Anda di halaman 1dari 32

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME Makassar, 24 Mei 2019

LAPORAN TUTORIAL MODUL 2


BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME
“SKENARIO 1”

TUTOR: dr. Rezky Putri Indarwati Abdullah, M.kes.


KELOMPOK 13 PBL
REZZITA ASTIANI (11020160086)
RAHMI HIDAYANTI PELU (11020170014)
RESITA AULIA BUDIMAN (11020170018)
RAHMI UTAMI (11020170024)
NURUL HIDAYAH (11020170026)
ARI SAVIRA ALDA (11020170044)
PRYANTAMA SAPUTRA TUNA (11020170082)
ORYZA CAMILIA SALSABILA (11020170107)
RADHI IJTIHADI (11020170119)
NUR KHAIRUNNISA (11020170174)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
 SKENARIO 1

Seorang laki-laki umur 38 tahun, datang ke poliklinik umum dengan


keluhan kelebihan berat badan yang dialami sejak masa remaja, dan semakin
bertambah. Pasien sulit mengendalikan nafsu makan dan tidak rutin berolah
raga. Tidak ada riwayat diabetes dalam keluarga, namun kedua orang tua pasien
juga mengalami kelebihan berat badan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tinggi badan 155 cm, berat badan 90 kg, dan lingkar pinggang 105 cm. Tekanan
darah 130/80 mmHg. Acanthosis nigricans (+).

 KATA SULIT :
1. Acanthosis nigricans : Acanthosis nigricans adalah kondisi kulit yang
menyebabkan satu atau lebih area kulit menjadi gelap dan menebal.
 KALMAT KUNCI :
1. Seorang laki-laki umur 38 tahun
2. keluhan kelebihan berat badan yang dialami sejak masa remaja dan
semakin bertambah
3. sulit mengendalikan nafsu makan
4. tidak rutin berolahraga
5. Tidak ada riwayat diabetes dalam keluarga
6. kedua orang tua pasien juga mengalami kelebihan berat badan
7. Pada pemeriksaan fisik didapatkan : TB : 155cm , BB : 90kg, LP
:105cm, TD: 130/80 mmHg, Acanthosis nigricans (+)
 PERTANYAAN
1. Jelaskan patofisiologi kelebihan berat badan !
2. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor dan hormon yang berperan
terhadap peningkatan berat badan !
3. Jelaskan langkah- langkah diagnosis sesuai dengan scenario !
4. Sebutkan dan jelaskan diagnosis banding sesuai dengan scenario !
5. Apa saja tatalaksana awal pada seknario ?
6. Jelaskan komplikasi yang terkait dengan skenario !
7. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan sesuai dengan scenario ?
 PEMBAHASAN :

1. Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori


dari tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang
menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh. Penelitian
yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu makan dan tingkat
kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral
(neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi,lingkungan, dan
sinyal psikologis. Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh
hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu pengendalian rasa lapar dan
kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi
hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui
sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan
sinyal aferen dari perifer (jaringan adiposa, usus dan jaringan otot).
Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta
menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik
(anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2
kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek
mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan
faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh
kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar.
Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang
mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi .
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan
adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam
peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di
hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga
terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan
energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan
terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang
menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita
obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak
menyebabkan penurunan nafsu makan

Referensi : Sloane E. Anatomidanfisiologiuntukpemula. Jakarta:


penerbitBukuKedokteran EGC; 2004
2. Faktor penyebab berat badan meningkat
a. Kelebihan makanan
Kegemukan hanya mungkin terjadi jika terdapat kelebihan
makanan dalam tubuh, terutama bahah makanan sumber energi. Dengan
kata lain, jumlah makanan yang dimakan melebihi kebutuhan tubuh.
b. Kekurangan aktifitas dan kemudahan hidup
Kegemukan dapat terjadi bukan hanya karena makanan berlebih,
tetapi juga karena aktifitas fisik berkurang, sehingga terjadi kelebihan
energi. Berbagai kemudahan hidup juga menyebabkan berkurangnya
aktifitas fisik, serta kemajuan teknologi diberbagai bidang kehidupan
yang tidak memerlukan kerja fisik yang berat.

c. Faktor psikologik dan Genetik


Faktor psikologik sering juga disebut sebagai faktor yang
mendorong terjadinya obesitas. Gangguan emosional akibat adanya
tekanan psikologik atau lingkungan kehidupan masyarakat yang
dirasakan tidak menguntungkan. Saat seseorang merasa cemas, sedih,
kecewa atau tertekan, biasanya cenderung mengkonsumsi makanan
lebih banyak untuk mengatasi perasaan-perasaan tidak menyenangkan
tadi.
d. Pola konsumsi makanan
Pola makanan masyarakat perkotaan yang tinggi kalori dan
lemak serta rendah serat memicu peningkatan jumlah penderita obesitas.
Masyarakat diperkotaan cenderung sibuk, biasanya lebih menyukai
mengkonsumsi makanan cepat saji, dengan alasan lebih praktis.
Meskipun, mereka mengetahui bahwa nilai kalori yang terkandung
dalam makanan cepat saji sangat tinggi, dan didalam tubuh kelebihan
kalori akan diubah dan disimpan menjadi lemak tubuh.
e. Kebudayaan
Bayi-bayi yang gemuk biasanya dianggap bayi yang sehat.
Banyak orang tua yang berusaha membuat bayinya sehat dengan cara
memberikan terlalu banyak susu, yang biasa diberikan adalah susu botol
atau formula. Bayi yang terlalu gemuk pada usia enam minggu pertama
akan cenderung tumbuh menjadi remaja yang gemuk. Beberapa studi
menunjukkan bahwa 80% dari anak-anak yang kegemukan akan tumbuh
menjadi anak dewasa yang kegemukan juga.
f. Faktor Hormonal
Menurut hipotesa para ahli, Depo Medroxy Progesteron acetat
(DAMP) merangsang pusat pengendalian nafsu makan dihipotalamus
yang menyebabkan akseptor makan lebih banyak dari pada biasanya.
Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makanan terletak pada suatu
bagian otak yang disebut hipotalamus. Hipotalamus mengandung lebih
banyak pembuluh darah dari daerah lain otak, sehingga lebih mudah
dipengaruhi oleh unsur kimiawi darah. Dua bagian hipotalamus yang
mempengaruhi penyerapan makanan yaitu hipotalamus lateral (HL)
yang menggerakkan nafsu makan (awal atau pusat makan), hipotalamus
ventromedial (HVM) yang bertugas menggerakkan nafsu makan
(pemberian pusat kenyang). Dari hasil suatu penelitian didapat bahwa
jika HL rusak atau hancur maka individu menolak untuk makan atau
minum (diberi infus).
Sedangkan kerusakan pada bagian HVM maka seseorang akan
menjadi rakus dan kegemukan. Pada penggunaan progesteron yang
lama (jangka panjang) menyebabkan pertambahan berat badan akibat
terjadinya perubahan anabolik dan stimulasi nafsu makan.
g. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang menjadi


gemuk. Jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap
gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut
cenderung untuk menjadi gemuk.

Referensi : Turner, C.D., and J.T. Bagnara, tanpa tahun, Endokrinologi


Umum, terjemahan Harsoyo, Surabaya :airlangga university

3. Langkah-langkah diagnosis

a) Anamnesis

1) Identitas, meliputi nama lengkap pasien, umur, jenis kelamin, alamat,


dan pekerjaan. Identitas perlu ditanyakan untuk mengarahkan
diagnosis.
= Seorang Laki-Laki 38 Tahun
2) Keluhan Utama, Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien
sehingga rnernbawa pasien pergi ke dokter atau rnencari pertolongan.
Dalam rnenuliskan keluhan utama, harus disertai dengan indikator
waktu, berapa lama pasien rnengalami hal tersebut.
= Kelebihan berat badan
3) Onset atau awal mula keluhan. Untuk kasus ini gali apakah terjadi
peningkatan berat badan yang signifikan atau tidak.
= Yang dialami sejak masa remaja dan semakin bertambah
4) Riwayat Penyakit sekarang. Riwayat perjalanan penyakit merupakan
cerita yang kronologis, terinci dan jelas rnengenai keadaan kesehatan
pasien sejak sebelurn sakit sampai pasien datang berobat.
5) Riwayat Penyakit Dahulu. Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan
adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan
penyakitnya sekarang.
6) Anamnesis sistem organ, bertujuan mengumpulkan data-data positif
dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien
berdasarkan sistem organ yang terkena.
= Pasien sulit mengendalikan nafsu makan dan tidak rutin berolahraga
7) Riwayat Penyakit Keluarga. Penting untuk mencari kemungkinan
penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. Pada penyakit yang
bersifat kongenital, perlu juga ditanyakan riwayat kehamilan dan
kelahiran.
= Kedua orang tua mengalami kelebihan berat badan.

8) Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan


kebiasaan. Pada pasien perlu juga dilakukan anamnesis gizi yang
seksama, meliputi jenis makanan, kuantitas, dan kualitasnya. Perlu
ditanyakan pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan
sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya.
Kebiasaan pasien yang juga harus ditanyakan adalah aktivitas dan
kebiasaan minum alcohol

Referensi : Aman, Makbul dan Sanusi , Himawan.2017.Buku Panduan Kerja


keretampilan Anamnesis Kasus Endokrin Dan Metabolik Dm tipe 2 . Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin

Pemfis

Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital


 Denyut Nadi (Berhubungan dengan Metabolisme)
 Tekanan Darah (Berhubungan dengan kejadian dislipidemia) =
130/80 mmHg
 Frekuensi Pernapasan (Menilai adanya komplikasi Obesitas seperti
sesak napas atau komplikasi kardiovaskuler)

Inspeksi
a) Apakah tampak kelemahan berat, sedang atau ringan
b) Bentuk dan proporsi tubuh (kurus atau gemuk)
= Gemuk
c) Xanthoma berwarna merah kekuningan pada kelopak
mata, telapak tangan, siku, bokong, atau pada sarung
Tendon Achilles. Xanthoma merupakan deposit lipid.
d) Amati daerah leher, warna kulit sekitar leher apakah t
erjadi hipo/hiper pigmentasi kemudian amati apakah
merata atau tidak.
e) Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,
hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering,
dan bekas lokasi penyuntikan insulin untuk penderita DM).
f) Abdomen yang membuncit dalam keadaan normal dapat
terjadi pada pasien gemuk. Pada keadaan patologis,
abdomen membuncit disebabkan oleh ileus paralitik, ileus
obstruktif, meteorismus, asites, kistoma ovarii, dan
kehamilan.
g) Striae (garis) kemerahan dapat terlihat pada Cushing
Syndrome.
= Acanthosis nigricans (+)

Palpasi
a. Evaluasi nadi secara palpasi, apakah takikardi atau bradikardi.
Penderita obesitas umumnya mengalami peningkatan denyut
nadi (takikardi).
b. Palpasi dinding abdomen sangat penting untuk menentukan
ada tidaknya kelainan dalam rongga abdomen.

Perkusi

Perkusi abdomen untuk menentukan penyebab distensi abdomen: penuh


gas (timpani), massa tumor (redup-pekak) dan asites.

Auskultasi
a. Auskultasi pada daerah leher di atas tiroid dapat
mengidentifikasi bunyi “bruit”. Bunyi yang dihasilkan akibat
adanya turbulensi pada arteri tiroidea.
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan
darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik.

Referensi : Sutejo, IR & Purwandhono, A. 2016. Modul Keterampilan


Klinik Dasar. Fakultas Kedokteran Universitas Jember.)

Pemeriksaan Antropometri

1) Pemeriksaan tinggi badan

Pemeriksaan tinggi badan penting untuk mengetahui apakah pasien


mengalami masalah pertumbuhan yang tidak sejalan dengan umur.
Pemeriksaan menggunakan microtoise. = Tinggi badan : 155cm

2) Pemeriksaan berat badan

Pemeriksaan berat badan penting untuk mengetahui peningkatan berat


badan pasien selama mengalami keluhan. Pemeriksaan menggunakan
spring balance scale.

= Berat badan : 90 kg

3) Menghitung IMT

IMT penting diketahui setiap penderita penyakit endokrin agar dapat


menurunkan berat badan jika obes dan mempertahankan berat badan
jika normal. Rumus menghitung IMT:

BB (kg)
IMT = TB2 (m)

90 𝑘𝑔
= IMT = 1,552 𝑚 = Obesitas Grade 2

4) Pengukuran lingkar perut

Pengukuran lingkar perut bertujuan untuk melihat apakah pasien


mengalami penumpukan lemak visceral. Pengukuran lingkar perut
dimulai dari titik tengah kemudian sejajar horizontal melingkari
pinggang dan perut kembali menuju titik tengah di awal
pengukuran. Apabila pasien mengalami perut gendut ke bawah,
pengukuran mengambil bagian yang paling buncit kemudian berakhir
pada titik tengah tersebut lagi.
Lngkar pinggang : 105 cm = Obesitas sentral.

Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan glukosa darah


- Menghitung kadar kortisol (glucokortikoid )

Dexametahsone test (1 mg dexamethasone pada malam hari , cek


kadar Kortisol dari urin pada pagi hari) paling bagus buat screening.
Kadar kortisol normal : (Dewasa)

Pagi : 5-32 mcg/dL atau 138-635 nmol/L

Sore-malam : 3-16 cmg atau 83-441 nmol/L

Imaging (X-ray atau CT scan) buat melihat adrenal tumor atau


sumber ektopik dari ACTH

Referensi : PERKENI. Indonesia, P. E. (2015). Pengelolaan dan Pencegahan


Diabetes Melitus Tipe 2 di I donesia. PB. PERKENI. 2015

4. DIABETES MELITUS TIPE II


 Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
 Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin),
sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa),
dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting
dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena
dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang: 1. Pengobatan harus
ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk
menurunkan HbA1c saja 2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus
didasari atas kinerja obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal


(omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2
ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik
yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat
dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam 8 |
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 –
2015 keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang
menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari
insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam
lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA
akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan
ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus
dan berakibat meningkatkan glukosa darah Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 – 2015 | 9 setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang
berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α
berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya
di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu
yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau
menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor
dan amylin.
7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat
kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di
tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah
salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada
individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
 Etiologi

 Manifestasi Klinis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: • Keluhan klasik DM:
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. • Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

 Diagnostik
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-
jam<140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil
pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma
puasa<100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%

Berikut adalah tael hasil pemeriksaan laboratorium untuk tes diagnostic dan
penyaring:

 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti

hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada
keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya:
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya
ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
Non-farmakologi:
- Edukasi
- Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan DM secara holistic
- Terapi Nutrisi Medis
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif(A). Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM
sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM (A).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama
pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin
atau terapi insulin itu sendiri.
Karbohidrat (Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi), Lemak (Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan
kalori),Protein (Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi).

Farmakologi

- Obat Antihiperglikemia Oral Berdasarkan cara kerjanya, obat


antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea dan glinid.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
Metformin dan Tiazolidindion (TZD).
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
Penghambat Alfa Glukosidase yaitu Acarbose, penghambat DPP-IV
(Dipeptidyl Peptidase IV yaitu Sitagliptin dan Linagliptin, dan
penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2) yaitu
Canagliflozin.
- Obat Antihiperglikemia Suntik Termasuk anti hiperglikemia suntik,
yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1 (5)
Referensi : PERKENI. Indonesia, P. E. (2015). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di I donesia. PB. PERKENI. 2015

Sindroma Metabolik
A. Pendahuluan
Sindroma Metabolik (SM) merupakan kelainan metabolik kompleks yang
diakibatkan oleh peningkatan obesitas. Komponen utama SM adalah obesitas,
resistensi insulin, dislipidemia, dan hipertensi. Sindrom metabolik merupakan
kumpulan dari faktor–faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular.
Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang
berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler
artherosklerotik. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia
aterogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma,
keadaan prototrombik, dan proinflamasi.
B. Kriteria
Hingga saat ini ada 3 definisi SM yang telah di ajukan, yaitu definisi World
Health Organization (WHO), NCEP ATP–III dan International Diabetes
Federation (IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang
sama dengan penentuan kriteria yang berbeda.
Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama WHO menyampaikan definisi
SM dengan komponen – komponennya antara lain : (1) gangguan pengaturan
glukosa atau diabetes (2) resistensi insulin (3) hipertensi (4) dislipidemia
dengan trigliserida plasma >150 mg/dL dan/atau kolesterol high density
lipoprotein (HDL–C) <35 mg/dL untuk pria; <39 mg/dL untuk wanita; (5)
obesitas sentral (laki–laki: waist to–hip ratio >0,90; wanita: waist–to–hip ratio
>0,85) dan/atau indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2; dan (6)
mikroalbuminuria (Urea Albumin Excretion Rate >20 mg/min atau rasio
albumin/kreatinin >30 mg/g). Sindrom metabolik dapat terjadi apabila salah
satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir terdapat pada
individu tersebut, Jadi kriteria WHO 1999 menekankan pada adanya toleransi
glukosa terganggu atau diabetes mellitus, dan atau resitensi insulin yang disertai
sedikitnya 2 faktor risiko lainya itu hipertensi, dislipidemia, obesitas sentral dan
mikroalbuminaria.
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP–
ATP III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati,
antara lain: lingkar perut pria >102 cm atau wanita >88 cm; hipertrigliseridemia
(kadar serum trigliserida >150 mg/dL), kadar HDL–C <40 mg/dL untuk pria,
dan <50 mg/dL untuk wanita; tekanan darah >130/85 mmHg; dan kadar glukosa
darah puasa >110 mg/dL. Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu
obesitas central menjadi indikator utama terjadinya SM sebagai dasar
pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005.
Seseorang dikatakan menderita SM bila ada obesitas sentral (lingkar perut >90
cm untuk pria Asia dan lingkar perut >80 cm untuk wanita Asia) ditambah 2
dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida >150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang
dalam pengobatan untuk hipertrigliseridemia; (2) HDL–C: <40 mg/dL (1,03
mmol/L) pada pria dan <50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang
dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL–C; (3) Tekanan darah:
sistolik >130 mmHg atau diastolik >85 mmHg atau sedang dalam pengobatan
hipertensi; (4) Gula darah puasa (GDP) >100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau
diabetes tipe 2. Hingga saat ini masih ada kontroversi tentang penggunaan
kriteria indikator SM yang terbaru tersebut.
Kriteria diagnosis NCEP–ATP III menggunakan parameter yang lebih
mudah untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan
lebih mudah mendeteksi sindroma metabolik. Yang menjadi masalah adalah
dalam penerapan kriteria diagnosis NCEP– ATP III adalah adanya perbedaan
nilai “normal” lingkar pinggang antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu
pada tahun 2000 WHO mengusulkan lingkar pinggang untuk orang Asia =90
cm pada pria dan wanita = 80 cm sebagai batasan obesitas central.
Belum ada kesepakatan kriteria sindroma metabolik secara international,
sehingga ketiga definisi di atas merupakan yang paling sering digunakan. Tabel
berikut menggambarkan perbedaan ketiga definisi tersebut.
C. Etiologi
Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan
bahwa penyebab primer dari SM adalah resistensi insulin. Menurut pendapat
Tenebaum
penyebab sindrom metabolik adalah:
a) Gangguan fungsi sel ß dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi
resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler
(komplikasi jantung).
b) Kerusakan berat sel ß menyebabkan penurunan progresif sekresi
insulin, sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan
komplikasi mikrovaskuler (nephropathy diabetica).

Sedangkan, Faktor risiko untuk Sindrom Metabolik adalah hal–hal dalam


kehidupan yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini,
antara lain:
a) Umur
Seiring dengan peningkatan umur, prevalensi sindrom metabolik semakin
meningkat. Usia lanjut dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat
kurang dari 60% dari total energi sebab peningkatan konsumsi karbohidrat
akan meningkatkan resistensi insulin terutama dalam populasi usia lanjut.
b) Genetik
Kemungkinan seorang anak obesitas 40% bila salah seorang dari
orangtuanya obesitas dan sebesar 80% jika kedua orang tuanya obesitas
serta 7% jika kedua orangtuanya tidak obesitas
c) Jenis kelamin
Prevalensi sindrom metabolik hampir sama antara pria dan wanita. Namun
prevalensi untuk pria lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hal
tersebut disebabkan pria mempunyai lingkarpinggang yang lebih besar
dibandingkan wanita yang merupakan salah satu tanda adanya obesitas
sentral
d) Lingkar Pinggang
Pengaruh lingkar pinggang terhadap sindrom metabolik berkaitan dengan
keadaan obesitas sentral yang meningkatkan risiko sindrom metabolik.
Pada pria ukuran lingkar pinggang =90 cm dan wanita =80 cm berisiko
terhadap sindrom metabolik.
e) Asupan gizi
Konsumsi tinggi karbohidrat >60 % dari total kalori yang dikonsumsi
meningkatkan risiko sindrom metabolik. Konsumsi tinggi karbohidrat
meningkatkan kadar trigliserida yang merupakan salah satu kriteria
sindrom metabolik.
f) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan faktor yang menentukan perkembangan sindrom
metabolik sebab mempengaruhi obesitas dan distribusi lemak serta proses
inflamasi yang berhubungan dengan risiko penyakit kardiovascular pada
usia lanjut.
g) Psikologi
Faktor psikologis dapat menimbulkan terjadinya obesitas karena adanya
emosional yang tidak stabil. Hal tersebut menyebabkan individu cenderung
untuk melakukan pelarian diri (self mechanism defense) berupa
mengonsumsi makanan yang mengandung kalori dan kolesterol tinggi
dalam jumlah yang berlebihan.
h) Sosial-Ekonomi
Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi
tertentu, terutama di perkotaan menyebabkan adanya perubahan pola
makan dan pola aktivitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah
populasi obesitas yang merupakan faktor risiko sindrom metabolik.
i) Merokok
Orang yang merokok 20 batang atau lebih perhari dapat meningkatkan efek
dua faktor utama risiko yaitu hipertensi dan hiperkolesterol serta
mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk
perempuan, dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok
D. Patomekanisme

Obesitas merupakan komponenutama kejadian SM, namun


mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti
dengan meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan produksi
Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel
adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan
keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu, sehingga enzim
antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres
oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan
adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan
aterosklerosis.
Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi
penyakit antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes
melitus tipe 2, biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat
hiperglikemia. Stress oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya
disfungsi endotel–angiopati diabetic, dan pusat dari semua angiopati diabetik
adalah hiperglikemia yang menginduksi stress oksidatif melalui 3 jalur, yaitu;
peningkatan jalur poliol, peningkatan auto–oksidasi glukosa dan peningkatan
protein glikosilat.
Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat
pengambilan glukosa di sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin
oleh sel–ß pankreas. Stres oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding
vaskular sehingga berperan penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe
2 dan aterosklerosis.Dari beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak
pada obesitas dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan
peningkatan ekspresi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase
(NADPH) oksidase dan penurunan ekspresi enzim antioksidan.Resistensi
Insulin dan hipertensi sistolik merupakan faktor yang menentukan terjadinya
disfungsi endotel. Resistensi Insulin menyebabkan menurunnya produksi Nitric
Oxide (NO) yang dihasilkan oleh sel–sel endotel, sedangkan hipertensi
menyebabkan disfungsi endotel melalui beberapa cara seperti; secara kerusakan
mekanis, peningkatan sel–sel endotel dalam bentuk radikal bebas, pengurangan
bioavailabilitas NO atau melalui efek proinflamasi pad sel–sel otot polos
vaskuler. Disfungsi endotel ini berhubungan dengan stres oksidatif dan
menyebabkan penyakit kardiovaskuler. Proses–proses seluler yang penting
yang berkenaan dengan disfungsi endotel ini dapat dilihat pada gambar:
E. Tatalaksana
a) Non-Farmakologi

1. Latihan Fisik, otot rangka merupakan jaringan yang paling


sensitif terhadap insulin di dalam tubuh, dan merupakan target utama
terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti dapat menurunkan
kadar lipid dan resitensi insulin di dalam otot rangka. Pengaruh latihan
fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24-48 jam dan hilangan
dalam 3 sampai 4 hari. Jadi, aktivitas fisik teratur hendaklah merupakan
bagian dari usaha untuk memperbaiki resistensi insulin
2. Diet, sasaran utama dari diet terhadap sindrom metabolik adalah
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. Studi
dari The Coronary Artery Risk Development In Young Adult
mendapatkan bahwa konsumsi produk-produk rendah lemak dan garam
disertarti dengan penurunan resiko sindrom metabolik yang signifikan.
3. Edukasi, dokter diharapkan dapat mengetahui pengetahuan
pasien tentang hubungan gaya hidup dengan kesehatan, yang kemudian
memberikan pesan-pesan tentang peranan diet dan latihan fisik yang
teratur dalam menurunkan resiko penyulit dari sindrom metabolik.
b) Farmakologi
1. Antidiabetik, Thiazolidinediones
 Rosiglitazone (Avandia) hanya tersedia melalui program
akses terbatas.Ini adalah sensitizer insulin dengan efek utama
dalam stimulasi ambilan glukosa di otot skelet dan jaringan
adiposa. Ini menurunkan kadar insulin plasma dan digunakan
untuk mengobati diabetes tipe 2 yang terkait dengan resistensi
insulin.
 Pioglitazone (Actos) meningkatkan respon sel target
terhadap insulin tanpa meningkatkan sekresi insulin dari
pankreas. Ini menurunkan output glukosa hati dan
meningkatkan insulin tergantung glukosa digunakan dalam otot
rangka dan, mungkin, di hati dan jaringan adiposa.
2. Antidiabetic, Biguanide
 Metformin mengurangi output glukosa hati, menurunkan
penyerapan glukosa pada usus, dan meningkatkan ambilan
glukosa dalam jaringan perifer (otot dan adiposit). Ini adalah
obat besar untuk digunakan pada pasien yang mengalami
obesitas dan memiliki diabetes tipe 2.Metformin meningkatkan
penurunan berat badan dan meningkatkan profil lipid dan
integritas vaskular.Individualisasikan pengobatan dengan
monoterapi atau dalam kombinasi dengan insulin atau
sulfonilurea.
 Agen Penurun Lipid, Statin
Manajemen peningkatan LDL-C termasuk pertimbangan semua
statin (3-hidroksi-3-methylglutaryl coenzyme A [HMG-CoA]
reduktase inhibitor) pada semua rentang yang ditunjukkan,
karena ada beberapa formulasi yang tersedia dengan dosis dan
potensi yang berbeda.Statin mempengaruhi profil lipid secara
menguntungkan dan memberikan kemungkinan manfaat
pleiotropik.Pilihan obat dan dosis harus didasarkan pada
pedoman tetapi individual untuk pasien. Contoh golongan
obatnya yaitu: Atorvastatin (Lipitor), Rosuvastatin (Crestor),
Fluvastatin (Lescol, Lescol XL), Lovastatin (Altoprev,
Mevacor).
 ACE Inhibitor
Inhibitor ACE mencegah konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II, vasokonstriktor kuat, dan sekresi aldosteron yang
lebih rendah. Mereka adalah obat yang efektif dan ditoleransi
dengan baik tanpa efek buruk pada tingkat lipid plasma atau
toleransi glukosa.Mereka mencegah perkembangan nefropati
diabetik dan bentuk glomerulopati lainnya tetapi tampaknya
kurang efektif pada pasien kulit hitam daripada pasien kulit
putih. ACE inhibitor dikontraindikasikan pada kehamilan. Batuk
dan angioedema kurang umum dengan anggota baru kelas ini
dibandingkan dengan captopril.Konsentrasi serum potasium dan
kreatinin serum harus dipantau untuk pengembangan
hiperkalemia dan azotemia.Contoh agen dari kelas ini termasuk
kaptopril, lisinopril, dan enalapril.
 Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs)
ARB menurunkan tekanan darah dengan memblokir reseptor
akhir (yaitu, angiotensin II) pada sumbu renin-
angiotensin.Seperti ACE inhibitor, mereka kontraindikasi pada
kehamilan.Kadar elektrolit dan kreatinin serum harus dipantau.
Contoh obatnya adalah Irbesartan, Losartan, dan Valsartan.
 Agen Antiplatelet, Kardiovaskular
Golongan obat ini menghambat agregasi platelet. Aspirin
(Ecotrin, Ascriptin, Bayer Aspirin, Buffinol) adalah penghambat
sintesis prostaglandin dan agregasi platelet yang lebih kuat
daripada turunan asam salisilat lainnya.Kelompok asetil
bertanggung jawab untuk inaktivasi siklooksigenase melalui
asetilasi. Aspirin menghambat agregasi trombosit dengan
menghambat siklooksigenase trombosit.Aspirin dapat digunakan
dalam dosis rendah untuk menghambat agregasi trombosit dan
memperbaiki komplikasi dari stasis vena dan trombosis.Ini
mengurangi kemungkinan infark miokard dan juga sangat efektif
dalam mengurangi risiko stroke.Pemberian aspirin secara dini
pada pasien dengan infark miokard akut dapat mengurangi
mortalitas jantung pada bulan pertama.

Referensi : Rini, Sandra. Sindrom Metabolik. J MAJORITY Volume 4 Nomor 4.


Universitas Lampung. 2015. hal. 88-92

Cushing syndrome

 Definisi

Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolik
gabungan dari peninggian kadar glukokortikoid dalam darah yang menetap.
Kadar yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemeberian
dosis farmakologik senyawa-senyawa glukokortikoid
 Etiologi

Endogen :

 ACTH Dependent :

 Cushing’s disease (90% berasal dari adenoma hipofisis)

 Ectopic ACTH secretion : Biasanya kanker2 baik jinak maupun ganas


dapat mensekresikan hormon ACTH, cth : kanker paru (Small cell
lung carcinoma), kanker pancreas *Pada ectopic ACTH secretion
gejala yang timpul kadang bersifat atipikal dan dapat menyerupai
penyakit addison dibanding sindrum cushing

 ACTH independent :

 Adrenal adenoma

 Adrenal carcinoma

 Adrenal hyperplasia

 Mc-Cune Albright syndrome

Eksogen : Pemberian obat2an glukokortikoid (Cth : Dexamethasone,


hydrocortisone, prednisone) secara berlebihan.

 Patofisiologi

Kebanyakan kasus, pasien memiliki penyakit adenoma hipofisis.


Dimana hipofisi akan memproduksi ACTH yang berlebihan dan
merangsang kelenjar adrenal secara terus menerus.

Pajanan jangka panjang terhadap glukokortikoid (baik yang endogen


maupun eksogen) akan menyebabkan efek suprafisiologis dari
glukokortikoid pada tubuh.

Glukokortikoid meningkatkan gula darah dengan cara meningkatkan


glukoneogenesis, hal ini membuat glukosa darah banyak yang ditumpuk
menjadi lemak (bisa di berbagai regio tubuh). Kadar Glukokortikoid
yang tinggi juga menekan sistem imun (inflamasi) sehingga tubuh lebih
rentah terkena infeksi.

Mekanisme negatif feedback tetap terjadi pada kasus2 adenoma


hipofisis walaupun tidak sempurna seperti hipofisis normal, sedangkan
pada kasus sekresi ACTH ectopic mekanisme feedback tidak terjad
 Tanda dan gejala

 Peningkatan berat badan (Centripetal obesity / central obesity)

 Muka jadi bengkak (Face)

 Penumpukan lemak di beberapa regio tubuh, jika di bagian Thoraco-


cervical spine, maka membentuk gambaran Buffalo hump

 Hirsutism (adanya pertumbuhan rambut abnormal pada wajah dan


badan , terutama pada wanita)

 Facial plethora (muka menjadi kemerahan)

 Mudah mengalami lebam

 Menstruasi irregular

 Beberapa gangguan psikologis (Depresi , gangguan kognitif, labilitas


emosi)

 Pemeriksaan diagnostic

Menghitung kadar plasma cortisol (glucocorticoid) , pada orang normal


akan ada irama sikardian dimana kortisol disekresikan tinggi pada pagi
hari dan menurun pada malam hari, pada orang dengan sindrom cushing
irama sikardian ini tidak ada. Metode lain dapat mengukur Kortisol di
saliva.

Dexametahsone test (1 mg dexamethasone pada malam hari , cek kadar


Kortisol dari urin pada pagi hari) paling bagus buat screening. Kadar
kortisol normal : (Dewasa)

Pagi : 5-32 mcg/dL atau 138-635 nmol/L

Sore-malam : 3-16 cmg atau 83-441 nmol/L

Imaging (X-ray atau CT scan) buat melihat adrenal tumor atau sumber
ektopik dari ACTH

 Pencegahan
Pencegahan yang diupayakan untuk menghindari Sindrom Cushing
adalah memperhatikan dosis pemakaian obat golongan steroid yang
diberikan dan hindari pemakaian obat golongan ini secara berlebihan.
Pasien bisa berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan hasil terapi
yang baik, sehingga bisa meminimkan efek untuk terkena Sindrom
Cushing.

 Penatalaksanaan

Surgery (pada adenoma, carcinoma atau sumber ektopik ACTH)


Adrenalectomy Metyrapone (Menurunkan kadar Cortisol dengan cara
menghambat 11-β hydroxylase sehingga yang beredar di dalam darah
adalah prekursor2 dari kortisol)

 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada sindrom cushing adalah:


Penyakit arteri koroner, terjadi karena hipertensi berat. Infeksi berat,
terjadi jika pasien mengalami diabetes melitus dan mengalami luka,
sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berat. Penyakit serebro
vaskuler(cerebro vaskuler desease/CVD).

 Prognosis

Jika tidak diobati secara adekuat, Sindrom Cushing secara signifikan


meningkatkan morbiditas dan mortalitas dan survival median dari
pasien hanya sekitar 4,6 tahun. Dari beberapa studi didapatkan angka
kematian pada sindrom cushinf non malignansi sekitar 2-4 kali
dibandingkan dengan populasi normal, sementara sindrom cushing
dengan penyakit dasar keganasan prognosisnya sangat buruk, umumnya
meninggal selama dalam usaha pengobatan awal. Perlu juga dipahami
bahwa pasien yang gagal dengan operasi kematiannya 5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi normal jika dibandingkan dengan pasien
yang remisi dengan operasi.

Referensi : Siti Setiati, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid II.
Jakarta:Interna Publishing.Halaman 2480-2485)

5. Penatalaksanaan awal
Tujuan Penurunan Berat Badan

Penurunan berat badan harus SMART: Spesific, Measurable,


Achievable, Realistic and Time limited. Tujuan awal dari dari terapi
penurunan berat badan adalah untuk mengurangi berat badan sebesar sekitar
10 persen dari berat awal.

Batas waktu yang masuk akal untuk penurunan berat badan sebesar 10
persen adalah 6 bulan terapi. Untuk pasien overweight dengan rentang BMI
sebesar 27 sampai 35, penurunan kalori sebesar 300 hingga 500 kcal/hari akan
menyebabkan penurunan berat badan sebesar sampai 1 kg/minggu dan
penurunan sebesar 10 persen dalam 6 bulan.

Setelah 6 bulan, kecepatan penurunan berat badan lazimnya akan melambat


dan berat badan menetap karena sseiring dengan berat badan yang berkurang
terjadi penurunan energi ekspenditure.

Oleh karena itu, setelah terapi penurunan berat badan selama 6 bulan,
program penurunan berat badan harus terus dilakukan. Jika dibutuhkan
penurunan berat badan lebih banyak, dapat dilakukan penyesuaian lebih lanjut
terhadap anjuran diet dan aktivitas fisik. Untuk pasien yang tidak mampu
untuk mencapai penurunan berat badan yang signifikan, pencegahan kenaikan
berat badan lebih lanjut merupakan tujuan yang paling penting. Pasien seperti
ini tetap diikutsertakan dalam program manajemen berat badan.

Strategi Penurunan dan Pemeliharaan Berat Badan :

• Terapi Diet

Terapi diet ini harus dimasukkan ke dalam status pasien overweight.


Hal ini bertujuan untuk membuat defisit 500 hingga 1000 kcal/hari menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari program penurunan berat badan apapun.
Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 1000 kcal/hari
sebaiknya diukur kebutuhan energi basal pasien terlebih dahulu. Pengukuran
kebutuhan energi basal dapat menggunakan rumus dari Harris0-Benedict :

 Laki-laki :
B.E.E = 66.5 + (13.75 × kg) + (5.003 × cm) – (6.775 × age)

 Perempuan :
B.E.E = 655.1 + (9.563 × kg) + (1.850 × cm) – (4.676 × age)

Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah faktor stress
dan aktivitas. Faktor stress ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai lebih
dari 2.

Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang


dan sama dengan 30 persen dari total kalori. Pengurangan persentase lemak
dalam menu sehari-hari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan,
kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas
harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk
menurunkan konsentrasi kolestrol-LDL.
• Aktivitas Fisik

Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program


penurunan berat badan, walaupun aktivitas fisik tidak menyebabkan
penurunan berat badan lebih banyak dalam jangka waktu enam bulan.
Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan
berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan
resiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan dengan
pengurangan berat badan tanpa aktivitas fisik saja. Untuk pasien obes, terapi
harus dimulai secara perlahan, dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara
bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara
bertahap sepanjang hari.Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan
selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan
intesitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan
regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori
per hari dapat di capai.

Regimen ini dapat diadaptasi ke dalam berbagai bentuk aktivitas fisik


lain, tetapi jalan kaki lebih menarik karena kemanannya dan kemudahannya.
Pasien harus dimotivasi untuk meningkatkan aktivitas sehari-hari seperti naik
tangga daripada naik lift. Seiring waktu, pasien dapat melakukan aktivitas
yang lebih berat.

• Terapi perilaku

Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya,


diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat
terapi diet dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan
mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stres,
stimulus control, pemecahan masalah, contigency management, cognitive
restructuring dan dukungan sosial.

Faramakoterapi

Sibutramine dan Orlistat merupakan obat-obatan penurun berat badan


yang telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat, untuk penggunaan jangka
panjang. Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat
berguna.

• Sibutramine

Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti


efektif menurunkan berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian
sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dnegaan riwayat
hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia atau
riwayat stroke

• Orlistat

Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan


pemberian orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi
melabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang
timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter dibutuhkan untuk
mengawasi tingkat efikasi dan kemanan.

Terapi Bedah

Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat


badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis
dengan BMI ≥ 40 atau ≥35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus
dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan
farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem.

Bedah Gastrointestinal (restriksi gastrik [banding vertical gastric] atau


bypass gastric (Roux-en Y) adalah suatu intervensi penurunan berat badan
pada subyek yang bermotivasi dengan risiko operasi yang rendah.

Refererensi : (Bai Y, Zhang S, Kim.,1996, Obes gene experssion alters the ability of
preadipocytes to respond to lipogenic hormones in Ilmu Penyakit Dalam, in Stiati,siti.
(ed): Ilmu Penyakit Dalam, Interna Publishing Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam,
Ponogoro Jakarta Pusat, p.2568-2570).

6. Bagaimana komplikasi dari peningkatan berat badan?


Kenaikan berat badan yang berlebihan berdampak negatif pada
kesehatan bagi para pendertanya. Obesitas berhubungan dengan meningkatnya
angka mortalitas sebanyak 50%- 100% dibandingkan pada individu dengan
berat badan normal, kebanyakan morbiditas dan mortalitas pada pendrita
obesitas disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.

Angka Harapan Hidup pada individu dengan obesitas dapat berkurang


hingga 2 sampai 5 tahun dan pada laki-laki dewasa berusia 20 sampai 30 tahun
dengan IMT > 45 angka harapan hidupnya berkurang sampai 13 tahun.

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah resistensi


insulin, gangguan reproduksi, penyakit kardiovaskular, gangguan pernafasan,
terbentuknya batu empedu, keganasan, penyakit kulit, tulang, dan sendi serta
gangguan psikososial yang dapat timbul karena obesitas. Obesitas berdampak
pada timbulnya rasa rendah diri, cenderung depresif, dan menarik diri dari
lingkungan sekitar. Pada anak-anak sering terjadi hinaan dan ejekan dari teman
sepermainan. Dapat juga terjadi penurunan fungsi kerja akibat terhambat oleh
kondisi fisik pada penderita obesitas. Sedangkan untuk obesitas sentral,
komplikasi yang sering terjadi adalah diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, dan
hiperandrogenisme pada wanita. Semua komplikasi tersebut lebih kuat
berhubungan dengan kelebihan lemak pada intraabdominal dan atau lemak di
bagian atas tubuh dibandingkan dengan obesitas yang distribusi lemak di
seluruh tubuh.

Referensi : Fatimah N. 2014. Perbedaan Antara Obesitas Dan Non Obesitas Terhadap
Kejadian Depresi Pada Ibu Rumah Tangga Di Daerah Kelurahan Cililitan. Uin Syarif
Hidayatullah. Jakarta. Halaman 15.

7. Bagaimana pencegahan dari peningkatan berat badan?

Pencegahan Obesitas.

Dalam melakukan upaya pencegahan diperlukan kerjasama antar lintas


program dan lintas sektor, organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat
lainnya. Upaya-upaya pencegahan tersebut, antara lain adalah : a) Memberikan
informasi tentang manfaat pola hidup sehat; b) Penyebarluasan informasi
tentang obesitas dan dampaknya terhadap kesehatan melalui media cetak
maupun elektronik; c) Mengajak pihak sekolah untuk memberikan pendidikan
tentang pola hidup sehat serta memfasilitasi tersedianya makan sehat dan sarana
untuk melakukan aktifitas fisik ataupun olahraga; d) Mengajak masyarakat
untuk melakukan diet seimbang, melakukan aktifitas fisik dan latihan fisik yang
baik, benar, terukur dan teratur; e) Mendorong tersedianya fasilitas umum yang
bersih dan aman untuk pejalan kaki, bersepeda, tempat bermain untuk anak; f)
Mendorong tersedianya sayur dan buah yang terjangkau oleh masyarakat untuk
menunjang gizi seimbang serta hindari konsumsi obat-obatan untuk
menggemukkan badan.

Pengendalian Obesitas

Pengendalian obesitas bertujuan untuk mencapai keadaan sehat dan


memelihara untuk tetap sehat dengan berat badan ideal. Upaya yang dilakukan:
(1) Untuk masyarakat, berupa : a) memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang obesitas dan dampaknya terhadap kesehatan; b)
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pola makan sehat dengan
gizi seimbang; c) Pemahaman tentang aktifitas fisik dan latihan fisik serta
manfaatnya. (2) Untuk petugas puskesmas, dapat melakukan pengendalian
dengan : a) Melakukan identifikasi obesitas, b) Memberikan edukasi tentang
obesitas, memberikan konseling tentang pola hidup sehat, c) Melakukan
dampak obesitas terhadap penyakit-penyakit tidak menular, d) Melakukan
rujukan. (3) Untuk petugas rumah sakit, dapat melakukan pengendalian
dengan : a) Menerima rujukan medic yang meliputi konseling pasien untuk
keperluan diagnostic; b) Pengobatan medikamentosa; c) Psikoterapi, d)
Akupuntur serta tindakan operatif untuk obesitas.

Deteksi Dini Obesitas

Deteksi dini obesitas dilakukan dengan : (1) Melakukan penilaian secara


visual dan anamnesa, yang meliputi : Adanya keluhan (Mengorok/snoring,
nyeri pinggul); Riwayat gaya hidup (pola/kebiasaan makan dan aktifitas);
Riwayat keluarga (orang tua dengan berat badan lebih atau obesitas); Riwayat
mengkonsumsi obat-obatan untuk menggemukkan badan. (2) Pengukuran
Antropometri (Berat Badan/BB, Tinggi Badan/TB dan Lingkar Perut/LP).
Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan untuk mendapatkan nilai
IMT yang nantinya digunakan dalam menentukan derajat obesitas. Penilaian
IMT menggunakan rumus : IMT = BB/Kg) : TB (m²). pengukuran indeks massa
tubuh ini tidak dapat dilakukan pada orang hamil, binaragawan, edema dan
ascites. Pengukuran lingkar perut : pada umumnya yang diukur adalah lingkar
pinggang, apabila dalam pengukuran sulit dilakukan maka dapat dilakukan
pengukuran lingkar perut. Ukuran normal : untuk laki-laki ≤ 90 cm dan
perempuan ≤ 80 cm. (3) Pemeriksaan lanjutan. Pemeriksaan lanjutan dilakukan
jika mempunyai riwayat keluarga atau dicurigai telah terdapat penyakit
penyerta. Pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan : tekanan darah, gula
darah, trigliserida, kolesterol High Density Lipoprotein (HDL), kolesterol Low
Density Lipoprotein (LDL) dan asam urat

Penatalaksanaan Obesitas

Penatalaksanaan obesitas bertujuan untuk menurunkan berat badan


serta menurunkan risiko penyakit penyerta obesitas. Dalam melakukan
penatalaksanaan obesitas diperlukan motivasi yang kuat dari pasien, dukungan
keluarga dan lingkungan social. Penurunan berat badan dapat dilakukan dengan
menciptakan deficit energy dengan mengurangi asupan energy atau menambah
penggunaan energy disertai dengan upaya menambah penggunaan energy
antara lain dengan berolahraga teratur. Namun penurunan berat badan dengan
program seperti tersebut jarang bertahan, karena biasanya setelah program
selesai berat badan sering kembali lagi ke berat badan semula, bahkan melebihi
berat badan sebelum mengikuti program. Oleh karenanya, hasil penurunan
berat badan akan lebih bertahan bila program disertai dengan mengubah gaya
hidup (life style) berupa pola perilaku makan dan pola perilaku dalam aktifitas
fisik yang menjadi penyebab primer tingginya asupan energy dan rendahnya
penggunaan energy.

Penatalaksanaan obesitas terdiri dari:

(1) Terapi Utama (non medikamentosa), yaitu perubahan gaya hidup (life style)
dengan cara melakukan :

a) Pengaturan pola makan sehat. Pengaturan perilaku makan dilakukan dengan


memotivasi pasien obesitas agar dapat mengikuti pola makan sehat dengan
jumlah protein, vitamin, mineral dan serat yang cukup namun deficit energy.
Hal tersebut dapat dilakukan misalnya dengan membuat jadwal makan yang
terdiri dari 3 kali makan utama dan 2 kali selingan berupa buah-buahan dan
tidak mengkonsumsi makanan lainnya selain yang tercantum di dalam jadwal
makan dan pola makan sehat tersebut.

b) Pengaturan aktivitas fisik. Banyak aktivitas yang dianjurkan untuk obesitas,


misalnya jalan kaki (karena paling murah, paling aman, mudah, membakar
cukup banyak kalori dan dapat dilakukan dimana saja tanpa bantuan alat.

(2) Terapi Tambahan, seperti :

a) Psikoterapi. Psikoterapi dilakukan untuk membantu pasien memotivasi diri


dan melakukan perubahan perilaku pasien. Komponen-komponen yang harus
diperhatikan dalam melakukan perubahan perilaku pada pasien antara lain :
monitoring perilaku oleh diri sendiri, control stimulus, membuat tujuan,
pemecahan maslah, modifikasi pikiran (cognitive restructuring).

b) Farmakoterapi (medikamentosa). Pemberian terapi obat dipertimbangkan


setelah pengaturan makan, aktivitas fisik tidak memberikan hasil maksimal
dalam menurunkan berat badan. Pemberian obat harus dibawah pengawasan
dokter yang kompeten di fasilitas kesehatan yang resmi. Keputusan untuk
memulai menggunakan obat dan pemilihan obat dbuat setelah melakukan
diskusi dengan pasien mengenai keuntungan, kekurangan dan efek samping
obat tersebut. Obat-obat penurunan berat badan bekerja melalui mekanisme,
seperti : mengurangi asupan makan, mengganggu metabolism dengan cara
mempengaruhi proses pre atau pasca absorbs, meningkatkan energy
expenditure.
c) Operatif. Terapi operatif hanya dapat dilakukan pada kondisi khusus dengan
pertimbangan dan pengawasan medis yang kuat dari pihak-pihak yang
berkompeten. Contoh tindakan operatif pada orang dewasa adalah bedah
gastrointestinal atau bypass gastric.

(3) Rujukan Kasus

Jika pada penemuan dini ditemukan gejala dan tanda obesitas yang disertai
penyakit penyerta maka dilakukan rujukan kasus untuk pemeriksaan lebih
lanjut ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penyakit-penyakit yang berhubungan
dengan obesitas adalah : diabetes mellitus tipe 2, penyakit kandung empedu,
dislipedemia, sindrom metabolic, hipertensi, osteoarthritis lutut dan panggul,
asam urat, kanker, abnormal hormone reproduksi, polikistik ovarium syndrome,
perlemakan hati dan low back pain.

Referensi : Ni Nyoman Kristina, SKM, MPH. 2010.Widyaiswara Muda UPT BPKKTK


DIKES Provinsi Bali. Pedoman pengendalian obesitas, Ditjen PP dan PL, Kemenkes
RI, tahun 2010

Anda mungkin juga menyukai