Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PEDAHULUAN

DENGAN FRAKTUR SERVICAL

Nama : Vidia Savitri

Nim : 14401.16.17042

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

( Pembimbing ) ( Mahasiswa )
LAPORAN PEDAHULUAN
DENGAN FRAKTUR SERVICAL

I. DEFINISI

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan

tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2003).

Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal

dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur

vertebra servikalis dan ditandai dengan kompresi pada medula spinalis daerh

servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah satu struktur dari tulang

servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang servikal

lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra

servikalis (Muttaqin, 2011).

Fraktur tulang leher sangat berbahaya karena bisa mengganggu sistem saraf

yang terdapat pada vertebra. Hal ini bias mengakibatkan gangguan-gangguan

neurologis. Bahkan fraktur pada tulang leher bisa menyebabkan seorang anak

mengalami lumpuh.

II. ETIOLOGI

1. Faktor Presipitasi dan Predisposisi Frakture Servical

a. Faktor Presipitasi

1) Kekerasan Langsung

Kekerasan secara langsung menyebabakan tulang patah pada titik terjadinya

kekerasan atau kekuatan kekuatan yang tiba-tiba dan yang dapat berupa

pukulan, penghancuran, penekukan, penarikan berlebihan. Bila terkena


kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan

lunaknyapun juga rusak.

2) Kekerasan Tidak Langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabakan tulang patah di tempat yang jauh

dari tempat terjadinya kecelakaan atau kekerasan, dan biasanya yang patah

adalah bagian yang lemah jalur hantaman vektor kekerasan.

3) Kekerasan Akibat Tarikan Otot

Patah tulang oleh karena tarikan otot yang jarang terjadinya.

b. Faktor Predisposisi

1) Faktor ekstrinsik adalah gaya dari luar yang bereaksi pada tulang serta

tergantung dari besarnya, waktu atau lamanya dan arah gaya tersebut dapat

menyebabkan patah tulang.

2) Faktor instrinsik adalah beberapa sifat penting dari tulang yang menentukan

daya tahan timbulnya fraktur , yaitu kapasitas absorbsi dari sendi, daya

elastisitas, daya terhadap kelelahan dan aktivitas atau kepadatan, usia lanjut

(Ivones, 2011).

III. ANATOMI FISIOLOGI

IV. GAMBARAN KLINIS


Vertebra servikal I juga disebut atlas, pada dasarnya berbeda dengan
lainnya karena tidak mempunyai corpus vertebra oleh karena pada atlas
dilukiskan adanya arcus anterior terdapat permukaan sendi, fovea, vertebralis,
berjalan melalui arcus posterior untuk lewatan arcus posterior untuk lewatnya arteri
vertebralis. Vertebra servikal II juga disebut aksis, berbeda dengan vertebra
servikal ke-3 sampai ke-6 karena adanya dens atau processus odontoid. Pada
permukaan cranial corpus aksis memiliki tonjolan seperti gigi, dens yang
ujungnya bulat, aspek dentis. Vertebra servikal III-V processus spinosus
bercabang dua. Foramen transversarium membagi processus transversus
menjadi tuberculum anterior dan posterior. Lateral foramen
transversariumterdapat sulcus nervi spinalis, didahului oleh nervi spinalis. Vertebra
servikal VI perbedaan dengan vertebra servikal I sampai dengan servikal V
adalah tuberculum caroticum, karena dekat dengan arteri carotico.

Vertebra servikal VII merupakan processus spinosus yang besar, yang biasanya
dapat diraba sebagai processus spinosus columna vertebralis yang tertinggi,
oleh karena itu dinamakan vertebra prominens (Syaifuddin, 2003).

V. PATOFISIOLOGI

Apabila tulang hidup normal dan mendapat kekerasan yang cukup

menyebabkan patah, maka sel-sel tulang akan mati. Perdarahan biasanya terjadi

disekitar tempat patah dan kedalam jaringan lunak disekitar tulang tersebut. Jaringan

lunak biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah

fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mati berakumulasi menyebabkan peningkatan

aliran darah di tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati

dimulai. Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin (hematom fraktur) dan berfungsi

sebagai jalan untuk melekatnya sel-sel baru. Aktifitas osteoblas segera terangsang

dan membentuk tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin di reabsorbsi

dan sel-sel tulang baru secara perlahan lahan mengalami remodeling untuk tulang

sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi.

Penyembuhan memerlukan beberapa minggu sampai beberapa bulan (Corwin 2001).


VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Mansjoer (2003), ada pun pemeriksaan penunjang trauma servikal yaitu:

1. Sinar X spinal

Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk kesejajaran,

reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.

2. CT scan

Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.

3. MRI

Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.

4. Mielografi

Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya

tidak jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla

spinalis.

5. Foto rontgen torak

Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma,

anterlektasis).

6. GDA

Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.

VII. PENATALAKSANAAN
Menurut Brunner & Suddarth (2001) penatalaksanaan pada pasien truama

servikal yaitu :

a. Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)

Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin

lift, jaw thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang

(hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.


b. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal

collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang

belakang.

c. Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 -

C7) dengan menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan

rotasi), member lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.

d. Menyediakan oksigen tambahan.

e. Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse

oksimetri.

f. Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.

g. Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh

dari hipotensi dan bradikardi.

h. Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika

terjadi gejala bradikardi.

i. Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.

j. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan

spinal cord : steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari

24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian.

1) Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran

pasien.

2) Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.

3) Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.

4) Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).


5) Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi

secara konsisten untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga

kesehatan.

6) Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.

VIII. MASALAH KEPERAWATAN DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

1 .Ketidakefektifan pola nafas berhubungan gangguan neurologis (cidera

cervical)

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan mukuloskeletal

IX. ASKEP SECARA TEORI

a. Pengkajian

A. Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok


spinal
B. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat
C. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi
perut, peristaltik usus hilang
D. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri.
E. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
F. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
G. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, ptosis.
H. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah
trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma.
I. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
J. Keamanan : suhu yang naik turun

B. Diagnosa Keperawatan
1.Ketidakefektifan pola nafas berhubungan gangguan neurologis (cidera

cervical)

2.Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

C. Rencana Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan gangguan neurologis (cidera


cervical)

Kriteria Hasil :
a) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara nafas abnormal)
b) Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

Kriteria Hasil :
a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e) Tanda vital dalam rentang normal

X. INTERVENSI

Sjamsuhidajat. R (2007), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta

Nanda, (2015), Nanda : Nic Noc Mediaction : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai