Anda di halaman 1dari 42

CASE REPORT

ILMU KESEHATAN KELAUTAN

HUBUNGAN TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK DENGAN


GUILLAIN-BARRE SYNDROME

Pembimbing :
dr. Ni Komang Sri Dewi Untari, Sp.S

Oleh :
Tety Amalia 2017.04.2.0168
Tiffany Wongsodiharjo 2017.04.2.0169

LEMBAGA KESEHATAN KELAUTAN TNI AL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Case Report “HUBUNGAN TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


DENGAN GUILLAIN-BARRE SYNDROME” ini telah diperiksa, disetujui,
dan diterima sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan
studi kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Kelutan RSAL dr.
Ramelan Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.

Surabaya, 20 Januari 2019


Pembimbing

Dr. Ni Komang Sri Dewi Untari, Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan case report dengan topik “HUBUNGAN TERAPI
OKSIGEN HIPERBARIK DENGAN GUILLAIN-BARRE SYNDROME”.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL Dr. Ramelan Surabaya,
dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat
bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penuisan dan penyusunan case report ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada :
1. dr. Ni Komang Sri Dewi Untari, Sp.S selaku pembimbing referat
2. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL Dr. Ramelan Surabaya
3. Para perawat dan pegawai di bagian LAKESLA RSAL Dr.
Ramelan Surabaya
Kami menyadari bahwa case report yang kami susun masih jauh dari
sempurna, sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga
referat ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Surabaya, 20 Januari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. i

KATA PENGANTAR ......................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR......................................................................... iii

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 1

1.1 EFEK TEKANAN PADA TUBUH ......................................... 1

1.1.1 Telinga .......................................................................... 1

1.1.2 Sinus ............................................................................. 3

1.1.3 PARU DAN SALURAN NAFAS ..................................... 4

1.2 EFEK TEKANAN TERHADAP NAFAS................................ 4

1.2.1 Tekanan Gas................................................................. 4

1.2.2 Oxygen Window ............................................................ 6

1.2.3 Perubahan Ventilasi ...................................................... 8

1.3 NITROGEN DAN KARBON DIOKSIDA ............................. 14

1.3.1 Keracunan Nitrogen .................................................... 14

1.3.2 Keracunan Karbon dioksida ........................................ 15

BAB 2 JURNAL ............................................................................. 17

BAB 3 CASE REPORT .................................................................. 33

3.1. IDENTITAS PASIEN ...................................................... 33

3.2. SUBJEKTIF.................................................................... 33

3.3. OBJEKTIF ...................................................................... 34

3.4. ASSESEMENT .............................................................. 36

3.5. PLANNING..................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 1

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 0.1 Telinga Manusia ..................................................................... 1


Gambar 0.2 Lokasi Sinus ........................................................................... 3
Gambar 0.3 Volume Pernafasan ................................................................ 4
Gambar 0.4 Tekanan Gas parsial .............................................................. 6
Gambar 0.5 Tekanan Gas Normal ............................................................. 6
Gambar 0.6 Tekanan Gas Pernafasan saat pemberian O2 100% ............. 7
Gambar 0.7 Tekanan Gas Pernafasan saat pemberian O2 100% dan
tekanan 162 kPa ........................................................................................ 8
Gambar 0.8 Reaksi sistem pernafasan terhadap perubahan pCO2 ........... 9
Gambar 0.9 Aliran Turbulen dan Laminar saat Normobarik ..................... 12
Gambar 0.10 Aliran Turbulen dan Laminar saat Hiperbarik ..................... 13

iii
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 EFEK TEKANAN PADA TUBUH


Terapi oksigen hiperbarik dibatasi oleh efek oksigen toksik hingga
tekanan maksimum 300 kPa (3 bar). Untuk beberapa indikasi, gas
campuran digunakan untuk pengobatan hingga 600 kPa (6 bar). Dalam
kisaran tekanan ini, semua organ tubuh dan cairan tidak ada efek klinis
yang diketahui disebabkan oleh tekanan itu sendiri. Pada tekanan
terapeutik, efek hanya dapat diperhatikan dalam kaitannya dengan rongga
yang diisi gas.

1.1.1 Telinga
Telinga tengah adalah satu-satunya rongga yang berisi gas udara
yang dipengaruhi oleh perubahan tekanan selama tidak ada sumbatan.
Bersama dengan sel mastoid, membentuk rongga yang berisi gas di
kepala yang tertutup ke rhino-faring.
Telinga bagian dalam termasuk koklea dan organ vestibular diisi
dengan cairan perilimfatik dan endolimfatik sehingga tidak secara
langsung dipengaruhi oleh perubahan tekanan.

Gambar 0.1 Telinga Manusia

1
1.1.1.1 EKUALISASI TEKANAN
Tuba Eustachius, menghubungkan telinga tengah dan rhino-faring,
normalnya tertutup. Saat mengunyah, menelan, atau menguap mm.
tensores veli palatini & levatores veli palatini aktif dan membuka lubang
dari tabung Eustachian, sehingga memungkinkan perbedaan tekanan gas
yang dalam rhino-faring dan telinga tengah untuk ekualisasi. Tanpa sadar,
tuba terbuka setiap satu hingga empat menit. Selama perubahan tekanan
yang cepat, tabung harus dibuka secara aktif.
Membuka tuba bisa dilakukan dengan mengunyah, menelan,
atau menguap di mana tekanan ekualisasi secara pasif. Selain itu juga
bisa dilakukan dengan Valsava manuver: mulut dan hidung tertutup dan
melakukan upaya pernafasan paksa cepat terhadap hidung tertutup
menyebabkan peningkatan tekanan gas rhino-faring, yang membuka
lubang tuba Eustachius.
Semua metode ini untuk ekualisasi tekanan tergantung pada
kondisi normal mukosa di rhino-faring dan tuba Eustachius. Ketika mukosa
membengkak karena infeksi saluran pernapasan atas, kemungkinan tidak
bisa ekualisasi telinga tengah.
1.1.1.2 VERTIGO ALTERNOBARIK
Vertigo disebabkan oleh ketidakcocokan informasi yang berasal
dari organ vestibular kanan dan kiri. Secara umum, vertigo dihubungkan
dengan nistagmus spontan, dan bisa disertai dengan gejala seperti mual,
muntah, berkeringat, dan reaksi kardiovaskular.
Berbeda dengan penyebab vertigo lain yang kurang umum dalam
terapi hiperbarik, vertigo alternobarik disebabkan oleh perbedaan tekanan
antara dua rongga telinga tengah. Jika vertigo selama kompresi, itu
disebut "vertigo vertobarik of descent", menurut teori kesehatan
penyelaman. Mekanisme vertigo alternobarik adalah perbedaan tekanan
di telinga tengah kiri dan kanan menyebabkan perbedaan tekanan
terhadap round window dan oval window di setiap sisi, menyebabkan
sensitivitas diferensial dari kedua organ vestibular.

2
Vertigo juga dapat terjadi ketika manuver Valsava yang
dipaksakan hanya efektif di satu sisi. Tidak jelas apakah ini merupakan
hasil dari perubahan mendadak unilateral pada cairan telinga bagian
dalam atau osilasi cairan telinga bagian dalam unilateral karena
pergerakan cepat round window dan oval window. Penyebab vertigo ini
digambarkan sebagai disebabkan oleh hypermobilitas stapes.
Sedangkan vertigo selama dekompresi, itu disebut
"vertobarik vertigo of ascent". Mekanismenya adalah penyumbatan
unilateral tuba Eustachius dengan pemberian tekanan yang tertunda saat
ekualisasi pada sisi itu. Percobaan pada hewan telah menunjukkan bahwa
peningkatan tekanan limfatik di telinga bagian dalam peningkatan aktivitas
listrik n. vestibulo-cochlearis.

1.1.2 Sinus
Selain telinga tengah, ada lebih banyak rongga berisi gas di kepala:
saluran nafas utama (hidung, rongga mulut, rhino-faring), dan sinus
paranasal. Selama hubungannya dengan rhino-faring masih intak dan
tidak tertutup, misalnya oleh pembengkakan mukosa karena infeksi
saluran pernapasan bagian atas, tekanan akan ekualisasi secara otomatis
pada sinus tanpa masalah.

Gambar 0.2 Lokasi Sinus

3
1.1.3 PARU DAN SALURAN NAFAS
Volume pernafasan sangat bervariasi tergantung pada tinggi, usia,
dan jenis kelamin. Sebagai contoh seorang pria muda mungkin memiliki
volume tidal ~ 0,5L dengan volume cadangan inspirasi ~ 3,0L dan volume
cadangan ekspirasi ~ 1,0L, sehingga memiliki kapasitas pernapasan vital
~ 4,5L. Setelah ekspirasi terdalam masih ada volume residu ~ 1,5L di paru
dan saluran nafas yang tidak bisa dihembuskan.

Gambar 0.3 Volume Pernafasan

Selama pernafasan berlangsung terus-menerus dan bernafas


dengan tekanan yang sama sepanjang waktu, ekualisasi tekanan terus
menerus antara paru dan atmosfer di luar dinding dada. Masalah dapat
timbul hanya jika pernapasan dihentikan selama dekompresi (misalnya
karena kejang umum karena keracunan oksigen) atau jika bagian paru
tidak bisa berventilasi dengan benar sehubungan dengan dekompresi
cepat (asma bronkiale).
1.2 EFEK TEKANAN TERHADAP NAFAS

1.2.1 Tekanan Gas


Menurut hukum difusi pertama Fick, pertukaran gas eksternal
antara paru dan darah tergantung pada tekanan parsial gas terilhami dan
pada tekanan parsial gas yang larut dalam darah. Dalam hal ini, secara
tidak langsung O2 dan CO2 juga ditransport aktif dengan terikat pada

4
hemoglobin dan bahwa CO ditransport sebagai ion HCO dalam darah. Di
lokasi pertukaran gas hanya gas yang terlarut secara fisik. Molekul akan
berperan dalam proses difusi. Saat menghirup udara, selain O2 dan CO2,
N2 dan uap air berperan: N2 berdifusi antara paru dan darah seperti gas
lainnya. Karena N2 adalah gas "inert", di mana ia tidak bereaksi secara
kimiawi dalam tubuh manusia, tidak ada perbedaan dalam tekanan parsial
antara paru dan darah selama tidak ada perubahan total tekanan
atmosfer.
Udara yang dihirup mengandung berbagai jumlah uap air
seperti gas lainnya dan juga menghasilkan tekanan parsial pH2O. Setelah
pelembapan di saluran nafas gas pernapasan di paru jenuh dengan H2O
pada 37°C (yaitu 100% kelembaban relatif) dan PH2O adalah 47 mmHg.
Pada titik ini kita mulai menggunakan mmHg dan
meninggalkan unit IS karena di negara Eropa masih umum menggunakan
mmHg untuk gas darah.
Konversi adalah sebagai berikut:
750mmHg = 1 bar = 100kPa and 760mmHg =1.013 bar = 101.3kPa
Total tekanan atmosfer harus sama untuk gas inspirasi, gas
alveolar, dan gas ekspirasi. Gas selain uap air harus berbagi tekanan
yang tersisa. Sebagai contoh:
Gas inspirasi: Ptot 760mm Hg – pH2O 6mm Hg = 754mmHg
Gas alveolar: Ptot 760mm Hg – PH2O 47mmHg = 713mm Hg
Jadi, masing-masing gas inspirasi selain H2O harus berbagi
masing-masing 754mm Hg dan 713mmHg sesuai dengan fraksi gas Fgas
mereka.

5
Gambar 0.4 Tekanan Gas parsial

1.2.2 Oxygen Window


Pada kondisi atmosfer, tekanan total gas di saluran udara (Ptot)
adalah 101,3 kPa (1atm, 760mm Hg). PO2 dan pCO2 arteri tidak persis
sama dengan tekanan parsial alveolar, karena perfusi dan ventilasi paru-
paru tidak pernah optimal sehingga pertukaran gas antara paru-paru dan
darah tidak pernah lengkap. Oleh karena itu tekanan total arteri sedikit
lebih rendah dari tekanan atmosfer (mis. Ptot arteri 756mm Hg). Ptot vena
hanya 706mm Hg, karena pO2 turun dari 95mm Hg ke 40mm Hg
sedangkan pCO2 hanya naik dari 40mm Hg ke 45mmHg.

Gambar 0.5 Tekanan Gas Normal

6
Perbedaan antara barometrik (PtotB) dan tekanan total vena (Ptotv)
disebut “oxygen window” (PtotB 760mm Hg - Ptotv 706mmHg = Ptot
54mmHg). Perbedaan ini adalah alasan mengapa jumlah gas yang
terbatas tidak dapat bertahan dalam tubuh dalam kondisi normal. Ptot dari
jumlah gas apa pun akan sama dengan tekanan atmosfer (101.3kPa,
1atm, 760mmHg) sedangkan Ptot dari jaringan di sekitarnya - seperti
darah vena - adalah ~ 706mmHg. Gas akan berdifusi ke dalam jaringan
sebagai gas terlarut sampai diserap sepenuhnya.

Gambar 0.6 Tekanan Gas Pernafasan saat pemberian O2 100%

Ketika bernafas O2 100% arteri pO2 naik sesuai dengan hukum


difusi Fick. Pada kapiler jaringan, O2 yang terlarut secara fisik digunakan
sebelum hemoglobin dideoksigenasi. PO2 intravaskular dengan ini turun
jauh lebih banyak daripada saat bernafas di udara; perbedaan pO2
arterio-vena ditingkatkan dan oxygen window
PtotB 760mm Hg - Ptotv 142mm Hg = Ptot 618mmHg.
Ketika O2 100% dihirup pada tekanan yang meningkat, yaitu
162kPa (1.6atm, 1216mm Hg), pO2 arteri dan pemanfaatan O2 yang
terlarut secara fisik dalam kapiler jaringan akan meningkat. Karena itu
perbedaan pO2 arteri-vena lebih ditingkatkan dan oxygen window PtotB
1216mm Hg - Ptotv 150mm Hg = Ptot 1066mmHg.

7
Gambar 0.7 Tekanan Gas Pernafasan saat pemberian O2 100% dan tekanan 162 kPa
1.2.3 Perubahan Ventilasi
1.2.3.1 Gas Alveolar
Dengan persamaan gas alveolar kita dapat menghitung tekanan
parsial alveolar O2 (PaO2) dan CO2 (PaCO2). Formula sederhana yang
diperlihatkan di bawah ini menuntut gas inspirasi bebas CO2, yang secara
praktis hanya akan menyebabkan ketidaktelitian kecil. Persamaan
menunjukkan bahwa di bawah kondisi pernapasan udara hiperbarik,
hipoventilasi yang signifikan (yaitu dengan PaCO2 dari 80mmHg) tidak
akan menyebabkan hipoksia. Ini karena fraksi O2 inspirasi konstan akan
menyebabkan PO2 naik sebanding dengan tekanan. Masalah utama
ventilasi ventilasi pada kondisi hiperbarik adalah hiperkapnia.

1.2.3.2 Respon Nafas terhadap Perubahan Tekanan Oksigen


Respon dari pusat pernapasan di modulasi oleh kemoreseptor
periferal pada aa karotis dan aorta dan oleh pusat kemoreseptor pada
dasar ventrikel keempat. Kemoreseptor periferal merespon terutama
terhadap penurunan pO2 kurang dari 60 mmHg. Selain itu juga merespon
terhadap penurunan pH, peningkatan pCO2, tekanan darah rendah,
peningkatan suhu tubuh dan untuk menstimulasi agen sperti nikotin,
acetilkolin dan CO. Kemoreseptor pusat merespon terutama terhadap
peningkatan pCO2, yang berhubungan dengan penurunan pH pada cairan

8
cerebrospinal. Sekitar 78% respon terhadap peningkatan pCO2 diperoleh
dari kemoreseptor pusat. Gambar 1.3-8 menunjukkan reaksi dari sistem
pernapasan terhadap perubahan pCO2 inspirasi pada level pO2 yang
berbeda dibawah kondisi normobaric.

Gambar 0.8 Reaksi sistem pernafasan terhadap perubahan pCO2

1.2.3.2.1 Penurunan Tekanan Parsial Oksigen


Peningkatan pCO2 arterial dibawah kondisi normobaric dengan
menghirup CO2 yang kaya akan campuran gas akan mengakibatkan
peningkatan ventilasi pada semua kasus, tidak peduli seberapa tinggi pO2
arterial. Ventilasi yang berfungsi sebagai pCO2 akan meningkat lebih kuat
pada PaO2 level rendah daripada PaO2 level tinggi. Saat PaO2 normal,
peningkatan pada ventilasi sekitar 41/min/mmHg PaCO2. Jika tidak ada
CO2 pada gas yang kita hirup, ventilasi dinaikkan oleh pO2 level rendah
atau pO2 level tinggi. Oleh mekanisme inilah pO2 rendah menstimulasi
ventilasi melalui kemoreseptor periferal.

1.2.3.2.2 Peningkatan Tekanan Parsial Oksigen


Mekanisme peningkatan pO2 yang menstimulasi ventilasi sedikit
lebih kompleks. Pada peningkatan pO2 sedikitnya satu bagian dari
kebutuhan dari otak yang butuh oksigen disupply oleh oksigen yang

9
terlarut. Dalam situasi ini dibutuhkan oksigen yang terikat hemoglobin
normal. Karena hemoglobin dengan muatan oksigen tinggi tidak mampu
mengikat CO2 sebanyak biasanya (efek Haldane), CO2 harus diangkut ke
jumlah yang lebih tinggi seperti bikarbonat dan CO2 yang terlarut secara
fisik. Dengan ini darah vena pCO2in dan jaringan otak meningkat.
Sebagai hasilnya peningkatan pCO2 jaringan otak menstimulasi ventilasi
(VE) dan dengan demikian mengarah pada penurunan pCO2 vena
meskipun produksi CO2 tidak berubah.
Dalam kondisi hiperbarik, hiperoksia adalah faktor paling penting
untuk perkembangan hiperkapnia. Saat menghirup udara, nitrox atau
heliox dengan persentase oksigen tetap, pO2 meningkat sejajar dengan
peningkatan tekanan. Tabel 1.3-1 menunjukkan efek hiperbarik hiperoksia
pada respons ventilasi terhadap peningkatan pCO2 saat istirahat

1.2.3.3 Hiperkapnea yang ditoleransi


Jumlah ventilasi maksimum yang dimungkinkan per menit terbatas.
Batas ini dikurangi dengan meningkatkan kepadatan gas pernapasan.
Ketika ventilasi yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan fisik
mendekati batas atas ini, itu hampir tidak akan mencapai tingkat ventilasi
yang dibutuhkan untuk mengatasi kebutuhan metabolisme. Ini akan
menyebabkan hiperkapnia. Pembatasan ventilasi yang serupa diamati
ketika kerja ventilasi menjadi sangat tinggi pada beban kerja tertentu.
Pusat pernapasan tampaknya mudah menoleransi hiperkapnia jika hal ini
mencegah kerja pernapasan berlebihan.

1.2.3.4 Aliran Laminar dan Turbulen


Gas pernapasan mengalir melalui saluran udara mengikuti
perbedaan tekanan antara tekanan alveolar (Palv) dan tekanan barometrik

10
ambient (PB). Ketika toraks dilebarkan, gas pernapasan mengalir ke paru-
paru, dan ketika toraks dikompresi, gas pernapasan mengalir ke arah
yang berlawanan. Aliran gas pernapasan bisa “turbulen” atau “laminar”.
Aliran laminar ditemukan terutama di saluran udara terminal kecil,
sedangkan aliran turbulen lazim di saluran udara bagian atas.

1.2.3.4.1 Aliran Laminar


Dalam aliran laminar, laju aliran berbanding lurus dengan
perbedaan tekanan dan radius jalan nafas dengan kekuatan empat, dan
itu adalah proporsi terbalik dengan viskositas gas. Jadi, ketika radius jalan
nafas terbelah dua maka dibutuhkan perbedaan tekanan 16 kali lipat
untuk mencapai aliran gas yang sama.

1.2.3.4.2 Aliran Turbulen


Aliran turbulen terjadi ketika laju aliran tinggi, dan ketika hasil bagi
dari densitas gas dan viskositas gas besar. Sebagai aturan praktis, aliran
gas adalah laminar ketika nomor Reynold di bawah 1000, dan aliran gas
turbulen ketika nomor Reynold lebih dari 1500 (lihat persamaan di bawah).
Tetapi aliran turbulen dapat terjadi pada nilai yang lebih kecil dari angka
Reynold pada tikungan tajam dan bifurkasi, atau pada permukaan yang
tidak teratur dan dalam berbagai kaliber.

11
Untuk aliran turbulen, persamaan di bawah ini menunjukkan
hubungan antara perbedaan tekanan dan laju aliran. Harap dicatat bahwa
untuk aliran laminar, AP bergantung pada laju aliran V ke daya 1,
sedangkan untuk aliran turbulen, AP bergantung pada laju aliran V ke
daya 2. Selain itu, aliran turbulen bergantung pada kerapatan gas

Gambar 0.9 Aliran Turbulen dan Laminar saat Normobarik

Selama gas mengalir dari periferal ke saluran udara sentral. Karena


pengurangan berturut-turut dari total diameter saluran udara menuju aliran
gas trakea semakin dipercepat. Dengan ini di saluran udara yang lebih
besar,aliran gas laminar berubah menjadi aliran turbulen. Selama inspirasi
ini terjadi sebaliknya. Aliran gas pernafasan di saluran udara manusia
adalah campuran dari aliran laminar dan turbulen.

12
Gambar 0.10 Aliran Turbulen dan Laminar saat Hiperbarik

1.2.3.5 Respon Ventilasi saat Tekanan Meningkat


Untuk gas dengan komposisi konstan, densitasnya meningkat
secara proporsional untuk meningkatkan tekanan. Aliran gas selama
ekspirasi selalu mengandung komponen turbulen, sehingga peningkatan
densitas gas akan selalu mengarah pada resistensi pernapasan yang
lebih tinggi. Karena aliran gas ekspirasi maksimum pada volume paru-
paru yang diberikan tergantung pada resistensi jalan napas, aliran
ekspirasi maksimum berkurang ketika kepadatan gas meningkat.
Kepadatan gas yang lebih tinggi menghasilkan loop volume aliran inspirasi
dan ekspirasi maksimum berkurang (gambar 1.3-11, sisi kiri) serta dalam
pekerjaan pernapasan yang lebih berat, ketika ventilasi harus mengikuti
beban kerja fisik. Semakin tinggi kepadatan gas, semakin kecil loop
volume aliran. Saat aliran gas pernapasan ekspirasi pada volume paru-
paru tertentu (mis. 60% VC) sebagai fungsi untuk meningkatkan
kepadatan gas, Anda akan melihat pengurangan aliran gas seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1.3-11 (sisi kanan).
Ketika aliran gas inspirasi dan ekspirasi berkurang oleh
meningkatnya tekanan, tidak mengherankan bahwa maximum voluntary

13
ventilation (MVV) juga berkurang dengan meningkatkan tekanan. Respon
ventilasi terhadap peningkatan pCO2 dalam gas inspirasi saat istirahat
akan berkurang ketika kerja ventilasi meningkat karena kepadatan gas
yang lebih tinggi. Alasan yang diduga mengapa respons ventilasi menurun
adalah karena kerja ventilasi tambahan membutuhkan stimulus CO2 yang
lebih kuat. Selama pekerjaan fisik pada peningkatan kepadatan gas,
frekuensi pernapasan lebih rendah dan volume tidal lebih tinggi dari
normal. Dengan cara ini diperlukan kerja ventilasi tambahan dan ventilasi
dead space yang diminimalkan, sementara volume ventilasi per menit
dipertahankan.

1.3 NITROGEN DAN KARBON DIOKSIDA

1.3.1 Keracunan Nitrogen


1.3.1.1 Occurence
Keracunan nitrogen juga disebut "narkosis nitrogen". Ini dapat
terjadi pada pN2 lebih dari ~ 320kPa (3.2bar). Saat menghirup udara, ini
terjadi pada tekanan total 400kPa (4.0bar). Terjadi ketika menghirup udara
yang bercampur dengan fraksi nitrogen tereduksi (FN2), gejala akan
muncul pada tekanan total yang lebih tinggi tergantung pada pN2.
Kerentanan antar individu terhadap nitrogen sangat bervariasi. Ada juga
variasi intra-individu yang hebat untuk terjadinya gejala dari hari ke hari.
Berbagai faktor dapat memengaruhi kerentanan terhadap narkosis
nitrogen. Daftar faktor-faktor yang berpengaruh panjang dan risiko
narkosis nitrogen tidak pernah dapat sepenuhnya dikesampingkan.
Narkosis nitrogen jarang terjadi pada pengobatan hiperbarik karena
tekanan yang terbatas untuk perawatan standar. Tetapi dalam perawatan
pada tekanan yang lebih tinggi dengan gas campuran bernafas untuk
indikasi khusus (mis. Insiden dekompresi parah), mungkin menjadi
masalah bagi yang masuk dalam chamber.
1.3.1.2 Gejala
Nitrogen mempengaruhi manusia mirip dengan gas narkotika
medis, tetapi pada tingkat yang jauh lebih rendah. Tahap awal narkosis

14
nitrogen digambarkan mirip dengan alkohol atau keracunan LSD. Gejala
mungkin tidak dikenali oleh individu yang terpengaruh.

1.3.2 Keracunan Karbon dioksida


1.3.2.1 Occurence
Ada dua jalur untuk pengembangan keracunan CO2: salah satunya
adalah pCO2 meningkat saat bernapas (inspirasi), atau saat
menghembuskan napas (ekspirasi) CO2 yang dihasilkan tidak cukup.
Peningkatan pCO2 dalam gas yang diinspirasikan dapat terjadi
ketika pertukaran gas dalam ruang hiperbarik tidak cukup untuk menjaga
pCO2 pada tingkat fisiologis. Untuk mencegah peningkatan kadar pCO2,
ruang hiperbarik harus terus diisi dengan breathing gas. Pengisiannya
harus disesuaikan dengan jumlah orang yang masuk chamber dan
tekanan total atmosfer chamber.
Kecemasan dapat menyebabkan ventilasi yang sering dan dangkal
sehingga dapat menyebabkan CO2 yang tidak cukup habis. Kelelahan
fisik karena kerja keras dan peningkatan produksi CO2 mungkin memiliki
efek yang serupa. Kepadatan gas yang meningkat dan peningkatan
resistensi pernafasan mendukung mekanisme ini.
1.3.2.2 Gejala
Gejala keracunan CO2 yang paling umum dan terutama terjadi
adalah sakit kepala. Selain itu, palpitasi, peningkatan tekanan darah, atau
agitasi dapat terjadi. Pada pCO2 lebih dari 6kPa (0,06bar) kelaparan

15
udara, takikardia, dan kehilangan kesadaran dapat terjadi ("narcosis
CO2")

16
BAB 2
JURNAL
Oksigen Hiperbarik dan Hiperoksia Sebelum Tindakan Dapat
Menginduksi Toleransi Iskemia Medula Spinalis Kelinci

Latar belakang: tujuan penelitian ini adalah menentukan apakah


oksigen hiperbarik (HBO) sebelum tindakan dapat menginduksi toleransi
iskemia medula spinalis. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengetahui
komponen HBO (hiperoksia, hiperbarik dan kombinasi antara keduanya)
manakah yang paling penting untuk menginduksi toleransi terhadap
trauma iskemik.

Metode: kami menggunakan 21 kelinci dalam percobaan pertama.


Kelinci tersebut dimasukkan ke dalam tiga kelompok secara acak (n
masing-masing = 7). Kelinci pada kelompok kontrol tidak mendapat HBO
(2.5 atmosphere absolute [ATA], 100% O2) sebelum iskemia medula
spinalis. Kelinci pada kelompok HBO-1 mendapat HBO 3 hari sebelum
perlakuan/iskemia selama 1jam/hari. Kelinci pada kelompok HBO-2
mendapat HBO 5 hari sebelum perlakuan/iskemia selama 1jam/hari. Kami
menggunakan 48 kelinci dalam percobaan kedua. Kelinci-kelinci tersebut
dimasukkan ke dalam 4 kelompok secara acak (n masing-masing
kelompok = 12). Kelinci pada kelompok kontrol tidak mendapat HBO (21%
O2, 1 ATA, 1 jam/hari, 5 hari) sebelum iskemia medula spinalis. Kelompok
HB mendapat 21% O2 pada 2.5 ATA selama satu jam setiap hari selama
5 hari. Kelompok HO mendapat oksigen 100% pada 1 ATA selama 1 jam
setiap hari selama 5 hari. Kelompok HBO mendapat HBO (2.5 ATA, 100%
O2) 1jam/hari selama 5 hari. Dua puluh empat jam pasca perlakuan
terakhir, iskemia medula spinalis diinduksi dengan cara menjepit aorta
infrarenal selama 20 menit. Empat puluh delapan jam kemudian kami
menilai fungsi motorik ekstremitas bawah dan histopatologi medula
spinalis kelinci tersebut secara blinded.

17
Hasil: Dalam percobaan 1, hasil neurologis pada kelompok HBO-2
lebih baik daripada kelompok kontrol (P 0,004). Jumlah neuron normal di
medula spinalis anterior pada kelompok HBO-2 lebih banyak daripada
kelompok kontrol (P 0,021). Dalam percobaan 2, kondisi neurologis dan
histopatologi pada kelompok HBO lebih baik daripada kelompok kontrol (P
<0,01). Hasil histopatologi pada kelompok HO lebih baik daripada pada
kelompok kontrol (P <0,05).

Kesimpulan: Paparan oksigen tekanan tinggi secara


berulang/serial menyebabkan toleransi iskemik pada sumsum tulang
belakang kelinci. Hiperbarik sederhana (2,5 ATA, 21% O2) tidak
menyebabkan toleransi iskemik.

PARAPLEGIA adalah komplikasi paling serius yang dapat terjadi


pasca perbaikan aneurisma torakoabdominal. Hipotermia, drainase cairan
serebrospinal, antagonis reseptor N-metil-D-aspartat, penghambat saluran
kalsium, dan pengambil radikal bebas telah direkomendasikan untuk
melindungi medula spinalis dari cedera iskemik. Meski demikian, terapi
tersebut tidak dapat melindungi medula spinalis secara signifikan. Oleh
karena itu, terapi baru untuk melindungi medula spinalis dari cedera
iskemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Pada tahun 1990, Kitagawa et al. menemukan bahwa sel-sel
neuronal dalam gerbil hippocampus mampu bertahan dari kerusakan
neuron iskemik setelah mengalami iskemia reversibel dalam waktu yang
singkat. Fenomena ini, disebut sebagai "toleransi iskemik". Toleransi
iskemik saat ini telah menarik perhatian banyak peneliti karena fenomena
tersebut dapat memberikan harapan bagi kita untuk membentuk terapi
baru pada kasus kerusakan neuron iskemik. Harapan ini dapat tercapai
apabila kita mampu memahami dengan baik mekanisme dari fenomena
tersebut. Fenomena serupa juga dapat terjadi pada medula spinalis.
Sayangnya, pendapat tentang iskemia singkat yang terjadi sebelum
terjadinya iskemia serebral atau medula spinalis yang dapat diantisipasi

18
tampaknya tidak sesuai dengan klinis. Baru-baru ini, peneliti telah
menemukan beberapa zat yang telah terbukti efektif untuk menginduksi
toleransi iskemik di otak. Zat-zat tersebut antara lain endotoksin, sitokin,
kalium klorida, dan asam neurotoksin 3-nitro-propionat (inhibitor selektif
mitokondria suksinat dehidrogenase). Meski demikian, peneliti masih
belum bisa memastikan apakah zat-zat tersebut dapat digunakan karena
dapat menimbulkan berbagai efek samping dan efek toksik.
Radikal bebas oksigen (yang dihasilkan oleh oksigen hiperbarik
[HBO]) juga telah diketahui dapat menginduksi toleransi iskemik pada
neuron herbokampus gerbil. Wada et al. menunjukkan bahwa HBO yang
diberikan secara berulang dapat menginduksi toleransi terhadap kejadian
iskemia mematikan berikutnya pada neuron hippocampal CA1 gerbil.
Prass et al. dan kelompok kami juga menemukan hal yang serupa dalam
iskemia fokal pada serebri mencit dan tikus. Karena HBO terbukti
melindungi serebri dari cedera iskemik dan dapat diterapkan pada pasien
yang mengalami keracunan karbon monoksida, emboli udara, atau
penyakit dekompresi maka HBO dianggap mudah untuk digunakan secara
klinis. HBO dapat digunakan/diterapkan sebelum pasien mengalami
kejadian iskemia apabila memungkinkan.
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan apakah pemberian HBO
berulang dapat menginduksi toleransi iskemia medula spinalis. Apabila hal
tersebut telah terbukti maka komponen HBO (hiperbarik atau hiperoksia)
manakah yang paling penting untuk menginduksi toleransi terhadap
cedera iskemik.

Bahan dan Metode


Protokol yang digunakan dalam penelitian telah disetujui oleh
Komite Etik untuk Penelitian pada Hewan dan telah dilakukan sesuai
dengan Panduan Penelitian pada Hewan dalam institusi kami. Penelitian
ini dilaksanakan di Rumah Sakit Xijing dari Fourth Military Medical
University (Xi’an, China).

19
Persiapan Binatang dan Pembedahan
Kami menggunakan 69 kelinci putih Selandia Baru jantan (berat,
2,1 - 2,3 kg). Kelinci tersebut dibius menggunakan halotan 4% yang
bercampur dengan oksigen ruangan setelah kelinci tersebut menjalani
puasa selama semalam. Selama puasa, kami tidak membatasi asupan
cairan pada kelinci tersebut. Setelah induksi, kondisi anestesi pada kelinci
tersebut dipertahankan menggunakan halotan 1,5%. Halotan 1,5%
diberikan menggunakan masker dan kelinci dapat bernafas secara
spontan. Setelah itu, kami memasukkan kateter vena telinga dan larutan
Ringer laktat (4 ml/kgBB/jam) diberikan secara intravena. Kateter 24-
gauge dimasukkan ke dalam arteri telinga semua kelinci untuk mengukur
tekanan darah proksimal sedangkan kateter lain dimasukkan ke dalam
arteri femoralis kiri untuk mengukur tekanan darah distal. Setelah semua
kanula terpasang, 400 unit heparin disuntikkan secara intravena. Tekanan
darah kelinci dipantau secara terus menerus menggunakan transduser
tekanan terkalibrasi yang terhubung ke monitor tekanan invasif
(Spacelabs Medical, Inc., Redmond, WA). Denyut jantung kelinci
ditentukan dengan cara menghitung bentuk gelombang tekanan darah
pada monitor. Selimut pemanas dan lampu overhead digunakan untuk
mempertahankan suhu rektal kelinci pada 38,5 + 0,5°C selama penelitian.
Sampel darah arteri diambil untuk menentukan tekanan oksigen arteri
(PaO2), tekanan karbon dioksida arteri (PaCO2), pH, dan glukosa plasma.
Gas darah arteri diukur menggunakan Sistem Modular OMNI (Daftar AVL
GmbH Medizintechnik, Kleiststra e, Graz, Austria)

Iskemia Medula Spinalis


Induksi iskemia medula spinalis dalam penelitian ini dilakukan
seperti yang telah dijelaskan oleh Johnson dkk. Secara singkat, kami
mencari aorta abdominalis setinggi arteri renalis kiri melalui sayatan
medial sepanjang 3 hingga 4 cm. Pipa plastik berdiameter kecil
ditempatkan di sekitar aorta, tepat di distal arteri renalis kiri. Ujung-ujung
pipa tersebut disambungkan melalui tombol plastik kecil. Setelah itu,

20
ujung-ujung pipa tersebut disambungkan melalui tabung plastik
berdiameter besar sehingga membentuk ikatan jerat. Oklusi aorta
dilakukan dengan menarik dan menjepit tabung kecil di sekitar aorta.
Oklusi aorta ini dapat menurunkan tekanan darah distal secara cepat dan
menghilangkan denyut nadi. Kondisi iskemia ini dipertahankan selama 20
menit. Apabila kondisi iskemia ini telah berlangsung selama 20 menit
maka tabung tersebut dilepaskan/dilonggarkan untuk mengembalikan
aliran darah melalui aorta. Setelah itu, dinding perut ditutup dengan klip
luka. Kami melakukan infiltrasi lokal bupivacaine hidroklorida 0,25% di
sekitar luka untuk analgesik pasca operasi. Halothane dihentikan. Infus
Ringer laktat dilanjutkan sampai hewan dapat minum. Antibiotik (40.000 IU
gentamisin) diberikan secara intramuskular segera setelah operasi.
Setelah itu, kelinci-kelinci tersebut dikembalikan ke kandang dan diamati
selama 2 hari. Isi kandung kemih/produksi urine diekspresikan/dilaporkan
secara manual sesuai kebutuhan.

Prokotol Penelitian
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama
dirancang untuk menentukan apakah HBO dengan waktu paparan yang
berbeda-beda dapat menginduksi toleransi iskemik di medula spinalis.
Percobaan kedua dilakukan untuk mengetahui apakah hiperoksia
(tekanan oksigen yang tinggi) atau kondisi hiperbarik yang dapat memicu
toleransi iskemik di medula spinalis.
Percobaan 1. Sebanyak 21 kelinci jantan putih Selandia Baru
dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga kelompok secara acak:
kelompok kontrol (n = 7), kelompok HBO-1 (n=7), atau kelompok HBO-2
(n=7). Kelinci dalam kelompok HBO-1 mendapatkan HBO dalam waktu 1
jam pada 2,5 atmosfer absolut (ATA) dalam 100% oksigen setiap hari
selama 3 hari menggunakan ruang hiperbarik hewan. Kelinci dalam
kelompok HBO-2 mendapat HBO dalam waktu 1 jam pada 2,5 atmosfer
absolut (ATA) dalam 100% oksigen setiap hari selama 5 hari. Kelinci
dalam kelompok kontrol ditempatkan di sebuah ruangan (21% O2) tanpa

21
mendapat perlakuan apapun. Kelinci dalam kelompok kontrol ditempatkan
di ruangan tersebut sesuai dengan jadwal yang didapatkan oleh kelinci
pada kelompok HBO selama 5 hari. Dua puluh empat jam setelah
perawatan terakhir, hewan menjadi sasaran iskemia sumsum tulang
belakang selama 20 menit.

Percobaan 2. Sebanyak 48 kelinci jantan putih Selandia Baru


dimasukkan ke dalam salah satu dari empat kelompok penelitian secara
acak (n masing-masing = 12): kelompok kontrol, kelompok HB, kelompok
HO, atau kelompok HBO. Kelinci pada kelompok kontrol mendapat O2
21% pada 1 ATA dalam waktu 1 jam, setiap hari, selama 5 hari. Kelinci
dalam kelompok HB mendapat O2 21% pada 2,5 ATA dalam waktu 1 jam,
setiap hari, selama 5 hari. Kelinci dalam kelompok HO mendapat O2
100% pada 1 ATA dalam waktu 1 jam, setiap hari, selama 5 hari. Kelinci
dalam kelompok HBO mendapat HBO dalam O2 100% pada 2,5 ATA
dalam waktu 1 jam, setiap hari, selama 5 hari. Semua perlakuan ini
dilakukan di ruang hiperbarik hewan. Dua puluh empat jam setelah
perlakuan terakhir, medula spinalis kelinci dibuat iskemia selama 20 menit.

Evaluasi Neurologi dan Histopatologi


Pada 4, 8, 12, 24, dan 48 jam setelah reperfusi, kondisi neurologis
kelinci dinilai oleh pengamat yang tidak mengetahui pengelompokan
kelinci tersebut. Kondisi neurologis kelinci tersebut dinilai menggunakan
kriteria Tarlov yang telah dimodifikasi. Nilai 0 menunjukkan bahwa
ekstremitas bawah sama sekali tidak dapat digerakkan secara sadar. Nilai
1 menunjukkan bahwa pergerakan sendiri ekstremitas bawah masih
terlihat. Nilai 2 menunjukkan bahwa ekstremitas bawah dapat bergerak
secara aktif tetapi tidak dapat digunakan untuk berdiri. Nilai 3
menunjukkan bahwa kelinci mampu berdiri namun tidak bisa berjalan. Nilai
4 menunjukkan bahwa fungsi ekstremitas bawah kelinci dalam batas
normal. Kelinci tersebut dianestesi lagi setelah evaluasi fungsi motorik
ekstremitas bawah pada 48 jam pasca reperfusi selesai dilakukan. Fiksasi

22
dan perfusi transkardiak dilakukan menggunakan heparinized saline
sebanyak 1.000 ml dilanjutkan dengan buffered formalin (10%) sebanyak
500 ml. Medula spinalis setinggi lumbal diambil dan didinginkan dalam
phosphate-buffered formalin 10% selama 48 jam. Proses dehidrasi
medula spinalis dilakukan menggunakan etanol dan butanol dengan
konsentrasi bertingkat. Setelah itu, medula spinalis tersebut ditanam
dalam parafin. Bagian koronal medula spinalis (setinggi L5) dipotong
dengan ketebalan 6 mikrometer kemudian diwarnai dengan haematoxylin
dan eosin. Cedera saraf diperiksa menggunakan perbesaran 400x.
Pemeriksaan ini dilakukan oleh pengamat yang tidak mengetahui
pengelompokan kelinci tersebut. Iskemia neuron ditandai dengan adanya
eosinofila sitoplasma, hilangnya substansi Nissl dan adanya inti homogen
pyknotic. Neuron normal di setiap potongan medula spinalis anterior (di
sebelah anterior dari garis yang melalui kanal pusat dan tegak lurus
dengan sumbu vertebral) dihitung dalam dua bagian untuk setiap hewan
kemudian dirata-rata.

23
Tabel 1. Perubahan Fisiologi

Analisis Statistik
Perubahan tekanan arteri rata-rata, denyut jantung, suhu rektum,
pH arteri, PaO2, PaCO2 dan konsentrasi gula darah dibandingkan
menggunakan analisis varians. Skor fungsi motorik ekstremitas bawah
dan jumlah neuron normal di medula spinalis anterior dianalisis dengan
menggunakan metode non-parametrik (Kruskal Wallis) dilanjutkan dengan
Uji Mann-Whitney dengan koreksi Bonferroni. Hubungan antara fungsi
motorik ekstremitas bahwa dan jumlah neuron normal di medula spinalis

24
anterior dianalisis menggunakan Uji Korelasi Spearman. Nilai p < 0.05
dianggap signifikan secara statistik.
Hasil Percobaan 1
Perubahan fisiologi. Perubahan fisiologi tercantum dalam tabel 1.
Semua kelompok memiliki kondisi hemodinamik, suhu rektum, pH arteri,
PaO2, PaCO2 dan glukosa plasma yang mirip kecuali setelah
mendapatkan perlakuan.
Kondisi neurologis. Semua kelinci dalam penelitian ini dapat
bertahan hidup sampai penilaian neurologis terakhir pada 48 jam setelah
reperfusi. Kondisi neurologis (pasca perlakuan) pada kelompok HBO-2
lebih baik daripada kelompok kontrol (P 0,004; gambar 1). Empat kelinci
dalam kelompok HBO-2 dan dua kelinci pada kelompok HBO-1 memiliki
fungsi motorik yang normal (skor Tarlov 4) pada 48 jam setelah reperfusi.
Tidak ada kelinci dalam kelompok kontrol yang menunjukkan fungsi
motorik normal (skor neurologis 3 pada semua hewan).
Skor fungsi neurologi

Kont HB HBO
rol O-1 -2
Gambar 1. Percobaan 1. Kondisi neurologi
48 jam pasca reperfusi (*P < 0.05 dibanding
kontrol). HBO-1 = kelompok yang mendapat
oksigen hiperbarik selama 1 jam pada 2.5 ATA

25
dalam O2 100% setiap hari selama 3 hari; HBO-2 =
kelompok yang mendapat oksigen hiperbarik
selama 1 jam pada 2.5 ATA dalam O2 100% setiap
hari selama 5 hari

Gambaran histopatologi.
Neuron normal pada medula spinalis anterior kelompok HBO-2
lebih banyak daripada kelompok kontrol (P 0,021). Jumlah neuron normal
di medula spinalis anterior kelompok kontrol tidak berbeda signifikan
dengan kelompok HBO-1 (gbr. 2).
Hubungan antara Kondisi Neurologi dengan Gambaran
Histopatologi.
Terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi neurologis akhir
pada 48 jam setelah reperfusi dengan jumlah neuron normal di medula
spinalis anterior (r 0,80; P 0,001)
Percobaan 2
Perubahan Fisiologi. Semua kelinci dalam penelitian ini memiliki
kondisi hemodinamik, suhu rektum, pH arteri, PaO2, PaCO2 namun
memiliki kondisi yang berbeda setelah mendapat perlakuan.

26
Jumlah neuron normal dalam medula
spinalis anterior

Kontrol HBO-1 HBO-2


Gambar 2. Percobaan 2. Gambaran histopatologi 48 jam
pasca reperfusi (*P < 0.05 dibanding kontrol). HBO-1 = kelompok
yang mendapat oksigen hiperbarik selama 1 jam pada 2.5 ATA
dalam O2 100% setiap hari selama 3 hari; HBO-2 = kelompok
yang mendapat oksigen hiperbarik selama 1 jam pada 2.5 ATA
dalam O2 100% setiap hari selama 5 hari

Kondisi neurologi. Seluruh kelinci mampu bertahan hidup hingga


pemeriksaan neurologi akhir pada 48 jam pasca reperfusi. Kondisi
neurologi kelinci pada kelompok HBO lebih baik dibanding kelinci pada
kelompok kontrol (p = 0.0013; gambar 3). Kelinci pada HO, HB dan kontrol
tidak memiliki perbedaan kondisi neurologi yang signifikan.

27
Skor fungsi neurologi

K H H HB
ontrol B O O
Gambar 3. Percobaan 2. Kondisi neurologi 48
jam pasca reperfusi (**P < 0.01 dibanding kontrol). HB =
kelompok yang mendapat O2 21% selama 1 jam pada
2.5 ATA setiap hari selama 5 hari. HO = kelompok yang
mendapat O2 100% selama 1 jam pada 1 ATA setiap
hari selama 5 hari. HBO = kelompok yang mendapat O2
100% selama 1 jam pada 2.5 ATA setiap hari selama 5
hari

Gambaran Histopatologi. Jumlah neuron normal di medula


spinalis kelinci dalam kelompok HO dan HBO lebih banyak dibanding
kelompok kontrol (p = 0.0431 dan 0.0045, secara berturut-turut). Meski
demikian, jumlah neuron normal pada medula spinalis anterior kelinci di
kelompok HO tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok
HBO. Jumlah neuron normal pada medula spinalis anterior kelinci di
kelompok HB tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok
kontrol (Gambar 4).

28
Hubungan antara Kondisi Neurologi dan Gambaran
Histopatologi. Terdapat hubungan yang signifikan antara kondisi
neurologi akhir pada 48 jam pasca reperfusi dengan jumlah neuron normal
di medula spinalis anterior (r = 0.809; p < 0.001).
Jumlah neuron normal dalam medula
spinalis anterior

Kontrol HB HO HBO

Gambar 4. Percobaan 2. Gambaran histopatologi 48 jam pasca


reperfusi (**P < 0.05 dibanding kontrol). HB = kelompok yang mendapat O2
21% selama 1 jam pada 2.5 ATA setiap hari selama 5 hari. HO = kelompok
yang mendapat O2 100% selama 1 jam pada 1 ATA setiap hari selama 5
hari. HBO = kelompok yang mendapat O2 100% selama 1 jam pada 2.5 ATA
setiap hari selama 5 hari

Diskusi
Penelitian saat ini menunjukkan bahwa paparan HBO berulang
sebelum iskemia dapat menginduksi toleransi iskemik terhadap iskemia
mematikan berikutnya di medula spinalis. HO (1 ATA, O2 100%) juga
mampu menginduksi toleransi iskemik namun kondisi hiperbarik

29
sederhana (2,5 ATA, 21% O2) tidak mampu menginduksi toleransi
iskemik.
Cedera medula spinalis pasca operasi aorta toraks yang berhasil
merupakan suatu komplikasi yang tidak dapat diprediksi namun menjadi
bencana bagi manusia. Insiden paraplegia pasca operasi yang telah
dilaporkan bervariasi mulai dari 0,9 hingga 40%. Para peneliti percaya
bahwa disfungsi medulla spinalis akut disebabkan oleh iskemia medulla
spinalis yang terjadi akibat hipoperfusi selama penjepitan silang aorta.
Para peneliti sebelumnya telah berpendapat bahwa asam amino eksitasi,
akumulasi kalsium intraseluler, dan radikal bebas memiliki peran yang
penting dalam patofisiologi cedera neuron pasca iskemia. Meski demikian,
berbagai usaha perbaikan seperti hipotermia, antagonis reseptor aspartat
N-metil-D-aspartat, penghambat saluran kalsium, dan pemulung radikal
bebas 2–6 masih belum cukup ampuh untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
Bukti-bukti yang telah terkumpul dari penelitian-penelitian terbaru
memberi kita pengetahuan baru tentang tindakan neuroprotektif seperti:
serangan iskemia singkat pada otak atau medula spinalis mampu
menginduksi perlindungan terhadap cedera iskemik mematikan
berikutnya. Sayangnya, pendapat tentang iskemia singkat yang terjadi
sebelum terjadinya iskemia serebral atau medula spinalis yang dapat
diantisipasi tampaknya tidak sesuai dengan klinis. Baru-baru ini, peneliti
telah menemukan beberapa zat yang telah terbukti efektif untuk
menginduksi toleransi iskemik di otak. Zat-zat tersebut antara lain
endotoksin, sitokin, kalium klorida, dan asam neurotoksin 3-nitro-propionat
(inhibitor selektif mitokondria suksinat dehidrogenase). Meski demikian,
peneliti masih belum bisa memastikan apakah zat-zat tersebut dapat
digunakan karena mungkin saja dapat menimbulkan berbagai efek
samping dan efek toksik.
Produksi radikal oksigen bebas (baik dengan obat-obatan atau
dengan paparan HBO) mampu menginduksi toleransi iskemik di otak.
Meski demikian, hingga saat ini masih belum penelitian yang membahas

30
tentang preconditioning (perlakuan sebelum tindakan) yang optimal,
terutama di medula spinalis. Selain itu, masih belum ditentukan komponen
HBO (hiperbarik atau hiperoksia) manakah yang berperan untuk
menginduksi toleransi iskemik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kondisi neurologis kelinci yang menerima HBO sebelum tindakan (selama
5 hari) secara signifikan lebih baik dibanding kelinci pada kelompok
kontrol. Pemeriksaan histopatologi pada penelitian ini juga menemukan
bahwa HBO yang diberikan selama 5 hari berturut-turut sebelum tindakan
mampu menghambat nekrosis neuron motorik di tanduk anterior medula
spinalis (kelompok HBO-2). Kromatolisis zat Nissl, pembengkakan dan
vakuolisasi perikarya, dan karyolisis yang sering terlihat pada kelompok
kontrol secara signifikan lebih sedikit pada kelompok HBO-2.
Kami merancang percobaan kedua untuk dapat mengetahui
apakah hiperoksia (tekanan oksigen yang tinggi) atau kondisi hiperbarik
yang memiliki peran penting dalam menginduksi toleransi iskemik. Kelinci
di kelompok HBO (100% O2, 2,5 ATA, 1 jam / hari, 5 hari) dan kelompok
HO (100% O2, 1 ATA, 1 jam / hari, 5 hari) memiliki gambaran histopatologi
yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kondisi
neurologis kelinci pada kelompok HBO secara signifikan lebih baik
daripada kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
tekanan oksigen tinggi yang diberikan sebelum tindakan (tetapi tidak
dengan hiperbarik sederhana) memainkan peran kunci dalam
menginduksi toleransi iskemik medula spinalis. Dalam percobaan 2,
kondisi neurologis kelinci pada kelompok HO tidak memiliki kondisi yang
lebih baik dibanding kelinci pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa penilaian neurologis secara inheren kurang sensitif dibanding
pemeriksaan histopatologi.
Dalam penelitian ini, kami hanya menyelidiki dampak penggunaan
HO dan HBO sebelum tindakan pada interval tunggal (24 jam) antara
periode akhir sebelum tindakan dan kondisi iskemik yang muncul
berikutnya. Jarak yang optimal antara perawatan sebelum tindakan (pre-
conditioning treatment) dengan kejadian iskemia berikutnya serta "dosis"

31
optimal perawatan sebelum tindakan masih perlu diteliti lebih lanjut.
Hingga saat ini, laboratorium kami masih melakukan penelitian tentang
peran pembentukan radikal bebas oksigen untuk mengetahui lebih lanjut
mekanisme tentang bagaimana HO dan HBO mampu menginduksi
toleransi iskemik.
Analgesia pasca operasi yang digunakan untuk kelinci dalam
penelitian adalah infiltrasi pada lokasi insisi menggunakan bupivacaine
(anestesi lokal jangka panjang). Kelinci dengan fungsi neurologis yang
normal segera dipindah ke kandang dan mampu makan secara normal
pasca operasi. Beberapa kelinci yang mengalami kelumpuhan juga
mengalami kehilangan nafsu makan. Tidak ada kelinci yang mengalami
penurunan berat badan yang signifikan. Semua kelinci menerima
perawatan yang tepat setelah operasi.
Kesimpulan penelitian ini adalah paparan HBO secara
berulang/serial mampu menginduksi toleransi iskemik pada medula
spinalis kelinci. Hyperoxia (1 ATA, 100% O2) juga menginduksi toleransi
iskemik, tetapi hiperbarik sederhana (2,5 ATA, 21% O2) tidak mampu
menginduksi toleransi iskemik.

32
BAB 3
CASE REPORT
3.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. U
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 23 tahun
Tanggal Lahir : 11-3-1996
Agama : Islam
Pekerjaan : TNI AL
Pendidikan Terakhir: SMK
Alamat : Kendal, Jawa Tengah
Pemeriksaan : 9 Januari 2019

3.2. SUBJEKTIF
KELUHAN UTAMA: Kelemahan Pada Anggota Gerak Badan

RIWAYAT PEYAKIT SEKARANG:


Pasien datang dengan keluhan kelemahan pada kedua kakinya.
Keluhan ini dimulai sejak 1 tahun yang lalu (Februari 2018) pasien tiba –
tiba tidak bisa menggerakkan kedua kakinya.
Dalam 1 hari kelemahan menjalar ke kedua tangan dan kedua bahu dan
hanya bisa menggerakkan kepalanya saja. Pasien masih bisa bicara
dengan jelas, tidak mengalami kesullitan menelan dan tidak sesak.
Satu hari sebelum keluhan muncul pasien mengalami diare satu
minggu dan pasien mengaku tidak mengidap sakit tertentu (tidak ada
ISPA maupun Diare minggu-minggu sebelumnya).
BAB dan BAK tidak mengalami gangguan.
Pada saat itu, pasien dibawa ke ICU RSAL selama 5 hari,
kemudian pasien masuk ke Paviliun 7 RSAL selama 3 bulan,
kemudian pasien bisa rawat jalan.
Pasien sudah menkomsumsi obat selama 3 bulan dan belum ada
perubahan yang signifikan.

33
Pasien selama perjalanan penyakit telah diusulkan untuk terapi
HBO sejak akhir bulan Februari 2018 dan telah melakukan fisioterapi serta
akupuntur.
Bulan Maret 2018 pasien melakukan terapi HBO hingga sekarang
(Januari 2019), total sebanyak 98x.
Riwayat Penyakit Terdahulu:
Diabtetes Mellitus (-)
Hipertensi (-)
Riwayat Jantung (-)
Riwayat Paru (-)
Riwayat kejang (-)
Riwayat ISPA berkepanjangan (-)
Riwayat diare kronis (-)
Riwayat menyelam (-)
Riwayat infeksi telinga (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat Pemakaian Obat: -
Riwayat Psikososial:
Pasien merupakan anak bungsu dari 6 bersaudara. Pasien
merupakan seorang TNI dan tinggal di asrama TNI.

3.3. OBJEKTIF
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Status Gizi : Baik
GCS : 4-5-6
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 8a5x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36.2 C
BB : 65 kg
TB : 168 cm

34
PEMERIKSAAN FISIK
KEPALA
A/I/C/D: -/-/-/-

Normocephal

Pupil isokor, Reflex Cahaya (+)

Telinga: membran timpani intak (+), secret (-) •
Leher: Deviasi trachea (-), pembesaran KGB (-), JVP (-)
THORAX
 Jantung
Inspeksi : Normochest, Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : S1, S2 tunggal; murmur (-), gallop (-)
 Paru
Inspeksi : Gerak nafas normal dan simetris
Palpasi : Fremitus raba normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : ves/ves, wheezing (-), rhonki (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Flat (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-)
Perkusi : Timpani
EKSTREMITAS
Akral Hangat (+), Oedema (-)
Kekuatan Motorik:
Ekstremitas Atas: +5/+5
Ekstremitas Bawah: +3/+3
Fungsi Sensorik: dalam batas normal
REFLEK FISIOLOGIS
BPR +2/+2
TPR +2/+2

35
KPR +1/+1
APR +1/+1
REFLEK PATOLOGIS
Hoffman -/-
Tromner -/-
Babinski -/-
Chaddok -/-

3.4. ASSESEMENT: Guillain-Barre Syndrome


3.5. PLANNING
PLANNING TERAPI
• Pemberian IV Ig dengan dosis 0,4 gr/kgBB
• Terapi oksigen hiperbarik
• Fisioterapi
PLANNING MONITORING
• Evaluasi tanda-tanda vital
• Evaluasi tanda- tanda depresi nafas
• Evaluasi perbaikan motorik pasien
PLANNING EDUKASI
• Mengedukasi pasien mengenai Guillain barre syndrome
• Mengedukasi pasien mengenai persentase kesembuhan
• Menjelaskan kepada pasien mengenai keuntungan dan resiko dari
terapi HBO

36
DAFTAR PUSTAKA

Dong, H. et al., 2019. Preconditioning with Hyperbaric Oxygen and


Hyperoxia Induces Tolerance against Spinal Cord Ischemia in
Rabbits.
Germonpre, P. & Mathieu, D., 2014. Research in Hyperbaric Medicine.

Anda mungkin juga menyukai