Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak mampu bekerja sama sekali
dalam hal penyaringan dan pembuangan elektrolit tubuh, tidak mampu
menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh, seperti sodium, kalium
dalam darah atau tidak mampu dalam memproduksi urin (Widayanti, 2014).
Akhirnya, ginjal tidak dapat mengekskresikan sisa metabolik dan mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit secara adekuat, kondisi yang disebut
sebagai gagal ginjal atau penyakit ginjal stadium akhir (End Stage Renal
Deases/ ESRD), yang merupakan tahap akhir dari GGK (Lemone et al, 2016).

Studi Hill, dkk (2016); prevalensi PGK di dunia berkisar 11-13% dengan
prevalensi terbesar pada tahap 3 (7,6%; IK 95%: 6,4-8,9%). Berdasarkan data
Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)
memperlihatkan yang menderita gagal ginjal baik akut maupun kronik
mencapai 50% sedangkan yang diketahui dan mendapatkan pengobatan
hanya 25% dan 12,5% yang terobati dengan baik (Indrasari, 2015). Data
World Health Organization (WHO) pada (2015) mengemukakan bahwa
angka kejadian gagal ginjal kronik diseluruh dunia mencapai 10% dari
populasi, sementara itu pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa mencapai 1,5 juta orang diseluruh dunia (Indonesian Renal
Registry [IRR], 2014). Di Amerika Serikat, kejadian dan prevalensi gagal
ginjal meningkat 50% ditahun 2014. Data menunjukan bahwa setip tahun
200.000 orang Amerika menjalani hemodialisis karena GGK, yang artinya
1.140 dalam satu juta orang amerika adalah pasien dialisis (Widyastuti,
2014).

Hasil survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesian


(Pernefri) diperkirakan sekitar 12,5% dari populasi atau sebesar 25 juta
penduduk Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal. (Ali, Masi, & Kallo,
2017). Indonesian Renal Registry IRR (2016); penyakit ginjal kronis
merupakan penyakit katastropik kedua terbesar setelah penyakit jantung yang
menghabiskan biaya kesehatan sebesar 2,6 triliun rupiah. Berdasarkan data
Indonesian Renal Registry (IRR, 2016) sebanyak 98% penderita gagal ginjal
menjalani terapi Hemodialisis dan 2% menjalani terapi Peritoneal Dialisis
(PD). Penyebab Penyakit Ginjal Kronis terbesar adalah nefropati diabetik
(52%) dan hipertensi (24%). Berdasarkan data Indonesian Renal Registry
(2015), tercatat 30.554 pasien aktif dan 21.050 pasien baru yang menjalani
terapi hemodialisis. Pengguna HD adalah pasien dengan diagnosis GGK
(89%). Urutan penyebab gagal ginjal pasien yang mendapatkan hemodialisis
berdasarkan data Indonesian Renal Registry (2015) karena hipertensi (44%).
Dan menurut data yang di peroleh dari laporan Indonesia Renal Registri
(IRR, 2015) data pasien hemodialisis di setiap provinsi indonesia adalah
sebanyak 30554 orang dimana sumatra utara menduduki pringkat ke 6
tertinggi dan disusul oleh Jawa Barat sebanyak 9382 orang.

Data yang didapat dari Indonesian Renal Registry (IRR) (2014); suatu
program dari Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), menunjukkan
bahwa adanya peningkatan pada jumlah pasien, terutama pasien aktif selama
tahun 2007 hingga 2014. Dalam kurun waktu tersebut, terdapat peningkatan
lebih dari 6 kali lipat dari jumlah awalnya. Di Indonesia berdasarkan Report Of
Indonesian Renal Registry 2014 terdapat 358 renal unit dengan bentuk
instalasi di rumah sakit 334 dan status kepemilikan pemerintah. Peningkatan
jumlah renal unit menandakan meningkatnya kebutuhan pasien GGK dalam
menjalani HD.

Hemodialisis merupakan terapi yang lama, mahal serta membutuhkan


restriksi cairan dan diet. Hal tersebut akan berakibat pasien kehilangan
kebebasan, tergantung pada pemberi layanan kesehatan, perpecahan dalam
perkawinan, keluarga dan kehidupan sosial serta berkurang atau hilangnya
pendapatan. Pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis sering dilaporkan
mengalami penurunan kualitas hidup, menurut Rahman et al (2013) pada
pasien GGK terdapat penurunan kualitas hidup pasien baik dari segi fisik,
mental, sosial dan lingkungan. Kualitas hidup pasien GGK yang menjalani
HD menjadi hal yang menarik perhatian paramedis, karena hakikatnya tujuan
HD adalah untuk mempertahankan kualitas hidup pasien. Karena hal-hal
tersebut maka aspek fisik, psikologis, sosioekonomi dan lingkungan dapat
terpengaruh secara negatif, berdampak pada kualitas hidup pasien GGK.
Hemodialisis dapat memperpanjang usia, namun tindakan ini tidak akan bisa
mengembalikan fungsi ginjal (Wahyuni, et al, 2014). Kematian pada pasien
yang menjalani hemodialisis selama tahun 2015 tercatat sebanyak 1.243
orang dengan lama hidup dengan HD 1-317 bulan. Proporsi terbanyak pada
pasien dengan lama hidup dengan HD 6-12 bulan.

GGK stadium terminal menyebabkan pasien harus menjalani hemodialisis.


Selain oleh karena penyakit GGK itu sendiri, biaya hemodialisis yang cukup
mahal mengakibatkan kecemasan maupun depresi pada pasien bertambah,
sehingga sangat dibutuhkan dukungan sosial terhadap para penderita ini
(Lubis, 2010). Dalam suatu penelitian oleh Tagay S dkk juga disebutkan
bahwa tipe kecemasan yang sering dialami oleh penderita hemodialisis adalah
stres tipe pasca trauma. Selain itu, diketahui adanya korelasi antara
kecemasan dan depresi dengan hemodialisis kronik (Cukor et al., 2013).
Akibat dari GGK, pasien dapat mengalami perubahan kualitas hidup dan
dapat menimbulkan stres psikis berupa kecemasan. Penelitian Aroem dkk,
(2014) menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa sebagian besar memiliki kecemasan ringan yaitu 50%,
kecemasan sedang 36,7% dan kecemasan berat 13,3%.

Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis akan mengalami


kecemasan yang disebabkan oleh berbagai stressor, diantaranya pengalaman
nyeri pada daerah penusukan saat memulai hemodialisis, masalah finansial,
kesulitan dalam mempertahankan masalah pekerjaan, dorongan seksual yang
menghilang, depresi akibat penyakit kronis serta ketakutan terhadap kematian
(Brunner, & Suddarth, 2014). Pasien GGK yang menjalani hemodialisis
sering mengalami kecemasan karena terjadi ancaman terhadap integritas
dirinya dimana mereka sering berfikir bahwa penyakitnya akan menimbulkan
ketidakmampuan fisiologis bahkan kematian. Survei yang dilakukan oleh
Jangkup, et al, (2015) diperoleh keterangan bahwa pasien PGK yang
menjalani hemodiaisis mengatakan cemas terhadap mesin, selang-selang yang
dialiri darah, cemas untuk ditusuk jarum, demikian juga dengan pembayaran
yang mahal.

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya


bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan
mengatasi ancaman (Kaplan, et al., dalam Tokala, et al., 2015). Menurut
Kusumawati & Hartono (2011) menyebutkan cemas adalah emosi dan
pengalaman subyektif dari seseorang yang membuat dirinya tidak nyaman.
Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia
sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan
cemas itu menjadi berkepanjangan maka perasaan itu berubah menjadi
gangguan cemas atau anxiety disorders (Luana et al, 2012).

Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak


menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan
sehari-hari. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pada
pasien hemodialisis yaitu status fisik dan mental, tingkat keparahan penyakit,
tingkat sosial dan ekonomi serta persiapan fisik dan mental. Untuk tingkat
kecemasan yaitu dari 30 responden diperoleh 5 orang (16,67%) mengalami
kecemasan ringan, kecemasan sedang 12 orang (40%), dan kecemasan berat
13 orang (43,33%). Menurut penelitian Cahyani (2015) bahwa kecemasan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien
dengan terapi ginjal. Hasil penelitian ini menemukan bahwa mayoritas
responden memiliki kualitas hidup buruk yaitu sebanyak 80%.
World Health Organization Quality of Life mengemukakan kualitas hidup
adalah persepsi individu dalam kemampuan, keterbatasan, gejala serta sifat
psikososial hidupnya dalam konteks budaya dan sistem nilai untuk
menjalankan peran dan fungsinya (WHO, 2016). Kualitas hidup adalah sasaran
utama yang ingin dicapai di bidang pembangunan sehingga kualitas hidup ini
sejalan dengan tingkat kesejahteraan. Diharapkan semakin sejahtera maka
kualitas hidup semakin tinggi. Kualitas hidup ini salah satunya dipengaruhi oleh
derajat kesehatan. Semakin tinggi derajat kesehatan seseorang maka kualitas
hidup juga semakin tinggi (Nursalam, 2013). Kualitas hidup pasien gagal ginjal
sangat berkaitan dengan hemodialisa. Namun, hemodialisa bukan merupakan
suatu terapi untuk menyembuhkan. Hemodialisa dilakukan hanya untuk
mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal
pulih kembali. Hemodialisa merupakan terapi yang lama, mahal, serta
membutuhkan restriksi cairan dan diet. Pasien akan kehilangan kebebasan
karena berbagai aturan, pasien sangat tergantung pada pemberi layanan
kesehatan.

Hubungan kecemasan dengan kualitas hidup bersifat dua arah. Kecemasan


Sering disebabkan oleh penurunan kualitas hidup yang dialami pasien GGK
dengan terapi hemodialisis, demikian pula pasien GGK dengan terapi
hemodialisis yang mengalami kecemasan pada umumnya kualitas hidupnya
akan menurun. Lebih dari separuh penderita hemodialisis maupun penyakit
kronik lainnya menunjukkan adanya kecemasan baik yang bersifat borderline
maupun dengan gejala klinis yang nyata (Kaplan dan Sadock BJ, 2010).
Meskipun GGK merupakan penyakit yang ireversible, akan tetapi dengan
penanganan yang baik akan dapat mengurangi gejala yang muncul dan
memperbaiki kualitas hidup penderitanya sehingga dapat memperbaiki dan
mencegah terjadinya gangguan kejiwaan (Duckworth, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, penderita GGK khususnya yang menjalani terapi


hemodialisis akan mengalami perubahan kualitas hidup, sehingga pasien
perlu menyesuaikan diri dengan kondisi fisiknya dengan GGK. Bila
penyesuaian diri gagal, maka dapat terjadi kecemasan. Kualitas hidup ini
dapat mempengaruhi keadaan psikis pasien GGK. Hal ini mendasari penulis
untuk melakukan penelitian mengenai hubungan kecemasan dengan kualitas
hidup pada pasien GGK yang menjalani terapi hemodialisis.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah berdasarkan uraian latar belakang diatas, yaitu Adakah
hubungan kecemasan dengan kualitas hidup pasien GGK yang menjalani
hemodialisis.

1.3 Tujuan penelitian


1.3.1 TujuanUmum
Untuk mengetahui hubungan kecemasan dengan kualitas hidup pasien
GGK yang menjalani hemodialisis.
1.3.2 TujuanKhusus
1. Untuk mengidentifikasi kecemasan pada pasien GGK
2. Untuk mengidentifikasi kualitas hidup pasien GGK yang menjalani
hemodialisis.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Institusi pendidikan
Sebagai tambahan untuk referensi perpustakaan Universitas sari mutiara
Indonesia
1.4.2 Bagi Rumah Sakit
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi
perawat untuk melakukan terapi hemodialisis dengan memperhatikan
tingkat kualitas hidup pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis.
1.4.3 Bagi pasien
Sebagai bahan masukan kepada pasien dan keluarga yang menjalani
hemodialisis dalam memberikan intervensi dan dukungan kepada
pasien.
1.4.4 Peneliti selanjutnya
Dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan
melakukan penelitian yang terkait dengan kecemasan dengan kualitas
hidup pasien GGK yang menjalani hemodialisis.

Anda mungkin juga menyukai