Anda di halaman 1dari 9

BAB 3

ANALISIS KASUS

Seorang anak perempuan berusia 8 tahun 5 bulan di rawat di Bangsal Anak RSUP Dr.
M.Djamil pada tanggal 7 Agustus 2019 dengan diagnosis kerja sindrom nefrotik. Diagnosis
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Sindrom nefrotik
merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam
kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,
dengan prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Laporan dari luar negeri menunjukkan
dua per tiga kasus dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.2,3 Sedangkan insiden di Indonesia
diperkirakan 6 kasus pertahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun.3,7
Sindrom nefrotik dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik
primer, dan sindrom nefrotik sekunder. Usia pasien saat tampilan awal muncul berguna dalam
menilai etiologi yang mendasari. Sindrom nefrotik yang muncul pada tiga bulan pertama
kehidupan (sindrom nefrotik kongenital) mungkin merupakan sekunder terhadap infeksi
intrauterine seperti penyakit sifilis kongenital, toksoplasmosis, dan sitomegalovirus.4 Pada pasien
ini, onset terjadi pada usia 8 tahun kemungkinan sindrom nefrotik (SN) yang terjadi adalah
primer atau sekunder. SN primer tidak berhubungan dengan penyakit/kelainan sistematik.
Sedangkan SN sekunder adalah SN yang berhubungan dengan penyakit/kelainan sistemik, atau
disebabkan oleh obat, alergen, maupun toksin. 2
Etiologi sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi: 4
Tabel 2.1 Etiologi sindrom nefrotik pada anak4
Genetik
Sindrom nefrotik (tipikal)
Sindrom nefrotik congenital
Focal segmental glumorulosclerosis
Sclerosis mesangial difus
Proteinuria dengan atau tanpa sindrom nefotik
Nail-patella Syndrome
Alport Syndrom
Multisystem syndromes dengan atau tanpa sindrom nefrotik
Galloway-Mowat Syndrom
Charcot
Jeune syndrome
Cockayne Syndrome
Laurenca-Moon-Biedl-Baret Syndrome
Kelainan Metabolik dengan atau tanpa sindrom nefrotik
Alagille syndrome
Defisiensi antitrypsin
Fabry disease
Glutaric academia
Glycogen strorage disease
Huler syndrome
Lipoprotein disorders
Mitochondrial cytopathies
Sickle cell disease
Sindrom nefrotik idiopatik
Minimal change disease
Focal segmental glumeruloslerosis
Membranous nephropathy
Penyebab sekunder
Infeksi
Hepatitis B, C
HIV-1
Malaria
Sypilis
Toxoplasmosis
Obat-obatan
Penisillamine
Emas
OAINS
Pamidronate
Interferon
Mercury
Heroin
Lithium
Imunologi dan alergi
Castlesman disease
Kimura disease
Sengatan lebah
Alergi makanan
Keganasan
Limfoma
Leukemia
Hiperfiltrasi Glomerulus
Oligomeganephronia
Morbid obesity
Adaptation to nephron reduction
Sindrom nefrotik merupakan suatu keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif,
hipoalbuminemia, dan edema yang dapat disertai hiperkolesterolimia, kadang disertai dengan
oliguria, hematuria, penurunan fungsi ginjal, hipertensi, gangguan gastrointestinal, gangguan
pernapasan dan gangguan psikososial. Pasien biasanya datang dengan edema palpebra atau
pretibia, perut, atau seluruh tubuh yang dapat disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan
berkurang, atau urin berwarna kemerahan1,2
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan sesak napas yang semakin meningkat sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Selain sesak, pasien juga mengeluhkan sembab sejak 1 bulan
yang lalu semakin bertambah hingga sekarang menyebar ke seluruh tubuh. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan demam tinggi, hilang timbul, sejak 1 bulan yang lalu, selama 1 minggu. Buang air
kecil dirasakan jumlahnya semakin sedikit sejak ± 15 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada
sindroma nefrotik gejala lain yang dapat tejadi adalah abdomen yang mungkin membesar karena
adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya
cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat
akibat asites. Sesak yang terjadi pada pasien kemungkinan karena adanya efusi pleura.2
Pada pasien juga terjadi edema yang sudah mengenai seluruh tubuh. Ada 2 teori mengenai
patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan teori overfill. Pada teori
underfill di jelaskan pembentukan edema terjadi karena menurunnya albumin (hipoalbuninemia),
akibat kehilangan protein melalui urin. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan
intersisial. Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan perfusi ginjal,
sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangasang reabsorbsi
natrium ditubulus distal. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan hormon
antideuritik yang mempertinggi penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik
kurang maka cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial
sehingga memperberat edema.4
Pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air diakibatkan karena mekanisme intra
renal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen dalam
sirkulasi yang meningkatkan permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi natrium
primer akibat defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler.
Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial. Dengan teori
underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya
hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua penderita sindrom nefrotik. Sehingga
teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan
volume plasma yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia.4
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 154/93 mmHg menunjukkan adanya
hipertensi. Pada kasus SN tekanan darah dapat meningkat pada 15-20% penderita. Tekanan
darah yang meningkat terutama terdapat pada penderita SN sebagai akibat sekresi renin,
aldosteron, dan hormon vasoaktif lain yang berlebihan.2 Selain itu pada pemeriksaan fisik yang
dilakukan didapatkan adanya edema pada wajah, palpaebra, hingga ke seluruh tubuh. Pada
abdomen, perut tampak membuncit, shifting dullness (+) dan undulasi (+), pitting edema pada
ektremitas.Pada pemeriksaan thoraks, suara nafas dan fremitus melemah, dengan perkusi redup,
terpasang WSD di RIC V linea aksilaris dekstra mengindikaskan adanya efusi pleura pada
pasien. Pemeriksaan jantung dalam batas normal. Selain itu, anak dikatakan gizi baik karena
dinilai dari status gizinya BB/TB nya adalah 93,1%.
Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya neutrofilia shift
to the right dan (480.000/mm3) trombositosis. Pada pemeriksaan urinalisis didapatkan adanya
proteinuria (protein ++) dan hematuria (2-4/LPB). Perubahan patologis yang mendasari pada
sindrom nefrotik adalah proteinuria yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas dinding
kapiler glomerulus. Penyebab peningkatan permeabilitas ini tidak diketahui tetapi dihubungkan
dengan hilangnya glikoprotein bermuatan negatif pada dinding kapiler. Ada teori lain yang
menyebutkan gangguan ini disebabkan defek pada podosit dan sawar filtrasi glomerular. Sel
podosit memiliki kemampuan terbatas dalam membelah dan beregenerasi serta rentan terkena
injuri. Kerusakan sel podosit yang luas dapat menyebabkan kerusakan glomerular yang
irreversible, dan kehilangan >20 % dari podosit dapat berkembang menjadi glomerulosclerosis
dan gangguan fungsi ginjal yang progresif.5 Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada
sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom
nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. 1,5
Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan albumin 2,2 gr/dL (hipoalbumin), total protein
4,1 gr/dl, total kolesterol 874 mg/dL dan trigliserida 434 mg/dl (dislipidemia). Mekanisme
terjadinya peningkatan kolesterol dan trigliserida akibat 2 faktor. Pertama, hipoproteinemia
menstimulasi sintesis protein di hati termasuk lipoprotein. Kedua, kataboolisme lemak terganggu
sebagai akibat dari penurunan kadar lipoprotein lipase plasma (enzim utama yang memecah
lemak di plasma darah).4 Penurunan albumin dengan total protein dikaitkan dengan proteinuria
yang terjadi pada pasien ini.5
Pada pemeriksaan rontgen thoraks (6 Agustus 2019) didapatkan kesan efusi pleura masif
bilateral. efusi pleura ini yang menyababkan pasien menjadi sesak, Setelah dilakukan
pemasangan WSD dan dilakukan pemeriksaan rontgen ulang (7 Agustus 2019) didapatkan
adanya efusi pleura yang mengalami perbaikan. Hasil pemeriksaan laboratorium ini mendukung
ditegakkannya diagnosa sindrom nefrotik Dan hal ini sesuai dengan definisi dari SN yaitu
keadaan klinis yang terdiri dari edema generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia
(hiperkolesterolemia) dan proteinuria. 2
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Pada pasien, diberikan diet makanan
lunak dan cair nefrotik dengan protein 40gr/hr, garam 1gr/hr. Pemberian diet tinggi protein
dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya
diperlukan selama anak menderita edema.2

Gambar 4. Tatalaksana sindrom nefrotik2


Terapi inisial pada pasien ini adalah Prednison 3-3-2,5 tab. Anak dengan sindrom
nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC dapat diberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi,
untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat
badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan
dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1
x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Pada pasien diberikan furosemid 2x20mg iv Restriksi cairan dianjurkan selama ada
edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan
natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri
dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.2 Skema pemberian diuretik untuk
mengatasi edema tampak pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Algoritma pemberian diuretik.2


Terapi medikamentosa lainnya yang diberikan pada pasien ini adalah Captopril 3x6,125
mg po dan paracetamol 200 mg, yang diberikan jika pasien demam. Pemberian Angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACEI) / angiotensin receptor blocker (ARB) telah banyak
digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi
protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus.
ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor
(TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting
yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.2
Prognosis pada kasus ini adalah ada kemungkinan adanya relaps. Penentuan prognosis
dilakukan dengan penilaian respoons terhadap steroid, 60-80% dari sindrom nefrotik sensitif
steroid akan mengalami relaps dan 60% dari itu akan mengalami 5 kali atau lebih relaps. Usia
onset lebih dari 4 tahun dan remisi 7-9 hari pada saat terapi steroid dan tidak adanya
mikrohematuria di perkirakan akan mengalami relaps yang lebih sedikit. Pada penelitian dari 398
anak, proporsi untuk tidak mengalami relaps meningkat dari 44% pada usia 1 tahun, 69% pada
usia 5 tahun dan 84% pada usia 10 tahun.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2009.
2. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tatalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
3. Wirya IW. Sindrom Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. h.
381-424
4. Pais Pand Avner FD. Syndrome Nephrotic in Nelson textbook of Pedriatic 19 th edition.
Elsevier:USA. 2011.
5. ML Downie. Nephrotic syndrome in infants and children: pathophysiology and
management. Paediatrics and International Child Health; 2017 VOL. 37, NO . 4, 248–258.
6. Eddy AA, Symons JM. Nephrotic syndrome in childhood. The Lancet 2003;362:629-39.
7. Dakshayani B. Predictors of frequent relapsing and steroid-dependent nephritic syndrome in
children. Turkish Archives of Pediatrics; 2018 VOL 53, 24-30.
8. Uwaezouke SN. Steroid-sensitive nephritic syndrome in children: triggers of relapse and
evolving hypotheses on pathogenesis. Italian Journal of Pediatric; 2015 VOL 41, 19.
Alatas H. Current updates in management of nephritic syndrome in children. Sari Pediatri; 2015:
17(2): 155-62.

Anda mungkin juga menyukai