Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agar kebijakan, strategi dan program kesehatan reproduksi dan hak-hak
reproduksi dapat dilaksanakan dengan baik, maka perlu dilakukan upaya terpadu
antara sektor pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten / kota, kecamatan dan desa);
antara DPR dan DPRD provinsi dan kabupaten / kota; antara LSM dan lembaga non
pemerintah; antara sector usaha; antara tenaga professional dan organisasi provinisi,
Perguruan Tinggi dan masyarakat.
Di Indonesia, tingginya angka kematian ibu dan kematian balita yang pada
tahun 1997 berada pada 23-78 kematian per 1.000 kelahiran hidup (Indonesia Human
Development Report 2005) memperlihatkan rendahnya pelayanan kesehatan yang
diterima ibu dan anak serta rendahnya akses informasi yang dimiliki ibu dan anak.
Angka itu pun masih harus dilihat secara kritis karena terdapat perbedaan yang besar
antarwilayah di Indonesia. Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2005
menyebutkan, pada tahun 1995, misalnya, AKI di Papua adalah 1.025, di Maluku 796,
dan di Jawa Barat 686, sementara angka nasional adalah 334. Pada tahun 1986
besaran AKI rata-rata nasional adalah 450.
Penggalang kemItraan dan kerjasama di antara begitu banyak komponen
pemerintah dan masyarakat memerlukan : rencana, koordinasi, upaya, dan sumber
daya yang memadai. Setiap sektor perlu memunyai peran dan tanggungjawab.
Paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan telah
mengalami perubahan. Semula menggunakan pendekatan pengendalian polulasi dan
penurunan ferilitas kemudian berubah menjadi pendekatan kesehatan reproduksi
dengan memperhatikan hak reproduksi dan kesetaraan gander. Perubahan ini telah
disepakati dalam Konferensi Wanita Sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995 serta
Konferensi Internasional Kepandudukan dan Pembangunan (International Conference
on Population and Development-ICPD) yang diselenggarakan di Kairo pada tahun
1994.
Dalam kesepakatan itu pula kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai
keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial secara utuh (tidak semata-mata bebas dari
penyakit atau kecatatan) dalam semua hal yang ebrkaitan dengan sistem reproduksi,
serta fungsi dan prosesnya. Dengan adanya hal itu maka pengertian kesehatan
reproduksi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Reproduksipun tertera pada Pasal 1 ayat (2) Kesehatan reproduksi
adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata
bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi. Pengertian kesehatan reproduksi ini mencakup tentang hal-hal sebagai
berikut:
a. Hak seseorang untuk memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan
serta mempunyai kapasitas untuk bereproduksi;
b. kebebasan untuk memutuskan bilamana atau seberapa banyak melakukannya;
c. Hak dari laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi serta memperoleh
aksesbilitas yang aman, efektif, terjangkau baik secara ekonomi maupun kultural;
d. Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai sehingga
perempuan mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara
aman.

Hak reproduksi adalah hak setiap individu dan pasangan untuk menentukan
kepan mempunyai anak, berapa jumlah anak, dan jarak antara anak yang dikehendaki.
Dalam hal ini hak reproduksi terkait erat dengan sistem, fungsi, dan proses produksi.
Menurut dokumen International Conference on Population and Development (ICPD)
Kairo 1994, hak reproduksi mencakup hal-hal sebagai berikut.

a. Hak untuk mendapatkan informasi pendidikan kesehatan reproduksi.


b. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
c. Hak atas kebebasan berpikir dan membuat keputusan tentang kesehatan
reproduksi.
d. Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak.
e. Hak untuk hidup bebas dari risiko kematian karena kehamilan atau masalah
gander.
f. Hak medapat kebebasan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan reproduksi.
g. Hak untuk bebas dari segala bentuk penganiayaan dan perlakuan buruk yag
menyangkut kesehatan reproduksi.
h. Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan reproduksinya.
i. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
j. Hak dalam kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang bernuansa
kesehatan reproduksi.
k. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kesehatan reproduksi.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui peran lintas sektor terkait Kesehatan Reproduksi
2. Tujuan Khusus
a. Peran Pemerintah pusat dalam kesehatan reproduksi
b. Peran Pemerintah provinsi Dalam Kesehatan Reproduksi
c. Peran Sektor tenaga Profesi, Organisasi Profesi dan Perguruan Tinggi Dalam
Kesehatan Reproduksi
d. Peran sektor DPR Propinsi dan Kabupaten Kota Dalam Kesehatan Reproduksi
e. Peran Sektor LSM Non Pemerintah Dalam Kesehatan Reproduksi
f. Peran Sektor tenaga Profesi, Organisasi Profesi dan Perguruan Tinggi Dalam
Kesehatan Reproduksi

1.3 Rumusan Masalah


a. Mengetahui Peran sektor DPR Propinsi dan Kabupaten Kota Dalam Kesehatan
Reproduksi
b. Mengetahui Peran Sektor LSM Non Pemerintah Dalam Kesehatan Reproduksi
c. Mengetahui Peran Sektor tenaga Profesi, Organisasi Profesi dan Perguruan Tinggi
Dalam Kesehatan Reproduksi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peran DPR Propinsi dan Kabupaten Kota Dalam Kesehatan Reproduksi
Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan mengatur
mengenai kewajiban pemerintah terhadap kesehatan reproduksi perempuan dalam
beberapa pasal, yaitu : Pasal 73 Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana
informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan
terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana. Pasal 74 ayat 1 Setiap
Pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat
dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Reproduksi : Pasal 4 Pemerintah dan pemerintah daerah bersama-
sama menjamin terwujudnya Kesehatan Reproduksi. Pasal 7 Pemerintah daerah
kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap :
a. Pengelenggaraan dan fasilitas pelayanan Kesehatan Reproduksi di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan lingkup kabupaten/kota;
b. Penyelenggaraan manajemen Kesehatan Reproduksi yang meliputi aspek
perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi sesuai standar
dalam lingkup kabupaten/kota;
c. Penyelenggaran sistem rujukan, sistem nformasi, dan sistem surveilans
Kesehatan Reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota termasuk fasilitas
pelananan kesehatan dasar dan rujukan milik pemerintah dan swasta;
d. Pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan dirumah sakit lingkup
kabupaten/kota;
e. Pemetaan dan penyediaan tenaga dokter, bidan, dan perawat di seluruh
Puskesmas di kabupaten/kota;.Pemetaan dan penyediaan tenaga bidan di desa
bagi seluruh desa/kelurahan di kabupaten/kota, termasuk penyediaan rumah
dinas atau tempat tinggal yang layak bagi bidan di desa;
f. Penyediaan obat essensial dan alat kesehatan sesuai kebutuhan program
Kesehatan Reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota;
g. Penyediaan sumber daya di bidang kesehatan serta pendanaan
penyelenggaraan upaya Kesehatan Reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota;
dan
h. Penyelenggaraan audit manternal perintal lingkup kabupaten/kota.

Dinas Kesehatan merupakan lembaga pemerintah yang berada di daerah yang


mempunyai tugas melaksanakan teknis oprasional urusan pemerintah daerah bidang
kesehatan berdasarkan asas otonom dan tugas pembantuan. Dinas Kesehatan dalam
menyelenggarakan tugas, menyelenggarakan fungsi:
1. Perumusan kebijakan teknis lingkup kesehatan;
2. Penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan umum lingkup kesehatan;
3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas lingkup kesehatan;
4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas dan
fungsinya.

Dinas kesehatan mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan rumah


tangga daerah dalam bidang kesehatan untuk menunjang tercapainya usaha
kesejahteraan masyarakat di bidang Kesehatan dan melaksanakan tugas pembantuan
sesuai dengan bidang tugasnya. Kedudukan Dinas Kesehatan merupakan unsur
pelaksana Pemerintah Daerah di bidang Kesehatan, dipimpin oleh Kepala Dinnas dan
berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekretaris
Daerah. Tugas pokok Dinas Kesehatan adalah melaksanakan urusan rumah tangga
pemerintah daerah dan tugas pembantuan di bidang kesehatan.
Pembiayaan Kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya
penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan sumber daya keuangan secara terpadu
dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
Pembiayaan kesehatan menurut WHO, merupkan sekumpulan dana dan
penggunaan dana tersebut untuk membiayai kegiatan kesehatan yang dilakukan secara
langsung serta memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
baik itu dalam lingkup Kabupaten, Provinsi maupun Negara. WHO memberikan
batasan standar untuk pembiayaan kesehatan suatu negara adalah 5% dari PBD
masing-masing negara. Sedangkan berdasarkan hasil pertemuan Bupati/Walikota di
seluruh Indonesia dihasilkan suatu komitmen untuk mengalokasikan 15% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau 5% Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB) Kabupaten/kota untuk mendukung program dan layanan
kesehatan.
Masalah pembiayaan kesehatan yang dihadapi dalam hal alokasi anggaran
kesehatan dalam sistem desentralisasi, alokasi anggaran kesehatan didapat antara lain
:
(1) Anggaran Pemerintah Daerah (APBD),
(2) Anggaran Pemerintah Pusat (APBN),
(3) Bantuan Luar Negeri. Besarnya alokasi dana untuk kesehatan tergantung
beberapa kondisi :
1) Besarnya pendapatan daerah (DAU, DAK dan PAD),
2) Kemampuan Rumah Sakit dalam menyusun program dan anggaran yang
realistis,
3) Visi Pemda dan DPRD tentang kedudukan sektor kesehatan dalam
konteks pembangunan daerah relatif terhadap kesehatan,
4) Kemampuan Rumah Sakit dalam melakukan advokasi kepada Pemda dan
DPRD.
Sebagaimana diketahui sebagian anggaran daerah untuk sektor kesehatan yang
bersifat desentralisasi bersumber Dana Alokasi Umum (DAU). Dana ini masih
banyak dipakai untuk gaji atau rutin, bukan untuk kegiatan pengembangan. Dengan
demikian apabila daerah mengandalkan DAU untuk pelayanan kesehatan, secara
praktis pembangunan kesehatan tidak mempunyai dana yang kuat kecuali pada daerah
yang kaya.

Peran Pemerintah Provinsi

(1) Menentukan kebijakan umum dan strategi program Kesehatan Reproduksi yang
cocok dan realistis untuk dilaksanakan di provinsi.
(2) Melaksanakan Monitoring dan evaluasi program Kesehatan Reproduksi .
(3) Melaksanakan koordinasi Program Kesehatan Reproduksi antara unsur
pemerintah, LSM, organisasi profesi dan pihak swasta melalui Forum Komisi
Kesehatan Reproduksi.
(4) Mengupayakan anggaran yang memadai dalam rencana strategis daerah untuk
mensukseskan Program Kesehatan Reproduksi khususnya untuk pelaksanaan
program, penyediaan sarana dan prasarana, pendidikan, pelatihan dan penelitian.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(1) Menempatkan Kesehatan Reproduksi sebagai prioritas dalam pembangunan


provinsi
(2) Menetapkan peraturan yang terkait dengan pelayanan kesehatan reproduksi
(3) Menetapkan alokasi anggaran yang memadai untuk program kesehatan
reproduksi di tingkat provinsi.

2.2 Peran LSM Non Pemerintah Dalam Kesehatan Reproduksi

Isu-isu terkait hak reproduksi memiliki sejarah panjang dan kontroversial


di Indonesia. Program Pemerintah Orde Baru untuk mengendalikan fertilitas erat
dikaitkan dengan definisi sosial atas peran perempuan di masyarakat sebagai
pihak yang mendukung laki-laki sebagai pemimpin dan bukan melihat perempuan
sebagai pemimpin itu sendiri. Pada saat sama, organisasi masyarakat sipil seperti
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menggunakan dialog global
melalui forum seperti Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan
di Kairo pada 1994 untuk menggugat stereotip gender. Mereka juga meluncurkan
jaringan nasional organisasi akar rumput yang memanfaatkan isu hak-hak
reproduksi untuk mendorong dialog di tingkat lokal tentang peran perempuan.
Perdebatan itu masih berlanjut hingga saat ini, dan isu hak reproduksi dan hak
seksual merupakan salah satu isu kontroversi utama antara organisasi
fundamentalis dan para pendukung kesetaraan gender.

Perempuan dan anak perempuan yang hidup dalam kemiskinan di


Indonesia menghadapi berbagai tantangan berat untuk mendapatkan hak
kesehatan reproduksi mereka. Faktor sosial yang menentukan untuk mencapai
hasil di bidang kesehatan reproduksi adalah sumber daya keuangan, pendidikan,
dan kekuatan pengambilan keputusan/status perempuan dalam keluarga.

Kerangka hukum dan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan dan


reproduksi memperkuat sterotip gender tentang perempuan dan ibu dengan
adanya undang-undang dan kebijakan yang bersifat tidak adil atas dasar status
pernikahan. Ini juga sekaligus menutup kemungkinan bagi perempuan dan anak-
anak perempuan yang tidak menikah mendapatkan layanan kesehatan reproduksi
secara penuh. Undang-undang lain mengharuskan adanya izin suami bagi
perempuan yang sudah menikah dan anak perempuan dalam mendapatkan layanan
kesehatan reproduksi tertentu.

Konsultasi perancangan program dan penelitian menemukan bahwa tanpa


adanya tekanan dari luar, reformasi sistem kesehatan tidak akan menghasilkan
kemajuan yang memadai dalam memperbaiki kinerja kesehatan di Indonesia,
yang sampai saat ini belum memuaskan, khususnya di daerah-daerah miskin di
Indonesia. Masih terdapat kesenjangan antara kebutuhan/keinginan perempuan
dan layanan kesehatan reproduksi yang tersedia (dan bagaimana layanan tersebut
disediakan) serta dukungan apa yang diberikan oleh kelompok masyarakat (serta
bagaimana dukungan tersebut diberikan).

Hingga saat ini masih sedikit kabupaten atau kota yang telah mulai
merencanakan dan mengelola anggaran kesehatan mereka sendiri, terutama untuk
mengidentifikasi kebutuhan layanan kesehatan setempat atau untuk menetapkan
target dan pengawasan atas kemajuan yang hendak dicapai. Jumlah yang belum
banyak ini bisa dikatakan akibat kendala-kendala seperti berbagai sumber
pendanaan dengan persyaratan pelaporan yang berbeda-beda; minimnya pelatihan
dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi dan seksual bagi dinas-dinas
kesehatan; dan sentralisasi pengendalian atas penempatan dan pengaturan tenaga
kerja.

Begitupun, terlepas dari berbagai tantangan untuk memperoleh layanan


kesehatan yang lebih baik bagi perempuan miskin, beberapa langkah pembaruan
telah diluncurkan dan mulai menghasilkan perbaikan nyata. Prakarsa nasional
seperti, misalnya program “Desa Siaga” yang dijalankan Kementerian Kesehatan
serta Program Keluarga Harapan yang menyalurkan bantuan tunai bersyarat bagi
keluarga miskin, memiliki potensi untuk memfokuskan sumber daya dan sistem
pemberian layanan yang dapat mengatasi beberapa hambatan di tingkat makro.

Program Logica yang dilaksanakan AusAID memberikan insentif bagi


pusat kesehatan setempat untuk menghitung biaya yang diperlukan serta untuk
memenuhi standar pelayanan minimum. Ford Foundation dan donor tingkat
madya juga semakin berpengalaman melakukan kemitraan dengan berbagai pihak
yang terkait antara pemerintah daerah dan LSM yang berfokus pada kesehatan
reproduksi.

Dalam banyak hal di atas, keberhasilan program-program pemerintah dan


non-pemerintah di tingkat lokal digerakkan oleh para pembawa perubahan
(champions) setempat yang memang memiliki visi, komitmen, dan kapasitas
mempertemukan masyarakat untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan
pendekatan yang sama. Program ini akan mendukung upaya-upaya untuk
mengidentifikasi para pembawa perubahan di tingkat lokal dan memberikan
mereka pelatihan serta sumber daya yang diperlukan untuk bekerja sama dengan
pihak-pihak lainnya agar dapat menciptakan dampak positif yang jauh lebih besar
bagi kelompok masyarakatnya. Program ini secara erat akan dilakukan dari kerja
sama dengan mitra-mitra lain, seperti UNFPA dan USAID, yang juga bekerja di
bidang ini.

Program ini akan menjangkau kesehatan ibu dan reproduksi melalui lima
(5) pintu masuk yaitu:

1. Penelitian dan analisis tentang kebutuhan kesehatan ibu dan reproduksi dari
sudut pandang perempuan dan anak perempuan yang hidup dalam
kemiskinan;
2. mengembangkan agenda advokasi dan program tindak lanjut untuk
Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan 2014;
3. penyediaan informasi bagi perempuan miskin tentang isu dan layanan
penting kesehatan ibu dan reproduksi
4. mendukung kemunculan pemimpin di tingkat masyarakat, pemerintah, dan
di dalam Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk merencanakan,
mengelola, dan mendokumentasikan prakarsa inovatif yang terkait dengan
upaya peningkatan kesehatan reproduksi; serta
5. mendukung advokasi di tingkat lokal dan nasional untuk mencapai
pembaruan di bidang hukum, anggaran, dan sistem.

Hasil yang diharapkan di bidang ini mencakup:


1. meningkatnya akses terhadap informasi dan layanan kesehatan reproduksi
bagi dewasa dan remaja, khususnya perempuan dan anak perempuan yang
hidup dalam kemiskinan (misalnya, perempuan yang mendapat layanan
pemeriksaan kehamilan dan pasca melahirkan, akses pada kontrasepsi dan
informasi keluarga berencana);
2. advokasi nasional yang lebih efektif untuk meningkatkan investasi dalam
pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi;
3. meningkatnya kesehatan ibu dan reproduksi di wilayah cakupan program,
khususnya menurunnya jumlah kasus kematian ibu akibat dari penyebab
yang sebenarnya bisa dicegah/diatasi seperti misalnya perdarahan dan
infeksi;
4. serta meningkatnya proses dan sistem penanganan dan penyelesaian
pengaduan untuk memantau praktik dan kebijakan yang terkait layanan
kesehatan reproduksi.

Unsur ini juga dapat dikembangkan menjadi program kegiatan yang


mandiri sehingga dapat mengatasi dampak buruk kesehatan yang timbul akibat
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Papua, namun hal ini tergantung
pada hasil dialog dengan kelompok kerja AusAID untuk Papua. Para pelaksana
program juga akan bekerja sama secara erat dengan pelaksana program AusAID
di sektor kesehatan dalam perancangan dan pelaksanaan kegiatan mitra,
khususnya dalam penguatan sistem kesehatan dan program kesehatan yang akan
datang terkait kesehatan reproduksi, ibu, dan anak.

Peran Masyarakat, LSM, dan Sektor Swasta


(1) Melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi dalam program
kesehatan reproduksi dengan meningkatkan akses dan mutu pelayanan.
(2) Membantu pemerintah dalam hal penyediaan sumber daya (sarana prasarana
pendukung) yang diperlukan untuk menyukseskan program.
(3) Melaksanakan kegiatan inovatif yang dapat mempercepat pencapaian dan
meningkatkan kualitas program.
(4) Membantu program dalam upaya advokasi, KIE, pendidikan dan pelatihan.
(5) Mengenal masalah kesehatan reproduksi dan mengambil tindakan yang
diperlukan dengan bantuan teknis dari petugas kesehatan.
2.3 Peran Tenaga Profesi, Organisasi Profesi dan Perguruan Tinggi Dalam Kesehatan
Reproduksi
(1) Menentukan, memonitor dan mengevaluasi standar profesional dari berbagai
prosedur dilihat dari pendekatan teknis program.
(2) Menentukan jenis teknologi yang digunakan dan berdaya guna.
(3) Melakukan penelitian dan pengembangan inovasi baru untuk menunjang program.
(4) Membantu dalam berbagai jenis pendidikan, pelatihan dan penambahan
pengetahuan dan keterampilan bagi petugas pelaksana program.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Peran Pemerintah Provinsi

1. Menentukan kebijakan umum dan strategi program Kesehatan Reproduksi yang


cocok dan realistis untuk dilaksanakan di provinsi.
2. Melaksanakan Monitoring dan evaluasi program Kesehatan Reproduksi .
3. Melaksanakan koordinasi Program Kesehatan Reproduksi antara unsur pemerintah,
LSM, organisasi profesi dan pihak swasta melalui Forum Komisi Kesehatan
Reproduksi.
4. Mengupayakan anggaran yang memadai dalam rencana strategis daerah untuk
mensukseskan Program Kesehatan Reproduksi khususnya untuk pelaksanaan
program, penyediaan sarana dan prasarana, pendidikan, pelatihan dan penelitian.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

1. Menempatkan Kesehatan Reproduksi sebagai prioritas dalam pembangunan


provinsi
2. Menetapkan peraturan yang terkait dengan pelayanan kesehatan reproduksi
3. Menetapkan alokasi anggaran yang memadai untuk program kesehatan reproduksi
di tingkat provinsi.
Peran Masyarakat, LSM, dan Sektor Swasta
1. Melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan visi dan misi dalam program kesehatan
reproduksi dengan meningkatkan akses dan mutu pelayanan.
2. Membantu pemerintah dalam hal penyediaan sumber daya (sarana prasarana
pendukung) yang diperlukan untuk menyukseskan program.
3. Melaksanakan kegiatan inovatif yang dapat mempercepat pencapaian dan
meningkatkan kualitas program.
4. Membantu program dalam upaya advokasi, KIE, pendidikan dan pelatihan.
5. Mengenal masalah kesehatan reproduksi dan mengambil tindakan yang diperlukan
dengan bantuan teknis dari petugas kesehatan.
Peran Tenaga Profesi, Organisasi Profesi dan Perguruan Tinggi Dalam Kesehatan
Reproduksi
1. Menentukan, memonitor dan mengevaluasi standar profesional dari berbagai
prosedur dilihat dari pendekatan teknis program.
2. Menentukan jenis teknologi yang digunakan dan berdaya guna.
3. Melakukan penelitian dan pengembangan inovasi baru untuk menunjang program.
4. Membantu dalam berbagai jenis pendidikan, pelatihan dan penambahan
pengetahuan dan keterampilan bagi petugas pelaksana program.

3.2 Saran
1. Diharapkan pemerintah daerah lebih memperhatikan kesehatan reproduksi karena
masih banyak perlakuan yang tidak layak untuk perempuan seperti KDRT dan
Pemerkosaan serta pelecehan seksual.
2. diharapkan anggaran untuk kesehatan lebih diutamakan agar promosi kegiatan
pemberdayaan perempuan bisa diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA

Suyadi, 2011, Manajemen Pelayanan Kesehatan : Suatu Pendekatan Interdisipliner, diunduh


melalui http://www.suyadi.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/MANAJEMEN-PELAYANAN
KESEHATAN-Prof-Suyadi.pdf, pada tanggal 12 Mei 2017 (01:07)

Siswono.dalam http://www.kompas.co.id 19 desember 2009 13:16:20


---kespro wanita dan uu kesehatan dalam http://www.gizi.net/cgi-
bin/berita/fullnews.cgi?newsid1113194929,32144,

BKKBN.2005.Kebijakan dan strategi nasional kesehatan reproduksi.Jakarta:BKKBN

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012


TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI

Anda mungkin juga menyukai