Anda di halaman 1dari 10

BEBERAPA AKAR PENYEBAB DAN PERMASALAHAN

KEMISKINAN PERDESAAN

A. Pengertian Kemiskinan
 Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang sekarang bernama
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan
dikembangkan sebagai media untuk membangun kesadaran masyarakat
dan semua pihak terhadap perubahan dan nafas pembangunan. Gagasan
awal dari PNPM Mandiri Perdesaanyaitu, dalam kondisi krisis dan proses
pemiskinan yang bekepanjangan ini belum adanya sistem perlindungan
sosial yang efektif, besarnya kelompok rentan (vulnerable) di tingkat
perdesaan selalu meningkat dan pada akomulasi tertentu sampai akan
menghancurkan cadangan utama penyelamatan (safety first) di
masyarakat perdesaan (Scott, 1989:7).
 Hancurnya sistem sosial, modal sosial seperti sarana prasarana,
menurunnya tingkat kualitas hidup, mandeknya sistem ekonomi
kerakyatan, tak berfungsinya kelembagaan di tingkat masyarakat
perdesaan sebagai akar penyebab dari kemiskinan.
 Secara umum Buku Pedoman Komite Penanggulangan Kemiskinan (2002)
menyatakan bahwa masyarakat miskin ditandai adanya ketidakberdayaan
atau ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal: a) memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan,
pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation); b) melakukan kegiatan
yang tidak produktif (unproductiveness); c) tidak bisa menjangkau akses
sumber sosial dan ekonomi (inaccessability); d) menentukan nasibnya
sendiri dan senantiasa mendapatkan perlakukan diskriminatif,
mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan
vatalistik (vurnerability) dan; e) membebaskan diri dari mental dan budaya
miskin serta senantiasa mempunyai martabat harga diri yang rendah (no
freedom for poor).
 Pengertian Kemiskinan yang ekstrem menurut sebagian para ahli yaitu
ditandai dalam situasi kemiskinan ekstrem ada enam macam modal
kapital: 1) Human Capital (modal sumber daya manusia); 2) Business
Capital (modal usaha / perdagangan); 3) Infrastructure (prasarana /
rangka dasar); 4) Nature Capital (modal sumber daya alam); 5) Public
Institusional Capital (lembaga-lembaga umum / publik) dan; 6) Knowledge
Capital (modal pengetahuan / penguasaan pengetahuan)
 Sementara itu target Pengentasan Kemiskinan menurut Millenium
Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, 191 negara anggota PBB
berjanji untuk:
 Menghapus kemiskinan absolut dan kelaparan sampai separuh dari
jumlah yang ada saat ini.
 Mencapai pendidikan dasar yang universal bagi semua anak
perempuan dan laki-laki.
 Mendorong kesetaraan jender di semua tingkat pendidikan dan
pemberdayaan perempuan.

bb3 1
 Menurunkan angka kematian bayi dan anak dari dua per tiganya
dari jumlah saat ini
 Meningkatkan kesehatan ibu dan mengurangi sampai tiga per empat
jumlah anggka kematian ibu hamil dan melahirkan
 Memberantas HIV / AIDS dan penyakit-penyakit infeksi penyebab
utama kematian.
 Menjamin keberlanjutan lingkungan dengan memasukkan prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam berbagai kebijakan
dan program negara.
 Membangun kemitraan global untuk pembangunan dengan
mengembangkan sistem perdagangan terbuka dan sistem keuangan
berbasis hukum, teratur, dan tidak diskriminatif.

 Pengertian Kemiskinan Menurut Biro Pusat Statistik (BPS)?

 Terdapat ada 14 Variabel Penentu Kemiskinan yaitu:


1) Luas lantai per kapita
2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal
3) Jenis dinding tempat tinggal
4) Fasilitas buang air besar
5) Sumber air minum
6) Sumber penerangan rumahtangga
7) Bahan bakar untuk masak
8) Kemampuan membeli daging/ayam/susu per minggu
9) Frekwensi makan per hari
10) Kemampuan beli baju baru per tahun
11) Kemampuan untuk berobat di puskesmas / poliklinik
12) Lapangan pekerjaan kepala rumahtangga
13) Pendidikan tertinggi kepala rumahtangga
14) Pemilikan asset

 Terdapat Empat (4) Variabel Intervensi


1) Keberadaan balita
2) Keberadaan anak usia 7 – 18 tahun
3) Partisipasi WUS berstatus kawin dalam KB
4) Penerimaan kredit usaha
 Menurut Combers (1983: 145) unsur-unsur kemiskinan terjalin erat
dalam suatu mata rantai dan ada sekitar dua puluh (20) pola
kemungkinan hubungan kausal yang dalam keadaan negatif membentuk
semacam jaringan untuk menjebak orang dalam kemelaratan. Perangkat
tersebut berasal dari kemiskinan sebagai faktor utama yang berakibat ke
dalam kelemahan fisik, kerawanan, kerentanan, ketidakberdayaan dan
terisolasinya dari akses yang lebih luas.
 Korten (1972: 15) menyebutnya sebagai akibat dari pemusatan kekayaan
dan kekuasaan, adanya sistem lingkungan yang rapuh dan adanya
lembaga modern atau internasional yang ternyata tidak tepat untuk untuk
mengatasi kondisi dan tingkat kebutuhan masyarakat.

bb3 2
 Sementara itu, Yujiro dan Kikuchi, (1987: 158) yang pernah melakukan
penelitian ekonomi desa di Indonesia yang ikut memperparah kemiskinan
struktural mengemukakan bahwa adanya perubahan secara dramatis
(polarisasi) dalam sistem kelembagaan desa, menjadi salah satu indikator
bahwa permasalahan polarisasi tersebut menjadi ancaman terbesar bagi
daya kekebalan (resistensi) masyarakat perdesaan.
 Berkaitan dengan berbagai persoalan kemiskinan tersebut dapat
merumuskan bahwa permasalahan kemiskinan disebabkan adanya: a)
permasalahan finansial atau kebutuhan masyarakat sebagai akibat
langsung pada permasalahan ekonomi, sarana prasarana dan kualitas
hidup mereka; b) kemiskinan dilihat dari masalah struktural (kebijakan
negara, pemerintah pusat, daerah, pemerintah desa salah satunya tidak
adanya informasi yang transparan di tingkat masyarakat) yang berakibat
langsung atau tidak langsung pada masyarakat menjadi miskin; c)
permasalahan mentalitas atau masalah sumber daya manusia (tingkat
pendidikan, pengalaman hidup, dan lain-lain); d) permasalahan tidak
adanya cadangan devisa (safety net) di tingkat masyarakat atau kelompok
masyarakat.
 Misalkan tidak mempunyai sawah, pekarangan, ternak, harta benda
(emas atau perak) dan lain sebagainya; dan e) permasalahan dari
kerentanan usaha (kemiskinan potensial/ produktif) artinya mereka
menjadi tidak miskin apabila dimungkinkan adanya pinjaman usaha atau
akses usaha.
 Ada dua peran yang vital bagi program ini dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat miskin dan sekaligus menyumbang kepada perkembangan
sektor keuangan mikro di perdesaan: a) perlunya prioritas pemberian
kredit kepada masyarakat miskin (termasuk di dalamnya perempuan)
yang mempunyai peluang untuk mengembangkan usaha yang
menguntungkan tetapi tidak memenuhi kredit dari lembaga keuangan; b)
perlunya kemandirian dan pengembangan lembaga keuangan mikro yang
mampu memberikan pelayanan kredit bagi golongan miskin secara sehat
dan; pengurangan kemiskinan dan pengangguran.
 Hal ini sejalan dengan pendapat Heilbroner (1994: 45-46) bahwa perlu
adanya sikap baru dalam kegiatan ekonomi di antaranya masyarakat yang
berdasarkan status harus digantikan dengan yang berdasarkan kerja.
Tatanan masyarakat di mana orang dilahirkan untuk menjalankan
peranan tertentu dalam suatu masyarakat dengan masyarakat di mana
orang bebas untuk menjalankan peran yang diinginkan.

B. Akar Masalah dan Penyebab Kemiskinan di Perdesaan


 Margono (1978 : 1-3) mengemukakan bahwa masalah perdesaan, ditinjau
dari segi pembangunan, adalah adanya kesenjangan antara situasi yang
ada dengan situasi yang diinginkan. Adanya suatu situasi baru yang
diinginkan tetapi tidak tercapai juga menimbulkan ada masalah.
 Di dalam kegiatan pembangunan desa, masalah akan muncul secara
terus menerus dan dalam bentuk yang bermacam-macam. Penyebabnya,

bb3 3
juga berbeda sehingga diperlukan proses identifikasi masalah untuk
menentukan mana yang prioritas, yang mudah dipecahkan dan yang sulit
dipecahkan
 Pengalaman empiris menunjukkan bahwa masalah rumit di desa ternyata
mudah dipecahkan oleh masyarakat, karena faktor penyebabnya secara
dini sudah diketahui masyarakat.
 Sering terjadi ada kasus-kasus kecil yang sebenarnya penting untuk
mendapat perhatian tetapi masyarakat baru bertindak setelah keadaan
semakin memburuk.
 Dorodjatun (1994:1) mengemukakan bahwa masalah-masalah pokok
masyarakat desa terdiri dari keterbelakangan dan kemiskinan, atau lebih
tepat disebut masalah struktur yang menampilkan diri dalam wujud
makin buruknya perbandingan antara luas tanah dan jumlah individu
dan pola pemilikan atas tanah.
 Hal ini mendorong meningkatnya jumlah pengangguran baik terselubung
maupun terbuka, serta berlakunya upah yang rendah. Selain itu,
meningkat pula jumlah kaum miskin di kalangan petani atau
masyarakat.
 Sehingga pemerintah dari pemerintahan lokal sampai pusat perlu
menyadari adalah masalah yang mendasar yang menjadi pangkal
problema pembangunan perdesaan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
a) pemikiran mendasar tentang dua titik tolak strategi pembangunan desa
yang berlawanan yaitu pola strategi yang bersifat perencanaan dari atas
dengan pola strategi perencanaan dari bawah; b) masyarakat desa
menghadapi masalah kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidaktahuan; c)
masalah kepemilikan tanah yang semakin sempit dan terbatasnya
peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang mendorong
tingginya tingkat pengangguran dan urbanisasi; d) potensi pembangunan
Indonesia yang terdapat di desa, yang apabila dilaksanakan dengan
konsisten, maka pembangunan desa akan mampu mendorong akselerasi
pemecahan masalah nasional yang multidimensi.
 Sayangnya, telah terjadi dekadensi kehidupan ekonomi dan sosial budaya
di perdesaan, akibat kesalahan strategi pembangunan yang berorientasi
pada pemusatan pembangunan industri di kota-kota yang menggunakan
bahan baku impor.
 Irawan dan Kartjono (1985:21) mengemukakan, di Indonesia masalah
pokok perdesaan adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Gambaran
dari kemiskinan dan keterbelakangan tersebut adalah: a) pendapatan
mayoritas penduduk rendah; b) adanya kesenjangan antara yang kaya
dan yang miskin; dan c) kurangnya partisipasi masyarakat miskin dalam
pembangunan. Di samping dalam pembangunan pedsaan terdapat konsep
“Pembangunan Perdesaan Terpadu” (Intregrated Rural Development-IRD)
dan pendekatan ini sangat populer di negara berkembang.
 Seperti yang dikemukakan Waterson (dalam Andrina Cs., 1991: 368) yang
mengajukan 6 unsur yang harus ada dalam pendekatan IRD yaitu: a)
pertanian padat karya; b) pekerjaan umum skala kecil yang menyerap

bb3 4
tenaga kerja; c) industri ringan berskala kecil yang di bangun di dalam
dan di sekitar daerah pertanian; d) swasembada lokal dan partisipasi
dalam pengambilan keputusan; e) pembangunan hirarki perkotaan yang
mendukung pembangunan perdesaan; dan f) kerangka kerja institusional
yang tepat guna utuk kemandirian koordinasi program multisektoral.

C. Stratifikasi dan Permasalahan Ekonomi Desa


 Menurut Geertz (1989: 476) yang menyatakan bahwa sistem stratifikasi
sosial yang mengubah dan mobilitas status yang cenderung
melaksanakan adanya kontak di antara individu-individu dan kelompok-
kelompok yang secara sosial dulunya sedikit banyak terpisah.
 Hayami dan Collier Cs. (1996: 166) telah melakukan penelitian bahwa
adanya polarisasi ekonomi perdesaan atau terjadinya proses kemiskinan
disebabkan adanya pergeseran desa ke kota (proses modernisasi) dan alih
teknologi.
 Studi kasus yang dilakukan oleh Boeke (1959) dengan membagi ekonomi
di Indonesia (studi kasus di Jawa) menjadi tiga struktur ekonomi: a)
struktur ekonomi modern, mementingkan ekonomi yang berproduksi
pertanian untuk kepentingan pasar internasioal dan dikendalikan dengan
sistem manajemen modern; b) struktur ekonomi pribumi yang didasarkan
tatanan desa komunal dengan solidaritas yang tinggi. Struktur ini
bercirikan antara lain ekonomi pribumi bukan ekonomi pasar seperti
negara barat dan; c) struktur eknomi perdagang perantara yang
merkantilistik oleh pemerintah Belanda “diperuntukkan” dengan bahasa
sekarang “dijadangkan” bagi golongan keturunan yaitu Cina, Arab dan
India. Sehingga menurutnya ekonomi Indonesia menggunakan sistem
ekonomi ganda yang cenderung menciptakan ekonomi kerakyatan dan
ekonomi kapitalistis.
 Studi yang dilakukan Faisal Kasryno (1984: 302-304) tentang
permasalahan perkreditan dalam membangun pertanian ditemukan
bahwa pada awalnya lembaga perkreditan sebagai ikatan golongan kaya
dan miskin serta merupakan bentuk tenggang rasa yang dimanifestasikan
dalam natura (barang). Tetapi setelah adanya peralihan pertanian dari
subsisten ke pertanian komersial perkreditan yang dipahami sebagai
ikatan dan tenggang sara lama-lama menjadi hubungan ekonomis. Dalam
studi ini juga dikemukakan bahwa sektor pertanian merupakan sektor
utama dalam membangun ekonomi perdesaan, tetapi pertumbuhan kredit
perbankan hanya 28% pertahun yang lebih rendah dari sektor yang
lainnya.
 Richard Goble (1976) mengemukakan bahwa struktur pembangunan di
Indonesia terletak pada administrasi yang cenderung ke arah birokrasi
yang elitis yang dikendalikan dari pusat. Akibatnya pembangunan di
perdesaan menghasilkan pembangunan yang semu. Geertz (1963)
menyebutkan adanya struktur petani Jawa yang menurutnya petani Jawa
masa depannya akan terus mengalami kemiskinan struktural. Sehingga

bb3 5
Boeke dan Geerrtz, begitu pesimis mengenai peranan penduduk pribumi
(perdesaan) di Indonesia, karena dasar sejarahnya cukup menyakitkan.
 Penelitian yang dilakukan oleh Akatiga Bandung (1992) tentang “Gender,
Marginalisasi dan Industri Perdesaan” yang menunjukkan adanya proses
marginalisasi dari pekerjaan produktif perempuan hanya terbatas pada
unit-unit usaha rumah tangga atau berskala kecil. Jenis pekerjaan ini
jarang diakui oleh orang lain sekalipun sumbangan mereka dari segi
produktivitas, jam kerja dan masukan-masukan riel ternyata mereka
besar.
 Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Oey (1991: 16) dalam data Biro
Pusat Strategi (BPS) dalam “Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumah
Tangga” yang menyatakan pembagian kerja rumah tangga menurut jenis
kelamin merupakan gejala universal. Laki-laki lebih cenderung tampil di
tempat umum dan perempuan diberi tempat dalam rumah. Laki-Laki
bekerja mencapai (84% di kota dan 88% di desa) sementara perempuan
hanya separuhnya (47% di kota dan 51% di desa).
 Mubyarto (1991) permasalahan tersebut dengan melakukan deregulasi
ekonomi dan strategi pengembangan ekonomi rakyat beberapa yang
dianjurkan adalah: a) perlunya deregulasi bank dan masyarakat artinya
bank penerima simpanan dan memudahkan pinjaman kredit kepada
masyarakat; b) perlunya mempersiapkan rakyat kecil memanfaatkan jasa
bank yang selama ini bank sebagai “penyedot dana masyarakat” dan
bukan sebagai “penyalur dana masyarakat” dan; c) perlunya kerjasama
bank dalam membangun ekonomi rakyat di perdesaan dengan melakukan
pendirian badan-badan perkreditan rakyat formal dan mengembangkan
sistem masyarakat bawah.
 Sritua Arief (1993:330) mengemukakan bahwa lembaga keuangan rakyat
menciptakan demokrasi ekonomi yang sebenarnya. Seperti dikemukakan
Hatta telah terjadinya hubungan ekonomi yang bersifat eksploitatif
terhadap masyarakat (Sritua Arief, 1999: 131)

D. Permasalahan Penguatan Kelembagaan Perdesaan


 Berbgai permasalahan pengembangan penguatan komunitas atau
kelembagaan itu sendiri. Seperti kita ketahui bahwa, bahwa prinsip-
prinsip yang dipakai untuk mengembangkan pendekatan dan strategi
yang partisipatif sesuai dengan kondisi lokalitas dan komunitas dengan
mempergunakan belum dilandasi pada landasan berfikir untuk
mengembangkan kreativitas semua stakeholders dalam upaya
mengembangkan partisipasi dan aspirasi masyarakat perdesaan.
 Seperti adanya tatanan struktur pemerintahan formal sebenarnya telah
ada tanda-tanda yang mendukung masyarakat sipil. Pada aras
pemerintah desa dibentuk adanya Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
yang merupakan perwakilan rakyat yang dipilih secara demokratis
sekarang telah dianulir menjadi perangkat kelembagaan desa. Belum
adanya inovasi dan fasilitasi dalam mendorong adanya kebebasan sistem
kelembagaan lokal untuk membentuk asosiasi sosial, perlindungan

bb3 6
hukum, prakarya kemandirian dan pengembangan dalam melaksanakan
tatanan masyarakat sipil bagi semua warga masyarakat juga menjadi
masalah mendasar diperdesaan.
 Disampin itu, juga ada masalah yang mempengaruhi tingkat partisipasi
antara lain seperti yang disimpulkan dan Ndraha (1982, 1987) adalah: a)
adanya buta-huruf, sifat acuh, kemiskinan dan kemunduran, rendahnya
kualitas kepemimpinan lokal; b) lemahnya partisipasi dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi; c) lemahnya partisipasi karena kegiatan
tertentu dalam program pembangunan kurang cocok atau bertentangan
dengan nilai dan norma setempat; d) lemahnya partisipasi karena tidak
memanfaatkan organisasi yang sudah dikenal atau telah ada di tengah
masyarakat dan; e) lemahnya partisipasi karena tidak dapat memberikan
manfaat secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.

E. Lokalitas Kelembagaan Desa yang Perlu Diperhatikan


 Konsep “komunitas” mengandung makna adanya “keterkaitan” yang tidak
hanya secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosiologis.
Terutama pada tingkat pengambilan keputusan, upaya pengembangan
masyarakat akan menciptakan beragam “keterkaitan” tersebut (level
organisasi) tersebut berhubungan secara fungsional karena dipandang
sebagai suatu sistem kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap
kehidupan komunitas. Tingkat institusi lokalitas dengan ciri-ciri oleh
kesatuan komunitas yang memiliki relasi sosial dan ekonomi, dengan
pusat interaksi sebagai pusat pertumbuhan.
 Dikemukakan oleh Swamy (dalam Andrina Cs., 1991) bahwa tujuan
dampak adanya kelembagaan lokal adanya perbaikan akses servis bagi
perumahan dan afektivitas rumah sehat dan proverty antara
perbandingan dengan dampak adanya askses kesehatan, pendidikan dan
modal fikologis.
 Tingkat komunitas digambarkan sebagai unit interaksi sosial ekonomi
yang lebih menunjuk kepada sistem administrasi atau teritorial yang lebih
rendah. Tingkat kelompok, sebagai kesatuan masyarakat yang
mengidentifikasi diri berdasarkan karakteristik tertentu, seperti lingkup
pekerjaan, kekerabatan, gender dan sebagainya. Sedangkan lingkup
organisasi yang lebih kecil adalah rumah tangga. Organisasi ini tunduk
pada pengaruh dari ketiga tingkat operasional di atasnya. Lebih dari itu,
beragam keterkaitan tersebut merupakan representasi dari suatu
“hubungan kelembagaan” antar seluruh stakeholders sistem administrasi
perdesaan.
 Dalam konteks ini, konsep “lokalitas” atau “kelembagaan lokal”
mengandung pengertian pertama “ikatan sosial” yang berlandaskan
teritorial di mana masyarakat di kawasan tersebut hidup dalam suatu
lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua “ikatan sosial”
berdasarkan lingkup pekerjaan (profesi) di mana hubungan antar
anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai intensitas interaksi yang
tinggi dalam suatu waktu tertentu. Ketika “ikatan sosial” yang dibangun

bb3 7
berdasarkan jaringan sosial (social networking) sebagai nilai tambah dari
modal sosial (social capital) dengan satu fokus interaksi pada
pengembangan masyarakat.
 Yustina dan Sudrajat et.al (2003: 208) mengatakan bahwa modal sosial
merupakan cerminan sejauh masyarakat yang terdiri dari individu-
individu bersifat “unik” mampu mengembangkan hubungan-hubungan,
interaksi dan transaksi sebagai wujud struktur sosial. Modal sosial dapat
berdegradasi dari yang paling lemah (enter) sampai yang paling kuat
(kental) yang dicirikan masyarakat dari loose structur sampai ke solid
structur.
 Uphoff (dalam Dasgupta Cs., 2002: 215) mengemukakan bahwa modal
sosial lebih dilihat bagian upaya pembelajaran analisis dan eksperimen
partisipasi yaitu adanya inisiatif dan tidak sekedar didasarkan pada
bentuk luar tetapi lebih pada dimensi pengembangan kemanusiaan yang
di dalamnya termasuk masalah nilai, norma, kebudayaan, motivasi dan
solidaritas.
 Sehingga secara sosiologis upaya pengembangan masyarakat perlu
“didekati” dengan pengembangan berbasis lokal yang menjalin “ikatan
sosial” antara tingkat kelompok, komunitas dan lokalitas. Seperti yang
dikemukakan Hikam (dalam Sondakh et.al, 2002: 25) bahwa
permasalahan tersebut lebih menuju adanya tatanan masyarakat sipil
yang sebenarnya merupakan proses pergerakan demokrasi pada aras
lokal yang melewati batas kekuasaan negara dan batas-batas kelas yang
didasarakan pada pemberdayaan masyarakat.
 Adriansyah Samsura (2003) mengemukakan bahwa salah satu hal penting
dalam proses teknis ini adalah upaya pembangunan “institusi
masyarakat” yang cukup legitimasi sebagai wadah bagi masyarakat untuk
melakukan proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan, argumen, dan
ide menuju terbangunnya sebuah konsensus, sebagai awal tindak kolektif
penyelesaian persoalan publik.
 Oleh karena pembangunan perdesaan merupakan suatu strategi yang
dirancang guna memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi golongan
miskin maka usaha untuk memeratakan pendapatan dituntut adanya
perbaikan kelembagaan (Juoro, 1985). Menurut Soekartawi (1990), aspek
kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi
pertanian secara keseluruhan, tetapi juga segi ekonomi perdesaan.
 Aspek kelembagaan merupakan syarat pokok yang diperlukan agar
struktur pembangunan di perdesaan dikemukakan maju (Mosher, 1974).
Dalam hubungannya dengan model pembangunan perdesaan, Samonte
(dalam Ndraha, 1987) berpendapat bahwa basis strategi pembangunan
perdesaan adalah peningkatan kapasitas dan komitmen masyarakat
untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembangunan. Partisipasi
masyarakat desa secara langsung dalam setiap tahap proses
pembangunan adalah merupakan ciri utama pembangunan desa yang
ideal, yang membedakannya dari pembangunan lainnya.

bb3 8
F. Strategi Pengembangan dan Pembangunan Perdesaan
 Dalam proses pembangunan, partisipasi masyarakat berfungsi sebagai
masukan dan keluaran. Proses partisipasi dapat diklasifikasikan menjadi
enam tahapan, yaitu mulai dari penerimaan informasi, pemberian
tanggapan terhadap informasi, perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan
akhirmya penerimaan kembali hasil pembangunan.
 Conyers (1991) mengajukan tiga komponen pendekatan pengembangan
masyarakat yaitu: a) adanya penekanan yang diarahkan pada fungsi
kemandirian, termasuk sumber-sumber dan tenaga setempat serta
kemampuan manajemen lokal; b) penekanan pada penyatuan masyarakat
sebagai suatu kesatuan; terlihat dari adanya pembentukan organisasi-
organsasi lokal termasuk di dalamnya lembaga-lembaga yang
bertanggungjawab atas masalah administrasi atau suatu bentuk lembaga
masyarakat dan; c) keyakinan umum mengenai situasi dan arah
perubahan sosial serta masalah-masalah yang ditimbulkannya. Aspek
khusus dalam perubahan sosial yang menjadi pemikiran pokok berbagai
program pembangunan masyarakat, yaitu adanya ketimpangan baik di
dalam maupun di antara komunitas-komunitas tersebut.
 Pendekatan pertama adalah menolong diri sendiri, di mana masyarakat di
kawasan perdesaan menjadi partisipan yang berarti dalam proses
pembangunan dan melakukan kontrol dalam kegiatan pengembangan.
Pendamping menjadi fasilitator. Sedangkan komunitas (petani) memegang
tanggungjawab utama dalam : a) memutuskan apa yang menjadi
kebutuhannya; b) bagaimana memenuhi kebutuhan itu dan; c)
mengerjakannya sendiri.
 Kebutuhan tersebut menghendaki perlunya pemetaan sebaran desa-desa
tertinggal di kawasan perdesaan menurut unit-unit komunitas sosial
ekonomi yang terikat dalam suatu culture area, sehingga suatu komunitas
sosial ekonomi merupakan: a) sejumlah desa yang tergolong miskin; b)
secara umum penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian,
dan yang lainnya tetapi masih berkaitan erat dan; c) terdapat dalam
wilayah budaya dan wilayah geografis yang sama.
 Pola pengembangan kelembagaan terpadu dalam model komunitas dan
bergerak dengan kekuatan partisipasi profesional bagi semua strata sosial
ekonomi akan lebih mendorong pertumbuhan dan pemerataan secara
bersama-sama. Apabila digunakan model pertumbuhan Smelser yang
mengacu pada diferensiasi struktural, maka kelembagaan ini dapat
berperan dalam mempersiapkan kerangka landasan untuk tahap-tahap
pertumbuhan, mulai dari modernisasi teknologi, komersialisasi pertanian,
industrialisasi dan urbanisasi (Long, 1992).
 Masyarakat harus dilihat sebagai Subjek dari proses secara keseluruhan.
Sehingga proses dari pelaksanaan kegiatan pelayanan dapat
pengembangan masyarakat selalu meletakkan community development
dan community organizers sebagai landasan. Dalam kerangka inilah
pelayanan dapat pengembangan masyarakat yang berbasis masyarakat
mampu mendorong dari metode "doing for the community", menjadi "doing
with the community". Dikemukakan oleh Topatimasang et.al (2000: ix)

bb3 9
bahwa seorang fasilitator hanya berfungsi dan bertindak mengolah proses
belajar masyarakat berdasarkan kebutuhan dan pengalaman mereka
sendiri atau pengalaman orang lain.
 Kelompok atau komunitas yang sekedar “doing for” (masyarakat pasif,
kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk
bergantung) menjadi “doing with”, (merangsang masyarakat menjadi aktif
dan dinamis serta mampu mengidentifikasi) mana kebutuhan yang
sifatnya real needs (melalui penggalian gagasan langsung di tingkat
kelompok masyarakat, felt needs (memprioritaskan) kebutuhan ketika
terjadi persaingan usulan di antarkelompok masyarakat) dan expected
need (pilihan usulan yang bisa dengan mudah dikerjakan, kesediaan
swadaya dan pelestariannya).
 Diharapkan program pelayanan masyarakat ini telah mengantarkan
masyarakat menjadi komunitas belajar (learned cummunity), masyarakat
menjadi komunitas yang semakin aktif (active society) dalam menolong
dirinya sendiri (helping themselves). Dalam proses inilah, usaha strategi
pengembangan berbasis masyarakat dalam rangka untuk mengorganisir
masyarakat miskin di dalam akar rumput menjadi bagian penting dari
menciptakan program yang berkelanjutan. Berbagai unsur kelompok
masyarakat (Community Based Organization/ CBOs) didorong dan
difasilitasi terus menerus yang akirnya munculnya adanya pengurangan
angka kemiskinan, peningkatan sumber daya manusia, peluang dan
pilihan kerja serta adanya peningkatan kualitas kelembagaan pelayanan
itu sendiri.

bb3 10

Anda mungkin juga menyukai