Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Sistem saraf adalah sistem organ yang terdiri atas serabut saraf yang
tersusun dari sel-sel saraf yang saling terhubung satu sama lain dan berfungsi untuk
persepsi sensoris indrawi, aktivitas motorik, baik volunter ataupun involunter, pada
jaringan-jaringan dan organ-organ tubuh, dan homeostasis berbagai proses
fisiologis yang terjadi di tubuh. Sistem saraf manusia merupakan sistem yang paling
kompleks dan paling penting dalam tubuh seseorang untuk berfungsi sebagai
manusia yang seutuhnya. Oleh karena itu, gangguan pada sistem saraf dapat
1,2
berpengaruh signifikan terhadap kualitas hidup seorang manusia.

Sistem saraf secara umum dibagi menjadi dua yaitu, sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat adalah bagian dari sistem saraf yang terdiri atas
otak dan tulang belakang. Sistem saraf pusat berfungsi untuk mengintegrasikan
informasi yang didapat, mengkoordinasi dan mempengaruhi seluruh aktivitas yang
terjadi dalam tubuh. Sementara sistem saraf perifer adalah bagian dari sistem saraf
yang terdiri atas sel saraf dan ganglia selain otak dan tulang belakang. Fungsi utama
dari sistem saraf perifer adalah untuk menghubungkan sistem saraf pusat dengan
ekstremitas dan organ, bertugas sebagai jalur komunikasi bolak-balik antara otak
1,2
dengan ekstremitas dan organ.

Saraf kranial adalah serabut saraf yang berasal langsung dari otak dan
batang otak. Pertukaran informasi yang terjadi antara otak dan beberapa bagain,
terutama bagian kepala dan leher, terjadi melalui saraf kranial. Hal tersebutlah yang
menjadikan gangguan pada saraf kranial salah satu dari deretan masalah dalam Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan, Bedah Kepala dan Leher. Salah satu
dari gangguan saraf kranial adalah herpes zoster otikus yang menyerang ganglion
1,3
geniculi nervi fasialis.

1
Herpes zoster otikus, atau yang disebut juga sebagai Ramsay Hunt
syndrome tipe II, adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada
telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan periaurikula) dan palatum molle,
nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, dan di awali dengan periode
prodormal. Postulat pertama James Ramsay Hunt mengatakan bahwa herpes zoster
otikus disebabkan oleh virus varicella zoster golongan herpes virus, yang
mengalami reaktivasi dari infeksi yang sebelumnya merupakan infeksi laten virus
4,5
varicella pada ganglion geniculi nervi fasialis.

Herpes zoster otikus menempati urutan kedua kejadian paralisis fasialis akut
setelah Bell’s palsy, atau lebih tepatnya 10-15% dari kasus paralise nervus fasialis
6,7
akut. Di Amerika Serikat terjadi kasus 5 /100.000 populasi penduduk per tahun.
Lebih sering terjadi pada umur diatas 60 tahun dan sangat jarang terjadi pada anak
7,8
– anak.

Gejala prodromal yang ditimbulkan adalah munculnya vesikel-vesikel yang


terjadi karena reaktivasi virus pada daerah dermatom tempat virus tersebut
9
bersembunyi selama masa latennya. Selain timbulnya sekelompok vesikel, dapat
pula timbul rasa nyeri yang cukup hebat pada daerah telinga (otalgia) dengan
parasthesia di kulit telinga tersebut. Apabila infeksinya sudah mencapai N VII dan
VIII (Ramsay Hunt syndrome) maka dapat terjadi paralisis fasial dan gangguan
6,9
pendengaran serta keseimbangan.

Penegakan diagnosis herpes zoster otikus harus dilakukan dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat. Selain pemberian obat
untuk mengurangi keluhannya (symptomatic therapy), pemberian antivirus
sistemik juga sangat dianjurkan pemberiannya sesegera mungkin setelah tegaknya
diagnosis sehingga dapat menghindarkan penderita dari komplikasi yang dapat
6,9,10
terjadi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

12,13
2.1 Anatomi Telinga

Gambar 1 : Anatomi Telinga

2.1.1 Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari :

 Daun Telinga
 Liang Telinga

2.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah terdiri dari :

 Lateral : MembranTimpani
 Medial : foramen ovale
 Anterior : Tuba eusthachius

3
 Posterior : aditus ad antrum
 Superior : tegmen timpani
 Inferior : vena jugularis

2.1.3 Labirin

 Labirin bagian tulang yaitu :


 Kanalis semisirkularis : kanalis semisirkularis superior, posterior,
dan lateral
 Vestibulum Koklea : Koklea berbentuk rumah siput dengan
melingkar 2 1⁄2 – 2 3⁄4 kali putaran.
 Labirin bagian membran : terletak di dalam labirin bagian tulang
terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus dan koklea.

2.1.4 Persarafan Telinga Luar

Daun telinga dipersarafi oleh 5 persarafan, yaitu :

 Saraf aurikular mayor (C2,3), mempersarafi hampir seluruh permukaan


medial dan bagian belakang dari permukaan lateral.
 Saraf oksipital minor (C2), mempersarafi bagian atas dari permukaan
medial.
 Saraf aurikulo temporal (N V), mempersarafi tragus, heliks dan daerah
sekitar heliks.
 Percabangan aurikular saraf vagus (N X), juga disebut saraf Arnold’s,
mempersarafi konka dan sekitarnya.
 Saraf fasialis (N VII), yang distribusi percabangannya bersamaan dengan
percabangan aurikular saraf vagus, mempersarafi konka dan sulkus
retroaurikular.

2.1.5 Persarafan Liang Telinga

 Dinding atas dan depan dipersarafi saraf aurikulo temporal (N V).

4
 Dinding bawah dan belakang dipersarafi percabangan aurikular dari saraf
vagus (N X).

 Dinding belakang liang telinga juga dipersarafi oleh cabang sensoris saraf
VII melalui percabangan aurikular saraf vagus.

2.1.6 Persarafan Telinga Tengah

 Promontorium berisi pleksus timpani (pleksus Jacobson). Cabang saraf


glosofaringeus dari ganglion petrosa di bawah telinga.

 Pleksus timpani menerima serabut simpatis dari pleksus karotis melalui


cabang-cabang karotikotimpani superior dan inferior.

 Korda timpani memasuki telinga tengah tepat di bawah pinggir


posterosuperior sulkus timpani dan berjalan ke arah depan lateral ke
prosesus longus inkus dan kemudian di bagian bawah leher maleus tepat di
atas perlekatan tendon tensor timpani menuju ligamentum maleus anterior,
saraf ini keluar melalui fisura petrotimpani.

5
4,12
2.1.7 Segmen Saraf Fasialis

Gambar 2 : Segmen Saraf Fasialis

Nervus fasialis sebenarnya hanya terdiri dari serabut motorik, tetapi dalam
perjalanannya ke tepi akan bergabung nervus intermedius yang tersusun oleh
serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut sensorik khusus
yang menghantarkan impuls pengecapan 2/3 bagian depan lidah ke nukleus traktus
solitarius.

Inti motorik nervus fasialis terletak dibagian ventrolateral tegmentum pontis


bagian kaudal. Inti dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dorsal
dan ventral. Kelompok dorsal inti nervus fasialis mensarafi otot-otot frontalis,
zygomatikus, belahan atas orbikularis okuli dan bagian atas otot wajah. Inti ini
mempunyai inervasi kortikal secara bilateral.

Kelompok ventral inti nervus fasialis mensarafi otot-otot belahan bawah


orbikularis okuli, otot wajah bagian bawah dan platisma. Inti ini mempunyai
hubungan hanya dengan korteks motorik sisi kontralateral.

6
Akar nervus fasialis menuju ke dorsomedial dahulu, kemudian melingkari
inti nervus abdusens dan setelah itu baru membelok ke ventrolateral kembali untuk
meninggalkan permukaan lateral pons. Disitu ia berdampingan dengan nervus
oktavus dan nervus intermedius. Bertiga mereka masuk ke dalam liang os petrosum
melalui meatus akustikus internus. Nervus fasialis keluar dari os petrosum kembali
dan tiba di kavum timpani. Kemudian ia turun, sedikit membelok ke belakang dan
keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum. Pada saat ia turun
ke bawah dan membelok ke belakang di kavum timpani akan tergabung dengan
ganglion genikulatum yang merupakan sel induk dari serabut penghantar impuls
pengecap yang dinamakan korda timpani. Juluran sel-sel tersebut yang menuju ke
batang otak adalah nervus intermedius. Disamping itu ganglion tersebut
memberikan cabang-cabang kepada ganglion otikum dan sfenopalatinum yang
menghantarkan impuls sekretomotorik untuk kelenjar lendir. Liang os petrosum
yang mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus Falopii atau kanalis
fasialis. Disitu nervus fasialis memberikan cabang untuk muskulus stapedius dan
lebih jauh sedikit ia menerima serabut-serabut korda timpani. Berkas saraf ini
menuju ke tepi atas gendang telinga dan membelok ke depan.

Melalui kanalikulus anterior ia keluar dari tengkorak dan tiba di bawah


muskulus pterigoideus eksternus. Di situ korda timpani menggabungkan diri pada
nervus lingualis yang merupakan cabang dari nervus mandibularis. Korda timpani
menghantarkan impuls pengecap dari 2/3 bagian depan lidah. Sebagian saraf
motorik mutlak nervus fasialis keluar dari foramen stilomastoideum dan
memberikan cabang-cabang kepada otot stilohioid dan venter posterior muskulus
digastrikus dan otot oksipitalis. Pangkal sisanya menuju ke glandula parotis. Di situ
ia bercabang-cabang lagi untuk mensarafi otot wajah dan platisma. Nervus fasialis
yang melintasi jaringan glandula parotis bercabang-cabang lagi untuk mensarafi
seluruh otot wajah.

7
2.2 Definisi

Menurut Koerner (1904), herpes zoster otikus, yaitu berupa sindroma yang
terdiri dari bulla pada daun telinga, paralise fasial dan gangguan telinga dalam.
Menurut James Ramsay Hunt (1907), yang telah mempelajari penyakit tersebut
secara terperinci, herpes zoster otikus terjadi karena adanya reaktivasi herpes zoster
pada ganglion geniculi nervi fasialis, sejak saat itu herpes zoster otikus juga dikenal
dengan Ramsay Hunt syndrome. Dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa
herpes zoster otikus adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi herpetik pada
telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan periaurikula) dan palatum molle,
nyeri yang hebat, disertai paralise nervus fasialis akut, yang disebabkan reaktivasi
herpes zoster yang sedang dalam masa dormansi di ganglion genikuli nervi
4,5,6
fasialis.

2.3 Epidemiologi

Herpes zoster otikus dapat muncul di sepanjang tahun karena tidak


dipengaruhi oleh perubahan musim dan angka kejadiannya tersebar merata di
7,8
seluruh dunia. Menurut penelitian yang dilakukan di Jerman dan Australia,
wanita memiliki tendensi untuk mengalami herpes zoster otikus dibandingkan pria,
dengan persentasi wanita 68,1% dan pria 31,9%, akan tetapi wanita memiliki
13,14
manifestasi dan prognosis yang lebih baik ketimbang pria. Angka kesakitan
akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan pada individu defisit sistem
10,14
imun, dimana faktor reaktivasi dapat berupa stress fisik maupun emosional. 2/3
pasien herpes zoster otikus berusia lebih dari 50 tahun, dan kurang dari 10% berusia
kurang dari 20 tahun. Herpes zoster otikus merupakan penyebab paralise N VII
terbanyak setelah Bell’s palsy (2-10% di seluruh dunia), dan gejala yang
ditimbulkan cenderung lebih parah dari Bell’s palsy sehingga prognosisnya pun
lebih buruk. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6%
setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1%
8,10
setahun.

8
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela
sebelumnya karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama
yaitu virus varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion
sensoris tetap hidup dalam keadaan dorman dan dapat aktif kembali jika daya tahan
tubuh pejamu menurun. Akan tetapi, defisit neurologis residual jarang ditemukan
pada pasien yang telah sembuh dari herpes zoster otikus. Tergantung dari derajat
keparahannya, tuli sensorineural yang didapat ketika menderita herpes zoster otikus
6,8
dapat menetap (6,5%).

2.4 Etiologi

Varicella Zoster Virus (VZV) merupakan virus penyebab varicella (chicken


pox) dan herpes zoster. VZV tergolong virus berinti DNA yang linier, virus ini
berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili alphaherpesviridae. Berdasarkan
sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat
hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VZV
tergolong ke dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi
primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vesikuler. Selanjutnya setelah infeksi
primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya dapat menetap dalam bentuk laten
didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan
8,15
kekambuhan secara periodik.

2.5 Patogenesis

Saat terinfeksi varicella, VZV melewati lesi masuk ke permukaan kulit dan
mukosa menuju ujung–ujung saraf sensoris dan di transportasikan oleh serat–serat
saraf ke ganglion sensoris. Di ganglion, virus menetap dan menjadi infeksi laten
6,15
sepanjang hidup. Selama virus laten di gangglion tidak tampak gejala infeksi.

9
Gambar 3 : Patogenesis Herpes Zoster Otikus

Pada ganglion genikuli, terdapat serabut motorik, sensoris, dan


parasimpatetik N VII yang tersebar menginervasi kelenjar air mata, kelenjar
submandibula, kelenjar sublingual, lidah, palatum, faring, meatus akustikus
eksternus, stapedius, m. digastrikus posterior, m. stylohyoideus, dan otot- otot
ekspresi wajah. Serabut-serabut yang mempersarafi bagian-bagian tersebut menjadi
alat transportasi VZV yang telah terreaktivasi. N VIII dapat terkena karena
mayoritas perjalanan serabut saraf yang sejajar atau melalui segmen labirin dari
ganglion tersebut, namun teori-teori tersebut belum dapat dibuktikan. Bagaimana
reaktivasi VZV di ganglion genikuli dan patofisiologi dari manifestasi yang
ditimbulkan masih belum dapat dijelaskan. Hanya diketahui bahwa enurunnya daya
tahan tubuh, stress fisik atau emosional, keganasan, radioterapi, kemoterapi, dan
3,6,11
infeksi HIV adalah faktor resiko terjadinya reaktivasi VZV.

10
2.6 Manifestasi Klinis

Setelah terjadinya reaktivasi, herpes zoster otikus dapat menyerang telinga


luar (khususnya konka aurikula), kulit periaurikular, meatus akustikus eksternus,
telinga tengah, telinga dalam (jika sudah menyerang N VIII), dinding lateral
hidung, palatum molle, anterolateral lidah, dan percabangan N VII. Sesudah masa
inkubasi yang berlangsung 4-20 hari, muncul gejala prodromal berupa demam,
8
sakit kepala, malaise, dan terkadang mual dan muntah. Selanjutnya dapat muncul
erupsi/vesikel di periaurikular, telinga luar, dan meatus akustikus eksternus. Waktu
munculnya erupsi/vesikel memiliki nilai prognostik yang signifikan. Pada sebagian
besar kasus, erupsi muncul bersamaan dengan paralisis. Pada 25% kasus, dimana
erupsi muncul terlebih dahulu dari paralisis, pasien tersebut memiliki persentase
kesembuhan yang lebih besar. Setelah erupsi/vesikel dan paralisis terjadi, gejala
6,10
yang lain mengikuti yaitu hiperakusis, tuli sensorineural, dan nyeri hebat.

Adapun dari manifestasi klinis yang sering muncul dari herpes zoster otikus, dapat
6,10
dikelompokkan menjadi:

 Vesikel/Erupsi

Vesikel dapat muncul sebelum, bersamaan, tau setelah adanya paralisis


nervus fasialis. Vesikel yang timbul dapat menyebabkan sensasi terbakar
atau otalgia. Vesikel yang pecah akan membentuk krusta.

 Gejala yang berhubungan dengan N VII


o Paresis ipsilateral
o Paralisis ipsilateral
 Gejala yang berhubungan dengan N VIII
o Tinnitus
o Vertigo
o Tuli sensorineural
o Gangguan keseimbangan

11
 Gejala lain
o Nyeri hebat pada mata
o Lakrimasi
o Mata tidak bisa menutup
o Gangguan indera pengecap

2.7 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan:

6,8
 Anamnesis
Pasien dengan gejala berupa :
o nyeri pada telinga, nyeri pada mata
o rasa tebakar di sekitar telinga, wajah, mulut, dapat juga terjadi di
lidah.
o mual dan muntah dapat terjadi,
o disertai gangguan pendengaran, hiperakusis atau tinnitus.
6,10
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan didapatkan :
o Tampak lesi kulit yang vesikuler pada kulit di daerah muka, pada
liang telinga, konka dan daun telinga.

12
Gambar 4 : A) Pasien Herpes zoster otikus sebelum pengobatan
B) kembalinya fungsi motorik secara keseluruhan setelah
pengobatan
C) Lesi vesikel pada meatus akustikus eksternus

Gambar 5 : Tanda klinis penderita herpes zoster otikus

13
o Bintik-bintik merah juga dapat terlihat pada kulit di belakang
telinga, dinding lateral hidung, palatum molle dan lidah bagian
anterolateral.
o Vertigo,
o Tuli sensorineural
o Parese saraf fasialis menyerupai bells palsy juga dapat ditemukan.
o Ketidakmampuan dalam menutup mata pada bagian ipsilateral,
sehingga pasien akan mengeluhkan kekeringan pada kornea dan
iritasi.

 Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan laboratorium yang meliputi: kadar nitrogen dalam
8
urin ( BUN), kreatinin, hitung sel darah, serta elektrolit
15
o Tes Serologi. Anti-VZV IgG dan IgM
o Fluorescent-antibody membrane antigen assay (FAMA) (gold
15
standard)
8
o CT scan
o Magnetic Ressonance Imaging (MRI) dengan menggunakan
8
gadolinium diethylene-triamine pentaacetic acid ( Gd-DTPA).

2.8 Penatalaksanaan
Berikut adalah pilihan terapi yang dapat digunakan untuk tatalaksana
herpes zoster otikus :

 Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan
vertigo yang terjadi karena adanya inflamasi pada serabut saraf N VIII.
Kortikosteroid tidak dianjurkan pada pasien herpes zoster otikus yang

14
menderita penyakit keganasan atau menjalani kemoterapi, karena dapat
memicu Disseminated Herpes Zoster. 19
 Kortikosteroid + Antivirus

Pasien yang ditatalaksana dengan menggunakan antivirus dan prednison


memberikan hasil yang lebih baik (dalah hal kecepatan hilangnya vesikel
dan erupsi, berkurangnya nyeri, dan dapat kembalinya pasien menjalani
aktivitas sehari-hari) dibanding dengan yang ditatalaksana hanya dengan
menggunakan prednison dan antivirus sendiri.

Dosis yang diberikan :

o Prednison : 1mg/kgBB/hari yang dibagi menjadi 3 dosis


selama 10-14 hari. 10,18 Dapat dilakukan tapering-off mulai
dari minggu kedua. 6
o Antivirus
 Acyclovir 5x800 mg/hari selama 5-7 hari atau
Acyclovir IV 10 mg/kgBB/8 jam selama 7 hari.8
 Valacyclovir 3x1000 mg/hari selama 7 hari, atau
 Famcyclovir 3x750 mg/hari selama 7 hari. 10 diketahui
memiliki efek yang paling baik untuk mengurangi
postherpetic neuralgia (tetapi harus dipantau karena
meningkatkan enzim hati)
 Farmakoterapi tambahan 10,18
o Analgesik golongan narkotik untuk mengurangi nyeri
o Antipruritik untuk gatal
 Tatalaksana infeksi sekunder oleh bakteri10,18
o Biasanya terjadi karena vesikel yang tereskoriasi akibat garukan
o Gunakan H2O2 untuk membersihkan vesikel/krusta
o Gunakan salep bacitracin pada bagian bervesikel/krusta
o Gunakan antibiotik oral antistreptokokal seperti cefadroxil

15
2.9 Komplikasi

 Apabila penegakkan diagnosis dan tatalaksana tidak cepat dilakukan, dapat


terjadi paralysis berat akan mengakibatkan tidak lengkap atau tidak
sempurnanya kesembuhan dan berpotensi untuk menjadi paralysis fasial
8,10
yang permanen dan synkinesis.
 Jika tataksana tidak adekuat, sangat memungkinkan terjadinya postherpetic
4
neuralgia yang berkepanjangan.
 Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau bahkan ke otak
dan jaringan saraf dalam tulang belakang, menyebabkan sakit kepala, sakit
punggung, kebingungan, kelesuan, kelemahan, dan timbulnya lesi herpes
6,17,18
yang mengikuti dermatom.
8
 Serangan vertigo bisa muncul sebagai komplikasi Herpes Zoster di wajah.

2.10 Prognosis

 Diagnosa yang ditegakkan lebih cepat dan mendapat terapi sebelum 72 jam
8,20
setelah onset memberikan hasil yang lebih baik.

 Pasien yang datang dengan keluhan erupsi terlebih dahulu sebelum paralisis
17
memiliki prognosis yang lebih baik.

 Pada infeksi yang lama mungkin dapat terjadi paralisis fasialis yang
permanen. Sejumlah besar pasien akan mengalai penyembuhan sepenuhnya
17,20
setelah sebelumnya mengalami paralisis.

 Herpes zoster otikus yang mengalami vertigo dan tuli sensorineural


17,20
prognosisnya lebih jelek terutama pada pasien dengan umur lebih tua

16
2.11 Pencegahan

Pencegahan herpes zoster dapat dilakukan dengan cara yang


sederhana, yaitu dengan menjaga daya tahan dan kesehatan tubuh dan
menjauhkan diri dari stress. Pencegahan dapat pula ditempuh dengan
20
pemberian vaksin VZV. Vaksin VZV menginduksi imunitas seluler
spesifik VZV yang berguna untuk perlindungan jangka panjang terhadap
VZV. Imunisasi VZV menugaskan sel T untuk berproliferasi dan
memproduksi limfokin sebagai respon dari protein IE62 dan glikoprotein
virus dan menginduksi sel T sitotoksik yang dapat melisiskan protein yang
15
diekspresikan oleh VZV.

17
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
 Herpes zoster otikus adalah kumpulan gejala yang terdiri dari erupsi
herpetik pada telinga luar (pada meatus akustikus eksternus dan
periaurikula) dan palatum molle, nyeri yang hebat, disertai paralise nervus
fasialis akut, yang disebabkan reaktivasi herpes zoster yang sedang dalam
masa dormansi di ganglion genikuli nervi fasialis.

 Herpes zoster otikus tidak merupakan penyakit musiman, dan tersebar


merata di seluruh dunia.

 Herpes zoster otikus merupakan penyakit paralisis N VII yang terbanyak


kedua di dunia, dan memiliki manifestasi yang lebih berbahaya dibanding
yang lain.

 Berdasarkan statistik, herpes zoster otikus lebih cenderung mengenai wanita


ketimbang pria, namun prognosis pria lebih buruk.

 Herpes zoster otikus disebabkan oleh varicella zoster virus (VZV) yang
merupakan virus DNA linear dari subfamili alphaherpesviridae.

 Herpes zoster otikus bermanifestasi setelah adanya reaktivasi VZV dari


masa dormansi di ganglion genikuli. Adapun mekanisme reaktivasi dan
patofisiologi munculnya manifestasi klinis belum diketahui

 Herpes zoster otikus memiliki gejala utama berupa vesikel di telinga dan
sekitarnya, paresis dan parelisis ipsilateral, dan gangguan pada telinga
dalam berupa tinnitus, vertigo, tuli sensorineural, dan nystagmus.

 Penegakkan diagnosis herpes zoster berdasar anamnesis mengenai gejala


utama, pemeriksaan fisik yaitu dari inspeksi, otoskopi, dan pemeriksaan
mulut, dan pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan FAMA sebagai

18
gold standard.

 Herpes zoster dapat diobati dengan menggunakan kombinasi kortikosteroid


dan antivirus yang dibantu dengan farmakoterapi simtomatik dan
pencegahan infeksis sekunder.

 Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari herpes zoster otikus antaralain


adalah postherpetic neuralgia, paralisis, vertigo, dan tuli sensorineural yang
menetap.

 Prognosis dari herpes zoster otikus sangat bergantung pada cepatnya


tatalaksana (tidak lebih dari 72 jam setelah onset), gender, dan gejala awal
yang ditimbulkan.

 Pencegahan herpes zoster virus dapat dilakukan dengan vaksinasi VZV

19
Daftar Pustaka

1. Adam, RD, Victor, M. 2005. “Clinical Method of Neurology,” dalam:


Ropper, AH, Brown, RH (Ed.) Principles of Neurology 8th Edition.
McGraw-Hill, New York (hal 2-3)

2. Yogarajah, M. 2013. “Patients present with,” dalam: Horton-Szar, D,


Cikurai, K, Khan, N (Ed.) Crash Course of Neurology 4th Edition.
Mosby Elsevier, London

3. Moller, AR. 2006. “Disorder of the Auditory System and Their


Pathophysiology,” dalam: Menzel, J, Furrow, H, Donahue, J (Ed.)
Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorder of the Auditory System
2nd Edition.

4. Adam, RD, Victor, M. 2005. “Disease of Cranial Nerves,” dalam: Ropper,


AH, Brown, RH (Ed.) Principles of Neurology 8th Edition. McGraw-
Hill, New York (hal 1180-1182)

5. Hunt, JR. 1907. “On Herpetic Inflammation of Geniculate Ganglion: A


New Syndrome and Its Complication,” Journal of Nervous and Mental
Disease. Volume 34 Bagian 2 (hal 78)

6. Lustig, LR, Niparko, JK. 2012. “Disorder of Facial Nerve,” dalam:


Lalwani, A (Ed.) Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology,
Head and Neck Surgery 3rd Edition. McGraw-Hill, San Francisco (hal
889-899)

7. Mansjoer, A, Wuprohita, Wardhani, WI et al. 2000. “Penyakit Virus,”


dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2. Media Aeaculpius,
Jakarta (hal 128-129)

8. Sunita, B, Sepahdari, A, Sidell, D. 2013. “Paralysis of Cranial Nerve,”

20
dalam Gopen, Q (Ed.) Fundamental Otology: Pediatric & Adult Practice
1st Edition. Jaypee Brothers, New Delhi (hal 238-239)

9. Adam, GL, Boeis, LR, Higler, PA. 2013. Buku Ajar Penyakit THT Boeis
Edisi ke-6. EGC, Jakarta (hal 46-49)

10. Scott, K. 2014. “Facial Nerve Condition,” dalam: Debo, RF, Keyes, AS,
Leonard, DW (Ed.) Quick Refernce for Otolaryngology. Springer, New
York (hal 94-98)

11. Ellis, H. 2006. Clinical Anatomy: A Revision and Applied Anatomy for
Clinical Student. Blackwell Publishing, Victoria (hal 261-263, 270, 383-
384)

12. Snell, RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC,
Jakarta (hal 700-722)

13. Walther, LE, Prosowsky, K, Walther, A et al. 2005. “Herpes Zoster


Oticus: Symptom constellation and serological diagnosis

14. Coulson, S, Croxson, GR, Adams, R et al. 2011. “Prognostic Factors in


Herpes Zoster Oticus,” Journal of Sydney University. Otolaryngology &
Neurotology Inc., Sydney. Volume 3 Bagian 6 (hal 1025-1027)

15. Arvin, AM, Gilden, D. 2013. “Varicella Zoster Virus,” dalam: Knipe, DM,
Howley, PM (Ed.) Fields Virology 6th Edition. Lippincott Williamz &
Wilkins, Philadelphia (hal 2038-2052)

16. Sjarifuddin, Bashrudin, J, Bramantyo, B. 2010. “Kelumpuhan Nervus


Fasialis Perifer,” dalam: Soepardi, EA, Iskandar, N, Bashirudin, J et al
(Ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Kepala, dan Leher Edisi Ke-6. FKUI, Jakarta (hal 114-117)

21
17. Baskin, JZ, Cruz, OL. 2005. “Special Case of Face Paralysis,” dalam:
Cummings, CW, Harker, L (Ed.) Cummings Otolaryngology Head &
Neck Surgery. Mosby Elsevier, New York

18. Ahsan, SF, Bojrab, DI, Sidell, DL et al.2014. “Herpes Zoster Oticus,”
dalam: Pasha, R, Golub, JS (Ed.) Otolaryngology Head & Neck Surgery
Clinical Reference Guide 4th Edition. Plural Publishing, San Diego (hal
428-429)

19. Yoon, K, Kim, S, Lee, E, et al. 2013. “Disseminated herpes zoster in an


immunocompetent elderly,” Korean Journal of Pain. Volum 26 Bagian 2
(hal 195-198)

20. Pau, HW. 2006. “Herpes Zoster Oticus,” dalam: Gross, G, Doerr, HW
(Ed.) Herpes Zoster: Recentaspect of diagnosis and control patient.
Karger, Basel (hal 47-55)

22

Anda mungkin juga menyukai