Anda di halaman 1dari 16

BIOREMEDIASI DAN BIOFILM

Makalah

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Bioteknologi


yang Dibina oleh Bapak Hendra Susanto, S.Pd., M.Kes., Ph.D. dan
Bapak Wira Eka Putra, S.Si., M.Med.Sc.
Disajikan pada Selasa, 8 Oktober 2019

Disusun oleh:
Kelompok 2 – Offering B 2017
1. Arum Yuni Rochima (170341615100)
2. Binazir Tuzaqiyah Ma’rufah (170341615065)
3. Maya Andya Garini (170341615032)
4. Silvi Dwi Pangestu (170341615015)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
OKTOBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan
dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi
bukanlah konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak
digunakan selama bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan
beracun baik yang berasal dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang
baru adalah bahwa teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi
ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh senyawa-
senyawa kimia toksik atau beracun.
Mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri,
jamur, yis, dan alga. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di lingkungan merupakan
proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-bahan berbahaya di
lingkungan, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang cukup kompleks.
Dalam proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia tersebut untuk
pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi.
Kemampuan bakteri dalam menyerap atau menurunkan kandungan logam berat
dari lingkungan, baik dari tanah maupun dari perairan juga telah banyak dipelajari.
Beberapa bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter calcoaceticus,
Arthrobacter sp., Streptomyces viridans, dan lain-lain menghasilkan senyawa
biosurfaktan / bioemulsi yang dapat menyerap berbagai jenis logam berat seperti Cd,
Cr, Pb, Cu dan Zn dari tanah yang terkontaminasi. Desulfovibrio desulfuricans dapat
mengendapkan uranium melalui proses reduksi. Berbagai jenis Baccillus yang
membentuk biofilm pada permukaan perairan dapat menyerap Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, dan
Zn dari dalam air. Mikroba yang membentuk film dalam ekosistem perairan juga
memiliki peranan yang penting dalam bioremediasi logam. Saccharomyces cerevisiae
dan Candida sp. Dapat mengakumulasi Pb dari dalam perairan, Citrobacter dan
Rhizopus arrhizus memiliki kemampuan menyerap uranium (Roane et al . 1998).
Secara ekonomi dan fungsi, penggunaan teknik bioremediasi harus dapat
berkompetisi dalam teknologi remediasi lainnya, seperti pembakaran (insinerasi) atau
perlakuan kimia. Sebelum suatu teknik bioremediasi diaplikasikan, informasi tentang
keadaan lokasi dan potensi mikroorganisme harus sudah diketahui. Untuk itu perlu
dilakukan uji laboratorium untuk mengetahui kecepatan degradasi pada suatu fungsi
lingkungan tertentu seperti pH, konsentrasi oksigen, nutrien, komposisi mikroba,
ukuran partikel tanah, dan juga suhu. Dibanding teknik remediasi lain, aplikasi
bioremediasi jauh lebih murah. Levine and Gealt (1993) menyatakan bahwa
bioremediasi untuk satu yard tanah yang terkontaminasi diperlukan dana sekitar 40
sampai 100 dollar. Sedangkan melalui proses lainnya, seperti dengan insinerasi,
memerlukan biaya 250 sampai 800 dollar dan landfilling sekitar 150 sampai 250 dollar
untuk kapasitas tanah yang sama. Bioremediasi dapat diaplikasikan pada lingkungan-
lingkungan yang terpolusi malalui berbagai mekanisme. Litchfield (1991),
bioremediasi dilakukan melalui lima pendekatan berikut: bioreaktor, perlakuan fase
padat, pengomposan, landfarming, dan perlakuan in situ. Masalah utama yang sering
dijumpai dalam aplikasi mikroorganisme untuk bioremediasi adalah menurun atau
hilangnya potensi mikroba. Walaupun dalam percobaan laboratorium mikroba
menunjukkan aktivitas degradasi yang tinggi, ternyata tidak menunjukkan hasil yang
menggembirakan dalam percobaan di lapangan (in situ). Untuk meningkatkan
keefektifan penggunaan mikroorganisme dalam bioremediasi dapat dilakukan dengan
melakukan dua strategi berikut. Pertama; Biostimulan yaitu suatu teknik menambahkan
nutrien tertantu dengan tujuan merangsang aktivitas mikroba-mikroba tempatan
(indigenous). Atlas dan Berta (1992), teknik biostimulasi ini telah sukses dalam
mengendalikan tumpahan minyak di perairan dan kontaminasi senyawa hidrokarbon
(PAH) di tanah. Lieberg and Cutright (1999), nutrien yang sering ditambahkan adalah
fosfor dan nitrogen. Kedua; Bioaugmentasi yaitu dengan mengintroduksi mikroba
tertentu pada daerah yang akan diremediasi. Di samping masalah di atas, lambatnya
kecepatan degradasi polutan di lingkungan disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut: enzim-enzim degradatif yang dihasilkan oleh mikroba tidak mampu
mengkatalis reaksi degradasipolutan yang tidak alami, kelarutan polutan dalam air
sangat rendah, dan polutan terikat kuat dengan partikel-partikel organik atau partikel
tanah. Selain itu, pengaruh lingkungan seperti pH, temperatur, dan kelembapan tanah
juga sangat berperan dalam menentukan kesuksesan proses bioremediasi. Oleh karena
itu, seleksi, baik yang dilakukan secara konvensional maupun melalui manipulasi
genetika untuk mendapatkan mikroba-mikroba yang potensial, merupakan agenda yang
sangat penting dalam mikrobiologi lingkungan. Di samping itu, proses degradsi komplit
di lingkungan umumnya dilakukan oleh konsorsium mikroorganisme bukan oleh
mikroorganisme sejenis.
Biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel pada
suatu permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari extracellular polymeric
substance (EPS) (Donlan, 2002). Bentuk biofilm sesungguhnya merupakan bentuk
pertahanan dari mikroorganisme terhadap ancaman fisis, kimiawi, maupun biologis.
Sayangnya, beberapa bakteri patogen juga mampu membentuk biofilm pada makhluk
hidup, dan mampu menyebabkan penyakit dengan menolak kerja sistem imun maupun
menciptakan suatu resistensi bakteri terhadap antibiotik (Stephens, 2002).
Pembentukan plak gigi dan pembusukan gigi merupakan contoh mudah dari pengaruh
biofilm terhadap kesehatan manusia (Bradshaw dkk., 1996; Li dkk., 2001). Biofilm
berperan pula dalam penyakitpenyakit yang lebih parah seperti infeksi device-related
(infeksi kateter, katup jantung buatan, sendi prostetik dsb.) oleh biofilm Staphylococci,
infeksi endokarditis oleh biofilm Streptococci, maupun pneumonia cystic fibrosis oleh
biofilm P. aeruginosa (Hall-Stoodley dkk., 2004).
B. Rumusan Masalah
Berikut merupakan rumusan masalah yang diambil dari latar belakang di atas.
1. Apa yang dimaksud dengan bioremidiasi?
2. Apa saja macam-macam dari bioremidiasi?
3. Bagaimana proses bioremidiasi?
4. Apa definisi dari biofilm?
5. Bagaimana struktur dan komposisi biofilm?
6. Bagaimana siklus kehidupan pada biofilm?
7. Apa saja yang menjadi faktor perlekatan mikroba?
8. Bagaimana keterkaitan biofilm dengan berbagai penyakit?

C. Tujuan
Berikut merupakan tujuan dari dibuatnya makalah ini.
1. Untuk mengetahui pengertian dari bioremidiasi.
2. Untuk mengetahui macam-macam bioremidiasi.
3. Untuk mengetahui proses bioremidiasi.
4. Untuk mengetahui definisi biofilm.
5. Untuk mengetahui struktur dan komposisi biofilm
6. Untuk mengetahui siklus kehidupan pada biofilm
7. Untuk mengetahui faktor perlekatan mikroba
8. Untuk mengetahui keterkaitan biofilm dengan berbagai penyakit
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Bioremidiasi
Bioremediasi adalah proses penguraian limbah organik/anorganik polutan dari
sampah organik dengan menggunakan organisme (bakteri, fungi, tanaman atau
enzimnya) dalam mengendalikan pencemaran pada kondisi terkontrol menjadi suatu
bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya di bawah batas yang ditentukan oleh
lembaga berwenang dengan tujuan mengontrol atau mereduksi bahan pencemar dari
lingkungan (Munir 2006, Vidali, 2011 dan Singh et al, 2006). Kelebihan teknologi ini
ditinjau dari aspek komersil adalah relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan
yang relatif lebih murah dan bersifat fleksibel (Angga, 2011). Bioremediasi pada
akhirnya menghasilkan air dan gas tidak berbahaya seperti CO2. Faktor – faktor yang
mempengaruhi proses bioremediasi adalah ; mikroba, Nutrisi dan Lingkungan. (a)
Mikroba memiliki kemampuan untuk mendegradasi, mentransformasi dan menyerap
senyawa pencemar. Mikroba yang digunakan dapat berasal dari golongan fungi,
bakteri, ataupun mikroalga; (b) Nutrisi, jenis nutrisi yang dibutuhkan bagi mikroba,
diantaranya unsur karbon (C), Nitrogen (N), Posfor (P) dan lain lain ; (c) Lingkungan
yang berpengaruh antara lain oksigen, suhu, DO, dan pH. Teknologi bioremediasi ada
dua jenis, yaitu ex-situ dan in situ. Ex-situ adalah pengelolaan yang meliputi
pemindahan secara fisik bahan-bahan yang terkontaminasi ke suatu lokasi untuk
penanganan lebih lanjut (Vidali dalam Hardiani, dkk., 2011:32 ). Penggunaan
bioreaktor, pengolahan lahan (landfarming), pengkomposan dan beberapa bentuk
perlakuan fase padat lainnya adalah contoh dari teknologi ex-situ, sedangkan teknologi
in situ adalah perlakuan yang langsung diterapkan pada bahan-bahan kontaminan di
lokasi tercemar (Vidali dalam Hardiani, dkk., 2011:32).

B. Macam-macam Bioremidiasi
Berdasarkan agen proses biologis serta pelaksanaan rekayasa, bioremediasi dapat
dibagi menjadi empat macam , yaitu:
a. Fitoremidiasi
Fitoremediasi merupakan proses teknologi yang menggunakan tumbuhan untuk
memulihkan tanah yang tercemar oleh bahan polutan secara in situ (Surtikanti,
2011:144). Teknologi ini dapat ditunjang dengan peningkatan perbaikan media
tumbuh dan ketersediaan mikroba tanah untuk meningkatkan efesiensi dalam
proses degradasi bahan polutan. Proses fitoremediasi bermula dari akar tumbuhan
yang menyerap bahan polutan yang terkandung dalam air. Kemudian melalui proses
transportasi tumbuhan, air yang mengandung bahan polutan dialirkan keseluruh
tubuh tumbuhan, sehingga air yang menjadi bersih dari polutan. Tumbuhan ini
dapat berperan langsung atau tidak langsung dalam proses remediasi lingkungan
yang tercemar. Tumbuhan yang tumbuh di lokasi yang tercemar belum tentu
berperan aktif dalam penyisihan kontaminan, kemungkinan tumbuhan tersebut
berperan secara tidak langsung. Agen yang berperan aktif dalam biodegradasi
polutan adalah mikroorganisme tertentu, sedangkan tumbuhan dapat berperan
memberikan fasilitas penyediaan akar tumbuhan sebagai media pertumbuhan
mikroba tanah sehingga pertumbuhan lebih cepat berkembang biak (Surtikanti dan
Surakusumah, 2011:145). Ada beberapa kriteria tumbuhan yang dapat digunakan
dalam proses fitoremdiasi, (Youngman dalam Surtikanti, 2011:145), yaitu harus:
memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi; hidup pada habitat yang kosmopolitan;
mampu mengkonsumsi air dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang singkat;
mampu meremediasi lebih dari satu jenis polutan; mempunyai toleransi tinggi
terhadap polutan; dan mudah dipelihara. Contoh tumbuhan yang dapat digunakan
untuk dalam bioremediasi polutan adalah: Salix sp, rumputrumputan (Bermuda
grass, sorgum), legum (semanggi, alfalfa), berbagai tumbuhan air dan
hiperakumulator untuk logam (bunga matahari, Thlaspi sp). Dalam proses
remediasi, tumbuhan dapat bersifat aktif maupun pasif dalam mendegradasi bahan
polutan. Secara aktif tumbuhan memiliki kemampuan yang berbeda dalam
fitoremediasi. Ada yang melakukan proses transformasi, fitoekstraksi (pengambilan
dan pemulihan dari kontaminan pada biomassa bawah tanah), fitovolatilisasi,
fitodegrradasi, fitostabilisasi (menstabilkan daerah limbah dengan kontrol
penyisihan dan evapotrannspirasi), dan rhizofiltrasi (menyaring logam berat ke
sistem akar) (Kelly dalam Surtikanti, 2011:145). Keenam proses ini dibedakan
berdasarkan proses fisik dan biologis. Sedangkan secara pasif tumbuhan melakukan
biofilter, transfer oksigen, menghasilkan karbon, dan menciptakan kondisi
lingkungan (habitat) bagi pertumbuhan mikroba.
Menurut Surtikanti ( 2011):146-148, berikut ini merupakan proses secara aktif yang
dilakukan oleh tumbuhan dalam melakukan fitoremidiasi, yaitu:
 Fitotransformasi adalah pengambilan kontaminan bahan organik dan
nutrien dari tanah atau air tanah yang kemudian dtransformasikan oleh
tumbuhan. Proses trannsformasi poluttan dalam tumbuhan dapat berubah
menjadi nontoksik atau menjadi lebih toksik. Metabolit hasil transformasi
tersebut terakumulasi dalam tubuh tumbuhan.
 Fitoekstraksi merupakan penyerapan polutan oleh tanaman air atau tanah
dan kemudian diakumulasi atau disimpan dalam bagian suatu tumbuhan
(daun atau batang). Tanaman tersebut dinamakan hiperakumulator. Setelah
polutan terakumulasi, tumbuhan dapat dipanen dan tumbuhan tersebut tidak
boleh dikonsumsi tetapi harus dimusnahkan dengan insinerator atau
ditimbun dalam landfill.
 Fitovolatillisasi merupakan proses penyerapan polutan oleh tumbuhan,
kemudian polutan tersebut diubah menjadi bersifat volatile (mudah
menguap), setelah itu ditranspirasikan oleh tumbuhan. Polutan yang
dilepaskan oleh tumbuhan keudara dapat memiliki bentuk senyawa awal
polutan, atau dapat juga menjadi senyawa yang berbeda dari senyawa awal.
 Fitodegradasi adalah proses penyerapan polutan oleh tumbuhan dan
kemudian polutan tersebut mengalami metabolisme di dalam tumbuhan.
Metabolisme polutan di dalam tumbuhan melibatkan enzim antara lain
nitrodictase, laccase, dehalogenase, dan nitrillase.
 Fitostabilisasi merupakan proses yang dilakukan oleh tumbuhan untuk
mentransformasikan polutan di dalam tanah menjadi senyawa nontoksik
tanpa menyerap terlebih dahulu polutan tersebut ke dalam tubuh tumbuhan.
Hasil transformasi dari polutan tersebut tetap berada di dalam tanah.
Fitostabilisasi dapat diartikan sebagai penyimpanan tanah dan sedimen yang
terkontaminasi dengan menggunakan vegetasi, dan immobilisasi
kontaminan beracun polutan. Fitostabilisasi biasanya digunakan untuk
kontaminan logam pada daerah berlimbah yang mengandung suatu
kontaminan.
 Rhizofiltrasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman tetapi
biasanya konsep dasar ini berlaku apabila medium yang tercemarnya adalah
badan perairan.
b. Bioremidiasi in situ
Bioremediasi in situ disebut juga bioremediasi dasar atau natural attenuation.
Teknologi ini memanfaatkan kemampuan mikroba indigen dalam merombak polutan
di lingkungan. Proses ini terjadi dalam tanah secara alamiah di dalam tanah secara
alamiah dan berjalan sangat lambat. Bioremediasi in situ Merupakan metode dimana
mikroorganisme diaplikasikan langsung pada tanah atau air dengan kerusakan yang
minimal. Bioremediasi (in situ bioremidiation) juga terbagi atas:
 Biostimulasi/Bioventing: dengan penambahan nutrient (N, P) dan aseptor
elektron (O2) pada lingkungan pertumbuhan mikroorganisme untuk
menstimulasi pertumbuhannya.
 Bioaugmentasi: dengan menambahkan organisme dari luar (exogenus
microorganism) pada subpermukaan yang dapat mendegradasi kontaminan
spesifik.
 Biosparging: dengan menambahkan injeksi udara dibawah tekanan ke dalam
air sehingga dapat meningkatkan konsentrasi oksigen dan kecepatan degradasi.
c. Bioremidiasi ex-situ
Sementara bioremediasi ex situ dikenal sebagai metode dimana
mikroorganisme diaplikasikan pada tanah atau air terkontaminasi yang telah
dipindahkan dari tempat asalnya. Teknik ex situ terdiri atas:
 Landfarming: teknik dimana tanah yang terkontaminasi digali dan
dipindahkan pada lahan khusus yang secara periodik diamati sampai polutan
terdegradasi.
 Composting: teknik yang melakukan kombinasi antara tanah terkontaminasi
dengan tanah yang mengandung pupuk atau senyawa organik yang dapat
meningkatkan populasi mikroorganisme.
 Biopiles: merupakan perpaduan antara landfarming dan composting.
 Bioreactor: dengan menngunakan aquaeous reaktor pada tanah atau air yang
terkontaminasi.
d. Bioaugmentasi
Prinsip bioaugmentasi adalah penambahan bakteri tertentu pada suatu tempat
tercemar yang berfungsi sebagai pembersih kontaminan yang ada di daerah
tersebut. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi
di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini
digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar
mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum
sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan
mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit
untuk beradaptasi.
C. Definisi Biofilm
Beberapa peneliti telah memberikan definisi mengenai biofilm diantaranya
adalah biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel pada
suatu permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari extracellular polymeric
substance (EPS) (Donlan dalam Andika, 2015). Menurut Riemann and Cliver (2006),
biofilm didefinisikan sebagai sekumpulan dari mikroorganisme dan produk
ekstraselular yang berasosiasi pada permukaannya dan umumnya menempel pada
substrat biologi dan nonbiologi. Sedangkan menurut Jamal, et all (2015) menyebutkan
bahwa biofilm merupakan suatu asosiasi mikroorganisme di mana sel-sel mikroba
menempel satu sama lain pada permukaan hidup maupun permukaan tak-hidup dalam
suatu matriks yang diproduksi oleh dirinya sendiri dari bahan polimer ekstraseluler.
biofilm merupakan kelompok kompleks dari sel mikroba yang menempel dalam
matriks eksopolisakarida pada permukaan perangkat medis dimana infeksi yang terkait
biofilm dalam peralatan medis menimbulkan masalah serius bagi kesehatan masyarakat
dan mempengaruhi fungsi perangkat medis tersebut (Veerachamy,et all.,2014). Bentuk
biofilm sesungguhnya merupakan bentuk pertahanan dari mikroorganisme terhadap
ancaman fisis, kimiawi, maupun biologis. Sayangnya, beberapa bakteri patogen juga
mampu membentuk biofilm pada makhluk hidup, dan mampu menyebabkan penyakit
dengan menolak kerja sistem imun maupun menciptakan suatu resistensi bakteri
terhadap antibiotik (Stephens dalam Andika, 2015).

D. Struktur Dan Komposisi Biofilm


Biofilm terdiri dari mikroorganisme dan zat polimer ekstraseluler yang
diproduksi oleh mereka sendiri yang disebut sebagai eksopolisakarida (EPS).
Perkembangan biofilm yang utuh mengandung banyak lapisan termasuk matriks EPS
dengan struktur vertikal, dan pembentukan film. Struktur vertikal mikroorganisme
kadang-kadang berbentuk seperti menara atau jamur yang dipisahkan oleh ruang
interstitial. Ruang interstitial memungkinkan sebagian besar biofilm dengan mudah dan
cepat mengambil nutrisi dari cairan sekitarnya dan memindahkan produk
sampingannya dari biofilm. Pembentukan biofilm memang kompleks, tapi secara
umum dapat dikelompokkan dalam empat langkah dasar yaitu: deposisi dan
pembentukan film, mikroba (planktonik) melekat pada lembaran film, pertumbuhan
dan kolonisasi bakteri dan akhirnya terbentuklah biofilm (Deb dalam Purbowati, 2016).

E. Siklus Kehidupan Pada Biofilm


a. Perlekatan sel
Perlekatan mikroorganisme pada permukaan tertentu dapat terjadi secara aktif atau
pasif, tergantung pada motilitas bakteri atau transportasi dari sel planktonik oleh
gravitasi, difusi atau kekuatan dinamis cairan dari fase cairan disekitarnya. Perlekatan
juga tergantung pada ketersediaan hara dalam media sekitarnya, dan tahap
pertumbuhan sel bakteri itu sendiri. Dua tahapan yang dapat diidentifikasi dalam proses
ini yaitu perlekatan reversibel diikuti oleh perlekatan irreversibel. Awalnya, interaksi
jangka panjang terbentuk antara sel bakteri dan substrat disebut perlekatan reversibel,
dan melibatkan interaksi van der Waals, gaya elektrostatik dan interaksi hidrofobik.
Selama tahap ini, bakteri masih menunjukkan gerak Brown dan dapat dengan mudah
dihilangkan dengan gaya geser fluida (misalnya hanya dengan membilasnya).
Kemudian dilanjutkan perlekatan irreversibel, interaksi jangka pendek yang melibatkan
interaksi dipol-dipol, ion hidrogen, dan ikatan kovalen, dan interaksi hidrofobik.
Interaksi antara bakteri dan permukaan terjadi terutama melalui alat pelengkap bakteri
seperti flagela, fimbriae, pili dan fibril, dan pengangkatan sel membutuhkan energi
yang lebih kuat seperti scrubbing atau menggores. Suhu dan pH permukaan kontak
memiliki pengaruh pada tingkat perlekatan mikroorganisme.
b. Pembentukan mikrokoloni
Proliferasi sel-sel bakteri yang melekat secara irreversibel dapat terjadi dengan
menggunakan nutrisi yang ada di lingkungan cairan sekitarnya. Ini mengarah pada
pembentukan mikrokoloni yang membesar dan menyatu untuk membentuk lapisan sel
yang menutupi permukaan. Sel-sel yang melekat menghasilkan polimer tambahan
(eksopolisakarida), yang membantu dalam perlekatan sel-sel ke permukaan dan dalam
menstabilkan koloni dari fluktuasi lingkungan.
c. Pembentukan biofilm
Pembentukan biofilm adalah konsekuensi dari perlekatan terus menerus sel bakteri
terhadap substrat dan pertumbuhan selanjutnya, bersama dengan produksi EPS.
Komposisi biofilm dapat heterogen karena kolonisasi oleh mikroorganisme yang
berbeda dengan kebutuhan gizi yang berbeda. Peningkatan ukuran biofilm yang lebih
besar dapat terjadi melalui deposisi atau perlekatan dari bahanbahan organik dan
anorganik yang terlarut lainnya dan partikel dari fase cair di sekitarnya.
d. Pemantapan dan perluasan biofilm
Setelah terbentuk biofilm matang, bakteri yang menempel tersebut untuk bertahan
hidup dan membuat relung baru harus mampu melepaskan diri dan menyebar dari
biofilm. Sel anak dapat menjadi individu baru atau terkelupas. Bakteri yang terlepas
kemudian dapat berpindah ke lokasi baru dan memulai kembali proses biofilm
(Riemann,2006)

F. Faktor Perlekatan Mikroba


Pertamakali pembentukan biofilm dimulai ketika bakteri menemukan dan dapat
melekat pada kondisi permukaan melalui molekul organik kecil. Tingkat perlekatan sel
mikroba diatur oleh faktor-faktor seperti sifat permukaan, kondisi lapisan permukaan,
karakteristik dan hidrodinamika dari media cair, berbagai karakteristik permukaan sel
mikroba, regulasi gen dan kuorum sensing (Mahami, et all., 2011). Pembentukan
biofilm dapat terjadi diberbagai jenis permukaan dan berbagai kondisi lingkungan
dimana bakteri berada. Bakteri, molekul organik dan anorganik yang berada di
permukaan kemudian membentuk kondisi film. Substrat organik dan anorganik ini
bersama-sama dengan mikroorganisme berpindah ke permukaan melalui difusi atau
mengikuti aliran cairan. Transfer nutrisi lebih tinggi dalam biofilm daripada fase cair
(Riemann,2006) . Kondisi film penting dalam proses perlekatan. Polimer organik dari
media yang permukaannya terendam sehingga mempengaruhi tingkat dan kekuatan
perlekatan mikroba. Kondisi film terbentuk dalam beberapa menit pemaparan, dan terus
berkembang selama beberapa jam. Sejumlah host memproduksi film seperti darah, air
mata, urin, saliva, cairan intravaskular dan sekresi pernapasan mempengaruhi
perlekatan bakteri terhadap biomaterial (Mittleman dalam Purbowati, 2016) .
Karakteristik media cair, seperti pH, tingkat nutrisi, kekuatan ion, dan temperatur, juga
mungkin memainkan peran dalam tingkat perlekatan mikroba pada permukaan. Sebagai
contoh, peningkatan jumlah sel bakteri yang melekat diyakini sebagai akibat dari
peningkatan konsentrasi nutrisi dalam media dan juga peningkatan konsentrasi
beberapa kation. Selain itu, sifat hidrodinamik dari media cair seperti karakteristik
kecepatan cairan mempengaruhi tingkat dan luasnya perlekatan (Mahami,et all., 2011).
Tingkat dan kekuatan perlekatan sel mikroba dipengaruhi oleh sifat permukaan sel
seperti produksi zat polimer ekstraseluler (EPS), hidrofobisitas permukaan sel,
kehadiran fimbriae dan flagela. Hidrofobik dari permukaan sel yang merupakan peran
dari keberadaan fimbriae merupakan hal yang penting dalam adhesi karena interaksi
hidrofobik cenderung meningkat dengan meningkatnya sifat non–polar dari permukaan
yang terlibat. Bukti menunjukkan bahwa flagella memainkan peran penting dalam
tahap awal perlekatan bakteri dengan mengatasi kekuatan terkait dengan substratum
dan protein permukaan juga memainkan peran dalam perlekatan. EPS dan
lipopolisakarida lebih penting dalam perlekatan untuk bahan hidrofilik. Oleh karena itu
sel yang motil melekatan lebih banyak dan sel yang melawan arus lebih cepat daripada
strain non – motil (Mahami,et all.,2011).

G. Keterkaitan Biofilm Dengan Berbagai Penyakit


Berbagai infeksi terkait biofilm antara lain adalah: infeksi dari alat-alat kesehatan,
infeksi endokarditis, dan pneumonia pada penderita cystic fibrosis (Hall-Stoodley
dalam Andika, 2015). Biofilm juga menjadi faktor timbulnya berbagai gangguan pada
sistem otolaring manusia. Pada kasus otitis media yang sering menyerang anak, telah
dapat didemonstrasikan pembentukan agregat mikroba di membran mukosa pada otitis
media buatan. Biofilm juga dihubungkan dengan timbulnya sinusitis kronis, tonsilitis,
serta gangguan pada prostesis otolaring, dimana biofilm menyebabkan resistensi
pengobatan dan kekambuhan berulang. Membran mukosa yang terinfeksi biofilm juga
diketahui kehilangan seluruh sel silia-nya (Viveros dalam Andika, 2015). Lindsay dan
von Holy (2006) menyebutkan bahwa biofilm memiliki kemampuan untuk melindungi
bakteri dari senyawa-senyawa asing. Biofilm diasosiasikan pula dengan terjadinya
resistensi bakteri terhadap antibiotik. Kemampuan proteksi ini masih belum dimengerti
sepenuhnya, namun beberapa teori yang diajukan antara lain:
a Extracellular Polymeric Substance (EPS) biofilm bereaksi secara kimiawi dengan
antibiotik/senyawa asing ataupun membentuk penghalang difusi
b Biofilm mengubah sistem transpor membran ataupun melepaskan molekul yang
dapat menginaktivasi antibiotik
c Biofilm memiliki sistem stress-response rpoS yang akan menurunkan tingkat
pertumbuhan mikroba, dan menganggu aksi kerja antibiotik
d Biofilm menghasilkan enzim yang mengubah molekul antibiotik menjadi inaktif
e Biofilm yang memiliki plasmid resisten-antibiotik, dapat mengkode resistensi
terhadap antimikroba lain
f Biofilm memproduksi sel persister, yakni fenotip resisten mikroba yang sangat
toleran terhadap antibiotik
g Beberapa jenis permukaan memiliki kemampuan untuk menahan biofilm lebih baik
sehingga menyulitkan eliminasi biofilm.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bioremediasi merupakan pengembangan bidang biteknologi lingkungan dengan
memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi adalah proses
penguraian limbah baik organik/anorganik polutan dari sampah organik dengan menggunakan
organisme (bakteri, fungi, tanaman atau enzimnya) dalam mengendalikan pencemaran pada
kondisi terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya di bawah
batas yang ditentukan oleh lembaga berwenang dengan tujuan mengontrol atau mereduksi
bahan pencemar dari lingkungan. Bioremediasi dibagi menjadi 4 kelompok yaitu fitoremediasi,
bioremediasi in-situ, bioremediasi ex-situ, dan bioaugmentasi.
Biofilm merupakan bentuk kehidupan mikroorganisme yang menempel pada suatu
permukaan dengan membentuk matriks yang terbuat dari extracellular polymeric substance
(EPS). Siklus kehidupan biofilm diawali dengan perlekatan sel, kemudian pembentukan
mikrokoloni, pembentukan biofilm, dan pemantapan serta perluasan biofilm. Tingkat
perlekatan sel mikroba diatur oleh faktor-faktor seperti sifat permukaan, kondisi lapisan
permukaan, karakteristik dan hidrodinamika dari media cair, berbagai karakteristik permukaan
sel mikroba, regulasi gen dan kuorum sensing. Berbagai infeksi terkait biofilm antara lain
adalah: infeksi dari alat-alat kesehatan, infeksi endokarditis, dan pneumonia pada penderita
cystic fibrosis

DAFTAR RUJUKAN
Andika, A. 2015. Pengaruh Kombinasi Minyak AtsiriSirih (Piper betle L) dengan Antibiotik
Kloramfenikol, Stertomisin, dan Eritromisin Terhadap Pembentukan Biofilm
Staphylococcus aureus. Universitas Gadjah Mada. Diunduh dari
http://etd.repository.ugm.ac.id pada tanggal 7 Oktober 2019
Angga, 2011, Konservasi Tanah dan Remediasi dalam http://angga. staff.ipb. ac.id
/files/2011/04/10- Konservasi-Tanah-Remediasi.pdf,diakses pada 5 Oktober
2019.
Atlas, R.M and Berta, R. 1992. Hydocarbon biodegradationand oil spill bioremediation, Adv.
Microbial Ecol. 12 : 287-338. Dalam Erman Munir. 2006. Pemanfaatan Mikroba
dalam Bioremediasi: suatu Teknologi Alternatif untuk Pelestarian Lingkungan.
Medan.
Deb, M., Gupte S., Aggarwal P., Kaur M., Manhas A., Bala M., and Kant R. 2014. Microbial
Biofilms. SMU Medical Journal, Volume – 1, No. 2
Donlan, R. M. 2002. Biofilm: Microbial Life on Surface. Emerging infect. Dis. 8: 881-890.
Hall-Stoodley, L., Consterton, J W., dan Stoodley, P. 2004. Bacterial Biofilms: From the
Natural Environment to Infectious Diseases. Nature Reviews Microbiology, 2: 95-
108.
Jamal, M., Tasneem1, U., Hussain, T. and Saadia Andleeb S. 2015. Bacterial Biofilm: Its
Composition, Formation and Role in Human Infections. Research & Reviews:
Journal of Microbiology and Biotechnology. RRJMB | Volume 4 | Issue 3 | July-
September, 2015
Levine, M. A. And Gealt, M. A. 1993. Biotreatmentof Industrial and Hazardous Easte.
McGraw Hill. Newyork. P.4. Dalam Erman Munir. 2006. Pemanfaatan Mikroba
dalam Bioremediasi: suatu Teknologi Alternatif untuk Pelestarian Lingkungan.
Medan
Lieberg, E. W. And Cutright, T. J. 1999. The Investigation of Enhanced Bioremediation
Through the Addition of Macro and Micro Nutrients in PAHs Contaminated Soil,
Inter. Biodet. Biodegrad. 44: 55-64. Dalam Erman Munir. 2006. Pemanfaatan
Mikroba dalam Bioremediasi: suatu Teknologi Alternatif untuk Pelestarian
Lingkungan. Medan
Litchfield, C. D. 1991. Practices, potensial and pitfall in the application of Biotechnology to
Environmental Problem. In : Environmental Biotechnology For Waste Treatment,
ed. G. Saylor et. Al., Plenum Press, Newyork, pp. 147-157. Dalam Erman Munir.
2006. Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi: suatu Teknologi Alternatif
untuk Pelestarian Lingkungan. Medan.
Mahami, T. and Adu-Gyamfi, A. 2011. Biofilm-associated infections: public health
implications. International Research Journal of Microbiology (IRJM) (ISSN:
2141-5463) Vol. 2(10) pp. 375-381.
Munir, E. 2006. Pemanfaatan Mikroba dalam Bioremediasi: Suatu Teknologi Alternatif untuk
Pelestarian Lingkungan. Medan: USU.
Purbowati, R. 2016. Hubungan Biofilm dengan Infeksi : Implikasi pada Kesehatan Masyarakat
dan Strategi Mengontrolnya. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 5(1),1-14
Riemann, H.P. and Cliver, D.O, 2006. Foodborne Infections and Intoxications, Third Edition.
Elsevier. USA
Singh BK dan Kuhad RC (2000) Degradation of the pesticidelindane by white-rot fungi
Cyathus bulleri and Phanerochaete sordida. Pest Manag Sci. 56: 142–146.
Stephens, C., 2002. Microbiology Breaking Down Biofilms. Current Biology. 12. R132-R134.
Surtikanti, H. Dan W, Surakusumah. 2004. Studi Pendahuluan tentang Peranan Tanaman
dalam Proses Bioremediasi Oli Bekas dalam Tanah Tercemar. Jurnal Ilmiah
Biologi Ekologi dan Biodiversitas Tropika. Vol. 2 No.1.
Surtikanti, H. K. 2011. Toksikologi Lingkungan dan Metode Uji Hayati. Bandung. Rizqi Press.
Veerachamy, S., Yarlagadda, T., Manivasagam, G. and Yarlagadda, P.K. 2014. Review
Article: Bacterial adherence and biofilm formation on medical implants: A. Proc
IMechE Part H: J Engineering in Medicine
Vidali, M. 2011. Bioremediation. An overview. Pure Appl. Chem. 73: 1163–1172.

Anda mungkin juga menyukai