Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

KERATOKONJUNGTIVITIS OKULI SINISTRA ET CAUSA SUSPECT

BAKTERIAL

Oleh :

Lidiasani Perez Mosesa – 15014101290

Supervisor Pembimbing:

dr. Yamin Tongku, Sp.M

Residen Pembimbing:

dr. Andrew Chietra

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2016
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul

KERATOKONJUNGTIVITIS OKULI SINISTRA ET CAUSA SUSPECT

BAKTERIAL

Telah dikoreksi, dibacakan dan disetujui pada hari/tanggal, November 2016

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing,

dr. Yamin Tongku, Sp.M

Residen Pembimbing,

dr. Andrew Chietra


BAB I
PENDAHULUAN

Keratokonjungtivitis merupakan peradangan pada kornea dan konjungtiva


yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan seringkali mengalami
kekambuhan.1 Konjungtivitis yang merupakan peradangan pada konjungtiva
memiliki insiden paling tinggi di dunia dan menyerang semua usia. Dua persen
dari seluruh kunjungan ke dokter adalah untuk pemeriksaan mata dengan 54% nya
adalah konjungtivitis atau abrasi kornea. Untuk konjungtivitis yang infeksius,
42% sampai 80% adalah bacterial, tiga persen chlamydial, dan 13% sampai 70%
adalah viral. Konjungtivitis viral digambarkan hingga 50% dari seluruh
konjungtivitis akut di poli umum. Konjungtivitis dapat pula bertambah parah
menjadi infeksi akut yang mengganggu penglihatan apabila telah terjadi
komplikasi seperti adanya keterlibatan kornea.1-7
Insiden keratokonjungtivitis relative kecil, yaitu sekitar 0,1% - 0,5% dari
pasien dengan masalah mata yang berobat, dan hanya 2% dari semua pasien yang
diperiksa di klinik mata.7 Hal yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana
cara penatalaksanaan kasus ini agar dapat mengalami penyembuhan maksimal dan
mencegah terjadinya rekurensi ataupun komplikasi yang dapat mengurangi
kualitas hidup.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang merupakan selaput bening
mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata sebelah depan dan
terdiri dari lima lapisan. Lapisan tersebut antara lain lapisan epitel (yang
bersambungan dengan epitel konjungtiva bulbaris), membran Bowman,
stroma, membran Descement dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan
kornea disebut limbus kornea. Kornea juga merupakan lensa cembung
dengan kekuatan refraksi sebesar +43 dioptri. Jika terjadi oedem kornea
akan bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga
penderita akan melihat halo.1,8
a. Lapisan epitel
Tebalnya 50µm, terdiri atas lima lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih. Satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, sel muda terdorong
ke depan menjadi lapisan sel poligonal dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal
disampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosome dan
makula okluden. Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan
glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran
basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
menghasilkan erosi rekuren. Epitel berasal dari permukaan ektoderm.
b. Membran bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Jaringan stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang

2
teratur, sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang.
Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang kadang-
kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblast yang terletak di antara serat kolagen stroma.
Diduga keratosit membentuk bahan dasar serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. Membrane Descement
Merupakan membrane aseluler dan merupakan batas belakang
stroma kornea yang bersifat sangat elastis dan tebalnya sekitar 40 µm.
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, bentuk heksagonal, besar 20-40 µm.
endotel melekat pada membran descement melalui hemidoson dan
zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari
saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
bowman melepaskan selubung schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi
dingin ditemukan diantaranya. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di
daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah
pembuluh-pembuluh darah limbus, aquos humour dan air mata. Kornea
superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir.
Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya yang seragam,
avaskularitas dan deturgensinya.8

2. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membrane mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan)
dan dengan epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:8
a. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari
palpebral).

3
b. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola
mata).
c. Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara
bagian posterior palpebral dan bola mata).
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata
dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus
jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali.
Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar
permukaan konjungtiva sekretorik. (Duktus-duktus kelenjar lakrimalis
bermuara ke forniks temporal superior). Kecuali di limbus (tempat kapsul
Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya. Struktur
epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke
bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang
mengandung elemen kulit dan membran mukosa.8
Konjungtiva forniks strukturnya sama dengan konjungtiva palpebral.
Tetapi berhubungan dengan jaringan di bawahnya lebih lemah dan
membentuk lekukan-lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah.
Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila
terdapat peradangan mata. Jika dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel
konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada
tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel
superfisial mengandung sel-sel globet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
disperse lapisan air secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.8

4
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial)
dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung
jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur
semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak
berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonates bersifat papiler
bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa
tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal
ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar airmata asesori (kelenjar
Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar
lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada
di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring
terletak di tepi atas tarsus atas.8

B. DEFINISI
Keratokonjungtivitis adalah peradangan dari kornea dan konjungtiva.
Ketika hanya kornea yang meradang, hal itu disebut keratitis, ketika hanya
konjungtiva yang meradang, hal itu disebut konjungtivitis.1,8

C. ETIOLOGI
Konjungtivitis dapat diakibatkan oleh virus, bakteri, fungal, parasite,
toksik, chlamydia, kimia dan agen alergik. Konjungtivitis viral lebih sering
terjadi daripada konjungtivitis bakterial. Insidensi konjungtivitis meningkat
pada awal musim semi. Etiologi konjungtivitis dapat diketahui berdasarkan
klinis pasien. Pada tingkat seluler terdapat infiltrat seluler dan eksudat pada
konjungtiva. Etiologi keratitis superfisial antara lain adalah infeksi (bakteri,
viral, dan fungal), degenerative (dry eye, defek neurotropic atau berhubungan
dengan penyakit sistemik), toksik dan alergi. Morfologi dan distribusi lesi
pada kornea dapat membantuk mengetahui penyebab keratitis. Ada beberapa
penyebab potensial keratokonjungtivitis yaitu kekeringan, infeksi virus,
manifestasi dari atopi atau allergen maupun trauma mekanik.

5
D. KLASIFIKASI
a. Keratokonjungtivitis sicca merupakan peradangan karena kekeringan.
b. Vernal keratokonjungtivitis merupakan keratokonjungtivitis yang terjadi di
musim semi, dan biasanya dianggap karena allergen.
c. Atopik keratokonjungtivitis adalah salah satu manifestasi dari atopi.
d. Epidemik keratokonjungtivitis disebabkan oleh adenovirus infeksi.
e. Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan oleh trauma
mekanik

E. PATOFISIOLOGI
Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun tipe I terhadap
allergen. Allergen terikat dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE
terjadi, menyebabkan degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi
bertingkat dari peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel
mast, juga mediator lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat,
prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. Histamin dan bradikinin dengan
segera menstimulasi noniseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan
permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.2,5,8
Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun
penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat menginvasi
dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di
dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan viral memulai
reaksi bertingkat dari peradangan leukosit atau limfositik menyebabkan
penarikan sel darah merah atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini
mencapai permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana dengan berpindah
secara mudahnya melewati kapiler yang berdilatasi dan tinggi
permeabilitas.2,3,5
Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang
menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini memudahkan untuk terjadinya
infeksi. Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-film
immunoglobulin dan lysozyme) yang merangsang lakrimasi.2

6
F. DIAGNOSIS
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu tergores
atau panas, sensasi penuh di sekitar mata, gatal dan fotofobia. Sensasi benda
asing dan tergores atau terbakar sering berhubungan dengan edema dan
hipertrofi papiler yang biasanya menyertai hiperemi konjungtiva. Sakit pada
iris atau corpus siliaris mengesankan terkenanya kornea. Tanda penting
konjungtivitis adalah hiperemia, mata berair, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi
papiler, kemosis (edem stroma konjungtiva), folikel (hipertrofi lapis limfoid
stroma), pseudomembranosa dan membran, granuloma, dan adenopati pre-
aurikuler.8
Hiperemia adalah tanda paling mencolok pada konjungtivitis akut.
Kemerahan paling nyata pada forniks dan mengurang kearah limbus
disebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna merah
terang mengesankan konjungtivitis bakteri dan keputihan mirip susu
mengesankan konjungtivitis alergika. Berair mata (epiphora) sering mencolok,
diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, terbakar atau gatal. Kurangnya
sekresi airmata yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitis sicca.
Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudat berlapis-lapis
dan amorf pada konjungtivitis bakterial dan dapat pula berserabut seperti pada
konjungtivitis alergika, yang biasanya menyebabkan tahi mata dan saling
melengketnya palpebral saat bangun tidur pagi hari, dan jika eksudat
berlebihan agaknya disebabkan oleh bakteri atau klamidia. Pseudoptosis
adalah turunnya palpebral superior karena infiltrasi ke muskulus muller (M.
Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai pada konjungtivitis berat. Misalnya
Trachoma dan keratokonjungtivitis epidemika.8
Hipertrofi papilla adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi
karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-
serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papilla
(selain unsur sel dan eksudat) sampai di membrane basal epitel, pembuluh ini
bercabang-cabang di atas papilla mirip jeruji payung. Eksudat radang
mengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk tonjolan-tonjolan

7
konjungtiva. Pada penyakit yang mengalami nekrosis (mis., trachoma),
eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat.8
Bila papilanya kecil, konjungtiva umumnya tampak licin mirip beludru.
Konjungtiva papiler merah mengesankan penyakit bakteri atau klamidia
(misalnya, konjungtiva tarsal merah mirip beludru adalah khas untuk trachoma
akut). Infiltrasi nyata ke konjungtiva menghasilkan papilla besar dengan atap
rata, poligonal, dan berwarna merah-keputihan. Pada tarsus superior papilla
seperti ini mengesankan keratokonjungtivitis vernal dan konjungtivitis papiler
besar dengan sensitivitas lensa kontak. Pada tarsus inferior, mengesankan
keratokonjungtivitis atopik. Papilla besar dapat pula timbul di limbus,
terutama di daerah yang biasanya terpapar saat mata dibuka (antara pukul 2
dan 4 dan antara pukul 8 dan 10). Di sini papilla tampak berupa khas untuk
keratokonjungtivitis vernal tetapi jarang pada keratokonjungtivitis atopi.8
Kemosis dari konjungtiva sangat memberi kesan konjungtivitis alergik
akut tapi dapat juga timbul pada konjungtivitis gonococcal atau
meningococcal akut dan terutama pada konjungtivitis adenoviral. Kemosis
dari konjungtiva bulbar terlihat pada pasien dengan trichinosis. Kadang-
kadang, kemosis dapat muncul sebelum infiltrate seluler atau eksudasi
terlihat.8
Folikel terlihat pada kebanyakan kasus konjungtivitis virus. Pada semua
kasus konjungtivitis klamidia kecuali konjungtivitis inklusi pada neonatus,
pada beberapa kasus konjungtiviris parasitic, dan pada beberapa kasus
konjungtivitis toksik yang disebabkan obat-obatan topical seperti idoxuridine,
dipivefrin, dan miotic. Folikel pada forniks inferior dan pada batas tarsus
mempunyai nilai diagnostik yang rendah, tapi saat terletak pada tarsus
(terutama tarsus atas), konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (yang
menyertai obat-obatan topikal) harus dicurigai. Folikel terdiri dari hyperplasia
limfoid fokal berada dalam lapisan limfoid konjungtiva dan biasanya
mengandung sentrum germinativum. Secara klinis, folikel dapat dikenali
sebagai struktur bulat, putih atau abu-abu avaskuler. Dengan pemeriksaan
slitlamp, pembuluh darah kecil dapat terlihat timbul dari batas folikel dan
mengelilingi folikel.8

8
Pseudomembran dan membran adalah hasil proses eksudatif dan berbeda
derajatnya. Sebuah pseudomembran adalah pengentalan yang meliputi seluruh
epitel dan jika diangkat akan meninggalkan permukaan yang kasar dan
berdarah. Pseudomembran atau membran dapat menyertai keratokonjungtivitis
epidemika, konjungtivitis herpes simplex virus primer, konjungtivitis
streptokokal, difteri, cicatrical pemphidoid, dan eritema multiforme mayor.
Juga mungkin timbul sebagai akibat buruk luka bakar kimiawi, khususnya
basa.8
Granuloma konjungtiva selalu mengenai stroma dan yang paling sering
adalah chalazia. Penyebab endogen lain termasuk sarcoid, cat-scratch disease,
dan yang jarang koksidiomikosis. Parinaud’s oculoglandular syndrome
meliputi granuloma konjungtival dan nodus limfe periaurikuler yang
menonjol, dan kelompok penyakit ini memerlukan pemeriksaan biopsi untuk
menegakkan diagnosa.8
Limfadenopati periaurikuler adalah tanda penting dari konjungtivitis.
Nodus periaurikuler yang terlihat mencolok tampak pada Parinaud’s
oculoglandular syndrome dan yang jarang pada epidemic keratoconjunctivitis.
Nodus periaurikuler yang besar maupun kecil, kadang sedikit nyeri tekan,
muncul pada konjungtivitis herpes simplex primer, keratokonjungtivitis
epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trachoma. Nodus periaurikuler yang
kecil dan tidak nyeri tekan muncul pada demam faringokonjungtival dan
konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang limfadenopati periaurikuler
dapat terlihat pada anak dengan infeksi kelenjar meibomian.8
Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus,
pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal
harus mencakup elemen berikut ini:8
a. Limfadenopati regional, terutama sekali periaurikuler.
b. Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea.
c. Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna,
malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan.
d. Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis,
perubahan sikatrikal, simblepharon, massa, sekret.

9
Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati
terhadap:
a. Margo palpebral: inflamasi, ulserasi, secret, nodul atau vesikel, sisa kulit
berwarna darah, keratinisasi.
b. Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu.
c. Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, sekret.
d. Konjungtiva tarsal dan forniks: adanya papilla, folikel dan ukurannya;
perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon;
membran dan pseudomembran, ulserasi, perdarahan, benda asing, massa,
kelemahan palpebral.
e. Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan,
papilla, ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi.
f. Kornea: defek epithelial, keratopati punctate dan keratitis dendritic,
filament, ulserasi, infiltrasi, termasuk infiltrasi subepitelial dan flikten,
vaskularisasi, keratik presipitat.
g. Bilik mata depan: reaksi inflamasi, sinekia, defek transluminasi.
h. Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea.

G. DIAGNOSIS BANDING
Gejala
Glaucoma Uveitis K. K. K.
subyektif dan Keratitis
akut akut Bakteri virus alergi
obyektif
Penurunan
+++ +/++ +++ - - -
visus
Nyeri ++/+++ ++ ++ - - -
Fotofobia + +++ +++ - - -
Halo ++ - - - - -
Eksudat - - -/++ +++ ++ +
Gatal - - - - - ++
Demam - - - - -/++ -
Injeksi siliar + ++ +++ - - -
Injeksi
++ ++ ++ +++ ++ +
konjungtiva
Kekeruhan
+++ - +/++ - -/+ -
kornea
Midriasis Miosis Normal /
Kelainan pupil N N N
nonreaktif iregular miosis
Kedalaman Dangkal N N N N N

10
COA
Tekanan
Tinggi Rendah N N N N
intraocular
Secret - + + ++/+++ ++ +
Kelenjar
- - - - + -
preaurikular

H. KOMPLIKASI
Kebanyakan konjungtivitis dapat sembuh sendiri, namun apabila
konjungtivitis tidak memperoleh penanganan yang adekuat maka dapat
menyebabkan komplikasi:1
a. Blefaritis marginal hingga krusta akibat konjungtivitis akibat
staphylococcus.
b. Jaringan parut pada konjungtiva akibat konjungtivitis chlamidia pada
orang dewasa yang tidak diobati adekuat.
c. Keratitis punctate akibat konjungtivitis viral.
d. Keratokonus (perubahan bentuk kornea berupa penipisan kornea sehingga
bentuknya menyerupai kerucut) akibat konjungtivitis alergi.
e. Ulserasi kornea marginal, perforasi kornea hingga endoftalmitis dapat
terjadi pada infeksi N.gonorrhoeae, N.kochii, N.meningitidis,
H.aegypticus, S.aureus dan M.catarrhalis.
f. Pneumonia terjadi 10-20% pada bayi yang mengalami konjungtivitis
chlamydia
g. Meningitis dan septicemia akibat konjungtivitis yang diakibatkan
meningococcus.

I. PENATALAKSANAAN
Masing-masing jenis konjungtivitis memberikan gejala klinis yang
berbeda. Penatalaksanaan keratokonjungtivitis tergantung pada berat
ringannya gejala klinik. Pada kasus ringan sampai sedang, cukup diberikan
obat tetes mata tergantung jenis penyebabnya seperti pada KKV dapat
diberikan anti histamine topikal dan dapat ditambahkan vasokontriktor,
kemudian dilanjutkan dengan stabilasator sel mast. Pada kasus yang berat
dapat dikombinasi dalam pengobatannya ataupun dilakukan pembedahan.1,8

11
Pada konjungtivitis virus yang merupakan “self limiting disease”
penanganan yang diberikan bersifat simtomatik serta dapat pula diberikan
antibiotic tetes mata (chloramfenikol) untuk mencegah infeksi bakteri
sekunder. Steroid tetes mata dapat diberikan jika terdapat lesi epithelial
kornea, namun pemberian steroid hanya berdasarkan pengawasan dokter
spesialis mata karena bahaya efek sampingnya cukup besar bila digunakan
berkepanjangan, antara lain infeksi fungal sekunder, katarak maupun
glaukoma.9,10
Penanganan primer keratokonjungtivitis epidemika ialah dengan kompres
dingin dan menggunakan tetes mata astrigen. Agen antivirus tidak efektif.
Antibiotik topikal bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder. Steroid
topikal 3 kali sehari akan menghambat terjadinya infiltrate kornea subepitel
atau jika terdapat kekeruhan pada kornea yang mengakibatkan penurunan
visus yang berat, namun pemakaian berkepanjangan akan mengakibatkan sakit
mata yang berkelanjutan. Pemakaian steroid harus di tapering off setelah
pemakaian lebih dari 1 minggu.1,11,12
Penanganan konjungtivitis bakteri ialah dengan antibiotika topikal tetes
mata (misalnya kloramfenikol) yang harus diberikan setiap 2 jam dalam 24
jam pertama untuk mempercepat proses penyembuhan, kemudian dikurangi
menjadi setiap empat jam pada hari berikutnya. Penggunaan salep mata pada
malam hari akan mengurangi kekakuan pada kelopak mata di pagi hari.
Antibiotik lainnya yang dapat dipilih untuk gram negatif ialah tobramisin,
gentamisin dan polimiksin; sedangkan untuk gram positif icefazolin,
vancomycin dan basitrasin.10
Penanganan infeksi jamur ialah dengan natamisin 5% setiap 1-2 jam saat
bangun, atau dapat pula diberikan pilihan antijamur lainnya yaitu mikonazol,
amfoterisin, nistatin dan lain-lain.1

J. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis tergantung pada berat ringannya
gejala klinis yang dirasakan pasien, namun umumnya baik terutama pada
kasus yang tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.8

12
BAB III
LAPORAN KASUS

Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan


pada hari Senin, 1 November 2016 di Poliklinik Mata RSUP Prof. Kandou
Malalayang pukul 10.00 WITA.
Identitas Pasien
Nama : Tn. MW
Usia : 46 thn
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Tateli
Anamnesis
Keluhan Utama : mata kiri sakit sejak 3 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
Mata sebelah kiri sakit dialami sejak 3 hari yang lalu. Pasien merasakan ada
benda yang masuk ke mata kirinya saat naik sepeda motor. Awalnya mata kiri
timbul kemerahan dan kemudian dirasakan sedikit nyeri. Pasien kemudian
mengeluhkan penglihatannya mulai terasa kabur sejak 1 hari yang lalu. Mata kiri
dirasakan seperti ada yang mengganjal, timbul kotoran mata sedikit. Pasien juga
merasakan sering keluar air mata namun tidak banyak. Pasien tidak merasakan
silau ataupun seperti pelangi pada penglihatannya. Tidak ada keluhan lain seperti
demam, pilek, ataupun nyeri tenggorokan yang dirasakan pasien.
Pasien mengaku tidak ada kontak sebelumnya dengan orang yang mengalami
hal serupa.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa seperti ini sebelumnya. Tidak
ada riwayat hipertensi, diabetes mellitus, maupun asma atau alergi sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan sakit : sakit sedang

13
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah : 12/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 80 kali/menit
Frekuensi Nafas : 20 kali/menit
Status Generalisata : Kepala/Leher : pembesaran KGB preaurikuler (-)
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
Status Oftalmologi :
Pemeriksaan Subjektif: VOD : 6/9
VOS : 6/60
Pemeriksaan Oculi Dextra Oculi Sinistra
Posisi bola mata Ortoforia Ortoforia
Pergerakan bola mata Normal ke segala arah Normal ke segala arah
Sekret - +
Palpebra superior Oedem (-) Oedem (+)
Palpebral inferior Oedem (-) Oedem (-)
Papil (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Cilia Normal Normal
Konjungtiva Bulbi Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (+),
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (+), kemosis
(+)
Konjungtiva Tarsal Hiperemi (-) Hiperemi (+)
Kornea Jernih Keruh
COA Dalam Dalam
Pupil
- Bulat Bulat Bulat
- Diameter 3 mm 3 mm
- Refleks + +
Iris Warna coklat Warna coklat
Lensa Jernih Jernih
TIO (palpasi) Normal Normal
Slitlamp Normal Bintik-bintik putih kecil
pada kornea
Funduskopi Tidak dievaluasi Tidak dievaluasi

14
Diagnosis :
- OD: Ametropia
- OS: Keratokonjungtivitis et causa suspect bakterial
Diagnosis Banding
- Uveitis akut
- Glaukoma akut
Penatalaksanaan
- Gentamicin EO 0-0-1 app OS
- Ofloxacin ED fl tiap 2 jam/hari gtt OS
- Artificial tears ED fl 8 gtt 1 OS
- Asam mefenamat 500 mg 2 x I tab
- Becom C 2 x I tab
- Edukasi: menggunakan pelindung mata (kacamata) agar terhindar dari
kotoran, menjaga kebersihan mata serta menjaga kesehatan tubuh (cuci
tangan), kontrol kembali satu minggu untuk mengevaluasi kembali
kemajuan terapi.
Prognosis
Dubia ad bonam

15
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis keratokonjungtivitis ditegakkan berdasarkan anamnesa,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Konjungtivitis sebaiknya
dibedakan dengan keratitis dengan perbedaan sebagai berikut:
Tanda Konjungtivitis Keratitis
Tajam penglihatan Normal Turun nyata
Silau Tidak ada Nyata
Sakit Pedas, rasa kelilipan Sakit
Mata merah Injeksi konjungtiva Injeksi siliar
Sekret Serous, mucous, purulen Tidak ada
Lengket kelopak Terutama pagi hari Tidak ada/berat
Edem kelopak mata Tidak ada/ringan, Tidak ada/berat
terutama pada
konjungtivitis adenoviral
Pupil Normal Mengecil
Kornea Normal Keruh, defek epitel pada
pewarnaan fluorescein
Berdasarkan hasil anamnesa diperoleh kombinasi gejala dan tanda pada
penyakit konjungtivitis dan keratitis sehinga pasien ini didiagnosis dengan
keratokonjungtivitis. Gejala dan tanda konjungtivitis pada pasien ini antara lain
mata merah, terasa seperti ada yang mengganjal serta adanya sekret/kotoran mata.
Selain itu gejala dan tanda keratitis pada pasien ini ialah adanya keluhan
penglihatan yang menjadi kabur dan rasa nyeri yang dirasakan seperti ada benda
asing.
Pemeriksaan penunjang untuk kelainan mata luar dengan pemeriksaan
slitlamp dengan atau tanpa pewarnaan fluoresein juga dapat dilakukan.
Pemeriksaan dengan mata telanjang tidak akan memperlihatkan kekeruhan
kornea, namun penggunaan slitlamp akan tampak adanya kekeruhan pada kornea
baik berupa gambaran infiltrate seperti titik putih kecil atau bercabang, bentuk dan
lokasi lainnya. Pada pasien ini ditemukan adanya gambaran beberapa titik putih
kecil di kornea namun halus dan sedikit tersebar pada mata kirinya.
Meskipun melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat diperkirakan etiologi
keratokonjungtivitis, pemeriksaan penunjang lain seperti hapusan dari konjungtiva
maupun kornea juga dapat dilakukan guna penegakan diagnosis. Dengan

16
melakukan apusan serta pewarnaan untuk menemukan beberapa gambaran berupa
sel-sel yang khas ditemukan pada masing-masing kasus keratokonjungtivitis.
Penatalaksanaan keratokonjungtivitis disesuaikan dengan etiologinya. Pada
kasus ini diberikan medikamentosa meliputi gentamisin yang merupakan
antibiotik gram negatif yang aerobik karena diagnosis pada pasien ini mengarah
pada keratokonjungtivitis bakterial sehingga untuk penanganan diberikan
antibiotik. Penggunaan salep mata yaitu pada malam hari untuk mengurangi
kekakuan pada kelopak mata di pagi hari. Pada pasien ini juga diberikan antibiotik
topikal tetes mata yang diberikan setiap 2 jam dalam 24 jam untuk mempercepat
proses penyembuhan, selain itu spectrum antibakterinya efektif terhadap bakteri
yang menyebabkan konjungtivitis bakterial seperti meningokok, Staphylococcus
aureus, Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan Escherichia coli.
Analgesik asam mefenamat yang merupakan golongan NSAID dapat diberikan
untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien. Sedangkan vitamin Becom C
merupakan tambahan untuk proses reepitelisasi kornea.
Edukasi yang diberikan ialah menggunakan pelindung mata seperti kacamata
untuk menghindari mata dari pajanan luar. Jangan mengusap atau menggaruk
mata karena dapat memperburuk kondisi peradangan pada mata. Membudayakan
cuci tangan dan perbaikan hygiene agar mencegah infeksi ulang maupun sekunder
serta mencegah penularan. Selain itu melakukan pengobatan sesuai yang
dianjurkan dan kembali kontrol 1 minggu kemudian untuk memantau kemajuan
maupun respon penyakit terhadap terapi yang diberikan serta mengontrol efek
samping obat yang mungkin timbul.
Prognosis keratokonjungtivitis ini tergantung pada luasnya jaringan parut
kornea yang terbentuk dimana penanganan dini dan tepat dapat mencegah
kerusakan mata permanen. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam
karena infiltrate yang ditemukan sebenarnya tidak banyak dan hanya berupa titik
kecil yang mana proses penyembuhan kembali lagi pada ketahanan dan kepatuhan
pasien sendiri.

17
BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan kasus pada seorang pria berusia 46 tahun, yang merupakan
pasien rawat jalan di poliklinik mata RSUP Prof. Kandou Malalayang. Dari hasil
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperoleh,
ditegakkan diagnosis keratokonjungtivitis okuli sinistra et causa suspect bakterial.
Penderita diberikan terapi analgetik, antibiotik dan vitamin. Prognosis pasien ini
dubia ad bonam.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas DSM, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.

2. American Academy of Ophthalmology. Preferred practice pattern:


conjunctivitis, 2nd ed. San Francisco, CA: American Academy of
Ophthalmology; 2003.

3. Stenson S, Newman R, Fedukowicz H. Laboratories studies in acute


conjunctivitis. Arch Ophthalmology. 1982; 100: 1275-77.

4. Weiss A, Brinser J, Nasae-Stewart V. Acute conjunctivitis in childhood. J


Pediatr Med. 1993; 122:10-14.

5. Giglotti F, Williams WT, Hayden FG. Etiology of acute conjunctivitis in


children. J. Pediatr. 1981;98: 531-36.

6. Fitch CP, Rapoza PA, Owens S. Epidemiology and diagnosis of acute


conjunctivitis at an inner-city hospital. Ophthalmology. 1989;96: 1215-20.

7. Sambursky RP, Fram N, Cohen Ej. The prevalence of adenoviral


conjunctivitis at the Wills Eye Hospital emergency room. Optometry.
2007;78:236-914.

8. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000.

9. Scott IU and Luu K. Conjunctivitis, viral. Emedicine, November 2016.


Available from: http://www.emedicine.medscape.com

10. Khaw PT, Shah Pand Elkington AR. ABC of Eyes. Fourth edition. BMJ
Publishing Group, 2004.

11. Bawazeer A and Hodge WG. Keratoconjunctivitis Epidemic. Emedicine.


November 206. Available from: http://emedicine.medscape.com

12. Yanoff, Myron, Duker JS and Augsburger JJ. Ophthalmologi 2nd edition:
Mosby, 2003.

Anda mungkin juga menyukai