Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KORUPSI
Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu : Supardi, S.E.,M.Kes

Disusun Oleh Kelompok III

Kelas 1C Farmasi

Nama : 1. Agustin Maulida (F 320 175 075)

2. Darto (F 320 175 077)

STIKES MUHAMMADIYAH KUDUS


TAHUN 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah tentang Korupsi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung
dalam penyusunan makalah ini. Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan
berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan. Akhir
kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.

Kudus, November 2017


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................

1. LATAR BELAKANG.............................................................................................................................

BAB II LANDASAN TEORI ...................................................................................................................

1. PENGERTIAN KORUPSI SECARA TEORITIS ..................... .....................................................

A. DEFINSI KORUPSI ............................................................................................................................

B. BENTUK BENTUK KORUPSI.........................................................................................................

C. SEJARAH KORUPSI............................................................................................................................

BAB III PENUTUP...................................................................................................................................

KESIMPULAN..........................................................................................................................................

SARAN.........................................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam
melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagaisuatu proses perubahan yang direncanakan
mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan
terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang
terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantaradua faktor
tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara
terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya,
negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah
negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa demikian? Salah satu
penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya
dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan
kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara
negara menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan
patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian
materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah
terjadinya perampasan dan pengurasankeuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh
kalangan anggotalegislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya
di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi
hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itumerupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa
malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah
dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus
diberantas.
BAB II

LANDASAN TEORI

1. Pengertian Korupsi secara Teoritis

A.Definisi Korupsi

Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan,
dan merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat
publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku
menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat
disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas
dengan berbagai macam modus.

Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan
cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan
negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan
wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata)
untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh
pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga,
sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat
dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan
mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi
hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk
dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang
diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/
kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat
dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang paling menonjol
di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan
pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
B. Bentuk Bentuk korupsi

1) Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa
uang maupun barang.
2) Penggelapan (Embezzlement,) merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber
daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut,
baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.
3) Penipuan (Fraud), merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan
penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau
mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan
tertentu.
4) Pemerasan (Extortion), tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan
cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki
kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia- mafia lokal dan regional.
5) Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada
tindakan privatisasi sumber daya.
6) Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
7) Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.
C. Sejarah Korupsi

Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan,
di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah


ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para
bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun
pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan
sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam
“budaya korupsi” yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta
perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala
besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat
mengajarkan “perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain” dan banyak
menimbulkan tragediyang teramat dahsyat.

Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi” yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak
bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-
Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti,
Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan
Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda
dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah
mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan diIndonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka
saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi
– memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan
“Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram)
adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui
berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa.
Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha
Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah
belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua
kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758
VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta
dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi
dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor
intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah
sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu
menjajahIndonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit
bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan
aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum
apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagianbesar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah
dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.

Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa
Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan
Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan
penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan
kekuasaanyang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan
penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan,sultan dan
raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.

Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya
orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya,
institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga
karena korupsi. Lebihdari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia
kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau
diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan
orang Belanda juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris
yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan
yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat.
Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama
daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter
dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa.
Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak
lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka
menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di
kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta,
memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau
mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku
oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak
suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saranyang disarnpaikan di muka umum lebih
dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya
kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspekekonomi, raja dan
lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat
umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau
kehendak “penguasa”.

Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya
korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil
“upeti” (pajak)dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh
Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat
kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) hartayang akan diserahkan kepada
Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di
samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh,
upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan
standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya,
apalagi harganya. Beberapa alasan itulahyang mendorong atau menye-babkan para pengumpul
pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban”
kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditiyang harus diserahkan.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat
kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja
misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 –
1904) dan lain-lain. Namun,yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk
pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut
saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan
tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan
sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip
Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar
pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti
ungkapan “Sistem Pembudayaan” menjadi “Tanam Paksa”.
Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai
berikut:

1) Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual
di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi,
bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-
sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh “Belanda Item”
(orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan
ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2) Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya
penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu
Belanda)
3) Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau
perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1
tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap
karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4) Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala
kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap
menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5) Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka
kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh
“Belanda Item” atau para pengumpul.
6) Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru
lebih banyak dilakukan oleh “Belanda Item” yang karakternya kadang-kadang jauh lebih
kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah “budaya korupsi” khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya “Budaya


korupsi” yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah
diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde
Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat
kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah
ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu
setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk
berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi
formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi
keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi
langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di


balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas
Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan
korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab
ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih
berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan
praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk
menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk
menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih
belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun
waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di
atas semua kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi


Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat
Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya
mengalami stagnasi.

Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj


Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat
bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari
tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa
Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot
masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa
yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan
antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina.
Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di
Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib


(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut
pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil
dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun
hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara
negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru,
korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan
meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan
DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama
rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara
murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang


Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi
atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya,
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di
tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan
masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi
sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya
menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.

Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The
Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas
MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan
tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih
memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi
kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa.
Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas
korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses
pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan
kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya
komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur
di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak
manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
2. Faktor Penyebab Korupsi

A. FAKTOR POLITIK
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika
terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih
dan mempertahankan kekuasaan.
Perilaku korup seperti menyuap, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.
Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang
suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi,
tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi politik (Susanto: 2002).
Penelitian James Scott (Mochtar Mas’oed: 1994) mendeskripsikan bahwa dalam
masyarakat dengan ciri pelembagaan politik eksekutif dimana kompetisi politik dibatasi pada
lapisan tipis elit dan perbedaan antar elit lebih didasarkan pada klik pribadi dan bukan pada isi
kebijakan, yang terjadi umumnya desakan kulturan dan struktural untuk korupsi itu betul-betul
terwujud dalam tindakan korupsi pada pejabatnya.
Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi dengan formulasi
M+D-A=C. Simbol M adalah monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah
accountability (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa
korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang
begitu besar tanpa pertanggung -jawaban.

B. FAKTOR HUKUM
Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan
sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam
aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas tegas (non lext certa)
sehingga multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat
maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang
sehingga tidak tepat sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep
yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak
kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan
mengalami resistensi.
Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: Pertama, Tawar-
menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen, sehingga
muncul aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktik politik uang dalam pembuatan hukum
berupa suap menyuap, utamanya menyangkut perundang-undangan dibidang ekonomi dan
bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tupang-tindih dengan aturan
lain sehingga mudah dimanfaat untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan.
Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah: 2004) menyebut tindakan korupsi mudah
timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang mencakup;
a. adanya peraturan perundang-undangan yang bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu
b. kualitas peracuran perundang-undangan kurang memadai,
c. peraturan kurang disosialisasikan,
d. sanksi yang terlalu ringan,
e. peraturan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu,
f. lemahnya lembaga evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Kenyataan bahwa berbagai produk hukum di masa Orde Baru sangat ditentukan oleh
konstelasi politik untuk melanggengkan kekuasaan di era Reformasi pun ternyata masih
sajaterjadi. Banyak produk hukum menjadi ajang perebutan legitimasi bagi berbagai
kepentingan kekuasaan politik, untuk tujuan mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan.
Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya sadar akan
aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti konsekuensi dari apa yang
ia lakukan. Kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha terhadap pejabat publik
dengan menggunakan uang sogokan., hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang
mempunyai motif koruptif, masyakat hanya menikmati sisa-sisa hasil pembangunan.
Fakta ini memperlihatkan bahwa terjadinya korupsi sangat mungkin karena aspek
peraturan perundang-undangan yang lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja.
Disamping tidak bagisnya produk hukum yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi,
praktik penegakan hukum juga masih dilihat berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum
dari tujuannya. Secara kasat mata, publik dapat melihat banyak kasus yang menunjukkan adanya
diskriminasi dalam proses penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan.

C. FAKTOR EKONOMI
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat
dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Selain rendahnya gaji atau
pendapatan, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, di antaranya
adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai
pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkait faktor ekonomi dan
terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah
korupsi.pernyataan tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang dilakukan oleh
pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan demikian korupsi
bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru sebaliknya, kemiskinan disebakan oleh korupsi
(Pope: 2003)
Menurut Henry Kissinger korupsi politisi membuat sepuluh persen lainnya terlihat buruk.
Dari keinginan pribadi untuk keuntungan yang tidak adil, untuk ketidakpercayaan dalam sistem
peradilan, untuk ketidak stabilan lengkap dalam identitas bangsa, ada banyak faktor motivasi
orang kekuasaan, anggota parlemen termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.

D. FAKTOR ORGANISASI
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas, termasuk sistem pengorganisasian
lingkungan masyarakat. Organisai yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi
biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk
melakukan korupsi.
Aspek-aspek terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi meliputi: (a) kurang
adanya teladan dari pemimpin (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem
akuntabilitas dalam instansi kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi didalam
organisasinya.
Focus attention, dapat dijadikan oleh para anggota sebagai semacam gideline untuk
memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan anggota-anggota dan organisasi sebagai
kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat memiliki arah yang jelas tentang segala
kegiatan dan tentang apa yang tidak, serta apa yang harus dikerjakan dalam kerangka organisasi.
Tindak tanduk atas kegiatan dalam organisasi, oleh karenanya senantiasa berorientasi kepada
tujuan organisasi, baik didasari maupun tidak.
Dalam fungsinya sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan organisasi dapat
dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan kebenaran tindakan-tidakan dan
keputusan-keputusannya. Karena sebuah organisassi dapat berfungsi dengan baik, hanya bila
anggotanya bersedia mengintegrasikan diri dibawah sebuah pola tingkah laku (yang normalitif),
sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan bersama hanya mungkin apabila anggota-anggota
bersedia mematuhi dan mengikuti “aturan permainan” yang ditentukan.
Menurut Baswir pada dasarnya perakar pada bertahannya jenis birokasi patrinominal.
Dalam biirokrasi ini, dilakukan oleh para birokrat memang sulit untuk diuhindari. Sebab kendali
politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena
sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini , sehingga
cenderung masih mentabukan sikap opopsisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi
patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan,
sehingga merabaklah budaya korupsi itu.
Di banyak negara berkembang muncul pandangan bahwa korupsi adalah akibat dari
perilaku-perilaku yang membudaya. Anggapan ini lama-lama akan berubah jika uang pelicin
yang diminta semakin besar, atau konsumen tahu bahwa kelangkaan yang melandasi uang semir
sengaja diciptakan atau justru prosedur dan proses yang lebih baik bisa diciptakan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara langsung
merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua
aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan
uang Negara untuk kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan,
kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi di
berbagai bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.
Saran

Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini.Dan pencegahan


korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil
DAFTAR PUSTAKA

Muzadi, H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi. Malang : Bayumedia Publishing.

Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia .Bandung : Penerbit
Sinar Baru.

Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia . Jakarta : GhaliaIndonesia

SUMBER: http://kumpulanmakalah-cncnets.blogspot.com/2012/02/makalah-korupsi.html

Anda mungkin juga menyukai