Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Makna Islam


2.1.1 Makna lafaz (lafziyan) islam dari akar katanya
a. Menundukkan Wajah (Islam Al-Wajh)
Allah SWT menyebutkan agama (dun) dengan persamaan kepada
orang yang menundukkan mukanya kepada Allah, kemudian ia berbuat
kebaikan dan mengikuti millah Ibrahim (akidah) yang lurus. Islam
menghendaki umatnya untuk menundukkan muka dan dirinya kepada
Allah SWT. Ketundukan itu harus dibuktikan dan diwujudkan dalam
amalan berupa kebaikan dan juga didasarkan kepada akidah yang
lurus. Akidah, amal saleh, dan ketundukan adalah makna Islam secara
integral. Islam sebagai diin tidak saja tunduk kemudian tidak berakidah
dan tidak beramal, tetapi Islam mesti menjalankan perkara tersebut
secara sempurna.
Dalil yang mendukung :
(QS.4:125) “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang
yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?
Dan Allah mengambil Ibrahim rnenjadi kesayanganNya.
b. Berserah Diri (Al-Istislaam)
Allah SWT menyebutkan bahwa agama diberi makna sebagai
berserah diri dan ketundukan kepada-Nya. Allah SWT
menggambarkan kepada kita bahwa seluruh alam semesta ini,
termasuk sebagian manusia saja yang berserah diri kepada Allah SWT
Mereka berserah diri kepada Allah SWT secara sadar atau pun tidak
sadar. 5 Alam semesta seperti langit, bulan, bintang, dan segala
sesuatu yang ada di langit berserah diri dan tunduk mengikuti perintah
dan petunjuk Allah SWT, yang biasa disebut sunatullah kauniyah.
Begitu pula dengan segala sesuatu yang di bumi kecuali sebagian
manusia seperti gunung, batu, tumbuh'tumbuhan, hewan, dan lautan
juga mengikuti petunjuk Allah SWT
Dalil dan hadits yang mendasari :
1) (QS.3:83) “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari
agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa
yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan
hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”
2) Diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Abdullah bin Umar
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ”Sungguh beruntunglah
orang yang berserah diri. yang diberi rezeki dengan rasa cukup,
dan yang merasa puas dengan apa yang telah diberikan Allah
baginya" (HR Ahmad)
c. Bersih (As-Salaamah)
Allah SWT menggambarkan pengikut agama (diin) Islam memiliki
qalbun soliim saat kita menjumpai Allah SWT Sifat qalbun salim
sebagai pengikut Islam (muslim) menunjukkan bukti bahwa Islam
yang dianutnya adalah agama yang juga suci dan bersih. Islam
membawa ajaran kesucian dan kebersihan. Hal ini dapat dilihat dari
ajaran Islam mengenai kebersihan secara fisik seperti bersih pakaian,
tempat dan badan ketika alcan shalat atau kebersihan moral seperti
bersih hati dari prasangka, 6 kebencian, dendam dan marah. Islam
dengan ajaran ini akan menjadikan penganutnya berhati bersih.
Dalil yang mendasari :
(QS.26:89) “Kecuali orang-orang yang rr.enghadap Allah dengan hati
yang bersih”.
d. Selamat / Sejahtera (As-Salaam)
Islam juga bermakna selamat dan sejahtera apabila merujuk kepada
arti lafaznya. Allah SWT menyatakan asalamun 'alaikum, keselamatan
atas kamu (orang-orang Islam). Keselamatan adalah ciri dari mereka
yang menganut Islam dan juga keselamatan sebagai arti dari salam.
Dengan demikian Islam tidak membawa kejahatan dan kerusakan.
Islam membawa umatnya dan segala yang ada di alam semesta ini
selamat dan sejahtera.
Dalil dan hadits yang mendasari :
1) (QS.6:54) “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat
Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: "Asalaamun
'alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang,
(yaitu) bahwasanya barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara
kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya dan mengadakan perbatkan, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
2) Dari Abu Hurairah RA berkata : Rasulullah SAW bersabda,
"Kalian semua tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman
terlebih dahulu, dan kamu tidak beriman sehingga kamu saling
mencintai sesamamu. Sukakah 7 kalian semua aku tunjukkan
sesuatu yang apabila kamu kerjakan, niscaya kamu akan saling
mencintai sesamamu? Sebarkanlah salam antara sesamamu". (HR
Muslim).
e. Perdamaian (As-Salm)
Secara bahasa Islam juga bermakna salmi, atau perdamaian.
Penjelasan ini disebutkan dalam Al Quran surat 47 ayat 35, dimana
Rasulullah Muhammad SAW diminta oleh Allah SWT untuk tidak
meminta perdamaian karena ketakutan. Mereka, orang kafir, adalah
lemah dan selalu menghalangi umat Islam dari agama Allah. Oleh
karena itu, janganlah kita lemah dan meminta berdamai. Kaitan dengan
topik yang sedang dijelaskan adalah kalimat salmi, yang disebutkan
dalam Al Quran adalah bahasa lain dari Islam sehingga dapat
disebutkan bahwa Islam adalah perdamaian.
Dalil yang mendasari :
(QS.47:35) “Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah
yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak
akan mengurangi (pahala) amalamalmu”.
2.1.2 Arti Kata Islam secara Bahasa
Islam di dalam Al Quran disebut ad-aim, seperti yang ditulis Abul A'la Al
Maududi di dalam bukunya Prinsip-prinsip Islam. Hal ini mengandungi
arti sistem kehidupan yang menyeluruh termasuk ibadah, kemasyarakatan,
politik dan jihad. Islam mencakupi keseluruhan hidup dan Islam secara
lengkap menyediakan keperluan manusia untuk mengatur kehidupan.
Secara bahasa islam dimaknai sebagai :
a. Tunduk (Al-Khuduu’)
Kami dengar dan kami taat adalah sikap orang yang tunduk.
Ketundukan tersebut merupakan dasar Islam yang mengandung arti
berserah diri. Kailimat Islam juga mengandung ketundukan yang dapat
menghantarkan kepada kemenangan (QS.24:51).
b. Wahyu Allah (Wahyun Ilahiyun)
Panduan Islam adalah Al Quran dan Sunah. Al Quran adalah
wahyu Ilahi sehingga Islam adalah dari Allah SWT bukan dari
manusia. Islam bukan buatan manusia terapi Islam adalah firman
Allah. Dengan demikian tidaklah mungkin Islam disamakan dengan
agama, kepercayaan, dan faham lainnya. Islam tidak akan mungkin
kurang, tidak iengkap dan tidak sesuai tetapi Islam sangatlah sesuai
dengan manusia yang juga diciptakan oleh Allah SWT. Allah SWT
mengetahui secara pasti siapakah manusia sedangkan manusia tidak
akan mungkin mengenal manusia secara sempurna. Oleh karena itu
panduan dan aturan hidup buatan manusia atau faharn seperti
materialisme, kapitalisme, komunisme, dan lainnya tidak akan sesuai
dengan manusia bahkan akan rnembawa kehancuran manusia.
Dalil yang mendasari :
1) (QS.53:4) “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”.
2) (QS.21:7) “Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu
(Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri
wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-
orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”.
c. Agama Para Nabi dan Rasul (Diin Al-Anbiyaa’ Wal Mursaliin)
Diin Islam adalah diinya para nabi dan rasul. Mereka semua
membawa dan menyampaikan Islam kepada kaumnya dan manusia
secara umum. Allah menurunkan kitab kepadanya dan kemudian
diamalkannya. Kesamaan Islam yang dibawanya adalah menyeru
manusia agar menjadikan Allah sebagai satu-satunya Illah. Perbedaan
10 di antara para rasul adalah minhaj dan syariahnya yang mana Allah
SWT menjadikannya yang mengikuti keadaan masyarakat dan
waktunya.
Dalil dan Hadits yang mendasari :
1) (QS.3:84) “Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada
apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada
Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anakanaknya, dan apa yang
diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan
hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri”.
2) Dari Abu Hurairah RA berkata : Rasulullah SAW bersabda,
"Kami, para nabi, adalah saudara seayah karena pangkal agama
kami satu" (HR Bukhari). D.
d. Hukum-Hukum Allah (Ahkaamullaah)
Kitab Al Quran merupakan kebenaran Islam yang didalamnya
mengandung hukum-hukum Allah sebagai tempat kita merujuk pada
panduan hidup di dunia dan di akhirat. Islam sebagai hukum Allah
yang berfungsi juga memberikan hukuman dan penilaian kepada
manusia.
Dalil dan hadits yang mendasari :
1) Dari Abdurrahman Abdillah bin Umar bin Khattab RA berkata:
“Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda/'Bangunan Islam
itu atas 5 perkara, mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan
sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitullah, puasa bulan
ramadhan” (HRBukhari-Muslim).
2) (QS.5:50) “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin”.
e. Jalan yang Lurus (Ash-Shiraath Al-Mustaqiim)
Islam adalah jalan yang lurus. Oleh sebab itu siapa yang hendak
mencapai tujuan yang benar dalam hidupnya mestilah mengikuti jalan
lurus ini (Islam). Selain agama Islam adalah tidak lurus. Di mana jalan
ini akan membawa kepada kesesatan karena tidak jelas hendak dibawa
kemana. Selain Islam, panduan hidup dari liberalisme, hedonisme,
komunisme, kapitalisme, dan sebagainya akan membawa kepada 12
kerusakan potensi manusia itu sendiri. Islam justru membina dan
memelihara potensi tersebut menjadi baik.
Dalil yang mendasari :
(QS.6:153) “Dan bahwa (yang Kami per-intahkan) ini adalah jalan-Ku
yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-
jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu bertakwa”.
f. Keselamatan Dunia dan Akhirat (Salamaah Ad-Dunyaa Wa Al-
Aakhirah)
Islam sebagai ad-diin menyuruh umatnya untuk mencari akhirat
dengan tidak meninggalkan dunia. Dunia dan akhirat adalah sasaran
yang perlu dicapai secara baik dan selamat. Dengan mengamalkan
Islam maka kita akan memperoleh keselamatan di 13 dunia dan di
akhirat. Islam mengajarkan keseimbangan atau tawazun sehingga
umatnya akan mendapatkan kebahagiaan.
Dalil dan hadits yang mendasari :
1) (QS.16:97) “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-
laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya? akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”.
2) Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik, dia berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak menzalimi suatu
kebaikan bagi seorang mukmin. Kebaikan itu diberikan kepadanya
di dunia dan diberikan pula pahalanya di akhirat. Adapun orang
kafir, maka dia diberi makan di dunia karena aneka kebaikannya,
sehingga apabila dia telah tiba di akhirat, maka tiada satu kebaikan
pun yang membuahkan pahala” (HR Muslim).

Apabila melihat dari keseluruhan makna Islam maka dapatlah


disimpulkan bahwa Islam adalah berserah diri sehingga mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Islam berarti akidah, amal saleh, dan
tunduk kepada Allah. Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap.
Islam adalah kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan. Dengan
makna demikian maka sangatlah sesuai apa yang disebutkan Nabi
SAW bahwa Islam itu tinggi dan tiada kerendahan di dalamnya (Al
Islaam ya’luu wa laa yu’laa ‘alaih). Pengertian tinggi berarti Islam di
atas dari semua agama, kepercayaan, pemahaman atau pedoman hidup
lainnya (QS.48:28, QS.9:33). Dari beberapa uraian serta hadits-hadits
dapat disimpulkan bahwa Islam adalah : a. Aqidah, yang tercermin
dengan syahadatain dan rukun iman; b. Ibadah, yang tercermin dengan
shalat, zakat, puasa, haji, yang discbuit dengan rukun Islam; c.
Bangunan (sistem), yang tegak di atas rukun-rukun tersebut yang
tercermin dengan seluruh system hidup Islam yang mencakup system
politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, kemiliteran, akhlaq dan
lain-lainnya; d. Tiang-tiang penegak sebagai cara mencgakkan Islam
yang tercermin dengan jihad, amar makruf nahi munkar, dan hokum
serta sanksi-sanksinya. Itulah gambaran ringkas tentang Islam.
Sedangkan segala hal yang bertentangan dengan Islam disebut
Jahiliyah, dan jahiliyah inilah lawan dari Islam.
2.2 Sifat Islam
Sebagai agama atau sistem hidup yang Allah SWT turunkan kepada
manusia melalui para Nabi dan rasul, Islam memiliki sejumlah sifat yang tidak
dimiliki agama dan sistem manapun. Di antara sifat-sifatnya itu adalah:
2.2.1 Ia adalah agama / sistem yang sempurna
Karena ia adalah agama terakhir yang dimaksudkan untuk
menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Sejalan dengan umur
manusia dan kematangan berfikirnya, agama ini memiliki perangkat-
perangkat yang lebih sempurna dibanding agama-agama sebelumnya, hal
ini dapat kita temukan terutama pada aspek syariatnya. Islam juga
diturunkan kepada nabi paling sempurna yang dijuluki dengan asy-syaafi’
almusysaffa’. Julukan yang tidak diberikan kepada nabi-nabi yang lain
karena hanya beliau saw. yang diberi izin untuk memberi syafaat.
Kesempurnaannya dapat juga kita temukan dalam implementasi dan
cakupannya terhadap seluruh aspek kehidupan manusia, baik aspek
kehidupan dunia maupun akhirat.
2.2.2 Nikmat yang sempurna
Disamping nikmat-nikmat lainnya, Islam merupakan nikmat yang
paling sempurna. Hidayah sejatinya adalah nikmat, hidayah yang
terstruktur dalam sistem hidup yang sempurna dalam agama ini adalah
nikmat yang sangat besar karena ia hanya diberikan kepada umat
Muhammad saw. karena itu kemudian mereka diangkat menjadi ummatan
wasathan, sebagai saksi atas umat manusia di dunia dan di akhirat.
Dengan nikmat itu pula kaum mukminin menjadi umat terbaik yang
pernah dilahirkan untuk seluruh umat manusia.
2.2.3 Agama / sistem yang diridhai
Hal ini Allah utarakan berkali-kali dalam kitab suci-Nya.
pernyataan ini sekaligus memberikan ketegasan bahwa agama dan sistem
selainnya adalah sistem jahiliyah, batil dan tidak diridlai. Syariat samawi
yang diturunkan sebelumnya adalah syariat yang diridlai pada masanya.
Setelah masa berlakunya habis, logika akal dan dalil syari’i menentukan
bahwa syariat terakhirlah yang berlaku. Pemberlakuan syariat yang telah
kadaluwarsa masa berlakunya, merupakan pembangkangan terhadap
syariat dan yang menurunkannya. Pada kesempatan haji wada’, haji
terakhir yang dilakukan Rasulullah saw. Allah menurunkan ayat yang
mengandung tiga sifat di atas :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, Aku
sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan Aku ridla Islam sebagai agama
bagimu.” (al-Maidah: 3)
2.2.4 Agama fitrah
Bersamaan dengan penciptaan alam semesta ini, Allah
menciptakan sifat dan karakteristiknya masing-masing. Karena Islam
diturunkan oleh Dzat yang telah menciptakan alam semesta berikut
ketentuan-ketentuan kauniyahnya maka ia adalah sistem yang sejalan
dengan fitrah kauniyah itu. Tidak ada perbedaan antara fitrah kauniyah dan
fitrah syari’iyah, karena syariat dibuat untuk menjaga fitrah kauniyah itu.
Allah telah menciptakan manusia di atas fitrah ini. Penyimpangan fitrah
yang bersih lagi lurus ini merupakan kesesatan yang hanya akan
menimbulkan kerugian dan malapetaka bagi umat manusia dan alam
semesta. Dalam hadits qudsi Allah berfirman:
“Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif tapi
kemudian setan menggelincirkan mereka dari agamanya.”

2.3 Islam dan Sunatullah


Sunnatullâh merupakan istilah dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata,
yaitu sunnah (‫ )سنة‬dan Allah . Kata sunnah berasal dari kata sanna yasunnu.
Kata dasar sīn dan nūn, pada mulanya, berarti sesuatu yang berjalan dan
terjadi secara mudah. Seperti sanantu almā' `lāwajhī(aku
menuangkan/mengalirkan air ke wajahku), sanantu al-tharīq (aku berjalan
melalui jalan itu), seakan-akan jalan yang dilalui tersebut sebegitu mudah.
Adapun bentuk masdarnya, yakni sunnah, pada masa Arab pra-Islam, berarti
tharīqah (jalan) dan sīrah (prilaku).Bahkan menurut Mahmūd Syaltūt, term
sunnah, di kalangan bangsa Arab, sejak dahulu dikenal sebagai prilaku yang
sudah menjadi tradisi, baik terpuji maupun tercela, yang diwarisi secara turun
temurun dari nenek moyangnya. Kemudian kata sunnah mengalami
perkembangan makna, di samping kedua makna diatas, seperti thabī`ah (tabiat
atau watak), dan syarī`ah (hukum atau peraturan). Kata sunnah bisa
disandarkan kepada Allah, Nabi, sahabat, dan manusia secara umum, yang
masing-masing memiliki pengertian sendiri-sendiri. Ketika kata sunnah
dirangkai dengan kata Allah menjadi sunnah Allah (baca: sunnatullah), maka
ia mengandung beberapa pengertian, antara lain, manhaj, syar` (aturan), dīn
(agama), irādah (kehendak), dan hukm (ketentuan). Atau sunnatulah berarti
hukmuh fīkhalīqatih (ketentuan-ketentuan-Nya bagi seluruh ciptaan-Nya).
Sementara menurut al-Işfahānī, sunnatullah berarti tharīqah hikmatih wa
tharīqah thā`atih (cara atau jalan yang ditetapkan oleh Allah karena kebijakan-
Nya dan demi terwujudnya ketaatan kepada-Nya). Sementara kata sunnah
yang dirangkai dengan Nabi atau Rasul, berarti altharīqahallatīyataharrāhā
(suatu cara atau jalan yang dianggap patut oleh beliau). Ibnal-Manzūr, yang
bersumber dari al-Lihyānī, menyatakan sunnah Nabi berarti ketetapan,
perintah dan larangan. Sementara Mahmūd Syaltūt membedakan antara
'sunnah Nabi' dengan 'sunnah sahabat'. Sunnah Nabi berarti cara atau praktek
amaliyah yang dilakukan oleh beliau. Sedangkan sunnah sahabat berarti
pemahaman mereka terhadap ayat-ayat al- Qur‘an yang didasarkan atas
maqāsid al-syari`ah (tujuan penyari‘atan). Dan, apabila kata sunnah dirangkai
dengan selain kata Allah dan Rasul, maka berarti wada`a (menciptakan hal
yang baru). Misalnya sanna fulān sunnah maknanya adalah si fulan
menciptakan hal yang baru, lalu diikuti oleh orangorang setelahnya. Namun,
pada perjalanan selanjutnya kata sunnah menjadi istilah yang spesifik, yakni
menyangkut apa saja yang diperintahkan, dilarang, atau dianjurkan oleh Nabi
Saw., baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tidak dijelaskan oleh al-
Qur‘an. Pengertian sunnah yang demikian ini, boleh jadi, berlaku di kalangan
bangsa Arab. Akan tetapi, argumentasi yang cukup kuat adalah bahwa istilah
yang spesifik ini baru muncul setelah turunnya al-Qur‘an. Yang jelas, kata
sunnah, pada saat ini, dipahami sebagai apa saja yang datang dari Nabi.
Pengertian Terminologis Yang dimaksud dengan "terminologis" di sini adalah
pendapat beberapa ulama tentang sunnatullah. Para ulama, secara umum
membedakan sunnatullah dalam dua bentuk, yaitu sunnah kauniyyah (hukum
alam) dan sunnah ijtimā’iyyah(hukum kemasyarakatan). Sunnah kauniyyah
adalah hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta. Sedangkan sunnah
ijtimā’iyyah adalah hukum-hukum Allah yang berlaku bagi manusia dalam
kehidupan sosialnya. Kedua sunnah ini, baik yang terkait dengan alam
maupun manusia, memiliki kesamaan karakter yaitu senantiasa berlaku
konsisten dan tidak akan pernah mengalami penyimpangan, baik pada masa
lalu, sekarang, maupun masa yang akan datang. Ia juga berlaku bagi seluruh
manusia, baik mukmin maupun kafir, karena manusia dalam konteks ini
dipandang sebagai sosok yang utuh yang selalu terikat dengan hukum-hukum
tersebut. Di antara ulama yang lain, ada yang menyebut sunnatullah dengan
istilah alsunanal-ilāhiyyah. Namun, kedua istilah ini tidak memiliki perbedaan
substantif kecuali hanya berbeda dalam pilihan katanya. Bahkan menurut
TaqīMişbāh, kedua istilah ini, sunnatullah atau al-sunan al-ilāhiyyah,
dipandang lebih tepat dan sesuai dibanding dengan ungkapan al-dhawābith al-
sā'idah fīal-af`āl alilāhiyah (Batasan-batasan yang bersifat mengikat di dalam
perbuatan Allah) atau al-asālīb allatīyastakhdimuhallāh fīirādah tadbīr al`ālam
wa al-insān (uslubuslub yang telah digunakan oleh Allah dalam konteks
berkehendak dan pengaturan alam dan manusia). Dari segi terminologis ini,
para ulama dan intelektual muslim berbeda pendapat. Nurcholish Madjid, guru
besar filsafat Islam yang juga concern terhadap studi kealqur‘anan,
menyatakan bahwa sunnatullah adalah hukum sejarah yang terkait dengan
kehidupan sosial manusia yang tidak akan berubah. Ia mengistilahkannya
dengan "ilmu lunak" (soft science), berbeda dengan ilmu eksakta yang disebut
"ilmu keras" (hardscience). Letak perbedaannya adalah pada kadar
kepastiannya. Oleh karena itu, siapapun akan merasa kesulitan untuk
membangun suatu teori sebagai hasil generalisasi atas dasar variabel-variabel
itu. Artinya, meskipun sunnatullah itu pasti dan tidak akan berubah, tetapi
tidak bisa diteliti di dalam laboratorium sebagaimana ilmu eksakta.
Muhammad Bāqir al-Sadr, seorang ulama Syi‘ah ternama yang memperoleh
gelar kehormatan, Marja’, menyatakan bahwa sunnatullah adalah hukum-
hukum Allah yang pasti dan tidak berubah, yang berlaku di jagad raya. Ia
merupakan hukum paripurna yang menghubungkan antara peristiwa sosial dan
peristiwa sejarah. Sementara Mahmūd Syaltūt, mantan Syaikh al-Azhar,
Mesir, menyatakan bahwa sunnatullah pada hakekatnya merupakan hukum-
hukum Allah yang terkait dengan bangkit dan runtuhnya suatu bangsa.
Sedangkan Muhammad TaqīMisbāh al-Yazdī, filosof dan Guru Besar pada
Pusat Studi Islam, Iran, memahami sunnatullah lebih spesifik, yaitu bahwa
sunnatullah yang diistilahkan dengan al-sunan al-ilāhiyyah-- pada hakekatnya
merupakan azab Allah yang ditimpakan kepada kaum atau masyarakat yang
rusak (bāţil). Lebih lanjut menurut TaqīMişbāh, bahwa sunnah ilāhiyyah
dibagi dalam dua kategori, (1) sunnah-sunnah Akhirat (al-Sunan al-
Ukhrāwiyyah), yakni ketentuan Allah yang terkait dengan kehidupan manusia
di akhirat, baik menyangkut pahala dan siksa (2) sunnah-sunnah dunia (al-
Sunan alDunyawiyyah), hukum-hukum Allah yang terkait dengan kehidupan
manusia di muka bumi ini. Kategori yang kedua ini diklasifikasi dalam dua
hal pula, (1) terkait secara khusus dengan prilaku individu, (2) tidak hanya
terkait dengan prilaku individu. Artinya, ada yang secara khusus berlaku bagi
kehidupan sosial; ada juga yang terkait dengan idividu dan sosial sekaligus.
Dengan demikian, dalam konteks pembahasan sunnatullah, sunnah-sunnah
Allah yang terkait dengan prilaku individu tidak termasuk dalam pembicaraan
sunnatullah‘ini. Sejalan dengan TaqīMisbāh, Abdullah Yūsuf Alī, bahwa
sunnatullah merupakan ketentuan Allah yang menjadi sebab-sebab
kehancuran umat-umat masa lalu yang antara satu dengan lainnya berlainan,
seperti kaum nabi Nuh, kaum Ad, kaum Tsamud, dan lain-lain. Melihat
beberapa definisi sunnatullah yang dipahami oleh para ulama dan intelektual
muslim, maka sebenarnya perbedaan pendapat itu hanya pada narasinya,
sedangkan dari segi substansinya pendapat mereka adalah sama, yakni terkait
dengan prilaku manusia dalam kehidupan sosialnya. Pendapat-pendapat ini
akan berbeda dengan definisi yang dibangun oleh para pakar ilmu kealaman
dan fisikawan. Sementara penulis lebih cenderung memahami sunnatullah,
dengan mengacu makna etimologisnya, yakni tharīqah dan sīrah, adalah
sebagai cara Allah dalam memperlakukan hamba-Nya dalam konteks
kehidupan sosialnya sekaligus jalan tersebut seharusnya diikuti oleh manusia
dalam melaksanakan aktifitasnya
2.3.1 Kewajiban Patuh kepada Sunnatullah
Baik takdir syar’i maupun takdir kauni, semuanya diberlakukan di
alam ini demi keselarasan dan keharmonisan hidup setiap makhluk, agar ia
menjalani kehidupan ini sesuai dengan ketentuan yang sudah digariskan
dan tidak melewati batas-batas. Sikap yang dilakukan manusia terhadap
ketentuan ini harus sejalan dengan sikap alam semesta yaitu tunduk dan
berserah diri kepada sunnatullah.
Meskipun manusia merupakan bagian dari alam semesta ini,
namun karena dijadikan sebagai pengelola yang diberi akal dan nafsu,
kadang sifatnya tidak selalu taat kepada sunnatullah itu. Karena ia dalah
makhluk yang istimewa, kadang ia merasa congkak dan sombong.
Kedudukan manusia yang lebih tinggi (potensi dan kemampuannya yang
berbeda) menuntut ketentuan tambahan yang tidak sama dengan ketentuan
yang diterapkan pada alam [diciptakan sebagai fasilitas hidupnya]. Dalam
kerangka itulah kemudian kita menemukan sunnatullah pada alam semesta
dan sunnatullah pada manusia.
a. Sunnatullah di alam semesta
Ketentuan Allah terhadap alam semesta bersifat mutlak, tetap, dan
terus menerus. mutlak karena ia berlaku umum bagi seluruh makhluk
dan tidak dapat ditolak. Tetap karena tidak berubah kecuali apabila
Allah menghendaki untuk menunjukkan kekuasaan-Nya sebagaimana
yang terjadi pada mukjizat dan karamah. Terus-menerus, karena tidak
berhenti selama ada fariabel dan sebab-musababnya. Sunatullah yang
demikian disebut faktor kauni yang disikapi dengan ketundukan dan
pasrah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan menyebabkan akibat
fatal yang dapat dirasakan langsung atau tidak langsung, sekarang atau
yang akan datang.
b. Sunnatullah pada Manusia
Di samping berlaku sunnatullah sebagaimana di atas, manusia
mendapat hidayah. Manusia juga diberi nafsu yang memiliki
kemampuan untuk berkehendak dan akal yang memiliki kemampuan
untuk memilih. Ketentuan syar’i dimaksudkan untuk memagari nafsu
dan kebebasannya agar tidak menyebabkan terjadinya kerusakan pasa
sistem global di alam semesta ini. Terjadinya ketentuan inilah manusia
terbagi menjadi dua golongan, muslim dan kafir. Ketaatan atau
pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mendapat konsekuensi hukum
di dunia dan atau di akhirat.

2.4 Kesempurnaan Islam


Sebagai sistem yang diciptakan dan diturunkan Allah Yang Maha Luas
lagi Maha Sempurna, Islam memiliki kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh
sistem-sistem buatan manusia yang manapun. Kesempurnaannya itu dapat
dilihat dari cakupannya terhadap ruang, waktu dan muatan sistemnya.
2.4.1 Cakupan waktu (syumuliyatul zaman) : Sistem ini Allah berlakukan sejak
awal penciptaan hingga akhir zaman. Demikian itu karena ia diciptakan
untuk mengatur kehidupan makhluk-makhlukNya agar terjadi keselarasan,
keharmonisan, kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan. Karena itu kita
dapati bahwa seluruh nabi dan rasul (sejak nabi pertama hingga nabi
terakhir) mengajarkan hal yang sama. Risalah mereka satu yaitu
membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk kepada
penghambaan kepada Al Khaliq. Kesempurnaan ini sangat jelas kita
dapatkan pada risalah yang dibawa nabi terakhir, Muhammad SAWA yang
menyempurnakan bangunan yang sudah ditata dan dibangun nabi-nabi
sebelumnya. Dengan berakhirnya masa pensyariatan pada nabi yang
terakhir, risalah ilahi mencapai kesempurnaannya. Karena itu ia berlaku
hingga akhir zaman. Tidak akan ada nabi dan risalah lagi setelah ia
mencapai kesempurnaannya.
2.4.2 Cakupan ruang (syumuliyatul makan) : Ia diturunkan bukan terbatas untuk
bangsa Arab atau bangsa apapun di belahan bumi ini, ia adalah rahmat
bagi seluruh alam. Berlaku untuk seluruh bangsa-bangsa, tidak membeda-
bedakan warna kulit, ras maupun keturunan. Pencipta mereka adalah Al
Khaliq, mereka semua (anak-anak Adam) diciptakan dari tanah. Tidak ada
kelebihan satu orang atas orang yang lain, antara satu bangsa atas bangsa
yang lain, yang membedakan adalah tingkat ketakwaan mereka kepada
Allah. Setiap orang dari keluarga manapun dari bangsa manapun berhak
mendapatkan kemuliaan itu, selama ia bertakwa.
2.4.3 Cakupan sistem (syumuliyatul minhaj) : Ia adalah sistem komprehensif
yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Tentang ini Rasulullah
saw menggambarkannya sebagai bangunan dalam hadits Jibril. Layaknya
sebuah bangunan, Sa’id Hawwa mengatakan bahwa ia terdiri atas pondasi,
badan bangunan dan pendukung. - Islam dibangun adi atas asas aqidah
yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan dan ideologi.
Bangunan utamanya terdiri atas aspek-aspek moral, perilaku terhadap
sesama dan sikap terhadap Al Khaliq yang terimplementasikan dalam
bentuk ibadah. Pendukung - pendukungnya adalah jihad dan dakwah.
Dengan dakwah dan jihad Islam, penganutnya akan tetap kokoh,
berkembang dinamis sesuai dengan karakter asasinya serta bebas dari
virus-virus syubhat dan ancaman sistem lain.

Karena cakupannya yang lengkap dan komprehensif itu, maka ia


adalah sebuah sistem dan pedoman hidup yang sempurna pula.
Kesempurnaannya ini menjadikannya lebih unggul dibanding sistemsistem
lain dan karena itu ia datang untuk dimenangkan atas yang lain. Islam adalah
pedoman hidup yang menjamin kebahagiaan seluruh umat manusia di dunia
dan akhirat.

2.5 Islam Sebagai Pedoman Hidup


Sebagai pedoman hidup, Islam memberi konsepsi yang lengkap dan
sempurna tentang seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu sisi kehidupan pun
yang terlewati dari pembahasannya. Demikian itu karena kitab sucinya adalah
wahyu yang diturunkan Allah Yang Mahaluas pengetahuan-Nya.

“Tidaklah Kami lewatkan sesuatu pun dalam kitab itu.” (al-An’am: 38)
Sebagai pedoman hidup yang integral dan menyeluruh ia meliputi
konsepsi yang benar tentang :
2.5.1 Masalah keyakinan
Keyakinan tentang Tuhan, nama-nama dan sifat-Nya, kekuasaan-
Nya di langit dan di bumi, wewenang-Nya, hak-hak-Nya, pengawasan-
Nya, pembalasan-Nya di dunia dan di akhirat, tentang nabi dan rasul,
tentang alam ghaib, malaikat, jin, iblis, setan, tentang kehidupan sesudah
mati, alam barzakh, kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan masalah-
masalah ghaib lainnya yang hanya akan benar kalau datang dari Allah.
Keyakinan tentang hal-hal demikian apabila bukan berdasarkan wahyu
hanya akan menyesatkan manusia dan menjadikan mereka sebagai budak
bagi sesama makhluk. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah :
255.
2.5.2 Masalah Moral /akhlak
Moral/ akhlak manusia terhadap Allah, terhadap dirinya, terhadap
sesama manusia, maupun terhadap alam semesta hanya akan benar dan
lurus apabila ia memiliki keyakinan yang benar tentang Allah dan hari
akhir. Demikian itu karena aqidah akan membentuk kesadaran untuk
selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan yang tidak terpuji, bahkan
ketika ia sendang sendirian sekalipun. Moral yang tidak didasarkan kepada
aqidah yang lurus seringkali hanya merupakan kemunafikan dan bersifat
temporal, karena memang tidak jelas standarnya. Adapun akhlak Islam
sudah jelas dan lugas, yakni al-Qur’an. Sebagaimana tersebut dalam surah
al-A’raaf: 96 dan ar-Ra’du: 28.
2.5.3 Tingkah laku
Tingkah laku terimplikasi pada aspek psikomotorik. Ia sangat
diwarnai dan ditentukan oleh aqidah dan akhlak. Tidak ada perbedaan
antara aspek lahir dan batin kecuali orang munafik. Demikian itu karena
tingkah laku adalah bentuk implementasi dan ejawantah dari fikiran dan
jiwa manusia. Ketika melihat orang shalat tetapi anggota badannya tidak
khusu’, Rasulullah saw. bersabda: “Sekiranya hati orang ini khusyu’, tentu
khusyu’ pula anggota badannya.”Sebagaimana pula tersebut di dalam
surah al-Baqarah: 138.
2.5.4 Perasaan
Suka dan duka, cinta dan benci, sedih dan gembira, sensitif atau
tidak, juga sangat dipengaruhi oleh aqidah dan akhlak. Karena itu
Rasulullah saw. mengatakan bahwa di antara kesempurnaan iman
seseorang adalah ketika seseorang mencintai karena Allah, membenci
karena Allah, memberi atau tidak memberi karena Allah. Dalam materi
maksan syahadatain telah dibicarakan bahwa di antara konsekuensinya
adalah mencintai apa dan siapa yang dicintai Allah serta membenci apa
dan siapa yang dibenci Allah. Sebagaimana tersebut dalam surah asy-
Syu’araa’: 192-195 dan ar-Ruum: 30.
2.5.5 Tarbawi (pendidikan)
Setiap orang membutuhkan pendidikan untuk mencapai
kesempurnaannya. Di samping itu ia juga menghendaki agar anak
keturunannya dapat meneruskan tugas dan perjuangannya. Karenanya ia
melakukan pendidikan untuk mereka. Secara sadar atau tidak, setiap
masyarakat melakukan proses pendidikan ini dengan kualitas dan
intensitas yang berbeda. Islam sebagai pedoman hidup juga harus
dipahami dengan baik dan diwariskan pemahamannnya kepada generasi
penerus agar mereka tidak sesat. Tentunya proses tersebut hanya berhasil
melalui pendidikan. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah: 151
dan Ali ‘Imraan: 164.
2.5.6 Ekonomi
Untuk bertahan hidup, manusia melakukan kegiatan ekonomi,
bercocok tanam, berdagang, dan profesi lainnya. Allah telah menciptakan
mereka untuk saling tergantung kepada orang lain. Orang kaya
membutuhkan orang miskin, dan sebaliknya. Orang pintar membutuhkan
orang bodoh dan orang bodoh juga membutuhkan orang piintar dan
seterusnya. Ini menuntut mereka untuk menghormati dan menghargai
orang lain, siapapun dan apapun kedudukan dan profesinya. Islam
mengatur agar motifasi ekonomi itu tidak mendorong mereka untuk
mengeruk keuntungan besar sesaat namun menimbulkan kerugian besar
dalam waktu yang lama. Sebagaimana tersebut dalam surah at-Taubah: 60.
2.5.7 Peradilan.
Termasuk dalam kaitan ini adalah masalah hukum dan perundang-
undangan, baik perdata maupun pidana. Karena dibuat oleh manusia yang
tidak lepas dari nafsu dan keterbatasan, undang-undang dan hukum positif
selalu menyimpan berbagai kekurangan dan subyektivitas. Selain itu
karena ia telanjang dari aqidah dan moral, seringkali hukum dipakai untuk
legitimasi bagi kecurangan dan keberpihakan oknum. Islam mewajibkan
umatnya untuk berlaku adil, hatta terhadap dirinya sendiri dan terhadap
keluarganya. Ini tidak mungkin bila orang tidak merasa bahwa apa yang ia
ucapkan dalam peradilan dicatat oleh Allah dan akan mendapat balasan di
akhirat. Keyakinan akan hari akhirat inilah yang mendorong mukmin
untuk senantiasa adil, bahkan mereka minta dihukum di dunia bila khilaf.
Baginya, hukum di dunia tidak seberapa bila dibanding dengan hukuman
di akhirat. Sebagaimana tercantum dalam surah al-Anfaal: 60.

Demikian pula sisi-sisi kehidupan manusia yang lain. Semuanya tidak


lepas dari pedoman hidup yang diturunkan oleh Allah, Tuhan semesta alam
yang merupakan wujud dari pemeliharaan atas makhluk-Nya.

2.6 Islam Sebagai Akhlak


Konsep akhlak Islam berangkat dari konsepsinya tentang hubungannya
dengan Allah yaitu hubungan penciptaan. Allah telah menciptakan manusia
dan selanjutnya Allah disebut al-Khaliq dan manusia disebut al-Makhluk.
Hubungan penciptaan ini menuntut komitmen untuk mensyukuri nikmat
penciptaan dengan sikap dan perilaku yang benar sesuai dengan yang
dikehendaki Penciptanya. Dalam kerangka itu Allah menurunkan sistem
akhlak itu kepada mereka melalui nabi dan Rasul-Rasul-Nya. Akhlak Islam
menyatu dengan seluruh sistemnya. Ia ada dalam aqidah, ada dalam ibadah,
syariah, bahkan dalam seni dan budaya. Tidak ada satupun sisi kehidupan
muslim yang tidak terwarnai oleh aqidah dan akhlaknya. Rasulullah saw.
bersabda bahwa beliau tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia. Akhlak ini harus selalu ditunjukkan dalam berinteraksi dengan
Allah, dengan Rasul, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan
dengan alam semesta.
2.6.1 Akhlak kepada Allah
Inti akhlak manusia kepada Allah adalah beribadah kepada Dzat yang
telah menciptakannya dalam kitab suci-Nya.

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.” (adz-Dzariyaat: 56).
Hal ini dapat diwujudkan dengan beriman kepada-Nya, menjalankan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
2.6.2 Akhlak kepada Rasul
Bagaimana mengimplementasikan sistem akhlak ini, Rasulullah
saw. telah memberi contoh yang terbaik. Kewajiban muslim adalah
berterima kasih kepadanya dengan cara mengimani, mengikuti ajaran yang
dibawanya, menaati dan meneladaninya. Dalam hal kecintaan, hubungan
muslim dengannya saw. bagai hubungan anak dengan ayahnya; dalam
proses pembelajaran bagai hubungan murid dengan gurunya; dalam
melaksanakan tugas bagai hubungan prajurit dengan komandannya.
2.6.3 Akhlak kepada dirinya sendiri
Allah telah memuliakan manusia dan melebihkan dirinya di atas
makhluk yang lain dengan suatu kelebihan. Statusnya sebagai manusia
mengharuskan orang memuliakan dirinya. Kedekatan ini dapat dilihat dari
berbagai segi. Kalau orang lain saja wajib memuliakan dirinya, tentu dia
sendiri lebih patut untuk memuliakan dirinya sendiri. Karena itu orang
Islam tidak boleh menghina, merendahkan atau meremehkan dirinya
sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan hal-hal yang
bermanfaat baginya dan menjauhi hal-hal yang dapat merugikan. Kalau
menghormati dirinya saja tidak bisa siapakah yang akan menghormati
dirinya.
2.6.4 Akhlak kepada sesama manusia
Status dan kedudukan manusia lain di hadapan muslim berbeda-
beda sesuai dengan kedekatan dengan dirinya. Kedekatan ini dapat dilihat
dari berbagai segi. Ada yang dekat karena aqidah, dekat bila dilihat dari
sisi nasab, karena hubungan pertetanggaan, aspek kesukuan, kebangsaan,
profesi dan sebagainya. Yang paling dekat di antara mereka adalah yang
memiliki kedekatan aqidah. Merekalah yang paling berhak atas perlakuan
baik darinya.
2.6.5 Akhlak kepada alam semesta
Hatta hewan, tumbuhan dan benda-benda matipun mendapat
sentuhan akhlak Islam secara proporsional. Rasulullah saw. bersabda
bahwa Allah telah mewajibkan berbuat Ihsan kepada segala sesuatu, di
antaranya bahkan kepada musuh sekalipun. Hakekat pembinaan akhlak
adalah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela lalu menghiasinya dengan
sifat-sifat yang terpuji.

2.7 Islam Sebagai Fikroh


Iman yang mendalam akan meningkatkan kemampuan jiwa dalam melihat
persoalan, karena iman adalah pelita yang menyejukkan. Semakin tinggi
keimanan, pasti makin kuat rasa kesejukannya. Maka tidak mengherankan bila
mukmin dalam melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh orang kafir.
Sebagai orang yang telah menyatakan syahadat, seorang muslim harus
memandang segala persoalan berdasarkan hujjah-hujjah yang nyata, dengan
kaca mata Islam. Ia harus mendahulukan iman, dalil, dan argumentasi serta
mengesampingkan nafsu. Hanya dengan itulah ia akan menjadi muslim yang
baik, yaitu arah perubahan diri menuju pribadi yang utuh (persepsinya,
pemikirannya, dan perbuatannya). Sebab bila nafsunya yang dominan ia hanya
akan menjadi muslim secara status; persepsinya, permikirannya, dan
perbuatannya masih jahiliyah.
Abu Dzar al-Ghifari, shahabat yang agung itu sempat mendapat teguran
keras dari Rasulullah saw. dan disebut sebagai orang yang di dalam dirinya
terdapat sifat jahiliyah. Hal itu terjadi karena ia masih memiliki persepsi yang
salah tentang manusia yang bernama Bilal bin Rabab, sahabat Rasul yang
suara sandalnya sudah terdengar di surga saat ia masih tinggal di dunia.
Msalahanya adalah karena Abu Dzar memanggil Bilal ra sebagai anak
perempuan hitam. Bukankah Allah tidak melihat wajah dan warna kulit?
Bukankah orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa? Mendapat teguran keras dari Rasulullah saw. Abu Dzar menyesali
perbuatannya dan minta agar Bilal membalas dengan menginjak kepalanya.
Bagaimana kepribadian itu terjadi, Ibnu Qayyim ra. menuturkan bahwa
yang pertama kali muncul adalah lintasan-lintasa pemikiran, bila lintasan itu
dibiarkan maka ia akan berkembang menjadi fikrah. Bila fikrah dibiarkan
maka akan berkembang menjadi niat. Niat akan berkembang menjadi tekad,
tekad akan menjelma menjadi perbuatan. Bila dibiarkan maka perbuatan itu
akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan, lama-lama akan menjadi karakter. Pada
akhirnya karakter itulah yang menjadi budaya.
Orang yang kuat lagi arif adalah orang yang dapat mengendalikan diri.
Mengendalikan lintasan pikiran lebih ringan daripada mengubah kebiasaan.

2.8 Islam Sebagai Agama Yang Benar


Tidak dapat dipungkiri bahwa ternyata di dunia ini terdapat banyak agama,
konsep dan sistem. Masing-masing menganggap diri dan dakwahnya sebagai
kebenaran. Masing-masing mengajak manusia untuk menganut, membela, dan
memperjuangkannya. Agar tidak salah pilih dan tidak tersesat, timbanglah dan
bandingkan konsep, sistem dan agama itu dengan segala kearifan,
menggunakan akal sehat dan dalil nyata.
2.8.1 Islam
Konsep yang dijamin kebenarannya adalah konsep yang dibuat
oleh Dzat yang Maha Mengetahui, yang ilmunya meliputi segala yang ada
di langit dan di bumi, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, yang
awal dan yang akhir. Dzat yang demikian itu tidak lainn adalah Dzat yang
telah menciptakan segala makhluk. Dia adalah Allah. Konsep dan agama
yang dibuat-Nya disebut dinullah. Karena ilmunya yang Mahaluas itu
maka Allah adalah Dzat yang Mahabijaksana, disebut juga sebagai al-Haq
dengan kebenaran yang absolut. Karena itu agama-Nya disebut juga
sebagai din al-Haq atau din al-haq (al-Haq dengan huruf besar adalah
Allah, al-haq dengan huruf kecil adalah sistem yang dibuat-Nya). Din al-
haq yang dibuat-Nya tidak lain adalah al-Islam. Isi yang terkandung di
dalamnya adalah petunjuk yang datang dari Dzat yang Maha Mengetahui
lagi Maha bijaksana.

“Dialah [Allah] yang mengutus rasul-Nya dengan [membawa] petunjuk


dan dinul haq agar Dia memenangkannya atas agama-agama lain
meskipunn orang-orang musyrik tidak suka.” (ash-Shaff: 9)

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk [yang


sebenarnya].’” (al-Baqarah: 120).

2.8.2 Selain Islam


Konsep dan sistem apapun yang dibuat oleh selain Allah adalah
jahiliyyah karena ia dibuat oleh al-jahl. Betapapun pintarnya, karena
ilmunya terbatas manusia (bahkan malaikat sekalipun) disebut sebagai al-
jahl karena mereka hanya akan mengetahui apabila diberitahu Allah. Apa
yang tidak ia ketahui jauh lebih banyak dibanding dengan apa yang ia
ketahui.Yang menyandang sifat jahl itu adalah makhluk. Kalau ia
mengklaim sebagai tuhan atau dipertuhankan, pastilah ia bukan tuhan yang
sebenarnya. Sistem yang diterapkan oleh makhluk yang demikian itu
posisinya biasanya disebut sebagai dinul malik, sistem raja. Konsep yang
dibuatnya berdasarkan pada prasangka semata. Penelitian saja tidak
menjamin sampai ke tingkat keyakinan. Hakekat kebenaran yang
sebenarnya hanya diketahui oleh Allah. Kebenaran yang masih relatif itu
kalau kemudian dijadikan sebagai konsep, agama, atau sistem, yang terjadi
adalah konsep batil, sistem kebatilan, atau agama bathil. Sistem demikian
disebut jahiliyyah karena apapun yang bukan Islam dan atau bukan Islam
adalah jahiliyyah. Isi yang terkandung di dalamnya adalah kesesatan.
Betapapun dikemas dalam nama dan penampilan yang baik, kesesatan
adalah tetaplah kesesatan yang hanya akan menyesatkan manusia dan
menjerumuskan ke jurang kenistaan di dunia dan di akhirat.

“Apakah hukuman jahiliyyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih
baik hukumnya bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah: 50)

“Maka apakah mereka mencari agama lain dari agama Allah? Padahal
kepada Allah-lah menyerahkan diri segala apa yang ada di langit dan di
bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan kepada Allah lah mereka
dikembalikan.” (Ali ‘Imraan: 83)

2.9 Definisi Al Qur’an


Menurut bahasa kata al-Qur’an merupakan kata benda bentuk dasar
(masdar) yang bersinonim dengan kata “al-Qira’ah” (‫) القراءة‬berarti bacaan.
Sebagaimana firman Allah SWT : “ Apabila kami Telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah penjelasannya.”(QS. al-Qiyamah : 18-19).
Alquran menurut istilah adalah firman Allah SWT. Yang disampaikan
oleh Malaikat Jibril dengan redaksi langsung dari Allah SWT. Kepada
Nabi Muhammad SAW, dan yang diterima oleh umat Islam dari generasi
ke generasi tanpa ada perubahan.
Adapun dari segi istilahnya, Al-Qur’an adalah Kalamullah yang
merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, yang
disampaikan kepada kita secara mutawatir dan dijadikan membacanya
sebagai ibadah. Keterangan dari definisi tersebut adalah :
1. Kalam Allah
Bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang diucapkan
kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril as (dia hanya penyampai
wahyu dari Allah), bukan sabda Nabi Muhammad SAW. (beliau hanya
penerima wahyu Alquran dari Allah), dan bukan perkataan manusia
biasa, mereka hanya berkewajiban mengamalkannya.
2. Mu’jizat
Kemu’jizatan Al-Qur’an merupakan suatu hal yang sudah terbukti
dari semenjak zaman Rasulullah SAW hingga zaman kita dan hingga
akhir zaman kelak. Dari segi susunan bahasanya, sejak dahulu hingga
kini, Al-Qur’an dijadikan rujukan oleh pakar-pakar bahasa. Dari segi isi
kandungannya, mencakup bidang ilmu alam, matematika, astronomi
bahkan juga “prediksi” (sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Rum
mengenai bangsa Romawi yang memperoleh kemenangan serta
kekalahan), dsb.
3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an langsung kepada Rasulullah
SAW melalui perantara malaikat Jibril as, seperti dijelaskan dalam Al-
Qur’an (QS. Asy Syu’araa’ 26 :192) : “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh
Ar-Ruh Al-Amin (Jibril as), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberikan
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”
4. Diriwayatkan secara mutawatir
Setelah Rasulullah SAW mendapatkan wahyu dari Allah SWT,
beliau langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabatnya.
Diantaranya mereka terdapat beberapa orang sahabat yang secara khusus
mendapatkan tugas dari Rasulullah SAW untuk menuliskan wahyu.
Terkadang Al-Qur’an dituliskan di pelepah korma, di tulang-tulang, kulit
hewan, dan sebagainya. Diantara yang terkenal sebagai penulis Al-
Qur’an adalah : Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubai bin Ka’b, dan Zaid
bin Tsabit. Demikianlah, para sahabat yang lainpun banyak yang
menulis Al-Qur’an meskipun tidak mendapatkan instruksi secara
langsung dari Rasulullah SAW. Namun, pada masa Rasulullah SAW ini,
Al- Qur’an belum terkumpulkan dalam satu mushaf sebagaimana yang
ada saat ini. Pengumpulan Al-Qur’an pertama kali dilakukan pada masa
Khalifah Abu Bakar Al-Shidiq, atas usulan Umar bin Khatab yang
khawatir akan hilangnya ayat-ayat Al-Qur-an. Hal ini karena banyak
para sahabat dan qari’ yang gugur dalam peperangan yamamah. Tercatat
terdapat tiga puluh sahabat yang syahid. Mulanya Abu Bakar menolak,
namun setelah mendapat penjelasan dari Umar, beliau pun mau
melaksanakannya. Mereka berdua menunjuk Zaid bin Tsabit, karena
Zaid orang terakhir yang membacakan Al-Qur’an di hadapan Rasulullah
SAW sebelum beliau wafat. Awalnya Zaid menolak, namun setelah
mendapat penjelasan dari Abu Bakar dan Umar Allah pun membukakan
pintu hatinya. Setelah ditulis, Mushaf ini dipegang oleh Abu Bakar,
kemudian pindah ke Umar, lalu pindah lagi ke tangan Hafshah bin
Umar. Kemudian pada masa Utsman bin Affan ra, beliau memintanya
dari tangan Hafshah. (Al-Qattan, 1995 : 125-126). Kemudian pada
Utsman bin Affan, para sahabat banyak yang berselisih pendapat
mengenai bacaan (baca : qiraat) dalam Al-Qur’an. Apalagi pada masa
beliau kekuasaan kaum muslimin telah menyebar sedemikian luasnya.
Sementara para sahabat terpencar-pencar di berbagai daerah, yang
masing-masing memiliki bacaan/qiraat yang berbeda-beda. Kondisi
seperti ini membuat suasana kehidupan kaum muslimin menjadi sarat
dengan perselisihan, yang dikhawatirkan mengarah pada perpecahan.
Pada saat itulah, Hudzifah bin al- Yaman melaporkan ke Utsman bin
Affan, dan disepakati oleh para sahabat untuk menyalin mushaf Abu
Bakar dengan bacaan/qiraat yang tetap pada satu huruf. Utsman
memerintahkan kepada Zaid ni Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’d bin
‘Ash, dan Abdul Rahman bin Harits untuk menyalin dan memperbanyak
mushaf. Dan jiak terjadi perbedaan diantara mereka, maka hendaknya
Al-Qur’an ditulis dengan logat Quraisy. Karena dengan logat Quraisy
lah A-Qur-an diturunkan. Setelah usai penulisan Al-Qur’an dalam
beberapa mushaf, Utsman mengirimkan ke setiap daerah satu mushaf,
serta beliau memerintahkan untuk membakar mushaf atau lembaran
yang lain. Sedangkan satu mushaf tetap disimpan di Madinah, yang
akhirnya dikenal dengan sebutan mushaf imam. Kemudian mushaf asli
yang dipinta dari Hafsah, dikembalikan pada beliau. Sehingga jadilah
Al-Qur’an dituliskan pada masa Utsman dengan satu huruf, yang sampai
pada tangan kita. (Al-Qattah, 1995 : 128-131)
5. Membacanya sebagai ibadah
Dalam setiap huruf Al-Qur’an yang kita baca, memiliki nilai
ibadah yang tiada terhingga besarnya. Dan inilah keistimewaan Al-
Qur’an, yang tidak dimiliki oleh apapun yang ada di muka bumi ini,
Allah SWT berfirman (QS. Faathir (35) : 29- 39) “Sesungguhnya orang-
orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka
denngan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan
kepada mereka pahala mereka dan menambahkan kepada mereka
karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri.” Dari Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa yang membaca satu huruf dalam kitabullah (Al-Qur’an),
maka ia akan mendapatkan satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu dengan
sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim
sebagai satu huruf. Namun, Alif merupakan satu huruf, Lam satu huruf
dan Mim juga satu huruf.”(HR. Tirmidzi).

2.10 Nama- nama Al Qur’an


2.10.1 Al-Kitab, karena ia ditulis, diambil dari kata kataba (menulis). Kitaab
sama dengan maktuub berarti yang ditulis. Disamping dihafal oleh
Rasulullah dan para hafidz, sejak awal al-Qur’an sudah ditulis oleh team
pencatat al-Qur’an dari kalangan shahabat. hal itu dimaksudkan untuk
menjamin keasliannya. Nama ini memberikan pesan agar kita
membacanya.
2.10.2 Al-Huda (petunjuk) bagi orang-orang yang beriman. Bagi mereka, al-
Qur’an adalah yang memberi komando. Bila al-Qur’an mengatakan
mereka melakukannya, bila al-Qur’an mengatakan berhenti mereka
berhenti. Sesungguhnya petunjuk Allah-lah yang sebenar-benar petunjuk.
2.10.3 Al-Furqaan (pembeda) karena ia membedakan yang benar (haq) dengan
yang batil. Al-Qur’an yang dibaca, dipahami dan diamalkan dalam
kehidupan akan membentuk kepribadian yang khas dengan identitas yang
berbeda dengan seseorang yang tidak membaca al-Qur’an. Generasi
pertama umat Islam dikatakan oleh sebagian penulis sebagai generasi al-
Qur’an. Mereka adalah al-Qur’an yang berjalan, artinya kandungan al-
Qur’an teraplikasi dalam keseharian mereka.
2.10.4 Ar-Rahmah (rahmat) karena keberadaannya merupakan wujud rahmat
Allah bagi umat manusia. Dengan al-Qur’an, mereka tidak terhindar dari
kebimbangan dalam mencari petunjuk.
2.10.5 An-Nuur (cahaya) karena ia menerangi jalan hidup manusia. Orang yang
beriman menjadikannya sebagai obor penerang jalan hidup mereka agar
tidak sesat.
2.10.6 Asy-Syifaa’ (obat) karena ia mengobati penyakit-penyakit yang ada di
dalam dada.
2.10.7 Al-Haq (kebenaran) karena al-Qur’an adalah kebenaran haqiqi yang
diturunkan dari Allah, al-haq kepada Nabi-Nya melalui malaikat Jibirl al-
Amin dan sampai kepada kita melalui hadits-hadits mutawatir.
2.10.8 Al-Bayan (penjelasan) karena ia menjelaskan berbagai hal. Bahkan hal-hal
yang tidak pernah dijelaskan di kitab lain.
2.10.9 Al-Mau’izhah (nasehat) karena isinya merupakan nasehat-nasehat dan
wejangan yang sangat berguna bagi umat manusia.
2.10.10 Adz-Dzikr (peringatan) karena ia memberikan peringatan kepada orang-
orang kafir akan akibat penolakan dan pendustaan yang mereka lakukan.

2.11 Konsekuensi iman kepada Al Quran


Iman kepada al-Qur’an menuntut beberapa hal yang harus dipenuhi
oleh orang yang telah menyatakan beriman kepadanya. Keimanan itu tidak
sempurna bahkan patut dipertanyakan kebenarannya apabila ia belum
memenuhinya. Diantara konsekuensi-konsekuensi itu adalah:
2.11.1 Akrab dengan al-Qur’an
Seseorang dikatakan akrab dengan al-Qur’an apabila ia melakukan
interaksi yang intens dengannnya. Hal itu dilakukan dengan cara
mempelajari dan mengajarkan kepada orang lain.“Sebaik-baik kalian
adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR
Bukhari).
Yang ia pelajari dan ajarkan itu meliputi:
a. Bacaannya.
Membaca al-Qur’an dengan baik sesuai dengan makhraj tajwidnya
merupakan indikasi keimanan seseorang. Untuk itu seorang mukmin
harus mempelajari dan mengajarkannya kepada orang lain dengan
baik. Dari sisi tilawahnya, mencakup tajwid, makharijul huruf, qiraah
dan lainnya. Karena apabila terdapat kesalahan membacanya berakibat
pada perubahan maknanya. Dari Asiyah ra, Rasulullah SAW bersabda,
“Seseorang yang mahir dalam membaca Al-Qur’an, kelak ia akan
dikumpulkan bersama para malaikat yang mulia dan suci. Dan orang
yang masih terbata-bata membacanya lagi berat, maka ia mendapatkan
pahala dua kali lipat.”(HR. Muslim)

b. Pemahamannya.
Hal ini dilakukan dengan mempelajari dan mengajarkan maknanya
secara baik, karena sebagian ayat-ayatnya harus dipahami secara
kontekstual. Pemahaman kontekstual harus didasarkan pada apa yang
dipahami oleh para salafushalih melalui riwayat-riwayat yang shahih.
Pemahaman kontekstual dapat juga dengan penalaran akal, asal tidak
menyimpang dari riwayat, karena Nabi saw, dan para shahabatnya
tentu lebih memahaminya. Merekalah yang mengalami masa turunnya
wahyu itu. Mencakup masalah ibadah, muamalah, jihad, dan lain
sebagainya. Pemahaman sangat penting karena merupakan pijakan
dalam mengaplikasikannyadalam kehidupan riil. Tanpa pemahaman
yang baik, tentulah akan sulit dalam merealisasikan Al-Qur’an pada
kehidupan nyata. “ Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka
itulah binatang ternak, bahkan mereka itulah orang-orang yang lalai.”
(QS. Al A’raaf (7) : 179)

c. Penerapannya.
Apa yang telah dipahami hendaklah diterapkan dalam kehidupan.
Di samping itu, ia mempelopori penerapannya dalam kehidupan dan
mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Selain itu bias
mencakup bidang ekonomi, sosial, politik, kesehatan dan lainnya.
Karena merealisasikan Al-Qur’an pada kehidupan nyata merupakan
perintah Allah SWT. “ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah SWT, maka mereka itulah orang-orang
yang kafir.”(QS. Al Maa-idah (5) : 44)

d. Penghafalan dan penjagaannya.


Karena menghafal Al-Qur’an memiliki keistimewaan tersendiri.
Dari Ali bin Abi Thalib ra, Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa
yang membaca Al-Qur’an dan menghafalnya, maka Allah SWT akan
memasukkannya ke dalam syurga dan memberinya hak syafaat untuk
sepuluh anggota keluarganya yang telah ditetapkan masuk
neraka.“(HR. Ibnu Majah) Mendidik diri dengannya.
Al-Qur’an memuat nilai-nilai dan ajaran yang ideal, sementara
manusia dan kehidupan di sekitarnya terkadang jauh dari nilai-nilai al-
Qur’an. Dalam kondisi ini, ia berusaha untuk mendidik diri supaya
sifat-sifat dan karakternya sesuai dengan al-Qur’an. Bila berhasil, ia
akan menjadi orang yang berkepribadian khas karena al-Qur’an
dengan shibghah mewarnai seluruh dirinya secara utuh.
2.11.2 Tunduk menerima hukum-hukumnya.
Al-Qur’an sebagai hukum dan perundang-undangan tidak cukup
dibaca dan dikaji. Al-Qur’an harus dipatuhi dengan segala ketundukan dan
lapang dada karena hukum-hukum yang ada di dalamnya dibuat oleh Allah
swt. Yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. Penolakan dan
pembangkangan terhadap al-Qur’an merupakan kebodohan yang hanya
akan menyebabkan kerusakan dan kehancuran.
2.11.3 Mengajak (menyeru) orang kepadanya
Karena ia yakin bahwa al-Qur’an adalah kebenaran hakiki yang
menentramkan, maka ia pun mengajak orang lain kepadanya dengan cinta
dan penuh tanggung jawab. Disamping itu karena sebagian nilai dan
hukum-hukumnya hanya dapat ditegakkan bersama dengan orang lain
dalam wadah jamaatul muslimin yang solid. Sebagai seorang muslim yang
baik, tidak akan merasa cukup dengan mempelajarinya saja untuk
kemudian dijadikan bekal bagi dirinya sendiri. Namun, lebih dari itu setiap
muslim memiliki kewajiban untuk mengajarkannya kepada orang lain.
Dari Utsman ra, Rasulullah SAW bersabda, “ Sebaik-baik kalian adalah
yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari
2.11.4 Menegakkannya di bumi
Nilai dan hukum-hukum yang menyangkut kehidupan pribadi
ditegakkan dalam dirinya sebagai individu. Dalam konteks kehidupan
sosial politik ia ditegakkan bersama dengan kaum mukminin lainnya
dalam wadah jamaah yang solid, tentunya dalam institusi sosial politik dan
kenegaraan. Allah SWT telah menuntut pada kaum-kaum yang terdahulu
untuk menegakkan agama Nya di muka bumi, maka demikian pula halnya
dengan umat Islam. Allah SWT menuntut pada kita untuk menegakkan
agamaNya, dengan menegakkan Al- Qur’an dengan menegakkan hukum-
hukumNya di muka bumi untuk seluruh umat di manapun mereka berada.
“Dia telah menyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu :
Tegakkannlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki –Nya
dan memberi petunjuk kepada (agama) –Nya orang yang kembali (kepada-
Nya).” (QS. Asy Syuraa (42) : 13) Bagaimanapun kondisinya suatu ketika
Al-Islam akan menjadi pedoman hidup dan hukum yang menjadi acuan
bagi kehidupan seluruh umat manusia. “Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal
yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang- orang yang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji)itu. Itulah orang –orang yang fasik.” (QS. An
Nuur (24):55)

2.12 Bahaya melupakan Al Quran


Allah SWT telah menuntut pada kaum-kaum yang terdahulu untuk
menegakkan agama Nya di muka bumi, maka demikian pula halnya
dengan umat Islam. Allah SWT menuntut pada kita untuk menegakkan
agamaNya, dengan menegakkan Al- Qur’an dengan menegakkan hukum-
hukumNya di muka bumi untuk seluruh umat di manapun mereka berada.
“Dia telah menyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu :
Tegakkannlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki –Nya
dan memberi petunjuk kepada (agama) –Nya orang yang kembali (kepada-
Nya).” (QS. Asy Syuraa (42) : 13) Bagaimanapun kondisinya suatu ketika
Al-Islam akan menjadi pedoman hidup dan hukum yang menjadi acuan
bagi kehidupan seluruh umat manusia. “Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal
yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang- orang yang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji)itu. Itulah orang –orang yang fasik.” (QS. An
Nuur (24):55)
2.13 Syarat mendapat manfaat Al Quran
Imam Ibnu Qayyim ra. dalam al-Fawaid mengatakan bahwa kita
akan mendapat manfaat dari al-Qur’an apabila terpenuhi hal-hal sebagai
berikut: memberi pengaruh (al-Qur’an itu sendiri), tempat yang
menerimanya (hati yang hidup), dan tiada hal yang menghalang. Secara
rinci dapt dijabarkan sebagai berikut:
2.13.1 Bersikap sopan terhadap al-Qur’an
Hal ini diwujudkan dengan niat yang baik, kebersihan hati dari
penyakit-penyakit hati; mengosongkan hati dari hal-hal yang
menyibukkannya; kesucian jasmani dari najis; dan mengkhususkan pikiran
bersama al-Qur’an.
2.13.2 Talaqqi dengan sebaik-baiknya
Hal ini dilakukan dengan hati yang khusyu’; ta’zhim [pengagungan],
dan semangat untuk melaksanakan apa yang diperintahkannya.
2.13.3 Memperhatikan tujuan asasi diturunkannya al-Qur’an.
Yaitu sebagai petunjuk menuju ridha Allah; untuk membentuk
kepribadian yang Islami; memandu umat manusia; dan membentuk
masyarakat Islami.
2.13.4 Mengikuti cara interaksi para shahabat ra. dengan al-Qur’an.
Merekalah generasi terbaik. Mereka mencapai predikat ini karena
interaksinya yang baik dengan al-Qur’an . cara mereka berinteraksi dengan
al-Qur’an adalah:
a. Pandangan yang menyeluruh
Maksudnya bahwa mereka tidak memahami ayat-ayat secara
terpisah karena ayat satu dengan yang lainnya saling terkait.
Pandangan yang parsial terhadap al-Qur’an akan memunculkan
anggapan bahwa ada kontradiksi di antara ayat-ayatnya. Ini
menyebabkan orang mengimani sebagian ayat dan mengkafiri
sebagian lainnya. Padahal sikap yang demikian itu merupakan
kekafiran yang sebenarnya. Rasulullah saw. bahkan melarang kita
mempertentangkan satu ayat dengan ayat yang lain.
b. Memasuki al-Qur’an tanpa membawa persepsi, pemahaman, dan
keyakinan masa lalu.
Sikap demikian dilakukan agar apa yang dipahaminya dari al-
Qur’an tidak dibatasi oleh pemahaman dan persepsi-persepsi lamanya.
c. Kepercayaan mutlak kepada al-Qur’an
Apa yang dikatakan al-Qur’an sebagai haram, mereka
mengatakannya sebagai haram. Dan apa yang dikatakan sebagai halal,
mereka mengatakannya sebagai halal. Bahkan merekapun percaya
sepenuhnya pada hal-hal yang kadang belum mereka ketahui atau
bertentangan dengan logika berfikir mereka. Logikalah yang harus
menyesuaikan dengan al-Qur’an, bukan sebaliknya.
d. Merasakan bahwa ayatnya (yang dibaca/ didengar) ditujukan
kepadanya.
Imam Ahmad mengatakan bahwa siapa yang ingin berdialog
dengan Allah hendaklah ia membaca Al-Qur’an. Sayyid Qutub
mengatakan bahwa hendaklah ia merasakan seakan-akan wahyu itu
sedang turun kepadanya secara langsung.
2.13.5 Tiada penghalang
Hal yang menghalangi terjadinya pengaruh al-Qur’an secara efektif
adalah kesibukan hati dengan urusan lain; ketidakpahamannya
terhadap makna dan pesan-pesan yang terkandung di dalam ayat yang
dibaca atau didengar; dan ketika ia berpaling kepada selain al-Qur’an.

2.14 Karakteristik Al Quran


2.14.1 Diturunkan bukan untuk menyusahkan manusia Memang sudah menjadi
tabiat manusia untuk selalu mengeluh dalam menghadapi permasalahan
yang dimilikinya, sehingga tidak sedikit manusia yang menganggap turan
Allah terhadap kehidupannya seperti yang tercantum dalam Al Qur’an
hanya menimbulkan kesusahan bagi dirinya. Padahal jika aturan tersebut
dijalankan, manusia justru akan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik.
Firman Allah, “Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar
kamu mendapat kesusahan” (Q.S. Taha: 2).
2.14.2 Bacaan yang teramat mulia dan terpelihara Al Qur’an adalah kitab yang
mulia. Disampaikan oleh Yang Mahamulia (Allah SWT) kepada manusia
yang paling mulia (Muhammad SAW) melalui malaikat termulia (Jibril).
Oleh karena itu barang siapa yang ingin hidup mulia dan dimuliakan, tidak
boleh “tidak” ia harus selalu berinteraksi dengan sumber kemuliaan yaitu
Al Qur’an. “Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang teramat
mulia. (Yang terdapat) pada kitab yang terpelihatra (Lauhul Mahfudz).
Tidak menyentuhnya kecuali orang- orang yang disucikan. Diturunkan
dari Tuhan Semesta Alam” (Q.S. Al Waqi’ah: 77-78).
2.14.3 Tidak seorang pun yang dapat menandingi keindahan dan keagungan Al
Qur’an. “Dan jika kamu meragukan ( Al Qur’an) yang kami turunkan
kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal
dengannya dan ajaklah penolong- penolong selain Allah, jika kamu orang-
orang yang benar (Q.S. Al Baqarah: 23) “ Katakanlah, “Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan ) Al
Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya,
sekalipun mereka saling membantu satu sama lain” (Q.S. Al Isra (17): 88).
2.14.4 Tersusun secara terperinci dan rapi “ Alif Laam Raa. (Inilah) Kitab yang
ayat- ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci,
(yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana, Mahateliti” (Q.S.
Al Hud:1)
2.14.5 Mudah difahami dan diambil pelajaran “ Dan sungguh, telah Kami
mudahkan Al Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau
mengambil pelajaran?” (Q.S. Al Qamar: 17).
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Al Qur’an dari Segi Keperawatan


Beberapa prinsip keperawatan dalam Islam:
3.1.1 Aspek Teologis: setiap hamba telah dibekali oleh Allah dua potensi yaitu
kehendak dan kemampuan. Atas dasar kehendak maka seorang muslim
memiliki cita- cita untuk melakukan rekayasa atau berbagai inovasi dalam
kehidupannya yang dibuktikan karena Allah. Dengan adanya kehendak
dan kemampuan maka seorang manusia melakukan upaya yang sungguh-
sungguh tanpa menyisakan kemampuannya dan setelah itu menyerahkan
hasilnya dan menanti ketentuan Allah. Dalam perspektif yang seperti
itulah bertemunya dua hal yang sering dipandang krusial dalam
pemahaman akidah yaitu antara usaha manusia dan takdir Allah.
Keduanya adalah merupakan perpaduan dalam perjalanan hidup manusia
yang disebut tawakkal. Hal ini tercermin dalam Al Qur’an sebagian
diantaranya menekankan manusia agar berbuat secara maksimal karena
Allah tidak akan merubah nasib seseorang sehingga merubah sendiri (lihat
Q.S. Al Ra’d (13):11). Sementara ayat yang lain menegaskan seakan
manusia tidak berperan sedikitpun dalam perbuatannya dengan
mengatakan Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu kerjakan
(lihat Q.S. Al Shaffat (37): 96).
3.1.2 Aspek Fungsi Kemanusiaan yaitu khilafah dan ibadah. Tugas khilafah
adalah mengelola seluruh alam semesta untuk kepentingan umat manusia.
Dan tentunya harus diingat bahwa tugas pengelolaan yang baik harus
dilakukan oleh hamba- hamba Allah yang memiliki kepatutan untuk itu
(lihat Q.S.Al Anbiya (21):105). Selanjutnya pelaksanaan tugas khilafah
yang benar pastilah akan menghasilkan ibadah yang benar pula dan
demikian sebaliknya. Atas dasar itu seorang muslim hendaknya menggali
seluruh informasi ilmu pengetahuan tentang alam semesta termasuk tugas
perawatan sekalipun ilmu itu ada pada umat lain yang bukan muslim.
Allah menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
dan pergantian siang dan malam adalah menjadi tanda- tanda kebesaran
Allah bagi yang berpikir (lihat Q.S. Ali Imran (3): 190). Selanjutnya dalam
ayat berikutnya Allah menjelaskan tanda- tanda orang yang disebut ulul
albab yaitu orang yang selalu mengingat Allah; memikirkan penciptaan
langit dan bumi; dan kemudian yang mampu mengambil keputusan: Ya
Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan semua yang ada di langit dan di
alam semesta ini sia- sia; dan terakhir pernyataan Maha Suci Allah dari
sifat kekurangan dan peliharalah kami dari azab neraka (lihat Q.S. Ali
Imran (3): 191).
3.1.3 Aspek akhlak yaitu ihsan yang menyataan bahwa setiap orang yang
beriman hendaklah menyadari bahwa dirinya selalu dalam pengawasan
Allah sesuai dengan hadis Rasul bahwa engkau menyembah Allah seakan
engkau melihat-Nya dan andaikata engkau tidak mampu melihat-Nya
maka yakilah Ia melihatmu. Atas dasar itu, seorang muslim dalam segala
tindakannya tidak memerlukan kendali. Dari aspek teologis, seorang
perawat harus percaya akan adanya kematian yang tidak terelakkan seperti
banyak ditegaskan dalam Al Qur’an dan hadits. Ibnu Sina pernah
menyatakan, yang harus diingat bahwa pengetahuan mengenai
pemeliharaaan kesehatan itu tidak bisa membantu untuk menghindari
kematian maupun membebaskan diri dari penderitaan lahir. Ia juga
memberikan cara- cara memperpanjang usia agar hidup selamanya. Sebab,
berupaya menyelamatkan hidup adalah tugas mulia, siapa yang
menyelamatkan hidup seorang manusia. Ini sejalan dengan penegasan ayat
Al Qur’an: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan hanya
karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan- akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya” (Q.S. Al Maidah (5):32). Pada aspek khilafah, perawat
diharapkan dapat menggunakan metode ilmiah dalam berpikir. Ajaran
Islam sangat menekankan agar berpikir atau merenung terhadap berbagai
sebab, tujuannya agar mendapatkan keyakinan yang benar. Seperti dalam
firman Allah: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa
yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-
nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin
dan awan dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-
tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Q.S.
Al Baqarah: 164). Juga firman Allah: Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang
ada di langit dan di bumi” (Q.S. Yunus: 101). Perawat juga mesti
menyadari dalam melayani kepentingan umum semata- mata hanyalah
untuk beribadah kepadaNya. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembahKu” (Q.S. Adz Dzaariyaat: 56).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus” (Q.S. Al Bayyinah: 5). Perawat dituntut untuk bersikap ramah, tidak
emosional, tenang. Sebagaimana dijelaskan: “Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu”(Q.S. Ali Imran: 159). Juga dalam surat: “Tetapi orang
yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian
itu termasuk hal- hal yang diutamakan” (Q.S. Asy Syuura:43). Perawat
juga harus mampu dalam menyimpan rahasia pasien dan dapat dipercaya
dalam melakukan asuhannya. Dalilnya: “ Allah tidak menyukai orang
mengeluarkan kata- kata keji (menyebutkan aib orang lain) kecuali bila
dianiaya” (Q.S. An Nisa: 148). Juga firman Allah: “ Sesungguhnya orang-
orang menyukai tersiarnya kekejian pada orang- orang yang beriman,
untuk mereka siksa yang pedih di dunia dan akhirat” (Q.S. An Nur: 19).
Firman Allah: “Sungguh berbahagialah orang- orang yang beriman , yaitu
yang khusyu’ dalam sembahyang, yang meninggalkan segala yang sia- sia,
yang menunaikan zakat, yang memelihara kehormatan (alat kelaminnya)
selain kepada isteri atau hamba sahaya, buat ini mereka tidak tercela;
barangsiapa menghendaki selain itu, maka adalah mereka melampaui batas
yang memelihara amanat dan menepati janji, yang menepati segala
sembahyangnya, mereka itu memperoleh surga Firdaus, dimana mereka
akan kekal selama- lamanya” (Surat Al Mu’minun: 1-11). Selain ayat
tersebut di atas, dijelaskan pula pada: “Wahai orang- orang yang beriman,
janganlah kamu menghianati Allah dan RasulNya dan janganlah kamu
menghianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu
mengetahui” (Q.S. Al Anfal: 27). Ayat lain: “Sesungguhnya Allah
memerintahkan kamu supaya menyampaikan segala amanat (yang
dipercayakan) kepada yang berhak” (Q.S. An Nisa: 58). Perawat juga
mesti bertanggung jawab atas segala resiko dan konsekuensi dari
profesinya. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungan
jawabnya” (Q.S. Al Isra: 36). Perawat perlu menyampaikan nilai- nilai
untuk menjaga kesehatan dalam ajaran islam. Misalnya, dalam mengatur
pola makan dan minum. Ayat Al Qur’an menekankan agar makan dan
minum dengan kadar proporsional. “... makan dan minumlah, dan
jangamlah kamu berlebih- lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang- orang yang berlebih- lebihan” (Q.S. Al A’raf: 31). Dianjurkan bagi
para ibu untuk menyusui anak- anaknyahingga 2 tahun, antara lain
dinyatakan dalam ayat Al Qur’an” “Para ibu hendaklah menyusukan anak-
anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaina kepada para
ibu dengan cara yang ma’ruf” (Q.S. Al Baqarah: 233). Berdasarkan ayat di
atas, agar ibu dan anak sehat seharusnya menyusui anak hingga usianya 2
tahun. ASI adalah makanan paling penting dan pokok. Menurut ahli
medis, pemberian ASI sampai 2 tahun merupakan suatu upaya
meningkatkan kualitas jasmani dan intelektual anak, karena mengandung
Protein Taurin dan asam lemak dichosahexaeonoic acid yang sangat
diperlukan untuk pertumbuhan sel otak bayi.di samping mengandung gizi
yang tinggi, ASI juga mempunyai kemampuan untuk membantu
pertumbuhan dan menghalangi terjadinya infeksi saluran pencernaan bayi.
Terhadap kebutuhan jasmani manusia, Islam memberi tuntunan, agar
mengatur waktu untuk istirahat seperti ditegaskan dalam ayat Al Qur’an:
“Dan karena rahmatNya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya
kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian
dari karuniaNya (pada siang hari) agar kamu bersyukur padaNya” (Q.S. Al
Qashash: 73).
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Islam di dalam Al Quran disebut ad-aim, yang mengandungi arti sistem
kehidupan yang menyeluruh termasuk ibadah, kemasyarakatan, politik dan
jihad. Islam mencakupi keseluruhan hidup dan Islam secara lengkap
menyediakan keperluan manusia untuk mengatur kehidupan. Sedangkan Al-
Qur’an adalah Kalamullah yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir dan
dijadikan membacanya sebagai ibadah. Dalam kaitannya dengan keperawatan,
Al-Qur’an telah memberikan pembelajaran tentang banyak hal. Diantaranya
yaitu dari aspek teologis, manusia khususnya dalam bidang keperawatan
diajarkan untuk berusaha maksimal demi kesembuhan klien, karena Alloh
SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum tanpa kaum tersebut yang
berusaha. Dan disisi lain, selain kerja keras dan berusaha, Al-Qur’an juga
mengajarkan bahwa, Alloh SWT adalah pengawas dan penguasa segalanya,
termasuk hidup, mati, sehat dan sakit adalah semua kehendaknya.

4.2 Saran
Kecanggihan dunia medis yang terus berkembang hendaknya tidak lantas
melupakan kita akan makna tawakal dan mengakui adanya kekuasaan Alloh
SWT, sebagai pemilik alam semesta. Sehingga, sekeras apapun kita berusaha
khususnya sebagai seorang perawat jangan lupa untuk tetap merendah dan
menyerahkan hasilnya kepada Alloh SWT.
Daftar Pustaka

Dini lidya, Fungsi Al-Qur’an, http://dalamislam.com/landasan-agama/al-


quran/fungsi-al-quran-bagi-umat-manusia, diakses pada tanggal 16
Agustus 2019

Sulaiman. (2019). Al-Qur’an sebagai Wahyu Allah, Muatan beserta Fungsinya.


(Article January 2019).
Zuhroni, dkk. 2003. Islam untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2 (Fiqh
Kontemporer). Depag RI: Jakarta.

Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2015),p. 15

Anda mungkin juga menyukai