Anda di halaman 1dari 10

PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
masih melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul ”Makna Tuntutan Kalimat Tayyibah” ini
dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan,bimbingan dan arahan


dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, kami
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing mata
kuliah ini, yang telah membimbing dalam pembuatan makalah ini.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan untuk langkah-langkah selanjutnya apabila ada kesalahan ataupun kekeliruan
dalam penyusunan makalah ini, sehingga kedepannya akan lebih baik lagi. Akhirnya
kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang
telah terkait terkait dalam penyusunan makalah ini, emoga segala bantuan, bimbingan
dan arahan yang diberikan mendapat ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT,
Aamiin....
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kalimat Thayyibah secara bahasa adalah perkataan yang baik. Dalam Islam,
Kalimat thayyibah adalah setiap ucapan yang mengandung kebenaran dan kebajikan yang
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Berikut beberapa kalimat tayyibah

1. Bismillahirrokhmaanirrohim. Kalimat Basmalah yang artinya: ”Dengan menyebut


Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” ini diucapkan setiap kali kita
akan mengawali suatu pekerjaan atau perbuatan. Dengan membaca Basmalah
dimaksudkan agar pekerjaan yang akan kita lakukan dapat terlaksana dengan baik dan
mendapatkan keberkahan dari Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. yang
artinya,“Tiap-tiap urusan penting menjadi putus berkahnya jika tidak dimulai dengan
ucapan Bismillâhir-rahmânir-rahîm.”(HR. ar-Rahawy).

2. Assalamu'alaikum. Salam berarti keselamatan, jadi memberi doa kepada orang lain
agar selamat. Makna salam adalah mendoakan kepada orang lain agar selamat di
manapun berada, dalam kondisi apa pun juga tidak terbatas waktunya bukan untuk waktu
siang, sore atau malam saja.

3. Subhanallah Artinya: Maha suciAllah. Subhanallah disebut juga bacaan tasbih.Zat


yang paling suci di alam semesta ini hanyalah Allah, maka sesuai dengan artinya, kalimat
ini mengandung makna penyucian nama dan Zat Allah. Nama Allah harus tetap suci dari
segala bentuk kemusyrikan dan kekurangan. Karena Allah-lah pemilik segala
kesempurnaan. Semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah, memuji
kebesaran Allah, Firman Allah yang Artinya: "Apa yang ada di langit dan apa yang ada
dibumi senantiasa bertasbih kepada Allah. Maharaja, Yang Maha Suci, Yang Maha
perkasa,Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Jumu'ah: 1)

4. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Kalimat zikir ini merupakan pengakuan
terhadap kefanaan manusia dan ke-Maha Kuasaannya Allah ini diucapkan ketika
seseorang mengambil keputusan (ber'azam). Kalimat thayyibah ini adalah pancaran dari
sikap tawakal seseorang.

5. Laailaahaillallah. Dalam Hadis Nabi Muhammad disebutkan keutamaan kalimat


thayibah laa ilaahaillallah wahdahu lah syarika laka lahulmulku malhamdu yuhyi
wahuwa’ala kulli syai’in qadir maka Allah akan menetapkan seratus kebaikan dan
menghapuskan seratus kejahatan dan keburukan.

6. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un. Salah satu dari kalimat tayyibah itu adalah " Inna
Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un ". Kalimat ini disebut dengan kalimat tarji'. Ketika kita
mendengar atau mendapatkan teman, saudara, atau tetangga kita terkena musibah, maka
di anjurkan membaca kalimat tarji'. Misalnya jika ada orang meninggal dunia atau sakit
keras, terkena, kecelakaan, atau musibah lainnya.

7. Astaghfirullah. Dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 135 Allah menyatakan prihal
orang- orang yang mendapat mendapat kenikmatan setelah mereka bertaubat, "Orang
orang yang berbuat kekejian atau menzalimi dirinya lalu ingat kepada Allah, maka minta
ampunlah untuk mereka atas dosa-dosa yang dilakukan." Sungguh Maha Suci Allah
Yang Maha Sempurna, setelah Ia ciptakan manusia sebagai makhluk hidup yang secara
sunnatullah bisa berbuat khilaf, sekaligus Ia berikan penawar bagi kekhilafan tersebut.
Bagi manusia yang pandai mengunakan penawar ini, maka manusia tidak akan terserang
penyakit hati yang serius.

B. Rumusan Masalah

 Apa konsep taqwa kepada Allah?


 Bagaimana konsep cinta kepada Allah?
 Bagaimana konsep cinta kepada Rasulullah?

C. Tujuan Penulisan
 Agar mengetahui konsep taqwa
 Agar mengetahui konsep cinta kepada Allah
 Agar mengetahui konsep cinta kepada Rasulullah
D. Manfaat Penulisan
 Memberikan pembelajaran tentang konsep taqwa
 Mengembangkan konsep cinta kepada Allah
 Mengembangkan konsep cinta kepada Rasulullah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep taqwa kepada Allah


Kata taqwa berasal dari waqaa-yaqii-wiqaayatan. Struktur penyusunannya adalah
huruf wa, qaf, dan ya. Dibaca waqaa,dengan arti menjaga dan menutupi sesuatu dari
bahaya.1 Bila kata ini digunakan berdasarkan kaitannya dengan Allah, maka makna
taqwa adalah melindungi diri dari azab-Nya dan hukuman-Nya.2 Hal ini senada dengan
pendapat Sayyid Thanthawi yang menjelaskan bahwa taqwa secara bahasa berarti
melindungi dan menjaga diri dari segala sesuatu yang membahayakan dan menyakiti.3

Diantara identitas seorang muslim adalah ketaqwaannya kepada Allah.


Kandungan makna taqwa berkonotasi akan terealisasinya semua syariat Islam dalam
kehidupan seorang muslim. Ia merefleksikan sinegritas antara rasa takut, kepatuhan dan
kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya, yang membuahkan sebuah ketauhidan yang
mutlak. Taqwa juga menjangkau aspek yang sangat luas meliputi Iman, Islam dan Ihsan
yang berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an dengan beragam variasi. Oleh sebab itu,
pemahaman taqwa menjadi sangat urgen mengingat bahwa ia hadir sebagai tema global
yang telah mengundang banyak penafsiran.

Taqwa dapat diartikan sebagai sebuah bentuk kepatuhan dengan cara menjalankan
perintah dan menjauhi larangan Allah, maka dalam perintah tersebut terdapat anjuran
untuk menjaga, merawat dan memelihara, yang daripadanya manusia akan mendapatkan
faedah dan manfaat dari kepatuhannya untuk menjaga, merawat dan memelihara, serta
terhindar dari bahaya dan segala larangan Allah. Diantara bentuk kehati-hatian lainnya,
sebagai contoh seperti yang dijelaskan oleh Qurthubi, adalah sedikit berbicara. Hal ini
dipertegas oleh Abu Yazid al-Busthomi, yang mengatakan bahwa orang yang bertaqwa
adalah orang yang ketika berbicara sesuai dengan petunjuk Allah, dan apabila berbuat,
perbuatannya bersumber dari petunjuk Allah.4

1
Luwis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa A’lām, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), hal: 915.
2
Muhammad Rasyid Ibnu Ali Ridho, Tafsir Al-Mannar, (Kairo: Al-Hayah al- Mishriyyah al-
‘amah lilkitab, 1990), hal: 105.
3
Muhammad Sayyid Thanthawi, At-Tafsir Al-Washit, Juz I (Kairo: Nahdah Al-Misr, 1997 ), hal:
13. Lihat juga, al-Raghib al-Asfahaniy, Mu‘jam Mufradat Alfaz Al-Qur ‘an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972),
hal: 568. Lihat juga, Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al- ‘Azim, (Beirut: Dal al-Fikr, 1992), hal: 55. Lihat juga,
Muhammad Ibnu Umar al-Zamakhsyari,. al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqdwil Fi Wujuh
al~Ta ‘wii, (Beirut: Dal al-Fikr, 1977), hal: 120.
4
Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Tafsir Al-
Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Fikr, 1964), hal: 203.
Hal-hal yang membahayakan diri tersebut dapat dihindari dengan memenuhi
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan yang menjerumuskannya kedalam neraka.
5
Implikasi dari ketaqwaan tersebut menjadikan orang yang bertaqwa mendapatkan faedah
atau manfaat yang besar serta kemuliaan dari ketaqwaannya.6Mempertegas pengertian
diatas, menurut K.H Achmad Baydhowi Asro, taqwa adalah menjaga, merawat atau
memelihara. Yakni sebutan bagi siapapun yang melindungi dan mencegah dirinya dari
apa yang membahayakannya di Akhirat. Taqwa menurut Baydhowi memiliki tiga
tingkatan. Pertama, adalah melindungi diri dari azab yang kekal di akhirat, yakni dengan
menghindari perbuatan syirik. Kedua, melindungi diri dari segala perbuatan yang dapat
mengotorinya, hingga perbuatan-perbuatan yang kecil. Ketiga, adalah memisahkan
keburukan dari kebenaran.7

Makna dari kehati-hatian adalah sikap waspada seseorang yang dengannya


senantiasa memperhatikan baik buruknya sesuatu. Ia disebut sebagai furqan. Kemampuan
untuk membedakan antara hal-hal yang baik dan buruk ataupun yang benar dengan yang
batil, menuntut seseorang untuk menguasai dan mengetahui secara mendalam hakikat
sesuatu tersebut.8 Karena dengan pengetahuan itu ia akan benar-benar dapat memutuskan
sesuatu sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan oleh syariah Islam. Selain itu,
ketaqwaan dapat diartikan pula sebagai dicabutnya kecintaan kepada syahwat dari diri
seseorang yang melebihi kecintaannya kepada Allah. Taqwa juga menggambarkan
seseorang yang menghindari syirik dan lepas atau terbebas dari kemunafikan.

Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa taqwa dapat diartikan sebagai sebuah
bentuk kehati-hatian, menjaga, merawat dan memelihara diri, baik dari nafsu syahwat,
perbuatan syirik, ataupun segala hal yang menyebabkan seseorang menerima azab Allah
di akhirat. Lebih jauh, seorang yang bertaqwa memiliki kemampuan untuk memisahkan
antara yang haq dan yang batil, atau dengan bahasa lain, ia memiliki sifat furqan. Jadi,
pada hakikatnya orang yang bertaqwa adalah orang yang menjaga diri dari azab Allah,
yaitu mereka yang memilki pandangan dan kesadaran yang tinggi dalam memahami dan
menghayati sebab-sebab yang dapat menimbulkan azab tersebut.

5
Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahali, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah, Tanpa Tahun), hal: 8. Lihat juga, As-Samarqhandi, Bahrul Ulum, ( ), hal: 8.
6
As-Samarqhandi, Bahrul Ulum, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), hal: 8.
7
Nashiruddin Abu al-Khairi Abdullah Ibnu ‘Umar Ibnu Muhammad al-Baydhowi, Anwaru At-
Tanzil wa Asraru At-Ta’wil, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 1997 ), hal: 17-18.
8
Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali At-Thusi, Fadhaaihu al-Baathinah,
(Kuwait: Muassasatu Dar al-Kutub As-Tsaqaafiyyah), hal: 197.
b. konsep cinta kepada Allah
Mengenai cinta dalam bahasa Arab dikenal sebagai Mahabbah, yang berasal dari kata
Ahabba-Yuhibbu-Mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam,
kecintaan, atau cinta yang mendalam. 1 Al-Alusi menjelaskan bahwa maksud dari
kalimat yuhibbunahu adalah mereka selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya
dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Demikian pula seperti
yang disebutkan dalam QS. Ali Imran 3/31,

‫َّللاُ َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُو َب ُك ْم ۗ َو ه‬


ٌ ُ‫َّللاُ َغف‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ ‫قُ ْل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّونَ ه‬
‫َّللاَ فَات ه ِبعُونِي يُحْ بِ ْب ُك ُم ه‬

“Katakanlah Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.

Kata al-hub dimaknai khususnya di kalangan ulama sufi sebagai sebuah perasaan
yang terkait dengan zat Tuhan dan semestinya seorang pencinta mencintai Tuhan karena
zat-Nya bukan karena pahala-Nya atau kebaikan-Nya karena cinta tersebut karena
kebaikan-Nya menempati derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan cinta karena
Zat-Nya.2 Menurut al-Qusyairi dalam kitab Al-Kasyfu wal Bayan, menjelaskan bahwa
cinta adalah suatu hal yang mulia. Allah Yang Maha Suci yang menyaksikan cinta
hamba-Nya dan Allah pun memberitahukan cinta-Nya kepada hamba itu. Allah
menerangkan bahwa Dia mencintainya. Demikian juga hamba itu menerangkan cintanya
kepada Allah Yang Maha Suci.

Jika Allah telah mencintai hamba-Nya, Allah berkata kepada jibrîl a.s. „Wahai
Jibrîl, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah dia.‟ Maka Jibrîl pun
mencintainya, kemudian menyeru kepada penduduk langit. „Sesungguhnya Allah telah
mencintai fulan, maka cintailah dia!‟ Maka penduduk langit pun mencintainya.
Kemudian allah memberikan pengabulan kepadanya di bumi. Dan jika Allah membenci
seorang hamba, maka Malăikat Mălik berkata, „Saya tidak menganggapnya kecuali saya
membencinya seperti kebencian Allah kepadanya9

Dalam kitab al-Mu‟jam al-Falsafi, Jamil Shaliba juga mengatakan, Mahabbah


(cinta) adalah lawan dari kata al-Baghd (benci)10. Al Mahabbah dapat pula berarti al
Wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang11. Mahabbah adalah kecenderungan
hati kepada sesuatu yang menyenangkan. Jika kecenderungan itu semakin menguat, maka
namanya bukan lagi mahabbah, tetapi berupa menjadi „isyaq (asyik-masyuk). Dalam

Abu Ishak Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Atsa‟labi an-Naisaburi, Al-Kasyfu wal Bayan,
9

Cet.VI, (Bairut: Darul Ihya‟ Turats al-„Arabi, 2002) h.233.


10
Jamil Shaliba, Al-Mu‟jam al-Falsafi, Jilid 2, (Mesir: Dar al-Kairo, 1978), h. 439
11
Ibid., h. 349.
definisi al-Muhasibi, mahabbah diartikan sebagai “kecenderungan hati secara total pada
sesuatu, perhatian terhadapnya itu melebihi perhatian pada diri sendiri, jiwa dan harta.

C. Konsep cinta kepada Rasulullah

‫َّللاُ َو َي ْغ ِف ْر َل ُك ْم ذُنُو َب ُك ْم َو ه‬
ٌ ُ‫َّللاُ َغف‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ َ ‫قُ ْل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّونَ ه‬
‫َّللا فَاته ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم ه‬

“Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah


(sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini
merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah,
akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini,
sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan
keadaannya.”12

Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah, bahwa barangsiapa


yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya.
Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan
hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan)
mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti)
kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya,
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan
adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan
lapang maupun sempit.”13

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan


sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan
meneladani petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha
mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan
mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan
perbuatan-perbuatan bid’ah dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, atau memuji dan mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara

12
Tafsir Ibnu Katsir (1/477).
13
Kitab “Asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa” (2/24).
berlebihan, dengan menempatkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi
kedudukan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tempatkan beliau padanya.

Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana
orang-orang nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena
sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan
Rasul-Nya”.14

Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang


dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiallahu
‘anhum. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorangpun yang paling
dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membenci perbuatan tersebut.”15

14
H.R. al-Bukhari (no. 3261).

15
HR. at-Tirmidzi (5/90) dan Ahmad (3/132), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi dan Syaikh al-
Albani
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasihat Imam al-Khatiib al-
Baghdadi berikut ini, “Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’ah), (berusaha untuk) membedakan dirinya dari kebiasaan orang-
orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha)
mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semaksimal mungkin,
dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ٌ‫َّللاِ أُس َْوةٌ َح َسنَة‬ ُ ‫لَقَدْ َكانَ َل ُك ْم فِي َر‬


‫سو ِل ه‬

“Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
(Qs. al-Ahzaab: 21).

B. Saran

Harapan penulis agar para pembaca mempelajari materi ini dengan sungguh-
sungguh supaya ilmunya sampai. Penulis juga berharap kepada para pembaca
memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Ahmad Ibnu Abu Bakar Ibnu Farh Al-Qurthubi Abu Abdillah, Muhammad.
1964. Tafsir Al-Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an. Kairo: Dar al-Fikr.

Ishak Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Atsa‟labi an-Naisaburi, Abu. 2002. Al-
Kasyfu wal Bayan, Cet.VI. Bairut: Darul Ihya‟ Turats al-„Arabi.

Jamil Shaliba, Jamil. 1978. Al-Mu‟jam al-Falsafi, Jilid 2. Mesir: Dar al-Kairo.

Ma’luf, Luwis. 1986. Munjid fi al-Lughah wa A’lām. Beirut: Dār al-Masyriq.

Nashiruddin Abu al-Khairi Abdullah Ibnu ‘Umar Ibnu Muhammad al-Baydhowi,


Nashiruddin. 1997. Anwaru At-Tanzil wa Asraru At-Ta’wil. Beirut: Dar Ihya at-Turats
al-‘Arabi.

Rasyid Ibnu Ali Ridho, Muhammad.1990. Tafsir Al-Mannar. Kairo: Al-Hayah al-
Mishriyyah al-‘amah lilkitab.

Sayyid Thanthawi, Muhammad.1997. At-Tafsir Al-Washit, Juz I. Kairo: Nahdah


Al-Misr.

Anda mungkin juga menyukai