Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar
mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar.
Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah istilah non
spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4 subtipe tergantung gejala yang
digambarkan oleh pasien.(Sura,2010)

Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadedness, presyncope, dan


disequilibrium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu sekitar 54% dari keluhan
dizziness yang dilaporkan pada primary care.(Lampert,2010)

Diagnosis banding vertigo meliputi penyebab perifer vestibular (berasal dari


system saraf perifer), dan sentral vestibular (berasal dari system saraf pusat) dan
kondisi lain. 93% pasien pada Iprimary care mengalami BPPV, acute vestibular
neuronitis, atau menire disease .(Lampert,2010)
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. (Soedoyo, 2014).
Menurut American Diabetes Association (ADA), DM dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa tipe yakni, DM tipe 1, DM tipe 2, DM
Gestasional dan DM tipe lain. Beberapa tipe yang ada, DM tipe 2 merupakan
salah satu jenis yang paling banyak di temukan yaitu lebih dari 90-95% (ADA,
2015).
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus (DM)
di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun
2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes
Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di
1
Indonesia dari 10 juta pada tahun 2015 menjadi 16,2 juta pada tahun 2040. (IDF,
2015).
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 oleh
Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di Indonesia pada
umur 15 tahun adalah 1,5%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Kalimantan
Barat, Sulawesi Barat dan Papua sebesar 0,8% dan terbesar di Propinsi DKI
Jakarta yang mencapai 2,5%. Sedangkan pravalensi DM di Sumatera Selatan
adalah sebesar 0,9%. (Riskesdas, 2013).
Seiring dengan peningkatan kasus hipertensi dan DM tipe 2 serta
komplikasi yang dapat terjadi jika hipertensi dan DM tipe 2 tidak ditangani
dengan tepat, maka penggunaan obat yang rasional merupakan salah satu elemen
penting dalam tercapainya kualitas kesehatan serta perawatan medis bagi pasien
sesuai standar yang diharapkan. Penggunaan obat secara tidak rasional dapat
menyebabkan timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan, memperparah
penyakit, hingga kematian. Selain itu biaya yang dikeluarkan menjadi sangat
tinggi.(Kusmana, 2009).
Mengingat jumlah penderita diabetes melitus dan vertigo masih banyak
dan dapat timbulnya komplikasi dan/atau beban fisik maupun psikis terhadap
pasien, maka upaya yang paling baik adalah melakukan pencegahan.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui pendekatan kedokteran keluarga pada pasien dengan
Vertigo dan DM tipe 2 di sekitar Klinik Dokter Keluarga FKUMP tahun
2019.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi masalah-masalah pada pasien secara holistik.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap masalah
pasien.
3. Melakukan tatalaksana kasus Vertigo pada pasien secara
komprehensif.

2
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1. Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi
Diharapkan laporan kasus ini dapat menambah bahan referensi dan
studi kepustakaan tentang penatalaksanaan kasus melalui
pendekatan kedokteran keluarga.
b. Bagi penulis selanjutnya
Diharapkan laporan kasus ini dapat dijadikan sebagai landasan atau
acuan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.3.2. Manfaat Praktis


Diharapkan laporan kasus ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk
melatih keterampilan dan menambah pengalaman dalam pelayanan
kesehatan dengan menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vertigo
2.1.1 Definisi
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar
mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan
sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah
istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4 subtipe tergantung
gejala yang digambarkan oleh pasien. Dizziness dapat berupa vertigo,
presinkop (perasaan lemas disebabkan oleh berkurangnya perfusi cerebral),
light-headness, disequilibrium (perasaan goyang atau tidak seimbang ketika
berdiri (Sura 2010).
Vertigo - berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar - merujuk
pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang,
umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan (Lampert,
2009).

2.1.2 Epidemiologi (Yonata, 2016)


Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu
dengan prevalensi sebesar 7 %. Beberapa studi telah mencoba untuk
menyelidikiepidemiologi dizziness, yang meliputi vertigo dan non vestibular
dizziness. Dizziness telah ditemukan menjadi keluhan yang paling sering
diutarakan oleh pasien, yaitu sebesar 20-30% dari populasi umum. Dari
keempat jenis dizziness vertigo merupakan yang paling sering yaitu sekitar
54%. Pada sebuah studi mengemukakan vertigo lebih banyak ditemukan
pada wanita disbanding pria (2:1), sekitar 88% pasien mengalami episode
rekuren (Labuguen, 2006).
Di Amerika Serikat, sekitar 500.000 orang menderita stroke setiap
tahunnya. Dari stroke yang terjadi, 85% merupakan stroke iskemik, dan
1,5% diantaranya terjadi di serebelum. Rasio stroke iskemik serebelum
dibandingkan dengan stroke perdarahan serebelum adalah 3-5: 1. Sebanyak
4
10% dari pasien infark serebelum, hanya memiliki gejala vertigo dan
ketidakseimbangan. Insidens sklerosis multiple berkisar diantara 10-80/
100.000 per tahun. Sekitar 3000 kasus neuroma akustik didiagnosis setiap
tahun di Amerika Serikat.
Insidens penyakit cerebrovaskular sedikit lebih tinggi pada pria
dibandingkan wanita. Dalam satu seri pasien dengan infark serebelum, rasio
antara penderita pria dibandingkan wanita adalah 2:1. Sklerosis multiple dua
kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria.

Vertigo sentral biasanya diderita oleh populasi berusia tua karena


adanya faktor resiko yang berkaitan, diantaranya hipetensi, diabetes melitus,
atherosclerosis, dan stroke. Rata-rata pasien dengan infark serebelum
berusia 65 tahun, dengan setengah dari kasus terjadi pada mereka yang
berusia 60-80 tahun. Dalam satu seri, pasien dengan hematoma serebelum
rata-rata berusia 70 tahun.

Cedera vaskular dan infark di sirkulasi posterior dapat menyebabkan


kerusakan yang permanen dan kecacatan. Pemulihan seperti yang terjadi
pada vertigo perifer akut tidak dapat diharapkan pada vertigo sentral.

Dalam satu seri, infark serebelum memiliki tingkat kematian sebesar


7% dan 17% dengan distribusi arteri superior serebelar dan arteri posterior
inferior serebelar. Infark di daerah yang disuplai oleh arteri posterior
inferior serebelar sering terkait dengan efek massa dan penekanan batang
otak dan ventrikel ke empat, oleh karena itu, membutuhkan manajemen
medis dan bedah saraf yang agresif. Dalam satu rangkaian 94 pasien, 20
diantaranya datang dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 8 yang
mengindikasikan adanya penurunan kesadaran yang signifikan. Tingkat
kematian pasien lainnya, yaitu yang GCSnya lebih dari 8, adalah 20%

Neuroma akustik memiliki tingkat kematian yang rendah jika dapat


didiagnosis dengan cepat. Tumor dapat diangkat tanpa mengganggu N VII,
namun gangguan pendengaran unilateral dapat terjadi.

5
2.1.3 Etiologi (Labuguen, 2006)
Vertigo merupakan suatu gejala,sederet penyebabnya antara lain
akibat kecelakaan,stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan,
terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke otak dan lain-lain. Tubuh
merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ
keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki
saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa
disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang
menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri.
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat
informasi tentang posisi tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah
dan mata. Penyebab umum dari vertigo:

1. Keadaan lingkungan : mabuk darat, mabuk laut.


2. Obat-obatan : alkohol, gentamisin.
3. Kelainan telinga : endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di
dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal
positional
4. vertigo, infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit
maniere,
5. peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
6. Kelainan Neurologis : Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis,
sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin,
persyarafannya atau keduanya.
7. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya
aliran darah ke salah satu bagian otak ( transient ischemic attack ) pada
arteri vertebral dan arteri basiler.
Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler
sampai ke inti nervus VIII sedangkan kelainan sentral dari inti nervus VIII
sampai ke korteks. Berbagai penyakit atau kelainan dapat menyebabkan
vertigo. Penyebab vertigo serta lokasi lesi: (Tuner,2010)
Labirin, telinga dalam
6
- vertigo posisional paroksisimal benigna
- pasca trauma
- penyakit menierre
- labirinitis (viral, bakteri)
- toksik (misalnya oleh aminoglikosid, streptomisin, gentamisin)
- oklusi peredaran darah di labirin
- fistula labirin
Saraf otak ke VIII
- neuritis iskemik (misalnya pada DM)
- infeksi, inflamasi (misalnya pada sifilis, herpes zoster)
- neuritis vestibular
- neuroma akustikus
- tumor lain di sudut serebelo-pontin
Telinga luar dan tengah
- Otitis media
- Tumor
- Trauma
- Epilepsi
- Insufisiensi vertebrobasiler

2.1.4 Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) yang
sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat (pusat
kesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan
vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan
impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem
optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei
vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis,
dan vestibulospinalis. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh
akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor
vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul

7
kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah
proprioseptik.

Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat


integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual
dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya
dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang
muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam
keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan
tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh
di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada
rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan
informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat
sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus,
unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya.10
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian
ketidakseimbangan tubuh :

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)


Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

2. Teori konflik sensorik


Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan
proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi
kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan
sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus
(usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler,
serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal).
Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan
gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
8
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini
otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga
jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola
gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika
pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi
mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis
terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan.

5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori
serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan
neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan
stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor),
peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf
simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa
meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat
menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat
di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang
menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat
dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

9
2.1.5 Diagnosis (Sura, 2010)
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sekitar
20 sampai 40% pasien dapat didiagnosis segera setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Diagnosis juga dapat ditentukan berdasarkan komplek
gejala yang terdapat pada pasien (table . dan durasi gejala (table)

2.1.6 Tatalaksana
Prinsip umum terapi Vertigo
 Medikasi
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa
sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi.
Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
Beberapa golongan yang sering digunakan :
Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.
Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat,
difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti
vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat.
Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya dengan kemampuannya
sebagai obat antivertigo. Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi
(mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek samping ini
memberikan dampak yang positif.

- Betahistin

Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan


sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala
vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di lambung, rasa enek,
dan sesekali “rash” di kulit.

 Betahistin Mesylate (Merislon)


Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral.
 Betahistin di Hcl (Betaserc)
10
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet
dibagi dalam beberapa dosis.

- Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan
dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping
ialah mengantuk.

- Difhenhidramin Hcl (Benadryl)

Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg


(1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga diberikan
parenteral. Efek samping mengantuk.

Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis
kalsium Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering
digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut
vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun, antagonis
kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan
antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini berperan dalam
mengatasi vertigo belum diketahui.

- Cinnarizine (Stugerone)

Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi


respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15
– 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek samping ialah rasa
mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau konstipasi, mulut rasa kering
dan “rash” di kulit.

Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah).
Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine
11
(Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea
yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap
vertigo.

- Promethazine (Phenergan)

Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati vertigo.


Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5 mg
– 25 mg (1 draze), 4 kali sehari per oral atau parenteral (suntikan
intramuscular atau intravena). Efek samping yang sering dijumpai ialah
sedasi (mengantuk), sedangkan efek samping ekstrapiramidal lebih
sedikit disbanding obat Fenotiazine lainnya.

- Khlorpromazine (Largactil)

Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat dan
akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral (suntikan
intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25 mg (1 tablet) –
50 mg, 3 – 4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi (mengantuk).

Obat Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya
obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah
efedrin.

- Efedrin

Lama aktivitas ialah 4 – 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4


kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan
obat anti vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia, jantung
berdebar (palpitasi) dan menjadi gelisah – gugup.

12
Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan
yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek samping seperti
mulut kering dan penglihatan menjadi kabur.

- Lorazepam

Dosis dapat diberikan 0,5 mg – 1 mg

- Diazepam

Dosis dapat diberikan 2 mg – 5 mg.

Obat Anti Kholinergik


Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem
vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.

- Skopolamin

Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau efedrin dan


mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg – 0,6 mg, 3
– 4 kali sehari
 Terapi fisik
Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi
gangguan keseimbangan. Namun kadang-kadang dijumpai beberapa
penderita yang kemampuan adaptasinya kurang atau tidak baik. Hal ini
mungkin disebabkan oleh adanya gangguan lain di susunan saraf pusat
atau didapatkan deficit di sistem visual atau proprioseptifnya. Kadang-
kadang obat tidak banyak membantu, sehingga perlu latihan fisik
vestibular. Latihan bertujuan untuk mengatasi gangguan vestibular,
membiasakan atau mengadaptasi diri terhadap gangguan keseimbangan.
Tujuan latihan ialah :
1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium
untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambat laun.
2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.

13
3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan

Contoh latihan :

1. Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup.


2. Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi, ekstensi,
gerak miring).
3. Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian
dengan mata tertutup.
4. Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan
mata tertutup.
5. Berjalan “tandem” (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang satu
menyentuh jari kaki lainnya dalam melangkah).
6. Jalan menaiki dan menuruni lereng.
7. Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.
8. Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan juga
memfiksasi pada objek yang diam.

Terapi Fisik Brand-Darrof


Ada berbagai macam latihan fisik, salah satunya adalah latihan
Brand-Darrof.

Keterangan Gambar:

a. Ambil posisi duduk.


b. Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian balik
posisi duduk.

14
c. Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-masing
gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan berulang kali.
Untuk awal cukup 1-2 kali kiri kanan, makin lama makin bertambah.

2.1.7 Pencegahan
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan adalah : (PHI, 2007)
a. Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan
manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti
menghindari diabetes dan dislipidemia.
b. Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan
lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak
jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan
cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak
jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis
obat antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk
asupan garam tidak melebihi 2 gr/ hari
c. Olah raga. Olahraga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 –60
menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan
tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk
berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk
berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas
rutin mereka di tempat kerjanya.
d. Mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun konsumsi alkohol belum
menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi
alkohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan
pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol
lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita,
dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau
menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan
tekanan darah.

15
2.2 Diabetes Melitus
2.2.1. Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. (Soedoyo, 2014).
Menurut WHO (World Health Organization) sebelumnya telah
merumuskan bahwa DM merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.(Soedoyo, 2014)

2.2.2. Epidemiologi
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar
16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis
600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika
Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat
retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2,5 kali
lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak
menderita diabetes.(Price&Wilson, 2014)
Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena
penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah
komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu
yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat. .(Price&Wilson, 2014)
Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya
pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena
banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular. .(Price&Wilson,
2014)

2.2.3. Faktor Risiko (Papdi, 2006)


Ada bukti menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam.
Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada

16
insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan
penting pada mayoritas penderita diabetes melitus.
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
- Ras dan etnik
- Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
- Usia
- Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah
menderita Diabetes Gestasional
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
- Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m²)
- Kurangnya aktivitas fisik
- Hipertensi (> 140/90mmHg)
- Dislipidemia (HDL <35mg/dL dan atau trigliserida >250mg/dL)
- Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes dan diabetes tipe 2

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :


- Penderita Polycystic Ovary Syndrome yang terkait dengan resistensi insulin
- Penderita sindrom metabolic memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki
riwayat penyakit kardiovaskular seperti stroke, dan penyakit jantung koroner
(CAD).

2.2.4. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2015, klasifikasi DM
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1.Diabetes Melitus tipe 1
(akibat kerusakan sel beta pankreas, sehingga dapat menyebabkan defisiensi
insulin).
2.Diabetes Melitus tipe 2
(akibat gangguan sekresi insulin yang dapat menyebabkan resistensi insulin).
3.Gestasional Diabetes Melitus (GDM).

17
(didiagnosa pada trimester kedua atau ketiga kehamilan)
4.Diabetes tipe spesifik
a.Sindrom diabetes monogenik, seperti neonatal diabetes dan maturity-onset
diabetes of the young (MODY).
b.Penyakit eksokrin pankreas, seperti fibrosis kistik.
c.Karena pengaruh obat atau zat kimia, seperti dalam pengobatan HIV/AIDS
atau pasca transplantasi organ.
(ADA, 2015)

2.2.5. Patofisiologi (FK USU, 2014)


Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3
jalan, yaitu :
1.Rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia tertentu,
dll).
2. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
3. Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer .

Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan ;


a. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan pengeluaran
glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karena
sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin,
timbul keadaan ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi
defisiensi glukosa intrasel - “kelaparan di lumbung padi”.
b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang difiltrasi
melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan menyebabkan
glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan glukosuria.
c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O bersamanya.
Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering
berkemih).
d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan dehidrasi,
yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena

18
volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki dapat
menyebabkan kematian karena penurunan aliran darah ke otak atau menimbulkan
gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
f. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan “sel kelaparan” akibatnya nafsu
makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan yang
berlebihan).
g. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan
sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan
mobilisasi asam lemak dari simpanan trigliserida. Peningkatan asam lemak dalam
darah sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif karena
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.
h. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto kearah
katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan otot rangka
kisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan.

2.2.6. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
(PERKENI, 2015)
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
a.Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b.Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

19
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa
adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75
gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan
keluhan klasik
Atau
Pemeriksaan HbA1c 6,5% dengan menggunakan metode
yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization (NGSP).

2.2.7. Tatalaksana (Soedoyo, 2014)


1. Edukasi
Edukasi mengenai pengertian DM, promosi, perilaku hidup sehat, pemantauan
glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemia beserta cara
mengatasinya perlu dipahami oleh pasien
2. Terapi nutrisi medis
TNM merupakan aspek penting dari penatalaksanaan DM secara menyeluruh,
yang membutuhkan keterlibatan multidisiplin (dokter-ahli gizi-petugas kesehatan-
pasien serta keluarga pasien). Prinsip pengaturan diet pada penyandang DM
adalah menu seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
pasien, serta perlu ditekankan pentingnya keteraturan jadwal, jenis dan jumlah
makanan.
Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan kalori basal ini besarnya
25 (perempuan) dan 30 (laki-laki)/KgBB ideal, ditambah atau dikurangi
tergantung dari beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan,
dll. Perhitungan berat badan ideal (BBI) dilakukan dengan rumus broca yang
dimodifikasi yaitu:
20
- BBI= 90% x (tinggi badan dalam cm-100) x 1 kg
- Bagi pria dengan tinggi badan <160 cm dan perempuan <150cm, rumus
dimodifikasi menjadi BBI= (tinggi badan dalam cm-100) x 1 kg
- BB normal : BBI
3. Aktivitas fisik
4. Terapi farmakologis

GOLONGAN INSULIN SENSITIZING


BIGUANID5
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin
terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati. Proses tersebut
berjalan dengan cepat sehingga metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali
sehari. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi
dalam darah setelah 2 jam dan dieksresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan
waktu paruh 2-5 jam.
Mekanisme kerja
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin
dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga dapat menurunkan glukosa darah dan juga diduga
menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan.
Metformin juga dapat menstimulasi produksi glukagon like peptide-1 (GLP-1)
yang dapat menekan fungsi sel alfa pankreas sehingga menurunkan glukagon
serum dan mengurangi hiperglikemia saat puasa.

Penggunaan dalam klinik dan efek hipoglikemia


Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak
mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan. Pemberian metformin
dapat menurunkan berat badan ringan hingga sedang akibat penekanan nafsu
makan dan menurunkan hiperinsulinemia akibat resistensi insulin.
Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi
dengan sulfonylurea, repaglinid,nateglinid, penghambat alfa glikosidase dan
glitazone. Pemakaian metformin secara tunggal dapat menurunkan glukosa darah

21
sampai 20 %, kombinasi sulfonylurea dengan metformin saat ini merupakan
kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja yang sinergis sehingga
kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak dari pada
pengobatan tunggal masing-masing.
Efek samping dan kontraindikasi
Efek samping gastrointestinal dapat diberikan bersamaan dengan makanan.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien ginjal, gangguan hati, infeksi berat,
penggunaan alkohol yang berlebihan serta penyandang gagal jantung. Pemberian
metformin perlu pemantauan ketat pada usia lanjut >80 tahun dimana masa otot
lemak bebasnya sudah berkurang.

GLITAZONE5
Diabsorpsi cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam.
Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam. Sama seperti metformin, glitazon tidak
menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas bahkan menurunkan
konsentrasi insulin lebih besar dari pada metformin. Glitazon dapat meningkatkan
berat badan dan edema. Glitazon dapat sedikit menurunkan tekanan darah dan
memperbaiki fungsi endotel.
Penggunaan dalam klinik dan efek hipoglikemia
Penggunaan bersama insulin tidak disarankan karena dapat mengakibatkan
peningkatan berat badan yang berlebih dan resistensi cairan.
Efek samping dan kontraindikasi
Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna serta
edema. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati (ALT
dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal. Pemakaian harus hati-hati pada
pasien dengan riwayat penyakit hati sebelumnya, gagal jantung kelas 3 dan 4 dan
edema.

22
GOLONGAN SEKRETAGOK INSULIN5
SULFONILUREA5
Mempunyai efek hipoglikemik dengan cara menstimulasi sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Obat ini digunakan sebagai terapi pada farmakologis awal
pengobatan diabetes dimulai terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah
terjadi gangguan pada sekresi insulin.

Penggunaan dalam klinik


Terdapat 3 golongan yaitu:
1. Generasi pertama : acetohexamide, tolbutamide, chlopropamide
2. Generasi kedua : glibenclamide, glipizide, dan gliklazide
3. Generasi ketiga : glimepiride
Efek samping dan kontraindikasi
Hipoglikemi, obat yang masa kerja panjang sebaiknya tidak digunakan pada usia
lanjut. Selain itu bisa terjadi kenaikan berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan
pencernaan, fotosensitivitas, gangguan enzim hati, dan flushing.
Dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal dan gangguan fungsi hati
serta DM tipe 1, hipersensitif terhadap sulfa, hamil dan menyusui.

GLINID5
Glinid digunakan sebagai obat prandial. Diabsorpsi cepat dengan pemberian
secara oral. Diberikan 2-3 kali sehari.

PENGHAMBAT ALFA GLUKOSIDASE 5


Acarbose bekerja pada saluran pencernaan. Obat ini bekerja menghambat enzim
alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemia postpandrial. Obat ini bekerja di lumen
usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar
insulin.
Penggunaan dalam klinik

23
Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan insulin,
metformin, glitazone, atau sulfonilurea. Obat ini diberikan segera pada saat
makanan utama. Dengan memberikan 15 menit sebelum atau sesudahnya.
Efek samping dan kontraindikasi
Gejala gastrointestinal seperti meteorismus, flatulence, dan diare. Acarbose
dikontraindikasikan pada kondisi irritable bowel syndrome, obstruksi saluran
cerna, sirosis hati, dan gangguan fungsi ginjal.

2.1.9. Efek Samping Obat


Selain memantau keberhasilan terapi, perlu diperhatikan apakah obat yang
digunakan untuk terapi menimbulkan efek samping yang mengganggu pasien.
Obat golongan sulfonilurea, glinid dan insulin cenderung menyebabkan kenaikan
berat badan dan hipoglikemia. Metformin dilaporkan dapat menyebabkan diare,
dispepsia dan asidosis laktat. Golongan penghambat glukosidase alfa, sesuai
dengan cara kerjanya, akan menyebabkan tinja lembek dan flatulens. Obat
golongan TZD dapat menimbulkan efek samping edema. Gologan DPP-IV
inhibitor dan inkretin mimetik dapat menimbulkan efek samping muntah.
24
2.2.8. Hubungan Diabetes Melitus (DM) dengan Vertigo
Partikel kecil yang mungkin menyebabkan BPPV masuk ke kanalis
semisirkularis memicu aliran endolimfe karena perubahan partikel karena posisi
kepala.Pada penelitian yang dilakukan oleh Yoda et al. (2011), melaporkan bahwa
terdapat prevalensi yang lebih tinggi adanya otolit pada pasien dengan DM tipe II
dibandingkan populasi normal. Kelainan vestibuler pada pasien diabetes muda
berhubungan secara langsung dengan durasi sakit dan pengendalian faktor
metabolik yang jelek. Kelainan sistim vestibuler perifer pada pasien diabetes lebih
sering muncul pada penderita DM dengan durasi penyakit lebih dari5 tahun atau
lebih dibandingkan yang kurang dari 5 tahun. Komplikasi DM tipe 2 baik
mikroangiopati maupun makroangiopati bisa menyebabkan keluhan vertigo baik
perifer maupun central. (Abdel, 2011)

2.2.9. Hubungan DM dengan TB Paru


Penyakit DM tipe 2 dapat juga menimbulkan infeksi. Hal ini terjadi karena
hiperglikemia di mana kadar gula darah tinggi. Kemampuan sel untuk fagosit
menurun. Infeksi yang biasa terjadi pada penderita DM tipe 2 adalah infeksi paru
(Wijaya, 2015).
Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti
penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat
sekunder dari komplikasi mikroangopati sama seperti yang terjadi pada retinopati
dan nefropati. Gangguan neuropati dari syaraf otonom dapat berupa hipoventilasi
sentral dan sleep apneu. Selain itu, dapat terjadi penurunan elastisitas rekoil paru,
penurunan kapasitas difusi karbon monoksida, dan peningkatan endogen produksi
karbondioksida. (Prakash, 2004)
Pasien baru TB paru dengan DM sebagian besar berusia tua, berjenis
kelamin laki-laki, dan memiliki tingkat kepositifan BTA yang tinggi akan
cederung mengalami terlambat konversi. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa
angka konversi pasien tuberkulosis dengan diabetes cenderung terlambat sehingga
dapat meningkatkan risiko penularan tuberkulosis.(Lutiono, 2014)

25
Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada
pengidap diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme
pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih
belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis
mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme
pertahanan manusia terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal
leukosit yang berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki
kontrol gula darah yang buruk.(Jeon, 2008)

2.3 Pendekatan Kedokteran Keluarga


2.3.1. Definisi
Dokter keluarga adalah dokter yang mengutamakan penyediaan
pelayanan komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan
kedokteran dan mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan.
Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua orang yang
membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan usia,
gender, ataupun jenis penyakit (Prasetyawati, 2010).
Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang
menyeluruh yang memusatkan pelayanannya kepada keluarga sebagai
suatu unit, di mana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan
tidak dibatasi oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien, juga tidak
boleh oleh organ tubuh atau jenis penyakit tertentu saja (Prasetyawati,
2010).
Adapun ciri-ciri profesi dokter keluarga sebagai berikut:
1. Mengikuti pendidikan dokter sesuai standar nasional.
2. Pekerjaannya berlandaskan etik profesi.
3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan.
4. Pekerjaannya legal melalui perizinan.
5. Anggota-anggotanya belajar sepanjang hayat.
6. Anggota-anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi.

26
7. Melayani penderita tidak hanya sebagai orang perorang, melainkan
sebagai anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota
masyarakat sekitarnya.
8. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
memberikan perhatian kepada penderita secara lengkap dan
sempurna, jauh melebihi jumlah keseluruhan keluhan yang di
sampaikan.
9. Mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat
seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal
serta mengobati sedini mungkin.
10. Mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan
berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. dan
11. Menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan.

2.3.2 Karakteristik Pelayanan Kedokteran Keluarga


Pelayanan dokter keluarga mempunyai beberapa karakteristik salah
satunya menurut Ikatan Dokter Indonesia melalui Muktamar ke-18 di
Surakarta sebagai berikut: (Prasetyawati, 2010).
1. Yang melayani penderita tidak hanya sebagai orang per orang,
tetapi sebagai anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota
masyarakat sekitarnya.
2. Yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
memberikan perhatian kepada penderita secara lengkap dan
sempurna, jauh melebihi jumlah keseluruhan keluhan yang
disampaikan.
3. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan
derajat kesehatan seoptimal mungkin, mencegah timbulnya
penyakit dan mengenal serta mengobati penyakit sedini mungkin.

27
4. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-
baiknya.
5. Yang menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan
tingkat pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan
lanjutan.
Dokter keluarga adalah dokter yang mengutamakan penyediaan
pelayanan komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan
kedokteran, dan mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan.
Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua orang yang
membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan usia,
gender, ataupun jenis penyakit. Dikatakan pula bahwa dokter keluarga
adalah dokter yang mengasuh individu sebagai bagian dari keluarga dan
dalam lingkup komunitas dari individu tersebut. Tanpa membedakan ras,
budaya, dan tingkatan sosial. Secara klinis, dokter ini berkompeten untuk
menyediakan pelayanan dengan sangat mempertimbangkan dan
memerhatikan latar belakang budaya, sosioekonomi, dan psikologis
pasien. Dokter ini bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang
komprehensif dan berkesinambungan bagi pasiennya (Prasetyawati, 2010).
Menurut WONCA (1991) dokter keluarga adalah dokter yang
mengutamakan penyediaan pelayanan komprehensif bagi semua orang
yang mencari pelayanan kedokteran, dan mengatur pelayanan oleh
provider lain bila diperlukan. Dokter ini adalah seorang generalis yang
menerima semua orang yang membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa
adanya pembatasan usia, gender, ataupun jenis penyakit. Dikatakan pula
bahwa dokter keluarga adalah dokter yang mengasuh individu sebagai
bagian dari keluarga dan dalam lingkup komunitas dari individu tersebut.
Tanpa membedakan ras, budaya, dan tingkatan sosial. Secara klinis, dokter
ini berkompeten untuk menyediakan pelayanan dengan sangat
mempertimbangkan dan memerhatikan latar belakang budaya,
sosioekonomi, dan psikologis pasien. Dokter ini bertanggung jawab atas

28
berlangsungnya pelayanan yang komprehensif dan berkesinambungan bagi
pasiennya (Prasetyawati, 2010).
Menurut The American Academy of Family Physician (1969),
pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh
yang memusatkan pelayanannya kepada keluarga sebagai suatu unit, di
mana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi
oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien, juga tidak boleh oleh organ
tubuh atau jenis penyakit tertentu saja (Prasetyawati, 2010).
Pelaksana pelayanan dokter keluarga dikenal dengan dokter
keluarga (family doctor, family physician). Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
mendefinisikan dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat
kepada keluarga, ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu
yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak hanya
menanti secara pasif, tapi bila perlu aktif mengunjungi penderita dan
keluarganya (Prasetyawati, 2010).
Sedangkan Kolese Dokter Indonesia menterjemahkan secara
kimiawi sebagai berikut:
1. Dokter keluarga adalah dokter yang dididik secara khusus untuk
bertugas di lini terdepan sistem pelayanan kesehatan, bertugas
mengambil langkah awal penyelesaian semua masalah yang
mungkin dipunyai pasien.
2. Melayani individu dalam masyarakat tanpa memandang jenis
penyakitnya ataupun karakter personal dan sosialnya dan
memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia dalam sistem
pelayanan kesehatan untuk semaksimal mungkin kepentingan
pasien.
3. Berwenang secara mandiri melakukan tindak medis mulai dari
pencegahan, diagnosis, pengobatan, perawatan dan asuhan paliatif,
menggunakan dan memadukan ilmu-ilmu biomedis, psikologi
medis dan sosiologi medis (Prasetyawati, 2010).

29
Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi,
digunakan konsep Mandala of Health. Dipahami bahwa dokter tidak dapat
melihat pasien hanya fisiknya saja. Karena setiap manusia juga terdiri dari
fisik, jiwa dan spiritnya. Setiap manusia tinggal bersama manusia lain dan
juga berinteraksi dengan lingkungannya (fisik, tempat tinggal, pekerjaan,
lingkungan sosial, budaya dan sebagainya). Karena itu pada saat pasien
mengeluh gangguan kesehatan, perlu dikaji faktor-faktor disekitarnya yang
mungkin memicu atau menyebabkan gejala tersebut muncul selain
kemungkinan masalah pada biomediknya (Prasetyawati, 2010).
Pendekatan penegakan diagnosis berupa pendekatan multi aspek,
yaitu Diagnosis Holistik. Diagnosis holistik, terdiri dari:
1. Aspek 1 (aspek individu): keluhan utama, harapan, kekhawatiran
pasien ketika datang
2. Aspek 2 (aspek klinik): diagnosis klinis dan diagnosis bandingnya
3. Aspek 3 (aspek internal): faktor internal pasien yg memicu
penyakit/masalah kesehatannya, (misal: usia, perilaku kesehatan,
persepsi kesehatan, dan sebagainya).
4. Aspek 4 (aspek eksternal pasien): dokter menulis (keadaan
keluarga, lingkungan psikososial & ekonomi keluarga, keadaan
lingkungan rumah & pekerjaan yang memicu atau menjadi hazard
pada penyakit/masalah ini atau kemungkinan dapat menghambat
penatalaksanaan penyakit/masalah kesehatan yang ada.
5. Aspek 5 (aspek fungsional): dokter menilai derajat fungsional
pasien pada saat ini.
Begitu pula pada saat perencanaan penatalaksanaan masalah
kesehatan, dengan memperhitungkan faktor-faktor disekitar pasien, dokter
perlu memiliki perencanaan pencegahan mulai dari pencegahan primer,
sekunder, tersier untuk pasien dan keluarganya (Prasetyawati, 2010).

30
Gambar 1. The Mandala of Health: A Model of Human Ecosystem

2.3.3. Azas-Azas atau Prinsip-Prinsip Pelayanan Kedokteran Keluarga


Prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga di Indonesia mengikuti
anjuran WHO dan WONCA. Prinsip-prinsip ini juga merupakan simpulan
untuk dapat meningkatkan kualitas layanan dokter primer dalam
melaksanakan pelayanan kedokteran. Prinsip pelayanan atau pendekatan
kedokteran keluarga adalah memberikan atau mewujudkan sebagai
berikut: (Prasetyawati, 2010).
1. Pelayanan yang holistik dan komprehensif
2. Pelayanan yang kontinu.
3. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan.
4. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif.
5. Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari
keluarganya.
6. Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja,
dan lingkungan tempat tinggalnya.
7. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hukum.
8. Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan.
9. Pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu.

31
2.3.4. Klasifikasi Tingkat Kesejahteraan Keluarga
Tahapan keluarga sejahtera dibedakan atas 5 tingkatan menurut
BKKBN (2011) sebagai berikut:
1. Keluarga pra sejahtera
Keluarga-keluarga yang belum dapat memenui kebutuhan dasarnya
secara minimal, seperti kebutuhan agama, pangan, sandang, papan,
kesehatan, dan keluarga berencana.
2. Keluarga sejahtera tahap I
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
secara minimal tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan
sosial psikologisnya, seperti kebutuhan akan pendidikan, interaksi
dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan
transportasi.
3. Keluarga sejahtera tahap II
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan fisik dan
sosial-psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan
kebutuhan pengembangannya, seperti kebutuhan untuk menabung dan
informasi.
4. Keluarga sejahtera tahap III
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebuthan fisik,
sosial-psikologis, dan pengembangan, namun belum dapat memberikan
sumbangan secara teratur kepada masyarakat sekitarnya, misalnya
dalam bentuk sumbangan materil dan keuangan, serta secara aktif
menjadi pengurus lembaga di masyarakat yang ada.
5. Keluarga sejahtera tahap III plus
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya
serta memiliki kepedulian dan kesertaan yang tinggi dalam
meningkatkan kesejahteraan keluarga disekitarnya.

32
2.3.5. Penentuan Sehat/Tidaknya Keluarga (APGAR)
Tingkat kepuasan anggota keluar dapat dinilai dengan APGAR
keluarga. APGAR keluarga merupakan salah satu cara yang digunakan
untuk mengukur sehat tidaknya suatu keluarga yang dikembangkan oleh
Rosen, Geyman, dan Leyton. Lima fungsi pokok yang dinilai dalam
tingkat kesehatan keluarga sebagai berikut. (Prasetyawati, 2010).
1. Adaptasi (Adaptation)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan
yang diperlukannya dan anggota keluarga lainnya.
2. Kemitraan (Partnership)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap berkomunikasi,
turun rembuk dalam mengambil keputusan dan atau menyelesaikan
suatu masalah yang sedang dihadapi dengan anggota keluarga lainnya.
3. Pertumbuhan (Growth)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang
diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan atau
kedewasaan setiap anggota keluarga.
4. Kasih sayang (Affection)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta
interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga.
5. Kebersamaan (Resolve)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam
membagi waktu, kekayaan, dan ruang antar keluarga.

2.3.6. Pola Pikir dan Pola Tindak Dokter Keluarga/Dokter Layanan Primer
Dokter keluarga bertanggung jawab meningkatkan derajat
kesehatan mitranya, dan ia berhubungan dengan mitranya di kala sehat
maupun di kala sakit. Tanggung jawab ini mengharuskan dokter keluarga
menyediakan program pemeliharaan kesehatan bagi mitranya yang sehat,
dan program pengobatan atau pemulihan bagi mitranya yang sedang jatuh
sakit. Program ini harus spesifik dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan

33
setiap mitranya. Hal ini dapat dipenuhi bila pola pikir dan pola tindaknya
mengacu pada pendekatan Medifa yang menata alur pelayanan dokter
keluarga dalam 4 kegiatan (assessment – targeting – intervention –
monitoring) yang membentuk satu siklus pelayanan terpadu (Prasetyawati,
2010).
1. Penilaian profil kesehatan pribadi (Assessment)
Dokter keluarga mengawali upaya pemeliharaan mitranya dengan
melakukan penilaian komprehensif terhadap faktor risiko dan kodisi
kesehatan dengan tujuan memperoleh profil kesehatan pribadi dari
mitranya.
2. Penyusunan program kesehatan spesifik (Targeting)
Tersedianya profil kesehatan ini memberi kesempatan kepada dokter
keluarga untuk mempelajari masalah kesehatan yang dimiliki mitranya,
sehingga dokter keluarga dapat menyusun program kesehatan yang
sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap mitra.
3. Intervensi proaktif (Intervention)
Dengan demikian setiap mitra, apakah ia dalam kondisi sehat,
menyandang faktor risiko atau sakit, secara proaktif akan diajak
mengikuti program pemeliharaan kesehatan yang sepesifik dengan
kebutuhannya. Melalui program proaktif ini diharapkan mitra yang
sehat dapat tetap sehat, yang saat ini menyandang faktor risiko dapat
dikurangi kemungkinan jatuh sakit berat di kemudian hari, dan yang
saat ini menderita suatu penyakit dapat segera pulih, dicegah terjadinya
komplikasi, atau diupayakan agar kecacatan seminimal mungkin. Bila
diperlukan si mitra akan dirujuk ke spesialis.
4. Pemantauan kondisi kesehatan (Monitoring)
Selanjutnya pelaksanaan program dan hasilnya akan dipantau dan
dievaluasi terus menerus dan menjadi masukan bagi dokter keluarga
untuk meningkatkan kualitas program dan memotivasi mitranya
(monitoring).

2.3.7. Bentuk dan Fungsi Keluarga

34
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami-sitri, atau suami-istri dan anak, atau ayah dengan anak atau ibu
dengan anak (Prasetyawati, 2010).
Bentuk keluarga dibagi menjadi 9 macam yaitu sebagai berikut.
1. Keluarga inti (nuclear family)
Keluarga yang terdiri dari suami, istri, serta anak-anak kandung.
2. Keluarga besar (extended family)
Keluarga yang disamping terdiri dari suami, istri, dan anak-anak
kandung, juga terdiri dari sanak saudara lainnya, baik menurut garis
vertikal (ibu, bapak, kakek, nenek, mantu, cucu, cicit) dan ataupun
menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar) yang dapat berasal dari
pihak suami atau istri.
3. Keluarga campuran (blended family)
Keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung serta anak-
anak tiri.
4. Keluarga menurut hukum umum (common law family)
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang tidak terikat dalam
perkawinan sah serta anak-anak mereka yang tinggal bersama.
5. Keluarga orang tua tunggal (single parent family)
Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena telah
bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah,
serta anak-anak mereka tinggal bersama.
6. Keluarga hidup bersama (commune family)
Keluarga yang terdiri dari pria, wanita, dan anak-anak yang tinggal
bersama, berbagi hal dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan
bersama.
7. Keluarga serial (serial family)
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan
mungkin telah mempunyai anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-
masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan pasangan
masing-masing, semuanya mengganggap sebagai satu keluarga.
8. Keluarga gabungan (composite family)

35
Keluarga yang terdiri dari suami dengan beberapa istri dan anak-
anaknya atau istri dengan beberapa suami dan anak-anaknya yang hidup
bersama.
9. Keluarga tinggal bersama (whabilation family)
Pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan perkawinan.

2.3.8. Keluarga dan Kesehatan


Kesehatan dan penyakit selalu berhubungan dengan keempat hal berikut:
1. Kepribadian
2. Gaya hidup
3. Lingkungan fisik
4. Hubungan antar manusia
(Prasetyawati, 2010).

2.3.9. Pengaruh Keluarga Terhadap Kesehatan


Keluarga sangat berpengaruh terhadap kesahatan diantaranya:
1. Penyakit keturunan
a. Interaksi antara faktor genetik (fungsi reproduksi) dan faktor
lingkungan (fungsi-fungsi keluarga lainnya).
b. Muncul dalam perkawinan (tahap awal dan siklus kehidupan
keluarga).
c. Perlu marriage counseling dan screening
2. Perkembangan bayi dan anak
Jika dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan fungsi-fungsi yang
sakit akan mengganggu perkembangan fisik dan perilaku.
3. Penyebaran penyakit
a. Penyakit infeksi
b. Penyakit neurosis
4. Pola penyakit dan kematian
Hidup membujang atau bercerai mempengaruhi angka kesakitan dan
kematian.
5. Proses penyembuhan penyakit

36
Penyembuhan penyakit kronis pada anak-anak pada keluarga dengan
fungsi keluarga yang sehat lebih baik dibandingkan pada keluarga
dengan fungsi keluarga sakit.

2.3.10. Pengaruh Kesehatan Terhadap Keluarga


Berikut pengaruh kesehatan terhadap keluarga:
1. Bentuk keluarga
a. Infertilitas membentuk keluarga inti tanpa anak
b. Penyakit jiwa (kelainan seksual seperti homoseksual), jika
membentuk keluarga akan terbentuk keluarga non-tradisional
2. Fungsi keluarga
a. Jika kesehatan kepala keluarga (pencari nafkah) terganggu, akan
mengganggu fungsi ekonomi dan atau fungsi pemenuhan
kebutuhan fisik keluarga.
b. Jika kesehatan ibu rumah tangga terganggu, akan mengganggu
fungsi afektif dan atau fungsi sosialisasi.
3. Siklus kehidupan keluarga
a. Infertilitas akan mengalami siklus kehidupan keluarga yang tidak
lengkap.
b. Jika kesehatan suami-istri memburuk, kematian cepat masuk ke
dalam tahap lenyapnya keluarga.
(WHO, 2016).

37
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas
Nama : Ny. Nurlela
Umur : 57 tahun
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 5 Agustus 1962
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : Tidak tamat SD
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
Alamat : Jl. KH. Bhalki lrg. Banten 2 No. 81 RT 02
RW 001 Kelurahan 16 Ulu, Seberang Ulu
II, Palembang
Agama : Islam
Tanggal kunjungan rumah I : 02 Juni 2019
Tanggal kunjungan rumah II : 08 Juni 2019
Tanggal kunjungan rumah III : 09 Juni 2019

3.2. Subjektif
1. Keluhan Utama
Kepala pusing dan badan lemas.

2. Keluhan Tambahan
Mudah lelah.

3. Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu pasien mengeluh badan lemas.
Pasien juga mengeluh sering buang air kecil pada malam hari, kurang
lebih 4x. Sering haus dan sering merasa lapar. Pasien juga suka makan
makanan yang manis.
38
Pasien sempat di rawat di RS karena mengalami penurunan
kesadaran. Pada saat di RS pada saat di cek gula darah pasien yaitu 360
g/dL.
Sejak 1 tahun terakhir pasien masih sering merasa pusing seperti
berputar dan badan lemas pada saat bangun tidur. Pasien juga mengeluh
mual dan muntah setiap kali membuka mata. Keluhan berkurang bila
pasien meminum obat yang diberikan dokter dan istirahat. Keluhan pusing
seperti berputar masih sering dirasakan sampai sekarang. Pasien rutin
mengkonsumsi obat kencing manis.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit hipertensi : tidak ada
Riwayat penyakit diabetes mellitus : ada
Riwayat penyakit asma : tidak ada
Riwayat penyakit alergi obat : tidak ada

1. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi : ada (ayah dan anak ke 1 pasien)
Riwayat penyakit diabetes mellitus : ada (ibu dan kakak ke 1 dan ke 2)
Riwayat penyakit asma : tidak ada
Riwayat alergi obat : tidak ada

2. Riwayat Pengobatan
Pasien mengonsumsi obat dan kencing manis.

5. Riwayat Kebiasaan
Pasien biasa makan 2 – 3x sehari dengan nasi disertai lauk ikan, tempe,
telur dan ayam. Pasien mengaku sering makan sayur dan buah. Pasien
memiliki kebiasaan makan makanan yang asin. Pasien mengaku sering
berolahraga.
6. Riwayat Pekerjaan
Pasien adalah ibu rumah tangga.

39
7. Riwayat Higiene
Pasien mandi dua kali sehari dengan sumber air PAM dan menggunakan
sabun.

8. Riwayat Nutrisi
Pasien makan tiga kali sehari sebanyak 1 piring setiap kali makan
dengan nasi putih dan lauk seperti ikan, ayam, ,tahu, tempe, dan sayuran,
yang mana menu setiap hari berbeda beda. Pasien dahulu sering
mengkonsumsi makan makanan yang berlemak tinggi seperti makanan
yang mengandung minyak, santan, nasi bungkus, goreng gorengan.

9. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama suami
dan anak ke 4. Hubungan pasien dengan suami terjalin baik. Begitu pula
hubungan dengan anaknya juga terjalin dengan baik. Dua anak pasien
tinggal di sekitar daerah rumah pasien, sehingga sering bertemu.
Pasien masih sering mengikuti kegiatan warga seperti sholat
berjamaah di masjid dan pengajian.
Kebutuhan sehari hari pasien dan keluarga berasal dari hasil usaha
suami.
Kesan:
Sosial : Baik
Ekonomi : Menengah atas

40
10. Riwayat Keluarga
Genogram

Keterangan:

: Laki-laki

: Laki – Laki meninggal

: Responden

: Perempuan

: Perempuan meninggal

41
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 83 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,8C
Berat badan : 75 kg
Tinggi badan : 157 cm
IMT : (Obesitas 1)
Keadaan Spesifik
Kepala : normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut.
- Mata : edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-),
- Hidung : sekret (-/-), rhinore (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
- Telinga : nyeri tekan (-/-), otorea (-/-)
- Mulut : gusi berdarah (-), stomatitis (-), tonsil T1-T1
- Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks
- Paru
- Inspeksi : simetris, retraksi (-/-), sikatrik (-/-)
- Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
- Jantung
- Inspeksi : iktus cordis (-)
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba (+), thrill (-)
- Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis sinitra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri : ICS V linea Midsternalis sinistra
- Auskultasi : murmur (-), gallop (-)

42
Abdomen
- Inspeksi : datar, striae (-)
- Palpasi : lemas, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : Nyeri ketok CVA (-)
Genitalis : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : akral hangat (+/+), edema (-/-)

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Hasil Pemeriksaan gula darah sewaktu 15 Januari 2017 360 mg/dl
Kesimpulan: Hiperglikemia

3.5. Diagnosis Kerja


DM tipe 2 + Vertigo

Aspek Biopsikososial
 Biologis : DM tipe 2 + Vertigo
 Psikis : Baik
 Ekonomi : Menengah atas
 Sosial : Baik
 Budaya : Baik
 Agama : Baik

3.6. Penatalaksanaan
- Promotif
1. Memberikan informasi kepada pasien gambaran umum tentang
penyakit Vertigo dan DM tipe 2 mengenai penyebabnya, gejalanya,
tatalaksana, serta komplikasinya.
2. Upaya-upaya pencegahan yang harus dilakukan. Cara hidup sehat:
diet yang sehat, aktivitas fisik teratur, hindari asap rokok, istirahat
cukup, hindari stres.

43
3. Pengobatan terhadap penyakitnya (terutama mengenai cara
penggunaan obat dengan cara yang benar dan lama
pengobatannya).
4. Pentingnya ketaatan menggunakan obat karena penyakit ini tidak
dapat sembuh namun dapat dikontrol.
5. Besarnya kemungkinan penyakit ini diturunkan kepada
keturunannya sehingga harus diberikan promosi kepada seluruh
keluarga.

- Preventif
Memberikan informasi mengenai upaya pencegahan yang dapat
dilakukan sehingga tidak mencetuskan dan tidak memperparah
kondisinya
1. Membatasi konsumsi makanan asin karena tinggi kadar garam.
2. Membatasi konsumsi makanan berlemak.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko timbulnya Vertigo dan
DM tipe 2.
4. Membatasi makanan berminyak dan disarankan minyak yang
dipakai hanya satu kali.
5. Makan makanan yang mengandung serat yang tinggi.
6. Kontrol tekanan darah dan gula darah serta HBA1c minimal 3
bulan sekali.
7. Memanfaatkan waktu luang untuk istirahat cukup.

- Kuratif
1. Farmakologis
Betahistine tab 6 mg 2x1
Metformin tab 500 mg 3x1
Pioglitazon tab 30 mg 1x1
Simvastatin tab 20 mg 1x1

44
2. Non Farmakologis
- Meningkatkan aktifitas fisik misalnya dengan seperti jalan santai,
bersepeda, atau senam, serta melakukan beberapa aktivitas fisik,
minimal 30 menit sehari.
- Diet dengan mengurangi konsumsi lemak dan kolesterol serta
meningkatkan rasio asam lemak tak jenuh dengan asam lemak
jenuh.
- Diet dengan presentase karbohidrat berkisar antara 60-68% dari
total energi makanan dengan anjuran penggunaan karbohidrat
kompleks yang mengandung serat.

- Rehabilitatif
Istirahat yang cukup dan anjuran untuk kontrol rutin sebagai
monitoring untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Adanya
kesadaran pasien untuk minum obat rutin dan lebih baik lagi jika
terdapat pendamping minum obat.

3.7. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

3.8. Analisis Kunjungan Rumah (Home Visite)


Home Visite dilakukan ke rumah pasien yang beralamat Jl. KH. Bhalki
lrg. Banten 2 No. 81 RT 02 RW 001 Kelurahan 16 Ulu, Seberang Ulu II,
Palembang. Kunjungan rumah dilakukan sebanyak 3x, kunjungan pertama
dilakukan pada tanggal 2 Juni 2019, kunjungan kedua dilakukan pada
tanggal 8 Juni 2019, dan kunjungan ketiga dilakukan pada tanggal 9 Juni
2019.

3.9.1 Karakteristik Demografi Keluarga


Nama Kepala Keluarga : Tn. Syahrun Gofar

45
Alamat : Jl. KH. Bhalki lrg. Banten 2 No. 81 RT 02 RW
001 Kelurahan 16 Ulu, Seberang Ulu II,
Palembang
Bentuk Keluarga : Keluarga Inti (Nuclear Family)

Tabel 1. Anggota Keluarga Tn. Syahrun

No. Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan Pekerjaan


Syahrun Kepala 65
1. L S1 Wirausaha
Gofar keluarga tahun
57 Tidak tamat Ibu rumah
2. Nurlela Istri P
tahun SD tangga
24 Ibu rumah
3. Isnaini Anak P S1
tahun tangga

3.9.2 Identifikasi Fungsi Keluarga


1. Fungsi fisiologis (APGAR) dalam keluarga

Tabel 2. APGAR Score Tn. Syahrun Terhadap Keluarga


APGAR Score Tn. Syahrun Terhadap Sering/ Kadang- Jarang
Keluarga Selalu kadang / Tidak
Saya puas dengan keluarga saya karena
masing-masing anggota keluarga sudah
A 
menjalankan kewajiban sesuai dengan
seharusnya.
Saya puas dengan keluarga saya karena
dapat membantu memberikan solusi
P 
terhadap permasalahan yang saya
hadapi.
Saya puas dengan kebebasan yang
diberikan keluarga saya untuk
G 
mengembangkan kemampuan yang saya
miliki.
Saya puas dengan kehangatan / kasih
A 
sayang yang diberikan keluarga saya.
Saya puas dengan waktu yang
R disediakan keluarga untuk menjalin 
kebersamaan
Total 10

46
Tabel 3. APGAR Score Ny. Nurlela Terhadap Keluarga
Sering
APGAR Score Ny. Nurlela Terhadap Kadang Jarang/
/
Keluarga -kadang Tidak
Selalu
Saya puas dengan keluarga saya karena
masing-masing anggota keluarga sudah
A 
menjalankan kewajiban sesuai dengan
seharusnya.
Saya puas dengan keluarga saya karena
dapat membantu memberikan solusi
P 
terhadap permasalahan yang saya
hadapi.
Saya puas dengan kebebasan yang
diberikan keluarga saya untuk
G 
mengembangkan kemampuan yang saya
miliki.
Saya puas dengan kehangatan / kasih
A 
sayang yang diberikan keluarga saya.
Saya puas dengan waktu yang
R disediakan keluarga untuk menjalin 
kebersamaan
Total 9

APGAR Score keluarga Tn. Syahrun dinilai berdasarkan 2 dari 3 anggota


keluarga.
APGAR Score Keluarga Tn. Achmad berdasarkan 2 dari 3
anggota keluarga = (10+9)/2 = 9,5
Kesimpulan: Fungsi fisiologis keluarga dapat dinilai baik
Fungsi fisiologis keluarga dikatakan sehat. Waktu untuk berkumpul dan
komunikasi dengan anggota keluarga lainnya cukup. Anggota keluarga lain
selalu siap membantu apabila salah satu dari angota keluarga mengalami
masalah.

47
2. Fungsi patologis
Tabel 4. SCREEM Keluarga Tn.Syahrun
Sumber Patologis
Tn. Syahrun sehari hari sering bertegur sapa
Social -
dengan tetangga sekitar rumah.
Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya
baik, hal ini dapat dilihat dari pergaulan
sehari-hari baik dalam keluarga maupun di
Culture lingkungan. Tn. Syahrun dan istri sering -
mengikuti kegiatan di masyarakat seperti
kondangan, menghadiri hajatan, kegiatan
gotong royong, pengajian.
Dalam keluarga ini pemahaman agama baik.
Religious Tn. Syahrun biasa solat magrib berjamaah -
dengan istrinya dirumah.
Status ekonomi keluarga ini tergolong
menengah. Kebutuhan primer dapat tercukupi,
Economic -
walaupun kebutuhan sekunder tidak semua
nya tercukupi.
Latar belakang pendidikan tergolong tinggi.
Tn. Syahrun lulus Strata I tetapi istrinya
Educational -
tidak tamat SD. Keluarga biasanya melihat
berita/acara lain dari TV.
Bila ada anggota keluarga yang sakit, segera
Medical dibawa ke dokter. Keluarga menggunakan -
Jaminan Kesehatan Nasional

Berdasarkan penilaian SCREEM Keluarga Tn. Syahrun tidak didapatkan


fungsi patologis dari keluarga Tn. Syahrun sehingga keluarga pasien ini
tergolong baik.

3.9.3 Identifikasi Lingkungan Rumah


1. Gambaran Lingkungan Rumah
Pasien tinggal di daerah padat penduduk, rumah pasien berukuran 20
m x 25 m, terdapat 2 lantai dan lantai tersusun dari keramik. Dinding rumah
terbuat dari batu bata dan dicat. Atap rumah terbuat dari genteng dan langit
langit rumah terbuat dari flafon triplek. Secara keseluruhan, pada lantai 1
terdapat 1 ruang tamu berkuran 2,5 m x 6 m, terdapat dua kamar tidur

48
berukuran 2,5 m x 2,5 m dan ukuran 2,5 m x 2 m terdapat satu ruang dapur
yang berukuran 4 m x 6 m dan satu buah kamar mandi ukuran 1,5 m x 2 m.
Terdapat Jendela dan ventilasi, yang mana 4 terdapat di ruang tamu
dan dapur. Walaupun mempunyai jendela namun jendela jarang dibuka
sehingga pencahayaan yang masuk ke dalam rumah dapat dikatakan kurang
memadai. Kebersihan baik dan susunan perabotan rumah cukup rapi.
Sirkulasi udara didalam rumah kurang berjalan baik. Di rumah terdapat
tempat sampah diluar rumah dan sampah dikumpulkan dalam kantung
plastik besar sehingga sampah tidak berserakan.
Sedangkan pada lantai 2 terdapet 2 kamar tidur berukuran 2,5 m x
2,5 m dan terdapat 1 kamar mandi yang berukuran 1,5 m x 2 m. Dan
terdapat 2 jendela pada masing masing kamar, tetapi jarang di buka,
sehingga pencahayaan yang masuk tergolong kurang.
WC berada di dalam rumah dan berdekatan dengan dapur. WC
dipakai secara bersama dengan keluarga. Di dalam WC terdapat jamban
bentuk jongkok. Sumber air berasal dari PDAM dan didalam kamar mandi
memiliki bak penampung air.

2. Denah Rumah

Kamar mandi Dapur

› Garasi
kendaraan

Kamar
¢ tidur
Ruang
keluarga

Kamar tidur
Ruang tamu

49
3.9.4 Daftar Masalah dan Pembinaan Keluarga
1. Masalah Organobiologik
Tidak ditemukan masalah organobiologik pada penderita.
2. Masalah Psikologik
Tidak ditemukan masalah psikologik pada penderita.
3. Masalah Dalam Keluarga
Tidak ditemukan masalah keluarga pada penderita

3.9.5 Pembinaan Keluarga


a. Edukasi Terhadap Pasien
1. Memberikan psikoterapi edukatif, yaitu memberikan informasi dan
edukasi tentang penyakit yang diderita, faktor risiko, gejala, dampak,
faktor penyebab, cara pengobatan, prognosis dan risiko yang
memperberat agar pasien tetap taat meminum obat.
2. Memberikan psikoterapi suportif dengan memotivasi penderita untuk
terus minum obat secara teratur, serta memiliki semangat untuk
sembuh, sehingga pasien dapat kembali melakukan aktivitas seperti
biasa.
3. Memberikan psikoterapi suportif dengan memotivasi penderita untuk
pola makan yang sehat serta berkeinginan untuk sembuh.
4. Memberikan informasi agar selalu mengontrol tekanan darah dan gula
darah karena didapati pada hasil pemeriksaan tekanan darah dan gula
darah pasien cukup tinggi.

b. Edukasi Terhadap Keluarga


1. Informasi dan edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien,
gejala, kemungkinan penyebab, dampak, faktor-faktor pemberat,
dan prognosis sehingga keluarga dapat memberikan dukungan
kepada penderita.

50
2. Meminta keluarga untuk mendukung penderita, mengajak
penderita berinteraksi dan beraktivitas serta membantu hubungan
sosial penderita.
3. Meminta keluarga untuk mengingatkan pasien makanan dan
minuman apa saja yang harus dibatasi.
4. Memberikan pengertian pada keluarga agar menjaga suasana
hubungan sosial dan keluarga dalam suasana yang harmonis.

3.9.6 Pemantauan dan Evaluasi


Pada kunjungan rumah pertama hal-hal yang dilakukan yaitu
melengkapi status pasien, melakukan reanamnesis, pemeriksaan fisik,
pembuatan perangkat penilaian keluarga, membuat diagnostik holistik
sesuai pendekatan kedokteran keluarga, termasuk profil kesehatan
keluarga.
Pada kunjungan rumah kedua melakukan manajemen komprehensif
kepada pasien dan keluarga (edukasi/konseling terhadap masalah yang
telah dianalisis).
Pada kunjungan rumah yang ketiga melakukan manajemen
komprehensif lanjutan kepada pasien dan keluarga dan pemantauan
kemajuan program.

Tanggal Kegiatan yang dilakukan Anggota Keluarga yang terlibat


2/6/2019 - Melengkapi status pasien. Ny. Nurlela
- Melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
- Membuat perangkat
penilaian keluarga.
- Membuat diagnosis
holistik.
8/6/2019 - Pemantauan keadaan Tn. Syahrun, dan Ny. Nurlela
pasien dan keluarga.
- Edukasi tentang Batu

51
Saluran Kemih, penyebab,
faktor risiko dan gejala.
9/6/2019 - Pemantauan keadaan Tn. Syahrun, dan Ny. Nurlela
pasien dan keluarga.
- Edukasi dan konseling
agar melakukan
pemeriksaan kesehatan
secara rutin, menghindari
faktor risiko penyebab, dan
mencegah terjadinya
kekambuhan

52
Diagnosis Holistik
Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi,
digunakan konsep Mandala of Health. Diagnosis holistic yang ditegakan
pada pasien adalah sebagai berikut:

GAYA HIDUP

Sering makan
makanan yang asin
dan berlemak tinggi
namun sering olahraga

FAMILY
LINKUNGAN PSIKO-
SOSIAL-EKONOMI
PERILAKU KESEHATAN Pendapatan kurang,
Jika sakit pasien berobat ke Kehidupan sosial baik
puskesmas faskes pertama
BPJS pasien

PELAYANAN
KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA
Jarak rumah-KDK dekat, Pasien Perempuan, Pasien adalah seorang
57 tahun, diagnosis ibu rumah tangga
DM tipe 2 + Vertigo

LINGKUNGAN FISIK
Rumah cukup, tinggal
bersama istri dan anak
kandung, pemukiman
FAKTOR BIOLOGI
padat, ventilasi kurang
Hipertensi
dan jarang dibuka,
kerapian dan kebersihan
rumah baik.

Komunitas -- Pemukiman
padat

Gambar 4.1. Mandala of Health

53
Pada poin I, alasan kedatangan pasien yaitu kepala pusing berputar dan
badan lemas. Pasien khawatir akan kesulitan aktivitas dan kemungkinan penyakit
yang diderita.
Pada poin II, diagnosis kerja yang ditegakkan adalah DM tipe 2 +
Vertigo.
Pada poin III, didapatkan masalah gaya hidup berupa pasien memiliki
kebiasaan sering mengonsumsi makanan asin dan yang berlemak tinggi.
Pada poin IV, tidak didapatkan masalah dari faktor pekerjaan
Pada poin V, ditetapkan skala fungsional pasien derajat 2 yaitu pasien
mandiri dalam perawatan diri, mampu mengerjakan pekerjaan sehari hari di dalam
dan diluar rumah, tetapi sudah mengurangi aktivitas bekerja diluar.

Tabel 3.4. Skoring Kemampuan Penyelesaian Masalah Dalam Keluarga


Resume
Skor Skor
No Masalah Upaya Akhir
Awal Akhir
perbaikan
1 Fungsi biologis 3 Edukasi Terselenggara 4
Ada anggota mengenai dan penyuluhan
keluarga yang DM tipe 2 + dan skrining
menderita Vertigo kesehatan
penyakit yg sama
dgn pasien
2 Fungsi ekonomi Edukasi untuk
dan pemenuhan 3 mengatur Sebagian uang 4
kebutuhan keuangan ditabung
Pendapatan keluarga agar
keluarga berasal tetap stabil
dari pemberian
anak-anak dari
pasien

3 Faktor perilaku Edukasi Membuat


dan kesehatan mengenai pengingat
keluarga dampak apabila daftar
Pasien seringkali 3 tidak membatasi makanan apa 4
tidak mengontrol makanan dan saja yang
makanan yang minuman yang harus dibatasi
dimakan dilarang

54
Resume
Skor Skor
No Masalah Upaya Akhir
Awal Akhir
perbaikan
4 Lingkungan 3 Edukasi untuk Kesan rumah 4
rumah selalu lebih bersih
Rumah kesan meningkatkan dan lebih
kurang bersih kebersihan tertata, jendela
dan kurang rapi, rumah dibuka
jendela rumah
jarang dibuka

SKOR TOTAL 12 16

Klasifikasi skor kemampuan menyelesaikan masalah:


Skor 1 : Tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi
Skor 2 : Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber
(hanya keinginan); penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya
oleh provider
Skor 3 : Keluarga mau melakukan namun perlu penggalian sumber yang
belum dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan sebagian
besar oleh provider
Skor 4 : Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih
tergantung pada upaya provider
Skor 5 : Dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga

55
BAB IV
ANALISA KASUS

4.1. Analisa Kasus


Diagnosis kerja pada pasien ini adalah DM tipe 2 + Vertigo. Diagnosis
ini diperoleh berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan hasil anamnesis diketahui bahwa pasien telah
didiagnosis terdapat DM tipe II 3 tahun terakhir Vertigo 1 tahun terakhir.
Penyakit yang dialami pasien disebabkan oleh adanya faktor risiko pola
makan yang tidak seimbang. Pasien rutin memeriksakan kesehatannya
semenjak didiagnosis hipertensi + DM tipe 2.

4.2. Identifikasi Fungsi Keluarga


1. Fungsi Biologis dan Reproduksi
Keluarga pasien ada yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien.
2. Fungsi Afektif
Hubungan antara anak dengan orang tua, orang tua dengan anak,
berlangsung cukup baik. Dalam keluarga ini, juga diketahui terdapat
pemenuhan secara psikologi pada semua anggota keluarga.
3. Fungsi Sosial
Pasien akrab dengan seluruh anggota keluarganya dan tetangganya.
Permasalahan antar keluarga dapat diselesaikan dengan cara
musyawarah dengan kepala keluarga sebagai pengambil keputusan
akhir dan hubungan kekeluargaan tetap berjalan dengan baik sampai
sekarang. Dalam pandangan terhadap suatu masalah, keluarga ini
menganggap masalah hal yang harus dihadapi dan diselesaikan
bersama.
4. Fungsi Penguasaan Masalah
Manajemen keluarga dalam menghadapi masalah internal atau
eksternal baik. Pembuatan keputusan akhir dalam menghadapi

56
masalah eksternal dan internal dan proses pengambilan keputusan
berlangsung secara musyawarah di antara semua anggota keluarga.
5. Fungsi Ekonomi
Tn. Syahrun bekerja sebagai wirausaha. Pemenuhan kebutuhan sehari
hari berasal dari uang hasil usaha suami.
6. Fungsi Religius
Semua anggota keluarga menjalankan ibadahnya dengan baik.
7. Fungsi Pendidikan
Pasien tidak tamat SD, suami pasien tamat S1 dan Anak-Anak nya
lulusan S1 sehingga dapat dinilai fungsi pendidikannya cukup baik.

Pola Makan Keluarga


Pasien biasa makan 2-3x sehari dengan menu makanan sehari-hari
keluarga ini tidak menentu. Menu makanan yang biasa disediakan adalah
nasi disertai lauk pauk yang sering tahu, tempe dan telur. Pasien jarang
mengkonsumsi daging.

Perilaku Kesehatan Keluarga


Bila terdapat anggota keluarga yang mengeluh sakit, biasanya langsung
dibawa ke Puskesmas tempat faskes pertama BPJS pasien.

57
Interpretasi Nilai APGAR dan SCREEM Keluarga
APGAR Score = 9,5
Kesimpulan : Fungsi fisiologis keluarga dapat dinilai baik.
Fungsi fisiologis keluarga dikatakan sehat. Waktu untuk berkumpul dan
komunikasi dengan anggota keluarga lainnya cukup. Anggota keluarga
lain siap membantu apabila salah satu dari angota keluarga mengalami
masalah.
Fungsi Patologis (SCREEM) dalam Keluarga :
Keluarga Ny. Nurlela tidak memiliki fungsi patologis dalam keluarga.
Keluarga Ny. Nurlela dinilai sebagai keluarga yang baik.

Identifikasi Pengetahuan, Sikap, Perilaku (PSP)


PSP KELUARGA TENTANG KESEHATAN DASAR
1. Pencegahan Penyakit
Pengetahuan mengenai pencegahan penyakit pada keluarga pasien
ini dikatakan sedikit kurang. Hal tersebut dikarenakan pasien tidak
memeriksakan kesehatannya lebih dini. Pasien rutin memeriksa
keadaan kesehatan pasien ketika sudah mendaftar BPJS.
2. Gizi Keluarga
Pasien biasa makan 3x sehari dengan menu makanan sehari-hari
dengan lauk-pauk yang beragam. Menu makanan yang biasa
disediakan adalah nasi disertai lauk pauk yang sering ikan, ayam,
telur. Selain itu, pasien dan suaminya juga tidak terlalu mengatur
pola makan saat sebelum sakit. Pasien sering mengonsumsi
makanan yang berlemak tinggi.
3. Hygiene dan Sanitasi Lingkungan
Hygiene personal sudah cukup baik namun sanitasi lingkungan
rumah kurang baik, hal ini dikarenakan keadaab rumah yang
kurang rapi dan kurang bersih serta ventilasi rumah jarang terbuka
sehingga pertukaran udara masuk kerumah kurang.

58
4.3. Diagnosis Kedokteran Keluarga
a. Diagnosis Kerja
Hipertensi+DM tipe 2
b. Bentuk Keluarga
Nuclear family
c. Fungsi Keluarga yang Terganggu
Tidak ada
d. Faktor yang Mempengaruhi
Faktor gaya hidup dan Keturunan
e. Faktor yang Dipengaruhi
gula darah tinggi

59
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
Diagnosis pada pasien ini adalah DM tipe 2 + Vertigo faktor risiko
terjadinya adalah kebiasaan pola hidup yang tidak sehat seperti makan
makanan yang asin dan berlemak tinggi. Fungsi Keluarga pada pasien ini
tergolong baik dan semua anggota keluarga saling mendukung. Pada
pasien ini tidak terdapat fungsi patologis sehingga dapat disimpulkan
keluarga pasien ini tergolong sehat.
Untuk penanganan kasus ini bukan hanya dari terapi farmakologis
saja tetapi juga diperlukan edukasi pada pasien dengan menggunakan
metode pendekatan dokter keluarga. Salah satunya dengan menggunakan
prinsip pelayanan yang holistik dan komprehensif, kontinu,
mengutamakan pencegahan, koordinatif dan kolaboratif, penanganan
personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral keluarga,
mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan tempat
tinggal, menjunjung tinggi etika dan hukum, dapat diaudit dan
dipertanggungjawabkan, serta sadar biaya dan sadar mutu.

5.2. Saran
1) Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat lebih memahami dan aktif dalam
menganalisa permasalahan kesehatan baik pada keluarga maupun
lingkungannya, serta lebih sering berhubungan dengan masyarakat
khususnya dalam keluarga untuk menindak lanjuti suatu penyakit yang
dialami oleh keluarga tersebut dengan pendekatan metode dokter
keluarga

60
2) Klinik Dokter Keluarga
Diharapkan dapat lebih sering melakukan pendekatan kepada
masyarakat melalui edukasi dalam upaya promotif dan preventif kesehatan
masyarakat

3) Pasien
Diharapkan pasien menjaga pola makan, rajin olahraga,
menggunakan alas kaki, rajin melakukan kontrol tekanan darah dan gula
darah minimal 1 minggu sekali agar dapat mencegah komplikasi dari
penyakit hipertensi dan diabetes melitus.

61
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2015. Diagnosis and classification of diabetes


mellitus Diabetes Care volume 38 Supplement 1. Agustus 12, 2017.
http://care.diabetesjournals.org/content/diacare/38/Supplement_1/S8.full.p
df.
Depkes. 2013. Laporan riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Guyton, A. C., Hall, J. E. 2014. Metabolisme Karbohidrat Dan Pembentukan


Adenosin Tripospat dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

International Diabetes Federation (IDF). 2015. IDF Diabetes Atlas (edisi 7).
Agustus 12, 2017. http://www.diabetesatlas.org.

Jeon CY, Murray MB. Diabetes mellitus increases the risk of active tuberculosis:
a systematic review of 13 observational studies. PloS Med. 2008; 5(8):e181.

Labuguen, RH. 2006. Initial Evaluation of Vertigo ini Journal American Family
Physician January 15, 2006 ◆ Volume 73, Number 2

Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and


vestibular migraine in Journal Nerology 2009:25:333-338

Lutiono C. Angka konversi sputum basil tahan asam pada pasien tuberkulosis
paru dengan diabetes melitus di unit pengobatan penyakit paru-paru provinsi
Kalimantan Barat tahun 2009–2013. Pontianak: Fakultas Kedokteran
Tanjungpura; 2014.

Masharani, U., German, M. S. 2007. dalam a lange greenspan’s basic and Clinical
Endocrinology (8th ed), McGraw Hill Companies, USA. 18:661- 747

PERKENI. 2015. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2


di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI.

Prakash UBS, King TE. Endocrine and metabolic disorders. Dalam: Crapo JD,
Glassroth J, Karlinsky JB, editors. Baum's textbook of pulmonary diseases.
Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilson; 2004.

Prasetyawati, A.K. 2010. Kedokteran Keluarga. Jakarta. Rineka Cipta. World


Stroke Organization. 2016. WHO Global Non-Communicable Diseases
Action Plan 2013-2020. Geneva. World Stroke Organization.

62
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2015. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit (Edisi 6) volume 1. Jakarta: EGC.

Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.2016. Infodatin Situasi


Lanjut Usia di Indonesia.Kementerian Kesehatan RI.

Riskesdas. 2017. Direktorat Jenderal PPM&PLP, Pemberantasan Penyakit


Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care,
BJMP 2010;3(4):a351

Soedoyo, Aru W, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam (Edisi 6) Jilid II.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Turner, B, Lewis, NE. 2010. Symposium Neurology :Systematic Approach that


Needed for establish of Vetigo. The Practitioner September 2010 - 254 (1732): 19-
23.

63
LAMPIRAN

Ruang Tamu

64
Kamar tidur

Ruang Makan dan Dapur

65
Kamar mandi/ WC

66

Anda mungkin juga menyukai