Makalah
Disusun oleh:
Kelompok 2 – Offering B 2017
1. Arum Yuni Rochima (170341615100)
2. Binazir Tuzaqiyah Ma’rufah (170341615065)
3. Maya Andya Garini (170341615032)
4. Silvi Dwi Pangestu (170341615015)
C. Tujuan
Berikut merupakan tujuan dari dibuatnya makalah ini.
1. Untuk mengetahui pengertian dari bioremidiasi.
2. Untuk mengetahui macam-macam bioremidiasi.
3. Untuk mengetahui proses bioremidiasi.
4. Untuk mengetahui definisi biofilm.
5. Untuk mengetahui struktur dan komposisi biofilm
6. Untuk mengetahui siklus kehidupan pada biofilm
7. Untuk mengetahui faktor perlekatan mikroba
8. Untuk mengetahui keterkaitan biofilm dengan berbagai penyakit
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Bioremidiasi
Bioremediasi adalah proses penguraian limbah organik/anorganik polutan dari
sampah organik dengan menggunakan organisme (bakteri, fungi, tanaman atau
enzimnya) dalam mengendalikan pencemaran pada kondisi terkontrol menjadi suatu
bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya di bawah batas yang ditentukan oleh
lembaga berwenang dengan tujuan mengontrol atau mereduksi bahan pencemar dari
lingkungan (Munir 2006, Vidali, 2011 dan Singh et al, 2006). Kelebihan teknologi ini
ditinjau dari aspek komersil adalah relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan
yang relatif lebih murah dan bersifat fleksibel (Angga, 2011). Bioremediasi pada
akhirnya menghasilkan air dan gas tidak berbahaya seperti CO2. Faktor – faktor yang
mempengaruhi proses bioremediasi adalah ; mikroba, Nutrisi dan Lingkungan. (a)
Mikroba memiliki kemampuan untuk mendegradasi, mentransformasi dan menyerap
senyawa pencemar. Mikroba yang digunakan dapat berasal dari golongan fungi,
bakteri, ataupun mikroalga; (b) Nutrisi, jenis nutrisi yang dibutuhkan bagi mikroba,
diantaranya unsur karbon (C), Nitrogen (N), Posfor (P) dan lain lain ; (c) Lingkungan
yang berpengaruh antara lain oksigen, suhu, DO, dan pH. Teknologi bioremediasi ada
dua jenis, yaitu ex-situ dan in situ. Ex-situ adalah pengelolaan yang meliputi
pemindahan secara fisik bahan-bahan yang terkontaminasi ke suatu lokasi untuk
penanganan lebih lanjut (Vidali dalam Hardiani, dkk., 2011:32 ). Penggunaan
bioreaktor, pengolahan lahan (landfarming), pengkomposan dan beberapa bentuk
perlakuan fase padat lainnya adalah contoh dari teknologi ex-situ, sedangkan teknologi
in situ adalah perlakuan yang langsung diterapkan pada bahan-bahan kontaminan di
lokasi tercemar (Vidali dalam Hardiani, dkk., 2011:32).
B. Macam-macam Bioremidiasi
Berdasarkan agen proses biologis serta pelaksanaan rekayasa, bioremediasi dapat
dibagi menjadi empat macam , yaitu:
a. Fitoremidiasi
Fitoremediasi merupakan proses teknologi yang menggunakan tumbuhan untuk
memulihkan tanah yang tercemar oleh bahan polutan secara in situ (Surtikanti,
2011:144). Teknologi ini dapat ditunjang dengan peningkatan perbaikan media
tumbuh dan ketersediaan mikroba tanah untuk meningkatkan efesiensi dalam
proses degradasi bahan polutan. Proses fitoremediasi bermula dari akar tumbuhan
yang menyerap bahan polutan yang terkandung dalam air. Kemudian melalui proses
transportasi tumbuhan, air yang mengandung bahan polutan dialirkan keseluruh
tubuh tumbuhan, sehingga air yang menjadi bersih dari polutan. Tumbuhan ini
dapat berperan langsung atau tidak langsung dalam proses remediasi lingkungan
yang tercemar. Tumbuhan yang tumbuh di lokasi yang tercemar belum tentu
berperan aktif dalam penyisihan kontaminan, kemungkinan tumbuhan tersebut
berperan secara tidak langsung. Agen yang berperan aktif dalam biodegradasi
polutan adalah mikroorganisme tertentu, sedangkan tumbuhan dapat berperan
memberikan fasilitas penyediaan akar tumbuhan sebagai media pertumbuhan
mikroba tanah sehingga pertumbuhan lebih cepat berkembang biak (Surtikanti dan
Surakusumah, 2011:145). Ada beberapa kriteria tumbuhan yang dapat digunakan
dalam proses fitoremdiasi, (Youngman dalam Surtikanti, 2011:145), yaitu harus:
memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi; hidup pada habitat yang kosmopolitan;
mampu mengkonsumsi air dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat;
mampu meremediasi lebih dari satu jenis polutan; mempunyai toleransi tinggi
terhadap polutan; dan mudah dipelihara. Contoh tumbuhan yang dapat digunakan
untuk dalam bioremediasi polutan adalah: Salix sp, rumputrumputan (Bermuda
grass, sorgum), legum (semanggi, alfalfa), berbagai tumbuhan air dan
hiperakumulator untuk logam (bunga matahari, Thlaspi sp). Dalam proses
remediasi, tumbuhan dapat bersifat aktif maupun pasif dalam mendegradasi bahan
polutan. Secara aktif tumbuhan memiliki kemampuan yang berbeda dalam
fitoremediasi. Ada yang melakukan proses transformasi, fitoekstraksi (pengambilan
dan pemulihan dari kontaminan pada biomassa bawah tanah), fitovolatilisasi,
fitodegrradasi, fitostabilisasi (menstabilkan daerah limbah dengan kontrol
penyisihan dan evapotrannspirasi), dan rhizofiltrasi (menyaring logam berat ke
sistem akar) (Kelly dalam Surtikanti, 2011:145). Keenam proses ini dibedakan
berdasarkan proses fisik dan biologis. Sedangkan secara pasif tumbuhan melakukan
biofilter, transfer oksigen, menghasilkan karbon, dan menciptakan kondisi
lingkungan (habitat) bagi pertumbuhan mikroba.
Menurut Surtikanti ( 2011):146-148, berikut ini merupakan proses secara aktif yang
dilakukan oleh tumbuhan dalam melakukan fitoremidiasi, yaitu:
Fitotransformasi adalah pengambilan kontaminan bahan organik dan
nutrien dari tanah atau air tanah yang kemudian dtransformasikan oleh
tumbuhan. Proses trannsformasi poluttan dalam tumbuhan dapat berubah
menjadi nontoksik atau menjadi lebih toksik. Metabolit hasil transformasi
tersebut terakumulasi dalam tubuh tumbuhan.
Fitoekstraksi merupakan penyerapan polutan oleh tanaman air atau tanah
dan kemudian diakumulasi atau disimpan dalam bagian suatu tumbuhan
(daun atau batang). Tanaman tersebut dinamakan hiperakumulator. Setelah
polutan terakumulasi, tumbuhan dapat dipanen dan tumbuhan tersebut tidak
boleh dikonsumsi tetapi harus dimusnahkan dengan insinerator atau
ditimbun dalam landfill.
Fitovolatillisasi merupakan proses penyerapan polutan oleh tumbuhan,
kemudian polutan tersebut diubah menjadi bersifat volatile (mudah
menguap), setelah itu ditranspirasikan oleh tumbuhan. Polutan yang
dilepaskan oleh tumbuhan keudara dapat memiliki bentuk senyawa awal
polutan, atau dapat juga menjadi senyawa yang berbeda dari senyawa awal.
Fitodegradasi adalah proses penyerapan polutan oleh tumbuhan dan
kemudian polutan tersebut mengalami metabolisme di dalam tumbuhan.
Metabolisme polutan di dalam tumbuhan melibatkan enzim antara lain
nitrodictase, laccase, dehalogenase, dan nitrillase.
Fitostabilisasi merupakan proses yang dilakukan oleh tumbuhan untuk
mentransformasikan polutan di dalam tanah menjadi senyawa nontoksik
tanpa menyerap terlebih dahulu polutan tersebut ke dalam tubuh tumbuhan.
Hasil transformasi dari polutan tersebut tetap berada di dalam tanah.
Fitostabilisasi dapat diartikan sebagai penyimpanan tanah dan sedimen yang
terkontaminasi dengan menggunakan vegetasi, dan immobilisasi
kontaminan beracun polutan. Fitostabilisasi biasanya digunakan untuk
kontaminan logam pada daerah berlimbah yang mengandung suatu
kontaminan.
Rhizofiltrasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman tetapi
biasanya konsep dasar ini berlaku apabila medium yang tercemarnya adalah
badan perairan.
b. Bioremidiasi in situ
Bioremediasi in situ disebut juga bioremediasi dasar atau natural attenuation.
Teknologi ini memanfaatkan kemampuan mikroba indigen dalam merombak polutan
di lingkungan. Proses ini terjadi dalam tanah secara alamiah di dalam tanah secara
alamiah dan berjalan sangat lambat. Bioremediasi in situ Merupakan metode dimana
mikroorganisme diaplikasikan langsung pada tanah atau air dengan kerusakan yang
minimal. Bioremediasi (in situ bioremidiation) juga terbagi atas:
Biostimulasi/Bioventing: dengan penambahan nutrient (N, P) dan aseptor
elektron (O2) pada lingkungan pertumbuhan mikroorganisme untuk
menstimulasi pertumbuhannya.
Bioaugmentasi: dengan menambahkan organisme dari luar (exogenus
microorganism) pada subpermukaan yang dapat mendegradasi kontaminan
spesifik.
Biosparging: dengan menambahkan injeksi udara dibawah tekanan ke dalam
air sehingga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen dan kecepatan degradasi.
c. Bioremidiasi ex-situ
Sementara bioremediasi ex situ dikenal sebagai metode dimana
mikroorganisme diaplikasikan pada tanah atau air terkontaminasi yang telah
dipindahkan dari tempat asalnya. Teknik ex situ terdiri atas:
Landfarming: teknik dimana tanah yang terkontaminasi digali dan
dipindahkan pada lahan khusus yang secara periodik diamati sampai polutan
terdegradasi.
Composting: teknik yang melakukan kombinasi antara tanah terkontaminasi
dengan tanah yang mengandung pupuk atau senyawa organik yang dapat
meningkatkan populasi mikroorganisme.
Biopiles: merupakan perpaduan antara landfarming dan composting.
Bioreactor: dengan menngunakan aquaeous reaktor pada tanah atau air yang
terkontaminasi.
d. Bioaugmentasi
Prinsip bioaugmentasi adalah penambahan bakteri tertentu pada suatu tempat
tercemar yang berfungsi sebagai pembersih kontaminan yang ada di daerah
tersebut. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi
di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini
digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar
mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum
sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan
mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit
untuk beradaptasi.
C. Definisi Biofilm
Beberapa peneliti telah memberikan definisi mengenai biofilm diantaranya
adalah biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel pada
suatu permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari extracellular polymeric
substance (EPS) (Donlan dalam Andika, 2015). Menurut Riemann and Cliver (2006),
biofilm didefinisikan sebagai sekumpulan dari mikroorganisme dan produk
ekstraselular yang berasosiasi pada permukaannya dan umumnya menempel pada
substrat biologi dan nonbiologi. Sedangkan menurut Jamal, et all (2015) menyebutkan
bahwa biofilm merupakan suatu asosiasi mikroorganisme di mana sel-sel mikroba
menempel satu sama lain pada permukaan hidup maupun permukaan tak-hidup dalam
suatu matriks yang diproduksi oleh dirinya sendiri dari bahan polimer ekstraseluler.
biofilm merupakan kelompok kompleks dari sel mikroba yang menempel dalam
matriks eksopolisakarida pada permukaan perangkat medis dimana infeksi yang terkait
biofilm dalam peralatan medis menimbulkan masalah serius bagi kesehatan masyarakat
dan mempengaruhi fungsi perangkat medis tersebut (Veerachamy,et all.,2014). Bentuk
biofilm sesungguhnya merupakan bentuk pertahanan dari mikroorganisme terhadap
ancaman fisis, kimiawi, maupun biologis. Sayangnya, beberapa bakteri patogen juga
mampu membentuk biofilm pada makhluk hidup, dan mampu menyebabkan penyakit
dengan menolak kerja sistem imun maupun menciptakan suatu resistensi bakteri
terhadap antibiotik (Stephens dalam Andika, 2015).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bioremediasi merupakan pengembangan bidang biteknologi lingkungan dengan
memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi adalah proses
penguraian limbah baik organik/anorganik polutan dari sampah organik dengan menggunakan
organisme (bakteri, fungi, tanaman atau enzimnya) dalam mengendalikan pencemaran pada
kondisi terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya di bawah
batas yang ditentukan oleh lembaga berwenang dengan tujuan mengontrol atau mereduksi
bahan pencemar dari lingkungan. Bioremediasi dibagi menjadi 4 kelompok yaitu fitoremediasi,
bioremediasi in-situ, bioremediasi ex-situ, dan bioaugmentasi.
Biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel pada suatu
permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari extracellular polymeric substance
(EPS). Siklus kehidupan biofilm diawali dengan perlekatan sel, kemudian pembentukan
mikrokoloni, pembentukan biofilm, dan pemantapan serta perluasan biofilm. Tingkat
perlekatan sel mikroba diatur oleh faktor-faktor seperti sifat permukaan, kondisi lapisan
permukaan, karakteristik dan hidrodinamika dari media cair, berbagai karakteristik permukaan
sel mikroba, regulasi gen dan kuorum sensing. Berbagai infeksi terkait biofilm antara lain
adalah: infeksi dari alat-alat kesehatan, infeksi endokarditis, dan pneumonia pada penderita
cystic fibrosis
DAFTAR RUJUKAN
Andika, A. 2015. Pengaruh Kombinasi Minyak AtsiriSirih (Piper betle L) dengan Antibiotik
Kloramfenikol, Stertomisin, dan Eritromisin Terhadap Pembentukan Biofilm
Staphylococcus aureus. Universitas Gadjah Mada. Diunduh dari
http://etd.repository.ugm.ac.id pada tanggal 7 Oktober 2019
Angga, 2011, Konservasi Tanah dan Remediasi dalam http://angga. staff.ipb. ac.id
/files/2011/04/10- Konservasi-Tanah-Remediasi.pdf,diakses pada 5 Oktober
2019.
Atlas, R.M and Berta, R. 1992. Hydocarbon biodegradationand oil spill bioremediation, Adv.
Microbial Ecol. 12 : 287-338. Dalam Erman Munir. 2006. Pemanfaatan Mikroba
dalam Bioremediasi: suatu Teknologi Alternatif untuk Pelestarian Lingkungan.
Medan.
Deb, M., Gupte S., Aggarwal P., Kaur M., Manhas A., Bala M., and Kant R. 2014. Microbial
Biofilms. SMU Medical Journal, Volume – 1, No. 2
Donlan, R. M. 2002. Biofilm: Microbial Life on Surface. Emerging infect. Dis. 8: 881-890.
Hall-Stoodley, L., Consterton, J W., dan Stoodley, P. 2004. Bacterial Biofilms: From the
Natural Environment to Infectious Diseases. Nature Reviews Microbiology, 2: 95-
108.
Jamal, M., Tasneem1, U., Hussain, T. and Saadia Andleeb S. 2015. Bacterial Biofilm: Its
Composition, Formation and Role in Human Infections. Research & Reviews:
Journal of Microbiology and Biotechnology. RRJMB | Volume 4 | Issue 3 | July-
September, 2015
Levine, M. A. And Gealt, M. A. 1993. Biotreatmentof Industrial and Hazardous Easte.
McGraw Hill. Newyork. P.4. Dalam Erman Munir. 2006. Pemanfaatan Mikroba
dalam Bioremediasi: suatu Teknologi Alternatif untuk Pelestarian Lingkungan.
Medan
Lieberg, E. W. And Cutright, T. J. 1999. The Investigation of Enhanced Bioremediation
Through the Addition of Macro and Micro Nutrients in PAHs Contaminated Soil,
Inter. Biodet. Biodegrad. 44: 55-64. Dalam Erman Munir. 2006. Pemanfaatan
Mikroba dalam Bioremediasi: suatu Teknologi Alternatif untuk Pelestarian
Lingkungan. Medan
Litchfield, C. D. 1991. Practices, potensial and pitfall in the application of Biotechnology to
Environmental Problem. In : Environmental Biotechnology For Waste Treatment,
ed. G. Saylor et. Al., Plenum Press, Newyork, pp. 147-157. Dalam Erman Munir.
2006. Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi: suatu Teknologi Alternatif
untuk Pelestarian Lingkungan. Medan.
Mahami, T. and Adu-Gyamfi, A. 2011. Biofilm-associated infections: public health
implications. International Research Journal of Microbiology (IRJM) (ISSN:
2141-5463) Vol. 2(10) pp. 375-381.
Munir, E. 2006. Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi: Suatu Teknologi Alternatif untuk
Pelestarian Lingkungan. Medan: USU.
Purbowati, R. 2016. Hubungan Biofilm dengan Infeksi : Implikasi pada Kesehatan Masyarakat
dan Strategi Mengontrolnya. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 5(1),1-14
Riemann, H.P. and Cliver, D.O, 2006. Foodborne Infections and Intoxications, Third Edition.
Elsevier. USA
Singh BK dan Kuhad RC (2000) Degradation of the pesticidelindane by white-rot fungi
Cyathus bulleri and Phanerochaete sordida. Pest Manag Sci. 56: 142–146.
Stephens, C., 2002. Microbiology Breaking Down Biofilms. Current Biology. 12. R132-R134.
Surtikanti, H. Dan W, Surakusumah. 2004. Studi Pendahuluan tentang Peranan Tanaman
dalam Proses Bioremediasi Oli Bekas dalam Tanah Tercemar. Jurnal Ilmiah
Biologi Ekologi dan Biodiversitas Tropika. Vol. 2 No.1.
Surtikanti, H. K. 2011. Toksikologi Lingkungan dan Metode Uji Hayati. Bandung. Rizqi Press.
Veerachamy, S., Yarlagadda, T., Manivasagam, G. and Yarlagadda, P.K. 2014. Review
Article: Bacterial adherence and biofilm formation on medical implants: A. Proc
IMechE Part H: J Engineering in Medicine
Vidali, M. 2011. Bioremediation. An overview. Pure Appl. Chem. 73: 1163–1172.