Anda di halaman 1dari 12

PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

SEBAGAI SUATU UPAYA MENGATASI RISIKO DALAM REDD

Community-based Fire Management as an Effort to Solve the REDD Risk

Acep Akbar

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru


Jl. Sei Ulin No.28 B. Banjarbaru 70714, Telp. (0511) 4772085, Facs. (0511) 4773222
Kalimantan Selatan

Naskah masuk : 3 Juni 2008 ; Naskah keluar Oktober 2008

ABSTRACT

Currently, most of forest fires phenomena occur outside state forest. Fires usually come from small
scale shifting cultivation, abandoned land and grass burning of animal husbandry area in the vicinity of
villages. To overcome this fire issue, in every village should be established local fire brigade for
implementation of prevention and early control. Considering the successful achievement of current community
fire care groups such as local Fire Countrol Brigade (RPK), Community Based Fire Groups (PKBM), and
Fire Countrol Team (TSA) in Sumatera and Kalimantan, development af such community based fire group
in high fire risk provinces of Indonesia is encouraged. Its the fires produce Co2 that lead to global
warming. Establishment of such CBF groups will have potency to reduce GHG emission.

Keyword : PKHBM, REDD, forest fire

ABSTRAK

Saat ini peristiwa kebakaran lahan sebagian besar berada di luar kawasan hutan. Api biasanya
berasal dari perladangan berskala kecil dalam jumlah banyak, lahan tidur dan peremajaan rumput pakan
ternak di sekitar perkampungan. Untuk mengatasi kondisi kebakaran seperti tersebut diatas maka di
setiap desa hendaknya dibentuk regu-regu Pengendali Kebakaran desa sehingga implementasi upaya
pemadaman dini dan pencegahan kebakaran dapat diterapkan. Kebakaran hutan dan lahan selama ini telah
memproduksi gas karbon dioksida(CO2) di atmosfer, sehingga terjadi efek rumah kaca yang salah satunya
adalah terjadinya pemanasan global. Upaya mitigasi emisi di Negara-negara berkembang seperti
Indonesia diistilahkan dengan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Melihat
keberhasilan organisasi-organisasi masyarakat peduli api seperti RPK, PKBM, PAK, dan TSA di desa selama
ini, maka pengembangan eksistensi organisasi kebakaran hutan dan lahan tersebut menuju wilayah-wilayah
propinsi rawan kebakaran disarankan.

Kata Kunci : kebakaran hutan, PKHBM, REDD

11
Tekno Hutan Tanaman
Vol.1 No.1, November 2008, 11 - 22

I. PENDAHULUAN

Hasil pemantauan citra satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic Atmospheric Administration-


Advanced Very High Resolution Radiometer) menunjukkan bahwa kejadian kebakaran lahan berdasarkan
data hotspot sebagian besar berada di luar kawasan hutan. Jika pada tahun 2002 hingga tahun 2005,
luasan lahan terbakar 60-70% berada di luar kawasan hutan, maka pada tahun 2006 terjadi peningkatan
menjadi 76% kebakaran terjadi diluar kawasan hutan. Kebakaran tersebut telah memusnahkan berbagai
tanaman milik masyarakat, mengganggu transportasi dan perekonomian masyarakat dan meningkatkan
penderita penyakit ISPA akibat asap.
Fenomena kebakaran hutan telah terbukti sangat berhubungan dengan kesengajaan pembakaran
lahan untuk berladang, peremajaan rumput pakan ternak, pembakaran lahan tidur untuk tujuan kepemilikan
di lahan rawa gambut dan kegemaran bermain dengan api (fire maniac) (Akbar, 2004; Saharjo, 2006;
Usup, 2006). Umumnya titik panas (hotspot) berada pada zona-zona pemanfaatan intensif lahan untuk
pertanian dan perladangan khususnya di luar Jawa. Kini kejadian kebakaran sebagian besar terjadi pada
lahan-lahan masyarakat dan bukan lagi di kawasan hutan. Demikian luasnya lahan-lahan tidur yang dimiliki
oleh para Pengusaha dan Kelompok Masyarakat Mampu lainnya yang tidak digarap, telah menjadikan
tempat tersebut sebagai muara dari api-api liar yang berasal dari pembakaran ladang dan peremajaan
rumput. Pada kejadian kebakaran yang luas, api juga sering bermula dari kebiasaan membakar lahan tidur
di areal rawa gambut. Lahan-lahan tidur tersebut jika terbakar akan menghasilkan kabut asap tebal
mencemari lingkungan. Lahan-lahan tidur tanpa penghuni sering dianggap kawasan hutan oleh masyarakat
awam, padahal jika lahan tersebut akan dijadikan tempat pembangunan rumah, perkantoran atau bangunan
lainnya oleh pemerintah, Pemilik lahan akan keluar dari persembunyiannya dan akan menuntut ganti rugi
lahan yang akan digunakan tersebut. Jika melihat contoh kasus di Kalimantan Selatan dan Tengah, setiap
tahun lahan-lahan tidur tersebut utamanya di lahan rawa gambut kiri kanan jalan raya Trans Kalimantan
dibakar dengan tujuan agar tidak menjadi hutan dan menunjukkan kepemilikan jika ada pembeli. Selama
kebiasaan buruk ini masih dipelihara di masyarakat maka sesungguhnya peristiwa kebakaran tidak akan
berakhir. Di sisi lain tidak siaganya perusahaan-perusahaan perkebunan besar dalam mematikan api dini
dari api liar yang masuk, telah meningkatkan luas areal terbakar, terlebih lagi jika bahan bakar potensial
bawah tanaman perkebunan sangat rapat akibat tidak dipelihara.
Akibat dari kebakaran lahan dan hutan telah terjadi pelepasan senyawa karbon ke udara. Dengan
meningkatnya senyawa karbon (CO2) sebagai gas rumah kaca, maka efek rumah kaca pun meningkat.
Efek terpenting yang sangat tidak diharapkan dalam kehidupan makhluk di dunia adalah terjadinya
peningkatan pemanasan bumi secara global (global warming) pada lapisan biosfer. Meningkatnya emisi
gas-gas rumah kaca ternyata terjadi juga di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia sehingga perlu
ada upaya penurunan emisi. Upaya penurunan emisi karbon di negara-negara berkembang akibat
kebakaran hutan, deforestasi dan degradasi selama ini disebut REDD (Reducing Emissions from Deforestation
and Degradation) (Emil Salim, 2007; Masripatin, 2007). Isu-isu perubahan iklim dan upaya-upaya mitigasi
emisi gas rumah kaca menjadi agenda Sidang UNFCCC (United Nation Framework Convension on Climate
Change) yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember 2007.
Penanganan masalah kebakaran hutan yang terfokus pada pemadaman dan teknologi semata
ternyata tidak mampu menghentikan kejadian kebakaran yang datang setiap tahun. Dalam kenyataan di
lapangan upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan lahan berdasarkan aspek sosial ekonomi dan
budaya, kelembagaan dan kebijakan pemerintah juga memegang peranan penting dalam pengendalian
kebakaran hutan. Pengendalian kebakaran berbasis Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Brigdalkarhut)
atau Manggala Agni (Galaag) yang berada paling rendah ditingkat DAOPS di Kabupaten, ternyata belum
efektif menghentikan kejadian kebakaran. Lokasi kebakaran yang umumnya berada di desa-desa sekitar
hutan yang jauh dari akses kendaraan roda empat menyebabkan api sulit ditangani oleh pasukan kavaleri
dari kota, melainkan harus ditangani oleh regu-regu infanteri masyarakat sekitar hutan. Untuk itu makalah
ini memaparkan hasil kajian prospek pengendalian kebakaran hutan dan lahan berbasis masyarakat sekitar
hutan dan lahan dalam hubungannya dengan REDD.

12
Pengendalian Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat sebagai suatu Upaya
mengatasi Risiko dalam REDD
Acep Akbar

II. METODOLOGI

Metode yang dipakai dalam kajian ini adalah kombinasi dari berbagai pendekatan untuk mendapatkan
informasi tentang kondisi yang sebenarnya dari upaya-upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan
berbasis masyarakat untuk mengatasi risiko dalam REDD. Beberapa teknik prosedural yang dipergunakan
secara umum adalah melakukan eksplorasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan melakukan
wawancara, studi referensi, penelaahan secara bertahap, klasifikasi dan tabulasi data, penjaringan informasi
serta pendapat dari diskusi dengan narasumber dan perolehan informasi dari dokumen lain yang dapat
dipercaya dalam menunjang informasi yang berhubungan dengan kebakaran hutan dan lahan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Potret Kebakaran di Masa Lalu

Peristiwa kebakaran hutan dalam skala luas awalnya terjadi pada tahun 1982/1983 yang telah
memusnahkan 2,4 - 3,6 juta ha hutan dan lahan di Kalimantan Timur. Api umumnya berasal dari areal-areal
perladangan dalam skala kecil (0,5 - 2 ha) yang didukung oleh Gejala alam El-Nino. Akibat dari kebakaran
tersebut, terdapat api permukaan yang masuk ke dalam lapisan batubara yang berada di bawah permukaan
tanah. Hingga kini api bawah permukaan tersebut menyala terus baik saat musim kemarau maupun hujan.
Setelah itu kebakaran hutan terjadi terus dan meluas ke daerah lain dengan interval waktu tahun 1987, 1991,
1994, 1997/1998 dan 2000 (Saharjo, 2004; Wibowo, 2003). Pada tahun 1997/1998 kebakaran lebih didukung
juga oleh datangnya gejala alam El-Nino yang mempengaruhi arus laut di Samudera Pasifik yang telah
berdampak pada kekeringan panjang di wilayah Asia Tenggara. Kekeringan inilah yang telah menyebabkan
kebakaran hutan di berbagai wilayah di Indonesia. Pada tahun 2002, peristiwa kebakaran hutan kembali
mencuat khususnya di Kalimantan. Kebakaran ini diikuti dengan asap tebal yang telah melumpuhkan berbagai
aktifitas perekonomian dan sosial yaitu aktifitas penerbangan, transportasi darat dan sungai, kegiatan sekolah
dan aktifitas sosial lainnya (Tampubolon, 2002). Di bidang kesehatan, kebakaran tahun 2002 telah
menyebabkan 2800 orang mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Kalimantan Tengah
(Kompas, 11,13, 21 September 2002). Terakhir tahun 2006, kebakaran lahan dan hutan terjadi lagi dengan
intensitas yang cukup besar. Peritiwa kebakaran tahun 2006 meluas ke provinsi-provinsi yang sebelumnya
bukan unggulan penghasil hotspot yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Demikian hebatnya kebakaran tahun 2006, sampai-sampai Indonesia terpaksa menyewa pesawat pemadam
Rusia BE.200 dengan harga Rp. 50 Milyar untuk waktu kurang lebih 45 hari saja. Sebenarnya keberhasilan aksi
pesawat tersebut sangat rendah, namun akibat telah datangnya musim penghujan, maka seolah-olah cara ini
dianggap berhasil.
Hal yang menarik bahwa sejak adanya 3 stasiun bumi yang digunakan untuk memantau titik-titik
panas (Hotspot) yaitu di Jakarta, Palembang dan Samarinda, terdeteksi bahwa peristiwa kebakaran lahan
di Indonesia, sebagian besar terjadi di luar kawasan hutan seperti yang terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Umumnya kebakaran tersebut terjadi di lahan-lahan pertanian sekitar desa dan hutan. Distribusi hot spot
pada tahun-tahun kebakaran hutan dapat dilihat pada Gambar 1. Khusus jumlah hot spot di luar kawasan
hutan umumnya terjadi di lahan-lahan masyarakat yang terdiri dari lahan-lahan pertanian perladangan,
lahan tidur baik di lahan kering maupun lahan gambut dan areal areal perkebunan yang kurang
pemeliharaannya. Data hotspot tersebut merupakan akumulasi dari kejadian-kejadian kebakaran pada
propinsi-propinsi unggulan di Indonesia.

13
Tekno Hutan Tanaman
Vol.1 No.1, November 2008, 11 - 22

80

70

60

50

(%) 40
Dalam Kawasan Hutan
30 inside forest area
Luar Kawasan Hutan
outside forest area
20

10

0
2002 2005 2006
Tahun/Year

Gambar (Figure) 1. Persentase jumlah titik panas (hot spot) dalam hutan dan lahan di Indonesia (Hotspot in
and outside forest land in Indonesia)
Sumber/Source : Tampubolon (2002), Wibowo (2003), Saharjo (2004) setelah
dimodifikasi/after modified

Data pada Gambar 2 menunjukkan bahwa ada 8 propinsi unggulan penghasil hotspot di Indonesia
dalam 10 tahun terakhir. Walaupun tidak persis bahwa titik panas (hotspot) yang ditunjukkan oleh hasil citra
satelit NOAA-AVHR merupakan kejadian kebakaran, namun ternyata luas kejadian kebakaran umumnya
paralel dengan jumlah hotspot yang terdeteksi, bahkan pada periode tertentu areal terbakar lahan dan hutan
lebih luas daripada jumlah hotspot yang terdeteksi (WWF, 2007). Mungkin saja tidak semua kejadian
kebakaran terdeteksi oleh satelit.
Pada kejadian kebakaran yang luas dan intensitas api besar, peralatan canggih serta regu pemadam
trampil tidak menjamin mampu mematikan api kebakaran. Biasanya api padam hanya karena bahan bakarnya
habis. Pada kejadian kebakaran luas di lahan gambut penyebab matinya api adalah turunnya hujan 2 minggu
yang hampir berturut-turut. Api-api kebakaran yang terlanjur besar tersebut biasanya jauh dari akses jalan
raya atau jalan lain yang dapat dimasuki kendaraan roda empat. Api yang sering muncul ketika masih kecil
biasanya berada di areal-areal perladangan, lahan tidur di sekitar pemukiman dan akses-akses jalan desa.
Berdasarkan fakta di lapangan, pada dasarnya Tim Pemadam Kebakaran hanya mampu mematikan api ketika
masih kecil hingga sedang (tinggi api hingga 3 meter) di areal yang masih dapat dijangkau kendaraan
roda 4 (menggunakan kendaraan pemadam unit pick-up) pada radius 100-200 meter. Untuk areal lebih
jauh dari 200 meter, umumnya harus ditempuh berjalan kaki dengan menggunakan alat-alat pemadam
sederhana seperti kepyok/swater pemukul api dan semprot punggung pemadam, yang diikuti dengan bak air
portable (Akbar, 1995)

14
Pengendalian Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat sebagai suatu Upaya
mengatasi Risiko dalam REDD
Acep Akbar

Gambar (Figure) 2. Jumlah hotspot panas dari tahun 1997s/d 2006 berdasarkan provinsi di Indonesia (Number
of hotspot 1997/2006 in several province in Indonesia)
Sumber/Source : WWF Indonesia

B. Kontribusi Emisi Karbon di Udara dari Kebakaran

Penelitian di beberapa daerah telah menggambarkan adanya kuantitas dampak kebakaran terhadap
emisi karbon di udara. Kebakaran tahun 1998 yang didukung El-Nino tahun 1997/1998 telah merugikan
negara sebesar 10,066 triliun rupiah setelah lahannya terbakar seluas 507.239,5 Ha. Kebakaran hutan yang
luas yang terjadi pada tahun 1997 telah melepaskan karbon dioksida (CO2) ke udara sebesar 0,81-2,57 Gt
dimana sebagian besar berasal dari lahan gambut (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi yang
dilakukan di lahan gambut Taman Nasional Berbak, Sumatera menyebutkan bahwa di areal tersebut telah
teremisi karbon sebesar 7 juta ton (Murdiyarso et al., 2002). Estimasi emisi karbon dioksida (CO2) berdasarkan
pendekatan model pembentukan biomassa oleh tanaman hutan dalam satu tahun dengan menggunakan
perangkat program komputasi visual Fox Pro menunjukkan adanya jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari
kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Sumatera Selatan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1 (Slamet L.
dan Haryanto, 2006). Pembentukan biomassa tersebut menggunakan persamaan Ochi et al. (1997).

Tabel (Table) 1. Jumlah emisi karbon dioksida (CO2) akibat kebakaran di dua provinsi di Indonesia (Carbon
emission in two provinces of Indonesia)

No. Lokasi Propinsi Jumlah Emisi CO2


(Province) (CO2 emissions)
Kebakaran Tajuk Kebakaran Kebakaran Bawah
(crown fire) (gram Permukaan (ground (underground fir e) (gram
CO2 / m2 fire) (gram CO2/m2 CO2/m2
1. Riau 631,08 2246,96 529,59
2. Sumatera Selatan 539,19 1895,53 599,64

15
Tekno Hutan Tanaman
Vol.1 No.1, November 2008, 11 - 22

Pada bagian lain terdapat pendugaan kandungan karbon hutan tropis yaitu sebesar 220 ton
karbon/hektar dan saat terjadi kebakaran semuanya lepas ke atmosfer (Waring & Schlesinger, 1985 dalam
Schroeder et al., 1993). Karbon (CO2) yang teremisi merupakan hasil proses pembakaran dalam kebakaran
hutan atau reaksi kimia dari bahan bakar alami seperti serasah, tumbuhan bawah, daun, ranting dan kayu
dengan oksigen, sehingga memproduksi karbon dioksida, air dan panas. Reaksi kimia ini merupakan kebalikan
dari proses fotosintesis yang digambarkan sebagai berikut (Luke dan Mc. Arthur, 1978).

C 6 H10 O5 (Selulosa) + 6 O2 6 CO2 + 5H2 O + Panas

C. Hambatan Aktual Pengendalian Kebakaran yang Sering Dialami

Pada umumnya kebakaran diketahui setelah api menyebar secara luas. Pada kondisi tersebut upaya
pemadaman sulit dilakukan. Daya jangkau selang pada umumnya antara 100-200 meter saja. Untuk lokasi
kebakaran yang jauh dari badan jalan, penggunaan alat pompa statis bertekanan tinggi tidak lagi efektif,
demikian pula dengan kendaraan pemadam slip-on tank yang tidak bisa memasuki lokasi kebakaran.
Akibatnya kebakaran tidak dapat dimatikan. Lokasi kebakaran tersebut sebagian besar terjadi di lahan-lahan
tidur milik masyarakat baik di lahan gambut maupun lahan kering. Dengan demikian pada saat api kecil hanya
masyarakat di tataran kampung dan desa yang mengetahui dari mana api berasal.
Permasalahan lain yang sering timbul didalam pengendalian kebakaran lahan dan hutan adalah
sebagai berikut: (1). Kegiatan pencegahan melalui Apel Siaga, kampanye kebakaran, penyuluhan, selebaran
leaflet dan poster ternyata belum berhasil menimbulkan kesadaran masyarakat untuk tidak menggunakan
api dalam pembukaan ladang untuk pertanian. Sebagai contoh bahwa pada tahun 2006, ketika Apel Siaga
Nasional yang dilaksanakan di Sumatera Selatan ternyata malah terjadi peningkatan data hotspot hampir
1000%. Demikian pula pembakaran peremajaan rumput dan pembersihan lahan-lahan tidur di rawa gambut
masih terus berlangsung di musim kemarau. (2) Peristiwa kebakaran belakangan ini banyak terjadi di luar
kawasan hutan yaitu pada areal budidaya pertanian milik masyarakat yang terdiri dari lahan tidur dan lahan
garapan pertanian dengan penyebab api liar banyak berasal dari pembakaran pembukaan ladang itu sendiri,
sehingga petugas merasa segan melarangnya. Cara pembukaan lahan pertanian dengan membakar telah
membudaya bagi petani ladang di luar jawa. (3) Penerapan sangsi hukum belum diterapkan dengan tegas
sehingga pelanggar pembakaran masih merasa aman untuk beraksi, (4) Belum terlaksananya koordinasi,
sinkronisasi dan integrasi dari seluruh stakeholder dalam melakukan kegiatan pencegahan secara intensif
di musim kemarau. Mungkin ini akibat persepsi tentang kebakaran hutan dan lahan masih belum sama
sehingga terkesan bahwa penanganan kebakaran adalah tugas institusi yang menangani kebakaran hutan
saja. (5). Penyusunan rencana kerja tahunan dari institusi terkait dengan kebakaran hutan dan lahan, kurang
matang baik mengenai jadwal waktu kegiatan dan dana maupun pengadaan sumber daya manusia untuk
mengantisipasi bahaya kebakaran. (6) Pemerintah belum berhasil menanamkan kesadaran masyarakat bahwa
pembukaan lahan dengan membakar bermasalah bagi kehidupan mereka sendiri dan orang lain. Maka dari itu
sebenarnya penanganan kebakaran hutan belum melibatkan masyarakat sekitar perladangan atau hutan. (7).
Tugas menangani kebakaran hutan dianggap hanya tugas tambahan atau sampingan dalam institusi, sehingga
masih kurang mendapat perhatian baik dalam menyediakan fasilitas maupun pendanaan. Indikatornya
nampak pada institusi pemerintah dan swasta. (8) Prosedur tetap atau Standar Operating Prosedure (SOP)
belum dibuat secara definitif pada masing-masing institusi sehingga saat terjadi kebakaran sering terjadi
ketidaktahuan petugas untuk bertindak baik pada tahap Siaga III, II maupun I. (9) Sistem informasi kebakaran
belum berjalan baik sehingga sering terjadi keterlambatan dalam menangani suatu kejadian kebakaran di
tingkat kecamatan dan desa. (10). Ketersediaan data baik mengenai kerawanan maupun aset yang harus
diamankan belum tertangani dengan baik di setiap lokasi kebakaran. (11) Tanggung jawab para Investor
dirasakan belum serius dalam menangani kebakaran terutama dalam mengamankan areal kerjanya dari
kebakaran. (12) Peralatan pemadam sederhana di tataran desa masih belum ada kecuali desa-desa binaan.

16
Pengendalian Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat sebagai suatu Upaya
mengatasi Risiko dalam REDD
Acep Akbar

Padahal masyarakat desa sekitar hutan dan lahan paling mengetahui lebih awal adanya kejadian kebakaran
ketika intensitasnya masih kecil. (13) Sarana dan prasarana serta pendanaan masih sangat terbatas terutama
tidak ada kebijakan Pemda setempat untuk membangun bak-bak penampungan air buatan pada areal-areal
rawan kebakaran guna melakukan pemadaman api lahan dan hutan di saat musim kering/kemarau.

D. Prospek Keberhasilan Pengendalian Kebakaran Berbasis Masyarakat

1. Prospek

Dengan berulangnya peristiwa kebakaran di beberapa wilayah propinsi unggulan, dari pihak
masyarakat pemerhati lingkungan dan masyarakat peduli api telah timbul inovasi-inovasi baru tentang
pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Pemikiran baru tersebut adalah bahwa kebakaran lahan harus
ditangani oleh masyarakat yang berdekatan dengan kejadian api awal. Api yang selama ini timbul adalah
berasal dari api kecil yang disulut manusia pengguna api di lahan. Sedangkan lahan yang telah terbukti
mengalami pembakaran setiap tahun adalah lahan-lahan pertanian dan perladangan. Mungkin sebagian kecil
saja adanya kebakaran akibat kelalaian buang puntung rokok, akibat asap mesin alat berat dan penyebab
kelalaian lainnya. Demikian pula adanya kebakaran akibat gesekan alami, halilintar dan batubara sangat sulit
dibuktikan di daerah tropis (Akbar, 1995).
Dengan dasar api awal dari luasan-luasan kecil di desa-desa maka upaya pemberdayaan masyarakat
desa bahkan kampung menjadi penentu keberhasilan pencegahan terjadinya kebakaran. Pertimbangan lain
yang mendasari perlunya pengendalian kebakaran berbasis masyarakat desa adalah sebagai berikut
(Marbyanto, 2004) :
1. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya disebabkan oleh faktor manusia. Oleh karenanya peran
serta masyarakat dalam pencegahan kebakaran akan mengurangi munculnya kebakaran hutan dan lahan.
2. Kelompok yang paling dirugikan oleh adanya kebakaran hutan dan lahan umumnya adalah masyarakat
yang tinggal di lokasi kebakaran. Oleh karenanya sudah sewajarnya bila mereka terlibat secara aktif dalam
upaya pengelolaan kebakaran hutan dan lahan
3. Masyarakat mempunyai potensi sumberdaya (tenaga, natura/barang) yang sangat besar untuk menunjang
kegiatan pengelolaan kebakaran sebagai pelengkap dari sumberdaya Pemerintah yang masih terbatas.
4. Masyarakat biasanya banyak berdomisili di daerah-daerah yang berdekatan dengan areal rawan kebakaran
sehingga mereka sangat fotensial untuk melakukan serangan dini (initial attack) dalam pengendalian
kebakaran. Initial attack tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya kebakaran besar dan luas.
5. Masyarakat di Kalimantan dan Sumatera mempunyai budaya menggunakan api untuk membuka lahan
pertaniannya sehingga untuk menerapkan zero burning (tanpa pembakaran) masih sangat sulit. Suatu
kompromi yang paling mungkin saat ini adalah ”bagaimana melakukan pengelolaan api” agar api yang
dibuat tidak berdampak negatif yang besar pada lingkungan.

Jika dilihat dari jumlah desa pada wilayah-wilayah provinsi unggulan dalam kejadian kebakaran lahan
dan hutan berdasarkan data administrasi pemerintahan desa di Indonesia, maka secara kasar dapat diprediksi
jumlah penurunan emisi karbon saat musim kebakaran. Jika masyarakat desa sekitar lahan dan hutan dapat
mencegah kebakaran, maka reduksi emisi karbon dapat diketahui dengan beberapa asumsi berikut : (1)
jumlah simpanan karbon hutan adalah 32,2 ton karbon/ha, (2) Luas hutan desa dianggap 60% dari luas desa,
(3) Pada saat seharusnya hutan terbakar tetapi dengan Sistem Pengendalian Berbasis Masyarakat
kebakaran dapat dicegah (4) hitungan di lahan gambut , maka jumlah prediksi karbon yang tidak jadi teremisi
ke atmosfer adalah 382,86 juta ton (Tabel 2).

17
Tekno Hutan Tanaman
Vol.1 No.1, November 2008, 11 - 22

Tabel (Table) 2. Kisaran potensi pengurangan emisi karbon ke atmosfer apabila desa-desa di propinsi
unggulan kebakaran dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan (Potency of carbon
emission reduction to atmosphere if villages in priontized provices can prevent forest fires)
No Propinsi unggulan Jumlah Asumsi-asumsi/assumption Penurunan
hotspot Desa Luas Desa Luas Simpanan emisi karbon
rata-rata lahan/hutan karbon (Juta (Juta ton)
(ha) (ha) ton)
1 Sumatera Utara 5230 1211 3.800.118,0 122,36 122,36
2. Riau 1277 1211 927.868,2 29,88 29,88
3 Jambi 1137 1211 826.144,2 26,60 26,60
4. Sumatera Selatan 2824 1211 2.051.918,4 66,07 66,07
5 Kalimantan Barat 1393 1211 1.012.153,8 32,59 32,59
6 Kalimantan Timur 1115 1211 810.159,0 26,09 26,09
7 Kalimantan Tengah 1219 1211 885.725,4 28,52 28,52
8 Kalimantan Selatan 2169 1211 1.575.995,4 50,75 50,75
Jumlah emisi yang dapat diturunkan jika tidak terjadi kebakaran hutan 382,86
Sumber (Source) : Jumlah dan rata-rata luasan desa diambil Data Administrasi Pemerintahan tahun 2003
(www.wikipedia.org) retrieved November 2007

2. Capaian keberhasilan

Beberapa desa yang telah teridentifikasi mencapai keberhasilan didalam mencegah dan
mengendalikan kebakaran lahan dan hutan di wilayah desanya, disajikan dalam Tabel 2. Organisasi-
organisasi Pengendali Kebakaran Desa yang telah terbentuk ternyata berawal dari dua cara. Pertama, di
masyarakat desa telah terbentuk suatu organisasi bersifat kearifan lokal pengendalian kebakaran yang
telah menjadi kebiasaan turun temurun. Sekanjutnya ada fasilitasi dari pihak Pemda setempat atau Lembaga
lain yang tertarik dengan masalah kebakaran hutan dan lahan. Kedua, di masyarakat desa belum terbentuk
suatu organisasi tradisional tetapi minat untuk berorganisasi sangat tinggi. Selanjutnya pihak Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) baik yang bersifat Nasional maupun internasional memfasilitasi pembentukan
Regu Pengendali Kebakaran (RPK) desa. Dari kedua mekanisme terbentuknya Masyarakat Peduli Api
di tataran desa ternyata telah menghasilkan kondisi masyarakat desa yang berdisiplin dalam mengendalikan
api lahan dan memiliki jiwa korsa untuk mempertahankan desanya dari kebakaran. Salah satu pemicu
timbulnya jiwa berorganisasi umumnya adanya fasilitasi pakaian seragam, pelatihan pengendalian
kebakaran, pemberian alat pemadam dan dana pendampingan.
Di dalam organisasi pengendali kebakaran lahan yang telah mapan di tingkat desa, telah dipraktekan
pola manajemen dari mulai aktifitas perencanaan program, pelaksanaan program, pengorganisasian dan
evaluasi. Sehingga aktifitas RPK tidak hanya terbatas pada kegiatan pemadaman. Di dalam teknis
pengendalian kebakaran, regu-regu pengendali kebakaran desa yang telah terbetuk memiliki pengetahuan dan
keterampilan baik dalam melakukan pencegahan, persiapan pemadaman, respon pemadaman dan aktifitas
pasca kebakaran. Nama-nama organisasi pengendalian kebakaran di tingkat desa berbeda-beda tergantung
suku bangsa dan budaya. Untuk regu pengendali kebakaran desa di Kalimantan Tengah terdapat 2 nama yaitu
Tim Serbu Api (TSA) yang diprakarsai oleh Cimtrop Unpar (Limin, 2003) dan Regu Pengendali Kebakaran
(RPK) desa yang diprakarsai oleh Care Internasional (Care Internasional Indonesia, 2003). Di Kalimantan
Timur regu pengendali kebakaran di tataran desa sering disebut PKBM (Pengendalian Kebakaran berbasis
Masyarakat) yang diprakarsai oleh UPTD-PHKL bersama IFFMP-GTZ (Marbyanto, 2003). Di Kalimantan
Selatan regu pengendali kebakaran desa disebut Pos Api Kampung (PAK) dan Masyarakat Perduli Api
(MPA) diprakarsai oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru dan Dinas Kehutanan (Akbar, 2004). Di sisi
lain pada perusahaan HTI, pemberdayaan masyarakat dalam mengelola kebakaran dan hutan dilakukan dalam
bentuk PHBM (Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat) (Rousykin, 2004). Pola-pola pemberdayaan
masyarakat tersebut di atas telah menghasilkan kondisi hutan dan lahan tidak terbakar secara luas.

18
Pengendalian Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat sebagai suatu Upaya
mengatasi Risiko dalam REDD
Acep Akbar

Tabel (Table) 2. Desa-desa yang telah berhasil menerapkan pola pengendalian kebakaran berbasis masyarakat
(Villages that applied the pattern of community Base Fire Management successfully)
No. Nama Kecamatan, Nama Organisasi dan Capaian Indikator
daerah/Desa Kabupaten dan keberhasilan keberhasilan
Propinsi
1. Purwajaya Kab.Kutai PKBM, sejak dibentuk 1998, Ada organisasi
Kertanegara, Kaltim tidak pernah terjadi lagi yang definitif
kebakaran dilengkapi sarana
dan aktifitas
2. Ujoh Halang Kab. Kutai Barat PKBM, adanya kearifan lokal Adanya peraturan
tidak terjadi kebakaran desa tentang
kebakaran
3. Mawangi Loksado, HSS Kalsel MPA Desa, memiliki kearifan Ada organisasi
lokal. Organisasi tumbuh definitif disertai
sendiri dan tidak pernah sarana dan
kebakaran aktifitas
4. Loksado Loksado, HSS, Kalsel MPA Desa, memiliki kearifan Ada organisasi
lokal. Organisasi tumbuh definitif disertai
sendiri dan tidak pernah sarana dan
kebakaran aktifitas
5. Riam Kiwa Pengaron, Banjar, Pos Api Kampung (POK), sejak Telah tertanam
Kalsel berjalan pembinaan dan sikap mencegah
pembentukan organisasi, 1986 kebakaran
tidak ada kebakaran
6. Semua Desa Palangkaraya, TSA, organisasi telah berjalan Telah tertanam
sekitar Palangka Kalteng dan melakukan aktivitas sikap mencegah
Raya pengendalian kebakaran kebakaran
7 15 Desa DAS Kab. Kuala Kapuas RPK, organisasi telah berjalan Telah tertanam
Kapuas dan DAS dan Kab Barito dan melakukan aktivitas sikap mencegah
Barito Selatan, Kalteng. pengendalian kebakaran kebakaran
8. Desa Lebung Kec. Tulung Selapan, RPK Desa, adanya kearifan Ada organisasi
Gajah OKI, Sumsel lokal pembakaran terkendali, dan kedisiplinan
tidak terjadi kebakaran membakar
9. Desa Ujung Kec. Tulung Selapan, RPK Desa, adanya organisasi Ada organisasi
Tanjung OKI, Sumsel kearifan lokal, tidak terjadi dan kedisiplinan
kebakaran membakar
10. Desa Kec. Pampangan, RPK Desa, adanya organisasi Ada organisasi
Penanggukan OKI, Sumsel kearifan lokal, tidak terjadi dan kedisiplinan
Duren kebakaran membakar
Sumber (Source): Marbyanto E. (2004); Apriyanto D. (2004); Akbar A. (2004), Setijono D. (2003); Akbar A. (2007).
Setelah dimodifikasi oleh Penulis. (modified by author)

Mekanisme pembentukan regu-regu pengendali kebakaran di desa umumnya dimulai dengan tahapan :
(1) Datang ke desa dan tinggal sementara bersama penduduk desa, (2) Memahami mereka dari segi
kebutuhan dan aspirasinya, (3) Mengikuti senang dan sedihnya mereka, (4) Mulai menunjukkan cara-cara
berorganisasi kepada mereka,(5) Memulai dengan apa yang mereka ketahui, (6) Bertindak dengan apa yang
mereka miliki, (7) Meningkatkan keterampilan mereka, (8) Bekerja sambil belajar, (9) Membimbing dengan
peragaan dan contoh, (10) Memfasilitasi sarana minimal sesuai kebutuhan. Mekanisme terbentuknya
Regu-regu Pengendali Kebakaran Desa dari proses identifikasi karakteristik masyarakat peduli api hingga
tahap memfasilitasi dapat dilihat dalam Gambar 3.

19
Tekno Hutan Tanaman
Vol.1 No.1, November 2008, 11 - 22

Identifikasi
Fasilitasi dari kondisi awal
Pengetahuan dan
Pemeritah
keterampilan
Desa

Regu Pengendali
Program : Kebakaran (RPK) Sarana Prasarana
Kesepakatan desa : pengandalian
Prinsip RPK,PAK,TSA,P kebakaran
Kerjasama KBM,PHBM

Kearifan lokal

Gambar (Figure) 3. Mekanisme terbentuknya Masyarakat Peduli Api (Mechanism of fire forest community
establishment)

Masalah yang timbul dari pembentukan Regu Pengendali Kebakaran di Desa adalah bagaimana
lembaga yang dibentuk sebagai koordinator kebakaran di Desa mendapat sebagian peran didalam
kepengurusan desa. Dengan terbentuknya organisasi kebakaran di tingkat desa maka kesinambungan aktivitas
pengelolaan kebakaran sangat diperlukan. Untuk itu diperlukan alokasi dana Pemerintahan Desa guna
kepentingan operasional regu.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Potret kejadian kebakaran di masa lalu khususnya lima tahun terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar
pemicu kebakaran berada di luar kawasan hutan yaitu di lahan-lahan tidur masyarakat, areal pertanian dan
perladangan dan peternakan sistem lepas sehingga profil-profil manusia disinilah yang dapat dijadikan
obyek pembinaan pencegahan kebakaran dengan cara memberdayakannya menjadi regu pengendali
kebakaran.
2. Upaya pemberdayaan masyarakat melalui pengendalian kebakaran berbasis masyarakat di sekitar hutan
dan lahan merupakan pola alternatif pengelolaan kebakaran yang menjanjikan karena kejadian kebakaran
selama ini banyak dipicu oleh kebiasaan pembakaran lahan masyarakat berskala kecil tetapi banyak, yang
dilakukan setiap tahun di desa-desa dan ladang sekitar hutan.
3. Keberhasilan dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang luas merupakan keberhasilan
mengatasi risiko dalam REDD karena terjadinya peningkatan emisi salah satunya adalah akibat proses
pembakaran bahan bakar hutan menjadi karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) yang disertai panas.
4. Model-model pengendalian kebakaran berbasis masyarakat seperti PKBM (Pengendalian kebakaran
berbasis masyarakat) di Kalimantan Timur, TSA (Tim Serbu Api) desa di Kalimantan Tengah, RPK (Regu
Pengendali Kebakaran) Desa di Kalimantan Tengah dan Selatan, PAK (Pos Api Kampung) dan MPA
(Masyarakat Peduli Api) di Kalimantan Selatan, Regu Pemadam Kebakaran Desa di Sumatera
merupakan contoh pengendalian kebakaran berbasis masyarakat yang berhasil dalam mengendalikan
kebakaran hutan dan lahan di desa-desa.

20
Pengendalian Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat sebagai suatu Upaya
mengatasi Risiko dalam REDD
Acep Akbar

5. Sistem pengendalian kebakaran berbasis masyarakat dan kearifan lokal perlu dikembangkan ke seluruh
desa rawan kebakaran dengan membentuk Regu Pengendali Kebakaran (RPK) Desa yang difasilitasi
institusi terkait melalui musyawarah desa. Institusi tersebut juga memfasilitasi adanya pelatihan
keterampilan pemadaman, pengetahuan lingkungan, pembuatan aturan Desa dan alat-alat pemadam
sederhana yang dapat digunakan secara praktis dan efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. 1995. Api Hutan dan Strategi Pemadamannya. Kehutanan Indonesia. Th. 1994/1995. 6: 9- 13.
Akbar, A., Rahayu S., I. Anwar. 2004. Kajian Sistem Pengaturan Pembakaran Lahan Masyarakat dalam rangka
Mengurangi Risiko Kebakaran pada Hutan Tanaman. Laporan Hasil Penelitian BP2HT-IBT.
Banjarbaru.
Akbar, A. 2007. Rencana Pengendalian Kebakaran di Kawasan Hutan Konservasi Wilayah Kerja BOSF
Program Mawas, Kalteng, Kerjasama BOSF Mawas dengan CV Indofire Kalimantan. Banjarbaru
Apriyanto, D., Rahayu, S., Yafis H., I. Anwar, Junaidi. 2003. Kajian Sosioantropologis Penyebab Kebakaran
Hutan di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur.
Care Internasional Indonesia. 2003. Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan di Tingkat Desa. Draf Laporan
Lembaga Care. Palangkaraya
Luke, R.H. dan Mc Arthur A.G. 1978. Bushfires in Australia. CSIRO. Div. Of Forest Research. AGPS
Canberra.
Limin, S. 2003. Strategi Mencegah Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah. Kalteng Pos. Ed. April 2003.
Palangkaraya.
Masripatin, N. 2007. Pengurangan Emisi dari Deforestasi di Negara Berkembang (REDD). Badan Litbang
Kehutanan (Materi presentasi). Jakarta.
Murdiyarso, D., Widodo, M., dan Suyanto, D. 2002. Fire Risks in Forest Carbon Project in Indonesia. Science
in China (Series C). Vol. 45. Supp : 65-74.
Marbyanto, E. 2003. Pengembangan Program Pengelolaan Kebakaran Berbasis Masyarakat. Pengalaman
Proyek IFFM di Kalimantan Timur. Prosiding Workshop Kerjasama SCKPFP-EU dan Pemda Banjar.
Martapura.
Page, S.E, Siegert, F., Rielay, J.O., Boehm H.D.V., Jaya, A. 2002. The Amount of Carbon Released from Peat
and Forest Fire in Indonesia during 1997. Nature. 4202.61-65.
Rousykin, H. 2004. Resolusi Konflik Sosial dan Lahan Melalui HTI Pola PHBM di PT Finantara Intiga
Propinsi Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Ilmiah Revitalisasi Pembangunan Hutan Tanaman di
Kalimantan. Pusat Litbang Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Hutan. Balai Litbang Hutan Tanaman
Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru Hal 34-48.212.
Saharjo, B.H. 2004. Profil Daerah Potensial Penghasil Hotspot dan Sumbernya menurut RTRWP di Propinsi
Kalimantan Selatan Periode Juni-Desember 2003. South and Central Kalimantan Production Forest
Project (SCKPFP). Draft Prosiding Kampanye Pengendalian Kebakaran Hutan. Banjarmasin.
Saharjo, B.H. 2006. Teknologi Pengelolaan dan Pengolahan Tanah Gambut Tanpa Pembakaran di Lahan
Masyarakat. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan IPB. Draf Makalah Seminar Nasional
Tentang Pencegahan, Penanggulangan dan Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan, Lahan dan
Pekarangan. Palangkaraya.
Salim, E. 2007. Forest Issues in UNFCCC and Its Relevancy to Indonesia. National Workshop. Indonesia
Forest Climate Alliance. Jakarta.

21
Tekno Hutan Tanaman
Vol.1 No.1, November 2008, 11 - 22

Schroeder, P.E., R.K. Dixon & J.K. Winjum. 1993. Forest Management and Agroforestry to Sequester and
Conserve Atmospheric Carbon Dioxide. An Assessment of Promising Forest Management Practices and
Technologies, including Site-level costs, for Enhanching The Conservation and sequestration of
Atmospheric Carbon. Unasylva 173 Vol. 44.p 52-60.
Slamet, S.L. dan A. Haryanto. 2006. Estimasi Emisi CO2 dari Kebakaran Hutan (Sebuah Simulasi dan Aplikasi
dengan Menggunakan VisualFox Pro). Prosiding Semiloka Teknik Simulasi dan Komputasi serta
Aplikasi. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Bandung.
Sutijono, D. 2003. Kehidupan Masyarakat dan Kaitannya dengan Kebakaran Lahan Rawa/Gambut di
Kabupaten Ogan Komering Ilir-Propinsi Sumatera Selatan. Prosiding Semiloka, Kebakaran di Lahan
Rawa/Gambut di Sumatera, Masalah dan Solusi. CIFOR. Jakarta.
Tampubolon, A., T.S. Hadi., A. Akbar, D. Rachmanadi, Norliani. 2002. Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan Terpadu. Prosiding Gelar Teknologi Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur.
Banjarbaru.
Usup, A. 2006. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Masyarakat.
Makalah Seminar Nasional tentang Pencegahan , Penanggulangan dan Penindakan Pelaku Pembakaran
Hutan, lahan dan Pekarangan. Palangkaraya.
Wibowo, A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Review Hasil Litbang.
Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
WWF Indonesia. 2007. Grafik Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonseia. Didapatkan dari website
http://www.wwf.or.id/index.php?fuseaction=newsroom.detail&id=NWS1177945804&language=i
diakses tanggal 31 Okt 2007

22

Anda mungkin juga menyukai