Pasal Penghinaan Terhadap Presiden diatur didalam Buku II Tentang Tindak Pidana tepatnya didalam
BAB II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, Bagian Kedua Tentang
Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Khususnya Pasal 218,
Pasal 219 dan Pasal 220
Adapun Isi Pasal Tersebut Adalah:
Pasal 218
(1)Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau
Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak kategori IV (200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
(2)Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
PENJELASAN PASAL 218 AYAT (1)
Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya
merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka
umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik
ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara
lain moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan, karena
menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal), oleh karena itu, secara teoritik
dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se, dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir)
di berbagai negara.
Pengaturan Terkait dengan hal tersebut diatas diatur didalam Buku Ketiga tentang Pelanggaran tepatnya
didalam BAB VII terkait Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, dan Perkarangan. Khususnya di Pasal
548 & Pasal 549.
Adapun Isi Pasal yang Diatur Dalam KUHP yang lama adalah sebagai berikut:
Pasal 548
Barang siapa tanpa wenang membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun, di tanah yang sudah
ditaburi, ditugali atau ditanami, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima
rupiah.
Pasal 549
(1) Barang siapa tanpa wenang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, di padang rumput atau di lading
rumput atau di padang rumput kering, baik di tanah yang telah ditaburi, ditugali atau ditanami ataupun
yang sudah sedia untuk ditaburi, ditugali atau ditanami atau yang hasilnya belum diambil, ataupun di
tanah kepunyaan orang lain oleh yang berhak dilarang dimasuki dan sudah diberi tanda larangan yang
nyata bagi pelanggar, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
(2) Ternak yang menyebabkan pelanggaran, dapat dirampas.
(3) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap
karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama empat belas
hari.
DIDALAM KUHP BARU
Pengaturan Terkait dengan hal tersebut diatas diatur didalam Buku Kedua Tentang Tindak Pidana BAB
V tentang Tindak PIdana Terhadap Ketertiban Umum, Bagian Ketujuh terkait Gangguan terhadap Tanah,
Benih, Tanaman dan Pekarangan. Khususnya Pasal 278 dan Pasal 279.
Adapun Isi Pasal yang Diatur Dalam KUHP baru adalah sebagai berikut:
Pasal 278
Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi
benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.
Pasal 279
(1)Setiap Orang yang membiarkan Ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi
benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan
pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara
PERBEDAAN MENDASAR ANTARA KUHP LAMA DAN KUHP BARU
Perbedaannya hanya terletak pada Jumlah Pidana Denda bila dalam KUHP baru ancaman pidana
dendanya katagori II (10 juta rupiah).
Perlu diketahui, pola pidana denda dalam KUHP tidak mengenal “minimum khusus” dan “maksimum
umum”. Yang ada hanya minimum umum dan maksimum khusus. Minimum umum di KUHP yang lama
dapat dilihat didalam Pasal 30 ayat (1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Yang
didasarkan pada perubahan menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 18 Tahun
1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
Dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam Perumusan KUHP baru ini pengklasifikasian tindak pidana terbagi 3, yaitu Sangat Ringan, Berat,
dan Sangat Berat. Untuk delik yang sangat ringan hanya diancam dengan pidana denda, untuk delik
yang dipandang berat diancam dengan pidana penjara atau denda (alternatif), dan untuk delik yang
sangat serius diancam dengan pidana penjara saja (perumusan tunggal) atau dalam hal-hal khusus
dapat pula diancam dengan pidana mati yang dialternatifkan dengan penjara seumur hidup atau
penjara dalam waktu tertentu.
Dengan pola diatas, secara kasar hanya akan ada 3 kategori pengelompokkan tindak pidana yaitu, yang
hanya diancam pidana denda (untuk delik yang bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara), yang
diancam pidana penjara atau denda secara alternatif (untuk delik yang diancam dengan pidana penjara 1-
7 tahun), yang hanya dengan pidana penjara (untuk delik yang diancam dengan pidana penjara lebih dari
7 tahun).
Namun demikian perlu dicatat, bahwa tetap dimungkinkan adanya penyimpangan dari pola tersebut antara
lain; untuk beberapa tindak pidana yang dipandang meresahkan masyarakat ancaman pidananya akan
ditingkatkan secara khusus dan sebaliknya dengan alasan khusus dapat diturunkan ancaman pidananya;,
untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat menimbulkan keuntungan ekonomis/keuangan yang
cukup tinggi pidana penjara yang diancamkan dapat dialternatifkan dan diakumulasikan dengan pidana
denda;, untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat menimbulkan disparitas pidana dan
meresahkan masyarakat akan diancam dengan pidana minimum khusus.
PELAKU SANTET
Didalam KUHP yang lama kegiatan yang dianggap mempunyai kekuatan gaib tersebut hanya
ditujukan kepada para peramal (yang menjadikan sebagai pencariannya untuk peruntungan,ramalan,
atau penafsiran impian), dan para penjual benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib
seperti jimat atau benda yang dianggap gaib. Disamping itu KUHP lama juga menyasar bagi siapa saja
yang mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan dan bagi para
saksi yang menggunakan benda-benda gaib atau jimat juga bisa dikenakan delik tindak pidana.
Sedangkan dalam KUHP yang baru ketentuannya hampir sama yaitu penekanannya pada setiap orang
yang menyatakan dirinya mempuyai kekuatan gaib, akan tetapi yang ditujukannya kepada mereka
yang dapat menimbulkan penyakit, kematian atau penderitaan mental atau fisik. Disamping itu bila
yang bersangkutan menggunakan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan mata
pencarian hukumannya ditambah sepertiga. Akan tetapi yang menjadi persoalan dan perdebatan
terkait dengan tindak pidana santet ini atau bagi mereka yang mempunyai kekuatan magis ini, terletak
pada kemampuan para penegak hukum untuk membuktikan adanya perbuatan magis tersebut
sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain. Karena dalam penggunaan hukum pidana harus
pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu
jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overblasting) sebab selama ini kebanyakan dari putusan
pengadilan yang memutus persoalan terkait dengan praktek paranormal ini justru mengarah kepada tindak
pidana penipuan adapun beberapa putusan yang dapat di cermati antara lain Putusan Pengadilan Negeri
Kuningan Nomor: 86/ Pid.B /2012 / PN.KNG dan Putusan Pengadilan Negeri Bayuwangi Nomor:
460/Pid.B/2013/PN.Bwi dengan terdakwa berpura-pura sebagai dukun pengganda uang. Putusan
Pengadilan Negeri Cibadak Nomor: 319/Pid.B/2011/PN.Cbd terdakwa melakukan perbuatan cabul
dengan berpura-pura sebagai dukun. dan berbagai macam kasus lain yang mengarah ke perbutan diluar
tindakan magis seperti kasus penipuan penggandaan uang oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang juga
terbukti menganjurkan pembunuhan berencana terhadap dua orang dan Kasus Aa’ Gattot yang melakukan
perbuatan asusila anak dibawah umur.
SUAMI PERKOSA ISTRI SENDIRI
DIDALAM KUHP LAMA
Pengaturan Terkait dengan hal tersebut diatas (Perkosaan) diatur didalam Buku Kedua tentang Kejahatan
tepatnya BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan Khususnya Pasal 285 dan BAB XVIII tentang
Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang Khususnya Pasal 336
Adapun Isi Pasal Tersebut Adalah:
Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
Pasal 336
(1)Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, barang siapa mengancam dengan
kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama, dengan suatu
kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang, dengan perkosaan atau
perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan, dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa, dengan
penganiayaan berat atau dengan pembakaran.
(2)Bilamana ancaman dilakukan secara tertulis dan dengan syarat tertentu, maka dikenakan pidana penjara
paling lama lima tahun.
DIDALAM KUHP BARU
Pengaturan Terkait dengan hal tersebut diatas (Perkosaan) diatur didalam Buku Kedua tentang Tindak
Pidana tepatnya di BAB XXII tentang Tindak Pidana Terhadap Tubuh tepatnya di Bagian Ketiga terkait
Perkosaan. Khususnya Pasal 479
Adapun Isi Pasal Tersebut Adalah:
Pasal 479
(1)Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh
dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2)Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perbuatan:
a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa
orang itu merupakan suami/istrinya yang sah;
b. persetubuhan dengan Anak; atau
c. persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan
pingsan atau tidak berdaya.
(3)Dianggap juga melakukan Tindak Pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan perbuatan cabul berupa:
a. memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain;
b. memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau
c. memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau
anus orang lain.
(4)Dalam hal Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) adalah Anak dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(5) Dalam hal Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Anak dan dipaksa untuk melakukan
persetubuhan dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(6)Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengakibatkan
Luka Berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(7)Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengakibatkan
matinya orang, pidana ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8)Jika Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah Anak kandung, Anak tiri, atau Anak dibawah
perwaliannya, pidana ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Bila dalam KUHP lama perkosaan hanya dibatasi pada setiap tindakan kekerasan atau ancaman yang
ditujukan untuk melakukan persetubuhan kepada wanita diluar perkawinan maka dalam KUHP baru
perkosaan lebih diperluas tidak hanya terhadap wanita akan tetapi pria juga dianggap sebagai korban dari
pemerkosaan. Didalam KUHP baru tindak pidana perkosaan tersebut ditujukan kepada seseorang dengan
persetujuannya percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya, persetubuhan dengan anak, atau
persetubuhan dengan seseorang yang diketahui bahwa orang tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya. Disamping itu tindakan pidana perkosaan juga diperluas jika dilakukan dengan perbuatan cabul
berupa memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain, memasukkan alat kelamin orang
lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri atau memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau
sesuatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.
Sedangkan dalam ayat 2 huruf a yang diperdebatkan bukanlah sebagai bagian dari marital rape
(pemerkosaan dalam perkawinan) atau patner rape (pemerkosaan dalam hubungan) sebab frasa karena
orang tersebut percaya dapat diartikan sangkaan atau mengira dan dipenjelasan disebutkan secara jelas
bahwa yang menjadi korban disini bisa suami ataupun istri. Pengaturan ini berbeda dengan pengaturan
yang terdapat didalam Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang secara eksplisit memasukkan marital rape melalui pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil yang menjadi
bagian dari kekerasan seksual. Didalam penjelasan Pasal 8 UU KDRT juga disebutkan yang dimaksud
dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual secara
wajar atau tidak wajar atau tidak disukai. Di beberapa negara lain kejahatan sebagaimana yang dimaksud
didalam KUHP yang baru pernah terjadi, salah satunya kasus Duarte Xavier laki-laki yang menyamarkan
dirinya sebagai wanita dan berhubungan seksual dengan laki laki yang mengira bahwa yang bersangkutan
adalah wanita walaupun dalam kasus ini berbeda karena bukan dalam ikatan perkawinan dan tidak ada
sangkaan bahwa orang tersebut adalah istri yang sah dan ini tergolong kejahatan seksual yang dilakukan
dengan cara menutup mata “blindfolded”. Dan kasus sepasang pengantin baru di Provinsi Prey Veng
Kamboja yang dimana Chhoen Chanseng sengaja menyamar menjadi suami si wanita pada saat mati
lampu. Pada saat itu terjadi pemadaman listrik, Chanseng masuk ke rumah pengantin dan naik ke tempat
tidur korban. Pada saat itu pengantin pria sedang tertidur diatas meja luar rumahnya karena mabuk, si
pengantin wanitapun mengira yang berada diatas tempat tidur adalah suaminya. dan sesaat setelah
hubungan terjadi sang wanita sadar dan berteriak dan yang bersangkutan akhirnya ditangkap.
HIDUP GELANDANGAN
Didalam KUHP yang lama ancaman pidana yang diberikan kepada setiap orang yang bergelandangan
tersebut adalah pidana kurungan, sedangkan dalam KUHP yang baru dikenakan pidana denda
Lebih lanjut persoalan gelandangan ini sebenarnya sudah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 31
Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Didalam peraturan tersebut
gelandangan didefinisikan sebagai orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma
kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan
yang tetap diwilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum (Pasal 1 angka 1 PP 31/1980).
Pengaturan lain terhadap gelandangan juga terdapat didalam Perkapolri No. 14 Tahun 2007 tentang
Penanganan Gelandangan dan Pengemis didalamnya diatur tata cara preventif dan penegakkan hukum
dalam menangani gelandangan dan pengemis.
Sebagai informasi, terkait dengan pengaturan gelandangan ini sebenarnya sudah mengalami beberapa kali
perubahan di KUHP yang baru. Dalam Draft Panja 2 Februari 2017 di Pasal 489 disebutkan “setiap orang
yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri, dipidana
dengan pidana denda paling banyak kategori I.” sedangkan dalam draft pemerintah tanggal 25 juni 2019
frasa yang sebelumnya berubah menjadi “ setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum
yang menganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.” sehingga yang
menjadi persoalan adalah hilangnya frasa “melacurkan diri” sebagai bahagian dari pergelandangan bisa
menjadi tanda tanya tersendiri, bagi pemerintah. Disamping itu dengan masuknya pasal ini kedalam KUHP
baru dengan tidak mengubah esensi pengaturan sebelumya di KUHP yang lama menegaskan bahwa
negara secara tidak langsung diwajibkan hadir untuk mencegah ketidaksejahtraan bagi masyarakat dengan
menjalankan prinsip yang terkandung didalam Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 34 UUD 1945 negara
memberikan hak kepada warga negara untuk memperoleh kemakmuran/kesejahtraan sosial yang sebesar
besarnya dan memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak anak terlantar untuk dipelihara oleh
negara. Sekaligus pasal ini dapat menjadi PR bagi pemerintah untuk bisa menghapuskan kemiskinan dan
pergelandangan sebagai wujud negara sejahtera.
SETIAP ORANG YANG MELAKUKAN HIDUP BERSAMA
SEBAGAI SUAMI ISTRI DILUAR PERKAWINAN (KUMPUL KEBO)
DIDALAM KUHP BARU Pengaturan Terkait dengan hal tersebut diatas diatur didalam Buku Kedua
tentang Tindak Pidana tepatnya di BAB XV terkait tindak pidana kesusilaan bagian keempat perzinaan.
Khususnya di Pasal 418
Pasal 418
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan
suami, istri, Orang Tua atau anaknya.
(3)Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan
sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.
(4)Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan
Pasal 30.
(5)Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
PERBEDAAN MENDASAR KUHP LAMA & KUHP BARU
Di KUHP yang lama (Wetboek van strafrecht) pengaturan terkait dengan kohabitasi (kumpul kebo) tidak
diatur sebelumnya.
KUHP yang baru ini memberikan ruang kepada pihak ke-3 atau pihak lain yang dirugikan atas perbuatan
kohabitasi ini dapat menjadi pengadu sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, atau
anaknya. Disamping memang suami, istri, orang tua atau anaknya sendiri tersebut dapat bertindak sebagai
pengadu.
Pengaturan terkait kohabitasi ini dilandasi oleh ide dasar (basic ideas) Pancasila yang mengandung
didalamnya nilai keseimbangan moral relegius (ketuhanan), kemanusian (humanitistic), kebangsaan,
demokrasi, dan keadilan sosial.
Bila dibandingkan dengan beberapa negara lain yang telah mengatur kohabitasi maka sesungguhnya
indonesia sudah sangat tertinggal dan sangat bertolak belakang dengan budaya relegiusitas yang kita
pahami dan anut selama ini. Di Yogoslavia kohabitasi diatur didalam Pasal 193 KUHP Republik Federal
Yugoslavia tahun 1951 yang dimana orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan (living
in non-matrimonial union) dengan anak yang telah mencapai usia 14 tahun dipidana penjara tidak kurang
dari 3 bulan. Pidana yang sama dikenakan kepada orang tua atau wali yang mengizinkan atau
mendorong/membujuk anak diatas 14 tahun untuk kumpul kebo dengan orang lain. Di Singapura juga
mengatur terkait Kohabitasi khususnya didalam Pasal 493 KUHP Singapura yang berbunyi “every
man, who by deceit causes any woman who is not lawfully married to him to belive that she is lawfully
married to him and to cohabit or have sexual intercourse with him in that belief, shall be punished with
imprisonment for a term which may extent to ten years, and shall also be liable to fine. Yang dimana
ancaman hukumannya bisa sampai 10 tahun. Di Malaysia kohabitasi ini juga dilarang didalam Pasal 493
Kanun Keseksaan dengan ancaman penjara 10 tahun penjara, dan beberapa negara lain yang juga
mengatur hal yang sama terkait dengan kohabitasi seperti Brunei,India, Burma (Myanmar), dan Kepulauan
Fiji.
Adapun Pasal 53 & Pasal 54 yang dimksudkan dalam Pasal ini adalah terkait dengan Pedoman
Pemidanaan
Pasal 53
(1)Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan.
(2)Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)terdapat pertentangan
antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Pasal 54
(1)Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana;
b. motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana;
c. sikap batin pelaku Tindak Pidana;
d. Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan;
e. cara melakukan Tindak Pidana;
f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana;
i. pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban;
j. pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang
terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pengaturan Terkait dengan hal tersebut diatas diatur didalam Buku Kedua tentang tindak pidana BAB VIII
terkait Tindak Pidana Yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang, Kesehatan, Barang, dan
Lingkungan Hidup. Bagian Keenam tentang tindak pidana penghasutan, kecerobohan, pemeliharaan dan
penganiayaan hewan. Khususnya di Pasal 341
Pasal 341
(1)Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang:
a. menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan melampaui batas atau tanpa tujuan
yang patut; atau
b. melakukan hubungan seksual dengan hewan.
Di KUHP lama tidak ada mengatur terkait dengan perbuatan hubungan seksual dengan hewan.
Diakomodirnya pasal ini kedalam KUHP yang baru menyesuaikan dengan berbagai macam kasus yang
selama ini terjadi yang melibatkan aktifitas seksual antara manusia dengan hewan sehingga perumus
memasukkan hal ini sebagai salah satu delik yang dapat dipergunakan untuk menjerat mereka yang
mengalami kelainan seksual yang berhubungan dengan hewan.
Di beberapa negara perbuatan kelainan seksual yang dikenal dengan istilah Bestialitas atau zoophilia yang
melibatkan hewan seperti hewan piaraan dan ternak ini dianggap sebagai perbuatan yang menjijikan dan
amoral.
Pasal 283
(1) Setiap Orang yang membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi sesudah diperintahkan
sampai 3 (tiga) kali oleh atau atas nama hakim dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2)Setiap Orang yang membuat gaduh di dekat Ruang sidang pengadilan pada saat sidang berlangsung
dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 (tiga) kali oleh atau atas nama petugas yang berwenang
dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
PERBEDAAN MENDASAR KUHP LAMA & KUHP BARU
didalam KUHP lama ancaman hukuman apabila melakukan penghinaan terhadap badan yang dalam hal
ini adalah pengadilan maka ancaman hukumannya adalah pidana penjara satu tahun enam bulan,
sedangkan dalam KUHP baru hanya dikenakan pidana denda katagori II (10 juta rupiah)
di KUHP yang lama tidak ada pengaturan terkait dengan tindak pidana yang ditujukan bagi setiap orang
yang tanpa izin pengadilan merekam mempublikasikan secara langsung atau membolehkan untuk
dipublikasikan proses persidangan, didalam KUHP baru ini pengaturan tersebut ada sehingga
menimbulkan tanggapan dari para jurnalis yang dikhawatirkan akan terkena dampak oleh pemberlakuan
pasal ini. Namun bila kita melihat pada penjelasan Pasal 281 huruf C disebutkan bahwa Yang dimaksud
dengan “proses persidangan” adalah yang bersifat tertutup atau yang hakim telah memerintahkan
untuk tidak diperbolehkan untuk dipublikasi. Biasanya aturan sidang tertutup ditujukan kepada perkara
kesusilaan atau terdakwanya dalam hal ini adalah anak anak. Ini sesuai dengan Pasal 153 ayat (3) KUHAP
yang menyebutkan “untuk keperluan hakim, ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” Didalam Pasal 17 ayat
(1) huruf c UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang sebagian isinya telah diubah melalui
UU No. 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa “setiap anak yang dirampas kebebasanya berhak untuk
membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam
sidang tertutup untuk umum. Dan di Pasal 64 huruf h UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak
menyebutkan “Perlindungan Khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud
Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui pemberian keadilan di muka pengadilan anak yang objektif,
tidak memihak, dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Selanjutnya terkait dengan setiap orang yang membuat gaduh di dekat ruang pengadilan atau dalam
sidang pengadilan ancaman hukumannya berbeda bila di KUHP lama ancamanya 3 minggu sedangkan di
KUHP baru hanya dikenakan pidana denda kategori I (1 juta rupiah).
TERKAIT PERZINAAN
Didalam KUHP lama ancaman hukuman bagi orang yang melakukan gendak (overspel) atau perzinaan di
pidana 9 bulan penjara sedangkan di KUHP yang baru ancaman hukumannya adalah 1 tahun penjara
dengan denda katagori II (10 juta rupiah).
KUHP lama mengacu kepada KUHPerdata khususnya Pasal 27 yang mengatur terkait syarat-syarat dan
segala sesuatu yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan perkawinan. Didalam Pasal 27 BW
(KUHPerdata) disebutkan seseorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang
perempuan saja; seorang perempuan hanya dengan satu orang laki saja (monogami).
Menurut KUHP yang lama seseorang yang melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan diluar
pernikahan atas dasar suka sama suka pada prinsipnya tidak dipidana, kecuali terbukti ada perzinaan
(salah satu sudah kawin). Yang dipidana menurut KUHP lama hanya apabila persetubuhan diluar nikah itu
dilakukan secara paksa (perkosaan), terhadap orang pingsan, tidak berdaya atau terhadap anak di bawah
umur 15 tahun. Berdasarkan ketentuan demikian maka, menurut KUHP lama tidaklah merupakan tindak
pidana.
KUHP lama hanya mengikat mereka yang dalam ikatan perkawinan sedangkan dalam KUHP baru
perluasan makna perzinaan tidak hanya bagi mereka yang berada dalam ikatan perkawinan namun
juga diluar ikatan perkawinan sebagaimana yang dijelaskan didalam penjelasan Pasal 417 huruf e laki-
laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan juga
masuk dalam tindak pidana perzinaan.
Terkait dengan delik aduan pada KUHP lama hanya dibatasi pada suami atau istri bersangkutan yang
dirugikan oleh perbuatan zina tersebut, sedangkan dalam KUHP baru delik aduan diperluas meliputi
suami, istri, orang tua, dan anaknya.
Didalam KUHP lama bagi mereka yang berlaku Pasal 27 BW maka dalam waktu tiga bulan diikuti dengan
permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 284 ayat (2) dan ayat (5) KUHP lama.
TERKAIT MIRAS
Baik KUHP lama dan KUHP baru tidak ada perbedaan pada frasa pengaturannya hanya yang
membedakan ancaman pidananya bagi mereka yang sudah terlihat mabuk ditawarkan minuman
memabukkan dipidana 1 tahun yang dimana baik KUHP lama dan KUHP baru ancamannya sama.
Sedangkan bagi miras yang ditujukan kepada anak KUHP baru justru lebih berat yakni 2 tahun sedangkan
KUHP lama 1 tahun dan bagi keduanya baik yang terlihat mabuk dan memberikan miras kepada anak
diberikan pidana denda kategori II (10 juta rupiah).
ABORSI
DIDALAM KUHP LAMA
Pengaturan Terkait dengan hal tersebut diatas diatur didalam Buku Kedua tentang kejahatan tepatnya di
BAB XIX tentang Kejahatan Nyawa. Khususnya Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, & Pasal 349
Adapun Isi Pasal Tersebut Adalah:
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
(1)Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
Pasal 348
(1)Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346,
ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347
dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 470
(1)Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan
persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya perempuan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
Pasal 471
(1)Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 469 dan Pasal 470, pidana dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan
huruf f.
(3)Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap
Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.
KORUPSI
DIDALAM KUHP LAMA
Pengaturan Terkait dengan hal tersebut diatas diatur didalam Buku Kedua tentang Kejahatan tepatnya di
BAB XXVIII terkait Kejahatan Jabatan. Khususnya Pasal 418, Pasal 419, & Pasal 423
Adapun Isi Pasal Tersebut Adalah:
Pasal 418
Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya,
bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan
jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
Pasal 419
Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pejabat:
1. yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk
menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
2. yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat atau oleh karena si
penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya.
Pasal 423
Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk
membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun
Pasal 604
Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.
Pasal 605
(1)Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V, Setiap Orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2)Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit kategori III dan paling banyak kategori V.
Pasal 606
(1)Setiap Orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak kategori IV.
(2)Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak
kategori IV.
PERBEDAAN MENDASAR KUHP LAMA & KUHP BARU
Didalam KUHP yang lama perbuatan rasuah atau korupsi ini hanya ditujukan kepada mereka yang
menerima hadiah (gratifikasi) dengan janji tertentu dan ditujukan kepada para pejabat.
Sedangkan dalam KUHP yang baru Pasal 603 yang secara umum ketentuan frasanya sama persis dengan
Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi ancaman hukumannya diturunkan dari
paling singkat 4 tahun ke paling singkat 2 tahun. Hal ini untuk membedakan perbuatan korupsi yang
dilakukan oleh orang biasa dengan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Sebaliknya di Pasal 604
KUHP yang baru justru ancaman paling singkatnya lebih berat dari UU Tindak Pidana Korupsi dari paling
singkat 1 tahun menjadi paling singkat 2 tahun, sehingga disini bagi pejabat negara ancaman hukumannya
justru diperberat dari ketentuan yang terdapat di UU khusus yang mengatur tindak pidana korupsiini hal ini
dapat dilihat didalam ketentuan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Terkait dengan ketentuan yang diatur
didalam Pasal 603 dan 604 yang diadopsi langsung dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi
apabila kita melihat pada alasan yang disampaikan didalam Naskah Akademik RKUHP lebih menekankan
pada asas keadilan proporsionalitas yang dimana didalam NA RKUHP disebutkan bahwa penerapan Pasal
2 dan Pasal 3 UU Tipikor, yaitu apabila kerugian negara relatif kecil. Perbuatan yang memenuhi ketentuan
Pasal 2 UU Tipikor diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000 sedangkan perbuatan yang memenuhi ketentuan Pasal 3 diancam dengan pidana penjara
paling singkat 1 tahun dana tau denda paling sedikit Rp. 50.000.000., apabila suatu perbuatan yang
memenuhi ketentuan Pasal 2 menimbulkan kerugian relatif kecil apakah harus dipidana dengan pidana 4
tahun penjara dan denda Rp. 200.000.000??, demikian pula dengan perbuatan yang memenuhi ketentuan
Pasal 3 dan menimbulkan kerugian relatif kecil apakah juga harus dipidana dengan pidana minimal 1 tahun
dan/atau denda Rp. 50.000.000, apakah pidana yang demikian sesuai dengan prinsip proporsionalitas dan
keadilan?
MAKAR
DIDALAM KUHP LAMA
Pengaturan Terkait dengan hal tersebut diatas diatur didalam Buku Kedua tentang Kejahatan tepatnya
BAB I terkait Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Khususnya Pasal 87,Pasal 104, Pasal 106, & Pasal
107.
Adapun Isi Pasal Tersebut Adalah:
Pasal 87
Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.
Pasal 53 sebagaimana disebutkan diatas adalah (percobaan) sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
(3)Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
(4)Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 104
Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan
Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 106
Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau
memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 107
(1)Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.