam yang cukup tinggi (9.64) diharapkan mampu
meningkatkan pH tanah yang terkena tutupan abu Sinabung yang berpH
rendah 4.75. Sedangkan, kompos jerami mengandung hara N, P, K yang
dibutuhkan tanaman, meningkatkan kandungan C-organik tanah dan
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk an organik (Harsanti
dkk.,., 2012). Salah satu jenis tanaman yang mengalami dampak kerusakan
karena erupsi Sinabung adalah bawang merah. Bawang merah merupakan
tanaman yang memerlukan silikat dan S untuk meningkatkan kualitas nutrisi
tanaman bawang merah.
Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk menganalisis pertumbuhan tanaman bawang merah dengan
pemberian abu vulkanik Sinabung, arang sekam padi dan kompos jerami.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara pada bulan Juli - September 2014. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan 10
perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diuji berjumlah 9 buah meliputi M0
(Kontrol/pemberian pupuk dasar) ; M1 (Abu vulkanik 20 ton/ha) ; M2 (Arang
sekam 10 ton/ha) ; M3 (Kompos jerami 15 ton/ha) ; M4 (Abu Vulkanik 10 ton/ha
+ Arang sekam 5 ton/ha) ; M5 (Abu Vulkanik 5 ton/ha + Kompos Jerami 7,5
ton/ha) ; M6 (Arang Sekam 5 ton/ha + Kompos Jerami 7,5 ton/ha) ; M7 (Abu
Vulkanik 10 ton/ha + Arang sekam 2,5 ton/ha + Kompos Jerami 3,75 ton /ha),
M8 (Abu Vulkanik 5 ton/ ha + Arang sekam 5 ton/ha + Kompos Jerami 3,75
ton/ha) ; M9 (Abu Vulkanik 5 ton/ha + Arang sekam 2,5 ton/ha + Kompos Jerami
7,5 ton/ha). Aplikasi abu vulkanik, arang sekam padi dan kompos jerami
dilakukan 3 minggu sebelum tanam dengan cara mencampur tanah sesuai
dengan komposisi perlakuan. Peubah yang diamati meliputi Laju Pertumbuhan
Tanaman (LPT) ; Laju Pertumbuhan Relatif (LPR) Laju Asimilasi Bersih (LAB)
pada 30-40 HST. Rumus untuk mendapatkan LPT, LPT dan LAB yaitu :

367
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

LPT = W 2 – W 1 LPR = ln W 2 – ln W 1
t2 – t 1 t2 – t1

LAB = W 2 – W 1 x ln A2 – ln A1
t2 – t1 A2 – A1
Keterangan : W2 = berat kering tanaman pada 40 HST
W1 = berat kering tanaman pada 30 HST
t2 = waktu pengamatan pada 40 HST
t1 = waktu pengamatan pada 30 HST
A2 = total luas daun pada 40 HST
A1 = total luas daun pada 30 HST
Data peubah dianalisis dengan analisis sidik ragam (Uji F).

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Sifat Kimia Tanah Penelitian


Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum penelitian, terlihat bahwa
tanah yang digunakan memiliki pH 5.69 (agak masam), C-organik dan N total
tergolong rendah, sedangkan P dan K tanah tergolong sedang (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil analisis tanah sebelum penelitian


No Jenis analisis Nilai Kriteria Metode
1 pH (H2O) 5.69 Agak masam Eletrometry
2 C-organik (%) 1.63 Rendah Spectrophotometry
3 N –total (%) 0.15 Rendah Kjedhal
4 P-Bray I (ppm) 19.51 Sedang Spectrophotometry
5 K-dd (me/100g) 0.47 Sedang AAS
Sumber : Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2014).

Berdasarkan syarat tumbuh bawang merah, pH tanah masih cocok


untuk ditanami bawang merah karena pH berkisar antara 5.6-6.5. Kandungan
C-organik pada tanah yang rendah kurang sesuai untuk syarat tumbuh bawang
merah karena bawang merah menghendaki tanah dengan C-organik cukup
(Sutarya dan Gruben, 1995).

b. Sifat Fisik Kimia Abu Vulkanik Gunung Sinabung


Berdasarkan hasil analisis abu vulkanik Gunung Sinabung terlihat
bahwa abu vulkanik Gunung Sinabung memiliki pH yang cukup rendah (4.75),
rasio C/N yang tinggi 34.85, kandungan N total 0.07%, mengandung P, Mg, Na,
Fe, B, Si dan SiO2 yang berguna bagi pertumbuhan tanaman (Tabel 2).

368
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Hasil analisis abu vulkanik Gunung Sinabung


No Parameter Nilai Metode
1 pH (H2O) 4.75 Eletrometry
2 C-organik (%) 2.44 Gravimetry
3 N –total (%) 0.07 Kjedhal
4 P2O5 – total (%) 0.24 Spectrophotometry
5 K2O (%) 0.12 AAS
6 MgO (%) 0.03 AAS
7 Na (%) 0.89 AAS
8 Fe (%) 1.14 AAS
9 B (ppm) 4.04 Spectrophotometry
10 S (%) 0.70 Spectrophotometry
11 SiO2 (%) 22.50 Gravimetry
12 KTK (me/100 g) 6.94 AAS
13 DHL (mmhos/cm3) 46.3 Conductivitymeter
14 Kadar air (%) 0.78 Oven
Sumber : Laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2014)

c. Sifat Kimia Arang Sekam Padi dan Kompos Jerami


Arang sekam padi dan kompos jerami mengandung C organik, N, P, K.
Nilai pH arang sekam padi dan kompos jerami yang tergolong tinggi (Tabel 3).
Berdasarkan kadar Silikanya maka tergolong basa karena bernilai >35% (Mc
Geary dkk,, 2002).

Tabel 3. Hasil Analisis Arang Sekam Padi dan Kompos Jerami


Nilai Metode
No Parameter Arang Sekam Kompos
Padi Jerami
1 pH (H2O) 9.94 7.64 Eletrometry
2 C-organik (%) 11.83 13.10 Gravimetry
3 N –total (%) 0.25 2.14 Kjedhal
4 P2O5 – total (%) 1.02 0.13 Spectrophotometry
5 K2O (%) 0.01 0.10 AAS
6 SiO2 (%) 46.96 Tidak dianalisis Gravimetry
7 Kadar air (%) 25.28 Tidak dianalisis AAS
Sumber : Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumut (2014)

d. Analisis Tumbuh Bawang Merah


Analisis tumbuh tanaman digunakan untuk memperoleh ukuran
kuantitatif dalam mengikuti dan membandingkan pertumbuhan tanaman, dalam
aspek fisiologis maupun ekologis. Analisis tumbuh merupakan analisis yang
mempengaruhi hasil panen dan perkembangan tanaman sebagai penimbun
hasil fotosintesis secara terintegrasi dengan waktu. Akumulasi bahan kering
pada tanaman bawang merah merupakan ukuran pertumbuhan yang terbaik.
Semua perlakuan menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap laju
pertumbuhan tanaman, laju pertumbuhan relatif dan laju asimilasi bersih (Tabel
4).

369
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT), Laju Pertumbuhan Relatif (LPR)


dan Laju Asimilasi Bersih (LPR) 30-40 HST pada komposisi
pemberian abu vulkanik Gunung Sinabung, arang sekam dan kompos
jerami
Perlakuan komposisi
Abu vulkanik : Arang sekam padi : LPT LPR LAB
kompos jerami (ton/ha)
g.hari-1 .g.g-1.hari-1 g.cm-2.hari-1
M0 (0 : 0 : 0) 0.019 0.017 0.0020
M1 (20 : 0 : 0) 0.034 0.025 0.0010
M2 (0 : 10 : 0) 0.034 0.027 0.0035
M3 (0 : 0 : 15) 0.022 0.018 0.0002
M4 (10 : 5 : 0) 0.009 0.010 0.0010
M5 (5 : 0 : 7.5) 0.048 0.058 0.0034
M6 (0 : 5 : 7.5) 0.038 0.031 0.0003
M7 (10 : 2.5 : 3.75) 0.019 0.015 0.0005
M8 (5 : 5 : 3.75) 0.023 0.017 0.0002
M9 (5 : 2.5 : 7.5) 0.033 0.028 0.0008

Terlihat kecenderungan bahwa perlakuan komposisi abu vulkanik :


arang sekam padi : kompos jerami = 10 : 5 : 0 ton/ha memberikan LPT dan LPR
yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa
dalam pertumbuhan tanaman bawang diperlukan hara-hara yang terkandung
dalam kompos jerami seperti N, P, K, sehingga perlakuan dengan komposisi
tersebut memiliki LPT dan LPR yang rendah. Perlakuan dengan komposisi abu
vulkanik : arang sekam padi : kompos jerami = 5 : 0 : 7.5 ton/ha menghasilkan
LPT, LPR dan LAB yang tertinggi. Pemberian kompos jerami 7.5 ton/ha pada
abu vulkanik 5 ton/ha mengakibatkan peningkatan pH tanah dan perbaikan
struktur tanah menjadi lebih remah sehingga dapat meningkatkan penyerapan
air dan mempermudah pertumbuhan akar dalam menyerap hara. Hanafiah
(2007) melaporkan bahwa partikel-partikel bahan organik merupakan penyusun
ruang pori yang berfungsi sebagai sumber air dan udara, serta sebagai ruang
untuk akar berpenetrasi. Semakin banyak ruang pori maka akan dapat
memperluas sistem perakaran dan perakaran dapat lebih mudah menyerap
hara dan air dalam tanah. Sebaliknya semakin sedikit ruang pori, maka
perkembangan akar akan terhambat. Karakteristik ini sangat penting bagi
pertumbuhan bawang merah.
Selain itu, unsur Si yang terdapat pada abu vulkanik berperan dalam
menstimulasi fotosintesis dan translokasi CO2. SiO2 yang terakumulasi pada
daun berfungsi untuk menjaga agar daun tetap tegak sehingga membantu
penangkapan energi cahaya matahari dalam proses fotosintesis dan
translokasi CO2, sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan yang diindikasikan
dengan meningkatkannya LPT, LPR dan LAB.

e. Peluang Pengembangan Bawang Merah


Berdasarkan hasil analisis tumbuh tanaman terlihat bahwa penggunaan
arang sekam padi, kompos jerami dan abu vulkanik Gunung Sinabung

370
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

berprospek baik untuk pertumbuhan bawang merah. Komposisi pemberian abu


vulkanik : arang sekam padi : kompos jerami = 5 : 0 : 7.5 ton/ha juga
meningkatkan ketersediaan Mg karena abu vulkanik mengandung Mg (Tabel
2). Peningkatan ketersediaan Mg dalam tanah berperan dalam sebagai pusat
molekul klorofil dalam pembentukan klorofil dan dalam kloroplas bersama hara
K, Mg berperan menjaga pH agar tetap tinggi. Peningkatan pembentukan
klorofil akan meningkatkan kecepatan fotosintesis sehinga dihasilkan fotosintat
yang lebih tinggi. Hasil fotosintat akan menentukan pertumbuhan tanaman
yang ditunjukkan oleh peningkatan LPT, LPR dan LAB.

KESIMPULAN
Penggunaan arang sekam padi, kompos jerami dan abu vulkanik
Gunung Sinabung berprospek baik untuk pertumbuhan bawang merah karena
dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman, laju pertumbuhan relatif dan
laju asimilasi bersih pada tanaman bawang merah. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk menggunakan abu
vulkanik Gunung Sinabung 5 ton/ha dan kompos jerami 7.5 ton/ha untuk
meningkatkan pertumbuhan bawang merah.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014. Hasil Kajian dan
Identifikasi Dampak Erupsi Sinabung pada Sektor Pertanian.
Kementerian Pertanian.Science Innovation Network.
www.litbang.deptan.go.id
Bahri, J. 2010. Kajian Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium
ascalonicum L.) dengan Penambahan Arang Sekam dan Pemupukan
Kalium. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Hanafiah, K. A. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Buku. Raja Grafindo Persada.
358 hal.
Harsanti, E. S. , Indratin, Wihardjaka, A. 2012. Multifungsi kompos jerami dan
sistem produksi padi berkelanjutan di ekosistem sawah tadah hujan.
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Jakarta.
Hartosuwarno, S. 2010. Sifat Fisik dan Komposisi Abu Vulkanik Gunungapi
Merapi. Informasi Kampus UPNVY 16(188) : 5.
McGeary, D., C. Pummer and D. Carlson. 2002. Physical Geology. A
handbook of silivate rock analysis. Edisi 9. New York : McGraw Hill.
Septiani, D. 2012. Pengaruh Pemberian Arang Sekam Padi terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai Rawit (Capsicum
frustescens). Seminar Program Studi Hortikultura. Politeknik Negeri
Lampung. Lampung
Sinuhaji, N.F. 2011. Analisis Logam berat dan unsur hara debu vulkanik
Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatera Utara. Skripsi.
Departemen Fisika. FMIPA Universitas Sumatera Utara. Medan
Sutarya, R. dan Grubben, G. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran
Rendah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

371
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

POTENSI JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA


DI KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

Sri Haryani Sitindaon

BPTP Sumatera Utara


Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No.1B Medan
E-mail: haryanisri@rocketmail.com

ABSTRAK

Produksi jerami padi akan melimpah saat panen raya tiba, hal ini sering
dianggap sebagai limbah dan sangat jarang ditangani secara khusus. Jerami
padi mengandung nutrien yang masih dapat dicerna beberapa ternak, terutama
ternak ruminansia (sapi, kerbau, domba dan kambing), sehingga sangat
potensial untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Penelitian dilakukan
untuk mengetahui potensi jerami padi yang ada di Kabupaten Langkat sehingga
pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal yaitu sebagai pakan ternak.
Analisis dilakukan menggunakan data luas panen tanaman padi tahun 2013.
Data yang diperoleh kemudian ditabulasi berdasarkan asumsi dari Direktorat
Budidaya Ternak Ruminansia, 2009. Hasil analisis menunjukkan potensi jerami
padi sebagai pakan ternak di Kabupaten Langkat sebesar:6.498 t BK, 2,697 t
TDN, 299 t PK dan memiliki daya tampung ternak ruminansia sebanyak 2.849
ST. Potensi jerami paling besar terdapat di kecamatan Secanggang yaitu
sebesar: 827 t BK, 343 t TDN, 30 t PK dengan daya tampung ternak 362,32 ST.
Hasil survey di Kelompok Tani Anyelir, di Desa Karang Anyer, Kecamatan
Secanggang, menunjukkan bahwa umumnya petani belum memanfaatkan
jerami padi sebagai makanan ternak, walaupun rata-rata petani yang
memelihara ternak juga memiki lahan sawah dengan kepemilikan rata-rata 0,48
ha/KK. Baru sebagian kecil yang telah memanfaatkanya, itupun tanpa
pengolahan terlebih dahulu. Berbagai hambatan dan alasan untuk
memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak antara lain penambahan biaya
dan tenaga kerja dalam pengolahannya, sehingga dibutuhkan teknologi
pembuatan pakan yang lebih sederhana, murah, ekonomis dan mudah diadopsi
peternak.

Kata kunci: jerami padi, pakan ternak ruminansia

PENDAHULUAN
Populasi ternak ruminansia di Kabupaten Langkat sebesar 160.821 ekor
sapi, 44 ekor sapi perah, 3.249 ekor kerbau, 284.438 ekor kambing dan 340.282
ekor domba (BPS, 2014). Rata-rata terjadi pemotongan ternak setiap
tahunnya dari populasi yang ada, artinya perlu adanya upaya peningkatan
populasi ternak dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada. Upaya
peningkatan populasi ternak dapat dilakukan dengan menyediakan bahan
pakan secara berkesinambungan baik jumlah maupun kualitasnya. Kabupaten
Langkat memiliki potensi pengembangan ternak yang besar, hal ini didukung
ketersediaan sumberdaya lokal yang tinggi. Sumberdaya bahan pakan lokal
potensial Kabupaten Langkat yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak

372
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

adalah limbah tanaman padi. Limbah tanaman padi ini dapat menghasilkan
bahan kering sebagai bahan pakan sumber energi ternak ruminansia.
Hasil panen tanaman padi adalah berupa gabah, selain gabah akan
diperoleh juga hasil sampingan yaitu jerami. Saat panen tiba, produksi jerami
akan melimpah dan sering dianggap sebagai limbah. Penanganan secara
khusus masih sangat jarang dilakukan. Umumnya petani membakarnya dan
sebagian kecil yang mengolahnya menjadi kompos. Jerami padi memiliki
kandungan nutrien yang masih dapat dicerna beberapa ternak terutama ternak
ruminansia (sapi, kerbau, domba dan kambing), sehingga sangat potensial
untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak. Kandungan nutrien jerami padi
(% dari Bahan Kering) terdiri dari Protein Kasar (PK): 4,55, Serat Kasar (SK):
30,31, Total Digestable Nutrient (TDN);51,47, Neutral Detergent Fibre (NDF);
72,41, Acid Detergent Fibre (ADF); 46,72, Sellulosa: 35,91, Hemi Sellulosa:
25,69, Lignin: 6,13, Silika; 7,12 (Antonius,2009).
Jerami padi merupakan salah satu potensi sumberdaya alam andalan
dan strategis yang harus dikelola untuk mendukung peningkatan pendapatan
petani. Pengelolaan jerami padi dapat dilakukan dengan memanfaatkannya
sebagai pakan ternak. Perpaduan antara budidaya tanaman padi dan beternak
sapi diharapkan dapat menciptakan biaya produksi minimal dan pemanfaatan
potensi sumber daya lokal yang ada (Tumewu dkk., 2014). Penelitian dilakukan
untuk menganalisis potensi ketersediaan jerami padi sebagai sumber pakan
ternak ruminansia di Kabupaten Langkat sehingga diharapkan dapat
dioptimalkan pemanfaatannya sebagai wujud pengembangan usaha
peternakan.
BAHAN DAN METODE

Pelaksanaan penelitian dimulai bulan April sampai dengan November


2015, di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui observasi dan wawancara. Data sekunder diperoleh
melalui Dinas Pertanian, Peternakan Kabupaten Langkat dan data statistik BPS
Kabupaten Langkat tahun 2013.
Data yang digunakan adalah: luas panen padi tahun 2013, kemudian
data ditabulasi dan dianalisis menggunakan nilai asumsi. Setiap hektar
tanaman padi akan menghasilkan 2,5 t jerami padi dengan kandungan nutrien
(92% BK; 4,6% PK dan 41,5% TDN) yang dimanfaatkan sebagai makanan
ternak hanya 30% (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Kebutuhan pakan
dihitung berdasarkan populasi ternak ruminansia yang ada tahun 2013.
Populasi ternak dihitung dengan mengalikan jumlah ternak (ekor) dengan
Satuan Ternak (ST). Satu ST =0,7583. Hasil populasi ternak dikali dengan
kebutuhan pakan (6,25 kg BK/ST/hari). Daya tampung ternak dihitung dengan
cara membagi produksi pakan (BK) dengan kebutuhan pakan persatuan ternak
(ST) dalam satu tahun (365 hari).

373
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum Kabupaten Langkat
Wilayah geografis Kabupaten Langkat terletak pada 3 O14’00”-4O13’00”
Lintang Utara, 97O52’00”-98O45’00” Bujur Timur dan 4-105 m dari permukaan
laut.Luas area ± 6.263,29 km2 (26.329 ha), terdiri dari 23 kecamatan, 240 desa
dan 37 kelurahan defenitif. Kabupaten Langkatdi sebelah Utara berbatasan
dengan Provinsi Aceh dan Selat Malaka, disebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Karo, di Sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Aceh dan di
sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai.
Rata-rata curah hujan tahun 2013 211,55 mm dan rata-rata hari hujan 15,99
hari (BPS, 2014).
Mata pencaharian masyarakat dominan
Mata pencaharian masyarakat umumnya adalah: pertanian pangan,
perkebunan, peternakan, perindustrian, perdagangan dan perikanan darat.
Sektor pertanian yang meliputi sub-sektor pertanian tanaman pangan dan
horltikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan serta kehutanan
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian daerah
Kabupaten Langkat.
Usaha peternakan sapi di Kabupaten Langkat dominan masih kategori
peternakan rakyat, hal ini ditandai dengan jumlah kepemilikan yang kecil (< 5
ekor/KK). Sistem pemeliharaan yang diterapkan secara intensif, dimana sapi
dipelihara dalam kandang dan tidak sedikit kandang yang digunakan masih
sederhana dan tidak memiliki saluran drainase yang baik. Belum memiliki
kebun hijauan makanan ternak, sehingga pakan yang diberikan berupa rumput
alam yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Hasil survey di kelompok Tani
Anyelir, Desa Karang Anyer, Kecamatan Secanggang, menunjukkan bahwa
umumnya petani belum memanfaatkan jerami padi sebagai makanan ternak,
walaupun rata-rata petani yang memelihara ternak juga memiliki lahan sawah
dengan kepemilikan rata-rata 0,48 ha/KK. Baru sebagian kecil yang telah
memanfaatkanya, itupun tanpa pengolahan terlebih dahulu. Jerami diangkut
dari sawah dan langsung diberikan kepada ternak sapi.
Permasalahan yang terjadi adalah saat musim kemarau tiba (bulan
Februari s/d Agustus) dengan curah hujan rata-rata 2.205,43 mm/tahun dan
suhu rata-rata 280C - 300C, maka ketersediaan rumput alam terbatas.
Peternak kesulitan untuk memperoleh rumput alam, waktu yang dibutuhkan
bisa 3-4 jam/hari dan bahan bakar bensin 1 liter/hari. Rumput alam yang
tersedia hanya diantara naungan perkebunan kelapa sawit dengan jarak
tempuh 2-3 km. Petani hanya memberikan rumput seadanya tanpa memenuhi
kebutuhan ternak baik secara kualitas maupun kuantitas. Kondisi seperti ini
menyebabkan skor kondisi tubuh (SKT) berkisar antara 2-3, hal ini akan
mempengaruhi produktivitas ternak yang dipelihara.
Potensi Bahan Pakan Ternak Ruminansia dari Jerami Padi
Hasil samping panen padi berupa jerami padi mencapai 5 t/ha dalam 1
kali panen (Nurhayati dkk., 2011). Apabila panen dilakukan 2 kali dalam

374
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

setahun maka produksi jerami menjadi dua kali dari (5 t/ha/panen). Hal ini
menunjukkan potensi jerami padi yang cukup besar. Hasil survey di Desa
Karang Anyer, Kecamatan Secanggang menunjukkan bahwa usaha tanam
padi dilakukan hanya satu kali dalam setahun, hal ini disebabkan sistem
pengairan masih tadah hujan. Varietas padi yang digunakan juga masih padi
lokal yaitu padi Ramos, dimana varietas padi lokal ini memiliki umur
dalam/panjang yaitu 5-6 bulan.
Potensi bahan pakan ternak ruminansia dari jerami padi di Kabupaten
Langkat dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Potensi Bahan Pakan Ternak Ruminansia dari Jerami Padi di
Kabupaten Langkat Tahun 2013
Daya
Tampung
Luas Potensi Pakan Ternak Ruminansia
No Ternak
Kecamatan Panen dari Jerami
Ruminansia
(ha)
(ST)
(t BK) (t TDN) (t PK)
1 Bohorok 1.158 94 39 4 41,09
2 Sirapit 4.782 387 161 18 169,66
3 Salapian 429 35 14 2 15,22
4 Kutambaru - - - - -
5 Sei Bingai 6.675 540 224 25 236,83
6 Kuala 1.806 146 61 7 64,08
7 Selesai 3.536 286 119 13 125,46
8 Binjai 4.164 337 140 16 147,74
9 Stabat 2.441 198 82 9 86,61
10 Wampu 2.342 190 79 9 83,09
11 Batang Serangan 325 26 11 1 11,53
12 Sawit Seberang - - - - -
13 Padang Tualang 812 66 27 3 28,81
14 Hinai 4.375 354 147 16 155,22
15 Secanggang 10.212 827 343 38 362,32
16 Tanjung Pura 6.088 493 204 23 216,00
17 Gebang 6.592 534 221 25 233,88
18 Babalan 8.578 694 288 32 304,34
19 Sei Lepan 4.142 335 139 15 146,96
20 Brandan Barat 2.669 216 90 10 94,69
21 Besitang 3.118 252 105 12 110,62
22 Pangkalan Susu 4.743 384 159 18 168,28
23 Pematang Jaya 1.302 105 44 5 46,19
Jumlah 80.289 6.498 2.697 299 2.849
Sumber: diolah dari data BPS (2014)

Luas panen padi yang meningkat akan berkorelasi terhadap potensi


jerami yang dihasilkan. Potensi jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia
Kabupaten Langkat sebesar (6.498 t BK: 2,697 t TDN: 299 t PK) dan memiliki
daya tampung ternak ruminansia sebanyak 2.849 ST. Potensi jerami paling
besar terdapat di kecamatan Secanggang yaitu sebesar: 827 t BK, 343 t TDN,
30 t PK dengan daya tampung ternak 362,32 ST. Diikuti kecamatan Babalan

375
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yaitu sebesar: 694 t BK, 288 t TDN, 32 t PK dana daya tampung ternak 304,34
ST.
Pola Sistem Integrasi Tanaman Padi-Ternak
Desa Karang anyer, Kecamatan Secanggang menunjukkan bahwa
bertanam padi dilakukan hanya 1 kali dalam setahun, varietas padi lokal jenis
Ramos dan hanya sedikit varietas IR-64. Hal ini dilakukan karena sistem
pengairan masih sistem tadah hujan. Bertanam padi dilakukan mulai bulan
Agustus dan panen di Januari-Februari. Bulan Maret-Juli adalah waktu
senggang bagi petani. Pada bulan-bulan ini umumnya petani menjadi buruh
tani (rombangan panen) diluar daerah dengan sistem regu upah 11% dari hasil
panen atau rata-rata Rp. 80.000/orang/hari. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap perekonomian petani di Kabupaten Langkat.
Penerapan sistem integrasi tanaman padi dengan ternak merupakan
salah satu solusi yang dapat membentuk suatu siklus yang berkesinambungan,
sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani secara kontinyum hal ini
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pola Integrasi Tanaman Ternak Sumber: Setyawan (2010)

Selain itu dengan pola pertanian terpadu mengurangi resiko kegagalan


panen,karena ketergantungan pada suatu komoditi dapat dihindari dan hemat
ongkos produksi. Menurut Handaka dkk., (2009) sistem pertanian terpadu
tanaman dan ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh
keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu
kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan ini merupakan faktor
pemicu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan.
Apabila sistem integrasi tanaman dengan ternak dapat diterapkan, maka usaha
pertanian yang dilakukan lebih bervariasi sehingga di saat musim kemarau
petani dapat lebih fokus mengembangkan ternaknya. Petani tidak perlu

376
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

menjadi buruh tani keluar daerah. Hal ini juga dapat menjawab permasalahan
tenaga kerja dengan berkembangnya alat mekanisasi panen padi saat ini,
sudah tidak membutuhkan tenaga kerja manusia dalam jumlah yang banyak
lagi.
Peternakan memiliki kontribusi dalam pertumbuhan perekonomian
melalui penyerapan tenaga kerja dan peranan usaha ternak sebagai
pendapatan rumah tangga (Bangun, 2010). Dalam pengolahan jerami padi
menjadi pakan ternak membutuhkan tenaga kerja, hal ini dapat dilakukan
anggota keluarga, mulai dari pengumpulan, perlakuan fermentasi dan
penyimpanan. Saat musim kemarau tiba peternak dapat memanfaatkan jerami
padi yang telah disimpan sebagai pakan ternak. Jerami padi fermentasi dapat
disimpan selama 6 bulan kedepannya sebagai stok persediaan pakan.

Teknologi Pengolahan Jerami Padi menjadi Pakan Ternak


Penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak memiliki kendala yaitu
nilai nutrisi yang tergolong rendah, waktu panen serta adanya perlakuan pasca
panen (Soetanto, 2001). Dengan nilai nutrisi yang rendah seperti protein dan
serat kasar yang tinggi menyebabkan penggunaan jerami padi sebagai pakan
ternak terbatas (Sofyan, 1998). Kendala tersebut dapat dikurangi dengan
proses fermentasi (Soeyono dkk., 1989 dalam Martawidjaja, 2003).
Kandungan nutrien jerami padi setelah difermentasi (% dari BK) terdiri dari PK:
9,43, SK: 22,51, LK: 1,85, TDN; 48,31, NDF; 58,83, ADF; 37,35, Sellulosa:
26,88, Hemi Sellulosa: 21,48, Lignin: 3,96, Silika; 5,13 (Antonius, 2009). Proses
pengolahan fermentasi jerami padi dapat dilihat pada Gambar 2.

Pengumpulan jerami padi dari sawah

Fermentasi: Tumpuk jerami padi + Starbio + Urea


(selama 21 hari)

Pembongkaran: di kering anginkan

Siap diberikan kepada ternak atau


dapat disimpan (6 bulan)

Gambar 2. Proses Pengolahan Fermentasi Jerami Padi sebagai Pakan


Ternak Sapi

Ditingkat peternak rakyat, penerapan teknologi untuk meningkatkan


kualitas pakan memiliki hambatan dengan berbagai alasan seperti jumlah
limbah yang dikumpulkan relatif sedikit sehingga kurangnya fasilitas untuk

377
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pengolahan maupun penyimpanan, terjadinya penambahan biaya dan tenaga


kerja dalam perlakuan teknologi pengolahan tersebut (Djajanegara, 1999).
Untuk itu dibutuhkan teknologi pembuatan pakan yang sederhana, murah,
ekonomis dan mudah diadopsi peternak.
KESIMPULAN
Hasil analisis menunjukkan potensi jerami padi sebagai pakan ternak di
Kabupaten Langkat sebesar 6.498 t BK, 2,697 t TDN, 299 t PK dan memiliki
daya tampung ternak ruminansia sebanyak 2.849 ST. Hasil surveydi Kelompok
Tani Anyelir, di Desa Karang Anyer, Kecamatan Secanggang, menunjukkan
bahwa umumnya petani belum memanfaatkan jerami padi sebagai makanan
ternak, walaupun rata-rata petani yang memelihara ternak, juga memiki lahan
sawah dengan kepemilikan rata-rata 0,48 ha/KK. Sebagian kecil yang telah
memanfaatkannya, itupun tanpa pengolahan terlebih dahulu. Berbagai
hambatan dan alasan untuk memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak
antara lain penambahan biaya dan tenaga kerja dalam pengolahannya,
sehingga dibutuhkan teknologi pembuatan pakan yang lebih sederhana, murah,
ekonomis dan mudah diadopsi peternak.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih yang sebesar-bersarnya disampaikan pada Bapak Dr.
Tatang M Ibrahim sebagai penanggung jawab kegiatan, bimbingan dan
kontribusinya selama pelaksanaan kegiatan dilapangan sampai penyelesaian
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Antonius, 2009. Pemanfaatan Jerami Padi Fermentasi sebagai Subtitusi
Rumput Gajah dalam Ransum Sapi. JITV 14 (4) : 270-277.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Langkat dalam Angka 2014. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Langkat.
Bangun, R. 2010. Analisis Sistem Integrasi Sapi dalam Meningkatkan
Pendapatan Petani di Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau. Tesis
Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang.
Direktorat Jenderal Budidaya Ternak Ruminansia. 2009. Pedoman Optimalisasi
Penggunaan Bahan Pakan Lokal. Direktorat Jenderal Peternakan.
Departemen Pertanian.
Djajanegara, A. 1998. Local Livestock Feed Resources. Didalam: Livestock
Industries of Indonesia Prior to the Asian Financial Crisis. RAP
Publication 1999/37. Bangkok FAO Regional Officer for Asia and The
Pacific. Hlm. 29-39.
Handaka, Agung .H dan Trip A. 2009. Perpektif pengembangan Mekanisasi
Pertanian dalam Sistem Integrasi Ternak – Tanaman Berbasis
Sawit,Padi dan Kakao . Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan
Keragaan Sistem Integrasi ternak-Tanaman. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan .Bogor.
Nurhayati, Ali J., dan Rizqi S. A. 2011. Potensi Limbah Pertanian sebagai Pupuk
Organik Lokal di Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah. Jurnal
Iptek Tanaman Pangan 6 (2) : 193-202.

378
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Martawidjaja, M, 2003. Pemanfaatan Jerami Padi sebagai Pengganti Rumput


untuk Ternak Rumiansia Kecil. Wartazoa 13 (3) : 119-127.
Setyawan H. A., 2010. Pengembangan Biogas Berbahan Baku Kotoran Ternak
Upaya Mewujudkan Ketahanan Energi di Tingkat Rumah Tangga. Tesis.
Magister Studi Pembangunan Institus Teknologi Bandung. [Internet]. [12
Februari 2016]. Medan. Tersedia dari: file:///C:/Users/ Sitindaon/
Downloads/makalah%20pengembangan
%20biogas%20skala%20rumah%20tangga%20(3).pdf
Soetanto, H. 2001. Teknologi dan Strategi Penyediaan Pakan dalam
Perkembangan Industri Peternakan. Makalah Workshop Strategi
Pengembangan Industri Peternakan. Makassar, 29-30 Mei 2001.
Kemahasiswaan UNHAS dan Puslitbang Bioteknologi LIPI.
Sofyan, L.A. 1998. Permasalahan Pakan Ternak dan Solusinya. Makalah
Seminar Nasional Peternakan. Bogor 30-31 Mei 1998. IPB. Bogor.
Tumewu J.M., V. V. J. Panelewen , dan A.D.P. Mirah. 2014. Analisis Usaha
Tani Terpadu Sapi Potong dan Padi Sawah Kelompok Tani “Keong Mas”
Kecamatan Sangkub, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Studi
Kasus). Jurnal Zootek 34 (2) : 1-9

379
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SOSIALISASI PEMANFAATAN JERAMI PADI SEBAGAI


PAKAN TERNAK SAPI DENGAN POLA TERINTEGRASI
DI DELI SERDANG SUMATERA UTARA

Sri Haryani Sitindaon, Tatang M. Ibrahim dan Helmi

BPTP Sumatera Utara


Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No. 1B Medan
E-mail: haryanisri@rocketmail.com

ABSTRAK
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi di Pulau Jawa
sudah cukup populer, namun di Sumatera khususnya Sumatera Utara, masih
sangat jarang sekali. Dari luas panen tanaman padi di Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2013 sebesar 80.104 ha akan menghasilkan jerami padi sebesar
400.520 ton dan dapat digunakan sebagai pakan ternak sebanyak 160.208 ekor
sapi/tahun. Melihat potensi jerami padi yang cukup tersedia, maka perlu
dilakukan sosialisasi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak. Penelitian
dilakukan mulai bulan April-Nopember 2015, di Desa Sumberejo, Kecamatan
Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang. Sosialisasi dilakukan melalui
pelatihan, demonstrasi dan pemeliharaan ternak sapi milik kelompok peternak
Dirgantara. Sapi diperlihara dalam kandang komunal model Badan litbang
Pertanian dengan ukuran 14 x 24 m. Pengumpulan data dan informasi
dilakukan dengan cara pengamatan langsung (observasi) dan memanfaatkan
alat bantu berupa kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata
kepemilikan lahan sawah seluas 0,4-1 ha dan kepemilikan ternak sapi 1-3
ekor/KK. Sistem pola tanam yang diterapkan adalah kedele-padi-padi. Produksi
padi hasil panen petani antara 7,5–8,0 t/ha GKP dengan B/C ratio antara 1,6
hingga 2,4. Keragaan ternak sapi yang dipelihara kelompok diperoleh rata-rata
PBBH 0,3-0,4 kg/ekor/hari. Hasil survey menunjukkan bahwa peternak
kelompok binaan belum termotivasi untuk mengolah jerami padi sebagai pakan
ternak sapi, dengan alasan teknis yang rumit. 30% dari responden diluar
kelompok peternak yang berada dekat lokasi sosialisasi menyatakan ragu-ragu
untuk mengadopsi teknologi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak
sapi juga dengan pertimbangan masalah teknis. Perlu waktu untuk mengubah
perilaku petani untuk memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak sapi
secara optimal.

Kata Kunci: jerami padi, pakan ternak sapi

PENDAHULUAN
Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu kabupaten agraria yang
berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten
Deli Serdang berada pada 2 O57” Lintang Utara, 3O16” Lintang Selatan dan
98O33”-99O27” Bujur Timur dengan ketinggian 0-500 m diatas permukaan laut.
Luas area 2.497,72 km2/249.772 ha yang terdiri dari 22 kecamatan dan 394
desa/kelurahan defenitif. Wilayah Kabupaten Deli Serdang disebelah Utara
berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Selat Malaka, di sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Simalungun, disebelah Barat

380
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Karo dan disebelah Timur


berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai (BPS, 2014).
Sektor pertanian masih mendominasi perekonomian di Kabupaten Deli
Serdang. Komoditas utama adalah tanaman pangan, hortikultura dan
perkebunan. Luas panen tanaman padi tahun 2013 adalah 80.104 ha (terdiri
dari padi sawah: 79.741 ha, padi ladang: 363 ha), dengan produksi 449.801 ton
dan rata-rata produksi 56,15 kw/ha (BPS, 2014). Hasil panen tanaman padi
akan menghasilkan limbah berupa jerami. Menurut Haryanto dkk., dalam
Basuni dkk., (2010), setiap hektar sawah menghasilkan jerami segar 12-15 t/ha
dan setelah melalui proses fermentasi menghasilkan 5-8 t/ha, yang dapat
digunakan untuk pakan 2-3 ekor sapi/tahun. Apabila diasumsikan setiap hektar
luas panen tanaman padi menghasilkan rata-rata 5 t jerami padi maka dengan
80.104 ha luas panen tanaman padi di Kabupaten Deli Serdang akan
menghasilkan jerami padi sebesar 400.520 t. Jika diasumsikan rata-rata jerami
padi yang dapat digunakan setiap 1 ekor sapi 2,5 t/tahun maka dengan poduksi
jerami padi tersebut dapat menampung 160.208 ekor sapi/tahun.
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi di Pulau Jawa
sudah cukup populer, namun di Sumatera khususnya Sumatera Utara, masih
sangat sedikit sekali. Saat panen tiba, setelah gabah padi diambil petani
umumnya langsung membakar jerami padi dan sebagian kecil yang
mengolahnya menjadi pupuk organik. Melihat potensi jerami padi yang cukup
tersedia, maka perlu dilakukan sosialisasi pemanfaatan jerami padi sebagai
pakan ternak khususnya sapi. Penelitian dilakukan untuk memberikan
informasi potensi jerami padi dan mensosialisasikannya sebagai pakan ternak
sapi.
BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan mulai bulan April sampai dengan Nopember 2015,


di Desa Sumberejo, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang,
Propinsi Sumatera Utara. Lokasi ini merupakan daerah pengembangan
tanaman padi dan ternak sapi. Kegiatan dilakukan berupa sosialisasi
pemanfaatan jerami padi fermentasi sebagai pakan ternak sapi. Sosialisasi
dilakukan melalui pelatihan, demonstrasi dan pemeliharaan ternak sapi milik
kelompok peternak Dirgantara. Sapi dipelihara dalam kandang komunal model
Badanlitbang Pertanian dengan ukuran 14 x 24 m. Pemeliharaan sapi dengan
pemberian pakan berupa jerami padi fermentasi mulai bulan September sampai
November 2015 dan melibatkan langsung Kelompok Peternak Dirgantara.
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara pengamatan
langsung (observasi) dan memanfaatkan alat bantu berupa kuesioner
terhadap 10 orang anggota kelompok peternak Dirgantara dan 10 orang diluar
kelompok. Data sekunder diperoleh melalui informasi dari Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL), Aparat Desa dan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Deli Serdang.

381
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum Lokasi Kegiatan
Desa Sumberejo memiliki luas 415 ha, dengan jumlah penduduk 3.739
jiwa (Laki-laki:1.925 jiwa dan perempuan:1.814 jiwa) dan kepadatan penduduk
9,0 jiwa/km2. Jumlah rumah tangga 1.023 Kepala Keluarga (KK), dengan rata-
rata jumlah anggota keluarga adalah 3,65 jiwa/KK. Umur 15-30 tahun 1.879
jiwa, umur 31-45 tahun 2.357 jiwa, umur 46-60 tahun 946 jiwa dan > 60 tahun
219 jiwa. Etnis penduduk yang berdiam di desa tersebut didominasi Suku
Jawa, Batak dan Melayu.
Desa Sumberejo terletak di jalan raya lintas Timur antar propinsi. Jarak
dari desa ke ibu kota kecamatan ± 7 km, ke ibukota kabupaten (Lubuk Pakam)
± 5 km dan ke ibu kota propinsi (Medan) ± 35 km. Desa Sumberejo berada
pada ketinggian 14-16 m diatas permukaan laut, dengan topografi datar. Jenis
tanah didominasi Latosol dan penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah irigasi
½ teknis seluas 339 ha, ladang/lahan kering 34 ha, pemukiman 39 ha dan lain-
lainnya 3 ha. Mata pencaharian masyarakat Desa Sumberejo umumnya adalah
petani dan beternak sebagai usaha sampingan. Curah hujan Tahun 2013 rata-
rata 187 mm. Rata-rata curah hujan dan jumlah hari hujan Desa Sumberejo
dalam satu tahun dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-Rata Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan Desa Sumberejo
Tahun 2013.
Bulan Curah Hujan (mm) Jumlah Hari Hujan (hari)
Januari 119 17
Februari 199 20
Maret 74 4
April 150 13
Mei 96 17
Juni 121 12
Juli 173 15
Agustus 214 22
September 181 16
Oktober 345 22
Nopember 83 24
Desember 489 22
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Sampali dalam
BPS (2014)

Profil petani dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan umur diketahui


bahwa sebagian besar termasuk dalam umur produktif, yaitu berusia 31-49
tahun sebesar 77,77% dan yang berusia 50-60 tahun sebesar 22,22%.
Pendidikan responden adalah lulus SMP dan SMA.

382
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Profil Petani Responden Penelitian di Desa Sumberejo Kabupaten Deli


Serdang, Tahun 2015.
Profil Responden Petani Kooperator Petani Kooperator Juml
(%)
(n=10) (n=10) ah

Jumlah (%) Jumlah (%)

Umur 15-55 8 80 6 60 14 70
>55 2 20 4 40 6 30
Pendidikan SD 2 20 3 30 5 25
SLTP 3 30 5 50 8 40
SLTA/Sederajat 5 50 2 20 7 35
Sarjana 0 0 0 0 0 0
1 s/d 5 tahun 3 30 2 20 5 25
Pengalaman
Bertani 6 s/d 10 tahun 2 20 3 30 5 25
dan Beternak > 10 tahun 5 50 5 50 10 50
Kepemilikan < 1 ha 8 80 10 100 18 90
Sawah > 1 ha 2 20 0 0 2 10
Jumlah < 5 ekor 10 100 9 90 19 95
kepemilikan > 5 ekor 0 0 1 10 1 5
ternak sapi

Tingkat pendidikan formal berpengaruh terhadap pengambilan


keputusan dalam berusaha tani. Hal ini terkait dengan penerimaan informasi,
terutama dalam mengadopsi inovasi teknologi. Usia produktif merupakan umur
angkatan kerja atau tenaga kerja yang aktif melakukan usaha untuk
menghasilkan barang dan jasa. Faktor umur identik dengan produktifitas kerja.
Chamidi (2003) menyatakan bahwa semakin muda umur petani (umur
produktif) umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu makin tinggi dan
minat untuk mengadopsi teknologi juga semakin tinggi.

Sistem Usaha Tanaman Padi


Rata-rata kepemilikan lahan sawah seluas 0,4-1 ha dan pekarangan
0,25-0,5 ha. Sistem pola tanam yang diterapkan adalah kedele-padi-padi. Pola
pertama kedelai di tanam pada bulan Januari/Februari, panen dilakukan bulan
April. Pola kedua padi ditanam bulan Mei dan panen pada Juli/Agustus, pola
ketiga padi ditanam pada bulan September/Oktober panen pada bulan
Januari/Februari. Varietas unggul baru (VUB) padi yang ditanam seperti:
Ciherang, Mekongga, Inpari, dan Sidenuk, dengan alasan produktivitas lebih
tinggi, mudah diperoleh, umur panen cepat (genjah) dan tahan terhadap
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Produksi padi hasil panen petani antara 7,5–8,0 ton/ha GKP (Gabah
Kering Panen) dengan kisaran B/C ratio antara 1,6 hingga 2,4, hal ini dapat
dilihat pada Tabel 3. Saat panen tiba petani langsung menjual GKP kepada
pedagang pengumpul yang ada didesa, selanjutnya pedagang pengumpul
menjual GKP kepada pedagang besar atau pengusaha penggilingan padi (Rice
Milling Unit). GKP yang dibeli oleh pedagang besar setelah dikeringkan
menjadi gabah kering giling (GKG) dijual kepada para pedagang gabah di
kabupaten lain dan provinsi lain (Riau dan Aceh).

383
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Analisis Ekonomi Budidaya Tanaman Padi Desa Sumberejo.


Responden
Variabel
Petani kooperatif Petani non kooperatif
Output (Rp) 10.100.000 13.150.000
Input (Rp) 34.960.000 34.500.000
Ongkos kg/gabah (Rp) 1.329 1.753
Keuntungan Bersih (Rp) 24.860.000 21.350.000
Margin kg/gabah (Rp) 4.600 4.600
B/C 2,4 1,6

Setelah panen, petani langsung mengolah lahan sawah untuk persiapan


musim tanam berikutnya. Saat pengolahan tanah, jerami padi langsung dibakar
dan belum ada yang memanfaatkannya sebagai pakan ternak sapi, walaupun
rata-rata petani yang memiliki lahan sawah juga memiliki ternak sapi, kambing
atau domba. Ternak sapi yang dipelihara diberi pakan rumput yang
dibudidayakan di bantaran Sungai Ular atau dipinggiran saluran irigasi sekuder
dekat dengan sawah. Pemberian hijauan makanan ternak dilakukan 2 kali
sehari yaitu pagi dan sore dengan jumlah pemberian rata-rata 20 kg/ekor/hari.
Sistem integrasi padi dengan ternak sapi sangat strategis diterapkan di
desa ini. Lahan sawah yang langsung berdekatan dengan lokasi kandang sapi
dan tempat tinggal petani, hal ini sangat memudahkan manajemen penerapan
model sistem integrasi sapi-padi. Pola pertanian terpadu dengan ternak
berperan penting dalam keberlanjutan usaha melalui diversifikasi jenis usaha
untuk menghasilkan pangan bagi keluarga petani, memindahkan unsur hara
dan energi antara hewan dan tanaman melalui pupuk kandang. Menurut
Devendra (1993) dalam Dwiyanto dan Handiwirawan (2004), ada delapan
keuntungan yang diperoleh dalam penerapan sistem pertanian terpadu antara
tanaman pangan dan ternak, yaitu: 1) diversifikasi penggunaan sumber daya
produksi, 2) mengurangi terjadinya risiko, 3) efisiensi penggunaan tenaga kerja,
4) efisiensi penggunaan komponen produksi, 5) mengurangi ketergantungan
energi kimia dan energy biologi serta masukan sumber daya lain dari luar, 6)
sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi, 7) meningkatkan
output, dan 8) meningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani (Nurhayati
dkk., 2011).

Sosialisasi Pemanfaatan Jerami Padi sebagai Pakan Ternak Sapi


Kegiatan sosialisasi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi
melibatkan kelompok peternak Dirgantara. Jumlah ternak sapi yang dipelihara
sebanyak 10 ekor (9 betina dan 1 jantan). Sapi diperlihara dalam kandang
komunal model Badan Litbang Pertanian dengan ukuran 14 x 24 m. Didalam
kandang dibuat bank pakan yang diisi dengan jerami padi hasil fermentasi.
Tujuan pembuatan bank pakan adalah sebagai stok agar sapi dapat memakan
jerami padi kapan saja yang diinginkan. Bank pakan dibuat berupa rak
berukuran p x l x t (4 x 1 x 3) m atau dapat disesuaikan dengan

384
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kapasitas/populasi sapi. Rak pakan berukuran 40 x 60 cm (Badan Litbang


Pertanian, 2013). Stok pakan berupa jerami padi dalam bank pakan dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bank pakan sapi berisi jerami padi sebagai tempat stok pakan
Kelompok peternak dilibatkan secara langsung mulai pengumpulan
jerami padi, pengeringan, perlakuan fermentasi, penyimpanan dan
pemeliharaan ternak sapi. Dengan melibatkan langsung kelompok peternak
dalam kegiatan ini merupakan upaya bekerja sekalian pembelajaran, sehingga
dapat menambah keterampilan peternak dan akan menjadi terbiasa. Proses
pengolahan fermentasi jerami padi dapat dilihat pada Gambar 2.

Pengumpulan jerami padi dari sawah

Fermentasi: Tumpuk jerami padi + Starbio + Urea


(selama 21 hari)

Pembongkaran : di kering anginkan

Siap diberikan kepada ternak atau


dapat disimpan

Gambar 2. Proses pengolahan fermentasi jerami padi sebagai pakan ternak


Sapi.

Kendala yang dialami kelompok adalah saat pengumpulan jerami dimana


jumlah jerami yang tersedia menjadi sangat sedikit karena petani di Kabupaten
Deli Serdang telah menggunakan alat panen Combine Harvester, dimana cara
kerja alat ini hanya mengambil gabah dari bagian atas tanaman saja. Untuk
memperoleh jerami padi, peternak harus membabat batang padi kembali
dengan alat mesin babat, hal ini tentunya akan menambah biaya operasional

385
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pengumpulan jerami padi seperti bahan bakar bensin mesin babat dan tenaga
kerja membabat dan pengumpulkan batang padi. Disatu sisi alat panen
Combine Harvester sangat membantu karena panen dapat dilakukan dengan
cepat dan tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak.
Hasil survey menunjukkan bahwa petani belum termotivasi untuk
mengolah jerami padi sebagai pakan ternak sapi, dengan beberapa alasannya
antara lain butuh tenaga kerja banyak untuk pengangkutan atau saat
mengumpulkan jerami, jerami padi bersifat bulky (butuh tempat yang besar
saat fermentasi maupun saat penyimpanan). Hal ini sesuai dengan pendapat
Davendra (1980) dalam Hanafi (2008) yang menyatakan bahwa umumnya
limbah pertanian itu bersifat bulky sehingga biaya anggutan menjadi mahal
karena membutuhkan tempat yang lebih banyak untuk satuan berat tertentu,
kelembaban yang tinggi dan menyulitkan penyimpanan. Dengan pertimbangan
alasan ini menyebabkan 30% dari responden diluar kelompok peternak yang
berada dekat lokasi sosialisasi menyatakan ragu-ragu untuk mengadopsi
teknologi pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi.
Peternak masih memiliki kecenderungan menggunakan hijauan makanan
ternak sebagai pakan ternak sapi peliharaannya. Peternak memanfaatkan
jerami padi hanya sebagai pakan sampingan, dan cenderung digunakan saat
tertentu saja seperti apabila tidak ada waktu mengarit karena ada pesta, musim
hujan, aktivitas disawah yang tinggi, walaupun sebenarnya sapi yang dipelihara
sudah tidak perlu adaptasi yang lama untuk mau mengkonsumsi jerami padi
dalam jumlah banyak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi adalah karakteristik
sosial-ekonomi peternak, faktor kelembagaan dan karakter teknologi ,
penggunaan sarana produksi, risiko, jaringan komunikasi, agen penyuluhan
dan efisiensi teknis. Pengaruh dari masing-masing faktor bervariasi dan
merupakan faktor penentu keputusan suatu adopsi teknologi (Abdullah dkk.,
2015). Pada kegiatan ini faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi yang
diintroduksikan adalah efisiensi teknis, dimana selama ini peternak sudah
terbiasa memanfaatkan hijauan jenis rumput gajah yang ditanam dibantaran
Sungai Ular sebagai pakan ternak sapi. Jarak peternak untuk mengarit rumput
ke bantaran Sungai Ular ke kandang tenak tidak jauh hanya 5-10 menit,
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengarit rumput hanya 30-40 menit
saja. Rumput yang diarit diangkut dengan kendaraan sepeda motor dan
mengikatnya di bagian belakang. Waktu mengarit dilakukan disore hari saja
setiap harinya. Perlu waktu untuk mengubah perilaku petani untuk
memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak sapi secara optimal.
Keragaan Ternak Sapi yang Dipelihara
Hasil pengamatan keragaan ternak sapi yang dipeliharan melalui
pengukuran lingkar dada untuk estimasi Pertambahan Bobot Badan Harian
(PBBH) adalah rata-rata 0,3-0,4 kg/ekor/hari. Hasil penelitian Hidayat dan
Purnama (2006) menunjukkan bahwa PBBH sapi dengan pemberian pakan
jerami padi fermentasi untuk penggemukan berbagai jenis bangsa sapi rata-
rata 0,73-0,98 kg/ekor/hari. Hal ini menunjukkan PBBH hasil kegiatan masih

386
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

rendah, tetapi karena sapi yang dipelihara adalah sapi indukan. Ternak sapi
induk, tidak diharapkan peningkatan bobot badan yang terlalu tinggi, karena
bobot badan yang terlalu tinggi akan menyebabkan induk sapi tersebut
kegemukan, sehingga menyulitkan terjadinya proses kebuntingan (majir)
karena organ reproduksi tertutup lemak dan jika terjadi kebuntingan dapat
menyulitkan induk dalam proses melahirkan.
Kegiatan saat ini dirasakan belum optimal karena adanya kendala
pemberian jerami padi fermentasi yang belum kontinyu dan juga dari segi
jumlah pemberian yang belum maksimal. Diharapkan kedepannya pemberian
jerami padi fermentasi sebagai pakan sapi sudah dapat dilakukan secara
kentinyu dan maksimal. Kekompakan, kreativitas dan komitmen kelompok
sangat diharapkan untuk keberlanjutan kegiatan.
Selain mensosialisasikan pemanfaatan jerami padi sebagai pakan sapi,
peternak juga dilatih untuk mengestimasi berat badan ternak sapi dengan
rumus Lambourne yaitu dengan mengukur lingkar dada dan tinggi badan sapi.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui PBBH ternak yang dipelihara.
Disosialisasikan juga agar peternak memberikan pakan konsentrat dan
feed sumplement, kepada ternak peliharaannya. Feed sumplement yang
diberikan sejenis probiotik yang mudah diperoleh di kios saprodi ternak yaitu
Starbio, Probiotik. Dengan pemberian supplement feed dapat meningkatkan
kecernaan pakan (efisiensi pakan) ternak sapi sampai 30-40%. Tujuan
pemberian feed supplement adalah untuk meningkatkan aktivitas mikroba
didalam rumen, sehingga terjadi keseimbangan mikroflora rumen yang pada
akhirnya penyerapan nutrisi pada sistem pencernaan ternak menjadi lebih baik
(Zurriyati dkk., 2012).
Umumnya kelompok peternak sudah mengetahui manajemen reproduksi
ternak sapi betina. Umur ternak saat dikawinkan berkisar antara 1,5-1,8 tahun.
Peternak sudah mengetahui waktu yang tepat untuk mengawinkan sapi betina
karena sebelumnya peternak sudah melakukan Inseminasi Buatan (IB) untuk
mengawinkan ternak sapi peliharaannya. Apabila tanda-tanda birahi sapi
kelihatan, peternak langsung menghubungi petugas inseminator dari Dinas
Peternakan setempat untuk melakukan IB. Rata-rata service/conception IB
yang dilakukan 2-3 kali, dengan calving interval 12-15 bulan.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kepemilikan lahan sawah seluas
0,4-1 ha dan kepemilikan ternak sapi 1-3 ekor/KK. Sistem pola tanam yang
diterapkan adalah kedele-padi-padi. Produksi padi hasil panen petani antara
7,5–8,0 ton/ha GKP dengan B/C ratio antara 1,6 hingga 2,4. Keragaan ternak
sapi yang dipelihara kelompok diperoleh rata-rata PBBH 0,3-0,4 kg/ekor/hari.
Hasil survey menunjukkan bahwa peternak kelompok binaan belum termotivasi
untuk mengolah jerami padi sebagai pakan ternak sapi, dengan alasan teknis
yang rumit. Ada 30% dari responden diluar kelompok peternak yang berada
dekat lokasi sosialisasi menyatakan ragu-ragu untuk mengadopsi teknologi

387
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak sapi juga dengan pertimbangan
masalah teknis. Perlu waktu untuk mengubah perilaku petani untuk
memanfaatkan jerami padi sebagai pakan ternak sapi secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A., Hikmah M. Ali, Jasmal A S. 2015. Status Keberlanjutan Adopsi
Teknologi Pengolahan Limbah Ternak sebagai Pupuk Organik. Jurnal
Mimbar 1(1) : 11-20.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Deli Serdang dalam Angka 2014. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang.
Badan Litbang Pertanian. 2013. Pendampingan PSDSK. Efisiensi Pembibitan
Sapi Potong [Internet]. [11 Februari 2016]. Medan. Tersedia dari:
https://praktisbeternak.files.wordpress.com/2013/01/efisiensi-
pembibitan -sapi- potong.pdf
Basuni, R., Muladno, Cecep K dan Suryahadi. 2010. Sistem Integrasi Padi-Sapi
Potong di Lahan Sawah. Buletin Iptek Tanaman Pangan 5 (1): 31-48.
Chamidi, A.N. 2003. Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Ternak di Kecamatan
Kradenan Kabupaten Gabongan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Bogor:
Puslitbangnak Departemen Pertanian. Hlm: 312-317.
Dwiyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2004. Peran Litbang Dalam Mendukung
Usaha Agribisnis Pola Integrasi Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar
Nasional Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak. Puslitbangnak. Bogor.
Hanafi, D. N. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak [Internet]. [11
Februari 2016]. Medan. Tersedia dari: http://repository. usu.ac.id/
bitstream/123456789/801/1/nevy%20132143320.pdf
Nurhayati, Ali J, Rizqi S A. 2011. Potensi Limbah Pertanian sebagai Pupuk
Organik Lokal di Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah. Jurnal Iptek
Tanaman Pangan Vol. 6 No.2 Hlm: 193-202.
Zurriyati, Y., Irwan K, Sri HS dan A. A Kesma, 2012. Sosialisasi Pemanfaatan
Limbah sebagai Pakan Ternak Sapi di Desa Buana Bhakti, Kecamatan
Kerinci Kanan, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Medan 6-7 Juni 2012. Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor,
Hlm: 498-502.

388
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGKAJIAN SISTEM PENYEDIAAN BENIH UNGGUL BERMUTU PADI


SECARA BERKELANJUTAN DI TINGKAT PENANGKAR BENIH
SUMATERA UTARA
Sortha Simatupang dan Didik Harnowo

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Email: sorthasimatupang@yahoo.co.id
Jalan Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan,

ABSTRAK

Tujuan pengkajian ini adalah memperoleh sistem penyediaan benih


unggul padi secara berkelanjutan di tingkat penangkar benih di Sumatera Utara.
Pengkajian menggunakan metoda survei. Data primer dan sekunder yang
diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil kajian diperoleh
bahwa petani padi bersedia menjadi penangkar benih atas kemauan sendiri.
Keuntungan memproduksi benih padi dibanding konsumsi lebih tinggi Rp. 1000
– Rp 2.500 per kg. Pertambahan keuntungan dalam 1 ha sebesar Rp 5,5
juta.Benih yang paling banyak diproduksi adalah benih sertifikasi kelas benih
sebar (86 %). Hampir semua benih yang diproduksi penangkar laku terjual,
kecuali di Kabupaten Batubara, tidak terjual berkisar 25 % - 50 %. Varietas padi
yang paling banyak diproduksi saat ini masih varietas Ciherang, diikuti varietas
Mekongga, sedangkan varietas lainnya seperti Inpari 1, 9, 10 masih diproduksi
dalam jumlah sangat terbatas. Kendala yang dirasakan penangkar benih dalam
memproduksi benih ialah keterbatasan lantai jemur saat prosesing benih.
Solusi yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut ialah menambah lantai
jemur. Untuk menyediakan benih padi di Sumatera Utara, penangkaran benih
dilakukan 6-8 bulan sebelumnya. Untuk memenuhi kebutuhan benih pada
periode tanam September – Desember, benih perlu diproduksi pada Januari –
April. Untuk keperluan Mei – Agustus, benih perlu disiapkan September –
Desember. Untuk keperluan Januari – April, benih perlu disiapkan/diproduksi
September – Desember. Untuk menyediakan benih > 90 %, Sumatera Utara
membutuhkan peningkatan produksi benih padi sebesar > 40 % atau 1.219,13t.
Walaupun petani dan poktan sudah banyak dilibatkan pada produksi benih,
akan tetapi mereka belum mampu memproduksi benih padi secara
berkelanjutan, karena kesulitan lantai jemur dan gudang penyimpan benih.
Kebun Percobaan dan instansi Pemerintah yang ada di Sumatera Utara dapat
ditingkatkan fungsinya untuk penghasil benih sumber bagi poktan yang mau
memperoleh benih sumber.

Kata Kunci : Padi, penangkar benih, Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Produktivitas padi yang tinggi dicapai ada kaitannya dengan


penggunaan benih bermutu (Zaini dkk, 2004). Karena benih bermutu mampu
tumbuh baik pada lahan yang kurang menguntungkan. Selain itu penggunaan
varietas yang sama pada suatu wilayah dalam kurun waktu yang lama, tidak
mampu lagi berproduksi lebih tinggi karena kemampuan genetiknya terbatas
(Makarimdkk, 2004). Oleh karena itu perlu adanya varietas unggul baru (VUB)

389
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sebagai pengganti varietas unggul lama yang sudah mengalami penurunan


produktivitas.

Perbanyakan benih padi dimulai dari penyediaan benih penjenis (BS)


oleh Balai Penelitian Padi, sebagai sumber bagi perbanyakan Benih Dasar
(BD), Benih Pokok (BP), dan Benih Sebar (BS). Kesinambungan alur
perbanyakan benih tersebut sangat berpengaruh terhadap ketersediaan benih
sumber yang sesuai dengan kebutuhan produsen/penangkar benih dan
menentukan proses produksi benih sebar. Kelancaran alur perbanyakan benih
juga sangat menentukan kecepatan penyebaran VUB kepada petani (Badan
Litbang Pertanian, 2007).

Pemenuhan pemakaian benih padi bersertifikat secara nasional baru


terpenuhi sekitar 40 %, sehingga masih memerlukan usaha perbenihan padi
untuk memenuhi permintaan benih tersebut. Secara umum pengetahuan
petani dalam teknologi budidaya padi untuk menghasilkan benih dan non benih
tidak dibedakan. Perbedaan tersebut terletak pada prinsip genetisnya. Dimana
aspek kemurnian genetik menentukan kelulusan dalam sertifikasi (Wirawan dan
Wahyuni, 2002).

Tingkat kesadaran konsumen benih unggul yaitu petani terhadap


pentingnya penggunaan benih bermutu untuk peningkatan produktivitas masih
belum disadari oleh semua level petani. Harga benih bermutu yang telah diberi
label memang lebih mahal dibanding menggunakan benih dari padi konsumsi.
Kesediaan petani untuk membayar nilai lebih ini sifatnya personal, artinya
karakteristik pengguna benih bermutu seperti pendidikan, penghasilan dan
pengeluaran turut mempengaruhinya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa faktor demografi mempengaruhi pengguna untuk membayar nilai
tambah ini (Ameriana,2006). Selain itu tingkat kepercayaan petani terhadap
keakuratan label mutu benih dapat mempengaruhi kesediaan pertambahan
ongkos benih. Semakin tinggi tingkat kepercayaaan itu semakin tinggi tingkat
kesediaan membayar pertambahan biaya pembelian benih.

Selain masalah kualitas, harga dan daya beli, tidak adanya akses petani
terhadap benih berlabel, juga alasan petani tidak menggunakan benih
berlabelSimatupangdkk (2010). Alasan ini terutama terjadi pada petani yang
terisolir atau terpencil, penjual benih berlabel tidak ada. Tersedianya varietas
unggul tidak akan bermanfaat tanpa didukung oleh industri benih yang efisien
dalam menghasilkan benih bermutu secara tepat jumlah, waktu, dan tempat
secara berkesinambungan (Adiningrat, 2004). Tujuan pengkajian ini adalah
memperoleh sistem penyediaan benih unggul padi secara berkelanjutan di
tingkat penangkar benih di Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian ini dilakukan menggunakan metoda survei di kabupaten


sentra produksi padi yaitu Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Simalungun.
Waktu pelaksanaan Maret sampai Desember 2011. Responden survei yaitu

390
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

penangkar yang masih aktifdan yang pernah aktif tetapi tidak lagi aktif. Kepada
mereka ini ditanyakan sejarah dan alasan terbentuknya penangkaran benih
apakah disebabkan karena subsidi atau mandiri. Responden juga termasuk
pemasok benih sumber ke penangkar. Kemampuan penyediaan benih sumber
per varietas per satuan waktu, keterbatasan yang dihadapi sistem distribusi
benih, peluang kerjasama dengan stakeholder lain yang belum tercapai, dan
kendala yang muncul. Data sekunder tentang luas tanam, produksi dan
produktivitas, musim tanam, varietas dari masing-masing komoditas padi di
masing- masing kabupaten.

Data yang dikumpulkan ditabulasi, diolah menggunakan exceldan


disajikan secara deskriptif. Varietas dengan produktivitas tinggi dipilih untuk
setiap kecamatan. Lokasi uji varietas dilengkapi deskripsi dengan rekomendasi
teknologi spesifik lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN


b. Karakteristik penangkar benih
Usia penangkar berada pada usia produktif antara 35-45 tahun (73%).
Usia berpengaruh besar terhadap keinginan untuk mau dalam arti penerimaan
suatu teknologi baru yang berbeda dari yang lama. Responden terbanyak di
jenjang pendidikan tingkat SLTA. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan
akan lebih mudah mencerna bahan penyuluhan dalam bentuk buku anggota
keluarga produktif 3 orang.

 Kepemilikan dan persentase luas areal untuk usahatani benih padi


Luas lahan sawah yang digarap penangkar benih yang terbanyak
berkisar 0,5 – 2,5 ha. Dan umumnya menggunakan lebih dari separuh hingga
seluruhnya menjadi areal produksi benih. Hanya petani penangkar yang
mempunyai areal > 2 ha yang menggunakan lahannya hanya sebagian saja
untuk dijadikan lahan perbenihan. Luas lahan yang digarap untuk produksi
benih tidak tetap, berubah-ubah sesuai dengan pesanan konsumen.

 Kondisi ekonomi petani penangkar.


Mata pencaharian utama petani penangkar ialah petani padi.
Sedangkan mata pencaharian sampingan responden mayoritas tanaman
pangan lainnya seperti jagung, kacang-kacangan, sayur dan juga ternak. Ada
juga tambahan pendapatan sebagai pegawai.

b.Sejarah menjadi penangkar benih.

Menjadi penangkar benih merupakan mata pencaharian karena


kemauan sendiri (80 %). Hanya 20 % yang menjadi penangkar benih pada
awalnya karena mendapat bantuan pemerintah. Penanaman benih padi
dilakukan sesuai dengan pesanan konsumen (50 %). Dalam upaya
peningkatan kinerja kelompok, salah satu upaya adalah peningkatan interaksi
antara narasumber dengan petani melalui pelatihan. Pelatihan yang diikuti
penangkar benih berkisar 1 - 10 kali. Petani mau mengikuti pelatihan karena

391
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mereka mendapat informasi tentang perkembangan varietas unggul baru padi,


dan teknologi lainnya seperti PTT. Secara umum pengetahuan petani dalam
teknologi budidaya padi untuk menghasilkan benih dan non benih tidak
dibedakan. Perbedaan tersebut terletak pada prinsip genetisnya. Selain itu
karena mayoritas pendidikan mereka adalah SLTA, jadi mereka mudah
menangkap transfer teknologi berupa buku bacaan yang diberikan dan
interaksi dalam diskusi pada saat pelatihan.

c. Penjualan benih dan keuntungan yang diperoleh penangkar benih


padi.
Harga jual benih padi lebih tinggi dibandingkan harga jual gabah
konsumsi. Walaupun demikian harga benih padi pun harus wajar, karena jika
terlalu tinggi akan menimbulkan infisiensi usahatani padi (Budi dan Adysti,
2009). Provitas benih padi yang diperoleh penangkar 5- 7 t/ha. Provitas ini
lebih tinggi dibanding yang dihasilkan penangkar padi di Banten yang
menghasilkan hanya 3.27-4.50 t/ha benih padi (Susilawati, 2010). Keuntungan
penjualan benih dibandingkan penjualan konsumsi lebih tinggi berkisar antara
Rp 1.000 – Rp 2.500 per kg. Jadi bila per ha diperoleh 5 t (produksi terendah)
maka keuntungan penjualan benih berkisar Rp 5 juta- Rp 12.5 juta atau rata-
rata Rp 8,75 juta /ha. Besarnya keuntungan penangkar di Sumatera Utara
hampir sama dengan keuntungan penangkar padi di Banten pada tahun yang
sama (Susilawati, 2010). Modal produksi benih/ha antara Rp 4 juta – Rp 7
juta atau rata-rata berkisar Rp. 5,5 juta/ha. Jadi B/C penjualan benih padi
berkisar8,75/5,5= 1,59. Penggunaan varietas yang sama pada suatu wilayah
dalam kurun waktu yang lama, tidak mampu lagi berproduksi lebih tinggi karena
kemampuan genetiknya terbatas (Makarim dkk, 2004). Saat ini varietas padi
yang terbanyak dijual ialah Ciherang (Tabel 1).

Tabel 1.Varietas padi ditanam petani penangkar benih di Sumatera Utara


tahun 2011
Varietas benih Jmlh penangkar Lokasi penangkar di
Total
padi yang menanam Kabupaten
produksi (t)
(orang)
Ciherang 7 Simalungun, Labusel,
16 Batubara, Deli
Serdang,Asahan, Sergei (2)
Inpari 1 1 6,8 Sergei
Mekongga 4 17,9 Sergei,
Simalungun,Tapteng,Deli
Serdang
IR 64 1 5,7 Deli Serdang
Inpari 9 1 5,7 Serge, Tapsel
Inpari 13 1 Belum panen Deli Serdang, Tapsel
Inpari 10 1 7,4 Batubara
Nalagu 1 5 Labuhan Batu Selatan
Dlogi 1 5 Labuhan Batu Selatan

392
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Meskipun Ciherang diketahui sudah menunjukkan penurunan


produktivitas petani belum mengetahui varietas unggul baru yang tinggi
produktivitasnya. Mekongga adalah varietas yang mulai menggeser kedudukan
varietas Ciherang di kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai. Sedangkan
varietas lain masih ditanam dalam jumlah yang lebih sedikit padahal BB
Penelitian Tanaman Padi sudah mengeluarkan 40 VUB padi (BB Padi, 2007).

Semua petani penangkar benih padi mengetahui adanya


perkembangan varietas unggul baru padi. Mereka mengetahui VUB padi dari
PPL (53%), dan dari tetangga (7%), dari Kelompok tani (13 %) dan dari sumber
lainnya (40 %). Informasi lainnya didapat dengan mengikuti pelatihan dari
narasumber BPTP Sumut. Akan tetapi karena permintaan terhadap varietas
unggul lama Ciherang masih tinggi, maka produksi benih masih lebih banyak
persentasenya ke varietas tersebut dibanding VUB Inpari dan Mekongga (Tabel
1).

Benih sumber diperoleh petani berasal dari perusahaan tempat mereka


menjual benih. Selain itu benih sumber diperoleh dari Balai Benih Induk yang
di dekat lokasi mereka. Petani penangkar tidak merasa kesulitan untuk
mendapatkan benih sumber. Untuk memproduksi benih padi kelas ES ada
beberapa jenjang yang dilakukan. Berikut simulasi perbanyakan benih padi BS
menjadi ES.

Contoh simulasi akan memproduksi 843,75 ton benih sebar padi:

Diperoleh
150 kg FS Dapat SS =
2 kg (asumsi 843,7
ditanam 11,25t
BS provitas 5 ton
pada ditanam
ES
areal 3,75 pada
(0,05 benih 3
ha 281,25 ha
ha) . t/ha)

Benih yang dijual petani penangkar tidak semua disertifikasi hanya 87


% yang menjual benih yang bersertifikasi dan selebihnya (13 %) dijual
langsung ke perusahaan atau langsung ke petani sekitar, tanpa proses
sertifikasi. Benih tanpa sertifikat yang dijual ke perusahaan selanjutnya diurus
sertifikasinya oleh perusahaan tersebut (Tabel 2).

Tabel 2. Kelas benih yang dijual petani penangkar dan frekuensi kunjungan
petugas BPSB selama proses produksi benih
%tase jumlah Kunjungan BPSB % jumlah
Kelas benih penangkar yang selama proses penangkar
menjual benih produksi benih produsen benih
Tanpa label 13 % 0 kali 07,0%
Benih sebar 33% 1 kali 13,0%
Benih pokok 7% 2 kali 07,0%
Benih sebar dan 47 % 3 kali 07,0%
benih pokok > 3 kali 67,0%

393
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Teknik budidaya produksi benih padi secara internal dilaksanakan oleh


penangkar benih dalam bentuk rouging (pembuangan yang tidak diinginkan)
dan secara eksternal dilaksanakan oleh BPSB dalam bentuk pengawasan di
lapang. Walaupun demikian pada saat mereka masih melakukan pertanaman
petugas BPSB datang 3 kali bahkan lebih dari 3 kali ke lokasi mereka (67 %),
meskipun ada (7 %), yang mengaku hanya 1 kali bahkan tidak pernah didatangi
(7 %) oleh petugas BPSB. Petani penangkar yang menjual ke petani
tetangganya tanpa label, karena tetangganya sudah percaya karena telah
mengikuti perkembangan tanaman di lapangan. Kunjungan petugas BPSB
untuk kepentingan roguing dan pembuangan tanaman sakit.

Penjualan benih padi dilakukan paling banyak ke perusahaan benih,


seperti Pertani. Hanya 13 % yang melakukan penjualan untuk petani dalam
desa (Tabel 3).

Tabel 3. Distribusi penyaluran benih dan persentase benih yang tidak terjual
per musim di tingkat penangkar benih padi di Sumatera Utara
%tase % tase benih % tase jmlh
No Penjualan benih padi oleh penangkar
jumlah tidak petani
laku/musim penangkar
1 Jual ke petani dlm desa 13% 0 - < 5% 80%
2 Jual ke petani dlm desa dan perusahaan 0% 5 - < 10% 13%

3 Jual ke petani dlm desa+ luar desa 20% 10 - < 25% 0%


4 Jual ke petani luar desa+ perusahaan 13% 25 - < 50% 7%

5 Jual ke perusahaan 33% > 50% 0%


6 Jual ke petani luar desa 0%
7 Jual ke etani dlm dan lluar desa+ 20%
perusahaan

Di Kabupaten Batubara ada satu petani penangkar yang benihnya tidak


terjual hingga >25 % tetapi <50 %. Hal ini karena dia menjual hanya untuk
petani di desanya. Untuk kabupaten Sergei, Deli serdang dan Langkat,
Simalungun benih terjual semua. Di Simalungun benih padi yang tidak laku
berkisar<10 % olehkarena petani langgannannya telah mendapat bantuan
benih padi BLBU pada program SLPTT, sehingga mereka tidak membeli benih
lagi.

Langkah-langkah yang dilakukan penangkar untuk meningkatkan


penjualan benih yaitu melakukan promosi ke petani secara langsung dan
membuat percontohan sehingga petani sekitarnya timbul keinginan untuk
membeli benihnya.

d. Kendala petani penangkar benih padi


Padi yang baru dipanen perlu dikeringkan sampai kadar air (13 – 14 %)
untuk menjadikan benih. Untuk pengeringan ini petani masih mengandalkan
tenaga cahaya matahari dengan cara menjemur di lantai jemur atau tikar.

394
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kendala yang dirasakan sangat terbatas ialah lantai jemur yang kurang luas (87
%). Belum ada mesin pengering bila saat panen di musim hujan (47%).
Sedangkan hama gudang yaitu tikus hanya 7 %. Gudang penyimpan benih pun
menjadi kendala mereka. Hampir separuh penangkar tidak mempunyai gudang
penyimpan benih. Ini terjadi pada penangkar yang langsung menjual benih ke
perusahaan benih seperti Pertani. Gudang penyimpan benih hanya dimiliki
petani penangkar yang tidak memasok benih ke perusahaan benih. Blower
pun belum semua dimiliki petani penangkar (40 %). Hanya 60 % petani
penangkar yang mempunyai blower untuk memisahkan benih hampa dan
bernas dan dari kotoran benih. Tikar yang dimiliki penangkar pun terbatas,
umumnya tidak sampai luas tikar nya 400 m2.

e. Kebutuhan benih padi di Sumatera Utara

Kebutuhan benih berkaitan dengan luas tanam.Jika asumsi kebutuhan


benih padi sawah 40 kg / hadari data luas tanam (BPS Sumatera Utara tahun
2010) maka perhitungan kebutuhan benih padi sawah di Sumatera Utara yang
paling tinggi adalah pada bulan Jan-Des yaitu 28.945.840 kg kemudian
September-Desember jumlahnya 13.946.200 kg. Dan yang paling rendah pada
bulan Jan-April yaitu 6.528.480 kg dan musim tanam Mei-Agustus 8.471.160
kg. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan air, pada bulan September
sampai Januari curah hujan tinggi di Sumatera Utara. Sehingga kebutuhan air
sawah cukup terpenuhi. Hal ini juga sejalan dengan kebutuhan benih padi gogo
juga tertinggi pada bulan Des-Jan 3.047.820 kg, diikuti bulan Sep-Des
sebanyak 1.652.340 kg dan terendah bulan jan-Mar yaitu 265.985 kg. Maret
juni agak banyak yaitu 1.129.500 kg dengan asumsi 60 kg benih/ha

e. Ketersedian benih padi bermutu


Benih bermutu yang dimaksud disini adalah benih yang kualitasnya
sudah terjamin mutunya untuk diperdagangkan tanpa mengenal siapa
produsennya. Benih seperti ini ditandai dengan sertifikasi dari instansi yang
berwenang. Pada bulan Jan-April tersedia benih bersertifikat jumlahnya
11.735.370 kg. Bulan Mei- Agust 16.355.749 kg dan bulan Sept-Des tersedia
3.291.910 kg. Ada lima belas dari 27 Kabupaten/ Kota lokasi penghasil benih
padi di Sumatera Utara. Jika dilihat sebarannya, sentra produksi benih padi
terbesar di Sumatera Utara adalah kabupaten Serdang Bedagai dengan jumlah
± 50 % dari total produksi, diikuti kabupaten Batubara dan Tapanuli Selatan.
Dengan asumsi benih yang tersedia digunakan seratus persen untuk
pertanaman, maka ketersediaan benih bermutu masih kira-kira separuhnya.
Jika ingin meningkatkan ketersediaan benih menjadi >90 %, maka kekurangan
benih bermutu di Sumatera Utara berkisar >40 % lagi.

Dari informasi UPT BPSB dan juga penangkar benih jumlah benih
bermutu yang tersedia di petani di Sumatera Utara sebenarnya lebih banyak 5
– 8 % dari angka yang data yang tercatat. Benih bermutu yang dimaksud
adalah pertanaman yang benih pokok kemudian dijadikan benih sebar. Benih
pokok yang digunakan bersertifikat. Karena yang akan menggunakan

395
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kelompok penangkar itu sendiri mereka hanya melaporkan pada petugas pada
saat pertanaman tetapi tidak melakukan pelabelan, dengan alasan akan
menambah biaya, sedangkan mereka tidak melakukan penjualan.

Jumlah Poktan atau petani yang menjadi penangkar benih, yaitu 156.
Sedangkan swasta hanya ada 4, akan tetapi karena 2 perusahaan swasta
Pertani dan SHS membuka cabang pada kabupaten lainnya. Jumlah
kabupaten yang perusahaan swastanya terlibat menjadi 13. Jika pada satu
kabupaten terdapat perusahaan yang jumlahnya lebih dari 2, maka sisanya dari
2 tersebut dikelola oleh swasta lokal kabupaten yang bersangkutan. Tetapi jika
hanya ada satu atau duajumlah PT yang yang tertulis di data tersebut maka
yang mengkelola benih di kabupaten tersebut adalah Pertani atau SHS.
Instansi pemerintah yang langsung memproduksi benih, yaitu BBI Murni Tj.
Morawa danBBI Tj. Selamat (Deli Serdang), BBP di Madina, Marihat
Simalungun, dan Dinas Pertanian Binjai. Kebun Percobaan Pasarmiring yang
berada di bawah BPTP Sumatera Utara, terutama untuk menghasilkan benih
VUB dalam upaya mempercepat diseminasi teknologi benih.

KESIMPULAN
1. Benih yang paling banyak dijual di Sumatera Utara adalah benih sertifikasi
kelas benih sebar (86 %). Hampir semua benih yang diproduksi penangkar
laku terjual kecuali di Kabupaten Batubara 25 - < 50 %. Tidak terjualnya
benih ini karena petani di daerah tersebut mendapat BLBU dari program
SLPTT.
2. Varietas padi yang paling banyak diusahakanoleh penangkar benih saat ini
adalah Ciherang dan Mekongga. Varietas lainnya, Inpari 1, 9, 10 masih
dalam jumlah sangat terbatas.
3. Kendala yang dirasakan penangkar benih ialah keterbatasan lantai jemur
saat prosesing benih. Solusi yang dilakukan untuk mengatasi kendala
tersebut ialah menambah tikar jemur dan gudang benih.
4. Kebun Percobaan dan instansi Pemerintah yang ada di Sumatera Utara
dapat ditingkatkan fungsinya untuk penghasil benih sumber bagi Poktan
yang mau memperoleh benih sumber.
SARAN
1. Perlu sosialisasi berupa demplot var ietas unggul baru agar petani mau
segera mengganti varietas Ciherang yang produktivitasnya sudah menurun
dengan VUB Inpari atau Mekongga .
2. Perlu adanya bantuan sarana pemasaran untuk petani penangkar. Hal ini
terkait dengan pengadaan benih BLBU untuk SL-PTT yang dilakukan oleh
PT SHS dan PT Pertani.
3. Perlu bantuan sosialisasi bagi petani/masyarakat yang selama ini belum
menggunakan benih bermutu untuk secara sadar menggunakan benih
bermutu. Hal tersebut mempunyai pasar potensial bagi benih bermutu
yang diproduksi oleh para penangkar di daerah.

396
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA
Ameriana, M., 2006. Kesediaan Konsumen Membayar Premium untuk Tomat
Aman Residu Pestisida. J. Hort 16 (2) : 165-174.
Adini ngrat, E., 2004.Menggerakkan dan Membangun Industri Perbenihan di
Indonesia. Prosiding Lokakarya Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia
VII. Peripi dan Balitkabi. Malang. Hal.10-13.
BB Padi, 2007. Ketersediaan varietas unggul baru dan benih bermutu
pendukung P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Badan Litbang Pertanian, 2007. Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi.
Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
BPS, 2009. Sumatera Utara dalam Angka 2009. BPS Provinsi Sumatera Utara
Medan.
Budi, P.S. dan M.K. Adysti, 2009.Analisis Kinerja Usahatani Padi melalui
Pendekatan Agribisnis.J. Organisasi dan Management5 (1): 35-48.
Makarim, A.K., I. Las, A.M. Fagi, I.N. Widiarta dan D. Pasaribu. 2004. Padi Tipe
Baru, Budidaya dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu,
Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Balitpa Sukamandi. 48 hal.
Simatupang, S., Evawati, T. Marbun, dan D. Hernowo, 2010. Kebutuhan dan
Ketersediaan Benih Padi dan Sistem Perbenihannya di Sumatera
Utara.ProsidingSemnas BBP2TP 9-11 Des 2010 :1216-1221
Susilawati,P.N.,2010. Keragaaan dan Analisis Finansial Petani Penangkar
Benih Padi : Kasus di Penangkar Benih Binaan BPTP Banten.
ProsidingSemnas Hasil Penelitian Padi 2009. Buku 3.
Wirawan B., dan S. Wahyuni. 2002. Memproduksi Benih Bersertifikat,
Padi,Jagung, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau. Penebar Swadaya,
Jakarta. 120 hal.
Zaini, Z., W.S.Diah dan M. Syam. 2004. Petunjuk Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Meningkatkan Hasil dan
Pendapatan Menjaga Kelestarian Lingkungan. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 57 hal.

397
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HUBUNGAN SERAPAN HARA NPK DAN HASIL DUA VARIETAS PADI


SAWAH TERHADAP TARAF PEMBERIAN PUPUK MENURUT PHSL

Musfal
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl.A.H.Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email : musfal_my@yahoo.co.id

ABSTRAK

Upaya peningkatan hasil padi sawah saat ini masih tergantung dari
pemberian pupuk dan varietas padi yang digunakan. Pemberian pupuk yang
tepat dan varietas padi yang sesuai akan memberikan hasil yang lebih baik.
Tujuan penelitian untuk melihat hubungan serapan hara NPK dan hasil dua
varietas padi sawah terhadap beberapa taraf pemberian pupuk. Penelitian
dilaksanakan di Desa Pasar Miring, Kecamatan Pagar Marbau, Kabupaten Deli
Serdang, Provinsi Sumatera Utara dari bulan April hingga Agustus 2012.
Perlakuan terdiri dari 5 taraf pemberian pupuk 0, 25, 50, 75 dan 100% dari dosis
rekomendasi PHSL (Phonska, SP-36 dan Urea masing-masing sebanyak 125,
50 dan 175 kg/ha) dan 2 varietas padi yaitu Inpari 3 dan Ciherang. Perlakuan
disusun menurut rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil
kegiatan memperlihatkan bahwa serapan hara NPK dan hasil gabah meningkat
sejalan dengan meningkatnya dosis pupuk. Hubungan serapan hara NPK
dengan hasil gabah adalah sangat linier. Serapan hara tertinggi dan hasil
terbanyak 10.07 t/ha gabah kering panen diperoleh dari varietas Inpari 3
dengan pemberian pupuk sebanyak 125,50 dan 175 kg/ha Phonska, SP-36 dan
Urea.
Kata kunci : serapan hara, pupuk NPK, varietas padi

PENDAHULUAN
Salah satu pendekatan untuk meningkatkan hasil tanaman padi sawah
adalah melalui pemberian pupuk yang efektif dan efisien sesuai dengan
kebutuhan tanaman.Menurut Dobermann dan Fairthurts (2000) untuk
mendapatkan hasil tanaman padi sawah yang optimal dan berwawasan
lingkungan pemberian pupuk haruslah disesuaikan dengan unsur hara yang
tersedia ditanah dan kebutuhan tanaman. Selanjutnya mengingat sering
terjadinya kelangkaan pupuk, terutama pada saat musim tanam dan dipicu
dengan tingginya harga pupuk tertentu ditingkat petani maka pemberian pupuk
yang lebih bijak perlu dikaji lebih lanjut.
Banyaknya dosis pupuk yang harus diberikan kelahan untuk kebutuhan
tanaman padi sawah saat ini sudah banyak cara yang dapat dilakukan antara
lain menurut Setyorini dkk (2006) dapat melalui penggunaan alat PUTS
(Perangkat Uji Tanah Sawah), cara lain menurut IRRI (2012) dapat dilakukan
dengan penggunaan perangkat lunak PHSL (Pemupukan tanaman Padi
Spesifik Lokasi), peta status hara P dan K HCl 25% 1:50.000 dan berdasarkan
analisis ketersediaan unsur hara ditanah yang bersifat spesifik lokasi.
Sedangkan cara yang dilakukan kebanyakan petani saat ini adalah memberikan

398
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pupuk yang didasarkan kepada pengalaman dari hasil panen sebelumnya atau
menurut tingkat kemampuan dari petaninya dalam membeli pupuk. Akibatnya
banyak hasil penelitian yang melaporkan cara yang dilakukan petani rata-rata
memberikan hasil yang nyata lebih rendah. Menurut Zaini dkk (2009) melalui
pengelolaan tanaman terpadu atau PTT yang menggunakan teknologi spesifik
lokasi seperti pemberian pupuk yang berdasarkan analisis tanah atau PHSL
serta menggunakan varietas unggul baru akan memberikan peningkatan hasil
padi sawah yang signifikan dibandingkan cara petani. Banyaknya pupuk yang
diberikan ketanaman sangat berpengaruh terhadap banyaknya unsur hara
yang terserap oleh tanaman yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap
hasil. Hasil penelitian Musfal dkk (2009) melaporkan bahwa serapan hara NPK
pada tanaman jagung berkorelasi positif dengan produksi.
Tujuan penelitian untuk melihat hubungan serapan hara NPK dan hasil
dua varietas padi sawah terhadap beberapa taraf pemberian pupuk.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Desa Pasar Miring, Kecamatan Pagar
Marbau, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara dari bulan April
hingga Agustus 2012. Penentuan rekomendasi pupuk untuk lokasi penelitian
dilakukan melalui download PHSL melalui http://webapps.irri.org/nm/id.
Rekomendasi pupuk yang diperoleh adalah dengan dosis pupuk Phonska, SP-
36 dan Urea masing-masing sebanyak 125, 50 dan 175 kg/ha. Dari dosis
rekomendasi yang diperoleh diperlakukan menjadi lima taraf pemberian pupuk
yaitu 0, 25, 50, 75 dan 100% dari dosis rekomendasi (Tabel 1).
Tabel 1. Perlakuan pemberian pupuk tanaman padi sawah di Desa Pasar
Miring menurut rekomendasi PHSL
Perlakuan (kg/ha)
Jenis Pupuk
0% 25% 50% 75% 100%
Phonska 0 31.25 62.50 93.75 125
SP-36 0 12.50 25.00 37.50 50
Urea 0 43.75 87.50 131.25 175
Total 0 87.5 175.0 262.5 350.0

Perlakuan disusun menurut Rancangan Acak Kelompok dengan tiga


ulangan. Padi varietas Inpari 3 dan Ciherang ditanam pindahkan setelah 21
hari dipersemaian pada petakan 4x5 m. Pupuk dasar Phonska dan SP-36
sesuai perlakuan diberikan pada 10 HST (Hari Setelah Tanam), selanjutnya
pupuk Urea diberikan ½ dosis pada 25 HST dan sisanya pada 35 HST.

Penyiangan dilakukan secara manual dengan cara mencabut gulma


yang tumbuh pada umur tanaman 20 HST dan 45 HST. Untuk pengendalian
terhadap serangan hama dan penyakit tanaman disemprot dengan pestisida
sesuai dosis anjuran. Tanaman dipanen setelah gabah menguning lebih dari
90 persen.

399
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sebelum kegiatan berjalan dilakukan analisis contoh tanah untuk


melihat tingkat kesuburan lahan yang akan digunakan, selanjutnya dilakukan
pengamatan terhadap serapan hara NPK pada umur 45 HST dan hasil gabah
kering panen pada 14 persen kadar air.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sifat kimia tanah
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah sebelum kegiatan berjalan
terlihat bahwa kandungan N-total dapat digolongkan rendah, P-tersedia rendah,
K-dd sedang, C-organik sangat rendah, Fe sedang, S tinggi dan pH
dikelompokan asam (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum kegiatan dilaksanakan
No Sifat Kimia Nilai Metode Uji
1 N-total (%) 0.18 Kjeldahl
2 P-tersedia (ppm) 5.15 Bray.I
3 K-dd (me/100g) 0.42 Amm Acetat 1 N pH 7
4 C-organik (%) 0.95 Walkley and Black
5 Fe (ppm) 145 HCl 0.1 N
6 S (ppm) 12.16 Morgan Venema
7 pH (H2O) 1:5 5.12 pH meter

Data tersebut menggambarkan bahwa kadar bahan organik tanah


sangat berhubungan dengan kandungan N-total didalam tanah. Dimana
kandungan bahan organik yang sangat rendah sehingga menghasilkan N yang
rendah pula. Kandungan K yang dikelompokkan sedang diduga karena
pengaruh dari pemberian pupuk pada musim tanam sebelumnya atau
disebabkan oleh sisa pelapukan jerami. Rendahnya ketersediaan P ditanah
diduga tanah memiliki fiksasi P yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kandungan
bahan organik tanah yang sangat rendah sehingga P yang diberikan lebih
banyak terikat oleh mineral tanah dibandingkan terikat oleh bahan organik,
sehingga ketersediaan P rendah.
Menurut Buckman dan Brady (1969) bahwa banyaknya ketersediaan
unsur hara didalam tanah sangat menentukan terhadap pertumbuhan dan hasil
dari tanaman yang akan ditanam. Selanjutnya Suseno (1974) menjelaskan
bahwa untuk mendapatkan hasil tanaman yang baik, maka pemberian pupuk
haruslah disesuaikan dengan tingkat ketersediaan unsur hara didalam tanah
serta kebutuhan tanaman itu sendiri. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebutuhan
unsur hara tanaman tidak sama antara satu dengan lainnya, tergantung dengan
tingkat umur dan jenis tanaman.
Serapan hara NPK
Varietas Inpari 3 memperlihatkan penyerapan hara NPK rata-rata lebih
tinggi dibandingkan varietas Ciherang (Gambar 1). Serapan hara cenderung
meningkat sejalan dengan meningkatnya dosis pupuk.Serapan hara terbanyak
adalah pada pemberian pupuk sebanyak 100% dari dosis rekomendasi dan
sebaliknya yang terrendah adalah pada tanpa pemberian pupuk. Sedangkan

400
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

penyerapan yang optimal dari kegiatan ini belum terlihat dan ada
kecenderungan serapan hara NPK meningkat hingga pemberian pupuk lebih
100% dari dosis rekomendasi.

2.5

2
Serapan (g/rumpun)

1.5
Inpari 3
1 Ciherang

0.5
Dosis pupuk dari rekomendasi PHSL
0
0% 25% 50% 75% 100%

Gambar 1. Serapan hara NPK padi sawah terhadap pemberian pupuk

Meningkatnya serapan hara sejalan dengan meningkatnya dosis pupuk,


hal ini menggambarkan bahwa varietas yang diuji sangat respon dengan
pemberian pupuk. Disamping itu juga disebabkan karena lahan yang
digunakan rata-rata mengandung unsur hara Nitrogen dan Phosfat yang rendah
kecuali Kalium yang digolongkan sedang. Menurut Marschner (1995) bahwa
kandungan unsur hara ditanah akan berpengaruh terhadap penyerapannya
oleh tanaman. Kandungan unsur hara yang tinggi umumnya kurang respon
terhadap pemupukan, namun sebaliknya kandungan unsur hara yang rendah
ditanah umumnya tanaman respon terhadap pemberian pupuk. Selanjutnya
diungkapkan lebih lanjut oleh Dobermann dan Fairthurts (2000) sebaiknya
pemberian pupuk kelahan disesuaikan dengan kandungan unsur hara ditanah
agar tanaman mengambilnya sesuai dengan kebutuhan.
Hasil gabah
Hasil gabah memperlihatkan tendensi yang sama dengan serapan hara
NPK oleh tanaman. Rata-rata varietas Inpari 3 memberikan hasil yang lebih
banyak dibandingkan varietas Ciherang (Gambar 2). Hasil gabah terbanyak
10.07 t/ha diperoleh dari varietas Inpari 3 pada pemberian pupuk sebanyak
100% dari dosis rekomendasi dan yang terrendah adalah pada tanpa
pemberian pupuk. Varietas Ciherang hanya mampu memberikan hasil
terbanyak sejumlah 8.27 t/ha dengan pemberian pupuk sebanyak 100% dari
dosis rekomendasi.
Bila dilihat dari sumbangan hasil gabah yang diberikan antara varietas
Inpari 3 dengan varietas Ciherang pada pemberian pupuk sebanyak 100% dari
dosis rekomendasi, terlihat bahwa varietas Inpari 3 memberikan hasil gabah
lebih banyak 1.80 t/ha.Sedangkan tanpa pemberian pupuk (0% dari dosis
rekomendasi) varietas Inpari 3 juga lebih unggul dibandingkan varietas

401
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Ciherang. Perbedaan hasil gabah mencapai 1.53 t/ha. Dari data ini
menggambarkan bahwa varietas Inpari 3 memberikan hasil gabah yang lebih
unggul dibandingkan varietas Ciherang yaitu berkisar antara 1.53 hingga 1.80
t/ha.

12
10
Hasil Gabah (t/ha)

8
6
4
2 dosis pupuk dari rekomendasi
0
0% 25% 50% 75% 100%
Inpari 3 7.93 8.52 9.17 9.63 10.07
Ciherang 6.40 7.37 7.80 7.90 8.27
Gambar 2. Hasil padi varietas Inpari 3 dan Ciherang terhadap pemberian
pupuk

Hubungan serapan Hara NPK dengan hasil gabah


Hubungan serapan hara NPK dengan hasil gabah dalam penelitian ini
memperlihatkan hubungan yang linier. Kalau dibandingkan antar varietas
hubungan yang sangat linier adalah terhadap varietas Ciherang yaitu dengan
nilai R2 mencapai 0.996 (Gambar 3). Sedangkan varietas Inpari 3 yaitu dengan
nilai R2 sebesar 0.954 (Gambar 4).
10

8
Hasil Gabah (t/ha)

y = -0.1899x2 + 1.6382x + 5.7592


4
R² = 0.9962

2
Serapan hara NPK (g/rumpun)
0
0 0.5 1 1.5 2
Gambar 3. Hubungan serapan hara NPK dengan hasil gabah padi varietas
Ciherang terhadap pemberian pupuk

402
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

12

Hasil Gabah (t/ha)


10

6
y = 0.192x2 + 0.7457x + 7.3466
4 R² = 0.9544
2
Serapan hara NPK (g/rumpun)
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Gambar 4. Hubungan serapan hara NPK dengan hasil gabah padi varietas
Inpari 3 terhadap pemberian pupuk

Data gambar 3 dan 4 menggambarkan bahwa kedua varietas yang diuji


dalam penelitian ini memiliki hubungan yang saling berpengaruh antara jumlah
pupuk yang diberikan, serapan hara NPK oleh tanaman dan hasil gabah yang
diberikannya. Gani (2009) melaporkan hasil penelitian yang sama dimana
dengan meningkatnya dosis pupuk NPK, hasil gabah kering giling padi varietas
Ciherang juga meningkat.

KESIMPULAN
1. Serapan hara NPK meningkat sejalan dengan meningkatnya dosis pupuk
dan mempunyai hubungan yang linier dengan hasil gabah.
2. Serapan hara NPK tertinggi dan hasil gabah terbanyak 10.07 t/ha diperoleh
dari varietas Inpari 3 dengan pemberian pupuk Phonska,SP-36 dan Urea
sebanyak 125,50 dan 175 kg/ha.

DAFTAR PUSTAKA
Buckman, H. C. and N. C.Brady. 1969. The Nature and Properties of Soil. The
Mc Millan Co. N.York. p. 599
Dobermann, A., and T. H. Fairthurts. 2000. Rice Nutrient Disorders and Nutrient
Management.International Rice Research Institute (IRRI). Los Banos.
Philipinnes.192p
Gani, A. 2009. Keunggulan pupuk majemuk NPK lambat urai untuk tanaman
padi sawah. Jurnal Penelitian Pertanian28(3):148-157.
International Rice Research Institute, 2012. Pemberian pupuk padi sawah
spesifik lokasi.download PHSL melalui http://webapps.irri.org/nm/id
Marschner, H. 1995. Mineral nutrition of higher plants.Academic Press. New
York.p 265-587
Musfal, Delvian dan A.Jamil. 2009. Efisiensi penggunaan pupuk NPK melalui
pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskla pada jagung. Jurnal
Penelitian Pertanian 28(3): 165-169

403
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Setyorini.D.,L.R.Widowati dan A.Kasno. 2006. Petunjuk penggunaan


perangkat uji tanah sawah versi 1:1. Balai Penelitian Tanah. Bogor.37
hal
Suseno, H. 1974. Fisiologi tumbuhan dan metabolisme dasar dan beberapa
aspeknya. Departemen Botani. Fakultas Pertanian IPB Bogor.
Zaini, Z.,S.Abdurrachman,N.Widiarta,P.Wardana,D.Setyorini,S.Kartaatmaj dan
M.Yamin. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah.Departemen
Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 20 hal.

404
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SERAPAN NPK PADI SAWAH PADA BEBERAPA TARAF PEMBERIAN


PUPUK MENURUT PUTS DI KABUPATEN SIMALUNGUN

Musfal
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl.A.H.Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email : musfal_my@yahoo.co.id

ABSTRAK

Cara pemberian pupuk dapat mempengaruhi hasil padi sawah.


Pemberian pupuk yang tepat dan sesuai kebutuhan tanaman adalah cara yang
bijak. PUTS adalah salah satu cara penentuan dosis pupuk untuk padi sawah.
Tujuan penelitian untuk melihat serapan hara NPK dan hasil padi sawah
terhadap beberapa taraf pemberian pupuk menurut PUTS. Percobaan
dilakukan di Desa Purbaganda, Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten
Simalungun dari bulan April hingga Juli 2012. Perlakuan yang diuji adalah lima
taraf pemberian pupuk 0, 25, 50, 75 dan 100% dari dosis rekomendasi uji PUTS
(Urea, SP-36 dan KCl 200:100:50 kg/ha). Perlakuan disusun menurut
rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa serapan hara NPK meningkat sejalan dengan
meningkatnya dosis pupuk. Hasil tertinggi 7,55 t/ha gabah kering panen
diberikan oleh pemberian pupuk sebanyak 75% dari dosis rekomendasi dan
tidak berbeda nyata dengan pemberian pupuk sebanyak 100%.
Kata kunci : pupuk, padi sawah, PUTS

PENDAHULUAN
Pupuk merupakan suatu kebutuhan utama dalam meningkatkan hasil
padi sawah. Namun yang sering menjadi kendala ditingkat petani adalah
ketersediaan pupuk yang kurang tepat waktu dan harga yang relatif mahal
untuk jenis pupuk tertentu. Untuk itu diperlukan alternatif cara pemberian pupuk
yang berimbang dan sesuai kebutuhan.
Pemberian pupuk berimbang adalah salah satu pengelolaan hara
spesifik lokasi sehingga efektivitasnya sangat bergantung pada kondisi tanah
dan lingkungan setempat. Menurut Setyorini dkk (2006) salah satu cara
pemberian pupuk berimbang khususnya untuk tanaman padi sawah dapat
dilakukan melalui penggunaan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Perangkat
ini dapat diaplikasikan dilapangan, penggunaannya sangat mudah dan dalam
waktu beberapa menit saja sudah dapat diketahui kebutuhan pupuk NPK dari
Urea, SP-36 dan KCl untuk lahan sawah yang direkomendasikan. Unsur hara
NPK merupakan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan oleh tanaman,
kekurangan salah satu unsur tersebut dapat mengganggu pertumbuhan dan
hasil tanaman (Cooke, 1985). Untuk itu diperlukan pemberian pupuk secara
optimal dan berimbang agar kebutuhan hara tanaman dapat terpenuhi.
Hasil penelitian Musfal (2012) melaporkan pemberian pupuk padi sawah
cara PUTS di Desa Sidua-dua, Kabupaten Labuhan Batu Utara memberikan

405
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

hasil gabah yang lebih tinggi dibandingkan cara petani yang tidak
menggunakan uji tanah dalam penentuan dosis pupuk.
Upaya peningkatan hasil padi sawah yang dilakukan selama ini sangat
tergantung dari pupuk kimia yang diberikan. Pemberian pupuk yang dilakukan
petani umumnya tidaklah berimbang atau tanpa melihat ketersediaan unsur
hara ditanah dan kebutuhan tanaman. Pemberian pupuk yang tidak berimbang
menurut Fairhurst and Witt (2002) akan berdampak terhadap menurunnya
tingkat kesuburan tanah seperti terjadinya defisiensi terhadap unsur hara
tertentu, meningkatnya fiksasi Phosfat dan pencemaran terhadap lingkungan.
Serapan hara oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh tingkat
ketersediaan unsur hara ditanah. Dobermann and Fairthurts (2000)
mengemukakan bahwa untuk mendapatkan hasil padi sawah yang optimal
pemberian pupuk haruslah dilakukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan
disesuaikan dengan tingkat ketersediaan unsur hara ditanah, agar unsur hara
yang terserap oleh tanaman dapat untuk memenuhi kebutuhannya. Tinggi atau
rendahnya ketersediaan unsur hara ditanah akan berpengaruh terhadap
serapannya oleh tanaman dan selanjutnya akan berdampak terhadap hasil
gabah.
Tujuan penelitian adalah untuk melihat pengaruh beberapa taraf
pemberian pupuk menurut PUTS terhadap serapan hara NPK dan hasil padi
sawah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Purbaganda, Kecamatan Pematang
Bandar, Kabupaten Simalungun dari bulan April hingga Juli 2012. Penelitian
diawali dengan penentuan rekomendasi pupuk pada lahan yang diuji dengan
alat Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Dosis yang diperoleh selanjutnya
dibagi dalam lima taraf pemberian yaitu sebanyak 0, 25, 50, 75 dan 100% dari
dosis rekomendasi. Dosis pupuk yang diperlakukan dari hasil pengujian PUTS
adalah seperti uraian Tabel 1.
Tabel 1. Dosis pupuk yang diperlakukan untuk tanaman padi sawah
Perlakuan (kg/ha)
Jenis Pupuk
0% 25% 50% 75% 100%
Urea 0 50 100 150 200
SP-36 0 25 50 75 100
KCl 0 12.5 25 37.5 50

Perlakuan disusun menurut rancangan acak kelompok dengan tiga


ulangan pada petakan perlakuan 4x5 m2. Data pengamatan diolah secara
statistik dengan uji lanjut DMRT pada taraf nyata 5%.
Petakan percobaan untuk masing-masing perlakuan dibuat dengan
ukuran 4x5 m2. Selanjutnya masing petakan diolah sempurna dan digenangi
selama satu minggu kemudian dikeringkan hingga macak-macak. Padi varietas
Ciherang ditanam pindahkan setelah 21 hari dipersemaian secara legowo 6:1.
Pupuk SP-36 sesuai perlakuan diberikan pada saat tanam, pupuk Urea dan KCl

406
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

diberikan dalam dua tahap pemberian yaitu ½ dosis pada 10 HST dan sisanya
pada 25 HST (Hari Setelah Tanam). Untuk pengendalian terhadap serangan
hama dan penyakit sebelum tanam diberikan insektisida samponen setara 50
kg/ha dan Curater 3 G sebanyak 16 kg/ha. Tanaman selanjutnya disemprot
dengan Insektisida dan Fungisida sesuai dosis anjuran. Penyiangan dilakukan
sebanyak tiga kali yaitu pada 15, 30 dan 45 HST. Panen dilakukan sesuai umur
varietas yang diuji atau lebih kurang 90% gabah telah menguning.
Parameter perubahan yang diamati selama penelitian meliputi :sifat
kimia tanah sebelum perlakuan, bobot kering tanaman pada 45 HST, total
serapan hara NPK, komponen hasil dan hasil gabah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat kimia tanah
Sifat kimia tanah sebelum perlakuan memperlihatkan kadar Nitrogen
digolongkan tinggi, Phosfor rendah dan Kalium dikelompokkan sedang (hasil uji
PUTS). Hasil uji lainnya, seperti pH tanah digolongkan agak asam, C-organik
rendah, KTK sedang dan Fe termasuk sedang (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil analisis contoh tanah sebelum perlakuan
No Sifat Kimia Nilai Metode Uji
1 pH (H2O) 5.86 pH meter
2 C-organik (%) 1.80 Walkley & Black
3 N-total Tinggi PUTS
4 P-tersedia Rendah PUTS
5 K-dd Sedang PUTS
6 KTK (me/100g) 20.11 Perkolasi NH4Oac
7 Fe-tersedia (ppm) 165 AAS/HCl 0.1 N

Unsur hara NPK yang tersedia menunjukan nilai yang tidak berimbang
mulai dari rendah hingga tinggi. Penyebab ketidak seimbangan ini diduga
karena pemberian pupuk dari musim sebelumnya. Rendahnya ketersediaan
Phosfor dimungkinkan karena terjadinya fiksasi oleh mineral liat, umumnya
lahan sawah dari jenis andosol mempunyai fiksasi terhadap Phosfor yang tinggi
(Subagyo dkk, 2000).
Ketersediaan Nitrogen yang tinggi dalam tanah akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi. Menurut Broadbent (1979)
tanaman padi sawah membutuhkan unsur Nitrogen yang lebih banyak
dibandingkan unsur hara lainnya untuk pertumbuhan dan produksi. Banyaknya
unsur Nitrogen yang dibutuhkan karena unsur Nitrogen yang berasal dari pupuk
dapat mengalami imobilisasi dan fiksasi amonium sehingga menyebabkan
unsur hara Nitrogen kurang tersedia bagi tanaman. Hasil kajian Freney dkk.
(1995) melaporkan bahwa lebih dari 55% Nitrogen yang berasal dari pupuk
pada tanaman padi sawah irigasi tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Kalium pada lahan yang diuji digolongkan sedang, hal ini kemungkinan berasal
dari hasil pelapukan jerami padi dari musim sebelumnya. Dari permasalahan
ini lahan yang diuji perlu dilakukan pemberian pupuk yang berimbang melalui

407
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

uji tanah agar serapan hara bagi tanaman dapat terpenuhi sesuai
kebutuhannya.

Bobot kering tanaman


Bobot kering tanaman meningkat sejalan dengan meningkatnya dosis
pupuk yang diberikan (Tabel 3).

Tabel 3. Bobot kering tanaman padi sawah pada pemberian pupuk menurut
PUTS
Dosis pupuk Bobot kering tanaman
(%) 45 HST (g/rumpun)
0 31.16 b
25 33.47 b
50 34.40 b
75 35.28 b
100 49.70 a
CV (%) 20.03
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
padataraf 5% DMRT

Bobot terberat diberikan oleh pemberian pupuk sebanyak 100% dari


dosis rekomendasi PUTS, dan terendah pada tanpa pemberian pupuk.
Pemberian pupuk hingga 75% dari dosis rekomendasi tidak memperlihatkan
peningkatan bobot tanaman yang nyata dibandingkan tanpa pemberian pupuk,
walaupun bobot yang dihasilkan ada kecendrungan meningkat. Tidak nyatanya
peningkatan bobot tanaman hingga pemberian pupuk sebanyak 75% diduga
sangat berhubungan dengan ketersediaan Nitrogen ditanah.
Tanah yang digunakan berdasarkan hasil analisis uji tanah sebelum
perlakuan dengan alat PUTS memperlihatkan kadar N tanah yang digolongkan
tinggi. Karena tingginya kadar N didalam tanah walaupun diberikan pupuk yang
meningkat hingga batas tertentuhal ini belum mempengaruhi bobot tanaman.
Hasil penelitian De Datta (1981) melaporkan bahwa kehilangan N akan semakin
tinggi dengan makin tingginya takaran pupuk N akibat imobilisasi dan fiksasi
ammonium sehingga ketersediaan N bagi tanaman dapat menurun.

Serapan hara NPK


Serapan hara NPK padi sawah meningkat sejalan dengan
meningkatnya dosis pupuk yang diberikan. Serapan hara tertinggi terlihat dari
pemberian pupuk sebanyak 100% dari dosis rekomendasi dan terrendah
adalah pada tanpa pemberian pupuk (Gambar 1).

408
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

1.8
1.6
1.4

Serapan NPK
1.2
1
0.8 R² = 0.9305
0.6
0.4
0.2 Dosis Pupuk
0
0% 25% 50% 75% 100%
Gambar 1. Serapan hara NPK tanaman padi sawah pada pemberian pupuk

Meningkatnya total serapan hara NPK oleh tanaman sesuai dosis pupuk
yang diberikan hal ini menggambarkan bahwa varietas yang digunakan sangat
respon terhadap pemberian pupuk. Tanpa pemberian pupuk biasanya varietas
ini akan memberikan hasil yang sangat rendah. Varietas tanaman padi yang
respon dengan pemberian pupuk menurut Las dkk (2002) umumnya adalah
dari varietas unggul baru atau varietas hybrida. Varietas yang digunakan dalam
penelitian ini adalah varietas Ciherang yang merupakan varietas unggul yang
sudah digunakan oleh kebanyakan petani di Sumatera Utara.
Serapan hara NPK dengan hasil gabah memperlihatkan hubungan yang
erat dan linier yaitu R2=0.935 (Gambar 2).

Gambar 2. Hubungan serapan hara NPK dengan hasil gabah pada beberapa
taraf pemberian pupuk menurut PUTS

Semakin banyak pemberian pupuk maka hasil yang diberikan juga


meningkat hingga pemberian 75% pupuk. Peningkatan dosis pupuk hingga
100% hasil cenderung merata atau tidak meningkat walaupun ada
kecenderungan serapan hara NPK tetap meningkat.

Komponen hasil dan hasil gabah


Komponen hasil dan hasil gabah dipengaruhi oleh takaran pemberian
pupuk. Pemberian pupuk yang semakin banyak memberikan hasil yang banyak

409
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pula. Namun pemberian pupuk 75% dari dosis rekomendasi rata-rata tidak
berbeda nyata dengan takaran pupuk pada pemberian 100% (Tabel 4).

Tabel 4. Komponen hasil dan hasil gabah padi sawah pada pemberian pupuk
menurut PUTS
Jumlah Panjang Jumlah Gabah Bobot Gabah
Dosis
malai/rpn malai gabah/malai hampa 1000 btr (t/ha)
Pupuk
(batang) (cm) (butir) (%) (g) GKG

0% 9.22 d 21.18 b 115.60 b 20.38 a 29.94 b 5.63 c


25% 10.48 cd 22.00 b 117.22 b 20.36 a 30.32 b 6.60 b
50% 11.62 bc 22.74 b 131.61 a 14.01 b 30.34 b 6.73 b
75% 13.44 ab 24.82 a 138.83 a 13.68 b 31.17 a 7.55 a
100% 13.64 a 24.52 a 140.41 a 14.52 b 31.77 a 7.55 a

CV(%) 16.27 6.85 9.12 20.86 5.41 11.60


Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
padataraf 5% DMRT

Komponen hasil dan hasil terrendah terlihat pada tanpa pemberian


pupuk kecuali terhadap gabah hampa memberikan persen yang tertinggi.
Tingginya gabah hampa yang dihasilkan dari tanpa pemberian pupuk
disebabkan karena tanaman hanya memanfaatkan unsur hara yang tersedia
ditanah. Tanah yang digunakan dalam penelitian ini tidaklah seimbang yaitu
dengan kadar N tinggi, P rendah dan K sedang. Tingginya kadar N ditanah
menyebabkan serapannya oleh tanaman juga tinggi, akibatnya proses
pembentukan gabah yang bernas akan terganggu. Dalam proses
pembentukan gabah Menurut Dobermann dan Fairthurts (2000) diperlukan
unsur hara yang cukup dan berimbang. Hasil terbanyak diberikan oleh
pemberian pupuk sebanyak 75% dari dosis rekomendasi dan tidak berbeda
dengan pemberian pupuk sebanyak 100% dari dosis rekomendasi. Dari data
hasil ini memperlihatkan bahwa pada lahan yang diuji untuk mendapatkan hasil
yang terbaik cukup dilakukan pemberian pupuk sebanyak 75% dari dosis
rekomendasi atau 25% lebih rendah dari dosis anjurannya. Pemberian pupuk
yang berlebihan akan berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan
pemborosan terhadap biaya produksi. Zaini dkk (2009) mengemukakan bahwa
akibat pemberian pupuk yang tidak terkontrol dalam memacu peningkatan hasil,
banyak lahan sawah saat ini dilaporkan telah terjadi penurunan
produktivitasnya untuk itu perlu dilakukan pemberian pupuk secara berimbang
dan berwawasan lingkungan.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan :
1. Serapan hara NPK meningkat sejalan dengan meningkatnya dosis
pemberian pupuk
2. Serapan hara NPK dengan hasil gabah masih memperlihatkan hubungan
yang linier

410
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

3. Hasil gabah terbanyak 7,55 t/ha diperoleh dari pemberian pupuk sebanyak
75% Urea, SP-36 dan KCl (150, 75 dan 37.5 kg/ha) dan tidak berbeda
dengan pemberian pupuk sebanyak 100% dari dosis rekomendasi (Urea,
SP-36 dan KCl berturut 200, 100 dan 50 kg/ha).

DAFTAR PUSTAKA

Broadbent, F.E., 1979. Mineralization of organic nitrogen in paddy soils. In


Nitrogen and Rice. International Rice Research Institut. Los Banos,
Philippines.
Cooke, G.W. 1985. Fertillizing for maximum yield. Granada Publishing Lmt.
London. p. 75-87.
De Datta, S.K. 1981. Principles and practices of rice production.John Willey
and Sons. New York. 618 p.
Dobermann, A., and T. H. Fairthurts. 2000. Rice Nutrient Disorders and Nutrient
Management. International Rice Research Institute (IRRI). Los Banos.
Philipinnes.192p
Fairhurst, T.H.and C.Witt. 2002. Rice : A practical guide to nutrient
management. International Rice Research Institute. Manila, Philippines.
Freney, J.R.,M.B. Peoples and A.R. Mosier. 1995. Efficient use of fertilyzer
nitrogen by crops. Food and Fertilyzer Tecnology Center.
Las, I., A.K.Makarim, H.M.Toha, A.Gani, H.Pane dan S.Abdurrahman. 2002.
Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu padi
sawah irigasi. Departemen Pertanian. 37 hal.
Musfal, 2012. Efek PUTS dan penambahan bahan organik pada kegiatan
Demfarm padi sawah. Prosiding Seminar Nasional Faperta USU.
Medan 3-5 April 2012. Vol.2 : 249-253.
Setyorini, D.,L.R. Widowati dan A.Kasno. 2006. Petunjuk penggunaan
perangkat uji tanah sawah versi 1:1. Balai Penelitian Tanah. Bogor.37
hal.
Subagyo, H.N., Suharta dan A.B. Siswanto. Tanah tanah pertanian di Indonesia
.Dalam Sumberdya lahan Indonesia dan pengelolaannya. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. hal 21-65.
Zaini, Z.,S.Abdurrachman, N. Widiarta, P.Wardana ,D.Setyorini, S.Kartaatmaj
dan M.Yamin. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Departemen
Pertanian, Badan Litbang Pertanian. 20 hal.

411
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR DAN HARA PADA


TANAMAN PADI DI LAHAN PASANG SURUT

Azri dan Muhammad Hatta

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat


Jl. Budi Utomo 45 Siantan Hulu Pontianak
Email : azrisaja@yahoo.co.id

ABSTRAK

Luas lahan pasang surut di Kalimantan Barat adalah 1.904.100 ha atau


12,95% dari total luas wilayah 14,680.700 ha BPS 2014). Lahan pasang surut
merupakan lahan marginal yang dicirikan adanya permasalahan keracunan
pirit, interusi air laut, salinitas, sehingga produktifitasnya rendah. Permasalahan
antara lain produktivitas tanah yang rendah dan proses fisikokimia masih
berlangsung dan adanya keracunan besi dan mangan. Produktivitas tanah
yang rendah pada lahan sawah pasang surut karena kosentrasi Al, Fe dan Mn
cukup tinggi, kekahatan Ca dan Mg, unsur K mudah tercuci dan adanya jerapan
P, S dan Mo serta adanya pengaruh konsentrasi H + yang tinggi. Pengkajian
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat ulangan,
dengan perlakuan : teknologi pemupukan padi :T1 = Sesuai anjuran setempat,
kebiasaan petani, T2 = Pengairan satu arah dikapur dan dipupuk NPK
berdasarkan hasil analisis tanah serta diberi bahan organik 5 ton/ ha, dan
varietas padi : V1= Banyu Asin, V2= Situ Begendit dan V3= Inpara3. Hasil
pengkajian menunjukkan teknologi anjuran (T2) nyata meningkatkan produksi
padi sebesar 0.99 ton/ha dibanding cara petani (T1). Produktivitas padi
varietas Inpari 3 tertinggi (3.91 ton/ha) diikuti varietas Banyu Asin (3.77 ton/ha)
dan varietas Situ Begendit (3.29 ton/ha).
Kata Kunci : Pengelolaan air, hara , padi pasang surut.

PENDAHULUAN
Luas lahan pasang surut di Kalimantan Barat adalah 1.904.100 ha atau
12,95% dari total luas wilayah 14,680.700 ha (BPS 2014). Lahan pasang surut
merupakan lahan marginal yang dicirikan adanya permasalahan keracunan
pirit, interusi air laut, salinitas, sehingga produktifitasnya rendah. Permasalahan
antara lain produktivitas tanah yang rendah dan proses fisikokimia masih
berlangsung dan adanya keracunan besi dan mangan (Nursyamsi dkk., 1996).
Produktivitas tanah yang rendah pada lahan sawah pasang surut karena
kosentrasi Al, Fe dan Mn cukup tinggi, kekahatan Ca dan Mg, unsur K mudah
tercuci dan adanya jerapan P, S dan Mo serta adanya pengaruh konsentrasi H +
yang tinggi. Pada kondisi reduksi atau tergenang terus menerus pada lahan
sawah pasang surut akan meningkatkan ketersediaan besi fero dalam yang
dalam konsentrasi teertentu dapat meracuni taaman padi. Konsentrasi besi fero
setelah penggenangan selama 3 – 4 minggu meningkat sekitar 600 ppm
(Ponnamperuma, 1997), Batas kritis konsentrasi besi fero yang dapat meracuni
padi sekitar 300 ppm.

412
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pada lahan sawah pasang surut disamping adanya keracunan besi,


kekahatan unsur hara seperti P, K, Ca, Mg dan Zn sering terjadi pada tanaman
padi. Kekahatan unsur hara tersebut disebabkan rendahnya kemampuan akar
menyerap unsur hara, sehingga akar lebih banyak menyerap besi fero sehingga
tanaman padi sering terjadi keracunan besi. Kahat unsur hara tersebut besar
pengaruhnya terhadap keracunan besi pada tanaman padi apabila
dibandingkan dengan konsentrasi besi fero yang tinggi pada lahan sawah
bukaan baru.

Perluasan areal tanaman padi di Kalimantan Barat melalui pencetakan


sawah baru telah dilakukan di beberapa kabupaten dan luasannya telah
mencapai 17.000 hektar (Dirjen PSP, 2012). Namun demikian perluasan lahan
sawah baru untuk tanaman pangan termasuk di lahan sulfat masam yang masih
banyak mengalami kendala dan masalah terutama produktivitas lahan yang
masih rendah karena konsentrasi toxic Fe, Al, Mn dan kahat akan unsur hara
P, K, Ca, Mg, Zn. Salah satu tantangan strategis yang dihadapi dalam upaya
peningkatan produktivitas lahan sawah pasang surutdi lahan sulfat masam
Kalimantan Barat adalah penanggulangan keracunan besi (Fe) dan
pengelolaan hara spesifik lokasi yang dapat meningkatkan produktivitas tanah.

Upaya yang perlu dilakukan untuk pengendalian keracunan besi pada


tanaman padi di lahan sawah pasang surut dengan pengelolaan drainase dan
pencucian pada lahan sawah untuk mengurangi konsentrasi kelarutan Fe2+,
pengelolaan hara dengan pemupukan berimbang dan pemberian bahan
amelioran.
Tujuan pengkajian ini adalah mengkaji pengelolaan air dan hara terhadap
produktivitas beberapa varietas padi pasang surut di Kalimantan Barat.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Desa Kali Mas, Kecamatan Sungai Kakap


Kabupaten Kubu Raya Propinsi Kalimantan Barat pada bulan Mei – September
2015.

Perlakuan disusun menurut rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4


ulangan. Faktor pertama adalah uji varietas (V1 = Banyu Asin,V2 = Situ
Begendit, V3 = Inpara 3 dan faktor kedua uji pupuk (T1 = Sesuai anjuran
setempat, kebiasaan petani dan T2 = Pengairan satu arah dikapur dan dipupuk
NPK berdasarkan hasil analisis tanah serta diberi bahan organik 5 ton/ ha).
Adapun ukuran petak percobaan 10 x 10 m (100m2). Pengaruh perlakuan
terhadap parameter yang diamati dilakukan analisis sidik ragam menggunakan
uji F pada taraf kepercayaan 5 % dan uji lanjut dengan DMRT.
Parameter yang diamati yaitu reaksi tanah (pH), C-Organik, N- total, P,
K, Ca, Mg dan Na tersedia, KPK, KB, Al, Fe, Mn dan Salinitas tanah. Parameter
lainnya mencakup pertumbuhan dalam fase vegetatif dan fase generatif,
komponen produksi padi (jumlah malai per rumpun, panjang malai, gabah isi

413
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dan hampa, bobot gabah perumpun, berat 1000 butir gabah, dan persentase
butir gabah bernas), serta hasil gabah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kandungan Hara Tanah
Jenis tanah lokasi pengkajian termasuk tanah Aluvial dengan jenis
pasang surut tipe B memiliki sifat sifat kimia tanah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Tanah Sebelum Perlakuanpada Lokasi Pengkajian


Parameter Uji Nilai Kriteria
pH (H2O) 4.50 Masam
C-organik (%) 15.48 Tinggi
N-total (%) 0.92 sangat tinggi
P Bray I (ppm) 16.51 Sedang
K-dd(me/100 g) 0.30 Rendah
Ca-dd(me/100 g) 5.05 Rendah
Mg-dd(me/100 g) 3.24 Tinggi
Na-dd(me/100 g) 0.47 Sedang
KTK (me/100 g) 43.10 sangat tinggi
KB (%) 22.12 Rendah
H-dd(me/100 g) 0.18
Al-dd(me/100 g) 0.18
Tekstur
- Pasir (%) 19
- Debu (%) 31
- Liat (%) 50
H2S /pirit (ppm) 198.18 sangat tinggi

Lokasi tanah rerata memiliki pH tanah 4.5 dengan kandungan hara tanah lokasi
pengkajian memiliki kemasaman tanah (pH) 4.50 tergolong masam,
kandungan hara N total (sangat tinggi), P (sedang), K (rendah), Ca (rendah)
dan Mg (tinggi), KTK (sangat inggi), KB (rendah). Berdasarkah hasil analisis
ternyata lokasi pengkajian ini memiliki tingkat kesuburan sangat rendah. Untuk
memperbaiki kesuburan tanah ini sangat diperlukan pemberian kapur dan
pemupukan.

Ketersediaan unsur hara terutama unsur unsur makro N, P dan K serta


unsur mikro dalam tanah rendah, sehingga sangat memerlukan pemberian
kapur dan pemupukan, agar tanaman dapat mencukupi kebutuhannya. Hai ini
menurut Nursyamsi dkk., (1996) bahwa lahan sawah pasang surut banyak
dijumpai permasalahan antara lain produktivitas tanah yang rendah dan proses
fisikokimia masih berlangsung dan adanya keracunan besi dan mangan.
Produktivitas tanah yang rendah pada lahan sawah pasang surut karena
kosentrasi Al, Fe dan Mn cukup tinggi, kekahatan Ca dan Mg, unsur K mudah
tercuci dan adanya jerapan P, S dan Mo serta adanya pengaruh konsentrasi H +
yang tinggi

414
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pada Tabel 1. Ternyata tanah lokasi pengkajian ini mengandung kadar


pirit sangat tinggi, pirit ini sangat berbahaya bagi tanaman karena dapat
meracuni tanaman. Pada lahan sawah pasang surut disamping adanya
keracunan besi, kekahatan unsur hara seperti P, K, Ca, Mg dan Zn sering terjadi
pada tanaman padi. Kekahatan unsur hara tersebut disebabkan rendahnya
kemampuan akar menyerap unsur hara, sehingga akar lebih banyak menyerap
besi fero sehingga tanaman padi sering terjadi keracunan besi. Kahat unsur
hara tersebut besar pengaruhnya terhadap keracunan besi pada tanaman padi
apabila dibandingkan dengan konsentrasi besi fero yang tinggi pada lahan
sawah bukaan baru

Berdasarkan hasil analisis tanah setelah pengkajian, ternyata terdapat


perubahan sifat kesuburan kimia tanah gambut di lokasi pengkajian, perubahan
pH tanah, kandungan N, P dan K, Ca, Mg, KTK dan KB tanah gambut setelah
pemberian perlakuan (T2). Hal tersebut dapat memperbaiki sifat kimia tanah
(hara N, P,K, Ca, Mg dan lainnya) sehingga dapat meningkatkan kesuburan
tanah.
Pada Tabel 2, ternyata dengan pengelolaan air dan hara (anjuran) dapat
memperbaiki sifat kimia tanah seperti meningkatkan pH, kandungan C, N, P,K,
Ca, Mg, KTK dan KB. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Hartatik (1998)
penggenangan pada lahan sawah pasang surut berpengaruh nyata terhadap
peningkatan pH tanah. Penggenangan pada lahan sawah pasang surut selain
dapat meningkatkan pH tanah juga dapat meningkatkan ketersediaan N, P, K,
Ca, Si, dan Mo serta dapat menurunkan Cu dan Zn (Ponnamperuma, 1996),

Tabel 2. Rata-rata Hasil Analisis Tanah Setelah Perlakuan


Perlakuan
T1 (cara T2
Parameter Uji V1 V2 V3
Petani) (Anjuran)
pH (H2O) 5.19 4.83 5.0 4.79 5.2
C-org (%) 28.62 27.09 31.64 24.63 28.59
N-total (%) 1.74 1.63 1.79 1.72 1.71
P Bray I(ppm) 30.16 39.28 42.32 31.26 40.18
K-dd(me/100 g) 0.47 0.42 0.40 0.38 0.47
Na-dd (me/100 g) 4.93 4.51 4.54 4.96 3.22
Ca-dd (me/100 g) 8.85 4.94 10.76 5.10 6.98
Mg-dd (me/100 g) 8.25 8.29 9.26 8.04 9.16
KTK (me/100 g) 70.56 67.98 77.87 70.13 74.15
KB (%) 33.40 34.82 30.51 32.13 33.68
H-dd (me/100 g) 0.41 0.37 0.41 0.49 0.30
Al-dd(me/100 g) 0.10 0.09 0.05 0.08 0.07
H2S (ppm) 210.74 172.95 178.90 201.40 173.18

Sistem pengairan terputus dapat mengendalikan keracunan besi pada


lahan sawah bukaan baru. Perlakuan drainase terputus berpengaruh positif
terhadap penurunan konsentrasi besi fero sehingga serapan besi fero oleh akar
tanaman berkurang dan meningkatkan serapan hara P, K, Ca dan Mg.

415
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sedangkan kandungan pirit (H2S) pada tanah, dengan perlakuan (T2) teknologi
anjuran yaitu pengairan satu arah, pemmberian kapur sebanyak 5 ton/ha,
pemupukan berdasarkan hasil analisis tanah serta diberi bahan organik 5
ton/ha dapat mengurangi kadar pirit sebesar 28.22 ppm dibanding dengan cara
petani (T1). Menurut Scherer et. al., (2007) bahwa kemasaman tanah (H+)
dapat diatasi dengan aplikasi basa - basa terutama Ca atau Mg oksida, Ca atau
Mg karbonat dan Ca atau Mg silikat, dimana Ca dan Mg terkandung pada kapur.
Ditambahkan oleh Kertonegoro (2006), bahan organik ini dapat menyediakan
unsur – unsur hara yang diperlukan tanaman seperti nitrogen (N), fosfor (P),
dan belerang (S), dapat memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik,
memperbaiki aerasi tanah, permeabilitas tanah, lengas tanah dan
meningkatkan kemampuan pertukaran ion dalam tanah.

Komponen Pertumbuhan Tanaman Padi


Berdasarkan hasil pengkajian, perlakuan (T2) dengan pengairan satu
arah, pemmberian kapur sebanyak 5 ton/ha, pemupukan berdasarkan hasil
analisis tanah serta diberi bahan organik 5 ton/ha ternyata tinggi tanaman dan
panjang malai tidak beda nyata dengan cara petani (T1) namun beda nyata
dalam hal jumlah anakan produktif. Hal ini diduga tanaman padi mengalami
cekaman abiotik seperti kandungan garam dan pirit yang tinggi (tabel 1 dan 2).
Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon
dalam bentuk kerusakan langsung tetapi dalam bentuk pertumbuhan tanaman
yang tertekan dan perubahan secara perlahan (Sipayung, 2003). Menurut
Makarim (2007) tingkat keparahan tanaman padi terhadap keracunan besi
bergantung pada (1) ketahanan Air dalam larutan yang berkonsentrasi garam
rendah (sel akar tanaman) bergerak menuju larutan berkadar garam tinggi
(tanah). Akibatnya, tanaman kehilangan air, sulit menyerap hara dan tanaman
layu kekeringan meskipun tanah cukup air.
Jumlah anakan maksimum pada varietas Inpara 3 tidak berbeda nyata
dengan varietas Banyu Asin (Tabel 3).
Table 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi
Tinggi Tanaman Jumlah Anakan Panjang Malai
Sistem
(cm) (Batang) (cm)
T1 (Petani) 72.75 a 13.11 b 22.38 a
T2 (Anjuran) 73.60 a 14.97 a 23.31 a
Varietas
V1 (Banyu Asin) 73.34 a 14.03 a 23.05 a
V2 (Situ Begendit) 72.15 a 12.88 b 22.79 a
V3 (Inpara 3) 74.04 a 15.42 a 23.69 a
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak bebeda nyata pada
taraf uji 5 % DMRT
Ke dua varietas ini berbeda nyata dengan varietas Situ Begendit.
Jumlah anakan produktif per rumpun paling banyak terdapat pada varietas
Inpara 3 (15.42 batang) diikuti dengan varietas Banyu Asin dan varietas Situ

416
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Begendit masing-masing 14,03 batang dan 12.88 batang). Hal ni sesuai


dengan diskripsi masing masing varietas jika dibandingkan dengan deskripsi
masing-masing VUB Inpara 3 (17 batang), Banyu Asin (10-15 batang) dan Situ
Begendit (12-13 batang).

Komponen Produksi Tanaman Padi


Hasil analisis sidik ragam terhadap hasil gabah kering panen (GKP)
didapatkan bahwa (T2) dengan pengairan satu arah + dikapur 5 ton/ha +
dipupuk NPK berdasarkan hasil analisis tanah + bahan organik 5 ton/ha
berpengaruh nyata dengan perlakuan anjuran setempat (T1) yaitu produksinya
masing-masing yaitu 3.65 – 2.66 ton/ha atau terjadi peningkatan produksi
sebesar 0.99 ton/ha , seperti pada tabel 4. Hal ini diduga dengan pemberian
kapur didalam tanah akan membentuk larutan CaCO3 di dalam tanah sehingga
akan mengurangi yang konsentrasi Al dan menaikkan pH tanah. Menurut
Scherer et. al., (2007) bahwa kemasaman tanah (H+) dapat diatasi dengan
aplikasi basa - basa terutama Ca atau Mg oksida, Ca atau Mg karbonat dan Ca
atau Mg silikat, dimana Ca dan Mg terkandung pada kapur. Disamping itu juga
penambahan bahan organik berupa pupuk kandang dapat memperbaiki dan
berpengaruh positif terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan dan panjang
malain. Menurut Kertonegoro (2006), bahan organik ini dapat menyediakan
unsur – unsur hara yang diperlukan tanaman seperti nitrogen (N), fosfor (P),
dan belerang (S), dapat memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik,
memperbaiki aerasi tanah, permeabilitas tanah, lengas tanah dan
meningkatkan kemampuan pertukaran ion dalam tanah.

Penggunaan varietas padi beda nyata dimana Inpara 3 menghasilkan


gabah, berat 1000 butir dan produksi tertinggi diikuti dengan Banyu Asin. Hasil
gabah terendah diperoleh pada perlakuan varietas Situ Begendit (3.29 ton/ha)
(Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Komponen Produksi Padi


Gabah Gabah isi 1000 butir
Sistem
Hampa (%) (%) (g) Produksi (ton/ha)
T1 (Petani) 29.39 a 70.61 b 24.13 b 2.66 c
T2 (Anjuran) 23.19 b 76.81 a 28.61 a 3.65 b
Varietas
V1 (Banyu Asin) 23.77 b 76.23 a 25.57 ab 3.77 ab
V2 (Situ Begendit) 27.43 a 72.57 b 24.63 b 3.29 b
V3 (Inpara 3) 27.68 a 72.32 b 28.42 a 3.91 a
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak bebeda nyata pada
taraf uji 5 % DMRT
Persentase peningkatan hasil gabah tertinggi didapatkan pada varietas
Inpari 3 (3.91 ton/ha) diikuti varietas Banyu Asin (3.77 ton/ha) dan varietas Situ
Begendit (3.29 ton/ha). Hasil penelitian ini masih lebih rendah dibanding dengan
diskripsi masing – masing yaitu 5.6 ton; 6 ton/ha dan 3.5 ton/ha. Menurut

417
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Atman (2005), salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan hasil gabah
adalah meningkatnya nilai komponen pertumbuhan dan komponen hasil
tanaman, antara lain: jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah
per malai, dan persentase gabah bernas.

KESIMPULAN

1. Sistem T2 (anjuran) memberikan hasil yang terbaik dibanding T.1 (cara


petani).
2. Hasil tertinggi diperoleh pada padi varietas Inpara 3 dengan sistem
pengairan satu arahyang diberi kapur, dipupuk dan diberibahan organik (T.2)

DAFTAR PUSTAKA
Atman. 2005. Pengaruh sistem tanam bershaf dengan P-starter (shafter) pada
padi sawah varietas Batang Piaman. Jurnal Stigma Vol. XIII No. 4,
Oktober-Desember 2005. Faperta Universitas Andalas Padang; hlm
579-582. Balai Penelitian Tanah. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia
Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Besar Litbang Sumber Daya
Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 90 p.
BPS Propinsi Kalbar. 2014. Kalimantan Barat Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 441 p.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Pedoman Teknis
Perluasan Areal Tanaman Pangan : Cetak Sawah Tahun 2012.
Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal
Prasarana dan Sarana Pertanian. 76 p.
Gomez, Kwanchai A, and Arturo A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for
Agricultural Research. Second Edition. An International Rice Research
Institute Book. A wiley Interscience Publication. P. 1-15; 97-116;121-
156.
Hartatik. 1998. Pengaruh Potensial Redoks Terhadap Ketersediaan Hara pada
Tanaman Padi Sawah p. 19 – 33. Pros. Pertemuan. Pembahasan dan
komunikai Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Kertonegoro, B.D. 2006. Bahan Humus Tanah. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian UGM Yogyakarta.
Makarim, A. K. 2007. Cekaman Abiotik Utama dalam Peningkatan
Produktivitas Tanaman, Seminar Nasional Pemanfaatan Bioteknologi
untuk Mengatasi Cekaman Abiotik pada Tanaman, Balai Besar
Penelitian Padi
Nursyamsi, D. , D. Setyorini dan J. Sri Adiningsih. 1996. Pengelolaan Hara dan
Pengaturan Drainase untuk Menanggulangi Kendala Produktivitas
Sawah Baru. P. 113 – 127. Pros. Pertemuan. Pembahasan dan
komunikai Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Ponnamperuma, F.M. 1996. Spesific Soil Chemical Characteristic for Rice
Production in Asia. IRRI Research Paper Series Nanta. Philippines.
Ponnamperuma, F.M. 1997. The Chemestry of Submarged Soils. Adv. Arpen.
On. 29-96.

418
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Scherer H W., Mengel K., Dittmar H., Drach M., Vosskamp R., and Trenkel M.
E., 2.007. Fertilizers. Ullmann’s Agrochemicals, Vol. 1. Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim.
Sipayung, R. 2003. Stress Garam dan Mekanisme Toleransi Tanaman.
Http://www.library.USU.ac.id/download/fp/bdp.rosita2.pdf. diakses
pada tanggal 25 Maret 2008.

DISKUSI
Nama Penanya : Ir. Akmal, M.Si ( BPTP SUMUT)
Pertanyaan : Kenapa pada perlakuan V2 kerapatan hasil jumlah
anakan paling sedikit tetapi produksi gabah paling tinggi
ini ?
Jawaban : Karena yang kami amati jumlah anakan total ini ada
kaitannya dengan persentase gabah isi, panjang
malai dan komponen lainnnya.

419
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN PADI DI KABUPATEN


MEMPAWAH KALIMANTAN BARAT

Azri

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat


Jl. Budi Utomo 45 Siantan Hulu Pontianak
Email :azrisaja@yahoo.co.id

ABSTRAK

Produktivitas padi di kabupaten Mempawah tahun 2014 tergolong


rendah yaitu 3,20 sampai 3,5 ton/ha. Rendahnya produksi padi dikarenakan
selama ini petani menggunakan pupuk seadanya dan anjuran dari Dinas
Pertanian setempat belum spesifik lokasi. Pemupukan berimbang adalah
pemberian pupuk sesuai dengan kondisi tanaman dengan mempertimbangkan
kondisi ketersediaan hara dalam tanah. Pengelolaan hara berimbang yang
berarti perbandingan jumlah unsur hara yang satu dengan unsur hara yang lain
tersedia bagi tanaman (dari dalam tanah maupun pupuk). Metode Analisis
digunakan dalam penelitian ini berupa survey lapangan dengan pengambilan
sampel tanah menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan
Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR). perangkat uji tanah sawah digunakan
untuk menganalisis sampel tanah sawah dan sawah tadah hujan, sedangkan
perangkat uji tanah rawa digunakan tanah rawa atau daerah pasang surut.
Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara acak setiap 100 m diambil
dari beberapa titik lalu dikompositkan kemudian dianalisis dan ditetapkan
rekomendasi pupuk untuk tanaman padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Kabupaten Mempawah terdiri dari 3 tipologi lahan sawah yaitu sawah pasang
surut, sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Petani dilahan pasang surut dan
sawah tadah hujan biasanya menanam padi dua kali dan dilahan sawah irigasi
tiga kali setahun, tingkat kandungan hara tanah bervariasi dari rendah, sedang
sampai tinggi sehingga memerlukan dosis pemupukan yang berbeda.

Kata kunci : Pemupukan berimbang, pemupukan spesifik lokasi, PUTS dan


PUTR
PENDAHULUAN

Produktivitas padi di kabupaten Mempawah tahun 2014 tergolong


rendah yaitu 3,20 sampai 3,5 ton/ha. Rendahnya produksi padi dikarenakan
selama ini petani menggunakan pupuk seadanya dan anjuran dari Dinas
Pertanian setempat belum spesifik lokasi.Pemupukan spesifik lokasi adalah
pemberian pupuk sesuai dengan kondisi tanaman dengan mempertimbangkan
kondisi ketersediaan hara dalam tanah.

Pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk sesuai dengan kondisi


tanaman dengan mempertimbangkan kondisi ketersediaan hara dalam tanah.
Pengelolaan hara berimbang yang berarti perbandingan jumlah unsur hara
yang satu dengan unsur hara yang lain tersedia bagi tanaman (dari dalam tanah
maupun pupuk). Pengelolaan hara berimbang merupakan tindakan
pemupukan tanaman dengan mempertimbangkan kadalam tanah maupun
yang yang terdapat dalam jaringan tanaman. Pemupukan berdasarkan analisis

420
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tanah adalah pemupukan dengan memperhatikan jumlah unsur hara yang


dibutuhkan oleh tanaman dengan memperhatikan kandungan hara dalam
tanah. Ketidakseimbangan hara dapat dihindari jika takaran pupuk mengacu
pada konsep pemupukan berimbang yang didasarkan analisis hara
tanah.Pemupukan berimbang spesifik lokasi menjamin keseimbangan hara
dalam tanah, selama belum terjadi penurunan C-organik yang dapat memicu
degradasi tanah. Untuk memaksimumkan efisiensi serapan hara pupuk dan
mengoptimalkan produktivitas, kandungan C-organik tanah sawah harus >1,5%
(Djaenudin dkk.,2003). Penerapan pendekatan PHSL dalam PTT antara lain
menggunakan teknologi uji tanah, seperti Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS).
Tujuannya adalah untuk menentukan ketersediaan hara dalam tanah secara
akurat lalu menginformasikannya ke petani bahwa tanahnya telah kekurangan
atau kelebihan beberapa unsur hara.Penerapan inovasi teknologi uji tanah
menggunakan PUTS dan Peta Status Hara P dan K Tanah Sawah untuk
menentukan rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah spesifik lokasi
dapat menghemat pupuk urea 540.000 ton, SP-36 270.000 ton, dan KCl
270.000 ton (Las dkk.,2009). Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR) untuk tanah
sulfat masam potensial (Al-Jabri dkk., 2010) daerah pasang surut juga telah
dikembangkan dan diluncurkan pada 13 Juli 2011 oleh Kepala Badan Litbang
Pertanian pada Pekan Pertanian Rawa Nasional I di Banjarbaru, Kalimantan
Selatan, namun perlu dilakukan uji lapang yang lebih luas. Teknologi uji tanah
dengan PUTS. Teknologi uji tanah bermanfaat dalam menentukan
rekomendasi pemupukan secara tepat sehingga usaha tani lebih
menguntungkan.Sejarah perkembangan teknologi uji tanah bertitik tolak dari
hukum minimum Liebig yang dicetuskan oleh Justus von Liebig (1803-1873)
sebagai BapakUji Tanah. Hukum minimum Liebig dideklarasikan pada tahun
1840, yang menyatakan bahwa jika ketersediaan satu unsur hara berada di
bawah nilai batas kritis, maka unsur hara tersebut dapat menjadi faktor
pembatas pertumbuhan tanaman. Teknologi uji tanah pertama kali
dikembangkan di Indonesia pada tahun 1970 oleh peneliti Balai Penelitian
Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian (dulu Lembaga Penelitian Tanah/Pusat Penelitian Tanah) dengan
menggunakan SNSA untuk menduga kecukupanhara. Kecukupan hara bagi
tanaman diduga melalui teknik uji tanah sebagai dasar pengembangan PUTS,
yang meliputi tujuh tahap kegiatan sebagai berikut: (1) survei karakterisasi
tanah di wilayah penelitian; (2) studi penjajagan hara dari tipe tanah; (3) studi
korelasi antara hara terekstrak dan pertumbuhan tanaman untuk memilih
metode ekstraksi terbaik; (4) penelitian kalibrasi uji tanah; (5) pendugaan kurva
respons pemupukan; (6) penelitian efisiensi pemupukan; dan (7) rekomendasi
pemupukan (Widjaja-Adhi 1993). Rekomendasi pemupukan berimbang spesifik
lokasi sesuai dengan status hara dan kebutuhan tanaman dapat meningkatkan
efisiensi pupuk tanpa merusak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun rekomendasi pemupukan


pada tanaman padi di Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat.

421
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian adalah kabupaten Mempawah meliputi daerah pasang


surut dan sawah irigasi (tadah hujan). Waktu penelitian dilakukan bulan Januari
sampai dengan Desember 2014.

Metode Analisis

Metode Analisis digunakan dalam penelitian ini berupa survey lapangan


dengan pengambilan sampel tanah menggunakan perangkat uji tanah sawah
(PUTS) dan perangkat uji tanah rawa (PUTR).perangkat uji tanah sawah
digunakan untuk menganalisis sampel tanah sawah dan sawah tadah hujan,
sedangkan perangkat uji tanah rawa digunakan tanah rawa atau daerah pasang
surut. Penelitian ini menggunakan sampel tanah wilayah pendampingan
Sekolah Lapang Pengelolaan Terpadu (SLPTT) kabupaten Mempawah
Kalimantan Barat. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan cara acak
setiap 100 m diambil dari 4 titik lalu dikompositkan kemudian dianalisis dan
ditetapkan rekomendasi pupuk untuk tanaman padi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis dan Penilaian Kesuburan Tanah

1. Kecamatan Siantan
Kegiatan pendampingan SLPTT yang dilakukan pada Kecamatan
Siantan adalah di Desa Wajok Hilir dan sungai Nipah, berdasarkan hasil
pengamatan dilapangan daerah ini daerah pasang surut tipe B, dimana air
pasang akan masuk kelahan sawah bila pasang besar. Umumnya petani
menanam padi dengan 2 kali tanam yaitu musim gadu (bulan April sampai
dengan Agustus) dan musim rendengan (bulan September sampai dengan
Februari).
Hasil analisis dan penilaian terhadap kesuburan tanah, tanah Desa
Wajok Hilir memiliki tipologi lahan pasang surut tipe B dengan kandungan
Nitrogen sedang, phosphor rendah dan Kalium rendah. Sedangkan sampel
tanah Parit Haji Hasan desa sungai Nipah termasuk tipologi lahan pasang surut
tipe B dengan kandungan Nitrogen sedang, Phosphor rendah dan Kalium tinggi.
Kemasaman tanah daerah ini adaalah masam hal ini dicirikan dengan pH tanah
4-5 hal ini disajikan pada Tabel 1.

422
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Hasil Analisis Tanah dan Rekomendasi pemupukan Tanaman Padi


Wilayah SLPTT di Kabupaten Mempawah
No Desa Hasil Analisis Rekomendasi Pupuk (ha)
1 Parit To’ Adam Tipologi lahan : lahan pasang Urea = 200 kg
Wajok Hilir Kec. surut tipe B SP-36 = 100 kg
Siantan N = sedang KCl = 100 kg
P = rendah pH tanah 4-5 masam
K= rendah
2 Sungai Nipah Kec. Tipologi lahan : lahan pasang Urea = 200 kg
Siantan surut tipe B SP-36 = 100 kg
N = sedang KCl = 50 kg
P = rendah pH tanah 4-5 masam
K= tinggi
3 Malikian Kec. Tipologi lahan : lahan pasang Urea = 200 kg
Mempawah Timur surut tipe B SP-36 = 50 kg
N = tinggi KCl = 50 kg
P = tiggi pH tanah 5-6 agak masam
K= tinggi
4 Penibung Kec. Tipologi lahan : lahan pasang Urea = 200 kg
Mempawah Timur surut tipe B SP-36 = 100 kg
N = tinggi KCl = 50 kg
P = rendah pH tanah 5-6 agak masam
K= tinggi
5 Pasir Kec. Tipologi lahan : lahan pasang Urea = 200 kg
Mempawah Timur surut tipe B SP-36 = 100 kg
N = sedang KCl = 50 kg
P = rendah pH tanah 5-6 agak masam
K= tinggi
6 Terusan Kec. Tipologi lahan : lahan pasang Urea = 200 kg
Mempawah Timur surut tipe B SP-36 = 100 kg
N = tinggi KCl = 100 kg
P = rendah pH tanah 4-5 masam
K= rendah
7 Anjungan, Kec. Tipologi lahan : lahan sawah Urea = 200 kg
Anjongan irigasi SP-36 = 100 kg
N = sedang KCl = 50 kg
P = tinggi pH 5-6 agak masam
K= rendah
8 Dema, Kec Tipologi lahan : lahan sawah Urea = 200 kg
Anjongan irigasi SP-36 = 100 kg
N = rendah KCl = 100 kg
P = rendah
K= rendah pH 4 – 5 tanah masam
9 Pak Buluh, Kec Tipologi lahan : lahan sawah Urea = 200 kg
Anjongan irigasi SP-36 = 100 kg
N = rendah KCl = 50 kg
P = rendah pH tanah 4-5 masam
K= tinggi
10 Desa Sui Bundung Tipologi lahan : pasang surut Urea 200 kg/ha
Kec. Sungai Kunyit tipe C sawah Tadah hujan SP-36 100 kg/ha
N = rendah KCl 50 kg/ha
P = rendah pH tanah 5-6 agak masam
K= tinggi
11 Desa Bakau Besar Tipologi lahan : pasang surut Urea 200 kg/ha
Kec. Sungai tipe C sawah Tadah hujan SP-36 100 kg/ha
Pinyuh N = rendah KCl 50 kg/ha

423
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

P = rendah pH tanah 5-6 agak masam


K= tinggi
12 Desa Sepang Tipologi lahan : sawah Tadah Urea 200 kg/ha
Kec. Toho hujan SP-36 100 kg/ha
N = rendah KCl 50 kg/ha
P = rendah pH tanah 5-6 agak masam
K= tinggi
13 Kecurit Tipologi lahan : sawah Tadah Urea 200 kg/ha
Kec. Tohok hujan SP-36 100 kg/ha
N = rendah KCl 50 kg/ha
P = rendah pH tanah 4-5 masam
K= tinggi

2. Kecamatan Mempawah Timur


Kegiatan pendampingan SLPTT yang dilakukan pada Kecamatan
Mempawah Timur adalah di Desa Malikian, Penibung, Pasir dan
Terusan.Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan umumnya petani
menanam padi dengan 2 kali tanam yaitu musim gadu (bulan April sampai
dengan Agustus) dan musim rendengan (bulan September sampai dengan
Februari). Hasil analisis dan penilaian terhadap kesuburan tanah, tanah Desa
Malikian memiliki tipologi lahan pasang surut tipe B dengan kandungan
Nitrogen tinggi, phosphor tinggi dan Kalium tinggi.Sedangkan sampel tanah
Penibung termasuk tipologi lahan pasang surut tipe B dengan kandungan
Nitrogen tinggi, Phosphor rendah dan Kalium tinggi. Sampel tanah Desa Pasir
termasuk tipologi lahan pasang surut tipe B dengan kandungan Nitrogen
sedang, Phosphor rendah dan Kalium tinggi. Hasil analisis dan penilaian
terhadap kesuburan tanah, tanah Desa Terusan memiliki tipologi lahan pasang
surut tipe B dengan kandungan Nitrogen tinggi, phosphor rendah dan Kalium
rendah.

Kemasaman tanah untuk desa Malikian, Penibung dan Pasir adalah


agak masam hal ini dicirikan dengan pH tanah 5-6, sedangkan desa Terusan
pH tanah 4-5 masam.Kemasaman tanah (pH) merupakan indikator
ketersediaan hara dalam tanah. Semakin tinggi kemasaman tanah (pH tanah
rendah dengan nilai sekitar 4,2), maka ketersediaan hara makro semakin
rendah. Sebaliknya, ketersediaan hara mikro terutama Fe makin tinggi sampai
tingkat yang dapat meracuni tanaman. Kemasaman tanah sawah mineral pada
lahan bukaan baru nonpasang surut tergolong tinggi dengan pH 4,2 sehingga
dianjurkan untuk diberi kapur 1-2 t/ha sebagai amelioran. Kebutuhan kapur
sebanyak itu tidak rasional karena tidak menguntungkan. Pemberian
dolomit/kalsit 250-500 kg/ha lebih realistis sebagai nutrisi dan menciptakan
keseimbangan nisbah Ca/Mg, Ca/K, dan Mg/K dalam tanah (Al-Jabri 2007).

3. Kecamatan Anjongan
Kegiatan pendampingan SLPTT yang dilakukan pada Kecamatan
Anjongan adalah di Desa Anjongan, Pakbuluh dan Dema. Berdasarkan hasil
pengamatan dilapangan umumnya petani menanam padi dengan 3 kali tanam
yaitu musim Kemarau (bulan Januari sampai dengan April) Musim Kemarau 2
(bulan Mei sampai dengan September) dan musim hujan (bulan Oktober

424
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sampai dengan Februari). Hasil analisis dan penilaian terhadap kesuburan


tanah, tanah Desa Anjongan memiliki tipologi lahan sawah irigasi dengan
kandungan Nitrogen tinggi, phosphor tinggi dan Kalium tinggi. Hasil analisis
dan penilaian terhadap kesuburan tanah, tanah Desa Dema dengan kandungan
Nitrogen rendah, phosphor rendah dan Kalium tinggi, sampel tanah Desa Pak
Buluh, kandungan Nitrogen rendah, phosphor rendah dan Kalium tinggi.
Produktivitas tanaman padi sawah pada lahan bukaan baru dari ordo tanah
Ultisols dan Oxisols di daerah non pasang surut dan tanah sulfat masam di
daerah pasang surut belum maksimal karena tanaman keracunan Fe (Al-Jabri
dkk. 2000; Hartati dan Al- Jabri 2000; Al-Jabri 2002; Al-Jabri dan Juarsa 2007)
dan ketersediaan hara makro rendah. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian
pupuk N, P, K, dan kapur tepat waktu, tepat dosis, dan tepat cara.

Kemasaman tanah daerah ini adaalah masam hal ini dicirikan dengan
pH tanah 4-5 untuk sampel tanah dari Desa Pak Buluh dan Dema sedangkan
Desa Anjongan pH tanah 5-6 agak masam.

4. Kecamatan Sungai Kunyit


Kegiatan pendampingan SLPTT yang dilakukan pada Kecamatan
Sungai Kunyit adalah di Desa Sungai bundung. Berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan daerah ini daerah pasang surut tipe B, dimana air pasang akan
masuk kelahan sawah bila pasang besar. Umumnya petani menanam padi
dengan 2 kali tanam yaitu musim gadu (bulan April sampai dengan Agustus)
dan musim rendengan (bulan September sampai dengan Februari). Hasil
analisis dan penilaian terhadap kesuburan tanah, tanah Desa Sungai Bundung
dengan kandungan Nitrogen rendah, phosphor rendah dan Kalium tinggi.
Kemasaman tanah desa Sungai Bundung adalah agak masam hal ini
dicirikan dengan pH tanah 5-6.

5. Kecamatan Sungai Pinyuh


Kegiatan pendampingan SLPTT yang dilakukan pada Kecamatan
Sungai Pinyuh adalah di Desa Bakau Besar. Berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan daerah ini daerah pasang surut tipe B, dimana air pasang akan
masuk kelahan sawah bila pasang besar. Umumnya petani menanam padi
dengan 2 kali tanam yaitu musim gadu (bulan April sampai dengan Agustus)
dan musim rendengan (bulan September sampai dengan Februari). Hasil
analisis dan penilaian terhadap kesuburan tanah, tanah Desa Bakau Besar
dengan kandungan Nitrogen rendah, phosphor rendah dan Kalium tinggi.

Kemasaman tanah desa Bakau Besar adaalah agak masam hal ini
dicirikan dengan pH tanah 5-6.

6. Kecamatan Toho
Kegiatan pendampingan SLPTT yang dilakukan pada Kecamatan Toho
adalah di Desa Sepang dan Kecurit. Berdasarkan hasil pengamatan
dilapangan daerah ini daerah pasang surut tipe B, dimana air pasang akan
masuk kelahan sawah bila pasang besar. Umumnya petani menanam padi

425
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan 2 kali tanam yaitu musim gadu (bulan April sampai dengan Agustus)
dan musim rendengan (bulan September sampai dengan Februari). Hasil
analisis dan penilaian terhadap kesuburan tanah, tanah Desa Sepang dengan
kandungan Nitrogen rendah, phosphor rendah dan Kalium tinggi. Sedangkan
Desa Kecurit, kandungan Nitrogen rendah, phosphor rendah dan Kalium tinggi

Kemasaman tanah desa Sepang adaalah agak masam hal ini dicirikan
dengan pH tanah 5-6 dan Kecurit masam dengan pH 4-5.Pada prinsipnya,
penggenangan tanah sawah mineral masam merupakan self-liming effect (Al-
Jabri 2008), karena setelah empat minggu penggenangan pH tanah naik 1-2
unit. Tanaman padi dapat tumbuh baik pada kondisi kejenuhan Al < 60%, pH
tanah > 4,2, kalsium dapat ditukar (Ca-dd) > 2 cmol(+)/kg, kejenuhan Ca > 25%,
kebutuhan unsur hara N, P, dan K terpenuhi, dan kondisi tanah tergenang
(Haby dkk. 1990).

Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi

1. Kecamatan Siantan
Hasil rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi pasang surut
tipologi lahan B di Kecamatan Siantan, untuk Parit To’ Adam desa Wajok Hilir
pupuk urea Urea = 200 kg/ha, pupuk SP-36 =100 kg/ha dan KCl = 100 kg/ha,
Desa Sungai Nipah Urea = 200 kg, SP-36 = 100 kg dan KCl = 50 kg. Hasil
penelitian Syahri dan Renny Utamy Somantri (2013) bahwa pemupukan dilahan
rawa lebak Sumatera Selatan dengan menggunakan PUTS, KATAM terpadu
dan pemupukan cara petani produktivitas padi masing masing yaitu 5.6; 6,56
dan 5.3 ton/ha.

2. Kecamatan Mempawah Timur


Hasil rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi sawah irigasi di
Kecamatan Mempawah Timur, untuk desa Malikian pupuk urea Urea = 200
kg/ha, pupuk SP-36 =50 kg/ha dan KCl = 50 kg/ha, Desa Penibung Urea = 200
kg, SP-36 = 100 kg dan KCl = 50 kg, Desa Pasir Urea = 200 k, SP-36 = 100
kg, KCl = 50 kg dan Desa Terusan Urea = 200 k, SP-36 = 100 kgKCl = 100
kg.

3. Kecamatan Anjongan
Hasil rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi sawah irigasi di
Kecamatan Ajongan, untuk desa Anjongan pupuk urea Urea = 200 kg/ha, pupuk
SP-36 = 100 kg/ha dan KCl = 50 kg/ha, Desa Dema Urea = 200 kg, SP-36 =
100 kg dan KCl = 100 kg, Desa Pak Buluh Urea = 200 k, SP-36 = 100 kg,
KCl = 50 kg

4. Kecamatan Sungai Kunyit


Hasil rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi pasang surut tipologi
B di Kecamatan Sungai Kunyit di Desa Sungai Bundung , untuk pupuk urea =
200 kg/ha, pupuk SP-36 = 100 kg/ha dan KCl = 50 kg/ha.

426
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

5. Kecamatan Sungai Pinyuh


Hasil rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi pasang surut
tipologi B di Kecamatan Sungai Pinyuh di Desa Bakau Besar , untuk pupuk urea
Urea= 200 kg/ha, pupuk SP-36= 100 kg/ha dan KCl = 50 kg/ha.

6. Kecamatan Toho
Hasil rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi sawah tadah hujan
di Kecamatan Toho di Desa Sepang dan Kecurit, untuk pupuk urea Urea = 200
kg/ha, pupuk SP-36=100 kg/ha dan KCl = 50 kg/ha.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat diambil suatu


kesimpulan bahwa :

1) Kabupaten Mempawah terdiri dari 3 tipologi lahan sawah yaitu sawah


pasang surut, sawah irigasi dan sawah tadah hujan.
2) Petani dilahan pasang surut dan sawah tadah hujan biasanya
menanam padi dua kali yaitu musim gadu (bulan April sampai dengan
Agustus) dan musim rendengan (bulan September sampai dengan
Februari), dilahan sawah irigasi tiga kali yaitu musim Kemarau 1 (bulan
Januari sampai dengan April) Musim Kemarau 2 (bulan Mei sampai
dengan September) dan musim hujan (bulan Oktober sampai dengan
Februari)
3) Tingkat kandungan hara tanah bervariasi dari rendah, sedang sampai
tinggi sehingga memerlukan dosis pemupukan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabri, M., Maryam, W. Hartatik, S. Widati, dan D. Sutisni. 2000. Pengaruh


pemberian kapur dan pupuk fosfat terhadap sifat kimia air tanah dan
pertumbuhan tanaman padi untuk tanah sulfat masam aktual Belawang,
Kalimantan Selatan. hlm.217-234. Prosiding Seminar Nasional
Sumberdaya Lahan. Buku III. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Al-Jabri, M. 2002. Penetapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk
Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual
Belawang-Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pasca sarjana
Universitas Padjadjaran, Bandung
Al-Jabri, M., A. Dariah, dan A. Rachman. 2007. Teknologi Pemupukan Spesifik
Lokasi dan Konservasi Tanah di DesaLantapan, Kecamatan Galang,
Kabupaten Toli-Toli. Balai Penelitian Tanah, Bogor. 30 hlm.
Al-Jabri, M. dan I. Juarsa. 2007. Produktivitas tanaman padi sawah pada tanah
mineral masam di Lampung Timur. hlm. 301-309. Kongres Nasional IX
Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), 5-7 Desember 2007. UPN
“Veteran” Yogyakarta Press. Buku 1.
Al-Jabri, M. 2008. Pengelolaan hara terpadu pada lahan sawahdalam
hubungannya terhadap inovasi teknologinya menunjangP2BN. hlm. 1-20.
Dalam Teknologi Pengelolaan SumberdayaLahan. Prosiding Seminar

427
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Nasional dan Dialog Sumberdaya LahanPertanian. Balai Besar Penelitian


dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor
.Al-Jabri, M., E. Iskandar, dan L. Anggria. 2010. Perakitan perangkat uji tanah
sawah untuk menetapkan rekomendasi pemupukan secara cepat di lahan
sulfat masam. Kerja Sama antara Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Kementerian Riset dan
Teknologi.
Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagjo, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
154 hlm.
Haby, V.A., M.P. Russelle, and E.O. Skogy. 1990. Testing soils forpotassium,
calcium, and magnesium. pp. 181-228. In Westerman(Ed.) Soil Testing and
Plant Analysis. 1989. Third Ed. Soil Sci. Soc.Am., Inc., Madison, Wisconsin,
the USA.
Hartati, W. dan M. Al-Jabri. 2000. Pengaruh pemupukan P dan K terhadap sifat
kimia dan hasil padi pada sawah bukaan baru Ultisols Tugumulyo,
Sumatera Selatan. hlm. 201-215. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya
Lahan. Buku III. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Las, I., S. Rochayati, D. Setyorini, A. Mulyani, dan D. Subardja. 2009. Peta
potensi penghematan pupuk anorganik dan peningkatan penggunaan
pupuk organik. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Syahri dan Renny Utamy Somantri (2013) Respon Pertumbuhan Tanaman
Padi terhadap Rekomendasi Pemupukan PUTS dan KATAM Hasil Litbang
Pertanian di Lahan Rawa Lebak Sumatera Selatan.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1993.Konsep pengelolaan hara tanaman berdasarkan uji
tanah dan analisis tanaman. Makalah disajikan dalam Seminar Hasil
Penelitian Balittan Malang, 17-19 Februari 1993. Balittan, Malang.

428
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

OPTIMASI LAHAN SAWAH IRIGASI MELALUI DIVERSIFIKASI TANAMAN


DENGAN PENDEKATAN PTT DI PROVINSI JAMBI
Endrizal, Jumakir dan Julistia Bobihoe
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi

ABSTRAK

Pengkajian bertujuan untuk memanfaatkan lahan dengan pertanaman


padi dan pemeliharaan ikan melalui pendekatan pemgelolaan tanaman terpadu
(PTT) di lahan sawah irigasi guna meningkatkan produktivitas dan pendapatan
petani. Kegiatan dilaksanakan di lahan sawah irigasi Desa Sri Agung
Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi dari
bulan Maret sampai Juni 2012 dengan luas lahan 1,0 ha. Varietaspadi yang
digunakan adalah Ciherang sedangkan ikan yang ditebar adalah ikan nila dan
ikan patin dengan ukuran 8-12 cm sebanyak 4.000 ekor. Dari hasil pengkajian
menunjukkan bahwa persentase tumbuh tanaman padi mencapai 90 persen
dan keragaan tanaman padi cukup baik, sedangkan ikan Nila dan ikan Patin
pertumbuhannya baik. Varietas Ciherang memberikan hasil yaitu 6,00 t/ha
sedangkan Ikan Nila dan Ikan Patin hasilnya rata-rata 5 ekor/kg. Pendapatan
dari tanaman padi sebesar Rp 8.218.000 (70%) dan pendapatan dari ikan yaitu
Rp 3.633.000 (30%). R/C tanaman padi dan ikan yaitu 1,84 dan 1,43. Hal ini
menunjukkan bahwa secara ekonomis cukup layak untuk dikembangkan.

Kata kunci: PTT, Diversifikasi tanaman dan Lahan sawah irigasi

PENDAHULUAN

Provinsi Jambi dengan luas wilayah 5,1 juta hektar terdiri dari lahan
kering seluas 2,65 juta ha dan lahan pertanian tanaman pangan seluas 352.410
ha. Berdasarkan identifikasi dan karakterisasi AEZ terdapat kurang lebih
1.380.700 ha lahan kering untuk lahan pertanian yang sesuai untuk
pengembangan tanaman padi gogo, jagung dan palawija, sedangkan lahan
yang sesuai untuk tanaman padi sawah 246.482 ha. Tanaman padi dan
palawija merupakan komoditas penting di Provinsi Jambi sehingga menjadi
prioritas dalam menunjang program pertanian (Busyra dkk., 2000).

Hasil survei Participatory Rural Appraisal (PRA) BPTP Jambi


bekerjasama dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Provinsi Jambi, pada beberapa Kabupaten yang mempunyai irigasi teknis
seperti Kerinci, Merangin, Sarolangun, Tebo dan Tanjung Jabung Barat,
produksi padi dapat ditingkatkan dari rata-rata 3-4 t/ha menjadi 6-7 t/ha.
Rendahnya produktivitas padi di Provinsi Jambi terutama disebabkan: 1)
pengolahan tanah kurang sempurna, 2) penggunaan benih tidak bermutu,
petani biasanya menggunakan benih dari tanamannya sendiri. Benih bermutu
dan berlabel sulit didapat tepat waktu dan 3) penggunaan pupuk yang tidak
berimbang (Endrizal dkk., 2003). Dengan dicabutnya subsidi pupuk, sulit bagi

429
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

petani untuk membeli pupuk, karena harga mahal dan petani tidak
menggunakan pupuk buatan/pupuk kandang.

Menurut Abdullah dkk.,(2008), salah satu penyebab rendahnya produksi


padi adalah telah tercapainya potensi hasil optimum dari varietas unggul baru
(VUB) yang ditanam oleh petani atau terbatasnya kemampuan genetik varietas
unggul yang ada untuk berproduksi lebih tinggi (Balitpa, 2003). Selanjutnya
Menurut Abdullah dkk., (2008), VUB padi sawah perlu dikembangkan di
Indonesia, karena: 1) padi sawah merupakan pemasok utama produksi beras
nasional, sehingga penanaman VUB akan meningkatkan produktivitas,
produksi dan pendapatan petani, 2) VUB merupakan padi inhibrida, sehingga
produksi benih lebih mudah dan murah dan harga benih bermutu terjangkau
petani. Sejalan dengan pembangunan pertanian yang lebih memfokuskan
pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, maka perlu adanya
inovasi baru untuk memacu peningkatan produktivitas padi dan sekaligus
peningkatan pendapatan petani melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan
sumberdaya terpadu (PTT). Selanjutnya Las (2002), pendekatan PTT
merupakan alternatif pengelolaan padi secara intensif dengan tujuan untuk
memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan sawah irigasi dan
produktivitas padi. Dari hasil penelitian di 22 provinsi menunjukkan bahwa
penerapan model PTT dapat meningkatkan hasil gabah kering panen (GKP)
dari pada teknologi petani (non PTT) sebesar 18% atau sekitar 1,0 t/ha (Zaini
dkk.,2002 dan Budianto, 2003). Selanjutnya Suprihatno dkk., (2007), produksi
padi meningkat sekitar 16-27% lebih tinggi dari rata-rata produksi yang
diperoleh petani melalui PTT.

Upaya yang ditempuh untuk mengoptimalkan potensi lahan sawah irigasi


dan meningkatkan pendapatan petani adalah dengan mengubah strategi
pertanian dari sistem monokultur ke sistem diversifikasi pertanian, misalnya
menerapkan teknologi budidaya Mina-Padi. Budidaya ikan di sawah
merupakan salah satu sistem yang praktis untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan lahan pada areal pertanaman padi sawah irigasi. Dengan adanya
pemeliharaan ikan di persawahan selain dapat meningkatkan keragaan hasil
pertanian dan pendapatan petani, dapat meningkatkan kesuburan tanah dan
air serta dapat mengurangi hama penyakit pada tanaman padi. Mina padi
adalah salah satu sistem budidaya ikan di sawah dimana benih ikan disebar
ketika padi sudah berumur 7 hari. Untuk usaha ini tidak diperlukan kekhususan
konstruksi sawah, hanya saja perlu dibuatkan kemalir (caren), yaitu semacam
parit disekeliling dalam petakan sawah dengan diagonal atau menyilang pada
petakan sawah. Kemalir ini berfungsi sebagai tempat berlindung ikan dan untuk
memudahkan dalam pemanenan ikan. Ukuran lebar kemalir umumnya berkisar
antara 40 - 60 cm dengan kedalaman air 40 cm. Jenis ikan yang biasanya
dipelihara dengan cara ini antara lain : ikan Mas, Karper, Tawes, Nilem, Mujair,
patin dan Nila. Penebaran ikan dilakukan setelah padi berumur 7-10 hari
dengan lama pemeliharaan ikan disawah sebaiknya 60 hari. Sasaran dari
usaha pemeliharaan ikan bersama padi ini adalah untuk meningkatkan

430
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pendapatan petani, karena disamping hasil tanaman padi, diperoleh juga


tambahan hasil berupa ikan. Selain itu nilai gizi keluarga dapat terpenuhi serta
resiko kegagalan panen dapat dikurangi.

Tujuan pengkajian adalah untuk memanfaatkan lahan dengan


pertanaman padi dan pemeliharaan ikan melalui pendekatan PTT di lahan
sawah irigasi guna meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.

BAHAN DAN METODE


Kegiatan dilaksanakan di lahan sawah irigasi Desa Sri Agung
Kecamatan Batang Asam Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi dari
bulan Maret sampai Juni 2012. Pengkajian ini dilakukan dengan pendekatan
partisipatif dan luas tanam 1 ha. Kegiatan yang dilakukan meliputi ; perbaikan
saluran irigasi dan pematang, pembuatan pintu air, pengolahan tanah dan
pembuatan caren. Bentuk caren yang digunakan adalah caren keliling dengan
kedalaman caren 50 cm dari dasar sawah dan lebar caren 100 cmdengan
pemasangan pintu pemasukan dan pintu pengeluaran (Gambar 1 dan Gambar
2).
Pintu masuk

Pintu pengeluaran air

Gambar 1. Bentuk caren keliling

100 cm

50 cm

Gambar 2. Bentuk dasar caren

Sebelum digenangi air, terlebih dahulu diberi kapur pertanian dengan


dosis 0,25 kg / m2 dengan tujuan untuk menaikan pH dan membunuh bakteri
yang dapat menyebabkan penyakit pada ikan, selain itu diberikan juga pupuk
kandang dengan dosis 0,5 kg / m2, dengan tujuan untuk meningkatkan
kesuburan tanah, menumbuhkan pakan alami phytoplangton maupun
zooplangton yang akan menjadi pakan alami bagi ikan.

431
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Varietas padi yang digunakan adalah Ciherang dengan komponen


teknologi PTT (Tabel 1).

Tabel 1. Komponen teknologi PTT padi dan ikan di lahan sawah irigasi
Desa SriAgung Kabupaten Tanjung Jabung Barat-Jambi
No. Komponen Teknologi PTT padi
1. Pengolahan tanah Traktor /sempurna
2. Benih Berlabel/bermutu (25 kg/ha)
3. Varietas Ciherang
4. Persemaian Basah
5. Penanaman/Sistem tanam Legowo 4:1
6. Umur bibit 15 hari setelah semai (HSS)

7. Pupuk organik Pupuk kandang 1,0 t/ha


8. Pupuk anorganik (kg/ha)
- Urea 150
- SP 36 100
- KCl 50
- Dolomit 500

9. Penyiangan Gasrok/manual
10. Pengendalian OPT Penerapan PHT
11. Panen Tepat waktu

Ikan yang ditebar adalah ikan nila dan ikan patin dengan ukuran 8-12
cm sebanyak 4.000 ekor (Tabel 2).

Tabel 2. Komponen teknologi PTT padi dan ikan di lahan sawah irigasiDesa
Sri Agung Kabupaten Tanjung Jabung Barat-Jambi

No. Komponen Teknologi Ikan


1. Jenis ikan Nila dan Patin
2. Ukuran 8-12 cm
3. Caren
- Lebar (cm) 100
-Dalam (cm) 50
4. Penebaran benih ikan 5-7 HST
5. Pemeliharaan ikan Pemberian pakan
Pengelolaan air dan pengendalian
hama
6. Pengendalian hama padi Pestisida anorganik/organik

7. Panen Tepat waktu

432
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Penebaran dilakukan 7-10 hari setelah penanaman padi di caren


sawah.Pemeliharaan tanaman padi yang dilakukan meliputi : pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit padi, pengendalian gulma dan pengganggu
lainnya. Pemeliharaan ikan meliputi pemberian pakan tambahan, pengendalian
hama dan penyakit ikan. Pemeliharaan ikan dilakukan selama 3 bulan dengan
memberikan tambahan pakan berupa pakan komersial yang diberikan pada
waktu pagi, siang dan sore hari dengan takaran pakan 3 - 5 % dari berat
ikan.Pemanenan ikan dilakukan sebelum tanaman padi dipanen, untuk
memudahkan panen, keluarkan air dari petakan secara berangsur – angsur.
Ikan yang sudah dipanen, untuk sementara disimpan pada hapa atau waring
yang ditempatkan pada aliran air yang mengalir dan teduh.
Cara tanam menggunakan sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan jarak
tanam 25 x 25 cm. Umur bibit 15 HSS, jumlah bibit 2-3 batang per rumpun.
Pemupukan dengan dosis 150 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP 36 dan 50 kg/ha KCl.
Pupuk kandang 1.000 kg/ha dan dolomit 500 kg/ha. Data yang diambil terdiri
data pertumbuhan dan hasil padi, persentase tumbuh, keragaan tanaman,
tinggi tanaman saat panen, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah
gabah isi, jumlah gabah hampa, berat 1.000 butir dan hasil serta ketahanan
terhadap hama/penyakit utama.Sedangkan data pertumbuhan ikan adalah
keragaan biologi ikan, bobot biomasa ikan dan kualitas air (pH dan kecerahan).
Data sosial ekonomi yang diambil meliputi : penggunaan input produksi, tenaga
kerja, dan analisis usahatani. Analisis ekonomi meliputi penerimaan,
pendapatan dan R/C ratio (Swastika, 2004 dan Malian, 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Wilayah

Tanah di Desa Sri Agung memiliki karakterisik antara lain berwarna


hitam kelabu sampai coklat tua karena bahan organiknya sudah berkurang,
berstruktur remah dan tekstur lempung berpasir, kandungan unsur hara rendah
dan pH tanah agak masam. Kondisi tanah tersebut memerlukan perbaikan
untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan hasil padi. Menurut Anwar dkk.,
(2007), bahwa lahan sawah yang diusahakan untuk pertanaman padi tergolong
kelas kesesuaian lahan dengan kategori S1 yaitu sangat sesuai untuk padi
sawah dan kategori S3 yaitu sesuai marginal, mempunyai faktor pembatas
ketersediaan oksigen sehingga untuk memperoleh produktivitas optimal
diperlukan drainase yang baik dan penambahan input berupa pupuk organik
dan pupuk anorganik. Berdasarkan hasil analisis tanah, beberapa sifat tanah
dan ciri tanah yang optimal untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi
adalah :1) pH antara 5,5-6,5, 2) tekstur tanah lempung, berdrainase baik 3) tipe
mineral liat 1:1 dan bahan induk kaya akan hara, 4) kandungan bahan organik
sedang, 5) ketersediaan hara dan mikro cukup (Makarim, 2004).

433
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pertumbuhan padi dan ikan


Rata-rata persentase tumbuh tanaman padi adalah 90 %, tingginya
persentase tumbuh ini disebabkan oleh kualitas benih bermutu, ketersediaan
hara dalam tanah dengan adanya penambahan dolomit dan pupuk organik.
Pertumbuhan tanaman padi menunjukkan keragaan yang baik pada fase
vegetatif dan fase generatif. Hal ini menunjukkan bahwa varietas Ciherang
dapat beradaptasi baik di lahan sawah irigasi. Pertumbuhan tinggi tanaman
padi Ciherang adalah 107,00 cm, jumlah anakan produktif 19,73 dan umur
berbunga 82,33 hari (Tabel 3).

Tabel 3. Persentase tumbuh dan pertumbuhan padi varietas Ciherang di lahan


sawah irigasi Desa Sri Agung Kabupaten Tanjung Jabung Barat
No. Parameter Keterangan
1. Persentase tumbuh (%) 90
2. Keragaan tanaman 3 (baik)
3. Tinggi tanaman (cm) 107,00
4. Jumlah anakanProduktif 19,73
5. Umur berbunga (hari) 82,33

Hama yang muncul pada pertanaman padi adalah hama putih,


penggulung daun, sundep dan burung dengan intensitas serangannya rendah.
Pengendalian hama tersebut dengan penyemprotan insektisida dosis rendah
sedangkan pengendalian hama burung dengan dijaga oleh petani.
Hasil dan Komponen Hasil
Rata-rata umur panen, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa,
panjang malai, berat 1.000 butir dan hasil tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata umur panen, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa di
lahan sawah irigasi desa Sri Agung Kabupaten Tanjung Jabung Barat
No. Parameter Keterangan
1. Umur panen (hari) 112,33
2. Jumlah gabah isi (butir) 141,67
3. Jumlah gabah hampa (butir) 25,33
4. Panjang malai (cm) 27,13
5. Berat 1000 butir (g) 29,97
6. Hasil (t/ha) 6,00

Umur panen padi sesuai dengan hasil penelitian bahwa dibagi dalam
tiga kategori yaitu umur sangat genjah (90-104 HSS), umur genjah (105-124
HSS), sedang ( 125-164HSS), dan dalam (>165HSS). Varietas Ciherang umur
panennya 112,33 hari termasuk umur genjah. Jumlah gabah isi per malai cukup
tinggi 141,67 butir sedangkan jumlah gabah hampanya 25,33 butir. Panjang
malai dan berat 1.000 butir masing-masing27,13 cm dan 29,97 g sedangkan
hasil yang diperoleh adalah 6,00 t/ha.

434
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pertumbuhan Ikan
Pada saat penebaran bibit ikan nila dan patin terlihat kedua jenis ikan
tersebut dapat beradaptasi dan persentase ikan mati cukup rendah.
Pertumbuhan ikan nila dan ikan patin cukup baik, hal ini menunjukkan bahwa
kedua jenis ikan tersebut dapat beradaptasi dengan baik. (Gambar 3).

250
200
Berat (gr)

150
100 Patin
50 Nila
0
0 2 4 6 8 10 12
minggu ke -

Gambar 3. Grafik pertumbuhan ikan

Dari data tersebut diatas di ketahui bahwa pada masa awal


pemeliharaan ikan tidak terlalu baik, hal ini disebabkan karena ikan masih
dalam proses adaptasi dengan kondisi lingkungan dan pola pemberian pakan
yang tidak menetap pada satu tempat tetapi menyebar, tetapi pada minggu
selanjutnya pertumbuhan ikan cukup baik.
Jumlah tingkat mortalitas ikan patin dan ikan nila mencapai 15 % dan 26
%. Hal ini disebabkan adanya predator alam dan diakibatkan stress pada awal
pemeliharaan (Tabel 5).
Tabel 5. Data jumlah dan persentase kelangsungan hidup ikan di lahan
sawah irigasi
Jumlah awal Jumlah akhir Persentase kelangsungan
Jenis ikan
(ekor) (ekor) hidup (%)
Patin 1.500 1.280 85
Nila 2.500 1.850 74

Kualitas air pada masa pemeliharaan tidak menunjukkan adanya


perbedaan pada masa awal pemeliharaan hingga akhir pemeliharaan, hal ini
di karenakan lahan yang digunakan termasuk lahan sawah irigasi dengan
tingkat kecukupan air yang baik dan tersedia setiap musim (Tabel 6).
Tabel 6. Kualitas air selama masa pemeliharaan ikan di lahan sawah irigasi.
Waktu pengamatan (minggu ke-)
Parameter 2 4 6 8 10 12
pH 5,5 5,7 5,7 5,7 5,5 5,5
Suhu 0C 28.5 29 28,5 30 29 28
Kecerahan 25 25 22 20 25 25

435
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Analisis Usahatani

Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa penerimaan yang


diperoleh dari tanaman padi adalah Rp 18.000.000/ha dan biaya produksi
tanaman padi sebesar Rp 9.782.000/ha (Tabel 7).
Tabel 7. Analisis ekonomi usahatani optimasi lahan sawah irigasi di Desa Sri
Agung Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Jenis Ikan
Uraian Padi
Nila Patin
Produksi (kg/ha) 6000 370 256
Harga (Rp/kg) 3000 20.000 18.000
Penerimaan (Rp) 18.000.000 7.400.000 4.608.000
12.008.000
Biaya Produksi (Rp) 9.782.000 8.375.000
Pendapatan (Rp) 8.218.000 3.633.000
R/C ratio 1,84 1,43

Pendapatan petani dari tanaman padi sebesar Rp 8.218.000.


Sedangkan penerimaan yang diperoleh dari ikan Nila dan Ikan Patin masing-
masing sebesar Rp 7.400.000 dan Rp 4.608.000. Penerimaan yang diperoleh
adalah Rp 12.008.000 dan biaya produksi sebesar Rp 8.375.000. Pendapatan
petani dari ikan yaitu Rp 3.633.000. Perbedaan besarnya penerimaan dan
biaya usahatani berpengaruh terhadap R/C ratio. Dari Tabel 7 terlihat bahwa
R/C tanaman padi dan ikan yaitu 1,84 dan 1,43. Hal ini menunjukkan bahwa
secara ekonomis cukup layak untuk dikembangkan.

KESIMPULAN
1. Keragaan tanaman padi varietas Ciherang dan ikan Nila serta ikan Patin
pertumbuhannya baik. Tanaman padi memberikan hasil yaitu 6,00 t/ha. Ikan
Nila dan Ikan Patin hasilnya rata-rata 5 ekor/kg. Hal ini menunjukan bahwa
varietas Ciherang, ikan Nila dan ikan Patin dapat beradaptasi pada lahan
sawah.
2. Pendapatan dari tanaman padi sebesar Rp 8.218.000. Pendapatan dari ikan
yaitu Rp 3.633.000. R/C tanaman padi dan ikan yaitu 1,84 dan 1,43. Hal ini
menunjukkan bahwa secara ekonomis cukup layak untuk dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, K., Suratman dan A. Kasno. 2007. Identifikasi dan evaluasi potensi
lahan untuk mendukung primatani di desa Sri Agung Kecamatan
Tungkal Ulu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Bogor. 20 hal
Abdullah, B., S. Tjokrowidjojo dan Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek
perakitan padi tipe baru di Indonesia. Jurnal penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Indonesian Agricultural Research and
Development Journal. 27(1):

436
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Balitpa, 2003. Penelitian padi menuju revolusi hijau lestari. Balitpa.


Puslitbangtan. Badan Litbang. Jakarta. 35 hal
Budianto, D. 2003. Kebijaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi
peningkatan produktivitas padi terpadu di Indonesia. Prosiding
Lokakarya Pelaksanaan Program Peningkatan Produktivitas Padi
Terpadu (P3T) Tahun 2003. Puslitbangtan. Bogor
Busyra,B.S., N Izhar, Mugiyanto, Lindawati dan Suharyon. 2000.
Karakterisasizona agro ekologi (AEZ). Pedoman Pengembangan
Pertanian di Propinsi Jambi. Instansi Penelitian dan Pengkajian
Teknologi Pertanian Jambi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. 35 hal.
Endrizal, D. Sitanggang dan Suharyon. 2003. Hasil studi participatory rural
appraisal pada lahan sawah irigasi di Provinsi Jambi. Laporan hasil
kegiatan BPTP Jambi kerjasama dengan Dinas Pertanian Provinsi
Jambi. Tidak dipublikasikan. 20 hal.
Las, I. 2002. Pengembangan intesifikasi padi sawah irigasi berdasarkan PTT.
Loka karya Pengembangan Usahatani Terpadu Berwawasan Agribisnis
Mendukung Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian. Jawa barat.
Lembang. 16 April 2002. BPTP Jawa Barat
Makarim, A.K. 2004. Teknik pengamatan, sampling dan analisis data untuk
penelitian dan pengkajian VUTB. Balai Penelitian Tanaman Padi
Sukamandi
Malian, A.H. 2004. Analisis ekonomi usahatani dan kelayakan finansial
teknologi pada skala pengkajian. Makalah disajikan dalam pelatihan
Analisis Finansial dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem dan
Usahatani Agribisnis Wilayah. Bogor, 29 November- 9 Desember 2000.
28 hal.
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto SE, Baehaki, N. Widiarta, S.D.
Indrasari,Q.S. Lesmana dan H. Sembiring. 2007. Deskripsi varietas
padi. Balitpa. Sukamandi.
Zaini, Z., I. Las, Suwarno, Budi H dan E. Eko A. 2002. Pedoman umum
kegiatan percontohan peningkatan produktivitas padi terpadu 2002.
Deptan Jakarta

437
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UJI BEBERAPA DOSIS PUPUK PHOSPHATE TERHADAP


PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI SAWAH

Siti Maryam Harahap, Timbul Marbun dan Muhammad Fadly

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No.1B Medan

ABSTRAK

Pupuk merupakan salah satu faktor yang mendukung dalam usaha


meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, permintaan terhadap pupuk
ini terus meningkat. Akibatnya, pupuk sering tidak tersedia di pasaran,
sehingga petani sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan pupuk yang
sesuai dengan kebutuhannya. Kegiatan “Uji beberapa dosis pupuk Phosphate
terhadap pertumbuhan tanaman padi” dilakukan untuk mengetahui pemakaian
pupuk Phosphate serta menjadikannya sebagai pupuk alternative dalam
memenuhi kebutuhan unsur hara P bagi tanaman. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok non Faktorial (non faktorial randomized complete
block designe) yang terdiri dari 4 (empat) ulangan. Pupuk Phosphat (P 2O5=
36% dan N=18%) yang diuji terdiri dari 6 taraf yaitu : 25 kg/ha, 50 kg/ha, 75
kg/ha, 100 kg/ha, 125 kg/ha dan 150 kg/ha yang dikombinasikan dengan pupuk
urea (75 kg/ha) dan KCl (100 kg/ha) dan sebagai kontrol hanya menggunakan
pupuk dasar Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis (75 kg/ha, 100 kg/ha, 100
kg/ha). Pupuk urea diberikan 3 kali yaitu pada saat 7 HST, 30 HST dan 45
HST, sedangkan untuk pupuk Phosphat (P2O5= 36% dan N=18%) dan KCl
diberikan pada saat 7 HST. Hasil yang diperoleh menunjukkan tinggi tanaman
dan jumlah anakan pada umur 40 Hari setelah tanam pada masing-masing
perlakuan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Pada parameter jumlah
anakan, tinggi tanaman tertinggi ditemukan pada perlakuan D6, dan D5,
masing-masing 29.9, 33.5 helai 97 cm dan 98 cm. Pada pertumbuhan
maksimum umur 55 hari setelah tanam diketahui bahwa jumlah anakan
produktif tertinggi terdapat pada perlakuan D5, D6 dan D3 yaitu 22.4, 22.4 dan
20.75. Hasil panen padi tertinggi terdapat pada perlakuan D5 dan D3 (6,81
t/ha dan 6,65 t/ha)

Kata kunci : Pupuk phosphate, Dosis, Padi, Produksi

PENDAHULUAN

Sumatera Utara merupakan salah satu sentra produksi padi di


Indonesia, hal ini didukung dengan luas panen untuk tanaman padi sawah
697.344 ha, dengan produktivitas 51,20 kw/ha dan produksi 3.570.709 ton
Dinas Propsu, 2014 (Tabel 1). Rata-rata produksi padi di Sumatera Utara
sekitar 5.1 t/ha masih dibawah produksi nasional 5.5 t/ha (Suyamto dan Zaini.
2010).

438
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Perkembangan luas tanam, panen dan produktivitas padi di Sumatera


Utara
Luas Tanam Luas panen Produktivitas Produksi
Tahun
(ha) (ha) (kw/ha) (t/ha)
2009 754.796 768.587 45,90 3,527
2010 741.566 754.674 47,47 3,582
2011 775.632 757.547 47,62 3,607
2012 769.174 765.099 48,56 3,715
2013 739.040 742.968 50,17 3,727
Distan Propsu 2014

Penurunan produksi padi disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain


disebabkan oleh penggunaan pupuk yang sudah melampaui batas efisiensi
teknis dan menurunnya kualitas tanah. Kualitas tanah yang rendah dicirikan
oleh permasalahan kandungan hara, bahan organik, kemasaman tanah yang
tinggi, adanya kandungan unsur-unsur yang bersifat racun dan sifat-sifat fisik
tanah yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman (Dariah dkk., 2010).
Kualitas tanah yang rendah dapat pula disebabkan oleh sifat alami tanahnya
(inherent) atau fenomena alam, namun tidak sedikit yang disebabkan oleh
prilaku manusia, yakni pengelolaan yang belum tepat (Veheye, 2007).
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan
produksi padi, Badan Litbang Pertanian sudah mengembangkan paket
teknologi yaitu pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Paket teknologi ini sudah
berdasarkan beberapa rangkaian penelitian dan telah berhasil meningkatkan
hasil padi. Paket teknologi PTT ini siap menerima masukan teknologi baru
termasuk pemberian pupuk baru yang telah teruji kualitas dan telah terbukti
lebih efisien meningkatkan hasil dan menurunkan biaya produksi.
Pupuk merupakan salah satu sarana produksi yang sangat penting dan
menentukan dalam keberhasilan usaha tani. Setiap tahun kebutuhan pupuk
terus mengalami peningkatan, karena semakin luasnya lahan pertanian yang
akan dipupuk, disamping itu lahan pertanian subur juga semakin berkurang.
Akibatnya muncul permasalahan baru yang dihadapi oleh petani yaitu petani
sering mengeluh karena kesulitan mendapatkan pupuk yang dibutuhkan untuk
tanamannya, disamping itu harganya juga sangat mahal. Akibatnya petani
membeli pupuk di kios/ pasar yang terkadang tidak jelas mutunya dan harganya
cukup tinggi. Selain itu, akibat dari kelangkaan pupuk ini sebagian besar petani
padi hanya menggunakan pupuk urea sebagai sumber N, sedangkan pupuk
yang mengandung P dan K tidak banyak diberikan pada tanamannya (diskusi
langsung dengan beberapa petani). Hal ini dapat menyebabkan kerugian bagi
petani, karena tanaman akan mengalami defisiensi hara makro seperti P dan
K. Selanjutnya memberi efek pada tanaman seperti terjadi peningkatkan
persentase gabah hampa, menurunkan bobot dan kualitas gabah, menghambat
pemasakan, bahkan pada keadaan defisiensi P yang parah, tanaman padi tidak
akan berbunga sama sekali (Dobermann dan Fairhurst. 2000). Selain itu
tanaman yang mengalami defisiensi P juga dapat menurunkan respon tanaman
terhadap pemupukan N. Selain itu, Defisiensi P juga seringkali berasosiasi

439
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan kadar Fe yang meracun dan kekurangan Zn, terutama pada tanah yang
memiliki pH rendah.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka pengujian terhadap
beberapa dosis pupuk yang mengandung unsur P perlu dilakukan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan dosis pupuk phosphat
(P2O5= 36% dan N=18%) terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi
BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di kebun percobaan KP Pasar Miring, Kecamatan


Pagar Marbau, Kabupaten Deli Serdang, pada bulan Desember 2014 sampai
April 2015. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang
terdiri dari 4 (empat) ulangan dengan tujuh taraf dosis pupuk phosphate.
Parameter yang diamati antara lain sifat kimia tanah sebelum perlakuan, tinggi
tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, berat 1000 biji dan produksi.
Kondisi tanah dari lokasi pengujian ditunjukkan pada hasil analisis tanah yang
dilakukan di laboratorium tanah dan tanaman BPTP Sumatera Utara.

Penelitian ini disusun menurut rancangan acak kelompok dengan 4


ulangan. Perlakuan yang diuji yaitu pupuk DAP yang mengandung (P2O5=36%
dan N 18% dengan susunan sebagai berikut :

D0. Pupuk NPK (sesuai dosis anjuran) merupakan kontrol


D1. Pupuk NK + pupuk DAP 25 kg/ha
D2. Pupuk NK + pupuk DAP 50 kg/ha
D3. Pupuk NK + pupuk DAP 75 kg/ha
D4. Pupuk NK + pupuk DAP 100 kg/ha
D5. Pupuk NK + pupuk DAP 125 kg/ha
D6. Pupuk NK + pupuk DAP 150 kg/ha
Luas plot percobaan adalah 4 x 5 m, Jarak antar plot 50 cm dan jarak
antara ulangan 1 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm. Varietas yang dipakai adalah
Cibogo. Pupuk Phosphat (P2O5= 36% dan N=18%) yang diuji memiliki kadar
N= 18%, dan P2O5= 46%. Pupuk ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
pengganti dari pupuk phosphate SP-36. Pemberian pupuk ini dilakukan pada
saat tanaman padi berumur 7 hari dilapangan, ditabur secara merata di atas
permukaan tanah, dan tanah dalam keadaan lembab. Selain pupuk Phosphat
(P2O5= 36% dan N=18%) diberikan juga pupuk dasar yaitu pupuk Urea dan KCl.
Pupuk urea diberikan sebanyak 3 kali pemberian, pemberian pertama diberikan
dengan dosis 75 kg/ha, untuk pemberian ke-dua diberikan berdasarkan hasil
pengamatan menggunakan bagan warna daun (75 kg/ha) diberikan pada saat
tanaman berumur 25 hari dan pemberin ke-tiga pada saat tanaman berumur 45
hari (50 kg/ha). Pupuk KCl diberikan satu kali yaitu pada saat tanaman umur
7 hari di lapangan dengan dosis 100 kg/ha. Sebagai pembanding antara yang
menggunakan pupuk Phosphat (P 2O5= 36% dan N=18%) dengan tidak
menggunakan pupuk Phosphat (P 2O5= 36% dan N=18%) dilakukan perlakuan
kontrol yaitu hanya menggunakan pupuk dasar Urea, SP-36 dan KCl.

440
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat kimia tanah sebelum perlakuan

Berdasarkan kriteria sifat fisik dan kimia tanah, lokasi kegiatan memiliki
kandungan pasir yang cukup tinggi. Disamping itu kadar P masuk kategori
tinggi dan kadar Fe masuk kategori tinggi, Sedangkan pH tanah pada waktu
penelitian berlangsung diukur memiliki netral (pH= 5,5 – 6) (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil analisis tanah awal pada lokasi penelitian


No Sifat Kimia Satuan Nilai
1. C-Organik (%) 1.41
2. N-Total (%) 0.12
3. P-Bray I Ppm 26.39
4. P2O5-Total mg/100g 70.19
5. K-dd me/100g 0.76
6. Fe Ppm 1209
7. Tekstur :
Pasir (%) 69.83
Debu (%) 21.55
Liat (%) 8.62

Kondisi tanah seperti ini misalnya kadar Fe yang tinggi dapat


membentuk senyawa kompleks dengan P sehingga unsur ini tidak tersedia bagi
tanaman. Oleh kaena ini kebutuhan P dapat ditambahkan dari luar untuk
memenuhi kebutuhan terhadap unsur P (Breemen 1997).

Tinggi Tanaman

Pengaruh pemberian pupuk Phosphat (P 2O5= 36% dan N=18%)


terhadap komponen agronomi tinggi tanaman umur 40 HST dan umur 60 HST
menunjukkan bahwa pada perlakuan control (pemberian pupuk dasar lengkap)
dan perlakuan pupuk Phosphat (P 2O5= 36% dan N=18%) tidak ada perbedaan
yang nyata (Tabel 3)

Tabel 3. Pengaruh perbedaan dosis pupuk Phosphat terhadap tinggi


tanaman padi sawah varietas Cibogo
Tinggi tanaman
Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan (cm)
40 HST
60 HST
D0. NPK (kontrol) 68.2 92.5
D1. NK + DAP 25 kg/ha 63.35 91.65
D2. NK + DAP 50 kg/ha 69.95 94.95
D3. NK + DAP 75 kg/ha 71.2 92.95
D4. NK + DAP 100 kg/ha 69.6 95.3
D5. NK + DAP 125 kg/ha 74.4 97.8
D6. NK + DAP 150 kg/ha 74.65 98.65
CV (%) 8,33 3,18
Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.

441
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Namun pengamatan secara angka terjadi peningkatan tinggi tanaman


mulai dari perlakuan D2. NK + DAP 50 kg/ha sampai dengan perlakuan D6.
NK + majemuk phosphate 150 kg/ha. Pada dasarnya tinggi tanaman lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor genetis. Namun tinggi tanaman merupakan
salah satu parameter yang dapat menunjukkan respon terhadap pemupukan
yang diberikan apakah tumbuh secara normal atau tumbuh dalam kondisi stress
hara.

Tinggi tanaman yang tertinggi diperoleh pada perlakuan NK+DAP


100kg/ha dan NK+DAP 125 kg/ha. Keragaan hasil di lapangan pada stadia
vegetatif masing-masing perlakuan di sajikan pada tabel 3 berikut ini :

Jumlah Anakan

Jumlah anakan pada umur 40 hari dan pada saat panen pada
perlakuan kontrol dengan pemberian pupuk Phosphat (P 2O5= 36% dan
N=18%) tidak menunjukkan perbedaann yang nyata. Walaupun dari segi nilai
cenderung ada peningkatan dengan adanya peningkatan pemberian pupuk
Phosphat (P2O5= 36% dan N=18%). Jumlah anakan tertinggi terdapat pada
perlakuan D5 (33 tanaman) dan D6 (29 tanaman). Nilai masing-masing
perlakuan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh perbedaan dosis pupuk Phosphat (P 2O5= 36% dan


N=18%) terhadap jumlah anakan padi sawah varietas Cibogo
Jumlah anakan Jumlah anakan
Perlakuan
(40 HST) Produktif
D0. NPK (kontrol) 26.9 19.3
D1. NK + DAP 25 kg/ha 25.2 19.6
D2. NK + DAP 50 kg/ha 28.15 20.5
D3. NK + DAP 75 kg/ha 28.05 20.35
D4. NK + DAP 100 kg/ha 25.9 18.55
D5. NK + DAP 125 kg/ha 33.5 22.4
D6. NK + DAP 150 kg/ha 29.9 20.75
Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% (DMRT).

Bobot 1000 biji dan Produksi

Hasil pengamatan secara statistik terhadap berat 1000 biji gabah isi
diketahui, antara perlakuan kontrol dengan pemberian pupuk Phosphat (P 2O5=
36% dan N=18%) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Tetapi,
dari segi nilai masing-masing perlakuan ada perbedaan, dan berat seribu biji
yang tertinggi terdapat pada perlakuan D5 ( 31.80 g) dan D0 kontrol (30.88 g).
Nilai masing-masing perlakuan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 5.

442
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 5. Pengaruh perbedaan dosis pupuk Phosphat terhadap berat


1000 biji gabah isi dan produksi padi sawah varietas Cibogo
Perlakuan Berat 1000 biji (g) Produksi (t/ha)
D0. NPK (kontrol) 30.88a 5.82a
D1. NK + DAP 25 kg/ha 25.41a 5.59a
D2. NK + DAP 50 kg/ha 27.02a 6.17ab
D3. NK + DAP 75 kg/ha 30.64a 6.65b
D4. NK + DAP 100 kg/ha 26.76a 6.57ab
D5. NK + DAP 125 kg/ha 31.80a 6.81b
D6. NK + DAP 150 kg/ha 27.58a 6.64b
CV (%) 15,53 15,79
Keterangan : Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT.
Hasil analisis statistik yang dilakukan terhadap parameter produksi padi
varietas Cibogo (t/ha) diketahui yang paling tinggi terdapat pada perlakuan D5
(6.81 t/ha) dan D3 (6.65 t/ha). Masing-masing produksi padi varietas Cibogo
pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.
Hasil penelitian yang dilakukan di kebun percobaan pasar miring
diketahui produksi padi yang diberi pupuk Phosphate (P 2O5= 36% dan N=18%)
125 kg/ha dapat meningkat 6.81 t/ha gabah kering panen, sedangkan penelitian
yang hanya diberi pupuk SP-36, KCl dan Urea (kontrol) hanya menghasilkan
padi gabah kering panen (5.82 t/ha). Peningkatan produksi ini juga didukung
oleh parameter lain seperti tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan bobot
seribu butir gabah isi. Terjadinya peningkatan produksi ini diduga karena unsur
P yang terkandung dalam pupuk tersebut dapat berperan dalam mendukung
pertumbuhan vegetatif maupun generatif tanaman padi, sehingga tanaman
tumbuh lebih baik, karena hara yang dibutuhkan oleh tanaman dapat terpenuhi
dari kandungan P dan N yang terdapat di dalam pupuk Phosphate (P 2O5=36%
dan N=18%).
Diketahui bahwa hara P merupakan unsur penting bagi tanaman,
karena merupakan salah satu penyusun adenosin triphosphate (ATP) selain itu
P juga berperan secara langsung dalam proses penyimpanan dan transfer
energi yang terkait dalam proses metabolisme tanaman (Dobermann dan
Fairhurst, 2000). Oleh karena itu hara P sangat diperlukan tanaman padi
terutama pada saat awal pertumbuhan yang berfungsi untuk memacu
pembentukan akar dan penambahan jumlah anakan. Hal ini dibuktikan dari
hasil penelitian yang dilakukan Arimurti dkk. (2006) yang menyatakan bahwa
pemberian pupuk SP-36 dan Rock fosfat dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman jagung pada saat umur 10 HST dan 17 HST.

443
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

1. Pupuk Phosphate (P2O5 =36% dan N=18%) mampu mensuplai


kebutuhan P bagi tanaman sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
vegetatif dan pemberian 125 kg/ha produksi padi mencapai 6.81 t/ha
2. Pupuk ini dapat dijadikan pilihan untuk memenuhi kebutuhan unsur P
dan N bagi tanaman, karena pupuk ini mengandung unsur P 2O5 (36%)
dan N (18%

DAFTAR PUSTAKA

Arimurti,S, Setyati,D dan Mujib, M. 2006. Efettivitas bakteri pelarut fosfat dan
pupuk P terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays) pada tanah
masam. Universitas Jember Jurusan FMIPA .
Breemen N Van and Pons L.J. 1997. Acid sulphate soil and rice. Di dlam IRRI.
Soil and Rice. Philippines. Hlm:739-762
Dariah, A., N.L. Nurida, dan Sutono. 2007. Formulasi bahan pembenah tanah
untuk rehabilitasi lahan terdegradasi. Disampaikan pada Seminar
Sumberdaya Lahan dan Lingkungan. Bogor, 7-8 November 2007.
Dinas Pertanian Prpopinsi Sumatera Utara. 2014. Buku Lima tahun statistk
pertanian (2009 – 2013). Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara
Medan.
Dobermann A and Fairhurst T. 2000. Rice nutrition disorder and nutrient
management. International Rice Research Institute and Potash &
Phosphate Institute of Canada
Suyamto dan Z. Zaini. 2010. Kapasitas produksi bahan pangan pada lahan
sawah irigasi dan tadah Hujan. Dalam Analisis Sumberdaya Lahan
Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Penyunting Sumarno dan N.
Suharta. Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta.
Veheye, W.H. 2007. Integrating land degradation issues into a national soils
policy. COUNTUR. Newsletter of The Asia Soil Conservation Network.
ASOCON. Vol. XIX, No. 1.

DISKUSI

Nama Penanya : Anis Fahri (BPTP Riau)

Pertanyaan : Dilihat dari produksi antar perlakuan D2 s/d D6 tidak berbeda


nyata bagaimana kita dapat mengambil kesimpulan ?
Saran : Perlu pengkajian lanjut, bisa pada lokasi yang berbeda
boleh juga itu dilakukan di propinsi Riau.
Jawaban : Setuju agar dilakukan kajian lebih lanjut.

444
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

OPTIMALISASI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN MELALUI


IMPLEMENTASI KALENDER TANAM MENDUKUNG PROGRAM
PENINGKATAN PRODUKSI BERAS NASIONAL (P2BN)
DI SUMATERA UTARA

Ahmad Tohir¹, Ayi Sudrajat², dan Timbul Marbun 1

¹Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


² Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sampali Medan
Email : harahaptohir@gmail.com

ABSTRAK

Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan


swasembada beras, diantaranya adalah terjadinya banjir dan kekeringan akibat
perubahan iklim. Untuk itu, Kalender Tanam Terpadu (KATAM Terpadu) telah
disusun oleh Badan Litbang Pertanian dalam upaya memberikan informasi
waktu tanam, anjuran varietas, dan rekomendasi pemupukan yang sesuai untuk
setiap Kecamatan di Indonesia. Namun demikian, rekomendasi berdasarkan
KATAM Terpadu tersebut perlu divalidasi untuk menyikapi dampak variabilitas
perubahan iklim sehingga hasilnya dapat dijadikan masukan dalam perbaikan
Katam Terpadu yang sifatnya dinamik. Penelitian dilakukan pada lahan sub
optimal sawah tadah hujan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Perlakuan berjumlah 5 model budidaya sawah tadah hujan dalam Rancangan
Acak Berblok dengan 4 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rekomendasi KATAM Terpadu sesuai diterapkan pada lahan sub optimal sawah
tadah hujan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Hal ini dicirikan
oleh lebih tingginya produktivitas padi pada Model- 3 yaitu waktu tanam bulan
April 2015, varietas Inpari 16, rekomendasi pemupukan Urea: 250 kg/ha, SP36:
50 kg/ha, KCL: 50 kg/ha, dan system tanam Legowo 2:1 sesuai dengan
rekomendasi KATAM Terpadu MK 2015. Produktivitas padi pada Model-3 ini
mencapai 9,86 t GKP/ha, sekitar45% lebih tinggi dibandingkan dengan Model-
1 yang biasa dilakukan oleh petani setempat. Usaha padi sawah dengan
Model-3 dinilai sangat layak dengan memberikan nilai B/C sebesar 2,6.

Kata kunci : KATAM Terpadu, Validasi, Lahan sub optimal.

PENDAHULUAN
Salah satu prioritas utama pembangunan nasional adalah penyediaan
pangan terutama beras dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau. Selain
merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia, usaha padi sawah
juga telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 20 juta rumah tangga
petani di pedesaan, sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya
menjadi amat penting dan strategis (BB Padi, 2009). Salah satu indikator
penting kinerja pemerintah adalah terpenuhinya kebutuhan pangan secara
cukup dan berkualitas berdasarkan prinsip-prinsip kemandirian pangan. Target
surplus 10 juta ton beras sampai 2014, akhirnya dijadikan agenda penting
Kementerian Pertanian yang harus didukung oleh seluruh Provinsi di Indonesia
termasuk Sumatera Utara (INPRES, 2011). Pencapaian surplus ini dapat

445
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ditempuh melalui dua jalur yaitu menurunkan konsumsi beras dan


meningkatkan produksi beras. Penurunan konsumsi beras dapat dicapai
melalui diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan budaya lokal.
Penurunan ini menjadi bermakna karena diharapkan mampu berkontribusi
dalam menurunkan angka kerawanan pangan dunia yang mencapai 1,02 miliar
orang atau 15,8 persen dari jumlah total penduduk dunia (Kementan, 2011).

Namun demikian, subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap


perubahan iklim terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan
manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan
tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, terutama cekaman
(kelebihan dan kekurangan) air (Las. dkk, 2008). Indonesia menghadapi
berbagai tantangan dalam mempertahankan swasembada beras. Diantaranya
tingginya pertumbuhan populasi penduduk, konversi lahan subur ke tanaman
lainnya yang lebih bernilai jual tinggi, pembangunan kawasan perumahan,
perkantoran dan kawasan industri meningkatnya kompeti siantar-usahatani,
keterbatasan sumberdaya air, terjadinya banjir dan kekeringan akibat
perubahan iklim (climate change) karena pemanasan global (global warming)
(Suyamto dan Zaini, 2010).

Berbagai program aksi yang dilaksanakan oleh SKPD sesuai tugas dan
fungsinya baik ditingkat Provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota adalah
untuk mendukung kebijakan Umum dan Kebijakan Operasional Pembangunan
Ketahanan Pangan Sumatera Utara yang difokuskan melalui Gerakan Gema
Pangan yaitu Swasembada pangan dan Pengembangan Desa Mandiri Pangan
yang muaranya untuk mewujudkan salah satu komitmen Gubernur dan Wakil
Gubernur Sumatera Utara yaitu”Rakyat Tidak Lapar” (BKP Sumut, 2009).

Jumlah penduduk Sumatera Utara tahun 2014 adalah 12.985.075 jiwa


dengan laju pertumbuhan penduduk 1,11% (BPS RI, 2011). Bila konsumsi
beras Provinsi Sumatera Utara per kapita per tahun adalah 113,5 kg, maka
dibutuhkan beras 1.473.806,01 ton untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Sumatera Utara. Produksi padi sawah dan padi ladang di Provinsi Sumatera
Utara adalah sebesar 3.582.302 ton per tahun (Distan Provsu, 2011). Oleh
karena itu, status perberasan di provinsi ini sudah mencapai tingkat
swasembada.

Kendala peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi kian


beragam. Beralihnya fungsi sebagian lahan sawah irigasi menjadi kawasan
industri, pemukiman, perkantoran, jalan raya dan lain-lain juga terjadi di
Sumatera Utara. Menurut Toha (2008), tantangan pemenuhan kebutuhan
beras nasional ke depan akan semakin sulit, karena lahan sawah irigasi subur
banyak yang terkonvensi untuk kepentingan non pertanian dan tingkat
produktivitasnya juga cenderung menurun serta penduduk yang perlu beras
terus bertambah. Oleh sebab itu pemanfaatan lahan sub-optimal seperti lahan
kering merupakan alternatif yang cukup potensial dan realistis untuk pengadaan
pangan di masa depan (Widyantoro. dkk, 2008). Namun demikian, peningkatan

446
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

produktivitas padi lahan sawah tadah hujan yang juga termasuk lahan sub
optimal mempunyai tantangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan lahan
sawah irigasi. Namun demikian, melalui Implementasi KALENDER TANAM
(KATAM) Terpadu dapat dicapai peningkatan produksi secara nyata dan
berkelanjutan (Syahbuddin dan Runtunuwu, 2008).

BAHAN DAN METODE

Validasi KATAM Terpadu di lahan sawah tadah hujan di Sumatera


Utara dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan penelitian usahatani (on
farm), dilakukan secara partisipatif dan diimplementasikan dalam skala
pengembangan. Kegiatan penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2015 sampai
dengan Juli 2015. Lokasi penelitian di Kelurahan Hutabalang, Kecamatan
Badiri, KabupatenTapanuli Tengah, Propinsi Sumatera Utara.

Penelitian menguji 5 perlakuan Model budidaya sawah di lahan tadah


hujan dengan 4 ulangan dalam Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan model
budidaya adalah sebagai berikut:

Jadwal tanam April2015, varietas : Mekongga,rekomendasi pemupukan :


Model 1
Permentan No 40 Tahun 2007 (Urea: 250 kg/ha SP36: 150 kg/ha dan ZA:
100 kg/ha), sistem tanam : legowo 4:1
Jadwal tanam: Mei 2015, varietas : INPARI 3, rekomendasi pemupukan:
Model 2
berdasarkan analisis tanah dengan PUTS (urea: 250 kg/ha, SP36: 50
kg/ha, dan KCL: 50 kg/ha), sistem tanam : Legowo 2:1
Jadwal Tanam: April 2015 sesuairekomendasi Katam MK 2015, varietas:
Model 3
INPARI 16, rekomendasi pemupukan : rekomendasi Katam tanpa pupuk
organik (Urea: 250 kg/ha, SP36: 50 kg/ha, KCL: 50 kg/ha), sistem tanam :
legowo 2:1
Model 4 Jadwal tanam : April 2015 sesuairekomendasi Katam MK 2105, varietas:
INPARI 16, rekomendasi pemupukan : rekomendasi Katam + pupuk
organik 2 ton/ha (Urea: 230 kg/ha, SP36: 50 kg/ha, KCL: 0 kg/ha), sistem
tanam : legowo 2:1
Jadwal tanam : April 2015 sesuairekomendasi Katam MK 2015, varietas:
Model 5
INPARI 16, rekomendasi pemupukan : rekomendasi Katam + pupuk
organik 2 ton/ha (Urea: 225 kg/ha, SP36: 0 kg/ha, KCL: 30 kg/ha), sistem
tanam : legowo 2:1

Secara keseluruhan terdapat 5x4 = 20 petak percobaan seluas @ 1.000


2
m sehingga total luas penelitian adalah 1 ha. Tehnik budidaya pada Model 2
s/d Model-5 menggunakan anjuran budidaya padi sawah dengan pendekatan
SL-PTT.

Data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman, anakan maksimum,


anakan produktif, gabahisi, berat 1000 butir, berat brang kasan, gabah kering
panen, dan gabah kering giling. Data ditabulasi dan dianalisis sidik ragam dan
apabila terdapat pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan uji beda nyata
menggunakan DMRT pada taraf uji5% (Steel dan Torrie, 1980; Gomez dan
Gomez ,1983). Selain itu, kelayahan usaha di setiap model juga dihitung
dengan nilai B/C rasio. Formulasi dari Gross B/C adalah (Kasijadi dan Suwono,

447
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

2001; Samuelson dan Nordhaus, 1995; Debertin, 1986; Malian dkk., 1987):
Gross B/C = PxQ/Bi , dimana P= Harga Produksi (Rp/kg), Q= Jumlah Produksi
(kg/ha), Bi= Biaya produksi ke i (Rp/ha). Nilai B/C> 1 berarti usaha tani padi
sawah layak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Agronomis, Produksi dan Komponen Hasil.

Keragaan agronomis, produksi dan komponen hasil selama pertanaman


MK2015 memperlihatkan bahwa aplikasi KATAM Terpadu menurunkan tinggi
tanaman utamanya ditunjukkan oleh perlakuan Model-3 (Tabel 1). Namun
demikian, aplikasi KATAM Terpadu meningkatkan jumlah anakan maksimum
maupun anakan produktif, gabah isi per malai, dan bobot gabah.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan terhadap data agronomis dan produksi


M
o Bobot Gabah
d
Tinggi Anakan Anakan Gabah Berat
1000 Kering
e Tanaman Max. Produktif Isi Brangkasan
Butir Panen
l
(butir/
(cm) (batang) (gr) (kg) (ton)
malai)
1 109.5 a 16c 10.8c 113.1b 23.4b 1.261.1a 6.80e
2 110.0 a 21 b 11.1 bc 121.7 a 24.1 ab 1.250.2 a 8.70d
3 104.5b 25 a 12.7 ab 125.03 a 26.4 a 1.263.3 a 9.86 a
4 108.5 a 22 b 14.0a 122.26 a 25.4 ab 1.255.4 a 9.63b
5 107.5 a 22b 12.9 ab 125.9a 22.8b 1.282.0 a 9.23c
Keterangan : Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang
sama pada masing-masing kolom berbeda tidak nyata pada taraf
0,05 DMRT.

Dengan lebih baiknya komponen hasil tersebut, maka produktivitas padi


dengan model KATAM Terpadu(M-3 s/d M-5) jauh lebih baik dibandingkan
dengan model petani (Gambar 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
produktivitas terbaik diberikan oleh M-3 yaitu tehnik budidaya dengan jadwal
tanam bulan April 2015, sesuai rekomendasi Katam MK 2015, menggunakan
varietas Inpari16, dan menerapkan rekomendasi pemupukan Urea: 250 kg/ha,
SP36: 50 kg/ha, KCL: 50 kg/ha, dengan sistem tanam legowo 2:1.

Berdasarkan hasil panen yang diperoleh pada pengkajian ini


menggambarkan bahwa kondisi iklim sangat mempengaruhi bagi pertumbuhan
maupun produksi tanaman yang pada hal ini adalah keadaan tanah,
ketersedian air juga ketersediaan unsur hara. Pemberian pupuk yang
direkomendasikan oleh setiap model sudah merupakan rekomendasi
pemupukan berimbangyang seharusnya menghasilkan produksi gabah yang
jauh lebih baik dari hasil pada kegiatan pengkajian ini. Kondisi ini dapat
dijelaskan bahwa keberimbangan pupuk yang diberikan baik N, P, dan K pada
MT II ini sudah baik dalam mendukung pertumbuhan dan produksi yang baik
dari tanaman.

448
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil penelitian sesuai dengan Simatupang dkk. (2001) yang


menyatakan bahwa hasil padi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya
dosis pupuk yang diberikan dan setelah mencapai dosis yang optimum hasil
padi justru menurun. Selain pupuk dan potensi hasil dari suatu varietas,
tingginya produktivitas padi disebabkan oleh sistem tanam jajar legowo 2:1
pada rekomendasi KATAM, sedangkan pada model petani diterapkan sistem
tanam jajar legowo 4:1.Sistem Jajar Legowo 2:1 dengan jarak tanam 20 x 10 x
40 cm, maka jumlah populasi tanaman adalah 33 rumpun per m2 atau 330.000
rumpun per hektar. Jumlah rumpun tanaman yang optimal akan menghasilkan
lebih banyak malai per meter persegi dan berpeluang besar untuk pencapaian
hasil yang lebih tinggi.

Keuntungan Usahatani.

Analisis usahatani menunjukkan bahwa keuntungan usaha padi sawah dengan


teknologi yang biasa dilakukan petani (M-1) di Kelurahan Hutabalang
Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah jauh lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan M-3) (Tabel 2). Budidaya M-3 memberikan hasil gabah
kering giling tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Tabel 2.Analisis usahatani padi sawah Kelurahan Hutabalang, Kecamatan


Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Model 1 (Eksisting Petani) (Model 3 (Katam Mei l)
No Uraian
Volume Jumlah Volume Jumlah
A. Hasil (kg/ha GKP x Rp 6.800 32.640.000 9.860 46.272.000
4.800)
B. BiayaProduksi :
Benih (kg) x Rp 8.000 30 240.000 25 200.000
Urea (kg) x Rp 2.500 250 625.000 250 625.000
SP 36 (kg) x 3.000 150 450.000 50 150.000
KCl (kg) x 8.000 100 800.000 50 400.000
Insektisida (ltr) x Rp 3 300.000 3 300.000
100.000
Pengolahantanah (HOK) 30 1.500.000 30 1.500.000
Tanam (HOK) 30 1.500.000 30 1.800.000
Pemupukan (HOK) 8 400.000 8 400.000
Penyiangan (HOK) 30 1.500.000 30 1.500.000
Penyemprotan (HOK) 8 400.000 8 400.000
UpahPanen (12%) 816 3.916.800 1.183 5.679.360
Biayaproduksi/ha 11.631.800 12.954.360
C. Pendapatanbersih 21.008.200 33.317.640
D. B/C 1,8 2,6

Aplikasi pemupukan untuk model petani (model 1) 250 kg Urea + 150 kg SP 36


+ 100 kg KCl dan jadwal tanam sesuai dengan kebiasaan petani (eksisting
petani) berpeluang mendapatkan rata-rata hasil 6,8 t/ha GKP pendapatan
bersih sebesar Rp 21.008.200 dan nilai B/C 1,8. Sedangkan Model 3 dengan
aplikasi 250 kg Urea + SP 36 50 kg+ 50 kg KCl dengan jadwal tanam sesuai
rekomendasi Katam, diperoleh rata-rata hasil 9.86 t/haGKP dengan

449
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pendapatan bersih sebesar Rp 33.317.640 dan nilai B/C 2,6 yang menunjukkan
bahwa tiap Rp 1,00 tambahan biaya yang disebabkan perubahan teknologi
menyebabkan diperolehnya tambahan penerimaan sebesar Rp 2,6.

KESIMPULAN
Rekomendasi Katam Terpadu sesuai diterapkan pada lahan suboptimal di
kabupatenTapanuli Tengah.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Catur Hermanto, MP,
Bapak Mustafa Hutagalung, Ibu Khadijah El Ramija, Bapak Ayi Sudrajat (BMKG
Stasiun Sampali Medan) dan semua pihak yang telah membantu dalam
penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
BB Padi, 2009. Peningkatan Produksi Padi Melalui Pelaksanaan IP Padi 400.
Pedum IP Padi 400. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
BKP Provinsi Sumatera Utara, 2009. Grand Design Pembangunan Ketahanan
Pangan Simatera Utara Tahun 3009-3013. Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Sumatera Utara. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan
Provinsi Sumater Utara.
BPS Republik Indonesia, 2011. Buku Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi.
Badan Pusat Statistik Edisi 10. Maret 2011.
Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara, 2011. Pertanian Dalam Angka
ProvinsiSumatera Utara 2010. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Dinas Pertanian.
INPRES, 2011. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2011,
tentang instruksi pencapaian surplus beras sebanyak 10 juta ton pada
tahun 2014.
Kementan, 2011. Rancangan Rencana Strategis Kementrian PertanianTahun
2010-2014.
Las, I., Syahbuddin, H., Surmaini, E.,2008. Iklim dan tanaman padi: Tantangan
dan peluang. Dalam Buku Padi: Inovasi Teknologi dan Ketahanan
Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Simatupang RS., Nurita, dan Noor R., 2001. Respon Tanaman Padi terhadap
Pemupukan N, P dan K pada Lahan Potensial Bukaan Baru. Di dalam
Prayudi B, dkk.(eds), Pengelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa.
Prosiding Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Penelitian Tanaman Pangan
di Lahan Rawa Menuju Ketahanan Pangan, Kesejahteraan Petani dan
Konsumen; Banjarbaru, 4-5 Juli 2000 p 127-137.
Suyamto dan Zulkifli Zaini, 2010. Kapasitas Produksi Bahan Pangan Pada
Lahan Sawah Irigasi dan Tadah Hujan. Analisis Sumberdaya Lahan
Menuju Ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta. September 2010.
Syahbudin, H. Dan E. Runtunuwu. 2008. Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Vol. 30. No. 3.

450
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Toha, H. M., 2008. Pengembangan padi gogo menunjang program P2BN.


Seminar Apresiasi. Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 1.
Balai Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 2008. hal 295-323.
Widyantoro, Hamdan Pane, dan Sigit Y Jatmiko, 2008. Peningkatan
produktivitas padi gogo rancah melalui pendekatan model pengelolaan
tanaman. terpadu. Prosiding. Seminar Apresiasi. Hasil Penelitian Padi
Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. hal. 1253-1267.

451
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KARAKTERISTIK LAHAN SAWAH GAMBUT DAN ANALISIS KELAYAKAN


USAHA TANI PADI SAWAH DI KECAMATAN DOLOK SANGGUL
KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

Siti Fatimah Batubara1dan Deni Elfiati2


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No. 1B Medan Sumatera Utara
2)
Universitas Sumatera Utara
Email : sifa.cha@gmail.com

ABSTRAK

Pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan akan produk


pertanian menyebabkan lahan gambut yang tergolong lahan sub optimal
digunakan untuk pertanian intensif. Pemanfaatan lahan gambut untuk
pengembangan pertanian mempunyai banyak faktor pembatas berupa
rendahnya ketersediaan hara dan buruknya kondisi fisik lahan yang
mengakibatkan produktivitas lahan rendah. Penelitian ini bertujuan untuk
memperlajari karakteristik kimia lahan gambut yang ditanami padi sawah dan
analisis kelayakan usaha tani padi sawah di lahan gambut dataran tinggi
Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Dolok Sanggul
Kabupaten Humbang Hasundutanpada bulan Juni sampai September 2015.
Metode yang digunakan adalah metode survey dengan mengambil contoh
tanah gambut pada lahan yang ditanami padi sawah dan wawancara dengan
petani dengan metode purposive sampling pada lahan petani yang eksis bertani
padi di lahan gambut untuk mengumpulkan informasi sistem usaha tani padi
sawah di lahan gambut. Analisis sifat kimia tanah berupa pH tanah, N-total, P-
tersedia, K-tukar, Mg-Tukar, Kadar Abu, dan KTK dilakukan di Laboratorium
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara. Hasil analisis
sifat kimia tanah menunjukkan nilai pH 3,37 dengan kriteria sangat masam,
kadar abu 24,32%, C-Organik 34,25%, N- total 0,52%, P-tersedia 46,34, K-tukar
0,33, Mg-tukar tidak terdeteksi, dan KTK 38,85. Hasil analisis sifat kimia tanah
menunjukkan tingkat kesuburan gambut yang ditanami padi sawah relatif baik
dengan ketersediaan hara yang cukup. Analisis terhadap kelayakan usaha tani
padi sawah di lahan gambut menunjukkan bahwa usaha tani padi sawah di
lahan gambut dataran tinggi di Kabupaten Humbang hasundutan layak untuk
dilaksanakan dengan nilai R/C rasio sebesar 1,54%.

Kata Kunci : karakteristik, gambut, usahatani

PENDAHULUAN

Dilatar belakangi kebutuhan dalam penyediaan pangan terutama


beras yang terus meningkat, sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk
di satu pihak dan di pihak lain terbatasnya lahan yang tersedia, sehingga
pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya padi sawah menjadi alternatif yang
diambil. Namun penggunaan lahan gambut untuk tanaman padi sawah di
Indonesia sejak tahun 2000 tidak mengalami perkembangan yang pesat, yakni
dari 0,34 juta hektar pada tahun 2000 menjadi 0,36 juta hektar pada tahun 2010
(Agus dkk. 2014). Kurang berkembangnya tanaman pangan pada lahan

452
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

gambut disebabkan oleh tingginya biaya dan rendahnya tingkat keuntungan


usahatani. Tanaman yang relatif berkembang adalah tanaman yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti sayur-sayuran dan beberapa
tanaman perkebunan.
Meskipun kondisi lahan gambut relatif kurang subur dan membutuhkan
biaya produksi yang cukup mahal, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
usaha tani padi di lahan gambut masih layak untuk dilaksanakan. Penelitian
Yanuar (1999) di Desa Blang Rames, Aceh Barat menunjukkan bahwa
usahatani padi sawah pada lahan gambut sangat menguntungkan petani
dengan nilai R/C rasio1,56 Sejalan dengan itu usahatani padi pada lahan
gambut di Kalimantan Selatan sangat prospektif bagi petani (Badan Litbang
Pertanian, 2012).
Manfaat social ekonomi lahan gambut terhadap kehidupan dan
perekonomian masyarakat setempat cukup besar dan masih mungkin untuk
ditingkatkan, baik melalui penerapan inovasi teknologi pengelolaan lahan
gambut yang intensif maupun dengan membuka lahan gambut terdegradasi
untuk usaha pertanian. Model usahatani yang dikembangkan pada lahan
gambut cukup beragam, baik berdasarkan tipologi lahan gambut, kearifan
lokal dan ketersediaan inovasi tekonologi pertanian, serta kesesuaian jenis
komoditas secara biofisik dan potensi permintaan pasar (Irawan dan Maftu’ah,
2013) Penelitian bertujuan melihat kerakteristik sifat kimia tanah dan uji
kelayakan usaha tani padi sawah pada lahan gambut di Kabupaten Humbang
Hasundutan.
BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Pariksinomba Kecamatan Dolok


Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan pada bulan Juni sampai September
2015.
Untuk melihat karakteristik lahan contoh tanah diambil pada kedalaman
0-20 cm secara acak dilahan petani yang eksis bertanam padi. Selanjutnya
contoh tanah dianalisis di laboratorium BPTP Sumatera Utara terhadap sifat
kimia : pH H2O dengan metode elektrometry, kadar abu dengan metode
gravimetry, P tersedia Bray I dengan metode spectrophotometry, dan KTK, K-
tukar, dan Mg-tukar dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometri
(AAS).
Data sifat kimia tanah gambut dianalisis secara deskriptif dan data
sistem usaha tani dari hasil wawancara terhadap responden dilakukan menurut
kelayakan usaha tani seperti :
BEP produksi = Biaya produksi/harga jual
BEP harga = Biayaproduksi/jumlah produksi
R/C ratio = Penerimaan/biaya produksi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Kimia Tanah
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah gambut pada lahan yang
ditanami padi sawah, menunjukkan nilai pH tanah 3,37 dengan kriteria sangat

453
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

masam. Kadar abu 24,32% tergolong sedang. Kadar N total 0,52% dengan
kriteria tinggi. Kadar P tersedia 46,34 ppm dengan kriteria sangat tinggi. Kadar
KTK 38,85 me/100g dengan kriteria sangat tinggi. Kadar K tukar 0,33 me/100g
dengan kriteria tinggi dan kadar Mg tukar tidak terdeteksi (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis sifat kimia tanah sawah gambut di Kecamatan Dolok
Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan
Sifat Kimia Tanah HasilAnalisis Satuan
Ph 3,37 -
Kadar Abu 24,32 %
C-Organik 34,25 %
N-Total 0,52 %
P tersedia 46,34 Ppm
K-tukar 0,03 me/100g
Mg-tukar Td me/100g
KTK 38,85 me/100g

ph dan Kadar Abu


Hasil analisis terhadap pH tanah pada lahan gambut yang ditanami
dengan padi sawah tergolong pada kriteria sangat masam. Hasil ini
menunjukkan bahwa pH tanah gambut pada dataran tinggi Humbang
Hasundutan relatif sama dengan pH tanah gambut di dataran rendah yakni
sangat masam dengan nilai pH < 4,0 (Andriesse, 1974).
Kadar abu 24,32% menunjukkan bahwa gambut tersebut tergolong
mesotropik. Tingginya kadar abu pada lahan gambut yang ditanami padi sawah
disebabkan oleh adanya penambahan tanah mineral ke lahan gambut,
sebagaimana hasil wawancara kepada petani di lahan gambut di Kecamatan
Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan bahwa mereka
menambahkan tanah mineral ke lahan gambutnya dengan tujuan untuk
meningkatkan daya sangga tanah dan meningkatkan kesuburan tanah gambut.
Menurut Dariah dkk.(2013) Kadar abu merupakan salah satu penciri tingkat
kesuburan tanah gambut. Kadar abu pada tanah gambut oligotropik umumnya
kurang dari 1%, kecuali pada tanah gambut yang telah mengalami kebakaran
atau telah dibudidayakan intensif dapat mencapai 2-4% (Adi Jaya dkk., 2001).
C-Organik
Kandungan C-organik yang tinggi (34.25%) pada lahan sawah yang diuji
disebabkan oleh bahan pembentuk gambut berasal dari bahan kayu-kayuan
dengan komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin melebihi
60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti
selulosa, hemiselulosa, dan protein tidak melebihi 11% (Polak, 1949).
Nitrogen (N) Total
Kandungan N-total pada lahan gambut yang ditanami padi sawah di
Kabupaten Humbang Hasundutan adalah 0,52% dengan kriteria tinggi.
Kandungan N total tergolong tinggi karena berasal dari N-organik. Nitrogen
pada tanah gambut sebagian besar bersumber dari proses dekomposisi bahan
organik. Perbedaan kandungan N total pada tanah gambut dipengaruhi oleh

454
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

banyak proses seperti translokasi, volatilisasi, serta jenis vegetasi yang tumbuh
diatasnya. Menurut Dohong (1999) melaporkan bahwa kandungan N total
dalam tanah gambut pada beberapa daerah di Indonesia berkisar antara 0,3
hingga 2,1 %. Meskipun kandungan N-total pada tanah gambut relatif tinggi,
namun belum merupakan cerminan ketersediaan N bagi tanaman.
Ketersediaan N pada tanah gambut umumnya rendah. Perbandingan
kandungan C dan N tanah gambut relatif tinggi, umumnya berkisar 20-45 dan
meningkat dengan semakin meningkatnya kedalaman (Radjagukguk, 1997).
Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan N tanaman yang optimum
diperlukan pemupukan N.
Fosfor (P) tersedia
Kandungan P-tersedia adalah46,34 ppm dengan kriteria sangat tinggi.
Ketersediaan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg dalam tanah gambut umumnya
rendah meskipun pada kandungan totalnya tinggi. Sebagian besar N, P, K total
dalam gambut berada dalam bentuk organik (Stevenson, 1986; Andriesse
1988). Kandungan P tersedia sangat tinggi mencapai 46,34 ppm kemungkinan
disebabkan oleh penambahan tanah mineral pada tanah gambut dan
penambahan pupuk SP yang kontinu dilakukan setiap musim tanam.
Penambahan tanah mineral dalam media tanam gambut akan dapat
mengurangi asam-asam organik yang bersifat racun bagi tanaman, serta dapat
menghambat metabolisme tanaman dan berakibat terhadap penurunan
pertumbuhan dan produktifitasnya. Karena tanah mineral memiliki tingkat
kemasaman yang lebih rendah dibandingkan tanah gambut dan kaya akan
bahan polivenol. Selain itu tanah mineral juga mengandung kation polivalen
seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan koordinasi
dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya
bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan
sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham dkk.,1997; Saragih, 1996).
Penambahan tanah mineral ke tanah gambut juga menunjukkan perbaikan
pertumbuhan dan hasil padi (Salampak 1999).
Kalium (K) dan Magnesium (Mg) dapat tukar
Kandungan kalium dapat tukar pada lahan gambut yang ditanami padi
sawah adalah 0,03 me/100g dengan kriteria sangat rendah. Kandungan Mg-
tukar adalah tidak terdeteksi. Hasil ini dimungkinkan oleh sangat rendahnya
kandungan Mg pada tanah gambut tersebut, sehingga tidak terdeteksi melalui
proses analisis. Kandungan basa-basa seperti K dan Mg pada tanah gambut
pada umumnya sangat rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada
gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang
lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978).
Kapasitas Tukar Kation
Kandungan kapasitas tukar kation adalah 38.85 me/100g dengan
kriteria tinggi. Tingginya nilai KTK tersebut disebabkan oleh muatan negatif
tergantung pH yang sebagian besar berasal dari gugus karboksilat dan
fenolat, dengan kontribusi terhadap KTK sebesar 10 -30% dan penyumbang

455
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

terbesarnya adalah derivat fraksi lignin yang tergantung muatan 64 -74%.


Gugus karboksilat dan fenolat dihasilkan dari hasil dekomposisi bahan-bahan
penyusun gambut yang biasanya adalah dari bahan kayu-kayuan. Bahan kayu-
kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses
degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994). KTK
tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun
kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg,
dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.
Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen,
terutama gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal dan miskin unsur
hara, digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik (Radjaguguk, 1997). Sedangkan
pada gambut pantai pada umumnya tergolong gambut topogen dengan status
eutrofik yang kaya akan basa-basa,karena adanya sumbangan Ca, Mg, dan K
dari air pasang surut. Beberapa sifat kimia tanah gambut lain yang
berpengaruh terhadap dinamika hara dan penyediaan hara bagi tanaman yaitu:
kemasaman tanah, kapasitas tukar kation dan basa-basa dapat ditukar, fosfor,
unsur mikro, komposisi kimia dan asam fenolat gambut.
Analisis Usaha Tani
Analisis usaha tani padi sawah di lahan gambut dilakukan berdasarkan
data yang dikumpulkan melalui wawancara kepada petani padi sawah di lahan
gambut di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan.
(Tabel 2).
Tabel 2. Biaya Produksi Usaha Tani Padi Sawah di Lahan Gambut Kecamatan
Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan
No Biaya Produksi/ha Banyaknya Harga Satuan Jumlah
1 Biaya Benih 19 Kaleng 50000 950.000
2 Biaya Pupuk :
- Phonska 9 sak 135000 1215000
- SP 36 4 sak 120000 560000
- SS 1,5 sak 300000 450000
- Urea 1 sak 110000 110000
- ZA 8 kg 2800 22400
3 Obat-obatan pertanian
- Ally 6 6000 36000
- Sindak 4 12000 48000
4 Sewa lahan 1 1000000 1000000
5 Tenaga kerja olah tanah 20 HOK 50000 1000000
6 Tenaga kerja penyemaian 2 HOK 50000 100000
7 Tenaga kerja penanaman 10 HOK 50000 500000
8 Tenaga kerja pemupukan 4 HOK 50000 200000
9 Tenaga kerja penyiangan 4HOK 50000 200000
10 Tenaga kerja Pengendalian 4 HOK 50000 200000
hamapenyakit
Tenaga kerja panen
11 10 HOK 50000 500000
TotalBiaya Rp 6.991.400
R/C rasio 1.54
BEP produksi Kg 2.330,5
BEP Biaya Rp/kg 1.858

456
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Data yang diperoleh dari usaha tani padi sawah di lahan gambut ini
merupakan penerimaan yang didapat dari hasil penjualan padi berdasarkan
harga yang berlaku di Kecamatan Dolok Sanggul. Produksi rata-rata padi
sawah di lahan gambut di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang
Hasundutan adalah3,6 ton/ha dengan indeks tanam 1 kali setahun. Harga rata-
rata gabah adalahRp.3000/kg, sehingga rata-rata penerimaan yang diperoleh
oleh petani responden di daerahpenelitian selama musim tanam (6 bulan)
adalah sebesar Rp10.800.000,-. Penerimaan bersih yang diperoleh
merupakan selisih dari penerimaan dengan biaya produksi Rp. 10.800.000 –
Rp. 6.991.400 = Rp. 3.808.600,-.
Perhitungan BEP produksi menunjukkan bahwa hasil BEP 2.330.5
artinya dengan harga jual Rp. 3.000 per kg, usahatani padi sawah di lahan
gambut mengalami titik impas pada saat jumlah produksi mencapai 2.330,5kg.
Sementara itu, perhitungan BEP harga diperoleh hasil bahwa, usahatani padi
sawah di lahan gambut tidak akan mengalami kerugian maupun keuntungan
(impas) apabila dijual dengan harga Rp. 1.858/kg.
Hasil perhitungan R/C ratio sebesar 1,54 mempunyai arti bahwa dari
modal yang dikeluarkan sebesar Rp.1, maka akan diperoleh penerimaan
sebesar1, 54, atau dari total biaya usaha tani sebesar Rp.100 akan diperoleh
total penerimaan atau nilai produksi padi sebesar Rp.154. Selanjutnya hasil
perhitungan kelayakan usaha tani padi sawah di lahan gambut Kecamatan
Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan dinyatakan layak untuk
dikembangkan sebagaimana yang dinyatakan oleh Irawan dan Maftu’ah (2013)
bahwa kelayakan usaha tani untuk tanaman semusim dinilai dengan R/C Rasio,
yakni Selisih antara total penerimaan dengan total biaya . Secara sederhana
dan umum diaplikasikan adalah kelayakan usahatani tanaman semusim
dicirikan oleh nilai rasio R/C > 1.
KESIMPULAN
1. Hasil analisis sifat kimia tanah menunjukkan tingkat kesuburan
lahangambut yang ditelitirelatif baik dengan ketersediaan hara yang cukup.
2. Usaha tani padi sawah di lahan gambut Kecamatan Dolok Sanggul
Kabupaten Humbang Hasundutan layak untuk dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA

Adijaya, J.O. Rieley, T. Artiningsih, Y. Sulistiyanto, and Y. Jagau. 2001.


Utilization of deep tropical peatland for agriculture in Central Kalimantan,
Indonesia. Pp 125-131.In Rieley, J. O., dan S.E. Page (Eds.). Jakarta
Symp. Proc. on Peatlands for People: Nat. Res. Func. and Sustain.
Manag.
Agus, F., Gunarso, P. Dan Wahyunto. 2014. Dinamika Penggunaan Lahan
Gambut. Dalam : Lahan Gambut Indonesia. Pembentukan, Karakteristik,
dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan. IAARD Press. 2014.
Andriesse, J.P. 1994. Constrain and Opportunities for alternative use option of
tropical peat land. In B.Y. Aminuddin (Ed). Tropical Peat; Proceeding of
International Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991, Kuching.
Serawak, Malaysia.

457
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Badan Litbang Pertanian. 2012. Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut


Terdegradasi untuk Mengurangi Emisi GRK dan Mengoptimalkan
Produktivitas Tanaman. Makalah Workshop on Degraded Peatland, 6
Nov. 2013.
Dariah A. E Maftuah, dan Maswar. 2013. Karakteristik Lahan Gambut. Dalam
Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi. www.
Balittanah.litbang.deptan.go.id.
Dohong, S. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang
Disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral
Berkadar Besi Tinggi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 171
halaman.
Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of
sawah rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor.
Driessen, P.M. and Soepraptohardjo 1974.Organic soil. In: Soil for Agricultural
expansion in Indonesia. ATA 106 Bulettin.Soil Reseach Institute Bogor.
Irawan, dan E. Maftu’ah. Model Usaha Tani pada Lahan Gambut. 2013.
Panduan Pengelolaan Berkelanjutan Lahan gambut Terdegradasi.
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/juknis/panduan
gambut terdegradasi/irawan_usahatani.pdf. Tanggal Akses 29 Oktober
2015.
Leiwakabessy, F.M. 1978. Sifat lahan yang tersedia pada daerah
transmigrasi.Seminar Pemantapan Usaha-usaha Pembangunan di
Daerah Transmigrasi oleh JTKI-PPSM.
Miller, M.H. and R.L. Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant
Growth.Prentice Hall Englewood Cliffs. New Jersey. 768p.
Polak, B. 1949. De Rawa Lakbok: Een eutroof laagveen op Java (Rawa
Lakbok: Gambut Eutropi di Jawa). In Mededelingen van Algemeen
Proefstation voor de Landbouw.No. 85. Buitenzorg.
Prasetyo, B.H. and N. Suharta. 2011. Genesis and Properties of Peat at Toba
Highland Area of North Sumatra. Indones. J. Of Agric. Sci. 12 (1), 2011:
1-8.
Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification, and
problems for sustainability.pp. 45-54. In J.O. Rieley and S.E. Page
(Eds.).Biodiversity and Sustainability of Tropical Peat and Peatland.
Proceedings of the International Symposium on Biodiversity,
Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and
Peatlands, Palangkaraya, Central Kalimantan 4-8 September 1999.
Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.
Sabiham, S. 1997. Penggunaan kation terpilih untuk mengontrol asam
fenolat toksik dalam gambut. J. Il. Pert. 7(1):1-7.
Salampak. 1999. Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan
dengan Penambahan Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi
Tinggi. Disertasi Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saragih E.S. 1996. Pengendalian Asam-Asam Fenolat Meracun dengan
Penambahan Fe(III) pada Tanah Gambut dari Jambi, Sumatera.
Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor. 172 hal.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry.Genesis, Composition, and
Reactions.John Wiley and Sons.Inc. New York. 443 p.
Yanuar, R. 1999. Analisis Pendapatan dan Produksi Usahatani Padi di
Lahan Gambut (Studi kasus di Desa Blang Rames, Kecamatan
Teunon, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Daerah Istimewa Aceh).
Skripsi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 76 Hal.

458
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

VARIETAS PADI LOKAL TADAH HUJAN DESA KARANG ANYAR,


SECANGGANG, LANGKAT, SUMATERA UTARA

Lely Zulhaida Nasution dan Sri Haryani Sitindaon

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H. Nasution No. 1B, Medan Sumatera Utara
Email: haryanisri@rocketmail.com

ABSTRAK

Pengembangan tanaman padi dapat dilakukan di lahan sub optimal


seperti lahan sawah tadah hujan. Kabupaten Langkat memiliki luas lahan
sawah tadah hujan terbesar di Sumatera Utara yaitu 28.452 ha, dan salah satu
kecamatan yang memiliki luasan sawah tadah hujan terbesar adalah
kecamatan Secanggang. Untuk itu telah dilaksanakan kegiatan penelitian di
Desa Karang Anyar, Kecamatan Secanggang dalam upaya memahami
keanekaragaman padi lokal varietas Ramos, sistem budidaya dan gambaran
analisis ekonomi yang diterapkan petani. Pengambilan contoh dilakukan
dengan cara purposive sampling yaitu di daerah yang memiliki luas sawah
tadah hujan yang luas. Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data
sekunder yang diidentifikasi dan dianalisis secara kuantatif dan deskriptif. Hasil
survei menunjukkan bahwa petani membedakan varietas Ramos ke 4 jenis
yaitu Ramos Pulo, Si Udang, Dewi, dan Sudung. Selain menanam padi lokal
Ramos, petani Desa Karang Anyar juga sudah menanam padi VUB IR-64.
Budidaya tanam padi dilakukan masih satu kali dalam setahun. Hasil analisis
usaha tani menunjukkan bahwa nilai B/C padi Ramos (1,47) sedikit lebih
menguntungkan dibandingkan dengan padi IR-64 (1,35) dimana keuntungan
yang diperoleh dengan bercocok tanam padi Ramos sebesar Rp.11,905,000
/musim tanam sedangkan padi IR-64 keuntungan yang diperoleh sebesar Rp.
11,485,000. Varietas padi Ramos sangat potensial dikembangkan sehingga
dibutuhkan peran pemerintah daerah agar tetap mempertahankannya.

Kata kunci : varietas lokal, Ramos, keanekaragaman, tadah hujan

PENDAHULUAN

Luas lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara tahun 2014 sebesar
156.799 ha, tahun 2013 sebesar 156.362 ha.Total luas lahan tadah hujan yang
diusahakan selama tahun 2014 adalah 95,61% atau seluas 149.920 ha
sedangkan sisanya 6.879 ha tidak diusahakan. Lahan sawah tadah hujan
terluas di Sumatera Utara berada di Kabupaten Langkat yaitu sebesar 28.452
ha (BPS, 2014). Kabupaten Langkat terdiri dari 17 kecamatan dan salah satu
kecamatan yang memiliki lahan sawah tadah hujan terluas berada di
Kecamatan Secanggang (9.985 ha).
Lahan sawah tadah hujan merupakan sumberdaya fisik yang potensial
untuk pengembangan pertanian, seperti padi, palawija dan tanaman
holtikultura. Pada umumnya lahan sawah tadah hujan hanya ditanami padi
sekali dalam setahun yaitu pada musim hujan, sedangkan pada musim

459
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kemarau sebagian diantaranya mengalami bera sampai pada musim tanam


berikutnya (Reflis dkk. 2011).
Semakin berkembangnya teknologi pertanian, khususnya dalam
penyebaran varietas unggul baru yang banyak dihasilkan oleh lembaga
penelitian dan nilai kemurnian dari varietas lokal semakin menurun maka
diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah untuk mempertahankan
sumberdaya lokal daerah, sehingga varietas padi lokal tidak mengalami
kepunahan.Mishara dkk., 2009 dalam Bakhtiar (2011) menyatakan bahwa
introduksi varietas unggul berumur genjah ke sentra produksi padi di berbagai
wilayah dapat menyebabkan erosi genetik dari varietas lokal yang ada di daerah
tertentu.
Padi varietas unggul dan varietas local memiliki peranan yang sangat
penting di dalammempertahankan ketahananan dan keamananpangan
nasional (Nafisah dkk., 2006). Padi lokal yang masih dipertahankan di
Kabupaten Langkat adalah padi Varietas Ramos. Petani masih tetap
mempertahankan varietas ini dengan alasan kondisi lingkungan (sistem
pengairan tadah hujan) dan nilai ekonominya yang tidak kalah dibandingkan
dengan varietas baru yang ada saat ini. Penelitian dilakukan untuk
mendapatkan informasi keanekaragaman padi lokal varietas Ramos, sistem
budidaya dan gambaran analisis ekonomi yang terapkan petani di Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara.
BAHAN DAN METODE
Pelaksanaan kegiatan dimulai pada Bulan Maret sampai November
2014 di Desa Karang Anyar, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat,
ProvinsiSumatera Utara. Metode penelitian adalah survey dengan
pengambilan contoh dilakukan dengan carapurposive samplingyaitu di desa
yang memiliki lahan sawah tadah hujan yang luas melibatkan 20 orang
responden. Pengumpulan data dan informasi melalui observasi (pengamatan)
dan wawancara mendalam (indept interview). Data yang dikumpulkan
mencakup data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh diidentifikasi
dan dianalisis secara kuantatif dan deskriptif berdasarkan persentase dan rata-
rata (Sudjana, 1996). Data yang diperoleh dianalisis dengan melihat
perbandingan antara keuntungan dengan total biaya yang dikeluarkan dalam
usaha tani padi lokal (Hendayana, 2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum Lokasi Kegiatan
Wilayah geografis Kabupaten Langkat terletak pada 3 O14’00”-4O13’00”
Lintang Utara, 97O52’00”-98O45’00” Bujur Timur dan 4-105 m dari permukaan
laut. Luas area ± 6.263,29 km2 atau 626.329 ha, terdiri dari 23 kecamatan, 240
desa dan 37 kelurahan (BPS, 2014). Sektor pertanian masih mendominasi
perekonomian Desa Karang Anyeryaitu tanaman pangan, perkebunan,
peternakan, kehutanan dan perikanan. Sektor tanaman pangan dan
peternakan sangat potensial untuk dikembangkan di daerah ini. Luas tanaman

460
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

padi tahun 2014 sebesar 450 ha dengan nilai produksi tanaman padi dan
palawija sebesar Rp. 6.750.000.000, biaya pemupukan sebesar Rp.
675.000.000, biaya bibit Rp. 360.000.000, biaya obat Rp. 100.000.000,-. Desa
Karang Anyar terdiri dari 1.300 Kepala Keluarga (KK) dan jumlah penduduk
7.041 jiwa (4.125 perempuan, 2.916 laki-laki). Jarak ke ibukota kecamatan 13
km dan jarak ke ibukota kabupaten 7 km. Di Desa Karang Anyar, umumnya
masyarakat menggunakan padi lokal Ramos dalam usaha padi sawah tadah
hujan mereka.
Karakteristik Padi Ramos
Varietas Ramos memiliki ciri-ciri tanaman yang tinggi (±130 cm) dan
berumur panjang (± 162 hari) sehingga adaptif dibudidayakan di daerah tadah
hujan. Padi lokal mempunyai sifat adaptasi/kesesuaian daerah tertentu,
produksi rendah, berbatang tinggi dan kuat, berumur dalam/panjang, tidak
respon terhadap input/pemupukan berpenampilan masih beragam, mempunyai
rasa enak dan lebih disenangi konsumen serta mempunyai harga pasar lebih
tinggi (Utami, 2013).
Benih yang digunakan petani adalah hasil panen sebelumnya. Daradjat
dkk. (2008), berpendapat bahwa benih padi yang digunakan oleh masyarakat
lebih dari 60% berasal dari sektor informal yaitu berupa gabah yang disisihkan
dari sebagian hasil panen musim sebelumnya yang dilakukan berulang-ulang.
Hal ini menyebabkan nilai kemurnian varietas Ramos semakin menurun.
Keanekaragam genetik akan menyebabkan keanekaragaman
penampilan padi. Selain dipengaruhi genotip, fenotip juga mempengaruhi
penampilan padi. Hasil survey menunjukkan bahwa petani membedakan Padi
Ramos menjadi empatmacam yaitu Ramos Pulo, Ramos si Udang, Ramos
Dewi, dan Ramos Sudung.
Ramos Pulo. Ciri padi Ramos Pulo yaitu: bentuk padi bulat,warnanya
kuning emas dan bulir lebih rapat pada tangkainya. Nasinya perah, sehingga
tidak begitu disukai petani.Produksinya hampir sama dengan padi IR-64.
Ramos Si Udang. Cirinya : warna kulit padinya coklat, bulirnya lebih
panjang dan jarang pada tangkai. Batang lebih lembut.Berasnya pulen dan
tidak begitu wangi.Produksinya lebih rendah dari pada Padi IR-64 (GKP <5
ton/ha).
Ramos Dewi. Batangnya tinggi, lemah dan mudah rebah. Gabahnya
bulat, berwarna kuning emas. Nasinya pulen dan wangi.Produksi GKP 4
ton/ha.
Ramos Sudung. Daunnya tegak keatas dan lebih tinggi dari pada
malai, sehingga bulir tertutup kebawah. Gabahnya berwarna kuning
kecokelatan dan tersusun lebih jarang pada malai. Nasinya tidak pulen dan
tidak begitu wangi. Produksi GKP5 ton/ha.
Budidaya Padi Ramos.
Benih padi diseleksi dengan cara ditampi untuk memisahkan padi yang
hampa, lalu direndam dalam wadah yang berisi air selama 24 jam. Gabah yang

461
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

terapung dipisahkan dan dibuang. Petani di Desa Karang Anyar menerapkan


sistem semai pindah. Gabah yang bernasdisemai dengan sistem tugal di lahan
darat selama 20 hari. Setelah itu dilakukan pemindahan ke sawah dan semai
pindah disawah berlangsung selama 22 hari, selanjutnya padi sudah dapat
ditanam dilahan sawah. Benih padi yang digunakan petani belum benih
bersertifikat/bermutu, tetapi diperoleh dengan sistem barter antar petani.
Pemupukan pertama dilakukan 1 minggu setelah tanam, dan
pemupukan kedua 1,5 bulan setelah tanam. Panen dilakukan setelah 4 bulan
kemudian. Sistem pengairan masih tadah hujan. Pola tanam hanya 1 kali
dalam setahun. Biasanya penyemaian dilakukan pada bulan Juli-Agustus,
penanaman bulan September dan panen di bulan Januari-Februari.Hama
pengganggu tanaman yang sering ada adalah keong emas dan tikus, kedua
hama ini bahkan pernah menyebabkan gagal panen pada tahun 2013 dan
2014.
Sistem pengairan yang masih tadah hujan menyebabkan sering terjadi
banjir di bulan September – Oktober karena tidak ada saluran pembuangan air.
Sedangkan pada bulan Maret – Juli lahan tidak dapat diolah kerna tidak ada air.
Masalah ketersediaan air tidak dapat diatasi dengan pengadaan pompa air.
Tahun 1990 pernah dibantu oleh Dinas Pertanian Kabupaten Langkat dengan
sistem pengairan menggunakan pompa air, namun tidak berhasil karena boros
bahan bakar. Gambaran penanaman padi Ramos oleh petani Karang Anyar
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Budidaya tanaman padi varietas Ramos

Bulan Maret-Juli adalah waktu senggang bagi petani. Pada bulan-bulan


ini umumnya petani menjadi buruh tani (rombongan panen) diluar daerah
dengan sistem regu upah 11-12% dari hasil panen atau rata-rata Rp.
80.000/orang/hari. Hal ini sangat berpengaruh terhadap perekonomian
masyarakat.
Analisis Ekonomi Padi Ramos
Hasil survey menunjukkan bahwa selain menanam padi lokal Ramos,
petani Desa Karang Anyar juga sudah mengenal VUB IR-64, tetapi tetap lebih
memprioritaskan varietas Ramos dengan pertimbangan biaya perawatan lebih
hemat. Pengendalian OPT yang dikenal dengan sistem Pengendalian Hama
Terpadu dilakukan msyarakat, dimana dilakukan penyemprotan pestisida jika
ada gejala serangan hama saja.
Analisis usaha tani padi perlu diketahui untuk memberikan gambaran
keuntungan usaha yang dilakukan. Hasil analisis usaha tani padi Ramos dan
IR-64 yang dilakukan petani dapat dilihat pada Tabel 2.

462
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Analisis finansial usahatani varietas padi Ramosdan IR-64 (per ha).
1. Pengeluaran Ramos IR-64
Olah Tanah 1,000,000 1,000,000
Upah menanam 1,000,000 1,000,000
Pembelian bibit 375,000 375,000
Pupuk 625.000 625.000
Pestisida 500.000 500.000
Herbisida 315,000 315,000
Tenaga Kerja Pengendalian OPT 280,000 420,000
Biaya panen: 20% dari hasil 4,000,000 4,000,000
Jumlah biaya /pengeluaran 8,095,000 8,235,000
2 Penerimaan (4.000 kg GKP x Rp. 5.000) 20,000,000 20,000,000
3 Keuntungan (Rp.) 11,905,000 11,485,000
4 B/C Ratio 1,47 1,35

Ditinjau dari harga jual GKP padi Ramos dengan IR-64 tidak ada
perbedaan dilapangan, walaupun hasil survey dipasar modern menunjukkan
bahwa harga jual beras Ramos lebih tinggi dibandingkan dengan IR-64. Begitu
padi dipanen, petani langsung menjual GKP ke pedagang pengumpul desa
dengan harga Rp. 4.000/kg baik jenis padi Ramos maupun padi IR-64.Rata-
rata produksi padi lokal Ramos dengan Padi IR-64 tidak berbeda jauh yaitu rata-
rata sebesar 5.000 kg/ha.
Komponen biaya padi Ramos sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
IR-64 disebabkan biaya pengendalian OPT yang lebih murah. Yang
membedakannya adalah ditinjau dari analisis ekonomi, dimana biaya
pengendalian OPT Padi IR-64 (Rp. 420.000) lebih besar dibandingkan dengan
padi Ramos (Rp. 280.000). Menurut Khush,1997; Khush dan Ling, 1974) dan
(Sitch dkk., 1989) dalam Suhartini (2010) menyatakan bahwa padi lokal
memiliki sumber gen ketahanan terhadap hama/penyakit penting padi seperti
ketahanan terhadap virus, penyakit blas, hawar daun bakteri, wereng coklat,
wereng punggung putih, wereng hijau, dan stemborer dan ketahanan terhadap
cekaman lingkungan. Hasil suvey juga menunjukkan bahwa Varietas Ramos
lebih tahan terhadap gangguan OPT jika dibandingkan dengan IR-64. Hal ini
berpengaruh terhadapa biaya penggunaan pestisida Varietas Ramos yang
lebih hemat dibandingkan dengan Varietas IR-64. Berdasarkan nilai B/C Ratio
menujukkan bahwa padi Ramos (1,47) lebih menguntungkan dibandingkan
dengan padi IR-64 (1,35).Menurut Sudaryanto dan Andang (2002), bahwa
Keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi sangat dipengaruhioleh
faktor teknis, ekonomis dan socialkelembagaan. Beberapa faktor teknis
yangmempengaruhi diantaranya: (a) iklim, yang sangat mempengaruhi
ketersediaandan akses petani ke sumberdaya air, (2) infrastruktur irigasi, yang
mempengaruhiketersediaan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya air, (c)
aksesibilitas lokasiterhadap sarana dan prasarana ekonomi, (d) tingkat adopsi
teknologi, sepertipenggunaanpupuk berimbang, pestisida dan benih berlabel,
yang akanmempengaruhi tingkat produktivitas dan kualitas hasil. Sedangkan

463
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

beberapa factor ekonomi yang sangat berpengaruh adalah harga input dan
output, ketersediaan tenaga kerja dan tingkat upah serta tingkat suku bunga.
Ketiganya sangat terkaitdengan mekanisme pasar input, tenaga kerja dan
pasar modal di pedesaan.
Perlakuan pasca panen dilakukan pedagang pengumpul dan rata-rata
pedagang pengumpul memiliki rice milling (mesin penggiling) sehingga produk
yang dihasilkan berupa beras, kemudian beras tersebut dijual kepedagang
pengumpul beras lagi. Beras tersebut bisa dijual sampai ke luar kota bahkan
keluar provinsi seperti Aceh. Harga jual beras Ramos mencapai Rp. 11.000-
12.000/kg sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan beras IR-64 yang dijual
dengan harga jual Rp. 9.000-10.000/kg.
KESIMPULAN
Padi lokal Ramos perlu dijaga eksistensinya karena cukup disukai
petani, cukup sesuai dengan ekosistem setempat, dan menguntungkan.
SARAN
Perlu adanya upaya pemurnian padi Ramos karena cukup tingginya
variasi di lapang.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Lahan Sawah Sumatera Utara 2014.
Baktiar, Elly K, Taufan H dan Marai R. 2011.Karakterisasi Plasma Nutfah Padi
Lokal Aceh untuk Perakitan Varietas Adaptif pada Tanah Masam.
Agrista Vol.15 No. 3, 2011.
Daradjat, A.A., Agus S., A.K. Makarim, A. dan Hasanuddin. 2008. Padi –
Inovasi Teknologi Produksi. Buku 2.LIPI Press. Jakarta.
Hendayana. R. 2011. Metode Analisis Data Hasil Pengkajian. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP). Bogor.
Nafisah, Aan A. Daradjat, Dan Hasil Sembiring. Keragaman Genetik Padi Dan
Upaya Pemanfaatannya Dalam Mendukung Ketahanan Pangan
Nasional Lokakarya Nasional Pengelolaan Dan Perlindungan Sumber
Daya Genetik Di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan
Ketahanan Nasional. Bogor.
Reflis,M. Nurung, Juliana Dewi Pratiwi. 2011.Motivasi Petani Dalam
Mempertahankan Sistem Tradisional Pada Usahatani Padi Sawah Di
Desa Parbaju Julu Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera
Utara.Jurnal Agrisep. Vol 10, No 1 (2011) dalam: http://ejournal.
unib.ac.id/index.php/agrisep/issue/view/138. Tanggal akses: 17
Nopember 2015.
Sudaryanto, T dan Adang Agustian. 2002. Peningkatan Daya Saing Usahatani
Padi: Aspek Kelembagaan. Makalah disampaikan dalam Pelatihan
Tenaga Pendamping Kegiatan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu
(P3T) di Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor 8 Maret 2002. http://pse.
litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART01-3c.pdf
Sudjana. 1996. Metode Statistika. Tarsito, Bandung.
Suhartini, T. 2010. Keragaman Karakter Morfologis Plasma Nutfah Spesies
Padi (Oryza Spp.).Buletin Plasma Nutfah Vol.16 No.1 Th 2010.
Utami S. 2013. Uji viabilitas dan Vogoritas Benih Padi Lokal Ramos Adaptif Deli
Serdang dengan Berbagai Tingkat Dosis Irradiasi Sinar Gamma di
Persemaian. Agrium, Oktober Volume 18 N0. 2.

464
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UJI DAYA HASIL GALUR/VARIETAS PADI SAWAH DATARAN RENDAH

Akmal, Catur Hermanto dan Lely Zulhaida Nasution

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H. Nasution No. 1B Medan
Email. Akmal.tanjung@yahoo.co.id

ABSTRAK

Uji daya hasil galurdan varietas padi sawah dataran rendah dilakukan di
Kebun Percobaan Pasar Miring, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli
SerdangProvinsi Sumatera Utara pada bulanNovember 2014–Februari 2015,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan.
Sebagai perlakuan adalah 3 galur introduksi dan 2 varietas pembanding berasal
dari Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi yaitu galur I.R. 8314-BB-11, Zhong
Zu, Huang Huazhan, Inpari 30, dan Mekongga. Penelitian bertujuan untuk
melihat keragaan pertumbuhan dan potensi hasil dari galur dan varietas padi
sawah di dataran rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang nyata di antara perlakuan yang diuji terhadap komponen
produksi gabah kering panen (GKP), namun secara rata-rata produksi tertinggi
diperoleh pada galur introduksiHuang Huazhan (7,55 t/ha GKP), Zhong Zu
(7,30 t/ha GKP), sedangkan Mekongga sebagai varietas pembanding
memberikan produksi sebesar 7,00 t/ha GKP..
Kata Kunci : Varietas/galur introduksi, produktivitas, dataran rendah

PENDAHULUAN
Dalam rangka mencapai peningkatan swasembada pangan,
peningkatan produksi beras nasional sedang digalakkan dengan menggunakan
varietas lokal, hibrida, inbrida, maupun galur lintroduksi. Badan Litbang
Pertanian sudah banyak menghasilkan dan mengembangkan padi varietas
unggul sekitar 85% dari 200 varietas yang sudah dihasilkan dari berbagai
instansi penelitian yang ada di Indonesia (Wahyuni, 2011)
Produksi padi di Sumatera Utara tahun 2013 mencapai 3,57 juta ton
(BPS dalam angka 2014). Dengan adanya program UPSUS 2015-2017,
diharapkan Sumatera Utara tahun 2019 mengalami peningkatan produksi padi
mencapai 5,16 juta ton. Dengan demikian perlu diterapkan dan diperkenalkan
varietas-varietas unggul baru. Bertambahnya varietas-varietas unggul padi
dapat memberikan beberapa pilihan petani untuk meningkatkan hasil produksi
dalam penggunaan varietas spesifik lokasi. Masing-masing varietas memiliki
keunggulan, misalnya tahan terhadap hama dan penyakit utama, berumur
pendek/genjah, tahan rebah dan kerontokan, tahan genangan, serta
memberikan produksi yang tinggi.
Pengenalan varietas introduksi dari luar Indonesia juga dapat
memberikan peluang bagi peneliti serta petani untuk pengembangan di masa
akan datang. Penerapan varietas unggul baru diharapkan dapat diterima

465
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

petani khususnya agar dapat meningkatkan taraf hidupnya serta dapat


meningkatkan produksi padi umumnya. Varietas padi dengan sifat-sifat unggul
tertentu merupakan kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di
Indonesia (Balitpa, 1996). Introduksi varietas unggul merupakan salah satu
usaha peningkatan produksi padi pada suatu lokasi. Untuk mengembangkan
varietas unggul baru di suatu lokasi perlu diuji dahulu daya adaptasinya
terhadap kondisi lingkungan yang spesifik. Sementara itu dalam pengujian
adaptasi galur harapan harus memasukkan varietas lokal setempat atau
varietas unggul yang sudah dominan sebagai pembanding (Yusuf dan
Yardha, 2011).

Penelitian bertujuan untuk mendapatkan varietas/galur introduksi yang


beradaptasi baik dan produksi tinggi dibanding varietas yang sudah
berkembang sebelumnya.

BAHAN DAN METODE

Uji daya hasil galur dan varietas padi sawah dataran rendah dilakukan
di Kebun Percobaan Pasar Miring, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli
Serdang Provinsi Sumatera Utara pada bulan November 2014–Februari 2015.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan acak kelompok
(RAK) dengan perlakuan 3 galur intoroduksi dan 2 varietas pembanding
galur/varietas tersebut adalah Zhong Zu, Huang Huazhan,dan galur IR. 8314-
B-11,sebagai pembanding menggunakan varietas yang tahan genangan yaitu
Inpari 30 Ciherang Sub. 1, dan Mekongga, masing-masing perlakuan di ulang
3 kali, dengan ukuran plot 3 x 4 m, jarak antar plot 0,5 dan jarak antar ulangan
1 m. .

Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna yaitu dengan cara


dibajak 2 kali kemudian digaru dan diratakan. Bibit padi berumur 14 hari setelah
semai (HSS) ditanam 2 bibit/rumpun dengan sistem tanam jajar legowo 2:1
jarak tanam (20 x 10 x 40 cm). Dosis pupuk yang diberikan berdasarkan hasil
pengukuran dengan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dengan dosis 250 kg
Urea /ha, 75 kg SP 36/ha dan 50 kg KCL/ha. Pupuk Urea diberikan 3 kali yaitu
pemupukan pertama 1/3 dosis pada umur 7 HST, pemupukan kedua 1/3 dosis
pada umur 30 HST dan pemupukan ke tiga i/3 dosis pada umur 45 HST. Pupuk
SP 36 seluruhnya diberikan pada saat pemupukan pertama, sedangkan pupuk
KCL diberikan pada pemupukan kedua dan ketiga sesuai dengan petunjuk
teknis Pelaksanaan Pengelolaan Tanaman Terpadu (Puslitbangtan, 2007).

Pengamatan yang dilakukan meliputi tinggi tanaman saat panen (cm),


panjang malai (cm), jumlah anakan produktif,jumlah gabah isi/rumpun, jumlah
gabah hampa/rumpun dan produksi. Data-data hasil pengamatan dikumpulkan
dan ditabulasi untuk dianalisis dengan menggunakan analisis of varian
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan metoda uji Tukey (Gomez & Gomez, 1995).

466
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman
Hasil analisis pertumbuhan dari 3 varietas/galur introduksi dan 2
varietas pembanding dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tinggi tanaman varietas Zhong Zu hanya berbeda nyata dengan Huang
Huazhan sedangkan dengan varietas lainnya tidak berbeda nyata.Rata-rata
tinggi tanaman yang tertinggi adalah varietas Huang Huazhan (115,6 cm),
diikuti galur IR. 8314_B-11 (113,8 cm), Inpari 30 (112,6 cm), Mekongga (108,4
cm), dan yang terendah Zhong Zu (108,2 cm).Tinggi tanaman varietas Huang
Huazhan lebih tinggi dibandingkan dengan varitas/galur Zhong Zu danIR. 8314-
B-11. Badan Litbang Pertanian (2013), menjelaskan deskripsi varietas unggul
baru seperti Inpari 30 Ciherang sub 1 memiliki tinggi tanaman berkisar 101 cm
dan varietas Mekongga berkisar 91 - 106 cm. Deskripsi varietas Ciherang
menunjukkan tinggi tanaman 107–115 cm diduga salah satu tetuanya Inpari 30
adalah varietas Ciherang karena tinggi tanaman berkisar 112,6 cm,secara
umum semua perlakuan menunjukkan tinggi tanaman yang ideal artinya tidak
terlalu tinggi sehingga resiko kerebahan cukup rendah, Menurut Sutaryo dan
Sudaryono (2012), bahwa tanaman yang rebah dapat menurunkan hasil gabah
karena varietas padi yang memiliki tinggi tanaman dengan kriteria sangat tinggi
(>130 cm) beresiko terhadap kerebahan akibat angin kencang,sehingga akan
menurunkan produksi.Pada dasarnya tinggi tanaman tergantung dari genetik
suatu tanaman. Sehingga kemampuan tanaman untuk tumbuh sampai batas
tertentu dari suatu tanaman. Hasil Penelitian Hermawati (2012), menunjukkan
bahwa tinggi tanaman padi dikarenakan faktor genetis yang menentukan
ekspresi tanaman itusendiri serta adanya pengelolaan budidaya misalnya
pengaturan jarak tanam.
Hasil analisis jumlah anakan produktif dari setiap varietas menunjukkan
bahwa varietas Mekongga berbeda nyata dengan varietas Zhong Zu, Huang
Huazhan dan IR. 8314-B-11, namun tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari
30 (Tabel 1). Rata-rata jumlah anakan produktif yang tertinggi adalah varietas
Mekonggi (10,2 batang/rumpun), diikuti Inpari 30 (8,9 batang/rumpun), IR.
8314-B-11(7,5 batang/rumpun), Huang Huazhan (7,4 batang/rumpun), dan
jumlah anakan terendah didapat pada varietas Zhong Zu (6,4 batang/rumpun).
Jumlah anakan produktif merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil
gabah persatuan luas dari suatu varietas padi.
Panjang malai tertinggi terdapat pada galur IR. 8314-B-11 (22,4 cm) dan
diikuti Inpari 30 (21,6 cm), Mekongga (21,3 cm), Huang Huazhan (21,1 cm) dan
yang terendah terdapat pada varietas Zhong Zu (20,4 cm).

467
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, anakan produktif, panjang malai berbagai


varietas/galur padi sawah dataran rendah
Tinggi Panjang Jumlah anakan
No Varietas/galur tanaman malai produktif
(cm) (cm) (batang/rumpun)
1 Zhong Zu 108.2 b 20.43a 6.4 b
2 Huang Huazhan 115.6 a 21.10a 7.4 b
3 IR. 8314-B-11 113.8 ab 22.40 a 7.5 b
4 Inpari 30 112.6ab 21.60 a 8.9ab
5 Mekongga 108.4ab 21.30 a 10.2 a
KK (%) 2,41 3,83 11,67

Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama
tidakberbeda nyata berdasarkan Uji Tukey pada taraf 5%
Komponen hasil dan produksi

Hasil analisis terhadap komponen hasil jumlah gabah bernas/rumpun,


jumlah gabah hampa/rumpun, bobot 1.000 butir dan produksi gabah kering
panen (GKP) dari lima perlakuan yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata diantara perlakuan (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata jumlah bernas/rumpun, hampa/rumpun, bobot 1.000 butir,
produksi padi sawah dataran rendah
Jumlah Jumlah
gabah gabah
Bobot 1.000 Produksi
No Varietas/galur bernas/ hampa/
(butir) GKP (t/ha)
rumpun rumpun
(butir) (butir)
1 Zhong Zu 724.3 a 333.3 a 28.1 a 7.30 a
2 Huang Huazhan 1025.7a 204.3 a 28.0 a 7.55 a
3 IR. 8314-B-11 761.7 a 160.0 a 30.3a 5.80 a
4 Inpari 30 751.0 a 216.7 a 30.8 a 6.97a
5 Mekongga 914.7 a 259.0 a 29.7 a 7.00 a
KK (%) 14,55 3,15 6,05 10,1

Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan Uji Tukey pada taraf 5%.
Pada Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa panjang malai, jumlah
gabah bernas/rumpun, gabah hampa/rumpun, bobot 1.000 butir dan produksi
tidak memberikan perbedaan yang nyata pada 5 varietas yang diuji. Secara
rata-rata panjang malai, jumlah gabah bernas/rumpun, jumlah gabah
hampa/rumpun, bobot 1.000 butir dan produksi gabah kering panen masing-
masingnya berkisar 21,1–22,4 cm, 724,3–1025,7 butir, 204,3 – 333,3 butir, 28,0
– 30,8 gr, dan 5,80 – 7,55 ton GKP/ha.
Jumlah gabah bernas/rumpun tertinggi didapat pada galur Huang
Huazhan (1.025,7 butir) diikuti varietas Mekongga (914,7 butir), IR. 8314-B-11
(761,7 butir), Inpari 30 (751,0 butir), dan terendah Zhong Zu (724,3 butir).
Sedangkan jumlah gabah hampa/rumpunyang tertinggi terdapat pada
varietasZhong Zu (333,3 butir) diikuti Mekongga (259,0 butir), Inpari 30 (216,7

468
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

butir), Huang Huazhan (204,3 butir), dan terendah pada alur IR 8314-B-11
(160,0 butir).
Bobot 1.000 butir yang tertinggi didapat pada varietas Inpari 30 (30,8 g)
diikuti galur IR 8314-B-11 (30,3 g), Mekongga (29,7 g), Zhong Zu (28,1 g), dan
terendah Huang Huazhan (28,0 g). Bobot 1.000 butir varietas Inpari 30 lebih
tinggi dibanding bobot 1.000 butir yang tertera pada deskripsinya, hal ini
disebabkan diduga oleh factor adaptasi varietas ini sesuai pada lingkungan
tumbuhnya sehingga memberikan hasil fotosintesa yang sempurna dan
akhirnya memberikan bobot gabah yang tinggi.
Produksi yang tertinggi terdapat pada varietas Huang Huazhan (7,55
t/ha), diikuti ZhongZu (7,30 t/ha), Mekongga (7,00 t/ha), Inpari 30 (6,97 ton/ha),
dan terendah IR 8314-B-11 (5,80 t/ha). Tingginya produksi gabah kering panen
galur Zhong Zu dan Huang Huazhan juga diikuti oleh komponen hasilnya yang
juga tinggi seperti jumlah gabah bernas/rumpun dan jumlah anakan
produktif/rumpun.
Jumlah gabah bernas, jumlah gabah hampa, bobot 1.000 butir dan
produksi gabah kering panen/ha dari lima perlakuan yang diuji tidak berbeda
nyata, hal ini disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan seperti
kesuburan tanah. Menurut Yahumri dkk. (2015), menyatakan bahwa kurang
baiknya suatu varietas beradaptasi diduga dari faktor genetik dan dan faktor
lainnya yang tidak mendukung seperti curah hujan, suhu, kelembaban,
ketinggian tempat, penyinaran matahari dan kesuburan tanah. Suatu varietas
dapat hidup dan tumbuh dengan baik tergantung dari kemampuannya suatu
varietas mampu berinteraksi terhadap pupuk yang diberikan serta pengaturan
penyinaran yang optimal. Menurut Fagi et al. (1996), penggunaan varietas
unggul yang disertai dengan perbaikan pemupukan dan pengaturan air dapat
memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi sebesar 75%.

KESIMPULAN

Produksi tertinggi didapatkan pada galur Huang Huazhan dengan


produksi 7,55 t/ha GKP, kemudian galur Zhong Zu dengan produksi 7,30 t/ha
GKP, sedangkan varietas Mekongga sebagai pembanding produksinya 7,00
t/ha GKP.

SARAN

Kedua galur tersebut diatas dapat dilanjutkan pengujiannya dan


selanjutnya dapat diusulkan menjadi varietas unggul nasional dataran rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Deskripsi Varietas


Unggul Baru Padi Inbrida Padi Irigasi (Inpari), Inbrida Padi Gogo
(Inpago), Inbrida Padi Rawa (Inpara), dan Hibrida Padi (Hipa). 63 hal.

469
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Balitpa. 1996. Rencana strategis BalaiPenelitian Tanaman Padi Tahun


1997-2005. Balai Penelitian Tanaman Padi, Puslitbangtan, Badan
Libang Pertanian. Hal. 10-37.
BPS Provinsi Sumatera Utara. 2014. Sumatera Utara Dalam Angka 2014.
Fagi, A.M., I. Las, dan Hasanuddin. 1996. Keterpaduan Penelitian Dan
Pengembangan Lahan Sawah Beririgasi. Rapat Kerja Badan Litbang
1996.
Gomez, K.A dan A.A Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian
Pertanian. (Terjemahan). Universitas Indonesia. (697 hal)
Hermawati, T. 2012. Pertumbuhan Dan Hasil Enam Varietas Padi Sawah
Dataran Rendah Pada Perbedaan Jarak Tanam. http://download. portal
garuda.org/article.php?article=11731&val=860. Program Studi
Agroekoteknologi ,Fakultas PertanianUniversitas Jambi. Tanggal akses
9 November 2015.
Sutaryo,B., dan T. Sudaryono. 2012. Tanggap Sejumlah Genotipe Padi
Terhadap Tiga Tingkat Kepadatan Tanaman. Jurnal Ilmiah AGROS.
Fakultas Pertanian Universitas Janabadra. Yogyakarta.
Puslitbangtan, 2007. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah irigasi.
Pusat Penelitian Tanaman Pangan Bogor
Wahyuni ,S.2011. Teknik Produksi Benih Sumber Padi. Makalah disampaikan
dalam Workshop Evaluasi Kegiatan Pendampingan SL-PTT 2001 dan
Koordinasi UPBS 2012. Balai Besar Penelitian Padi. Sukamandi, 28-29
November 2011.
Yahumri,Ahmad D., Yartiwi, Afrizon. 2015. Keragaan Pertumbuhan Dan Hasil
Tiga Varietas Unggul Baru Padi Sawah Di Kabupaten Seluma,
Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity
Indonesia Volume 1,Nomor 5, Agustus 2015.
Yusuf, A. dan Yardha., 2011. Uji Adaptasi Galur Harapan/ Varietas Padi Gogo
Pada Ekosistem Dataran Rendah Di Kabupaten Deli Serdang. Jurnal
Agroteknologi, Vol. 1 No. 2. Hal. 29-35.

470
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESESUAIAN LAHAN PADI GOGO DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT


SUMATERA UTARA

Lukas Sebayang, Sarman P. L. Tobing, dan Mieke Afni Hardyani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No. 1B Medan
email : mabayang2001@yahoo.com

ABSTRAK

Pengkajian bertujuan untuk mendapatkan informasi arah


pengembangan kesesuaian lahan padi gogo sebagai skala acuan operasional
pengembangan pertanian khususnya tanaman padi gogo di wilayah Kabupaten
Pakpak Bharat. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Januari sampai Desember
2012. Ruang lingkup kegiatan ini terdiri dari pembuatan pangkalan data,
analisis dan evaluasi kesesuaian lahan, validasi dan verifikasi peta kesesuaian
lahan, penyusunan peta tanah dan peta pewilayahan komoditas padi gogo.
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini diawali dengan penyusunan Basis
Data. Data karakteristik satuan lahan tersusun dalam bentuk spasial dan
sudah terpadu dalam peta satuan lahan skala.Evaluasi lahan dilakukan dengan
membandingkan (matching) antara data karakteristik lahan dengan kriteria
persyaratan penggunaan lahan. Untuk mempercepat evaluasi lahan dilakukan
secara komputasi dengan menggunakan program Automated Land Evaluation
System (ALES). Pelaksanaan komputasi dilakukan dengan mengimport data
Standard Procedure for Land Evaluation (SDPLE) atau data yang sudah
tersedia dalam format Excell ke dalam program ALES.Penyajian hasil evaluasi
lahan dalam bentuk spasial atau peta dilakukan dengan cara mengimport data
tabulasi kedalam format Geographical Information System (GIS). Penyajian
peta kesesuaian lahan skala 1:50.000 dibuat berdasarkan jenis komoditas
pertanian dengan menggunakan program ArcView. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa Kabupaten Pakpak Bharat memiliki kelas kesesuaian
lahan untuk padi gogo yang termasuk kriteria kelas lahan sesuai (S2) seluas
14.335 ha (10,57%), kelas lahan sesuai bersyarat (S3) seluas 49.811 ha
(36,74%), dan kelas lahan tidak sesuai (N) seluas 77.456 ha (52,70 %). Masih
tersedia lahan yang sesuai untuk padi gogo seluas 11.945 ha, sementara itu
luas pertanaman padi gogo saat ini seluas 2.390 ha.

Kata Kunci: Kesesuian lahan, padi gogo, Pakpak Bharat

PENDAHULUAN

Proporsi luas tanam padi gogo dibanding tanaman pangan lain lebih
besar yaitu 60% (10.282 ha) kemudian diikuti jagung 21%, padi sawah 14% dan
5% terdiri dari ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan cabai (Pakpak Bharat
Dalam Angka, 2014). Padi gogo ditanam penduduk di semua kecamatan di
Kabupaten Pakpak Bharat, luas panen tertinggi yaitu 484 ha terdapat di
Kecamatan Kerajaan kemudian Pergetteng-getteng Sengkut (PGGS) sebesar
360 ha, Tinada 346 ha, Sitelu Tali Urang (STTU) Jehe 308 ha, Salak 257 ha,

471
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sitelu Tali Urang (STTU) Julu 255 ha, Pangidar 214 ha, dan Siempat Rube 166
ha (Pakpak Bharat Dalam Angka. 2014)
Pada tahun 2013 sektor pertanian masih menjadi sektor utama
pendukung perekonomian di Kabupaten ini, dari total 17.197 ha luas areal
tanaman pangan dan hortikultura, sebanyak 12.738 ha (74,07%) merupakan
tanaman padi yaitu padi sawah dan padi gogo (Dinas Pertanian Kab Pakpak
Bharat, 2014). Untuk tahun 2013, luas panen padi sawah dan padi ladang
adalah sebesar 4.978 ha, menurun 27,87% dari tahun 2012 yaitu sebesar 6.902
ha. Sedangkan untuk produksi padi sawah dan padi ladang mencapai
16.317,13 t di tahun 2013, menurun 36,57% dari tahun 2012 sebesar 25.725,36
t. Selain masalah penurunan produksi padi, pengembangan pertanian di
Kabupaten Pakpak Bharat pada dasarnya masih dihadapkan pada
permasalahan-permasalahan antara lain pengelolaan usaha tani yang masih
bersifat tradisional, skala usahatani yang relatif kecil (skala kepemilikan lahan),
mutu produk sangat beragam, belum berorientasi pasar (market oriented),
pengelolaan usahatani masih perorangan belum secara berkelompok,
penggunaan pupuk dan pestisida yang belum memperhatikan kelestarian
lingkungan serta penanganan pasca panen belum sesuai anjuran.
Untuk meningkatkan produksi selain intensifikasi/ optimalisasi lahan
perlu pengembangan lahan kering yang berpotensi untuk ditanami padi gogo
sedangkan untuk padi sawah pengembangannya terbatas. Di Pakpak Bharat,
lahan kering cukup luas sebesar 120.010 ha memberi peluang pengembangan
lahan-lahan yang sesuai untuk padi gogo. Oleh karena itu dilakukan pengkajian
untuk mendapatkan informasi arah pengembangan kesesuaian lahan padi
gogo sebagai skala acuan operasional di Kabupaten Pakpak Bharat, dalam
bentuk peta kesesuaian lahan yang potensial untuk padi gogo.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan pengkajian ini dilakukan di semua kecamatan di Kabupaten


Pakpak Bharat, mulai bulan Januari sampai Desember 2012. Tata cara
pelaksanaan yaitu : (1) Pendekatan, peta komoditas skala 1 : 50.000 yang
dihasilkan berdasarkan peta skala 1 : 250.000 yang sebelumnya sudah ada (2)
Penyusunan basis data terdiri dari data tabular dan data spasial (3)
Penyusunan model evaluasi lahan berdasarkan versi 4.65 (Rositer, 1997)(4)
Komputasi (5) Penyusunan dan analisa data (6) Penyajian hasil dalam bentuk
peta skala 1 : 50.000, dimanainformasi skala peta dibubuhkan pada peta dalam
bentuk skala numeric dan skala gtafis (Environmental System Research
Institite.Inc, 1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik lahan
Luas wilayah Kabupaten Pakpak Bharat adalah 1.221,30 km 2, yang
terdiri dari 8 kecamatan dan 52 desa, berada pada ketinggian tempat yang
bervariasai yaitu500 – 1.500 mdi atas permukaan laut (dpl). Kabupaten ini

472
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sebagian besar wilayahnya berada pada dataran tinggi dengan topografi


berbukit-bukit dengan kemiringan yang bervariasi dan beriklim hujan tropis
Tata guna lahan di Kabupaten Pakpak Bharat secara umum dapat
dibagi dua yaitu lahan basah dan lahan kering. Pemanfaatan ruang untuk
kabupaten ini dikelompokkan pada pertanian lahan basah seluas 1.820 terdiri
dari sawah berpengairan dan tadah hujan dan lahan kering seluas 120.010 ha
terdiri dari perkampungan, tegal/kebun, kebun campuran, perkebunan rakyat,
alang-alang, belukar hutan suaka dan lain-lain.
Sumber mata pencarian utama masyarakat di daerah ini di dominasi
sistem pertanian lahan kering yaitu tegal/kebun, kebun campuran dan
perkebunan rakyat seluas 46.165 ha. Penggunaan lahan kering seluas 120.010
ha, sebagian besar diperuntukan untuk hutan dan sisanya seluas 46.165 ha
untuk tegal/kebun, kebun campuran dan perkebunan rakyat yang merupakan
sumber mata pencarian utama masyarakat di daerah ini. Sedangkan sumber
mata pencaharian lainya adalah bersumber dari lahan basah yang merupakan
sawah irigasi seluas 1.206 ha.

Kesesuaian lahan padi gogo


Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan untuk
tanaman padi gogo di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat yang termasuk kriteria
lahan yang sesuai (S2), seluas 14.335 ha (10,57%). Pengertian kelas lahan
sesuai (S2) mempunyai faktor pembatas dan faktor pembatas ini berpengaruh
terhadap produktivitas memerlukan tambahan input (masukan) dan pembatas
tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani (Djaenudin dkk., 2000). Faktor
pembatas lahan pada S2 terdiri dari 1. Bahaya erosi (eh) dimana lereng 8–16
% yaitu ringan sampai sedang, 2. Retensi hara (nr) dimana Kapasitas Tukar
Kation (KTK) liat ≤ 16 cmol, kejenuhan basa 20–35%, pH H2O 5,0–5,5 dan 7,5–
7,9, serta C-organik 0,8–1,5%.
Sedangkan kelas kesesuaian lahan sesuai bersyarat (S3) untuk
tanaman padi gogo seluas 49.811ha (36,74%). Faktor pembatas yang dimiliki
lahan sesuai bersyarat (S3) lebih berat dari S2 yang dapat mempengaruhi
produktivitas dan untuk mengatasinya diperlukan input lebih banyak, modal
tinggi serta perlu ikut campur pemerintah atau pihak swasta (Djaenudin dkk.,
2000). Faktor pembatas lahan pada S3 terdiri dari 1. Bahaya erosi (eh) dimana
lereng 16–30% dan 16– 50%, 2. Retensi hara (nr) dimana kejenuhan basa <20
%, pH H2O <5,0 dan >7,9, serta C-organik <0,8%, dan 3. Media perakaran (rc)
dimana drainase terhambat, sangat terhambat, tekstur agak kasar, bahan kasar
35–55%, kedalaman tanah 25–40 cm, ketebalan gambut 140–200 cm dan
sisipan/pengkayaan bahan mineral 200– 400 cm.
Sementara itu kelas kesesuian lahan tidak sesuai (N) untuk tanaman
padi gogo seluas 77.456 ha (52,7%). Kelas kesesuian lahan tidak sesuai (N),
memiliki faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi (Djaenudin
et.al, 2000).Faktor pembatas lahan pada N meliputi 1. Bahaya erosi (eh)
dimana lereng >30 dan >50, 2. Penyiapan lahan (lp) sangat sulit karena terdiri
dari batuan di permukaan >40% dan singkapan batuan >25 %.

473
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pada peta kesesuaian lahan padi gogo di bawah ini terlihat pada
legenda bahwa warna hijau,hijau muda, coklat, coklat muda, merah, merah
muda menunjukan kelas kesesuaian lahanyang bervariasi terdapat di setiap
kecamatan (BPTP Sumut, 2012) (Gambar 1).

Gambar 1. Peta kesesuaian lahan tanamani padi gogo di Pakpak Bharat

Pada tahun 2013 kabupaten Pakpak Bharat memiliki luas pertanaman


padi gogo seluas 2.390 ha, bila dibandingkan dengan hasil kelas kesesuaian
lahan yang sesuai (S2) untuk tanaman padi gogo seluas 14.335 ha, artinya
masih tersedia lahan yang sesuai untuk padi gogo seluas 11.945 ha. Luas
lahan tersebut jika dimanfaatkan dengan optimal akan memberikan hasil cukup
signifikan untuk meningkatkan produksi padi gogo. Untuk itu, peranan
Pemerintah Daerah Kabupaten Pakpak Bharat sangat penting dalam hal ini
untuk bisa membangun sarana produksi dan prasarana (benih, pupuk,
pestisida, irigasi, mekanisasi pertanian dan lain-lain). Disamping itu, kualitas
sumber daya manusianya perlu dibangun juga sehingga dapat memanfaatkan
sarana dan prasarana tersebut. Menurut penelitian Sembiring, dkk (2013)
bahwa pemahaman para petani masih beragam bergantung pada intensitas
penyuluhan dan informasi yang mereka peroleh. Penyuluhan sangat perlu bagi
para petani oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), sementara PPL perlu
mendapat pembekalan ilmu pertanian khususnya komoditas padi gogo.
Sehingga antara para petani dan PPL terjalin hubungan komunikasi dan
pemahaman yang sejalan dan berkesinambungan.
Pendekatan kesesuaian lahan tidak hanya dari aspek iklim dan tanah
saja, namun juga dari aspek ekonomi dan sosial serta ketersediaan
infrastruktur. Dalam upaya agar kegiatan pengembangan padi gogo di daerah
ini mencapai keberhasilan sesuai yang diharapkan, diperlukan sistem usaha
tani spesifik lokasi yang bersifat efisien, berkelanjutan dan memiliki keunggulan
komparatif dengan mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja, modal dan
kemampuan petani (Amien dan Karama.1993). Agar sistem dan juga teknologi
spesifik lokasi tersebut dapat dihasilkan dengan lebih efisien, hemat, terarah
dan sesuai untuk wilayah pengembangan perlu dilakukan zonasi agro-ekologi
atau ZAE (Amien. 1996). Melalui pengenalan agro-ekologi wilayah,

474
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sumberdaya lahan dapat dimanfaatkan secara terarah dan efisien (Puslittanak.


1993). Salah satu kegiatan ZAE tersebut adalah penyediaan informasi terpadu
mengenai sistem produksi dan data sosial ekonomi wilayah yang mutakhir.

KESIMPULAN
1. Kabupaten Pakpak Bharat memiliki kelas kesesuaian lahan untuk padi
gogo yang termasuk kriteria kelas lahan sesuai (S2) seluas 14.335 ha
(10,57%), kelas lahan sesuai bersyarat (S3) seluas 49.811 ha (36,74%),
dan kelas lahan tidak sesuai (N) seluas 77.456 ha (52,70 %).
2. Masih tersedia lahan yang sesuai untuk padi gogo seluas 11.945 ha,
sementara itu luas pertanaman padi gogo saat ini seluas 2.390 ha.
SARAN
Peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Pakpak Bharat sangat penting
dalam hal ini untuk bisa membangun sarana-prasarana pertanian serta
peningkatan kualitas sumber daya manusianya (SDM) petani dan petugas
pertanian khususnya untuk pengembangan dan pembangunan pertanian
komoditas padi gogo.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, I. Dan S Karama. 1993. Zona Agro-Ekologi dan Alternatif
Pengembangan Pertanian Bul. Perhimpi 1(2) : 55-71.
Amien, I. 1996. Panduan Karakterisasi dan Analisis Zona Agro-Ekologi.
Pembahasan Pemantapan Metodologi Karakterisasi Zone Agro-
Ekologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Puslittanak
Berkerjasama dengan Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Pekanbaru.
Badan Pusat Statistik, 2014. Kabupaten Pakpak Bharat Dalam Angka. Badan
Pusat Statistik Pakpak Bharat.
BPTP Sumatera Utara, 2012. Pewilayahan Komoditas Pertanian Skala 1 :
50.000 di Kabupaten Pakpak Bharat. Kerjasama Pemerintahan
Kabupaten Pakpak Bharat dengan Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Utara. 71 hal.
Dinas Pertanian Kabupaten Pakpak Bharat, 2014. Budidaya Beberapa
Komoditas Tanaman di Kabupaten Pakpak Bharat. 118 hal.
Djaenudin, Marwan H., H. Subagyo, A. Mulyana dan N. Suharta. 2000. Kriteria
Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Versi 3 : 3-13.
Puslittanak. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian.
Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Bogor. Versi 3.
Rossiter D.G. dan A.R.V. Wambeke, 1997. Automated Land Evaluation System
ALESVersion 4.65 User’s Manual. Cornell University.Ithaca. NY USA.
Sembiring H, Lukman Hakim, I Nyoman Widiarta, dan Zulkifi Zaini. 2013.
Evaluasi Adopsi. Pengelolaan Tanaman Terpadu Dalam Sekolah
Lapang (SL) Pada Program Nasional Peningkatan Produksi Tanaman
Pangan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian
Spesifik Lokasi. Medan, 6 – 7 Juni 2012. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Bogor, 2013.

475
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENINGKATAN KADAR BAHAN ORGANIK DAN PERTUMBUHAN PADI


MELALUI APLIKASI PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK
DI LAHAN SAWAH DENGAN SISTEM TANAM SRI DAN KONVENSIONAL

Hamidah Hanum, Hardy Guchi, dan Jamilah

Fakultas Pertanian USU


Jln Prof. A.Sofyan No 3 Kampus USU
email: hamidah.azhar@yahoo.co.id

ABSTRAK

Kadar bahan organik tanah yang rendah merupakan salah satu


penyebab rendahnya produktivitas lahan sawah. Aplikasi jerami segar secara
langsung yang dipadukan dengan sisitem tanam SRI diharapkan dapat
mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan
kadar bahan organik dan hasil pada lahan sawah dengan kandungan bahan
organik yang rendah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Batubara,
Sumatera Utara pada bulan Juni-Nopember 2010 menggunakan rancangan
percobaan petak-petak terpisah. Faktor yang diuji adalah sistem tanam, dosis
pupuk anorganik, dan pupuk organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
status bahan organik tanah meningkat menjadi sangat tinggi pada sistem SRI
yang diaplikasi pupuk organik berupa pupuk kandang, dan kombinasinya
dengan jerami padi dengan perbandingan 1:! dan 1:2. Sistem SRI tanpa pupuk
anorganik tetapi diberi pupuk kandang saja maupun dikombinasikan dengan
jerami meningkatkan bobot kering tajuk setara dengan sistem konvensional.

Kata Kunci: Pupuk anorganik, jerami, bahan organik, SRI

PENDAHULUAN

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kesuburan


lahan sawah di Indonesia adalah kadar bahan organik tanah yang rendah.
Lebih dari 50% dari luasan lahan sawah di Indonesia mempunyai kandungan
bahan organik rendah sampai sedang yaitu kurang dari 2%. Hal ini terutama
disebabkan kebiasaan petani mengangkut ke luar lahan atau membakar jerami
limbah panen, sementara pemberian pupuk organik jarang dilakukan
(Departemen Pertanian, 2008).
Budidaya padi dengan masukan in situ (sumberdaya lokal) antara lain
memanfaatkan bahan organik setempat merupakan hal yang perlu
diperhitungkan menuju perpadian berkelanjutan di masa depan. Kadar bahan
organik tanah di lahan sawah dapat ditingkatkan melalui pemberian pupuk
organik yang bersumber dari jerami padi. Hal ini disebabkan jerami selalu
tersedia dan mengandung unsur hara terutama kalium yang cukup tinggi, yaitu
1,2 sampai 1,7% (Dobermann dan Fairhurst, 2000). Departemen Pertanian
(2009) telah membuat petunjuk teknis pengelolaan jerami padi sebagai pupuk
organik.Pengembalian atau pembenaman jerami ke lahan dapat dilakukan

476
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

secara langsung, yaitu setelah jerami sudah tercacah semua selanjutnya


dikembalikan ke lapisan olah tanah sawah yang dilakukan bersama kegiatan
pengolahan tanah. Efek jerami cacah terhadap sifat tanah sangat ditentukan
tingkat dekomposisinya. Sistem tanam yang dapat menciptakan kondisi yang
mempercepat proses dekomposisiadalah metode SRI (System of Rice
Intensification)yang menggunakan pupuk kandang. Pupuk kandang selain
berfungsi sebagai sumber hara dan juga mengandung mikroba dekomposer
sebagai aktivator dekomposisi jerami. Sementara pengaturan air pada metode
SRI menciptakan kondisi tanah yang lebih aerobik sehingga mendukung
aktivitas mikroba perombak. Selama pertumbuhan dari mulai tanam hingga
panen akan memberikan air maksimal 2 cm, paling baik macak-macak setinggi
5 mm (Mutakin, 2005).Penelitian ini betujuan meningkatkan kadar bahan
organik dan pertumbuhan tanaman padi pada sistem tanam konvensional dan
SRI yang diberi perlakuan pupuk anorganik dan kombinasi pupuk kandang dan
jerami cacah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Nopember 2010 di lahan
sawah irigasi Desa Air Hitam, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara,
Provinsi Sumatera Utara, dengan kadar C-organik tanah rendah (1.02%).
Varietas padi yang ditanam adalah Ciherang, sedangkan pupuk organik yang
digunakan adalah bersumber dari jerami cacah dan pupuk kandang sapi.
Penelitian menggunakan Rancangan Petak-Petak Terpisah dalam
Rancangan Acak Kelompok dan diulang tiga kali. Sebagai petak utama adalah
perlakuan pemupukan anorganik dengan dosis yaitu 270 kg Urea/ha, 100 kg
SP-36/ha, dan 50 kg KCl/ha dan tanpa pupuk anorganik. Anak petak adalah
sistem pertanaman padi yaitu sistem tanam konvensional dan sistem SRI.
Sedangkan sebagai anak-anak petak adalah perlakuan pupuk organik yang
terdiri dari 6 taraf yaitu a) tanpa pupuk organik, b) aplikasi jerami cacah 10 ton
per hektar, c) aplikasi pupuk kandang 10 ton per hektar, d) aplikasi kombinasi
jerami cacah dan pupuk kandang dengan perbandingan bobot 1 : 1 yaitu
masing-masing 5 ton per hektar, e) aplikasi kombinasi jerami cacah dan pupuk
kandang dengan perbandingan bobot 1 : 2 yaitu jerami cacah 3.30 ton per
hektar dan pupuk kandang 6.70 ton per hektar, dan f) aplikasi kombinasi jerami
cacah dan pupuk kandang dengan perbandingan bobot 2 : 1 yaitu jerami cacah
6.70 ton per hektar dan pupuk kandang 3.30 ton per hektar.
Tanah sawah diolah dengan hand traktor sampai membentuk lumpur halus,
kemudian dibuat plot percobaan dengan ukuran 2 m x 3 m sebanyak 72 plot.
Jerami cacah dan pupuk kandang sapi diaplikasikan dengan cara mencampur
dengan tanah pada saat olah tanah kedua dan dibiarkan selama 4 minggu.
SIstem tanam pada SRI antara lain: umur bibit 10 hari, jumlah bibit 1 tanaman
per lobang tanam, jarak tanam 30 cm x 30 cm, kondisi tanah dalam keadaan
macak-macak ketika padi berumur 1-8 hari setelah tanam (HST), ketika padi
berumur 9-10 HSTi tanah digenangi sampai ketinggian 1-2 cm. Tanah kembali
dikeringkan sampai berumur 18 HST, pada umur 19-20 HST tanah kembali

477
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

digenangi. Setelah padi berbunga, tanah digenangi lagi sampai ketinggian 1-2
cm sampai padi berumur 15-20 hari sebelum panen. Kemudian tanah
dikeringkan sampai saat panen tiba. Pada metode konvensional, umur bibit 20
hari, jumlah bibit 5 tanaman per lobang tanam dengan jarak tanam 20 cm x 20
cm. lahan digenangi air dengan ketinggian 4 cm mulai pindah tanam hingga
pengisian malai selanjutnya setelah padi mulai menguning lahan dikeringkan.
Parameter yang diamati C-organik tanah (Metode Walkley and Black) dan
bobot kering tajuk. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada umur 7 minggu
setelah tanam. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Riset Fakultas
Pertanian USU.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kadar bahan organik tanah
Pada sistem tanam konvensional yang diberi pupuk anorganik, perlakuan
pupuk organik tidak mempengaruhi kadar bahan organik, tetapi sebaliknya jika
tidak diberi pupuk anorganik, perlakuan pupuk organik yang merupakan
kombinasi pupuk kandang dan jerami menyebabkan penurunan kadar bahan
organik tanah. Kadar bahan organik tanah pada perlakuan pemberian pupuk
anorganik pada perlakuan kombinasi jerami dan pupuk kandang pada berbagai
perbandingan lebih tinggi dibanding dengan yang tidak diberi pupuk anorganik.
(Tabel 1).

Tabel 1. Kadar Bahan Organik Tanah (%) pada Berbagai Perlakuan


Pemberian Pupuk Anorganik, Sistem Tanam dan Pupuk Organik.
Batubara. 2010
Dengan Pupuk Anorganik Tanpa Pupuk Anorganik
Pupuk Organik Konvensional SRI Konvensional SRI
Tanpa 2.72 abc 1.54 defg 3.08 ab 2.05 bcdefg
Jerami (J) 1.58 cdefg 2.77 abc 2.29 bcdef 2.22 bcdef
Pupuk kandang (K) 2.60 abcd 1.16 fg 2.44 bcde 3.14 ab
J:K=1:1 2.22 bcdef 1.50 defg 1.07 g 3.76 a
J:K=1:2 2.32 bcde 2.02 bcdfg 1.42 efg 2.98 ab
J:K=2:1 2.81 abc 3.08 ab 1.53 defg 1.29 efg
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom (aspek pupuk
anorganik dan sistem tanam) dan baris yang sama (aspek pupuk
organik) menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT
pada taraf 5%

Pada sistem tanam SRI, jika dibandingkan antara perlakuan pupuk


anorganik maka terdapat perbedaan pengaruh pupuk organik terhadap kadar
bahan organik tanah. Pada lahan yang diaplikasi pupuk anorganik, pemberian
jerami dan kombinasi jerami dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1
nyata meningkatkan bahan organik. Sementara pada lahan yang tidak diberi
pupuk anorganik, peningkatan kadar bahan organik tanah hanya pada
perlakuan kombinasi jerami dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1.

478
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Jika dibandingkan antara sistem tanam pada lahan yang diberi pupuk
anorganik, diantara perlakuan pupuk organik, hanya pemberian pupuk kandang
yang memberikan efek yang berbeda yaitu kadar bahan organik pada sistem
SRI lebih rendah dibanding sistem konvensional. Sementara pada lahan yang
tidak diberi pupuk anorganik, kombinasi jerami dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:1 dan 1:2 menyebabkan kadar bahan organik tanah pada
sistem SRI lebih tinggi dibanding sistem konvensional.

Bobot kering tajuk

Pengaruh pemberian pupuk anorganik, sistem tanam dan pupuk organik


terhadap berat kering tajuk pada masa vegetatif disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Bobot kering tajuk (g) pada berbagai perlakuan pemberian pupuk
anorganik, sistem tanam dan pupuk organik. Batubara. 2010
Dengan pupuk anorganik Tanpa pupuk anorganik
Pupuk organic
Konvensional SRI Konvensional SRI
Tanpa 16,66 Cd 11,14 Fghi 27,89 A 9,83 Ghi
Jerami (J) 22,17 B 9,28 Hi 21,72 B 12,84 defgh
Pupuk kandang (K) 22,58 B 11,04 Fghi 14,20 Def 7,88 I
J:K=1:1 22,12 B 9,53 Ghi 13,09 defgh 8,88 Hi
J:K=1:2 16,81 Cd 13,55 Defg 11,04 Fghi 7,73 I
J:K=2:1 19,26 Bc 12,19 Efgh 15,95 Cde 8,98 Hi
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom (aspek pupuk
anorganik dan sistem tanam) dan baris yang sama (aspek pupuk
organik) menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT
pada taraf 5%

Dari Tabel 2 tersebut terlihat bahwa dengan perlakuan penambahan


pupuk anorganik pada sistem tanam konvensional bobot kering tanaman
meningkat pada perlakuan jerami dan pupuk kandang dan kombinasi keduanya
dengan perbandingan 1:1. Sementara jika tidak diberi pupuk anorganik,
pemberian pupuk organik menyebabkan pertumbuhan tanaman menurun.
Sebaliknya pada sistem tanam SRI yang diberi dan tidak diberi pupuk
anorganik, perlakuan pupuk organik tidak mempengaruhi bobot kering
tanaman. Jika dibandingkan antara kedua sistem tanam baik yang diberi
maupun yang tidak diberi pupuk anorganik, bobot kering tanaman lebih tinggi
pada sistem konvensional dibanding sistem SRI, kecuali pada SRI tanpa pupuk
anorganik tetapi diberi pupuk kandang saja maupun dikombinasikan dengan
jerami.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa pada sistem tanam
konvensional atau cara petani, jika pupuk anorganik diberikan maka tidak perlu
diberikan lagi pupuk organik. Sebaliknya jika pupuk anorganik tidak diberikan
maka pemberian pupuk organik berupa kombinasi jerami dan pupuk kandang
mengakibatkan penurunan kadar bahan organik tanah. Efek interaksi antara

479
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pupuk organik dan pupuk anorganik pada sistem konvensional terhadap kadar
bahan organik tanah dikarenakan tanah sawah di lokasi penelitian mengandung
C-organik yang rendah dan miskin hara. Jamilah dan Hanum (2011)
menyatakan 81,25% dari luasan lahan sawah di Kabupaten Batubara
mengandung C-organik <2%. Tidak adanya efek dari pupuk anorganik dan
pupuk organik dikarenakan adanya penambahan hara tanah dari pupuk
anorganik yang dapat memacu perkembangan mikroba perombak sehingga
meningkatkan proses dekomposisi. Sebaliknya menurunnya kadar bahan
organik tanah pada kondisi tidak diberi pupuk anorganik tetapi diberi pupuk
kandang dan jerami disebabkan peranan pupuk kandang sebagai sumber
nutrisi dan mengandung mikroba decomposer sehingga aktif melakukan proses
dekomposisi. Efek interaksi pupuk kandang dan jerami berkaitan dengan
jerami segar yang diaplikasikan mengandung C-organik 42.9%..dan C/N
sebesar 36.36 sehingga merupakan sumber energy dan sumber karbon untuk
mikroba decomposer. Jerami cacah dapat meningkatkan kadar bahan organik
tanah mencapai 2.8% pada penelitian di laboratorium (Perdana, 2009). Kyuma
(2004) menyatakan karena dekomposisi yang lambat di tanah sawah, salah
satu pengaruh penggenangan adalah akumulasi bahan organik tanah.
Berdasarkan penelitian Harahap (2008) jerami cacah dapat meningkatkan C-
organik, jumlah anakan, dan serapan K. Selain itu pertumbuhan dan produksi
padi yang terbaik terdapat pada perlakuan jerami cacah dengan masa inkubasi
30 hari dengan dosis 7.5 ton/ha dimana produksi dapat mencapai 7.2 ton/ha
Berdasarkan keragaman perubahan kadar bahan organik tanah pada
sistem SRI, menunjukkan sistem SRI lebih respon terhadap aplikasi pupuk
organik terutama jika tidak ada masukan pupuk NPK. Status bahan organik
tanah meningkat menjadi sangat tinggi khususnya pada aplikasi pupuk organik
berupa pupuk kandang, dan kombinasinya dengan jerami padi dengan
perbandingan 1:! dan 1:2. Hal ini menunjukkan pupuk kandang lebih berperan
dalam meningkatkan kadar bahan organik tanah pada system SRI dibanding
pupuk jerami. Pertambahan bahan organik tanah berasal dari pupuk organik
dan perakaran tanaman termasuk eksudat akar. Sistem SRI dapat memacu
perkembangan akar terutama karena efek dari pupuk kandang terhadap sifat
tanah dan efek dari perlakuan pengairan dimana kondisi tanah selama
pertumbuhan vegetatif macak-macak hingga kering (Mutakin, 2005)
Berdasarkan data bobot kering tajuk diketahui bahwa secara umum
pada sistem konvensional lebih tinggi dibanding sistem SRI. Hal ini disebabkan
perbedaan dari jumlah bibit pada sistem konvensional yang lebih tinggi (5 bibit)
sedangkan pada SRI hanya 1 bibit. Meningkatnya bobot kering tanaman
karena pemberian pupuk anorganik dikarenakan suplai hara tersedia dari pupuk
anorganik sehingga jumlah hara yang diserap akan meningkat juga.
Pemupukan N,P K meningkatkan serapan hara pada system konvensional
lebih tinggi dibanding sistem SRI (Hanum, dkk., 2011). Dari hasil penelitian ini
diketahui bahwa sistem SRI berpotensi untuk diterapkan berdasarkan bobot
kering yang tidak berbeda dengan sistem konvensional meskipun jumlah
bibitnya hanya 1 tanaman khususnya pada perlakuan tanpa pupuk anorganik

480
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tetapi diberi pupuk kandang saja maupun dikombinasikan dengan jerami. Hal
ini disebabkan jerami dapat memperbaiki sifat tanah terutama meningkatkan
bahan organik dan kandungan hara tanah. Jerami mengandung sejumlah hara
antara lain: N (0.5-0.8%), P (0.07-0.12%), K (1.2-1.7%), S (0.05-0.10%) dan Si
(4-7%) (Dobermann dan Fairhurst, 2000). Pada percobaan aplikasi jerami dan
pupuk NPK di lahan sawah irigasi di Kabupaten Pinrang Maros diketahui bahwa
penggunaan jerami pada musim tanam pertama belum berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan dan komponen hasil tanaman, namun ada
kecenderungan aplikasi jerami 2 t/ha meningkatkan pertumbuhan dan hasil,
tetapi efektivitas aplikasi jerami terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
diperoleh pada lahan bekas pemberian jerami selama 3 musim tanam (Arafah
dan Sirappa, 2003) Menurut Kumarsinka, dkk.,., (2007) SRI merupakan
alternatif yang signifikan tidak hanya meningkatkan hasil tetapi merupakan
sistem pengelolaan padi berbasis petani terutama di daerah miskin.

KESIMPULAN
1. Terdapat keragaman efek interaksi antara pupuk anorganik dan pupuk
organik pada sistem konvensional dan SRI terhadap kadar bahan organik
tanah
2. Status bahan organik tanah meningkat menjadi sangat tinggi pada sistem
SRI yang diaplikasi pupuk organik berupa pupuk kandang, dan
kombinasinya dengan jerami padi dengan perbandingan 1:! dan 1:2
3. Aplikasi jerami dan pupuk kandang dan kombinasi keduanya dengan
perbandingan 1:1.pada sistem tanam konvensional meningkatkan bobot
kering tajuk.
4. Sistem SRI tanpa pupuk anorganik tetapi diberi pupuk kandang saja
maupun dikombinasikan dengan jerami meningkatkan bobot kering tajuk
setara dengan sistem konvensional.

SARAN
Untuk meningkatkan status bahan organik tanah di lahan sawah
Kabupaten Batubara disarankan menerapkan sistem SRI yang diaplikasikan
pupuk organik berupa pupuk kandang 10 ton/ha, dan kombinasi jerami padi dan
pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 (jerami 5 ton/ha dan pupuk kandang
5 ton/ha) dan 1:2 ( jerami 3.3 ton/ha dan pupuk kandang 6.7 ton/ha)
.
UCAPAN TERIMA KASIH
Tim Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah memberikan
biaya penelitian ini melalui DIPA USU sesuai surat Perjanjian Pelaksanaan
Penelitian Strategi Nasional Tahun Anggaran 2010 Nomor :
2693/H5.1.R/KEU/SP2 H/2010 Tanggal 3 Mei 2010.

481
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Arafah dan M.P Sirappa. 2003. Kajian Penggunaan Jerami dan Pupuk N, P,
dan K Pada Lahan Sawah Irigasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan
Vol 4 (1) pp 15-24.
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknik Reklamasi lahan Sawah
Berbahan Organik Rendah Tahun 2008. Direktorat Pengelolaan lahan.
Direktorat Pengelolaan Lahan dan Air Jakarta.
Departemen Pertanian, 2009. Pedoman Teknis Perbaikan Kesuburan Lahan
Sawah Berbasis Jerami. Direktorat Pengolahan Lahan. Dirjen
Pengelolaan Lahan dan Air. Departmen Pertanian.
Dobermann, A. dan T .Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders dan Nutrient
Management. Potash and Potash Institute/Potash and Potash Institute
of Canada.
Hanum, H. H.Guchi dan Jamilah. 2011. Pengelolaan Hara Berbasis Jerami
Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah Berbahan Organik
Rendah. Prosiding Seminar Nasional BKS-PTN Wilayah Barat.
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Harahap. S.M. 2008. Aplikasi Jerami Padi untuk Perbaikan Sifat Tanah dan
Produksi Padi Sawah. Pasca Sarjana. Fakultas Pertanian. USU, Medan.
Jamilah dan H.Hanum. Evaluasi Tingkat kesuburan Tanah Sawah Akibat
Pemberian Pupuk Anorganik secara Terus Menerus di Kabupaten
Batubara. Prosiding Seminar Nasional BKS-PTN Wilayah Barat.
Universitas Sriwijaya. Palembang.
Kumarsinha, S dan J. Talati. 2007. Productivity impacts of the System of Rice
Intensification (SRI): A case study in West Bengal India. Elsevier
Science Direct Agricultural Water Management 87: 55-60.
Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science. Kyoto University Press. Japan
Mutakin, J. 2005. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System
of Rice Intensification) Tesis. Pascasarjana. UNPAD. Bandung.
Perdana, M.I. 2009. Perubahan Beberapa Sifat Kimia Tanah Akibat Pemberian
Jerami Padi Pada Berbagai Masa Inkubasi. Skripsi. Fakultas Pertanian
USU. Medan.

482
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

IDENTIFIKASI GENOTIPE PADI GOGO TOLERAN KEKERINGAN

Vivi Aryati1), Maryati Sari2) dan Nurmalia1)

1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan
2)
Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB
Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor
vivi_aryati@yahoo.com

ABSTRAK

Identifikasi suatu genotipe tanaman yang toleran terhadap kondisi


lapang yang suboptimum dapat dilakukan secara dini melalui uji vigor benih
yang selama ini telah banyak dilakukan dengan cara simulasi cekaman
kekeringan menggunakan larutan Polyethylene glycol (PEG). Penggunaan
PEG meskipun memiliki kelemahan antara lain harga PEG yang relatif mahal
dan sering terjadinya serangan cendawan pada saat benih dikecambahkan,
namun masih cukup relevan untuk diaplikasikan dalam pengujian vigor benih.
Penelitian ini bertujuan untukmenentukan level tekanan osmotik larutan PEG
(BM 6000) yang digunakan terkait dengan cekaman kekeringan. Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB mulai bulan
Oktober 2010 hingga Januari 2011. Penelitian menggunakan rancangan
kelompok lengkap teracak (RKLT) dua faktor yakni enam varietas padi gogo
(Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Batutegi, Towuti dan IR20) dan empat level
tekanan osmotik PEG 6000 (0, -2, -4 dan -6 bar), masing-masing perlakuan
diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
PEG 6000 bertekanan osmotik -2 bar merupakan level yang tepat untuk
mengidentifikasi toleransi benih padi gogo terhadap cekaman kekeringan.

Kata kunci: Identifikasi, genotipe, padi gogo, toleran kekeringan

PENDAHULUAN
Pengembangan varietas padi gogo toleran kekeringan sangat diperlukan
untuk mendukung peningkatan produksi padi nasional tersebut. Kontribusi padi
gogo terhadap produksi padi nasional masih relatif rendah, sehingga
pengembangannya masih terus diupayakan.Produktivitas padi gogo pada
tahun 2009 sebesar 2.96 ton/ha, jauh lebih rendah dibandingkan dengan
produktivitas padi sawah yang mencapai 5.18 ton/ha (KEMENTAN 2010).
Serangkaian program pemuliaan yang cukup panjang dibutuhkan
untukmenghasilkan varietas padi gogo yang diinginkan. Seleksi galur toleran
kekeringan yang dilakukan di lapangan sangat sulit, membutuhkan biaya yang
lebih mahal dan waktu yang lebih lama (Lestari & Mariska 2006).
Penelitian mengenai uji toleransi terhadap kekeringan pada padi telah
banyak dilakukan, namun umumnya dilakukan pada fase pertanaman di
lapangan dan di rumah kaca yang membutuhkan waktu yang panjang dan biaya

483
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yang relatif mahal serta tempat yang lebih luas.Suardi (2002) menguji daya
tembus akar tanaman padi karena sifat perakaran menjadi salah satu
penentutoleransi tanaman terhadap kekeringan. Satria (2009) melakukan
pengujian toleransi kekeringan padi gogo pada stadia awal pertumbuhan di
rumah kaca dengan metode pengujian menggunakan media kompos dengan
penyiraman tiga hari sekali yang merupakan metode paling efektif untuk
menyeleksi genotipe padi gogo yang toleran kekeringan.
Identifikasi dini toleransi kekeringan pada benih padi gogo selama ini
dilakukan dengan menggunakan larutan PEG (Polyethylene glycol) namun
dilakukan secara in vitro. Lestari & Mariska (2006) mengidentifikasi beberapa
varietas padi toleran kekeringan menggunakan PEG untuk mendapatkan
nomor-nomor harapan padi yang diduga toleran kekeringan pada somaklon
yang berasal dari varietas Gajahmungkur, Towuti dan IR64 hasil radiasi dan
seleksi in vitro. Metode ini tergolong sederhana dan singkat, meskipun memiliki
kelemahan antara lain harga PEG yang relatif mahal dan sering terjadinya
serangan cendawan pada saat benih dikecambahkan.
Identifikasi dinibeberapa genotipe padi yang toleran terhadap kekeringan
dengan metode PEG perlu dipelajari karena sangat diperlukan dalam rangka
mengembangkan tanaman padi gogo dan mengembangkan metode identifikasi
yang mudah dan sederhana serta diharapkan dapat mendorong kemajuan
pertanian terutama bidang perbenihan di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan level tekanan osmotik
larutan PEG (BM 6000) yang digunakan terkait dengan cekaman kekeringan

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011
di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain benih padi yang terdiri dari 5 (lima)
varietas padi gogo yang berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
Sukamandi yaitu Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Towuti dan Batutegi, dan satu
varietas peka kekeringan yang telah distandardisasi oleh IRRI yaitu IR20. Bahan
lainnya adalah PEG (Polyethylene glycol) BM 6000 untuk simulasi cekaman
kekeringan, kertas merang sebagai media tanam/media perkecambahan, plastik
PE sebagai pembungkus untuk menjaga kelembaban media tanam dan kertas
label. Peralatan yang digunakan pada percobaan pertama adalah alat
pengecambah benih (APB) tipe IPB 72-1, kuas, beaker glass, dan magnetic stirrer.
Percobaan disusun menurut rancangan acak kelompok dengan dua faktor.
Faktor pertama terdiri dari 6 (enam) varietas padi yaitu Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6,
Towuti, Batutegi dan IR20. Faktor kedua adalah level tekanan osmotik PEG 6000
yang terdiri dari empat tingkat antara lain 0 bar, -2 bar, -4 bar dan -6 bar (setara
dengan 0 MPa, -0.2 MPa, -0.4 MPa dan -0.6 MPa. Perhitungan level tekanan
osmotik larutan PEG 6000 dilakukan dengan pendekatan rumus Michel & Kaufmann
(1973). Data dianalisis menggunakan analisis ragam (Anova) dan pada perlakuan

484
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yang menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap variabel yang diamati, maka
dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT pada taraf nyata 5%.
Percobaan ini diawali dengan menanam benih pada substrat kertas
merang. Sebelumnya substrat dilembabkan dengan larutan PEG 6000
menggunakan kuas dan volume (ml) PEG 6000 pada setiap substrat sama
jumlahnya. Kertas merang yang digunakan dalam setiap gulungan sebanyak 5
(lima) lembar dengan masing-masing lembar kertas merang membutuhkan 10
ml larutan PEG 6000.
Level tekanan osmotik PEG 6000 terdiri dari empat tingkat yaitu 0 bar, -
2 bar, -4 bar, dan -6 bar. Rumus perhitungan tekanan osmotik PEG 6000
menurut Michel & Kaufmann (1973) adalah sebagai berikut:

Ψs = – (1.18 x 10-2) C – (1.18 x 10-4) C2 + (2.67 x 10-4) CT + (8.39 x 10-7) C2T


Keterangan:
Ψs = tekanan osmotik larutan (bar)
C = konsentrasi PEG 6000 dalam gram PEG/kg H2O
T = suhu ruangan (oC)

Berdasarkan pendekatan rumus Michel & Kaufmann (1973) dengan suhu


ruangan 28oC diperoleh tekanan osmotik -2 bar, -4 bar dan -6 bar masing-
masing setara dengan 124.38 g PEG/kg H2O, 184.12 g PEG/kg H2O dan 230.13
g PEG/kg H2O. Metode yang digunakan untuk mengecambahkan benih adalah
metode Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik (UKDdp) dan selanjutnya
dimasukkan dalam alat pengecambah benih.
Pengamatan untuk setiap variabel percobaan meliputi ; kadar air benih,
daya kecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor dan panjang akar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi benih awal
Informasi kondisi benih sebelum digunakan dalam penelitian ini penting
diketahui agar tidak terjadi kekeliruan dalam penarikan kesimpulan . Umur panen
yang relatif sama atau berdekatan menjadi salah satu faktor penting mengingat
penelitian ini terkait dengan vigor genetik benih.
Viabilitas yang tinggi ditunjukkan dengan persentase daya berkecambah
mengindikasikan bahwa benih yang digunakan masih berkualitas baik.
Keseluruhan benih yang digunakan pada penelitian ini memiliki rata-rata daya
berkecambah awal sebesar 92.83% dengan kisaran 83 – 98% dan kadar air awal
berkisar antara 11.9 – 12.9%. Kondisi ini sesuai dengan persyaratan dan tata
cara sertifikasi benih bina tanaman pangan yang mensyaratkan daya
berkecambah minimal benih padi sebesar 80% dan kadar air maksimal 13%
(Departemen Pertanian 2009).

485
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengaruh Varietas dan Tekanan Osmotik PEG 6000 terhadap Vigor


Kekeringan
Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat interaksi antara varietas dan
tekanan osmotik PEG 6000 terhadap variabel daya berkecambah (DB),
kecepatan tumbuh (KCT ) dan indeks vigor (IV), sedangkan pada variabel panjang
akar (PA) tidak terdapat interaksi antara varietas dan tekanan osmotik PEG 6000,
tetapi masing-masing faktor memberikan pengaruh nyata secara tunggal (Tabel
1).
Tabel 1. Pengaruh interaksi varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 terhadap
beberapa variabel vigor kekeringan
Tekanan osmotik PEG 6000 (bar)
Varietas
0 -2 -4 -6
-------------------- Daya Berkecambah (%) --------------------
Inpago 4 90.0 (9.5) a 77.3 (8.8) ab 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f
a ab c
Inpago 5 91.3 (9.6) 80.7 (9.0) 41.3 (6.2) 2.0 (1.5) ef
Inpago 6 89.3 (9.5) a 77.3 (8.8) ab 6.0 (2.5) e 0.0 (0.7) f
a a ef
Batutegi 92.7 (9.6) 95.3 (9.8) 2.7 (1.6) 0.0 (0.7) f
Towuti 78.7 (8.9) ab 66.7 (8.2) b 1.3 (1.2) f 0.0 (0.7) f
a a d
IR20 94.7 (9.7) 91.3 (9.6) 13.3 (3.7) 0.7 (1.0) f
-------------------- Kecepatan Tumbuh (%/etmal) --------------------
Inpago 4 17.0 (4.2) ab 12.1 (3.5) de 0.0 (0.7) h 0.0 (0.7) h
Inpago 5 17.4 (4.2) ab 14.0 (3.8) bcd 6.3 (2.5) f 0.3 (0.9) h
ab cde gh
Inpago 6 17.9 (4.3) 12.6 (3.6) 0.9 (1.2) 0.0 (0.7) h
Batutegi 19.3 (4.4) a 16.6 (4.1) ab 1.6 (1.4) gh 0.0 (0.7) h
a-d e h
Towuti 15.1 (3.9) 10.5 (3.3) 0.2 (0.8) 0.0 (0.7) h
IR20 19.2 (4.4) a 16.0 (4.0) abc 1.9 (1.6) gh 0.1 (0.8) h
-------------------- Indeks Vigor (%) --------------------
Inpago 4 53.3 (7.3) b 6.0 (2.5) de 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f
Inpago 5 60.0 (7.7) b 28.0 (5.2) c 0.7 (1.0) f 0.0 (0.7) f
b de f
Inpago 6 56.7 (7.5) 7.3 (2.7) 0.0 (0.7) 0.0 (0.7) f
Batutegi 81.3 (9.0) a 12.0 (3.5) d 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f
b e f
Towuti 50.0 (7.1) 6.0 (2.2) 0.0 (0.7) 0.0 (0.7) f
IR20 63.3 (8.0) ab 27.3 (5.1) c 0.0 (0.7) f 0.0 (0.7) f
Keterangan : angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda
nyata pada uji DMRT taraf 5%angka dalam kurung merupakan
hasil transformasi (x + 0.5)1/2 .

Pada tekanan osmotik PEG 6000 0 bar (kontrol) untuk semua variabel
pengamatan (DB, KCT, IV dan PA) tidak menunjukkan banyak variasi antar
varietas dan nilai masing-masing variabel mas. Peningkatan tekanan osmotik
PEG 6000 yang diberikan mengakibatkan penurunan persentase daya
berkecambah yang berbeda-beda pada masing-masing varietas (Tabel
1)Peningkatan tekanan osmotik PEG 6000 hingga -2 bar mengakibatkan persentase
daya berkecambah masing-masing varietas mulai menunjukkan adanya penurunan
walaupun belum nyata secara statistik, namun telah terdapat beda nyata antar
varietas, sehingga telah dapat dibedakan antara varietas yang toleran dan tidak

486
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

toleran terhadap kekeringan. Berdasarkan hal tersebut, penggunaan varietas dalam


penelitian ini telah sesuai untuk pengujian identifikasi benih yang toleran terhadap
cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan PEG karena adanya varietas
yang relatif toleran dan tidak toleran terhadap kekeringan. Pada kondisi ini varietas
Batutegi memiliki persentase daya berkecambah tertinggi yaitu 95.3% dan terendah
dimiliki oleh varietas Towuti yaitu 66.7%.
Tekanan osmotik PEG 6000 -2 bar tidak menurunkan daya berkecambah
secara nyata pada masing-masing varietas. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lestari & Mariska (2006) pada penapisan dini
terhadap somaklon asal varietas Gajah Mungkur, Towuti dan IR64 dimana pada
pemberian PEG 6000 berkonsentrasi 10% (setara dengan -2 bar) belum
mampu menurunkan daya kecambah benih.Penurunan daya berkecambah,
panjang tunas dan panjang akar akibat pemberian PEG 6000 baru dapat dilihat
pada konsentrasi 20% atau setara dengan -4 bar. Konsentrasi tersebut oleh
Lestari & Mariska (2006) dianggap paling efektif sebab dapat memisahkan
antara kecambah yang tahan dengan yang agak tahan terhadap kekeringan
pada pengujian di laboratorium.
Persentase daya berkecambah beberapa varietas seperti Inpago 5, IR20
dan Batutegi pada pemberian -2 bar PEG 6000 masih di atas 80%, dengan nilai
masing-masing 80.7%, 91.3% dan 95.3%. Hasil ini memperlihatkan bahwa
ketiga varietas tersebut memiliki tingkat toleransi terhadap kekeringan yang lebih
tinggi dibandingkan ketiga varietas lainnya yaitu Inpago 4, Inpago 6 dan Towuti
meskipun berdasarkan analisis statistik tidak memberikan perbedaan yang nyata.
Hasil tersebut sejalan dengan klasifikasi yang telah dilakukan oleh Satria
(2009) dimana varietas Batutegi tergolong genotipe yang moderat (sedang) dan
IR20 tergolong dalam genotipe yang toleran terhadap kekeringan berdasarkan
persentase tanaman mati di rumah kaca.Namun klasifikasi tersebut untuk
varietas IR20 berbeda dengan standardisasi yang ditetapkan oleh IRRI dalam
Lubis dkk. (2007) bahwa varietas IR20 merupakan varietas rentan kekeringan.
Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh penggunaan metode
pengujian yang berbeda antara IRRI dengan yang dilakukan dalam penelitian ini.
Varietas Inpago 5 berdasarkan deskripsinya tergolong sebagai varietas
yang toleran kekeringan, sedangkan varietas Batutegi bereaksi moderat
terhadap kekeringan. Varietas Inpago 4 dan Inpago 6 masing-masing
merupakan varietas yang toleran dan agak toleran terhadap cekaman abiotik
keracunan Aluminium (60 ppm).Anjuran penanaman varietas Towuti
berdasarkan deskripsinya hanya cocok ditanam di lahan sawah maupun lahan
kering pada musim hujan (BB Padi 2010).Menurut Molphe-Balch dkk. (1996),
adanya perbedaan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan akibat
perbedaan dalam mekanisme fisiologi, morfologi, fenologi, biokimia dan adaptasi
molekuler pada varietas yang diuji. Selain itu adanya perbedaan ukuran gabah,
ketebalan kulit biji dan vigor benih akan menentukan pula kemampuan benih
berkecambah.

487
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pemberian PEG 6000 bertekanan osmotik -4 bar telah mengakibatkan semua


varietas mengalami penurunan daya berkecambah secara nyata terhadap
perlakuan kontrol, walaupun persentase penurunannya tidak sama antar varietas.
Terlihat bahwa beberapa varietas mengalami penurunan daya berkecambah
hingga 90% dibandingkan dengan kontrol bahkan varietas Inpago 4 mengalami
kematian total, namun pada varietas Inpago 5 hanya mengalami penurunan 50%
dimana benihnya masih mampu berkecambah sebesar 41.3%. Hal ini menunjukkan
bahwa benih telah mengalami cekaman yang cukup berat. Demikian pula halnya
pada pemberian PEG 6000 bertekanan osmotik -6 bar yang menyebabkan hampir
semua benih tidak dapat tumbuh (mati) sehingga tidak dapat dibedakan antara
varietas yang toleran dan tidak toleran.
Karakter fisiologi yang dapat digunakan sebagai penanda bahwa benih
tersebut toleran terhadap kekeringan antara lain kemampuan benih berkecambah
pada larutan yang mempunyai tekanan osmotik tinggi. Benih yang dapat tumbuh
dengan baik pada kondisi tersebut akan dapat tumbuh baik pula pada cekaman
kekeringan di lapangan. Pada penelitian ini terlihat bahwa peningkatan tekanan
osmotik PEG pada media mengakibatkan penurunan daya berkecambah yang
kemungkinan terjadi akibat terhambatnya proses pembelahan sel dan
pemanjangan sel pada metabolisme benih. Hal yang sama dinyatakan oleh
Widoretno dkk. (2002) bahwa penurunan daya berkecambah benih kedelai yang
terjadi akibat meningkatnya tekanan osmotik PEG pada media perkecambahan,
diduga terjadi akibat terhambatnya proses pembelahan sel, pemanjangan sel atau
keduanya yang disebabkan oleh cekaman kekeringan yang disimulasikan dengan
PEG. Proses perkecambahan sangat membutuhkan air, oleh karena itu peran air
sangat penting.
Pengamatan terhadap kecepatan tumbuh hingga 7 (tujuh) hari setelah
perkecambahan, menunjukkan bahwa peningkatan tekanan osmotik PEG 6000
yang diberikan mengakibatkan penurunan kecepatan tumbuh yang berbeda-
beda pada masing-masing varietas (Tabel 2). Pada tekanan osmotik -2 bar
hampir semua varietas telah memberikan tanggapan yang nyata terhadap
simulasi cekaman kekeringan yang diberikan dan masing-masing varietas dapat
dibedakan antara yang toleran dan tidak toleran. Kondisi ini menunjukkan bahwa
semua varietas telah mengalami cekaman dengan pemberian tekanan osmotik
PEG 6000 -2 bar. Respon penurunan KCT yang berbeda antar varietas
memperlihatkan adanya perbedaan toleransi terhadap cekaman yang diberikan.
Varietas Batutegi dan IR20 memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Inpago 4 dan Inpago 6, sedangkan Inpago 5 ada diantara
keduanya.
Peningkatan tekanan osmotik PEG 6000 -4 bar telah memberikan kondisi
cekaman yang berat pada masing-masing varietas. Hal ini terlihat dari
penurunan kecepatan tumbuh yang sangat nyata dibandingkan dengan kontrol,
dan pada kondisi ini telah sulit membedakan antara varietas dengan V KTkekeringan
yang tinggi dan yang rendah karena semua benih telah sangat tercekam.
Demikian pula yang terjadi pada tekanan osmotik -6 bar, dimana cekaman yang
terjadi pada level tersebut telah mengakibatkan kematian benih.

488
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Menurut Sadjad (1993), variabel kecepatan tumbuh mengindikasikan V KT


karena benih yang cepat tumbuh lebih mampu menghadapi kondisi lapangan
yang sub optimum seperti cekaman kekeringan. Semakin tinggi nilai K CT semakin
tinggi pula vigor benih tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa
varietas Inpago 5, IR20 dan Batutegi memiliki VKT yang tinggi.
Strategi benih toleran dalam menghadapi kondisi cekaman kekeringan
melalui mekanisme bertahan (mekanisme toleransi) terhadap kekeringan dengan
potensi air jaringan yang rendah dengan osmotic adjustment yang memproduksi
dan mengakumulasi asam amino bebas seperti prolin pada jaringan tanaman
selama cekaman kekeringan yang bertujuan untuk mempertahankan turgornya
melalui penyesuaian potensial osmotik atau dengan meningkatkan elastisitas
jaringan selama kondisi kekeringan (Turner 1979). Mempertahankan turgor
dengan menurunkan potensial air sangat penting untuk ekspansi sel,
pertumbuhan dan proses biokimia, fisiologi dan morfologi, dimana semua proses
tersebut terjadi pada saat fase imbibisi dan aktivasi metabolisme berlangsung
(Jones dkk. 1981).
Pengaruh interaksi antara faktor varietas dan tekanan osmotik PEG 6000
pada variabel indeks vigor juga dapat dilihat pada Tabel 2 Hasil yang relatif
sama dengan variabel KCT terjadi pada variabel indeks vigor dimana
peningkatan tekanan osmotik PEG 6000 yang diberikan mengakibatkan
penurunan indeks vigor yang berbeda-beda pada masing-masing varietas.
Pemberian tekanan osmotik -2 bar menyebabkan penurunan indeks vigor
secara nyata pada masing-masing varietas dan pada kondisi ini terlihat jelas
perbedaan vigor antar varietas. Varietas Inpago 5 dan IR20 memiliki V KTkekeringan
yang lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya dengan nilai indeks vigor masing-
masing 28% dan 27.3%, sedangkan varietas Inpago 4 dan Towuti memiliki
VKTkekeringan terendah dengan nilai indeks vigor 6%.
Cekaman yang sangat berat akibat dari pemberian PEG 6000 bertekanan
osmotik -4 bar menyebabkan hampir seluruh benih tidak mampu berkecambah
dan tidak dapat dibedakan lagi tingkat toleransi masing-masing varietas. Hal
serupa dialami pada tekanan osmotik -6 bar yang mengakibatkan semua benih
tidak dapat berkecambah.
Indeks vigor dan KCT yang tinggi menunjukkan benih berkecambah lebih
cepat, sehingga digolongkan dalam vigor. Menurut Sadjad (1994), benih yang
cepat tumbuh menunjukkan benih tersebut mampu mengatasi berbagai macam
kondisi suboptimum. Nilai indeks vigor selalu lebih rendah dibandingkan nilai
daya berkecambah tetapi lebih mendekati pertumbuhan benih di
lapangan.Miguel & Filho (2002) menunjukkan bahwa pada benih jagung
perhitungan pertama pada pengujian perkecambahan dapat menunjukkan
performansi pertumbuhan benih di lapangan (seedling emergence).
Hasil analisis statistik terhadap variabel panjang akar menunjukkan bahwa
tidak terdapat pengaruh interaksi antara varietas dengan tekanan osmotik yang
diberikan, sehingga tidak mempengaruhi pemilihan tekanan osmotik yang ada.
Masing-masing faktor memberikan pengaruh yang nyata secara tunggal.Terlihat

489
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

bahwa semakin tinggi tekanan osmotik yang diberikan, semakin terhambat


pertumbuhan akarnya (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh faktor tunggal varietas dan tekanan osmotik PEG 6000
terhadap panjang akar
Tekanan osmotik PEG 6000 (bar)
Varietas Rata-rata
0 -2 -4 -6
-------------------- Panjang Akar (cm) --------------------
Inpago 4 12.77 12.07 9.40 7.03 10.32 bc
Inpago 5 13.74 12.50 11.36 10.89 12.12 a
Inpago 6 12.73 11.40 10.75 8.30 10.80 bc
Batutegi 13.35 12.70 9.95 8.56 11.14 ab
Towuti 12.32 10.98 9.72 6.96 10.00 c
IR20 12.67 12.44 10.94 8.80 11.21 ab
Rata-rata 12.93 a 12.02 b 10.35 c 8.42 d
Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda
nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Menurut Suardi (2002) perakaran padi berhubungan erat dengan sifat


toleransi tanaman terhadap kekeringan. Mekanisme sifat perakaran dalam
hubungannya dengan ketahanan terhadap kekeringan antara lain: 1) perakaran
yang dalam dan padat berpengaruh terhadap penyerapan air dengan besarnya
tempat penampungan air tanah, 2) besarnya daya tembus (penetrasi) akar
pada lapisan tanah keras meningkatkan penyerapan air tanah dalam, dan 3)
penyesuaian tegangan osmosis akar meningkatkan ketersediaan air tanah bagi
tanaman dalam kondisi kekurangan air.
Dubrovsky & Gomez-lomeli (2003) menyatakan bahwa salah satu strategi
tanaman toleran dalam menghadapi cekaman kekeringan dimulai pada fase
perkecambahan sampai pertumbuhan vegetatif dengan membentuk formasi akar
yang dalam dan percabangan akar yang banyak. Kecambah yang memiliki akar
yang lebih panjang akan mempunyai vigor yang lebih tinggi pada kondisi cekaman
kekeringan.Fauzi (1997) menyatakan bahwa kecambah padi yang toleran
kekeringan akan memiliki akar yang panjang dan memiliki berat kering akar lebih
besar daripada kecambah yang tidak toleran. Pada penelitian ini, panjang akar benih
antar satu varietas dengan varietas yang lain menunjukkan perbedaan yang nyata
secara statistik. Varietas yang memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap
kekeringan memiliki rata-rata panjang akar lebih tinggi dibandingkan varietas yang
relatif tidak toleran. Rata-rata panjang akar tertinggi dimiliki oleh varietas Inpago 5
dengan nilai rata-rata panjang akar 12.12 cm, dan rata-rata panjang akar terendah
dimiliki oleh varietas Towuti yaitu 10 cm.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap variabel DB,
KCT, IV dan PA karena pengaruh varietas dan tekanan osmotik PEG 6000 yang
diberikan, diperoleh hasil bahwa PEG 6000 bertekanan osmotik -2 bar merupakan
level yang tepat untuk mengidentifikasi toleransi benih padi terhadap cekaman
kekeringan. Hasil yang sama dinyatakan oleh Junaidi (1998) yang melakukan
penelitian mengenai indikasi ketahanan padi gogo terhadap kekeringan berdasarkan

490
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

viabilitas benih pada fase kecambah, dimana dengan menggunakan PEG 6000
bertekanan osmotik -2.139 bar telah dapat mengindikasikan benih yang toleran dan
yang peka.Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Effendi dkk., (2009)
menunjukkan bahwa berdasarkan nilai indeks sensitivitas cekaman kekeringan (ISK)
yang dihitung berdasarkan peubah bobot kering akar kecambah diketahui bahwa
perlakuan PEG 10% (setara dengan -2 bar) pada media perkecambahan
merupakan kondisi cekaman kekeringan yang dapat mengelompokkan genotipe
jagung toleran, medium toleran dan peka kekeringan.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. PEG 6000 bertekanan osmotik -2 bar merupakan level yang tepat untuk
mengidentifikasi toleransi benih padi terhadap cekaman kekeringan.
2. Varietas yang toleran terhadap kekeringan yaitu varietas Inpago 5, IR20 dan
Batutegi, sedangkan varietas Inpago 4, Inpago 6 dan Towuti tergolong
dalam varietas yang tidakak toleran.

DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2010. Deskripsi varietas padi.Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Dubrovsky JG, Gomez-lomeli LF. 2003.Water deficit accelerates determinate
developmental program of the primary root and does not affect lateral
root initiation in a sonorant desert cactus (Pachycereus pringlei,
Cactaceae). Am J Bot 90(6): 823-831.
Effendi R, Sudarsono, Ilyas S, Sulistiono E. 2009.Seleksi dini toleransi genotipe
jagung terhadap kekeringan.Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
28(2): 63-68.
Fauzi A. 1997. Studi beberapa tolok ukur viabilitas benih padi gogo (Oryza
sativa L.) untuk indikasi fisiologis sifat tahan terhadap kekeringan
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
International Seed Testing Association. 2010. International Rules for Seed
Testing. Ed 2010. ISTA. Zurich. Switzerland.
Jones MM, Turner NC, Osmond CB. 1981. Mechanisms of drought resistance.
Di dalam: Paleg LG, Aspinall D, editor. The Physiology and Biochemistry
of Drought Resistance in Plants.Sydney: Academic Pr. hlm 15-37.
Junaidi. 1998. Indikasi ketahanan padi gogo (Oryza sativa L.) terhadap
kekeringan berdasarkan viabilitas benih dan kandungan prolin bebas
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2010. Basis Data Statistik
Pertanian. Departemen Pertanian RI, Jakarta.
http://database.deptan.go.id [21 Mei 2010].
Lestari EG, Mariska I. 2006.Identifikasi somaklon padi Gajahmungkur, Towuti
dan IR64 tahan kekeringan menggunakan Polyethylene Glycol.Bul
Agron 34(2): 71-78.
Lubis E, Hermanasari R, Sunaryo, Santika A, Suparman E. 2008. Toleransi
galur padi gogo terhadap cekaman abiotik. Di dalam: Prosiding Seminar
Apresiasi Hasil Penelitian Padi; Sukamandi, 19-20 Nopember 2007.
Sukamandi: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. hlm 725-739.

491
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Michel BE, Kaufmann MR. 1973. The osmotic potential of polyethylene glycol
6000. Plant Physiol 51: 914-916.
Miguel MVC, Filho JM. 2002. Potassium leakage and maize seed physiological
potential. Sci Agric 59(2): 315-319.
Molphe-Balch EP, Gidekel M, Segura-Nieto M, Estrella LH, Ochoa-Alejo N.
1996.Effect of water stress on plant growth and root proteins in three
cultivars of rice (Oryza sativa) with different levels of drought
tolerance.Physiol Plant 96: 284-290.
Sadjad S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. Jakarta: Grasindo.
Sadjad S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Sadjad S, Murniati E, Ilyas S. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih Dari
Komparatif Ke Simulatif. Jakarta: Grasindo.
Satria A. 2009. Pengujian toleransi kekeringan padi gogo (Oryza sativa L.) pada
stadia awal pertumbuhan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Suardi D. 2002.Perakaran padi dalam hubungannya dengan toleransi tanaman
terhadap kekeringan dan hasil.J Litbang Pert 21(3): 100-108.
Turner NC. 1979. Drought resistance and adaptation to water deficits in crop
plants. Di dalam: Mussell H, Staples RC, editor. Stress Physiology in
Crop Plants. New York: Wiley-Interscience. hlm 343-372.
Widoretno W, Guhardja E, Ilyas S, Sudarsono. 2002. Efektivitas Polietilena
Glikol untuk mengevaluasi tanggapan genotipe kedelai terhadap
cekaman kekeringan pada fase perkecambahan.Hayati 9(2): 33-36.

492
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

RESPON MORFOLOGI DAN METABOLIS TANAMAN PADI TERHADAP


CEKAMAN KELEBIHAN AIR

Yardha dan Lutfi Izhar

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi


Jl. Samarinda. Paal V. Kota Baru Jambi. 36128
email : yan_sinaro@yahoo.com

ABSTRAK

Padi merupakan tanaman pokok penduduk Indonesia. Salah satu


kendala dalam memperoleh produksi yang tinggi adalah faktor alam seperti
kelebihan air (banjir). Daerah yang sering terkena dampak banjir adalah lahan
usahatani yang depengaruhi Aliran sungai dan pasang air laut. Tulisan ini
memuat mekanisme tanaman padi dalam menghadapi cekaman kelebihan air.
Dua konsep utama mekanisme yang ada yaitu toleran dan menghindar
(avoidance). Kedepannya diharapkan terdapat varietas padi yang tanah cukup
lama terhadap cekaman ini dan memberikan hasil yang optimal. Selain itu
percepatan pengambangan dan penelitian genetik yang berhubungan erat
dengan ketahanan padi perlu didukung oleh semua pihak.
Kata kunci: Padi, cekaman, air, mekanisme

PENDAHULUAN
Dewasa ini perkembangan dan pertambahan penduduk dunia semakin
pesat, tetapi kurang diikuti oleh peningkatan produksi komoditas dan perluasan
areal pertanian khususnya tanaman pangan. Namun yang terjadi saat ini,
bukannya produksi pertanian yang semakin meningkat, tetapi adalah
penurunan produksi komoditas tanaman pertanian tertentu yang disebabkan
oleh perubahan iklim global. Perubahan iklim tersebut berakibat pada
timbulnya perubahan cuaca ekstrim seperti kekeringan yang panjang dan banjir
yang semakin meluas. Kondisi lingkungan yang semakin terdegradasi seperti
efek rumah kaca, pemanasan global, dan perusakan hutan, semakin
memperburuk keadaan alam dan mengancam pertanian dunia.Akibatnya akhir
selain kerusakan alam, pada beberapa daerah di belahan dunia telah terjadi
musibah kelaparan dan krisis pangan. Diperkirakan sekitar lebih dari 70 miliar
penduduk dunia termasuk pada kondisi rawan pangan (Mohanty, dkk., 2000).
Perubahan kondisi lingkungan global,secara langsung berpengaruh
terhadap pola kehidupan penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia yang
termasuk kedalam 5 besar penduduk terpadat di Dunia, mensyaratkan tingkat
konsumsi komoditas pertanian khususnya tanaman pangan yang besar.Namun
dengan adanya fenomena yang mengakibatkan alam semakin terdegradasi
dan daya dukungnya semakin berkurang dalam memperoleh produksi
pertanian yang optimal, berakibat semakin beratnya upaya-upaya yang
dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan produk komoditas pertanian
khususnya tanaman pangan tersebut (Sumardi, dkk., 2007)

493
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Salah satu fenomenon yang menonjol akibat dari terdegradasinya alam


di Indonesia adalah terdapatnya perubahan kondisi lingkungan (ekosistem) di
wilayah tertentu. Beberapa tahun belakangan ini terdapat wilayah-wilayah yang
pada mulanya merupakan lahan kering namun berubah menjadi suatu lahan
yang basah dan pada waktu tertentu terjadi kelebihan air (banjir) yang hampir
selalu periodik. Apabila kondisi ini terjadi pada lahan komoditas pertanian yang
subur, dengan luasan yang besar, serta merupakan sentra produksi tanaman
tertentu dan menopang perekonomian banyak orang, maka akan menjadi suatu
masalah yang serius dan harus segera diatasi.
Upaya mengatasi pengaruh perubahan lingkungan seperti kelebihan air
(kebanjiran) pada lahan pertanian sudah mulai dilakukan. Beberapa solusi
mengurangi pengaruh banjir seperti melakukan perbaikan lahan, perbaikan
saluran irigasi dan drainase, serta mencari beberapa varietas tanaman yang
memiliki daya resistensi terhadap kondisi cekaman tersebut (Sumardi, dkk.,
2007).
Komoditas tanaman khususnya tanaman pangan yang paling
berpengaruh terhadap perubahan iklim dunia adalah tanaman padi. Sekitar
seperempat luas areal pertanaman padi adalah pada persawahan tadah hujan
dataran rendah yang selalu terkena banjir pada kondisi iklim yang tidak terduga
(Macintosh, 2006).
Padi di Indonesia biasanya ditanam pada saat musim penghujan datang
(Sumardi, dkk. 2007). Akibatnya beberapa wilayah pertanaman padi irigasi dan
padi rawa yang ada di seluruh Indonesia pada musim hujan berubah menjadi
lahan tempat penampungan air (banjir) serta mengakibatkan rusaknya tanaman
padi dan bahkan gagal panen. Dampak banjir terhadap produksi padi nasional
pada musim hujan 2007/2008 diperkirakan menyebabkan kerugian usaha tani
akibat dari gagal panen dari tanaman puso sekitar 60.000 hektar jika
dibandingkan dengan tanam selama setahun seluas 12,5 juta hektare atau
setara dengan 0,3 persen dari luas tanaman yang ada, kerugian mencapai Rp
705 miliar (www.depkominfo.go.id. 2008). Kondisi ini, apabila dibiarkan akan
membahayakan ketahanan pangan dan keberlangsungan hidup penduduk
Indonesia akibat ancaman kegagalan panen, kemiskinan dan kelaparan.
Berdasarkan alasan tersebut maka diperlukan pengkajian studi
pengaruh kelebihan air (banjir) pada pertumbuhan dan hasil tanaman padi
serta analisa lebih mendalam beberapa publikasi tentang respon padi pada
cekaman kelebihan air.
Tujuan penelitian untuk menggali informasi tentang aspek-aspek yang
berhubungan dengan cekaman kelebihan air terhadap morfologi dan metabolis
tanaman padi. Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pemikiran untuk
pengembangan tanaman padi di lahan rentan banjir pada masa yang akan
datang.

494
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE


Bahan tulisan ini merupakan hasil studi literatur dan kompilasi dari hasil
penelitian dari beberapa tulisan yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan
perkembangan tananam padi di lingkungan air tergenang. Metode dilakukan
dengan studi literatur di laborlatorium dan perpustakaan. Alat bahan merupakan
bahan bacaan atau literatur buku, artikel, jurnal, opini yang berasal dari sumber
ilmu pengetahuan yang berkaitan erat dengan perkembangan padi dilahan
banjir.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon tanaman padi akibat pengaruh kebanjiran dalam waktu cepat


dan sekitar 20 hari dapat dilihat dari perubahan-perubahan morfologi. Tanaman
Padi memiliki dua strategi dalam mengatasi dan beradaptasi pada wilayah
pertanaman yang terkena cekaman banjir:
1. Toleran terhadap banjir yang cepat (peningkatan permukaan air) selama
dua minggu.
2. Pertambahan panjang batang sampai dengan lebih dari 100 cm dimana
permukaan air bisa bertahan sampai beberapa bulan dan padi bertahan
dengan cara pertambahan batang (daun) yang mencapai udara. Pola
adaptasi ini tidak dapat terjadi (bertahan) apabila terjadi pola banjir yang
cepat.
Ram dkk. (2002) berpendapat bahwa banjir dapat segera menyebabkan
perubahan yang cepat pada: penghambatan oksigen dalam proses respirasi
selama tergenang, mencegah karbodioksida di gunakan oleh tanaman untuk
proses fotosintesis dan dapat merusak morfologi tanaman yang tidak dapat
balik apabila banjir telah reda (Gambar 1, 2 dan 3).

Gambar 1. Perbandingan Respon Tanaman Terhadap Banjir (Serres and


Voesenek. 2008)

495
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Liaogen - + + + IR40931-26
Japonica Sub1A-1 T1 Famili Indica

Gambar 2. Perbedaan Tinggi Tanaman Antara Ubi:Sub1 Famili, Liaogen dan


IR40931 Setelah 11 hari Tercekam Banjir (Xu. dkk. 2006)

Gambar 3. Fenotipe dari M202 dan M202 (Sub1) Tanaman Setelah Banjir (
Fukao dkk. 2006 dan Fukao and Julia 2008). Keterangan A.
adalah padi yang berumur 14 hari, telah di beri perlakuan banjir
selama 7 hari (kiri) dan 14 hari (kanan); B. Pertumbuhan coleoptil
tanaman dan beberapa daun padi setelah penggenangan; dan C.
penurunan kandungan klorofil a/b dalam daun selama
pengenangan dengan pengambilan sampel hari ke 0, 1, 3, 6, 10
dan 14 saat banjir.

496
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Terlihat perbedaan dari beberapa jenis kultivar padi dari yang tahan
terhadap banjir dan padi yang tidak toleran. Yang tahan terhadap banjir akan
tetap mempertahankan pertumbuhan hidup normalnya melalui pertumbuhan
yang konstan. Sedangkan padi yang tidak tahan banjir akan memberikan
perbandingan morfologi yang semakin nyata dengan perpanjangan pada
bagian batang/daun (Serres dan Voesenek, 2008). Pada dasarnya proses
metabolisme tanaman padi pada saat tergenang oleh banjir adalah upaya untuk
mencegah kekurangan oksigen. Beberapa metabolisme yang dilakukan adalah:
Mempertahankan pasokan gula dan energi metabolisme. Padi yang
toleran banjir memerlukan suplai karbohidrat yang banyak Pada bibit yang
lambat, terkandung cadangan karbohidrat tinggi dan pada pangkal batang
tanaman yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi akan lebih tahan
terhadap cekaman banjir. Experimen di IRRI memberikan gambaran efek banjir
selama (600 dan 1800 jam) mengunakan fitotron, dimana kandungan
karbohidrat masih banyak pada IR 42 (tidak toleran) selama 8-10 hari dan pada
hari berikutnya (12-20 hari) menunjukan penurunan kandungan karbohidrat
yang drastis dan mengakibatkan tanaman mati (Macintosh., 2006). Sedangkan
pada varietas padi yang tahan setelah tergenang 20 hari masih menunjukan
konsentrasi yang tinggi terhadap kandungan gula dan karbohidrat dalam
tanaman (Gambar 4).

Gambar 4. Hubungan Antara Ketahanan Tanaman Padi pada Saat Cekaman


Banjir. (a) Kandungan Karbohidrat di Bagian Atas dan (b)
Konsentrasi Gula di Bagian Atas Tanaman

Fermentasi alkohol. Tanaman padi yang toleran terhadap banjir dapat


mengantikan proses respirasi aerobik dengan proses anaerob fermentasi yang
sama-sama menjadi sumber energi. Proses fermentasi tersebut tergantung
dari suplai gluosa dan dua enzim yaitu alcohol dehydrogenase (ADH) dan
pyruvate decarboxylase (PDC).Fermentasi alkohol adalah kunci proses
katalisis dalam memproses NAD+ untuk mempertahankan glycolisis dan jumlah
phosporilasi tanpa adanya O2. Produk akhir proses ini adalah etanol yang

497
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

beracun dalam jumlah tertentu namun mencegah kerusakan sel saat anoxia
dan banjir. Selain itu acetaldehid juga berperang dalam ketahanan tanaman
pada saat banjir (Sarkar dkk. 2006).
Protein anaerob (ANPs). Sebagian besar enzim pada proses glikolisis
dan fermentasi dipengaruhi oleh ANPs seperti enzim pengangkut sukrosa
(sucrose synthase) atau -amylase, glycolytik enzim (Glikose phosphate
isomerase, fructose-1,6-biophosphate aldolase, glyceraldehyde-3-phospat
dehidrogenase) dan fermentasi alkoholic enzim (PDC dan ADH).
Pengaturan hormon. Etilen dan gibberallin mempengaruhi
perpanjangan batang dan orientasi perkembangan daun (Xu dkk. 2000)
(Gambar 5).

Gambar 5. Pengaruh Etilen pada Beberapa Jenis Tanamana Padi saat


Terkena Cekaman Kelebihan Air (Fukao and Julia, 2008).

Etilen juga merangsang perpanjang daun. ABA meningkatkan


ketahanan padi terhadap banjir dan menghambat perpanjangan batang dan

498
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

daun. Menurut Fukao dkk. 2006, padi tahan banjir akan memproses biosintesis
1-aminocyclopopane-1-carboxilic acid yang akan berubah menjadi etilen dan
etilen sintesa akan membantu memproduksi oksigen saat banjir. Fukao dan
Julia (2008), menambahkan keterangan bahwa etilen mengkoordinasi
keseimbangan kandungan Gibberellic acid (GA) dan Abscisic acis (ABA),
dimana GA merangsang perpanjangan batang/daun saat banjir dan
mempengaruhi perkembangan akar.
Beberapa penelitian menginformasikan hubungan antara beberapa
hormon tumbuh seperi Gibberellin (GA), etilen, dan ABA (Grafik 2).
Perpanjangan batang dipengaruhi oleh GA dan etilen, sedangkan ABA lebih
berfungsi sebagai kontrol dan inhibitor perpanjangan batang. Beberapa
penelitian menerangkan bahwa gen Sub1A kemungkinan bisa bertahan dalam
kondisi banjir karena respon dari tanaman seperti etilen dan giberalin. Kedua
hormon meningkatkan kemampuan tanaman padi bertahan hidup di dalam air
pada waktu tertentu (Macintosh D. 2006).

KESIMPULAN
Mekanisme tanaman padi terhadap cekaman air ialah respon morfologi dan
metabolisme. Mekanisme tanaman padi yang mengandung gen toleran
terhadap banjir akan bertahan dan tumbuh sesuai dengan pertumbuhan
bertahap dan normal, sedangkan padi yang lain akan memanjang selanjutnya
akan terkulai apabila banjir mereda dan padi dapat berkurang pertumbuhannya
atau mati. Respon metabolisme tanaman padi dengan mempertahankan
internal energi dalam tubuh, fermentasi alkohol dan pemanfaatan hormon
tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia . 2008.


http://www.depkominfo.go.id/. 2008. Departemen Komunikasi dan
Informasi Republik Indonesia-Newsroom. Jakarta, 9/1/2008
Fukao T. and Julia. B. S., 2008. Ethylene—A key regulator of submergence
responses in rice, Plant Science. Page 1-9
Fukao T., Kenong X., Pamela C.R., and Julia B.S. 2006. A Variable Cluster Of
Ethylene Respons-Like Genes Regulates Matabolic and
Development Acclimation Responses to Submergence in Rice. The
Plant Cell, Vol 18, Page 2021-2034. USA.
Macintosh D., 2006. New flood-tolerant rice offers relief for world's poorest
farmers. http://www.irri.org/article.Metro Manila, Philippines.
Mohanty, H.H., S Mallik and Anil G. 2000. Prospect of Improving Flooding
Tolerance in Lowland Rice Variety by Conventional Breeeding and
Genetic Engineering. Current Science Vol. 78 No 2. Jan 2000. Page
132-137

499
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Ram P.C., BB Singh, A.K Sing, Parashu R., P.N Sing, H.P Sing, Iulia B, Frans
H., Edi S., MB Jakson, T.L Setter, J. Reuss, L.J Wade, V.P Sing, and
R.K Sing. 2002. Submergence Tolerance in Rainfed Low Land Rice:
Physiological Basis and Prospect for Cultivar Improvement through
Marker-aidded Breeding. Field Crops Research Vol 76. Page 131-
152.
Sarkar R.K., J.N Reddy, S.G. Sarma, and Abdelbagi M.I. 2006. Physiological
Basis of Submerge Toleran in Rice and Application for Crop
Improvement. Current Science. Vol 9 No 7. October 2006. Page
899-906.
Serres J.B., and L A C J Voesenek. 2008. Flooding Stress: Acclimations and
Genetic Diversity. Annual Review Plant Biology. Vol 59. Page 31-
39
Sumardi, Kasli, Musliar K, Auzar S, dan Nasrez A. 2007. Rospon Padi Sawah
pada Teknik Budidaya Secara Aerobik dan Pemberian Bahan
Organik. Jurnal Akta Agrosia Vol. 10 No.1 Jan.-Jun. 2007. hal 65-
71.
Xu K., Xia X., Takeshi F., Patrick C., Reycel M.R., Sigrid H., Abdelbagi M.I.,
Julia B.S, Pamela C. R. and David J. M. 2006. Sub1A is an
Ethylene-Response-Factor-like Gene that Confers Submergence
Tolerance to Rice. Nature Publishing Group. Vol 442.10 August
2006 doi:10.1038/nature04920. Page 705-708
Xu. K, Xu X., P.C Ronald, and D.J Mackill. 2000. A high-resolution Lingkage
Map of the Vicity of the Rice Submerge Tolerance Locus Sub.
Journal of Molecular Gen Genetic. Vol. 263. Page 681-689.

500
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

IDENTIFIKASI GALUR–GALUR MUTAN PADI SAWAH


DATARAN TINGGI BERUMUR GENJAH

1
Cucu Gunarsih, 1Aan A. Daradjat, 1Nafisah, 1Trias Sitaresmi, dan 2Akmal

1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jl. Raya 9 Sukamandi Subang 41256 Jawa Barat
2
BPTP Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar AH. Nasution No. 1B Medan
1
Email : cucugunarsih@ymail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi galur-galur mutan padi
sawah varietas lokal dataran tinggi yang berumur genjah (105-124 HSS) dan
toleran suhu rendah (< 21 oC). Sebanyak 20 galur mutan padi varietas lokal
dataran tinggi generasi kelima (M5) yang telah diradiasi menggunakan sinar
gamma dosis 10, 20 dan 30 KRad dengan 4 varietas pembanding (Randah Batu
Hampa, Kuning, Kutu, dan Sarinah) telah dievaluasi di sentra produksi padi
sawah dataran tinggi di Bayongbong- Garut (Jawa Barat) yang memiliki
ketinggian tempat 1.101 m dpl pada bulan Mei-Agustus 2011. Percobaan
menggunakan rancangan acak kelompok yang diulang 3 kali. Ukuran plot 3 x 4
m2, dengan bibit berumur 25 hari setelah sebar ditanam 1 bibit/lubang tanam,
dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
diperoleh 6 galur secara statistik memiliki produktivitas nyata lebih tinggi
dibanding dengan varietas lokal Kuning. Keenam galur tersebut adalah
BP14518-3C-2-GRT, BP14518-9C-3-GRT, BP14518-30C-2-GRT, BP14526-
1C-2-GRT, BP14514-21C-1-GRT, BP14514-22C-1-GRT. Sehingga keenam
galur tersebut memiliki potensi untuk dievaluasi daya hasilnya di beberapa
sentra padi sawah dataran tinggi.
Kata kunci: Galur mutan, dataran tinggi, umur genjah
PENDAHULUAN
Beras merupakan makanan pokok utama bagi masyarakat Indonesia.
Kebutuhan beras untuk pangan penduduk Indonesia akan terus meningkat,
sejalan dengan tingkat laju pertumbuhan penduduk masih relatif tinggi ( 1,49
% per tahun), dengan konsumsi beras per kapita sebesar 139,15 kg (BPS,
2010). Ditambah lagi dengan ada perubahan pola konsumsi masyarakat dari
yang asalnya mengkonsumsi komoditas non beras menjadi konsumen beras.
Pertanaman padi di daerah dataran tinggi (>700 m dpl) sangat penting
peranannya sebagai sumber pasokan beras bagi daerah-daerah terpencil.
Meskipun luasnya mencapai 14% dari total luas areal pertanaman padi di
Indonesia, produktivitas padi di ekosistem dataran tinggi masih sangat rendah
antara 0.9–2.0 t/ha. Harahap (1979) melaporkan bahwa sekitar 1 juta hektar
lahan sawah di Indonesia berada pada daerah dengan ketinggian di atas 500
m dpl. Ekosistem tersebut tersebar di daerah pegunungan Bukit Barisan di
Sumatera, dan di beberapa perbukitan lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Nusa Tenggara, dan Papua. Rendahnya produktivitas padi di

501
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

daerah dataran tinggi mungkin diakibatkan oleh dominannya penggunaan


varietas lokal yang toleran suhu rendah, serta rendahnya kesuburan tanah
pada sebagian besar lahan yang tergolong jenis tanah podsolik. Suhu rendah
di daerah dataran tinggi dapat menghambat pertumbuhan bibit dan anakan,
menyebabkan diskolorasi daun (daun menguning), memperlambat waktu
pembungaan, eksersi malai tidak normal, sterilitas malai meningkat,
pematangan malai tidak teratur, dan hasil menurun (Hamdani, 1979).
Da Cruz dan Milach (2000) melaporkan bahwa pada fase
perkecambahan, gejala kerusakan akibat suhu dingin yang paling umum adalah
terlambatnya perkecambahan dan persentase perkecambahannya rendah.
Pada fase vegetatif kerusakan akibat suhu rendah diekspresikan melalui
menguningnya daun, postur tanaman lebih pendek, berkurangnya jumlah
anakan tanaman padi. Jika cekaman suhu dingin bertepatan dengan fase
reproduktif tanaman padi, terjadinya kehampaan spikelet, eksersi malai yang
kurang sempurna dan juga terjadi aborsi spikelet (Satake and Hayase 1970).
da Cruz dkk., (2013) melaporkan juga bahwa cekaman suhu rendah
memberikan pengaruh negatif pada tanaman padi selama fase
perkecambahan, fase vegetatif, dan fase reproduktif.
Pemuliaan padi di Indonesia banyak memanfaatkan varietas lokal yang
digunakan sebagai donor gen sifat tertentu, salah satunya sifat toleransi
terhadap cekaman abiotik seperti suhu rendah, yang teridentifikasi memiliki
toleransi terhadap cekaman suhu rendah, yaitu Silewah, Pratao, Progal dan
Lengkuwang (Daradjat dkk. 2009). Jena dkk., (2010) melaporkan bahwa IRRI
telah bekerjasama dengan South Korea’s Rural Development Administration
menghasilkan galur yang toleran suhu rendah yaitu IR66160-121-4-4-2 (Jena
dkk., 2010). Galur IR66160-121-4-4-2 merupakan hasil persilangan dari
varietas Jimbrug asal Indonesia (japonica tropis) dengan varietas Shen-
Nung89-366 (China Utara) (IRRI, 1986).
Secara genetik, kemampuan tanaman untuk tumbuh dengan baik pada
suatu lingkungan, ditentukan oleh komposisi gen dalam genotipe tanaman yang
bersangkutan. Manipulasi genetik yang dilakukan melalui program pemuliaan
BB Padi telah menghasilkan sejumlah genotipe rekombinan yang berumur
genjah dan berindikasi toleran terhadap suhu rendah. Evaluasi daya hasil dan
daya adaptasi genotipe-genotipe mutan di sejumlah sentra produksi padi sawah
dataran tinggi akan berpeluang memunculkan genotipe unggulan yang memiliki
daya hasil tinggi sehingga mampu meningkatkan produktivitas usahatani padi
sawah dataran tinggi. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi galur-galur mutan padi sawah varietas lokal dataran tinggi
yang berumur genjah (105-124 HSS) dan toleran suhu rendah (< 21 oC).

BAHAN DAN METODE


Sebanyak 20 galur mutan padi varietas lokal dataran tinggi generasi
kelima (M5) yang telah diradiasi menggunakan sinar gamma dosis 10, 20 dan
30 KRad dengan 4 varietas pembanding (Randah Batu Hampa, Kuning, Kutu

502
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dan Sarinah) telah dievaluasi di sentra produksi padi sawah dataran tinggi di
Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat yang memiliki
ketinggian tempat 1.100 m dpl. Percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok yang diulang 3 kali. Ukuran plot 3 x 4 m2, dengan bibit berumur 25
hari setelah semai (HSS) ditanam 1 bibit/lubang, dengan jarak tanam 20 cm x
20 cm.
Lahan tempat percobaan pada saat pengolahan tanah pertama telah
diaplikasikan pupuk kandang (bahan organik) sebanyak 8 t/ha. Selanjutnya
pertanaman diberi pupuk N, P, dan K dalam bentuk Urea dan Phonska. Aplikasi
pupuk dilakukan sebagai berikut: 300 kg Phonska/ha telah diberikan saat
tanam. Pemupukan Urea susulan masing-masing sebanyak 95 kg/ha diberikan
pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST) dan fase primordia
bunga. Pengendalian organisme pengganggu tanaman dilaksanakan secara
optimal atau intensif dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah PHT.
Pengamatan pertumbuhan tanaman dan gejala toleransi suhu rendah
dilakukan terhadap parameter sebagai berikut: tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif per rumpun,umur berbunga 50%, jumlah gabah isi dan gabah hampa
per malai,bobot 1.000 butir, dan hasil gabah bersih per plot. Data yang
terkumpul dari penelitian ini dianalisis menggunakan analisis varians.
Perbedaan antara rata-rata galur dengan rata-rata varietas terbaik akan diuji
menggunakan nilai beda rata-rata terkecil (LSD) pada taraf beda nyata 5 %
(Gomez, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum kondisi pertanaman pada fase vegetatif terlihat terkena


diskolorisasi daun dengan skala 1 (hijau muda) sampai 5 (kekuningan) (Gambar
1).

Gambar 1. Keragaan pertanaman galur-galur observasi dataran tinggi pada


fase vegetatif di Bayongbong-Garut MK 2011.

Namun setelah memasuki fase generatif awal pertanaman kembali


hijau. Pada saat fase tersebut, kondisi pertanaman normal dan telah mencapai
fase berbunga 100%, dari aspek postur penampilan termasuk seragam, serta
pada umumnya galur-galur mutan memiliki umur berbunga yang lebih genjah

503
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dibandingkan Sarinah. Bahkan pertanaman mutan lebih seragam serta lebih


baik pertanamannya dibanding cek lokalnya. Diperoleh 6 galur yang memiliki
umur berbunga lebih awal dibandingkan ceknya, keenam galur tersebut adalah
galur BP14518-3C-2-GRT, BP14518-9C-3-GRT, BP14518-35C-1-GRT,
BP14520-23C-1-GRT, BP14520-26C-1-GRT), dan BP14514-12C-1-GRT.
Produktivitas

Data hasil dan komponen hasil serta sejumlah karakteristik agronomis


lainnya dari galur-galur yang dievaluasi pada pertanaman observasi MT 1 2011
di Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Keragaan hasil dan komponen hasil galur-galur mutan di Garut MK
2011.
Jumlah
Tinggi Jumlah Umur 50% Jumlah Bobot Hasil
Gabah/malai
No Galur/Varietas
Tan 1000
Anakan Berbunga Malai/rmp Isi Hampa (t/ha)
(cm) btr (g)
1 BP14518-3C-2-GRT 108* 16ns 115 16ns 55ns 102ns 22.4ns 1.96*

2 BP14518-9C-3-GRT 113* 15ns 114 17ns 57ns 56ns 25.7* 2.12*

3 BP14518-30C-2-GRT 113* 15ns 115 13ns 71ns 100ns 25.2* 2.52*

4 BP14518-35C-1-GRT 108* 18ns 115 17ns 51ns 84ns 22.1ns 1.13ns

5 BP14520-23C-1-GRT 104ns 18ns 115 14ns 34ns 116ns 20.4ns 1.34ns

6 BP14520-26C-1-GRT 103ns 17ns 115 15ns 47ns 119ns 20.1ns 1.46ns

7 BP14526-1C-2-GRT 111* 16ns 115 13ns 62ns 87ns 20.5ns 1.74*

8 BP14514-2C-1-GRT 112* 16ns 115 15ns 37ns 102ns 20.5ns 1.02a

9 BP14514-6C-1-GRT 107ns 15ns 115 16ns 37ns 102ns 20.1ns 1.30ns

10 BP14514-10C-3-GRT 105ns 16ns 115 16ns 38ns 154* 20.5ns 1.31ns

11 BP14514-12C-1-GRT 119* 17ns 115 16ns 47ns 96ns 21.1ns 0.58ns

12 BP14514-13C-2-GRT 107ns 16ns 117 16ns 42ns 96ns 20.6ns 1.22ns

13 BP14514-14C-2-GRT 107ns 16ns 117 17ns 41ns 82ns 20.4ns 1.15ns

14 BP14514-17C-2-GRT 103ns 16ns 115 13ns 46ns 75ns 20.3ns 0.94ns

15 BP14514-21C-1-GRT 106ns 15a 116 21ns 46ns 86ns 20.7ns 2.17*

16 BP14514-21C-2-GRT 108* 17ns 115 19ns 40ns 107ns 19.9ns 1.62ns

17 BP14514-22C-1-GRT 107ns 16ns 117 20ns 50ns 71ns 20.2ns 2.04*

18 BP14514-23C-1-GRT 104ns 17ns 115 17ns 56ns 112ns 19.7ns 1.90ns

19 BP14516-2C-3-GRT 127* 16ns 115 14ns 36ns 91ns 20.0ns 0.84ns

20 BP14516-4C-1-GRT 127* 16ns 115 16ns 47ns 96ns 21.1ns 0.64ns

22 Kuning 103 17 115 15 50 79 20.8 1.08

23 Kutu 118 17 115 16 47 96 21.1 0.70

24 Sarinah 84 17 125 16 47 96 21.1 0.70

LSD 5.1 1.3 5.8 27.8 51.3 1.8 0.6

CV% 2.8 4.9 21.6 35.1 31.9 5.1 24.7

Keterangan : * berbeda nyata lebih tinggi dari varieta Kuning berdasarkan uji
LSD taraf 5%; ns tidak berbeda nyata dari varietas Kuning
berdasarkan uji LSD 5%.

504
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengamatan terhadap hasil gabah per plot dari galur-galur mutan yang
diuji menunjukkan bahwa hasil gabah kering giling (GKG) dari tiga varietas
pembanding yang digunakan berkisar antara 0.70 (varietas lokal Kutu dan
varietas Sarinah) – 1,08 t/ha (varietas lokal Kuning). Rendahnya produktivitas
yang dicapai oleh galur-galur yang diuji serta ceknya kemungkinan disebabkan
oleh tingginya cekaman suhu rendah di wilayah tersebut, sehingga
menyebabkan tingginya tingkat kehampaan yang dimiliki oleh setiap
galur/varietas yang diuji (Gambar 2 dan 3).

Gambar 2. Keragaan galur-galur observasi dataran tinggi yang terkena


cekaman suhu rendah di Bayongbong – Garut, MK 2011.

Gambar 3. Keragaan pertanaman observasi dataran tinggi pada saat


menjelang panen di Bayongbong-Garut pada MK 2011.

Varietas lokal Kuning merupakan varietas pembanding terbaik karena


memiliki rata-rata hasil tertinggi. Berkaitan dengan hal tersebut varietas lokal
Kuning pada penelitian ini dijadikan varietas penguji untuk keunggulan daya
hasil dari galur-galur yang diuji.
Berdasarkan tingkat produktivitas, dari 20 galur yang diuji ternyata
hanya ada 6 galur secara statistik memiliki produktivitas nyata lebih tinggi
dibanding dengan varietas lokal Kuning. Keenam galur tersebut adalah
BP14518-3C-2-GRT, BP14518-9C-3-GRT, BP14518-30C-2-GRT, BP14526-
1C-2-GRT, BP14514-21C-1-GRT, BP14514-22C-1-GRT. Sedangkan 13 galur
lainnya secara relatif memiliki produktivitas relatif lebih tinggi dibandingkan

505
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan varietas lokal Kutu, namun secara statistik tidak berbeda nyata. Galur-
galur tersebut adalah BP14518-35C-1-GRT, BP14520-23C-1-GRT, BP14520-
26C-1-GRT, BP14514-6C-1-GRT, BP14514-10C-3-GRT, BP14514-12C-1-
GRT, BP14514-13C-2-GRT, BP14514-14C-2-GRT, BP14514-17C-2-GRT,
BP14514-21C-2-GRT, BP14514-23C-1-GRT, BP14516-2C-3-GRT, dan
BP14516-4C-1-GRT. Hasil penelitian yang dilaporkan Zen (2013) bahwa di
Kayu Aro Solok, Sumatera Barat telah memperoleh 7 galur padi sawah yang
mampu beradaptasi pada lingkungan dataran tinggi dengan peningkatan
produksi diatas varietas Sarinah sebesar 0.31-0.82 t/ha, dengan umur yang
lebih genjah dibandingkan Sarinah dan INPARI 28 Kerinci.

Komponen hasil
Umumnya untuk karakter tinggi tanaman dari sebagian galur-galur
mutan yang memiliki tingkat produktivitas nyata lebih tinggi daripada varietas
lokal Kuning, kecuali galur mutan BP14514-21C-1-GRT, dan BP14514-22C-1-
GRT yang menampilkan postur yang setara dengan varietas lokal Kuning.
Anakan produktif dari galur-galur yang diuji berkisar antara 15-18
malai/rumpun dengan rata-rata 16 malai/rumpun. Dari aspek jumlah malai
produktif per rumpun tersebut, galur BP14514-21C-1-GRT memiliki jumlah
malai produktif nyata lebih sedikit dibandingkan varietas pembanding dan galur-
galur yang diuji yaitu, 15 malai/rumpun.
Umur berbunga 50% dari 20 galur yang diuji berkisar antara 114– 117
HSS. Keenam galur yang memiliki produktivitas yang nyata lebih tinggi dari
varietas lokal Kuning, pada umumnya memiliki umur yang setara dengan
varietas pembanding. Zen (2007) melaporkan bahwa terdapat selisih umur
berbunga dengan umur masak/matang fisiologi tanaman padi dengan kisaran
25–30 hari pada agroekosistem dataran rendah sampai sedang (0-600 m dpl),
dan kisaran 30-40 hari pada agroekostem dataran tinggi (600-1000 m dpl), serta
pada musim hujan umumnya bertambah panjang sekitar 2–5 hari.
Jumlah gabah isi per malai dari 6 galur yang memiliki produktivitas nyata
lebih tinggi dibandingkan varietas lokal Kuning menunjukkan jumlah gabah isi
per malai yang setara dengan varietas pembanding, keenam galur tersebut
memiliki jumlah gabah isi per malai berkisar antara 46–71 butir.
Bobot 1.000 butir dari 6 galur yang memiliki produktivitas nyata lebih
tinggi daripada varietas lokal Kuning menunjukkan bobot 1.000 butir yang
setara kebernasannya dengan bobot 1.000 butir gabah varietas lokal Kuning,
kecuali galur BP14518-9C-3-GRT, dan BP14518-30C-2-GRT, yang memiliki
bobot 1.000 butir yang nyata lebih bernas dibandingkan varietas lokal Kuning.
Sebagian besar galur mutan yang memiliki hasil gabah yang lebih tinggi
dibanding varietas lokal Kuning memiliki karakteristik seperti : jumlah anakan
produktif yang setara, menampilkan jumlah gabah isi yang lebih tinggi, jumlah
gabah hampa yang lebih sedikit, dan bobot 1.000 butir gabah isi yang nyata
lebih besar dibandingkan dengan varietas lokal Kuning.

506
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Data tersebut mengindikasikan bahwa tingkat produktivitas galur-galur


mutan yang setara dengan varietas lokal Kuning dapat dicapai oleh kombinasi
berbagai komponen hasil. Mengingat minat petani dataran tinggi terhadap tipe
tanaman (anakan, panjang malai, ukuran butiran gabah) relatifbervariasi, maka
keberadaan galur-galur tersebut di dalam pengujian masih perlu dipertahankan
untuk memberikan alternatif tipe-tipe tanaman yang mungkin secara spesifik
diminati konsumen.
KESIMPULAN

Diperoleh 6 galur mutanvarietas lokal (M5) secara statistik memiliki


produktivitas nyata lebih tinggi dibanding dengan varietas lokal Kuning.
Keenam galur tersebut adalah BP14518-3C-2-GRT, BP14518-9C-3-GRT,
BP14518-30C-2-GRT, BP14526-1C-2-GRT, BP14514-21C-1-GRT, BP14514-
22C-1-GRT. Sedangkan 13 galur lainnya secara relatif memiliki produktivitas
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lokal Kutu, namun secara
statistik tidak berbeda nyata. Keenam galur mutan tersebut memiliki potensi
untuk diuji lebih lanjut pada musim berikutnya di daerah dataran tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian dibiayai oleh DIPA Balai Besar Penelitian Tanaman Padi


tahun 2011.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia 2009. BPS. Jakarta.
[Internet]. [Diunduh tanggal 23 Maret 2013]. Tersedia pada http:/ /www.
datastatistik-indonesia.com/.
Da Cruz, R. P., and S. C. K. Milach. 2000. Breeding for cold tolerance in irrigated
rice. Ciencia Rural 30:909–917.
Da Cruz R. P, Sperotto R. A., D. Cargnelutti, J. M. Adamski,T. de FreitasTerra,
dan J.P. Fett. 2013. Avoiding damage and achieving cold tolerance in rice
plants. Food and Energy Security 2(2): 96–119.
Daradjat,A.A, Gani A, Kadir TS, Susanti Z, Gunarsih C. 2010. Identifikasi galur-
galur unggul padi sawah berumur genjah (104-124 hss), dan berpotensi
hasil tinggi ( ± 6 t/ha), di sejumlah ekosistem dataran tinggi ( ≥ 900 m dpl).
Laporan Akhir Program Insentif Riset Terapan. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Sukamandi. Hlm 1-19.
Daradjat A.A, S. Silitonga dan Nafisah. 2009. Ketersediaan Plasma Nutfah
untuk Perbaikan Varietas Padi. P : 1 - 27. Diunduh dari
Bbpadi_2009_itp_01.pdf.
Gomez, Kwanchai A. 1995. Prosedur statistic untuk penelitian pertanian.
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Hamdani, A.R. 1979. Low temperature problems and cold tolerance research
activities for rice in India. Pp. 41 – 52 . In. Report of a rice cold tolerance
workshop. IRRI, Los Banos.
Harahap, 1979. Rice Improvement for cold tolerance in Indonesia.pp. 53 – 60.
In. Report of a rice cold tolerance workshop. IRRI, Los Banos.
IRRI [International Rice Research Institute]. 1986. Rice Genetics. Proceedings
of the International Rice Genetic Symposium. Manila, Philipines.

507
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Jena K.K, Kim S.M., Suh J.P. and Kim Y.G. 2010. Development of cold-tolerant
breeding lines using QTL analysis in rice. Second Africa Rice Congress,
Bamako, Mali, 22–26 March 2010: Innovation and Partnerships to Realize
Africa’s Rice Potential p: 1.7.1 – 1.7.9.
Satake T, dan Hayase H. 1970. Male sterility caused by cooling treatment at
the young microspore stage in rice plants. V. Estimation of pollen
developmental stage and the most sensitive stage to coolness. Proc Crop
Sci Soc Jpn. 39:468-473.
Zen, S. 2007. Penyebaran varietas unggul dan produktivitas padi sawah di
propinsi Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Tambua. VI (2). Universitas
Mahaputra Muhammad Yamin.
Zen, S. 2013. Galur harapan padi sawah dataran tinggi berumur genjah. Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan 13(3): 197-205.

508
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UJI ADAPTASI GALUR PADI TIPE BARU LAHAN PASANG SURUT


KABUPATEN PELALAWAN RIAU

Emisari Ritonga1), Saripah Ulpah 2)


, dan Idri Hastuty Siregar 3)
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau
Jl.Kaharudin Nasution No. 341 Padang Marpoyan Pekanbaru 10210 -
Riau
2)
Universitas Islam Riau
3)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
emisariritonga@ymail.com

ABSTRAK
Penelitian dilaksanakan di Desa Sungai Solok Kecamatan Kuala
Kampar Kabupaten Pelalawan dengan tipe luapan B dilaksanakan pada bulan
Februari sampai Juni 2014, menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 11 perlakuan dan 3 ulangan dengan uji lanjut BNJ taraf 5 %.11 jenis
galur padi pasang surut yang diuji : G1, G3, G4, G6, G7, G8, G17, G20,G23,
G45, G53. Petak perlakuan berukuran 5x5 m, jarak antar petak 0.5 m .Variabel
pertumbuhan dan hasil yang diamati adalah: pertumbuhan vegetatif : tinggi
tanaman (cm),. jumlah anakan (batang) ,anakan produktif (batang) sedangkan
pengamatan generatif : komponen hasil (ton/ha), jumlah biji bernas per malai
(butir), bobot 1000 biji (g). pupuk dasar Urea 100 kg/ha, TSP 150 kg/ha, KCl 50
kg/ha, Furadan 16 kg/ha, dolomit, pupuk kandang (1 ton/ha), herbisida,
pestisida. Hasil penelitian penunjukkan bahwa galur padi yang baik
beradaptasi terhadap lahan pasang surut adalah G.1 dengan tinggi tanaman
124.63 cm, G.4 dengan jumlah anakan 7.43 batang, G.53 dengan jumlah
anakan produktif 6.33 (batang), sedangkan untuk pertumbuhan generatif hasil
G53 (9.43 t/ha), panjang malai G4 (33.29 cm), gabah bernas G23 (187,67
gram), berat seribu butir G8 (29.20 gram). Untuk galur yang dapat beradaptasi
dan dapat dikembangkan di Kabupaten Pelalawan adalah galur G53 , G1 dan
G20. Namun demikian, tingkat produktivitas padi Galur tersebut masih di
bawah potensi genetiknya.
Kata kunci : adaptasi, galur, pasang surut

PENDAHULUAN

Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang potensial untuk


pengembangan padi sawah karena terdapat lahan yang cukup luas, baik lahan
sawah berpengairan maupun lahan sawah pasang surut. Menurut Dinas
Tanaman Pangan Provinsi Riau (2011), terdapat 96.000 ha sawah
berpengairan tetapi yang telah dimanfaatkan untuk usaha budidaya padi hanya
seluas 43.000 ha sementara lahan pasang surut yang potensial dijadikan
sawah seluas 240.000 ha. Provinsi Riau mempunyai lahan sawah potensial
cukup luas tetapi masih kekurangan beras 300.000 ton per tahun karena
produksi padi baru mencapai 350.000 ton per tahun, sedangkan konsumsi
mencapai 650.000 ton per tahun. Penelitian bertujuan Mengetahui
pertumbuhan dan hasil galur-galur padi lahan pasang surut pada uji adaptasi,
memperoleh galur-galur padi tipe baru spesifik lahan pasang surut .

509
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Lahan pasang surut memiliki karakteristik yang khas, yaitu sistem


pengairan yang mengandalkan pasang dan surutnya air sungai, tanahnya
bereaksi masam sampai sangat masam, mempunyai lapisan pirit (FeS2) yang
merupakan sumber racun besi bagi tanaman, tanahnya miskin hara dengan
heterogenitas yang sangat tinggi sehingga bervariasi dari satu lokasi ke lokasi
lainnya. Sedangkan menurut Anwar, dkk, (2001), lahan pasang surut biasanya
dicirikan oleh : (1). pH tanah rendah, (2). Genangan yang dalam, (3). Akumulasi
zat-zat beracun ( besi dan aluminium), (4). Salinitas tinggi, kekurangan unsur
hara, (5). Serangan hama (wereng , kepinding tanah) dan penyakit, Penyebab
utama tingginya intensitas serangan hama dan penyakit adalah 1) kedekatan
lokasi lahan pasang surut dengan hutan terutama lahan yang baru dibuka dan
2) sempitnya areal pertanaman varietas unggul sehingga serangan hama dan
penyakit terkosentrasi. Pada dasarnya pengendalian dilakukan mengacu pada
strategi pengelolaan hama terpadu (PHT), yaitu melalui penggunaan varietas
tahan dan musuh alami, teknik budidaya yang baik dan sanitasi lingkngan.
Penggunaan pestisida kimiawi dilakukan sebagai tindakan terakhir. Strategi
pengendalian tikus tersebut didasarkan pada kombinasi dan cara pengendalian
berdasarkan stadia tanaman padi dilapangan.
Meskipun dalam pemanfaatannya menghadapi banyak kendala, namun
lahan pasang surut memberi harapan dan prospek yang baik. Untuk mengatasi
permasalahan pengelolaan lahan pasang surut tersebut diperlukan beberapa
komponen teknologi optimalisasi lahan pasang surut untuk tanaman padi
antara lain : (1). Pemilihan varietas unggul padi adaptif, Pemilihan suatu
varietas oleh petani seringkali didasarkan pada : potensi hasil, tingkat
ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT), umur panen,
rasa nasi dan harga jual. Potensi hasil dari setiap galur/varietas tersebut
diharapkan dapat mencerminkan daya hasil dan daya adaptasi dari
galur/varietas di setiap lokasi untuk menunjang pelepasan varietas secara
regional. (2). Sistem pengelolaan air, akan tercapainya stabilitas biologi yang
tinggi, sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan. Ini dicapai dengan
sistem pengairan yang sinambung dan drainase yang baik. merupakan potensi
besar untuk produksi pangan, (3). Penyiapan lahan, Penyiapan lahan dengan
tanpa olah tanah (TOT) dapat dilakukan pada lahan gambut atau lahan sulfat
masam yang memiliki lapisan pirit 0 – 30 cm dari permukaan tanah. (4).
Pengelolaan hara dan amelioran, Teknologi pengelolaan hara terpadu di lahan
rawa pasang surut sulfat masam melalui paket pemberian pupuk tinggi (90 kg
N/ha-45 kg P2O5/ha-150 kg K2O/ha) mampu meningkatkan produktivitas padi
200% dari 0,8 t/ha (petani) menjadi 2,4 t/ha. (5). Pengendalian gulma terpadu,
dan (6). Penentuan pola tanam. (Ar-Riza, 2001; Akmal, dan Yufdi, 2008).
memanfaatkan dan memadukan berbagai komponen yang tersedia (agroklimat,
tanah, tanaman, hama dan penyakit, keteknikan dan sosial ekonomi).
Suatu kultivar yang akan dilepaskan selalu memiliki daya hasil tinggi,
diharapkan juga memiliki stabilitas tinggi terhadap rentang lingkungan tertentu
(subandi, 1981) suatu varietas dikatakan stabil jika koefisien regresi (b 1) sama
dengan 1 dan simpangan regresi (Sd 1) mendekati nol ( Cberhanr dan Russel,

510
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

1966). Koefisien regresi 1 atau mendekati 1 memiliki makna bahwa penampilan


karakter suatu genetik akan meningkat 1 unit dengan bertambahnya 1 indek
lingkungan (Subandi,1981).
Penelitian bertujuan melihat adaptasi pertumbuhan dan hasil galur padi
tipe baru dilahan pasang surut.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Desa Sungai Solok, Kecamatan Kuala
Kampar, Kabupaten Pelalawan pada bulan Februari sampai Juni 2014, dengan
type lahan luapan B, terletak di pesisir pantai timur pulau Sumatera antara 1.25‘
Lintang Timur antara 0.20’ Lintang Selatan dan antara 100.28’ Bujur Timur
sampai 103.28’ bujur Selatan. Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
11 perlakuan dan 3 Ulangan dengan uji lanjut BNJ taraf 5 %. Setiap petak
perlakukan berukuran 5 x 5 m, jarak antar petak 0.5 m, jarak tanam 20 x 20 cm.
Galur padi pasang surut yang diuji terdiri G1, G3, G4, G6, G7, G8, G17,
G20,G23, G45, dan G53 , Bibit ditanam pindahkan dari persemaian pada
umur 18 hari. Pupuk dasar Urea diberikan sebanyak 100 kg/ha, TSP 150 kg/ha,
KCl 50 kg/ha, dolomit dan pupuk kandang masing-masing 1 ton/ha.
Pengedalian hama penyakit menggunakan Furadan 16 kg/ha dan pestisida.
Variabel yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan,anakan
produktif, komponen hasil, Jumlah biji bernas per malai, dan Bobot 1000 biji.
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Tanaman
Pada Galur G1 dapat dilihat bahwa tanaman tertinggi yaitu 124.63 cm
memiliki respon yang baik terhadap penyerapan unsur hara pada lahan pasang
surut, sehingga hara yang tersedia baik di dalam tanah maupun dari pupuk
yang diberikan dapat dipergunakan untuk pertumbuhan tinggi tanaman
sehingga Galur G1 menunjukkan tinggi tanaman yang lebih tinggi (Tabel 1).
Tinggi tanaman merupakan karakter agronomis yang penting dalam seleksi
pada lahan pasang surut dengan tipe genangan tinggi. Tanaman yang rendah
kurang sesuai ditanam di lahan pasang surut, karena genangan air yang tinggi
dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman padi terhambat dan mati (Sutami,
2004)
Pada Galur G1 dapat dilihat bahwa tanaman tertinggi yaitu 124.63 cm
memiliki respon yang baik terhadap penyerapan unsur hara pada lahan pasang
surut, sehingga hara yang tersedia baik di dalam tanah maupun dari pupuk
yang diberikan dapat dipergunakan untuk pertumbuhan tinggi tanaman
sehingga Galur G1 menunjukkan tinggi tanaman yang lebih tinggi. Tinggi
tanaman merupakan karakter agronomis yang penting dalam seleksi pada
lahan pasang surut dengan tipe genangan tinggi. Tanaman yang rendah
kurang sesuai ditanam di lahan pasang surut, karena genangan air yang tinggi
dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman padi terhambat dan mati (Sutami,
2004).

511
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Tinggi tanaman, jumlah anakan dan jumlah anakan produktif


galur-galur padi di lahan pasang surut Pelalawan Riau
Tinggi Tanaman Jumlah Anakan AnakanProduktif
Galur
(cm) (batang) (batang)
G1 124.63 a 4.13 b 3.00 b
G3 108.14 c 5.00 b 4.00 b
G4 120.31 b 7.43 a 4.67 b
G6 116.13 c 4.67 b 4.67 b
G7 122.79 b 5.67 b 5.00 b
G8 119.19 b 3.73 b 3.67 b
G17 112.31 c 0.73 b 5.00 b
G20 100. 01 b 5.23 b 5.00 b
G23 117.50 c 4.73 b 4.67 b
G45 101.71 c 4.07 b 4.00 b
G53 101.49 c 5.07 b 6.33 a
KK (%) 4.74 28.37 33.42
Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut BNJ pada taraf 5 %.

Galur mengahasilkan tanaman terbanyak pada galur G4 (7.43 ). Vergara


(1995) menyatakan bahwa kesanggupan dalam membentuk anakan yang baik
menjamin jumlah anakan per satuan luas meskipun beberapa tanaman mati
pada stadia awal pertumbuhan. Anakan tegak menghasilkan penyebaran
cahaya yang lebih baik. Umumnya tanaman padi memproduksi anakan lebih
sedikit di musim kemarau dari pada di musim hujan. Fagi dkk., (2001)
mengemukakan bahwa padi tipe baru memiliki ciri jumlah anakan 8 – 10.
Jumlah anakan (produktif) sangat berperan dalam menentukan potensi hasil
galur-galur.
Suatu galur dapat dikatakan adaptif apabila dapat tumbuh baik pada
wilayah penyebarannya, dengan produksi yang tinggi dan stabil, mempunyai
nilai ekonomis tinggi, dapat diterima masyarakat dan berkelanjutan
(Somaatmadja, 1995 dalam Susilawati, dkk., 2005). Penampilan dari berbagai
galur biasanya bervariasi pada lingkungan yang berbeda. Hal ini menunjukkan
adanya interaksi antara genotipe dengan lingkungan. Adaptabilitas merupakan
kemampuan tanaman untuk tetap menghasilkan pada berbagai lingkungan,
karena hal itu hasil adalah suatu kriteria penting untuk mengevaluasi daya
adaptasi varietas.
Anakan produktif berasal dari anakan total yang telah mengalami
perubahan, seperti terjadi pembengkakan pada ruas batang. Menurut Yoshida
(1981) batang tanaman padi terdiri dari ruas yang dibatasi oleh buku batang.
Pada permulaan stadia tumbuh, batang padi memiliki pelepah-pelepah daun
dan ruas-ruas yang tertumpuk padat. Ruas-ruas tersebut kemudian
memanjang dan berongga setelah tanaman memasuki stadia reproduktif. Oleh
karena itu, stadia produktif disebut juga sebagai perpanjangan ruas tanaman
padi. Hal ini diduga merupakan salah satu daya adaptasi galur-galur padi

512
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

terhadap kondisi kekeringan, karena tanaman yang hidup pada daerah


kekeringan akan berusaha untuk mengefisiensikan penggunaan air yaitu salah
satu dengan dengan penurunan jumlah anakan sehingga akan mengurangi
transpirasi dan mengoptimalkan distribusi asimilat ke dalam jumlah anakan
yang terbatas.
Dari penelitian Rosmini dan Saleh (1998) dan Rosmini (1999) yang telah
dilaksanakan pada lahan pasang surut sulfat masam menyatakan bahwa galur-
galur padi memperlihatkan adaptabilitas dan akseptabilitas yang baik dan tahan
terhadap keracunan besi serta memberikan potensi hasil yang lebih tinggi dan
tahan terhadap keracunan besi. Dengan potensi hasil dan penampilan yang
baik ditunjukkan oleh galur-galur terpilih tersebut maka petani akan
memperoleh keuntungan dan sumber pendapatan yang layak bagi
usahataninya. Kemampuan beradaptasi baik yang dimiliki oleh galur-galur
terpilih maka penggunaan paket teknologi (penggunaan pupuk, pestisida serta
pengolahan tanah) dapat ditekan sehingga dalam proses produksi kerusakan
terhadap lingkungan tidak akan terjadi, dan petani mampu memproduksi
pangan yang terjangkau oleh konsumen.

Komponen Hasil
Tinggi rendahnya persentase gabah bernas per malai disebabkan oleh
perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap galur terhadap kondisi lingkungan
yang kurang menguntungkan terutama pada fase reproduktif dan pemasakan.
Semakin tinggi persentase gabah bernas maka semakin rendah persentase
gabah hampa. Dikemukakan oleh Suwarno dkk., (1988) bahwa potensi hasil
tinggi merupakan salah satu sifat yang diperlukan bagi varietas unggul.
Panjang malai yang terpanjang terdapat pada G4 sedangkan jumlah gabah
bernas G23 dan hasil yang tertinggi G53 (Tabel 2).
Tabel 2. Panjang malai, jumlah gabah bernas, hasil, dan berat 1000 butir galur-
galur padi di lahan pasang surut Pelalawan Riau.
Panjang Malai Jumlah Gabah Hasil Berat 1000
Galur
(cm) Bernas (gram) (t/ha) Butir (gram)
G1 28.75 c 168.07 8.07 b 28.43 b
G3 31.56 b 183.93 6.40 b 23.90 b
G4 33.29 a 182.93 6.90 b 25.57 b
G6 32.32 b 180.60 7.50 b 24.43 b
G7 33.02 a 165.53 7.87 b 28.83 b
G8 29.32 b 149.73 7.13 b 29.20 a
G17 31.01 b 180.00 5.87 b 25.90 b
G20 30.17 a 166.67 7.98 b 28.43 b
G23 30.11 b 187.67 6.60 b 23.93 b
G45 29.83 b 155.33 7.87 b 28.53 b
G53 25.23 c 166.33 9.43 a 26.97 b
KK (%) 8.57 10.75 12.03 6.72
Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut BNJ pada taraf 5 %.

513
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Perbedaan secara nyata menunjukkan lebih sedikit dari galur pembanding,


jumlah malai per rumpun dari galur yang diuji termasuk tipe sedang. Hal ini
diduga bahwa pada saat fase pertumbuhan generatif tanaman kekurangan air.
Sedangkan panjang malai merupakan salah satu komponen hasil yang dapat
menentukan produksi, dengan panjang malai diharapkan jumlah gabah per
malai semakin banyak. Jumlah gabah per malai ini lebih banyak dipengaruhi
oleh aktivitas tanaman selama fase reproduktif yaitu dari primordia sampai
penyerbukan. Jumlah gabah per malai merupakan komponen yang sangat
penting dalam menentukan komponen hasil.
Jumlah gabah per rumpun sangat ditentukan oleh ketersediaan air pada
saat stadia pembentukan bunga. Air yang tidak tersedia mengakibatkan
semakin besarnya kegagalan proses penyerbukan dikarenakan semakin
banyaknya polen yang mandul. Akan tetapi dalam penelitian ini cekaman
kekeringan tidak terjadi pada fase pembungaan, cekaman kekeringan terjadi
pada fase vegetatif. Organ vegetatif yang kurang sempurna mengakibatkan
sedikitnya fotosintat yang terbentuk, yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap kurang normalnya polen (mandul) sehingga pada akhirnya akan
mengakibatkan jumlah gabah per rumpun yang terbentuk lebih sedikit
dibandingkan dengan tanaman yang mendapatkan kecukupan air. (Santoso,
2008)

Pada persentase gabah isi per malai pembentukan dan pengisian buah
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara P. Menurut Rinsema (1983)
dalam Sarkawi (1995) unsur P mempunyai pengaruh positif dalam
meningkatkan produksi gabah, bila jumlah kelarutan P kecil, akibatnya tanaman
tidak mampu berproduksi dengan baik. Jumlah gabah yang terbentuk pada
setiap malai ditentukan pada fase reproduktif, Sarief (1986).
Uji adaptasi merupakan salah satu persyaratan apabila suatu
galur/mutan/hibrida baru hasil pemuliaan dan atau introduksi akan dilepas
sebagai suatu varietas unggul. Tujuan uji adaptasi ini adalah untuk mengetahui
keunggulan dan interaksi galur/mutan/hibrida terhadap lingkungan. (Syukur,
2012). Salah satu faktor yang menentukan hasil gabah persatuan luas dari
suatu varietas padi adalah jumlah anakan produktif. Hal ini sejalan seperti yang
dinyatakan oleh Zairin dkk., (2009) bahwa umur tanaman, jumlah anakan
produktif, jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan bobot 1000 butir
merupakan karakter agronomis yang berpengaruh langsung terhadap hasil
gabah.
Uji multilokasi genotype baru sering menampilkan perbedaan hasil yang
berubah-ubah dari satu lokasi dengan lokasi lainnya. Suatu genotype
memberikan hasil tertinggi di lokasi tertentu namun belum tentu di lokasi
lainnya. Terdapatnya perbedaan antara rata-rata hasil dengan potensi hasil
disebabkan karena adanya kerentanan terhadap berbagai cekaman biotik dan
abiotik (Shah dkk., 2005). Stabilitas hasil diukur berdasarkan variasi hasil dari
berbagai kondisi lingkungan (Cleveland, 2001). Menurut Susilawati dkk. (2010)
bahwa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi cekaman salinitas

514
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pada lahan-lahan pertanaman padi adalah dengan mengembangkan varietas-


varietas padi yang tahan terhadap cekaman lingkungan salinitas. Sangakara
(2001) mengemukakan tiga hal yang dapat dilakukan yaitu: (1) perbaikan
pengelolaan tanaman, (2) seleksi dan perakitan varietas yang mampu
beradaptasi pada kondisi cekaman, dan (3) bioteknologi untuk rekayasa
verietas tahan salinitas.
Kemampuan tanaman menghasilkan berat 1000 butir (g) yang tinggi
menunjukkan bahwa galur - galur tersebut memiliki kemampuan beradaptasi
yang lebih baik pada kondisi lingkungan dan lahan pasang surut di Riau, dan
suhu rendah pada saat pembentukan malai. Intensitas cahaya matahari yang
rendah dapat menyebabkan jumlah gabah per malai yang sedikit. Lokasi uji
adaptasi merupakan bentuk lingkungan yang berbeda dimana keragaman hasil.
Dengan adanya lingkungan yang berbeda dapat ditentukan galur padi pasang
surut tipe baru yang mampu beradaptasi.
Bobot 1000 butir gabah secara tidak langsung menggambarkan besar
atau kecilnya gabah suatu galur atau varietas padi. Galur/varietas yang
gabahnya besar, bobot 1000 butirnya akan tinggi, demikian pula sebaliknya.
Ukuran gabah dipengaruhi oleh sifat genetik serta daya adaptasinya dengan
lingkungan tumbuhnya.
Umur Tanaman
Umur berbunga rendah terdapat pada G53 sedang saat panen
terendah pada G53 hal ini (Tabel 3).
Tabel 3. Umur berbunga dan umur panen galur padi pada lahan pasang surut
Pelalawan Riau
Umur Berbunga Umur Panen
(hari) (hari)
G1 71.33 b 103.00 b
G3 74.67 b 107.33 b
G4 73.67 b 107.00 b
G6 74.00 b 107.33 b
G7 72.67 b 107.33 b
G8 72.33 b 107.00 b
G17 73.67 b 106.67 b
G20 74.00 b 105.33 b
G23 72.00 b 107.00 b
G45 80.00 a 114.00 a
G53 71.00 c 107.00 b
KK (%) 1.16 1.38
Angka-angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut BNJ pada taraf 5 %.

Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tanaman sangat besar. Pada


suhu yang rendah umur tanaman makin panjang, karena pada suhu yang
rendah proses metabolisme tanaman makin lambat sehingga berpengaruh
terhadap umur berbunga. Faktor lain yang mempengaruhi pembungaan
adalah lamanya penyinaran, makin sedikit tanaman mendapat sinar matahari

515
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

makin lambat umur berbunga. Pada umumnya padi yang ditanam di dataran
tinggi umurnya panjang disebabkan karena suhu dan intensitas cahaya
matahari yang tinggi Pada musim kemarau suhu cenderung meningkat, kondisi
ini sangat berpengaruh terhadappertumbuhan pada fase generatif, suhu yang
rendah menyebabkan pembungaan padi terhambat sehingga umur padi makin
panjang. Makin tinggi suhu makin pendek umur tanaman padi (Fagi dan Las,
1988).
KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa galur –galur padi yang
baik beradaptasi terhadap lahan pasang surut adalah untuk pertumbuhan
vegetative adalah tinggi tanaman pada G1 (124.63 cm), Jumlah Anakan G4
(7.43 batang) , jumlah anakan produktif G53 (6.33 batang), sedangkan untuk
pertumbuhan generatif hasil G53 (9.43 t/ha) , panjang malai G4 (33.29 cm),
gabah bernas G23 (187,67 gram), berat seribu butir G8 (29.20 gram).

SARAN

Galur G.53, G.1 dan G.20 dapat disarankan untuk dikembangkan pada
lahan pasang surut Pelalawan Riau dengan rata-rata potensi hasil lebih dari
7.98 t/ha.

DAFTAR PUSTAKA
.
Anwar, K., M. Alwi, S. Saragih, A. Supriyo, D. Nazemi, dan K. Sari. 2001.
Karakterisasi Dinamika Tanah dan Air untuk Perbaikan Pengelolaan
Lahan Pasang Surut.
Badan Pusat Statistik. 2011. Berita Resmi Statistik No. 18/03/Th. XIV.
Fagi, A. M., B. Abdullah, dan S. Kertaadmaja. 2001. Peran Padi Sebagai
Sumber Daya Genetik Padi Modern. Dalam. Budidaya Padi, Prosiding
Diskusi Panel dan Pameran Budaya Padi Surakarta 28 Agustus
2001. Yayasan Padi Indonesia.
Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi
Riau, Tahun 2011.
Kurniawan, A. Y. 2008. Analisis Efisiensi Ekonomi dan Daya Saing Usahatani
Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan.
Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Pelalawan Dalam Angka, 2010. Laporan Tahunan .Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah .Pusat Statistik Kabupaten Pelalawan
Pelalawan Dalam Angka, 2011. Laporan Tahunan .Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah .Pusat Statistik Kabupaten Pelalawan
Rosmini, H., M. Saleh. 1998. Daya Hasil Galur Padi di Lahan Pasang Surut.
Laporan Hasil Penelitian 1998/1999. Balittra Banjarbaru.
Rosmini, H. 1999. Penampilan Daya Hasil Galur Padi di Laha Pasang Surut.
Laporan Hasil Penelitian 1999/2000. Balittra Banjarbaru.
Susilawati., B.S. Purwoko, H. Aswidinnoor, E. Santosa. 2010. Keragaan
Varietas dan Galur Padi Tipe Baru Indonesia dalam System Ratun. J.
Agron. Indonesia. 38:77-84.

516
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KAJIAN MORFOLOGI DAN FISIOLOGI BEBERAPA VARIETAS PADI


AKIBAT CEKAMAN GARAM DI SEMAIAN

Wan Arfiani Barus1 dan Narendra K. Singh2


1)
Universitas Amir Hamzah, Medan
2)
Biological Sciences Departement, Auburn University, Alabama, USA.
Email :arfiani.barus@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik morfologi dan


fisiologis beberapa varietas padi akibat stres garam selamadi pesemaian.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler, Biological
Departement, Auburn University, Alabama, USA, pada bulan Oktober 2011
hingga Nopember 2011, menggunakan rancangan acak lengkap faktorial
dengan tiga ulangan. Konsentrasi NaCl adaempattarafyaitu 0 ppm, 4000 ppm
dan 8000 ppm, dan varietas yang diuji ada delapan yaitu Indragiri, IR64,
Banyuasin, IR42, Ciherang, Batanghari, Inpara 10, Lambur, dan Dendang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat salinitas atau semakin
tinggi konsentrasi NaCl garam maka akan menurunkan persentase
perkecambahan, panjang akar, jumlah akar lateral dan volume akar, dan
genotipe toleran memiliki kandungan asam askorbat lebih tinggi pada daun
tetapi kandungan asam absisik yang lebih rendah. Secara umum VarietasIR42
menunjukkan kondisi pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan
varietas lainnya.
Kata Kunci : Garam,morfologi, fisiologi, varietas, padi

PENDAHULUAN

Tanaman padi adalah tanaman sereal yang banyak disukai di Asia, dan
merupakan sumber bahan makanan pokok mayoritas penduduknya. Lebih dari
90% padi tumbuh dan dikonsumsi di Asia. Menurut FAO (2008), padi
merupakan tanaman sereal terbesar kedua setelah gandum di dunia. Revolusi
hijau membantu untuk memecahkan permintaan dunia untuk pangan, tapi tidak
cukup untuk memenuhi ledakanpopulasi padaabad ke-21. Varietas padi hibrida
telah dikembangkan oleh lembaga di seluruh dunia termasuk IRRI yang telah
membantu untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi padi.
Padi merupakan tanaman sereal utama dari banyak negara termasuk
Indonesia, namun umumnya tidak tahan terhadap cekaman garam (salinitas).
Salinitas adalah salah satu cekaman abiotik penting yang dapat membatasi
pertumbuhan dan produksi padi di seluruh dunia. Kemampuan untuk mentolerir
salinitas merupakan faktor kunci dalam meningkatkanproduktivitas tanaman
(Siringam dkk., 2011). Pengaruhcekaman garam terhadap metabolisme
tanaman, terutama pada penuaandaunsangatberhubungan dengan akumulasi
ion beracunNa+ dan Cl- dan defisiensi K (Al-Karaki, 2000). Salinitas terkait
dengan kelebihan garam NaCl yang merugikan dan menyebabkan
terhambatnya prose penyerapan air, mineral dan metabolisme tanaman
sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman (Akram dkk, 2001).

517
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Salinitas mengurangi pertumbuhan tanaman melalui efek osmotic


sehingga mengurangi kemampuan tanaman untuk mengambil air dan ini
menyebabkan penurunan pertumbuhan. Jika jumlah yang masuk ke tanaman
berlebihan, maka konsentrasi garam akhirnya akan naik ke tingkat yang
beracun pada daun menyebabkan penuaan dini dan mengurangi luas daun
fotosintesis tanaman ke tingkat yang tidak dapat mempertahankan
pertumbuhan (Munns,2002; Shereen dkk., 2005). Salinitas mempengaruhi dua
proses besar yaitu hubungan air dan hubungan ionik. Pengaruh utama salinitas
adalah berkurangnya pertumbuhan daun yang langsung mengakibatkan
berkurangnya fotosintesis tanaman. Salinitas mengurangi pertumbuhan dan
hasil tanaman pertanian penting dan pada kondisi terburuk dapat menyebabkan
terjadinya gagal panen.
Di Pakistan, kehilangan hasil padi akibat salinitas dapat mencapai
antara 40–70% (Mahmood, Nawaz dan Aslam, 2000). Pada kondisi salin,
pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat karena akumulasi Na
dan Cl yang berlebihandalam sitoplasma sehingga menyebabkan perubahan
metabolisme di dalam sel. Aktivitas enzim terhambat oleh adanya garam.
Kondisi tersebut juga mengakibatkan dehidrasi parsial sel dan hilangnya turgor
sel karena berkurangnya potensial air di dalam sel. Berlebihnya Na dan Cl
ekstraselular juga mempengaruhi asimilasi nitrogen karena langsung
menghambat penyerapan nitrat (NO 3) yang merupakan ion penting bagi
tanaman.
Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan (up take)
air dan hara oleh tanaman seiring dengan terjadinya peningkatan tekanan
osmotik. Secara khusus, garam yang tinggi menimbulkan keracunan tanaman,
terutama oleh ion Na+ dan Cl-. Studi mengenai respon tanaman terhadap
salinitas sangatpenting dalam usaha teknik penapisan (screening) tanaman.
Salinitas mempengaruhi proses fisiologis yang berbeda-beda. Pada tanaman
pertanian seperti jagung, kacang merah, kacang polong, tomat dan bunga
matahari, pertumbuhan dan berat kering mengalami penurunan jika tanaman
ditumbuhkan dalam media salin. Pada kacang merah, luas daun terhambat
oleh cekaman salinitas karena berkurangnya tekanan turgor sel. Berkurangnya
luas daun dapat berakibat berkurangnya fotosintesis maupun produktivitas
tanaman.
Menurut Brinkman dan Singh (1982) gejala keracunan garam pada
tanaman padi berupa terhambatnya pertumbuhan, berkurangnya anakan,
ujung-ujung daun berwarna keputihan dan sering terlihat bagian-bagian yang
khlorosis pada daun. Beberapa tanaman mengembangkan mekanisme untuk
mengatasi cekaman tersebut, selainitu ada pula beradaptasi. Mayoritas
tanaman budidaya rentan dan tidak dapat bertahan pada kondisi salinitas tinggi;
atau sekalipun dapat bertahan tetapi dengan hasil panen yang berkurang.
Toleransi terhadap salinitas beragam dengan spektrum yang luas diantara
spesies tanaman mulai dari yang peka hingga yang cukup toleran. Tingginya
salinitas tanah akan mempengaruhi karakteristik morfologi tanaman, seperti
anakan rendah, sterilitas gabah, kurangnya kuntum per malai, bobot 1.000 biji

518
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

rendah dan penghangusan daun, dipengaruhi secara seragam akibat


salinitas. Gejala utama adalah memutihnya ujung daun diikuti dengan terbakar
(salinitas), pertumbuhan tanaman kerdil, anakan rendah, sterilitas gabah,
indeks panen rendah, kuntum per malai rendah, bobot 1.000 butir rendah, hasil
gabah rendah, perubahan durasi berbunga, penggulungan daun, bercak daun
putih, pertumbuhan akar sedikit dan pertumbuhan di lapangan tidakbaik.
Salinitas mempengaruhi proses-proses fisiologis tanaman, mengurangi
pertumbuhan dan hasil tanaman (Azooz, 2009). Beberapa efek fisiologis dan
biokimia oleh adanya cekaman salinitas adalah transportasi Na +yang tinggi
pada tajuk, sehingga menghasilkan rasioNa/K yang tinggi. Keistimewaan
akumulasi Na di daun tua, penyerapan Cl- tinggi, penyerapan K + rendah,
penurunan berat basah dan beratkering tunas dan akar, penyerapan P dan Zn
rendah, perubahan pola isozim esterase, peningkatan bahan non-organik
beracun yang kompatibel pada zat terlarut dan kenaikan senyawa Polyamine.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler, Departemen
Biologi, Auburn University, Alabama, Amerika Serikat, pada bulan Oktober-
November 2011, menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga
ulangan. Faktor pertamaadalah konsentrasi NaCl dengan tiga taraf perlakuan
yaitu: 0 ppm (kontrol) (S0), 4.000 ppm (S1),dan 8.000 ppm (S2). Sedangkan
faktor kedua adalah varietas yaitu Indragiri (V 1), IR64 (V2), Banyuasin (V3), IR
42 (V4), Ciherang (V5), Batanghari (V6), Inpara 10 (V7), Lambur (V8),dan
Dendang (V9).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan persentase perkecambahan
Perbandingan respon dari kultivar yang berbeda menunjukkan bahwa
persentase perkecambahan dipengaruhioleh jenis kultivar. Pada fase
perkecambahan, varietas Ciherang memiliki persentase perkecambahan
tertinggi. Persentase perkecambahan dan skor “salt injury” beberapa varietas
dapat dilihat pada Gambar 1.

100
Perkecambahan (%)

50
Persentase

0 0
4000
8000

Varietas

Gambar 1. Persentase perkecambahan sembilan varietas padi di bawah


cekaman garam

Sembiring dan Gani (2005) melaporkan bahwa stres garam


mengakibatkan tingkat perkecambahan berkurang. Dari Gambar 1 dapat dilihat

519
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

bahwa perkecambahan tertinggi akibat stres garam diperoleh pada varietas


Inpara 10 (81,05%) dan terendah terdapat pada varietas Dendang (30,03%).
Tanggap morfologi dari sembilan varietas yang disemai dalam kondisi salin
sangat nyata pengaruhnya (Gambar 2, 3 dan 4).

Panjang Akar (cm) 10


8
6
4 0
2
4000
0
8000

Varietas

Gambar 2. Panjang akar sembilan varietas padi akibat cekaman garam

10
Jumlah Akar Lateral (pc)

8
6 0
4 4000
2
0 8000

Varietas

Gambar 3. Jumlah akar lateral Sembilan varietas padi akibat cekaman garam

20
15
Volume Akar (cm3 )

10
5
0 0
Lambur
IR 64

IR 42
Ciherang

Dendang
Banyuasin

Inpara 10
Batanghari
Indragiri

4000
8000

Varietas

Gambar 4. Volume akar (cm3) beberapa varietas padi di bawah cekaman


garam

Varietas IR 42 menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap stres garam.


Hasil pada Gambar 2 jelas menunjukkan bahwa sembilan varietas padi yang
diuji secara signifikan bervariasi untuk panjang akar (cm), jumlah akar lateral
(buah) dan volume akar (mm3). Berdasarkan hasil pengamatan untuk
parameter karakter morfologi, maka varietas IR 42 memiliki nilai tertinggi di

520
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

semua karakter morfologi. Rad dkk. (2012), Ali,dkk. (2012) dan Zhang et.al
(2012), melaporkan bahwa stres garam sangat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan komponen morfologi. Sejalan dengan itu, Sitompul dan
Guritno (1995), melaporkan bahwa tanaman memiliki perbedaan fenotipe dan
genotipe. Perbedaan genetik adalah salah satu faktor yang menyebabkan
munculnya keanekaragaman tanaman. Program genetik yang akan disajikan
dalam fase yang berbeda dari pertumbuhan dapat dinyatakan dalam berbagai
sifat tanaman yang mencakup bentuk dan fungsi tanaman yang menghasilkan
keragaman pertumbuhan tanaman. Selanjutnya, karakter fisiologi sembilan
varietas yang diuji dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

250
Absisik (nmol k g-1
Kandungan Asam

200
fresh mass)

150
100
50 0 4000
0 8000

Varietas

Gambar 5. Kandungan Asam Askorbat g-1f.wt) Sembilan Varietas Padi Akibat


Cekaman Garam

100
Kandungan AsamtAskorbat

80
(µmol g-1f.wt)

60
40 0
4000
20
8000
0

Varietas

Gambar 6. Kandungan Absisic Acid (nmol kg-1 µmol fresh) Sembilan Varietas
Padi Akibat Cekaman Garam

Pada Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa stress garam


mengakibatkan variasi yang jelas terhadap kandungan asam askorbat dan
asam absisik dari sembilan varietas padi yang diuji. Kandungan asam askorbat
dan asam absisik yang tertinggi terdapat pada varietas IR 42. Asam askorbat
memainkan peran penting dalam memberikan perlindungan terhadap stress
oksidatif yang diakibatkan meningkatnyakonsentrasi ROS (spesies oksigen
aktif), karena bertindak sebagai donor elektron untuk ascrobate peroksidase .

Gambar 5 menunjukkan efek diferensial dari stress garam dengan


adanya perbedaan kandungan askorbat di daun untuk tanaman yang toleran

521
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dan peka. Temuan serupa dilaporkan oleh Gossett dkk. (1994) dan Benavides
dkk. (2000) pada tanaman kapas dan kentang yang toleran NaCl. Sebaliknya,
penurunan total jumlah askorbat terdapat pada tanaman Pisum sativum L. yang
peka dalam merespon terhadap stres garam untuk jangka panjang (Hernandez
dkk., 2000). Kandungan askorbat juga berkurang dalam merespon cekaman
abiotik lain seperti stres air pada tanaman kacang panjang (Mukherjee dan
Chaudhari, 1983) dan dalam menanggapi dingin dan tinggi iradiasi pada
Cucumis sativus (Wise dan Naylor, 1987). Berkurang askorbat akibat berbagai
stres mungkin karena perubahan glutathione yang terkait dalam daur ulang
askorbat (Foyer dkk., 1991).

Stres garam NaCl mempengaruhi toleransi tanaman bukanlah


karakteristik yang konstan dan mungkin pada tahap yang berbeda dari
pertumbuhan untuk berbagai spesies akan berbeda (Linghe dan Shannon,
2000; Karami dkk., 2010.). Salinitas mempengaruhi tanaman selama vegetatif
dan tahap reproduksi dan karena itu menyebabkan penurunan baik terhadap
bobot kering biomas maupun hasil tanaman (Aslam dkk., 1993). Toleransi
salinitas sangat penting pada tahap reproduksi pertumbuhan tanaman
(Francois dan Kleiman, 1990; Akram dkk, 2001).

KESIMPULAN

Sembilan vaietas yang diuji dalam penelitian ini mengalami penurunan


pertumbuhan kedua karakter morfologi dan karakter fisiologi karena stress
garam. Namun, genotipe IR 42 menunjukkan toleransi terbaik berdasarkan
pengamatan karakter morfologi dan fisiologis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Balai Penelitian Padi (Balitpa), Sukamandi,


Subang atas dukungan untuk memberikan benih dan juga kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi atas dukungan dana riset magang dalam “Sandwich
Like-Program” di Auburn University, AL,USA.

DAFTAR PUSTAKA

Akram, M., Hussain, M., Akhtar, S. and Rasul, E., 2001. Impact of NaCl Salinity
on Yield Components of Some Wheat Accessions/Varieties. Int. J. Agr.
Biol., 4(1): 156–158.
Alamgir, A. N. M. and Yousuf Ali, M., 2006. Effects of NaCl Salinity on Leaf
Charactersand Physiological Growth Attributes of Different Genotypes
of Rice (oryza sativa L.). Bangladesh J.Bot., 35(2): 99–107.
Al-Karaki G.N dan A. Al-Raddad. 1997. Effect of arbuscularmycorrhizal fungi
and drought stress on growth and nutrient uptake of two wheat genotypes
differing in drought resistance. Mycorrhiza 7: 83–88.
Azooz, M.M., A.M. Alzahranidan M. M. Youssef. 2013. The potential role of
seed priming with ascorbic acid and nicotinamide and their interactions to
enhance salt tolerance in broad bean (Viciafaba L.). AJCS 7(13):2091-
2100.

522
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Benavides M.P, P.L. Marconi, S.M. Gallego, M.E. Comba, dan M.L. Tomaro.
2000. Relationship between antioxidant defense systems and salt tolerance
in Solanum tuberosum. Australian Journal of Plant Physiology 27: 273–278.
FAO. 2008. 20 Things on salinity. http://www.fao.com.
Francois, L.E. and Kleiman, R., 1990. Salinity Effects on Vegetative Growth,
Seed Yield andFatty Acid Composition of Crambe. Agron. J., 82: 1110–
1114.
Karami, A., Homaee, M. and Basirat, S., 2010. Quantitative and Qualitative
Responses of Rice Genotypes (Oryza Sativa) to Salinity Levels of Drained
Water, 19th World Congress of Soil Science, Brisbane, Australia.
Linghe, Z. and Shannon, C.M., 2000. Salinity Effects on Seedling Growth and
YieldComponents of Rice. Crop Sci., 40: 996–1003.
Mahmood, ImdadAli ; S. Nawaz and M. Aslam. 2000. Screening of Rice (Oryza
sativa L.) Genotypes AgainstNaCl Salinity.
Munns R. (2002): Comparative physiology of salt and water stress. Plant, Cell
and Environment, 25: 239–250.
Sembiring, Hasil dan A. Gani. 2005. Adaptasi Varietas Padi pada Tanah
Terkena Tsunami. http://io.ppi.jepang.org.
Shereen, A., Mumtaz, S., Raza, S., Khan, M.A. and Solangi, S., 2005. Salinity
Effects on Seedling Growth and Yield Components of Different Inbred
Rice Line. Pak. J. Bot.,37(1): 131–139.
Siringam, K., Juntawong, N., Cha-um, S. and Kirdmanee, C., 2011. Salt Stress
Induced ion Accumulation, Ion Homeostasis, Membrane Injury and Sugar
Contents in Salt-Sensitive Rice (OryzasativaL. spp. indica) Roots
UnderIsoosmotic Conditions. Afr.J.Biotech., 10(8): 1340–1346.
Sitompul, S.M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.

523
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KONSERVASI SUMBER DAYA GENETIK PADI


GOGO LOKAL DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Rahmad Setia Budi1*, Irfan Suliyansyah2, Yusniwati2, dan Sobrizal3.


1
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian UISU Medan 20144
Jln. Sisingamangaraja No. 191 Teladan Barat
2
Program Studi Agroekoteknologi UNAND Padang
3
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta
*E-mail: rsbudi69@Yahoo.com.

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara tropis dengan kekayaan sumber daya


genetik (plasma nutfah) yang sangat besar. Plasma nutfah adalah sumberdaya
alam yang sangat penting dan merupakan modal dasar yang diperlukan dalam
mengembangkan industri pertanian. Upaya untuk memenuhi kebutuhan beras
penduduk mendapat tantangan berat mengingat varietas unggul padi yang
tersedia hanya sedikit yang mampu beradaptasi baik dan bertahan lama.
Sumatera Utara termasuk daerah penghasil padi utama Nasional kelima di
Indonesia. Produktivitas padi sawah di Provinsi Sumatera Utara masih di bawah
produksi rata-rata nasional 4,7 t/ha, sementara padi gogo 2 t/ha. Diperlukan
suatu terobosan dalam penghasilan varietas unggul untuk peningkatan produksi
dalam mendukung ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan.Oleh karena
itu, para pemulia harus lebih giat dalam merakit atau memperbaiki varietas sesuai
dengan agroekosistem pengembangan, karena setiap varietas unggul menuntut
sejumlah persyaratan untuk dapat menampilkan keunggulannya secara
maksimum.Salah satu upaya adalah dengan cara konservasi. Eksplorasi dan
konservasi merupakan suatu kegiatan awal dari pemuliaan dalam menghasilkan
varietas unggul yang bersifat spesifik lokasi. Agar plasma nutfah dapat lebih
diberdayakan maka perlu dilakukan cara konservasi yang lebih dinamis seperti
pelestarian in situ dan lekat lahan (onfarmconservation) dan ex situ conservation.
Penelitian dilaksanakan di beberapa Kabupaten di Sumatera Utara mulai bulan
Agustus 2015 sampai Desember 2015 melalui studi literatur, wawancara dan
kunjungan langsung ke ladang petani di Kabupaten yang merupakan daerah
penghasil padi dan mempunyai potensi keberadaan padi gogo lokal. Kultivar
yang dikumpulkan selanjutnya, diidentifikasi dan dikoleksi. Informasi yang
diperoleh yaitu kondisi lingkungan, sistem usahatani, karakter petani, dan kondisi
pertanaman. Karakter agronomi, morfologi, dan produksi diamati masih sebatas
karakter awal meliputi, tinggi tanaman, umur panen, produksi per hektar, bobot
1.000 butir, bentuk gabah, dan warna gabah. Hasil diperoleh: 1). Kebanyakan
kultivar ditemukan pada wilayah dengan ketinggian rendah sampai tinggi, dengan
topografi datar, bergelombang hingga berbukit; 2). Semua kultivar yang didapat
bervariasi umur panennya, umur berkisar antara 150 sampai 180 hari (kategori
dalam); 3). Produksi per hektar tergolong rendah hingga sedang (1,0–3,5 t/ha);
4).Dari 23 kultivar yang dikumpulkan 16 adalah kultivar padi gogo lokal (beras
merah), dan 7 beras putih; dan 5) Gabah yang didapat memilkii: bobot 1.000 butir
antara 20 – 27 g, dengan bentuk gabah bulat, gemuk, dan ramping; serta warna
gabah bervariasi coklat, coklat kemerahan, krem, dan kuning.
Kata Kunci: Konservasi, esplorasi, padi gogo, varietas lokal

524
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara tropis dengan kekayaan sumber daya


genetik (SDG) /(plasma nutfah) yang sangat besar. Oleh karena itu, Indonesia
termasuk Negara dengan megabiodiversity terbesar kedua. Tingginya tingkat
keanekaragaman hayati (biodiversity) plasma nutfah ini karena Indonesia
memiliki bentang alam yang luas dengan penyebaran dan kondisi wilayah
geografis yang bervariasi (Sujiprihati dan Syukur. 2012). Ekplorasi, koleksi dan
konservasi plasma nutfah telah menjadi perhatian dunia, sehingga dibentuk
suatu badan dunia Internasional Plant Genetic Resource Institute (IPGRI) yang
berkedudukan di Roma, yang berperan dalam pengelolaan plasma nutfah untuk
suatu komoditas tertentu (Poespodarsono. 1988). Eksplorasi merupakan
kegiatan mencari, menemukan, dan mengumpulkan SDG tertentu untuk
mengamankannya dari kepunahan. Plasma nutfah adalah salah satu sumber
daya alam yang sangat penting dan merupakan modal dasar yang diperlukan
dalam mengembangkan industri pertanian. Tingginya keragaman plasma
nutfah yang kita miliki membuka peluang bagi upaya mencari, menemukan,
memanfaatkan, dan mengoptimalkan potensi genetik yang belum tergali
(Sumarno dan Zuraida. 2004).
Keragaman genetik suatu spesies tanaman dapat menurun, karena
usaha manusia untuk menanam atau memperluas jenis-jenis unggul baru
sehingga jenis-jenis lokal yang amat beragam akan terdesak bahkan dapat
lenyap (Daradjat dkk., 2008). Menurunnya keragaman genetik akibat hilangnya
jenis lokal merupakan salah satu dampak negatif Revolusi Hijau. Kelangkaan
plasma nutfah dapat juga terjadi karena hilangnya habitat alami akibat
perambahan oleh manusia, atau dapat juga terjadi karena proses seleksi dan
pemurnian bentuk-bentuk landras (varietas lokal) yang heterogen membentuk
landras yang homogen. Seleksi dan pemurnian tersebut meningkatkan
keragaman genetik tanaman dan menyebabkan erosi genetik. Keadaan ini
dapat menimbulkan bahaya cukup serius karena mengurangi ragam genotype
yang penting artinya bagi pemuliaan.
Plasma nutfah padi terutama varietas lokal telah dikumpulkan dari ladang
petani sejak 1972. Varietas tersebut dilestarikan di Bank Gen yang dikenal
dengan ex situ conservation. Hal ini berperan penting untuk menghindari
kepunahan spesies padi liar akibat pesatnya penanaman varietas unggul
modern. Meskipun demikian, plasma nutfah yang tidak terhitung nilainya ini
belum sepenuhnya lestari, karena Bank Gen yang diharapkan dapat menjamin
kelanggengan sumber daya genetik tersebut masih memerlukan perbaikan
agar dapat berfungsi optimal. Hingga saat ini, Bank Gen yang dikelola oleh BB-
Biogen telah melestarikan sebanyak 3.563 plasmanutfah padi dan 100 aksesi
padi liar yang dieksplorasi dan dikumpulkan dari hampir seluruh provinsi di
Indonesia; IRRI terdapat 8.834 aksesi koleksi varietas padi tradisional dan
spesies padi liar. Dari jumlah ini sedikit sekali yang digunakan oleh pemulia
maupun pengguna lainnya. Agar plasma nutfah dapat lebih berdaya guna

525
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

maka perlu dilakukan konservasi yang lebih dinamis seperti pelestarian in situ
dan lekat lahan (on-farmconservation).
Padi (Oryza sativa L.) merupakan sumber makanan pokok sebagian
besar penduduk dunia, tulang punggung pembangunan subsektor tanaman
pangan dan berperanan penting terhadap pencapaian ketahanan pangan. Padi
juga memberikan konstribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB)
nasional (Damardjati. 2006). Produksi padi meningkat dari 52 juta ton tahun
2000 menjadi sekitar 66 juta ton tahun 2010, atau laju kenaikan 2,68% per
tahun bersumber dari peningkatan luas panen sebesar 1,24% dan peningkatan
produktivitas sebesar 1,41% per tahun.Rendahnya peningkatan luas panen
menunjukkan bahwa peningkatan produksi padi sudah semakin sulit
diusahakan khususnya di Jawa, Sumatera, dan Nusatenggara (Kementan.
2013). Menurut BPS (2011) dan (Susenas. 2011)produksi beras Indonesia
menurun 1,08 juta ton bila dibanding tahun sebelumnya.
Padi gogo merupakan padi yang dibudidayakan di lahan kering, umumnya
ditanam sekali setahun pada awal musim hujan. Pengembangan padi gogo
merupakan alternatif untuk meningkatkan produksi padi nasional, karena
perluasan padi sawah semakin sulit dilakukan. Strategi ini dilakukan di
antaranya melalui optimalisasi pemanfaatan lahan tidur. Tahun 2002 terdapat
sekitar 59.3 juta ha lahan kering berpotensi di berbagai provinsi, dan sekitar
24.7 juta ha di antaranya digunakan sebagai lahan perkebunan dan hutan
tanaman industri negara dan swasta (Departemen Pertanian. 2004). Sebagian
besar di antaranya (sekitar 11 juta ha lebih) berpotensi untuk dikembangkan
sebagai lahan pertanaman padi gogo (Puslitbangtan. 2006). Konstribusi padi
gogo terhadap produksi padi nasional masih relatif rendah, sehingga
pengembangannya masih terus diupayakan. Produktivitasnya sebesar 2.57
ton/ha, jauh lebih rendah dibandingkan produktivitas padi sawah (4.75 ton/ha)
(Departemen Pertanian. 2004). Rendahnya produktivitas padi gogo
disebabkan kondisi iklim dan tanah yang bervariasi, penerapan teknologi
budidaya yang belum optimal terutama penggunaan varietas unggul,
pemupukan dan pengendalian penyakit blas (Toha, 2005).

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di beberapa Kabupaten di Sumatera Utara mulai


bulan Agustus 2015 sampai Desember 2015. Metode yang digunakan melalui
studi literatur, wawancara kepada pihak instansi terkait, Dinas Pertanian, BPTP,
BB Penelitian Padi, Penyuluh Lapangan, Kepala Desa, dan Kelompok Tani, serta
kunjungan dan wawancara langsung ke ladang petani di Kabupaten yang
merupakan daerah penghasil padi dan mempunyai potensi keberadaan padi
gogo lokal.Kultivar yang dikumpulkan dari ladang petani selanjutnya, dikoleksi
dan diidentifikasi. Informasi yang diperoleh yaitu kondisi geografi, sistem
usahatani, karakter petani, karakter agronomi, morfologi, dan produksi diamati
masih sebatas karakter awal meliputi, tinggi tanaman, umur panen, bobot 1.000
butir, produksi per hektar, bentuk gabah, dan warna gabah.

526
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data koleksi varietas lokal di Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi
Koleksi tanaman padi varietas/kultivar lokal yang ada di Balai Besar (BB)
Penelitian Padi Sukaman Jawa Barat didapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data koleksi varietas lokal BB Padi asal Provinsi Sumatera Utara. 2015
No. No.
Nama Aksesi Kabupaten asal Kecamatan asal
Urut Aksesi
1 692 Ramos Simalungun Simalungun
2 1832 Dayang Rindu
3 1930 Si Gudang Tapanuli Selatan
4 1990 Cempo Deli Serdang Lubuk Pakam
5 2318 Si Ampera Deli Serdang Lubuk Pakam
6 2625 Jaran Mas Labuhan Batu Marbau
7 2626 Si Malam Labuhan Batu Marbau
8 2649 Si Rendah Putih Labuhan Batu Aek Natas
9 2680 Si Pulau Mandailing Medan (Kota) Medan Sunggal
10 2699 Jangkong Kasar Medan (Kota) Medan Deli
11 3003 Sigoe Nias Idano Gawo
12 3009 Si Narichi Nias Gunung Sitoli
13 3355 Condong Karo Kabanjahe
14 4745 Si Karo-Karo Tapanuli Utara
15 4747 Sri Redut Karo
16 4752 Sri Galuh Karo
17 4753 Sri Rias Karo
18 4773 Sepah
19 7868 Si Udang Mandailing Natal
20 7870 Sigambiri Karo
21 8231 Tolas Deli Serdang Tanjung Morawa
22 8232 Tapak Tangan Deli Serdang Tanjung Morawa
23 8234 Sigambir Shonda Dli Serdang Tanjung Morawa
24 8566 Sicur Karo
25 8567 Randah Kisaran Labuhan Batu
26 8568 Si Redep Tapanuli Selatan
27 8569 Si Kedang Karo
28 8582 Si Pulo Tapanuli Selatan
29 8619 Si Topas Labuhan Batu
30 8632 Jenda Abang Tapanuli Utara
31 8644 Si Kodok Simalungun
32 8645 Si Bentar Karo
33 8646 Sia Dairi
34 8647 Si harotas Dairi
35 8651 Si Penuh Karo
36 8775 Si Bosur Phakpak Barat Salak
37 8776 Si Remet Phakpak Barat Salak

Sumber : BB Padi (2015)


Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa data koleksi varietas lokal asal Sumatera
Utara diperoleh sebanyak 37 varietas lokal, namun belum ditelusuri lebih jauh
berkaitan lokasi atau daerah (nama desa), lokasi dataran rendah, sedang,
ataupun tinggi, serta jenis padi sawah, tadah hujan, ataupun gogo. Untuk itu

527
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

masih diperlukan kegiatan eksplorasi kultivar lokal padi di Provinsi Sumatera


Utara dan selanjutnya dilakukan kegiatan konservasi dan koleksi.

Keragaan kultivar
Keragaan kultivar hasil ekplorasi pada tanaman padi gogo di delapan
Kabupaten dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Lokasi pengumpulan kultivar padi gogo di 8 Kabupaten Provinsi
Sumatera Utara. 2015
No. Nama kultivar Desa Kecamatan Kabupaten Keterangan
1. Gara Geduk (M) Tanjung Muda STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
2. Belacan (M) Tanjung Muda STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
3. Tambur Kersik (P) Tanjung Muda STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
4. Pagai Gara (M) Tiga Juhar STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
5. Belacan (M) Tangga Batu STM Hulu Deli Serdang Dataran tinggi
6. Si Puteh (M) Buho Bintang Bayu Serdang Bedagai Dataran sedang
7. Si Banur (P) Buho Bintang Bayu Serdang Bedagai Dataran sedang
8. Si Mandailing (P) Buho Bintang Bayu Serdang Bedagai Dataran sedang
9. Si Pala (M) Batu Ganjang Raya Simalungun Dataran sedang
10. Si Buah (M) Batu Ganjang Raya Simalungun Dataran sedang
11. Si Gambiri (M) Raya Kahean Seribu Dolok Simalungun Dataran sedang
12. Ramos Dewi (P) Pantai Gading Sicanggang Langkat Dataran rendah
13. Si Kembiri (M) Kubu Colia Dolat Rayat Karo Dataran tinggi
14. Si Kembiri (P) Kubu Colia Dolat Rayat Karo Dataran tinggi
15. SiKembiriLumat(M) Kubu Colia Dolat Rayat Karo Dataran tinggi
16. Si Penuh (M) Serdang Barus Jahe Karo Dataran tinggi
17. Condong (M) Serdang Barus Jahe Karo Dataran tinggi
18. Condong (P) Serdang Barus Jahe Karo Dataran tinggi
19. Pandan (P) Pasi Brampu Dairi Dataran tinggi
20. Rukun (P) Pasi Brampu Dairi Dataran tinggi
21. Kabanjahe (M) Pasi Brampu Dairi Dataran tinggi
22. Si Labundong (M) Bg. Bondar 10 P.Sidempuan P.Sidempuan Dataran tinggi
23. Si Babimbing (M) Si Loting Sipirok Tap. Selatan Dataran tinggi

Keterangan: (M) = Padi Beras Merah, (P) = Padi Beras Putih.


Dari Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa hasil eksplorasi di 8 kabupaten
diperoleh sebanyak 23 kultivar padi gogo lokal terdiri dari 16 kultivar padi beras
merah dan 7 padi beras putih. Dari 8 Kabupaten ini daerah penanaman
ditemukan pada ekosistem yang berbeda dengan berbagai ketinggian dari
dataran rendah sampai tinggi dengan topografi datar, bergelombang hingga
berbukit.
Sistem usahatani atau budidaya yang dilakukan masih tergolong
sederhana dan penanaman padi gogo ditanam sebagai tanaman tumpang sari,
tanaman sela di antara jenis tanaman tahunan seperti karet, kelapa sawit, dan
kopi. Juga ditemukan pada tanaman holtikultura, seperti pisang, dan jeruk.
Kemudian penanaman selalu berpindah bergantung dengan kondisi lahan atau
dikatakan dengan penanaman ladang berpindah.
Dari data ini dapat diperoleh gambaran bahwa penanaman padi gogo
masih merupakan tanaman sambilan, walaupun lahan yang tersedia masih luas
dan tanaman padi gogo lokal ini memiliki daya adaptasi tinggi dan toleran
terhadap hama dan penyakit. Ini dikarenakan prioritas petani untuk bertanam
padi, pertama akan memilih lahan sawah irigasi, prioritas kedua adalah lahan
sawah tadah hujan (gogo rancah), dan berikutnya baru lahan kering untuk

528
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pertanaman padi gogo. Bagi petani yang tidak memiliki lahan sawah atau lahan
sawahnya terbatas, maka pada lahan kering yang dimilikinya akan diusahakan
padi gogo. Dengan kata lain, pertanaman padi gogo lebih diarahkan untuk
memenuhi kepentingan konsumsi rumah tangga petani itu sendiri.
Karakter agronomis dan morfologi
Keragaan karakter agronomis dan morfologi dari beberapa kultivar padi
gogo lokal hasil ekplorasi dari 8 Kabupaten disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakter agronomi dan morfologi kultivar padi gogo di 8 Kabupaten


Provinsi Sumatera Utara
Tinggi Umur Produksi Bobot Bentuk Warna
No. Nama kultivar tanaman panen (t/ha) 1.000 butir gabah Gabah
(cm) (hari) (g)
1. Gara Geduk (M) 180 180 1,0–1,5 25 - 26 Ramping Krem
2. Belacan (M) 180 170 1,0 – 1,5 22 – 23 Ramping Merah
3. Tambur Kersik (P) 180 150 1,0 – 1,5 22 – 23 Ramping Krem
4. Pagai Gara (M) 180 170 1,0 – 1,5 22 – 23 Ramping Kuning
5. Belacan (M) 160 170 1,0 – 1,5 24 – 25 Ramping Merah
6. Si Puteh (M) 160 165 1,5 – 2,0 20 – 21 Ramping Krem
7. Si Banur (P) 150 150 1,5 – 2,0 20 – 21 Ramping Kuning
8. Si Mandailing (P) 150 150 1,5 – 2,0 21 – 22 Gemuk Coklat
9. Si Pala (M) 180 170 2,0 – 2,5 22 – 23 Ramping Krem
10. Si Buah (M) 180 170 2,5 – 3,0 20 – 21 Bulat Coklat
11. Si Gambiri (M) 180 170 2,5 – 3,0 26 – 27 Gemuk Kuning
12. Ramos Dewi (P) 140 145 2,5 – 3,0 20 – 21 Ramping Krem
13. Si Kembiri (M) 180 175 1,5 – 2,0 26 – 27 Gemuk Kuning
14. Si Kembiri (P) 170 170 1,5 – 2,0 26 – 27 Gemuk Kuning
15. SiKembiri Lumat (M) 180 170 1,5 – 2,0 26 – 27 Gemuk Kuning
16. Si Penuh (M) 180 180 1,5 – 2,0 26 – 27 Gemuk Coklat
17. Condong (M) 150 160 2,0 – 2,5 25 – 26 Ramping Kuning
18. Condong (P) 150 160 2,0 – 2,5 25 – 26 Ramping Coklat
19. Pandan (P) 170 150 3,0 – 3,5 21 – 22 Ramping Krem
20. Rukun (P) 170 150 3,0 – 3,5 22 – 23 Gemuk Kuning
21. Kabanjahe (M) 180 165 3,0 – 3,5 25 -26 Bulat Krem
22. Si Labundong (M) 170 180 1,5 – 3,0 25 – 26 Ramping Kuning
23. Si Babimbing (M) 170 180 1,5 – 3,0 25 – 26 Ramping Kuning

Keterangan: (M) = Padi Beras Merah, (P) = Padi Beras Putih.


Dari data yang diperoleh pada Tabel 3, menunjukkan bahwa seluruh
kultivar padi gogo lokal memiliki karakter etinggi tanaman tergolong tinggi (˃140
cm), umur panen tergolong berumur dalam (˃145 hari), yaitu berkisar antara 150
sampai 180 hari, dan produksi masih tergolong rendah hingga sedang (1,0 – 3,5
t/ha).
Semua umur panen kultivar tergolong pada umur kategori dalam.Hal ini
disebabkan umur panen dapat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan kondisi
iklim. Hal ini karena daerah pengumpulan dilakukan pada dataran sedang hingga
tinggi yaitu di atas 400 m dari permukaan laut. Semakin tinggi tempat yang
ditanam, penampilan umur panen akan cenderung lebih panjang dibandingkan
dengan tanaman yang ditanam pada dataran rendah.Petani cenderung memilih
kultivar yang berpotensi hasil tinggi, dan karakter tinggi tanaman yang sedang
sampai rendah. Hal ini dilakukan petani untuk menghindari resiko kegagalan
panen akibat rebah pada musim hujan. Pertumbuhan tinggi tanaman
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik. Suseno (1981) menyatakan

529
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

bahwa faktor lingkungan yang kurang optimal dan faktor genetik yang berasal
dari varietas tidak unggul akan mempengaruhi tinggi tanaman. Ditambahkan
Gardner dkk., (1991) faktor eksternal (iklim, tanah, biologis) dan faktor internal
(laju foto sintesis, respirasi, aktivitas enzim) akan mempengaruhi pertumbuhan
vegetatif. Selain itu hasil gabah dipengaruhi oleh jumlah anakan produktif yang
dimilikinya. Selain faktor genetik faktor pemupukan juga menjadi salah satu
penentu banyak atau sedikitnya jumlah anakan. Pupuk Nitrogen mempunyai
fungsi untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman termasuk jumlah
anakan yang dihasilkan (Hardjowigeno. 2003). Sesuai dengan pernyataan Peng
dkk., (1994) dan Lakitan (1993) melaporkan bahwa kemampuan pembentukan
anakan produktif merupakan hal yang penting dalam penentuan perolehan hasil
gabah dan juga hal ini sangat erat kaitannya terhadap jumlah gabah permalai.
Tuntutan peningkatan produktivitas padi terus bertambah akibat semakin
bertambahnya jumlah penduduk serta semakin berkurangnya luas lahan subur
akibat alih fungsi lahan pertanian. Salah satu upaya adalah dengan
mengembangkan teknolgi tepat guna yang bersifat spesifik lokasi dan spesifik
komoditi, demi keterjaminan penyediaan pangan dan mampu mengatasi berbagai
kendala utama yang termasuk didalamnya peningkatan produksi. Pemerintah
terus berupaya meningkatkan luas lahan untuk mendukung surplus beras 10 juta
ton pada tahun 2014. Salah satu upaya tersebut dapat dilakukan melalui
pengembangan padi gogo di lahan kering. Peluang pengembangan padi gogo
masih sangat potensial, karena ketersediaan lahan non irigasi yang cukup
tersedia luas (sekitar 5,1 juta hektar lahan kering yang belum dioptimalkan
pemanfaataannya) yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia (Tim Peneliti
Badan Litbang Pertanian, 1999; Hidayat dkk. 2000; Dephutbun, 2000), serta
kondisi perubahan iklim yang cenderung dominan musim kering.Maka untuk
pengembangan penanaman padi gogo harus mempertimbangkan aspek
konservasi tanah, tingkat produktivitas, rasa, juga ketahanan terhadap hama dan
penyakit melalui pendekatan model pengelolaan tanaman dan sumberdaya
terpadu (PTT) di kawasan spesifik lokasi (Toha, 2005), guna untuk memenuhi
kebutuhan pangan penduduk kedepan agar ketergantungan terhadap beras
impor dapat teratasi, serta tercapai ketahanan pangan dan sistem pertanian
berkelanjutan.
KESIMPULAN
1. Melakukan eksplorasi dan konservasi sangat penting melalui pola kerjasama
dengan pihak pemerintah, swasta, dan pihak terkait serta melibatkan petani
sebagai pengguna langsung kultivar dan pewaris kultivar-kultivar lokal spesifik
lokasi, agar pelestarian plasma nutfah dan pemuliaan tanaman dapat terus
berlanjut dalam era otonomi daerah untuk penghasilan varietas unggul baru.
2. Konservasi plasma nutfah berperan penting untuk menghindari kepunahan
spesies padi lokal akibat pesatnya penanaman varietas unggul modern yang
mempunyai produksi tinggi, pembukaan lahan baru, peralihan pengusahaan
tanaman padi ke tanaman lain, dan pengembangan pemukiman.

530
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

3. Dari hasil eksplorasi dan konservasi di 8 Kabupaten dapat dikumpulkan


sebanyak 23 kultivar padi gogo lokal yang memiliki keragaan.karakter
agronomis dan morfologi.
4. Untuk pengembangan penanaman padi gogo harus mempertimbangkan
aspek konservasi tanah, tingkat produktivitas, rasa, juga ketahanan terhadap
hama dan penyakit melalui pendekatan model pengelolaan tanaman dan
sumberdaya terpadu (PTT) di kawasan spesifik lokasi.
SARAN
1. Perlu dilakukan kegiatan temu lapang bagi petani dalam pemahaman sistem
usahatani dalam menerapkan komoditi spesifik lokasi khususnya padi gogo.
2. Perlu dilakukan kerjasama antara pemerintah, petani, pengusaha, dan
perguruan tinggi dalam penerapan teknologi bagi pengembangan padi gogo,
termasuk kegiatan konservasi dan koleksi kultivar lokal untuk selanjutnya
dapat menghasilkan varietas unggul baru dalam rangka mendukung
ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan, serta mensejahterakan
petani.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 1999. Panduan umum pelaksanaan penelitian,
pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian. 70 hal
Damardjati, J. 2006. Learning fromIndonesian Experiences in Achive Rice Self
Sufficientcy. In Rice Industry, Culture, and Environment. ICCR,
ICFORD, IAARD. Jakarta.
Daradjat, A.A., Silitonga, S., dan Nafisah.2008. Ketersediaan Plasma Nutfah
Untuk Perbaikan Varietas Padi BB Padi Sukamandi.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Hasil Inventarisas Lahan Krits
Pada Lahan Kawasan Lahan Budidaya Pertanian. http://www.
deptan.go.id/ infoeksekutif/ sdl/ hasil_infentarisasi_lahan_kritis.htm
Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian. Departemen Pertanian RI,
Jakarta.
Gardner, F.P. Pearce, R.B. dan Mitchell, R.L. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya. Alih bahasaoleh susilo, H dari Physiologi of Crop Plants. 1985.
UI Press. Jakarta.
Hidayat, A., M. Soekardi, B.H. Prasetyo. 2000. Ketersediaan sumber daya
lahan dan arahan pemanfaatan untuk beberapa komoditas. Pros.
Pertemuan Pembahasan dan komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Puslit. Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Hardjowigeno, S. 2003. Soil Science . Fifth Edition. Akademika Pressindo.
Jakarta; 286
Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU. IPB
Bogor.
Puslitbangtan. 2006. Laporan Tahunan 2005. Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Sujiprihati, S., dan Syukur, M. 2012. Konservasi Sumber Daya Genetik
Tanaman. Dalam Merevolusi Revolusi Hijau. Pemikiran Guru Besar IPB:
528 – 536.

531
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sumoarno, Zuraida, N. 2004. Pengelolaan Plasma Nutfah Terintegrasi dengan


Program Pemuliaan dan Industri Benih. Prosiding Simposium PERIPI, 5
– 7 Agustus 2004.
Toha, M.H. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
Toha, H. M., K. Permadi, Prayitno, I. Yuliardi. 2005. Peningkatan produksi padi
gogo melalui Pendekatan model pengelolaan tanaman dan sumberdaya
terpadu (PTT). Seminar Puslitbang Tanaman Pangan.Bogor, Juli 2005.
Badan Litbang Pertanian.

532
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

POTENSI AKAR VARIETAS PADI GOGO LOKAL


SIGAMBIRI PUTIH DAN SIGAMBIRI MERAH
UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

Benedicta Lamria Siregar 1,2, Rosmayati 1, dan Amrizal Yusuf 3

1
Program Doktor Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara
2
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas HKBP Nommensen
3
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
e-mail: benedicta.siregar@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini mempelajari tanggap tanaman padi gogo terhadap


kekeringan, khususnya bagian akarpada stadia kecambah. Akar terpanjang
dan bobot kering akar terbesar diperoleh dari varietas Sigambiri Putih dan
Sigambiri Merah, berbeda nyata dengan panjang akar dan bobot kering akar
varietas unggul nasional, yaitu varietas Jatiluhur, Towuti, Danau Gaung, Situ
Patenggang, Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, dan Inpago 10.Rata-rata akar
terpanjang dimiliki oleh varietas Sigambiri Putih dan Sigambiri Merah, secara
bergantian pada semua level kadar PEG, termasuk pada kadar PEG yang
paling besar 238 g PEG/kg H2O. Rata-rata bobot kering akar terbesar dimiliki
oleh varietas Sigambiri Putih pada kadar 38, dan 238 g PEG/kg H 2O;
sedangkan rata-rata bobot kering akar terbesar dimiliki oleh varietas Sigambiri
Merah pada kadar 88 dan 188 g PEG/kg H 2O. Arsitektur morfologi akar yang
terpapar kekeringan penting bagi pemulia tanaman sebagai indikator seleksi
(penapisan) untuk mendapatkan tanaman padi gogo yang toleran kekeringan.

Kata kunci: cekaman kekeringan, toleransi, akar padi gogo, varietas lokal

PENDAHULUAN

Padi, salah satu tanaman serealia terpenting yang menjadi sumber


kalori bagi sebagian penduduk dunia (Lobell dan Gourdji, 2012). Padi gogo
merupakan alternatif bagi penyediaan pangan nasional dan global. Di
Indonesia, dampak perubahan iklim bisa berimplikasi besar terutama bagi
ketahanan pangan nasional, karena kekeringan merupakan stres abiotik yang
paling mengurangi hasil padi.
Kekeringan merupakan salah satu stres lingkungan pembatas
pertumbuhan dan produktivitas pada berbagai tanaman. Perkecambahan
benih merupakan stadia kritis dalam siklus hidup tanaman yang sangat
dipengaruhi kondisi air terbatas. Dalam kondisi stres kekeringan, pemanjangan
sel pada tanaman tingkat tinggi dihambat oleh tekanan turgor yang menurun.
Akibatnya mitosis, pemanjangan dan pembesaran sel berkurang yang
berakibat pada penurunan pertumbuhan (Farooq dkk., 2009). Stres kekeringan

533
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

berpengaruh pada membran, stabilitas protein, perubahan struktur kromatin,


dan produksi ROS (Bita dan Gerats, 2013).
Variasi pada intensitas dan kerasnya kekeringan dari satu musim ke
musim dan tempat ke tempat membutuhkan budidaya varietas-varietas padi
dengan taraf toleransi kekeringan yang berbeda untuk area berbeda (Raman
dkk., 2012). Pilihan teknik adaptasi terhadap perubahan iklim pada budidaya
padi adalah seleksi dan pengembangan varietas padi yang adaptif (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011), untuk mendapatkan varietas
dengan potensi produksi tinggi dan toleran kekeringan. Berbagai varietas padi
memiliki kemampuan berbeda untuk toleran terhadap kekeringan (Yoshida,
1981).
Toleransi terhadap kekeringan (drought tolerance) dapat berupa
modifikasi morfologi atau fisiologi yang dapat meningkatkan kemampuan untuk
absorbsi air, misalnya memperdalam pertumbuhan akar dan meningkatkan
rasio akar : tajuk (Hale dan Orcutt, 1987; Harjadi dan Yahya, 1988; Fitter dan
Hay, 1994). Konfigurasi sistem perakaran merupakan salah satu bentuk
adaptasi yang juga dikontrol secara genetis (Jung dan McCouch, 2013).
Pada penelitian ini dipelajari tanggap tanaman padi gogo terhadap
kekeringan pada stadia kecambah, khususnya pada bagian akar.

BAHAN DAN METODE


Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium UPT Balai
Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas
Pertanian Propinsi Sumatera Utara, sejak Januari hingga Mei 2015.
Rancangan yang dipakai adalah Rancangan Petak Terpisah, dengan 2
faktor. Faktor petak utama adalah perlakuan polietilen glikol(PEG), terdiri atas:
38 g PEG/kg H2O (P1), 88 g PEG/kg H2O (P2), 138 g PEG/kg H2O (P3), 188 g
PEG/kg H2O (P4), dan 238 g PEG/kg H2O (P5). Faktor anak petak adalah
genotipe padi, terdiri atas: varietas Jatiluhur (V1), varietas Towuti (V2), varietas
Danau Gaung (V3), varietas Situ Patenggang (V 4), varietas Inpago 7 (V5),
varietas Inpago 8 (V6), varietas Inpago 9 (V7), varietas Inpago 10 (V8), varietas
Sigambiri Putih (V9), dan varietas Sigambiri Merah (V 10). Setiap kombinasi
diulang tiga kali.
Uji perkecambahan menggunakan metode top of paper (Budiarti dkk,
2011) dalam cawan petri berukuran diameter 10 cm, dimana sepuluh benih tiap
varietas dikecambahkan pada media perkecambahan yang telah diberi larutan
PEG 6000 sesuai dengan tingkat kadar yang telah ditentukan. Pengamatan
dilakukan 14 hari setelah semai meliputi panjang akar dan bobot kering
akar.Data dianalisis dengan sidik ragam dan uji beda nyata jujur pada taraf uji
5% (Steel dan Torrie, 1991).

534
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kadar larutan PEG 6000 dan varietas berpengaruh nyata terhadap
panjang akar dan bobot kering akar, namun interaksi keduanya tidak nyata
berpengaruh terhadap panjang akar dan bobot kering akar (Lampiran 1).
Akar terpanjang diperoleh pada varietas Sigambiri Merah dan berbeda
tidak nyata dengan varietas Sigambiri Putih (Tabel 1).
Tabel 1. Panjang akar (cm) pada berbagai perlakuan kadar PEG dan varietas
padi gogo
Varietas Kadar PEG Rataan
38 88 138 188 238
..............................................(g PEG/kg H2O)...............................................
Jatiluhur 7,76 5,67 5,02 4,99 3,85 5,46 b
Towuti 8,43 7,95 6,64 3,07 1,93 5,60 b
Danau Gaung 8,93 6,21 7,49 3,25 2,20 5,61 b
Situ Patenggang 6,89 7,06 6,74 4,00 2,81 5,50 b
Inpago 7 10,31 8,88 7,85 4,35 2,09 6,70 b
Inpago 8 7,22 5,95 6,59 4,45 1,61 5,16 b
Inpago 9 6,49 6,29 5,59 4,44 2,38 5,04 b
Inpago 10 6,78 7,27 6,51 5,98 2,98 5,90 b
Sigambiri Putih 12,70 11,08 9,83 7,43 6,09 9,43 a
Sigambiri Merah 12,37 12,17 9,09 8,66 5,56 9,57 a
Rataan 8,79 a 7,85 Ab 7,13 b 5,06 C 3,15 D

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada


perlakuan yang sama menunjukkantidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNJ pada taraf ά = 5%; data ditransformasi
menggunakan(X+0.5); PEG=polietilen glikol

Akar kedua varietas tersebut nyata lebih panjang dibandingkanakar


varietas lainnya. Panjang akar delapan varietas lainnya saling tidak berbeda
nyata. Bobot kering akar terbesar diperoleh padavarietas Sigambiri Putih dan
berbeda tidak nyata dengan varietas Sigambiri Merah (Tabel 2). Bobot kering
akar kedua varietas tersebut nyata lebih besar dibanding dengan bobot kering
akar varietas lainnya. Bobot kering akar varietas lainnya saling tidak berbeda
nyata, kecuali Inpago 8, yang merupakan bobot kering akar terendah.
Menurut Afa dkk., (2012), peubah bobot kering kecambah dapat menjadi
karakter utama pendugaan genotipe padi gogo toleran kekeringan.
Berdasarkan penghitungan indeks sensitivitas kekeringan (Fischer dan Maurer,
1978) pada bobot kering kecambah, tingkat toleransi varietas Sigambiri Putih
dan Sigambiri Merah adalah peka (Siregar, 2015a). Namun berdasarkan Tabel
1 dan Tabel 2,dapat diduga varietas Sigambiri Putih dan Sigambiri Merah juga
memiliki potensi tahan kekeringan, karena memiliki akar yang nyata lebih
panjang dan bobot kering akar yang nyata lebih besar dibanding varietas
lainnya.

535
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Bobot kering akar (g) pada berbagai perlakuan kadar PEG dan
varietas padi gogo
Varietas Kadar PEG Rataan
38 88 138 188 238
..............................................(g PEG/kg H2O)...............................................
Jatiluhur 0,0039 0,0026 0,0021 0,0022 0,0019 0,0026 bc
Towuti 0,0035 0,0035 0,0032 0,0016 0,0009 0,0025 bc
Danau Gaung 0,0041 0,0027 0,0030 0,0016 0,0012 0,0025 bc
Situ Patenggang 0,0034 0,0036 0,0037 0,0022 0,0019 0,0030 b
Inpago 7 0,0041 0,0035 0,0032 0,0020 0,0010 0,0028 bc
Inpago 8 0,0028 0,0026 0,0025 0,0019 0,0009 0,0021 c
Inpago 9 0,0042 0,0037 0,0029 0,0023 0,0017 0,0030 b
Inpago 10 0,0040 0,0037 0,0033 0,0025 0,0014 0,0030 b
Sigambiri Putih 0,0059 0,0043 0,0043 0,0026 0,0020 0,0038 a
Sigambiri Merah 0,0055 0,0046 0,0034 0,0030 0,0018 0,0037 a
Rataan 0,0042 a 0,0035 B 0,0032 b 0,0022 C 0,0015 d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada
perlakuan yang sama menunjukkantidak berbeda nyata
berdasarkan uji BNJ pada taraf ά = 5%; data ditransformasi
menggunakan(X+0.5); PEG=polietilen glikol

Rata-rata akar terpanjang dimiliki oleh varietas Siga mbiri Putih dan
Sigambiri Merah, secara bergantian, pada semua level kadar PEG (tingkat
kekeringan), termasuk pada kadar PEG yang paling besar 238 g PEG/kg H 2O
(paling kering) (Tabel 1, Gambar 1a dan 2).

14 0.007

12 0.006
Bobot Kering Akar (g)
Panjang Akar (cm)

10 0.005

8 0.004

6 0.003

4 0.002

2 0.001

0 0
38 88 138 188 238 38 88 138 188 238
Kadar PEG (g PEG/kg H2O) Kadar PEG (g PEG/kg H2O)
V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10 V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V10

(a) (b)

Gambar 1. Panjang akar (a) dan bobot kering akar (b) Beberapa varietas
padi gogo pada berbagai kadar PEG.
Keterangan : V1:Jatiluhur, V2:Towuti, V3: Danau Gaung, V4:Situ Patenggang,
V5:Inpago 7, V6:Inpago 8, V7:Inpago 9, V8:Inpago 10,
V9:Sigambiri putih, V10:Sigambiri merah

Rata-rata bobot kering akar terbesar dimiliki oleh varietas Sigambiri


Putih pada kadar 38 g PEG/kg H2O, 138 g PEG/kg H2O, dan 238 g PEG/kg
H2O. Rata-rata bobot kering akar terbesar dimiliki oleh varietas Sigambiri Merah
pada kadar 88 g PEG/kg H2O dan 188 g PEG/kg H2O (Tabel 2 dan Gambar 1b).

536
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(a)

(b)
Gambar 2. Kecambah varietas padi gogo lokal dengan potensi akarnya (a);dan
varietas padi gogo toleran kekeringan (b)pada perlakuan 238 g
PEG/kgH2O.

Konfigurasi sistem perakaran merupakan salah satu bentuk adaptasi


yang dikontrol secara genetis. Konfigurasi sistem perakaran (arsitektur akar)
menentukan pengambilan hara dan air. Laju pertumbuhan dan sebaran vertikal
dan horizontal mempengaruhi eksploitasi P, N, dan air dalam keadaan terbatas.
Eksploitasi unsur hara yang ditentukan arsitektur akar berpengaruh pada hasil
maksimal, terutama pada kondisi stres, dan stabilitas hasil. Pemahaman gen
dan lintasan yang terlibat dalam perkembangan arsitektur perakaran dapat
digunakan untuk memperbaiki varietas tanaman budidaya, termasuk dalam
kondisi stres kekeringan (Gowda dkk, 2011; Jung dan McCouch, 2013). Ho dkk
(2005) membuktikan arsitektur akar berpengaruh terhadap serapan hara P
pada kondisi kekurangan air dan P.
Studi korelasi 1.081 varietas atau galur padi mengindikasikan bahwa
sistem perakaran yang dalam berkorelasi dengan jumlah anakan yang rendah.
Varietas dengan jumlah anakan yang rendah mempunyai keuntungan: (1)
memproduksi lebih sedikit anakan tidak produktif, dengan demikian menghemat
kelembaban tanah untuk anakan produktif; (2) memproduksi akar yang dalam.
Keuntungan ini diperlukan jika kekeringan terjadi selama tahap reproduktif
(Yoshida dkk., 982). Beberapa galur/varietas padi menunjukkan sifat perakaran
yang padat dan panjang dengan tingkat toleransi terhadap kekeringan relatif
tinggi (Suardi, 2002). Tanaman dan varietas dengan sistem perakaran

537
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ekstensif tumbuh lebih baik pada area yang mudah terkena stres kekeringan
dan stres panas (Lipiec dkk., 2013). Karakter akar merupakan variabel yang
paling dominan mempengaruhi penurunan hasil padakondisi cekaman
kekeringan. Untuk merakit varietas jagung toleran kekeringan perlu
memperhitungkan karakter akar dalam seleksi genotipe toleran kekeringan atau
mencari gen pengendali pertumbuhan akar (Effendi dan Azrai, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe toleran cekaman
kekeringan memiliki karakter bobot kering akar, panjang akar, jumlah akar
seminal, dan kandungan prolin di akar primer yang besar dibanding genotipe
peka. Pada kondisi cekaman PEG (kekeringan) kandungan prolin berkorelasi
nyata positif dengan pertumbuhan akar (Effendi, 2009). Prolin merupakan
senyawa yang dapat mengatur potensial osmotik sel(Sopandiedkk, 1996;
Farooq dkk. 2009; Szabados dan Savoure, 2009; Verslues dan Sharma, 2010).
Berbagai spesies tanaman dengan akumulasi prolin tertinggi menunjukkan
resistensi yang baik terhadap stres kekeringan (Siregar, 2015b).

KESIMPULAN
Akar terpanjang dan bobot kering akar terbesar diperoleh dari varietas
Sigambiri Putih dan varietas Sigambiri Merah, berbeda nyata dengan panjang
akar dan bobot kering akar varietas lainnya (varietas Jatiluhur, Towuti, Danau
Gaung, Situ Patenggang, Inpago 7, Inpago 8, Inpago 9, dan Inpago 10).
Rata-rata akar terpanjang dimiliki oleh varietas Sigambiri Putih dan
Sigambiri Merah, secara bergantian, pada semua level kadar PEG, termasuk
pada kadar PEG yang paling besar 238 g PEG/kg H 2O. Rata-rata bobot kering
akar terbesar dimiliki oleh varietas Sigambiri Putih pada kadar 38, 138, dan 238
g PEG/kg H2O. Rata-rata bobot kering akar terbesar dimiliki oleh varietas
Sigambiri Merah pada kadar 88 dan 188 g PEG/kg H 2O.
SARAN
Arsitektur morfologi akar yang terpapar kekeringan penting bagi pemulia
tanaman sebagai indicator seleksi (penapisan) untuk mendapatkan tanaman
padi gogo toleran kekeringan.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada UPT Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura serta Fakultas Pertanian
Unika St. Thomas SU atas penggunaan fasilitas laboratorium. Demikian juga
kepada BBPT Padi Sukamandi atas pemberian benih beberapa varietas padi
gogo unggul nasional dan BPTP Sumut pemberian benih padi gogo lokal
Sumatera Utara.
DAFTAR PUSTAKA

Afa, L. O., B. S. Purwoko, A. Junaedi, O. Haridjaja, dan I. S. Dewi. 2012.


Pendugaan toleransi padi hibrida terhadap kekeringan dengan
polyetilen glikol (PEG) 6000. J.Agrivigor 11(2):292-299.

538
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman Umum


Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
http://balitklimat.litbang.deptan. go.id/index.php? ...perubaha.... [7
April 2014].
Bita, C. E. and T. Gerats. 2013. Plant tolerance to high temperature in a
changing environment: scientific fundamentals and production.
Frontiers in Plant Science 4(273):1-18. http://journal. frontiersin. org/
Journal/ 10.3389/ fpls.2013.00273/ full. [19 Juni 2014].
Budiarti, S., P. Hartati, A. Widiastuti, D. Mariyanti, N.P. I. Arianingsih, V. E.
Suherman, dan N. Afifah. 2011. Pengujian Mutu Benih Tanaman
Pangan dan Hortikultura. Balai Besar Pengembangan Pengujian
Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Depok.
Efendi, R., 2009. Tanggap genotipe jagung toleran dan peka terhadap
cekaman kekeringan pada fase perkecambahan. Balai Penelitian
Tanaman Serealia. Prosiding Semnas Serealia 2009.
http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/23.pdf. [18
November 2015].
Efendi, R., danM. Azrai. 2010. Tanggap genotipe jagung terhadap cekaman
kekeringan: peranan akar. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan
29(1):1-10.
Farooq, M. A. Wahid, N. Kobayashi, D. Fujita, and S.M.A. Basra. 2009. Plant
drought stress: effects, mechanisms and management. Agron.
Sustain. Dev. 29:185-212. http://hal.inria.fr/docs/ 00/88/64/51/PDF/hal-
008864-51.pdf. [7 Oktober 2014].
Fischer RA, and R. Maurer. 1978. Drought resistance in spring wheat cultivars.
Aust. J.Agric.Res. 29: 897-912.
Fitter, A.H. dan R.K.M. Hay. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman
(terjemahan). Univ. Press. Yogyakarta.
Gowda, V. R.P., A. Henry, A. Yamauchi, H.E. Shashidhar, and R. Serraj.
2011. Root biology and genetic improvement for drought avoidance in
rice. Field Crops Research. http://www. aerobicrice.in/
Root_biology_and_genetic_improvement_for_drought_avoidance_in_
rice_1_.pdf. [23 April 2014].
Hale, M. G., and D.M. Orcutt. 1987. The Physiology of Plants Under Stress.
John Wiley and Sons. New York.
Harjadi, S.S. dan S. Yahya. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan. PAU
Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Ho, M.D., J.C. Rosas, K.M. Brown, andJ.P. Lynch. 2005. Root architectural
trade offs for water and phosphorus acquisition. Functional Plant
Biology 32:737-748. http://plantscience. psu.edu/ research/l abs/
rootspublications/pdfs/FP05043.pdf. [23 April 2014].
Jung, J.K.H., and S. McCouch. 2013. Getting to the roots of it: genetic and
hormonal control of root architecture. Frontier in Plant Science
4(186):1-32.http:// journal. frontiersin. org/ Journal/ 10.3389/ fpls.2013.
00186/ full. [23 April 2014].
Lipiec, I.J., C. Doussan, A. Nosalewicz, and K. Kondracka. 2013. Effect of
drought and heat stresses on plant growth and yield. Int. Agrophys.
27:463-477.www. degruyter.com/ .../$002fj$002fintag.2013.27 .issue
4$002fintag-2013... [23 November 2015].

539
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Lobell, D.B., and S. M. Gourdji. 2012. The influence of climate change on


global crop productivity. Plant Physiol. 160:1686–1697. http://www.
Plantphysiol.org-content-160-4-1686.full.pdf+html.[7 April 2014].
Raman, A. , S. Verulkar, N. Mandal, M. Variar, V. Shukla, J. Dwivedi, B. Singh,
O. Singh, P. Swain, A. Mall, S. Robin, R. Chandrababu, A. Jain, T.
Ram, S. Hittalmani, S. Haefele, Hans-Peter Piepho, and A.
Kumar.2012. Drought yield index to select highyielding rice lines
under different drought stress severities. Rice 5(31):1-12.
http://www.thericejournal.com/content/pdf/1939-8433-5-31.pdf. [12
Oktober 2014].
Siregar, B. L. 2015a. Penggunaan Polietilen Glikol dalam Uji Toleransi
Beberapa Varietas Padi Gogo (Oryza sativa L.) terhadap Cekaman
Kekeringan pada Stadia Kecambah. Laporan Penelitian Topik Khusus.
Program Doktor Ilmu Pertanian, FP USU.
Siregar, B. L. 2015b. Prolin: metabolisme dan peranannya dalam tanaman
stres kekeringan. MethodAgro 1(1): 66-75.
Sopandie, D., Hamim, M. Jusuf,dan N. Heryani. 1996. Toleransi tanaman
kedelai terhadap cekaman air: akumulasi prolin dan asam absisik dan
hubungannya dengan potensial osmotik daun dan penyesuaian
osmotik. Bul. Agron. 24(1):9-14. http://r epository.ipb.ac.id /bitstream/
handle/123456789/35229/1.3.pdf?sequence=1. 24 September 2013.
Steel, R. G. D., danJ.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Suardi, D. 2002. Perakaran padi dalam hubungannya dengan toleransi
tanaman terhadap kekeringan dan hasil. Jurnal Litbang Pertanian
21(3):100-108.
Szabados, L., and A. Savoure. 2009. Proline: a multifunctional amino acid.
Trends in Plant Science 15(2):89-97. http://www. plantstress.
com/articles/up_general_files/proline%202010.pdf. [29 September
2013].
Verslues, P. E., and S. Sharma. 2010. Proline Metabolism and Its Implications
for Plant-Environment Interaction. The American Society of Plant
Biologists. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3244962/pdf/
tab.0140.pdf. [7 Januari 2014].
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. The Internasional
Rice Research Institute. Los Banos. http://books .irri.org
/9711040522_content.pdf. [6 Nopember 2014].
Yoshida, S., D. P. Bhattacharjee, and G. S. Cabuslay. 1982. Relationship
between plant type and root growth in rice. Soil Sei. Plant Nutr.,
28(4):473-482. http:// www. tandfonline. com/doi/pdf/10.1080/
00380768.1982.10432387.[30 September 2014].

540
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Lampiran 1. Sidik ragam panjang akar (cm) dan bobot kering akar (g)

Sumber db Panjang akar Bobot kering akar F tab


keragaman KT F hit KT F hit
Kelompok 2 0,3297 5,01 tn 1,73E-08 0,14 tn 4,46
PEG 4 6,4922 98,60 * 1,7E-05 137,94 * 3,84
Galat (a) 8 0,0658 1,23E-07
Varietas 9 1,4360 19,35 * 2,03E-06 11,36 * 1,99
Interaksi 36 0,1086 1,46 tn 2,71E-07 1,52 tn 1,55
Galat (b) 90 0,0742 1,78E-07

KK Galat a (%) 5,78 0,03


KK Galat b (%) 10,64 0,06
Keterangan: PEG = polietilen glikol
Db = derajat bebas
KK = koefisien keragaman
KT = kuadrat tengah
F hit = F hitung
F tab = F tabel
tn = tidak berpengaruh nyata berdasar sidik ragam pada taraf ά =
5%; data ditransformasi menggunakan (X+0.5)
* = berpengaruh nyata berdasar sidik ragam pada taraf ά = 5%;
data ditransformasi menggunakan (X+0.5)

541
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

EVALUASI KARAKTER AGRONOMIS GALUR PADI SAWAH


TADAH HUJAN GENERASI LANJUT

1
Wage R. Rohaeni,1Untung Susanto, 1Rina H. Wening dan 2S.R. Dalimunthe

1)
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jalan Raya IX Sukamandi – Subang Kode Pos 41256
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
e-mail: wagebbpadi@gmail.com

ABSTRAK
Evaluasi karakter agronomis galur perlu dilakukan pada setiap generasi
terutama pada generasi lanjut. Informasi karakter agronomis dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk pengujian pada tahap pemuliaan selanjutnya. Galur
yang sudah pada generasi lanjut harus memiliki penampilan yang sudah
homogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan karakter
agronomis galur-galur generasi lanjutpada sawah tadah hujan.Penelitian
dilakukan di sawah tadah hujan Ds. Margasari, Pasawahan, Kab. Purwakarta
MT1 2015. Rancangan yang digunakan adalah RAK4 ulangan dengan
perlakuan galur sebanyak 12 nomor galur dan 2 varietas cek(Inpari 10 dan
Inpari 38). Hasil menunjukkan bahwa keragaan karakter agronomis sudah
homogen pada masing-masing nomor galur.Pengaruh ulangan tidak nyata.
Nilai rata-rata karakter tinggi tanaman adalah 105.76 cm, jumlah anakan 20,
umur berbunga 80 HSS, pengisian gabah (seed set) 69 %, bobot 1000 butir
25.35 gram, dan potensi hasil 7.90 ton/ha. Terdapat keragaman antar galur
pada karakter semua karakter kecuali jumlah gabah isi/malai dan jumlah
anakan produktif. Bentuk rumpun pada galur-galur yang diujikan memiliki kelas
bentuk rumpun yang terdiri dari kelas bentuk rumpun terkulai, agak terkulai, dan
tegak sedangkan warna batang bawah terdiri dari dua kelas yaitu hijau dan
ungu. Terdapat 7 galur tadah hujan yang memiliki nilai potensi hasil lebih tinggi
dari rata-rata yaitu B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 (9.41 ton/ha),
BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 (9.30 ton/ha), Inpari 38 (B12497E-MR-45) (9.28
ton/ha), PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 (8.53 ton/ha), HHZ5-DT1-DT1 (8.48
ton/ha), B12272D-MR-15-3-2 (8.26 ton/ha), B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-2-2-4
(8.18 ton/ha). Kandidat galur gterbaik adalah B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-
MR-3 (tegak dan vigor bagus).
Kata kunci : evaluasi, karakter agronomis, galur padi tadah hujan.
PENDAHULUAN
Perakitan padi sawah tadah hujan terus digarap oleh Balai Besar
Tanaman Padi. Produktivitas padi pada lahan ini umumnya lebih rendah dari
hasil padi di lahan sawah irigasi dan di tingkat petani produktivitas padi sawah
tadah hujan berkisar 3,0 – 3,5 t/ha. Potensi padi tadah hujan dapat mencapai
6.95 ton/ha dengan pendekatan teknologi PTT (Widiantoro dan Toha, 2010).
Teknologi VUB masih menjadi teknologi unggulan dalam meningkatkan
produksi. Beberapa varietas unggul baru yang dilepas oleh Balitbangtan
mampu berproduksi di lahan tadah hujan dengan nilai produksi setara apabila
ditanam pada sawah irigasi (Pane dkk., 2009).

542
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Materi genetik yang lengkap seperti populasi generasi awal (< F4),
menengah (F5-F7), dan lanjut (> F8) merupakan modal dasar dalam perakitan.
Populasi generasi lanjut merupakan populasi yang siap dilepas dengan sifat
genetik yang sudah homogen homozigot dan sudah memiliki keunggulan sifat
tertentu. Varietas galur murni memiliki sifat homogeny homozigot (Widura,
Homogen homozigot artinya secara genetik dan secara fenotipe sudah
seragam (Syukur dkk., 2012).
Karakter agronomis merupakan karakter kuantitatif seperti tinggi
tanaman, jumlah anakan, gabah isi, potensi hasil dan lainnya yang dapat
menjabarkan keragaan genotipe/galur/varietas di lapang. Karakter agronomis
pada populasi generasi lanjut biasanya dijadikan patokan dalam pembuatan
deskripsi varietas dari galur yang dilepas. Keragaan dari karakter agronomis
pada populasi generasi lanjut yang diharapkan adalah sudah homogen antar
individu dalam populasi dan memiliki potensi hasil dan keunggulan tertentu
(tergantung tujuan pemuliaan) yang lebih dari rata-rata antar galur/populasi
lainnya.
Galur-galur padi generasi lanjut untuk sawah tadah hujan telah
terbentuk dari hasil proses seleksi dan observasi serta uji daya hasil.Galur-galur
siap diujikan dan diharapkan memiliki potensi hasil tinggi, tahan OPT
(organisme pengganggu tanaman) pada lahan tadah hujan serta sudah
homogen antar individu dalam populasi. Menurut Bredemeijer dkk., (2002),
varietas yang dilepas harus sudah memenuhi kriteria DUS, salah satunya harus
menunjukkan keseragaman dan stabilitas karakter.Sampai dengan tahun 2014,
varietas yang dikhususkan dilepas untuk sawah tadah hujan adalah Inpari 38.
Pilihan untuk padi adaptip sawah tadah hujan masih terbatas dan diperlukan
varietas-varietas baru yang lebih unggul. Adapun VUB yang adaptip lahan
kering dan cocok dilahan tadah hujan adalah Inpari 10 (Balitbangtan, 2015).
Untuk hal itu diperlukan galur-galur calon varietas adaptip sawah tadah hujan.
Evaluasi terhadap galur-galur generasi lanjut sangat perlu dilakukan.
Evaluasi adalah penilaian sifat-sifatnya sehingga diperoleh sifat-sifat yang
dapat dikombinasikan untuk mendapatkan genotipe yang diinginkan (Makmur,
1985).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan karakter
agronomis galur-galur generasi lanjut pada sawah tadah hujan dan diharapkan
memiliki potensi hasil yang lebih tinggi dibandingkan VUB untuk sawah tadah
hujan yang sudah dilepas.
BAHAN DAN METODE
Evaluasi galur-galur generasi lanjut dilaksanakan di lahan tadah hujan
ds. Margasari, Kec. Pasawahan, Kab. Purwakarta. Penelitian dilakukan pada
MT1 2015 (Mei – September). Sebanyak 12 nomor galur generasi lanjut padi
tadah hujan dievaluasi dengan mengunakan 2 cek VUB adaptif sawah tadah
hujan (Inpari 10 dan 38). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) 4 ulangan.

543
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sistem budidaya yang digunakan adalah sistem budidaya optimum.


Bibit yang digunakan adalah bibit umur 21 HSS dan ditanam sebayak 1-3
batang per lubang. Bibit ditanam dengan jarak tanam tegel 25 cm x 25cm.
Dosis pemupukan yang diaplikasikan adalah 300 kg/ha pupuk majemuk
15:15:15 dan tambahan NPK maksimal 80 kg/ha. Aplikasi pemupukan
dilakukan sebanyak 3 kali yaitu 1/3 pada umur 7 HST, 1/3 pada umur 21 HST,
dan 1/3 pada primordial bunga.
Pengamatan dilakukan pada karakter agronomis, diantaranya: tinggi
tanaman (cm), jumlah anakan, gabah isi per malai, gabah hampa per malai,
seed set (persentase pengisian gabah isi), kadar air gabah saat panen, bobot
1000 butir (KA 14%), dan potensi hasil (ton/ha). Analisis varian dilakukan pada
semua karakter tersebut dan uji lanjut Duncan dilakukan pada karakter dengan
hasil anova berbeda nyata. Analisis dilakukan dengan menggunakan software
SAS system versi 6.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil anova menunjukkan bahwa ulangan tidak berpengeruh nyata
pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan, umur berbunga, jumlah gabah
isi/malai, jumlah gabah hampa/malai, bobot 1000 butir, dan hasil (Tabel 1).
Tabel 1. Analisis varian karakter agronomis Galur-galur padi sawah tadah hujan
SK Db JK KT F-hit Prob.
Tinggi Tanaman (cm)
Ulangan 3 62.7 20.91 1.70tn 0.1836
Genotipe 13 11430.5 879.268 71.33** 0.0001
Jumlah Anakan
Ulangan 3 28.4 9.473 1.37tn 0.2655
tn
Genotipe 13 163.9 12.611 1.83 0.0732
Umur Berbunga 80% (HSS)
Ulangan 3 14.1 4.685 2.76tn 0.0550
**
Genotipe 13 83.3 6.408 3.78 0.0006
Jumlah malai/3 rumpun
Ulangan 3 700.3 233.429 3.37* 0.0279
**
Genotipe 13 2509.5 193.038 2.79 0.0067
Jumlah Gabah Isi/malai
Ulangan 3 950 316.661 2.01tn 0.1280
Genotipe 13 3169.5 243.804 1.55tn 0.1434
Jumlah Gabah hampa/malai
Ulangan 3 109.5 36.493 0.5tn 0.6837
**
Genotipe 13 7189.8 553.064 7.6 0.0001
Bobot 1000 butir (KA 14%)
Ulangan 3 2 0.675 2.31tn 0.0912
**
Genotipe 13 191.2 14.71 50.39 0.0001
Hasil (ton/ha)
Ulangan 3 10.6 3.543 2.34tn 0.0884
**
Genotipe 13 52.1 4.009 2.65 0.0095

544
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hal tersebut dapat diartikan bahwa selain faktor lingkungan percobaan


tergolong homogen dapat pula sebagai indikasi bahwa genotipe galur sudah
homogen untuk karakter-karakter tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi,
karakter jumlah malai per sampel 3 rumpun belum homogen antar ulangan. Hal
tersebut ditandai dengan nilai probability pengaruh ulangan yang nyata pada
taraf 5%, artinya nilai rata-rata pada satu genotipe berbeda antar ulangan.

Variabilitas dalam dapat diinterpretasikan dengan ukuran-ukuran seperti


nilai jangkaun, simpangan rata-rata, koefisien variabilitas, atau standar deviasi
(Sunanto, 2015).Variabilitas genetik adalah ukuran bagi kecenderungan
berbagai individu dalam suatu populasi untuk memiliki genotipe yang berbeda-
beda (Sing and Chaudary, 1979; Falconer, 1989; Mariadi, 2012).
Uji lanjut kehomogenan dengan melihat nilai simpangan baku karakter
jumlah malai per 3 rumpun antar ulangan menunjukkan bahwa genotipe
BP14352e-1-2-3Op-Jk-0 adalah galur padi tadah hujan yang belum
homogen.Nilai simpangan baku (STDEV) galur tersebut lebih tinggi dari
maksimum toleransi simpangan, yaitu sebesar 14.71 dari rata-rata 11.29 (Tabel
2).
Tabel 2. Simpangan baku karakter jumlah malai per 3 rumpun antar ulangan
No Gen STDEV
1 HHZ5-DT1-DT1 8.85
2 BP14352e-1-2-3Op-Jk-0 14.71
3 PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 11.81
4 BP17280-M-15D-IND 7.79
5 BP17280-M-53D-IND 5.89
6 B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 10.21
7 B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-2-2-4 4.51
8 B12272D-MR-15-3-2 5.35
9 B13653G-TB-18 9.15
10 B14288F-MR-1 7.93
11 BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 9.49
12 IR77674-3B-8-2-2-14-2-AJY4-Ind1 10.18
13 Inpari 10 7.23
14 Inpari 38 (B12497E-MR-45) 7.63
Rata-rata STDEV 8.62
Simpangan STDEV 2.67
Maksimum toleransi simpangan 11.29

Galur tersebut perlu diseragamkan kembali untuk karakter jumlah malai


per rumpun. Penghomogenan dalam galur dapat dilakukan dengan teknik
roguing yaitu membuang individu tanaman yang tidak seragam dengan
mayoritas individu pada nomor galur tersebut. Menurut Limbongan (2008),
seleksi pada generasi lanjut biasanya dilakukan pada karakter-karakter yang
memiliki nilai heritabilitas sedang dan rendah.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat keragaman antar
nomor galur padi tadah hujan untuk sebagian besar karakter agronomis.
Pengaruh sangat nyata terhadap keragaman antar genotipe terdapat pada
karakter tinggi tanaman, umur berbunga 80%, jumlah malai per 3 rumpun,

545
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

jumlah gabah hampa, bobot 1000 butir, dan hasil. Evaluasi terhadap karakter
agronomis menunjukkan nilai rata-rata karakter pada diantaranya: tinggi
tanaman 105.76 cm, jumlah anakan 20, umur berbunga 80 % %, bobot 1000
butir 25.35 gram, dan potensi hasil 7.90 ton/ha (Tabel 3).
Tabel 3. Keragaan agronomis masing-masing galur padi sawah tadah hujan.
No Galur/Varietas TT JA UB JM GI GH B1000 Hasil
1 HHZ5-DT1-DT1 92.9 20 80 75 87 33 22.67 8.48
2 BP14352e-1-2-3Op-Jk-0 107.35 17 81 70 89 39 25.70 7.39
3 PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 108.6 20 83 62 81 50 25.34 8.53
4 BP17280-M-15D-IND 101.3 20 80 67 90 52 25.40 6.88
5 BP17280-M-53D-IND 101.1 20 79 70 81 41 24.68 7.36
6 B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 93.95 16 80 64 104 21 25.35 9.41
7 B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-2-2-4 104.15 21 82 65 84 53 24.29 8.18
8 B12272D-MR-15-3-2 91.95 20 82 71 84 32 25.48 8.26
9 B13653G-TB-18 121.15 18 80 48 96 64 27.52 6.87
10 B14288F-MR-1 147.8 16 79 62 93 41 25.38 6.60
11 BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 98.85 21 80 64 103 27 24.72 9.30
12 IR77674-3B-8-2-2-14-2-AJY4-Ind1 116.45 20 80 59 84 45 30.82 7.31
13 Inpari 10 95.7 19 81 73 79 31 25.54 6.77
14 Inpari 38 (B12497E-MR-45) 99.45 17 80 69 92 37 23.36 9.28
Keterangan : TT = tinggi tanaman (cm), JA = jumlah anakan, UB = umur
berbunga, JM = jumlah malai/3 rumpun, GI = gabah isi/malai, GH =
gabah hampa/malai, B1000 = bobot 1000 butir,

Bentuk rumpun pada galur-galur yang diujikan memiliki kelas bentuk


rumpun yang terdiri dari kelas bentuk rumpun terkulai, agak terkulai, dan tegak
sedangkan warna batang bawah terdiri dari dua kelas yaitu hijau dan ungu
(Tabel 4).
Tabel 4. Keragaan agronomis masing-masing galur padi sawah tadah hujan.
warna batang
No Galur/Varietas bentuk vigor respon OPT
bawah
1 HHZ5-DT1-DT1 Tegak Hijau 3 Sehat
2 BP14352e-1-2-3Op-Jk-0 Tegak Hijau 3 Penggerek 3.3%
3 PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 Terkulai Hijau 3 penggerek 1.6%
4 BP17280-M-15D-IND Terkulai HIjau 3 Blas 1%
5 BP17280-M-53D-IND Tegak Hijau 3 Sehat
6 B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 Tegak Hijau 3 Sehat
7 B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-2-2-4 Agak terkulai Hijau 3 Sehat
8 B12272D-MR-15-3-2 Tegak Hijau 3 Sehat
9 B13653G-TB-18 Agak terkulai Hijau 3 Kerdil 1.6 %
10 B14288F-MR-1 Agak terkulai Ungu 5 Penggerek 3%
11 BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 Agak terkulai Hijau 3 Blas 0.8 %
12 IR77674-3B-8-2-2-14-2-AJY4-Ind1 Agak trekulai Hijau 3 Sehat
13 Inpari 10 Agak terkulai Hijau 3 Penggerek 2.5%
14 Inpari 38 (B12497E-MR-45) Tegak Hijau 5 Sehat

546
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Terdapat 7 galur tadah hujan yang memiliki nilai potensi hasil lebih tinggi
dari rata-rata yaitu B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 (9.41 ton/ha),
BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 (9.30 ton/ha), Inpari 38 (B12497E-MR-45) (9.28
ton/ha), PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 (8.53 ton/ha), HHZ5-DT1-DT1 (8.48
ton/ha), B12272D-MR-15-3-2 (8.26 ton/ha), B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-2-2-4
(8.18 ton/ha). Galur yang memiliki potensi hasil tinggi lebih tinggi dari kedua
cek, bentuk rumpun tegak, vigor bagus (skor 1 atau 3) dan sehat (tidak terjadi
kasus serangan OPT) adalah B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 (9.4
ton/ha). Galur-galur yang memiliki potensi hasil lebih tinggi dari rata-rata
direkomendasikan untuk diujikan kestabilannya pada percobaan selanjutnya.

KESIMPULAN
Sebagian besar galur-galur generasi lanjut padi sawah tadah hujan
sudah homogen untuk semua karakter. Galur yang belum homogen yaitu
BP14352e-1-2-3Op-Jk-0yang terdapat pada karakter jumlah malai per 3
rumpun.Terdapat keragaman antar galur pada karakter tinggi tanaman, umur
berbunga 80%, jumlah malai per 3 rumpun, jumlah gabah hampa, bobot 1000
butir, dan hasil. Terdapat 7 galur tadah hujan yang memiliki nilai potensi hasil
lebih tinggi dari rata-rata yaitu B13031B-RS*1-5-11-PN-5-1-3-MR-3 (9.41
ton/ha), BP14034-2b-1-1-Trt-33-5-Ski-2 (9.30 ton/ha), Inpari 38 (B12497E-MR-
45) (9.28 ton/ha), PR42096-B-4-1-SBY-0-CRB-0 (8.53 ton/ha), HHZ5-DT1-DT1
(8.48 ton/ha), B12272D-MR-15-3-2 (8.26 ton/ha), B12743-MR-18-2-3-5-PN-5-
2-2-4 (8.18 ton/ha).
SARAN
Galur-galur sawah tadah hujan yang memiliki potensi hasil lebih tinggi
dari rata-rata direkomendasikan untuk diuji kestabilannya pada percobaan
selanjutnya. Galur BP14352e-1-2-3Op-Jk-0 perlu dievaluasi kembali
kehomogenannya.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbangtan. 2015. Deskripsi varietas unggul baru. Balai Besar Tanaman Padi,
Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bredemeijer, M., J. Cooke, W. Ganal, R. Peeters, P. Isaac,Y. Noordijk, S.
Rendell, J. Jackson, S. Roder, K.Wendehake, M. Dijcks, M. Amelaine, V.
Wickaert, L.Bertrand, and B. Vosman. 2002. Construction andtesting of a
microsatellite containing more than 500tomato varieties. Theor. Appl.
Genet. 105:1019-1026.
Falconer DS. 1989. Introduction to Quantitative Genetiks. English Language
Book Society. London
Limbongan, Y.L., H. Aswidinnoor, B.S. Purwoko, dan Trikoesoemaningtyas.
2008. Pewarisan Sifat Toleransi Padi Sawah (Oryza sativa L)Terhadap
Cekaman Suhu Rendah. Bul. Agron. (36)(2): 111 – 117.
Makmur, A. 1985. Pokok-pokok Pernuliaan Tanaman. PT. Bina Aksara, Jakarta.
Mariadi, P. 2012. Variabilitas. http://maridi .staff.fkip. uns.ac.id/files/
2012/09/BAB-3.-VARIABILITAS-Maridi-P. pdf Mattjik, A.A., dan I.M.
Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab Jilid I. IPB PRESS, Bogor.

547
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pane, W., A. Wiradjaka, A.M. Fagi. 2009. Menggali potensi produksi padi sawah
tadahhujan.www.litbang.pertanian.go.id/special/padi/bbpadi_2009_itp_07.
pdf.
Singh RK, BD. Chaudary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetik
Analysis. Kalyani Publisher. New Delhi.
Sunanto, J. 2015. Ukuran Variabilitas Data http://file .upi.edu/ Direktori/FIP/
JUR._PEND._LUAR_BIASA/196105151987031JUANG_SUNANTO/UKU
RAN_VARIABILITAS_%5BCompatibility_Mode%5D.pdf
Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman.
Penebar Swadaya. 348 hal.
Widyantoro dan H.M.Toha. 2010. Optimalisasi Pengelolaan Padi Sawah Tadah
Hujan Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Maros,
Sulawesi Selatan, 26 – 30 Juli 2010. Prosiding Pekan Serealia Nasional:
648-657.

DISKUSI

Nama : Azri ( BPTP Kalimantan Barat)


Pertanyaan : VUB manakah yang sudah di adopsi oleh petani ?
Jawaban : Varietas Unggul Baru (VUB) yang sudah diadopsi oleh petani
adalah Inpari 10 dan Inpari 38. Untuk Inpari 10 adopsinya
lebih luas dibandingkan Inpari 38.

548
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

IDENTIFIKASI DAN KARAKTERISASI MORFOLOGI PLASMA NUTFAH


PADI LOKAL SUMATERA UTARA

Lely Zulhaida Nasution, Sri Romaito Dalimunthe dan Sortha Simatupang

Balai Pengkajian Teknoogi Pertanian Sumatera Utara


Jl. Jenderal Besar AH. Nasution No.1B Medan
Email. lellyzulhaida@yahoo.co.id

ABSTRAK

Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting di Indonesia.


Plasma nutfah padi lokal mempunyai peranan penting sebagai sumberdaya
genetik dan modal utama dalam menciptakan varietas unggul baru.
Penggunaan varietas unggul nasional dan laju konversi lahan yang tinggi
menyebabkan punahnya kultivar padi lokal. Oleh karena itu plasma nutfah padi
lokal perlu dilestarikan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menghindarkan
kepunahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan karakteristik
morfologi plasma nutfah padi lokal Sumatera Utara pada fase vegetatif.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif analisis, meliputi
eksplorasi, koleksi, dan karakterisasi.Jumlah kultivar padi lokal Sumatera Utara
yang sudah terkoleksi berjumlah ± 100 kultivar, namun yang dikarakterisasi
berjumlah 32 kultivar. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa kultivar yang
memiliki tinggi tanaman tertinggi adalah Si Cantik Manis, Si Cantik Manis
Pendek dan Kadus Sumber Sari 1A. Sedangkan kultivar dengan tinggi
tanaman terendah adalah Kuku Balam (KKB) A2 dari Samosir. Karakter
panjang daun diperoleh 12 kultivar yang tergolong panjang, 1 kultivar pendek,
3 kultivar sangat panjang, dan 15 kultivar tergolong sedang. Untuk lebar daun
berkisar antara 0,5 – 2 cm. Permukaan daun tanaman padi yang dikarakterisasi
13 kultivar tidak berambut, 15 kultivar sedang dan 4 kultivar berambut.
Sedangkan karakter sudut daun, 2 kultivar yang tergolong sedang (45 o ) dan 30
kultivar yang tergolong tegak (<45 o). Warna buku daun seluruh kultivar
berwarna hijau kecuali Si Cantik Manis dan Si Cantik Manis Pendek yang
berwarna hijau bergaris ungu. Warna pelepah daun ada 3 kultivar yang
berwarna hijau bergaris ungu dan 29 berwarna hijau.

Kata kunci : plasma nutfah, padi lokal,karakteristik, vegetatif

PENDAHULUAN

Peningkatan kebutuhan bahan pangan beras semakin meningkat


seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini memaksa perlu adanya
upaya peningkatan produksi padi di Provinsi Sumatera Utara. Upaya-upaya
terus dilakukan antara lain melalui program-program intensifikasi menggunakan
varietas unggul baru berdaya hasil tinggi. Upaya perakitan varietas unggul
diperlukan dengan memanfaatkan sumber daya genetik yang berasal dari
varietas lokal maupun kerabat liarnya sebagai tetua. Varietas lokal berperan
penting sebagai tetua yang adaptif pada lokasi spesifik, sedangkan kerabat liar
dan varietas introduksi dapat digunakan sebagai tetua untuk ketahanan

549
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

terhadap hama dan penyakit. Upaya peningkatan produktivitas melalui


perbaikan genetik mampu menghasilkan varietas unggul spesifik lokasi sebagai
usaha memperkuat ketahanan pangan.
Keragaman wilayah, topografi, tanah, ketersediaan air, dan iklim telah
membentuk tanaman untuk tumbuh dan beradaptasi pada lokasi yang spesifik.
Kultivar yang mempunyaitoleransi yang baik pada keadaan setempat dikenal
dengan varietas lokal (landrace) (Rais, 2004). Plasma nutfah padi merupakan
sumber keanekaragaman karakter tanaman padi yang memilikipotensi sebagai
sumber keunggulan tetua dalam program perakitan varietas unggul baru.
Keragaman plasma nutfah padi berupa koleksi varietas lokal, ras-ras yang
beradaptasi di lingkungan spesifik, kultivar unggul yang telah lama dilepas dan
bertahan di masyarakat, serta kultivar unggul yang baru dilepas dan galur-galur
harapan yang tidak terpilih dalam pelepasan varietas. Materi tersebut sangat
penting dalam program pemuliaan, karena perakitan dan perbaikan varietas
unggul baru yang memiliki latar belakang genetik luas, akan tergantung dari
ketersediaan sumber gen pada koleksi plasma nutfah (BB Padi, 2009 dan
Silitonga, 2004).
Inventarisasi dan karakteristik plasma nutfah padi lokal asli Sumatera
Utara perlu dilakukan untuk melihat morfologi, agronomi, dan fisiologinya serta
mempertahankan keberadaannya (Minantyorini dkk., 2003; Marum, 2006).
Sumatera Utara memiliki banyak plasma nutfah padi lokal asli yang banyak
kelebihan (keunggulannya) baik dari segSi rasa yang enak maupun
ketahanannya terhadap cekaman lingkungan, sehingga di tingkat pasar harga
beras lokal jauh lebih mahal dari varietas unggul baru.
Terdapat 5 kegiatan dalam pengelolaan plasma nutfah, yaitu: 1)
eksplorasi dan koleksi, 2) rejuvinasi dan karakterisasi, 3) evaluasi, 4) konservasi
dan 5)dokumentasi dan pertukaran informasi (Darajat dkk., 2008).
Karakterisasi merupakan kegiatan penting dalam pengelolaan plasma nuftah
yang digunakan untuk menyusun diskripsi varietas dalam rangka seleksi tetua
pada program pemuliaan. Pada tanaman padi, karakterisasi tidak hanya
mengindentifikasi jenis ataukultivar padi, tetapi juga menentukan hubungan
genetik atau kekerabatan diantara kultivar padi tersebut. Hubungan
kekerabatan genetik antar genotip dalam populasi dapat diukur berdasarkan
kesamaan sejumlah karakter yang berbeda dari suatu individu,
menggambarkan perbedaan susunan genetiknya. Informasi tentang
keragaman genetik berimplikasi dalam penentuan program pengembangan
yang akan digunakan dan juga untuk menentukan program pemuliaan untuk
mendapatkan varietas unggul serta konservasinya. Konservasi dan
pemanfaatan plasma nutfah akan meningkatkan nilai plasma nutfah untuk
perakitan varietas unggul.
BPTP Sumatera Utara telah melakukan pengkajian sumber daya
genetik di Sumatera Utara. Adapun kegiatannya adalah eksplorasi dan koleksi
sumberdaya genetik lokal diwilayah Sumatera Utara. Di samping itu, tidak
menutup kemungkinan bahwa dari berbagai kultivar padi ini memiliki gen-gen

550
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yang diperlukan untuk perakitan varietas baru. Menurut Tickoo dkk,(1987)


bahwa, gen-gen yang saat ini belum berguna, mungkin pada masa yang akan
datang sangat diperlukan sebagai sumber tetua dalam perakitan varietas
unggul baru. Sumberdaya genetik dengan keragaman yang luas merupakan
hal penting dalam program pemuliaan untuk merakit varietas baru. Hakim
(2008) mengatakan bahwa keragaman genetik yang sangat diperlukan dalam
pemuliaan tanaman dapat diketahui melalui karakterisasi dan evaluasi. Oleh
karena itu diperlukan data karakterisasi padi lokal Sumatera Utara. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan karakteristik morfologi plasma nutfah
padi (Oryza sativa l.) lokal Sumatera Utara pada fase vegetatif.

BAHAN DAN METODE


Bahan-bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu tiga puluh dua padi lokal
yang diperoleh dari wilayah Sumatera Utara.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif analisis,
meliputi eksplorasi, koleksi,dan karakterisasi. Eksplorasi dilakukan dengan
mengumpulkan padi-padi lokal yang terdapat di Sumatera Utara. Setiap padi
lokal diamati ciri morfologinya (dikarakterisasi) (Irawan dan Purbayanti, 2008).
Eksplorasi dilakukan di lokasi yang potensial memiliki plasma nutfah padi.
Karakterisasi dilakukan dengan berpedoman pada Panduan Sistem
Karakterisasi dan Evaluasi Tanaman Padi (Deptan, 2003).
Data yang dikumpulkan meliputi karakter kuantitatif dan kualitatif dari
karakter agronomi dan morfologi pada fase vegetatif. Karakter agronomi yang
diamati yaitu: tinggi tanaman. Sedangkan karakter morfologi yang diamati
meliputi panjang daun, lebar daun, permukaan daun, sudut daun, warna leher
daun, warna telinga daun, warna buku daun, warna helaian daun, warna
pelepah daun, panjang lidah daun, warna lidah daun, bentuk lidah, sudut
batang, diameter ruas batang, dan warna ruas batang. Data-data yang
dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Agronomi dan Morfologi


Kultivar yang berhasil dikoleksi berjumlah 32, yang berasal dari
Kabupaten Labuhanbatu Utara (3 kultivar), Samosir (6 kultivar), Langkat (1
kultivar), Tapanuli Utara (9 kultivar), Humbang Hasundutan (2 kultivar), Pakpak
Bharat (1 kultivar), Dairi (1 kultivar), Nias (2 kultivar), Deli Serdang (2 kultivar),
Batubara (1 kultivar), dan Asahan (1 kultivar). Adapun koleksi yang telah
diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1.

551
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Koleksi kultivar padi lokal di Provinsi Sumatera Utara


Kode
Nama Lokal Sumber/ asal
Kultivar
K1 Pulut Putih Tanjung leidong, Labura
K2 Kuku balam Desa Teluk pulai Dalam, Leidong, Labura
K3 Kuku Balam (2) Buah Dialas, Ds Blok 2, Kel. Tanjung Leidong
K4 Kuku Balam (KKA) 1 Desa Urat, Samosir
K5 Kuku Balam (KKB) A2 Desa Urat, samosir
K6 Padi pulut Desa Stabat Lama Barat, Kec. Wampu, Kab. Langkat
K7 Ramos Tebing Desa Aek Siancimun, Tarutung
K8 Ramos kuning (12) Desa Aek Siancimun, Tanjung Maribun, Tarutung
K9 Si Ramos Desa Hutapea banuarea, Tarutung, Tapanuli Utara
K10 Sikancang Gomuk Desa Ari Niato, Dusun Pardu Pasar, Samosir
K11 Si Kancang Gomuk (4) Desa Ari Niate, dusun Pardu Pasar, Samosir
K12 Si Peget Desa Lumban Suhi-suhi, Dolok, Samosir
K13 Aries Lumban sui-sui, Dolok, samosir
K14 Pulut Hitam Desa Hutapea Banuarea, Tarutung, Tapanuli Utara
K15 Pulut Putih Desa Hutapea Banuarea, Tarutung, Tapanuli Utara
K16 Si Pulo manggil Sait Nihuta, Tarutung
K17 Si Cantik Manis Pendek Humbang Hasundutan
K18 Sicantik Manis Humbang Hasundutan
K19 Si Tamba Tua Desa Pardamean, Nainggolan, Pahae Jae, Taput
K20 Si 64 Narara Desa Negeri Nainggolan, lumban Pardomuan, Pahae
Jae, Taput
K21 Si Ramos Majanggut I, pakpak Bharat
K22 Kuku Balam Desa Karing, kec. Berampu, Dairi
K23 Cengkareng Desa Siatas Barita, Tapanuli Utara
K24 Sirogi Dusun IV, Desa Tetehosi Afia, Gunung Sitoli, Nias
K25 Siregi Dusun IV, Desa Tetehosi Afia, Gunung Sitoli, Nias
K26 Si Lebah /Ketan Sibolangit, Deli Serdang
K27 Si Jambe Sibolangit, Deli Serdang
K28 Si Angkat Sawah Kuala Tanjung Asam Botik, Kec. Sei Suka, Batubara
K29 Kadus Sumber Sari (1A) Desa Sumber harapan, Kec. Tinggi Raja, Asahan
K30 Sitappe Maya Sitanggang (tidak dijelaskan asal daerahnya oleh
pemulia)
K31 Bakong Tidak dijelaskan sumber asalnya oleh pemulia
K32 3 Hanya kode, tidak dijelaskan sumber asalnya oleh
pemulia

Karakter morfologi yang sering digunakan sebagai pembeda varietas


padi lokal adalah karakter batang (jumlah anakan, tinggi, tipe permukaan,
warna permukaan, jumlah nodus, dan panjang internodus), daun (panjang dan
warna lidah daun; panjang telinga daun, ukuran permukaan atas dan warna
helaian daun). Selain itu, juga mencakup karakter bunga (panjang malai,
jumlah bulir, bentuk, ukuran, permukaan, warna permukaan, keadaan ujung
permukaan, panjang tangkai dan warna tangkai bulir), gabah (bentuk, ukuran,

552
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

permukaan, warna permukaan, keadaan ujung permukaan, ekor pada ujung


permukaan, panjang tangkai, dan kerontokan gabah), beras (bentuk, ukuran,
dan warna beras) (Irawan dan Purbayanti, 2008).
Karakter morfologi yang di identifikasi dan dikarakterisasi pada tanaman
padi lokal ini merupakan karakter pada fase vegetatif. Hasil identifikasi dan
karakterisasi padi lokal yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 2.
Tinggi tanaman
Hasil karakterisasi morfologi tmenunjukkan bahwa tidak ada keragaman
pada tinggi tanaman di fase vegetatif. Tinggi tanaman yang dikarakterisasi
merupakan tinggi tanaman pada umur 8 minggu. Karakter tinggi tanaman
merupakan kriteria seleksi yang sering digunakan dalam pembentukan varietas
unggul baru maupun padi tipe baru. Tanaman dengan keragaan tinggi yang
tergolong rendah dan sedang akan mempermudah proses panen dan menekan
potensi rebah akibat curah hujan dan angin yang tinggi (Abdullah dkk., 2008).
Pengamatan terhadap karakter tinggi tanaman menunjukkan bahwa
kultivar yang dikarakterisasi memiliki penampilan tinggi tanaman yang
beragam, berkisar antara 55-129 cm danterbagi menjadi tiga kelompok, yaitu
pendek ( 28 kultivar), sedang (1 kultivar) dan tinggi (3 kultivar). Sebanyak
9%dari kultivar yang diamati memiliki tinggi tanaman yang tergolong tinggi
dengan kisaran 116-129 cm. Kultivar yang memiliki tinggi tanaman tertinggi
adalah Si Cantik Manis, Si Cantik Manis Pendek dan Kadus Sumber Sari 1A
yang berasal dari Kabupaten Humbang Hasundutan. Sedangkan kultivar
dengan tinggi tanaman terendah adalah Kuku Balam (KKB) A2 yang berasal
dari Desa Urat Kabupaten Samosir.
Morfologi Daun
Dari hasil karakterisasi panjang daun, diperoleh 12 kultivar yang
tergolong panjang, 1 kultivar pendek, 3 kultivar sangat panjang, dan 15 kultivar
tergolong sedang. Adapun panjang daun tertinggi adalah 93 cm yaitu Si Cantik
Manis, dan terendah adalah 20 cm yaitu pulut putih.
Untuk karakterisasi lebar daun, diperoleh lebar daun berkisar antara 0,5 – 2 cm.
Permukaan daun tanaman padi yang dikarakterisasi 13 kultivar tidak berambut,
15 kultivar sedang dan 4 kultivar berambut. Sedangkan karakter sudut daun, 2
kultivar yang tergolong sedang (45 o ) dan 30 kultivar yang tergolong tegak
(<45o).
Warna Daun
Hasil pengamatan pada karakter warna daun diperoleh seluruh kultivar
berwarna hijau muda, sedangkan warna telinga daun dominan berwarna putih
kecuali Kadus Sumber Sari (1A) berwarna bergaris ungu. Untuk warna buku
daun seluruh kultivar berwarna hijau kecuali Si Cantik Manis dan Si Cantik
Manis Pendek yang berwarna hijau bergaris ungu. Warna pelepah daun ada 3
kultivar yang berwarna hijau bergaris ungu dan 29 berwarna hijau.

553
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Diameter
Sumber/ Asal Tinggi Tanaman (Cm) Panjang
Warna Telinga Warna Buku Warna Helaian Warna Pelepah Warna Lidah Bentuk Lidah Ruas Warna Ruas
Kode Warna Leher Daun Lidah Sudut Batang
Daun Daun Daun Daun Daun Daun Batang Batang
Kulti Nama Kultivar Daun
(Cm)
var Nilai Skor Skala Katego Katego Katego Katego
Kategori Skor Skor Skor Kategori Skor Kategori Skor Nilai Skor Skor Tipe Skor Kategori Skor
ri ri ri ri
K1 Pulut Putih Tanjung leidong, 115 /5 5 Sedang Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1 Tega
3 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Labura Muda k
K2 Kuku balam Desa Teluk pulai 86/1 1 Pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
Dalam, Leidong, Muda 2.5 Putih 1 cleft 2 1 0.9 Hijau 1
k
Labura
K3 Kuku Balam (2) Buah Dialas, Ds Blok 72/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
2, Kel. Tanjung Muda 2.5 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Leidong
K4 Kuku Balam Desa Urat, Samosir 89/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1.5 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
(KKA) 1 Muda k
K5 Kuku Balam Desa Urat, samosir 63/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 0.4 Hijau 1
(KKB) A2 Muda k
K6 Padi pulut Desa Stabat Lama 99/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Bergaris 2
Tega Bergaris
Barat, Kec. Wampu, Muda ungu 2 Putih 1 cleft 2 1 1 3
k Ungu
Kab. Langkat s
K7 Ramos Tebing Desa Aek Siancimun, 106/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
2 Putih 1 cleft 2 1 1.3 Hijau 1
Tarutung Muda k
K8 Ramos kuning Desa Aek Siancimun, 94/1 1 Pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Acumi Seda Bergaris
(12) Tanjung Maribun, Muda 2 Putih 1 1 3 1 3
nate ng Ungu
Tarutung
K9 Si Ramos Desa Hutapea 84/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
banuarea, Tarutung, Muda 1.2 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Tapanuli Utara
K10 Sikancang Gomuk Desa Ari Niato, Dusun 85/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Pardu Pasar, Samosir Muda k
K11 Si Kancang Desa Ari Niate, dusun 64/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Acumi Tega
0.5 Putih 1 1 1 1 Hijau 1
Gomuk (4) Pardu Pasar, Samosir Muda nate k

554
K12 Si Peget Desa Lumban Suhi- 80/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 0.8 Hijau 1
suhi, Dolok, Samosir Muda k
K13 Aries Lumban sui-sui, Dolok, 55/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
samosir Muda 1 Putih 1 cleft 2 1 0.5 Hijau 1
k
K14 Pulut Hitam Desa Hutapea 100/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
Banuarea, Tarutung, Muda 2.5 Putih 1 cleft 2 1 1.4 Hijau 1
k
Tapanuli Utara
K15 Pulut Putih Desa Hutapea 70/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Acumi Tega
Banuarea, Tarutung, Muda 1 Putih 1 1 1 0.4 Hijau 1
nate k
Tapanuli Utara
K16 Si Pulo manggil Sait Nihuta, Tarutung 87/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
2.2 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Muda k
K17 Si Cantik Manis Humbang Hasundutan 129s/9 9 tinggi Hijau 1 Putih 1 Bergari 3 Hijau tua 3 Bergaris 2 Tega Bergaris
1 Putih 1 cleft 2 1 2.3 3
Pendek Muda s ungu ungu k Ungu
K18 Sicantik Manis Humbang Hasundutan 128/9 9 tinggi Hijau 1 Putih 1 Bergari 3 Hijau 2 Bergaris 2 Tega Bergaris
2.5 Putih 1 cleft 2 1 1.3 3
Muda s ungu ungu k Ungu
K19 Si Tamba Tua Desa Pardamean, 66/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
Nainggolan, Pahae Muda 0.9 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Jae, Taput
K20 Si 64 Narara Desa Negeri 103/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Nainggolan, lumban Muda Acumi Tega
1 Putih 1 1 1 0.5 Hijau 1
Pardomuan, Pahae nate k
Jae, Taput
K21 Si Ramos Majanggut I, pakpak 96/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Bharat Muda k
K22 Kuku Balam Desa Karing, kec. 99/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1.5 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Berampu, Dairi Muda k
K23 Cengkareng esa Siatas Barita, 109/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1 Acumi Tega
2.6 Putih 1 1 1 1 Hijau 1
Tapanuli Utara Muda nate k
K24 Sirogi Dusun IV, Desa 70/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1
Tega 1
Tetehosi Afia, Gunung Muda 0.8 Putih 1 cleft 2 1 0.7 Hijau
k
Sitoli, Nias

554
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”
Diameter
Panjang Ruas
Warna Telinga Warna Buku Warna Helaian Warna Pelepah Warna Lidah Bentuk Lidah Warna Ruas
Kode Tinggi Tanaman (Cm) Warna Leher Daun Lidah Sudut Batang Batang
Sumber/ Asal Daun Daun Daun Daun Daun Daun Batang
Kulti Nama Kultivar Daun (Cm)
var
Nilai Skor Skala Katego Katego Katego Katego
Kategori Skor Skor Skor Kategori Skor Kategori Skor Nilai Skor Skor Tipe Skor Kategori Skor
ri ri ri ri
K25 Siregi Dusun IV, Desa 71/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
Tetehosi Afia, Gunung Muda 1 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Sitoli, Nias
K26 Si Lebah /Ketan Sibolangit, Deli 66/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
Serdang Muda k
K27 Si Jambe Sibolangit, Deli 107/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1 Tega
1 Putih 1 cleft 2 1 0.8 Hijau 1
Serdang Muda k
K28 Si Angkat Sawah Kuala Tanjung Asam 95/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1
Tega
Botik, Kec. Sei Suka, Muda 1.8 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
Batubara
K29 Kadus Sumber Desa Sumber harapan, 116/9 9 tinggi Hijau 1 Bergari 2 Hijau 1 Hijau tua 3 Hijau 1
Seda Bergaris
Sari (1A) Kec. Tinggi Raja, Muda s Ungu 2.1 Putih 1 cleft 2 1 2 3
ng Ungu
Asahan
K30 Sitappe Maya Sitanggang 87/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
(tidak dijelaskan asal Muda Tega
2 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
daerahnya oleh k
pemulia)
K31 Bakong Tidak dijelaskan 89/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
sumber asalnya oleh Muda 2 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
pemulia
K32 3 Hanya kode, tidak 90/1 1 pendek Hijau 1 Putih 1 Hijau 1 Hijau 2 Hijau 1
Tega
dijelaskan sumber Muda 1.5 Putih 1 cleft 2 1 1 Hijau 1
k
asalnya oleh pemulia

555
Keterangan :
Skala Tinggi Tanaman Skala Panjang Daun (PjD)
1 pendek (sawah :<110 cm, gogo : >90 cm) 1 Sangat Pendek (<21 cm)
Sedang (sawah : 110 -130 cm, gogo: 90- 2 Pendek (21-40 cm)
5 125 cm) 3 Sedang (41-60 cm)
9 Tinggi (sawah: >130 cm, gogo: >125 cm) 4 Panjang (61-80 cm)
5 Sangat Panjang (>80 cm)

555
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Lidah daun
Hasil pengamatan pada karakter panjang lidah daun diperoleh panjang
lidah daun 0,5 – 3 cm, dengan warna lidah daun keseluruhan kultivar berwarna
putih. Sedangkan bentuk lidah daun dominan cleft dan ada 5 kultivar yang masuk
kategori acuminate. Adapun yang termasuk ke Acuminate adalah Ramos Kuning
(12), Si Kancang Gomuk (4), Pulut Putih, dan si 64 Narara.
Batang
Berdasarkan dari sudut batang, hampir seluruh kultivar tergolong tipe tegak
dan terdapat 2 kultivar yang termasuk sedang. Adapun kultivar yang termasuk
sedang yaitu Ramos Kuning (12) dan Kadus Sumber Sari (1A). Batang tanaman
memiliki diameter ruas berkisar 0,4 – 2,3 cm. Dimana diameter ruas batang
terbesar adalah kultivar Si Cantik Manis Pendek dan terkecil adalah Pulut Putih.
Warna ruas batang padi yang dikarakterisasi diperoleh dua kategori yakni
hijau sebanyak 85% dan bergaris ungu sebanyak 15%. Perbedaan yang terdapat
pada masing-masing kultivar merupakan keunikan tersendiri yang terdapat pada
masing-masing kultivar yang dapat memperkaya sumber daya genetik padi di
Sumatera Utara.

KESIMPULAN

1. Aksesi yang sudah dikoleksi berjumlah ± 100 kultivar dan yang dikarakterisasi
berjumlah 32 kultivar.
2. Karakter panjang daun diperoleh 12 kultivar yang tergolong panjang, 1 kultivar
pendek, 3 kultivar sangat panjang, dan 15 kultivar tergolong sedang. Untuk
lebar daun berkisar antara 0,5 – 2 cm. Permukaan daun tanaman padi yang
dikarakterisasi 13 kultivar tidak berambut, 15 kultivar sedang dan 4 kultivar
berambut. Sedangkan karakter sudut daun, 2 kultivar yang tergolong sedang
(45o ) dan 30 kultivar yang tergolong tegak (<45o). Warna buku daun seluruh
kultivar berwarna hijau kecuali Si Cantik Manis dan Si Cantik Manis Pendek
yang berwarna hijau bergaris ungu. Warna pelepah daun ada 3 kultivar yang
berwarna hijau bergaris ungu dan 29 berwarna hijau.
3. Terdapat kultivar yang memiliki keunikan pada batang dengan sudut batang
tipe sedang danwarna ruas batang yang bergaris ungu yakni Ramos Kuning
(12) dan Kadus Sumber Sari (1A)

SARAN
Identifikasi dan karakterisasi padi lokal Sumatera Utara masih pada tahap
vegetatif dan diharapkan identifikasi dan karakterisasi berlanjut sampai tahap
generatif sehingga diketahui adanya perbedaan komponen hasil dari setiap
kultivar yang akan dapat dimanfaatkan pemulia untuk mendapatkan varietas
unggul padi yang baru.

556
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B., S. Tjokrowidjojo, Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek


Perakitan Padi Tipe Baru di Indonesia. Indonesian Agricultural Research
and Developing Journal. 27(1) : 1-9.
BalaiBesar Penelitian Tanaman Padi. 2009. Plasma Nutfah Online.
http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/plasma/index.php?main=lokal_daftar&
page=30. Diakses 10 November 2014
Daradjat, A.A., M. Noch, dan M.T. Dana kusuma. (1991). Diversitas Genetik Pada
Beberapa Sifat Kuantitatif Tanaman Terigu (Triticum aestivium L.). Zuriat
2 (1): 21-25.
Departemen Pertanian.2003.Buku PanduanSistem Karakterisasi dan Evaluasi
Tanaman Padi. Jakarta:Deptan.
Hakim, L. 2008. Konservasi Dan Pemanfaatan Sumber DayaGenetik Kacang
Hijau. Jurnal Litbang Pertanian, 27(1). Hal. 16-23.
Irawan, B. Dan K. Purbayanti. 2008. Karakterisasi dan Kekerabatan Padi Lokal Di
Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.
Seminar Nasional PTTI (21-23 Oktober 2008).
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/ uploads/ 2010/05/ karakteristik_
dan_kekerabatan_kultivar_padi_lokal.pdf.
Marum, O. 2006. Pengelolaan Plasma Nutfah Kehutanan. Majalah Kehutanan
Indonesia Edisi VII.
Minantyorini, Hakim Kurniawan, Mamik Setyowati, Tiur S. Silitonga, Hadiatmi, Sri
G. Budiarti, Sri A. Rais,Nani Zuraida, Lukman Hakim, Sutoro, Asadi, dan
Tintin Suhartini, 2003. Pengembangan database PlasmaNutfah Tanaman
Pangan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Bioteknologi tanaman.
Balai PenelitianBioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor
23-24 September 2003.
Rais, S.A. 2004. Eksplorasi Plasma Nutfah Tanaman Pangan di Provinsi
Kalimantan Barat. Buletin PlasmaNutfah. 10(1):23-27.
Silitonga, T.S. 2004. Pengelolaan dan pemanfaatan plasma nutfah padi di
Indonesia. BulPlas Nut 10(2): 56-71.
Tickoo, J.L., C.S. Ahn, and H.K. Chen. 1987.Utilization of genetic variability
fromAVRDC mungbean germplasm. p. 103–110.Proc. of The Second
International Mung-bean Symposium. Asian Vegetable Researchand
Development Center, Taiwan.

557
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SKRINING TOLERANSI GALUR PADI MUTAN HARAPAN HASIL


PERBAIKAN GENETIK PADI LOKAL SUMATERA BARAT MELALUI
PEMULIAAN MUTASI TERHADAP PENYAKIT BLAS
(Pyricularia oryzae Cav.)

Irfan Suliansyah1), Syahrul Zen2), Sobrizal3), Hendra Alfi4), dan Benny Warman 4)

1)
Fakultas Pertanian Universitas Andalas
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat
3)
PAIR BATAN
4)
Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi galur-


galur padi galur mutan hasil perbaikan genetik padi lokal asal Sumatera Barat
terhadap penyakit blas, serta mengidentifikasi ras P. Oryzae Cav. dominan lokal.
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca dan kebun percobaan skrining blas,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat, kebun percobaan
Gunung Medan, Kabupaten Dharmasraya. Perbanyakan Inokulan dilakukan di
laboratorium Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.sejak awal April 2015
hingga November 2015. Hasil skrining menunjukkan bahwa ketiga galur mutan
yang diujikan memiliki keragaman potensi toleransi terhadap P. oryzae Cav (baik
pada daun / leaf blas, maupun pada leher malai / neck blas). Galur 1520-6/2
memiliki toleransi yang rendah bila dibanding dengan kedua galur yang lainnya
yaitu galur 1477-4/3 dan galur 1524-1/3, baik pada infeksi leaf blas maupun pada
infeksi neck blas. Dari hasil karakterisasi ras saat ini ras dominan lokal yang
menginfeksi (lebih virulen) termasuk ras 101 untuk P. oryzae Cav yang
menginfeksi daun (leaf blas) , dan ras 121 yang menginfeksi malai leher (neck
blas).

Kata Kunci : Skrining Toleransi, Galur Mutan, Pyricularia orizae Cav.

PENDAHULUAN
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang saat ini
masih memiliki keragaman genetik padi lokal. Padi lokal tersebut umumnya masih
dibudidayakan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh daya adaptasi
lingkungan yang lebih sesuai ditambah lagi oleh kesesuaian preferensi rasa.
Umumnya masyarakat di Sumatera Barat lebih menyukai preferensi rasa pera
seperti yang dimiliki oleh padi lokal. Sehingga pemanfaatan padi varietas modern
yang memiliki preferensi rasa pulen kurang diminati oleh masyarakat di Sumatera
Barat.
Seperti umumnya, salah satu kekurangan yang dimiliki oleh padi lokal
adalah umur produksi yang masih dalam (> 120 hari). Apabila hal tersebut dapat
diperbaiki tentunya akan lebih menguntungkan dalam upaya peningkatan
intensitas produksi serta lebih menguntungkan bagi petani. Salah satu cara yang
dapat digunakan untuk mengubah karakter genetik tanaman adalah melalui
pemuliaan mutasi. Mutasi adalah suatu perubahan yang terjadi pada materi

558
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

genetik (bahan keturunan) yang mengakibatkan perubahan fenotipe yang


diwariskan dari satu generasi pada generasi berikutnya. Dengan menggunakan
mutagen atau bahan penyebab mutasi, pemulia tanaman dapat menciptakan
keragaman baru dalam upaya mendapatkan varietas unggul sesuai dengan tujuan
pemuliaan
Sejak tahun 2009, uapaya perbaikan genetik padi lokal Sumatera Barat
telah dilakukan. Dan saat ini telah dihasilkan 19 galur harapan strategis (berumur
lebih genjah / lebih cepat panen 12-20 hari bila dibandingkan dengan varietas
asalnya, serta berpostur lebih rendah / 50-65 cm) yang merupakan hasil perbaikan
genetik padi lokal asal Sumatra Barat (Alfi dkk. 2011; Alfi dkk, 2012 dan Alfi dkk.,
2013). Galur-galur harapan strategis tersebut memiliki memiliki preferensi rasa
yang bersifat pera (Alfi dkk., 2013), sehingga memiliki preferensi rasa yang diminati
oleh umumnya masyarakat Sumatera Barat. Untuk tujuan ke depan, dalam rangka
tujuan pelepasan varietas unggul baru (VUB) dibutuhkan serangkaian pengujian
potensi genetik yang komprehensif termasuk uji adaptif terhadap kondisi
lingkungan yang meliputi uji resistensi terhadap cekaman biotik. Salah satu
penyakit tumbuhan yang mempengaruhi tingkat produksi padi ialah penyakit blas.
Penyakit blas merupakan salah satu faktor kendala budidaya padi, yang
disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae Cav. Penyakit blas dapat
menginfeksi tanaman padi sawah pada semua stadium tumbuh dan dapat
mengakibatkan tanaman puso. Pada tanaman stadium vegetatif biasanya
menginfeksi bagian daun, disebut blas daun (leaf blas). Pada stadium generatif
selain menginfeksi daun juga menginfeksi leher malai disebut blas leher (neck
blas). Di indonesia serangan penyakit blas dapat mencapai luas 1.285 juta ha atau
sekitar 12% dari total luas areal pertanaman padi di Indonesia. Penyakit tanaman
muncul karena adanya kultivar yang peka terhadap patogen, dan peka terhadap
pengaruh lingkungan. Praktek budidaya dapat menyebabkan timbulnya penyakit,
seperti halnya pemupukan nitrogen dengan dosis yang tinggi dapat mempengaruhi
perkembangan penyakit blas. Penyakit ini dapat merusak daun, malai, dan batang
padi.
Jamur P. orizae mudah membentuk ras baru. Hal ini menyebabkan
penggunaan varietas tahan sangat dibatasi oleh waktu dan tempat, artinya
varietas yang semula tahan akan menjadi rentan setelah ditanam beberapa
musim. Varietas yang tahan di satu tempat mungkin rentan di tempat lain (Amir
dan Nasution 1993). Menurut Ou (1979), penyebaran spora blas dapat terjadi oleh
angin atau melalui benih dan jerami tanaman sakit. Jamur P. orizae mampu
bertahan dalam sisa gabah dan jerami tanaman sakit. Pada daerah tropik, sumber
inokulum selalu ada sepanjang tahun, karena adanya spora di udara dan tanaman
inang selain padi. Daerah endemis blas tersebar di beberapa provinsi, terutama
di Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan
Sulawesi Tenggara. Akhir-akhir ini blas meluas ke areal sawah antara lain di Bali,
Banyuwangi, Sukabumi, dan Sumatera Selatan (Amir 1995).
Sehubungan dengan fenomena di atas, maka perlu dilakukan pengujian
ketahanan beberapa galur mutan terhadap blas. Tujuan kegiatan ini adalah untuk

559
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mengidentifikasi dan mengevaluasi galur-galur padi galur mutan hasil perbaikan


genetik padi lokal asal Sumatera Barat terhadap penyakit blas.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Rumah Kaca dan kebun percobaan skrining blas,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat, kebun percobaan
Gunung Medan, Kabupaten Dharmasraya. Perbanyakan Inokulan dilakukan di
laboratorium Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Penelitian ini
dilaksanakan sejak awal April 2015 hingga November 2015.

Bahan yang digunakan adalah 3 galur padi mutan harapan hasil perbaikan
genetik padi lokal Sumatera Barat melalui pemuliaan mutasi, yaitu (nomor 1477-
4/3; nomor 1520-6/2; dan nomor 1524-1/3; beserta kultivar asalnya (var. Junjung)
dan kultivar diferensial (var. Asahan; var. Cisokan; var. IR 64; var. Krueng Aceh
var. Cisadane; var. Cisanggarung; serta var. Kencana Bali), ras patogen blas yaitu
ras 033, 073, 133 dan 173 serta ras dominan lokal, pupuk, serta komponen bahan
lainnya yang digunakan dalam perbanyakan isolate dan untuk skrining.
Persiapan inokulum patogen blas
Biakan murni patogen blas (ras 033, 133, 073 dan 173) diperoleh dari BB.
Padi Sukamandi selanjutnya diperbanyak pada media PDA selama 5 hari dan
dipindahkan ke media sporulasi yaitu media oat meal agar di Laboratorium Biologi
Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Pada media OMA isolat blas
ditumbuhkan selama 12 hari. Pada hari kesepuluh dilakukan penggosokan koloni
untuk membersihkan miselia udara dengan air steril yang mengandung
streptomycin 100 ppm. Penggosokan miselia dengan menggunakan kuas gambar
No. 10 yang sudah disterilkan. Koloni yang telah digosok diinkubasikan dalam
inkubator bercahaya neon 20 watt selama 2 x 24 jam. Pembuatan larutan konidia
sebagai inokulum dilakukan dengan cara menggosok koloni dengan kwas gambar
No. 10 pada umur 12 hari. Sebelum digosok pada masing-masing cawan petri
ditambahkan air steril yang mengandung Tween 20 sebanyak 0,02%. Konsentrasi
inokulum yang digunakan 2 x 105 konidia/mL (IRRI 2002), sesuai SOP BB Padi
(Anggiani 2012).
Persiapan tanaman, inokulasi dan analisis ketahanan
Pengolahan tanah dilakukan setelah dua kali turun hujan. Tanah diolah
hingga memperoleh struktur gembur. Tanah yang telah diolah lalu diratakan, dan
kemudian dibuat dua baris larikan pada sekeliling dan bagian tengah petakan.
Jarak antarlarikan 25 cm. Selanjutnya, pada lubang larikan ditaburkan benih peka
blas varietas Kencana Bali. Hal ini dilakukan untuk menarik dan mengumpulkan
ras blas yang berkembang di lokasi tersebut. Tiga minggu setelah benih tersebut
tumbuh, benih galur-galur yang diuji ditabur dengan cara membuat larikan searah
lebar petakan sepanjang 5 m. Jarak antarlarikan 25 cm. Setiap galur dan varietas
pembanding ditanam masing-masing tiga baris. Varietas pembanding ditanam
pada setiap kelipatan 100 nomor. Ajir bambu untuk nomor urut lapangan
digunakan pada setiap lima nomor galur.

560
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pemupukan Takaran pupuk yang digunakan yaitu 90 kg N/ha atau setara


200 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha + 75 kg KCl/ha (Lubis dkk. 1993). Pupuk urea
diberikan dua kali, masing-masing setengah bagian diberikan pada saat tanam
dan pada umur 6 minggu setelah tanam (MST). Seluruh pupuk SP36 dan KCl
diberikan pada saat tanam. Pupuk diberikan dengan cara dilarik di antara barisan
tanaman.

Pengamatan
Bercak dapat berkembang hingga berbentuk bulat atau elips, dengan tepi
berwarna coklat pada varietas dengan ketahanan sedang. Pada varietas tahan,
bercak tidak akan berkembang dan tetap seperti titik kecil. Perbedaan bentuk,
warna, dan ukuran bercak dapat digunakan untuk membedakan ketahanan
varietas. Bercak penyakit blas daun pada varietas atau galur yang peka tidak
membentuk tepi yang jelas, terutama dalam keadaan lembap dan ternaungi.
Karakter ketahanan padi terhadap serangan penyakit blas daun diamati
dan dihitung menggunakan skor penyakit dan intensitas serangan berdasarkan
SES IRRI (1996). Perhitungan Skala Penyakit Setiap rumpun diamati dan diberi
skor. Skor penyakit diamati pada setiap pengamatan (14 hari, 21 hari, 28 hari dan
35 hari. Penentuan skor serangan penyakit blas daun berdasarkan Standard
Evaluation System for Rice (IRRI, 1996) seperti terlihat pada Tabel 1 :

Tabel 1. Klasifikasi Skala Serangan Pyricularia oryzae Cav. berdasarkan ”Standar


Evaluation System For Rice” pada daun padi (IRRI, 1996)
Skor* Serangan blas daun Keterangan
0 Tidak terdapat serangan
1 Bintik coklat kecil seujung jarum, tanpa sporulasi Sangat tahan
3 Bintik coklat bulat dengan diameter 1-2 mm dan sporulasi nekrotik Tahan
5 Serangan terbentuk ellips kecil, panjang 3 mm, lebar 1-2 mm Sedang
7 Serangan berbentuk belah ketupat yang lebih lebar dengan warna Peka
tepi kuning coklat atau ungu
9 Serangan yang berbentuk belah ketupat bersatu dengan yang lain Sangat peka

Skor penilaian serangan penyakit blas leher (neck blas) pada padi
Skor Serangan blas leher Malai yang terserang
0 Tidak ada serangan
1 Kurang dari 5%
3 5-10%
5 11-25%
7 26-50%
9 >50%

561
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan pengamatan di lapangan terhadap bercak blas daun pada
ketiga galur mutan di lapangan diperoleh bahwa ketiga galur mutan memiliki
keragaman sifat ketahanan terhadap berbagai ras blas yang diujikan. Rangkuman
data skrining blas dari ketiga galur mutan terhadap berbagai ras P. oryzae Cav.
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata keparahan infeksi P. oryzae Cav. (Penyakit Blas) dan tingkat
ketahanan galur mutan
Ras Dominan
Ras 033 Ras 133 Ras 073 Ras 173
Lokal
Galur (G)
Skala Reaksi Skala Reaksi Skala Reaksi Skala Reaksi Skala Reaksi

1477-4/3 1 ST 1 ST 1 ST 1 ST 2 T

1520-6/2 7 R 4 AR 4 AR 5 AR 5 AR

1524-1/3 1 ST 1 ST 1 ST 1 ST 2 T

Asahan 0 T 1 T 2 T 1 T 1 T

Cisokan 9 R 5 T 7 R 4 T 8 R

IR 64 5 T 4 T 4 T 7 R 7 R

Krueng Aceh 0 T 7 R 7 R 7 R 8 R

Cisadane 0 T 8 R 7 R 8 R 8 R

Cisanggarung 0 T 7 R 8 R 7 R 7 R

Kencana Bali 7 R 7 R 8 R 8 R 8 R

Pada Tabel 2 terlihat bahwa galur 1520-6/2 cenderung memiliki daya tahan
yang lebih rendah (rentan) terhadap ras blas yang diujikan bila dibandingkan
dengan kedua galur mutan yang lainnya 1477-4/3 dan 1524-1/3. Galur 1520-6/2
memiliki reaksi yang peka terhadap ras dominan dan agak peka terhadap ras 033,
133, 073 dan 173. Sedangkan pada galur 1477-4/3 dan galur 1524-1/3 memiliki
toleransi yang tinggi terhadap ras dominan lokal, ras 133. Ras 073 serta ras 173.
Dari hasil identifikasi terhadap blas ras dominan lokal yang dilakukan
terhadap varietas diferensial diperoleh informasi bahwa saat ini ras dominan lokal
memiliki nilai ras 101. Hasil identifikasi ras dominan lokal tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3.

Tabel 3. Penentuan Nilai Leaf Blas Ras Dominan Lokal


Varietas Diferensial Skor Reaksi No. Kode
Asahan 0 T 200
Cisokan 9 R 100
IR 64 5 T 40
Krueng Aceh 0 T 20
Cisadane 0 T 10
Cisanggarung 0 T 2
Kencana Bali 7 R 1
101

562
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hal ini berbeda dengan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Handayani
(2007) yang menunjukkan bahwa ras dominan lokal Sitiung, Dharmasraya memiliki
nilai ras 173. Hal ini menunjukkan bahwa P. orizae Cav telah bermutasi dan
menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Menurut Chin
(1975), cendawan P. oryzae Cav. adalah cendawan dapat menyesuaikan
hidupnya dengan perubahan-perubahan dalam lingkungan hidupnya. Yaegashi
dan Yamada (1986) menjelaskan bahwa cendawan P. oryzae sangat dinamik
sehingga ketahanan varietas mudah patah dalam menghadapi ras baru yang lebih
virulen. Ras-ras baru akan segera terbentuk jika populasi tanaman berubah atau
ketahanan tanaman berubah. Perubahan ras juga terjadi dari hasil reisolasi dari
bercak varietas diferensial yang digunakan.
Dinamisnya perkembangan hidup P. oryzae Cav. dapat dilihat dari
perubahan ras dominan, dimana hasil identifikasi pada tahun 2007 memiliki nilai
ras 173 (Handayani, 2007), menjadi 101 pada tahun 2015 (Tabel 5). Menurut
Yaegashi dan Yamada (1986) dan Zeigler dkk. (1994) patogen blas merupakan
patogen polisiklus yaitu patogen yang menghasilkan lebih dari 1 siklus infeksi
dalam satu musim tanam. Cendawan Pyricularia mempunyai keragaman genetik
yang tinggi. Kemampuan untuk melakukan mutasi spontan merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan adanya keragaman genetik yang tinggi pada populasi
blas. Tingginya frekuensi terjadinya mutasi spontan pada cendawan blas, pada
umumnya berhubungan dengan kapasitas pembentukan spora. Cendawan P.
oryzae mudah beradaptasi dengan lingkungan seperti varietas padi yang ditanam.
Pada pengamatan toleransi galur mutan terhadap infeksi P. oryzae Cav
pada pangkal malai (neck blas) diketahui bahwa galur 1520-6/2 juga memiliki
reaksi yang peka terhadap ras dominan dan agak peka terhadap ras 133, 073 dan
173, namun agak tahan terhadap ras 033. Sedangkan pada galur 1477-4/3 dan
galur 1524-1/3 memiliki toleransi yang tinggi terhadap ras dominan lokal, ras 133.
ras 073 serta ras 173. Rangkuman pengamatan ketahanan galur mutan terhadap
infeksi P. oryzae Cav. yang menyerang leher malai (neck blas) dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata keparahan infeksi P. oryzae Cav. (Penyakit Blas) pada leher
malai (Neck Blas) dan tingkat ketahanan galur
Ras Dominan
Ras 033 Ras 133 Ras 073 Ras 173
Galur (G) Lokal
Skala Reaksi Skala Reaksi Skala Reaksi Skala Reaksi Skala Reaksi

1477-4/3 2 T 1 T 2 T 1 T 0 T
1520-6/2 7 R 3 AT 4 AR 5 AR 5 AR
1524-1/3 1 T 1 T 0 T 1 T 1 T

Asahan 1 T 1 T 2 T 1 T 1 T

Cisokan 8 R 5 T 7 R 4 T 8 R
IR 64 3 T 4 T 4 T 7 R 7 R
Krueng Aceh 9 R 7 R 7 R 7 R 8 R

Cisadane 0 T 8 R 7 R 8 R 8 R
Cisanggarung 1 T 7 R 8 R 7 R 7 R

Kencana Bali 9 R 7 R 8 R 8 R 8 R

563
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pada tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa toleransi galur mutan yang
diujikan terhadap infeksi neck blas (P. oryzae Cav.) tidak jauh berbeda dengan
informasi toleransi pada P. oryzae yang menginfeksi daun (leaf blas). Galur 1520-
6/2 memiliki toleransi yang rendah bila dibanding dengan kedua galur yang
lainnya. Hal ini menunjukkan kesamaan potensi genetik yang dimiliki galur-galur
tersebut terhadap toleransinya pada P. oryzae, baik pada leaf blas maupun pada
neck blas. Di samping kemampuan P. oryzae beradaptasi secara dinamis menurut
kondisi lingkungan, kemampuan tanaman untuk toleran terhadap infeksi juga
sangat mempengaruhi kemampuan dan potensinya. Kemampuan galur yang
toleran tersebut dapat menjadi potensi positif dalam pengambangan tanaman
yang tahan terhadap penyakit blas. Hal ini seiring dengan pendapat Ou (1985),
bahwa ketahanan tanaman padi terhadap blas dipengaruhi oleh ras Pyricularia
grisea makin tinggi derajat ketahanan padi makin sedikit ras jamur yang dapat
menginfeksi tanaman padi Kultivar padi yang berbeda-beda ketahannya terhadap
patogen ini, hal ini tidak hanya dipegaruhi oleh gen ketahanan yang mengontrol
yang dikandung oleh tanaman tersebut, banyak gen tahan (Poligenik) atau gen
tunggal (monogenik) tapi dipengaruhi juga oleh ketebalan kutikula dan silika pada
sel epidermis daun, ketahanan secara mekanis. Selain itu Howard dan Valent
(1996) menyebutkan gen ketahanan pada tanaman spesifik untuk ras patogen
tertentu. Sehingga suatu tanaman akan lebih tahan terhadap patogen tertentu jika
memiliki banyak gen ketahanan
Dari hasil karakterisasi ras terhadap ras dominan lokal yang menginfeksi
leher malai (neck blas) diperoleh informasi bahwa pengujian dengan
menggunakan varietas diferensial diketahui bahwa ras dominan lokal untuk neck
blas termasuk pada ras 121. Hasil karakterisasi P. oryzae pada leher malai (neck)
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Penentuan Nilai Neck Blas Ras Dominan Lokal
Varietas Diferensial Skor (%) Reaksi No. Kode
Asahan 5 T 200
Cisokan 100 R 100
IR 64 10 T 40
Krueng Aceh 75 R 20
Cisadane 0 T 10
Cisanggarung 5 T 2
Kencana Bali 85 R 1
121

Hal ini menunjukkan bahwa ras dominan lokal tersebut merupakan ras
yang memiliki potensi virulen yang dominan pada suatu lingkungan. Potensi ini
didukung selain kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya juga didukung oleh
ketersediaan tanaman inang untuk tempat bertahannya P. oryzae Cav. (Chin,
1975; Zeigler dkk., 1994, dan Yaegashi dan Yamada 1986).

564
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

Hasil skrining menunjukkan bahwa ketiga galur mutan yang diujikan


memiliki keragaman potensi toleransi terhadap P. oryzae Cav (baik pada daun /
leaf blas, maupun pada leher malai / neck blas). Galur 1520-6/2 memiliki toleransi
yang rendah bila dibanding dengan kedua galur yang lainnya yaitu galur 1477-4/3
dan galur 1524-1/3, baik pada infeksi leaf blas maupun pada infeksi neck blas.

Ras dominan lokal yang menginfeksi (lebih virulen) termasuk ras 101 untuk
P. oryzae Cav yang menginfeksi daun (leaf blas), dan ras 121 yang menginfeksi
malai leher (neck blas).

DAFTAR PUSTAKA

Alfi, H., B. Warman, I. Suliansyah, E. Swasti dan Sobrizal. 2011. Seleksi mutan
genjah pada populasi M2 padi lokal Sumatera Barat. Prosiding Seminar
Nasional PERIPI Komda. SUMBAR.
Alfi, H., B. Warman, I. Suliansyah, E. Swasti dan Sobrizal. 2012. Karakterisasi
agronomi dan potensi produksi beberapa galur mutan harapan padi lokal
Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Agroindustri
Untuk Mendukung Perekonomian Rakyat. Politeknik Pertanian Negeri
Payakumbuh.
Alfi, H., B. Warman, I. Suliansyah, E. Swasti dan Sobrizal. 2013. Uji Daya Hasil
dan Mutu Beras Beberapa Galur Mutan Harapan dari Perbaikan Genetik
Padi Lokal Sumatera Barat Melalui Pemuliaan Mutasi
Amir, M. dan A. Nasution. 1993. Status dan pengendalian blas di Indonesia.
Risalah Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, 23-25 Agustus 1993. hlm. 583-
601.
Amir, M. 1995. Petunjuk Teknis Pengendalian Penyakit Blas (Pyricularia grisea)
pada Padi Gogo di Indonesia. Pelatihan Teknis PGUVB bagi Kepala UPP-
BLN dan Asisten PTP pada Proyek-proyek Direktorat Jenderal
Perkebunan, Cipayung, Bogor, 23-24 Maret 1995. 14 hlm.
Chin, K.M. 1975 Fungisidal control of the rice blas disease. Mardi Reseacrh
Bulletin. 2(2): 82-84
Handayani, D. 2007. Studi keragaman genetik jamur Pyricularia oryzae Cav. asal
Sitiung Tahun 2006. Skripsi. Fak. Pertanian Universitas Andalas. (Tidak
Dipublikasikan)
Howard RJ, B Valent. 1996. Breaking and entering: host penetration by the fungal
rice blas pathogen Magnaporthe grisea. Annu Rev Microbiol 50: 491–512.
International Rice Research Institute (IRRI). 1996. Standard evaluation system for
rice. INGER Genetic Resources Center. International Rice Research
Institute, Manila, Philippines.
Ou, S.H. 1985. Rice Disease. Commonwealth. Inst. Kiew, Surrey, England. 368 p.
Ou, S.H. 1979. A Handbook of Rice Diseases in the Tropics. 3rd ed. International
Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. p. 17-25
Yaegashi H, Yamada M. 1996. Pathogenic race and mating Type of Pyricularia
oryzae from Soviet Union, China, Nepal, Thailand, Indonesia and
Columbia. Ann Phytopath Soc Japan 52 : 225-234.
Zeigler RS, Tohme J, Nelson R, Levy M, Correa-Victoria FJ. 1994. Lineage
exclusion : A proposal for linjing blas population analysis to resistance
breeding. rice blas disease. CAB International IRRI 267-2.

565
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN


PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN BATUBARA

Deddy Romulo Siagian dan Timbul Marbun

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A. H Nasution No. 1 B Medan Sumatera Utara
Email : d3d1_siagian@yahoo.com

ABSTRAK

Evaluasi sumberdaya lahan di setiap kabupaten dalam skala detail


(1:50.000) sangat perlu dilakukan, hal ini sangat berguna sebagai basis data bagi
pemerintah daerah yang bertujuan untuk mengeluarkan kebijakan strategis
sehubungan dengan menjaga keberlangsungan produksi pertanian khususnya
beras. Kabupaten Batubara merupakan salah satu kabupaten produsen beras di
Provinsi Sumatera Utara yang didukung oleh potensi sumberdaya lahannya.
Penelitian ini menggunakan metode survey lapangan (observasi) dan desk study.
Kesesuaian lahan untuk padi di Kab.Batubara didominasi oleh kelas S2 (Sesuai)
dan S3 (Cukup Sesuai), hal ini terutama dipengaruhi oleh daratan Kab. Batubara
yang 84.341 Ha atau sekitar 92,54 % adalah datar. Adapun kendala yang ada
masih bersifat dapat diperbaiki, misalnya pada media perakaran (rc), retensi hara
(nr), hara tersedia (na), kemiringan lereng (eh) dan ketersediaan air (wsa).
Beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produksi dan
produktivitas padi di Kab. Batubara melalui perbaikan sumberdaya lahan adalah
penggunaan pupuk organik dan anorganik, pengembalian jerami, penerapan
pendekatan PTT, penggunaan benih unggul dan berlabel, terassering pada lahan
yang miring, dan pembangunan/perbaikan irigasi. Selain itu diperlukan kebijakan
pendukung untuk mengantisipasi permasalahan alih fungsi lahan sawah.

Kata Kunci: Evaluasi sumberdaya lahan, produksi dan produktivitas, padi,


Kabupaten Batubara

PENDAHULUAN

Di dalam sistem pertanian, lahan merupakan alat produksi yang


mempunyai peran ganda, yaitu sebagai tempat pertumbuhan tanaman,
menyediakan unsur hara, sumber air, tempat peredaran udara, dan tampat
berlangsungnya berbagai macam kegiatan pengelolaan. Oleh karena itu
pengetahuan tentang sifat-sifat dan karakteristik lahan merupakan dasar dari
usaha pengembangan komoditi secara intensif. Di samping faktor lahan,
pengetahuan tentang kondisi agroklimat juga memegang peranan penting.
Beberapa unsur agroklimat seperti suhu, curah hujan dan kelembaban merupakan
dasar pertimbangan penting untuk menentukan jenis tanaman yang akan
dibudidayakan dan periode pengusahaannya. Kesalahan dalam menentukan
syarat iklim bagi tanaman akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman tidak normal, sehingga produktivitasnya akan jauh menyimpang dari
potensi sebenarnya.

Terbatasnya sumberdaya alam yang berpotensi mendukung program


pengembangan pertanian merupakan salah satu kendala yang harus

566
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dihadapi.Kondisi ini akan dapat teratasi dengan tersedianya sumberdaya manusia


yang handal. Perlu disadari bahwa kondisi lahan yang produktif terus berkurang.
Hal ini dikarenakan berkembangnya sektor industri non pertanian, terutama terlihat
sekali di daerah perkotaan sehingga mendesak lahan yang ada. Dengan
demikian, keberhasilan pengembangan pertanian akan tergantung pada
sumberdaya manusia yang mampu mengelola dan memanipulasi sumberdaya
alam yang kurang produktif menjadi lebih baik. Usaha ini dapat dilakukan misalnya
dengan cara mendapatkan teknologi budidaya yang tepat, penyediaan varietas
unggul, manajemen lahan dan air (Sumarno, 2013).

Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk
tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah
teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan
penggunaan lahan sesuai dengan keperluan serta memberikan arah tindak lanjut
dari sistem pengelolaan kedepannya melalui informasi kesuburan lahan baik fisik,
kimia dan biologinya (Ritung dkk. 2007).

Kabupaten Batubara merupakan salah satu kabupaten yang berada di


Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah adalah 91.135 Ha. Kabupaten
Batubara baru terbentuk pada tahun 2007 hasil pemekaran Kabupaten Asahan,
yang berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai pada bagian utara,
disebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Asahan, disebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Simalungun dan sebelah Timur berbatasan
dengan Selat Malaka. Kabupaten Batubara terdiri dari 7 kecamatan dengan
kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Lima Puluh sedangkan yang terkecil
adalah Kecamatan Medang Deras.Kabupaten Batubara memiliki topografi wilayah
yang homogen dengan ketinggian wilayah berkisar dari 0-50 mdpl (BPS Batubara,
2014). Dilihat dari potensi pertanian lahan pangan khususnya padi di Provinsi
Sumatera Utara, Kabupaten Batubara berada pada urutan ke enam terluas
(34.926 Ha) dari sisi total luas panen, setelah Kabupaten Langkat, Deli Serdang,
Simalungun, Serdang Bedagai dan Mandailing Natal dengan masing-masing
luasnya adalah 80.289 Ha, 79.741 Ha, 74.946 Ha, 71.789 Ha dan 37.918 Ha.
Untuk total produksi sendiri, Kabupaten Batubara menempati posisi ke lima
(181.590 ton) setelah Kabupaten Deli Serdang, Simalungun, Langkat dan Serdang
Bedagai (BPS Sumut, 2014).

Dengan melihat begitu pentingnya arti dari evaluasi sumberdaya lahan ini
dalam mendukung potensi dan pengembangan padi sawah di Kabupaten
Batubara, makalah ini memberikan informasi karakteristik sumberdaya lahan
sehubungan dengan pertanaman padi di Kabupaten Batubara, dan memberikan
arah tindak lanjut sebagai strategi teknis dalam meningkatkan produksi dan
produktivitas padi di Kabupaten ini.

567
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Batubara yang terdiri dari 7


kecamatan serta 151 desa/ kelurahan yang dilakukan dari bulan Februari –
November 2015, dengan letak astronomisnya berada diantara 2 0 03’ – 30 26’
Lintang Utara dan 990 01’ – 1000 00’ Bujur Timur. Menurut catatan Pos
Pengukuran PT. PP Lonsum Indonesia Tbk Perkebunan Dolok bahwa pada tahun
2013 terdapat 111 hari hujan dengan volume curah hujan sebanyak 1.741 mm.
Curah hujan terbesar terjadi pada Bulan Oktober yang mencapai 398 mm dengan
17 hari hujan.

Bahan yang diperlukan pada kegiatan ini adalah peta rupa bumi skala
1:50.000 lembar Dolok Merawan (0719-11), Perdagangan (0719-12), Tebing
Tinggi (0719-13), Indrapura (0719-14) dan Labuhan Ruku (0719-21). Peta satuan
lahan dan tanah skala 1:250.000 lembar Pematang Siantar (0718) dan Tebing
Tinggi (0719). Data iklim meliputi curah hujan, suhu dan kelembaban.Adapun
peralatan yang digunakan meliputi komputer dengan software Arc GIS, ER
Mapper, Envi dan IDRISI. Dilengkapi lagi Musell Soil Color Chart, GPS, kantong
plastik dan label, bor tanah dan skop, ember dan cangkul.

Kegiatan ini menggunakan kajian cepat yang dapat menganalisa potensi


sumberdaya lahan di lapangan secara cepat, dimana dalam pelaksanaannya
meliputi:

a. Penyusunan Satuan Lahan; yakni melalui pendekatan analisis terrain dari


citra dan analisis kontur. Analisis terrain merupakan pendekatan yang
relatif paling tepat untuk melaksanakan pemetaan sumberdaya lahan
secara cepat, karena dapat menghemat waktu dan biaya dibandingkan
dengan pemetaan tanah yang standar. Analisis terrain dilakukan dari foto
udara atau citra satelit (landsat) yang didukung oleh informasi peta rupa
bumi dan peta geologi untuk mengetahui sebaran landform, relief/lereng,
elevasi dan jenis bahan induk tanah. Penarikan batas poligon sebagai
dasar untuk menyusun peta satuan lahan (land mapping unit).Peta satuan
lahan hasil digitasi selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk peta kerja
penelitian di lapangan. Setiap satuan lahan mempunyai karakteristik yang
sama tentang satuan landform, elevasi, jenis bahan induk, relief dan lereng
serta zona agroklimat (BBSDLP, 2013).
b. Penelitian di lapangan (observasi); meliputi pengamatan tanah dan
lingkungan, yang ditentukan berdasarkan perbedaan landform, bahan
induk, ketinggian dan kemiringan lahan. Disamping itu diperlukan analisis
kesuburan tanah dari beberapa sampel tanah yang mewakili per satuan
lahan.
c. Pengolahan Data; meliputi data lapangan dan analisis laboratorium.
Semua data di entry kedalam Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL)
dan hasil evaluasi lahan dari SPKL dituangkan kedalam peta.

568
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Batubara memiliki potensi yang sangat besar dalam


memproduksi beras dibanding dengan beberapa kabupaten lainnya di Provinsi
Sumatera Utara, hal ini terlihat dari sumbangan produksi Kab. Batubara sebesar
181.590 ton atau sekitar 5,08% dari total produksi padi di Sumatera Utara (BPS
Sumut, 2014). Namun hal ini berbeda jauh bila dilihat dari produktivitas padi sawah
di Kab.Batubara dibandingkan dengan kabupaten lainnya, karena Kab. Batubara
menempati posisi ke-sepuluh (10) yakni 5,19 ton/ha, walaupun masih diatas
produktivitas rata-rata Provinsi Sumatera Utarayaitu 5,12 ton/ha.

Hasil analisis LQ yang juga turut dilakukan untuk melihat potensi komoditas
unggulan tanaman pangan khususnya padi sawah menunjukkan bahwa padi
sawah memang merupakan komoditas unggulan di Kab. Batubara karena terlihat
bahwa nilai LQ>1 tersebar di 5 kecamatan, yakni Kec. Sei Balai, Tanjung Tiram,
Talawi, Air Putih dan Kec. Medang Deras. Nilai LQ tertinggi untuk komoditas padi
sawah terdapat di Kec. Medang Deras yakni 1,07 (Tabel 1).

Tabel 1. Nilai LQ Komoditas Tanaman Pangan di Kab. Batubara


Kecamatan Padi Sawah Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai Padi Ladang
Sei Balai 1.03 0.45 0.55 0.00 2.40 3.18 1.43 0.00
Tanjung Tiram 1.03 1.98 0.10 0.00 0.00 0.00 1.10 0.00
Talawi 1.05 0.54 0.21 0.57 0.00 0.00 4.27 0.00
Lima Puluh 0.96 0.15 2.03 1.86 1.66 1.06 0.00 0.00
Air Putih 1.05 1.39 0.04 0.08 0.15 0.32 3.19 0.00
Sei Suka 0.90 6.04 0.91 0.55 0.82 1.34 0.00 0.00
Medang Deras 1.07 0.37 0.07 0.04 0.00 0.66 0.14 0.00

Peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah di Kab.Batubara masih


sangat dimungkinkan untuk diraih kedepannya. Dukungan dari pemerintah daerah
dan pemerintah pusat dalam mendorong keberhasilan di sektor pangan khususnya
padi sawah semakin membaik.Keberhasilan dalam mewujudkan swasembada
pangan akan sangat mungkin dapat terwujud dengan adanya kolaborasi yang solid
antara pemerintah dan petani. Salah satu faktor yang tidak kalah penting dalam
memberhasilkan peningkatan produksi dan produktivitas di Kab.Batubara adalah
adanya dukungan/ modal dari sumberdaya lahan yang dalam kegiatan ini dianalisa
dengan cukup baik.Adapun karakteristik sumberdaya lahan dan arah tindak
lanjutnya dapat dijelaskan pada masing-masing sub bagian dibawah ini.

a. Karakteristik sumberdaya lahan


Kabupaten Batubara memiliki topografi yang homogen hal ini dikarenakan
letaknya yang berada di sebelah Pantai Timur Sumatera, mempunyai ketinggian
0-50 mdpl dan kemiringan lereng yang hanya berkisar 0-15 %.Untuk klasifikasi
kelas kemiringan lereng sendiri, Kabupaten Batubara didominasi oleh topografi
datar (0-3%) yakni 84.341 Ha atau sekitar 92,54 % dari seluruh daratan
Kabupaten. Suhu rata-rata berkisar antara 24 – 27 0C dengan 2 musim yakni
musim hujan (dimulai dari Bulan September – Maret) dan musim kemarau (dimulai
dari Bulan April – Agustus).

569
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil survey dan pengamatan di lapangan serta pengolahan data


memperlihatkan bahwa Kab.Batubara memiliki 17 Satuan Peta Tanah (SPT), yang
tersebar di seluruh kecamatan. Setiap SPT diklasifikasikan berdasar pada bahan
induk, landform, lereng dan klasifikasi tanahnya (Gambar 1).

Gambar 1. Satuan Peta Tanah di Kabupaten Batubara (Skala 1:50.000)

Gambar 1. Peta Satuan Lahan Kabupaten Batubara

Bahan induk di wilayah Kabupaten Batubara terdiri dari 3 jenis yakni


sedimen halus, sedimen halus dan kasar serta tuf masam, sedangkan untuk
landformnya terdiri dari 4 grup, yakni: Grup Alluvial (A) dengan total luas 13.769
Ha (15,10%), Grup Marin (B) dengan total luas 43.847 Ha (48,11%), Grup Tuf Toba
Masam (Q) dengan total luas 32.601 Ha (35,77%) dan Grup Aneka Bentuk dengan
total luas 918 Ha (1,02%).
Jenis tanah merupakan informasi lainnya yang diperoleh dari hasil survey/
pengamatan di lapang dan juga pembaharuan data yang lebih didetailkan yang
berdasar pada Peta AEZ skala 1:250.000 (Pusat Penelitian Tanah, 1989).
Terdapat 3 ordo tanah di Kabupaten Batubara yakni Inceptisol, Entisol dan Ultisol,
dimana ke tiga ordo tersebut menurunkan 10 sub grup tanah.
Bila dilihat dari gambar satuan peta tanah yang merupakan hasil
pengolahan data, terlihat bahwa SPT yang tertinggi didominasi oleh Group Marin
(B) dengan total luas 43.847 Ha dan diikuti oleh Group Tuf Toba Masam (Q) yakni
32.601 Ha dan Group Alluvial (A) seluas 13.769 Ha.

570
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

b. Arah tindak lanjut


Dari hasil survey dan pengamatan di lapang serta analisis sampel tanah di
laboratorium, diperoleh peta kesesuaian lahan untuk tanaman padi dengan
memanfaatkan SPKL untuk mempermudah kelas kesesuaian lahan di setiap SPT
(Gambar 2).

Gambar 2.Peta Kesesuaian Lahan Padi Sawah di Kabupaten Batubara.

Dari peta tersebut terlihat adanya kemungkinan yang sangat tinggi untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas padi sawah di Kab. Batubara. Hal ini
disebabkan oleh kelas kesesuaian lahan yang didominasi oleh S2 (Sesuai) dan S3
(Cukup Sesuai) untuk ditanami tanaman padi dan yang menjadi kendala dalam
berusaha tani untuk Kab. Batubara adalah media perakaran (rc), retensi hara (nr),
hara tersedia (na), kemiringan lereng (eh) dan ketersediaan air (wa).

Beberapa langkah yang dapat diambil oleh petani dan pemerintah daerah
dalam meningkatkan produksi dan produktivitas padi dengan memanfaatkan peta
tersebut diatas adalah:
a. Penggunaan pupuk organik dan anorganik yang tepat jenis, tepat dosis
dan tepat waktu aplikasi karena permasalahan yang ada pada lahan
sawah adalah rendahnya tingkat kesuburan tanah baik fisika, kimia dan
biologi. Diharapkan dengan pemberian pupuk akan dapat meningkatkan
produktivitas yang secara tidak langsung akan meningkatkan produksi
padi di Kab. Batubara.
b. Pengembalian jerami ke lahan sawah juga akan memperbaiki sifat fisik
dan kimia tanah, diharapkan petani dapat mengaplikasikan teknologi ini ke
lahan mereka.
c. Penerapan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT),
merupakan pendekatan yang sering didesiminasikan oleh peneliti dan
penyuluh BPTP Sumatera Utara. Tidak perlu diragukan lagi bahwa

571
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

berdasarkan pengalaman, PTT mampu meningkatkan produktivitas padi


secara signifikan.
d. Walaupun bukan merupakan kendala yang dominan, diperlukan teknologi
berupa pembuatan teras – teras pada lahan sawah yang miring, sehingga
lapisan olah sawah tidak dengan cepat terbuang ke daerah bagian bawah.
e. Penggunaan varietas unggul dan bersertifikat perlu dilakukan, dimana
penggunaan varietas unggul dan bersertifikat secara nyata dapat
meningkatkan produksi padi
f. Bantuan pemerintah daerah dalam membangun/memperbaiki irigasi juga
sangat diperlukan pada lahan-lahan yang terkendala pada ketersediaan
air, karena produksi/produktivitas petani akan secara signifikan menurun
bila air tidak mengalir kesawah mereka.
g. Perlu adanya kolaborasi kegiatan antara pemerintah daerah (dinas
pertanian) dengan bagian penyuluhan dalam upaya percepatan teknologi
khususnya untuk tanaman padi sehingga hasil produksi dan produktivitas
dapat lebih baik lagi.
h. Perlu adanya undang – undang yang sifatnya mengikat semua pihak
berkaitan dengan semakin banyaknya alih fungsi lahan di Kabupaten
Batubara. Mengingat lahan pertanian khususnya untuk pertanaman padi
sangat berpotensi tinggi untuk dikembangkan.
KESIMPULAN

1. Padi merupakan salah satu komoditas unggulan tanaman pangan di


Kabupaten Batubara (LQ>1) yang tersebardi 5 kecamatan, yakni Kec. Sei
Balai, Tanjung Tiram, Talawi, Air Putih dan Medang Deras.
2. Topografi dan iklim menjadi beberapa faktor pendukung dari sumberdaya
lahan yang dapat menjaga keberlangsungan produksi dan produktivitas
padidi Kab. Batubara.
3. Kendala utama yang dapat menjadi faktor penghambat dalam pencapaian
produksi padi yang tinggi di Kab. Batubara adalah media perakaran (rc),
retensi hara (nr), hara tersedia (na), kemiringan lereng (eh) dan
ketersediaan air (wa).
4. Beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produksi/
produktivitas padi di Kab. Batubara sehubungan dengan permasalahan
sumberdaya lahan adalah penggunaan pupuk organik dan anorganik,
pengembalian jerami, penerapan teknologi PTT, penggunaan benih unggul
dan berlabel, terassering pada lahan yang miring, pembangunan/perbaikan
irigasi dan perlunya undang-undang dalam mengantisipasi alih fungsi
lahan sawah.

572
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

BBSDLP.2013. Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas


Pertanian berdasarkan Peta AEZ pada Skala 1:50.000 dalam Rangka
Pendampingan Litkaji Pemetaan Sumberdaya Lahan. Bogor.Balai Besar
Sumber Daya Lahan Pertanian.
BPS Batubara. 2014. Batubara dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Batubara.
BPS Sumut. 2014. Sumatera Utara dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat
Statistik Provinsi Sumatera Utara.
Puslitanak.1989. Buku Keterangan Peta Satuan Lahan dan Tanah
Sumatera.Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor.
Ritung, S dan A. Hidayat., 2003. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk
Pengembangan Pertanian di Propinsi Sumatera Barat, hal. 263-282.
Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam, Bandar
Lampung 29-30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Bogor, Indonesia
Sumarno., 2013. Evaluasi Lahan Pertanian dan Pewilayahan Komoditi Pertanian,
Perkebunan dan Kehutanan. Bahan Kajian MK. Landuse Planning.
Didownload tanggal 8 November 2015

573
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

POTENSI DAN KENDALA PENGEMBANGAN PADI SAWAH


MELALUI PEMANFAATAN PETA KESESUAIAN LAHAN SKALA 1:50.000
DI KABUPATEN SIMALUNGUN

Deddy Romulo Siagian dan Timbul Marbun

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A. H Nasution No. 1B Medan Sumatera Utara
Email: d3d1_siagian@yahoo.com

ABSTRAK

Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten penyumbang


beras terbesar di Provinsi Sumatera Utara. Jumlah produksi padi sawah yang
diraih pada tahun 2013 adalah 436.678 ton dengan luas lahan menempati posisi
ke-3 (74.946 Ha) setelah Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Dukungan dari
keadaan geografis dan iklim merupakan faktor utama dalam menjaga kestabilan
produksi dan produktivitas padi sawah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
potensi dan kendala pengembangan padi berdasarkan peta kesesuaian lahan
skala 1:50.000. Survey lapangan dan desk study digunakan sebagai metologinya.
Hasil pengolahan data pemetaan kesesuaian lahan untuk padi sawah di Kab.
Simalungun menemukan bahwa Kab. Simalungun didominasi oleh kelas S2
(Sesuai) dan S3 (Cukup Sesuai) dengan masing-masing luas adalah 50.202 Ha
(11,41%) dan 280.652 Ha (63,82%). Beberapa kendala yang diperoleh terkait
dengan usaha peningkatan hasil produksi dan produktivitas padi sawah adalah
permasalahan ketersediaan air, media perakaran padi, retensi hara dan bahaya
erosi. Permasalahan lainnya adalah isu peningkatan alih fungsi lahan, pengaruh
iklim, kurang tersedianya sarana produksi dan harga gabah yang tidak memihak
petani. Dalam upaya peningkatan hasil produksi dan produktivitas, diperlukan
beberapa strategi nyata seperti: peningkatan usaha ekstensifikasi, kolaborasi
dengan instansi lain di pemerintah daerah dan pusat, peningkatan usaha
diseminasi, pengenalan dan pemberian bantuan benih unggul dan memberikan
bantuan modal dan alat mesin pertanian.

Kata Kunci: Potensi, kendala, padi, Kabupaten Simalungun

PENDAHULUAN

Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten yang berada di


Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah adalah 439.696 Ha. Kab.
Simalungun diapit oleh 7 kabupaten, yakni Kab. Serdang Bedagai, Deli Serdang,
Karo, Toba Samosir, Samosir, Asahan dan Kab. Batubara. Letak astronomisnya
berada diantara 20 36’ – 30 18’ Lintang Utara dan 98 0 32’ – 990 35’ Bujur Timur.
Kab. Simalungun terdiri dari 31 kecamatan dengan kecamatan yang terluas adalah
Kecamatan Raya sedangkan yang terkecil adalah Kec. Haranggaol Horison
(Simalungun Dalam Angka, 2014).

Sektor pertanian dalam arti luas masih menjadi sektor andalan dan masih
menjadi mesin penggerak pertumbuhan perekonomian di Provinsi Sumatera
Utara, khususnya di Kab. Simalungun. Pertanian menjadi sangat penting karena

574
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

memegang peranan dalam pengurangan kemiskinan, pengurangan


pengangguran, pertumbuhan ekonomi makro, peningkatan investasi, peningkatan
ekspor dan peningkatan sektor-sektor ekonomi utama. Kenyataan di lapangan
tidak dapat ditutupi, bahwa sebagai negara agraris baik pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat berupaya keras dalam mendorong dan memajukan
pembangunan pertanian dan sekaligus membuat suatu kebijakan dan strategi
komprehensif, memadukan pandangan jangka panjang dan kepentingan jangka
pendek. Dengan harapan hal ini menjadi pemandu dalam menerapkan berbagai
kebijakan operasional lintas isntitusional yang terkoordinasi. Beberapa strategi
nyata yang sudah, sedang dan akan terus dilanjutkan oleh Pemda Kab.
Simalungun adalah kegiatan upaya khusus dalam meraih swasembada pangan
berupa optimalisasi lahan, perbaikan jaringan irigasi tertier, bantuan pompa dan
bantuan alat panen dan pasca panen serta percepatan adopsi teknologi berupa
diseminasi.

Kabupaten Simalungun memiliki potensi yang sangat tinggi untuk


pengembangan padi sawah, hal ini terlihat dari jumlah produksi padi sawah tahun
2013 sebesar 436.678 ton, kedua tertinggi dari seluruh kabupaten yang ada di
Prov. Sumatera Utara. Walaupun luas lahannya berada pada urutan ke-3 (74.946
Ha) setelah Kab. Langkat dan Deli Serdang (masing-masing memiliki luas 80.289
dan 79.741 Ha), namun memiliki rata-rata produktivitas padi sawah tertinggi di
Prov. Sumatera Utara, yakni 5,82 ton/ha (BPS Sumut, 2014).

Pengembangan padi sawah di Kab. Simalungun juga tidak terlepas dari


kendala-kendala yang ada dilapangan. Salah satu contoh adalah tingginya tingkat
alih fungsi lahan sawah, hal ini terlihat dari total luas panen lahan sawahnya pada
tahun 2009 seluas 82.330 ha (BPS Simalungun, 2010) dan menurun sebesar 9,85
% dalam jangka waktu 5 tahun yakni 74.946 ha pada tahun 2013. Disamping
pengaruh alih fungsi lahan, beberapa faktor yang menjadi kendala dalam usaha
peningkatan produksi dan produktivitas adalah (i) sulitnya mendapatkan lahan
untuk usaha ekstensifikasi, (ii) penurunan kualitas lahan sawah (kesuburan kimia,
fisika dan biologi tanah), (iii) rendahnya tingkat adopsi petani terhadap teknologi
budidaya padi, (iv) harga padi yang kurang memihak petani, (v) dampak
perubahan iklim (banjir dan kekeringan), (vi) dan lain-lain.

Dengan melihat penjelasan diatas perihal pentingnya dalam menjaga


kesinambungan produksi dan produktivitas padi di Kabupaten Simalungun
khususnya dalam menggapai swasembada pangan yang menjadi salah satu
tujuan utama pemerintah, maka diharapkan kajian ini dapat menjadi bagian dari
solusi untuk memecahan permasalahan yang ada. Kajian ini bertujuan untuk
memberikan informasi berupa potensi dan kendala pengembangan padi sawah,
dan memberikan gambaran strategi secara umum dalam menjaga produksi dan
produktivitas padi sawah di Kabupaten Simalungun.

575
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Kajian ini dilaksanakan di Kab. Simalungun yang berlangsung dari bulan


Januari sampai Desember 2014. Kab. Simalungun memiliki topografi wilayah yang
beragam dari datar (kemiringan lereng 0-3%) hingga perbukitan (kemiringan
lereng >45%). Kajian ini dilakukan melalui pendekatan desk study dan verifikasi
lapangan. Desk study menyusun peta kesesuaian lahan dan menganalisis data ke
dalam Sistem Pakar (Expert System), sementara verifikasi melalui survey ke
lapangan bertujuan untuk pencocokan hasil(re-checking).

Bahan yang diperlukan pada kegiatan ini adalah peta-peta dasar (peta rupa
bumi skala 1:50.000, geologi, citra satelit dan peta administratif). Data iklim
meliputi curah hujan, suhu dan kelembaban. Peralatan yang digunakan meliputi
komputer dengan software ArcGIS, ER Mapper dan IDRISI. Selain itu digunakan
Musell Soil Color Chart, GPS, kantong plastik dan label, bor tanah dan skop, ember
dan cangkul yang diperlukan pada saat survey dan pengambilan sampel.

Adapun tahapan kegiatan dalam kajian inimeliputi persiapan, observasi


lapang, analisis contoh tanah, pengolahan data dan pembuatan peta kesesuaian
lahan untuk komoditas padi sawah:

a. Tahapan persiapan; yakni meliputi studi pustaka dan pengumpulan


bahan-bahan yang relavan berupa peta rupa bumi. Penelitian diawali
dengan penyusunan konsep peta satuan lahan (land unit) skala
1:50.000 melalui pendekatan analisis terrain dari citra dan analisis
kontur. Setiap satuan lahan mempunyai karakteristik yang sama
tentang satuan landform, elevasi, jenis bahan induk, relief dan lereng
serta zona agroklimat.
b. Observasi lapang; dilakukan dengan pengumpulan data primer dan
sekunder, meliputi data sumberdaya lahan, data iklim dan sosial
ekonomi.
c. Analisis contoh tanah; yang diambil dari setiap satuan peta kemudian
dibawa ke laboratorium untuk diperiksa kesuburan kimia dan fisikanya
(meliputi: pH, C-org, N-tot, P2O5, K2O, KTK dan tekstur).
d. Pengolahan Data; kegiatan ini dilaksanakan secara terkomputerisasi
yang dilakukan sebelum dan sesudah ke lapangan. Semua data
lapangan dan analisis tanah dari laboratorium di entry kedalam Sistem
Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL).
e. Pembuatan peta kesesuaian lahan; Hasil data SPKL kemudian diexport
ke dalam ArcGIS untuk diproses kedalam sebuah layout peta
kesesuaian lahan untuk padi sawah (BBSDLP, 2013).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Simalungun merupakan kabupaten terluas ke-tiga di Prov.


Sumatera Utara setelah Kab. Mandailing Natal dan Kab. Langkat dengan topografi
yang datar hingga sangat curam dan ketinggian tempat yang juga beragam

576
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(dataran rendah hingga dataran tinggi). Kab. Simalungun memiliki letak yang
cukup strategis karena wilayahnya berada di kawasan wisata Danau Toba –
Parapat. Temperatur suhu udara rata-rata di Kab. Simalungun adalah 25,2 0C,
dengan suhu terendah 21,1 0C dan suhu tertinggi 30,4 0C. Penyinaran matahari
rata-rata 5,2 jam/hari dengan kecepatan angin 0,21 m/det dan penguapan 3,08
mm/hari serta kelembaban udara 85% (BPS Simalungun, 2014).

Keadaan geografis dan iklim di wilayah Kab. Simalungun sangat


mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman pangan khususnya padi
sawah. Hal ini terlihat dari sebaran nilai Location Quetion (LQ) dari komoditas
tanaman pangan, untuk padi sawah dengan nilai LQ > 1 tersebar di 14 kecamatan,
yakni Kec. Sidamanik, T. Jawa, Hatonduhan, D. Panribuan, J. Hataran, Panei,
Panombean Panei, Siantar, G. Malela, G. Maligas, Hutabayu Raja, Jawa Bah
Jambi, P. Bandar dan Kec. U. Padang. Menggunakan kriteria bahwa nilai LQ
terbesar merupakan komoditas paling unggul, maka diperoleh komoditas unggulan
tanaman pangan di setiap kecamatan (Tabel 1),

Tabel 1. Nilai LQ Komoditas Tanaman Pangan di Kab. Simalungun (data diolah)


Kecamatan Padi Sawah Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Hijau Kedelai Padi Ladang
Silimakuta 0.04 1.24 0.13 8.76 0.00 0.00 0.00 4.27
P.Silimahuta 0.02 1.23 0.07 9.96 0.00 0.00 0.00 4.19
Purba 0.00 1.40 0.05 8.50 0.00 0.00 0.00 3.89
haranggaol H 0.00 2.28 2.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
D. Pardamean 0.00 1.89 0.28 0.84 2.57 0.00 0.00 2.92
Sidamanik 1.17 1.11 0.30 0.22 2.32 0.00 6.48 0.00
Pematang Sdmnk 0.39 1.96 0.16 0.02 1.81 3.36 0.00 0.63
Girsang Spg 0.77 1.20 1.52 0.18 5.79 0.00 0.00 0.42
T. Jawa 1.58 0.62 0.80 0.46 0.00 0.00 0.28 0.00
Hatonduhan 1.44 0.81 0.83 0.00 0.05 0.00 0.00 0.00
D. Panribuan 1.44 0.87 0.32 0.01 0.24 0.00 5.54 0.00
J. Hataran 1.40 0.85 0.59 0.05 0.87 0.00 3.71 0.00
Panei 1.13 1.02 0.88 0.46 2.01 0.00 0.20 0.30
Panombean Panei 1.43 0.78 0.82 0.02 0.31 0.00 0.00 0.14
Raya 0.66 1.37 0.38 0.94 0.83 1.93 0.00 1.76
D. Silau 0.16 1.19 0.38 1.01 3.55 0.00 0.00 5.15
Silou Kahean 0.00 1.10 2.00 0.27 1.90 0.33 0.00 5.53
Raya Kahean 0.23 1.61 1.96 0.00 1.58 1.35 0.00 1.87
T. Dolok 0.34 1.31 5.32 0.00 0.04 0.00 1.01 0.00
D. Batunanggar 0.93 1.29 1.48 0.00 0.14 0.00 0.00 0.00
Siantar 1.58 0.69 0.52 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00
G. Malela 1.98 0.24 0.27 0.15 0.46 2.25 0.00 0.00
G. Maligas 1.24 0.87 1.39 0.00 2.00 1.89 0.00 0.00
Hutabayu Raja 1.59 0.60 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Jawa Bah Jambi 1.54 0.71 0.49 0.17 0.42 3.20 0.64 0.00
P.Bandar 1.68 0.37 1.08 0.24 1.94 7.02 1.21 0.00
Bandar Haluan 0.75 0.96 4.15 0.04 1.58 3.73 0.00 0.00
Bandar 0.53 1.23 4.18 0.16 0.87 1.23 4.29 0.00
Bandar masilam 0.39 1.62 2.92 0.07 1.32 2.45 0.00 0.00
Bosar Maligas 0.00 2.17 1.97 0.43 2.43 10.10 0.00 0.00
U. Pandang 1.22 0.93 1.45 0.02 0.49 1.84 0.00 0.00

Nilai LQ komoditas tanaman pangan di Kabupaten Simalungun adalah sebagai


berikut :

 Padi Sawah nilai LQ = 1,98 terdapat di Kecamatan G. Malela


 Padi Ladang nilai LQ = 5,53 terdapat di Kecamatan Silou Kahean
 Jagung nilai LQ = 2,28 terdapat di Kecamatan Haranggaol H
 Ubi Kayu nilai LQ = 4,18 terdapat di Kecamatan Bandar
 Ubi Jalar nilai LQ = 9,96 terdapat di Kecamatan P. Silimahuta
 Kacang Tanah nilai LQ = 5,79 terdapat di Kecamatan Girsang Spg
 Kacang Hijau nilai LQ = 10,10 terdapat di Kecamatan Bosar Maligas
 Kedelai nilai LQ = 6,48 terdapat di Kecamatan Sidamanik

577
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

a. Potensi dan Kendala Pengembangan padi sawah


Keberhasilan produksi dan produktivitas padi sawah yang baik di Kab.
Simalungun tidak terlepas dari potensi sumberdaya lahan yang ada dan juga
pengaruh iklim. Dapat dikatakan bahwa tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman
padi sawah di Kab. Simalungun sangatlah mendukung. Untuk lebih
mensinkronkan data potensi lahan (temperatur, ketersediaan air, bahaya erosi,
kedalaman dan jenis tanah) dan tingkat kesuburan tanah dengan hasil produksi
dan produktivitas maka diperlukan kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah
(Tabel 2).

Tabel 2. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk padi sawah (Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan Komoditas Pertanian, 2011)

Melalui tabel diatas terlihat bahwa Kab. Simalungun memiliki potensi yang
sangat tinggi terkait dengan temperatur/ suhu dan kelembaban karena wilayah
Simalungun termasuk dalam kelas S1 (Sangat Sesuai), yakni wilayah Simalungun
sangat sesuai dilihat dari sisi temperatur/ suhu dan kelembaban untuk ditanami
padi sawah. Namun demikian, penentuan kelas kesesuaian lahan dalam suatu
pemetaan, tidak hanya dilihat dari sisi temperatur ataupun kelembaban saja
melainkan penilaian itu dilakukan secara menyeluruh. Sistem Penilaian
Kesesuaian Lahan (SPKL) yang digunakan dalam penentuan kelas kesesuaian
lahan sangat berguna dan membantu mempercepat hasilnya. Setiap SPT yang
telah dikerjakan diawal kegiatan dianalisa nilai kesesuaian lahannya. Dalam SPKL

578
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

semua data baik biofisik lingkungan, observasi lapangan, kesuburan tanah (fisika
dan kimianya) dientry guna mendapatkan hasil yang benar-benar baik.

Kesesuaian lahan untuk komoditas padi sawah di Kab. Simalungun. Dari


hasil olah data dengan menggunakan SPKL dan ArcGIS diperoleh hasil bahwa
sebesar 50.202 Ha (11,41%) wilayah Simalungun masuk dalam kategori sesuai
(S2), sebesar 280.652 Ha (63,82%) masuk dalam kategori cukup sesuai (S3) dan
sebesar 100.243 Ha (22,79%) masuk dalam kategori tidak sesuai (N). Hal ini
memperlihatkan bahwa sebenarnya Kab. Simalungun masih memiliki potensi yang
cukup besar dalam pengembangan padi sawah (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Kesesuaian Lahan untuk Padi Sawah di Kab. Simalungun

Sejalan dengan potensi pengembangan padi sawah, bahwa melalui peta


kesesuaian lahan untuk padi sawah di Kab. Simalungun juga terlihat jelas adanya
kendala di setiap kategori yang ada. Kendala dimasing-masing kelas kesesuaian
lahan untuk kelas S2 dan S3 adalah:i) ketersediaan air (wa), ii) media perakaran,
baik permasalahan drainase maupun tekstur (rc), iii) retensi hara, berupa pH, KTK,
KB dan C-org (nr) dan iv) bahaya erosi, yang lebih dipengaruhi oleh kemiringan
lereng (eh). Permasalahan non teknis yang dihadapi di lapangan cukup banyak,
diantaranya adalah

1. Alih fungsi lahan sawah ke peruntukkan yang lain, seperti: perumahan, industri,
komoditas pertanian lain, perkantoran dan lain sebagainya.
2. Pengaruh iklim yang dapat menimbulkan banjir, kekeringan dan serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT) sehingga menyebabkan gagal panen
3. Kurang tersedianya sarana produksi dan juga harganya yang sulit dijangkau
petani

579
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

4. Rata-rata kepemilikan lahan sawah yang hanya 0,3-0,5 ha, membuat usaha tani
tidak secara signifikan dalam meningkatkan pendapatan/ kesejahteraan
5. Harga gabah yang tidak memihak petani, sehingga membuat petani merubah
profesi atau merubah komoditi pertaniannya
6. dan lain-lain

b. Strategi umum dalam menjaga produksi dan produktivitas padi sawah


Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan hasil produksi dan
produktivitas lahan sawah untuk Prov. Sumatera Utara khususnya di Kab.
Simalungun sangat diperlukan, Hal ini bukan saja dengan tujuan untuk mencapai
swasembada pangan melainkan untuk menjaga ketahanan pangan. Seperti
diketahui, beras yang bersumber dari padi merupakan makanan pokok yang harus
dijaga ketersediannya. Upaya khusus yang dilakukan pemerintah daerah dan
pusat di beberapa provinsi melalui kegiatan optimalisasi lahan, perbaikan jaringan
irigasi dan bantuan alat mesin pertanian (alsintan) sebagai langkah awal yang baik
dalam meningkatkan produksi dan produktivitas. Diharapkan langkah awal ini
dapat menjadi tumpuan untuk memberhasilkan langkah-langkah berikutnya.

Sejalan dengan potensi dan kendala yang ada dilapangan diatas, dan
tingkat kesesuaian lahan maka sangat diperlukan beberapa strategi dalam upaya
antisipasi permasalahan yang ada sebagai berikut :

1. Peningkatan usaha ekstensifikasi dalam mencetak lahan sawah baru,


dimana hal ini akan secara langsung meningkatkan produksi.
2. Kolaborasi dengan instansi lain di tingkat pemerintah daerah dalam
mengurangi upaya alih fungsi lahan khususnya lahan sawah.
3. Peningkatan usaha diseminasi akan inovasi teknologi kepada petani
dalam upaya peningkatan produksi dan produktivitas padi, seperti
pengenalan beberapa paket teknologi dalam Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT).
4. Pengenalan dan memberikan bantuan benih unggul sehingga
penggunaan benih lokal semakin berkurang dan produksi/produktivitas
dapat dikejar.
5. Memberikan bantuan berupa modal, alat/ mesin pertanian dan saprodi
lainnya.
KESIMPULAN

1. Potensi pengembangan padi sawah di Kab. Simalungun sangat baik karena


terlihat dari sebaran nilai LQ> 1 di 14 kecamatan
2. Kesesuaian lahan tanaman padi sawah di Kab. Simalungun didominasi oleh
kelas S2 (Sesuai) dan S3 (Cukup Sesuai) dengan masing-masing luas adalah
50.202 Ha (11,41%) dan 280.652 Ha (63,82%)
3. Kendala peningkatan produksi padi menurut peta kesesuaian lahan adalah: i)
ketersediaan air (wa), ii) media perakaran (rc), iii) retensi hara (nr) dan iv)
bahaya erosi (eh)

580
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

4. Permasalahan lain di lapangan adalah peningkatan alih fungsi lahan,


pengaruh iklim, kurang tersedianya sarana produksi dan harga gabah yang
tidak memihak petani

DAFTAR PUSTAKA

BBSDLP. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Komoditas Pertanian. Balai


Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP). Bogor
BBSDLP. 2013. Petunjuk TeknisPenyusunan Peta Pewilayahan Komoditas
Pertanian berdasarkan Peta AEZ pada Skala 1:50.000 dalam Rangka
Pendampingan Litkaji Pemetaan Sumberdaya Lahan. Balai Besar Sumber
Daya Lahan Pertanian (BBSDLP). Bogor
BPS Simalungun. 2011. Simalungun dalam Angka Tahun 2010. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Simalungun
BPS Simalungun. 2014. Simalungun dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Simalungun
BPS Sumut. 2014. Sumatera Utara dalam Angka tahun 2013. Badan Pusat
Statistik Provinsi Sumatera Utara

581
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

POTENSI PENGEMBANGAN PADI DI PULAU BINTAN

Lutfi Izhar1),Dahono1), dan Salwati2)


1)
Loka Penelitian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau;
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Jl. Sungai Jang No.38 Tanjung Pinang
Email: lutfiizhar@litbang.pertanian.go.id

ABSTRAK

Ketersediaan bahan pangan sangat penting bagi masyarakat pulau Bintan


sehingga pasokan dalam jumlah yang cukup merupakan hal yang sangat krusial.
Tujuan penelitian ini memberikan informasi wilayah di Kabupaten Bintan yang
sesuai untuk pengembangan tanaman pangan. Selain itu juga bertujuan untuk
mengetahui potensi hasil beberapa VUB Padi. Penelitian dilakukan pada tahun
2012-2013 dengan metode survey, kajian laboratorium, dan kajian lapangan.
Hasil penelitian menunjukkan peluang pengembangan tanaman padisawah seluas
20.275 ha, dan untuk padi gogo seluas 45.501 ha. Lahan tersebut tersebar di
semua wilayah Kabupaten Bintan khususnya yang berdekatan dengan
sumberdaya air alam seperti sungai dan tampungan air yang cukup luas. Hasiluji
adaptasi beberapa VUB padi menunjukan bahwa Inpara 5 memberikan hasi
tertinggi yaitu mencapai 5 ton/ha. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa
potensi pengembangan padi cukup baik di Kabupaten Bintan.

Kata Kunci: Potensi, padi, kesesuaian lahan, VUB, Bintan

PENDAHULUAN
Pengembangan komoditas pertanian unggulan suatu wilayah seperti
tanaman pangan, dapat secara optimal dilakukan dengan memperhatikan
dukungan sumberdaya alam seperti tanah dan air. Pewilayahan komoditas
tanaman pangan khususnya padi perlu diketahui sebagai dasar pertimbangan
pembangunan pertanian yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan memberikan
hasil yang optimal (FAO. 1996; Babel danTuryatungga. 2015).
Pewilayahan komoditas pertanian adalah suatu bentuk usaha untuk
membuat wilayah-wilayah sesuatu atau kelompok komoditas dengan
mempertimbangkan kualitas dan ketersediaan sumberdaya lahan, manusia, dan
infrastruktur yang tersedia agar diperoleh produk pertanian yang optimal dan
berwawasan lingkungan dengan melalui pendekatan sistem dan usaha agribisnis
(Tian dkk, 2014).
Pewilayahan komoditas tanaman pangan khususnya padiadalah melalui
pemanfaatan peta AEZ skala 1 : 250.000 secara operasional, lalu ditindaklanjuti
melalui pemetaan lebih detail pada skala 1 : 50.000 dengan mempertimbangkan
sifat dan karakteristik tanah sebagai prasyarat utama. Faktor-faktor tanah dan fisik
lingkungan yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan adalah tanah
(media perakaran, retensi hara, toksisitas), iklim (suhu udara, elevasi, curah hujan)

582
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

terrain (lereng, singkapan batuan, batuan dipermukaan), bahaya banjir dan


bahaya erosi.
Salah satu aplikasi AEZ yang telah dilakukan LPTP Kepulauan Riau
terletak di Kabupaten Bintan. Kabupaten Bintan terdiri dari 10 kecamatan memiliki
jumlah penduduk sekitar 150.245 jiwa, mempunyai keadaan biofisik dan kondisi
sosial ekonomi dan budaya yang beranekaragam(BPS Bintan, 2012).
Ketersediaan produk pertanian khususnyaberasyang sebagian besar dari luar
kabupaten (luar pulau), sangat tergantung pada keadaan cuaca dan gelombang
laut, sehingga sering terjadi kelangkaan produk pertanian tanaman pangan
khususnya beras. Sedangkan wilayah Bintan dari hasil analisis zona spasial
dankegiatan pengkajian di lahan petani padi menunjukkan hasil produksi padi yang
cukup baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa lahan untuk tanaman padi tersedia
namun belum termanfaatkan secara optimal (Depkominfo, 2008; Deptan, 2008).

Berpijak dari persoalan tersebut, merupakan suatu terobosan yang tepat


untuk menciptakan kemandirian pangan di kabupaten ini melalui pemilihan
komoditas padi unggul, memiliki peluang pasar yang baik, dan berkelanjutan
dengan memanfaatkan dukungan sumberdaya lahan. Tujuan tulisan ini adalah
memberikan informasi wilayah di Kabupaten Bintan yang sesuai untuk
pengembangan tanaman padi berserta hasil pengkajian varietas unggul baru padi
dari Badan Litbang Pertanian.

BAHAN DAN METODE

Pemilihan lokasi daerah kegiatan didasarkan atas ketersediaan data


spasial dalam wujud peta dasar (peta rupa bumi), citra satelit, peta pendukung
lainnya maupun dalam bentuk basis data sumberdaya lahan. Kegiatan ini telah
dilaksanakan di seluruh Kabupaten Bintan dari bulan Januari 2012 sampai
Desember 2012.Sedangkan kegiatan verifikasi di lapangan dilakukan di Desa Parit
Bugis, Bintan seluas 4 ha yang dilakukan pada tahun 2013.Varietas padi yang di
tanam antara lain Inpara 2,3,4,5,6 dan Ciherang. Budidaya padi dilakukan secara
spesifik lokasi dengan melakukan analisis tanah terlebih dahulu, pengelolaan
budidaya padi sesuai prosedur dari Balai Penelitian Padi Sukamandi.
Untuk mendukung proses penelitian, digunakan beberapa peralatan
(komputer dan peralatan lapang). Peralatan observasi tanah dilapangan minimal
bor tanah (mineral), pisau lapang, Muncell Soil Colour Chart, pH trough, kompas,
abney level, altimeter dan loupe. Diperlukan juga form isian untuk pengamatan
tanah dilapangan dan petunjuk pengisiannya. Data yang diamati selama verifikasi
di lapang mulai dari data keragaan agronomi pertumbuhan tanaman sampai
dengan data produksi dan dianalsis statistik.
Prosedur penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian terdiri dari
empat tahapan kegiatan meliputi: (a) Penyiapan data, (b) Penyiapan peralatan, (c)
Identifikasi lahan, (d) Evaluasi lahan, (e) Verifikasi padi dan (d) Penyusunan peta
pewilayahan komoditas. Tahapan kegiatan lapang dimulai dari: (a) Identifikasi
lahan, (b) Evaluasi Kesesuaian Lahan, (c) Verifikasi sayuran dan (d) Penyusunan
Peta Pewilayahan Komoditas. Data yang digunakan antara lain:

583
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

- Peta dasar yang terdiri dari peta topografi/peta rupa bumi skala 1:50.000,
peta administrasi skala 1:50.000 Kabupaten Bintan.
- Citra satelit untuk Kabupaten Bintan.
- Peta tematik yang terdiri dari peta tanah, peta observasi, dan penggunaan
lahan.
- Peta pendukung yang terdiri dari peta-peta yang tersedia seperti peta
AEZ, peta tanah tinjau, peta arahan tata ruang pertanian dan peta arahan
pengggunaan lahan, masing-masing skala 1:250.000.
Tingkat ketelitian hasil pemetaan tergantung pada tingkat skala peta yang
dihasilkan serta variabel sifat tanah/lahan dan komoditas yang dinilai. Makin detail
skala peta, makin detail informasi kelas kesesuaian lahannya. Parameter biofisik
yang digunakan untuk evaluasi lahan tersebut adalah iklim, terrain, dan tanah
(Tabel 1).
Tabel 1. Parameter biofisik untuk evaluasi kesesuaian lahan skala 1:50.000
Parameter Kualitas lahan Karakteristik lahan
1. Iklim Rejim suhu, ketersediaan air Suhu udara, curah hujan ratarata tahunan,
bulan kering, dan bulan basah.
2. Tanah Kondisi media perakaran, retensi Kedalaman tanah, drainase, tekstur, bahan
hara, ketersediaan hara, kasar, KTK tanah, pH, C organik, NPK,
toksisitas keracunan/ bahan sulfidik, dan salinitas.
3. Terrain Bahaya erosi, bahaya banjir, Bentuk wilayah/ lereng, bahaya banjir,
penyiapan lahan singkapan batuan, dan keadaan batuan di
permukaan.

Pada pemetaan skala 1:50.000, penilaian kelas kesesuaian lahan


dilakukan untuk setiap satuan peta tanah (SPT) sampai pada tingkat kelas dan
subkelas, yaitu: Kelas S1 (lahan sangat sesuai), kelas S2 (lahan cukup sesuai),
kelas S3 (lahan sesuai marginal), dan kelas N (lahan tidak sesuai). Pengertian dari
kelas tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kelas kesesuaian lahan secara fisik dan pengertiannya.


Kelas
Kelas Simbol Pengertian
kesesuaian
1 S1 Sangat sesuai Tanpa/sedikit pembatas biofisik yang berarti, yang
mempengaruhi pengelolaan tanah dan tanaman.
2 S2 Cukup sesuai Tingkat pembatas biofisik ringan, yang
mempengaruhi pengelolaan tanah dan tanaman.
Perbaikannya memerlukan input rendah.
3 S3 Sesuai Tingkat pembatas biofisik sedang yang dapat
marginal mempengaruhi pengelolaan tanah dan tanaman.
Perbaikannya memerlukan input sedang.
4 N Tidak sesuai Tingkat pembatas biofisik berat, sehingga
penggunaannya tidak memungkinkan.
Perbaikannya memerlukan input tinggi yang tidak
sebanding dengan outputnya.

584
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesesuaian lahan untuk pengembangan padi di Bintan

Berdasarkan rencana tata ruang dan wilayah di Provinsi Kepulauan Riau


kondisi eksisting pengembangan wilayah padi yang tertinggi adalah di Kabupaten
Karimun kemudian di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Bintan dengan luas 54
hektar lahan sawah dan 93.186 hektar (BPS, 2012). Berdasarkan hasil analisis
bentuk wilayah/relief dan pengamatan di lapangan, bentuk wilayah daerah
Kabupaten Bintan sangat bervariasi, namun didominasi oleh wilayah datar sampai
bergelombang (lereng <15%), dan sebagian berupa wilayah berbukit dan
bergunung (lereng 15-> 40%), seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran bentuk wilayah di Kabupaten Bintan.


Luas
No Bentuk wilayah Kelas lereng (%)
Ha %
1 Datar (L) 0-1 38.470 33,0
2 Agak datar (N) 1-3 18.714 16,1
3 Berombak (U) 3-8 26.337 22,6
4 Bergelombang (R ) 8-15 19.586 16,8
5 Berbukit kecil (C ) 15-25 9.173 7,9
6 Berbukit (H) 25-40 1.260 1,1
7 Bergunung (M) >40 455 0,4
8 Lain-lain (X) - 2.599 2,2
Jumlah 116.616 100,00

Lahan dengan bentuk wilayah datar yang sangat luas merupakan wilayah
yang mempunyai potensi cukup besar (38.470 ha) untuk pengembangan pertanian
tanaman pangan seperti tanaman padi. Wilayah perbukitan (lereng, <25%), masih
memungkinkan untuk pengembangan pertanian, terutama untuk tanaman
tahunan/perkebunan dengan penerapan teknik konservasi tanah (Serres dan
Voesenek, 2008).

Berdasarkan kesesuaian lahan (lahandatar) maka sekitar 20.275 ha atau


sekitar 17% dari total wilayah Kabupaten Bintan berpotens iuntuk dibangun area
budidaya tanaman padi khususnya padi sawah, walaupun sedikit terdapat kendala
dari kesuburan lahan yang ada karena sebagian besar merupakan lahan sub
optimal (Tabel 4). Sebenarnya potensi pengembangan yang lebih luas dapat
dilakukan dengan memperhatikan kondisi ketersediaan air dan kelerengan lahan.

585
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Kesesuaian lahan untuk komoditas padi di Kabupaten Bintan.


Kesesuaian Komoditas Luas
No.SPT
Sawah Padi gogo ha %
1 S3nr S3oa,nr 1.518 1,3
2 S3nr S3oa,nr 7.488 6,42
3 S3nr S3oa,nr 10.943 9,38
4 S3nr S3oa,nr 326 0,28
5 Nrc S3oa,nr 10.839 9,29
6 Nx Nx 6.500 5,57
7 Nx Nx 250 0,21
8 Nx Nx 606 0,52
9 S3wa,nr S3nr 4.440 3,81
10 S3wa,nr,eh S3nr 9.108 7,81
11 Neh S3nr,eh 10.931 9,37
12 S3wa,nr S3nr 14.274 12,24
13 S3wa,nr,eh S3nr 17.229 14,77
14 Neh S3nr,eh 8.655 7,42
15 Neh Neh 4.590 3,94
16 Neh Neh 1.260 1,08
17 Neh Neh 4.603 3,95
18 Neh Neh 455 0,39
X2 1.985 1,7
X3 614 0,53
Total 116.616 100.0

Keragaan tanaman padi di Bintan


Pemanfaatan varietas unggul baru (VUB) padiadalah salah satu upaya
peningkatan produksi padi yang efisien, hal ini terbukti bahwa sumbangan
terhadap hasil nasional sebesar 5 % dengan tingkat produktivitas lebih dari 5 t/ha
(Hendrata dkk., 2011; Badan Litbangtan, 2009). Berbagai Hasil Penelitian
merekomendasikan bahwa teknologi penggunaan VUB bersama inovasi lainnya
dapat berperan dalam mewujudkan swasembada beras (Balitpa, 2010; Fadjry
dkk., 2012).

Komponen hasil padi dari beberapa VUB yang diuji terdiri dari panjang
malai, jumlah tangkai/malai, jumlah biji dan prosentase hampa serta
produktivitas/ha dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Keragaan hasil beberapa VUB padi di Provinsi Kepulauan Riau


Panjang Jumlah %Gabah Produksi
VUB Jumlah Malai
Malai gabah/malai Hampa (ton/ha)
Inpara 2 24.33 ab 11.27 a 134.76 a 30.90 c 4.78 a
Inpara 3 21.31 c 7.93 b 90.99 cd 23.27 d 4.83 a
Inpara 5 23.12 abc 7.74 b 77.32 d 13.69 e 5.25 a
Inpara 6 25.48 a 12.27 a 131.41 ab 34.33 b 2.85 b
Ciherang 22.03 bc 8.70 b 109.17 bc 59.47 a 2.17 b
KK 6,81 8,40 12.39 4,74 24.90

586
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa keragaan hasil berbeda nyata


antara varietas yang diuji. Panjang malai VUB Inpara 6 lebih panjang dibandingkan
Inpara 3 dan Ciherang, namun tidak berbeda nyata dengan yang lainnya. Jumlah
malai terbanyak juga terdapat pada varietas Inpara 6. Jumlah gabah per malai
terbanyak dimiliki varietas Inpara 2 dan Inpara 6. Prosentase gabah hampa
terbanyak pada varietas Ciherang yaitu sebanyak 59,47 % sedangkan yang paling
sedikit ditunjukkan oleh varietas Inpara 5. Produksi Gabah kering panen tertinggi
pada varietas Inpara 5 yaitu 5.250 kg/ha, jauh lebih tinggi dibandingkan varietas
Ciherang dan Inpara 6, namun tidak berbeda nyata dengan varietas Inpara 2 dan
3.

Dari hasil pengamatan tambahan di lapangan terlihat bahwa varietas


Ciherang memiliki tingkat keracunan Fe tertinggi dibanding dengan varietas
lainnya dengan daun terinfeksi 70-75 %. Hasil ini berbeda dengan yang
dilaporkan oleh Rina dkk.(2012) bahwa varietas Ciherang yang ditanam di
Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan dengan Agroekosistem
pasang surut merupakan varietas yang agak toleran terhadap keracunan Fe
dengan memiliki tanda-tanda pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambat,
beberapa daun berwarna coklat kemerahan atau kuning orange; daun terinfeksi
hanya 50-69 %.

Peluang pengembangan padi di Bintan

Pengembangan padi di Bintan memiliki peluang yang baik. Ketersediaan


air dibeberapa wilayah mampu mendukung pertumbuhan dan usahatani padi
sampai dengan memberikan hasil yang cukup baik. Berdasarkan uji beberapa
varietas baru padi pada tahun 2013 menunjukan potansi hasil yang baik.
Menggunakan tingkat hasil 2 ton/ha padi sawah, dan 1 ton/ha padi gogo maka
dengan luas lahan tanam 20.275 ha padi sawah dan 45.051 ha padi gogo, maka
dari daerah ini dapat dihasilkan sekitar lebih 85.500 ton padi GKP, atau sekitar
80% x 85.500= 68.400 ton GKG, atau 63%x 68.400 = 43.092 ton beras per musim
tanam.

Jumlah penduduk Kab. Bintan yang mencapai 150.245 jiwamemerlukan


17.127 ton beras per tahun apabila konsumsi beras per kapita 114 kg/kapita/tahun.
Dengan demikian, apabila seluruh lahan yang potensial ditanami padi maka
kebutuhan beras seluruh penduduk Kabupaten Bintan akan mampu dipenuhi.
Sementara itu, usahatani padi cukup layak dilakukan oleh masyarakat petani
karena mampu memberikan keuntungan yang cukup tinggi.

KESIMPULAN

Padi merupakan salah satu komoditas utama sektor pertanian yang memiliki
peluang baik untuk dikembangkan dan dibudidayakan di Kabupaten Bintan.
Potensi lahan mencapai 20.275 ha padi sawah dengan potensi hasil padi
mencapai 5 ton/ha oleh VUB Inpara 5. Potensi lahan untuk padi gogo tersedia
adalah 45.051 ha.

587
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Azwir,. Ismon, L. 2011. Pertumbuhan dan Potensi Hasil Tiga Varietas Padi di
Lahan Sawah Bukaan Baru dengan Menggunakan Paket Teknologi Lado
21, Prosiding Seminar Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai
Penelitian Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian :265-
272 p.
Babel, M.S., Turyatungga E. 2015. Evaluation of climate change impact and
adaptation measure for maize cultivation in the western Uganda agro-
ecological zone. TeorApplClimatol, 199: 239-254
Badan Litbang Pertanian. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian; 20 p.
Balitpa. 2010. Deskripsi varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi; 109
p.
BPS. Kabupaten Bintan. 2012. Bintan dalam angka 2012. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bintan.
Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. 2008.
http://www.depkominfo.go.id/. 2008. Departemen Komunikasi dan
Informasi Republik Indonesia-Newsroom. Jakarta, 9/1/2008
Deptan. 2008. Peningkatan produksi padi menuju 2020, memperkuat kemandirian
pangan dan peluang ekspor. Departemen Pertanian, Jakarta.
Fadjry, D., Arifuddin K, , Syafruddin K., Nicholas. 2012. Pengkajian varietas unggul
baru padi yang adaptif pada Lahan sawah bukaan baru untuk
meningkatkan Produksi 4 ton/ha gkp di kabupaten merauke provinsi,
Papua. Dalam Prosiding Sinas, 29-30 November 2012
FAO. 1996. Agro-ecological zoning guidelines. FAO Soil Bulletin 73. Rome.
Hendrata, R., Sutardi, S., Widyayanti. 2011. Penampilan Agronomis Galur
Harapan Padi Sawah Pada Tanah Vertisol di Kabupaten Gunung Kidul.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Penelitian
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian:239-245 p.
Rina, D.N., Khairatun, N. 2012. Penggunaan pupuk organik untuk mengatasi
keracunan Besi di Lahan pasang surut kalimantan selatan. Seminar
Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas
Trunojoyo Madura Juni, 2012, 9 hal.
Serres, J.B., L.A.C. J Voesenek. 2008. Flooding Stress: Acclimations and Genetic
Diversity. Annual Review of Plant Biology.Vol 59. Page 31-39
Tian, Z., zhong H., Sun L., Fisher B., Van Velthuizen, Liang Z. 2014. Improving
performance of agro-ecological zone (AEZ) modeling by cross-scale
model coupling: an application to japonica rice production in Northeast
China. Ecological Moddeling: vol 290: 155-164.

588
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

EKSISTENSI HAMA PENYAKIT PADI PADA PENGELOLAAN TANAMAN


TERPADU (PTT) PADI BERBASIS LIMBAH CAIR PABRIK GULA KWALA
MADU DI KABUPATEN LANGKAT

Wasito, Loso Winarto dan Khairiah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No. 1B Medan
Email : wasito63@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pemanfaatan limbah cair Pabrik Gula Kwala Madu (PGKM) di Kecamatan


Binjai, Kabupaten Langkat yang mengandung senyawa organik dan anorganik
pada usahatani padi mempunyai banyak manfaat dalam mencegah dan
mengendalikan penyakit padi. Untuk itu, telah dilakukan pengkajian pemanfaatan
limbah cair PGKM (P1 : pupuk organik + anorganik + lain) pada usahatani dengan
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi (P11 : 5 petani) dan non PTT padi (P12
: 5 petani) di Desa Sambirejo dan Sendangrejo, serta tanpa limbah cair (P0 : pupuk
anorganik + lain) (P01 : PTT padi 5 petani, P02 : non PTT padi 5 petani) di Desa
Sukamakmur, Sambirejo dan Sendangrejo. Parameter utama yang diamati adopsi
teknologi PTT padi, eksistensi penyakit padi berbasis limbah cair PGKM, dan
produktivitas. Analisis Cohran dan himpunan digunakan untuk mengukur senjang
eksistensi penyakit dan penerapan teknologi PTT. Hasil kajian, terjadi senjang
penerapan teknologi PTT, atau eksistensi penyakit padi mencapai 0,25 – 0,35, dan
senjang hasil sekitar 0,10 – 0,15. Analisis secara kualitatif, limbah cair pabrik gula
memberi keunggulan pada eksistensi penyakit dan produktivitas padi, bermanfaat
ganda, mencegah pencemaran dan daya guna air, sehingga menghemat
cadangan air bersih dan sebagai penyubur tanah.

Kata Kunci : Adopsi, PTT padi, Limbah cair pabrik gula, Langkat

PENDAHULUAN

Pabrik Gula Kwala Madu (PGKM), suatu perusahaan penghasil gula yang
didirikan di luar pulau Jawa. Proses produksi PGKM menghasilkan limbah yaitu
limbah padat dan limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan PGKM di wilayah
manajer perkebunan Tanjung Jati Kabupaten Langkat sebelum dibuang ke
saluran irigasi, terlebih dulu ditampung di bak penampung. Limbah cair yang
berasal dari proses pembersihan atau pencucian dan pemasakan meghasilkan
efek asam atau alkali dengan mengandung kadar garam yang cukup tinggi.
Limbah cair ini mengandung unsur-unsur hara yang berguna (N, P, K, Ca, Mg dan
sebagainya) yang dapat membantu memelihara kesuburan tanah dan
meningkatkan produksi tanaman baik padi, tebu maupun tanaman lainnya, selaras
www.digilib.ui.ac.id diakses November 2013. Limbah cair tersebut, diantaranya
dialirkan melalui saluran irigasi ke areal pertanian (tadah hujan) di Desa Sambirejo
dan Sendangrejo. Kedua desa merupakan daerah pertanian, kondisi tanah datar,
lapisan tanahnya cukup tebal dan subur sehingga cocok untuk pertanian tanaman
padi (pangan). Keberadaan PGKM ini mengakibatkan lahan pertanian di desa

589
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sekitarnya terbagi menjadi dua lahan pertanian yang teraliri maupun yang tidak
teraliri limbah cair pabrik gula tersebut. Dusun yang lahan pertaniannya teraliri
limbah cair pabrik gula tahun 2012 terdiri dari empat dusun, sedangkan dusun
yang lahan pertaniannya tidak teraliri limbah cair meliputi dua belas dusun.
Desa Sambirejo, Sendangrejo, atau Suka Makmur berada di Kecamatan
Binjai, Kabupaten Langkat. Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah
yang mempunyai lahan sawah tadah hujan lebih luas dibandingkan dengan lahan
sawah irigasi. Luas lahan sawah nya adalah 40.436 ha, dimana luas lahan tadah
hujan sebesar 80% dari luas total lahan sawah, yaitu 32.348 ha (Distan Langkat,
2011). Menurut data BPS Sumut (2011), SumateraUtara mempunyai luas lahan
sawah irigasi 135.872 ha dan luas sawah tadah hujan 149.547 ha. Produktivitas
padi pada lahan tadah hujan umumnya lebih rendah dari hasil padi di lahan sawah
irigasi. Pada tingkat petani produktivitas padi sawah tadah hujan berkisar antara
3,0-3,5 t/ha (Fagi, 1995; Setiobudi and Suprihatno, 1996).
Pemanfaatan limbah cair PGKM yang mengandung senyawa organik dan
anorganik pada usahatani padi mempunyai banyak manfaat. Selaras dengan
konsep sistem usaha tani padi ramah lingkungan berbasis limbah cair PGKM,
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan pendekatan untuk integrasi
pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan
dalam upaya peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kelestarian lingkungan.
PTT menekankan empat prinsip yang saling memengaruhi, yaitu prinsip
terintegrasi, sinergis, dinamis, dan partisipatif (Las dkk., 2003; Badan Litbangtan,
2010). Komponen teknologi dasar yang diterapkan dalam PTT (Zaini, et.al., 2009),
yaitu VUB, benih bermutu/berlabel, bahan organik, populasi tanaman optimum,
pemupukan berimbang, dan PHT, sedangkan komponen teknologi pilihan,
meliputi pengolahan tanah, bibit muda (< 21 hari), tanam bibit 1 – 3 batang,
pengairan intermiten, penyiangan, panen tepat waktu, dan gabah segera dirontok.
Berpijak pada pokok pikiran di atas maka telah dilakukan pengkajian
penerapan PTT padi berbasis limbah cair PGKM di Kabupaten Langkat Sumatera
Utara.

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan waktu
Kajian ini dilakukan di Desa Sambirejo dan Sendangrejo, serta Suka
Makmur Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat pada April - September 2015.

Metode pengkajian
Format pengkajian bersifat cross-sectional dan longitudinal yaitu
pengumpulan data beberapa variabel pada periode waktu tertentu. Hal ini untuk
mengetahui hubungan satu variabel dengan variabel lain, dan perubahan variabel
tersebut dari populasi yang di amati di lapangan dalam periode waktu yang
berbeda. Kajian dilakukan di Desa Sambirejo dan Sendangrejo, Suka Makmur
Kec. Binjai, Kab. Langkat pada April - September 2015. P1 : petani memanfaatkan
limbah cair PGKM (pupuk organik + anorganik), P11 : adopsi PTT padi (5 petani),
P12 : non PTT padi (5 petani). P0 (tanpa limbah cair; pupuk anorganik), P01 :

590
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

adopsi PTT padi (5 petani), P02 : non PTT padi (5 petani). Parameter utama yang
diamati, yaitu adopsi teknologi PTT padi, eksistensi penyakit padi berbasis limbah
cair PGKM, dan produktivitas, dan analisis lainnya. Pengumpulan data primer
diawali dengan mengamati dan melibatkan diri pada komunitas masyarakat petani
secara alami (natural setting) (Denzin dan Lincoln, 1994). Selanjutnya diskusi
kelompok terfokus responden secara sengaja (purposive), pada 10 petani P1 dan
10 petani PO. Data sekunder dari Poktan, Gapoktan, penyuluh pertanian lapangan
(PPL), instansi terkait, serta hasil dan laporan penelitian/pengkajian.
Parameter pengukuran
a. Pengukuran Senjang Penerapan Teknologi PTT Padi
Senjang penerapan teknologi pada PTT padi merupakan perbedaan antara
proses penentuan dan penerapan teknologi oleh petani dibandingkan dengan
proses penentuan dan penerapan teknologi yang ditawarkan PTT. Komponen
teknologi dasar PTT padi : (a) VUB; (b) benih bermutu dan berlabel; (c) pemberian
bahan organik; (d) populasi tanaman optimum; (e) pemupukan sesuai
rekomendasi; (f) PHT. Komponen teknologi pilihan : (a) pengolahan tanah sesuai
MT dan pola tanam; (b) penggunaan bibit muda (< 21 hari); (c) tanam bibit 1 – 3
batang/rumpun; (d) pengairan secara intermitten; (e) penyiangan dengan landak,
gasrok; (f) panen tepat waktu, dan gabah segera dirontok.
b. Pengukuran Senjang Eksistensi Penyakit Padi
Senjang eksistensi penyakit padi merupakan perbedaan antara
eksistensinya pada pemanfaatan limbah cair PGKM atau PTT padi dan
eksistensinya yang tidak memanfaakan limbah cair PGKM atau non PTT padi oleh
petani dibandingkan dengan proses penentuan dan penerapan teknologi yang
ditawarkan PTT.
Analisis Data
1. Analisis deskriptif untuk menganalisis metode pendekatan secara kualitatif,
untuk menemukan makna yang melandasi kajian (Bungin 2003).
2. Penerapan teknologi : analisis Cochran dengan pilihan ”ya” : 1 = adopsi, dan
”tidak” : 0 = non adopsi. Jika nilai Q hitung (Cochran-test) < X² (chi-square)
tabel, maka item-item yang telah diuji dapat diterima. Nilai Q dapat dihitung
dengan rumus:

3. Senjang penerapan PTT padi, eksistensi penyakit padi, dan produktivitas padi
dengan teori himpunan dan kategori. Teori probabilitas (Hasan, 2003)
mengadaptasi teori himpunan dimana operasi irisan (interseksi) dari
himpunan A (penerapan teknologi rekomendasi pada PTT, eksistensi
penyakit, produktivitas) dan himpunan B (penerapan teknologi pada non
PTT, eksistensi penyakit, produktivitas) = A п B = (X : x є A dan x є B), A dan
B tidak saling lepas, peristiwa bersamaan (Gambar 1).

591
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

A
B

Irisan/Interseksi

Gambar 1. Operasi irisan himpunan A dan B

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi
Desa Sambirejo, Sendangrejo, dan Suka Makmur
Data pemilikan lahan di desa Sambirejo, Sendangrejo, atau Suka Makmur
dapat dihitung dari total lahan, sehingga secara keseluruhan ± 33,75% KK tidak
memiliki lahan. Terdapat ± 44,02% menguasai kurang dari 0,5 ha lahan, dan ±
49,20% menguasai 0,6 – 1 ha. Hasil studi tentang kasus penguasaan lahan bahwa
± 26% menguasai lahan kurang dari 0,25 ha, ± 41% menguasai 0,25 – 0,5 ha dan
sisanya 33% diatas 0,5 ha. Sekitar 32% petani, kontribusi padi terhadap total
pendapatan keluarga adalah kurang dari 50%, bahkan bagi 23% petani, peranan
sawah kurang dari 30%.
Kendala utama pada lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air
yang sangat tergantung kepada curah hujan. Pengalaman penerapan model PTT
padi sawah tadah hujan pada tingkat penelitian, meningkat 37%. Pada skala
pengkajian meningkat 27% dan pada tingkat petani meningkat 16 %. Masalah
agronomis yang dihadapi petani pada lahan tersebut umumnya : (1) penggunaan
varietas lokal yang berdaya hasil rendah dan berumur panjang, (2) mutu benih
rendah, (3) pemupukan tidak tepat dan cenderung kurang, (4) cara tanam tidak
teratur dan populasi tanaman rendah, dan (5) pengendalian gulma tidak optimal.
Selain itu, tingkat penerapan teknologi introduksi di lahan sawah tadah hujan
relative rendah karena pendapatan dan modal petani tidak memadai (Pane dkk.
2002).
Karakteristik Petani
Karakteristik petani yang dianggap penting, meliputi status usaha, status
kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, usia, pengalaman usahatani padi, dan
sumber modal. Umumnya bertani sebagai mata pencaharian utama, sedangkan
sampinganya berdagang, beternak, dan kuli bangunan. Rata-rata status
kepemilikan lahan sebagian penggarap dan sebagian pemilik. Jumlah petani yang
menyelesaikan pendidikan setingkat SD ± 20 persen, sisanya pendidikan SLTP -
SLTA (80 persen). Profesi sebagai petani, merupakan usaha turun-temurun. Rata-
rata berprofesi sebagai petani ± 22 - 32 tahun, lebih paham terhadap usahatani
padi. Pemahaman petani semakin bertambah karena dibantu petugas PPL melalui

592
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

demplot. Petani yang memiliki pengalaman lebih 30 tahun (35,30 persen), ± 25 -


30 tahun (29,42 persen), sisanya 22 – 25 tahun. Sebagian besar sumber modal
usahatani padi (input produksi – tenaga kerja) dari modal pribadi.
Penerapan Teknologi PTT Padi Berbasis Limbah PGKM
P1 : petani memanfaatkan limbah cair PGKM (pupuk organik + anorganik),
P11 : adopsi PTT padi (5 petani), P12 : non PTT padi (5 petani). P0 (tanpa limbah
cair; pupuk anorganik), P01 : adopsi PTT padi (5 petani), P02 : non PTT padi (5
petani). Hasil analisis Cochran terhadap item-item penerapan komponen teknologi
PTT padi pada usahatani padi, dimana H0 : semua item yang diuji memiliki
proporsi jawaban ya yang sama (penerapan kolektif ~ asosiasi). Sedangkan H1 :
proporsi jawaban ya yang berbeda (non penerapan kolektif ~ non asosiasi) (Tabel
1).
Tabel 1. Penerapan kolektif teknologi PTT usahatani padi
P11 dan P01 **) P12 dan P02 *)
T. Adopsi kolektif ~ Qhit X2(α,db) Adopsi kolektif ~ Qhit X2(α,db)
Uji asosiasi asosiasi
1 Semua asosiasi (SA) 71,92 21,03 Semua asosiasi (SA) 106,86 22,36
2 SA, 3 dikeluarkan 44,91 19,68 SA, 2.3 dikeluarkan 37,97 21,03
3 SA, 4,5 dikeluarkan 10,28 16,92 SA, 2.4; 2.11 0,34 18,31
dikeluarkan
Ket : **) Penerapan kolektif teknologi padi usahatani + limbah cair PGKM :
1,2,6,7,8,9,10,11,12,13
PTT padi : 1. Olah tanah optimal, 2. VUB label, 7. Bibit < 16 hr, 12.
Rumput >4 x, 13. Panen tepat waktu.
Non PTT padi : 6. Tapin, 8. Bibit < 4 btg, 9. Pestisida non Org. 10. Non
PHT, 11. Non Intermitten,
Non penerapan kolektif : 3. VUB petani/jabal, 4. Pupuk Org. rek. 5.
Pupuk Org Non Rek,
*) Penerapan kolektif teknologi usahatani padi non limbah cair PGKM :
2.1;2.2;2.6;2.7;2.8;2.9;2.10;2.11;2.12;2.13;
PTT padi : 1. Olah tanah optimal, 2. VUB label, 7. Bibit < 16 hr, 12.
Rumput >4 x, 13. Panen tepat waktu.
Non PTT padi : 6. Tapin, 8. Bibit < 4 btg, 9. Pestisida non Org. 10. Non
PHT, 11. Non Intermitten,
Non penerapan kolektif : 3. VUB petani/jabal, 4. Pupuk Org. rek. 5.
Pupuk Org Non Rek,

Pada tabel 1, pada pengujian tahap ke-3 diperoleh hasil Q tabel 16,92 dan
Q hitung 10,28, keputusan adalah terima Ho, karena Q tabel lebih besar dari Q
hitung. Penerapan kolektif (asosiasi) komponen teknologi pada PTT padi, meliputi
: (1) pengolahan tanah sesuai musim tanam, (2) VUB berlabel, (7) tanam bibit umur
< 16 hari, (12) merumput dengan menggunakan landak > 4 kali per musim tanam,
dan (13) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Sedangkan penerapan
kolektif non PTT, meliputi : (6) tanam pindah (tapin) beraturan, (8) tanam bibit < 5
batang per lubang, (9) penggunaan pestisida non organik, (10) PHT non
rekomendasi, (11) sistem pengairan non intermitten.

593
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil analisis Cochran terhadap item-item penerapan teknologi PTT padi


pada usahatani padi. Pada pengujian tahap ke-3 diperoleh hasil Q tabel 18,31 dan
Q hitung 0,34, keputusan terima Ho (Q tabel > Q hitung). Penerapan kolektif
(asosiasi) komponen teknologi non PTT padi : (2.5) penggunaan pupuk organik
non rekomendasi, (2.6) penggunaan pupuk anorganik non rekomendasi, (2.7)
tanam pindah (tapin) beraturan, (2.8) tanam bibit umur > 21 hari, (2.9) tanam bibit
> 3 batang per lubang, (2.10) PHT non rekomendasi, dan (2.13) panen tepat waktu
tetapi gabah segera dirontok.
Pemilihan VUB yang tahan hama penyakit endemik belum menjadi pilihan
dan kebiasaan bertindak. Pilihan utama VUB adalah produktivitas tinggi,
memenuhi permintaan pasar, harga mahal, umur panen pendek, bentuk gabah
dan rendeman, kebeningan beras, rasa nasi pulen dan enak, selaras Zaini et.al.
(2009). Andaikata petani membeli benih berlabel dari kios, pada musim tanam
kedua dan ketiga masih menggunakan benih petani sendiri. Benih berlabel hanya
digunakan petani sekali untuk 3 musim tanam, selaras Zaini dkk. (2009). Pergiliran
VUB dalam setahun hanya sebagian kecil diterapkan, belum menjadi pilihan
tindakan. Penanaman varietas yang sama secara terus menerus pada jangka
waktu panjang pada satu wilayah, menyebabkan serangan hama dan penyakit
(Wasito, et.al. 2006), dan belum menjadi pilihan tindakan.
Tanam pindah dengan teknis lebih baik, legowo 6 : 1 atau botis telah
menjadi kebiasaan bertindak petani. Legowo 2 : 1 dan 4 : 1 menurut Zaini et.al,
(2009) berpeluang menaikan produksi, salah satu cara untuk mengurangi
serangan hama tikus dan keong emas, belum menjadi pilihan bertindak. Tanam
bibit umur muda (< 15 hari), 1 – 3 batang/rumpun diadopsi. Kondisi agroekosistem,
faktor sulitnya mengontrol air saat kemarau tiba (minim), pada musim hujan air
berlebihan, sehingga mempersulit tujuan bertindak. Penguasaan secara non
teknis (non BWD) dengan melihat warna kehijauan daun padi tanpa alat BWD.
Pemupukan N, P, dan K belum sesuai rekomendasi PerMentan nomor 40/2007.
Menurut Zaini et.al. (2009), waktu pemberian pupuk lebih ditentukan oleh
ketersediaan uang tunai yang ada pada petani, lebih mempertimbangkan jumlah
pupuk yang diberikan dibandingkan kadar hara dalam pupuk.
Faktor penyebab belum menjadi kebiasaan bertindak pengembalian jerami
ke lahan sawah sebagai sumber bahan organik. Pemberian kompos jerami padi
(KJP) dapat meningkatkan produksi padi dan efisiensi pupuk. Pemberian KJP 2
ton/ha meningkatkan produksi padi 765 kg/ha, KPJ 2 – 3 ton akan produksi padi
naik 1 – 1,5 ton/ha; 3 ton KJP – produksi padi naik 2 kali lipat) (Mala 1998).
Penggunaan bahan organik sesuai anjuran, belum dilaksanakan petani. Menurut
Thamrin (2000), pemberian bahan organik mampu meningkatkan hasil gabah padi
kering panen secara nyata. Teknis PHT yang benar, yaitu melakukan pengamatan
lapangan secara rutin setiap 2 – 3 hari sekali, menjadi kebiasaan bertindak petani
perintis dan pelopor.
Penerapan pengolahan tanah sesuai MT/maksimal, dengan traktor, ternak
+ bajak singkal dengan kedalaman > 20 cm, agar mampu meningkatkan produksi
padi, telah menjadi kebiasaan tindakan. Hal ini untuk menyediakan media

594
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pertumbuhan yang baik dan seragam bagi tanaman padi, serta mengendalikan
gulma, selaras Zaini et.al. (2009). Sumberdaya air, infrastruktur pengairan, dan
sistem ekologi yang kurang baik mengakibatkan teknis pengairan yang efektif dan
efisien, atau intermitten sulit diterapkan. Selaras dengan Zaini et.al. (2009a),
karena tidak adanya jaminan air irigasi, petani di Kabupaten Serang, Pandeglang,
dan Lebak tidak menerapkan metode pengairan irigasi berselang. Air sebagai
dominan faktor pada usahatani padi, teknis pengairan secara efektif dan efisien,
seperti teknik berselang, gilir giring, gilir glontor, dan basah – kering, dapat
menghemat pemakaian air « 30% (Zaini et.al, 2009a).
Limbah Cair PGKM dan Eksistensi Penyakit Padi
Eksistensi hama dan penyakit padi dipengaruhi lingkungan biotik (fase
pertumbuhan tanaman, populasi organisme lain, lainya) dan abiotik (iklim, musim,
agroekosistem, dan lainnya). Untuk pengendalianya, hal penting adalah jenis,
kapan keberadaannya di lokasi, apa yang mengganggu keseimbangannya
sehingga perkembangannya dapat diantisipasi sesuai tahapan pertumbuhan
tanaman (Makarim, et. al., 2003).
Penyakit utama, yaitu blas leher (cekik leher), hawar daun bakteri (HDB),
hama utama yaitu walang sangit, penggerek batang, burung. Periode bera, pada
singgang (tunggul jerami padi) adakalanya terdapat larva penggerek batang, virus
tungro, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan jamur.Teknis PHT
yang benar, yaitu melakukan pengamatan lapangan secara rutin setiap 2 – 3 hari
sekali, belum menjadi kebiasaan bertindak. Sebagian besar penerapan tergantung
waktu luang, karena petani mencari usaha sambilan. Selain itu, pembagian kerja
anggota kelompok, dinamika kelompok yang kolektif belum ada. Umumnya petani
tidak melakukan monitoring tingkat serangan hama dan infeksi penyakit. Teknis
pengendalian dengan ambang ekonomi, atau ambang tindakan (Zaini et.al, 2009)
belum menjadi kebiasaan bertindak.
Hasil analisis terjadi kesenjangan nyata (p < 0,05) eksistensi penyakit padi
berbasis pemanfaatan limbah cair PGKM, atau pada PTT padi (Gambar 2).

Nilai
80
70 P1
60 P0
50
40
30
20
10 Teknologi
0
PTT Non PTT

Gambar
Gambar 2. 1. Eksistensi
Eksistensi PenyakitPadi
Penyakit Padi

595
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Senjang Penerapan Teknologi PTT Padi Berbasis Limbah Cair PGKM


Hasil analisis Cohran dan himpunan, terjadi kesenjangan nyata (p < 0,05)
penerapan teknologi PTT padi pada usahatani padi + limbah cair PGKM
dibandingkan non limbah cair PGKM. Komponen teknologi dasar dan pilihan PTT
padi (rataan : 58 persen) diadopsi pada usahatani padi + limbah cair PGKM. Terjadi
senjang penerapan teknologi PTT mencapai 0,25 – 0,35 (P1 > P0) (Gambar 3).
Penerapan varietas padi mempengaruhi penerapan teknologi PTT.

% PTT

non
PTT
80
60
40
20
0 U.tani padi
Padi+limbah Padi+non limbah

Gambar 1. Adopsi Teknologi pada PTT Padi

Gambar 3. Adopsi Teknologi Pada PTT Padi

Komponen teknologi PTT padi (olah tanah), VUB berlabel, dan merumput
+ peremahan tanah masuk ke dalam himpunan besar paket teknologi PTT padi,
peristiwanya tidak saling “lepas (nonexclusive) dan bebas (dependent)” (Gambar
4).

Pupuk
organik
VUB Pengairan
Merumput+
berlabe inter-mitten,
peremahan
Olah l pupuk
tanah MT,
rekomendasi
Panen te-
pat waktu
Paket Teknologi
Benih muda, 1-3
PTT Padi btg/rum pun, pestisida
organik

Gambar 4. Operasi irisan penerapan teknologi PTT padi

Sedangkan VUB penangkar masih terjadi irisan, pergiliran varietas,


pengendalian OPT dengan PHT, dan legowo 2 : 1, 4 : 1 dan lainnya tidak terjadi
irisan dari himpunan paket teknologi (dasar dan pilihan) PTT padi berdasarkan
teori himpunan. Artinya tingkat penerapan kolektif sangat dominan hanya pada
pengolahan tanah sesuai musim tanam dan VUB berlabel, lainnya kurang
dominan, bahkan tidak diterapkan. Sebaliknya teknologi penggunaan benih muda
(< 15 hari); tanam bibit 1 – 3 batang per rumpunyang merupakan teknologi baru
menjadi keunggulan untuk diterapkan pada usahatani padi.

596
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Limbah Cair PGKM dan Produktivitas Padi


Limbah cair pabrik gula mengandung unsur-unsur hara yang berguna (N,
P, K, Ca, Mg dan sebagainya) yang dapat membantu memelihara kesuburan tanah
dan meningkatkan produksi tanaman baik padi, tebu maupun tanaman lainnya,
selaras www.digilib.ui.ac.id diakses November 2013. Hasil analisis terjadi
kesenjangan nyata (p < 0,05) produktivitas padi berbasis pemanfaatan limbah cair
PGKM, atau pada PTT padi (Gambar 5).
Ton/ha
7 P1
6
P0
5
4
3
2
1
0 Teknologi
PTT Non PTT
Gambar 2. Produktivitas padi

Gambar 5. Produktivitas Padi

KESIMPULAN
Penerapan komponen teknologi dasar dan pilihan PTT padi dominan (± 58
persen) selaras penerapan pada usahatani padi berbasis limbah cair PGKM (P1).
Sedangkan teknologi non PTT padi dominan (± 66,67 persen) diterapkan pada
usahatani padi non limbah cair PGKM (P0).Terjadi senjang penerapan teknologi
PTT, atau eksistensi penyakit padi masing-masing mencapai 0,25 – 0,35, dan
senjang hasil sekitar 0,10 – 0,15.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih diucapkan kepada peneliti BPTP Sumatera Utara, petani
responden, pengurus Poktan/Gapoktan yang telah dapat bekerja sama pada
kajian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang pertanian, 2010. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara. 2011. Sumatera Utara Dalam Angka.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis
dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT. Raja Grafindo
Persada.
Denzin, Norman K. Dan Y.S. Lincoln. 1994. Introduction, Entering the Field of
Qualitative Research dalam Denzin, Norman K. dan Y.S. Lincoln (ed.) 1994.
Handbook of Qualitative Research. SAGE Publication.
Dinas Pertanian Kabupaten Langkat. 2011. Dinas Pertanian Dalam Angka
Kabupaten Langkat 2011.
Fagi, A.M., 1995. Strategies for improving rain-fed lowland rice production systems
in Central Java. p.:189-199 In Rainfed Lowland rice. Agricultural Research
for High-Risk Environments. IRRI. Phi-lippines.
Hasan, M.I. 2003. Pokok-pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif). Bumi
Aksara. Jakarta. p. 1 – 35.

597
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A.Gani, H. Pane dan S. Abdulrachman. 2003.
Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu padi sawah
irigasi. Deptan, Jakarta.
Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih, S., dan S. Abdulrachman. 2003.Petunjuk
Teknis Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi
Secara Terpadu. Departemen Pertanian; 38 hlm.
Mala, Yanti. 1998. Peningkatan Produksi Sawah Bukaan Baru Dengan
Penggunaan Kompos Jerami Padi. Pros. Seminar Peningkatan Produksi
Padi Nasional, B. Lam-pung 9 – 10 Desember 1998. HIGI – PERAGI – Univ.
Lampung. Hal. 401 – 405.
Pane, H., P. Bangun dan S.Y. Jatmiko, 1999. Pengendalian gulma pada
pertanamn padi gogorancah dan walikjerami di lahan sawah tadah hujan. p.:
150-159 Dalam Menuju Sistem Produksi Padi.
Setiobudi, D. and B. Suprihatno, 1996. Res-ponse of flooding in gogorancah rice
and moisture stress effect at repro-ductive stage in walik jerami rice. p.: 80-
90 In Physiology of Stress Toleran-ce in Rice (V.P. Singh, R.K. Singh, B.B.
Sing and R.S. Zeigler, ed.). NDUAT, India – IRRI, Philippines.
Thamrin. 2000. Perbaikan Beberapa Sifat Fisik dan Typic Kanhapludults dengan
Pemberi-an Bahan Organik Pada Tanaman Padi Sawah. Makalah Seminar
Skripsi, Faperta Universitas Pajajaran, Bandung. Tidak Publikasi.
Wasito, T. Sembiring, N. Primawati, D. Harahap, Rinaldi, dan H. Sembiring. 2006.
Diseminasi dan Adopsi Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi di
Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Inovasi Teknologi Padi Menuju
Swasembada Beras Berkelanjutan, Buku 2. Puslitbangtan, Balitbangtan.
Bogor. p. 437 – 447.
Zaini, Z., S. Abdurrahman, N. Widiarta, P. Wardana, D. Setyorini, S. Kartaatmadja,
dan M. Yamin. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. p. 30.
Zaini, Z., U.G. Kartasasmita, dan L. Hakim. 2009a. Senjang Hasil dan Senjang
Adopsi Teknologi Padi Sawah. Makalah Seminar Puslitbangtan. Tidak
publikasi.

598
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SERANGAN HAMA WERENG BATANG COKELAT PADA TANAMAN PADI


DI KECAMATAN STABAT KABUPATEN LANGKAT

Muainah Hasibuan

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No.1B Medan
Email : muainahhsb@gmail.com

ABSTRAK

Salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman padi adalah serangan
Wereng Batang Cokelat (WBC) yang merupakan hama penting pada tanaman
padi. Hama ini dapat merugikan petani hingga 100% (puso). Pada bulanJuni 2015
hama tersebut menyerang tanaman padi di Desa Mangga, Kecamatan Stabat,
Kabupaten Langkat. Varietas yang ditanam adalah Inpari 30 seluas 40 ha, Inpari
3 seluas 40 ha, Ciherang 34 ha, Mekongga 5 ha, Padi Ketan 0,2 ha, varietas
Pesantren JawaTimur 0,2 ha. Metode tanam legowo 2:1, legowo 4:1 dan sistem
tegel jarak tanam 25 x 25 cm. Untuk mengetahui populasi dan intensitas
serangan WBC tersebut,peneliti BPTP Sumatera Utara pada bulan Mei 2015
melaksanakan survei serangan hama WBC tersebut. Kegiatan ini dilaksanakan
dengan cara wawancara dengan petani dan penyuluh kemudian dilanjutkan
pengamatan ke lapangan. Dari luas areal 120 ha, diambil sampelnya setiap
varietas 3 titik. Setiap titik diamati 25 tanaman sampel yang ditentukan secara
diagonal dan acak. Parameter yang diamati adalah populasi WBC, intensitas
serangan, pengendalian OPT dan produksi. Hasil yang diperoleh adalah 1)
Populasi WBC tertinggi pada varietas yang berasal dari Pesantren Jawa Timur
yaitu 57,6 ekor/rumpun, intesitas serangan mencapai 80,7% dan produksi 1,2
ton/ha. Varietas Mekongga, Inpari 3 dan Inpari 30 populasi hanya mencapai
secara berurutan 2,7 ekor, 4,0ekor dan 6,5 ekor/rumpun, intesitas serangan
15,3%, 21,8% dan 20,4%. Produksi teringgi pada varietas Inpari30 dan inpari3
yaitu 5,8 dan 5,7 ton/ha.

Kata kunci: Wereng Batang Cokelat, varietas unggul, Desa Mangga

PENDAHULUAN

Pada tahun 2014 luas tanam padi sawah di Kabupeten Langkat mencapai
83.349 ha, sedangkan luas tanam padi ladang hanya mencapai 610 ha, produksi
padi tersebut untuk keperluan pangan penduduk sebanyak 978.734 jiwa
(Anonimus, 2014), kalau setiap tahun jumlah penduduk bertambah maka produksi
padi perlu ditingkatkan.
Dalam melaksanakan budidaya tanaman padi sawah maupun pada ladang
selalu terdapat kendala. Salah satu kendala dalam budidaya tanaman padi adalah
adanya serangan hama. Pada bulan Juni 2015 di Desa Mangga yang menanam
padi sawah seluas 120,5 ha, terdapat serangan WBC. Hama ini dapat menurunkan
produksi hingga 100% bila tidak dikendalikan (Baehaki dan Widiarta, 2009).

599
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Baehaki dan Munawar (2007) menyatakan bahwa WBC merupakan hama


strategis dengan ciri: 1) Serangga kecil yang cepat menemukan habitatnya, 2)
berkembang biak dengan cepat dan mampu mempergunakan sumber makan
dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi dan 3) mempunyai sifat
menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna lagi.
Wereng Batang Cokelat merupakan serangga dengan genetik plastisitas yang
tinggi sehingga mampu beradaptasi dengan berbagai lingkungan pada waktu
yang relatif singkat. Hal ini terbukti dengan timbulnya biotipe/ populasi baru yang
dapat mengatasi sifat ketahanan tanaman atau hama tersebut menjadi resisten
terahap insektisida.
Ledakan WBC tidak henti-hentinya sejak tahun 2001 sampai 2005. Data
Ditlin (2005) dalam Baehaki (2000) menunjukkan bahwa serangan WBC pada
tahun 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005 berturut-turut mencapai 8.949, 8283,
10.350, 11844 dan 56.832 ha. Luas areal padi yang puso pada tahun 2001, 2002,
2003, 2004 dan 2005 berturut-turut mencapai 135, 178, 92, 310 dan 3.558 ha.
Untuk keperluan pengendalian WBC diperlukan data biotipe dari seluruh
sentra produksi dan data ketahanan galur/varietas terhadap WBC biotipe 1,2 dan
3. Timbulnya biotipe WBC merupakan tantangan yang tidak mudah diatasi.
Pengalaman menujukkan bahwa untuk mengatasi WBC biotipe 1 telah digunakan
varietas IR26 yang ditanam secara luas, namun hanya dapat bertahan 4-5 musim
saja. Pada saat munculnya biotipe 2, maka IR26 harus diganti oleh varietas baru
yang mempunyai gen tahan bph2 seperti IR32, IR36, dan IR 42. Varietas baru ini
mampu bertahan di lapangan. Sebagai upaya untuk mengatasi kemungkinan
timbulnya biotipe 3, dilaboratorium dilakukan penelitian mengenai proses
terjadinya biotipe 3 (IRRI 1976).Hal ini terbukti pada MP 1981/1982 dilaporkan dari
kabupaten Simalungun bahwa IR42 telah terserang WBC. Wereng Batang
Cokelat tersebut diuji di laboratorium dan ternyata reaksi terhadap varietas
diferensial menyimpang dari sifat biotiope yang telah diketahui WBC tersebut
dimasukkan sebagai populasi WBCIR 42 SU (Deli Serdang). Hasil pengujian
Oka dan Bahagiawati (1979) hampir mirip dengan hasil pengujian Mochida ( 1979)
pada populasi Asia Selatan yang terdapat di India dan Sri Langka. Pengujian
biotpe terus dilanjutkan dan diketahui bahwa WBC yang menyerang IR42 di
Sumatera Utara adalah biotipe 3 ( Baehaki dkk., 1991 ;Baehaki 2000).
Varietas IR42 (bph2) sudah patah ketahanannya terhadap WBC asal Pati
dan Demak dengan reaksi agak peka sampai peka, sedangkan Cisadane,
Ciliwung danTukad Petanu bereaksi agak tahan sampai agak peka. Varietas
IR64-Jateng, IR 74 (bph3), Cisadane bereaksi tahan terhadap wereng coklat asal
Pati dan Demak (Baehaki dan Abdullah, 2007).
Untuk WBC selain menilai perkembangan hama di pertanaman,
pengamatan kerusakan dan penurunan hasil juga dipandang perlu untuk dipelajari
tingkat ketahanan varietas dan perubahan biotipe di lapangan setiap varietasnya.
Hal ini disebabkan setiap varietas yang dilepas pada waktu tertentu ada
kemungkinan akan patah ketahanannya.

600
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kegiatan ini bertujuan untuk mengentahui tingkat serangan WBC pada


tanaman padi di Desa Mangga, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada tanaman padi berumur 2 dan 2,5 bulan di
Desa Mangga, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat pada bulan Juni 2015,
dengan ketinggian 28 m dpl.Varietas padi yang ditanam adalah Impari 3, Inpari 30,
Mekongga, Ciherang, Ketan ( Pulut ) dan varietas yang belum dilepas dari
Pesantren Jawa Timur. Penanam sistem jajar legowo 4:1, legowo 2:1 dan ada
yang sistem tegel 25x 25 cm.
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei dengan wawancara
langsung ke petani, dan Penyuluh Pertanian Lapang (PPL). Setelah wawancara
dilanjutkan dengan melaksanakan pengamatan di lapangan. Parameter yang
diamati adalah jumlah anakan/rumpun, populasi hama WBC, intensitas serangan
dan produksi. Pengamatan dengan cara mengambil sampel secara acak, dari
tanaman padi seluas120 ha yang terserang populasinya diatas ambang kendali 15
ha, diambil 5 titik, setiap titik diamati 30 tanaman, dengan sistem diagonal.
Pengamatan populasi hama cukup dengan menghitung hama WBC yang
menyerang. Sedangkan pengamatan intensitas serangan mengunakan skoring
sebagai berikut:
1. skoring 0 = tanaman sehat
2. Skoring 1= serangan antara 1- 20 %
3. skoring 3 = serangan antara 21-40 %
4. skoring 5 = serangan antara 41- 60 %
5. skoring 7 = serangan antara 61-80 %
6. skoring 9 = serangan antara 81-100 % (puso)

Untuk mengetahui persentase serangan menggunakan rumus :

Persentase serangan = Σ n.v x 100 %


N.V
Dimana n = jumlah tanaman yang terserang
v = nilai skoring tanaman yang diamati
N= Jumlah tanaman sampel
V= Nilai skoring tertinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Diskripsi daerah kajian
Kecamatan Stabat terdiri dari 12 desa, dengan jumlah penduduk 83.273
jiwa, luas daerah sawah seluas 1.479 ha, bukan sawah 6.621 ha, bukan areal
pertanian 2.785 ha, ketinggian tempat 28 m dpl, jenis tanah Alluvial. Banyaknya
curah hujan 4.981 mm/tahun, jumlah hari hujan 186 hari/tahun, yang terletak pada
koordinat 3,7525667 LU, 98,4527167 BT(Anonimus 2014).

601
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Daerah tanaman padi yang terserang WBC adalah di Desa Mangga,


Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Luas areal tanaman padi yang terserang
120,5 ha. Varietas padi yang ditanam Inpari30, Inpari3, Ciherang, Mikongga, Ketan
dan varietas yang berasal dari Pesantren Jawa Timur yang belum dilepas (nama
varietasnya belum diketahui).

Hasil pengamatan
Dari hasil pengamatan serangan hama WBC diperoleh data yang disajikan
pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Keragaan data pengamatan jumlah anakan/rumpun, populasi WBC,
intensitas serangan danproduksi
Luas tanam Jumlah Populasi Intensitas
Varietas terserang anakan/ WBC/ serangan Produksi
/ha rumpun Rumpun WBC ( %) (ton/ha)
(ekor)
Inpari 30 40 20,9 6,5 20,4 5,8
Inpari 3 40 19,2 4,0 21, 8 5,7
Ciherang 35 20,8 13,7 30,5 3,0
Mikongga 5 18,7 2,7 15,3 5,0
Ketan 0,3 11,2 10,9 19,1 2,0
Pesantren 0,2 21,7 57,6 80,7 1,2
Jawa Timur

1. Jumlah anakan
Dari Tabel 1 diatas secara visual dapat dikemukakan bahwa, jumlah
anakan tertinggi terdapat pada varietas Inpari 30 rata-rata mencapai 20,9
anakan/rumpun, kemudian diikuti oleh Ciherang, rata-rata jumlah anakan
mencapai 20,8 anakan/rumpun. Sedangkan terendah ditemukan pada varietas
padi Ketan yang hanya mencapai 11,2 anakan/rumpun. Tinggi rendahnya jumlah
anakan diakibatkan oleh sifat gen/karakter dari setiap varietas padi dan tidak jauh
dari diskripsi varietas itu sendiri. Tinggi rendahnya jumlah anakan tergantung dari
umur bibit yang ditanam. Kalau bibit masih muda (umur 2 minggu) anakan lebih
tinggi dibanding penanaman bibit umur 30 hari. Disamping itu jumlah anakkan
pada tabel diatas sudah mendekati dari Deskripsi Varietas unggul Padi (Jamil dkk.,
2012).

2. Populasi serangan WBC


Populasi WBC yang menyerang tanaman padi di Desa Mangga tertinggi di
temukan pada varietas yang berasal dari Pesantren Jawa Timur (57,6
ekor/rumpun), yang belum dilepas sehingga masih memerlukan pengkajian lebih
lanjut. Sedangkan yang varietas lainnya, populasi WBC tertinggi terdapat pada
padi Ketan (10,9 ekor/rumpun) dan yang terendah terdapat pada varietas
Mikongga (2,7ekor/rumpun).Petani dalam mengendalikan WBC umumnya
menggunakan insektisida secara terus menerus. Kebiasaan petani dalam
menggunakan insektisida kadang-kadang tidak mengikuti aturan. Selain dosis
yang digunakan melebihi dosis anjuran, petani juga menggunakan insektisida
yang dilarang peredarannya. Petani juga sering mencampur beberapa jenis

602
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

insektisida dengan alasan untuk meningkatkan efektifitasnya. Penyemprotan


insektisida yang tidak tepat berpotensi terjadinya resistensi dan resurjensi WBC.
Dampak lain adalah timbulnya keracunan pada manusia, residu pestisida yang
merusak lingkungan dan memubuh musuh alami.
Untung dan Trisyono (2010) mengatakan bahwa faktor pendorong
meningkatnya populasi dan luas serangan WBC adalah akibat penggunaan
insektisida secara tidak tepat yaitu menggunakan insektisida secara terus
menerus dengan dosis tinggi dan interval yang terlalu rapat. Selain itu,
penggunaan pupuk N yang berlebihan, penanaman varietas yang non-VUTW
serta cuaca yang mungkin juga berpengaruh mengakibatkan populasi dan
serangan WBC meningkat. VUTW yang eksis seperti Ciherang, IR64
mengindentifikasikan kalau sifat ketahanan telah terpatahkan oleh munculnya
biotipe baru WBC.
Winarto dkk. (1993) mengatakan bahwa tanaman yang dipupuk dengan
kandungan N tinggi akan mempercepat pertumbuhan sel baru sehingga akan
mendorong pertumbuhan tanaman menjadi vigor. Dengan pertumbuhan tanaman
yang vigor maka dinding sel tanaman akan tipis, dan pupuk kandungan N yang
tinggi akan meningkatkan kadar air dan protein pada tanaman. Dinding sel yang
tipis dan kandunggan protein yang tinggi, hama akan mudah menusukkan
stiletnya dan mengisap protein pada tanaman, begitu juga penyakit tanaman akan
mudah memasukkan haustarianya sehingga tanaman akan mudah terinfeksi.

3. Intensitas serangan WBC pada Tanaman Padi


Data intensitas serangan hama WBC pada tanaman padi di Desa Mangga
yang disajikan pada tabel di atas dapat dikemukakan bahwa intensitas serangan
WBC senada dengan populasinya. Populasi WBC tinggi maka intensitas serangan
juga tinggi. Hal ini terdapat dari varietas yang belum dilepas berasal dari
Pesantren Jawa Timur (80,7%), kemudian diikuti oleh varietas Ciherang dan padi
ketan masing-masing secara berurutan intensitasnya mencapai 30,5% dan 19,1%
sedangkan intensitas terendah terdapat pada varietas Mikongga, kemudian
Impari3 dan Impari 30 secara berurutan intensitasnya mencapai 15,3%, 21,8% dan
20,4%. Varietas Ciherang yang tahan WBC, apabila ditanam terus menerus
secara luas, makin lama akan semakin mudah terserang WBC, karena WBC
berusaha mengatasi varietas yang tahan dengan membentuk biotipe baru
(Baehaki dan Widiarta, 2009). Tanaman padi varietas yang peka WBC,seperti
IR64 sehinggapada tahun 2006-2007 timbul ledakanWBC. Dinamika serangan
BWC ini juga terjadi di kabupaten lain (Serdang Bedagai) ( BPTPH, 2003-2010).
Varietas yang mayoritas ditanam adalah Ciherang (75%), dan Mekongga (25 %).
Serangan WBC secara pandemik terjadi pada tahun 2010.
Varietas Ciherang tahan terhadap WBC yang terus-menerus ditanam
secara luas, makin lama akan semakin mudah terserang WBC karena WBC
berusaha mengatasi varietas yang tahan dengan membentuk biotipe baru
(Baehaki dan Widiarta 2009). Perubahan adopsi VUB Ciherang dari IR 64 yang
telah digunakan puluhan tahun karena terjadi pandemik hama WBC (2002) di
Desa Lubuk Bayas, Lubuk Rotan, Melati II, Sumberejo, Sukamandi Hilir, atau desa

603
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

lain sekitar Kecamatan Perbaungan, Pagar Merbau. Hal ini diduga telah terjadi
perubahan biotipe WBC di Sumatera Utara. Diskripsi IR 64 yang dilepas tahun
1986 adalah tahan WBC biotipe 1 dan 2 serta wereng hijau, dan tahan penyakit
virus kerdil rumput. Menurut Baehaki dan Widiarta (2009) dalam Wasito dkk.
(2012), sejarah perubahan biotipe WBC di Sumatera Utara tahun 1982 terjadi
karena ledakan serangan WBC yang hebat di Simalungun dan beberapa daerah
lainnya sehingga menyebabkan perubahan biotipe WBC dari biotipe 2 ke biotipe
3. Oleh karena itu, diintroduksikan varietas padi IR 56 (gen tahan Bph3) tetapi tidak
disukai petani. Tahun 1986 diitroduksikan IR 64 (gen tahan Bph1+) dan sukses
diterima petani, karena rasa nasi enak, produksi tinggi dan tahanWBC biotipe 3
selama 24 tahun sejak tahun 1981 dan pada tahun 2006 sudah ditemukan WBC
biotipe 4 di Asahan (Baehaki dan Munawar 2008).

4. Produksi Akibat Serangan Wereng Batang Cokelat


Produksi yang diperoleh akibat adanya serangan WBC ternyata senada
dengan tinggi rendahnya populasi dan intensitas serangan WBC. Makin tinggi
populasi dan intensitas serangan makin rendah produksi padi yang diperoleh.
Seperti di Desa Mangga pada varietas dari Pesantren Jawa Timur, populasi dan
intensitas serangan tertinggi maka produksinya sangat rendah yaitu 1,2 ton/ha,
kemudian diikuti oleh padi ketan (2,0 ton/ha). Sedangkan varietas Inpari30 dan
Inpari3 didapatkan produksi tertinggi, secara berurutan produksi mencapai 5,8 dan
5,7 ton/ha. Varietas Ciherang dan Mikongga masing-masing mencapai 3 dan 5,0
ton/ ha.
KESIMPULAN
1. Populasi WBC tertinggi pada varietas yang berasal dari Pesantren Jawa
Timur yaitu 57,6 ekor dengan intensitas serangan 80,7% ( belum dilepas).
Produksi yang diperoleh adalah terendah yaitu 1,2 ton/ha.
2. Pada Varietas Mikongga, Inpari30 dan Inpari3, populasi WBC maupun
intesitas serangannyanya masih rendah.Secara berurutan populasinya
adalah 2,7 ekor/ rumpun,6,50 ekor/rumpun dan 4,0 ekor/ rumpun dengan
intensitas serangan 15,3%, 20,4 % dan21,8%.
3. Produksi tertinggi terdapat pada varietas Inpari 30 dan Inpari3 yaitu
masing-masing 5,8 ton dan 5,7 ton/ha.

SARAN
1. Dalam budidaya padi agar menggunakan varietas unggul tahan WBC.
2. Tanam serempak dalam satu hamparan.
3. Menggunakan varietas yang sudah dilepas dan berlabel.
4. Pemupukan kandung N agar sesuai dengan anjuran, sebaiknya sesuikan
hasil analisa tanah dengan alat PUTS.
5. Penggunaan insektisida sesuaikan dengan program PHT.
6. Penanaman sebaiknya sistem jajar Legowo 2:1
7. Varietas selalu dirotasi /diganti.

604
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada yang terhormat Bapak Ir. Loso
Winarto atas bimbingan dan bantuannya dalam melaksanakan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2014. Langkat dalam Angka Badan pusat statistik Kabupaten langkat.
Baehaki S. E, A Rifki dan A Salim yahya, 1991 Penentuan Biotipe Wereng coklat
di daerah sentra Produksi padi Media Penelitian sukamandi No. 9 P. 29 - 30
Baehaki. 2000. Teknologi pengendalian wereng cokelat Nilapervatan lugens (stal)
dengan rekayasa dinamika populasi pada tanaman padi di Indonesia.
Disampaikan pada seminar Review pertimbangan Kepangkatan Badan
Litbang Pertanian. Jakarta.
Baehaki,Abdullah, B. 2008. Evaluasi karakter ketahanan galur padi terhadap
wereng cokelat Biotipe 3 melalui uji penapisan dan uji peningkatan populasi.
Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku I.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi .
Baehaki,Munawar, D. 2008.Indentifikasi biotipe wereng cokelat di Jawa, Sumatera
danSulawesi dan reaksi ketahanan kultivar padi. Prosiding Seminar
Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjanf P2BN. Buku I. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi.
Baehaki, Widiarta, N. 2009. Hama wereng dan cara pengendaliannya pada
tanaman padi. Prosiding padi: InovasiTeknologiProduksi , Buku 2 Balai
Besar PenelitianTanaman Padi. LIPI Press, Jakarta p. 347-383.
IRRI , 1976. Annual report for 1975.IRRI.Los Banos, Laguna, Philipines.
Jamil, A., Akmal, Siti Romaito, Nurmalia, Sit iSuryani, Hutagalung, M. 2012.
Diskripsi varietas unggul padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Utara
Mochida, O. 1979. Brown planthopper reduce rice production.Ind.Agric.res.DevJ1
(1&2).Oka, I. N dan Bahagiawati, 1979 wereng Coklat dan Pengendaliannya
dalam prospektif.Puslitbangtan, Bogor.
Untung, K., Trisyono, Y.A. 2010. Wereng Batang Cokelat mengancam
swasembada beras. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian UGM, Yogyakarta.
Wasito, Muhrizal Sarwani, Khairiah dan Lemansius Haloho. 2012. Eksistensi
Adopsi Varietas Ciherang dan Dinamika Wereng Batang Cokelat di Lima
Desa Lahan sawah Irigasi Sungai Ular Sumatera Utara. Prosiding Siminar
Nasional Hasil Penelitian padi 2011. Inovasi Teknologi Padi mengantisipasi
Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik. Balai Besar .Penelitian Padi.
Sukamandi.
Winarto, Hubagyo dan Amral Feri, 1993. Pengaruh pemupukan N terhadap
serangan Penyakit Phytopthora investans pada tanaman Tomat.
Bull.Penel.Hort. Lembang Bandung Vol 25.

605
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DISKUSI

Nama penanya : Slameto (BPTP Lampung)


Pertanyaan : Dengan jumlah serangan/populasi WBC, apakah masih
mampu produksi seterusnya ?
Jawaban :
1. Serangan WBC pada tanaman padi masih fase pertumbuhan (fase vegetatif)
dapat mengakibatkan produksi rendah, bahkan tanaman padi dapat puso tetapi
bila serangan sudah fasse masak susus masih dapat menghasilkan 60-70%.
2. Sedangkan serangan Wereng Batang Cokelat padi di desa Mangga varietas
Inpari 3, Inpari 30, Ciherang dan Mekongga sudah masak susu, tetapi pada
varietas pulut dan yang belum dilepas masih premordia, sehingga efek hama
WBC terhadap tanaman yang sudah masak susus kurang berpengaruh.
Disamping itu perlu saya informasikan bahwa produksi padi di daerah mangga
langkat bila tidak ada serangan WBC mencapai 8 s/d 9 ton/ha.
3. Varietas padi yang produksinya mencapai 5 ton, populasinya masih rendah (2,7
s/d 6 ekor/rumpun).

606
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UJI BEBERAPA KONSENTRASI EKSTRAK BIJI PINANG (Areca catechu L.)


UNTUK MENGENDALIKAN POPULASI WERENG HIJAU ( Nephotetic
verescens) PADA PADI TAICHUNG NATIVE (TN1) YANG RENTAN
TERHADAP VIRUS TUNGRO

Arif Muazam1 dan Ahmad Muliadi1

1
Loka Penelitian Penyakit Tungro
Jl.bulo 101 Lanrang Panca Rijang Sidrap Sulawesi Selatan
email: azamsp84@yahoo.com

ABSTRAK
Pinang sebagai komoditi perdagangan ekspor ternyata memiliki khasiat
baik obat-obatan maupun biopestisida. Penelitian ini sebagai pengujian awal
potensi biopestisida ekstrak biji pinang (Areca catechu L.) terhadap wereng hijau
(Nephotetic verescens). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
konsentrasi yang tepat dari ekstrak buah pinang untuk mengontrol wereng hijau
sebagai vector virus tungro pada tanaman padi. Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium dan Green House Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang,
Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan pada bulan Agustus-Oktober 2015.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan
perlakuan yaitu padi varietas TN1 umur 10 hari sebanyak 5 tanaman diulang 4
kali pada tiap aplikasi ekstrak pinang yaitu0 g/0.2l, 10 g/0.2l, 20 g/0.2l, 30 g/0.2l,
40 g/0.2l, dan 50 g/0.2l. Mortalitas wereng hijau pada perlakuan ekstrak biji pinang
konsentrasi 20 g/0,2L pada hari ke-2 setelah perlakuan merupakan yang paling
efektif (cepat dan mortalitas banyak).

Kata kunci: Biopestisida, pinang, wereng hijau, TN1

PENDAHULUAN

Penyakit tungro merupakan salah satu penykit penting pada padi yang
sampai saat ini masih menjadi kendala bagi peningkatan produksi padi nasional
terutama bagi beberapa daerah endemis. Upaya pengendalian telah banyak
dilaksanakan melalui berbagai teknologi sebagai hasil dari penelitian dan praktek
lapangan. Tiga komponen utama dalam pengendalian tungro yaitu: tanaman
serempak dengan menggunakan varietas tahan, penghilangan sumber inolukum,
dan penentuan pemilihan varietas serta pengaturan waktu tanam.Ketiga
komponen tersebut dapat dikombinasikan dengan pengelolaan lingkungan dan
penggunaan insektisida (Savary dkk., 2012).
Secara nasional, luas serangan hama dan penyakit utama pada tanaman
padi pada tahun 2011 turun 50% dibandingkan rata-rata lima tahun terakhir (2006-
2010), namun luas pertanaman yang puso meningkat sembilan kali lipat, mencapai
35.000 ha atau setara dengan kerugian sebesar Rp 525 milyar. Penurunan
produksi padi akibat serangan OPT mencapai 1 juta ton ( Anonim, 2015b)
Berdasarkan data 10 tahun terakhir, ledakan tungro yang terjadi di sentra
produksi beras nasional seperti di pulau Jawa, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi,

607
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

menurut Direktorat Perlindungan Tanaman Pngan luas tanaman terineksi setiap


tahunnya mencapai 16.477 ha, rusak total (puso) 1.027 ha dengan perkiraan
kehilangan hasil akibat penyakit tungro mencapai 14 milyar. Namun saat terjadi
ledakan virus tungro kerugian bias mencapai lebih besar dari perhitungan tersebut
( Anonim 2014). Sedangkan baru-baru ini puluhan hectare sawah petani di
Kecamatan Curup, Kabupaten Rejanglebong, Provinsi Bengkulu, mengalami
gagal panen akibat terserang penyakit mentek atau tungro (Muhammad, 2015).
Karena begitu banyak kerugian dari serangan hama penyakit maka
umumnya petani secara besar-besaran menggunakan pestisida kimiawi.
Hasilnya cepat dan memuaskan sehingga ketergantungan dan keyakinan
masyarakat terhadap pestisida kimia sangat tinggi. Akibatnya permintaan
pestisida setiap tahun sangat besar. Apabila penggunaannya berlebihan dapat
menyebabkan resistensi hama, matinya hewan non target, bahkan teracuninya
sumber air dan manusia (Djunaedy 2009).
Sehingga perlunya teknik pengendalian hama yang alami aman dan
murah. Salah satu teknik pengendalian yang dikembangkan dalam PHT adalah
pemanfaatan bahan tumbuhan sebagai pestisida nabati (Oka, 1994). Tumbuhan
yang berpotensi untuk digunakan sebagai pestisida nabati jumlahnya tidak kurang
dari 2400 jenis (Grainge & Achmed, 1988). Tumbuhan tersebut mengandung
bahan yang dapat membunuh serangga, tungau, menekan pertumbuhan bakteri,
cendawan, dan ada pula yang dapat membunuh hewan moluska. Buah pinang
telah dikenal berpotensi sebagai bakterisida nabati (Direktorat Bina Perlindungan
Tanaman Perkebunan, 1994). Buah pinang atau bettel nuts (Anonim, 2015a)
menurut petani padi di Sumatera Barat dalam salah satu tayangan televisi swasta
tahun 1998, mengatakan buah pinang dapat digunakan untuk membunuh keong
emas di sawah.
Secara proses fisiologis yang terjadi kenapa wereng hijau mati, menurut
Shahidi dan Nazck (1995) ekstrak pinang mengandung flavonoid yaitu tannin yang
dapat menghancurkan membran tubuh selain itu senyawa tannin (Anonim, 2015a)
yang ada ada ekstrak pinang menghambat kerja enzim sehingga proses
pencernaan terganggu akibatnya serangga mengalami kekurangan nutrisi.
Sedangkan menurut Widiarta dan Kusdiaman (2008) konsentrasi tertentu
biopestisida yang diaplikasikan ada kemungkinan menyebabkan peningkatan
daya tahan tubuh atau bahkan populasi meningkat karena adanya proses
resurjensi (berubahnya kondisi fisiologis serangga sehingga meningkatkan
keperindian).
Buah pinang telah diteliti bahwa ekstrak kasar buah pinang, menyebabkan
mortalitas keong emas, dan obat cacing pada manusia, namun penelitiannya
terhadap serangga seperti wereng hijau sebagai vector virus tungro belum pernah
dilakukan, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak
pinang yang tepat, efektif dan efisien untuk pengendalian wereng hijau (Nephotetic
veresens).

608
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Rumah Kaca Loka Penelitian


penyakit Tungro pada bulan Agustus - Oktober 2015. Rancangan yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan yaitu padi varietas
TN1 umur 10 hari sebanyak 5 tanaman diulang 4 kali pada tiap aplikasi ekstrak
pinang yang dicobakan. Adapun ekstrak pinang :
1. 10 g biji pinang muda + 200ml aquadest + 0,3ml perekat.
2. 20 g biji pinang muda + 200ml aquadest + 0,3ml perekat.
3. 30 g biji pinang muda + 200ml aquadest + 0,3ml perekat.
4. 40 g biji pinang muda + 200ml aquadest + 0,3ml perekat.
5. 50 g biji pinang muda + 200ml aquadest + 0,3ml perekat
Biji pinang yang diambil dari sekitar kebun percobaan, diblender dengan
200 ml aquadest selama 5-10 menit, kemudian didiamkan selama 24 jam, lalu
pisahkan supernatannya, kemudian campur dengan 0,3 ml perekat. Tanaman
yang sudah siap lalu dicelupkan ke larutan ekstrak pinang selama 5 menit pada
masing-masing konsentrasi perlakuan, kemudian diletakkan di gelas plastic pop
ice yang berjendela 2 (dua) dengan diameter 12 Oz tinggi 10 cm, dengan sungkup
terbuat dari bahan plastic acrilik ujung berjendela jaring dengan diameter 6 cm
tinggi 24,6 cm (Gambar 1,2,3).

Gambar 1. Biji pinang Gambar 2. Ekstrak pinang

Gambar 3. Perlakuan wereng hijau

Setelah 1 jam perlakuan (tanaman masih basah) baru dimasukkan wereng


hijau dewasa. Sebanyak 10 ekor dengan asumsi setiap tanaman mendapat 2 ekor
wereng hijau Wereng hijau dewasa yang digunakan asal Sulawesi Selatan yang
telah diperbanyak di green house Loka Penelitian Penyakit Tungro. Dengan
pengamatan mortalitas wereng hijau dilakukan setiap hari selama 7 hari. Data
yang diperoleh dilakukan transformasi, kemudian dianalisis ragam dengan Uji F
pada taraf kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan menggunakan
SPSS 16.0 (Ali, 2004; Gomes dan Gomez, 2010).

609
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mortalitas wereng hijau paling banyak dan cepat waktunya pada


konsentrasi 20 g/0.2l yaitu dengan rerata mortalitas sebesar 0.614. Berdasarkan
Uji Duncan, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, perlakuan 30 g/0,2l dan 50
g/0,2l tidak berbeda nyata karena rerata mortalitas wereng hijau masing-masing
sebesar 0.345 dan 0.226 (Tabel 1).
Tabel 1. Mortalitas wereng hijau dalam pengamatan 1 MSA (Minggu setelah
aplikasi) ekstrak pinang
Konsentrasi Hari Pengamatan ke-
Pinang 1 2 3 4 5 6 7
0 g/0.2l 0.000a 0.000a 0.000a 0.000a 0.000a 0.000a 0.000a
10 g/0.2l 0.000a 0.075a 0.376b 0.420ab 0.000a 0.000a 0.000a
20 g/0.2l 0.614c 0.690b 0.488ab 0.000a 0.000a 0.000a 0.000a
30 g/0.2l 0.345ab 0.540b 0.751c 0.075a 0.151a 0.075a 0.000a
40 g/0.2l 0.000a 0.195a 0.714bc 0.564b 0.000a 0.119a 0.000a
50 g/0.2l 0.226ab 0.239a 0.646bc 0.903ab 0.119a 0.000a 0.000a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf kepercayaan 95%.

Sedangkan pada perlakuan 0 g/0.2l, 10 g/0.2l dan 40 g/0.2l tidak ada mortalitas.
Wereng hijau langsung bereaksi pada hari ke-1 hal ini dapat diketahui bahwa
biopestisida ekstrak pinang pada konsentrasi 20 g/0,2l sangat efektif. Sedangkan
konsentrasi 50 g/0,2l pada hari ke-4 baru diperoleh mortalitas wereng hijau paling
besar.
Pada hari ke-5 dan ke-6 pada diagram perlakuan 30 g/0.2l; 40 g/0.2l dan
50 g/0.2l masih ada mortalitas sedangkan perlakuan lain tidak ada, hal ini wajar
karena racun atau zat yang ada pada ekstrak dengan konsentrasi 3 paling besar
bekerjanya membutuhkan waktu (Gambar 4).

Y Mortalitas wereng hijau ( Nephotetic verescens) 0 g/0.2l


10 g/0.2l
20g/0.2l
30 g/0.2l
40 g/0.2l
X ( g/l)
Konsentrasi ekstrak pinang (Areca cathechu) 50 g/0.2l

Gambar 4. Diagram konsentrasi ekstrak pinang vs mortalitas wereng hijau

Hal ini sesuai dengan pendapat Parkinson dan Ogiloe (2008) dalam Arneti
(2012) yang menyatakan bahwa senyawa biopestisida tidak dapat langsung
bekerja seperti pestisida kimia apabila takaran atau dosis kurang tepat.

610
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pada perlakuan control 0 g/0.2l tidak ada wereng hijau yang mati, sehingga
dari pengamatan ini semakin memperkuat dugaan bahwa senyawa alami
biopestisida ekstrak biji pinang bekerja dengan efektif dan efisien. Kematian
wereng hijau bukan disebabkan daur siklus hidupnya berakhir atau makanan tidak
tersedia. Ada kemungkinan ekstrak pinang bekerja secara sistemik masuk dalam
jaringan tanaman terikut dimakan oleh serangga sehingga mati. Kemungkinan
juga terjadinya kerusakan organ serangga karena terkena langsung ekstrak
pinang melalui membran tubuhnya.

KESIMPULAN
Uji beberapa konsentrasi ekstrak biji pinang terhadap wereng hjau
diperoleh kesimpulan bahwa konsentrasi ekstrak biji pinang 20 g/0.2l air efektif
mengendalikan hama wereng hijau (Nephotetic veressens) karena menyebabkan
kematian paling cepat dan paling banyak setelah perlakuan.

SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di lapangan tentang ekstrak biji
pinang terhadap wereng hijau agar keefektifannya meningkat, mengingat banyak
factor yang ada di lapangan dapat mempengaruhi hasil pengendaliaan.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan pada pihak yang memberikan dukungan
dalam penelitian atau penulisan makalah, Bapak Kepala Loka DR.Ir. Ahmad
Muliadi, MP, dan Yusran Arifin SP (Teknisi) yang membantu penelitian, Bapak H.
Amiruddin, S.Ag yang selalu mendoakan, keluarga, anak dan istri yang selalu setia
menemani.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Hanafiah, Kemas. 2004. Rancangan Percobaan. PT. Radja Graindo Jakarta:
259 hal
Anonim. 2015a. Pinang.https://id.wikipedia.org/wiki/Pinang [Diakses tanggal 6
Juni 2015].
Anonim. 2014. Tungro.grobogan.go.id. [Diakses tanggal 3 November
2015]
Anonim. 2015b. Hal terpenting tentang penyakit tungro. http://
lolittungro.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/seminar-workshop/49-
hal-terpenting-tentang-penyakit-tungro.[Diakses tanggal 3 November
2015].
Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan. 1994. Pedoman Pengenalan
Pestisida Botani. Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan, Departeman
Pertanian. Jakarta. 85 hlm.
Djunaedy, Ahmad. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali Organisme
Pengganggu Tanaman Yang Ramah Lingkungan. Jurnal Embryo 6(1):89-
95.

611
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Fitriani, M;JH. Laoh; dan R Rustam. 2014. Uji Beberapa Konsentrasi Ekstrak Biji
Pinang ( Areca cathechu) Untuk Mengendalikan Kepik Hijau (nezara
viridulla L) Di Laboratorium [ Tidak dipublikasikan].
Gomes dan Gomez. 2010. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press) Edisi kedua. Jakarta. 698 hal.
Grainge, M. and S. Achmed. 1998. Handbook of Plants with Pest Control
Properties. JohnWiley & Sons. New York. Heyne, K. 1987. Tumbuhan
Berguna Indonesia, jil. 1. Yay. Sarana Wana Jaya,Jakarta. Hal. 460-465.
Muhammad,Nur. 2015. Puluhan Hektar Sawah Petani Di Serang Tungro.
http://www.antarabengkulu.com/berita/33172/puluhan-hektare-sawah-
petani-diserang-penyakit-tungro. [Diakses tanggal 4 November 2015].
Oka, I.N. 1994. Penggunaan, Permasalahan serta Prospek Pestisida Nabati
dalam Pengendalian Hama Terpadu. Prosiding Seminar HasilPenelitian
dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor, 1-2 Desember
1993. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hlm. 1-10.
Savary, S.,F. Morgan., L Wilocquet and K.L. Heong. 2012. A.Review of principles
for sustainable pest management in rice. Crop Protection 32:54.
Shahadi dan Naczk. 1995. Food Phenoliks.Technomic Inc. Basel
Widiarta, IN dan Kusdiaman. 2008. Pengaruh Sub Letal Sambilata Terhadap
Keperindian Musuh alami dan Wereng hijau. Jurnal HPT Tropika. 8(2):
75-81.

612
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

EVALUASI PENYAKIT PADI PADA VARIETAS UNGGUL BARU HIBRIDA

Dini Yuliani1*), Muainah Hasibuan2, dan Sudir1

1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
email: diniyuliani2010@gmail.com
ABSTRAK

Padi hibrida terbukti dapat meningkatkan produksi di daerah tropis,


sehingga penelitian padi hibrida mulai diintensifkan. Sasaran utamanya untuk
mendapatkan varietas padi hibrida yang lebih adaptif pada kondisi lingkungan di
Indonesia dan mempunyai daya hasil lebih tinggi daripada varietas padi inbrida.
Namun potensi hasil padi hibrida di lapangan dapat tidak tercapai karena
gangguan hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
penyakit padi pada varietas unggul baru (VUB) padi hibrida. Penelitian
dilaksanakan pada bulan November 2013 hingga bulan Februari 2014 di
Kabupaten Subang menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3
ulangan. Perlakuan berupa 12 VUB padi hibrida yaitu Hipa 5 Ceva, Hipa 6 Jete,
Hipa 7, Hipa 8, Hipa 9, Hipa 10, Hipa 11, Hipa 13, Hipa 14, Hipa Jatim 1, Hipa
Jatim 2, dan Hipa Jatim 3. Metoda untuk pengamatan penyakit dengan cara
menarik garis diagonal pada tiap petak percobaan, selanjutnya untuk setiap garis
diagonal diambil 10 rumpun tanaman sampel. Kemudian pada setiap rumpun
sampel tingkat keparahan penyakit yang ditemukan diamati dengan metode
skoring (IRRI, 2002). Hasil penelitian menunjukkan terdapat 6 penyakit padi yang
menginfeksi VUB padi hibrida yaitu busuk batang, hawar pelepah, hawar daun
jingga (HDJ), bercak daun cercospora (BDC), hawar daun bakteri (HDB), dan
bakteri daun bergaris. Tingkat keparahan tertinggi untuk HDB dijumpai pada Hipa
6 Jete (51,5%), bakteri daun bergaris pada Hipa Jatim 3 (41,1%), busuk batang
pada Hipa 11 (40,0%), HDJ pada Hipa 6 Jete dan Hipa 11 masing-masing sebesar
39,6%, BDC pada Hipa 10 (11,7%), dan hawar pelepah ditemukan pada Hipa
Jatim 3 sebesar 6,7%. Dari 12 varietas unggul baru padi hibrida yang dikaji, Hipa
11 menunjukkan tingkat keparahan yang nyata terhadap penyakit busuk batang
dan HDJ masing-masing sebesar 40,0% dan 39,6%.
Kata kunci : Penyakit, varietas unggul baru, padi hibrida
PENDAHULUAN
Penggunaan varietas unggul merupakan teknologi yang lebih nyata
kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas tanaman dan dapat dengan
cepat diadopsi petani karena murah dan penggunaannya praktis. Padi hibrida
pada awal kemunculannya dianggap kurang layak dikembangkan di daerah tropis.
Namun pengembangan padi hibrida terbukti dapat meningkatkan produksi di
daerah tropis, sehingga mulai tahun 1989 penelitian padi hibrida mulai
diintensifkan. Sasaran utamanya untuk mendapatkan varietas padi hibrida yang
lebih adaptif pada kondisi lingkungan di Indonesia dan mempunyai daya hasil 15-
20% lebih tinggi daripada varietas padi inbrida. Uji coba pengembangan padi
hibrida yang dilepas Badan Litbang Pertanian di 13 kabupaten pada tahun 2002-
2003 memberikan hasil rata-rata 7,35 ton GKG/ha atau 16% lebih tinggi
dibandingkan varietas pembanding inbrida (Satoto dan Suprihatno. 2008).

613
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengembangan teknologi varietas unggul di lapangan dapat terkendala oleh


serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Luas serangan OPT utama
tanaman padi yaitu penggerek batang padi, wereng batang coklat, tikus, blas,
hawar daun bakteri, dan tungro pada tahun 2008 seluas 428.590 ha dan 2.771 ha
diantaranya puso yang tersebar di seluruh provinsi. Secara umum, serangan
terluas terjadi di Provinsi Jawa Barat dengan luasan 134.814 ha dan yang
mengalami puso seluas 425 ha. Luas serangan tersebut lebih luas 11.587 ha
apabila dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu 417.003 ha dan puso sebesar
2.269 ha. Sedangkan apabila dibandingkan dengan rerata 5 tahun (2002-2006)
lebih luas 160.400 ha (Ditlin. 2011). Oleh karena itu, penting adanya informasi OPT
terutama penyakit padi yang menyerang varietas unggul baru (VUB) padi hibrida
sehingga dapat diantisipasi kehilangan hasil yang dapat merugikan petani.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan beberapa penyakit padi pada
varietas unggul barupadi hibrida.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada November 2013 – Februari 2014 di
Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Penelitian menggunakan rancangan
acak kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Sebagai perlakuan ditempatkan 12
varietas unggul baru (VUB) padi hibrida yaitu Hipa 5 Ceva, Hipa 6 Jete, Hipa 7,
Hipa 8, Hipa 9, Hipa 10, Hipa 11, Hipa 13, Hipa 14, Hipa Jatim 1, Hipa Jatim 2,
dan Hipa Jatim 3. Tanaman indikator padi ditanam pada petak percobaan
berukuran 5 x 8 m2. Bibit padi berumur 21 hari setelah semai (HSS) ditanam 2-3
bibit/lubang, dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm menggunakan sisten tanam tegel.
Tanaman padi dipupuk dengan 275 kg Urea/ha, 25 kg SP36/ha, 30 kg KCl/ha, dan
pupuk kandang 2 ton/ha. Dosis rendah SP36 dan KCl bertujuan untuk melihat
keparahan penyakit pada VUB padi hibrida. Untuk pengamatan penyakit ditarik
garis diagonal pada tiap petak percobaan, selanjutnya untuk setiap garis diagonal
diambil 10 rumpun tanaman sampel. Tiap rumpun sampel diamati keparahan
penyakit yang ditemukan dengan metode skoring (IRRI, 2002). Keparahan
penyakit dihitung dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Horswal
and Cooling dalam Sudir dkk. (2009) sebagai berikut: KP= ∑(ni. Vi)/(Z. N) x 100%,
KP= keparahan penyakit (%), ni= jumlah sampel dengan nilai skor keparahan
tertentu, i= skor keparahan (0, 1, 3, 5, 7 dan 9), V= nilai skala dari sampel ke i, N=
jumlah sampel yang diamati, dan Z= skor keparahan tertinggi. Data dianalisis
statisitik dengan menggunakan uji F pada taraf 5%. Jika hasil perlakuan
berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan DMRT pada
taraf 5% (Gomez and Gomez, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan penyakit padi
Penyakit-penyakit padi yang ditemukan selama penelitian berlangsung
adalah busuk batang, hawar pelepah, hawar daun jingga (HDJ), bercak daun
cercospora (BDC), hawar daun bakteri (HDB), dan bakteri daun bergaris. Varietas
padi hibrida berpengaruh nyata terhadap semua keparahan penyakit padi. Tingkat
keparahan penyakit dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik. Faktor
genetik berperan cukup besar terhadap tingkat ketahanan tanaman padi dari

614
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

penularan penyakit. Hasil pengujian ketahanan dari beberapa genotipe padi


terhadap busuk batang, HDB, BDC, dan HDJ menunjukkan adanya perbedaan
intensitas penularan yang nyata antar varietas (Sudir dkk. 2001).
Intensitas serangan penyakit busuk batang, hawar pelepah, dan hawar daun
jingga
Persentase intensitas serangan penyakit busuk batang, hawar pelepah,
dan HDJ terhadap beberapa VUB padi hibrida disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Intensitas penyakit busuk batang, hawar pelepah, dan hawar daun jingga
pada VUB padi hibrida, Subang MH 2013/2014.

Intensitas Penyakit (%)


No. Varietas
Busuk Batang Hawar Pelepah Hawar Daun Jingga
1 Hipa 5 Ceva 30,7 bc 3,9 c 4,6 G
2 Hipa 6 Jete 32,2 bc 5,4 abc 39,6 A
3 Hipa 7 34,1 bc 5,4 abc 34,1 Bc
4 Hipa 8 32,9 bc 5,2 abc 36,7 Ab
5 Hipa 9 32,2 bc 4,6 bc 26,3 E
6 Hipa 10 31,5 bc 5,0 abc 34,1 Bc
7 Hipa 11 40,0 a 5,6 abc 39,6 A
8 Hipa 13 33,7 bc 5,0 abc 29,3 De
9 Hipa 14 34,8 b 5,0 abc 38,9 A
10 Hipa Jatim 1 31,9 bc 5,2 abc 32,2 Cd
11 Hipa Jatim 2 30,0 c 6,3 ab 21,5 F
12 Hipa Jatim 3 31,5 bc 6,7 a 34,8 Bc

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf
5%.
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa VUB padi hibrida
berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit padi yang ditemukan selama
penelitian berlangsung.
Penyakit busuk batang dengan keparahan tertinggi sebesar 40,0%
ditemukan pada varietas Hipa 11. Penyakit busuk batang padi merupakan
penyakit yang endemis dan selalu dijumpai di daerah pertanaman padi yang
intensif. Tingkat keparahan penyakit ini berkaitan erat dengan cara budidaya yang
diterapkan oleh petani (Nuryanto, 2011). Saat ini, praktek budidaya padi varietas
unggul harus didukung dengan penggunaan pupuk an-organik untuk mencapai
hasil yang optimum. Akibatnya, penggunaan pupuk Urea di lapangan ada
kecenderungan melebihi dosis anjuran. Menurut Suprihanto dkk., (2009),
semakin tinggi dosis pupuk nitrogen menyebabkan tanaman padi semakin
rentan terhadap penyakit busuk batang.
Tingkat keparahan hawar pelepah tertinggi sebesar 6,7% ditemukan pada
varietas Hipa Jatim 3. Penyakit hawar pelepah yang disebabkan oleh cendawan
Rizoctonia solani memiliki kemampuan bertahan dalam tanah dan kisaran inang
yang luas sehingga sulit dikendalikan (Ou, 1985). Penyakit ini berkembang

615
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan baik di semua lokasi pengamatan dengan tingkat keparahan yang lebih
tinggi di dataran rendah (0-200 m dpl). Namun di dataran tinggi (500-700 m dpl),
tingkat keparahan penyakit menurun (Nuryanto, 2014). Suhu dan kelembaban
udara di lingkungan persawahan di dataran rendah umumnya cocok untuk
perkembangan penyakit hawar pelepah. Infeksi R. solani dapat terjadi pada
kisaran suhu 24-35oC dengan suhu optimum antara 28-32oC dan kelembaban
relatif 96-98% (Kobayashi dkk. 2006). Keparahan penyakit hawar pelepah
meningkat pada suhu dan kelembaban udara yang tinggi di lingkungan.
Keparahan penyakit hawar pelepah yang tinggi akan ditemukan pada varietas padi
tipe pendek dengan anakan banyak, dan lebih rendah tngkat keparahannya pada
varietas padi tipe tanaman tinggi dengan anakan sedikit (Nuryanto, 2014).
Penyakit HDJ dengan keparahan tertinggi sebesar 39,6% dijumpai pada
varietas Hipa 6 Jete dan Hipa 11. Dari 12 varietas unggul baru padi hibrida, Hipa
11 menunjukkan tingkat keparahan yang signifikan terhadap penyakit busuk
batang dan HDJ. Penyakit HDJ akan berkembang dengan baik secara alamiah di
lapangan, namun terdapat perbedaan reaksi yang sangat jelas diantara genotipe
padi terhadap penyakit HDJ (Sudir dan Suparyono, 1996). Penyakit HDJ tidak
dapat muncul gejalanya bila diinokulasi secara buatan, dan sukar diisolasi di
laboratorium

Intensitas serangan penyakit BDC, HDB, dan Bakteri Daun Bergaris


Persentase intensitas serangan penyakit BDC, HDB, dan bakteri daun
bergaris terhadap beberapa VUB padi hibrida disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Intensitas penyakit bercak daun cercospora, hawar daun bakteri, dan
bakteri daun bergaris pada VUB padi hibrida, Subang MH 2013/2014.
Intensitas Penyakit (%)
No. Varietas Bercak Daun Hawar Daun Bakteri Daun
Cercospora Bakteri Bergaris
1 Hipa 5 Ceva 0,0 c 30,4 de 4,1 de
2 Hipa 6 Jete 0,0 d 51,5 a 2,6 e
3 Hipa 7 0,0 d 40,0 bc 10,4 c
4 Hipa 8 8,5 b 47,8 a 14,4 c
5 Hipa 9 0,0 d 45,0 ab 6,1 de
6 Hipa 10 11,7 a 15,0 fg 0,0 f
7 Hipa 11 4,6 c 27,4 e 0,0 f
8 Hipa 13 0,0 d 15,7 fg 11,3 c
9 Hipa 14 0,0 d 35,2 cd 13,5 c
10 Hipa Jatim 1 0,0 d 11,7 g 30,0 b
11 Hipa Jatim 2 0,0 d 13,0 fg 35,9 ab
12 Hipa Jatim 3 0,0 d 16,7 f 41,1 a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf
5%.

616
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa VUB padi hibrida


berpengaruh nyata terhadap keparahan tiga penyakit padi yang diemukan selama
penelitian berlangsung.
Tingkat keparahan penyakit BDC tertinggi sebesar 11,7% ditemukan pada
VUB Hipa 10. Penyakit bercak daun ini sering ditemukan di lahan sawah yang
disebabkan oleh cendawan Cercospora oryzae dan banyak dijumpai pada lahan
miskin hara dan pemupukan nitrogen yang kurang dari dosis rekomendasi. Gejala
serangan mulai tampak di lapangan setelah 5 minggu setelah tanam (MST).
Menurut Ginting (2008), Intensitas serangan BDC tertinggi sering ditemukan pada
fase generatif.
Hawar daun bakteridengan keparahan tertinggi sebesar 51,5% dijumpai
pada varietas Hipa 6 Jete. Penyakit HDB yang disebabkan oleh Xanthomonas
oryzae pv. oryzae merupakan salah satu penyakit penting yang tersebar di
berbagai ekosistem tanaman padi di Indonesia (Suparyono dkk. 2004). Penyakit
ini sukar dikendalikan karena keragaman genetik yang cukup tinggi dan memiliki
patotipe yang cukup banyak.
Tingkat keparahan penyakit bakteri daun bergaris tertinggi sebesar 41,1%
ditemukan pada varietas Hipa Jatim 3. Secara umum penyakit busuk batang, HDJ,
HDB, dan bakteri daun bergaris menunjukkan keparahan yang cukup tinggi pada
varietas padi hibrida. Untuk mencapai hasil padi hibrida sesuai dengan potensi
hasilnya dibutuhkan lingkungan atau lahan yang sesuai untuk pengembangan padi
hibrida antara lain tanah subur dengan irigasi terjamin, bukan daerah endemis
hama dan penyakit, petani setempat tanggap terhadap teknologi baru, dan tingkat
hasil padi di daerah tersebut sudah tinggi (Badan Litbang Pertanian, 2004).

KESIMPULAN
Terdapat enam penyakit padi yang menginfeksi VUB padi hibrida yaitu
busuk batang, hawar pelepah, hawar daun jingga, bercak daun cercospora, hawar
daun bakteri, dan bakteri daun bergaris. Tingkat keparahan tertinggi untuk
penyakit hawar daun bakteri dijumpai pada Hipa 6 Jete (51,5%), bakteri daun
bergaris pada Hipa Jatim 3 (41,1%). busuk batang pada Hipa 11 (40,0%), hawar
daun jingga pada Hipa 6 Jete dan Hipa 11 masing-masing sebesar 39,6%, bercak
daun cercospora pada Hipa 10 (11,7%), dan penyakit hawar pelepah ditemukan
pada Hipa Jatim 3 sebesar 6,7%. Dari 12 varietas unggul baru padi hibrida yang
dikaji, Hipa 11 menunjukkan tingkat keparahan yang nyata terhadap penyakit
busuk batang dan hawar daun jingga masing-masing sebesar 40,0% dan 39,6%.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2004. Inovasi teknologi perakitan varietas. Makalah
disampaikan pada Pekan Padi Nasional kedua. 24 hal.
Ditlin (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan). 2011. Laporan Tahunan 2010
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Dirjen Tanaman Pangan.
Kementerian Pertanian, Jakarta.

617
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Ginting MS. 2008. Intensitas serangan penyakit bercak daun sempit (Cercospora
janseana) (Rocib) O. Const pada beberapa varietas padi sawah (Oryzae
sativa L) dengan jarak tanam yang berbeda di lapangan. Departemen
Hama dan Penyakit Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera
Utara. 54 Hal.
Gomez AK and Gomez AA. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian.
(Terjemahan oleh Enang Sjamsudin & Justika Baharsjah). Edisi 11. UI
Press, Jakarta. 698 Hal.
IRRI. 2002. Standard evaluation system for rice. 4th Edition. International Rice
Research Institute. Los Banos, Phillipines. 56 p.
Kobayashi T, Ishiguro K, Nakajima T, Kim HY, Okada M, and Kobayashi K. 2006.
Effect of elevated atmospheric CO2 cocentration on the infection of rice
blast and sheath blight. Phytopathology 96: 425-431.
Nuryanto B. 2011. Varietas, kompos, dan cara pengairan sebagai komponen
pengendali penyakit hawar upih. Disertasi. Program Pasca Sarjana.
Universitas Gadjah. Yoyakarta.
Nuryanto B, Priyatmojo A, Hadisutrisno B. 2014. Pengaruh tinggi tempat dan tipe
tanaman padi terhadap keparahan penyakit hawar pelepah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 33 (1): 1-8.
Ou, SH. 1985. Rice diseases. Second Edition. Great Britain: The Cambrian News
Ltd. 380 p.
Satoto, dan B. Suprihatno. 2008. Pengembangan padi hibrida di Indonesia. IPTEK
Tanaman Pangan 3 (1): 27-40.
Sudir dan Suparyono. 1996. Keparahan penyakit hawar daun jingga pada
beberapa galur dan varietas padi. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia
2(1): 5-11.
Sudir, Suprihanto, dan Suparyono. 2001. Pengaruh pupuk, varietas, dan fungisida
terhadap perkembangan beberapa penyakit padi. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 20 (1): 32-39.
Sudir, Suprihanto, dan T.S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae
pv. oryzae, penyebab penyakit penyakit hawar daun bakteri di sentra
produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(3):
131-138.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas
campestris pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian
Journal of Agric. Science 5 (2): 63-69.
Suprihanto, Guswara A, dan Satoto. 2009. Pengaruh dosis pupuk nitrogen
terhadap beberapa penyakit pada varietas padi hibrida. Prosiding Seminar
Nasional Padi 2008. Balai Besar Penelitian Padi. Sukamandi. Hal: 443-451.

618
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KAJIAN MODEL PHTT BERBASIS TEKNOLOGI TBS DAN LTBS DI


HAMPARAN SAWAH BERBATASAN KEBUN SAWIT

Sigid Handoko, Adri, Endrizal, dan Rima Purnamayani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi


Jl. Samarinda Paal V Kotabaru, Jambi
Email: shandoko92@gmail.com

ABSTRAK
Kabupaten Muaro Jambi memiliki potensi rawa lebak seluas 17.900 ha.
Pemanfaatannya sebagai lahan sawah sekitar3.800-an ha,yang didominasi oleh
pertanaman padi pada musim penghujan dan pertanaman jagung pada musim
kemarau. Permasalahan utama yang dijumpai yaitu fluktuasi tinggi muka air yang
sangat berbeda dan serangan hama tikus yang berasal dari kebun sawit di
sekitarnya. Hal ini sering menyebabkan kegagalan panen. Cara pengendalian
hama tikus pada lahan sawah menggunakan pestisida dalam bentuk umpan
beracun dan pengemposan kurang efektif di lapangan karena aplikasinya sering
terlambat dan serangan tikus sudah kategori sedang atau berat. Pengendalian
hama tikus secara terpadu berbasis teknologi TBS dan LTBS diperlukan dengan
tujuan memperoleh keberhasilan dalam usaha tani padi dengan menekan
kehilangan hasil di lapangan. Pengendalian hama tikus yang dilakukan yaitu: 1.
Penggunaan teknologi Trap barrier system (TBS) awal musim tanam, 2.
Penggunaan teknologi Linear trap barrier system (LTBS) yang membatasi lahan
sawah dan kebun sawit. Hasil kajian menunjukkan bahwa penggunaan teknologi
Trap barrier system (TBS) awal musim tanam dapat memerangkap 293 ekor
dengan perbandingan tikus jantan dan betina sebesar (3:7). Penggunaan teknologi
Linear trap barrier system (LTBS) dapat memerangkap tikus yang melakukan
migrasi antara lahan sawah dan habitat tikus (kebun sawit) atau sebaliknya.
Pengendalian hama tikus terpadu menggunakan TBS dan LTBS dapat
mengendalikan tikus di pertanaman padi.

Kata kunci: pengendalianhama tikus, TBS, LTBS, rawa lebak

PENDAHULUAN

Potensi sawah rawa lebak di Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi yaitu
seluas 17.900 ha, sementara lahan yang telah dapat digunakan untuk pertanaman
tanaman pangan seluas sekitar 3.800 ha (Busyra danHendri, 2015).
Pemanfaatan sebagai lahan sawah didominasi oleh pertanaman padi pada musim
penghujan (MT I), dan pertanaman jagung pada musim kemarau (MT II) (Busyra
dkk.,2014; Busyra dan Hendri, 2015). Selain keberadaan air menjadi faktor
pembatas dalam usaha tani padi, serangan hama tikus seringkali menjadi faktor
utama kegagalan panen padi, berasal dari kebun sawit yang berbatasan langsung
dengan sawah. Beberapa cara pengendalian hama tikus sawah berbasis
penggunaan pestisida dalam bentuk umpan beracun dan fumigasi, diperoleh hasil
kurang efektif di lapangan karena kondisi lahan pasang surut dan pelaksanaan
aplikasinya setelah muncul serangan dalam kategori kerusakan sedang atau
berat. Teknik pengendalian hama tikus alternatif diperlukan dengan tujuan

619
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

memperoleh keberhasilan dalam usaha tani padi dengan menekan kehilangan


hasil di lapangan. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh informasi pemanfaatan
teknologi Trap barrier system (TBS) dan Linear trap barrier system (LTBS) dalam
menekan perkembangan tikus di lahan sawah pertanaman padi yang berbatasan
dengan kebun kelapa sawit.

TBS merupakan salah satu teknologi pengendalian tikus sawah yang


terbukti efektif menangkap tikus dalam jumlah banyak. Tangkapan tikus dapat
berlangsung terus menerus sejak tanaman perangkap ditanam hingga panen
(Singleton dkk., 1997; Sudarmaji, 2005). Jumlah tangkapan tikus pada setiap unit
TBS dipengaruhi oleh tingkat populasi tikus dan stadium padi tanaman perangkap.
Tangkapan tikus tertinggi terjadi ketika tanaman perangkap berumur 3 minggu
setelah tanam (MST) atau bertepatan dengan periode tanam petani di sekitarnya
(Sudarmaji 2001 dan 2002). Dengan banyaknya tikus yang tertangkap di awal
pertanaman, populasi tikus di lapangan dapat ditekan sehingga tingkat kerusakan
tanaman padi menurun dan lebih banyak hasil panen dapat diselamatkan.

LTBS merupakan salah satu komponen pengendalian tikus sawah yang


efektif, ramah lingkungan dan mudah dalam pemakaiannya di lapangan (Leung
dan Sudarmaji,1999). LTBS berupa bentangan pagar plastik sepanjang minimal
100 m, tanpa tanaman perangkap, dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya
secara berselang-seling sehingga mampu menangkap tikus dari dua arah (habitat
dan sawah). Pemasangan LTBS dilakukan di dekat habitat utama tikus sawah
seperti tepi kampung, sepanjang tanggul irigasi, dan tanggul jalan/pematang
besar. LTBS juga efektif menangkap tikus migran, yaitu dengan memasang LTBS
pada jalur migrasi yang dilalui tikus sehingga tikus dapat diarahkan masuk bubu
perangkap. Jumlah tangkapan tikus pada setiap unit TBS dipengaruhi oleh tingkat
populasi tikus dan stadium padi tanaman perangkap (Singleton dkk. 1997;
Sudarmaji 2005).

BAHAN DAN METODE

Kajian yang dilakukan di Desa Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten


Muaro Jambi, Provinsi Jambi, pada Maret – Juli 2015. Menggunakan metode
Demonstrasi Plot yang terdiri atas: a) teknik Trap Barrier System (TBS) yaitu petak
pertanaman padi yang berukuran 25 m x 25 m, yang ditanam 3 minggu sebelum
tanaman padi lainnya. Varietas padi yang digunakan sama dengan varietas
sekitarnya yaitu Inpari 30. Dipersiapkan kelengkapan jaring burung, yang
dipasang pada saat padi keluar malai. Petak perangkap dibuatkan parit kecil
mengelilingi (lebar sekitar 0,5 m), kemudian dipasang pagar plastik mengelilingi di
sebelah dalam parit, dan di setiap sisinya dipasang bubu perangkap di sebelah
dalam menghadap keluar, dan b) penggunaan teknik Linear trap barrier system
(LTBS) yaitu memasang pagar plastik yang memisahkan habitat tikus dengan
sawah yang dilengkapi dengan bubu perangkap yang dipasang secara berselang-
seling. Pemasangan pagar plastik dilakukan dengan menutup rapat seluruh
bagian yang diinginkan, kemudian dibuatkan lubang tertentu sebagai jalan tikus
menuju bubu perangkap. Selengkapnya disajikan dalam Gambar 1 berikut ini.

620
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Gambar 1. Sketsa pemasangan pagar perangkap. (a) tata letak pemasangan


TBS, (b) teknik pemasangan pagar perangkap dan penempatan bubu
perangkap (Anggara, 2008)

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tikus terperangkap, nisbah


kelamin tikus terperangkap, dan posisi letak bubu perangkap yang terkait dengan
arah hadap. Selanjutnya data yang diperoleh dapat dianalisis dengan potensi
pengendalian, dan dideskripsikan perbedaan posisi letak bubu perangkap terkait
arah hadapnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil kajian menunjukkan tikus dapat diperangkap melalui teknologi TBS


sebanyak 293 ekor yang terdiri atas 88 ekor jantan, dan 205 ekor betina dalam 1
petak tanaman padi perangkap. Hal ini menunjukkan potensi tikus yang dapat
dikendalikan yaitu sebesar lebih kurang 16.400 ekor dalam 1 musim tanam.
Menurut Anggara (2008), satu ekor tikus betina pada awal musim tanam padi,
dapat berpotensi menjadi 80 ekor pada akhir musim tanam padi, lebih kurang
selama 4 bulan. Keadaan ini menjadi indikator keberhasilan penerapan teknologi
TBS.

Dari bubu perangkap dalam setiap sisi petak perangkap TBS,


menunjukkan adanya perbedaan jumlah tikus yang terperangkap. Sisi yang
menghadap langsung dengan kebun sawit terlihat dapat memerangkap lebih
banyak dibandingkan dengan sisi lainnya (Gambar 2). Hal ini dapat terjadi diduga
tikus yang berasal dari kebun sawit berjumlah lebih banyak pada saat lahan bera
dan dapat segera tertarik dan mendatangi petak perangkap TBS. Tikus yang
berusaha masuk ke dalam petak perangkap memperoleh jalan terdekat antara
kebun sawit dan petak perangkap.

621
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

120
100
80

Ekor
60
40
20
0
Sawah Sawit 1 Permukiman Sawit 2
Arah Hadap Bubu
Banyak Tikus Terperangkap Teknologi TBS

Gambar 2. Banyak tikus terperangkap dalam petak perangkap berdasarkan posisi


arah hadap bubu

Menurut Anggara (2008), pada saat lahan bera, tikus menjalani fase
bertahan dengan kembali ke perkampungan, semak, dan kebun sawit. Pada saat
telah terdapat padi yang tumbuh, maka tikus akan segera mendatangi padi, untuk
memenuhi kebutuhan pelengkap hormon perkembangbiakan yang terdapat di
pangkal tunas padi. Dari kondisi ini menunjukkan pengendalian tikus sawah
menggunakan teknologi TBS dapat efektif digunakan.
Hasil penggunaan teknologi LTBS menunjukkan bahwa dari letak
perangkap yang terdapat berbatasan dengan kebun sawit saja yang dapat
memerangkap tikus, yaitu sebanyak 16 ekor. (Gambar 3).

a b

Gambar 3. Petak perangkap TBS ditanam 3 minggu sebelumnya dari sekitarnya


(a), pagar plastik untuk LTBS (b)

Hal ini dapat terjadi mungkin disebabkan tikus telah tertarik dengan
tanaman perangkap dalam TBS dan lebih awal dapat terperangkap dalam bubu.
Kondisi letak petak perangkap TBS yang berdekatan dengan kebun sawit dapat
efektif memrangkap tikus sejak fase awal tanam. Keadaan ini menunjukkan
potensi pengendalian tikus sawah yang mengadakan migrasi dari habitatnya
(kebun sawit) menuju ke sawah dapat efektif digunakan.

KESIMPULAN

1. Pemerangkapan tikus menggunakan teknik TBS menggambarkan potensi


pengendalian tikus yang dapat berkembang sesuai dengan dukungan faktor
genotipe dan lingkungannya.

622
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

2. Tikus yang dapat diperangkap dalam petak perangkap sebanyak 293 ekor
terdiri dari 88 jantan dan 205 betina. Hal ini menunjukkan potensi tikus yang
dapat dikendalikan yaitu sebesar 16.400 ekor dalam 1 musim tanam.
3. Sisi petak perangkap TBS yang menghadap ke arah kebun sawit dapat
memerangkap tikus lebih banyak.
4. Penggunaan teknik LTBS menunjukkan potensi pengendalian tikus sawah
yang mengadakan migrasi dari habitat menuju sawah dan sebaliknya.

SARAN

1. Penerapan teknologi TBS dibuat dalam 1 petak perangkap dapat melindungi


lebih kurang 10 ha hamparan sawah, sehingga di lahan yang berbatasan
dengan sawit sebaiknya dibuat lebih dari 1 petak perangkap.
2. Dalam penerapan TBS dan LTBS dalam sawah yang berbatasan kebun sawit
sebaiknya digunakan pagar plastik yang lebih tinggi, yaitu lebih kurang 80 cm.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Dr. Agus Wahyana Anggara (BB
Padi) dan Rima Purnamayani, SP, MSi. (BPTP Jambi).

DAFTAR PUSTAKA

Anggara, A.W. 2008. Pengendalian Hama Tikus Terpadu.Balai Besar Penelitian


Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Busyra, B.S., Adri, dan Endrizal. 2014. Optimalisasi Lahan Sub Optimal Rawa
Pasang Surut Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Peningkatan
Indek Pertanaman.
Busyra, B.S.dan J. Hendri. 2015. Potensi Lahan Rawa Di Kabupaten Muaro Jambi
Untuk Meningkatkan Produks iPadi. Balai PengkajianTeknologi
Pertanian Jambi Jl. Samarinda Paal V Kotabaru Jambi
Leung, K.P.L., dan Sudarmaji. 1999. Techniques for the ricefield rat
Rattusargentiventer. Malayan Nature Journal 53(4): 323-333.
Singleton, G.R., Sudarmaji and S.Suryapermana. 1997. An Experimental field
study to evaluate a trap barrier system and fumigation for controlling the
rice-field rat, Rattusargentiventer, in rice crops in West Java. Crop
protection. 17(1) :55-64.
Sudarmaji, 2001. Pengendalian tikus sawah dengan TBS dan LTBS. Makalah
pada Diskusi Panel Pengendalian Hama Tikus HKTI Pusat di BPHP-
TPH Jatisari. Hal. 113.
Sudarmaji, 2002. Strategi pengendalian tikus terpadu. Makalah pada Workshop
dan Pelatihan Site Specifik Nutrient Managemant di Balitpa Sukamandi.
6-10 Mei 2002. Hal : 1-18.
Sudarmaji, 2005. Permasalahanhamatikusdanpenanganannyapadapadi (hibrida).
Makalahpada Training ProduksiBenihPadiHibrida di BalitpaSukamandi,
16-18 Mei 2005. Hal :1-16.

623
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

REAKSI KETAHANAN DELAPAN VARIETAS UNGGUL BARU


TERHADAP HAWAR DAUN BAKTERI PADI

1
Dini Yuliani, 2Muainah Hasibuan, dan 1Sudir
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. (0260) 520157/(0260) 520158
email: diniyuliani2010@gmail.com

ABSTRAK
Varietas unggul baru (VUB) padi merupakan teknologi yang murah dan
mudah diadopsi oleh petani. Pemilihan VUB padi harus mempertimbangkan
potensi hasil tinggi, kualitas yang baik, dan tahan terhadap hama-penyakit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan varietas unggul baru padi
terhadap penyakit hawar daun bakteri (HDB) patotipe III, IV, dan VIII. Penelitian
dilaksanakan di Screen Field Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
pada musim hujan 2013/2014 dan musim kemarau 2014 menggunakan
rancangan petak terpisah dan diulang 3 kali. Sebagai petak utama adalah tiga
patotipe bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) yaitu patotipe III, IV, dan
VIII. Sedangkan anak petak adalah 8 varietas unggul baru (VUB) yaitu Inpari 1,
Inpari 11, Inpari 30, Ciherang, Angke, Conde, Hipa 11, dan Hipa Jatim 3.
Pengamatan intensitas penyakit HDB dilakukan dengan mengukur gejala
terpanjang pada umur tiga minggu setelah inokulasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa patotipe Xoo dan VUB padi berpengaruh terhadap keparahan penyakit
HDB. Terjadi interaksi antara keduanya pada musim hujan, namun tidak terjadi
interaksi pada musim kemarau. Varietas Conde dan Angke menunjukkan
keparahan penyakit paling rendah dibandingkan varietas lainnya dan konsisten
bereaksi agak tahan terhadap patotipe III, IV, dan VIII pada dua musim tanam.
Hipa Jatim 3 memiliki potensi hasil lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya dan
konsisten pada dua musim tanam, meskipun memiliki keparahan penyakit HDB
yang cukup tinggi. Patotipe Xoo tidak berpengaruh terhadap komponen hasil padi,
sedangkan VUB berpengaruh terhadap komponen hasil padi pada dua musim
tanam. Untuk pemilihan VUB tahan HDB dapat disesuaikan dengan kebutuhan
dan kondisi lahan setempat. Untuk daerah endemis penyakit HDB, dapat
digunakan Conde dan Angke untuk menurunkan keparahan penyakit. Hipa Jatim
3 memiliki ketahanan terhadap penyakit HDB dibandingkan varietas lainnya dan
memiliki potensi hasil yang tinggi.
Kata kunci: Reaksi ketahanan, varietas unggul baru, padi, hawar daun bakteri

PENDAHULUAN
Varietas unggul baru (VUB) memiliki peran nyata dalam meningkatkan
produksi padi nasional yaitu varietas yang adaptif dan berpotensi hasil tinggi di
lahan sawah irigasi. Namun potensi hasil padi menghadapi kendala biotik yaitu
serangan hama dan penyakit. Penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang
disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo), merupakan salah satu
penyakit yang sangat penting di negara-negara penghasil padi termasuk Indonesia
(Suparyono dkk. 2004, Jeung dkk. 2006, Nayak dkk. 2008). Penyakit ini menyebar

624
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

di berbagai ekosistem padi baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dan sulit
dikendalikan. Penyakit HDB dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai lebih
dari 50% (Shen and Ronald. 2002).
Sejak varietas IR20 yang memiliki gen tahan terhadap HDB diperoleh,
pemuliaan padi tahan HDB menjadi salah satu program penting dalam perbaikan
varietas. Berbagai varietas padi dengan berbagai tingkat ketahanan terhadap
HDB telah dikembangkan. Namun kemudian diketahui bahwa varietas tahan
hanya efektif terhadap patotipe tertentu pada lokasi tertentu. Berawal dari yang
dialami varietas IR20 di Filipina, kemudian IR36 di Indonesia. Setelah dilepas
tahun 1970, IR20 rentan terhadap patotipe Isabela di Filipina (Ou. 1985),
sementara IR36 yang dilepas di Indonesia pada sekitar tahun 1979 rentan
terhadap patotipe IV (Suparyono. 1984). Informasi ini mengisyaratkan bahwa
bukan saja dominasi dan distribusi patotipe yang berbeda di berbagai daerah,
namun juga bahwa dalam kurun waktu tertentu, dominasi patotipe di suatu daerah
dapat berubah (Sudir dkk. 2012). Hal ini menyebabkan suatu varietas padi yang
semula tahan terhadap HDB dapat menjadi patah ketahanannya. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui reaksi ketahanan varietas unggul baru padi terhadap
penyakit hawar daun bakteri.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Screen Field Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi Sukamandi bulan Desember-Januari pada musim hujan (MH) 2013/2014 dan
bulan Juni-September pada musim kemarau (MK) 2014. Rancangan yang
digunakan adalah petak terpisah dengan tiga ulangan. Sebagai petak utama
adalah tiga patotipe bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) yaitu patotipe
III, patotipe IV, dan patotipe VIII. Sedangkan sebagai anak petak adalah 8 VUB
yaitu Inpari 1, Inpari 11, Inpari 30, Ciherang, Angke, Conde, Hipa 11, dan Hipa
Jatim 3. Ukuran plot percobaan 4 x 5 m2. Bibit padi ditanam pindah pada umur 21
hari setelah semai (HSS), 2-3 bibit/lubang dan ditanam secara tegel 25 cmx25 cm.
Pemupukan secara optimal berdasarkan bagan warna daun (untuk pupuk Urea)
dan perangkat uji tanah sawah (untuk pupuk SP-36 dan KCl). Pengendalian hama
dilakukan secara pengelolaan hama terpadu (PHT), dan pengendalian gulma
dilakukan secara manual pada saat tanaman berumur 21 dan 42 hari setelah
tanam (HST).
Biakan murni bakteri Xoo berumur 48 jam disuspensikan dengan air steril
hingga kepekatan 108 cfu. Inokulasi bakteri Xoo patotipe III, IV dan VIII dilakukan
pada 20 rumpun sampel per petak saat padi menjelang stadium primordia dengan
metode gunting. Ujung daun padi dipotong ± 10 cm dengan gunting inokulasi yang
berisi suspensi bakteri Xoo. Pengamatan intensitas penyakit HDB dilakukan
dengan mengukur 5 daun bergejala terpanjang/rumpun pada umur 3 minggu
setelah inokulasi (MSI). Intensitas penyakit adalah rasio dari panjang gejala HDB
dibagi panjang daun yang diinokulasi dikali 100%. Reaksi ketahanan genotipe padi
dikelompokkan berdasarkan intensitas penyakit berdasar Standard Evaluation
Sytem for Rice (IRRI. 2002). Untuk mengetahui pengaruh varietas unggul baru

625
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

padi dan patotipe Xoo terhadap intensitas penyakit HDB, data dianalisis secara
statistik dengan uji F pada taraf 5%. Jika hasil perlakuan berpengaruh nyata maka
dilakukan uji lanjut DMRT 5% (Gomez and Gomez. 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil sidik ragam pada pengamatan tiga MSI menunjukan adanya interaksi
antara VUB dengan bakteri Xoo terhadap keparahan penyakit HDB pada MH
2013/2014. Varietas Conde dan Angke menunjukkan keparahan penyakit HDB
paling rendah dibandingkan varietas lainnya. Hipa Jatim 3 menunjukkan
keparahan penyakit HDB tertinggi sebesar 31,1% terhadap Xoo patotipe III.
Sedangkan Hipa 11 menunjukkan keparahan penyakit HDB tertinggi sebesar 58,5
dan 37,8% berturut-turut terhadap Xoo patotipe IV dan VIII (Tabel 1).
Tabel 1. Interaksi VUB padi dengan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo),
terhadap keparahan penyakit hawar daun bakteri (HDB). Sukamandi. MH
2013/2014
Keparahan Penyakit (%)
Varietas
Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII
Inpari 1 21,7 ab 57,3 a 37,3 a
C A B
Inpari 11 18,6 b 56,2 a 24,7 a
C A B
Inpari 30 20,7 ab 51,4 a 29,4 a
C A B
Ciherang 21,9 ab 53,3 a 30,8 a
C A B
Angke 6,9 c 9,8 b 8,0 b
C A B
Conde 6,5 c 7,97 b 7,2 b
C A B
Hipa 11 27,9 ab 58,5 a 37,8 a
C A B
Hipa Jatim 3 31,1 a 58,1 a 36,3 a
C A B

Ket.: 1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5%
2. Huruf kecil untuk arah vertikal patotipe Xoo, huruf besar untuk arah
horizontal varietas.

Patotipe Xoo berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit HDB. Menurut


Suparyono dkk. (2003), Xoo patotipe IV merupakan patotipe bakteri yang paling
ganas dibandingkan patotipe lainnya.
Hasil pengamatan pada MH 2013/2014 teridentifikasi dua varietas yaitu
Angke dan Conde yang bereaksi agak tahan terhadap Xoo patotipe III, IV, dan VIII
dengan intensitas penyakit berkisar antara 6,5% hingga 9,8%. Sedangkan
varietas lainnya menunjukkan reaksi agak rentan hingga sangat rentan terhadap
ketiga patotipe Xoo dominan dengan intensitas penyakit berkisar antara 18,6%
hingga 58,5% (Tabel 2). Conde memiliki gen tahan bersifat dominan Xa7,
sedangkan Angke memiliki gen tahan bersifat resesif xa5. Kedua varietas tersebut

626
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

diketahui bereaksi tahan terhadap Xoo patotipe III, IV, dan VIII (Suprihatno dkk
2011).
Tabel 2. Reaksi ketahanan VUB padi terhadap hawar daun bakteri. Sukamandi.
MH 2013/2014
Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII
Varietas
Severity Skala Reaksi Severity Skala Reaksi Severity Skala Reaksi
Inpari 1 21,7 5 AR 57,3 9 SR 37,3 7 R
Inpari 11 18,6 5 AR 56,2 9 SR 24,7 5 AR
Inpari 30 20,7 5 AR 51,4 9 SR 29,4 7 R
Ciherang 21,9 5 AR 53,3 9 SR 30,8 7 R
Angke 6,9 3 AT 9,8 3 AT 8,0 3 AT
Conde 6,5 3 AT 8,0 3 AT 7,2 3 AT
Hipa 11 27,9 7 R 58,5 9 SR 37,8 7 R
Hipa Jatim 3 31,1 7 R 58,1 9 SR 36,3 7 R

Patotipe Xoo tidak berpengaruh nyata terhadap komponen hasil pada MH


2013/2014. Varietas berpengaruh nyata terhadap bobot gabah isi (BGI) dan bobot
gabah kering giling (BGKG). Hipa Jatim 3 memiliki BGI tertinggi sebesar 160,3 g
dan bobot gabah hampa (BGH) yang cukup tinggi sebesar 27,4 g, namun memiliki
BGKG tertinggi sebesar 1,78 kg/plot (20 m2) dibandingkan varietas lainnya (Tabel
3).
Tabel 3. Komponen hasil padi, Sukamandi MH 2013/2014.
Bobot gabah isi Bobot gabah hampa Bobot gabah kering giling
Perlakuan (g)/3 rumpun (g)/3 rumpun (kg)/20m2
Patotipe Xoo
Patotipe III 142,0 a 23,9 a 1,64 a
Patotipe IV 144,3 a 26,1 a 1,57 a
Patotipe VIII 144,0 a 24,6 a 1,51 a
Varietas
Inpari 1 145,2 ab 25,0 a 1,56 bc
Inpari 11 140,1 b 25,1 a 1,58 b
Inpari 30 134,9 b 24,0 a 1,44 c
Ciherang 135,9 b 24,4 a 1,54 bc
Conde 148,8 ab 18,3 b 1,52 bc
Angke 139,2 b 27,1 a 1,60 b
Hipa 11 143,2 ab 27,3 a 1,56 bc
Hipa Jatim 3 160,3 a 27,4 a 1,78 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT 5%.
Hal ini menunjukkan Hipa Jatim 3, meskipun memiliki keparahan penyakit HDB
yang cukup tinggi, namun memiliki potensi hasil lebih tinggi dibandingkan varietas
lainnya.
Hasil sidik ragam pada pengamatan tiga MSI menunjukan patotipe Xoo dan
varietas padi masing-masing berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit
HDB, namun tidak terjadi interaksi di antara keduanya pada MK 2014. Keparahan
penyakit HDB terendah dijumpai pada patotipe III, sedangkan keparahan penyakit
HDB tertinggi diperoleh pada patotipe IV. Varietas Conde dan Angke menunjukkan
keparahan penyakit HDB terendah dibandingkan varietas lainnya (Tabel 4).

627
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Keparahan hawar daun bakteri pada VUB padi. Sukamandi. MK 2014
Perlakuan Keparahan Penyakit (%)
Patotipe Xoo
Patotipe III 8,9 c
Patotipe IV 22,7 a
Patotipe VIII 13,7 b
Varietas
Inpari 1 16,6 ab
Inpari 11 16,5 ab
Inpari 30 15,6 b
Ciherang 17,2 ab
Conde 9,1 c
Angke 9,7 c
Hipa 11 16,5 ab
Hipa Jatim 3 19,5 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5%.
Hasil pengamatan pada MK 2014 diperoleh tujuh VUB padi bereaksi agak
tahan terhadap Xoo patotipe III, sedangkan Hipa Jatim 3 bereaksi agak rentan.
Reaksi ketahanan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII diperoleh dua varietas yaitu
Conde dan Angke bereaksi agak tahan. Varietas padi lainnya menunjukkan reaksi
agak rentan hingga rentan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII (Tabel 5).
Tabel 5. Reaksi ketahanan VUB padi terhadap hawar daun bakteri. Sukamandi.
MK 2014
Patotipe III Patotipe IV Patotipe VIII
Varietas
Severity Skala Reaksi Severity Skala Reaksi Severity Skala Reaksi
Inpari 1 8,95 3 AT 26,1 7 R 14,7 5 AR
Inpari 11 9,1 3 AT 25,97 7 R 14,5 5 AR
Inpari 30 7,7 3 AT 24,5 5 AR 14,6 5 AR
Ciherang 8,8 3 AT 26,9 7 R 16,1 5 AR
Angke 6,1 3 AT 10,7 3 AT 10,6 3 AT
Conde 7,5 3 AT 12,4 5 AR 9,2 3 AT
Hipa 11 10,5 3 AT 26,2 7 R 12,7 5 AR
Hipa Jatim 3 12,4 5 AR 28,5 7 R 17,5 5 AR

Menurut Sudir dkk. (2012), jenis varietas yang ditanam akan menentukan
perkembangan penyakit HDB.
Patotipe Xoo tidak berpengaruh nyata terhadap komponen hasil pada MK
2014. Sedangkan varietas berpengaruh nyata terhadap BGI dan BGH, Hipa Jatim
3 memiliki BGI tertinggi sebesar 160,3 gr, sedangkan BGI terendah dijumpai pada
Angke sebesar 142,2 gr. Bobot gabah hampa tertinggi diperoleh pada Hipa 11
sebesar 30,9 g. Sama halnya pada musim sebelumnya Hipa Jatim 3 memiliki
BGKG tertinggi sebesar 1,96 kg/20 m2 dibandingkan varietas lainnya (Tabel 6).
Hal ini menunjukkan Hipa Jatim 3 memiliki potensi hasil lebih tinggi dibandingkan
varietas lainnya dan konsisten pada dua musim tanam, meskipun memiliki
keparahan penyakit HDB yang cukup tinggi.

628
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 6. Komponen hasil padi. Sukamandi. MK 2014


Bobot gabah isi (gr)/3 Bobot gabah hampa Bobot gabah kering
Perlakuan
rumpun (gr)/3 rumpun giling (kg/20 m2)
Patotipe Xoo
Patotipe III 154,2 a 23,2 a 1,57 a
Patotipe IV 167,9 a 24,5 a 1,56 a
Patotipe VIII 180,5 a 21,7 a 1,63 a
Varietas
Inpari 1 161,0 cd 14,7 c 1,53 b
Inpari 11 186,0 b 23,5 b 1,51 b
Inpari 30 161,4 cd 20,3 b 1,51 b
Ciherang 155,0 cd 19,4 b 1,58 b
Conde 156,9 cd 13,2 c 1,49 b
Angke 142,2 d 33,7 a 1,56 b
Hipa 11 171,4 bc 30,9 a 1,54 b
Hipa Jatim 3 206,1 a 29,3 a 1,96 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5%.

Hasil gabah kering giling pada MK 2014 relatif lebih tinggi dibandingkan
MH 2013/2014, namun tidak konsisten pada masing-masing varietas yang dikaji.
Menurut Satoto dkk. (2013), terdapat perbedaan hasil gabah antar musim pada
tanaman padi dan bersifat kompleks dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan seperti teknik budidaya, kondisi iklim, dan potensi serangan
hama/penyakit. Intensitas penyakit HDB pada varietas yang dikaji dipengaruhi
oleh patotipe Xoo (Yuliani dkk. 2015). Varietas padi dan musim tanam
berpengaruh terhadap intensitas penyakit HDB. Intensitas penyakit berkaitan
dengan ketahanan varietas terhadap patogen. Periode waktu ketahanan varietas
padi ditentukan oleh beberapa faktor seperti komposisi dan dominasi patotipe
Xoo, kecepatan perubahan patotipe Xoo, frekuensi penanaman padi, dan
komposisi varietas dengan latar belakang genetik berbeda yang ditanam pada
waktu dan hamparan tertentu (Suparyono dkk. 2003).
Di samping penanaman varietas tahan, budi daya tanaman sehat dengan
penggunaan benih sehat, pengaturan jarak tanam tidak terlalu rapat, pemupukan
sesuai kebutuhan tanaman, sanitasi lingkungan dapat mengantisipasi serangan
penyakit HDB. Teknik pengendalian penyakit HDB lainnya yaitu pergiliran
varietas tahan yang perlu dirancang secara cermat, agar varietas tahan dapat
berfungsi dengan baik (Sudir dkk. 2012).

KESIMPULAN
Patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) dan varietas unggul baru
(VUB) padi berpengaruh terhadap keparahan penyakit hawar daun bakteri (HDB).
Terjadi interaksi antara keduanya pada musim hujan, namun tidak terjadi interaksi
pada musim kemarau. Varietas Conde dan Angke menunjukkan keparahan
penyakit paling rendah dibandingkan varietas lainnya dan konsisten bereaksi agak
tahan terhadap patotipe III, IV, dan VIII pada dua musim tanam. Hipa Jatim 3
memiliki potensi hasil lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya dan konsisten
pada dua musim tanam, meskipun memiliki keparahan penyakit HDB yang cukup

629
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tinggi. Patotipe Xoo tidak berpengaruh terhadap komponen hasil padi, sedangkan
VUB berpengaruh terhadap komponen hasil padi pada dua musim tanam. Untuk
pemilihan VUB tahan HDB dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lahan
setempat. Untuk daerah endemis penyakit HDB, dapat digunakan varietas Conde
dan Angke untuk menurunkan keparahan penyakit. Hipa Jatim 3 memiliki
ketahanan terhadap penyakit HDB dibandingkan varietas lainnya dan memiliki
potensi hasil yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Gomez AK and AA Gomez. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian.
(Terjemahan oleh Enang Sjamsudin & Justika Baharsjah). Edisi 11. UI
Press. Jakarta.
IRRI. 2002. Standard Evaluation System for Rice. 4th edition. IRRI, Los Banos,
Philippines.
Jeung, JU., SG Heu., MS Shin., CMV Cruz, and KK Jena. 2006. Dynamics of
Xanthomonas oryzae pv. oryzae populations in Korea and their relationship
to known bacterial blight resistance genes. Phytopathology 96: 867-875.
Nayak, D., ML Shanti., LK Bose., UD Singh, and P Nayak. 2008. Pathogenicity
association in Xanthomonas oryzae pv. oryzae the causal organism of rice
bacterial blight disease. J. Agric. Biol. Sci. 3 (1): 12-27.
Ou, SH. 1985. Rice diseases. Second Edition. Great Britain: The Cambrian News
Ltd. 380 p.
Satoto, Y. Widyastuti., U. Susanto dan MJ Mejaya. 2013. Perbedaan hasil padi
antar musim di lahan sawah irigasi. Buletin IPTEK Tanaman pangan 8 (2):
55-61.
Shen Y and P Ronald. 2002. Molecular determinant of disease and resistance in
interaction of Xanthomonas oryzae pv. oryzae and rice. J. Microbe and
Infection 4 (13): 1361-1367.
Sudir, B. Nuryanto, dan TS Kadir. 2012. Epidemiologi, patotipe, dan strategi
pengendaliam penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi. Buletin
IPTEK Tanaman pangan 7 (2): 79-87.
Suprihatno, B., A.A Daradjat, Satoto, Suwarno, E Lubis, S.E Baehaki, Sudir, SD
Indrasari, IP Wardana dan MJ Mejaya. 2011. Deskripsi Varietas padi. Edisi
Revisi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Suparyono. 1984. Pathotype shifting of Xanthomonas campestris pv. oryzae, the
cause of bacterial leaf blight in West Java. Indonesian J. of Crop Science.
Suparyono, Sudir dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar daun
bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 22(1): 45-50.
Suparyono, Sudir dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas
campestris pv. oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian
J. Agric. Sci. 5(2): 63-69.
Yuliani, D., RH Wening dan Sudir. 2015. Karakterisasi morfologi dan agronomi serta
evaluasi ketahanan genotype padi terhadap penyakit hawar daun bakteri.
Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 35 (2).

630
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGARUH BATASAN LAHAN PERTANIAN TERHADAP KELIMPAHAN


TIKUS DI JAMBI

Ratna Rubiana, Adri, dan Endrizal


Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Jl. Samarinda Paal V, Kotabaru, Jambi
Email:ratna.rubiana@gmail.com

ABSTRAK
Kerusakan yang diakibatkan serangan hama tikus (Rattus argentiver) pada
setiap tahunnya adalah sekitar 17 % tanaman atau setara dengan ukuran
kemampuan untuk konsumsi makanan lebih dari 20 juta orang setiap tahunnya.
Pada umumnya, habitat tikus adalah di permukaan tanah, persawahan, padang
rumput, perkebunan dan semak belukar. Tikus seringkali melakukan migrasi untuk
mencari pakan yang mencukupi. Migrasi ini bisa sampai sejauh 1-2 km dari tempat
asalnya. Pemukiman, gudang maupun areal sekitar persawahan, merupakan
tujuan migrasinya, oleh karena itu informasi mengenai kelimpahan tikus pada
lahan pertanian yang memiliki batasan tipe penggunaan lahan yang berbeda
adalah penting untuk diketahui. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari kelimpahan tikus pada berbagai tipe batasan habitat yang berbeda
dengan lahan pertanian. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur, Batanghari, dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi pada tiga tipe batasan habitat
yang berbeda, yaitu lahan pertanian yang berbatasan dengan perkebunan kelapa
sawit, berbatasan dengan semak belukar, dan berbatasan dengan hutan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa total tikus tertangkap adalah 572 ekor selama 40
hari, dengan jenis kelamin jantan sebanyak 165 ekor dan 407 ekor tikus betina.
Jumlah terbanyak diperoleh dari lahan pertanian yang berbatasan dengan hutan,
kemudian kelapa sawit dan terakhir semak belukar. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kelimpahan tikus dipengaruhi oleh batasan habitat lahan pertanian.
Kata kunci: Rattus argentiver, migrasi, habitat, tipe penggunaan lahan

PENDAHULUAN
Tikus menyebabkan kerusakan mulai persemaian hingga padi siap
dipanen. Kerusakan tanaman padi akibat tikus di Negara-negara Asia mencapai
10-15% setiap tahun dan di Indonesia luas serangan tikus rata-rata mencapai lebih
dari 100.000 ha setiap tahun. Kerusakan tanaman padi yang disebabkan oleh
enam pasang tikus dan keturunannya selama satu musim tanam padi mencapai
37%, setara dengan kehilangan gabah 3 ton atau 4,5 juta rupiah dalam 1 ha
sawah. Perhitungan tersebut dengan asumsi hasil panen mencapai 8 t/ha gabah
kering panen dengan harga jual Rp. 1.500/kg (Kementan, 2012).
Usaha pengendalian hama pada pertanaman padi setelah wereng adalah
pengembangan langkah-langkah pengendalian hama tikus (Anggara dan
Herawati, 2007). Strategi pengendalian tikus sawah terutama harus dilakukan
pada saat populasi tikus masih rendah dan mudah pelaksanaannya yaitu pada
periode awal tanam, dengan sasaran menurunkan populasi tikus betina dewasa
sebelum terjadi perkembangbiakan. Membunuh satu ekor tikus betina dewasa

631
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pada awal tanam, setara dengan membunuh 80 ekor tikus setelah terjadi
perkembangbiakan pada saat setelah panen (Sudarmaji, 2005).
Salah satu tindakan sebelum merekomendasikan suatu metode
pengendalian adalah dengan mempelajari ekologi hama tikus sehingga
menghasilkan teknik pengendalianyang berbasis pada manajemen ekologi.
Dengan manajemen ekologi pengendalian dapat dimanfaatkan ketika lahan kering
maupun banjir (Sudarmaji, 2002).
Dalam beberapa komponen teknologi pengendalian tikus secara garis
besar juga terdapat manipulasi habitat yang erat kaitannya dengan manajemen
ekologi. Manipulasi habitat bertujuan mengurangi unsur-unsur yang memberi
kesempatan pada tikus untuk leluasa berkembang misalnya pembersihan gulma,
jadwal tanam yang sinkron, merampingkan dan mengurang tinggi pematang,
pembersihan vegetasi yang ada disekitar sawah serta penundaan waktu tanam.
Manajemen terpadu yang menekankan pendekatan ekologi terhadap
keberadaan tikus yang dipengaruhi oleh lingkungannya dan untuk alasan ini tikus
diketahui memiliki perilaku migrasi sehingga menjadi salah satu kajian untuk
mengetahui pengaruh tipe lahan yang berbatasan dengan pertanaman padi
terhadap kelimpahan tikus (Pech dkk.,2003). Dengan melakukan manajemen
berdasarkan tipe lahan yang berbatasan dengan pertanaman padi maka dapat
meminimalkan kecenderungan tikus untuk membangun dan pindah ke tanaman
baru dalam hal ini pertanaman padi. Informasi yang diperoleh dapat menjadi
rekomendasi dalam menentukan tindakan pengendalian hama tikus untuk
meminimalkan populasi awal serta mengurangi ruang lingkup tikus untuk
berkembang biak dan menyerang.
Dengan demikian diperlukan informasi terkait kelimpahan tikus sehingga
dapat diketahui batasan tipe habitat manakah yang memberi konstribusi yang
tinggi terhadap kelimpahan tikus. Dari hasil penelitian ini makan akan diperoleh
informasi model pengendalian hama tikusyang sesuai pada berbagai pertanaman
padi yang memiliki batasan dengan habitat lain yaitu semak belukar, hutan, dan
perkebunan sawit.

BAHAN DAN METODE

Penelitian lapangan dilakukan padapertanaman padi yaituDesa Simpang


Karmeo, Kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari;Desa Karya Bakti,
Kecamatan Rantau Rasau, Tanjung Jabung Timur; dan Desa Pudak, Kecamatan
Kumpeh Ulu,Kabupaten Muaro Jambi. Penelitian dilakukan pada musim
pertanaman April – September 2015. Sebagai lokasi penelitian, dari
ketigapertanaman padi tersebut, berbatasan dengan tipe lahan yang berbeda
yaitu: semak belukar, hutan, perkebunan kelapa sawit (Gambar 1).

632
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Gambar 1. Skema pertanaman padi berbatasan dengan tipe penggunaan lahan


yang berbeda (a) hutan, (b) semak belukar, dan (c) perkebunan kelapa
sawit

Pada setiap kabupaten terdapat 1 plot pengamatan dengan luas 1 ha.


Pada masing-masing pertanamandipasangperangkap dengan menggunakan
sistem penghalang perangkap atau LinearTrap Barrier System (TBS) yang
melindungi sawah dengan bentangan pagar plastik (terpal) setinggi 50-60 cm,
dengan panjang minimal 120m. Bubu perangkap pada LTBSdipasang setiap jarak
20m secara berselang-seling, sehingga mampu menangkap tikus daridua arah
(habitat perbatasandengan sawah (Sudarmaji, 2001).

Dalam setiap plot pengamatan terdapat 8 perangkap tikus yang dipasang


dan diamati setiap hari selama 40 hari. Bubu perangkap diperiksa setiap pagi
kemudian hewan yang bukan sasaran seperti katak, kadal, ular dilepaskan. Tikus
yang masukbubu perangkap dimatikan dengan merendam ke dalam air bersama
perangkap selama ± 10 menit. Selanjutnya tikus dihitung dan diidentifikasi jenis
kelaminnya.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis sidik


ragam dan uji Duncan. Analisis sidik ragam dilakukan terhadap masing-masing
jenis kelamin tikus untuk mengetahui pengaruh tipe lahan yang berbatasan
dengan pertanaman padi. Uji Duncan dilakukan untuk mengetahui perbedaan
antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Jumlah tikus yang diperoleh dari keseluruhan plot adalah 572 ekor.
Berdasarkan tipe batas lahan, kelimpahan pada lahan yang berbatasan dengan
hutanyaitu 199 ekor, batas semak 167 ekor dan batas kelapa sawit 206 ekor.
Kelimpahan tertinggi di lahan yang berbatasan dengan kelapa sawit. Tipe lahan
yang berbatasan dengan sawahmempengaruhi kelimpahan tikus (ANOVA, F =
4.52; P = 0.012) (Gambar 2). Tingginya kelimpahan tikus di sawah yang
berbatasan dengan hutan disebabkan tikus tergolong binatang pemakan segala
jenis bahan makanan baik tumbuhan maupun daging (omnivora). Tikus memiliki
strategi yang dikembangkan agar tahan terhadap kelaparan. Ketika pakan dalam

633
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

jumlah kurang mencukupi, tikus melakukan migrasi untuk mencari pakan yang
mencukupi. Migrasi ini bisa sampai sejauh 1-2 km dari tempat semula.
Pemukiman, gudang maupun areal persawahan yang cukup pakannya,
merupakan tujuan migrasinya. Pada saat sawah sedang tidak ditanami, tikus
masih memiliki habitat yang sesuai di hutan dan perkebunan kelapa sawit dengan
ketersediaan biji-bijian.
6 ab
a
Rata-rata kelimpahan tikus

5 b

0
Hutan Semak Kelapa Sawit
Gambar 2. Kelimpahan tikus pada tiga tipe lahan batasan yang berbeda

Sebaran data kelimpahan tikus pada sawah yang berbatasan dengan tipe
lahan yang berbeda disajikan dalam diagram box-plot (Gambar 3).

Jenis kelamin
Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan
Tipe batasan Hutan Semak Kelapa Sawit

Gambar 3. Box-plot kelimpahan tikus pada sawah yang berbatasan dengan tipe
lahan yang berbeda

Semakin panjang bidang persegi maka semakin menyebar data yang


didapat, artinya variasi kelimpahan dalam setiap plotnya lebih beragam. Data
menunjukkan bahwa kelimpahan tikus menurut jenis kelamin pada masing-masing
tipe batasan lahan juga berbeda (ANOVA, F = 4.02, P = 0.0191).

634
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Jumlah tikus yang terperangkap pada pada sawah yang berbatasan


dengan hutan, semak dan kelapa sawit menunjukkan bahwatikus betina lebih
banyak dibanding tikus jantan,yaitu 71.15%. Hal ini berkaitan dengan perilaku tikus
jantan yang bisa mengawini lebih dari satu ekor betina dan aktivitasnya lebih
banyak mengeksplorasi suatu lokasi untuk dijadikan daerah kekuasaannya.
Dengan memiliki daerah kekuasaan, maka akan banyak tikus betina yang datang
mencari makan di lokasi tersebut untuk dikawini. Apabila terdapat tikus jantan
terperangkap, maka di lokasi tersebut kemungkinan akan terjadi kegaduhan yang
akhirnya lahan tersebut rusak karena tikus-tikus jantan saling berebut wilayah
kekuasaan. Tikus betina lebih banyak melakukan aktivitas mencari makan karena
tikus betina memerlukan energi dari ketersediaan pakan untuk kemantangan
seksual. Satu ekor tikus jantan bisa mengawini betina, dan kegiatannya di
lapangan memiliki lokasi kekuasaan.

Dengan konfirmasi hasil-hasil pengamatan, penelitian dalam teknologi


pengendalian tikus maka desain manipulasi habitat perlu pemikiran ulang. Tipe
lahan yang berbatasan dengan sawah dapat dikatakan turut andil dalam kerugian
tidak langsung keberhasilan panen. Tikus yang menghuni lahan yang berbatasan
dengan sawah dapat bertahan hidup saat sawah kering dan apabila tanam mulai
dilakukan tikus akan migrasi.

KESIMPULAN
Tipe lahan yang berbatasan dengan sawah berpengaruh pada kelimpahan
tikus. Jenis kelamin tikus yang tertangkap memiliki perbedaan, dimana tikus betina
lebih banyak tertangkap daripada tikus jantan. Manipulasi habitat dengan tujuan
mengeleminir unsur-unsur yang memberi kesempatan pada tikus untuk leluasa
berkembang yaitu dengan pembersihan gulma, jadwal tanam yang sinkron,
merampingkan dan mengurangi tinggi pematang, pembersihan vegetasi yang ada
disekitar sawah dan penundaan waktu tanam.

SARAN

Penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut mengenai


keanekaragaman spesies tikus berdasarkan tipe lahan yang berbatasan dengan
sawah. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam
pelestarian keanekaragaman hayati di lahan yang berbatasan dengan sawah
dapat menyediakan jasa lingkungan berupa musuh alami untuk mengendalikan
populasi tikus.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Displai Inovasi Teknologi
Padi, Dr. Sigid Handoko, S.P., M.Si

635
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Anggara A.W, dan N. Herawati, 2007. Pengendalian Hama Tikus Sawah. Di dalam:
Pelatihan Budidaya Tanaman Padi Dinas Pertanian Kabupaten
Temanggung; 2007 Jun 4-8. BB Penelitian Padi Sukamandi
[Kementan] Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
2012. Inovasi Teknologi Padi dan Palawija, (ID): Kementan.
Pech, R.P., S.A.Davis, and G.R,Singleton. 2003. Outbreaks of rodents in
agricultural systems: pest control problems or symptoms of dysfunctional
ecosystems. Di dalam Symposium Population Ecology and Modelling.
2003. Canberra (AU): ACIAR.
Sudarmaji. 2001. Pengendalian tikus sawah dengan TBS dan LTBS. Didalam
Diskusi Panel Pengendalian Hama Tikus,Jatisari, Jawa Barat (ID): HKTI
Pusat di BPHP-TPH. 113 hal.
Sudarmaji, 2002. Strategi pengendalian tikus terpadu. Di dalamWorkshop dan
Pelatihan Site Specifik Nutrient Management; Balitpa Sukamandi. 6-10 Mei
2002. Hal. 1-18.
Sudarmaji, 2005. Permasalahan hama tikus dan penanganannya pada padi
(hibrida). Di dalam: Training Produksi Benih Padi Hibrida. 16-18 Mei 2005.
BB Penelitian Padi.

636
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI SAWAH


PADA LAHAN BUKAAN BARU

Yulimasni

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat


Jl. Raya Padang-Solok Km 40 Sukarami, Kabupaten Solok 27365
Email : Yulimasni12@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di Koto Salak, Sitiung 2, Kabupaten Dharmasraya


dari bulan April sampai September 2009, dengan tujuan untuk melihat jenis dan
intensitas kerusakan hama dan penyakit padi pada sawah bukaan baru.
Pengamatan dilakukan pada lahan seluas ± 4 hektar. Pada lahan tersebut diambil
5 petakan sawah secara random, selanjutnya pada masing-masing petakan sawah
diambil 10 petakan sampel dengan luas 1x1 meter secara diagonal. Varietas yang
ditanam adalah IR-66. Penanaman dilakukan secara sebar langsung.
Pengamatan hama dan penyakit dilakukan pada umur 40 hari (stadia vegetatif)
dan umur 80 hari setelah sebar (stadia generatif) terhadap seluruh jenis hama dan
penyakit padi sawah. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa hama dan
penyakit menyerang tanaman padi sawah pada sawah bukaan baru adalah
kepinding tanah, pengisap bulir, penggerek batang, tikus, penyakit blas, bercak
bergaris Helminthosporium, dan bercak coklat Cercospora. Sedangkan jenis
musuh alaminya antara lain laba-laba, kumbang Phaedorus stimulus, Cyrthorinus
lividivenis, capung dan kumbang coccinella.

Kata kunci : hama, penyakit, padi, sawah bukaan baru

PENDAHULUAN

Produksi padi di Indonesia tahun 2014 mencapai 70,83 juta ton gabah
kering giling (GKG), dibandingkan produksi padi tahun 2013 sebanyak 71,28 juta
ton GKG, maka produksi padi tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 0,45
juta ton atau turun sebesar 0,63%. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya luas
panen dan produktivitas. Pada tahun 2013 luas panen padi seluas 13,83 juta
hektar turun menjadi 13,79 juta hektar pada tahun 2014 atau mengalami
penurunan sekitar 0,30%. Produktivitas padi pada tahun 2014 turun sebesar 0,17
kuintal/hektar dibanding tahun 2013 atau mengalami penurunan sekitar 0,33%
(BPS RI, 2014).
Peningkatan produksi padi secara nasional dapat dilakukan melalui
program peluasan areal (ekstensifikasi) dan menciptakan serta menerapkan
teknologi terobosan yang dapat memacu produksi optimal tanaman pangan pada
luas areal tertentu (intensifikasi). Maintang (2012) mengatakan bahwa
peningkatan produktivitas padi melalui penerapan teknologi dengan pendekatan
Pengelolaan Tanaman (dan Sumber Daya) Terpadu (PTT) diyakini mampu
mendukung pencapaian produksi yang tinggi sesuai dengan potensi genetik
tanaman dengan memperhatikan faktor lingkungan dan pengelolaan tanaman.

637
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Selanjutnya Manti (1990) dalam Zen dkk., (2007) melaporkan bahwa


ekstensifikasi dan intensifikasi meliputi kegiatan antara lain a). membuka lahan-
lahan baru (sawah atau tegalan) terutama di luar Jawa dengan tujuan utama untuk
mengimbangi penyusutan lahan-lahan subur di Jawa dan kota-kota besar di luar
Jawa, dan b). Menciptakan teknologi-teknologi seperti mengoptimalkan produksi
padi dengan menciptakan varietas baru berproduksi tinggi, melakukan pemupukan
berimbang, dan penyempurnaan paket pengendalian hama terpadu (PHT).
Dalam jangka panjang, perluasan areal lahan sawah mutlak perlu
dilaksanakan secara terkendali dan bijaksana, terutama untuk mengganti lahan-
lahan sawah produktif yang dikonversi. Provinsi Sumatera Barat termasuk salah
satu provinsi di Indonesia yang mendapat program pencetakan sawah baru.
Program ini ditandai dengan dimulainya pembangunan proyek irigasi Batang Hari
di Kabupaten Dharmasraya pada tahun 1995 yang mampu mengairi lahan sawah
seluas 18.936 hektar yang terletak di dua provinsi yaitu Sumatera Barat 15.936
hektar dan Jambi 3.000 ha.
Pada percetakan sawah bukaan baru terjadi perubahan dari lahan kering
(kebun) menjadi lahan sawah, artinya terjadi perubahan ekosistem (lingkungan).
Perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap perkembangan mikro
organisme termasuk hama dan penyakit. Di setiap daerah terdapat OPT utama
sesuai dengan faktor–faktor pendukung seperti jenis dan varietas tanaman yang
diserang serta keadaan lingkungan. Jadi belum tentu OPT yang penting di suatu
wilayah menjadi sama pentingnya dengan OPT di wilayah lain (Duriat, 2006).
Pemantauan terhadap OPT perlu dilakukan secara berkala karena sering terjadi
pergeseran status OPT sebagai akibat dari pergeseran keseimbangan lingkungan,
baik yang terjadi karena tindakan manusia maupun karena iklim atau kondisi alam.
Berdasarkan hal tersebut dilakukan pengamatan terhadap jenis dan
intensitas serangan hama dan penyakit, dengan tujuan untuk melihat jenis dan
intensitas serangan hama dan penyakit setelah terjadi perubahan alih fungsi lahan
dari kering ke lahan sawah.
BAHAN DAN METODE
a) Lokasi dan waktu
Penelitian bersifat observasi, dilakukan di Koto Salak, Sitiung 2, Kabupaten
Dharmasraya dari bulan April sampai September 2009, pada hamparan seluas ±
4 ha.
b) Prosedur
Pada hamparan tersebut diambil 5 sampel petakan sawah secara acak,
selanjutnya pada masing-masing petakan sawah diambil 10 sub-petak sampel
berukuran 1X1 m secara diagonal. Varietas yang digunakan adalah IR-66.
Penanaman dengan sistim tabur langsung (direct seeding). Satu minggu sebelum
tabur diberikan pupuk kandang dan kapur pertanian masing-masing dengan dosis
1 ton/ha yang ditabur secara rata.
Pupuk Urea, SP-36, dan KCL masing-masing diberikan sebanyak 225,
200, dan 150 kg/ha. Urea dan KCL diberikan pada umur 15, 30, dan 50 hari setelah
tabur, masing-masing sepertiga dosis. Sedangkan SP-36 diberikan dengan dua

638
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kali pemberian yaitu umur 15 dan 30 hari setelah tabur (HST), masing-masing
setengah dosis. Bersamaan dengan pemberian pupuk dasar, juga dilakukan
pemberian herbisida pra tumbuh (Saturn-D) dengan dosis 16 kg/ha kemudian
diulangi dengan penyemprotan herbisida pra tumbuh (DM-6) dosis 1,5 l/ha yang
diberikan pada umur 30 HST. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara
berkala dengan menggunakan pestisida kimia.
c) Parameter
Pengamatan jenis, populasi dan intensitas serangan hama dan penyakit
serta musuh alaminya dilakukan petakan sub-sampel berukuran 1x1 m pada umur
40 HST (stadia vegetatif) dan umur 80 HST (stadia generatif) dengan mengamati
seluruh jenis hama dan penyakit yang ditemui serta jenis musuh alaminya.
Populasi hama dan musuh alami dilakukan dengan menghitung populasi setiap
serangga hama dan musuh alami yang di temui pada setiap rumpun tanaman
sampel. Serangan hama penggerek batang dan perusak daun dilakukan dengan
menghitung jumlah tanaman terserang dan jumlah tanaman yang diamati,
selanjutnya diformulasikan dengan rumus sebagai berikut;
a
P x100% (P = Persentase tanaman terserang, a = jumlah
b
tanaman terserang, b = jumlah tanaman yang diamati).
Untuk menghitung intensitas serangan penyakit dilakukan pengamatan
pada 50 helaian daun yang diambil secara acak pada petakan sub-sampel seluas
1x1 meter Selanjutnya pada masing-masing daun dilakukan pengamatan
serangan berdasarkan nilai skala serangan sebagai berikut (Tabel 1):

Tabel 1. Kriteria Penilaian Intensitas Kerusakan


Nilai Skala Tingkat Kerusakan Tanaman (%)
0 Tidak ada gejala serangan
1 > 0 – 25
2 > 25 – 50
3 > 50 – 75
4 > 75 – 100

Intensitas serangan penyakit dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

Keterangan ; I = Intensitas kerusakan;


n = Jumlah daun dari tiap kategori serangan;
v = Nilai skala dari tiap kategori serangan;
Z = Nilai skala dari kategori serangan tertinggi
N = Jumlah daun yang diamati

d) Analisis data
Penelitian ini hanya bersifat observasi dan tidak ada perlakuan, sehingga
analisis data tidak dilakukan.

639
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Jenis, Populasi dan Persentase Serangan Hama.


Jenis, populasi dan persentase serangan hama yang dijumpai disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis, populasi dan persentase serangan hama pada padidi lahan
sawah bukaan baru. Koto Salak, April - September 2009.
Pengamatan umur
Jenis hama Jumlah sampel
40 HST 85 HST
Kepinding tanah (ekor/m2) 50 rumpun/m2 120,0 100,0
Wereng coklat (ekor/m 2) 50 rumpun/m2 3,0 2,25
Wereng Hijau (ekor/m 2) 50 rumpun/m2 6,0 3,50
Hama putih palsu (%) 50 rumpun/m2 5,50 3,50
Penggerek batang (%) 50 rumpun/m2 6,50 4,05
Pengisap bulir (ekor/m 2) 50 rumpun/m2 - 5,50
Pengisap bulir (%) 10 malai/m2 - 24,25
Tikus (%) -- - 45,00

Ditemui tujuh jenis hama yang menyerang pertanaman padi, yaitu


kepinding tanah (Scotinophora coarctata F.), wereng coklat (Nilaparvata lugens
Stal), wereng hijau (Nephotetix virescens), hama putih palsu (Cnaphalocrosis
medinalis), penggerek batang, pengisap bulir dan tikus.
Dari tujuh jenis hama yang ditemui ternyata kepinding tanah, pengisap
bulir, penggerek batang dan tikus merupakan hama yang dominan, hasil yang
sama juga dilaporkan oleh Manti dkk. (1994). Artinya perubahan alih fungsi lahan
dari kering ke lahan sawah tidak begitu berpengaruh terhadap perkembangan
hama tanaman padi sawah. Diduga hal ini disebabkan hama yang ditemui pada
lahan sawah bukaan baru merupakan hama imigran dari lahan sawah yang
sebelumnya telah ada di daerah tersebut. Kepinding tanah atau dikenal juga
sebagai lembing batu merupakan hama yang menyerang pangkal batang padi.
Warnanya hitam sedikit coklat dan mengeluarkan bau yang khas. Populasi hama
ini relatif tinggi yaitu mencapai 120,0 ekor/m2 pada pengamatan umur 40 HST dan
100 ekor/m2 pada pengamatan umur 80 HST. Sutanto (2013) melaporkan bahwa
ambang kendali kepinding tanah adalah 5 ekor/rumpun tanaman. Seandainya
dalam 1x1 meter ada 16 rumpun tanaman (jarak tanam 25x25 cm), maka ambang
populasi hama kepinding tanah/m adalah 90 ekor. Berdasarkan hasil tersebut,
dapat dikatakan bahwa populasi hama kepinding tanah baik pada pengamatan
umur 40 HST maupun 85 HST berada di atas ambang ekonomi yang memerlukan
pengendalian yang intensif.
Jenis pengisap bulir yang menyerang adalah walang sangit (Leptocorisa
acuta). Hama ini menyerang pertanaman padi yang telah berbunga. Serangan
sebelum periode matang susu menyebabkan gabah hampa, sedangkan serangan
pada padi yang telah berisi menjelang masak menyebabkan gabah berwarna
hitam sehingga kualitasnya turun (Suharto dan Siwi, 1991).

640
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Serangan hama tikus hanya dijumpai pada pengamatan kedua (stadia


generatif) dengan persentase serangan sebesar 45% (pengamatan secara visual).
Hama lainnya yang cukup dominan adalah hama penggerek batang (Tabel 2).
Menurut Israel (1967) serangan pada vase vegetatif menimbulkan kerusakan lebih
berat dari pada fase pertumbuhan generatif. Kerusakan oleh hama penggerek
batang pada pengamatan umur 40 HST adalah sebesar 6,50% dan pada
pengamatan umur 85 HST sebesar 4,05%. Menurut Satta (1982) ambang kendali
hama penggewrek batang sangat rendah. Serangan 3% pada tanaman umur
muda (vegetatif) dan 1,5 % pada tanaman umur tua (generatif) dapat menimbulkan
kerugian ekonomi.
Jenis hama perusak daun yang menyerang adalah hama putih palsu
(Cnaphalocrosis medinalis).Serangan hama ini ditandai dengan daun yang
berwarna putih dan transparan, karena chlorofil permukaan daun bagian atas
dimakan oleh larvanya dan yang tertinggal ialah epidermis daun bagian bawah.
Daun melipat keatas dan sisi daun bertemu yang disambungkan oleh serat yang
dikeluarkan oleh larva. Persentase serangan hama ini adalah 5.50% dan 3,50%
masing-masing pada pengamatan umur 40 HST dan 85 HST.
Populasi hama wereng coklat relatif rendah yaitu 3,0 dan 2,25 ekor/m 2
masing-masing pada pengamatan umur 40 dan 85 HST. Sedangkan populasi
wereng hijau masing-masingnya 6,0 dan 3,5 ekor/m2 . Kurang berkembangnya
populasi hama wereng selain disebabkan varietas padi yang digunakan
merupakan varietas tahan wereng coklat, juga erat kaitannya dengan keberadaan
musuh alaminya baik jenis maupun populasinya. Populasi musuh alami yang
ditemui cukup kompleks dengan populasi cukup tinggi.

2. Jenis dan Persentase serangan Penyakit.


Penyakit yang dijumpai menyerang pertanaman padi antara lain adalah
penyakit blas daun dan blas leher, Helminthosporium, dan Cercospora (Tabel 3).

Tabel 3. Jenis dan persentase serangan penyakit pada tanaman padi di lahan
Sawah bukaan baru, Koto Salak, April-September 2009.
Serangan pada umur (%)
Jenis Penyakit
40 HST 85 HST
Blast 6,50 12,50
Helminthosporium 0,55 0,55
Cercospora 0,55 4,00

Penyakit blas disebabkan oleh jamur Pyricularia oryzae Cav. Jamur ini
pada tanaman padi menimbulkan kerusakan pada daun, ruas batang , leher malai,
dan kulit gabah, dengan bentuk khas dari bercak blas adalah elips dengan dua
ujungnya kurang lebih runcing. Bercak yang telah berkembang, bagian tepi
berwarna coklat dan bagian tengah bewarna putih keabu-abuan. Infeksi pada
batang menyebabkan bercak hitam dan batang patah yang mungkin
mengakibatkan kehampaan (Mukelar dan Kardin, 1991). Persentase kerusakan

641
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

oleh penyakit ini sebesar 6,50% dan 12,5% masing-masing pada pengamatan
umur 40 dan 85 HST.
Penyakit Helminthosporium atau dikenal juga dengan penyakit bercak
daun coklat disebabkan oleh jamur Helminthosporium oryzae. Gejala khas dari
penyakit ini adalah adanya bercak coklat pada daun dan kulit gabah. Intensitas
serangan penyakit ini relatif rendah yaitu sebesar 0,55%. Selanjutnya penyakit
yang umum juga dijumpai menyerang adalah penyakit Cercospora, penyakit
Cercospora disebabkan oleh jamur Cercospora oryzae Miyake yang dikenal juga
dengan penyakitbercak daun coklat bergaris. Intensitas kerusakan oleh kedua
penyakit ini juga rendah yaitu sebesar 0,55% dan 4,0% masing-masing pada
pengamatan umur40 dan 85 HST.

3. Jenis dan Populasi Musuh Alami

Jenis musuh alami yang dijumpai umumnya musuh alami dari hama
wereng yaitu laba-laba, kumbang phaedorus, coccinella dan capung. Populasi
musuh alami tersebut relatif tinggi, terutama jenis laba-laba yang mencapai 15,3
ekor/m2 dan 12,5 ekor/m2 masing-masing pada pengamatan umur 40 HST dan 85
HST (Tabel 4).
Tabel 4. Jenis dan populasi musuh alami hama padi di lahan sawah bukaan
baru, Kota Salak April-September 2009.
Pengamatan umur
Jenis Musuh Alami Populasi
40 HST 85 HST

Laba-laba Ekor/M2 15,30 12,50


Phaedorus stimulus Ekor/M2 7,00 2,25
Cyrthorinus lividivenis Ekor/M2 8,00 6,50
Capung Ekor/M2 2,50 1,50
Coccinella Ekor/M2 4,10 3,50

KESIMPULAN

Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa, jenis hama utama


menyerang pertanaman padi pada lahan sawah bukaan baru di Koto Salak, Kab.
Dharmasraya adalah kepinding tanah dan tikus dengan populasinya berada di atas
ambang kendali. Sedangkan penyakit utama adalah penyakit penyakit blas,
dengan intensitas serangan sebesar 6,50% dan 12,50% masing-masing pada
pengamatan umur 40 dan 80 HST. Musuh alami yang dijumpai utamanya adalah
musuh alami hama wereng coklat seperti laba-laba, Phaedorus stimulus,
Cyrthorinus lividivenis, Capung, dan Coccinella.

642
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

BPSRI. 2014. Statistik Pangan Indonesia 2014. Biro Pusat Statistik Republik
Indonesia, Jakarta. 128 hal.
Duriat, A.S., 2006. Dukungan Penelitian Virus dalam Pengembangan Perbenihan
Kentang. Orasi Pengukuhan Peneliti Utama sebagai Profesor Riset Bidang
Hama dan Penyakit Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor, 7 Desember 2006.
Israel, P. 1967. Varieties resistance to rice stem borer in India. P.391-403. In The
Major Insect Pest of Rice Plant. Proc. Symp. Inst. Philippines. John
Hopkins, Baltimore.
Maintang, 2012. Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Teknologi Pilihan Petani :
Kasus Sulawesi Selatan. Iptek Tanaman Pangan. Puslitbangtan. Vol. 7,
No. 2. Hal ; 88-97.
Manti, Ishak, K. Zen, R. Wahab dan Yulimasni. 1994. Identifikasi hama-hama
utama padi sawah di Sumatera Barat. Laporan akhir hasil penelitian. 25
hal.
Mukelar, A., dan..M.K. Kardin. 1991. Pengendalian Penyakit Jamur. Hal 825-
844. Dalam Padi Buku 3. Edi Soenaryo, D.S. Damardjati, dan M. Syam
(penyunting) Puslitbangtan Bogor.
Satta, W. 1982. Perubahan populasi penggerek batang padi kuning (Tryporyza
incertulas Walker) dan hubungannya dengan kehilangan hasil padi.
Disertasi FPS,IPB,Bogor.
Suharto, H., dan S.S. Siwi. 1991. Walang Sangit dan Kepinding Tanah, Hama
putih Palsu. Ulat Grayak, dan Lalat Hidrellia. Hal. 737-750. Dalam Padi
Buku 3. Edi Soenarjo, D.S. Damardjati, dan M. Syam (penyunting).
Puslitbangtan Bogor.
Sutanto, Ato. 2013. Ambang Ekonomi Hama dan Penyakit.
cybex.pertanian.go.id. di akses tanggal 15 November 2015.
Zen Khairul, Dasmal dan Ismon, L. 2007. Pertumbuhan dan Produktivitan 10
Varietas Padi di Lahan Sawah Bukaan Baru. Jurnal Ilmiah Tambua. Vol.
VI, No. 3. Hal. 305-309.

643
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PERBANDINGAN INFORMASI POLA LEDAKAN POPULASI NGENGAT


PENGGEREK BATANG PADI BERDASARKAN HASIL TANGKAPAN LIGHT
TRAP DAN SEX FEROMON
1
Wage R. Rohaeni, 2Anna Sinaga,2Oshwald Marbun, dan 3S.R. Dalimunthe
1
Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi – Subang
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
3
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
e-mail: wagebbpadi@gmail.com

ABSTRAK
Teknologi light trap dan sex feromon merupakan alternatif teknologi yang
saat ini diterapkan dan diseminasikan kepada petani untuk mengatasi maupun
mengantisipasi terjadinya ledakan populasi ngengat penggerek batang padi. Light
trap berfungsi sebagai alat pemantau penerbangan ngengat untuk menentukan
waktu aplikasi insektisida kontak sedangkan sex feromon berfungsi untuk
mengendalikan populasi penggerek. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui pola ledakan populasi ngengat penggerek batang padi berdasarkan
alat light trap dan sex feromon. Penelitian dilakukan di Kecamatan Cilamaya
wetan, Kabupaten Karawang. Jawa Barat pada MT1 2013 (Juni - September).
Penelitian dilakukan terhadap jumlah hasil tangkapan ngengat penggerek dengan
memasang light trap 2 m di luar areal sawah dan sex feromon sebanyak 30 stoples
yang dipasang di tengah areal sawah dimana 3 stoples per areal sawah petani.
Jumlah petani yang ikut serta dan memasang sex feromon sebanyak 10 petani.
Luas areal sawah yang diteliti adalah 50 ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
informasi pola penerbangan populasi berdasarkan light trap adalah sama dengan
informasi pola serangan berdasarkan sex feromon yang ditandai dengan pola
kurva hasil tangkapan kedua alat yang memperlihatkan sebaran yang
sama.Puncak serangan terjadi pada bulan Agustus. Informasi serangan ngengat
penggerek menunjukkan bahwa populasi pada bulan Juli – Agustus – September
tahun 2013 adalah rendah – tinggi – sedang. Informasi pola serangan ngengat
penggerek hasil penelitian dapat dijadikan dasar acuan untuk penelitian pada
tahun selanjutnya.

Kata kunci: light trap, sex feromon, populasi, penggerek

PENDAHULUAN
Salah satu Faktor yang membuat sulitnya pengendalian hama penggerek
batang antara lain kurangnya pemahaman alat pengendali hama dan belum
tertatanya sistem pertanaman di lapang (Reji dkk., 2008). Monitoring
penerbangan ngengat penggerek perlu dilakukan untuk mengetahui ambang
ekonomi terbaru untuk pelaksanaan pengendalian hama penggerek.Teknologi
pengendalian hama penggerek telah tersedia dan telah diimplementasikan baik
oleh semua pihak namun banyak mengalami kegagalan. Strategi yang ampuh
untuk mengendalikan hama adalah dengan menerapkan segitiga strategi, yaitu:
penerapkan SOP pengendalian dengan benar, membangun kebersamaan
pengendalian di masyarakat, dan dukungan kebijakan dan komitmen pemerintah
pusat maupun daerah.

644
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Teknologi light trap dan sex feromon merupakan alternative teknologi yang
saat ini diterapkan dan diseminasikan kepada petani untuk mengatasi maupun
mengantisipasi terjadinya ledakan populasi ngengat penggerek batang padi. Dua
alat ini bertujuan untuk melakukan tindakan preventif mengendalikan hama
penggerek (Balitbangtan, 2015).Light trap berfungsi sebagai alat pemantau
penerbangan ngengat untuk menentukan waktu aplikasi insektisida kontak
sedangkan sexferomon berfungsi untuk mengendalikan populasi penggerek. Dua
alat ini dapat digunakan untuk pemantauan tingkat populasi dan perangkap massal
(Suharto dan Sembiring, 2007; Raffiudin dan Samudra, 2011).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola ledakan populasi
ngengat penggerek batang padi berdasarkan alat light trap dan sex feromon.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten
Karawang. Jawa Barat pada MT1 2013 (Juni - September). Penelitian dilakukan
terhadap jumlah hasil tangkapan ngengat penggerek dengan memasang light trap
2 m di luar areal sawah dan sex feromon sebanyak 30 stoples yang dipasang di
tengah areal sawah dimana 3 stoples per areal sawah petani. Jumlah petani yang
ikut serta dan memasang sex feromon sebanyak 10 petani. Luas areal sawah yang
diteliti adalah 50 ha.
Data yang dikumpulkan adalah jumlah ngengat penggerek hasil tangkapan
light trap dan stoples sex feromon yang didata setiap hari selama periode
penelitian berlangsung. Data hasil pengamatan diolah secara sederhana dengan
bantuan Ms. Excel dan divisualisasikan dalam bentuk grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi pola penerbangan populasi
berdasarkan hasil tangkapan light trap adalah sama dengan informasi pola
serangan berdasarkan sex feromon yang ditandai dengan pola kurva hasil
tangkapan kedua alat yang memperlihatkan sebaran yang sama (Gambar 1).

Gambar 1. Pola penerbangan populasi ngengat penggerek batang padi


berdasarkan hasil tangkapan sex feromon (dari 10 data petani)
dibandingkan light trap

645
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Puncak serangan terjadi pada bulan Agustus.Informasi serangan ngengat


penggerek menunjukkan bahwa populasi pada bulan Juli – Agustus – September
tahun 2013 adalah rendah – tinggi – sedang. Kesamaan informasi dari dua alat
yang dikaji terletak dari pola amplitude ledakan populasi yang terbentuk, yaitu naik
turunkan populasi ngengat penggerek yang tertangkap. Berdasarkan jumlah
ngengat yang tertangkap adalah berbeda, jumlah hasil tangkapan light trap jelas
akan lebih banyak karena adanya bantuan cayaha lampu yang merupakan faktor
penarik ngengat untuk mendekati sumber cahaya. Namun demikian informasi
yang penting untuk mengendaliakan hama ini adalah informasi pola amplitude
ledakan populasi dari sebuah alat pendeteksi. Menurut Baehaki (2013), ambang
ekonomi saat ini tidak dapat dijadikan patokan lagi untuk aplikasi insektisida
karena apabila tredapat satu ekor saja ngengat maka antisipasi untuk
pengendalian harus sudah mulai diperhitung.
Pola amplitude ledakan populasi baik berdasarkan light trap maupun sex
feromon merupakan informasi yang dapat dipertimbangkan sebagai acuan untuk
penelitian pada tahun selanjutnya. Dengan pola informasi yang sama baik light
trap maupun sex feromon, maka petani atau desiminator dapat memilih salah satu
dari teknologi tersebut. Selain itu, Informasi pola serangan ngengat penggerek
hasil penelitian dapat dijadikan dasar untuk acuan antisipasi pengendalian hama
penggerek ditahun selanjutnya. Tentunya dibutuhkan penelitian berulang di tahun
depan sehingga konsistensi informasi pola ledakan hama lebih baik sehingga
dapat dijadian acuan.
Untuk validasi persamaan pola ledakan populasi ngengat penggerek, perlu
memperhatikan beberapa faktor yang bisa saja membuat perkiraan ledakan
populasi yang meleset pada tahun-tahun selanjutnya. Kasus ledakan serangan
hama penggerek berbeda-beda. Terdapat hasil penelitian menunjukkan bahwa
ledakan terjadi pada awal fase pertanaman yaittu minggu 1 dan 2 umur setelah
tanam (Kusdiaman dan Kurniawati, 2007). Terdapat faktor perbedaan preferensi
oviposisi penggerek batang padi terhadap varietas tertentu (Yasin dkk.,1992;
Cunningham dan West, 2008). Dilain pihak, jumlah jenis hama yang menyerang
di lapang kemungkinan besar lebih dari sehingga apabila kejadian serangan lebih
dari 1 jenis hama maka kehilangan hasil akan terjadi (Selvaraj dkk.,2012).
Sehingga informasi pola ledakan perlu disingkronkan dengan beberapa varietas
lain dan hasil tangkapan terhadap hama lainnya dengan metode pemantauan yang
sama yaitu berdasarkan light trap maupun sex feromon.

KESIMPULAN
Informasi pola ledakan populasi berdasarkan hasil tangkapan light trap
adalah sama dengan informasi pola serangan berdasarkan sex feromon. Puncak
populasi penerbangan terjadi pada bulan tengah Agustus dan penurunan populasi
ngengat mulai tejadi pada akhir Agustus.

646
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangtan. 2015. Hama penggerek batang padi dan cara pengendaliannya.


http://www.litbang. Pertanian .go.id/berita/ one /2135/ file/ HAMA-
PENGGEREK-BATANG-PADI.pdf.
Baehaki, S.E. 2013. Hama penggerek batang padi dan teknologi pengendalian. J.
IPTEK Tan. Pang. Vol. 8 No 1: 1-14.
Cunningham, J.P., S.A. West. 2008. How host plant variability influences the
advantages to learning: a theoretical model for oviposition behaviour in
Lepidoptera. J. Theo. Biol.251: 404-410.
Kusdiaman, D., dan N. Kurniawati. 2007. Kajian pengendalian penggerek batang
padi dengan monitoring lampu perangkap dan pelepasan parasitoid telur.
Apresiasi Hasil Penelitian Padi: 383-392.
Raffiudin,R. dan I.M. Samudra. 2011. Diferensiasi dna mitokondria dan
karakterisasi gen pengikat feromon seks penggerek batang padi kuning
(Schirpopaga Incertulas) untuk meningkatkan efektivitas pengendalian
hama padi. Ringkasan Eksekutif Hasil-hasil Penelitian Tahun 2011.
http://www.litbang.pertanian.go.id/ks/one/700/file/DEFERENSIASI-DNA.
pdf.
Reji, G., S. Chander. P.K. Aggarwal. 2008. Simulating rice stem borer,
Scirpophaga incertulas Wlk., damage for developing decision support tools.
Crop Protect. 27: 1194– 1199
Selvaraj, K., S. Chander, M. Sujithra. 2012. Determination of multiple-species
economic injury levels for rice insect pests. Crop Protect. 32: 150-160.
Suharto, H. dan H. Sembiring. 2007. Studi hama penggerek batang padi. Apresiasi
Penelitian Padi: 61-71.
Yasin, S., O. Suherman, D. Baco. 1992. Preferensi peletakan telur penggerek
batang putih S. innotata pada beberapa varietas padi di lapangan. Hal. 102-
105. Prosiding Hasil Penelitian Padi, Sukamandi 19 Juni 1992.

647
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

POTENSI INSEKTISIDA BOTANIS DALAM MENGENDALIKAN HAMA BAHAN


SIMPAN PADA BERAS

Asmanizar

Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara


Email: nizar_312@yahoo.com

ABSTRAK

Pengendalian hama bahan simpan beras pada waktu penyimpanan


(gudang) merupakan bagian dari teknologi pascapanen sebelum beras sampai
pada konsumen. Perawatan pada saat penyimpanan sangat penting untuk
mempertahankan kualitas bahan pangan. Beberapa serangga hama merupakan
ancaman yang dapat menurunkan mutu beras selama penyimpanan. Beberapa
tumbuhan telah diuji efektivitasnya untuk mengendalikan hama pada beras dan
mempunyai potensi sebagai insektisida botanis. Pemanfaatan tanaman sebagai
bahan alami yang ada dilingkungan lokal/setempat sangat mendukung sistem
pertanian berkelanjutan. Potensi bahan alami ini dapat diikutsertakan dalam suatu
sistem pengelolaan yang terpadu dengan metode pengendalian lainnya sebagai
sistem penyimpanan dan perawatan kualitas beras selama dalam penyimpanan
(gudang).

Kata kunci: beras,hama bahan simpan, insektisida botanis

PENDAHULUAN
Beras (Oryza sativaL.) merupakan salah satu makanan pokok untuk lebih
separuh penduduk dunia. Di Benua Asia beras menjadi bahan makanan pokok
mayoritas penduduk dan lebih 90% total produksi beras dunia berasal dari Asia
(IRRI, 1997). Di Indonesia, seiring dengan laju pertumbuhan penduduk maka
kebutuhan beras sebagai bahan makanan pokok semakin meningkat pula.
Berbagai usaha peningkatan produksipun dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan
secara nasional.
Penyimpanan yang aman merupakan hal penting untuk memastikan suplai
bahan makan pokok yang cukup dan layak dikonsumsi oleh konsumen. Walaupun
produksi bahan pangan meningkat sebagai keberhasilan teknik budidaya yang
baik di lapangan, sejumlah bahan yang dipanen akan hilang disebabkan
perlindungan pascapanen yang tidak memadai di tempat penyimpanan.
Bahan pangan biji-bijian sangat mudah rusak selama dalam waktu
penyimpanan.Salah satu organisme penyebab kerusakan tersebut adalah
serangga hama. Nakakita (1998) melaporkan 20-30% bahan produk biji-bijian
yang disimpan rusak akibat serangan serangga hama. Beberapa hama bahan
simpan yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup berarti adalah Sitoroga
cerealella, Plodia interpunctella dan Sitophilus zeamais(Wilbur, 1971; Kalshoven
1981).Kerusakan dapat disebabkan karena bahan tersebut dimakan oleh
serangga hama, maupun kontaminasi kotorannya. Di Indonesia kehilangan berat

648
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

beras akibat serangan Sitophilus zeamais mencapai 14,8% dalam 3 bulan


(Hussain, 1982).
Penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama bahan simpan sudah
lama digunakan (Arthur, 1996; Daglish, 1998). Berbagai masalah timbul akibat
penggunaan insektisida tersebut dalam jangka panjang. Resistensi insektisida,
kontaminasi bahan makan akan racun, pencemaran lingkungan dan bahaya racun
terhadap tenaga kerja dapat terjadi sebagai efek negatif penggunaan senyawa
kimia tersebut (Golob dkk., 1982; Rejesus dan Rejesus 1992). Diperlukan suatu
metode alternatif untuk mengurangi/menggantikan penggunaan insektisida sintetik
dalam mengandalikan hama bahan simpan. Hal ini berkaitan pula dengan salah
satu strategi dan upaya pencapaian produksi padi tahun 2015 bahwa salah satu
strategi dan usaha pencapaian produksi padi adalah pengamanan produksi
melalui pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) serta
pengamanan kualitas produksi dari residu pestisida (Dirjen Tanaman Pangan,
2015).
Pemanfaatan bahan yang berasal dari tanaman sebagai insektisida botanis
sudah sejak lama dilakukan. Daun, akar, ranting dan bunga beberapa tanaman
sudah digunakan untuk mengendalikan hama bahan simpan di dunia (Golob dkk.
1999). Di Indonesia, banyak tanaman yang telah digunakan secara tradisional
sebagai obat-obatan dan juga memiliki potensi sebagai insektisida botanis.
Tulisan ini akan menguraikan beberapa tanaman ataupun bagian tanaman yang
berpotensi digunakan sebagai insektisida botanis untuk mengendalikan hama
bahan simpan pada beras.

PEMBAHASAN
Perkembangan Penggunaan Insektisida Botanis untuk Mengendalikan Hama
Bahan Simpan

Insektisida botanis adalah senyawa kimia yang berasal dari


tanaman yang mengandung alkaloid, terpenoid atau fenolik. Senyawa metabolit
sekunder ini menunjukkan berbagai efek insektisidal seperti penolakan (repellent),
antifeedants, feeding deterrents, antifertility atau penghambatan pertumbuhan
serangga.(Dodia dkk., 2008). Pertama sekali penggunaan insektisida botanis
adalah pada abad ke 17. Dilaporkan bahwa pada waktu itu nikotin yang
terkandung dalam daun tembakau dapat mengendalikan kumbang pada tanaman
plum. Abad berikutnya rotenon ditemukan pada akar tanaman Derris elliptica dan
Lonchocarpus sp. Berdasarkan temuan ini maka banyak bahan dari tanaman
digunakan untuk pengendalian serangga hama. Penggunaan bahan tanaman
berasal dari Ryania spiciosa, Schenocaulan officinale, Chrysanthemum sudah
digunakan sebelum penggunaan insentisida sintetik. Penggunaan daun, bunga
atau akar yang sudah dihaluskan maupun hasil ekstraksinya digunakan untuk
mengendalikan serangga hama (Dodia dkk., 2008; Sastroutomo, 1992). Belmain
dkk., (2001) melaporkan bagian tanaman yang mempunyai efek insektisidal sudah
digunakan secara tradisional oleh beberapa generasi di dunia.

649
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Penggunaan minyak nabati secara lokal sudah digunakan untuk mencegah


serangan hama bahan simpan pada beberapa tempat di Asia maupun Afrika
(Shaaya dkk., 1997). Pada umumnya digunakan dengan mencampurkan bahan
tersebut ke komoditas yang akan disimpan. Penggunaan nimba maupun
produknya juga digunakan secara luas di Asia dan Afrika. Pemasaran produk
nimba untuk pemakaian lokal di beberapa tempat seiring dengan kepedulian
masyarakatnya untuk penggunaan produk alami (Weaver and Subrabanyam,
2000).

Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Insektisida Botanis


Sebagai bahan alami yang digunakan untuk mengendalikan hama bahan
simpan, maka insektisida botanis mempunyai beberapa kelebihan dalam
pemanfaatannya. Dodiaetal.,(2008) menguraikan beberapa keuntungan/kelebihan
penggunaan insektisida botanis dibandingkan dengan yang sintetik yaitu: 1) cepat
mengalami degradasi sehingga resiko residu bahan racun pada bahan pangan
yang disimpan menjadi kecil, 2) kebanyakan produk alami adalah racun perut
sehingga selektif terhadap sasaran dan aman untuk musuh alami, 3) umumnya
petani memahami bahan insektisida botanis karena sumbernya berasal dari
daerah setempat, dan bahkan mereka dapat terlibat dalam proses pembuatannya,
4) resistensi terhadap hama sasaran tidak terjadi secepat insektisida sintetik, 5)
umumnya kompatibel dengan insektisida mikroba, 6) sangat jarang dilaporkan
sebagai penyebab fitotoksisitas, 7) umumnya non-toksik terhadap mammalia,
burung dan ikan, 8) murah dan dapat diperbaharui, dan 9) aman dalam
pengelolaannya.
Weaver dan Subramanyam (2000) juga menambahkan bahwa sejumlah
molekul bahan tanaman yang mempunyai peluang sebagai insektisida botanis
memiliki aroma yang khas dan mempunyai daya racun yang rendah terhadap
mammalia. Hal ini dapat menjadikannya berpeluang untuk digunakan dalam skala
besar karena keberadaannya dengan resiko yang kecil.
Di samping beberapa keuntungannya, insektisida botanis juga memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya: 1) kebanyakan bukan racun bagi serangga
hama, namun hanya bersifat feeding deterrent sehingga efeknya menjadi rendah,
2) bahan bio-aktifnya sensitif terhadap sinar ultra violet, sehingga efek residunya
singkat, 3) ketersediaanya tidak dapat dipastikan sepanjang tahun, 4) kebanyakan
tidak mempunyai ambang batas toleransi residu, 5) tidak semua yang digunakan
petani mempunyai data pendukung secara ilmiah, 6) umumnya dosis efektif bahan
ekstrak tumbuhan tinggi, 7) tidak tersedia di semua tempat, 8) beberapa bahan
yang berasal dari tumbuhan tidak mempunyai efek knockdown pada serangga, 9)
tidak semua insektisida botanis aman untuk hewan non-target. Sastroutomo
(1992) menambahkan bahwa kelemahan penggunaan insektisida botanis adalah
diperlukannya bahan kasar (raw material)dalam jumlah yang banyak karena hanya
sedikit kandungan senyawa bio-aktifnya. Tambahan pula diperlukan aplikasi yang
lebih sering sehingga memerlukan bahan tanaman dan tenaga kerja yang lebih
banyak.

650
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Peluang Penggunaan Insektisida Botanis untuk Mengendalikan Hama Bahan


Simpan Beras

Sebagai bahan makan pokok, beras merupakan produk yang perlu


disimpan dalam jangka waktu tertentu. Perum BULOG sebagai lembaga pangan
di Indonesia mengelola stok beras untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga.
Penanganan beras produksi dalam negeri maupun tambahan impor dari luar
negeri perlu dilakukan dengan baik untuk menjaga mutu beras selama masa
penyimpanan di gudang. Sementara itu pedagang beras atau pengecer skala kecil
dan menengah juga melakukan penyimpanan beras jika pergerakan stok berasnya
kecil. Penurunan kualitas yang terjadi selama masa penyimpanan dapat
menimbulkan kerugian yang tidak kecil.
Perawatan komoditas di lingkungan Perum BULOG menjalankan prinsip
Pengelolaan Hama Gudang Terpadu (PHGT), yaitu melaksanakan sanitasi
gudang dan melakukan monitoring pelaksanaan perawatan komoditas dan
gudang. Kegiatannya meliputi preventif (spraying) dan kuratif (pengendalian
hama seperti fumigasi apabila terjadi serangan hama). Metode penyimpanan
inkonvensional juga dilakukan yaitu teknologi hermetic storage, yaitu teknik CO2
stack dan penggunaan plastik Cocoon.Aplikasi teknik penyimpanan menggunakan
Cocoon adalah hal yang baru bagi Perum BULOG (BULOG, 2012). Namun, stok
beras yang berada pada pedagang pengecer akan sulit untuk dilakukan
perawatan/pengendalian hama dengan insektisida. Kondisi tempat penyimpanan
yang dekat dengan lingkungan rumah tangga mengakibatkan perlakuan
insektisida adalah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan.
Penggunaan insektisida botanis dalam mengendalikan hama bahan
simpan sudah dilakukan beberapa dekade yang lalu. Essential oil (minyak atsiri)
dari Chromolaena odorata, Lantana camara dan Ageratum conizoydes dapat
menyebabkan kematian pada Sitophilus zeamais yang dikenal sebagai hama
bahan simpan beras di berbagai tempat (Bouda dkk., 2001; Okunade, 2002).
Tepung daun L. camara dilaporkan memiliki aktivitas antifeedant pada S. oryzae
dan ekstrak batangnya menunjukkan efek toksik pada S. granarius sedangkan
ekstrak daun dan bunganya juga menunjukkan efek antifeedant (Pandey dkk.,
1986).
Beberapa rimpang tanaman juga menunjukkan efek insektisidal pada
hama bahan simpan beras.Tepung rimpang lengkuas Alpinia galangayang
dicampur dengan beras dapat melindungi serangan S. oryzae dan Corcyra
cephalonica dengan mortalitas yang terjadi 100% (Prakash dan Rao, 1997),
sedangkan ekstrak kasar yang dicampur pada beras dengan konsentrasi 0,5%
dapat menyebabkan mortalitas S. zeamais 25,86%.
Ekstrak daun Andrografis paniculata (Acanthaceae) juga dapat
mengurangi kehilangan berat beras yang disimpan dan dapat mengurangi
perbanyakan Sitotroga cerealella dan S. oryzae (Prakash dkk., 1989; Prakash and
Rao, 1997). Minyak hasil destilasi dari bawang putih Allium sativum diaplikasikan
pada beras 2 ml/kg dapat mencegah terbentuknya progeny S. zeamais.

651
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pemanfaatan biji jarak Jatropha curcas untuk mengendalikan hama bahan


simpan pada beras juga mempunyai harapan. Hasil pengujian menunjukkan
mortalitas S. zeamais mencapai 100 dan 96,67% pada konsentrasi 0,5 dan 0,25%
ketika ekstrak biji jarak yang dicampurkan pada beras (Asmanizar dkk., 2008),
ketika tepung biji dicampurkan pada beras pada konsentrasi 0,5% (w/w), mortalitas
S. zeamais mencapai sekitar 90% (Asmanizar dkk., 2012).Aplikasi dalam
penyimpanan beras dapat dilakukan dengan mencampur ekstrak biji dengan beras
atau merendam kantongan/plastik anyam penyimpan beras dengan ekstak biji
jarak.Pada percobaan penyimpanan selama 5 bulan diperoleh bahwa S. zeamais
dapat secara efektif dikendalikan ketika beras diaplikasikan ekstrak kasar biji jarak
pada konsentrasi 0,2% (v/w) atau karung anyam plastik direndam dengan ekstrak
kasar pada konsentrasi 2,5% (v/v) selama 30 menit (Asmanizar dkk., 2014).
Pencampuran beras dengan ekstrak kasar biji J. curcas perlu kajian lebih lanjut
tentang residu yang mungkin terkandung pada beras, sedangkan perendaman
karung plastik dalam larutan ekstrak berpeluang untuk dilaksanakan pada gudang
penyimpanan beras. Walaupun demikian untuk mengurangi jumlah kontaminasi
bahan insektisida botanis pada beras, maka kombinasi perlakuan pencelupan
karung plastik pada konsentrasi 0,1% (v/v) dan pencampuran pada beras dengan
konsentrasi 0,1% (v/w) menunjukkan hasil yang baik dimana tidak ada progenyS.
zeamais dan kehilangan berat terjadi pada beras tersebut (unpublihseddata).

KESIMPULAN
Mengingat sistem penyimpanan beras di Indonesia umumnya masih
dengan sistem penyimpanan karung (bag storage), baik pada BULOG maupun
pedagang pengecer, maka pemanfaatan bahan tanaman sebagai insektisida
botanis sangat berpeluang untuk diterapkan. Beberapa insektisida botanis telah
diuji efektifitasnya terhadap hama-hama yang menyerang beras pada saat
penyimpanan di dalam gudang. Pemanfaatan ketersediaan bahan alami yang ada
dilingkunganlokal/setempat sangat mendukung sistem pertanian berkelanjutan. Di
samping itu masih diperlukan kajian-kajian lebih lanjut untuk aplikasinya di
lapangan dengan beberapa pilihan yang sesuai dengan metode penyimpanan
beras yang diterapkan. Berkaitan pula dengan kelemahan yang ada pada
insektisida botanis, maka perlu kajian pula dalam pemanfaatannya pada setiap
bahan tanaman yang dipilih. Pemanfaatan bahan dari tanaman untuk
mengendalikan hama beras dapat diikutsertakan dengan metode lainnya dalam
suatu teknologi yang komprehensif sebagai sistem peyimpanan dan perawatan
kualitas beras yang terpadu.

DAFTAR PUSTAKA
Arthur, F.H. 1996. Grain protectant; current status and prospects for the future.
Journal of Stored Products Research 32(4):293-302.
Asmanizar., A., Djamin and A.B. Idris, 2008. Effect of selected plant extract on
mortality of adult Sitophilus zeamais Motschulsky (Coleoptera:
Curculionidae), a pest of stored rice grain. Malaysian Applied Biology
37(2):41-46.

652
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Asmanizar., A. Djamin and A.B. Idris, 2012. Effect of four selected plant powder as
rice grain protectant against Sitophilus zeamais (Coleoptera:
Curculionidae). Sains Malaysiana 41(7):861-867.
Asmanizar., A. Djamin, and A.B. Idris, 2014. The potential of Jatropha curcas seed
crude extract in protecting rice grain stored in woven plastic bag against
Sitophilus zeamais Motschulsky. Proceeding of the International
Conference on Multidisciplinary Reseacrh. Medan.
Belmain, S.R., G.E. Neal, D.E. Ray and P. Golop, 2001. Insecticidal and vertebrate
toxicity associated with ethnobotanicals used as post-harvest protectants
in Ghana. Food and Chemicals Toxicology39:287-291.
Bouda, H., L.A. Tapondjou, and M.Y. Gumedzoe, 2001. Effect of essential oils from
leaves of Ageratum conyzoides, Lantana camara and Chromolaena
odorata on the mortality of Sitophilus zeamais (Coleoptera, Curculionidae).
Journal of Stored Product Research 37(2):103-109.
Daglish, G.J. 1998. Efficacy of six grain protectants applied alone or in combination
against three species of Coleoptera. Journal of Stored Products Research
34(4):263-268.
Dodia, D.A., I.S. Patel, and G.M. Patel, 2008. Botanical Pesticides for Pest
Management. Jodhpur: Pawan Kumar Scientific Pub.
Dirjen Pangan. 2015. Pedoman Teknis GP-PTT Padi 2015. Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan.
Golob, P., J.M wambula, V.Mhango, and F.Ngulube, 1982. The used of locally
available materials as protectants of maize grain against insect infestation
during storage in Malawi. Journal of Stored Products Research 18: 67-74.
Golob, P., G. Moss, M. Dalas, A.Fidgen and J.Evans, 1999. The use of spices and
medicinals as bioactive protectants for grain. Natural Resources Institute
Chathan.http://www.fao.org/docrep/x2230e/x2230e04.htm
Hussain, I. 1982. The Suscebtibility of milled and rough rice to attack by Sitophilus
oryzae (Linn.) and Sitophilus zeamais (Motsch.). Bogor: Biotrop.
IRRI, 1997. IRRI Rice Facts. The International Rice Research Institute(IRRI). Los
Banos, Philippines.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve.
Nakakita, H. 1998. Stored rice and stored product insects. In: Rice Inspection
Technology Manual 49-65. A Corporation, Tokyo, Japan.
Okunade, A.L. 2002. Ageratum conyzoides L. (Asteraceae). Review. Fitoterapia
(73): 1-16.
Pandey, N.D., K.K. Mathur, P.Sanjeev and R.A. Tripathi, 1986. Effect of some
plant extracts against pulse beetle, Callobruchus chinensis L. Indian
Journal Entomology 48 (1): 85-90.
Perum BULOG, 2012. Perawatan dan Pengendalian Hama.
www.bulog.co.id/phgt.php. Diakses 16 november 2015.
Prakash, A. and J.Rao, 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. New York: Lewis
Publishers.
Prakash, A., J.Rao, S.P. Gupta and T.C. Binh, 1989. Evaluation of certain plant
products as paddy grain protectants against Angoumois moth. Journal of
Natural Conservation 1:7-13.
Rejesus, M.M. and R.S. Rejesus, 1992. Methods of insecticide application for grain
protection. In Semple, R.L., Hicks, P.A., Lozare, J.V. & Castermans, A.
(eds) Towards integrated commodity and pest management in grain
storage. A Training Manual for Application in Humid Tropical Storage
Systems. http//www.fao.org/doc rep/x5048E/x5048E00.htm

653
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sastroutomo, S.S. 1992. Pestisida, Dasar-dasar dan Dampak Penggunaannya.


Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Shaaya, E., M.Kostjukovski, J.Eilberg, and C. Sukprakarn, 1997. Plant oils as
fumigants and contact insecticides for the control of stored-product insects.
Journal of Stored Products Research 33:7–15.
Weaver, D.K. and B.Subramanyam, 2000. Botanicals. In Subramanyam, B. &
Hangstrum, D.W. (eds.) Alternative to pesticides in stored-product IPM.pp
303-320. USA: Kluwer Acad. Pub.
Wilbur, D.A. 1971. Stored grain insects. In E.P. Robert (ed.) Fundamentals of
Applied Entomology 495-522. New York: The Mac Millan Company.

DISKUSI

Nama penanya : Khairiah (BPTP Sumut)

Pertanyaan : Bagaimana cara mengaplikasikan tanaman Lantama


camara, Agerantum conizoydes pada Sitophilus zeamais
Jawaban : Tanaman Lantana camara dan Ageratum conyzoides merupakan
tanaman yang mempunyai efek insektisidal. Beberapa pengujian
yang telah dilakukan terhadap hama bahan simpan termasuk
Sitophilus zeamais, bahan tanamn yang digunakan dapat dalam
bentuk tepung maupun ekstrak yang dicampurkan dengan
bahan simpan (grain protectant).

654
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KARAKTERISASI SPESIFIK WILAYAH DAN LAPORAN AWAL


KEBERADAAN HAWAR DAUN BAKTERI PADA VARIETAS MEKONGGA DI
KABUPATEN GORONTALO PROVINSI GORONTALO

Erwin Najamuddin1, A. Yulyani Fadwiwaty1, dan Suheri Sitepu2.

1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Jl. Moh. Van Gobel 270, Desa Iloheluma, Kec. Kabila,
Kab. Bone Bolango, Gorontalo.
Email: erwinnajamuddin@gmail.com
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, No. 1B, Medan, Sumatera Utara.
Email: suheri.sitepu12@gmail.com.

ABSTRAK

Padi merupakan komoditas pangan utama di Indonesia. Tingkat produksi


maupun konsumsi padi selalu menempati urutan pertama diantara komoditas
tanaman pangan lainnya. Konsumsi padi dari tahun ke tahun selalu mengalami
peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura (2015) melaporkan Produksi beras Provinsi Gorontalo
tahun 2014 mencapai 303, 627 ton dengan luasan 58.264 ha. Angka produksi ini
meningkat 10% jika dibandingkan tahun 2013 yakni 290,231 ton dengan luasan
60.396 ha. Namun jika diamati dari sudut pandang produktivitas, Produktivitas
tanaman padi di Provinsi Gorontalo berkisar antara 4,5 t hingga 5,0 t/ha. Lebih
rendah jika dibandingkan dengan produktivitas padi Nasional yang berkisar antara
5,0-5,5 t/ha. Salah satu faktor penyebab adalah adaptasi varietas spesifik wilayah
serta gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Laporan ini bertujuan
untuk memberikan informasi terkait karakterisasi varietas Mekongga spesifik lokasi
serta keberadaan, intensitas, dan keparahan penyakit HDB di Kabupaten
Gorontalo. Hasil penelitian bahwa varietas Mekongga di Kecamatan Limboto
memiliki karakter yang sedikit berbeda dengan karakteristik deskripsi varietas
serta terdapat gangguan penyakit yang diduga penyakit hawar daun bakteri yang
disebabkan oleh Xanthomonasoryzae pv. oryzae.
Kata Kunci : varietas, produktivitas, adaptasi dan OPT.

PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas pangan utama di Indonesia. Tingkat produksi
maupun konsumsi padi selalu menempati urutan pertama diantara komoditas
tanaman pangan lainnya. Konsumsi padi dari tahun ke tahun selalu mengalami
peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura (2015) melaporkan Produksi beras Provinsi Gorontalo
tahun 2014 mencapai 303, 627 ton dengan luasan 58.264 Ha. Angka produksi ini
meningkat 10% jika dibandingkan tahun 2013 yakni 290,231 ton dengan luasan
60.396 Ha. Namun jika diamati dari sudut pandang produktivitas, Produktivitas
tanaman padi di Provinsi Gorontalo berkisar antara 4,5 ton hingga 5,0 ton per ha.
Lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas tanaman padi Nasional yang

655
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

berkisar antara 5,0-5,5 ton/ha (BPS, 2014). Banyak faktor yang menyebabkan
rendahnya hasil dilapangan diantaranya adalah kemampuan adaptasi varietas
serta gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT). salah satu OPT
yang sering dijumpai pada pertanaman padi adalah keberadaan penyakit dari
golongan bakteri pathogen tanaman yakni Hawar Daun Bakteri.
Penyakit Hawar Daun Bakteri merupakan penyakit penting tanaman padi
sekaligus menjadi kendala dalam upaya mempertahankan produksi. Penyakit
Hawar Daun Bakteri disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Xoo
adalah bakteri gram negatif yang sangat sulit untuk dikendalikan karena
penyebarannya yang cukup mudah. Penyebaran Xoo dapat dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya adalah stadium pertumbuhan tanaman terinfeksi,
tingkat kerentanan kultivar padi, dan kondisi lingkungan.
Informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan infeksi penyakit
hawar daun bakteri pada suatu varietas diwilayah tertentu menjadi sangat penting
melihat gencarnya diseminasi paket teknologi varietas unggul baru Badan Litbang
Pertanian untuk mencapai swasembada beras. Untuk memprediski besarnya
kehilangan hasil serta untuk menjadi referensi dasar untuk suatu pengujian lebih
lanjut maka semua faktor produksi menjadi sangat penting.
Berdasarkan hal tersebut maka dianggap penting untuk menyusun suatu
laporan singkat tentang karakteristik spesifik varietas, keberadaan, intensitas
serangan serta keparahan infeksi Xoo pada display pertanaman VUB Mekongga
di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo.

Laporan ini bertujuan untuk memberikan informasi terkait karakterisasi


varietas Mekongga spesifik lokasi, dan penyakit HDB di desa Bionga Kecamatan
Limboto Kabupaten Gorontalo

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan waktu pengkajian
Kegiatan ini merupakan suatu penelitian Insidensial berdasarkan kejadian
dilapangan yang dilakukan pada saat diketahui adanya gejala penyakit yang
diduga merupakan HDB padi, yakni pada tanggal Agustus 2015 saat tanaman
memasuki awal fase generative.
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Mekongga,
papan label, lakban, kertas label, pupuk kandang, pupuk kima (PONSKA, Urea,
SP18, KCL). Alat-alat yang digunakan adalah kamera digital, pacul, traktor, arit,
kantung plastik, gunting, tali rafia, mistar ukur dan alat tulis menulis.
Prosedur Penelitian
Pelaksanaan pengkajian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:

Pengolahan tanah dan persiapan lahan.


Lahan yang digunakan merupakan lahan sawah yang diolah sempurna dan
dibuatkan petakan.

656
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Penyemaian benih
Benih padi varietas Mekongga yang diperoleh dari stok UPBS
BPTPdisemai disekitar lokasi penelitian. Setelah benih berkecambah normal,
benih dibiarkan tumbuh baik dan diawasi hingga umur 21 hari.
Penyiapan petak percobaan.
Petak Percobaan yang akan digunakan, disiapkan terlebih dahulu
sekaligus menunggu tanaman hingga siap untuk dipindahkan. Petak Percobaan
sesuai dengan rancangan display VUB. Pupuk disiapkan sesuai dengan masing-
masing dosis yang akan diaplikasikan.
Pemindahan bibit.
Bibit yang telah berumur 21 hari ditanam dengan pola tanam legowo 2:1.
Bibit yang dipindahkan dipilih yang memiliki pertumbuhan yang paling baik dan
sehat sehingga akan diperoleh tanaman yang baik.
Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan pengendalian gulma dan
pemupukan. Pemupukan pertama dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam
(HST) menggunakan pupuk PONSKA 150 kg dan Urea 50 kg/ha, dan pemupukan
kedua saat tanaman berumur 20 HST dengan PONSKA 150 kg dan Urea 50 kg/ha,
kemudian pemupukan ketiga saat tanaman berumur 35 HST (Urea 100 kg/ha).
Pengamatan.
Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan
maksimum (umur 42 dan 75 HST), jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi dan
gabah hampa serta produksi gabah kering panen (GKP). Pengamatan tingkat
keparahan penyakit dihitung dengan menentukan persentase kerusakan daun
yakni panjang daun keseluruhan dibagi panjang daun yang memperlihatkan gejala
HDB.
Tingkat kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan rumus :
𝑛
KP = 𝑁 𝑥100%
Keterangan : KP = Tingkat kejadian penyakit (%)
n = Panjang gejala pada daun tanaman
N = Panjang daun tanaman
Perhitungan hasil pengamatan keparahan penyakit dilanjutkan dengan penentuan
skor untuk mengetahui tingkat keparahannya berdasarkan skor (Tabel 1)

Tabel 1. Skor dan respon tanaman berdasarkan kriteria gejala hawar pada daun
padi.
Skor Kriteria gejala penyakit hawar daun Tingkat keparahan
1 = 0-3% luas`daun yang bergejala hawar Sangat sehat
2 = 4-6% luas daun yang bergejala hawar Sehat
3 = 7-12% luas daun yang bergejala hawar Agak sehat
4 = 13 – 50% luas daun yang bergejala hawar Agak parah
5 = 51 – 75% luas daun yang bergejala hawar Parah
6 = > 75 % luas daun yang bergejala hawar Sangat parah

657
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Varietas unggul baru merupakan salah satu teknologi yang memberikan
kontribusi besar dalam tahapan budidaya tanaman. kontribusi tersebut menjadi
semakin terlihat dengan dukungan dari Badan Litbang Pertanian melalui para
pemulia tanaman. Dukungan tersebut terlihat dengan genjarnya jenis VUB yang
didiseminasikan dipetani melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang ada
disetiap wilayah di Indonesia. Pendiseminasian tersebut tentunya diikuti oleh
deskripsi umum mengenai varietas tersebut, namun tetap perlu untuk
dikarakterisasi ketika akan dibudidayakan disuatu wilayah sehingga kakterisasi
varietas tertentu merupakan hal penting untuk dilakukan. Dalam proses
karakterisasinya, mendapat kendala yakni dominasi keberadaan penyakit hawar
daun bakteri yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo).
Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan bakteri penyebab penyakit hawar
daun bakteri (HDB) pada padi dan merupakan salah satu kendala dalam upaya
mempertahankan produksi beras. Xoo adalah bakteri gram negatif yang sangat
sulit untuk dikendalikan karena penyebarannya yang cukup mudah. Penyebaran
Xoo dapat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah stadium
pertumbuhan tanaman terinfeksi, tingkat kerentanan kultivar padi, dan kondisi
lingkungan. Infeksi Xoo menyebabkan kerugian hasil panen sebesar 21-36% pada
musim hujan dan sebesar 18-28% pada musim kemarau.(Wahyudi dkk., 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan fase vegetative rerata tinggi tanaman dan
jumlah anakan varietas Mekongga umur 42 hari setelah tanam (HST) adalah 69,43
cm dengan jumlah anakan 30,59. rerata tinggi tanaman varietas Mekongga umur
75 HST adalah 98,79 cm dan dengan jumlah anakan 21,58 (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah anakan


Tinggi tanaman
No. Varietas Umur (Hari) Jumlah anakan
(cm)
1 Mekongga 42 69.43 30.59
2 Mekongga 75 98.79 21.58

Pada pengamatan fase generative pengamatan rerata berat jerami seberat


8.328 kg per ha dan gabah kering panen seberat 4.384 kg per ha. Untuk
pengamatan jumlah rerata gabah per malai, diperoleh gabah isi sebanyak 93,20
butir dengan gabah hampa sebanyak 29,73 butir. Pengamatan rerata berat GKP
per 1000 butir sebanyak 29,47 butir (Tabel 3).
Tabel 3. Rata-rata hasil ubinan, produksi, gabah hampa dan berat 1000 butir
Ubinan Pengamatan per Berat per
Gabah per malai
(1.5x 8 m) ha 1000 Butir
Varietas Berat Berat
GKP GKP Gabah Gabah
Jerami Jerami
(kg) (kg) Isi hampa
(kg) (kg)
Mekongga 10.41 5.48 8.328 4.384 93.20 29.73 29.47

658
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengamatan kejadian, keparahan serta karakteristik ketahanan varietas


mekongga terhadap penyakit yang diduga Hawar Daun Bakteri yang disebabkan
olehb Xhanthomonasoryzae pv. oryzae dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengamatan penyakit Hawar Daun Bakteri.
Kejadian Penyakit
Petak Tingkat Keparahan Ketahanan
(%)
1 45,0 Agak parah Agak rentan
2 46,0 Agak parah Agak rentan
3 69,0 Parah Rentan
4 55,0 Parah Rentan
5 57,0 Parah Rentan

Pada Pengamatan Kejadian penyakit, keparahan serta karakteristik


ketahanan, Secara keseluruhan semua daun yang diamati memiliki gejala hawar
dau dan tergolong agak parah dan parah. namun, tingkat kejadiannya berbeda
antar petakan. Pengamatan tingkat kejadian terparah diperoleh pada petakan 3
dengan kijadian penyakit hingga 69% tergolong parah sehingga untuk dapat
dikatakan bahwa tanaman padi varietas padi memiliki sifat yang rentan terhadap
infeksi hawar daun bakteri isolate Limboto. Pengamatan respon ketahanan terbaik
diperoleh pada petakan 1 dengan kejadian penyakit hanya 45% tingkat keparahan
agak parah dengan kategori ketahanan agak rentan. Oleh sebab itu, berdasarkan
tingkat kejadian penyakit hawar daun bakteri isolate limboto berada pada kisaran
45%-69% dengan tingkat keparahan agak parah dan parah sehingga untuk
kategori ketahanan, termasuk kedalam kategori agak rentan hingga rentan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengkajian, maka dapat ditarik simpulan yakni:


1. Karakteristik spesifik lokasi varietas Mekongga yang dibudidayakan memiliki
karakter yang sedikit berbeda dengan karakteristik agronomisnya pada
deskripsi varietas.
2. Terdapat penyakit yang menginfeksi tanaman padi di lokasi yang diduga
penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonasoryzae pv.
oryzae.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Gorontalo, 2015, Data
Produksi Tanaman padi 2015.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2015.Deskripsi Varietas Unggul
Baru Padi Inbrida Padi Sawah Irigasi (Inpari), Inbrida Padi Gogo (Inpago),
Inbrida Padi Rawa (Inpara), Hibrida padi (Hipa). Kementrian Pertanian.
Badan Pusat Statistik. 2014. Produktivitas Tanaman Padi tahun 2013. Berita
Resmi Statistik No. 28/03/th.XVIII, 2 Maret 2015. Jakarta
Wahyudi A.T., S. Meliah dan A.A. Nawangsih, 2011. Xanthomonas oryzae pv.
oryzae Bakteri Penyebab Hawar Daun Pada Padi: Isolasi, Karakterisasi,
dan Telaah Mutagenesis Dengan Transposon, MakaraSains 15(1): 89-96.

659
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UJI BEBERAPA BENTUK PERANGKAP FEROMON TERHADAP HAMA


PENGGEREK BATANG PADI KUNING Scirpophaga incertulas
PADA TANAMAN PADI

Asmanizar1*), Sulaiman Ginting1), S. Edy Sumantri1)dan Dwija Pratama2)


1
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Islam Sumatera Utara
2
Alumni Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara
*Email: nizar_312@yahoo.com

ABSTRAK

Penggerek Batang Padi Kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas merupakan


hama penting padatanaman padi yang sering menimbulkan kerusakan berat dan
kehilangan hasil yang tinggi. Hama ini dapat merusak tanaman pada semua fase
tumbuh, baik pada saat di pembibitan, fase anakan, maupun fase berbunga.
Pengendalian dengan menggunakan feromon bersifat ramah lingkungan sehingga
merupakan salah satu komponen yang sesuai untuk Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) pada tanaman padi. Penelitian dilakukan di Desa Pasar Miring, Kecamatan
Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang pada bulan April-Juni 2010. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui bentuk perangkap feromon yang paling sesuai
dalam mengendalikan PBPK. Penelitian menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) nonfaktorial dengan ulangan empat kali. Perlakuan bentuk
perangkap feromon yaitu 1. Perangkap delta dengan perekat, 2. Perangkap botol
plastik air mineral bekas 1,5 l dengan deterjen, 3. Perangkap berbentuk
corong/fanel dengan plastik, 4. Perangkap baskom dengan vaselin, 5. Perangkap
bola plastik dengan vaselin, dan 6. Perangkap botol plastik air mineral bekas 1,5 l
dengan vaselin. Parameter yang diamati adalah jumlah imago PBPK yang
tertangkap di dalam perangkap feromon. Data dianalisa dengan mengnggunakan
Analisa Sidik Ragam pada taraf 5% dan Uji Beda Rata-rata DMRT. Serangga
nontarget yang ada di dalam perangkap juga diamati pada akhir penelitian sebagai
informasi tambahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perangkap
feromon yang terbuat dari botol plastik air mineral bekas ukuran 1,5 l adalah yang
terbaik yaitu mampu menangkap PBPK Scirpophaga incertulassebanyak 37,2
ekor/perangkap selama 1 bulan. Serangga non target yang terbanyak ada di
dalam perangkap baskom dengan vaselin yaitu rata-rata 26,7 ekor.
Kata kunci: Scirpophaga incertulas, feromon, perangkap feromon, padi sawah

PENDAHULUAN
Pengerek Batang Padi Kuning (PBPK) Scirpophaga incertulas merupakan
salah satu hama utama pada tanaman padi di beberapa negara di Asia termasuk
di Indonesia (Kartaatmadja dkk., 1997). Kehadiran hama ini pada pertanaman
padi hampir selalu dilaporkan di berbagai daerah di Indonesia. PBPKadalah hama
yang paling dominan dan paling luas serangannya di Indonesia (Kalshoven. 1981).
Pada tahun 2005, dilaporkan di beberapa daerah di Indonesia intensitas serangan
PBPK pada tanaman padi mencapai 10 sampai 20%. Tingkat kerusakan pada

660
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

fase vegetatif yang diakibatkan oleh hama ini dapat mencapai 20,5% dengan luas
daerah yang terserang mencapai 151.577 ha (BB Padi. 2009).
Kerusakan yang timbul akibat serangan PBPK tergantung pada fase
pertumbuhan tanaman padi. Pada fase vegetatif (pembentukan batang, daun,
dan anakan), daun tengah atau pucuk tanaman mati karena titik tumbuhnya
dimakan oleh larva. Satu larva dapat menyerang 6 anakan (Hashmi. 1994). Pucuk
yang mati akan berwarna coklat dan mudah dicabut (gejala sundep). Sedangkan
serangan pada fase generatif (pembentukan malai), maka malai akan mati karena
pangkalnya digigit oleh larva. Malai yang mati akan tetap tegak, berwarna abu-
abu putih dan bulir-bulirnya hampa, mudah dicabut dan pada pangkalnya terdapat
bekas gigitan larva (gejala beluk) (Santoso dan Sulistyo. 2007).
Teknologi yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama padi telah
banyak dihasilkan. Namun tidak semua teknologi tersebut dapat diterapkan pada
satu atau semua jenis hama pada berbagai agroekosistem padi. Penggunaan
insektisida kontak tidak efektif sedangkan insektisida sistemik seperti karbofuran
dapat menjadi tidak efektif penggunaannya pada musim hujan karena efek
pencucian. Penggunaan feromon dalam komponen Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) pada tanaman padi merupakan alternatif untuk pengganti penggunaaan
insektisida sintetik (Untung. 1993; Islam. 2012). Menurut Cork dan Basu (1996)
menyatakan gejala beluk (white head) pada pengendalian dengan feromon lebih
sedikit dibandingkan dengan pengendalian konvensional oleh petani dan tanpa
perlakuan pengendalian. Feromon serangga dapat dimanfaatkan sebagai
komponen pengendalian melalui proses pengurangan jantan maupun betina
(Blum. 1985). Pengendalian PBPK dengan feromon diharapkan populasi serangga
jantan menjadi sedikit, kopulasi (perkawinan) tidak terjadi sehingga betina tidak
meletakkan telur, maka serangan pada tanaman padi dapat menurun (Knipling.
1979). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bentuk perangkap yang sesuai
untuk feromon dalam mengendalikan PBPK Scirpophaga incertulas.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan di Desa Pasar Miring, Kecamatan Pagar Merbau,
Kabupaten Deli Serdang (ketinggian tempat + 10 m dpl), pada bulan April-Juni
2010. Varietas yang digunakan pada penelitian ini adalah Ciherang sedangkan
feromon yang digunakan adalah FERO-GER dengan bahan aktif cis-9-
hexadecenal 50%, cis-11-hexadecenal 50%. Penelitian menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) diulang empat kali dan sebagai perlakuan ditempatkan
bentuk perangkap. Perlakuan adalah berbagai bentuk perangkap feromon, yaitu
1) Perangkap delta dengan perekat (berbentuk segi tiga, dengan panjang 33 cm,
lebar 21 cm, tinggi 13 cm. Kemudian bagian tengah delta diberi lubang untuk
meletakkan feromon dan di dalam delta diletakkan kertas perekat), 2) Perangkap
botol plastik air mineral bekas 1,5 l dengan deterjen (diameter 8,2 cm dan panjang
23 cm, dibuat dengan cara melubangi bagian samping botol dengan ukuran 2x3
cm sebanyak 4 lubang), 3) Perangkap berbentuk corong/fanel dengan plastik
(terbuat dari bahan plastik yang tertutup pada bagian atasnya dan terdapat lubang
pada bagian tengahnya untuk tempat meletakkan feromon, kemudian diikatkan

661
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

plastik pada bagian bawah sebagai tempat serangga yang tertangkap, 4)


Perangkap baskom dengan vaselin (diameter 27,5 cm dan tinggi 9 cm, terbuat dari
bahan plastik yang ditegakkan, kemudian baskom diberi lubang pada bagian
tengahnya untuk memasukan feromon yang diberi vaselin, 5) Perangkap bola
plastik dengan vaselin (bola palstik berdiameter 19,5 cm dipotong menjadi dua
bagain, bagian atas dipotong ½ lingkaran dari setiap sisinya dengan ukuran
panjang 3 cm dan lebar 4 cm sebanyak 4 lubang. Lalu potongan bola plastik
tersebut disatukan kembali menggunakan kawat dan diberi lubang pada bagian
atasnya untuk meletakkan feromon sedangkan bagian bawahnya diberi vaselin,
dan 6) Perangkap botol plastik air mineral bekas 1,5 l dengan vaselin (botol plastik
berdiameter 8,2 cm dan panjang 23 cm, dipotong bagian depannya, kemudian
disatukan kembali dan dimasukkan kedalam bagian botol yang telah dipotong dan
diberi lubang pada bagian belakang botol untuk memasukkan feromon dan diberi
vaselin.
Luas areal pertanaman padi yang digunakan adalah 1,5 ha, kepadatan
perangkap adalah 16 perangkap/ha (jarak antar perangkap 25 m). Perangkap
yang telah dipasang feromon ditempatkan di areal pertanaman padi sejak umur 3
hari setelah pindah ke lapangan sampai umur 2 bulan (Gambar 1).

a b c

d eb f

Gambar 1. Bentuk perangkap feromon yang diuji


Keterangan: a. Perangkap delta dengan perekat.
b.Perangkap botol plastik air mineral bekas 1,5 l dengan deterjen.
c. Perangkap berbentuk corong/fanel dengan plastik.
d. Perangkap baskom dengan vaselin.
e. Perangkap bola plastik dengan vaselin.
f. Perangkap botol plastik air mineral bekas 1,5 l dengan vaselin.

Perangkap digantung dengan cara diikat dengan tali pada bambu yang
dipacak sebagai tiang dengan ketinggian 1,5 m. Posisi jarak perangkap dengan
tanaman + 20 cm. Perangkap bola, delta, botol plastik dipasang tergantung
mengikuti arah angin dan perangkap baskom, fanel/corong dipasang kearah Barat
agar perangkap tidak terkena langsung oleh matahari sehingga vaselin tidak
mudah meleleh dan plastik corong/fanel tidak cepat hancur. PBPK yang masuk
ke dalam perangkap diamati setiap 3 hari selama 1 bulan. Data diolah dengan

662
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Analisa Sidik Ragam. Jika jenis perangkap mempengaruhi jumlah PBPK yang
tertangkap, dilanjutkan dengan Uji Beda rata-rata Duncan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penggerek batang padi kuning (PBPK)yang tertangkap
Jumlah PBPK yang tertangkap selama 1 bulan dipengaruhi oleh bentuk
perangkap feromon (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata jumlah PBPK yang tertangkap selama 1 bulan
Jumlah
Kode Bentuk perangkap
PBPK/perangkap
A Perangkap delta dengan perekat 1,5 b
B Perangkap botol plastik 1,5 l dengan deterjen 37,2 a
C Perangkap berbentuk corong/fanel dengan plastik 1,0 b
D Perangkap baskom dengan vaselin 0,2 c
E Perangkap bola plastic 0,2 c
F Perangkap botol plastik 1,5 l denganvaselin 5,6 b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.

Bentuk perangkap botol plastik air mineral dengan deterjen pada bagian
dasarnya mampu menangkap PBPK sebanyak 37,2 ekor/perangkap/bulan
berbeda nyata dengan lima bentuk perangkap lainnya. PBPK yang tertangkap
dalam jumlah yang sangat sedikit didapat pada bentuk perangkap baskom dengan
vaselin dan perangkap bola plastik dengan vaselin masing-masingnya sebanyak
0,25 buah/perangkap/bulan.
Tingginya jumlah PBPK yang tertangkap pada bentuk perangkap botol
plastik air mineral dengan deterjen pada bagian dasarnya, diduga karena lubang
ukuran 2x3 cm yang terdapat pada keempat sisi botol menjadi tempat masuk yang
cukup baik untuk hama ini. Serangga yang telah masuk ke dalam perangkap,
sangat kecil kemungkinan untuk keluar kembali dari botol karena terjebak dengan
larutan deterjen. Sementara itu, bentuk perangkap botol plastik air mineral 1,5 l
yang diberi vaselin hanya mampu menangkap PBPK sebanyak 5,6
ekor/perangkap/bulan, hal ini diduga karena tempat masuk PBPK hanya satu
lubang sehingga peluang masuk serangga ini menjadi sedikit.
Orientasi PBPK nampaknya kepada perangkap dengan pelepasan
feromon melalui lubang kecil. Keadaan ini dapat dilihat pada bentuk perangkap
yang dengan pelepasan feromon sangat terbuka (perangkap delta, perangkap
corong, perangkap bola dan baskom) jumlah PBPK yang tertangkap sangat
sedikit. Hal ini diduga karena konsentrasi feromon menjadi cepat berkurang
seiring dengan berjalannya waktu sehingga tidak atau sulit terdeteksi oleh PBPK.
Menurut Happ (1984), untuk membangkitkan respon serangga terhadap suatu
feromon, maka feromon tersebut harus diterima serangga pada konsentrasi
ambang (threshold concentration). Zona dimana serangga masih dapat merespon
disebut zona aktif (active space), semakin kecil konsentrasi feromon yang ada di
udara maka zona aktifnya makin kecil, sehingga serangga yang merespon sedikit
atau bahkan tidak ada.

663
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Serangga nontarget yang tertangkap


Pada penelitian ini beberapa serangga nontarget masuk ke dalam
perangkap. Jumlah serangga nontarget yang tertangkap disajikan pada Tabel 2
berikut.
Tabel 2. Serangga nontarget yang masuk ke dalam perangkap
Jumlah serangga
Kode Bentuk perangkap
nontarget/perangkap
A Perangkap delta dengan perekat 16,7
B Perangkap botol plastik 1,5 l dengan deterjen 7,2
C Perangkap berbentuk corong/fanel dengan 4,2
plastik
D Perangkap baskom dengan vaselin 26,7
E Perangkap bola plastic 12,3
F Perangkap botol plastik 1,5 l denganvaselin 2,0

Masuknya serangga nontarget lebih disebabkan karena struktur perangkap


yang terbuka dan dilengkapi dengan perekat atau vaselin. Perangkap baskom
merupakan perangkap dimana serangga nontarget yang terbanyak tertangkap
(26,7 ekor), sedangkan perangkap delta, dan perangkap bola menunjukkan jumlah
serangga nontarget yang tertangkap lebih sedikit masing-masing 16,7 ekor dan
12,3 ekor. Perangkap botol plastik dengan deterjen, corong/fanel dan botol plastik
dengan vaselin menunjukkan jumlah serangga nontarget yang tertangkap sangat
sedikit yaitu masing-masing 7,2 ekor, 4,2 ekor dan 2 ekor. Struktur perangkap
yang lebih tertutup membuat serangga nontarget sulit untuk masuk ke dalam
perangkap.
Jenis serangga nontarget yang masuk ke dalam perangkap selama
penelitian berlangsung antara lain kepinding tanah Scotinophara coartata (57
ekor), anjing tanah Gryllotalpa hirsuta (42 ekor), lalat bibit padi Atherigona
oryzae(35 ekor), kumbang Coccinella sp(30 ekor), bela lang Conocephalus
longipennis (25 ekor), walang sangit Leptocorisa acuta (23 ekor), capung
jarumAgriocnemis spp (14 ekor), hama ganjur Pachydiplosis oryzae (2 ekor) dan
hama putih Nymphula depunctalis (1 ekor). Oleh karena itu penggunaan
perangkap jenis-jenis tersebut perlu dipertimbangkan mengingat beberapa
serangga sebagai musuh alami juga masuk ke dalam perangkap.

KESIMPULAN
Perangkap botol bekas air mineral 1,5 l merupakan bentuk perangkap yang
sesuai untuk menangkap PBPK Scirpophaga incertulas.

SARAN
Perlu diuji jumlah perangkap yang optimum untuk luasan tertentu pada areal
pertanaman padi.

664
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Tanaman Padi-BB Padi. 2009. Penggerek Batang Padi. Http://www.
litbang deptan.htm (16 Januari 2010).
Blum, M.S. 1985. Exocrine System. In M.S. Blum (ed.) Fundamentals of Insect
Physiology. A Wiley Interscience Publication.
Cork, A., Basu, S.K. 1996. Control of the yellow stem borer Scirpophaga incertulis
by mating disruption with a PVC resin formulation of the sex pheromones
of Chilosuppresalis (Lepidoptera: Pyralidae) in India. Bulletin of
Entomological Research. 86(1): 1-9.
Happ, G.M. 1984. Pheromone and Allomones. In Evans, H.E. (ed.) Insect Biology.
Wesley Pub.Company. Canada.
Hashmi, A.A. 1994. Insects pests of paddy crop. In A.A. Hasmi (ed.) Insect Pest
Management: Cereal and cash Crops. PARCS, Islamabad, pp. 1-61.
Islam, M.A. 2012. Pheromone used for insect control: present status and prospect
in Bangladesh. Inter J Agril Res. Innov. and Tech. 2(1);47-55.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve.
Kartaatmadja, S., Soejito, J., Wardana, I.P. 1997. Pest management practices of
rice farmers in west Java. In Heong, K.L., Escalada, M.M. (eds.) Pest
Management of Rice Farmers in Asia. International Rice Research
Institute, Philippines.
Knipling, E.F. 1979. The Basic Principles of Insect Population Suppression and
Management. Agriculture Handbook.Washingtin, D.C.
Santoso, S.J. dan Sulistyo. 2007. Peranan Musuh Alami Hama Utama Padi pada
Ekososistem Sawah. Jurnal Inovasi Pertanian 6 (1) : 1-10.
Untung, K. 1993. Konsep pengendalian hama terpadu. Peberbit Andi offset,
Yogyakarta.

665
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PERKEMBANGAN DAN TINGKAT SERANGAN WALANG SANGIT


(Leptocorixa acuta) DI SUMATERA UTARA

Muainah Hasibuan dan Nazaruddin Hutapea

Balai Pengkajian Tekonologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. Jenderal Besar A.H Nasution No.1 B Medan
muainahhsb@gmail.com

ABSTRAK
Kementerian Pertanian telah menetapkan sasaran strategis pembangunan
pertanian yaitu pencapaian swasembada pangan. Program swasembada pangan
lagi giat - giatnya digalakkan pemerintah dalam memelihara ketahanan nasional,
berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan
tetapi masih dijumpai tantangan dan kendala yang dihadapi. Berbagai kendala
yang dihadapi dalam meningkatkan produksi pangan.Salah satu adalah
meningkatnya serangan hama walang sangit yang dapat menurunkan produksi
dan pendapatan petani. Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui luas serangan
walang sangit di Sumatera Utara dan cara pengendaliannya. Di Sumatera Utara
luas areal tanaman terserang hama walang sangit (Leptocorixa acuta) pada tahun
2014 telah mencapai 1.067.2 ha. Walang sangit menyerang tanaman padi
dengan merusak bulir padi yang sedang berkembang dengan cara menghisap
cairan susu dari biji padi pada waktu fase awal pembentukan biji. Hama walang
sangit bukan saja menurunkan hasil tetapi juga menurunkan kualitas gabah seperti
bintik - bintik coklat pada gabah akibat isapan cairan dan hama tersebut pada saat
padi matang susu, dan serangan paling tinggi menyebabkan gagal panen.
Kata kunci : Walang Sangit, luas serangan, padi, Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Walang sangit adalah serangga yang menjadi hama penting pada tanaman
padi. Hewan ini mudah dikenali dari bentuknya yang memanjang, berukuran
sekitar 2 cm, berwarna coklat kelabu, dan memiliki “belalai” (proboscis) untuk
menghisap cairan tumbuhan. Walang sangit adalah anggota ordo Hemiptera
(bangsa kepik sejati). Walang sangit menghisap cairan tanaman dari tangkai
bunga (paniculae) dan juga cairan buah padi yang masih pada tahap masak susu
sehingga menyebabkan tanaman kekurangan hara dan menguning (klorosis), dan
perlahan-lahan melemah. Nama hewan ini menunjukkan bentuk pertahanan
dirinya, yaitu mengeluarkan aroma yang menyengat hidung sehingga dinamakan
“sangit”.
Kehilangan hasil padi akibat serangan walang sangit biasanya tidak begitu
besar karena mereka hanya meyerang selama fase susu. Akan tetapi untuk
daerah – daerah yang tidak melakukan penanaman serempak maka tanaman
yang terakhir akan mendapat serangan terberat. Didaerah – daerah seperti ini
kehilangan hasil panen mencapai 20-60 %. Selain itu faktor – faktor yang
mendukung peningkatan kepadatan populasi walang sangit adalah terdapatnya
hutan disekitar sawah dan penanaman tidak serempak. Penanaman yang tidak

666
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

serentak akan memudahkan hama berpindah dari satu tanaman ke tanaman yang
lain (Harahap dan Tjahjono, 1994).
Akibat serangan hama ini pertumbuhan bulir padi kurang sempurna,
biji/bulir tidak terisi penuh ataupun hampa sama sekali. Dengan demikian dapat
mengakibatkan penurunan kualitas maupun kuantitas hasil. Sesuai dengan sifat
serangan dari hama walang sangit maka pada umumnya bulir padi menjadi hampa
sebab cairan sel bulir padi yang sedang terisi dihisap sehingga bulir padi menjadi
setengah hampa dan akan mudah pecah jika masuk dalam penggilingan.
Kerusakan yang hebat disebabkan oleh imago yang menyerang tepat pada masa
berbunga, sedangkan nimpa terlihat merusak secara nyata setelah pada instar
ketiga dan seterusnya (Kalshoven, 1981)
BIOLOGI DAN SIKLUS HIDUP WALANG SANGIT
Biologi walang sangit sebagai berikut :Kingdom:Animalia; Phylum:
Arthropoda; Kelas : Insecta; Ordo: Hemiptera; Famili : Alydidae; Genus
:Leptocorixa; Spesies : Acuta. Walang sangit mempunyai daerah sebaran yang
sangat luas, hampir di semua negara produsen padi. Daerah penyebaran
(Leptocorixa acuta) antara lain Asia Tenggara, Kepulauan Fiji, Australia, Srilangka,
India, Jepang, Cina, Pakistan dan Indonesia. Di Indonesia L. Acuta tersebar di
daerah Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi.Walang sangit selain menyerang
tanaman padi yang sudah bermalai dapat pula berkembang pada rumput-
rumputan seperti Panicium crusgalli L., Paspalumdilatatum Scop., rumput teki
(Echinocloa crusgalli dan Echinocloacolonum). Walang sangit (Leptocorixa
acuta)mengalami metamorfosis sederhana yang perkembangannya dimulai dari
stadia telur, nimfa dan imago.
Telur. Telur berbentuk seperti cakram berwarna merah coklat gelap dan
diletakkan secara berkelompok. Kelompok telur biasanya terdiri dari 10 – 20 butir.
Telur-telur tersebut biasanya diletakkan pada permukaan atas daun di dekat ibu
tulang daun. Peletakan telur umumnya dilakukan pada saat padi berbunga. Telur
akan menetas 5 – 8 hari setelah diletakkan. Perkembangan dari telur sampai
imago adalah 25 hari dan satu generasi mencapai 46 hari. Menurut Siwi dkk.,
1981 Walang sangit bertelur pada permukaan daun bagian atas padi dan rumput
– rumputan lainnya secara kelompok dalam satu sampai dua baris. Telur berwarna
hitam berbentuk segi enam dan pipih. Satu kelompok telur terdiri dari 1 – 21 butir,
lama periode telur rata – rata 5,2 hari.
Nimfa. Nimfa berwarna kekuningan, kadang-kadang nimfa tidak terlihat karena
warnanya sama dengan warna daun. Stadium nimfa 17 – 27 hari yang terdiri dari
5 instar.
Imago. Imago walang sangit yang hidup pada tanaman padi, bagian ventral
abdomennya berwarna coklat kekuning-kuningan dan yang hidup pada
rerumputan bagian ventral abdomennya berwarna hijau keputihan. Bertelur pada
permukaan daun bagian atas padi dan rumput-rumputan lainnya secara kelompok
dalam satu sampai dua baris. Imago berbentuk seperti kepik, bertubuh ramping,
antena dan tungkai relatif panjang. Warna tubuh hijau kuning kecoklatan dan
panjangnya berkisar antara 15 – 30 mm. Aktif menyerang pada pagi dan sore hari,

667
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sedangkan di siang hari berlindung di bawah pohon yang lembab dan dingin
(Rukmana dan Sugandi, 1997)

PERKEMBANGAN DAN SERANGAN WALANG SANGIT


DI SUMATERA UTARA

Tingkat perkembangan serangan hama walang sangit pada tanaman padi


sawah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan serangan hama walang sangit (Leptocorixa acuta) pada


tanaman padi sawah di Propinsi Sumatera Utara tahun 2014
Serangan hama Walang Sangit (ha)
No Kabupaten
Ringan Sedang Berat Puso Jumlah
1 Nias 11.5 - - - 11.5
2 Madina 38.9 - - - 38.9
3 Tapsel 110.6 - - - 110.6
4 Tapanuli Tengah 179.4 19.3 - - 198.7
5 Tapanuli Utara 4.8 2.0 - - 6.8
6 Toba Samosir 7.5 0.5 0.2 - 8.2
7 Labuhan Batu 1.0 1.3 2.3
8 Asahan 5.3 5.3
9 Simalungun 4.0 2.0 6.0
10 Dairi 20.0 20.0
11 Karo - - - - -
12 Deli Serdang 12.1 - - - 12.1
13 Langkat 21.4 1.4 - 22.8
14 Nias Selatan 107.0 - - - 107.0
15 Humbang Has 12.5 12.5 - - 25.0
16 Pakpak Barat - - - - -
17 Samosir - - - - -
18 Serdang Bedagai 14.2 - - - 14.2
19 Sibolga - - - - -
20 Tanjung Balai - - - - -
21 Pem. Siantar - - - - -
22 Tebing Tinggi - - - - -
23 Medan 35.7 11.7 - - 47.4
24 Binjai 5.5 - - - 5.5
25 Padangsidempuan 15.2 - - - 15.2
26 Batu bara 8.3 - - 8.3
27 Labuhan Batu utara 0.2 - - - 0.2
28 Labuhan Batu Selatan 8.5 - - - 8.5
29 Padang Lawas Utara 10.5 - - - 10.5
30 Padang Lawas 32.0 4.0 - - 36.0
31 Nias Utara 26.0 - - 26.0
32 Nias Selatan 175.0 80.0 - - 255.0
33 Gunung sitoli 65.3 - - - 65.3
Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara UPT. Perlindungan Tanaman
dan Hortikultura I Medan

668
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Dari tabel di atas diperoleh bahwa serangan walang sangit terbanyak


terdapat di kabupaten Nias Selatan dengan luas serangan sebesar 255.0 ha,
terdiri dari serangan ringan (175.0 ha), dan serangan sedang (80.0 ha). Siwi dkk.,
1981 menyebutkan imago berbentuk seperti kepik, bertubuh ramping, antena dan
tungkai relatif lebih panjang. Warna tubuh hijau kuning kecoklatan dan panjangnya
berkisar antara 15 – 30 mm. Aktif menyerang pada pagi dan sore hari, sedangkan
di siang hari berlindung di bawah pohon yang lembab dan dingin. Perkembangan
yang baik bagi hama Walang sangit terjadi pada suhu antara 27 – 30oC. Walang
sangit dewasa mengeluarkan bau yang sangat keras dan khas, biasanya berwarna
coklat dan hijau.
Kehilangan hasil padi akibat serangan walang sangit biasanya tidak begitu
besar karena mereka hanya meyerang selama fase susu. Akan tetapi untuk
daerah – daerah yang tidak melakukan penanaman serempak maka tanaman
yang terakhir akan mendapat serangan terberat. Didaerah – daerah seperti ini
kehilangan hasil panen mencapai 20-60 %. Selain itu faktor – faktor yang
mendukung peningkatan kepadatan populasi walang sangit adalah terdapatnya
hutan disekitar sawah dan penanaman tidak serempak. Penanaman yang tidak
serentak akan memudahkan hama berpindah dari satu tanaman ke tanaman yang
lain (Harahap dan Tjahjono, 1994).
Tanaman inang adalah tanaman yang menjadi makanan dan tempat
tinggal organisme hama. Makanan merupakan faktor lainnya yang sangat
menentukan perkembangan populasi serangga hama. Faktor kualitas dan
kuantitas makanan akan memberikan pengaruh pada tinggi rendahnya
perkernbangan populasi. Makanan merupakan sumber gizi yang dipergunakan
oleh serangga untuk hidup dan berkembang biak. Jika makanan tersedia dengan
kualitas yang sesuai, maka populasinya akan cepat meningkat. Sebaliknya, jika
makan kurang, maka populasinya akan menurun. Pengaruh jenis makanan,
kandungan air dalam makanan dan besarnya butiran material juga berpengaruh
terhadap perkembangan suatu jenis serangga. Rismunandar 1993 menyebutkan
apabila tanaman yang menjadi makanan tidak sesuai maka berpengaruh buruk
terhadap kehidupan serangga tersebut.
Walang sangit menyerang tanaman padi setelah berbunga dengan cara
menghisap cairan bulir padi menyebabkan bulir padi menjadi hampa atau
pengisiannya tidak sempurna. Penyebaran hama ini cukup luas. Di Indonesia
walang sangit merupakan hama potensial yang pada waktu-waktu tertentu menjadi
hama penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 50%. Diduga
bahwa populasi 100.000 ekor per hektar dapat menurunkan hasil sampai 25%.
Hasil penelitian menunjukkan populasi walang sangit 5 ekor per 9 rumpun padi
akan menurunkan hasil 15%. Hubungan antara kepadatan populasi walang sangit
dengan penurunan hasil menunjukkan bahwa serangan satu ekor walang sangit
per malai dalam satu minggu dapat menurunkan hasil 27% Kwalitas gabah (beras)
sangat dipengaruhi serangan walang sangit. Diantaranya menyebabkan
meningkatnya Grain dis-coloration. Sehingga serangan walang sangit disamping
secara langsung menurunkan hasil, secara tidak langsung juga sangat
menurunkan kwalitas gabah (Baehaki, 1992).

669
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Menurut Willis (2001) tingkat serangan dan menurunnya hasil akibat


serangga dewasa lebih besar di banding nimpa. Suharto dan Damardjati (1988)
melaporkan bahwa 5 ekor walang sangit pada tiap 9 rumpun tanaman akan
merugikan hasil sebesar 15 % sedangkan 10 ekor pada 9 rumpun tanaman akan
mengurangi hasil sampai 25 %.Kerusakan yang tinggi bisanya terjadi pada
tanaman di lahan yang sebelumnya banyak ditumbuhi rumput – rumputan serta
pada tanaman yang berbunga paling akhir.
Hama walang sangit pada tahun 2014 pada tanaman padi di Sumatera
Utara dengan luas serangan sebesar 1,067.2 ha dengan serangan ringan sebesar
932.3 ha, serangan ringan sebesar 134.7 ha, dan serangan berat sebesar 0.2 ha
(Tabel 2).
Tabel 2. Serangan Organisme Penggganggu Tanaman (OPT) pada tanaman
padi sawah di Sumatera Utara tahun 2014
Organisme Pengganggu Luas serangan (Ha)
No
Tanaman (OPT) Ringan Sedang Berat Puso Jumlah
1 Tikus 1,805.4 531.0 41.2 37.5 2,415.1
2 Hama putih palsu 1,042.7 243.9 - - 1,286.6
3 Walang sangit 932.3 134.7 0.2 - 1,067.2
4 Penggerek batang 664.4 126.9 0.5 - 791.8
5 Kepinding tanah 623.5 14.0 3.0 - 640.5
6 Siput Murbei 550.4 54.1 1.0 - 605.5
7 Burung 121.7 - - - 121.7
8 Wereng batang coklat 20.2 1.0 - - 21.2
9 Ganjur 10.3 - - - 10.3
Sumber : Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara UPT. Perlindungan Tanaman
dan Hortikultura I Medan
Walang sangit menyerang pertanaman padi hampir disetiap musim. Hama
ini menyerang pertanaman padi setelah padi berbunga. Bulir padi ditusuk dengan
rostrumnya, kemudian cairan bulir tersebut diisap (Domingo dkk.,1982). Akibat
serangan hama ini pertumbuhan bulir padi kurang sempurna, biji/bulir tidak terisi
penuh ataupun hampa sama sekali. Dengan demikian dapat mengakibatkan
penurunan kualitas maupun kuantitas hasil.
Sesuai dengan sifat serangan dari hama walang sangit maka pada
umumnya bulir padi menjadi hampa sebab cairan sel bulir padi yang sedang terisi
dihisap sehingga bulir padi menjadi setengah hampa dan akan mudah pecah jika
masuk dalam penggilingan. Kerusakan yang hebat disebabkan oleh imago yang
menyerang tepat pada masa berbunga, sedangkan nimpa terlihat merusak secara
nyata setelah pada instar ketiga dan seterusnya (Kalshoven, 1981)
Walang sangit merupakan hama yang menghisap cairan bulir pada fase
masak susu. Kerusakan yang ditimbulkan walang sangit menyebabkan beras
berubah warna, mengapur serta hampa.Hal ini dikarenakan walang sangit
menghisap cairan dalam bulir padi. Fase tanaman padi yang rentan terserang
hama walang sangit adalah saat tanaman padi mulai keluar malai sampai fase
masak susu.

670
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hilangnya cairan biji menyebabkan biji padi menjadi mengecil tetapi jarang
yang menjadi hampa karena walang sangit tidak dapat mengosongkan seluruh isi
biji yang sedang tumbuh. Jika bulir yang matang susu tidak tersedia, walang sangit
juga masih dapat menyerang atau menghisap bulir padi yang mulai mengeras
dengan cara mengeluarkan enzim yang dapat mencerna karbohidrat. Dalam
prosesnya walang sangit mengkontaminasi biji dengan mikroorganisme yang
dapat mengakibatkan biji berubah warna dan rapuh.sKerusakan dalam fase ini
lebih bersifat kualitatif. Pada proses penggilingan, bulir-bulir padi akan rapuh dan
mudah patah. Walang sangit juga bisa menjadi vektor patogen Helminthosporium
oryzae (Rismunandar, 2003).
STRATEGI PENGENDALIAN HAMA WALANG SANGIT
Kehidupan dan perkembangan serangga hama tanaman dipengaruhi oleh
banyak faktor, meliputi faktor dalam yang dimiliki jenis serangga itu sendiri dan
faktor luar yaitu kondisi lingkungan tempat serangga hama melakukan
aktivitasnya. Faktor dalam kondisi lingkungan meliputi kemampuan berkembang
biak, sifat mempertahankan diri dan umur imago. Sedangkan faktor luar kondisi
lingkungan meliputi iklim (suhu), kelembaban, cahaya, curah hujan dan angin
(Rukmana dan Sugandi, 1997).
Pengendalian walang sangit dapat dilakukan menurut para ahli dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain : (1) pengendalian walang sangit
dapat dilakukan dengan pengasapan dengan menggunakan daun tumbuhan
mercon dapat mengurangi populasi walang sangit, (2) kapur barus dapat menolak
kedatangan walang sangit karena bau yang dipancarkan oleh bahan tersebut
sehingga kerusakan padi dapt dihindari. Cara pengendalian tersebut dapat
mengurangi kerusakan gabah padi yang disebabkan walang sangit berkisar 15 –
20 %, (3) mengendalikan gulma, baik yang ada di sawah maupun yang ada di
sekitar pertanaman, (4) meratakan lahan dengan baik dan memupuk tanaman
secara merata agar tanaman tumbuh seragam, (5) menangkap walang sangit
dengan menggunakan jaring sebelum stadia pembungaan, (6) mengumpan
walang sangit dengan ikan yang sudah busuk, claging yang sudah rusak, atau
dengan kotoran ayam dan (7) menggunakan insektisida bila diperlukan dan
sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari ketika walang sangit berada di
kanopi.
Dengan mengendalikan keberadaan walang sangit sejak dini, sejak
pertanaman padi memasuki periode masak susu, maka produksi gabah akan
dapat diselamatkan kuantitas dan kualitasnya. Pertanaman padi yang bebas dari
serangan walang sangit akan menghasilkan produksi gabah yang bermutu baik
dan produktifitas yang optimal. Dengan pengendalian yang optimal terhadap
walang sangit akan dihasilkan beras yang baik, dengan ukuran dan beras bernas,
berwarna putih normal, beraroma wangi khas beras dan berasa enak/tidak pahit.

671
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN
1. Luas serangan terbesar walang sangit di Sumatera Utara terdapat di
kabupaten Nias Selatan dengan serangan sebesar 255.0 ha terdiri dari
serangan ringan (175.0 ha), dan serangan sedang (80.0 ha).
2. Walang sangit merupakan hama pengisap cairan bulir pada fase masak susu.
Saat pengendalian walang sangit sebaiknya sejak dini, yaitu saat pertanaman
padi memasuki periode masak susu, dengan demikian maka produksi gabah
akan dapat diselamatkan secara kuantitas dan kualitasnya.
3. Pengendalian hama walang sangit pada tanaman padi dapat dilakukan
dengan cara sanitasi lingkungan, kultur teknik, biologi, dan secara kimia .

DAFTAR PUSTAKA

Baehaki, 1992 Dasar – dasar Serangga Bagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian,
IPB Bogor
Dinas Pertanian Propinsi Sumatera Utara, Perkembangan Serangan OPT pada
Tanaman Padi dan Palawija di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2014
Domingo, L.T., E.A. Heinrichs and F. G Medrano, 1982.Life history of rice bug
Leptocoxa oratorius F. IRRN No. 6 IRRI, Los Banos Philippines.
Harahap dan Tjahyono, 1997. Hama dan Penyakit Utama Padi di Lahan Pasang
Surut. Monograf
Kalshoven, L.G.E. Pest of Crops in Indonesia. Revised translated by P.A Van Der
Laan, University of Asmesterdam with assintance ogf G. H.L. Rothschild,
CSIRO, Canberra. PT. Ichtiar Baru – Vanhoeve, Jakarta 1981
Rismunandar.2003.Gejala Hama Walang Sangit. Online.http:/ /nusantarastore
.com/herbal-samarinda/search/gejala-gejala-hama-walang-sangit. Diakses 8
Juni 2012.
Rukmana dan Sugandi, 1997 Hama Tanaman dan Teknik Pengendaliannya
penerbit Kanisius Yogyakarta
Siwi, S.S., A Yassin and D. Sukarna. 1981. Slender rice bugs and its ecology and
economic threshold. Syiposium on Pest Ecology and Pest management,
Bogor Nov 30 – Dec 2 1981.
Suharto, H dan D.S. Damardjati 1988. Pengaruh waktu serangan walang sangit
terhadap hasil dan mutu hasil padi IR 36. Reflektor 1 (2) :5 -28
Willis, M. 2001. Hama dan Penyakit utama padi di lahan pasang surut. Monograf.
Badan litbang pertanian. Balittra. Banjarbaru.

672
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

EKSPLORASI Sarcocystis singaporensis PADA LAHAN PADI SAWAH


DI KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

Sulaiman Ginting1, S. Edy Sumantri1, Asmanizar1, dan Fausziah Damanik2


1
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Islam
Sumatera Utara
Jl. Karya Wisata, Gedung Johor, Medan 20144
2
Alumni Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara
Email: sulaiman.ginting@gmail.com

ABSTRAK

Sarcocystis singaporensis (Zaman and Colley) adalah protozoa parasit


yang berpotensi untuk digunakan sebagai rodentisida biologis dalam pengendalian
hama tikus sawah (Rattus argentiventer). Protozoa ini tersebar di negara-negara
di Asia Tenggara. Secara alami protozoa ini memiliki inang sebagai tempat hidup
dan berkembang biak pada tikus genus Rattus dan Bandicota serta ular sawah
kembang (Python reticulatus). Kabupaten Langkat merupakan endemik S.
singaporensis. Penelitian dilaksanakan dengan mengambil sampel ular P.
Reticulatus dan Tikus R. argentiventer di derah Kabupaten Langkat Sumatera
Utara, kemudian diperiksa di laboratorium BPTP Instalasi Kebun Percobaan Pasar
Miring pada Maret hingga Juni 2006. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
keberadaan S. singaporensis di Kabupaten Langkat dengan cara ekstraksi dan
identifikasi S. singaforensis pada kotoran ular sawah P. reticulatus dan juga Tikus
sawah yang terinfeksi secara alami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 11 ekor
dari 25 ekor P. reticulatus yang diamati menghasilkan sporosis S. singaporensis
pada kotorannya dengan jumlah 10.000–3.200.000 sporosis, juga diketahui
mampu menginfeksi Tikus sawah secara alami yang dibuktikan dengan
ditemukannya sarcocyst pada bagian otot (abdomen dan toraks). Dari 35 ekor
sampel Tikus yang diamati, 48,57% terinfeksi S. singaporensis secara alami.

Kata kunci:Sarcocystis singaporensis, Python reticulatus, tikus, padi sawah

PENDAHULUAN

Tikus merupakan salah satu hama penting pada berbagai jenis tanaman
pertanian, peternakan dan perumahan. Teknik pengendalian hama Tikus yang
paling sering dilakukan adalah penggunaan rodentisida kimiawi. Namun
penggunaan rodentisida kimia tersebut sering menimbulkan pengaruh buruk
terhadap musuh alami, hewan peliharaan dan kehidupan liar (Priyambodo, 1995;
Buckle, 1999).

Rodentisida biologis berbahan aktif protozoa parasit S. singaporensis


Zaman and Colley merupakan salah satu alternatif pengganti rodentisida kimia
(Khopraset dkk., 2003). Di samping efektif dalam mengendalikan hama Tikus,
rodentisida biologis ini tidak berbahaya bagi organisme bukan sasaran, karena S.
singaporensis bersifat selektif yang hanya dapat membunuh Tikus dari genus
Rattus dan Bandicota (Jakel dkk., 1996; Jakel dkk. 1999). Dalam perbanyakannya,

673
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

S. Singaporensis memerlukan dua inang yang spesifik yaitu ular sawah kembang
Python reticulatus dan Tikus (Hafner dan Frank, 1984; Jakel dkk., 1996).

Penggunaan S. singaporensis sebagai agensia hayati pengendali hama


Tikus belum banyak diteliti di Indonesia. Oleh karena itu berbagai penelitian
tentang status keberadaan dan efektifitas protozoa tersebut sebagai rodentisida
biologis di Indonesia sangat diperlukan. Sulaiman dan Jakel (2005 a) telah
menemukan S. singaporensis di dalam kotoran P. reticulatus yang ditangkap dari
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Oleh karena Kabupaten Langkat memiliki
populasi P. reticulatus yang tinggi dan area pertaniannya banyak terserang hama
Tikus, maka Kabupaten Langkat diduga sebagai daerah yang sesuai bagi
perkembangan S. Singaporensis (Sulaiman. 2004).Penelitian bertujuan untuk
mengetahui status keberadaan S. singaporensis di Kabupaten Langkat melalui
ekstraksi dan identifikasi sporocyst S. singaporensis dari kotoran P. reticulatus
yang berasal dari Kabupaten Langkat dan mengidentifikasi sarcocyst S.
singaporensis yang berasal dari otot Tikus yang ditangkap dari Kabupaten
Langkat.

BAHAN DAN METODE

Identifikasi Sporocyst dari kotoran ular

Sampel kotoran ular yang digunakan diambil dari ular P. reticulates yang
ditangkap di Kabupaten Langkat pada awal Maret 2006 pada lima kecamatan
yaitu, Sei Wampu, Hinai, Stabat, Tanjung Pura, dan Gebang. Ular dipelihara dalam
husbandry di Kebun Percobaan Pasar Miring selama ± 1 minggu (Gambar 1).
Jumlah ular yang dijadikan sampel adalah 25 ekor dengan ukuran panjang rata-
rata 150-300 cm. Ular-ular tersebut dikelompokkan menjadi lima kelompok
berdasarkan lokasi penangkapannya, dan dari tiap kelompok diambil kotorannya
sebanyak 3g sebagai sampel untuk digunakan pada perlakuan selanjutnya.

a b

Gambar 1. Kotoran ular (a) dan ular P. reticulates(b)

Gambar 1. Kotoran ular (a) dan ular P. reticulates(b)

674
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Perlakuan sampel kotoran di laboratorium

Pemeriksaan sporocyst. singaporensis pada sampel kotoran ular dilakukan


mengikuti metode Sulaiman dan Jakel (2005 b). Sampel kotoran ular dibawa ke
laboratorium yang selanjutnya diencerkan dengan menggunakan air steril
kemudian disaring dengan saringan kawat ukuran 100 mesh. Hasil saringan
tersebut di-cetrifuge (3000 rpm) selama sepuluh menit. Suspensi yang dihasilkan
ditambahkan dengan gradient kemudian di-centrifuge kembali (3000 rpm) selama
30 menit dan diamati dibawah mikroskop untuk mengetahui ada tidaknya
sporocystS. singaporensis. Sporocyst yang ditemukan kemudian dihitung dengan
menggunakan haemocytometer.

Identifikasi sarcocyst dari sampel Tikus

Sampel Tikus yang digunakan adalah R. argentiventer dewasa yang


ditangkap dari Kabupaten Langkat. Jumlah sampel Tikus yang digunakan adalah
35 ekor yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan lokasi
penangkapannya, yang diambil dari lima kecamatan yaitu, Sei Wampu, Hinai,
Stabat, Tanjung Pura, dan Gebang. Sampel Tikus yang diperoleh dari lapangan
selanjutnya dibius dengan cara menuangkan ether kedalam wadah tertutup yang
telah dilapisi tisu kemudian Tikus dimasukkan kedalam wadah tersebut dan
dibiarkan beberapa menit hingga Tikus mati dan selanjutnya dicuci bersih dengan
air yang mengalir. Kulit Tikus pada bagian toraks dan abdomen kemudian dibuang
dengan menggunakan pisau bedah (Gambar 2). Bagian luar dari kedua bagian
tersebut diamati di bawah mikroskop untuk melihat ada tidaknya sarcocyst dan
dihitung jumlahnya (Sulaiman dan Jakel, 2005 b).

Gambar 2 . Sampel tikus R. argentiventer yang telah dibedah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Sporocyst dari kotoran ular

Hasil pengamatan identifikasi sporocyst dari kotoran ular P. reticulatus


menunjukkan bahwa 11 dari 25 kotoran ular yang diuji mengandung sporocyst
dengan jumlah berbeda mulai dari 100 x 10 3 hingga 3,2 x 106 (Tabel 1).

675
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Keberadaan Sporocyst dalam kotoran ular P. reticulatus di Kabupaten


Langkat pada pengampilan sampel. Maret 2006
Lokasi Nomor
Sporocyst Jumlah sporocyst
sampel
Sampel 1 (+) 200 x 10 3
Sampel 2 (-) -
Sei Wampu Sampel 3 (-) -
Sampel 4 (+) 500 x 103
Sampel 5 (-) -
Sampel 1 (-) -
Sampel 2 (-) -
Hinai Sampel 3 (-) -
Sampel 4 (-) -
Sampel 5 (-) -
Sampel 1 (+) 500 x 103
Sampel 2 (-) -
Stabat Sampel 3 (-) -
Sampel 4 (-) -
Sampel 5 (+) 1,1 x 106
Sampel 1 (+) 400 x 103
Sampel 2 (+) 400 x 103
Tanjung Pura Sampel 3 (+) 500 x 103
Sampel 4 (+) 3,2 x 106
Sampel 5 (+) 2,1 x 106
Sampel 1 (-) -
Sampel 2 (-) -
Gebang Sampel 3 (+) 100 x 103
Sampel 4 (-) -
Sampel 5 (+) 700 x 103
Keterangan : (+) = Mengandung sporocyst, (-) = Tidak mengandung sporocyst
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa jumlah sporocyst terbanyak terdapat pada
ular yang berasal dari Tanjung Pura yaitu mencapai 3,2 x 10 6, dan jumlah
sporocyst terkecil pada ular yang berasal dari Gebang, yaitu 100 x 10 3 . Dari data
–data pada Tabel 1, menunjukkan bahwa 44% (11/25x100%) kotoran ular P.
reticulatus yang ditangkap dari berbagai lokasi di Kabupaten Langkat mengandung
sporocystsarcocystis. Hal ini memberikan indikasi bahwa Tikus di daerah lokasi
sampel telah terinfeksi oleh Sarcocystis secara alami di lapangan sedangkan
sampel yang negatif (-), ini menunjukkan sampel-sampel tersebut tidak
mengandung sporocyst sarcocystis karena ular-ular tersebut tidak memakan tikus
yang terinfeksi oleh sarcocystis.

Sporocyst yang ditemukan di dalam kotoran ular P. reticulatus yang berasal


dari Kabupaten Langkat berbentuk bulat, dindingnya memiliki 2 lapisan dan di
dalamnya terdapat 4 buah sporozoites. Hal ini sesuai dengan pendapat Zaman

676
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dan Colley(1975) serta Jakel dkk.(1997) yang melaporkan bahwa salah satu ciri
khas dari S.singaporensis adalah sporocyst tersebut memiliki 4 buah sporozoites.

Identifikasi Sarcocyst dari sampel tikus

Hasil pengamatan identifikasi Sarcocyst dari sampel Tikus yang berasal


dari beberapa Kecamatan di Kabupaten Langkat menunjukkan bahwa terdapat
Sarcocystpada otot tikus (Tabel 2).

Tabel 2. Keberadaan Sarcocyst di otot tikus yang terdapat di Kabupaten Langkat


Posisi
Kecamatan No Sampel Abdomen Toraks Jumlah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sei Wampu 1. + (2) + (4) - - 6
2. + (1) + (4) + (1) + (2) 8
3. - - - - 0
4. - - - - 0
5. - - - - 0
6. - - - - 0

Hinai 1. + (3) + (9) + (9) + (7) 22


2. - - - - 0
3. - - - - 0
4. - - - - 0
5. - - - - 0

Stabat 1. - - - - 0
2. - - - - 0
3. - - - - 0
4. - - - - 0
5. - - - - 0

Tanjung Pura 1. - + (1) + (2) + (3) 6


2. + (23) + (27) + (40) + (26) 116
3. + (40) + (30) + (37) + (40) 137
4. - - - - 0
5. - - - - 0
6. + (28) + (15) + (8) + (21) 62
7. + (11) + (12) + (2) - 25
8. - - - - 0
9. - - - - 0
10. + (3) + (2) + (4) + (2) 11
Gebang 1. + (13) + (17) + (12) + (7) 49
2. + (10) + (7) + (7) + (7) 29
3. + (20) + (30) + (17) + (15) 82
4. + (10) + (15) + (2) + (6) 33
5. - - - - 0
6. - + (4) + (3) - 7
7. + (11) + (10) + (15) + (13) 49
8. + (5) + (7) + (7) + (5) 24
9. + (4) + (5) + (7) + (6) 24

Keterangan: (+) = Mengandung Sarcocyst, (-) = Tidak mengandung Sarcocyst

677
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pada Tabel 2, menunjukkan bahwa di Kecamatan Sei Wampu dari 6 ekor


tikus yang diamati 2 ekor diantaranya terinfeksi Sarcocyst (berkisar 33,33%), di
Kecamatan Hinai, Tikus yang terinfeksi Sarcocyst juga mencapai 16,66%
sedangkan di Kecamatan Stabat tidak ada satu ekor Tikus pun yang terinfeksi
Sarcocyst. Tikus yang paling banyak mengandung Sarcocyst adalah yang berasal
dari Kecamatan Gebang 88,88% diikuti di KecamatanTanjung Pura sebesar 60%.

KESIMPULAN

1. Parasit Sarcocystis singaporensis terdapat secara alami pada tikus R.


argentiventer dan ular P. reticulates yang diperoleh pada beberapa kecamatan
di Kabupaten Langkat.
2. Penemuan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam pengembangan
dan pembiakan massal dalam pemanfaatan S. singaporensisdalam upaya
pengendalian hama Tikus secara biologi di Sumatera Utara, Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Buckle, A.P. 1999. Rodenticides – their role in rodent pest management in tropical
agriculture. In Ecologically Based Management of Rodent Pests. G.R.
Singleton, A.H. Lyn, L. Herwing and Z. Zhang (eds.). ACIAR Monograph,
Canberra, p. 163-177.
Hafner, U. and W. Frank. 1984. Host specificity and host range of the genus
Sarcocystis in three snake-rodent life cycles. Zentralblatt fuer Bakteriologie,
Mikrobiologie und Hygiene Originale –A. 256: 296-299.
Jakel, T., H. Burgstaller and W. Frank. 1996. Sarcocystis singaporensis: Studies
on host specificity, pathogenicity, and potential use as a bio-control agent
of wild rats. Journal of Parasitology 82: 280-287.
Jakel, T., Y. Khoprasert, I. Sorger, D. Kliemt, V. Seehabutr, K. Suasa-ard and S.
Hongnark. 1997. Sarcosporidiasis in rodents from Thailand. Journal of
Wildlife Diseases 33: 860-867.
Jakel, T., Y. Khoprasert, S. Endepols, C. Archer-Baumann, K. Suasa-ard, P.
Promkerd, D. Kliemt, P.Boonsong and S. Hongnark. 1999. Biological
control of rodents using Sarcocystis singaporensis. International Journal for
Parasitology 29: 1321-1330.
Khopraset, Y., Hongnark, S. and Jakel, T. 2003. Field trials to assess the
effectiveness of the biocontrol agent Sarcocystis singaporensis in
protecting ricefields against rodent damage. Special Report, Department of
Agriculture Thailand and German Technical Cooperation. Bangkok, 14 pp.
Priyambodo, S. 1995. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Penerbit Swadaya,
Jakarta.
Sulaiman, G. 2004. Potential use of biological rodenticide (Sarcocystis
singaporensis) in Sumatra, Indonesia. Workshop on Commercialization of
Bio-pesticides in Southeast Asia, Bangkok 24-26 November 2004. German
Technical Cooperation-GTZ, 22 pp.
Sulaiman, G. dan Jakel, T.2005a. Penemuan Sarcocystis singaporensis, protozoa
parasit pengendali hama tikus di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian
Pertanian. Volume 24, Nomor 1, 57-60.

678
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sulaiman, G. and Jakel, T.2005 b. The potential use of Sarcocystis singaporensis


as biological rodenticide in North Sumatra, Indonesia. Program and
Abstract of the 1st International Conference of Crop Security, 20 th-
22ndMalang, Indonesia, p.74.
Zaman, V. and F.C. Colley. 1975. Light and electron microscopic observations of
the life cycle of Sarcocystis orientalis sp. n. in the rat (Rattus norvegicus)
and the Malaysian reticulated python (Python reticulatus). Zeitschrift fuer
Parasitenkunde 47: 169-185.

679
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI DISPLAY VARIETAS


DENGAN PENDEKATAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) DI
KABUPATEN TAPANULI TENGAH, SUMATERA UTARA

Akmal dan Dorkas Parhusip

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H. Nasution No. 1B Medan Sumatera Utara
Email. akmal.tanjung@yahoo.co.id

ABSTRAK

Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu penghasil padi di


Sumatera Utara dengan luas 16.149 hadengan produktivitas 4,26 t/ha
masihdibawah rata-rata produktivitas Sumatera Utara sebesar 4,89 t/ha. Masih
rendahnya produktivitas disebabkan belum menggunakan komponen teknologi
diantaranya penggunaan varietas unggul baru, oleh sebab itu upaya peningkatan
produktivitas perlu dilakukan. Kegiatan dilakukan, di Kelurahan Hutabalang
Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah dengan agroekosistem lahan
sawah irigasi dataran rendah pada bulan Agustus sampai Desember 2013. Tujuan
kegiatan adalah untuk mendapatkan varietas yang beradaptasi baik dan
berproduksi tinggi. Kajian display varietas menggunakan metoda pertanaman
observasi dengan varietas yang diuji adalah Inpari 3, Inpari 4, Inpari 14, Inpari 15,
Inpari 16 dan Mekongga, data dianaisis secara deskriptif. Hasil ujii varietas
menunjukkan bahwa varietas Inpari 3, Inpari 4, dan Inpari 14 merupakan varietas
yang beradaptasi baik di Kelurahan Hutabalang dengan produktivitas sebesar 8,46
t/ha (GKP); 7,29 t/ha (GKP) dan 6,84 t/ha (GKP). Terjadi peningkatan produksi
69,2% dengan penggunaan varietas unggul baru Inpari 3 dan 45,8% dengan
varietas Inpari 4 dan 36,8% dengan Inpari 14 dibanding varietas eksisting
Ciherang dengan tingkat produksi hanya 5 t/ha (GKP).
Kata Kunci: PTT, varietas unggul, padi sawah, produktivitas
PENDAHULUAN

Kabupaten Tapanuli Tengah berada di wilayah pantai Barat Sumatera


Utarayang terletak pada 1 °11′00″- 2°22′00″ Lintang Utara dan 98°07′00″ - 98°12′00″
Bujur Timur dengan ketinggian tempat 0–1.266 m dpl. Daerah ini memiliki
potensisebagai salah satu penghasil padi di Sumatera Utara, dengan luas lahan
baku sawah sebesar 16.149 ha terdiri dari sawah irigasi setengah teknis 3.838 ha,
irigasi sederhana 3.500 ha, irigasi desa 3.640 ha, tadah hujan 4.195 ha, dan rawa
lebak 976 ha (BPS Kabupaten Tapanuli Tengah, 2012). Pada tahun 2012, luas
panen mencapai 25.256 ha, produksi sebesar 107.655 ton, dan produktivitas 4,26
t/ha(BPS Kabupaten Tapanuli Tengah, 2012). Rata-rata produktivitas padi di
daerah ini masih dibawah rata-rata produktivitas padi Sumatera Utara sebesar
4,89 t/ha (BPS SumateraUtara, 2012), sementara itu produktivitas yang dapat
dicapai dari berbagai penelitian dengan menggunakan teknologi inovatif mampu
mencapai kisaran 7 sampai 8 t/ha. Berdasarkan kenyataan ini menunjukkan
bahwa produksi padi di daerah ini berpeluang besar untuk dapat ditingkatkan.

680
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Salah satu usaha pendekatan yang dilakukan adalah dengan pengelollaan


tanaman terpadu (PTT) dalam kegiatan ini dilakukan perakitan paket teknologi
yang sinergis antar komponen teknologi yang dilakukan secara partisipatif dengan
petani serta bersifat spesifik lokasi termasuk penggunaan varietas unggul
(Suryana, 2008).

Penggunaan varietas-varietas unggul yang sudah dilepas secara terus


menerus secara intensif cenderung akan mengalami kelemahan-kelemahan, oleh
karena itu penggantian varietas lama dengan varietas baru perlu dilakukan dengan
spesifikasi diantaranya dar aspek potensi hasil, tingkat ketahanan terhadap
organisme pengganggu tanaman (OPT), umur panen, rasa nasi, dan harga jual.

Untuk memberikan alternatif pilihan varietas maka uji beberapa varietas di


suatu tempat perlu dilakukan. Hal ini sangat berkaitan dengan potensi suatu
varietas akan memberikan hasil yang berbeda pada keragaaman tempat dan iklim
yang berbeda. Selain penggunaan varietas unggul baru, penggunaan benih
bermutu (bersertifikat) dalam pengelolaan tanaman terpadu padi sawah dapat
meningkatkan hasil (Zaini, dkk., 2004). Peningkatan produktivitas padi dapat
diupayakan melalui penggunaan varietas unggul baru (Hapsah (2005). Potensi
hasil padi sawah berdasarkan beberapa hasil penelitian adaptasi varietas unggul
mampu mencapai 10 t/ha dengan penerapan teknologi inovatif (Balitpa, 1996; dan
Badan Litbang Pertanian, 2009).

Varietas sebagai salah satu komponen produksi telah memberikan


sumbangan sebesar 56%, oleh karena itu salah satu titik tumpu utama
peningkatan produksi padi adalah perakitan dan perbaikan varietas unggul baru
(Balitpa, 1996). Menurut Imran dkk., (2003) upaya untuk terus menemukan dan
mengembangkan varietas yang lebih unggul dan mempunyai daya adaptasi yang
lebih baik terhadap lingkungan tumbuh tertentu (spesifik) merupakan salah satu
kebijakan yang tepat untuk pengembangan usahatani padi yang produktif, efektif
dan efisien di masa yang akan datang. Makarim dan Las (2005) mengemukakan
bahwa untuk mencapai hasil maksimal dari penggunaan varietas baru, diperlukan
lingkungan tumbuh yang sesuai agar potensi hasil dan keunggulannya dapat
terwujudkan

BAHAN DAN METODE

.Display Varietas Unggul Baru dilaksanakan di Kelurahan Hutabalang,


Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah pada bulan Agustus sampai
Desember 2013. Lokasi ini berada pada koordinat 1°58ꞌ453″ Lintang Utara dan
98°87ꞌ305″ Bujur Timur dengan ketinggian tempat 10 m dpl dengan jenis tanah
ultisol. Enam varietas unggul baru terdiri dari Inpari 3, Inpari 4, Inpari 14, Inpari
15, Inpari 16, dan Mekongga ditanam pada luasan 1 ha dengan masing-masing
varietas pada luasan 0,16 ha.

Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna dengan cara dibajak 2 kali,


digaru kemudian diratakan. Untuk meningkatkan kesuburan tanah, pada saat
pengolahan tanah diberikan pupuk organik berupa kotoran ayam sebanyak 2

681
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ton/ha. Bibit padi berumur 15 hari setelah semai (HSS), ditanam 2 bibit/rumpun
menggunakan sistem Jajar Legowo (Jarwo) 4:1 dengan jarak tanam (40 cm)x
(20x10 cm). Pemeliharaan lainnya seperti pengendalian gulma dilakukan secara
manual tangan dilakukan sesuai dengan keadaan gulma, pemupukan yang
diberikan dengan dosis sesuai hasil analisa tanah menggunakan alat bantu PUTS
dengan dosis 250 kg Urea/ha, 75 kg SP 36/ha dan 50 kg KCL/ha, pupuk dasar
(1/3 dosis Urea + seluruh dosis SP 36) diberikan pada umur 7 hari setelah tanam
(HST), pupuk susulan I (1/3 dosis Urea + ½ dosis KCL) diberikan pada umur 30
HST dan pupuk susulan II (1/3 dosis Urea + ½ dosis KCL) diberikan pada umur
50 HST sesuai dengan petunjuk teknis Pelaksanaan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (Puslitbangtan, 2007), sedangkan pengendalian hama dan penyakit
dilakukan menggunakan prinsif PHT. Panen dilakukan apabila penampilan
tanaman sudah masak fisiologis atau penampakan gabah padi 95% menguning,
cara panen dilakukan dengan menggunakan sabit bergerigi lalu dirontok dengan
menggunakan power tresher, lalu dimasukkan kedalam goni

Display Varietas Unggul Baru padi sawah dilaksanakan pada lahan petani
kooperator dengan luasan 1 ha berdekatan dengan pendekatan pengelolaan
tanaman terpadu (PTT) padi. Teknologi yang dilaksanakan sesuai dengan
komponen teknologi padi sawah dengan pendekatan pengelolaan tanaman
terpadu (BPTP Sumut, 2010 dan Badan Litbang, 2009) disajikan pada (Tabel 1).

Tabel 1. Inovasi teknologi yang dilaksanakan di Display / Uji Varietas Unggul Baru
di Kelurahan Hutabalang, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli
Tengah Tahun 2013
No. Pengelolaan Komponen teknologi
1. Benih
a. Varietas Varietas Unggul Baru Inpari 3, 4, 14, 15,
16 dan Mekongga
b. Pemakaian benih 25 kg/ha
c. Perlakuan benih Seleksi benih dengan cara diaduk di
dalam rendaman air garam 1 sendok/10
liter air, benih yang merapung dibuang,
selanjutnya benih dicuci bersih, direndam
dengan air bersih selama 24 jam,
diperam ditempat yang teduh selama 24
jam
2. Persemaian
a. Pengolahan tanah Sempurna sampai halus melumpur
b. Bedengan Ukuran lebar 1,2 m dan tinggi 0,3 m
c. Semai benih Semai jarang 50 g/m2
3. Pengolahan Tanah Sempurna 2 kali bajak dan 1 kali garu,
permukaan lahan rata, dibuat parit
keliling
4. Penanaman
a. Umur bibit 15-21 hari setelah sebar
b. Sistem tanam Legowo 4:1

682
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

c. Jarak tanam 20 cm x 10 cm, menggunakan caplak


d. Jumlah bibit 1-2 batang per lubang tanam
5. Pengelolaan hara
a. Pemberian bahan Pupuk kotoran ayam 2 t/ha ditabur saat
organik pengolahan tanah
b. Pemupukan Dasar (7 N, P, K, berdasarkan analisis status hara
HST) tanah awal dengan Perangkat Uji Tanah
Sawah (PUTS)
c. Pemupukan susulan I N berdasarkan Bagan Warna Daun
(30 HST) (BWD)
d. Pemupukan susulan II N berdasarkan Bagan Warna Daun
(50 HST (BWD)
6. Pengendalian gulma Mulai umur 2 minggu disiang dengan
tangan

7. Pengelolaan Hama Sesuai tingkat serangan Organisme


Terpadu Pengganggu Tanaman (OPT)
8. Panen Panen tepat waktu, disabit, dikumpul dan
dirontok dengan power tresher

Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, anakan maksimum,


anakan produktif, dan panjang malai, dan hasil ubinan sebanyak 3 sample per
varietas. Data agronomis ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status hara tanah


Untuk menentukan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi, sebelum
pengolahan tanah dilakukan analisa tanah menggunakan alat bantu PUTS.
Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit yang diambil secara acak
dari 10 titik. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kadar Nitrogen (N) rendah,
Fosfor (P) sedang, Kalium (K) sedang dan pH 5-6 (agak masam), seperti disajikan
pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisa tanah, pemupukan spesifik lokasi bila
menggunakan pupuk tunggal direkomendasilkan dengan dosis 250 kg Urea/ha, 75
kg SP-36/ha, dan 50 kg KC/ha.
Tabel 2. Hasil analisis tanah sawah dan rekomendasi pemupukan berdasarkan
PUTS pada kegiatan display uji VUB padi.Kelurahan Hutabalang,
Kecamatan Badiri, Tapanuli Tengah.,2013.
Rekomendasi Anjuran (kg/ha)
Hasil Analisis Kriteria
Urea SP-36 KCl
Kadar N Rendah 250 - -
Kadar P Sedang - 75 -
Kadar K Sedang - - 50
pH 5-6 (agak masam)

683
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Keragaan agronomis
Keragaan tinggi tanaman, anakan maksimum, anakan produktif, dan
panjang malai disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Keragaan agronomis (tinggi tanaman, anakan maksimum, anakan
produktif, dan panjang malai) display VUB Padi di Kelurahan Hutabalang
Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. MH 2013
Tinggi Anakan Anakan Panjang
No Varietas tanaman maksimum produktif malai
(cm) (batang/rumpun) (batang/rumpun) (cm)
1. Inpari 3 116,7 20,3 18,7 25,5
2. Inpari 4 112,3 22,3 16,7 26,3
3. Inpari 14 106,7 22,0 16,0 24,0
4. Inpari 15 110,3 18,3 13,7 25,3
5. Inpari 16 116,3 24,7 15,0 24,0
6. Mekongga 113,7 19,0 15,7 24,8

Tinggi tanaman secara rata-rata dari enam varietas yang diuji berkisar
antara 106,7-116,7, dimana varietas Inpari 3 memberikan tinggi tanaman tertinggi
(116,7 cm); diikuti oleh Inpari 16 (116,3 cm), Mekongga (113,7 cm), Inpari 4 (112,3
cm), tinggi tanaman paling rendah adalah varietas Inpari 14 yaitu 106,7 cm.
Tampilan tinggi tanaman pada pengkaian inilebih tinggi dibanding potensi yang
dimilikinya berdasarkan deskripsi (Jamil, A. dkk., 2012).
Terhadap parameter jumlah anakan maksimum berkisar antara 18,3-24,7
batang/rumpun, dimana jumlah anakan maksimum terbanyak diperoleh pada
varietas Inpari 16 (24,7 batang/rumpun); selanjutnya Inpari 4 (22,3
batang/rumpun), Inpari 14 (22,0 batang/rumpun); dan Mekongga (19,0
batang/rumpun), sedangkan varietas Inpari 15 mempunyai jumlah anakan
maksimum paling sedikit; yaitu 18,3 batang/rumpun. Sedangkan untuk parameter
jumlah anakan produktif per rumpun, varietas Inpari 3 mempunyai anakan
produktif terbanyak yaitu 18,7 batang/rumpun, selanjutnya varietas Inpari 4 (16,7
batang/rumpun), Inpari 14 (16,0 batang/rumpun), Mekongga (15,7
batang/rumpun), Inpari 16 (15,0 batang/rumpun) dan jumlah anakan produktif
paling sedikit diperoleh pada varietas Inpari 15, yaitu 13,7 batang/rumpun.
Rata-rata panjang malai dari keenam VUB berkisar antara 24,0-26,3 cm,
dimana varietas Inpari 4 mempunyai malai terpanjang (26,3 cm); selanjutnya
Inpari 3 (25,5 cm); Inpari 15 (25,3 cm); Mekongga (24,8 cm), sedangkan malai
paling pendek ditunjukkan oleh varietas Inpari 14 dan 16, yaitu 24,0 cm.

Komponen hasil dan hasil

Keragaan komponen hasil dan hasil gabah disajikan pada Tabel 4. Rata-
rata gabah isi/malai dari keenam varietas yang diuji berkisar antara 122,7-176,3
butir/malai, dimana gabah isi terbanyak didapat pada varietas Inpari 3 (176,3
butir/malai); selanjutnya varietas Inpari 4 (168,0 butir/malai), Mekongga (165,0

684
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

butir/malai), Inpari 16 (154,0 butir/malai) dan Inpari 14 (151,0 butir/malai),


sedangkan terendah dimiliki oleh varietas Inpari 15 yaitu 122,7 butir.
Tabel 4. Keragaan agronomis (gabah isi, persentase gabah hampa, bobot 1.000
butir, dan Produksi GKP) display VUB Padi di Kelurahan Hutabalang,
Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. 2013
Jumlah Persentase Bobot
Gabah Gabah 1.000 Produksi Produksi
No Varietas
isi/malai Hampa/malai butir abah GKP (t/ha) GKG (t/ha)
(butir) (%) ( gram)
1. Inpari 3 176,3 6,0 25,6 8,46 7,62
2. Inpari 4 168,0 10,9 25,4 7,29 6,70
3. Inpari 14 151,0 14,3 25,8 6,84 6,44
4. Inpari 15 122,7 17,7 26,7 5,31 5,12
5. Inpari 16 154,0 12,1 25,7 6,66 6,23
6. Mekongga 165,0 10,7 28,9 5,58 5,19

Rata-rata persentase gabah hampa paling sedikit diperoleh pada varietas


Inpari 3; yaitu 6,0%; selanjutnya Mekongga (10,7%); Inpari 4 (10,9%); dan Inpari
16 (12,1%), persentase gabah hampa tertinggi didapat pada varietas Inpari 15
yaitu 17,7%. Bobot 1.000 butir gabah dari keenam varietas berkisar antara 25,4
g-28,9 g.
Hasil gabah kering panen yang diperoleh berdasarkan konversi ubinan
ubinan (2,0 x 5,0 m) dan dikurangi faktor koreksi 10%, menunjukkan bahwa hasil
gabah kering panen berkisar antara 5,31-8,46 t/ha, dimana varietas Inpari 3
memberikan hasil gabah kering panen tertinggi sebesar 8,46 t/ha kemudian diikuti
berturut-turut oleh varietas Inpari 4 (7,29 t/ha), Inpari 14 (6,84 t/ha), Inpari 16 (6,66
t/ha), dan Mekongga (5,58 t/ha), sedangkan hasil gabah kering panen paling
rendah didapat pada varietas Inpari 15 (5,31 t/ha).
Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan hasil gabah adalah
komponen hasil tanaman. Hal ini terbukti pada varietas Inpari 3 dan Inpari 4,
terjadi peningkatan nilai komponen pertumbuhan dan komponen hasil antara lain:
jumlah anakan maksimum, anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per
malai yang lebih baik. Kondisi ini menunjukkan kedua varietas ini beradaptasi baik
di lokasi pengkajian.
Peningkatan hasil ini juga menunjukkan bahwa penambahan pupuk Urea,
SP 36, dan KCl memberikan suplai hara N, P, dan K sesuai dengan kebutuhan
tanaman. Sedangkan petani sekitar yang menggunakan varietas Ciherang hanya
menggunakan pupuk Urea 150 kg/ha dan NPK Ponska 100 kg/ha.Tanaman akan
tumbuh dengan subur apabila unsur unsur hara yang dibutuhkan tersedia terutama
unsur hara makro seperti N, P dan K. Nitrogen berguna meningkatkan jumlah
anakan dan jumlah bulir per rumpun. Posfor memacu perkembangan akar, bunga
dan bulir, sedangkan unsur Kalium memperbaiki kualitas gabah dan memperkuat
jaringan tanaman (Rauf dkk., 2000)
Pemberian pupuk yang terlalu sedikit tidak dapat memberikan tingkat
produksi yang optimal, sedangkan kelebihan pemberian pupuk selain merupakan

685
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pemborosan, juga menganggu keseimbangan unsur unsur hara di dalam tanah


dan pencemaran lingkungan (Adiningsih dkk., 1989; dan Mursidi dkk., 1991)
KESIMPULAN
1. Varietas Inpari 3, Inpari 4, dan Inpari 14 merupakan varietas yang beradaptasi
baik di Kelurahan Hutabalang dengan masing-masing hasil gabah kering
panen(GKP) sebesar 8,46 t/ha; 7,29 t/hadan 6,84 t/ha.
2. Dari aspek penampilan tanaman ketiga varietas unggul baru tersebut juga
disenangi oleh petani, karena didukung oleh jumlah anakan produkstif dan
jumlah gabah isi per malai lebih tinggi dibanding varietas lainnya.
3. Terjadi peningkatan hasil 69,2% dengan penggunaan varietas unggul Inpari 3
dan 45,8% dengan penggunaan varietas Inpari 4 dan 36,8% dengan
penggunaan varietas Inpari 14 dibanding varietas eksisting Ciherang dengan
tingkat produksi sebesar 5 t/ha GKP.

DAFTAR PUSTAKA

Balitpa. 1996. Rencana strategis Balai Penelitian Tanaman Padi Tahun 1997-
2005. Balai Penelitian Tanaman Padi, Puslitbangtan, Badan Libang
Pertanian. Hal. 10-37.
BPS Provinsi Sumatera Utara. 2012. Sumatera Utara Dalam Angka 2012.
BPS Tapanuli Tengah. 2012. Tapanuli Tengah Dalam Angka.2012
Badan Litbang Pertanian. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
BPTP Sumut. 2010. Petunjuk Teknis Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian
Hapsah., 2005. Potensi, Peluang, dan Strategi Pencapaian Swasembada
Beras dan Kemandirian Pangan Nasional. Hlm. 55-70. Dalam B. Suprihatno dkk.
(Ed.) Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan.
Buku Satu. Balitbangtan, Badan Litbang Pertanian.
Jamil, A. Akmal, Siti Suryani, Sri Romaito, Nurmalia dan Mustafa Hutagalung,
2012. Deskripsi Varietas Unggul Padi. Badan Penelitian dan
pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Utara
Moersidi., Prawirasumantri, W. Hartatik, A. Pramudia dan M. Sudjadi, 1991.
Evaluasi kedua keperluan pospat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa.
Puslitbangtan, 2007. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah irigasi.
Pusat Penelitian Tanaman Pangan Bogor
Rauf., Syamsuddin T., Sri Rahayu. S, 2000. Peranan Pupuk NPK pada Tanaman
Padi. Loka Pengkajian Teknologi Koya Barat. Badan Libang Pertanian.
Suryana, A., Suyamto, Baehaki SE., S. Abdurachman., I. N. Widiarta., H. M. Toha.,
H. Sembiring., Hermanto., dan H. Kasim. 2008. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Sri Adiningsih, K., Moersidi. M Sudjadi, dan A.M Fagi, 1989. Evaluasi keperluan
fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya
Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat Bogor.
Zaini Z, Diah WS, dan M. Syam. 2004. Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah (Petunjuk Lapangan) Tahun 2004.

686
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DISPLAY PRODUKTIVITAS BEBERAPA VARIETAS


UNGGUL BARU PADI SAWAH

Helmi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl A.H. Nasution No.1 B Medan
Email: helmi_syahnur@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penggunaan varietas unggul yang cocok dan adaptif merupakan salah satu
komponen teknologi yang nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas
tanaman dan dapat dengan cepat diadopsi petani karena murah dan
penggunaannya lebih praktis. Karena keterbatasan pengetahuan petani akan
varietas yang cocok ditanam di lahannya, menyebabkan petani menggunakan
varietas-varietas unggul lama dan varietas lokal lainnya. Padahal, Badan Litbang
Pertanian telah banyak menghasilkan varietas-varietas unggul baru yang dapat
digunakan pada lahan sawah, namun penyebarannya dirasakan sangat lambat.
Untuk itu diperlukan upaya percepatan diseminasi agar penyebarannya sampai ke
pengguna. Pengkajian dilakukan di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang
Deras, Kabupaten Batubara. Bahan yang digunakan 6 varietas unggul baru yaitu
varietas (1). Inpari 3, (2). Inpari 10, (3). Inpari 14, (4). Inpari 15, (5). Inpari 16
dan (6). Mekongga. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: Display varietas
unggul baru padi, dapat memotivasi petani untuk menggunakan varietas unggul
baru dalam usahataninya.Penggunaan varietas unggul salah satu upaya dalam
meningkatkan produktivitas. Kegiatan display varietas menambah pemahaman
petani terhadap varietas unggul dan petani dapat memilih varietas yang adaptif
untuk diusahakan di usahataninya. Acara temu lapang merupakan suatu teknik
diseminasi yang baik bagi pemegang kebijakan dan petani untuk dapat
mengadopsi teknologi yang diterapkan dalam upaya peningkatan produktivitas.
Empat varietas yang mempunyai daya adaptasi dan potensi hasil tinggi yaitu
Inpari 3, Inpari 16, Inpari 15 dan Mekongga masing-masing produktivitasnya (8,70;
8,50; 833; 8,16, t/ha. Merupakan suatu peluang pertumbuhan baru untuk pilihan
bagi petani menggunakan Varietas yang potensi hasilnya tinggi di lahannya

Kata Kunci: Produktivitas, unggul, adopsi, varietas

PENDAHULUAN

Produksi padi terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan


penduduk yang terus bertambah. Kebutuhan beras nasional dewasa ini telah
menyentuh angka lebih dari 30 juta ton per tahun. Disisi lain, tantangan yang
dihadapi dalam pengadaan produksi padi semakin berat. Laju pertumbuhan
penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif masih tinggi menuntut
peningkatan produksi yang sinambung, sementara sebagian lahan sawah yang
subur telah beralih fungsi untuk usaha lainnya. Perubahan iklim global juga
menjadi ancaman bagi upaya peningkatan produksi pangan, khususnya padi.
Ancaman kekeringan dimusim kemarau dan kebanjiran dimusim hujan sudah

687
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

semakin sering melanda pertanaman petani. Naiknya permukaan air laut akibat
pemanasan global telah menyebabkan semakin meluasnya lahan salin yang
mengancam produksi padi (Departemen Pertanian, 2008).

Dari masalah tersebut di atas, salah satu solusinya adalah menggunakan


varietas yang sesuai dengan kondisi lokasi dan alam setempat. Penggunaan
varietas unggul yang cocok dan adaptif merupakan salah satu komponen teknologi
yang nyata kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas tanaman dan dapat
dengan cepat diadopsi petani karena murah dan penggunaannya lebih praktis.
Karena keterbatasan pengetahuan petani akan varietas yang cocok ditanam di
lahannya, menyebabkan petani menggunakan varietas-varietas unggul lama dan
varietas lokal lainnya. Padahal, Badan Litbang Pertanian telah banyak
menghasilkan varietas-varietas unggul baru yang dapat digunakan pada lahan
sawah, namun penyebarannya dirasakan sangat lambat. Untuk itu diperlukan
upaya percepatan diseminasi agar penyebarannya sampai ke pengguna. Salah
satu metode yang dapat digunakan adalah display varietas.

Penggunaan varietas unggul baru merupakan salah satu teknologi yang


lebih mudah diadopsi petani, sederhana dan dapat dilakukan petani dengan baik.
Semua ini mengindikasikan peluang peningkatan produksi melalui teknologi
spesifik lokasi dan penerapan varietas unggul baru masih cukup besar. Pada
dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu
paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau strategi, bahkan
filosofi bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan
unsur hara serta organisme pengganggu tanaman secara holistik dan
berkelanjutan. Pendekatan yang ditempuh dalam penerapan komponen PTT
bersifat: (1) partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) keterpaduan, dan (5)
sinergis antar komponen. Untuk mencapai keadaan tersebut di atas, sinergi antar
komponen teknologi merupakan hal yang harus digali untuk mendapatkan output
produk yang lebih tinggi. Sebagai contoh penanaman menggunakan sistem
Legowo memiliki beberapa keuntungan seperti : semua barisan rumpun tanaman
berada pada bagian pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek
tanaman pinggir), pengendalian hama, penyakit dan gulma lebih mudah
dilakukan, menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpul
keong mas, atau untuk mina padi, dan penggunaan pupuk lebih berdaya guna,
rumpun yang hilang karena tanaman mati atau rusak karena hama segera
ditanami ulang tidak lewat dari 14 HST. Melalui pendampingan SL PTT BPTP
mentransfer teknologi penggunaan varietas unggul baru padi kepetani sehingga
hasil usahatani yang dilakukan petani akan meningkat yang pada akhirnya
pendapatan petani juga meningkat.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilakukan di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang


Deras, Kabupaten Batubara. Bahan yang digunakan 6 varietas unggul baru yaitu
varietas (1). Inpari 3, (2). Inpari 10, (3). Inpari 14, (4). Inpari 15, (5). Inpari 16
dan (6). Mekongga. Bahan yang digunakan pupuk an organik (Urea, Sp 36 dan

688
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KCl), pupuk organik, insektisida dan fungisida. Alat-alat yang digunakan adalah
meteran, alat pengukur kadar air, timbangan, cangkul, bajak, termometer suhu,
ajir, sprayer, kantong plastik, tali plastik, cat, meja lapangan, seng plat, spidol dan
alat-alat tulis lainnya.

Display varietas padi sawah, dirancang sesuai dengan pendekatan


teknologi budidaya dalam upaya peningkatan produktivitas, teknologi yang
diterapkan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Teknologi budidaya yang diterapkan pada Display padi sawah di


Kabupaten Batubara
Uraian Teknologi Deskripsi
1. Varietas: Digunakan 5 varietas unggul baru (Inpari 3, Inpari 10,
Inpari 14, Inpari 15, Inpari 16 dan Mekongga seluas 2,0
ha).

 25 – 35 kg/ha
 Kebutuhan Benih
 Garam 1 sendok dilarutkan dalam 10 liter air, biji yang
 Uji benih
mengapung dibuang
 Selama 24 jam dengan air bersih
 Perendaman  Sebelum diperam diberi insektisida Regent 50 EC 10
 Pemeraman/perlakuan cc/1kg benih
benih
2. Persemaian
 Pengolahan tanah
 Sempurna sampai halus melumpur
 Bedengan
 Ukuran lebar 1,2 m, tinggi 0,3 m, panjang sesuai
kebutuhan
 Semai benih
 Semai jarang 50 gr/m2
 Pemeliharaan
 Disesuaikan dengan teknologi budidaya
3. Pengolahan tanah . Tanah melumpur dan permukaan rata.
4. Penanaman

 Umur bibit  12 – 15 hari setelah sebar


 Sistem tanam  Legowo 4:1
 Jumlah bibit  1-2 tanaman/rumpun
5. Rekomendasi Pemupukan Urea SP-36 KCl Pupuk Organik
(kg/ha) berdasarkan Uji
-------------(Sesuai rekomendasi PUTS)---------------
PUTS

 Dasar (saat tanam)


 Susulan I (4 MGST)  1/3 D 1D 1/2 2.000
 Susulan II (7 MGST)  1/3 D - 1/2 -
 1/3 D - - -
6. Pengendalian gulma

 Herbisida  Disemprot dengan herbisida Ally 20 WDG pada 3- 6


HST
 Manual dengan tangan  Mulai umur 2 minggu disiang dengan tangan tergantung
populasi gulma
7. Pengairan Disesuaikan dengan kebutuhan tanaman (tergantung
keadaan irigasi setempat)

689
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

8. Pengendalian hama dan


penyakit

 Keong mas
 3 hari sebelum tanam lahan digenangi kemudian
disemprot dengan Acodan 2 l/ha atau samponen
 Carbofuran 17 kg/ha bersamaan pupuk dasar
 Applaud 2 kg/ha, umur 3-4 minggu
 Penggerek batang
 Bestok 2 l/ha, lahan digenangi
 Wereng Coklat
 Pastak 2 l/ha, lahan digenangi
 Kepinding tanah
 Keringkan selama 1 minggu
 Walang sangit
 Fujwan 2 l/ha
 Busuk pelepah
 Confidor dan Bavestin
 Blas dan bercak daun
 Tungro
9. Panen . Disabit, dikumpul dan dirontok dengan power Tresher

Parameter pengamatan: Pengamatan dilakukan satu minggu sebelum


tanam. Parameter yang diamati adalah : tinggi tanaman saat panen, jumlah
anakan produktif, umur berbunga, umur panen, produksi dalam bentuk gabah
kering panen.Hal ini penting diketahui untuk menentukan komponen hasil dan
produktivitas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil kegiatan menunjukkan bahwa varietas padi merupakan salah satu


teknologi utama yang mampu meningkatkan produktivitas. Tersedianya variteas
padi yang telah dilepas pemerintah, kini petani dapat memilih varietas yang sesuai
dengan kondisi Lingkungan setempat, berdaya hasil dan bernilai jual tinggi.
Varietas padi merupakan teknologi yang paling mudah diadopsi petani karena
teknologi ini murah dan penggunaannya sangat praktis. Varietas yang digunakan
dalam display ini adalah (1). Varietas Inpari 3, (2). Inpari 10, (3). Inpari 14, (4).
Inpari 15, (5). Inpari 16, dan (6). varietas Mekongga.

Penggunaan benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi sangat


disarankan, karena (1) benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dengan
akar yang banyak, (2) benih yang baik akan menghasilkan perkecambahan dan
pertumbuhan yang seragam, (3) ketika ditanam pindah, bibit dari benih yang baik
dapat tumbuh lebih cepat dan tegar, dan (4) benih yang baik akan memperoleh
hasil yang tinggi.

Bibit muda akan menghasilkan anakan lebih tinggi dibandingkan dengan


bila meng-gunakan bibit tua. Pada daerah endemis keong mas dianjurkan
menggunakan umur bibit lebih tua. Untuk mendapatkan bibit dan pertumbuhan
tanaman yang baik perhatikan hal-hal berikut : Setelah benih yang terisi penuh
dipisahkan dari benih yang setengah terisi, Sebelum disebarkan di pembibitan
Benih dibilas agar tidak mengandung Larutan pupuk atau garam untuk Kemudian
direndam selama 24 jam dan setelah itu ditiriskan selama 48 jam. Bedengan
pembibitan dibuat dengan lebar 1,0 – 1,2 m dengan panjang Bervariasi menurut
keadaan lahan dan dengan luas pembibitan 400 m 2. luas bedengan ini cukup
untuk ditebari 20-25 kg benih. Diusahakan agar lokasi pembibitan dekat dengan

690
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sumber air dan memiliki drainase yang baik, akar tempat pembibitan bisa cepat
diairi dan cepat pula dikeringkan bilamana perlu.

Pada kegiatan ini juga direkomendasikan menanam bibit per rumpun


dengan jumlah yang lebih sedik. Jumlah bibit yang ditanam tidak lebih dari 3 bibit
per rumpun. Lebih banyak jumlah bibit per rumpun, lebih tinggi kompetisi antar
bibit (tanaman) dalam satu rumpun. Gunakan jarak tanam beraturan seperti pada
model legowo 4:1 dengan jarak tanam (20cm x 10 cm) x 40 cm (36 rumpun/m2)
sehingga populasi 400.000 rumpun /ha.

Keuntungan Sistem Tanam Legowo

 Semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya
memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir).
 Pengendalian hama, penyakit dan gulma lebih mudah.
 Menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpul keong
mas, atau untuk mina padi.
 Penggunaan pupuk lebih berdaya guna, rumpun yang hilang karena tanaman
mati, terlewat ditanami, atau rusak karena hama segera ditanami ulang tidak
lewat dari 14 HST. Bibit yang di tanam berasal dari pembibitan yang sama
digunakan untuk penanaman.
Varietas unggul yang digunakan pada display varietas adalah Inpari 3, Inpari
10, Inpari 14, Inpari 15, Inpari 16, dan Varietas Mekongga sebagai pembanding.
Pengkajian dilakukan di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara. Hasil rata-rata pengamatan tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif.Display varietas unggul baru yang diuji disajikan pada Gambar 1.

Btg

Varietas

Gambar 1. Hasil rata-rata anakan produktif (btg/rpn) display beberapa varietas


padi sawah di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara

Rata-rata anakan produktif yang dihasilkan berkisar antara 17,0 sampai


22,0 batang/rumpun. Jumlah anakan produktif tertinggi ditampilkan oleh Varietas
Inpari 3 yaitu 22,0 batang per rumpun. Sedangkan anakan produktif per rumpun
terendah diperoleh pada Varietas Inpari 10 yaitu 17,0 batang per rumpun.

691
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Berbedanya jumlah anakan produktif yang ditampilkan varietas, disebabkan faktor


genetik masing-masing varietas dan kemampuan adaptasi varietas pada
lingkungan tertentu. Asumsi ini diperkuat pendapat (Suprihatno dkk., 1997)
menyatakan bahwa dalam penseleksian suatu galur/varietas untuk dirilis menjadi
suatu varietas, ruang lingkungan tumbuh dan ketinggian tempat perlu diperhatikan.
Penampilan dari jumlah anakan produktif yang ditampilkan varietas yang diuji
Varietas Inpari 3 yang mampu mengeluarkan potensi anakan produktif yang tinggi
pada lingkungan tumbuh yang diuji. Komponen anakan produktif yang dihasilkan
suatu varietas salah satu faktor yang akan menentukan produktivitas yang akan
dihasilkan.

Pertumbuhan tinggi tanaman dari varietas yang diuji, tinggi tanaman


berkisar antara 110,9 cm sampai 120,1 cm (Gambar 2).

Gambar 2. Hasil rata-rata tinggi tanaman (cm) display beberapa varietas padi
sawah di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang Deras,
Kabupaten Batubara

Semua varietas yang diuji termasuk pada kategori tinggi tanaman


sedang.Selain faktor genetik, tinggi tanaman dapat dipengaruhi oleh ketinggian
tempat dan jarak tanam yang digunakan. Semakin tinggi tempat yang ditanam,
penampilan tinggi tanaman akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
tanaman yang ditanam pada dataran rendah, dan semakin rapat jarak tanaman
yang digunakan tanaman cenderung akan lebih tinggi.
Adanya keragaan tinggi tanaman yang ditampilkan varietas, merupakan
indikator bagi petani, untuk memilih varietas yang sesuai dengan kondisi lahannya.
Pertumbuhan tinggi tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik.
Suseno (1981) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang kurang optimal dan
faktor genetik yang berasal dari varietas tidak unggul akan mempengaruhi tinggi
tanaman. Ditambahkan (Gardner etal., 1991) faktor eksternal (iklim, tanah, bilogis)
dan faktor internal (laju foto sintesis, respirasiaktivitas enzim) akan mempengaruhi
pertumbuhan vegetatif.
Kategori tinggi tanaman yang rendah sampai sedang merupkan pilihan bagi
petani. Tanaman yang memiliki batang yang tinggi, di lapangan akan lebih mudah
rebah sebelum dipanen. Pada kenyataannya petani cenderung memilih varietas

692
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yang berpotensi hasil tinggi, dan karakter tinggi tanaman yang sedang sampai
rendah. Hal ini dilakukan petani untuk menghindari resiko kegagalan panen akibat
rebah pada musim hujan.

Hasil rata-rata produktivitas t/ha GKP pada display beberapa varietas padi
sawah di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara
disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rata-rata produktivitas GKP t/ha display beberapa varietas padi sawah
di Desa Cengkring Pekan, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten
Batubara.

Produksi Gabah Kering Panen (t/ha), produktivitas varietas yang diuji


berkisar antara 6,65 sampai 8,70t/ha. Produksi t/ha tertinggi diberikan oleh
Varietas Inpari 3 yaitu 8,70 t/ha, sedangkan produtivitas terendah dihasilkan oleh
Varietas Inpari 10 yaitu 6,65t/ha.

Hasil produktivitas display varietas unggul baru yang diterapkan melalui


pendekatan penggunaan komponen teknologi PTT, keenam varietas penampilan
produktivitasnya rata-rata di atas 7,0 t/ha. Empat varietas yang mempunyai daya
adaptasi dan potensi hasil tinggi yaitu Inpari 3, Inpari 16, Inpari 15 dan Mekongga
masing-masing produktivitasnya (8,70; 8,50; 8,33; 8,16, t/ha.

Hasil kajian ini merupakan suatu peluang pertumbuhan baru untuk pilihan
bagi petani menggunakan varietas yang potensi hasilnya tinggi di lahannya.
Berbedanya hasil yang ditampilkan varietas diasumsikan pengaruh genetik dari
varietas/galur dan juga pengaruh kesesuaian adaptasi varietas-varietas tersebut
dengan lingkungan yang ada. Satari (1988) menyatakan bahwa peningkatan
produksi pada lahan sepesifik dapat membantu distribusi pengembangan suatu
varietas pada lingkungan tertentu dan sekaligus mendukung pelestarian
swasembada beras. Adanya pengkajian display varietas ini merupakan suatu
peluang besar bagi pemegang kebijakan Kabupaten Batubara untuk dapat
mereplikasikan teknoogi yang diterapkan pada display ke lahan-lahan petani yang
ada di Kabupaten Batubara.

693
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

Penggunaan varietas unggul salah satu upaya dalam meningkatkan


produktivitas.Kegiatan display varietas menambah pemahaman petani terhadap
varietas unggul dan petani dapat memilih varietas yang adaptif untuk diusahakan
di usahataninya. Acara temu lapang merupakan suatu teknik diseminasi yang baik
bagi pemegang kebijakan dan petani untuk dapat mengadopsi teknologi yang
diterapkan dalam upaya peningkatan produktivitas. Empat varietas yang
mempunyai daya adaptasi dan potensi hasil tinggi yaitu Inpari 3, Inpari 16, Inpari
15 dan Mekongga masing-masing produktivitasnya (8,70; 8,50; 8,33; 8,16, t/ha.
Merupakan suatu peluang pertumbuhan baru untuk pilihan bagi petani
menggunakan Varietas yang potensi hasilnya tinggi di lahannya

SARAN

Diharapkan petani dapat mereplikasikan teknologi yang telah diterapkan


dalam upaya peningkatan produktivitas pada usahatani yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian, 2007. Pedoman UmumProduksi Benih Sumber Padi


2007. Badan Litbang Pertanian , Departemen Pertanian. Jakarta, 37 Hal.
Departemen Pertanian, 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Departemen Pertanian,
Jakarta. 38 Halaman.
Gardner, F.P. Pearce, R.B. dan Mitchell, R.L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Alih bahasaoleh susilo, H dari Physiologi of Crop Plants. 1985. UI Press.
Jakarta.
Udin S. Nugraha., Sri Wahyuni., M. Yamin.Samalulah & A. Ruskandar., 2009.
Sistem Perbenihan Padi dalam Buku 2. Padi Inovasi Teknologi dan
Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang
Pertanian.Hal. 91-122. Penerbit LIPI Press, Jakarta.
Satari, G. 1988. Strategi penelitian dalam pencapaian dan pelestarian
swasembada beras. Risalah Simposium II Penelitian Tanaman Pangan,
Ciloto 21-23 Maret 1988.
Suprihatno, B., Satato and Z.Harahap. 1997. Progres of research and
Development of hybriderice technology in Indonesia. Paper presented at
the International Workshop on progress at the development and use of
Hybride Rice Outside China 28-30 May 1997Hanoi, Vietnam
Suseno, H. 1981. Fisiologi Tumbuhan Metabolisme Dasar dan beberapa
aspeknya. Departemen Botani, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 277

694
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KERAGAAN DAN ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI PENGELOLAAN


TANAMAN TERPADU PADI SAWAH DI PROVINSI SUMATERA BARAT

Nusyirwan Hasan, Rifda Roswita dan Yulimasni

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat


Jalan Raya Padang Solok Km. 40 Sukarami
Kecamatan Gunung Talang Kabupaten Solok,

ABSTRAK

Keragaan dan adopsi inovasi PTT padi sawah di Sumatera Barat telah
dilaksanakan padan bulan Maret sampai Desember 2011. Penelitian bertujuan
untuk mengetahui kinerja inovasi teknologi dan untuk mengukur tingkat adopsi
inovasi teknologi. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Desember 2011
di provinsi Sumatera Barat dengan menggunakan metode survei. Lokasi dipilih
secara purposive dengan 4 (empat) kabupaten pelaksana program PTT padi
sawah dan bantuan pelaksanaan oleh BPTP Sumatera Barat pada kabpaten
produsen utama padi sawah di Provinsi Sumatera Barat seperti: Kabupaten
Padang Pariaman, Kabupaten Kota Limapuluh, Kabupaten Agam dan Kabupaten
Tanah Datar. Setiap kabupaten dipilih dua kecamatan. Penentuan sampel
menggunakan teknik stratified dengan menggunakan kooperator dan petani non-
kooperator. Setiap kecamatan dipilih 30 petani sebagai responden secara acak.
Data yang dikumpulkan ditabulasi dan ukuran persentase, rata-rata hasil dan
rasio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penerapan inovasi teknologi PTT
padi sawah telah diadopsi oleh kelompok tani kooperator sebanyak 4-7 inovasi
teknologi dengan jumlah tertinggi inovasi diadopsi oleh petani di Kabupaten Tanah
Datar, sementara petani non kooperator telah mengadopsi 1-4 inovasi teknologi
dengan jumlah tertinggi inovasi diadopsi oleh petani di Kabupaten Padang
Pariaman; (2). Petani kooperator di semua lokasi studi di Sumatera Barat telah
mengadopsi inovasi teknologi PTT padi sawah lebih tinggi daripada petani non-
kooperator, dan (3) Sebagian besar responden milik kelompok tani kooperator
menyatakan bahwa penerapan inovasi teknologi padi sawah lebih menguntungkan
daripada cara yang biasa dan penerapan inovasi teknologi PTT padi sawah tidak
sulit untuk dilaksanakan.

Kata kunci: Adopsi, inovasi, PTT, padi sawah

PENDAHULUAN

Pemerintah Republik Indonesia menargetkan swasembada padi sawah


pada tahun 2017, Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah sentra
produksi padi sawah dengan menargetkan produksi 3.000.000 ton atau
meningkatan 500.000 ribu ton dibandingkan produksi padi sawah tahun 2014 yang
tercatat sebesar 2.498.508 ton (Distan Sumbar, 2015). Pada tahun 2014sesuai
dengan angka tetap (ATAP) BPS, luas tanam padi sawah tercatat 728.356 hektar,
luas panen 503.198 ha dengan produksi 2.519.020 ton dengan hasil rata-rata
50,06 kuintal per hektar. Tingkat produktivitas ini lebih tinggi dibandingkan dengan

695
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tingkat produktivitas pada tahun 2010 yaitu sebesar 4,86 ton per hektar (BPS
Sumbar, 2014).

Dalam upaya mendukung peningkatan produktivitas padi sawah di Provinsi


Sumatera Barat dilakukan dengan penerapan inovasi teknologi padi sawah melalui
pelaksanaan program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT).
PTT merupakan salah satu program dihasilkan Badan Penelitian dan
Pengembangan (Litbang) Pertanian melalui inovasi teknologi yang mampu
meningkatkan produktivitas padi sawah. Berdasarkan sifatnya, komponen
teknologi dipilah menjadi dua bagian: Pertama, teknologi untuk pemecahan
masalah setempat atau spesifik lokasi. Kedua, teknologi untuk perbaikan cara
budidaya yang lebih efisien dan efektif. Dalam pelaksanaannya tidak semua
komponen teknologi yang dapat diterapkan bersamaan (compulsory) sebagai
penciri model PTT, yaitu: (1). a). Varietas unggul baru spesifik lokasi, b). Benih
bermutu (bersertifikat dan vigor tinggi), c). Bibit muda (<21 HSS) apabila kondisi
lingkungan memungkinkan, d). Jumlah bibit 1-3 batang per lubang dan sistem
tanam jajar legowo (penambahan populasi); (2). Pemupukan N berdasarkan
bagan warna daun (BWD); (3). Pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah
PUTS serta pemecahan masalah kesuburan tanah apabila terjadi dan
penggunaan bahan organik, dan (4). Pengendalian hama dan penyakit sesuai
OPT sasaran (Badan Litbangtan, 2013).

Program PTT telah menjadi program nasional sejak tahun 2003, dan
dijadikan sebagai landmark pangan nasional oleh Kementerian Riset dan
Teknologi dan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN)
Kementerian Pertanian. Melalui program PTT diharapkan kebutuhan beras
nasional dapat dipenuhi, pendapatan petani padi dapat ditingkatkan, dan usaha
pertanian padi sawah dapat menjadi usahatani berkelanjutan (Badan Litbangtan,
2009). Di Provinsi Sumbar penerapan PTT padi sawah telah dilaksanakan sejak
tahun 2008 dan telah dilakukan introduksi secara luas melalui program SL-PTT,
tetapi saat ini masih dirasakan bahwa inovasi teknologi tersebut belum
sepenuhnya di adopsi oleh petani. Hasil penelitian Hasan, dkk (2009) melaporkan
bahwa rendahnya produktivitas dan pendapatan petani padi sawah di lima daerah
pelaksana program FEATI di Sumbar disebabkan karena: 1) Benih tidak berlabel
(benih adalah benih turunan yang diproduksi sendiri); (2) Jumlah bibit banyak; (3)
Jarak tanam tidak teratur; (4) Pupuk tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman; dan
(5) Serangan hama dan penyakit.

Untuk melihat keragaan dan adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah di
Provinsi Sumatera Barat perlu dilakukan penelitian. Penelitian bertujuan untuk:
mengetahui keragaan inovasi teknologi dan mengukur tingkat adopsi inovasi
teknologi PTT padi sawah diterapkan oleh petani di Sumatera Barat.

696
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE


Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret s/d Desember tahun
2011 di Provinsi Sumatera Barat dengan metoda survei. Lokasi penelitian dipilih
secara purposif yaitu 4 (empat) kabupaten, dimana setiap kabupaten dipilih 2
kecamatan pelaksana program pendampingan SL-PTT padi sawah oleh BPTP
Sumbar pada tahun 2008 s/d 2010 dan merupakan daerah penghasil utama padi
sawah di Provinsi Sumatera Barat.

Penentuan petani contoh menggunakan teknik penarikan contoh berstrata.


Strata yang digunakan adalah: koperator dan nonkoperator. Pada setiap
kecamatan dipilih sampel 30 orang responden secara acak sederhana dari petani
pelaksana program pendampingan SL-PTT (petani koperator) sebanyak 15 orang
dan petani di sekitar pelaksanaan SL-PTT (petani nonkoperator) sebanyak 15
orang, sehingga keseluruhan responden berjumlah 240 orang. Komponen inovasi
teknologi PTT padi sawah diteliti antara lain: (1) penggunaan varietas unggul baru
(VUB), (2) benih berlabel dan bermutu, (3) umur benih muda (<21 hss), (4) jumlah
benih 1-3 batang/ lubang, (5) penggunaan Bagan Warna Daun (BWD), (6) sistem
tanam jajar legowo, (7) pupuk organik dengan pemanfaatan jerami, dan (8)
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). VUB nasional dilepas oleh Badan Litbang
Kementerian Pertanian seperti: varietas Logawa, Tukad Unda, Batang Piaman,
Batang Lembang, Inpari-12, serta varietas unggul lokal seperti Anak Daro dan
Junjuang.

Penelitian diawali dengan melakukan desk study dan pengumpulan data


sekunder untuk 4 (empat) kabupaten yaitu Kabupaten Padang Pariaman, Agam,
Limapuluh Kota dan Tanah Datar yang dijadikan lokasi sampel pengkajian. Data
primer diperoleh dari pengamatan lapangan serta wawancara terstruktur dengan
responden dan informan kunci dengan menggunakan kuesioner. Data yang
dikumpulkan antara lain: (i) Data inovasi teknologi PTT padi sawah di adopsi oleh
petani koperator dan non koperator, dan (ii) Tingkat inovasi teknologi PTT padi
sawah. Data yang dikumpulkan dilakukan tabulasi dengan ukuran persentase,
rata-rata dan nisbah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah


Hasil penelitian tentang keragaan inovasi teknologi PTT padi sawah di
Provinsi Sumatera Barat yang telah diadopsi oleh petani dapat dilihat pada Tabel
1. Keragaan komponen inovasi teknologi PTT padi sawah yang telah di adopsi
oleh petani seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Keragaan jumlah inovasi teknologi
PTT padi sawah yang telah di adopsi oleh kelompok tani koperator sebanyak 4-7
inovasi teknologi dengan jumlah inovasi terbanyak diadopsi oleh petani koperator
di Kabupaten Tanah Datar, sedangkan petani non koperator telah mengadopsi
sebanyak 1-4 inovasi teknologi dengan jumlah inovasi terbanyak diadopsi oleh
petani di Kabupaten Padang Pariaman. Inovasi teknologi PTT padi sawah telah
diadopsi oleh semua kelompok tani koperator pada semua lokasi penelitian
adalah: umur benih muda (≤21 hss), jumlah benih 1-3 batang/ rumpun, sistem

697
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tanam jajar legowo (6:1), dan pemberian bahan organik melalui pemanfaatan
jerami. Sedangkan pada kelompok tani non koperator inovasi teknologi telah
diadopsi adalah: umur benih muda (≤21 hss).

Tabel 1. Keragaan Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah Oleh Anggota Kelompok
Tani di Provinsi Sumatera Barat, 2011.
Keragaan Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah Oleh Petani
No. Lokasi Koperator Non Koperator
1. Padang 1. Benih berlabel 1. Benih berlabel
Pariaman 2. Umur benih muda (≤21 hss) 2. Umur benih muda (≤21
3. Jumlah benih 1-3 hss)
batang/rumpun 3. Jumlah benih 1-3
4. Sistem tanam jajar legowo (6:1) batang/rumpun
5. Pemberian bahan organik 4. Pemberian bahan organik
melalui pemanfaatan jerami melalui pemanfaatan
jerami
2. Agam 1. Umur benih muda (≤21 hss) 1. Umur benih muda (≤21
2. Jumlah benih 1-3 batang/ hss)
rumpun 2. Jumlah benih 1-3 batang/
3. Sistem tanam jajar legowo (6:1) rumpun
4. Pemberian bahan organik 3. Pemberian bahanorganik
melalui pemanfaatan jerami melalui pemanfatan
5. PHT jerami
3. Limapuluh 1. Umur benih muda (≤21 hss) 1. Umur benih muda (≤21
Kota 2. Jumlah benih 1-3 batang/ hss)
rumpun
3. Sistem tanam jajar legowo (6:1)
4. Pemberian bahan organik
melalui pemanfaatan jerami
4. Tanah Datar 1. Benih berlabel 1. Umur benih muda (≤21
2. Umur benih muda (≤21 hss) hss)
3. Jumlah benih 1-3 batang/ 2. Jumlah benih 1-3 batang/
rumpun rumpun
4. Pemupukan N berdasarkan
BWD
5. Sistem tanam jajar legowo
(6:1)
6. Pemberian bahan organik
melalui pemanfaatan jerami
7. PHT

Adopsi Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah

Dilihat dari persentase adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah pada
kelompok tani koperator dan non koperator di Provinsi Sumatera Barat
berdasarkan hasil survei terstruktur dapat dilihat pada Tabel 2.

698
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Persentase Adopsi Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah Pada Kelompok
Tani Koperator dan Non Koperator di Provinsi Sumatera Barat, 2011.
Persentase Adopsi Inovasi Teknologi/Lokasi (%)
Padang Pariaman Agam Limapuluh Kota Tanah Datar Rata-rata
Inovasi teknologi
K NK K NK K NK K NK K NK
Penggunaan VUB 26,67 0,00 50,00 23,33 43,33 26,67 63,33 36,67 45,83 21,67

Benih berlabel 70,00 63,33 53,33 20,00 33,33 16,67 46,67 33,33 50,83 33,33

Umur benih muda 66,67 60,00 63,33 50,00 86,67 76,67 63,33 50,00 70,00 59,17
<21 hss

Jumlah benih 1-3 53,33 33,33 53,33 13,33 40,00 3,33 46,67 16,67 48,33 16,67
batang/rumpun

Sistem tanam jajar 30,00 13,33 6,67 10,00 20,00 20,00 36,67 10,00 23,33 13,33
legowo

Pemanfaatan jerami 36,67 40,00 53,33 16,67 30,00 43,33 73,33 53,33 48,33 38,33
untuk pupuk organic

Pemupukan N 13,33 3,33 3,33 0,00 10,00 3,33 23,33 0,00 12,50 1,67
dengan BWD

PHT 46,67 40,00 33,33 16,67 16,67 6,67 46,67 13,33 35,83 19,17

Keterangan: K =Koperator, NK =Non Koperator

Dari Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa petani koperator pada semua lokasi
penelitian di Provinsi Sumatera Barat telah mengadopsi inovasi teknologi PTT padi
sawah lebih tinggi dibandingkan dengan petani non koperator. Rata-rata adopsi
inovasi teknologi PTT padi sawah untuk inovasi teknologi penggunaan benih muda
(<21 hss) dengan besaran persentase inovasi 70,00%, kemudian diikuti dengan
inovasi teknologi penggunaan benih berlabel (50,83%), penggunaan benih 1-3
batang/rumpun (48,33%) dan penggunaan jerami untuk pupuk organik (48,33%)
sedangkan persentas adopsi inovasi paling rendah adalah inovasi teknologi
pemupukan N dengan penggunaan BWD (12,50%).

Dari uraian di atas terlihat bahwa inovasi teknologi PTT padi sawah yang
paling tinggi di adopsi oleh petani tergabung pada kelompok tani koperator
dibandingkan dengan petani tegabung pada kelompok tani non koperator. Adopsi
adalah proses perubahan perilaku, baik pengetahuan (cognitive), sikap (affective)
maupun keterampilan (psychomotoric) pada seseorang setelah menerima inovasi
yang disampaikan oleh penyuluh (Mardikanto, 1993). Hasil penelitian Nurbaeti,
dkk (2008) di Kabupaten Sumedang melaporkan bahwa sebagian petani (40%)
belum sepenuhnya mengadopsi sistem PTT sesuai dengan anjuran, karena petani
masih ragu menerima perubahan yang harus dilakukan, terutama dalam sistem
tanam jajar legowo, pengaturan air dan penggunaan pupuk. Kemudian hasil
penelitian Adnyana dan Kariyasa (2006) melaporkan bahwa tingkat adopsi petani
terhadap sistem PTT padi sawah di provinsi Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali dan
Nusa Tenggara Barat sudah cukup baik namun belum dilakukan sepenuhnya
akibat beberapa kendala teknis dan kondisi sosial ekonomi petani setempat.
Pendekatan PTT telah mendorong penghematan penggunaan benih, peningkatan
penggunaan benih berlabel, penanaman benih muda, pengurangan jumlah benih
per lubang, penghematan penggunaan pupuk Urea, adanya penggunaan pupuk
kandang dan makin banyaknya petani yang menerapkan PHT dan sistem
pengairan berselang.

699
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kelayakan Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah

Kelayakan inovasi teknologi yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi


teknologi PTT padi sawah di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kelayakan Inovasi Teknologi Yang Mempengaruhi Percepatan Adopsi
Inovasi Teknologi PTT Padi Sawah di Provinsi Sumatera Barat, 2011.
Lokasi dan Kelompok Tani/Kabupaten (%)
Kelayakan inovasi Padang Pariaman Agam Limapuluh Kota Tanah Datar Total
teknologi
K NK K NK K NK K NK K NK
Keuntungan
relative 30,00 30,00 16,67 50,00 16,67 26,67 10,00 30,00 18,34 34,17
 Tidak tahu 0,00 0,00 0,00 3,33 0,00 6,67 0,00 6,67 0,00 4,17
 Kurang untung 0,00 0,00 16,67 0,00 6,67 13,33 0,00 0,00 5,83 3,33
 Sama 70,00 70,00 66,67 46,67 76,67 53,33 90,00 63,33 75,83 58,33
 Lebih untung

Kompleksitas
 Tidak tahu 36,67 36,67 16,67 60,00 20,00 30,00 10,00 30,00 30,83 39,17
 Sulit 0,00 6,67 20,00 3,33 10,00 0,00 0,00 0,00 7,50 2,50
 Tidak sulit 63,33 56,67 63,33 36,67 70,00 70,00 90,00 70,00 71,67 58,33

Keterangan: K = Koperator, NK =Non Koperator

Pada Tabel 3 di atas ditunjukkan bahwa sebagian besar (75,83 %)


responden yang tergabung dalam kelompok tani koperator menyatakan
penerapan inovasi teknologi PTT padi sawah lebih menguntungkan dibandingkan
dengan cara biasa yang diterapkannya dan 71,67% menyatakan bahwa inovasi
teknologi PTT tidak sulit. Sedangkan petani non kooperator hanya 58,33% yang
menyatakan inovaasi teknologi PTT padi sawah lebih untung dan tidak sulit.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut:

1. Penerapan inovasi teknologi PTT padi sawah telah di adopsi kelompok tani
koperator sebanyak 4-7 inovasi teknologi dengan jumlah inovasi terbanyak
diadopsi oleh petani di Kabupaten Tanah Datar, sedangkan petani non
koperator telah mengadopsi 1-4 inovasi teknologi dengan jumlah inovasi
terbanyak diadopsi petani di Kabupaten Padang Pariaman.
2. Petani koperator pada semua lokasi penelitian di Sumatera Barat mengadopsi
inovasi teknologi PTT padi sawah lebih tinggi dibandingkan dengan petani non
koperator.
3. Sebagian besar responden tergabung dalam kelompok tani koperator
menyatakan bahwa dengan penerapan inovasi teknologi PTT padi sawah lebih
menguntungkan dibandingkan dengan cara biasa dan penerapan inovasi
teknologi PTT padi sawah tidak sulit.

700
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Pengkajian


dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian yang telah mendanai kegiatan penelitian ini
serta kepada tim peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat
yang telah membantu pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O, dan K. Kariyasa. 2006. Dampak dan Persepsi Petani Terhadap
Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol. 25 No. 1. hal 21-29.
Badan Litbang. 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 20 hal
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat. 2014. Sumatera Barat dalam Angka.
Padang 2014. Bappeda dan BPS Sumbar. 688 hal.
Badan Litbang. 2013. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. 46 hal.
Dinas Pertanian Provinsi Sumbar. 2015. Bahan Tayangan Bidang Tanaman
Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sumbar Pada Rapat Koordinasi
Upaya Khusus Percepatan Swasembada Pangan Di Sumatera Barat
tanggal 22-23 Januari 2015 di Padang.
Hasan, N., Rifda R., Nurnayetti, Aryunis, M. Jamalin, EM Yusnardi, M. Ali, dan
Aryawaita. 2009. Laporan Akhir Sosialisasi, Pendampingan dan
Pelaksanaan FSA di Provinsi Sumatera Barat. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sumatera Barat. 302 hal.
Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Nurbaeti, B., S.L. Muljanti dan T. Fahmi. 2008. Penerapan Model Pengelolaan
Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi di Kabupaten
Sumedang. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Vol. 11 No. 3, Nopember 2008. P. 268-279.
Rogers, E., M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. The Free Press, New
York.

701
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANALISIS KEBIJAKAN ISU AKTUAL KARAKTERISTIK PELAKU


PERBERASAN DI PROVINSI ACEH

Abdul Azis, BA. Bakar dan T. Iskandar

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh


Jl. P. Nyak Makam No. 27 Lampineung Banda Aceh 23125
Email : abda_muda@yahoo.co.id

ABSTRAK

Keragaan dan produksi panen yang optimal pada tanaman padi selain
dapat dicapai melalui intensifikasi dan ekstensifikasi juga dipengaruhi oleh faktor
lainnya yang tidak kalah penting yaitu karakteristik pelaku perberasan yang dapat
mempengaruhi ketersediaan beras di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui karakteristik pelaku perberasan di Provinsi Aceh dan
memberikan rekomendasi kepada Pemda.Penelitian dilaksanakan di kabupaten
Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie dan Pidie Jaya mulai bulan Januari sampai dengan
Desember2011. Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer.
Penarikan sampel menggunakan teknik kuota yang jumlahnya 20 responden per
kabupaten dan tetap berpegang pada prinsip representatif. Metode analisis data
dilakukan secara deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar
gabah/beras di Aceh cukup kompetitif, ditandai banyaknya pelaku pasar baik
ditingkat desa, kecamatan maupun kabupaten. Pola distribusi gabah/beras sudah
terbentuk sejak lama didukung oleh infrastruktur yang memadai, distribusi
gabah/beras mulai dari produsen (petani) ke pengumpul desa, penggilingan padi
(RMU), sub BULOG, maupun ke pedagang besar dan pedagang antar provinsi
cukup lancar. Penurunan harga gabah di tingkat petani disebabkan oleh faktor
alam dan teknologi pasca panen, meliputi kondisi biofisik tanah, dan cuaca, serta
alat panen dan prosesing yang digunakan petani yang mengakibatkan terjadinya
penurunan kualitas gabah.Antisipasi turunnya harga dapat dilakukan melalui
pengaturan pola tanam padi yang disesuaikan dengan ketersediaan air, serta
meningkatkan efektivitas operasi pasar yang dilakukan oleh BULOG. Kelompok
tani atau petani sebagai produsen tidak lagi menjual gabah tetapi diharapkan
mampu menjual beras, sehingga nilai tambahnya akan dapat dinikmati oleh
anggota kelompoknya sendiri. Dengan demikian agribisnis beras ditingkat
kelompok tani bisa berjalan dengan baik.

Kata kunci: Analisis kebijakan, karakteristik, pelaku perberasan, Aceh.

PENDAHULUAN

Keragaan dan produksi panen yang optimal pada tanaman padi, selain
dapat dicapai melalui intensifikasi dan ekstensifikasi juga dipengaruhi faktor yang
tidak kalah penting yaitu karakteristik pelaku perberasan yang dapat menetukan
ketersediaan beras di masyarakat. Pembangunan pertanian juga dipengaruhi oleh
dinamika lingkungan strategis baik global maupun dalam negeri. Perubahan
lingkungan strategis global yang mengarah semakin kuatnya liberalisasi dan
globalisasi perdagangan akan membawa berbagai konsekuensi terhadap daya
saing komoditas pertanian Indonesia di pasar global.

702
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas sangat mempengaruhi


seluruh sendi kehidupan di dunia termasuk sektor pertanian yang merupakan
andalan bagi sebagian besar negara berkembang (Kasryno dkk., 2004). Dalam
upaya mendukung pembangunan nasional menyongsong dalam era globalisasi
maka pembangunan sektor pertanian diarahkan kepada pembangunan agribisnis
yang tangguh dan bertumpu pada potensi daerah. Pendekatan agribisnis memberi
perhatian kepada usaha-usaha peningkatan efisiensi dan kelestarian daya dukung
sumberdaya pertanian.

Pertumbuhan ekonomi Aceh tahun 2010 yang diukur dari nilai PDRB
(Produk Domestik Regional Bruto) tanpa migas mengalami pertumbuhan sebesar
5,32%. Sektor pertanian masih menjadi penopang utama PDRB Aceh dengan
sumbangan sebesar 34 persen. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Aceh ini
masih di bawah Nasional yang tumbuh sekitar 6,6 persen. Pertumbuhan tertinggi
terjadi pada sektor listrik dan air bersih (16,97 persen), pengangkutan dan
komunikasi (6,57 persen), perdagangan, hotel dan restauran (6,536 persen),
keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (5,54 persen), sektor bangunan (5,11
persen), pertanian (5,02 persen), dan terakhir sektor jasa-jasa (3,62 persen).

Meskipun pertumbuhan sektor pertanian berada di bawah rata-rata


pertumbuhan PDRB, tetapi sektor ini masih tetap menjadi penyumbang terbesar
dalam pembentukan PDRB Aceh, baik tanpa migas maupun dengan
migas.Dengan migas kontribusi sektor pertanian mencapai 28,34 persen
sedangkan tanpa migas mencapai 34 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa
sektor pertanian memegang peranan penting dalam proses pembangunan secara
keseluruhan. Di masa sekarang, sektor pertanian diharapkan memegang peranan
penting dalam penyediaan pangan dan penciptaan lapangan kerja bagi
masyarakat.Dengan demikian kebijakan pembangunan pertanian yang tepat di
Provinsi Aceh menjadi hal yang sangat penting dalam penurunan tingkat
kemiskinan dan percepatan pertumbuhan ekonomi.

Dalam pelaksanaan pembangunan pertanian di Provinsi Aceh, berbagai


permasalahan dan isu kebijakan dapat muncul setiap saat.Permasalahan-
permasalahan seperti terjadinya konflik di Aceh yang berkepanjangan telah
mengganggu terlaksananya pembangunan pertanian menyebabkan terpuruknya
perekonomian masyarakat, lapangan kerja tidak terbuka, dan bertambahnya
pengangguran. Bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami pada akhir
tahun 2004 telah memunculkan kebutuhan berbagai kebijakan untuk mengatasi
kerusakan lahan pertanian dan mengembalikan kehidupan ekonomi petani yang
hancur. Beberapa isu kebijakan pertanian penting lainnya yang perlu dicermati
misalnya perubahan iklim secara global, pengurangan subsidi pupuk, bantuan
langsung tunai kepada masyarakat, dan peningkatan daya saing komoditas
unggulan daerah.

Berbagai permasalahan dan isu-isu kebijakan pembangunan pertanian


tersebut memerlukan kajian untuk menyiapkan bahan kebijaksanaan secara cepat
dan tepat baik yang bersifat antisipatif atau yang menjawab permasalahan yang

703
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

berkembang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pelaku


perberasan di Provinsi Aceh dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah
Daerah.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat.

Penelitian dilaksanaan di kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie dan


Pidie Jaya, mulai Januari – Desember 2011. Pemilihan lokasi penelitian
ditempatkan pada daerah sentra produksi.

Metode.

Kajian dalam penelitian ini adalah masalah dan isu kebijaksanaan yang
berlangsung (isu hangat) terkait sektor pertanian. Antisipasi agar tidak
ketinggalan dan kehilangan relevansi, analisis kebijaksanaan perlu dilakukan
secara cepat sehingga diperoleh hasil kajian yang masih tetap relevan dalam
perumusan kebijaksanaan. Metoda penelitian tetap memperhatikan landasan
teoritis dan mempertahankan objektivitas.

Data yang dikumpulkan.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan
data primer. Data sekunder adalah data mengenai perkembangan sektor
pertanian dalam bentuk data deret waktu 15 tahun terakhir, sedangkan data primer
adalah data mengenai dampak dari suatu kebijaksanaan pembangunan yang
diperoleh dengan teknik pemahaman secara singkat (Rapid Appraisal). Penarikan
contoh untuk memperoleh data primer menggunakan teknik kuota sampling.
Penarikan sampel menggunakan teknik kuota sampling yang jumlahnya 20
responden per kabupaten tetap berpegang pada prinsip representatif.

Analisis Data.

Untuk menjawab tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini analisis data
digunakan sesuai dengan topik kajian dan landasan teoritis yang
mendukung.Analisis data dilakukan secara statistik dan deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi padi sawah di Aceh pada tahun 2010 mengalami kenaikan


dibandingkan tahun 2009. Kenaikan terjadi pada produktivitas yaitu dari 4,373
ton/ha tahun 2009 naik menjadi 4,518 ton/ha tahun 2010 atau naik rata-rata
sebesar 3,3 % (0,145 ton/ha). Akibatnya total produksi naik sebesar 2,1 persen
(31.591 tonGKG) dari 1.539.449 ton GKG tahun 2009 menjadi 1.571.040 ton GKG.

704
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Luas panen menurun 1,2 persen yaitu dari 352.006 hektar menjadi 347.727
hektar. Dari keempat kabupaten, hanya kabupaten Pidie Jaya yang mengalami
penurunan produksi sebesar 0,7 persen, sedangkan kabupaten Aceh Barat luas
panen terjadi penurunan dari 11.302 hektar pada tahun 2009 turun menjadi 10.889
hektar pada tahun 2011 atau sebesar 3,6 persen. Kabupaten Aceh Besar dan Pidie
untuk ketiga variabel mengalami peningkatan baik pada luas panen, produksi
maupun produktivitas (Tabel 1).

Peningkatan produksi padi sawah tahun 2010 disebabkan keberhasilan


program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), Bantuan
Langsung Benih Unggul (BLBU), perbaikan saluran irigasi, dan tersedianya pupuk
bersubsidi di tingkat petani. Peyebab terjadinya peningkatan produksi padi sawah
adalah harga Gabah Kering Panen cukup baik sepanjang tahun 2010 berkisar
antara Rp 3.800–4.200/kg, petani lebih intensif mengusahakan tanaman padinya.

Setiap tahun ada tiga periode tanam padi atau disebut dengan Sub Round
(SB) yaitu periode Januari April (Subround I), Mei–Agustus (Subround II) dan
September–Desember (Subround III).Di Provinsi Aceh umumnya Januari-April
merupakan periode produksi padi paling tinggi dalam setahun, dibandingkan
dengan periode lainnya produksi subround I mencapai 732.409 ton GKG atau
sekitar 46,61 persen dari total produksi setahun, dilanjutkan dengan subround III
sebesar 32,89 persen atau sekitar 516.870 tonGKG dan subround II sebesar 20,45
persen (321.761). Pada periode Januari-April produksi padi mengalami
peningkatan sebesar 74.711 ton GKG dengan perbandingan produksi Januari–
April tahun 2009 sebesar 660.179 ton GKG, sedangkan pada tahun 2010 sebesar
732.409 ton GKG. Dengan demikian ada kenaikan produksi sebanyak 1,61
persen.

Periode Mei–Agustus 2010 terjadi penurunan produksi sebesar 29,45


persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009 atau dari
produksi yang hanya sebesar 404.395 ton GKG menjadi 323.644 ton GKG.
Sedangkan pada periode September–Desember 2010 produksi padi kembali
mengalami peningkatan yaitu dari 490.065 tonGKG menjadi 521.640 ton GKG
atau mengalami peningkatan produksi sebesar 6,05 persen.

Dengan melihat perilaku panen padi di atas, dimana panen raya terjadi
pada bulan Januari–April, maka untuk mengamankan hasil padi petani agar harga
gabah yang diterima petani tidak jatuh, minimal sesuai dengan harga dasar yang
ditetapkan pemerintah, seyogyanya operasi pasar oleh pihak Bulog dan instansi
terkait dilakukan pada periode di atas. Dengan demikian perlu perencanaan yang
matang, karena pada periode tersebut curah hujan dibeberapa daerah terutama
dibagian Barat Selatan masih cukup tinggi. Kegagalan mengantisipasi hal ini akan
mengakibatkan turunnya kualitas gabah sehingga harga gabah menjadi rendah.

705
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah pada Tahun 2009 dan 2010 di Kabupaten Aceh Besar,
Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya, serta Provinsi Aceh.

KABUPATEN PROVINSI
ACEH BESAR PIDIE JAYA ACEH BARAT PIDIE
Tahun
Luas Luas Luas Luas Produkti Luas
Panen Produktivitas Produksi Produktivitas Produksi Produktivi Produk Produk Produktivi Produk
Panen Panen Panen Panen vitas Panen
(t/ha) (ton) (t/ha) (ton) tas (t/ha) si (ton) si (ton) tas (t/ha) si (ton)
(ha) (ha) (ha) (ha) (t/ha) (ha)

Thn 172.59 1.539.4


35.628 4,557 162.354 12.814 4,481 57.425 11.302 4,087 46.191 38.628 4,468 352.006 4,373
2009 3 49
Thn 178.84 1.571.0
40.102 4,642 186.144 12.378 4,607 57.028 10.899 4,309 46.961 39.166 4,566 347.727 4,518
2010 7 40
Laju
12,6 1,9 14,7 (3,4) 2,8 (0,7) (3,6) 5,4 1,7 1,4 2,2 3,6 (1,2) 3,3 2,1
(%)

Sumber : BPS Aceh 2011 (diolah)

Keterangan: nilai dalam kurung adalah minus (laju menurun)

706
706
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Karakteristik Pelaku Perberasan di Provinsi Aceh

Karakteristik Petani
Pelaku perberasan di Aceh dapat dibagi tiga bagian besar yaitu pihak
produsen dalam hal ini adalah petani, pihak pengolah dan distributor adalah
pedagang dan Bulog, serta pihak konsumen (Gambar 1).

PETANI(PRODUSEN)
GABAH GABAH
GABAH
PENGGILINGAN PADI PDG, PENGUMPUL, AGEN
AGEN DESA / TOKE GABAH KECIL KEC. RMU

GABAH/BERAS
PDG BESAR
(KONTRAKTOR)

GABAH/BERAS

SUB BULOG
GABAH GABAH GABAH/BERAS

GROSIR BERAS

TOKE LUAR PROV (MEDAN)


RMU BSR
PDG, PENGECER,
BERAS
DALAM PROV
GROSIR LUAR PROV

PDG, PENGUMPUL, AGEN

KONSUMEN

Gambar 1. Struktur Aliran Distribusi Gabah/Beras di Wilayah Provinsi Aceh 2011

Rata-rata luas pemilikan lahan sawah di keempat desa contoh relatif kecil
yaitu berkisar 0,25 ha–0,75 ha, dengan rata-rata luas garapan di atas luas
pemilikan, penambahan luas garapan ini melalui sistem bagi hasil atau sewa.
Berbeda dengan kasus di desa Lung Tanoh Tho Kecamatan Woyla Kabupaten
Aceh Barat luas lahan milik sendiri sama dengan luas lahan garapan, karena lahan

707
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

garapan merupakan tanah milik orang tuanya yang diwariskan kepada anak-
anaknya.

Secara umum jumlah tanggungan keluarga hampir sama untuk semua


kabupaten sampel yaitu rata-rata 5 jiwa (Tabel 2). Hal ini menunjukkan keluarga
petani merupakan keluarga kecil yang mempunyai tiga orang anak. Berbicara
petani sebagai produsen, hal ini tidak selalu benar berdasar kenyataan di lapang,
seperti contoh kasus di daerah Aceh Barat, ada petani yang melakukan
penyimpanan gabah untuk konsumsi rumah tangga. Hasil produksinya dijual saat
setelah panen, untuk keperluan konsumsi sehari-hari mereka membeli di warung
terdekat. Dengan demikian dalam kasus ini petani dapat dikatakan sebagai
konsumen beras.

Berbeda dengan petani di tiga Kabupaten lainnya Aceh Besar, Pidie, dan
Pidie Jaya yang menyimpan gabah untuk keperluan konsumsi rata-rata 0,5 sampai
1,5 ton GKG (Tabel 2). Termotivasinya petani tersebut menyimpan gabah untuk
keperluan konsumsi disebabkan oleh berfluktuasinya harga beras saat ini,
kegagalan panen serta antisipasi kebutuhan dana mendadak.

Teknologi Produksi
Tingkat teknologi yang diterapkan oleh petani di desa contoh Aceh Besar,
Pidie Jaya dan Pidie relatif maju dalam hal penggunaan benih, pemakaian pupuk
dan alat perontok. Rata-rata produktivitas ketiga desa contoh relatif tinggi yaitu di
atas produktivitas rata-rata nasional. Berbeda halnya di Aceh Barat produktivitas
masih rata-rata 4,5 ton/hektar, disebabkan lahan sawah tadah hujan.

Penggunaan pupuk di lokasi contoh belum melakukan perangkat uji tanah,


pemupukan dilakukan hanya bantuan dari pemerintah, dan tidak sesuai
rekomendasi. Alat uji tanah juga tidak tersedia untuk melakukan pengujian di
lahan sawah sendiri, Pemupukan dilakukan berdasarkan berdasarkan
pengalaman pada tahun sebelumnya.

Petani hanya mengandalkan penampilan morfologi dari tanaman padi


untuk menentukan kekurangan zat hara tertentu seperti Nitrogen. Petani di Desa
Dayah Baroh Kecamatan Ulim Kabupaten Pidie Jaya, hanya memupuk padi sawah
dengan Urea 100 kg/ha.

Organisme pengganggu tanaman padi yang ditemui adalah tikus,


kepinding tanah, walang sangit, dan keong mas. Kerusakan tanaman akibat
serangan OPT tersebut sangat bervariasi antara 0 – 10%. Pengendalian yang
pernah dilakukan adalah pemberian umpan racun kimia dan tidak sesuai dengan
kaidah PHT.

708
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2.Karakteristik petani produsen beras di kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya Provinsi Aceh 2010.
NO URAIAN ACEH BESAR PIDIE JAYA ACEH BARAT PIDIE
I Karakteristik Petani
1. Rata-rata pemilikan lahan (Ha) 0,25 0,5 0,75 0,5
2. Rata-rata luas garapan (Ha) 0,5 0,5 0,75 0,75
3. Rata-rata jumlah tanggungan (jiwa) 4 3 5 4
4. stok gabah 0,4 – 1 ton/musim, cukup 0,75 – 1,8 ton/musim 1,75 – 1,5 ton/musim
II Teknologi Produksi
1. Varietas yang di tanam VUB (Ciherang) VUB (Ciherang, Cibogo) VUB (Ciherang) VUB (Ciherang, impari 13)
2. Klasifikasi benih Berlabel Berlabel Berlabel Berlabel
3. Penggunaan pupuk Urea, TSP, KCl TSP, Poska, Urea Urea Urea, NPK
4. Dosis pemupukan Blm sesuai rekomendasi Belum sesuai rekomendasi Belum sesuai rekomendasi Belum sesuai rekomendasi
5. Pengendalian OPT sasaran Pestisida, belum PHT Pestisida Kimiawi Pestisida, semi PHT
6. Sistem panen Arit Arit Arit Arit
7. Alat perontok Power threser Power threser Power threser Power threser
8. Produktivitas (t/ha) 5,6 5,6 4,5 5,5

III Sistem Penjualan


1. Waktu penjualan Setelah panen Setelah panen Setelah panen Setelah panen
2. Alasan dijual Kebutuhan keluarga, harga tinggi, Kebutuhan hidup, sosial, utang, Kebutuhan non pangan, social, bayar Biaya hidup, penidikan anak,
bayar utang, gabah baru panen harga kelebihan panen, harga tinggi, ada utang, harga tinggi. harga tinggi, disimpan susut,
tinggi, raskin Pedagang desa, kilang padi raskin
3. Pembeli Agen desa, jual sendiri ke P. Padi Kilang padi, agen desa tunai Agen pengumpul

709
4. Sistem pembayaran Cast/ tunai tunai Tawar menawar tunai
5. Penentuan harga Tawar menawar Tawar menawar Tawar menawar

IV Sumber modal Sendiri, agen pengumpul, K Padi Sendiri, Kilang Padi Swadaya, pedagang Sendiri, Kilang Padi
V Hambatan Hama tikus, parairan Tikus dan Air Tikus dan Air Tikus, kepinding tanah

709
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sistem Penjualan
Perilaku petani dalam menjual hasil padinya sangat tergantung kepada
kondisi daerah. Hasil survey menunjukkan bahwa, waktu penjualan gabah sangat
di pengaruhi oleh kebutuhan petani dan harga pada saat panen. Jika harga gabah
tinggi pada saat panen, maka hasil panennya akan dijual sebagian dan sisanya
dibawa pulang untuk persediaan selama musim tanam. Selama ini tidak dijumpai
waktu penjualan disaat panen dengan sistem tebasan. Sistem ini banyak terjadi di
daerah Malang Jawa Timur dimana tenaga kerja relatif mahal petani lebih banyak
menjual padinya dengan sistem tebasan.

Umumnya petani di Aceh Besar, Pidie dan Pidie Jaya menjual padi adalah
untuk kebutuhan keluarga.Sedangkan di Kabupaten Pidie Jaya, RASKIN sangat
berpengaruh terhadap penjualan gabah petani. Selain pengaruh RASKIN, petani
tidak ada tempat penyimpanan gabah di rumah yang aman dari serangan tikus.
Pembeli gabah umumnya pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang ini
merupakan mitra Kilang Padi (RMU) setempat, cara pembayarannya secara tunai,
harga ditentukan melalui kesepakatan tawar menawar.

Pasar gabah di tingkat petani cukup kompetitif, ditandai banyaknya


pedagang pembeli gabah, baik yang berasal dari desa setempat maupun dari
daerah lain. Pembeli gabah langsung mendatangi daerah persawahan yang
sedang panen lengkap dengan peralatan pendukung (timbangan, karung, mesin
perontok, buruh dan sarana transportasi). Umumnyapedagang gabah atau agen
tingkat desa merupakan mitra dari unit penggilingan padi.Setiap desa sentra
produksi padi paling sedikit terdapat satu unit RMU stationer. Untuk mendapatkan
kelangsungan bahan baku gabah tiap unit RMU mempunyai 10-15 pedagang
pengumpul. Pedagang pengumpul ini mendapat modal kerja dari pihak
penggilingan padi, dengan kewajiban gabah hasil pembeliannya harus digiling di
penggilingan padi miliknya, Persaingan antar RMU juga sangat ketat dalam
mendapatkan kontinuitas bahan baku gabah guna memperbesar kapasitas dan
volume usaha. Kadangkala pada saat terjadi kelangkaan gabah di wilayah
operasinya, pihak RMU membeli gabah dari luar wilayahnya bahkan sampai dari
luar kabupaten.

Struktur pasar gabah di tingkat petani cukup kompetitif, mengakibatkan


posisi tawar petani menjadi meningkat. Hasil penelitian ditingkat petani (kelompok
tani) di empat kabupaten contoh menunjukkan bahwa harga gabah yang diterima
petani pada panen MH 2010/2011 bulan November 2011 cukup stabil berkisar
antara Rp 3.500–Rp 4.200 per kg GKP, yaitu diatas harga dasar yang ditetapkan
pemerintah Rp 3.300/kg, dengan kadar air 25 persen dan hampa kotoran 10
persen.

Pola Distribusi Gabah/Beras

Pola distribusi gabah/beras di Aceh terdiri dari empat kelompok pelaku


utama, yaitu: (1) Pedagang pengumpul tingkat desa (pedagang lokal), (2)

710
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengusaha penggilingan padi kecil tingkat kecamatan, (3) Pedagang Besar


(kontraktor) punya RMU besar, dan (4) Pedagang antar provinsi (Gambar 1).

Pedagang pengumpul tingkat desa berperan membeli gabah petani berupa


GKP kemudian hasil pembeliannya disetor/dijual ke unit penggilingan padi (RMU).
(2) Pengusaha penggilingan (RMU) menampung hasil pedagang lokal, gabah
yang ditampung tersebut kemudian dikeringkan menjadi gabah kering giling
(GKG), atau pihak Penggilingan padi dapat langsung juga membeli gabah dari
petani. Gabah ini dapat digiling menjadi beras atau dijual kembali ke sub BULOG
atau ke pedagang besar, (3) Pedagang besar menampung gabah dari RMU atau
pedagang lokal kemudian dipasok ke sub BULOG setempat berupa GKG atau
dapat juga menjual beras ke pedagang perantara antar kota atau antar provinsi
atau langsung menjual beras ke pasar induk tingkat kabupaten atau provinsi
(grosir), (4) Pedagang antar provinsi umumnya yang diperdagangkan adalah
beras, ke pasar bebas, pengecer atau ke grosir antar provinsi.

Hasil wawancara dengan pemilik kilang padi di Kabupaten Pidie, hampir


tiap hari disaat panen raya toke-toke medan datang kesini membeli gabah dan
beras dari agen lokal. Harga gabah dan beras dibeli dengan harga rata-rata di
atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pedagang beras lebih senang menjual
ke toke Medan, disamping harga tinggi dan cara pembayarannya tunai.

Jika gabah dan beras tidak dijual ke Medan, Perum Bulog Provinsi Aceh
tidak sanggup menampung gabah petani, pada akhirnya harga gabah akan turun.
Realisasi pengadaan beras Perum BULOG Provinsi Aceh hingga Juni mencapai
sekitar 24 persen atau 16.678 ribu tondari target 65 ribu tonpada 2011. Minimnya
realisasi pengadaan beras dalam negeri itu akibat tingginya harga beli beras di
pasaran sedangkan Bulog menampung sesuai dengan harga pembelian
pemerintah (HPP). Target realisasi akan sulit tercapai, jika harga komoditas
tersebut terus mengalami lonjakan, jika BULOG tetap menampung dengan harga
HPP.

Harga beras yang lebih tinggi dari HPP menunjukkan dua sisi yang
berbeda.Di satu sisi mencerminkan keberhasilan kebijakan perberasan dalam
menjaga kepentingan petani dengan menikmati harga yang lebih baik.Sementara,
penyerapan beras oleh Bulog jadi tersendat karena kesulitan Bulog menambah
stok akibat harga HPP dibawah harga pasar.Padahal stok tersebut digunakan
tidak hanya untuk stabilisasi harga tetapi yang tak kalah penting adalah untuk
melayani keluarga miskin dengan penyaluran raskin oleh Bulog.

Pelaku distribusi beras di Kabupaten Pidie menyebutkan toke-toke medan


membeli beras dengan harga beras biasa, dengan menggunakan teknologi
penggilingan padi yang modernkemudian mareka menjual kembali ke Aceh dalam
kualitas yang berbeda super, medium dan premium.

Setiap kabupaten (Aceh Besar, Pidie, dan Pidie Jaya) memiliki dua sampai
tiga pedagang beras skala besar aktif melakukan kegiatan pemasaran beras.
Pedagang beras tersebut umumnya memiliki RMU dan lantai jemur. Pedagang

711
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

besar ini disamping mensuplai beras ke tingkat grosir di kabupaten atau antar
kabupaten juga sampai tingkat provinsi di Medan. Tingkat harga gabah yang
diterima petani berkisar dari Rp 3.800−Rp4.200/kg GKP.

Peta Perberasan di Provinsi Aceh

Pola panen padi musim hujan dimulai dari wilayah Timur yaitu kabupaten
Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Biruen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang
kemudian berlanjut ke bagian Barat yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya,
Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Masa panen dengan areal yang cukup luas
terjadi pada periode Januari-April, dengan masa puncak panen terjadi pada bulan
Pebruari-Maret. Lima kabupaten yang memiliki areal panen diatas puluhan ribu
hektar adalah kabupaten Aceh Utara, Bireun, Aceh Tamiang, Aceh Timur (BPS
Aceh, 2011).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibeberapa daerah masih terdapat


senjang hasil yang cukup lebar antara hasil riil yang dapat dicapai petani saat ini
dengan potensi hasil dari lahan sawahnya.Di kabupaten Aceh Barat (kecamatan
Woyla) dengan penerapan teknologi varietas unggul baru, dan pemupukan
berimbang, hasil riil yang dapat dicapai sampai 7 tonGKP/ha, sedang rata-rata
produksi riil petani baru 4 - 5 tonGKP/ha.

Tantangan bagi BPTP Aceh untuk membuat peta produksi padi diwilayah
kerjanya untuk mengetahui daerah-daerah dengan produksi riil petani sudah
mendekati produksi potensial lahannya. Pengkajian dapat diarahkan kedaerah-
daerah yang masih memiliki kesenjangan hasil yang cukup besar, agar potensi
sumberdaya lahannya dapat dimanfaatkan secara lebih optimal.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Turunnya Harga Gabah

Walaupun pada musim panen ini (Januari-Maret) tidak dijumpai turunnya


harga gabah di tiga kabupaten contoh, dimana harga gabah yang terjadi masih
berkisar pada harga dasar yang ditetapkan pemerintah.Namun menurut
pengalaman petani pergerakan turunnya harga gabah kadang-kadang terjadi tiba-
tiba. Pergerakan turunnya harga gabah umumnya lebih cepat dibandingkan
dengan turunnya harga beras, menurut pengalaman petani harga beras relatif
lebih stabil dibandingkan dengan harga gabah.

Turun naiknya harga gabah ditingkat petani disebabkan oleh : 1). Kualitas
gabah. Kualitas gabah yang dihasilkan petani sangat mempengaruhi tingkat
harga yang diterima. Kualitas gabah dapat disebabkan oleh faktor biofisik tanah,
sebagai contoh kualitas gabah di kabupaten Aceh Utara lebih baik dibandingkan
dengan gabah di kabupaten Aceh Barat (jumlah butir hampa, dan rendemen).
Curah hujan saat panen sangat mempengaruhi kualitas gabah, curah hujan yang
cukup tinggi pada saat panen mengakibatkan kadar air gabah menjadi tinggi,
proses pengeringan menjadi masalah sehingga akan menurunkan harga gabah.
Kualitas gabah juga dipengaruhi oleh cara dan alat panen yang digunakan,

712
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

perontokan tanpa power-thresher mengakibatkan kadar kotoran dan kehilangan


gabah menjadi tinggi. 2). Pola tanam. Pola tanam yang tidak serempak antar
lokasi atau kabupaten mengakibatkan masa panen juga tidak serempak, hal ini
akan menghindari terjadinya over supply, dengan demikian tingkat harga gabah
dapat dipertahankan. Pola tanam tidak serempak berdampak positif terhadap
harga produksi gabah, tapi perlu diantisipasi serangan hama dan penyakit.
Operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog, menurut petani kadang-kadang
terlambat dilakukan.Seyogyanya operasi pasar dilakukan sebelum harga jatuh,
operasi pasar segera dilakukan apabila terjadi panen serempak pada hamparan
yang cukup luas, serta bila pada saat panen terjadi hujan yang berkepanjangan.

Rekomendasi

1. Penyediaan stok pupuk dan obat dapat meminimalisir peran spekulan yang
dapat menyebabkan biaya produksi beras menjadi tinggi.
2. Penyediaan bibit unggul membantu petani menghasilkan kualitas padi dan
jumlah panen yang meningkat, sehingga mampu mendongkrak margin
keuntungan petani. Bantuan sarana pertanian dapat dijadikan insentif untuk
meminimalisir keinginan petani padi dalam mengalihfungsikan lahannya.
3. Perlunya pembangunan jalur irigasi yang mendukung peningkatan produksi
padi terutama di daerah-daerah yang belum memiliki saluran irigasi yang
memadai sekaligus pemeliharaan jalur irigasi yang telah ada di sentra-sentra
produksi padi.
4. Alih Fungsi lahan pertanian (sawah) menjadi lahan perkebunan serta ancaman
menyusutnya lahan pertanian akibat komersialisasi perlu dibatasi dan diatur
dengan baik sehingga pemenuhan kebutuhan stok pangan yang berasal dari
dalam Provinsi Aceh minimal dapat dipertahankan/ditingkatkan.
5. Perbaikan infrastruktur jalan dan jembatan diperlukan dalam rangka
memperlancar kegiatan arus barang keluar masuk Provinsi Aceh.

KESIMPULAN

1. Struktur pasar gabah/beras di Aceh cukup kompetitif, ditandai banyaknya


pelaku pasar baik ditingkat desa, kecamatan maupun kabupaten.
2. Pola distribusi gabah/beras sudah terbentuk sejak lama didukung oleh
infrastruktur yang memadai, distribusi gabah/beras mulai dari produsen
(petani) ke pengumpul desa, penggilingan padi (RMU), sub BULOG, maupun
ke pedagang besar dan pedagang antar provinsi cukup lancar.
3. Penurunan harga gabah di tingkat petani disebabkan oleh faktor alam yaitu
faktor biofisik tanah, cuaca, serta alat panen dan prosesing yang digunakan
petani, kesemua itu mengakibatkan kualitas gabah menjadi menurun sehingga
harganya turun.
4. Antisipasi turunnya harga dapat dilakukan melalui mengatur pola tanam padi
secara bergelombang secara alami sesuai faktor ketersediaan air dan iklim,
seperti yang berlaku saat ini masa tanam padi sesuai kondisi masing-masing
wilayah serta meningkatkan efektivitas operasi pasar yang dilakukan oleh
Bulog.

713
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

5. Kelompok tani atau petani sebagai produsen tidak lagi menjual gabah tetapi
mampu menjual beras, nilai tambah beras akan dapat dinikmati oleh anggota
kelompoknya sendiri. Dengan demikian agribisnis beras ditingkat kelompok
tani bisa berjalan dengan baik.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Memberdayakan kelompok-kelompok tani di sentra-sentra produksi padi


dengan memperkuat modal mereka melalui pemilikan RMU skala kecil dan
alat pengering sendiri, hal ini akan dapat mengurangi kejenuhan pasar gabah.
2. Tantangan bagi BPTP Aceh untuk dapat membuat peta produksi padi di
wilayah kerjanya. Peta tersebut dapat menggambarkan daerah-daerah
dimana produksi riil petani sudah mendekati produksi potensial lahannya, dan
daerah-daerah dimana produksi riil petani masih jauh dari produksi potensial
lahannya, atau dengan kata lain dimana senjang hasil (yield gap) masih lebar.
Dengan adanya peta ini akan mempermudah bagi pelaksanaan penelitian dan
pengkajian memilih lokasi. Prioritas lokasi pengkajian tentunya diarahkan ke
daerah yang memiliki senjang hasil cukup lebar, dengan tujuan untuk
mempersempit senjang hasil tersebut agar produksi riil petani dapat mendekati
atau bahkan menyamai produksi potensial lahannya. Hal ini akan
mengoptimalkan sumberdaya lahan yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous 2010. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi


Aceh, Banda Aceh.----------------- 2010. Laporan Badan Usaha Logistik
Provinsi Aceh, Banda Aceh.
Aceh Dalam Angka. 2011. Biro Pusat Statistik Provinsi Aceh, Banda Aceh
Achmad Suryana, Studi Mardianto dan Moh. Ihksan, 2001. Dinamika Kebijakan
Perberasan Nasional. Sebuah Pengantar. Dalam Bunga Rampai Ekonomi
Beras. Penyunting, Achmad Suryana dan Sudi Mardianto. Penerbit,
Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas EKonomi
Universitas Indonesia (LPEM – FEUI).
Amang, Beddu dan M. Husein Sawit, 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional,
Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi Edisi Kedua, IPB Press,
Bogor
Bambang Prijambodo, 2001. Kondisi Ekonomi Makro dan Keuangan Pemerintah
Dalam kebijakan Beras Nasional. Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras.
Penyunting, Achmad Suryana dan Sudi Mardianto.Penerbit, Lembaga
Penjelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas EKonomi Universitas
Indonesia (LPEM – FEUI).
Chamber, 1995.PRA .Participatory Rural Appraisal. Memahami Desa Secar
Partisipatif, Kanisius, dan Oxfarm, Yayasan Mitra Tani Yogyakarta.
Kasryno, F., E. Pasandaran dan A.M. Fagi (ed.). 2004. Ekonomi Padi dan
Beras.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Las, I., E. Surmaini, A Ruskandar. 2008. Antisipasi Perubahan Iklim: Inovasi
Teknologi dan Arah Penelitian Padi di Indonesia dalam : Prosiding Seminar
Nasional Padi 2008. Inovasi Teknologi Padi MengantisipasiPerubahan
Iklim Global Mendukung Ketahanan Pangan. BB Padi.

714
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Simatupang, P., 2001. Kebijakan Harga Gabah Mengambang Terkendali Sebagai


Opsi Pengganti Harga Dasar Gabah. Dalam Bunga Rampai Ekonomi
Beras. Penyunting, Achmad Suryana dan Sudi Mardianto.Penerbit,
Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas EKonomi
Universitas Indonesia (LPEM – FEUI).

715
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KAJIAN FAKTOR PERCEPATAN ADOPSI TEKNOLOGI PENGELOLAAN


TANAMAN TERPADU (PTT) PADI SAWAH DI KABUPATEN BIREUEN
PROVINSI ACEH

Nazariah

Penyuluh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh


Jl. P. Nyak Makam No. 27 Banda Aceh
Email : nyak_raja@yahoo.co.id

ABSTRAK

Produktivitas padi di Aceh rata-rata 4,2 ton/ha, hasil pengkajian 8 ton/ha.


Senjang 3,8 ton/ha fakta masih adanya peluang peningkatan produktivitas melalui
dukungan inovasi. Pengkajian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis
faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi PTT padi sawah. Merupakan
pengkajian survei, dilaksanakan pada lokasi yang telah melaksanakan program
SL-TT yang terbagi dalam 3 kategori; (1) Kecamatan Kota Juang sebagai lokasi
yang telah mantap; (2) Kecamatan Peudada sebagai daerah pengembangan dan
(3) Kecamatan Jeunib sebagai daerah pertumbuhan. Setiap kecamatan dipilih 2
desa, setiap desa dipilih dua kelompok tani (Poktan), yaitu (a) Poktan yang
mendapat program SL-PTT Padi, dan (b) Poktan yang non SL-PTT Padi. Hasil
penelitian menunjukkan Komponen teknologi PTT padi sawah yang sudah
diadopsi oleh petani di Kabupaten Bireuen adalah; (1) Penggunaan varietas
unggul baru (100%), (2) Benih bermutu dan berlabel 70%, (3) Pengolahan tanah
sempurna (100%), (4) Penggunaan bibit muda/umur dibawah 21 hari (73%), (5)
Tanam bibit 1 – 3 per rumpun (77%), dan (6) Panen serta pasca panen (83%).
Sedangkan faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi PTT padi sawah adalah :
(1) Teknologi yang dilaksanakan mudah, tidak rumit (2) Teknologi yang murah
akan tetapi sesuai dengan kondisi masyarakat dan (3) Teknologi baru dapat
memberikan keuntungan yang lebih kepada mereka (meningkatkan hasil).

Kata kunci : Adopsi, Teknologi, PTT padi sawah, Bireuen Aceh

PENDAHULUAN

Usaha agribisnis padi di Aceh umumnya belum secara optimal menerapkan


inovasi teknologi, sehingga produktivitasnya masih tergolong relatif rendah. Pada
sisi lain, produktivitas padi bervariasi menurut lokasi, baik karena perbedaan
agroekosistem, kondisi sosial, budaya petani dan respon petani terhadap inovasi.
Senjang produktivitas padi sebesar 3 ton/ha pada tingkat penelitian (sekitar 8
ton/ha) dengan produktivitas nasional rata-rata 5,16 ton/ha merupakan fakta masih
adanya peluang peningkatan produktivitas padi terutama melalui dukungan inovasi
(Soebagyono,2012).

Provinsi Aceh memiliki potensi cukup besar di bidang pertanian, terutama


tanaman pangan. Luas lahan sawah irigasi di Aceh 214.939 ha dengan
produktivitas 4,2 ton/ha sedangkan produktivitas padi dataran tinggi 3,74 ton/ha.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi,
salah satunya melalui pendekatan Teknologi Tanaman Terpadu (PTT), dimana

716
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sudah mulai diperkenalkan kepada petani di Aceh sejak tahun 2004. Dalam upaya
pencapaian surplus beras 10 juta ton di tahun 2014, provinsi Aceh di tahun 2012
melaksanakan kegiatan SL-PTT padi pada 2.922 unit dengan luas areal 29.300
ha. Kabupaten Bireuen merupakan salah satu wilayah yang mendapat program
SL-PTT padi sawah dari pemerintah. Pengkajian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menganalisis faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi
PTT padi sawah di Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Bireuen (purposive),yaitu: (1)


Kecamatan Kota Juang (Desa Geulanggang Gampong dan Desa Meunasah
Gadong) sebagai lokasi yang telah mantap; (2) Kecamatan Peudada (Desa
Meunasah Blang dan Meunasah Cut) sebagai daerah pengembangan dan (3)
Kecamatan Jeunib (Desa Cot Glumpang Tunong danDesa Tufah) sebagai daerah
pertumbuhan,desa yang terpilih merupakan sentra produksi padi. Pemilihan
responden secara acak sederhana. Waktu pengkajian Maret sampai Nopember
2014. Responden adalah petani yang mendapat dan tidak mendapat (non)
program SLPTT (purposive sampling). Pengumpulan data primer secara
crossectional, dengan metode survei melalui Focus GroupDiscussion (FGD) dan
wawancara mendalam (indepth interview), data sekunder diperoleh dari instansi
terkait ditingkat Provinsi (Dinas, Bakorluh, dan BPTP), Kabupaten (Dinas dan
Bapeluh) dan Kecamatan (BPP).Analisis datasecara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Responden yang disurvei dalam pengkajian ini dibagi dalam 2 kategori,


yaitu; petani SL-PTT padi sawah dan petani non SL-PTT. Petani yang menjadi
responden dalam pengkajian ini 100% laki-laki. Sebanyak 60,67% dari jumlah
responden baik yang terlibat SL-PTT maupun non SL-PTT memiliki umur antara
40 – 54 tahun, merupakan usia yang produktif dalam usahatani padi dengan
pengalaman lebih dari 20 tahun. Responden telah mendapatkan berbagai
teknologi budidaya padi untuk meningkatkan produktivitas, meskipun hanya
memiliki tingkat pendidikan SD, akan tetapi memiliki memampuan untuk menilai
suatu inovasi layak atau tidak untuk diadopsi.Luas lahan garapan rata-rata 0,5 ha.

Sumber mata pencaharian utama petani padi sawah juga sangat tergantung
pada luas lahan yang mereka garap. Petani yang mempunyai lahan yang luas
cenderung lebih mudah menerima inovasi baru dibandingkan dengan petani yang
lahannya sempit. Petani kecil yang memiliki luas lahan skala 0,1 - 0,5 ha, pada
umumnya lemah modal, sehingga kemampuan untuk menyediakan sarana
produksi (pupuk, pestisida) sebatas kemampuan yang ada (Sumarno. 2012).
Semakin luas lahan biasanya akan semakin cepat dalam mengadopsi inovasi.
Bagi petani yang mempunyai lahan sempit resiko menjadi pertimbangan utama
untuk menerapkan teknologi baru.

717
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Keragaan Penerapan Teknologi

Hasil pengkajian menunjukkan 70% responden telah menggunakan benih


bermutu dan berlabel, sedangkan responden non SL-PTT baru 67%. Hal ini
disebabkan benih tidak tersedia saat waktu penyemaian, sehingga petani
menggunakan benih VUB yang tidak bersertifikat. Dosis pupukyang digunakan
didasarkan pada ketesedian modal kerjayang dimiliki. Petani belum memiliki
informasi tentang Bagan Warna Daun (BWD), Perangkat Uji Tanah sawah (PUTS)
atau Peta Status Hara P dan K yang dapat dipergunakan untuk mengetahui
kebutuhan unsur hara tanaman. Pemberian bahan organik belum terbiasa
dilakukankhususnya penggunaan pupuk kandang meskipun petani memiliki ternak
sapi, kambing dan unggas. Pemakaian bahan organik hanya dilakukan oleh
sebagian kecil petani yang terlibat dalam program SL-PTT karena mereka
mendapat bantuan bahan organik dari Dinas Pertanian.

Petani sudah menggunakan pola tanam sistem jajar legowo (Jurong)


meskipun belum sesuai dengan yang direkomendasikan. Sebanyak 7% responden
SL-PTT pada semua daerah pengkajian, yang menerapkan jurong 2:1 dan 4:1.
Kebanyakan responden (80%) dengan pola tanam jurong rata-rata 8 : 1 (80%),
sisa lainnya (13%) masih menanam sitem tegel. Sedangkan responden di daerah
non SL-PTT (97%) menggunakan jurong 8:1 dan responden lainnya 3% bertanam
sistem tegel. Rendahnya penggunaan sistem jurong 2:1 dan 4: 1, hal ini
disebabkan petani masih merasa sayang dengan tanah adanya yang tidak
digarap, selain itu upah tanam lebih mahal. Erythrina (2012) menyatakan
rendahnya adopsi teknologi system tanam legowo karena mahalnya biaya
produksi dan benih yang diperlukan lebih banyak.

Pengendalian organisme peganggu pada tanaman padi dengan


pendekatan pengendalian hama terpadu (PHT), baru dilakukan oleh 3%
respondenSL-PTT, baik pada daerah pemantapan maupun lokasi baru. Sejumlah
40% responden telah melaksanakan, meskipun belum sesuai dengan prinsip
PHT, sedangkan 57% responden lainnya dapat dikatakan belum menerapkan
PHT.

Paket Teknologi PTT padi sawah, selain memiliki 6 komponen teknologi


utama (dasar) juga memiliki 6 komponen teknologi pilihan. Penggunaan komponen
teknologi pilihan oleh responden masih terbatas. Seluruh responden SL-PTT dan
non SL-PTT (100%) telah melakukan olah tanah sempurna. Pada penggunaan
(dasar)bibit muda yang berumur dibawah 21 hari; Sebanyak 73% responden non
SL-PTT sudah menerapkan, sedangkan responden SL-PTT (77%) baru
menerapkan. Responden non SL-PTT (27%) memindahkan tanaman padi ketika
persemaian berumur antara 20 – 25 hari dengan alasan untuk mengantisipasi
serangan hama keong mas. Sementara masih ada petani non SL-PTT di daerah
pengembangan yang masih memindahkan bibit umur 25 – 30 hari.

Irigasi berselang belum dilakukan seluruh petani. Hal ini disebabkan


ketersediaan air irigasi masih menjadi kendala utama pada semua wilayah.

718
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kurschner dkk., (2010) menyatakan hasil panen padi meningkat sekitar 400 –
500 kg/ha atau setara 10%, disamping tanaman padi dibawah irigasi berselang
nampaknya lebih kuat dan sehat serta mempunyai anakan dan malai lebih banyak.
Sementara petani mengungkapkan kekhawatiran apabila melakukan irigasi
berselang kemungkinan besar mereka tidak mendapatkan air lagi saat tanaman
padi membutuhkannya. Semua petani cenderung mempertahankan air yang
menggenangi sawah mereka.

Semua petani (100%) belum menggunakan alat gastrok untuk menyiangi


lahan sawah. Umumnya masih melakukan secara manual, yaitu mencabut,
menyiang dan membuang gulma yang ada dalam tanaman padi. Penggunaan
gastrok belum membudaya. Minimnya informasi tentang gastrok menyebabkan
petani di lokasi pengkajian belum mengetahui adanya alat tersebut.

Pengelolaan panen dan pasca panen telah sesuai dilakukan oleh petani
sebanyak 83%, sedangkan 17% lainnya mengungkapkan bukan tidak melakukan
pasca panen yang benar akan tetapi kendala mereka adalah terbatasnya mesin
perontok gabah (tresher) sehingga harus menunggu 1 – 2 hari baru mendapat
giliran untuk perontokan.

Alur Adopsi Teknologi

Hasil pengkajian juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan tingkat


penerapan teknologi pada petani yang terlibat program SL-PTT padi sawah
maupun non SL-PTT. Petani mendapatkan informasi teknologi paket teknologi
PTT dari penyuluh pertanian lapangan (PPL). Selain itu ada petani yang mencari
informasi langsung ke Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan ada juga yang
belajar dari petani yang sukses.

Adopsi teknologi PTT padi sawah masih terbatas pada komponen teknologi
pemakaian varietas unggul baru dan benih berlabel. Mudahnya petani menerima
varietas baru dan benih berlabel karena dari pengalaman bercocok tanam padi,
varietas unggul baru dan benih berlabel menjadi faktor utama dalam peningkatan
produksi padi. Disamping itu, sudah membudaya petani tidak lagi menyimpan
benih sendiri akan tetapi membeli benih baru setiap musim tanam. Sedangkan
komponen teknologilainnya masih dalam tahapan uji coba.

Kelompok tani (poktan) maupun gabungan kelompok tani (gapoktan) yang


mendapatkan SL- PTT didampingi PPL, sementara PPL mendapat informasi dan
belajar PTT padi sawah dari demplot/demfarm yang ada di Laboratorium Lapang
(LL) dikembangkan oleh BPTP Aceh pada beberapa lokasi di Kabupaten Bireuen.
Sebagian PPL juga sudah mendapatkan pelatihan tentang SL-PTT padi sawah.

Kegiatan demplot atau demfarm merupakan metoda yang paling efektif


untuk merubah pengetahuan, ketrampilan dan sikap, baik dengan pendekatan
kelompok maupun perorangan, karena melalui metoda ini petani secara langsung
dapat melaksanakan, melihat langsung hasilnya sehingga menjadi lebih yakin dan
percaya. Faktor kelayakan teknis, ekonomi dan sosial menjadi pertimbangan

719
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

utama bagi petani untuk mengadopsi inovasi pertanian yang diintroduksikan


(Ariani dkk., 2012). Seringkali petani dihadapkan pada benih padi yang tidak
tersedia, seperti varietas unggul yang diintroduksikan.

Pendampingan yang baru dapat dilakukan penyuluh pertanian jauh dari ideal,
hal ini disebabkanjumlah penyuluh tidak sebanding dengan jumlah kelompok tani,
akibatnya pertemuan kelompok hanya dapat dilakukan 3-5 kali pertemuan setiap
musim, dengan tingkat kehadiran peserta saat pertemuan, bervariasi antar
kelompok tani sekitar 80-95 persen (Supriadi dkk.,2012).

Faktor-faktor yang Mempengaruh Percepatan Adopsi PTT Padi Sawah

Percepatan adopsi teknologi PTT padi sawah di Kabupaten Bireuen tidak


dipengaruhi oleh karakteristik responden, seperti; umur, pendidikan dan
pengalaman petani dalam bercocok tanam padi. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat
adopsi yang sama meskipun karakteristik petani berbeda. Hasil pengkajian
menunjukkan tingkat adopsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
teknologi yang dilaksanakan mudah, tidak rumit. Teknologi tersebut juga murah
akan tetapi sesuai dengan kondisi masyarakat serta teknologi baru dapat
memberikan keuntungan yang lebih kepada mereka (meningkatkan hasil).
Teknologi PTT padi sawah yang bersifat seperti tersebut diatas cenderung lebih
cepat diadopsi petani.

Dari berbagai komponen teknologi dasar dan pilihan PTT padi sawah, yang
belum diadopsi responden ialah: pengairan berselang,penggunaan pupuk organik,
penyiangan dengan gasrok. Beberapa komponen teknologi yang masih terbatas
diadopsi oleh beberapa petani yaitusistem tanam jajar legowo, penambahan
bahan organik ke dalam tanah, penggunaan bibt muda, tanam bibit 1-3
batang/rumpun per lubang, pengairan intermiten dan pemupukan N menggunakan
BWD (Sumarno dan Kartasasmita 2011; Ariani dkk., 2012).

Adopsi teknologi padi masih berjalan lambat, hal ini disebabkan tidak
semua pilihan komponen teknologi yang tersedia dalam pendekatan PTT padi
dapat dengan mudah diadopsi oleh petani (Sembiring dkk., 2012). Penerapan
inovasi baru bukan hanya keputusan ya atau tidak, petani dapat memutuskan
untuk menerapkan inovasi tertentu saja, ketika beberapa komponen terlibat dan
tidak untuk yang lainnya (Noltze, dkk., 2012).

Beberapa langkah yang harus ditempuh untuk menyebarluaskan teknologi


kepada pengguna yang lebih luas yaitu: (1) Melakukan internalisasi, sosialisasi,
advokasi dan promosi, (2) Mewujudkan dukungan kelembagaan, (3) Membangun
kemitraan, (4) melakukan pendampingan dan (5) Memperderas arus diseminasi
dengan memanfaatkan berbagai saluran (channel) untuk menghasilkan spectrum
yang lebih luas (Hendayana, 2011; Subagyono, 2012;).

720
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

Percepatan adopsi teknologi PTT padi sawah di Kabupaten Bireuen tidak


dipengaruhi oleh karakteristik responden, seperti; umur, pendidikan dan
pengalaman petani dalam bercocok tanam padi. Komponen teknologi PTT padi
sawah yang sudah diadopsi oleh petani/responden adalah; (1) Penggunaan
varietas unggul baru (100%). Benih bermutu dan berlabel 70%, Pengolahan
tanah sempurna (100%), Penggunaan bibit muda/umur dibawah 21 hari (73%),
Tanam bibit 1 – 3 per rumpun (77%), dan Panen serta pasca panen (83%).Tidak
terdapat perbedaan tingkat penerapan teknologi pada petani yang terlibat program
SL-PTT padi sawah maupun non SL-PTT. Dari berbagai komponen teknologi
dasar dan pilihan PTT padi sawah, yang belum diadopsi responden ialah:
pengairan berselang, penggunaan pupuk organic dan penyiangan dengan gasrok.

Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi PTT padi sawah di


Kabupaten Bireuen adalah; (1) Teknologi yang dilaksanakan mudah, tidak rumit,
(2) Teknologi yang murah akan tetapi sesuai dengan kondisi masyarakat dan (3)
Teknologi baru dapat memberikan keuntungan yang lebih kepada mereka
(meningkatkan hasil).

SARAN

Peningkatan penerapan inovasi PTT padi sawah dapat dilakukan dengan


meningkatkan pengetahuan dan keterampilan PPL sebagai agen pembawa
informasi inovasi. Peningkatan kualitas SDM penyuluhan tersebut dapat ditempuh
melalui peningkatan intensitas pelatihan dan demontrasi plot bagi PPL.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M., R. Umiarsih., Maureen dan D. Haryani. 2012. Analisis adopsi,


kelayakan dan sumber informasi komponen teknologi PTT di provinsi.
Banten. hlm 20-36. DalamM. Ariani, Ai. Dariah, E.E. Ananto,K.
Erythrina. 2012. Keragaan pengelolaan tanaman terpadu padi sawah pada SL-PTT
di Kabupaten Subang. Propinsi Jawa Barat. Makalah disajikan pada
seminar Nasional Badan Litbang Pertanian. Medan 2012.
Hendayana, R. 2011. Penguatan modal petani pada gabungan kelompok
tanipenerima BLM PUAP. hlm 13-24. DalamK.Subagyono, R. Hendayana,
S.Bustaman (Penyunting). Petani Butuh Modal. Badan Litbang Pertanian.
Kurschner,K, C. Henschel, C.T. Hildebrant, E. Julich, M. Leineweber and C. Paul.
2010. Water saving in rice production – disessemination, adoption ant short
term impacts of alternate wetting and drying (AWD) in Bangladesh. SLE
Publication Seriea - S241
Noltze. M, S. Schwarze and M. Caim. 2012. Understanding the adoption of system
technologies in smallholder’s agriculture: The system of rice intensification
(SRI) in Timor Leste. Agricultural Systems.
Sembiring, Lukman Hakim, I Nyoman W, dan Zulkifli Zaini. 2012. Evaluasi adopsi
pengelolaan tanaman terpadu dalam sekolah lapang pada program nasiona
lpeningkatan produksi tanaman pangan. Makalah disajikan pada Seminar
Nasional Badan Litbang Pertanian. Medan 2012

721
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Soebagyono,K.2012. Inovasi Pengelolaan Air Spesifik Lokasi Untuk Peningkatan


Produktivitas Padi. Buku Teknologi Untuk Petani.2013
Sumarno. 2012. Pemilihan teknologi untuk mengantisipasi kekurangan produksi
beras nasional tahun 2015-2035. hlm 127-154. Dalam E.E. Ananto,S
Pasaribu,M. Ariani, B. Sayaka,N.S.Saad,K. Suradisastra, K.Subagyono,H.
Soeparno,F. Kasryno,E. Pasandaraan, R.Hermanto (Ed.).Kemandirian
Pangan Indonesia dalam Perspektif Kebijakan MP3EI. IAARD Press.
Litbang Pertanian.
Sumarno dan U.G. Kartasasmita. 2011. Analisis tingkat adopsi padi
sawah,mengacu produktivitas dan berkelanjutan. Laporan akhir
penelitian.Puslitbang Tanaman Pangan,Bogor.
Supriadi, H., I. W. Rusasatra dan Ashari. 2012.Analisis kebijakan dan program SL-
PTT menunjang peningkatan produksi padi nasional. Laporan Hasil
Penelitian PSE-KP

722
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KAJIAN PENERAPAN SISTEM PTT PADI DI KABUPATEN ASAHAN


(Studi Kasus : Kecamatan Meranti dan Kecamatan Rawang Panca Arga)

Idri Hastuty Siregar, Helmi, dan Riri Rizki Chairiyah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H. Nasution No. 1B Medan Sumatera utara
Email : hastuty_idri@yahoo.com

ABSTRAK

Sebuah survei mengenai penerapan PTT padi terhadap peningkatan


produktivitas padi di Kabupaten Asahan (Kecamatan Meranti dan Rawang Panca
Arga) Sumatera Utara telah dilakukan pada bulan Juni dan September 2015.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengisi kuisioner serta mentabulasi data
yang diperoleh dengan analisa deskriptif frekuensi menggunakan SPSS versi 20.
Selanjutnya, untuk pendalaman informasi dilakukan wawancara terhadap petani
serta PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Dari hasil survei diperoleh kesimpulan
bahwa penerapan komponen PTT padi belum secara menyeluruh dilaksanakan
oleh petani. Peningkatan provitas masih dapat diperoleh dengan mendorong
adopsi PTT padi oleh petani. Strategi penyuluhan yang tepat sangat dibutuhkan
untuk mendorong perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani agar
mau menerapkan praktek pertanian yang baik dan benar.

Kata kunci : Varietas, benih unggul, hama, dan penyakit

PENDAHULUAN

Data BPS (2014): luas baku sawah di Kabupaten Asahan 10.415 Ha,
dengan produktivitas padi 56,11 Kw/Ha. Rata-rata kepemilikan lahan petani adalah
1,17 Ha, mengindikasikan bahwa mayoritas petani di kabupaten ini adalah petani
berlahan sempit (small scale farming) dan pengelolaan lahan masih secara
sederhana. Rata-rata produktivitas padi yang dicapai masih termasuk rendah
dibandingkan dengan potensi hasil dari suatu benih unggul padi. Banyak faktor
yang mempengaruhi dalam usaha meningkatkan produktivitas padi, antara lain:
penggunaan benih unggul yang adaptif, pengelolaan lahan, teknik irigasi,
manajemen pemupukan, pengendalian hama terpadu serta penanganan pasca
panen. Berbagai program telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengedukasi
petani agar memahami dan melaksanakan teknik budidaya padi yang baik.
Pendekatan yang dianjurkan pemerintah tidak hanya memprioritaskan
peningkatan kesejahteraan petani, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan
lingkungan, serta menjamin keamanan dan kesehatan pangan. Salah satu
pendekatan yang ditawarkan pemerintah adalah pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) Padi. Pendekatan PTT telah dilaksanakan secara
nasional mulai tahun 2008 dan berlanjut hingga sekarang dengan berbagai
perbaikan dan penyempurnaan dari sisi perencanaan, pelaksanaan dan
pengawalan serta pendampingan. Pendekatan PTT menawarkan pendekatan
intensifikasi bersifat spesifik lokasi, tergantung pada masalah yang akan diatasi

723
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(demand driven technology) (Pedoman Teknis GP-PTT Padi, 2015). Pendekatan


PTT padi sawah menyediakan beberapa pilihan komponen teknologi yang
dikelompokkan menjadi komponen teknologi dasar dan komponen teknologi
pilihan. Komponen teknologi dasar adalah sekumpulan teknologi yang dianjurkan
untuk diterapkan semuanya sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi
dengan input yang efisien sebagaimana menjadi tujuan dari PTT meliputi: (1)
penggunaan varietas padi unggul, (2) benih bermutu dan berlabel/bersertifikat, (3)
pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah,
dan (4) pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT).

Sedangkan komponen pilihan adalah komponen penunjang yang tidak


mutlak harus diterapkan tetapi lebih didasarkan pada spesifik lokasi maupun
kearifan lokal dan telah terbukti serta berpotensi meningkatkan produktivitas
meliputi: (1) pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, (2) penggunaan bibit
muda (< 21 HSS), (3) pengaturan populasi tanaman secara optimum (jajar
legowo), (4) pemberian bahan organik berupa kompos atau pupuk kandang serta
pengembalian jerami ke sawah sebagai pupuk dan pembenah tanah, (5)
pengairan berselang (intermiten irrigation) secara efektif dan efisien, dan (6) panen
dan penanganan pasca panen yang tepat (Pedoman Teknis GP-PTT Padi, 2015).

Tujuan survei untuk mengetahui sejauh mana implementasi PTT padi yang
telah diterapkan oleh petani di Kabupaten Asahan (studi kasus : Kecamatan
Meranti dan Kecamatan Rawang Panca Arga). Melalui hasil survei ini, diharapkan
dapat memberikan informasi tentang komponen-komponen mana pada PTT Padi
yang belum optimal dilaksanakan oleh petani dilapangan, serta penyebabnya
sehingga pemerintah pusat maupun daerah dapat menyusun strategi untuk
menuntaskan permasalahan tersebut.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilakukan pada bulan Juni dan September 2015. Kuisioner


implementasi PTT padi dibuat sebagai bahan wawancara kepada 55 orang petani
dari 2 kecamatan, yaitu Meranti (Desa Serdang, Sukajadi, dan Air Putih) dan
Rawang Panca Arga (Desa Rawang Pasar IV, Rawang Pasar V, dan Rawang
Pasar VI). Pengambilan data bersama PPL dari desa sampel. Wawancara lebih
lanjut dilaksanakan untuk menggali informasi yang lebih dalam.

Analisa statistik dilakukan dengan SPSS versi 20. Analisa statistik secara
deskriptif frekuensi dengan menghitung persentasi, mean, median, minimum,
maksimum, dan standar deviasi dari setiap variabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepemilikan lahan

Dari 55 responden, kepemilikan lahan petani di 2 Kecamatan (Meranti dan


Rawang Panca Arga), Kabupaten Asahan rata-rata 1,1 Ha. Terdapat 3 dari 55
petani hanya mempunyai lahan seluas 0,2 Ha (lahan terkecil), dan 2 orang petani

724
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

memiliki lahan 3 ha (lahan terluas). Mayoritas petani (29 orang) mempunyai lahan
seluas 1 Ha.

Komponen PTT Padi

1. Varietas Unggul Baru


VUB yang paling banyak dibudidayakan di Kecamatan Meranti dan
Rawang Panca Arga adalah Ciherang ditanam 49 (89%) petani, selanjutnya
Mekongga (3 petani), Cibogo (1 petani) dan Sunggal (1 petani). Adapun alasan
petani menyukai Ciherang adalah bobot berat panen lebih tinggi dari Inpari dan
Mekongga. Menurut petani, walaupun varietas Ciherang rentan terhadap penyakit,
tetapi bobot panen lebih berat sekitar 20% dari varietas lain. Varietas Mekongga
juga mulai banyak ditanam petani dan diikuti penumbuhan penangkar benih. Di
kecamatan ini, petani pernah menanam varietas Inpari 13. Pertumbuhan varietas
ini cukup bagus tetapi bobot berat panen masih lebih rendah dibandingkan varietas
Ciherang.

2. Bibit Bermutu dan Sehat (Perlakuan Benih)

Perlakuan benih yang dilakukan oleh petani sangat bervariasi (Tabel 1).

Tabel 1. Jenis-jenis perlakuan benih serta jumlah petani yang menerapkannya


Jumlah
No. Jenis Perlakuan Benih
Petani
1. Larutan garam 17
2. Larutan organik (merk Bio 7) 2
Larutan pestisida (merk Antonik, Blast, Kurater, Samponen,
3. 16
Trisula)
4. Larutan Cruiser + ZPT 2
5. Tidak memberikan perlakuan benih 18

Hanya 17 (30%) petani memberikan perlakuan perendaman dengan


larutan garam dan sebayak 18 (32%) tidak memberikan perlakuan benih.
Perlakuan benih dengan larutan garam 3% sangat perlu dilakukan karena
bertujuan untuk menyeleksi bibit yang bernas dan vigor tinggi (daya kecambah
diatas 80%) (Pedoman Teknis GD-PTT Padi, 2015). Petani 16 (29%) melakukan
perendaman dengan larutan pestisida dari berbagai merek. Terdapat 2 orang
petani menggunakan pestisida Cruiser, yaitu perlakuan benih insektisida yang
bersifat sistemik. Zat ini diserap lewat akar dengan sempurna dan ditranslokasikan
ke semua bagian tanaman, termasuk titik tumbuh (https:// eastjavacruiser.
wordpress.com). Banyak penelitian di Amerika dan Eropa telah menyatakan
bahwa bahan aktif Cruiser, yaitu thiametoksan termasuk ke dalam group polutan
organik yang persisten (POPs) yang dapat menyebabkan dampak negatif jangka
panjang yang serius terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Sehingga
penggunaan bahan ini harus mendapatkan kontrol yang ketat dari pemerintah
(Integrated Pest Management, 2006).

725
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

3. Pemupukan (N BWD, PUTS/Analisa Tanah/PuPS)


Hanya 5 (9%) petani yang menaburkan pupuk sesuai rekomendasi PUTS,
22 (40%) menakar sendiri, 12 (21%) hanya menggunakan BWD tanpa PUTS.
Data di atas menunjukkan bahwa, pemupukan berimbang sesuai kadar hara tanah
masih minim dilaksanakan oleh petani. Alasan petani antara lain, mahalnya biaya
untuk melakukan tes di laboratorium tanah atau tes dengan alat PUTS. Bantuan
pemerintah terhadap pengadaan alat test PUTS secara gratis yang difasilitasi oleh
lembaga penyuluh kemungkinan dapat mengatasi permasalahan ini. Karena
selama ini, dosis pemupukan oleh petani tidak terkontrol. Berdampak pada
produktivitas, permasalahan lingkungan juga kesehatan manusia. Menurut
Mukhlis, dkk. (2011) konsentrasi nitrat pada air tanah semakin meningkat sebagai
implikasi penggunaan pupuk N komersial yang makin meluas. Unsur ini
memperkaya air tanah yang kemudian dikonsumsi sebagai air minum. Hasil
penelitian di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif, kadar nitrat dalam air minum yang
tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Sutanto dan Iryani dalam
Knobeloch, (2011) menemukan kasus penyakit Blue Baby Syndrome atau
methemoglobinemia. Gejala penyakit ini disebabkan oleh karena besi II dalam
darah (hemoglobin) sebagai inti sel darah merah teroksidasi oleh nitrat menjadi
besi III (methemoglobin) sehingga darah tak dapat mengangkut oksigen (Sutanto
dan Iryani, 2011).

Sedangkan pada tanaman padi, kelebihan aplikasi N, dapat menyebabkan


meningkatkan serangan blast, daun menjadi hijau gelap, daun dan batang
tanaman menjadi lebih sukulen dan kurang keras, pertumbuhan vegetatif yang
hebat, dan keterlambatan pematangan (Damanik, dkk, 2010).

4. Pengendalian HPT Sesuai OPT Sasaran

Pengendalian HPT yang dilakukan oleh petani sangat bervariasi (Tabel 2).

Tabel 2. Jenis-jenis pengendalian HPT serta jumlah petani yang menerapkannya


No Jenis Pengendalian HPT Jumlah Petani
1 Pestisida (kimia) 20
2 Pestisida (kimia) + sanitasi 7
3 Pestisida (kimia) + sanitasi (herbisida) 2
4 Pestisida (kimia dan nabati) 15
5 Pestisida (kimia dan nabati) + sanitasi 2
6 Pestisida (kimia dan nabati) + sanitasi (herbisida) 4
7 Tidak melakukan pengendalian HPT 5

Hampir seluruh petani 50 (90%) petani melakukan pengendalian HPT


dengan menggunakan pestisida dan di antaranya terdapat 29 (52%)
mengendalikan dengan pestisida kimia dan 21 (38%) mengkombinasikan antara
penggunaan pestisida kimia dan nabati, serta 5 (9%) tidak melakukan
pengendalian HPT. Pengendalian dengan menggunakan pestisida sebaiknya

726
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

menjadi pilihan terakhir bila serangan OPT berada di atas ambang ekonomi.
Dengan adanya penggunaan pestisida nabati, penggunaan pestisida kimia dapat
dikurangi untuk mencegah terjadinya resistensi OPT. Penggunaan pestisida kimia
yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi OPT dan kerusakan lingkungan.
Hal ini sesuai dengan Pedoman Teknis GP-PTT Padi (2015) bahwa penggunaan
pestisida harus memperhatikan jenis, jumlah dan cara penggunaannya sesuai
dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan
resurjensi atau resistensi OPT atau dampak lain yang merugikan lingkungan.

5. Pengelolaan Tanaman, Populasi, Cara Tanam (Tegel, Legowo, Larikan,


Tabela)
Sistem tanam yang paling banyak diterapkan petani di Kecamatan Meranti
dan Rawang Panca Arga adalah jajar legowo 4:1, yaitu 36 (65%), Botis 8 (14%),
sedangkan legowo 2:1 hanya 1 (1%). Produktivitas rata-rata dengan sistem tanam
legowo 4:1 dan Botis secara berturut adalah 6,97 ton/Ha dan 6,25 ton/Ha. Hanya
1 petani yang mengaplikasikan sistem tanam legowo 2:1, produktivitasnya cukup
tinggi yaitu 7,9 ton/Ha. Berdasarkan (Haryono, 2013) sistem tanam Legowo 2:1
dan 4:1 dapat meningkatkan jumlah populasi tanaman sehingga dapat
meningkatkan produksi padi sebesar 15 persen. Dalam 1 Ha, jumlah populasi
tanaman secara berturut sistem tanam tegel (160.000 rumpun/Ha), legowo 2:1
(213.300 rumpun/Ha) dan legowo 4:1 (256.000 rumpun/Ha). Dampak positif lain
dengan penggunaan sistem tanam legowo adalah meningkatnya intensitas radiasi
sinar matahari oleh tanaman karena semua tanaman dimodifikasi menjadi
tanaman pinggir, serta kemudahan dalam pemupukan dan pengendalian hama
penyakit. Berdasarkan survei yang dilakukan di Kecamatan Meranti dan Rawang
Panca Arga rata-rata petani lebih menyukai legowo 4:1 daripada legowo 2:1
karena petani khawatir pada legowo 2:1 populasi tanaman lebih sedikit. Di kedua
kecamatan ini sejak tahun 2011-2014 juga telah dilaksanakan SL-PTT, dimana
demplot yang dibuat adalah untuk legowo 4:1, sedangkan selama ini demplot
legowo 2:1 belum pernah dilaksanakan. Kendala lain dalam penerapan legowo 2:1
adalah upah tanam yang lebih mahal dibandingkan legowo 4:1 dan Botis.

6. Umur bibit

Umur tanam bibit secara berturut-turut adalah 18 HSS (23 orang), 17 HSS
(13 orang), 20 dan 21 HSS (6 orang). Rata-rata alasan petani menanam di umur
tersebut adalah karena khawatir akan serangan keong. Penanaman bibit muda
memang tidak dianjurkan untuk daerah endemik keong. Petani dianjurkan
menanam pada bibit muda karena berdasarkan banyak hasil penelitian dan
pengamatan di lapangan, umur pindah tanam yang baik adalah antara 10-15 HSS
(bibit muda) karena pada umur ini bibit mulai beranak, sehingga menanam bibit
berumur lebih dari 21 HSS, sama dengan membiarkannya mengalami masa
beranak pada kondisi berdesakan di persemaian dan hal ini akan mengurangi
kemampuannya beranak di lahan (Helmi, 2009). Bibit muda, cukup ditanam 1-2
bibit per titik tanam, sehingga lebih hemat. Jika ditanam umur 10-15 HSS dengan

727
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

1-2 bibit per titik tanam, jumlah anakan maksimalnya sama dengan jika ditanam
umur > 21 HSS dengan 5 bibit per titik tanam.

7. Bahan Organik/Pupuk Kandang/Amelioran


Pemberian pupuk organic, yaitu 3 orang sebanyak 4-5 ton/Ha, 9 orang 2
ton/Ha, 1 ton ke bawah 16 orang dan 26 orang tidak memberikan pupuk organik.
Petani yang menyebarkan pupuk organik sesuai rekomendasi di lahan sawahnya
masih sangat sedikit. Beberapa kendala yang dikemukakan petani adalah masalah
biaya, pengangkutan (petani kesulitan mengangkut pupuk organik ke lahan
mereka karena akses jalan rusak atau hanya jalan setapak) serta kurangnya
pemahaman petani mengenai manfaat dari pupuk organik. System rice of
intensification (SRI) merekomendasikan untuk menyebarkan sebanyak 10 ton/Ha
pupuk organik (Jenal, 2010). Pupuk organik sangat diperlukan untuk memperbaiki
struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air, meningkatkan
aktivitas biologi tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, mengurangi
fiksasi fosfat Al dan Fe pada tanah masam, dan meningkatkan ketersediaan hara
di dalam tanah (Damanik, dkk, 2010).

8. Perbaikan Aerasi Tanah (Pengairan Berselang)


Jaringan irigasi yang ada di daerah survei adalah jaringan irigasi semi
teknis (53 orang petani). Hampir semua petani mengungkapkan bahwa debit air
kurang, terutama pada musim kemarau, sehingga walaupun jaringan irigasi sudah
bagus tetapi tetap tidak dapat mengalirkan air yang cukup. Sistem pengairan yang
dianjurkan oleh PTT padi adalah pengairan berselang (intermitten). Sistem ini
merupakan pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering atau tergenang secara
bergantian yang bertujuan untuk menghemat air irigasi sehingga areal dapat di airi
menjadi lebih luas, memberi kesempatan pada akar tanaman untuk mendapatkan
udara sehingga dapat berkembang lebih baik, dan mengurangi keracunan Fe.
Penurunan debit air dapat disebabkan oleh sedimentasi pada irigasi bendung
sehingga harus dilakukan pengerukan agar aliran air kembali lancar (Siregar,
2015). Perubahan iklim global juga telah mempengaruhi waktu turun dan debit air
hujan. Pada bulan Februari 2015, dilaporkan bahwa terdapat ribuan hektar
tanaman padi di Sei Payang Kabupaten Asahan telah terjadi gagal panen karena
kekurangan air (Sinar Indonesia Baru, 2015). Padi merupakan tanaman yang
sangat peka dengan ketersediaan air, terutama pada fase transplanting, anakan,
dan fase primordia. Kebutuhan air disetiap stadia tanaman padi adalah berbeda-
beda, sehingga pemberian air secara tepat akan meningkatkan hasil dan menekan
terjadinya stres pada padi yang diakibatkan karena kekurangan dan kelebihan air
(Pedoman Teknis GP-PTT Padi, 2015).

9. Pupuk Cair (PPC, Pupuk Organik, Pupuk Bio-Hayati)/ZPT, Pupuk Mikro


(Diping)

Penggunaan pupuk cair/ZPT, pupuk mikro yang digunakan oleh petani


sangat bervariasi. Jenis-jenis penggunaan pupuk cair/ZPT, pupuk mikro serta
jumlah petani yang menerapkannya (Tabel 3).

728
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Jenis-jenis penggunaan pupuk cair/ZPT, pupuk mikro serta jumlah


petani yang menerapkannya
Jumlah
No Penggunaan Pupuk cair/ZPT, Pupuk Mikro
Petani
1 Pupuk cair 4
2 Pupuk cair (PPC (merk Agrobost)) 19
3 Pupuk cair (PPC (merk Atonik, Bio7, Biogest, DGM, Eksplor, GDM, 13
Gebro, Halu Harvex, Jagotani, Navito, Nutrivid, Pertitan, Ratu Biogen,
dan Sekor))
4 Pupuk cair (PPC) 3
5 Pupuk cair (PPC, POC) 7
6 Pupuk cair (PPC) + ZPT 1
7 Pupuk cair (PPC, POC) + ZPT 2
8 Pupuk cair (PPC, POC, pupuk hayati) + ZPT 1
9 Tidak menggunakan pupuk cair 3
10 Tidak ada informasi 2

Hampir seluruh petani 50 (90%) menggunakan pupuk cair dan hanya 5


(10%) yang tidak menggunakan pupuk cair. Penggunaan pupuk cair (PPC,
organik, bio hayati)/ZPT, pupuk mikro termasuk dalam komponen PTT padi pilihan
pada padi sawah irigasi. Penggunaan pupuk cair menjadi komponen dasar karena
menjadi keharusan untuk meningkatkan produktivitas tanaman di Kabupaten
Asahan. Hasil penelitian Supartha dkk. (2013) penambahan pupuk organik cair
pada pertanaman padi sistem pertanian organik mampu meningkatkan hasil gabah
kering panen sebesar 4,4% - 17,4%. Hal ini sesuai dengan Pedoman Teknis GP-
PTT Padi (2015) bahwa komponen dasar/compulsory dan pilihan disesuaikan
spesifik wilayah setempat yang paling tepat diterapkan. Komponen teknologi
pilihan dapat menjadi compulsory apabila hasil KKP (Kajian Kebutuhan Peluang)
memprioritaskan komponen teknologi dimaksud menjadi keharusan untuk
pemecahan masalah utama suatu wilayah.
10. Penanganan Panen dan Pasca Panen
Penanganan panen dan pasca panen yang dilakukan oleh petani sangat
bervariasi. Jenis-jenis penanganan panen dan pasca panen serta jumlah petani
yang melakukannya (Tabel 4).
Tabel 4. Jenis-jenis penanganan panen dan pasca panen serta jumlah petani
yang menerapkannya
No Penanganan Panen dan Pascapanen Jumlah Petani
1 Tresher 20
2 Tresher, sabit bergerigi 2
3 Tresher, mesin komben 4
4 Tresher, arit , terpal 6
5 Tresher, sabit bergerigi, terpal 11
6 Sabit bergerigi 2
7 Melakukan penanganan panen dan pascapanen 9
8 Tidak ada informasi 1

729
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Petani telah menggunakan peralatan mesin sebagai alat penanganan


panen berupa tresher sebanyak 43 (78%). Hal ini menunjukkan bahwa sudah
cukup banyak petani yang telah memanfaatkan teknologi alat penanganan panen.
Tetapi masih terdapat sejumlah 12 (21%) petani yang masih melakukan
penanganan panen secara manual tanpa peralatan mesin. Penggunaan peralatan
dan mesin perlu dalam penanganan panen untuk mempercepat waktu pengerjaan,
mengurangi upah tenaga kerja, dan menekan kehilangan hasil panen. Hal ini
sesuai dengan Pedoman Teknis GP-PTT Padi (2015) bahwa penanganan panen
dan pasca panen akan memberikan hasil yang optimal jika panen dilakukan pada
waktu dan cara yang tepat. Pemanenan dilakukan dengan sistem kelompok yang
dilengkapi dengan peralatan dan mesin yang cocok sehingga menekan kehilangan
hasil.

KESIMPULAN

Rata-rata produktivitas di Kecamatan Meranti dan Rawang adalah 5,7


ton/Ha (GKP). Petani yang mempraktekkan komponen-komponen yang
direkomendasikan PTT: dari 55 petani tidak ada satupun yang
mengimplementasikan pendekatan PTT secara lengkap. Jika petani
mengimplementasikan komponen PTT secara utuh, rata-rata produktivitas padi
masih dapat ditingkatkan.

SARAN

Pemerintah melalui PPL harus lebih intensif membina petani. Jika penyuluh
memiliki demplot sebagai display kemungkinan akan meningkatkan kepercayaan
petani untuk mengadopsi teknologi yang dianjurkan. Selain itu jaringan irigasi
harus segera diperbaiki (primer, sekunder dan tersier) sehingga tidak ada kendala
untuk peningkatan provitas padi.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Asahan, 2013. Berita Resmi Statistik Kabupaten Asahan No.
02/12/1208/Th.VI, 2 Desember 2013.
BPS Kabupaten Asahan, 2014. Berita Resmi Statistik Kabupaten Asahan
No.02/10/1208/Thn. XVII, 20 Oktober 2014 No. 02/10/1208/Thn. XVII, 20
Oktober 2014.
Damanik, M.M.B., B.E. Hasibuan, Fauzi, Sarifuddin, dan H. Hanum, 2010.
Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press, Medan.
Haryono, 2012. Lahan Rawa Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia. IAARD
Press, Jakarta.
Helmi, 2009. Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu. Informasi Teknologi Pertanian. Untuk Penyuluh
Pendamping, Penyelia Mitra Tani, Petani dan Pengguna Lainnya. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara.
Integrated Pest Management Research Brief No. 4, 2006, CGIAR, Cotonou-
Republic of Benin

730
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Mukhlis, Sarifuddin, dan H. Hanum, 2011. Kimia Tanah Teori dan Aplikasi. USU
Press, Medan.
Mutakin, J., 2010. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System
of Rice Intensification). Universitas Garut.
Pedoman Teknis Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT)
Padi, 2015. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian.
Sinar Indonesia Baru, 2015. Ribuan Hektar Tanaman Padi di Sei Payang Asahan
Terancam Gagal Panen. Jumat, 20 Februari 2015. http://hariansib.co/
Siregar, I.H., 2015. Permasalahan-permasalahan Irigasi Di Sumatera Utara.
Buletin Informasi Pertanian Medan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Utara Volume VIII Nomor 1 April 2015.
Sutanto dan A. Iryani, 2011. Hujan Asam dan Perubahan Kadar Nitrat dan Sulfat
dalam Air Sumur Di Wilayah Industri Cibinong-Citeureup Bogor. Pusat
Teknologi Limbah Radioaktif. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah
Volume 14 Nomor 1 Juli 2011.

731
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

STRUKTUR PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI PADI SAWAH SKALA


KECIL DI NAGARI JAWI – JAWI KECAMATAN GUNUNG TALANG
KABUPATEN SOLOK

Muhammad Ichwan dan Nieldalina

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat


Jl. Raya Padang Solok Km. 40, Solok
Email : michwan30@yahoo.com

ABSTRAK

Informasi struktur pendapatan rumah tangga petani sangat bermanfaat dan


mempunyai peranan yang penting bagi petani. Untuk itu kajian struktur
pendapatan telah dilakukan dengan tujuan (1) menghitung pendapatan rumah
tangga petani dari sektor petanian yang berasal dari tanaman padi sawah, (2)
menggarnbarkan sumber pendapatan rumah tangga petani dari sektor pertanian
diluar tanaman padi sawah, dan (3) mendeskripsikan sumber pendapatan rumah
tangga petani dari sektor non pertanian serta kontribusinya terhadap pendapatan
rumah tangga petani. Penelitian ini dilaksanakan di Nagari Jawi-jawi Kecamatan
Gunung Talang, Kab. Solok yang merupakan daerah sub urban dengan
mengunakan data primer dari petani dan data sekunder berasal dari berbagai
sumber yang dikumpulkan.Penelitian ini adalah penelitian survey dengan metoda
yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Responden dalam penelitian ini
adalah 39 orang petani dengan luas penguasaan lahan 0,5 ha kebawah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari hasil perhitungan analisa usahatani
didapatkan bahwa hasil produksi tanaman padi sawah masih jauh dari cukup dan
belum bisa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. Rata-rata
penghasilan petani dari usaha tani padi per bulannya berkisar antara Rp 200.000,-
sampai dengan Rp 1.800.000,-. Maka dari itu petani yang ada di daerah penelitian
mencari alternatif usaha diluar usaha tanaman padi sawah untuk menambah
pendapatan rumah tangganya. Dari segi rasio ketergantungan umur diketahui
bahwa responden dengan rasio ketergantungan penduduk yang rendah justru
yang lebih banyak melakukan usaha-usaha untuk menambah pendapatan rumah
tangga selain dari kegiatan usaha tani padi sawah. Sedangkan jika dilihat dari
aspek tingkat kepadatan lahan terhadap jumlah responden persentase terbanyak
yang melakukan semua kegiatan atau usaha-usaha tersebut adalah rumah tangga
petani responden dengan tingkat kepadatan lahan yang relatif lebih kecil dan
jumlah anggota keluarga yang banyak.

Kata kunci: petani padi sawah, pendapatan, skala usaha kecil

PENDAHULUAN

Sektor pertanian sebagai salah satu sektor pendukung perekonomian


Indonesia, seharusnya merupakan sektor yang relatif lebih tahan dan lebih
fleksibel terhadap krisis ekonomi dibandingkan sektor-sektor lainnya karena lebih
mengandalkan pemanfaatan sumberdaya domestik daripada komponen impor.
Pada situasi krisis saat ini sektor pertanian diharapkan akan sangat berperan
dalam pembangunan nasional antara lain melalui penyediaan kebutuhan pangan

732
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pokok, perolehan devisa melalui ekspor, penampung tenaga kerja khususnya di


daerah pedesaan (Husodo, 2004).

Akan tetapi, pembangunan pertanian itu menimbulkan sejumlah paradoks.


Pertama, peningkatan produksi pertanian telah menimbulkan kecenderungan
menurunnya harga produk-produk pertanian yang berakibat negatif
padapendapatan petani.Kedua, kenaikan produktivitas dan produksi tidak selalu
dibarengi atau diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani, bahkan
pendapatan petani menurun.Ketiga, perkembangan ekonomiyang lebih maju
khususnya karena dampak industrialisasi, menyebabkan menurunnya sumbangan
sektor pertanian dalam PDB dan menyusutnya peranan relatif angkatan kerja
sektor pertanian dalam lapangan kerja keseluruhan (Sastraatmadja, 2013).

Sejalan dengan itu kecenderungan Nilai Tukar Petani yang menurun


belakangan ini juga turut mempengaruhi menurunnya tingkat kesejahteraan
petani.Kondisi demikian dapat mengurangi laju peningkatan produksi relatif
terhadap laju peningkatan konsumsi dalam negeri, sehingga pada akhirnya akan
menurunkan tingkat kesejahteraan petani ( Hendayana, 2001 ).

Namun Osmet (2013), menyatakan jika penurunan sumbangan sektor


pertanian diikuti oleh perbaikan dan penggunaan teknologi maju di bidang
pertanian diharapkan dapat meningkatkan produksi usahatani. Selanjutnya
berkurangnya jumlah penduduk atau rumah tangga petani yang melakukan
urbanisasi sebagai dampak dan berkembangnya industrialisasi; serta
diiringidengan penambahan skala usahatani menjadi lebih besar, maka
pembangunan pertanian seharusnya tidak disertai dengan menurunnya tingkat
hidup petani.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menghitung pendapatan rumah tangga


petani dari sektor petanianyang berasal dari tanaman padi sawah, (2)
menggarnbarkan sumber pendapatan rumah tangga petani dari sektor pertanian
diluar tanaman padi sawah dan (3) mendeskripsikan sumber pendapatan rumah
tangga petani dari sektor non pertanian serta kontribusinya terhadap pendapatan
rumah tangga petani.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Nagari Jawi-Jawi Kecamatan Gunung Talang


Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Di Nagariini masih banyak petani yang memiliki
lahan untuk kegiatan usahatani dengan luas penguasaan lahan 0,5 ha kebawah,
sehingga dikelompokkan sebagai petani gurem dan tentunya cenderung memiliki
pendapatan yang kecil dan kegiatan usahatani (Soekartawi.dkk, 2011).

Penelitian ini merupakan penelitian survey.Menurut Singarimbun (1989)


penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sampel dan suatu populasi
dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok,
sementara itu Kerlinger dalam Agustar (2012), mengatakan penelitian survey
adalah penelitian yang dilakukan pada suatu populasi besar maupun kecil dan

733
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

data diambil dan sampel untuk generalisasi. Pada umumnya yang merupakan unit
analisa dalam penelitian survey adalah individu yang bersangkutan. Sedangkan
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif.

Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang ada di Nagari Jawi-Jawi
yang tergabung ke dalam 4 Kelompok Tani yaitu : Kelompok Tani Buah Palo,
Kelompok Tani Munggu Indah, Kelompok Tani Kubang Laweh, dan Kelompok
Pancang Kuriang yang berjumlah sebanyak 205 orang petani. Jumlah anggota
kelompok tani atau petani berdasarkan luas penguasaan lahan adalah seperti
terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Populasi Penelitian


No Luas Lahan Jumlah Anggota
1. 0,1 – 0,25 ha 39
2. 0,25 – 0,5 ha 117
3. 0,51 – 1 ha 38
4. > 1 ha 11
Jumlah 205
Sumber Data : UPTD Pertanian Kecamatan Gunung Talang

Sesuai dengan kebutuhan penelitian, maka populasi yang akan diteliti adalah
petani yang memiliki lahan 0,5 ha kebawah yang berjumlah sebanyak 158 orang
(Gambar 1).

POPULASI RESPONDEN

150 LUAS LAHAN


117 ( Ha )

100 0,1 - 0,25


0,25 - 0,5
50 39 38 0,51 - 1
11 >1

0
JUMLAH ANGGOTA

Gambar 1. Populasi Responden

Setelah didapatkan jumlah populasi yang akan dijadikan sampel, terlebih


dahulu harus dilihat apakah karakteristik populasi cenderung homogen atau
heterogen. Berdasarkan status penguasaan lahan untuk kegiatan usahatani, maka
petani yang ada di Nagari Jawi-Jawi dikelompokkan ke dalam tiga tipe, yaitu : 1)
Pemilik sekaligus penggarap, 2) Penggarap atau penyakap, dan 3) Penyewa. Oleh
karena itu, dalam pengambilan dan penetapan sampel dilakukan secara acak

734
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

berstrata tidak proporsional (non proportionate stratified random sampling).Jumlah


responden yang diwawancarai adalah sebanyak 39 orang petani. Data yang akan
dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan
dengan pengisian daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan
wawancara dengan responden serta pengamatan langsung di lapangan. Data
primer merupakan data kegiatan usaha tani petani dan kegiatan non usaha tani
responden selama musim tanam tahun 2013.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor umur merupakan hal yang penting dalam pelaksanan suatu


kegiatan usaha, karena umur berkaitan dengan semangat, kondisi fisik seseorang
dan tenaganya dalam melakukan suatu aktivitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Slamet ( 2000 ) yang megatakan bahwa semakin tua umur seseorang, maka akan
semakin berkurang kemampuan fisiknya dan akan mempengaruhi tingkat
produktivitasnya.

Sebaran petani yang menjadi responden lebih dari 84 % berada pada usia
produktif dan akan berpengaruh terhadap kinerja serta produktivitas petani dalam
pelaksanaan atau kegiatan proses produksi usahatani (Tabel 2).

Tabel 2. Umur Responden Penelitian


No Umur (tahun) Jumlah Persentase %
1. 0 – 14 tahun 0 0
2. 15- 64 tahun 33 84,61
3. Diatas 64 tahun 6 15,39
Total 39 100

Hasil pengelompokkan menunjukkan bahwa sebagian besar petani


responden adalah pemilik sekaligus penggarap yaitu sebanyak 51,28% (Tabel
3). Hal ini berarti masih banyak petani di Nagari Jawi-Jawi yang masih
mengusahakan atau mengolah lahan yang mereka miliki untuk kegiatan usahatani.

Tabel 3. Status Penguasaan Lahan Responden Penelitian


No Umur (tahun) Jumlah Persentase %
1. Pemilik sekaligus penggarap 20 51,28
2. Penyakap 15 34,46
3. Penyewa 4 10,26
Total 39 100

Tabel 4 memperlihatkan bahwa kebanyakan petani responden memiliki


tingkat kepadatan lahan yang kecil. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan,
diketahui bahwa responden yang memiliki tingkat kepadatan lahan yang kecil ini
adalah responden yang menguasai lahan untuk kegiatan usahatani dengan luas
yang kecil dan memiliki anggota keluarga yang banyak. Sedangkan responden
yang memiliki tingkat kepadatan lahan yang tinggi, diketahui bahwa responden

735
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tersebut memiliki lahan yang lebih besar dengan jumlah anggota keluarga yang
tidak terlalu banyak.

Tabel 4. Tingkat Kepadatan Lahan Responden


Tingkat Kepadatan Jumlah Responden
Persentase Kategori
Lahan (orang)
0,083 – 0,06 19 48,72 Rendah
0,05 – 0,03 11 28,21 Sedang
0,1 – 0,125 9 23,08 Tinggi
Jumlah 39 100

Hasil survey menunjukkan bahwa umumnya petani memiliki indeks


ketergantungan yang rendah (Tabel 5). Sekitar 44% dari petani memiliki indeks
ketergantungan pada skala sedang ke tinggi.

Tabel 5. Indeks Rasio Ketergantungan Penduduk Responden


Jumlah Responden
Rasio dependensi umur Persentase Kategori
(orang)
0 – 33,33% 22 56,41 Rendah
34 – 66,67% 8 20,51 Sedang
> 67% 9 23,08 Tinggi
Jumlah 39 100

Data hasil survey memperlihatkan bahwa tenaga kerja yang digunakan


dalam penyemaian benih, dan pemupukan semuanya berasal dari keluarga petani
(Tabel 6). Kegiatan penyiangan (87%) dan pengendalian hama penyakit (80%)
sebagian besar dilakukan oleh anggota keluarga petani. Sementara iru, hanya
sedikit penggunaan tenaga kerja keluarga pada kegiatan persiapan lahan, dan
penanaman. Pada persiapan media tanam, pengolahan tanah biasanya dilakukan
dengan alat mesin pertanian.Penanaman biasanya dilakukan oleh regu tanam
yang profesional yang umumnya berasal dari luar anggota keluarga. Panen dan
pengangkutan hasil biasanya dilakukan oleh tenaga luar keluarga yang diberikan
upah proporsional hasil yang didapat.

Tabel 6. Pola Pemanfaatan TK Responden dalam Tahapan Proses Produksi


Usaha Tani Padi
Pelaksanaan Kegiatan (orang)
No Tahapan Produksi Petani/TK Tenaga
(%) (%)
Keluarga Luar/Upah
1. Penyamaian Benih (menabur, 39 100 0 0
memupuk)
2. Pengolahan lahan 4 10,25 35 89,75
3. Penanaman termasuk mencabut 3 7,7 36 92,30
benih
4. Pemupukan 39 100 0 0
5. Penyemprotan/pemberian pestisida 31 80
6. Penyiangan 34 87,18 5 12,82
7. Panen 6 15,38 33 84,62
8. Pengangkutan ke pinggir jalan 6 15,38 33 84,62

736
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pendapatan rata-rata per bulan petani padi berkisar dari Rp 201.000


sampai dengan Rp 1.827.000 (Tabel 7).

Tabel 7. Rata-rata Pendapatan Responden dari Usahatani Padi Per Bulan


Selama Setahun
No Pendapatan Usaha Tani Padi (Rp) Jumlah (orang) Persentase
1. 201,000 – 472,000 9 23,08
2. > 472,000 – 743,000 10 25,64
3. >743,000 – 1,014,000 11 28,21
4. > 1,014,000 – 1,285,000 4 10,26
5. > 1,285,000 – 1,556,000 4 10,26
6. > 1,556,000 – 1,827,000 1 2,56
Total 39 100

Hasil survey memperlihatkan bahwa sebagian besar petani padi memiliki


pendapatan per bulan dalam kisaran Rp. 743.000,- – Rp. 1.014.000,-.

Cukup banyak jenis usahatani selain padi sawah yang dilakukan oleh para
petani (Tabel 8). Jenis tanaman yang paling banyak diusahakan adalah tanaman
bayam, jagung manis, dan sayur kangkung.

Tabel 8. Jenis Usahatani Tanaman Non Padi Sawah Responden Penelitian


Jenis Usaha Tani Jumlah Petani yang Persentase
No Umur Panen
Non Padi menyusahakan (%)
1. Bengkoang 3 bulan 10 hari 2 7,41
2. Bayam 20 hari 9 33,33
3. Mentinium 45 - 50 hari 1 3,70
4. Pepaya 9 -12 bulan 1 3,70
5. Kacang Panjang 45 - 50 hari 2 7,41
6. Cabe 3 bulan 10 hari 2 7,41
7. Jagung Manis 65 - 70 hari 8 29,63
8. Terong Ungu 50 hari 2 7,41
9. Kacang Kedelai 50 hari 1 3,70
10. Kangkung Air 25 hari 5 18,52
11. Pare 45 - 50 hari 1 3,70

Usaha tani non padi umumnya dilakukan seluruhnya oleh petani kecuali
pada kegiatan pengolahan tanah (Tabel 9).

Tabel 9. Pola Pemanfaatan TK Responden dalam Tahapan Proses Produksi


Usaha Tani Non Padi
Pelaksanaan Kegiatan (orang)
No Tahapan Produksi Petani/TK Tenaga
(%) (%)
Keluarga Luar/Upah
1. Penyamaian Benih 27 100 0 0
2. Pengolahan Lahan 11 40,75 16 59,25
3. Penanaman 25 92, 6 2 7,4
4. Pemupukan 27 100 0 0
5. Penyemprotan/pemberian 27 100 0 0
Peptisida
6. Penyiangan 27 100 0 0
7. Panen 18 66,67 9 33,33

737
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil survey memperlihatkan bahwa biaya rumah tangga petani per bulan
berkisar antara Rp. 1,5 juta sampai dengan Rp. 5,2 juta (Tabel 10). Berdasarkan
sebaran biaya yang ada terlihat bahwa umumnya (> 50%) petani membutuhkan
biaya Ro. 1,5 juta sampai dengan Rp. 2,7 juta sebulan.

Tabel 10. Biaya Rumah Tangga Petani Responden


No Biaya Total Rumah Tangga (Rp) Jumlah (orang) Persentase
1. 1,521,000 – 2,110,000 12 30,77
2. > 2,110,000 – 2,699,000 10 25,64
3. > 2,699,000 – 3,288,000 7 17,95
4. > 3,288,000 – 3,877,000 7 17,95
5. > 3,877,000 – 4,466,000 0 0,00
6. > 4,466,000 – 5,210,000 3 7,69
39 100,000

Secara keseluruhan terdapat tiga pola atau model sumber pendapatan


rumah tangga petani responden yang ada di daerah penelitian, yaitu :

1) Pendapatan rumah tangga yang 100% berasal dan sektor pertanian dalam hal
ini adalah tanaman padi sawah dan kegiatan usaha tani non padi sawah ada
sebanyak 5 orang responden atau sekitar 12 ;
2) Pendapatan rumah tangga petani yang sumbangan terbesarnya berasal dan
pendapatan sektor pertanian selcitar 30% ; dan
3) Pendapatan rumah tangga petani yang sumbangan terbesarnya berasal dan
sektor non pertanian dengan jumlah terbesar yaitu sekitar 58%.

KESIMPULAN

1. Struktur pendapatan rumah tangga petani responden di daerah penelitian


dibentuk dari gabungan antara pendapatan sektor pertanian baik usaha
tani padi sawah dan usaha tani non padi sawah serta pendapatan non
sektor pertanian baik yang dilakukan oleh petani responden itu sendiri atau
yang disumbangkan oleh anggota keluarganya.

2. Pendapatan rumah tangga petani di daerah penelitian yang berasal


darisektor pertanian baik usahatani padi sawah dan usahatani non padi
sawah masih tergolong kedalam kelas rendah.

3. Selain itu jika dilihat dari rasio ketergantungan penduduk dan tingkat
kepadatan lahan terhadap jumlah rumah tangga responden yang
melakukan usaha tambahan di luar usaha tani padi sawah, maka diketahui
ternyata rumah tangga petani responden yang banyak melakukan hal
tersebut adalah rumah tangga petani responden yang memiliki rasio
ketergantungan penduduk dan tingkat kepadatan lahan yang rendah.

4 Pendapatan rumah tangga yang berasal dan sektor non pertanian


berkontribusi cukup besar terhadap pendapatan rumah tangga petani
responden secara keseluruhan.

738
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SARAN

Perlu adanya peran pemerintah dan lembaga terkait untuk menjaga


stabilitas harga jual hasil produksi supaya petani bisa mendapatkan hasil yang
layak dan cukup dan kegiatan usahatani bagi pendapatan rumah tangganya.
Disamping itu hal ini hendaknya menjadi perhatian serius bagi pemerintah
khususnya Dinas Pertanian dan Instansi terkait untuk lebih cermat dalam
melaksanakan sebuah program untuk mensejahterakan petani

DAFTAR PUSTAKA

Agustar, Asdi. 2012. Metodologi Penelitian Sosial (Bahan Kuliah Metodologi


Penelitian). Program Studi PWD PPs Universitas Andalas. Padang
Hendayana, Rahmat. 2001. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai
Tukar Petani “(Makalah) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Bogor.
Husodo, Siswono Yudo dkk. 2004. Pertanian Mandiri; Penebar Swadaya. Jakarta.
Osmet, 2011. Langkah Afirmatif Pro-Petani (Seminar Dwi Mingguan). Program
Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang
Osmet. 2013. Petani Dalam Pembangunan Pertanian (Bahan Kuliah
Pembangunan Pertanian). Program Studi fimu Ekonomi Pertanian PPs
Universitas Andalas. Padang
Sastraatmadja, Entang. 2010. Masyarakat Geografi Indoonesia. Suara Petani.
Bandung.
Sastraatmadja, Entang. 2013. Indikator Kesejahteraan Petani.
www.klikgalamedia. comlindikator-kesejahteraan-petani. Diakses tanggal
19 Maret 2014
Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta
Slamet, Yulius. 2000. Kemiskinan Petani Pedesaan. (Seminar Nasional
Laboratorium Sosiologi Universitas Sebelas Maret. Solo
Soekartawi, dkk.2011 .Ilmu Usaha Tani dan Penelitian Untuk Pengembangan
Petani Kecil.Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta

739
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

TINGKAT ADOPSI PTT DI SENTRA PRODUKSI PADI SAWAH


KABUPATEN MERAUKE PAPUA

Afrizal Malik 1), Sri Rahayu D. Sihombing 2), dan Yunita Indah Wulandari 3)
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Jl. Bukit Tegalepek Ungaran Semarang
2)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
Jl. Yahim Sentani Jayapura
Email : bptppapua@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan pengkajian untuk (1) mengetahui keragaan teknologi dan adopsi


komponen PTT padi sawah dan (2) rekomendasi kebijakan pengembangan padi
sawah mendukung upaya khusus sentra produksi beras di Provinsi Papua. Kajian
dilaksanakan dalam bentuk survei menggunakan quisioner yang melibatkan 98
petani sebagai responden disentra produksi padi sawah pada bulan April 2014
dari hasil penanaman padi sawah MH 2013/2014 (Redeng), yaitu
Oktober/November 2013-Januari/Pebruari 2014). Data primer yang dikumpulkan
meliputi umur, pendidikan, teknologi padi sawah, input dan output dan dilengkapi
dengan data sekunder. Data ditabulasi dan diinterprestasikan. Analisis yang
digunakan adalah deskriptif untuk mendeskripsikan keadaan umum usahatani padi
sawah di daerah pengkajian. Hasil kajian menunjukkan bahwa usahatani padi
sawah yang dilaksanakan petani dengan kisaran luas garapan 0,50-4,50 (rata-rata
1,90 ha/petani), VUB yang dominan ditanam adalah varietas Inpari 13, Ciherang
dan Ciliwung. Faktor penentu bagi petani dalam memilih VUB adalah produktivitas
tinggi, harga jual beras serta mutu cita rasa nasi enak (pulen), adaptasi dan
ketahanan terhadap OPT, kemudahanan memperoleh benih serta umur panen
yang pendek. Persentase petani menggunakan pupuk Urea 98,50%, SP-36
49,12%, KCl 7,40%, Phonska 8,75%, NPK Pelangi 85,30% dan hanya 33,33%
petani yang menggunakan kompos. Rata-rata penggunaan benih 29,5 kg/ha, Urea
85,50 kg/ha, 109,50 kg/ha SP-36, Phonska 30,50 kg/ha dan NPK pelangi 85,50
kg/ha, kompos 200,50 dengan tingkat produktivitas 4,830 kg/ha gkg. Kebijakan
dalam penerapan teknologi peningkatan produktivitas padi sawah melalui PTT,
terutama penggunaan komponen teknologi pokok, di antaranya menerapkan
rekomendasi pemupukan, pupuk SP-36, KCl dan kompos (pupuk organik) serta
menyakinkan petani menggunakan sistem tanam jajar legowo, nyata
meningkatkan produktifitas sehingga perlu diintensifkan.

Kata kunci: Adopsi, PTT, dan Padi sawah

PENDAHULUAN

Pembangunan sektor pertanian di Provinsi Papua khususnya sektor


tanaman pangan terbukti memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi
regional Papua. Berbagai program kebijakan pembangunan pada sub sektor ini
telah dilaksanakan, di antaranya melalui program intensifikasi dan perluasan areal
yang diusahakan secara simultan untuk mendukung peningkatan produktivitas.

740
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Teknologi hasil penelitian/pengkajian pertanian merupakan bahan dasar


untuk pengembangan inovasi teknologi terpadu yang dapat diterapkan dan
sekaligus diadopsi oleh pengguna teknologi di lapang (Subagyono dan Kariyasa,
2012). Pada lingkup Balitbangtan (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian) Kementerian Pertanian berbagai inovasi teknologi pada komoditas-
komoditas unggulan telah banyak diterapkan di lapangan. Namun demikian,
secara umum berdasarkan hasil evaluasi internal maupun eksternal, kecepatan
dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Balitbangtan
cenderung melambat, dan bahkan menurun.

Penerapan inovasi teknologi pada komoditas-komoditas unggulan harus


mempertimbangkan kondisi spesifik lokasi karena beragamnya faktor abiotik dan
biotik, serta kondisi ekonomi, sosial dan budaya setempat (Prijosusilo, 2011). Oleh
sebab itu, penerapan inovasi teknologi pada kondisi spesifik lokasi akan
memerlukan upaya-upaya yang berbeda, khususnya dalam metode
diseminasinya. Dengan demikian, evaluasi sifat inovasi teknologi menjadi penting
dalam upaya menentukan inovasi teknologi yang tepat untuk diterapkan dan
mudah serta cepat diadopsi pada kondisi spesifik lokasi (Malik dan Kadir, 2013).
Disamping itu, hasil evaluasi tersebut akan bermanfaat untuk merancang kegiatan-
kegiatan diseminasi yang optimal dalam penerapan inovasi terpilih.

Menurut Mundy (2000) keberhasilan adopsi inovasi teknologi dapat


dievaluasi berdasarkan sifat-sifatnya, yaitu (1) keuntungan nisbi (2) kesesuaian,
(3) kerumitan, (4) kemudahan untuk diujicoba dan (5) kemudahan untuk diamati.
Di lain pihak, adopsi teknologi peningkatan hasil seringkali dibatasi oleh
kelangkaan sumber daya pada tingkat usahatani, yang sebagian besar ditentukan
oleh tingkat harga (Sanders dan Lynam, 1982).

Moser dan Barrett (2003) menyatakan, teknologi peningkatan hasil padi


tidak secara luas diadopsi oleh petani, disebabkan tingginya permintaan atau
kebutuhan tenaga kerja musiman. Penggunaan pupuk kandang, yang mempunyai
pengaruh positif dalam jangka panjang, terutama pada lahan kurang subur, kurang
diadopsi oleh petani lebih karena memerlukan tempat dan tenaga kerja yang lebih
banyak dan harganya yang semakin meningkat dianggap kalah efisien
dibandingkan pupuk kimia.

PTT merupakan salah satu program strategis Kementerian Pertanian yang


bertujuan mempercepat peningkatan produksi komoditas pangan utama,
khususnya padi. Keberhasilan program sekolah lapangan (SL) PTT padi sawah
dapat dilihat di beberapa lokasi, yang ditunjukkan dengan adanya kenaikan
produksi padi yang cukup signifikan, yaitu sebesar 5,91% (Kementan, 2010). Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa terdapat lima komponen teknologi budidaya untuk
peningkatan produktivitas padi sawah yaitu: (1) penanaman bibit muda, (2)
pemberian pupuk organik pada saat pengolahan tanah, (3) irigasi berselang
(intermittent irrigation), (4) pemupukan P dan K berdasarkan hasil analisis tanah,
dan (5) pemupukan N menurut tingkat kehijauan daun tanaman dengan mengacu
kepada Bagan Warna Daun (BWD) (Las, dkk., 2003).

741
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sifat atau karakteristik inovasi merupakan salah satu faktor yang


mempengaruhi difusi atau penyebaran teknologi yang bermuara pada terjadinya
adopsi teknologi, selain saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial (Rogers,
1995). Kuantifikasi hasil analisis lima sifat inovasi tersebut bagi berbagai inovasi
teknologi akan bermanfaat bagi peneliti dan penyuluh BPTP untuk menentukan :
(1) peluang penerapan dan adopsi inovasi teknologi di lapang, dan (2) metode
yang tepat dalam diseminasi inovasi teknologi. Dengan demikian, kegiatan
diseminasi teknologi tidak disamaratakan, baik metode ataupun polanya, tetapi
bergantung pada keragaan kuantitatif sifat inovasi teknologi dan kondisi spesifik
lokasi. Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian tingkat adopsi PTT terutama pada
padi sawah.

Pengkajian bertujuan untuk: (1) mengetahui keragaan teknologi dan adopsi


komponen PTT padi sawah di sentra produksi Kabupaten Merauke, dan (2)
dihasilkannya rekomendasi kebijakan pengembangan padi sawah mendukung
upaya khusus sentra beras di Provinsi Papua, khususnya wilayah sentra produksi
padi di Kabupaten Merauke.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Merauke, dipilihnya daerah ini


didasarkan pada pertimbangan sebagai sentra padi sawah terluas di Provinsi
Papua setelah Kabupaten Nabire, Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura di
Provinsi Papua. Dari Kabupaten ini ditentukan beberapa Distrik sebagai sentra
padi sawah terluas dan yang melakukan penanaman secara rutin tiga tahun
terakhir. Dari Distrik terpilih ditentukan Kampung/Desa secara purposive yang
terluas mengusahakan padi sawah (Tabel 1).

Tabel 1. Lokasi kajian dan jumlah responden, 2014.


No Distrik Kampung Jumlah responden (orang)
1 Semangga Marga Mulia 7
Semangga Jaya 6
Sido mulyo 6
Waninggap Kay 5
Kuprik 7
2 Tanah Miring Amunkay 6
Waninggap Miraf 6
Sumber harapan 7
Sermayam Indah 4
3 Merauke Wasur II 9
4 Kurik Kurik 7
Sumber Rejeki 5
Salor indah 5
5 Malind Rawa Sari 8
Padang Rahardja 6
Kaiburse 4
Jumlah 98
Pengumpulan data - primer menggunakan kuisioner terstruktur
dilaksanakan pada bulan April 2014 dari hasil penanaman padi sawah MH
2013/2014 (Redeng), yaitu Oktober/November 2013-Januari/Pebruari 2014).

742
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Data primer yang dikumpulkan meliputi: umur, pendidikan, teknologi padi


sawah, input dan output dan dilengkapi dengan data sekunder yang terkait dengan
kajian ini dari instansi yang relevan. Data yang sudah terkumpul ditabulasi dan
diinterpretasikan. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk
mendeskripsikan keadaan umum usahatani padi sawah di daerah pengkajian.
Dengan demikian, metode analisis ini diharapkan mampu memberikan penjelasan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan usahatani padi sawah yang tidak dapat
dijelaskan secara detail melalu analisis kuantitatif. Dari penjabaran analisis akan
terungkap kebijakan yang dilaksanakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Kabupaten Merauke

Luas wilayah Kabupaten Merauke adalah 46.790,63 Km2; berbatasan :


Sebelah Utara dengan Kabupaten Mappi dan Boven Digoel, Sebelah Timur
dengan Papua New Guinea (PNG), Sebelah Selatan dengan Laut Arafura,
Sebelah Barat dengan Laut Arafura. Dengan demikian, Kabupaten Merauke
mempunyai peluang yang strategis untuk dijadikan pintu gerbang Indonesia
bagian Timur untuk negara-negara pasifik, Papua New Guinea dan Australia.
Kabupaten Merauke secara administratif memiliki 20 Distrik, 8 Kelurahan dan 160
Kampung (BPS Merauke, 2014).

Jumlah penduduk 209.980 jiwa (110.592 jiwa laki-laki dan 99.388 jiwa
perempuan) atau 49.461 rumah tangga. Angkatan kerja 111.317 jiwa, dari
angkatan kerja tersebut terdapat 51,35% (29,94% laki-laki dan 21,41%
perempuan) yang bekerja di sektor pertanian tanaman pangan, terutama
mengelola usahatani padi sawah (BPS Merauke, 2014).

BPTP Papua (2004) melaporkan, cadangan potensi pengembangan lahan


pertanian seluas 2,5 juta ha yang terdiri dari potensi lahan basah seluas 1,9 juta
ha dan potensi lahan kering seluas 600 ribu ha. Dari potensi lahan tersebut
berdasarkan hasil analisa Tim BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang). Tata
Ruang yang efektif digunakan adalah sebesar 1,283 juta ha. Menurut data BPS
Kabupaten Merauke (2014) lahan yang telah dimanfaatkan atau telah dibuka untuk
pertanaman padi sawah seluas 37.505 ha dan tersebar di semua distrik di
Kabupaten Merauke. Penyebaraan luas pertanaman padi sawah terlihat pada
Tabel 2.
Jika disimak dari data Tabel 2 terlihat produktivitas padi sawah antar distrik
beragam. Hal ini diduga tingkat adopsi teknologi peningkatan padi sawah belum
diadopsi secara utuh. Kemungkinan lain adalah ketersedian sarana produksi tidak
tepat waktu.

743
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Luas panen, produksi dan produktivitas padi sawah berdasarkan distrik
di Kabupaten Merauke
Luas tanam Luas panen Produksi Provitas
No Distrik
(ha) (ha) (ton) (ton/ha)
1 Kimaan 352 352 1.408 4,00
2 Tabonji 50 50 160 3,20
3 Waam 87 87 291 3,34
4 Ilwayab 45 45 159 3,50
5 Okaba 62 62 214 3,45
6 Tubang 0 0 0 0
7 Ngguti 0 0 0 0
8 Kaptel 0 0 0 0
9 Kurik 8.670 8.638 42.309 4,90
10 Animha 7 171 257 3,61
11 Malind 4.685 4.408 19.746 4,48
12 Merauke 1.514 1.433 8.607 6,00
13 Naukenjerai 260 260 1.281 4.93
14 Semangga 8.215 7.840 39.727 5,07
15 Tanah Miring 11.287 10.084 56.444 5,60
16 Jagebob 1.033 1.004 3.550 3,54
17 Sota 6 6 20 3,30
18 Muting 169 169 419 2,48
19 Elikobel 650 648 1.944 3,00
20 Ulilin 349 349 1.046 3,00
Jumlah 37.505 35.507 177.581 5,00
Sumber: BPS Kabupaten Merauke (2014)
Penduduk Kabupaten Merauke terdiri dari penduduk asli Papua, penduduk
non Papua yang didominasi etnis dan berasal dari NTT, NTB, Sunda, Maluku,
Bugis dan Makasar. Pada kawasan sentra pertanian didominasi penduduk dari
etnis Jawa (turun temuruan sejak zaman kolonial Belanda), namun penduduk yang
bermata percaharian pedagang didominasi oleh etnis Bugis, Makasar, Buton, dan
dari suku Minang serta sebagian dari etnis Jawa. Dari data BPS Merauke (2012),
terdapat 120.720 jiwa penduduk non Papua, sedangkan penduduk asli Papua
74.141 jiwa.
Sejak tahun 2009 peningkatan produktifitas padi sawah sudah dilaksanakan
dengan pendekatan SL-PTT. Luasan pengembangan SL-PTT setiap tahun
berfluktuasi. Fluktuatifnya pengembangan ini sangat dipengaruhi dari anggaran yang
tersedia. Untuk Kabupaten Merauke pengembangan SL-PTT lebih luas dari pada
kabupaten lain yang ada di sentra padi sawah di Provinsi Papua (Tabel 3).

Tabel 3. Luas perkembangan SLPTT per Kabupaten di Provinsi Papua 2009- 2013
Tahun
No Kabupaten/Kota
2009 2010 2011 2012 2013
1 Kota Jayapura 800 500 600 500 500
2 Kab. Jayapura 400 600 500 500 500
3 Kab. Nabire 700 1.125 1.500 500 700
4 Kab. Merauke 14.900 10.350 15.000 9.200 15.400
5 Kab. Mimika 150 0 0 0 200
6 Kab. Waropen 200 500 300 0 0
7 Kab. Keerom 300 300 400 300 300
8 Kab. Sarmi 100 328 0 0 200
9 Kab. Jayawijaya 0 500 0 0 0
Jumlah 17.550 14.203 18.300 11.000 17.800
Sumber: Laporan Tahunan Dinas PKP Papua (2009, 2010, 2011, 2012)

744
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Karakteristik responden

Kemampuan petani dalam melaksanakan usahataninya sangat dipengaruhi


oleh kemampuan fisik. Seseorang yang berada dalam usia produktif atau usia kerja
akan bekerja lebih efisien dan kemampuan bekerja akan meningkat sampai
mencapai umur tertentu kemudian akan menurun. Dari hasil kajian umur petani padi
sawah berada pada kisaran 26-59 tahun tahun (rata-rata 45,3 tahun), sebagian besar
(83,67%) petani masih berumur produktif (>20-<45 tahun). Petani yang umur kurang
produktif dari segi fisik (>56 tahun) terdapat 16,33% (Tabel 4). Hal ini menunjukkan
kemampuan kerja dalam usahatani padi sawah cukup tinggi. Menurut Amin (2014)
umur kategori produktif berada 30-45 tahun.

Tabel 4. Jumlah dan kisaran umur petani responden padi sawah di Kabupaten
Merauke, 2014
No Kisaran umur Jumlah (jiwa) Persentase
1. 26 – 55 82 83,67
2. >56 16 16,33
Jumlah 98 100,00
Sumber : Data primer, 2014

Secara teoritis tingkat pendidikan akan berpengaruh dalam penerapan


tingkat teknologi, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan lebih mudah
mengadopsi teknologi, namun tidak selalu demikian banyak faktor lain yang
mempengaruhi. Dilihat dari tingkat pendidikian formal petani tidak jauh berbeda
dengan gambaran umum tingkat pendidikan petani di Indonesia. Dari hasil
pengkajian didapatkan petani tamat Sekolah Dasar (12,24%) dan petani yang
berpendidikan perguruan tinggi ditemukan 7,15% (Tabel 5).

Tabel 5. Tingkat pendidikan petani padi sawah di Kabupaten Merauke, 2014


No Tingkat pendidikan Jumlah Persentase
1. Tamat SD 12 12,24
2. SLTP 42 42,85
3. Tamat SLTA 37 37,75
4. D-3 7 7,15
Jumlah 98 100,00
Sumber : Data Primer, 2014

Dengan demikian dapat disimpulkan tingkat pendidikan petani responden


masih rendah. Sehingga menghambat proses diseminasi. Menurut Mulyandari
(2011) petani dalam mengakses teknologi informasi cenderung memiliki
pendidikan yang relatif tinggi, karena teknologi informasi merupakan media
komunikasi baru yang membutuhkan pengetahuan yang reaktif tinggi dibanding
dengan media komunikasi lainnya.

Komponen teknologi dalam PTT diketahui dan diterapkan

Petani dalam berusahatani padi sawah selalu berusaha melakukan


penerapan teknologi dengan tujuan peningkatan produktivitas, namun tidak semua
teknologi dalam PTT diterapkan. Dari hasil pengkajian didapatkan 98,24% petani
mengetahui penggunaan VUB, namun dalam penerapan tidak diterapkan

745
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

semuanya. Alasan yang dikemukan petani adalah benih yang diinginkan tidak
tersedia saat dibutuhkan dan ketidakyakinan petani terhadap mutu dari hasil VUB
tersebut, hal senada juga diungkapkan Malik dan Kadir (2015). VUB yang ditanam
dan berkembang ditingkat petani saat ini dikembangkana oleh petani penangkar
berasal dari BPTP Papua melalui pihak ketiga (Sang Hyang Sri).

Petani mengetahui manfaat dari penggunaan bibit muda (<15 HSS)


terutama lebih cepat beradaptasi dan banyak anakan, hal ini diketahui 92,98%
petani, namun yang menerapkan dan menggunakan bibit muda hanya 87,20%.
Alasan yang dimukakan petani tidak menerapkan pemakaian bibit muda adalah
ketidak yakinannya terhadap bibit muda dan kuatir mati saat dipertanaman, karena
saat penanaman curah hujan tinggi dan tergenang dan kawatir serangan keong
mas. Petani menanam bibit umur 18-21 HSS dengan jumlah 2-3 batang/rumpun.

Petani mengetahui 96,49% manfaat dari penggunaan pupuk organik,


disamping menyuburkan tanah juga pertumbuhan vegetatif cukup baik. Namun
dalam penerapannya ditemukan 62,10% jerami dari hasil panen tidak semuanya
dikembalikan ke tanah, namun sebagian untuk persiapan pakan sapi pada musim
kemarau.

Irigasi berselang (intermitten) merupakan pengaturan air di sawah agar


tidak terendam terlalu lama yang mengakibatkan tanaman kurang oksigen. Petani
mengetahui irigrasi berselang sebanyak 92,77% dan hanya menerapkan 40,36%.
Alasan yang dikemukakan petani adalah terlalu sulit dilakukan, karena kondisi
lahan yang luas dan musim tanam terjadi pada musim hujan. Hal ini dapat
dimaklumi karena lahan sawah yang ada di lokasi pengkajian merupakan lahan
tadah hujan.

Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD) diketahui petani karena akan


didapatkan penggunaan pupuk yang optimal dan waktu pemupukan. Dari hasil
kajian didapatkan 89,77% petani mengetahui penggunaan BWD, namun yang
menerapkan 43,85%. Alasan yang dikemukakan petani panel BWD tersebut tidak
dimiliki petani. Disarankan pemerintah menyediakan panel BWD disetiap
kelompok petani.

Pengolahan tanah yang baik dan benar untuk mencapai produktivitas tinggi
sudah dilakukan sebagian besar petani, terutama pelumpuran yang dalam, bebas
gulma sudah diketahui petani dengan menggunakan traktor dan mengolah tanah
dengan ternak (sapi). Namun dari hasil kajian terdapat <10% petani yang tidak
menerapkan dengan baik, terutama disebabkan kondisi lahan yang agak dalam
(rawa).

Sistem tanam jajar legowo adalah pola bertanam berselang seling antara
dua atau lebih baris tanaman padi dan satu baris kosong. Baris tanaman (dua
atau lebih) dan baris kosong (setengah lebar di kanan dan kirinya) disebut satu
unit legowo. Bila terdapat dua baris tanam unit legowo disebut legowo 4:1 dan
seterusnya Abdulrachman dkk., (2013). Petani mengetahui 100% tentang legowo,
terutama keunggulannya untuk meningkatkan populasi tanaman dan menggurangi

746
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

serangan tikus, mudah penyiangan dan mudah dalam mengendalikan keong mas
dan pertumbuhan tanaman lebih sehat dan seragam dan mudah dalam melakukan
penyiangan.

Penerapan penanaman sistem jajar legowo oleh petani belum sesuai


dengan kaidah sistem jajar legowo yang sebenarnya. Petani lebih banyak
menerapkan jajar legowo tegel, yaitu sistem pertanaman dengan jarak 25x25 cm.
Penanaman sistem tegel ini diterapkan petani 67,40%. Alasan yang dimukakan
petani adalah kelangkaan tenaga kerja saat tanam dan petani beranggapan terlalu
rumit. Hal ini dapat dipahami, saat musim tanam luas garapan petani cukup luas
(1-2 ha) sehingga tenaga kerja langka saat musim tanam. Disamping itu,
alasannya biaya tanam lebih banyak dan hasilnya tidak berbeda nyata dengan
sistem tegel.

Alat tanam jajar legowo, yang diperkenalkan Balitbangtan lebih dikenal


dengan nama transplanter memerlukan dukungan pemerintah daerah untuk
mengatasi kelangkaan tenaga kerja saat tanam dilakukan.

Hama dan penyakit merupakan ancaman dalam peningkatan produktivitas,


terutama padi sawah di sentra produksi di Kabupaten Merauke. Dari hasil kajian
semua petani memahami cara pengendalian hama terpadu. Hal ini diilhami dari
seringnya petani ikut pelatihan SLPHT, namun dalam penerapannya petani hanya
melaksanakan 77,19%. Kategori ini dianggap tinggi, namun alasan yang
dikemukan petani adalah kelangkaan tenaga kerja dan luasan lahan garapan yang
dimiliki terlalu luas, sehingga penggunaan pestisida sangat efektif.

Gulma merupakan salah satu penyebab rendah produktivitas padi sawah.


Dari hasil pengkajian, petani mengetahui dan menerapkan pengendalian gulma
untuk peningkatan produktivitas padi sawah di kawasan ini.

Semua petani yang ada di sentra produksi padi sawah mengetahui manfaat
dari penggunaan alsintan, namun dalam penerapannya tidak semua petani
menggunakannya. Dari hasil kajian terdapat 70,17% petani menerapkan alsintan
dalam berusahatani padi sawah. Alsintan yang digunakan petani di antaranya
pengolahan tanah. Alasan tidak menerapkan alsintan yang dikemukakan petani
(hand traktor dan tresher) dalam usahatani padi sawah disebabkan kelangkaan
modal saat dibutuhkan dan alsintan tersebut tidak dimiliki secara pribadi, namun
dimiliki oleh kelompok dan harus bergantian dalam penggunaannya. Penanganan
panen dan pasca panen yang baik sudah diketahui petani, namun dalam
penerapannya terkadang terkendala dari saat panen hujan turun.

Rata-rata presentase komponen teknologi dalam PTT padi sawah yang


diketahui sebesar 96,94%, namun yang diterapkan 77,21% (Tabel 6). Hal ini
dimaknai bahwa proses diseminasi berjalan dengan baik sejak diterapkannya PTT
padi sawah tahun 2007.

747
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 6. Persentase komponen teknologi dalam PTT padi sawah yang diketahui
petani dan yang diterapkan di Kabupaten Merauke, MH 2014
No Komponen teknologi Diketahui (%) Diterapkan (%)
1. Penggunaan VUB 98,24 89,72
2. Bibit muda (< 15 hari) 92,98 87,20
3. Penggunaan pupuk organic 96,49 62,10
4. Irigasi berselang (intermitten) 92,77 40,36
5. Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD) 89,77 43,85
6. Perlakuan Benih 98,40 24,56
7. Cara pengolahan tanah 100 90,78
8. Cara tanam jajar legowo 100 67,40
9. Pengendalian hama terpadu 98,30 77,19
10. Pengendalian gulma 100 100
11. Penggunaan Alat mesin pertanian 100 70,17
12. Penanganan panen dan pasca panen 100 84,21
Rata-rata
Sumber : Data Primer, 2014

Keragaan teknologi padi sawah

Usahatani padi sawah dilaksanakan pada MH (Rendeng), yaitu pada bulan


Oktober/November – Desember/Januari dan MK Pebruari/Maret – Mei/Juni (gadu)
dengan kisaran luas garapan 0,50 – 4,5 ha (rata-rata 1,90 ha/petani).
Petani sudah menggunakan VUB, namun varietas yang digunakan sangat
beragam. Bervariasinya petani menggunakan varietas lebih banyak disebabkan
oleh adanya kecenderungan permintaan konsumen (pasar dan harga) yang cukup
bervariasi. Hal ini disebabkan kecenderungan konsumen memilih rasa yang enak
dan harga yang murah.
Benih memiliki peranan penting dalam peningkatkan produksi, karena benih
merupakan cikal bakal produktifitas hasil yang akan dicapai dari suatu tanaman.
Varietas yang sudah beradaptasi baik pada daerah tertentu akan meningkatkan
produktivitas.
Hasil penanaman padi sawah MH 2013/2014 (Rendeng) yaitu
Oktober/November 2013-Januari/Pebruari 2014 petani menggunakan varietas
unggul baru (VUB) di antaranya didominasi Inpari 13, Ciherang dan Ciliwung
(Tabel 7).
Tabel 7. Persentase VUB yang digunakan petani padi sawah di Kabupaten
Merauke MH 2014
No Varietas Presentase (%)
1 Inpari 13 28,10
2 Ciherang 25,15
3 Ciliwung 20,15
4 Inpari 16 15,20
5 Memberamo 11,40
Jumlah 100,00
Sumber : Data Primer, 2014

748
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Di antara komponen teknologi anjuran, VUB adalah teknologi yang paling


cepat diadopsi petani dan juga bersifat fasilitasi bantuan (BLBU). Petani
memutuskan memilih varietas padi yang akan ditanam berdasarkan tiga syarat
penting, yaitu produktivitas, harga jual dan bukti pengalaman produktivitas dilahan
petani lainnya. Hal ini cukup dipahami, karena petani melihat dan membandingkan
dari display varietas yang dilaksanakan BPTP dalam kegiatan pendampingan SL-
PTT di lokasi kajian yang menunjukan keefektipan diseminasi keragaan (show
case technology).
Faktor ketahanan terhadap OPT, mutu beras/nasi dan kemudahaan menjual
gabah/beras menjadi faktor penentu penting. Umur panen dan kemudahaan
mendapatkan benih menjadi persyaratan ketiga terpenting (Tabel 8).
Tabel 8. Faktor penentu bagi petani dalam memilih varietas (VUB) padi sawah di
Kabupaten Merauke, MH 2014
No Varietas Rangking
1. Produktivitas 1
2. Harga jual gabah/beras 1
3. Mutu beras, rasa nasi 1
4. Adaptasi pada musim yang lalu 2
5. Ketahanan terhadap OPT 2
6. Kemudahan menjual gabah/beras 3
7. Kemudahaan memperoleh benih 3
8. Umur panen 4
Sumber : Data Primer, 2014

Input produksi yang sangat menentukan tingkat produktivitas yang dicapai


adalah penggunaan pupuk. Petani menggunakan pupuk organik dan an-organik
yang digunakan petani di masing-masing lokasi hampir sama, hal ini disebabkan
sistem penyuluhan dan program yang dilaksanakan sudah sesuai, namun dosis
pupuk yang digunakan petani sangat bervariasi. Hal ini disebabkan keterbatasan
modal, dan sebagian pupuk digunakan pada komoditi lain antara lain tanaman
sayuran yang harganya bersaing. Kendala klasik sampai saat ini dilokasi
pengkajian adalah ketersediaan pupuk tidak tepat waktu dan jumlah, sehingga
pemupukan tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman padi yang sesungguhnya,
akibatnya produktivitas padi belum optimal.
Peningkatan produktivitas tanaman, terutama padi sawah sangat
dipengaruhi oleh pemberian input yang diberikan. Dari hasil kajian ditemukan
98,50% petani menggunakan nitrogen yang bersumber dari pupuk Urea. Terdapat
49,12% petani menggunakan sumber posfat dari SP-36. Sedangkan sumber
Kalium untuk padi sawah yang bersumber dari KCl terdapat 7,40%. Rendahnya
penggunaan KCl oleh petani disebabkan harga mahal (tidak bersubsidi).
Penggunaan sumber Nitrogen, Posfat dan Kalium dengan merek dagang pupuk
Phonska 8,75%. Relatif rendahnya penggunaan pupuk Phonska ini adalah saat
dibutuhkan tidak tersedia di lokasi kajian. Sedangkan penggunaan sumber
Nitrogen, Posfat dan Kalium dengan merek dagang NPK Pelangi 85,30% (Tabel
9).

749
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 9. Persentse petani menggunakan pupuk organik dan an organik dalam


PTT padi sawah di Kabupaten Merauke, MH 2014
No Jenis pupuk persentase (%)
1. Urea 98,50
2. SP-36 49,12
3. KCl 7,40
4. Fhonska 8,75
5. NPK Pelangi 85,30
6. Kompos 33,33
Sumber : Data Primer, 2014

Tingginya penggunaan NPK pelangi disebabkan saat dibutuhkan tersedia


tepat waktu yang dibutuhkan petani, terutama saat aplikasi padi sawah. Pupuk
organik yang digunakan petani berasal dari UPT Dinas Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kabupaten Merauke dengan harga Rp 1.000/kg. Dari hasil kajian
terdapat 33,33% petani yang menggunakan pupuk organik.
Peningkatan produktivitas padi sawah sangat dipengaruhi oleh pemberian
pupuk yang diberikan. Petani menggunakan beberapa jenis pupuk padi sawah
dalam menerapkan PTT. Pupuk an organik yang digunakan petani adalah Urea,
SP-36 dan KCl, Fonskha, NPK pelangi (Tabel 10).
Tabel 10. Kisaran dan rata-rata penggunaan pupuk dan produktifitas per hektar
PTT padi sawah di Kabupaten Merauke, MH 2014
No Input Kisaran Rata-Rata
1. Benih (kg) 26 – 32 29,5
2. Pupuk (kg)
- Urea 50 – 125 85,50
- SP-36 0 – 125 109,50
- KCl 0 – 40 8,50
Fhonska 0-100 30,50
NPK Pelangi 0-125 85,50
Kompos (kg) 0-250 200,50
3. Hasil gabah kering giling (kg/ha) 4,225-5,930 4,830
Sumber : Data Primer, 2014

Penggunaan dosis pupuk ini masih jauh dari rekomendasi. BPTP Papua
(2004) menyarankan pada tanah dengan kandungan N rendah di lokasi
pengkajian (Semangga, Tanah Miring dan Merauke) kebutuhan pupuk Urea 175-
200/ha, sedangkan pada tanah P tinggi pada lokasi yang sama disarankan
penggunaan SP-36 dengan kisaran 100-125 kg/ha dan 75-100 kg/ha KCl. BPTP
Papua (2010) rekomendasi pemupukan untuk padi sawah di sentra produksi di
Kabupaten Merauke adalah Urea 150 kg:100 kg SP-36+150 kg KCl/ha
Rendahnya penggunaan pupuk ini oleh petani lebih banyak disebabkan
ketersediaan pupuk tepat waktu tidak tersedia di ini petani. Kalau itupun pupuk
ada kelangkaan modal oleh petani sangat mempengaruhi dalam penggunaan
pupuk yang diberikan kepada padi sawah. Hal senada juga dikatakan Widjono
(2006) penyebab lainnya rendahnya produktivitas padi sawah di Merauke
disebabkan penggunaan input yang rendah dan teknologi budidaya belum banyak

750
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dikuasai petani serta masalah sosial ekonomi seperti kelangkaan modal, budaya
dll.
Disamping itu, rendahnya produktivitas padi sawah yang dihasilkan di
tingkat petani di sentra padi Kabupaten Merauke menurut Djaenudin dan
Hendrisman (2008) kurangnya hara untuk diperlukan penambahan pupuk organik,
fosfat dan kalium sehingga hasil yang dicapai optimal.

Dari hasil kajian tingkat produktivitas padi sawah yang dicapai petani dalam
pendekatan PTT berkisar 4.225-5.930 kg/ha gkg dengan rata-rata 4.830 kg/ha
gkg. Hasil yang dicapai ini jauh lebih rendah dari tingkat hasil yang dicapai dari
hasil pengkajian. Rauf dkk., (2009) dan Djufry dkk., (2010) melaporkan jika
pemberian input sesuai dengan rekomendasi dan dikelola secara optimal maka
produktivitas padi sawah bisa dicapai 5,6-7,1 ton/ha gkg (gabah kering panen) di
sentra produkdi di Merauke.
KESIMPULAN

1. Usahatani padi sawah yang dilaksanakan pada MH (Rendeng), yaitu pada


bulan Oktober/November–Januari/Pebruari dan MK Pebruari/Maret–Mei/Juni
(gadu) dengan kisaran luas garapan 0,50-4,50 (rata-rata 1,90 ha/petani). VUB
yang dominan ditanam petani adalah varietas Inpari 13, Ciherang dan Ciliwung.
2. Faktor penentu bagi petani dalam memilih VUB pertama adalah produktivitas
tinggi, harga jual gabah/beras serta mutu beras dan rasa nasi enak (pulen).
Sedangkan yang menjadi rangking kedua adalah adaptasi dan ketahanan
terhadap OPT. Rangking ketiga adalah kemudahanan menjual gabah/beras
dan kemudahaan memperoleh benih. Menjadi rangking keempat adalah umur
panen yang pendek.
3. Persentase petani menggunakan pupuk Urea 98,50%, SP-36 49,12%, KCl
7,40%, Phonska 8,75%, NPK Pelangi 85,30% dan hanya 33,33% petani yang
menggunakan kompos.

4. Rata-rata penggunaan benih 29,5 kg/ha, Urea 85,50 kg/ha, 109,50 kg/ha SP-
36, Fhonska 30,50 kg/ha dan NPK pelangi 85,50 kg/ha, kompos 200,50 dengan
tingkat produktivitas 4,830 kg/ha gkg.

IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kebijakan dalam penerapan teknologi peningkatan produktivitas padi
sawah melalui PTT Padi, terutama penggunaan komponen teknologi pokok, di
antaranya menerapkan rekomendasi pemupukan, terutama penggunaan pupuk
SP-36, KCl dan kompos (pupuk organik), regulasi mengenai pengadaan pupuk
tepat waktu dan jumlah di lini petani serta menyakinkan petani menggunakan
sistem tanam jajar legowo, meningkatkan produktivitas perlu diintensifkan dengan
menggunakannya sebagai materi penyuluhan pertanian
DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S., M.J. Mejana., N, Agustina., I, Gunawan., P, Sasmita dan A,


Guswara. 2013. Sistem Legowo. Badan Litbang Pertanian.

751
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Amin, M. 2014. Efektifitas dan Perilaku Petani dalam Memanfaatkan Teknologi


Informasi Berbasis Cyber Extension dalam Elna dkk., (eds). Inforomatika
Pertanian. Vol. 23 (2) tahun 2014. Hal 211-219
Kementan. 2010. PTT Padi Sawah. Pedoman Umum. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
BPTP Papua. 2004. Pewilayahaan Komoditas Pertanian Berdasarakan AEZ di
Kabupaten Merauke.
Dinas PKP. 2011. Kebijakan Pemantapan Ketahanan Pangan Provinsi Papua.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua.
Djufry, F., M.S. Lestari., Sudarsono., A. Kasim., A. Malik., D. Wamaer., A. Soplanit
dan S.R. D. Sihombing. 2010. Pendampingan Program Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu. Laporan kegiatan TA 2010. BPTP
Papua. Balai Besar P2TP. Badan Litbang Pertanian
Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S. Abdulrachman. 2003.
Panduan teknis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu padi
sawah irigasi. Departemen Pertanian. 30 hal.
Moser, C. M. and C. Barrett. 2003. The disappointing adoption dynamics of a yield
increasing, low external-input technology: the case of SRI in Madagascar.
Agricultural Systems, 76(3):1085-1100.
Mundy, P., 2000. Adopsi dan adaptasi teknologi baru. Training and
Communication Specialist, PAATP3, November 2000. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Mulyandari, R.S.H. 2011. Perilaku Petani Sayuran dalam Pemanfaatan Teknologi
Informasi. Jurnal Perpustakaan Pertanian 20 (1) 22-24. Badan Litbang
Pertanian.
Malik, A dan Syafruddin Kadir. 2013. Rekayasa dan Pengembangan Agribisnis
Pedesaan. Bunga Rampai Pengembangan Agribisnis. Inovasi Teknologi
dan Perbaikan Sistem Dalam Pengembangan Agribisnis. ISBN: 978-979-
18327-6-2 Penerbit: Kristal Multimedia Bukttinggi, April 2013
Malik, A dan Syafruddin Kadir. 2015. Mengenjot Produksi Padi Sawah Kabupaten
Merauke, Papua. Bunga Rampai "Menguak Potensi Teknologi Spesifik
Lokasi Guna Mancapai Kesejahteraan Petani. ISBN: 978-602-71644-3-7.
Penerbit: Kristal Multimedia, Bukittinggi April 2015.
Prijososulo, B. 2011. Brain-Brain dan Fragmentasi Sosial yang Menyengsarakan
Masyarakat Petani dalam Subejo., dkk (eds) Prosiding Semnas Hasil
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Gajah Mada. Hal456-
467.
Rogers, E. M. 1983. Diffusion of Innovation 3rd Edition. The Free Press, Collier
Macmillan Publishers, London.
Rauf, A.W., Musrifah., Syamsudin dan M. Maulud. 2004. Teknologi Budidaya Padi
dengan Sistem Tabela pada Lahan Sawah Irigasi dan Tadah Hujan di
Kabupaten Merauke. Prosiding Seminar Nasional BPTP Papua, Jayapura
5-6 Oktober 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian Hal 105-112.
Subagyono, K dan K. Kaiyasa. 2012. Dampak Prima Tani Terhadap Pemanfaatan
dan Produktivitas Sumberdaya Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga
Petani. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol
15 (1) Maret 2012. Hal.69-81.
Widjono, A. Analisis Sosial Budaya Pengembangan Padi di Merauke dalam
Sumarno dkk., (2006). Iptek Tanaman Pangan. Puslitbang Tanaman
Pangan Vol 1 (1) 2006. Hal 57-78.

752
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

UPAYA PERCEPATAN ADOPSI VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) DI LAHAN


SUB OPTIMAL (LAHAN TADAH HUJAN): STUDI KASUS DI KABUPATEN
SAROLANGUN JAMBI
Suharyon, Busyra Buyung Saidi, dan Jainal Abidin Hutagaol

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.


Jl. Samarinda Paal lima Kota Baru Jambi
Email: suharyonhariyon@gmail.com

ABSTRAK

Lahan tadah hujan merupakan salah satu jenis lahan yang potensial untuk
difungsikan sebagai sentra produksi padi, mendukung swasembada beras
berkelanjutan, termasuk lahan-lahan tadah hujan di wilayah Kabupaten
Sarolangun Provinsi Jambi. Upaya optimalisasi peran lahan tadah hujan sebagai
salah satu sentra produksi padi terus dilakukan antara lain dengan meningkatkan
produktivitas padi melalui pengembangan varietas unggul baru (VUB) spesifik
lahan tadah hujan. Namun demikian, upaya pengembangan VUB di lahan tadah
hujan juga dihadapkan pada kendala rendahnya adopsi VUB karena masih
tingginya penggunaan varietas lokal sehingga rata-rata produktivitas padi di lahan
tadah hujan Kabupaten Sarolangun belum sesuai dengan yang diharapkan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengungkap faktor-faktor pendorong dan
penghambat adopsi VUB serta merumuskan upaya percepatannya. Kajian
dilakukan di 3 Kecamatan (Sarolangun, Pelawan, dan Air Hitam) Kabupaten
Sarolangun pada tahun 2014 dengan pendekatan survei, focus group discussion,
dan wawancara individual kepada kelompok tani pengguna VUB dan varietas
lokal. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum varietas yang banyak
berkembang di lokasi kajian masih didominasi varietas lokal. Faktor-faktor yang
mendorong percepatan adopsi adalah potensi biofisik lahan, penyediaan benih,
dan sumberdaya manusia. Peluang pengembangan VUB juga terbuka dengan
adanya dukungan kebijakan pemerintah pusat, teknologi, dan infrastruktur.
Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan VUB adalah
persaingan usahatani padi dengan usaha produktif lainnya dan preferensi
masyarakat. Mengacu pada identifikasi tersebut, maka upaya percepatan adopsi
VUB di lahan tadah hujan Kabupaten Sarolangun menggunakan pendekatan peta
jalan yang diterapkan secara bertahap melalui model upaya percepatan selama
satu sampai dua tahun. Upaya percepatan juga perlu didukung dengan kebijakan
pemerintah daerah melalui penumbuhan penangkar benih tingkat petani dan
alokasi dana khusus untuk pengembangan VUB yang terintegrasi dalam program
Pemda.

Kata kunci : lahan tadah hujan, adopsi VUB, upaya percepatan.

PENDAHULUAN

Posisi dan keberadaan lahan irigasi dalam sistem produksi pertanian


sangat penting, khususnya untuk memproduksi padi. Namun demikian, di lain
pihak keberadaan lahan sawah justru terancam karena laju alih fungsi lahan yang
terus meningkat dan pelandaian produktivitas. Ancaman alih fungsi lahan dan
pelandaian produktivitas tak pelak menuntut upaya-upaya lain untuk terus

753
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mempertahankan keberlanjutan sistem produksi pertanian. Lahan-lahan non


sawah telah lama disarankan menjadi prioritas pengembangan berbagai
komoditas seperti yang dinyatakan dalam Sudana (2005) yang menyebutkan
bahwa lahan tadah hujan merupakan salah satu alternatif prioritas untuk
mendukung produksi pangan nasional khususnya beras. Pengembangan
usahatani padi di Jambi didukung areal sawah sekitar 149 ribu ha tersebar
dibeberapa wilayah kabupaten. Salah satu wilayah pendukung produksi padi di
Jambi adalah Kabupaten Sarolangun.

Ditinjau dari capaian produksinya, Jambi menghasilkan sekitar 515 ribu ton
GKG.Jika dihubungkan dengan luas tanamnya, maka diketahui produktivitas padi
di Jambi adalah 4,3 t/ha. Angka produktivitas padi itu masih relatif rendah jika
dibandingkan dengan potensinya yang dapat mencapai 6 – 7 t/ha. Menurut
Makarim et.al. (2004), rendahnya produktivitas padi sawah terkait dengan
penggunaan varietas. Upaya Pemda Jambi untuk meningkatkan produktivitas padi
itu mengacu pada Program Peningkatan Beras Nasional yakni melalui pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) (Balitbangtan, 2011). PTT merupakan
suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan
pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif
bersama petani.

Di balik potensinya yang cukup besar, masih terdapat beberapa persoalan


yang ditemui dalam meningkatkan produksi padi di lahan tadah hujan. Luas lahan
tadah hujan di Provinsi Jambi khususnya di Kabupaten Sarolangun seluas 2.275
hektar (BPS, Provinsi Jambi, 2010). Lahan tadah hujan di Kabaupaten Sarolangun
bersifat marjinal dan rapuh (Noor,M.dan Achmadi,J. 2005), sementara Suriadikarta
dan Teddy,M.S (2007) menyebutnya sebagai lahan sub-optimal dengan kendala
sifat fisika dan/atau kimia. Dalam upaya mengatasi kendala tersebut, untuk
meningkatkan produksi padi di lahan tadah hujan. Kabupaten Sarolangun juga
bisa ditempuh dengan penggunaan varietas unggul baru (VUB) padi adaptif dan
toleran berproduksi tinggi seperti dinyatakan Hendayana, dkk., (2010); Las,
(2007); Suriadikarta dan Dyah (2006).

Pengalaman Badan Litbang Pertanian dalam menyediakan dan


mengintroduksikan VUB adaptif dan toleran lahan sub optimal merupakan sejarah
panjang dan bukan hal baru lagi. Tercatat sejak kurun waktu 1980-an hingga 2000-
an, berbagai VUB lahan sub optimal dilepas seperti Kapuas, Musi, Sei Lilin,
Lematang, Lalan, Banyuasin, IR 42, dan Batanghari dengan potensi hasil cukup
menjanjikan sekitar 3 – 6 t/ha. Namun demikian, tingkat pemanfaatan (adopsi)
dan penyebarannya di petani belum setinggi yang diharapkan. Fakta tersebut
menarik untuk dikaji dan ditelaah secara mendalam sehingga dapat diungkap akar
permasalahan utama rendahnya adopsi VUB di lahan tadah hujan khususnya di
wilayah Sarolangun. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk mengungkap
masalah rendahnya adopsi VUB serta merumuskan model percepatan adopsi
VUB di lahan tadah hujan yang disintesiskan dari hasil kajian.

754
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Pendekatan

Secara teoritis, strategi percepatan adopsi diarahkan pada strategi


fungsional yang menekankan pada pemaksimalan sumberdaya produktivitas.
Terkait dengan adopsi VUB padi unggul di lahan tadah hujan, strategi percepatan
adopsi akan mencerminkan rumusan perencanaan komprehensif menyangkut
upaya pencapaian tujuan perluasan adopsi. Strategi tersebut juga akan
memaksimalkan potensi dan peluang pengembangan VUB padi dengan
meminimalkan dampak negatif kondisi lahan sub optimal (Hendayana dkk, 2010).

Metode Pengkajian

Lokasi dan Waktu Pengkajian

Tulisan disarikan dari hasil pengkajian di Kabupaten Sarolangun yang


dipilih secara sengaja dengan pertimbangan luasnya lahan tadah hujan di wilayah
tersebut. Kabupaten terpilih yang mewakili agroekosistem lahan tadah hujan
adalah Kabupaten Sarolangun yang terdiri dari tiga kecamatan yakni; kecamatan
Sarolangun, kecamatan Pelawan, dan kecamatan Air Hitam, (Tabel 1).

Tabel 1. Lokasi kajian di Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi, 2014


No Kabupaten Kecamatan Keterangan
1 Sarolangun Pelawan Lahan tadah hujan
Sarolangun Lahan tadah hujan
Air Hitam Lahan tadah hujan

Data dan Sumber Data

Data-data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data-data


primer yang dikumpulkan mencakup faktor internal petani, eksternal petani, dan
karakteristik teknologi VUB padi (Tabel 2). Data-data sekunder merupakan
sintesis dari berbagai hasil kajian tentang VUB padi di lahan serta tingkat
adopsinya.

Responden petani merupakan sumber data utama dengan pendekatan


grup petani yang terdiri dari 5 – 8 orang / grup tani. Contoh responden grup petani
diambil yang mewakili petani-petani yang sudah mengadopsi VUB padi dan grup
petani yang mencerminkan petani-petani yang masih bertahan dengan
menggunakan varietas padi lokal. Dengan demikian, diperoleh gambaran faktor-
faktor yang mendorong dan menghambat petani mengadopsi dan tidak
mengadopsi VUB padi di lahan tadah hujan (sub optimal).

755
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Deskripsi faktor-faktor internal dan eksternal petani lahan tadah hujan
Faktor internal petani Faktor eksternal petani
- Pengalaman berusaha tani padi - Lembaga permodalan
- Pola usahatani - Kondisi infrastruktur
- Penguasaan asset - Kelompok tani dan lembaga
penyuluhan
- Tingkat pendidikan formal petani - Dukungan kios saprotan
- Mata pencaharian utama dan - Lembaga pengolahan dan
sampingan pemasaran
- Jumlah tanggungan keluarga - Kebijakan pemda propinsi,
kabupaten, BPTP terkait VUB
padi
- Pendapatan dan pengeluaran
usahatani
- Persepsi dan apresiasi petani
terhadap VUB
- Kearifan local

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan pendekatan Focus Group


Discussion (FGD) terhadap grup petani serta diperkaya melalui wawancara
mendalam (in depth interview) dengan pemuka masyarakat atau tokoh kunci (key
informan) yang memahami tentang dinamika dan keragaan usahatani padi di
lokasi kajian. Selain itu pengumpulan data primer juga mengkombinasikan
pendekatan Rapid Appraisal of Agricultural Knowledge Systems (RAAKS)
(Solomon, 2008) dan Need Analysis (McKillip, 1987). Data-data sekunder digali
dari hasil studi pustaka dan penelusuran informasi melalui internet.

Analisis Data

Data-data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif kualitatif dan


diperkaya dengan analisis kuantitatif. Dalam rangka menggali faktor-faktor
pendorong dan penghambat adopsi VUB padi di lahan tadah hujan Kabupaten
Sarolangun, maka didekati dengan analisis strategi pengembangan berdasarkan
kondisi internal dan eksternal petani.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keragaan Wilayah Lokasi Kajian

Wilayah Sarolangun ini, terletak antara 01°53’39’’ sampai 02°46’02’’ LS


dan antara 102°03´39’’ sampai 103°13´17’’ BT. Daerahnya merupakan dataran
rendah (10 – 1.000 m dpl). Wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Batanghari
(Utara). Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan (Selatan). Kabupaten
Merangin (Barat), Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi
Sumatera Selatan (Timur). Secara administratif Kabupaten Sarolangun terdiri dari
10 kecamatan, 9 kelurahan dan 134 desa dengan kepadatan penduduk 40
jiwa/km2, dan rata-rata pertumbuhan penduduk mencapai 3,32 % /tahun.

756
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sarolangun merupakan kabupaten yang dilalui oleh jalur Jalan Lintas


Sumatera. Karena letaknya yang strategis tersebut, maka kabupaten ini menjadi
suatu tempat yang bisa diperhitungkan untuk membuka lahan usaha.
Perekonomian kabupaten yang memiliki semboyan sepucuk adat serumpun
pusako ini sabagian besar berasal pertanian dan sumber daya alam yang berupa
minyak bumi, batu bara, dan emas. Serta perhotelan dan restoran.
Aksesibilitas wilayah mempunyai andil penting terhadap adopsi inovasi
teknologi karena akan berhubungan dengan kemudahan petani menjangkau
sumber informasi teknologi atau sumber dukungan usahatani lainnya.
Pengungkapan aksesibilitas petani ke pusat pertumbuhan ekonomi di kabupaten
ada hubungannya dengan upaya mengetahui adakah peluang untuk
mengembangkan usaha produktif ke depan? Sementara aksessibilitas ke sumber
informasi (Balai Penyuluhan Pertanian = BPP) ada hubungan dengan upaya
mengetahui peluang kemudahan petani memperoleh informasi teknologi pertanian
yang dibutuhkan. Sementara eksistensi pasar input dan pasar output yang juga
diungkap aksesibilitasnya dari pemukiman petani erat hubungannya dengan
dukungan kebutuhan input yang diperlukan untuk mengembangkan usahatani dan
kemudahan untuk memasarkan hasil.
Karakteristik Petani di Lokasi Kajian

Karakteristik reponden merupakan salah satu variabel penting terkait


perilaku adopsi teknologi selain variabel demografi, pengaruh kosmopolitan, dan
faktor lokasi. Karakteristik responden menjadi faktor potensial karena posisinya
sebagai pengguna inovasi (Isgin dkk., 2008), sehingga penting untuk
mengidentifikasi karakteristik reponden secara cermat.

Sebagian besar responden (89%) bermata pencaharian utama sebagai


petani, dan sisanya adalah PNS, dagang di daerah setempat. Tingkat pendidikan
responden dapat dikatakan cukup baik, yang ditunjukkan dengan rata-rata kisaran
lamanya pendidikan adalah 8 tahun. Namun terdapat sekitar 55% di antaranya
yang masih mengenyam pendidikan selama kurang dari 7 tahun, yaitu kisaran 2-
6 tahun. Tingkat pendidikan responden berhubungan tingkat adopsi suatu
teknologi. Tingkat pendidikan yang lebih baik memungkinkan petani memiliki
wawasan dan pemikiran yang lebih luas dan terbuka. Suharyanto dkk. (2005)
menyebutkan bahwa pendidikan yang tinggi mendorong petani untuk lebih rasional
dalam mengelola usahataninya. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Isgin
dkk. (2008) bahwa keputusan petani untuk mengadopsi dan tidak mengadopsi
suatu inovasi sangat dipengaruhi oleh aspek pendidikan formal yang dimiliki
petani. Dengan demikian, berdasarkan hasil identifikasi, dapat dikatakan bahwa
secara umum responden di lokasi kajian sudah dapat mempertimbangkan
keputusan untuk mengadopsi atau tidak.

Selain tingkat pendidikan, faktor umur juga mempengaruhi percepatan


adopsi inovasi karena berimplikasi pada penyediaan tenaga kerja produktif. Rata-
rata umur responden adalah berkisar antara 41 – 50 tahun, dan sebanyak 92%
termasuk dalam kategori usia produktif. Suharyanto dkk. (2005) menemukan

757
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

bahwa faktor umur berkorelasi positif dengan adopsi, seperti pada kasus adopsi
tabela. Sedangkan Rangkuti (2009) menghubungkan antara umur dengan tingkat
keaktifan responden dalam jaringan komunikasi untuk menyebarkan informasi
inovasi yang mempengaruhi upaya percepatan adopsi. Tingkat keterlibatan petani
dalam jaringan komunikasi berbanding terbalik dengan bertambahnya umur atau
semakin tua usia responden, tingkat partisipasinya justru menurun, sehingga
kurang berkontribusi terhadap upaya percepatan adopsi inovasi. Dengan kondisi
tersebut, maka dapat dijadikan peluang untuk mempercepat adopsi inovasi VUB
di lokasi kajian, karena dengan usia responden yang tergolong produktif,
menyebabkan petani lebih terbuka terhadap perubahan dan hal baru, termasuk
apabila ada introduksi inovasi VUB yang diperkenalkan.

Dari hasil survey diketahui terdapat sekitar 20% rumah tangga responden
tidak memiliki asset tenaga keluarga. Selebihnya (80%) responden memiliki asset
tenaga keluarga yang jumlahnya berkisar satu hingga 6 orang, dengan mayoritas
1 – 2 orang per rumah tangga. Kondisi tersebut mencerminkan adanya
kemampuan responden dalam mendukung kegiatan usahatani. Dalam kontek
adopsi teknologi, dukungan ketersediaan tenaga kerja memberi andil yang besar.

Di lokasi kajian, responden memiliki pengalaman berusahatani yang cukup


lama yaitu rata-rata 22 tahun, dengan masa tersingkat adalah 5 tahun dan yang
terlama adalah 30 tahun. Rangkuti (2009) menyatakan bahwa pengalaman
berusahatani akan membentuk karakter seorang petani menjadi orang yang lebih
terbuka dan kompak dalam suatu jaringan komunikasi dengan petani lainnya.
Seperti halnya tingkat pendidikan, sikap petani yang terbuka akan turut mendorong
keputusan untuk mengadopsi inovasi atau tidak sehingga berpengaruh terhadap
percepatan adopsi.

Hasil kajian menunjukkan bahwa kepemilikan lahan milik sendiri untuk


kegiatan usahatani berkisar pada rataan 1,5 ha. Hanya ada 14,8% dari responden
yang menyewa lahan untuk meningkatkan usahataninya, dengan rataan luasan
0,5 ha. Sedangkan pekarangan dan lahan lain (kebun) yang dimiliki responden
rata-rata seluas 1,5 ha.

Keragaan Penerapan VUB Padi

Dalam hal penggunaan varietas, terlihat adanya keberagaman jenis


varietas yang digunakan sejak pertama kali berusahatani, antara lain: IR 64,
Ciherang, IR 42), dan varietas unggul berumur panjang. Di antara varietas
tersebut, terdapat sebanyak 60% responden yang menggunakan varietas IR 42,
ciherang. Kebanyakan responden menyatakan bahwa benih-benih yang
digunakan berasal dari benih sendiri (74% responden), dan sisanya mendapatkan
dari membeli ke petani lain. Sampai dilakukannya kajian ini, berdasarkan informasi
dari responden, telah terjadi perkembangan pesat tentang jenis varietas yang saat
ini ditanam tanpa meninggalkan varietas yang ditanam pada awal berusahatani.
Hasil identifikasi memperlihatkan adanya 7 varietas baru selain varietas awal
tersebut, yaitu: Ciherang, Inpara, Inpari, Cisokan, IR 42, Mikonga, dan Unggul. Hal

758
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ini membuktikan bahwa responden telah mengadopsi varietas tersebut sebagai


sebuah inovasi baru.

Analisis Usahatani

Analsis usahatani padi terlihat biaya produksi teknologi introduksi lebih


besar dibanding teknologi diperbaiki (Tabel 3).

Tabel 3. Analisis usahatani padi (per ha) varietas ciherang dan tukad bulian
dengan menggunakan teknologi introduksi dan teknologi diperbaiki.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Ciherang Tekad bulian
Uraian Introduksi Diperbaiki Introduksi Diperbaiki
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
-----------------
Biaya produksi (Rp)
Benih 375.000 375.000 375.000 375.000
Urea 300.000 150.000 300.000 150.000
SP-36 250.000 125.000 250.000 125.000
KCl 400.000 200.000 400.000 200.000
Pupuk kandang 900.000 - 900.000 -
Round up 175.000 175.000 175.000 175.000
Score 400.000 400.000 400.000 400.000
Curater 300.000 300.000 300.000 300.000
Manuver 170.000 170.000 170.000 170.000
Jumlah 3.270.000 1.895.000 3.270.000 1.895.000
Biaya tenaga kerja (Rp)
Persiapan lahan 600.000 600.000 600.000 600.000
Persemaian 250.000 250.000 250.000 250 000
Tanam 300.000 300.000 300.000 300.000
Pemupukan 100.000 50.000 100.000 100.000
Penyiangan 250.000 250.000 250.000 250.000
Pengendalian H/P 150.000 150.000 150.000 150.000
Pasca panen Bawon Bawon Bawon Bawon
Jumlah 1.700.000 1.650.000 1.700.000 1.650.000
Total (A+B) 4.970.000 3.545.000 4.970.000 3.545.000
Keuntungan
Produksi (kg) 5079,67 4132,67 4651 3210
Harga (Rp/kg) 2000 2000 2000 2000
Penerimaan (Rp) 10.159.340 8.265.340 9.302.000 6.420.000
Keuntungan (Rp) 5.189.340 4.720.340 4.332.000 2.875.000
R/C ratio 2,04 2,33 1,87 1,80

Sumber : Julistia,B, dkk. 2013 (data primer)

Perbedaan biaya produksi terutama pada pemakaian pupuk Urea, SP.36,


KCl dan pupuk kandang. Dari hasil analisis finansial usahatani padi varietas
ceherang dengan teknologi introduksi memberikan keuntunjgan lebih besar
disbanding teknologi diperbaiki. Keuntungan yang diperoleh petani melalui
teknologi introduksi sebesar Rp. 5.189.340 dengan nilai R/C ratio 2,04. Sedangkan

759
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

keuntungan melalui teknoloogi diperbaiki sebesar Rp. 4.720.340 dengan nilai R/C
ratio 2,33.

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi dengan penambahan biaya produksi


dapat meningkatkan produksi padi baik varietas ciherang maupun tukad balian.
Peningkatan produksi padi disebabkan adanya penambahan pupuk urea, SP-36,
KCl dan pupuk kandang.

Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Penggunaan VUB

Pengembangan VUB di lahan tadah hujan memerlukan identifikasi


lingkungan internal dan eksternal yang mencakup potensi, peluang, dan tantangan
pengembangan VUB ke depan. Dengan demikian dapat dirumuskan strategi yang
tepat untuk mempercepat adopsi VUB padi. Dari hasil kajian teridentifikasi bahwa
potensi yang dimiliki lahan tadah hujan terkait dengan pengembangan VUB padi
didasarkan pada tiga unsur. Ketiga potensi tersebut meliputi kondisi biofisik lahan,
penyediaan benih VUB padi adaptif lahan sub optimal, dan potensi ketersediaan
sumberdaya manusia sebagai pelaku utama dalam percepatan adopsi VUB padi
di lahan sub optimal (tadah hujan) (Tabel 4).

Tabel 4. Analisis potensi, peluang, dan tantangan pengembangan VUB di lahan


tadah hujan
Potensi Peluang Tantangan
1) Kondisi biofisik lahan 1) Dukungan kebijakan 1) Persaingan dengan
2) Penyediaan benih pemerintah usaha produktif lain
VUB padi adaptif lahan 2) Dukungan teknologi 2) Preferensi petani yang
tadah hujan 3) Dukungan lebih menyukai
3) Ketersediaan infrastruktur varietas local
sumberdaya manusia

Potensi

Ketersediaan benih VUB yang tetap (varietas, jumlah, waktu, lokasi, mutu
dan harga), sangat penting untuk mengembangkan adopsi VUB di tingkat petani.
Meskipun dari hasil identifikasi di lapangan ditemukan bahwa proporsi
penggunaan varietas lokal masih lebih tinggi dibandingkan dengan VUB (Dinas
Pertanian Propinsi Jambi, 2012), namun dari potensi penyediaan benih, memiliki
beberapa sentra penangkar benih. Sejumlah wilayah di Provinsi Jambi merupakan
sentra penangkar benih padi seperti di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro
Bungo, Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Kerinci.

Ketersediaan sumberdaya manusia. Dari potensi sumberdaya,


khususnya petani sudah terungkap bahwa secara umum petani responden
merupakan petani-petani yang tergolong usia produktif dan memiliki pengalaman
usahatani yang memadai. Selain itu, sumberdaya keluarga sebagai tenaga kerja
usahatani padi merupakan potensi yang sangat baik untuk mempercepat adopsi
VUB.

760
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Peluang pengembangan

Terdapat tiga titik kritis yang terungkap sebagai peluang percepatan adopsi
VUB di lahan tadah hujan yaitu dukungan kebijakan, teknologi, dan infrastruktur
(Tabel 3). Dukungan kebijakan yang mendukung upaya percepatan adopsi VUB
adalah program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan pendekatan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Kedua kebijakan yang bersifat nasional
tersebut dapat dijadikan pijakan untuk mengembangkan VUB adaptif lahan tadah
hujan dalam rangka mendukung swasembada beras berkelanjutan. Namun
demikian, dari hasil identifikasi di lapangan ditemukan bahwa secara umum
pemerintah daerah belum memiliki kebijakan khusus pengembangan VUB di lahan
tadah hujan. Kebijakan pengelolaan tadah hujan sangat bersifat umum dan tidak
khusus menyentuh peningkatan adopsi VUB. Kondisi ini menyebabkan, belum
adanya alokasi dana untuk percepatan adopsi VUB karena pengalokasian
anggaran menjadi kesatuan dalam program pengembangan lahan sub optimal
secara umum.

Dukungan teknologi, tidak bisa dipungkiri merupakan peluang yang sangat


baik untuk upaya percepatan adopsi VUB di lahan tadah hujan. Bahkan khusus
untuk teknologi benih, Hendayana dkk. (2010) mencatat tak kurang dari 25 VUB
adaptif lahan sub optimal telah dilepas oleh Badan Litbang sejak tahun 2001.
Sedangkan dari dukungan infrastruktur, secara umum, lokasi kajian memiliki
kondisi infrastruktur yang memadai dan keterbukaan akses, khususnya terhadap
pasar input dan output.

Tantangan

Tantangan terbesar yang dihadapi dalam mempercepat adopsi VUB di


lahan sub optimal (tadah hujan) adalah preferensi masyarakat (khususnya
masyarakat lokal) di lokasi kajian lebih menyukai varietas lokal. Secara garis
besar, disebabkan oleh mudahnya memperoleh benih lokal, rasa nasi lebih
disukai, hasil panen mudah dijual, harga jual tinggi, hemat input produksi, sangat
adaptif, dan tidak membutuhkan curahan alokasi waktu dan tenaga kerja yang
tinggi. Tantangan lainnya adalah tingginya curahan waktu usahatani padi
dibandingkan dengan usaha produktif lainnya, dan sebagian responden
menjadikan usahatani padi sebagai usaha sampingan. (Hendayana dkkl., 2010).
Hasil temuan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ruskandar, A.
dkk (2006). Hasil penelitiannya menemukan bahwa di lahan lebak (Sumatera
Selatan), adopsi VUB masih rendah. Hal tersebut terkait dengan ketersediaan
benih, kurang tersedianya tenaga kerja untuk usahatani padi karena bersaing
dengan usaha lainnya, serta kurang terjaminnya ketersediaan pupuk untuk
usahatani.

Upaya Percepatan Adopsi VUB di Lahan Tadah Hujan (sub optimal)

Percepatan yang dimaksud dalam makalah ini mengacu pada pengertian


yang digunakan Hendayana dkk., (2010) dalam pengkajian terhadap disain model
percepatan adopsi inovasi teknologi, yaitu perpendekan senjang adopsi (adoption

761
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

lag) dan perluasan adopter. Senjang adopsi ditunjukkan oleh adanya senjang
waktu antara kesadaran akan adanya teknologi introduksi sampai teknologi itu
diterapkan, sedangkan perluasan adopter merujuk pada fakta semakin banyaknya
penyebaran adopsi pada satuan waktu tertentu.

Identifikasi potensi dan peluang yang juga menjadi faktor pendukung dalam
upaya percepatan adopsi dilakukan di tahun pertama, setelah ada komitmen dari
seluruh stakeholder untuk mengembangkan VUB. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi VUB di lahan sub optimal selanjutnya ditindaklanjuti dalam
perumusan rencana aksi melalui beberapa kegiatan, misalnya lokakarya, temu
usaha, atau pertemuan stakeholder. Menghadapi tantangan yang menjadi kendala
dalam mempercepat adopsi VUB, maka perlu dilakukan beberapa kegiatan
advokasi, baik secara vertikal maupun horizontal, agar stakeholder memperoleh
keyakinan terhadap implementasi model pengembangan VUB yang adaptif di
lahan sub optimal. Selain itu, di tingkat petani sebagai pelaku usahatani, perlu
dilakukan upaya diseminasi, seperti sosialisasi, uji adaptasi, pelatihan, studi
banding, kios penangkar dan lain-lain.

Keterlibatan dan dukungan BPTP Jambi sangat dibutuhkan, bahkan


diawali sejak inisiasi kegiatan. Selain itu sangat penting bagi BPTP untuk
memberikan dukungan pada kegiatan diseminasinya utamanya pada tahun
pertama, karena pada tahapan ini adalah awal dari upaya untuk memperkenalkan
VUB dan menggali minat petani terhadap VUB. Bahkan perlu juga untuk menjalin
koordinasi dan kerjasama dengan pihak swasta, dalam hal ini dapat dilakukan
dengan PT SHS atau PERTANI, sebagai produsen benih sumber.

KESIMPULAN
Lahan tadah hujan sangat berpotensi untuk menjadi sentra produksi padi
nasional selain lahan sawah, sehingga perlu dimanfaatkan secara optimal melalui
peningkatan adopsi VUB, masih terdapat tantangan yang dihadapi pada
rendahnya adopsi VUB karena aspek teknis (teknologi VUB) dan non teknis
(petani, kelembagaan, dan dukungan kebijakan), upaya percepatan adopsi VUB
di lahan tadah hujan dapat ditempuh dengan menyusun peta jalan strategi
percepatan secara bertahap. Dalam rangka mempercepat adopsi VUB di lahan
tadah hujan tidak bisa dipungkiri, bahwa preferensi masyarakat menjadi kunci
utama sehingga upaya sosialiasi dan diseminasi harus terus ditingkatkan. Salah
satu langkah yang dapat ditempuh melalui demplot melalui pendekatan sekolah
lapang. Selain itu, dukungan pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan dalam
pengembangan VUB padi dijadikan program Pemda dengan alokasi dana khusus.
Pengembangan kelompok penangkar benih VUB di tingkat petani juga perlu
didorong melalui fasilitasi kredit lunak dan jaminan pasar benih oleh pemerintah.

SARAN

Meningkatkan fasilitasi penyediaan materi informasi yang memenuhi


kualifikasi muatan materi yang dibutuhkan petani dengan jumlah yang memadai
sehingga dapat memperluas jaringan distribusi infotek. Meningkatkan intensitas

762
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pendampingan kepada petani sebagai kompensasi untuk mendekatkan sumber


teknologi dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan usahatani yang
lebih produktif. Meningkatkan koordinasi antar semua stakeholders pada semua
level wilayah administratif mulai, dari provinsi, kabupaten hingga kecamatan yang
dimotori oleh BPTP untuk membangun komitmen bersama menyusun strategi
penerapan model percepatan teknologi di berbagai sub-sektor pertanian. Sistem
usahatani melalui pendekatan PTT menunjukkan peningkatan produksi padi
sebesar 2 ton GKP/ha atau naik sekitar 50 % dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh dari cara dan teknologi yang selama ini diterapkan oleh petani dan model
PTT juga dapat meningkatkan pendapatan petani karena input yang diberikan
lebih rendah dibandingkan model petani.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A. 2003. Menghapus Trauma Kegagalan PLG Satu Juta Hektar.


Tabloid Sinar Tani. Edisi 16 Juli 2003.
Abdurachman, A, Kasdi Subagyono, M. Al-Jabri. Konservasi dan Rehabilitasi
Lahan Rawa. Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Hal. 229 –
274. Balai Besar Penelitian Sumber Daya Lahan Pertanian.
Biro Pusat Statistik (BPS, 2010) Jambi. Jambi dalam Angka, 2010.
Dinas Pertanian Propinsi Jambi. 2012. Hasil Wawancara dengan Dinas Pertanian
Propinsi Jambi
Hendayana, R., S.A Erico. Djauhari, A. Gozali dan Wirdahayati. 2010. Disain
Model Percepatan Adopsi Teknologi Pertanian Mendukung Program
Strategis Kementerian Pertanian. Laporan Penelitian Kegiatan SINTA
2009. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian,
Bogor.
Isgin, T., A. Bilgic, D. L. Forster. and M. T. Batte. 2008. Using count data models
to determine the factors affecting farmer’s quantity decisions of precision
farming technology adoption. Computer and Electronic in Agriculture 62:
231-242.
Las, Irsal. 2009. Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan ke Depan.
Tabloid Sinar Tani. Edisi 14 Juni 2009.
Nugroho, K., S. Suping, dan M. Sarwani. 1993. Karakteristik Lahan dalam
Penelitian Reklamasi dan Pengolahan Tanah Sulfat Masam.Kerjasama
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dengan Proyek P3N, Jakarta. hal
1−15.
Rangkuti, P. A. 2009. Analisis Peran Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi
Inovasi Traktor Tangan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jurnal Agro
Ekonomi 27(1): 45-60.
Subagjo, H. dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan Kendala penggunaan
lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia, Kasus: Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan
dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 10 Februari
1998. hal 1−22.

763
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PERILAKU PETANI TERHADAP RESIKO


DI SENTRA PRODUKSI PADI SAWAH PROVINSI BALI

Suharyanto dan Jemmy Rinaldi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanaian Bali


Jl. Bypass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar, Bali
Email : suharyanto.bali@gmail.com

ABSTRAK

Rumah tangga petani padi sawah selalu dihadapkan pada resiko,


khususnya produksi dan harga produk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan menganalisis pengaruh faktor produksi terhadap produksi padi sawah dan
perilaku petani terhadap resiko usahatani padi sawah. Penelitian dilaksanakan di
tiga kabupaten sentra produksi padi sawah di Provinsi Bali, yakni Kabupaten
Tabanan, Buleleng dan Gianyar. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
survey melalui wawancara menggunakan kuisioner terstruktur terhadap 94 petani
responden yang dipilih secara acak. Data yang dikumpulkan meliputi penggunaan
faktor produksi dan harga input-output usahatani padi sawah selama dua musim
tanam MK I dan MH 2012. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi padi
sawah dianalisis menggunakan regresi linier berganda dengan metode Ordinary
Least Square (OLS). Fungsi produksi yang digunakan dalam penelitian ini untuk
menentukan nilai parameter keengganan terhadap resiko. Analisis perilaku petani
terhadap resiko mengacu pada metode Moscardi dan de Janvry. Hasil analisis
menunjukkan faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi
sawah adalah benih, pupuk N, pupuk P, pupuk K, pupuk organik dan tenaga kerja.
Sebagian besar petani berperilaku menghindar menghadapi resiko (risk averter)
yakni sebesar 52,13 persen.

Kata kunci : Perilaku, petani, resiko dan padi sawah

PENDAHULUAN

Provinsi Bali yang memiliki luas areal usahatani padi sawah relatif lebih kecil
(14,40% dari dari luas wilayah) dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia,
namun tingkat produktivitasnya yang relatif lebih tinggi dibandingkan produktivitas
nasional (BPS Prov Bali, 2013). Produktivitas tersebut sesungguhnya masih dapat
ditingkatkan hingga mendekati potensinya, namun berbagai permasalahan muncul
seiring dengan munculnya berbagai kepentingan dan kondisi perubahan
sumberdaya alam. Suryana dkk., (2009) mengungkapkan bahwa beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan usahatani padi sawah antara lain : (a)
kepemilikan lahan usahatani yang relatif kecil dan tersebar dan bahkan cenderung
mengecil karena adanya proses fragmentasi lahan sebagai akibat dari sistem/pola
warisan, (b) terjadinya alih fungsi lahan sawah untuk penggunaan lainnya sebagai
akibat perkembangan perekonomian daerah baik untuk pariwisata, perumahan
maupun sektor lainnya, (c) keterbatasan debit air irigasi pada beberapa wilayah,
terutama pada musim kemarau yang disebabkan oleh persaingan dalam
penggunaan air irigasi, (d) keterbatasan tenaga kerja terutama pada saat panen

764
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

raya, sehingga kebutuhan tenaga kerja umumnya berasal dari luar Bali, (e)
keterbatasan modal usahatani, sehingga produktivitas yang dicapai masih
dibawah produktivitas potensialnya dan (f) tingkat serangan hama penyakit yang
masih cenderung tinggi dan beragam antar wilayah dan antar musim tanam.

Penguasaan lahan usahatani merupakan faktor penting dalam usaha


meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani. Selama ini produksi usahatani
sulit ditingkatkan serta banyaknya petani yang berada dalam bayangan
kemiskinan, ditengarai akibat minimnya lahan garapan. Sehingga kendati
produktivitas mampu ditingkatkan, namun produksi pertanian dan penghasilan
sebagian petani belum bisa dikatakan memadai. Menurut BPS Prov Bali (2014),
rata-rata penguasaan lahan pertanian di Bali seluas 0,47 hektar, dan khusus pada
lahan sawah penguasaan lahan hanya 0,13 hektar, sehingga dapat dikatakan
sebagai petani gurem karena penguasaan lahan dibawah 0,5 hektar. Dengan
kriteria tersebut secara keseluruhan jumlah rumah tangga usaha pertanian di Bali
yang tergolong petani gurem mencapai 63,58 persen.

Produksi padi sawah yang dihasilkannya petani sering tergantung pada


perilaku rumah tangga petani. Perilaku rumah tangga petani yang dimaksud terkait
dengan pengambilan keputusan produksi, konsumsi, dan alokasi tenaga kerja.
Pengelolaan usahatani padi sawah oleh rumah tangga petani sering menghadapi
masalah resiko. Istilah resiko lebih banyak digunakandalam konteks pengambilan
keputusan,karena resiko diartikan sebagai peluangakan terjadinya suatu kejadian
buruk yangdisebabkan oleh suatu tindakan. Makin tinggi tingkat ketidakpastian
suatu kejadian,makin tinggi resiko akibat pengambilankeputusan tersebut. Dengan
demikian, identifikasi sumber resiko sangatpenting dalam proses pengambilan
keputusan (Soedjana, 2007). Perilaku ekonomi rumah tangga petani tidak terlepas
dari pengaruh perubahan faktor-faktor eksternal, seperti peningkatan resiko
produksi dan harga produk serta peningkatan harga input. Perubahan tersebut
tidak hanya berpengaruh pada kegiatan produksi saja, tetapi juga akan
berpengaruh terhadap kegiatan konsumsi maupun alokasi tenaga kerja (Fariyanti
dkk., 2007). Sumber utama resiko yang dirasakan rumah tangga petani,
diantaranya ketidakpastian cuaca, hama dan penyakit tanaman, diikuti
ketidakpastian harga produk (Patrick dkk.,1985). Indikasi adanya resiko
ditunjukkan oleh fluktuasi produksi maupun harga pada setiap musim tanam, yang
akhirnya menyebabkan fluktuasi pendapatan usahatani.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk


mengetahui dan menganalisis bagaimana perilaku petani padi sawah dalam
menghadapi resiko dengan kendala baik internal maupun eksternal.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di tiga sentra produksi padi sawah di Provinsi Bali,


yaitu Kabupaten Tabanan, Buleleng dan Gianyar. Pengumpulan data dilakukan
dengan metode survey dengan mewawancarai sebanyak 94 petani padi sawah
selama dua musim tanam pada tahun 2012 yang dipilih secara acak. Distribusi

765
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

responden terdiri dari 32 petani di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan Kabupaten


Buleleng, 28 petani di Desa Bona Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar dan
34 petani di Desa Selanbawak Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan. Data yang
dikumpulkan meliputi penggunaan input usahatani, output usahatani dan harga
input-output usahatani.

Analisis perilaku petani terhadap resiko produksi usahatani padi pada


penelitian ini mengacu metode Moscardi dan De Janvry (1977). Metode ini memilih
variabel yang paling nyata berpengaruh yang menentukan hasil dari regresi fungsi
produksi, dimana parameter variabel yang paling berpengaruh tersebut
selanjutnya digunakan untuk menentukan tingkat perilaku petani dalam
menghindari resiko berdasarkan pendekatan ekonometrika.

Model persamaan yang digunakan untuk menentukan variabel yang paling


nyata berpengaruh adalah fungsi produksi Cobb-Douglas berikut ini :

Ln Y = α + β1 ln X1 + β2 ln X2+ β3 ln X3 + β4 ln X4 + β5 ln X5 +β6 ln X6 +

β7 ln X7+ ɛ………………………………………………….........(1)

Keterangan :
Y = produksi padi sawah (kw)
α = intersept
βi = koefisien regresi (parameter yang ditaksir) (i = 1 s/d 7)
X1 = benih (kg)
X2 = pupuk N (kg)
X3 = pupuk P (kg)
X4 = pupuk K (kg)
X5 = pupuk organik (kg)
X6 = pestisida (liter)
X7 = tenaga kerja (HOK)
ɛ = error term

Tahapan analisis yang dilakukan sebagai berikut : (a) menaksir model fungsi
produksi Cobb-Douglas melalui metode ordinary least square (OLS) untuk
memperoleh koefisien regresi, koefisien determinasi (R 2) dan sebagainya
menggunakan program SPSS, (b) mencari nilai K melalui pemilihan variabel yang
paling nyata berpengaruh, kemudian digunakan untuk menentukan tingkat perilaku
petani dalam menghindari resiko, dimana nilai parameter menghindari resiko
diperoleh dari persamaan berikut :
𝛿𝑦
θ= µ𝑦
…………………….…………………………………...………………(2)

Keterangan :
θ = koefisien variasi hasil
δy = standar deviasi dari hasil
μy = rata-rata hasil

766
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil dari kondisi tingkat pertama adalah :


𝜇𝑦 𝑃𝑖
Pyfi = ……………………………………………………..……...(3)
𝑋𝑖 1−θ𝐾(𝑠)

Nilai parameter menghindari resiko diperoleh dari persamaan berikut:


1 𝑃𝑖.𝑋𝑖
K(s) = |1 – | …………………………………………………..……...(4)
θ 𝑃𝑦.𝑓𝑖.µ𝑦

Persamaan (3)merupakan ukuran perilaku menghindari resiko Ks dari


masing-masing petani dari pengetahuan fungsi produksi, koefisien variasi hasil,
harga produk dan faktor produksi dan tingkat penggunaan input. Mengacu
Moscardi dan De Janvry (1977), parameter menghindari resiko K(s) digunakan
untuk mengklasifikasikan petani menjadi 3 kelompok : (a) memilih resiko (risk
lover) = (0 < K(s) < 0,4), (b) Netral terhadap resiko (risk neutral) = (0,4 < K(s) <
1,2) dan (c) menghindari resiko (risk averse) = (1,2 < K(s) < 2,0).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Faktor Produksi Terhadap Produksi Padi Sawah

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa nilai R2 sebesar 87%. Hal ini
menunjukkan bahwa 87% variasi variabel dependen dijelaskan oleh variasi
variabel independen dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas usahatani padi
sawah (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi


Sawah di Provinsi Bali
Keterangan :

Koefisien Standar
Variabel t-hitung Prob
Regresi Error
Konstanta 4.444 *** 0.113 39.395 0.000
Ln Benih 0.246 *** 0.052 6.874 0.000
Ln Pupuk N 0.357 *** 0.043 8.652 0.000
Ln Pupuk P 0.090 *** 0.034 2.629 0.009
Ln Pupuk K 0.076 ** 0.036 2.135 0.034
Ln Pupuk Organik 0.018 *** 0.002 5.673 0.000
ns
Lh Pestisida 0.008 0.011 0.759 0.448
Ln Tenaga Kerja 0.303 *** 0.042 7.285 0.000
R-Square 0.870
Adjusted R- Square 0.867
F-hitung 226.506 ***
Prob (F-hit) 0.000

*** = berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 1% ;**= berbeda nyata


pada tingkat kepercayaan 5% ; ns = tidak berbeda nyata

767
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil perhitungan didapatkan F hitung > Ftabel (α=1%), sehingga variabel


independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi
usahatani padi sawah. Dari data hasil regresi pada Tabel 1 diatas menunjukkan
bahwa variabel benih, pupuk N, P dan K, pupuk organik, dan tenaga kerja
berpengaruh nyata dan positif terhadap produksipadi sawah, sedangkan variabel
pestisida tidak berpengaruh nyata dan bernilai koefisien positif terhadap produksi
padi sawah.Dilihat dari nilai signifikansi semua variabel berpengaruh nyata kecuali
variabel pestisida. Berdasarkan tanda koefisien, semua menunjukkan tanda positif
yang berarti terdapat hubungan searah. Semakin bertambah benih, pupuk N, P,
K, pupuk organik, dan tenaga kerja maka semakin meningkat produksi padi sawah.

Variabel yang paling berkontribusi besar terhadap produksipadi sawah


adalah benih, pupuk N, P, pupuk organik dan tenaga kerja. Karena kelima variabel
tersebut memiliki probabilitas yang sama maka dipilih variabel yang memiliki
resposibilitas (koefisiesn regresi) dan nilai t-hitung terbesar sebagai parameter
untuk menentukan tingkat keengganan petani terhadap resiko usahatani padi
sawah.

Perilaku Petani Terhadap Resiko

Tabel 1 diatas diperoleh input yang dipilih untuk menentukan nilai parameter
K(s) adalah pupuk N. Dari hasil analisis nilai parameter K(s)berdasarkan kriteria
perilaku menurut Moscardi dan de Janvry (1977), makaperilaku petani terhadap
resiko usahatani padi sawah di daerah penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perilaku Petani Terhadap Resiko Usahatani Padi Sawah di Provinsi Bali
Kriteria Perilaku Resiko Jumlah Petani (org) Persentase (%) Rata-rata (K(s)
Risk lover 13 13.83 0.32
Risk neutral 32 34.04 0.68
Risk averter 49 52.13 1.54
Total 94 100

Pada Tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar petani responden berperilaku


enggan menghadapi resiko (risk averter) yakni sebesar 52,13% dengan rata-rata
nilai K(s)1,54 sedangkan yang berperilaku netral dalam menghadapi resiko (risk
neutral) ada 34,04% dengan rata-rata nilai K(s) 0,68 dan sisanya 13,83% yang
menyukai resiko (risk lover) dengan nilai rata-rata K(s) sebesar 0,32. Petani yang
bersifat netral terhadap resiko (risk neutral) yaitu petani yang memiliki sikap
rasional dalam menghadapi resiko, peluang usaha mempunyaiharapan
keuntungan yang bakal diperoleh dan juga peluang resiko mungkin jugaterjadi
(Kurniati, 2010). Lebih lanjut Sriyadi (2010) mengungkapkan bahwa kehidupan
petani di pedesaan cukup dekat dengan batas subsisten dan selalu mengalami
ketidakpastian cuaca, maka petani tidak mempunyai kesempatan untuk
menerapkan perhitungan keuntungan maksimum dalam berusahatani. Petani
akan berusaha menghindari kegagalan dan bukan memperoleh keuntungan yang
besar dengan mengambil resiko.

768
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kesediaan petani sebagai pengambil keputusan untuk memilih atau


berperilaku terhadap resiko produksi menurut Ellis (2003), pada dasarnya akan
tergantung pada sifat pembawaan psikis dan kepuasan (utilitas) yang diterima
petani dari hasil produksi. Faktor-faktor tersebut akan menentukan perilaku dan
strategi petani dalam menghadapi resiko produksi. Perbedaan perilaku petani
dalam menghadapi resiko produksi akan mempengaruhi keputusan mereka dalam
mengalokasikan input-input produksi yang digunakan. Petani padi sawah yang
memiliki perilaku enggan/takut terhadap resiko usahataninya menunjukkan bahwa
usahatani padi sawah yang dikerjakannya dipengaruhi oleh pilihan resiko dalam
pengambilan keputusan dalam pengalokasian input yang akan digunakan.

Pada dasarnya petani berperilaku risk averter dengan tujuan untuk


menurunkan resiko walaupun pendapatannya lebih rendah. Semakin besar
keuntungan yang diharapkan maka semakin besar pula kerugian yang akan
ditanggung petani. Hasil penelinitian ini sejalan dengan temuan Purwoto (1993)
yang menemukan perilaku keengganan petani padi terhadap resiko di Kabupaten
Grobogan, Jawa Tengah. Juarini (2003) dimana sebagian besar petani lahan
pantai di Kulon Progo enggan menghadapi resiko. Demikian pula hasil penelitian
Fauziyahet dkk., (2010), mengemukakan bahwa petani tembakau baik di lahan
sawah, tegalan dan pegunungan dengan sistem kemitraan dan swadaya
berperilaku menghindari resiko. Ellis (2003) mengemukakan bahwa sebagian
besar petani kecil (gurem) di negara-negara berkembang berperilaku menghindari
resiko (risk aversion).Perilaku petani menghindari resiko menyebabkan alokasi
penggunaan input tidak efisien,sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap
tingkat produktivitas usahatani.

KESIMPULAN

Faktor produksi yang berpengruh terhadap produktivitas padi sawah antara


lain benih, pupk N, pupuk P, pupuk K, pupuk organik dan tenaga kerja. Sebagian
besar petani padi sawah berperilaku menghindar terhadap resiko (risk averter)
yakni sebesar 52,13% dengan rata-rata nilai K(s) 1,54 sedangkan yang berperilaku
netral dalam menghadapi resiko (risk neutral) ada 34,04% dengan rata-rata nilai
K(s) 0,68 dan sisanya 13,83% yang menyukai resiko (risk lover) dengan nilai rata-
rata K(s) 0,32.Perilaku petani menghindari resiko menyebabkan alokasi
penggunaan input tidak efisien, sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap
tingkat produktivitas usahatani.

SARAN

Secara teknis upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko


adalah melalui penggunaan input secara optimal, antara lain untuk pemupukan
dapat digunakan rekomendasi Pemupukan Hara Spesifik Lokasi (PHSL),
penggunaan Leaf Colour Chart (LCC) untuk efisiensi pemupukan N, pedekatan
PHT untuk optimalisasi insektisida, sistem pengairan intermitten/berselang, yang
kesemuanya tersebut terdapat dalam komponen teknologi Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) padi sawah.

769
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2013. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di
Provinsi Bali Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Denpasar. 94
hal.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2014. Potensi Pertanian Provinsi Bali. Analisis
Hasil Pendataan Lengkap Sensus Pertanian 2013. Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali. Denpasar. 130 hal.
Ellis, F. 2003. Peasant Economics (Petani Gurem : Rumah Tangga Usahatani dan
Pembangunan Pertanian). Diterjemahkan oleh Adi Sutanto dkk. Bayu Media
dan UMM Press. Malang.
Fariyanti, A., Kuntjoro, S Hartoyo dan A. Daryanto. 2007. Perilaku Ekonmi
Rumahtangga Sayuran pada Kondisi Resiko Produksi dan Harga di
Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Juarnal Agro Ekonomi 25 (2)
: 178-206.
Fauziyah, E., Hartoyo, S., Kusnadi, N., Kuntjoro, S. U., 2010. Analisis Produktivitas
Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan. Jurnal Organisasi dan
Manajemen, 6 : 119-131.
Juarini, 2003. Perilaku Ekonomi Petani Terhadap Resiko Usahatani di Lahan
Pantai Kabupaten Kulon Progo. Disertasi. Program Pasca Sarjana UGM.
Yogyakarta. (tidak diterbitkan).
Kurniati, D. 2015. Perilaku Petani Terhadap Resiko Usahatani Kedelai di
Kecamatan Jawai Selatan Kabupaten Sambas. Jurnal Social Economic of
Agriculture 4 (1) : 32 -36.
Moscardi, E., and A de Janvry, 1977. Attitudes Toward Risk among Peasants:
AnEconometric Approach. American Journal of Agricultural Economics 59 (4)
: 710-716
Patrick, G.R., P.H. Wilson, P.J. Barry, W.G. Bogges and D.L. Young. 1985. Risk
Perceptions and Management Response: Producer-Generated Hypotheses
for Risk Modelling. Southern Journal Agricultural Economics 17: 231-238.
Purwoto, A. 1993. Sikap Petani Terhadap Resiko Produksi Padi dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya. Jurnal Agroekonomi 12((2) : 1-23.
Soedjana, T.D. 2007. Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman Ternak Sebagai
Respons Petani Terhadap Faktor Resiko. Jurnal Litbang Pertanian 26 (2) :
82-87.
Sriyadi. 2010. Resiko Produksi dan Keefisienan Relatif Usahatani Bawang Putih
di Kabupaten Karanganyar. Jurnal Pembangunan Pedesaan 10 (2) : 69-76.
Suryana A., S. Mardianto, K. Kariyasa dan I.P. Wardhana. 2009. Kedudukan Padi
Dalam Perekonomian Indonesia dalam Padi, Inovasi Teknologi dan
Ketahanan Pangan. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Hal 7- 31

770
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

TANTANGAN DAN UPAYA DALAM PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN


DI KABUPATEN SIMALUNGUN, SUMATERA UTARA

Delima Napitupulu

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H. Nasution No. 1B Medan Sumatera Utara
Email: d5na70@gmail.com

ABSTRAK

Padi merupakan komoditi pangan utama yang memiliki peran strategis.


Perbaikan budidaya tanaman, diharapkan mampu memecahkan persoalan
padi.Tujuan penelitian adalah (1) melihat tantangan dan upaya pemecahan
masalah yang dihadapi petani padi sawah sejak adanya Upaya khusus Pajale
guna pencapaian swasembada pangan di Sumatera Utara, (2) Melihat faktor-
faktor yang mempengaruhi budidaya padi dan upaya mengatasinya di Kabupaten
Simalungun. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Simalungun, Sumatera
UtaraTahun 2015. Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara sengaja (purposive)
dengan pertimbangan Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten
padi di Provinsi Sumatera Utara dengan tingkat luas tanam padi paling tinggi. Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pertambahan luas tanam padi tahun 2015
menurun dibandingkan dengan tahun 2014 di Kabupaten Simalungun,
yaitu107.885 ha menjadi 99.511 ha atau selisih 8.375 ha. Penurunan hasil
disebabkan rusaknya jaringan irigasi, terutama di dua kecamatan sentra padi, yaitu
Tanah Jawa dan Hutabayu Rajaseluas 2.078 ha. Terjadinya alih fungsi lahan
ketanaman lain. Harapan pemerintah dan masyarakat melalui perbaikan jaringan
irigasi tahun 2015 makaketersediaan air terpenuhi yang akan meningkatkan
produktivitas padi menjadi IP 2.

Kata Kunci : Padi, tantangan, upaya pemecahanan masalah, dan Simalungun

PENDAHULUAN

Kabupaten Simalungun merupakan kabupaten dengan luas wilayah


ketiga terbesar di Provinsi Sumatera Utara setelah Kabupaten Madina dan
Langkat. Luas daerah Kabupaten Simalungun 4.386,60 Km 2 dan dibagi atas 31
kecamatan sehingga potensi ini merupakan modal untuk membangun
perekonomian daerahnya. Tidak hanya itu, selain memiliki wilayah yang luas,
Kabupaten Simalungun juga memiliki tanah yan subur sehingga sangat cocok
untuk pertanian. Usaha pemerintah untuk pencapaian swasembada pangan
melalui Upsus Pajale dan harus direspon Pemkab Simalungun. Pelaksanaan
Upsus Pajale ini dihadapkan pada berbagai masalahdi Sumatera Utara, termasuk
di Kabupaten Simalungun. Indonesia pernah tercatat swasembada pangan 3
periode, yaitu pada tahun 1984, 2004, dan 2008 (Suryana, 2008). Saat ini,
Indonesia mengalami masalah,yakni termasuk negara yang terdaftar sebagai
pengimpor beras, bahkan dilakukan sejak era reformasi. Selama 1998-2003,

771
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Indonesia dan Philipina bergantian menempati negara pengimpor beras terbesar


(Djunaedi, 2012).
Kementerian Pertanian melalui upaya khusus dalam peningkatan
swasembada pangan menargetkan Provinsi Sumatera Utara menghasilkan padi
pada tahun 2014 – 2017 berturut-turut 3.604.602 ton, 4.155.590 ton, 4.711.056 ton
dan 5.161.603 ton (Kementerian Pertanian, 2015). Kenaikan target produksi
dilakukan untuk mendukung program swasembada pangan nasional yang
dicanangkan Presiden Jokowi dapat terealisasi pada 2017. Dari 32 kabupaten/
kota di Sumut, daerah penghasil terbesar adalah Simalungun dengan target
minimal 558.576 ton. Pemerintah mendukung upaya khusus Pajale di Kabupaten
Simalungun sehingga target peningkatan produksi bisa tercapai.
Kegiatan optimasi Lahan merupakan upaya pemerintah dalam
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemanfaatan lahan tidur untuk
ditanami padi dalam mendukung kegiatan Upaya Khusus untuk pencapaian
swasembada pangan. Usaha lain yang dilakukan adalah memberi bantuan benih
padi, pupuk dan perbaikan jaringan irigasi. Kegiatan ini merupakan program yang
dilaksanakan secara nasional, dikelola oleh Kementerian Pertanian. Program
Kegiatan Optimasi Lahan dilatar belakangi pemikiran bahwa lahan pertanian
adalah salah satu faktor produksi yang sangat penting, karena lahan merupakan
media tumbuh bagi tanaman. Banyak lahan-lahan pertanian terlantar atau lahan
yang sementara belum diusahakan secara optimal, tetapi apabila diberikan
sentuhan teknologi maka lahan dimaksud dapat menghasilkan produksi yang
optimal (Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, 2006).

Tujuan penelitian adalah (1) melihat tantangan dan upaya pemecahan


masalah yang dihadapi petani padi sawah sejak adanya Upaya khusus Pajale
guna pencapaian swasembada pangan di Sumatera Utara,( 2) Melihat faktor-
faktor yang mempengaruhi budidaya padi dan upaya mengatasinya di Kabupaten
Simalungun.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada Tahun 2015 di Kabupaten Simalungun,


Sumatera Utara. Pemilihan lokasi ini dilakukan dengan cara sengaja (purposive)
dengan pertimbangan Kabupaten Simalungun merupakan kabupaten sentra padi
di Provinsi Sumatera Utara didukung dengantingkat luas tanam, luas panendan
produksi padi paling tinggi. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari
data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara secara
langsung kepada responden (31 KCD/penyuluh yang mewakili masing-masing
kecamatan yang ada di Kabupaten Simalungun) dengan menggunakan daftar
pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Data sekunder
diperoleh dari lembaga atau instansi dan dinas yang terkait dengan penelitian.
Analisis data dilakukan secara deskriptif sesuai tujuan penelitian.

772
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Simalungun menjadi daerah tertinggi penyumbang padi untuk


Provinsi Sumatera Utara mengingat luas sawahnya lebih tinggi, yaitu 43.896 ha
atau 9,71% dari luas sawah yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan
data BPS Kabupaten Simalungun tahun 2014, total produksi padi sebesar 576.310
ton. Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun, jika direalisasikan
menjadi beras mencapai 364.227 ton. Total produksi ini mampu mencukupi
kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk Kabupaten Simalungun, dengan
jumlah penduduk sekitar 1.158.000 jiwa (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipi l
Kabupaten Simalungun, 2015).

Sampai dengan tahun 2014, produksi beras di Kabupaten Simalungun


masih mencukupi (Tabel 1).

Tabel 1. Produksi, luas areal panen, produksi gabah kering giling dan kebutuhan
beras di Kabupaten Simalungun, Tahun 2009-2014.
Luas areal Produksi Kebutuhan beras
Tahun Surplus
panen (ha) GKG (ton) (ton)
2009 98.078 465.977 134.141
2010 93.343 416.294 127.564
2011 96.200 511.089 129.633
2012 89.806 418.181 129.987
2013 97.478 490.838 156.000
2014 103.338 576.310 156.121
Keterangan : Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun, Tahun 2015 (data telah
diolah).

Sejauh ini, kabupaten ini masih terus berupaya untuk meningkatkan hasil
pertanian. Pemerintah melalui Kementerian pertanian yang didukung oleh
perangkat / instansi terkait Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Simalungun
terus berupaya untuk meningkatkan produksi pertanian, agar petani sejahtera dan
harga beras terus terjangkau. Pada tahun 2012 lalu, ada perbaikan saluran irigasi
Primer di Pematang Bandar sehingga mengakibatkan produksi sedikit menurun.

Kebutuhan beras sering menjadi masalah utama di Indonesia, termasuk


kabupaten Simalungun karena :
1. Masyarakat relatif kurang menyukai pangan-pangan lokal alternatif seperti ubi,
jagung dan pisang yang berakibat pada tingginya laju permintaan terhadap
beras.
2. Tingkat Konsumsi beras sangat tinggi. Orang Indonesia merupakan
konsumen beras terbesar di dunia, per tahunnya mencapai 139 kg per kapita.
3. Alih fungsi lahan sawah cukup tinggi. Per tahun lahan sawah yang beralih
fungsi cukup besar sementara pencetakan areal persawahan baru sangat
rendah.
4. Rendahnya Penggunaan Teknologi Pasca Panen. Pasca panen yang rendah
mengakibatkan tingginya tingkat kehilangan (losses) saat panen. Tingkat

773
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kehilangan ini mulai dapat terjadi dari memanen dengan menggunakan sabit,
perontokan, pengangkutan, penjemuran, sampai penggilingan.
5. Kerusakan Irigasi Teknis. Tingkat kerusakan bangunan irigasi teknis areal
persawahan, saat ini telah mencapai hampir 50% baik primer, sekunder dan
tersier. Hal ini, menjadi persoalan sendiri karena daerah-daerah kerapkali
masih berharap dan bergantung kepada pemerintah pusat baik untuk
operasional ataupun pemeliharaannya. Sawah yang semula beririgasi teknis,
kini menjadi tadah hujan dan hanya dapat ditanami padi satu kali setahun.
Sawah sejenis ini sangat rentan terhadap kekeringan dan musim kemarau,
sehingga secara perlahan berubah status menjadi lahan kering, tidak subur,
dan bahkan tidak produktif (Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun, 2015)
Ke lima masalah di atas sangat mempengaruhi tingginya kekurangan
beras di Indonesia sehingga mendorong pemerintah untuk mengimpor beras.

Mewujudkan Swasembada Beras di Kabupaten Simalungun


Persoalan di atas menuntut langkah-langkah yang kuat dan nyata dari
semua pihak terkait untuk mampu mewujudkan swasembada beras berupa:
1. Melakukan pencetakan areal persawahan baru. Langkah ini masih mungkin
dilakukan karena Kabupaten Simalungun masih memiliki lahan terlantar.
2. Diversifikasi pangan harus dipromosikan lebih giat lagi terutama dengan
memanfaatkan lahan pekarangan yang sempit. Cara lain yang penting
dilakukan memproduksi makanan-makanan alternatif yang berbahan baku
komoditas pangan lokal lain.
3. Perbaikan kembali jaringan Irigasi Teknis serta Pembangunan Bendungan
Baru. Sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat
perlu dalam mendukung semangat masyarakat di Kabupaten Simalungun
untuk mengamankan tali air agar tetap berjalan lancar. Pemerintah juga
diharapkan lebih mengefektifkan kembali kelembagaan lain yang berkaitan
erat dengan pertanian seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di
Kabupaten Simalungun.
4. Pemerintah harus menjamin pemenuhan kebutuhan produksi pertanian.
Kebutuhan petani akan pupuk, bibit unggul, pengendali hama dan penyakit
tanaman serta irigasi harus betul-betul diperhatikan.
5. Mengefektifkan peran dan fungsi Bulog untuk menyerap hasil produksi
petani. Kelangkaan pupuk dan benih padi yang sering terjadi mengakibatkan
petani di Kabupaten Simalungun mau tidak mau berusaha mati-matian untuk
mendapatkan pupuk dan benih.
Adanya kebijakan pemerintah melalui zero import akan mendorong
peningkatan produksi serta memastikan harga yang wajar sesuai dengan
kemampuan mayoritas konsumen beras. Jika harga beras terlalu tinggi
melampaui harga kenaikan yang wajar, merupakan indikasi kuat adanya
kelangkaan barang. Diharapkan harga harus terjangkau oleh
masyarakat.Mewujudkan swasembada beras menjadi keharusan karena
swasembada adalah yang menjadi pilar kedaulatan pangan,yang berarti bahwa
setiap saat pangan tersedia dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman
dikonsumsi, dan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Disamping itu,

774
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

swasembada diharapkan memiliki kemandirian dalam memproduksi pangan untuk


memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri serta meningkatnya taraf hidup petani
pangan sebagai penghasil beras. Pemerintah/perangkat pemerintahan yang ada
di Kabupaten harus bisa mendukung rencana swasembada tersebut melalui
peningkatan produksi sesuai harapan pemerintah pusat untuk Provinsi Sumatera
Utara sebesar satu juta ton.
Konsumsi beras perkapita untuk setiap penduduk membutuhkan 156 Kg
beras pertahun. Dengan demikian, diperlukan ketersediaan beras di daerah di
Kabupaten Simalungun untuk satu tahun sebesar 1.158.000 jiwa x 156 Kg =
180.648.000 Kg atau setara 180.648 ton. Dari hitungan tersebut disimpulkan
bahwa Kabupaten Simalungun surplus beras pada tahun 2014 sebesar 364.227 –
180.648 ton = 183.579 ton.
Berdasarkan hasil survey, sebelum adanya upaya khusus yang dilakukan
pemerintah, masyarakat/petani Kabupaten Simalungun belum memfungsikan air
irigasi secara proporsional, jaringan irigasi juga belum berfungsi optimal akibat
keterbatasan sumberdaya air, pengelolaan daerah tangkapan air juga belum
terkendali. Partisipasi pemerinatah telah banyak memberikan nuansa baru setelah
adanya kegiatan upaya khusus pencapaian swasembada pangan. Perbaikan
jaringan irigasi, optimasi lahan dan bantuan alsintan. Namun luas tanam padi
sawah mengalami penurunan tahun 2015 ini disebabkan jaringan irigasi di lokasi
penghasil beras tertinggi di Kabupaten Simalungun mengalami kerusakan berat.
Kerusakan jaringan irigasi memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap penurunan luas tanam padi Tahun 2015 (Tabel 2). Perbaikan jaringan
irigasi dilakukan dibeberapa tempat penghasil padi di Kabupaten Simalungun.

Tabel 2. Rehabilitasi jaringan irigasi di Kabupaten Simalungun pada Bulan Mei-


Desember 2015
Luas areal
Luas Luas jaringan
yang
No. Nama Jaringan irigasi keseluruh irigasi yang rusak
diperbaiki
an (%)
(ha)
I Jaringan irigasi Bah 4.954
tongguran
1 Bah Tongguran I 1.100 22,20
2 Bah Tongguran II 2.100 42,39
3 Bah Tongguran III 754 15,22

II DI Dolok Malela Bandan 350 578 60,55

III DI Marjanji Asih 450 802 56,11


Total 4.754 6.334 75,06
Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat
Jenderal Sumberdaya Air Balai Wilayah Sungai Sumatera II. (Data
sudah diolah).

Peningkatan swasembada pangan di Kabupaten Simalungun tahun 2015


terhalang karena adanya 2.078 ha lahan padi sawah di dua kecamatan yang

775
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

beralih fungsi, yaitu : Kecamatan Tanah Jawa 1.018 ha dan Kecamatan Hutabayu
Raja 1.060 ha.Hal ini, disebabkan rusaknya jaringan irigasi tertier dan debit air
yang tidak cukup untuk mengairii lahan. Keseluruhan lahan telah beralih fungsi
dengan jagung dan kedelai. Bahkan beberapa petani telah alih fungsi pada
tanaman sawit dan ubi.
Jaringan irigasi di Kecamatan Tanah Jawa masih dalam perbaikan. Ada 3
desa yang mengalami kerusakan jaringan irigasi yaitu: Desa Tanjung Pasir, Desa
Bosar Galugur dan Desa Muara Mulia masing-masing 211 ha, 285 ha dan 477 ha
yang menyebabkan terkendalanya penanaman padi seluas kurang lebih 1000 Ha
mulai dari Juni 2015- Desember 2015. Petani menanam jagung dan kedelai agar
lahan jangan kosong dalam jangka waktu yang lama. Kendala yang dihadapi
adalah bibit kedelai kegiatan UPSUS hanya cukup memenuhi 30% dari luas lahan
yang ada di tiga desa tersebut, sementara bibit jagung masih swadaya.
Kondisi jaringan irigasi di Desa Tanjung Pasir Kecamatan Tanah Jawa
tergolong kurang baik karena fungsi pelayanan irigasi hanya sebesar 70% dan
jaringan irigasi tidak mampu mengairi sawah secara keseluruhan. Debit air irigasi
pada periode pertumbuhan umumnya mengalami kekurangan air dan pada
periode panen mengalami kelebihan air. Pengelolaan irigasi kurang baik karena
sebelum adanya upaya khusus, ketidakaktifan organisasi dalam merawat dan
menjaga jaringan irigasi sehingga berdampak pada jaringan yang mengalami
kerusakan sehingga mempengaruhi laju air dan kondisi debit air yang tidak sesuai
dengan kebutuhan.
Jaringan irigasi di Kecamatan Huta Bayu Raja juga sedang bermasalah
seluas 1.060 ha dengan rincian :
- Desa Pukan Baru 200 Ha mengalami kekeringan karena perbaikan jaringan
irigasi. Tanaman sudah berumur 1,5 bulan setelah perbaikan jaringan irigasi
dimulai.
- Desa Silakidir seluas 700 Ha kekurangan air karena sedang merehab jaringan
irigasi yang rusak.
- Desa Maria Hombang seluas 160 Ha, umur padi rata-rata 1,5 bulan pada saat
perbaikan jaringan irigasi dimuai sekitar bulan Juni tahun 2015. Tanaman
mengalami kekeringan sehingga produksi menurun.
Harapan pemerintah dan masyarakat melalui perbaikan jaringan irigasi
tahun 2015, dengan tersedianya air yang cukup bagi tanaman akan meningkatkan
produktivitasnya karena bertambah suburnya tanah, penanaman yang tidak
tergantung musim hujan, mengurangi serangan hama dan penyakit.
Hambatan lain yang terjadi dalam menuju swasembada pangan adalah
kekurangan lahan untuk bercocok tanam karena jumlah penduduk yang semakin
bertambah tiap tahunnya. Solusinya adalah pemerintah harus menetapkankan di
setiap provinsi untuk mempunyai lahan yang luas untuk lahan sawah. Pemeritah
bersama-sama perangkat setempat harus menjaga setiap lahan sawah yang
sudah tersedia tidak menjadi proyek bisnis untuk menghasilkan keuntungan pihak
tertentu atau pribadi. Sehingga lahan yang seharusnya digunakan dalam
menjalakan program swasembada malah menjadi suatu bisnis yang menyebabkan

776
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kepadatan penduduk dengan didirikan rumah-rumah permanen ataupun dijadikan


perkebunan. Hal ini, yang menjadi salah satu hambatan di Kabupaten Simalungun
akan terus menerus kekurangan bahan pangan.
Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi, antara lain optimalisasi
sumber daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi, dukungan
sarana produksi dan permodalan, jaminan harga gabah yang memberikan insentif
produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan. Kementerian
Pertanian melalui perangkat pemerintah di Provinsi Sumatera Utara dan
Kabupaten Simalungun telah mengalokasikan fasilitas berupa bantuan alsintan,
perbaikan jaringan irigasi tertier yang rusak, perbenihan, memperlancar
tersedianya pupuk melalui optimasi lahan serta teknologi budidaya padi dengan
menunjuk BPTP Sumut sebagai narasumber yang setiap saat bersedia membantu
apabila terdapat permasalahan dalam budidaya pertanaman.
Sementara strategi yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan
swasembada pangan adalah dengan peningkatan produktivitas melalui penerapan
teknologi yang benar, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan
pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usaha tani
(Damardjati dan Oka, 1992).
KESIMPULAN
Terjadinya penurunan luas tanam padi di Kabupaten Simalungun tahun
2015 terutama disebabkan sekitar 2.078 ha lahan padi sawah di dua kecamatan
yang beralih fungsi, yaitu : Kecamatan Tanah Jawa seluas 1.018 ha dan
Kecamatan Hutabayu Raja seluas 1.060 ha. Disamping itu alih fungsi lahan sawah
cukup tinggi. Per tahun lahan sawah yang beralih fungsi cukup besar sementara
pencetakan areal persawahan baru cukup rendah. Mengingat Kabupaten
Simalungun mempunyai potensi yang cukup besar untuk menyediakan kebutuhan
pangan, diharapkan pengelolaan pertanaman padi dilakukan secara terintegrasi
melalui konsep pembangunan pertanian terpadu dan berkelanjutan dengan cara
pemanfaatan lahan terlantar untuk pertanaman padi, mengurangi pembangunan
di areal persawahan, serta penyediaan bibit unggul dengan lebih mudah lagi bagi
petani.Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi didukung juga oleh
optimalisasi sumber daya pertanian dan penerapan teknologi maju sesuai spesifik
lokasi serta jaminan harga gabah yang memberikan insentif produksi bagi petani.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Peningkatan Produksi


Padi Menuju 2020.http://pangan.litbang.deptan.go.id/repositori-20.html.
Damardjati D.S dan Made Oka .A. 1992. Evaluation of urban consumerpreferences
for rice quality characteristics in Indonesia. In Consumer demand for rice
grain quality. Eds. L.J.Unnevehr, B.Duff, dan B.O.Juliano. International
Rice Research Institute, Philippines dan International Development
ResearchCentre, Canada p.59-73.

777
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, 2006, Pedoman Umum


Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Lahan dan Air Tahun 2006,
Departemen Pertanian, Jakarta.
Djunaedi. A. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Beras di
Indonesia periode 2001-2010. Skripsi. Malang. Universitas Ma Chung
Kabupaten Simalungun Dalam Angka Tahun 2011. BPS Kabupaten Simalungun.
Kementeran Pertanian. 2015. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan
Padi. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian.
2015.
Simalungun Dalam Angka. 2014. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. Medan.
Sumatera Utara Dalam Angka. 2014. Badan Pusat Statistik. Medan.
Suryana, A. 2008. Menelisik Ketahanan Pangan, Kebijakan Pangan, dan
Swasembada Beras.Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008:1-16.

DISKUSI
Saran:
1. Berdasarkan judul penelitian dan analisis yang ditujukan untuk tulisan ini
adalah analisis SWAT
a. Jadi tampak masalah dan kelemahan sebagai tantangan yang dihadapi di
simalungun
b. Untuk menghadapi masalah dan kelemahan peluang dan langkah –
langkah ke depan untuk swasembada pangan
Jawaban :
Berdasarkan tujuan penelitian dimana ada paktor yang mempengaruhi
pertamanan padi akan tetapi analisisnya sudah jelas. Contoh saran factor –
factor adalah : a. Pupuk urea, b.Tenaga kerja, c.Luas lahan, semua factor ini
di analisis sebagai variabel factor.

778
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI YANG MEMPENGARUHI


KETERAMPILAN BURUH TANAM LEGOWO PADI DI KABUPATEN
SUKABUMI JAWA BARAT

Ikin Sadikin dan Bambang Sunandar

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat


Jl. Kayuambon No.80 Lembang, Bandung Barat,
Email: s4dikin@yahoo.com

ABSTRAK

Sistim tanam Jajar legowo (Jarwo) merupakan teknologi alternatif untuk


meningkatkan produksi padi sawah melalui peningkatan populasi tanaman
perluasan lahan. Namun sistem ini masih sulit diadopsi oleh petani di Jawa Barat
karena dipandang membutuhkan tambahan biaya tenaga kerja tanam dibanding
dengan sistem tanam konvensional/tegel. Sehingga diperlukan kelompok
buruh/jasa tanam padi yang terampil. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh
terhadap tingkat keterampilan petani buruh/jasa sistem tanam jarwo padi sawah.
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat pada Musim
Kemarau 2015, dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara terhadap 27 orang responden petani, dan analisis data dilakukan
dengan model fungsi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, ada delapan
variabel sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkat keterampilan buruh
tanam jajar legowo. Diantaranya, tiga faktor sosial ekonomi yang sangat nyata,
dua variabel berpengaruh positif dan satu variabel berpengaruh negatif, yaitu:
umur petani, pengalaman berburuh tani, dan upah buruh tani.
Kata kunci : Sosial ekonomi, keterampilan buruh tani, sistem tanam legowo, dan
padi.
PENDAHULUAN

Provinsi Jawa Barat (Jabar) sebagai salah satu sentra produksi padi di
Indonesia. Berdasarkan data Departemen Pertanian (2015), dalam 45 tahun
terakhir rata-rata menyumbang sekitar 19,62 % terhadap produksi padi nasional
dan lebih dari 93 % produksi padi dihasilkan dari lahan sawah. Laju pertumbuhan
produktivitas padi selama tahun 1970-2015 mencapai sekitar 8,96% per tahun.
Dalam kurun waktu yang sama, luas panen padi menyumbang sekitar 0,94 %,
dan intensifikasi usaha dengan inovasi teknologi atau produktivitas menyumbang
sekitar 7,68 %. Akan tetapi, dalam lima tahun terakhir ini laju produktivitas padi di
daerah sentra produksi di Jabar stagnan dan menurun hingga mencapai rata-rata
4,72% per tahun.

Dalam upaya meningkatkan ketersediaan beras di Jabar masih


menghadapi berbagai permasalahan, diantaranya: (1) alih fungsi lahan pertanian
ke non-pertanian masih tinggi, sekitar 20.000 ha/tahun, (2) laju pertumbuhan
penduduk cukup tinggi, yaitu sekitar 1,66% per tahun, (3) ketergantungan
masyarakat terhadap beras masih tinggi, rata-rata konsumsi 105,9
kg/kapita/tahun, (4) produksi beras secara regional cenderung berfluktuasi

779
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sebagai dampak dari anomali iklim dan serangan OPT, (5) adopsi inovasi teknologi
di tingkat petani masih relatif rendah, (6) pemilikan lahan sempit, rata-rata 0,25
hektar per keluarga, sehingga sulit untuk meningkatkan efisiensi, (7) nilai tukar
petani masih rendah, (8) kelembagaan petani masih lemah, dan (9) akses
terhadap permodalan di tingkat petani masih rendah (Bappeda Provinsi Jawa
Barat, 2007).

Di sisi lain, produktivitas padi di beberapa wilayah sentra produksi telah


mengalami stagnasi bahkan ada yang menurun (Karmana dan Ayesha, 2010),
sehingga pertumbuhan produksi padi selama tahun 2010-2014 hanya mencapai
rata-rata 1,53% (Diperta, 2010-2014). Untuk meningkatkan produksi padi tersebut
diperlukan inovasi teknologi. Salah satunya adalah melalui penerapan inovasi
teknologi sistim tanam Jarwo 2:1, sebab menurut Yuwono (2014) jumlah
penyerapan tenaga kerja yang paling banyak adalah pada kegiatan penanaman,
yaitu mencapai 25 – 30 HOK/ha.

Implementasi penerapan teknologi tanam Jarwo 2:1 di lapangan sangat


berkaitan dengan faktor karakteristik internal dan eksternal petani, seperti faktor
sosial, ekonomi dan budaya petani padi. Keberadaan dan keterampilan kelompok
jasa tanam sangat menentukan terhadap penerapan teknologi Jarwo 2:1 di tingkat
lapangan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis


faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat keterampilan
petani buruh/jasa sistem tanam Jarwo padi sawah di Kabupaten Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat. Dengan diketahuinya faktor-faktor tersebut maka dapat
dijadikan sebagai arahan pengambil kebijakan untuk peningkatan keterampilan
kelompok jasa tanam dan untuk pengembangan penerapan teknologi tanam Jarwo
2:1 di Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Kajian ini merupakan bagian dari penelitian “Pengaruh Tingkat


Keterampilan Kelompok Jasa Tanam Legowo terhadap Implementasi Teknologi
Tanam Jarwo 2:1 di Jawa Barat”. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive di
Desa Cibatu, Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi pada bulan Mei sampai
September 2015.
Pengumpulan dan Analisis Data

Pemilihan responden dilakukan secara purposive sebanyak 27 orang


petani buruh tanam padi jajar legowo (Jarwo), melalui survei dengan bantuan
kuesioner. Pengkajian dilakukan di lahan sawah irigasi milik petani seluas 1 ha,
dikaji keterampilan jasa tanam yang terdiri atas 4 kelompok jasa tanam (masing-
masing 6-7 orang/0,25 ha).

780
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Untuk mengetahui keterampilan jasa tanam dilakukan pengukuran melalui


3 indikator, yaitu: a) kecepatan, b) akurasi, dan c) kerapihan, yang menurut H.W.
Johnson (dalam Singer, 1980) terdiri dari empat aspek yang dapat mencirikan
keterampilan (kecepatan, akurasi, bentuk, dan kesesuaian). Untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan dilihat dari 8 indikator, yakni: 1)
umur petani, 2) pendidikan, 3) pengalaman, 4) jumlah anggota keluarga, 5)
pelatihan sistem tanam jarwo, 6) frekuensi mengikuti penyuluhan, 7) luas garapan,
dan 8) upah buruh tani. Data dianalisis secara deskriptif dan ekonometrik dengan
pendekatanan model "binary choice" dalam bentuk fungsi logit, dengan formula
(Pyndick and Rubinfield, 1981, dan Gujarati, 1988).
1
Pi  n m
 ei ,.................(1)
1  Exp[ (    j X ji    k Dki )
j 1 k 1

 n m 
Misalkan; Z       j X ji    k Dki  , sehingga model (1) dapat dituliskan
 
 j 1 k 1 
menjadi:

1
Pi   ei ,...........................................(2)
1  Exp Z 
Dari persamaan (2) diperoleh bahwa persamaan:

1
1  Pi  1   ei ,...............................................(3),
1  Exp Z 
Sehingga menjadi :

Pi 1  Exp( Z )
  Exp( Z )..................................(4)
(1  Pi) [1  Exp( Z )]Exp( Z )
Dalam bentuk logaritma dari persamaan (4) dapat ditulis sebagai berikut:
n m
Pi
Ln      j X ji    k Dki  ei .....................................................(5)
(1  Pi ) j 1 k 1

Dalam hal ini:


Pi /1- Pi = peluang kelompok jasa tanam menerapkan tanam Jarwo 2:1
dengan terampil. (Pi = 1, jika kelompok jasa tanam melakukan tanam
padi dengan terampil, dan Pi = 0 jika kelompok jasa tanam melakukan
tanam padi dengan tidak terampil)
Xi = vektor peubah bebas (j = 1, 2, ... ,n)
Dk = vektor peubah dummy (k = 1, 2, ... ,m)
, j, k = parameter-parameter dugaan fungsi logistik
ei = galat acak

781
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Petani Kelompok Kerja Buruh Tanam Padi
Terdapat beberapa faktor sosial ekonomi yang diduga dapat
mempengaruhi tingkat keterampilan petani buruh/jasa dalam pengerjaan sistem
tanam Jarwo di lokasi contoh (Kabupaten Sukabumi), Jawa Barat. Berdasarkan
hasil identifikasi di tingkat petani kelompok tanam Jarwo, paling kurang ada 8
variabel sosial ekonomi, yakni : (1) umur petani, (2) jumlah anggota keluarga, (3)
tingkat pendidikan, (4) pengalaman berburuh tani, (5) mengikuti pelatihan jarwo,
(6) mengikuti penyuluhan, (7) luas garapan sawah, dan (8) upah buruh tani.
Rataan dari masing-masing variabel tersebut adalah : umur 52,18 tahun,
jumlah anggota keluarga 5 orang, tingkat pendidikan 4,15 tahun, pengalaman
berburuh tani 20,33 tahun, frekuensi pelatihan Jarwo 1,56 kali/tahun, mengikuti
penyuluhan 0,48 kali/tahun, luas garapan sawah 0,09 ha, tingkat upah buruh
tanam adalah Rp.38.703,70/hari (5 jam kerja). Rataan lama pekerjaan tanam
150,46 jam/hektar, dimana kelompok buruh tanam yang terampil atau
berketerampilan tinggi (25,93 %) jelas lebih cepat, 8,5 kali dari pada kelompok
buruh tanam yang kurang-terampil atau berketerapilan rendah, yakni masing-
masing mencapai sekitar 22,99 jam/orang/hektar dan 127,48 jam/orang/hektar
(Tabel 1).
Tabel 1. Rataan karakteristik petani buruh/jasa tanam di Kabupaten Sukabumi,
2015
Kategori
Agregat
Uraian / Keterampilan
Variable Coeff of
Rendah Tinggi Mean Std Dev
Variation
20 7
Responden petani (org) 27 (100%)
(74,07%) (25,93%)
Umur (thn) 53.200 49.286 52.185 8.499 16.286
Jumlah anggota keluarga (org) 5.150 4.571 5.000 1.922 38.431
Lama pendidikan (thn) 3.350 6.429 4.148 2.755 66.425
Pengalaman buruh tani (thn) 24.200 9.286 20.333 13.416 65.982
Latihan Jarwo (kali) 1.150 2.714 1.556 1.761 113.228
Ikut peyuluhan (kali/thn) 0.350 0.857 0.482 0.509 105.730
Upah tanam padi (Rp./HOK) 38250.0 40000.0 38703.7 2232.9 5.769
Keterampilan (jam/ha) 6.374 3.284 5.573 1.614 28.969
Luas garapan (ha) 0.088 0.100 0.091 0.062 68.021
Waktu tanam (jam/ha) 127.476 22.988 150.464

Sumber : Data Primer 2015 (diolah)

Karakteristik petani responden dengan umur 52,18 tahun, terendah 49


tahun (23,63%) pada Pokja-4, dan tertinggi umur 58 tahun (27,88%) pada Pokja-
3. Hal ini, sesuai dengan hasil kajian Ilham, at all. (2009) bahwa di daerah
tanaman pangan Jawa Barat sebagian besar anggota rumahtangga petani
termasuk pada golongan umur 45-54 tahun (27,27%), dan lebih dari 54 tahun

782
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(30,20%); hanya sebagian kecil berada pada kisaran kelompok umur 35-44 tahun
(25,77%).
Berdasarkan data kisaran umur petani responden dapat dikomparasikan,
bahwa semua kelompok buruh/jasa tanam padi tergolong usia produktif, dan
rataan jumlah anggota keluarga petani yang paling tinggi terdapat dalam Pokja
berketerampilan rendah (PKR), yakni mencapai 5,15 orang/keluarga.
Rataan tingkat pendidikan petani, pengalaman bekerja buruhtani,
mengikuti pelatihan Jarwo, dan keikutsertaan penyuluhan pertanian yang relatif
paling tinggi adalah terdapat pada Pokja berketerampilan tinggi (PKT), yakni: 6,43
tahun, 2,71 kali/tahun, dan 0,86 kali/tahun. Sedangkan rataan tingkat
keterampilan atau tempo waktu kerja tanam padi yang relatif paling cepat adalah
dimiliki oleh Pokja buruh/jasa tanam PKR, yakni mencapai 6,37 jam/ha/kelompok,
atau 127,48 jam/orang/hektar.

Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Keterampilan Petani Kelompok


Buruh Tanan Padi Legowo
Gambaran bentuk keterkaitan atau hubungan antara karakteristik petani
dengan tingkat keterampilan kelompok buruh tanam legowo, dengan pendekatan
metode Rank Pearsons Correlation melalui program/Software SAS Version 9.3.2.
Sesungguhnya banyak faktor variabel yang saling berpengaruh dalam
suatu objek benda atau suatu kejadian fenomena alam, baik yang bersifat internal,
maupun eksternal; baik yang bersifat teknis, maupun budaya dan sosial ekonomi
(Sadikin, 2013). Kajian ini dibatasi hanya terhadap faktor- faktor sosial ekonomi
yang diduga kuat besar pengaruhnya terhadap tingkat atau keterampilan kerja
tanam padi sawah.
Berdasarkan hasil analisis, maka teridentifikasi ada delapan variabel
sosial ekonomi rumahtangga (Xi) yang diduga berhubungan dengan tingkat
keterampilan buruh tani/jasa tanam Jarwo, yaitu : (X 1) umur petani, (X2) jumlah
anggota keluarga, (X3) tingkat pendidikan, (X4) pengalaman berburuhtani, (X 5)
mengikuti pelatihan Jarwo, (X 6) mengikuti penyuluhan, (X7) luas garapan sawah,
dan (X8) tingkat upah buruh tani.
Dari hasil analisis korelasi (Tabel 2) diperoleh petunjuk, bahwa tingkat
keeratan hubungan enam peubah karakteristik sosial ekonomi rumahtangga (Xi)
dengan tingkat keterampilan kerja tanam padi petani (Y), menunjukkan hubungan
yang lemah, dan hanya dua peubah karakteristik rumahtangga, yaitu frekuensi
penyuluhan (X6) dan tingkat upah tanam (X8) yang menunjukkan tingkat hubungan
relatif kuat dan sangat nyata pada tarap α 1%, yakni dengan nilai koefisien masing-
masing 0,555 dan -0,809. Hubungan antara X6-frekuensi penyuluhan dengan Yi-
tingkat keterampilan tanam adalah bersifat asosiatif dan positif. Ini
mengindikasikan bahwa tingkat keterampilan/ kecepatan kerja tanam padi sistem
legowo berkaitan secara positif dengan tingkat frekuensi kehadiran petani dalam
mengikuti penyuluhan, dan terjadi sebaliknya hubungan antara X8-besaran upah
buruh tanam dengan Yi-tingkat keterampilan tanam adalah bersifat asosiatif yang

783
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

negatif. Tapi seberapa besar tingkat pengaruh dari setiap faktor peubah tersebut,
besaran koefisien korelasi ini tidak mampu menjelaskannya.
Tabel 2. Koefisien korelasi antara karakteristik RT petani buruh/jasa tanam
dengan keterampilan Jarwo di Kabupaten Sukabumi, 2015
Pengalam Pelatih Garapan
Karak- Keteram- Umur Jumlah Pendidik Penyul Upah/hari
an an lahan
teristik pilan petani Angkel an petani u-han (Rp.000)
berburuh Jarwo (ha)
RT
Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
Y 1.000
X1 0.026 1.000
X2 -0.120 0.009 1.000
- -
X3 1.000
-0.332 0.039 0.450
X4 0.296 0.696 0.255 -0.27 1.000
X5 -0.569 0.304 0.193 -0.11 -0.003 1.000
0.002 0.124 0.334 0.576 0.987 .
X6 -0.614 0.290 0.275 0.139 -0.019 0.634 1.000
0.001 0.143 0.165 0.489 0.926 0.000 .
- - -
X7 0.439 -0.556 -0.445 1.000
0.094 0.423 0.538 0.299
- - -
X8 0.334 -0.352 -0.146 0.175
0.030 0.220 0.166 0.260
0.881 0.270 0.409 0.088 0.072 0.190 0.468 0.384 1.000

Sumber : Data Primer 2015 (diolah)

Untuk mengetahui pengaruh karakteristik faktor sosial ekonomi petani


terhadap tingkat keterampilan petani kelompok buruh/jasa tanam legowo padi
sawah, didekati melalui regresi Logistict Binary Choise, dan MLE (Maximum
Likelihood Estimation dipakai sebagai pendugaan parameter. Kajian ini ingin
mengetahui seberapa besar peluang terjadinya (Y=1) atau tidak terjadi (Y=0)
peningkatan tingkat keterampilan petani buruh tanam akibat interaksi antara
faktor-faktor sosial ekonomi petani. Parameter keterampilan petani buruh tanam
yang dimaksud adalah tingkat kecepatan kerja tanam padi legowo oleh kelompok
individu petani dalam persatuan waktu (jam/hektar).
Hasil analisis estimasi parameter model regresi logit (Tabel 3)
menunjukkan bahwa dari 8 faktor variabel sosial ekonomi yang menurut hipotesis
dapat mempengaruhi peluang untuk meningkatkan keterampilan petani kelompok
buruh tanam (Pokja) Jarwo, terdapat 4 variabel yang pengaruhnya positif terhadap
tingkat keterampilan petani buruh/jasa tanam, yaitu: a) pengalaman berburuhtani,
b) umur petani, c) frekuensi mengikuti penyuluhan, d) luas garapan sawah, dan 4
faktor yang lainnya berpengaruh negatif, yaitu: a) upah buruh/jasa tanam, b)
frekuensi mengikuti pelatihan jarwo, c) tingkat pendidikan petani, dan d) jumlah
anggotan keluarga.
Hasil analisis juga menunjukkan, hanya tiga (3) faktor yang mempunyai
nilai statistik sangat nyata pada tingkat selang kepercayaan tertentu. Dimana, dua
faktor yang berpengaruh positif (kondusif), yakni: upah buruh tanam (X8) dan
pengalaman berburuhtani (X3), dan satu faktor berpengaruh negatif, yakni umur
petani (X1).

784
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keterampilan petani


kelompok buruh tanam Jarwo di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, 2015
Kabupaten Sukabumi
Variabel Parameter Pr> Chi- Standard
Estimate Square Error
Intersep 4.7213 0.0885 15.8741
Umur petani (X1) 0.0205* 0.0322 0.1139
Tingkat pendidikan (X2) -0.4585 3.1571 0.2580
Jumlah angota kel. (X3) -0.2441 0.5819 0.3200
Pengalaman (X4) 0.1270** 2.6207 0.0784
Frequensi pelatihan (X5) -0.2042 0.2513 0.4074
Frequensi penyuluhan (X6) 1.7146 0.8693 1.8389
Luas garapan sawah (X7) 16.8489 2.1588 11.4675
Upah buruh tanam (X8) -0.0002*** 0.2564 0.000396
Prob.Likelihood Ratio - 0.0093 -

Keterangan : *) Signifikan pada α < 10% , **) Signifikan pada α < 5%,
***) Signifikan pada α < 1%.

Memperhatikan tanda-tanda atau arah koefisien dugaan tersebut, dapat


diinterpretasikan bahwa, semakin banyak atau semakin tinggi kuantitas/kualitas
variabel bertanda positif, yaitu umur petani (X1), frekuensi penyuluhan (X6),
pengalaman (X4), dan luas garapan sawah (X7). Peluang petani untuk
meningkatkan keterampilan petani semakin tinggi, maka tempo waktu pengerjaan
tanam padi legowo akan lebih cepat. Begitu pun terjadi sebaliknya, untuk variabel-
variabel prediktor yang bertanda negatif, seperti tingkat pendidikan (X2), jumlah
angota keluarga (X3), frequensi pelatihan Jarwo (X5), dan upah buruh tanam (X8);
meskipun secara statistik tidak nyata. Hal ini sesuai dengan hasil kajian
Wahyunindyawati, Kasijadi dan Heriyanto (2003).
Berdasarkan arah dan tingkat nyata dari masing-masing koefisien
parameter tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut: (1) peluang
meningkatkan keterampilan petani Pokja tanam Jarwo, semakin besar jika umur
petani dan pengalaman berburuhtani meningkat (lebih tinggi). Hal ini logis, sebab
semakin pengalaman seorang buruhtani meningkat berkorelasi positif dengan
bertambahnya usia, maka tingkat keterampilan: kecepatan waktu dan kerapirah
menyelesaikan pekerjaan tanam padi dengan sistem Jarwo semakin tinggi, atau
semakin cepat; (2) peluang keterampilan petani Pokja tanam Jarwo semakin
meningkat. Jika terjadi upah kerja-buruhtani menurun. Kejadian ini terjadi agak
janggal dalam kondisi klasik secara adhock. Tetapi, sebaiknya dapat lebih
dipahami jika diinterpretasikan dalam kejadian arah deduktif yang progresif.
Dalam pengertian sesungguhnya adalah: keterampilan petani Pokja
tanam Jarwo padi di lokasi penelitian berpeluang dapat ditingkatkan, manakala
dilakukan pada saat upah kerja-buruh tani rendah/tidak naik, yaitu melalui
pelatihan dan penyuluhan, sebab fakta di lapangan petani responden Pokja tanam
Jarwo padi 2:1 yang memiliki keterampilan tinggi hanya sekitar 25,92 persen. Ini
penting dilakukan, sebab selain diperoleh efisiensi biaya upah kerja tanam, sistem
tanam Jarwo padi 2:1, meskipun tidak seefisien tenaga mesin tanam padi secara

785
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mekanik: Transplanter (Sahara, Kushartanti, dan Suhendrata, 2013, Suhendrata,


2013). Namun demikian, teknologi sistem tanam Jarwo 2:1 menurut Mulyanti dan
Pujiharti (2011) dapat meningkatkan produksi yang lebih tinggi (12,26%) dari
sistem tanam Jarwo 4:1 dan sistem tanam tegel, dan di Kabupaten Bandung
meningkat sekitar 15-20% Suriapermana, dkk. (1999).

KESIMPULAN

1. Hasil identifikasi menunjukkan ada delapan faktor sosial ekonomi yang diduga
dapat mempengaruhi tingkat keterampilan petani buruh/jasa dalam pengerjaan
sistem tanam jajar legowo di lokasi kabupaten Sukabumi, yakni : (1) umur
petani, (2) jumlah anggota keluarga, (3) tingkat pendidikan, (4) pengalaman
berburuh tani, (5) mengikuti pelatihan jarwo, (6) mengikuti penyuluhan, (7) luas
garapan sawah, dan (8) tingkat upah buruh tani.
2. Hampir semua peubah faktor sosial ekonomi petani menunjukkan hubungan
yang lemah dengan tingkat keterampilan kerja tanam padi petani, kecuali dua
variabel: frekuensi penyuluhan (X6) dan tingkat upah tanam (X7).
3. Terdapat tiga faktor sosial ekonomi yang berpengaruh sangat nyata terhadap
tingkat keterampilan petani buruh/jasa tanam legowo di lokasi Kajian, yaitu: dua
faktor yang berpengaruh positif, yakni: umur petani (X1) dan pengalaman
berburuhtani (X4); dan satu faktor berpengaruh negatif, yaitu upah buruh tanam
(X8).
SARAN
Supaya tingkat keterampilan petani kelompok buruh/jasa tanam jajar
legowo lebih baik, perlu ditingkatkan melalui pelatihan, studi banding, magang.

DAFTAR PUSTAKA
Bapeda Prov. Jawa Barat. 2007. Penanganan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa
Barat: Gerakan Lumbung Kedaulatan Pangan. Badan Perencana Daerah
Provinsi Jawa Barat, Bandung.
Departemen Pertanian. 2015. Data Base. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas
Padi Provinsi di Indonesia. Website Departemen Pertanian. Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Jawa Barat. 2010-2014. Laporan
Tahunan Dinas Pertanian Prov. Jawa Barat, Bandung.
Gujarati, D.N. 1988. Basic Econometrics. Second Edition. McGraw Hill Book
Company.
Ilham N., K.Suradisastra, Tri Pranadji, A.Agustian, E.Lestari, dan G.S. Hardono.
2007. Analisis Profil Petani dan Pertanian Indonesia. Laporah Akhir
Penelitian PSEKP Litbang Pertanian Bogor, 2007.
Irawan, 2010. Konversi Lahan Sawah di Jawa Barat: Kecenderungan 1980-2000
dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi. Agribisnis Perberasan Jawa
Barat. BPTP Jawa Barat, 2010.
Karmana M.H. dan I. Ayesha. 2010. Mengangkat Posisi Tawar Petani Padi di Jawa
Barat. Agribisnis Perberasan Jawa Barat. BPTP Jawa Barat, 2010.

786
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Mulyanti N. dan Y. Pujiharti. 2011. Pengaruh Sistem tanam Legowo terhadap


Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Padi Sawah di Tulang Pawang,
Lampung. Dalam. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi
Nasional 2010. ”Variabilitas dan Perubahan Iklim: Pengaruhnya terhadap
Kemandirian Pangan Nasional”. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. p.
893-899.
Permadi K., B. Sunandar, dan Nurnayetti. 2013. Peningkatan Produktivitas Padi
melalui Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi untuk Mencapai Swasembada
Beras. Dalam Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Pemanfaatan
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi mendukung Ketahanan Pangan dan
Kesejahteraan Petani Nelayan. Badan Litbang Pertanian. p. 140-145.
Putra S. dan E. Bekti. 2013. Laporan Akhir Tahun Pelatihan Jasa Tanam Legowo
2:1 T.A 2013 Kabupaten Sukabumi.
Pyndick R.S. & D.D. Rubinfield. 1981. Econometric Model and Econometric
Forecast. International Student Editions. Mc Graw Hill Kogakusha,
Tokyo, Japan.
Rokayag E. 2013. Laporan Akhir Tahun 2013 Pelatihan Jasa Tanam Jajar Tanam
Legowo di Jawa Barat. BPTP Jawa Barat, Bandung.
Sadikin Ikin. 2013. Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Adopsi PTT di
Sentra Padi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Ilmu Pertanian: Agros Vol.15
No.1 Januari 2013: 123-136.
Sahara D., Kushartanti, E., dan T. Suhendrata. 2013. Kinerja Usahatani Padi
dengan Mesin Transplanter dalam rangka Efisiensi Tenaga Kerja. SEPA
Vol. 10 No.1 : 55-62.
Singer Robert N. (1980). Motor Learning and Human Performance: An Application
to Motor Skills and Movement Behaviors. Macmillan Pub. New York.
Suhendrata T. 2013. Prospek Pengembangan Mesin Tanam Pindah Bibit Padi
dalam Rangka Mengatasi Kelangkaan Tenaga Kerja Tanam Bibit Padi.
SEPA Vol. 10 No. 1 : 97-102.
Suriapermana S., I. Nurhati dan Y. Surdianto. 1999. Teknologi Padi Dengan Cara
Tanam Legowo Pada Lahan Sawah Irigasi. Makalah Disampaikan Pada
Simposium Tanaman pangan IV. Bogor, 22-24 Nopember 1999.
Wahyunindyawati, F. Kasijadi dan Heriyanto. 2003. Tingkat Adopsi Teknologi
Usahatani Padi Lahan Sawah di Jawa Timur : Suatu Kajian Model
Pengembangan “Cooperative Farming”. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 6, No. 1, Januari 2003 : 40-49.
Yuwono S. 2014. http:// widyatan. com /index. Php /arsip/ artikel/budidaya-
tanaman/348-persemaian-padi-untuk-penanaman-dengan-rice-
transplanter. Diakses pada 27 Oktober 2014.

787
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KINERJA KESEJAHTERAAN PETANI PADI DI KABUPATEN CIREBON


JAWA BARAT

Ikin Sadikin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat


Jn. Kayuambon No.80 Lembang, Bandung Barat
Email:s4dikin@yahoo.com

ABSTRAK

Dinamika perubahan ekonomi yang terjadi di pedesaan tidak terlepas dari


pengaruh sistem perekonomian di tingkat pusat. Karenanya, perubahan-
perubahan tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kesejahteraan petani di
Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Di sisi lain, sektor pertanian masih menjadi
andalan utama bagi kehidupan petani, meskipun peranannyacenderung menurun.
Banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain, lamban peningkatan harga jual
produksi yang diterima petani dibanding peningkatan harga input produksi dan
harga barang konsumsi yang dibayar petani. Dengan demikian, maka data dan
informasi beberapa variabel yang berkaitan langsung dengan indikator
kesejahteraan petani menjadi penting untuk diteliti. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai variabel indikator
kesejahteraan petani. Metode yang digunakan adalah survei di tingkat
rumahtangga dan di tingkat pasar desa, dengan memakai kuesioner terstruktur.
Penelitian dilakukan di Desa Kendal dan Astanajapura,Kecamatan Astanajapura,
Kabupaten Cirebon pada tahun 2011. Analisis data dilakukan secara deskriptif.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa, kinerja NTP di daerah sentra produksi padi
di lahan sawah irigasi, lokasi penelitian adalah relatif cukup baik (102.82), dengan
tingkat stabilitascukup moderat (28,92).
Kata Kunci: Indikator kesejahteraan petani, pendapatan, pengeluaran, nilai
tukar petani, padi sawah.

PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri, bahwa usaha pemerintah Provinsi Jawa Barat


(Jabar) melalui berbagai kebijakan pembangunan selama ini, telah membuahkan
hasil yang cukup baik dalam menjaga stabilitas ekonomi, terutama dalam sektor
pertanian, khususnya produksi padi/beras. Namun demikian, upaya untuk
memelihara dan meningkatkan keberhasilan usaha pembangunan pertanian ke
depan tidak mudah, karena berhadapan dengan berbagai tantangan ekonomi dan
sosial budaya yang berasal dari lingkungan internal dan eksternal negara yang
berubah dengan cepat.

Diantara tantangan tersebut adalah: laju peningkatan pertumbuhan


penduduk yang melampaui laju peningkatan pasokan pangan (beras); banyaknya
lahan sawah yang beralih fungsi ke luar sektor pertanian dan sempitnya pemilikan
lahan petani; terbatasnya dana pemerintah untuk pengembangan atau
pencetakan areal sawah baru, pembangunan imprastruktur irigasi, subsidi
masukan agrokimia dan benih; perubahan tatanan ekonomi dan sosial (UU

788
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

No.12/1992 tentang sistem budidaya tanaman, UU No.32/2000 tentang otonomi


daerah); Liberalisasi perdagangan dunia dan perubahan iklim yang sulit diprediksi.
Dimana, kesemua itu memerlukan antisipasi dan responsi kebijakan yang lentur
sesuai dengan perkembangan Iptek dan kaidah tatanan zaman yang menuntut
efisiensi, berdaya saing dan pelestarian linkungan.

Namun dibalik itu semua perlu disadari bahwa, yang menjadi tujuan utama
dilaksanakannya pembangunan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat. Karena itu sebaik apa pun bentuk suatu kebijakan,
tidak akan dapat berhasil mencapai target sasaran, mana kala derap langkah
pelaksanaan di lapangan hanya dilakukan secara spasial, temporal dan sektoral.
Berarti ke depan, kebijakan pembangunan pertanian di Jabar perlu ditempuh
dengan taktik dan strategik “sapu jagat”, dimana semua komponen bangsa, semua
sektor lembaga pemerintah dan swasta harus berperan aktif, dinamis dan
koodinatif; berjalan dalam frame keadilan, kejujuran, tanggung jawab dan
kebersamaan, serta tetap kokoh dalam prinsif efisiensi dan berdaya saing.

Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat bukan perkara


gampang; sebab selain abstraktif, juga bersifat relatif. Karena itu relativitas dan
abstraksi suatu kesejahteraan bergantung pada komunitas, regime/zaman, tempat
dan takaran yang dipergunakan. Kesejahteraan pada komunitas petani di Jawa
Barat, misalnya, dapat ditakar melalui regime ekonomi yang di dunia empiris
dikenal dengan daya beli atau Nilai Tukar Petani (NTP). Karena NTP sangat
berkaitan dengan proses dan hasil pembangunan, dimana kebijakan tersebut
dilaksanakan, maka kinerja NTP di Cirebon, Jawa Barat penting untuk diteliti.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis variabel-


variabel indikator kesejahteraan petani melalui indeks NTP (harga-harga input-
output usaha, harga barang-barang konsumsi bahan makanan strategis) di
Wilayah Perdesaan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Kerangka Pemikiran

Pembangunan perdesaan sangat berkait dengan pembangunan pertanian.


Karena itu setiap aktivitas pembangunan pertanian akan berpengaruh langsung
terhadap dinamika ekonomi masyarakat perdesaan. Sampai saat ini usaha sektor
pertanian masih menjadi andalan sumber mata pencaharian dan pendapatan
utama bagi sebagian besar masyarakat, meskipun secara kuantitas, belum
mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik; dan secara
kualitas, masih mengangap derajat ketimpangan distribusi pendapatan, pemilikan
asset produktif, dan penguasaan Iptek.

Proses penimpangan tersebut terus berakumulasi, berkulturasi dan


berlanjut sampai sekarang, sehingga proporsi perolehan pendapatan diantara
pelaku agribisnis terjadi semakin melebar. Antar pelaku on-farm misalnya, terjadi
karena dipicu oleh perbedaan tingkat aksesibilitas ekonomi desa, produktivitas

789
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

lahan dan tenagakerja/upah, senjangnya penguasaan dan penerapan teknologi,


dsb yang kesemua itu berujung pada efisiensi usaha yang rendah.

Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat


di perdesaan adalah melalui penerapan inovasi teknologi, khususnya teknologi
pertanian. Karena perubahan sistem perekonomian perdesaan akibat inovasi
teknologi menurut Arifin B. (2000), akan merangsang inovasi kelembagaan,
perubahan sistem nilai, inovasi institusi, dan sebagainya yang mengarah kepada
perputaran inovasi Iptek: ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam upaya mengoptimalkan penggunaan sumberdaya pertanian guna


meningkatkan perekonomian di pedesaan, Badan Litbang Pertanian pada tahun
2005-2009 telah merintis dan melakukan aksi program/kegiatan “Prima Tani” yang
dapat meningkatkan produktivitas usahatani, optimalisasi sumberdaya, dan
peningkatan nilai tambah produk melalui kegiatan agribisnis (Simatupang, 2005,
dan Irawan, 2004). Dimana, dalam skala tertentupada akhir kegiatan tersebut
telah mulai tumbuh peningkatan pemerataan distribusi pendapatan yang
mengarah terhadap bangunan ekonomi masyarakat yang tangguh.

Ketangguhan perekonomian tersebut akan cepat terwujud, manakala


bangunan ekonomi ditingkat desa berdiri kokoh yang diekspresikan
melaluipeningkatan sumber daya masyarakat yang mayoritas adalah petani.
Menurut Sudana, dkk. (2007), dalam mengevaluasi terjadinya dinamika
pembangunan di wilayah perdesaan dapat dilihat dari dua indikator utama,
yaituindikator produksi dan indikator kesejahteraan. Dimana dalam Indikator
kesejahteraan tsb mencakup: perkembangan struktur pendapatan, struktur
pengeluaran pangan, tingkat ketahanan pangan keluarga, daya beli, dan nilai tukar
petani (NTP). Meskipun, menurut Simatupang (1992), yang lebih realistis dan
lebih baik untuk menakar tingkat kesejahteraan di Indonesia adalah dengan Nilai
Tukar Pendapatan Petani (NTPP).

Dalam hal ini, penulis melakukan pendekatan analisis NTP, sebab secara
konsepsional NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang dihasilkan
petani terhadap produk yang dibeli petani untuk keperluan konsumsi dan
keperluan dalam memproduksi komoditas (Rachmat M.,2000, dan Supryati, atal.,
2001). Dengan demikian, NTP merupakan nisbah antara harga yang diterima
petani dengan harga yang dibayar petani yang dapat dirumuskan sebagai berikut
(Rachmat M., at al, 1999, Nurmanaf, atal.,2005, Abidin Z., Idris dan
Amiruddin,2005, dan PSEKP, 2007).

NTP  HT HB   aiPTi  bxPBx


Disini: HT/HB= harga yang diterima petani / harga yang dibayar petani
PTi = harga komoditas i yang diproduksi petani
PBx = harga produk yang dibeli petani
ai = pembobot komoditas i
bx = pembobot produk x

790
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Nilai Tukar Petani diatas 100 berarti indeks yang diterima petani lebih tinggi
dari yang dibayar petani, sehingga dapat dikatakan: pada periode waktu tertentu,
petani lebih sejahtera dibandingkan dengan pada periode waktu sebelumnya.

NTP >100, berarti petani mengalami surplus. Dimana, harga produksi


komoditas (padi dan palawija) yang diterima petani naik lebih besar dari kenaikan
harga konsumsinya (input produksi dan barang konsumsi). Artinya dapat
diasumsikan: pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya, dengan
demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik dibanding sebelumnya.

NTP=100, berarti petani mengalami impas/break even. Dimana,


persentase kenaikan/penurunan harga produksi komoditas yang diterima/dijual,
sama dengan kenaikan/penurunan harga barang konsumsinya. Berarti tingkat
kesejahteraaan petani tidak mengalami perubahan dibanding sebelumnya.

NTP<100, berarti petani mengalami defisit. Dalam hal demikian, kenaikan


harga barang produksi komoditas yang dijual, relatif lebih rendah/kecil
dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsi yang dibeli/dibayarnya.
Berarti tingkat kesejahteraan petani pada periode sekarang mengalami penurunan
dibandingkan dengan pada periode sebelumnya.

Untuk menggambarkan dinamika nilai tukar petani antar waktu, harga yang
diterima dan harga yang dibayar petani diukur dalam nilai Indeks Nilai Tukar
Petani:INTP = IT/IB. Dalam hal ini, IT/IB= Indeks harga yang diterima
petani/Indeks harga yang dibayar petani yang dihitung dengan menggunakan
Indeks Laspeyers yang dimodifikasi sbb:
m
Pni
P P( n 1)i Qoi
ir ( n 1)i
IHn 
m
 PoiQoi
i 1

Disini: IHn = Indeks harga bulan ke n (untuk IT atau IB), Pni= Harga bulan
ke n untuk jenis produk i, P(n-1)i = Harga bulan ke n-1 untuk jenis produk i; Pni/P(n-1)i
= Harga relatif bulan ke n untuk jenis produk i, P oi=Harga produk tahun dasar untuk
jenis produk i, Qoi = Kuantiítas pada tahun dasar untuk jenis produk i, m =
Banyaknya jenis produk.

Lokasi dan Waktu.

Pemilihan loksi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan tiga


aspek, yaitu: (1) Kabupaten Cirebon dipilih secara purposive sebagai salah satu
daerah sentra produksi padi sawah di Provinsi Jabar, dimana pada tahun 2014
berkontribusi sekitar 17% (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, 2014), (2)
Pemilihan lokasi Desa, dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat aksesibitas-
ekonomi (baik dan kurang baik), yaitu di Desa Kendal dan Astanajapura,
Kecamatan Astanajapura, (3) Penentuan responden petani dilakukan dengan cara

791
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

stratified random sampling, dengan strata pemilikan lahan (luas: >1,00 ha, sedang:
0,50-1,00 ha, sempit: ≤ 0,50 ha); dimana, pada setiap strata dipilih 5 orang petani,
sehingga total responden 30 orang dan 8 unit lembaga pasar, yang kemudian
diagregasi untuk menggambarkan keragaan rumah tangga (Rtg) petani perdesaan
tingkat Kabupaten. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai
Desember 2011.

Jenis dan Analisis Data.

Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Data
sekunder dikumpulkan dari Lembaga/Dinas terkait tingkat provinsi sampai desa.
Sedangkan data primer dikumpulkan dari Rumah tangga petani berupa: (1) Data
input-output usahatani, (2) Data produksi dan penerimaan dari seluruh cabang
usaha pertanian, dalam kurun waktu mulai MH tahun 2010/2011 sampai MK-1
tahun 2011, (3) Data pendapatan dan pengeluaran konsumsi Rtg, (4) Data harga
sarana produksi, hasil produksi, dan harga barang konsumsi yang berlaku di
tingkat desa contoh, dan (5) Data upah buruh pertanian dan non pertanian.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan statistik sederhana dengan
membangun/mengidentifikasi variabel-variabel indikator kesejahteraan petani.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dalam kajian ini kinerja indikator kesejahteraan petani di Desa Kendal dan
Astanajapura Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon-Jawa Barat (Jabar)
tahun 2011digambarkan melalui perkembangan indeks Nilai Tukar Petani (NTP)
komoditas padi. Karena itu bahasan selanjutnya akan difokuskan terhadap NTP
sebagai penciri atau penanda indikator kesejahteraan petani.

Sebelum membahas kinerja NTP di daerah lokasi kajian, lebih dulu


disampaikan kinerja NTP di Provinsi Jabarsecara makro. Berdasarkan data yang
dipublikasikan BPS, diketahui bahwa, NTP Jabar pada bulan Januari 2012 secara
year-on-year meningkat sebesar 6,01% dari periobe Januari 2011, yakni dari
102,36 meningkat menjadi 108,51 (BPS, 2012a). Perkembangan NTP Jabar
selama tahun 2011 meningkat lebih besar dari NTP Pulau Jawa, bahkan lebih dari
empat kali tingkat laju NTP Nasional, yakni masing-masing mencapai 0,50%,
0,32% dan 0,12%. Ini berarti suatu fenomena perubahan kecil ke arah perbaikan
jangka pendek sedang terjadi.

Tingkat kesejahteraan/daya beli petani pada 2-3 tahun terakhir relatif lebih
baik dari pada tahun-tahun sebelumnya, karena daya saing harga komoditas
pertanian-primer relatif lebih tinggi dari harga-harga komoditas manufaktur,
termasuk barang-barang kebutuhan konsumen sehari-hari, dan juga barang-
barang sarana produksi.

Selanjutnya hasil analisis NTP petani di daerah sentra produksi padi di


Kabupaten Cirebon ditampilkan pada Tabel 1, Tabel 2, dan Gambar 1. Kinerja
indikator ”kesejahteraan” petani pada tahun 2011 yang diproksi dari NTP padi atas
harga dasar (AHD) bulan Maret, rata-rata dalam 10 bulan mencapai 106,50

792
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan laju pertumbuhan 0,95% per bulan. Akankah perbaikan itu sampai atau
berlaku untuk jangka panjang? Nampaknya, pada era reformasi dan demokrasi
nekonomi sekarang ini, arah pemihakan kebijakan dari berbagai unsur
pemerintahan akan menjadi determinan kunci.

Tabel 1. Kinerja Nilai Tukar Pertanian di Kabupaten Cirebon, Jabar (AHD Maret
2011)
Uraian Maret April Mei Juni Juli Agus. Sept. Okt. Nov. Des. Rataan
H-prod 3500 3500 3500 3500 4000 4250 4500 4500 4600 4600 4045.00
IHT 100.00 100.00 100.00 100.00 114.29 121.43 128.57 128.57 131.43 131.43 115.57
Upah-TKP 23000 23500 24000 23250 22875 23250 23250 24000 24500 25000 23662.50
Upah-TKnP 60000 60000 58750 60000 60000 60000 60000 60000 60000 60000 59875.00
H-BnhJg 105000 105000 105000 103500 88000 167250 181333 183333 183333 183333 140508.20
H-Purea 2210 2210 2217 2310 2310 2310 2310 2310 2340 2370 2289.70
H-BrKon 39547 40454 39532 39853 39812 43193 46157 45540 47540 47307 42893.50
IHB 100.48 100.9 100.51 100.99 102.17 99.73 116.32 119.35 121.44 122.03 108.39
NTP 99.52 99.12 99.49 99.02 111.86 121.76 110.53 107.73 108.23 107.70 106.50
Tren (%) 0 -0.41 0.38 -0.48 12.97 8.85 -9.22 -2.54 0.46 -0.48 0.95

Sumber : Data Primer (diolah)

Tabel 2. Nilai Tukar Petani di Kabupaten Cirebon Jawa Barat 2011 (AHD
Desember 2010)
Cirebon Agregat (Jabar)1 Data Makro BPS (Jabar)2
Periode
IHB IHT NTP Tren IHB IHT NTP Tren IHB IHT NTP Tren
Januari 100 100 100 0 100 100 100 0 136.82 140.05 102.36 0
Februari 100.14 102.36 102.22 0.83 99.86 99.72 99.85 -0.74 137.05 140.48 102.50 0.14
Maret 101.07 95.93 94.92 -4.14 100.23 96.87 96.62 -1.13 136.89 141.07 103.05 0.54
April 101.37 97.64 96.32 1.80 100.00 98.13 98.11 0.80 136.12 140.34 103.10 0.05
Mei 102.76 103.16 100.39 1.56 100.96 98.94 98.07 0.14 136.17 141.15 103.65 0.53
Juni 105.14 105.64 100.48 0.70 102.32 103.38 101.11 1.85 142.20 104.30 137.05 32.22
Juli 105.71 117.57 111.22 4.62 103.29 109.80 106.30 2.35 137.05 143.56 104.75 -23.57
Agustus 105.94 115.71 109.18 -2.99 104.02 111.40 107.10 0.08 138.07 145.78 105.59 0.80
September 105.53 112.07 106.20 1.31 100.57 109.59 109.49 1.46 138.13 146.63 106.16 0.54
Oktober 106.82 115.21 107.87 -0.19 101.90 112.76 111.41 0.76 138.15 148.25 107.31 1.08
Nopember 110.90 119.00 107.31 0.84 102.93 108.79 106.19 -1.07 138.78 149.76 107.91 0.56
Desember 121.72 119.00 97.77 -0.68 104.40 110.46 106.59 1.19 139.48 150.88 108.17 0.24
AVR 105.59 108.61 102.82 0.3 101.71 104.99 103.4 0.47 137.91 141.02 107.63 1.19
MAX 121.72 119 111.22 4.62 104.4 112.76 111.4 2.35 142.2 150.88 137.05 32.22
MIN 100 95.93 94.92 -4.14 99.86 96.87 96.62 -1.13 136.12 104.3 102.36 -23.57
CV 36.116 75.919 28.916 5.092 2.758 35.918 24.83 1.274 2.882 148.77 90.187 158.12
STD 6.01 8.713 5.377 2.257 1.661 5.993 4.983 1.129 1.698 12.197 9.497 12.575

Sumber : Data Primer (diolah). Keterangan : 1 Sadikin I., at al. (2011), 2 : BPS
Jawa Barat (2012).

Gambar 1. Indeks Harga yang Dibayar/diterima Petani, Cirebonr, 2011

793
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sejalan dengan itu, data pada Tabel 2 menunjukkan indeks perkembangan


NTP di perdesaan Kabupaten Cirebon selama Januari-Desember 2011 dengan
memakai AHD-Desember 2010, juga relatif baik dengan tingkat stabilitas yang
agak mantap/moderat, yakni mencapai rata-rata sebesar 102,82 dengan laju
pertumbuhan 0,30 persen, dan nilai cv (koefisien variasi) sebesar 28,92 persen.

Bila dibandingkan dengan indeks NTP secara aggregat-mikro (8 lokasi


beragroekosistem lahan sawah dan lahan kering Jabar), dan dengan indeks NTP
aggregat-makro Jabar (BPS Jawa Barat, 2012), juga dengan NTP petani sayuran
di Kabupaten Bandung, memang nilai NTP di lokasi kajian Kab.Cirebon lebih
rendah, yakni masing-masing 102,82, 103,40, 107,63, dan 105,01-107,79
(Sadikin, I., 2012, Sadikin I., dan K.Subagyono, 2009). Tapi relatif lebih tinggi
daripada NTP di daerah perdesaan Kabupaten Garut, dan Kabupaten Ciamis
(agrosistem lahan kering), yakni masing-masing mencapai 102,82 vs.85,38 dan
99,11,dengan tingkat laju pertumbuhan 0,30 persen vs. -0,26 persen (Sadikin I.,
2013).

Kejadian nilai indeks NTP yang kurang mengembirakan di lokasi kajian


pada bulan Maret-April yang hanya mencapai 94,92-96,32. Ini berartiharga jual
produksi padi yang diterima petani reltif lebih rendahdaripadaharga-harga produk
komoditas barang konsumsi yang dibayar petani. Paling kurang ada dua faktor
penyebabnya, yakni pertama, pada sat itu terjadi over produksi karena terjadi
musim panen raya dan kualitas gabah juga kurang baik. Kedua,tingkat inefisiensi
usaha juga rendah, karena sekala usaha rendah dengan relatif sempitnya rata-
rata lahan garapan petani, sehingga insentif dan efektivitas kebijakan pemerintah
pun, menjadi kurang optimal. Meskipun hasil-hasil penelitian sebelumnya
menyatakan, NTP secara faktorial di Jabar juga cukup baik (Sudana atal., 2007,,
PSEKP. 2007). Dengan demikian, hasil kajian ini menegaskan, bahwa nilai tukar
petani ditingkat mikro-spesifik perdesaan di lokasi sentra produksi padi sawah di
Kabupaten Cirebon, yang memiliki jarak 60-70 km ke pusat pasar induk kota
Bandung, justru menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat petani lebih baik,
meskipun dengan stabilitas moderat dan agak timpang (94,92 vs 111,22).

Fakta lain yang berkaitan dengan fenomena tersebut, adalah kinerja NTP
di lokasi kajian pada tahun 2011, memang relatif lebih baik dan meningkat
dibandingkan dengan NTP (102,4) di lokasi yang sama pada tahun 2007 (Sadikin
atal., 2007) dan juga lebih baik dari NTP di perdesaan Kalimantan Barat, yaitu
90,82 dan 90,90 (Burhansyah R. dan Melia P. 2010). Hal ini mengindikasikan
bahwa, kebijakan Pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan di
perdesaan Kabupaten Cirebon, relatif cukup berhasil. Namun dalam kualitas
kesejahteraan tersebut, masih perlu ditingkatkan lagi, diantaranya melalui
perbaikan stabilitas harga-harga produksi yang diterima petani yang sekaligus
menjadi kekuatan daya tawar petani.

794
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

1. Kinerja indikator kesejahteraan petani dalam penelitian ini digambarkan oleh


Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) padi, menunjukkan bahwa, tingkat
kesejahteraan petani di wilayah lokasi desa Kendal dan Astanajapuradi
Kabupaten Cirebon pada tahun 2011 tergolong relatif cukup tinggi, dengan
pertumbuhan positif.
2. Perkembangan indeks NTP yang mencapai 102,82 sampai 106,50 dengan laju
pertumbuhan 0,30% sampai 0,95% per bulan, berarti tingkat kesejahteraan
petani dikedua desa lokasi perdesaan Kabupaten Cirebon-Jawa Barat pada
tahun 2011termasuk kategori baikdancukup stabil, dengan variabilitas moderat
(28,92%).
SARAN

Berdasarkan kinerja indikator kesejahteraan petani di wilayah sentra


produksi beras di Kabupaten Cirebon yang mengindikasikan derajat cukup baik.
Itu baru sebatas kuantitas. Karena itu untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
kesejahteraan petani di masa depan, masih diperlukan akselerasi program
revitalisasipertanian, terutama dalam perbaikan struktur pemilikan lahan usaha
(reforma agraria) dan pentingnya pemihahakandan perlindungan petani, agar
tercipta “kesama-rataan” distribusi pendapatan berdasarkan proporsional
korbanan waktu dan modal investasi. Diantaranya melalui terobosan kebijakan
peningkatan stabilitas harga hasil produksiyang diterima petani lebih cepat,
minimal seiring dengan tingkat percepatan kenaikan harga-harga barang
konsumsiyang dibayar petani.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Z., Idris dan Amiruddin S. 2005. Pembangunan Pertanian: Dinamika Nilai
Tukar Usahatani Padi Sawah di Sulawesi Tenggara. Jurnal Sosial-
Ekonomi Pertanian. SOCA Vo.5. No.3. November 2005. Fakultas
Pertanian Universitas Udayana, Bali. p.261-266.
Arifin Bustanul. 2000. Pembangunan Pertanian: Paradigma. Kinerja dan Opsi
Kebijakan. Pustaka Indef. Jakarta.
BPS. 2012. Perkembangan Nilai Tukar Petani, Harga Produsen Gabah Dan Upah
Buruh Februari 2012. http://www.bps. go.id/sector/ntp/tables /ID=689).
Diakses 8 November 2012.
BPS. 2012a.Indeks Harga Yang Diterima Petani (It), Indeks Harga Yang Dibayar
Petani (Ib), dan Nilai Tukar Petani (NTP), Serta Perubahannya, Tahun
2011.http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_su
byek =22& notab=13. Diakses 10 Jan. 2012.
BPS. 2011. Nilai Tukar Petani Provinsi dan Persentase Perubahannya Juni 2011
(2007=100). http://www.bps.go.id/sector/ntp/tables. Diakses 8-11-
2011.
Burhansyah R. dan Melia P. 2010. Kinerja Usahatani Padi dan Indikator
Kesejahteraan Petani di Sentra Produksi Padi Kab. Kubu Raya.
DalamKedi Suradisastra, at al. (Peny.). Prosiding Seminar Nasional
"Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan
Petani" 2010. PSEKP, Bogor. P.304-323.

795
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. 2014. Laporan Tahunan Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat.
Irawan Bambang. 2004. Kelembagaan Program Rintisan dan Akselerasi
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Dalam
Edi Basuno, dkk.(Peny.). Aspek Kelembagaan dan Aplikasi Dalam
Pembangunan Pertanian. Monograph Series No. 25. PSEKP. Bogor.
Nurmanaf A.R., atal. 2005. Laporan Penelitian PATANAS: Dinamika Sosial
Ekonomi Rumahtangga dan Masyarakat Pedesaan: Analisis
Profitabilitas Usahatani dan Dinamika Harga dan Upah Pertanian.
PSEKP. Bogor.
PSEKP. 2007. Laporan Penelitian PATANAS: Dinamika Sosial Ekonomi
Rumahtangga dan Masyarakat Pedesaan: Analisis Indikator
Pembangunan Ekonomi Perdesaan. Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Rachmat, Muchjidin, Jeferson Situmorang, Supriati dan D. Hidayat. 1999.
Perumusan Kebijakan Nilai Tukar Petani dan Komoditas Pertanian.
Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Rachmat M. 2000. Analisis Nilai Tukar Petani Indonesia. Disertasi. Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Sadikin, I. 2013. Kinerja Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Dua Desa
Kabupaten Garut-Jawa Barat. AGROS Jurnal Ilmiah Ilmu Pertanian. Vol.
15, No. 2. Fakultas Pertanian Universitas Janabadra. Yogyakarta,
p.123-136.
Sadikin, I. 2012. Kinerja Kesejahteraan Petani Sayuran di Kabupaten Bandung
Jawa Barat. ProsidingSeminar Nasional "Kemandirian Pangan".FTIP
UNPAD-BPTP -DRD Jawa Barat. Bandung. p.480-492.
Sadikin, I.,at al. 2011. Analisi Kebijakan Pembangunan Pertanian di Jawa Barat.BPTP
Jawa Barat. Laporan Akhir Tahuan Pengkajian ANJAK.
Sadikin I., dan Kasdi Subagyono. 2009. Kinerja Beberapa Indikator Kesejahteraan
Petani Padi di Pedesaan Kabupaten Karawang. ProsidingSeminar
Nasional "Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan:
Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani".
PSEKP. Bogor. p.183-196.
Sadikin I, I.Djatnika, N.Sunandar, D.Firdaus, S.Tedy dan S.P.Tarigan. 2007.
Pengkajian Indikator Pembangunan Ekonomi Pedesaan Jawa Barat.
Laporan Akhir Penelitian. BPTP Jawa Barat. Badan Litbang Pertanian.
Bandung.
Simatupang Pantjar. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor
Pertanian. Jurnal Argro Ekonomi. Vol.11, No.1, Mei. 1992. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
p.37-50.
Simatupang Pantjar. 2005. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan
Sistem dan Usaha Agribisnis Industrial. Paper Disampaikan pada
Seminar Nasional BPTP NTT. 13 -15 Juni. 2005. Ende.
Sudana W., S.Mardianto, M.Mardiharini, E.Jamal, K.Kariyasa, Sumedi, Y.Anggita,
E.Asriyana, L.M. Lena, Istriningsih dan A.Murtiningsih. 2007. Laporan
Akhir Kajian Pembangunan Wilayah Pedesaan. BBP2TP. Bogor.
Supriyati, M. Rachmat, K. Suci, T. Nurasa, R.E. Manurung dan R. Sajuti. 2001.
Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Laporan
Akhir Penelitian. PSEKP. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.

796
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANALISIS RESPON PRODUKSI PADI SAWAH DI KABUPATEN SERANG


PROVINSI BANTEN

1)
Viktor Siagian,,1)Muchamad Yusron dan 2)Lermansius Haloho
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten
Jl. Ciptayasa Km 01 Ciruas- Kab. Serang,
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A.H Nasution No.1 B Medan Sumatera Utara
Email: siagian.vicky@yahoo.com

ABSTRAK

Kabupaten Serang memiliki luas panen padi tahun 2104 seluas 79.879
ha, dan produksi sebesar 433.745 ton gkg atau produktivitas 5,4 ton gkg/ha.
Tujuan dari kajian ini adalah: 1) Mengetahui perkembangan usahatani padi sawah
di Kabupaten (Kab.) Serang, 2) Mengetahui respon produksi padi sawah
terhadap perubahan faktor-faktor produksi di Kab. Serang, 3) Mengetahui
pendapatan rumah tangga petani. Metoda pengambilan contoh menggunakan
simple random sampling dengan jumlah 30 responden. Metode analisis
menggunakan analisis tabulasi deskriptif dan regresi logaritmalinier berganda.
Hasil dari kajian adalah: 1) Pola tanam sebagian besar padi –padi –
bera.Produktivitas padi sawah pada MH 2013/2014 rata-rata 6,4 ton gkp/ha.
Usahatani padi sawah pada MH 2013/2014 memiliki nilai B/C rasio 2,2, artinya
menguntungkan secara finansial, 2) Produksi padi sawah dipengaruhi secara
nyata oleh Jumlah Penggunaan Pupuk Urea, Jumlah Penggunaan Zat
Perangsang Tumbuh Padat, Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja Sewa, dan
Pendapatan Rumah Tangga Petani, dan keempatnya bersifat in elastis, artinya
Produksi padi sawah tidak responsif terhadap perubahan keempat faktor produksi
tersebut, 3) Tingkat pendapatan rumah tangga petani sebesar Rp
29.030.330/tahun dimana Rp 20.673.663 (71,2%) dari on farm dan 28,8% dari off
farm dan non farm. Pemerintah perlu meningkatkan produksi padi melalui
introdusir VUB (Varitas Unggu Baru) dan rehabilitasi jaringan irigasi.
Kata kunci: analisis respon, padi sawah, produksi, Kabupaten Serang.

PENDAHULUAN

Pada tahun 2013 luas lahan sawah di Kabupaten Serang seluas 51.510
ha dan bukan sawah seluas 74.539 ha. Luas lahan sawah berdasarkan
pengairannya adalah: sawah irigasi teknis seluas 16.158 ha, setengah teknis
5.380 ha, irigasi sederhana 4.076 ha, irigasi sederhana non PU seluas 10.173,
tadah hujan seluas 15.104 ha, pasang surut, rawa, folder dan lainnya seluas 620
ha (BPS, Kabupaten Serang 2014). Produksi tanaman padi pada tahun 2013
sebesar 433.745 t dengan luas panen 79.879 ha atau produktivitas 5,4 t/ha GKG
(BPS, Kabupaten Serang 2014).

Menurut Soekartawi (2002), faktor- faktor produksi pendukung produksi


adalah lahan, modal, tenaga kerja dan manajemen. Disebutkan juga untuk
menganalisis hubungan antara faktor produksi dengan produksi digunakan fungsi

797
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

produksi. Analisis fungsi produksi penting digunakan karena untuk mengetahui


bagaimana sumber daya yang terbatas dapat menghasilkan produksi yang
maksimun.

Tujuan kajian ini adalah: 1) untuk mengetahui pola usahatani dan analisis
usahatani padi sawah di Kab. Serang, Provinsi Banten, 2) untuk mengetahui
faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi padi sawah pada MH
2013/2014 di Kabupaten Serang, Provinsi Banten dan respon produksi terhadap
perubahan factor-faktor produksi, 3) pendapatan rumah tangga petani di Kab.
Serang, Provinsi Banten.

BAHAN DAN METODE

Kajian ini dilaksanakan di Kabupaten Serang. Lokasi dipilih secara sengaja


(purposive) karena merupakan salah satu produsen padi di Provinsi Banten.
Kecamatan terpilih yang mewakili sawah irigasi teknis adalah Kecamatan
Carenang dan desa contoh adalah Desa Panenjoan. Waktu kajian mulai
berlangsung delapan bulan mulai bulan Januari – Oktober 2014 (Siagian
dkk,2014). Berdasarkan jenisnya, data yang akan dikumpulkan dalam kajian ini
meliputi data primer (wawancara dengan petani responden) dan sekunder
(mendatangi instansi terkait dan studi literatur). Metode pengambilan contoh
menggunakan penarikan secara acak sederhana (simple random sampling), hal
ini dilakukan karena petani responden umumnya homogen yakni petani
penggarap padi sawah. Jumlah responden yang dipilih sebanyak 30 orang.

Analisis data yang akan digunakan dalam kajian ini adalah analisis
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif menggunakan tabulasi yang
diinterpretasikan secara deskriptif. Analisis kuantitatif menggunakan regresi
logaritma linear berganda.

Untuk mengetahui respon produksi padi sawah terhadap faktor-


faktorproduksi padi digunakan persamaan log linier berganda (Soekartawi, 2002).
Persamaan ini untuk melihat hubungan antara variabel independen atau
explanatory variables (LGRP1, JBES1, JURE1) dengan variabel tidak bebas atau
dependent variable PRDKT1 (Koutsoyiannis,1978). Adapun persamaan
produksinya adalah sebagai berikut:

Ln PRODKT1 = a0 + a1 Ln JBES1 + a2 Ln JURE1 +a3Ln JSP361 + a4 Ln JNPK1


+a5Ln JZA1 + a6Ln JUPDC1 + a7 Ln ZPTP1 + a8Ln ZPTC+a9 Ln JTKDK1 + a10Ln
JTKSW1 +a11 Ln LGRP1+ a12 Ln INCHHF + e

Dimana:
PRODKT1 = Produksi kotor padi gabah kering panen (kg).
JBES1 = Jumlah Benih Bersertifikat(kg)
JURE1 = Jumlah Penggunaan Urea (kg)
JSP361 = Jumlah Penggunaan Pupuk SP-36 (kg)
JNPK1 = Jumlah Penggunaan Pupuk NPK (kg).

798
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

JZA1 = Jumlah Penggunaan Pupuk ZA (kg).


JPUDC1 = Jumlah Penggunaan Pupuk daun Cair (kg)
JZPTP1 = Jumlah Penggunaan Zat Perangsang Tumbuh Padat (kg)
JZPTC1 = Jumlah Penggunaan Zat Perangsang Tumbuh Cair (ltr)Δ
JTKDK1 = Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga (HOK)
JTKSW1 = Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja Sewa (HOK)
LGRP1 = Luas Lahan Garap (Ha).
INCHHF = Pendapatan Rumah Tangga petani (Rp/tahun)
e = Variabel Pengganggu.
Tanda parameter yang diharapkan: a 1, a2, a3, a4, a5, a6, a7, a8 , a9, a10, a11, a12> 0;

Koefisien regresi dari fungsi log linier adalah menggambarkan elastisitas


(keresponsifan/kesensitifan). Data yang ada diolah dengan program komputer
Excel 2013 dan analisis data menggunakan program SPSS 21.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Wilayah Survei

Desa contoh dalam pengkajian ini adalah Desa Panenjoan, Kec. Carenang
yang merupakan dominan sawah irigasi teknis dengan sumber air dari daerah
irigasi Ciujung. Luas sawah di Kec. Carenang adalah 2.200 ha. Pada umumnya
musim tanam kemarau dibantu dengan pompa air karena debit air daerah irigasi.
Ciujung yang tidak mencukupi. Letak desa ± 25 km dari kota Serang dan terletak
di tepi jalan raya Carenang – Kragilan. Topografi desa datar. Luas desa 215,56
ha terdiri sawah irigasi teknis dan tadah hujan seluas 210 ha dan sisanya lahan
darat yang umumnya untuk perumahan.

Karateristik Responden

Karakteristik rumah tangga petani responden adalah jumlah anggota


rumah tangga rata-rata 4,9 jiwa dengan kisaran 2 – 7 orang per keluarga, umur
kepala keluarga rata-rata 42,1 tahun dengan kisaran 29 – 63 tahun, lama
pendidikan rata-rata 8,1 tahun dengan kisaran 6 – 16 tahun, artinya tingkat
pendidikan responden setara dengan kelas 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP). Pekerjaan utama adalah petani.

Pola Usahatani dan Analisis Usahatani Padi Sawah

Varitas yang ditanam 100% adalah Ciherang. Pola tanam adalah padi
–padi–bera. Tanam Musim Hujan 2013 – 2014 umumnya bulan
Nopember/Desember 2013 dan panen bulan Maret/April. Dari hasil survei dapat
diketahui analisis usahatani padi sawah,dimana produksi padi rata-rata 6,4 ton
gkp/ha, dengan harga jual Rp 3.520/kg sehingga diperoleh Penerimaan Rp 22,54
juta. Biaya total sebesar Rp 6,96 juta sehingga Pendapatan sebesar Rp 15,58
juta/ha. Sebagian besar biaya produksi berasal dari sub biaya tenaga kerja
dengan total Rp 4.705.913/ha (67,6%). Sehingga nilai B/C rasio diperoleh 2,2

799
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

artinya usahatani ini sangat menguntungkan, setiap penambahan biaya Rp 10


akan menambah pendapatan sebesar Rp 22.

Respon Produksi Padi Sawah terhadap Perubahan Faktor-faktor Produksi


di Kabupaten Serang

Untuk mengetahui respon produksi padi sawah terhadap perubahan


faktor-faktor produksi dilakukan pengujian regresi log linier melalui persamaan
dugaan Produksi Padi Sawah pada MH 2013/2014 seperti yang tertera pada
Tabel 1.

Tabel 1. Hasil dugaan persamaan produksi padi sawah pada MH 2013/2014 di


Kabupaten Serang Provinsi Banten
Parameter Taraf
Peubah Simbol t-hitung
Dugaan nyata
Intersep a1 -3,622 -0,993 0,337

Jumlah Penggunaan Benih JBES1 -0,021 -1,314 0,209


Bersertifikat
Jumlah Penggunaan Urea JURE1 0,337 1,784 0,095
Jumlah Penggunaan SP-36 JSP361 -0,019 -1,163 0,263
Jumlah Penggunaan NPK JNPK1 6,522E-005 0,037 0,971
Jumlah Penggunaan ZA JZA1 -0,045 -0, 998 0,334
Jumlah Pupuk Daun Cair JPUDC1 -0,016 -0,899 0,383
Jumlah Penggunaan Zat JZPTP1 0,052 1,758 0,099
Perangsang Tumbuh Padat
Jumlah Penggunaan Zat JZPTC1 -0,024 -1,017 0,325
perangsang Tumbuh Cair
Jumlah Penggunaan Tenaga JTKDK1 0,022 0,866 0,400
Kerja Keluarga
Jumlah Penggunaan Tenaga JTKSW1 0,691 2,959 0,010
Kerja Sewa
Luas Lahan Garap LGRP1 -0,101 -0,308 0,762
Pendapatan Rumah Tangga INCHHF 0,422 1,933 0,072
Petani
R2 0,871
F 8,405 <.0001
Sumber: Data primer, diolah 2015.

Berdasarkan Tabel 1 diatas diketahui bahwa variabel-variabel penjelas


yang mempengaruhi produksi padi sawah pada MH 2013/2014 secara signifikan
adalah Jumlah Penggunaan Pupuk Urea (JURE1), Jumlah Penggunaan Zat
Perangsang Tumbuh padat (JZPTP1), Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja Sewa
(JTKSW1), Pendapatan Rumah Tangga petani (INCHHF).

Variabel Produksi Padi sawah (PRODKT1) kurang responsif terhadap


perubahan Jumlah penggunaan Urea (JURE1) dengan nilai elastisitas produksi
0,337, artinya setiap kenaikan jumlah Urea sebesar 1% akan meningkatkan
produksi padi sawah sebesar 0,3% pada tingkat keyakinan 90%.

Variabel Produksi padi sawah kurang responsif terhadap perubahan Jumlah


penggunaan Zat Perangsang Tumbuh Padat (JZPTP1) dengan nilai elastisitas

800
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

produksi0,052, artinya setiap kenaikan Jumlah penggunaan Zat Perangsang


Tumbuh Padat sebesar 1% akan meningkatkan produksi padi sawah sebesar
0,05% pada taraf kepercayaan 90%. Produksi padi sawah kurang responsif
(bersifat inelastis) terhadap perubahan keempat variabel di atas, karena nilai
elastisitasnya < │1 │.

Pendapatan Rumah Tangga Petani

Pendapatan rumah tangga responden petani di Desa Penonjoan, Kec.


Carenang rata-rata Rp 29.030.330/tahun. Dengan jumlah rata-rata per rumah
tangga sebesar 4,9 jiwa maka pendapatan per kapita sebesar Rp 5.924.557/tahun.
Jika dibandingkan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
Provinsi Banten tahun 2013 sebesar Rp 21.353.000 maka pendapatan per kapita
di atas lebih rendah 72% (BPS Banten, 2014).

KESIMPULAN
1. Pola tanam umumnya padi – padi – bera dengan nilai B/C rasio 2,2, artinya
usahatani padi sawah menguntungkan secara finansial. Varitas yang
dibudidayakan seluruhnya Ciherang. Produktivitas padi sawah rata-rata
6,4 ton gkp/ha pada MH 2013/2014 dan 5,2 ton gkp/ha pada MK – I 2013.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan produksi padi sawah
pada Musim Hujan 2013/2014 adalah: Jumlah Penggunaan Pupuk Urea
(JURE1),Jumlah Penggunaan Zat Perangsang Tumbuh Padat (JZPTP1),
Jumlah Penggunaan Tenaga Kerja Sewa (JTKSW1), dan Pendapatan
Rumah Tangga petani (INCHHF). Produksi padi sawah tidak responsif
terhadap perubahan keempat faktor produksi di atas.
3. Pendapatan rumah tangga petani rata-rata Rp 29.030.330/tahun dan
pendapatan per kapita sebesar Rp 5.924.557/tahun.

SARAN

Pemerintah perlu meningkatkan produksi padi melalui introdusir VUB (Varietas


Unggul Baru) dan rehabilitasi jaringan irigasi agar air mencukupi pada Musim
Kemarau.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Provinsi Banten 2014, Banten Dalam Angka 2014Serang.
Provinsi Banten
Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang 2014. Kabupaten Serang Dalam Angka
2014, Serang. Provinsi Banten
Koutsoyiannis, A., 1978. Theory of Econometrics. Harper and Row Publishers,
Inc., Great Britain.
Soekartawi, 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi. PT Radja
Grafindo Persada, Jakarta.

801
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Siagian, V., Iin Setyowati, Rina Sintawati, Dewi Widiastuti, dan Tian Mulyaqin,
2014. Dampak Kenaikan Harga Input dan Output terhadap Produksi Padi
dan Pendapatan Petani di Provinsi Banten. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Banten, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, Bogor.
Singarimbun, M, dan Sofyan Effendy, 1989. Metode Penelitian Survai.
Penerbit LP3ES, Jakarta.

DISKUSI

Nama Penanya : Borbor Harahap (PPSDM)

Pertanyaan :

1. Pola tanaman padi di kabupaten Serang menghasilkan produksi 6,4 ton/ha, Bc


– 2,2 yang artinya menguntungkan secara finansial, apakah produksi padi
sawah kita yang produksi hanya 6,4 ton/ha dapat dikatakan berhasil atau
sudah baik ?
2. Kenapa produksi petani kita tidak bisa mencapai 9 – 12 ton/ha walaupun
sudah melaksanakan PTT ?

Jawaban :

1. Produksi padi dipengaruhi oleh berbagai faktor : kondisi lahan, air, benih,
pupuk, pestisida, dll yang saling mempengaruhi. Pada kondisi sarana produksi
terbatas produksi petani misalnya 6,4 ton tentu menguntungkan petani dan
dikatakan berhasil. Disisi lain penggunan input maksimal mungkin dengan
produksi 7 ton masih belum menguntungkan dan belum berhasil jadi
tergantung kondisi yang ada.
2. Pendekatan PTT padi adalah pertanaman padi dengan menerapkan
komponen utama dan komponen pilihan. Namun kenyataannya petani belum
menerapkan PTT secara benar, misalnya sistem tanam jajar legowo 2 :1, yang
belum diterapkan secara sempurna sehingga peningkatan populasi padi tidak
tercapai.

802
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGARUH PERILAKU PETANI TERHADAP TINGKAT PENERAPAN


TEKNOLOGI PERANGKAT UJI TANAH SAWAH (PUTS) DI DESA MANGGA
KECAMATAN TANJUNG BERINGIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Putri Nirwana Sari

Balai PengkajianTeknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H Nasution No 1B, Medan Sumatera Utara
Email: iput_81@yahoo.com

ABSTRAK

Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) merupakan suatu perangkat untuk


mengukur status hara P, K dan pH tanah yang dapat dilakukan secara langsung
dilapangan dengan relatif cepat, mudah dan akurat untuk spesifik lokasi. Studi
kasus pengaruh perilaku petani terhadap tingkat penerapan teknologi
dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 bertempat di Desa Mangga Dua,
Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera
Utara. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (purposive random
sampling) terhadap 30 orang petani. Pengolahan data menggunakan metode
pengolahan Statitical Package for Social Science (SPSS) kategori Kasus K sample
Independen, Test Chi Square Test (X²). Hasil survey bahwa terdapat hubungan
antara pengaruh perilaku petani terhadap tingkat penerapan PUTS. Aspek
pengetahuan petani terhadap PUTS menunjukkan bahwa terdapat 1 orang (3,3%)
yang menyatakan sangat tahu, 9 orang (30%) tahu, 12 orang (40%) kurang tahu
dan 8 orang (26,6%) tidak tahu. Aspek sikap petani terhadap penggunaan PUTS
terdapat 5 orang (16,6%) yang menyatakan sangat setuju, 22 orang (73,3%)
setuju, 3 orang (10%) kurang setuju dan tidak ada menyatakan tidak setuju dengan
penggunaan PUTS. Selanjutnya pada aspek keterampilan (skill) responden
terhadap penggunaan PUTS menunjukkan terdapat 9 orang (30%) yang
menyatakan terampil, 13 orang (43,3%) kurang terampil, 8 orang (26,6%) tidak
terampil dan tidak ada responden yang sangat terampil.

Kata Kunci: Perilaku petani,Penerapan Teknologi, PUTS

PENDAHULUAN

Dalam rangka pencapaian swasembada pangan di Indonesia Kementerian


Pertanian telah memprioritaskan program Upaya Khusus komoditas Padi, Jagung
dan Kedelai pada tahun 2015. Guna mewujudkan swasembada pangan dengan
target tiga tahun kedepan, Kementerian Pertanian telah menetapkan target
produksi padi nasional sebesar 73,40 juta ton dan Sumatera Utara berkontribusi
sebesar 1 juta ton dalam pencapaian target produksi nasional tersebut. Untuk
pencapaian target produksi 1 juta ton, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara
telah menetapkan target luas tanam setiap Kabupaten/Kota di wilayah Sumatera
Utara sebagai indikator pencapaian target produksi di Sumatera Utara tahun 2015.

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu sentra produksi padi


di wilayah Sumatera Utara, pada tahun 2015 mendapatkan target produksi
469.332 ton dengan luas tanam 76.385 ha. Berdasarkan data BPSProvinsi tahun

803
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

2013 bahwa tingkat produksi Serdang Bedagai meningkat sebesar 5,25%


dibandingkan tahun 2012, yaitu sebesar 374.217 ton dengan provitas 54,32
menjadi 394.978 ton dengan provitas 55,02. Secara geografis Serdang Bedagai
terletak pada ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut dengan curah hujan 15
- 438 mm per bulan. Luas wilayah Serdang Bedagai 1.736,536 Km², terdiri dari 17
Kecamatan, 237 Desa dan 6 Kelurahan. Data BPS Serdang Bedagai tahun 2013
bahwa luas sawah 49.070,4 ha terbagi atas sawah teknis 3.338 ha, sawah ½
teknis 21,260,5 ha, lahan sawah non PU 7.226 ha, sawah tadah hujan 8.182,9
ha dan rawa 1.171 ha.

Dalam rangka pencapaian target swasembada serta pencapaian sasaran


utama pembangunan pertanian di Serdang Bedagai tahun 2015 telah dilakukan
upaya peningkatan sektor pertanian diantaranya (1) Pengembangan infrastruktur,
perbaikan jaringan irigasi desa (JITUT) tata air mikro, (2) Penguatan kelembagaan
yaitu pembentukan/pengaktifan kelompok tani (Poktan) dan Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan). Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan(PUAP). (3)
Pengembangan penyuluh melalui peningkatan sumberdaya manusia penyuluh
dan sistem penyuluh pertanian melalui pengembangan magang, sekolah lapang
dan studi banding. (4) Pengembangan fasilitas pembiayaan Program Usaha
Agribisnis Pedesaan (PUAP), pompanisasi, jalan usaha tani, Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), (Programa BP2KP Serdang Bedagai
2015).

Berkaitan upaya tersebut proses diseminasi melalui kegiatan penyuluhan


memegang peranan penting dalam upaya pencapaian target produksi dan sasaran
pembangunan pertanian di Serdang Bedagai. Kontribusi penyuluhan pertanian
untuk meningkatkan pembangunan pertanian dan peningkatan produksi pangan
telah menyebabkan cepatnya perkembangan minat orang dalam penyuluhan
selama beberapa dekade terakhir (Van den Ban dan Hawkins dalam Sadono,
2009). Dalam konteks penyuluhan, perilaku merupakan pola bertindak yang
dilandasi dengan adanya pengetahuan, keterampilan dan sikap. Perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap rangsangan dari luar
(stimulus) dan perilaku itu terjadi melalui proses setelah adanya stimulus terhadap
organisme yang kemudian organisme tersebut merespon. Respon pada
seseorang dapat terjadi karena reaksi terhadap stimulus berasal dari luar maupun
dari dalam dirinya sendiri, respon pada seseorang dapat bersifat pasif tanpa
adanya tindakan, berpikir, berpendapat, bersikap maupun respon aktif dalam
melakukan tindakan.

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi tentunya bukanlah hal yang


baru diterapkan di Serdang Bedagai, sejalan dengan tuntutan revolusi hijau yang
lebih mengedepankan pelestarian sumber daya alam serta berkontribusi dalam
peningkatan pendapatan petani sehinggakegiatan penelitian, kajian serta demplot
PTT padi terus dilakukan. Rekomendasi pemupukan berdasarkan status hara
tanah spesifik lokasi sangat dianjurkan sebagaimana yang telah diatur dalam
Permentan nomor 40/Permentan/OT.140/04/2007. Menurut Yusuf dan Akmal
(2011) bahwa pengukuran status hara N, P, K dan pH tanah dapat dilakukan

804
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

secara langsung di lapangan dengan relatif cepat, mudah dan akurat. Perangkat
Uji Tanah Sawah (PUTS) terdiri dari pelarut atau pereaksi N,P,K dan pH tanah
serta peralatan pendukungnya.

BAHAN DAN METODE

Survei dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 di Desa Mangga Dua,


Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera
Utara. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (purposive random
sampling) terhadap 30 orang petani.Jenis data yang digunakan merupakan data
ordinal, data ordinal diperoleh dengan cara kategorisasi atau klasifikasi, diantara
data tersebut terdapat hubungan, dengan ciri posisi data tidak setara atau
mengandung gradasi dan tidak bisa dilakukan operasi matematis. Data yang di
peroleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan Statitical Package for
Social Science (SPSS) kategori Kasus K Sample Independen, Test Chi Square
Test (X²).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Kecamatan Tanjung Beringin terdiri dari 8 Desa dengan jumlah penduduk


44.824 orang, terdiri dari 22.668 orang laki-laki dan 21.734 orang perempuan.
Penduduk Desa Mangga 4.570 orang yang terdiri 2.084 orang laki-laki dan 2.366
orang perempuan, sekitar 1.021 penduduk bermata pencaharian di sektor
pertanian dengan mengelola luas sawah 434 ha. Jumlah penduduk berdasarkan
mata pencaharian di Tanjung Beringin terdiri dari nelayan, pegawai, petani, buruh
tani, pedagang dan buruh bangunan. Sektor pertanian merupakan sektor utama
di Kecamatan ini, terdapat 57, 67 persen penduduk berprofesi sebagai petani.
Penduduk Desa Mangga dua sebanyak 1.021 kepala keluarga sebagai petani.
Berdasarkan potensi luas lahan, Desa Mangga Dua memiliki luas lahan sawah 434
Ha dan lahan kering 189. Luas sawah terbagi atas sawah irigasi 40 ha dan sawah
pompanisasi 393 ha, (Programa BPKP Tanjung Beringin,2014).

Hasil wawancara langsung kepada 30 responden menunjukkan bahwa


usia 36 – 50 tahun 18 orang ( 60 %), usia 22-35 tahun 8 orang (26,7%) dan usia
51- 70 tahun 4 orang (13,3 %). Persentase tertinggi terdapat pada usia produktif.
yaitu 36-50 tahun. Keragaan karakteristik responden berdasarkan umur di sajikan
pada Tabel 1.

Tabel 1. Keragaan karakteristik respoden berdasarkan umur di Desa Mangga


Dua Kecamatan Tanjung Beringing Kabupaten Deli Serdang Tahun
2015
Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)
22 – 35 8 26.7
36 – 50 18 60
51 -70 4 13.3

805
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tingkat pendidikan responden pada Tabel 2 menunjukkan yang


berpendidikan SMP mendominasi 63,3 % atau 19 orang, sedangkan SMA 13,3 %
atau 4 orang dan SD berjumlah7 orang (23,3%). Pendidikan sangat
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan komunikasi responden dalam
menerapkan PUTS.

Tabel 2. Keragaan karakteristik respoden berdasarkan pendidikan di Desa


Mangga Dua Kecamatan Tanjung Beringing Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2015
Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)
SD 7 23,3
SMP 19 63,3
SMA 4 13,3

Keragaan karakteristik kepemilikan lahan sawah disajkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Keragaan karakteristik respoden berdasarkan kepemilikan lahan Desa


Mangga Dua Kecamatan Tanjung Beringing Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2015
Kepemilikan Lahan Jumlah (orang) Persentase (%)
Milik sendiri 23 76,67
Sewa 7 23,3

Tabel diatas menunjukkan bahwa kegiatan penanaman padi yang


dilakukan petani dilahan sendiri 23 orang (76,7 %) sedangkan penanaman padi
yang dilakukan petani yang lahan terdapat 7 orang (23,3 %). Keragaan
kepemilikan lahan mempengaruhi penerapan PUTS. Pada umumnya petani yang
melakukan pertananaman padi di lahan sendiri lebih banyak menerapkan PUTS
dibandingkan dengan petani yang menyewa lahan, karena sebagian besar petani
penyewa lahan di Desa Mangga Dua merupakan petani penggarap yang kurang
peduli terhadap tingkat produktivitas dan kesuburan tanah di lahan garapannya.

Keragaan tingkat pengetahuan petani terhadap penerapan PUTS

Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) merupakan salah satu alat bantu bagi
petani untuk menentukan rekomendasi pemupukan N, P,K dan pH tanah pada
padi sawah secara spesifik lokasi. Pemberian pupuk secara tepat dan tidak
berlebihan akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani,
keberlanjutan sistem produksi dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Gambar 1
menunjukan persentase aspek pengetahuan petani terhadap PUTS, sebesar 3,3
% atau1 orang petani yang menyatakan sangat tahu, tahu 9 petani (30%), 12
petani (40%) kurang tahu dan tidak tahu 8 orang (26,6%). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa resonden yang kurang tahu lebih dominan, setelah dilakukan
penggalian informasi secara mendalam petani mengatakan bahwa selama ini
petani kurang mendapatkan informasi tentang penggunaan dan manfaat
rekomendasi pemupukan menggunakan PUTS. Pengetahuan terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dikarenakan

806
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

masih rendahnya pengetahuan petani terhadap manfaat PUTS maka masih


banyak petani Desa Mangga Dua yang belum melakukan pemberian pupuk sesuai
dosis yang dianjurkan.

Aspek Pengetahuan
3,33%

26,67 % 30 % Sangat Tahu


Tahu
Kurang tau
Tidak tahu

40 %

Gambar 1. Persentase keragaan tingkat pengetahuan petani terhadap


penerapan PUTS
Berdasarkan pengolahan data SPSS Test Chi Square (X²) dengan nilai ɑ
= 0.05, menunjukkan bahwa nilai Chi Square (X²) tabel bernilai 0.000 sedangkan
nilai Chi Square (X²) hitung bernilai 0.090 sehingga Chi Square (X²) tabel lebih
kecil dari Chi Square (X²) hitung sehingga hipotesis Ho ditolak yang artinya bahwa
terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan responden terhadap tingkat
penerapan, semakin tinggi pengetahuan responden terhadap PUTS, maka tingkat
penerapannya di lapangan semakin meningkat dan sebaliknya jika tingkat
pengetahuan responden rendah terhadap PUTS maka tingkat penerapan
responden terhadap penerapan juga rendah.

Keragaan tingkat sikap petani terhadap penerapan PUTS

Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan juga


merupakan pelaksanaan motif tertentu, menurut Kerlinger (2004) sikap merupakan
pendapat maupun pandangan seseorang tentang suatu objek yang mendahului
tindakanya, sikap tidak mungkin terbentuk sebelum mendapat informasi, melihat
atau mengalami sendiri suatu objek. Dari hasil survey bahwa tingkat sikap
responden terhadap penerapan PUTS kategori sangat setuju 5 orang (16,6%),
setuju 22 orang (73,33%), kurang setuju 3 orang (10%) dan tidak ada responden
yang tidak setuju dengan penerapan PUTS (Gambar 2). Berdasarkan keragaan
tingkat usia, pendidikan dan kepemilikan lahan responden maka sangat wajar
responden mengisi aspek sikap kategori setuju lebih dominan, pemupukan sesuai
spesifik lokasi dengan menggunakan PUTS akan lebih mudah diterima oleh petani
yang berumur produktif, tingkat pendidikan memadai dan petani yang milik lahan
sendiri.

807
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Aspek Sikap
10 % -
16,67 %
Sangat Setuju
setuju
Kurang Setuju
Tidak setuju

73,33 %

Gambar 2. Persentase keragaan tingkatsikap petani terhadap penerapan PUTS

Sesuai pengolahan data menggunakan SPSS Test Chi Square (X²) dengan
nilai ɑ = 0.05 menunjukkan bahwa nilai Chi Square (X²) tabel bernilai 0.000
sedangkan nilai Chi Square (X²) hitung bernilai 0.060 sehingga Chi Square (X²)
tabel lebih kecil dari Chi Square (X²) hitung maka hipotesis Ho ditolak yang artinya
terdapat hubungan antara tingkat sikap responden terhadap tingkat penerapan,
semakin tinggi sikap petani terhadap penerapan PUTS, maka tingkat
penerapannya di lapangan juga semakin meningkat dan sebaliknya semakin
rendah pengetahuan petani terhadap PUTS maka tingkat penerapan PUTS oleh
petani juga rendah.

Keragaan tingkat keterampilan petani terhadap penerapan PUTS

Keterampilan merupakan realisasi dari pengetahuan dan sikap berupa


perbuatan nyata, dimana terdapat gerakan atau perbuatan dari tubuh setelah
mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam maupun luar tubuh. Tindakan
seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana
kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Dari hasil survey
diketahui bahwa pada aspek keterampilan, respondenyang terampil berjumlah 9
orang (30%), kurang terampil 13 orang (43,3%), tidak terampil 8 orang (26,6 %)
dan tidak ada responden yang sangat terampil seperti ilustrasi pada Gambar 3.

Aspek Keterampilan
-
26,67 %
Terampil
30%
Kurang terampil
Tidak terampil
Sangat terampil

43,33%

Gambar 3. Persentase keragaan tingkatketerampilan petani terhadap


penerapan PUTS

808
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Petani yang kurang terampil jumlahnya paling banyak, hal tersebut


disebabkan karena petani kurang mendapatkan tentang cara penggunaan PUTS,
selain itu petani yang mengikuti SL jumlahnya masih minim sehingga sampai
dengan saat ini tingkat keterampilan petani dalam menggunakan PUTS masih
banyak yang kurang terampil. Suatu sikap tidak otomatis terwujud dalam suatu
tindakan, untuk terwujudnya dalam suatu tindakan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi fasilitas yang memungkinkan. Penyampaian cara
penggunaan PUTS dengan metode penyuluhan yang tepat tentunya akan
berkontribusi dalam meningkatkan keterampilan petani dalam menggunakan
PUTS. Selain itu, dari aspek permasalahan non prilaku perlu diupayakan
penambahan ketersediaan perangkat uji PUTS di Desa Mangga Dua dengan
tujuan agar petani dapat dengan leluasa mempelajari, menggunakan PUTS secara
berkelanjutan.

Data aspek keterampilan responden yang diolah menggunakan SPSS


menunjukkan bahwa nilai nilai Chi Square (X²) tabel bernilai 0.000 sedangkan nilai
Chi Square (X²) hitung bernilai 0.060 sehingga Chi Square (X²) tabel lebih kecil
dari Chi Square (X²) hitung maka hipotesis Ho ditolak yang artinya terdapat
hubungan antara tingkat keterampilan responden terhadap tingkat penerapan,
semakin terampil petani dalam menggunakan PUTS maka tingkat penerapan di
lapangan juga semakin meningkat.

KESIMPULAN

Hasil survey menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengaruh


perilaku petani terhadap tingkat penerapan PUTS, perilaku seseorang dilandasi
dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan, semakin tinggi aspek
pengetahuan, sikap dan keterampilan petani terhadap PUTS maka akan
meningkatkan penerapan penggunaan PUTS oleh petani, perilaku dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti : umur, tingkat pendidikan dan kepemilikan lahan.

Tingkat penerapan PUTS di Desa Mangga Dua masih rendah, dari hasil
survey diketahui bahwa tingkat pengetahuan, sikap dan keterampilan petani masih
rendah, petani belum banyak yang mengetahui manfaat dan cara penggunaan
PUTS di lapangan.

SARAN

Dalam rangka upaya peningkatan penerapan PTT padi khususnya


penggunaan PUTS di Desa Mangga Dua diupayakan pada prioritas peningkatan
kualitas dan kuantitas kegiatan pengembangan penyuluh peningkatan
sumberdaya manusia, dimana sistem, metode dan supervise penyuluh pertanian
kepada petani perlu ditingkatkan. Selain itu upaya pengembangan kompetensi
petani perlu dilakukan yaitu melalui pengembangan magang, sekolah lapang dan
studi banding secara efektif dan berkesinambungan. Pada aspek permasalahan
non prilaku petani terhadap penerapan PUTS dapat dilakukan dengan upaya
penambahan ketersediaan PUTS oleh UPTB-BPK Tanjung Beringin. Tujuannya
agar petani lebih mudah dan leluasa menggunakan PUTS sehingga dapat

809
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

diterapkan secara berkelanjutan dan tidak hanya diterapkan saat petani hanya
menjadi petani kooperator saja. Selanjutnya diperlukan dukungan penuh dari
stakeholder dan pihak berkepentingan lainnya untuk mendukung pelaksanaan
PTT padi secara terpadu di Desa Mangga Dua sehingga mendukung keberhasilan
pencapaian target produksi padidan pencapaian sasaran utama pembangunan
pertaniandi Desa Mangga Dua khususnya dan Kabupaten Serdang Bedagai pada
umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S. A.K Makarim dan Irsal Las. 2003. Kajian Kebutuhan Pupuk NPK
pada Padi Sawah melalui Petak Omisi di Wilayah Pengembangan PTT.
Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Ahmadi, A. 2009. Psikologi Umum. Edisi Revisi 2009.Rineka Cipta. Jakarta.
Azwar,S.2002.Sikap Manusia,Teori dan Pengukurannya. Pustaka
Pelajar.Yogyakarta.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. 2013. Petunjuk Teknis
Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi.
BP2KP. 2015 Programa Penyuluhan Pertanian Badan Pelaksana Penyuluhan dan
Ketahanan Pangan Tahun 2015. Kabupan Serdang Bedagai.
BP2KP. 2015. Programa Penyuluhan Pertanian Balai Penyuluhan dan Ketahanan
Pangan UPTB-BPKP Kecamatan Tanjung Beringin. Kabupaten Serdang
Bedagai.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2014. Rekomendasi Teknologi Spesifik
Lokasi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN)
di Sumatera Utara, Edisi ke-3. Sumatera Utara.
Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara. 2014. Buku Lima Tahun Statistik
Pertanian 2009 – 2013. Medan
ffendy, Lukman. 2009. Kinerja Petani Pemandu dalam Pengembangan PHT dan
Dampaknya pada Perilaku Petani di Jawa Barat. Disertasi Doktor, Sekolah
Pascasarjana, IPB: Bogor.
Sadono, D. 2009. Perkembangan Pola Komunikasi dalam Penyuuhan Pertanian
di Indonesia. Jurnal Komunikasi Pembangunan, Juli 2009, Vol. 07, No.2,
IPB : Bogor.

810
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PREFERENSI VARIETAS UNGGUL BARU DI KABUPATEN SUMEDANG

Siti Lia Mulijanti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,


Jl. Kayuambon No.80 Lembang Bandung Barat
Email: liamulijanti@yahoo.com

ABSTRAK

Pengenalan varietas unggul baru kepada petani merupakan sasaran


utama dalam penyebar luasan varietas unggul baru. Petani memiliki hak untuk
mengetahui keragaan secara langsung sebelum memutuskan untuk memilih
varietas yang paling disukai untuk diadopsi. Untuk itu display VUB padi di
Kabupaten Sumedang perlu dilakukan. Tujuan pengkajian untuk mengetahui
performans beberapa VUB padi dan preferensi khalayak pengguna terhadap VUB
padi. Pengkajian dilakukan berupa display VUB yang dilaksanakan pada bulan
April - Agustus 2014 di lahan sawah di empat kecamatan di Kabupaten Sumedang.
Display dilakukan di lahan petani seluas 1,5 ha dengan varietas: Inpari 6, Inpari
14, Inpari 16, dan Sarinah. Teknologi budidaya yang diterapkan adalah PTT padi
sawah dengan sistem tanam jajar legowo 2:1. Responden pada pengkajian ini
adalah petani, petugas dan penyuluh pertanian sebanyak 66 orang. Pengumpulan
data dilakukan pada saat panen dan temu lapang. Data yang dikumpulkan adalah
produktivitas padi dan tanggapan responden terhadap VUB yang di displaykan.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Inpari 16 memberi produktivitas tertinggi,
sedangkan yang terendah adalah Sarinah. Responden di Kabupaten Sumedang
memilih Inpari 16 sebagai VUB yang paling disukai.

Kata kunci : VUB, padi, display, preferensi.

PENDAHULUAN

Salah satu perwujudan dari kemandirian pangan dan kunci keberhasilan


Program Ketahanan Pangan Nasional adalah Swasembada Beras Lestari. Di
Jawa Barat sektor pertanian dalam struktur perekonomian menempati posisi ketiga
terbesar setelah sektor industri dan perdagangan, namun demikian provinsi Jawa
Barat merupakan salah satu sentra produksi padi terbesar terhadap produksi
beras nasional rata-rata 17,6 % selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2001-
2010) (BPS Jawa Barat, 2010; Diperta Provinsi Jawa Barat, 2010). Pencapaian
produksi padi di Jawa Barat selain mampu memenuhi kebutuhan beras bagi
sekitar 42,2 juta penduduk Jawa Barat dengan tingkat konsumsi beras rata-rata
105,87 kg/kapita/tahun, maka mampu memenuhi kebutuhan beras bagi penduduk
luar Jawa Barat dengan nilai surplus beras lebih dari 1 juta ton (Ishaq, 2011).
Pemerintah pusat harus mampu menggenjot produksi padi tiap tahunnya
(Irianto dkk., 2009). Program P2BN mencanangkan peningkatan produksi padi
sebanyak 5% tiap tahunnya. Untuk merealisasikan hal tersebut perlu inovasi
teknologi dalam pengelolaan tanaman secara terpadu. Peningkatan produktivitas
padi sawah salah satunya dilakukan dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) yang dilaksanakan melalui Display Varietas Unggul Baru (VUB).
PTT padi sawah didasarkan kepada empat prinsip utama, yaitu : (1). PTT

811
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

merupakan suatu pendekatan agar sumberdaya tanaman, tanah dan air dapat
dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu, (2). PTT memanfaatkan teknologi
pertanian terbaik dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung
antar komponen teknologi, (3). PTT memperhatikan kesesuaian teknologi dengan
lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat, (4) PTT
bersifat partisipatif yang berarti petani berperan serta menguji dan memilih
teknologi yang sesuai dengan keadaan setempat dan kemampuan petani melalui
proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapang (Zaini, 2009).
Pemakaian VUB adalah satu teknologi yang paling signifikan
meningkatkan hasil dan mudah diadopsi petani. Serjak 2005-2010 Balai Besar
Penelitian Padi telah merilis 32 varietas unggul baru dengan keunggulan tiap
varietas (Sembiring, 2011). Hal tersebut membuat pilihan varietas yang akan
ditanam oleh petani semakin beragam dari tahun ke tahun. Sehingga petani
terkadang menjadi bingung untuk memilih. Dilain pihak, fenotipe tanaman sangat
dipengaruhi oleh faktor genetik dan kondisi lingkungan. Varietas unggul baru
sudah melalui berbagai tahap uji adaptasi diberbagai musim dan lokasi, namun
pengulangan uji adaptasi sekaligus memperkenalkan VUB dalam bentuk display
varietas sangat penting dilakukan pada kegiatan diseminasi. Terdapat dua
keuntungan dilakukannya display VUB, yaitu : adaptasi VUB di lokasi
pengembangan dapat diketahui dan petani dapat melihat langsung keragaan VUB
dan menentukan pilihan VUB yang akan dikembangkan.

Kabupaten Sumedang terkenal dengan penggunaan varietas lokal yang


menurut petani lebih unggul baik dalam hal produksi maupun ketahanan terhadap
serangan hama penyakit. Tetapi umumnya varietas lokal mempunyai umur panen
yang lebih lama sehingga petani terbatas waktu menanam hanya dua kali setahun.
Penggunaan varietas yang sama secara terus menerus dikhawatirkan akan
menyebabkan mudah terserang hama penyakit yang akan menyebabkan
penurunan produksi. Oleh karena itu perlu di lakukan display VUB untuk
memperkenalkan varietas unggul baru. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui
preferensi petani terhadap keragaan VUB secara umum.

BAHAN DAN METODE

Kegiatan Display VUB dilaksanakan pada tiga Kelompok Tani di Desa


Leuwihideung Kecamatan Darmaraja, Desa Mekar Mulya Kecamatan Situraja dan
Desa Sindang Galih Kecamatan Cimanggung pada MK 1 April-Agustus 2014.
Pengkajian dalam kegiatan pendampingan teknologi mendukung PTT padi
dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya :
(a) Partisipatif, (On-Farm Participatory Research) artinya dalam setiap proses
diharapkan adanya partisipasi, keterlibatan dan peran serta secara aktif dari
semua pemangku kepentingan (stakeholders), baik sejak proses
perencanaan, pelaksanaan hingga proses evaluasi dan perumusan
teknologi.( Bachrein dkk., 1997)

812
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(b) Sebelum (before) dan Sesudah (after), artinya dilakukan pengukuran data
terhadap beberapa hal yang menjadi cakupan kegiatan melalui seperangkat
instrumen pengukuran. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik
wawancara, observasi dan pengukuran terha-dap objek yang diamati pada
saat sebelum (before) introduksi teknologi dibandingkan dengan sesudah
(after) introduksi teknologi.

Metode perhitungan hasil panen (produktivitas) dalam satuan t/ha pada


petak uji adaptasi varietas PTT dilakukan melalui metode ukuran ubinan sistem
tanam jajar legowo 2:1 (Abdulrachman dkk., 2012) dan perhitungan ubinan (Ishaq
dan Ramdhaniati, 2009), sebagai berikut :

Ukuran ubinan Legowo 2:1 ...................................... (1)

Hasil GKG 14% = ((100-Ka)/86) x GKP ....................................... (2)

Keterangan:
Ka : Kadar air (%)
GKP : Gabah Kering Panen
GKG : Gabah Kering Giling

Demplot varietas unggul baru atau display varietas merupakan media


untuk memperkenalkan VUB yang bertujuan untuk mengetahui adaptasi VUB di
lokasi agar diketahui kelemahan dan keunggulan masing-masing VUB kepada
petani. Bila diketahui terdapat VUB yang memiliki produktivitas hasil lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas yang biasa ditanam petani serta sesuai dengan
preferensi petani (pengguna), maka VUB tersebut disarankan dikembangkan pada
wilayah tersebut. Preferensi khalayak pengguna terhadap VUB dilakukan dengan
metode kuisioner pada saat temu lapang diadakan. Khalayak pengguna
dipersilahkan untuk mengamati keragaan tanaman secara umum pada fase
generatif. lalu menentukan VUB yang mereka paling sukai selain varietas
pembanding (Sarinah).
Uji preferensi dilakukan secara sederhana. Kajian dilakukan pada saat
dilakukan temu lapang, dengan melakukan peninjauan langsung kondisi
pertanaman yang telah memasuki fase generatif, termasuk varietas Sarinah.
Petani melakukan penilaian dengan mengisi kuesioner yang telah disiapkan, dan
hasil pengisian kuesioner ditabulasikan untuk mengetahui preferensi petani
terhadap varietas yang didisplaykan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi Pengkajian


Usahatani padi di Kabupaten Sumedang merupakan salah satu usahatani
dominan yang dilakukan petani sesuai dengan kondisi dan agroekosistem wilayah
Kecamatan masing-masing. Data selengkapnya karakteristik lokasi display dapat
dilihat pada Tabel 1.

813
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Data Karakteristik Lokasi Display di Kabupaten Sumedang, 2014


Kec Darmaraja, Kec Situraja Kec Cimanggung
Karakteristik
Ds Leuwihideung Ds Mekarmulya Ds Sindanggalih
 Luas Wilayah 180,26 508,5
262,30
(ha)
 Tofografi Berbukit Secara umum Berbukit
pada tingkat
kelerengan
 Batas wilayah  Utara : Desa
 Utara: Desa  Utara: Desa Mekarbakti (Kec.
Cibogo Situraja Pamulihan)
 Selatan: Desa  Selatan: Desa  Selatan: Desa
Sukamenak Cikadu Pasirnanjung dan
 Barat: Kec.  Barat: Desa Sindangpakuon
Wado Ambit  Barat : Desa
 Timur: Desa  Timur: Desa Cikahuripan
Jatibungur Cijati  Timur : Gunung
Cipelah
Sumber : BPS Kab. Sumedang

Hasil analisa tanah dapat diperoleh data kandungan unsur hara tanah
untuk menentukan rekomendasi pemupukan (Tabel 2).

Tabel 2. Rekomendasi Pemupukan di Lokasi Display Kabupaten Sumedang,


2014
PUTS Rekomendasi (kg/ha)
No Kecamatan pH
N P K N P K
1. Kec
KCL 50 atau
Darmaraja, Agak Sangat SP-36
Rendah Tinggi Urea 200 jerami 5
Ds Masam tinggi 100
ton/ha
Leuwihideung
2. Kec Situraja Agak KCL 50 atau
SP36
Ds Masam Rendah Tinggi Sedang Urea 300 jerami 5
50
Mekarmulya ton/ha
3. Kec Agak
KCL 50 atau
Cimanggung Masam Sangat SP36
Tinggi Tinggi Urea 200 jerami 5
Ds Tinggi 50
ton/ha
Sindanggalih
Sumber : Data Primer 2014

Hasil rekomendasi tersebut dikonversi ke pupuk majemuk karena kondisi


di lapangan ketersediaan pupuk KCL susah diperoleh. Adapun hasil dari konversi
pupuk tunggal ke pupuk majemuk masing – masing lokasi dapat dilihat pada Tabel
2.

Produktivitas Padi

Hasil ubinan yang telah dilaksanakan di 3 lokasi display VUB di Kabupaten


Sumedang, dapat terlihat bahwa varietas yang paling tinggi hasilnya, yaitu Inpari
16 dan Inpari 14. Untuk lokasi Darmaraja yang memperoleh hasil ubinan tertinggi,
yaitu Inpari 16 sebesar 6,0 ton/ha. Angka tersebut sudah diatas rata-rata
produktivitas Kecamatan Darmaraja, yaitu 5,60 ton/ha. Sedangkan untuk ke tiga

814
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

varietas lainnya yaitu Inpari 6, Inpari 14 dan Sarinah masih berada di bawah
produktivitas rata-rata Kecamatan Darmaraja (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil Ubinan Display VUB (ton/ha) di Lokasi Display Kab. Sumedang,
2014
Kec. Darmaraja, Ds Kec. Situraja Kec. Cimanggung
Varietas
Leuwihideung Ds Mekarmulya Ds Sindanggalih
Inpari 6 4,8 5,4 1,2
Inpari 14 5,5 6,7 7,9
Inpari 16 6,0 7,5 8,7
Sarinah 4,4 4,2 0,1
Sumber : Data Primer 2014

Hasil produktivitas di Kecamatan Situraja menunjukan bahwa yang paling


tinggi, yaitu Inpari 16:7,5 ton/ha dan Inpari 14: 6,7 ton/ha. Kedua varietas tersebut
sudah bisa mengungguli produktivitas rata-rata Kecamatan Situraja, yaitu sebesar
6,47 ton/ha. Sedangkan untuk kedua varietas lainnya, yaitu Inpari 6 dan Sarinah
masih berada di bawah produktivitas rata-rata Kecamatan Situraja.

Hasil produktivitas di Kecamatan Cimanggung menunjukan yang paling


tinggi, yaitu varietas Inpari 16 : 8,7 ton/ha dan Inpari 14 : 7,9 ton/ha. Angka
tersebut untuk varietas Inpari 16 sudah bisa mengungguli rata-rata produktivitas
Kecamatan Cimanggung, yaitu sebesar 8,80 ton/ha. Sedangkan untuk ke tiga
varietas lainnya, yaitu Inpari 14, Inpari 6 dan Sarinah masih di bawah. Bahkan
untuk Inpari 6 dan Sarinah mengalami gagal panen akibat serangan penyakit Blas
yang tinggi.

Secara umum produktivitas tertinggi adalah Inpari 16, yaitu berkisar 6,0 –
8,7 ton/ha dan telah mampu melampaui tingkat produktivitas kecamatan masing-
masing. Sedangkan varetas Sarinah sebagai kontrol tingkat produktivitasnya
masih di bawah tingkat produktivitas VUB. Hal ini menunjukkan penggunaan
varietas unggul baru dapat meningkatkan produktivitas padi di 3 Kecamatan di
Kabupaten Sumedang.

Preferensi Petani Terhadap VUB

Preferensi responden terhadap keragaan varietas yang diperkenalkan


melalui display sangat penting untuk diketahui. Informasi pereferensi dapat
dijadikan acuan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan varietas
unggul baru.

Hasil penilaian petani di tiga lokasi Display VUB Padi Sawah menunjukan
bahwa varietas yang paling diminati dan disukai, yaitu Inpari 16 dan Inpari 14.
Selain dari penampilan tinggi, malai maupun gabah, penilaian ini juga didasarkan
pada produksi yang dihasilkan cukup tinggi dibanding ke dua varietas lainnya
(Tabel 4).

815
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Respon Pengguna Terhadap Display Varietas di Lokasi Display Kab.


Sumedang, 2014.
Jumlah
Tinggi Panjang Bentuk Warna Penampilan
No Kecamatan Varietas Bulir/
Tanaman Malai Gabah Gabah Umum
Malai
1. Inpari 6 3 2 3 2 3 2
Kec. Darmaraja, Inpari 14 3 3 3 2 3 3
Ds Leuwihideung Inpari 16 3 3 3 3 3 3
Sarinah 3 2 3 2 3 2
2. Kec. Situraja Inpari 6 3 2 3 2 3 2
Ds Mekarmulya Inpari 14 3 3 3 3 3 3
Inpari 16 3 3 3 3 3 3
Sarinah 3 2 3 2 3 3
3. Kec. Cimanggung Inpari 6 2 2 3 2 2 2
Ds Sindanggalih Inpari 14 3 3 3 3 3 3
Inpari 16 3 3 3 3 3 3
Sarinah 2 3 3 2 2 2
Ket: 1. Tidak suka, 2. Kurang suka, 3. Suka, 4. Sangat suka
Sumber : Data Primer 2014

Preferensi responden terhadap VUB berdasarkan pengamatan responden


terhadap keragaan tanaman VUB secara umum pada fase generatif. Rata-rata
responden melihat 3 unsur penting sebelum hasil panen diketahui, yaitu tinggi
tanaman, jumlah anakan, dan bulir malai. Berdasarkan uji preferensi, proporsi
responden yang menyukai Inpari 16 adalah paling tinggi dibandingkan VUB lain.
Secara umum penilaian responden diduga lebih melihat ke hasil panen. Untuk
menduga hasil panen, responden melihat dari jumlah anakan dan jumlah bulir
pada malai. Inpari 16 memiliki jumlah anakan paling bayak dan panjang malai
paling panjang, sehingga responden menduga hasil panen yang paling tinggi
adalah Inpari 16. Oleh sebab itu proporsi responden yang menyukai Inpari 16
adalah paling banyak diikuti Inpari 14. Varietas Sarinah sebagai pembanding
kurang diminati petani dilihat dari tinggi tanaman yang menurut petani apabila
terlalu tinggi akan menghadapi resiko rebah, demikian pula dari jumlah bulir per
malai yang menggambarkan hasil produksi akan lebih rendah dibandingkan 3
varietas lainnya. Warna Gabah varietas Sarinah juga kurang menarik bila
dibandingkan 3 varietas unggul baru.

Menurut Kotler (1997), konsumen akan memusatkan perhatiannya


terhadap ciri atau atribut produk yang dia harapkan. Sehingga dengan adanya
display VUB dan uji preferensi memberikan pertimbangan bagi petani untuk
memilih VUB yang akan dikembangkan untuk pergiliran varietas yang akan
ditanam.

Secara keseluruhan petani tertarik untuk menanam varietas unggul baru


khususnya Inpari 16 pada musim tanam berikutnya. Hal ini akan mengubah
kebiasaan petani menanam vareitas yang sama setiap tahunnya yang akan
mempengaruhi produktivitas padi. Kendalanya adalah ketersediaan vub di lokasi
pengkajian masih sulit, sehingga perlu usaha pengadaan hingga ke tingkat Desa.

816
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN
Varietas yang paling tinggi produktivitasnya adalah Inpari 16, diikuti
varietas Inpari 14 dan Inpari 6. Preferensi pengguna lebih banyak menyukai Inpari
16 berdasarkan tingkat produktivitasnya dan perfomance tanaman dilihat dari
panjang malai, jumlah bulir per malai, bentuk dan warna gabah.

SARAN

Perlu dilakukan peningkatan pelaksanaan demplot display VUB di


Kabupaten Sumedang khususnya dan Jawa Barat umumnya, sehingga
rekomendasi VUB spesifik lokasi berdasarkan daya adaptasi dan preferensi petani
bisa didapatkan lebih disesuaikan dengan karakteristik masing-masing lokasi.

Preferensi petani terhadap varietas unggul baru harus diikuti dengan


ketersediaan benih VUB di tingkat lapangan. Karena umumnya VUB sulit
diperoleh di kios saprodi setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Bachrein, S., I. Ishaq, Muhamad dan A. Dimyati. 1997. Perakitan Teknologi Sistem
Usaha Tani Pisang pada Lahan Kering Kecamatan Cibinong, Cianjur. h
1-32 dalam Bachrein dkk., 1997 (Eds.) : Monograf No. 001 Sistem
Usaha Tani Berbasis Pisang Pada Lahan Kering di Jawa Barat, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Lembang, Badan Litbang Pertanian.
116h.
BPS Jawa Barat. 2010. Jawa Barat Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat. Bandung.
BPS Jawa Barat. 2013. Sumedang Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Barat. Sumedang
Diperta Provinsi Jawa Barat, 2010. Laporan Kegiatan Peningkatan Produktivitas
Padi Terpadu di Jawa Barat, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat.
Irianto G.S. 2009. Peningkatan produksi padi melalui IP padi 400. Balai Besar
Penelitian tanaman padi. Badan Penelitian dan pengembangan
pertanian Jakarta.
Ishaq, I. 2011. Konsumsi dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Beras pada 2015 di
Jawa Barat h.217-229 dalam Sumarno dkk (Eds.): IPTEK Tanaman
Pangan 6(2):2011. 274h.
Ishaq, I dan S. Ramdhaniati, 2009. Petunjuk Teknis Display Varietas. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat, Badan Litbang Pertanian.
h6-7.
Kotler, P. 1997. Manajemen Pemasaran Jilid II. Teguh H, penerjemah; Jakarta:
Prenhallindo. Terjemahan dari: Marketing management II.
Sembiring. H, 2011. Kesiapan Teknologi Budidaya Padi menanggulangi Dampak
Perubahan Iklim Global. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi
Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.

817
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU PERTUMBUHAN


KONVERSI LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON PERTANIAN DI
PROVINSI BALI

Suharyanto, Ketut Mahaputra, Nyoman Ngurah Arya dan Jemmy Rinaldi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali


Jl. Bypass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar, Bali
Email : suharyanto.bali@gmail.com

ABSTRAK

Permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian


saat ini terus mengalami peningkatan. Sejalan dengan adanya peningkatan
jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan kebutuhan
lahan meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi laju pertumbuhan alih fungsi lahan sawah ditingkat wilayah. Data
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data time series selama kurun
waktu 1999-2013 antara lain laju pertumbuhan luas lahan sawah, jumlah
penduduk, PDRB non pertanian, produksi padi sawah, jumlah hotel dan
akomodasi lainya, nilai tukar petani dan adanya Perda terkait RTRW. Analisis data
menggunakan regresi linier berganda dengan metode Ordinary Leas Square
(OLS). Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor penentu laju alih fungsi lahan
sawah ke penggunaan non pertanian di tingkat wilayah secara nyata dipengaruhi
oleh laju pertumbuhan ekonomi/PDRB, pertumbuhan produksi, pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan hotel dan akomodasi lainnya, dan nilai tukar petani.
Adanya Perda tentang yang mengenaiencana Tata Ruang Wilayah terkait lahan
pertanian, khususnya lahan sawah, belum memberikan pengaruh nyata terhadap
laju konversi lahan sawah.

Kata kunci : pertumbuhan, konversi, lahan sawah

PENDAHULUAN

Alih fungsi lahan sawah dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Alih fungsi secara langsung terjadi akibat keputusan para pemilik lahan yang
memanfaatkan lahan sawah mereka ke penggunaan lain, misalnya untuk
pariwisata, industri, perumahan, prasarana dan sarana atau pertanian lahan
kering. Alih fungsi kategori ini didorong oleh motif ekonomi, dimana penggunaan
lahan setelah dimanfaatkan untuk keperluan non pertanian memiliki nilai jual/sewa
yang lebih tinggi dibandingkan pemanfaatan lahan untuk sawah. Sementara itu,
alih fungsi tidak langsung terkait dengan makin menurunnya kualitas lahan sawah
atau makin rendahnya peluang dalam memperoleh pendapatan dari lahan tersebut
akibat kegiatan tertentu, seperti terisolirnya petak-petak sawah di pingiran
perkotaan karena konversi lahan di sekitarnya, keterbatasan air irigasi (Hidayat,
2008).

Selama periode 1999-2013 di Provinsi Bali telah terjadi kumulatif konversi


lahan sawah seluas 4.906 hektar ke berbagai bentuk penggunaan lahan seperti
menjadi lahan pertanian bukan sawah atau lahan bukan pertanian. Jika dirata-

818
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ratakan penurunan lahan sawah per tahun sekitar 327 ha (0,45%) (BPS Prov Bali,
2013). Pasandaran (2006) menyatakan bahwa permintaan lahan cenderung tinggi
pada kawasan pertanian yang sudah berkembang, terutama yang berdekatan
dengan sasaran konsumen seperti pinggiran kota. Demikian pula perlindungan
oleh pemerintah terhadap lahan produktif relatif lemah yang antara lain akibat
permintaan pasar yang underestimate, yang hanya menganggap lahan pertanian
sebagai penghasil komoditas yang bernilai ekonomi rendah. Hasil penelitian As-
syakur (2011) secara spasial memperlihatkan bahwa wilayah selatan dan tengah
Provinsi Bali merupakan wilayah yang paling banyak mengalami perubahan. Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung adalah dua wilayah administrasi yang paling
luas mengalami perubahan penggunaan lahan.

Bagi Provinsi Bali dampak dari alih fungsi lahan sawah akan bersifat
multiplier effect. Bagi sebagian besar petani lahan merupakan determinan
pendapatan rumah tangga dan berkaitan dengan status social. Oleh karena itu
keputusan untuk melepaskan hak pemilikan atas lahan merupakan salah satu
keputusan petani yang sifatnya strategis (Sumaryanto, 2010). Sutawan (2008)
menyatakan bahwa jika penyusutan areal lahan sawah beririgasi terus berlanjut
dikhawatirkan bahwa organisasi subak yang merupakan warisan leluhur yang
sudah terkenal sampai ke mancanegara akan terancam punah. Kalau subak yang
merupakan organisasi bersifat sosio-agraris-religius hilang, maka itu akan
berimbas pada terdegradasinya kebudayaan Bali dan dampaknya akan sangat
besar bukan hanya bagi pertanian juga akan berdampak terhadap pariwisata Bali
dan sektor pendukung lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan
mengidentifikasi faktor-faktor penentu alih fungsi lahan sawah ke penggunan non
pertanian lainnya.

BAHAN DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder runtun
waktu selama 15 tahun (1999-2013) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi dan
instansi lainnya. Data yang digunakan meliputi data pertumbuhanluas lahan
sawah, PDRB Provinsi, produksi padi sawah, jumlah penduduk, jalan beraspal,
hotel dan akomodasi lainnya, nilai tukar petani dan regulasi (Perda). Data
dianalisis menggunakan regresi linier berganda dengan metode kuadrat terkecil
(Ordinary Least Square) dengan menggunakan software SPSS.

Mengingat data yang yang digunakan merupakan data laju pertumbuhan


yang dapat bernilai positif maupun negatif, maka sebelum dianalisis dilakukan
transformasi data menggunakan metode transformasi invers square (1/x^2)
sehingga diharapkan data terdistribusi secara normal. Dalam bentuk linier
persamaan dapat dituliskan sebagai berikut :

819
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Ln Y = β0 + β1lnX1 + β2lnX2 + β3lnX3 + β4lnX4 + β5lnX5 + β6lnX6 +


β7lnX7 + δ1Dr + e ………………………………………………………
(1)

Keterangan :
Y = laju pertumbuhan luas lahan sawah (%)
β0 = intersept
β1-7 = koefisien regresi
δ1 = Koefisien regresi variabel dummy regulasi
X1 = laju pertumbuhan produksi padi sawah (%)
X2 = laju pertumbuhan PDRB non pertanian (%)
X3 = laju pertumbuhan penduduk (%)
X4 = laju pertumbuhan nilai tukar petani (%)
X5 = laju pertumbuhan jalan beraspal (%)
X6 = laju pertumbuhan hotel/villa/perumahan (%)
Dr = variabel Dummy regulasi (0=sebelum Perda RTRW 2009 ; 1=setelah
Perda RTRW 2009)
e = error term (kesalahan pengganggu)

Untuk memperoleh validitas hasil pengujian ekonometrik metode OLS,


dilakukan pendeteksian penyimpangan dari asumsi-asumsi klasik dan terhadap
kesesuaian model (Pindyck and Rubinfeld, 1998). Pengujian terhadap asumsi
klasik ditujukan untuk mengetahui apakah koefisien regresi estimasi merupakan
penaksir tak bias yang terbaik (Best Linear Unbiased Estimator/BLUE).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa faktor penentu laju alih fungsi
lahan sawah ke penggunaan non pertanian di tingkat wilayah secara nyata
dipengaruhi oleh laju pertumbuhan ekonomi/PDRB, pertumbuhan produksi,
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan hotel dan akomodasi lainnya, dan nilai
tukar petani sedangkan pertumbuhan jalan beraspal dan regulasi Perda RTRW
tidak memberikan pengaruh yang nyata (Tabel 1).
Alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah dapat dikatakan
sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama pembangunan
masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami
peningkatan dan tekanan terhadap lahan meningkat maka konversi lahan sawah
sangat sulit dihindari. Hidayat (2008) bahwa pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi laju
konversi lahan sawah. Meningkatnya pembangunan sektor-sektor ekonomi
lainnya sebagai dampak dari perkembangan sektor pariwisata, tampaknya tidak
hanya menyedot perhatian bagi masyarakat Bali, namun masyarakat di luar Bali
pun tertarik untuk meraih peluang kerja di sektor pariwisata. Hasil penelitian Harini
dkk., (2012) dan Jiang dkk., (2013) juga menyebutkan bahwa laju pertumbuhan
PDRB berpengaruh nyata terhadap peningkatan laju konversi lahan sawah.

820
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan


alih fungsi lahan sawah ditingkat wilayah Provinsi Bali, 1999-2013.
Koefisien Standar
Variabel t-hitung Probabilitas
Regresi Error
Konstanta 0.823 0.432 1.903 0.099
Ln Pertumbuhan PDRB non pertanian -0.381** 0.162 -2.352 0.051
Ln Pertumbuhan produksi padi sawah -0.206** 0.067 -3.064 0.018
Ln Pertumbuhan penduduk -0.469** 0.195 -2.398 0.048
Ln Pertumbuhan jalan beraspal -0.052ns 0.054 -0.966 0.366
Ln Pertumbuhan hotel dan akomodasi lainnya -0.123*** 0.061 -2.023 0.083
Ln Pertumbuhan NTP 0.158* 0.070 2.246 0.060
Dummy regulasi -0.288ns 0.292 -0.988 0.356
F hit 23.845***
R2 0.920
Keterangan :
*** = signifikan pada tingkat kesalahan 1%
** = signifikan pada tingkat kesalahan 5%
* = signifikan pada tingkat kesalahan 10%
ns = non signifikan

Lebih lanjut Sudibia dan Rimbawan (2012) menyatakan bahwa laju


pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh tiga komponen demografi, seperti
fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Kontribusi komponen migrasi lebih dominan
terhadap laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Bali dibandingkan tingkat fertilitas
dan mortalitas. Meningkatnya pembangunan pariwisata di Bali tidak hanya
mampu menarik kedatangan wisatawan mancanegara dan nusantara, namun juga
terjadi peningkatan arus migrasi ke Bali untuk memperoleh peluang kerja. Secara
demografis, meningkatnya arus migrasi masuk ke Bali memberikan kontribusi
positif terhadap naiknya laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Bali. Iqbal (2007)
menyatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk yang diiringi dengan laju
pebangunan lambat laun akan membawa konsekuensi penambahan pemanfaatan
dan sekaligus akan meningkatkan alih fungsi lahan.

Laju pertumbuhan hotel dan sarana akomodasi lainya sebagai faktor


pendukung sektor pariwisata berpengaruh nyata terhadap laju penurunan luas
lahan sawah di Bali. Selama ini ada tiga pilar yang menjadi penopang
perekonomian di Bali, yaitu sektor pariwisata, industri serta pertanian. Ketiga
sektor tersebut harus bisa saling menunjang demi kesejahteraan masyarakat Bali.
Sektor pariwisata yang selama ini memberikan multiplier effect bisa disinergikan
dengan pertanian. Begitu pula sektor industri mampu menyerap produk yang
dihasilkan petani, sehingga pertanian sebagai sector utama bisa dipertahankan
dan bahkan dikembangkan. Namun jika ketiga sektor tersebut tidak saling
mendukung, sektor pertanian akan terancam.

Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa laju pertumbuhan nilai tukar
petani (NTP) berpengaruh nyata positif terhadap laju pertumbuhan lahan sawah,
hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi NTP maka laju alih fungsi lahan
sawah akan semakin dapat dikurangi. Terjadinya konversi lahan juga disebabkan
oleh nilai tukar petani, menurut Ashari (2003) NTP yang rendah menyebabkan

821
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tidak adanya insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertniannya
sehingga mereka cenderung mengkonversi lahan sawahnya. Sementara itu
kejadian kronis setiap musim panen mengenai anjloknya harga gabah petani
adalah akibat dari ketidakampuhan kebijakan pembelian pemerintah (HPP) yang
memang dipengaruhi oleh bias perkotaan. Masyarakat konsumen perkotaan yang
lebih banyak menerima manfaat dari sekian macam program pemerintah, yang
bahkan memberikan subsidi pada sektor pertanian.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel dummy regulasi Perda


Provinsi Bali No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Bali 2009-
2029 yang didalamnya menyangkut proporsi penggunaan lahan sawah,
menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap laju alih fungsi lahan sawah
di Bali. Hal tersebut bermakna bahwa implementasi regulasi tersebut belum efektif
diterapkan, hal ini terlihat dengan masih tingginya alih fungsi lahan sawah ke
penggunaan lainnya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa justru regulasi yang
dikeluarkan Desa Adat lebih efektif, seperti adanya aturan alih fungsi lahan sawah
dengan berbagai konsekuensi sanksinya, atau lahan boleh diperjualbelikan
asalkan masih tetap diperuntukkan untuk lahan sawah.

Secara empiris alih fungsi lahan sawah memang terus berlangsung. Ironi
memang disatu pihak negara harus memiliki ketahanan pangan bahkan kedaulan
pangan, namun disisi laini alih fungsi lahan lahan sawah terus berlangsung.
Situasi ini jelas dapat mengancam ketahanan pangan sekaligus kedaulatan
pangan berbasis beras. Oleh karena itu Santosa dkk, (2011) menyarankan sangat
perlu adanya regulasi untuk melindungi lahan sawah sehingga ada lahan sawah
abadi untuk mengasilkan beras secara berkelanjutan. Adanya perencanaan tata
ruang wilayah yang mantap baik regional maupun nasional yang memposisikan
lahan sawah sebagai ruang yang abadi akan sangat mendukung kebijakan ini.

Peraturan dan perundang-undangan sudah banyak dikeluarkan pada


dasarnya untuk mengantisipasi masalah yang diperkirakan akan timbul dari
adanya alih fungsi lahan. Namun kenyataannya tidak berjalan efektif. Sejauh ini
keterkaitan berbagai instansi dalam proses perizinan bukan memperkuat, tetapi
justru memperlemah fungsi pengontrol yang ada. Dengan demikian perlu adanya
sikap proaktif dan konsisten pelaksanaan dalam penetapan peraturan dan
perundang-undangan yang didukung berbagai upaya seperti pembenahan sistem
administrasi pertanahan yang masih lemah, peningkatan koordinasi antarlembaga
terkait, sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman tentang kerugian akibat
konversi lahan pertanian, pengendalian pemanfaatan lahan sesuai rencana tata
ruang, dan sebagainya (Rai dan Adnyana, 2011). Selain itu menurut Fahri dkk.,
(2014) kurangnya pengetahuan tentang kebijakan larangan konversi lahan sawah
juga mendorong peningkatan alih fungsi lahan sawah, sehingga sosialisasi yang
intensif disertai adanya insentif terhadap pemilik lahan sawah juga diperlukan
secara kontinyu.
Secara umum peraturan/perundangan tentang perlindungan lahan
pertanian yang ada saat ini hanya bersifat himbauan tanpa disertai sanksi dan

822
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pengawasan yang konsisten dari pemerintah. Menurut Irawan (2005); Irawan dan
Friyatno (2002) pertaturan-peraturan yang bertujuan untuk mencegah
konversilahan secara umum lebih bersifat himbauan dan tidak dilengkapi dengan
sanksi yang jelas, baik yang menyangkut besarnya sangsi maupun pihak yang
dikenai sanksi sehingga terkesan tumpul akibat berbagai faktor. Kelemahan-
kelemahan tersebut pada gilirannya membuka peluang bagi aparat daerah tertentu
untukmeraih keuntungan pribadi dari kegiatan konversi lahan dengan dalih untuk
mendorongpertumbuhan ekonomi daerah. Hal senada juga dinyatakan oleh
Hadiwinata dkk., (2014) bahwa masih rendahnya political will dari pemerintah
daerah yang secara konsisten untuk mengimplementasikan peraturan daerah
terkait konversi lahan pertanian, yang menyebabkan masih tingginya insidensi
konversi lahan pertanian khususnya lahan sawah.

KESIMPULAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah ke penggunaan


non pertanian di tingkat wilayah secara nyata dipengaruhi oleh laju pertumbuhan
ekonomi/PDRB, pertumbuhan produksi, pertumbuhan penduduk, pertumbuhan
hotel dan akomodasi lainnya, dan nilai tukar petani sedangkan pertumbuhan jalan
beraspal dan regulasi Perda RTRW tidak memberikan pengaruh yang nyata

Strategi kebijakan yang dipandang efektif untuk mengendalikan lajualih


fungsi lahan di kalangan petani adalah peningkatan peran usahatanisebagai
andalan ekonomi perdesaan dengan dukungan nyata pemerintah daerah baik
melalui kebijakan subsidi input-output, insentif, maupun asuransi pertanian disertai
implementasi regulasi secara konsisten. Secara operasional penguatan kapasitas
ditingkat subak atau desa adat terkait pengendalian alih fungsi lahan sawah yang
bertumpu pada partisipatif masyaraka sangat perlu dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ashari. 2003. Tinjauan Tentang Alih Fungsi Lahan Sawah ke Non Sawah dan
Dampaknya di Pulau Jawa. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi 21 (2) :
83-98
As-syakur, A.R. 2011. Perubahan Penggunaan Lahan di Provinsi Bali. Ecotrophic
6 (1) : 1-7.
BPS Provinsi Bali. 2013. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Provinsi Bali.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Denpasar. 112 hal.
Fahri, A., L.M. Kolopaking dan D.B. Hakim. 2014. Laju konversi lahan sawah
menjadi perkebunan sawit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta
dampaknya terhadap produksi padi di Kabupaten Kampar, Riau. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 17 (1) : 69-79.
Hadiwinata, K., Sudarsono, Isrok and M Ridwan. 2014. Legal Politics of License
Regulation in the Conversion of Agricultural Soilto Non-Agricultural in the
Era of Regional Autonomy. Academic Research International 5 (4) : 494 –
502.
Harini, R., H.S. Yunus., Kasto dan S. Hartono. 2012. Agricultural Land Conversion
: Determinants and Impact for Food Sufficiency in Sleman Regency.
Indonesian Journal of Geography 44 (2) : 120 – 133.

823
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hidayat, S.I. 2008. Analisis Konversi Lahan Sawah di Jawa Timur. Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian J-SEP 2 (3) : 48-58.
Iqbal, M. 2007. Fenomena dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam
Pengendalian Konversi Lahan Sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 5 (4) : 287-303.
Irawan, B. dan S. Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa
TerhadapProduksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal Sosial-
EkonomiPertanian dan Agribisnis SOCA2 (2) : 79 – 95.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya
dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23 (1) : 1-18.
Jiang, L., X. Deng and K.C. Seto. 2013. The Impact of Urban Expansion on
Agricultural land Use Intensity in China. Land Use Policy (35) : 33 – 39.
Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (4) : 123-129.
Pindyck, R. S., and D. L. Rubinfeld, 1998. Econometric Models And Economic
Forecasts. Mcgraw-Hill. New York.
Rai, I. N., dan Adnyana, G. M. 2011. Persaingan Pemanfaatan Lahan dan Air
Perspektif Keberlanjutan Pertanian dan Kelestarian Lingkungan. Udayana
University Press. Denpasar.
Santosa, I.G.N., G.M. Adnyana dan I.K.K. Dinata. 2011. Dampak alih fungsi lahan
sawah terhadap ketahanan pangan beras. Prosiding Seminar Nasional
Budidaya Pertanian : Urgensi dan Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian. Faperta Universitas Bengkulu.
Sudibia, I.K., I.N.D. Rimbawan dan I.B. Adnyana. 2012. Pola Migrasi dan
Karakteristik Migran Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010 di Provinsi
Bali. Piramida 8 (2) : 59-75.
Sumaryanto. 2010. Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keputusan
Petani Menjual Lahan. Jurnal Informatika Pertanian 19 (2) : 1 – 15.
Sutawan, N. 2008. Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Penerbit PT Offset
BP. Denpasar

824
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAMPAK KEBIJAKAN INPUT OUTPUT TERHADAP DAYA SAING


USAHATANI PADI DI KABUPATEN TABANAN PROVINSI BALI

Jemmy Rinaldi dan Suharyanto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali


Jl. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar-Bali
Email: jemmy_rinaldi@yahoo.com

ABSTRAK

Usahatani padi dinilai tidak berdaya saing dan kurang menguntungkan


karena mahalnya input produksi yang dibeli dan tidak seimbang dengan harga
output yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan banyaknya alih fungsi lahan menjadi
pemukiman dan kawasan industri. Penelitian ini betujuan untuk: (1) mengetahui
daya saing usahatani padi di Bali dan (2) mengetahui dampak kebijakan input
output dari pemerintah terhadap pengembangan usahatani padi di Bali. Penelitian
ini dilakukan di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali dengan pertimbangan bahwa
kabupaten tersebut adalah lumbung padi di Bali. Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh 40 orang petani
padi sebagai sampel penelitian. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
data primer tentang data input output dalam berusahatani padi yang diterapkan
petani selama satu musim tanam di tahun 2015. Metode analisis yang digunakan
dalam mengolah data adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa usahatani padi di Bali masih memiliki daya saing secara
komparatif dan kompetitif. Kebijakan input output dari pemerintah yang berupa
kebijakan subsidi pupuk dan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah
berdampak pada pengembangan usahatani padi di Bali.

Kata kunci: kebijakan input output, daya saing padi, Bali

PENDAHULUAN
Padi merupakan bahan makanan pokok bagi penduduk Indonesia,
sehingga peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan pula permintaan
terhadap komoditas ini. Dalam upaya peningkatan produksi padi di Indonesia,
pemerintah melaksanakan dua program, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi.
Ekstensifikasi adalah penambahan luas areal untuk peningkatan produksi padi
untuk mengantisipasi berkurangnya lahan pertanian yang subur karena berubah
fungsi untuk perumahan, industri dan keperluan lainnya (Fagi dan Eko, 2005).
Di Provinsi Bali alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman dan
kawasan industri juga diduga sebagai penyebab sulitnya meningkatkan produksi
padi. BPS Bali (2012) menginformasikan produksi padi di Bali tahun 2011
mencapai 865,554 ton gabah kering giling (GKG) menurun sebesar 13,210 ton
dibandingkan dengan produksi pada tahun 2009 yang mencapai 878,764 ton
GKG. Penurunan produksi padi ini salah satunya disebabkan oleh menurunnya
luas panen oleh karena semakin sempitnya lahan pertanian yang mengalami alih
fungsi lahan menjadi pemukiman dan kawasan industri. Usahatani padi dinilai
tidak berdaya saing dan kurang menguntungkan karena mahalnya input produksi
yang dibeli yang tidak seimbang dengan harga output yang dihasilkan.

825
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kabupaten Tabanan yang merupakan lumbung berasnya Bali juga


mengalami permasalahan serupa. Tabanan disebut lumbung beras karena dari
81.235 hektar lahan sawah yang ada di Bali, 27,7% atau 22.479 hektar berada di
Kabupaten Tabanan; dan dari 858.316 ton gabah kering giling (GKG) yang
diproduksi Bali, 24,5% di produksi di kabupaten ini. Berdasarkan hal tersebut
diatas, untuk mencapai swasembada beras dan meningkatkan daya saing
usahatani padi, pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu salah satunya adalah
memberikan subsidi input yaitu pupuk dan mengatur harga output dengan
menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap gabah. Oleh karena
itu penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui daya saing usahatani padi di Bali
dan (2) mengetahui dampak kebijakan input output dari pemerintah terhadap
pengembangan usahatani padi di Bali.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tabanan Provinsi Bali dengan
pendekatan Focus Group Discussion (FGD). FGD dihadiri oleh 40 orang petani
yang berusahatani padi sebagai sampel penelitian. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Agustus 2015. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data primer
tentang data input output dalam berusahatani padi yang diterapkan petani selama
satu musim tanam di tahun 2015. Metode analisis yang digunakan dalam
mengolah data adalah Policy Analysis Matrix (PAM). PAM adalah alat analisis
yang lazim digunakan untuk mengkaji dampak kebijakan harga dan kebijakan
investasi di bidang pertanian (Scoot dan Gotsch, 2005). Ada 3 hal utama yang
saling terkait dalam analisis menggunakan PAM ini, yaitu: (i) analisis keuntungan
yang terdiri atas keuntungan privat dan keuntungan sosial; (ii) analisis daya saing
yang terdiri atas keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif; dan (iii)
analisis dampak kebijakan pemerintah yang berupa transfer antara input, output,
dan keuntungan usahatani (Monke dan Pearson, 1989).
Metode PAM banyak digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan
insentifintervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem komoditas, baik pada
kegiatan usahatani, pengolahan, maupun pemasaran (Kustiari dkk., 2012; Albert
dkk., 2011; Mahmoud dkk., 2011; Ogbe dkk., 2011; Reig dkk., 2008). Kajian ini
akan mengkhususkan pada tingkat usahatani (farm gate) dengan kerangka
Matriks Analisis Kebijakan (MAK), seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan Matriks Analisis Kebijakan, dimana pada baris
pertama merupakan perhitungan keuntungan privat atau daya saing usaha
usahatani padi pada tingkat harga pasar atau harga aktual. Baris kedua
merupakan tingkat keuntungan sosial usahatani padi yang dihasilkan dengan
menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity costs).
Selanjutnya, baris ketiga merupakan efek transfer dari suatu kebijakan atau
dampak dari suatu kebijakan.

826
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Kerangka Matriks Analisis Kebijakan


Biaya
Indikator Penerimaan Profit
Tradable Domestic

Harga Private *) A B C D=A-B-C

Harga Sosia l**) E F G H=E-F-G

Divergences I=A-E J=B-F K=C-G L=I-J-K=D-H


Keterangan:
*) Harga Privat : harga yang berlaku di bawah kondisi aktual kebijakan yang ada.
**) Harga Sosial: harga dimana pasar dalam kondisi efisien (tidak ada distorsi pasar).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Daya Saing Usahatani Padi di Bali
Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di dalam penelitian
ini digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan usahatani
padi dalam bersaing. Analisis ini menggunakan data dari usahatani padi. Daya saing
usahatani padi yang dihasilkan petani dianalisis dengan menggunakan Matriks
Analisis Kebijakan. Matrik ini disusun berdasarkan data penerimaan dan biaya
produksi yang terbagi dalam dua bagian yaitu harga privat dan harga ekonomi (social
Opprtunity Cost). Harga privat atau aktual merupakan harga yang sudah dipengaruhi
oleh kebijakan pemerintah. Sementara harga sosial merupakan harga yang terjadi di
pasar bersaing sempurna atau mendekati harga dunia, dan hanya dibedakan oleh
biaya transportasi ke lokasi lahan usahatani.
Sebagian besar faktor produksi pupuk seperti urea, TSP dan NPK harga
sosialnya lebih tinggi dari harga privat, atau harga aktual yang berlaku di pasar. Hal ini
terjadi karena pupuk tersebut mendapatkan subsidi yang besar dari pemerintah.
Sejalan dengan penelitian Husaini (2012), kebijakan pemerintah terhadap input
tradable seperti pupuk urea dan NPK dirasa bermanfaat dan mudah bagi petani untuk
membeli dengan harga yang lebih rendah. Sebaliknya untuk obat-obatan, harga privat
masih lebih tinggi dari harga sosialnya. Artinya faktor produksi tersebut tidak ada
intervensi dari pemerintah, melainkan dikuasai oleh importir dan pedagang besar,
sehingga harga privat lebih besar dari harga sosialnya (Tabel 2).
Tabel 2. Nilai Harga Privat dan Harga Sosial Faktor Produksi Usahatani Padi yang
Diperdagangkan, 2015
Harga Sosial
Jenis Biaya Satuan Harga Privat (Rp)/unit)
(Rp/unit)
Pupuk:
- Urea Kg 2,000 4,846
- TSP Kg 2,000 6,290
- NPK Kg 3,000 5,278
Obat-obatan:
- Konfidor Bungkus 45,000 38,250
- Trebon Bungkus 45,000 38,250
- Firtako Bungkus 25,000 21,250
- Score Botol 45,000 38,250
- Ali Bungkus 5,000 4,250
- Metafuron Bungkus 5,000 4,250
- Decis Botol 55,000 46,750

827
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Dengan menggunakan data penerimaan dan biaya produksi dengan harga


privat dan harga sosial diperoleh Matriks Analisis Kebijakan untuk usahatani padi
seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Matriks Analisis Kebijakan terhadap Penerimaan, Biaya dan Keuntungan


Usahatani Padi di Tabanan, Bali dengan luas areal tanam 40 are Tahun
2015
Penerimaan Biaya Input
Uraian Pendapatan
Output Tradable Domestic
Private 9.030.000,00 899.000,00 4.396.550,00 3.734.450,00
Social 9.010.000,00 1.332.090,00 4.395.218,60 3.282.691,40
Divergences 20.000,00 -433.090,00 1.331,40 451.758,60

Divergensi yang dihasilkan pada matriks tersebut bernilai negatif pada


biaya input tradable dan bernilai positif pada biaya input domestik. Divergensi
negatif pada biaya input tradable sebesar Rp. 433.090,- terjadi karena harga sosial
dari input-input tradable lebih tinggi dari harga yang diterima petani. Hal ini
mengindikasikan adanya kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang
mengakibatkan harga sosial input-input tradable lebih tinggi daripada harga
finansialnya. Disisi lain divergensi positif senilai Rp 1.331,40 pada biaya faktor
domestik terjadi karena biaya sosial faktor domestik lebih rendah daripada biaya
privatnya. Hal ini disebabkan adanya bunga modal biaya usahatani yang harus
dibayarkan.Artinya bahwa petani harus mengeluarkan biaya lebih atas faktor
domestik dibandingkan dengan biaya sosial faktor domestik yang bersangkutan.

Selain itu divergensi positif senilai Rp. 20.000 pada penerimaan output
terjadi karena harga yang diterima petani lebih tinggi dari harga sosial padi. Begitu
juga pada pendapatan divergensi menujukkan nilai yang positif yaitu sebesar Rp.
451.758,60, yang artinya pendapatan finansial petani lebih besar daripada
pendapatan sosialnya. Besarnya pendapatan yang dihasilkan petani disebabkan
karena hasil produksi gabah kering panen (GKP) yang diterima petani dihargai
lebih besar dari HPP.Akan tetapi selisih harga yang diterima petani tidak terlalu
jauh dari harga HPP yang menyebabkan divegensi penerimaan dan pendapatan
usahatani padi di kabupaten Tabanan tidak terlalu besar. Jika hal tersebut
berlangsung lama, maka dimungkinkan petani akan merubah komoditas yang
diusahakannya atau menjual lahan usahataninya.
Berdasarkan Matriks Analisis Kebijakan, nilai keunggulan komparatif dan
kompetitif diperoleh seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Beberapa Indikator Analisis Matriks Kebijakan untuk Usahatani Padi di


Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2015
No. Indikator Nilai
1. PCR 0,54
2. DRC 0,57

828
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Nilai Biaya Sumberdaya Domestik atau Domestic Resource Cost Ratio


(DRC) lebih kecil dari satu (DRC<1) atau sebesar 0,57. Nilai DRC tersebut berarti
untuk memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 1.000.000,- diperlukan tamabahan
biaya faktor domestik sebesar Rp. 570.000,-. Angka ini menunjukkan bahwa
usahatani padi efisien dalam menggunakan sumberdaya ekonomi. Nilai DRC
yang lebih kecil dari satu tersebut juga menunjukkan bahwa usahatani padi yang
dilakukan oleh petani efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif.

Dari analisis PAM juga diperoleh nilai PCR sebesar 0,54. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa usahatani padi yang dilakukan oleh petani efisien secara
finansial dan memiliki keunggulan secara kompetitif. Nilai PCR 0,54 memiliki arti
bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar Rp. 1.000.000,- pada
harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp. 540.000,-.
Hal ini berarti penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk
diusahakan karena untuk meningkatkan nilai tambah usahatani padi sebesar satu
juta rupiah dibutuhkan biaya faktor domestik kurang dari satu juta rupiah.Makin
kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat keunggulan kompetitif
yang dimiliki oleh usahatani tersebut.
Apabila nilai PCR dibandingkan dengan DRC, maka diperoleh nilai PCR
lebih kecil dari DRC. Kondisi ini menindikasikan bahwa terdapat kebijakan
pemerintah yang dapat meningkatkan efisiensi produsen dalam berproduksi padi.
Dalam hal ini, kebijakan pemerintah terhadap input output usahatani padi seperti
subsidi pupuk dan kebijakan HPP dapat dikatakan berpengaruh, karena kebijakan
tersebut mampu meningkatkan tingkat keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif usahatani padi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa di Jawa maupun di luar Jawa, bahwa usahatani padi yang
dilakukan masyarakat secara tradisional masih memiliki keunggulan komparatif
maupun kompetitif (Sudaryanto dan Agustian, 2003).

Dampak Kebijakan Pengembangan Usahatani Padi

Suatu kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat


memberikan dampak positif mapun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam sistem
tersebut. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan produksi
maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi. Pada bahasan ini kebijakan
terhadap usahatani padi dibahas secara simultan dengan beberapa indikator
dampak kebijakan yang dihitung berdasarkan Matriks Analisis Kebijakan.

Dampak Kebijakan Input

Bentuk distorsi atau campur tangan pemerintah pada input dapat berupa
penetapan pajak atau subsidi. Dalam kasus usahatani padiadanya kebijakan input
subsidi pupuk yang dapat memacu peningkatan produksi petani. Dampak
kebijakan pemerintah terhadap input dalam penelitian ini ditunjukkan oleh nilai
Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCl), dan Transfer Input (IT). Tabel 5
menunjukkan bahwa nilai NPCL kurang dari 1 (NPCl<1). Artinya harga input yang

829
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dibayar pada usahatani padi tersebut lebih rendah dari seharusnya, yaitu senilai
67 persen.

Tabel 5. Dampak Kebijakan terhadap Harga Tradable Input pada Usahatani Padi
di Kabupaten Tabanan, Bali Tahun 2015
No. Indikator Nilai
1. NPCI [B/F] 0,67
2. IT -433.090

Terlihat juga bahwa secara umum, kebijakan input dan kinerja pasar input
yang berjalan berpihak kepada usahatani padi. Hal ini disebabkan oleh
keterlibatan pemerintah dalam memberikan subsidi pupuk urea, TSP, dan NPK,
meskipun kebijakan subsidi tersebut belum secara optimal termanfaatkan oleh
petani karena sering kali pasokan tidak mencukupi kebutuhan petani untuk
meningkatkan produksi usahataninya.
Selanjutnya dampak kebijakan input juga terlihat dari nilai Transfer Input
(IT). Berdasarkan hasil analisis PAM diketahui bahwa nilai Transfer Input adalah
negatif.Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada input
tradable menguntungkan produsen padi/petani, yaitu sebesar Rp. 433.090 per
luas areal tanam sebesar 40 are. Artinya, secara implisit terdapat subsidi yang
diberikan oleh pemerintah, sehingga efek divergennya lebih banyak diakibatkan
oleh distorsing policies. Dalam hal ini adalah subsidi pupuk yang diberikan oleh
pemerintah untuk pupuk urea, TSP, dan NPK. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
transfer pendapatan dari produsen input kepada petani padi.

Dampak Kebijakan Output

Tingkat ukuran intervensi pemerintah pada output dapat dilihat dari nilai
Transfer Output (OT) dan koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Bentuk
distorsi pemerintah tersebut dapat berupa subsidi atau kebijakan hambatan
perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor. Dalam hal ini, kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah adalah kebijakan harga output atau kebijakan harga
pembelian pemerintah (HPP) gabah. Nilai OT dari usahatani adalah positif
sebesar Rp. 20.000,- pe luas tanam sebesar 40 are atau sebesar Rp. 50,000,-/ha
(Tabel 6).

Tabel 6. Dampak kebijakan terhadap Output pada Usahatani Padi di Kabupaten


Tabanan, Bali Tahun 2015
No. Indikator Nilai
1. NPCO [A/E] 1,002
2. OT 20.000

Hal tersebut berarti harga beras di pasar domestik lebih tinggi daripada harga
ekspornya. Hal ini yang membuktikan bahwa importir beras berusaha membeli
beras dari luar untuk mendapatkan selisih harga tersebut.

830
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Dari hasil analisis juga diperoleh nilai NPCO pada usahatani padi sebesar
1,002 atau nilai NPCO > 1. Angka ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah
menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga sosialnya.
Produsen padi/petani menerima harga 100 persen dari harga yang seharusnya
diterima bila tidak ada distorsi pasar output. Hal ini berarti terjadi transfer
pendapatan dari konsumen ke produsen. Kondisi ini yang menjadikan petani padi
mendapat insentif untuk meningkatkan produksinya karena harga yang diterima
petani lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Menurut Sudaryanto dan Agustian
(2003), kebijakan proteksi harga atau penetapan harga popok produksi dapat
merangsang petani untuk dapat memproduksi padi.
Dampak Kebijakan Input-Output

Kebijakan pemerintah pada input-output merupakan analisis gabungan


antara kebijakan input dan kebijakan output. Dampak kebijakan secara
keseluruhan baik terhadap input maupun output dapat dilihat dari Koefisien
Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (NT) Koefisien Keuntungan (PC), dan
Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Dari hasil analisis PAM diperoleh nilai EPC
usahatani padi lebih besar dari satu (Tabel 7). Hal ini berarti bahwa kebijakan
input-output dapat melindungi petani padi atau disinsentif pada usaha
pengembangan produksi padi.

Tabel 7. Dampak Kebijakan terhadap Harga Input dan Output Usahatani Padi
diKabupaten Tabanan, Bali Tahun 2015
No. Indikator Nilai
1. EPC [(A-B)/(E-F)] 1,06
2. NT 451.758,60
3. PC [D/H] 1,14
4. SRP [L/E] 0,05

Hasil analisis PAM juga menunjukkan bahwa nilai NT positif Rp.


451.758,60. Hal ini berarti adanya peningkatan surplus produsen yang
disebabkan adanya kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini, yaitu sebesar Rp.
451.758,60 per luas areal tanam 40 are per musim tanam. Hasil analisis juga
menunjukkan bahwa nilai PC adalah positif yaitu sebesar 1,14. Angka ini
mengindikasikan adanya keuntungan yang diperoleh petani padi, yaitu sebesar
114 persen dibandingkan dengan tanpa adanya kebijakan. Angka ini
menunjukkan keuntungan privat yang diterima petani lebih besar daripada
keuntungan bersih sosialnya. Demikian pula dengan nilai SRP adalah positif 0,05.
Ini berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan
petani sebagai produsen padi mengeluarkan biaya produksi lebih kecil, yaitu
sebesar 5 persen dari biaya opportunity cost untuk berproduksi. Dengan demikian
secara keseluruhan kebijakan pemerintah selama ini dapat dikatakan
menguntungkan petani sebagai produsen padi.

831
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

1. Usahatani padi di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali masih memiliki daya saing
yang kuat secara komparatif dan kompetitif dilihat dari indikator DRC dan PCR
kurang dari satu.
2. Kebijakan input output dari pemerintah yang berupa kebijakan subsidi pupuk
dan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah berdampak positif
pada pengembangan usahatani padi di Bali. Hal ini terbukti dari adanya nilai
keuntungan yang diterima oleh petani dalam berusahatani padi walaupun tidak
terlalu besar.
SARAN

Dalam meningkatkan daya saing usahatani padi dan menghambat alih


fungsi lahan yang terjadi di Bali khususnya kabupaten Tabanan, pemerintah
melalui pemerintah daerah diharapkan mampu memberikan kebijakan tambahan
berupa: (1) subsidi obat-obatan yang selama ini masih dibeli dengan harga impor
oleh petani dalam berusahatani padi, (2) menetapkan HPP gabah per luasan
produksi yang diukur dalam are, karena sebagian besar petani melakukan
penjualan gabahnya dengan ukuran luas/are.

DAFTAR PUSTAKA

Albert, I., Ugochukwu, and C.I. Ezedinma. 2011. Intensification of Rice Production
Systems in Southeastern Nigeria: A Policy Analysis Matrix Approach.
International Journal of Agricultural Management & Development
(IJAMAD) 1 ( 2 ) : 89 -100 , June , 2011.
BPS Provinsi Bali. 2012. Bali Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali.
Denpasar.
Fagi, A.M., dan Eko.A. 2005. Lahan Rawa Dalam Perspektif Pembangunan
Pertanian Kedepan. Dalam : Ar-Riza,I., Undang Kurnia, Izzuddin Noor
dan Achmadi Jumberi (ed). 2005. Proseding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Rawa dan Pengendaian
Pencemaran Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pegembangan Pertanian.
Husaini, M. Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan terhadap Usahatani
Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan
Selatan.Jurnal Agribisnis Pedesaan, Vol. 02 No. 0, Juni 2012: 122-143.
Kustiari, R., H.J. Purba dan Hermanto. 2012. Analisis Daya Saing Manggis
Indonesia di Pasar Dunia (Studi Kasus Sumatera Barat). Jurnal Agro
Ekonomi. Volume 30 No. 1, Mei 2012: 81-107.
Mahmoud, S., A. Ghanbari, F. Rastegaripour, A. Tavassoli, and Y. Esmaeilian.
2011. Economic Evaluation and Applications of the Policy Analysis Matrix
of Sole and lntercropping of Leguminous and Cereals_Gake study:
Shirvan City-Iran. African Journal of Biotechnology. 10(78): 948-953.
Monke, E.A. and S.K. Pearson. 1989 The Policy Analysis Matrix for Agricultural
Development.Cornell University Press. Ithaca and London.
Ogbe, 0., Agatha, 0. Okoruwa, Victor, J. Saka, and Olaide. 2011. Competitiveness
Of Nigerian Rice and Maize Production Ecologies: A Policy Analysis
Approach. Tropical and Subtropical Agroecosystems. 14(2): 493-500.

832
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Reig, M., A.J. Picazo and V. Estruch. 2008. The Policy Analysis Matrix with Profit-
Efficient Data: Evaluating Profitability in Rice Cultivation. Departamento de
Economia Aplicada.Spanish Journal of Agricultural Research. 6(3): 309-
319.
Scoot dan Carl Gotsch. 2005. Aplication of Policy Analysis Matrix for Indonesia
Agrilcultural. Terjemahan Syaiful Bahri :Aplikasi Policy Analysis Matrix
pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta.
Sudaryanto, T., dan A. Agustian. 2003. Penigkatan Daya Saing Usahatani Padi:
Aspek Kelembagaan. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 1 No. 3,
September 2003: 255-274.

833
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KAJIAN PENERAPAN KOMPONEN PTT PADI DI KABUPATEN SAMOSIR


(Kasus Kecamatan Palipi dan Sianjur Mula-mula)

Lermansius Haloho

Balai pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H. Nasution No. 1-B, Medan Sumatera utara
Email: lhaloho@yahoo.co.id

ABSTRAK

Usahatani padi masih menjadi salah satu andalan petani untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga dan menjadi sumber pendapatan, terbukti semua
petani di Kabupaten Samosir menanam padi. Melalui kajian ini akan dipaparkan
tingkat penerapan komponen PTT dan analisis usahatani Padi. Kajian
dilaksanakan di Samosir sekitar bulan Juni 2015 di dua kecamatan, yaitu Palipi
dan Sianjur Mula-Mula menggunakan metode survey di 4 desa dengan 48 orang
petani PTT responden. Selanjutnya dilakukan diskusi secara kelompok melalui
pendekatan FGD (focus group discussion). Data yang dikumpulkan ditabulasi dan
dianalisis secara deskriptif selanjutnya diinterpretasikan sesuai tujuan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan komponen PTT Padi masih
rendah karena a) pemahaman terhadap konsepsi PTT yang masih belum
maksimal, b) terbatasnya penyediaan modal kerja,dan c) topografi bergelombang.
Usahatani padi memberikan R/C Rasio yang cukup baik yaitu 2,5 di Palipi dan 2,4
di Sianjur Mula-Mula yang berarti memberikan kelayakan usahatani PTT Padi di
Samosir.

Kata kunci: PTT Padi, Analisis Usahatani Padi, Samosir

PENDAHULUAN

Usahatani padi masih menjadi salah satu andalan petani di Kabupaten


Samosir guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga/ masyarakat Samosir dan
sekaligus sebagai sumber pendapatan. Secara turun temurun komoditas padi
terus dipertahankan untuk dibudidayakan, baik dalam keadaan menguntungkan
maupun merugikan. Hal ini,sejalan dengan falsafah orang Batak yang
mengutamakan kebutuhan dan keamanan pangan dalam mempertahankan
hidupnya. Tercukupinya energi dari pangan beras diharapkan dapat mengelola
usahatani lainnya, seperti: berkebun, beternak, dan tanaman lainnya sesuai
dengan kondisi lingkungan. Fakta ini dengan mudah dilihat, hampir semua
perkampungan orang Batak pasti diikuti areal pertanaman padi.
Penduduk Sumatera Utara pada tahun 2013 berjumlah 13.326.307 jiwa
yang terdiri dari 6.648.190 jiwa penduduk laki-laki dan 6.678.117 jiwa perempuan
(BPS Sumut, 2014). Jika tingkat konsumsi beras per kapita sesuai data dari Badan
Ketahanan Pangan (BKP, 2004) rata-rata 136,85 kg/kapita/tahun sehingga
kebutuhan beras mencapai 1,823 juta ton/ tahun. Sedangkan penduduk
Kabupaten Samosir pada tahun 2013 sebanyak 121.924 jiwa, dengan asumsi
yang sama maka kebutuhan beras mencapai16.685 ton/ pertahun.

834
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Agar kebutuhan pangan beras dapat terpenuhi serta mengimbangi


permintaan yang setiap tahun meningkat maka perlu usaha-usaha untuk
mendorong peningkatan produktivitas. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan dan
mengembangkan PTT (Pengelolaan Sumber Daya dan Tanaman Terpadu) Padi
yang nyata mampu meningkatkan produktivitas (Kementan, 2014).
PTT adalah pendekatan dalam pengelolaan hara, air, tanaman dan
organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu dan berkelanjutan dalam
upaya peningkatan produktivitas tanaman, pendapatan petani serta menjamin
keberlanjutan kelestarian lingkungan (Suryana dkk., 2008). Melalui pendekatan
SL PTT Padi, petani disediakan komponen teknologi utama yang adaptasinya luas
dan pengaruh positifnya terhadap produktifitas jelas, dan komponen teknologi
pilihan yang dapat dipilih disesuaikan dengan kondisi agroekologi setempat.
Tulisan ini menyajikantingkat penerapankomponen PTT Padi di Kabupaten
Samosir.

BAHAN DAN METODE

Kajian ini dilaksanakan di Kabupaten Samosir pada 2 kecamatan 4 desa


dengan 48 orang petani PTT Padipada bulan Juni 2015 (Tabel 1).

Tabel 1. Lokasi dan Responden Petani PTT di Kabupaten Samosir, 2015


Jumlah
Kecamatan/ Desa Keterangan
Responden
Palipi:
 Desa Simbolon Purba 7 Irigasi
 Desa Parlombuan 15 Musim kering kekurangan air
Sianjur Mula-mula:
 Desa Aek Sipitudai 10 Irigasi
 Desa Boho 16 Irigasi

Metode survey digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan


wawancara terhadap 48 responden petani. Selanjutnya dilakukan FGD (focus
group discussion) untuk mendalami data primer yang didapatkan dari wawancara.
Sampel kecamatan, desa ditentukan secara purposive sampling (Singarimbun dan
Sofian, 1995), yang merupakan sentra padi, pelaksana program PTT, memiliki
irigasi dan non irigasi. Sedangkan responden adalah petani padi peserta PTT
Padi.

Data yang dikumpulkan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, kualitatif,


dan kuantitatif yang selanjutnya diinterpretasikan sesuai tujuan penelitian. Analisis
kualitatif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fenomena yang ada di lapangan.
Analisis datasecara kuantitatif antara lain pemetaan penerapan komponen PTT
Padi, juga analisis usahatani untuk menghitung R/C Ratio (Gittinger, 1986).

835
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah

Salah satu potensi Kabupaten Samosir adalah sektor pertanian tanaman


pangan terbukti dengan sebagian besar masyarakatnya hidup dan bekerja
menanam padi sawah di semua kecamatan (Tabel 2).

Tabel 2. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah Per Kecamatan di
Kabupaten Samosir, Tahun 2013
Luas Panen Produktivitas
No Kecamatan Produksi (ton/ha)
(ha) (kw/ha
1. Sianjur Mula-mula 1.731 10.853 62,70
2. Harian 1.084 6.808 62,80
3. Sitio-tio 501 3.116 62,20
4. Onanrunggu 979 5.805 59,30
5. Nainggolan 894 5.301 59,30
6. Pali 1.385 8.310 60,00
7. Ronggurnihuta 306 1.778 58,00
8. Pangururan 855 5.045 59,00
9. Simanindo 568 3.408 60,00
Tahun 2013 8.303 50.424 60,72
Tahun 2012 8.891 51.248 57,64
Tahun 2011 8.864 50.862 57,38
Tahun 2010 8.336 48.307 57,34
Sumber: BPS Samosir, 2014

Hasil SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional) pada tahun 2013


menunjukkan distribusi persentase penduduk kabupaten samosir berusia 15 tahun
ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama pertanian cukup
dominan yaitu 70,95% (BPS Samosir, 2014).

Namun demikian, kinerja komoditas padi di Kabupaten Samosir mengalami


penurunan produksi sebesar 1,6% pada tahun 2013 (50.424 ton) dibandingkan
dengan produksi pada tahun 2012 (BPS Samosir, 2014). Kabupaten Samosir
bukan sentra padi di Sumatera Utara, namun tetap diharapkan sumbangannya
untuk mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan.

Kharakteristik Petani PTT Padi di Samosir

Pengambilan data SLPTT Padi di Kabupaten Samosir diwakili Kecamatan


Palipi di Pulau Samosir dengan kondisi ketersediaan air berkurang pada saat
Musim Kemarau (MK) dan Kecamatan Sianjur Mula-mula di daratan Pulau
Sumatera yang ketersediaan air tidak bermasalah sepanjang tahun karena adanya
irigasi. Karakteristik petani PTT Padi rata-rata umur petani untuk kedua
kecamatan sama sekitar 45 tahun (Tabel 3).

836
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Karateristik Petani PTT Padi di Kabupaten Samosir, Tahun 2015


Parameter Kec. Palipi Kec. Sianjur Mula-mula
1. Umur (thn) 45 45
2. Pendidikan (%):
 S1/ D3 - -
 SLTA 37 44
 SLTP 50 33
 SD 13 23
 Tdk tamat - -
3. Pekerjaan Utama (%)
 Padi sawah 100 100
4. PenguasaanSawah 0,42 0,19
 Minimum 0,2 0,14
 Maksimum 1 0,24

Mengacu pada data BPS, batas kisaran umur produktif < 56 tahun, artinya
petani di Samosir dikategorikan usia produktif sehingga dapat mengelola
usahatani dengan baik. Pendidikan petani di Kecamatan Palipi adalah SLTA 37%,
SLTP 50%, SD 13% berarti masih dominan berpendidikan menengah, sedangkan
di Kecamatan Sianjur Mula-mula tingkat pendidikan petani SLTA 44%, SLTP 33%,
SD 23% didominasi sekolah menengah ke bawah sebesar 56%. Data ini
menunjukkan bahwa sumber daya petani masih rendah sehingga diperlukan
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap petani melalui pelatihan yang
berkesinambungan, magang, pembimbingan sehingga meningkatkan kemampuan
dalam menerima teknologi baru dan dapat menerapkannya dengan baik. Sejalan
dengan hasil penelitian Kasyrino (1995) yang mengemukakan bahwa kegiatan
penyuluhan masih tetap dibutuhkan karena kualitas sumberdaya manusia (SDM)
petani masih relatif rendah, sehingga perlu dibina secaraberkesinambungan dalam
hal pengetahuan, keterampilan, dan sikap ke arah yang lebih maju.

Pekerjaan utama di kedua kecamatan adalah petani padi lahan sawah


100%, sesuai dengan tradisi Batak yang mengutamakan kecukupan pangan
beras, sehingga harkat keluarga terjaga maka diutamakan menanam padi. Hal ini,
sejalan dengan hasil penelitian Togatorop dan Wayan (2007) bahwa produksi
tanaman padi (beras) bagi petani masih dominan sebagai sumber kalori dan
protein.

Penguasaan lahan sawah irigasi di Kecamatan Palipirata-rata 0,42 ha,


minimum 0,2 ha dan maksimum 1 ha, ternyata penguasaan lahan ini relatif masih
cukup untuk usaha pertanian sawah. Sedangkan di Kecamatan Sianjur Mula-
mula; penguasaan lahan relatif lebih sedikit, yaitu 0,19 ha, minimum 0,14 ha dan
maksimum 0,24 ha.

837
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Program Sekolah Lapang Pengelilaan Tanaman Terpadu (SL PTT) Padi

Pelaksanaan SL PTT Padi di Kabupaten Samosir diawali dengan


melakukan KKP (Kajian Kebutuhan dan Peluang) melalui diskusi dengan petani
untuk memperoleh informasi kebutuhan, permasalahan, dan peluang dalam
usahatani padi. Hasil KKP dijadikan acuan untuk merumuskan teknologi yang
akan diintroduksikan, baik dari komponen teknologi dasar maupun pilihan.
Komponen teknologi pilihan dapat menjadi komponen teknologi dasar jika hasil
analisis memprioritaskan penerapan komponen teknologi tersebut untuk
pemecahan masalah utama di wilayah (Kementan, 2014). Komponen teknoogi
PTT Padi yang dianjurkan untuk diterapkan di Kabupaten Samosir dapat dilihat
pada Tabel 4.

Penerapan Komponen PTT Padi

Penerapan komponen PTT Padi di Samosir belum mengikuti petunjuk


umum (pedum) mencakup empat komponen dasar dan enam komponen pilihan
(Kementan, 2014) (Tabel 4)

Tabel 4. Komponen PTT Padi yang Diterapkan di Kabupaten Samosir, Tahun


2015
No Komponen PTT Padi Uraian
1. Varietas Unggul Baru Ciherang
2. Benih bermutu dan berlabel Sertifikat
3. Penggunaan bibit muda (<21 hari) < 21 hari
4. Pengaturan populasi atau sistem Legowo 4 : 1 atau 2 : 1
tanam
5. Tanam bibit 1-3 batang per rumpun 1 – 3batang
6. Umur bibit 15 hari
7. Jarak tanam 20 x 10 x 40 cm
8. Pemberian bahan organik 1 – 2 ton/ha
9. Pemupukan Menggunakan PUTS dan BWD (Urea 250 kg/ha,
berdasarkankebutuhan tanaman SP36 250 kg/ha), KCL 250 kg/ha)
danstatus hara tanah
10. Pengendalian OPT PHT
denganpendekatan PHT
11. Panen tepat waktu dan Padi sudah menguning90-95% dan perontokan
gabahsegera dirontok dengan Threser

Penerapan petani responden terhadap komponen SL PTT Padi di Palipi:


penggunaan varietas unggul baru (vub) 59%; benih bermutu dan berlabel 33%,
bibit muda < 21 hari 14%, bibit 1-3 batang perlubang tanam 14%, sistem tanam
jajar legowo 4:1 9%, pengolahan lahan sempurna 17%, pemberian pupuk organic
9%, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah23%,
penggunaan pupuk cair (PPC) 45%, pengendalian OPT dengan PHT 32% dan
panen tepat waktu dan gabah segera dirontok 87%.

Hal yang hampir sama terjadi di Sianjur Mula-mula: penggunaan varietas


unggul baru (vub) 41%; benih bermutu dan berlabel 33%, bibit muda < 21 hari 5%,
bibit 1-3 batang perlubang tanam 4%, sistim tanam jajar legowo 4:1 5%,

838
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pengolahan lahan sempurna 15%, pemberian pupuk organic 5%, pemupukan


berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah 33%, penggunaan pupuk
cair (PPC) 33%, pengendalian OPT dengan PHT 11% dan panen tepat waktu dan
gabah segera dirontok 91% (Tabel 5).

Tabel 5. Penerapan Komponen PTT Padi di Kabupaten Samosir, Tahun 2015


Palipi Sianjur Mula-mula
Parameter
Ya (%) Ya (%)
Komponen SL PTT yang diterapkan:
1. Varietas Unggul Baru (VUB) 59 41
2. Benih bermutu dan berlabel 33 33
3. Penggunaan bibit muda (<21 hari) 14 5
4. Penggunaan bibit 1-3 batang perlubang tanam 14 4
5. Pengaturan populasi atau sistem tanamjajar legowo 4 : 1 9 5
6. Pengolahan lahan sempurna 17 15
7. Pemberian bahan organik 9 5
8. Pemupukan berdasarkankebutuhan tanaman danstatus 23 33
hara tanah
9. Penggunaan pupuk pelengkap cair (PPC) 45 33
10. Pengendalian OPT denganpendekatan PHT 32 11
11. Panen tepat waktu dan gabahsegera dirontok 87 91

Penerapan petani terhadap komponen PTT Padi masih belum sempurna


dan masih diperlukan kerja keras instansi yang mempunyai hubungan baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan petani, yaitu Dinas Pertanian,
Penyuluhan, penyedia sarana produksi pertanian, permodalan. Menurut penelitian
Sembiring dkk. (2013) bahwa pemahaman para petani masih beragambergantung
pada intensitas penyuluhan dan informasi yang mereka peroleh. Terjadinya
pemahaman mengenai pola atau pendekatan PTT yang masih beragam
disebabkan antara lain masih kurang intensifnya komunikasi serta pelaksanaan
Pedoman Umum dan Panduan Pelaksanaan yang belum satu bahasa

Analisa Usahatani PTT Padi

Menghitung perbandingan antara biaya produksi padi yang dikeluarkan


dalam satu siklus pertanaman dan pendapatan yang diperoleh oleh petani padi
sangat diperlukan untuk mengetahui untung rugi. Disamping itu, untuk
mengetahui apakah pemakaian sarana produksi sudah efisien atau sebaliknya
mungkin perlu ditambah untuk meningkatkan produksi. Salah satu cara sederhana
dapat digunakan dengan R/C Ratio yaitu membandingkan penerimaan dengan
biaya produksi, jika > 1 berarti layak untuk diusahai (Gittinger, 1986).

Penggunaan biaya produksi untuk usahatani padi di Samosir (Palipi dan


Sianjur Mula-mula) seluas 1 hektar hampir sama yaitu Rp 5.594.000dan Rp
5.608.000. Tingkat penerimaan yang diperoleh petani berturut-turut adalah Rp
13.760.000 dan Rp 13.440.000. Hasil perhitungan kelayakan usahatani dengan

839
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tingkat R/C Rasio masing-masing sebesar 2,5 dan 2,4 berarti memberikan
kelayakan usahatani PTT Padi di Samosir (Tabel 6)

Tabel 6. Perhitungan Biaya Produksi dan Pendapatan Petani PTT Padi Sawah
untuk 1 Ha di Kabupaten Samosir, Tahun 2014
Kecamatan
No Uraian
Palipi Sianjur Mula-mula
1. Benih padi (Rp) 540.000 490.000
2. Pupuk:
 Urea (Rp) 410.000 512.000
 SP36 (Rp) 240.000 120.000
 KCl (Rp) 644.000 506.000
 ZA (Rp) 132.000 260.000
 Phonska (Rp) 364.000 390.000
3. Pestisida (Rp) 234.000 300.000
Herbisida (Rp) 60.000 100.000
4. Tenaga kerja (Rp)
 Persemaian 60.000 60.000
 Bajak 830.000 830.000
 Tanam 400.000 480.000
 Menyiangi 480.000 600.000
 Memupuk/ menyemprot 240.000 400.000
 Panen 960.000 560.000
5. Total biaya Produksi 5.594.000 5.608.000
6. Penerimaan 13.760.000 13.440.000
7. R/C Rasio 2,5 2,4
8. B/C Rasio 1,5 1,4

KESIMPULAN

1. Kabupaten Samosir mengandalkan sektor pertanian,sehingga


masyarakatnya hidup dan bekerja di usahatani tanaman pangan
(padi)dengan distribusi persentase penduduk berusia 15 tahun ke atas
yang pekerjaan utama pertanian mencapai 70,95%.
2. Penerapan komponen PTT Padi di Samosir (Kecamatan Palipi dan Sianjur
Mula-mula) masih rendah berhubung kebiasaan, pemahaman masih
rendah, penyediaan modal kerja untuk saprotan belum terpenuhi, kondisi
kontur persawahan yang tidak datar menyulitkan penerapan teknologi.
3. Hasil perhitungan kelayakan usahatani dengan tingkat R/C Rasio masing-
masing sebesar 2,5 dan 2,4 berarti memberikan kelayakan usahatani PTT
Padi di Samosir.

SARAN
1. Diperlukan pembinaan yang berkelanjutan oleh instansi yang
berhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
petani, yaitu Dinas Pertanian, dan Penyuluhan.
2. Pengenalan inovasi teknologi PTT Padi melalui komponen kepada
pengguna/petani, sebaiknya dilakukan secara bertahap, satu demi satu
tetapi dapat meyakinkan petani bahwa adopsi teknologi tersebut akan
meningkatkan produktivitas sehingga diikuti perbaikan pendapatan petani
dan sekaligus mewujudkan swasembada beras berkelanjutan.

840
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Samosir. 2014. Samosir Dalam Angka Tahun 2013.
Kerjasama Biro Pusat Statistik Samosir dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Samosir.
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2013. Sumatera Utara Dalam Angka
Tahun 2012. Kerjasama Biro Pusat Statistik Sumatera Utara dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
BKP.2004. Laporan Posko Bulanan, Tahun 2004. Badan Ketahanan Pangan
Propinsi Sumatera Utara.
Gittinger, J.P. 1986. Analisa ekonomi proyek-proyek pertanian.Diterjemahkan :
Slamet Sutono dan Komet Mangiri. Edisi kedua, Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press).
Kasryno, F. 1995. Reorientasi penelitian dan penyuluhan pertanian pada PJP
II.ProsidingLokakarya Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian
pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap ke- II. Badan Litbang
Pertanian, Jakarta.
Kementan.2014. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah
Tahun 2014. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian
Pertanian, Jakarta.
Sembiring H, Lukman Hakim, I Nyoman Widiarta, dan Zulkifi Zaini.2013. Evaluasi
Adopsi Pengelolaan Tanaman TerpaduDalam Sekolah Lapang (SL) Pada
Program NasionalPeningkatan Produksi Tanaman
Pangan.ProsidingSeminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik
Lokasi. Medan, 6 – 7 Juni 2012.Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Bogor, 2013.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi (Editor). 1995. Metode Penelitian Survai.
Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Cetakan Kedua.
Suryana, A., Suyamto, Baehaki SE., S. Abdurachman., I. N. Widiarta., H. M. Toha.,
H. Sembiring., Hermanto., dan H. Kasim. 2008. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Togatorop dan Wayan. 2007. Peran Serta Ternak Sebagai Salah Satu Komponen
Usahatani Ekosistem Lahan Sawah Untuk Peningkatan Pendapatan
Petani. Prosiding Seminar Nasional, Medan. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor.

841
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

TEKNOLOGI EXISTING, TINGKAT PENDAPATAN DAN PELUANG


PENGEMBANGAN USAHATANI PADI SAWAH IRIGASI
DI KOTA JAYAPURA, PAPUA

Afrizal Malik1), Yunita Indah Wulandari2), dan Sri Rahayu D. Sihombing 2)

1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Jl. Bukit Tegalepek Ungaran Semarang
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
Jl. Yahim Sentani Jayapura
Email : bptppapua@yahoo.com

ABSTRAK

Pengkajian bertujuan untuk melihat kondisi exsisting dan menganalisis


pendapatan petani serta peluang pengembangannnya dalam mengelola usahatani
padi sawah irigasi. Pengkajian dalam bentuk survei dilaksanakan di Kota
Jayapura sebagai salah satu sentra padi sawah di Provinsi Papua. Dari Kota
Jayapura ditentukan Kelurahan Koya Barat Distrik Muara Tami sebagai lokasi
pengkajian dilaksanakan bulan Oktober 2014 Januari 2015 dengan jumlah 48
petani responden yang mengusahakan padi sawah secara terus menerus 2 tahun
terakhir. Analisis yang digunakan dua pendekatan, yaitu deskriptif dan kuantitatif.
Untuk melihat kelayakan usahatani padi sawah dengan menghitung B/C. Hasil
kajian menunjukkan bahwa rata-rata luas garapan padi sawah 1,15 ha/petani
dengan tingkat produktivitas 4,610 kg/ha. Biaya usahatani Rp 13.357.500/ha
dengan penerimaan Rp 23.050.000/ha, sehingga keuntungan yang diterima petani
Rp 9.692.500/ha (B/C 1,72). Terdapat 10.222 ha lahan basah potensial untuk
dikembangan menjadi sawah. Jika luas lahan potesial ini dijadikan sawah
didapatkan 33.835 ton beras dan dapat mencukupi kebutuhan penduduk Kota
Jayapura. Sangat diperlukan kebijakan pemerintah daerah melalui dinas teknis
untuk percepatan diseminasi teknologi PTT Padi guna peningkatan produktivitas
padi sawah persatuan luas.
Kata Kunci: Padi sawah, irigasi, dan peluang pengembangan

PENDAHULUAN

Pengembangan tanaman pangan, khususnya beras selalu menjadi fokus


dalam setiap pembangunan pertanian di Provinsi Papua, karena beras merupakan
makanan pokok selain ubi jalar dan sagu serta banyak melibatkan tenaga kerja,
serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Malik dan Limbongan (2008)
melaporkan permasalahan utama dalam mewujudkan beras adalah terkait dengan
fakta bahwa pertumbuhan permintaan beras, khususnya di Provinsi Papua yang
lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya. Masih banyaknya petani yang
belum mampu meningkatkan kesejahteraannya karena rendahnya pendapatan, ini
terkait dengan rendahnya kemampuan mereka dalam berproduksi.

Fakta dilapangan menunjukkan sebagian petani memang belum banyak


disentuh teknologi pertanian yang sebenarnya mereka perlukan dalam

842
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

meningkatkan produktivitas. Kehidupan masyarakat Papua saat ini dan beberapa


dekade mendatang sangat tergantung pada sektor pertanian, terutama tanaman
pangan (beras) untuk mencukupi kebutuhan pangannya (Sudaryanto dan Pranaji,
2006). Untuk itu diperlukan langkah–langkah untuk mempercepat pemenuhan
kebutuhan tersebut dengan cara mempercepat proses diseminasi dan adopsi
teknologi pertanian secara lebih komprehensif dan spesifik lokasi.

Menurut BPS Papua (2014) kebutuhan beras di Provinsi Papua baru


terpenuhi 52%, sisanya didatangkan dari Provinsi tetangga (Sulawesi Selatan).
Untuk mengurangi ketergantungan beras dari luar Papua, Pemerintah daerah
melalui Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Provinsi Papua berupaya
untuk melaksanakan intensifikasi padi sawah. Intensifikasi dalam rangka
pemenuhan kebutuhan beras, di antaranya melalui penerapan PTT (Pengelolaan
Tanaman Terpadu) Padi.

Menurut BPS Provinsi Papua (2014) luas panen padi sawah di Provinsi
Papua 38.338 ha dengan tingkat produktivitas 4,197 ton/ha, di Kota Jayapura
terdapat 1.095 ha atau 2,85% dari luas sawah yang yang ada di Provinsi Papua
dengan tingkat produktivitas 4,254 ton/ha. Produktivitas yang dihasilkan jauh lebih
rendah dari hasil pengkajian yang sudah dilakukan BPTP Papua (2011); Nunuela
(2013), yaitu 5,7 ton/ha. Bahkan Palobo dan Ayekeding (2013) melaporkan
produktivitas padi sawah di Merauke mencapai 5,8 ton/ha.

Bapeda Kota Jayapura (2012) melaporkan Kelurahan Koya Barat


merupakan salah satu kelurahan yang terdapat di Distrik Muara Tami Kota
Jayapura sebagai sentra atau penyangga beras yang sangat potensial untuk
dikembangkan. Dari hasil pewilayahan komoditas pertanian yang dilakukan
kerjasama Bapeda dengan BPTP Papua (2013) di Distrik Muara Tami terdapat
10.222 ha lahan basah sangat potensial untuk pengembangan tanaman pangan
terutama padi sawah.

Jika disimak dari data di atas terlihat senjang hasil aktual dengan
produktivitas penelitian/pengkajian, untuk itu sangat diperlukan dorongan dan
motivasi serta adopsi teknologi peningkatan hasil padi sawah ditingkat petani
sehingga didapatkan produktivitas yang optimal. Rendahnya produktivitas yang
dicapai petani dalam berusahatani padi sawah akan berpengaruh kepada tingkat
pendapatan petani itu sendiri. Secara teori semakin tinggi produktivitas padi
sawah yang dihasilkan akan semakin tinggi pula pendapatan yang diterima petani
dalam berusahatani padi sawah. Untuk itu perlu dilihat kondisi exsisting dan
peluang peningkatan produktivitas.

Untuk pengembangan padi sawah lebih lanjut perlu dilihat tingkat


pendapatan petani. Pengkajian bertujuan untuk melihat kondisi exsisting dan
menganalisis pendapatan petani serta peluang pengembangannnya dalam
mengelola usahatani padi sawah di Kota Jayapura.

843
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Kota Jayapura atas dasar salah satu sentra padi
sawah setelah Kabupaten Merauke, Kabupaten Nabire dan Kabupaten Jayapura
di Provinsi Papua. Selanjutnya ditentukan Kelurahan Koya Barat Distrik Muara
Tami sebagai lokasi pengkajian. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Pebruari
2015 dari hasil tanam bulan Oktober 2014-Januari 2015. Jumlah petani yang
dijadikan sampel responden sebanyak 48 petani yang mengusahakan padi sawah
secara terus menerus 2 tahun terakhir.

Data primer diperoleh melalui kegiatan wawancara dan diskusi langsung


dengan petani responden yang dilengkapi dengan daftar pertanyaan. Data yang
dikumpulkan adalah karakteristik responden, luas lahan garapan untuk padi
sawah, teknik budidaya padi sawah, biaya–biaya yang dikeluarkan selama
berusahatani padi sawah, produksi (output) dan harga jual gabah saat pengkajian
berlangsung. Selain data primer, juga dilengkapi dengan data sekunder sebagai
pendukung pengkajian.
Semua data yang terkumpul dari responden dilakukan tabulasi, dengan
tujuan memudahkan dalam interprestasi data. Analisis yang digunakan dalam
pengkajian ini berdasarkan pada dua pendekatan, yaitu deskriptif dan kuantitatif.
Analisis deskritif digunakan untuk mendiskripsikan keadaan umum
usahatani padi sawah di daerah pengkajian. Selain itu analisis deskriptif
digunakan juga untuk mendiskripsikan gambaran atau penjelasan mengenai hasil
analisis usahatani. Dengan demikian metode analisis ini diharapkan mampu
memberikan penjelasan tentang hal – hal yang berhubungan dengan usahatani
padi sawah yang tidak dapat dijelaskan secara detail melalui analisis kuantitatif.
Formula yang lazim digunakan dalam analisis usahatani adalah TC = TFC + TVC.
TC = Total Cost; TFC = Total Fixed Cost; TVC = Total Variable Cost (FAO, 1993;
Manti dan Hendayana, 2005). Untuk melihat kelayakan usahatani padi sawah
untuk dikembangkan lebih lanjut dilakukan dengan menghitung B/C.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Pengkajian

Kota Jayapura merupakan salah satu daerah dari 29 Kabupaten/Kota yang


ada di Provinsi Papua, berbatas dengan : Sebelah Utara berbatasan dengan Laut
Pasifik, Sebelah Selatan Kabupaten Keerom, Sebelah Barat dengan Kabupaten
Jayapura dan Sebelah Timur dengan PNG (Papua New Guini).

Menurut BPS Kota Jayapura (2014), luas wilayah Kota Jayapura 940 Km 2
terdiri dari 5 distrik, yaitu Distrik tersempit adalah Jayapura Selatan 43,4 Km 2
(4,62%) dari jumlah luas wilayah Kota Jayapura dan terluas Distrik Muara Tami
626,7 Km2 (66,67%) luas wilayah Kota Jayapura.

Penduduk Kota Jayapura 256.705 jiwa dengan kepadatan penduduk 273


jiwa/Km2. Penduduk terpadat terdapat pada Distrik Abepura 66.937 jiwa dengan

844
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kepadatan 470 jiwa/Km2. Sedangkan Distrik Muara Tami yang menjadi lokasi
pengkajian merupakan kepadatan penduduk yang paling sedikit, yaitu 11.137 jiwa
dengan kepadatan 18 jiwa/Km2 (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah Penduduk (jiwa) Berdasarkan Kelamin dan Kepadatan


(Orang/Km2) per Distrik di Kota Jayapura, 2015
Jumlah penduduk
No Distrik Jumlah Kepadatan
Laki-Laki Wanita
1. Abepura 39.135 34.022 73.157 470
2. Jayapura Selatan 35.375 31.562 66.937 1.542
3. Jayapura Utara 34.457 30.582 65.039 113
4. Muara Tami 5.928 5.209 11.137 18
5. Heram 21.692 18.743 40.435 640
Jumlah 136.587 120.118 256.705 273
Sumber: BPS Kota Jayapura (2014)

Jika dihubungkan dengan luas lahan yang ada, maka Distrik Muara Tami
berpeluang untuk dikembangkan. Disamping itu, Kelurahan Koya Barat dan Koya
Timur adalah penduduk transmigran yang berasal dari pulau Jawa (Jateng dan
Jatim) dan sebagian translok berasal dari etnis Bugis dan Makasar. Dari data BPS
Kota Jayapura (2014) terdapat 6.642 jiwa sumber tenaga kerja, baik laki-laki
maupun wanita. Sumber tenaga kerja ini sangat dimungkinkan untuk bekerja di
sektor pertanian sesuai dengan potensi lahan yang ada.

Pengembangan Tanaman Pangan


Tanaman pangan yang dapat dikembangkan di Kota Jayapura adalah padi
sawah, pagi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah, dan umbi-umbian.
Pengembangan padi sawah dilakukan di lahan basah seluas 22.029 Ha, namun
yang sangat sesuai 10.222 Ha. Lahan yang dapat dikembangkan untuk
persawahan berada pada landfrom dataran aluvial, kondisi lahan saat ini sebagian
sudah dimanfaatkan penduduk sebagai lahan sawah (Bapeda Kota Jayapura,
2013).
Pengembangan padi sawah dapat dilakukan 2x setahun. Mengingat
kandungan hara tanah di daerah pengkajian cukup tersedia, sehingga pemupukan
didasarkan atas kandungan hara tanah. Usaha ektensifikasi lahan untuk
persawahan di Kota Jayapura masih memungkinkan, mengingat lahan sesuai
untuk padi sawah dan sumber air mencukupi, terutama air irigasi yang berasal dari
bendungan Muara Tami dengan potensi lahan bisa diairi 5.800 ha.

Karakteristik Responden Petani Padi Sawah

Hasil pengkajian bahwa kisaran umur petani padi sawah di lokasi kajian 38-
55 tahun dengan rata-rata umur didominasi sebagian berusia produktif (46,01
tahun). Menurut Amin (2014) kemampuan manusia dalam bekerja dengan
curahan tenaga kerja yang efektif berada kategori umur produktif berada 30-50
tahun. Persentase umur responden dengan 35-50 tahun sebanyak 44,28%.

845
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Semakin tinggi pendidikan seseorang akan lebih cepat mengadopsi suatu


teknologi, namun tidak selalu demikian, banyak faktor penyebabnya. Dari hasil
pengkajian pendidikan petani padi sawah didominasi berpendidikan SLTP 71,44%,
setara SLTA 5,71% dan masih ditemukan petani berpendidikan SD 22,85%. Jika
dilihat dari tingkat pendidikan formal petani tidak jauh berbeda dengan gambaran
umum tingkat pendidikan petani yang ada di Papua. Menurut Rosari (1998)
karakter seseorang yang berpendidikan sangat berperan dalam menerima
teknologi baru. Sedangkan Mulyandari (2011) menyatakan petani dalam
mengakses teknologi informasi cenderung memiliki pendidikan yang relatif tinggi,
karena teknologi informasi merupakan media komunikasi baru yang membutuhkan
pengetahuan yang relatif tinggi dibanding dengan media komunikasi lainnya.

Keragaan Teknologi Existing dan Analisis Usahatani Padi Sawah

Salah satu faktor keberhasilan pengelolaan usahatani padi sawah sangat


ditentukan dari penggunaan input produksi yang diberikan. Penggunaan input
produksi yang optimal akan menghasilkan produksi yang maksimal dan pada
akhirnya memberikan keuntungan usahatani yang relatif tinggi. Salah satunya
adalah benih; petani menggunakan benih padi sawah di Kelurahan Koya Barat
belum bermutu dan berasal dari hasil panen sebelumnya, serta benih tersebut
sudah ditanam berulang kali (2-3 kali panen). Pergantian atau pergiliran varietas
dilakukan dari hasil panen sendiri dan atau tukar dengan petani tetangga.
Penanaman varietas yang sama sepanjang tahun dapat memicu perkembangan
populasi hama terutama wereng cokelat.
Rata-rata penggunaan benih oleh petani 34,20 kg per hektar, penggunaan
benih ini terlalu tinggi (tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata Input-Output Usahatani Padi Sawah di Kelurahan Koya Barat
Distrik Muara Tami, 2015
No Input Per hektar
1. Benih (kg) 34,2
2. Pupuk (kg)
Urea 206
Phonska 254
3. Obatan-obatan 615.500
(Herbisida dan pestisida (Rp*)
4. Curahan Tenaga kerja (HOK) 72,25
5. Hasil gkg (kg) 4.610
Sumber: Data primer (2015)

*) Petani menggunakan beragam jenis pestisida dan herbisida dalam perhitungan


disesuaikan dan dinilai dalam bentuk rupiah
Penggunaan benih padi sawah disarankan 20-25 kg/ha. Tingginya
penggunaan benih di tingkat petani disebabkan ketidak yakinan petani terhadap
mutu benih, disamping itu serangan burung saat di persemaian.
Petani lebih cenderung menggunakan varietas unggul nasional, yaitu
Ciherang dan Memberamo. Alasan yang dikemukakan petani menggunakan

846
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

varietas tersebut adalah produktivitas tinggi dan harga jual beras kompetitif. Hal
senada juga ditemukan di sentra padi sawah Kabupaten Merauke, petani dalam
pemilihan varietas lebih cenderung kepada produktivitas tinggi, harga jual beras
dan mutu dan rasa menempati rangking pertama pilihan petani (Malik dan Kadir,
2015). Namun ada beberapa petani sudah menanam varietas Inpari 22 dan 25
dari hasil pengembangan dari BPTP Papua.
Usahatani padi sawah yang dilaksanakan petani pada bulan Maret/April-
Juni/Juli dan bulan September/Oktober-Desember/Januari dengan kisaran luas
garapan 0,50–2,00 ha dengan rata-rata 1,15 ha/petani. Luasnya garapan lahan
sawah yang diusahakan setiap petani disebabkan hak kepemilikan lahan saat
kedatangan sebagai transmigran.
Dosis pupuk yang digunakan antar petani dan lokasi beragam, hal ini
disebabkan kelangkaan modal petani saat aplikasi. Dosis anjuran penggunaan
pupuk persatuan luas sudah diketahui petani, namun pada prakteknya tidak
seluruh petani menerapkan dosis anjuran yang dimaksud. Rata-rata penggunaan
pupuk oleh petani responden Urea 206 kg + 254 kg Phonska per ha. Petani tidak
menggunakan pupuk KCl. Harga pupuk KCl cukup mahal dan tidak tersedia saat
dibutuhkan. Nunuela (2013) menyarankan penggunaan pupuk Urea 150 kg + 150
kg SP-36 + 100 kg KCl dapat meningkatkan produktivitas padi sawah 5,7 ton/ha
gkg.
Petani melakukan pengolahan tanah dengan membajak menggunakan
hand traktor dengan nilai upah Rp 1.500.000/ha siap tanam. Sedangkan curahan
tenaga kerja tanam sampai panen 72,25 HOK (hari orang kerja). Petani
menggunakan beberapa jenis herbisida untuk membantu pengendalian gulma
sebelum pengolahan lahan dilakukan dan penyiangan. Lahan bekas pertanaman
padi sawah sebelumnya dibersihkan dan disemprot menggunakan herbisida,
setelah itu lahan dibiarkan 15–30 hari, setelah itu dilakukan penanaman.
Petani melakukan penyemprotan herbisida pra tumbuh dengan jenis merek
dagang DMA, Gramaxone dan Run Up. DMA digunakan untuk gulma yang
berdaun lebar, sedangkan jenis Gramaxone dan Run Up digunakan pada tanaman
pra tumbuh.
Umumnya petani sudah menerapkan sistem jajar legowo, namun lebih
banyak dikenal sistem tegel dengan jarak tanam yang digunakan tidak beraturan
dengan kisaran 20x20 cm dan 25x25 cm. Namun sebagian petani sudah
menerapkan jajar legowo yang didominasi legowo 4:1, petani menggunakan bibit
5-8 batang/rumpun. Dalam pengendalian gulma, petani lebih banyak
menggunakan herbisida pra tumbuh (saat tanah belum diolah). Penyiangan lebih
banyak dilakukan oleh wanita. Penyiangan dilakukan petani rata-rata hanya satu
kali pada umur lebih dari 35 HST (hari setelah tanam).
Pemupukan pertaman dilakukan petani pada umur 10-20 HST; sebagian
besar petani melakukan pemupukan kedua bersamaan dengan penyiangan, yaitu
pada umur 35-50 HST. Petani mencampur kedua jenis pupuk (Urea dan Phonska)
dan menabur di antara tanaman saat air tanaman macak-macak.

847
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hama yang banyak menyerang tanaman padi sawah di lokasi pengkajian


dari hasil pengamatan adalah lalat bibit saat pertanaman padi berumur muda dan
walang sangit. Serangan hama dan penyakit ini tidak begitu banyak, hanya secara
spasial, petani menggunakan jenis insektisida dengan merek dagang Curater 3 G,
terutama untuk lalat bibit. Virtako dan Akodan serta Darmabas untuk hama dan
penyakit lainnya.
Dalam pengkajian ini petani sulit mengingat berapa dosis yang digunakan,
namun petani ingat jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini. Termasuk
penggunaan pestisida untuk pemberantasan hama dan penyakit. Konsekuensi
dari input yang diberikan, rata-rata produktivitas yang dicapai petani responden
4.610 kg/ha gkg.

Untuk melihat efisiensi atau kelayakan usahatani padi sawah irigasi yang
diusahakan petani padi sawah di Kelurahan Koya Barat Muara Tami Kota
Jayapura, dapat digunakan analisis B/C ratio atau Benefit Cost Ratio. B/C ratio
dapat dihitung melalui penerimaan dibagi dengan pengeluaran. Berdasarkan hasil
perhitungan garapan perhektar, didapatkan nilai B/C ratio sebesar 1,72. Nilai ini
berarti setiap pengeluaran sebesar Rp 1,00 maka penerimaan akan bertambah
sebesar Rp 172 dan nilai tersebut dapat menunjukkan bahwa usahatani padi
sawah irigasi di Kelurahan Koya Barat Muara Tami Kota Jayapura ini efisien dan
layak untuk dikembangkan (Tabel 3).

Tabel 3 Analisis Usahatani Padi Sawah di KelurahanKoya Barat Distrik Muara


Tami Kota Jayapura, 2015
No Uraian Per hektar
1. Pengeluaran (Input) 13.357.500
2. Peneriman (Output)*) Rp 5.000/kg 23.050.000
a. Benih (Rp) 342.000
b. Pupuk (Rp) 920.000
c. Obat-obatan (Rp) 915.500
d. Olah tanah (Rp) 1.500.000
d. Tenaga kerja (Rp)*) Rp 100.000/HOK 7.225.000
e. Upah tresher 10% 2.455.000
3. Total Keuntungan (2-1) (Rp) 9.692.500
B/C (1/2) 1,72
Sumber: diolah dari Tabel 1.

Jika usahatani padi sawah yang diusahakan petani di lokasi kajian Kelurahan
Koya Barat Distrik Muara Tami Kota Jayapura selama 4 bulan maka pendapatan
yang diterima petani Rp 2.423.125/bulan. Pendapatan ini hampir sama dengan
upah regional Papua (UMR) 2015 sebesar Rp 2.385.000/bulan. Jika teknologi
peningkatan produktivitas padi sawah irigasi diterapkan petani seperti PTT maka
produktivitas dapat ditingkatkan lebih tinggi. Peningkatan produktivitas akan
berdampak kepada penerimaan yang diterima petani padi sawah.

848
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Peluang pengembangan Padi

Dari pewilayahaan komoditas pertanian yang dilakukan kerjasama BPTP


Papua dengan Bapeda Kota Jayapura (2013) terdapat 10.222 ha lahan basah
untuk pengembangan padi sawah yang sangat sesuai (S1). Jika lahan ini digarap
sesuai dengan potensi irigasi Muara Tami yang ada dan menerapkan teknologi
peningkatan produksi dengan pendekatan PTT diyakini produktivitas padi sawah
irigasi di kawasan ini bisa ditingkatkan.
Jika asumsi peningkatan produksi dengan pendekatan PTT sebesar 10%
dari kondisi existing (5,071 ton/ha gkg) dengan luasan lahan 10.222 ha maka akan
didapatkan produksi 51.835 ton gabah kering giling dengan redemen 65% maka
didapatkan beras 33.692 ton beras. Jika tingkat konsumsi beras masyarakat
Papua 120 kg/kapita/tahun maka akan memberi makan sebanyak 280.766 orang.
Jika penduduk Kota Jayapura diprediksi tahun 2014 sebanyak 256.705 jiwa, maka
kebutuhan beras untuk Kota Jayapura tidak perlu didatangkan dari luar Papua.
Namun semua asumsi tersebut diperlukan beberapa kebijakan oleh Pemerintah
Daerah.
KESIMPULAN

Rata-rata luas garapan padi sawah di Kelurahan Koya Barat Distrik Muara
Tami Kota Jayapura 1,15 ha/petani dengan kisaran 0,50 ha-2,00 ha, tingkat
produktivitas 4.610 kg/ha. Biaya usahatani padi sawah irigasi Rp13.357.500/ha
dengan penerimaan Rp 23.050.000/ha. Keuntungan yang diterima petani Rp
9.692.500/ha dengan nilai B/C 1,72. Terdapat 10.222 ha lahan basah potensial
untuk dikembangkan menjadi sawah. Jika luas lahan potensial ini dijadikan sawah
maka didapatkan 33.835 ton beras dan dapat mencukupi kebutuhan penduduk
Kota Jayapura. Sangat diperlukan kebijakan pemerintah daerah melalui dinas
teknis untuk percepatan diseminasi teknologi PTT Padi untuk peningkatan
produktivitas padi sawah persatuan luas. Kebijakan lain untuk pemanfaatan lahan
potensial untuk pengembangan sawah sangat diperlukan untuk keberlanjutan
ketersedian beras setiap tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Bapeda Kota Jayapura, 2012. Tata Ruang Kota Jayapura.


BPS Papua, 2014. Papua Dalam Angka 2013. Jayapura.
Bapeda Kota Jayapura, 2013. Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan
Zona Agro Ecology Skala 1:50.000 Kota Jayapura. Kerjasama Bapeda
Kota Jayapura dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.
Balai Besar P2TP Badan Litbang Pertanian Jayapura.
BPTP Papua, 2011. Laporan Tahunan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Papua. Balai Besar P2TP Badan Litbang Pertanian Jayapura
FAO, 1993. Farming System Development: A. General Guideline. FAO. Roma
Manti, I dan R Hendayana, 2005. Kajian Kelayakan Ekonomi Rakitan Teknologi
Usahatani jagung di Lahan Kering. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian. PSE, Badan Litbang Pertanian Vol
8 (1) Maret 2005. Hal 55 – 66.

849
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Malik, A dan J. Limbongan, 2008. Pengkajian Potensi, Kendala dan Peluang


Pengembangan Palawija di Papua. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Balai Besar P2TP. Badan Litbang Pertanian. Vol 11
(3) November 2008. Hal 194-204.
Mulyandari, R.S.H, 2011. Perilaku Petani Sayuran dalam Pemanfaatan Teknologi
Informasi. Jurnal Perpustakaan Pertanian 20 (1) 22-24. Badan Litbang
Pertanian.
Malik, A dan S. Kadir, 2015. Mengenjot Produksi Padi Sawah Kabupaten
Merauke, Papua. Bunga Rampai "Menguak Potensi Teknologi Spesifik
Lokasi Guna Mancapai Kesejahteraan Petani. ISBN: 978-602-71644-3-7.
Penerbit: Kristal Multimedia, April 2015
Nunueal, M, 2013. Analisis Faktor Penentu dan Peluang Peningkatan
Produktivitas Padi Sawah di Wilayah Pengembangan Koya Barat Kota
Jayapura. Prosiding Seminar Nasional BPTP Papua. Jayapura, 13 Juni
2013. Badan Litbang Pertanian. Hal 229-233.
Palobo, F dan E. Ayekeding, 2013. Uji Adaptasi Padi Varietas Inpari di Distrik
Semangga Merauke. Prosiding Seminar Nasional BPTP Papua. Jayapura,
13 Juni 2013. Badan Litbang Pertanian. Hal 53-57.

DISKUSI

Nama Penanya : Jainal Abidin Hutagaol (BPTP jambi)


Pertanyaan : Dalam analisis usaha tani Apakah tenaga kerja keluarga tani
sudah dimasukkan misalnya ayah sebagai kepala keluarga,
anak, istri selama bekerja disawah?
Jawaban : Semua tenaga kerja baik dalam dan luar keluarga seluruhnya
dihitung dan dianalisis.

850
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT)


PADI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN PETANI

Alfan Sagito1) dan Winda Rahayu2)


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumut
2)
Balai pengkajian Teknologi Pertanian Aceh
Jl. A.H Nasution No. 1 B Medan Sumatera Utara
Email: sagito_2010@yahoo.com

ABSTRAK

Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) merupakan


metode penyuluhan yang tepat untuk mengimplementasikan Pengendalian Hama
Terpadu. Sekolah Lapangan (1) mempunyai peserta dan pemandu lapangan, (2)
merupakan sekolah di lapangan dan peserta mempraktekkan/menerapkan secara
langsung apa yang dipelajari, (3) mempunyai kurikulum, evalusai dan sertifikat
tanda lulus, dan (4) dimulai dengan acara pembukaan, penutupan, kunjungan
lapangan/study tour dan diakhiri dengan temu lapangan. Metode penyuluhan
sekolah lapangan lahir berdasarkan atas dua tantangan pokok, yaitu
keanekaragaman ekologi dan peran petani sebagai manajer (ahli PHT Padi) di
lahannya sendiri. Pengendalian Hama Terpadu pada tanaman Padi sulit
dituangkan melalui model penyuluhan biasa (poster, ceramah dan lainnya), antara
lain karena keanekaragam ekologi daerah tropik, oleh karena itu PHT mutlak
bersifat lokal. PHT bekerja sama dengan alam dan tidak menentangnya. Upaya
mengubah Petani agar menjadi manajer lahannya/ahli PHT Padi pada dasarnya
merupakan pengembangan sumberdaya manusia. Untuk menuju pertanian
berkelanjutan petani merupakan sumberdaya masyarakat tani itu sendiri yang
mampu memperbaiki teknologi pertanian secara berkesinambungan.
Pembelajaran SLPHT dilaksanakan pada kelompok tani Sinamar, Kecamatan
Harau, Kabupaten lima puluh kota dengan jumlah peserta sebanyak 25 orang.
Hasil pembelajaran petani mengetahui secara dini perilaku hama dan cara
pengendaliannya.

Kata kunci : sekolah lapang, SLPHT, keterampilan, petani

PENDAHULUAN

Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) mulai dirintis


pertama kali di Indonesia pada tahun 1990 dalam rangka Program Nasional
Pengendalian Hama Terpadu. Pada waktu itu istilah Sekolah Lapangan terdengar
cukup aneh di kalangan petani maupun masyarakat lain, tetapi empat tahun
kemudian SLPHT telah diselenggarakan di 10.000 kelompok tani di Indonesia,
serta ribuan desa pertanian lainnya dalam bentuk IPM Farmer Field School
(Sekolah Lapangan PHT) di Vietnam, China, Phillipines, Banglades, India, Korea
Selatan, Muangthai, dan Srilangka. Dalam hal ini SLPHT yang dikembangkan di
Indonesia merupakan sumbangan yang berarti bagi Petani di Indonesia dan di
negara-negara lain. Saat ini di Indonesia telah berkembang SLPHT pada berbagai
komoditi selain padi, di antaranya adalah pada tanaman buah-buahan, sayuran,

851
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dan tanaman lainnya, serta telah jutaan alumni SLPHT dihasilkan sebagai Petani
Ahli PHT (Pertiwi, 2015).

Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) merupakan


metode penyuluhan untuk mengimplementasikan Pengendalian Hama Terpadu.
Sekolah Lapangan (1) mempunyai peserta dan pemandu lapangan, (2)
merupakan sekolah di lapangan dan peserta mempraktekkan/menerapkan secara
langsung apa yang dipelajari, (3) mempunyai kurikulum, evalusai dan sertifikat
tanda lulus, dan (4) dimulai dengan acara pembukaan, penutupan, kunjungan
lapangan/study tour dan diakhiri dengan temu lapangan (Dinas Pertanian
Kab.Lima Puluh Kota, 2013 ).

Metode penyuluhan sekolah lapangan lahir berdasarkan atas dua


tantangan pokok, yaitu keanekaragaman ekologi dan peran petani sebagai
manajer (ahli PHT) Padi di lahannya sendiri. Pengendalian Hama Terpadu sulit
dituangkan melalui model penyuluhan biasa (poster, ceramah dan lainnya), antara
lain karena keanekaragam ekologi daerah tropik, oleh karena itu PHT mutlak
bersifat lokal. PHT bekerja sama dengan alam dan tidak menentangnya. Upaya
mengubah Petani agar menjadi manajer lahannya/ahli PHT pada dasarnya
merupakan pengembangan sumberdaya manusia. Untuk menuju pertanian
berkelanjutan petani merupakan sumberdaya masyarakat tani itu sendiri yang
mampu memperbaiki teknologi pertanian secara berkesinambungan (Van dan
Hawkins. 1999).

Ciri-ciri Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu tanaman Padi


adalah sebagai berikut :1) Petani dan Pemandu adalah warga belajar dan saling
menghormati; 2) Perencanaan bersama oleh kelompok tani; 3) Keputusan
bersama oleh anggota kelompok tani; 4) Cara belajar lewat
pengalaman/Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi); 5) Melakukan sendiri,
mengalami sendiri, dan menemukan sendiri; 6) Materi pelatihan dan praktek
terpadu di lapangan; 7) Sarana belajar adalah lapangan usahatani
(Agroekosistem); 8) Pelatihan selama satu siklus perkembangan tanaman (sesuai
fenologi tanaman); 9) Kurikulum yang rinci dan terpadu; 10) Sarana serta bahan
mudah dan praktis, serba guna, dan mudah diperoleh dari lapangan; 11)
Demokratis, kebersamaan, keselarasan, partisipatif dan tanggung jawab.

Lahan / lapangan dan ekologi pertanian setempat yang hidup dan dinamis
merupakan sarana belajar utama, jika diperlukan sarana belajar lain, maka hanya
berupa ”Petunjuk Teknis”, yaitu petunjuk/pedoman langkah-langkah proses belajar
(Dinas Pertanian Kab.Lima Puluh Kota, 2013 ).

Peserta Sekolah Lapangan PHT Padi adalah petani pemilik dan penggarap
lahan Sawah yang responsif terhadap teknologi baru, produktif, baik pria maupun
wanita. Sebagai petani mereka bukan milik dan bawahan siapapun.

Pemandu Lapangan PHT adalah POPT/PHP, PPL dan Petani alumni


SLPHT yang telah mengikuti TOT Kepemanduan (telah memiliki sertifikat
Kepemanduan). Pemandu lapangan hanyalah sosok motivator, moderator,

852
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dan fasilitator, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :1) Pemandu adalah juga
warga belajar; 2) Berpegang pada prinsip pendidikan orang dewasa (cara belajar
lewat pengalaman); 3) Kebersamaan dan kesetaraan; 4) Demokratis, bahwa
keberagaman merupakan kekayaan; 5) Partisipatif; 6) Rasa tanggung jawab
(Pertiwi. 2015).

Tujuan kegiatan adalah untuk meningkatkan peran dan keterampilan


penyuluh serta petani dalam pengendalian hama terpadu.

BAHAN DAN METODE

Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu padi meliputi


pengorganisasian pelaksanaan untuk kelompok tani komoditi padi diikuti oleh 25
orang peserta, dilaksanakan di kelompok tani Sinamar, Kecamatan Harau,
Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

A. Persiapan SLPHT

Kegiatan persiapan meliputi pemilihan kelompok tani, pemilihan petani


peserta, tempat dan lahan belajar, bahan dan alat belajar, materi dan waktu
belajar. Hal-hal tersebut dihasilkan dari pertemuan persiapan. Pertemuan
persiapan dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu:

1. Pertemuan Tingkat Kecamatan/Desa

Pertemuan ini dimaksudkan untuk memperoleh dukungan dari tingkat desa


maupun kecamatan, yaitu dalam penentuan lokasi, jumlah dan calon peserta,
penentuan pertemuan persiapan tingkat kelompok tani, dan hal-hal lainnya.

Pertemuan persiapan ini bisa dilaksanakan di tingkat kecamatan apabila


jumlah SLPHT lebih dari satu unit dan cukup di tingkat desa apabila pelaksanaan
SLPHT hanya satu unit dan sudah ditentukan pilihan desanya. Pertemuan dihadiri
oleh camat/kepala desa dan perangkat desa, KCD, POPT/PHP, PPL, pejabat
terkait, Ketua kelompok tani, ketua P3A dan tokoh masyarakat lainnya. Pertemuan
ini dilaksanakan 3 minggu sebelum pelaksanaan SLPHT.

2. Pertemuan Tingkat Kelompok Tani

Pertemuan dilakukan di Kelompok tani Sinamar dalam rangka


memperoleh peserta SLPHT, terutama peserta aktif dan kesepakatan waktu
pelaksanaan, hari pelaksanaan, hari kegiatan, lokasi lahan belajar, materi
kegiatan, studi-studi petani dan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan SLPHT.
Pertemuan ini dilakukan 2 minggu sebelum kegiatan SLPHT.

B. Pelaksanaan SLPHT

Pelaksanaan kegiatan SLPHT merupakan proses belajar peserta yang


berlangsung secara periodik (dua mingguan, mingguan, ataupun periode waktu
tertentu/sesuai fenologi tanaman) selama satu musim tanam penuh/periode

853
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

waktu/sesuai fenologi tanaman sebanyak 12 –16 kali pertemuan. Jadwal


pertemuan harian adalah seperti Tabel 1.

Tabel 1. Jadwal pertemuan SLPHT.

WAKTU KEGIATAN
07.00-07.15 Kontrak belajar harian/kesepakatan hasil belajar hari ini
07.15-08.00 Kerja lapangan dan pengamatan agroekosistem
Mengambar keadaan agroekosistem, dan diskusi sub kelompok
08.00-10.00
(proses analisis)
10.00-1030 Diskusi pleno dan keputusan kelompok
10.30-10.45 Istirahat
10.45-11.15 Dinamika kelompok
11.15-11.45 Topik khusus
11.45-12.00 Evaluasi capaian hari ini dan Rencana Tindak Lanjut (RTL)

Pelaksanaan kegiatan SLPHT dilakukan melalui :

a. Lahan sebagai sarana belajar utama

b. Jumlah peserta SLPHT 25 orang petani yang dibagi menjadi 5 kelompok


masing masing terdiri dari 5 orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan
dalam pelaksanaan SL PHT Padi selama 1 musim tanam. Kelompok tani
peserta diketuai oleh seorang ketua kelompok. Setiap kelompok tani
peserta dibagi menjadi 5 sub kelompok dan setiap sub kelompok
dikoordinasikan oleh ketua sub kelompok;

c. Kegiatan SLPHT di kelompoktani Sinamar dilakukan mulai pagi hari


sampai siang hari, dengan alasan saat itu kondisi ekosistem yang paling
baik;

d. Materi/kurikulum yang dibahas selama kegiatan berlangsung terbagi


menjadi 2 kalompok, yaitu materi baku/wajib (Nasional) dan materi muatan
lokal, seperti pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Kurikulum/Materi SLPHT

KELOMPOK MATERI
No KELOMPOK MATERI WAJIB
MUATAN LOKAL
 1. Lahan PHT dan pembandingnya - Studi petani, dan materi lain
 Test Ballot Box (awal dan Akhir) yang ditetapkan berdasarkan

2. Topik Khusus: Penerapan Prinsip- Prinsip PHT, permasalahan yang dihasilkan
Analisis Agroekosistem, Teknik Budidaya, dari pertemuan perencanaan
Pelestarian Musuh alami dan agens hayati,
Pengendalian OPT dan gulma, Panen/Pasca Panen)
 Dinamika kelompok: tentang kerjasama, pemecah
3. suasana, kelembagaan, dan lain-lain.

854
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kurikulum/materi dan studi yang dibahas dan dilaksanakan selama kegiatan


satu musim tanam/sesuai fenologi tanaman dibagi menjadi 2 kelompok,
sebagaimana telah diuraikan pada batasan pelaksanaan SLPHT sebelumnya.

C. Kriteria Pemandu Lapangan (PL)

a. Pemandu Lapangan PHT adalah Petugas (POPT/PHP, PPL) dan Petani


yang telah mengikuti TOT Kepemanduan dan telah memiliki sertifikat
sebagai Pemandu lapangan PHT;

b. Menguasai Pelatihan Partisipatoris.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kerja lapangan

Kegiatan kerja lapangan dilaksanakan oleh setiap sub kelompok di lahan


praktek masing–masing, yaitu baik pada perlakuan PHT maupun studi petani.
Pekerjaan yang dilakukan antara lain pengaturan air, penyiangan/sanitasi,
pemupukan dan berbagai kegiatan budidaya lainnya.

Pengamatan Agroekosistem

Pengamatan agroekosistem dilakukan oleh setiap sub kelompok baik pada


perlakuan PHT maupun perlakuan konvensional dan studi petani, agar para
peserta memahami perkembangan agroekosistem. Adapun pengaturan
pelaksanaan pengamatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Metode pengamatan dan jumlah tanaman padi yang diamati :


PERLAKUAN
SUB KELOMPOK PERLAKUAN PHT STUDI PETANI
KONVENSIONAL
I + + +
II + + +
III + + +
IV + + +
V + + +
Unsur–unsur yang diamati meliputi: keadaan tanaman padi, populasi
hama dan musuh alami, serangga lain/organisme lain, serangga
terbang, gejala kerusakan tanaman, cuaca, keadaan air, keadaan gulma dan
keadaan lain yang bisa mempengaruhi kondisi agroekosistem lahan belajar.
Catat pula perlakuan sebelum pengamatan misalnya pemupukan, aplikasi
pestisida (bila perlu), dan lainnya. Contoh serangga hama, musuh alami,
organisme lain, dan kerusakan tanaman yang belum diketahui dibawa ke tempat
diskusi.

Menggambar Agroekosistem

Gambar agroekosistem merupakan gambaran pertanaman, hama, musuh


alami, kondisi lingkungan fisik pada saat pengamatan dan perlakuan petani yang
dilakukan sebelum pengamatan. Setiap sub kelompok menggambar dua gambar

855
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

agroekosistem (perlakuan PHT dan Konvensional) dalam satu kertas koran.


Penggambaran dengan menggunakan pastel/pewarna sehingga gambar yang
ditampilkan berwarna mirip aslinya. Pisahkan antara serangga hama dan musuh
alami serta organisme lain di sebelah kiri kanan gambar tanaman beserta data-
data hasil pengamatan (misal, rata-rata jumlah serangga, musuh alami dan
lainnya). Untuk lebih jelas lihat petunjuk lapangan pengamatan agroekosistem.

Gambar 1. Pengamatan Agroekosistem, hama dan musuh alami tanaman padi

Diskusi Agroekosistem dalam Kelompok

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengkaji agroekosistem secara mendalam


dan sistematis sehingga dapat diambil suatu kesimpulan agroekosistem pada saat
pengamatan sebagai dasar pengambilan keputusan pengelolaan lahan untuk
waktu selanjutnya. Semua hasil diskusi setelah disepakati ditulis di bagian bawah
gambar agroekosistem, termasuk kesimpulan dan keputusannya.

Gambar 2. Diskusi kelompok setelah pengamatan agroekosistem

Secara umum isi diskusi sub kelompok mencakup hal-hal sebagai berikut:

APA : Apa yang ditemukan dalam pengamatan, baik berupa jenis jumlah
Serangga hama, musuh alami, organisme lain, kerusakan atau
kelainan tanaman dan lainnya.

856
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DIMANA : Dimana tempat ditemukan, atau di bagian mana saja hal–hal yang
telah ditemukan dalam pengamatan.

MENGAPA : Mengapa ada aktivitas serangga hama, musuh alami, organisme


lain saat ditemukan, mengapa jumlahnya sebanyak itu, mengapa
ada kelainan atau kerusakan tanaman, mengapa pada bagian
tanaman tertentu, dan lainnya.

BAGAIMANA : Bagaimana hubungan antara hama, musuh alami, tanaman, cuaca,


perlakuan petani saat pengamatan, dan apa peran organisme lain,
bagaimana proses pengambilan keputusan, serta bagaimana
prospek pada waktu mendatang. Dan pertanyaan–pertanyaan lain
yang berkembang sesuai kondisi dilapangan.

Diskusi Agroekosistem Pleno di Kelompok Besar

Diskusi pleno merupakan diskusi yang dilakukan oleh gabungan sub


kelompok (Kelompok Besar) dan dilaksanakan terpisah dari diskusi sub kelompok.
Setiap sub kelompok menempelkan gambar agroekosistem pada selembar papan
dan secara bergiliran diwakili salah satu anggota sub kelompok untuk
mempresentasikan kesimpulan yang telah diambil. Jika ditemukan perbedaan
kesimpulan antar sub kelompok perlu didiskusikan, sehingga disepakati dan setiap
sub kelompok memperoleh pemahaman dari perbedaan tersebut. Selanjutnya sub
kelompok/kelompok besar menindak lanjuti keputusannya dengan tindakan
pengelolaan.

Setelah diskusi pleno, gambar disimpan sebagai bahan untuk


pertimbangan hasil diskusi pertemuan berikutnya

Materi tentang Akar dan jaringan tanaman

Materi tentang akar dan jaringan tanaman diberikan agar peserta dapat
mengetahui sifat sifat fisiologis tanaman padi sehingga pada saat budidaya
tanaman padi dapat meberi perlakuan yang tepat sehingga hasil produksi padi
dapat se optimal mungkin (Gambar 3).

Gambar 3. Pengamatan akar dan jaringan tanaman dengan cairan berwarna


merah

857
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Dinamika Kelompok

Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kekompakan dan kegairahan


(memotivasi) peserta dalam belajar. Materi dinamika kelompok dipilih sesuai
kondisi kelompok/perorangan peserta, namun pada garis besarnya berupa ice
breaker, kerjasama, kelembagaan

Studi kasus yang dilakukan adalah dengan menganalisa kondisi tanaman


padi, cuaca dan serangan hama terhadap tanaman padi dilahan kelompok tani dan
mendiskusikan dengan kelompok bagaimana pemecahan dari permasalahan
tersebut

Penerapan/Implementasi PHT Padi diharapkan langsung bisa diterapkan


petani di lahannya masing–masing setelah mereka belajar. Hasil
penerapan/pengalaman akan bisa digunakan sebagai bahan diskusi pada
kegiatan selanjutnya.

Temu Lapangan Petani (FIELD DAY)

Temu lapangan merupakan ajang komunikasi horizontal dan vertikal bagi


petani peserta SLPHT. Pada acara temu lapangan, petani peserta SLPHT
menunjukkan proses dan hasil-hasil belajar mereka selama satu musim/sesuai
fenologi tanaman, yang meliputi (1) hasil analisis agroekosistem, (2) topik khusus,
dan (3) hasil studi baik PHT, konvesional maupun studi khusus (baik perlakuan
maupun analisis usaha taninya).

KESIMPULAN

Kegiatan Sekolah Lapangan Hama Terpadu tanaman padi ini sangat


bermanfaat dan sangat penting dirasakan oleh petani Sinamar. Pengenalan sejak
dini tentang hama sehingga mereka dapat mengendalikannya secara bijak dan
tepat sasaran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada bapak Wagiman selaku


Pengamat Hama Penyakit (PHP) kecamatan Harau, ketua kelompoktani sinamar
dan seluruh anggota kelompok tani sinamar yang telah mengikuti kegiatan SLPHT.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pertanian Kab.Lima Puluh Kota, 2013. Petunjuk Teknis SLPHT Padi
Kabupaten Lima Puluh Kota.
Pertiwi, DAA. 2015. Mengenal SLPHT, SLPHT Tindak Lanjut dan SLPHT Skala
Luas. Dinas Pertanian DIY. http://distan.jogjaprov.go.id
Van den Ban.A.W dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius.
Yogyakarta.

858
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

RESPON PETANI KOOPERATOR TERHADAP ALAT DAN MESIN


PERTANIAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN PRODUKSI PADI
DI KABUPATEN BENGKULU UTARA

Yong Farmanta, Dedi Sugandi dan Rahmat Oktafia

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu


Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119
e-mail : bptp_bengkulu@yahoo.com

ABSTRAK

Penyuluhan berperan dalam meningkatkan pengetahuan sasaran, serta


berfungsi sebagai proses penyebarluasan informasi, penerangan atau
memberikan penjelasan, perubahan perilaku dan pendidikan. Peningkatan
perilaku petani melalui pendampingan yang intensif dari penyuluh pertanian
merupakan salah satu strategi untuk mempercepat transfer teknologi pertanian
kepada pengguna. Pengkajian mengenai respon petani kooperator terhadap
kegiatan Kajian Mekanisasi tentang mesin indo jarwo transplanter dan Indo
combine harvester telah dilaksanakan di Desa Rama Agung Kecamatan
Argamakmur Kabupaten Bengkulu Utara. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui
respon petani kooperator terhadap kegiatan kajian mekanisasi tetang mesin indo
jarwo transplanter dan Indo combine harvester di Kabupaten Bengkulu Utara.
Pengkajian dilakukan dengan menggunakan metode komunikasi langsung melalui
temu lapang, demontrasi cara, penerapan mesin indo jarwo transplanter dan Indo
combine harvester. Pengisian kuisioner dengan responden adalah petani
kooperator sebanyak 16 orang. Data primer yang diambil adalah karakteristik
responden dan respon petani kooperator terhadap kajian mekanisasi tetang mesin
indo jarwo transplanter dan Indo combine harvester. Hasil kajian menunjukkan
bahwa alat dan mesin pertanian tidak susah/sulit penggunaanya, sangat cukup
dalam penyampain penggunaan alat, sangat bermanfaat (alat dan mesin
pertanian) dan sangat membantu meningkatkan produksi padi.

Kata kunci : indo jarwo transplanter, indo combine harvester, respon, petani
kooperator

PENDAHULUAN

Propinsi Bengkulu sudah cukup memadai untuk mengolah lahan sawah


secara cepat, namun belum mampu menjamin terlaksananya tanam serentak
dalam suatu hamparan. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan tenaga kerja
tanam. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas padi yang telah
direkomendasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian adalah
sistem tanam jajar legowo 2:1. Cara tersebut mampu menghasilkan jumlah
populasi tanaman 213.300 tanaman/hektar atau 33,31% lebih banyak dibanding
metode tanam tegel 25 cm x 25 cm, dengan populasi tanaman hanya 160.000/ha.
(BB Mektan, 2014). Namun, anjuran tanam serentak dalam satu hamparan
menjadi permasalahan dalam penerapan sistem tanam jajar legowo di Provinsi
Bengkulu, karena sistem ini memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak.

859
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan dalam penerapan jarwo


adalah melalui mekanisasi pertanian dalam bentuk mesin jarwo transplanter.
Jarwo transplanter dengan 2-3 operator mempunyai kapasitas kerja 6-7 jam/ha.
Suhendrata (2013) melaporkan bahwa pada kondisi petakan sawah yang luas,
datar dengan kedalaman lumpur kurang dari 40 cm, mesin transplanter dapat
membantu memecahkan permasalahan kekurangan tenaga tanam padi sawah.

Mesin indo jarwo transplanter disamping mempercepat waktu dan


menurunkan biaya tanam, juga diharapkan dapat mensubstitusi masuknya mesin
tanam impor sistem tegel. Untuk menanam 1 ha bibit padi, satu unit mesin tanam
Indo Jarwo Transplanter mempunyai kemampuan setara dengan 20 tenaga kerja
tanam. Selain itu mesin tanam indo Jarwo Transplanter mampu menurunkan
biaya tanam dan sekaligus mempercepat waktu tanam (BB Mektan, 2014).

Di Provinsi Bengkulu, jumlah power thresher juga sudah cukup memadai


untuk melakukan pemanenan secara cepat, namun belum mampu menjamin
terlaksananya panen secara tepat. Panen sering dilakukan pada umur yang masih
muda dan sering juga pada umur tanaman yang sudah terlalu tua sehingga terlalu
lama di lapangan yang akan berdampak pada mutu gabah padi yang dihasilkan.
Hal ini berkaitan dengan keterbatasan tenaga kerja panen yang tersedia.

Keterbatasan tenaga kerja tenaga panen padi menyebabkan sulit


tercapainya panen secara tepat. Dampak dari pemanenan yang tidak tepat
diantaranya adalah terjadinya kehilangan hasil panen yang berdampak
menurunnya produksi padi.

Mesin panen padi Indo Combine Harvester dirancang oleh Badan Litbang
Pertanian untuk mendukung pencapaian program swa-sembada beras nasional
melalui usaha penurunan susut hasil panen. Kemampuan kerja mesin tersebut
mampu menggabungkan kegiatan potong-angkut-rontok-pembersihan-sortasi-
pengantongan dalam satu proses kegiatan yang terkontrol. Adanya proses
kegiatan panen yang tergabung dan terkontrol menyebabkan susut hasil yang
terjadi hanya sebesar 1,87 % atau berada di bawah rata-rata susut hasil metode
“gropyokan” (sekitar 10%). Sedangkan tingkat kebersihan gabah panen yang
dihasilkan oleh mesin tersebut mencapai 99,5%. Mesin panen padi Indo Combine
Harvester yang dioperasikan oleh 1 orang operator dan 2 pembantu mampu
menggantikan tenaga kerja panen sekitar 50 HOK/ha. Kapasitas kerja mesin
mencapai 5 jam per hektar. (Ahmad dan Haryono, 2007).

Penggunaan paket teknologi mekanisasi padi pada lahan sawah irigasi


perlu dikaji dari aspek kinerja teknis, finansial dan peluang adopsinya bagi
pengguna. Petani akan menerima dan mengadopsi inovasi teknologi dengan
syarat teknologi yang diintroduksikan secara ekonomis menguntungkan dan
secara teknis dapat dilaksanakan serta tidak bertentangan dengan sosial budaya
masyarakat setempat.

860
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Keterbatasan tenaga kerja baik untuk tenaga tanam maupun panen di


Provinsi Bengkulu dapat dipicu oleh kepadatan penduduk di Provinsi Bengkulu
yang masih rendah yaitu hanya 91 jiwa per km2. Untuk itu perlu dilakukan
pengkajian untuk mengetahui respon petani kooperator dalam pemanfaatan paket
teknologi mekanisasi padi pada lahan sawah irigasi.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Desa Rama Agung


Kabupaten Bengkulu Utara dengan responden adalah petani kooperator sebanyak
16 orang. Dengan pertimbangan bahwa petani yang dipilih/ditentukan secara
sangaja (purposive). Metode yang digunakan adalah metode studi kasus,
merupakan suatu pendekatan dari penelitian yang bersifat kasus, sehingga hasil
penelitian tidak dapat digeneralisasikan. Bahan-bahan yang dikumpulkan dan
diteliti lazimnya melukiskan karakteristik yang terperinci dari suatu proses atau dari
seluruh proses kehidupan suatu unit dengan berbagai hubungannya. Dalam
pengkajian dilakukan dengan cara komunikasi langsung melalui temu lapang,
demontrasi cara, penerapan mesin indo jarwo transplanter dan Indo combine
harvester dan pengisian kuisioner. Data yang diambil terdiri dari data primer,
meliputi karakteristik responden dan respon petani terhadap mesin indo jarwo
transplanter dan mesin indo combine harvester. Analisis respon petani terhadap
alat dan mesin pertanian menggunakan interval kelas. Menurut Nasution dan
Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing
indikator adalah :

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana : NR : Nilai Range PI : Panjang Interval


NST : Nilai Skor Tertinggi JIK: Jumlah IntervalKelas
NSR : Nilai Skor Terendah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik responden

Karakteristik responden yang diperoleh antara lain umur dan tingkat


pendidikan (Tabel 1). Rata-rata umur petani adalah 44 tahun tergolong usia
produktif. Pengelompokkan responden berdasarkan umur, yang terbanyak adalah
kelompok umur 35-44 sebanyak 7 orang (43,75%). umur 45-69 tahun, 6 orang
(37,5%), kelompok umur 25-34 sebanyak 3 orang (18,75%) dan Tingkat
pendidikan dibagi menjadi lima kelompok yaitu Tidak Sekolah, Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan
Sarjana dengan persentase masing-masing sebesar 18,75, 25%, 25%, 25%, dan
6,25%

861
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Karakteristik Petani Kooperator Terhadap Alat dan mesin pertanian di


Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2015.
Petani
No. Karakteristik Kelompok Jumlah %
(orang)
1. Umur 25 – 34 7 43,75
35 – 44 6 37,5
45 – 69 3 18,75
Jumlah 16 100,00
2. Pendidikan Tidak sekolah 3 18,75
SD 4 25
SMP 4 25
SMA 4 25
S1 1 6,25

Jumlah 16 100,00
Sumber : Tabulasi data primer

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata petani termasuk usia produktif


dengan tingkat pendidikan petani 25 % adalah Sekolah Dasar, SMP dan SMA.
Dimana pada usia produktif, individu masih memiliki minat yang tinggi untuk
belajar. Kondisi ini akan mempengaruhi perilaku (baik pengetahuan, sikap, dan
keterampilan), pola pengambilan keputusan, dan cara berpikir. Menurut Bandolan,
Y (2008), tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan teknologi
yang diberikan. Senada dengan hal tersebut, Drakel, A (2008) menyatakan bahwa
tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir terhadap respon-respon inovatif
dan perubahan-perubahan yang dianjurkan. Dalam hal menerima inovasi baru,
responden dengan kondisi ini tergolong dalam kelompok mudah menerima inovasi
baru.

Peningkatan pengetahuan petani merupakan bagian yang penting dalam


proses adopsi inovasi. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarta (2005) bahwa
dalam akselerasi pembangunan pertanian, pengetahuan individu pertanian
mempunyai arti penting, karena pengetahuan dapat mempertinggi kemampuan
dalam mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Jika pengetahuan tinggi
dan individu bersikap positif terhadap suatu teknologi baru di bidang pertanian,
maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang pada
akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas
maupun kualitas. Syafruddin (2006) menyatakan bahwa setiap individu memiliki
kemampuan berbeda untuk mengembangkan pengetahuan. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik individu tersebut. Tiap karakter
yang melekat pada individu akan membentuk kepribadian dan orientasi perilaku
tersendiri dengan cara yang berbeda pula.

Respon petani kooperator terhadap alat dan mesin pertanian dalam rangka
meningkatkan produksi padi

862
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Indikator yang digunakan untuk melihat tingkat respon petani terhadap alat
dan mesin pertanian dilihat dari aspek sulit, cukup, manfaat dan meningkatkan.
Hasil pengkajian memperlihatkan bahwa rata-rata respon petani terhadap alat dan
mesin pertanian berada pada kriteria Tidak Susah/sulit dengan skor 3,55 dan
Sangat cukup dengan skor 4,55 dan 5,45, Sangat bermanfaat dengan skor 5,09
dan 6,09 dan Sangat membantu meningkatkan hasil dengan skor 4,73. Ini
menunjukkan bahwa alat dan mesin pertanian (indo jarwo transplanter dan indo
combine harvester) tidak susah/sulit penggunaannya, sangat cukup dalam
penyampaian, alat dan mesin pertanian sangat bermanfaat dan sangat membantu
meningkatkan hasil (Tabel 2).

Tabel 2. Respon petani kooperator terhadap alat dan mesin pertanian di


Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2015.
No. Uraian Skor Respon Kriteria
Petani*
1. Sulit 3,55 Tidak susah/sulit
2. Cukup 7,27 Sangat cukup
3. Manfaat 5,59 Sangat bermanfaat
4. Meningkatkan 4,73 Sangat membantu
meningkatkan hasil
Rata-Rata 3,52
Keterangan : * 1,00 ≤ x ≤ 1,80 = sangat tidak (sulit, cukup, manfaat dan meningkat);
1,80 ≤ x ≤ 2,60 = tidak (sulit, cukup, manfaat dan meningkat); 2,60 <
x ≤ 3,40 = cukup (sulit, cukup, manfaat dan meningkat); 3,40 < x ≤
4,20 = (sulit, cukup, manfaat dan meningkat) dan 4,20 < x ≤ 5,00 =
sangat (sulit, cukup, manfaat dan meningkat)

Dilihat dari masing-masing indikator, tingkat kesulitan, kecukupan, manfaat


dan meningkatkan alat dan mesin pertanian berada pada kriteria sulit, cukup,
manfaat dan meningkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa alat dan mesin pertanian
tidak susah/sulit penggunaannya, sangat cukup dalam penyampain penggunaan
alat, sangat bermanfaat dan sangat membantu meningkatkan dikarenakan sesuai
dengan karakteristik sasaran (umur dan tingkat pendidikan petani), materi
penyuluhan, dan tujuan yang dicapai. Mayasari, dkk (2012) menyatakan bahwa
penyuluhan yang efektif dapat disebabkan oleh usia responden. Usia responden
yang mengikuti pengkajian berkisar 25–69 tahun. Disamping itu, metode temu
lapang alat dan mesin pertanian ini juga memberikan manfaat dalam merubah
perilaku petani terutama pengetahuannya mengenai teknis penanaman dan panen
padi dan penggunaan mesin indo jarwo transplanter dan indo combine harvaster.

BPPSDMP (2010) menyebutkan bahwa penyuluhan, bukanlah dimaksud


agar masyarakat penerima manfaat selalu menggantungkan diri kepada petunjuk,
nasehat, atau bimbingan penyuluhannya. Tetapi sebaliknya, melalui penyuluhan
harus mampu dihasilkannya individu yang mampu dengan upayanya sendiri
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, serta mampu mengembangkan
kreativitasnya untuk memanfaatkan setiap potensi dan peluang yang diketahuinya
untuk terus menerus dapat memperbaiki mutu hidupnya.

863
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pemilihan metode penyuluhan temu lapang juga didasarkan pada


penggunaan panca indera. Penggunaan panca indera tidak terlepas dari suatu
proses belajar-mengajar karena panca indera tersebut terlibat di dalamnya hal
ini dinyatakan oleh Socony Vacum Oil Co yang di dalam penelitiannya
memperoleh hasil sebagai berikut 1% melalui indera pengecap, 1,5% melalui
indera peraba, 3,5% melalui indera pencium, 11% melalui indera pendengar,
dan 83% melalui indera penglihatan (Gambar 1).

Gambar 1. Ikatan Komunikasi dengan Tahapan Adopsi

Pemilihan temu lapang sebagai metode penyuluhan mengenai cara tanam


padi menggunakan indo jarwo transplanter kepada penyuluh dan petani, juga
dikarenakan metode ini merupakan metode dengan pendekatan kelompok yang
dapat memberikan informasi secara lebih rinci. Metode ini dapat membantu
seseorang dari tahap menginginkan suatu informasi ke tahap mencoba dan
menerapkan.

Dilihat dari gambar ikatan komunikasi dengan tahapan adopsi di atas,


metode temu lapang berada pada tahapan minat dan menilai. Dimana pada tahap
pertumbuhan minat, seseorang ingin mengetahui lebih banyak perihal baru dan
berusaha mencari informasi lebih lanjut. Sedangkan pada tahap menilai,
seseorang mampu membuat perbandingan. Setelah melalui tahapan minat dan
menilai tersebut, diharapkan petani dapat mencoba dan menerapkan inovasi
teknologi yang disampaikan. Petani dapat mencoba gagasan baru atau praktek
baru serta meyakini gagasan atau praktek baru itu dan menerapkan sepenuhnya
secara berkelanjutan. Umi P. A., Bunaiyah H. (2013).

KESIMPULAN

1. Respon petani terhadap alat dan mesin pertanian berada pada kriteria sangat
baik, menunjukkan bahwa alat dan mesin pertanian tidak susah/sulit
penggunaanya, sangat cukup dalam penyampain penggunaan alat, sangat
bermanfaat (alat dan mesin pertanian) dan sangat membantu meningkatkan
produksi padi.

864
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

2. Metode temu lapang meningkatkan pemahaman petani mengenai


penggunaan mesin tanam indo jarwo transplanter dan mesin panen indo
combine harvester.
SARAN

Diperlukan pengkajian lanjutan mengenai kelayakan teknologi mesin tanam indo


jarwo transplanter dan mesin panen indo combine harvester di Provinsi Bengkulu.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, D.R. dan Haryono. 2007. Peluang Usaha Jasa penanaman Padi Secara
Mekanis Dengan Dukungan Industri Persemaian. Apresiasi Hasil
Penelitian Padi.
Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2010.
Menerapkan Metode Penyuluhan Level Supervisor. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
BBP Mektan. 2014. Mesin Tanam Padi Indo Jarwo Transplanter,
http://mekanisasi.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_conte
nt&view=article&id=655:mesin-ta-nam-padi-indo-jarwo-transplanter-&
catid=14:alsin & Itemid=160. Diakses 1 Agustus 2015.
Bandolan, Y. 2008. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya
Rambutan di Desa Romangloe Kecamatan Bontomarannu Kabupaten
Gowa (Online). http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/42085966_2089-
0036.pdf. Diakses 16 Oktober 2012.
Drakel, Arman. 2008. Analisis Usahatani Terhadap Masyarakat Kehutanan di
Dusun Gumi Desa Akelamo Kota Tidore Kepulauan. Jurnal Ilmiah
Agribisnis dan Perikanan Volume I Oktober 2008.
Mayasari, Rika. 2012. Dampak Penyuluhan Terhadap Peningkatan Pengetahuan,
Sikap, dan Perilaku Masyarakat Tentang Malaria di Desa Sukajadi
Kabupaten OKU. Jurnal Pembangunan Manusia Volume 6 No.3 Tahun
2012.
Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi
Sawah Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di
Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas
Sriwijaya. Palembang.
Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian
Hama Tanaman Terpadu (Online). http: //ejournal .unud. ac.id/ abstrak /
(6)%20soca-sudarta-pks%20pht(2).pdf diakses 30 Desember 2009.
Suhendra, T., 2013. Prospek Pengembangan Mesin Tanam Pindah Bibit (rice
transplanter) dalam Rangka Mengatasi Klangkaan Tenaga Kerja Tanam
Bibit Padi. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Angibisnis (SEPA) Fakutas
Pertanian UNS. Surakarta (inpress).
Syafruddin. 2006. Hubungan Sejumlah Karakteristik Petani Mete dengan
Pengetahuan Mereka dalam Usahatani Mete di Kabupaten Bombana,
Sulawesi Tenggara. Jurnal Penyuluhan Juni 2006, Vol. 2 No.2.
Umi P. A., Bunaiyah H. 2013. Peranan Metode Penyuluhan (Temu Lapang)
Terhadap Peningkatan Pengetahuan Penyuluh Pendamping P2KP Dalam
Teknologi Pemanfaatan Lahan Pekarangan Terpadu Di Provinsi Bengkulu.
Prosiding Temu Teknis Jabatan Non Peneliti Lingkup Litbang Pertanian,
Agustus 2013. Hal 350-359.

865
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH MELALUI SISTEM PENGELOLAAN


TANAMAN TERPADU DI LAMPUNG

Slameto 1), Erwan Wahyudi 2) dan Dorkas Parhusip 3)


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung
Jl. Zainal Abidin Pagar Alam, Rajabasa, Bandar Lampung
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
Jl. Samarinda Paal V Kotabaru, Jambi
3)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A. H. Nasution No. 1 B, Pangkalan Mahsyur, Medan
Email: islameto@yahoo.co.id.

ABSTRAK

Beras sampai saat ini masih menjadi komoditas penting di Indonesia.


Pemerintah terus melakukan upaya peningkatan ketersediaan beras secara nasional.
Untuk mendukung hal tersebut berbagai program nyata dilakukan antara lain Program
Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) mendukung ketahanan pangan.
Peningkatan produksi padi di Lampung dilakukan dengan implementasi 12 (dua belas)
komponen inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah. Tujuan
penelitian ini adalah menganalisis usahatani padi sawah yang menggunakan sistem
Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah oleh petani di Lampung. Metode
penelitian dengan survey pada petani peserta sekolah lapang (SL) dan penerap
inovasi PTT padi sawah. Jumlah sampel 286 petani. Lokasi penelitian di wilayah
Propinsi Lampung meliputi Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Barat, dan
Lampung Selatan. Waktu penelitian Juni-September 2013. Analisis data dilakukan
secara deskriptifdan analisisB/C rasio. Hasil analisis menunjukkan tingkat adopsi
inovasi PTT padi sawah di Lampung cenderung berada pada kategori sedang. Tingkat
pendapatan usahatani cenderung berada pada kategori rendah hingga sedang.
Meskipun demikian usahatani padi sawah di Lampung masih layak untuk dilakukan
dengan nilai B/C rasio = 1.7. Implikasinya masih perlu meningkatkan adopsi inovasi
PTT padi sawah di Lampung.

Kata kunci: usahatani, adopsi inovasi, PTT padi sawah

PENDAHULUAN

Pemenuhan kebutuhan pangan terus dilakukan oleh pemerintah, salah


satunya melalui Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Salah satu
daerah lumbung pangan yang memiliki fokus pembangunan bidang pertanian adalah
Propinsi Lampung. Di Lampung, padi merupakan komoditas unggulan, namun
produktivitasnya masih rendah yaitu 4,5 ton/ha (BPS Lampung, 2009). Pertumbuhan
produksi padi sawah mencapai 5,24% (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Propinsi Lampung, 2011). Karena pemerintah memprogramkan
peningkatan produksi nasional padi, untuk itu Propinsi Lampung meningkatkan target
produksi padi dari 2,8 juta ton GKG menjadi 3,061 juta ton GKG (atau target meningkat
7%), dengan cara meningkatkan produktivitas padi dari 4,9 ton/ha menjadi 5,3 ton/ha
GKG.

866
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pencapaian target peningkatan produktivitas padi dilakukan dengan


implementasi inovasi pertanian. Inovasi pertanian yang dikembangkan sejak tahun
2008 salah satunya berupa Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah.
Inovasi tersebut bermanfaat apabila dapat menjangkau dan diterapkan oleh pihak-
pihak yang membutuhkan (pengguna). Seringkali inovasi belum sepenuhnya diadopsi
oleh petani karena hambatan berbagai faktor baik dari inovasi itu sendiri, diri petani
maupun dari luar. Badan Litbang Pertanian (2004) menyatakan suatu inovasi
setidaknya dibutuhkan waktu sekitar 2 tahun sampai ke petani karena kendala
penyampaian informasi dan rendahnya adopsi. Menurut Manwan dan Adnyana
(1990); Bachrein dkk. (1993), ada aspek penting terkait keberlanjutan adopsi yaitu,
inovasi harus dapat memecahkan permasalahan petani, partisipasi petani, dukungan
lembaga terkait, dan kebijakan pemerintah. Rogers dan Shoemaker (1971) serta
Rogers (2003) agar cepat diadopsi oleh petani, maka inovasi harus mempunyai sifat:
memberikan keuntungan/keunggulan, dibutuhkan petani, mudah diterapkan, dapat
diuji, dan mudah/cepat dilihat hasilnya. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi
lembaga penelitian dan penyampai inovasi dalam mendiseminasikan inovasi hasil
penelitian (BPTP Lampung, 2004).

PTT padi sawah diujicobakan sejak sekitar tahun 2002, Namun baru tahun
2007 intensif dimassalkan. Percepatan dan penyampaian inovasinya melalui
pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) padi sawah.
Beberapa kajian tentang produksi padi terkait sekolah lapang PTT padi sawah telah
banyak dilakukan penelitian. Di Lampung rata-rata peningkatan produktivitas padi
sawah jenis padi inbrida pada areal SL-PTTrata-rata 11,59 % lebih tinggi dibanding
Non SL-PTT. Demikian juga rata-rata peningkatan produktivitas jenis padi hibrida
areal SL-PTT13,70 % lebih tinggi dibanding Non SL-PTT (BPTP Lampung, 2010).
Kajian Pujiharti dkk. 2008 bahwa PTT padi apabila diintegrasikan dengan
pemeliharaan ternak untuk menambah kebutuhan pupuk tanaman padi mampu
meningkatkan produktivitas padi sebesar 16,67-33,50%.

Hanya saja menurut Nurasa dan Supriadi (2012) sejalan juga dengan evaluasi
dari Sembiring dkk., (2012) bahwa akselerasi serta tingkat adopsinya cenderung
berjalan lambat. Pilihan komponen inovasi yang diadopsi petani terjadi interaksi
antara aspek biofisik, sosial, budaya, dan ekonomi dari petani dengan karakteristik
inovasi itu sendiri. Menurut Erythrina dkk., (2013) metode dan pola diseminasi untuk
setiap komponen inovasi bergantung pada keragaan karakteristik inovasi dan kondisi
spesifik wilayah.

Berdasar latar belakang tersebut dirumuskan bahwa para petani mempunyai


tingkat adopsi PTT padi sawah yang bervariasi akibat adanya perbedaan dalam
pemahaman atas suatu inovasi PTT padi sawah sehingga mempengaruhi aktivitasnya
dalam berusahatani padi sawah. Petani dengan pengetahuan inovasi tinggi
cenderung akan lebih berhasil dalam melakukan usahatani padi yang dilakukannya.
Hasil yang diharapkan dari penerapan inovasi PTT padi sawah adalah penerimaan
usahatani padi sawah meningkat.

Tujuan penelitian ini adalah analisis usahatani padi sawah melalui penerapan
sistem pengelolaan tanaman terpadu di Lampung.

867
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Penelitian menggunakan metode deskriptif (Nazir, 2005). Populasi penelitian


ini adalah petani yang pernah mendapatkan pendampingan dan pembelajaran SL-PTT
padi sawah. Data yang dikumpulkan berupa data primer hasil wawancara petani
menggunakan daftar pertanyaan sesuai tujuan penelitian.

Penelitian dilakukan di Propinsi Lampung meliputi Kabupaten Lampung


Tengah, Lampung Selatan, Lampung Barat.Penentuan kabupaten, kecamatan, dan
desa dilakukan secara bertahap (stratified). Terpilihnya lokasi ini mempertimbangkan:
(1) merupakan sentra produksi padi sawah, (2) mendapatkan program SL-PTT padi
sawah, (3) daerah sebaran komunitas petani padi sawah berbagai etnis tertentu. Tiap
kabupaten diambil 1 kecamatan, dari setiap kecamatan diambil 3 desa, dari masing-
masing desa ditentukan kelompok belajar SL-PTT padi sawah. Dari masing-masing
desa tersebut dengan menggunakan sampling frame petani peserta SL-PTT padi
sawah ditentukan sampel. Jangka waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni-
September 2013.

Unit penelitian yang menjadi objek adalah individu petani padi sawah.Sampel
petani dipilih secara acak sederhana (simple random sampling) yang masing-masing
etnis berasal dari 6 kelompok tani, 6 dusun, 3 desa per kabupaten. Sehingga jumlah
keseluruhan sampel adalah 286 petani meliputi: 96 orang petani padi sawah etnis
Lampung di Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat, 95 orang petani
padi sawah etnis Bali di Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah, dan
95 orang petani padi sawah etnis Jawa di Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung
Selatan. Untuk menganalisis usahatani padi sawah dilakukan dengan menyusun
struktur atau komponen usahatani yang telah dilakukan petani serta pendapatan petani.
Analisis dilakukan menggunakan B/C rasio.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Pengadopsi inovasi PTT Padi Sawah


Berdasarkan hasil pengukuran diketahui distribusi umur dan pendidikan petani
di lokasi penelitian dengan rincian seperti pada Tabel 1. Dalam penelitian ini
pembagian umur dikelompokkan menjadi 3 kelompok umur. Menurut WHO
pembagian umur dapat dibagi atas dasar tingkat kedewasaan pada rentang usia 15
tahun sampai 50 tahun. Rentang usiaantara usia dewasa muda dan dewasa tua
sekitar 30 tahun (Notoatmodjo, 2007). Berbeda dengan pendapat tersebut, menurut
BPS penduduk berumur di atas 65 tahun dianggap sudah tidak produktif lagi,
sedangkan penduduk yang berumur 15-65 tahun disebut berada pada usia kerja dan
masih produktif (Pudjianto, 2009). Sedangkan pada penelitian ini, pembagian umur
meliputi 18-30 tahun, 31-55 tahun, dan >55 tahun.

868
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Distribusi Petani Menurut Umur dan Pendidikan di Lampung(%).


Total Petani(n=286)
No Kategori
Jumlah(orang) %
A. Umur (tahun)
1. 18-30 37 12,93
2. 31-55 213 74,47
3. >55 36 12,60
B. Pendidikan
1. SD 105 36,71
2. SLTP 71 24,83
3. SLTA 86 30,07
4. PT 24 8,39
Sumber: Analisa Data Primer, 2013
Umur berkaitan dengan kemampuan fisik seseorang. Umur sering digunakan
untuk melihat produktivitas tenaga kerja, angkatan kerja dan proporsi penduduk
berusia produktif dalam suatu kegiatan tertentu. Sebagian besar petani berada pada
kisaran umur 31-45 tahun yang berarti berada pada kisaran umur produktif.
Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan petani dapat dikelompokkan kedalam
kategori, yaitu dasar, menengah, tinggi. Pendidikan nelayan yang digolongkan
kedalam kategori dasar adalah petani tamat SD dan SLTP. Untuk kategori menengah
adalah tamat SLTA. Untuk kategori tinggiadalah tamat perguruan tinggi. Tabel 1
menunjukkan bahwa pendidikan petani pada umumnya masih pada taraf pendidikan
dasar. Kondisi tingkat pendidikan tersebut mempengaruhi daya tangkap dan
keberhasilan dalam pembelajaran dan adopsi inovasi PTT padi sawah pada ketiga
etnis petani.

Hasil pengamatan pengalaman bertani petani peserta SLPTT padi sawah


sesuai dengan kategori dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Pengalaman BertaniPadi Sawah pada Beberapa Petani di
Lampung.
Kisaran Pengalaman bertani
Kategori pengalaman Total Petani(n=286)
No (tahun) Jumlah(orang) %
65,73
1. Rendah 0-22 188
2. Sedang 23-44 85 29,72
3. Tinggi 45-66 13 4,55
Jumlah: 286 100
Sumber: Analisa Data Primer, 2013

Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir seluruh petani termasuk dalam petani


yang berpengalaman rendah dalam usahatani padi (kurang dari 23 tahun). Hal
tersebut menunjukkan secara umum petani cenderung masih rendah pengalaman
dalam berusahatani.
Jumlah tanggungan keluarga dalam suatu rumah tangga merupakan beban
dalam penyediaan segala kebutuhan hidup, disisi lain merupakan sumber tenaga kerja
dalam melaksanakan kegiatan usahatani padi sawah. Distribusi mengenai jumlah
tanggungan keluarga petani peserta SLPTT padi sawahdapat dilihat pada Tabel 3.

869
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 3. Distribusi Jumlah Tanggungan Keluarga dari Petani di Lampung.


Kisaran jumlah Jumlah tanggungan keluarga petani
No Kategori tanggungan Total Petani(n=286)
(orang) Jumlah(orang) %
1. Sedikit 0-4 158 55,24
2. Sedang 5-8 121 42,31
3. Banyak 9-12 7 2,45
Jumlah: 286 100
Sumber: Analisa Data Primer, 2013

Dari Tabel 3secara keseluruhan petani (n=286) menunjukkan bahwa sebagian


besar petani (55,24%) mempunyai jumlah tanggungan keluarga pada kategori sedikit.
Kondisi tersebut akan mempengaruhi jumlah pengeluaran dari rumah tangga petani
karena semakin banyak jumlah anggota keluarga maka akan semakin banyak
pengeluaran yang dibutuhkan. Tetapi disisi lain apabila anggota keluarga petani
berada pada usia produktif berpotensi sebagai sumber tenaga kerja keluarga yang
membantu penerimaan rumah tangga petani.
Hasil pengukuran jumlah tenaga kerja produktif dalam rumah tangga petani
peserta SLPTT padi sawah sesuai dengan kategori disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi jumlah tenaga kerja produktif dalam keluarga petanidi Lampung.
Jumlah tenaga kerja produktif dalam keluarga
Kisaran tenaga
petani
Kategori kerja produktif
No Total Petani (n=286)
(orang)
Jumlah(orang) %
1. Sedikit 0-4 274 95,80
2. Sedang 5-7 11 3,85
3. Banyak 8-10 1 0,35
Jumlah: 286 100
Sumber: Analisa Data Primer, 2013.

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa jumlah tenaga kerja produktif dalam


keluarga petani padi sawah sebagian besar mempunyai tenaga kerja produktif
kategori sedikit (≤4 orang) dalam rumah tangganya. Kondisi tersebut mempengaruhi
jumlah ketersediaan tenaga kerja dari rumah tangga petani karena semakin banyak
jumlah anggota keluarga yang produktif maka akan semakin membantu dalam
penerimaan pendapatan rumah tangga petani.

Adopsi Inovasi PTT Padi Sawah


Adopsi inovasi PTT padi sawah meliputi 12 komponen inovasi teknologi PTT
padi sawah (Tabel 5) meliputi: menggunakan varietas padi unggul baru, menggunakan
benih berlabel, menggunakan pupuk kandang/kompos/bahan organik, melakukan
pengaturan populasi tanam (tanam jejer legowo), melakukan pemupukan berdasar
kebutuhan tanaman dengan mempertimbangkan kondisi kesuburan tanah, melakukan
pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), melakukan pengolahan tanah
dengan baik, menggunakan bibit muda (umur < 21 hari), menanam bibit secukupnya
saja (maksimal 3 batang per rumpun), melakukan pemberian air dengan cara bergilir
atau selang seling (intermiten), melakukan penyiangan menggunakan landak/gasrok,

870
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

melakukan panen tepat waktu jika padi telah berwarna kuning semua. Kesemua
komponen inovasi PTT padi sawah menunjukkan dominan berada ada kategori
jawaban sering dilakukan oleh petani.

Tabel 5. Adopsi Inovasi PTT Padi Sawah menurut Kategori Jawaban Petani di
Lampung Tahun 2013 (%).
Prosentase Kategori Jawaban Petani
Pengadopsi
(n=286)
No Item komponen inovasi
TP J K S SS
(%) (%) (%) (%) (%)
1. Menggunakan varietas padi unggul baru 0,70 4,20 14,34 61,89 18,88
2. Menggunakan benih berlabel 0,35 2,45 12,59 61,89 22,73
3. Menggunakan pupuk 8,39 9,79 25,17 46,15 10,49
kandang/kompos/bahan organik
4. Melakukan pengaturan populasi tanam 11,19 7,69 20,28 46,15 14,69
(tanam jejer legowo)
5. Melakukan pemupukan berdasar 0,35 5,59 16,78 63,99 13,29
kebutuhan tanaman dengan
mempertimbangkan kondisi kesuburan
tanah
6. Melakukan Pengendalian organisme 0,00 3,85 8,04 67,48 20,63
pengganggu tanaman (OPT)
7. Melakukan pengolahan tanah dengan 0,35 2,10 4,20 62,94 30,42
baik
8. Menggunakan bibit muda (umur 3,50 6,99 18,18 48,60 22,73
< 21 hari)
9. Menanam bibit secukupnya saja 3,50 5,24 10,84 61,89 18,53
(maksimal 3 batang per rumpun)
10. Melakukan pemberian air dengan cara 5,94 6,29 18,88 54,55 14,34
bergilir atau selang seling (intermiten)
11. Melakukan penyiangan menggunakan 23,08 17,48 21,68 32,17 5,59
landak/gasrok
12. Melakukan panen tepat waktu jika padi 0,35 1,40 6,29 63,64 28,32
telah berwarna kuning semua
Sumber: Analisis data primer, 2013.

Keterangan: TP=Tidak pernah; J=Jarang; K=Kadang-kadang; S=sering; SS=Sangat


sering

Apabila dianalisis berdasarkan asal etnis petani, secara keseluruhan petani


(n=286) menunjukkan bahwa sebagian besar petani (86,01%) mengadopsi inovasi
PTT padi sawah pada kategori sedang, demikian juga petani padi etnis Lampung
(77,08%), etnis Jawa (91,58%), dan etnis Bali (89,47%) berada pada kategori adopsi
tingkat sedang. Sehingga dapat dikategorikan semua etnis petani telah menerapkan
inovasi PTT padi sawah yang didiseminasikan melalui pembelajaran SL-PTT padi
sawah pada tingkatan yang cukup penerapannya (Tabel 6).

871
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 6. Distribusi Petani Menurut 3 Kategori Adopsi Inovasi dan Asal Etnis (%).
Adopsi inovasi
Etnis Etnis Jawa (n=95) Etnis Bali(n=95)
Kategori
No Skor Lampung(n=96)
adopsi
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(orang) (orang) (orang)
1. Rendah 0-16 20 20,83 3 3,16 3 3,16
2. Sedang 17-32 74 77,08 87 91,58 85 89,47
3. Tinggi 33-48 2 2,09 5 5,26 7 7,37
Jumlah: 96 100 95 100 95 100
Sumber: Analisa Data Primer, 2013

Pendapatan Petani PTT padi sawah


Pada Tabel 7 menunjukkan, pendapatan petani pengadopsi inovasi PTT padi
sawah dikelompokkan menjadi tiga (3) kategori. Pada Tabel 7 memperlihatkan
sebaran pendapatan per hektarnya per musim pada petani padi sawah di Lampung
menunjukkan pendapatan petani padi sawah berada pada kategori pendapatan
sedang.

Tabel 7. Distribusi pendapatan petani padi sawah per hektar lahan sawah per musim
Tanam di Lampung
Kisaran nilai Distribusi pendapatan petani padi sawah
Kategori pendapatan Total Petani(n=286)
(Rp/ha) %
Rendah 2.650.000–10.766.000 26,57
Sedang 10.767.000–18.884.000 48,60
Tinggi 18.885.000–27.000.000 24,83
Jumlah: 100
Sumber: Analisa Data Primer (2013).
Apabila dibedakan berdasar asal etnis petani, maka pendapatan terendah
pada petani etnis Lampung sebesar Rp.2.650.000,-/ha/musim dan pendapatan
tertinggi petani etnis Lampung sebesar Rp.27.000.000,-/ha/musim. Untuk pendapatan
terendah pada petani etnis Jawa sebesar Rp.3.000.000,-/ha/musim dan pendapatan
tertinggi petani etnis Jawa sebesar Rp.25.550.000,-/ha/musim. Sedangkan
pendapatan terendah pada petani etnis Bali sebesar Rp.5.785.000,-/ha/musim dan
pendapatan tertinggi petani etnis Bali sebesar 27.000.000. Hal tersebut menunjukkan
interval atau jarak atau range pendapatan petani etnis Jawa adalah lebih sempit.

Analisis struktur dan kelayakan usahatani rata-rata per hektar oleh petani padi
sawah di Lampung selengkapnya seperti pada Tabel 8. Rata-rata pendapatan petani
per hektar luasan lahan padi sawah di Lampung sebesar Rp.14.530.000,- (Tabel 8).
Apabila dibedakan secara rinci atas asal etnis petani, untuk petani etnis Lampung rata-
rata pendapatan petani per hektar sebesar Rp. 12.122.645,-. Rata-rata pendapatan
petani etnis Jawa per hektar sebesar Rp.17.183.650,- sedangkan untuk petani etnis
Bali rata-rata pendapatan per hektar sebesar Rp.14.062.140,-. Pendapatan tersebut
mengindikasikan bahwa usahatani padi sawah yang dilakukan oleh petani etnis Jawa
lebih intensif dibanding petani etnis lainnya, yang mana menghasilkan pendapatan
tertinggi per luasan lahan yang diusahakan.

872
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 8. Analisis struktur usahatani padi sawah di Lampung (rata-rata per


ha/musim).
Uraian Jumlah Harga Satuan Nilai Persentase
No.
Komponen (unit) (Rp/satuan) (Rp.) Biaya(%)
1. Biaya Sarana
Produksi:
-Bibit 4 bks (20 kg) 60.000 240.000 2,80
-Urea 4 sak (200 kg) 100.000 400.000 4,67
-SP-36 6 sak (300 kg) 150.000 900.000 10,50
-KCl 2 sak (100 kg) 125.000 250.000 2,92
-Pupuk Organik 300 kg 6.000 1.800.000 21,00
-Obat-Obatan 4 liter 125.000 500.000 5,83
Jumlah A: 4.090.000 47,72

2. Biaya Tenaga
Kerja:
-Persemaian 180.000 180.000 2,10
-Olah Tanah Borongan 800.000 800.000 9,33
-Penanaman Borongan 350.000 350.000 4,08
-Popok Galeng 250.000 250.000 2,92
-Penyiangan 1 200.000 200.000 2,33
-Penyiangan 2 200.000 200.000 2,33
-Penyemprotan 300.000 300.000 3,50
-Panen Borongan 2.200.000 2.200.000 25,67
Jumlah B: 4.480.000 52,28
Total (A+B): 8.570.000
3. Penerimaan: 23.100.000
Produksi 7.000 kg
Harga jual Rp.3.300/kg

4. Pendapatan: 14.530.000
(Penerimaan -
Biaya)
5. B/C rasio 1,70
Sumber: Analisis data primer (2013).

Apabila dilihat struktur usahatani padi sawah di Lampung seperti terlihat pada
Tabel 8. menunjukkan bahwa komponen biaya sarana produksi memberikan
kontribusi 47,72% dari total biaya usahatani, sedangkan biaya tenaga kerja
memberikan kontribusi sebesar 52,28% dari total biaya usahatani. Per hektar luasan
lahan usahatani padi sawah di Lampung dengan implementasi inovasi PTT padi
sawah mampu menghasilkan produksi rata-rata sebanyak 7.000 kg. Dengan harga
jual per kg gabah kering giling sebesar Rp. 3.300,- maka memberikan penerimaan
usahatani sebesar Rp.23.100.000,-. Penerimaan tersebut setelah dikurangi biaya
produksi memberikan pendapatan usahatani rata-rata sebesar Rp. 14.530.000,- per
ha. Apabila dilihat nilai indikator kelayakan usahataninya maka memberikan nila B/C
rasio sebesar 1,70 yang berarti usahatani layak dilakukan.

873
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

1. Tingkat adopsi inovasi PTT padi sawah bagi petani di Lampung cenderung berada
pada kategori sedang.
2. Pendapatan petani dimungkinkan dilakukan peningkatan karena sebagian besar
petani dalam berusahatani padi sawah cenderung masih berada pada kategori
rendah sampai sedang.
3. Usahatani padi sawah dengan menerapkan inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu
memberikan nilai B/C rasio sebesar 1,70 yang berarti usahatani tersebut layak
dilakukan.
4. Demi mencapai swasembada pangan khususnya beras dan peningkatan
pendapatan petani, maka dimasa mendatang perlu kebijakan penyebar luasan
inovasi PTT padi sawah pada sentra produksi padi sawah dengan cara melakukan
massalisasi program melalui sekolah lapang inovasi pertanian.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Yth. Ir. F. Trisakti Haryadi, M.Si.,
Ph.D. dan Subejo, SP., M.Sc., Ph.D. atas bimbingan selama melakukan penelitian
ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bachrein, S., Bahtiar, dan Hasanuddin, A., 1993. Percepatan Adopsi Teknologi Melalui
Pendekatan Partisipasi Petani dan Teknologi Sederhana. Prosiding
Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Kinerja Penelitian Tanaman
Pangan,Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004. Rancangan Dasar Prima Tani
(Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian). Badan Litbang Pertanian. Jakarta
BPS Lampung. 2009. Lampung Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.
BPTP Lampung, 2004. Satu Dasawarsa Kiprah BPTP Lampung: Membangun Sistem
dan Usaha Agribisnis Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Spesifik
Lokasi, 1994-2004. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Bandar
Lampung
BPTP Lampung, 2010. Diseminasi Pengelolaan Tanaman Terpadu Mendukung
Program P2BN (Laporan Tahunan). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Lampung. Bandar Lampung
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Lampung. 2011. Laporan
Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi
Lampung. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi
Lampung. Bandar Lampung.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Lampung. 2013. Laporan
CP/CL, BLBU SLPTT. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Propinsi Lampung. Bandar Lampung.
Erythrina, R. Indrasti, dan A. Muharam. 2013. Kajian Sifat Inovasi Komponen
Teknologi Untuk Menentukan Pola Diseminasi Pengelolaan Tanaman Terpadu
Padi Sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
16(1) Maret 2013 p:45-55.

874
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Manwan dan Adnyana, M.O., 1990. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Tanaman
Pangan : Pokok-pokok Pemikiran dan Cara Pelaksanaan. Makalah disampaikan
pada rapat kerja Puslitbang Tanaman Pangan Maros, 1-3 Juni 1990. Maros:
Balittan.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia. Jakarta.
Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta
Nurasa, T dan H. Supriadi. 2012. Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu Padi (Kinerja dan Antisipasi Kebijakan Mendukung Swasembada
Pangan Berkelanjutan). Analisis Kebijakan 10(4):313-329.
Pudjianto, K., 2009, Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan Dan
Konservasi Sumberdaya Air Di Sub Das Keduang, Daerah Hulu Das
Bengawan Solo, Tesis: Institiut Pertanian Bogor.
Pujiharti,Y., Muchlas, Ernawati dan B. Wijayanto, 2008. Kajian Penerapan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Lampung. Prosiding
Seminar Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian kerjasama
dengan Perhiptani Lampung serta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Propinsi Lampung.
Rogers, E.M. dan F. Floyd Shoemaker, 1971. Communication of Innovations.
Terjemahan Abdillah Hanafi Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha
Nasional. Surabaya. 197p.
Rogers, E. M., 2003. Diffusion of Innovations: 5th Edition. Free Press. New York. 518p
Sembiring, H., L. Hakim, I. Nyoman W, dan Z. Zaini. 2012. Evaluasi Adopsi
Pengelolaan Tanaman Terpadu Dalam Sekolah Lapang pada Program
Nasional Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Seminar Nasional Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Medan-2012. (belum published)

875
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

TINGKAT PENGETAHUAN DAN ADOPSI PETANI TERHADAP SISTEM


TANAM JAJAR LEGOWO DI KABUPATEN CIANJUR

Arti Djatiharti, S. L. Mulijanti, dan A. M.Safei

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat


Jl. Kayu ambon No. 80 Lembang-Bandung
Email :artidjatiharti@gmail.com

ABSTRAK

Target utama Kementerian Pertanian dalam membangun pertanian, yaitu


swasembada padi dengan produksi di tahun 2014 mencapai 75,70 juta ton.
Tanaman padi di Jawa Barat saat ini dikhawatirkan kerawanannya mengingat
semakin pesatnya alih fungsi lahan pertanian, dimana lajunya hampir sama
dengan laju pertumbuhan penduduk. Sistem tanam jajar legowo pada komoditas
padi sawah merupakan salah satu komponen teknologi pendekatan PTT untuk
mendapatkan hasil panen yang lebih tinggi dibanding sistem tegel melalui
penambahan populasi tanaman. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
adopsi, pengetahuan petani tentang sistem tanam jajar legowo, dan mengetahui
keuntungan serta permasalahannya. Penelitian dilakukan dengan metode survey
menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa keuntungan
mengadopsi sistem tanam jajar legowo menurut petani, yaitu untuk
:1).meningkatkan produksi (39,47%); 2). memudahkan pemupukan (21,06%); 3).
memudahkan penyemprotan hama/penyakit (18,42%); 4). memudahkan
pemeliharaan dengan alat gasrok (13,16%); dan 5).populasi tanaman, sinar
matahari masuk (23,69%). Petani semuanya sudah mengetahui alat “caplak” jajar
legowo (100 %). Masalah dalam menerapkan jajar legowo menurut petani
Kelompok I (pernah menerapkan legowo),yaitu : (a). tenaga kerja tanam belum
tahu,(b). tenaga tanam sulit didapat atau belum terbiasa; dan (c). menambah biaya
tenaga kerja. Kondisi lahan juga mempengaruhi petani tidak mengadopsi sistem
tanam jajar legowo,seperti : lahan bergelombang, lembab, dan luas lahan sempit.
Kata kunci : Pengetahuan, adopsi,petani, legowo, padi

PENDAHULUAN

Target utama Kementerian Pertanian selama lima tahun ke depan (2010-


2014), dalam membangun pertanian salah satunya pencapaian swasembada yaitu
target Swasembada Padi dengan produksi 75,70 juta ton di tahun 2014 (Renstra
Kementan, 2009-2014). Permasalahan utama di bidang ketahanan
panganadalah: (1).pangan belum terdistribusikan dengan baik dan terjangkau
oleh seluruh lapisan masyarakat; (2). tingginya ketergantungan impor pangan
strategis;(3).penganekaragaman/diversifikasi pangan masih terbatas; dan (4).
masih rendahnya ketahanan pangan rumahtangga di wilayah rawan pangan
(RPJMD Provinsi Jabar, 2013-2018). Tanaman padi saat ini dikhawatirkan
kerawanannya mengingat semakin pesatnya alih fungsi lahan pertanian di Jawa
Barat, dimana lajunya hampir sama dengan laju pertumbuhan penduduk, serta
upaya mengidentifikasi dan mengkaji lahan sawah tanaman padi yang terkena
bencana alam, seperti : banjir, longsor, kekeringan karena berkurangnya sumber

876
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

air/pengairan, dan serangan hama.,dsbnya, sehingga semua factor tersebut


mengakibatkan produktivitas tanaman padi di beberapa sentra produksi padi di
wilayah Jawa Barat sebenarnya cenderung stagnan bahkan ada yang menurun.

Menurut Zaini,dkk. (2004) PTT adalah suatu pendekatan inovatif dan


dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui
perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Sistem tanam
jajar legowo pada komoditas padi sawah merupakan salah satu komponen
teknologi pendekatan PTT. Sistem tanam legowo merupakan salah satu bentuk
rekayasa teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman padi dengan
pengaturan populasi sehingga tanaman mendapatkan ruang tumbuh dan sinar
matahari yang optimum (Suriapermana,dkk, 2000), dan Aribawa (2012)
melaporkan bahwa legowo 2 dapat meningkatkan hasil gabah kering sebesar
14,36% dibandingkan sistem tegel.

Tujuan penelitian adalah untuk : (1) Mengetahui adopsi petani dalam


kelompok tani tentang sistem tanam jajar legowo; 2) Mengetahui tingkat
pengetahuan petani yang mengadopsi sistem tanam jajar legowo; dan 3)
Mengetahui keuntungan serta masalah/kendala petani dalam mengadopsi sistem
tanam jajar legowo

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilaksanakan pada tahun 2014 di Kabupaten Cianjur, Provinsi
Jawa Barat. Empat (4) kecamatan dipilih sebagai lokasi penelitian antara lain :
Kecamatan Ciranjang, Kecamatan Bojongpicung, Kecamatan Mande, dan
Kecamatan Karang tengah.
Pengumpulan data primer sistem tanam jajar Legowo menggunakan
metode survei melalui teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner yang
terstruktur kepada petani sebagai responden. Kuesioner dibagi menjadi dua
kelompok, antara lain: (1).Petani yang pernah menerapkan sistem tanam jajar
legowo, dan (2). Petani yang terus menerus menerapkan sistem tanam jajar
legowo. Responden diambil pada Kelompok I sebanyak 22 orang petani, dan
Kelompok II sebanyak 38 orang petani. Data diolah dan dianalisis menggunakan
program Excel, kemudian laporan dibuat secara deskriptif menggunakan
tabel/gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Yang Mengadopsi Tanam Sistem Jajar Legowo Di


Kabupaten Cianjur

Petani/responden dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yakni : (1) petani yang


pernah menerapkan system jajar legowo atau kelompok I, (2) petani yang terus
menerus menerapkan system tanam jajar legowo atau kelompok II

Berdasarkan Gambar 1 memperlihatkan karakteristik petani dilihat dari


umur dapat diketahui responden berada pada tingkat usia produktif (15-64 tahun)

877
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

hal ini terkait dengan adanya inovasi cara tanam legowo, seseorang pada umur
non produktif akan cenderung sulit menerima inovasi, sebaliknya seseorang pada
umur produktif akan lebih mudah dan cepat menerima inovasi. Menurut
Mardikanto (1993) semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban
mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan kegiatan yang
sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat

Tingkat umur, pendidikan, serta pengalaman berusaha tani padi hampir


sama antara kelompok I (yang pernah) maupun kelompok II (terus menerus),
namun dilihat dari pendapatan usaha tani serta usaha lainnya, terlihat bahwa,
kelompok II lebih tinggi dibandingkan kelompok I. Luas lahan rata-rata petani
pada kelompok II lebih tinggi (0,73 ha) dari pada kelompok I (0,41 ha). Pada
umumnya kepemilikan lahan sawah di dua kelompok berasal dari warisan berkisar
antara 33,33 % sampai 62,50% dengan status lahan garapan sebagai pemilik
(57,89 – 72,73%), dan sisanya sebagai penggarap/maro dan sewa. Modal usaha
untuk mengolah lahan sawah, dan membeli saprodi di Kelompok II selalu tersedia
(57,89%), sedangkan Kelompok I masih banyak responden yang kurang tersedia
modal (63,64%) (Gambar 1).

Kelompok I (yang
pernah) (N=22), Kelompok I (yang
Kelompok I (yang % status lahan pernah) (N=22),
pernah) (N=22), (Milik ), 72.73 % Modal usaha
% Kepemilikan (Kurang
Kelompok I (yang
(Warisan) , 62.5 tersedia), 63.64
pernah) (N=22),
Umur Petani
(Thn), 55.3
Kelompok I (yang
pernah) (N=22),
% Kepemilikan Kelompok I (yang
(Membeli dr pernah) (N=22),
hasil lainnya) , % Modal usaha
Kelompok I (yang 37.5 (Tersedia) , 36.36
pernah) (N=22),
Pengalaman
usahatani (Thn), Kelompok I (yang
23.6 pernah) (N=22),
% status lahan
Kelompok I (yang (Garap), 18.18
pernah) (N=22), Kelompok I (yang Kelompok I (yang
Pendidikan pernah) (N=22), pernah) (N=22),
(Thn), 7.4 Luas lahan rata- % Modal usaha
rata petani (Ha), (Tidak tersedia),
0.41 0
Gambar 1. Karakteristik rata-rata Petani yang pernah, dan yang terus menerus
Menerapkan sistem tanam jajar legowo di 4 Kecamatan, Kabupaten
Cianjur, 2014.

878
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pengetahuan Petani Tentang Sistem Tanam Jajar Legowo Di Kabupaten


Cianjur

Gambar 2 menunjukkan petani di dua kelompok sudah mengetahui


tentang sistem tanam jajar legowo (94,74 – 95,45%). Pada umumnya petani
menggunakan sistem tanam legowo 4 baris, 2 baris dan lainnya. Sumber
informasi tentang sistem tanam jajar legowo pada umumnya diperoleh dari PPL,
Ketua Kelompok tani, dan sesama petani.
Dilihat dari pengetahuan petani tentang prinsip sistem tanam jajar legowo
menunjukkan bahwa setiap petani berbeda-beda prinsipnya tergantung pada
kondisi lahan sawahnya, serta sosial ekonomi masing-masing. Menurut
petani/responden kelompok II, keuntungan menerapkan sistem tanam jajar legowo
ada lima, yaitu untuk : 1).meningkatkan produksi (39,47%); 2).memudahkan
pemupukan (21,06%); 3).memudahkan penyemprotan hama/penyakit (18,42%);
4) memudahkan pemeliharaan dengan alat gasrok (13,16%); dan 5). lainnya
(populasi tanaman, sinar matahari masuk) sebesar 23,69%. Petani kelompok I
dan II semuanya sudah mengetahui alat caplak jajar legowo (100 %).

Kel II (Terus menerus), Kel II (Terus menerus),


% Tahu % Sumber informasi
tentangTeknologi jajar teknologi jajar legowo
legowo (Ya), 94.7 (Penyuluh Lapangan),
86.8

Kel II (Terus menerus),


% Sumber informasi
teknologi jajar legowo
(Ketua/Kelompok
Tani), 60.5
Kel II (Terus menerus),
% Teknologi jajar
legowo yang
diterapkan (4 baris) ,
42.1
Kel II (Terus menerus),
% Teknologi jajar
legowo yang
diterapkan (2 baris Kel II (Terus menerus),
dan 4 baris), 23.7 % Sumber informasi
teknologi jajar legowo
Kel II (Terus menerus), (Formulator), 15.8
% Tahu
tentangTeknologi jajar
legowo (Tidak), 5.3

Gambar 2. Karakteristik rata-rata Petani yang pernah, dan yang terus menerus
Menerapkan sistem tanam jajar legowo di 4 Kecamatan, Kabupaten
Cianjur, 2014.

879
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kel II (Terus
menerus), % Kel II (Terus
Pengetahuan menerus), %
tentang prinsip Pengetahuan
teknologi jajar tentang alat
legowo (tahu), caplak jajar
86.8 legowo (Ya), 79.0

Kel II (Terus
menerus), %
Keuntungan
Jarwo
(meningkatkan
produksi) , Kel
39.5II (Terus Kel II (Terus
menerus), % menerus), %
Kel II (Terus
Keuntungan Pengetahuan
Kel II (Terus menerus), %
Jarwo tentang alat
menerus), % Keuntungan
(memudahkan caplak jajar
Pengetahuan Jarwo
pemupukan), legowo (Tidak),
tentang prinsip (memudahkan
21.1 21.1
teknologi jajar pemeliharaan
legowo (tidak dgn alat gasrok) ,
tahu), 13.2 13.2

Lanjutan Gambar 2

Partisipasi Petani dalam Kelompok Tani di Kabupaten Cianjur

Pada Gambar 3 menunjkkan bahwa tingkat partisipasi petani dalam


kelompok tani bervariasi antara Kelompok I, dan II. Petani Kelompok Ijarang
berpartisipasi untuk mengikutikegiatan kelompok,seperti : pertemuan rutin, dan
kegiatan lainnya (54,55%), sebaliknya Kelompok II sebagian rutin (47,37%), dan
lainnya giat (39,47 %). Kegiatan kelompok tani, antara lain : menghadiri pertemuan
rutin, cara budidaya tanaman, serta pemberantasan hama/penyakit. Sumber
informasi yang diperoleh di bidang teknologi pertanian di dua kelompok seluruhnya
diperoleh dari Penyuluh lapangan (PPL), diikuti oleh sesama petani, Ketua
Kelompok Tani dan Petugas BP3K di tiap kecamatan di Kabupaten Cianjur.

880
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kelompok I (yang
pernah) (N=22), %
Sumber infomasi
(Penyuluh Lapangan,
95.5

Kelompok I (yang
pernah) (N=22), %
Sumber infomasi
(Ketua Kelompok Tani,
Kelompok I (yang 72.7
pernah) (N=22), %
Kelompok I (yang Aktif mencari
pernah) (N=22), % informasi dan ide Kelompok I (yang
Partisipasi petani baru (Kadang2), 59.1 pernah) (N=22), %
(Jarang), 54.6 Sumber infomasi
(Petugas BP3K
Kecamatan dan
Diperta), 45.5
Kelompok I (yang Kelompok I (yang
Kelompok I (yang
pernah) (N=22), % Kelompok I (yang pernah) (N=22), %
pernah) (N=22), %
Aktif mencari pernah) (N=22), % Sumber infomasi (Kios
Partisipasi petani
tani), 31.8
(Rutin), 22.7 Kelompok I (yang informasi dan ide Sumber infomasi
pernah) (N=22), % baru (Aktif) , 22.7 (Formulator), 27.3
Aktif mencari
informasi dan ide
baru (Tidak), 18.2

Gambar 3. Tingkat Partisipasi Petani dalam kelompok, serta sumber informasi


pertanian pada sistem tanam jajar legowo di 4 Kecamatan, Kabupaten
Cianjur, 2014

Adopsi Sistem Tanam Jajar Legowo di Tingkat Petani di Kabupaten Cianjur

Pada Gambar 4 menggambarkan hampir seluruh petani di Kelompok I dan


II mengatakan bahwa, sistem tanam jajar legowo dapat meningkatkan produksi
rata-rata sebesar 17% dari hasil atau 1,13 ton/ha. Adapun tingkat kesulitan serta
permasalahan dalam menerapkan jajar legowo menurut petani Kelompok I(yang
pernah menerapkan legowo), antara lain : (a). tenaga kerja tanam belum tahu, (b).
tenaga kerja tanam sulit didapat atau belum terbiasa; dan (c).menambah biaya
tenaga kerja. Kondisi lahan juga mempengaruhi petani tidak mengadopsi sistem
tanam jajar legowo,seperti : lahan bergelombang, lembab, dan luas lahan
sempit,sehingga sulit pemanenan karena jarak tanam sempit. Sedangkan
menurut petani Kelompok II (terus menerus legowo) mengatakan, bahwa adopsi
jajar legowo kurang berkembang, karena tidak ada modal untuk membuat caplak,
serta sulit panen karena lahan sempit. Ada beberapa alasan mengapa petani
masih menerapkan sistem tanam jajar legowo, antara lain : meningkatkan
produksi, mudah pemeliharaan, mudah pemupukan, serta populasi banyak

881
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(Gambar 4.). Lalla dkk. (2012) melaporkan bahwa teknologi legowo tergolong rumit
untuk diterapkan petani dan tenaga kerja yang mau menerapkannya masih
terbatas. Petani Kelompok I lamanya mengadopsi jajar legowo antara 1 sampai 4
musim, yaitu pada tahun 2008, 2009 dan 2013, sedangkan petani kelompok II
telah mengadopsi sejak tahun 2011 sampai 2013, bahkan ada petani yang
mengadopsi jajar legowo sejak tahun 2004 sampai sekarang (20 musim).

Kel II (terus menerus),


% Masih menerapkan
sistem tanam jajar
legowo (Ya), 100.0

Kel II (terus menerus),


% Alasan masih Kel II (terus menerus), Kel II (terus menerus),
menerapkan sistem % Alasan masih % Lamanya petani
tanam jajar legowo menerapkan sistem Kel II (terus menerus), mengadopsi sistem
(meningkatkan tanam jajar legowo % Lamanya petani tnm j.legowo (5 -20
produksi), 42.1 (Lainnya), 42.1 mengadopsi sistem musim), 42.1
tnm j.legowo (2
Kel II (terus menerus), musim), 34.2
% Alasan masih
menerapkan sistem
tanam jajar legowo
(memudahkan Kel II (terus menerus),
pemeliharaan), 15.8 % Lamanya petani
mengadopsi
Kel II (terus menerus),
sistem.tnm j.legowo
% Masih menerapkan
(4 musim), 5.3
sistem tanam jajar
legowo (tidak), 0.0

Gambar 4 Adopsi Sistem tanam Jajar legowo di tingkat Petani di Empat


Kecamatan, Kabupaten Cianjur Tahun 2014.

KESIMPULAN

1. Masalah Penerapan sistem tanam jajar legowo di lokasi penelitian masih


terkendala oleh masalah-masalah seperti penguasaan lahan yang sempit,
sebagian petani sebagai penggarap, modal kurang tersedia, mencari
informasi hanya kadang-kadang dan tidak mempunyai alat caplak.
2. Sebagian besar Petani telah mengetahui cara tanam system jajar legowo

882
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SARAN

1. Sistem tanam jajar legowo masuk ke dalam program utama tahunan


Provinsi Jawa Barat dan bantuan anggaran untuk pelaksanaannya
2. Prinsip-prinsip sistem tanam jajar legowo masih harus disosialisasikan
kepada petani terutama yang belum pernah dan yang pernah
menerapkan sistemtanam jajar legowo. Pendampingan dilakukan oleh
petani yang menerapkan sistem tanamjajar legowo terus menerus.
3. Produktivitas padi sawah masih berpeluang untuk ditingkatkan dengan
menggunakansistem tanam jajar legowo
4. Kegiatan pelatihan tentang aplikasi tanam jajar legowo kepada tenaga kerja
tanam perluditingkatkan lebih intensif

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S., N, Agustiani, L.M.Zarwazi, dan I. Syarifah. 2011. Peningkatan


efisiensi penggunaan air pada padi sawah (>20%) melalui sistem aerobik.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
(unpublished).
Aribawa, IB. 2012. Pengaruh sistem tanam terhadap peningkatan produktivitas
padi di lahan sawah dataran tinggi beriklim basah.Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012. Fakultas
Pertanian. Universitas Trunojoyo. Madura
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Rencana Strategis Badan
Litbang Pertanian. 2010
BAPPEDA Provinsi Jawa Barat. 2013. Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrembang). RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2013 – 2018.
Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. 2013. Laporan tahunan Kabupaten Cianjur.
2013
Kementerian Pertanian. 2010. Road Map Strategi Sektor Pertanian Menghadapi
Perubahan Iklim. Kementerian pertanian. Jakarta. 102 halaman.
Laila, H., M. Saleh S.A, Saadah. 2012. Adopsi petani padi sawah terhadap sistem
tanam jajar legowo 2:1 di kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten
Takalar. J Sains & Teknologi. 12 (3) : 255 – 264
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS Press.
SurakartaSuriapermana S, N Indah, dan Y.Surdianto. 2000. Teknologi
budidaya padi dengan cara tanam legowo pada lahan sawah irigasi.
Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV : Tonggak Kemajuan Teknologi
Produksi Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor. P 125-135.
Zaini dkk. 2004.Memacu peningkatan produktivitas Padi sawah melaluiinovasi
teknologi Budi daya spesifik lokasi dalam era revolusi hijau lestari.
Pengembangan Inovasi Pertanian. 2(1):p 35-47.

883
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANCAMAN KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP KETAHANAN PANGAN


DAN STRATEGI PENGENDALIAN DI KABUPATEN KAMPAR
Anis Fahri

Balai Pengkajian Pertanian Riau,


Jl. Kaharuddin Nasution Km 10. No 346. Pekanbaru.
Email: anisfahri@gmail.com

ABSTRAK

Konversi lahan sawah di Kabupaten Kampar merupakan ancaman


terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Kampar. Selama kurun waktu 2002 –
2010 terjadi konversi lahan sawah seluas 1.956 hektar, diperkirakan menyebabkan
hilangnya sekitar 47.491 ton gabah, atau sebesar 29.796 ton setara beras. Oleh
karena itu peningkatan produksi padi menjadi kata kunci, baik melalui pencetakan
sawah maupun peningkatan kapasitas irigasi dan introduksi teknologi. Pemerintah
Daerah perlu meningkatkan sosialisasi peraturan yang melarang alih fungsi lahan
sawah ke penggunaan lain serta menindak tegas pelaku konversi seperti yang
diamanatkan dalam Undang-undang (UU) 41 tahun 2009 demi menjaga stabilitas
ketahanan pangan secara nasional. Khusus di Kabupaten Kampar, dalam
pengendalian konversi lahan sawah disamping pendekatan low enforcement,
perlu didukung oleh peraturan lainnya, pengawasan dan penerapan sangsi yang
adil, serta meningkatkan keterlibatan masyarakat. Disamping itu melalui
pendekatan ekonomi seperti kompensasi,pemberian subsidi (insentif) kepada
petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang dimilikinya, serta penerapan
keringan pajak.

Kata kunci :konversi, lahan sawah, ketahanan pangan dan strategi pengendalian

PENDAHULUAN

Sektor pertanian di Kabupaten Kampar yang didiominasi subsektor


perkebunan memberi sumbangan sebesar Rp 2.658.399, 43 Milyar (57,03)
persenterhadap pembentukan PDRB( BPS Kampar, 2011). Sebagai konsekuensi
logis dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi, maka terjadi
perubahan alokasi sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan akibat tidak
diperhatikannya skala prioritas alokasi penggunaan sumberdaya lahan, maka
terjadi pula konflik alokasi sumberdaya lahan untuk penyediaan sumber pangan,
pembangunan dan prasarana pemukiman.

Pertumbuhan penduduk Kabupaten Kampar dengan rata-rata laju


pertumbuhan sebesar 3,34 % lebih tinggi dibanding pertumbuhan penduduk
nasional. Meningkatnya jumlah penduduk, akan menyebabkan meningkatnya
kebutuhan akan perumahan dan infrastruktur pendukung lainnya seperti pasar,
sarana pendidikan, kesehatan dan jalan.

884
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Konversi lahan sawah akan berdampak langsung terhadap penurunan


produksi padi dan ketahanan pangan. Hal ini mengakibatkan hilangnya produksi
akan berbanding lurus dengan luas lahan yang dikonversi. Irawan dan Friyatno
(2005) menyatakan bahwa terjadinya konversi lahan sawah sangat dipengaruhi
permintaan terhadap lahan menurut sektor perekonomian yaitu penggunaan untuk
non pertanian dan pertanian. Konversi lahan ke penggunaan pertanian
menunjukkan jumlah yang lebih kecil di banding untuk pemukiman/ perumahan,
zona industri, sarana dan prasarana penggunanlainnya.

Menurut Simatupang dan Irawan (2002) Konversi lahan pertanian tidak


terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan berlangsung pesat dan jumlah
penduduk terus meningkat terutama di daerah yang langka lahan, (2) mekanisme
pasar disebabkan oleh rente ekonomi lebih rendah pada sektor tanaman pangan
dari permintaan di luar tanaman pangan. Penelitian ini bertujuan menganalisis
ancaman konversi lahan sawah terhadap ketahanan pangan dan strategi
pengendalian di Kabupaten Kampar.

FAKTOR KONVERSI LAHAN SAWAH

Dalam satu dasawarsa terakhir di Provinsi Riau terjadi konversi lahan


sawah seluas 20.069 hektar. Konversi lahan terjadi hampir di semua
kabupatenumumnya menjadi perkebunan kelapa sawit (Dinas Tanaman Pangan
dan Hortikultura Provinsi Riau 2010). Khusus untuk areal persawahan beririgasi
yang di Kabupaten Kampar mengalami penurunan luas lahan mencapai 1.956
hektar (21,77 %) dari total luas lahan.

Keragaan mengenai perubahan penggunaan lahan sawah di Kabupaten


Kampar tertera pada Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pengurangan
lahan sawah dalam kurun waktu 2002 – 2010 telah terjadi seluas 1.956 hektar.
Perubahan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh program pembangunan,
terutama dalam pembangunan perekonomian dan sarana perumahan.

Tabel 1. Konversi lahan sawah perkecamatan tahun 2002 – 2010.


Tahun Rata -
No Kecamatan Selisih (ha)
2002 2010 rata/ thn
1 Kampar Kiri 400 252 148 18,5
2 Kampar Kiri Hulu 0 50 (50) (6,25)
3 Kampar Kiri Hilir 0 0 0 0
4 Kampar Kiri Tengah 0 0 0 0
5 Gunung Sahilan 0 0 0 0
6 XIII Koto Kampar 40 40 0 0
7 Koto Kampar Hulu 94 0 94 11,75
8 Bangkinang Barat 990 812 178 22,5
9 Salo 420 654 (234) (29,25)
10 Tapung 75 145 (70) (8,75)
11 Tapung Hulu 405 400 5 0,625
12 Tapung Hilir 0 0 0 0
13 Bangkinang 0 0 0 0

885
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

14 Bangkinang 646 750 (104) (13)


Seberang
15 Kampar 1.724 877 847 106
16 Kampar Timur 697 912 (215) (26,87)
17 Rumbio Jaya 235 242 (7) (0,88)
18 Kampar Utara 803 474 329 41,13
19 Tambang 2220 1.369 851 106,37
20 Siak Hulu 235 25 210 26,25
21 Perhentian Raja 0 0 0 0
Jumlah 8.984 7.028 1.956 244,5

Sumber : Fahri, dkk (2014)

Konversi lahan sawah di Kabupaten Kampar umumnya memiliki pola


sporadis dan bersifat progresif, artinya alih fungsi lahan sawah umumnya
dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah dalam luasan terkonversi kecil – kecil
dan terpencar serta merambat pada daerah-daerah sekitarnya dalam waktu yang
relatif singkat dengan luas yang cendrung meningkat.

Konversi lahan dimulai pada lahan sawah yang menurut petani lebih sulit
pengelolaannya dibanding lahan sawah lainnya dengan kondisi drainase yang
kurang mendukung. Proses ini menghasilkan spot-spot kebun diantara areal
persawahan. Keberadaan tanaman kelapa sawit ini lama-kelamaan akan
mengancam lahan sawah disekitarnya karena menganggu intensitas cahaya
matahari yang sangat dibutuhkan tanaman padi dan menjadi tempat
persembunyian dan bersarang hama tanaman padi seperti burung, tikus, babi,
belalang dan lainnya. Akibat kondisi ini, mau tidak mau petani di sekitar yang terus
dirugikan akibat keberadaan kebun juga akan ikut mengkonversi lahan sawah
yang dimilikinya.

Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi


tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada (Ilham
dkk (2005), lebih lanjut Witjaksono (2006), menyatakan alasan ekonomi
senantiasa melatar-belakangi dan menjadi faktor pendorong terjadinya konversi
lahan pertanian antara lain : a) nilai land rent yang diperoleh dari usaha pertanian
senantiasa lebih rendah dibanding nilai land rent untuk sektor non pertanian
(perumahan, jasa, industri, infrastrukur jalan), b) kesejahteraan petani yang masih
tertinggal, c) kepentingan pemerintah daerah di era otonomi daerah khususnya
terkait penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), ada anggapan sektor
pertanian tidak memberikan keuntungan yang signifikan, dan d) lemahnya fungsi
kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.

Penelitian Fahri, dkk (2014) menunjukkan faktor-faktor yang signifikan


terhadap konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Kampar
adalah 1) pendapatan usahatani padi yang lebih rendah dari pendapatan
usahatani kelapa sawit, 2) adanya kendala irigasi, dan 3) belum adanya peraturan
daerah (Perda) terhadap alih fungsi lahan. Hasil penelitian Hamdan (2012) di

886
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu melaporkan faktor pendorong konversi


lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah kendala irigasi dan resiko
usahatani yang tinggi serta kurangnya tenaga kerja untuk mengelola usahtani
padi.

ANCAMAN KONVERSI LAHAN SAWAH TERHADAP KETAHANAN PANGAN

Selama kurun waktu tahun 2002 – 2010 secara akumulasi telah


menyebabkan hilangnya sekitar 47.491 ton gabah. Bila dihitung setara beras,
maka kehilangan produksi tersebut adalah sebesar 29.796 ton beras (Tabel 2).

Tabel 2. Produksi padi yang hilang akibat terjadinya konversi lahan sawah di
Kabupaten Kampar tahun 2002 – 2010 (ton).
Tahun Luas sawah Konversi Kehilangan produksi (ton)
(ha) (ha) Padi Beras
2002 13.152 4.831 22.966 14.427
2003 13.419 (267) (1.271) (797)
2004 11.330 2.089 9.944 6.239
2005 12.608 (1.278) (6.083) (3.817)
2006 11.542 1.066 5.074 3.184
2007 10.853 689 3.280 2.058
2008 10.780 73 347 218
2009 7.932 2.848 13.556 8.505
2010 8.006 (74) (352) (221)
Jumlah 9.977 47.491 29.796
Rata – rata 1.109 5.277 3.311

Sumber : Kampar Dalam Angka Tahun 2002 – 2010. Data diolah


Konversi lahan sawah menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman
kepada kondisi ketahanan pangan di Kabupaten Kampar. Disamping itu
memunculkan kerisauan akan terjadi keadaan rawan pangan pada masa yang
akan datang dan mengakibatkan harusmengimpor produk-produk pangan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Jumlah kehilangan produksi beras tersebut hampir sebanding dengan


jumlah defisit kebutuhan beras yang diimpor. Artinya, apabila konversi lahan
sawah dapat ditekan maka hal itu akan memberikan dampak yang cukup besar
bagi pengadaan beras di Kabupaten Kampar. Upaya pengendalian konversi lahan
sawah tersebut menjadi cukup mendesak mengingat pertumbuhan produksi beras
akhir – akhir ini mengalami stagnasi akibat tekendala oleh kejenuhan teknologi .

Melihat produksi pada kondisi yang terjadi saat ini (existing) dimana telah
terjadi konversi lahan sawah dan penambahan lahan sawah karena ada
pencetakan, maka tampak bahwa tetap terjadi pengurangan produksi padi sebesar
47,49 ton akibat konversi lahan pada kurun waktu tersebut. Hal ini menunjukkan
peningkatan produksi padi sebagai akibat pencetakan sawah dan adopsi teknologi
masih lebih rendah atau tidak sebanding dengan penurunan produksi akibat
konversi lahan sawah.

887
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Jumlah penduduk Kabupaten Kampar pada tahun 2010 sebanyak 687.797


jiwa, tingkat konsumsi sebesar 108,74 kg perkapita pertahun (Dinas Tanaman
Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau, 2010) maka diperoleh kebutuhan beras
sebesar 75.878,45 ton. Sementara produksi padi pada tahun tersebut sebesar
48.020 ton atau setara dengan 31.778,44 ton beras. Hasil ini menunjukkan bahwa
terjadi defisit kebutuhan beras sebesar 44.100,01 ton (Tabel 3).

Tabel 3. Kebutuhandan produksi beras Kabupaten Kampar tahun 2002 – 2010.


Tahun Jumlah Kebutuhan Produksi Konversi Defisit Persentase
penduduk beras (ton) Padi Beras* (ton) (%)
(Jiwa) (ton) (ton)
2002 524.926 57.080,45 24.326 15.262,13 41.818,32 73,26
2003 556.575 60.521,97 20.569 12.904,99 47.616,98 78,68
2004 544.543 59.213,61 28.104 17.632,45 41.581,16 70,22
2005 559.586 60.849,38 23.796 14.929,61 45.919,77 75,46
2006 603.473 65.621,65 25.900 16.249,66 49.371,99 75,24
2007 615.517 66.931,32 27.650 17.347,61 49.583,71 74,08
2008 633.320 68.867,22 33.706 21.147,14 47.720,08 69,29
2009 679.285 73.865,45 44.879 28.157,08 45.708,37 61,88
2010 687.797 75.878,45 48.020 31.778,44 44.100,01 58,12
Rerata 600.603 65.425,50 31.065 19.489,91 39.743,73 70,35
Keterangan * : Konversi padi menjadi beras diperoleh setelah dikurangi angka
konversi GKG menjadi beras sebesar 62,74%. Angka rendemen
penggilingan lapangan yang dirilis oleh BPS dan Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian
Pertanian.

Undang – undang No.18/2012 tentang Pangan, mengamanatkan untuk


memenuhi kebutuhan pangan sampai tingkat perseorangan. Hal tersebut dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif
secara berkelanjutan. Dari hasil observasi lapang, diketahui bahwa bagi
masyarakat kampar penurunan produksi beras merupakan suatu ancaman bagi
ketersediaan pangan mereka, dan selama ini kekurangan (defisit) beras.

STRATEGI DASAR PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN SAWAH

Diketahui, permasalahan konversi lahan pertanian merupakan hal yang


rumit dan kompleks, serta terbentuk dari berbagai sebab baik langsung dan tidak
langsung yang terakumulasi dalam waku yang cukup lama. Sehingga dalam
pengendaliannya tidak dapat dilakukan secara parsial, instan namun harus
terkonsep secara sistematis, konfrehensif, holistik dan berkelanjutan. Kondisi
konversi lahan di Kabupaten Kampar, maka strategi dasar dalam jangka pendek
pengendalian konversi lahansawah di Kabupaten Kampar sebagai berikut :

888
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

a. Perubahan Paradigma Terhadap Nilai Lahan Pertanian


Sampai saat ini cara pandang terhadap lahan diukur dari nilai ekonomi (land
rent) yang dihasilkan dari lahan tersebut, padahal lahan sesungguhnya
membawa manfaat bawaan (instristic values) seperti manfaat menjaga
kelestarian lingkungan, keaneka ragaman hayati, menyediakan lahan pangan,
menyediakan lapangan pekerjaan, sebagai wahan pendidikan lingkungan,
pariwisata dan lain – lain ( Rustiadi dkk. 2011). Pandangan inilah yang
membawa ketidak seimbangan nilai lahan antara penggunan untuk sawah
dengan penggunaan lainnya. Masyarakat menilai bahwa nilai yang dihasilkan
dari lahan sawah lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan untuk
usaha kelapa sawit maupun usaha perkebunan lainnya. Padahal perhitungan
demikian tidak sepenuhnya benar, mengingat lahan sawah dapat diusahakan
2 atau 3 kali dalam setahun. Disamping itu dengan peningkatan produktifitas
usahatani padi sebesar 20 persen dari yang ada sekarang melalui inovasi
dengan pola tanam 2 kali dalam setahun akan menghasilkan nilai ekonomi
padi lebih besar dari kelapa sawit.

b. Pendataan dan Pemetaan Lahan Pangan


Diketahui bahwa akurasi dan kecukupan data yang kita miliki merupakan
kendala besar dalam upaya penerapan pengendalian lahan pertanian. Hal ini
disebabkan lemahnya konsistensi data lahan yang diterbitkan oleh berbagai
instansi, karen perbedaan sudut pandang dan kepentingan. Jadi dalam upaya
dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian diharapkan adanya langkah –
langkah serius berupa tahapan pemetaan lahan pertanian dan
melembagakan pemantauan dan pencatatannya sepeti yang diamanatkan
oleh UU 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.

c. Pemberdayaan
Bagian yang fundamental dari sistem pengendalian konversi lahan adalah
petani. Sebagai pemilik lahan dan pelaku dalam kelembagaan lokal, petani
belum banyak dilibatkan secara aktif dalam berbagai upaya pendendalian.
Selain itu belum terbangunnya komitmen, perbaikan sistem koordinasi serta
pengembangan kompetensi lembaga – lembaga formal dalam menangani
konversi lahan. Beberapa kelemahan dan keterbatasan tersebut diatas,
menyebabkan instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan yang
selama ini telah disusun tidak dapat menyentuh secara langsung simpul –
simpul kritis yang terjadi di lapangan. Fakta yang ada, bahwa keterlibatan
masyarakat dalam upaya pengendalian lahan pertanian masih sangat rendah.
Hal ini dapat dilihat belum terlibatnya lembaga - lembaga sosial di masyarakat
dalam upaya pengendalian konversi lahan, disebabkan juga minimmya
informasi yang diperoleh serta rendahnya respon masyarakat terhadap
keberlanjutan lahan pertanian.

d. Pendekatan Hukum
Melalaui pendekatan hukum/ regulasi, Pemerintah Daerah diharapkan
menetapkan aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada, berdasarkan

889
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial. Selain itu diperlukan mekanisme


perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua stakeholder
yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Secara empiris, instrumen kebijakan
selama ini menjadi andalan pengendalian alih fungsi lahan sawah adalah
Peraturan Daerah yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW), namun sangat disayangkan bahwa proses penyusunan RTRW yang
pada umumnya sangat alot ternyata juga belum menghasilkan petunjuk teknis
yang benar – benar operasional.

Berdasarkan hal diatas serta dalam rangka menindaklanjuti UU NO.41 Tahun


2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, maka
diperlukan penetapan Peraturan Daerah (PERDA) untuk tingkat Provinsi dan
operasional tingkat Kabupaten. Selain itu, implementasi instrumen kebijakan
tersebut disertai oleh penegakan hukum yang memadai dan advokasi publik
yang cukup kuat dan konsisten.

e. Pendekatan Ekonomi
Instrumen Ekonomi dalam upaya pengendalian konversi lahan berperan
dalam menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan
fungsi lahan sebagai lahan usahatani, menciptkan kondisi disinsentif bagi
pihak – pihak yang ingin mengalih fungsikan lahan sawah ke penggunaan lain,
sert kombinasi antara kedua hal tersebut diatas. Pendekatan ekonomi yang
dapat dilakukan melalui pendekatan incentive dan charges, pemberian subsidi
(insentif) kepada petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang
dimiliknya, serta penerapan keringan pajak.

f. Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Pertanian


Rehabilitasi sarana dan prasarana mencakup irigasi, jalan usahatani,
ketersediaan alat pengolahan tanah mekanis dan pompa air irigasi, akses
petani terhadap lembaga permodalan. Kondisi jaringan irigasi yang rusak dan
bahkan tidak berfungsi merupakan salah satu faktor pendorong bagi petani
untuk meninggalkan usahatani padi. Dari data bidang pengairan Dinas Bina
Marga Kabupaten Kampar, bahwa dari jaringan Daerah Irigasi Kampar sekitar
50 % dalam keadaan rusak. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
kebijakan untuk merehabilitasi jaringan irigasi atau pembangunan irigasi baru,
perlu mendapat perhatian Pemerintah Daerah, karena keberadaan
infrastruktur pengairan yang memadai akan menghambat upaya konversi
lahan sawah oleh petani, dan kemungkinan akan meningkatkan luas areal
lahan sawah .

UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan


Berkelanjutan yang mengatur perencanaan penetapan kawasan pertanian. Selain
itu telah diterbitkan pula Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/
OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan,
Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

890
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

"Regulasi-regulasi tersebut dalam implementasinya belum efektif


sebagaimana terlihat dari alih fungsi lahan pertanian yang terus terjadi dan
semakin tidak terkendali. Insentif ekonomi yang tertuang dalam PP tersebut masih
dalam tataran normative sehingga relative sulit untuk di implementasikan di
lapangan. Dalam UU Nomor 41 tersebut diamanatkan kepada Pemda untuk
menetapkan lahan pangan berkelanjutan. Perda tentang perlindungan lahan
pangan berkelanjutan di Kabupaten Kampar belum ada.

KESIMPULAN

1. Selama kurun waktu 2002 – 2010 di Kabupaten Kampar Penurunan lahan


sawah seluas 1.955,79 hektar atau (21,77%) dengan laju 2,42 % pertahun.
2. Memberikan dampak nyata terhadap ketahanan pangan dan penurunan
produksi beras. Diperkirakan Kehilangan produksi padi sebesar 47.491 ton
atau 29.796 ton setara beras.

SARAN

1. Pemerintah Daerah perlu meningkatkan sosialisasi peraturan-peraturan yang


melarang alih fungsi lahan sawah ke panggunaan lain serta menindak tegas
pelaku konversi seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang (UU) 41
tahun 2009 demi menjaga stabilitas ketahanan pangan secara nasional.
Khususnya di Kabupaten Kampar, dalam pengendalian konversi lahan sawah
disamping pendekatan low enforcement, perlu didukung pleh peraturan lainnya,
pengawasan dan penerapan sangsi yang adil.
2. Disamping itu pendekatan ekonomi seperti melalui kompensasi, pemberian
subsidi (insentif) kepada petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang
dimiliknya.
3. Peningkatan kapasitas irigasi seperti rehabilitasi jaringan irigasi dan introduksi
teknologi. Memberdayakan masyarakat, sehingga terlembaganya nilai- nilai
dalam menunjang kebijakan pengendalian alih fungsi lahan, dan terjadi
peningkatan kontribusi lembaga sosial yang ada maupun respon masyarakat
dalam pengendalian konversi lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Kabupaten Kampar. 2011. Kampar Dalam Angka. Kerja
sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Kampar.
Badan Pusat Statistik Riau. 2011. Riau Dalam Angka . Kerja sama dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau.
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau. 2010. Laporan Tahunan
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau.

891
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Fahri A, L.M. Kolopaking, dan D.B. Hakim. 2014. Laju Konversi Lahan Menjadi
Perkebunan Sawit Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Serta
Dampaknya Terhadap Produksi Padi Di Kabupaten Kampar, Riau. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 17, Nomor
1. Maret 2014. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Bogor.
Hamdan. 2012. Ekonomi Konversi Lahan Sawah Menjadi Kebun Kelapa Sawit di
Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Tesis.
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ilham N, Syaukat Y, Friyatno S.2005. Perkembangan Dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya
.[Internet]. [diunduh 2012 Maret 25]. Tersedia pada :
http://ejournal.unud.ac.id/. SOCA (Socio-Economic of Agriculture and
Agribusiness). 5(2). Bali (ID) : Universitas Udayana.
Irawan B dan Friatno S. 2005. Dampak Konversi Lahan sawah di Jawa Terhadap
Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Ejournal. Unud.ac.id
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta (ID) Crespent Press dan Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Simatupang P, Irawan B. 2002. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian: Tinjauan
Ulang Kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Prosiding Seminar Nasional Multi
fungsi dan Konversi Lahan Pertanian.
Witjaksono R. 2006. Konversi lahan: Suatu tinjauan sosiologis. Dalam Prosiding
Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”:
Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: Bogor (ID). Kerja
sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.
113 – 120p.

DISKUSI

Nama Penanya : Sri haryani Sitindaon (BPTP SUMUT)


Pertanyaan : Langkah - langkah yang dilakukan untuk mengatasi konvensi lahan?
Jawaban :

Langkah – langkah yang dilakukan untuk mengatasi konversi lahan sawah adalah:

1. Perubahan Paradigma Terhadap Nilai Lahan Pertanian. Sampai saat ini


cara pandang terhadap lahan diukur dari nilai ekonomi (land rent) yang
dihasilkan dari lahan tersebut, padahal lahan pertanian sesungguhnya
membawa manfaat bawaan (instristic values) seperti menjaga kelestarian
lingkungan, keaneka ragaman hayati, menyediakan lahan pangan,
menyediakan lapangan pekerjaan, sebagai wahana pendidikan,
pariwisata dan lain – lain.
2. Pendataan dan Pemetaan Lahan Pangan pertanian dan melembagakan
pemantauan dan pencatatannya sepeti yang diamanatkan oleh UU 41
Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
3. Pemberdayaan : Melibatkan petani sebagai pemilik lahan dan pelaku
dalam kelembagaan lokal secara aktif dalam berbagai upaya pengendalian
alih fungsi lahan pertanian. Membangun komitmen, perbaikan sistem

892
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

koordinasi, dan pengembangan kompetensi lembaga-lembaga formal


dalam menangani alih fungsi lahan pertanian.
4. Pendekatan Hukum. Melalui pendekatan hukum/ regulasi, Pemerintah
Daerah diharapkan menetapkan aturan dalam pemanfaatan lahan yang
ada, berdasarkan pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial. Selain itu
diperlukan mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan
melibatkan semua stakeholder yang ada dalam proses alih fungsi lahan.
5. Pendekatan Ekonomi : pemberian incentive dan charges, pemberian
subsidi (insentif) kepada petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan
yang dimiliknya, serta penerapan keringan pajak.serta kemudahan
mendapatkan sarana produksi pertanian.
6. Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Pertanian. Rehabilitasi sarana dan
prasarana mencakup irigasi, jalan usahatani, ketersediaan alat pengolahan
tanah mekanis dan pompa air irigasi, akses petani terhadap lembaga
permodalan.

893
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH DI KECAMATAN MUARA


KABUPATEN TAPANULI UTARA

Tumpal Sipahutar

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. AH. Nasution No 1B Medan Sumatera utara
Email: bptp-sumut@litbang.deptan.go.id; tumpal_sipahutar@yahoo.com

ABSTRAK

Pengelolaan usahatani memiliki dua faktor yang akan mempengaruhi


proses produksi, yaitu faktor internal meliputi: lahan, tenaga kerja dan modal,
sedangkan faktor eksternal meliputi: faktor produksi yang tidak dapat di kontrol
oleh petani, seperti iklim, cuaca, perubahan harga dan sebagainya. Kajian ini
dilakukan di Desa Aritonang Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara,
Sumatera Utara, pada bulan Juli 2014. Pemilihan responden dilakukan secara
simplerandom sampling, Jumlah sampel 30 orang dari Kelompok Tani “Suka
Maju”, sedangkan pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive
sampling). Pengumpulan data mencakup data primer dan data sekunder. Untuk
mengetahui efisiensi usahatani dianalisis menggunakan imbangan penerimaan
dan biaya (B/C ratio). Hasil kajian menunjukkan bahwa hasil analisis usahatani
padi diperoleh nilai B/C atas biaya sebesar 2,30 artinya setiap Rp.100,-biaya input
produksi pertanian mampu memberi imbalan sebesar Rp 230,-hal ini menunjukkan
usahatani di Kecamatan Muara menguntungkan.

Kata kunci: Analisis usahatani, padi sawah, dan Tapanuli Utara

PENDAHULUAN

Beras merupakan komponen utama ketahanan pangan nasional,


sementara usahatani padi merupakan tulang punggung perekonomian pedesaan.
Oleh sebab itu, perpadian tetap strategis ditinjau dari aspek ekonomi, sosial,
politik, dan keamanan nasional. Upaya peningkatan produksi padi ditekankan
pada program intensifikasi, terutama pada lahan sawah irigasi yang dikenal
dengan revolusi hijau. Program ini telah berhasil meningkatkan produksi padi
secara siknifikan dengan laju pertumbuhan 5,2% per tahun. Pemerintah bertekat
mempercepat upaya peningkatan produksi padinasional untuk memenuhi
kebutuhan pangan yang terus meningkat seiringdengan bertambahnya jumlah
penduduk dari tahun ke tahun. Hal ini,diimplementasikan melalui program
Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), dimulai pada tahun 2007 hingga
2009 dengan target mampu meningkatkan produksi beras 5% setiap tahun.
Keputusan politik pemerintah untuk menaikkan produksi beras 5% setiap tahun
adalah agar surplus beras nasional tidak menipis dan stok pemerintah di Bulog
bertambah 1 juta ton, sehingga beras lebih mudah dikontrol dan Indonesia mampu
berswasembada beras (Anonim, 2008).
Upaya peningkatan produksi dalam upaya ketahanan pangan selalu
menghadapi tantangan yang meliputi: a) masih rendah dan lemahnya produksi,
distribusi, harga, dan daya beli, b) rendahnya aksebilitas terhadap pasar, c) subsidi

894
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yang diterapkan negara produsen pesaing menekan keunggulan kompetitif


pangan, d) penerapan tarif terhadap produk pangan impor belum mampu
mengangkat harga yang kompetitif, e) pada musim panen harga produk pertanian
seringkali tidak memberi keuntungan yang layak bagi produsen, f) usahatani
tanaman pangan sering kalah bersaing dengan komoditas lainnya (Siregar,1981).
Perkembangan luas panen dan produksi padi di Sumatera Utaraselama
tahun 2003-2014rata-rata mengalami fluktuatif pertahun. Peningkatan dan
penurunan ini disebabkan bertambahnya dan berkurangnya produksi padi sawah
ladang, sedangkan produksi padi ladang mengalami hal yang sama fluktuatif tiap
tahunnya.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Utara (2015), luas
panen padi sawah di Sumut pada tahun 2014, luas panen sekitar 676.724 ha,
sedangkan produksi sebesar 3.490.516 ton, sedangkan rata rata produksi sebesar
51,58 kw/ha. Sedangkan diKabupaten Tapanuli Utara luas panen 24.055 ha,
produksi sebesar 138.519,24 ton, rata-rata produksi sebesar 57,58 (Badan Pusat
Statistik Sumatera Utara, 2015).
Menurut Soeharjo dan Patong (1973) usaha taniadalah proses
pengorganisasian faktor-faktor prduksi, yaitu alam, tenaga kerja, modal dan
pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan ataupun sekumpulan orang untuk
menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang
lain disamping motif mencari keuntungan. Pada dasarnya usaha tani memiliki dua
faktor yang akan mempengaruhi proses produksi, yaitu faktor internal meliputi
lahan, tenaga kerja dan modal, sedangkan faktor eksternal meliputi faktor produksi
yang tidak dapat di kontrol oleh petani seperti: iklim,cuaca, perubahan harga dan
sebagainya.
Perlunya dievaluasi usahatani padi yang sudah diusahakan, apakah
secara ekonomi untung atau rugi,makatujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis usaha tani padi yang berguna sebagai masukan atau informasi bagi
petani untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan usahatani, juga untuk
meningkatkan efisiensi usaha tani.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Kajian
Lokasi kajian di Desa Aritonang, Kecamatan Muara, yang merupakan
salah satu kecamatan sentra produksi padi yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara
yang dilaksanakan pada bulan Juli 2014. Pemilihan petani responden ditetapkan
secara simple randong sampling, sedangkan desa dan kelompok tani dipilih
secara sengaja (purposive sampling) bahwa sampel dapat mewakili populasi,
alasannya karena penduduk Desa Aritonang sebagian besar sumber pendapatan
utama adalah dari usaha tani padi.
Pengumpulan data
Tehnik pengumpulan data, yaitu melalui survey menggunakan kuesioner
terstruktur yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, jenis data yang dikumpulkan
terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari 20 petani
pada Desa Aritonang. Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh dari
Dinas Pertanian Tapanuli Utara, BPS, Laporan Dinas dan instansi terkait lainnya.

895
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Metode Analisis
Untuk mengetahui kelayakan usahatani dilakukan dengan analisis
imbangan penerimaan dan biaya (B/C ratio). Tingkat efisiensi usahatani padi dapat
di ukur dengan analisis B/C ratio (Kadariah, 1988).
Total Penerimaan
B/ C =
Total Biaya
Keterangan:
B/C = imbangan penerimaan dan biaya; TP = Total Penerimaan; TB = Total Biaya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan wilayah
Desa Aritonang merupakan desa yang berada ditengah-tengah antara
desa yang ada pada Kecamatan Muara. Jarak ibukota kecamatan dengan Desa
Aritonang sekitar 4 km. Luas Desa Aritonang sekitar 4,36 km2. Batas desa/
wilayah Desa Aritonang: Batas sebelah Utara: Danau Toba; Batas sebelah
Selatan: Kecamatan Bakara; Batas Sebelah Barat: Desa Batu Binumbur atau
Desa Simatupang; Batas Sebelah Timur : Desa Dolok Martumbur atau Desa
Sitanggur. Titik koordinat Desa Aritonang adalah 2ºº19’52,28” Bujur Timur dan 98º
53’51,76” Lintang Utara.
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk di Kecamatan Muara sekitar 13.727 jiwa berada di 15
desa/kelurahan, dan jumlah penduduk Desa Aritonang sekitar 875 jiwa yang terdiri
dari laki laki 406 jiwa dan perempuan 496 jiwa (Tabel 1).
Tabel 1: Jumlah penduduk menurut jenis kelamin per desa/ kelurahan 2014 (jiwa)
Desa/ kelurahan Laki laki Perempuan Total
1. Huta Lontung 264 276 540
2. Barita Niaek 356 371 727
3. Silali Toruan 369 368 737
4. Hutana Nagodang 782 821 1603
5. Unte Mungkur 583 588 1171
6. Batu Binumbun 355 362 717
7. Simatupang 552 548 1100
8. Aritonang 406 469 875
9. Dolok Martumbur 330 345 675
10. Sitanggor 415 447 862
11. Huta Ginjang 751 759 1710
12. Silando 604 599 1203
13. Papande 326 359 685
14. Sibandang 403 481 884
15. Sampurna 194 244 438
2014 6690 7037 13727

Luas wilayah

Luas wilayah Kecamatan Muara seluas 79,75km2 sementara Desa


Aritonang mempunyai luas sekitar 4.336 ha, terdiri dari tanah sawah sekitar 64 ha,

896
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tanah kering 265 ha, bangunan 10 ha, lainnya 97 ha. Ketinggian dari dasar
permukaan laut (dpl) sekitar 950 m.

Karakteristik responden

Dalam proses produksi pertanian, sumberdaya manusia, baik secara


kuantitatif maupun kualitas merupakan salah satu faktor yang perlu di perhatikan.
Secara kuantitas, sumberdaya manusia yang terlibat dapat berasal dari dalam
keluarga maupun dari luar keluarga ataupun tenaga upahan. Sedangkan secara
kualitas, dipengaruhi oleh umur, pendidikan, pekerjaan utama, tingkat
kesejahteraan keluarga itu. Dalam berusahatani padi sawah pengalaman keluarga
sangat penting dalam peningkatan hasil. Tingkat pendidikan responden sudah
tinggi rata-rata lulus SMP dan SMA. Rata rata jumlah anggota responden 4 jiwa
per keluarga. Responden mempunyai usia produktif dan status kepemilikan lahan
milik sendiri (Tabel 2).

Tabel 2. Karateristik petani padi di Kecamatan Muara, Tahun 2014


Uraian %
1. Umur (thn)
 20 – 30 30
 31 – 50 50
 51 – 70 20
2. Pendidikan (%):
 S1/ D3 -
 SLTA 47
 SLTP 35
 SD 15
 Tdk tamat 3
3. Pengalaman (thn)
 1 – 10 20
 11 – 20 50
 21 – 50 30
4. Pekerjaan Utama (%)
 Bertani 100

Varietas Padi

Responden sebagian besar telah memakai benih padi unggul varietas


Ciherang dengan kualitas baik. Teknik penanaman bibit padi sebagian besar
dengan cara Tapin (Tanam pindah) dari persemaian kelahan sawah. Hal ini,
memberikan keuntungan penghematan jumlah benih yang diperlukan dan
rendahnya penyulaman dan dapat memberikan hasil gabah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanam Tabela (Tanam benih langsung).

Produktivitas Padi

Pemupukan merupakan faktor terpenting dalam meningkatkan produksi


padi sawah selain bibit yang baik. Dengan demikian, sangat penting
memperhatikan dinamika unsur hara makro N, P, K pada sistem tanah-tanam
dalam merakit teknologi introduksi yang berbasis pada konsep pemupukan

897
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

berimbang. Pemupukan bertujuan untuk meningkatkan produksi dan mutu,


meningkatkan efisiensi pemupukan, meningkatkan kesuburan tanah, menghindari
pencemaran tanah (Deptan, 2006).

Analisis Usahatani

Pendapatan suatu usaha menjadi semakin penting sebagai bentuk apakah


teknologi usahatani itu berhasil atau tidak atau perlu dikembangkan atau tidak,
sehingga perlu dilakukan analisis finansial untuk mengukur tingkat penerimaan
yang diperoleh petani pada usahatani padi. Melalui analisis ini dapat diketahui
seberapa besar keuntungan yang diperoleh dengan beragam input produksi
(Sumarmo,2008).

Umumnya banyak petani tidak mencatat dan menghitung secara rinci biaya
yang dikeluarkan dalam usahataninya. Hal ini, disebabkan pengetahuan petani
masih rendah dan merasa kurang perlu, akan tetapi untuk megetahui tingkat
pendapatan dan keuntungan yang diperoleh perlu dibuat analisis usahataninya.
Komponen analisis tersebut dibedakan 2 komponen, yaitu komponen biaya dan
komponen pendapatan. Keuntungan usahatani dapat dilihat dari selisih
penerimaan dengan total biaya produksi. Secara rinci analisis usahatani petani
responden di Desa Aritonang (Tabel 3). Tuliskan sedikit berapa biaya sewa lahan,
pupuk, obat-obatan, pengolahan lahan dan berapa ton hasil serta berapa harga
per kg.

Tabel 3. Komponen sarana produksi dan analisis usahatani padi sawah di


Kecamatan Muara per hektar,Tahun 2014
Uraian Nilai
Biaya tetap (sewa/ha/musim) 1.300.000
Biaya tidak tetap :
- Bibit/benih 127.931,01
Pupuk :
- Urea 320.000,00
- SP-36 182.675,78
- ZA 212.789,10
-Ponska 100.178,97
Obat-obatan:
-Furadan 208.657,90
-Relly 109.312,98
-Aly 60.000,00
-Spontan 3.105,45
-Basma 1.661,70
-Densel 6.103,45
-Kudaliar 4.213,55
-Kurater 167.997,56
-Sidabas 125.896,55
-Polaran 1.345,89
-Dursban 16.896,00
-Persiapan lahan 820.412,23
-Penanaman 993.201,00

898
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

-Penyemprotan 198.201,12
-Penyiangan 301.211,23
-Pemupukan 235.300,20
-Panen 1,102.441,39
-perontokan 1.102.310,34
-Total biaya pemupukan 686.145.92
-Total biaya pestisida 735.765,78
-Total biaya tetap 3.165.789,56
-Total biaya tenaga kerja 5.023.325,34
-Total biaya dikeluarkan petani 8.121.455,56
-Penerimaan 16.616.323,78
B/C Ratio 2,30

KESIMPULAN

1. Hasil dari analisis usahatani di Kecamatan Muara menunjukan bawa


teknologi yang digunakan memberi keuntungan secara ekonomis dan perlu
dikembangkan.
2. Hampir semua responden menggunakan varietas unggul baru (Ciherang).
3. Pendidikan dan usia produktif juga menentukan tingkat keberhasilan dalam
usahatani.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Inovasi Teknologi Padi Anomin. 2008. http://www.id.scribd.com.


[diakses Maret2011].
Badan Litbang Pertanian. 2013. Rapat Kerja Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kecamatan Muara. 2014. Muara Dalam Angka 2014. Badan
Pusat Statistik Muara kerja sama dengan Biro Pusat Statistik Sumatera
Utara.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara 2014. Tapanuli Utara Dalam
Angka 2014. Pusat Statistik kabupaten Tapanuli Utara kerja sama
dengan Biro Pusat Statistik Sumatera Utara.
Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara. 2014. Sumatera Utara dalam
angka 2014. Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara kerjasama dengan
Biro Pusat Statistik Sumatera Utara.
Kadariah.1988. Evaluasi proyek analisis Ekonomi. LPEE-UI, Jakarta.
Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan, 2005. Inovasi Teknologi
Padi. Badan penelitian dan pengembangan pertanian.
Siregar,Hadrian. 1081. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Sastra Hudaya,
Bogor.
Soeharjo,A dan D. Potong.1973. Sendi-sendi pokok Usahatani. Departemen Ilmu-
ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Istitut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sumarmo. 2008. Memfasilitasi Petani agar responsif terhadap Inovasi Teknologi.
Dalam Sudarmadi Purnomo (Ed.). Prosiding Seminar Pembangunan
Petani Melalui Informasi dan Teknologi Pertanian. BPTP Jawa Timur dan
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.

899
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SIKAP PETANI TERHADAP TEKNOLOGI SISTEM TANAM BENIH


LANGSUNG (TABELA) DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN
USAHATANI PADI SAWAH
(Studi Kasus Di Desa Lakea Dua Kecamatan Lakea Kabupaten Buol)

Muhammad Abid

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah


Jl. Lasoso No. 62 Biromaru
Email : muh_abid12@yahoo.com

ABSTRAK
Padi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga
kebutuhannya sangat banyak; maka menjadi target utama di Kementerian
Pertanian guna mewujudkan swasembada pangan. Keberhasilan program ini
tergantung pada penerapan teknologi di petani. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Juni sampai dengan Agustus tahun 2013 di Desa Lakea Dua, Kecamatan Lakea,
Kabupaten Buol. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan sikap petani
dalam sistem penanaman benih langsung (tabela) untuk meningkatkan
pendapatan usahatani padi. Penelitian dilakukan dengan metode survei di 25%
rumah tangga (80 orang) yang menggunakan sistem penanaman benih langsung
(tabela) sebagai responden atau 20 rumah tangga petani. Teknik pengambilan
sampel untuk mengklasifikasikan data berdasarkan petani rumah tangga di pusat-
pusat pengembangan padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap petani
pada sistem penanaman benih langsung (atabela) di mana pada dasarnya
menerima dan dapat meningkatkan pendapatan petani di pertanian padi Rp.
2.878.052 per hektar untuk setiap musim tanam.
Kata Kunci : Sikap, teknologi, tabela, pendapatan, dan padi sawah

PENDAHULUAN

Padi merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk


Indonesia. Meskipun padi dapat digantikan oleh makanan lainnya seperti Jagung
dan umbi-umbian namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa
makan nasi dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh bahan makanan yang
lain. Produksi padi perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan
penduduk yang terus bertambah. Kebutuhan beras nasional dewasa ini telah
menyentuh angka lebih dari 30 juta ton per tahun. Disisi lain, tantangan yang
dihadapi dalam pengadaan produksi padi semakin berat. Laju pertumbuhan
penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif masih tinggi menuntut
peningkatan produksi yang berkesinambungan, sementara sebagian lahan sawah
yang subur telah beralih fungsi untuk usaha lainnya.

Sulawesi Tengah merupakan salah satu penghasil beras urutan ke dua


setelah Sulawesi Selatan di Kawasan Indonesia Bagian Timur. Target dan sasaran
produksi padi sawah di Sulawesi Tengah dalam mendukung P2BN tahun 2013

900
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sebesar 1.234.342 ton (51.11 kw/ha) dan 1.324.228 ton (52,10 kw/ha) pada tahun
2014 (Dinas Pertanian, 2014). Pencapaian target tersebut maka dibutuhkan suatu
terobosan yang sifatnya nyata dilapangan. Peranan inovasi teknologi sangat
diharapkan dalam pencapian target tersebut sehingga beberapa teknologi yang
dapat diintroduksikan, yaitu penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB), pengaturan
sistem tanam, pemupukan berimbang dan pemberantasan hama dan penyakit.
Keberhasilan tentunya tidak mutlak dicapai apabila dipandang sebelah mata saja
(dari sisi teknis), tetapi beberapa hal pendukung dan dapat menentukan, yaitu
pembinaan kelompok dan koordinasi antara institusi terkait.

Suksesnya pembangunan pertanian sangat bergantung bagaimana ilmu


dan teknologi maju dapat diadopsi oleh masyarakat petani. Indonesia sebagai
negara sedang berkembang telah banyak menyerap teknologi dari negara-negara
maju, sebagian memperlihatkan hasil yang baik, tetapi sebagain lainnya kurang
sesuai dengan kondisi yang ada, mengingatkan bahwa transfer teknologi dari
negara maju ke negara sedang berkembang bisa menghambat pengembangan
teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan (Darmadjati, dkk, 2007).
Teknologi introduksi hasil penelitian telah banyak disosialisasikan dan
dikembangkan melalui program-program pembangunan pertanian di Indonesia
seperti pengembangan Tabela (Tanam Benih Langsung) padi. Semua program
mengintroduksikan teknologi untuk peningkatan produksi dan pendapatan petani.
Teknologi yang diintroduksikan sudah melalui pengujian secara laboratorium,
kebun percobaan atau di lahan petani (on farm research) dan dihitung kelayakan
ekonominya sebelum dikembangkan ke masyarakat luas. Akan tetapi fakta
menunjukkan bahwa banyak teknologi introduksi yang belum diadopsi petani
secara berkelanjutan (Anwar, dkk, 2005). Maka tujuan kajian ini,untuk mengetahui
sikap petani terhadap sistem tanam benih langsung (Tabela) dan mengetahui
peran alat tanam benih langsung (Atabela) dalam meningkatkan pendapatan
usahatani padi sawah dalam meningkatkan pendapatan usahatani padi sawah.

BAHAN DAN METODE

Kajian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agutus Tahun
2013 di Desa Lakea Dua Kecamatan Lakea Kabupaten Buol. Pemilihan lokasi
ditentukan secara sengaja (purpossive sampling) dengan pertimbangan bahwa
lokasi tersebut merupakan salah satu sentra tanaman padi sawah yang ada di
Kabupetan Buol. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode survey sebanyak
20% dari 30 RT petani padi sawah yang menggunakan sistem tabela untuk
menjadi responden. Teknik pengambilan sampel yaitu dengan mengelompokkan
data berdasarkan Desa yang merupakan sentra pengembangan padi.
Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh dari hasil
wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari instansi yang terkait.
Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan diskriptif,
menggunakan metode analisis sebagai berikut :

901
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

1. Untuk mengetahui sikap petani terhadap keberadaan sistem tanam benih


langsung (Tabela), maka digunakan Rumus Chi Kuadrat (Sudjana, 2001):
( Fo – fe)2
X2 =  
fe
Dimana :
X2 : Nilai Chi Kuadrat
fo : Frekuensi hasil pengamatan
fe : Frekuensi espektasi atau harapan
2. Untuk mengetahui apakah sistem tanam benih langsung (Tabela) dapat
meningkatkan pendapatan maka digunakan rumus pendapatan (Soekartawi,
2002)
Pd = TR – TC
Dimana:
Pd = Pendapatan
TR = Total Revenue (penerimaan)
TC = Total Cost (Biaya)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan Sistem Tanam Benih Langsung (Tabela)

Sistem tanam benih langsung (tabela) telah lama dikenal masyarakat


Indonesia sebagai suatu sistem tradisional budidaya padi gogo atau gogo rancah
yang dilakukan di tanah kering yang telah diolah. Sedangkan tabela dilakukan
pada sawah berlumpur yang telah diolah secara sempurna. Sistem tabela telah
umum digunakan di luar negeri di daerah dengan irigasi terjamin. Namun, dalam
penerapannya sistem tabela tidak terlepas dari kendala-kendala yang dihadapi,
yaitu: 1). Budidaya tabela hanya sesuai untuk lahan sawah yang rata dan telah
diolah sempurna. Benih tidak akan tumbuh bila jatuh pada tanah yang tergenang
air; 2). Tabela sesuai untuk sawah beririgasi teknis yang mudah diatur
pengairannya. Tabela kurang sesuai dilakukan pada musim penghujan. Saat
curah hujan yang tinggi, apalagi pada saat baru sebar benih, benih dapat
terhanyut; 3). Benih yang baru disebar relatif lebih mudah diserang hama burung
atau tikus; 4). Gulma dapat tumbuh lebih pesat dibanding benih padi yang ditanam,
sehingga membutukan usaha penggendalian gulma yang lebih intensif; 5). Usaha
kegiatan penyulaman juga lebih intensif, akibat kerusakan benih karena serangan
hama atau supaya tata - letak tanam lebih rapi (http://cahndeso-mbangun
deso.blogspot.com/2011/03/). Jadi pada dasarnya sistem tabela sangat cocok
diterapkan pada lahan yang beririgasi baik, tidak mudah kebanjiran, dan
pengolahan tanahnya harus sempurna, dimana kondisi tanah benar-benar gembur
dan rata. Jika dapat diterapkan, akan mendapatkan keuntungan lain, selain dapat
menghemat tenaga kerja, yaitu umur tanaman padi tabela lebih cepat sekitar 15
hari dibandingkan tanaman padi sistem pindah-tanam. Hal ini karena pada sistem
tabela, tanaman padi tidak mengalami stagnasi pertumbuhan. Keuntungan
lainnya, sistem perakarannya lebih cepat berkembang sehingga mampu
berkompetisi dengan gulma untuk memperoleh unsur hara di dalam tanah. Hal

902
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ini, karena sistem perakarannya tidak terbenam dalam tanah, maka mudah
menyerap udara untuk bernafas. Berbeda dengan tanaman padi sistem pindah-
tanam yang mengalami stagnasi pertumbuhan pada saat bibit dipindah dari lahan
persemaian ke lahan budidaya. Bila dipindah, tanaman perlu waktu untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Kebiasaan petani selama ini, bibit
tanaman dibenam dalam tanah sampai semua perakarannya terbenam. Kondisi
ini menyebabkan sistem perakarannya kurang cepat untuk berkembang.

Sikap Petani terhadap Keberadaan Sistem Tanam Benih Langsung

Meskipun keberadaan sistem tanam bernih langsung (Tabela) tidak terlalu


penting namun masih ada yang belum merasakan manfaatnya secara langsung,
sehingga sikap petani terhadap keberadaan sistem tanam ini masih sangat variatif.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi sikap petaniterhadap keberadaansistem tanam bernih langsung


(Tabela) di Desa Lakea Dua Kecamatan Lakea Kabupaten Buol, 2013
No Sikap Petani Jumlah (Orang ) Persentase
1. Menerima 27 65,9
2. Tidak Tahu 2 4,9
3. Tidak menerima 12 29,3
Jumlah 41 100
Sumber : Data primer setelah diolah, 2013
Sikap responden terhadap keberadaan sistem tanam bernih langsung
(Tabela) yang paling banyak adalah sikap menerima, yaitu 27 orang (65,9%),
kemudian sikap tidak menerima 12 orang (29,3%). Hal ini menunjukkan bahwa
sikap petani terhadap keberadaan sistem tanam bernih langsung (Tabela)
umumnya menerima. Karena sebagian besar petani merasakan manfaat akan
keberadaan alat tanam tersebut untuk kegiatan usaha pertanian mereka (Tabel 2).

Tabel 2. Skor sikap responden terhadap keberadaan sistem tanam bernih


langsung (Tabela) di Desa Lakea Dua Kecamatan Lakea Kabupaten
Buol, 2013
No Sikap Petani Jumlah (Orang )
1. Menerima
Jumlah N 27
Jumlah skor 81
2. Tidak Tahu
Jumlah N 2
Jumlah skor 4
3. Tidak Menerima
Jumlah N 12
Jumlah skor 12
Total N 41
Total Skor 97
Rata-Rata 2,4
Sumber : Data primer setelah diolah, 2013

903
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sikap petani terhadap keberadaan sistem tanam bernih langsung (Tabela)


di Desa Lakea Dua Kecamatan Lakea Kabupaten Buol untuk meningkatkan
pendapatan usahatani padi, yaitu 27 orang posisi menerima, tidak menerima
sejumlah 12 orang. Dari responden yang ada terlihat bahwa sikap responden
terhadap keberadaan sistem tanam benih langsung (Tabela) di Desa Lakea
mempunyai total skor 97 dengan rata-rata 2,4 orang, dilihat dari rata-rata skor,
menunjukkan bahwa pada dasarnya responden menerima keberadaan sistem
tanam tersebut.

Berdasarkan uji statistik terlihat bahwa X 2 hitung adalah 4,12, sedangkan


2
X tabel pada taraf nyata 0,05 dengan derajat bebas (2 - 1), yakni 3,84. Dengan
demikian secara empiris digambarkan 4,12 > 3,84. Hal ini berarti tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara sikap petani yang menerima dengan tidak
menerima keberadaan sistem tanam bernih langsung (Tabela) di Desa Lakea Dua
Kecamatan Lakea Kabupaten Buol dalam meningkatkan pendapatan usahatani
padi.

3. Analisis Pendapatan Usahatani Padi

Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Rata-


rata produksi, penerimaan dan total biaya yang harus dikeluarkan oleh petani pada
usahatani padi (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata produksi, penerimaan dan biaya usahatani padi sawah di


Desa Lakea Dua Kecamatan Lakea Kabupaten Buol, 2013
No Uraian Total Nilai Nilai Per Ha/Thn (Rp)
1. Penerimaan:
a. Hasil Produksi (Rp) 264.768.750 3.963.604

Jumlah Penerimaan 264.768.750 3.963.604


2. Biaya:
1. Biaya Variabel
a. Bibit 2.302.875 34.474
b. Pupuk (Rp)
1. Urea 12.015.000 179.865
2. SP 36 10.012.500 149.888
3. KCl 7.008.750 104.921
c. Obat-obatan (Rp) 4.005.000 59.955
d. Biaya Tenaga Kerja (Rp) 30.037.500 449.663

Jumlah Biaya Variabel (BV) 65.381.625 978.767


2. Biaya Tetap
a. Penyusutan alat (Rp) 6.525.833 97.692
b. Pajak (Rp) 607.425 9.093

Jumlah Biaya Tetap (BT) 7.133.258 106.785


Jumlah (BV + BT) 72.514.883 1.085.552
Sumber: Data Primer setelah diolah, 2013

Perhitungan usahatani padi sawah rata-rata jumlah biaya yang dikeluarkan


satu musim tanam perhektar, yaitu Rp. 978.767 untuk biaya variabel, sedangkan

904
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

untuk biaya tetap Rp. 106.785. Total biaya yang dikeluarkan Rp. 1.085.552.
Sedangkan rata-rata penerimaan dalam satu musim tanam Rp. 3.963.604/ha.
Dengan demikian, rata-rata pendapatan petani satu musim tanam per hektar Rp.
2.878.052, maka rata-rata pendapatan yang diterima oleh petani relatif tinggi. Hal
ini mengindikasikan bahwa rata-rata pendapatan petani yang melakukan
usahatani padi memberikan kontribusi yang nyata terhadap pendapatan keluarga
petani.

KESIMPULAN

Hasil kajian dan analisis yang dilakukan terhadap data dan informasi yang
diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Sikap petani terhadap keberadaan sistem tanam bernih langsung (Tabela) di


Desa Lakea Dua Kecamatan Lakea Kabupaten Buol dapat menerima.
2. Pendapatan yang diperoleh petani dalam usahatani padi sebesar Rp.
2.878.052 perhektar untuk tiap musim tanam.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar.K, dkk. 2005. Prospek Tanaman Padi Sebar Langsung di Lahan Irigasi.
Laporan hasil kunjungan lapang pada Pelatihan Metodologi dan Prosedur
Penelitian Pengembangan. Badan Litbang Pertanian
Anonim,---http://cahndeso-mbangundeso.blogspot.com/2011/03/tanam-benih-
padi-secara-langsung-tabela.html) diakses pada tanggal 26 November
2013, jam 08.00 Wita
BPS. 2012. Sulawesi Tengah Dalam Angka, BPS Provinsi Sulawesi Tengah, Palu.
Damardjati, D.S., I.G. Ismail dan T. Alihamsyah, 2007. Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan
Pengembangan Agribisnis. Dalam : Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbang
Tanaman Pangan Bogor.
Dinas Pertanian Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. 2014. Sambutan Gubernur
Sulawesi Tengah pada Acara Panen Perdana Padi Sawah di Desa
Ogoamas 1 Kec. Sojol Utara Kab. Donggala. Sulawesi Tengah.
Soekartawi, Soeharja A. Tohan L, Dillon, Hardaku 1994, Ilmu Usaha Tani dan
Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil, Universitas Indonesia,
Jakarta
________, 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasinya,
Universitas Indonesia Press, Jakarta.

905
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANALISIS SISTEM KELEMBAGAAN FORMAL DAN INFORMAL DALAM


PENGEMBANGAN INOVASI SPESIFIK LOKASI DI PROVINSI BANTEN

Dewi Haryani dan Yati Astuti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten


Jl.Ciptayasa km01 Serang Banten Ciruas
email: bptpbanten@yahoo.com

ABSTRAK

Tujuan kajian ini adalah bagaimana interaksi kelembagaan diantara


lembaga formal dan informal dalam rangka pengembangan inovasi spesifik lokasi
untuk mendukung pembangunan pertanian di Provinsi Banten. Tentu dalam
mencari hubungan interaksi antar entitas dalam hal ini adalah kelembagaan
sangat dipengaruhi atau tergantung kepada faktor-faktor lingkungan yang ada baik
eksternal yang menyangkut peluang (opportunity) dan ancaman (threat) maupun
internal yang menyangkut kekuatan (strength) dan kelemahan
(weakness).Analisis menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness,
Opportunity and Threat).Dari beberapa faktor yang ada pada masing-masing
komponen SWOT tersebut selanjutnya ditetapkan faktor-faktor kunci mana yang
diduga dapat mempengaruhi keberhasilan pengembangan inovasi padi. Faktor
kunci akan ditampilkan dalam bentuk matriks untuk memudahkan dalam
mengkomparasi. Hasil kajian ini merumuskan strategi yang dilakukan untuk
pengembangan inovasi padi diantaranya adalah : 1) Memberdayakan keberadaan
lembaga formal dan informal untuk mendukung kebijakan swasembada padi
berkelanjutan dan mengantisipasi terjadinya perubahan iklim, dan 2)
Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM untuk mendukung kebijakan
swasembada padi berkelanjutan dan mengantisipasi terjadinya perubahan iklim
(kekeringan, kebanjiran).

Kata kunci :Kelembagaan formal dan informal, inovasi, dan analisis SWOT

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian dihadapkan pada perubahan dan perkembangan


lingkungan yang sangat dinamis serta persoalan mendasar sektor pertanian,
seperti lemahnya kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh. Aneka paket
teknologi pertanian telah tersedia, namun belum sepenuhnya dapat diadopsi oleh
masyarakat petani karena berbagai keterbatasan yang dihadapi dan dimiliki petani
seperti proses diseminasi, kelembagaan dan skala usaha, ketrampilan serta
tingginya biaya untuk menerapkan teknologi (Kementerian Pertanian, 2009).

Potensi sektor pertanian di Provinsi Banten cukup besar, karena memiliki


lahan pertanian berupa sawah seluas 197.914 ha dan lahan kering pertanian
424.158 ha. Khusus lahan sawah, selain padi juga diusahakan tanaman palawija
dan tanaman hortikultura semusim. Jumlah rumahtangga usahatani padi
mencapai 506.413 rumah tangga dan sekitar 58,6 persen menguasai lahan kurang
dari 0,5 ha (BPS Provinsi Banten, 2009). Disisi lain, jumlah kelembagan informal

906
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

di Provinsi Banten juga banyak yang perlu dioptimalkan pemberdayaannya terkait


dengan pengembangan inovasi pertanian. Seperti jumlah pondok pesantren di
Provinsi Banten pada tahun 2008 mencapai 2042 lembaga terutama berada di
Kabupaten Pandeglang (713), Lebak (675), Tangerang (159) dan Serang (447).
Selain itu, juga terdapat KTNA, asosiasi-asosiasi yang bergerak di sektor
pertanian, gapoktan, LSM dan lain-lainnya.

BAHAN DAN METODE

Setelah mempelajari dan memverifikasi permasalahan yang ada di Provinsi


Banten dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner), maka didapat
informasi yang terkait dengan komponen SWOT adalah :

a. Kekuatan (strength):
Dari sisi aspek internal, kekuatan yang dapat mendukung pengembangan
inovasi teknologi padi di provinsi Banten adalah : 1) Tersedianya berbagai
lembagaan formal dan informal; 2)Tersedianya Anggaran (APBN dan APBD);
3) Respon petani masih relatiftinggi terhadap inovasi padi.
b. Kelemahan (weakness):
Aspek internal, kelemahan dominan yang dapat mengganggu pengembangan
inovasi teknologi padi di Banten adalah : 1) Kurangnya koordinasi antara
lembaga formal dan informal; 2) Rendahnya kualitas dan kuantitas SDM
penyelenggaran program; 3) Hambatan birokrasi dalam penyaluran informasi.
c. Peluang (opportunity) : Dari sisi aspek eksternal, ada beberapa harapan
berupa peluang yang dapat mendukung pengembangan inovasi teknologi
padi di Banten adalah : 1) Dukungan kebijakan swasembada padi
berkelanjutan ; 2) Tersedianya teknologi inovasi padi : 3) Permintaan beras
masih tinggi.
d. Ancaman (threat): aspek eksternal, yang harus diperhitungkan kemungkinan
ada gangguan terhadap keberhasilan pengembangan inovasi padi di Banten
adalah : 1) Adanya perubahan iklim global : 2) Tersedianya laju konversi yang
tinggi ; 3) Alokasi anggaran riset inovasi tidak konsisten.

Dari beberapa faktor yang ada pada masing-masing komponen SWOT


tersebut selanjutnya ditetapkan faktor-faktor kunci mana yang diduga dapat
mempengaruhi keberhasilan pengembangan inovasi padi. Diantara faktor kunci
yang ditetapkan adalah nilai urgensi (NU) dan bobot faktor (BF). NU ditetapkan
pada masing-masing faktor, yaitu pada faktor internal dan eksternal dengan cara
membandingkan antara komponen satu dengan yang lainnya dalam faktor
internal dan hal yang sama dalam faktor eksternal. Karena jumlah komponen
faktor dalam faktor internal dan eksternal masing-masing adalah 6, maka nilai
maksimal masing-masing NU adalah 5 dan terendah adalah 1.Jika suatu
komponen faktor memiliki nilai 5 artinya adalah bahwa komponen tersebut
memiliki urgensi sebagai faktor kunci keberhasilan dalam pengembangan inovasi
padi dibanding dengan 5 komponen faktor lainnya. Sedangkan BF dihitung pada
masing-masing komponen faktor dalam satu faktor (internal atau eksternal)
dengan cara menghitung proporsi dari masing-masing komponen faktor atau

907
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

(NUi/∑NU)*100, dimana i=1,…,6, dengan demikian dalam penentuan faktor kunci


harus ditampilkan dalam bentuk matriks untuk memudahkan dalam
mengkomparasi. Hasil perhitungan faktor kunci adalah seperti pada Tabel 1 dan
2.

Tabel 1. Matrik Urgensi Internal dalam Pengembangan Inovasi Padi di Provinsi


Banten,2015
Bobot
Faktor yang urgen
No Faktor Internal (%)
A B c D e F Total

Kekuatan (S) :
Tersedianya berbagai kelembagaan formal dan
a informal X B a A a A 4 26.67

b Tersedianya Anggaran (APBN dan APBD) B X b D e B 3 20.00

c Respon petani tinggi terhadap inovasi padi A B x C e F 1 6.67


Kelemahan (W) :
Kurangnya koordinasi antara kelembagaan
d formal-informal A D c X e D 2 13.33

e Rendahnya kualitas dan kuantitas SDM di Padi A E e E x E 4 26.67

f Hambatan birokrasi dalam penyaluran A B f D e X 1 6.67


Jumlah 2 4 1 2 5 1 15 100.00

Tabel 2. Matrik Urgensi Eksternal dalam Pengembangan Inovasi Padi di Provinsi


Banten, 2015
Faktor yang urgen Bobot
No Faktor Eksternal
A B c d e F Total (%)

Peluang (O) :
Dukungan kebijakan swasemda padi
a berkelanjutan X A c d a A 3 20.00

b Tersedianya teknologi inovasi padi A X b d e F 1 6.67


Permintaan beras masih tinggi sebagai
c makanan pokok C B x d e F 1 6.67
Ancaman (T)
Adanya perubahan iklim global yang tidak
d menentu D D d x d D 5 33.33
Laju konversi lahan ke non sawah terus
e meningkat A E e d x F 2 13.33
Alokasi anggaran riset inovasi padi tidak
f konsisten A F f d f X 3 20.00
Jumlah 3 1 1 5 2 3 15 100.00

Setelah dianalisis NU dan BF, selanjutkan dianalisis keterkaitan antar


faktor internal dengan faktor eksternal untuk menentukan kunci keberhasilan
prioritas artinya aksi apa yang patut diprioritaskan dalam rangka mencapai
keberhasilan pengembangan inovasi padi di Provinsi Banten. Dalam menganalisis
keterkaitan faktor internal dan eksternal dihitung nilai dukungan (ND) dari setiap

908
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

faktor, nilai keterkaitan (NK), nilai bobot dukungan (NBD), nilai rata-rata keterkaitan
(NRK), nilai bobot keterkaitan (NBK) dan total nilai bobot (TNB).

ND diberikan penilaian berdasarakan bobot dukungan terhadap


keberhasilan pengambangan inovasi padi, kisaran skor bobot dukungan berkisar
antara 1-5, dimana skor 5 adalah jika dukungannya penuh/sempurna dan skor 1
jika sangat kecil memberikan dukungan keberhasilan terhadap program
pengembangan inovasi padi. Begitu juga NK diberikan skor 1-5, dimana skor 1
berarti memiliki keterkaitan antar faktor yang dibandingkan sangat rendah, dan
skor 5 berarti memiliki keterkaitan sangat erat antar faktor yang dibandingkan.
Sedangkan untuk menghitung NBD, NRK, NBK dan NBD seperti formula berikut :

NBD = BF * ND ;
NRK = Jumlah NK/(n-1) ;
NBK = NRK * BF ;
TNB = NBK + NBD
Selanjutnya memilih faktor kunci sukses (FKS), yaitu dengan cara memilih nilai
TNB terbesar pada masing-masing faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis faktor tersebut di atas dapat dipilih sebagai faktor kunci
keberhasilannya seperti tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal dalam Penetapan Faktor


Keberhasilan Inovasi Padi di Banten
Nilai Keterkaitan
No Faktor Eksternal dan Internal BF(%) ND NBD NRK NBK TNB
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Kekuatan (S) :
1 Tersedianya berbagai kelembagaan formal dan informal 26.67 5 1.33 0 2 4 5 1 1 2 2 1 2 3 1 2.18 0.58 0.78
2 Tersedianya Anggaran (APBN dan APBD) 20.00 3 0.60 2 0 5 2 2 3 5 5 1 5 5 5 3.64 0.73 0.44
3 Respon petani masih relative tinggi terhadap inovasi padi 6.67 3 0.20 4 5 0 3 1 1 3 5 1 4 5 5 3.36 0.22 0.04

Kelemahan (W) :
4 Kurangnya koordinasi antara kelembagaan formal-informal 13.33 3 0.40 5 2 3 0 5 5 2 1 1 2 5 5 3.27 0.44 0.17
5 Rendahnya kualitas dan kuantitas SDM di Padi 26.67 4 1.07 1 2 1 5 0 2 3 5 1 1 4 1 2.36 0.63 0.67
6 Hambatan birokrasi dalam penyaluran 6.67 3 0.20 1 3 1 5 2 0 1 5 1 1 4 4 2.55 0.17 0.03

Peluang (O) :
7 Dukungan kebijakan swasemda padi berkelanjutan 20.00 5 1.00 2 5 3 2 3 1 0 5 5 2 4 5 3.36 0.67 0.67
8 Tersedianya teknologi inovasi padi 6.67 5 0.33 2 5 5 1 5 5 5 0 4 4 1 5 3.82 0.25 0.08
9 Permintaan beras masih tinggi sebagai makanan pokok 6.67 3 0.20 1 1 1 1 1 1 5 4 0 1 1 1 1.64 0.11 0.02

Ancaman (T)
10 Adanya perubahan iklim global yang tidak menentu 33.33 2 0.67 2 5 4 2 1 1 2 4 1 0 5 5 2.91 0.97 0.65
11 Laju konversi lahan ke non sawah terus meningkat 13.33 3 0.40 3 5 5 5 4 4 4 1 1 5 0 3 3.64 0.48 0.19
12 Alokasi anggaran riset inovasi padi tidak konsistem 20.00 3 0.60 1 5 5 5 1 4 5 5 1 5 3 0 3.64 0.73 0.44

Berdasarkan tabel diatas faktor internal dan eksternal yang dipandang


dapat dijadikan sebagai faktor sukses dalam pengembangan inovasi teknologi
padi adalah sebagai berikut :

909
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Faktor Internal :

a. Kekuatan (S) : Tersedianya berbagai kelembagaan formal dan Informal


merupakan faktor sukses keberhasilan pengembangan inovasi padi
dengan TNB 0,78.
b. Kelemahan(W): Rendahnya kualitas dan kuantitas SDM di padi yang
menyebabkan faktor sukses utama dalam pengembangan inovasi padi
dengan TMB sebesar 0,67.

Faktor Eksternal :

c. Peluang (O) : Dukungan kebijakan swasembada padi berkelanjutan


merupakan faktor sukses keberhasilan pengembangan inovasi padi
dengan TNB 0,67
d. Ancaman (T) : Adanya perubahan iklim global yang tidak menentu yang
menyebabkan faktor sukses utama dalam pengembangan inovasi padi
dengan TMB 0,65

Jika dari hasil analisis tersebut dipetakan kedalam suatu grafik 4 kuadran
sebagai gambaran kekuatan dalam pengembangan inovasi teknologi
padi,sehingga dapat membantu langkah-langkah apa yang dapat dilakukan dalam
rangka mengembangkan inovasi padi di provinsi Banten. Hasil pemetaan faktor-
faktor tersebut dapat dicermati pada gambar berikut ini (Gambar 1).

Peta potensi kesuksesan berada pada kuadran I, artinya adalah bahwa


dengan berbagai kelemahan dan tantangan yang ada di Banten memiliki
kemampuan untuk mengembangkan inovasi padi dengan cara mengelola
kekuatan (S) dan peluang (O) yang ada untuk menekan sekecil mungkin tantangan
(T) dan kelemahan (W) yang ada.

910
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

S=0,78

Kuadran IV Kuadran I

0,11

0,02

T=0,65 O=0,67

Kuadran II

Kuadran III

W=0,67

Gambar 1. Peta Kekuatan Faktor-faktor yang dapat MenentukanKesuksesan


Pengembangan Inovasi Padi di provinsi Banten.

Berdasarkan peta kekuatan tersebut, maka dapat diusulkan strategi


pencapaian tujuan, yaitu bagaimana strategi yang dapat dilaksanakan.Strategi
tersebut adalah seperti yang tertera pada Tabel 4.

911
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Formulasi Strategi Berdasarkan Evaluasi Faktor Internal- Eksternal

Faktor Internal Kekuatan (S) Kelemahan (W)

Tersedianya Lembaga Rendahnya kualitas


formal dan informal di dan kuantitas SDM
Faktor Eksternal Provinsi Banten di Padi
Peluang (O) Berdayakan Tingkatkan kualitas
keberadaan lembaga dan kuantitas SDM
Dukungan kebijakan formal dan informal dalam rangka
swasembada padi untuk mendukung mendukung
berkelanjutan kebijakan kebijakan
swasembada padi swasembada padi
berkelanjutan. berkelanjutan
Ancaman (T) Berdayakan Tingkatkan kualitas
keberadaan lembaga dan kuantitas SDM
Adanya perubahan iklim formal dan informal agar mampu
global dalam rangka mengantisipasi
mengantisipasi perubahan iklim
perubahan iklim (adaptasi dan
(kekeringan, penyesuaian pola
kebanjiran) tanam, dll)

KESIMPULAN

Kelembagaan formal (Dinas Pertanian, Badan penyuluhan, BPTP) dan


informal (KTNA, LM3) masing-masing telah berperan dalam pengembangan
inovasi padi.Namun koordinasi kedua kelembagaan ini belum sepenuhnya
berjalan dengan baik, terutama terkait dengan lembaga informal. Dengan
memperhatikan kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang, strategi yang
dilakukan untuk pengembangan inovasi padi adalah : 1) Memberdayakan
keberadaan lembaga formal dan informal untuk mendukung kebijakan
swasembada padi berkelanjutan dan mengantisipasi terjadinya perubahan iklim,
dan 2).Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM untuk mendukung kebijakan
swasembada padi berkelanjutan dan mengantisipasi terjadinya perubahan iklim
(kekeringan, kebanjiran).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Penyuluhan Pertanian. Yayasan Pengembangan Sinar Tani.


Jakarta.
BAPPEDA Provinsi Banten. 2007. RPJM Daerah Provinsi Banten Tahun 2007 –
2012. Banten.
BPS Provinsi Banten. 2009. Analisis Profil Rumahtangga Usahatani Provinsi
Banten Tahun 2009. Komoditi Padi dan Kedelai. BPS. Banten.

912
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BPSDMP. 2010. Pedoman Pembinaan Kelembagaan Pelatihan Pertanian


Swadaya. Badab Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pertanian. Pusat Pelatihan Pertanian. Jakarta
Departemen Pertanian. 2006. Panduan Umum Pengkajian dan Diseminasi Inovasi
Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Darmawiredja, M. 2009. Pengembangan Jejaring Kerja Peneliti-Penyuluh-Petani
dalam Mendukung Penyediaan Inovasi Badan Litbang Secara Cepat,
Tepat dan Murah. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Membangun Sistem Inovasi Perdesaan, 15-16 Oktober 2009. Bogor.
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten.2011. Resume Keberhasilan
Sektor Pembangunan Tanaman Pangan Tahun 2010. Banten
Haryono. 2010. Prosiding Rapat Kerja Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertania. Reformasi Birokrasi untuk Meningkatkan Kualitas dan Hasil
Penelitiand an Mendukung 4 Sukses Kementerian Pertanian. Jakarta.
Hendayana, R; Yovita, A.D; Muhrizal,S. 2009. Peran BBP2TP dalam Penyediaan
Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis Departemen Pertanian.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi
Perdesaan, 15-16 Oktober 2009. Bogor.
Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementerian
Pertanian tahun 2010-2014. Jakarta.
Kemtan, 2010. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KTNA. Kelompok
Kontak Tani Nelayan Andalan. Jakarta
Mardikanto, Totok, 1993, Penyuluhan Pertanian, Sebelas Maret University
Press, Surakarta.
Modul Pendidikan dan Pelatihan Fungsional, Bagi Penyuluh Pertanian Badan
Pengembangan SDM Pertanian, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian,
Kementrian Pertanian.
Syahyuti, 2006.Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian.
Penjelasan tentang: Konsep, Istilah, Teori dan Indikator serta Variabel. PT.
Bina Rena Pariwara.Jakarta Selatan.
Thomas, S. 2005. Dinamika Kelompok. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka.

913
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANALISIS KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI BANTEN

Dewi Haryani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten


Jl. Raya Ciptayasa Km 01 Ciruas Serang
Email: bptpbanten@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ketahanan pangan di


Provinsi Banten dalam menunjang stabilitas pangan nasional. Metode penelitian
menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dalam bentuk deret waktu,
sedangkan data primer dilakukan dengan memperhatikan aspek komprehensif
sesuai dengan kebutuhan dari aspek yang dikaji. Analisis data berupa analisis
trend, deskriptif dan kualitatif. Hasil penelitian adalah ketahanan pangan regional
provinsi Banten termasuk tahan pangan dengan skor 0,89 pada tahun 2008 dan
0,88 pda tahun 2011, Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 76,5 masih jauh
dibawah PPH nasional 88,1; Tingkat konsumsi beras sebesar 422,4
kg/keluarga/tahun atau 103,02 kg/kapita/tahun. Angka ini lebih rendah 25,8% dari
tingkat konsumsi beras nasional, yakni 139 kg/kapita/tahun; dan ketersediaan
pangan Provinsi Banten dengan skor 75,03 lebih rendah dibandingkan
ketersediaan pangan anjuran yaitu 93,0.

Kata kunci : Tingkat konsumsi, Pola Pangan Harapan (PPH), dan Ketahanan
pangan
PENDAHULUAN
Isu ketahanan pangan sering dikaitkan dengan krisis pangan dan
kemampuan negara (wilayah) menyediakan pangan bagi masyarakatnya.
Sehingga negara atau wilayah yang mengalami krisis pangan dan warganya
mengalami kelaparan dikatakan belum memiliki ketahanan pangan. Pada
perkembangan selanjutnya, kasus kelaparan ternyata masih terjadi meski negara
atau wilayah tidak lagi dalam kondisi krisis pangan. Lebih dari itu, prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk sebagai dampak kelaparan ternyata dapat terjadi pada
anggota rumah tangga yang secara ekonomi tergolong mampu.
Ketahanan pangan didefenisikan sebagai terjaminnya akses pangan bagi
setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya agar dapat hidup sehat dan
beraktivitas (Ariningsih, dan Handewi, 2008). Ada tiga dimensi yang saling terkait,
yaitu: 1) ketersediaan pangan, 2) aksesibilitas pangan, dan 3) stabilitas harga
pangan (Lantarsih , dkk). Menurut Gardjito dan Rauf (2009), tujuan dari
pembangunan ketahanan pangan adalah terwujudnya kemandirian pangan yang
cukup dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk melalui produksi dalam negeri.
Ketersediaan pangan di suatu daerah dapat dipenuhi dari tiga sumber, yakni
produksi dalam negeri, impor pangan dan cadangan pangan.

914
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Situasi di atas memberi pemahaman bahwa ketahanan pangan tidak hanya


dipengaruhi oleh faktor produksi dan ketersediaan pangan di tingkat wilayah saja,
tetapi juga terkait dengan faktor determinan lain diluar keduanya yang
menghambat perolehan atau akses pangan di tingkat rumahtangga (pendapatan,
pengelolaan konsumsi, pola asuh, sanitasi dan kesehatan) maupun tingkat
individu (konsumsi sesuai kebutuhan dan pemanfaatan pangan oleh tubuh). Oleh
karena itu, ketahanan pangan sering disebut bersifat hirarkis. Jika kecukupan
pangan setiap individu menjadi tujuan akhir pembangunan ketahanan pangan,
maka kecukupan pangan di tingkat rumahtangga dan wilayah perlu dicapai lebih
dahulu sebagai prasyarat. Dari sisi lain, ketahanan pangan wilayah akan menjadi
kuat jika didukung oleh ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Ketahanan
pangan rumahtangga akan menjadi kuat jika didukung oleh ketahanan pangan di
tingkat individu.
Mengingat pentingnya pangan, setiap negara umumnya akan
mendahulukan pembangunan ketahanan pangannya sebagai fondasi bagi
pembangunan sektor-sektor lainnya. Konsekuensi hal itu, pemerintah berperan
sebagai pelopor dalam tanggung jawab perwujudan ketahanan pangan nasional.
Pembangunan ketahanan pangan untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi
pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang, baik pada tingkat
nasional, daerah sampai rumah tangga.
Selama tahun 2004 – 2010 Banten surplus beras, namun dengan jumlah
surplus yang semakin menurun. Musim kemarau panjang pada tahun 2011 yang
menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Sementara itu diversifikasi
konsumsi pangan masyarakat belum optimal, konstribusi sumber energi dan
protein dari beras masih dominan padahal aneka pangan lokal juga tersedia.
Namun, seperti pada tingkat nasional, pembangunan ketahanan pangan
dan pertanian Provinsi Banten juga dihadapkan berbagai kendala, antara lain: 1)
Perubahan iklim global, 2) Ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan
dan air, 3 )Lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional, 4) Keterbatasan
akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani, 5)
Lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh, 6) Masih rawannya
ketahanan pangan dan ketahanan energi, dan 7) Belum berjalannya diversifikasi
pangan dengan baik (Kementerian Pertanian, 2009). Sebagai contoh, konversi
lahan ke non pertanian selama kurun 2003-2008 di Provinsi Banten berkurang
50,3 ribu ha, yaitu dari 982,6 ribu ha menjadi 932,3 ribu ha. Padahal semua
masalah tersebut akan bermuara pada aspek ketahanan pangan dan
kesejahteraan masyarakat khususnya petani termasuk di wilayah Banten. Oleh
karena itu, diperlukan analisis ketahanan pangan yang mencakup aspek
ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilakukan di Provinsi Banten, yang meliputi 8 kabupaten/kota.
Waktu pelaksanaan selama setahun mulai bulan Januari 2012 – Desember 2012.
Data dan informasi yang dikumpulkan berasal dari data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber, baik instansi pemerintah, swasta, KTNA, dan lain-
lain termasuk penelusuran pustaka. Pengumpulan data primer dilakukan untuk

915
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

memperdalam isu-isu tertentu dengan sampel yang representatif. Sampel setiap


kabupaten/kota diambil secara acak 2 kecamatan, dan masing-masing kecamatan
terpilih diambil 2 desa, yang setiap desanya diambil 4-5 rumah tangga sebagai
responden.
Data sekunder yang dikumpulkan dalam bentuk deret waktu, sedangkan
data primer diperoleh dengan tehnik pemahaman secara singkat (Rapid Rural
Appraisal). Penarikan contoh data primer dilakukan dengan memperhatikan aspek
komprehensif sesuai dengan kebutuhan dan aspek yang dikaji.
Acuan kuantitatif untuk ketersediaan pangan hasil rekomendasi dari Widya
Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) IX tahun 2008, yaitu Angka Kecukupan
Gizi (AKG) untuk energi sebesar 2.200 Kkalori/kapita/hari dan protein sebesar 57,0
gram/kapita/hari. Angka tersebut merupakan standar kebutuhan energi dan
protein setiap individu yang harus disediakan agar mampu menjalankan aktivitas
sehari-hari. Acuan untuk menilai tingkat keragaman konsumsi pangan adalah
PPH, dengan skor 100 sebagai pola yang ideal. Sehingga kinerja keragaman
konsumsi pangan pada suatu waktu untuk komunitas tertentu dapat dinilai dengan
metoda PPH.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal,
maka sasaran pemenuhan pangan nasional dikelompokkan menjadi 2 tahap
(Udhoro, 2011), yaitu:
1. Tahap I (Tahun 2009-2011): Pola Pangan Harapan harus mencapai 88,1
2. Tahap II (Tahun 2012-2015): Pola Pangan Harapan harus mencapai 95.
Ketahanan pangan tingkat regional, dianalisis dengan menggunakan
pendekatan ketersediaan energi tingkat provinsi dibandingkan dengan norma
kecukupan energi dengan menggunakan rumus :
SPKEi
Kpi = ----------------------
(1,2 NKE)
Dimana: Kpi = ketahanan pangan di wilayah
SPKEi = ketersediaan energi tingkat konsumsi di propinsi
(kkal/kap/hari)
NKE = norma Kecukupan energi
Kriteria:
Kpi< K/1.2 = tidak tahan (rawan pangan)
K/1.2<Kpi<K = tahan pangan (tidak rawan) kurang terjamin
Kpi>K = tahan pangan (tidak rawan) terjamin

Dimana : Kpi = tingkat ketahanan pangan regional


K = kontribusi pangan karbohidrat terhadap konsumsi energi
total
1,2 = merupakan angka ketetapan(sudah diperhitungkan
kelebihan 20% kecukupan minimum)

916
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Konsumsi dan PPH di Provinsi Banten

Secara umum di Provinsi Banten pola konsumsi pangan adalah beras -


beras – beras, sedangkan dalam jumlah relatif sedikit mengkonsumsi beras-ubi
kayu atau palawija – beras pada musim paceklik terutama di sebagian wilayah
Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Berdasarkan hasil survei seluruhnya (100%)
responden mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Sebanyak 145 (96,7%)
responden mengkonsumsi beras sebanyak 3 kali per hari dan 5 responden (3,3%)
kurang dari tiga kali/hari. Responden juga mengkonsumsi makanan pokok lain
selain beras sebagai makanan pelangkap. Untuk jagung: 1 (0,67%) responden
hanya mengkonsumsi pada siang dan sore, dan 18 (12%) responden
mengkonsumsi pada siang hari saja. Untuk umbi (ubi kayu dan ubi jalar), terdapat
36 (24%) responden yang mengkonsumsi sebagai makanan tambahan. Jika
diperinci lebih detail sebagai berikut: pagi + siang + sore sebanyak 1 (0,67%)
responden, pagi saja sebanyak 1 (0,67%) responden, pagi + siang sebanyak 5
(3,3%) responden, siang + sore sebanyak 3 (2,0%) responden, siang sebanyak 22
(14,67%) responden dan sore sebanyak 4 (2,67%) responden.
Dari segi konsumsi, diversifikasi pangan masih belum berjalan seperti yang
diharapkan, nilai PPH saat ini adalah 77,5 yang dominannya adalah padi-padian.
Skor PPH ini masih dibawah nilai skor PPH nasional tahun 2009-2011, yaitu 88,1
(Udhoro, 2011). Padahal Banten memiliki sumber pangan lokal lain seperti ubi
kayu, ubi jalar, jagung, talas beneng, dan lain lain yang dapat dimanfaatkan
sebagai pangan alternatif untuk mengurangi konsumsi beras.

Tingkat ketersediaan beras di Provinsi Banten 136,6 kg/kapita/tahun.


Sedangkan PPH 76,5 masih jauh dibawah PPH nasional 88,1. Berdasarkan hasil
survei di empat kabupaten, tingkat konsumsi beras 422,4 kg/keluarga/tahun atau
103,02 kg/kapita/tahun, angka ini lebih rendah 25,8% dari tingkat konsumsi beras
nasional, yakni 139 kg/kapita/tahun. Hal ini, disebabkan sebagian besar
responden masih mengandalkan pangan dari kelompok padi-padian (63,8%), ini
sejalan dengan penelitian Mewa (2010), bahwa rendahnya skor PPH di suatu
daerah salah satunya disebabkan karena ketergantungan masyarakat terhadap
pangan dari kelompok padi-padian (beras, jagung dan terigu) masih sangat tinggi.
Sehingga walaupun secara kuantitas kebutuhan pangan keluarga tercukupi,
namun dari segi kualitas (keanekaragaman konsumsi pangan) belum terpenuhi.

Pada Tabel 1, disajikan keragaan ketersediaan energi dan skor PPH


menurut kelompok pangan di Banten pada tahun 2011 dan ketersediaan energi
yang dianjurkan menurut hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG).

917
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Perbandingan ketersediaan pangan anjuran nasional di Provinsi


Banten, tahun 2011
Kelompok Anjuran Banten
Bobot
makanan Kkal % Skor Kkal % Skor
Padi-padian 0,5 1250 50,0 25,0 1.343,80 63,8 31,9
Umbi-umbian 0,5 125 5,0 2,5 76,07 3,61 1,81
Protein hewani 2,0 382 15,3 30,6 97,42 4,63 9,26
Minyak dan 1,0 250 10,0 10,0 121,53 5,77 5,77
lemak
Buah/biji 0,5 75 3,0 1,5 157,78 7,49 3,75
berlemak
Sayur mayur 2,0 125 5,0 10,0 39,10 1,86 3,72
Kacang- 2,0 125 5,0 10.0 198,18 9,41 18,82
kacangan
Gula/bahan 0,5 168 6,7 3,4 72,40 3,44 1,72
minuman
Jumlah 2500 100,0 93,0 2.106,28 100 75,03
Sumber data: BPS(2010) dan NBM2010

Hasil perhitungan NBM 2011 dari badan Ketahanan Pangan Daerah


(BKPD) Provinsi Banten menunjukkan ketersediaan energi perkapita perhari di
Banten di bawah ketersediaan nasional (2.500 Kkal/kap/hari), yaitu 2.106,28
kkal/kap/ hari. Sementara bila dilihat dari skor ketersediaan pangan ideal (PPH)
maka skor PPH di Banten sebesar 75,03 jauh dibawah skor anjuran nasional (93).
Penyebab utama rendahnya skor tersebut adalah perbedaan skor beberapa
kelompok pangan yang rata-ratanya lebih rendah dibanding rata-rata nasional
yang ideal, kecuali skor padi-padian, biji/buah berlemak dan kacang-kacangan.
Skor nasional untuk pangan hewani sebesar 30,6, namun untuk Banten hanya
9,26, berarti konsumsi pangan hewani untuk Banten masih tergolong rendah.
Padahal ketersediaan pangan hewani terutama yang berasal dari daging sapi,
kerbau dan domba/kambing cukup banyak di Provinsi Banten, demikian juga ikan,
karena provinsi Banten dikelilingi pantai di sebelah Utara, Barat dan Selatan. Hal
ini disinyalir daya beli masyarakatnya yang masih rendah sehingga perlu upaya
untuk meningkatkan produksi pangan alternatif seperti ternak unggas:ayam ras,
ayam kampung dan itik yang harganya relative lebih terjangkau.

Ketahanan Pangan Ditinjau dari Aspek Ketersediaan Pangan

Status ketahanan pangan di Provinsi Banten bisa diukur dengan


ketersediaan energi (Kkal/kapita/hari), kecukupan energi (Kkal/kapita/hari).
Ketersediaan energi Propinsi Banten per kapita per hari r 2.106,28 Kkal,
sedangkan kecukupan energi di provinsi Banten per kapita per hari 1.987,55 Kkal.
Dari kedua indikator tersebut diperoleh tingkat ketahanan pangan 0,88 persen
yang termasuk tahan pangan atau terjamin ketahanan pangannya. Status
ketahanan pangan di Provinsi bisa diukur dengan ketersediaan energi
(kkal/kapita/hari), kecukupan energi (kkal/kapita/hari) (Tabel 2).

918
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Perkembangan status ketahanan pangan di Provinsi Banten 2008 dan


2011
Tahun
Zat gizi
2008 2011
Ketersediaan energi 2.127,38 2106,28
(Kkal/kapita/hari)
Kecukupan energi (Kkal/kap/hari) 2000,00 1.987,55
Tingkat ketahanan pangan 0,89 0,88
Status ketahanan pangan Tahan pangan Tahan pangan

KESIMPULAN

1. Ketahanan pangan regional Provinsi Banten termasuk tahan pangan dengan


skor 0,89 pada tahun 2008 dan 0,88 pada tahun 2011 namun Pola Pangan
Harapan (PPH) sebesar 76,5 masih jauh dibawah PPH nasional sebesar 88,1.
2. Tingkat konsumsi beras 422,4 kg/keluarga/tahun atau 103,02 kg/kapita/tahun.
Angka ini lebih rendah 25,8% dari tingkat konsumsi beras nasional 139
kg/kapita/tahun. Demikian juga, dengan ketersediaan pangan Provinsi Banten
dengan skor 75,03 lebih rendah dibandingkan ketersediaan pangan anjuran,
yaitu 93,0.
DAFTAR PUSTAKA
Afia A., 2010. Memperbaiki Nasib Petani Banten. www. regional.kompasiana.com/
2010/12/07/memperbaiki-nasib-petani-banten/. Diakses tanggal 6 April
2011.
Ariningsih E., dan Handewi S., 2008. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Rawan Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Vol. 6 No.3, pp.
239 – 255.
BPS , 2010. Press Release BPS Banten . No.26/07/136/Th.IV , July 1, 2010. BPS
Banten
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-
2009. Jakarta.
Lantarsih R., Sri W, Dwidjono, H.D, Sri, B.L, Sipri P, 2011. Sistem Ketahanan
Pangan Nasional: Kontribusi Ketersediaan dan Konsumsi Energi Serta
Optimalisasi Distribusi Beras. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Vol. 9 No.1, pp. 33 – 51.
Gardjito M, dan R. Rauf, 2009. Perencanaan Pangan Menuju Ketahanan Pangan
dan Gizi serta kedaulatan Pangan. Pusat Kajian Makanan Tradisioanl
UGM. Yogyakarta.
Kementan. 2011. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014. Jakarta:
Kementerian Perrtanian
Kementan, 2012a. Pedoman Umum Kemandirian Pangan Th. 2012. Pedoman
Umum Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan
Masyarakat Badan Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kementan, 2012b. Pedoman Umum Gerakan Percepatan Penganekaragaman
Komsumsi Pangan. Th. 2012. Pedoman Umum Program Peningkatan
Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat Badan Ketahanan
Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Mewa Ariani, 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung
Swasembada BerasProsiding Pekan Serealia Nasional, 2010.

919
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Suryana A., Sudi, M, Ketut, K. dan I Putu W. 2009. Kedudukan Padi dalam
Perekonomian Indonesia dalam Padi Inovasi Teknologi dan Ketahanan
Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Sukamandi.
Singarimbun, M., Sofian E., 1989. Metode Penelitian Survai. Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
Sambutan Menko Bidang Perekonomian. Rapat Koordinasi Evaluasi Inpres
2/2005 dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Bidang
Pangan. 20 Juli 2005. Jakarta
Udhoro, K.A. 2011. Politik Pembangunan Pangan Indonesia dalam mengahadapi
era globalisasi dan meningkatkan kesejahteraan petani indonesia. Seminar
series of lecture dalam rangka LUSTRUM XIII Fakultas Pertanian UGM,
14Mei 2011.
www.erhaye.com. Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi.
2011

920
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

IDENTIFIKASI TINGKAT PENERAPAN PETANI TERHADAP PENGELOLAAN


TANAMAN TERPADU (PTT) PADI DI KABUPATEN SIMALUNGUN
(Studi Kasus di Kecamatan Gunung Malela dan Pematang Bandar)

Delima Napitupulu

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H. Nasution No. 1B Medan Sumatera Utara
Email: d5na70@gmail.com

ABSTRAK

Upaya khusus padi yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah masih
berjalan lambat karena petani kesulitan mendapatkan saprodi. Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) yang merupakan pendekatan dalam pengelolaan lahan,
air, tanaman, dan organisme pengganggu secara terpadu telah diterapkan
pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi padi nasional. Di Sumatera
Utara, kajian lapang menunjukkan bahwa petani tidak menerapkan semua
komponen teknologi yang diperkenalkan secara utuh. Mereka mempunyai
pertimbangan sendiri dalam menerapkan teknologi, terutama yang memberikan
produktivitas tinggi dan mudah diterapkan.Pengkajian dilaksanakan pada petani
padi di Kecamatan Gunung Malela dan Kecamatan Pematang Bandar. Tujuan
penelitian ini adalah untuk : 1)melihat penerapan komponen PTT padi petani, 2)
melihat analisa usaha padi di Kecamatan Gunung Malela dan Pematang Bandar.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian menggunakan metode Participatory
Rural Appraisal (PRA) dengan pendekatan Simpel Random Sampling dimana
petani sebagai titik awal (starting point). Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara dengan panduan pertanyaan terstruktur (kuesioner). Data dianalisis
secara deskriptif. Data primer dikumpulkan dari 60 petani (mewakili dua
kecamatan) dan 4 penggilingan padi. Data sekunder dikumpulkan dari Dinas
Pertanian Kabupaten Simalungun, Lembaga Penelitian, dan Dinas/Instansi terkait
lain. Petani yang menerapkan komponen PTT lebih banyak dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan. Petani dengan pendidikan yang tinggi lebih mengerti dan mau
melakukan komponen PTT dalam usahataninya. Produksi padi yang dihasilkan
petani di Kecamatan Gunung Malela lebih tinggi dibanding di Kecamatan
Pematang Bandar dengan nilai masing-masing 6 ton/ha dan 5,5 ton/ha.
Pendapatan petani dan B/C ratio di Kecamatan Gunung Malela lebih tinggi
dibanding Kecamatan Pematang Bandar dengan nilai masing-masing
Rp.14.602.000,- , B/C ratio 1,30 dan Rp.13.063.000,- , B/C ratio 1,23.

Kata Kunci : Identifikasi PTT, produksi, padi, Simalungun

PENDAHULUAN

Tanaman padi merupakan fokus utama dalam sistem produksi pangan


nasional sehingga produksi tetap harus diperhatikan. Salah satu upaya yang
penting dilakukan dalam meningkatkan produksi padi adalah optimalisasi lahan.
Hal ini dilatar belakangi pemikiran bahwa lahan pertanian adalah salah satu faktor
produksi yang sangat penting, karena lahan merupakan media tumbuh bagi

921
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tanaman. Banyak lahan-lahan pertanian terlantar atau lahan yang sementara


belum diusahakan secara optimal, tetapi apabila diberikan sentuhan teknologi
maka lahan dimaksud dapat menghasilkan produksi yang optimal (Direktorat
Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. 2006). Upaya penanganan masalah produksi
padi dalam P2BN telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi
masalah yang kompleks dan juga tidak efisien. Untuk itu, perlu terobosan teknologi
produksi yang lebih baik yaitu melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) maupun program Upaya Khusus Pajale.
Potensi Kabupaten Simalungun sebagian besar terlihat dari pertaniannya.
Petani sebagian besar penghasil padi yang mampu menyediakan kebutuhan
pangan di Sumatera Utara. Luas Kabupaten Simalungun sebesar 438.660 ha, dari
luasan tersebut, lahan sawah sebesar 43.896 ha, lahan bukan sawah 325.780 ha,
dan bukan pertanian 68.984 ha. Pada tahun 2014 produksi padi sawah di
kabupaten Simalungun 526.330 ton sedangkan tahun 2013 sebesar 436.573 ton.
Hal ini mengalami peningkatan sebesar 20,56%. Peningkatan ini sangat didukung
oleh adanya peningkatn luas panen tahun 2014 sebesar 88.533 ha dibanding
tahun 2013 sebesar 74.946 ha (BPS, 2014). Petani juga mengaku dengan adanya
SL-PTT Padi yang diperkenalkan Badan Litbang Pertanian melalui BPTP Sumut,
petani semakin memiliki pengalaman yang baik tentang budidaya tanaman padi.
Dilihat dari luas penguasaan lahan, rata-rata penguasaan lahan usahatani
petani di Kecamatan Pematang Bandar dan Kecamatan Gunung Malela
Kabupaten Simalungun tergolong sempit, yaitu sekitar 0,2-0,5 ha/petani. Keadaan
ini sesuai dengan yang dilaporkan Suryana dan Sudi (2001) yang menyatakan
bahwa setidaknya ada empat ciri utama petani padi Indonesia yaitu rata-rata skala
penguasaan lahan usahatani tergolong sempit sekitar 0,3 ha/petani,sekitar 70
persen petani (khususnya buruh tani dan petani berskala kecil) termasuk golongan
masyarakat miskin atau berpendapatan rendah, sekitar 60 persen petani adalah
net consumer beras, dan rata-rata pendapatan usahatani memberikan kontribusi
sekitar 30 persen dari total pendapatan rumah tangga.
UPSUS PAJALE merupakan upaya khusus percepatan swasembada
pangan yang diadakan sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan yang selalu
meningkat, terus digulirkan oleh pemerintah pusat. Kegiatan dalam UPSUS tidak
hanya berperan sebagai pengawal dan pengaman penyaluran benih, pupuk, alat,
dan mesin pertanian saja, selain itu juga untuk mengawal gerakan perbaikan
jaringan irigasi, sistem tanam serentak, dan pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT). Tujuan yang diharapkan dari UPSUS ini adalah
terjadinya peningkatan produktivitas melalui peningkatan luas tambah tanam.
Pemerintah Kabupaten Simalungun mulai merasakan keberadaan inovasi
teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian
diantaranya program SL-PTT yang menjadi komponen penting dalam mendukung
UPSUS. Upaya khusus tersebut juga mulai dirasakan oleh dua Kecamatan yaitu
Kecamatan Gunung Malela dan Kecamatan Pematang Bandar dengan adanya
perbaikan jaringan irigasi pada lokasi yang sudah lama mengalami kerusakan.

922
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mendukung UPSUS adalah


melaksanakan komponen teknologi yang ada pada PTT. Keberhasilan PTT
ditentukan oleh ketepatan pemilihan komponen teknologi dan kualitas
penerapannya di lapang. (Puslitbangtan. 2008). Perakitan teknologi berdasarkan
pertimbangan karakteristik biofisik lingkungan, kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya petani setempat. Dengan demikian, sinergisme diharapkan terjadi antar
komponen teknologi dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Melalui PTT
diharapkan produktivitas padi dan pendapatan petani meningkat, lingkungan
terjaga, dan sistem produksi berkelanjutan (Nurbaeti,.dkk, 2008).

Pengkajian bertujuan : 1) untuk melihat penerapan komponen teknologi


PTT padi yang dilakukan petani dalam mengoptimalkan hasil, 2) untuk
menganalisis usahatani padi di Kecamatan Gunung Malela dan Kecamatan
Pematang Bandar, 3) untuk mendapatkan data keragaan penerapan komponen
PTT padi yang dilakukan petani dan menganalisis usahataninya di Kecamatan
Gunung Malela dan Kecamatan Pematang Bandar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - September 2015 di Kecamatan


Gunung Malela dan Kecamatan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun.
Penentuan lokasi penelitian dilakukan karena kedua daerah tersebut merupakan
salah satu sentra padi di Kabupaten Simalungun. Penelitian ini bersifat deskriptif
menggunakan metoda Participatory Rural Appraisal (PRA). Metode pengambilan
sampel yang digunakan adalah Simpel Random Sampling dimana petani sebagai
titik awal (starting point). Data primer dikumpulkan dari 60 petani dengan
menggunakan pengairan irigasi teknis sehingga kondisi lapangan dianggap
homogen, 4 penggilingan padi, dan 10 konsomen. Jumlah responden masing-
masing adalah 30 petani dari Kecamatan Gunung Malela dan 30 petani dari
Kecamatan Pematang Bandar. Untuk mengidentifikasi tingkat adopsi teknologi
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di daerah penelitian, dianalisis dengan
menjumlahkan data yang diperoleh (Irianto, 2004). Pengkajian dilakukan dengan
memperhatikan berapa orang petani yang mampu melaksanakan sebagian atau
keseluruhan dari komponen PTT. Petani sebagai unit observasi diambil secara
acak. Untuk mengetahui kelayakan ekonomi dari tingkat adopsi teknologi
dilakukan analisis kelayakan perubahan teknologi (Swastika 2004)..

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui hasil wawancara
dengan petani dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan). Data
sekunder dikumpulkan dari Dinas Pertanian Kabupaten Simalungun, Lembaga
Penelitian, dan Dinas/Instansi terkait lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penguasaan dan kepemilikan lahan
Penguasaan dan kepemilikan lahan yang menunjukkan bahwa rata-rata
penguasaan lahan yang dimiliki petani di kecamatan Gunung Malela (ketinggian

923
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

tempat 300 m dpl) dan Pematang Bandar (ketinggian tempat 200 m dpl) untuk
usahatani padi tergolong dalam kriteria sempit, yaitu sekitar 0,2-0,5 ha (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik penguasaan dan kepemilikan lahan di Kecamatan Gunung


Malela dan Pematang Bandar, Kabupaten Simalungun. Tahun 2015.
Kecamatan
Uraian
Gunung Malela Pematang Bandar
Penguasaan lahan/petani (ha) 0,2-0,5 0,2-0,5
Kepemilikan lahan (%)
- Milik 70 77
- Sewa/garap 30 23

Menurut Suryana dan Sudi (2001), bahwa setidaknya ada empat ciri utama
petani padi Indonesia yaitu; rata-rata skala penguasaan lahan usahatani tergolong
sempit sekitar 0,3 ha/petani, sekitar 70 persen petani (khususnya buruh tani dan
petani berskala kecil) termasuk golongan masyarakat miskin atau berpendapatan
rendah, sekitar 60 persen petani adalah net consumer beras, dan rata-rata
pendapatan usahatani memberikan kontribusi sekitar 30 persen dari total
pendapatan rumah tangga

Komponen teknologi budidaya padi yang diterapkan petani

Padi yang ditanam petani masih didominasi oleh varietas lokal lokal. Dari
hasil survey, 85% petani masih menanam varietas lokal yang mereka duga adalah
varietas Ramos karena rasanya enak dan manis sehingga lebih disukai oleh
konsumen. Petani yang menggunakan benih berlabel sebanyak 15%.

Beberapa komponen teknologi yang telah diamati menunjukkan hasil yang


beragam antar petani dan antar daerah.

Aspek sistem tanam Jajar Legowo

Penanaman padi dengan sistem tanam jajar legowo belum sepenuhnya


dilakukan petani. Hal ini terlihat dari 60 sampel petani, hanya 2% yang melakukan
sistem tanam Jajar Legowo 4:1. Petani umumnya masih mengunakan cara tanam
dengan sistem tegel dengan jarak 25 cm x 25 cm. Petani menyatakan bahwa cara
tanam sistem Jajar Legowo hanya mampu dilakukan pada tanah yang memiliki
sawah dengan permukaan yang datar dan hamparan yang luas. Biaya operasional
tenaga kerja yang digunakan juga lebih tinggi dan lebih lama selesai dibanding
menggunakan sistem tanam tegel. Untuk merubah perilaku para petani agar mau
melakukan penanaman padi dengan sistem Jajar Legowo maka perlu dikenalkan
melalui demplot pertanaman sistem tanam berbagai tipe Jajar Legowo.

Teknologi tanam sistem Jajar Legowo masih perlu disosialisasikan lagi,


terutama dalam hal pelaksanaan dan keuntungannya. Prinsip dari sistem tanam
Jajar Legowo adalah peningkatan populasi dengan cara mengatur jarak tanam.
Selain itu, sistem tanam tersebut memberikan kondisi pada setiap barisan
tanaman padi akan mendapatkan pengaruh yang baik sebagai tanaman barisan

924
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pinggir. Diperlukan dukungan teknologi lain untuk mempermudah penerapan


teknologi tersebut.

Aspek benih bermutu

Umumnya petani antusias menggunakan benih bersertifikat tetapi benih


tersebut masih sulit ditemukan di pasaran, sehingga benih yang digunakan petani
sebagian besar benih yang didapat dari hasil panen sebelumnya atau tukar
menukar dengan petani lain. Petani menggunakan benih bersertifikat pada saat
hanya bila benih yang digunakan tersebut berasal dari program bantuan
pemerintah.

Aspek Bahan Organik

Berdasarkan hasil survey di lapangan, petani di 2 kecamatan masih 50%


menggunakan bahan organik. Untuk mendapatkan pupuk kandang masih sulit
didapatkan karena biaya transportasi yang mahal. Pemberian pupuk kandang
dianggap masih kurang efisien karena proses pelapukan lama dan kesulitan
mendapatkan pupuk kandang yang sudah matang agar bisa langsung diberikan
ke tanah. Jerami padi masih dibakar atau diangkut keluar dari sawah setelah
panen. Pembakaran jerami akan menghilangkan semua unsur N yang ada dalam
jerami, sedangkan unsur P dan K sebagian hilang. Dampak negatif lainnya adalah
perkembangan mikroorganisme tanah terganggu, kesuburan tanah menurun,
tanahnya ikut terbakar serta menimbulkan polusi udara (Soepardi, 1983).
Aspek pengendalian organisme pengganggu tanaman

Petani yang menerapkan pengendalian OPT dengan terlebih dahulu


melakukan pemantauan dilapangan masih sebesar 10% di Kecamatan Gunung
Malela dan 10% di Kecamatan Pematang Bandar. Umumnya petani melakukan
pengendalian OPT pada saat tanaman telah diserang hama dan penyakit. Petani
belum serentak melakukan pertanaman padi di Kabupaten Simalungun. Hal ini
terlihat pada saat survei ke lokasi. Ketidakkompakan ini menyebabkan beberapa
lahan yang ditanami padi diserang hama tikus. Serangan tikus termasuk tinggi di
Kecamatan Gunung Malela, yaitu sebanyak 15% lahan milik petani yang
terserang, sementara di Kecamatan Pematang Bandar dengan jumlah petani yang
sama, terdata sebesar 12% terserang hama tikus. Menurut Direktorat
Perlindungan Tanaman (2011), ketidakserempakan melakukan pola tanam
disebabkan adanya perbaikan saluran irigasi. Saluran irigasi yang tidak baik serta
debit air yang kecil menyebabkan penanaman dilakukan sembarangan dan
banyak petani yang mengalami kerugian akibat serangan hama.
Keong mas merupakan hama yang sering mengganggu tanaman padi di
lahan petani. Pengendalian umumnya dilakukan dengan membuat parit-parit kecil
disekitar pertanaman agar keong mudah dikumpulkan dan diambil dari lahan.
Penggerek batang juga sering dijumpai dengan adanya ngengat berwarna coklat
yang selalu menghisap batang padi. Petani melakukan pengendalian dengan
menaburkan insektisida sistemik seperti curater ataupun furadan. Petani sudah
mulai memahami pengendalian OPT karena mendapatkan informasi dari petani

925
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

yang aktif di kelompok tani maupun petani yang sering diikutsertakan dalam
pelatihan PTT.
Aspek pemupukan
Pada waktu memupuk padi, petani masih tetap menggunakan majemuk
Phonska walaupun sudah memberikan pupuk tunggal Urea, SP-36 dan KCl.
Pupuk tunggal diminimalkan petani untuk mengurangi beban transportasi ke
lapangan, sehingga pupuk yang diberikan tidak efisien. Petani tertarik
menggunakan pupuk majemuk Phonska karena transportasi yang lebih mudah di
lapangan dengan aplikasi yang lebih cepat, tidak memakan waktu yang lama.
Sementara pupuk tunggal memakan biaya yang lebih tinggi dari sisi transportasi
dan tenaga kerja karena harus mencampur pupuk dan jumlahnya lebih banyak.
Petani sudah 10% mengenal Bagan Warna daun (BWD) tetapi belum terbiasa
menggunakannya. Hal ini karena petani menggunakan BWD pada saat PPL
datang ke lokasi kegiatan untuk membantu dalam penerapan teknologi
pemupukan. Petani sendiri belum sepenuhnya memahami manfaat BWD. Untuk
itu sosialisasi BWD masih perlu dilakukan lebih intens lagi bagi petani (Tabel 2).

Tabel 2. Komponen teknologi budidaya padi yang diterapkan petani di Kecamatan


Gunung Malela dan Kecamatan Pematang Bandar Kabupaten
Simalungun.Tahun 2015
Jumlah Petani Yang Mengadopsi (%)
Uraian Kec. Gunung Kec. Pematang
Malela Bandar
Varietas padi yang digunakan Lokal, Ciherang Lokal, Ciherang
Jumlah bibit/rumpun (%)
40 18
- 2-3 bibit/lubang
60 82
- 4-8 bibit/lubang
Sistem tanam Legowo 4:1 (%) 2 2
Pupuk organik (kg/ha)
- 2 ton/ha - -
- 1 ton/ha 50 50
- 0,75 ton/ha 50 -
- 0,5 ton /ha - 50
Pemberian pupuk sesuai rekomendasi
PTT (Pupuk Urea + BWD)
2 1
Pemberian Pupuk kimia Ponska (%) 35 25
Cara petani mengendalikan OPT (%)
- Saat diserang 90 70
- Pemantauan 10 10
- Rutin 0 20
Lahan petani terserang tikus 15 12
Panen dengan tresher (%) 100 100

Penerapan komponen teknologi PTT padi masih belum sepenuhnya


dilaksanakan petani di dua kecamatan. Berdasarkan hasil survey di lapangan,
pendapatan petani dan B/C ratio di Kecamatan Gunung Malela lebih tinggi yaitu

926
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Rp.14.602.000,- dan B/C ratio 1,30 dibanding Kecamatan Pematang Bandar


dengan nilai Rp.13.063.000,- dan B/C ratio 1,23. Angka B/C tersebut menunjukkan
penerapan teknologi budidaya yang dilakukan petani belum optimal (Tabel 3). Hal
ini didukung oleh Oka. dkk., (1990) dan Buckman (2004) yang menyatakan bahwa
batas minimum penerapan suatu teknologi dikatakan layak secara ekonomi
apabila B/C rationya sebesar 2.

Tabel 3. Usahatani padi yang diterapkan petani di Kecamatan Gunung Malela dan
Kecamatan Pematang Bandar Kabupaten Simalungun. 2015
Kecamatan
Uraian
Gunung Malela Pematang Bandar
Biaya produksi (Rp) 2.567.500 2.279.000
Tenaga kerja (Rp) 8.630.000 8.307.500
Produksi (ton /ha) 5-6,5 5-6
Persediaan gabah/musim/ RT(kg) 100-400 100-400
Biaya Produksi (Rp) 11.198.000 10.587.000
Penerimaan (Rp) 25.800.000 23.650.000
Pendapatan petani (Rp) 14.602.000 13.063.000
R/C Ratio 2,30 2,23
B/C Ratio 1,30 1,23

Keadaan umum dari petani sampel di Kecamatan Gunung Malela yang


berprofesi sebagai petani padi umur produktif (20-60 tahun) sebanyak 62,2% lebih
tinggi dibanding umur >60 tahun sebesar 37,8%. Demikian juga Kecamatan
Pematang Bandar, umur produktif sebagai petani padi sebesar 54,8% lebih tinggi
juga dibanding umur >60 tahun sebesar 45,2%. Data tersebut menunjukkan petani
dengan umur diatas 60 tahun masih aktif dalam bercocok tanam padi. Kondisi ini
menunjukkan bahwa responden memiliki pengalaman yang lama dalam berusaha
tani (Tabel 4).

Tabel 4. Keadaan umum dari petani sampel di Kecamatan Gunung Malela dan
Kecamatan Pematang Bandar
Jumlah petani (%)
Umur (%) Tingkat Pendidikan PTT Padi
Yang
Komponen
Kecamatan D3- sudah
20-60 >60 SD SMP SMA yang
S1 sosialis
dilaksanakan
asi
Gunung 62,2 37,8 43,33 23,33 26,67 6,67 33,3 3
Malela
P. Bandar 54,8 45,2 46,67 30 23,34 0 33,3 1

Dari 60 peserta, yang sudah mengenal dan melaksanakan budidaya


tanaman padi sesuai PTT Padihanya 19 orang (33,3%%) dari total petani
sampel yang diambil.

Tingkat pendidikan petani bervariasi mulai dari SD sampai sarjana. Petani


dengan pendidikan tinggi lebih tertarik menerapkan beberapa dari komponen PTT
yang ada dibanding yang pendidikan rendah (Tabel 5).

927
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 5. Petani sampel di Kecamatan Gunung Malela dan Kecamatan Pematang


Bandar yang mengadopsi PTT Tahun 2015
Yang sudah menerapkan
Tingkat Lulusan
komponen PTT
Pendidikan (orang)
(orang)
SD 27 2
SMP 13 2
SMA 11 9
D3-S1 9 8
Jumlah 60 21

Berger, dkk, 1990 menyatakan tingkat pendidikan merupakan faktor


penting dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Pendidikan sangat
mempengaruhi dalam usahatani padi yang dilakukan petani. Hal ini terlihat dari
data yang menunjukkan tingkat pendidikan petani yang lebih tinggi mampu
menyerap teknologi dengan cepat dan langsung menerapkannya di lapangan. Hal
ini terlihat dari hasil survey dari 10 petani masing-masing kecamatan (33%) yang
telah mengikuti sosialisasi PPT Padi, petani Kecamatan Gunung Malela telah
melaksanakan 3 komponen PTT Padi yaitu: pengolahan tanah sesuai musim,
penggunaan bibit muda <21 hari dan pemberian bahan organik. Sementara petani
Kecamatan Pematang Bandar yang sudah pernah mengikuti sosialisasi PTT padi,
hanya bisa melakukan satu komponen PTT padi yaitu pengolahan tanah sesuai
musim. Komponen lain dari PTT padi (penggunann varietas unggul baru, benih
berlabel, pemupukan berimbang, pengendalian OPT secara terpadu, penggunaan
bibit muda, tanam 1-3 bibit per lubang, pemberian bahan organik, pengairan
berselang, panen dan pasca panen yang tepat belum bisa dilakukan karena petani
masih mengandalkan pengalaman masing-masing, biaya yang tidak mencukupi,
sulitnya menerima informasi dari luar dan tingkat pendidikan yang rendah.

Dari empat penggilingan padi yang diwawancara, didapat 1 penggilingan


padi mengambil hasil panen langsung ke lokasi penanaman padi dengan
menggunakan penggilingan padi berjalan, sementara 3 penggilingan padi lainnya
menunggu hasil panen yang diantar langsung oleh petani atau dijemput langsung
ke lahan petani. Penggilingan padi berjalan hanya bermanfaat pada lokasi dengan
kondisi hamparan sawah yang datar. Petani dengan kondisi lahan sawah
bertangga-tangga/tidak rata umumnya mengantarkan hasil panennya ke
penggilingan padi besar. Kelebihan penggilingan padi besar dibanding
penggilingan padi berjalan, padi yang digiling lebih sedikit pecah-pecah dibanding
pada penggilingan padi berjalan. Hal ini disebabkan pada penggilingan padi
berjalan, padi yang sudah dikering anginkan di sawah, langsung digiling.
Sementara pada penggilingan padi besar, padi dijemur dulu selama 2 hari di
penjemuran yang telah disediakan, didinginkan kemudian digiling.

928
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

1. Umur dan tingkat pendidikan mempengaruhi petani saat melakukan budidaya


tanaman padi.
2. Penerapan teknologi PTT padi masih belum sepenuhnya dilaksanakan
3. Petani umumnya lebih menyukai gudang padi/penggilingan padi besar yang
memiliki gudang dan penjemuran dibanding penggilingan padi berjalan
4. Berdasarkan hasil survey di lapangan, B/C ratio di Kecamatan Gunung Malela
lebih tinggi yaitu Rp.14.602.000,- dan B/C ratio 1,30 dibanding Kecamatan
Pematang Bandar dengan nilai Rp.13.063.000,- dan B/C ratio 1,23.
SARAN

Perlu dilakukan kembali sosialisasi pengenalan komponen PTT padi bagi


petani yang belum mengetahui dan memahami. Petani sebaiknya harus lebih aktif
mengikuti pelatihan dalam kegiatan kelompok tani sehingga lebih mengenal dan
mampu menerapkan seluruh komponen Teknologi Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Peter L. & Thomas Luckmann 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social
Construction of Reality oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.
BPS. 2014. Statistik Pertanian Kabupaten Simalungun Tahun 2014.
Buckman, R. H. 2004. Bulding a Knowledge-Driven Organization.Electronical
Jurnal of Knowledge Management.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. 2006. Pedoman Umum
Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Lahan dan Air. Jakarta.
Direktorat Perlindungan Tanaman. 2011. Laporan serangan hama dan penyakit
di Indonesia tahun 2011.
Irianto, A. 2004. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya. Penerbit Kencana.
Jakarta.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Nurbaeti, B., Siti Lia Mulijanti, dan Taemi Fahmi. 2008. Penerapan model
pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu padi sawah irigasi di
Kabupaten Sumedang. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian 11(3): 268-279.
Oka, M. Adnyana., A. M. Hurun, dan A. Djulin. 1990. Perubahan Struktur
Usahatani Padi Sebagai Dampak Penerapan Teknologi Supra Insus.
Bogor. 10(1):46-53.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 2008. Peningkatan
Produksi Padi Menuju 2020.http://pangan.litbang.deptan.go.id/repositori-
20.html
Puslitbangtan. 2008. Panduan pelaksanaan SL-PTT. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Swastika, D.K.S. 2004. Beberapa Teknis Analisis Dalam Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian Vol. 7:90-103.
Suryana, A. & Sudi Mardianto, 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM FEUI,
Jakarta.

929
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI


SISTEM TANAM JAJAR LEGOWO DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

Ahmad Tohir, Nazaruddin Hutapea, dan Listiawati

BalaiPengkajianTeknologiPertanianSumatera Utara
Jl. A.H Nasution No. 1B Medan Sumatera Utara
Email : harahaptohir@gmail.com

ABSTRAK

Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi


adalah dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), dimana salah
satu komponen teknologi yang diterapkan adalah system tanam jajar legowo
(JARWO). Di Kabupaten Tapanuli Tengah penerapan teknologi system jajar
legowo masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase petani yang
menerapkan sistem tanam jajar legowo masih dibawah 50%, meskipun secara
umum mengalami peningkatan dari tahun 2010 sampai tahun 2012.
Permasalahan yang dihadapi dalam penerapan sistem tanam jajar legowo adalah
kurangnya keterampilan regu tanam, cara tanamnya lebih rumit, membutuhkan
waktu yang lebih lama dibanding sistem tegel, dan biaya tanam yang lebih mahal
10-20%. Namun demikian, peluang pengembangan system tanam jajar legowo di
kabupaten Tapanuli Tengah cukup tinggi karena hasil display varietas
menunjukkan bahwa system tanam jarwo memberikan hasil yang nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan system tegel. Untuk itu diperlukan sosialisasi yang lebih
intensif tentang manfaat jarwo, pelatihan regu tanam, serta menyediakan alat
tanam yang sesuai.

Kata Kunci :Sistem Tanam Jajar Legowo, PTT Padi, Tapanuli Tengah

PENDAHULUAN

Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan Kabupaten yang mempunyai


potensi untuk memproduksipadisawah di Sumatera Utara. Pada tahun 2011, luas
panen padi sawah mencapai 25.256 ha dengan produksi sebesar 107.655 ton
(BPS Tapanuli Tengah, 2012). Produktivitas padi sawah Kabupaten ini (4,26 t/ha)
masih dibawah rata-rata produktivitas padi Sumatera Utara (5,10 t/ha), dan jauh
dibawah hasil penelitian (7 – 8 t/ha). Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi di
daerah ini masih dapat ditingkatkan.

Untuk meningkatkan produksi padi didaerah ini dilakukan terobosan-


terobosan diantaranya dengan melakukan pendampingan sekolah lapang
pengelolaan tanaman terpadu (SL - PTT). SL-PTT merupakan tempat pendidikan
non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam
mengenal potensi, menyusun rencana usaha, mengatasi permasalahan,
mengambil keputusan dan menerapkan teknologi sesuai dengan kondisi
sumberdaya setempat.

930
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan dan mengembangkan


PTT yang ternyata mampu meningkatkan produktivitas padi, meningkatkan
efisiensi usaha dan pendapatan (Adnyana dan Kariyasa, 2006). PTT adalah
pendekatan dalam pengelolaan hara, air, tanaman dan organisme pengganggu
tanaman (OPT) secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan
produktivitas tanaman, pendapatan petani serta menjamin keberlanjutan
kelestarian lingkungan (Suryana dkk., 2008).

Bentuk pengawalan dan pendampingan yang dilakukan oleh peneliti


jajaran Badan Litbang Pertanian adalah: 1) memberikan informasi PTT; 2) demo-
plot PTT; 3) uji adaptasi VUB; 4) menjadi narasumber pada pelatihan; 5)
menghadirkan peneliti (Puslit/Balai Besar, BPTP, Balitkomoditas, Lolit) sebagai
narasumber dan supervisi penerapan teknologi pada pertemuan petani
membahas topik khusus (Dirjen Tanaman Pangan, 2010).

Kegiatan- kegiatan dalam budidaya padi antara lain pembibitan, persiapan


lahan, pemindahan bibit atau tanam, pemupukan, pemeliharaan (pengairan,
penyiangan, pengendalian hama dan penyakit) dan panen. Dewasa ini telah
diperkenalkan berbagai teknologi budidaya padi, antara lain budidaya system
tanam benih langsung (Tabela), sistem tanpa olah tanah (TOT), maupun system
tanam jajar legowo. Pengenalan sistem tanam tersebut disamping untuk
mendapatkan pertumbuhan tanaman yang optimal juga ditujukan untuk
meningkatkan hasil dan pendapatan petani (BB Padi, 2013).

Pada umumnya, varietas padi pada kondisi jarak tanam yang sempit akan
mengalami penurunan kualitas pertumbuhan, seperti jumlah anakan dan malai
yang lebih sedikit, panjang malai yang lebih pendek dan tentunya jumlah gabah
permalai berkurang dibandingkan pada kondisi jarak tanam lebar. Fakta dilapang
membuktikan bahwa penampilan individu tanaman padi pada jarak tanam lebar
lebih bagus dibandingkan dengan jarak tanam rapat. Pada jarak tanam lebar 50
x 50 cm, varietas inpari 9 dapat menghasilkan lebih dari 50 anakan/rumpun,
dengan vigor vegetative yang sangat baik terutama apabila tanah cukup air dan
hara. Sebaiknya, pada kondisi jarak tanam rapat (20x20) cm hanya menghasilkan
anakan <20 anakan/rumpun (BB padi 2013).

Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya produktivitas pada jarak


tanam rapat adalah; (1) tanaman umumnya akan tumbuh terhambat apabila
menerima sinar yang rendah akibat adanya persaingan antar individu tanaman
dalam jaraktanam rapat; (2) terjadinya kahat hara tertentu terutama N, P dan K
serta air akibat pertanaman yang rapat, perakaran yang intensif sehingga
pengurasan hara juga intensif; (3) terjadinya serangan penyakit endemic
setempat, akibat kondisi iklim mikro yang menguntungkan bagi perkembangan
penyakit pada jarak tanam rapat.
Sistem tanam legowo merupakan salah satu bentuk rekayasa teknologi
untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman padi dengan pengaturan populasi
sehingga tanaman mendapatkan ruang tumbuh dan sinar matahari yang optimum
(Suriapermana dkk., 2000). Kemudian Zaini (2009) menyatakan bahwa

931
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

peningkatan populasi tanaman sangat penting untuk meningkatkan hasil gabah


dan efisiensi pemanfaatan pupuk N karena jumlah anakan yang terbentuk pada
kondisi tersebut menjadi lebih rendah. Menurut Sembiring (2001), sistem tanam
Legowo merupakan salah satu komponen PTT pada padi sawah yang apabila
dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan yang lebih besar.
Produksi padi yang dicapai lebih tinggi dengan menggunakan sistem tanam
legowo dibanding sistem tegel (25x25) cm. Semakin lebar jarak tanam
menghasilkan anakan yang lebih banyak, pertumbuhan akar yang lebih baik
disertai dengan berat kering akar dan tekanan turgor yang tinggi, serta kandungan
prolin yang lebih rendah dibanding dengan jarak tanam yang lebih sempit. Legowo
4:1 mengahasilkan produksi gabah tertinggi, tetapi untuk mendapatkan bulir gabah
berkualitas benih digunakan legowo 2:1, karena sistem ini mampu mengurangi
kehampaan akibat akibat efek tanaman pinggir (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Abdul Rachman dkk. (2011) melaporkan pada pertanaman legowo 2:1 dengan
jarak tanam (25x12,5x50) cm mampu meningkatkan hasil antara 9,63 – 15,44 %
dibanding model tegel.
Sistem tanam jajar legowo pada arahbarisan tanaman terluar memberikan
ruang tumbuh yang lebih longgar sekaligus populasi yang lebih tinggi. Dengan
sistem tanam ini, mampu memberikan sirkulasi udara dan pemanfaatan sinar
matahari lebih baik untuk pertanaman. Selain itu upaya penanggulangan gulma
dan pemupukan dapat dilakukan dengan lebih mudah.
Namun demikian penerapan jajar legowo dilapangan masih menunjukkan
banyak variasi. Hal ini dimungkinkan akibat dari pemahaman mengenai sistem
legowo masih sangat beragam walaupun memiliki kesamaan konsep dasar yang
dipahami.Tulisan ini menyajikan data dan informasi penerapan system tanam
jarwo di KabupatenTapanuli Tengah.

BAHAN DAN METODE

Kajian dilakukan di Kecamatan Pandan pada bulan Mei 2012. Metode


survey digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan wawancarat erhadap
210 petani responden. Petani ini berasal dari 5 kelompok tani dan terlibat dalam
program pengembangan SL PTT mulai tahun 2010 sampai dengan 2012.Selain
data primer yang didapatkan dari wawancara, juga dikumpulkan data sekunder
dari lembaga terkait. Data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif untuk
menggambarkan perkembangan penerapan teknologi system tanam jarwo pada
kelompok yang telah ditetapkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penerapan Sistem Tanam Jajar Legowo Pada Sekolah Lapang Pengelolaan


Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi Sawah.

Rekomendasi penerapan sistem tanam jajar legowo di kabupaten Tapanuli


Tengah belum resmi dikeluarkan oleh Dinas Pertanian setempat. Namun
demikian sistem tanam yang dianjurkan pada kegiatan SLPTT adalah sistem jajar

932
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

legowo (jarwo). Pada kenyataannya penerapan sistem tanam yang dikembangkan


belum sesuai dengan cara tanam jajar legowo yang sebenarnya. Pada umumnya
petani menggunakan system jajar legowo 6:1, tetapi jarak tanam didalam baris
belum sesuai atau mereka masih menggunakan jarak 20 x 20 cm, belum
menggunakan jarak 20 x 10 cm.

Pada awalnya, yaitudalam MT-1 tahun 2010, hanya sedikit petani yang
menerapkan system tanam jarwo yaitu sekitar 4,7% (Tabel 1).

Tabel 1. Kelompok tani dan petani yang menerapkan jajar legowo 4:1 di
Kabupaten Tapanuli Tengah
Jumlah Jumlah anggota yang menerapkan
No Nama Kelompok
anggota MT I 2010 MT I 2011 MT II 2011 MT I 2012
1 Abadi 45 2 14 18 21
2 Sepakat 53 2 5 14 18
3 Bergiat 30 2 6 9 12
4 Maju Bersama 36 2 7 12 11
5 Katya Maju 46 2 15 17 17
Total 210 10 47 70 79
% 4.7 22 33 38

Pada tahun 2011, jumlahpetani yang menerapkan system tanam jarwo 4:1
semakin meningkat (22%). Peningkatan penerapan system tanam jarwo juga
terjadi di musim tanam berikutnya walaupun tidak terlalu besar. Secara
keseluruhan terlihat bahwa respon petani terhadap sistem tanam jajar legowo
masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase petani yang
menerapkan sistem tanam jajar legowo masih dibawah 50%.

Kendala Penerapan SistemTanam Jajar Legowo

Sebagian besar petani di Kabupaten Tapanuli Tengah belum memahami


keuntungan - keuntungan yang didapat apabila menerapkan sistem tanam jajar
legowo. Sistem tanam jarwo memperbanyak tanaman pinggir, sehingga
meningkatkan penerimaan cahaya matahari yang selanjutnya akan berdampak
kepada peningkatan hasil. Petani masih menganggap bahwa ruang lebar untuk
memperbanyak tanaman pinggir sebagai penurunan efisiensi pemanfaatan lahan.
Sistem tanam jarwo memperbanyak jumlah tanaman per satuan luas karena
terjadi perapa tanjarak tanam di dalam barisan. Hal ini tidak terlihat petani
disebabkan mereka masih menggunakan jarak tanam yang sama pada saat
menerapkan system tanam jarwo. Selain itu, system tanam jarwo akan
memudahkan pemeliharaan dikarenakan adanya ruang yang cukup lebar. Selain
itu biaya tanam jarwo lebih mahal sekitar10 – 15% dibanding dengan tanam
system tegel. Kelebihan biaya ini sebenarnya tertutupi oleh peningkatan hasil
yang didapatkan. Biaya tanam yang lebih tersebut juga berkaitan dengan belum
terampilnya regu tanam jajar legowo. Hal ini mengakibatkan adanya tanggapan
petani bahwa sistem tanam jajar legowo lebih rumit sehingga kecepatan menanam
menjadi lebih lambat.

933
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil-Hasil Penelitian
Sistem tanam Legowo merupakan salah satu bentuk rekayasa teknologi
untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman padi dengan pengaturan populasi
sehingga tanaman mendapatkan ruang tumbuh dan sinar matahari yang optimum
(Suriapermana, dkk. 2000). Terutama pada musim penghujan dengan intensitas
matahari yang rendah, De Datta (1981) dalam Zaini (2009) menyatakan bahwa
peningkatan populasi tanaman sangat penting untuk meningkatkan hasil gabah
dan efisiensi pemanfaatan pupuk N karena jumlah anakan yang terbentuk pada
kondisi tersebut menjadi lebih rendah.
Pengelolaan populasi tanaman saja tidak cukup tetapi harus disertai
pengelolaan air yang benar. Sesbany (2011) mengemukakan bahwa pada kondisi
air macak-macak pertumbuhan tanaman lebih baik. Hasil penelitian Kamandalu
dkk., (2006) berbagai keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan sistem
tanam Jarwo antara lain kemudahan dalam hal penyiangan, pemupukan serta
pemeliharaan tanaman.

Peluang Pengembangan SistemTanam Jajar Legowo

Pada umumnya petani belum menerapkan tanam jajar legowo seperti yang
sesuai dengan petunjuk teknis, misalnya legowo 4:1 ataulegowo 2:1 dengan jarak
tanam (20x10x40) cm atau (25x12,5x50) cm. Petani menggunakan system tanam
jajar legowo 6:1 dimana jarak antar baris 25 cm dan jarak dalam baris 15-20 cm
sertaj arak setiap 6 baris 30 cm, dengan demikian populasi tanaman per hektar
tidak bertambah dibandingkan dengan cara tanam system tegel. Hal ini berkaitan
dengan masih belum terampilnya regu tanam dalam menerapkan system tanam
jarwo sesuaianjuran. Oleh karena itu penanaman membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan system tegel sehingga menyebabkan biaya tanam
lebih mahal sekitar10-15%.

Pengembangan system tanam jarwo di Kabupaten ini masih dapat


ditingkatkan melalui berbagai upaya yang diawali dengan sosialisasi yang lebih
intensif. Output yang diharapkan dari sosialisasi ini adalah peningkatan
pemahaman akan manfaat system tanam jarwo dalam peningkatan produktivitas.
Sosialisasi ini perlu diikuti dengan pembuatan demplot system tanam jarwo yang
dibandingkan dengan system tanam yang biasa dilakukan petani. Dengan
demikian, dapat diharapkan petani akan dapat diyakinkan akan manfaat system
tanam jarwo terhadap perbaikan produktivitas padi mereka. Selanjutnya pelatihan
regu tanam jarwo perlu terus dilakukan untuk menekan biaya tanam, sekaligus
meningkatkan efisiensi usaha. Penanaman akan jauh lebih efisien dan hasilnya
lebih baik bila didukung oleh alat bantu yang sesuai dengan pola tanam jarwo
yang diterapkan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat caplak jarwo
sebagai pedoman alur penanaman.

934
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN
1. Respon petani terhadap sistem tanam jajar legowo di Kecamatan Pandan,
Kabupaten Tapanuli Tengah masih tergolong rendah.
2. Kendala penerapan system tanam jajar legowo utamanya adalah kurangnnya
pemahaman akan manfaat, belum terampilnya regu tanam, dan belum
tersedianya alat bantu untukpenanaman.

SARAN

1. Sosialisasi akan manfaat system tanam jarwo perlu dilakukan lebih intensif.
2. Demplot system tanam jarwo perlu dibuat dan dibandingkan dengan pola
tanam petani.

3. Pelatihan regu tanam jarwo perlu ditingkatkan dan didukung oleh alat bantu
tanam yang sesuai.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Catur Hermanto,


MP, Bapak Mustafa Hutagalung, Bapak Nazaruddin Hutapea dan semua pihak
yang telah membantu dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O. dan Kariyasa, K. 2006. Dampak dan persepsi petani terhadap
penerapan sistem pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 25(1): 21-29.
Abdulrachman, S., N. Agustiani, L.M. Zarwazi, dan I. Syarifah. 2011. Peningkatan
efisiensi penggunaan air pada padi sawah (>20%) melalui sistem aerobik.
Laporan Hasil penelitian. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
BPS Tapanuli Tengah, 2013.Tapanuli Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Tapanuli Tengah.
BB Padi, 2013. Panduan Teknis Sistem Tanam Jarwo. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kemeterian Pertanian. Jakarta.
Dirjen Tanaman Pangan, 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan
Kacang Tanah Tahun 2010. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Kementerian Pertanian, Jakarta.
Kamandalu A.A.N.B., I B.K Suastika, dan I K.D Arsana, 2006. Kajian Sistem
Tanam Jajar Legowo terhadap produksi padi sawah. Prosiding Seminar
Nasional Percepatan Transformasi Teknologi Pertanian untuk mendukung
pembangunan wilayah. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Bogor. 586 p
Suryana, A., Suyamto, Baehaki SE., S. Abdurachman., I. N. Widiarta., H. M. Toha.,
H. Sembiring., Hermanto., dan H. Kasim. 2008. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Suryapermana S, N Indah, dan Y Surdianto. 2000. Teknologi Budidaya padi
dengan cara tanam legowo pada lahan sawah irigasi. Simposium
Penelitian Tanaman Pangan IV: Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi

935
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman


Pangan. Bogor. p 125-135
Sembiring, H., 2001. Komoditas Unggulan Pertanian Provinsi Sumatera Utara.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. 58p.
Sesbany, 2011. Pertumbuhan dan Produksi Empat Varietas Unggul Padi Sawah
(Oryza Sativa L.) Terhadap Berbagai Tingkat Genangan Air pada Berbagai
Jarak Tanam. http://repository .usu .ac.id/ handle/ 123456789/22086.
Diakses tanggal 10 Maret 2016
Zaini Z. 2009. Memacu peningkatan produktivitas Padi sawah melalui inovasi
teknologi budidaya spesifik lokasi dalam era revolusi hijau lestari.
Pengembangan Inovasi Pertanian. 2(10: p 35-47

936
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PERANAN PENYULUHAN TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN


DAN AFEKTIF PETANI DALAM BERUSAHATANI PADI SAWAH
DI KELURAHAN RIMBO KEDUI KABUPATEN SELUMA

Dedi Sugandi, Bunaiyah Honorita dan Alfayanti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu


Jl. Irian Km.6,5 Bengkulu
Email: bunaiyahhonorita@gmail.com

ABSTRAK

Peningkatan perilaku petani merupakan salah satu strategi untuk


mempercepat transfer teknologi spesifik lokasi kepada pengguna. Salah satu
usaha untuk meningkatkan perilaku petani ialah dengan proses pembelajaran
melalui penyuluhan. Pemilihan metode penyuluhan yang tepat dalam
menyampaikan pesan yang ingin disampaikan merupakan kunci keberhasilan
dalam proses penyelenggaraan penyuluhan. Kajian ini bertujuan untuk
meningkatkan pengetahian dan afektif petani berusahatani padi sawah melalui
penerapan display teknologi dan temu lapang. Pengkajian dilaksanakan pada
bulan Mei – Agustus 2015 di Kabupaten Seluma. Data primer yang diambil
meliputi karakteristik petani, pengetahuan dan afektif (sikap) petani dalam
teknologi PTT padi sawah dan teknik perbenihan. Data kemudian dianalisis
menggunakan interval kelas dan Uji Statistik Paired Simple T Test. Hasil kajian
memperlihatkan terjadi peningkatan pengetahuan petani sebesar 39,30% dari
9,40 menjadi 13,00. Afektif petani terhadap teknologi PTT padi sawah dan
perbenihan berada pada kriteria positif, dengan skor rata-rata 4,17. Ini
menunjukkan bahwa penyuluhan melalui metode display dan temu lapang
melahirkan sikap petani yang positif sehingga petani menyenangi teknologi yang
disuluhkan.

Kata kunci : usahatani, padi sawah, penyuluhan, pengetahuan, afektif

PENDAHULUAN

Sebagai bagian dari revitalisasi pembangunan pertanian, pemerintah telah


bertekad untuk meningkatkan produktivitas padi nasional menuju swasembada
berkelanjutan. Program ini harus didukung oleh semua pihak yang terkait, dalam
proses produksinya. Arifin dkk. dalam Sirappa (2012) melaporkan bahwa jika tidak
terdapat terobosan teknologi yang efektif dan efisien, maka keamanan pangan
akan terganggu. Cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan produksi padi
nasional secara berkelanjutan adalah meningkatkan produktivitas melalui
ketepatan pemilihan komponen teknologi dengan memperhatikan kondisi
lingkungan biotik, lingkungan abiotik, serta pengelolaan lahan yang optimal oleh
petani termasuk pemanfaatan residu dan sumberdaya setempat yang ada
(Makarim & Las dalam Sirappa, 2012).
Kabupaten Seluma merupakan salah satu sentra penghasil beras di
Provinsi Bengkulu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi

937
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Bengkulu tahun 2013, tingkat produktivitas padi sawah di Kabupaten Seluma yaitu
3,90 ton/ha, masih di bawah rata-rata produktivitas padi di Provinsi Bengkulu yaitu
4,29 ton/ha. Produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan, salah satunya adalah
dengan peningkatan adopsi atau penggunaan teknologi pertanian.

Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas padi adalah dengan


menerapkan teknologi yang spesifik lokasi dengan pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) meliputi: varietas unggul baru, benih bermutu dan
berlabel, pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami atau pupuk
kandang ke sawah dalam bentuk kompos, pengaturan populasi tanaman secara
optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah,
pengendalian OPT (organisme pengganggu tanaman) dengan pendekatan PHT
(pengendalian hama terpadu), pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam,
penggunaan bibit muda (<21 hari), tanam bibit 1-3 batang per rumpun, pengairan
secara efektif dan efisien, penyiangan dengan landak atau gasrok, serta panen
tepat waktu dan gabah segera dirontok (Badan Litbang Pertanian, 2010).

Peningkatan perilaku petani melalui pendampingan yang intensif dari


penyuluh pertanian merupakan salah satu strategi untuk mempercepat transfer
teknologi PTT padi sawah spesifik lokasi kepada pengguna. Salah satu usaha
untuk meningkatkan perilaku petani ialah dengan proses pembelajaran melalui
penyuluhan. Pemilihan metode penyuluhan yang tepat dalam menyampaikan
pesan yang ingin disampaikan merupakan kunci keberhasilan dalam proses
penyelenggaraan penyuluhan dimaksud.

Petani tidak mudah mengganti cara berusahatani padi dari usahatani


existing ke teknologi baru sebelum mereka yakin dan melihat bukti keunggulan
teknologi yang direkomendasikan. Berbagai metode dan media penyuluhan
(display, demplot, temu lapang, gelar teknologi, maupun penyebaran bahan
informasi tercetak maupun audio visual) perlu diintensifkan untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani. Hal ini dilakukan dalam upaya
mengubah perilaku petani dalam berusahatani padi. Sehingga diperlukan kajian
untuk mengetahui peranan penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan dan
afektif petani dalam berusahatani padi. Tujuan pengkajian adalah: (1)
Meningkatkan pengetahuan petani terhadap teknologi PTT padi sawah dan
perbenihan; dan (2) Meningkatkan afektif petani terhadap teknologi PTT padi
sawah dan perbenihan.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2015 di Kelurahan


Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma. Metode penyuluhan
yang digunakan dalam pengkajian ini adalah display teknologi PTT padi sawah
dan perbenihan melalui Kegiatan Model Mandiri Benih di Kabupaten Seluma serta
metode komunikasi langsung melalui temu lapang dan wawancara terstruktur
kepada petani contoh dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner).
Responden adalah anggota Kelompok Tani Tunas Harapan sebanyak 24 orang.

938
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Responden dipilih secara sengaja (puposive) dengan pertimbangan responden


merupakan petani kooperator kegiatan Kegiatan Model Mandiri Benih di
Kabupaten Seluma.

Jenis data yang digunakan dalam pengkajian ini adalah data primer,
meliputi karakteristik petani, pengetahuan dan afektif petani dalam berusahatani
padi. Pengetahuan petani dalam berusahatani padi dilihat dari 6 indikator, yaitu
(1) VUB dan benih bermutu dan berlabel, (2) penyemaian, (3) penanaman, (4)
pemupukan; (5) perbenihan, dan (6) komponen teknologi PTT padi sawah. Afektif
petani dilihat dari 6 indikator, yaitu (1) kesesuaian teknologi PTT dengan
lingkungan/kondisi setempat, (2) kesesuaian teknologi PTT dengan kebutuhan
petani; (3) kemudahan penerapan teknologi PTT di lapangan, (4) kesesuaian
penerapan teknologi PTT dengan ketersediaan modal petani; (5) kesesuaian
teknologi PTT dengan kebiasaan cara budidaya petani; (6) manfaat teknologi
perbenihan dalam peningkatan kemampuan petani tentang penangkaran benih.

Pengetahuan dan afektif petani terhadap budidaya padi dengan


pendekatan teknologi PTT dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan
interval kelas. Pertanyaan pada setiap indikator pengetahuan petani dibagi
menjadi 2 skor: 1 (tahu); 2 (tidak tahu). Sedangkan pertanyaan pada setiap
indikator afektif petani dibagi menjadi 5 skor: 1 (sangat tidak senang); 2 (tidak
senang); 3 (cukup senang); 4 (senang); dan 5 (senang). Menurut Nasution dan
Barizi dalam Rentha, T (2007), penentuan interval kelas untuk masing-masing
indikator adalah:

NR = NST – NSR dan PI = NR : JIK

Dimana : NR : Nilai Range PI : Panjang Interval


NST : Nilai Skor Tertinggi JIK : Jumlah Interval Kelas
NSR : Nilai Skor Terendah

Secara rinci nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator tersaji
pada Tabel 1, 2 dan 3.

Tabel 1. Nilai indikator pengetahuan petani dalam kegiatan usahatani padi sawah
No. Indikator NST NSR JIK NR PI
1. VUB dan benih bermutu 2 0 3 2 0,67
dan berlabel
2. Persemaian 2 0 3 2 0,67
3. Penanaman 6 0 3 6 2,00
4. Pemupukan 3 0 3 3 1,00
5. Perbenihan 1 0 3 1 0,33
6. Komponen teknologi PTT 4 0 3 4 1,33
Skor Total Pengetahuan 18 0 3 18 6,00

939
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 2. Nilai interval kelas skor total dan kriteria nilai indikator pengetahuan
petani dalam usahatani padi sawah
VUB dan Penyemaian
benih dan
Kriteria
No. bermutu Komponen Penanaman Pemupukan Perbenihan
Nilai
dan teknologi
berlabel PTT

1. 0,00 ≤ x < 0,00 ≤ x ≤ 0,00 ≤ x < 0,00 ≤ x ≤ 0,00 ≤ x ≤ Rendah


2. 0,67 0,67 2,00 2,00 < x 0,33 1,33 Sedang
3. 0,67 < x < 0,67 < x ≤ < 4,00 0,33 < x ≤ 1,33 < x ≤ Tinggi
1,33 1,33 4,00 < x ≤ 0,66 2,66
1,33 < x ≤ 1,33 < x ≤ 6,00 0,66 < x ≤ 2,66 < x ≤
2,00 2,00 1,00 4,00

Tabel 3. Nilai interval kelas per pertanyaan dan kriteria nilai indikator afektif petani
dalam usahatani padi sawah
No. Interval Kelas (Per Pertanyaan) Kriteria Nilai
1. 1,00 ≤ x ≤ 1,80 Sangat negatif
2. 1,80 < x ≤ 2,60 Negatif
3. 2,60 < x ≤ 3,40 Netral
4. 3,40 < x ≤ 4,20 Positif
5. 4,20 < x ≤ 5,00 Sangat positif

Peningkatan pengetahuan petani dianalisis dengan menggunakan Uji


Statistik Paired Simple T Test dengan rumus Riduwan dan Alma, B (2009) :

D
T =
𝑺𝑫
[ ]
√𝑵
Dimana : t : nilai t hitung
D : rata-rata selisih pengukuran 1 dan 2
SD : standar deviasi pengukuran 1 dan 2
N : jumlah sampel

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Contoh

Karakteristik petani contoh yang diperoleh antara lain umur, tingkat


pendidikan, dan luas lahan (Tabel 4). Rata-rata umur petani adalah 38, 96 tahun
dengan kisaran umur 24 – 55 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur petani di
lokasi pengkajian sangat beragam sehingga penerapan budidaya padi dengan
pendekatan PTT di lahan usahataninya juga cukup beragam. Menurut Mardikanto
(1993), umur akan berpengaruh kepada tingkat kematangan (baik kematangan
fisik maupun emosional) dan kapasitas belajar seseorang. Kapasitas belajar
seseorang umumnya berkembang cepat sampai usia 20 tahun dan semakin
berkurang hingga puncaknya sampai dengan umur berkisar 50 tahun (Dahama
dan Bhatnagar dalam Mardikanto 1993).

940
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Karakteristik Petani Contoh di Kabupaten Seluma Tahun 2015


No. Karakteristik Kelompok Jumlah (orang) %
1. Umur 21 – 30 6 25,00
31 – 40 8 33,33
41 – 50 7 29,17
51 – 60 3 12,50
Jumlah 24 100,00
2. Pendidikan SD 13 54,13
SMP 3 12,50
SMA 7 29,17
Sarjana 1 4,17
Jumlah 24 100,00
3. Luas lahan 0,1 – 1,0 23 95,83
1,1 – 2,0 1 4,17
Jumlah 24 100,00
Sumber : Data primer diolah, 2015
Hadiwijaya dan Soekartawi dalam Choirotunnisa (2008) mengemukakan
bahwa berbagai macam target produksi pertanian akan berhasil baik apabila
ketersediaan dan keterampilan para petani untuk berproduksi bisa ditingkatkan.
Mereka yang berpendidikan tinggi akan relatif lebih cepat dalam melaksanakan
adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, agak
sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Kondisi ini akan
mempengaruhi pola pengambilan keputusan serta cara berusaha tani yang
dilakukan.

Tingkat pendidikan petani mayoritas adalah SD (54,13%). Tingkat


pendidikan formal merupakan penentu dalam kualitas sumberdaya manusia.
Semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional cara
berfikirnya dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk
meningkatkan pengetahuan yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap
dan mempengaruhi kemampuan petani dalam mengadopsi suatu teknologi.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengukur keikutsertaan
petani dalam kegiatan yang dilaksanakan di kelompok. Hal ini disebabkan secara
umum semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk
mengajaknya berpartisipasi dalam suatu kegiatan.

Rata-rata luas lahan petani adalah 0,61 hektar dengan kisaran luas 0,25 –
1,75 hektar. Besar kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh petani akan
mempengaruhi aktivitasnya dalam melakukan aktivitas usahatani. Semakin luas
lahan biasanya petani semakin cepat mengadopsi, karena memiliki kemampuan
ekonomi yang lebih baik (Mardikanto dalam Choirotunnisa, 2008).

Pengetahuan Petani dalam Teknologi Budidaya Padi Sawah

Hasil kajian memperlihatkan bahwa pengetahuan petani dalam budidaya


padi sawah dengan pendekatan PTT meningkat sebesar 39,30% dari 9,40 menjadi
13,00 (Tabel 5).

941
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 5. Pengetahuan Petani dalam Teknologi Budidaya Padi dengan Pendekatan


PTT di Kabupaten Seluma Tahun 2015
Teknologi Budidaya Padi Sebelum Sesudah
Sawah Skor Kriteria Skor Kriteria
VUB dan benih bermutu dan 1,70 Sedang 2,10 Tinggi
berlabel
Penyemaian 0,80 Sedang 1,50 Tinggi
Penanaman 3,20 Sedang 4,00 Tinggi
Pemupukan 0,70 Tinggi 0,80 Tinggi
Perbenihan 2,10 Sedang 3,60 Tinggi
Komponen teknologi PTT 0,90 Sedang 1,00 Sedang
Jumlah 9,40 Sedang 13,00 Tinggi
Sumber : data primer diolah, 2015

Tabel diatas menunjukkan bahwa petani semakin memahami teknologi


budidaya padi sawah dengan pendekatan PTT dan teknik perbenihan yang
disuluhkan. Dilihat dari masing-masing indikator, peningkatan terbesar
pengetahuan petani adalah penyemaian yaitu sebesar 87,50% diikuti dengan
perbenihan (71,43)%, penanaman (25,00%), VUB dan benih bermutu dan berlabel
(23,53%), pemupukan (14,29%), dan komponen teknologi PTT (11,11%). Secara
grafik, peningkatan pengetahuan petani contoh dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik peningkatan pengetahuan petani dalam budidaya padi


sawah dengan pendekatan PTT

Peningkatan pengetahuan ini mencerminkan tingkat kesadaran petani


untuk mencari dan menerima informasi inovasi teknologi. Artinya, pengetahuan
yang tinggi dimiliki oleh individu yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi
pula. Pendapat ini didukung oleh pandangan Apps (1973) yang menyatakan
bahwa bahwa individu petani sebagai orang dewasa telah mempunyai konsep diri,
pengalaman belajar, dan kesiapan belajar sehingga sisi manusianya dan proses
belajarnya perlu dikedepankan.

Hasil pengujian dengan analisis statistic Paired Simple T Test,


memperlihatkan ada perbedaan yang sangat siginifikan pengetahuan petani
mengenai teknologi PTT sebelum dan sesudah penyuluhan. Dimana nilai
signifikansi 0,000 < 0,05. Artinya, adanya penyuluhan melalui display teknologi

942
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dan temu lapang meningkatkan pengetahuan petani dalam teknologi budidaya


padi dengan pendekatan PTT (Tabel 6).

Tabel 6. Pengetahuan Petani Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Tahun 2015


Sig. (2-
Paired Differences T Df tailed)
95% Confidence
Std. Interval of the
Std. Error Difference
Mean Deviation Mean Lower Upper
Pair 1 Sebelum -3.667 1.090 .223 -4.127 -3.206 -16.478 23 .000
Penyuluhan -
Sesudah
Penyuluhan
Sumber : Data primer diolah, 2015

Peningkatan pengetahuan petani mengenai suatu inovasi teknologi


pertanian merupakan bagian yang penting dalam proses adopsi inovasi dan
pemberdayaan petani. Dimana petani diberi kuasa, kekuatan, dan motivasi untuk
meningkatkan pengetahunnya. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarta (2005)
bahwa dalam akselerasi pembangunan pertanian, pengetahuan individu pertanian
mempunyai arti penting, karena pengetahuan dapat mempertinggi kemampuan
dalam mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Jika pengetahuan tinggi
dan individu bersikap positif terhadap suatu teknologi baru di bidang pertanian,
maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang pada
akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas
maupun kualitas.

Hanafi (1987) mengemukakan bahwa kerumitan suatu inovasi berhubungan


negatif dengan kecepatan adopsi yang berarti semakin rumit suatu inovasi bagi
seseorang, maka akan semakin lambat pengadopsiannya. Ditambahkan oleh
Soekartawi (2005), bahwa bila memang benar teknologi baru akan memberikan
keuntungan yang relatif besar dari teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi
inovasi akan berjalan lebih cepat. Makin mudah teknologi baru tersebut
dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi yang dilakukan petani. Oleh
karena itu, agar proses adopsi inovasi dapat berjalan cepat, maka penyajian
inovasi baru tersebut harus lebih sederhana.

Afektif Petani dalam Teknologi Budidaya Padi Sawah dengan Pendekatan


PTT

Hasil kajian memperlihatkan bahwa rata-rata afektif petani terhadap


teknologi berada pada kriteria tinggi, dengan skor rata-rata 4,17 (Tabel 7). Ini
menunjukkan bahwa penyuluhan dengan penerapan display dan temu lapang
melahirkan sikap petani yang positif sehingga petani menyenangi teknologi PTT
dan perbenihan yang disuluhkan.

943
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 7. Sikap Petani dalam Budidaya Padi Sawah dengan Pendekatan PTT di
Kabupaten Seluma Tahun 2015
No Uraian Skor Kriteria
1. Kesesuaian teknologi PTT dengan 4,25 Sangat postif
lingkungan/kondisi setempat
2. Kesesuaian teknologi PTT dengan kebutuhan 4,46 Sangat postif
petani
3. Kemudahan penerapan teknologi PTT di 4,38 Sangat postif
lapangan
4. Kesesuaian teknologi PTT dengan ketersediaan 3,92 Positif
modal petani
5. Kesesuaian teknologi PTT dengan kebiasaan 3,79 Positif
cara budidaya petani
6. Manfaat teknologi perbenihan dalam 4,25 Sangat postif
peningkatan kemampuan petani tentang
penangkaran benih
Rata-Rata 4,17 Positif
Sumber : data primer terolah, 2015
Keterangan : *1,00 ≤ x ≤ 1,80 = Sangat negatif; 1,80 < x ≤ 2,60 = Negatif; 2,60 <
x ≤ 3,40 = Netral; 3,40 ≤ x ≤ 4,20 = Positif; 4,20 ≤ x ≤ 5,00 =
Sangat positif

Terbentuknya afektif petani merupakan bagian dari tahapan proses adopsi


inovasi. Soekartawi (2005) menyatakan bahwa terdapat lima tahapan yang dilalui
oleh petani dalam mengadopsi suatu inovasi, yakni: (i) tahap kesadaran dengan
mengetahui informasi yang masih bersifat umum, (ii) tahap menaruh minat dengan
mengumpulkan dan mencari informasi dari berbagai sumber, (iii) tahap evaluasi
yaitu dengan mempertimbangkan lebih lanjut apakah minatnya diteruskan atau
tidak, (iv) tahap mencoba menerapkan dalam skala kecil, dan (v) tahap adopsi
dengan menerapkan di lahan skala yang lebih luas.

Secara keseluruhan, petani menyenangi teknologi PTT padi sawah dan


teknik perbenihan yang disuluhkan dikarenakan sesuai dengan kondisi/lingkungan
setempat, sesuai dengan kebutuhan petani, mudah diterapkan, tidak terkendala
dengan ketersediaan modal dan cara kebiasaan budidaya petani, serta
meningkatkan kapasitas petani dalam penangkaran benih. Hal ini memperlihatkan
bahwa semakin mudah suatu teknologi untuk diterapkan dan dilaksanakan serta
semakin percaya petani terhadap teknologi yang disuluhkan, semakin positif pula
afektif petani. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005) salah satu faktor yang
mempengaruhi percepatan adopsi suatu inovasi adalah sifat dari inovasi itu
sendiri. Inovasi yang ditawarkan harus merupakan teknologi yang tepat guna,
sesuai dengan kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada pada petani.

944
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

1. Penyuluhan dengan penerapan display dan temu lapang meningkatkan


pengetahuan petani dalam usahatani padi sebesar 39,30%.
2. Penyuluhan dengan penerapan display dan temu lapang menghasilkan afektif
(sikap) petani yang positif dalam usahatani padi dengan skor 4,17.

SARAN

Ada banyak cara (channel) sebagai upaya untuk meningkatkan


pengetahuan dan sikap petani terhadap suatu teknologi. Perlu dilakukan penelitian
lanjutan untuk mengukur peningkatan pengetahuan petani dengan menggunakan
channel yang berbeda sehingga akan didapatkan cara yang terbaik.

DAFTAR PUSTAKA

Apps, J.W. 1973. Toward A Working Philosophy of Adult Education. New York:
Publication In Continuing Education. Syracuse University.
Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2010.
Menerapkan Metode Penyuluhan Level Supervisor. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu. 2013. Bengkulu Dalam Angka.
Bengkulu. BPS Bengkulu.
Choirotunnisa, Sutarto, dan Supanggyo. 2008. Hubungan Karakteristik Sosial
Ekonomi Petani dengan Tingkat Penerapan Model Pengelolaan Tanaman
Terpadu Padi Sawah di Desa Joho Kecamatan Mojolaban Kabupaten
Sukoharjo. Agritexts No. 24 Desember 2008.
Cruz, F. A. 1987. Adoption and Diffusion on Agricultural Innovations. Hal 97 –
124. dalam Valera. Jaime B. et. al. 1987. An Introduction to Extension
Delivery Systems. Island Publishing House. Inc. Manila.
Hanafi, A. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha Nasional :
Surabaya.
Indraningsih, K.S. 2011. Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam
Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Jurnal Agro Ekonomi
29(1):1-24.
Makarim, A.K. & I. Las. 2005. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah
Irigasi Melalui Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan
Sumberdaya Terpadu (PTT). Dalam Suprihatno dkk. (Penyunting). Inovasi
Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Puslitbangtan,
Badan Litbang Pertanian. Hal. 115-127.
Mandias, R. 2012. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Perilaku Masyarakat
Desa dalam Memanfaatkan Fasilitas Kesehatan di Desa Pulisan
Kecamatan Likupang Timur Minahasa Utara. JKU 1(1):46-52.
Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS. Press Surakarta
Musyafak, A dan T.M. Ibrahim. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi
Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Jurnal Analisis Kebijakan
Pertanian Volume 3 (1): 20-37
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Rentha, T. 2007. Identifikasi Perilaku, Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi
Sawah Irigasi Teknis Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga Pupuk di
Desa Bedilan Kecamatan Belitang OKU Timur (Skripsi S1). Universitas
Sriwijaya. Palembang.

945
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Riduwan dan Alma, B. 2009. Pengantar Statistika Sosial. Alfabeta : Bandung.


Sirappa, M.P. 2011. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Padi Melalui
Penggunaan Varietas Unggul dan Sistem Tanam Jajar Legowo dalam
Meningkatkan Produktivitas Padi Mendukung Swasembada Pangan.
Jurnal Budidaya Pertanian 7 : 79 – 86.
Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Sudarta, W. 2005. Pengetahuan dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama
Tanaman Terpadu (Online). http: //ejournal .unud. ac.id/. [diakses 30
Desember 2009

946
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAMPAK PENERAPAN KOMPONEN PTT TERHADAP PERILAKU PETANI


DI SUMATERA UTARA
Tristiana Handayani
Balai PengkajianTeknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A.H Nasution No 1B, Medan;
email:tristianahandayani@yahoo.co.id

ABSTRAK

Penelitian Dampak Penerapan Komponen PTT Terhadap Perilaku Petani


di Sumatera Utara dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 di Desa Suka Jadi
Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagei. Metode penelitian
dengan survey dan wawancara langsung menggunakan kuisioner terhadap 30
orang petani. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS Nonparametrik
chi-square. Hasil survey menunjukkan bahwa karakteristik petani dari aspek
pendidikan terbesar pada tingkat SMP (60%), SMA (7%), SD (13%), yang tidak
sekolah (17%) danS1(3%); status kepemilikan lahan: 23% petani menyewa lahan.
Dampak penerapan komponen PTT Padi terhadap pengetahuan petani
menunjukkan masih terdapat tingkat pengetahuan yang paling rendah pada
komponen PTTterhadap penggunanaan pupuk berimbang, dimana petani yang
kurang tahu 12 orang dan yang tidak tahu 7 orang. Hasil analisis chi-square
terdapat hubungan signifikan antara penerapan komponen PTT Padi terhadap
pengetahuan petani. Pada dampak penerapan komponen PTT terhadap
ketrampilan petani masih terdapat petani yang memiliki keterampilan yang sangat
rendah terhadap penggunaan pupuk dan pengendalian OPT; terdapat 10 orang
yang kurang terampil dan 9 orang tidak terampil. Hasil analisis chi-square terdapat
hubungan yang signifikan antara penerapan komponen PTT Padi terhadap
keterampilan petani.Dampak penerapan komponen PTT Padi terhadap sikap
petani,nilai tertinggi terdapat pada sikap setuju terhadap komponen PTT. Hasil
analisis chi-square menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara
penerapan komponen PTT Padi terhadap sikap petani.

Kata Kunci: Dampak penerapan,komponen PTT, dan perilaku petani

PENDAHULUAN

Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian telah


menghasilkan berbagai inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas
padi, jagung, kedelai dan kacang tanah, di antaranya varietas unggul yang
sebagian di antaranya telah dikembangkan oleh petani. Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Badan Litbang Pertanian juga
telah menghasilkan dan mengembangkan PTT (Pengelolaan Sumber Daya dan
Tanaman Terpadu) Padi yang ternyata mampu meningkatkan produktivitas
keempat komoditas tanaman pangan tersebut, efisien input produksi serta
peningkatan pendapatan (Adnyana dan Kariyasa, 2006).

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah salah satu inovasi teknologi


dengan pendekatan dalam pengelolaan lahan,air, tanaman, organisme
pengganggu tanaman, dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dengan

947
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

mengkombinasikan berbagai teknologi sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi


setempat dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani dan
kelestarian lingkungan (Deptan, 2009). Menurut Sumarno (2008), aspek
penguasaan dan kejelasan informasi teknologi sangat menentukan persepsi dan
pemahaman petani terhadap teknologi, yang pada umumnya terkait dengan
intensitas dan mutu penyuluhan pertanian.

Kebutuhan pangan penduduk di Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun


2011 diperoleh dengan bercocok tanam padi. Luas lahan sawah di Serdang
Bedagai mencapai 68.171 ha, dengan produktivitas 5,36 ton/ha. Luas sawah
berpengairan sederhana yang dapat ditanami padi 2 kali setahun 5.345 ha,
pengairan non PU yang dapat ditanami 2 kali setahun 6.130 ha, sekali tanam 238
ha.Pengairan teknis yang dapat ditanami 2 kali setahun 33.834 ha, dan yang
ditanami sekali setahun 314 ha.Luas lahan sawah tadah hujan yang dapat
ditanami padi 2 kali setahun 1.345 ha, sedangkan yang setahun sekali seluas 576
ha (BPS Serdang Bedagei, 2012).

BAHAN DAN METODE

Survey dilaksanakan bulan Oktober 2015 di Desa Suka Jadi Kecamatan


Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian menggunakan metode survey dan wawancara langsung dalam bentuk
kuisioner yang diambil secara acak sederhana (simplepurvosive random
sampling) terhadap 30 orang petani. Data yang di peroleh dianalisis menggunakan
SPSS non parametrikchi-square test, dimana hasil yang diperoleh pada analisis
chi-square: jika nilai p value ≤α artinya ada hubungan yang signifikan antara
variabel dependen dan variabel independen. Jika nilai p value ≥α artinya tidak ada
hubungan yang signifikan antara variabel dependen dan independen
(Notoadmojo,2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Hasil wawancara dari 30 responden mengenai karakteristik petani dari


aspek pendidikan: terbesar pada tingkat SMP (60%), SMA (7%), SD (13%), yang
tidak sekolah (17%) sedangkan yang berpendidikan S1(3%). Menurut Soekartawi
dalam Sri Bananiek (2014), faktor pendidikan dapat mempengaruhi kecepatan
pengambilan keputusan dalam proses adopsi teknologi. Status kepemilikan lahan
pada responden menunjukkan 77% milik sendiri dan 23% sewa. Petani yang
memiliki lahan sendiri biasa lebih bersemangat dan berani mencoba hal-hal baru
dalam usahataninya serta memiliki keberanian terhadap resiko dibanding petani
yang kepemilikan lahannya menyewa (Tabel 1).

948
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Keragaan karakteristik respoden berdasarkan pendidikan dan tatus


kepemilikan lahan di Serdang Bedagai, 2015
Karakteristik Kategori %
Pendidikan Sarjana 3
SMA 7
SMP 60
SD 13
Tidak Sekolah 17
Status Kepemilikan Milik Sendiri 77
Lahan
Sewa 23

Dampak Penerapan Komponen PTT Terhadap Perilaku Petani

Inovasi PTT sarat akan teknologi teknis salah satu komponen dasar PTT
adalah penggunaan varietas unggul baru, penggunaan benih bermutu, sistem
tanam, penggunaan pupuk berimbang, pengendalian OPT. Hasil analisis dampak
penerapan komponen PTT terhadap pengetahuan petani menunjukkan bahwa
yang sangat mengetahui tentang varietas unggul hanya 3 orang, yang tahu 19
orang, kurang tahu 6 orang dan yang sama sekali tidak tahu 2 orang. Pada
penggunaan benih bermutu responden yang sangat mengetahui tidak ada, yang
tahu 24 orang, yang kurang tahu 5 orang dan yang sama sekali tidak tahu 1 orang.
Untuk komponen sistem tanam pada PTT yang sangat mengetahui 1 orang, yang
tahu16 orang, yang kurang tahu 9 orang dan yang sama sekali tidak tahu 4 orang.
Pada komponen PTT penggunaan pupuk berimbang yang sangat mengetahui 1
orang, yang tahu 10 orang, yang kurang tahu 12 orang dan yang sama sekali tidak
tahu 7 orang. Pada komponen pengendalian OPT yang sangat mengetahui
tentang pengendalian OPT 1 orang, yang tahu tentang pengendalian OPT 16
orang, yang kurang tahu 11 orang dan yang sama sekali tidak tahu 2 orang (Tabel
2).

Tabel 2. Dampak penerapan komponen PTT terhadap pengetahuan petani di


Serdang Bedagei, 2015
PearsonCh
i-Square
Pengetahuan Total
Asymp.Sig.
Penerapan (2-sided)
Sangat Kurang Tidak
Tahu
Tahu Tahu Tahu
(org)
( org) (org) (org)
Varietas Unggul 3 19 6 2 30
Benih Bermutu 0 24 5 1 30
Sistem Tanam 1 16 9 4 30
Pupuk Berimbang 1 10 12 7 30
Pengendalian OPT 1 16 11 2 30
.043

949
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Hasil analisis penerapan komponen PTT terhadap pengetahuan


menunjukkan bahwa pengetahuan yang paling rendah adalah pada penggunaan
pupuk berimbang, yaitu dengan jumlah responden yang kurang tahu sebanyak 12
orang dan yang sama sekali tidak tahu sebanyak 7 orang. Hal ini tidak lain karena
teknologi pemupukan belum banyak di terapkan oleh petani penyebab utamanya
adalah petani masih menggunakan anjuran pemupukan secara umum sementara
pada pendekatan PTT pemupukan berdasarkan PUTS dan BWD yang masih
belum tersedia serta hasil analisis tanah. Pada tabel pearson chi-square nilai
signifikan 0,043 <(0,050) yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara penerapan komponen PTT terhadap pengetahuan petani. Hal ini didukung
oleh Herawati (2002) pemupukan PTT padi sawah berdasarkan kebutuhan
tanaman dan status unsur hara. Pengukuran status hara tanah dan kebutuhan
hara tanaman dapat dilakukan dengan bagan warna daun (BWD) dan perangkat
uji tanah sawah (PUTS). Petani belum memanfaatkan perangkat ini karena BWD
dan PUTS tidak tersedia dan kurang praktis, meskipun demikian sebagian besar
petani tertarik untuk menerapkan bila alat pengukuran status dan unsur hara
tanaman tersedia.

Dari hasil analisis dampak penerapan komponen PTT terhadap keterampilan


petani nyata bahwa yang sangat terampil pada penggunaan varietas unggul 2
orang, yang terampil 17 orang, yang kurang terampil 8 orang dan yang tidak
terampil 3 orang (Tabel 3).

Tabel 3. Dampak penerapan komponen PTT terhadap keterampilan petani di


Serdang Bedagei, 2015
PearsonChi-
Square
Keterampilan Total
Asymp.Sig.(2-
Penerapan sided)
Sangat Kurang Tidak
Terampil
Terampil Terampil Terampil
(org)
(org) (org) (org)
Varietas Unggul 2 17 8 3 30
Benih Bermutu 5 21 3 1 30
Sistem Tanam 2 15 6 7 30
Pupuk Berimbang 4 8 8 10 30
Pengendalian OPT 2 9 10 9 30
.014

Pada penerapan komponen PTT penggunaan benih bermutu menunjukkan


yang sangat terampil 5 orang, yang terampil 21orang, yang kurang terampil 3
orang, yang tidak terampil 1 orang. Pada penerapan komponen PTT sistem tanam
yang sangat terampil 2 orang, yang terampil 15 orang, yang kurang terampil 6
orang dan yang tidak terampil 7 orang. Penerapan komponen PTT pemupukan
berimbang yang sangat terampil 4 orang, yang terampil 8 orang, yang kurang
terampil 8 orang dan yang tidak terampil 10 orang. Komponen PTT pengendalian
OPT yang sangat terampil 2 orang, yang terampil 9 orang, yang kurang terampil
10 orang dan yang tidak terampil 9 orang. Pada pearson chi-square nilai signifikan

950
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

0.014 < (0.050) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan
Komponen PTT terhadap ketrampilan petani. Dalam hal ini dapat dilihat terdapat
petani yang sudah sangat terampil dan terampil dalam penggunaan komponen
PTT.Pada tabel juga masih terdapat nilai kurang terampil dan tidak terampil yang
tinggi pada komponen penggunaan pupuk berimbang dan pengendalian OPT, hal
ini di sebabkan kurangnya ketersediaan alat PUTS dan BWD di daerah tersebut
dan kurangnya modal petani untuk membeli pupuk.

Hasil analisis dampak penerapan komponen PTT terhadap sikap petani


menunjukkan yang sangat setuju pada penggunaan varietas unggul 8 orang, yang
setuju 22 orang, tidak terdapat petani yang kurang setuju ataupun yang tidak
setuju pada penggunaan varietas unggul. Pada penerapan komponen PTT benih
bermutu yang menyatakan sangat setuju 5 orang, setuju 17 orang, kurang setuju
5 orang dan tidak setuju 3 orang. Pada penerapan komponen PTT system tanam
yang menyatakan sangat setuju sebanyak 7 orang, yang menyatakan setuju pada
penerapan system tanam sebanyak 17 orang, yang menyatakan kurang setuju
pada penerapan system tanam sebanyak 5 orang, yang menyatakan tidak setuju
pada penerapan system tanam sebanyak 1 orang (Tabel 4).

Tabel 4. Dampak penerapan komponen PTT terhadap sikap petani di Serdang


Bedagei, 2015
PearsonChi-
Square
Sikap Total
Asymp.Sig.(2-
sided)
Penerapan Setuju
Sangat Kurang Tidak
Setuju Setuju Setuju
(orang) (orang) (orang)
(orang)
Varietas Unggul 8 22 0 0 30
Benih Bermutu 5 17 5 3 30
Sistem Tanam 7 17 5 1 30
Pupuk Berimbang 0 21 3 6 30
Pengendalian OPT 5 23 1 1 30
.008

Pada penerapan komponen pupuk berimbang tidak terdapat petani yang


menyatakan sangat setuju sedangkan yang menyatakan setuju pada penerapan
pupuk berimbang sebanyak 21 orang, yang menyatakan kurang setuju pada
penerapan pupuk berimbang sebanyak 3 orang dan yang menyatakan tidak setuju
pada penerapan pupuk berimbang sebanyak 6 orang. Pada penerapan komponen
PTT pengendalian OPT yang menyatakan sangat setuju pada penerapan
pengendalian OPT sebanyak 5 orang, yang menyatakan setuju pada penerapan
pengendalian OPT sebanyak 23 orang, yang menyatakan kurang setuju pada
penerapan pengendalian OPT sebanyak 1orang dan yang menyatakan tidak
setuju pada penerapan pengendalian OPT sebanyak 1 orang. Pada pearson chi-
square nilai signifikan 0.008 <(0.050) yang berarti terdapat hubungan yang
signifikan antara penerapan komponen PTT terhadap sikap petani. Berdasarkan

951
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

hasil analisis pada Tabel 4. Dapat dilihat sikap setuju terhadap penerapan
komponen PTT sangat tinggi terutama pada komponen varietas unggul hal ini
disebab kan bahwa petani menyadari bahwa dengan menerapkan komponen PTT
dapat meningkatkan produksi. Arsyad (2011) menyatakan bahwa inovasi yang
berpeluang tinggi akan diadopsi petani adalah Varietas Unggul Baru. Hali ini
disebabkan penggunaan VUB secara teknis mudah dilakukan, daya hasil tinggi,
tahan terhadap hama penyakit tertentu.

KESIMPULAN

Dari hasil survey menunjukkan masih terdapatnya tingkat pendidikan yang


masih rendah sehingga berpengaruh pada proses adopsi, hal ini dapat diatasi
melalui pelatihan dan penyuluhan yang lebih sering dan juga masih terdapat
rendahnya tingkat adopsi pada pemupukan berimbang hal ini disebabkan karena
tidak tersedianya PUTS dan BWD. Walaupun demikian, masih banyak petani
yang berminat dan melaksanakan komponen PTT Padi sehingga hasil survey
menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan dan perilaku
petani.
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O. dan Kariyasa, K. 2006. Dampak dan persepsi petani terhadap
penerapan sistem pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 25(1): 21-29.
Arsyad, D.Mdan E. Jamal. 2011. Kajian Karakter Inovasi Teknologi padi sawah
Guna Percepatan Adopsinya. Prosiding. Seminar Nasional Pengkajian dan
diseminasi Inovasi Pertanian mendukung Program Strategis Kementerian
Pertanian: 1473-1481
BPS,2012. Serdang Bedagai Dalam Angka. 2011.
Bananiek, S, Agussalim, Qomariah, R, 2014, Peningkatan Pendapatan Usaha
Tani Padi Sawah Melalui Penerapan Komponen Teknologi PTT di Sulawesi
Tenggara. Prosiding Seminar Nasional” Inovasi Teknologi Pertanian
Spesifik Lokasi. Banjar baru.
Deptan, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Departemen Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Herawati, 2002. Untuk Menentukan Pola Diseminasi Pengelolaan Tanaman
Terpadu Padi Sawah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian Vol. 16 No. 1, Maret 2013:44-45
Notoadmojo, soehidjo. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta . rineka cipta
Sumarno. 2008. Memfasilitasi petani agar responsif terhadap inovasi
teknologi. P. 1-18. Dalam Sudarmadi Purnomo (ed.). Prosiding Seminar
Pembangunan Petani Melalui Informasi dan Teknologi Pertanian. BPTP
JawaTimur dan Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya. Malang.
Soemarno, 2008. Memfasilitasi petani agar responsive terhadap inovasi teknologi
P 1-18 Dalam Sudarmadi Purnomo (ed) Prosiding seminar Pembangunan
Petani Melalui Informasi dan Teknologi Pertanian BPTP Jawa Timur dan
Fakultas Pertanian Univ. Brawijaya Malang

952
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGEMBANGAN MODEL DESA MANDIRI BENIH PADI

Asrul Koes , Nuning Argo Subekti, I Nyoman Widiarta, dan I Made Jana Mejaya

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan


Jl. Merdeka No. 147 Bogor
Email: asroelkoes@gmail.com

ABSTRAK

Kebutuhan pangan khususnya beras terus meningkat setiap tahunnya,


untuk memenuhi salah satunya diupayakan melalui peningkatan produktivitas
padi. Upaya khusus (UPSUS) Kementerian Pertanian bertujuan untuk
mempertahankan swasembada beras melalui peningkatan produktivitas dengan
penyediaan benih yang memenuhi kriteria enam tepat meliputi varietas, jumlah,
lokasi, harga, waktu, dan mutu. Varietas unggulharus adaptif dan sesuai preferensi
konsumen sehingga bersifat spesifik lokasi. Terkait upaya penyediaan benih,
pemerintah menargetkan pembangunan 1.000 Desa Mandiri Benih, maka
diperlukan model penyediaan benih secara mandiri untuk varietas yang telah
disenangi petani. Balitbangtan mengembangkan Model Desa Mandiri Benih Padi
berdasarkan pembelajaran (lesson learned) dari pengembangan perbenihan
berbasis masyarakat dengan memanfaatkan jejaring-kerja UPBS Balai Penelitian
- BPTP - Calon Penangkardi 24 provinsi. Kegiatan ini dilaksanakan dengan target
memenuhi kebutuhan benih varietas unggul yang telah sesuai preferensi
konsumen, namun belum ada penangkar benih formal yang memperbanyak
benihnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebanyak 33,3% calon penangkar
ingin memenuhi kebutuhan kelompok/luar kelompok dan untuk diupkup oleh
produsen benih, 29,7% calon penangkar bersama petani untuk memenuhi
kebutuhan benih kelompok sehamparan, 25,90% petani/calon penangkar belum
berpengalaman untuk memenuhi lahan sendiri, dan 11,10% calon penangkar
memperbanyak benih di sawah untuk lahan kering. Langkah-langkah perbaikan
yang perlu dilakukan dalam pengembangan desa mandiri benih padi adalah: a)
pemilihan VUB yang sesuai dengan preferensi petani, b) penciptaan pasar
(demand driving) kepada petani pengguna, c) training untuk penangkar dalam
teknik pemasaran, d)pembenahan informasi perbenihan (suplai dan permintaan),
dan e) pembinaan petani penangkar yang kontinu.

Kata Kunci : desa mandiri benih, padi, varietas, penangkar

PENDAHULUAN

Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang, beras masih menjadi
pilihan pertama sumber karbohidrat bagi lebih dari 80% penduduk di Indonesia.
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49% pertahun dan tingkat
konsumsi perkapita yang masih tinggi, maka diperlukan upaya peningkatan
produksi pangan khususnya beras untuk mempertahankan swasembada beras
berkelanjutan dan pemantapan kondisi ketahanan pangan yang berdaulat.
Untuk mencapai swasembada beras nasional yang berkelanjutan
dibutuhkan peningkatan produksi dan produktifitas padi nasional. Selama ini

953
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

peningkatan produksi padi lebih banyak disumbang oleh perluasan areal panen,
sedangkan kenaikan produktivitas hanya sebesar 1,02% (Kementan, 2012). Untuk
mengungkit peningkatan produksi melalui produktivitas salah satu strategi yang
ditempuh oleh Kementerian Pertanian adalah melalui penyediaan benih bermutu
tinggi dari varietas unggul padi yang dihasilkan dari sistem perbenihan yang maju.
Dalam periode 2000-2015, Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah melepas 77 varietas unggul padi
yang 58 varietas padi sawah diantaranya untuk lahan sawah irigasi (INPARI), 10
varietas padi gogo (INPAGO), dan 9 varietas unggul padi rawa/lebak (INPARA).
Peran varietas unggul dalam peningkatan produksi dan produktivitas adalah
melalui pencapaian potensi dan kualitas hasil yang tinggi serta melalui keunggulan
adaptasi atau toleran terhadap faktor pembatas biotik dan abiotik.

Sebagai sarana produksi utama, benih bermutu berperan penting untuk


menentukan tingkat hasil dan mutunya (Kementan 2014). Oleh karena itu, program
pengembangan model desa mandiri benih padi ini lahir sebagai salah satu solusi
untuk memenuhi benih padi secara 6 tepat (varietas, jumlah, lokasi, harga, waktu,
dan mutu). Namun, dikatakan bahwa dalam upaya untuk mengganti varietas
eksisting, yang sudah disukai petani, masih terkendala pada penyediaan logistik
benihnya. Penggunaan VUB oleh petani telah mencapai 90% di berbagai sentra
produksi padi, dan 40% didominasi oleh varietas Ciherang. Berdasarkan rata-rata
produksi padi nasional sebesar 5,15 t/ha, capaian tersebut masih relatif rendah
dibanding rata-rata potensi hasilnya yang sebagian besar berkisar di atas 7,0-11,0
t/ha.Beberapa varietas unggul baru yang telah diuji adaptasi oleh Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) di provinsi masing-masing diketahui disenangi oleh
petani, namun petani belum bisa mengganti varietas eksisting disebabkan oleh
benihnya belum tersedia di kios. Guna mengatasi hal tersebut serta untuk
percepatan diseminasi, Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Balitbangtandapat
difungsikan bekerjasama dengan penangkar. Oleh karena itu penelitian ini
dilakukan dengan tujuan: 1) mengidentifikasi variasi pelaku dan target pengguna
dalam pengembangan model desa mandiri benih padi mampu memproduksi benih
padi varietas unggul yang diminati secara mandiri, dan 2) menyusun model
percepatan adopsi varietas unggul baru spesifik lokasi untuk penyediaan benih
padi varietas unggul yang diminati secara mandiri;

SISTEM PERBENIHAN BERBASIS MASYARAKAT


Produsen/penangkar benih formal belum memproduksi varietas yang baru
karena pasarnya belum pasti. Diperlukan sistem penyediaan benih yang dapat
mempercepat adopsi varietas unggul spesifik lokasi. Terkait upaya penyediaan
benih, pemerintah menargetkan pembangunan 1.000 Desa Mandiri Benih yang
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan benih di lokasi, bisa saja dimulai dari
hanya untuk lahan petani individu, calon penangkar, kelompok tani di suatu desa
secara mandiri. Untuk mengintegrasikan kegiatan pengembangan 1.000 Desa
Mandiri Benih, Balitbangtan mengembangkan Model Desa Mandiri Benih Padi
dimana kegiatan ini memanfaatkan pembelajaran yang diperoleh (lesson learned)
selama ini dari pengembangan jejaring-kerja UPBS Balai Penelitian - BPTP -

954
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Calon Penangkar. Pengembangan model dilakukan berdasarkan pada Model


Sistem Perbenihan Berbasis Masyarakat yang dikembangkan oleh Consortium for
Unfavourable Rice Environment (CURE), IRRI yang terdiri dari 3 sub-sistem (Tabel
1).
Tabel 1. Model Sistem Perbenihan Berbasis Masyarakat
Sub-sistem Teknologi Sub-Sistem Proses Sub-sistem Dukungan
 Varietas baru adaptif  Penilaian  Organisasi pelaksanaan
DPI kebutuhan
 Manajemen kesehatan  Pemilihan varietas  Hubungan pasar
benih (pengguna)
 Pengelolaan tanaman  Pelatihan  Local champion (penangkar
terpadu lokal andalan)
 Tanaman dan  Kunjungan  Jaminan mutu
manajemen lapangan
sumberdaya alam
Keterangan: DPI : dampak perubahan iklim
Sumber: CURE, IRRI (2013)
Menggunakan referensi Model Sistem Perbanihan Berbasis Masyarakat
yang dikembangkan oleh Consortium Unfavourable Rice Environment (CURE),
IRRI dikembangkan model yang melibatkan jaringan Balitkomoditas, BPTP dan
Calon Penangkar berkoordinasi dengan Dinas terkait di daerah (Gambar 1).

Gambar 1. Model Desa Mandiri Benih Berbasis Masyarakat

Sistem perbenihan berbasis masyarakat dengan target calon penangkar


digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih bermutu varietas unggul yang sesuai
preferensi konsumen namun belum ada penangkar benih formal yang
memperbanyak benihnya. Mandiri benih dalam arti untuk memenuhi kebutuhan
benih sendiri atau memenuhi kebutuhan benih kelompok, desa atau kawasan dari
varietas yang sudah sesuai dengan preferensi petani dan adaptif spesifik lokasi.

955
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Program Pengembangan Model Desa Mandiri Benih oleh BPTP, ditujukan


untuk membina penangkar di daerah yang tingkat adopsi benih bersertifikat oleh
para petani masih relatif rendah. Pembinaan secara teknis budidaya dilakukan
oleh BPTP dan pembinaan secara administrasi dan pemeriksaan di lapang
maupun di laboratorium dilakukan oleh BPSB.

PENGEMBANGAN MODEL DESA MANDIRI BENIH PADI


Sistem perbenihan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu
informal dan formal. Sistem benih informal sudah lama berkembang tanpa
melibatkan pemerintah dan produsen secara resmi. Petani menggunakan benih
tidak bersertifikat dengan kualitas yang tidak terjamin. Hal ini sudah berlangsung
lama dan bisa berkembang karena pemerintah kesulitan menjangkau para petani
kecil dalam distribusi benih yang dihasilkan industri benih.
Calon penangkar pada pengembangan model desa mandiri benih padi
dibolehkan untuk memperbanyak benih sebar dari varietas yang biasa
ditangkarkan/dihasilkan. Permentan No. 8/2015, mengatur tentang produksi,
sertifikasi dan peredaran benih bina. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan benih
bina adalah benih dari varietas unggul yang telah dilepas, yang produksi dan
peredarannya diawasi. Benih bina untuk varietas bersari bebas (komposit)
dikelompokkan menjadi: (i) Benih Penjenis (BS), (ii) Benih Dasar (BD), (iii) Benih
Pokok (BP); dan (iv) Benih Sebar (BR). Benih varietas hibrida disetarakan ke
dalam kelas BR.

Produsen benih yang akan memproduksi benih diwajibkan menguasai


lahan, sarana pengolahan benih dan sarana penunjang yang memadai sesuai
dengan jenis benihnya, serta tenaga yang mempunyai pengetahuan di bidang
perbenihan. Disamping itu kerjasama antara produsen benih bina dalam produksi
dan pemasaran benih perlu dibangun.
Benih bina untuk dapat diedarkan harus disertifikasi terlebih dahulu oleh
Balai Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB) yang merupakan SKPD tingkat
Provinsi. Pembinaan dan pengawasan mutu benih selama proses produksi
danpemasaran dilakukan oleh BPSB yang ada ditiap provinsi melalui penerapan
prinsip-prinsip sertifikasi benih berbasis OECD Schemefor the Varietal
Certification (Nugraha dkk., 2014).

Berdasarkan hasil kegiatan pengembangan model desa mandiri benih padi


diperoleh 4 (empat) kelompok pelaku dan target pengguna dalam pengembangan
model desa mandiri benih padi. Keempat kelompok tersebut meliputi 1) Petani
belum berpengalaman memproduksi benih dengan target untuk memenuhi
kebutuhan sendiri, 2) Calon penangkar bersama petani, untuk memenuhi
kebutuhan benih kelompok sehamparan, 3) Calon penangkar, untuk memenuhi
kebutuhan benih kelompok sehamparan atau luar kelompok atau diupkupoleh
produsen benih lain, 4) Calon penangkar memperbanyak benih di lahan sawah,
untuk memenuhi kebutuhan benih di lahan kering.
Hasil pengamatan terhadap calon penangkar benih di 24 (dua puluh empat)
propinsi, diperoleh hasil bahwa sebanyak 33,3% calon penangkar ingin memenuhi

956
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kebutuhan kelompok/luar kelompok dan untuk diupkup oleh produsen benih


(kelompok 3), 29,7% calon penangkar bersama petani untuk memenuhi kebutuhan
benih kelompok sehamparan (kelompok 2), 25,90% petani/calon penangkar belum
berpengalaman untuk memenuhi lahan sendiri (kelompok 1), dan 11,10% calon
penangkar dalam kelompok 4 yang memperbanyak benih di sawah untuk lahan
kering (Tabel 2).
Pada Laboratorium lapang (LL) seluas minimal 1 ha,didemontrasikan
teknik produksi dan manajemen mutu benih, kemudian secara bertahap
dikenalkan varietas yang adaftif oleh BPTP didampingi Balit Komoditas. Hasil
panen yang diperoleh merupakan benih sumber setara benih pokok (SS), terlebih
lagi dari awal penentuan lokasi telah dilakukan pemeriksaan lapang oleh pihak
BPSB. Calon penangkar berasumsi jika benih yang diperoleh dari hasil panen
dijual secara konsumsi maka petani akan mengalami kerugian. Oleh karena itu,
dengan bantuan BPTP, para petani atau calon penangkar melakukan pendekatan
kepada Dinas Pertanian agar supaya benihnya diupkup oleh produsen benih untuk
memenuhi kebutuhan di luar kawasannya (Tabel 2).

Tabel 2. Variasi Model Desa Mandiri Benih Padi di 24 Propinsi


Kelompok Calon Penangkar
No Provinsi
1 2 3 4
1 Nanggroe Aceh Darussalam √
2 Sumatera Utara √
3 Sumatera Barat √
4 Sumatera Selatan √ √
5 Jambi √
6 Bengkulu √
7 Lampung √
8 Jabar √
9 Banten √ √
10 Jateng √
11 DI. Yogyakarta √
12 Jawa Timur √
13 Bali √
14 NTB √
15 NTT √
16 Kalimantan Selatan √
17 Kalimantan Tengah √
18 Kalimantan Barat √
19 Sulawesi Selatan √
20 Sulawesi Utara √ √
21 Gorontalo √
22 Maluku Utara √
23 Papua √
24 Papua Barat √
Sumber: Data hasil FGD dan Monev, 2015

Selain itu, terkadang calon penangkar benih dalam model ini melakukan
kemitraan dengan produsen benih dalam memproduksi calon benih. Hal ini

957
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dilakukan karena untuk memproduksi calon benih menjadi benih memerlukan


peralatan yang relatif mahal dan memerlukan banyak biaya. Produsen benih
memiliki peralatan dalam prosesing benih sehingga petani/calon penangkar
mengikuti saran produsen benih dalam memproduksi calon benih. Dalam hal ini
penangkar benih padi maupun benih kedelai menerima benih sumber dari
produsen untuk diproduksi menjadi calon benih. Teknologi yang diterapkan oleh
penangkar benih mengikuti saran produsen benih agar diperoleh produktivitas
yang memadai. Pada taraf tertentu, selain benih sumber, produsen benih juga
memberi bantuan pinjaman sarana produksi seperti pupuk dan pestisida karena
penangkar umumnya membutuhkan bantuan modal (Sayaka dkk., 2006; dan
Sayaka dan Hidayat, 2013).

BPTP perlu mendorong penangkar di daerah yang penggunaan benih


bersertifikat realtif rendah untuk menghasilkan benih bermutu yaitu tanpa sertifikat,
sampai pemeriksaan lapang ketiga oleh BPSB, dan tidak harus uji laboratorium.
Hal ini untuk memenuhi kebutuhan benih petani di sekitarnya dengan cara ditukar
(barter).
KESIMPULAN

Berdasarkan keiinginan penangkar/calon penangkar teridentifikasi bahwa variasi


pelaku dalam pengembangan desa mandiri mandiri benih padi bervariasi yaitu
sebanyak 59,2% calon penangkar/penangkar yang dibina ingin memenuhi
kebutuhan benih sendiri atau kelompok sehamparan, sisanya 40,8% ingin
memenuhi kebutuhan benih diluar kelompok.

SARAN

1. Model penyediaan benih khususnya padi untuk pemenuhan kebutuhan


wilayahnya melalui peningkatan kemampuan calon penangkar benih padi perlu
dikembangkan dalam rangka membantu petani mendapat benih bermutu
dengan varietas yang sesuai preferensi petani dan model ini merupakan salah
satu alternatif untuk membangun kawasan mandiri benih.
2. Langkah-langkah perbaikan yang perlu dilakukan adalah: a) pemilihan VUB
yang sesuai dengan preferensi petani, b) penciptaan pasar (demand driving)
kepada petani pengguna, c) training untuk penangkar dalam teknik pemasaran
d) Pembenahan informasi perbenihan (suplai dan permintaan), dan e)
pembinaan petani penangkar yang kontinu.

DAFTAR PUSTAKA

CURE, 2013. Model Sistem Perbenihan Berbasis Masyarakat. Consortium for


Unfavourable Rice Environment (CURE), IRRI
Kementerian Pertanian 2012. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
50/Permentan/CT.140/8/2012. Tentang Pedoman Pengembangan
Kawasan Pertanian.

958
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Kementerian Pertanian 2014. Peraturan Menteri Pertanian Nomor


02/Permentan/SR.120/1/2014 tentang Produksi, Sertifikasi dan
Peredaran Benih Bina.
Kementerian Pertanian 2015. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 08/Permentan/
SR.120//2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 02/Permentan/SR.120/1/2014 tentang Produksi, Sertifikasi dan
Peredaran Benih Bina.
Nugraha, S.W.,M.Y. Samaullah, danA. Ruskandar. 2014. SistemPerbenihan
Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Diakses di
http://id.Ascribd.com/doc/220848316/04-Sistem-Perbenihan-Padi#scribd
Sayaka, B., K. Kariyasa, T. Nurasa, Waluyo dan Y. Marisa. 2006. Analisis Sistem
Perbenihan Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Sayaka, B. dan D. Hidayat. 2013. Kajian Karakteristik Produsen dan Penangkar
Serta Analisis Kelayakan Usahatani Benih Padi. Laporan Akhir Provinsi
Jawa Timur. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

959
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KAJIAN PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG POLA KONSUMSI


DAN HARGA PANGAN TERHADAP PENGELUARAN PANGAN
DI SUMATERA UTARA

Mhd Ilham Riyadh

Universitas Islam Sumatera Utara


Jl.Sisingamangaraja No.191 Medan Sumatera Utara
Email : Ilham_ipb@yahoo.com

ABSTRAK

Kebutuhan pangan untuk konsumsi rumah tangga merupakan hal pokok


dalam kelangsungan hidup. Pola konsumsi pangan rumah tangga dipengaruhi
oleh pola makan sebagian besar penduduk, ketersediaan bahan pangan, dan
tingkat pendapatan. Tujuan kajian ini adalah 1)untuk menganalisis perubahan pola
konsumsi beras sebagai akibat kenaikan harga beras di Sumatera Utara. 2)
menganalisis pola pengeluaran pangan rumah tangga menurut strata pendapatan
di Sumatera Utara. 3)menganalisis pengaruh harga pangan terhadap pengeluaran
pangan di Sumatera Utara. Lokasi kegiatan ini meliputi 9 Kabupaten/Kota, yaitu :
Kabupaten Asahan, Deli Serdang, Karo, Serdang Bedagai, Langkat, Simalungun,
Kota Pematang Siantar, Tebing Tinggi, dan Medan. Metode sampel yang
digunakan adalah metode stratatified random sampling dan jumlah sampel yang
mewakili sebanyak 30 responden. Adapun alat untuk menguji digunakan chi-
square dan ordinary least square (OLS). Berdasarkan hasil pengujian chi-square
dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras tidak memberikan dampak yang
signifikan terhadap frekuensi konsumsi beras. Kenaikan harga beras berdampak
signifikan terhadap frekuensi pembelian beras. Pola pengeluaran pangan
menunjukkan semakin rendah strata pendapatan suatu rumah tangga, maka
semakin besar proporsi pengeluarannya pada kebutuhan pangan dibanding
dengan kebutuhan non pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan
pangan di Sumatera Utara secara signifikan adalah harga beras, harga sayur,
harga ikan, harga minyak goreng dan harga bahan bakar gas.Beras merupakan
makanan pokok penduduk Indonesia yang belum bisa digantikan dengan bahan
pangan lainnya sehingga rumah tangga akan tetap berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya terhadap beras. Berpendapatan rendah memiliki respon yang kuat
terhadap perubahan harga, maka diperlukan kebijakan mengenai stabilitas harga
pangan khususya beras.

Kata Kunci : pola konsumsi, harga pangan, pendapatan, beras, ketahanan


pangan

PENDAHULUAN

Ketersediaan pangan yang cukup untuk seluruh penduduk di suatu


wilayah belum menjamin terhindarnya penduduk dari masalah pangan dan gizi
(Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Kebutuhan pangan untuk konsumsi rumah
tangga merupakan hal pokok dalam kelangsungan hidup. Untuk itu, selain
ketersediaannya juga perlu diperhatikan pola konsumsi rumah tangga atau
keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga dapat

960
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

memenuhi standar gizi yang dianjurkan. Pola konsumsi pangan rumah tangga
dipengaruhi oleh pola makan sebagian besar penduduk, ketersediaan bahan
pangan, dan tingkat pendapatan (Suhardjo, 1996).

Tingkat pendapatan merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat


kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pendapatan per kapita akan
mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat dengan asumsi
bahwa peningkatan pendapatan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan
dasar seperti : sandang, pangan, papan, pendidikan dan pelayanan kesehatan
(Ariani, dkk,2003).

Peningkatan pendapatan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk


meningkatkan gizinya, dimana tingkat pendapatan tersebut sangat berpengaruh
terhadap pola konsumsi pangan secara umum. Tujuan kajian ini adalah 1)untuk
menganalisis perubahan pola konsumsi beras sebagai akibat kenaikan harga
beras di Sumatera Utara. 2) menganalisis pola pengeluaran pangan rumah tangga
menurut strata pendapatan di Sumatera Utara. 3) menganalisis pengaruh harga
pangan terhadap pengeluaran pangan di Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODE

Lokasi kegiatan ini meliputi 9 (sembilan) Kabupaten/Kota, yaitu :


Kabupaten Asahan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Karo, Kabupaten
Serdang Bedagai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang
Siantar, Kota Tebing Tinggi, dan Kota Medan. Penelitian telah dilakukan tahun
2013 Metode sampel yang digunakan adalah metode stratatified random sampling
di mana terlebih dahulu dilakukan klasifikasi populasi kedalam sub populasi.
Setelah itu, digunakan purposive sampling dengan jumlah sampel yang mewakili
populasi sebanyak 270 rumah tangga (responden), dimana masing-masing
Kabupaten/Kota sebanyak 30 responden. Adapun alat untuk menguji ada tidaknya
perubahan pola konsumsi beras tersebut digunakan analisa uji statistik non
𝑓 0−𝑓 𝑛
parametrik, yaitu chi-square(X2) yaitu 𝑋2 = 𝑓𝑛
dimana X2 = Chi-squard, f o =
Frekuensi yang diobservasi (diperoleh dari hasil kuesioner), f n= Frekuensi yang
diharapkan dan ordinary least square (OLS) yaitu Y = a + biPbrs + b2Pgla +
b3Psyr + b4Pikn + b5Ptlr + b6Pco + b7Pgas + e Uji ini merupakan teknik statistik
untuk menguji hubungan dua variabel kategori.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Frekwensi Konsumsi Beras

Dari hasil uji chi-Square yang menghasilkan 0,7844> 0,05. Dapat


disimpulkan bahwa kenaikan harga beras tidak memberikan dampak yang
signifikan terhadap frekuensi konsumsi beras (Tabel 1).

961
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Perubahan Frekuensi Konsumsi


Strata PendapatanPer Responden
Frekuensi Total
Rendah Sedang Tinggi
Konsumsi
Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah
1 kali 0 2 25 22 2 2 27 26
2 kali 43 46 57 59 38 41 138 146
3 kali 65 60 26 27 14 11 105 98
Sumber : Data primer diolah

Responden strata pendapatan rendah cenderung mengkonsumsi beras


lebih sering dibandingkan dengan responden strata pendapatan sedang dan
tinggi. Hal ini disebabkan keterbatasan pendapatan yang dimiliki oleh rumah
tangga strata pendapatan rendah sehingga mereka tidak dapat menambah pilihan
konsumsi pangan selain beras dan rumah tangga strata pendapatan sedang dan
tinggi tidak memiliki keterbatasan pendapatan sehingga mereka dapat memilih
alternatif pangan selain beras yang harganya lebih mahal dibanding beras.

Perubahan Frekwensi Pembelian Beras

Berdasarkan hasil uji chi-square yaitu 0,0000 lebih kecil dari nilai a (0,05).
Dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga beras berdampak signifikan terhadap
frekuensi pembelian beras. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan rumah tangga
strata pendapatan rendah lebih sering melakukan pembelian beras dibandingkan
dengan rumah tangga strata pendapatan yang lain. Perilaku pembelian responden
yang membeli beras dalam jumlah sedikit karena rendahnya daya beli yang
mereka miliki (Tabel 2).

Tabel 2. Perubahan Frekuensi Pembelian Beras


Strata Pendapatan Per Responden Total
Frekuensi
Rendah Sedang Tinggi
Pembelian
Sebelum Setelah Sebelu Setelah Sebelu Setelah Sebelum Setelah
Beras
m m
1 kali 30 14 59 71 35 38 124 123
2 kali 19 5 30 5 19 16 68 26
3 kali 3 9 9 17 0 0 12 26
4 kali 14 18 0 5 0 0 14 23
30 kali 42 62 10 10 0 0 52 72
Sumber : Data primer diolah

Setelah harga beras mengalami kenaikan, frekuensi pembelian beras


oleh responden strata pendapatan rendah sebanyak satu kali dalam sebulan
mengalami penurunan sebesar 6 persen sedangkan responden yang membeli
beras setiap hari mengalami kenaikan sebesar 7 persen. Hal ini diduga
disebabkan harga beras yang terlalu tinggi sehingga responden strata pendapatan
rendah tidak dapat membeli beras dalam jumlah besar dan lebih memilih untuk
membeli beras secara eceran.

962
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pola Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Menurut Strata Pendapatan di


Sumatera Utara

Menurut Ariningsing (2008) semakin rendah strata pendapatan suatu


rumah tangga, maka semakin besar proporsi pengeluarannya pada kebutuhan
pangan dibanding dengan kebutuhan non pangan. Berdasarkan tabel dibawah
dapat dilihat bahwa pada strata pendapatan rendah, rata-rata proporsi
pengeluaran untuk pangan sebesar 63,19 % dari total pendapatan. Pada strata
pendapatan sedang sebesar 61,62% dan pada strata pendapatan tinggi sebesar
27,63% dari total pendapatan (Tabel 3).

Tabel 3. Persentase Rata-rata Proporsi Pengeluaran Pangan dan Non Pangan


Rumah Tangga Menurut Strata Pendapatan.
ProporsiPengeluaran (%)
No. Strata Pendapatan Jumlah
Pangan Non Pangan
1. Rendah 63,19 36,81 100
2. Sedang 61,62 38,38 100
3. Tinggi 27,63 72,37 100
Sumber : Data primer diolah

Pengaruh Harga Pangan terhadap Pengeluaran Pangan di Sumatera Utara

Pengeluaran pangan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling


berkaitan antara lain : Harga beras, harga gula, harga sayur, harga ikan, Harga
telur, harga minyak goreng dan harga bahan bakar gas dan lain-lain. Dalam
penelitian ini faktor-faktor tersebut dianalisis dengan menggunakan ordinary linear
square (OLS) seperti linear berganda dengan persamaan sebagai berikut :

Y= a + biPbrs + b2Pgla + b3Psyr + b4Pikn + b5Ptlr + b6Pco + b7Pgas + e

Maka dihasilkan :

Y = -6365207,92 + 287,7190Pbrs + 25,9479Pgla + 136,7878Psyr +


28,1400Pikn + 71,7131Ptlr + 369,2765Pco + 17,5527Pgas + e

Berdasarkan pengujian uji F dari perhitugan tabel diatas menunjukkan


bahwa P-value < 0,05 atau (0,0000 < 0,05) artinya variabel harga beras (Pbrs),
harga gula (Pgla), harga sayur (Psyr), harga ikan (Pikn), Harga telur (Ptlr), Harga
Minyak goreng (Pco), dan harga bahan bakar gas (Pgas) secara serempak
(bersama-sama) berpengaruh nyata terhadap pengeluaran pangan pada tingkat
kepercayaan 95%. Berdasarkan perhitungan koefisien determinasi (R2)
menunjukkan nilai sebesar 0,6241 artinya seluruh variabel harga beras (Pbrs),
harga gula (Pgla), harga sayur (Psyr), harga ikan (Pikn), Harga telur (Ptlr), Harga
Minyak goreng (Pco), dan harga bahan bakar gas (Pgas) mampu memberikan
penjelasan terhadap pengeluaran pangan sebesar 62,41% , sedangkan sisanya
sebesar 37,59% tidak dimasukan dalam model estimasi. Hasil pengolahan data
dengan pendekatan linear berganda diuraikan pada Tabel 4.

963
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 4. Hasil Pengolahan Data dengan Pendekatan Linear Berganda


T
No Uraian Coefisien P value Α Keterangan
hitung
1 Intercept -6365207,92
2 Pbrs (Harga Beras) 287,7190 3,9316 0,0001 0,05 Significant
3 Pgla (Harga Gula) 25,9479 1,0733 0,2841 0,05 Tidak
Significant
4 Psyr (Harga Sayur) 136,7878 3,1112 0,0021 0,05 Significant
5 Pikn (Harga Ikan) 28,1400 4,3045 0,0000 0,05 Significant
6 Ptlr (Harga Telur) 71,7131 1,0430 0,2979 0,05 Tidak
Significant
7 Pco (Harga Minyak 369,2765 12,9817 0,0000 0,05 Significant
goreng)
8 Pgas (Harga Bahan 17,5527 6,2340 0,0000 0,05 Significant
bakar gas)
F hitung 62,1467 0,05 Significant
7 Fvalue 0,0000
8 R Squared 0,6241
Sumber : Data Primer Diolah(Lampiran 14)

Berdasarkan analisis regresi berganda, faktor-faktor yang mempengaruhi


ketahanan pangan di Sumatera Utara secara signifikan adalah : harga beras
(Pbrs), harga sayur (Psyr), harga ikan (Pikn), harga minyak goreng (Pco) dan
harga bahan bakar gas (Pgas) sedangkan yang tidak berperngaruh signifikan
adalah harga gula (Pgla) dan harga telur (Ptlr) pada tingkat kepercayaan 95
persen.

KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil uji chi-square dapat disimpulkan, peningkatan harga


beras tidak memberikan perubahan terhadap frekwensi konsumsi, konsumsi
jenis pangan lain, jumlah beras yang dikonsumsi tetapi memberi perubahan
terhadap kualitas (jenis) beras yang dikonsumsi, frekwensi pembelian
beras, jumlah pembelian beras dan tempat pembelian beras.
2.. Semakin tinggi pendapatan yang diperoleh rumah tangga, maka peluang
rumah tangga untuk mengubah jenis beras yang dikonsumsi cenderung
kecil. Rumah tangga kelas rendah cenderung lebih sering melakukan
pembelian beras karena keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki.
Rumah tangga kelas sedang cenderung mengurangi frekuensi pembelian
beras, mereka akan membeli beras dalam jumlah yang lebih besar setiap
melakukan pembelian karena khawatir harga beras akan terus meningkat.

3. Berdasarkan analisis regresi berganda, faktor-faktor yang mempengaruhi


ketahanan pangan di Sumatera Utara secara signifikan adalah : harga
beras (Pbrs), harga sayur (Psyr), harga ikan (Pikn), harga minyak goreng
(Pco) dan harga bahan bakar gas (Pgas) sedangkan yang tidak
berperngaruh signifikan adalah harga gula (Pgla) dan harga telur (Ptlr) pada
tingkat kepercayaan 95 persen. Apabila kenaikan harga-harga pangan
tersebut meningkat maka akan mempengaruhi peningkatan pengeluaran
pangan..

964
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

SARAN

1. Mengingat sebagian besar penduduk indonesia berpendapatan rendah


yang memiliki respon yang kuat terhadap perubahan harga, maka
diperlukan kebijakan mengenai stabilitas harga pangan khususya beras.

2. Pengembangan makanan tradisional di Sumatera Utara sebagai salah satu


upaya diversifikasi perlu dilakukan, mengingat Sumatera Utara memiliki
keanekaragaman sumberdaya pangan yang mencakup bahan pangan
maupun makanan.

3. Pengambil kebijakan dapat mengurangi pengeluaran pangan rumah


tangga akibat kenaikan harga beras naik melalui kegiatan pelatihan
mengenai pemanfaatan taman pekarangan rumah untuk tanaman bahan
pangan dan pengolahan bahan pangan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih saya sampaikan kepada Badan Penelitiandan Pengembangan


Propinsi Sumatera Utara atas bantuan dan penelitiannya

DAFTAR PUSTAKA

Ariani,M dan Handewi, 2003. AnalisisTingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga.


Media Gizi dan Keluarga Volume 27 No. 2. Departemen Gizi Masyarakat
dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Ariningsih, E dan Rachman, P.S.H. 2008. Strategi Peningkatan Ketahanan
Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian
Volume 06 No. 03. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Dewan Ketahanan Pangan, 2009.Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015. Dewan
Ketahanan Pangan. Jakarta.
Suhardjo. 1996.Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah
Tangga. Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan
Rumah tangga, 20 – 30 Mei 1996. Yogyakarta.

965
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KAJIAN FAKTOR PENENTU DISTRIBUSI PENERAPAN PENGELOLAAN


TANAMAN TERPADU PADI SPESIFIK LOKASI DI KALIMANTAN BARAT
(Studi Kasus di Kab Mempawah, Kalimantan Barat)

Dina Omayani Dewi1) dan Khadijah El Ramija 2)

1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jl. Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu, Pontianak Utara Kalimantan Barat
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara
Jl. A.H. Nasution No. 1 B Medan 20143 Sumatera Utara
Email: malyaputri@yahoo.com

ABSTRAK

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi merupakan strategi dalam


usahatani untuk meningkatkan produksi melalui integrasi teknologi, sosial dan
ekonomi yang diharapkan mempunyai efek sinergisme. Faktor-faktor penentu
distribusi penerapan inovasi pertanian spesifik lokasi di Kalimantan Barat masih
belum didokumentasikan dengan baik. Padahal faktor-faktor penentu seperti
penyebaran varietas unggul baru, distribusi inovasi pertanian, maupun karakter
sosial, ekonomi dan budaya akan menentukan tingkat penerimaan dan adopsi
teknologi. Informasi tersebut diperlukan untuk perbaikan strategi diseminasi hasil
pengkajian BPTP Kalbar ke depan. Tujuan dari pengkajian ini untuk
memetakan pola distribusi penerapan inovasi PTT padi, mengetahui faktor
penentu keberhasilan distribusi inovasi, memetakan karakteristik sosial, ekonomi
dan budaya, serta sasaran penerima inovasi. Pengkajian dilakukan di kabupaten
Mempawah pada 2 kecamatan yaitu Toho (desa Kecurit dan Terap) dan kecamtan
Siantan (desa Sungai Nipah dan Wajok Hilir) selama 10 bulan dari bulan Maret
sampai Nopember 2014, menggunakan metode survey dengan pendekatan
PRA/RRA dan wawancara dengan petani. Data sekunder dan data primer yang
diperoleh dari hasil wawancara ditabulasi dan dianalisa secara diskriptif. Hasil
pengkajian menunjukkan bahwa di setiap Desa yang pernah melaksanakan PTT
padi maupun yang belum melaksanakan PTT padi memiliki tingkat penerapan
teknologi yang berbeda, yaitu sekitar 65-85 % petani di lokasi PTT maupun Non
PTT telah menerapkan teknologi PTT seperti penggunaan bahan organik,
perlakuan benih (seed treatment) dan pengendalian hama penyakit secara
terpadu. Kisaran 95-100% petani responden di lokasi yang merupakan desa PTT
maupun Non PTT padi telah menggunakan varietas unggul baru (VUB) dan
melakukan penanganan pasca panen sesuai anjuran. Media Informasi yang
paling mudah dipahami dan diinginkan oleh petani adalah dalam bentuk demplo
dan demplot yang dilanjutkan dengan temu lapang, kemudian dengan media VCD,
Siaran TV/Radio dan hasil-hasil penelitian yang tercetak.

Kata Kunci: PTT, distribusi, padi

PENDAHULUAN
Kalimantan Barat dengan luas areal seluas Pulau Jawa dan Bali dan
dengan penduduk kurang dari 5 juta jiwa, terdiri dari 14 kabupaten/kota. Luas

966
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

panen tanaman padi sawah di Kabupaten Mempawah sekitar 45.799 ha, dengan
rata-rata produksi 33,14 kuintal/ha dan total produksi 151.796 ton (BPS 2014).
Badan Litbang Pertanian sebagai sumber inovasi pertanian dan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi sebagai penyedia teknologi
spesifik lokasi pada lima tahun terakhir ini, terus melaksanakan program akselerasi
diseminasi dan proses alih teknologi hasil penelitian guna mendukung
keberhasilan pelaksanaan program strategis Kementerian Pertanian. Program
tersebut meliputi Prima Tani, pendampingan teknologi SL-PTT, penyebaran materi
diseminasi dalam bentuk cetak dan elektronik, display varietas unggul baru di
beberapa lokasi, dan demplot penerapan teknologi anjuran.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi merupakan suatu pendekatan
yang akan mengembalikan tingkat hasil panen padi seperti semula, karena dengan
PTT hasil gabah dan kualitas beras meningkat melalui penggunaan teknologi
yang tepat selain itu biaya usahatani padi juga berkurang (Babihoe, 2007). Faktor-
faktor penentu distribusi penerapan inovasi pertanian spesifik lokasi di Kalimantan
Barat masih belum didokumentasikan dengan baik, seperti penyebaran varietas
unggul baru, faktor penentu keberhasilan distribusi inovasi pertanian, maupun
karakter sosial, ekonomi dan budaya yang dipahami sangat menentukan
penerimaan dan adopsi teknologi anjuran baru. Informasi tersebut diperlukan
untuk perbaikan strategi diseminasi hasil pengkajian BPTP Kalbar ke depan.
Pengkajian bertujuan untuk memetakan pola distribusi penerapan inovasi
PTT padi, mengetahui faktor penentu keberhasilan distribusi inovasi, memetakan
karakteristik sosial, ekonomi dan budaya, serta sasaran penerima inovasi.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Mempawah pada 2 kecamatan
yaitu Kecamatan Toho dan Siantan dan dari masing-masing kecamatan dipilih 2
desa dengan kriteria yang sudah baik dan kurang baik adopsi PTT nya yaitu Desa
Kecurit dan Desa Terap di Kecamatan Toho serta Desa Sungai Nipah dan Wajok
Hilir di Kecamatan Siantan Untuk setiap desa kemudian dipilih 20 responden yang
dianggap mewakili dan pemilihannya dilakukan secara purposive (sengaja).
Kegiatan kajian dilakukan beberapa tahapan yaitu koordinasi dengan
instansi terkait dan pertemuan dengan kelompok tani serta wawancara dengan
menggunakan kuesioner, dilakukan selama 10 (sepuluh) bulan dari bulan Maret
sampai dengan Nopember 2014
Metode yang digunakan dalam kegiatan yaitu metode survey dengan
pendekatan PRA/RRA dan wawancara dengan petani atau penerima inovasi
pertanian dengan membuat daftar pertanyaan dan pengambilan data primer dan
sekunder. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi serta dianalisis secara
diskriptif (persentase dan distribusi frekuensi, kisaran dan rata-rata). Adapun
parameter yang diamati dalam kajian ini adalah: karakteristik dari petani
responden di lokasi kajian (umur, pendidikan, pengalaman berusaha tani), luas
penguasaan lahan, penerapan PTT, tingkat pendapatan petani dan pola
penyampaian informasi yang sesuai.

967
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum Kabupaten Mempawah
Kabupaten Mempawah mempunyai letak geografis di 00 44' LU - 10 00'
LS dan 1080 24' BT - 1090 00' BT dengan luas wilayah 8.262,10 km2 (5.63 % dari
luas Kalimantan Barat). Luas panen tanaman padi sawah di Kabupaten
Mempawah sekitar 45.799 ha, dengan rata-rata produksi 33,14 kuintal/ha dan total
produksi 151.796 ton. Lahan yang diusahakan sebagai sawah pada umumnya
merupakan lahan rawa pasang surut dan sekitar 80% merupakan dataran rendah
dengan kemiringan antara 0–8% yang terletak di pantai Barat dan Selatan.
Kecamatan Toho terdiri dari 8 desa yaitu antara lain Benuang, Kecurit, Pak
Laheng, Pak Utan, Sambora, Sepang, Terap dan Toho Hilir, dengan luas lahan
sawah sekitar 2.498 ha dan luas panen 3.634 ha. Sedangkan Kecamatan Siantan
terdiri dari 5 desa yaitu: Jungkat, Peniti Luar, Sungai Nipah, Wajok Hilir dan Wajok
Hulu, dengan luas sawah sekitar 3.762 ha dan luas panen 4.403 ha. (BPS, 2015)
Karakteristik responden
Umur
Berdasarkan hasil survey dan wawancara terhadap petani pada dua desa
PTT yaitu Desa Kecurit dan Desa Sungai Nipah, menunjukkan bahwa sekitar 35-
60% berusia antara 35-44 tahun. Sedangkan pada desa Non PTT yaitu Desa.
Terap dan Wajok Hilir sekitar 30 % berumur berkisar antara 25-34 tahun dan
sekitar 30-40% berumur antara 35-44 tahun. Tingkat usia dapat mempengaruhi
tingkat adopsi petani dalam menerapkan teknologi, umur yang relatif produktif (35-
44 tahun) cenderung lebih mudah menerima adopsi teknologi yang ditawarkan.
Pendidikan
Pendidikan formal yang dimiliki petani responden di desa PTT maupun Non
PTT berkisar pada tingkat SD sampai SMA. Pendidikan sampai tingkat SD (35-
40%) di desa PTT dan 40-55% di desa Non PTT. Untuk tingkat SMP dimiliki oleh
30-50% petani pada desa PTT dan 20-25% pada desa Non PTT. Sekitar 15-25%
pada desa PTT dan 10-35% di desa Non PTT memiliki pendidikan setingkat SMA.
Hal ini memudahkan petani untuk mengadopsi inovasi teknologi yang ditawarkan
kepada mereka. Menurut Soekartawi (1988) bahwa mereka yang berpendidikan
tinggi, relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi teknologi. Begitu pula
sebaliknya yang berpendidikan rendah agak sulit untuk melaksanakan adopsi
inovasi dengan cepat.
Pengalaman berusahatani
Pengalaman dalam berusaha tani untuk Kecamatan Toho, sebagian besar
petani reponden baik pada desa PTT maupun Non PTT sudah berusaha tani
selama 6-10 tahun (30-40%). Sedangkan untuk Kecamatan Siantan, sebanyak
30% petaninya sudah berpengalaman berusahatani selama 16-20 tahun pada
desa PTT pada desa Non PTT selama 6-10 tahun.

968
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Penguasaan lahan
Tingkat kepemelikan dan status lahan dari petani responden pada desa
PTT maupun desa Non PTT dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Penguasaan Lahan (ha)
Ds. Kecurit Ds. Terap Ds. Sui Nipah Ds. Wajok Hilir
Luas Penguasaan (PTT) (Non PTT) (PTT) (Non PTT)
Lahan (ha) Jmlh Jmlh Jmlh Jmlh
% % % %
(org) (org) (org) (org)
Milik Sendiri
< 0,25 0 0 0 0 5 25 1 5
0,26-0,50 3 15 6 30 1 5 2 10
0,51-1,0 6 30 6 30 0 0 3 15
>1,0 2 10 2 10 0 0 0 0

Sewa
< 0,25 1 5 2 10 2 10 0 0
0,26-0,50 5 25 4 20 6 30 4 20
0,51-1,0 2 10 0 0 6 30 6 30
>1,0 1 5 0 0 0 0 4 20
Jumlah Total 20 100 20 100 20 100 20 100

Pada Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa di kecamatan Toho, 11 orang


petani (55%) sebagai pemilik lahan dan 9 orang petani (45%) sebagai penyewa
lahan di desa PTT sedangkan di desa Non PTT petani sebagai pemilik lahan lebih
tinggi sedikit yaitu 14 orang (70%) dan sisanya 6 orang (30%) sebagai penyewa
lahan. Dari aspek luasan lahan yang diusahakan berkisar antara 0,25 ha sampai
> 1 ha di desa PTT maupun desa Non PTT pada lahan sebagai milik sendiri dan
kisaran kurang dari 0,25 ha sampai > 1 ha pada petani sebagai penyewa lahan.
Melihat data-data pada Tabel 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa di kecamatan
Toho petani sebagai pemilik lahan, mengusahakan lahanya cukup tinggi yaitu
kisaran 0,51 sampai 1 ha sebanyak 12 orang (30%) dan sebagai penyewa hanya
2 orang (5%) yang mengusahakan lahan kisaran 0,51 sampai 1ha.
Sebanyak 15-30% petani di Kecamatan Toho memiliki lahan seluas 0,26-
0,50 ha dan sebagian 20-25% menyewa lahan untuk usahataninya. Sementara itu
sebanyak 5-25% petani di Kecamatan Siantan memiliki lahan di bawah 0,25 ha.
Kebanyakan petani di Kecamatan Siantan (PTT maupun Non PTT) lebih banyak
menyewa lahan petani lain. Kepemilikan lahan dapat mempengaruhi dalam adopsi
teknologi, karena petani yang memiliki lahan sendiri cenderung lebih berani untuk
menerapkan teknologi baru di lahannya sendiri dibandingkan dengan petani yang
menyewa lahan orang lain. Menurut Kartasapoetra (1991) petani yang memiliki
lahan pertanian sempit, rata-rata dibawah 0,5 hektar mereka selalu berbuat
dengan waspada lebih hati-hati karena takut mengalami kegagalan. Jadi
penerapan inovasi teknologi pada golongan ini sangat rendah karena mereka
cenderung menutup diri terhadap inovasi.

969
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sekitar 5-25% petani di Kec Siantan memiliki luas lahan < 0,25 ha, 5-10%
memiliki lahan seluas 0,26-0,50 ha dan sekitar 15 % memiliki lahan seluas 0,51-
1 ha. Selanjutnya sekitar 10 % petani di Kec. Siantan menyewa lahan orang lain
dengan rata luas lahan < 0,25 ha, 20-30 % menyewa lahan seluas 0,26-0,50 ha
dan sekitar 30 % petani menyewa laha seluas 0,51-1 ha

Penerapan PTT

Di desa PTT yaitu Desa Kecurit sekitar 95% (19 orang) petani pernah
mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)
padi sehingga umumnya memiliki pengetahuan tentang PTT. Sementara itu di
desa Non PTT yaitu desa Terap sekitar 60% petani menyatakan belum pernah
mengikuti kegiatan SL-PTT, namun sekitar 40% nya sudah pernah mendengar dan
menerapkan komponen PTT tersebut.
Terhadap penggunaan bahan oganik di daerah PTT yaitu desa Kecurit,
kecamatan Toho dan desa Sungai Nipah, kecamatan Siantan, sebagian besar
petani yaiu kiaran 65-85% sudah menggunakan bahan organik pada lahan usaha
taninya. Petani sudah mengerti bahwa dengan penambahan bahan organik dapat
meningkatkan unsur hara dan dapat menghemat penggunaan pupuk an-organik.
Adapun bahan organik yang digunakan berupa pupuk kandang, sisa tanaman,
pupuk hijau dan kompos sebanyak 5 ton/ha. Selain itu jerami padi sisa panen
dikembalikan lagi ke lahan dengan cara dibenamkan atai dalam bentuk kompos
atau dijadikan pakan ternak yang kotorannya diolah menjadi pupuk kandang,
sehingga tidak perlu lagi membeli pupuk organik.
Menurut Miftahul (2005), penggunaan lahan sawah secara intensif dan
terus menerus menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan sifat fisika-kimia
tanah. Sehingga untuk memperoleh hasil produksi yang tinggi pada pengelolaan
lahan sawah irigasi selalu digunakan pupuk an-organik tanpa disertai penambahan
bahan organik. Akibatnya, jumlah dan kualitas bahan organik tanah kian menurun.
Penanaman bibit umur muda (<21 hari setelah semai=HSS) sudah
diterapkan di seluruh desa, salah satu komponen teknologi PTT adalah
pemakaian bibit muda <21 HSS, kecuali pada daerah-daerah yang endemis keong
emas. Teknologi penanaman padi sawah dengan umur bibit yang relatif muda
memiliki keunggulan antara lain dapat mengurangi kerusakan bibit, tanaman tidak
mengalami stagnasi, dan pertumbuhan tanaman lebih cepat.

Sekitar 50% dari petani di daerah yang sudah menerapkan PTT sudah
mulai menggunakan Bagan Warna Daun (BWD) untuk mengetahui dosis
pemupukan Nitrogen (Urea). Dengan penggunaan BWD dapat meningkatkan
efisiensi pemupukan Nitrogen pada tanaman padi. Pemupukan susulan Urea
berdasarkan bagan warna daun dapat meningkatkan efisiensi pemupukan Urea
sehingga mampu menghemat penggunaan pupuk Urea hingga 40%.
Kartaatmadja dkk. (2001) menyataan bahwa penerapan BWD dapat menghemat
penggunaan pupuk N dalam usaha tani padi. Abdulrachman dkk. (2001) juga

970
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

melaporkan bahwa pemberian pupuk N berdasarkan status khlorofil daun dengan


menggunakan SPAD meter atau BWD dapat menghemat pupuk urea 30– 40%.

Pengolahan tanah untuk daerah PTT maupun non PTT bervariasi di Desa.
Sungai Nipah dan Wajok Hilir (Kecamatan Siantan), petani di daerah tersebut
melakukan pengolahan tanah secara tradisional, dimana tanah dibersihkan dari
gulma dengan menggunakan herbisida dan sisa tanaman dengan menggunakan
tajak, setelah itu tanah dicangkul secara manual. Pengolahan tanah yang
dilakukan tidak terlalu dalam untuk menghindari terakumulasinya lapisan pirit ke
atas permukaan tanah. Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah
pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang
masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit
tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit
berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni
tanaman. Pirit dapat terkena udara apabila diangkat ke permukaan tanah
(misalnya pada waktu mengolah tanah, membuat saluran, atau membuat surjan).
(Gambar 1).

Gambar 1. Penerapan Komponen PTT di Daerah PTT dan Non PTT

Sebanyak kurang lebih 95-100 % petani responden di Desa PTT maupun


Non PTT sudah menggunakan varietas unggul. Mereka meyakini bahwa dengan
menggunakan varietas unggul produksi padinya lebih tinggi dibandingkan dengan
varietas Lokal (Var. Sirendah) yang biasa mereka gunakan. Varietas unggul yang
sudah banyak digunakan oleh petani adalah Ciherang dan Inpara 3. Kedua
varietas unggul tersebut dianggap lebih adaptif di daerah tersebut dibandingkan
varietas lainnya.
Di Desa Kecurit, Kecamatan Toho semua kelompok tani telah
menggunakan varietas unggul baru seperti Ciherang, Inpara 2 dan Inpara 3 namun
belum seluruhnya menggunakan benih bermutu (berlabel) artinya masih ada

971
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

petani yang menggunakan benih hasil panenan sendiri. Di antara kelompok tani
yang ada di daerah tersebut juga sudah ada yang menjadi penangkar benih yaitu
kelompok tani Tapioka dan Usaha Bersama. Sedangkan di Desa Terap yang
merupakan desa Non PTT, 11 kelompok tani masih ada yang menggunakan
varietas lokal, sedangkan varietas unggul yang digunakan adalah Ciherang, Inpara
2 dan Inpara 3. Selain itu, di Desa ini petaninya sangat sulit untuk menggunakan
benih bermutu jika harus membeli karena selama ini mereka menggunakan benih
bermutu jika ada bantuan dari Pemerintah.
Sebanyak 65-85% petani di Desa PTT maupun Non PTT sudah mengerti
dalam hal perlakuan benih sebelum disemai. Sebagian dari petani tersebut sudah
memberi perlakuan pada benihnya dengan direndam air garam atau dengan
pestisida, sebagian lainnya hanya merendam dengan air biasa.
Pemupukan P dan K juga sudah dilakukan di masing-masing daerah PTT
maupun Non PTT. Adapun pemupukan P dan K biasanya diberikan dalam bentuk
pupuk majemuk NPK, dan apabila mereka memiliki modal lebih dilakukan juga
pemupukan dengan SP36 dan KCl. Namun dosis yang digunakan belum sesuai
dengan dosis anjuran, untuk itu perlu adanya analisa tanah untuk masing-masing
daerah sebagai dasar dalam penentuan rekomendasi pemupukan yang tepat
untuk daerah tersebut.
Pengendalian gulma dilakukan dengan melakukan penyiangan teratur
pada lahan sawah. Pada seluruh desa yang diambil sampelnya, seluruh petaninya
sudah melakukan sanitasi terhadap lahannya secara teratur. Pembersihan lahan
dan saluran air/irigasi dilakukan secara periodik secara manual.
Sebanyak 65–80% petani di daerah PTT maupun Non PTT sudah mengerti
dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan dengan sebelumnya melakukan pengamatan secara periodik
oleh kelompok tani dibantu dengan Petugas Pengamat Organisme Pengganggu
Tanaman (POPT) di lapangan. Pengendalian dengan penggunaan pestisida
dilakukan sesuai ambang batas ekonomi.
Di Kecamatan Toho baik pada desa PTT maupun Non PTT hampir seluruh
petani (90-95%) sudah melakukan panen sesuai dengan saat yang dianjurkan
yaitu setelah 90–95% gabah berisi dan berwarna kuning. Perontokan gabah
dilakukan dengan menggunakan mesin perontok (Power Thresher), sehingga
kehilangan hasilnya dapat ditekan.
Baik petani di Desa PTT maupun Non PTT di Kecamatan Toho rata –rata
memiliki pendapatan dari usahatani diatas 2 juta/musim. Sementara Kec Siantan
di Desa Wajok Hilir (Non PTT) pendapatan petaninya berkisar antara Rp. 1- 1,4
juta. Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi padi didaerah
tersebut adalah belum adanya saluran air, sehingga lahan mengalami kebanjiran
pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau menyebabkan hasil yang
diperoleh tidak terlalu tinggi.
Di Kecamatan Siantan, baik di Desa PTT maupun non PTT sekitar 58,95% petani
telah memahami cara panendan pasca panen secara benar. Dimana panen

972
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dilakukan dengan menggunakan sabit dan perontokan dilakukan dengan mesin


perontok sederhana.
Analisa usahatani pada daerah yang menerpakan PTT dan non PTT
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisa Usaha Tani Padi di Kec. Toho dan Kec. Siantan

Pola Informasi

Bentuk dan cara penyampaian informasi dari petani responden yang


berhasil diwawancarai menganggap bahwa temu lapang merupakan media
informasi yang lebih mudah dipahami oleh petani dibandingkan dengan media
informasi lainnya. Dengan diadakannya temu lapang maka petani dan
penelit/penyuluh dapat bertukar informasi mengenai teknologi pertanian yang
dihasilkan oleh peneliti yang kemudian akan diperoleh umpan balik dari petani.
Setelah temu lapang biasanya diikuti dengan demonstrasi plot dan demfarm, yang
berfungsi untuk memberikan contoh bagi petani disekitarnya untuk menerapkan
teknologi inovatif dan juga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
anggota kelompok tani melalui kerjasama kelompok.
Dari hasil wawancara sebagian besar petani cenderung untuk melihat dan
kemudian meniru teknologi baru yang ditawarkan, dan apabila teknologi tersebut
terbukti dapat meningkatkan produksi maka petani tersebut akan menerapkan
teknologi di lahannya.
Selain itu pemberian latihan atau kursus dan penyampaian informasi
melalui media VCD, Siaran TV/Radio serta hasil penelitian (prosiding) juga lebih
mudah dipahami dan diterima oleh petani responden. Tingkat adopsi dipengaruhi
oleh persepsi petani tentang ciri-ciri inovasi dan perubahan yang dikehendaki oleh
inovasi didalam pengelolaan pertanian dari keluarga petani. Inovasi biasanya
diadopsi dengan cepat karena memiliki keuntungan relatif tinggi bagi petani,
kompatibilitas/keselarasan dengan nilai-nilai pengalaman dan kebutuhan,

973
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

kompleksitas/tidak rumit, dapat dicoba serta dapat diamati (Van den Ban dan
Hawkins, 1999)
KESIMPULAN
1. Karakteristik petani seperti umur, pendidikan dan luas peguasaan lahan untuk
daerah PTT dan Non PTT bervariasi dan berpengaruh terhadap tingkat adopsi
penerapan PTT.
2. Di setiap Desa PTT maupun Non PTT memiliki tingkat penerapan teknologi
dengan pendekatan PTT yang berbeda.
3. Sekitar 95-100% petani telah menggunakan varietas unggul baru di desa PTT
maupun desa Non PTT
1. Media Informasi yang paling mudah dipahami dan diinginkan oleh petani adalah
dengan temu lapang dibandingkan dengan media informasi lainnya.

SARAN
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai sejauh mana penerapan PTT dapat
meningkatkan kesejahteraan petani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, S., Suparyono, I N. Widiarta, U. S. Nugraha, dan A. Hasanuddin.
2001.Teknologi untuk peningkatan produksi padi nasional. Lokakarya Padi:
Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi
Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Sukamandi 22 Maret 2000.
hlm.49−67. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Pangan, Bogor.
BPS. 2014. Kalimantan Barat Dalam Angka .2014.
BPS. 2015. Kabupaten Dalam Angka, Prop. Kalimantan Barat.2014
Bobihoe, J. 2007. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTTt) Padi Sawah. Inovasi
Teknologi Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Padi. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jambi. Badan Litbang Pertanian Kementan. 2007.
Kartaatmadja, S., T. Alihamsyah, Suwarno, dan Sumarno. 2001. Strategi
peningkatan produksi padi untuk keamanan pangan nasional. Lokakarya
Padi. Implementasi Kebijakan Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi
Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. hlm. 12−24. Pusat Penelitian dan
PengembanganTanaman Pangan, Bogor.
Sutedjo, M. M dan A. G. Kartasapoetra., 1991. Pengantar Ilmu Tanah. Penerbit
Rineka Cipta. Jakarta.
Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah, 2005, “Metode-Penelitian Kuantitatif
: Teori dan Aplikasi” PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Mundy, P. 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. Training and
Communication Specialist. PAATP, 3 November 2000. Badan Litbang
Pertanian. 6 hal
Soekartawi . 1988. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil Pertanian Teori
dan Aplikasi. Rajawali Press. Jakarta
Van Den Ban. A.W. dan H.S Hawkins., 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius.
Yogyakarta.

974
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PEMETAAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADI


DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR
Tumpal Sipahutar dan Lermansius Haloho

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl A.H. Nasution No. 1B, Medan Sumatera Utara
Email : tumpal_sipahutar@yahoo.com

ABSTRAK

Usaha pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan tanaman


pangan terus ditingkatkan intensitasnya, salah satu dilakukan melalui pemetaan
penerapan komponen PTT Padi di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa). Adapun
tujuan penelitian adalah mengidentifikasi komponen teknologi inovasi PTT Padi
yang diadopsidan analisis usahatani PTT Padi. Metode yang digunakan adalah
survei dan dikombinasikan dengan FGD (Focus Group Discussion) yang dilakukan
pada sentra padi di Kabupaten Tobasa, waktu pelaksanaan pada bulan Januari
sampai dengan Desember 2014. Responden petani PTT Padi sebanyak 40 orang,
yaitu: petani padi, kelompok tani/ Gapoktan. Data dan informasi yang
dikumpulkan, yaitu data primer dan data sekunder dari instansi terkait. Data-
datatersebut ditabulasi, diolah menggunakan excell dan disajikan secara deskriptif
analisis. Hasil survei menunjukkan bahwa: (1) Karateristik petani PTT Padi di
Kabupaten Tobasa, rata-rata umur petani 47 tahun, pendidikan 57% setingkat
SLTA, lainnya 43% dan pengalaman bertanam padi sekitar 26 tahun; (2)
Komponen PTT Padi yang diadopsi adalah varietas unggul baru (VUB), benih
bersertifikat, pengendalian hama terpadu (PHT), penggunaan pupuk cair dan
penanganan panen/ pasca panen dan (3) Analisis usahatani PTT Padi
memberikan nilai R/C Ratio sekitar 2,5 sehingga layak diusahai karena
menguntungkan.

Kata Kunci: Adopsi padi, komponen PTT Padi dan Toba Samosir

PENDAHULUAN

Usaha pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan tanaman


pangan dan daging merupakan salah satu target utama Kementerian Pertanian
tahun 2010-2014. Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi yang
diluncurkan sejak tahun 2002, dimana sejak tahun 2008 direalisasikan melalui
kegiatan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi
(Badan Litbang, 2003; Zaini, dkk, 2003). Pengawalan PTT Padi tahun 2010
dilakukan BPTP Sumatera Utara melalui pendampingan inovasi teknologi di
kabupaten/kota (BPTP Sumut, 2010).
Propinsi Sumatera Utara memberi kontribusi yang cukup besar dalam
kecukupan pangan Indonesia secara nasional. Produksi padi Sumatera Utara
perlu terus di tingkatkan untuk mencukupi kebutuhan penduduk Sumatera Utara
dan sekaligus memberikan kontribusi untuk daerah lainnya. Luas tanam padi di
Sumatera Utara sekitar 717.318 ha dan diToba Samosir 23.380ha (3,3%) (BPS
Sumut, 2014). Kabupaten Tobasa sebagian besar penduduknya hidup dan
bekerja di usahatani padi, sehingga perlu terus di tingkatkan penerapan komponen
PTT Padi untuk meningkatkan produksi padi dan mensejahterakan petani

975
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sekaligus menjaga ketahanan pangan. Melalui survei ini akan dipetakan


penerapan komponen PTT padi dan sekaligus analisis usahatani PTT Padi di
Kabupaten Toba Samosir.
BAHAN DAN METODE
Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah metode penelitian survei yang
dikombinasikan dengan focus group discussion (FGD) dengan melibatkan petani
pelaksana PTT Padi, kelompok tani/ Gapoktan, petugas dinas pertanian dan
penyuluhan dan instansi lain yang relefan dengan tujuan penelitian.
Lokasi dan Waktu Kajian
Survei dilaksanakan di Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu
wilayah penghasil padi di Provinsi Sumatera Utara, yang dilakukan pada bulan
Januari sampai Desember 2014.
Metode Pelaksanaan Kegiatan
Adapun metode pelaksanaan mencakup :(a). Metode yang digunakan
adalah metode survei dan dikombinasikan dengan FGD (Focus Group Discussion)
yang dilakukan pada kabupaten sentra padi Tobasa, pelaksanaan sekitar Januari
sampai dengan Desember 2014.
(b). Responden yang dipilih untuk survei dan FGD, yaitu: petani, kelompok tani/
Gapoktan, petugas dinas pertanian dan penyuluhan dan dipilih secara sengaja/
purposive sampling (Singarimbun dan Sofian, 1995), pada daerah padi di
Kabupaten Tobasa dengan dua kecamatan (Kecamatan Baligedan Laguboti)
masing-masing 20 sampel sehingga semuanya berjumlah 40 responden.
(c). Data dan informasi yang dikumpulkan, yaitu data primer dan didukung data
sekunder dari instansi terkait.
Analisis Data
Analisis data yang akan digunakan dalam kajian ini adalah (1) analisis
deskriptif dan (2) analisis kuantitatif. Data yang ada diedit, dientry, divalidasi, dan
ditabulasi menggunakan program perangkat lunak komputer: Excel. Selanjutnya
dianalisis dan diinterpretasikan sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis sahatani
secara sederhana melalui perhitungan R/C Ratio, yaitu membandingkan
penerimaan dengan biaya produksi, dengan kriteria R/C Ratio, yaitu: jika > 1
berarti layak untuk diusahai (Gittinger, 1986).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani PTT Padi di Tobasa
Gambaran karateristik petani PTT Padi di Kabupaten Tobasa, rata-rata
umur petani 47 tahun, umur terendah 28 tahun dan tertinggi 71 tahun.
Berdasarkan BPS, batas kisaran umur produktif < 56 tahun, artinya petani di
Tobasa masih termasukusia produktif sehingga diharapkan dapat mengelola
usahataninya dengan baik.
Pendidikan petani di Kabupaten Tobasaberada pada kisaran SLTA 57%,
SLTP 23%, SD 10% dan tidak tamat SD 10%, berarti petani masih terbatas pada

976
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pendidikan sekolah lanjutan atas, termasuk pendidikan menengah, namun masih


ada pendidikan yang lebih rendah sekitar 43% (SD, SLTP) sehingga masih
diperlukan peningkatan SDM petani, penyuluh melalui pelatihan yang
berkesinambungan sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dalam
menerima teknologi yang diberikan dan mengaplikasikannya.
Pengalaman mengelola usahatani padidi Tobasa rata-rata 26 tahun,
minimum 5 tahun dan maximum 53 tahun; ini menunjukkan bahwa pengalaman
petani sudah baik, sehingga diharapkan dapat mengelola usahatani padi dengan
lebih baik, ditunjukkan dengan peningkatan produktivitas.
Pekerjaan utama di Tobasa adalah petani padi lahan sawah 100%, ini
sejalan dengan tradisi Batak yang mengutamakan kecukupan pangan beras,
sehingga harkat keluarga terjaga maka diutamakan menanam padi. Hal ini,sangat
relefan dengan hasil penelitian Togatorop dan Wayan (2007) bahwa produksi
tanaman pangan (beras) bagi petani masih dominan sebagai sumber kalori dan
protein.Sedangkan pekerjaan sampingan lainnya di Tobasa adalah ibu rumah
tangga 30%, pedagang 10%, dan beternak 10% dan yang lainnya (50%),antara
lain: jasa supir serta beca (Tabel 1). Karakteristik sangat perlu untuk melihat
kondisi riil petani di lapangan (Sugandini, 2012).
Tabel 1.KarateristikPetani PTT Padi di KabupatenTobasa,Tahun 2014
Kab. Tobasa
Uraian
Kecamatan Baligedan Laguboti
1. Umur (thn)
 Rata-rata 47
 Min 28
 Max 71
2. Pendidikan (%):
 S1/ D3 -
 SLTA 57
 SLTP 23
 SD 10
 Tdktamat 10
3. Pengalaman (thn)
 Rata-rata 26
 Min 5
 Max 53
4. Pekerjaan Utama (%)
 Bertani 100
5. Pekerjaan Sampingan:
 Ibu RT 30
 Pedagang 10
 Beternak 10
 Lainnya 50

Penguasaan lahan sawah irigasi di Tobasa, rata-rata 0,39 ha, minimum


0,04 ha dan maksimum 0,92 ha, ternyata penguasaan l ahan ini relative masih
cukup untuk usaha pertanian sawah. Pemilikan lahan di Tobasa adalah milik

977
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

sendiri 67%, non milik 33% dan kombinasi milik + non milik 79%. Pengusahaan
lahan masing-masing, yaitu ladang/tegalan 0,31 ha dan kebun 0,13 ha (Tabel 2).

Tabel 2. Luas penguasaan lahan petani di KabupatenTobasa, Tahun 2014


Kab. Tobasa
Uraian
Kecamatan Balige dan Laguboti
Sawah irigasi:
 Luas (ha) 0,39
 Minimum (ha) 0,04
 Maksimum (ha) 0,92
 Milik (%) 67
 Non milik (%) 33
 Milik+nonmilik(%) 79
Ladang/ tegalan:
 Luas (ha) 0,31
 Minimum (ha) 0,12
 Maksimum (ha) 0,64
Kebun:
 Luas (ha) 0,13
 Minimum (ha) 0,04
 Maksimum (ha) 0,4

Penerapan komponen PTT Padi

Penerapan komponen PTT Padi di Tobasa adalah sesuai petunjuk umum


(pedum) PTT Padi, yakni empat komponen dasar dan enam komponen pilihan
(Suryana, dkk, 2008; Kementan, 2013). Penerapan mencakup: Penggunaan VUB
(Varietas Unggul Baru) diadopsi 64%; Penggunaan Benih Bersertifikat74%,
penggunaan Bagan Warna Daun (BWD), PHT (Pengendalian Hama Terpadu)
74%, sistim tanam jajar legowo 4:1 sekitar 15%, umur tanam bibit muda 14-21 HST
21%, Penggunaan pupuk organik 23%, Penggunaan pupuk cair, ZPT21% dan
penanganan pasca panen 95% (Tabel 3).

Tabel 3. Penerapan Komponen PTT Padi di Kabupaten Tobasa, Tahun 2014


Tobasa
No. Pertanyaan
Ya (%)
1 Komponen PTT Padi yang diterapkan:
a. Penggunaan varitas unggul baru (vub) 64
b. Penggunaan benih bersertifikat 74
c. Penggunaan bagan warna daun (bwd) -
d. Pengendalian Hama Tepadu 74
e. Sistem tanam jaja rlegowo 15
f. Umur tanam bibit muda 14 - 21 HST 21
g. Penggunaan pupukorganik 23
h. Penggunaan pupuk cair dan ZPT 21
i. Penanganan panen dan pasca panen 95

978
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Penerapan komponen PTT Padi masih perlu ditingkatkan terus melalui


diseminasi teknologi, antara lain: pelatihan, demplot percontohan dan
pendampingan yang lebih intensifguna meningkatkan produksi padi. Komponen
VUB banyak digunakan petani, merupakan bantuan pemerintah sehingga tidak
ada biaya yang dikeluarkan dalam penyediaan input tersebut. Sementara
penanaman dengan jajar legowo bervariasi 4 : 1 dan masih perlu di diseminasikan
terus secara berkelanjutan. Penerapan komponen PTT Padi yang tinggi ini karena
faktor input yang cukup tersedia dan mudah didapatkan serta tingkat kesadaran
petani yang semakin tinggi untuk mengadopsi komponen PTT Padi tersebut
(Indraningsih, 2011).

Analisa Usaha tani PTT Padi

Melihat kinerja usahatani padi, perlu dianalisis secara sederhana melalui


perhitungan R/C Ratio, yaitu membandingkan penerimaan dengan biaya produksi.
Maka akan diketahui apakah pemakaian sarana produksi sudah efisien atau
sebaliknya mungkin perlu ditambah untuk meningkatkan produksi padi. R/C Ratio
yaitu membandingkan penerimaan dengan biaya produksi, dengan indikator jika >
1 berarti layak untuk diusahai (Gittinger, 1986).

Penggunaan biaya produksi untuk usahatani padi di Tobasa seluas 1


hektar yaitu Rp.5.195.000. Tingkat penerimaan yang diperoleh petani sebesar
Rp.12.860.000. Ini memberikan perhitungan kelayakan usahatani dengan tingkat
R/C Rasio sekitar2,5; berarti memberikan kelayakan usahatani PTT Padi di
Tobasa (Tabel 4).

Tabel 4. Analisis UsahataniPTT Padi Sawah untuk 1 Ha di Kabupaten Tobasa,


Tahun 2014
No Uraian Nilai
1. Benihpadi (Rp) 510.000
2. Pupuk:
 Urea (Rp)  410.000
 SP36 (Rp)  115.000
 KCl (Rp)  380.000
 ZA (Rp)  110.000
 Phonska (Rp)  340.000
3. Pestisida (Rp) 270.000
Herbisida (Rp) 80.000
4. Tenagakerja (Rp)
 Persemaian  70.000
 Bajak  720.000
 Tanam  560.000
 Menyiangi  510.000
 Memupuk/ menyemprot  350.000
 Panen  770.000
5. Total biayaProduksi 5.195.000
6. Penerimaan 12.860.000
7. R/C Rasio 2,5

979
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

KESIMPULAN

1. Karakteristik petani PTT Padi di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) adalah


rata-rata umur petani 47 tahun, pendidikan sekitar 57% SLTA, dan
pengalaman bertanam padi sekitar 26 tahun.
2. Penerapan Komponen PTT Padidi Tobasa mencakup varietas unggul baru
(VUB), benih bersertifikat, Pengendalian Hama Tepadu, dan penanganan
panen dan pasca panen.
3. Hasil analisis usahatani memberikan tingkat R/C Rasio sebesar 2,5artinya
usahatani PTT Padi layak diusahai di Kabupaten Tobasa.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Penerapan komponen utama dan pilihan PTT Padi, jika dilaksanakan


dengan baik akan meningkatkan produktivitas padi. Namun fakta di lapangan
bahwa penerapan komponen PTT Padi yang akan diintroduksikan kepada
pengguna/petan itidak mudah bagi petani untuk menerima (mengadopsi) secara
cepat karena mengubah dari kebiasaan semula perlu proses. Sebaiknya tidak
terlalu banyak inovasi komponen yang mau diterapkan atau diadopsikan, atau
dengan kata lain, ketika kita akan mengintroduksikan suatu inovasi komponen
kepada pengguna/petani, sebaiknya dilakukan secara bertahap, satu demi satu.
Maka sangat diperlukan dukungan instansi yang berkepentingan untuk
bekerjasama mendukung petani agar semakin maju dan terjadi peningkatan
pendapatan dan secara perlahan mencapai tingkat sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2003. Pedoman Umum Kegiatan Percontohan


Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu 2003. Departemen Pertanian,
2003.
BPTP Sumut. 2010. Laporan Pelaksanaan PTT Padi di Sumatera Utara Tahun
2010. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara.
BPS Sumatera Utara. 2014. Sumatera Utara Dalam Angka 2014.
BPS Provinsi Sumatera Utara. Kerjasama Pemerintah Sumatera Utara dengan
Biro Pusat Statistik Sumatera Utara.
Gittinger, J.P. 1986. Analisa ekonomi proyek-proyek pertanian. Diterjemahkan
:Slamet SutonodanKomet Mangiri. Edisikedua, Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press).
Indraningsih, K. S. 2011. Pengaruh Penyuluhan terhadap Keputusan Petani dalam
Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Jurnal Agroekonomi . 29 (1):
1-24. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Kementan.2014. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelaidan Kacang Tanah Tahun
2014. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi (Editor). 1995. Metode Penelitian Survai.
Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Cetakan Kedua.

980
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sugandini, Dyah.2012. Karakteristik Inovasi, Pengetahuan Konsumen, Kecukupan


Informasi, Persepsi Risiko dan Kelangkaan dalam Penundaan Adopsi
Inovasi pada Masyarakat Miskin. Disertasi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis.
UGM.
Suryana, A, Suyamto, Baehaki SE, S. Abdulrachman, I. N. Widiarta, H. M. Toha,
H. Sembiring, Hermanto, dan H. Kasim. 2008. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL PTT) Padi.
Departemen Pertanian, Jakarta.
Togatorop, M. H dan Wayan Sudana. 2007. Peran Serta Ternak Sebagai Salah
Satu Komponen Usahatani Ekosistem Lahan Sawah Untuk Peningkatan
Pendapatan Petani. Prosiding Seminar Nasional, Medan. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor
Zaini, Z., Irsal Las, Suwarno, Budi Haryanto, Suntoro, E., Eko Ananto. 2003.
Pedoman Umum Kegiatan Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi
Terpadu 2003. Departemen Pertanian, 2003.

981
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN PETANI DALAM PENGGUNAAN


PESTISIDA PADA PERTANAMAN PADI DI PROVINSI JAMBI

Araz Meilin, Yardha, dan Endrizal

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi,


Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi
Email :araz_meilin@yahoo.com
ABSTRAK
Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan
tindakan petani padi dalam penggunaan pestisida pada pertanaman padi di
Provinsi Jambi. Kegiatan dilakukan dengan cara survei yang dikombinasikan
dengan desk study dari beberapa literatur sekunder yang menyangkut pokok
bahasan. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan petani, sedangkan
data sekunder dari dinas lingkup pertanian provinsi dan kabupaten/kota. Data yang
terkumpul dianalisis secara statistik deskriptif. Survei pengetahuan, sikap dan
tindakan petani dalam penggunaan pestisida pada pertanaman padi baik di Kab.
Kerinci dan Tanjung Jabung Barat adalah sama. Petani masih mengandalkan
penggunaan pestisida kimia dalam pengendalian hama dan penyakit pada
pertanaman padi. Pengetahuan dan sikap tentang penggunaan pestisida sudah
baik, namun dalam tindakan penggunaan pestisida masih banyak yang tidak
mengikuti aturan yang sudah ada.Kebanyakan petani masih banyak yang tidak
menggunakan alat pelindung dalam pengendalian hama dan penyakit saat
menyemprot pestisida.
Kata Kunci :Pengetahuan, Sikap, Tindakan, Pestisida, Padi

PENDAHULUAN
Penggunaan pestisida semakin lama semakin tinggi terutama di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia. Negara-negara berkembang ini hanya
menggunakan 25% dari total penggunaan pestisida di seluruh dunia (world-wide),
tetapi dalam hal kematian akibat pestisida 99% dialami oleh negara-negara
tersebut. Menurut WHO (World Health Organization), hal ini disebabkan
rendahnya tingkat edukasi petani-petani di negara tersebut sehingga cara
penggunaannya cenderung tidak aman atau tidak sesuai dengan aturan yang
ada.Penelitian terbaru mengenai bahaya pestisida terhadap keselamatan nyawa
dan kesehatan manusia sangat mencengangkan. WHO (World Health
Organization) dan Program Lingkungan PBB memperkirakan ada 3 juta orang
yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena racun
pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya (Miller,
2004 dalam Zaenab, 2009).
Dengan semakin berkembangnya kesadaran manusia terhadap bahaya
penggunaan pestisida, terutama bagi lingkungan hidup dan kesejahteraan
manusia, maka berkembanglah konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang
merupakan wujud dari pembangunan pertanian berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan (Untung, 2006). Konsep Pengendalian Hama Terpadu merupakan
salah satu acuan yang dapat dipedomani dalam hal penggunaan pestisida pada
sistem budidaya tanaman dan dapat mendukung pertanian berkelanjutan.

982
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Pertanian berkelanjutan dapat diukur melalui 3 indikator yaitu: indikator


lingkungan, keanekaragaman hayati dan indikator tanah dan air (Laba, 2010).
Indikator lingkungan diantaranya adalah kesehatan para petani yang melakukan
pengendalian hama dan penyakit dengan penyemprotan pestisida, musnahnya
beberapa spesies mahkluk hidup, dan tingkat cemaran residu pestisida baik pada
tanaman maupun tanah dan air.
Penggunaan pestisida dalam sistem pertanian cukup berperan dalam
peningkatan produksi hasil pertanian, namun aplikasi pestisida juga menimbulkan
pengaruh negatif terhadap organisme bukan sasaran termasuk serangga,
manusia dan lingkungan hidup. Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah
yang memiliki pertanaman padi yang sebagian besar teknologi budidayanya
menggunakan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman.
Penggunaan pestisida secara berlebih, terus menerus dan tidak bijaksana dapat
menimbulkan pencemaran yang berakibat pada penurunan keanekaragaman
hayati serangga dalam agroekosistem tersebut,adanya residu pestisida dalam
darah petani maupun tanah dan air. Belum ada informasi terkini dalam hal
penggunaan pestisida pada pertanaman padi di Provinsi Jambi secara khusus.
Informasi ini perlu diketahui agar dapat menentukan langkah-langkah strategis
dalam pengelolaan agroekosistem yang ramah lingkungan atau sehat.
Sebagai provinsi yang memprioritaskan pembangunan pertanian, Jambi
mempunyai lahan pertanian, baik lahan untuk pertanian tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan. Potensi pemanfaatan lahan ini tidak terlepas dari
penggunaan pestisida oleh petani dalam mencapai tingkat produksi.Mengingat
hal-hal tersebut di atas, diperlukan upaya-upaya nyata untuk meningkatkan
produktivitas, produksi, dan pendapatan dari usahatani yang ramah lingkungan,
sehingga petani dan keluarganya dapat meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraannya. Tulisan ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui status
penggunaan pestisida oleh petani (pengetahuan, sikap dan tindakan) pada
pertanaman padi di Provinsi Jambi.
BAHAN DAN METODE
Lokasi survei dan pengambilan data (wawancara dengan menggunakan
kuesioner terstrukutur) dilaksanakan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan
Kerinci pada tahun 2014. Responden adalah kelompok tani dan anggota (petani)
yang ditentukan secara sengaja (Purposive). Total responden adalah 60.
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer
akan dikumpulkan dari petani responden. Sedangkan data sekunder akan
dikumpulkan dari dinas /instansi yang ada hubungannnya dengan penggunaan
pestisida. Data primer dan data sekunder yang terkumpul diolah secara tabulasi
berdasarkan sifat dan jenis data melalui (2) tahap yaitu secara manual dan
komputerisasi. Data dianalisis secara deskriptif.

983
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Petani dalam Penggunaan Pestisida di
Pertanaman Padi
Pengetahuan petani padi dalam penggunaan pestisida sudah baik. Semua
petani yang disurvei sudah mengetahui tentang: penyimpanan pestisida harus di
tempat khusus dengan wadah asli dan jauh dari jangkauan anak-anak, pestisida
tidak dapat diangkut bersama dengan bahan makanan atau bahan makanan,
pencampuran pestisida dilakukan dengan menggunakan alat khusus, setelah
melakukan penyemprotan maka aktivitas selanjutnya yang dilakukan adalah
mandi, pakaian kerja untuk penyemprotan tidak dapat dipakai pada pekerjaan
selanjutnya dan harus dicuci dengan sabun dan pestisida yang tertelan dapat
menyebabkan keracunan, tetapi semua petani melakukan penakaran, pengeceran
atau pencampuran pestisida di ruang terbuka dan tidak dilakukan pada ruang
tertutup (Tabel 1).
Tabel 1. Pengetahuan Petani dalam Penggunaan Pestisida di Pertanaman Padi
Frekuensi
No. Pengetahuan petani tentang penggunaan pestisida
Petani (%)
1 Sumber mendapatkan pestisida dari pestisida yang terdaftar 46,67
atau mendapat ijin dari dinas pertanian
2 Pestisida disimpan di tempat khusus dengan wadah asli dan 100,00
jauh dari jangkauan anak-anak
3 Pestisida tidak dapat diangkut bersama dengan bahan 100,00
makanan atau bahan makanan
4 Alat pelindung diri yang harus dipakai saat menyem prot 93,33
pestisida : sarung tangan, masker, pelindung mata, pelindung
kepala, sepatu boot dan pakaian kerja
5 Alat pelindung diri dipakai saat waktu mencampur, 93,33
menyemprot dan mencuci peralatan
6 Pencampuran satu jenis pestisida tanpa ada anjuran pada 93,33
bungkus pestisida tidak dapat dibenarkan
7 Melakukan penakaran, pengeceran atau 100,00
pencampuran pestisida di ruang terbuka
8 Pencampuran pestisida dilakukan dengan menggunakan alat 100,00
khusus
9 Penyemprotan pestisida sebaiknya pagi jam 08.00-11.00 WIB 50,00
atau sore jam 15.00-18.00 WIB
10 Tanaman dapat keracunan pestisida 90,00
11 Tujuan penyemprotan pestisida untuk mencegah serangan 86,67
hama
12 Tujuan penyemprotan pestisida untuk mengendalikan hama 93,33
13 Jika ada sisa pestisida setelahpenyemprotan sebaiknya 96,67
dikubur dibawah tanah sedalam 40 cm
14 Setelah melakukan penyemprotan, aktivitas selanjutnya yang 100,00
dilakukan adalah mandi
15 Kondisi cuaca apapun, penyemprotan dapat dilakukan 60,00
16 Kondisi cuaca saat hujan dan matahari terik tidak dapat 96,67
melakukan penyemprotan pestisida
17 Pakaian kerja untuk penyemprotan tidak dapat dipakai pada 100,00

984
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pekerjaan selanjutnya dan harus dicuci dengan sabun


18 Pestisida dapat mengakibatkan keracunan terhadap kesehatan 93,33
manusia
19 Pestisida yang tertelan dapat menyebabkankeracunan 100,00
20 Pestisida yang terkena pada kulit dapatmenyebabkan 96,67
keracunan
21 Pestisida terkena mata dapat menyebabkankeracunan? 96,67
22 Pestisida terhisap lewat pernafasan dapatmenyebabkan 100,00
keracunan

Sumber mendapatkan pestisida dari pestisida yang terdaftar atau


mendapat ijin dari dinas pertanian hanya diketahui oleh 46,67% petani padi.
Dalam hal pencampuran pestisida, tidak semua petani (84,61% petani padi)
mengetahui bahwa menggunakan alat pelindung diri yang harus dipakai saat
menyemprot pestisida adalah sarung tangan, masker, pelindung mata, pelindung
kepala, sepatu boot dan pakaian kerja. Penyemprotan pestisida sebaiknya pagi
jam 08.00-11.00 WIB atau sore jam 15.00-18.00 WIB juga tidak diketahui oleh
semua petani. Tujuan penyemprotan pestisida sebagai pencegahan dan
pengendalian hama dan penyakit diketahui oleh sebagian besar petani padi.
Bahaya dari pestisida sudah diketahui oleh petani.
Sikap petani padi dalam penggunaan pestisida hampir sama. Semua
petani menyetujui bahwa: pestisida yang digunakan harus pestisida yang terdaftar
atau memiliki ijin daridinas pertanian, pestisida harus ditempatkan di tempat
khusus dan tidak mudah dijangkau anak-anak serta harus disimpan di wadah
aslinya, pencampuran satu jenis pestisida tidak dibenarkan jika tidak ada anjuran
yangtertulis pada kemasan pestisida, penakaran, pengeceran atau pencampuran
pestisida harus dilakukan di tempat terbuka atau di luar ruangan, tidak mengijinkan
anak-anak berada di sekitar tempat penyemprotan pestisida, dosis pestisida yang
digunakan harus sesuai dengan petunjuk pemakaian, ketika melakukan
penyemprotan sebaiknya menggunakan alat pelindung diri, menyemprot
sebaiknya mengikuti arah angin, saat melakukan pencampuran pestisida
sebaiknya menggunakan kayu, setelah melakukan penyemprotan pencampuran
pestisida sebaiknya mencuci tangan pakai sabun. Semua petani tidak setuju
bahwa cara menyemprot pada saat angin kencang.
Pelaksanaan penyemprotan dilakukan pada saat terik matahari disetujui
oleh 53,85% petani.Seluruh petani menyetujui bahwa sebaiknya setiap petani
harus mengikuti penyuluhan penggunaan pestisida (Tabel 2).
Tabel 2. Sikap Petani Padi dalam Penggunaan Pestisida di Pertanaman Padi
Frekuensi
No. Sikap petani tentang penggunaan pestisida
Petani (%)
1 Setuju bahwa sebelum menggunakan pestisida perlu terlebih 100,00
dahulu membaca petunjukpemakaian pestisida
2 Setuju bahwa pestisida yang digunakan harus pestisida yang 100,00
terdaftar atau memiliki ijin daridinas pertanian
3 Setuju bahwa pestisida harus ditempatkan di tempat khusus dan 100,00
tidak mudah dijangkau anak-anak serta harus disimpan di wadah
aslinya

985
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

4 Setuju bahwa pestisida berbahaya jika diangkut bersama-sama 56,67


dengan makanan atau bahanmakanan
5 Setuju bahwa pencampuran satu jenis pestisida tidak dibenarkan 100,00
jika tidak ada anjuran yangtertulis pada kemasan pestisida
6 Setuju bahwapenakaran, pengeceran atau pencampuran 100,00
pestisida harus dilakukan di tempatterbuka atau di luar ruangan
7 Setuju bahwa tidak mengijinkan anak-anak berada di sekitar 100,00
tempat penyemprotan pestisida
8 Setuju bahwa dosis pestisida yang digunakan harus sesuai 100,00
dengan petunjuk pemakaian
9 Setuju bahwa ketika melakukan penyemprotan sebaiknya 100,00
menggunakan alat pelindung diri
10 Setuju bahwa jenis alat pelindung diri yang cocok digunakan 100,00
adalah masker, penutup kepala,dan penutup seluruh badan
11 Setuju bahwa pada saat penyemprotan sebaiknya tidak makan, 100,00
minum, dan merokok.
12 Setuju bahwa cara menyemprot sebaiknya mengikuti arah 100,00
angina
13 Tidak setuju bahwa cara menyemprot pada saat hujan 60,00
14 Setuju bahwa cara menyemprot sebaiknya pada saat terik 83,33
matahari
15 Tidak setuju bahwa cara menyemprot pada saat angin kencang 83,33
16 Setuju bahwa saat melakukan pencampuran pestisida sebaiknya 100,00
menggunakan kayu
17 Setuju bahwa setelah melakukan penyemprotan pencampuran 100,00
pestisida sebaiknya mencucitangan pakai sabun
18 Setuju bahwa pakaian yang dipakai sewaktu penyem-protan 100,00
tidak dapat dipakai di dalampekerjaan lain
19 Setuju bahwa pengelolaan pestisida yang tidak baik dapat 93,33
menyebabkan gangguan kesehatan
20 Setuju bahwa sebaiknya setiap petani harus mengikuti 100,00
penyuluhan penggunaan pestisida
Tindakan yang dilakukan petani padi (100%) dalam menyemprot pestisida
sudah menggunakan masker dan mencuci tangan pakai sabun setelah melakukan
pekerjaan, tetapi masih ada tidak menggunakan pakaian kerja, sarung tangan dan
kacamata pelindung waktu menyemprot (Tabel 3).
Tabel 3. Tindakan petani dalam penggunaan pestisida di pertanaman padi
Petani
No. Tindakan petani dalam penggunaan pestisida
Padi (%)
1 Memakai masker saat menyemprot 100,00
2 Memakai pakaian kerja saat menyemprot 96,67
3 Memakai sarung tangan saat menyemprot 96,67
4 Memakai kacamata pelindung saat menyemprot 93,33
5 Merokok saat menyemprot 0,00
6 Makan dan minum saat menyemprot 0,00
7 Mencuci tangan pakai sabun setelah melakukan pekerjaan 100,00
8 Berbicara dengan teman tanpa menggunakan masker pada saat 0,00
bekerja

986
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tidak semua petani sayuran menggunakan masker, memakai sarung


tangan saat, memakai kacamata pelindung saat menyemprot. Semua petani tidak
merokok saat menyemprot, tidak makan dan minum saat menyemprot dan tidak
berbicara dengan teman tanpa menggunakan masker pada saat bekerja.

Jenis pestisida yang digunakan petani, Dosis dan Frekuensi


Penyemprotan padapertanaman padi di Provinsi Jambi
Petani padi masih menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan
hama dan penyakit pada tanaman mereka. Berbagai merk pestisida digunakan
oleh petani. Insektisida dengan bahan aktif lamda sihalotrin paling banyak
digunakan oleh petani padi, selanjutnya diikuti oleh dimehipo, fipronil dan
deltametrin (Tabel 4).
Tabel 4. Jenis pestisida yang digunakan petani pada pertanaman padi
di Provinsi Jambi
Merk pestisida Bahan Aktif Pestisida yang Kelompok Frekuensi
No.
menurut petani Digunakan Pestisida petani (%)
1 Matador Lamda sihalotrin Insektisida 30,00
2 Manuver Dimehipo Insektisida 20,00
3 Balistik Fipronil Insektisida 16,67
4 Decis Deltametrin Insektisida 16,67
5 Supremix Isoprofil amina glifosat Herbisida 3,33
6 Basmilang Isoprofil amina glifosat Herbisida 3,33
7 Spontan Dimehipo Insektisida 26,67
8 Curacron Profenofos Insektisida 13,33
9 Agrept Streptomisin Bakterisida 3,33
10 Fujiwan Isoprotiolan Fungisida 3,33
11 Score Difenokonazol Fungisida 20,00
12 Dithane Mankozeb Fungisida 23,33
13 Ally Plus 2,4D Natrium, Herbisida 3,33
Metilmetsulfuron, Etil
Klorimuron
14 Explor Difenokonazol Fungisida 16,67
15 Sida Bas BPMC Insektisida 6,67
16 Polidor Lamda sihalotrin Insektisida 3,33
17 Klensect Permetrin Insektisida 3,33
18 Yasitrin Sipermetrin Insektisida 36,67
19 Procure Simoksanil Fungisida 20,00
26 Amistartop Azoxistrobin, difenokonazol Fungisida 10,00
28 Antracol Propineb Fungisida 16,67
32 Dangke Metomil Insektisida 6,67
33 Applaud Bufrofezin Insektisida 3,33
34 Pastan Klorfirifos Insektisida 33,33
35 Regent Fipronil Insektisida 23,33
36 Brantas Lamda sihalotrin Insektisida 23,33
37 Chepate Asefat Insektisida 6,67
38 Virtako Tiametoksam Insektisida 26,67
Klorantraniliprol
39 Dursban Klorpirifos Insektisida 10,00
40 Pro Imodakloprid Insektisida 16,67

987
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Insektisida dengan bahan aktif deltametrin masih digunakan petani,


padahal insektisida ini sudah dilarang penggunaannya di pertanaman padi sejak
tahun 2013 karena tidak terdaftar dalam buku Pestisida Pertanian dan Kehutanan
Tahun 2013. Petani yang melakukan penyemprotan pestisida pada pertanaman
padi yang sesuai anjuran sebanyak 83,33%. Frekuensi penyemprotan pestisida
oleh petani padi melakukannya sebanyak 2,29-4,47 kali dalam satu musim tanam.
Saat ini jumlah formulasi pestisida untuk pertanian dan kehutanan sudah
mencapai 2.810 formulasi dan untuk pestisida rumah tangga dan pengendalian
vektor penyakit manusia sebanyak 394 formulasi. Kondisi ini diharapkan dapat
memberikan kesempatan kepada petani untuk memilih jenis pestisida yang sesuai
dengan kemampuannya (Dirjen PSP, 2014).

Dari hasil secara keseluruhan diketahui bahwa penggunaan pestisida


untuk pengendalian hama dan penyakit masih tinggi pada pertanaman padi. Jenis
pestisida yang digunakan sangat beracun. Penggunaan pestisida dan jenis
pestisida yang digunakan petani dipengaruhi oleh intensitas tekanan hama dan
penyakit, pengetahuan petani dan ketersediaan teknologi alternatif. Tekanan
hama dan penyakit yang besar pada pertanaman padi, pengetahuan yang kurang
dan belum tersedianya teknologi alternatif non kimiawi untuk perlindungan
tanaman mereka menyebabkan petani menggunakan pestisida paling tinggi dan
tidak mengikuti kaidah-kaidah Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Teknologi
alternatif non kimiawi yang dikenal petani sering sangat merepotkan dan tidak
banyak tersedia di kios saprotan. Hal Ini juga merupakan faktor penyebab lain
penggunaan pestisida menjadi tinggi.

KESIMPULAN

Survei pengetahuan, sikap dan tindakan petani dalam penggunaan


pestisida pada pertanaman padi baik di Kerinci dan Kab. Tanjung Jabung Barat
adalah sama. Petani masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia dalam
pengendalian hama dan penyakit. Pengetahuan dan sikap tentang penggunaan
pestisida sudah baik, namun dalam tindakan penggunaan pestisida masih banyak
yang tidak mengikuti aturan yang sudah ada. Kebanyakan petani masih banyak
yang tidak menggunakan alat pelindung dalam pengendalian hama dan penyakit
saat menyemprot pestisida.
Dibutuhkan peran pemerintah dalam memberikan pendidikan dan
pelatihan bagaimana menggunakan pestisida secara aman dan pentingnya alat
pelindung diri untuk menurunkan tingkat keracunan pengguna pestisida. Dan
peningkatan kinerja tim teknis lapangan dalam pengawasan pestisida yang ilegal.

988
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Pestisida Pertanian dan Kehutanan Tahun 2013. Direktorat Pupuk
dan Pestisida. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Dirjen PSP. 2014. Pedoman Peningkatan Kinerja Komisi Pengawasan Pupuk dan
Pestisida (KPPP) serta Pemberdayaan PPNS Tahun 2014. Direktorat
Pupuk dan Pestisida. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian,
Kementerian Pertanian.
Laba, I.W. 2010. Analisis empiris penggunaan insektisida menuju pertanian
berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2), 2010: 120-137
Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Zaenab. 2009. Toksikologi Pestisida. https://keslingmks.wordpress.com/2009/
02/14/toksilogi-pestisida/

989
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

MODEL INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN PERDESAAN BERBASIS PADI


DI ACEH TIMUR

Basri A. Bakar, Abdul Azis, Firdaus dan Mehran

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh,


Jalan Panglima Nyak Makam No. 27 Lampineung Banda AcehTelp. 0651-
7551811
Email: baskar_olin@yahoo.com;Email: abda_muda@yahoo.co.id;

ABSTRAK

Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI)


berbasis padi di Kabupaten Aceh Timur berorientasi kepada percepatan
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dalam pengembangan
Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) padi. Tujuannya untuk menata model
kawasan dalam pengembangan inovasi pertanian serta meningkatkan
produktivitas padi dan pendapatan petani. Kegiatan dilaksanakan di Desa Pasir
Putih Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur mulai April – Desember 2013.
Paket teknologi yang diterapkan, yaitu PTT padi sawah sistem tanam legowo
melalui alat tanam legowo “caplak”, melibatkan 10 kooperator pada lahan seluas
lima hektar. Parameter yang diamati, yaitu peningkatan produktivitas, identifikasi
tanah dan iklim, identifikasi hama dan penyakit padi, analisa peluang pasar,
identifikasi masalah dan peningkatan adopsi inovasi oleh petani serta dampak
penerapan teknologi kepada petani non kooperator. Data dikumpulkan secara
priodik selama kegiatan pengkajian berlangsung, baik data teknis maupun
ekonomis pada akhir kegiatan dianalisis dengan menggunakan analisis baku
(deskriptif dan analisis finansial). Hasil kegiatan telah diadopsi petani dalam
penerapan teknologi PTT padi sawah terutama tanam legowo terjadi peningkatan
dengan diperkenalkan alat tanam legowo 'caplak” oleh BPTP Aceh. Namun dari
segi produktivitas, belum memuaskan karena adanya serangan hama tikus saat
padi berumur 30 HST dan menjelang panen.

Kata kunci : Model diseminasi, inovasi teknologi, dan padi.

PENDAHULUAN

Inovasi teknologi untuk dapat cepat digunakan oleh petani dan masyarakat,
perlu adanya pendekatan dan sinergisitas yang terpadu terhadap kegiatan
penelitian dan pengkajian dengan kepentingan pengguna stakeholder, yaitu
petani, pemerintah daerah dan instansi terkait, KUD, Perguruan Tinggi, LSM, dan
pengusaha swasta yang bergerak di sektor pertanian.
Penelitian, pengkajian dan penyuluhan pertanian dilaksanakan dalam
upaya menciptakan teknologi adaptif yang spesifik lokasi dengan pendekatan
partisipatif yang merupakan titik strategis meningkatkan akses komunikasi kepada
petani sebagai pengguna teknologi (Kasryno dan Simatupang, 1997).
Hasil yang sudah diperoleh oleh Balai Komoditas Nasional dapat
memberikan keuntungan multiguna, namun perlu ditata dan diimplementasikan

990
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pada suatu kondisi agroekosistem dan kebutuhan petani. Selanjutnya dalam


pengembangannya memerlukan masukan inovasi teknologi yang lebih baik, agar
dapat memberikan hasil serta dampak positif yang lebih besar terhadap
pembangunan pertanian, terutama pada komponen dan sistem usahatani yang
menghasilkan keuntungan komparatif untuk meningkatkan pendapatan,
kesempatan kerja serta optimasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lokal
(Marwan dan Made Oka, 1991).
Salah satu cara mendekatkan model diseminasi kepada masyarakat
tani/pengguna dapat dilakukan melalui demfarm atau pengkajian partisipatif pada
lahan-lahan petani dan pengguna lainnya. Kegiatan pengkajian dan
pengembangan memang harus berorientasi pada pengguna, sehingga teknologi
inovatif yang dihasilkan lebih terjamin dan benar-benar tepat guna spesifik lokasi.
Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI)
merupakan kegiatan pengembangan konsep diseminasi inovasi yang lebih efektif
dengan basis lesson learn dari PRIMATANI, PUAP, FEATI, dan pendampingan
program strategis Kementerian Pertanian (SL-PTT, Kawasan Hortikultura, PSDS,
dan Gernas Kakao).

Kabupaten Aceh Timur secara geografis terletak paling ujung sebelah timur
dari ibukota Provinsi Aceh. Selama ini pembinaan dan pendampingan teknologi di
bidang padi masih sangat minim dibandingkan kabupaten lain akibatnya, tingkat
adopsi teknologi masih rendah.

Permasalahan yang dihadapi dalam percepatan penggunaan varietas


unggul baru adalah sistem informasi keberadaan benih sumber masih lemah
sehingga pengetahuan petani tentang varietas unggul masih terbatas, disamping
itu ketersediaan varietas unggul di tingkat petani juga terbatas.
Kegiatan m-P3MI yang dilaksanakan di Aceh Timur secara komprehensif,
diharapkan dapat mewujudkan terciptanya Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP)
padi secara terpadu dari sektor hulu (sumberdaya lahan dan manusia, teknologi
produksi, dan permodalan) hingga sektor hilir (pasca panen dan kelembagaan),
yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan dampak terhadap peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD), menciptakan nilai tambah, penumbuhan simpul-
simpul agribisnis, pemantapan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan
petani di kawasan binaan. Dengan demikian, m-P3MI dapat menjawab apa yang
diharapkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Tujuan kegiatan untuk mendapatkan
model kawasan dalam pengembangan inovasi pertanian melalui penerapan
teknologi adaptif berbasis padi, memperluas prepalensi adopsi serta memperoleh
umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna spesifik pengguna dan
meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.

991
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

BAHAN DAN METODE

Tahapan dan Waktu Pelaksanan Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Pasir Putih
Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur mulai bulan April – Desember
2013.
Pendekatan
Pendekatan partisipatif petani melalui penerapan inovasi teknologi adaptif,
pada lahan yang sudah ditanami padi dan pisang. Khusus demfarm padi seluas 5
hektar melibatkan 10 petani kooperator diuji adaptasikan beberapa varietas unggul
untuk mengetahui varietas yang adaptif dengan hasil optimal. Peningkatan SDM
melalui pelatihan, temu lapang dan farmer to farmer visit.
Data yang dikumpulkan
Peningkatan produktivitas padi, identifikasi tanah dan iklim, identifikasi hama
dan penyakit, analisa peluang pasar, identifikasi masalah, peningkatan adopsi
inovasi oleh petani dan dampak penerapan teknologi kepada petani non
kooperator.
Analisis Data
Data dikumpulkan secara priodik selama kegiatan pengkajian berlangsung,
baik data teknis maupun ekonomis pada akhir kegiatan dianalisis dengan
menggunakan analisis baku (deskriptif dan analisis finansial).
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Kegiatan


Kabupaten Aceh Timur terletak pada koordinat 4°09 5°16 Lintang Utara
dan 97°13 98°02 Bujur Timur. Batas batas wilayah Aceh Timur adalah sebagai
berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara dan Selat
Malaka Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues. Sebelah
Timur berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Langsa, dan Aceh Tamiang dan
sebelah Barat berbatasan Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah.
Daerah ini memiliki luas wilayah 6.040,60 km². Secara administratif
Kabupaten Aceh Timur terdiri dari 24 Kecamatan, 512 Desa/ Gampong, 1
Kelurahan dan 1596 Dusun.
Secara umum Kabupaten Aceh Timur merupakan dataran rendah,
perbukitan, sebagian berawa-rawa dan hutan mangrove, dengan ketinggian
berada 0-308 m diatas permukaan laut. Keadaan tofografi daerah Kabupaten Aceh
Timur dikelompokkan atas 4 kelas lereng yaitu: 0-2%, 2-15%, 5-40% dan > 40%.
Dilihat dari penyebaran lereng, yaitu memiliki kemiringan lereng >40% hanya
sebesar 6,7% meliputi Kecamatan Birem Bayeun dan Serbajadi. Sedangkan
wilayah yang memiliki kemiringan lereng 0-2%,2-15% dan 5-40% meliputi seluruh
Kecamatan.
Komoditi unggulan Kabupaten Aceh Timur, yaitu sektor pertanian dan jasa.
Sektor pertanian komoditi unggulannya adalah sub sektor tanaman perkebunan

992
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan komoditi Kelapa Sawit, Kakao, Karet, Kopi dan Kelapa; Sub sektor
pertanian pangan komoditi yang diunggulkan berupa Padi, Jagung dan Ubi kayu,
Pariwisatanya, yaitu wisata alam, wisata adat dan budaya.
Sebagai penunjang kegiatan perekonomian, di Kabupaten ini tersedia satu
Pelabuhan Industri, yaitu Pelabuhan Idi. Di kabupaten ini juga terdapat tiga jalan,
yaitu jalan negara, jalan kabupaten dan jalan provinsi. Panjang jalan Provinsi
adalah 89 km, jalan kebupaten 1.100 km dan jalan negara 102 km. Untuk industri
tersedia 6 kawasan industri, yaitu Kawasan Industri UMKM Pisang Sale, Kawasan
Industri Kelapa Terpadu, Kawasan Industri Pengolahan Rotan, Kawasan Industri
Agro dan Perikanan, Kawasan Industri Kelapa Terpadu Timur (KITAT) dan
Kawasan Industri Migas Pertambangan dan Energi yang didukung juga oleh
fasilitas listrik dan telekomunikasi.
Wilayah kerja BPP Peureulak

Luas wilayah Kecamatan Peureulak adalah 20.039 km 2 tinggi dari


permukaan laut 0-60 m dpl. Jumlah pemukiman 3, dengan jumlah 38 desa. Suhu
rata-rata 26oC-33oC. Kelembaban 23-25%. Secara geografis bentuk wilayah kerja
Balai Penyuluhan Kecamatan Peureulak bervariasi, mulai dari lahan yang datar,
bergelombang dan berbukit.

Wilayah yang datar sampai gelombang dengan ketinggian 0-10 dpl.


Sedangkan daerah berbukit dengan ketinggian 11-60 dpl berbatasan dengan:
Sebelah Utara berbatasan dengan Peureulak Barat, Sebelah Timur berbatasan
dengan Selat Malaka, Sebelah Selatan berbatasan dengan Peureulak Timur dan
Sebelah Barat yang berbatas dengan Rantau Peureulak. Jenis tanah yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai komoditi pertanian adalah liat bercampur
pasir, Aluvial, Hidromof Kelabu dan Agrosol Merah Kuning. Wilayah kerja
Balai Penyuluhan Kecamatan Peureulak mempunyai tipe iklim yang berbeda yaitu
musim penghujan bulan Oktober dan musim kemarau bulan Januari. Luas lahan
BPP Kecamatan Peureulak adalah 4259 Ha. Dengan perincian seperti
Tabel 1.
Tabel 1. Luas lahan dan peruntukannya di Kecamatan Peureulak
No. Jenis Lahan Luas (ha)
1. Sawah Tadah hujan 3.065
2. Sawah Pompanisasi 1.074
3. Irigasi 120
4. Pekarangan 1.775
5. Tegalan 1.900
6. Ladang 471
7. Tambak 1.971
8. Kolam 1,50
9. Perairan 65
10. Perkebunan 480
Sumber : BPP Peureulak (2012)

993
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Sub Sektor Tanaman Pangan


Komoditi utama sub sektor tanaman pangan dan hortikurtura melalui
program intensifikasi adalah padi, kedelai dan Jagung. Sasaran luas tanam pada
anggaran tahun 2013 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas dan produktivitas tanaman pangan


No Komoditi Luas areal (ha) Produksi (ton/ha)
1. Padi 4259 6,8
2. Kedelai 70 1,5
3. Jagung 15 5,0

Sedangkan sasaran luas tanaman untuk sayuran dan hortikultura untuk


tahun 2013 (Tabel 3).

Tabel 3. Luas komoditi sayuran dan hortikultura.


No Komoditi Luas areal (ha)
1. Cabe merah 5
2. Cabe rawet 0,3
3. Bayam 0,5
4. Kacang panjang 2
5. Semangka 1
6. Ubi kayu 5
7. Kangkung 1

Jumlah penduduk Kabupaten Acerh Timur 2013, tercatat 49.687 jiwa terdiri
23.600 laki-laki dan 26.087 perempuan. Sarana umum yang ada di Kabupaten
Aceh Timur (Tabel 4).

Tabel 4. Sarana umum yang tersedia di Kabupaten Aceh Timur.


No Sarana Jumlah (unit)
1 KUD 9
2 BRI 1
3 Kios Saprodi 6
4 UPTD 2
5 TPI 4
6 Pasar 9
7 Bengkel 25

Kelompok tani yang ada berjumlah 115 kelompok terdiri Pemula 37


kelompok, Lanjut 76, dan Madya 2 kelompok, sedangkan kelas Utama belum ada.

Hasil Kegiatan Demfarm PTT Padi Sawah


Pelaksanaan kegiatan demfarm di Desa Pasir Putih Kecamatan Peureulak
dalam keberhasilan peningkatan produksi padi tidak terlepas dari ketersediaan
dan adopsi teknologi PTT. Penggunaan varietas padi unggul yang berdaya hasil
tinggi, responsif terhadap pemupukan dan tahan hama penyakit utama disertai

994
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

dengan perbaikan irigasi dan teknik budidaya telah terbukti dapat meningkatkan
produktivitas padi sawah.

Penggunaan verietas Unggul Baru (VUB) di Desa Pasir Putih relatif masih
terbatas. Menurut Koordinator BP4K, selama ini benih padi yang digunakan oleh
petani lebih dari 60 persen berasal dari sektor informal, yaitu berupa gabah yang
disisihkan dari sebagian hasil panen musim sebelumnya yang dilakukan berulang-
ulang. Hal ini berarti bahwa petani padi belum menggunakan benih unggul padi
dengan dalam usahatani mereka.

Masalah yang dihadapi dalam percepatan penggunaan varietas unggul


baru adalah sistem informasi keberadaan benih sumber masih lemah sehingga
pengetahuan petani tentang varietas unggul masih terbatas, disamping itu
ketersediaan varietas unggul di tingkat petani juga terbatas.
Rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam mendukung denfarm PTT Padi
sawah mencakup :
a. Pelatihan Petani dan Penyuluh tentang PTT Padi Sawah
Kegiatan ini berlangsung di Aula kantor BP4K Peureulak. Pada acara
pembukaan turut dihadiri wakil Camat Peureulak, Koordinator BP4K Kecamatan
Peureulak, penyuluh dan petani. Konsep PTT padi sawah diberikan oleh
narasumber/fasilitator dari BPTP Aceh. Dalam konsep PTT lebih menekankan
pentingnya varietas unggul baru, dan bibit bermutu untuk meningkatkan
produkvitas padi, disamping sistem tanam legowo 2: 1. Dalam pelatihan tersebut
juga disampaikan konsep pengendalian organisme pengganggu tanaman padi
secara terpadu, memperhatikan ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Setelah menerima teori tentang PTT padi sawah di ruangan, petani dan
penyuluh dipraktekkan cara menggunakan alat tanam legowo caplak roda,
dilanjutkan penanaman perdana padi sawah VUB Inpari 16. Penggunaan legowo
di lokasi tersebut merupakan sesuatu yang baru apalagi tersedia alat tanam caplak
roda yang dapat membantu kerja lebih cepat. Selama ini para petani mengaku
susah menanam legowo karena membutuhkan waktu lama untuk
mempersiapkannya, sibuk dan tenaga lebih dari 2 orang. Tapi setelah
mempraktekkan langsung alat caplak mereka sangat berminat menanam legowo
dalam hamparan yang lebih luas. Menurut mereka, manfaat dan keuntungan
tanam legowo sudah mereka tahu melalui penyuluhan sebelumnya.

b. Keragaan Tanaman Padi


Tanaman padi yang ditanam di areal demfarm seluas 5 ha memperlihatkan
keragaan yang cukup memuaskan. Ada lima varietas padi yang ditanam, yakni
Inpari 7, Inpari 10, Inpari 12, Inpari 14 dan Inpari 16. Semua varietas yang
diujiadaptasikan ditanam dengan sistem Legowo 2 : 1. Adapun tinggi tanaman,
jumlah anakan, jumlah butir/ malai dan produktivitas rata-rata (Tabel 5).

995
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 5. Produktivitas rata-rata beberapa varietas padi sistem Jajar Legowo 2:1
Tinggi Jumlah Jumlah Produktivitas
No Varietas
Tanaman Anakan Butir (ton/ha)
1 Inpari 7 97 cm 20 btg 80 5,2
2 Inpari 10 101 cm 25 btg 85 6,1
3 Inpari 12 98 cm 18 btg 78 5,1
4 Inpari 14 97 cm 16 btg 75 5,0
5 Inpari 16 100 cm 24 btg 82 5,6

Dari Tabel 5 di atas terlihat bahwa produktivitas tertinggi diperoleh dari


varietas Inpari 10 yakni 6,1 ton/ ha, sedangkan yang paling rendah dijumpai pada
varietas Inpari 14 yakni 5,0 ton/ ha. Secara umum, produktivitas yang dicapai
masih tergolong rendah karena pengujian di kabupaten lain mampu menghasilkan
produktivitas di atas 7,0 ton/ ha. Hal tersebut disebabkan adanya serangan hama
tikus di saat padi berumur di bawah 30 HST. Serangan tikus di lokasi demfarm
sangat sulit ditasi meskipun para petani sudah melakukan berbagai cara.

c. Adopsi PTT Padi Sawah Setelah Pendampingan

Petani sawah di Desa Pasir Putih Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh


Timur setelah dilakukan paket Pengelolaan Teknologi Terpadu Padi Sawah oleh
BPTP Aceh pada kegiatan m-P3MI telah terjadi peningkatan adopsi PTT,
diantaranya perluasaan tanam legowo oleh petani. Pada dasarnya tanam legowo
dapat meningkatkan produktivitas padi dan mudah dalam mengelolaan hama dan
penyakit. Namun kenyataan di lapangan, petani belum seluruhnya menerapkan
tanam legowo, seperti pengakuan petani, bahwa tanam legowo dapat
meningkatkan produksi padi, tapi pelaksanaannya masih terkendala cara
menanam sehingga membutuh waktu lebih lama. Namun setelah diperkenalkan
alat “caplak” oleh BPTP Aceh, petani semakin mudah menanam legowo.

Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management) atau lebih


dikenal PTT padi sawah, merupakan salah satu model atau pendekatan
pengelolaan usahatani padi sawah dengan mengimplimentasikan berbagai
komponen teknologi budidaya yang memberikan efek sinergis. PTT
menggabungkan usaha tani terpilih yang serasi dan saling komplementer, untuk
mendapatkan hasil panen yang optimal dan kelestarian lingkungan (Sumarno,
dkk., 2000)

Menurut Sumarno dan Suyamto (1998), bahwa tindakan PTT merupakan


good agronomic practices yang antara lain meliputi; (a) penentuan pilihan
komoditas adaptif sesuai dengan agroklimat dan musim tanam, (b) varietas unggul
adaftif dan benih bermutu tinggi, (c) pengelolaan tanah, air, hara dan tanaman
secara optimal, (d) pengendalian hama penyakit secara terpadu, dan (e)
penanganan panen dan pasca panen secara tepat.

Model PTT terdiri dari beberapa komponen teknologi budidaya yang


sinergis, yang dapat diterapkan sesuai kondisi agrosistem, antara lain (a)

996
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

perlakuan benih; (b) pemilihan varietas; (c) penanaman tunggal bibit muda; (d)
jarak tanam lebih rapat; (e) sistem pengairan; (f) penggunaan bahan organik; (g)
penggunaan bagan warna daun dan pemupukan; (h) pengendalian gulma dengan
gasrok. Implementasi model ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil padi dari
sekitar 5,6 menjadi 7,3 – 9,6 t/ha, dan pendapatan petani meningkat dari Rp, 1,6
juta menjadi Rp. 4,1 juta/ha (Puslitbangtan, 2000)

Komponen teknologi dalam PTT, telah dikaji dan diteliti diberbagai lembaga
penelitian. Berdasarkan laporan Sembiring (2001) dan Pramono, dkk (2001),
bahwa pemberian pupuk N berdasarkan panduan Bagan Warna Daun (LCC )
dapat menghemat penggunaan pupuk urea antara 30 – 40%, dengan tanpa
menurunkan hasil persatuan luas. Hasil penelitian Suismono, dkk (2001 ),
mengemukakan bahwa penggunaan bibit umur muda tidak berpengaruh terhadap
kualitas gabah. Penggunaan bibit umur 15 hari dengan jarak tanam 25 x 25 cm
kadar butir hijau dan mengapur sebesar 0,07%, jauh lebih rendah dari standart
mutu gabah yang mensyaratkan maksimal 3%. Pemberian air pada lahan padi
hanya sampai basah dapat menghemat 40% air bila dibandingkan dengan sistem
penggenangan lahan padi secara kontinyu, tanpa menurunkan hasil padi (Tabbal,
dkk., 1992). Demikian pula, pemberian bahan organik pada lahan sawah,
walaupun penelitian jangka pendek kurang menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap peningkatan hasil, namun pada jangka panjang diyakini akan
meningkatkan kualtas sumberdaya lahan yang pada gilirannya dapat
meningkatkan produktivitas padi.

Komoditi tanaman pangan memiliki peranan pokok sebagai pemenuh


kebutuhan pangan, pakan dan industri dalam negeri yang setiap tahunnya
cenderung meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan
berkembangnya industri pangan dan pakan. Sehingga dari sisi Ketahanan Pangan
Nasional fungsinya menjadi amat penting dan strategis. Komoditi padi berperan
untuk memenuhi kebutuhan pokok karbohidrat masyarakat.

Program Badan Litbang Pertanian lima tahun mendatang secara nasional


adalah peningkatan upaya penelitian dan pengembangan bidang pertanian yang
mampu menciptakan benih unggul dan hasil penelitian lainnya menuju kualitas dan
produktivitas hasil pertanian nasional yang tinggi. Program ini nantinya
mempunyai tiga keluaran yaitu, (1) meningkatnya ketersediaan benih dan bibit
sumber tanaman/ ternak; (2) meningkatnya ketersediaan paket teknologi budidaya
tanaman, ternak, pengelolaan lahan dan pupuk; dan (3) meningkatnya
ketersediaan teknologi, mekanisasi dan pasca panen.

Sejak lebih dari satu dekade yang lalu sebahagian lahan sawah mengalami
penurunan produktivitas, sebagaimana tercermin pada laju pelandaian produksi
padi. Puslitbang Tanaman Pangan telah berupaya menghasilkan inovasi
penigkatan produksi padi melalui penelitian secara intensif telah dihasilkan inovasi
SL-PTT. SL-PTT merupakan Sekolah Lapangan bagi petani dalam menerapkan
berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien dan
menurut spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk

997
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan. Dalam SL-PTT petani


dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan
langsung (mengalami), mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan
menerapkan (melakukan/ mengalami kembali), menghadapi dan memecahkan
masalah-masalah terutama dalam hal teknik budidaya dengan mengkaji bersama
berdasarkan spesifik lokasi (Dirjen Tanaman Pangan, 2010).

KESIMPULAN
Untuk meningkatkan produktivitas padi di lokasi M-P3MI telah dilakukan uji
adaptasi beberapa varietas padi unggul. Produktivitas tertinggi diperoleh pada
Inpari 10 (6,2 ton/ha).

Adopsi dan penerapan teknologi PTT padi sawah terutama tanam legowo
terjadi peningkatan dengan diperkenalkan alat tanam legowo “caplak” oleh BPTP
Aceh. Namun dari segi produktivitas, belum memuaskan karena adanya serangan
hama tikus saat padi berumur 30 HST dan menjelang panen.

SARAN

Perlu dilakukan pendampingan dan pembinaan secara berkelanjutan agar


petani menerapkan teknologi system tanam legowo dengan penggunaan alat
caplak yang telah diperkenalkan.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 2011. Panduan Umum Model Pengembangan
Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3MI), Badan Litbang
Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Badan Litbang Pertanian, 2001. Inovasi Pertanian untuk Membangun Agribisnis.
Rumusan Raker Badan Litbang Pertanian. Jakarta, 24 – 26 April 2001.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1998. Membangun
Kelembagaan dan Jaringan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Dalam Inovasi Teknologi Pertanian, Seperempat Abad Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 1998 Buku I.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004 a. Rancangan Dasar Prima
Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi
Pertanian). Pasar Minggu. Jakarta.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2009. Laporan Tahunan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Fagi, AM dan Kartaatmaja, S (2003). Teknologi Budidaya Padi, Perkembangan
dan Peluang. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Jakarta.
Kasryno, F dan Pasandaran, E, 1996. Program Nasional Ristek Sektor Pertanian
Untuk Memacu Inovasi Teknologi Pertanian Memasuki Abad XXI Dalam
Inovasi Teknologi Pertanian Seperempat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Badan Litbang Pertanian jakarta 1998. Pasar Minggu, Jakarta.
Kasryno, F dan P. Simatupang, 1997. Inovasi dan Rekayasa Teknologi Sebagai
Upaya Peningkatan Produktivitas dan Pertumbuhan Sektor Pertanian.
Dalam Inovasi Teknologi Pertanian Seperempat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Jakarta 1998. Pasar
Minggu – Jakarta.

998
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Makarim, A.K., U.S. Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi Produksi
Padi Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor.
Ploetz. RC dan Pegg KG. 2000. Fungal disease of the root. Corn and Pseudostem
: Fusarium wilt. Di dalam. Jones PR. Editor. Disease of Banana, Abaca
and Enset. Walling ford: CAB International. Hal 143 - 159
Stover, R.H. 1972. Banana, Plaintain and Abaca Disease. Common-wealth
Mycological Istitute, Kew, Survey. England. 316 pp.
Sulyo, Y. 1992. Major Banana Disease and Their Control. IARD journal. Vol 14
(3&4): 55-62
Sumarno, I.G. Ismail, dan S. Partohardjono. 2000. Konsep usahatani ramah
lingkungan. DalamMakarim dkk. (Eds). Prosiding Simposium Penelitian
Tanaman Pangan IV. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman
Pangan. Konsep dan Strategis Peningkatan Paroduksi Pangan.
Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Sumarno dan Suyamto. 1998. Agroekoteknologi untuk keberlanjutan usaha
pertanian. RisalahSimposium Ketahanan Pangan. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Supriadi. 2002. Perkembangan penelitian penyakit darah pada tanaman pisang
dan strategi pengendaliannya. Gelar teknologi pengendalian lalat buah,
CVPD dan penyakit layu pisang. Direktorat Perlindungan Tanaman
Hortikultura. Cipayung. 7 halaman.
Marwan, I dan Made Oka, 1991. Konsep Penelitian Sistem Usahatani dan
Penelitian Pengembangan. Hasil Perumusan Raker Badan Litbang,
Jakarta 27 – 28 Februari 1991, Jakarta.

999
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

STUDI PENDAHULUAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN PADI LAHAN


PASANG SURUT DI PULAU KAMPAI KABUPATEN LANGKAT

Khairiah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara


Jl. A.H Nasution No 1 B Medan Sumatera Utara
Email: khairiahjalil@gmail.com

ABSTRAK

Lahan Pasang surut mempunyai potensi cukup luas bagi pembangunan


pertanian jika dikelola dengan baik Pengelolaannya memerlukan teknologi dan
sarana produksi yang spesifik karena kondisi lahan dan lingkungan tumbuhnya
tidak sama dengan sawah irigasi Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan
pengelolaan padi pada lahan pasang surut di Pulau kampai Kecamatan Pangkalan
Susu Kabupaten langkat, dilaksanakan bulan Oktober 2015 dengan menggunakan
metode focus group discussion (FGD) dihadiri oleh 20 orang petani. Hasil kajian
menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi petani Pulau kampai
pelaksanaan pengelolaan lahan, rumput disemprot dengan herbisida Benih yang
digunakan adalah varietas lokal. Penggunaan pupuk rendah, Serangan OPT
masih tinggi tikus, penggerek batang, lembing batu, wereng, burung. Produksi 3
sampai dengan 4 ton per ha

Kata Kunci: padi , lahan pasang surut, Pulau Kampai

PENDAHULUAN

Lahan pasang surut memiliki prospek besar dari segi potensi luas maupun
daya dukung agronomis untuk dijadikan sebagai areal produksi padi. Luas lahan
rawa di Sumatera Utara 317.675 hektar dengan luas lahan pasang surut sebesar
247.293 hektar dan lahan lebak seluas 70.382 hektar. Luas areal yang sudah
direklamasi 147.500 hektar dengan areal persawahan seluas 93.990 hektar.
Dengan demikian lahan pasang surut merupakan salah satu lahan alternatif yang
mempunyai potensi cukup luas bagi pembangunan pertanian jika dikelola dengan
baik, produktivitasnya tidak kalah dengan lahan-lahan subur lainnya.

Lahan pasang surut berbeda dengan lahan irigasi atau lahan kering yang
sudah dikenal masyarakat. Perbedaanya menyangkut kesuburan tanah,
ketersediaan air dan teknik pengelolaannya. Hasil yang diperoleh pada lahan
pasang surut sangat tergantung pada cara pengelolaannya. Untuk itu, petani
perlu memahami sifat dan kondisi tanah dan air di lahan pasang surut. (Tan, 1995).

Air menjadi kendala utama sebagai penyebab rendahnya produktivitas


pada lahan-lahan pasang surut yang sudah direklamasi menjadi lahan budidaya
pertanian, dimana proses ameliorisasi (kematangan tanah ) telah tercapai dengan
baik. Air yang meluap ke atas daratan tanah menyusuri sungai, atau ke atas
daratan antar sungai, adalah merupakan air sungai yang terbendung oleh air laut
pada waktu pasang. Bila air luapan itu tercampur dengan air laut, maka air rawa

1000
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

menjadi bersifat asin, sedang kalau tidak bercampur, air rawa akan tetap bersifat
tawar sama seperti air sungainya (Hardjowigeno, 1993).

Pada analisis kebutuhan air tanaman, ketersediaan air hanya


diperhitungkan dari air hujan, sedangkan aliran/imbuhan dari saluran yang akan
mempengaruhi kelengasan tanah disebabkan fluktuasi gerak pasang surut air
tanah (water table) masih diabaikan. Sebagai konsekuensi dari anggapan ini
adalah penanaman hanya dilakukan pada musim hujan sedangkan pada musim
kemarau lahan dibiarkan bera, sehingga produksi pertanian sangat rendah

Tanah-tanah di lahan rawa pasang surut memiliki kendala drainase yang


tergolong buruk. Adiwiganda (1985) Hal ini perlu penanganan dan pengelolaan
lahan pasang surut agar alih fungsi lahan tidak terus terjadi guna menjaga
stabilitas pangan dalam negeri. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan system
usaha tani padi yang dilaksanakan petani pada lahan pasang surut di Pulau
Kampai Kecamatan Pangkalan susu Kab Langkat.

BAHAN DAN METODE

Kajian ini dilaksanakan di Pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu Kab


Langkat Prov Sumatera Utara pada bulan Oktober 2015. Menggunakan focus
grup Discussion (FGD) diikuti oleh 20 orang petani ID, dan natural setting
observasi langsung dilapangan dengan prinsip ”analisis data kualitatif” (Ancok,.
1989; Burhan, 2003), atau diedit dan ditabulasi (Siegel, 1988) untuk analisis
deskriptif. Pengambilan data sekunder dari laporan Dinas Pertanian Kabupaten,
dari perpustakaan maupun internet serta informasi lain yang mendukung tulisan
ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Geografis Pulau Kampai

Desa pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu, Kab Langkat jarak dari
kota Medan lebih kurang 96 km, dan dari Stabat sekitar 53 km. Untuk menuju ke
Pulau Kampai bisa ditempuh melalui jalur darat dan laut. Pulau Kampai terdiri dari
tujuh dusun, dua dusun berada diluar pulau. Keadaan air minum untuk dusun
1.2.3.4 tetap bersifat tawar sama seperti air sungai sedangkan didusun 5 bersifat
payau. Jumlah penduduk sebanyak 1300 KK. Pulau ini dihuni oleh etnis Jawa,
Aceh, Karo, Melayu, Toba, Kalimantan, dan Nias. Lahan sawah mulai dibuka sejak
tahuan 1974. Luas lahan pertanaman padi di Pulau Kampai mencapai ±800 ha,
keadaan persawahannya seperti pada Gambar 1.

1001
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Gambar 1. Kondisi lahan pertanian setelah banjir Oktober 2015 dan peta letak
Pulau Kampai
Kepemilikan lahan 80% milik petani luar Desa, 20% saja milik petani Desa
Pulau Kampai. Petani desa Pulau Kampai menyewa lahan untuk pertaniannya.
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah nelayan tradisional, bertani
padi dan hortikultura. Pada umumnya petani bertanam padi sekali dalam setahun
ketika musim hujan Tanam pada bulan September, Oktober dan Panen pada
bulan Januari dan Februari. Ada 10% petani menggunakan lahannya untuk
bertanam padi, padi, sayuran, mereka sebut dengan sistem mentong. Tanaman
padi lebih dapat bertahan pada tingkat keasinan (salinitas) tertentu selama musim
hujan dari pada musim kemarau (Suparyono dkk. 1997) Menurut Widjaja – Adi
(1995) untuk keperluan praktis dan kemudahan dalam mengelompokkan lahan
pasang surut dikelompokkan menjadi empat tipologi berdasarkan jangkauan air
pasang. Lahan sawah di P Kampai termasuk dalam tipologi C adalah lahan yang
tidak teruapi air baik pada pasang besar maupun pasang kecil, akan tetapi air
pasang mempengaruhi secara tidak langsung tinggi muka air tanahnya yang
kurang dari 50 cm. Hasil pengukuran pH yang dilaksanakan BPTP Sumatera Utara
rata-rata 4,05 serta degan pirit dibawah 10 cm.
Masalah Usaha Tani Padi di Pulau Kampai
Permasalahan usaha tani padi dilahan pasang surut Pulau Kampai adalah
pada Tabel.1. Banyak kendala yang ditemui menurut Subagyo dan Widjaja Adhi
(1995) usaha tani pada lahan pasang surut ada beberapa masalah yang ditemui
seperti kesuburan tanah yang rendah, reaksi tanah yang masam, adanya pirit,
tingginya kadar Al, Fe, Mn, dan asam organic, kahat P, miskin kation basa seperti
Ca, K, Mg serta tertekannya aktivitas mikroba.

Table 1. Permasalahan usaha tani padi dilahan pasang surut Pulau Kampai

No Uraian
1 Pengolahan tanah yang dilaksanakan jika masih ada lekukan yang membuat
air tergenang macak – macak jika pada tempat yang seperti ini ditanam maka
padi lama kelamaan akan mati
2 Ada lapisan minyak dipermukaan air berwarna hijau
3 Ciri tanaman padi yang mati terdapat kristal dibatang akar membusuk hitam
dan berbau.
4 Pada bulan Oktober 2015 ini kondisi 90% tanam padi terendam banjir 45% mati

1002
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

5 Varietas yang ditanam petani ramos dan sipirok (siudang) mati terkena banjir
digantikan dengan varietas ciherang karena ada bantuan
6 Penggunakan herbisida tinggi
7 Penggunaan pupuk sesuai dengan kondisi keuangan petani. Pada umumnya
rendah
8 Penataan air tidak teratur
9 Serangan OPT tinggi (tikus, penggerek batang, lembing batu, wereng, burung,
kresek, hama putih palsu, sundep)
10 Produksi 3 sampai dengan 4 ton per ha
Sumber Data FGD 2015

Petani di Pulau Kampai 70% menanam padinya tanpa olah tanah (TOT),
pengalaman petani yang mengolah tanahnya dengan hand traktor dibiarkan terleh
dahulu selama 2 bulan setelah diolah baru ditanam Menurut Ar-Riza, (2001);
Akmal, dan Yufdi, (2008) untuk mengatasi permasalahan pengelolaan lahan
pasang surut tersebut diperlukan beberapa komponen teknologi optimalisasi
lahan pasang surut untuk tanaman padi antara lain : (1) pemilihan varietas unggul
padi adaptif, (2) sistem pengelolaan air, (3) penyiapan lahan, (4) pengelolaan hara
dan amelioran, (5). pengendalian gulma terpadu, dan (6). penentuan pola tanam.
Pengelolaan tanah dan air ini merupakan kunci keberhasilan usahatani pada lahan
pasang surut.

Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut
saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada
musim kemarau. Pirit dapat berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam
belerang yang dapat meracuni tanaman. Ciri tanah yang telah teracuni pirit adalah
: tampak gejala keracunan besi pada tanaman, ada lapisan seperti minyak di
permukaan air, ada lapisan merah di pinggiran saluran, tanaman mudah
terserang penyakit,hasil panen rendah. Tanah berbau busuk (seperti telur yang
busuk), maka zat asam belerangnya banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang
dengan membuat saluran cacing dan diganti dengan air baru dari air hujan atau
saluran.

Cara pengolahan tanah pada lahan pasang surut dengan kedalaman


pengolahan tanah sekitar 20-25 cm, jika terlalu dalam dapat menyebabkan
terangkatnya lapisan pirit (lapisan beracun). Pirit ini dapat meracuni tanaman dan
berakibat tanaman mati. Untuk membuang zat beracun di tanah, perlu dibuat
saluran cacing (kemalir) dengan ukuran sebagai berikut: lebar saluran 30 cm,
kedalaman 20 cm, jarak antar-saluran berkisar antara 6-10 m. Selain di dalam
petakan, dibuat juga saluran di sekeliling petakan.

Pertumbuhan tanaman padi di lahan pasang surut terganggu jika tidak dipupuk
dengan salah satu dari ketiga unsur pupuk NPK (Fauziati dan Masganti, 2001).
Selain ketiga unsur tersebut, tidak maksimum jika tidak dilakukan penambahan
kapur. Pemupukan dan ameliorasi menjadi komponen penting dalam mengatasi
masalah pengembangan padi di lahan pasang surut. Selain itu penggunaan
varietas unggul yang tahan terhadap salinitas, perlu dilakukan penurunan kadar

1003
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

garam dalam tanah dengan penggunaan bahan organik seperti kompos dan
mikroba.

Untuk meningkatkan produktivitas tanah dan efisiensi penyerapan pupuk,


bahan organik dapat memperbaiki sifat fisika tanah seperti memperbaiki agregasi
dan permeabilitas tanah. Memperbaiki sifat kimia tanah seperti: meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK) tanah, meningkatkan daya sangga tanah,
meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara dan meningkatkan efisiensi
penyerapan P. Memperbaiki biologi tanah yaitu sebagai sumber energi utama bagi
aktivitas jasad renik tanah. Mengingat begitu pentingnya peranan bahan organik,
maka penggunaannya pada lahan-lahan yang kesuburannya mulai menurun
menjadi perhatian utama untuk menjaga kelestarian sumber daya lahan tersebut.
Alihamsyah, (2003). dan beberapa peneliti seperti Subiksa,dkk (1990); Noor, dkk
(2010), menyatakan bahwa pemberian bahan amelioran seperti pupuk organik,
tanah mineral, zeolit, dolomit,fosfat alam, pupuk kandang, kapur pertanian, abu
sekam, purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat meningkatkan pH tanah dan basa-
basa tanah. Penambahan bahan-bahan amelioran yang banyak mengandung
kation polivalen juga dapat mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik
beracun.

Bahan amelioran yang sering digunakan dalam budidaya padi adalah


dolomit. Dolomit selain mengandung unsur Ca juga mengandung Mg. Pemberian
kapur di lahan pasang surut dapat memperbaiki (1) sifat fisik tanah, yaitu
memperbaiki granulasi tanah, sehingga aerasi lebih baik, (2) sifat kimia tanah,
yaitu menurunkan kepekatan ion H, menurunkan kelarutan Fe, Al dan Mn,
meningkatkan ketersediaan Ca, Mg, P dan Mo serta meningkatan kejenuhan basa,
(3) sifat biologi tanah, yaitu meningkatkan kegiatan jasad renik tanah. Selain
kapur, bahan organik juga berpengaruh cukup baik untuk meningkatkan
kesuburan lahan sulfat masam. Sumber bahan organik yang sering digunakan
adalah kotoran ayam. Kotoran ayam digunakan, karena kandungan unsur N dan
Ca-nya tergolong tertinggi dibandingkan kotoran sapi, kuda dan kambing (
Sutanto, 2006).

Pengendalian gulma pada lahan pasang surut menurut Badan Penelitian


dan Pengembangan Pertanian, (2007) sebagai berikut: (1) Mekanis, dengan
menggunakan alat gasrok/landak. Pengendalian dengan cara ini sangat
dianjurkan, karena cara ini sinergis dengan pengelolaan lainnya. Namun cara ini
hanya efektif dilakukan apabila kondisi air di petakan sawah macak-macak atau
tanah jenuh air, serta tenaga kerja murah. (2) Pengendalian gulma dengan
menggunakan herbisida lebih hemat tenaga, biaya dan waktu serta efektif bila
dibandingkan dengan penyiangan tangan. Di dalam pemakaian herbisida pada
lahan pasang surut, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, antara lain :
Kondisi petakan sawah harus macak-macak agar lapisan herbisida pra tumbuh
yang disemprotkan dapat menutup permukaan atas tanah. Biji-biji gulma yang
akan berkecambah dapat dimatikan sewaktu menembus lapisan herbisida
tersebut. Jika menggunakan herbisida pasca tumbuh, herbisida harus kontak

1004
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

langsung dengan daun - daun gulma. Oleh sebab itu petakan sawah harus di
drainase agar supaya herbisida dan daun gulma dapat kontak langsung.

Biasanya herbisida untuk padi tanam pindah tidak selalu dapat


dipergunakan untuk mengendalikan gulma pada padi tabela karena tingkat
selektivitas yang berbeda. Padi tabela lebih peka keracunan herbisida dari padi
tanam pindah, karena bibit yang masih muda organisme pengganggu menjadi
salah satu factor pembatas peningkatan stabilitas hasil padi di lahan pasang surut
(Noorginayuwati dkk, 2003 ; Masganti dkk, 2004). Hama dan penyakt yang sering
menganggu produksi padi dilahan pasang surut diantaranya adalah tikus,
penggerek batang, dan wereng coklat. Gangguan ini dapat diminimasi melalui
kultur teknis seperti waktu tanam yang serempak, sanitasi, pergiliran varietas,
pemanfaatan musuh alami, dan penggunaan pestisida dan insektisida yang tepat
(Noorginayuwati dkk, 2003). Hasil kajian Sution dan Tuti Sugiarti, 2012 hasil
produksi varietas Inpara 1 (5,65 ton/ha), Inpara 2 (5,49 ton/ha) dan Air Tenggulang
(5 ton/ha). Hal ini disebabkan karena pada saat pengkajian rata-rata curah hujan
kurang dari 150 mm/ bulan. Kondisi kesuburan tanah pada daerah pengkajian
tergolong rendah, pengolahan lahan belum sempurna serta adanya serangan
hama tikus dan walang sangit yang cukup tinggi.
KESIMPULAN
Dari hasil studi pendahuluan disimpulkan bahwa pelaksanaan tanam padi
dilahan pasang surut pulau Kampai hanya satu kali dalam setahun, cara tanam
TOT disemprot dengan herbisida, padi varietas lokal dan pemupukan sesuai
dengan kondisi keuangan petani, serta hasil yang diperoleh hanya 3 sampai 4 t/ha.
SARAN
Peran serta pemerintah, petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani,
PPL dan dinas instansi terkait mutlak diperlukan guna lebih mendukung
pengelolaan tanah, air dan pengunaan varietas unggul yang tepat pada usaha tani
di lahan pasang surut sehingga dapat memberikan hasil yang optimal.
UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Wasito MSi, Dr Siti Maryam
Harahap, Ir Loso Winarto, Rita Kasih dan Maulana Siregar adalah sebagai tim
Pulau Kampai yang telah membantu penulis dalam kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Djamaludin, 1989 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Metode


Penelitian Survei LPES, Jakarta
Alihamsyah, T., 2003. Hasil Penelitian pertanian Pada Lahan Pasang Surut.
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional, Jambi
Adiwiganda YT. 1985. Sistem drainase tanah di perkebunan karet. Warta
Perkaretan. 4(1):15-18
Akmal dan Yufdi Prama, 2008. Peluang Pengembangan Varietas Unggul Baru
Padi Pasang Surut di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Medan

1005
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Ar-Riza Isdijanto, 2001. Lima Langkah Penting Pengelolaan Lahan untuk


Tanaman Padi di Lahan Pasang Surut. Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa Kalimantan Selatan. Proseding Seminar Nasional PLTT dan Hasil
Hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Jambi
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007. Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) Padi Lahan Rawa Pasang Surut
Burhan Bugin. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja. Grafindo
Persada. Depdiknas. 2003. Akuntansi Pendidikan. Jakarta: Erlangga
Fauziati N dan Masganti 2001. Pemupukan N,P dan K pada Tanaman padi di
Lahan bergambut bukaan baru Pengelolaan tanaman pangan lahan rawa
balitbangtan, Puslitbangtan Bogor
Hardjowigeno S, 1993 Klasifikasi tanah dan pedogenesis Penerbit Akademika
Pressindo
Masganti, N. Yuliani, dan D. Irwandi. 2004. Penelitian Penentuan Pemupukan Spesifik Lokasi
untuk Tanaman Padi di Sentra Produksi Padi Kabupaten Kapuas . Laporan Hasil
Pengkajian. BPTP Kalimantan Tengah.
Noor, M.; Supriyo, A.; Hairani, A.; Muhammad; Thamrin, M.; Rina, Y.; dan
Nurzakiah, S., 2010. Efektivitas Bahan Amelioran dan Pupuk Berdasarkan
Status Hara pada IP 300 di Lahan Rawa Pasang Surut. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian
Noorginayuwati., Y. Rina, A. Hairani, M. Alwi, dan M. Thamrin. 2003. Faktor- faktor
Penentu Sustainabilitas Usahatani di Lahan Gambut Prosiding Hasil-hasil
Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Balitbangtan, PSE. Bogor
Putra Sasongko, Purwanto, Kismarini 2013 Perencanaan Pertanian Berkelanjutan
di Kec Selo Proseding Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan
Siegel 1988. Statistik Nonparametrik. Jakarta: Gramedia
Subagyo, H dan I.P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaan
lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia. Kasus Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah. Proseding Pertemuan Pembahasan dan
komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Utama.
Bogor., 10-12 februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor
Subiksa, I.G.M., D.A. Suriadikarta, dan IPG. Widjaja-Adhi. 1990.Tata air dan
kemalirterhadap kimia tanah dan hasil padi sawah pada tanah sulfic
Tropaquents. Prosiding Seminar Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa
Swamps-II, Palembang. 29−31 Oktober 1990. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 165−170
Sution dan Sugiarti Tuti, 2012 Kajian beberapa varietas unggul baru padi dengan
pengelolaan tanaman terpadu pada lahan pasang surut Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Kalimantan Barat.
Sutanto, R. 2006. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius -Yogyakarta.
Suparyono dan Setyono, A. 1997. Mengatasi Permasalahan Budidaya Padi.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Tan, Kim H. 1995. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Widjaja-Adhi, I. P. G. 1995. Pengelolaan Tanah dan Air dalam Pengembangan
Sumberdaya Lahan Rawa untuk Usahatani Berkelanjutan dan
Berwawasan Lingkungan Makalah disampaikan pada Pelatihan
Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995.
Karang Agung Ulu, Sumatra Selatan.

1006
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANALISA USAHA TANI PADI PADA LAHAN TADAH HUJAN


DESA LUBUK KERTANG KECAMATAN BRANDAN BARAT

Khairiah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara,


Jl. A.H Nasution No 1 B Medan Sumatera utara
Email: khairiahjalil@gmail.com

ABSTRAK

Luas lahan tadah hujan di desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan barat
seluas 668 Ha. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pendapatan usaha tani
padi di lahan tadah hujan dalam mendukung ketahanan pangan. Menggunakan
metode survey dengan mewawancarai secara mendalam (Indepth interview)
petani yang menanam padi dilokasi kajian sebanyak 30 responden dilaksanakan
pada bulan Oktober 2015. Hasil kajian menunjukkan bahwa kepemilikan lahan
petani 0.5- 075 ha. Pengolahan tanah dilakukan secara intensif, dibajak 2 kali dan
digaru 1 kali sebelum tanam, bibit dipindahkan ke lapangan umur 21 hari, jarak
tanam 20x20 cm. Pupuk diberikan sesuai dengan keadaan keuangan petani,.
Penyiangan 2 kali yaitu 20 dan 42 hst dan pengendalian hama dan penyakit
berdasarkan pemantauan dilapangan. Pendapatan petani mencapai
Rp18.107.000 dengan total biaya (saprodi dan tenaga kerja) Rp 10.273.000
dengan nilai R/C 2.76 (R/C >1) usahatani padi pada lahan tadah hujan sangat
menguntungkan jadi layak untuk diusahan dan dikembangkan

Kata Kunci: analisa, usaha tani padi, tadah hujan, kab Langkat

PENDAHULUAN

Padi merupakan bahan makanan pokok masyarakat dalam jumlah yang


besar, oleh karena itu sampai saat ini padi tetap menjadi komoditas yang sangat
strategis. Diperkirakan pada tahun 2020 akan dibutuhkan 35,97 juta ton dengan
asumsi konsumsi 137 kg/kapita. kebutuhan tersebut harus dipenuhi karena beras
merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia. Selain itu, kegiatan
usahatani padi telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 20 juta rumah
tangga petani di perdesaan, sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional
fungsinya menjadi sangat penting dan strategis (Balai Besar Penelitian Padi
2009).

Sampai saat ini sekitar 90% produksi padi nasional dipasok dari lahan
sawah irigasi. Sementara lahan sawah tadah hujan, lahan kering, dan lahan
pasang surut yang tersebar luas di berbagai daerah belum banyak berkontribusi
dalam peningkatan produksi padi. Komonitas international dibidang penelitian padi
menggolongkan lahan sawah tadah hujan sebagai ekosistem yang beresiko tinggi
karena terancam oleh kekeringan, kebanjiran atau keragaman antisipasi resiko itu
diupayakan melalui pemuliaan tanaman dan teknik budidaya (Ingram,1995) dan
pengelolaan hara tanaman padi ( Ladha dkk 1998) ekosistem lahan tadah hujan

1007
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

secara fisik beresiko disertai oleh infestasi organisma pengganggu tanaman (


hama, penyakit, gulma) menyebabkan petani enggan atau ragu- ragu menerapkan
teknologi intensif pada lahan padi tadah hujan (Lampe,1993)

Permasalahan pada lahan tadah hujan, sistem pengairannya sangat


mengandalkan curah hujan. Jenis sawah ini hanya menghasilkan di musim hujan.
Di musim kering sawah ini dibiarkan tidak diolah karena air sulit didapat atau tidak
ada sama sekali. Sawah tadah hujan umumnya hanya dipanen setahun sekali. Di
Sumatera Utara terdapat 149.547 ha lahan sawah tadah hujan (BPS Sumatera
Utara, 2012) Luas sawah di Kec Brandan Barat 1362 Ha. Tujuan kajian ini adalah
untuk mengetahui pendapatan usaha tani padi pada lahan tadah hujan Desa
Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat.

BAHAN DAN METODE

Kajian dilaksanakan di desa Lubuk Kertang kecamatan Berandan barat


Kabupaten Langkat pada bulan Oktober 2015. Menggunakan metode survey
dengan mewawancarai secara mendalam (Indepth interview) petani yang
menanam padi dilokasi kajian. Pemilihan responden dengan cara random
sampling dilakukan secara acak sederhana. Pengambilan data sekunder dari
laporan Dinas Pertanian Kabupaten, dari perpustakaan maupun internet serta
informasi lain yang mendukung tulisan ini. Menurut (Agus Salim, 2006:) secara
matematis laba (profit) dapat di tulis selisih antara penghasilan dengan
pembiayaan menggunakan analisa pendapatan dihitung dengan rumus :

Analisa Pendapatan N= TR- TC


N= Pendapatan
TR= Total Revenue (total penerimaan)
TC=Total Cost ( Total biaya)
Analisa R/C ratio :
Apabila R/C =1 maka petani padi tidak untung dan tidak rugi
Apabila R/C<1 maka petani rugi
Apabila R/C >1 maka petani untung
Jenis penelitian ini tergolong pada penelitian deskriptif yaitu
mengambarkan dan menginterpretasi apa adanya (Arikunto, 2006). Data primer
melalui kuesioner, FGD, ID, dan natural setting dianalisis dengan prinsip ”analisis
data kualitatif” (Ancok, D. 1989; Burhan Bungin, 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Usaha Tani

Luas lahan sawah tadah hujan di desa Lubuk Kertang 668 ha, pada tahun
2015 yang bisa ditanami padi seluas ± 500 ha yang ditanam pada bulan Mei
sampai Oktober 2015 sedangkan 168 ha gagal tanam akibat kekeringan. Pada
MH 2015 ada 5 kelompok tani yang menerima optimalisasi lahan (Tabel 1).

1008
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Tabel 1. Kelompok tani yang menerima optimalisasi lahan di desa Lubuk Kertang
pada tahun 2015
No Kelompok tani Luas (ha)
1 Tunas baru I 20
2 Tunas baru II 20
3 Sepakat 40
4 Harapan baru 20
5 Jaya tani 20

Pola tanam yang dilaksanakan pada lahan yang lebih rendah yaitu padi,
padi palawija/hortikultura (74.85%) sedangkan lahan yang agak tinggi (25.14%)
relatif kekurangan air hanya menanam padi sekali dalam setahun. Jenis tanaman
palawija yang ditanam yaitu kacang hijau, kedele dan jagung sedangkan tanaman
hortikultura yang ditanami petani adalah semangka dan bawang merah.

Pengolahan tanah menggunakan traktor, dilaksanakan pada bulan Mei


sampai Juni untuk tanam pertama, diperkirakan pada bulan tersebut curah hujan
sudah mulai turun, kalau hujan kurang petani menggunakan sumur bor yang
dipompa dengan mesin. Sebelum pengolahan tanah dilakukan penyemprotan
dengan herbisida seperti romin, rodiamin dan rumpas.

Penanaman padi sering dilakukan petani dengan bibit yang sudah tua
dipersemaian baru ditanam karena turunnya hujan terlambat disamping itu
banyaknya hama keong mas.

Varietas padi yang digunakan pada musim tanam 2015 adalah ciherang,
mekongga, cibogo, inpari 3, 9, 13 dan padi Taiwan yang berasal dari Taiwan.
Benih padi yang ditanam berasal dari hasil panen sebelumnya dan hanya
sebagian kecil saja yang membeli benih. Kebiasaan petani menanam dengan
sistem tegel dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Kebutuhan benih mencapai 50 s/d
80 kg/ha dengan jumlah bibit 2-3 bibit/lubang tanam.

Pupuk dasar yang digunakan Urea, ZA, SP-36 dan Phonska yang
diberikan pada 0-10 HST, sedangkan pupuk susulan diberikan pada saat tanaman
padi berumur ± 30 HST. Takaran pupuk yang diberikan disesuaikan dengan
kemampuan petani dalam membeli pupuk.

Hama yang dijumpai pada tanaman padi di desa ini adalah hama keong
mas, penggerek batang, hama walang sangit dan hama putih palsu, blas (cekik
leher) dan kresek. Pemberantasan hama dan penyakit dengan menggunakan
pestisida seperti Destoc, Metindo. Antracol dan juga menggunakan perangsang
tumbuh seperti Atonic. Untuk menanggulangi serangan hama burung dilakukan
pengusiran dengan tali dan benda-benda yang menimbulkan bunyi-bunyian
apabila ditarik. Menurut Suparyono dkk (1992) penyakit bercak daun coklat
Helminthosporium oryzae dan bercak daun bergaris cercospora oryzae
merupakan penyakit utama padi sawah tadah hujan.

1009
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Analisis Usaha Tani

Pada (Tabel 2) terlihat bahwa pendapatan petani mencapai Rp18.106.000


dengan total biaya (saprodi dan tenaga kerja) Rp 10.274.000. Nilai R/C rasio 2.76
nilai ini (R/C >1) artinya usahatani padi pada lahan tadah hujan Di Desa Lubuk
Kertang sangat menguntung- kan jadi layak untuk dikembangkan.
Tabel 2. Analisis usaha tani padi sawah tadah hujan di Desa Lubuk Kertang
Kec Brandan Barat, Kab Langkat pada MT1 2015
Padi
Uraian
Fisik Nilai Rp
Penerimaan (ton) 6.6 28.380.000
Saprodi : 5.998.500
- Benih (Kg) 50 550.000
- Urea (Kg) 75 157.500
- SP.36 (Kg) 125 312.500
- Ponska (Kg) 75 202.500
- ZA (Kg) 75 142.500
- Air 4.236.000
- Obat- Obatan 398.000
Tenaga Kerja : 4.275.000
- Pengolahan lahan Traktor 1.000.000
- Penanaman 25 1.375.000
- Pemupukan 2 100.000
- Pemeliharaan 16 800.000
- Panen dan Pascapanen 20 1.000.000
Total Biaya 10.274.000
Pendapatan 18.106.000
R/C ratio 2.76

KESIMPULAN
Usahatani padi pada lahan tadah hujan di Desa Lubuk Kertang Kecamatan
Brandan Barat layak untuk diusahakan dan dikembangkan.
UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Wasito MSi yang telah
memberikan bantuan sehingga tulisan ini selesai dengan sebagaimana mestinya

DAFTAR PUSTAKA

Agus Salim. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Ancok Djamaludin,1989. Tehnik Skala Penyusunan Pengukur. Pusat Penelitian
Kependudukan UGM Yogyakarta
Arikunto Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta
Balai Besar Penelitian Padi. 2009. Peningkatan Produksi Padi Melalui
Pelaksanaan IP Padi 400. Balai Besar Penelitian Padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. 48p.
BPS 2012. Sumatera Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Medan

1010
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Burhan Bugin. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja. Grafindo
Persada. Depdiknas. 2003. Akuntansi Pendidikan. Jakarta: Erlangga
Ingram KT. 1995 Rainfed lowland rice agricultural research for high-risk
environments Manila IRRI 248p
Ladha,J.K 1998 Reinfed low land rice advance in nutrient management research
Proc int workshop on nutrient res in reinfed lowland 12-15 Oct 1998 ubon
Ratchantahani Thailand manila (Philippines) IRRI 304p
Lampe. K 1993 Rice research in crucial environment. IRRI 1992-1993 Manila.65p
Suparyono, S. Kartaatmadja dan A.M. Fagi.,1992. Relationship between
potassium

1011
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

ANALISIS PENGARUH PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS


PERDESAAN TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHATANI PADI
DI NAGARI LAREH NAN PANJANG KABUPATEN PADANG PARIAMAN

Muhammad Ichwan dan Nieldalina

Balai Pengkajian teknologi Pertanian Sumatera Barat


Jl. Raya Padang Solok Km. 40, Solok
Email : michwan30@yahoo.com

ABSTRAK

Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) mempunyai


peranan yang penting bagi peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani.
PUAP adalah bagian dalam pelaksanaan program PNPM-Mandiri melalui bantuan
modal usaha dalam menumbuh kembangkan usaha Agribisnis sesuai dengan
potensi pertanian desa sasaran. Tujuan peneitian ini adalah mengkaji pengaruh
PUAP terhadap peningkatan pendapatan petani di Nagari Laren Nan Panjang
Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman. Penelitian ini menggunakan
metode survey dengan 36 responden yang dipilih secaraproportionate random
samplingdari Gapoktan Ampalu Gemilang yang mengikuti PUAP pada tahun
anggaran kegiatan tahun 2011. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer
dan sekunder, data ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, kualitatif dan
kuantitatif. Penelitian ini menganalisis ada tidaknya pengaruh program PUAP
terhadap peningkatan pendapatan petani dan membandingkan adanya perbedaan
pendapatan antara petani sebelum dengan sesudah menerima program PUAP
dengan menggunakan uji Beda t. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh
yang nyata PUAP terhadap peningkatan pendapatan usahatani.Peningkatan
pendapatan usahatani petani setelah menjadi peserta PUAP sebesar 18,65 %.
Namun demikian, juga terungkap terdapat tunggakan pinjaman 38,89 % oleh
petani peserta PUAP dan semua tunggakan ini berasal dari usaha budidaya
tanaman padi.

Kata kunci: PUAP, Pendapatan Usahatani, Padang Pariaman

PENDAHULUAN

Bertitik tolak pada lemahnya penguasaan modal dan sulitnya masyarakat


dalam mengakses permodalan, Pemerintah Republik Indonesia menerapkan satu
program yang dinamakan dengan PUAP (Program Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan). PUAP mengalokasikan anggaran penguatan modal untuk
pengembangan usaha agribisnis perdesaan sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus
juta rupiah) untuk satu GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani). Salah satu ide
dasar pencetusan program ini adalah berhasilnya pendekatan Prima Tani yang
dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian, dipadukan dengan program P4S. Prima
Tani mendorong pengembangan teknologi dan P4S memicu pertumbuhan
swadaya masyarakat. Menurut Daerobi (2007), Prima Tani itu sendiri merupakan
program terobosan yang diluncurkan untuk mempercepat proses alih teknologi ke

1012
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

pengguna, dengan sasaran utama peningkatan pendapatan masyarakat melalui


penggalian dan pemanfaatan semua potensi perdesaan yang tersedia.
Pencapaian sasaran dilakukan melalui pemberdayaan kelembagaan, penerapan
teknologi spesifik lokasi yang efektif dan pengembangan industri perdesaan
dengan pengawalan dan pembimbingan oleh tim kerja sama.
Pada tahun 2008, kegiatan PUAP dimulai dengan alokasi bantuan
penguatan modal untuk 10.000 desa yang terintegrasi dengan PNPM-Mandiri.
Pelaksanaan programini dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 30 April 2007 di Palu. Pada tahun 2010 lalu, ditegaskan kembali bahwa
PUAP adalah bagian dari pelaksanaan program PNPM-Mandiri melalui bantuan
modal usaha dalam menumbuh kembangkan usaha agribisnis sesuai dengan
potensi pertanian desa sasaran. Bantuan diberikan kepada GAPOKTAN yang
menghimpun beberapa kelompok tani, dibina oleh Penyuluh Pertanian Lapang dan
Penyelia Mitra Tani. Secara Nasional PUAP dilaksanakan oleh Tim Pelaksana
yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian, dan ditindaklanjuti oleh para Gubernur
dan Bupati/Walikota daerah pelaksana (Deptan, 2010).
Untuk Propinsi Sumatera Barat, kegiatan PUAP yang telah dilaksanakan
pada tahun 2008 mencakup 204 Nagari. Pemerintah Sumatera Barat
memberlakukan suatu kebijakan daerah yang berbeda dengan pelaksana PUAP
lainnya. Kebijakan dimaksud adalah dana bantuan penguatan modal (Rp.
100.000.000,-) diberikan kepada Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA)
yang merupakan prasyarat pencairan dana bergulir tersebut. Jika LKMA belum
dibentuk maka dana penguatan modal belum bisa dicairkan. Tujuannya adalah
agar dana yang dialokasikan tersebut lebih bermanfaat dan dapat
dipertanggungjawabkan oleh masyarakat. LKMA dimaksud merupakan bagian
unit usaha dari GAPOKTAN yang bersangkutan (Deptan, 2010 ).
Dengan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk : (1)
mengetahui implementasi PUAP di Nagari Lareh Nan Panjang Kecamatan VII Koto
Kabupaten Padang Pariaman; dan (2) menganalisis perbedaan pendapatan
usahatani sebelum dan sesudah menjadi peserta PUAP di Nagari Lareh Nan
Panjang Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman.
BAHAN DAN METODE

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), karena


lokasi ini terpilih sebagai lokasi yang menerima Program PUAP dan yang sesuai
dengan kriteria tertentu. Berpedoman pada lokasi pelaksanaan PUAP di
Sumatera Barat, maka lokasi yang dipilih sebagai tempat penelitian mengenai
pengaruh PUAP terhadap kinerja GAPOKTAN yang ditunjukkan dalam
peningkatan pendapatan petani adalah Nagari Lareh Nan Panjang Kecamatan VII
Koto Kabupaten Padang Pariaman. Untuk melihat perbedaan manfaat yang
diterima dari implementasi Program BLM-PUAP terhadap peningkatan
pendapatan petani di Nagari yang sama, maka dalam satu lokasi penelitian ini
terdapat 2 (dua) kategori petani yang dikaji yaitu Petani Sebelum dan Sesudah
menerima PUAP.

1013
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Penelitian ini dilaksanakan pada 1 (satu) Nagari yang mendapatkan


Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) melalui PUAP pada tahun anggaran
kegiatan 2011 yang berada di Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman,
yang ditetapkan berdasarkan kriteria lahan usaha dan komoditas utama
(agroekosistem) beserta petani yang ada di lokasi penelitian yang sama namun
bukan Petani Peserta PUAP. Penelitian ini telah dilaksanakan di Nagari Lareh
Nan Panjang pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun 2012.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode


survey dan juga sebuah evaluasi terhadap pelaksanaan Program Pengembangan
Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) berdasarkan butir-butir Juklak atau pedoman
pelaksanaan yang ada. Berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, maka
melalui metode survei ini dikaji pelaksanaan PUAP terhadap peningkatan
pendapatan petani di nigari terpilih.

Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah petani sebelum dan sesudah
menjadi peserta Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) di
Nagari Lareh Nan Panjang Kecamatan VII Koto Kabupaten Padang Pariaman
yang tergabung dalam Gapoktan Ampalu Gemilang.

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara Proportionate Random


Sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan metode alokasi proporsional
atau persentase terhadap populasi (Nazir, 2003). Jumlah responden yang
disurvey adalah 36 orang yang merupakan 25% dari total anggota Gapoktan
Ampalu Gemilang (Tabel 1).

Tabel 1. Distribusi Sampel Penelitian


Jumlah Sampel
No Responden Petani Populasi (Proporsi = 25% dari
Populasi)
1 Peserta Sebelum dan 90 Orang 36 Orang
Sesudah Menjadi Peserta
PUAP
Total 90 Orang 36 Orang
Sumber : Sekretariat PUAP Sumatera Barat, 2011.

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka analisis digunakan adalah :


a) Analisis secara deskriptif, kualitatif, dan kuantitatif dengan melihat
kesesuaian pelaksanaan kegiatan di lapangan dengan pedoman umum
pelaksanaan kegiatan PUAP.
b) Kinerja GAPOKTAN PUAP dapat dilihat dari kemampuannya dalam
mengelola dan menyalurkan dana PUAP secara efektif berdasarkan
kriteria penilaian baik dilihat dari pihak GAPOKTAN sendiri maupun dilihat
dari pengguna dana PUAP, dalam hal ini adalah petani.
Analisis kuantitatif Uji Beda t – Paired Sample Test digunakan untuk
melihat perbedaan intervensi antara implementasi Program PUAP terhadap
peningkatan pendapatan usahatani sebelum dan sesudah menjadi peserta PUAP
dalam kurun waktu minimal 1 (satu) tahun. Uji Beda t – Paired Sample Test yang

1014
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

digunakan dalam penelitian ini dapat dihitung berdasarkan formula berikut (Nazir,
2003) :

Dimana Sp adalah :

Keterangan :
Xa = Rata-rata Kelompok a ( Pendapatan Petani Sebelum
MenjadiPeserta PUAP )
Xb = Rata-rata Kelompok b (Pendapatan Petani Sesudah Menjadi
PesertaPUAP )
Sp = Standar Deviasi Gabungan
Sa = Standar Deviasi Kelompok a ( Sebelum Menjadi Peserta PUAP )
Sb = Standar Deviasi Kelompok b ( Sesudah Menjadi Peserta PUAP )
na = Banyaknya Sampel di Kelompok a ( Jumlah Peserta
SebelumMenjadi Peserta PUAP )
nb = Banyaknya Sampel di Kelompok b ( Jumlah Peserta
SesudahMenjadi Peserta PUAP )
DF = na + nb -2 ( Degree of Freedom pada α = 5% )

Pengujian Hipotesis

Untuk melakukan pengujian hipotesis yang telah diajukan sebelumnya,


maka digunakan Nilai t dari hasil Uji Beda t – Paired Sample Test yang
dibandingkan dengan nilai t df.α atau nilai t-tabel atau nilai p-valuepada α (tingkat
kepercayaan) sebesar 5% = 0,05. Dimana : df = derajat bebas = na + nb -2, dan α
= 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendapatan Usahatani Sebelum dan Sesudah Menjadi Peserta PUAP

Total rata-rata pendapatan usaha tani petani responden dengan luas lahan
rata-rata 0,7 hektar sebelum menjadi peserta PUAP berjumlah Rp. 5.545.578,-
.Pendapatan petani sesudah menerima BLM-PUAP berjumlah Rp. 6.579.805,
menunjukkan terjadi peningkatan pendapatan pada petani yang menerima BLM-
PUAP dengan selisih sebesar Rp. 1.034.227 atau sekitar 18,65 %.

1015
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

Peningkatan pendapatan usahatani petani peserta PUAP merupakan salah


satu tujuan dari dilaksanakannya program PUAP, dengan harapan melalui
peningkatan pendapatan usaha tani maka dapat membantu peningkatan
kesejahteraan keluarga petani. Peningkatan tersebut juga sesuai dengan uji
statistik t-hitung terhadap pendapatan petani sebelum menjadi peserta PUAP dan
sesudah menjadi peserta PUAP yang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Hasil Pengujian Statistik t-hitung terhadap Pendapatan Usaha Tani


Petani Nagari Lareh nan Panjang.
t-hitung t-tabel (α 0,05) Kesimpulan
Berbeda Nyata ( Tolak H0 )
8,672 1,691 Atau Terima H1

Hasil analisis statistic menunjukkan bahwa pendapatan usaha tani antara petani
sebelum menjadi peserta PUAP dan Petani sesudah menjadi peserta PUAP
adalah berbeda nyata.

Analisis R/C Rasio Petani Sebelum dan Sesudah Menjadi Peserta PUAP

Peningkatan pendapatan petani terjadi pada usaha budidaya padi dan


jagung. Pada usaha tani padi, terjadi peningkatan nilai R/C dari sebelum PUAP
(1,9) menjadi 2,0 setelah petani mendapatkan PUAP (Tabel 3). Walaupun terjadi
peningkatan biaya usahatani namun dengan penerimaan yang lebih meningkat,
maka pendapatan usahatani padi memberikan efisiensi usaha yang lebih baik.

Tabel 3. Perbandingan R/C rasio Petani Sebelum dan Sesudah Menjadi Peserta
PUAP Pada Budidaya Tanaman Padi ( Per Ha )
Uraian Sebelum PUAP Sesudah PUAP

Total Penerimaan Rp. 15.300.000 Rp. 17.000.000

Total Biaya Rp. 7.894.250 Rp. 8.305.750

R/C rasio 1,9 2,0

Seperti halnya pada usahatani padi, kinerja usahatani jagung juga


memberikan peningkatan pendapatan setelah adanya PUAP (Tabel 4). Nilai R/C
meningkat dari 1,9 (sebelum PUAP) menjadi 2,1 (setelah PUAP).

Tabel 4. Perbandingan R/C rasio Petani Sebelum dan Sesudah Menjadi Peserta
PUAP Pada Budidaya Tanaman Jagung ( Per Ha )
Uraian Sebelum PUAP Sesudah PUAP

Total Penerimaan Rp. 12.600.000 Rp. 15.400.000


Total Biaya Rp. 6.482.340 Rp.7.286.389
R/C rasio 1,9 2,1

Walaupun terjadi peningkatan biaya usahatani jagung, akan tetapi terjadi


penerimaan yang lebih besar setelah adanya PUAP sehingga memberikan nilai

1016
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

efisensi usaha yang lebih tinggi. Peningkatan pendapatan dari usahatani padi dan
jagung tersebut menjadi factor yang mendukung adanya perbaikan pendapatan
dari petani setelah mereka mendapatkan bantuan BLM-PUAP. Oleh karena itu,
secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa PUAP memberikan pengaruh yang
baik terhadap aspek perekonomian masyarakat di perdesaan.

KESIMPULAN

1. Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaaan memberikan


pengaruh nyata terhadap perbaikan pendapatan usahatani di Nagari Lareh
Nan Panjang.
2. PUAP layak untuk dilanjutkan dan dikembangkan.

SARAN

Pembinaan yang berkelanjutan dari Tim pusat sampai Tim Teknis Kecamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Daerobi, .2007. Penanggulangan Kemiskinan. www. ekonomirakyat.co.id.


Deptan. 2009a. Petunjuk Teknis Penyuluh Pendamping PUAP. Departemen
Pertanian Republik Indonesia.
---------, 2009b. Petunjuk Teknis Verifikasi Dokumen Pengembangan Usaha
Agribisnis Pedesaan (PUAP).Departemen Pertanian Republik Indonesia.
---------, 2009c. Petunjuk Teknis Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan
Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP).Departemen
Pertanian Republik Indonesia.
---------, 2010. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
(PUAP).Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Nazir, M. 2003. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

1017
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

DAFTAR HADIR PESERTA SEMINAR NASIONAL PADI


MEDAN, 2 DESEMBER 2015

No. Nama Instansi/Unit Kerja/Universitas


1. A.Dalapati BPTP Sulawesi Tengah
2. A.M. Safei BPTP Jabar
3. A.Yulyani Fadwiwaty BPTP Gorontalo
4. Abdul Azis BPTP Aceh
5. Adi Andika UISU Medan
6. Adri BPTP Jambi
7. Afrizal Malik BPTP Jateng
8. Agus Subekti BPTP Kalbar
9. Ahmad Muliadi Loka Penelitian Penyakit Tungro
10. Ahmad Tohir BPTP Sumut
11. Akbar Setiawan Fakultas Pertanian Umsu
12. Akmal BPTP Sumut
13. Ali Jamil BB Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
14. Alamsyah Fakultas Pertanian UMSU
15. Albina Ginting Fakultas Pertanian Nomensen
16. Alexander J.Rieuwpassa BPTP Maluku
17. Alfan Sagito BPTP Sumut
18. Alfayanti BPTP Bengkulu
19. Ali Imran Fakultas Pertanian Umsu
20. Alridiwirsah UMSU
21. Alin Maya Sari Fakultas Pertanian Usu
22. Amrizal Yusuf BPTP Sumut
23. Andi Syahputra Ritonga STPP Medan
24. Anis Fahri BPTP Riau
25. Anna Sinaga BPTP Jabar
26. Annisah STPP Medan
27. Araz Meilin BPTP Jambi
28. Ardian Solin STPP Medan
29. Arif Muazam Lolit Tungro
30. Arti Djatiharti BPTP Jabar
31. Asmanizar Fakultas Pertanian Uisu
32. Asrul Koes Puslitbangtan
33. Atman BPTP Sumbar
34. Ayang Alwani UMSU
35. Ayi Sudrajat BMKG Sampali Medan
36. Ayu Ratnita Ningsih STPP Medan
37. Azri BPTP Kalbar
38. Bahrul Zeil BBI Padi
39. Bambang Nuryanto BB Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
40. Bambang Sunandar BPTP Jabar

1018
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

41. Basri AB BPTP Aceh


42. Batseba M.W. Tiro BPTP Papua
43. Benedicta Lamria Siregar Univ. HKBP Nomensen
44. Beni Warman Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
45. Budi Prianto STPP Medan
46. Budi Rahini Ro. Ekon/Gubu
47. Budiman BPTP Jabar
48. Bunaiyah Honorita BPTP Bengkulu
49. Catur Hermanto Ka. BPTP Sumut
50. Chairunnisa Ritonga Fakultas Pertanian Usu
51. Cherly M. Butarbutar STPP Medan
52. Cucu Gunarsih BB Penelitian Padi
53. Dahono BPTP Jambi
54. Darma Aditya STPP Medan
55. Darwan Ritonga STPP Medan
56. Dea Sartika Sianturi STPP Medan
57. Deddy R. Siagian BPTP Sumut
58. Dedi Sahputra Hutabarat STPP Medan
59. Dedi Sugandi BPTP Bengkulu
60. Delima Lailan Sari Nasution Fakultas Pertanian Usu
61. Delima Napitupulu BPTP Sumut
62. Demas Wamaer BPTP Maluku
63. Deni Elfiati Universitas Sumatera Utara
64. Dewi Haryani BPTP Banten
65. Dewi Susilawati D STPP Medan
66. Diapari Siregar Fakultas Pertanian Uisu
67. Dicky Junaedi STPP Medan
68. Diky Handika STPP Medan
69. Dina Omayani Dewi BPTP Kalbar
70. Dini Yuliani BB Padi
71. Dirjan Angleas BPSB Sumut
72. Dody Hermawan Fakultas Pertanian Umsu
73. Dorkas Parhusip BPTP Sumut
74. Dwija Pratama FP UISU
75. Eko Priyono STPP Medan
76. Emisari Ritonga BPTP Riau
77. Endang Kusumawati STPP Medan
78. Endrizal BPTP Jambi
79. Erdiman BPTP Sumatera Barat
80. Erpina Delina Manurung BPTP Sumut
81. Erwin Najamuddin BPTP Gorontalo
82. Erwin Perdiansyah STPP Medan
83. Esteria Furry P BB Penelitian Padi

1019
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

84. Fadli Azhari STPP Medan


85. Fahri Novaldi STPP Medan
86. Faisal Arifin Fakultas Pertanian Umsu
87. Fanji Kesuma UISU Medan
88. Fausziah damanik FP UISU
89. Ferriansyah STPP Medan
90. Fiki Ali Sodikin STPP Medan
91. Fiqi Anwari Fakultas Pertanian Umsu
92. Firda Zhahphira Berampu STPP Medan
93. Firdaus BPTP Jambi
94. Firdaus BPTP Aceh
95. Fitra Syawal Universitas Sumatera Utara
96. Fitri Nurmandariani STPP Medan
97. H. OK Zulkarnaen ASISTK III
98. Hamidah Hanum Fakultas Pertanian Usu
99. Hardiyanto BPTP Sumbar
100. Hardy Guchi Fakultas Pertanian USU
101. Haryati Fakultas Pertanian USU
102. Helmi BPTP Sumut
103. Hendra Alfi Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
104. Hendri Ferianson P Purba BPTP Sumut
105. Hilda Julia Fakultas Pertanian Usu
106. Holden L. Nainggolan Fakultas Pertanian Nommensen
107. I Made Jana Mejaya Puslitbangtan
108. I Nyoman Widiarta Puslitbangtan
109. Idri Hastuty Siregar BPTP Sumut
110. Ika Maharani Siregar STPP Medan
111. Ikin Sadikin BPTP Jabar
112. Ilmi Aulia STPP Medan
113. Intan Kusumawati STPP Medan
114. Irfan Suliansyah Fakultas Pertanian Univ. Andalas
115. Isni Robit Nasution Fakultas Pertanian Uisu
116. Iwan Putra UMSU
117. Jainal Abidin Hutagaol BPTP Jambi
118. Jamilah Fakultas Pertanian USU
119. Jemmy Rinaldi BPTP Bali
120. Jhon David H BPTP Kalbar
121. Jodi Pratama Fakultas Pertanian Umsu
122. Jonharnas BPTP Sumut
123. Jonni Firdaus BPTP Sulawesi Tengah
124. Julian Hanafi Mrp STPP Medan
125. Julistia Bobihoe BPTP Jambi
126. Jumakir BPTP Jambi

1020
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

127. Junaidi Aceh


128. Juni Herlina STPP Medan
129. Ketut Mahaputra BPTP Bali
130. Khadijah El Ramija BPTP Sumut
131. Khairiah BPTP Sumut
132. Khairunnisa STPP Medan
133. Khasril Atrisiandy BPTP Sumut
134. Khoirunnisa Dalimunthe STPP Medan
135. Laurensius Sihaloho Dirjen Tanaman Pangan Kementan RI
136. Lely Zulhaida Nasution BPTP Sumut
137. Lermansius Haloho BPTP Sumut
138. Lintang Andini Putri Hrp STPP Medan
139. Lis Amelia Anggun Purba Fakultas Pertanian USU
140. Lismayarti Sinulingga PPL Hinai/Langkat
141. Listiawati BPTP Sumut
142. Loso Winarto BPTP Sumut
143. Lukas Sebayang BPTP Sumut
144. Lukman Indra STPP Medan
145. Lutfi Izhar LPTP Kepri
146. M. Amin BPTP Sumut
147. M. Wahyu Septiadi Putra STPP Medan
148. Mai Ratih PPL Kepala Sungai/Langkat
149. Maimunah Srg Fakultas Pertanian Panca Budi
150. Maryati Dep. Agronomi dan Hortikultura IPB
151. Mehran BPTP Aceh
152. Melysa Haknes Silalahi STPP Medan
153. Mhd. Ilham Riyadh Fakultas Pertanian Uisu
154. Mieke Afni Hardyani BPTP Sumut
155. Miftah Aulia STPP Medan
156. Miftahul Khoiriah STPP Medan
157. Misba Febrina Harahap STPP Medan
158. Misran BPTP Sumbar
159. Muainah Hasibuan BPTP Sumut
160. Muchamad Yusron BPTP Banten
161. Muhammad Abdillah BRIA
162. Muhammad Abid BPTP Sulawesi Tengah
163. Muhammad Fadly BPTP Sumut
164. Muhammad Farhan A. Ritonga STPP Medan
165. Muhammad Hatta BPTP Kalimantan Barat
166. Muhammad Ichwan BPTP Sumbar
167. Murni Sari Rahayu Fakultas Pertanian Uisu
168. Musfal BPTP Sumut
169. N.D.M Romauli Hutabarat BPTP Sumut

1021
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

170. Nafisah BB Penelitian Padi


171. Nazariah BPTP Aceh
172. Nazaruddin Hutapea BPTP Sumut
173. Nia Lita M. Sianturi STPP Medan
174. Nieldalina BPTP Sumbar
175. Niska Yanti STPP Medan
176. Novia Chairuman BPTP Sumut
177. Novit Fitriani STPP Medan
178. Nuning Argo Subekti Pusltbangtan
179. Nur Dania Siregar STPP Medan
180. Nurliana Harahap STPP Medan
181. Nurmalia BPTP SUmut
182. Nurmegawati BPTP Bengkulu
183. Nurnayetti BPTP Jabar
184. Nusyirwan Hasan BPTP Sumbar
185. Nyoman Ngurah Arya BPTP Bali
186. Oshwald Marbun BPTP Jabar
187. Perdinanta Sembiring BPTP Sumut
188. Petrus A. Beding BPTP Papua
189. Pinpin Toto Automi Harahap Fakultas Pertanian Umsu
190. Putri Nirwana Sari BPTP Sumut
191. Raden teguh Wijanarko BPTP Sulawesi Tenggara
192. Ragil Bagus Wibowo STPP Medan
193. Rahma Sari Yusmad STPP Medan
194. Rahmad Setia Budi Fakultas Pertanian Uisu
195. Rahmat Oktafia BPTP Bengkulu
196. Ramona Dewi Fakultas Pertanian Umsu
197. Randi hermawansyah STPP Medan
198. Ratna Gustin Luahambowo STPP Medan
199. Ratna Mauli Lubis Fakultas Pertanian Uisu
200. Ratna Rubiana BPTP Jambi
201. Ratu Clara Kencana STPP Medan
202. Reni Sisrawati STPP Medan
203. Rifda Roswita BPTP Sumbar
204. Riki Kurniawan Fakultas Pertanian Umsu
205. Riko Agus Triono Fakultas Pertanian Umsu
206. Rima Purnamayani BPTP Jambi
207. Rina H. Wening BB Peneltian Padi
208. Rippi Hamdani Fakultas Pertanian Umsu
209. Riri Rizki Chairiyah BPTP Sumut
210. Rodiah Perangin angin STPP Medan
211. Rohimah S.HL BPTP Papua
212. Rosmayati Fakultas Pertanian Usu

1022
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

213. Royan Yosepha Sagala STPP Medan


214. Rukia Siregar STPP Medan
215. Sahat M.Pasaribu PSEKP,Balitbangtan, Kementan RI
216. S. Edy Sumantri Fakultas Pertanian UISU
217. Setia Budi Keliat Biosindo Mitra Jaya
218. Salamat POL PP Provsu
219. Salwati BPTP Jambi
220. Samrin BPTP Sulawesi Tenggara
221. Saripah Ulpah BPTP Riau
222. Sarlan Abdulrachman BB Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
223. Sarman P.L.Tobing BPTP Sumut
224. Satiman STPP Medan
225. Sigid Handoko BPTP Jambi
226. Siska Erma yulita STPP Medan
227. Siska Tirajoh BPTP Papua
228. Siti Alpiah STPP Medan
229. Siti Fatimah Batubara BPTP Sumut
230. Siti Lia Mulijanti BPTP Jabar
231. Siti Maryam Harahap BPTP Sumut
232. Siti Rosmanah BPTP Bengkulu
233. Slameto BPTP Lampung
234. Sobrizal BATAN Jakarta
235. Soeharsono BPTP Sulawesi Tengah
236. Sortha Simatupang BPTP Sumut
237. Sri Haryani Sitindaon BPTP Smut
238. Sri Haryati Parapat STPP Medan
239. Sri Rahayu D. Sihombing BPTP Papua
240. Sri Romaito Dalimunthe BPTP Sumut
241. Suci Wulandari STPP Medan
242. Sudir BB Penelitian PAdi
243. Suhartini BB Penelitian Padi
244. Suharyanto BPTP Bali
245. Suheri Sitepu BPTP Sumut
246. Sukmaya BPTP Jabar
247. Sulaiman Ginting Fakultas Pertanian Uisu
248. Sumarni BPTP Sulawesi Tengah
249. Sumilah BPTP Sumbar
250. Suwartoyo POL PP Provsu
251. Syafruddin G Aceh
252. Syahrul Zen BPTP Sumbar
253. T. Iskandar BPTP Aceh
254. Tamara Gading STPP Medan
255. Tatang M. Ibrahim BPTP Sumut

1023
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

256. Taufik Oktavian Gulo USU Medan


257. Thalia Mei Jesika Silalahi STPP Medan
258. Timbul Marbun BPTP Sumut
259. Tommy Purba BPTP Kalbar
260. Trias Sitaresmi BB Penelitian Padi
261. Tristiana Handayani BPTP Sumut
262. Tumpal Sipahutar BPTP Sumut
263. Untung Susanto BB Penelitian PAdi
264. Usman BPTP Papua
265. Viktor Siagian BPTP Banten
266. Vivi Aryati BPTP Sumut
267. Wage R. Rohaeni BB Penelitian Padi
268. Wan Afriani Barus FP UNHAM
269. Wasito BPTP Sumut
270. Winda Rahayu BPTP Aceh
271. Windri Safitri STPP Medan
272. Winni Rumondang STTP Medan
273. Yardha BPTP Jambi
274. Yartiwi BPTP Bengkulu
275. Yati Astuti BPTP Banten
276. Yati Haryati BPTP Jabar
277. Yaya Hasanah Fakultas Pertanian USU
278. Yayuk Purwaningrum Fakultas Pertanian Uisu
279. Yong Farmanta BPTP Bengkulu
280. Yuliantoro Baliadi BB Penelitian Tanaman Padi Sukamandi
281. Yuli Daramawani STPP Medan
282. Yulimasni BPTP Sumbar
283. Yunita Indah Wulandari BPTP Papua
284. Yusniwati Univ. Andalas Padang

1024
Seminar Nasional Padi
“Membangun Pertanian Berkelanjutan Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional”

1025

Anda mungkin juga menyukai