Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

Meningitis dan Ensefalitis

Disusun Oleh:
Aqmarina Ajrina
2015730122

Pembimbing: dr. Ommy Ariansih, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK STASE PEDIATRI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Alhamdulillah karena dengan

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Referat “Meningitis dan

Ensefalitis” ini tepat pada waktunya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masi jauh dari sempurna. Oleh karena

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang

membaca, agar penulis dapat mengkoreksi dan dapat membuat laporan yang lebih baik

kedepannya.

Demikianlah laporan referat ini dibuat sebagai tugas di kegiatan klinis di Stase Ilmu

Kesehatan Anak Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih serta untuk menambah

pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, September 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang
membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen pada
pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai tanda dan
gejala kelaian susunan saraf pusat pada anak. pada anak Infeksi sebenarnya dapat disebabkan
oleh mikroba apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status imun hospes
dan epidemiologi patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh lebih sering
dari pada infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur dan parasit.
Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar: yang utamanya
melibatkan meninges (meningitis) dan terbatas pada parenkim (ensefalitis).1,2,7
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meninges atau
lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang yang terdiri
dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara klinis, meningitis bermanifestasi dengan
gejala meningeal (misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis
(peningkatan jumlah sel darah putih) dalam cairan cerebrospinal (CSS). Tergantung pada
durasi gejala, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Meningitis secara
anatomis dibagi menjadi inflamasi dura, kadang-kadang disebut sebagai pachymeningitis (agak
jarang) dan leptomeningitis, yang lebih umum dan didefinisikan sebagai peradangan pada
jaringan arakhnoid dan ruang subaraknoid.2
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi oleh infeksi
bakteri atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran darah dari bagian lain
dari tubuh ataupun dapat secara langsung (perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di dekat selaput otak.2
Meningitis piogenik (bakteri) terdiri dari peradangan meningens dan CSS
subarachnoid. Jika tidak diobati, meningitis bakteri dapat mengakibatkan kelemahan (debility)
seumur hidup atau kematian. Penyakit ini fatal sebelum era antimikroba, tapi dengan
munculnya terapi antimikroba, tingkat kematian secara keseluruhan dari meningitis bakteri
mengalami penurunan. Meskipun demikian, tetap sangat tinggi, mencapai sekitar
25%. Munculnya strain bakteri resisten telah mendorong perubahan dalam protokol antibiotik
di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat. Para agen infektif spesifik yang terlibat pada
meningitis bakteri bervariasi di antara berbagai kelompok umur pasien, dan peradangan bisa
berevolusi menjadi kondisi seperti ventriculitis, empiema, cerebritis.2
Meningitis juga bisa juga diklasifikasikan secara lebih spesifik berdasarkan etiologi
nya. Beberapa penyebab infeksi dan non-infeksi telah diidentifikasi. Contoh penyebab non-
infeksi yang umum termasuk obat-obatan ( misalnya, obat anti-inflammatory drugs [NSAID]
, antibiotik) dan carcinomatosis. 2
Meningitis akut bakteri, menunjukkan bakteri penyebab sindrom ini. Hal ini biasanya
ditandai dengan onset akut gejala meningeal dan pleositosis neutrophilic. Tergantung dari
bakteri spesifik penyebabnya, sindrom yang dapat disebut, misalnya, salah satu dari berikut:
meningitis Pneumococcal, meningitis Haemophilus influenzae, meningitis stafilokokus,
meningitis meningokokus , meningitis tuberkulosis. Tidak seperti subakut (1-7 hari) atau
kronis (> 7 hari) meningitis, yang memiliki etiologi infeksi dan non-infeksi yang sangat
banyak, meningitis akut (<1 hari) hampir selalu infeksi bakteri yang disebabkan oleh satu dari
beberapa organisme . Pasien dengan meningitis bakteri akut dapat dekompensasi sangat cepat,
sehingga mereka memerlukan perawatan darurat, termasuk terapi antimikroba, idealnya dalam
waktu 30 menit pada unit gawat darurat.2
Meningitis yang disebabkan oleh organisme nonbacterial, jamur dan parasit penyebab
meningitis juga disebut menurut agen spesifik penyebabnya, seperti meningitis kriptokokal,
meningitis Histoplasma, dan meningoencephalitis amebic.2
Meningitis viral, jika, setelah hasil pemeriksaan yang luas, meningitis aseptik
ditemukan memiliki etiologi virus, dapat direklasifikasi sebagai bentuk meningitis virus akut
(misalnya, meningitis enterovirus, meningitis herpes simplex virus [HSV]).2
Aseptic meningitis, dalam banyak kasus, penyebab meningitis tidak terlihat setelah
evaluasi awal dan karena itu diklasifikasikan sebagai meningitis aseptik. Pasien ini khas
memiliki onset akut gejala meningeal, demam, dan pleositosis serebrospinal yang biasanya
jelas limfositik. Ketika penyebab meningitis aseptik ditemukan, penyakit ini bisa
direklasifikasi sesuai dengan etiologi-nya. Jika metode diagnostik yang tepat dilakukan,
etiologi virus spesifik diidentifikasi dalam 55-70% kasus meningitis aseptik. Namun, kondisi
ini juga bisa disebabkan oleh agen bakteri, jamur, mikobakteri, dan parasit.2
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 MENINGITIS
DEFINISI
Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk dura, arachnoid dan pia
mater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi
(infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam likuor
cerebrospinal (LCS).3
2.1.1 ANATOMI 4
LAPISAN SELAPUT OTAK/ MENINGES
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi
arachnoidea dan piamater.

1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu
lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang
melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah
untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di
antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di
antara bagian-bagian otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam
tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal
darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium
terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke
crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana
duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri
membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing
hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli terbentang seperti
tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium
melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan
processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura
tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater,
terbenam dalam dua lamina dura.

Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges 13

2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu
anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam
sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi
arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis
superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki
circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke dalam
tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga
tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran
rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak
yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang
berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas
subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini
bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada
aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah
cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini
dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di
atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum.
Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure
lateralis (cisterna sylvii).

3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah
di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah
corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan
lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus
untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim
berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat
itu.

LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)


1. Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket pelindung dari
air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion, membawa
keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan memberikan
beberapa perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume venosus
volume cairan cerebrospinal).

2. Komposisi dan Volume


Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal rata-ratanya
yang lebih penting diperlihatkan pada tabel.

Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal 13


LCS terdapat dalam suatu system yang terdiri dari spatium liquor
cerebrospinalis internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara
keduanya melalui dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan
apetura medial dari ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa,
volume cairan cerebrospinal total dalam seluruh rongga secara normal ± 150 ml; bagian
internal (ventricular) dari system menjadi kira-kira setengah jumlah ini. Antara 400-
500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan direabsorpsi setiap hari.

3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air; perubahan
yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan. Takanan meningkat
bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor), volume
darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal (pada hydrocephalus)
karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak
dapat menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.

4. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis ke
dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus
quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui
foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system
ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan
memasuki rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas
otak ke dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi)
ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di piamater atau dinding ventricular, dan sisanya
berjalan melalui jonjot arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai
daerah – kebanyakan di atas konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal
minimum harus ada untuk mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu
sirkulasi cairan cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan
produksi dan reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.

Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis 14

2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan);
95 % terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur.
Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan
individu yang menderita penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras
kulit hitam, jenis kelamin laki-laki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 –
5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan
saluran pernafasan.7
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh
kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih
tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk.
Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas
tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi
dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian jarang
dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia
6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar
memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal secara neurologis dan intelektual.
Anak dengan meningitis tuberkulosis yang tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3-
5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis
dewasa.6,9,10

2.1.3 ETIOLOGI
Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis berdasarkan usia :3
a. 0 – 3 bulan :
Pada grup usia ini meningitis dapat disebabkan oleh semua agen termasuk bakteri,
virus, jamur, Mycoplasma, dan Ureaplasma. Bakteri penyebab yang tersering seperti
Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus selain E.Coli ( Klebsiella, Serratia
spesies, Enterobacter), streptococcus lain, jamur, nontypeable H.influenza, dan bakteri
anaerob. Virus yang sering seperti Herpes simplekx virus (HSV), enterovirus dan
Cytomegalovirus.

b. 3 bulan – 5 tahun
Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di Amerika Serikat, penyakit yang
disebabkan oleh H.influenza tipe B telah menurun. Bakteri penyebab tersering
meningitis pada grup usia ini belakangan seperti N.meningitidis dam S.Pneumoniae. H.
influenza tipe B masih dapat dipertimbangkan pada meningitis yang terjadi pada anak
kurang dari 2 tahun yang belum mendapat imunisasi atau imunisasi yang tidak lengkap.
Meningitis oleh karena Mycobacterium Tuberculosis jarang, namun harus
dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi dan jika
didapatkan anamnesis, gejala klinis, LCS dan laboratorium yang mendukung diagnosis
Tuberkulosis. Virus yang sering pada grup usia ini seperti enterovirus, HSV, Human
Herpesvirus-6 (HHV-6).

c. 5 tahun – dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada grup usia ini seperti
N.meningitidis dan S.pneumoniae. Mycoplasma pneumonia juga dapat menyebabkan
meningitis yang berat dan meningoencephalitis pada grup usia ini. Meningitis virus
pada grup ini tersering disebabkan oleh enterovirus, herpes virus, dan arbovirus. Virus
lain yang lebih jarang seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic choriomeningitis,
HHV-6, virus rabies, dan virus influenza A dan B.

Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi selain dapat


disebabkan oleh pathogen seperti di atas, harus juga dipertimbangkan oleh pathogen lain
seperti Cryptococcus, Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV.

Tabel 4. Etiologi Meningitis pada Anak


2.1.4 PATOGENESIS
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis
primer, biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput
otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui
pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang
kemudian pecah ke dalam rongga arachnoid (rich dan McCordeck). Kadang-kadang dapat
juga terjadi per-kontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis.
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningo-
ensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama batang otak
(brain stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan
gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan mengakibatkan
hidrocephalus serta kelainan saraf pusat. Tampak juga kelainan pembuluh darah seperti
Arteritis dan Phlebitis yang menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi
infark otak yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak.

2.1.5 PATOFISIOLOGI
Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran tuberculosis primer,
dengan focus infeksi di tempat lain. Biasanya fokud infeksi primer di paru, namun
Blockloch menemukan 22,8% dengan focus infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenja
limfe leher dan 1,2% tidak ditemukan adanya fokus infeksi primer. Dari focus infeksi
primer, basil masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional,
dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberculosis milier atau hanya menimbulkan
beberapa focus metastase yang biasanya tenang.
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich pada tahun 1951, yakni
bahwa terjadinya meningitis tuberculosis adalah mula-mula terbentuk tuberkel di otak,
selaupt otak atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara hematogen selama
infeksi primer atau selama perjalanan tuberculosis kronik (walaupun jarang). Kemudian
timbul meningitis akibat terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena
rangsangan mungkin berupa trauma atau factor imunologis. Basil kemudia langsung masuk
ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera setelah dibentuknya
lesi atau setelah periode laten beberapa bulan atau beberapa tahun. Bila hal ini terjadi pada
pasien yang sudah tersensitisasi, maka masuknya basil ke ruang subarachnoid
menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan perubahan pada cairan cerebrospinal.
Reaksi peradangan ini mula-mula timbul di sekitar tuberkel yang pecah, tetapi kemudian
tampak jelas di selaput otak pada dasar otak dan ependim. Meningitis basalis yang terjadi
akan menimbulkan komplikasi neurologis, berupa paralisis saraf kranialis, infark karena
penyumbatan arteria dan vena, serta hidrosefalus karena tersumbatnya aliran cairan
cerebrospinal.. perlengketan yang sama dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan
menyebabkan spinal block dan paraplegia.

2.1.6 MANISFESTASI KLINIS


Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat pada tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran
miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.

1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otal. Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu ringan, jarang
terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala.
Malaise, snoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak
manifestasi kelainan neurologis.

2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala diatas
menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh tubuh mulai
menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan
umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan
nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran
lebih menurun hingga timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial
dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar
dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-kadang
menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak
meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali

Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.

Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9


1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).

2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.


a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.

f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.


g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).
3. Gejala ransangan meningeal.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.

Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan
sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal
untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

Gambar 6. Tanda Brudzinski

Gambar 7. Tanda Kernig


Gambar 8. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 9. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa

Gambar 10. Opisthotonus dan Blank starring pada M.Meningococcus


2.1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pungsi Lumbal 1
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospimal yang paling sering dilakukan
pada segala umur, dan relatif aman
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis
9. Sepsis

Pungsi lumbal juga dilakukan pada demam yang tidak diketahui sebabnya dah pada
pasien dengan proses degeneratif. Pungsi lumbal sebagai pengobatan dilakukan pada
meningitis kronis yang disebabkan oleh limfoma dan sarkoidosis. Cairan serebrospinal
dikeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi rasa sakit kepala dan sakit pinggang. Pungsi
lumbal berulang-ulang juga dilakukan pada tekanan intrakranial meninggi jinak (beningn
intracranial hypertension), pungsi lumbal juga dilakukan untuk memasukkan obat-obat
tertentu.

Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar tempat
pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak ruang
dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum diobati.
Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan
kontraindikasi tetapi harus dilakukan dnegan hati-hati.

Komplikasi
Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, bila penggunaan jarum pungsi
tidak kering, jarum patah, herniasi dan tertusuknya saraf oleh jarum pungsi karena penusukan
tidak tepat yaitu kearah lateral dan menembus saraf di ruang ekstradural.

Alat dan Bahan


1. Sarung tangan steril
2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal

Prosedur
1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik
ke arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke arah dahi), dan sumbu
kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan
garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina
iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4
dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi.

Gambar 11. Lumbal Pungsi


3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan
povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup dengan duk steril di mana
daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai
sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1
menit.
5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum
perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka
ke atas sampai menembus duramater. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoid berbeda
pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan
meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di
bawah ini.)
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang
lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil cairan untuk
pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester

Pengukuran Tekanan Cairan Serebrospinal


Bila tusukan jarum pungsi lumbal tepat dan LCS mengalir keluar, manometer pengukur
tekanan LCS dihubungkan dengan pangkal jarum pungsi lumbal tersebut. LCS dibiarkan
mengalir mengisi manometer, dan tingginya cairan yang mengisi manometer diukur dalam
milimeter air. Nilai normal tekanan LCS 50-200 mm pada keadaan tenang. Pada anak yang
berontak, menangis atau batuk tekanan akan meningkat.

Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril untuk
pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan warnanya, kemudian
ditentukan adanya protein yang meninggi dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne.
Pada uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah
diisi dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar protein meninggi akan
didapatkan warna putih keruh atau endapan putih dalam tabung reaksi tersebut.
Pada uji Nonne, 0,5 ml LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah
diisi dengan 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh. Bila kadar protein LCS meningkat didapati
cincin putih pada perbatasan kedua cairan tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar protein,
glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan normal LCS
berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom.

Sel
Untuk menghitung jumlah sel LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam waktu 1 jam
sesduah pungsi, karena jika terlalu lama sebagia sel menempel di dinding tabung/botol,
sebagian sudah lisis sehingga mempengaruhi perhitungan. Jumlah sel leukosit normal pada
bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4 tahun 8 sel/ µl, reamaj dan dewasa 2,59 ± 1,73
leukosit /µl. Eritrosit biasanya tidak terdapat pada anak dan orang dewasa, kecuali pada pungsi
traumatik. Adanya sel neoplastik, plasmasit, sel stem dan eosinofil dalam LCS selalu abnormal.
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau pungsi
traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge) dan perhatikan
supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti perdarah lama, jika jernih
berarti pungsi traumatik.
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka kemungkinan pasien
menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus dini atau neoplasma.di Bagian ilmu
kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah sel LCS normal pada anak 20/3 per µl dan pada
neonatus minggu pertama 100/3 per µl, tetapi tergantung juga pada keadaan klinis pasien dan
diferensiasi sel.

Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain Barre, tumor
intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit degeneratif dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur 0-2
minggu, dan 30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat badan lahir
rendah kadar protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar protein yang tinggi pada
neonatus mungkin disebabkan oleh fungsi sawar darah otak yang belum matang dan adanya
perdarahan-perdarahan kecil saat partus.
Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya 50-90 mg/dl.
Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan kadar glukosa plasma dan kedua nilai
ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS kurang dari 50% kadar glukosa plasma, maka dapat
dikatakan bahwa kadar glukosa dalam LCS merendah. Penurunan kadar glukosa dalam LCS
didapati pada pasien dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput otak dan lain-lain.
Mikroorganisme
Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan pewarnaan gram.
Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga diagnosisnya secara cepat. Biakan LCS
dalam media dan uji sensitivitas terhadap obat dapat menentukan kuman penyebab yang
sebenarnya dan obat yang serasi.
Pemeriksaan penunjang pada meningitis tuberculosis adalah sebagai berikut:
- Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula darah. Leukosit
darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3). Sering ditemukan hiponatremia
dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak adekuat.
- Pungsi lumbal :
 Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau xantokrom
 Jumalh sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3.
Hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan
polimorfonuklear.
 Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun dibawah 35
mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal
 Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc tetap dilakukan.
 Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan dapat
memperkuat diagnosis dengan interval 2 minggu.
- Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan Latex particle agglutination dapat mendeteksi kuman Mycobacterium di
cairan serebrospinal (bila memungkinkan).
- Pemeriksaan pencitraan CT-Scan atau MRI kepala dengan kontras dapat menunjukkan
lesi parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun hidrosefalus.
- Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit Tuberkulosis.
- Uji Tuberkulin dapat mendukung diagnosis
- Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat menunjukkan
perlambatan gelombang irama dasar.9

2.1.8 DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah
gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberkulosis
dalam CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang tampak pada foto
roentgen thorak dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong
diagnosis. Uji tuberkulin pada Meningitis tuberkulosis sering negatif karena reaksi anergi
(false-negative), terutama dalam stadium terminalis.9

2.1.9 TATALAKSANA
Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics 1994 diberikan 4
macam obat selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10
bulan.
Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi obat anti-
tuberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila terdapat
kejang, koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau muntah-muntah dan
fisioterapi.

Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:


1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.
2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari.
5. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan tappering off
untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.

Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan memeriksa
tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan
volume cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup
untuk menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari,
dan perfusi jaringan yang memadai. Meskipun menghindari SIADH (Syndrome of
Inappropriate Antidiuretic Hormone) adalah penting, mengurangi dehidrasi pasien dan
risiko penurunan perfusi serebral sama-sama penting juga. Dopamin dan agen inotropik
lain mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang
memadai.
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,1-0,3 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat
diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan
pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan
dosis rumatan 4-5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut
kejang belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan dengan kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau
1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila
tidak tersedia diazepam, dapat digunakan langsung phenobarbital dengan dosis awal dan
selanjutnya dosis maintenance. Namun, jika pasien masih mengalami kejang maka dapat
dilakukan pemberian terapi yang sesuai dengan algoritma berikut:
Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang
sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit.

2.1.10 PENCEGAHAN
Vaksiniasi BCG memberikan efek proteksi (hampir 64%) terhadap meningitis TB.
Peningkatan berat badan dibandingkan umur berhubungan dengan penurunan resiko dari
penyakit ini.

2.1.11 PROGNOSIS
Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis tuberkulosis
hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat diturunkan walaupun
masih tinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus. Penyembuhan sempurna dapat juga
terlihat. Gejala sisa masih tinggi pada anak yang selamat dari penyakit ini, terutama bila
datang berobat dalam stadium lanjut. Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan
fungsi mata dan pendengaran. Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan
kejang. Keterlibatan hipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala
endokrin. Saat permulaan pengobatan umumnya menentukan hasil pengobatan.
2.2 ENSEFALITIS
2.2.1 Definisi
Ensefalitis adalah proses inflamasi pada parenkim otak yang menyebabkan disfungsi
serebral. Ensefalitis umumnya merupakan proses akut, tetapi dapat pula merupakan
ensefalomielitis pasca infeksi, suatu penyakit kronik degenerative, atau infeksi virus yang
berjalan lambat.

2.2.2. Epidemiologi
Ensefalitis terjadi pada 3 hingga 7 dari 100.000 pasien di dunia, yang mana 65% di
antaranya disebabkan oleh virus herpes simpleks (HPV). 8
Di Indonesia infeksi susunan saraf pusat menduduki urutan ke10 dari urutan
prevalensi penyakit, dengan angka kematian anak ensefalitis berkisar antara 18-40%
dengan angka kecacatan berkisar antara 30-50%. 9
Sedangkan untuk kasus meningoensefalitis, di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta pada
tahun 2012 didapatkan sekitar 21 kasus meningoensefalitis, yang mana 15 di antaranya
meninggal dunia, selain itu 17 di antaranya mengalami penurunan kesadaran. 10

2.2.3 Etiologi
Infeksi virus merupakan penyebab utama terjadinya ensefalitis. Virus yang paling
sering menyebabkan ensefalitis ialah enterovirus dan virus herpes simpleks. Virus HIV
dan virus campak (Human Immunodeficiency Virus) juga merupakan penyebab utama
terjadinya infeksi pada anak. Selain itu, ensefalitis dapat terjadi akibat adanya infeksi
bakteri seperti Mycobacterium tuberculosis yang merupakan penyebab kedua terbanyak
setelah infeksi virus. Ensefalitis juga dapat terjadi akibat adanya infeksi parasite seperti
Toxoplasma gondii. 1,10
Ensefalitis juga dapat disebabkan oleh arbovirus yang dapat ditularkan melalui vector
nyamuk.

2.2.4 Faktor Risiko


Sama seperti meningitis,risiko terjadinya ensefalitis juga meningkat pada anak-anak
yang belum menjalani vaksin yang terkait dengan mikroorganisme penyebab ensefalitis
seperti vaksin BCG, vaksin PCV, vaksin Hib (Haemophilus influenzae tipe B, dsb). Selain
itu, anak-anak dengan riwayat pembedahan saraf dan trauma kepala juga berisiko
mengalami ensefalitis.1

2.2.5 Patofisiologi

Mikroorganisme masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya


mikroorganisme dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah
masuk ke dalam tubuh mikroorganisme akan menyebar dengan beberapa cara:
1. Setempat : mikroorganisme hanya terbatas menginfeksi selaput lendir
permukaan atau organ tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer : mikroorganisme masuk ke dalam darah
kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ
tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder : mikroorganisme berkembang biak di
daerah pertama kali masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar
ke organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf : mikroorganisme berkembang biak di permukaan
selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi belum ada kelainan
neurologis. Mikroorganisme akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan
saraf pusat dan akhirnya diikuti oleh kelainan neurologis.
Setelah melewati sawar darah otak, mikroorganisme memasuki sel-sel neural yang
mengakibatkan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons
inflamasi yang secara difus menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra)
dengan substansia putih (alba).11

2.2.6 Gejala klinis1

Trias ensefalitis yang khas ialah : demam, kejang dan kesadaran menurun. Umumnya
ensefalitis diawali dengan suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan hiperpireksia.
Kesadaran dengan cepat menurun. Anak yang sudah besar sebelum kesadaran menurun,
sering mengeluh nyeri kepala.muntah sering ditemukan. Pada bayi terdapat jeritan dan
perasaan tak enak pada perut. Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal ayau hanya
twitching saja. kejang dapat brlangsung berjam-jam.
Gejala batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit sasraf kranial dan
perubahan pola pernapasan. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan
mencapai meningen. Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat
membantu diagnosis. Pada jaanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat
meradang gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan,
rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus. Rabies
memberi gejala pertama yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis, koma
pada stadium paralisis.
Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau subakut.
Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari. Selain
itu, gejala klinis ensefalitis dibagi menjadi beberapa stadium, yaitu:
Stadium Prodromal
• Berlangsung 2-3 hari dimulai dari keluhan sampai timbulnya gejala terserangnya
SSP.
• Demam, Nyeri kepala, dengan / tanpa menggigil.
• malaise, anoreksia, batuk, pilek, mual dan muntah, serta nyeri tekan epigastrium.
Stadium Akut
• Berlangsung 3-4 hari, demam tinggi yang tidak turun dengan antipiretik
• Nyeri dan kekakuan pada leher, kelemahan otot-otot, tremor, mual,muntah
kejang, penuruna kesadaran dari apatis-koma
• Kuduk kaku, refleks deep tendon meningkat/mnurun, refleks patologis babinsky
(+).

Stadium Subakut
• Gangguan SSP sudah berkurang
• Pneumonia ortostatik, ISK, dan dekubitus
• Gangguan fungsi saraf : paralisis spastik, hipertrofi otot

Stadium Konvalesens
• Kelemahan, letargi, gangguan koordinasi, tremor, neurosis,
• BB menurun, badan menjadi kurus dan gizi kurang.
• Gangguan mental berupa emosi tidak stabil, paralisis upper atau lower motor
neuron.
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang1
 Pencitraan / radiologi
Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain sebelum melakukan LP
(lumbal pungsi) atau ditemukan tanda neurologis fokal. Pencitraan mungkin berguna
untuk memeriksa adanya abses, efusi subdural, atau hidrosefalus.
 Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus (aktivitas
lambat bilateral). Pada Japanese B enchepalitis dihubungkan dengan tiga
tanda EEG :
- gelombang delta aktif yang terus-menerus
- gelombang delta yang disertai spike (gelombang paku)
- pola koma alpha
 Laboratorium
Biakan dari darah, viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar
mendapatkan hasil yang positif dari cairan likour serebrospinalis atau jaringan otak ; dari
feces untuk jenis enterovirus, sering didapatkan hasil positif.
 Analisis CSS
Analisis CSS (cairan serebrospinal) menunjukkan pleositosis) yang didominasi
oleh sel mononuklear) sekitar 5-1000 sel/m𝑚3 . Pada 48 Jam pertama infeksi,
pleositosis cenderung didominasi oleh sel polimorfonuklear, kemudian berubah
menjadi limfosit pada hari berikutnya. Kadar glukosa CSS biasanya dalam batas
normal dan jumlah protein meningkat. PCR (poymerase chain reaction) dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis ensefalitis. Pemeriksaan PCR pada cairan
serebrospinal biasanya positif lebih awal dibandingkan titer antibody.

2.2.8 Tatalaksana
Pemberian tatalaksana ensefalitis sama dengan pemberian tatalaksana meningitis,
yaitu dilakukan pemberian diazepam jika terjadi kejang, dan jika tidak ada perbaikan pada
kejang, maka dapat dilakukan tatalaksana sesuai dengan algoritme tatalaksana kejang.
Selain itu, penatalaksanaan mikroorganisme dan pemberian deksametason pada ensefalitis
juga diberikan jenis obat dan dosis yang sama dengan penatalaksanaan meningitis. 12
2.2.9 Komplikasi
Sama halnya dengan meningitis, komplikasi yang umumnya terjadi pada ensefalitis
adalah Syndrome of Inappropriate Secretion Anti Diuretic Hormone (SIADH) dan
peningkatan tekanan intracranial yang ditandai dengan sakit kepala, muntah yang
proyektil, penglihatan ganda dan penurunan kesadaran. 12
2.2.10 Prognosis
Pada pasien ensefalitis yang dapat bertahan hidup, gejala umumnya membaik setelah
beberapa hari sampai dengan 2-3 minggu, dan sebagian besar pasien yang terkena wabah
ensefalitis di Amerika Serikat dapat sembuh tanpa adanya gejala sisa. Namun, pada pasien
dengan kasus ensefalitis yang berat, maka dapat mengalami kematian atau gejala sisa yang
berat. Sekitar dua pertiga pasien dapat sembuh sempurna saat dipulangkan dari rumah
sakit, sedangkan sepertiganya pulang dengan penurunan gejala sisa seperti parese,
spastisitas,ataksia dan kejang berulang. Pada sebagian besar pasien dengan gejala sisa
akibat ensefalitis mengalami pemulihan fungsional secara bertahap saat dipulangkan dari
rumah sakit. Angka mortalitas akibat penyakit ini adalah sekitar 5%. Namun ensefalitis
yang diakibatkan oleh HSV dan Mycoplasma pneumoniae memiliki prognosis yang lebih
buruk, terutama yang menjangkiti anak berusia kurang dari 1 tahun atau anak yang
mengalami koma. 1

2.2.11 Pencegahan
Ensefalitis akibat arbovirus dapat dicegah dengan menghindari gigitan nyamuk atau
kutu, sementara vaksin untuk mencegah arbovirus ini belum ditemukan, begitu juga
dengan vaksin enterovirus. Sedangkan untuk mencegah ensefalitis Herpes Simpleks Virus
maka dapat dicegah dengan operasi bedah kaisar pada ibu dengan lesi genital yang aktif.
Sedangkan infeksi rabies dapat dicegah dengan vaksinasi pra dan pasca paparan.
Ensefalitis akibat virus influenza dapat dicegah dengan vaksin influenza. 1
BAB III
KESIMPULAN

Meningitis adalah proses infeksi dan inflamasi yang terjadi pada selaput otak. Infeksi
ini disertai dengan frekuensi komplikasi akut dan resiko morbiditas kronis yang tinggi. Klinis
meningitis dan pola pengobatannya selama masa neonatus (0 – 28 hari) biasanya berbeda
dengan polanya pada bayi yang lebih tua dan anak – anak.
Ensefalitis adalah proses inflamasi pada parenkim otak yang menyebabkan disfungsi
serebral. Ensefalitis umumnya merupakan proses akut, tetapi dapat pula merupakan
ensefalomielitis pasca infeksi, suatu penyakit kronik degenerative, atau infeksi virus yang
berjalan lambat.
Meningitis dapat terjadi karena infeksi virus, bakteri, jamur maupun parasit. Meskipun
demikian, pola klinis meningitis pada masa neonatus dan pasca – neonatus dapat tumpang
tindih, terutama pada penderita usia 1 – 2 bulan dimana Streptococcus group B, H. influenzae
tipe B, meningococcus, dan pneumococcus semuanya dapat menimbulkan meningitis.
Tanpa memandang etiologi, kebanyakan penderita dengan infeksi sistem saraf pusat
mempunyai sindrom yang serupa. Gejala – gejala yang lazim adalah : nyeri kepala, nausea,
muntah, anoreksia, gelisah dan iritabilitas. Sayangnya, kebanyakan dari gejala – gejala ini
sangat tidak spesifik. Tanda – tanda infeksi sistem saraf pusat yang lazim, disamping demam
adalah : fotofobia, nyeri dan kekakuan leher, kesadaran kurang, stupor, koma, kejang – kejang
dan defisit neurologis setempat. Keparahan dan tanda – tanda ditentukan oleh patogen spesifik,
hospes dan penyebaran infeksi secara anatomis
Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang signifikan di seluruh
dunia. Keadaan ini harus ditangani sebagai keadaan emergensi. Kecurigaan klinis meningitis
sangat dibutuhkan untuk diagnosis. Bila tidak terdeteksi dan tidak diobati, meningitis dapat
mengakibatkan kematian.
Selama pengobatan meningitis, perlu dimonitor efek samping penggunaan antiobiotik
dosis tinggi; periksa darah perifer serial, uji fungsi hati dan uji fungis ginjal. Perlu dilakukan
pemantauan ketat terhadap tumbuh kembang pasien yang sembuh dari meningitis.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed May 29th,2011.
3. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. Pediatric
Hospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
4. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. Accessed
June 1st, 2011.
5. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August
6th, 2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Accessed
May 29th, 2011.
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier saunders;
2005. h. 106-13.
7. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004.
h. 2038-47.
8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed May 29th, 2011.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta:
Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
10. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1.
Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
11. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
12. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview. Accessed May 29th, 2011.
13. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August
6th, 2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/ prevention.html.
Accessed June 1st, 2011.
14. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta: EGC.
15. World Health Organization. 2017. Meningitis.
https://www.who.int/emergencies/diseases/meningitis/en/ (Accessed date: 25th August
2019)
16. Centers for Disease Control and Prevention. 2018. Epidemiology of Meningitis
Caused by Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae, and Haemophilus
influenza. https://www.cdc.gov/meningitis/lab-manual/chpt02-epi.html (Accessed
date: 25th August 2019)
17. Wan,C. 2018. Viral Meningitis. https://emedicine.medscape.com/article/1168529-
overview#a5 (Accessed date: 25th August 2019)
18. Hidayati,O. 2015. Pola Penggunaan Antibiotik pada Pasien Meningitis di Instalasi
Rawat Inap RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Universitas Airlangga: Surabaya
19. Centers for Disease Control dan Prevention. 2019. Meningitis. CDC: Amerika Serikat.
https://www.cdc.gov/meningitis/index.html Accessed date: 25th August 2019)
20. (Hasbun,R. 2019. Meningitis. https://emedicine.medscape.com/article/232915-
overview#a3. Accessed date: 26th August 2019)
21. (Boucher,A. 2016. Epidemiology of Infectious Encephalitis causes in 2016. Elsevier:
Prancis
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0399077X1730077X?via%3Dihub.
Accessed date: 25th August 2019.)
22. Kusumawardani,H. 2014. Skoring Prognostik Ensefalitis pada Anak. Universitas
Indonesia: Jakarta
23. Pratiwi,A. 2015. Derajat Penurunan Kesadaran Sebagai Faktor yang Berhubungan
dengan Kematian Pasien Meningoensefalitis di Bangsal Saraf RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
24. Said,S. 2018. Encephalitis. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470162/.
Accessed date: 26th August 2019
25. Howes, D. 2018. Encephalitis. https://emedicine.medscape.com/article/791896-
clinical#b3. Accessed date: 26th August 2019
26. Starke, Jeffrey R., Lindsay A. Hatzenbuehler. 2016. Nelson Textbook of Pediatrics 20th
edition. Philadelphia : Elsevier.
27. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. 2016. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak.
28. Alatas, Husein., Dkk. 2007. Tuberkulosis dalam buku Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
29. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2016. Temukan Obati Sampai
Sembuh Tuberkulosis.
30. Sastroasmoro, Sudigdo. Dkk. 2007. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta : RSCM

Anda mungkin juga menyukai