Anda di halaman 1dari 7

Lahir: 602 M, Mekkah, Arab Saudi

Meninggal: 680 M, Damaskus, Suriah


Pasangan: Maysun bint Bajdal al-Kulaibi al-Nasrania
Orang tua: Hindun binti Utbah, Abu Sufyan
Anak: Yazid bin Muawiyah
Saudara kandung: Yazid bin Abu Sufyan, Ramlah binti Abu Sufyan, Mariam Umm Al Hakam bint
Abi Sufyan

Muawiyah I
Masa kekuasaan: 661 – 680
Wangsa: Bani Abdus Syams
Dinasti: Bani Umayyah
Ayah: Abu Sufyan
Ibu: Hindun binti Utbah
Muawiyah bin abu Sufyan Ra menjadi orang besar sejak Rasulullah SAW masih hidup, yaitu
sebagai salah seorang penulis wahyu Al Quran. Di zaman kekhalifahan Abu Bakar ra, Muawiyah
ra adalah salah seorang panglima penting dalam penakhlukan Syam. Pada masa Umar Ra ,
Muawiyah ra telah muncul menjadi sosok yang unggul hingga khalifah Umar ra menyerahkan
Damaskus dan Ba’labak dibawah kepemimpinannya. Dan di masa Ustman ra, Muawiyah ra
meraih puncak pencapaian yang gemilang, berhasil menaklukan banyak wilayah di Syam, salah
satu pusat kekuatan Romawi paling kokoh saat itu.

Dan di masa itu pula , untuk pertama kali, umat Islam berhasil membentuk pasukan angkatan
laut yang hebat, dan ini sekali lagi adalah jasa Muawiyah ra. Ketika Ali bin Abi Thalib ra menjadi
khalifah, Muawiyah ra tidak mau berbaiat, Sikap Muawiyah ra ini kemudian memicu berbagai
peristiwa besar : Perang Shiffin, peristiwa Tahkim, munculnya Khawarij, munculnya agama
Syiah; yang hingga kini semua itu terus menjadi bahan kajian menarik.

Di antara gerakan jihad yang dilakukan Muawiyah adalah menghadapi Romawi Byzantium yang
berpusat di Konstantinopel, yang ketika itu adalah palang pintu benua eropa. Dan yang paling
spektakuler adalah keberhasilan Muawiyah ra menaklukan Afrika Utara seluruhnya. Kemudian
menaklukan ke arah timur hingga mencapai Khurasan, Sijistan dan negeri negeri seberang
sungai Jaihun.

Muawiyah telah mengabdikan hidupnya di jalan Allah selama empat puluh tahun; dua puluh
tahun sebagai Gubernur dan dua puluh tahun sebagai Khalifah, yang sepanjang masa itu penuh
dengan torehan jasa yang luar biasa bagi kaum muslimin. Di akhir hidupnya, ia membaiat
putranya Yazid. Di masa Yazid inilah cucu Nabi SAW al Husain bin Ali ra terbunuh.

Muawiyah diakui oleh kalangan Sunni sebagai salah seorang Sahabat Nabi, walaupun
keislamannya baru dilakukan setelah Mekkah ditaklukkan. Ada pendapat lain yang menyatakan
bahwa Muawiyah masuk Islam pada 7 H.

Kalangan Syi'ah sampai saat ini tidak mengakui Muawiyah sebagai khalifah dan Sahabat Nabi,
karena dianggap telah menyimpang setelah meninggalnya Rasulullah SAW. Ia diakui sebagai
khalifah sejak Hasan bin Ali, yang selama beberapa bulan menggantikan ayahnya sebagai
khalifah, berbai'at padanya. Dia menjabat sebagai khalifah mulai tahun 661 (umur 58–59 tahun)
sampai dengan 680.

Terjadinya Perang Shiffin makin memperkokoh posisi Muawiyah dan melemahkan


kekhalifahan Ali bin Abu Thalib, walaupun secara militer ia dapat dikalahkan. Hal ini adalah
karena keunggulan saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa
Al Asy'ari (kubu Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash,
Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan ulung. Muawiyah adalah sahabat yang
kontroversial dan tindakannya sering disalahartikan.
Asal-Usul Muawiyah
Nama Lengkap - Nama lengkap Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin
Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab Ia berasal dari bani (klan)
Umawiyah.

Kunyah - Muawiyah memiliki kunyah (nama panggilan atau julukan). Kunyah nya adalah Abu
Abdurrahman dan Al-Quraisyi al-Umawi Al-Makki.

Ciri Fisik Muawiyah


Muawiyah adalah laki-laki yang berperawakan tinggi, berkulit putih, tampan, dan penuh
wibawa. Umar bin Khattab juga berkata bahwa Muawiyah suka makan makanan yang lezat dan
bergaya seperti raja. Umar berkata begitu bukan bermaksud menjelekkan Muawiyah tapi hanya
menginformasikan ciri khas Muawiyah. Bisa dimengerti mengapa Muawiyah melakukan hal itu
karena ia memang berasal dari kabilah terpandang di masyarakat.

Sifat Muawiyah
Muawiyah adalah orang yang menyukai kebersihan

Keluarga Muawiyah
Orangtua Muawiyah - Ayahnya Muawiyah adalah Abu Sufyan bin Harb, seorang sahabat Nabi
Muhammad. Sedangkan ibunya adalah Hindun binti Utbah, seorang sahabiyah (sahabat
wanita) nabi Muhammad.

Harapan Orangtuanya - Saat kecil, Abu Sufyan pernah melihat Muawiyah yang sedang
merangkak, lalu berkata, "anakku ini berkepala besar, dia pantas memimpin kaumnya". Hindun
menjawab, "hanya memimpin kaumnya saja? Seharusnya ia memimpin bangsa Arab
seluruhnya"

Saudara-Saudara Muawiyah
Muawiyah memiliki beberapa saudara. Mereka adalah sebagai berikut:

 Yazid bin Abu Sufyan


 Utbah bin Abu Sufyan
 Anbasah bin Abu Sufyan
 Ummu Habibah binti Abu Sufyan
 Ummul Hakam binti Abu Sufyan
 Azzah binti Abu Sufyan
 Umaimah binti Abu Sufyan

Istri-Istri Muawiyah
Muawiyah memiliki beberapa orang istri. Ada yang diceraikannya dan ada pula yang meninggal.
Berikut adalah nama-nama mereka:

 Maisun binti Bahdal al-Kalbiyah. Muawiyah menceraikannya karena Maisun tidak betah
tinggal di istana Muawiyah yang besar dan lebih mencintai desanya.
 Fakhitah binti Qarazhah bin Abd Amr bin Naufal bin Abdi Manaf.
 Kanud binti Qarazhah. Kanud adalah saudara Fakhitah. Muawiyah menikahinya setelah
Fakhitah wafat. Dia lah yang bersama Muawiyah saat pembebasan Cyprus.
 Na'ilah binti Imarah al-Kalbiyah. Muawiyah mentalaknya karena sebuah persoalan.

Anak-anak Muawiyah
Muawiyah juga memiliki beberapa anak. Ini adalah nama-namanya yang tercatat:

 Yazid bin Muawiyah. Ia lahir dari Maisun binti Bahdal. Saat Muawiyah menceraikan
Maisun dan kembali ke desanya, Yazid mengikuti ibunya. Jadi, masa kecilnya dihabiskan
di desa ibunya, menghirup udara segar dan bahasa Arab fasih.
 Abdurrahman bin Muawiyah. Ibunya adalah Fakhitah. Abdurrahman meninggal sewaktu
masih kecil.
 Abdullah bin Muawiyah. Abdullah adalah anak dari Fakhitah. Ia anak yang terbelakang
mental dan sangat lemah.
 Ramlah binti Muawiyah. Setelah dewasa, Ramlah dinikahi oleh Amr bin Utsman bin Affan
 Hindun binti Muawiyah. Hindun ini kemudian dinikahi oleh Abdullah bin Amir
 Aisyah binti Muawiyah
 Atikah binti Muawiyah
 Shafiyyah binti Muawiyah

Masuk Islamnya Muawiyah


Pendapat yang terkenal mengatakan bahwa Muawiyah masuk Islam pada masa Penaklukkan
Makkah. Namun, Muawiyah sendiri mengatakan bahwa, "aku masuk Islam dalam peristiwa
Umrah Qadha tahun 7 H, tetapi aku menyembunyikannya dari bapakku". Hal itu dapat
dimengerti karena situasi saat itu masih mencekam. Selain itu posisi Muawiyah cukup sulit,
mengingat Abu Sufyan pada waktu itu masih kafir, bahkan Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy
dalam melawan Nabi Muhammad. Muawiyah juga ikut perang Hunain dan Nabi
Muhammad memberinya seratus unta dan 40 uqiyah emas dari harta rampasan perang Hunain.

Hadist Nabi tentang Muawiyah


"Ya Allah jadikanlah dia sebagai orang yang bisa memberikan petunjuk dan seorang yang diberi
petunjuk (Mahdi) dan berikanlah hidayah (kepada manusia) melaluinya.”

Hadist di atas adalah hadist shahih yang diriwayatkan oleh banyak ahli hadist dan
membicarakan tentang kebaikan Muawiyah

Muawiyah di Zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq


Zaman Abu Bakar adalah zaman kritis di mana benih kemurtadan mulai merebak. Abu
Bakar bertindak tegas dengan memerangi mereka. Muawiyah ikut salah satu pertempuran itu,
yakni Perang Yamamah, perang melawan Musailamah si nabi palsu. Setelah pemberontakan
internal selesai, kaum Muslimin mengalihkan pandangan mereka ke luar, yakni pembebasan
negeri di sekitar mereka dari pemimpin zalim. Abu Bakar mengirim pasukan ke banyak tempat,
salah satunya adalah Syam. Dalam kontingen pasukan Syam, ada salah satu pasukan yang
dikomandani oleh Muawiyah.
Muawiyah di Zaman Umar bin Khattab
Membuka Qaisariyah (Caesarea) - Qaisariyah (sekarang Caesarea) adalah kota dekat Tel
Aviv. Pada zaman Umar, Muawiyah ditugaskan untuk membebaskan kota ini. Namun, ternyata
Qaisariyah memilliki benteng pertahanan dan pasukan yang sangat kuat. Setelah Qaisariyah
dikepung dalam waktu cukup lama, Muawiyah pun berhasil menerobos kota tersebut. Dikatakan
prajurit Qaisariyah yang tewas mencapai 100.000 orang

Membuka Pesisir Syam - Mendengar keberhasilan saudaranya, Yazid bin Abu Sufyan yang
juga seorang Gubernur Damaskus, meminta Muawiyah untuk ikut membebaskan pesisir Syam.
Setelah bertarung melawan orang-orang Romawi, Muawiyah dan prajuritnya berhasil menang.

Menjadi Gubernur Yordania - Setelah Muawiyah membuktikan kekuatannya atas dua peristiwa
sebelumnya, Umar mengangkatnya sebagai Gubernur Yordania pada 17 H.

Menjadi Penguasa Damaskus, Ba'labak, dan Balqa - Saudara Muawiyah, Yazid bin Abu
Sufyan, meninggal karena wabah Tha'un pada 18 H. Sebagian ulama berpendapat Tha'un
adalah wabah pes, tetapi ada pula yang berpendapat Tha'un masih belum jelas termasuk
kategori penyakit apa. Untuk mengisi kekosongan, Umar bin Khattabmenugaskan Muawiyah
untuk menggantikan posisi saudaranya memimpin Damaskus, Ba'labak (Ballbek, Yordania), dan
Balqa (Yordania).

Membagi Pasukan Islam - Byzantium dan Persia terus menyerang daerah perbatasan
kekhalifahan. Untuk menahan hal itu, Muawiyah membagi pasukan menjadi dua, yakni pasukan
musim panas dan pasukan musim dingin. Selain itu, Muawiyah menutup celah-celah di kota-kota
perbatasan agar tak diserang. Muawiyah sempat memimpin penyerangan musim panas
melawan Byzantium di 22 H.

Membangun Angkatan Laut Islam - Mayoritas kaum Muslimin pada saat itu adalah orang Arab.
Mereka adalah orang-orang yang tidak akrab dengan laut. Namun, Muawiyah menyadari
pentingnya angkatan laut dan di zaman Umar ia mulai membangunnya. Sayangnya, Umar tidak
mengizinkan Muawiyah memakai angkatan laut karena ia tidak mau kaum Muslimin habis ditelan
laut (karena mereka tidak familiar dengan laut). Angkatan laut baru dipergunakan pada
zaman Utsman bin Affan untuk membebaskan Cyprus.

Muawiyah di Zaman Utsman bin Affan


Menjadi Gubernur Penuh Syam - Sebagaimana Umar, Utsman bin Affan tidak memakzulkan
Muawiyah. Bahkan, Utsman terus memberi Muawiyah kekuasaan sehingga Muawiyah menjadi
Gubernur daerah mayoritas Syam. Ia menguasai daerah yang sangat luas dan telah menjadi
gubernur Utsman yang paling berpengaruh. Di awal pemerintahan Utsman, di Syam ada
beberapa gubernur, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan, Umair bin Saad al-Anshari (Himsh),
dan Alqamah bin Khalid bin Walid (Palestina). Namun, karena Umair sering sakit-sakitan, ia
mengundurkan diri dari jabatannya. Utsman pun memberikan Himsh kepada Muawiyah. Setelah
itu Alqamah wafat, Utsman pun memberikan Palestina kepada Muawiyah. Hal ini membuat
Muawiyah menjadi gubernur Syam seluruhnya. Sampai akhir hayat Utsman, Muawiyah
mengontrol daerah Syam. Pada zaman modern, Syam meliputi Palestina, Yordania, Lebanon,
dan Syria -bisa dibayangkan seluas apa daerah kekuasaan Muawiyah.

Inspeksi Militer ke Perbatasan - Pada zaman Utsman, Muawiyah cukup banyak melakukan
inspeksi militer ke daerah perbatasan daerah kekuasaannya di Syam. Misalnya, pada 25 H ia
menuju Anthakiyah dan Tarsus, tahun 26 H ia kembali melakukannya. Tahun 31 H, Muawiyah
berangkat ke Daruliyah. Perbatasan yang berbentuk kepulauan ia serahkan penjagaannya
kepada Habib bin Maslamah. Muawiyah juga beberapa turun langsung memimpin pasukannya
sampai merambah celah bukit di Konstantinopel.
Pembebasan Cyprus

Setelah sebelumnya ditolak Umar, Muawiyah kali ini mencoba meyakinkan Utsman untuk
memakai angkatan laut demi membebaskan Qubrush (Cyprus). Utsman mengizinkannya dengan
memberi syarat:
-Muawiyah harus membawa istrinya
-Pasukan yang berangkat harus dengan kemauan sendiri. Jika ada yang tidak mau berangkat
maka tidak apa-apa

Pembebasan dimulai

Walaupun Muawiyah mempersilahkan masyarakat untuk memilih ikut ke Cyprus atau tidak,
kekhalifahan berhasil mengumpulkan armada hingga 1.700 kapal. Mereka tertarik karena
sebuah hadist dari Ummu Haram binti Milhan (istri sahabat Nabi Ubadah bin Shamit) yang
menyebutkan bahwa akan ada sekelompok dari umatnya yang "mengarungi laut seperti raja-raja
di singgasana". Pada 28 H (649 M) mereka pun berangkat. Di pelabuhan, Abdullah bin Qais al-
Jasi, panglima angkatan laut bermusyawarah dengan Muawiyah dan sahabat Nabi yang lain.
Pasukan segera mengepung ibukota Cyprus dan mengatakan mereka tidak datang untuk
mengambil-alih Cyprus, akan tetapi meminta mereka bekerjasama dengan kekhalifahan. Sebab
selama ini Cyprus menjadi daerah kekuasaan Byzantium sehingga menjadi duri dalam daging
kekhalifahan. Tidak butuh waktu lama, Cyprus pun menyerah dan menyetujui syarat-syarat
berikut:

 Bila Cyprus menyerang kaum Muslimin, ia tidak akan dibela lagi


 Cyprus harus mengabarkan gerak-gerik Byzantium
 Cyprus harus membayar jizyah kepada kekhalifahan sebesar 7.200 dinar per tahun
 Cprus tidak boleh mendukung Byzantium jika mereka menyerang kekhalifahan dan tidak
membocorkan rahasia kekhalifahan

Cyprus Mengingkari Perjanjian

Pada 32 H, Cyprus mengingkari perjanjian dengan kekhalifahan karena ditekan Byzantium. Kali
ini Muawiyah datang kembali dan mengambil-alih Cyprus. Setelah menguasai Cyprus, Muawiyah
menyadari bahwa ternyata Cyprus hanyalah pulau yang lemah. Tradisi militer mereka lemah
sekali dan sering dijadikan boneka oleh Byzantium. Oleh karena itulah, Muawiyah menempatkan
12.000 pasukan di Cyprus, mendirikan kota-kota baru, membereskan administrasi, menggaji
tentara, dan melindungi Cyprus dari serangan Byzantium.

Muawiyah Membantu Utsman Menghadapi Badai Ujian

Di akhir pemerintahannya, Utsman menerima cobaan yang berat. Ia dituduh macam-macam oleh
sebagian rakyatnya, mulai dari tuduhan menggelapkan harta, boros, mengangkat keluarganya
sendiri untuk menduduki jabatan penting, dan sebagainya. Di masa-masa ini, Muawiyah terus
membantu Utsman.

Mendebat Perusuh

Pada suatu hari di tahun 33 H, ada sekelompok orang yang mencari ribut di Kufah sampai
hampir menyulut pertempuran. Utsman yang mendengar itu menyuruh Said bin Al-Ash,
Gubernur Kufah, mengirim mereka ke Syam untuk bertemu Muawiyah. Utsmanmemerintahkan
Muawiyah untuk "memperingati mereka dengan tegas, membuat nyali mereka ciut, menakut-
nakuti mereka, dan mendidik mereka" agar tidak membuat kerusuhan lagi. Muawiyah pun
berkali-kali mendebat mereka dan berkali-kali pula menang. Di akhir debat mereka kalah dan
marah, lalu merenggut jenggot Muawiyah. Muawiyah pun mengancam mereka agar jangan
macam-macam terhadap dirinya. Ancaman itu membuat mereka mundur.
Muawiyah mengirim surat kepada Utsman dan mengatakan bahwa mereka "berbicara dengan
lidah setan". Utsman mengirim mereka ke Kufah kembali. Namun, karena mereka macam-
macam kembali, Utsman kemudian mengirim mereka ke Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid,
gubernur Himsh. Di sini mereka baru tidak berani macam-macam karena Abdurrahman adalah
anak Khalid bin al-Walid dan dia adalah seorang laki-laki yang berkarakter sangat keras seperti
ayahnya.

Muawiyah Mengikuti Forum Antar gubernur

Kerusuhan yang makin parah menyebabkan Utsman mengundang para gubernur dan sahabat
Nabi untuk berunding tentang apa yang harus dilakukannya terhadap para pemberontak ini. Di
forum ini, Muawiyah mengusulkan untuk segera mengirim pasukan ke mereka dan dia sendiri
akan mengatasi pemberontakan di Syam. Namun, Utsman lebih tertarik dengan perdamaian dan
tidak menerima usul Muawiyah.

Sebelum pulang kembali ke Syam, Muawiyah memperingatkan Utsman bahwa ia kemungkinan


akan segera dibunuh oleh pemberontak dan Muawiyah menawarkan pasukan Syam untuk
melindungi Utsman. Utsman mengatakan ia sudah tahu hal itu, tetapi ia menolak perlindungan
dari Muawiyah karena ia tidak mau merepotkan orang-orang Madinah atas kedatangan pasukan
Syam.

Sikap Muawiyah Atas Terbunuhnya Utsman

Para perusuh yang mencapai 500 orang sudah mencapai rumah Utsman. Para sahabat Nabi
mengirimkan anak-anak mereka untuk melindungi Utsman tetapi mereka kalah jumlah. Utsman
dibunuh dan para sahabat yang melindunginya terluka. Dan tidak ada satu orang sahabat Nabi
Muhammad yang terlibat dan menyetujui pembunuhan itu. Ummu Habibah binti Abu Sufyan
mengirimkan baju Utsman yang berlumuran darah ke tangan Muawiyah. Saat mendengar berita
pembunuhan itu, Muawiyah berpidato di depan penduduk Syam, bersumpah akan menuntut
balas kematiannya. Penduduk Syam sendiri bersumpah akan membantu Muawiyah dengan
mengorbankan nyawa mereka.

Muawiyah di Zaman Ali bin Abi Thalib


Inti Konflik Ali-Muawiyah - Setelah Utsman terbunuh, para sahabat sepakat untuk menghukum
qishash pelaku pembunuhan Utsman. Namun, mereka terbagi tiga kelompok tentang hal ini:

1. Pertama, mereka harus diqishash secepatnya sebelum baiat kepada Ali. Inilah pendapat
Muawiyah dan pendukungnya. Muawiyah berpendapat jika qishash ditunda,
pembunuhnya akan berbaur di kehidupan sehari-hari kaum Muslimin dan mereka akan
sulit dilacak. Lagipula, Muawiyah adalah wali Utsman dan di antara saudara-saudara
Utsman yang lain, Muawiyah lah yang kekuatannya paling besar.
2. Kedua, mereka harus diqishash tetapi setelah Ali bisa mengendalikan keadaan sehingga
tenteram kembali. Jika qishash dilaksanakan sekarang juga, maka akan berakibat
keadaan makin kacau. Para perusuh akan melipatgandakan tekanannya kepada
kekhalifahan. Ini adalah pendapat Ali dan pendukungnya. Mayoritas sahabat Nabi
menjadi pendukung Ali.
3. Ketiga, uzlah (mengasingkan diri). Ada sahabat-sahabat Nabi yang tidak mau terlibat
dalam permasalahan ini dan mereka pun pindah dari pusat konflik. Mereka tidak mau
berperang dengan saudara sesama mukmin. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Saad
bin Abi Waqqash, dan lainnya.
Inti dari permasalahan Ali-Muawiyah adalah perbedaan cara qishash ini. Muawiyah sendiri tidak
mengklaim bahwa dirinya khalifah umat Islam dan tidak berniat merebut kekhalifahan. Hanyasaja
ia dan penduduk Syam tidak mau baiat (sumpah setia) kepada Ali karena permasalahan
terbunuhnya Utsman tersebut. Ketika kita melihat kondisi zaman Ali lewat kacamata abad
modern, kita bisa dengan mudah menilai, tetapi bagi orang yang hidup di zaman itu, situasi pada
saat tersebut sangat pelik. Menurut mayoritas ulama, dalam persoalan rumit itu yang lebih
mendekati kebenaran adalah pendapat Ali karena bagaimanapun juga perdamaian negara lebih
diutamakan.

Muawiyah pernah ditanya, "Apakah kau penentang Ali?"

Muawiyah menjawab, "Tidak demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia
lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah dariku. Akan tetapi, sebagaimana yang
kalian ketahui bahwa Utsman dibunuh dalam keadaan teraniaya dan aku, sepupu Utsman, akan
menuntut darahnya. Datanglah kepada Ali dan katakan, 'serahkan para pembunuh Utsman
kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya"

Orang-orang segera menemui Ali dan mengatakan perkataan Muawiyah, tetapi Ali tidak
mengabulkannya

Perang Saudara

Karena situasi makin memanas, akhirnya terjadilah Perang Jamal dan Perang Shiffin antara
kubu Ali dan Muawiyah. Tebunuhnya Ammar bin Yasir menjadi kunci selesainya perang ini
karena Nabi Muhammad pernah mengabarkan bahwa yang membunuh Ammar adalah
kelompok pembangkang. Yang membunuh Ammar bin Yasir ternyata adalah Abu al-Ghadiyah
Al-Juhani dari pihak Muawiyah -ia bukanlah sahabat Nabi.

Terbunuhnya Ammar membuat kedua kelompok terguncang dan sepakat untuk berdamai.
Mereka juga mengkhawatirkan perbatasan yang sedang lemah dan kapan saja bisa diserang
oleh Persia dan Byzantium. Perjanjian damai ini dibuat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah
dengan kedua hakimnya adalah Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy'ari. Tidak seperti kabar yang
terkenal, Amr bin Ash tidak memakzulkan Ali.

Ali Terbunuh dan Sikap Muawiyah

Saat kabar tentang Ali yang terbunuh sampai kepada Muawiyah, ia menangis. Istrinya
berkata, "Kamu menangisi orang yang memerangimu?" Muawiyah menjawab, "Diam saja lah
kamu. Kamu tidak mengetahui berapa banyak manusia kehilangan keutamaan, fikih, dan ilmu
karena kematian beliau" Utbah berkata juga, "Jangan sampai orang-orang Syam mendengar hal
itu darimu". Muawiyah menghardik, "Kamu juga diam saja lah!"

Sikap Kita terhadap Konflik Ali-Muawiyah


Menurut mayoritas ulama, sikap Kaum Muslimin dalam menyikapi konflik Ali-Muawiyah adalah
meyakini bahwa mereka semua sedang berijtihad merespon situasi yang sangat pelik pada
masa itu. Di antara mereka ada yang benar dan mendapat dua pahala, tetapi di antara mereka
ada yang salah dan mendapat satu pahala. Kita tidak boleh membicarakan sahabat Nabi dengan
perasaan benci.

Anda mungkin juga menyukai