Anda di halaman 1dari 15

https://klikpajak.

id/ketahui-ketentuan-pajak-sewa-guna-usaha-leasing/

Dalam upaya memenuhi kebutuhan pengguna barang modal, pembayaran untuk barang modal bisa
Anda lakukan melalui berbagai cara. Diantaranya lewat pembayaran barang secara tunai dan sewa
usaha (leasing). Cara pembayaran yang dilakukan olehcustomerpun biasanya menyesuaikan
dengan preferensi dan kondisi mereka masing-masing. Untuk pembayaran melalui sewa usaha
dikenakan pajak sewa guna usaha yang akan dijelaskan dalam artikel ini.
Untuk pembelian secara tunai, Anda perlu menyiapkan uangcashsejumlah harga barang modal
tersebut dari pengguna barang. Sementara jika Anda memilih cara pembayaran melalui sewa guna
usaha (leasing), maka biaya yang diperlukan sebagai pembayaran tidak harus disediakan saat itu
juga.
2 Cara Pembiayaan Melalui Leasing
Dalam artikel ini, akan dibahas secara khusus mengenai cara pembiayaan melaluileasing. Adapun
dua jenis cara pembiayaan melalui leasing yang harus Anda ketahui sebagai berikut.
1. Finance Lease
Merupakan pendanaan dalam bentuk penyediaan barang modal secara sewa guna usaha dengan
hak opsi.
2. Operating Lease
Merupakan sewa guna usaha tanpa hak opsi yang dimanfaatkan oleh perusahaan maupun
perorangan yang menggunakan barang modal ataulesseedengan pendanaan dari perusahaan
pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri
Keuangan ataulessordalam periode waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Ketentuan dalam Pajak Sewa Guna Usaha (Leasing)
Hak opsi dalam pendanaan denganoperating leaseyang dimaksud yaitu hakleeseuntuk membeli
barang modal yang telah disewa guna usahakan, atau melakukan perpanjangan periode waktu
perjanjian sewa guna usaha. Sehingga keberadaan hak opsi ini memberikan kesempatan
kepadalesseeuntuk memberikan barang modal yang disewa. Pada akhirnya dapat terjadi
kepemilikan maupun memperpanjang periode perjanjian sewa.
Berbeda denganoperating leaseatauleasingtanpa hak opsi, pihaklesseetidak secara otomatis
memiliki hak opsi membeli maupun memperpanjang periode perjanjian sewa. Kecuali, jika
pihaklessormenawarkan setelahnya. Kegiatan Sewa Guna Usaha atauleasingdiatur dengan
ketentuan lebih lanjut tentang sewa guna usaha yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
(KMK) Nomor: 1169/KMK.01/1991 diterbitkan pada tanggal 27 November 1991.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor : 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 November
1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) diberikan ketentuan lebih lanjut tentang sewa-
guna-usaha. Pasal 3 KMK tersebut mengatur bahwa suatu sewa guna usaha dapat digolongkan
sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) apabila memenuhi semua kriteria
berikut:
Untuk pembayaran sewa guna usaha pada periode sewa guna usaha pertama harus ditambah
dengan nilai sisa barang modal. Selain itu, jumlah tersebut harus dapat menutup harga perolehan
barang modal serta keuntunganlessor. Periode sewa guna usaha ditetapkan paling tidak dua tahun
untuk barang modal Golongan I, selama 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, serta 7
tahun untuk Golongan Bangunan.
Berdasarkan aturan yang termuat dalam Pasal 4 KMK menyatakan bahwa sewa guna usaha
digolongkan sebagaioperating leaseatau sewa guna usaha tanpa hak opsi, jika memiliki
persyaratan sebagai berikut.
1. Besar biaya sewa guna usaha selama periode pertama tidak bisa menutup harga perolehan
barang modal atas sewa guna usaha tersebut, serta ditambahkan dengan keuntungan yang
diperhitungkan olehlessor.
2. Perjanjian sewa guna usaha tidak memuat ketentuan terkait opsi bagilesee.
PPh terkait sewa guna usaha dengan maupun tanpa hak opsi untuk
pihaklessormaupunlesseedimuat dalam aturan pada KMK No.169/KMK.01/1991.

http://manajemenpraktis.com/showdetail.php?mod=art&id=PPH+dan+PPN+Pada+Transaksi+Se
wa+Guna+Usaha+%28Leasing%29

PPH DAN PPN PADA TRANSAKSI SEWA GUNA USAHA (LEASING)

Pembiayaan pengadaan barang modal untuk memenuhi kebutuhan pengguna barang modal dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti dengan pembelian tunai, ataupun dengan sewa
guna usaha (leasing). Pilihan cara mana oleh pengguna barang tergantung pada kondisi dan
preferensi masing-masing. Dalam hal pembiayaan pengadaan dengan pembelian tunai, tentu
dibutuhkan dana kas tunai sebesar harga barang modal tersebut dari pengguna barang, sedangkan
jika memilih cara sewa guna usaha (leasing), dana yang diperlukan untuk pengadaan tidak harus
sekaligus tersedia di awal pengadaan. Dalam hal memilih cara pembiayaan dengan leasing,
pengguna barang juga dapat memilih diantara 2 pilihan leasing, yaitu 1) pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease), dan 2) sewa
guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh perusahaan atau perorangan
yang menggunakan barang modal (Lessee) dengan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan atau
perusahaan sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan (Lessor)
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Yang dimaksud dengan hak opsi dalam pembiayaan dengan operating lease adalah hak Lessee
untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangka waktu
perjanjian sewa-guna-usaha. Dengan demikian keberadaan hak opsi ini memberikan peluang
kepada Lessee untuk membeli barang modal yang disewa, sehingga akhirnya memilikinya,
ataupun memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa. Lain halnya dengan leasing tanpa hak opsi
(operating lease), pihak lessee tidak otomatis memiliki hak untuk membeli atau memperpanjang
jangka waktu perjanjian sewa, kecuali jika pihak Lessor menawarkannya kemudian.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor : 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 Nopember
1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) diberikan ketentuan lebih lanjut tentang sewa-
guna-usaha. Pasal 3 KMK tersebut mengatur bahwa suatu sewa guna usaha dapat digolongkan
sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) apabila memenuhi semua kriteria
berikut:

1. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan


nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan
lessor;
2. masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal
Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk
Golongan bangunan;
3. perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
4. Selanjutnya pada Pasal 4 KMK di atas diatur bahwa sewa-guna-usaha dapat digolongkan
sebagai sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) apabila memenuhi semua kriteria
berikut:

 jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak


dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah
keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
 perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Pajak Penghasilan transaksi Sewa-Guna-Usaha

KMK No. 1169/KMK.01/1991 memberikan panduan tentang pajak penghasilan untuk sewa guna
usaha dengan hak opsi maupun tanpa hak opsi, yang berlaku pada pihak Lessor maupun Lessee.
Berikut adalah kutipan ketentuan PPh dalam KMK tersebut.

A. Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah:

 penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran
sewa guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;
 lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan
hak opsi;
 dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal
3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan
penghasilan pihak lessor;
 lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah
persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak
opsi.
 kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah
dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan;
 dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak
sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai
penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka
kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan
bruto.

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :

 selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang
modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk
membeli;
 setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee
melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value)
barang modal yang bersangkutan;
 pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali
pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam
Pasal 3 Keputusan ini;
 dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal
3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya
sewa-guna-usaha.

Ditambahkan dalam KMK tersebut bahwa Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23
atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-
usaha dengan hak opsi

B. Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi


Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :

 seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh
lessor merupakan obyek Pajak Penghasilan.
 lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan
tanpa hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan
1984 beserta peraturan pelaksanaannya

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :

 pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee
adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
 lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha
tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.

PPN atas Transaksi Sewa-Guna-Usaha

Sebagai suatu transaksi yang berupa penyerahan jasa kena pajak, ketentuan mengenai pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diatur secara berbeda untuk sewa-guna-usaha dengan hak opsi dan
tanpa hak opsi. Pasal 15 KMK No. 1169/KMK.01/1991 menyebutkan suatu penyerahan jasa sewa-
guna-usaha dengan hak opsi oleh lessor kepada lessee dikecualikan dari pengenaan PPN.
Ketentuan pengecualian PPN dalam sewa guna usaha dengan hak opsi ini kemudian diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.SE - 129/PJ/2010 tanggal 29 November
2010 sebagai berikut:
1. Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal
dari pemasok (supplier) :

 Barang Kena Pajak tersebut dianggap diserahkan secara langsung oleh Pengusaha Kena
Pajak pemasok (supplier) kepada lessee;
 Lessor tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena dianggap hanya
menyerahkan jasa pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai;
 Pengusaha Kena Pajak pemasok wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada lessee dengan
menggunakan identitas lessee sebagai pembeli Barang Kena Pajak/penerima Jasa Kena
Pajak (tidak menggunakan metode qualitate qua (q.q.)).
 Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
pada huruf c) adalah sebesar Harga Jual dari Pengusaha Kena Pajak pemasok.

2. Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal
dari dari persediaan yang telah dimiliki oleh lessor :

1. Lessor pada dasarnya melakukan dua jenis penyerahan, yaitu :

 Penyerahan jasa pembiayaan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
dimaksud ketentuan dalam Pasal 4A ayat (3) huruf d Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai; dan
 penyerahan Barang Kena Pajak, yang merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai

2. Lessor harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan harus menerbitkan Faktur Pajak
atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut kepada lessee. Pengukuhan lessor sebagai Pengusaha
Kena Pajak ini dilakukan dengan tetap memperhatikan batasan Pengusaha Kecil menurut
ketentuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
3. Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada
huruf b) adalah Harga Jual, tidak termasuk unsur bunga yang diminta atau seharusnya diminta oleh
lessor karena jasa pembiayaan yang diserahkannya.

Adapun untuk penyerahan jasa kena pajak dari sewa-guna-usaha tanpa hak opsi dari lessor kepada
lessee sebagaimana diatur dalam pasal 18 KMK No. 1169/KMK.01/1991 dikenakan PPN

https://armuhammad.wordpress.com/2011/05/23/aspek-pajak-atas-leasing-bagian-i/

Dalam bahasa Indonesia, leasing diartikan sebagai Sewa Guna Usaha (SGU). Leasing merupakan
salah satu jenis jasa pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan barang modal bagi
perusahaan yang membutuhkan barang modal tersebut.

Pihak pemberi jasa leasing disebut lessor sedangkan pengguna jasanya disebut
dengan lessee. Dengan leasing, lessee dapat menggunakan barang modal yang dibutuhkan selama
jangka waktu tertentu. Kemudian atas penggunaan barang modal tersebut lessee secara berkala
wajib membayar angsuran kepada lesssor.

Operational atau Finance Lease

Leasing dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara. Cara pertama di mana lessee tidak
diberikan opsi untuk membeli barang modal begitu kontrak leasing selesai. Artinya, begitu
kontrak leasing selesai, barang modal akan dikembalikan kepada lessor. Ini disebut
dengan operating lease. Kita menyebutnya sewa-menyewa biasa.

Cara yang kedua adalah leasing di mana lessee diberikan opsi untuk membeli barang modal yang
digunakan begitu kontrak leasing selesai. Jadi, begitu jangka
waktu leasing habis, lesseediberikan opsi (pilihan/hak) untuk membeli barang tersebut dengan
nilai yang disepakati dalam kontrak leasing. Ini disebut dengan finance leasing atau ada juga
yang menyebutnya dengan capital lease. Sekilas, ini mirip dengan beli kredit tapi sangat berbeda
jika dilihat dari perlakuan akuntansi maupun perpajakannya.

Leasing di Mata Pajak

Peraturan pajak yang secara sepesifik mengatur mengenai aspek pajak atas transaksi atau kegiatan
leasing adalah:

1. Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 November


1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing); dan
2. Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-129/PJ./2010 tanggal 29 November 2010
tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Transaksi Sewa Guna Usaha Dengan Hak
Opsi Dan Transaksi Penjualan Dan Penyewagunausahaan Kembali.

Aspek pajak terhadap leasing yang diatur secara khusus dalam dua peraturan tersebut terutama
menyangkut masalah pemotongan PPh (withholding tax) dan juga PPN.

Pemotongan PPh Operating Lease

Menurut KMK Nomor 1169/KMK.01/1991, pemotongan PPh atas transaksi atau


kegiatan leasinghanya akan timbul jika leasing yang dilakukan adalah leasing tanpa hak
opsi (operating lease). Dalam hal ini, operating lease dianggap sama seperti persewaan harta atau
aktiva biasa. Dan karena merupakan jasa persewaan, maka transaksi atau kegiatan operating
lease ini menjadi objek pemotongan PPh (withholding tax).

Jenis PPh yang harus dipotong lessee bisa berupa PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 ayat (2). Itu
bergantung pada bentuk barang modal yang di-leasing-kan. Bila barang modal yang di-leasing
berbentuk tanah atau bangunan, maka jenis PPh yang harus dipotong adalah PPh Final Pasal 4
ayat (2). Sementara jika selain tanah maupun bangunan, PPh yang harus dipotong adalah PPh
Pasal 23.

Besarnya PPh Pasal 23 yang harus dipotong lessee adalah 2% dari nilai angsuran yang dibayar
atau terutang (tetapi tidak termasuk PPN). Sedangkan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 10%
dari nilai angsuran bulanan yang dibayar atau terutang.
Lessee wajib memotong PPh withholding tersebut pada setiap kali membayar atau membebankan
angsuran biaya opertional lease. Tapi jika lessee bukan pemotong PPh, misalnya lessee belum
ber-NPWP, maka lessee dilarang melakukan pemotongan PPh.

Khusus untuk PPh Final Pasal 4 ayat (2), apabila lessee tidak memotong PPh, maka lessor wajib
menyetorkan sendiri PPh Final yang terutang pada bulan diterimanya pembayaran
angsuran. Sementara untuk PPh Pasal 23, jika lessee tidak memotong PPh, lessor tidak perlu
menyetorkan PPh Pasal 23 saat itu juga melainkan bisa nanti pada saat pelaporan SPT Tahunan
PPh.

Withholding Tax atas Finance Lease

Untuk kegiatan atau transaksi finance lease (atau capital lease), KMK tersebut menyatakan bahwa
angsurannya bukan merupakan objek withholding tax. Artinya, lessee tidak diperkenankan untuk
memotong PPh apapun saat membayar angsuran kepada lessor. Selain di KMK itu, pengecualian
dari pemotongan withholding tax ini juga dapat dijumpai dalam Pasal 23 ayat (4) huruf b UU PPh.

PPN Untuk Operating Lease

Karena operating lease dipersamakan dengan jasa sewa-menyewa biasa, maka otomatis operating
lease juga menjadi objek pengenaan PPN. Dalam hal ini yang wajib memungut PPN
adalah lessor, terutama bila lessor sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi, lessor harus
menambahkan PPN 10% dari nilai angsuran bulanan yang ditagihkan kepada lessee. Di samping
itu, lessor juga harus membuat Faktur Pajak atas setiap pemungutan PPN tersebut.

Jika belum menjadi PKP, lessor tidak boleh memungut PPN dari lessee. Jika tetap nekat
memungut PPN dan membuat Faktur Pajak, lessor nantinya harus menyetorkan seluruh PPN yang
dipungutnya itu ditambah sanksi denda 2% dari nilai tagihan.

Bila omset lessor sudah melebihi Rp 600 juta, seharusnya lessor sudah menjadi PKP. Bila belum,
maka lessor juga bisa dikenai sanksi perpajakan. Bahkan menurut Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP,
sanksi pajak itu bisa berupa sanksi pidana kurungan atau penjara.

https://armuhammad.wordpress.com/2011/06/11/aspek-pajak-atas-leasing-bagian-ii/

Artikel bagian kedua ini khusus membahas aspek pajak atas leasingdengan hak opsi (finance
lease atau capital lease) sesuai UU PPN dan PPh terbaru serta Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 November 1991 dan beberapa peraturan terkait seperti:
 Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-129/PJ./2010 tanggal 29 November 2010;
 SE Dirjen Pajak Nomor SE-10/PJ.42/1994 tanggal 22 Maret 1994;
 SE Dirjen Pajak Nomor SE-29/PJ.42/1992 tanggal 19 Desember 1992.

Pengertian

Secara umum yang dimaksud dengan finance lease/capital lease atau sewa guna usaha dengan hak
opsi adalah kontrak sewa guna usaha (leasing) di mana pihak lessee diberikan hak opsi untuk
membeli barang yang di-leasing-kan atau opsi untuk memperpanjang jangka waktu
perjanjian leasing pada saat akhir periode leasing.

Dalam KMK No. 1169/KMK.01/1991, leasing dengan hak opsi ditetapkan sebagai kegiatan
lembaga keuangan lainnya. Dan merefer pada UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, jasa keuangan—
salah satunya jasa pembiayaan berupa sewa guna usaha dengan hak opsi—merupakan salah satu
jenis jasa yang tidak dikenakan PPN (sering disebut Non-JKP).

Aspek Pajak atas Finance Lease

Finance lease, dalam Pasal 4A ayat (3) huruf d UU PPN dan penjelasannya, disebut dengan sewa
guna usaha dengan hak opsi dan merupakan salah satu jenis jasa pembiayaan yang tidak terutang
PPN (Non-JKP). Dengan demikian pada saat lessor (pemberi jasa pembiayaan) menyampaikan
tagihan/invoice, maka lessor tidak perlu memungut PPN.

Dalam transaksi finance lease, PPN terutang hanya pada saat penyerahan barang modal. Itu pun
kalau barang modalnya menurut UU PPN adalah barang yang terutang PPN (Barang Kena
Pajak/BKP). Jika barang modalnya bukan BKP, maka atas penyerahan barang modal itu pun tidak
terutang PPN.

PPN atas Penyerahan Barang Modal

Penyerahan barang modal kepada lessee tersebut dapat dilakukan langsung oleh supplier barang
modal atau dilakukan sendiri oleh lessor dengan menggunakan barang modal yang ada dalam
persediaannya.
Dalam gambar tersebut, lessor dapat saja memerintahkan supplier untuk menyerahkan barang
modal yang di-leasing-kan langsung kepada lessee. Dalam hal ini, PPN penyerahan barang modal
terutang di pihak supplier dan supplier harus membuat Faktur Pajak langsung atas
nama lessee (tidak boleh menggunakan metode qualitate qua atau q.q.).

Lessor juga dapat misalnya membeli terlebih dahulu barang modal dari supplier dan kemudian
menyerahkannya kepada lessee (lihat garis merah dalam gambar). Jika cara ini yang dipilih, maka
PPN atas penyerahan barang modal kepada lessee terutang di pihak lessor. Dalam hal
ini, lessorharus dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), terutama jika nilai omsetnya
sudah melebihi batasan Pengusaha Kecil PPN (PMK No. 68/PMK.03/2010 tanggal 23 Maret
2010).

Aspek PPh Withholding

Dalam pembayaran leasing oleh lessee kepada lessor yang dilakukan secara periodik (sesuai
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak leasing), unsur pembayarannya adalah pokok
angsuran dan bunga. Dalam hal ini, sesuai dengan Pasal 23 ayat (4) huruf b UU PPh, atas
pembayaran sewa tersebut tidak dipotong PPh Pasal 23. Jadi lessee tidak perlu memotong PPh
Pasal 23 pada saat membebankan atau membayar angsuran leasing.

Persyaratan Formal

Untuk dapat dianggap atau diperlakukan sebagai finance lease dan memperoleh treatment pajak
seperti dijelaskan di atas, leasing harus memenuhi seluruh kriteria berikut:

1. Jumlah pembayaran leasing selama masa leasing pertama ditambah dengan nilai sisa
barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
2. Masa leasing ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan
I, atau 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk
Golongan bangunan. Penggolongan barang modal dalam konteks ini merujuk sepenuhnya
pada Pasal 11 UU PPh yaitu penggolongan harta untuk keperluan penghitungan penyusutan
yang rincian jenis hartanya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
96/PMK.03/2009 tanggal 15 Mei 2009;
3. Perjanjian leasing memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Terakhir, syarat yang kadang dilupakan oleh Wajib Pajak (WP) adalah bahwa yang namanya
kontrak leasing adalah apabila lessor-nya perusahaan leasing yang sudah mendapat izin dari
Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa guna usaha (leasing). Jika lessor tidak atau
belum memperoleh izin dari Menteri Keuangan, maka kontrak pembiayaan itu bukan
kontrak leasing.
Persyaratan-persyaratan tersebut di atas mutlak dipahami oleh WP terutama untuk menentukan
aspek perpajakannya nanti.

Bukan Finance Lease

Dalam praktek keseharian, kadang terjadi penyebutan atau penggunaan istilah leasing tetapi yang
persyaratannya tidak memenuhi seluruh kondisi di atas. Misalnya jangka waktunya berbeda
dengan yang seharusnya atau karena lessor-nya bukan perusahaan leasing resmi. Pertanyaannya
adalah apakah leasing seperti ini masih bisa dikecualikan dari pengenaan PPN maupun PPh Pasal
23 seperti diuraikan sebelumnya?

Dalam KMK No. 1169/KMK.01/1991 memang tidak dijelaskan bagaimana perlakuan pajak jika
sebuah finance lease tidak memenuhi keseluruhan syarat formal, apakah otomatis
menjadi operating lease (dianggap sewa-menyewa barang biasa sehingga terutang PPN dan PPh
Pasal 23) atau tidak?

Pada saat sebelum UU PPN No. 42/2009 berlaku (sebelum 1 April 2010), banyak sekali
perjanjian/kontrak leasing yang tidak memenuhi syarat tersebut dianggap sebagai operating
lease (sewa menyewa biasa). Akibatnya tidak sedikit lessor maupun lessee yang dikenai sanksi
karena tidak memungut PPN atau tidak memotong PPh Pasal 23.

Peraturan yang seringkali dijadikan dasar dan digunakan para pemeriksa pajak untuk melakukan
koreksi pada waktu itu adalah SE-10/PJ.42/1994 tentang Perlakuan PPh Dan PPN Terhadap Sewa
Guna Usaha Dengan Hak Opsi Yang Berakhir Menjadi Lebih Singkat Dari Masa Sewa Guna
Usaha Yang Disyaratkan Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1169/KMK.01/1991.

Ketentuan UU Baru

Sejak 1 Januari 2009 hingga saat ini, telah berlaku dua buah UU pajak baru, yaitu UU PPh No.
36/2008 dan UU PPN No. 42/2009. UU PPh tersebut berlaku efektif mulai 1 Januari 2009
sementara UU PPN mulai 1 April 2010. Dengan berlakunya kedua UU pajak baru ini, seyogyanya
koreksi atas leasing yang tidak memenuhi syarat tersebut menjadi operating lease dan dianggap
sebagai sewa menyewa biasa, tidak perlu dilakukan. Kecuali jika leasing yang tidak memenuhi
syarat tersebut memang sejatinya secara substantif adalah transaksi sewa-menyewa barang, bukan
perjanjian atau kontrak pembiayaan konsumen (consumer finance).

Sebab jika memang secara substantif transaksi antara WP merupakan consumer finance, maka atas
transaksi tersebut tidak perlu terutang PPN maupun PPh Pasal 23 meskipun persyaratannya tidak
memenuhi ketentuan yang diatur dalam KMK No. 1169/KMK.01/1991.
Notes: Pembayaran kepada badan usaha atas jasa consumer finance atau jasa pembiayaan
menurut Pasal 23 ayat (4) huruf h UU PPh bukan objek pemotongan PPh Pasal 23. Sedangkan
menurut Pasal 4A ayat (3) huruf d UU PPN, jasa pembiayaan merupakan Non-JKP sehingga atas
penyerahannya tidak terutang PPN.

Dalam istilah sehari-hari maupun menurut KMK No. 448/KMK.017/2000 yang telah diubah
dengan KMK No. 172/KMK.06/2002, yang dimaksud dengan pembiayaan konsumen (consumer
finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen
dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen. Secara definitif, jasa
pembiayaan ini tentu berbeda dengan transaksi sewa-menyewa biasa di mana dalam transaksi
sewa-menyewa biasa, unsur pembiayaan konsumen seperti penyediaan dana tidaklah menjadi
unsur yang utama.

Kesimpulan

Jasa pembiayaan seperti leasing dengan hak opsi maupun jasa pembiayaan lainnya
(seperti consumer finance) bukan merupakan objek PPN dan bukan pula objek pemotongan PPh
Pasal 23. Dengan demikian, lessor (penyedia jasa pembiayaan) maupun lessee (pengguna jasa
pembiayaan) tidak perlu memungut PPN maupun memotong PPh Pasal 23 pada saat transaksi
dilakukan.

Dalam konteks leasing atau penyerahan jasa pembiayaan seperti ini, PPN hanya terutang atas
transaksi penyerahan barang (BKP) yang menjadi objek pembiayaan dari penyedia jasa
pembiayaan (atau melalui supplier) kepada pengguna jasa pembiayaan.

http://www.pajakita.net/2014/10/aspek-perpajakan-pada-kegiatan-sewa.html

Ketika kita, baik sebagai perorangan maupun entitas usaha, memutuskan untuk mendapatkan aset
berupa kendaraan, mesin, properti ataupun aset lainnya, maka berbagai pilihan perolehan aset bisa
dilakukan. Bisa dengan cara membeli secara tunai, secara kredit atau melalui pembiayaan oleh
pihak lain (leasing). Cara perolehan aset dengan skema leasing sudah lama dipraktikkan dari
dahulu sampai sekarang. Bahkan saat ini sudah menjadi tren pembiayaan. Masih ingat ketika
belajar mata kuliah intermediate accounting bahwa salah satu keunggulan leasing sehingga dipilih
orang adalah karena pada leasing tidak mensyaratkan lessee untuk membayar uang muka. Itu
konsep awalnya. Sekarang, tidak ada leasing tanpa uang muka. Bahkan pemerintah pun turun
tangan untuk membuat regulasi khusus untuk mengatur tentang batasan minimal uang muka pada
transaksi leasing. Bagaimana ketentuan perpajakan kita mengatur aspek perpajakan pada transaksi
sewa guna usaha (leasing)? Bagaimana perlakukan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) terhadap transaksi sewa guna usaha (leasing), inilah yang ingin saya
share dalam tulisan ini. Ketentuan yang mengatur tentang perlakukan perpajakan terhadap
kegiatan (transaksi) sewa guna usaha yang masih berlaku sampai dengan saat ini adalah Keputusan
Menteri Keuangan Nomor : 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 Nopember 1991, berdaya laku surut
sejak tanggal 19 Januari 1991. Pengertian Leasing Yang dimaksud dengan Sewa-guna-usaha
(Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-
guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating
lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala. Barang modal adalah setiap aktiva tetap berwujud, termasuk tanah sepanjang di atas tanah
tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant), dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan
satu kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan
secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau memperlancar produksi dan
distribusi barang atau jasa oleh Lessee. Penggolongan dan Batasan Dari pengertian tersebut maka
kita dapat pahami bahwa kegiatan sewa-guna-usaha (leasing) dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara
yaitu : Sewa-guna-usaha dengan hak opsi (financial lease) Sewa-guna-usaha tanpa hak opsi
(operating lease) Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak
opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut : Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa
sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga
perolehan barang modal dan keuntungan lessor; Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal
Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan. Penggolongan jenis barang
modal ini mengacu kepada ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan. Perjanjian sewa-
guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee. Kegiatan sewa-guna-usaha dengan hak
opsi ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya. Kegiatan sewa-guna-usaha
digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :
Jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat
menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang
diperhitungkan oleh lessor; Perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi
bagi lessee. Lessor dan Lessee Perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha (Lessor)
dapat melakukan kegiatan sewa-guna-usaha setelah memperoleh izin usaha dari Menteri
Keuangan. Lessor hanya diperkenankan memberikan pembiayaan barang modal kepada lessee
yang telah memiliki NPWP, mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas. Dan lessee
dilarang menyewa-guna-usahakan kembali barang modal yang disewa-guna-usaha kepada pihak
lain. Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan
pembiayaan dari Lessor. Perjanjian Sewa Guna Usaha Setiap transaksi sewa-guna-usaha wajib
diikat dalam suatu perjanjian sewa-guna-usaha (lease agreement). Perjanjian tersebut sekurang-
kurangnya harus memuat hal-hal sebagai berikut : Jenis transaksi sewa-guna-usaha; nama dan
alamat masing-masing pihak; nama, jenis, type dan lokasi penggunaan barang modal; harga
perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa-guna-usaha, angsuran pokok pembiayaan, imbalan
jasa sewa-guna-usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan asuransi atas barang modal
yang disewa-guna-usahakan; masa sewa-guna-usaha; ketentuan mengenai pengakhiran transaksi
sewa-guna-usaha yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam
hal barang modal yang disewa-guna-usaha dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi
karena sebab apapun; opsi bagi penyewa-guna-usaha dalam hal transaksi sewa-guna-usaha dengan
hak opsi; tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa-guna-usaha. Perjanjian sewa-
guna-usaha itu wajib dibuat dalam bahasa Indonesia, dan apabila dipandang perlu dapat
diterjemahkan kedalam bahasa asing. Pelaksanaan Hak Opsi Pada saat berakhirnya masa sewa-
guna-usaha dengan hak opsi, lessee dapat melaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada
permulaan masa sewa-guna-usaha. Opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran
nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usaha. Dalam hal lessee menggunakan opsi membeli
maka dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal. Lessee dapat juga memilih untuk
memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha. Jika Lessee memilih untuk
memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha, maka nilai sisa barang modal yang
disewa-guna-usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan piutang sewa-guna-usaha.
Perlakuan Pajak Penghasilan pada Sewa-Guna-Usaha-Dengan-Hak-Opsi bagi lessor penghasilan
lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha
dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha; lessor tidak boleh menyusutkan atas
barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi; dalam hal masa sewa-guna-usaha
lebih pendek dari masa yang ditentukan yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang
modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun
untuk Golongan bangunan, maka Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan
penghasilan pihak lessor; lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen)
dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi. kerugian yang
diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi dibebankan
pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang
bersangkutan; dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak
sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai
penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat
dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto. Perlakuan Pajak Penghasilan
pada Sewa-Guna-Usaha-Dengan-Hak-Opsi bagi lessee selama masa sewa-guna-usaha, lessee
tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee
menggunakan hak opsi untuk membeli; setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli
barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa
(residual value) barang modal yang bersangkutan; pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar
atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan
dalam Pasal 3 Keputusan ini; dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang
ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas
pembebanan biaya sewa-guna-usaha. Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas
pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha
dengan hak opsi. Perlakuan Pajak Penghasilan pada Sewa-Guna-Usaha-Tanpa-Hak-Opsi bagi
Lessor seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh lessor
merupakan obyek Pajak Penghasilan. lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal
yang disewa-guna-usahakan tanpa hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984 beserta peraturan pelaksanaannya. Perlakuan Pajak Penghasilan pada
Sewa-Guna-Usaha-Tanpa-Hak-Opsi bagi Lessee pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi
yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto. lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha tanpa
hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor. Kewajiban Pelaporan Bagi Lessor Lessor
wajib menyampaikan laporan keuangan triwulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan
Direktorat Jenderal Moneter. Laporan keuangan triwulan tersebut harus sudah disampaikan paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir. Lessor juga wajib
menyampaikan laporan operasional secara semesteran berdasarkan tahun takwim kepada
Direktorat Jenderal Moneter. Bentuk laporan operasional dan tata cara penyampaiannya ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Moneter. Yang diuraikan di atas adalah hal-hal yang terkait dengan
aspek/perlakukan Pajak Penghasilan pada transaksi leasing menurut ketentuan yang masih berlaku
hingga saat ini yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1169/KMK.01/1991 tanggal 27
Nopember 1991, berdaya laku surut sejak tanggal 19 Januari 1991. Adapun bagaimana perlakukan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada transaksi leasing akan di sajikan dalam berikutnya Perlakuan
Pajak Pertambahan Nilai Atas Transaksi Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi.

Anda mungkin juga menyukai