Anda di halaman 1dari 21

Tugas Kelompok

Mata Kuliah : Epidemiologi Kesehatan Darurat


Dosen : Prof. Dr. drg. A. Arsunan Arsin, M.Kes

MANAJEMEN BENCANA TSUNAMI

KELOMPOK 3

Nurasiah Musa (P1804216004)


Khaeriyah Adri (P1804216005)
Irma Said (P1804216006)
Ermawati Syam (P1804216011)
La Ode Yasir Hamusu (P1804216012)
Nur Fadhilah (P1804216017)
Andi Nurhalizah Tenriyola (P1804216018)
Andi Hardianti (P1804216024)

KONSENTRASI EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
A. PENDAHULUAN
Tsunami adalah gelombang air laut yang merambat ke segala arah dan terjadi karena
adanya gangguan impulsif pada dasar laut. Gangguan impulsif terjadi karena perubahan
bentuk struktur geologis dasar laut secara vertikal utamanya dan dalam waktu singkat.
Perubahan tersebut disebabkan oleh tiga sumber utama, yaitu gempabumi tektonik, letusan
gunung api, atau longsoran yang terjadi di dasar laut. Berdasarkan ketiga sumber tersebut,
penyebab utama tsunami di Indonesia adalah gempabumi tektonik.
Tidak semua gempabumi tektonik mengakibatkan tsunami, tetapi sebagian besar tsunami
disebabkan oleh gempabumi. Gempabumi yang dapat memicu tsunami memiliki kriteria
sebagai berikut:
1. Gempabumi tektonik terjadi di bawah laut
2. Kedalaman (hiposenter) gempabumi kurang dari 100 km
3. Kekuatan 7 Skala Richter (SR) atau lebih
4. Pergerakan lempeng tektonik terjadi secara vertikal, mengakibatkan dasar laut naik/turun,
dan mengangkat/menurunkan kolom air di atasnya
Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap tsunami, terutama daerah-daerah pantai
yang berhadapan langsung dengan pertemuan Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik,
antara lain bagian barat Pulau Sumatera, selatan Pulau Jawa, Nusa Tenggara, bagian utara
Papua, Sulawesi dan Maluku, serta bagian timur Pulau Kalimantan

Berdasarkan jarak, tsunami diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:


1. Tsunami jarak dekat/lokal (near field/local field tsunami)
Tsunami jarak dekat adalah tsunami yang terjadi di sekitar jarak 200 km dari episenter
gempabumi. Tsunami lokal dapat disebabkan oleh gempabumi, longsor, atau letusan
gunung berapi.
2. Tsunami jarak jauh (far field tsunami)
Tsunami jarak jauh adalah tsunami yang terjadi di daerah pantai yang berjarak ratusan
hingga ribuan kilometer dari sumber gempabumi. Awalnya merupakan tsunami jarak dekat
dengan kerusakan yang luas di daerah dekat sumber gempabumi, kemudian tsunami
tersebut terus menjalar melintasi seluruh cekungan laut dengan energi yang cukup besar
dan menimbulkan banyak korban serta kerusakan di pantai yang berjarak lebih dari
1000km dari sumber gempabumi (ITIC, Tsunami Glossary).

B. KEGIATAN MANAJEMEN BENCANA TSUNAMI


1. Sebelum Bencana
a. Mitigasi (mitigation)
Menurut BNPB (2008), mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi dapat didefinisikan sebagai “aksi
yang mengurangi atau menghilangkan resiko jangka panjang bahaya bencana alam dan
akibatnya terhadap manusia dan harta-benda” (FEMA, 2000).
Untuk mitigasi bahaya tsunami, sangat diperlukan ketepatan dalam menilai kondisi
alam yang terancam, merancang dan menerapkan teknik peringatan bahaya, dan
mempersiapkan daerah yang terancam untuk mengurangi dampak negatif dari bahaya
tersebut.
Secara lebih rinci upaya pengurangan bencana tsunami antara lain:
1) Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan tenhadap bahaya tsunami.
2) Pendidikan kepada masyarakat tentang karakteristik dan pengenalan bahaya
tsunami.
3) Menerbitkan peta wilayah rawan bencana tsunami.
4) Pembangunan tsunami Early Warning System.
5) Pembangunan tembok penahan tsunami pada garis pantai yang beresiko.
6) Penanaman mangrove serta tanaman lainnya sepanjang garis pantai meredam gaya
air tsunami.
7) Pembangunan tempat-tempat evakuasi yang aman di sekitar daerah pemukiman.
tempat/bangunan ini harus cukup tinggi dan mudah diakses untuk menghidari
ketinggian tsunami.
8) Pembangunan rumah yang tahan terhadap bahaya tsunami.
9) Mengenali karakteristik dan tanda-tanda bahaya tsunami di lokasi sekitarnya.
10) Memahami cara penyelamatan jika terlihat tanda-tanda tsunami.
11) Mengadakan pelatihan penanggulangan bencana tsunami kepada masyarakat di
wilayah rawan bencana tsunami.
12) Mengadakan penyuluhan atas upaya peningkatan kewaspadaan masyarakat di
wilayah rawan bencana tsunami.
13) Memberikan laporan sesegera mungkin jika mengetahui tanda-tanda akan
terjadinya tsunami kepada petugas yang berwenang: Kepala Desa, Polisi, Stasiun
radio, SATLAK PB dan lain-lain.
14) Melengkapi diri dengan alat komunikasi.
b. Kesiapan (preparedness)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak negatif dari bencana. Kesiapsiagaan
bencana merupakan proses dari penilaian, perencanaan dan pelatihan untuk
mempersiapkan sebuah rencana tindakan yang terkoordinasi dengan baik (UU RI No 24
Tahun 2007).
Kegiatan kategori ini tergantung pada penilaian bahaya dan peringatan. Persiapan
yang layak terhadap peringatan bahaya tsunami membutuhkan pengetahuan tentang
daerah yang kemungkina terkena bahaya (peta inundasi tsunami) dan pengetahuan
tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus mengevakuasi dan kapan
saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tanpa kedua pengetahuan akan muncul
kemungkinan kegagalan mitigasi bahaya tsunami. Tingkat kepedulian publik dan
pemahamannya terhadap tsunami juga sangat penting. Jenis persiapan lainnya adalah
perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas vital masyarakat seperti
sekolah, kantor polisi dan pemadam kebakaran, rumah sakit berada diluar zona bahaya.
Usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang tahan terhadap tsunami,
melindungi bangunan yang telah ada dan menciptakan breakwater penghalang tsunami
juga termasuk bagian dari persiapan.
Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi,
kegiatan yang dilakukan antara lain:
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.
2) Pelatihan siaga/simulasi/gladi/teknis bagi setiap sektor Penanggulangan bencana
(SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).
3) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
4) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
6) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning)
7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)
8) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)
c. Peringatan Dini (early warning)
Peringatan dini adalah kombinasi kemampuan teknologi dan kemampuan masyarakat
untuk menindaklanjuti hasil dari peringatan dini tersebut. Peringatan dini sebagai bagian
dari pengurangan risiko bencana tidak hanya mengenai peringatan yang akurat secara
teknis, tetapi juga harus membangun pemahaman risiko yang baik dari suatu peringatan,
dan juga meningkatkan kemampuan otoritas dan masyarakat untuk bereaksi secara
benar terhadap peringatan dini. Jika salah satu komponen tersebut tidak terpenuhi, maka
sistem peringatan dini tidak akan berhasil secara keseluruhan.
Ina-TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) adalah suatu sistem
peringatan dini tsunami yang komprehensif, yang di dalamnya telah diterapkan
teknologi baru yang dikenal dengan Decision Support System (DSS). Ina-TEWS
mampu memberikan peringatan dini tsunami dalam waktu lima menit setelah kejadian
gempa bumi yang berpotensi membangkitkan tsunami. Ina-TEWS dibangun Pemerintah
Indonesia dengan melibatkan 18 institusi Pemerintah, dan didukung finansial maupun
teknologi dari 5 negara donor, yaitu Jerman, Cina, Jepang, Amerika Serikat dan
Perancis. Sistem peringatan dini tsunami Indonesia merupakan integrasi dari beberapa
jenis sensor yang digunakan untuk membaca fenomena alam yang berbeda. Bacaan
tersebut menjadi bahan masukan penting untuk memberikan gambaran bahwa jika
terjadi gempa bumi dan gempa tersebut memicu terjdinya tsunami yang ditimbulkan
oleh dampak sesuatu gempa amatlah penting.
Tujuan utama sistem peringatan dini yang terpusat pada masyarakat (people-centred
early warning system) adalah “menguatkan kemampuan individu, masyarakat, dan
organisasi yang terancam bahaya untuk bersiap siaga dan bertindak tepat waktu dan
benar agar dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban”
(UNISDR, 2006).

Rentang waktu berita peringatan dini tsunami local

T0 – T1: Ketika gempabumi terjadi (T0), seluruh sensor pencatat gempabumi yang
berada di stasiun seismik di sekitar sumber gempabumi akan mencatat data-data
gempabumi dan mengirimkannya ke pusat pengolahan di BMKG Pusat untuk diproses.
Untuk gempabumi di wilayah Indonesia diperlukan waktu kurang dari 5 menit (T0-T1).

Sistem pengolahan otomatis data seismik di BMKG Pusat mengeluarkan parameter


gempabumi, kemudian petugas SeisComP3 melakukan pemeriksaan hasil pengolahan
otomatis dan mengoreksinya secara interaktif hingga diperoleh parameter gempabumi
yang sesuai. Jika terdapat potensi tsunami, operator dapat menentukan daerah yang
berpotensi terkena dampak dan status ancaman dengan menggunakan DSS.

Parameter gempabumi dikirim ke sistem diseminasi dan juga ke DSS. Kemudian DSS
memprosesnya dan memberikan gambaran proposal yang siap untuk dilanjutkan yang
mana petugas DSS harus menekan tombol guna memperoleh proposal dari DSS. Hasil
akhir dari DSS adalah proposal berita peringatan dini atau proposal berita gempabumi
yang akan dikirimkan ke sistem diseminasi atas keputusan petugas DSS. Jika
gempabumi tersebut besar dan dirasakan sangat kuat atau gempabumi tidak begitu kuat
tetapi terasa cukup lama, masyarakat di daerah berisiko bencana harus segera
mengambil tindakan penyelamatan diri tanpa harus menunggu berita peringatan dini
dari BMKG.

T1: Pengiriman berita gempabumi atau berita peringatan dini tsunami


(T1 ≤ 5 menit). Berita gempabumi dengan kekuatan di atas 5.0 SR akan
didiseminasikan secara serentak melalui sms, email, dan faks ke pemda, para pejabat
terkait, dan nomor ponsel yang telah terdaftar dalam daftar penerima informasi gempa
BMKG. Jika parameter gempabumi menunjukkan adanya ancaman tsunami
(gempabumi teknonik dengan kekuatan > 7 SR dan kedalaman < 100 km serta letak
episenter di laut atau di daratan dekat laut), maka Berita 1 didiseminasikan berdasarkan
hasil keluaran DSS menggunakan model tsunami pada database tsunami. Berita 1
berisikan parameter gempabumi dan/atau jika sudah tersedia akan berisi informasi
perkiraan dampak tsunami yang digambarkan dalam tiga status ancaman (AWAS,
SIAGA, atau WASPADA) untuk masing-masing daerah yang berpotensi terkena
dampak.

T2: Disesuaikan dengan masing-masing status ancaman, pemda setempat harus segera
bereaksi terhadap Berita 1 dengan mengambil keputusan apakah evakuasi diperlukan
dan mengumumkannya kepada masyarakat menggunakan fasilitas yang ada, seperti
membunyikan sirene, pengeras suara masjid, kentungan, atau alat bantu lainnya.
Masyarakat harus dapat memahami tanda bahaya dan mengikuti arahan dari pemda
setempat untuk segera melakukan evakuasi ke tempat aman yang telah ditentukan.

T3: Berita 2 berisikan perbaikan parameter gempabumi dan status ancaman. Selain itu,
juga berisi perkiraan waktu tiba tsunami di pantai.

T4: Berita 3 berisikan hasil observasi tsunami dan perbaikan status ancaman yang
dapat didiseminasikan beberapa kali tergantung pada hasil pengamatan tsunami di
stasiun tide gauge dan buoy.
T5 – T6: BMKG terus memantau penyebaran tsunami dan memberikan pembaruan
informasi tsunami melalui Berita 3 (bisa berkali-kali).

T7: Berita 4 berisikan pengumuman “Ancaman tsunami telah berakhir” dan


dikeluarkan setelah menerima data pendukung dari tide gauge dan/atau masyarakat telah
memberikan konfirmasi jika tsunami tidak nampak lagi. Berita 4 dikeluarkan paling
cepat 2 jam setelah Berita 1 (T1) didiseminasikan.

Empat Unsur Sistem Peringatan Dini Berpusat Pada Masyarakat


Syarat sebuah sistem peringatan dini yang lengkap dan efektif serta terpusat pada
masyarakat (people-centered) adalah terpenuhinya empat komponen yang terpisah
namun saling terjalin, yaitu Pengetahuan Risiko, Pemantauan Bahaya dan Layanan
Peringatan, Penyebaran dan Komunikasi, dan Kemampuan Respons (UNISDR, 2006).
Rantai komunikasi Peringatan dini Tsunami

Peran dan Tanggung Jawab Lembaga dan Masyarakat di dalam rantai


komunikasi Peringatan Dini tsunami INATEWS.
InaTEWS memiliki 2 sistem pemantauan yakni:
1) sistem pemantauan darat terdiri atas jaringan seismometer broadband dan GPS
2) sistem pemantauan laut (sea monitoring system) terdiri atas tide gauges, buoy,
CCTV, radar tsunami, dan kabel bawah laut (dua yang terakhir masih dalam tahap
pengembangan). Data hasil observasi dikirimkan ke BMKG menggunakan sistem
komunikasi yang utamanya berbasiskan satelit.
Ketinggian tsunami berdasarkan hasil perhitungan ini dibagi menjadi tiga status
ancaman tsunami, yaitu:
1) Tinggi tsunami ≥ 3 meter menyajikan status ancaman AWAS
2) Tinggi tsunami ≥ 0,5 dan < 3 meter menyajikan status ancaman SIAGA
3) Tinggi tsunami < 0,5 meter menyajikan status ancaman WASPADA
Rantai komunikasi peringatan dini tsunami
BMKG mengoperasikan Pusat Nasional Peringatan Dini Tsunami Indonesia dan
menjadi satusatunya institusi resmi pemerintah yang ditunjuk dan bertanggung jawab
untuk mengeluarkan peringatan tsunami. Peringatan ini mempunyai dua tujuan, yaitu:
untuk memicu evakuasi jika terjadi ancaman tsunami, dan melakukan persiapan bantuan
darurat bagi BNPB, jika dibutuhkan.
BMKG mengeluarkan peringatan tsunami dari kantor pusat di Jakarta ke lembaga
perantara seperti media, pemerintah daerah (pemda), BNPB, Polisi, TNI, SAR, dan
institusi lainnya di tingkat nasional dan daerah, melalui jaringan komunikasi yang
dikenal dengan 6 in 1. Pesan peringatan tsunami ini dapat diakses oleh publik melalui
media massa, situs web BMKG, atau jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.
Penyebarluasan berita peringatan dini tsunami kepada masyarakat menjadi tanggung
jawab lembaga atau badan yang terkait dengan manajemen bencana. BMKG hanya
bertanggungjawab untuk menyiapkan dan mengeluarkan peringatan kepada masyarakat
melalui lembaga perantara. Sesuai dengan Instruksi Presiden yang dikeluarkan pada
konferensi pers di Hotel Marbela Anyer, 20 Juli 2006, BMKG bertugas menyiapkan dan
mengeluarkan peringatan tsunami dalam waktu lima menit setelah gempabumi. Fase
selanjutnya menjadi tanggung jawab berbagai institusi perantara untuk
menyebarluaskan peringatan dini tsunami kepada masyarakat yang berisiko terkena
dampaknya.

Tiga tugas pokok Pemda (kotak merha) dalam pelaksanaan peringatan dini tsunami
Perkiraan rentang waktu kejadian tsunami lokal dan informasi yang diterima serta persoalan
ketidakpastian dan waktu reaksi terbatas.

Penjabaran tingkat peringatan dini dan saran BMKG untuk Pemda kepada masyarakat
2. Saat Bencana
Kegiatan pada tahap event (saat terjadinya tsunami) meliputi kegiatan-kegiatan pada
periode tanggap darurat, yakni serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
saat terjadinya tsunami untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan.
Penyelenggaraan penanggulangan tsunami pada saat tanggap darurat meliputi:
a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan
sumber daya
Informasi awal data kejadian bencana bisa didapatkan melalui beberapa sumber
antara lain: Laporan instansi/lembaga terkait, media massa, masyarakat dan internet.
Kebenaran informasi perlu dikonfirmasi di lapangan dengan pertanyaan: apa, kapan,
dimana, bagaimana kondisi, berapa jumlah korban, akibat yang ditimbulkan, upaya
yang telah dilakukan, dan kebutuhan bantuan yang harus segera diberikan.
Dari informasi kejadian awal yang diperoleh, tim Assesment melakukan pengkajian
secara cepat dan tepat, melakukan pemetaan lokasi bencana dan camp pengungsian serta
memberikan dukungan pendampingan dalam rangka kegiatan tanggap darurat.
b. Penentuan status keadaan darurat bencana
Berdasar dari hasil laporan tim reaksi cepat dan kajian tim assessment ditentukan
status/skala bencana. Tindak lanjut dari penetapan status/tingkat bencana tersebut, maka
Kepala BNPB/BPBD Provinsi/BPBD Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya
menunjuk seorang pejabat sebagai komandan penanganan tanggap darurat bencana
sesuai status/tingkat bencana skala nasional/daerah.
c. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena tsunami
Dari informasi kejadian awal yang diperoleh, BNPB/BPBD Provinsi/BPBD
Kabupaten/Kota menugaskan Tim Reaksi Cepat tanggap darurat (Rumah sakit dan
SAR) dan Tim Assesment, untuk melaksanakan tugas kedaruratan (pertolongan medis
dan evakuasi masyarakat yang terkena tsunami).
d. Pemenuhan kebutuhan dasar
Memberikan bantuan sarana dan prasarana dasar yang diperlukan antara lain
penyediaan tempat penampungan sementara korban tsunami, bantuan tenaga medis/para
medis, obat-obatan, pakaian dan bahan makanan.
e. Perlindungan terhadap kelompok rentan
Dalam memenuhi kebutuhan dasar selama darurat, perlu diperhatikan hak-hak
kelompok rentan, misalnya orang jompo, ibu hamil, balita, orang sakit, orang cacat, dan
usia lanjut.
f. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital
Kegiatan yang dilakukan meliputi pengamanan asset vital seperti instalasi air minum,
jaringan listrik, dan jaringan telekomunikasi.

3. Pasca Bencana
a. Rehabilitasi Pasca Bencana Tsunami
1) Pengertian
Rehabilitasi Tsunami adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
tsunami dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana
tsunami.
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan : perbaikan lingkungan daerah bencana,
perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah
masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan
resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan
ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
Dalam penentuan kebijakan rehabilitasi prinsip dasar yang digunakan adalah
sebagai berikut :
a) Menempatkan masyarakat tidak saja sebagai korban bencana, namun juga sebagai
pelaku aktif dalam kegiatan rehabilitasi.
b) Kegiatan rehabilitasi merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan terintegrasi
dengan kegiatan prabencana, tanggap darurat dan pemulihan dini serta kegiatan
rekonstruksi.
c) “Early recovery” dilakukan oleh “Rapid Assessment Team” segera setelah terjadi
bencana.
d) Program rehabilitasi dimulai segera setelah masa tanggap darurat (sesuai dengan
Perpres tentang Penetapan Status dan Tingkatan Bencana) dan diakhiri setelah
tujuan utama rehabilitasi tercapai.
2) Ruang Lingkup Pelaksanaan
a) Perbaikan Lingkungan Daerah Bencana
Perbaikan lingkungan fisik meliputi kegiatan : perbaikan lingkungan fisik untuk
kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan usaha dan kawasan gedung.
Indikator yang harus dicapai pada perbaikan lingkungan adalah kondisi
lingkungan yang memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta
ekosistem
b) Perbaikan Prasarana dan Sarana Umum
Prasarana dan sarana umum adalah jaringan infrastruktur dan fasilitas fisik yang
menunjang kegiatan kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat. Prasarana
umum atau jaringan infrastruktur fisik disini mencakup: jaringan jalan/
perhubungan, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan komunikasi, jaringan
sanitasi dan limbah, dan jaringan irigasi/ pertanian. Sarana umum atau fasilitas
sosial dan umum mencakup : fasilitas kesehatan, fasilitas perekonomian, fasilitas
pendidikan, fasilitas perkantoran pemerintah, dan fasilitas peribadatan.
c) Pemberian Bantuan Perbaikan Rumah Masyarakat
Yang menjadi target pemberian bantuan adalah masyarakat korban bencana yang
rumah/ lingkungannya mengalami kerusakan struktural hingga tingkat sedang
akibat bencana, dan masyarakat korban berkehendak untuk tetap tinggal di tempat
semula. Kerusakan tingkat sedang adalah kerusakan fisik bangunan sebagaimana
Pedoman Teknis (DepPU, 2006) dan/ atau kerusakan pada halaman dan/ atau
kerusakan pada utilitas, sehingga mengganggu penyelenggaraan fungsi huniannya.
Untuk bangunan rumah rusak berat atau roboh diarahkan untuk rekonstruksi.
Tidak termasuk sasaran pemberian bantuan rehabilitasi adalah rumah/ lingkungan
dalam kategori: pembangunan kembali (masuk dalam rekonstruksi), pemukiman
kembali (resettlement dan relokasi), transmigrasi ke luar daerah bencana
d) Pemulihan Sosial Psikologis
Pemulihan sosial psikologis adalah pemberian bantuan kepada masyarakat yang
terkena dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara normal. Sedangkan
kegiatan psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen masyarakat
agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial secara normal. Kegiatan ini dapat
dilakukan oleh siapa saja yang sudah terlatih. Pemulihan sosial psikologis
bertujuan agar masyarakat mampu melakukan tugas sosial seperti sebelum terjadi
bencana, serta tercegah dari mengalami dampak psikologis lebih lanjut yang
mengarah pada gangguan kesehatan mental.
e) Pelayanan Kesehatan
Pemulihan pelayanan kesehatan adalah aktivitas memulihkan kembali segala
bentuk pelayanan kesehatan sehingga minimal tercapai kondisi seperti sebelum
terjadi bencana. Pemulihan sistem pelayanan kesehatan adalah semua usaha yang
dilakukan untuk memulihkan kembali fungsi sistem pelayanan kesehatan yang
meliputi : SDM Kesehatan, sarana/prasarana kesehatan, kepercayaan masyarakat.
f) Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik
Kegiatan rekonsiliasi adalah merukunkan atau mendamaikan kembali pihak-pihak
yang terlibat dalam perselisihan, pertengkaran dan konflik. Sedangkan kegiatan
resolusi adalah memposisikan perbedaan pendapat, perselisihan, pertengkaran
atau konflik dan menyelesaikan masalah atas perselisihan, pertengkaran atau
konflik tersebut. Rekonsiliasi dan resolusi ditujukan untuk membantu masyarakat
di daerah bencana untuk menurunkan eskalasi konflik sosial dan ketegangan serta
memulihkan kondisi sosial kehidupan masyarakat.
g) Pemulihan Sosial Ekonomi Budaya
Pemulihan sosial ekonomi budaya adalah upaya untuk memfungsikan kembali
kegiatan dan/ atau lembaga sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di daerah
bencana. Kegiatan pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya ditujukan untuk
menghidupkan kembali kegiatan dan lembaga sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat di daerah bencana seperti sebelum terjadi bencana.
h) Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Pemulihan keamanan adalah kegiatan mengembalikan kondisi keamanan dan
ketertiban masyarakat sebagaimana sebelum terjadi bencana dan menghilangkan
gangguan keamanan dan ketertiban di daerah bencana. Pemulihan keamanan dan
ketertiban ditujukan untuk membantu memulihkan kondisi keamanan dan
ketertiban masyarakat di daerah bencana agar kembali seperti kondisi sebelum
terjadi bencana dan terbebas dari rasa tidak aman dan tidak tertib.
i) Pemulihan Fungsi Pemerintahan
Indikator yang harus dicapai pada pemulihan fungsi pemerintahan adalah :
(1)Keaktifan kembali petugas pemerintahan.
(2)Terselamatkan dan terjaganya dokumen-dokumen negara dan pemerintahan.
(3)Konsolidasi dan pengaturan tugas pokok dan fungsi petugas pemerintahan.
(4)Berfungsinya kembali peralatan pendukung tugas-tugas pemerintahan.
(5)Pengaturan kembali tugas-tugas instansi/lembaga yang saling terkait
j) Pemulihan Fungsi Pelayanan Publik
Pemulihan fungsi pelayanan publik adalah berlangsungnya kembali berbagai
pelayanan publik yang mendukung kegiatan/ kehidupan sosial dan perekonomian
wilayah yang terkena bencana. Pemulihan fungsi pelayanan publik ini meliputi :
pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, pelayanan perekonomian, pelayanan
perkantoran umum/pemerintah, dan pelayanan peribadatan.

b. Rekonstruksi Pasca Bencana Tsunami


1) Pengertian
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata
yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara
permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat
pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat di wilayah pasca bencana.
Rencana Rekonstruksi adalah dokumen yang akan digunakan sebagai acuan bagi
penyelenggaraan program rekonstruksi pasca-bencana, yang memuat informasi
gambaran umum daerah pasca bencana meliputi antara lain informasi kependudukan,
sosial, budaya, ekonomi, sarana dan prasarana sebelum terjadi bencana, gambaran
kejadian dan dampak bencana beserta semua informasi tentang kerusakan yang
diakibatkannya, informasi mengenai sumber daya, kebijakan dan strategi
rekonstruksi, program dan kegiatan, jadwal implementasi, rencana anggaran,
mekanisme/prosedur kelembagaan pelaksanaan.
Pelaksana Rekonstruksi adalah semua unit kerja yang terlibat dalam kegiatan
rekonstruksi, di bawah koordinasi pengelola dan penanggungjawab kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana pada lembaga yang berwenang
menyelenggarakan penanggulangan bencana di tingkat nasional dan daerah.
2) Lingkup Pelaksanaan Rekonstruksi
a) Program Rekonstruksi Fisik
Rekonstruksi fisik adalah tindakan untuk memulihkan kondisi fisik melalui
pembangunan kembali secara permanen prasarana dan sarana permukiman,
pemerintahan dan pelayanan masyarakat (kesehatan, pendidikan dan lain-lain),
prasarana dan sarana ekonomi (jaringan perhubungan, air bersih, sanitasi dan
drainase, irigasi, listrik dan telekomunikasi dan lain-lain), prasarana dan sarana
sosial (ibadah, budaya dan lain-lain.) yang rusak akibat bencana, agar kembali ke
kondisi semula atau bahkan lebih baik dari kondisi sebelum bencana. Cakupan
kegiatan rekonstruksi fisik mencakup, tapi tidak terbatas pada, kegiatan
membangun kembali sarana dan prasarana fisik dengan lebih baik dari hal-hal
berikut:
(1)Prasarana dan sarana
(2)Sarana sosial masyarakat;
(3)Penerapan rancang bangun dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan
tahan bencana.
b) Program Rekonstruksi Non Fisik
Rekonstruksi non fisik adalah tindakan untuk memperbaiki atau memulihkan
kegiatan pelayanan publik dan kegiatan sosial, ekonomi serta kehidupan
masyarakat, antara lain sektor kesehatan, pendidikan, perekonomian, pelayanan
kantor pemerintahan, peribadatan dan kondisi mental/sosial masyarakat yang
terganggu oleh bencana, kembali ke kondisi pelayanan dan kegiatan semula atau
bahkan lebih baik dari kondisi sebelumnya. Cakupan kegiatan rekonstruksi non-
fisik di antaranya adalah:
(1)Kegiatan pemulihan layanan yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan
budaya masyarakat.
(2)Partisipasi dan peran serta lembaga/organisasi kemasyarakatan, dunia usaha,
dan masyarakat.
(3)Kegiatan pemulihan kegiatan perekonomian masyarakat.
(4)Fungsi pelayanan publik dan pelayanan utama dalam masyarakat.
(5)Kesehatan mental masyarakat.
(6)
C. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan tentang Manajemen Bencana Tsunami maka dapat di ambil
kesimpulan :
1. Kegiatan manajemen bencana Tsunami dibagi atas 3 bagian yaitu :
a. Sebelum bencana (Pre) yang meliputi mitigasi, kesiapan dan peringatan dini
b. Saat bencana (Event) yang meliputi tanggap darurat
c. Pasca bencana (Post) yang meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi.
2. Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) merupakan system yang
komprehensif dan cepat serta mampu memberikan peringatan dini tsunami.

D. SARAN
1. Pengembangan sistem manajemen informasi dalam penanganan bencana tsunami perlu
mendapatkan perhatian yang besar dan pengelolaan secara professional.
2. Perlu adanya pelatihan, simulasi dan pengujian penggunaan system informasi yang
diperlukan untuk mempersipakan calon pengguna system informasi.

Anda mungkin juga menyukai