Anda di halaman 1dari 3

3.

Kolokasi ( ‫المصا حبة‬/collocation)

Ada temuan terbaru dari ahli bahasa di bawah teori kontekstual, yaitu apa yang disebut dengan
"Pavement", yang berarti memperhitungkan keberadaan kata-kata yang berdampingan dengan kata-kata
lain, di mana keberadaan kata-kata itu menjadi kriteria untuk menentukan signifikansi kata. Misalnya
kata meleleh hanya cocok dihubungkan dengan kata besi, emas, tem-

baga, plastik, dan perak. Apa yang segera tampak dari penjelasan ini adalah lahirnya istilah kolokasi (‫المصا‬
‫)حبة‬. Firth menekankan bahwa makna merupakan jantung dari pengkajian bahasa. Karena itu Firth
memperkenalkan istilah kolokasi ini untuk menerangkan dua makna, yaitu makna gramatikal dan makna
fonologis.

Kolokasi sendiri didefinisikan sebagai berikut:

‫الراتباط المعتاد لكلمة في اللغة بكلمات أخرى الجملمعينة في الجمل‬.

Asosiasi yang mengikuti kebiasaan antara dua kata atau lebih untuk menandakan makna tertentu dalam
kalimat.

Kolokasi memiliki peran penting dalam menentukan kontekstualisasi makna suatu kata. Misalnya
pasangan kata berikut:

‫< روسسييلُم‬- ‫رراججلُل‬

ُ‫< رجسمييلرةل‬- ُ‫سامِررأرةل‬

kata ‫ راجل‬berdistribusi dengan kata ‫( روسسييلُم‬tampan), sedangkan kata ُ‫ سامِررأرةل‬berdistribusi dengan kata ُ‫رجسمييلرةل‬
(cantik). Dua kata yang saling berpasangan tersebut tidak dapat saling dipertukarkan

satu sama lain, misalnya kata ‫ رراججلُل‬didampingkan dengan kata ُ‫( رجسمييلرةل‬lelaki yang cantik), demikian juga
kata ُ‫ سامِررأرةل‬tidak dapat berdistribusi dengan kata ُ‫( روسسييرمةل‬Wanita yang tampan).

Contoh lain dapat Anda perhatikan dalam pasangan kata dibawah ini:

‫أجرى‬

‫أقام‬

‫اجتماع‬

‫مِؤتمر‬

‫ندوة‬

‫بحوث‬

‫اختبارا‬
‫درااسة‬

‫بطولة‬

‫أقام‬

‫مِبارااة‬

4. Kritik atas Teori Kontekstual

Teori ini handal dalam mengurai dan mencari penjelasan fenomena bahasa di dalam bahasa, tanpa
keluar dari ruang lingkup bahasa itu sendiri. Misalnya, tidak mengabaikan konsep hubungan-hubungan
yang ada pada serangkaian kosakata-kosakata, seperti hubungan sinonimi, antonimi, dan homonimi.
Karena itu teori ini tidak begitu mendapat kecaman serius, sebagaimana teori-teori sebelumnya.
Meskipun demikian, ada beberapa protes yang ditujukan kepada teori ini, di antaranya:

1) Firth tidak menggunakan teori universal untuk menyusun bahasa, cukup menggunakan teori semantik,
padahal makna harus diungkapkan secara berurutan, mulai dari hubungan-hubungan kontekstual,
hubungan-hubungan bunyi, hubungan-hubungan struktur sintaksis, hubungan-hubungan leksikal, dan
hubungan-hubungan semantik.

2) Firth tidak membatasi ketika menggunakan istilah konteks beserta urgensitasnya, seperti
penjelasannya tentang situasi

‫ الموقف‬yang dirasa masih ambigu dan tidak jelas

3) Teori ini tidak begitu bermanfaat ketika konteks tidak dapat menjelaskan makna kata.

4) Fakta membuktikan, bahwa makna yang lahir dari konteks tidak hanya bersumber dari konteks saja.
Makna leksikal misalnya, pada tahap awal ia merupakan makna tunggal (ma'na ifradiy), dan peran
konteks tidak menghendaki makna yang dikandung oleh kata tertentu, tetapi ia membatasi,
menentukan, dan memperjelas keberagaman makna kata tersebut. Dengan demikian, kita tidak bisa
menutup mata akan keberadaan makna suatu kata di luar konteks, meskipun juga harus diakui satu kata
bisa beragam makna.

5) Kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa tidak semua kata akan bermakna jika berada pada konteks,
karena ada sederetan kata yang memiliki acuan dan makna meski tanpa konteks. Hal ini selaras dengan
pernyataan Ullman: "Memang amat benar, dan bahkan merupakan truisme, bahwa kata-kata itu hampir
selalu terdapat dalam konteks tertentu, tetapi ada juga kenyataan bahwa ada kata yang sepenuhnya
berdiri sendiri, tanpa bantuan suatu konteks, dan masih tetap bermakna. Untuk membuktikan
statemennya ini, Ullmann memaparkan beberapa contoh kata berikut:

a. Resurrection (sebagai judul buku karya Tolstoy)

b. Ghost (sebagaijudul buku karya Ibsen)


c. Persuasion (sebagai judul buku karya Jane Austin)

d. If (sebagai judul buku karya Rudyat Kipling)

e. Nothing (sebagai judul buku karya Henry Green)

Kita tidak bisa lari dari kenyataan bahwa suatu kata tentu mempunyai makna tetap (makna atas dirinya
sendiri), dan bahwa kata-kata itu mengacu pada suatu acuan tertentu, bukan pada yang lainnya, dan
bahwa karakteristik ini merupakan dasar kokoh semua komunikasi".

Apa yang diuraikan tersebut sejatinya cukup menjelaskan kelemahan pengikut teori kontekstualisme
yang menyatakan bahwa kata-kata itu tidak akan bermakna jika tidak

berada dalam konteks. Karena kenyataannya kata-kata yang disebutkan pada point (a), (b), (c), (d), dan
(e) di atas syarat dengan makna atau masih tetap bermakna meski tidak berada dalam sebuah konteks.

Kesimpulan yang dapat dipetik dari kritik di atas adalah sesungguhnya ketika kata itu diletakkan di
berbagai konteks, maka ia tidak seperti air yang warnanya bisa tunduk pada warna bejananya, tetapi ia
seperti bunglon yang dapat berganti warna sesuai dengan warna tempat yang dihinggapi. Artinya, kata
itu dapat diumpamakan seperti bunglon, yang memiliki kemampuan-kemampuan tertentu, setiap
kemampuan muncul di tempat yang sesuai, tidak seperti air yang tidak memiliki kemampuan, karena itu
ia harus tunduk pada aspek eksternal yang mencampurinya.

Anda mungkin juga menyukai