Anda di halaman 1dari 48

RESIKO PERILAKU KEKERASAN, HALUSINASI, WAHAM

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok


Mata kuliah :

Keperawatan Kesehatan Jiwa II

Dosen Pengampu :
Ns. Jumaini, M.Kep, Sp. Kep. J

Disusun Oleh :

KELOMPOK 1 (A 2017 1)

Vioni Julika Putri Tri Indah Purnama Sari


Lina Triwahyuni Utari Dwisilvana
Rina Suprayanti Indah Afriani
Tresawati Kh. Utami Novia Agustina Manurung
Apriyani Darwin Suci Rahmatul Yasirro
Ayu Wahyuni Citra Pratiwi
Siti Jamariah Sri Wahyu Gusti Fajri

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “RESIKO KEKERASAN,
HALUSINASI, WAHAM”. Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih atas bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kesehatan
Jiwa II pada Semester ganjil (semester 5) Fakultas Keperawatan, jurusan Ilmu
Keperawatan tahun ajaran 2019/2020.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualikum Wr.Wb.

Pekanbaru, 4 Oktober 2019


Penyusun,

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….1

1.1.Latar Belakang………………………………………………………………………….1
1.2.Rumusan Masalah………………………………………………………………………2
1.3.Tujuan Penulisan………………………………………………………………………..2
1.4.Manfaat Penulisan………………………………………………………………………3
Skenario……………………………………………………………………………………..4
1.5.Step 1 (Terminologi)……………………………………………………………………5
1.6.Step 2 (Identifikasi Masalah)…………………………………………………………...5
1.7.Step 3 (Analisa Masalah)……………………………………………………………….6
1.8.Step 4 (Tema Dan Skema)……………………………………………………………...7
1.9.Step 5 (Learning Objektif)……………………………………………………………..8

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………….9

2.1.Definisi………………………………………………………………………………....9
2.2.Etiologi………………………………………………………………………………..10
2.3.Patofisiologi…………………………………………………………………………..12
2.4.Klasifikasi……………………………………………………………………………..13
2.5.Manifestasi Klinis…………………………………………………………………….15
2.6.Pohon Masalah………………………………………………………………………..16
2.7.Asuhan Keperawatan………………………………………………………................16

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………....25

3.1. Kesimpulan…………………………………………………………………………....25
3.2. Saran…………………………………………………………………………………..25

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….26
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fenomena gangguan jiwa yang terjadi pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat
signifikan, di setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita gangguan jiwa
bertambah. Berdasarkan data dari World Health Organitation (WHO) menyatakan
setidaknya ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental, dan massalah
gangguan kesehatan jiwa yang ada di seluruh dunia sudah menjadi masalah yangsangat
serius. Di Indonesia peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa cukup banyak, hal ini
dikarenakan dari berbagai aspek misalnya keadan ekonomi yang rendah, konflik yang sering
terjadi, bencana dimana-mana. Diperkirakan jumlah penderita sebanyak 23%. Dilihat dari
sejarahnya dahulu penanganan pasien gangguan jiwa dengan cara dipasung, dirantai, atau
diikat kuat-kuat lalu ditempatkan sendiri ditempat yang jauh atau bahkan dihutan bila
gangguan jiwanya berat. Secara nasional Penderita gangguan jiwa di Jawa Barat hingga saat
ini masih tinggi. Dengan jumlah mencapai 1,6 juta dan menduduki peringkat ke 14 dari 33
Provinsi (Riskesdas 2013).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan
(Herman,2011). Peran perawat dalam membantu pasien perilaku kekerasan adalah dengan
memberikan asuhan keperawatan perilaku kekerasan. Pemberian asuhan keperawatan
merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan
pasien, keluarga dan atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal
(Yosep,2011).
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta dan
keyakinan tersebut mungkin “aneh” (misalnya”saya adalah nabi yang menciptakan biji
mata manusia”) atau bias pula “tidak aneh” (hanya sangat tidak mungkin, contoh
masyarakat di surge selalu menyertai saya kemanapun saya pergi”) dan tetap dipertahankan
meskipun telah diperlihatkan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya (Purba dkk,
2008).
Kesalahan dalam menilai diri sendiri, atau keyakinan dengan isi pikirannya padahal
tidak sesuai dengan kenyataan. Atau kepercayaan yang telah terpaku/terpancang kuat dan
tidak dapat dibenarkan berdasarkan fakta dan kenyataan tetapi tetap dipertahankan. Jika
disuruh membuktikan berdasar akal sehatnya, tidak bias. Atau disebut juga kepercayaan
yang palsu dan sudah tidak dapat dikoreksi (Baihaqi, 2007).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, maka kami menarik beberapa
rumusan masalah, yaitu
1. Apa definisi dari Resiko Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Waham?
2. Bagaimana epidemiologi dari Resiko Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Waham ?
3. Bagaimana etiologi dari Resiko Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Waham ?
4. Bagaimana patofisiologi dari Resiko Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Waham ?
5. Apa saja jenis-jenis dari Resiko Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Waham ?
6. Apa saja manifestasi klinis dari Resiko Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Waham?
7. Bagaimana pohon masalah dari Resiko Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Waham?
8. Bagaimana Askep pada Resiko Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Waham?
1.3. Tujuan Penulisan
A. Tujuan Umum
Mahasiswa/i mengetahui dan memahami tentang Asuhan Keperawatan pada
Resiko kekerasan, halusinasi, dan waham.
B. Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari Resiko kekerasan, halusinasi, dan waham.
2. Mengetahui angka kejadian dari Resiko kekerasan, halusinasi, dan waham.
3. Mengetahui penyebab dari Resiko kekerasan, halusinasi, dan waham.
4. Mengetahui patofisiologi Resiko kekerasan, halusinasi, dan waham.
5. Mengetahui jenis-jenis dari Resiko kekerasan,halusinasi, dan waham.
6. Mengetahui manifestasi klinis dari Resiko kekerasan, halusinasi, dan waham.
7. Mengetahui gambaran pohon masalah sesuai kasus
8. Mengetahui asuhan keperawatan pada Resiko kekerasan, halusinasi, dan waham.

1.4. Manfaat Penulisan


A. Bagi mahasiswa/i
Mahasiswa/i dapat menjadikan makalah ini sebagai bahan bacaan tentang asuhan
keperawatan pada klien Resiko kekerasan, halusinasi, dan waham.

B. Bagi institusi
Sebagai sarana pengembangan dan pemahaman ilmu pengetahuan untuk
menunjang proses pembelajaran.
Skenario 2

Pasien Kambuh Lagi

Seorang laki – laki, usia ( 29 tahun ) dibawa kembali oleh pamannya ke RSJ karena marah-
marah, mengancam dan memukul ibunya, bicara dan tertawa sendiri, bicara kacau, tidak bisa
tidur, dan tidak mau makan. Pasien mengalami gejala-gejala ini dengan presipitasi ibunya tidak
mau membelikan handphone.

Tiga bulan yang lalu pasien pernah dirawat di RSJ dengan diagnosa keperawatan utama
halusinasi pendengaran. Pada saat itu, akibat halusinasi yang dialami pasien memukul tetangga
yang melintas didepan rumahnya. Pasien berpendidikan tamat SMP, pernah bekerja sebagai juru
parkir dan depot air isi ulang, saat ini tinggal bersama ibu dan ayah tirinya karena pasien telah
bercerai dengan istrinya sekitar 3 tahun yang lalu. Pasien memiliki 1 anak perempuan usia 5 tahun
dan sejak bercerai tidak pernah bertemu lagi dengan anaknya. Pasien tidak menyetujui ibunya
menikah lagi dan hal ini membuat pasien benci terhadap ibunya. Ayah pasien meninggal dunia
saat pasien berusia 13 tahun.

Pasien mengalami waham kebesaran dengan berulang-ulang menyatakan sedang berada


di papua mendampingi presiden Jokowi untuk mengamankan kerusuhan yang terjadi. Sesekali
pasien juga menyatakan bahwa dirinya merupakan adik angkat presiden Amerika Barrack
Obama. Pasien mengalami disorientasi orang dan tempat. Kadang-kadang pasien juga memiliki
pikiran magis. Pasien mengalami halusinasi pendengaran dengan frekuensi 2-3 kali sehari dengan
isi halusinasi suara perempuan. Saat halusinasi muncul, pasien mencoba menghardik halusinasi
sesuai dengan yang diajarkan perawat. Perawat juga telah melatih mengontrol marah dengan cara
fisik dan verbal. Pada perawatan sebelumnya, perawat juga telah memberikan intervensi kepada
keluarga pasien

.
1.5. Step 1 ( Terminologi )
1. Halusinasi Pendengaran: Keadaan seseorang yang mendengarkan sesuatu, misalnya
suara langkah kaki.
2. Pikiran Magis : Pikiran di luar akal sehat manusia yang berada di alam nyata,
misalnya terbayang ada hantu di sekitarnya.
3. Disorientasi : Kondisi mental yang berubah, tidak mengenal identitas dirinya
sendiri, dan
4. Waham Kebesaran: Pasien berpikir bahwa seolah olah dia memiliki jabatan yang
tinggi dan ini merupakan keyakinan yang salah dan tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada.
5. Menghardik : Teknik untuk membantu pasien mengalihkan halusinasinya
dengan cara meminta pasien untuk tutup telinga dan mengakatan kata-kata yang dapat
memotivasi diri.

1.6. Step 2 (Identifikasi masalah)


1. Apa yang membuat pasien marah-marah seperti kasus di skenario?
2. Apa yang dilakukan perawat dengan kondisi pasien seperti dalam skenario?
3. Mengapa pasien dapat mengalami kembali gejala tersebut setelah ibunya tidak mau
membelikan handphone?
4. Apa faktor yang dapat menyebabkan gangguan jiwa kembali lagi selain di dalam
skenario?
5. Apa yang membuat pasien mengalami halusinasi pendengaran?
6. Apakah penanganan yang dapat dilakukan keluarga sebelum membawa klien ke RSJ
setelah muncul tanda dan gejala gangguan jiwa?
7. Apakah masalah keluarga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa pada pasien?
8. Apakah ada hubungan riwayat hidup pasien dengan gangguan yang dialami pasien?
9. Bagaimana cara perawat mencegah agar anak pasien tidak ikut terkena gangguan jiwa
seperti ayahnya (pasien)?
10. Apa saja faktor presipitasi dan faktor predisposisi pada pasien dalam skenario?
11. Bagaimana cara perawat dalam mengatasi pasien dengan waham kebesaran?
12. Bagaimana cara perawat untuk membina hubungan saling percaya dengan pasien?
13. Apa yang diajarkan perawat kepada pasien gangguan jiwa dalam mengatasi
halusisaninya, dan berikan contohnya?
14. Apakah teknik menghardik ini efektif dalam mengatasi halusinasi pasien?
15. Bagaimana cara mengontrol marah fisik dan verbal pada pasien gangguan jiwa?
16. Apakah intervensi yang dapat diberikan kepada keluarga pasien gangguan jiwa?
1.7. Step 3 (Analisa masalah)
1. Karena adanya faktor pemicu, misalnya seperti yang ada di skenario bahwa pasien
meminta handphone kepada ibunya namun ibunya tidak membelikannya selain itu faktor
pemicunya juga bisa datang dari pengalaman yang sudah terakumulasi sebelumnya.
2. Perawat dapat melakukan beberapa hal, misalnya dengan memberikan obat penenang
dan memberikan obat sesuai dengan resep dari dokter, kemudian perawat juga harus
melakukan pengkajian secara head to to kepada pasien.
3. Hal itu bisa terjadi karena ada faktor pemicunya, dan setiap gejala gangguan jiwa
kembali tidak semua faktor pemicunya sama.
4. Gejala gangguan jiwa dapat kembali lagi dengan adanya beberapa faktor pemicunya,
misalnya ada sesuatu yang mengingatkan tentang masa lalu yang membuatnya merasa
tertekan.
5. Karena pada dasarnya orang dengan gangguan jiwa yang terkena dari bagian tubuhnya
adalah sistem neurologisnya, dimana pola pikir dan persepsi orang dengan gangguan
jiwa ini sudah tidak sama lagi dengan orang yang normal, oleh karena itu orang dengan
gangguan dapat mengalami halusinasi seperti halusinasi pendengaran.
6. Apabila ada anggota keluarga yang mengalami gejala dari penyakit gangguan jiwa,
sebelum dibawa ke RSJ, seharusnya keluarga bisa membawanya ke psikiater,bisa juga
dengan membawa nya untuk di rukiyah atau langsung di bawa ke RSJ agar bisa ditangani
dengan cepat dan diberikan pengobatan yang lebih optimal.
7. Bisa, karena masalah keluarga yang dialami pasien sangat kompleks mulai dari latar
belakang keluarganya serta perceraian yang dialaminya dengan istrinya.
8. Sangat ada hubungannya, karena bisa juga dilihat dari skenario bahwa sebagian besar
faktor pemicu yang membuatnya mengalami gangguan jiwa adalah keluarganya sendiri,
contohnya klien bisa mengalami gangguan jiwa karena rasa terpukulnya saat ayah nya
meninggal, ibunya menikah lagi, dan perceraian dengan istrinya.
9. Caranya dengan meminta keluarga untuk melakukan kolaborasikan antara lingkungan
keluarga,dan lingkungan luarnya dengan baik, misalnya dengan memberikan motivasi
kepada anak dan menuntunnya untuk lebih religius agar dapat mengurangi resiko anak
terkena gangguan jiwa seperti ayahnya.
10. Faktor Presipitasi dimulai dari tiga bulan sebelum masuk ke RSJ, dan ibunya tidak mau
membelikan handphone dan Faktor Predisposisinya dimulai saat ayahnya meninggal,
ibunyanya menikah lagi, perceraiam dengan istrinya.
11. Ada beberapa cara yang harus dilakukan perawat untuk mengatasi waham kebesaran
pada pasien gangguan jiwa, antara lain :
a. Jalin hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien dengan gangguan
jiwa.
b. Alihkan pasien dengan kegiatan positif lainnya.
c. Bentuk kolaborasi antara perawat dengan dokter untuk kombinasi pengobatan
dan perawatan yang akan diberikan kepada pasien.
d. Meminta keluarga untuk ikut serta dalam mengatasi waham kebesaran ini,
misalnya minta keluarga untuk memanggil ustadz dan melakuka dzikir di depan
pasien atau sesuai dengan keyakinan masing-masing.

12. Dengan cara melakukan komunikasi teraupetik agar pasien merasa nyaman dan percaya
dengan kita dan lakukan pendekatan kepada pasien.
13. Bisa dengan cara menghardik atau membantu pasien agar bisa mengalihkan
halusinasinya, contohnya dengan meminta pasien untuk tutup telinganya dan
mengucapkan kata-kata motivasi seperti “ini tidak nyata adanya”.
14. Keefektifan dari teknik menghardik ini tergantung pada pasiennya lagi, karena meskipun
pasien sudah melakukan teknik menghardik seperti yang sudah diajarkan perawat,
halusinasinya bisa kambuh lagi kapanpun itu,
15. Cara mengontrol secara Fisik, bisa dengan memberikan obat dan terapi khusus kepada
pasien, sedangkan kalau secara Verbal, bisa dengan melakukan komunikasi teraupetik
dan perlakukan pasien dengan baik.
16. Intervensi yang harus dilakukan kepada keluarga pasien, antaralain :
a. Jelaskan keadaan pasien terkait tanda dan gejalanya.
b. Meminta keluarga selalu menemani pasien, agar pasien tidak merasa sendiri.
c. Jangan pernah menyudutkan pasien.
d. Mengajarkan teknik menghardik kepada keluarga untuk mengatasi halusinasi
pasien.
e. Menjelaskan prosedur pengobatan dan efek samping yang akan ditimbulkan oleh
reaksi obat.
1.8. Step 4 (Tema dan Skema)

Dibawa ke RSJ untuk ke


laki-laki ( 29 thn)
3x dalam setahun

Faktor Presipitasi : Faktor Predisposisi :

1. Mengurung diri di 1. Putus obat 1 bulan


kamar yang lalu
2. Tidak mau mandi 2. Keinginanan memiliki
3. Tidak mau makan usaha toko sendiri
4. Berbicara dan tertawa 3. paman pasien juga
sendiri pernah mengalami
perilaku aneh seperti
Tn A

Psikiater melihat RM terkait riwayat skizofrenia dan


melakukan pemeriksaan status mental, di dapatkan :

Gejala negative : Gejala positif :

1. Proses pikir 1. Halusinasi


sirkumtansial 2. Waham
2. Blocking kebesaran
3. Apatis
4. Anhedonia

Skizofrenia
1.9. Step 5 (Learning objektif)
1. Definisi Resiko Perilaku kekerasan, Halusinasi, dan Waham
2. Etiologi Resiko Perilaku kekerasan, Halusinasi, dan Waham
3. Patofisiologi Resiko Perilaku kekerasan, Halusinasi, dan Waham
4. Manifestasi Klinis Resiko Perilaku kekerasan, Halusinasi, dan Waham
5. Klasifikasi Halusinasi dan Waham
6. Panatalaksanaan Resiko Perilaku kekerasan dan Halusinasi
7. Rentan Respon Resiko Perilaku kekerasan dan Halusinasi
8. Pohon Masalah Resiko Perilaku kekerasan, Halusinasi, dan Waham
9. Asuhan Keperawatan Resiko Perilaku kekerasan, Halusinasi, dan Waham
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Resiko Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor yang dihadapi seseorang
yang ditunjukan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri,
orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowits, 2000 dalam Yosep, 2011).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat
membahayakan diri sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang
(Maramis, 2009).
Kemarahan adalah suatu perasaan atau emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap
kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman, pengungkapan marah yang
konstruktif dapat membuat perasaan lega. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis (Riyadi & Purwanto, 2009). Perilaku kekerasan menurut Kusumawati dan
Hartono (2011) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai
dengan amuk dan aduh, gelisah yang tidak terkontrol.
Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa perilaku kekerasan
adalah suatu tindakan dengan tenaga yang dapat membahyakan diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan yang bertujuan untuk melukai yang disebabkan karena adanya
konflik dan permasalahan pada seseorang baik secara fisik maupun psikologis.

2.2. Etiologi Resiko Perilaku Kekerasan


a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor yang mendasari atau mempermudah terjadinya
perilaku yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, nilai-nilai kepercayaan maupun
keyakinan berbagai pengalaman yang dialami setiap orang merupakan factor
predisposisi artinya mungkin terjadi mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan
(Direja,2011).
1) Faktor biologis
Beberapa hal yang dapat mmpengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan yaitu
sebagai berikut:
a) Pengaruh neurofisiologi, beragam komponen sistem neurulogis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
b) Pengaruh biokimia yaitu berbagai neurotransmiter (epineprin, noreineprin,
dopamin, asetil kolin dan serotonin sangat berperan dalam menfasilitasi dan
mengahambat impuls negatif).
c) Pengaruh genetik menurut riset Murakami (2007) dalam gen manuasia terdapat
doman (potensi) agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh faktor
eksternal.
d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan gangguan sistem
serebral, tumor otak, trauma otak, penyakit enchepalits epilepsi terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan

2) Faktor psikologis menurut Direja (2011)


a) Terdapat asumsi bahwa sesorang untuk mencapai tujuan mengalami hambatan
akan timbul serangan agresif yang memotivasi perilau kekerasan.
b) Berdasarkan mekanisme koping individu yang masa kecil tidak menyenangkan.
c) Rasa frustasi
d) Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, atau lingkungan.
e) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan
rasa aman dapat mengkibatkan tidak berkembangnya ego dan dapat membuat konsep
diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan yang dapat
meningkatkan citra diri serta memberi arti dalam kehidupan.
f) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupak perilaku yang dipelajari,
individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung
untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibanding anak-anak tanpa faktor
predisposisi biologik.

3) Faktor sosio kultural


a) Social environment theory (teori lingkungan)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah.
Budaya tertutup dan membalas terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-
olah perilaku kekerasan di terima.
b) Social learning theory (teori belajar sosial)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialisasi.
(Direja,2011)
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetus perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan:
1) Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidarotas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal, dan lain-
lain.
2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidak mampuan
menempatkan diri sebagai seorang yang dewasa.
4) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

2.3. Patofisiologi Resiko Perilaku Kekerasan


Stres, cemas, harga diri rendah, dan bermasalah dapat menimbulkan marah.
Respon terhadap marah dapat di ekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara
eksternal ekspresi marah dapat berupa perilaku konstruktif maupun destruktif.
Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan kata-kata yang dapat
di mengerti dan diterima tanpa menyakiti hati otrang lain. Selain akan memberikan rasa
lega, ketegangan pun akan menurun dan akhirnya perasaan marah dpat teratasi. Ras
marah diekspresikan secara destruktif, mislanya dengan perilaku agresif, menantang
biasanya cara tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat
menimbulkan amuk yang di tunjukan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
(Yosep, 2011).
Perilaku yang submisif seperti menekan perasaan marah karena merasa tidak kuat,
individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya,
sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikan akan menimbulkan rasa
bermusuhan yang lama, pada suatu saat dapat menimbulkan rasa bermusuhan yang lama
dan pada suatu saat dpat menimbulkan kemarahan yang destruktif yang di anjurkan pada
diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Dermawan & Rusdi, 2013).
2.4. Manifestasi Klinis Resiko Perilaku Kekerasan

Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut Direja (2011) sebagai berikut :

1. Fisik

Mata melotot, pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wjah merah dan tegang,
serta postur tubuh kaku.

2. Verbal

Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kasar, bicara dengan nada keras, kasar, dan

ketus.

3. Perilaku

Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,

amuk/agresif.

4. Emosi

Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak

berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.

5. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dn jarang mengeluarkan kata-

kata bernada sarkasme.

6. Spiritual

Merasa dirinya berkuasa, merasa dirinya benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan

kreativitas terhambat.
7. Sosial

Menarik diri, pengasingan, penolakan, ejekan, dan sindiran.

8. Perhatian

Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.

2.5. Rentang Respon Resiko Perilaku Kekerasan


Perilaku kekerasan dianggap suatu akibat yang ekstrem dari marah. Perilaku
agresif dan perilaku kekerasan sering di pandang sebagai rentang di mana agresif
verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan di sisi yang lain. Suatu keadaan yang
menimbulkan emosi, perasaan frustasi, dan marah. Hal ini akan mempengaruhi
perilaku seseorang. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam tersebut terkadang
perilaku agresif atau melukai karena menggunakan koping yang tidak baik.

Respon adptif Respon Maladaptif

Asertif frustasi pasif agresif amuk

Rentang Respon (Sumber : Yosep, 2011)

Perilaku yang ditampakan mulai dari yang adaptif sampai maladaptif: Keterangan:
1. Asertif: individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain
dan memberikan kenyamanan
2. Frustasi: individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat mrah dan tidak dapat
menemukan alternatif
3. Pasif: individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif : perilaku yang menyertai marahdan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya kontrol
5. Amuk : suatu bentuk kerusakan yang menimbulkan kerusuhan
(Yosep, 2011)
2.6. Asuhan Keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan
A. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Pengelompokan data pada pengakajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan
kemampuan koping yang dimiliki klien (stuart dan Sunden, 1998). Cara
pengkajian lain berfokus pada 5 (lima) dimensi : fisik, emosional, intelektual,
sosial dan spiritual. Isi pengkajian meliputi :
1. Identitas klien
2. Keluhan utama/alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Dimensi fisik / biologis
5. Dimensi psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Aspek medik
Data yang didapat melalui observasi atau pemeriksaan langsung di sebut
data obyektif, sedangkan data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan
keluarga melalui wawancara perawatan disebut data subyektif.

B. Pohon Masalah Resiko Perilaku Kekerasan


Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

Perilaku Kekerasan Core problem

Ganggua konsep diri : Harga Diri Rendah


C. Diagnosa keperawatan
Beberapa Diagnosis Keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan, antara lain
sebagai berikut :
1. Risiko Perilaku kekerasan
2. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
3. Harga diri rendah
4. Isolasi social

D. Intervensi keperawatan

No. Diagnose Intervensi keperawatan


1. Resiko mencederai diri Tujuan Umum :
sendiri dan atau orang
Klien tidak mencederi diri sendiri dan atau
lain/lingkungan
orang lain / lingkungan.
berhubungan dengan
perubahan persepsi Tujuan khusus :
sensori/halusinasi
1. Klien dapat hubungan saling percaya :
a. Beri kesempatan klien untuk
mengungkapkan perasaannya.
b. Dengarkan ungkapan klien dengan
empati.
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
a. Lakukan kontak sering dan singkat
rasional : untuk mengurangi kontak
klien dengan halusinasinya.

b. Obeservasi tingkah laku klien


terkait dengan halusinasinya; bicara
dan tertawa tanpa stimulus,
memandang kesekitarnya seolah –
olah ada teman bicara.
c. Bantu klien untuk mengenal
halusinasinya;
- Bila klien menjawab ada,
lanjutkan; apa yang dikatakan ?
- Katakan bahwa perawat
percaya klien mendengarnya.
- Katakan bahwa klien lain juga
ada yang seperti klien.
- Katakan bahwa perawatan akan
membantu klien.

d. Diskusikan dengan klien tentang ;


- Situasi yang dapat
menimbulkan / tidak
menimbulkan halusinasi.
- Waktu dan frekuensi terjadinya
halusinasi (pagi, siang sore,
malam atau bila sendiri atau
bila jengkel / sedih).

e. Diskusikan dengan klien tentang


apa yang dirasakan bila terjadi
halusinasi (marah / takut / sedih /
senang) dan berkesempatan
mengungkapkan perasaan.
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
a. Identifikasi bersama klien cara /
tindakan yang dilakukan bila terjadi
halusinasi
(tidur/marah/menyibukkan diri)
b. Diskusikan manfaat cara yang
digunakan klien, bila bermanfaat
beri pujian.
c. Diskusi cara baru untuk memutus /
mengontrol timbulnya halusinasi :
- Katakan “saya tidak mau
dengan kamu” (pada
halusinasi).
- Menemui orang lain (perawat /
teman / anggota keluarga untuk
bercakap – cakap . mengatakan
halusinaasinya.
- Membuat jadwal kegiatan
sehari – hari agar halusinasi
tidak sempat muncul.
- Meminta orang lain (perawat /
teman anggota keluarga)
menyapa bila tampak bicara
sendiri.
d. Bantu klien memilih dan melatih
cara memutus / mengontrol
halusinasi secara bertahap.
e. Berikan kesempatan untuk
melakukan cara yang telah dilatih,
evaluasi hasilnya dan pujian bila
berhasil.
f. Anjurkan klien untuk mengikuti
terapi aktivitas kelompok
(orientasi realisasi dan stimulasi
persepsi).
4. Klien dapat dukungan keluarga dalam
mengotrol halusinasinya :
a. Anjurkan klien memberitahu
keluarga bila mengalami
halusinasi.
b. Diskusikan dengan keluarga (pada
saat berkunjung / pada saat
kunjungan rumah)
- Gejala halusinasinya yang
dialami klien
- Cara yang dapat dilakukan
klien dan ke-luarga untuk
memutus halusinasi
- Cara merawat anggota keluarga
yang halusinasi di rumah : Beri
kegiatan, jangan biarkan
sendiri, makan bersama,
berpergian bersama
- Berikan informasi waktu follow
up atau kapan perlu mandapat
bantuan; halusinasi tak
terkontrol dan resiko
mencederai orang lain.

5. Klien dapat memanfaatkan obat


dengan baik :
a. Diskusi dengan klien dan keluarga
tentang dosis, frekuensi dan
manfaat obat.
b. Anjurkan klien meminta sendiri
obat pada perawat merasakan
manfaatnya.
c. Anjurkan klien bicara dengan
dokter / perawat tentang efek dan
efek samping obat yang dirasakan.
d. Diskusikan akibat berhenti obat
tanpa kon-sultasi.
e. Bantu klien menggunakan obat,
dengan prinsip 5 (lima) benar
(benar dosis, benar cara, benar
waktu)

2. Kerusakan komunikasi Tujuan Umum :


verbal berhubungan
dengan perubahan Klien dapat melakukan komunikasi verbal
proses pikir (waham).
Tujuan Khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling


percaya
a. Bina hubungan saling percaya
dengan klien.
b. Jangan membantah dan mendukung
waham klien.
- Katakan perawat menerima :
saya menerima keyakinan
anda, disertai ekspresi
menerima.
- Katakan perawat tidak
mendukung : sadar bagi saya
untuk mempercayainya disertai
ekspresi ragu dan empati.
- Tidak membicarakan isi
waham klien.
c. Yakinkan klien berada dalam
keadaan aman dan terlindung.
- Gunakan keterbukaan dan
kejujuran
- Jangan tinggalkan klien
sendirian
- Klien diyakinkan berada di
tempat aman, tidak sendirian.
2. Klien dapat mengindentifikasi
kemampuan yang dimilki
a. Beri pujian pada penampilan dan
kemampuan klien yang realitas.
b. Diskusikan dengan klien
kemampuan yang dimiliki pada
waktu lalu dan saat ini yang
realistis.
c. Tanyakan apa yang bisa dilakukan
(aktiviotas sehari – hari)
d. Jika klien selalu bicara tentang
wahamnya, dengarkan sampai
waham tidak ada.
3. Klien dapat mengindentifikasi
kebutuhan yang tidak terpenuhi :
a. Observasi kebutuhan klien sehari –
hari.
b. Diskusi kebutuhan klien yang tidak
terpenuhi baik selama di rumah / di
RS.
c. Hubungan kebutuhan yang tidak
terpenuhi dan timbulnya waham.
d. Tingkatkan aktivitas yang dapat
memenuhi kebutuhan klien (buat
jadwal aktivitas klien).
4. Klien dapat berhubungan dengan
realitas :
a. Berbicara dengan klien dalam
kontek realita (diri orang lain,
tempat, waktu)
b. Sertakan klien dalam terapi
aktivitas kelompok: orientasi
realitas
c. Berikan pujian pada tiap kegiatan
positif yang dilakukan klien.
5. Klien dapat dukungan keluarga :
a. Gejala waham.
b. Cara merawatnya.
c. Lingkungan keluarga.
6. Klien dapat menggunakan obat dengan
benar
- Diskusikan dengan klien dan
keluarga tentang obat, dosis,
frekuensi, efek samping obat,
akibat penghentian.
- Diskusikan perasaan klien setelah
minum obat
- Berikan obat dengan prinsip 5
tepat
2.7.Definisi Waham
Waham adalah suatu keyakinan kokoh yang salah dan tidak sesuai
dengan fakta dan keyakinan tersebut mungkin “aneh” (misalnya”saya adalah
nabi yang menciptakan biji mata manusia”) atau bias pula “tidak aneh” (hanya
sangat tidak mungkin, contoh masyarakat di surge selalu menyertai saya
kemanapun saya pergi”) dan tetap dipertahankan meskipun telah diperlihatkan
bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya (Purba dkk, 2008).
Waham (delusi) merupakan keyakinan seseorang yang berdasarkan
penilaian realitas yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya klien.Waham adalah suatu keyakinan
kokoh yang salah dan tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut
mungkin “aneh” (misal, mata saya adalah komputer yang dapat mengontrol
dunia) atau bisa pula “tidak aneh” hanya sangat tidak mungkin, misal, “FBI
mengikuti saya”) dan tetap dipertahankan meskipun telah diperlihatkan bukti-
bukti yang jelas untuk mengoreksinya. waham sering ditemui pada gangguan
jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada
skizofrenia. semakin akut psikosis semakin sering ditemui waham
disorganisasi dan waham tidak sistematis.

2.8.Etiologi Waham
Gangguan orientasi realitas menyebar dalam lima kategori utama fungsi otak
Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
1. Gangguan fungsi kognitif dan persepsi menyebabkan kemampuan
menilai dan menilik terganggu.
2. Gangguan fungsi emosi, motorik, dan sosial mengakibatkan
kemampuan berespons terganggu, tampak dari perilaku nonverbal (ekspresi
dan gerakan tubuh) dan perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).
3. Gangguan realitas umumnya ditemukan pada skizofrenia.
4. Gejala primer skizofrenia (bluer) : 4a + 2a yaitu gangguan asosiasi,
efek, ambivalen, autistik, serta gangguan atensi dan aktivitas.
5. Gejala sekunder: halusinasi, waham, dan gangguan daya ingat.
2.9.Patofisiologi Waham

Proses terjadinya waham


a. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need)
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik secara fisik
maupun psikis. Secara fisik, pasien dengan waham dapat terjadi pada orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya pasien sangat miskin
dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Hal itu terjadi karena
adanya kesenjangan antara kenyataan (reality), yaitu tidak memiliki finansial
yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin memiliki berbagai
kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
b. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi menyebabkan pasien mengalami perasaan menderita, malu, dan
tidak berharga.
c. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau
apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan, dan tidak sesuai
dengan kenyataan. Namun, menghadapi kenyataan bagi pasien adalah sesuatu
yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, dianggap penting, dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, sebab kebutuhan tersebut
belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar pasien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan pasien itu tidak benar, tetapi
hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan
menjadi perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan pasien tidak merugikan
orang lain.
d. Fase dukungan lingkungan (environment support) Dukungan lingkungan
sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien dalam lingkungannya
menyebabkan pasien merasa didukung, lama-kelamaan pasien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Oleh karenanya, mulai terjadi kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma (superego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa
saat berbohong.
e. Fase nyaman (comforting)
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya.
Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat pasien menyendiri dari
lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih sering menyendiri dan menghindari
interaksi sosial (isolasi sosial).
f. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi, keyakinan yang
salah pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering berkaitan dengan kejadian
traumatik masa lalu atau berbagai kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang
hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain.

2.10.Manifestasi Klinis Waham

Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham yaitu : klien menyatakan
dirinya sebagai seorang besar mempunyai kekuatan, pendidikan atau kekayaan
luar biasa, klien menyatakan perasaan dikejar-kejar oleh orang lain atau
sekelompok orang, klien menyatakan perasaan mengenai penyakit yang ada
dalam tubuhnya, menarik diri dan isolasi, sulit menjalin hubungan interpersonal
dengan orang lain, rasa curiga yang berlebihan, kecemasan yang meningkat, sulit
tidur, tampak apatis, suara memelan, ekspresi wajah datar, kadang tertawa atau
menangis sendiri, rasa tidak percaya kepada orang lain, gelisah.
Berikut beberapa bentuk tanda dan gejala dari Waham, antara lain
sebagai berikut :
1. Status Mental
a. Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat normal,
kecuali bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
b. Mood klien konsisten dengan isi wahamnya.
c. Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga.
d. Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas
diri, mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.
e. Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya
kualitas depresi ringan.
f. Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/menetap.,
kecuali pada klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien
kemungkinan ditemukan halusinasi dengar.
2. Sensorium dan kognisi
a. Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki
waham spesifik tentang waktu, tempat, dan situasi.
b. Daya ingat dan proses kognitif klien dengan intak (utuh)
c. Klien waham hampir seluruh memiliki insight (daya tilik diri) yang jelek.
d. Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya,
keputusan yang terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah
dengan menilai perilaku masa lalu, masa sekarang dan yang direncanakan.

2.11.Klasifikasi Waham

Beberapa Jenis-jenis waham menurut Keliat (2009):


a. Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “saya ini pejabat departemen kesehatan lho!” atau, “saya punya
tambang emas”.
b. Waham curiga: Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/menceerai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan. Contoh, “saya tahu seluruh saudara saya ingin menghancurka
hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya”.
c. Waham agama: Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh, “kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih
setip hari”.
d. Waham somatic: Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan. Contoh, “saya sakit kanker”. (Kenyataannya pada
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien
terus mengataka bahwa ia sakit kanker.)
e. Waham nihilistic: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada
didunia/meniggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kadaan
nyata. Misalnya, “Ini kana lam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh.”
a) Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berpikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan pengorganisasian
bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial)
b) Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
c) Fungsi emosi
Afek tumpul à kurang respon emosional, afek datar, afek tidak sesuai, reaksi
berlebihan, ambivalen
d) Fungsi motorik
Imfulsif à gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotopik à gerakan yang
diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas, katatonia.
e) Fungsi sosial : kesepian
Isolasi sosial, menarik diri dan harga diri rendah.
f) Dalam tatanan keperawatan jiwa respon neurobiologis yang sering muncul
adalah gangguan isi pikir : waham dan gangguan persepsi sensori : halusinasi.

2.12.Asuhan Keperawatan Waham

A. Pengkajian
Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham, yaitu pasien
menyatakan dirinya sebagai seorang besar mempunyai kekuatan, pendidikan,
atau kekayaan luar biasa, serta pasien menyatakan perasaan dikejar-kejar oleh
orang lain atau sekelompok orang. Selain itu, pasien menyatakan perasaan
mengenai penyakit yang ada dalam tubuhnya, menarik diri dan isolasi, sulit
menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, rasa curiga yang
berlebihan, kecemasan yang meningkat, sulit tidur, tampak apatis, suara
memelan, ekspresi wajah datar, kadang tertawa atau menangis sendiri, rasa
tidak percaya kepada orang lain, dan gelisah.
Beberapa hal yang harus dikaji antara lain sebagai berikut.
a. Status mental
Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat normal,
kecuali bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
1) Suasana hati (mood) pasien konsisten dengan isi wahamnya.
2) Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga.
3) Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan
identitas diri dan mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.
4) Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya
kualitas depresi ringan.
5) Pasien dengan waham tidak memiliki halusinasi yang
menonjol/menetap kecuali pada pasien dengan waham raba atau cium. Pada
beberapa pasien kemungkinan ditemukan halusinasi dengar.
b. Sensorium dan kognisi
1) Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang
memiliki waham spesifik tentang waktu, tempat, dan situasi.
2) Daya ingat dan proses kognitif pasien dengan utuh (intact).
3) Pasien waham hampir seluruh memiliki daya tilik diri (insight) yang
jelek.
4) Pasien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan
dirinya, keputusan yang terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi
pasien adalah dengan menilai perilaku masa lalu, masa sekarang, dan yang
direncanakan.
Tanda dan gejala waham dapat juga dikelompokkan sebagai berikut.
a. Kognitif
1) Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
2) Individu sangat percaya pada keyakinannya.
3) Sulit berpikir realita.
4) Tidak mampu mengambil keputusan.

b. Afektif
1) Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
2) Afek tumpul.

c. Perilaku dan hubungan sosial


1) Hipersensitif
2) Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
3) Depresif, Ragu-ragu
4) Mengancam secara verbal Aktivitas tidak tepat
5) Streotif
6) Impulsif
7) Curiga
d. Fisik
1) Kebersihan kurang
2) Muka pucat
3) Sering menguap
4) Berat badan menurun
5) Nafsu makan berkurang dan sulit tidur
B. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

Perubahan sensori perseptual : Waham Core problem

Ganggua konsep diri : Harga Diri Rendah

C. Diagnosa Keperawatan
Beberapa Diagnosis Keperawatan, antara lain sebagai berikut :
a. Risiko kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham.
b. Perubahan proses pikir: waham berhubungan dengan harga diri rendah.
D. Intervensi
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1) Tujuan
a) Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap.
b) Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
c) Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
d) Pasien menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
2) Tindakan
a) Bina hubungan saling percaya.
b) Bantu orientasi realitas.
Tidak mendukung atau membantah waham pasien, yakinkan pasien berada
dalam keadaan aman.
c) Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari.
d) Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa
memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti
membicarakannya.
e) Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan
realitas.
f) Diskusikan kebutuhan psikologis atau emosional yang tidak terpenuhi
sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah. Tingkatkan
aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional pasien,
berdiskusi tentang kemampuan positif yang dimiliki, bantu melakukan
kemampuan yang dimiliki, berdiskusi tentang obat yang diminum, melatih
minum obat yang benar.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1) Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien.
2) Diskusikan dengan keluarga tentang hal berikut:
a) Cara merawat pasien waham di rumah.
b) Follow up dan keteraturan pengobatan.
c) Lingkungan yang tepat untuk pasien.
3) Diskusikan dengan keluarga tentang obat pasien (nama obat, dosis,
frekuensi, efek samping, akibat penghentian obat).
4) Diskusikan dengan keluarga kondisi pasien yang memerlukan
konsultasi segera.

E. Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah dirumuskan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pasien secara optimal dengan menggunakan keselamatan, keamanan dan
kenyamanan pasien. Dalam melaksanakan keperawatan, haruslah dilibatkan
tim kesehatan lain dalam tindakan kolaborasi yang berhubungan dengan
pelayanan keperawatan serta berdasarkan atas ketentuan rumah sakit.

F. Evaluasi dan Dokumentasi


a. Pasien mampu melakukan hal berikut.
1) Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
2) Berkomunikasi sesuai kenyataan.
3) Menggunakan obat dengan benar dan patuh.
b. Keluarga mampu melakukan hal berikut.
1) Membantu pasien untuk mengungkapkan keyakinannya sesuai
kenyataan.
2) Membantu pasien melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan pasien.
3) Membantu pasien menggunakan obat dengan benar dan patuh.

2.13.Definisi Halusinasi

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan


rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
member persepsi atau pendapat tentang lingkungannya tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata (Direja, 2011)
Halusinasi adalah seseorang yang merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada
ada stimulus dari mana pun baik suara, bayangan, bau-bauan, pengecapan
maupun perabaan (Yosep, 2011)

2.14.Etiologi Halusinasi

Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:


a. Faktor Predisposisi
1) Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian yang berikut :
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih
luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan
limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan
dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya
atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks
bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi
otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien.Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam
rentang hidup klien.
3) Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya dan kehidupan yang terisolasi disertai
stres.

b. Faktor Prespitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah
adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus
asa dan tidak berdaya.Penilaian individu terhadap stresor dan masalah koping
dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).Menurut Stuart
(2007),
faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari
pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiology
termasuk :
a) Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengurangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energy untuk aktivitas hidup
sehari-hari.
b) Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan keracunan persepsi.
c) Menarik diri.
2.15.Patofisiologi Halusinasi

Pada gangguan jiwa,Halusinasi pendengaran merupakan hal yang paling sering


terjadi,dapat berupa suara suara bising atau kata kata yang dapat mempengaruhi
perilaku sehingga dapat menimbulkan respon tertentu seperti berbicara
sendiri,marah,atau berespon lain yang membahayakan diri sendiri orang lain dan
lingkungan. (Yudi Hartono 2012)
Beberapa Tahapan halusinasi, antara lain sebagai berikut :
a. Sleep desorder
Sleep desorder adalah halusinasi tahap awal seseorang sebelum muncul
halusinasi
1. Karakteristik : Seseorang merasa banyak masalah,ingin menghindar dari
lingkungan takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah.
2. Perilaku : Klien susah tidur dan berlangsung terus menerus sehingga terbiasa
menghayal dan menganggap hayalan awal sebagai pemecah masalah
b. Comforthing
Comforthing adalah halusinasi tahap menyenangkan.cemas sedang
1. Karakteristik : Klien mengalami perasaan yang mendalam seperti
cemas,kesepian,rasa bersalah,takut,dan mencoba untuk berfokus pada pikiran
yang menyenangkan untuk meredakan cemas.
2. Perilaku : Klien terkadang tersenyum,tertawa sendiri,menggerakan bibir tanpa
suara,pergerakan mata yang cepat respon verbal yang lambat,diam dan
berkonsentrasi
c. Condeming
Condeming adalah tahap halusinasi menjadi menjijikan : Cemas berat
1. Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan.Klien mulai
lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang presepsikan.Klien mungkin merasa dipermalukan oleh pengalaman
sensori dan menarik diri dari orang lain

2. Perilaku : Ditandai dengan meningkatnya tanda tanda sistem syaraf otonom


akibat ansietas otonom seperti peningkatan denyut jantung,pernafasan dan
tekanan darah,rentang perhatian dengan lingkungan berkurang dan terkadang
asyik dengan pengalaman sendori dan kehilangan kemampuan membedakan
halusinasi dan realita.
d. Controling
Controling adalah tahap pengalaman halusinasi yang berkuasa : Cemas berat
1. Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halisinasi
dan menyerah pada halusinasi trsebut.
2. Perilaku : Perilaku klien taat pada perintah halusinasi,sulit berhubungan
dengan orang lain,respon perhatian terhadap lingkungan berkurang,biasanya
hanya beberapa detik saja.
e. Conquering
Concuering adalah tahap halusinasi panik umumnya menjadi melebur dalam
halusinasi
Karakteristik : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika mengikuti perintah
halusinasi.
Perilaku : Perilaku panik,resiko tinggi mencederai,bunuh diri atau membunuh
orang lain.(Yudi Hartono 2012)

2.16.Manifestasi Klinis Halusinasi

Menurut (Kusumawati, 2010), tanda dan gejala halusinasi yang mungkin


muncul yaitu: Menarik diri, Tersenyum sendiri, Duduk terpaku, Bicara sendiri,
Memandang satu arah, Menyerang, Tiba-tiba marah, Gelisah. Berdasarkan jenis
dan karakteristik halusinasi tanda dan gejalanya sesuai.

2.17.Klasifikasi Halusinasi

Berikut ini merupakan beberapa jenis halusinasi dan karakteristiknya menurut


(Stuart, 2007) meliputi :
a. Halusinasi pendengaran
Karakteristik : Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara orang. Suara dapat
berkisar dari suara yang sederhana sampai suara orang bicara mengenai klien.
Jenis lain termasuk pikiran yang dapat didegar yaitu pasien mendengar suara
orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkan oleh klien dan
memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang kadang-kadang berbahaya.
b. Halusinasi penglihatan
Karakteristik : Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya, gambar geometris,
gambar karton atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan dapat berupa
sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang menakutkan seperti monster.
c. Halusinasi penciuman
Karakteristik : Membau bau-bau seperti darah, urine, feses umumnya bau-bau
yang tidak menyenangkan. Halusinasi penciuman biasanya berhubungan dengan
stroke,tumor, kejang dan demensia.
d. Halusinasi pengecapan
Karakteristik : Merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan seperti darah,
urine, atau feses.
e. Halusinasi perabaan
Karakteristik : Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas,
rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
f. Halusinasi senestetik
Karakteristik : Merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena dan
arteri, makanan dicerna, atau pembentukan urine.
g. Halusinasi kinestetik
Karakteristik : Merasa pergerakan sementara bergerak tanpa berdiri.

2.18.Rentang Respon Halusinasi

a. Tahap I ( Non – psikotik )


Pada tahap ini, halusinasi mamapu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat
orientasi sedang. Secara unum pada tahap ini merupakan hal yang menyenangkan
bagi klien.
Karakteristik :
1) Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan
2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilagkan kecemasan
3) Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran.
Prilaku yang muncul :
1) Tersenyum atau tertawa sendiri
2) Menggerakkan bibir tanpa suara
3) Pergerakan mata yang cepat
4) Respon verbal rambat, diam, dan berkonsentrasi
b. Tahap II ( Non – psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat
kecemasan berat. Secara umum hausinasi yang ada dapat menyebabkan antipati.
Karakteristik :
1) Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh pengalaman
tersebut
2) Mulai merasa kehilangan kontrol
3) Menarik diri dari orang lain
Prilaku yang muncul :
1) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan TD
2) Perhatian terhadap lingkunagn menurun
3) Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
4) Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinai dan realita

c. Tahap III ( Psikotik )


Klien biasanya tidak dapat mengontrol didinya sendiri, tingkat kecemasnan berat,
dan halusiansi tidak dapat ditolak lagi.
Karakteristik :
1) Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
2) Isi halusinasi menjadi atraktif
3) Klien menjasi kesepian bila pengalaman sensorinya berakhir
Prilaku yang muncul :
1) Klien menuruti perintah halusinasi
2) Sulit berhubungan dengan orang lain
3) Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
4) Tidak mampu emngikuti perintah yang nyata
5) Klien tampak temor dan berkeringat

d. Tahap IV ( Psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik.
Prilaku yang muncul :
1) Risiko tinggi mencederai
2) Agitasi / kataton
3) Tidak mampu merespons rangsang yang ada
2.19.Asuhan Keperawatan Halusinasi

A. Pengkajian
Menurut Stuart dan Laraia pengkajian merupakan tahapan awal dan
dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas
pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang
dikumpulkan meliputi data biologis,psikologis, sosial, dan spiritual. Data
pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi,
faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan
kemampuan koping yang dimiliki klien (Keliat, 2005).
Untuk dapat menjaring data yang diperlukan umunya, dikembangkan
formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam
pengkajian.
Isi pengkajian meliputi :
a. Identitas klien
Nama, Umur, Jenis Kelamin, Agama, Tanggal Masuk, Informan, Tanggal
Pengkajian, No. Rekam medik.
b. Keluhan utama atau alasan masuk
c. Faktor predisposisi
d. Aspek pemeriksaan fisik atau biologis
e. Aspek psikososial
Genogram, Konsep diri, Hubungan sosial dan spiritual.
f. Status mental
Penampilan, pembicaraan, aktivitas motorik, alam perasaan, afek (ekspresi
wajah),interaksi saat wawancara, persepsi, proses berfikir, isi pikir, tingkat
kesadaran,memori, tingkat konsentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian,
dan daya tilik diri.
g. Kebutuhan persiapan pulang
Makan, BAB/BAK, mandi, berpakaian/berhias, istirahat dan tidur,
penggunaan obat,pemeliharaan kesehatan, aktivitas didalam rumah, aktivitas
diluar rumah.
h. Mekanisme koping
i. Masalah psikososial dan lingkungan
j. Aspek medik.
B. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

Perubahan sensori perseptual : Halusinasi Core problem

Isolasi sosial : Menarik diri

Ganggua konsep diri : Harga Diri Rendah

C. Diagnosa Keperawatan Halusinasi


Diagnosa keperawatan yang muncul klien dengan masalah utama
perubahan persepsi
sensori : halusinasi menurut Yosep (2009) adalah sebagai berikut :
a. Perilaku kekerasan mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan persepsi sensori
c. Isolasi sosial
d. Gangguan konsep diri
e. Koping individu tidak efektif

D. Intervensi Keperawatan Halusinasi


a. Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1) Tindakan keperawatan
a) Membantu pasien mengenali halusinasi dengan cara berdiskusi dengan
pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
halusinasi muncul, dan respons pasien saat halusinasi muncul.
b) Melatih pasien mengontrol halusinasi. Untuk membantu pasien agar
mampu mengontrol halusinasi, Anda dapat melatih pasien empat cara yang
sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi, yaitu sebagai berikut:
• Menghardik halusinasi.
• Bercakap-cakap dengan orang lain.
• Melakukan aktivitas yang terjadwal.
• Menggunakan obat secara teratur.
2) Tindakan keperawatan
a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
b) Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis
halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya
halusinasi, serta cara merawat pasien halusinasi.
c) Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara
merawat pasien dengan halusinasi langsung di hadapan pasien.
d. Buat perencanaan pulang dengan keluarga.
E. Implementasi Halusinasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah dirumuskan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien secara
optimal dengan menggunakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan
pasien. Dalam melaksanakan keperawatan, haruslah dilibatkan tim kesehatan
lain dalam tindakan kolaborasi yang berhubungan dengan pelayanan
keperawatan serta berdasarkan atas ketentuan rumah sakit.
F. Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah Anda lakukan
untuk pasien halusinasi adalah sebagai berikut:
a. Pasien mempercayai kepada perawat.
b. Pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada objeknya dan
merupakan masalah yang harus diatasi.
c. Pasien dapat mengontrol halusinasi.
d. Keluarga mampu merawat pasien di rumah, ditandai dengan hal
berikut.
1) Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi yang dialami oleh
pasien.
2) Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien di rumah.
3) Keluarga mampu memperagakan cara bersikap terhadap pasien.
4) Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah pasien.
5) Keluarga melaporkan keberhasilannnya merawat pasien.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa perilaku
kekerasan adalah suatu tindakan dengan tenaga yang dapat membahyakan diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan yang bertujuan untuk melukai yang
disebabkan karena adanya konflik dan permasalahan pada seseorang baik secara
fisik maupun psikologis.
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat
atau terusmenerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah termasuk
gangguan isi pikiran. Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada
di dalam isi pikirannya. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan
beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada penderita
skizofrenia.
Berdasarkan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan
keperawatan terhadap pasien halusinasi, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi ditemukan
adanya perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan pendekatan secara terus
menerus,membina hubungan saling percaya yang dapat menciptakan suasana
terapeutik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan.
2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan
halusinasi,pasien sangat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai sistem
pendukung yang mengerti keadaaan dan permasalahan dirinya. Disamping itu
perawat / petugas kesehatan juga membutuhkan kehadiran keluarga dalam
memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama dalam memberi
perawatan pada pasien. Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa peran
serta keluarga merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan klien.
3.2 Saran
Untuk dapat memahami penatalaksanaan dari Resiko Perilaku
Kekerasan,Waham,dan Halusinasi ini, selain membaca dan memahami materi-
materi dari sumber kelimuan yang ada (buku, internet, dan lainnya) kita harus
dapat mengkaitkan materi tersebut dalam kehidupan nyata agar lebih mudah
untuk paham dan diingat. Serta kita dapat menerapkan beberapa metode dari
materi tersebut yang diperlukan dalam kesehatan pasien dengan Resiko
Perilaku Kekerasan,Waham,dan Halusinasi baik di lingkungan rumah sakit
maupun masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Perilaku kekerasan menurut Kusumawati dan Hartono (2011)


(Direja,2011) Novita, M. 2012. Peran Perawat Dalam Meningkatkan
Kemampuan Bersosialisasi PadaPenderita Skizofrenia Di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Skripsi sarjana. Fakultas
Keperawatan. Universitas Sumatera Utara; Medan.

Yusuf, Ahmad Dkk. 2015.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa.Jakarta:Salemba Medika

Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku


Kedokteran EGC;Jakarta.

Marder, S.R., Hurford, I.M., dan Kammen, D.P. (2009). Second-


Generation Antipsychotic. Dalam Comprehensive Textbook of Psychiatry.
Edisi Kesembilan. Volume II. Editor Sadock Benjamin James, Sadock
Virginia Alcott. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins. Halaman
3206-3221.

Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock’s Synopsis of


Psychiatry:Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry.11th ed. Philadelphia:
Lippincott WoltersKluwer;2015

Yudi Hartono Dkk;2012;Buku ajar keperawatan


jiwa;Jakarta;salemba medika.
Iskandar Dkk;2012;Asuhan Keperawatan Jiwa;Bandung;Refika aditama
Budi ana dkk;2011;Keperawatan kesehatan jiwa;jakarta;EGC

Anda mungkin juga menyukai