Anda di halaman 1dari 8

TOKSIKOLOGI KELAUTAN

TOKSISITAS DETERGEN DAN SABUN

PROPERTI DETERJEN DAN EFEKNYA PADA LINGKUNGAN.


Deterjen adalah senyawa petrokimia dan memiliki struktur molekul, R-SO3Na + (R= alky I benzene). Ini
lebih mudah larut dalam air daripada sabun biasa (RCOONa + ) dan jangan mengendap dalam air keras.
Berdasarkan muatan listriknya, deterjen dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu. anionik (memiliki ion
muatan negatif), kation-nic (memiliki ion bermuatan positif) dan Sementara deterjen non-ion, berdasarkan
pada struktur molekulnya, dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu. rantai lurus (LAS = linear
alkylbenzene sulfonate) dan deterjen berantai bercabang (ABS = alkylbenzene sulfonate). Rantai lurus
deterjen lebih mudah terdegradasi di lingkungan air daripada yang bercabang. Deterjen memiliki
kapasitas pembersihan yang kuat dari sabun biasa, tetapi aplikasi berlebih akan menghasilkan efek negatif
terhadap lingkungan perairan mis. mempercepat proses kedangkalan dan mengurangi nilai estetika. Pada
tingkat konsentrasi tertentu, itu akan membahayakan kehidupan organisme akuatik.
Untuk membersihkan badan dan perabot rumah tangga, zaman dahulu biasa digunakan minyak
zaitun dan cairan buahbuahan, yang dicampur dengan abu dari bermacam tumbuh-tumbuhan. Sabun
belumlah dikenal pada waktu itu. Sabun adalah hasil hidrolisis lemak dalam suasana alkalis, yang
menghasilkan gliserol dan garam alkali. Sabun merupakan zat pembersih, karena mempunyai sifat
pengemulsi (emulgator) dan dapat menurunkan tegangan permukaan zat cair (surface tension)
(ISKANDAR 1974). Beberapa sabun dengan berat molekul yang tinggi dan derajat ketidakjenuhan yang
besar, merupakan zat pembunuh kurnan yang selektif, seperti natrium resinolat, yang mempunyai daya
detoksikasi terhadap tokan diphteri dan tetanus (WINARNO1984). Pada proses pembuatan sabun, lemak
(lemak hewan, minyak kelapa sawit, minyak kelapa) yang dipanaskan dengan lo gam alkali (lindi natron
atau lindi kali), akan menghasilkan gliserol dan garam natrium atau kalium dari asam lemak. Proses ini
disebut proses penyabunan atau saponifikasi. Sabun dari logam-logam alkali ini larut dalam air dan
dipakai sebagai bahan untuk pengemulsi dan pembersih, sedangkan sabun dari logam-logam lain menurut
HOLLEMAN (1946) biasanya tidak larut dalam air dan tidak dapat dipakai untuk pembersih. Secara
kimia sabun adalah suatu garam dari asam lemak berantai panjang dengan rumus kimia R-COONa+ (R
adalah rantai hidrokarbon). Sabun yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, biasanya adalah campuran
dari garam natrium dengan lemak yang mempunyai jumlah atom.

Detergen merupakan surfaktan yang terdiri dari beberapa jenis seperti anionik, nonionik, dan
kationik . Surfaktan banyak digunakan pada produk-produk pembersih di rumah tangga. Beberapa contoh
produk pembersih rumah tangga yang mengandung surfaktan seperti pembersih toilet, pembersih kaca,
produk untuk mencuci pakaian. Detergen atau surfaktan berbeda dengan sabun. Sabun terbentuk dari
garam atau asam lemak dan memiliki toksisitas rendah dengan proses pembersihan memanfaatkan reaksi
penyabunan atau saponifikasi. Sementara itu, detergen merupakan produk pembersih bukan sabun (tidak
memanfaatkan reaksi saponifikasi untuk mekanisme pembersihan kotoran) yang dapat berupa granul, cair,
dan spray.
Jenis-jenis Detergen Berdasarkan Degradasi Zat Aktif
1. Detergen Keras
Detergen ini mengandung zat aktif yang sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan itu
telah dipakai dan dibuang. Sifat tidak bisa terdegradasi ini disebabkan oleh adanya rantai cabang
pada atom karbon, akibatnya zat tersebut masih aktif dan dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan. Contoh zat ini adalah alkil benzensulfonat (ABS). Pada umumnya, detegen yang
beredar di pasaran menggunakan ABS sebagai zat aktif.
2. Detergen Lunak
Zat aktif pada detergen ini relatif mudah dirusak mikroorganisme karena umumnya memiliki
rantai karbon yang tidak bercabang sehingga mudah rusak setelah dipakai, contohnya alkil
benzensulfonat linier ‘linear alkyl benzene sulphonate’ (LAS). Saat ini sudah banyak detergen
beredar di pasaran menggunakan bahan LAS sebagai zat aktif, terutama yang mengklaim
detergen tersebut sebagai biodegradable.
3. Detergen Cair
Secara umum, detergen cair hampir sama dengan detergen bubuk dan hanya berbeda pada bentuk.
Produk ini banyak digunakan pada laundry modern menggunakan mesin cuci kapasitas besar.

Komposisi Detergen Pencuci Pakaian


Secara umum, detergen pencuci pakaian tersusun dari 6 (enam) kelompok zat, yaitu surfaktan,
penguat (builder), pemutih, enzim, pengisi (filler), dan bahan tambahan minor lainnya. Surfaktan
Surfaktan (surface active agent), suatu senyawa organik hasil reaksi kompleks dari senyawa lemak,
merupakan senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan air karena memiliki suatu ujung
hidrofobik dan suatu ujung hidrofilik dalam satu molekul. Agar suatu surfaktan dapat befungsi efektif
sebagai detergen, senyawa tersebut harus memiliki paling sedikit 12 atom karbon. Molekul dan ion yang
diadsorbsi pada antarmuka (bagian atau suatu permukaan yang merupakan batas pertemuan antara dua
cairan atau fase, seperti cairan hidrofilik dan lipofilik) dinamakan amfifil. Tergantung dari jumlah dan
sifat dari gugus polar dan nonpolar yang ada, amfifil dapat bersifat hidrofil (memiliki afinitas terhadap
air), lipofil (memiliki afinitas terhadap lemak atau minyak), atau bersifat seimbang antara dua sifat
ekstrim tersebut. Surfaktan memiliki sifat sebagai zat pembasah (wetting agent), zat pengemulsi dan
pendispersi yang membuat detergen mampu mengangkat kotoran dari kain dan menahan kotoran tersebut
tetap berada dalam air cucian. Detergen biasanya mengandung beberapa jenis surfaktan seperti surfaktan
anionik (sabun, alkilbenzensulfonat) dan surfaktan nonionik (alkohol lemak teretoksilasi), lebih jauhnya
akan dijelaskan setelah bagian ini. Akan tetapi pada air sadah, air yang mengandung beberapa jenis
mineral (contoh: Mg, Ca, dan Fe) sehingga berwarna keruh, efisiensi surfaktan sebagai pembersih akan
sangat berkurang. Pada air biasa pun, sifat surfaktan sebagai pembersih belum tentu dapat bekerja secara
maksimal
Mekanisme pembersihan kotoran dan lemak dengan detergen. Kepala menggambarkan gugus
hidrofilik dan ekor menggambarkan rantai hidrofobik yang memerangkap kotoran dan lemak.
Penguat (Builder)
Penguat merupakan komponen kunci yang mengurangi ion kalsium dan magnesium pada air sadah dan
tanah sehingga konsentrasi surfaktan yang diperlukan agar detergen dapat membersihkan dengan baik
dapat dikurangi. Beberapa penguat juga mencegah penumpukan garam-garam kalsium dan magnesium
pada kain dan mesin cuci. Sodium tripolyphosphate (STPP) merupakan contoh penguat yang banyak
digunakan. Bersama dengan surfaktan, detergen modern mampu membersihkan secara maksimal dan
mengurangi kadar bahan tambahan lain dalam formulasi detergen. STTP juga menjaga kondisi alkali saat
mencuci untuk pembersihan kotoran lemak, melindungi mesin cuci dari karat, membantu menahan
kotoran tetap dalam air cucian, dan mencegah kotoran kembali menempel pada kain. Zeolite A (senyawa
natrium aluminum silikat) merupakan contoh pelunak air sintetik yang digunakan pada detergen bebas
fosfat. Penggunaan Zeolite A didampingi dengan zat kimia lain dalam formulasinya, misalnya senyawa
polikarboksilat (PCA), asam nitrilo tri asetat (NTA), EDTA, natrium karbonat, sitrat, dan lain-lain. Zeolite
mengurangi kesadahan air dengan menukar ion kalsium namun tidak bekerja pada ion magnesium.
Dengan demikian, dibandingkan dengan STTP, efisiensi Zeolite dapat dikatakan kurang baik.
Pemutih (Bleacing agent)
Zat pemutih mampu menghilangkan noda membandel dan menjamin higienitas dengan membunuh
bakteri melalui reaksi oksidasi kimiawi oleh senyawa yang mengandung gugus peroksigen (gugus O—O),
umumnya natrium perborat. Natrium perborat umumnya bekerja pada suhu di atas 60ºC dan untuk
penggunaan pada suhu di bawah 60ºC, bahan aktivator perlu ditambahkan lagi, misalnya tetra asetil etilen
diamin (TAED).
Enzim
Enzim yang ditambahkan khususnya protease, lipase, amilase, merupakan enzim-enzim katalisator dalam
menghancurkan beberapa jenis kotoran pada kain sehingga pencucian menjadi lebih mudah. Pengisi
Bahan pengisi bertujuan untuk menyesuaikan bahan aktif yang terkandung dalam detergen dengan jumlah
(atau dosis) penggunaan yang dianjurkan, termasuk memperbanyak dan memperbesar volume sehingga
produk lebih ekonomis. Zat pengisi yang dimaksud adalah natrium sulfat dalam detergen bubuk, serta air
dan pelarut dalam detergen cair.
Bahan tambahan lain
Beberapa bahan tambahan lain ditambahkan dalam jumlah kecil untuk meningkatkan sifat suatu
komponen tertentu dari detergen, misalnya:
 Penstabil enzim
 Pemutih fluoresen yang meningkatkan tingkat warna putih dari kain dan mencegah kain menguning
secara alami
 Antiredeposition agent atau zat pencegah penumpukan kotoran seperti derivat selulosa
(karboksimetilselulosa) yang membantu melepaskan kotoran dari kain
 Antibusa seperti silikon untuk mengatur kadar busa yang dihasilkan sehingga mesin cuci dapat
beroperasi dengan baik
 Parfum atau pewangi
 Pelembut
 Pewarna
 Antibakteri
 Penghambat karat, contohnya natrium silikat Selain utnuk meningkatkan efisiensi kerja bahan aktif,
bahan tambahan juga disertakan untuk meningkatkan nilai komersialisasi dari produk detergen.

Jenis Surfaktan dan Gejala Keracunannya Surfaktan dari detergen dibagi menjadi beberapa jenis seperti di
bawah ini:
a. Anionik Surfaktan, dapat menyebabkan iritasi ringan . Contoh Surfaktan anionik adalah sodium alkyl
sulphate dan sodium lauryl sulphate.
b. Nonionik surfaktan, sama seperti surfaktan anionik, surfaktan jenis ini hanya menyebabkan iritasi
ringan . Contoh dari surfaktan nonionik seperti alkyl ethoxylate dan Polyethylene glycol stearate.
c. Kationik surfaktan, digunakan pada pelembut tekstil, kondisioner rambut, germicides (bahan pembasmi
kuman). Detergen kationik dapat menyebabkan efek yang berbahaya karena mengandung ammonium
kuartener (Cairan Benzalkonium klorida 10% dilaporkan menyebabkan efek korosif seperti terbakar).
Tertelan dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan gejala gangguan pada sistem saraf pusat. Dosis
surfaktan kationik yang dapat menyebabkan gejala yang fatal pada orang dewasa sekitar 1 – 3 gram.
d. Amfoterik surfaktan, merupakan surfaktan yang mengandung dua jenis surfaktan yaitu anionik dan
kationik surfaktan. Surfaktan jenis ini memiliki risiko iritasi yang rendah jika terkena kulit dan mata, serta
mampu mengurangi risiko iritasi pada jenis surfaktan yang lain. Contoh surfaktan jenis ini adalah
Disodium Lauroampho Diacetate, Sodium Lauroampho Acetate.
e. Detergen rendah fosfat dan sabun untuk mesin cuci, sering mengandung zat alkalin yang bersifat
korosif seperti: sodium metasilikat, sodium karbonat, dan sodium tripolifosfat. Gejala Klinis Keracunan
Detergen Keracunan detergen secara tertelan sering kali menimbulkan gejala berupa mual, muntah, batuk,
mengantuk (drowsiness), dan rash (bintik merah pada kulit). Apabila tertelan dalam jumlah yang banyak
dapat menyebabkan gejala muntah yang serius, diare, hingga hematemesis atau muntah darah. Efek
korosif dapat menyebabkan kerusakan pada mulut, faring, dan saluran gastrointestinal atas. Keracunan
karena terhirup dapat menimbulkan gejala sulit bernapas serta mengi inspirasi dan ekspirasi. Lebih dari
24 jam sejak terhirup, gejala demam dapat timbul, disertai dengan perubahan psikis pada korban, hingga
sianosis dan kematian8 . Terhirup detergen dalam jumlah besar setelah paparan kronik dapat
menimbulkan gejala batuk hebat seketika, serta obstruksi bronkus pada jangka panjang. Paparan pada
mata dapat menyebabkan kerusakan ringan sampai parah, seperti nyeri pada mata, konjuntivitis, dan
inflamasi pada kornea atau keratitis , tergantung dari jenis produk. Kontak detergen dengan kulit dapat
menyebabkan eritema ringan, rash, luka bakar kimia, dan paresthesia . bahan alkali pada detergen dapat
mengaktivasi enzim protease yang merusak kulit dengan memecah protein, sementara kandungan fosfat
dapat menyebabkan luka bakar kimia.

DAMPAK DETERJEN TERHADAP KESEHATAN DAN LlNGKUNGAN


Bahan kimia penyusun deterjen menjadi sorotan yang penting untuk di perhatikan, karena gugus
fungsi ini akan sangat mempengaruhi toksisitas terhadap kesehatan dan lingkungan. Deterjen dibuat dari
bahan kimia yang bersifat keras dan lunak. Keras-Iunaknya deterjen tergantung pada pH, gugus fungsi
bahan kimia penyusun deterjen dan panjang rantai gugus alki!. Deterjen pHnya sang at basa (9,5 - 12),
bersifat korosif, iritasi pada kulit. Semakin panjang dan bercabang rantai surfaktan, akan semakin keras
deterjen tersebut, sedangkan dari jenis gugus fungsinya, gugus fungsi sulfonat lebih keras dibandingkan
gugus karboksilat. Bila deterjen tidak terdegradasi secara sempurna di perairan dan masuk kedalam
jaringan tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh
yang bersifat toksik. Golongan amonium kuartemer dapat membentuk senyawa nitrosamin yang bersifat
karsinogenik. Reaksi lain yang menimbulkan toksik bila terkonsumsi ke dalam jaringan tubuh adalah
daM reaksi antara sodium (auril sulfat (SLS) dan sodium laureth sulfat (SLES) dengan senyawa golongan
amonium kuarterner.
Masalah yang timbul di masyarakat bila terjadi kontak langsung deterjen dengan kulit misalnya,
kulit terasa kering, melepuh, timbulnya eksim kulit semacam bintik-bintik gatal berair di telapak tangan
maupun kaki. Untuk mengatasi hal terse but konsumen diharapkan menghindari kontak langsung antara
kulit dan deterjen, bila hal ini tidak dapat dihindari maka bagian yang berkontak harus cepat-cepat dibilas
dengan air bersih 101 dan dikeringkan. Selain itu konsumen dapat memilih deterjen lunak (deterjen cair)
yang mempunyai dampak iritasi lebih kecil, yaitu deterjen dengan rantai surfaktannya lebih pendek dari
deterjen bubuk, tetapi daya pembersih deterjen lunak lebih rendah dari deterjen bubuk. Di bidang
lingkungan, masalah yang timbul adalah terjadinya eutrofikasi di petairan karena penggunaan deterjen
dengan kandungan fosfat tinggi (digunakan untuk mencegah terjadinya calcareous, endapan putih
calsium). Usaha-usaha yang dikembang kan untuk mengurangi terjadinya blooming algae yang
disebabkan penggunaan fosfat tinggi, adalah dengan mencari senyawa pengganti yang mempunyai fungsi
yang sama. Pada tahun 1980, masalah ini sedikit teratasi dengan dikembangkannya senyawa poli
karboksilat, merupakan kopolimer dari asam akrilat dan asam maleat, dan zeolit. Poli karboksilat jenis ini
tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisma, sehingga kalsiumpoli(karboksilat) tetap terlarut di dalam
larutan pencuci. Hal ini masih menjadi masalah karena dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat dan
unsur hara di dalam tanah. Usaha lain untuk mendapatkan poli (karboksilat) biodegradable adalah dengan
menambah elemen struktural ke dalam kopolimer asam akrilat dan asam maleat (misalnya vinil asetat
atau vinil alkohof), dan hasilnya poli(karboksilat) ini baru sebagian dapat terdegradasi)(3J. Gugus
aromatik dari LAS yang tidak terurai ini memiliki efek toksik terhadap biota aquatik (pada kadar 3 - 10
mgll dapat mematikan ikan dan bersifat bioakumulatif). Bila kondisi badan air sudah menghitam atau
terbentuk busa yang melimpah dapat mempengaruhi kontak udara dengan deterjen di perairan terganggu,
sehingga proses penguraian secara aerobik terhambat. Akibatnya degradasi tidak berjalan secara
sempurna.

PENGOLAHAN AIR LlMBAH DETERJEN SECARA BIOLOGIS


Penguraian senyawa kimia secara biologis didefinisikan sebagai perombakan atau penguraian senyawa
kimia oleh aktivitas biologis dari makhluk hidup, khususnya oleh mikroorganisma. Dalam studi tentang
penguraian deterjen secara biologis, dibagi dalam 3 kategori, yaitu(9):
a) penguraian biologis primer (primary biodegradation),
b) penguraian biologis sampai tahap dapat diterima lingkungan (environmentally acceptable
biodegradation),
c) penguraian biologis sempurna (ultimate biodegradation)
Penguraian biologis, primer didefinisikan sebagai penguraian senyawa kimia yang kompleks oleh
aktivitas mikroorganisma menjadi bentuk senyawa lain sedemikian rupa sehingga senyawa hasil
penguraian tersebut tidak lagi memiliki karakteristik atau sitat senyawa asalnya. Untuk penguraian
biologis primer dari senyawa deterjen, biasanya sampai tahap dimana sifat-sifat deterjennya menjadi
hilang. Penguraian biologis sampai tahap dapat diterima lingkungan didefinisikan sebagai penguraian
oleh aktivitas mikroorganisma dimana senyawa kimia telah dipecah secara biologis sampai tahap dapat
diterima oleh lingkungan atau sampai tahap tidak menunjukkan sitat-sitat yang tidak diinginkan, misalnya
sitat menimbulkan busa, sitat racun. Penguraian biologis akhir atau sempurna didefinisikan sebagai
penguraian senyawa kimia oleh aktivitas mikroorganisma secara lengkap atau sempurna menjadi karbon
dioksida, air dan garam anorganik serta biomassa.
Proses pengolahan limbah deterjen dari limbah domestik sampai saat ini belum mendapat
perhatian khusus dari masyarakat maupun pemerintah, limbah ini masuk ke badan perairan secara
langsung sehingga kemampuan self purification dari badan air ini makin lama akan semakin menu run
akibat dari terakumulasinya buangan limbah secara terus menerus. Kondisi ini bila tidak ditangani akan
berdampak serius terhadap kualitas baku mutu air minum.
Beberapa taktor yang sangat berpengaruh terhadap proses penguraian deterjen secara biologis
antara lain : jenis mikroorganisma, waktu adaptasi mikroorganisma terhadap lingkungannya (adaptation
atau aclimation time), jenis deterjen atau surfaktan, oksigen, konsentrasi deterjen, dan toksikan yang
dapat menghambat kerja mikroorganisma. Teknologi pengolahan limbah organik dalam hal ini termasuk
deterjen pada dasarnya dapat diolah secara biologis dengan memanfaatkan jasa mikroorganisma 102 yang
mampu mendegradasi senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Dalam pengolahan limbah secara biologis, ada dua kategori proses ,yaitu :
a) Suspended-growth process, adalah proses pengolahan secara biologi yang melibatkan aktivitas
mikroorganisma untuk mengurai bahan organik atau unsur-unsur lainnya di dalam air limbah menjadi gas.
Mikroorganisma tumbuh dalam keadaan tersuspensi di dalam aliran.
b) Attached-growth process, proses pengolahan secara biologi yang melibatkan aktivitas mikroorganisma
untuk mengurai bahan organik atau unsur-unsur lainnya di dalam air limbah menjadi gas.
Mikroorganisma tumbuh terlekat pada media tumbuh, seperti batu, keramik, pfastik. Proses ini disebut
juga sebagai fixed film processes.
Pengolahan limbah deterjen khususnya surfaktan LAS, melibatkan rangkaian proses degradasi.
Mekanisme degradasi surfaktan LAS meliputi tiga tahapan penting, yaitu oksidasi rantai alkif, desulfonasi
dan pemecahanl pembukaan cincin benzena.
Oksidasi awal terjadi pada gugus alkil yang terletak di ujung (w-oksidasi) membentuk
intermediate berupa alkohol. Alkohol dioksidasi menjadi a5am sulfotenilkarboksilat. Aktivasi gugus
karboksilat melalui proses thioesterifikasi diperlukan sehingga asam karboksilat ini dapat memasuki jalur
j3-oksidasi. Proses ini membutuhkan koenzim A serta ATP. Proses j3-oksidasi menyebabkan rantai alkil
mengalami pemendekan 2 karbon melalui 4 tahap yaitu dehidrogenasi, hidrasi, oksidasi dan pemutusan
13.Oksidasi ini berlangsung 5ampai rantai alkil hanya mempunyai 4-5 atom karbon(51110J• Desulfonasi
merupakan proses panghilangan gugus sultonat yang dikatalisis oleh slstem enzlm kompleks, koenzim
NAD(P)H dan oksigen. Penghilangan gugus sulfonat menyebabkan terbentuknya hidroksi fenolik pada
cincin aromatik. Gugus terhidroksifasi ini 5elanjutnya mengalami oksidasi dengan katalis dioksigenase
menghasilkan katekol yang tersubstitusi pad a 3 atom karbonnya Katekol merupakan produk awal dari
oksidasi hidrokarbon aromatik. Cincin dari katekol terse but kemudian dibuka melalui jalur orto atau
meta. Jalur pembukaan cincin aromatik tergantung pada jenis hidrokarbon, spesies bakteri dan model
induksi
Pertolongan Pertama Keracunan Detergen
Apabila tertelan, jangan lakukan induksi muntah. Jangan berikan apapun melalui mulut pada
korban yang tidak sadarkan diri. Longgarkan pakaian yang melekat ketat, seperti kerah baju, ikat
pinggang, atau dasi. Bilas mulut menggunakan air bersih, bila pasien sadar. Posisikan kepala korban ke
arah kiri dengan mulut lebih rendah untuk mencegah aspirasi jika terjadi muntah. Jika diperlukan, segera
bawa korban ke Puskesmas atau rumah sakit untuk memperoleh pertolongan medis. Sedangkan apabila
terkena pada mata, segera lakukan irigasi dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) atau setidaknya air
bersih mengalir, sekurangnya selama 15-20 menit dengan membuka kelopak mata dan dipastikan tidak
ada lagi bahan kimia yang tertinggal. Kontak dengan kulit, segera tanggalkan pakaian, perhiasan, dan
sepatu yang terkontaminasi. Bersihkan bahan kimia yang masih menempel di kulit dengan hati-hati. Cuci
dan sikat kulit – terutama untuk lipatan kulit, kuku, dan rambut menggunakan sabun dan air mengalir
yang banyak sampai dipastikan tidak ada bahan kimia yang tertinggal, sekurangnya selama 15-20 menit.
Pustaka
J.M. Manik J.M. dan Edward 1987. SIFAT-SIFAT DETERJEN DAN DAMPAKNYA TERHADAP
PERAIRAN Oseana, Volume XII, Nomor 1 : 25-34, 1987.
Anonim, 1992, Household Cleaning Products-What about substitute?, Diunduh dari: Department of
Textiles and Apparel, Cornell University. House Hold Cleaning Products - What about substitutes.
Diperoleh dari http://waterquality.cce.cornell.edu/ publications/CCEWQ-90-
HouseholdCleaningSubstitutes.pdf, pada Jumat, 12 Oktober 2019
Ellenhorn, Matthew J. 1997. Ellenhorn’s Medical Toxicology: Diagnosis and Treatment of Human
Poisoning 2nd edition. USA: Williams and Wiskins. Hal. 1080
Hannan, Henry J., 2007, Technician's Formulation Handbook for Industrial and Household Cleaning
Products, Kyrall LLC, Waukesha, Wisconsin, Hal. 74
Olson, Kent R. 2012. Poisoning and Drug Overdose, 6th edition. USA: The McGrawHill. Hal. 192
Vicellio, Peter M.D. 1993. Handbook of Medical Toxicology, 1st edition. USA: A Little Brown. Hal. 338
Bonney Asha G., Suzan Mazor, dan Ran D. Goldman. (2013). Laundry Detergent Capsules and Pediatric
Poisoning. Canadian Family Physicians. 2013 Dec; 59(12): 1295-1296. PMCID: PMC3860925
Foote, Franklin M. (1973). Death from a Caustic Detergent. Health Service Report. , Vol. 88, No. 2: 131-
132. PMCID: PMC1616008
Hannu, T. J., Riihimäki, V. E., & Piirilä, P. L. (2012). Reactive airways dysfunction syndrome from acute
inhalation of dishwasher detergent powder. Canadian Respiratory Journal : Journal of the Canadian
Thoracic Society, 19(3), e25–e27. PMCID: PMC3418100
NKlD DKI Jakarta, Sumber Pencemaran, Tabel Sp-2, A 1-A6: Beban Limbah Cair dan Pencemaran Air
dari Sumber Effluent Industri, httpp:/www.bukulllnklddkiiakarta.htm. , 2000

Anda mungkin juga menyukai