Anda di halaman 1dari 126

KARYA TULIS ILMIAH

LITERATURE REVIEW: EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK AZITROMISIN

DALAM TATALAKSANA CORONAVIRUS DISEASE (COVID) – 19

Disusun Oleh:

Ari Savira Alda

11020170044

Pembimbing

dr. Dwi Anggita, M.Kes

dr. Marzelina Karim

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020

1
2
3
4
5
6

KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirohim

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan lapaoran

penelitian skripsi yang berjudul “Efektivitas Azitromisin dalam

Tatalaksana Coronavirus Disease (COVID) – 19”. Skripsi ini diajukan

untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana

Kedokteran. Skripsi ini dapat terselesaikan atas dukungan dan bimbingan

dari berbagai pihak.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dari isi

maupun tulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca diharapkan

agar dapat menjadi lebih baik kedepannya dan semoga dapat bermanfaat

bagi semua orang.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan

memberikan penghargaan setinggi - tingginya dan secara tulus dan ikhlas

kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Syarifuddin Wahid, Ph. D, Sp. PA (K), Sp. F, DFM sebagai

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

2. dr. Rachmat Faisal Syamsu, M. Kes selaku Koordinator Karya Tulis

Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

3. dr. Dwi Anggita, M. Kes dan dr.Marzelina Karim selaku pembimbing

dengan kesediaan, keikhlasan dan kesabaran senantiasa meluangkan


7

waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama

ini.

4. dr. Arina Fathiyyah Arifin, M.Kes dan dr. Irmayanti Haidir Bima, Sp.PK

selaku penguji yang telah ikhlas meluangkan waktunya, memberikan

petunjuk, saran dan kritikan selama penulisan proposal karya tulis ilmiah

ini.

5. Teristimewa kepada kedua orang tua dan saudara-saudara saya yang

telah memberikan semangat, memfasilitasi dan mengiringi langkah penulis

dengan dukungan moril dan materil serta do’a restu sehingga penulis

dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

6. Terimakasih juga kepada sahabat-sahabat saya teruntuk Ni’ma, Mita,

St.Faadiyah, Odi, Yeyen, Masitha, Putra, Tasya, Vivi, Rega, Rijal, Fikri,

Aulya, dan MDC group yang telah memberikan saya semangat serta doa

sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.

7. Seluruh Keluarga Besar Fakultas Kedokteran Universitas Muslim

Indonesia, teman- teman Calc17onin angkatan 2017 yang saya

banggakan, teman- teman yang telah memberikan dukungan selama ini.

8. Serta seluruh pihak terkait yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu

yang turut mendukung saya selama ini.

Semoga amal budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan

rahmat yang melimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


8

Sebagai manusia biasa penulis menyadari sepenuhnya akan

keterbatasan baik dalam penguasaan ilmu maupun pengalaman

penelitian, sehingga penulisan proposal Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh

dari kesempurnaan. Untuk saran dan kritik yang sifatnya membangun dari

berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnan Karya Tulis Ilmiah

ini. Akhirnya penulis berharap sehingga Karya Tulis Ilmiah ini memberikan

manfaat bagi pembaca.

Aamiin ya robbal alamin

Makassar, 30 Desember 2020

Penulis
9

EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK AZITROMISIN DALAM TATALAKSANA


CORONAVIRUS DISEASE (COVID) – 19

Ari Savira Alda1, Dwi Anggita2, Marzelina Karim3, Arina Fathiyyah


Arifin4, Irmayanti Haidir Bima5
Program Studi Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran UMI
Email: saviraalda29@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) yang
disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2
(SARS-CoV-2) dan dapat ditularkan dari manusia satu ke manusia yang
lain. Pada tanggal 12 Maret, WHO menyatakan bahwa COVID-19 menjadi
pandemik. Kasus pertama COVID-19 ditemukan di China dan saat ini
telah menyebar hingga 221 negara dan teritori lainnya. Dibandingkan
dengan dua jenis coronavirus lainnya, SARS-CoV-2 memiliki kemampuan
menyebar jauh lebih cepat dan memiliki tingkat penularan yang lebih
tinggi. Penelitian pada beberapa obat telah dan sedang dilakukan untuk
mencari pengobatan yang efektif dalam menyembuhkan dan menurunkan
tingkat mortalitas COVID-19, salah satunya adalah azitromisin. Azitromisin
telah terbukti sebagai imunomodulator dan dapat mengurangi eksaserbasi
pada penyakit saluran napas kronis. Azitromisin biasanya digunakan untuk
infeksi saluran pernapasan akibat bakteri dan berpotensi mengobati atau
mencegah koinfeksi SARS-CoV-2. Azitromisin juga telah terbukti sebagai
imunomodulator dan dapat mengurangi eksaserbasi pada penyakit
saluran napas kronis. Tidak hanya efikasi saja yang unggul, Azitromisin
juga tersedia secara luas dan memiliki profil keamanan yang sangat baik,
sehingga apabila terbukti efektif dalam pengobatan COVID-19 Azitromisin
dapat diajukan sebagai pengobatan lini pertama untuk pasien dengan
COVID-19.

Tujuan: Mengetahui efektivitas azitromisin dalam penatalaksanaan


COVID-19.

Metode: Penelitian ini merupakan Literature Review dengan desain


Narrative Review. Hasil: Berdasarkan hasil analisis dari 5 Literatur
menunjukkan bahwa azitromisin memiliki potensi dalam menatalaksana
SARS-CoV-2 dan memiliki mekanisme antivirus dan imunomodulator yang
dapat berperan dalam menatalaksana COVID-19.

Kata Kunci : Covid-19, SARS-CoV-2, Azitromisin.


10

ANTIBIOTIC EFFECTIVENESS OF AZITROMICIN IN CORONAVIRUS


DISEASE (COVID)-19 MANAGEMENT

Ari Savira Alda1, Dwi Anggita2, Marzelina Karim3, Arina Fathiyyah


Arifin4, Irmayanti Haidir Bima5
General Medical Education Study Program, Faculty of Medicine, UMI
Email: saviraalda29@gmail.com

ABSTRACT
Background: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is caused by the
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) virus
and can be transmitted from one human to another. On March 12, WHO
declared that COVID-19 was becoming a pandemic. The first case of
COVID-19 was found in China and has now spread to 221 other countries
and territories. Compared to the other two types of coronavirus, SARS-
CoV-2 has the ability to spread much faster and has a higher transmission
rate. Research on several drugs has been and is being carried out to find
effective treatments in curing and reducing the mortality rate of COVID-19,
one of which is azithromycin. Azithromycin has been shown to be an
immunomodulator and can reduce exacerbations in chronic airway
disease. Azithromycin is commonly used for bacterial respiratory tract
infections and has the potential to treat or prevent SARS-CoV-2 co-
infection. Azithromycin has also been shown to be an immunomodulator
and can reduce exacerbations in chronic airway disease. Not only is it of
superior efficacy, Azithromycin is also widely available and has an
excellent safety profile, so that if it is proven effective in the treatment of
COVID-19 Azithromycin can be proposed as a first-line treatment for
patients with COVID-19.

Objective: To determine the effectiveness of azithromycin in the


management of COVID-19.

Methods: This study is a Literature Review with a Narrative Review


design. Results: Based on the results of the analysis of 5 literatures, it is
shown that azithromycin has potential in managing SARS-CoV-2 and has
antiviral and immunomodulatory mechanisms that can play a role in
managing COVID-19.

Keywords: Covid-19, SARS-CoV-2, Azithromycin.


11

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. 6

ABSTRAK .............................................................................................. 9

DAFTAR ISI ........................................................................................... 11

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 14

1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................. 14

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 17

1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 17

1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................... 17

1.4.1. Manfaat Ilmu Pengetahuan .................................................. 17

1.4.2. Manfaat Klinis ...................................................................... 17

1.4.3. Manfaat Masyarakat ............................................................ 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 18

2.1. Penyakit Coronavirus 2019 ........................................................ 18

2.1.1. Definisi ................................................................................. 18

2.1.2. Epidemiologi ........................................................................ 18

2.1.3. Etiologi ................................................................................. 19

2.1.4. Transmisi ............................................................................. 20

2.1.5. Patogenesis ......................................................................... 21


12

2.1.5.1. Respon Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis

Ringan .......................................................................... 24

2.1.5.2. Respon Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis

Berat.............................................................................. 25

2.1.6. Manifestasi Klinis .................................................................. 26

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang....................................................... 28

2.1.7.1. Pemeriksaan Laboratorium ........................................... 28

2.1.7.2. Pencitraan .................................................................... 28

2.1.7.3. Pemeriksaan Diagnostik SARS-CoV-2 ......................... 30

1. Pemeriksaan Antigen-Antibodi ......................................... 30

2. Pemeriksaan Virologi ....................................................... 30

2.1.8. Diagnosis.............................................................................. 32

2.1.9. Tatalaksana .......................................................................... 34

2.2. Azitromisin .................................................................................. 35

2.2.1. Deskripsi dan Indikasi Azitomisin .......................................... 36

2.2.2. Mekanisme Kerja Azitomisin ................................................. 37

2.2.3. Sediaan Azitomisin .............................................................. 39

2.2.4. Efek Samping dan Toksisitas Azitromisin .............................. 39

2.2.5. Kontraindikasi Azitromisin ..................................................... 40


13

2.2.6. Monitoring Azitromisin ........................................................... 41

2.3. Penggunaan Azitromisin Sebagai Terapi Covid-19 ..................... 41

2.4. Kerangka Teori ........................................................................... 46

2.5. Kerangka Konsep ....................................................................... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN..................................................... 48

3.1. Jenis Penelitian .......................................................................... 48

3.2. Jenis Data .................................................................................. 48

3.3. Kriteria Jurnal ............................................................................. 48

3.4. Alur Penelitian ............................................................................ 49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 50

4.1. Hasil ........................................................................................... 50

4.2. Pembahasan .............................................................................. 57

BAB V KESIMPULAN DAN HASIL ........................................................ 66

5.1. Kesimpulan .................................................................................. 66

5.2. Saran ........................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

LAMPIRAN.............................................................................................
14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) hingga kini masih menjadi

masalah kesehatan bagi seluruh negara di dunia, tidak terkecuali

Indonesia.1 COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus

Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dan

dapat ditularkan dari manusia satu ke manusia yang lain. 1,2 Pada tanggal

12 Maret, WHO menyatakan bahwa COVID-19 menjadi pandemik.3 Kasus

pertama COVID-19 ditemukan di China dan saat ini telah menyebar hingga

221 negara dan teritori lainnya. Pada tanggal 5 Oktober 2020, terdapat

34.804.348 kasus terkonfirmasi positif dan sebanyak 1.030.738 kematian

di dunia. Pada tanggal yang sama, sebanyak 321.000 orang terkonfirmasi

positif COVID-19 dan terdapat 11.580 orang yang meninggal karena

COVID-19 di Indonesia. Walaupun kini pertambahan kasus positif secara

kolektif di dunia cenderung stabil, namun angka kasus positif dan kematian

di Indonesia masih terus meningkat dan belum menunjukkan tanda akan

melandai.4

Dibandingkan dengan dua jenis coronavirus lainnya, SARS-CoV-2

memiliki kemampuan menyebar jauh lebih cepat dan memiliki tingkat

penularan yang lebih tinggi.5 Meskipun COVID-19 dilaporkan memiliki

tingkat mortalitas yang relatif rendah, penyakit ini sangat mematikan


15

khususnya pada kelompok pasien risiko tinggi.6 Selain itu, sampai saat

belum ada vaksin dan pengobatan khusus untuk pasien COVID-19.7

Penelitian pada beberapa obat telah dan sedang dilakukan untuk mencari

pengobatan yang efektif dalam menyembuhkan dan menurunkan tingkat

mortalitas COVID-19, salah satunya adalah azitromisin.8

Azitromisin merupakan antibiotik spektrum luas golongan makrolida

yang memiliki sifat anti-inflamasi. Azitromisin biasanya digunakan untuk

infeksi saluran pernapasan akibat bakteri dan berpotensi mengobati atau

mencegah koinfeksi SARS-CoV-2.9 Azitromisin juga memiliki aktivitas anti-

virus terhadap beberapa virus RNA. Azitromisin telah terbukti efektif secara

in vitro melawan virus seperti Zika dan rhinovirus, serta memiliki efek anti-

virus di sel epitel bronkus. Azitromisin juga telah terbukti sebagai

imunomodulator dan dapat mengurangi eksaserbasi pada penyakit saluran

napas kronis.8 Tidak hanya efikasi saja yang unggul, Azitromisin juga

tersedia secara luas dan memiliki profil keamanan yang sangat baik,

sehingga apabila terbukti efektif dalam pengobatan COVID-19 Azitromisin

dapat diajukan sebagai pengobatan lini pertama untuk pasien dengan

COVID-19.8,9

Sebuah penelitian di Perancis oleh Gautret P et al yang dilakukan

pada tahun 2020 menunjukkan bahwa pemberian kombinasi azitromisin

dan hidroksiklorokuin efektif untuk menurunkan viral load pada pasien

COVID-19.10 Penelitian lain oleh Arshad S et al pada beberapa pusat studi

Michigan Tenggara menunjukkan bahwa pemberian kombinasi azitromisin


16

dan hidroksiklorokuin dikaitkan dengan penurunan tingkat mortalitas

pasien COVID-19.11 Walaupun demikian, penelitian lain oleh Cavalcanti

AB et al pada tahun 2020 yang dilakukan di 55 rumah sakit di Brazil

menyimpulkan bahwa pemberian kombinasi azitromisin dan

hidroksiklorokuin pada pasien rawat inap COVID-19 derajat ringan hingga

sedang tidak menunjukkan perbedaan pada status klinis pasien

dibandingkan dengan pasien yang hanya menerima tatalaksana standar

COVID-19.12 Penelitian oleh Rosenberg ES et al di New York juga

mendapati bahwa pemberian kombinasi azitromisin dan hidroksiklorokuin

tidak menujukkan penurunan tingkat mortalitas yang signifikan pada pasien

COVID-19.13

Perbedaan berbagai hasil penelitian terkait efektivitas azitromisin

dalam pengobatan COVID-19 menimbulkan keraguan bagi klinisi pada

saat mempertimbangkan azitromisin sebagai bagian dari tata laksana

pasien. Dengan demikian, literature review yang membahas tentang

efektivitas antibiotik azitromisin sebagai tata laksana COVID-19 sangat

diperlukan. Hasil dari literature review ini diharapkan dapat memberikan

informasi dan pertimbangan klinis terkait pemberian azitromisin pada

pasien dengan COVID-19.


17

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis menetapkan masalah

penelitian sebagai berikut: “Bagaimana efektivitas azitromisin dalam

penatalaksanaan COVID-19?”.

1.3. Tujuan Penelitian

Mengetahui efektivitas azitromisin dalam penatalaksanaan COVID-

19.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi atau bahan

pertimbangan dalam melakukan penelitian yang serupa.

1.4.2. Manfaat Klinis

Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan bahan

pertimbangan bagi klinisi dalam menata laksana pasien COVID-19.

1.4.3. Manfaat Masyarakat

Dengan adanya hasil penelitian ini, pasien, keluarga, dan

masyarakat mendapatkan informasi terkait penggunaan azitromisin

penatalaksanaan COVID-19.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Coronavirus 2019

2.1.1. Definisi

Penyakit coronavirus 2019 atau coronavirus disease 2019 (COVID-

19) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Severe Acute

Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dan terutama

menyerang saluran pernapasan.2 Kasus pertama COVID-19 merupakan

kasus pneumonia yang terjadi di Wuhan, Hubei, China pada Desember

2019.14 Hingga kini, COVID-19 telah menyebar hingga 221 negara dan

teritori lainnya.4 Pada tanggal 12 Maret 2020, WHO menyatakan bahwa

COVID-19 menjadi pandemik.3

2.1.2. Epidemiologi

Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-

19 di China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal

Februari 2020.1 Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus

terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus dilaporkan dari berbagai

negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka,

Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina, India,

Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman.2

Kasus COVID-19 pertama yang dilaporkan di Indonesia adalah

sebanyak dua kasus pada tanggal 2 Maret 2020.1 Data 5 Oktober 2020

18
19

menunjukkan kasus yang terkonfirmasi positif sebanyak 321.000 orang

dan sebanyak 11.580 orang meninggal karena COVID-19.4 Tingkat

mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan

yang tertinggi di Asia Tenggara.14

Per 5 Oktober 2020, terdapat 34.804.348 kasus terkonfirmasi positif

dan sebanyak 1.030.738 kematian di dunia.4 Eropa dan Amerika Utara

telah menjadi pusat pandemi COVID-19, dengan kasus dan kematian

sudah melampaui China.14 Amerika Serikat menduduki peringkat pertama

dengan kasus COVID-19 terbanyak dan disusul oleh Spanyol.14 Italia

memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu 11,3%. 2

2.1.3. Etiologi

Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm.

Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah

kelelawar dan unta.15 Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19

termasuk dalam genus betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik

menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan

coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Illness

(SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus.5 Atas dasar ini,

International Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama

SARS-CoV-2.2

Struktur genom virus ini memiliki pola seperti coronavirus pada

umumnya.7 Sekuens SARS-CoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus


20

yang diisolasi pada kelelawar, sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-

CoV-2 berasal dari kelelawar yang kemudian bermutasi dan menginfeksi

manusia. Mamalia dan burung diduga sebagai reservoir perantara. 5

Hasil pemodelan melalui komputer menunjukkan bahwa SARS-

CoV-2 memiliki struktur tiga dimensi pada protein spike domain receptor-

binding yang hampir identik dengan SARS-CoV.14 Pada SARS-CoV,

protein ini memiliki afinitas yang kuat terhadap angiotensin-converting-

enzyme 2 (ACE2).1 Pada SARS-CoV-2, data in vitro mendukung

kemungkinan virus mampu masuk ke dalam sel menggunakan reseptor

ACE2.14 Studi tersebut juga menemukan bahwa SARS-CoV-2 tidak

menggunakan reseptor coronavirus lainnya seperti Aminopeptidase N

(APN) dan Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4).5

2.1.4. Transmisi

Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia

menjadi sumber transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih

agresif.7 Transmisi SARS-CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui

droplet yang keluar saat batuk atau bersin.15 Selain itu, telah diteliti bahwa

SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer)

selama setidaknya 3 jam.14

Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari

karier asimtomatis, namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-

kasus terkait transmisi dari karier asimtomatis umumnya memiliki riwayat


21

kontak erat dengan pasien COVID-19.14 Beberapa peneliti melaporan

infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus. Namun, transmisi secara vertikal dari

ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti dapat terjadi. Bila memang

dapat terjadi, data menunjukkan peluang transmisi vertikal tergolong kecil.

Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu

pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan negatif.1

SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan

hasil biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat

terdeteksi di feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya

tetap terdeteksi dalam feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel

saluran napas.14 Kedua fakta ini menguatkan dugaan kemungkinan

transmisi secara fekal-oral.

Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh

dibandingkan SARS-CoV.5 Eksperimen yang dilakukan van Doremalen, et

al menunjukkan SARS-CoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan stainless

steel (>72 jam) dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam). 16

Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang

ekstensif pada kamar dan toilet pasien COVID-19 dengan gejala ringan.17

Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan toilet, tombol lampu,

jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada sampel udara. 17
22

2.1.5. Patogenesis

Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi

diduga tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV yang sudah lebih banyak

diketahui.7 Pada manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel

pada saluran napas yang melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan

dengan reseptor-reseptor dan membuat jalan masuk ke dalam sel.18

Glikoprotein yang terdapat pada envelope spike virus akan berikatan

dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2.5 Di dalam sel,

SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-

protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di

permukaan sel.14

Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus

masuk ke dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel

dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. 5

Selanjutnya, genom virus akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada

selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam membran retikulum

endoplasma atau Golgi sel. Terjadi pembentukan nukleokapsid yang

tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid.14 Partikel virus akan

tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap akhir,

vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung dengan

membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang baru. 15

Pada SARS-CoV, Protein S dilaporkan sebagai determinan yang

signifikan dalam masuknya virus ke dalam sel pejamu. Telah diketahui


23

bahwa masuknya SARS-CoV ke dalam sel dimulai dengan fusi antara

membran virus dengan plasma membran dari sel. Pada proses ini, protein

S2’ berperan penting dalam proses pembelahan proteolitik yang

memediasi terjadinya proses fusi membran.14 Selain fusi membran,

terdapat juga clathrin-dependent dan clathrin-independent endocytosis

yang memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel pejamu.1

Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV.

Efek sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun

menentukan keparahan infeksi.14 Disregulasi sistem imun kemudian

berperan dalam kerusakan jaringan pada infeksi SARS-CoV-2. Respons

imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan kerusakan

jaringan.7 Di sisi lain, respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan

kerusakan jaringan.15

Respons imun yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga belum

sepenuhnya dapat dipahami, namun dapat dipelajari dari mekanisme yang

ditemukan pada SARS-CoV dan MERS-CoV.7 Ketika virus masuk ke

dalam sel, antigen virus akan dipresentasikan ke antigen presentation

cells (APC). Presentasi antigen virus terutama bergantung pada molekul

major histocompatibility complex (MHC) kelas I. Namun, MHC kelas II juga

turut berkontribusi.18 Presentasi antigen selanjutnya menstimulasi respons

imunitas humoral dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel T dan sel B

yang spesifik terhadap virus. Pada respons imun humoral terbentuk IgM

dan IgG terhadap SARS-CoV. IgM terhadap SAR-CoV hilang pada akhir
24

minggu ke-12 dan IgG dapat bertahan jangka panjang.14 Hasil penelitian

terhadap pasien yang telah sembuh dari SARS menujukkan setelah 4

tahun dapat ditemukan sel T CD4+ dan CD8+ memori yang spesifik

terhadap SARS-CoV, tetapi jumlahnya menurun secara bertahap tanpa

adanya antigen.15

Virus memiliki mekanisme untuk menghindari respons imun

pejamu. SARS-CoV dapat menginduksi produksi vesikel membran ganda

yang tidak memiliki pattern recognition receptors (PRRs) dan bereplikasi

dalam vesikel tersebut sehingga tidak dapat dikenali oleh pejamu. Jalur

IFN-I juga diinhibisi oleh SARS-CoV dan MERS-CoV. Presentasi antigen

juga terhambat pada infeksi akibat MERS-CoV.18

2.1.5.1. Respons Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis

Ringan

Respons imun yang terjadi pada pasien dengan manifestasi

COVID-19 yang tidak berat tergambar dari sebuah laporan kasus di

Australia. Pada pasien tersebut didapatkan peningkatan sel T CD38+HLA-

DR+ (sel T teraktivasi), terutama sel T CD8 pada hari ke 7-9. Selain itu

didapatkan peningkatan antibody secreting cells (ASCs) dan sel T helper

folikuler di darah pada hari ke-7, tiga hari sebelum resolusi gejala.

Peningkatan IgM/IgG SARS-CoV-2 secara progresif juga ditemukan dari

hari ke-7 hingga hari ke-20. Perubahan imunologi tersebut bertahan

hingga 7 hari setelah gejala beresolusi. Ditemukan pula penurunan


25

monosit CD16+CD14+ dibandingkan kontrol sehat. Sel natural killer (NK)

HLA-DR+CD3-CD56+ yang teraktivasi dan monocyte chemoattractant

protein-1 (MCP-1; CCL2) juga ditemukan menurun, namun kadarnya

sama dengan kontrol sehat.19 Pada pasien dengan manifestasi COVID-19

yang tidak berat ini tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin

proinflamasi, meskipun pada saat bergejala.5

2.1.5.2. Respons Imun pada Pejamu pada COVID-19 dengan Klinis

Berat

Perbedaan profil imunologi antara kasus COVID-19 ringan dengan

berat bisa dilihat dari suatu penelitian di China. Penelitian tersebut

mendapatkan hitung limfosit yang lebih rendah, leukosit dan rasio

neutrofil-limfosit yang lebih tinggi, serta persentase monosit, eosinofil, dan

basofil yang lebih rendah pada kasus COVID-19 yang berat.6 Sitokin

proinflamasi yaitu TNF-α, IL-1 dan IL-6 serta IL-8 dan penanda infeksi

seperti prokalsitonin, ferritin dan C-reactive protein juga didapatkan lebih

tinggi pada kasus dengan klinis berat. Sel T helper, T supresor, dan T

regulator ditemukan menurun pada pasien COVID-19 dengan kadar T

helper dan T regulator yang lebih rendah pada kasus berat. 14 Laporan

kasus lain pada pasien COVID-19 dengan ARDS juga menunjukkan

penurunan limfosit T CD4 dan CD8.7 Limfosit CD4 dan CD8 tersebut

berada dalam status hiperaktivasi yang ditandai dengan tingginya proporsi

fraksi HLA-DR+CD38+. Limfosit T CD8 didapatkan mengandung granula

sitotoksik dalam konsentrasi tinggi (31,6% positif perforin, 64,2% positif


26

granulisin, dan 30,5% positif granulisin dan perforin). Selain itu ditemukan

pula peningkatan konsentrasi Th17 CCR6+ yang proinflamasi.14

ARDS merupakan penyebab utama kematian pada pasien COVID-

19.6 Penyebab terjadinya ARDS pada infeksi SARS-CoV-2 adalah badai

sitokin, yaitu respons inflamasi sistemik yang tidak terkontrol akibat

pelepasan sitokin proinflamasi dalam jumlah besar ( IFN-α, IFN-γ, IL-1β,

IL-2, IL-6, IL-7, IL-10 IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, dan TGFβ) serta kemokin

dalam jumlah besar (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, CXCL9, dan CXCL10).

Granulocyte-colony stimulating factor, interferon-γ- inducible protein 10,

monocyte chemoattractant protein 1, dan macrophage inflammatory

protein 1 alpha juga didapatkan peningkatan.1 Respons imun yang

berlebihan ini dapat menyebabkan kerusakan paru dan fibrosis sehingga

terjadi disabilitas fungsional.14

2.1.6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas,

mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia,

pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis.1 Sekitar 80% kasus

tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan

sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar

proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui. Viremia dan viral load yang

tinggi dari swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah

dilaporkan.14
27

Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut

saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam,

fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri

tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala.14 Pasien tidak

membutuhkan suplementasi oksigen.1 Pada beberapa kasus pasien juga

mengeluhkan diare dan muntah. Pasien COVID-19 dengan pneumonia

berat ditandai dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: (1)

frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan berat, atau (3)

saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat

muncul gejala-gejala yang atipikal.15

Sebagian besar pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan

gejala-gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan

sesak napas. Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah

demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan

adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala,

mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri

abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva.14 Lebih dari 40% demam

pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C,

sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C.6

Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya

sekitar 3-14 hari (median 5 hari).14 Pada masa ini leukosit dan limfosit

masih normal atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala. Pada fase

berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui aliran darah, diduga


28

terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-paru,

saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. 14

Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal.

Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru

memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan

mulai terjadi hiperkoagulasi.15 Jika tidak teratasi, fase selanjutnya

inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan

ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya.1

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang

2.1.7.1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung

jenis, fungsi ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan

prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai dengan indikasi.15 Trombositopenia

juga kadang dijumpai, sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue.

Penelitian oleh Yan et al di Singapura melaporkan adanya pasien positif

palsu serologi dengue, yang kemudian diketahui positif COVID-19. Karena

gejala awal COVID-19 tidak khas, hal ini harus diwaspadai.20

2.1.7.2. Pencitraan

Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto

toraks dan Computed Tomography Scan (CT-scan) toraks. Pada foto

toraks dapat ditemukan gambaran seperti opasifikasi ground-glass,

infiltrat, penebalan peribronkial, konsolidasi fokal, efusi pleura, dan


29

atelectasis.14 Foto toraks kurang sensitif dibandingkan CT scan, karena

sekitar 40% kasus tidak ditemukan kelainan pada foto toraks. Studi

dengan USG toraks menunjukkan pola B yang difus sebagai temuan

utama. Konsolidasi subpleural posterior juga ditemukan walaupun jarang.

Studi lain mencoba menggunakan 18F-FDG PET/CT, namun dianggap

kurang praktis untuk praktik sehari-hari.15

Berdasarkan telaah sistematis oleh Salehi et al temuan utama

pada CT scan toraks adalah opasifikasi ground-glass (88%), dengan atau

tanpa konsolidasi, sesuai dengan pneumonia viral. Keterlibatan paru

cenderung bilateral (87,5%), multilobular (78,8%), lebih sering pada lobus

inferior dengan distribusi lebih perifer (76%). Penebalan septum,

penebalan pleura, bronkiektasis, dan keterlibatan pada subpleural tidak

banyak ditemukan.21

Gambaran CT scan yang lebih jarang ditemukan yaitu efusi

pleura, efusi perikardium, limfadenopati, kavitas, CT halo sign, dan

pneumotoraks. Walaupun gambaran-gambaran tersebut bersifat jarang,

namun bisa saja ditemui seiring dengan progresivitas penyakit. Studi ini

juga melaporkan bahwa pasien di atas 50 tahun lebih sering memiliki

gambaran konsolidasi.14
30

2.1.7.3 Pemeriksaan Diagnostik SARS-CoV-2

1. Pemeriksaan Antigen-Antibodi

Ada beberapa perusahaan yang mengklaim telah mengembangkan

uji serologi untuk SARS-CoV-2, namun hingga saat ini belum banyak

artikel hasil penelitian alat uji serologi yang dipublikasi.4 Salah satu

kesulitan utama dalam melakukan uji diagnostik tes cepat yang sahih

adalah memastikan negatif palsu, karena angka deteksi virus pada rRT-

PCR sebagai baku emas tidak ideal.14 Selain itu, perlu

mempertimbangkan onset paparan dan durasi gejala sebelum

memutuskan pemeriksaan serologi. IgM dan IgA dilaporkan terdeteksi

mulai hari 3-6 setelah onset gejala, sementara IgG mulai hari 10-18

setelah onset gejala. Pemeriksaan jenis ini tidak direkomendasikan WHO

sebagai dasar diagnosis utama.4 Pasien negatif serologi masih perlu

observasi dan diperiksa ulang bila dianggap ada faktor risiko tertular. 14

2. Pemeriksaan Virologi

Saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk

seluruh pasien yang termasuk dalam kategori suspek.3 Pemeriksaan pada

individu yang tidak memenuhi kriteria suspek atau asimtomatis juga boleh

dikerjakan dengan mempertimbangkan aspek epidemiologi, protokol

skrining setempat, dan ketersediaan alat.14 Pengerjaan pemeriksaan

molekuler membutuhkan fasilitas dengan biosafety level 2 (BSL-2),


31

sementara untuk kultur minimal BSL-3. Kultur virus tidak

direkomendasikan untuk diagnosis rutin.15

Metode yang dianjurkan untuk deteksi virus adalah amplifikasi

asam nukleat dengan real-time reversetranscription polymerase chain

reaction (rRT-PCR) dan dengan sequencing. Sampel dikatakan positif

(konfirmasi SARS-CoV-2) bila rRT-PCR positif pada minimal dua target

genom (N, E, S, atau RdRP) yang spesifik SARS-CoV-2; ATAU rRT-PCR

positif betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing sebagian atau

seluruh genom virus yang sesuai dengan SARS-CoV-2.5

Berbeda dengan WHO, CDC sendiri saat ini hanya menggunakan

primer N dan RP untuk diagnosis molekuler.14 Food and Drug

Administration (FDA) Amerika Serikat juga telah menyetujui penggunaan

tes cepat molekuler berbasis GenXpert® yang diberi nama Xpert® Xpress

SARS-CoV-2.78 Perusahaan lain juga sedang mengembangkan teknologi

serupa.4 Tes cepat molekuler lebih mudah dikerjakan dan lebih cepat

karena prosesnya otomatis sehingga sangat membantu mempercepat

deteksi.15

Hasil negatif palsu pada tes virologi dapat terjadi bila kualitas

pengambilan atau manajemen spesimen buruk, spesimen diambil saat

infeksi masih sangat dini, atau gangguan teknis di laboratorium. Oleh

karena itu, hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi SARS-

CoV-2, terutama pada pasien dengan indeks kecurigaan yang tinggi. 14


32

2.1.8. Diagnosis

Definisi operasional pada kasus COVID-19 di Indonesia mengacu

pada panduan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia yang mengadopsi dari WHO.15

(1) Kasus Suspek

Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:

a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) DAN pada

14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan

atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi

lokal.14

b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA DAN pada 14 hari

terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan

kasus konfirmasi/probable COVID-19.4

c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan

perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain

berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.15

(2) Kasus Probable

Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan gambaran

klinis yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan

laboratorium RT-PCR.15

(3) Kasus Konfirmasi

Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang

dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.4


33

(4) Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:

a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik).

b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).

(5) Kontak Erat

Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau

konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:

a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus

konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit

atau lebih.15

b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi

(seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).15

c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus

probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai

standar.15

d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan

penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan

epidemiologi setempat.15

Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala (simptomatik),

untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum

kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Pada

kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan

kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan 14 hari

setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.1


34

(6) Pelaku Perjalanan

Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik)

maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.15

(7) Discarded

Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:

a. Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan

RT-PCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut-turut dengan selang

waktu >24 jam.14

b. Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan

masa karantina selama 14 hari.15

(8) Selesai Isolasi

(9) Kematian

2.1.9. Tatalaksana

Saat ini belum tersedia rekomendasi tata laksana khusus pasien

COVID-19, termasuk antivirus atau vaksin. Tata laksana yang dapat

dilakukan adalah terapi simtomatik dan oksigen. 15 National Health

Commission (NHC) China telah meneliti beberapa obat yang berpotensi

mengatasi infeksi SARS-CoV-2, antara lain interferon alfa (IFN-α),

lopinavir/ritonavir (LPV/r), ribavirin (RBV), klorokuin fosfat (CLQ/CQ),

remdesvir dan umifenovir (arbidol).14 Selain itu, juga terdapat beberapa

obat antivirus lainnya yang sedang dalam uji coba di tempat lain. 4

Pedoman terapi WHO dan pedoman di Indonesia saat ini

merekomendasikan supportive therapy untuk penanganan COVID-19,


35

antara lain: terapi untuk gejala yang terjadi, pemberian oksigen,

penggunaan antibiotik, terapi cairan, penggunaan vasopressor, dan

tindakan medis (termasuk pemasangan ventilator) untuk menyelamatkan

nyawa pasien. Beberapa jenis obat yang potensial bermanfaat untuk

SARS-CoV-2 antara lain: klorokuin atau hidroksiklorokuin, arbidol,

ribavirin, favipiravir, lopinavir/ritonavir, remdesivir, oseltamivin, dan

interferon. Pada pasien gagal napas dapat dilakukan ventilasi mekanik.1

Dalam uji klinis label terbuka yang dilakukan di Prancis, baru-baru ini

ditunjukkan bahwa azitromisin, dalam kombinasi dengan

hydroxychloroquine (HCQ), menghambat replikasi virus corona baru,

sindrom pernapasan akut parah, coronavirus 2 (SARS_CoV-2).10

2.2. Azitromisin

Azitromisin adalah salah satu subklas antibiotik golongan makrolid

yang merupakan turunan dari antibiotik eritromisin dengan atom nitrogen

di rantai lactone ke-15 menggantikan kedudukan dari rantai methyl.

Aztromisin bekerja dengan menghambat pertumbuhan bakteri dengan

cara mengganggu proses sintesis protein bakteri. Azitromisin digunakan

sebagai terapi untuk infeksi bakteri seperti pada kasus otitis media, infeksi

pada tenggorokan, pneumonia, tifoid, bronchitis, dan sinusitis.22

Azitromisin juga terbukti efektif dalam membunuh bakteri penyebab

penyakit menular seksual seperti urethritis non-gonorrhae, klamidia, dan

servisitis.23
36

2.2.1. Deskripsi dan Indikasi Azitromisin

Menurut jurnal yang berjudul azithromycin, antibiotik ini merupakan

antibiotik spektrum luas.24 Azitromisin merupakan turunan dari eritromisin

yang efektif membunuh bakteri gram negatif serta memiliki efek pada

bakteri gram positif.23 Sebagi antibiotik yang bekerja dengan menghambat

sintesis protein bakteri, azitromisin juga terbukti efektif digunakan pada

kasus infeksi akibat bakteri-bakteri atipikal seperti Chlamydia trachomatis,

Legionella pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, dan Mycobacterium

avium.24 Namun target utama pemberian azitromisin ini adalah

Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae, dan Morazella

catarrhalis yaitu bakteri penyebab pneumonia komunitas.22 Azitromisin

juga efektif digunakan sebagai terapi infeksi pernafasan atas, otitis media

akut, dan penyakit paru obstruktif.25 Studi terbaru menunjukkan

penggunaan azitromisin untuk faringitis yang disebabkan oleh

Streptococcus pyogens sebagai alternatif antibiotik golongan beta-lactam,

infeksi pada kulit yang disebabkan oleh S. pyogenes, Streptococcus

agalactiae, atau Staphylococcus aureus, infeksi akibat M. aviumcomplex

(MAC), dan terapi profilaksis pada keadaan immunodefisiensi seperti pada

penyakit acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), serta penyakit-

penyakit lainnya termasuk infeksi menular seksual.24

Bukan hanya sebagai antibiotik, azitromisin memiliki peran sebagai

antiparasit yang dapat membunuh parasite golongan protozoa seperti

Babesia, Plasmodium, dan Toxoplasma gondii, namun dalam


37

penggunaannya, azitromisin harus dikombinasikan dengan obat-obatan

antiprotozoa seperti atovaquone.22

Pada beberapa kasus infeksi virus, azitromisin juga diberikan untuk

memaksimalkan efek terapi dan mencegah superinfeksi bakteri seperti

pada infeksi syncytial virus dan virus korona SARS-CoV-2. Namun

efektivitasnya masih belum dapat ditentukan.23

2.2.2. Mekanisme Kerja Azitromisin

Sandman, et al di dalam tinjauan literaturnya yang berjudul

Azitromisin mengungkapkan bahwa mekanisme kerja azitromisin seperti

antibiotik makrolid lainnya yaitu melalui ikatannya dengan ribosom subunit

23S dari 50S bakteri, antibiotik ini akan menghambat sintesis protein

bakteri dengan mencegah transit dari aminoacyl-tRNA dan pertumbuhan

protein melalui ribosom.26 Seperti golongan antibiotik makrolid dan

penghambat sintesis protein bakteri lainnya, azitromisin utamanya bekerja

sebagai bakteriostatik yang berarti bahwa antibiotik ini lebih berperan

dalam menghambat pertumbuhan bakteri daripada membunuh bakteri

secara langsung. Namun pada pemberian dosis tinggi, azitromisin

menunjukkan perannya sebagai bakterisidal, seperti pada infeksi

Streptococcus dan H. influenzae.23,26

Farmakokinetik dari azitromisin dimulai dari pergerakannya yang

cepat melalui sirkulasi menuju ke jaringan, kemudian melewati membrane

sel dan membunuh bakteri-bakteri intraselular.25 Peranan lain dari

azitromisin sebagai antiparasit juga bekerja dengan menghambat kerja


38

ribosom subunit 50S yang ditemukan pada apicoplst parasite, yaitu

organel endosymbiosis dengan bacteria-like protein-synthesis yang

memiliki fungsi penting pada fungsi metabolik bakteri. 24 Azitromisin juga

berperan sebagai imunomodulator yang dan menurunkan risiko neutrofilia,

menurunkan eskpresi gen IL-8, dan menurunkan level C-reactive protein

pada pasien yang menerima transplantasi paru.26

Berbeda dengan eritromisin dan klaritromisin, azitromisin dengan

dosis 500 mg menghasilkan konsentrasi serum yang rendah sekitar 0.4

mcg/mL, namun dapat melakukan penetrasi ke jaringan dan melakukan

fungsi fagositosis dengan sangat baik, yaitu 10-100 kali lipat lebih baik

daripada dua makrolid lainnya.24 Obat ini dibebaskan dari jaringan dalam

waktu yang cukup lama dengan paruh waktu 2-4 hari.23,26 Karakteristik

khas inilah yang membuat azitromisin cukup diberikan satu kali sehari dan

dapat mempersingkat waktu terapi seperti pada infeksi menular seksual,

yang cukup membutuhkan 1 dosis saja untuk 7 hari, sedangkan untuk

terapi pneumonia, azitromisin biasa diberikan dengan dosis loading 500

mg, diikuti dengan dosis tunggal 250 mg selama 4 hari. 22 Azitromisin

dapat diabsorbsi dengan baik secara oral.23 Pemberian bersama antasida

tidak akan merubah bioavabilitas azitromisin, hanya memperlambat

proses absorbs dan menurunkan konsentrasi puncak di serum.25 Karena

azitromisin memiliki 15 member cincin lactone yang aktif, azitromisin tidak

akan menginaktivasi enzim sitokrom P450 sehingga menghindari

terjadinya interaksi obat.22


39

2.2.3. Sediaan Azitromisin

Azitromisin tersedia dalam bentuk oral dan parenteral (intravena).24

Formulasi oral termasuk di antaranya adalah tablet dan suspensi.25

Sedangkan azitromisin intravena diberikan bersamaan dengan infus

selama kurang lebih 60 menit, tidak boleh diberikan secara injeksi

intramuscular atau bolus intravena. Azitromisin dapat berpenetrasi ke

dalam jaringan dan terakumulasi di dalam intrasel dengan sangat baik. 22

Obat ini dimetabolisme di hati dan dieskresikan melalui saluran bilier.23,26

Obat ini memiliki paruh waktu yang cukup lama sehingga dan dapat

bertahan di jaringan serta terdistribusi di intrasel dengan baik, sehingga

frekuensi pemberian cukup satu dosis setiap harinya. 25 Kemampuan

tersebut menjadi pertimbangan untuk memilih penggunaan azitromisin,

contohnya pada kasus infeksi menular seksual akibat chlamydia yang

dapat diterapi dengan azitromin 1 gram dosis tunggal sebagai alternatif

terapi doksisiklin 2 kali sehari selama 7 hari.22 Azitromisin dapat pula

ditoleransi dengan cukup baik pada pasien dengan penyakit ginjal atau

gagal ginjal berdasarkan atas kreatinin klirens tanpa perlu penyesuaian

dosis.23,26

2.2.4. Efek Samping dan Toksisitas Azitromisin

Azitromisin merupakan antibiotik yang aman dengan kejadian

samping terkait efek ke jantung yang lebih rendah dibandingkan dengan

makrolid lainnya.24 Efek samping utama dari azitromisin seperti makrolid

lainnya adalah dapat memperpanjang interval QT yang selanjutnya


40

meningkatkan risiko terjadinya torsades de pointes dan ventricular

takikardi jenis polimorfik.25 Azitromisin juga berkorelasi dengan kejadian

hepatotoksik yang dapat menyebabkan cidera sel hepatosit setelah

penggunaan obat 1-3 minggu yang ditandai dengan gejala kolestasis,

jaundice, dan peningkatn enzim transaminase.26 Efek samping ini akan

berlanjut menjadi hepatocellular/cholestatic drug-induced liver injury.22

Apabila dijumpai gejala di atas, dengan penghentian azitromisin yang

tepat, cidera liver dapat bersifat irreversible dengan gejala sisa minimal. 26

Seringkali dijumpai pasien yang mengalami gejala hepatotoksik

berhubungan dengan klinis immunoalergi seperti kemerahan, demam, dan

esosinofilia.23

Efek samping lain dari Azitromisin yaitu nausea dan diare yang

disebabkan oleh ekspresi reseptor motilin intestinal yang akan

mesntimulasi motilitas gaster. Efek samping berbahaya dari aztromisin

yang dapat mengancam jiwa yaitu hipersensitivitas, reaksi anafilaksis, dan

Steven-Johnson syndrome (SSJ). Penggunaan makrolid juga

dikorelasikan dengan infeksi Clostridium difficle namun belum terbukti.26

2.2.5. Kontraindikasi Azitromisin

Pemberian azitromisin dikontraindikasikan pada pasien yang

memiliki riwayat hipersensitivitas (anafilaksis atau SSJ) pada azitromisin. 25

Penggunaan azitromisin juga perlu diperhatikan terutama pada pasien

yang mengonsumsi obat dengan efek samping perpanjangan interval QT

contohnya pimozide untuk menghindari terjadinya efek berbahaya


41

perpanjangan QT yang akan berpotensi menyebabkan aritmia.22

Azitromisin sebagai inhibitor P-glycoprotein/ABCB1 yang merupakan

transporter glikoprotein membrane. Obat-obatan yang menjadi substrat

dari P-glycoprotein dikontraindikasikan untuk penggunaan azitromisin,

contohnya yaitu kolkisin dan antagonis small-molecule calcitonin gene-

related peptide (CGRP).26

2.2.6. Monitoring Azitromisin

Terapi dengan azitromisin yang umumnya berdurasi singkat, tidak

membutuhkan penyesuaian saat menghentikan terapi.23 Pemberian

azitromisin harus segera dihentikan apabila didapatkan tanda

hepatotoksisitas seperti jaundice atau peningkatan enzim transaminase. 24

Pada pasien yang mendapatkan profilaksis jangka panjang dengan

azitromisin, banyak pasien yang mengeluhkan gejala gastrointestinal

terutama pada pemberian dosis tinggi sehingga evaluasi dosis azitromisin

harus dilakukan. 26

2.3. Penggunaan Azitromisin Sebagai Terapi Covid-19

Rosenberg et al di dalam penelitiannya berjudul Association of

treatment with hydroxychloroquine or Azithromycin with in-hospital

mortality in patients with COVID-19 in New York menunjukkan adanya

hasil yang efektif pemberian azitromisin pada pasien dengan infeksi

COVID-19. Di dalam studi tersebut, terdapat 7914 sampel penelitian, yang

terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok yang menerima kombinasi


42

hidroksiklorokuin dan azitromisin, kelompok yang menerima

hidroksiklorokuin saja, kelompok yang menerima azitromisin saja, dan

kelompok yang tidak menerima salah satu dari obat-obat tersebut. Luaran

utama yang dinilai dalam studi ini adalah angka mortalitas di rumah

sakit.27

Hasil penelitian dari Rosenberg et al tersebut menunjukkan angka

mortalitas di rumah sakit yang berbeda. Pada kelompok pasien yang

menerima kombinasi hidroksiklorokuin dan azitromisin menunjukkan

angka mortalitas 25.7% [95% Cl, 22.3% - 28.9%] dan sedangkan

kelompok pasien yang mendapatkan obat hanya hidroksiklorokuin saja

menunjukkan angka mortalitas 19.9% [95% CI, 15.2%-24.7%]. Angka

mortalitas paling kecil ditunjukkan pada kelompok pasien yang hanya

mendapatkan obat Azitromisin saja dengan hasil 10.0% [95% CI, 5.9%-

14.0%]. Namun perbedaan angka mortalitas di atas tidak signifikan saat

dilakukan analisis. Luaran selanjutnya dari data penelitian di atas yaitu ada

tidaknya efek samping terkat penggunaan kedua obat tersebut, yaitu

gangguan hasil rekam jantung Elektrokardiografi, secara spesifik ada

tidaknya aritmia dan henti jantung. Abnormalitas hasil rekam jantung

paling banyak ditemukan pada kelompok yang menerima kombinasi kedua

obat sekaligus dan yang mendapatkan hidroksiklorokuin saja. Sedangkan

kelompok pasien yang menerima terapi azitromisin saja menunjukkan

angka terjadinya efek samping berupa abnormalitas rekam jantung yang


43

paling minimal. Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara

statistik. 27

Berbeda dengan studi oleh Siswanto et al dengan judul Early

hydroxychloroquine and azithromycin as combined therapy for COVID-19:

a case series, pada studi ini kombinasi terapi hidroksiklorokuin dan

azitromisin menunjukkan hasil yang lebih baik. Kombinasi kedua obat

tersebut menghasilkan mekanisme kerja yang sinergis dalam menurunkan

angka viral load serta menurunkan progresivitas penyakit menjadi lebih

parah dan irreversible. Serupa dengan studi oleh Gautret et al yang

berjudul Hydroxychloroquine and azithromycin as a treatment of COVID-

19: results of an open-label non-randomized clinical trial dengan 22 jumah

kasus yang diteliti.28 Studi tersebut menunjukkan adanya hasil yag efektif

dan signifikan terkait pemberian kombinasi hidroksiklorokuin dan

azitromisin dibandingkan dengan pemberian terapi tunggal

hidroksiklorokuin saja dalam mengeliminasi virus COVID-19.10

Studi oleh Bleyzac et al yang berjudul Azithromycin for cOVID-19:

more than just an antimicrobial menunjukkan potensi yang dimiliki

azitromisin sebagai terapi COVID-19. Infeksi COVID-19 dapat

menginduksi terjadinya reaksi inflamasi dan kerusakan jaringan di paru

dari derajat sedang hingga berat. Azitromisin sebagai antibiotik juga

memiliki potensi sebagai antivirus yang sudah dibuktikan baik melalui studi

in vitro maupun in vivo, contohnya dalam penanganan infeksi virus Ebola,

Zika, respiratory syncytial virus, H1N1, enterovirus, dan rhinovirus.


44

Sebagai antivirus, azitromisin dihipotesiskan dalam menurunkan

persentasi masuknya virus ke dalam sel. Selain itu, obat ini dapat

meningkatkan respon imunitas dengan cara up-regulation produksi dari

interferom tipe I dan III (terutama interferon beta dan gamma), dan gen

yang terlibat dalam proses pengenalan virus seperti MDA5 dan RIG-1.

Mekanisme ini melibatkan respon imun alami untuk melawan virus,

khususnya virus COVID-19. Azitromisin juga memiliki efek imunomodulasi

yang dapat meregulasi respon inflamasi sehingga dapat mencegah

kerusakan paru yang lebih parah.29

Peranan azitromisin adalah memberikan efek imunomodulatornya

pada titik-titik berbeda dari kaskade inflamasi, memodulasi fungsi sel, dan

proses pensinyalan sel. In vitro, makrolida ini dapat menurunkan

hipersekresi sitokin dan kemokin pro-inflamasi dengan bertindak di banyak

sel inflamasi sebagai monosit, makrofag, dan fibroblas. Penggunaannya

telah dikaitkan dengan pengurangan IL1β, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-12, IFN-

γ, IP-10, TNF-α, dan GM-CSF. Azitromisin menggeser polarisasi makrofag

alveolar ke fenotipe M2 anti-inflamasi alternatif yang diaktifkan yang

mengarah ke respons sel Th-1 yang dilemahkan. Ini juga meningkatkan

fagositosis sel epitel bronkial apoptosis oleh makrofag. Dalam limfosit,

azitromisin telah terbukti menekan aktivasi sel T CD4 +. Sebaliknya,

azitromisin dapat meningkatkan pelepasan sitokin antiinflamasi (IL-10)

yang berkaitan dengan perbaikan jaringan yang meradang.30 Selain itu,

pemberian azitromisin sebagai antibacterial juga akan mencegah


45

terjadinya superinfeksi bakteri atau ko-infeksi bakteri yang sering terjadi

pada pasien COVID-19. Data terbaru menunjukkan adanya pertumbuhan

bakteri anaerob yang memperparah infeksi COVID-19, contohnya

Prevotella cell yang merupakan bakteri komensial bersifat anaerob.

Azitromisin terbukti efektif dalam menghambat pertumbuhan Prevotella

cell dan penurunan respon inflamasi dari infeksi bakteri tersebut. 29

Azitromisin dapat mengurangi akumulasi sel inflamasi (makrofag,

limfosit, dan neutrofil) di lavage bronchoalveolar dan jaringan paru-paru.

Selain itu, menurunkan regulasi ekspresi kemokin (G-CSF, CCL3 / MIP-

1α, CCL4 / MIP-1β) dan sitokin (IL-1β, IL-6, IL-12, TNF-α, dan IFN-γ) di

paru-paru. Dalam fibroblas, makrolida telah ditunjukkan in vitro untuk

menghambat proliferasi fibroblast, produksi kolagen, dan untuk

menurunkan tingkat faktor pertumbuhan transformasi (TGF-β).30

Meskipun data spesifik kurang, makrolida ini menunjukkan sifat

imunomodulator yang dapat bermanfaat dalam pengobatan COVID-19.30


46

2.4. Kerangka Teori


2.5. Kerangka Konsep

Efektivitas Azitromisin Tatalaksana


COVID-19

Keterangan :

: Variabel bebas

: Variabel terikat

47
48

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan Literature Review dengan desain Narrative

Review.

3.2 Jenis Data

Jenis data pada penelitian ini merupakan data sekunder berupa

literatur-literatur yang diperoleh melalui pencarian ilmiah dari berbagai

database jurnal.

3.3 Kriteria Jurnal

Kriteria yang dapat diambil dengan syarat jurnal dipublikasi dalam 3

tahun terakhir yang membahas penggunaan azitromisin terhadap

COVID-19.
49

3.4 Alur Penelitian


50

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Jurnal yang didapat dari hasil pencarian dengan menggunakan kata

kunci COVID-19 dan Azitromisin sebanyak 34 jurnal dan terdapat 5 jurnal

yang dapat memenuhi persyaratan,yaitu:

No Peneliti Judul Metode Sampel Hasil


Penelitian
1. Daniel Azitromisin Metode Sampel Hasil
Echevem dalam yang yang penelitian ini
a-Esnal, pengobatan digunakan digunakan menunjukkan
Clara Covid-19 merupakan adalah bahwa
Martin- uji acak mendeskrip azitromisin
Ontiyuelo terkendali, sikan memiliki
, Maria studi pasien kemampuan
Eugenia berupa COVID-19 sebagai
Navarret case yang imunomodula
e-Rouce reports berada di tor yang
rumah sakit dapat
yang mereduksi
memiliki pelepasan
keluha sitokin-sitokin
berat proinflamasi
yang dipicu
infeksi virus
SARS-CoV-2
sehingga
dapat
mencegah
terjadinya
51

manifestasi
klinis berat
maupun
sindrom
pernapasan
akut oleh
infeksi
COVID-19
2. Franck Skrining in Metode Sampel Hasil
Touret, vitro dari yang yang penelitian ini
Megali perpustaka digunakan digunakan mengkonfirm
Gilles, an bahan merupakan terdiri dari asi efektivitas
Karine kimia yang experiment 1.520 obat sifat antivirus
Barral, disetujui al yang azitromisin
Antoine FDA laboratoris disetujui secara in
Nougaire mengungka secara in pada vitro. Studi ini
de pkan vitro konsentrasi mengatakan
penghamba akhir bahwa
t potensial 10 μM dari secara in
replikasi pemeriksaa vitro,
SARS-CoV- n konsentrasi
2 perpustaka efektif 50%
an kimia (50%
Prestwick effective
(PCL) concentration
; EC50) dan
konsentrasi
efektif 90%
(90%
effective
concentration
; EC90) dari
azitromisin
52

dalam
menghambat
virus SARS-
CoV-2
masing-
masing
sebesar 2.12
µM dan 8.65
µM, dengan
periode
inkubasi
pascainfeksi
selama 72
jam,
menggunaka
n rasio virion
terhadap sel
pada kultur
(multiplicity of
infection;
MOI) 0.002
3. Violaine Azitromisin Metode Sampel Hasil
Guerin, dan yang yang penelitian ini
Plerre Hydroxychl digunakan digunakan dikatakan
Levy, oroquine adalah uji ialah 88 bahwa
Jean- Mempercep acak pasien yang sebanyak
Louis at terkendali dibagi 91.2% pasien
Thomas Pemulihan berupa menjadi 3 COVID-19
Pasien studi kelompok yang
Rawat observasion yaitu ditatalaksana
Jalan al kelompok dengan
dengan retrospektif terapi azitromisin
Covid-19 azitromisin, menunjukan
53

Ringan / kelompok perbaikan


Sedang kombinasi klinis, dimana
azitromisin pada
dengan kelompok
hidroksiklor kontrol,
oquin, dan dengan terapi
kelompok simtomatik
terapi tanpa
simptomatik pemberian
tanpa azitromisin
memberian maupun
terapi hidroksikloroq
azitromisin uin, hanya
maupun 88.2%, serta
hidroksiklor 90.0% pada
oquin kelompok
terapi
kombinasi
azitromisin
dan
hidroksikloroq
uin. Selain
itu, dikatakan
bahwa durasi
pemulihan
kelompok
yang diterapi
dengan
azitromisin
secara
signfikan
lebih cepat
dibandingkan
54

kelompok
yang hanya
mendapat
terapi
simtomatik,
dengan rata-
rata durasi
pemulihan
12.9 hari
(p<0.0001,
survival
p<0.007)
4. Samia Pengobatan Metode Sampel Hasil
Arshad, dengan yang yang penelitian ini
Paul hydroxychlo digunakan digunakan dikatakan
Kilgore, roquine, oleh peneliti ialah bahwa angka
Zohra S. azithromyci ini adalah melibatkan mortalitas
Chaudhry n, dan studi kohort 2.541 pada
, Gordon kombinasi retrospektif pasien kelompok
Jacobsen pada pasien komparatif terkonfirma yang
yang yang si positif mendapatkan
dirawat di mengevalua COVID-19. azitromisin
rumah sakit si hasil Terdapat sebesar
dengan klinis dari empat 22.4%,
Covid-19 semua kelompok sedangkan
pasien terapi, yaitu pada
berturut- kelompok kelompok
turut yang terapi yang tidak
dirawat di kombinasi mendapatkan
Henry Ford azitromisin azitromisin
Health + maupun
System hidroksiklor hidroksikloroq
(HFHS) oquin uin sebesar
55

(n=783), 26.4%. Akan


kelompok tetapi,
azitromisin ditemukan
(n=147), bahwa angka
kelompok mortalitas
hidroksiklor pada
oquin kelompok
(n=1202), yang
dan mendapat
kelompok kombinasi
yang tidak azitromisin
mendapatk dan
an hidroksikloroq
keduanya uin, maupun
(n=409) kelompok
yang hanya
mendapat
hidroksikloroq
uin, lebih
rendah,
masing-
masing
sebesar
20.1% dan
13.5%
(p<0.001)

5. Eli Asosiasi Metode Sampel Hasil


S.Rosen Pengobatan yang yang penelitian ini
berg,PhD Dengan digunakan digunakan menyebutkan
Hydroxychl adalah adalah hasil bahwa angka
oroquine analisis analisis mortalitas
atau skunder pasien pasien
56

Azithromyci pada pasien rawat inap COVID-19


n Dengan dengan dengan yang
Kematian Di COVID-19 hasil mendapatkan
Rumah di Negara pemeriksaa terapi
Sakit pada bagian n azitromisin
Pasien Newyork laboratoriu adalah yang
Dengan m COVID- terendah (n =
Covid-19 di 19 yang 21, 10.0%
Negara dikonfirmasi [95% CI,
Bagian New positif, 5.9%-14.0%])
York dirawat di dibandingkan
rumah sakit dengan
di wilayah kelompok
metropolita terapi
n Newyork kombinasi
city antara azitromisin +
15 & 28 hidroksikloroq
Maret 2020 uin (n = 189,
25.7% [95%
CI, 22.3%-
28.9%]),
kelompok
terapi
hidroksikloroq
uin (n = 54,
19.9% [95%
CI, 15.2%-
24.7%]),
maupun
kelompok
yang tidak
menerima
keduanya (n
57

= 28, 12.7%
[95% CI,
8.3%-17.1%])

4.2 Pembahasan

Pada jurnal 1, sebuah ulasan jurnal oleh Echeverria-Esnal et al,

menyebutkan bahwa azitromisin memiliki potensi dalam menatalaksana

SARS-CoV-2. Selain efek antibakteri, azitromisin diduga memiliki

mekanisme antivirus dan imunomodulator yang dapat berperan dalam

menatalaksana COVID-19. Azitromisin dapat meningkatkan kadar pH

intrasel ketika terakumulasi di dalam sel karena azitromisin merupakan

basa lemah. Peningkatan pH sel tersebut berpotensi dalam menghambat

endositosis, mengganggu jaringan trans-Golgi, serta mengganggu fungsi

protease lisosom (cathepsins atau furins) sehingga proses fusi virus

SARS-CoV-2 dengan sel inang terhambat.30

Selain itu, azitromisin juga dapat mengganggu proses pelekatan virus

SARS-CoV-2 dengan reseptor angiotensin converting enzyme-2, karena

memiliki kemiripan dengan struktur ganglioside pada protein spike SARS-

CoV-2 yang berperan untuk berikatan dengan reseptor ACE2. Azitromisin

juga diduga dapat mengganggu interaksi protein spike SARS-CoV-2

dengan protein CD147, serta menghambat ekspresi protein CD147. 30

Dalam jurnal ini, juga disebutkan bahwa azitromisin memiliki

kemampuan imunomodulator yang dapat mereduksi pelepasan sitokin-

sitokin proinflamasi yang dipicu infeksi virus SARS-CoV-2, seperti IL-1β, IL-

6, IL-8, IL-12, IFN-γ, IP-10, TNF-α, dan GM-CSF. Sifat ini berpotensi dalam

mencegah terjadinya manifestasi klinis berat maupun sindrom distress


58

pernapasan akut oleh infeksi COVID-19 yang diakibatkan oleh badai

sitokin yang terjadi pascainfeksi COVID-19. Azitromisin juga diduga

memiliki kemampuan antifibrotik yang menginhibisi proliferasi fibroblas

sehingga dapat mengurangi proses kerusakan jaringan. Pada sel epitel

saluran pernapasan, azitromisin juga memiliki peran dalam menstabilisasi

membrane sel, mempererat tautan antar sel epitel, serta menurunkan

produksi secret mukosa, sehingga dapat mengoptimalkan system

mucociliary clearance dari saluran pernapasan.30

Gambar 1. Mekanisme potensial azitromisin dalam menatalaksana

COVID-19.30
59

Pada jurnal 2, sebuah penelitian eksperimental oleh Touret et al,

mengkonfirmasi efektivitas sifat antivirus azitromisin secara in vitro. Studi

ini mengatakan bahwa secara in vitro, konsentrasi efektif 50% (50%

effective concentration; EC50) dan konsentrasi efektif 90% (90% effective

concentration; EC90) dari azitromisin dalam menghambat virus SARS-

CoV-2 masing-masing sebesar 2.12 µM dan 8.65 µM, dengan periode

inkubasi pascainfeksi selama 72 jam, menggunakan rasio virion terhadap

sel pada kultur (multiplicity of infection; MOI) 0.002.31

Studi ini merupakan penelitian eksperimental secara in vitro yang

membandingkan efektivitas antivirus 15 jenis obat dalam menghambat

pertumbuhan virus SARS-CoV-2 menggunakan kultur sel VeroE6, dengan

Remdesivir sebagai kontrol positifnya yang memiliki EC50 sebesar 1.6

µM.31 Efektivitas antivirus dari masing-masing agen ditentukan

berdasarkan nilai konsentrasi efektif 50% (EC50) dan konsentrasi efektif

90% (EC90). Ditemukan bahwa azitromisin memiliki efektivitas antivirus

yang paling tinggi (EC50 = 2.12 µM) diantara senyawa obat lainnya, diikuti

dengan Hydroxychloroquine (EC50 = 4.17 µM) seperti yang disajikan pada

Tabel 1.31
60

Tabel 1. Aktivitas antivirus dari senyawa obat potensial dalam

menghambat pertumbuhan SARS-CoV-2 secara in vitro beserta kontrol

(Remdesivir).31

Efektivitas azitromisin dalam menghambat pertumbuhan virus SARS-

CoV-2 secara in vitro tersebut sejalan dengan efektivitas azitromisin dalam

menatalaksana COVID-19 secara klinis, seperti yang ditemukan pada

jurnal 3, oleh Guerin et al. Dikatakan bahwa sebanyak 91.2% pasien

COVID-19 yang ditatalaksana dengan azitromisin menunjukan perbaikan

klinis, dimana pada kelompok kontrol, dengan terapi simtomatik tanpa

pemberian azitromisin maupun hidroksikloroquin, hanya 88.2%, serta

90.0% pada kelompok terapi kombinasi azitromisin dan hidroksikloroquin.

Selain itu, dikatakan bahwa durasi pemulihan kelompok yang diterapi

dengan azitromisin secara signfikan lebih cepat dibandingkan kelompok

yang hanya mendapat terapi simtomatik, dengan rata-rata durasi

pemulihan 12.9 hari (p<0.0001, survival p<0.007). Pada kelompok yang


61

hanya mendapat terapi simtomatik, rata-rata durasi pemulihan adalah 25.8

hari. Durasi pemulihan ditemukan lebih singkat pada kelompok yang

menerima terapi kombinasi azitromisin dan hidroksikloroquin, dengan rata-

rata durasi pemulihan selama 9.2 hari (p<0.0001, survival p<0.0001).

Namun, secara statistik tidak ditemukan perbedaan yang signfikan antara

kelompok azitromisin dan kelompok kombinasi azitromisin dan

hidroksikloroquin (rata-rata durasi pemulihan p=0.26, survival p<0.18).32

Penelitian ini merupakan studi observasional retrospektif, dengan

jumlah sampel 88 pasien, dengan menggunakan tiga jenis kelompok

terapi, yaitu kelompok terapi azitromisin, kelompok terapi kombinasi

azitromisin dan hidroksikloroquin, dan kelompok terapi simtomatik tanpa

pemberian azitromisin maupun hidroksikloroquin. Keluaran utama dari

penelitian ini adalah pemulihan klinis (durasi antara onset gejala dengan

hari terakhir munculnya gejala). Dosis azitromisin yang digunakan adalah

500 mg pada hari pertama, diikuti 250 mg pada empat hari berikutnya. 32

Gambar 2. Kurva Kaplan-Meier perbandingan durasi pemulihan pada

setiap kelompok terapi berdasarkan usia.32


62

Namun, jurnal ini memiliki keterbatasan karena hanya merupakan

studi observasional dengan jumlah sampel yang minimal. Dalam studi ini

tidak dilakukan randomisasi maupun penyamaran ganda (double blind).32

Jurnal 4, studi observasional retrospektif oleh Arshad et al, juga

menunjukan manfaat pemberian azitromisin dalam menatalaksana pasien

COVID-19, namun dengan keluaran utama yang berbeda berupa angka

mortalitas selama perawatan di rumah sakit. Dikatakan bahwa angka

mortalitas pada kelompok yang mendapatkan azitromisin sebesar 22.4%,

sedangkan pada kelompok yang tidak mendapatkan azitromisin maupun

hidroksikloroquin sebesar 26.4%. Akan tetapi, ditemukan bahwa angka

mortalitas pada kelompok yang mendapat kombinasi azitromisin dan

hidroksikloroquin, maupun kelompok yang hanya mendapat

hidroksikloroquin, lebih rendah, masing-masing sebesar 20.1% dan 13.5%

(p<0.001).33

Jurnal ini merupakan studi observasional retrospektif yang melibatkan

2.541 pasien terkonfirmasi positif COVID-19. Terdapat tiga kelompok

terapi, yaitu kelompok terapi kombinasi azitromisin + hidroksikloroquin

(n=783), kelompok azitromisin (n=147), kelompok hidroksikloroquin

(n=1202), dan kelompok yang tidak mendapatkan keduanya (n=409).

Keluaran utamanya adalah untuk melihat angka mortalitas selama

perawatan di rumah sakit pascapemberian empat kelompok terapi

tersebut.33 Dosis azitromisin yang digunakan adalah 500 mg satu kali

sehari pada hari pertama, diikuti dengan 250 mg satu kali sehari pada

empat hari berikutnya, sementara dosis hidroksikloroquin adalah 400 mg


63

dua kali sehari dalam dua dosis pada hari pertana, diikuti 200 mg dua kali

sehari pada empat hari setelahnya.33

Meskipun pada jurnal 4 disebutkan bahwa angka mortalitas pada

kelompok terapi azitromisin (22.4%) lebih rendah dibandingkan kelompok

yang tidak mendapatkan azitromisin maupun hidroksikloroquin (26.4%),

angka hazard kumulatif pada kelompok azitromisin merupakan yang

tertinggi dibanding kelompok terapi hidroksikloroquin maupun kombinasi

azitromisin dan hidroksikloroquin. Disebutkan juga bahwa pemberian

kombinasi azitromisin+hidroksikloroquin menurunkan angka mortality

hazard ratio hingga 71% (p<0.001).33

Gambar 3. Kurva kesintasan Kaplan-Meier pada kelompok terapi.33

Kelebihan dari jurnal ini adalah melibatkan jumlah sampel yang

besar. Namun, kekurangannya adalah jurnal ini merupakan studi observasi

retrospektif, tanpa randomisasi maupun penyamaran.33


64

Jurnal 5, studi observasional retrospektif lainnya oleh Rosenberg et

al, yang melibatkan 1438 pasien COVID-19 ini menyebutkan bahwa angka

mortalitas pasien COVID-19 yang mendapatkan terapi azitromisin adalah

yang terendah (n = 21, 10.0% [95% CI, 5.9%-14.0%]) dibandingkan

dengan kelompok terapi kombinasi azitromisin + hidroksikloroquin (n =

189, 25.7% [95% CI, 22.3%-28.9%]), kelompok terapi hidroksikloroquin (n

= 54, 19.9% [95% CI, 15.2%-24.7%]), maupun kelompok yang tidak

menerima keduanya (n = 28, 12.7% [95% CI, 8.3%-17.1%]).34

Namun demikian, setelah dilakukan penyesuaian analisis terhadap

demografi, jenis rumah sakit, komorbid bawaan, dan tingkat keparahan

penyakit, secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna antara

pasien yang menerima azitromisin (adjusted HR, 0.56 [95% CI, 0.26-1.21]),

hidroksikloroquin (adjusted HR, 1.08 [95% CI, 0.63-1.85]), kombinasi

azitromisin dan hidroksikloroquin (adjusted HR, 1.35 [95% CI, 0.76-2.40]),

dibandingkan dengan kelompok yang tidak menerima keduanya terhadap

angka mortalitas selama perawatan di rumah sakit. 34

Studi ini merupakan studi observasional retrospektif, melibatkan 1438

pasien.34 Terdapat empat kelompok terapi, yaitu kelompok terapi kombinasi

azitromisin + hidroksikloroquin (n=735), kelompok azitromisin (n=211),

kelompok hidroksikloroquin (n=271), dan kelompok yang tidak

mendapatkan keduanya (n=221). Median usia dari empat kelompok terapi

tersebut serupa, yaitu 61.4 tahun pada kelompok terapi kombinasi

azitromisin + hidroksikloroquin, 65.5 tahun pada kelompok azitromisin, 61.4

kelompok hidroksikloroquin, dan 62.5 kelompok yang tidak mendapatkan

keduanya.34
65

Keluaran utama dari studi ini adalah angka mortalitas selama

perawatan di rumah sakit.34 Selain itu studi ini juga memiliki keluaran

sekunder berupa angka kejadian henti jantung dan penemuan hasil

elektrokardiografi (EKG) abnormal (aritmia atau pemanjangan interval

QT).34

Di jurnal ini, ditemukan juga bahwa angka kejadian henti jantung dan

penemuan hasil EKG abnormal paling rendah pada kelompok terapi

azitromisin, masing-masing 6.2% dan 16.1%, dibandingkan pada kelompok

terapi kombinasi azitromisin+hidroksikloroquin (15.5% dan 27.1%),

maupun hidroksikloroquin (13.7% dan 27.3%).34

Kelebihan dari jurnal ini adalah studi observasional retrospektif ini

melibatkan jumlah sampel yang besar, dan dilakukan randomisasi dalam

pemilihan sampel dari 25 rumah sakit di New York. Selain itu, pada

penelitian ini juga diteliti keluaran sekunder terkait efek samping

penggunaan azitromisin maupun hidroksikloroquin berupa kejadian henti

jantung dan penemuan hasil EKG abnormal. Namun, kekurangan dari

penelitian ini adalah bukan merupakan penelitian randomisasi acak

terkendali, sehingga efikasi penggunaan azitromisin dalam menatalaksana

COVID-19 tidak dapat sepenuhnya dipastikan.34


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan beberapa studi tentang efektivitas pemberian terapi

azitromisin dalam penatalaksanaan pasien COVID-19, dapat disimpulkan

bahwa Azitromisin terbukti efektif dalam mengatasi virus SARS-CoV-2,

karena Azitromisin memiliki kemampuan imunomodulator yang dapat

mereduksi pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi yang dipicu infeksi virus

SARS-CoV-2. Pemberian azitromisin dosis 500 mg satu kali sehari pada

hari pertama, diikuti 250 mg satu kali sehari pada empat hari berikutnya,

dapat mempersingkat durasi pemulihan pasien COVID-19 dan dapat

menurunkan angka mortalitas selama perawatan di rumah sakit.

Efektivitas pemberian terapi azitromisin secara klinis baik ketika

dikombinasikan dengan pemberian terapi hidroksikloroquin, baik dalam

mempersingkat durasi pemulihan maupun menurunkan angka mortalitas

selama perawatan. Akan tetapi jika dikombinasikan dapat menimbulkan

efek samping dan meningkatkan angka kejadian henti jantung dan

penemuan hasil EKG abnormal. Untuk menghindari itu, maka lebih baik

azitromisin hanya dikonsumsi tanpa adanya kombinasi dengan obat

lainnya untuk menghindari adanya efek samping tersebut.

66
67

5.2. Saran

Dibutuhkan studi uji acak terkendali dengan jumlah sampel yang

besar untuk mengevaluasi efektivitas pemberian terapi azitromisin dalam

menatalaksana pasien COVID-19. Sebaiknya diperlukan penelitian lebih

lanjut mengenai dosis yang tepat dan lama penggunaan pada pemberian

azitromisin terhadap pasien COVID-19.


DAFTAR PUSTAKA

1. Setiadi AP, Wibowo YI, Halim SV, Brata C, Presley B, Setiawan E.


Tata Laksana Terapi Pasien dengan COVID-19: Sebuah Kajian
Naratif. Indones J Clin Pharm. 2020;9(1):70–94.

2. World Health Organization. Naming the coronavirus disease (COVID-


19) and the virus that causes it. 2020;

3. Ghebreyesus TA. WHO Director-General’s opening remarks at the


media briefing on COVID-19-11 March 2020. World Health Organ.
2020;11.

4. World Health Organization. Coronavirus disease ( CO ID-19). 2020;

5. Walls AC, Park Y-J, Tortorici MA, Wall A, McGuire AT, Veesler D.
Structure, function, and antigenicity of the SARS-CoV-2 spike
glycoprotein. Cell. 2020;

6. Wang T, Du Z, Zhu F, Cao Z, An Y, Gao Y, et al. Comorbidities and


multi-organ injuries in the treatment of COVID-19. The Lancet.
2020;395(10228):e52.

7. Perlman S. Another decade, another coronavirus. 2020;

8. Oldenburg CE, Doan T. Azithromycin for severe COVID-19. The


Lancet. 2020;

9. Parra-Lara LG, Martínez-Arboleda JJ, Rosso F. Azithromycin and


SARS-CoV-2 infection: where we are now and where we are going. J
Glob Antimicrob Resist. 2020;

10. Gautret P, Lagier J-C, Parola P, Hoang VT, Meddeb L, Mailhe M, et


al. Hydroxychloroquine and azithromycin as a treatment of COVID-19:
results of an open-label non-randomized clinical trial. Int J Antimicrob
Agents. 2020 Jul;56(1):105949.

11. Arshad S, Kilgore P, Chaudhry ZS, Jacobsen G, Wang DD, Huitsing


K, et al. Treatment with hydroxychloroquine, azithromycin, and
combination in patients hospitalized with COVID-19. Int J Infect Dis.
2020;97:396–403.

12. Cavalcanti AB, Zampieri FG, Rosa RG, Azevedo LCP, Veiga VC,
Avezum A, et al. Hydroxychloroquine with or without Azithromycin in
Mild-to-Moderate Covid-19. N Engl J Med [Internet]. 2020 Jul 23

68
69

[cited 2020 Oct 10]; Available from:


https://doi.org/10.1056/NEJMoa2019014

13. Rosenberg ES, Dufort EM, Udo T, Wilberschied LA, Kumar J,


Tesoriero J, et al. Association of treatment with hydroxychloroquine or
azithromycin with in-hospital mortality in patients with COVID-19 in
New York state. Jama. 2020;

14. Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M,


Herikurniawan H, et al. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur
Terkini. J Penyakit Dalam Indones. 2020;7(1):45–67.

15. Isbaniah F. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus


Disease (Covid-19). 2020;

16. Van Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble


A, Williamson BN, et al. Aerosol and surface stability of SARS-CoV-2
as compared with SARS-CoV-1. N Engl J Med. 2020;382(16):1564–7.

17. Ong SWX, Tan YK, Chia PY, Lee TH, Ng OT, Wong MSY, et al. Air,
surface environmental, and personal protective equipment
contamination by severe acute respiratory syndrome coronavirus 2
(SARS-CoV-2) from a symptomatic patient. Jama.
2020;323(16):1610–2.

18. Li X, Geng M, Peng Y, Meng L, Lu S. Molecular immune


pathogenesis and diagnosis of COVID-19. J Pharm Anal. 2020;

19. Thevarajan I, Nguyen TH, Koutsakos M, Druce J, Caly L, van de


Sandt CE, et al. Breadth of concomitant immune responses prior to
patient recovery: a case report of non-severe COVID-19. Nat Med.
2020;26(4):453–5.

20. Yan G, Lee CK, Lam LT, Yan B, Chua YX, Lim AY, et al. Covert
COVID-19 and false-positive dengue serology in Singapore. Lancet
Infect Dis. 2020;20(5):536.

21. Salehi S, Abedi A, Balakrishnan S, Gholamrezanezhad A.


Coronavirus disease 2019 (COVID-19): a systematic review of
imaging findings in 919 patients. Am J Roentgenol. 2020;1–7.

22. Ford SM. Roach’s introductory clinical pharmacology. 11th Edition.


Philadelphia: Wolters Kluwers; 2018

23. Sandman Z, Iqbal OA. Azithromycin [Internet]. StatPearls [Internet].


StatPearls Publishing; 2020 [cited 2020 Oct 2]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557766/
70

24. Morris J. Brown, Pankaj Sharma, Fraz A. Mir, Peter N. Bennett.


Clinical pharmacology. 12ed. United State; Elsevier: 2019

25. Hosler S, Visovsky CG, Zambroski CH. Introduction to clinical


pharmacology. 9ed. United States; Elsevier: 2018.

26. Basic & Clinical Pharmacology | Bertram G. Katzung | download


[Internet]. [cited 2020 Oct 6]. Available from: https://b-
ok.asia/book/3425339/11b612/?wrongHash

27. Rosenberg ES, Dufort EM, Udo T, Wilberschied LA, Kumar J,


Tesoriero J, et al. Association of Treatment With Hydroxychloroquine
or Azithromycin With In-Hospital Mortality in Patients With COVID-19
in New York State. JAMA. 2020 Jun 23;323(24):2493.

28. Siswanto S, Utama OS, Adisetiadi AS, Pranasakti ME, Hakim MS.
Early hydroxychloroquine and azithromycin as combined therapy for
COVID-19: a case series. J Med Sci Berk Ilmu Kedokt [Internet]. 2020
Jun 12 [cited 2020 Oct 2];52(3). Available from:
https://jurnal.ugm.ac.id/bik/article/view/56441

29. Bleyzac N, Goutelle S, Bourguignon L, Tod M. Azithromycin for


COVID-19: More Than Just an Antimicrobial? Clin Drug Investig.
2020 Jun 12;1–4.

30. Echeverría-Esnal D, Martin-Ontiyuelo C, Navarrete-Rouco ME, De-


Antonio Cuscó M, Ferrández O, Horcajada JP, et al. Azithromycin in
the treatment of COVID-19: a review. Expert Rev Anti Infect Ther.
2020 Aug 27;

31. Touret F, Gilles M, Barral K, Nougairède A, van Helden J, Decroly E,


et al. In vitro screening of a FDA approved chemical library reveals
potential inhibitors of SARS-CoV-2 replication. Sci Rep. 2020 Aug
4;10(1):13093.

32. Guérin V, Lévy P, Thomas J-L, Lardenois T, Lacrosse P, Sarrazin E,


et al. Azithromycin and Hydroxychloroquine Accelerate Recovery of
Outpatients with Mild/Moderate COVID-19. Asian J Med Health. 2020
Jul 15;45–55.

33. Arshad S, Kilgore P, Chaudhry ZS, Jacobsen G, Wang DD, Huitsing


K, et al. Treatment with hydroxychloroquine, azithromycin, and
combination in patients hospitalized with COVID-19. Int J Infect Dis
IJID Off Publ Int Soc Infect Dis. 2020 Aug;97:396–403.

34. Rosenberg ES, Dufort EM, Udo T, Wilberschied LA, Kumar J,


Tesoriero J, et al. Association of Treatment With Hydroxychloroquine
71

or Azithromycin With In-Hospital Mortality in Patients With COVID-19


in New York State. JAMA. 2020 Jun 23;323(24):2493–502.
72

LAMPIRAN

REFERENSI 1
73

REFERENSI 2
74

REFERENSI 3
75

REFERENSI 4
76

REFERENSI 5
77

REFERENSI 6
78

REFERENSI 7
79

REFERENSI 8
80

REFERENSI 9
81

REFERENSI 10
82

REFERENSI 11
83

REFERENSI 12
84

REFERENSI 13
85

REFERENSI 14
86
87
88
89
90
91

REFERENSI 15
92
93

REFERENSI 16
94
95

REFERENSI 17
96

REFERENSI 18
97

REFERENSI 19
98

REFERENSI 20
99

REFERENSI 21
100
101

REFERENSI 22
102

Referensi 23
103
104

REFERENSI 24
105

REFERENSI 25
106

REFERENSI 26
107
108

REFERENSI 27
109
110
111

REFERENSI 28
112

REFERENSI 29
113
114

REFERENSI 30
115
116
117
118

REFERENSI 31
119
120

REFERENSI 32
121
122
123

REFERENSI 33
124
125

REFERENSI 34
126

Anda mungkin juga menyukai