Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang
tertinggi di Indonesia. Penyakit yang disebut sebagai disease of theories ini, masih sulit untuk
ditanggulangi. Preeklampsia dan eklampsia dikenal dengan nama Toksemia Gravidarum
merupakan suatu sindroma yang berhubungan dengan vasospasme, peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer, dan penurunan perfusi organ yang ditandai adanya hipertensi, edema
dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Adanya kejang dan koma lebih mengarah pada
kejadian eklampsia.

Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya.
Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low
Platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu.
Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran prematur, gawat janin, berat badan lahir rendah
atau intra uterine fetal death (IUFD).

Beragam pendapat telah diutarakan dalam pemahaman preeklampsia secara mendasar dan
telah dilakukan pula berbagai peneltian untuk memperoleh penatalaksanaan yang dapat dipakai
sebagai dasar pengobatan untuk preeklampsia. Namun demikian, preeklampsia tetap menjadi
satu di antara banyak penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin di Indonesia, sehingga
masih menjadi kendala dalam penanganannya.1 Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia
yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera
dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan bahwa
sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, edema, dan proteinuri sering tidak diketahui
atau tidak diperhatikan; pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda
preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di
samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain.

Diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% - 25,5%, sedangkan kematian bayi lebih dari
tinggi lagi, yakni 42,2% - 48,9%, sebaliknya kematian ibu dan bayi di negara-negara maju lebih
kecil. Hal ini disebabkan karena di negara-negara maju terdapat kesadaran untuk melakukan
pemeriksaan antenatal dan natal secara rutin. Di Indonesia, setelah perdarahan dan infeksi,
preeklampsia masih merupakan sebab utama kematian ibu, dan sebab kematian perinatal yang

1
tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan
eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian
ibu dan anak

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hipertensi Dalam Kehamilan
1. Definisi
Menurut American College Obstetric and Gynaecologist (ACOG). Hipertensi adalah suatu
keadaan dengan tekanan darah diastolik minimal 90 mmHg atau tekanan sistolik minimal 140
mmHg atau kenaikan tekanan diastolik minimal 15 mmHg atau kenaikan tekanan sistolik
minimal 30 mmHg. Tekanan darah harus diukur 2 kali dengan selang waktu 6 jam.
Beberapa definisi yang berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai
berikut :
a. Preeklampsia adalah suatu keadaan hipertensi yang disertai proteinuria, edema, atau
keduanya (trias) yang terjadi akibat kehamilan di atas 20 minggu dan paling sering
mendekati aterm dan dapat timbul sebelum kehamilan 20 minggu bila terjadi penyakit
trofoblas.
b. Eklampsia adalah keadaan terjadinya kejang-kejang pada wanita dengan kriteria klinis
preeklampsia yang bukan disebabkan penyakit neurologi seperti epilepsi.
c. Superimposed preeklampsia adalah suatu keadaan preeklampsia-eklampsia yang terjadi
pada wanita yang sebelumnya telah menderita hipertensi vaskuler kronis atau penyakit
ginjal.
d. Hipertensi kronis adalah keadaan hipertensi yang menetap dengan penyebab apapun yang
sudah diderita sebelum konsepsi atau sebelum kehamilan 20 minggu atau menetap selama
6 minggu post partum.
e. Transient hipertensi yaitu timbulnya hipertensi dalam kehamilan sesudah trimester II atau
dalam 24 jam pertama post partum tanpa ada tanda-tanda hipertensi kronis atau
preeklampsia-eklampsia dan gejala ini akan hilang setelah 10 hari post partum.
2. Insiden
Spellacy dkk, melaporkan bahwa pada wanita > 40 tahun insiden hipertensi meningkat 3
kali lipat dibandingkan dengan wanita usia 20-30 tahun. Hansen melaporkan peningkatan
insiden preeklampsia sebesar 2-3 kali pada nullipara yang berusia di atas 40 tahun bila
dibandingkan dengan usia 25-29 tahun. Secara umum insiden preeklampsia ± 5% dari seluruh
kehamilan, hampir 70% diantaranya adalah nullipara. Hampir 20% nullipara menderita
hipertensi sebelum, selama persalinan, dan masa nifas jika dibandingkan dengan multipara
sebesar 7%. Menurut Cunningham dan Leveno di RS Parkland selama tahun 1986 ditemukan
insiden hipertensi sebesar 18% pada ras kulit putih, 20% hispanik, dan 22% ras kulit hitam.

3
Insiden hipertensi dalam kehamilan pada multipara adalah 6,2% pada kulit putih, 6,6% pada
hispanik, dan 8,5% pada ras kulit hitam.
3. Klasifikasi
Hipertensi dalam kehamilan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Hipertensi karena kehamilan dan sembuh setelah persalinan.
a. Hipertensi tanpa proteinuria atau edema patologis.
b. Preeklampsia dengan proteinuria dan atau edema patologik:
i. Preeklampsia berat.
ii. Preeklampsia ringan.
c. Eklampsia yaitu proteinuria dan atau edema patologik disertai kejang.
2. Hipertensi yang sudah ada sebelumnya dan diperberat oleh kehamilan.
a. Superimposed preeklampsia.
b. Superimposed eklampsia.
3. Hipertensi bersamaan dengan kehamilan, yaitu hipertensi kronis yang sudah ada
sebelum kehamilan atau menetap setelah persalinan.

B. Pre-eklamsia
1. Defenisi

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi (hipertensi),
pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam urin (proteinuria) yang
timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi
dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan (Manuaba, 1998). Sering tidak diketahui
atau diperhatikan oleh wanita hamil yang bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu
singkat pre-eklampsia berat bahkan dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala
kejang-kejang dan atau koma (Wiknyosastro,1994). Kejadian eklampsia di negara berkembang
berkisar antara 0,3% sampai 0,7%. Kedatangan penderita sebagian besar dalam keadaan pre-
eklampsia berat dan eklampsia (Manuaba, 1998).

Perkataan “eklampsia” berasal dari Yunani yang berarti “halilintar” karena gejala
eklampsia datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam kebidanan.
Dikemukakan beberapa teori yang dapat menerangkan kejadian preeklampsia dan eklamsia
sehingga dapat menetapkan uapaya promotif dan preventif.

4
2. Epidemiologi

Di negara-negara sedang berkembang, angka kematian ibu jauh lebih tinggi. Di Afrika
sub-Sahara, angka kematian ibu rata-rata 600 per 100.000 kelahiran hidup; di Asia selatan,
500 per 100.000 per kelahiran; di Asia Tenggara dan Amerika Latin 300 per 100.000
kelahiran hidup. Beberapa neraga maju telah menerbitkan hasil penyelidikan konfidensial atas
kematian ibu setiap 3 tahun, dengan menganalisa sebab-sebab kematian ibu dan dibuat saran-
saran untuk mencegah kematian yang terjadi, ini telah diterbitkan di Inggris sejak 1952 dan
di Australia sejak 1965. Pada tahun 1990, diterbitkan sebuah laporan yang menganalisis semua
kematian ibu yang terjadi di Amerika Serikat yang terjadi antara tahun 1979 dan 1986. Studi
dari ketiga laporan tersebut menunjukkan bahwa penyebab kematian ibu sama pada ketiga
negara tersebut (Derek, 2001).

Dalam grafik berikut dapat ditunjukan turunnya penyebab utama kematian ibu di England
dan Wales.

5
Periode tiga tahun

Sumber: Derek Lewellyn John, Dasar-dasar obstetric dan ginekologi

Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara
berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur usia disebabkan
berkaitan dengan hal kehamilan. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama
mortalitas wanita muda pada masa puncak produktifitasnya. Tahun 1996, WHO
memperkirakan lebih dari 585.000 ibu per tahunnya meninggal saat hamil atau persalinan
(Crowther, 1985).

Di Afrika yang beriklim tropis ini dapat timbul dengan cepat, mlai dari tanda fisik yang
dini eklampsia berat dapat terjadi dalam 24 jam. Sekolompok peneliti memperkirakan bahwa
mulai dari timbulnya gejala eklampsia sampai dengan kematian rata-rata memerlukan waktu
hanya 2 hari (Royston, 1989).

Menurut data dari Departement Obstetrics & Ginacology, india, dari 271 ibu hamil dengan
eklampsia di “Tertiary Level Teaching Institution South India “ tercatat 70% pasien
primigravida dan lebih dari 95% dari mereka tidak melaksanakan antenatal care dan tidak
menyadari bahaya eklampsia (Departement Obstetrics & Ginacology, india).

6
Dari beberapa kepustakaan lain frekuensi penderita preeklampsia berkisar 3% - 10%
(Rochjati dkk, 1986), hasil penelitian Erwati dkk (1994) di Padang didapatkan kejadian
preeklampsia berat 4,32 % dan eklampsia 0,89 % dengan jumlah kematian perinatal 1,08%.

3. Gejala – gejala

Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain (Wiknyosastro,1994).
Bila peningkatan tekanan darah tercatat pada waktu kunjungan pertama kali dalam trimester
pertama atau kedua awal, ini mungkin menunjukkan bahwa penderita menderita hipertensi
kronik. Tetapi bila tekanan darah ini meninggi dan tercatat pada akhir trimester kedua dan
ketiga, mungkin penderita menderita preeclampsia (Michael,1992).

Peningkatan tekanan sistolik sekurang-kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan tekanan


diastolik sekurang-kurangnya 15 mm Hg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-kurangnya
140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg atau lebih atau dengan
kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnose (Ben-zion, 1994).
Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada
keadaan istirahat. Tetapi bila diastolik sudah mencapai 100 mmHg atau lebih, ini sebuah
indikasi terjadi preeklampsia berat (Pauline, 1993).

Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan kelebihan dalam jaringan tubuh, dan
biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta penbengkakan pada kaki, jari-jari
tangan, dan muka, atau pembengkan pada ektrimitas dan muka(Wiknyosastro, 1994). Edema
pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti
untuk penentuan diagnosa pre-eklampsia. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu dalam
kehamilan masih diangap normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali atau 3 kg
dalam sebulan pre-eklampsia harus dicurigai (Wiknyosastro, 1994). Atau bila terjadi
pertambahan berat badan lebih dari 2,5 kg tiap minggu pada akhir kehamilan mungkin
merupakan tanda preeklampsia (Michael,1992). Tambah berat yang sekonyong-konyong ini
desebabkan retensi air dalam jaringan dan kemudian oedema nampak dan edema tidak hilang
dengan istirahat (Suhardiyanto, 1996). Hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap
timbulnya pre-eklampsia. Edema dapat terjadi pada semua derajat PIH ( Hipertensi dalam
kehamilan) tetapi hanya mempunyai nilai sedikit diagnostik kecuali jika edemanya general .

7
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter dalam
air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2 + ( menggunakan
metode turbidimetrik standard ) atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan
dengan kateter atau midstream untuk memperoleh urin yang bersih yang diambil minimal 2
kali dengan jarak 6 jam (Wiknyosastro, 1994). Proteinuri biasanya timbul lebih lambat dari
hipertensi dan tambah berat badan. Proteinuri sering ditemukan pada pre-eklampsia, rupa-
rupanya karena vasospasmus pembuluh-pembuluh darah ginjal. Karena itu harus dianggap
sebagai tanda yang cukup serius. (Ben-zion, 1994). Disamping adanya gejala yang nampak
diatas pada keadaan yang lebih lanjut timbul gejala-gejala subyektif yang membawa pasien ke
dokter.

Gejala subyektif tersebut ialah:

1. Sakit kepala yang keras karena vasospasmus atau oedema otak.

2. Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau edema, atau sakit
kerena perubahan pada lambung.

3. Gangguan penglihatan: Penglihatan menjadi kabur malahan kadang-kadang pasien


buta. Gangguan ini disebabkan vasospasmus, edema atau ablatio retinae. Perubahan ini
dapat dilihat dengan ophtalmoscop.

4. Gangguan pernafasan sampai sianosis

5. Pada keadaan berat akan diikuti gangguan kesadaran

Pre-eklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat, tanda /gejala preeklampsia ringan
adalah:

1. Tekanan darah sistol 140 mmHg atau kenaikan 30 mmHg dengan interval pemeriksaan
6 jam.

2. Tekanan darah diastol 90 mmHg atau kenaikan 15 mmHg dengan interval pemeriksaan
6 jam

3. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu

8
4. Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif plus 1 sampai 2 pada urin kateter
atau urin aliran pertengahan.

Sedangkan penyakit preeklampsia digolongkan berat apabila satu atau lebih tanda / gejala
dibawah ini ditemukan:

1. Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg atau
lebih

2. Proteinuria 5 gram atau lebih dalam 24 jam, 3+ atau 4+ pada pemeriksaan


semikuantitatif.

3. Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam.

4. Keluhan cerebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium.

5. Edema paru-paru atau sianosis (Jeffery et all, 1999)

Disamping terdapat preeklampsia ringan dan berat / eklampsia, dapat pula ditemukan
hipertensi cronis yaitu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang menetap.
Kebanyakan wanita dengan hipertensi kronik ( Hipertensi esensial ) telah didiognose sebelum
kehamilan; kebanyakan wanita didapat menderita hipertensi pada kunjungan antenatal
pertama. Bila tanpa penyebab sekunder hipertensi (misalnya stenosis arteri renalis atau
feokromositoma), peninggian tekanan darah (> 140/90) yang menetap dan terjadi sebelum
kehamilan atau dideteksi sebelum kehamilan minggu ke 20, diagnosis hipertensi esensial dapat
ditegakkan.

Tanda klinik dan diagnosis:

1. Hipertensi terjadi pada awal kehamilan

2. Fungsi ginjal normal atau hanya terdapat sedikit albuminuria

3. Jika kehamilan kebelakang terdapat peningkatan tekanan darah dan albuminuria secara
bermakna, maka akan sulit dibedakan dengan preeklampsia berat ( Superimposed
preeklampsia ).

9
4. Etiologi dan Patofisiologi

Sebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah banyak teori
yang mencoba menerangkan sebab – musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang
memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang diterima harus dapat menerangkan hal-hal
berikut: (1) sebab bertambahnya frekuensi pada primigrafiditas, kehamilan ganda, hidramnion
dan mola hidatidosa; (2) sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan; (3)
sebab terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus; (4) sebab
jarangnya terjadi eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; dan (5) sebab timbulnya
hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma (Wiknyosastro, 1994).

Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklampsia disebabkan ischaemia rahim
dan plascenta (ischemaemia uteroplacentae). Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih
banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan,

10
pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes , peredaran darah dalam
dinding rahim kurang, maka keluarlah zat-zat dari placenta atau decidua yang menyebabkan
vasospasmus dan hipertensi (FK. Unpad, 1984). Tetapi dengan teori ini tidak dapat
diterangakan semua hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Rupanya tidak hanya satu
faktor yang menyebabkan pre-eklampsia dan eklampsia (Wiknyosastro, 1994).

Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan angiotensin, renin, dan
aldosteron, sebagai kompensasi sehingga peredaran darah dan metabolisme dapat
berlangsung. Pada pre-eklampsia dan eklampsia, terjadi penurunan angiotensin, renin,
dan aldosteron, tetapi dijumpai edema, hipertensi, dan proteinuria. Berdasarkan teori iskemia
implantasi plasenta, bahan trofoblas akan diserap ke dalam sirkulasi, yang dapat meningkatkan
sensitivitas terhadap angiotensin II, renin, dan aldosteron, spasme pembuluh darah arteriol dan
tertahannya garam dan air (Manuaba, 1998).

Teori iskemia daerah implantasi plasenta, didukung kenyataan sebagai berikut:

1. Pre-eklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil ganda, dan
mola hidatidosa.

2. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan

3. Gejala penyakitnya berkurang bila terjadi kamatian janin (Manuaba, 1998).

Dampak terhadap janin, pada pre-eklapsia / eklampsia terjadi vasospasmus yang


menyeluruh termasuk spasmus dari arteriol spiralis deciduae dengan akibat menurunya aliran
darah ke placenta. Dengan demikian terjadi gangguan sirkulasi fetoplacentair yang berfungsi
baik sebagai nutritive maupun oksigenasi. Pada gangguan yang kronis akan menyebabakan
gangguan pertumbuhan janin didalam kandungan disebabkan oleh mengurangnya pemberian
karbohidrat, protein, dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya yang seharusnya diterima oleh
janin (Sibai et all, 1981).

5. Patogenesis PIH ( Pregnancy-Induced Hypertension )

Etiologi PIH tidak diketahui tetapi semakin banyak bukti bahwa gangguan ini disebabkan
oleh gangguan imunologik dimana produksi antibodi penghambat berkurang. Hal ini dapat
menghambat invasi arteri spiralis ibu oleh trofoblas sampai batas tertentu hingga
mengganggu fungsi placenta. Ketika kehamilan berlanjut, hipoksia placenta menginduksi
11
proliferasi sitotrofoblas dan penebalan membran basalis trofoblas yang mungkin menggangu
fungsi metabolik placenta. Sekresi vasodilator prostasiklin oleh sel-sel endotial placenta
berkurang dan sekresi trombosan oleh trombosit bertambah, sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini terjadilah pengurangan
perfusi placenta sebanyak 50 persen, hipertensi ibu, penurunan volume plasma ibu, Jika
vasospasmenya menetap, mungkin akan terjadi cedera sel epitel trofoblas, dan fragmen-
fragmen trofoblas dibawa ke paru-paru dan mengalami destruksi sehingga melepaskan
tromboplastin. Selanjutnya tromboplastin menyebabkan koagulasi intravaskular dan deposisi
fibrin di dalam glomeruli ginjal (endoteliosis glomerular) yang menurunkan laju filtrasi
glomerulus dan secara tidak langsung meningkatkan vasokonstriksi. Pada kasus berat dan
lanjut, deposit fibrin ini terdapat di dalam pembuluh darah sistem saraf pusat, sehingga
menyebabkan konvulsi (Derek, 2001).

Vasospasme merupakan dasar patofisiologi untuk preeklampsia-eklampsia. Konsep ini,


yang pertama kali diajukan oleh Volhard (1918) , dibuat berdasarkan hasil pengamatan
langsung terhadap pembuluh darah kecil pada pangkal kuku, fundus okuli serta konjungtiva
bulbi, dan juga sudah diperkirakan dari perubahan histologi pada berbagai organ yang terkena.
Pada preeklampsia, Hinselmann (1924), dan lalu beberapa ahli lainnya menemukan beberapa
perubahan ukuran arteriol pada dasar kuku, dengan bukti adanya spasmesegmental
yang menghasilkan daerah - daerah kontriksi dan dilatasi yang silih berganti. Landesman
dkk (1954) menjelaskan adanya penyempitan arteriol yang nyata pada konjungtiva bulbi,
yang bahkan terjadi hingga sirkulasi kapiler secara intermiten menghilang. Bukti selanjutnya
menunujukkan bahwa perubahan vaskuler memegang peranan penting pada preeklampsia-
eklampsia ditunjukkan oleh frekuensi ditemukannya spasme arteriol retina, yang biasanya
segmental (Cunningham et all, 1995).

Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah dan menerangkan proses


terjadinya hipertensi arteriol. Kemungkinan vasospasme membahayakan pembuluh darah
sendiri, karena peredaran darah dalam vasa vasorum terganggu, sehingga terjadi kerusakan
vaskuler. Pelebaran segmental, yang biasanya disertai penyempitan arteriol segmental,
mungkin mendorong lebih jauh timbulnya kerusakan vaskuler mengingat keutuhan endotel
dapat terganggu oleh segmen pembuluh darah yang melebar dan teregang. Lebih lanjut,
angiotensin II tampaknya mempengaruhi langsung sel endotel dengan membuatnya
berkontraksi. Semua faktor ini dapat menimbulkan kebocoran sel antar endotel, sehingga

12
melalui kebocoran tersebut, unsur-unsur pembentuk darah, seperti trombosit dan fobrinogen,
tertimbun pada lapisan subendotel (Bruner dan Gavras, 1975). Perubahan vaskuler yang
disertai dengan hipoksia pada jaringan setempat dan sekitarnya, diperkirakan menimbulkan
perdarahan, necrose dan kelainan organ akhir lainnya yang sering dijumpai pada pre-eklampsia
berat (Cunningham et all, 1995).

6. Respon Presor yang Meningkat

Pada keadaan normal, wanita hamil memiliki resistensi terhadap efek presor dari
pemberian angiotensin II (Abdul karim dan Assali, 1961). Kepekaan pembuluh darah yang
meningkat terhadap hormon presor ini dan hormon lainnya pada wanita yang menderita
preeklampsia dini telah diamati oleh Raab dkk. (1956) dan Talledo dkk. (1968), dengan
menggunakan angiotensin II atau norepinefrin, dan oleh Diekmann serta Michel (1937) dan
Browne (1946) dengan menggunakan vasopresin. Selanjutnya, Gant dkk. (1973) menunjukkna
bahwa kepekaan pembuluh darah yang meningkat terhadap angiotesin II jelas
mendahului awal terjadinya hipertensi karena kehamilan. Nulipara normal yang tensinya tetap
normal (normotensif) tidak rentan terhadap efek presor angiotensin II. Namun, wanita yang
kemudian menjadi hipertensi akan kehilangan resistensi, yang seharusnya ada terhadap
angiotensin II selama kehamilan, dalam waktu beberapa minggu sebelum timbulnya hipertensi.
Dari wanita yang diteliti pada usia kehamilan minggu ke-28 sampai ke-32 dan memerlukan
pemberian angiotensin II dengan takaran >8ng pekilogram permenit untuk merangsang respon
presor yang baku, 91% tetap normotensif sepajang kehamilan. Sebaliknya, diantara
primigravida normotensif yang yang pada minggu ke-28 sampai ke-32 memerlukan takaran
<8ng per kg per menit untuk suatu respon presor, 90% kemudian akan mengalami hipertensi
yang nyata (Cunningham et all, 1995).

7. Faktor Predisposisi

Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami pre-eklampsia biala mempunyai faktor-
faktor predisposing sebagai berikut:

1. Nulipara

2. Kehamilan ganda

3. Usia < 20 atau > 35 th

13
4. Riwayat pre-eklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya

5. Riwayat dalam keluarga pernah menderita pre-eklampsia

6. Penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum
kehamilan

7. Obesitas.

8. Pencegahan kejadian pre-eklampsia dan eklampsia.

Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan


dengan penyebab yang sama. Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis dini dapat
mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk dapat
menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur dengan memperhatikan
kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan untuk menentukan proteinuria
(Wiknyosastro, 1994).

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini pre-
eklampsia, dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya. Karena para wanita
biasanya tidak mengemukakan keluhan dan jarang memperhatikan tanda-tanda preeklampsia
yang sudah terjadi, maka deteksi dini keadaan ini memerlukan pengamatan yang cermat dengan
masa-masa interval yang tepat (Cunningham et all, 1995). Kita perlu lebih waspada akan
timbulnya pre-eklampsia dengan adanya faktor-faktor predisposisi seperti yang telah diuraikan
diatas. Walaupun timbulnya pre-eklampsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun
frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan secukupnya dan pelaksanaan
pengawasan yang baik pada wanita hamil, antara lain:

a. Diet makanan

Makanan tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup vitamin, dan rendah lemak. Kurangi
garam apabila berat badan bertambah atau edema. Makanan berorientasi pada empat sehat lima
sempurna. Untuk meningkatkan protein dengan tambahan satu butir telus setiap hari.

14
b. Cukup istirahat

Istirahat yang cukup pada hamil semakin tua dalam arti bekerja seperlunya dan disesuaikan
dengan kemampuan. Lebih banyak duduk atau berbaring ke arah punggung janin sehingga
aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan.

c. Pengawasan antenatal ( hamil )

Bila terjadi perubahan perasaan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke tempat
pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian:

1. Uji kemungkinan pre-eklampsia:

a. Pemeriksaan tekanan darah atau kenaikannya

b. Pemeriksaan tinggi fundus uteri

c. Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema

d. Pemeriksaan protein urin

e. Kalau mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran


darah umum, dan pemeriksaan retina mata.

2. Penilainan kondisi janin dalam rahim

a. Pemantauan tingi fundus uteri

b. Pemeriksaan janin: gerakan janin dalam rahim, denyut jantung janin,


pemantauan air ketuban

c. Usulkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi.

Dalam keadaan yang meragukan, maka merujuk penderita merupakan sikap yang harus
dipilah (Manuaba, 1998).

9. Penanganan pre-eklampsia

Eklampsia merupakan komplikasi obstetri kedua yang menyebabkan 20 – 30% kematian


ibu. Komplikasi ini sesungguhnya dapat dikenali dan dicegah sejak masa kehamilan

15
(preeklampsia). Preeklampsia yang tidak mendapatkan tindak lanjut yang adekuat ( dirujuk ke
dokter, pemantauan yang ketat, konseling dan persalinan di rumah sakit ) dapat menyebabkan
terjadinya eklampsia pada trimester ketiga yang dapat berakhit dengan kematian ibu dan janin.

Penanganan pre-eklampsia bertujuan untuk menghindari kelanjutan menjadi eklampsia


dan pertolongan kebidanan dengan melahirkan janin dalam keadaan optimal dan bentuk
pertolongan dengan trauma minimal. Pengobatan hanya dilakukan secara simtomatis karena
etiologi pre-eklampsia, dan faktor-faktor apa dalam kahamilan yang menyebabkannya, belum
diketahui. Tujuan utama penanganan ialah (1) mencegah terjadinya pre-eklampsia berat dan
eklampsia; (2) melahirkan janin hidup; (3) melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya.

Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas pengobatan medik dan penanganan
obtetrik (Wiknyosastro, 1994). Pada pre-eklampsia ringan ( tekanan darah 140/90 mmHg
samoai 160/100 mmHg ) penanganan simtomatis dan berobat jalan masih mungkin ditangani
di puskesmas dan dibawah pengawasan dokter, dengan tindakan yang diberikan:

1. Menganjurkan ibu untuk istirahat ( bila bekerja diharuskan cuti ), dan menjelaskan
kemungkinan adanya bahaya. )

2. Sedativa ringan.

a. Phenobarbital 3 x 30 mg

b. Valium 3 x 10 mg

3. Obat penunjang

a. Vitamin B kompleks

b. Vitamin C atau vitamin E

c. Zat besi

4. Nasehat

a. Garam dalam makan dukurangi

b. Lebih banyak istirahat baring kearah punggung janin

16
c. Segera datang memeriksakan diri, bila terdapat gejala sakit kepala, mata kabur,
edema mendadak atau berat badan naik, pernafasan semakin sesak, nyeri
epigastrium, kesadaran makin berkurang, gerak janin melemah-berkurang,
pengeluaran urin berkurang (Manuaba,1998).

5. Jadwal pemeriksaan hamil dipercepat dan diperketat.

Petunjuk untuk segera memasukkan penderita ke rumah sakit atau merujuk penderita perlu
memperhatikan hal berikut:

a. Bila tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih

b. Protein dalam urin 1 plus atau lebih

c. Kenaikan berat badan 11/2 kg atau lebih dalam seminggu

d. Edema bertambah dengan mendadak

e. Terdapat gejala dan keluhan subyektif.

Penanganan abstetri ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu
sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup di luar
uterus. Setelah persalinan berakhir, jarang terjadi eklampsia, dan janin yang sudah cukup matur
lebih baik hidup diluar kandungan dari pada dalam uterus.

10. Penatalaksanaan Preeklampsia Berat


Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah mencegah timbulnya kejang,
mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta kerusakan dari organ
organ vital, pengelolaan cairan, dan saat yang tepat untuk persalinan.Perawatannya dapat
meliputi :
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri. Indikasi bila didapatkan satu atau
lebih dari keadaan berikut ini:
1) Ibu :
a) Kehamilan lebih dari 37 minggu
b) Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif.

17
2) Janin :
a) Adanya tanda-tanda gawat janin
b) Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.
3) Laboratorium :
Adanya sindroma HELLP .
b. Pengobatan Medikamentosa
1) Pemberian obat : MgSO4 40% dalam larutan RL 500 cc (60-125 cc/jam)
2) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
3) Diuretikum diberikan bila ada edema paru, payah jantung kongestif, atau anasarka.
Diuretikum yang dipakai adalah furosemid.
4) Pemberian antihipertensi apabila TD ≥160/110 mmHg. Anti hipertensi lini pertama
adalah nifedipin dosis 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam.
c. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap dipertahankan. Indikasi :
Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending
eklamsi dengan keadaan janin baik.

18
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama :Ny. T

Umur : 35 thn

Tanggal lahir : 25-11-1984

Jenis kelamin : perempuan

Agama : Islam

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : Silaut 1

No. RM : 153475

Tgl Masuk : 23 -09-2019

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Pasien rencana rujukan ke poli kandungan dengan diagnosis G2P1A0 hamil
35 minggu + preeklampsia berat.

Riwayat Penyakit Sekarang :

2 hari SMRS pusing (+),nyeri kepala (+) ,kejang (+), nyeri perut yang menjalar ke ari-ari (-),
keluar lendir campur darah (-), keluar air-air (-), batuk ± 2 hari SMRS, pasien mengalami
tensi tinggi usia kehamilan kurang lebih 7 bulan . sebelumnya os tidak pernah mengalami
hipertensi , tensi biasanya normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi (-), DM (-), asma (-).

Riwayat Penyakit Keluarga :

Hipertensi (-), DM (-), asma (-).

Riwayat Haid :

19
Menarche usia 13 tahun, HPHT 20-01-2019, taksiran persalinan 19-10-2019

Riwayat Kontrasepsi : (-)

Riwayat Obat : Obat-obatan dari dokter pusekesmas

Riwayat Hamil Muda : Mual (+), muntah (+), tidak mengganggu aktifitas.

Riwayat Hamil Tua : perdarahan (-).

ANC : Ke bidan 1 kali 1 bulan

Riwayat G / P / A : 2 / 1 /0

Riwayat Kontrasepsi : (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : berat

Kesadaran : somnolen

Vital Sign

Tekanan darah : 190/100 mmHg

Nadi : 100 x/menit

Frekuensi napas : 22 x/menit

Suhu : 36,5 oC

Kepala : Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Dada : Paru : I = gerakan paru kanan dan kiri simetris

Pal = sulit dinilai

Per = sonor seluruh lapangan paru

Au = ronkhi basah pada basal paru kiri dan kanan

Jantung : I = ictus cordis tidak terlihat

Pal = ictus cordis teraba di SIC V

20
Per = batas jantung dalam batas normal

Au = reguler, tidak terdapat bunyi jantung tambahan

Abdomen : Status obstetrikus

Genitalia : Status obstetrikus

Ekstremitas : Edema tungkai (-/-).

Status Obstetri

Muka : Edema palpebra (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).

Mamae : Hiperpigmentasi areola dan papilla (+/+).

Abdomen :

Inspeksi : Perut tampak membuncit.

Palpasi : Nyeri tekan (-), Leopold:

I : TFU 4 jari di bawah px

II : Pu-Ka

III : pereskep

IV : Bagian terbawah janin belum masuk PAP.

DJJ : 131.

HIS : (-).

Perkusi : Timpani.

Auskultasi : BU (+) normal.

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

IV. Diagnosis Kerja: G2P1A0 hamil 35-36 mgg + JTH + Pre Eklamsia

21
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab :

Hb : 14,2

Ht : 41

Leukosit : 15.000

Eritrosit :4,5

Trombossit : 166.000

Protein urin : + 3

HbsAg : non reaktif

Hiv : non reaktif

masa pembekuan : 3 menit

masa pendarahan : 2 menit

Glukosa : 74

VI. Penatalaksanaan

O2 3-5 liter nasal kanul

IVFD Rl 20 gtt

inj cefotaxim 2x1 gr

Nifedipin 3x1 tab

Rencan SC cyto

VII. Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

22
Follow Up

Tanggal Follow Up
23 -09-2019 S : selesai SC jam 16:00 , cek pedarahan , cek Hb post SC , bila ada
ICU tanda intoksikasi MGSO4 : inj CA glukonas 1 ampul bolus pelan
dalam 15 menit
O : kes : CM
TD: 195/111 Hr : 86 RR : 24 T: 36,5 C S: 99%
A : post sc a/i PEB
P : IVFD RL 20gtt /i + drip oxitosin 2 amp
Inj cefotaxim 2x1 gr
Inj keterolac 3x1 amp
Inj transamin 3x 1amp
Inj MGSO4 3x10cc
Inj metoclopiramid 3x1 amp
metronidazole tab 3x1
Nifedipin tab 4x10mg
Ketopropen sup 3x1 K/P

24 - 09 – 2019 S : Nyeri post op (+), flatus (+) , kembung (+), sakit kepala,
ICU pusing , odem pre tibia (+), bsok cek ulang H2TL
O : kes : CM
TD: 171/105 Hr : 88 RR : 20 T: 36,6 C S: 99%
A : post sc a/i PEB
P : IVFD RL 20gtt /i + drip oxitosin 2 amp
Inj cefotaxim 2x1 gr
Inj keterolac 3x1 amp
Inj transamin 3x 1amp
Inj metoclopiramid 3x1 amp
Nifedifin tab 4x10mg
metronidazole tab 3x1
Ketopropen sup 3x1 K/P

Hasil Lab :

23
Hb : 13,8
Ht : 40
Leukosit : 12.000
Eritrosit :4,5
Trombossit : 45.000
Glukosa : 100

25 -09-2019 S : Nyeri post op (+), flatus (+) , kembung (-), sakit kepala
ICU berkurang , odem pre tibia (+), aff kateter , acc pindah ruangan,
besok cek ulang H2TL
O : kes : CM
TD: 171/105 Hr : 88 RR : 20 T: 36,6 C S: 99%
A : post sc a/i PEB
P : IVFD RL 20gtt /i
Inj cefotaxim 2x1 gr
Inj keterolac 3x1 amp
Inj transamin 3x 1amp
Inj metoclopiramid 3x1 amp
Nifedifin tab 4x10mg
metronidazole tab 3x1
Ketopropen sup 3x1 K/P

Hasil Lab :
Hb : 13,8
Ht : 38
Leukosit : 10.000
Eritrosit :4,2
Trombossit : 85.000
Glukosa : 108

24
26 -09-2019 S : Nyeri post op (+), flatus (+) , kembung (-), , odem pre tibia
ruangan berkurang , latiahan jalan (+), BAK lancar ,darah (-) rencana besok
pulang
O : kes : CM
TD: 160/85 Hr : 80 RR : 20 T: 36,7
A : post sc a/i PEB
P : IVFD RL 20gtt /i
Inj cefotaxim 2x1 gr
Inj keterolac 3x1 amp
Inj transamin 3x 1amp
Inj metoclopiramid 3x1 amp
Nifedifin tab 4x10mg
metronidazole tab 3x1
Ketopropen sup 3x1 K/P

Hasil Lab :
Hb : 13,8
Ht : 37
Leukosit : 9.000
Eritrosit :4,2
Trombossit : 178.000
Glukosa : 120

27-09-2019 S : Nyeri post op berkurang , bekas op kering , keadaan umum baik


Ruangan O : kes : CM
TD: 140/85 Hr : 80 RR : 20 T: 36,7
A : post sc a/i PEB
P : Pasien Berobat Jalan
Keterolac tab 3x1
Clyndamicin tab 2x1
Metronidazole tab 3x1
Nifedifin tab 1x10mg

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Wikjnosastro, Saiffudin A.B,Rachimidhiani, T. (2009). Ilmu Kebidanan ed.4, Yayasan


BinaPustaka Sarwono Prawirohardjo,Jakarta.

2. Leveno KJ, et al. Hypertensivedisorders in pregnancy.In:.Williams Manual of Obstetrics.


USA: McGraw-Hill Companies, 2010 : p. 761-808

3. Lim KH. 2010. HumanCytothropoblast Differentiation IsAbnormal In Preeclampsia. AmJ


Pathol. 2010 Dec:151 (6): 1809- 18

4. George EM. 2011. Endothelin:key mediator of hypertension in preeclampsia.


www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21 67770

5. Wibowo, B; Alaydrus, T. Pre- eklamsia dan eklamsia. Dalam: 9 Wiknjosastro H, Saifuddin


AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo ; 2009 : hal. 281 – 301.

6. Tsen LC. Anesthesia for Obstetric Care and Gynecologic Surgery. Dalam: Longnecker DE,
Brown DL, Newman MF, Zapol WM, editor. Anesthesiology. New York: McGraw-Hill;
2008: p. 1488

7. Kapoor R, Min JC, Leffert L. Anesthesia for Obstetrics and Gynecologic. Dalam: Dunn
PF, editor. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. Boston:
Lippincott William and Willkins; 2009: hal. 553 – 555. 8. Jayakusuma, AAN. 2009.
Manajemen risiko pada preeklampsia (Upaya menurunkan kejadian preeklampsia dengan
pendekatan berbasis risiko). Denpasar: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan,

26

Anda mungkin juga menyukai