Anda di halaman 1dari 20

Refarat

PTERIGIUM

Oleh :

Keren E. K. Mantik

17014101044

Supervisor Pembimbing

dr. Yamin Tongku, SpM

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Refarat dengan judul

“Pterigium”

telah dikoreksi, disetujui dan dibacakan pada Mei 2018

di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

Supervisor Pembimbing

dr. Yamin Tongku, SpM


BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium berasal dari kata Yunani pterygos yang berarti sayap kecil, yang
memberikan kesan perluasan jaringan seperti sayap yang berasal dari konjungtiva
ke bagian limbus kornea.1,2 Pterigium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaan kornea yang bersifat degeneratif dan invasif.3 Pertumbuhan ini
biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva
yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea.3 Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan derajat
pertumbuhan yang berbeda.4

Secara keseluruhan prevalensi pterigium berkisar antara 0,3-0,7% di


dunia. Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya.5 Prevalensi pterigium meningkat seiring meningkatnya usia.
Penelitian yang dilakukan di Victoria, Australia menunjukkan pterigium paling
banyak terdapat pada populasi usia lebih dari 40 tahun. Pterigium jarang terjadi
pada populasi usia kurang dari 20 tahun.5

Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium.2 Di daerah tropis seperti Indonesia,
dengan paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih
tinggi dibandingkan daerah non tropis.6

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga suatu


neoplasma, radang ataupun degenerasi, diduga disebabkan oleh iritasi yang terus
menerus dari angin, sinar matahari, udara yang panas dan debu. Pada tahap awal,
penderita sering sering mengeluhkan matanya terasa panas, perasaan mengganjal
seperti ada benda asing, mata merah, dan adanya gangguan penglihatan.
Tatalaksana untuk pterigium meliputi terapi konservatif dan pembedahan.2

2
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis pterigium
grade I okulus sinistra pada pasien yang datang berobat ke poliklinik Mata RSUP.
Prof. dr. R. D. Kandou Manado.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva dan Kornea

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata


bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva.
Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu7 :

 Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar


digerakkan dari tarsus.
 Konjungtiva bulbi, menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera
dibawahnya.
 Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi.

Gambar 1. Anatomi konjungtiva

4
Histologi Konjungtiva

Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresikan mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan airmata
secara merata di seluruh prekornea.7

Gambar 2. Anatomi konjungtiva

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri


palpebralis, kedua arteri ini beranastomosis dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring
vaskular konjungtiva yang banyak sekali. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit
mempunyai serat nyeri.7

5
Gambar 3. Vaskularisasi konjungtiva

Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea sangat
sensitif karena terdapat banyak serabut sensorik. Saraf sensorik ini berasal dari
nervus cilliaris longus yang berasal dari nervus nasosiliaris yang merupakan
cabang saraf oftalmikus dari nervus trigeminus. Kornea dalam bahasa latin
“cornum” artinya seperti tanduk merupakan selaput bening mata dengan ketebalan
kornea dibagian sentral hanya 0,5 mm, yang terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan
epitel, lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel.8

1. Lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva


bulbaris).
2. Membrane Bowman.
3. Stroma.
4. Membrane Descemet.
5. Lapisan Endotel

6
Gambar 4. Anatomi Kornea

B. Definisi

Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium adalah


proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah)
nasal konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya
menutupi permukaannya.2

Gambar 5. Pterigium

C. Epidemiologi

Prevalensi pterigium meningkat seiring meningkatnya usia. Penelitian


menunjukkan pterigium paling banyak terdapat pada populasi usia lebih dari 40
tahun. Pterigium jarang terjadi pada populasi usia kurang dari 20 tahun.5,7

Sinar ultraviolet (UV) terutama sinar UV-B merupakan faktor resiko yang
paling bermakna dalam patogenesis pterigium. Di daerah tropis seperti Indonesia,

7
dengan paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44 kali lebih
tinggi dinamdingkan daerah non tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di
Indonesia tertinggi dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah
di DKI Jakarta (0,4%), prevalensi di Sulawesi Utara sebanyak 4,5%. Laki-laki
lebih banyak dari perempuan, dan lebih banyak pada usia ≥ 75 tahun.6

D. Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar


matahari, dan udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga
merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.8 Pterigium diduga
merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan lingkungan
dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan pterigium
antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain yang terbang masuk ke
dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk
kondisi ini.

Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko yang diduga dapat menyebabkan timbulnya pterigium


yaitu:

1. Lokasi geografis, berdasarkan hasil studi epidemiologi dijumpai adanya


asosiasi antara paparan yang lama terhadap sinar matahari pada daerah-
daerah geografis dengan kejadian pterigium.10

2. Usia, beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan prevalensi


pterigium, dimana terjadi peningkatan angka kejadian pterigium sesuai
dengan meningkatnya usia dimana dijumpai adanya hubungan yang erat,
risiko meningkat dan mencapai puncak pada usia 70-81 tahun.10

3. Kekeringan pada mata, beberapa penelitian menemukan adanya


hubungan yang positif antara mata kering dengan pterigium akan tetapi

8
masih belum diketahui apakah mata kering menyebabkan pterigium
ataupun sebaliknya.

4. Pekerjaan, salah satu pekerjaan yang memiliki risiko terjadinya pterigium


adalah orang-orang yang berkerja di luar ruangan seperti petani, nelayan
ataupun pelaut.11

E. Patofisiologi

Terdapat banyak teori yang mencoba mengemukakan tahap patogenesis


dari penyakit ini, dan teori-teori tersebut mencakup :

1. Paparan terhadap sinar UV

Paparan terhadap sinar UV terutama UV-B menyebabkan


terjadinya perubahan sel di dekat limbus dan juga terjadi peningkatan
produksi dari interleukin yang signifikan yaitu, IL-I, IL-6, IL-8 dan TNFα.
Selain itu, terdapat peningkatan proliferasi dari jaringan akibat
peningkatan pembentukan enzim metalloproteinase (MMP) dalam kadar
yang lebih tinggi daripada tissue inhibitors. Beberapa teori menyatakan
bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi dari supresor gen tumor
TP53 sehingga terjadi proliferasi abnormal pada epitel limbus.9

Mutasi pada gen TP53 juga menghasilkan TGF-B sehingga


disebutkan bahwa pterigium merupakan tumor penghasil TGF-B dimana
sekresi berlebihan dari TGF-B bahkan menimbulkan berbagai perubahan
jaringan dan ekspresi dari MMP. Awalnya sel pterigium menghasilkan
MMp-2, MMp-9, MT1-MMp, dan MT2-MMP yang akan menyebabkan
kerusakan ikatan hemidesmosom dan terjadi penyebaran pterigium ke
segala arah yang akibat produksi TGF-B, jaringan di sekitar pterigium
memiliki lapisan sel yang lebih tipis.9,10

2. Teori Growth Factor dan Sitokin Proinflamasi

Komponen ini timbul melalui proses angiogenesis yang dirangsang


oleh VEGF (Vascular Endothelial Growth factor). Inflamasi kronis pada

9
pterigium merangsang keluarnya berbagai growth factor dan sitokin
seperti, FGF, PDGF, TGF-β, dan TNF-α serta VEGF yang akan
mengakibatkan proliferasi sel, remodeling matriks ektra sel dan
angiogenesis. Selain meningkatnya growth factor ditemukan menurunnya
10actor penghambat pertumbuhan seperti TSP-I.9

3. Teori Stem Cell

Faktor lingkungan (debu) menyebabkan kerusakan sel basal limbus


dan merangsang keluarnya sitokin proinflamasi. Sitokin ini akan
memproduksi matriks proteinase untuk merusak matriks ektrasel, sehingga
pterigium dapat mencapai kornea. Sitokin ini juga dapat merangsang
sumsum tulang untuk mengeluarkan stem sel, dimana stem sel ini juga
akan memproduksi sitokin sambil juga menyembuhkan kornea. Sitokin
dan berbagai growth faktor akan mempengaruhi stem sel di limbus
sehingga terjadi perubahan sel fibroblast endotel dan epitel yang akhirnya
akan menimbulkan pterigium.9

Beberapa penelitian juga memberikan hasil yang serupa dimana


radiasi sinar UV akan menyebabkan mikro trauma yang menyebabkan
timbulnya lesi inflamasi. Gen p53 diduga memegang peranan utama dalam
patogenesis pterigium, sedangkan faktor lain seperti “debu, angin, panas,
dan kekeringan” merupakan faktor yang sekunder.9 Proliferasi sel,
inflamasi, modifikasi jaringan konjungtiva, dan angiogenesis dipengaruhi
oleh adanya faktor-faktor pertumbuhan seperti FGF, PDGF, TGF, dan
TNF-α.9

F. Klasifikasi

Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:10

 Grade 0 : tidak ada pterigium


 Grade I : puncak pada konjungtiva bulbi
 Grade II : puncak lewat limbus tapi belum melewati setengah
jarak antara limbus dan pupil.

10
 Grade III : puncak melewati setengah jarak antara limbus dan
pupil tetapi belum melewati pupil.
 Grade IV : puncak sudah melewati pupil.

Gambar 6. Stadium Pterigium

G. Gejala Klinis

Pasien biasanya mengeluhkan adanya iritasi ringan dengan keluhan mata


merah, kering, atau terasa ada benda pada mata. Keluhan ini dapat diperparah
dengan adanya peradangan akut pada pterigium.10 Pada pemeriksaan dapat
dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular berbentuk segitiga dengan
pinggiran yang meninggi dengan apeks yang mencapai kornea dan badannya
terletak pada konjugtiva inter palpebra. Bagian puncak dari jaringan pterigium ini
biasanya menampakkan garis coklat-kemerahan yang merupakan tempat deposisi
besi yang disebut garis Stocker.11

H. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa
Pemberian air mata buatan/ artificial tears drop (Cendo Lyteers).
Penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi
(misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Untuk pterigium stadium 1-
2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.2,12,13

11
2. Non medikamentosa

a. Pembedahan
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil
yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Berikut ini teknik pembedahan
pada pterigium12:
1) Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan
kembalikonjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon
rektus, menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak
dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan).
2) Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3) Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap
4) Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
5) Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan.
b. Menjaga kebersihan mata
c. Menghindari terpapar debu dan sinar UV yang berlebihan yaitu dengan
cara menggunakan topi dan kacamata anti UV.
3. Terapi Tambahan
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian13:

12
a. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.
b. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
c. Sinar Beta.
d. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.

I. Komplikasi dan Pencegahan

1. Komplikasi

Komplikasi dari pterigium antara lain13 :

a. Penurunan penglihatan

b. Kemerahan

c. Iritasi

d. Parut pada konjungtiva dan kornea

e. Diplopia akibat keterlibatan otot ekstraokular yang akan


menghambat pergerakan bola mata.

f. Pada pasien yang belum menjalani operasi, parut pada rektus


media merupakan penyebab tersering.

Komplikasi pasca operatif13:

a. Infeksi

b. Reaksi alergi terhadap bahan jahit

c. Diplopia

d. Tidak bersatunya graft konjungtiva

13
e. Parut konrea

f. Komplikasi yang jarang antara lain : perforasi bola mata,


perdarahan vitreus, atau retinal detachment

2. Pencegahan

Meminimalisir paparan terhadap sinar UV. Edukasi pasien


merupakan pencegahan utama untuk pterigium. Pasien di edukasi
mengenai pemakaian topi dan kacamata dengan lensa yang dilapisi untuk
mencegah masuknya sinar UV ke mata.2,13

J. Prognosis
Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi
operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.3 Eksisi pada pterigium pada
penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi
dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal
autografts atau transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.13

14
BAB IV
SIMPULAN

Pterigium berasal dari kata Yunani pterygos yang berarti sayap kecil, yang
memberikan kesan perluasan jaringan seperti sayap yang berasal dari konjungtiva
ke bagian limbus kornea.1,2 Pterigium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaan kornea yang bersifat degeneratif dan invasif.3 Pertumbuhan ini
biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva
yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea.3 Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan derajat
pertumbuhan yang berbeda.4

Prevalensi pterigium meningkat seiring meningkatnya usia. Penelitian


menunjukkan pterigium paling banyak terdapat pada populasi usia lebih dari 40
tahun. Pterigium jarang terjadi pada populasi usia kurang dari 20 tahun.5,7
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan
udara panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan
suatu neoplasma, radang, dan degenerasi.8 Pterigium diduga merupakan fenomena
iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan lingkungan dengan angin banyak.
Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan pterigium antara lain uap kimia,
asap, debu dan benda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa
studi menunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini. Beberapa faktor
risiko yang diduga dapat menyebabkan timbulnya pterigium yaitu lokasi
geografis, kekeringan pada mata, dan pekerjaan.

Paparan terhadap sinar UV terutama UV-B menyebabkan terjadinya


perubahan sel di dekat limbus dan juga terjadi peningkatan produksi dari
interleukin yang signifikan yaitu, IL-I, IL-6, IL-8 dan TNFα. Selain itu, terdapat
peningkatan proliferasi dari jaringan akibat peningkatan pembentukan enzim
metalloproteinase (MMP) dalam kadar yang lebih tinggi daripada tissue
inhibitors. Beberapa teori menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan

15
mutasi dari supresor gen tumor TP53 sehingga terjadi proliferasi abnormal pada
epitel limbus.9 Inflamasi kronis pada pterigium merangsang keluarnya berbagai
growth factor dan sitokin seperti, FGF, PDGF, TGF-β, dan TNF-α serta VEGF
yang akan mengakibatkan proliferasi sel, remodeling matriks ektra sel dan
angiogenesis. Selain meningkatnya growth factor ditemukan menurunnya 16actor
penghambat pertumbuhan seperti TSP-I.9

Pasien dengan pterygium biasanya mengeluhkan adanya iritasi ringan


dengan keluhan mata merah, kering, atau terasa ada benda pada mata. Keluhan ini
dapat diperparah dengan adanya peradangan akut pada pterigium.10 Pada
pemeriksaan dapat dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular berbentuk
segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan apeks yang mencapai kornea
dan badannya terletak pada konjugtiva inter palpebra. Bagian puncak dari jaringan
pterigium ini biasanya menampakkan garis coklat-kemerahan yang merupakan
tempat deposisi besi yang disebut garis Stocker.

Tatalaksana pterygium secara medikamentosa yaitu dengan Pemberian air


mata buatan/ artificial tears drop (Cendo Lyteers). Penggunaan jangka pendek
tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila
gejala lebih intens. Untuk pterigium stadium 1-2 yang mengalami inflamasi,
pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali
sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami
kelainan pada kornea.2,12,13 Secara non-medikamentosa dapat dilakukan
pembedahan, menjaga kebersihan mata, menghindari terpapar debu dan sinar UV
yang berlebihan yaitu dengan cara menggunakan topi dan kacamata anti UV.

Komplikasi dari pterigium antara lain penurunan penglihatan, kemerahan,


iritasi, jaringan parut pada konjungtiva dan kornea, diplopia akibat keterlibatan
otot ekstraokular yang akan menghambat pergerakan bola mata. Pada pasien yang
belum menjalani operasi, parut pada rektus media merupakan penyebab tersering.
Komplikasi pasca operatif yang dapat terjadi antara lain infeksi, reaksi alergi
terhadap bahan jahit, diplopia, tidak bersatunya graft konjungtiva, parut kornea,
dan komplikasi lain yang jarang terjadi seperti perforasi bola mata, perdarahan

16
vitreus, atau retinal detachment. 13 Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan
meminimalisir paparan terhadap sinar UV. Edukasi pasien merupakan pencegahan
utama untuk pterigium. Pasien di edukasi mengenai pemakaian topi dan kacamata
dengan lensa yang dilapisi untuk mencegah masuknya sinar UV ke mata.2,13

Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi


operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.3 Eksisi pada pterigium pada
penglihatan dan kosmetik adalah baik. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi
dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal
autografts atau transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.13

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :


http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-
2010.pdf. 2013

2. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics


Of Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) :
308-13.

3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.

hal:2-6, 116 – 117

4. Erry, Mulyani, U.A., Susilowati, D., 2011. Distribusi dan Karakterisitik


Pterigium di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan 14, 84–49.

5. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In


Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.

6. Erry. Mulyani UA, Susilowatu D. Distribusi dan Karakteristik


Pterigiumndi Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Jakarta: 2010.

7. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.

hal:2-6, 116 – 117

8. Djajakusli Shintya, Rukiagh Syawal, Junaedi Sirajuddin, Noor Syamsu.


The Profile of Tear Mucin Layer and Impresssion Cytology in Pterygium
Patients. Jurnal oftamologi Indonesia (JOI), Vol 7. No. 4 Desember 2010:
139-43.

18
9. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

10. Hastuti E. Efek desferioxamine topikal pada Pterigium. Dalam


Gondhowiardjo Tj. Ophthalmologica Indonesiana Journal of The
Indonesian Ophthalmologist Association. FKUI. Jakarta, 2002: 125-31.

11. Edward J H, Mark J. Mannis. Ocular surface disease, medical surgical


management, 2002.

12. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In
Pterigium Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.

13. Ptergygium In Handbook of Ocular Diseases Management. Dikutip dari :


http://www.revoptom.com/handbook/sectzi.thm. Diakses tanggal 22
Januari 2018.

19

Anda mungkin juga menyukai