Anda di halaman 1dari 39

AKUT ABDOMEN

Pembimbing :
Dr. Gatot Sugiharto, Sp. B

Oleh:
Aqmarina Ajrina

2015730013

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Akut abdomen merupakan sebuah terminologi yang menunjukkan adanya keadaan darurat
dalam abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan
pembedahan. Keadaan darurat dalam abdomen dapat disebabkan karena perdarahan,
peradangan, perforasi atau obstruksi pada alat pencemaan. Peradangan bisa primer karena
peradangan alat pencernaan seperti pada apendisitis atau sekunder melalui suatu peritonitis
karena perforasi tukak lambung, perforasi dari Payer’s patch,pada typhus abdominalis atau
perforasi akibat trauma.
Akut abdomen meliputi 20-40% dari pasien rawat inap, dan 50-65% dari kasus akut abdomen
tidak memiliki diagnosis awal yang akurat (Dombal and Margulies, 1996). Dalam sebuah
penelitian, diperoleh data bahwa penyebab terbanyak akut abdomen adalah nyeri abdomen
non spesifik (33,0%), diikuti dengan apendisitis akut (23,3%) dan kolik bilier (8,8%). Nyeri
abdomen non spesifik banyak terdapat pada wanita muda, sedangkan apendisitis akut banyak
pada pria muda, dan kolik bilier pada wanita tua. Hampir separuh kasus akut abdomen
memerlukan tindakan operatif.
Pada akut abdomen, apapun penyebabnya, gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut
pada daerah abdomen. Kadang-kadang penyebab utama sudah jelas seperti pada trauma
abdomen berupa vulnus abdominis penetrans namun kadang-kadang diagnosis akut abdomen
baru dapat ditegakkan setelah pemeriksaan fisik serta pemeriksaan tambahan berupa
pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan radiologi yang lengkap dan masa observasi yang
ketat. Pasien akut abdomen dapat jatuh pada kondisi yang mengancam nyawa. Oleh karena
itu, dalam penanganannya diperlukan diagnosis awal, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaan yang tepat.

 
BAB II
AKUT ABDOMEN
 
2.1 Definisi dan Epidemiologi

Istilah akut abdomen merupakan tanda dan gejala yang disebabkan penyakit intra
abdominal dengan nyeri sebagai keluhan utama, timbul mendadak, dan biasanya
membutuhkan terapi pembedahan. Banyak penyakit yang menimbulkan gejala di perut,
beberapa di antaranya tidak memerlukan terapi pembedahan, sehingga evaluasi pasien
dengan nyeri abdomen harus cermat.  Manajemen yang benar dari pasien dengan akut
abdomen memerlukan keputusan yang tepat terkait dengan waktu tentang perlunya untuk
melakukan operasi pembedahan.
Keputusan ini membutuhkan evaluasi dari riwayat pasien dan pemeriksaan  fisik, data
laboratorium, dan tes pencitraan. Sindrom acute abdominal pain menyebabkan sejumlah
besar kunjungan ke rumah sakit dan dapat terjadi pada mereka yang sangat muda, sangat tua,
laki-laki maupun perempuan, dan semua tingkatan sosioekonomi.
Semua pasien dengan nyeri abdomen harus menjalani evaluasi untuk menegakkan
diagnosis sehingga pengobatan tepat waktu dan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Kasus abdominal pain tercatat  5% sampai 10% dari semua kunjungan gawat darurat atau 5
sampai 10 juta pasien di Amerika Serikat.
Studi lain menunjukkan bahwa 25% dari pasien yang datang ke gawat darurat
mengeluh nyeri perut. Diagnosis bervariasi sesuai untuk kelompok usia, yaitu anak dan
geriatri. Sebagai contoh nyeri perut pada anak-anak lebih sering disebabkan oleh apendisitis ,
sedangkan penyakit empedu, usus diverticulitis, dan infark usus  lebih umum terjadi  pada
bayi.

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Perkembangan dari anatomi rongga perut dan organ-organ visera mempengaruhi


manifestasi, patogenesis dan klinis dari penyakit abdominal peritoneum dan persarafan
sensoris viseral sangat penting untuk evaluasi acute abdominal disease. Setelah 3 minggu
perkembangan janin, usus primitif terbagi menjadi  foregut, midgut, dan hindgut.  Arteri
mesenterika superior menyuplai dari ke midgut (bagian keempat duodenum sampai
midtransversal kolon). Foregut meliputi faring, esofagus, lambung, dan proksimal
duodenum, sedangkan hindgut terdiri dari kolon distal dan rektum.
Serabut aferen yang menyertai suplai vaskuler memberikan persarafan sensoris pada usus dan
terkait peritoneum viseral. Sehingga, penyakit pada proksimal
duodenum (foregut) merangsang serabut aferen celiac axis menghasilkan nyeri epigastrium.
Rangsangan di sekum atau apendiks (midgut) mengaktifkan saraf aferen yang menyertai
arteri mesenterika superior menyebabkan rasa nyeri di periumbilikalis, dan penyakit kolon
distal menginduksi serabut saraf aferen sekitar arteri mesenterika inferior menyebabkan nyeri
suprapubik. Saraf  prenikus dan serabut saraf aferen setinggi C3, C4, dan C5 sesuai
dermatom bersama-sama dengan arteri prenikus mempersarafi otot-otot diafragma dan
peritoneum sekitar diafragma. Rangsangan pada diafragma  menyebabkan nyeri yang
menjalar ke bahu. Peritoneum parietalis, dinding abdomen, dan jaringan lunak retroperitoneal
menerima persarafan somatik sesuai dengan segmen nerve roots.
Peritoneum parietalis kaya akan inervasi saraf sehingga sensitif terhadap rangsangan. 
Rangsangan pada permukaan peritoneum parietal akan menghasilkan sensasi yang tajam dan
terlokalisir di area stimulus. Ketika peradangan pada viseral mengiritasi pada peritoneum
parietal  maka akan timbul nyeri yang terlokalisir. Banyak “peritoneal signs” yang berguna
dalam diagnosis klinis dari acute abdominal pain.
Inervasi dual-sensorik dari kavum abdomen yaitu serabut aferen viseral dan saraf
somatik menghasilkan pola nyeri yang khas yang membantu dalam diagnosis. Misalnya,
nyeri pada apendisitis akut nyeri akan muncul pada area  periumbilikalis  dan nyeri akan
semakin jelas terlokalisir ke kuadran kanan bawah  saat peradangan melibatkan peritoneum
parietal.
Stimulasi pada saraf perifer akan menghasilkan sensasi yang tajam, tiba-tiba, dan terlokalisir
dengan baik. Rangsangan pada saraf sensorik aferen intraperitoneal pada acute abdominal
pain menimbulkan nyeri yang tumpul (tidak jelas pusat nyerinya), nyeri tidak terlokalisasi
dengan baik, dengan onset gradual/ bertahap dan durasi yang lebih lama. Nervus vagus  tidak
mengirimkan impuls nyeri dari usus.
Sistem saraf aferen simpatik mengirimkan nyeri dari esofagus ke spinal cord. Saraf
aferen dari kapsul hepar, ligamen hepar, bagian central dari diafragma, kapsul lien, dan
perikardium memasuki sistem saraf pusat dari C3 sampai C5. Spinal cord dari T6 sampai T9
menerima serabut nyeri dari bagian diafragma perifer, kantong empedu, pankreas, dan usus
halus. Serabut nyeri dari colon, appendik, dan visera dari pelvis memasuki sistem saraf pusat
pada segmen T10 sampai L11. Kolon sigmoid, rektum, pelvic renalis beserta kapsulnya,
ureter dan testis memasuki  sistem saraf pusat pada T11 dan L1. Kandung kemih dan kolon
rektosigmoid dipersarafi saraf aferen dari S2 sampai S4. Pemotongan, robek, hancur, atau
terbakar biasanya tidak menghasilkan nyeri di visera pada abdomen. Namun, peregangan atau
distensi dari peritoneum akan menghasilkan sensasi nyeri. Peradangan peritoneum akan
menghasilkan nyeri viseral, seperti halnya iskemia. Kanker dapat menyebabkan
intraabdominal pain jika mengenai saraf sensorik.
Abdominal pain dapat berupa viseral pain, parietal pain, atau reffered pain. Visceral
pain bersifat tumpul dan kurang terlokalisir dengan baik, biasanya di epigastrium, regio
periumbilikalis  atau regio suprapubik. Pasien dengan nyeri viseral mungkin juga mengalami
gejala berkeringat, gelisah, dan mual. Nyeri parietal atau nyeri somatik yang terkait dengan
gangguan intraabdominal akan menyebabkan nyeri yang lebih inten dan terlokalisir dengan
baik. Referred pain merupakan sensasi nyeri dirasakan jauh dari lokasi sumber stimulus yang
sebenarnya.
Misalnya, iritasi pada diafragma dapat menghasilkan rasa sakit di bahu. Penyakit
saluran empedu atau kantong empedu dapat menghasilkan nyeri bahu.
Distensi dari small bowel dapat menghasilkan rasa sakit ke bagian punggung bawah.
Selama minggu ke-5 perkembangan janin, usus berkembang diluar rongga peritoneal,
menonjol melalui dasar umbilical cord, dan mengalami rotasi 180○ berlawanan dengan arah
jarum jam. Selama proses ini, usus tetap berada di luar rongga peritoneal sampai kira-kira
minggu 10, rotasi embryologik menempatkan organ-oragan visera pada posisi anatomis
dewasa, dan pengetahuan tentang proses rotasi semasa embriologis penting secara klinis
untuk evaluasi pasien dengan acute abdominal pain karena variasi dalam posisi
( misalnya, pelvic atau retrocecal appendix).
 

2.3 Tanda dan Gejala


2.3.1 Nyeri perut
Keluhan yang paling menonjol pada gawat perut adalah nyeri. Nyeri perut ini dapat
berupa nyeri viseral maupun nyeri somatik, dan dapat berasal dari berbagai proses pada
berbagai organ di rongga perut atau diluar rongga perut, misalnya di rongga dada.

2.3.1.1 Jenis Nyeri Perut


2.3.1.1.1 Nyeri viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam rongga
perut, misalnya cedera atau radang. Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut
dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak peka terhadap perabaan, atau pemotongan.

Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa rasa nyeri pada
pasien. Akan tetapi bila dilakukan penarikan atau peregangan organ atau terjadi kontraksi
yang berlebihan pada otot sehingga menimbulkan iskemik, misalnya pada kolik atau radang
pada appendisitis maka akan timbul nyeri. Pasien yang mengalami nyeri viseral biasanya
tidak dapat menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh
telapak tangannya untuk menunjuk daerah yang nyeri. Nyeri viseral kadang disebut juga
nyeri sentral. Penderita memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan embrional
organ yang terlibat. Saluran cerna berasal dari foregut yaitu lambung, duodenum, sistem
hepatobilier dan pankreas yang menyebabkan nyeri di ulu hati atau epigastrium. Bagian
saluran cerna yang berasal dari midgut yaitu usus halus usus besar sampai pertengahan kolon
transversum yang menyebabkan nyeri di sekitar umbilikus.
Bagian saluran cerna yang lainnya adalah hindgut yaitu pertengahan kolon
transversum sampai dengan kolon sigmoid yang menimbulkan nyeri pada bagian perut
bawah. Jika tidak disertai dengan rangsangan peritoneum nyeri tidak dipengaruhi oleh
gerakan sehingga penderita biasanya dapat aktif bergerak.

2.3.1.1.2 Nyeri somatik


Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi saraf tepi,
misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri dirasakan
seperti disayat atau ditusuk, dan pasien dapat menunjuk dengan tepat dengan jari lokasi nyeri.
Rangsang yang menimbulkan nyeri dapat berupa tekanan, rangsang kimiawi atau proses
radang.
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang peritoneum dan
dapat menimbulkan nyeri. Perdangannya sendiri maupun gesekan antara kedua peritoneum
dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Gesekan inilah yang menjelaskan nyeri
kontralateral pada appendisitis akut. Setiap gerakan penderita, baik gerakan tubuh maupun
gerakan nafas yang dalam atau batuk, juga akan menambah intensitas nyeri sehingga
penderita pada akut abdomen berusaha untuk tidak bergerak, bernafas dangkal dan menahan
batuk.
2.3.1.2 Letak nyeri perut
Nyeri viseral dari suatu organ biasanya sesuai letaknya sama dengan asal organ
tersebut pada masa embrional, sedangkan letak nyeri somatik biasanya dekat dengan organ
sumber nyeri sehingga relatif mudah menentukan penyebabnya. Nyeri pada anak presekolah
sulit ditentukan letaknya karena mereka selalu menunjuk daerah sekitar pusat bila ditanya
tentang nyerinya. Anak yang lebih besar baru dapat menentukan letak nyeri.

2.3.1.3 Sifat nyeri


Berdasarkan letak atau penyebarannya nyeri dapat bersifat nyeri alih, dan nyeri yang
diproyeksikan. Untuk penyakit tertentu, meluasnya rasa nyeri dapat membantu menegakkan
diagnosis. Nyeri bilier khas menjalar ke pinggang dan ke arah belikat, nyeri pankreatitis
dirasakan menembus ke bagian pinggang. Nyeri pada bahu kemungkinan terdapat rangsangan
pada diafragma.

2.3.1.3.1 Nyeri alih


Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu daerah.
Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke bawah pada masa
embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau peradangan akan
dirasakan di bahu. Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri dirasakan pada daerah ujung
belikat. Abses dibawah diafragma atau rangsangan karena radang atau trauma pada
permukaan limpa atau hati juga dapat menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau kolik
pielum ginjal, biasanya dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti labia mayora pada
wanita atau testis pada pria.

2.3.1.3.2 Nyeri proyeksi


Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensoris akibat
cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal adalah nyeri phantom setelah amputasi,
atau nyeri perifer setempat akibat herpes zooster. Radang saraf pada herpes zooster dapat
menyebabkan nyeri yang hebat di dinding perut sebelum gejala tau tanda herpes menjadi
jelas.
 
2.3.1.3.3 Hiperestesia 
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada peradangan pada
rongga di bawahnya. Pada gawat perut, tanda ini sering ditemukan pada peritonitis setempat
maupun peritonitis umum. Nyeri peritoneum parietalis dirasakan tepat pada tempat
terangsangnya peritoneum sehingga penderita dapat menunjuk dengan tepat lokasi nyerinya,
dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan, nyeri gerak, nyeri batuk serta tanpa rangsangan
peritoneum lain dan defans muskuler yang sering disertai hipersetesi kulit setempat. Nyeri
yang timbul pada pasien akut abdomen dapat berupa nyeri kontinyu atau nyeri kolik.

2.3.1.3.4 Nyeri kontinyu


Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus menerus
karena berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang. Pada saat pemeriksaan
penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan
defans muskuler secara refleks untuk melindungi bagian yang meraadang dan menghindari
gerakan atau tekanan setempat.

2.3.1.3.5 Nyeri kolik


Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan biasanya
diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus, batu ureter, batu
empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul karena hipoksia yang dialami
oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi berbeda maka kolik dirasakan hilang timbul.
Kolik biasanya disertai dengan gejala mual sampai muntah. Dalam serangan,
penderita sangat gelisah. Yang khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan nyeri perut
yang hilang timbul mual atau muntah dan gerak paksa.

2.3.1.3.6 Nyeri iskemik          


Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap, dan tidak
mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam nekrosis. Lebih lanjut akan
tampak tanda intoksikasi umum seperti takikardia, keadaan umum yang jelek dan syok
karena resorbsi toksin dari jaringan nekrosis.

2.3.1.3.7 Nyeri pindah


Nyeri dapat berubah sesuai dengan perkembangan patologi. Misalnya pada tahap awal
appendisitis, sebelum radang mencapai permukaan peritoneum, nyeri viseral dirasakan di
sekitar pusat disertai rasa mual. Setelah radang mencapai diseluruh dinding termasuk
peritoneum viserale, terjadi nyeri akibat rangsangan yang merupakan nyeri somatik. Nyeri
pada saat itu dirasakan tepat pada peritoneum yang meradang, yaitu perut kuadran kanan
bawah. Jika appendiks mengalami nekrosis dan ganggren nyeri berubah lagi menjadi nyeri
yang hebat menetap dan tidak mereda. Penderita dapat jatuh pada keadaan yang toksis.

Pada perforasi tukak peptikduodenum, isi duodenum yang terdiri dari cairan asam
garam empedu masuk ke rongga abdomen sehingga merangsang peritoneum setempat. Pasien
akan merasakan nyeri pada bagian epigastrium. Setelah beberapa saat cairan duodenum
mengalir ke kanan bawah, melalui jalan di sebelah lateral kolon ascendens sampai sekitar
caecum. Nyeri akan berkurang karena terjadi pengenceran. Pasien sering mengeluh nyeri
berpindah dari ulu hati pindah ke kanan bawah.proses ini berbeda dengan yang terjadi pada
appendisitis akut. Akan tetapi kedua keadaan ini, appendisitis akut maupun perforasi
duodeum akan mengakibatkan general peritonitis jika tidak segera ditangani dengan baik.

 
2.3.1.4 Permulaan nyeri dan intensitas nyeri
Bagaimana bermulanya nyeri pada akut abdomen dapat menggambarkan sumber
nyeri. Nyeri dapat tiba-tiba hebat atau secara cepat berubah menjadi hebat, tetapi dapat pula
bertahap menjadi semakin nyeri. Misalnya pada perforasi organ berongga, rangsangan
peritoneum akibat zat kimia akan dirasakan lebih cepat dibandingkan proses inflamasi.
Demikian juga intensitas nyerinya. Sesorang yang sehat dapat pula tiba-tiba langsung
merasakan nyeri perut hebat yang disebabkan oleh adanya sumbatan, perforasi atau pluntiran.
Nyeri yang bertahap biasanya disebabkan oleh proses radang, misalnya pada kolesistitis atau
pankreatitis.

2.3.1.5 Posisi pasien


Posisi pasien dalam mengurangi nyeri dapat menjadi petunjuk. Pada pankreatitis akut
pasien akan berbaring ke sebelah kiri dengan fleksi pada tulang belakang, panggul dan lutut.
Kadang penderita akan duduk bungkuk dengan fleksi sendi panggul dan lutut. Pasien dengan
abses hati biasanya berjalan sedikit membungkuk dengan menekan daerah perut bagian atas
seakan-akan menggendong absesnya.
Appendisitis akut yang letaknya retrosaekum mendorong penderitanya untuk
berbaring dengan fleksi pada sendi panggul sehingga melemaskan otot psoas yang teriritasi.
Gawat perut yang menyebabkan diafragma teritasi akan menyebabkan pasien lebih nyaman
pada posisi setengah duduk yang memudahkan bernafas. Penderita pada peritonitis lokal
maupun umum tidak dapat bergerak karena nyeri, sedangkan pasien dengan kolik terpaksa
bergerak karena nyerinya.

2.3.2 Tanda-tanda Penting


2.3.2.1 Rovsing’s sign
Continuous deep palpation dimulai dari atas left iliac fossa (berlawanan arah jarum
jam sepanjang colon) menyebabkan nyeri di right iliac fossa, dengan mendorong isi usus
terhadap ileocaecal valve dan dengan demikian meningkatkan tekanan di sekitar appendix
(Rovsing, 1907).

2.3.2.2 Psoas sign


Psoas sign atau “Obraztsova’s sign” adalah nyeri right lower quadrant yang dihasilkan
dengan passive extension dari right hip pasien (pasien berbaring pada sisi kiri dengan lutut
fleksi) atau dengan active flexion dari right hip saat berbaring terlentang. Nyeri didapat
karena terjadi inflamasi peritoneum yang melapisi iliopsoas muscles dan inflamasi pada
psoas muscles. Meluruskan kaki menyebabkan nyeri karena meregangkan otot-otot ini,
sementara memfleksikan hip meregangkan iliopsoas dan menyebabkan nyeri.
2.3.2.3 Obturator sign
Jika appendix yang meradang berada dalam kontak dengan obturatorius internus,
spasme otot dapat ditunjukkan oleh rotasi meregangkan dan internal pinggul. Manuver ini
akan menyebabkan nyeri di hypogastrium vagina.

2.3.2.4 Dunphy’s sign


Nyeri bertambah saat batuk di right lower testicle quadrant.
2.3.2.5 Kocher (Kosher)’s sign
Nyeri pada epigastric region atau sekitar gaster dengan pergeseran nyeri di right iliac
region.

2.3.2.6 Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign


Nyeri bertambah di right iliac region saat pasien berbaring pada  salah satu sisi
tubuhnya.
2.3.2.7 Bartomier-Michelson’s sign
Nyeri bertambah saat palpasi di right iliac region ketika pasien berbaring pada salah
satu sisi tubuhnya dibandingkan saat pasien berada pada posisi terlentang.

2.3.2.8 Aure-Rozanova’s sign


Nyeri bertambah pada palpasi dengan jari di right Petit triangle (bisa menjadi tanda
positif Shchetkin-Bloomberg’s sign). Khas untuk posisi appendix retrocecal.

2.3.2.9 Blumberg sign


Juga disebut sebagai nyeri rebound. Palpasi mendalam visera atas appendix meradang
diduga diikuti dengan pelepasan tiba-tiba tekanan menyebabkan nyeri menunjukkan tanda
Blumberg positif dan peritonitis.
2.3.2.10 McBurney sign
            Tenderness pada 2/3 jarak antara umbilikus dan spina iliaka anterior superior.

2.3.2.11 Murphy sign


            Selama inspirasi, isi perut didorong ke bawah karena diafragma bergerak turun (dan
paru-paru membesar). Jika pasien berhenti bernapas (kantong empedu empuk dan bergerak
ke bawah, ada  kontak dengan jari-jari pemeriksa) dan mengernyit dengan ‘menangkap’ 
napas, tes ini dianggap positif. Sebuah tes positif juga tidak memerlukan rasa sakit pada
melakukan manuver di sisi kiri pasien.
2.3.2.12 Cullen sign
            Perubahan warna kebiruan periumbilikalis.

2.3.2.13 Grey-Turner sign


            Perubahan warna pada area flank.
2.3.2.14 Kehr sign
            Nyeri berat pada bahu kiri.

2.3.2.15 Chandelier sign


Manipulasi cervix menyebabkan pasien mengangkat panggulnya.
2.4 Penyebab
2.4.1 Penyebab Utama
Berikut adalah daftar beberapa kondisi yang mendasari akut abdomen yang sering
terlihat dalam komunitas (Kavanagh, 2004) :

1. Acute cholecystitis.
2. Acute appendicitis atau Meckel’s diverticulitis.
3. Acute pancreatitis.
4. Ectopic pregnancy.
5. Diverticulitis.
6. Peptic ulcer disease.
7. Pelvic inflammatory disease.
8. Intestinal obstruction, including paralytic ileus (adynamic obstruction).
9. Gastroenteritis.
10. Acute intestinal ischaemia/infarction or vasculitis.
11. Gastrointestinal (GI) haemorrhage.
12. Renal colic or renal tract pain.
13. Acute urinary retention.
14. Abdominal aortic aneurysm (AAA).
15. Testicular torsion.
16. Nonsurgical disease, e.g. myocardial infarction, pericarditis, pneumonia, sickle cell crisis,
hepatitis, inflammatory bowel disease, opiate withdrawal, typhoid, acute intermittent
porphyria, HIV-associated lymphadenopathy or enteritis.
Yang jarang terjadi diantaranya placenta percreta (Roca, 2009), phytobezoar (Andersson,
2009), dan thromboemboli (Reed, 2008).

2.4.2 Klasifikasi Penyebab Berdasar Lokasi Nyeri


Perkiraan penyebab berdasarkan fakta bahwa patologi struktur yang mendasari di
setiap regio cenderung memberikan nyeri perut maksimal di regio tersebut.

Hipokondria kanan Epigastric Hipokondria kiri

Pneumonia / embolisme Pankreatitis Pneumonia / embolisme lobus kiri


lobus kanan bawah paru bawah paru

Kolesistitis Gastritis Obstruksi besar pada bowel

Kolik billier Kolik peptikum

Hepatitis Infark miokardium

Lumbar Kanan Umbilical Lumbar kiri

Kolik renal Obstruksi kecil pada bowel Kolik renal

Appendicitis Intestinal iskemia Obstruksi besar pada bowel

Aneurisma aorta
Gastroenteritis

Crohn’s disease

Iliaka kanan Hypogastric Iliaka kiri

Appendicitis Cystitis Diverticulitis sigmoid

Crohn’s disease Retensi urin Patologi pada tuba ovarium kiri

Patologi pada tuba Dysmenorrhea


ovarium kanan

Endometriosis

Tabel 1.  Klasifikasi penyebab berdasar lokasi nyeri pada regio abdomen

2.5 Diagnosis

2.5.1 Anamnesis 
Dalam anamnesis penderita akut abdomen, perlu ditanyakan dahulu permulaan
nyerinya (kapan mulai, mendadak atau berangsur). Nyeri yang berangsur saat permulaan dan
bertambah berat disebabkan karena proses peradangan yang mendasarinya. Dari letaknya
(menetap, berpindah) dapat diperkirakan penyakit yang mendasarinya sesuai dengan asal
organ pada masa embrional atau sesuai dengan regio abdomen di mana organ itu berada.
Nyeri yang terlokalisasi di suatu tempat dan hilang timbul disebabkan kolik dari organ
berlumen. Keparahannya dan sifatnya (seperti ditusuk, tekanan, terbakar, irisan atau bersifat
kolik), seseorang yang sehat kemudian menderita nyeri perut yang hebat disebabkan oleh
adanya sumbatan, perforasi, atau puntiran.  Perubahan nyeri (bandingkan dengan
permulannya) sesuai dengan perkembangan patologi dari penyekit yang mendasarinya.

Misalnya pada tahap awal appendisitis, sebelum radang mencapai permukaan


peritoneum, nyeri viseral dirasakan di sekitar pusat disertai rasa mual. Setelah radang
mencapai diseluruh dinding termasuk peritoneum viserale, terjadi nyeri akibat rangsangan
yang merupakan nyeri somatik. Nyeri pada saat itu dirasakan tepat pada peritoneum yang
meradang, yaitu perut kuadran kanan bawah.

Lama nyeri bisa memberikan gambaran apakah termasuk akut, subakut, atau kronis.
Dan faktor yang mempengaruhinya seperti memperingan atau memperberat nyeri, misalnya
sikap tubuh, makanan, minuman, nafas dalam, batuk, bersin, defekasi, dan miksi.

Posisi pasien dalam mengurangi nyeri dapat menjadi petunjuk. Pada pankreatitis akut
pasien akan berbaring ke sebelah kiri dengan fleksi pada tulang belakang, panggul dan lutut.
Kadang penderita akan duduk bungkuk dengan fleksi sendi panggul dan lutut. Pasien dengan
abses hati biasanya berjalan sedikit membungkuk dengan menekan daerah perut bagian atas
seakan-akan menggendong absesnya.

Appendisitis akut yang letaknya retrosaekum mendorong penderitanya untuk


berbaring dengan fleksi pada sendi panggul sehingga melemaskan otot psoas yang teriritasi.
Gawat perut yang menyebabkan diafragma teritasi akan menyebabkan pasien lebih nyaman
pada posisi setengah duduk yang memudahkan bernafas. Penderita pada peritonitis lokal
maupun umum tidak dapat bergerak karena nyeri, sedangkan pasien dengan kolik terpaksa
bergerak karena nyerinya.

Muntah sering didapatkan pada pasien akut abdomen. Pada obstruksi usus tinggi,
muntah tidak akan berhenti dan bertambah berat. Konstipasi didapatkan pada obstruksi usus
besar dan pada peritonitis umum. Nyeri tekan didapatkan pada iritasi peritoneum.

Jika ada radang peritoneum setempat ditemukan tanda rangsang peritoneum yang
sering disertai defans muskuler. Pertanyaan mengenai defekasi, miksi daur haid, dan gejala
lain seperti keadaan sebelum serangan akut abdomen harus dimasukkan dalam anamnesis.

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan keadaan umum, wajah, denyut nadi,
pernafasan, suhu badan dan sikap berbaring. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok
dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan. Pada pemeriksaan perut inspeksi merupakan
bagian yang penting. Auskultasi dilakukan sebelum perkusi dan palpasi. Lipat paha dan
tempat hernia lain diperiksa secara khusus. Umumnya diperlukan colok dubur untuk
membantu penegakan diagnosis.

Pemeriksaan perut yang sukar dicapai seperti daerah retoperitoneal, regio subfrenik
dan panggul dapat dicapai secara tidak langsung dengan uji tertentu. Dengan uji iliopsoas
diperoleh informasi mengenai regio retroperitoneal, dengan uji obturator diperoleh informasi
mengenai panggul dan dengan perkusi tinju didapat informasi dari subfrenik. Dengan
menarik testis ke arah kaudal dapat dicapai daerah dasar panggul.

Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum douglas kurang memberikan
informasi pada peritonitis murni, nyeri pada satu sisi menunjukan kelainan di daerah panggul.
Colok dubur dapat membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus karena pada
paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampulanya
kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi kemungkinan kelainan di organ
ginekologis.

Pemeriksaan fisik meluputi inspeksi auskultasi perkusi dan palpasi. Tanda-tanda


khusus pada trauma daerah abdomen adalah penderita kesakitan. Pernafasan dangkal karena
nyeri didaerah abdomen. Penderita pucat, keringat dingin. Bekas-bekas trauma pada dinding
abdomen, memar, luka, prolaps omentum atau usus. Kadang-kadang pada trauma tumpul
abdomen sukar ditemukan tanda-tanda khusus, maka harus dilakukan pemeriksaan berulang
oleh dokter yang sama untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perubahan pada
pemeriksaan fisik. Pada ileus obstruksi terlihat distensi abdomen bila obstruksinya letak
rendah, dan bila orangnya kurus kadang-kadang terlihat peristalsis usus (Darm-steifung). 

Palpasi pada kasus akut abdomen memberikan rangsangan peritoneum melalui


peradangan atau iritasi peritoneum secara lokal atau umum tergantung dari luasnya daerah
yang terkena iritasi. Palpasi akan menunjukkan 2 gejala yaitu nyeri dan muscular rigidity/
defense musculaire. Nyeri yang memang sudah dan akan bertambah saat palpasi sehingga
dikenal gejala nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada peitonitis lokal akan timbul rasa nyeri di
daerah peradangan dan daerah penekanan dinding abdomen. Defense musculaire/ muscular
rigidity ditimbulkan karena rasa nyeri peritonitis diffusa dan rangsangan palpasi bertambah
sehingga terjadi defense musculaire.
Perkusi pada akut abdomen dapat menunjukkan 2 hal yaitu perasaan nyeri oleh
ketokan jari yang disebut sebagai nyeri ketok dan bunyi timpani karena meteorismus
disebabkan distensi usus yang berisikan gas karena ileus obstruksi letak rendah. Auskultasi
tidak memberikan gejala karena pada akut abdomen. Pemeriksaan rectal toucher atau
perabaan rektum dengan jari telunjuk juga merupakan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi
adanya trauma rektum atau keadaan ampulla recti apakah berisi faeces atau teraba tumor.

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Setelah data-data pemeriksaan fisik terkumpul diperlukan juga pemeriksaan tambahan
berupa Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan Hb diperlukan
untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan
pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya
infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak terutama pada kemungkinan ruptura
lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas
atau perforasi usus halus.
Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pads hepar. Pemeriksaan
urine rutin menunjukkan adanya trauma pads saluran kemih bila dijumpai hematuria. Urin
yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital. Pemeriksaan
radiologi foto thorak Selalu harus diusahakan pembuatan foto thorak dalam posisi tegak
untuk menyingkirkan adanya kelainan pada thoraks atau trauma pada thoraks. Harus juga
diperhatikan adanya udara bebas di bawah diafragma atau adanya gambaran usus dalam
rongga thoraks pada hernia diafragmatika.
Plain abdomen akan memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara
bebas retroperitoneal dekat duodenum, corpus alienum, perubahan gambaran
usus. Intravenous Pyelogram karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada
persangkaan trauma pada ginjal. Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan  Bereuna sebagai
pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya trauma
pada hepar dan retroperitoneum. Pemeriksaan khusus abdominal paracentesis Merupakan
pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam
rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari
rongga peritoneum setelah dimasukkan 100-200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit,
merupakan indikasi untuk laparotomi.
Pemeriksaan laparoskopi Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui
langsung sumber penyebabnya. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan
rektosigmoidoskopi. Pemasangan nasogastric tube (NGT) untuk memeriksa cairan yang
keluar dari lambung pada trauma abdomen. Dari data yang diperoleh melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan tambahan dan pemeriksaan khusus dapat diadakan analisis
data untuk memperoleh diagnosis kerja dan masalah-masalah sampingan yang perlu
diperhatikan. Dengan demikian dapat ditentukan tujuan pengobatan bagi penderita dan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan pengobatan.

 2.6 Manajemen
Keputusan untuk melakukan tindak bedah pada akut abdomen sangat bergantung pada
diagnosis. Jika sulit ditentukan apakah diperlukan operasi atau tidak, sebaiknya pasien
dipantau dengan seksama dan berulang-ulang diperiksa kembali. Sementara itu, saluran cerna
diistirahatkan dengan memuaskan pasien, dekompresi lambung dengan pemasangan pipa
lambung, dan pemberian infus.

Hampir semua kelainan akut abdomen memerlukan pembedahan untuk mengatasi


penyebabnya. Beberapa keadaan seperti kolesistitis akut, pankreatitis akut, atau radang
panggul pada tahap tertentu dapat ditanggulangi tanpa pembedahan.

Tanda dan hasil pemeriksaan yang memerlukan pertimbagan dilakukan laparotomi eksplorasi
diantaranya :

1. Pemeriksaan fisik

 Defans muskuler, khususnya jika meluas


 Nyeri tekan, terutama jika meluas
 Distensi abdomen, terutama jika ketegangan meningkat
 Massa yang nyeri, khususnya jika disertai suhu tinggi atau hipotensi
 Tanda yang meragukan disertai dengan :
 Tanda perdarahan seperti syok (dengan asidosis) atau anemia progresif
 Tanda sepsis seperti panas tinggi, takikardi, takipneu, leukositosis, perubahan mental
(takut, gelisah, atau somnolen)
 Tanda iskemi oleh gangguan vaskular atau strangulas :
 Tanda intoksikasi seperti suhu badan meningkat, takikardi, leukositosis
 Kondisi umum pasien memburuk saat ditangani
2. Pemeriksaan radiologik

 Pneumoperitoneum
 Distensi usus hebat yang bertambah
 Ekstravasasi bahan kontras
 Tumor disertai suhu tinggi
 Oklusi vena atau arteri mesenterika

3. Pemeriksaan endoskopi

 Perforasi saluran cerna


 Perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi

4. Hasil parasentesis atau laparoskopi

 Darah segar, empedu, nanah, isi usus, atau urin.


Pasien dengan perdarahan yang menyebabkan syok dan tidak dapat ditanggulangi secara
konservatif, jelas harus dioperasi. Penderita denga sindrom sepsis atau tanda strangulasi juga
memerlukan laparotomi segera.

Jika ditemukan pneumoperitoneum pada pemeriksaan rontgen biasanya ada perforasi


saluran cerna yang harus dibedah untuk menutup perforasi itu. Begitu pula bila ada
ekstravasasi bahan kontras. Demikian pula distensi usus yang progresif dan adanya tumor
disertai panas tinggi sering harus dioperasi.

Jika ditemukan tanda perforasi saluran cerna pada pemeriksaan endoskopi, perlu
dikerjakan laparotomi. Hal yang sama berlaku jika didapatkan darah segar, empedu, nanah,
isi usus, atau urin pada pemeriksaan parasentesis atau laparoskopi.
            Berikut adalah beberapa contoh manajemen  berdasar diagnosa :

2.6.1 Appendisitis akut


Appendectomy tetap-satunya terapi kuratif radang appendix, tetapi manajemen pasien dengan
massa appendiceal biasanya dapat dibagi menjadi 3 kategori berikut pengobatan:

 Pasien dengan phlegmon atau abses kecil: Setelah intravena (IV) terapi antibiotik,
appendectomy interval dapat dilakukan 4-6 minggu kemudian.
 Pasien dengan abses yang didefinisikan dengan baik yang lebih besar: Setelah drainase
perkutan dengan antibiotik IV dilakukan, pasien dapat dipulangkan dengan kateter di
tempat. Appendectomy  interval dapat dilakukan setelah fistula ditutup.
 Pasien dengan abses multicompartmental: Pasien-pasien ini membutuhkan drainase bedah
awal.
Meskipun ada banyak kontroversi atas manajemen nonoperative apendisitis akut, antibiotik
memiliki peran penting dalam pengobatan pasien dengan kondisi ini. Antibiotik
dipertimbangkan untuk pasien dengan appendisitis harus memiliki jangkauan penuh aerobik
dan anaerobik.
Durasi administrasi terkait erat dengan tahap appendisitis pada saat diagnosis, baik
mempertimbangkan temuan intraoperatif atau evolusi pasca operasi. Menurut beberapa
penelitian, profilaksis antibiotik harus diberikan sebelum setiap appendectomy. Ketika pasien
menjadi afebris dan sel darah putih (WBC) count normal, pengobatan antibiotik dapat
dihentikan. Cefotetan dan Cefoxitin tampaknya menjadi pilihan terbaik dari antibiotic.

2.6.2 Kolik Bilier


Terapi utama kolik bilier adalah menggunakan analgesic kuat seperti diklofenak 3×50
mg atau ibuprofen. Walaupun secara teoritis pemberian analgesic opioid seperti morfin dapat
meningkatkan nyeri karena menyebabkan spasme otot sphincter Odii, pemberian opioid
sangat efektif dalam menghilangkan nyeri pada kondisi akut. Pada kasus berat, pasien harus
rawat inap, diberi analgesic intravena dan cairan untuk menggantikan kehilangan cairan
melalui muntah.

Terapi definitive batu empedu termasuk:

 Kolesistektomi (open surgical atau dengan endoskopi)


 Menggunakan terapi oral untuk melarutkan garam empedu dan mengeluarkan batu,
seperti ursodeoxycholic acid (UDCA), bila operasi dianggap tidak aman. Terapi ini dapat
juga digunakan sebelum operasi.
 Menggunakan teknik keyhole untuk membuka sphincter Odii dan mengambil batu, atau
mengalirkan batu keluar dengan endoscopic retrograde
choliangiopancreatography (ERCP). Bila terdapat striktur atau penyempitan saluran
empedu, dapat dilakukan sphincterotomi.

2.6.3 Crohn’s disease


Tujuan utama dari pengobatan penyakit Crohn adalah mencapai kondisi klinis,
laboratoris, dan histologis sebaik mungkin dengan menekan respon inflamasi. Pada anak-
anak juga diperhatikan bagaimana cara agar pasien mendapat nutrisi yang adekuat untuk
pertumbuhan. Terapi diberikan secara bertahap. Pasien dengan kondisi ringan diobati
dengan aminosalicylic acid (5-ASA), antibiotik, dan terapi nutrisi. Bila tidak ada respon atau
bila kondisi semakin memburuk maka dapat diberikan kortikosteroid dan terapi
imunomudalsi dengan 6-mercaptopurine (6-MP; Purinethol) atau methotrexate (Folex PFS,
Rheumatrex). Tindakan operasi memainkan peran penting dalam mengontrol gejala dan
mengobati komplikasi penyakit Crohn.

2.6.4 Sistitis 
Pada sistitis tanpa komplikasi dapat diberikan antibiotik Cotrimoksasol 2 x
1,  Ciprofloksasin 2 x 1, selama 5 hari terapi. Karena keadaan nyeri yang sangat menganggu
karena kontraksi buli – buli dapat  diberikan antispasmodik  seperti papaverin, atau hyoscine
butil-bromide. Jika nyeri tidak teratasi dapat diberikan analgetik. Pasien disarankan banyak
minum, jangan minum alkohol, kopi, soda, yang  menyebabkan iritasi pada buli –  buli.

2.6.5 Retensi Urin


Bila diagnosis retensi urin sudah ditegakkan secara benar, penatalaksanaan ditetapkan
berdasarkan masalah yang berkaitan dengan penyebab retensi urinnya.

Pilihannya adalah :

1. Kateterisasi
2. Sistostomi suprapubik (trokar; terbuka)

3. Pungsi suprapubic.

2.6.6 Dysmenorrhea
1) Dismenore Primer

a. Psikoterapi

b. Medikamentosa

– Analgetika:

Nyeri ringan: aspirin, asetaminofen, propoksifen.

Nyeri berat: prometazin, oksikodon, butalbital

– Sediaan hormonal: progestin, pil kontrasepsi (estrogen rendah dan progesteron tinggi).

– Antiprostaglandin.

2) Dismenore Sekunder

Pengobatan terutama ditujukan mencari dan menghilangkan penyebabnya, di samping


pemberian obat-obat bersifat simtomatik.

2.6.7 Endometriosis
Penanganan endometriosis di bagi menjadi 2 jenis terapi yaitu terapi medik dan terapi
pembedahan.
1. Terapi medik diindikasikan kepada pasien yang ingin mempertahankan kesuburannya atau
yang gejala ringan
2.    Terapi pembedahan dapat dilaksanakan dengan laparoskopi untuk mengangkat kista-
kista, melepaskan adhesi, dan melenyapkan implantasi dengan sinar laser atau elektrokauter.
Tujuan pembedahan untuk mengembalikan kesuburan dan menghilangkan gejala. Terapi
bedah konservatif dilakukan pada kasus infertilitas, penyakit berat dengan perlekatan hebat,
usia tua. Terapi bedah konservatif antara lain meliputi pelepasan perlekatan, merusak
jaringan endometriotik, dan rekonstruksi anatomis sebaik mungkin.

2.6.8 Abses Tubo Ovarian


a. Curiga ATO utuh tanpa gejala

–   Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan : doksiklin 2x / 100 mg /


hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x 500 mg / hari, selama 1 minggu.

–  Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau mungkin membesar adalah
indikasi untuk penanganan lebih lanjut dengan kemungkinan untuk laparatomi

b. ATO utuh dengan gejala :

–   Masuk rumah sakit, tirah baring posisi “semi fowler”, observasi ketat tanda vital dan
produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika perlu pasang infuse P2

–   Antibiotika massif (bila mungkin gol beta lactar) minimal 48-72 jam

Gol ampisilin 4 x 1-2 gram selama / hari, IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg BB / hari,
IV/im terbagi dalam 2×1 hari selama 5-7 hari dan metronida xole 1 gr reksup 2x / hari atau
kloramfinekol 50 mg / kb BB / hari, IV selama 5 hari metronidzal atau sefaloosporin generasi
III 2-3 x /1 gr / sehari dan metronidazol 2 x1 gr selama 5-7 hari

–   Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi

–   Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan seluruh organ


genetalia interna
c. ATO yang pecah, merupakan kasus darurat : dilakukan laporatomi pasang drain kultur
nanah

– Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin generasi III dan metronidazol 2 x 1 gr


selama 7 hari (1 minggu).

2.6.9 Sigmoid Diverticulitis


Sebagian besar pasien divertikulosis hanya mengalami gejala minimal atau tidak sama sekali
dan tidak memerlukan terapi spesifik. Diet tinggi serat disarankan untuk mencegah konstipasi
dan pembentukan divertikulum lainnya. Pasien dengan gejala ringan nyeri abdomen karena
spasme otot pada area divertikulum dapat diberi obat anti spasmodic seperti klordiazepoxid,
dicyclomin, atropine, scopolamine, fenobarbital, atau hyoscyamin.

Pasien juga diberi antibiotic seperti ciprofloksasin, metronidazol, cephalexin, atau


doksisiklin. Cairan dan makanan berserat rendah disarankan selama serangan akut
diverticulitis sehingga dapat mengurangi jumlah yang dikeluarkan melalui kolon yang dapat
memperparah diverticulitis. Pada diverticulitis berat dengan demam tinggi dan nyeri, pasien
dirawat inap dan diberi antibiotic intravena.

Operasi dilakukan pada:

 Pasien dengan obstruksi usus persisten dan abses yang tidak berespon pada antibiotic.
Operasi biasanya dilakukan dengan drainase pus dan reseksi segmen kolon yang
mengandung divertkulum, biasanya kolon sigmoid.
 Pendarahan divertikulum persisten.
 Komplikasi divertikulum pada kandung kemih, seperti infeksi saluran kemih berulang dan
keluarnya gas usus selama urinasi.
 Pasien dengan serangan diverticulitis berulang yang sering dan menyebabkan penggunaan
berbagai antibiotic, kebutuhan rawat inap, dan cuti bekerja.
Operasi dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi untuk membatasi nyeri post
operasi dan waktu penyembuhan.

2.6.10 Kolesistitis 
Kolesistitis akut dapat sembuh sendiri, namun pasien kolesistitis perlu rawat inap dan
pemberian antibiotic untuk mencegah infeksi. Intake oral dihentikan dan diberikan cairan
intravena untuk mengistirahatkan pencernaan. Di samping itu, dapat diberikan obat-obatan
untuk mengatasi nyeri abdomen hebat. Sebagian besar pasien kolesistitis memerlukan
kolesistektomi. Karena kandung empedu bukan organ esensial, pasien masih dapat hidup
normal setelah kolesistektomi.

2.6.11 Hepatitis Akut 


Infeksi virus hepatitis A akan mengalami penyembuhan sendiri apabila tubuh cukup
kuat sehingga pengobatan hanya untuk mengurangi keluhan yang ada, disertai pemberian
vitamin dan istirahat yang cukup. Infeksi virus hepatitis B pada dewasa sehat 99% akan
mengalami perbaikan, tetapi apabila infeksi berlanjut dan menjadi kronis pemberian analog
nukleosida (lamivudin) dapat memberikan hasil yang baik. Infeksi virus hepatitis C jarang
mengalami penyembuhan spontan, sehingga diperlukan pemberian antivirus dengan
interferon  monoterapi memberikan hasil yang baik hingga 70%. 

Perawatan di rumah sakit atau dengan isolasi diperlukan apabila penderita mengalami
komplikasi dari hepatitis ini.

Terapi suportif dilakukan dengan pembatasan aktivitas, pemberian makanan terutama harus
cukup kalori. Hindari obat hepatotoksik seperti paracetamol, INH, Rifampisin.

TERAPI MEDIKAMENTOSA :

 Ursedeoksikolikasid (UDCA)
 Obat anti virus : interferon, lamivudin, ribavirin.
 Prednison khusus untuk VHA bentuk kolestatik.
 Kolestasis berkepanjangan diberi vitamin larut dalam lemak dan terapi simptomatis untuk
menghilangkan rasa gatal yaitu kolestiramin.
 Hepatitis fulminan dirawat intensif.
 
2.6.12 Pneumonia lobus bawah
Penderita yang tidak dirawat di RS:
 Istirahat ditempat tidur, bila panas tinggi di kompres
 Minum banyak
 Obat-obat penurunan panas, mukolitik, ekspektoran
 Antibiotika
Penderita yang dirawat di Rumah Sakit, penanganannya di bagi 2 :

Penatalaksanaan Umum
 Pemberian Oksigen
 Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit
 Mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan jalan nafas
 Obat penurunan panas hanya diberikan bila suhu > 400C, takikardi atau kelainan jantung.
 Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.

Pengobatan Kausal
Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan :

 Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan


pemberian antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi.
 Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit, oleh karena
itu diputuskan pemberian antibiotika secara empiric. Pewarnaan gram sebaiknya
dilakukan.
 Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita.
Pengobatan awal biasanya adalah antibiotic, yang cukup manjur mengatasi pneumonia oleh
bakteri., mikoplasma, dan beberapa kasus ricketsia. Kebanyakan pasien juga bisa diobati di
rumah. Selain antibiotika, pasien juga akan mendapat pengobatan tambahan berupa
pengaturan pola makan dan oksigen untuk meningkatkan jumlah oksigen dalam darah. Pada
pasien yang berusia pertengahan, diperlukan istirahat lebih panjang untuk mengembalikan
kondisi tubuh. Namun, mereka yang sudah sembuh dari pneumonia mikoplasma akan letih
lesu dalam waktu yang panjang.

2.6.13 Gastroenteritis
Gastroenteritis terjadi secara akut dan dapat sembuh dengan sendirinya tanpa
membutuhkan terapi farmakologi. Terapi objektif adalah mengganti kehilangan cairan dan
elektrolit. Rehidrasi oral pada anak lebih dipilih dengan dehidrasi ringan sampai
sedang.Metoclopramide dan ondansentron dapat sangat berguna pada anak

1. Rehidrasi
Terapi primer gastroenteritis pada anak dan dewasa adalah rehidrasi yaitu mengganti
kehilangan air dan elektrolit. Hal ini dapat dicapai dengan terapi rehidrasi oral (oral
rehydration terapi/ORT), tetapi pemberian intravena diperlukan jika terdapat penurunan
kesadaran atau terdapat gangguan motilitas dari traktus gastrointestinal.21,22 Terapi rehidrasi
dengan karbohidrat kompleks yang terbuat dari gandum atau beras bisa lebih dibanding
dengan karbohidrat sederhana.Minuman bergula seperti softdrink dan jus buah tidak
direkomendasikan pada anak kurang dari 5 tahun karena dapat memperparah diare.Air putih
dapat digunakan apabila rehidrasi dengan karbohidrat sederhana tidak tersedia.
2. Medikasi
1. Antiemetics
2. Antibiotics
3. Antimotility agents
4. antispasmotics

2.6.14 Iskemi Intestinal


Berbagai pendekatan terapi tersedia untuk iskemi usus berdasar pada ketajaman dan
luasnya penyakit. Adanya tanda-tanda peritoneal perlu dilakukan eksplorasi bedah, di mana
infark usus mungkin telah terjadi. Reseksi usus infark serta embolectomy dapat dicapai
selama proses ini. Dengan tidak adanya tanda-tanda peritoneal, embolectomy bedah masih
dianggap sebagai standar perawatan. Namun, pendekatan radiologi intervensi telah efektif
digunakan.

Infus Intra-arteri agen trombolitik seperti streptokinase, urokinase atau aktivator


plasminogen jaringan rekombinan telah terbukti efektif bila digunakan dalam waktu 12 jam
onset gejala. Embolectomy bedah berpantang mendukung pendekatan yang kurang invasif
mungkin tepat pada pasien dengan risiko operasi yang cukup. Dalam non-oklusif iskemia
mesenterika, infus dari vasodilator intra-arteri, seperti papaverine ke dalam arteri mesenterika
superior mungkin semua yang diperlukan untuk membalikkan vasokonstriksi dan mencegah
infark usus.

Pada pasien dengan trombosis vena mesenterika, pencarian keadaan yang mendasari
hiperkoagulasi penting untuk mencegah rekuren penyakit. Kehadiran tanda-tanda peritoneal
harus segera dilakukan eksplorasi bedah. Pada pasien asimptomatik, antikoagulan dapat
diberikan 3-6 bulan dengan evaluasi berulang. Beberapa studi menunjukkan bahwa
pemberian heparin diikuti warfarin meningkatkan survival. Pasien dengan kondisi medis
tertentu seperti kelainan pembekuan dan atrial fibrilasi memerlukan antukoagulan seumur
hidup.

Revaskularisasi menunjukkan perbaikan gejala jangka panjang sampai 96% pada


pasien dengan iskemi mesenterika kronis yang dapat dilakukan operasi. Bypass graft
terdokumentasi dengan harapan hidup 5 tahun 78%. Dekade sebelumnya, percutaneous
transluminal mesenteric angioplasty dengan atau tanpa stent merupakan alternatif terapi
untuk pasien yang telah diseleksi. Penelitian sebelumnya menunjukkan angiopasty 
memberikan hasil yang sama dengan bypass dan embolektomy pada sedikit pasien. Alternatif
ini digunakan pada pasien dengan risiko tinggi revaskularisasi.

Beberapa indikasi kolitis iskemi perlu dimanajemen (Kotak 3). Pada banyak kasus,
iskemi membaik saat hipoperfusi yang mendasarinya juga membaik. Banyak pasien
membutuhkan istirahat usus dan perawatan pendukung.Antibiotik profilaksis sering diberikan
tapi keuntungannya belum bisa dibuktikan. Kolitis iskemik fulminant terjadi dengan
gangrene atau perforasi jarang terjadi dan membutuhkan eksplorasi segera. Pada beberapa
kasus, kolitis iskemik  tidak sepenuhnya membaik dan dapat berkembang menjadi striktur
kolitis segmental kronis. Jika gejala menetap lebih dari 2-3 minggu, merupakan indikasi
untuk kolektomy segmental. Jika striktur iskemi asimptomatik, observasi dikerjakan dengan
beberapa keadaan membaik dalam 12-24 bulan.

2.6.15 Aneurysm Aorta


Pengobatan aneurisma tergantung kepada ukurannya. Jika lebarnya kurang dari 5 cm,
jarang pecah; tetapi jika lebih lebar dari 6 cm, sering pecah. Karena itu pada aneurisma yang
lebih lebar dari 5 cm, dilakukan pembedahan. Pada pembedahan dimasukkan pencangkokan
sintetik untuk memperbaiki aneurisma.
2.6.16 Kolik Renal
Sebagian besar batu kecil berlalu spontan dan hanya manajemen nyeri diperlukan.
Diklofenak dan antispasmodics seperti butil bromida hiosin dapat digunakan. Tapi dokter
tidak harus memberikan morfin untuk meringankan rasa sakit, karena itu menimbulkan
tekanan ureter dan memperburuk kondisi.

Biasanya tidak ada posisi antalgic untuk pasien (berbaring pada sisi non-sakit dan
menerapkan botol panas atau handuk untuk daerah yang terkena dapat membantu). Jika rasa
sakit tidak terlalu intens, rilis lebih cepat dari batu dapat dicapai dengan berjalan kaki. Batu
yang lebih besar mungkin memerlukan intervensi bedah untuk pengangkatan mereka, seperti
perkutan nephrolithotomy.

2.6.17 Pankreatitis Akut


Pengobatan untuk pancreatitis akut tergantung dari kondisinya, apakah ringan tanpa
komplikasi atau parah dengan resiko komplikasi serius.

Pankreatitis akut ringan


Tujuan utama dalam pengobatan pancreatitis akut ringan adalah untuk mendukung
fungsi tubuh selama pancreas berada dalam masa pemulihan. Dukungan ini ada dalam tiga
bentuk :

– Penghilang nyeri. Karena pancreatitis akut ringan dapat menimbulkan nyeri sedang hingga
berat, penghilang nyeri yang kuat digunakan untuk mengobati gejala tersebut. Mungkin juga
dibutuhkan obat untuk mengontrol mual dan muntah.

– Gizi. Untuk mengistirahatkan pancreas, gizi diberikan melalui selang makan

– Cairan intravena. Karena tubuh dapat mengalami dehidrasi selama pancreatitis akut, cairan
dimasukkan melalui selang yang dihubungkan dengan vena.

Jika tidak ada komplikasi, pankreatitis akut membaik dalam beberapa hari. Kebanyakan
pasien yang menderita pancreatitis akut ringan akan siap meninggalkan rumah sakit dalam 5-
7 hari.

Pankreatitis akut berat


Pada kasus pancreatitis akut berat, peradangan jaringan pancreas sangat parah
sehingga beberapa diantaranya mengalami mati/nekrosis. Nekrosis jaringan sangat berbahaya
karena jaringan yang mati merupakan lahan yang baik utnuk infeksi bakteri yang dapat
menyebar ke dalam darah (sepsis) dan bagian loain dari tubuh sehingga menyebabkan
kegagalan berbagai macam organ.

Hal lain yang membahayakan dari pancreatitis akut berat adalah hilangnya cairan
yang banyak dari tubuh yang akan mengurangi jumlah darah dalam tubuh (syok
hipovolumik). Syok hipovolumik dapat mengancam jiwa karena tubuh membutuhkan darah
kaya oksigen untuk bertahan. Untuk mengatasinya maka perlu dimasukkan dalam ICU.
Penyuntikan antibiotic digunakan untuk menghindari jaringan yang mati dari infeksi.

Cairan intravena digunakan untuk mengganti kehilangan cairan dan mencegah syok
hipovolumik. Peralatan pernafasan digunakan untuk menilai pernafasan dan selang makanan
digunakan untuk nutrisi tubuh. Pembedahan mungkin dibutuhkan untuk mengambil jaringan
mati dari pancreas. Pasien tinggal di ICU sampai resiko infeksi, kegagalan organ dan syok
hipovolumik sudah teratasi. Hal ini bisa membutuhkan 14 hari rawat inap atau bisa lebih jika
pancreatitis akut memberat.

Mengobati penyebab utama


Penting untuk mengobati penyebab utama sehingga tidak jatuh pada kondisi yang
lebih berat. Jika batu empedu bertanggungjawab terhadap terjadinya penyakit, perlu dirujuk
untuk pembedahan mengambil batu empedu. Perlu juga saran untuk mengonsumsi makanan
rendah lemak untuk mengurangi jumlah kolesterol dalam darah dan mengurangi resiko untuk
terbentuknya batu empedu. Selain itu perlu disarankan untuk tidak merokok dan minum-
minuman keras.

2.6.18 Gastritis
Obat-obatan yang mengurangi jumlah asam lambung dapat mengurangi gejala dari
gastritis dan membantu penyembuhan permukaan lambung. Obat-obatan tersebut adalah :
– Antasid, seperti Alka-Seltzer, Maalox, Mylanta, Rolaids dan Rio-pan. Banyak merk
dipasaran menggunakan kombinasi yang berbeda dari 3 dasar garam –magnesium, kalsium
dan aluminium- dengan hidroksida atau ion bikarbonat untuk menetralkan asam di lambung.
Obat-obatan ini dapat menimbulkan efek samping seperti diare atau konstipasi.

– Penghambat Histamin 2 (H2), seperti famotidine (pepcid ac) dan ranitidine (zantac 75).
Penghambat H2 menurunkan produksi asam.

– Penghambat pompa proton (PPIs), seperti omeprazole (prilosec, zegerid), lansoprazoloe


(prevacid), pantoprazole (protonix), rabeprazole (aciphex), esomeprazole (nexium) dan
dexlansoprazole (kapidex). PPIs meneurunkan produksi asam lebih efektif dibanding
penghambat H2.

Pengukuran atau pengobatan tambahan mungkin dibutuhkan tergantung dari


penyebab gastritis. Sebagai contoh, jika gastritis disebabkan penggunaan NSAID jangka
panjang, dokter mungkin menyarankan pasien untuk menghentikan konsumsi NSAID,
menurunkan dosis NSAID atau mengganti kepada obat penghilang nyeri yang lain. PPIs
digunakan untuk mencegah stress lambung pada pasien dengan sakit berat.

Mengobati infeksi H. pylori merupakan hal yang penting, walaupun orang tersebut


tidak menunjukkan gejala dari infeksi. Infeksi H. pylori yang tidak diobati dapat
menyebabkan terjadinya kanker atau ulkus pada lambung dan usus kecil. Pengobatan yang
paling sering adalah terapi yang mengkobinasikan PPI dan dua antibiotic –biasanya
amoxicillin dan clarithromycin- untuk membunuh bakteri. Pengobatan dapat termasuk
bismuth subsalicylate (pepto-bismol) untuk membunuh bakteri.
Setelah pengobatan, dokter akan menggunakan pernafasan atau feses untuk
meyakinkan bahwa sudah tidak ada infeksi H. pylori. Mengobati infeksi dapat diharapkan
untuk menyembuhkan gastritis dan untuk menurunkan resiko penyakit yang berhubungan
dengan gastritis seperti ulkus peptikum, kanker lambung dan limfoma.

2.6.19 Obstruksi Usus Besar


Pasien dengan sumbatan usus diobati di rumah sakit. Selang nasogastrik dimasukkan
lewat hidung hingga lambung untuk membantu mengeluarkan kelebihan udara pada lambung
dan usus. Pasien akan diberikan cairan intravena karena tidak diperbolehkan makan atau
minum.

Sumbatan usus total membutuhkan operasi untuk memperbaiki dan menghilangkan


penyebab sumbatan (tumor, perlengketan striktur) atau mengencangkan bagian usus yang
berisiko untuk terjadi volvulus kembali. Pada operasi ini, bagian usus yang rusak atau mati
juga dipotong (Harvard, 2010). Operasi segera dalam 12 – 24 jam, emergensi jika cecum
kaku atau diameter usus lebih dari 8 cm. Pasang selang flatus/beri barium enema untuk
mengatasi volvulus sigmoid.

Biasanya dokter akan menunggu sambil melihat perkembangan dari sumbatan usus
sebelum melakukan operasi. Sebagian pasien mungkin mebutuhkan operasi untuk
menghilangkan penyebab sumbatan dan mencegah sumbatan selanjutnya, tapi tidak semua
pasien membutuhkan operasi.

DAFTAR PUSTAKA
 
 Andersson P, Kvitting JP, Druvefors P; A phytobezoar in the acute abdomen. Am J
 Brewer BJ, Golden GT, Hitch DC, et al: Abdominal pain: An analysis of 1,000
consecutive cases in a University Hospital emergency room. Am J Surg 131:219-223,
1999.
 Buschard K, Kjaeldgaard A: Investigation and analysis of the position, fixation,
length, and embryology of the vermiform appendix. Acta Chir Scand 139:293-298,
1993.
 Cordell WH, Keene KK, Giles BK, et al: The high prevalence of pain in emergency 
 medical care. Am J Emerg Med 20:165-169, 2002.
 Cornbluth A, Sachar DB, Salomon P. 1998. Crohn’s disease. Sleisenger &
Fordtran’s Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis, and
Management. Vol 2. 6th. Philadelphia, Pa: WB Saunders Co.
 Craig, et al. 2011. Appendicitis Treatment and
Management. Emedicine.medscape.com.
 D’Haens G, Baert F, van Assche G, et al. 2008. Early combined immunosuppression
or conventional management in patients with newly diagnosed Crohn’s disease: an
open randomised trial http://www.ncbi..nlm.nih.gov/pubmed/18295023
 Diethelm AG, Stanley RJ, Robbin ML: The acute abdomen. In Sabiston DC
(ed): Textbook of Surgery: The Biological Basis of Modern Surgical Practice, 15th ed.
Philadelphia, WB Saunders, 1997, pp 825-846.
 Dombal FT, Margulies M. 1996. Acute Abdominal Pain. Gut.bmj.com
 Graff LG, Robinson D: Abdominal pain and emergency department evaluation.
Emerg Med Clin North Am 19:123-136, 2001.
 Gray SW, Skandalakis JE: Embryology for Surgeons: The Embryological Basis for
the Treatment of Congenital Defects. Philadelphia, WB Saunders, 1997).
 Holder, Andre. 2011. Dysmenorrhea in Emergency
Medicine  (http://emedicine.medscape.com/article/795677
 Kavanagh S; The acute abdomen – assessment, diagnosis and pitfalls. UK MPS
Casebook 2004 Feb;12(1):11-17
 Miettinen,et al.1996.Acute Abdominal Pain in
Adults. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8739926
 Mudgil,Shikha.2009.TuboOvarianAbscess (http://emedicine.medscape.com/article/ 40
4537-overview, diakses pada tanggal 28 Juni 2011)
 Panes J, Gomollon F, Taxonera C, et al. 2007.  Crohn’s disease: a review of current
treatment with a focus on biologics (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18034589
 Reed GL, Ibebuogu UN, Thornton JW,; An unrecognized cause of acute abdomen in
peripartum cardiomyopathy. South Med J. 2008 Apr;101(4):447-8.
 Sjamsuhidajat, et al. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC
 Surg. 2009 Feb;197(2):e21-2. Epub 2008 Sep 11. [abstract] Swierzewski, Stanley
J. 2011. Acute Urinary Retention http://www.healthcommunities.com/acute-urinary-
retention/overview-of-acute-urinary-retention.shtml
 Tessy, Agus dkk. 2003. Sistitis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
 Thoreson R, Cullen JJ.2007. Pathophysiology of  inflammatory bowel disease: an
overview(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17560413
 Tierney LM. 2001. Crohn’s disease.  Current Medical Diagnosis and Treatment.
40th ed. New York, NY: McGraw-Hill Professional Publishing.
 Widjarnako,B.2009.Endometriosis. (http://obfkumj.blogspot.com/ Endometriosis.html

Anda mungkin juga menyukai