PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Sistem saraf adalah sistem organ yang terdiri atas serabut saraf yang
tersusun dari sel-sel saraf yang saling terhubung satu sama lain dan berfungsi untuk
persepsi sensoris indrawi, aktivitas motorik, baik volunter ataupun involunter, pada
jaringan-jaringan dan organ-organ tubuh, dan homeostasis berbagai proses
fisiologis yang terjadi di tubuh. Sistem saraf manusia merupakan sistem yang paling
kompleks dan paling penting dalam tubuh seseorang untuk berfungsi sebagai
manusia yang seutuhnya. Oleh karena itu, gangguan pada sistem saraf dapat
1,2
berpengaruh signifikan terhadap kualitas hidup seorang manusia.
Sistem saraf secara umum dibagi menjadi dua yaitu, sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat adalah bagian dari sistem saraf yang terdiri atas
otak dan tulang belakang. Sistem saraf pusat berfungsi untuk mengintegrasikan
informasi yang didapat, mengkoordinasi dan mempengaruhi seluruh aktivitas yang
terjadi dalam tubuh. Sementara sistem saraf perifer adalah bagian dari sistem saraf
yang terdiri atas sel saraf dan ganglia selain otak dan tulang belakang. Fungsi utama
dari sistem saraf perifer adalah untuk menghubungkan sistem saraf pusat dengan
ekstremitas dan organ, bertugas sebagai jalur komunikasi bolak-balik antara otak
1,2
dengan ekstremitas dan organ.
Saraf kranial adalah serabut saraf yang berasal langsung dari otak dan
batang otak. Pertukaran informasi yang terjadi antara otak dan beberapa bagain,
terutama bagian kepala dan leher, terjadi melalui saraf kranial. Hal tersebutlah yang
menjadikan gangguan pada saraf kranial salah satu dari deretan masalah dalam Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan, Bedah Kepala dan Leher. Salah satu
dari gangguan saraf kranial adalah herpes zoster otikus yang menyerang ganglion
1,3
geniculi nervi fasialis.
1
Herpes zoster otikus, atau yang disebut juga sebagai Ramsay Hunt
syndrome tipe II, adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada
telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan periaurikula) dan palatum molle,
nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, dan di awali dengan periode
prodormal. Postulat pertama James Ramsay Hunt mengatakan bahwa herpes zoster
otikus disebabkan oleh virus varicella zoster golongan herpes virus, yang
mengalami reaktivasi dari infeksi yang sebelumnya merupakan infeksi laten virus
4,5
varicella pada ganglion geniculi nervi fasialis.
Herpes zoster otikus menempati urutan kedua kejadian paralisis fasialis akut
setelah Bell’s palsy, atau lebih tepatnya 10-15% dari kasus paralise nervus fasialis
6,7
akut. Di Amerika Serikat terjadi kasus 5 /100.000 populasi penduduk per tahun.
Lebih sering terjadi pada umur diatas 60 tahun dan sangat jarang terjadi pada anak
7,8
– anak.
Penegakan diagnosis herpes zoster otikus harus dilakukan dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Selain pemberian obat
untuk mengurangi keluhannya (symptomatic therapy), pemberian antivirus
sistemik juga sangat dianjurkan pemberiannya sesegera mungkin setelah tegaknya
diagnosis sehingga dapat menghindarkan penderita dari komplikasi yang dapat
6,9,10
terjadi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12,13
2.1 Anatomi Telinga
Daun Telinga
Liang Telinga
Lateral : MembranTimpani
Medial : foramen ovale
Anterior : Tuba eusthachius
3
Posterior : aditus ad antrum
Superior : tegmen timpani
Inferior : vena jugularis
2.1.3 Labirin
4
Dinding bawah dan belakang dipersarafi percabangan aurikular dari saraf
vagus (N X).
Dinding belakang liang telinga juga dipersarafi oleh cabang sensoris saraf
VII melalui percabangan aurikular saraf vagus.
5
4,12
2.1.7 Segmen Saraf Fasialis
Nervus fasialis sebenarnya hanya terdiri dari serabut motorik, tetapi dalam
perjalanannya ke tepi akan bergabung nervus intermedius yang tersusun oleh
serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut sensorik khusus
yang menghantarkan impuls pengecapan 2/3 bagian depan lidah ke nukleus traktus
solitarius.
6
Akar nervus fasialis menuju ke dorsomedial dahulu, kemudian melingkari
inti nervus abdusens dan setelah itu baru membelok ke ventrolateral kembali untuk
meninggalkan permukaan lateral pons. Disitu ia berdampingan dengan nervus
oktavus dan nervus intermedius. Bertiga mereka masuk ke dalam liang os petrosum
melalui meatus akustikus internus. Nervus fasialis keluar dari os petrosum kembali
dan tiba di kavum timpani. Kemudian ia turun, sedikit membelok ke belakang dan
keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum. Pada saat ia turun
ke bawah dan membelok ke belakang di kavum timpani akan tergabung dengan
ganglion genikulatum yang merupakan sel induk dari serabut penghantar impuls
pengecap yang dinamakan korda timpani. Juluran sel-sel tersebut yang menuju ke
batang otak adalah nervus intermedius. Disamping itu ganglion tersebut
memberikan cabang-cabang kepada ganglion otikum dan sfenopalatinum yang
menghantarkan impuls sekretomotorik untuk kelenjar lendir. Liang os petrosum
yang mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus Falopii atau kanalis
fasialis. Disitu nervus fasialis memberikan cabang untuk muskulus stapedius dan
lebih jauh sedikit ia menerima serabut-serabut korda timpani. Berkas saraf ini
menuju ke tepi atas gendang telinga dan membelok ke depan.
7
2.2 Definisi
Menurut Koerner (1904), herpes zoster otikus, yaitu berupa sindroma yang
terdiri dari bulla pada daun telinga, paralise fasial dan gangguan telinga dalam.
Menurut James Ramsay Hunt (1907), yang telah mempelajari penyakit tersebut
secara terperinci, herpes zoster otikus terjadi karena adanya reaktivasi herpes zoster
pada ganglion geniculi nervi fasialis, sejak saat itu herpes zoster otikus juga dikenal
dengan Ramsay Hunt syndrome. Dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa
herpes zoster otikus adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada
telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan periaurikula) dan palatum molle,
nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, yang disebabkan reaktivasi
herpes zoster yang sedang dalam masa dormansi di ganglion genikuli nervi
4,5,6
fasialis.
2.3 Epidemiologi
8
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela
sebelumnya karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama
yaitu virus varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion
sensoris tetap hidup dalam keadaan dorman dan dapat aktif kembali jika daya tahan
tubuh pejamu menurun. Akan tetapi, defisit neurologis residual jarang ditemukan
pada pasien yang telah sembuh dari herpes zoster otikus. Tergantung dari derajat
keparahannya, tuli sensorineural yang didapat ketika menderita herpes zoster otikus
6,8
dapat menetap (6,5%).
2.4 Etiologi
2.5 Patogenesis
Saat terinfeksi varicella, VZV melewati lesi masuk ke permukaan kulit dan
mukosa menuju ujung–ujung saraf sensoris dan di transportasikan oleh serat–serat
saraf ke ganglion sensoris. Di ganglion, virus menetap dan menjadi infeksi laten
6,15
sepanjang hidup. Selama virus laten di gangglion tidak tampak gejala infeksi.
9
Gambar 3 : Patogenesis Herpes Zoster Otikus
10
2.6 Manifestasi Klinis
Adapun dari manifestasi klinis yang sering muncul dari herpes zoster otikus, dapat
6,10
dikelompokkan menjadi:
Vesikel/Erupsi
11
Gejala lain
o Nyeri hebat pada mata
o Lakrimasi
o Mata tidak bisa menutup
o Gangguan indera pengecap
2.7 Diagnosis
6,8
Anamnesis
Pasien dengan gejala berupa :
o nyeri pada telinga, nyeri pada mata
o rasa tebakar di sekitar telinga, wajah, mulut, dapat juga terjadi di
lidah.
o mual dan muntah dapat terjadi,
o disertai gangguan pendengaran, hiperakusis atau tinnitus.
6,10
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan didapatkan :
o Tampak lesi kulit yang vesikuler pada kulit di daerah muka, pada
liang telinga, konka dan daun telinga.
12
Gambar 4 : A) Pasien Herpes zoster otikus sebelum pengobatan
B) kembalinya fungsi motorik secara keseluruhan setelah
pengobatan
C) Lesi vesikel pada meatus akustikus eksternus
13
o Bintik-bintik merah juga dapat terlihat pada kulit di belakang
telinga, dinding lateral hidung, palatum molle dan lidah bagian
anterolateral.
o Vertigo,
o Tuli sensorineural
o Parese saraf fasialis menyerupai bells palsy juga dapat ditemukan.
o Ketidakmampuan dalam menutup mata pada bagian ipsilateral,
sehingga pasien akan mengeluhkan kekeringan pada kornea dan
iritasi.
Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan laboratorium yang meliputi: kadar nitrogen dalam
8
urin ( BUN), kreatinin, hitung sel darah, serta elektrolit
15
o Tes Serologi. Anti-VZV IgG dan IgM
o Fluorescent-antibody membrane antigen assay (FAMA) (gold
15
standard)
8
o CT scan
o Magnetic Ressonance Imaging (MRI) dengan menggunakan
8
gadolinium diethylene-triamine pentaacetic acid ( Gd-DTPA).
2.8 Penatalaksanaan
Berikut adalah pilihan terapi yang dapat digunakan untuk tatalaksana
herpes zoster otikus :
Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan
vertigo yang terjadi karena adanya inflamasi pada serabut saraf N VIII.
Kortikosteroid tidak dianjurkan pada pasien herpes zoster otikus yang
14
menderita penyakit keganasan atau menjalani kemoterapi, karena dapat
memicu Disseminated Herpes Zoster. 19
Kortikosteroid + Antivirus
15
2.9 Komplikasi
2.10 Prognosis
Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum 72 jam
8,20
setelah onset memberikan hasil yang lebih baik.
Pasien yang datang dengan keluhan erupsi terlebih dahulu sebelum paralisis
17
memiliki prognosis yang lebih baik.
Pada infeksi yang lama mungkin dapat terjadi paralisis fasialis yang
permanen. Sejumlah besar pasien akan mengalai penyembuhan sepenuhnya
17,20
setelah sebelumnya mengalami paralisis.
16
2.11 Pencegahan
17
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Herpes zoster otikus adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi
herpetik pada telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan
periaurikula) dan palatum molle, nyeri yang hebat, disertai paralise nervus
fasialis akut, yang disebabkan reaktivasi herpes zoster yang sedang dalam
masa dormansi di ganglion genikuli nervi fasialis.
Herpes zoster otikus disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV) yang
merupakan virus DNA linear dari subfamili alphaherpesviridae.
Herpes zoster otikus memiliki gejala utama berupa vesikel di telinga dan
sekitarnya, paresis dan parelisis ipsilateral, dan gangguan pada telinga
dalam berupa tinnitus, vertigo, tuli sensorineural, dan nystagmus.
18
gold standard.
19
Daftar Pustaka
20
dalam Gopen, Q (Ed.) Fundamental Otology: Pediatric & Adult Practice
1st Edition. Jaypee Brothers, New Delhi (hal 238-239)
9. Adam, GL, Boeis, LR, Higler, PA. 2013. Buku Ajar Penyakit THT Boeis
Edisi ke-6. EGC, Jakarta (hal 46-49)
10. Scott, K. 2014. “Facial Nerve Condition,” dalam: Debo, RF, Keyes, AS,
Leonard, DW (Ed.) Quick Refernce for Otolaryngology. Springer, New
York (hal 94-98)
11. Ellis, H. 2006. Clinical Anatomy: A Revision and Applied Anatomy for
Clinical Student. Blackwell Publishing, Victoria (hal 261-263, 270, 383-
384)
12. Snell, RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC,
Jakarta (hal 700-722)
15. Arvin, AM, Gilden, D. 2013. “Varicella Zoster Virus,” dalam: Knipe, DM,
Howley, PM (Ed.) Fields Virology 6th Edition. Lippincott Williamz &
Wilkins, Philadelphia (hal 2038-2052)
21
17. Baskin, JZ, Cruz, OL. 2005. “Special Case of Face Paralysis,” dalam:
Cummings, CW, Harker, L (Ed.) Cummings Otolaryngology Head &
Neck Surgery. Mosby Elsevier, New York
18. Ahsan, SF, Bojrab, DI, Sidell, DL et al.2014. “Herpes Zoster Oticus,”
dalam: Pasha, R, Golub, JS (Ed.) Otolaryngology Head & Neck Surgery
Clinical Reference Guide 4th Edition. Plural Publishing, San Diego (hal
428-429)
20. Pau, HW. 2006. “Herpes Zoster Oticus,” dalam: Gross, G, Doerr, HW
(Ed.) Herpes Zoster: Recentaspect of diagnosis and control patient.
Karger, Basel (hal 47-55)
22