Anda di halaman 1dari 18

CAPITAL BUDGETING

AVERAGE RATE OF RETURN & PAY BACK PERIOD

Oleh :

I Gusti Agung Istri Pradnya Prameswari 1615644005/01

Ade Aprilia Arta Sari 1615644171/25

Kelas D4 – 6E

JURUSAN AKUNTANSI

PRODI AKUNTANSI MANAJERIAL

POLITEKNIK NEGERI BALI

2019
CAPITAL BUDGETING

1. Definisi

Capital Budgeting adalah keseluruhan proses dalam perencanaan dan


pengambilan keputusan mengenai pengeluaran dana, jangka waktu pengembalian dana
tersebut melebihi satu tahun (Suratiyah, 2006) dan menurut Pangestu (2001) Capital
Budgeting adalah menilai rencana investasi yang akan kembali dalam jangka panjang.
Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumberdaya lainnya yang
dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan dimasa
datang.

Investasi berkaitan dengan berbagai macam aktivitas dan terbagi menjadi dua,
yaitu aset riil dan aset finansial. Aset riil misalnya tanah, emas, mesin dan bangunan.
Aset finansial misalnya deposito, saham, dan obligasi.

Menurut Tandelilin (2001), tujuan investasi adalah untuk :

 Menghasilkan sejumlah uang

 Untuk mendapat kehidupan yang lebih layak / baik dimasa yang akan datang.

Menurut Soetrisno (1985) yang menjelaskan tentang kriteria usulan proyek,


investasi adalah pengeluaran yang pertama atau ongkos permulaan proyek, yaitu
ongkos yang dikeluarkan mulai studi kelayakan, pembangunan proyek sampai dengan
pembukaan proyek .Ongkos / biaya ini disebut dengan project cost (ongkos proyek)
atau ongkos permulaan (initial cost). Dalam analisis kriteria usulan proyek tahun
permulaan proyek ditandai dan disebut dengan tahun ke nol.

Dari berbagai kesempatan investasi, terbuka keuntungan yang berbeda, untuk itu
perlu adanya analisis terhadap usulan proyek. Salah satu tujuannya adalah mengadakan
penilaian terhadap investasi dan dapat memilih alternatif investasi yang paling
menguntungkan (Gray,dkk., 1985)

Menurut Husnan dan Muhamad (2000), dalam studi kelayakan, yang dipelajari
salah satunya adalah penilaian investasi dengan kriteria investasi. Sedangkan menurut

1
Soetrisno P.H (1985), salah satu tahapan dalam studi kelayakan adalah tahap evaluasi
dengan criteria investasi dan tahap ranking.

Pada umumnya pembahasan investasi akan menyangkut dua macam keputusan


yaitu :

1. Keputusan Selektif mengenai proyek-proyek yang diusulkan. Umpamanya :


Investasi jangka panjang dalam aset seperti; property, plant, dan equipment,
atau resources commitment dalam bentuk pengembangan produk baru (form
of new product development), riset pasar (market reseach), pembayaran
kembali hutang jangka panjang, pengembangan komputer dan lain-lain.

2. Keputusan-keputusan Pengaantian (Replacement decisions) Umpamanya:


penggantian fasilitas-fasilitas lama dengan fasilitas-fasilitas baru.

2. Aspek Penting dalam Capital Budgeting

1. Gunakan Selalu Cash Flow

Dalam melakukan capital budgeting, yang selalu digunakan adalah cash flow,
bukannya accounting profit.Cash flow dan laba akuntansi mempunyai karakteristik
yang sangat berbeda. Laba akuntansi baru dapat direalisasikan ketika diterima di
kemudian hari, sementara arus kas benar-benar merupakan kas yang sudah diterima
di tangan kita dan siap untuk diinvestasikan kembali.

Misalnya, jika kita mempunyai tanah, perlengkapan dan aset tetap lainnya,
tentunya terdepresiasi selama beberapa tahun umur ekonomisnya. Dalam
perhitungan laba akuntansi, depresiasi dimasukkan dalam komponen beban yang
mengurangi laba akuntansi, padahal depresiasi tidak mengurangi arus kas.
Sehingga, cash flow menjadi lebih relevan dalam melakukan capital budgeting.

2. Think Incrementally

Berusaha untuk selalu think incrementally, yakni bagaimana tambahan yang


dihasilkan oleh suatu proyek terhadap kondisi yang ada sekarang? Apakah dengan

2
mengambil proyek yang satu ini akan menghasilkan tambahan yang
menguntungkan, ataukah justru lebih menguntungkan jika tidak melakukan
apapun?

Misalnya, ketika perusahaan ingin memperbarui peralatan produksi yang


sudah dimilikinya selama beberapa tahun dengan yang baru, dan menjual yang
lama. Tentunya harus diperhitungkan incremental cash flow setelah pajak yang
dihasilkan dari peralatan produksi yang baru tersebut. Mungkin saja ternyata
incremental cash flow yang dihasilkan justru negative karena biaya perawatan
peralatan baru lebih mahal, misalnya sementara penghematan tidak terlalu
signifikan.

3. Perhitungkan Opportunity Cost

Opportunity cost adalah nilai ekonomis yang hilang ketika seseorang memilih
suatu alternative dibandingkan dengan alternative lainnya. Opportunity cost
merupakan komponen yang seringkali dilupakan maupun salah dihitung dalam
evaluasi capital budgeting. Hal ini seringkali disebabkan karena orang seringkali
tidak menyadari adanya peluang lain yang dapat dihasilkannya.

Contoh, misalnya kita mempunyai sebidang tanah pribadi yang kita beli
dengan harga Rp 1 miliar, dan ingin digunakan untuk suatu proyek.Harga pasar
tanah ini sekarang sekitar 2 miliar. Kesalahan yang seringkali terjadi adalah sama
sekali tidak menghitung penggunaan tanah pribadi sebagai opportunity cost atau
hanya menghitung Rp1 miliar saja sebagai opportunity cost, padahal potensi
penjualannya mencapai Rp2 miliar, yang seharusnya jadi opportunity cost.

4. Sunk Cost Tidak Masuk Perhitungan

Sunk cost adalah biaya yang sudah terjadi di masa lalu dan tidak akan muncul
lagi dari suatu proyek atau investasi baru. Oleh karena itu, menjadi tidak relevan
untuk memperhitungkan sunk cost dalam suatu analisa capital budgeting, karena

3
biayanya sudah terjadi sementara keputusan investasi yang diambil baru akan
terjadi di masa depan.

Misalnya, ketika suatu perusahaan melakukan riset pasar terhadap produknya,


maka itu adalah sunk cost. Sehingga, ketika melakukan evaluasi capital budgeting
sebelum produksi dijalankan, sunk cost tersebut tidak diikutsertakan, karena
memang sudah terjadi dan tidak akan terjadi lagi di masa depan.

5. Konsekuensi Proyek

Dalam melakukan analisa capital budgeting, Anda harus punya pandangan


jauh ke depan. Arahkan fokus Anda juga kepada implikasi-implikasi yang
dihasilkan dari keputusan proyek yang Anda ambil. Apakah ada risiko atau
kemungkinan buruk yang memunculkan biaya tidak terduga? Jika ada biaya-biaya
yang tersembunyi, perhitungkan juga dalam analisa.

Misalnya, proyek dari pengembangan produk baru, tentunya berpotensi untuk


memakan pangsa pasar dari produk yang lama. Sehingga ini juga penting untuk
dipertimbangkan.

Langkah-langkah Capital Budgeting:

1. Biaya proyek harus ditentukan


2. Manajemen harus memperkirakan aliran kas yg diharapkan dari proyek,
termasuk nilai akhir aktiva
3. Risiko dari aliran kas proyek harus diestimasi. (memakai distribusi probabilitas
aliran kas)
4. Dengan mengetahui risiko dari proyek, manajemen harus menentukan biaya
modal (cost of capital) yg tepat untuk mendiskon aliran kas proyek
5. Dengan menggunakan nilai waktu uang, aliran kas masuk yang diharapkan
digunakan untuk memperkirakan nilai aktiva.
6. Terakhir, nilai sekarang dari aliran kas yg diharapkan dibandingkan dengan
biayanya.

4
3. Metode dalam Capital Budgeting

Metode yang dapat digunakan untuk dapat mengevaluasi berbagai alternatif


investasi barang modal untuk dapat dipilih dikenal dua macam metode yakni metode
konvensional dan metode discounted cash flow. Di dalam metode convensional
dipergunakan dua macam tolak ukur untuk menilai profitabilitas rencana investasi yakni
payback period (PB) dan accounting rate of return (ARR), sedangkan dalam metode
discounted cash flow dikenal dua macam tolak ukur profitabilitas yakni Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Profitability Index (PI). Perbedaan utama antara
metode konvensional dengan metode discounted cash flow terletak pada penilaian
terhadap nilai waktu uang (time value of money). Metode evaluasi konvensional tidak
mempertimbangkan time value of money.

Syamsuddin (2007) menyatakan, ada beberapa metoda dalam Capital Budgeting


untuk penentuan rangking investasi dan pengambil keputusan, yaitu:

1. Average Rate of Return

Metode Average Rate of Return atau sering disebut juga dengan Accounting
Rate of Return, menunjukkan prosentase keuntungan netto sesudah pajak dihitung
dari Average Investment atau Initial investment. Metode ini mendasarkan diri pada
keuntungan yang dilaporkan dalam buku (Reported Accounting Income),
(Bambang Riyanto, 1995).

Metode accounting rate of return adalah metode penilaian investasi yang


mengukur seberapa besar tingkat keuntungan dari invetasi.Metode ini
menggunakan dasar laba akuntansi sehingga angka yang dipergunakan adalah laba
setelah pajak (EAT) yang dibandingkan dengan rata-rata investasi.

Rata − rata EAT


ARR = × 100%
Rata − rata Investasi

Untuk menghitung rata-rata EAT dengan cara menunjukkan EAT (laba


setelah pajak) selama umur investasi dibagi dengan umur investasi. Sedangkan

5
untuk menghitung rata-rata investasi adalah investasi ditambah dengan nilai residu
dibagi 2.

Setelah angka accounting rate of return dihitung kemudian dibandingkan


dengan tingkat keuntungan yang diisyaratkan. Apabila angka accounting rate of
return lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diisyaratkan, maka
proyek investasi ini menguntungkan, apabila lebih kecil daripada tingkat
keuntungan yang diisyaratkan proyek ini tidak layak.

Kebaikan metode ini adalah sederhana dan mudah, karena untuk menghitung
ARR cukup melihat laporan rugi-laba yang ada. Sedangkan kelemahan metode ini
mengabaikan nilai waktu nilai waktu uang (time value of money) dan tidak
memperhitungkanaliran kas (cashflow).

Contoh:

Perusahaan “Sari Delima” sedang menilai dua buah proyek A, dan B, yang masing-
masing membutuhkan initial investment sebesar Rp. 6.000.000,00 untuk proyek A,
dan Rp 7.200.000,00 untuk proyek B. Perusahaan akan menggunakan metode garis
lurus (stright-line method) dalam mendepresiasi kedua proyek tersebut. Umur
ekonomis masing-masing proyek adalah 6 tahun dan tidak ada nilai residu pada
akhir tahun ke-6.

Berdasarkan informasi di atas, maka diketahui bahwa:

Proyek A Proyek B
Initial Rp 6.000.000,00 Rp 7.200.000,00
Investment
Depresiasi Rp 1.000.000,00 Rp 1.200.000,00
Jumlah cash inflow untuk masing-masing proyek dapat dicari dengan cara sebagai
berikut:

CI = EAT + D

Di mana:

CI = Cash Inflow

6
EAT = Earning after taxes atau laba bersih sesudah pajak
D = Depresiasi

Tabel 1 menyajikan jumlah proyeksi laba bersih sesudah pajak dan cash inflow
untuk masing-masing proyek.

Tabel 1
Initial Investment, Earning After Taxes dan Cash Flow untuk
Kedua Usulan Proyek Perusahan “Sari Delima”
Proyek A Proyek B
Initial Investment Rp 6.000.000,00 Initial Investment Rp 7.200.000,00
Tahun EAT CI Tahun EAT CI
Rp. Rp. Rp. Rp.
1 1.000.000,00 2.000.000,00 1 3.300.000,00 4.500.000,00
2 1.000.000,00 2.000.000,00 2 1.000.000,00 2.200.000,00
3 1.000.000,00 2.000.000,00 3 800.000,00 2.000.000,00
4 1.000.000,00 2.000.000,00 4 100.000,00 1.300.000,00
5 1.000.000,00 2.000.000,00 5 100.000,00 1.300.000,00
6 1.000.000,00 2.000.000,00 6 100.000,00 1.300.000,00
Rata-
rata 1.000.000,00 2.000.000,00 900.000,00 2.100.000,00

Average rate of return

Perhitungan average rate of return didasarkan atas jumlah keuntungan bersih


sesudah pajak (EAT) yang tampak dalam laporan rugi-laba. Pengukuran dengan
teknik rate of return ini sering pula disebut dengan istilah “accounting rate of return”
yang perhitungannya dilakukan sebagai berikut:

Average earning after taxes


Average rate of return =
Average investment

7
Average earning after taxes (rata-rata bersih sesudah pajak):

Average earning after taxes atau rata-rata keuntungan bersih sesudah pajak
dihitung dengan jalan menambah keseluruhan keuntungan bersih sesudah pajak
selama umur proyek, kemudian dibagi dengan umur ekonomis proyek tersebut:

∑ EAT
Average EAT =
n

Di mana:

Average EAT = rata-rata keuntungan


∑EAT = total keuntungan
n = umur ekonomis

Rata-rata keuntungan bersih sesudah pajak untuk kedua proyek adalah :


Rp.6.000.000,00
Average EAT proyek A = 6

= Rp.1.000.000,00
Rp.5.400.000,00
Average EAT proyek B = 6

= Rp 900.000.00

Average investment (Rata-rata investasi):

Rata-rata investasi dihitung dengan jalan membagi dua jumlah investasi.


Rata-rata ini mengasumsikan bahwa perusahaan menggunakan metode depresiasi
garis lurus dan tidak ada nilai residu atau salvage value pada akhir umur ekonomis
proyek. Dengan demikian, nilai buku aktiva akan menurun pada tingkat yang
konstan, mulai dari nilai investasi yang semula sampai dengan Rp 0 pada akhir umur
ekonomis proyek. Hal ini berarti bahwa rata-rata nilai proyek adalah separuh dari
nilai jumlah investasi yang semula. Latarbelakang pemikiran seperti ini sama
dengan rata-rata persediaan yag digunakan dalam perhitungan EOQ yang sudah
disajikan didepan.

Rata-rata investasi untuk masng-masingproyek adalah:


Nilai investasi
Rata-rata investasi = 2

8
Rp 6.000.000.00
Rata-rata investasi proyek A = 2

= Rp 3.000.000.00
Rp 7.200.000.00
Rata-rata investasi proyek B = 2

= Rp 3.600.000.00

Setelah mengetahui rata-rata laba bersih sesudah pajak dan rata-rata investasi, maka
average rate of return untuk masing-masing proyek adalah sebagai berikut:

Average rate of return:


Rp 1.000.000.00
Proyek A = Rp 3.000.000.00

= 0,333 atau 33,33%


Rp 900.000.00
Proyek B = Rp 3.600.000.00

= 0,25 atau 25%

Dari hasil perhitungan di atas maka tampak bahwa proyek A lebih baik
daripada proyek B karena average rate of returnnya lebih besar dibandingkan
dengan average rate of return B.

Metode lain untuk menghitung average rate of return dari suatu proyek. Salah-
satu dari metode tersebut menggunakan rata-rata keuntungan bersih sesudah pajak.
Dengan menggunakan metode di atas, maka perlu terlebih dahulu dihitung rata-rata
cash inflow adalah:
∑ Cash inflow
Average cash inflow = n

Di mana:

Average cash inflow = rata-rata cash inflow

∑ cash inflow = total cash inflow

n = umur ekonomis proyek

(jangka waktu proyekmenghasilkan).

9
Average cash inflow untuk:
Rp 12.000.000.00
Proyek A = 6

= Rp 2.000.000.00
Rp 12.000.000.00
Proyek B = 6

= Rp 2.100.000.00

Setelah mengetahui jumlah rata-rata inflow, maka perhitungan average rate


of return dengan cara yang kedua adalah sebagai berikut:
Average cash inflow
Average rate of return = Average investment

Average rate of return untuk masing-masing proyek adalah:


Rp 2.000.000.00
Proyek A = Rp 3.000.000.00

= 0,6667 atau 66,67%


Rp 2.100.000.00
Proyek B = Rp.3.600.000,00

= 0,5833 atau 58,33%

Dari hasil perhitungan di atas, maka proyek A menunjukkan average rate of


return yang lebih besar daripada proyek B, dengan demikian. Keadaan proyek A
lebih menguntungkan dibandingkan dengan proyek B.

Ada lagi metode lain yang sering digunakan dalam menentukan besarnya
average rate of return yaitu dengan menggunakan initial investment sebagai
penyebut dan bukannya average atau rata-rata initial investment. Dengan demikian,
average rate of return untuk masing-masing proyek dapat dihitung sebagai berikut:
Average earning after taxes
Average of return = initial investment

Rp 900.000.00
Proyek A = Rp 6.000.000.00

= 0,1667 atau 16,67%

10
Rp 900.000.00
Proyek B = Rp 7.200.000.00

= Rp 0,1250 atau 12,5%

Dengan mengggunakan metode average rate of return, maka keputusan-


keputusan sehubungan dengan usulan proyek mana yang akan diterima harus
didasarkan pada perbandingan antara average rate of return yang diperoleh oleh
masing-masing proyek dengan average rate of return minimal yang sudah
ditetapkan sebelumnya.

Kebaikan-kebaikan dan kelemahan metode average rate of return

Aspek yang paling menguntungkan dalam penggunaan teknik average rate of


return adalah kemudahan dalam penerapannya. Input utama yang harus diperoleh
adalah jumlah investasi atau initial investment dan proyeksi keuntungan bersih
sesudah pajak, di mana hal ini tidak terlalu sulit untuk diperoleh.

Adapun kelemahan-kelemahan dari average rate of return adalah sebagai berikut:

- Kelemahan pertama adalah karena penggunaan “accounting income”


(keuntungan bersih sesudah pajak). Akan tetapi hal ini bisa diatasi dengan
menggunakan rata-rata cash inflow seperti yang disajikan dalam cara kedua di
atas.

- Kelemahan yang kedua adalah pengabaian terhadap nilai waktu dari uang yang
akan diterima pada masa yang akan datang. Seperti sudah dikemukakan dalam
pembahasan mengenai present value, uang Rp 1.00 pada saat ini nilainya lebih
besar dibandingkan dengan Rp 1.00 pada masa yang akan datang, di mana hal
ini disebabkan karena adanya faktor bunga atau “nilai waktu dari uang”.
Besarnya perbedaan antara uang Rp 1.00 saat ini dengan Rp 1.00 setahun
kemudian adalah sebesar tingkat bunga yang berlaku. Perbedaan tersebut dapat
diilustrasikan dengan menggunakan data dalam tabel 2.

11
Tabel 2
Perhitungan Average Rate of Return Untuk
Tiga Proyek Capital Expenditure
Proyek
Keterangan X Y Z
1. Initial investment Rp 2.000.000,00 Rp 2.000.000,00 Rp 2.000.000,00
2. Rata-rata investasi Rp 1.000.000,00 Rp 1.000.000,00 Rp 1.000.000,00
Tahun
1 Rp 200.000,00 Rp 4.00.000,00 Rp 600.000,00
2 Rp 300.000,00 Rp 400.000,00 Rp 500.000,00
3 Rp 400.000,00 Rp 400.000,00 Rp 400.000,00
4 Rp 500.000,00 Rp 400.000,00 Rp 300.000,00
5 Rp 600.000,00 Rp 400.000,00 Rp 200.000,00
3. Rata-rata EAT Rp 400.000,00 Rp 400.000,00 Rp 400.000,00
4. Average rate of return
5. (3) : (2)
40% 40% 40%

Sekalipun average rate of return dari ketiga proyek tersebut di atas adalah
sama, yaitu 40%, tetapi apabila faktor bunga ikut dipertimbangkan maka
keadaannya akan lain. Manajer keuanagn perusahaan akan lebih menyukai proyek
Z dibandingkan kedua proyek lainnya, dan akan lebih menyukai proyek Y
dibandingkan dengan proyek X. Hal tersebut disebabkan karena uang yang lebih
besar diterima pada saat ini akan dapat memberikan return yang lebih besar apabila
diinvestasikan kembali pada proyek-proyek lain, dan hal ini tidak diperhitungkan
dalam metode average rate of return.

12
2. Pay Back Period

Metode Pay Back Peiod merupakan salah satu metode pemilihan investasi
yang paling sederhana untuk diterapkan. Pay back period dapat diperoleh dengan
menghitung jumlah tahun yang diperlukan agar jumlah cash flow sama dengan nilai
investasi asalnya. Oleh karena metode pay back period mempunyai asumsi bahwa
nilai uang antara satu periode dengan periode lainnya adalah sama, maka cash flow
antara satu periode dengan periode lainnya dapat dijumlahkan begitu saja.

Kriteria keputusan menurut metode Pay Back Period adalah ”Terima investasi
apabila payback period < dari pada maksimum payback yang ditentukan
korporasi”.

Berdasarkan kriteria keputusan di atas suatu investasi dapat diteima apabila


perhitungan pay back periodnya sama atau lebih kecil dari masa pay back period
yang diinginkan manajemen korporasi, tetapi tidak berarti semua cash flow sesudah
masa payback merupakan laba dari investasi.

Perhitungan payback period untuk suatu proyek yang mempunyai pola cash
inflow yang sama dari tahun ke tahun dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Initialinvesment
Pay Back Period =
Cashinflow

Perhitungan di atas yang menghasilkan payback period selama 3 tahun


menunjukkan bahwa modal yang diinvestasikan dalam proyek A akan dapat
tertutup selama 3 tahun. Tahun pertama akan tertutup sebanyak Rp 2.000.000,00
tahun kedua Rp 4.000.000,00 dan tahun ketiga Rp 6.000.000,00.

Dalam hubungannya dengan proyek B maka cara di atas tidak dapat


digunakan karena cash inflow proyek tidak sama dari tahun ke tahun. Untuk
menentukan payback period proyek B maka perhitungan cash inflow yang diperoleh
perlu dilakukan satu per satu, sebagai berikut:

Initial Rp 7.200.000.00
investment Rp 4.500.000.00 −

13
Cash inflow:
tahun 1
Belum tertutup Rp 2.700.000.00
Tahun 2 Rp 2.200.000.00 −
Belum tertutup Rp 500.000.00
Tahun 3 Rp 2.000.000.00 −
kelebihan Rp 1.500.000.00

Cash inflow yang dibutuhkana dalam tahun ketiga untuk dapat menutup sisa
initial investment adalah sebesar Rp 500.000,00 maka jumlah kebutuhan sebesar Rp
500.000,00 tersebut hanya menggambrkan 25% dari cash inflow tahun ketiga (Rp
500.000,00 : Rp 2.000.000,00) x 100%. Dengan perkataan lain cash inflow sebesar
Rp 500.000,00 dalam tahun ketiga akan terkumpul dalam waktu 3 bulan (25 x 12
bulan). Dengan demikian, payback period untuk proyek B adalah 2,25 tahun atas 2
tahun 3 bulan. Perhitungan payback di atas dapat disederhanakan apabila dibuat
jumlah kumulatif cash inflow dari tahun ke tahun seperti pada tabel 3 berikut:

Tabel 3
Initial Investment, EAT, Cash Inflow dan Kumulatif Cash Inflow
Untuk Kedua Usulan Proyek Perusahaan “Sari Delima” (dalam ribuan)
Proyek A Proyek B
Initial investment Rp 6.000,00 Initial investment Rp 7.200,00
Tahun EAT Cash Cumulative EAT Cash Cumulative
inflow cash inflow inflow cash inflow
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
1) 1.000,00 2.000,00 2.000,00 3.300,00 4.500,00 4.500,00
2) 1.000,00 2.000,00 2.000,00 1.000,00 2.200,00 6.700,00
3) 1.000,00 2.000,00 6.000,00 800,00 2.000,00 8.700,00
4) 1.000,00 2.000,00 8.000,00 100,00 1.300,00 10.000,00
5) 1.000,00 2.000,00 10.000,00 100,00 1.300,00 11.300,00
6) 1.000,00 2.000,00 12.000,00 100,00 1.300,00 12.600,00

14
Dengan adanya data tentang kumulatif cash inflow maka secara langsung
dapat dilihat bahwa initial investment untuk proyek A akan tertutup pada tahun ke-
3, sedangkan payback period untuk proyek B dapat dihitung sebagai berikut:
b−c
Payback period = t + d−c

Di mana: t = tahun terakhir di mana umlah cash inflow belum menutup


initial investment.
B = initial investment.
C = kumulatif cash inflow pada tahun ke ,t,
D = jumlah kumulatif cash inflow pada tahun t + 1

Dari contoh yang diberikan di atas, maka payback period untuk proyek B adalah:
Rp 7.200.000,00−Rp 6.700.000,00
Payback period B =2 + Rp 8.700.000,00−Rp 6.700.000,00

= 2 + 0,25 = 2,25 tahun atau 2 tahun 3 bulan.

Dengan membandingkan payback period kedua proyek tersebut maka


keadaan proyek lebih menguntungkan dibandingkan dengan proyek A karena
proyek B dapat menutup modal yang diinvestasikan dalam waktu yang lebih cepat.

Kebaikan-kebaikan dan Kelemahan Payback Period

Pengukuran usulan proyek capital budgeting dengan menggunakan metode


payback period seringkali dikatakan lebih baik daripada metode average rate of
return karena dalam perhitungannya digunakan cash inflow dan bukannya
accounting income. Di samping itu, payback period juga mempertimbangkian
(walaupun tidak sepenuhnya) secara implisit faktor “timing” atau saat penerimaan
cash inflow, dan dengan demikian faktor waktu dari uang yang akan diterima.
Payback period merefleksikan tingkat likuiditas suatu proyek (kecepatan dalam
menutup kembali modal yang diinvestasikan), dan dengan demikian pertimbangan
tentang risiko untuk dapat segera menutup kembali investasi dengan cash inflow
yang dihasilkan oleh investasi tersebut.Semakin likuid suatu proyek, semakin kecil
risiko yang dihadapi oleh perusahaan, demikian pula sebaliknya.

15
Kelemahan utama dari payback period adalah tidak mempertimbangkan
sepenuhnya faktor atau nilai waktu dari uang.Pengukuran payback period
menekankan pada “beberapa cepat modal yang diinvestasikan akan tertutup”
sebenarnya hanya mempertimbangkan secara implisit saat atau timing penerimaan
cash inflow.Kelemahan yang kedua timbul karena adanya suatu kenyataan
sehubungan dengan penggunaan metode payback period yang tidak
mempertimbangkan cash inflow sesudah investasi dalam suatu proyek
tertutup.Kelemahan tersebut dapat diilustrasikan pada tabel 4.

Tabel 4
Perhitungan Payback Period Untuk Dua Alternatif Investasi
Proyek X Proyek Y
Initial investment Rp 100.000.00 Initial investment Rp 100.000.00
Tahun Cash inflow
1 Rp 50.000,00 Rp 50.000,00 Rp 30.000,00 Rp 30.000,00
2 Rp 50.000,00 Rp 100.000,00 Rp 40.000,00 Rp 70.000,00
3 Rp 10.000,00 Rp 110.000,00 Rp 30.000,00 Rp 100.000,00
4 Rp 1.000,00 Rp 111.000,00 Rp 40.000,00 Rp 140.000,00
5 Rp 1.000,00 Rp 112.000,00 Rp 30.000,00 Rp 170.000,00
Payback period = 2 tahun Payback period = 3 tahun

Payback period untuk proyek X adalah 2 tahun dan proyek B adalah 3 tahun.
Dengan mendasarkan keputusan pada pertimbangan payback period saja, maka
proyek X akan lebih disukai dibandingkan dengan proyek Y karena payback
periodnya lebih cepat. Akan tetapi, apabila kita memperhatikan cash inflow sesudah
payback period tercapai, maka proyek X hanya akan mampu menghasilkan sebesar
Rp 12.000,00, sedangkan proyek Y hanya akan mampu menghasilkan sebesar Rp
12.000,00, sedangkan proyek Y sebesar Rp 70.000,00. Berdasarkan X. Dalam
perhitungan payback period tidak dipertimbangkan junlah cash inflow pada tahun
ke-3, 4 dan 5 untuk proyek X, dan tahun ke-4 dan 5 untuk proyek Y. Sekalipun
demikian, penggunaan payback period ini mungkin lebih baik dibandingkan dengan
metode averagerate of return karena di dalam metode payback period ini paling

16
tidak secara implisit masih mempertimbangkan faktor waktu dari penerimaan cash
inflow.

17

Anda mungkin juga menyukai