Remahan
Rengginang
Kisah Orang Muda
di Istana
1
BUKAN REMAHAN
RENGGINANG
KISAH ORANG MUDA
DI ISTANA
PENANGGUNG JAWAB:
Widiarsi ‘Niniel’ Agustina
EDITOR:
Ratna Dasahasta
Agung Rulianto
Mardiyah Chamim
FOTOGRAFER:
Prapto Sujatmiko
ILUSTRATOR:
Johana Kusnadi
MENTOR :
Fajar W. Hermawan
Fajrimei A. Gofar
Idrus F. Shahab
Feby Siahaan
Susandijani
Akbar Tri Kurniawan
Yudono Yanuar Akhmadi
5
Daftar Isi
KEDEPUTIAN V: KAJIAN DAN PENGELOLAAN
ISU POLITIK HUKUM PERTAHANAN KEAMANAN DAN
HAK ASASI MANUSIA STRATEGIS
Gemuruh yang Kembali Lagi.............................................................................182
KSP Bukan Koperasi Simpan Pinjam
Annisa Rizkiayu.........................................................................................................184
Menebus Patah Hati pada Presiden
Nadia Misero.............................................................................................................. 191
Pengantar 6
Mission Impossible di Tanah Gempa
Muhammad Rizki Joyonegoro..........................................................................197
KEDEPUTIAN I PENGENDALIAN, PEMBANGU-
Operasi Sunyi Rekonsiliasi
NAN, MONITORING,
Agus Catur DAN EVALUASI PROGRAM
Aryanto Putro.................................................................................. 203
PRIORITAS
Menyandang Janji untuk Nyak Sandang
Generasi
Dina Pilihan
Rifqiana. di Era Istimewa 10
............................................................................................................208
Menanti Kelahiran
Perjalanan Sang AtmaBayi di Tanah Tesla PapuaIndonesia
R. Akbar Fajri Sumaryanto...................................................................................214
Grenata Louhenapessy Oroh 13
Jurus Kilat Update Google Maps
Robertus Theodore
SEKRETARIAT KANTOR STAF 18 PRESIDEN
Agar Zero Mistake .................................................................................................. 222
Kesetrum Rekomendasi Listrik
7.200 Menit Jadi Cyber-Paspampres
Fanni Irsanti 24
Deden Irfan Arfyansyah...................................................................................... 224
Masela Menyela Malam Wakuncar
Meringkas Data Bencana di Satu Layar
Ferdy Alfarizka Putra 31
Drajat Jiwandono................................................................................................... 230
Menyelamatkan Urat
Kompromi dengan Imajinasi yang Terkoyak Nadi Trans-Papua Barat
Marcellina
M. Husnul Hamdi LaurensiaSurya Putera. ........................................................................237
37
MeredakanPenampung
Sekretariat Amarah Bentang Curhat Holtekamp
Restia Dwi Oktavianing
Okky Oktaviani Tyas............................................................................
43 243
Update Alamat Lembaga, Dong…!
Teguh Sulistyo.......................................................................................................... 249
KEDEPUTIAN II KAJIAN DAN PENGELOLAAN
ISU-ISU SOSIAL,
EKOLOGI, DAN BUDAYA STRATEGIS
Percaya yang Muda, Percaya Harapan Itu Ada 50
Menjemput ‘Rambut Palsu’ Presiden
Rechelle Rumawas 52
Aku, Donnie dan Pacarnya
7
Pengantar
P
esan Bung Karno itu terngiang kembali ketika
menemukan puluhan anak muda di Kantor
Staf Presiden. Pesan yang optimistis dan
jauh melampaui jamannya. Optimisme itu
pula dirasakan ketika Presiden Joko Widodo
memberikan peluang bagi mereka untuk mengabdi di
KSP.
Anak-anak muda itu meninggalkan zona nyaman,
sekolah tinggi dan jabatan prestisius di dalam dan
luar negeri dengan satu mimpi: ‘bekerja demi
kemajuan negeri’. Mereka bekerja cepat, solid, kaya ide,
berdedikasi dan bersedia senyap. Hanya mereka yang
bisa mendorong kemajuan, mengantisipasi masalah
yang sebentar lagi tiba: bonus demografi 2025-2030
dan disrupsi teknologi.
Kolaborasi menjadi jawaban pentingnya negara
mengelola sumber daya manusia dalam mobilisasi
dan orkestrasi gap antar generasi. Anak-anak muda
ini bukanlah paku, sekrup, dan penyangga. Tetapi
9
Prelude
Yang Muda,
Yang Punya Cerita
B
uku ini merupakan kumpulan kisah orang
muda yang berada di Bina Graha, kompleks
Istana Merdeka. Beragam cerita muncul saat
kami melepas penat di beranda sembari
mengaduk kopi. Kisah yang lucu, getir,
menarik, dramatik hingga inspiratif. Komplit.
Semua kisah di buku ini ditulis sendiri oleh orang-
orang muda itu, tentang sepak terjang mereka selama
bekerja di Kantor Staf Presiden (KSP). Lembaga
non-struktural setingkat kementerian ini dibentuk
Presiden Joko Widodo sejak 2015. KSP mendapat
mandat mengawal, menjaga, dan mengatasi masalah
yang dihadapi kementerian dan lembaga dalam
melaksanakan Program Prioritas Presiden, melakukan
komunikasi politik Presiden, dan mengelola isu
strategis.
KSP menjadi mata dan telinga bagi Presiden Joko
Widodo. Lembaga ini bertanggung-jawab langsung
kepada Presiden, dengan sumber daya manusia yang
11
yang ragu dan jeri menuturkan pengalaman. “Kami
ini hanya remah rengginang. Tak penting diceritakan,”
begitu kata mereka.
Workshop penulisan pun kami gelar. Pada acara
tiga hari di tengah bulan Juli di Bogor itu, Kepala
Staf Kepresiden Moeldoko hadir dan bicara mengenai
pentingnya merawat api idealisme, harapan, dan
bersama mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Orang-orang muda perlu hadir dan membuat sejarah,
bermula dari hal yang kecil tentang pengalaman
mengesankan selama bekerja di pemerintahan.
Walhasil, setelah workshop yang penuh tawa,
merampungkan tugas hingga subuh, puluhan kisah
mengalir. Tim penyusun berusaha membuat cerita ini
sangat personal, ringan, bermakna, dan semoga bisa
menghibur. Harapan kami, kumpulan kisah ini bisa
menjadi inspirasi bagi semua pihak.
Selamat membaca.
Ketua Tim Penyusun
Widiarsi Agustina
17
Generasi Pilihan
di Era Istimewa
T
ugas besar menangani Program Prioritas
dan Kajian Strategis Bidang energi dan
Infrastruktur di Kantor Staf Presiden
memang tak bisa setengah-setengah. Boleh
dibilang, ini adalah jantung perubahan
yang diinginkan Presiden Joko Widodo: membawa
Indonesia menuju peradaban baru yang lebih maju.
Wajar jika kemudian ada perasaan ‘horor’ kalau kami
ternyata harus bekerja dengan tim yang sama sekali
baru dan sempat mencuatkan perasaan ragu.
Tapi tugas itu adalah amanah yang harus dijalankan
sungguh-sungguh. Beruntung, ada banyak orang-orang
muda bergabung untuk membantu. Saya optimis
melihat wajah-wajah anak muda ini. Mereka bersedia
membantu Presiden Jokowi membangun infrastruktur
di seluruh pelosok negeri dan mewujudkan kedaulatan
energi bagi bumi pertiwi.
Namun anak-anak muda itu, meski jumlahnya
terbatas, tapi solid dan bersetia dalam kerja untuk
republik. Mereka gerak cepat menangkap aneka tugas
mendadak,”Kumpulkan semua data, dalam tiga jam
kita harus usulkan jalan keluar agar tarif dasar listrik
Darmawan Prasodjo
Deputi Bidang Pengendalian, Pembangunan, Monitoring,
dan Evaluasi Program Prioritas
19
Grenata
Louhenapessy
Oroh
21
“M
aaf ganggu liburmu, Gren. Besok
ada rakor tentang mobil listrik,
tolong siapkan bahannya untuk
Kepala Staf,” begitu bunyi pesan
pendek tersebut. Jantungku
berdetak lebih keras lagi tatkala aku mulai sadar: hanya
ada waktu beberapa jam menyiapkan materi yang
diperlukan.
Aku memang salah satu anggota tim yang ditugaskan
mengawal perumusan Rancangan Peraturan Presiden
tentang kendaraan Listrik. Tetapi sekarang tak ada
waktu untuk kesal, marah, dan lainnya. Aku bergegas
mengambil laptop di kamar.
Bayi dalam kandunganku seakan ikut protes.
Memasuki trimester terakhir kehamilan, sebenarnya
badan terasa sangat letih. Tetapi empat tahun bekerja
di Kantor Staf Presiden (KSP), aku sudah membiasakan
diri dengan tuntutan pekerjaan yang bisa datang kapan
saja, di mana saja. Di hari Natal yang bahagia itu, aku
menyiapkan bahan semalam suntuk.
Aku masih ingat keraguan yang tumbuh pada program
kendaraan listrik di awal penugasan. Banyak pertanyaan
muncul yang kemudian berujung pada kesimpulan:
sesignifikan apa program ini? Apakah benar-benar akan
memberikan dampak kepada masyarakat luas atau hanya
program gaya-gayaan agar kita terkesan mengikuti tren
dunia? Ataukah ini demi gengsi memiliki “Tesla versi
anak bangsa”?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berdengung, sampai
23
pekerjaan atau sebuah produk hukum semata. Tetapi
sebagai kontribusi yang bisa kulakukan dalam upaya
menyelamatkan generasi berikutnya. Tentu kebijakan
ini bukan tanpa konsekuensi. Setidaknya ini yang dapat
dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan Indonesia.
Jalan untuk mencapainya tidaklah mudah. Semula
aku berpikir program kendaraan listrik sesederhana
menjalankan setiap poin yang menjadi rekomendasi
yang sudah disusun. Ternyata dibutuhkan proses yang
jauh lebih besar dan panjang dari perkiraan tersebut.
Proses birokrasi yang melibatkan banyak stakeholder,
pengaturan substansi yang sarat kepentingan, hingga
memastikan kesiapan industri menjadi tantangan yang
harus dihadapi.
Tidak terhitung berapa banyak rapat koordinasi
dan revisi yang harus dilakukan hingga mencapai
kesepakatan. Aku sempat frustasi karena banyaknya
benturan kepentingan sehingga menghambat pogram
ini. Hal ini membuat perjuangan menggolkan aturan
kendaraan listrik benar-benar tidak mudah.
Rasa lega dan syukur akhirnya kurasakan setelah
Rancangan Perpres Kendaraan Bermotor Listrik
selesai dirumuskan. Hatiku bergembira saat salah satu
rekan dari Kemenko Bidang Kemaritiman mengirim
pesan bahwa rancangan Perpres sudah dikirimkan
ke Kementerian Sekretariat Negara. Aku ingat, ada
semacam perasaan tenang, saat satu demi satu Menteri
terkait telah membubuhkan parafnya pada rancangan
Perpres tersebut. Semua jerih payah, lelah, dan jam-jam
25
Robertus Theodore
Jurus Kilat Update
Google Maps
Lulusan Teknik
Informatika ITB.
Tak ada yang lebih sia-sia
Bergabung di dari ruas jalan tol yang
KSP sejak 2015.
teronggok tak terpakai
di antara kemacetan
mengerikan lalu-lintas
mudik. Dan itulah yang
dikhawatirkan Deputi
I Kepala Staf Presiden,
Darmawan Prasodjo.
“Jangan sampai saat
puncak arus mudik 2018,
jalan Tol Trans Jawa yang
baru belum terindeks di
peta digital Google Maps,”
katanya. Jika itu sampai
kejadian, aplikasi digital
akan mengarahkan dan
membuat para pemudik
menumpuk di ruas jalan
lama. Jalan tol baru bisa
merana sepi.
27
K
ekhawatiran itu hampir terwujud. Seminggu
sebelum musim mudik 2018 tiba, jalan tol
dan fasilitas yang baru itu belum dapat
diakses masyarakat secara digital melalui
Google Maps. Aplikasi yang menjadi rujukan
masyarakat untuk petunjuk jalan ini belum mendeteksi
jalan Tol Trans Jawa.
Saya, yang diinstruksikan untuk mencari jalan keluar,
putar otak. Seorang kawan saya telepon. Steven Tannason
namanya, dari Strategic Partnership Development
Manager Google, di Singapura. Saya menceritakan
progres terbaru pembangunan infrastruktur jalan tol di
Indonesia. Presiden Joko Widodo cukup bangga dengan
beroperasinya jalan tol baru, solusi andalan pemerintah
untuk memperlancar arus mudik menjelang lebaran
yang selalu diwarnai momok kemacetan saban tahun.
Saya meminta Steve membantu mempercepat proses
memperbarui data sehingga jalan tol baru bisa muncul di
Google Maps. Steve bersedia. “Okay, I’ll help you and make
it as my priority,” katanya di ujung telepon ketika itu.
Yesss, saya bersorak dalam hati, “Proses kami percepat
dari seminggu jadi tiga hari.” Syaratnya, data harus
diserahkan berformat keyhole markup language (kml),
yaitu format yang biasanya dipakai untuk visualisasi
data geospasial.
Jawaban Steve membuat lega. Segera saya menghubungi
otoritas jalan tol untuk mengumpulkan data-data yang
perlu diperbarui di Google Maps. Ternyata tak mudah
mengumpulkan data dari instansi pemerintah, meskipun
29
dan merasakan kepuasaan mendengar cerita paman. Itu
artinya, pekerjaan saya dan tim di Kantor Staf Presiden
bisa dinikmati oleh jutaan pemudik lainnya.
Atas pengalaman itu, saya lebih mudah mengindeks
jalan tol yang baru diresmikan Presiden tahun 2019 di
peta digital Google maps. Bahkan kami tidak sekadar
mengindeks ruas baru, juga mengindeks strategi
pengaturan lalu lintas arus mudik berupa contra-flow
hingga pengalihan arus. Seorang jurnalis mengatakan
kepada saya pada 2019 Google Maps lebih cepat dalam
mengindeks jalan tol yang baru dibanding tahun-tahun
sebelumnya. “Keren, bro. Cepet banget update-nya,”
kata jurnalis itu.
Kunci sukses kolaborasi peta digital untuk mudik
ini adalah tersedianya berbagai data dari semua pihak
pemangku kepentingan. Sebenarnya ini bukan hanya
untuk urusan infrastruktur, tapi juga untuk sektor-sektor
lain. Masalahnya, belum semua instansi pemerintah
sadar akan tata kelola data. Saya sering menghadapi
permasalahan ketiadaan data saat meminta kepada
kementerian dan atau lembaga.
Sulitnya mengakses data dan kualitas data yang
timpang menjadi momok bagi pengambil kebijakan.
Dampak buruknya akan merugikan kepentingan
publik. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya untuk
merumuskan jalan keluar melalui program Satu Data
Indonesia. Satu Data Indonesia adalah inisiatif untuk
perbaikan tata kelola data pemerintah. Tujuannya
menghasilkan satu rujukan data yang akurat untuk
31
Fanni Irsanti
Kesetrum
Rekomendasi
Listrik
Alumni
Fakultas Teknik
Life is full of Ups and
Universitas Downs, Enjoy the Ups
Gadjah Mada.
Bergabung
and have courage during
dengan KSP the Downs. Bangga
sejak 2015 kerja di kantor orang
nomor satu se-Indonesia,
ternyata tak mampu
menghalau galau. Merasa
tak berguna, ilmunya
tak banyak dipakai lah,
dan lain sebagainya.
Apalagi pas lagi reunian
dengan teman sekampus
dulu. Ada yang kerja
di proyek overhaul,
penanggungjawab
kelistrikan di LRT, proyek
kelistrikan itu, dan
seterusnya. Duh, Gusti!
Tapi benarkah ilmu ini tak
berguna?
33
K
isah bekerja di Kantor Staf Presiden (KSP),
berawal saat saya baru diwisuda Agustus
2015 dari Fakultas Teknik Elektro Universitas
Gadjah Mada dengan spesialisasi Sistem
Tenaga Listrik. Gelar tersebut di kampong
saya, Duri (Riau) yang listriknya masih sering byar
pet, sangat membanggakan apalagi kalau kerjanya di
private sector atau perusahaan negara seperti PLN,
atau Pertamina. Tapi anak rantau ini bernasib lain,
karena pada saat bersamaan, justru memilih magang di
Kedeputian I KSP. Kok, magang? Karena saya ingin segera
melanjutkan ke S2, jadi cocoknya mengambil kerja yang
lebih leluasa jam kerjanya sembari apply untuk beasiswa.
Karena itulah, KSP dijadikan pilihan.
Tapi, suasana kerja yang dibayangkan ternyata
tak sesuai kenyataannya. Beberapa bulan magang,
tantangan baru muncul di depan mata. Layanan
Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!)
dan Satu Data Indonesia (SDI), dua program besutan
Presiden Jokowi sedang membutuhkan bantuan staf
profesional. Sebenarnya kedua inisiatif ini sangat jauh
dari background pendidikan saya. Tapi kalau kantor
presiden yang menawarkan, mustahil saya tolak. Itu kan
bergengsi banget.
Apa daya. Good bye dulu rencana S-2!!
lll
35
Data dan informasi termutakhir harus segera kami
dapatkan untuk bisa mulai menjahit laporan. Diskusi
pun kemudian berlangsung dengan sesama rekan kerja.
Kami coba menelusuri jejak data dan informasi yang
dimiliki serta menghubungi narahubung di PLN dan juga
Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.
Kontak sana, kontak sini. Telepon sana, telepon sini.
Tentu untuk mendapatkan data dan informasi dari suatu
instansi, membutuhkan waktu. Paham, saya soal itu.
Masalahnya, saat ini waktu sedang tidak bisa dinego.
Menunggu sejam, rasanya setahun.
Jantung berdegup lebih kencang. Kalau normal 80
kali per-menit, kali ini meloncat loncat menjadi 130-an
kali per menit. Keringat dingin…….. kleyengan, tapi tetap
harus konsen.
Saya tarik napas dalam dalam. Inhale….exhale….
inhale….exhale.
Ternyata, kalau hati lebih tenang. Jalan keluar suka
pop-up….meloncat loncat keluar dari otak kanan dan kiri.
Semua lembaga yang kami hubungi cukup kooperatif,
sih.
Cling! Kami mendapat ide.
“Ya sudah, kalau menunggu data dari kementerian
dan lembaga terlalu lama…mungkin Mbah Google dan
saudara-saudaranya bisa membantu.”
Jemari melesat menelusuri lekak-lekuk dunia
maya. Mencari jejak jejak informasi kelistrikan untuk
melengkapi laporan yang harus disubmit dalam (melirik
arloji)……….Astagaa, dalam 2 jam lagi!!!
Satu jam lagi tersisa……..Fokus! Fokus! Fokus!
37
Ferdy
Alfarizka
Putra
39
+ “Ferdy sedang di mana?”
- “Di Pondok Indah Mall, Pak.
+ “Besok jam 8 pagi, Deputi I harus memaparkan
tentang Masela ke Presiden, kita harus siapkan laporan
kajian kita malam ini.”
B
lok Masela memang topik yang tengah jadi
bahan perbincangan saat itu. Inilah blok
gas bumi di bagian Tenggara Maluku dengan
cadangan raksasa, salah satu yang terbesar
di dunia.
Tanpa berpikir panjang, sesuai kultur kerja di KSP,
saya jawab, “Siaaap!”
Apa boleh buat, wakuncar (waktu kunjung pacar)
berantakan, lagi dan lagi. Saya harus balik ke rumah di
Depok menyiapkan laporan permintaan Deputi I Bidang
Infrastruktur dan Energi. Saya antar dulu pujaan hati
ke rumahnya di Pasar Minggu. Sedikit cemberut dia.
Maafkan aku, pacarku sayang.
Pukul 10 malam, setelah kelar mengantar adinda,
sambil menyetir mobil saya kontak balik Pak Didi.
“Selamat malam, Pak. Mohon arahan, bahan apa saja
yang perlu disiapkan?”
Sepanjang perjalanan Pasar Minggu-Depok,
pengarahan berlangsung. Saya menyimak lewat
perangkat blueetooth. “Jadi Fer,” kata Pak Didi, “Presiden
punya kegelisahan. Kalau kita bangun pabrik LNG di
tengah laut, rakyat di sana dapat apa?”
Awalnya, Blok Masela akan dibangun secara
offshore menggunakan teknologi kilang gas terapung.
41
bergulir lebih banyak pada pilihan kilang onshore.
“Oke. Well noted, Pak.”
Selesai dengan Pak Didi, giliran saya “meneror” rekan-
rekan saya, sesama tenaga ahli muda di KSP, untuk
bersiap mendiskusikan ulang data dan bahan. Meskipun
entah sedang apa mereka saat saya hubungi. Seperti
saya, mereka pun menjawab: Siaaap!
Kami berempat berkonferensi telepon malam itu. Kami
membagi tugas, siapa melakukan apa, dan bagaimana
menjahit semuanya.
Saya sampai di rumah pukul 11 malam. Segera saya
dan tiga kawan lain, di lokasi yang saling terpisah,
menyusun paparan. Kami sepakat mengangkat kisah
sukses Malaysia LNG di Saarawak dengan Kota Bintulu
yang kini menjelma sebagai pusat industri di Malaysia
Timur. Kami memberikan komparasi, jika Blok Masela
dikembangkan dengan skema onshore, akan muncul
pusat industri di Indonesia Timur sesuai visi Indonesia-
sentris yang pernah disampaikan Presiden.
Biaya pembangunan kilang onshore pun sebenarnya
juga tak jauh berbeda dengan biaya pembangunan
offshore. Bedanya, selain soal distribusi, dengan pilihan
onshore, bisa dipastikan rakyat merasakan manfaat
pembangunan kilang dimulai sejak hari pertama. Belum
lagi jika dihitung dengan tumbuhnya pusat ekonomi
baru di kota tersebut.
Kami berhati-hati benar menyiapkan paparan. Kami
saling mengecek angka, ilustrasi, dan setiap kalimat
agar paparan zero mistake. Tak boleh meleng gara-gara
ngantuk. Saya melewati malam dan berusaha tetap
43
Marcellina
Laurensia
47
Tim KSP menanyakan kepada pihak perusahaan
apakah ada jalan lain yang bisa dilalui untuk
menggantikan jalan yang sekarang. Pihak perusahaan
tidak memberikan jawaban pasti. Diskusi menjadi
hambar. Tak ada tanda-tanda akan ada kesepakatan.
“Sudah lama kami mengajak perusahaan duduk bersama
mencari solusi terbaik. Namun, tak ada juga titik terang
karena pengambil keputusan perusahaan ada di kantor
pusat di Jakarta,” kata Yohanis.
Jakarta, dua pekan kemudian. Tim KSP mengundang
semua pihak rapat di Jakarta. Ini pertemuan ketiga
setelah rapat di tengah hutan Papua itu. Semua pihak
yang saya undang hadir, termasuk perwakilan dari
perusahaan. Cukup sulit mencari wakil perusahaan
kayu untuk diundang ke Jakarta, tapi akhirnya mereka
datang juga.
Rapat diawali dengan Balai Jalan memaparkan
masalah di lapangan. Lalu, semua pihak bergiliran
mengungkapkan masalah kendala yang dialami.
Suasana tampak tenang. Semua pihak yang hadir mau
saling mendengar dan berkomitmen menyelesaikan
masalah, termasuk pihak perusahaan yang selama ini
jadi persoalan.
Tim KSP mendorong dilakukan kerja sama berupa
perjanjian, antara Balai Jalan dengan pemegang konsesi
hutan. Dengan adanya kerja sama ini, maka pemerintah
bisa melanjutkan pembangungan Trans Papua. Jalan
tengah akan dicari dengan memperhatikan masukan
dan kesepakatan kedua pihak.
49
Okky
Oktaviani
51
S
inar lampu tembak menyorot ke arah
kerumunan warga. Menurut aparat keamanan,
aksi blokade jalan itu sudah berlangsung
berhari-hari. Bahkan sebelum kedatangan
saya dan tim Kantor Staf Presiden (KSP) pada
Kamis malam, 28 Februari 2019.
Kedatangan kami dalam rangka mencari jalan
keluar atas protes masyarakat adat Kampung Enggros.
Penduduk Enggros menolak putusan Pengadilan Negeri
Kota Jayapura yang memenangkan masyarakat adat
Suku Sibri Kampung Nafri. Suku Sibri ditetapkan sebagai
penerima hak ulayat atas pembangunan jembatan
Holtekamp.
Menurut masyarakat adat Kampung Enggros, tanah
adat di situ adalah tanah asli milik mereka. Tapi kenapa
justru pengadilan memutuskan tanah itu milik Suku Sibri
Kampung Nafri yang nyata-nyata tanah adatnya jauh
dari lokasi jembatan. Akibatnya, masyarakat Kampung
Enggros akan kehilangan tanah adat, dusun tanaman
sagu, dan kelapa masyarakat adat Kampung Enggros.
Inilah alasan mereka memblokade jalan di sekitar
Jembatan Holtekamp.
Holtekamp sendiri adalah jembatan yang baru
dibangun dengan panjang 732 meter dan lebar 21
meter. Jembatan ini melintas di atas Teluk Youtefa,
menghubungkan Kampung Hamadi dan Holtekamp,
Kota Jayapura. Beroperasinya Jembatan Holtekamp akan
memangkas perjalanan Kota Jayapura - menuju Pos
Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw dari 2,5 jam menjadi
45 menit.
53
mengajak masyarakat melanjutkan dialog di tempat lain
yang lebih tenang dan tertutup. Tidak di jalanan. Saya
meminta agar perwakilan masyarakat adat saja yang ikut
dialog.
Kami mengajak perwakilan masyarakat adat Kampung
Enggros berdialog di sebuah restoran sebelah hotel
tempat kami menginap. Hari sudah gelap, dua jam
menjelang tengah malam. Kami membujuk masyarakat
menghentikan unjukrasa dan membubarkan diri.
Mereka bersikukuh bertahan dan terus memblokade
jalan sampai permintaan dipenuhi.
Saya harus putar otak bagaimana menenangkan
masyarakat adat sekaligus memastikan pembangunan
tetap berjalan. Kami akhirnya menggunakan pendekatan
agama untuk menenangkan hati mereka. Kami pastikan
pemerintah akan menampung keberatan mereka. Tapi
bukan berarti menunda pembangunan.
Kami juga menawarkan kepada mereka menempuh
jalur hukum daripada memblokade jalan. Selain akan
menimbulkan kerugian di pihak mereka, memblokade
jalan tidak akan mengubah putusan pengadilan.
Setelah satu jam berlalu, perdebatan berangsur
mencair. Masyarakat Enggros mau mengakhiri
penutupan jalan. Mereka bersedia menyampaikan
keberatan dengan menyatakan banding atas putusan
Pengadilan Negeri Kota Jayapura. Keputusan masyarakat
Enggros ini melegakan karena proses pembangunan bisa
kembali dilanjutkan.
Komitmen masyarakat Enggros benar-benar tidak
55
56 — Bukan Remahan Rengginang
Kedeputian II
Kajian dan
Pengelolaan
Isu-Isu Sosial,
Ekologi, dan
Budaya Strategis
57
Percaya
yang Muda,
Percaya
Harapan Itu Ada
P
ada satu masa, seorang kolega bertanya,
mengapa terlalu banyak anak muda di
kedeputian yang saya kelola. Keberatan
kolega ini karena anak muda cenderung
ceroboh, tak berpikir jauh, tak tahu unggah-
ungguh atau tata krama birokrasi. Saya menerima
keberatannya, tapi tidak mendebat.
Sejak Kantor Staf Presiden bermula di Bina Graha,
dari era Pak Luhut Binsar Pandjaitan, Kang Teten
Masduki hingga Pak Moeldoko, Kedeputian Dua selalu
penuh anak muda. Dari 21 tenaga ahli ada 15 orang di
antaranya anak muda di bawah 35 tahun. Anak-anak
muda ini, menjadi kunci membuka jalan perubahan.
Seiring waktu, keyakinan itu terbukti: percaya yang
muda, percaya harapan itu ada.
Simaklah kisah mereka. Ini bukan laporan kegiatan.
Ini cerita tentang hati. Bagaimana anak-anak muda
di kantor Joko Widodo ini mendedikasikan dirinya,
Yanuar Nugroho
Deputi Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Sosial, Ekologi, dan
Budaya Strategis
59
Rechelle Rumawas
Menjemput
‘Rambut Palsu’
Presiden
Lulusan
Hubungan Suara alarm
Internasional,
Universitas
dari ponsel
Indonesia. membangunkanku.
Bergabung
dengan KSP Sekali ketuk di layar
tahun 2016 dia kembali senyap.
Artinya sekarang
sudah pukul enam
pagi sesuai waktu
yang aku pasang.
Artinya lagi, aku baru
memejamkan mata
selama tiga jam.
Sebuah jeda istirahat
yang berulang dalam
lima hari terakhir.
61
A
ku malas membuka mata. Kesadaranku
belum sepenuhnya terkumpul. Tunggu
saja sebentar lagi pasti dering panggilan
akan bersahutan garang. Sepanjang hari,
seperti hari-hari sebelumnya.
Benar saja, dering panggil menyalak keras. Enggan,
aku raih ponsel di samping bantal. Mata masih terkatup
rapat, saat terdengar suara dari seberang.
“Pagi Bu,” logat batak menyapa dari seberang telepon.
“Pagi,” jawabku mengambang malas.
“Maaf, membangunkan pagi-pagi.” Ah… klise banget.
Setiap pagi selalu itu sapaan membuka percakapan.
Suara di seberang menanyakan jadwal penjemputan
para tamu di Bandara Silangit. Beringsut, saya buka
catatan nama dan nomor kontak. Rutinitas dimulai.
Selama sembilan hari saya terlibat persiapan acara
bertajuk Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba,
Agustus 2016. Perhelatan akbar yang akan dihadiri
Presiden Joko Widodo. Karnaval itu bakal diikuti 34
pemerintah provinsi, 300 panitia, dan tak kurang 3.000
orang terlibat langsung.
Tugas saya mengurus kebutuhan logistik panitia. Dari
soal penjemputan hingga akomodasi hotel. Beberapa
kali ikut mondar-mandir memeriksa rute karnaval
memastikan jalur itu aman. Bahkan pakaian yang akan
dikenakan Presiden dan Ibu Negara masuk dalam daftar.
Saat itu saya baru empat bulan bergabung di Kantor
Staf Presiden. Awalnya saya pikir, dua pekan persiapan di
Jakarta sudah cukup. Ternyata salah. Sampai di Parapat
63
ranya bergetar. Terkejut, saya lihat air mata menetes
di pipi Pak Bupati. Ternyata Sang Bupati merasa unsur
budaya Simalungun belum terwakili. Perselisihan harus
diselesaikan dengan rapat khusus lanjutan. Terpaksa.
Hari penyelenggaraan semakin dekat. Masalah baru
muncul. Pihak hotel menghubungi saya meminta hitung
ulang pasukan dan jumlah kamar yang tersedia. Lho,
bukannya kami sudah memesan jauh hari sebelumnya?
Ternyata terjadi double booking. Mampuslah saya !
Pihak hotel mengira bahwa Kantor Staf Presiden,
Sekretariat Presiden, Pasukan Pengamanan Presiden
atau semua yang memakai embel-embel kata presiden,
berasal dari satu institusi yang sama. Akibatnya, tumpang
tindih pesanan kamar tidak terhindarkan.
Tangan dan kaki saya mendadak dingin. Kami dari
KSP bersitegang dengan lembaga presiden yang lain,
menentukan siapa yang berhak mendapatkan kamar.
Kesepakatan terjadi, masing-masing harus mengalah
dan mengurangi jatah kamar. Saya sendiri harus
memindahkan 20 orang dari hotel tersebut dan mencari
penginapan lain. Tentu saja dengan makin dekatnya
acara, kamar hotel menjadi komoditas langka.
Sehari sebelum acara, Edward Hutabarat perancang
busana ternama asal Tapanuli Utara sampai di hotel. Aku
pun harus menemani Bang Edo menjahit sentuhan akhir
busana yang akan dipakai Presiden sambil menikmati
kopi hitam.
Jelang tengah malam, rasanya semua persiapan sudah
sempurna. Berbagai komponen karnaval sudah terlihat,
65
Aditya Syarief
Darmasetiawan
67
P
engirim pesan itu, Donnie Satria. Pria muda
penderita sindroma neprotik. Sindrom
gangguan ginjal yang menyebabkan tubuh
kehilangan terlalu banyak protein dalam
urine. Dokter memvonis Donnie hanya bisa
bertahan hidup hingga usia 12 tahun. Ternyata, pria
kelahiran 1980 ini mampu bertahan hidup hingga ulang
tahun ke 38. Salah satu yang membuatnya bertahan
hidup adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
melayani Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD). Metode ini menggunakan membran rongga
perut sebagai pengganti ginjal untuk membuang racun
dalam tubuh.
Donnie adalah satu dari banyak narasumber
monitoring evaluasi JKN yang dilakukan Kantor
Staf Presiden (KSP). Melalui Donnie dan stakeholder
lainnya memahami banyak perspektif dan celah dalam
pelaksanaan jaminan kesehatan terbesar di dunia ini.
Sekaligus membuka kesempatan berdiskusi dengan
profesional dari berbagai latar belakang.
Dari banyak orang yang saya temui, Donnie terasa
sangat spesial. Di tengah berbagai keterbatasan yang
dimilikinya, Donnie terus semangat menebarkan manfaat
untuk sesama. Pria yang tinggal di Yogyakarta, ini aktif
menulis blog untuk menceritakan pengalamannya
sebagai pasien gagal ginjal.
Donnie mendirikan kelompok advokasi GinjalKITA
untuk perbaikan layanan pada pasien gagal ginjal di
Yogyakarta. Dengan caranya, Donnie terus memberi
69
gagal ginjal. Saat remaja ternyata dia tidak pernah
minum air putih. Dia selalu membeli soda botol besar
yang harganya murah. Selisih harga yang tak seberapa
membuat Muti lebih memilih soda ketimbang air mineral
kemasan.
Saya meyakini tidak ada yang namanya kebetulan.
Saat itu saya beberapa kali diundang menjadi
narasumber di Kementerian Keuangan, tepatnya Badan
Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Pemerintah tengah mengkaji penambahan barang
yang akan dikenakan cukai. Rupanya Indonesia adalah
negara yang memiliki barang kena cukai paling sedikit di
dunia. Mekanisme cukai diterapkan untuk barang yang
memiliki dampak buruk khususnya apabila dikonsumsi
berlebihan.
Kisah Muti kuangkat menjadi contoh dalam forum
diskusi. Berharap kisah itu bisa memberikan konteks
dan nyawa pada data dan statistik yang didiskusikan.
Diskusi pada pertemuan selanjutnya lebih terarah dan
sudah melibatkan Kementerian Kesehatan. Walau masih
jauh dari ditetapkan, tetapi bola sudah bergulir. Saat ini
minuman bergula tengah dikaji sebagai kandidat obyek
kena cukai baru, setelah kantong plastik.
Setelah itu, pada 2018 berulang kali saya mencoba
bertemu Donnie dan Muti. Walau saya sempat ke Yogya
dan Donnie sempat ke Jakarta, karena satu dan lain
hal kami belum sempat bertemu kembali. Kami hanya
sempat berdiskusi melalui aplikasi WhatsApp dan telepon
hingga akhirnya saya mendapatkan kabar duka. Donnie
71
Syska Hutagalung
Ransel Merah
Konflik Tanah
Lulusan Fakultas
Hukum, Unika Ransel merah di
Atmajaya.
Bergabung di
punggung saya terasa
KSP sejak Juli berat. Padahal isinya
2015
hanya map dengan
beberapa lembar
kertas. Mungkin
karena pada lembaran
kertas itu, terdapat
harapan jutaan orang.
Kertas dalam map itu
merupakan Dokumen
Rancangan Peraturan
Presiden Tentang
Reforma Agraria.
73
D
okumen yang akan mempercepat pe
nyerahan sembilan juta hektar tanah ini,
masih belum berarti. Dia butuh dibubuhi
tandatangan Menteri Lingkungan Hi
dup dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya.
Masalahnya, Ibu Menteri saat ini sedang bersiap ke
bandara untuk kunjungan kerja ke Sumatera. Saya
bergegas.
Menembus lalu lintas Jakarta sore hari, dari Istana di
kawasan Monas menuju Jakarta Selatan mustahil saya
lakukan dalam kenyamanan mobil berpendingin. Saya
putuskan menggunakan ojek, moda angkutan tergesit
Ibukota. Pengap, lengket, dan gerah beradu dari helm
dan masker yang saya gunakan. Belum lagi bercampur
asap knalpot mobil yang terjebak kepadatan jalan
protokol ibukota.
Perjalanan bermobil yang jamaknya memakan waktu
dua jam kami tebas dalam 20 menit. Meski badan setengah
layu, bau asap, dan keringat, saya berlari menuju lantai
tujuh Gedung Rimbawan, ruang kantor Ibu Menteri.
Ingin sekali rasanya mandi parfum sebelum menghadap.
Namun setiap detik terlalu mahal untuk dibuang.
Tanpa perlu menunggu, Ibu Menteri langsung
mempersilakan masuk. “Sudah ya, Mbak Sys? (Pasal-
pasalnya) Aman ya?” katanya sambil meneliti tiap
halaman dan membubuhkan tandatangan.
Plong! Saya melempar senyum lega. Spontan mencium
tangan Ibu Menteri dan memeluknya. “Terima kasih,
Ibu Menteri,” saya tak sanggup menyembunyikan
75
langsung berpamitan pada Menteri Siti Nurbaya untuk
melanjutkan perjalanan menuju kawasan Blok M.
Tak mau buang waktu, terlanjur basah, saya kembali
memesan ojek. Pengap dan sumpek tak lagi terasa.
Apalagi kini ransel di punggung terasa lebih ringan.
Menteri Sofyan tidak keberatan dan langsung menerima
saya di ruang kerjanya. Tiba-tiba, dokumen itu terasa
lebih indah setelah mendapat tandatangan Menteri
Sofyan Djalil.
Dokumen bertandatangan itu, kini bak ponsel dengan
baterai yang terisi penuh. Lembaran kertas itu akan
benar-benar sakti untuk diundangkan dalam lembaran
negara. Penanganan konflik dan tanah sembilan juta
hektar, kini bisa dipercepat untuk segera diserahkan.
Tugas tuntas, saya kembali ke kantor. Kini ransel
merah di punggung benar-benar terasa ringan. Sesampai
di kantor, dokumen pelengkap segera digabungkan dan
siap masuk ke meja Presiden.
Sepekan telah berlalu. Kami tim Reforma Agraria
disibukkan hajatan Global Land Forum 2018 di Bandung,
Jawa Barat. Sore itu saya berada di Stasiun Bandung
menanti kereta yang akan membawa kami kembali ke
Jakarta. Hingga tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel:
77
Abraham
Wirotomo
79
S
eminggu kemudian, berita menggembirakan
datang. “Presiden setuju. Beliau dukung ide
itu,” kata Pak Moeldoko.
Yesss..!
Senang. Tapi deg-degan. Tegang,
karena ini artinya tidak ada lagi kata mundur untuk
melaksanakannya. Padahal, ssttt… sebenernya eSports
ini merupakan barang baru buat saya.
Saya memang masih muda, tapi saya bukan gamers.
Saya tidak tahu apa-apa soal eSports. Saya cuma Tenaga
Ahli Madya lulusan fakultas ekonomi yang bergabung di
KSP sejak 2017. Biasanya, saya mengurusi isu-isu sosial,
budaya dan anti korupsi. Soal eSports? Nol besar.
Hingga suatu saat, saya diminta memonitor
pelaksanaan Asian Games 2018. Saat itulah perkenalan
pertama dengan eSports. Di tengah perhelatan olah raga
bergengsi se-Asia itu, ternyata ada pertandingan eSports.
Enam game didemonstrasikan di sana. Menarik.
Dari situlah, saya ingin bisa menyelenggarakan
turnamen eSports di Indonesia. Seperti Amerika
melakukannya dulu di 2016 lalu. Barrack Obama menjadi
sosok penting di balik turnamen eSports di White House.
Nah, saya juga ingin, Presiden Jokowi menjadi ikon yang
sama.
Mimpi ini saya godok bersama kawan-kawan, sambil
ngopi-ngopi. Walaupun pengetahuan saya minim, saya
berupaya mempelajarinya. Saya mencoba menghubungi
beberapa orang yang sudah lama menggeluti olah raga
ini. Lumayan, dari mereka saya mendapat banyak
81
Antusiasme juga didapatkan dari para gamers. Begitu
turnamen ini dimulai, 18.000 gamers ikut serta. Ditonton
belasan juta orang secara online. Dan jadi trending topik
di beberapa media sosial. Saya senang bukan kepalang.
Tapi tantangan tetap ada. Tiga hari sebelum Grand
Final, saya harus mengikuti rapat tentang fatwa
haram salah satu game. Meskipun bukan game yang
dipertandingkan di Piala Presiden Esports namun saya
harus meyakinkan pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI)
untuk tidak menyamakan satu game dengan semua
game online.
Tiba hari H. Grand Final eSports, 30 Maret 2019
digelar di Istora Senayan, Jakarta. Pasukan Pengaman
Presiden (Paspampres) hadir di arena itu sekitar pukul
09.00. Maklum Presiden Joko Widodo dijadwalkan bakal
hadir pada final turnamen pada pukul 14.00. Kehadiran
Paspampres ini pertanda angin segar bahwa Presiden
bakal hadir di tengah-tengah gamers.
Sebuah kabar mampir ke telinga saya. Sekitar pukul
12.00, bagian protokol istana menyampaikan Presiden
tidak jadi menghadiri acara ini. Saya kaget. Kabar itu
kemudian saya sampaikan kepada peserta yang sedari
pagi berharap bisa bertemu Presiden. Raut kecewa para
gamers tak bisa disembunyikan. Sosok yang paling
ditunggu justru tidak jadi datang.
Tapi diam-diam, sebenarnya saya sudah menyiapkan
Plan B. Tidak banyak yang tahu, dua hari sebelumnya
kami memohon pada Presiden untuk membuat video.
Untung, sekali lagi Presiden setuju. Walaupun tidak
83
Theresia Sri Menda
Melawan
Serampah di
Tanah Asmat
Lulusan
Institute of Hari itu panas
Development
Studies,
dan lembap. Bau
University rawa yang tengik
of Sussex.
Bergabung terasa pekat dan
dengan KSP
sejak 2016
memabukkan. Delapan
belas hari setelah
Tahun Baru 2018,
saya berada di tempat
terbuka di tengah-
tengah kampung
As-Atat, di Distrik
Pulau Tiga Kabupaten
Asmat. Suasana duka
mengepung udara.
Kematian datang
beruntun karena
wabah campak.
85
“T
olong sampaikan kepada Bapak Jokowi
agar tolong kami,” kata Imagoreti.
Dia menatap saya dengan pandangan
putus asa. Tak kuasa saya membalas
tatapannya yang penuh duka. Salah
seorang anggota keluarga perempuan muda ini adalah
korban wabah campak.
Serampah–istilah setempat untuk campak—begitu
cepat merenggut nyawa anak-anak di Kampung As-
Atat. Kondisi geografis sulit, petugas di pusat kesehatan
absen, tiada kendaraan buat mengantar anak-anak ke
pos kesehatan lain, dan obat tak tersedia. “Akhirnya
kemarin banyak yang mati. Saya mau bantu tapi saya
tidak sekolah. Saya tamat SD saja,” kata Melania Basin,
seorang kader kesehatan.
Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah campak dan
gizi buruk melanda Kabupaten Asmat, sepanjang
Desember 2017 - Februari 2018. Wabah yang disebabkan
penyebaran virus ini merenggut setidaknya 72 nyawa
anak Asmat. Total, 650-an orang yang terkena campak
di Asmat pada rentang tiga bulan itu. Kombinasi antara
cakupan imunisasi yang rendah dan gizi buruk membuat
komunitas itu rentan campak.
Ini tragedi besar. Sebulan sebelum wabah bermula,
Presiden Joko Widodo meneken Instruksi Presiden 9/2017
mengenai percepatan pembangunan kesejahteraan di
Provinsi Papua dan Papua Barat. Laporan korban wabah
segera diteruskan ke Istana.
Sebagai anggota tim kesehatan, saya ditugaskan
87
punya rencana kerja ke depan. Rencana kerja ini yang
kami akan bawa ke Jakarta,” kata saya.
Dari Agats, saya memutuskan untuk mengunjungi
kampung As-Atat. Antara Agats dan As-Atat harusnya
dapat ditempuh dalam 6-8 jam. Namun, kami
membutuhkan lebih dari 8 jam karena speedboat kami
sempat tersesat.
Menembus belantara pekat lebih dalam, saya yang
dipanggil “Kaki tangan Bapak Jokowi” merasa sangat
tidak berdaya di hadapan wajah-wajah warga kampung
As-Atat. Air mata tidak terbendung ketika saya berkeliling
kampung dan menemukan lebih banyak keluarga yang
jatuh sakit. Bahkan ada keluarga yang tiga dari empat
anaknya terkena gizi buruk dan campak. Sungguh, fakta
yang menyakitkan.
Saya sudah tinggal di luar negeri sejak umur 14 tahun,
di Singapura, Jepang, Inggris, untuk studi dan berkarir.
Pada 2016, saya kembali ke Indonesia dan bergabung
dengan Kantor Staf Presiden. Saya ingin membantu
mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Sekarang saya
melihat sendiri, Asmat bukanlah gambaran tentang
negeri indah yang saya dapatkan di bangku kuliah dan
karir di luar negeri.
Sampai di Jakarta, saya melengkapi draft memo. Saya
tuangkan pemahaman saya yang baru dan yang lebih
dalam mengenai kehidupan masyarakat Asmat.
Semua ini membuat saya berpikir bahwa memahami
persoalan masyarakat Asmat tidak cukup dari Jakarta.
Yang mengerti Asmat adalah masyarakat Asmat sendiri.
89
Aulia
Biben
Setyabudi.
91
R
aihan adalah satu dari 24 anak yang tewas
tenggelam di lubang bekas tambang yang
mangkrak di Kalimantan Timur sejak 2010.
Saat saya menemui Rahmawati enam tahun
kemudian, bekas tambang itu tak kunjung
direklamasi. Pemberitaan media dan laporan masyarakat
atas tragedi puluhan anak tenggelam tersebut membawa
saya dan tim dari Kedeputian II Kantor Staf Presiden
untuk menelisik apa yang sebenarnya terjadi.
Investigasi kami mengacu pada data satelit tahun
2014 yang menyebut ada 232 bekas galian tambang
di Kalimantan Timur masih terbuka dan belum
direklamasi. Sebagian besar tersebar di areal hutan. Saat
kami menginjak kota Samarainda, hotel tempat kami
menginap pun dibangun di atas bekas areal tambang.
Setelah mengunjungi Rahmawati, kami bertandang
ke Desa Makroman Kota Samarinda, lokasi tambang
batubara yang masih tahap eksploitasi. Area tambang
ini berada di lahan transmigrasi yang berisi pemukiman
dan lahan pertanian. Akibat penambangan ini, suhu air
meningkat dan ini membuat hasil panen padi menurun.
Setelah mereportase lapangan, penggalian informasi
dilanjutkan dengan menghubungi Dinas Pertambangan
dan Energi, Badan Lingkungan Hidup, dan Kepolisian
Daerah Kalimantan Timur. Informasi yang dikumpulkan
untuk bahan investigasi dan merumuskan jalan keluar
terkait persoalan bekas lahan tambang ini.
Tiga hari berada di Kalimantan Timur kami kembali
ke Jakarta. Tim menyusun rencana analisis dan
93
lemah. Ia menyoroti dari sisi sumber daya manusia.
Idealnya satu inspektur tambang mengawasi empat
proyek. Faktanya jumlah inspektur tambang jauh dari
kebutuhan untuk mengawasi 12 ribu tambang yang
tersebar di 34 provinsi.
Data lain juga saya dapatkan saat bertandang ke Komisi
Pemberantasan Korupsi di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Saya bertemu dengan dua orang yang bekerja dalam
pencegahan korupsi sektor sumber daya alam. Suguhan
keripik singkong dalam dua piring besar dan kopi hangat
mengantarkan kami pada diskusi hasil temuan komisi
anti-rasuah pada 2014.
Temuan KPK menyebutkan, sekitar 1,3 juta hektar izin
tambang berada dalam kawasan hutan konservasi dan
4,9 juta hektar berada dalam kawasan hutan lindung.
Lemahnya pengawasan menyebabkan hilangnya
potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Misal,
akibat pertambangan di dalam kawasan hutan negara
kehilangan potensi PNBP sebesar Rp 15,9 triliun per
tahun. Penyebabnya 1.052 usaha pertambangan dalam
kawasan hutan yang tak melalui prosedur pinjam pakai.
Dari sisi regulasi sudah terbit kebijakan Pemerintah
Daerah dan Pusat untuk perbaikan tata kelola
pertambangan. Namun untuk penegakan hukum masih
lemah. “Semrawut”, ujar saya pada tim saat rapat
internal. Kasus pertambangan seperti tragedi tewasnya
puluhan anak di lahan bekas tambang merupakan
implikasi dari menggunungnya persoalan tambang
yang dibiarkan menumpuk begitu saja. Tumpang tindih
95
Deswitha Arvinci Stiefi
Belajar dari
Guru SD Sangihe
Lulusan
Administrasi “Kepala Staf seneng
Niaga, FISIP
Universitas
banget, loh.
Indonesia. Senyumnya lebar
Bergabung
dengan KSP banget pas masuk
sejak April 2015. Bina Graha,” pesan
dari temanku tanggal
11 Mei 2016. Kalimat
itu terus terngiang di
kepala sampai hari
ini. Itulah gambaran
ekspresi Kepala Staf
Kepresidenan 2015 -
2018, Teten Masduki,
usai menghadiri
Rapat Terbatas (ratas)
kabinet yang dipimpin
langsung Presiden
Joko Widodo.
97
P
eristiwa itu penting bagi saya, karena saat itu
Kepala Staf memaparkan bahan yang saya
susun bersama tim. Proses pembuatan paparan
tersebut sungguh tidak sederhana. Semua
berawal dari dua kata: Tolong diperbaiki. Ya
! Hanya dua kata itu saja pesannya menanggapi belasan
ribu kata yang kami susun dalam paparan perbaikan tata
kelola Dana Alokasi Khusus (DAK).
Otak saya menerjemakan dua kata tersebut menjadi:
Jangan harap dokumen ini akan masuk ke Presiden kalau
gagal memperbaikinya. Apa boleh buat, saya bersama
tim harus memutar otak. Kami meramu paparan berisi
rekomendasi anggaran Pemerintah Pusat untuk 514
Kabupaten/Kota dan 33 Provinsi di Indonesia. Nilainya
cukup fantastis, Rp 130 triliun tiap tahun.
Dana alokasi ini digunakan membantu pelayanan
publik supaya berjalan baik. Setiap tahun Kantor Staf
Presiden (KSP) mendapatkan banyak keluhan, aduan,
dan laporan masyarakat mengenai pengelolaannya.
Indonesian Corruption Watch (ICW) melaporkan sejak
tahun 2005 hingga 2016, negara merugi Rp 377 miliar
dari sektor pendidikan saja. Tidak heran kalau banyak
foto sekolah rusak berseliweran di jagat maya.
Situasi itu mendorong saya dan tim menyusun
rekomendasi perbaikan permasalahan ini. Kami pun
berkutat dengan dokumen dalam waktu sebulan hingga
beres pada Maret 2016. Isinya penuh tulisan dan angka.
Sejak awal saya mengkaji, isu ini sungguh berat. Apalagi
saya yang berlatarbelakang pendidikannya non ekonomi.
99
Saat menyusun rekomendasi, saya memilih tiga topik
besar untuk ditampilkan: pendidikan, pertanian, dan
kesehatan. Judul dokumen pun kami ubah agar terlihat
urgensinya. Awalnya “Permasalahan Utama Dana Alokasi
Khusus” menjadi “Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK)
pada Pencapaian Program Prioritas Nasional”. Begitu
pula dengan sub judul pada setiap halaman presentasi.
Apalagi yang harus direvisi ? Timbul ide untuk
menyisipkan gambar pada sela-sela data pada dokumen
ini agar lebih menarik. Saya percaya bahwa kesan pertama
sangat menentukan. Jadi, saya putuskan menyisipkan
gambar dalam tulisan sehingga lebih menarik perhatian.
Saya meminta tolong beberapa orang di luar tim untuk
membaca sekilas dokumen yang kami susun.
Setelah merasa cukup perbaikan yang kami lakukan,
dokumennya saya serahkan kepada Deputi untuk
diperiksa. Dari Deputi dokumen berlanjut ke Kepala
Staf. Di luar dugaan, ternyata mendapat tanggapan
“Dibuatkan memo ke Presiden”. Empat kata itulah yang
saya rindukan. Dokumen ini diminta segera diteruskan
ke Presiden dan Sekretaris Kabinet untuk dibahas dalam
rapat terbatas tingkat Menteri. Saya takjub karena inilah
pertama kalinya pekerjaan saya berujung pada memo
untuk Presiden.
Sekitar empat minggu kemudian, rapat terbatas
membahas DAK dilaksanakan di Istana Presiden. Kepala
Staf diminta memaparkan dokumen tersebut di hadapan
seluruh peserta dengan menggunakan bahan yang kami
siapkan.
101
Mastiur
Pharmata
103
P
aginya, saya dan rekan kerja bergegas menuju
ke Rumah Duka St. Carolus, Jakarta. Kami
menyampaikan duka cita secara langsung
kepada Gunritno, seorang tokoh gerakan
penolakan pembangunan pabrik semen yang
sekaligus penanggungjawab aksi pasung kaki tersebut.
Penolakan masyarakat yang tergabung dalam Jaringan
Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) solid
dan terorganisir. Aksi fenomenal yang mereka lakukan
di antaranya memasung kaki dengan cor-coran semen
selama berhari-hari. Tindakan ini sebagai lambang
penderitaan rakyat jika lahan-lahan pertanian rusak
akibat keberadaan pabrik semen. Aksi pasung kaki itulah
yang akhirnya menghantarkan mereka menghadap
Presiden pada 2 Agustus 2016. Mereka berkeluh kesah
sebagai rakyat kepada pemimpin tertinggi negara ini.
Pertemuan petani Kendeng dengan presiden
menghasilkan keputusan untuk mengkaji ulang daerah
tersebut apakah daya dukung dan daya tampungnya
memadai untuk pengoperasian pabrik berkapasitas
produksi tiga juta ton per tahun. Demi melaksanakan
perintah Presiden maka para ahli, gubernur, dan bupati
yang daerahnya masuk ke dalam kawasan Pegunungan
Kendeng dikumpulkan.
Hingga terjadi peristiwa yang tak terduga. Petani
kecewa pada sikap pemerintah daerah karena
pembangunan pabrik tetap berlangsung, padahal proses
kajian masih disusun. Petani Kendeng akhirnya memilih
mengadu ke ibukota. Kali ini aksi memasung kaki dengan
105
Pikiran yang tidak sengaja terpelihara itu mau tidak
mau membuat saya merasa bahwa duduk di lingkaran
satu republik ini mungkin sama sekali tidak berguna.
Sekeras apa pun saya bekerja, setajam apa pun saya
membuat analisa, sejelas apa pun saya memaparkan
suatu masalah, tetap saja Ibu Patmi hanya tinggal nama
sekarang.
Peristiwa itu membuat saya meragukan kemampuan
diri sendiri. Padahal, justru setelah Ibu Patmi meninggal,
hasil kajian sangat dibutuhkan selesai cepat dan
sesempurna mungkin agar situasi cepat kondusif. Peran
saya sebagai anggota tim “penjaga” proses penyusunan
kajian yang seharusnya penting menjadi kurang
maksimal bahkan cenderung menuju kegagalan.
Awal 2018, secara tidak sengaja saya membaca tulisan
Deputi 2 Kantor Staf Presiden (KSP), Bapak Yanuar
Nugroho di laman media sosialnya. Sebuah doa bertajuk
Serenity Prayer.
“God grant me the serenity to accept the things I cannot
change; courage to change the things I can; and wisdom to
know the difference”
(Tuhan anugerahkanlah kepadaku kedamaian untuk
menerima hal-hal yang tidak dapat aku ubah; keberanian
untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah; dan
kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya.)
Doa yang sangat sederhana namun kehadirannya saat
itu menghantam saya di titik yang tepat. Berkali-kali
saya lantunkan doa itu di dalam hati sambil merenungi
kematian Ibu Patmi. Kematian adalah milik semua
107
Shita
Ratnasari
109
K
ritik kelompok masyarakat sipil atas kinerja
pemerintah yang dinilai lamban dalam
mencapai tujuan SDGs, membuat gerah
Abetnego Tarigan. Tenaga Ahli Utama
Deputi II di Kantor Staf Presiden (KSP) tak
menyangkal kritik tersebut. Sebaliknya ia berupaya
merumuskan jalan keluarnya.
Usut punya usut, salah satu penyebabnya karena
SDGs belum banyak dipahami pemerintah daerah juga
masyarakat sipil di daerah. Tak heran, jika kemudian
antara pemerintah pusat dan daerah masih ada
pemahaman yang timpang dan beragam.
SDGs adalah 17 tujuan dengan 169 capaian yang
ditentukan Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai agenda
dunia untuk kemaslahatan manusia dan kelestarian
lingkungan.
Abetnego, kemudian, mendorong Kantor Staf Presiden
(KSP) merumuskan solusinya agar akselerasi pencapaian
SDGs bisa dipercepat. “Kita harus mencari peran lain
yang belum dilakukan Bappenas,” katanya kepada Tim di
KSP, pertengahan 2018. Bappenas (Badan Perencanaan
Nasional), sendiri sebetulnya sudah banyak program
untuk pencapaian SDGs ini.
Akhirnya, KSP bersama Bappenas, serta Kementerian
Komunikasi dan Informatika menginisiasi digelarnya
Forum Komunikasi Daerah. Forum ini berupa diskusi
yang pematerinya dari kalangan birokrasi, akademisi,
dan praktisi dengan peserta masyarakat sipil juga
birokrat dari pemerintah kabupaten atau kota. Forum
111
Jawa Tengah yaitu Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng.
Menurut Ganjar program ini berkontribusi secara
langsung pada tujuan SDGs poin nomor tiga tentang
kesehatan.
Ganjar mengambil banner acara yang terpasang di
depan panggung. Ia menjelaskan beragam program
pemerintah daerah untuk mencapai 17 sasaran SDGs.
Belasan sasaran SDGs telah diturunkan dalam Peraturan
Presiden No. 59 tahun 2017. Ganjar berkomunikasi
dengan bahasa yang mudah dipahami peserta. Ini yang
membuat diskusi menjadi lebih hidup.
Saya menilai Forum Komunikasi Daerah soal SDGs di
Jawa Tengah berhasil karena animo besar peserta dan
dialog yang hidup. Setelah Provinsi Jawa Tengah, sebulan
kemudian acara serupa digelar di Pontianak Kalimantan
Barat. Sayang kesuksesan di Semarang tak bisa diulang
di Pontianak.
Setelah kembali ke Jakarta panitia mengevaluasi
jalannya diskusi yang kurang sukses di Pontianak.
Hasil evaluasi adalah peserta terlalu banyak dan materi
pembicara yang kurang nyambung satu sama lain. Karena
jalannya materi tidak terlalu fokus, maka target meleset.
Kami mengubah gaya diskusi menjadi diskusi panelis.
pembicara dari pemerintah pusat, pemerintah daerah,
akademisi, media, dan kelompok masyarakat sipil di
panel yang sama. Setelah sesi panelis lalu dibuka dialog
terbuka dengan peserta.
Strategi diskusi baru kemudian dipraktekkan pada
Forum Komunikasi Daerah selanjutnya di Makassar
113
Yusuf
Hakim
Gumilang
115
J
ujur, sebagai tenaga profesional di Kantor Staf
Presiden (KSP), saya kesal disemprot seperti
itu. Tapi setelah saya pikir sejenak, sorry ya
Bapak di seberang telepon, ternyata hati saya
bangga. Berarti rekomendasi saya ke Presiden
didengar. Bahkan menjadi bahan perbincangan di
kalangan petinggi, hingga mengusik Bapak di seberang
telepon.
Semuanya berawal pada 22 Februari 2018. Tepat tiga
minggu sebelum peristiwa itu terjadi, kami dari KSP
melakukan tugas monitoring dan evaluasi (monev)
persiapan Asian Games di Pelatnas Cipayung, Jakarta
Timur.
Saat itu kami diterima Susi Susanti, legenda
bulutangkis Indonesia. Rasanya bangga bertemu peraih
emas olimpiade saat saya masih di bangku Taman Kanak-
kanak. Obrolan kami mengalir lancar. Awalnya, kami
hanya mencari informasi tentang training center Asian
Games, tapi saya mendapat lebih.
Menurut Mbak Susi, perhatian untuk mantan atlet
olahraga ini masih kurang. Tidak ada Tunjangan Hari
Tua dan Pensiun. Banyak yang hidupnya merana setelah
gantung raket. Makanya banyak orang tua tidak mau
anaknya jadi atlet. Padahal banyak bibit atlet lahir dari
keluarga tidak mampu. Padahal biaya untuk latihan per
bulan saja tidak cukup Rp 5 juta. “Bisa delapan sampai
sepuluh juta rupiah,” kata Mbak Susi.
Hati saya miris dan murung mendengarnya. Bagaimana
mungkin cabang olahraga kebanggaan negara, atletnya
117
suplemen kondisi apa adanya, pada rapat terbatas yang
akan digelar 5 Maret 2018. Nurani saya mengatakan tidak
fair, para atlet itu bertarung mati matian untuk negara
sementara perutnya belum terjamin.
Maka, hasil pergulatan nurani saya tuliskan pada
suplemen : “…..mengusulkan 8 tindaklanjut untuk Bapak
Presiden, dua usulan diantaranya adalah agar presiden
berkenan menugaskan Menteri Pemuda dan Olahraga
untuk dapat segera memproses pencairan dana kepada
cabang yang belum mendapatkan pendanaan hingga
Maret 2018 ini, serta mendorong dengan tegas kepada
pengurus cabor (cabang olahraga) yang belum pelatnas
agar segera memulai dan KONI harus dapat memberikan
pendampingan dan membantu memverifikasi dan
pencairan dana dari setiap cabor.”
Beberapa hari kemudian, sebuah pesan dari salahsatu
rekan pengurus cabang olahraga masuk ke ponsel saya.
“Apa kabar mas? Alhamdulillah anak-anak sudah gajian,
terimakasih dukungannya ya mas. Doakan kami, salam”.
Saya langsung berteriak kegirangan.
Lima bulan kemudian hari yang ditunggu tiba. Asian
Games dibuka gegap gempita dengan sajian artistik
spektakuler. Tari Ratoh Jaroe dan defile atlet Korea
Utara dan Korea Selatan yang berjalan berdampingan,
menandakan bahwa acara ini bukan hanya tentang
olahraga. Ini tentang manusia.
Perjuangan atlet Indonesia pun tidak kalah
membanggakan dan heroik. Ginting berjuang hingga
tidak sanggup berdiri di lapangan. Tendangan terbang
119
Rifqi Ryan
Avila
Rakhman
121
S
ejatinya mereka hanya menanyakan satu
hal. Yaitu tentang aplikasi LAPOR! (Layanan
Aspirasi Online Rakyat!). LAPOR! merupakan
“maestro” di kalangan Kementerian, Lembaga,
dan Pemerintah Daerah yang berfungsi
sebagai kanal aduan tunggal bagi masyarakat Indonesia.
Masalahnya, aplikasi ini baru saja mengalami perubahan
dari versi dua menuju versi tiga, terbaru. Perpindahan ini
menyebabkan aplikasi berubah secara tampilan sehingga
admin, ketika menggunakan, harus belajar kembali.
Mereka yang tergagap dengan versi baru inilah yang
menteror saya. Saya mencoba menenangkan diri.
Meletakkan ponsel di atas meja, melihat ke kiri-kanan,
namun tak ada seorang pun di sana. Semua orang
dalam tim LAPOR! di Kantor Staf Presiden (KSP) sedang
bertugas di tempat yang berbeda. Saya terdampar di
‘pulau kesibukan’ ini seorang diri. Dalam hati, saya
mulai menyumpahi, menyesali keputusan bergabung
dengan orang-orang yang senantiasa dikejar penugasan
dan deadline ini.
“Fiuuuh..” saya mencoba menarik napas dalam-dalam
dan merenung sejenak. Siapa tahu ada malaikat yang
tiba-tiba melintas dan menyodorkan jalan keluar. Dan
memang benar, satu pikiran jernih tiba-tiba muncul.
“Jika saya menyerah, bagaimana orang-orang di luar sana
yang ingin menyampaikan aduan atau aspirasinya?”
Tak ada pilihan lain, saya mulai menjawab banyak
pertanyaan yang berulang, satu demi satu. Dengan
pengalaman birokrasi yang bahkan belum genap satu
123
dan server yang belum teroptimalkan. Masalah terberat
ada di proses pemindahan jutaan data ke LAPOR! versi
terbaru. Struktur yang berubah membuat saya harus
melakukan usaha ekstra untuk menyelesaikan tugas itu.
Kedua, knowledge transfer ke stakeholder. Koordinasi
menjadi tantangan terbesar. Koordinasi dari semua
pihak, termasuk dengan atasan. Kurangnya komitmen
ini membuat tak sedikit orang melakukan tugasnya
setengah hati, dan saling menyalahkan satu sama lain
tanpa mencari solusi yang jelas. Koordinasi dengan pihak
luar juga tak sepi dari masalah yang harus dipecahkan.
The closer you look the less you can see, mewakili kondisi
saya dimasa buntu ini. Saya pun mencoba mundur
beberapa langkah dan melihat masalah ini dari sudut
pandang lebih luas. Dari situ saya kaget bahwa banyak
kerikil sudah saya lewati. Saya pun melihat bagaimana
rekan-rekan bergerak mengawal isu-isu yang mereka
pegang. Semangat dan motivasi mereka membuat saya
kagum. Fakta itulah yang membuat semangat pun mulai
kembali, dan mencoba mencari ilham dari beberapa
rekan kerja yang sudah lama berada di KSP.
Dibandingkan dengan saat ponsel saya tidak berhenti
bergetar dan saya merasakan diri ini sebagai “makhluk
yang paling malang sedunia”, kini saya sudah dapat
bernapas lebih lega. Ini karena koordinasi antar
lembaga dan internal mulai rapi. Setiap stakeholder bisa
berperan sesuai dengan perannya masing-masing, tidak
hanya berpusat ke satu pintu. Sehingga, masalah yang
menumpuk itu pun dapat diselesaikan satu per satu.
125
126 — Bukan Remahan Rengginang
Kedeputian III
Kajian
Pengelolaan
Isu Ekonomi
Strategis
127
Ekonomi
Sapu Jagat
A
da perasaan dag-dig-dug jika harus
menugaskan orang-orang muda di Kantor
Staf Presiden. Dari semua tugas yang serba
mendadak dan bikin sport jantung adalah
ketika menerjunkan mereka ke lapangan.
Selain medannya berat, dan beresiko, juga range topiknya
yang ajib-ajib.
Tapi kerapkali semangat dan totalitas menutupi
kesadaran kami kalau orang-orang muda KSP itu harus
mengarungi bahaya. Mereka kudu menyeberangi
lautan, masuk hutan, dan membelah pegunungan.
Sering mereka juga melipat jerih karena harus masuk
daerah konflik dan menghadapi aneka teror.
Mereka harus menghadapi demonstran yang galak,
tapi juga tak segan membentak pemalak. Tak jarang
harus menyamar atau merekam diam-diam demi
mendapatkan dan memastikan fakta: seluruh program
Presiden bidang ekonomi dijalankan dan dirasakan
rakyat di akar rumput.
Berbekal nilai-nilai integritas, dedikasi dan
profesionalisme, orang-orang muda dan tim kedeputian
ekonomi berjibaku dari isu-isu kapitalis ke isu-isu
Denni Purbasari
Deputi Bidang Kajian Pengelolaan Isu Ekonomi Strategis
129
Reno
Bagaskara
131
S
ejujurnya saya tak kenal sama sekali manusia
di foto itu. Wong saya bukan konsultan, tapi
staf presiden yang sedang menyamar.
Bekerja di Kantor Staf Presiden (KSP), saya
bukanlah agen rahasia macam James Bond.
Tapi kalau memang harus menyamar dalam tugas, Apa
boleh buat. Peristiwa di atas berawal dari pemberitaan
yang menyebut perusahaan peternakan ayam melakukan
kartel, pertengahan Mei 2016. Kondisi itu mengakibatkan
rontoknya harga ayam potong di tingkat peternak.
Rombongan korporasi yang dituduh melakukan kartel
terang saja mengelak. Sementara para peternak terlanjur
marah. Peternak dari berbagai daerah menggelar
unjukrasa di kawasan Monas berharap pemerintah turun
tangan. KSP tidak tinggal diam. Kepala Staf Kepresidenan
meminta Deputi III melakukan kajian cepat.
Saya dipanggil dan mendapat perintah belajar
langsung dari perusahaan peternakan ayam. Sore itu
juga saya meluncur ke daerah Blok M, Jakarta Selatan.
Saya menemui pemilik perusahaan konsultan yang
memiliki klien perusahaan peternakan ayam terbesar di
Yogyakarta.
Bak film spionase, saya ditugaskan menyamar menjadi
pegawai konsultan tersebut. “Juragan perusahaan ayam
lagi pusing. Karena orang baru jangan dulu mengaku
dari KSP. Selama di sana kamu mengaku saja sebagai staf
saya”, kata bos perusahaan konsultan itu. Terserah lah,
toh mustahil menolak tugas ini.
Setibanya di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, saya
133
ayam seperti: penyakit menular, harga barang modal
yang fluktuatif, hingga naik turunnya permintaan
terhadap daging ayam.
Seperti janjinya, tepat pukul dua wanita juragan itu
kembali. Kami duduk bersama mendiskusikan rantai
nilai bisnis industri ayam potong dari kandang sampai di
pasar. Mbak juragan mulai curiga. Dia bicara hal-hal detil
yang kadang membuat saya gelagapan menjawabnya.
“Nanti saya sampaikan kepada tim di Jakarta, Mbak,”
menjadi jawaban pamungkas saya, saat dia memulai
pembicaraan persoalan perusahaannya.
Sembari memainkan ponselnya, dia mulai menanyakan
hal-hal terkait pekerjaan. Awalnya dia menanyakan di
mana saya tinggal ? Apakah dekat dengan “kantor” ?
Bagaimana rasanya bekerja di situ ? Pertanyaan yang
mudah, mengingat saya bisa ngeles dengan mudah.
Jantung mulai berdegup kencang ketika dia
menunjukkan pada saya beberapa foto dan menyebutkan
nama-nama orang yang menurutnya adalah rekan kerja
saya. Tentu saja saya tidak mengenal semuanya, karena
saya ini staf KSP.
“Lha kok siapa-siapa kamu tidak kenal Mas?” katanya
sambil memandangku. “Maklum, saya anak baru, baru
tiga bulan jadi masih belum kenal semua staf,” jawab saya
tanpa berani menatap matanya. Matilah kalau ketahuan.
Saya akan disambut baik atau malah justru disambit dan
diusir?
Selang beberapa detik dari perbincangan kikuk itu,
muncullah sesosok perempuan tua. “Kenalkan, ini Ibuku.
135
Grace
Citra Dewi
137
K
etakutan ibu tidak beralasan. Di NASA, saya
bekerja sebagai peneliti di laboratorium.
Tugasnya meneliti perubahan yang terjadi
pada sel-sel yang dikirim ke ruang angkasa.
Sel dibawa pulang ke bumi dalam keadaan
beku, dicairkan, dikoding, dikloning, diradiasi beragam
dosis, lalu diamati berbagai aspeknya. Saya bukan
astronot yang berangkat ke luar angkasa.
Mungkin, bekerja di NASA menjadi kesempatan
langka bagi orang Indonesia. Apalagi buat arek Malang,
Jawa Timur, seperti saya. Tamat SMA Dempo, Malang,
pada 2002, saya beruntung bisa kuliah di University of
California at Berkeley. Saya mengambil jurusan Biologi
Kimia.
Sebagai saintis muda, juga naif, ketika itu saya
mengalami fase pencarian spiritualitas. Saya belajar
bagaimana semua hal di semesta ini adalah rangkaian
reaksi kimia beruntun. Bermula dari ledakan dahsyat big
bang, lalu terjadilah semesta raya yang berproses selama
miliaran tahun. Saya jadi bertanya-tanya, apakah semua
ini molekul-molekul yang kebetulan bereaksi sebagai
konsekuensi logis hukum-hukum fisika, ataukah atas
peran Tuhan?
Kemudian, di tengah kuliah, NASA membuka lowongan
peneliti pada laboratorium di Berkeley. Saya melamar.
Eh, diterima. Di NASA . Saya takjub bahwa sel-sel dan
molekul itu begitu terstuktur, canggih, dan segalanya
serba rapi, seperti ada insinyurnya. Kompleksitas sel-
sel yang kami amati di laboratorium NASA membawa
139
perbankan, dan fintech.
Banyak orang bertanya, apa bedanya bekerja dengan
para titan seperti NASA, BASF, juga BRI dengan bekerja
di KSP? Benar, bekerja di NASA, lembaga sains bergengsi
sejagad raya, lebih terkesan ‘wah’. Tapi, sesungguhnya
sifat pekerjaan lebih cetar di KSP
Di NASA, kita bisa menjalankan strategi riset yang lebih
linier. Semua hal bisa diprediksi. Nggak ada deg-degan,
tinggal cek teori sains bilang apa, maka itulah yang
akan didapat. Bakteri juga nggak perlu diajak omong
dan dimotivasi untuk membantu kita. Bakteri, kan, ya,
lempeng aja. Dalam mengambil langkah, kita tidak perlu
mengantisipasi bagaimana pikiran dan perasaan koloni
bakteri.
Sementara di KSP, mustahil melakukan pendekatan
linier. Ketika merancang sebuah kebijakan, selalu ada
sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya. Selalu ada
variabel yang bergerak tanpa bisa diprediksi. Belum lagi
ada proses politik yang harus kita navigasi dengan baik.
Ada faktor emosi dan psikologi masyarakat, yang tak ada
rumus pastinya.
Di KSP kita tidak bisa bekerja sendiri. Harus teamwork.
Kita perlu bantuan orang lain, juga masyarakat luas.
Orang lain harus di-uwongke, diajak omong, diyakinkan,
dan dimengerti. Bekerja di KSP, bagi saya, adalah
gabungan dua hal. Sains dan juga seni. Keduanya harus
dicari keseimbangannya.
Saya juga belajar seni berkomunikasi dan
bernegosiasi dengan berbagai pihak. Kita harus bisa
141
Armedya
Dewangga
145
di mana 80 persen pertumbuhan otak anak terbentuk
pada masa tersebut.
Jika masalah ini tidak segera teratasi, maka bukan
hanya anak-anak yang mengalami stunting yang akan
merugi. Namun masa depan bangsa Indonesia akan
menjadi makin terbelakang dibandingkan bangsa lain di
dunia.
Saya sadar, peran saya dalam mengatasi stunting
sangatlah kecil. Namun saya percaya, apapun kontribusi
yang bisa saya berikan bisa berdampak positif untuk
masyarakat. Membuat kehidupan mereka menjadi lebih
baik di masa depan.
Mimpi itu yang menjadi salah satu motivasi saya
untuk berpindah dari private sector ke public sector.
Meninggalkan pekerjaan saya sebelumnya di salah satu
perusahaan multinasional terbesar dan memutuskan
bergabung di Kantor Staf Presiden (KSP). Saya percaya
generasi muda juga dapat berkontribusi dan terlibat
langsung di pemerintahan untuk ikut menorehkan tinta
dalam perjalanan bangsa ini.
Termasuk kontribusi saya saat ini untuk membantu
pelatihan kader posyandu. Pelatihan ini menjadi salah
satu program dari kampanye nasional pencegahan
stunting yang telah kami rancang melalui skema Public-
Private Partnership. Melalui skema tersebut, saya dalam
tim KSP bekerja bersama sejumlah organisasi, serta
Kementrian dan Lembaga.
Tentunya untuk mencapai tujuan dari program
pencegahan stunting ini tidak dapat dikerjakan sendiri
147
Marcella
Chandra
WIjayanti
149
A
rmed, misalnya, salah satu rekan yang
tengah mengipasi wajahnya yang terbakar.
Dia tergopoh mencari informasi informasi
penerbangan alternatif lewat ponselnya.
Meski sejak bekerja di Kantor Staf
Presiden (KSP) kami terlatih untuk tetap tenang
menghadapi krisis. Tapi entah kenapa bayangan harus
tinggal beberapa hari lagi di Nunukan, tanpa kepastian
kapan bisa pulang, sangat meresahkan. Kami semua
dalam keadaan kelelahan, perlu asupan latte, rindu
kasur di rumah dan ruangan ber AC.
Pulau Nunukan dan Sebatik sudah kami jelajahi
dalam 7 hari itu. Segala jenis profesi di wilayah tersebut
sudah kami datangi. Dari nelayan, petani, kepala
suku, murid sekolah, sampai pedagang di pasar, untuk
mendengar pandangan mereka terhadap pembangunan
di daerahnya. Tugas kami di daerah perbatasan
tersebut, memang untuk menggali informasi langsung
dari masyarakat dan mempelajari kondisi di daerah itu.
Informasi yang kami dapat, nantinya akan digunakan
untuk memperkaya sebuah rancangan program prioritas
presiden.
Ketika kabar pembatalan penerbangan datang pada
siang itu, kami sedang menunggu makanan di sebuah
warung di tepi jalan. Belum lima menit duduk melepas
lelah, kami harus jungkir balik memikirkan opsi lain.
Pertama, kembali ke penginapan lalu menunggu
sampai ada penerbangan. Kedua, naik perahu 5 jam
ke Tarakan. Kami putuskan yang kedua. Sopir sewaan
151
kami bisa pulang siang itu dan mengejar pesawat malam
ke Jakarta membuat kami bertahan.
Dari tempat kami duduk, muka kami sering terciprat
ombak. Baju basah kuyup dan perut terasa mual karena
belum diisi. Teringat bekal yang tadi dibungkus, kami
langsung membongkar bungkusan dan makan dengan
lahap. Makanan terenak saya sepanjang tahun itu, meski
makanannya berkuah air laut karena terus-terusan
terciprat ombak.
Seorang ibu yang duduk di bangku dekat buritan
tampak prihatin melihat saya, satu-satunya perempuan
di dalam rombongan anak muda yang semuanya kumal.
Ibu itu menawarkan air minum, “Sekolah di Tarakan
Dik?” tanyanya. Saya menggeleng, “Dari Jakarta Bu,
sedang penelitian. Tadi maaf ya, Bu, jadi harus menunggu
kami,” jawab saya dengan rasa bersalah.
Peneliti adalah pekerjaan samaran yang selalu saya
gunakan agar tidak perlu membuka identitas saya
sebagai staf KSP. Tanpa identitas staf KSP biasanya saya
mendapat masukan dan reaksi yang lebih jujur.
Ibu itu mengangguk pengertian dan menjelaskan
seharusnya tadi tidak perlu lari sampai tersenggal-
senggal. Jika ada penerbangan yang mendadak
dibatalkan, warga Nunukan yang menumpang perahu
sudah biasa saling menunggu, terutama jika ada yang
harus berobat. Ini kebiasan turun temurun. Nelayan
yang melaut pun sudah biasa ‘ditebengi’ ibu yang
kesulitan melahirkan dan membutuhkan penanganan
di Tarakan misalnya. Kebaikan dan tolong menolong ini
153
Nadia
Syahraniah
155
T
ugas ke Lanny Jaya ini dalam rangka
program pencegahan stunting atau anak
bertubuh pendek akibat kekurangan gizi
kronis.
Saya merasakan kejanggalan atas
pengamanan belasan sniper berbaju preman ini. Ada
apa di sini sampai pengawalan super ketat gini? Saya
menenangkan diri sendiri. “Ah tidak ada apa-apa, ini
mungkin berlebihannya orang daerah saat menyambut
kedatangan tim dari pemerintah pusat.”
Perjalanan pagi itu ke Desa Malagaiheri sangat
menyenangkan. Lanny Jaya, salah satu kabupaten di
pegunungan tengah Papua. Hutannya lebat. Udara sangat
dingin. Lanny Jaya pantas disebut Swiss-nya Indonesia.
Sepanjang jalan, kami menikmati pemandangan indah
termasuk air terjun cantik di pinggir jalan. Maksud hati
ingin berhenti sejenak, mengabadikan momen di air
terjun keren itu. Tapi, pengawal berteriak, “Jalan, jalan
cepat, Pak Sopir!” Ah, kaku sekali para pengawal ini,
pikir saya.
Pemukiman penduduk berada di atas bukit. Dari
jalanan, rumah-rumah itu terlihat berselimut kabut.
Namun, ada kisah pahit di balik indahnya alam
pegunungan Lanny Jaya. Ini daerah tempat kerawanan
pangan banyak dijumpai. Data pemerintah menyebut
satu dari dua anak atau setengah populasi anak di Lanny
Jaya mengalami stunting.
Jalan semakin terjal mendaki. Anehnya, pengemudi
terus menginjak habis pedal gas. Laju rombongan terasa
157
“Stop Mbak! Jangan maju. Mundur, kita kembali
sekarang,” katanya tegas.
Teriakan itu menyadarkan saya dari asyiknya merekam
indah pemandangan dan suasana Desa Malagaiheri.
Saya turuti perintah. Tak berani saya bertanya apa yang
terjadi. Saya hanya membatin, “Apakah saya salah?
Mengulur waktu yang membuat akan terlambat sampai
di rumah Sekda?”
Kami bergegas masuk mobil, kembali ke Kota Lanny
Jaya. Sopir terlihat panik dan mengemudi dengan
kecepatan tinggi. Mobil melaju lebih kencang daripada
ketika kami menuju desa ini. “Ada tanda bahaya,” kata
pengawal. Perjalanan jadi menegangkan.
Kami selamat sampai tujuan. Pak Chris menyambut
kedatangan kami dengan menjinjing senjata laras
panjang, memakai rompi anti peluru, serta siap
menjalankan mobil anti peluru. Ada apa ini?
Sejurus kemudian Sekda Lanny Jaya itu menjelaskan
apa yang terjadi. Saat kami berbincang dengan warga
Desa Malagaiheri, Pak Chris menerima laporan bahwa
kami akan diserang kelompok bersenjata Organisasi
Papua Merdeka atau OPM. Menurut informasi intelejen,
OPM sudah mengetahui kedatangan Tim KSP dan telah
membidik kami sejak dalam perjalanan menuju desa.
Bahkan, ketika kami mewawancarai warga di Desa
Malagaiheri, OPM sudah siap menembak tim kami.
Sejumlah anggota OPM sudah siap di berbagai titik,
mulai dari seberang bukit hingga dari balik semak-semak
yang berjarak hanya sekitar 50 meter dari tempat saya
159
160 — Bukan Remahan Rengginang
Kedeputian IV
Komunikasi
Politik dan
Diseminasi
Informasi
161
Generasi
Millennial
di Istana
Z
aman bergerak dari generasi ke generasi.
Abad demi abad berlari meninggalkan
jejak masing-masing dalam lembar sejarah
bangsa Indonesia. Kini di era revolusi
industri 4.0 adalah zamannya generasi yang
disebut generasi millennial. Satu generasi yang boleh
dikatakan berbeda dalam banyak hal.
Di era Presiden Joko Widodo, ruang yang disediakan
untuk generasi muda itu akhirnya sampai juga ke
wilayah pusat kekuasaan, yang bernama Kantor Staf
Presiden (KSP). Ada yang mengatakan KSP seperti
halnya West Wing bagi presiden di Amerika Serikat.
Dalam paradigma lama, sepertinya anak-anak muda
tidak akan bisa turut cawe-cawe untuk melaksanakan
tugas dan tanggungjawab itu.
Beruntung, Indonesia memiliki Presiden Joko
Widodo, sosok yang menyadari perubahan drastis
yang terjadi. Presiden sendiri tak bosan-bosannya
mengatakan bahwa perubahan zaman adalah sesuatu
yang harus kita sikapi sebagai tantangan, terutama
Eko Sulistyo
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi
163
Adiyanti Usi
Merah Putih
di Langit Malaysia
Lulusan
Fakultas Ratusan balon merah
MIPA,
Universitas
putih membumbung
Indonesia. tinggi ke angkasa.
Bergabung
di KSP sejak Siswa sekolah,
2016 anggota TNI dan Polri,
Pasukan Pengibar
Bendera bersama
peserta lain berbaur
memenuhi lapangan.
Bendera merah putih
gagah berkibar di
pucuk tiang, menjadi
latar depan bukit hijau
tempat upacara pagi
ini. Di balik bukit itu,
negeri jiran berada.
165
S
aya angkat kembali kamera ke atas hidung.
Memicingkan mata dan mulai membidik. Dari
lantai dua Pos Lintas Batas Negara (PLBN),
kamera menangkap kemeriahan hari ini.
Waktu masih menunjukkan pukul 08.00 pagi,
tanggal 17 Agustus 2018, di Entikong, Kalimantan Barat.
Puas mengambil banyak gambar, saya masukkan
kamera ke dalam ransel. Menuruni tangga dengan hati-
hati, saya mencari sudut yang bisa digunakan untuk
membuka laptop dan mulai menulis hasil liputan pagi
ini.
Gambar peringatan tujuhbelasan di perbatasan itu
segera saya kirim ke teman-teman jurnalis. Ternyata,
hasil bidikanku digunakan banyak media online nasional
dengan jumlah jutaan pembaca.
17 Agustus 2018
Langit masih gelap saat semua perlengkapan saya cek
kembali. Kamera, baterai cadangan, charger, memory
card. Sip, all clear. Satu persatu saya masukkan ransel.
Ponsel, notes, pulpen, dan handuk kecil tidak lupa saya
jejalkan juga.
Kemeja putih yang saya siapkan malam sebelumnya
segera saya pakai. Dilengkapi celana panjang cargo, kaus
kaki, dan sneakers nyaman. Tanda pengenal Kantor Staf
167
Presiden ikut menghiasi bagian depan kemeja. Tidak
ketinggalan topi hitam andalan yang selalu menemani
setiap kali tugas ke lapangan.
Lokasi tempat upacara tidak jauh dari penginapan.
Sekitar 20 menit menggunakan mobil. Umbul-umbul
berwarna cerah menghiasi perjalanan menuju
perbatasan. Bak sebuah festival.
Sesampai di Pos Perbatasan Entikong, puluhan siswa
sekolah dasar dan menengah mulai bersiap di lapangan.
Anggota TNI dan Polri tampak gagah dengan seragam
upacara dan segala atributnya. Tidak ketinggalan
pemuda pemudi suku Dayak yang rupawan dengan baju
adatnya. Para veteran hadir bersongkok oranye dan pin
merah putih yang tersemat. Pasukan pengibar bendera
tampak ksatria berseragam putih bersih. Sikap dan jiwa
nasionalisme terpancar kuat dari mereka yang selama
ini berada di perbatasan dan menjaga wilayah Indonesia.
Hari ini, pertama kalinya upacara Hari Kemerdekaan
RI digelar di PLBN Entikong sejak berdiri 29 tahun lalu.
Antusiasme dirasakan semua orang di sana, termasuk
saya. Hari itu juga saya melihat komitmen ‘membangun
dari pinggiran’ sudah terwujud. Entikong adalah
beranda.
Saya mulai berkeliling mencari lokasi strategis
mengambil gambar. Hingga balkon lantai dua gedung
PLBN menjadi pilihan. Dari sini, luas lapangan upacara
bisa masuk semua dalam bingkai bidik kamera. Bukit
hijau di hadapan, membuat latar belakang makin ciamik.
Upacara bendera dimulai. Detik demi detik jalannya
upacara saya abadikan. Setiap sudut lapangan terekam.
169
Charine Pakpahan
Anak Baru, Typo,
dan Mimpi Buruk
Lulusan
Fakultas Dini hari 20 Oktober
Hukum
Universitas
2018, tepat 4 tahun
Gajah Mada. Presiden Joko Widodo
Bergabung
di KSP sejak memimpin Indonesia.
2018 Ponsel bergetar tanpa
henti membuat saya
terjaga. Kesal, karena
baru memejamkan
mata beberapa
jam, setelah lelah
berminggu-minggu
mengejar selesainya
Laporan 4 Tahun
Pemerintahan Joko
Widodo – Jusuf Kalla.
Laporan ini baru
beberapa jam lalu
diluncurkan Kantor
Staf Presiden.
171
S
etelah de
ngan susah payah membuka mata
yang sudah terlanjur lekat, saya pun akhirnya
membaca pesan WhatsApp yang bertubi-tubi
masuk itu.
Ternyata ada kabar buruk. Ada kesalahan
pengetikan di laporan itu. Yang seharusnya “Peningkatan
Daya Saing” tertulis “Peningkatan Daya Asing”. Semua
pihak, mulai dari atasan dan pimpinan Kantor Staf
Presiden, Staf Khusus Presiden hingga tim Komunikasi
Presiden meminta saya segera mengoreksi kesalahan
tersebut. Ditengah-tengah mulai memanasnya tahun
politik, typo tersebut sangat sensitif dan dapat berdampak
negatif.
Kantuk semerta-merta hilang. Berharap belum
terlambat mengubah dokumen tersebut, saya memulai
proses penyuntingan dan pengunggahan ulang dokumen
laporan tahunan hasil kinerja pemerintahan. Walaupun
laporan berhasil diubah dini hari, hingga siang ponsel
masih terus bergetar, ramai dengan pesan dari teman-
teman di lingkungan istana agar kesalahan pengetikan
harus segera diubah.
Belum genap dua bulan menjadi tenaga ahli di Kantor
Staf Presiden, saya ditugaskan untuk ikut serta dalam
tim inti penyusunan Laporan 4 Tahun. Perasaan senang
ketika mendapat penugasan tersebut karena merupakan
tugas besar pertama di Kantor Staf Presiden. Namun
ketika diberi arahan bahwa laporan pertanggungjawaban
kinerja pemerintah ini harus selesai dalam waktu empat
minggu, rasa tertekan dan tegang mulai bercampur
aduk. Penyusunan laporan yang akan menjadi referensi
173
menjadi senjata untuk penyebaran hoaks atau dipelintir
menjadi disinformasi yang selama ini menjadi musuh
yang diperangi pemerintahan Joko Widodo. Segala
detil Laporan 4 Tahun membutuhkan pertimbangan
yang matang, bukan hanya dari pengolahan data yang
terkumpul, tetapi juga tata letak, warna hingga tema
besar laporan yang dinegosiasi dan diperdebatkan
berhari-hari oleh para pemangku kepentingan.
Saking seringnya menatap layar proyektor dan
menyusun laporan, saya sering terbangun dari mimpi
buruk soal data, diagram dan grafik yang saya susun
sendiri. Hingga saya berjanji kepada diri sendiri bahwa
setelah laporan ini selesai disusun, saya akan puasa
seminggu dari mengerjakan presentasi dalam bentuk
apa pun.
Detik-detik peluncuran Laporan 4 Tahun menyajikan
ketegangan lainnya. Lima jam sebelum penayangan
laporan di laman web KSP dan Presiden, data tentang
stunting dikabarkan ada perubahan. Apesnya, perubahan
tersebut tidak dapat segera diverifikasi. Padahal, anti-
stunting merupakan program prioritas Presiden dan data
penderita stunting dipastikan menjadi salah satu bagian
yang menjadi sorotan.
Menunggu verifikasi hanya dengan duduk di depan
laptop menunggu arahan, membuat saya keringat
dingin. Apalagi ketika jarum jam semakin mendekati
pukul 23.59 WIB pada 19 Oktober 2018 itu. Sementara
kabar verifikasi tak juga datang, suasana pun semakin
mencekam. Nasib saya dipertaruhkan, karena sayalah
175
Annisa Dinta
Mengkritik
Presiden
Direkrut Istana
Lulusan Ilmu
Komunikasi
Awalnya iseng-iseng
Universitas saja. Saat itu saya sedang
Indonesia.
Bergabung
diterpa galau tingkat
dengan KSP dewa dengan urusan
sejak Juli
2019.
skripsi. Anak zaman now,
kalau galau jemarinya
pasti berkelana ke sosial
media. Treet…..tet…tik tik
tik. Dan, terbawalah saya
menonton vlog terbaru
Presiden Joko Widodo.
Walau kontennya
monoton tapi karena itu
karya orang nomor satu
setanah air, jadi ketagihan
juga buat stalking. Hingga
akhirnya…“Hmm…,
boleh juga nih kalau
topik skripsi tentang vlog
Jokowi”
177
M
aka, jadilah saya sebagai peneliti dan
observer rentetan video besutan sang
Presiden. Demi mendapatkan data,
saya harus mengajukan ijin ke istana.
Memasuki istana, jelas menjadi
catatan tersendiri bagi saya. Pertama kali datang ke Bina
Graha, salah satu bangunan di kompleks Istana, saya
cengar-cengir sendiri. Apalagi waktu dapat kartu visitor
dengan tulisan Tamu Istana. Kartu tamu itu saya jepret,
dan post di Instagram Story dengan tambahan teks “Wish
me luck” dan emoji bendera Indonesia.
Berbulan-bulan melengkapi penelitian, usai juga.
Semua data dan konten video Presiden sudah ditelaah
untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana.
Menariknya, walau skripsi saya mengkritisi habis vlog-
nya Presiden ternyata malah menarik perhatian Kantor
Staf Presiden (KSP). “Kalau VLOG Presiden kurang
mumpuni lalu bagaimana vlog ideal sesungguhnya?”
begitu pertanyaan mereka.
Bukannya protes, KSP malah memberi tantangan
dengan memberi saya job. Jelas langsung saya terima.
Daripada dituding kritikus ‘om-do’ (omong doang) seperti
yang sekarang banyak berseliweran di jagad maya.
Tugas perdana di KSP membuat video kisah penerima
Kartu Indonesia Sehat di Banyuwangi, Jawa Timur.
Mencari narasumber pun, tidak gampang. Tapiii…..
setelah hilir mudik mencari, akhirnya ditemukan juga.
Ibu Asiah namanya. Tua, rapuh, kurus dan tidak
lancar berbahasa Indonesia. Kalau bicara ia selalu
179
Pulang ke Bina Graha, saya bergegas ke ruang editing
video. Tak sabar ingin meracik dan melihat ulang
tayangan Ibu Asiah. Semua ilmu grafis dan video editing
yang saya pelajari di kampus diaplikasikan. Konten
menurut saya sudah sangat kuat karena memiliki human
interest yang sangat dalam. Saat menemukan beberapa
shoot yang shaky karena sedang menahan nangis, emosi
langsung teraduk aduk kembali.
Video diunggah ke akun media sosial Kantor Staf
Presiden dengan judul “Kisah Bu Asiah Penderita
Katarak di Banyuwangi.” Video tersebut juga diupload
di Instagram KSP. Saya tidak mau ketinggalan. Link video
saya bagikan ke seluruh akun sosial media termasuk ke
whatsapp group. Bangga sekali rasanya.
Rasa bangga dan haru semakin meluap saat melihat
begitu banyak respon positif dari masyarakat atas video
tersebut. Komentar yang dibagikan hampir semuanya
positif: “Sehat selalu ibuk semoga diberi panjang umur,dan
untuk Bapak Jokowi sangat luar biasa sudah bisa membantu
orang yg kurang mampu ,semoga bapak diberi kesehatan
panjang umur.”
Rasa haru yang saya rasakan berlangsung berhari-
hari bahkan berbulan-bulan karena mengetahui bahwa
ribuan mata masyarakat Indonesia telah melihat
hasil video tersebut. Tak sedikit juga teman main atau
sekampus yang mengaku ‘baper’ (terbawa perasaaan)
dan meneteskan air matanya melihat video ini.
Kesuksesan Video Asiah kemudian diikuti dengan
video testimoni sejenis, di kota lain. Ternyata banyak
181
182 — Bukan Remahan Rengginang
Kedeputian V
Kajian dan
Pengelolaan Isu
Politik
Hukum
Pertahanan
Keamanan
dan Hak Asasi
Manusia
Strategis
183
Gemuruh yang
Kembali Lagi
A
da satu masa di mana terminologi orang
muda menjadi sesuatu yang ganjil. Ketika
kata “pemuda” dibajak menjadi sekadar
semangat, dan usia tak lagi menjadi
ukuran. Jejak mereka dalam radar politik
Indonesia pun sulit ditemukan di awal reformasi.
Namun itu dulu, tidak lagi di era masa kini. Gemuruh
anak muda itu kini menemukan tempatnya di era
Presiden Joko Widodo. Di Gedung Bina Graha, Kantor
Staf Presiden – sayap timur Istana tempat ngantor
Presiden Jokowi, ada anak-anak muda cemerlang di
zamannya.
Sebagian dari mereka, lulusan kampus ternama di
Indonesia, juga dunia. Mereka juga datang dari beragam
latar belakang, suku, agama, status sosial juga gender.
Mereka diikat satu kesamaan: tekad membangun
Indonesia lebih baik. Indonesia yang damai, Pancasilais
dan demokratis.
Banyak yang mereka tangani di Kedeputian V,
sebuah kedeputian dengan spektrum isu amat luas
dan urusan yang ngeri-ngeri sedap: dari urusan
pertanahan hingga pertahanan, soal perempuan hingga
Jaleswari Pramodhawardani
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Politik,
Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia
Strategis
185
Annisa Rizkiayu
KSP Bukan
Koperasi
Simpan Pinjam
Lulusan
pascasarjana Tawaran bergabung
Fakultas
Psikologi,
KSP datang tiba-tiba
Universitas di tahun 2015. Di
Padjajaran.
Bergabung suatu sore di pinggir
dengan KSP
tahun 2016
Pantai Teluk Damai,
Banyuwangi, dosen
pembimbing thesis
saya melempar
tawaran. Dia bilang,
butuh bantuan
melakukan penataan
organisasi dan SDM di
lembaga kepresidenan.
“KSP itu West Wing-
nya Indonesia,”
katanya.
187
S
aya belum pernah mendengar instansi bernama
KSP. Tapi saya penasaran dengan makna West
Wing yang biasanya melekat dengan White
House, kantor kepresidenan Amerika Serikat.
Memangnya di Indonesia ada?
Iseng, saya mencari di Google soal KSP. Hasil pencarian
pertama masih random, yang muncul pertama Koperasi
Simpan Pinjam, dan informasi pencarian lain yang
tidak relevan. Setelah lama berseluncur baru tahu kalau
KSP kepanjangan dari Kantor Staf Presiden. Sebuah
lembaga bentukan Presiden Joko Widodo yang bertugas
membantu kerja Presiden.
Pendek cerita saya menemui dosen di kampus. Dia
menjelaskan karena KSP merupakan lembaga baru,
mereka butuh masukan penataan organisasi dan SDM.
Mereka merasa perlu berubah karena ada arahan baru
dari Presiden terkait perubahan kepemimpinannya.
Harus ada penyesuaian tugas dan fungsi lembaga.
Proyek cuma sebulan. Karena durasinya pendek saya
mau terlibat. Sembari menunggu proses pengangkatan
di kantor swasta.
Rapat pertama saya lalui. Kesimpulannya KSP memang
harus merumuskan sistem manajemen organisasinya.
KSP didirikan secara mendadak dan tidak ada patron
kelembagaannya, sehingga sistem manajemen tersusun
sembari berjalan.
Sistem kedeputian yang terbentuk belum semua
memiliki tugas dan fungsi yang jelas. Yang menarik,
KSP dapat mengangkat staf profesional dari luar
189
‘menyingkirkan’ staf-staf yang bisa membuat citra buruk
KSP.
Saya tidak menyangka, resistensi itu sampai dalam
bentuk surat kaleng dan pesan singkat ancaman.
Minggu-minggu pertama bergabung dengan KSP, saya
suka merasa diikuti orang tak dikenal saat pulang kantor.
Jalur pulang harus berganti setiap beberapa hari, agar
jejak tidak mudah diprediksi.
Ancaman secara langsung pun saya alami. Isinya rupa-
rupa, kebanyakan mereka meminta saya angkat kaki
dari KSP. Bahkan pernah ada yang berbisik, “Kamu tau,
sianida bisa mematikan hanya dengan ditiupkan. Mau
buktinya?”
Ketiadaan benchmarking organisasi seperti KSP di
Indonesia, juga menjadi tantangan tersendiri. Pekerjaan
saya bertambah dalam bentuk tugas-tugas baru yang
sebetulnya di luar kapasitas dan kompetensi saya.
Saya dituntut keluar dari kotak dan zona nyaman.
Misalnya diminta merumuskan usulan tugas dan fungsi
organisasi dalam bentuk drafting hukum Peraturan
Kepala Staf Kepresidenan. Belum lagi saat mendampingi
pengacara yang mewakili KSP di PTUN (Pengadilan Tata
Usaha Negara). Kami menghadapi tuntutan dari staf
KSP yang tersingkirkan. Frustasi dan lelah karena tugas
itu jauh dari latar belakang studi saya. Sempat terbesit
untuk berhenti dan kembali ke jalur swasta.
Namun sosok Presiden Joko Widodo dan Kepala Staf
Kepresidenan membuat saya harus kuat dan bertahan.
Terus bertahan menyelesaikan sesuatu yang sudah
191
Nadia
Misero
193
K
alau aku gagal, agenda pertemuan presiden
dengan 400 perempuan di peringatan
Hari Perempuan Internasional itu bakal
berantakan. “Mbak bikin videonya. Kalau
mereka bicara langsung, kelamaan. Presiden
ada acara lain,” begitu perintah pimpinan rapat dari
Sekretariat Presiden, siang itu.
“Bisa, Pak,” jawabku asal-asalan. Gila! Aku mengumpat
dalam hati sambil mencoretkannya pada kertas di
depanku. Bahkan huruf G terlihat seperti angka ‘6’.
Huh…!
Bergegas aku kembali ke ruanganku di Kantor Staf
Presiden (KSP) Bina Graha sambil mengutuki sepatu
hak tinggi yang menghalangi laju lariku. Masuk ruangan
Kedeputian V aku langsung mencari rekanku, Arju Falah.
“Mas Arju, tolong bantuin gue buat video,” kataku sambil
memasang wajah memohon.
“Buat kapan?” responnya datar. “Malam ini, Mas.
Besok pagi ditayangin di depan Presiden,” jawabku
dengan wajah memohon level dewa. Pupil mata Arju
membesar, dahinya berkerut. Celaka, kalau sampai dia
menolak.
“Mana bahannya?” tanya Arju, “Gak ada, aku cuma tahu
nama-nama mereka,” jawabku singkat sambil menatap
tajam matanya berharap belas kasihnya. “Mereka?”
tanya dia lagi. Aku menerangkan 16 perempuan yang
akan dibuat profil. Sore itu aku menagih foto atau apapun
yang bisa kupakai menjadi materi video. Aku pasang
tenggat waktu, pukul 6 sore.
idem. ke
tika itu. Sayang, acara
tersebut dibatalkan dua hari
Panggilan menjelang hari H. Meski ada
ketiga, yang memahami alasan pem
keempat, ba
talannya, namun banyak
kelima, juga yang patah hati. Ada yang
197
Muhammad
Rizki
Joyonegoro
199
S
aya dan semua orang di Bandara Zainuddin
Abdul Majid berlarian ke tempat terbuka.
“Tuhan! Tsunami! Ayah! Ibu! Tolong!” Semua
kata seakan-akan berlomba keluar dari mulut
warga yang berhamburan di sepanjang jalan.
Kedatangan saya di Lombok pada saat itu adalah
penugasan dari Deputi V Kantor Staf Presiden,
Jaleswari Pramodhawardani. Saya diminta mengawal
agenda kampanye peningkatan konsumsi ikan di Kota
Mataram, pada 6 Agustus 2018. Saya bersama satu staf
magang ditugaskan untuk berangkat lebih dulu sebelum
pelaksanaan lomba.
Kaget. Bingung. Takut. Kedatangan kami disambut
gempa. Lebih bingung lagi, saat itu tak ada staf ahli yang
turut serta. Tak ada senior, tempat kami bertanya.
Salah satu tugas saya adalah menggelar dan mengawal
perlombaan masak ikan di Kota Mataram. Mendapatkan
tugas pertama kali ke daerah yang belum pernah
didatangi sebelumnya, jelas membuat saya sangat
antusias. Ada perasaan khawatir karena baru pertama
kali inilah saya harus menggelar dan mengawal lomba
memasak ikan nusantara tanpa ditemani staf ahli.
Lomba Masak Ikan Nusantara diselenggarakan untuk
mendorong peningkatan konsumsi ikan nasional, bagian
dari rangkaian perayaan HUT RI ke-73. Kampanye
ini penting karena konsumsi ikan dapat mengurangi
permasalahan balita stunting dan gizi buruk. Pemenang
dari setiap kota dan kabupaten akan diundang memasak
dan menghidangkan masakannya untuk Presiden pada
201
Kami ingin menang, berangkat ke Jakarta, dan memasak
untuk Pak Presiden. Jadi, biar pun habis gempa, lomba
harus jalan terus. Mudah-mudahan gempa susulan
berhenti.”
Semangat para peserta itulah yang membuat panitia
terpacu. Kami sepakat, lomba jalan terus. Kami tak
ingin mengecewakan peserta, juga ingin menunjukkan
semangat warga Lombok.
Sebagian besar peserta memang tak hadir. Maklum,
mereka harus menghadapi rumah rusak dan kepanikan
akibat gempa. Ada 10 dari 75 peserta yang masih ingin
mengikuti lomba.
Hati saya tersentuh mengetahui perjuangan salah satu
peserta, yaitu Ibu Baiq Damayanti. Gempa membuat
persiapan alat masak berantakan. Namun, berbekal
tekad kuat ingin bertemu Presiden, dia menguatkan diri:
harus tetap ikut lomba. Pukul 02.00 dini hari, dalam
kondisi mati lampu, saat orang lain berbaring di lapangan
terbuka, dia memberanikan diri masuk ke rumah.
Dia cari peralatan masak yang sudah berhamburan
dan mempersiapkan segala kebutuhan untuk lomba
keesokan hari.
Hari itu, suasana lomba cenderung senyap. Seluruh
yang hadir pun tak menyinggung soal gempa yang
menimpa malam sebelumnya. Hasil pengumuman
pemenang lomba masak ikan Kota Mataram telah
diumumkan. Terlihat rasa kecewa dari raut muka peserta
yang belum berhasil berangkat ke Jakarta. Namun di balik
kekecewaan tersebut, saya melihat sebuah tekad yang
203
Agus Catur
Aryanto
Putro
205
I
nilah lokasi pengungsian masyarakat penganut
aliran minoritas yang “terusir” dari Sampang.
Bangunan yang terletak di Pasar Induk Modern
Jemundo Sidoarjo, Jawa Timur, itu menampung
sekitar delapan puluh kepala keluarga dari
Kabupaten Sampang. Mereka terbuang, tergusur dari
tanah kelahirannya semata-mata karena menganut
aliran agama berbeda.
“Sudah tujuh tahun kami tinggal di sini, Mas,” kata
seorang pria lirih. Pria berusia tiga puluhan, dengan
parawakan gempal dan berkulit gelap, itu merupakan
salah satu warga penyintas yang saya temui.
lll
207
biasa yang ingin mengobrol. Percakapan pun mengalir
tanpa sungkan. Mereka memuntahkan uneg-uneg. “Ya,
sejauh ini semua terkendali. Tapi, kalau mereka tidak
kembali ke Islam yang kami yakini, jangan berani--berani
untuk kembali. Bisa ‘carok’ (bertarung) jadinya.”
Saya ingin sekali dengan lantang mendebatnya, “Pak,
kita ini beragam, Indonesia!”
Tapi, saya harus menahan diri, kalau tidak, misi
‘penyamaran’ bakal gagal total. Apalagi pendirian
penduduk di Sampang itu begitu kuat. Saya termenung
dalam kegetiran dan kebingungan. Entah rasa apa saja
yang berkecamuk di hati saat itu. Tapi kami memang
harus sabar. Bekerja pelan dalam diam.
Dan kesabaran itu membuahkan hasil. Dari berbagai
dialog, akhirnya ada secercah harapan terbentuknya
rekonsiliasi dua kelompok. Yaitu melalui isbat nikah
terpadu baik bagi penduduk di Sampang, mau pun
penyintas dari Sidoarjo.
Masih jelas terbayang ketika pelaksanaan isbat nikah
terpadu digelar di Pendopo Kabupaten Sampang. Para
pasangan yang rata-rata berumur, itu tampak sangat
antusias. Apalagi ketika Pengadilan Negeri kemudian
mengumumkan bahwa mereka sudah sah secara hukum
sebagai suami istri. Dan mereka pun berhak mendapatkan
buku nikah, mengurus kartu keluarga, mengurus akta
kelahiran anak, dan mengurus Kartu Keluarga Sejahtera,
Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan lain
sebagainya.
Rona bahagia terpancar dari wajah para peserta isbat
209
Dina Rifqiana
Menyandang Janji
untuk
Nyak Sandang
Lulusan
Hubungan Di antara tumpukan
Internasional,
Universitas
tugas di Kantor Staf
Paramadina. Presiden (KSP) salah
Bergabung
dengan satunya memastikan
KSP sejak
November
janji Presiden Joko
2015 Widodo terlaksana.
Kali ini saya mendapat
tugas untuk mengawal
janji Presiden kepada
Nyak Sandang di
Lamno, Aceh Jaya.
Nyak Sandang
merupakan salah
satu penyumbang
pembelian Seulawah,
pesawat pertama milik
Republik Indonesia.
211
P
residen pada Maret 2018 bertemu Nyak
Sandang. Atas jasa Nyak Sandang pada
Republik ini, Presiden menjanjikan tiga hal
sesuai permintaan. Pertama, katarak di mata
Nyak Sandang segera dioperasi, kemudian
memberangkatkan Nyak Sandang untuk menunaikan
Ibadah Haji. Terakhir, pembangunan masjid di kampung
halaman Nyak Sandang di Lamno.
Siang itu, sebuah pesan masuk ke ponsel saya. “Kamu
siap siap, besok pagi kita berangkat ke Aceh.” Duh,
badan terasa mau rontok. Saat itu, saya sedang bertugas
di Surabaya.
Perasaan campur aduk. Senang karena akhirnya bisa
pergi ke Aceh, daerah paling barat gugusan kepulauan
Nusantara. Kaget, karena harus menjalani proses
administrasi yang sedikit rumit untuk kebutuhan
perjalanan ke Aceh yang dimulai dari pemesanan
tiket, akomodasi, dan sewa kendaraan dalam waktu
yang sangat-sangat singkat. Saya hanyalah remahan
rengginang pada gugus tugas tersebut.
Segera siang itu saya kembali ke Jakarta. Semua bekal
dan baju kotor saya bongkar dari tas. Segera saya ganti
dengan stok pakaian bersih yang masih tersedia di
lemari. Bayangan tentang Aceh membuat saya susah
tidur. Penasaran sekali. Malam itu mata saya gagal
terpejam dengan layak.
Esoknya, kaki akhirnya menjejak di Aceh Jaya. “Inilah
Aceh. Tempat yang pernah diterjang dahsyatnya tsunami,
juga tempat yang memiliki kopi terbaik,” bisik Ibu Deputi
213
Lamno kami lewati. Mobil mulai beringsut lambat.
Beberapa ratus meter kemudian mobil berhenti, kami
sampai di tujuan.
Di Lamno, kami disambut meriah keluarga Sandang.
Anak, cucu, dan kerabat, semua menyambut dengan
pakaian rapi. Para pria mengenakan sarung khas
Aceh. Sementara para perempuan mengenakan cadar.
Semuanya ramah, camilan serta kopi khas Aceh dengan
aroma pekat tersaji menggoda indra mata dan hidung
kami.
Tak lebih dari lima menit kemudian satu sosok renta
bersahaja berjalan mendekat dari kejauhan. Ia tampak
rapuh. Berjalan perlahan dituntun dua pria di setiap
sisinya. Mereka mendekati kami, hingga akhirnya duduk
bersama.
“Ini Nyak Sandang,” kata salah seorang kerabat.
Serentak semua berdiri dan bersalaman. Saya terpukau.
Saya pikir Nyak Sandang tadinya seorang perempuan,
ternyata pria.
Ia berambut putih, menggunakan peci, dan tongkat
untuk menyangga jalannya. Suaranya parau dan bergetar
saat berbicara (dalam bahasa Aceh). Umurnya mendekati
91 tahun. Darah Portugis yang mengalir masih bisa
dilacak dari matanya yang biru.
Setelah percakapan ringan membuka perkenalan,
kami meninjau lokasi masjid yang akan dibangun.
Di lokasi itu saya sempat tertegun. Lahannya nyaris
dipenuhi puing-puing bangunan yang terbengkalai dan
dipenuhi rumput. Sungguh terharu. Apalagi menyadari
215
R. Akbar Fajri Sumaryanto
Perjalanan
Sang Atma
di Tanah Papua
Lulusa Magister
Psikologi “Bapak, beta ucapkan
Profesi,
Universitas
terima kasih kepada
Pajajaran. Bapak dan kawan-
Bergabung
dengan KSP kawan lain, jauh-
sejak Januari
2017
jauh dari Jakarta su
mau datang kemari
mengajarkan kami.”
Logat khas Indonesia
Timur itu keluar dari
mulut seorang mama
dari Dinas Pendidikan
salah satu kabupaten
di Papua Barat.
217
M
endengar itu, perasaan riuh bergejolak.
Haru sekaligus bangga. Menatap wajah-
wajah mereka yang tersenyum lebar
dan ramah. Sebuah tanda bahwa
kehadiran kami punya arti khusus di
tengah-tengah mereka.
Di antara penugasan negara berkeliling negeri,
perjalanan ke tanah Papua bukanlah sekedar misi
mengajak maju saudara-saudara di timur Indonesia demi
masa depan yang lebih cerah. Tapi, perjalanan ini juga
tentang penuntasan gejolak jiwa. Gejolak ‘atma’ yang
terpendam.
Kamis, 28 Februari 2019 itu adalah hari dimulainya
Agenda Rapat Koordinasi Teknik (RAKORTEK) bagi
seluruh Organisasi Perangkat Daerah di Papua Barat.
Saya, satu-satunya yang mewakili Kantor Staf Presiden
(KSP) saat itu. Ini kehadiran Pemerintah Pusat yang
pertama kali sejak hadirnya kebijakan Instruksi Presiden
Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan
Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat.
Manokwari adalah ibukota Provinsi Papua Barat. Kota
injil bersejarah di mana kisah peradaban di tanah Papua
berawal. Damainya kota Manokwari pagi itu terasa
kental. Perjalanan perdana ke tanah Papua selama 5
jam meninggalkan penat, namun hilang begitu saja
saat menuruni anak tangga pesawat. Hangatnya sinar
matahari dan segarnya udara pagi menjadi penyambut
terbaik. Keduanya kompak memberikan ketenangan.
219
kebijakan semu semata, melainkan demi memberikan
kehidupan yang sama, demi Indonesia yang setara.
Banyak pertanyaan sederhana terlontar pada forum
ini. Hingar bingar antusiasme peserta yang tak sabar
mendapat giliran bertanya menggambarkan kondisi saat
itu.
“Bapak, bagaimana caranya kami membangun sekolah?
Kami mau anak-anak di distrik kami dapat bersekolah dan
tidak usah menempuh puluhan jarak km”.
“Bagaimana kami bisa membangun puskesmas di distrik
kami?”
“Mengapa koperasi yang kami bangun tidak memberi
keuntungan?”
Saya tertegun. Pemahaman akselerasi yang saya
siapkan di kepala, buyar. Ternyata implementasi
akselerasi yang diharapkan oleh pemerintah pusat
tidak berada pada poros yang sama dengan daerah.
Pertanyaan-pertanyaan tadi menyadarkan saya pada
realitas yang ada. Pada satu titik, di jam dan di tempat
yang sama, pikiran saya terbang. Membayangkan dan
menempatkan diri pada kedudukan yang sama dengan
mereka.
“Mama, apakah di dekat lokasi rencana pembangunan
sekolah tersedia mata air?
Tersedia jalur listrik?
Tersedia siswa didik?
Tersedia tanah hak ulayat?”
Bentuk jawaban yang saya berikan merupakan hasil
dari pergolakan batin bahwa merekalah pemeran
221
222 — Bukan Remahan Rengginang
Sekretariat
Kantor Staf
Presiden
223
Agar Zero Mistake
A
da pesan yang selalu layak untuk disimak:
jangan meremehkan anak-anak muda,
karena merekalah kekuatan perubahan.
Pesan inilah yang terngiang ketika
membaca kisah anak-anak muda di buku
ini.
Terus terang, saya geleng-geleng kepala. Tak
menyangka, apa yang mereka kerjakan dari balik pintu
Sekretariat KSP, sedemikan mengagumkan. Selama ini,
sebagai supporting system Kantor Staf Presiden, apa
yang mereka lakukan terkadang dianggap sepele. Tapi
kisah yang mereka tuliskan di buku ini menunjukkan
sebaliknya.
Anak-anak muda di bawah 35 tahun di Sekretariat
Kantor Staf Presiden sekilas memang terlihat bekerja
biasa-biasa saja. Mengurusi sekretariat yang menjadi
jantung gerak pelayanan Kantor Staf Presiden. Siapa
sangka mereka -- melalui tumpukan kertas dan
permohonan pembiayaan -- kerap berada di lini depan,
mati-matian menyiapkan upaya agar program prioritas
Presiden segera dieksekusi, juga diselamatkan. Tidak
ada yang tidak berharga dari kerja mereka yang cepat,
tuntas dan zero mistake.
Anak-anak muda itu berada di balik kerja keras,
Yan Adikusuma
Kepala Sekretariat KSP
225
Deden Irfan Arfyansyah
7.200 Menit
Jadi Cyber-
Paspampres
Lulusan
Pascasarjana Ruangan sunyi
Teknik Eletro
Universitas
itu sontak gaduh.
Indonesia. Serangan hacker mulai
Bergabung di
KSP sejak 2018. terdeteksi, makin
gencar dan menekan.
Ruangan yang aku
kira cuma “pos patroli
pengamanan”, kini
berubah menjadi
ruang kendali
peperangan.
Website presidenri.
go.id diserang!
227
10 Oktober 2018.
Kami mendapatkan alert. Ajakan untuk melumpuhkan
website presiden bertebaran di media sosial. Website
presiden HARUS DOWN lima hari lagi. Kami langsung
bekerja untuk mendeteksi, ajakan ini serius atau cuma
buat nakut-nakutin saja? Tengkukku dingin. Pasalnya,
tugasku di sini memastikan website presiden aman.
Nasibku dipertaruhkan.
Checklist persiapan hingga menyusun berbagai
skenario pertahanan kami susun hati-hati. Strategi A jika
begini, Strategi B jika begitu, Strategi C, D, E, F... dan
lain-lain. Ruangan riuh rendah. Ini perjuangan menjaga
marwah Presiden RI.
Kecemasan membuat durasi doa-doa kami lebih
panjang. Apa yang akan kami lakukan tidak ada artinya
tanpa restu Yang Maha Kuasa.
229
yang fokus pada laptopnya. Ada juga yang terpaku pada
laptop sekaligus berdoa. Aku.
Tepat pukul 20.00, serangan dimulai. Sial, ini bukan
hoax ternyata. Sistem mengeluarkan alert tanda trafik
abnormal. Ruang kecil kami riuh ketika satu persatu
serangan mulai terlihat. Ada yang memantau sistem. Ada
yang memonitor alert. Sebagian mengeksekusi alamat
IP yang menyerang. Sebagian lagi memonitor kondisi
web secara LIVE dari jaringan dalam maupun luar KSP.
Mereka serius mau menjatuhkan website presiden.
Bukan hanya bagiku, website ini dianggap penting oleh
para penyerang. Bagi mereka website ini penting untuk
dijatuhkan. Bagiku, website ini HARUS dipertahankan.
Website ini memiliki kedudukan dan kehormatan
yang sama dengan sosok Presiden. Representasi
Presiden di dunia cyber jelas harus kami pertahankan
kehormatannya. Tidak ada lagi jalan mundur atau
merasa takut. Ini peperanganku yang sebenarnya.
Satu jam berlalu tanpa kami rasakan. Kami masih
terus bahu-membahu meredam serangan yang terus
datang. Bagaikan berondongan peluru, tanpa ampun
mereka terus menembakkan amunisinya. Kadang kami
terdesak. Tapi kami terus bertahan. Ada kalanya juga
kami bisa menghabisi mereka.
Satu jam serangan ini menguji kami. Hingga titik
terendah. Semakin lama, kami semakin gusar. Marah.
Hantaman tidak kunjung surut. Aku terus bertahan
dengan segala upaya dan semangat yang kumiliki. Aku
setia dan waspada untuk menjaga kehormatan Presiden,
melalui website ini.
231
Drajat Jiwandono
Meringkas
Data Bencana
di Satu Layar
Lulusan D4 -
Manajemen Entah apa rencana
Persandian,
Sekolah
Tuhan. Takdir
Tinggi Sandi membawa perjalanan
Negara (STSN).
Bergabung hidup saya dan ayah
ke KSP Tahun
2018
terikat pada sebuah
kata yang sama,
“dashboard”. Ayah saya
yang bekerja sebagai
sopir, setiap hari akrab
dengan dashboard.
Lewat dashboard ayah
memantau kecepatan,
putaran mesin, hingga
sisa bahan bakar mobil
yang dikemudikannya.
233
S
ementara saya yang bekerja sebagai analis Data
dan Informasi di Kantor Staf Presiden (KSP)
bertugas membuat dashboard perkembangan
program-program prioritas Presiden. Sebut
saja di antaranya dashboard untuk memantau
program pengentasan kemiskinan, profil kemiskinan,
hingga dashboard pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan melihat dashboard itu, para tenaga ahli yang
bekerja di KSP bisa bekerja dengan lebih efisien. Cukup
sekilas menatap dashboard itu mereka bisa mendapat
gambaran perkembangan dan kemajuan program yang
dikawal. Tapi dari sekian banyak dashboard yang saya
terlibat pembuatannya, paling berkesan saat membuat
dashboard gempa yang berujung tsunami di Palu dan
Donggala akhir 2018.
Saat itu begitu banyak informasi dan laporan yang
masuk dari berbagai lembaga pemerintah. Sebut saja
diantaranya dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan
Bencana), Basarnas (Badan SAR Nasional), dan BMKG
(Badan Metrologi, Klimatologi dan Geofisika).
Belum lagi laporan dari kementerian misalnya
Kementerian Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan,
Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, TNI, Polri,
Kementerian Perhubungan, hingga BUMN (PLN, Telkom,
Pertamina). Lembaga dan Kementerian itu setiap hari
memberikan laporan hasil pemantauan hasil kerja,
sebaran bantuan, hingga penanganan korban.
Masalahnya, data-data yang terkirim selain
susunannya berbeda juga formatnya tidak seragam.
235
sebagai orang awam menjadi sangat terbantu dengan
kesederhanaan informasi pada dashboard mobil. Untuk
tahu kecepatan putar roda cukup terwakili dengan jarum
speedometer. Untuk tahu lampu sein sudah dinyalakan
cukup melihat indikator hijau yang berkedip. Saya
harus membayangkan membuat dashboard pantauan
penanganan bencana dengan tampilan yang mudah
dibaca awam.
Beberapa kali konsep tampilan kami diskusikan dalam
tim. Hingga akhirnya sepakat pada sebuah tampilan
yang kami yakini bisa mewakili seluruh informasi yang
dibutuhkan. Saya mulai menggarap secara maraton
bersama tim. Data yang bentuknya beraneka ragam bisa
kami sajikan dengan sederhana.
Dashboard itu akhirnya rampung juga dan terus di-
update datanya setiap hari selama tiga pekan. Pada
halaman utama dibuka langsung muncul informasi dasar
seperti jumlah korban, dapur umum, layanan kesehatan,
pasokan bahan bakar, hingga sebaran dapur umum. Jika
ingin mengetahui lebih detil, tinggal klik dan informasi
yang lebih lengkap langsung tersedia.
Melalui Ibu Deputi V KSP Jaleswari, dashboard itu
dipresentasikan untuk dijadikan panduan laporan
harian kepada Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal (Purn.)
Dr Moeldoko. Ternyata Kepala Staf suka. Setiap saat
ingin memantau perkembangan penanganan gempa,
dashboard itu menyajikan informasi terkini. Rasanya
puas, hasil kerja kami bisa membantu tim penanganan
gempa bekerja lebih efisien.
237
M. Husnul
Hamdi Surya
Putera
239
T
erus terang ini adalah tugas pertama yang
harus saya lakukan sejak bekerja di Kantor
Staf Presiden (KSP) sebagai Analis Organisasi
dan Tatalaksana, pada 2015.
Tata Naskah Dinas ini sangat penting
pada sebuah kantor, apalagi kantor baru seperti KSP
yang baru seumur jagung itu. Fungsinya adalah untuk
tertib administrasi dalam penyusunan naskah kedinasan
dan pengurusan surat di lingkungan KSP. Sebagai
kantor yang selalu harus berhubungan dengan berbagai
lembaga pemerintahan yang juga tertib administrasi,
maka kehadiran Tata Naskah Dinas ini sesuatu yang tak
bisa ditawar lagi untuk segera diwujudkan.
Tata naskah dinas hanya salah satu dari berbagai tugas
yang harus dilakukan. Tugas lainnya, yaitu membuat
peraturan dan kebijakan di bidang ketatalaksanaan,
menyusun standar operasional prosedur yang relevan,
menyusun analis beban kinerja dan analisis jabatan,
menyusun laporan kinerja, menyusun rencana aksi,
sampai melakukan evaluasi organisasi.
Tak hanya itu, saya pun kini bertugas sebagai
staf pengelolaan keuangan. Pengurusan hak
keuangan, dokumen perjalanan dinas yang harus
dipertanggungjawabkan, pengurusan uang lembur dan
uang makan, dan tugas lainnya yang terkait dengan
pembendaharaan, juga menjadi tanggung jawab saya.
Di bagian pembendaharaan ini ‘drama’ kadang
muncul. Bahkan ada istilah yang jadi ‘legenda’ di KSP,
yaitu ‘Hilal hak keuangan belum kelihatan”. Maklum,
241
dokumen kerja yang lengkap. Sehingga para pegawainya
bakal bebas dari tumpukan kerja yang membuat stres,
seperti pada kantor sebelumnya yang saya tinggalkan.
Harapan tinggal harapan, saat itu rasa tertekan
muncul, terutama saat pekerjaan yang banyak harus
saya kerjakan sendirian. Padahal saat itu, saya pun belum
berpengalaman. Sampai kapan saya bisa bertahan?
Di antara ‘perjuangan’ berkompromi pada diri sendiri,
saya masih harus mengerjakan tumpukan pekerjaan
yang seolah tak pernah ada habisnya. Pernah tak
tahan, sampai benar solusi, kata saya saat itu. “Tidak
apa-apa, Nul. Staf itu emang harus bisa ini itu. Banyak
mengerjakan, banyak ilmu yang kau bisa dapat. Semua
yang kau kerjakan bakal bermanfaat nanti.” Begitu
ucapan seorang senior saat memberi nasihat.
Akhirnya saya tahu, saya butuh menenangkan hati
dan relaks. Saya memutuskan cuti beberapa hari. Pergi
ke tempat yang lebih sepi. Saya pun menyendiri dan
melakukan kontemplasi dan belajar membuka diri serta
berbagi.
Kemudian saya pun sadar untuk meningkatkan
kualitas diri. Saya mulai banyak bertanya pada berbagai
teman dan juga senior. Saya juga mulai banyak membaca.
Mencari bahan-bahan yang ada. Teristimewa, atasan
pun banyak membantu dan mendukung dengan nasihat
dan semangat.
Proses yang berjalan hingga 2,5 bulan itu mulai
menampakkan hasil. Dunia tidak lagi gelap gulita.
Banyak cahaya yang membantu menerangkannya.
243
Restia Dwi
Oktavianing
Tyas
245
S
aya tentu saja tak ingat dengan semua surat.
Kendati demikian, saya meminta penelepon
untuk menceritakan permasalahan yang
disampaikan dalam surat tersebut. Sejurus
kemudian ibu tersebut lancar menceritakan
kisah hidupnya. Dari ceritanya, dia adalah isteri seorang
pegawai negeri sipil. Ia dan suami menjalani hubungan
suami istri yang terpisah jarak dan waktu, LDR (long
distance relationship), hingga 15 tahun.
Belasan tahun menjalani LDR dan belakangan
hubungan keduanya memanas berujung kandas. Sang
ibu tak ingin keluarganya berantakan karena sudah
memiliki dua anak. Saya yang tadinya sebal mendadak
terharu dan memilih untuk menjadi pendengar yang
baik.
Tapi, sebenarnya saya masih belum klik, apa hubungan
kisah ini dengan KSP?
Di tengah mendengarkan, saya mulai teringat dengan
surat yang berisi persis sama dengan cerita sang ibu.
Setelah ibu itu selesai bercerita, saya sampaikan bahwa
surat sudah diterima. Saya meminta ibu itu menghubungi
kami kembali di kemudian hari.
Setelah telepon ditutup, saya bergegas mencari
surat si ibu. Saya baca ulang isinya. Dalam isi surat
sang ibu menuliskan keinginannya agar pemerintah
memindahkan tugas kerja suami ke daerah tempat
keluarganya tinggal. Oooo… ini tho, kaitannya dengan
KSP.
Ini bukan pertama kali saya menerima pengaduan
247
orang baru sulit saya lakukan. Kesulitan itu muncul
karena kurangnya kepercayaan diri yang terus terang
saja jarang saya latih.
Tapi semua berubah sejak saya memasuki dunia kerja
dan mengantarkan saya masuk Kantor Staf Presiden.
Awal mula bekerja di KSP saya menganggap job desk yang
diberikan bukan passion saya. Namun seiring perjalanan
karir berkecimpung dalam tugas administrasi, saya
mulai menikmati dinamikanya. Tugas saya memaksa
saya berkomunikasi dengan banyak pihak, mulai dari
Kementerian dan Lembaga pemerintah, kalangan
swasta, hingga masyarakat umum.
Harus saya akui mengelola administrasi persuratan
tak mudah. Saya wajib tahu perjalanan proses sebuah
surat terbit atau sebuah surat sampai ke tangan pejabat
yang tepat. Satu surat bisa menjadi penting karena bisa
menginisiasi sebuah kebijakan atau program pemerintah
yang berpengaruh pada hajat hidup orang banyak.
Administrasi surat-menyurat bukan tugas sepele, tetapi
ia bisa menjadi bagian yang menentukan.
Adapun untuk surat-surat yang masuk atau berasal
dari pihak eksternal, saya selalu membuka dulu dan
membacanya. Dengan membaca isi surat dari pihak
luar, saya menjadi tahu topik yang dibahas. Tak jarang
topik permasalahan dalam isi surat justru mengenai
topik sosial, ekonomi, politik yang sedang viral dalam
pemberitaan. Namun tak sedikit surat yang berisi
permasalahan pribadi dan keluarga.
Sering juga surat dari masyarakat ditindaklanjuti
249
Teguh
Sulistyo
251
I
ni salah satu kejadian di unit kami.
Di lingkungan Kantor Staf Presiden (KSP), tugas
saya mungkin tidak terdengar heroik. Saya dan
ketiga rekan lain tidak berhadapan dengan ribuan
buruh mengamuk atau pengungsi yang tersuruk
konflik sosial. Saya juga tidak pernah abruk-abrukan naik
jeep 4x4 di pedalaman Papua untuk menjangkau suku
terasing. Namun rutinitas kami hanya bisa dikerjakan—
dengan baik dan benar—oleh mereka yang teruji telaten,
teliti dan sabar membaca detil surat demi surat yang
masuk dan keluar istana.
Lah, tapi itu buktinya salah?
Okelah, saya akui itu sebuah keteledoran.
Tapi sudah lebih dari tiga tahun saya bekerja di
KSP. Sehari, jika dirata-rata, saya dan tim memeriksa,
membaca mengirim dan menerima lebih dari 100 surat.
Kalau ditotal, ada sekitar seratus ribu surat terkirim dari
ruang kami.
Maka, satu undangan nyasar masih bisa lah ditoleransi.
lll
253
Ibu Ari kemudian menjelaskan bahwa ada dua
organisasi dengan nama yang sama dan kedua organisasi
tersebut masing-masing mengaku sebagai organisasi
yang sah.
Waduh! Nah, kalau masalah dua organisasi bertikai
begini ini yang runyam.
Setelah permasalahan selesai, saya menanyakan
kepada tim, “Bagaimana memperoleh alamat Forum
Silaturahmi Keraton Nusantara?”
“Dari Google, mas.”
“Memangnya tim dari kedeputian tidak menginfokan
kalau ada dua organisasi dengan nama sama?” tanyaku.
“Tidak Mas.”
Lha ya ini. Masalah surat menyurat juga seringkali
salah karena faktor komunikasi yang kurang lancar.
Seandainya tim kedeputian menginfokan kepada kita
dari awal, mungkin kejadian ini tidak terjadi. Pun jika
kita melakukan konfirmasi ulang kepada tim kedeputian
permasalahan ini juga mungkin dapat dicegah.
Kesalahan pengiriman ini juga dapat ditarik mundur
dari proses surat keluar di KSP. Surat keluar yang berasal
dari setiap kedeputian diserahkan kepada kami untuk
diproses. Kami kemudian memeriksa kelengkapan serta
konten surat untuk menemukan kemungkinan terdapat
kesalahan.
Paling sering adalah kesalahan ketidaksesuaian antara
tanggal dengan hari. Juga kesalahan pada jabatan yang
dituju. Misalnya, mestinya direktur jenderal bukan
direktur. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah
255