Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH FARMAKOLOGI

PENDAHULUAN FARMAKOLOGI I
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Farmakologi

Dosen Pengampu :
Arista Wahyu N, S.Farm., M.Si., Apt
Disusun Oleh:
1. Abid Ikhlas Attohir (16020200001)
2. Ega Nur Afifa (17020200017)
3. Ella Kusuma Wardhani (17020200019)
4. Milenia Rahmandani (18020200004)
5. Ghina Malikah (18020200005)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKES RUMAH SAKIT ANWAR MEDIKA
SIDOARJO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Farmakologi berasal dari kata Yunani yang artinya farmakon yang


berarti obat dalam makna sempit, dan makna luas adalah semua zat selain
makanan yang dapat mengakibatkan perubahan susunan atau fungsi
jaringan tubuh dan logos yang berarti ilmu.
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari
pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun
fisikanya, kegiatan patofisiologi, reabsorbsi, dan nasibnya dalam
organisme hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan
tubuh manusia khususnya, serta penggunaanya pada pengobatan penyakit
disebut farmakologi klinis.
Pada mulanya farmakologi mencakup berbagai pengetahuan
tentang obat yang meliputi sejarah, sumber, sifat-sifat fisika dan kimiawi,
cara meracik, efek toksiologi dan biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi,
distribusi, biotransformasi dan ekskresi, serta penggunaan oobat untuk
terapi dan tujuan lain.
Dalam bidang kedokteran, ilmu ini dibatasi tujuannya agar obat
dapat digunakan secara rasional untuk maksud pencegahan, diagnosis dan
pengobatan penyakit demi keamanan dan khasiat terapi yang diharapkan.
Penggunaan obat secara rasional yang dimaksudkan adalah pemberian
obat terhadap seorang pasien suatu penyakit dengan jenis penyakit dan
dosis serta cara penggunaannya, karena kesalahan pemberian obat dapat
berakibat fatal dan membahayakan jiwa seorang pasien. Kesalahan
pemberian obat yang sering terjadi mungkin disebabkan oleh kesalahan
diagnosis atau karena kurang diperhatikanya dosis dan cara pemakaian
obat yang sesuai dengan kondisi pasien. Hal ini disebabkan karena
banyaknya obat yang beredar sekarang ini khususnya di Indonesia,
sementara daya ingat manusia khususnya seorang dokter atau paramedis
non dokter mempunyai kapasitas yang terbatas untuk mengingat semua
jenis obat yang beredar, sehingga penggunaan obat kadang hanya bersifat
uji coba. Sifat uji coba ini justru akan menimbulkan efek samping negatif
yang merugikan baik bagi pasien maupun bagi dokter atau paramedis non
dokter itu sendiri. Untuk alasan tersebut di atas, maka perlu dibuat sebuah
sistem yang dapat membantu mendiagnosa penyakit dan menentukan obat
yang akan diberikan kepada pasien sebagai tindakan medis yang akan
ditempuh. Penentuan obat yang dimaksud di sini meliputi penentuan jenis
obat yang disesuaikan dengan kondisi pasien.
Sistem yang dapat melakukan tugas di atas termasuk dalam
kategori sistem pakar. Sistem pakar merupakan sistem yang dibuat untuk
meniru cara berpikir seorang pakar/ahli dalam memecahkan masalah.
Misalnya, meniru cara berpikir seorang dokter dalam mengidentifikasi
penyakit. Konsep sistem pakar bukanlah sebuah konsep yang baru.
Konsep ini muncul pertama kali pada pertengahan tahun 60-an. Saat ini,
sistem pakar telah diimplementasikan ke berbagai bidang, salah satu
diantaranya adalah bidang farmakologi.

1.2 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu dapat lebih memahami
tentang pendahuluan farmakologi, rute pemakaian obat, bentuk sediaan,
proses farmakokinetika yang mencakup proses ADME dimana proses itu
menjelaskan tentang absorbsi, distribusi, metabolisme, serta ekskresi obat
dalam tubuh.
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi
tentang pendahuluan farmakologi, rute pemakaian obat, bentuk sediaan,
proses farmakokinetika yang mencakup proses ADME dimana proses itu
menjelaskan tentang absorbsi, distribusi, metabolisme, serta ekskresi obat
dalam tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pendahuluan Farmakologi


Farmakologi dapat didefinisikan sebagai mata pelajaran tentang
substansi yang berinteraksi dengan yang hidup melalui proses kimia,
terutama terikat pada molekul-molekul pengatur, dan memacu atau
menghambat proses-proses tubuh yang normal. Substansi ini dapat berupa
bahan kimia yang menimbulkan efek terapeutik, bermanfaat bagi proses
kesembuhan pasien atau efek toksiknya dalam proses pengaturan pada
parasit yang menginfeksi manusia.
Farmakologi berbeda dengan farmasi yang merupakan satu profesi
atau disiplin ilmu yang lebih fokus pada pembuatan, penyediaan dan
pemberian obat. Farmakologi berhubungan dengan efek obat terhadap
sistem tubuh dan komponennya seperti sel, membran sel, organel-organel
sel, dan enzim, bahkan DNA. Sebagai akibatnya obat dapat dipelajari
pada berbagai tingkat organisasi atau yang lebih kompleks mulai dari
interaksi obat-obat dengan molekul target di dalam tubuh (biasanya
protein), seperti enzim-enzim, kanal-kanal ion atau reseptor-reseptor
untuk neurotransmitter, hormon dan lainnya, sampai efek obat pada
kelompok masyarakat tertentu. Para ahli farmakologi dengan itu sering
mengidentifikasikan diri mereka pada organisasi di tingkat mana mereka
mempelajari atau meneliti obat-obat. Prinsip-prinsip farmakologi juga
menyangkut toksikologi, yang mempelajari efek-efek toksik dari bahan-
bahan kimia termasuk obat. Apakah obat digunakan atau tidak untuk
pengobatan bila digunakan secara selektif untuk tujuan tertentu.
Farmakologi mempunyai cabang-cabang ilmu yang mempelajari
obat secara lebih spesifik. Cabang-cabang farmakologi adalah sebagai
berikut:
1. Farmakodinamik, adalah ilmu yang mempelajari cara kerja obat
dalam tubuh dan efek obat tersebut terhadap perubahan biokimia
tubuh.

2. Farmakokinetik, ialah ilmu yang mempelajari cara memberikan obat


agar tidak mengalami perubahan yang akan diakibatkan oleh obat di
dalam tubuh manusia dan cara mengobatinya keluar dari dalam tubuh.

3. Farmakoterapi, ialah ilmu farmakologi yang mempelajari batas


penggunaan obat yang tujukan untuk mencegah serta dapat mengobati
suatu penyakit sebelum penyakit tersebut menyerang tubuh manusia.

4. Farmakognosi, adalah cabang ilmu farmakologi yang mempelajari


sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber komposisi
obat.

5. Khemoterapi, adalah ilmu farmakologi yang mempelajari cara


mengobati penyakit yang diakibatkan karena jaringan mikroba
pathogen dengan menghancurkan dari dalam tubuh.

6. Toksikologi, adalah ilmu yang mempelajari racun dalam zat kimia


termasuk obat yang terkandung dalam obat di rumah tangga, industri,
ataupun lingkungan hidup lain. Dalam hal ini juga mempelajari cara
pencegahan, pengenalan dan penanggulangan kasus keracunan dalam
masyarakat sekitar.

7. Farmasi, adalah membidangi ilmu yang meracik/membuat suatu obat,


menyediakan dan menyimpan obat, memurnikan, menyempurnakan
dan menyajikan obat.

Dari cabang-cabang farmakologi di atas, farmakologi merupakan


ilmu yang mempelajari aspek yang sangat luas dan juga mencakup banyak
sekali bidang.

Antara lain bidang kimia, botani, fisiologi, patologi, mikrobiologi,


dan toksikologi. Dalam praktiknya, pembahasan tentang farmakologi
tidak jauh dari toksikologi dikarenakan hampir sesuai dengan teori
Paracelsus yaitu Dosis,Dosis adalah zat racun yang keluar dari suatu obat
yang dikarenakan mengonsumsinya berlebihan atau tidak sesuai aturan.
Istilah-istilah lain dalam farmakologi yang penting diketahui yaitu:
1. Mula kerja obat (onset of action)
Mula kerja obat adalah waktu yang tercatat atau dihitung antara
saat pemberian obat sampai saat obat mulai berefek (timbulnya efek
obat).
2. Lama kerja obat (duration of action)
Lama kerja obat adalah waktu antara saat obat berefek sampai
dengan obat tidak lagi memberikan efek.
3. Mekanisme kerja obat (mechanism of action)
Mekanisme kerja obat adalah proses yang dialami obat di
tempat kerjanya (reseptor) sebelum obat berefek.
4. Efek obat (drug action)
Efek obat adalah pengaruh obat terhadap tubuh (sebagai akibat
kerja obat pada sistem, organ, sel atau molekul dalam tubuh).
5. Efek samping (side effect)
Efek samping adalah efek yang timbul selain atau di samping
efek utama (efek yang dikehendaki atau efek terapeutik) obat. Disebut
juga sebagai adverse effect (efek yang merugikan).
6. Habituasi
Habituasi adalah ketergantungan terhadap obat yang bersifat
psikis.
7. Toleransi
Toleransi adalah keadaan dimana obat untuk memberikan efek
yang sama diperlukan dosis yang lebih besar dari obat tersebut. Hal ini
sering terjadi setelah pemberian obat yang berulang.
8. Takifilaksis (Tachyphylaxis)
Takifilaksis adalah toleransi yang terjadi secara cepat.
9. Adiksi
Adiksi adalah ketergantungan yang bersifat fisik dan psikis.
10. Alergi
Alergi adalah salah satu manifestasi efek samping (efek yang
tidak dikehendaki atau efek yang merugikan = adverse effect). Reaksi
yang terjadi bersifat imunologis. Reaksi dapat muncul dari yang paling
ringan (gatal-gatal kulit) sampai yang paling berat (shock).
11. Idiosinkrasi
Reaksi idiosinkrasi (idiosyncration reaction) adalah suatu
reaksi abnormal terhadap suatu zat kimia yang terjadi secara khusus
yang bersifat indivual. Respons idiosinkrasi dapat terjadi dalam bentuk
sensitivitas yang ekstrim terhadap dosis rendah atau sensitivitas
ekstrim terhadap dosis tinggi. Reaksi idiosinkrasi dapat diakibatkan
oleh faktor genetik yang menyebabkan perbedaan individu
farmakokinetik obat, farmakodinamik obat seperti interaksi reseptor
obat, atau dari variasi aktivitas enzim. Penggunaan informasi genetik
perlu untuk menjelaskan perbedaan individu dalam merespons obat
atau untuk menentukan takaran obat secara individual untuk pasien
dengan yang diketahui memiliki faktor genetik polimorfik sebagai
indikasi adanya faktor farmakogenetik.

2.2 Rute Pemakaian dan Bentuk Sediaan


1.3.1 Rute Pemakaian Obat
Dalam garis besarnya obat dapat diberikan dengan melalui
berbagai cara, namun penentuan dengan cara apa obat diberikan
kepada pasien sangat tergantung pada:
1. Keadaan umum penderita
2. Dalam hal ini apakah pasien sakit berat atau tidak, sadar atau tidak,
kooperatif atau tidak.
a. Kecepatan respons yang diinginkan.
b. Sifat obat (stabilitas terhadap asam lambung).
c. Tempat kerja obat.
Umumnya obat diberikan dengan cara oral. Obat-obat yang
diabsorpsi dari saluran cerna bagian atas akan berinteraksi dengan enzim
yang terdapat pada dinding saluran cerna dan oleh karena itu dapat
mengalami metabolisme. Rute pemberian selain atau diluar cara oral
dapat diberikan apabila:
a. Obat tidak stabil atau dengan cepat diinaktifasi pada saluran
cerna.
b. Kemampuan obat untuk diabsorpsi terhambat oleh karena
pasien mengalami muntah-muntah atau menderita satu penyakit
pada saluran cerna yang mempengaruhi absorpsi obat.
c. Karena efek terapeutik yang dibutuhkan dengan cara pemberian
local atau sistemik mengarah pada timbulnya efek yang
merugikan bila diberikan secara oral contohnya anestesi lokal.
Secara garis besar cara atau rute pemberian obat dibagi atas: (1)
enteral, (2) parenteral, (3) topikal, obat diabsorpsi lewat kulit atau
mukosa saluran nafas.
1. Secara Enteral
a. Cara Oral
Merupakan cara pemberian obat yang paling sering dilakukan.
Cara ini memiliki beberapa keuntungan antara lain mudah,
murah, lebih aman dan tidak memerlukan keahlian. Kekurangan
cara ini adalah karena banyak faktor yang memengaruhi kadar
obat aktif yang masuk ke dalam sirkulasi darah antara lain
destruksi lintas pertama (eliminasi lintas pertama di usus dan
dalam hati), stabilitas obat terhadap pH lambung, enzim saluran
cerna (degradasi oleh asam lambung), kelarutan obat, ukuran
partikel, perlambatan pengosongan lambung, dan berikatan
dengan unsur-unsur yang terdapat dalam makanan, serta
kemungkinan terjadinya interaksi dengan zat-zat atau obat lain.
Cara ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang nonkooperatif
(penurunan kesadaran, misalnya coma), dan mengalami
gangguan saluran cerna. Dosis yang mencapai sistem sirkulasi
dan tempat kerja kadang-kadang tidak kuat karena adanya
gangguan pada proses absorpsi seperti tersebut di atas. Penyulit
(komplikasi) pemberian obat oral adalah dapat menyebabkan
tersedak terutama dapat atau sering terjadi pada anak-anak.
b. Intragastrik
Obat dimasukkan langsung pada gaster atau lambung melalui
selang (sonde). Cara ini dilakukan pada pasien yang mengalami
kesulitan jika obat diberikan secara oral (mual, muntah) atau pada
pasien yang mengalami penurunan kesadaran.
c. Sublingual
Cara ini dilakukan jika diperlukan efek obat yang cepat
contohnya pemberian nitrogliserin pada pasien dengan penyakit
jantung koroner. Obat langsung disimpan dibawah lidah
disalurkan melalui vena sublingual dari mulut ke vena subclavia
dan masuk ke vena cava superior, masuk vena cava communis
langsung masuk ke jantung sebelah kanan (atrium kanan).
Keuntungan cara ini obat tidak mengalami metabolisme lintas
pertama dalam hati. Rute ini memiliki keuntungan tambahan
yaitu mencegah penghancuran obat oleh gangguan kondisi
lambung seperti pengaruh enzim usus atau pH rendah di lambung.
d. Buccal
Obat diletakkan diantara pipi dan gusi, obat langsung masuk ke
dalam aliran darah. Misalnya obat untuk mempercepat kelahiran
bila tidak ada kontraksi uterus. Contoh: Sandopart Tablet.
e. Rektal
Dengan cara ini obat dimasukkan melalui anus. Obat ini akan
mengalami absorpsi melalui jaringan vena sekitar rektum, yaitu
pleksus hemoroidalis kemudian obat masuk ke dalam vena
vetebralis. Contoh obat yang diberikan dengan cara ini adalah
preparat suppositoria pada penyakit hemoroid, obat bronkodilator
untuk obat penyakit asthma bronchiale, preparat analgesik untuk
mengatasi nyeri atau obat kejang. Cara ini memiliki keuntungan
yaitu menghindari pengaruh pH rendah di lambung dan atau
eliminasi lintas pertama di usus dan hati. Rute ini juga berguna
jika obat menginduksi muntah ketika obat diberikan secara per
oral atau jika pasien sedang mengalami muntah-muntah dengan
yang sering (frekuen).
2. Secara Parenteral
Pemberian obat parenteral digunakan untuk obat yang
absorpsinya buruk melalui saluran cerna dan untuk obat yang tidak
stabil di dalam saluran cerna yang dapat menyebabkan ketersediaan
hayati (bioavilabilitas) rendah. Cara parenteral memiliki keuntungan
natara lain cara ini dapat dilakukan pada pasien yang nonkooperatif,
pada kasus-kasus dimana diharapkan efek obat yang cepat, pada
keadaan dimana tidak mungkin diberikan dengan cara lain. Namun,
cara ini memiliki beberapa kerugian antara lain adalah pemberiannya
memerlukan keahlian karena relatif lebih sulit dilakukan dan
memerlukan keadaan steril, dan dapat mengalami kesulitan bila
pembuluh darah vena telah mengalami kolaps (dehidrasi berat) serta
biaya yang relatif lebih mahal.
Macam-macam rute pemberian secara parenteral yaitu:
a. Intravena (i.v): penyuntikan dilakukan ke dalam pembuluh darah
vena.
b. Intramuskular (i.m): penyuntikan dilakukan ke dalam otot.
c. Intraarteri (i.a): penyuntikan dilakukan ke dalam pembuluh nadi
(arteri).
d. Subkutan/hypodermal (s.c): penyuntikan dilakukan di bawah
lapisan kulit.
e. Intrakutan (i.c): penyuntikan dilakukan ke dalam lapisan kulit.
f. Intratekal: penyuntikan ke dalam rongga subarahnoid.
g. Intra lumbal: penyuntikan dilakukan ke dalam ruas tulang
belakang.
h. Intra peritoneal: penyuntikan dilakukan ke dalam ruang selaput
(rongga) perut.
i. Intra cardial: penyuntikan dilakukan ke dalam jantung.
j. Intra pleural: penyuntikan dilakukan ke dalam rongga pleura.
k. Intra articuler: penyuntikan dilakukan ke dalam celah-celah sendi.
3. Topikal
Obat diberikan pada kulit, membrane mukosa konjungtiva,
nasofaring, orofaring, saluran urogenital (vagina), usus besar (anus).
Obat dapat berupa krim, salep, suppositoria, tablet, ovula atau pacth.
Pemberian topikal diberikan jika suatu efek lokal obat diinginkan
untuk pengobatan. Jumlah obat yang diserap tergantung pada luas
permukaan kulit yang terpapar serta kelarutan obat dalam lemak
karena epidermis bertindak sebagai sawar lemak.
a. Kulit (percutan): obat diberikan dengan jalan mengoleskan pada
permukaan kulit, bentuk obat salep, cream dan lotio.
b. Inhalasi: obat disemprotkan untuk disedot melalui hidung atau
mulut dan penyerapan dapat terjadi pada selaput mulut,
tenggorokan dan pernafasan.
c. Mukosa mata dan telinga: obat ini diberikan melalui
selaput/mukosa mata atau telinga. Bentuknya obat tetes atau
salep.
d. Intra vaginal: obat diberikan melalui selaput lendir mukosa
vagina. Biasanya berupa obat antifungi atau pencegah
kehamilan.
e. Intra nasal: obat ini diberikan melalui selaput lendir hidung
untuk menciutkan mukosa hidung yang membengkak. Contoh:
Otrivin.
4. Transdermal
Cara pemakaian melalui permukaan kulit berupa plester, obat
menyerap secara perlahan dan kontinyu masuk ke dalam sistem
peredaran darah, langsung ke jantung.
5. Implantasi
Obat dalam bentuk pellet steril dimasukkan dibawah kulit
dengan alat khusus (trocar), digunakan untuk efek yang lama.

1.3.2 Bentuk Sediaan Obat


Dalam penggunaannya, obat mempunyai berbagai bentuk. Semua
bentuk obat mempunyai karakteristik dan tujuan tersendiri. Semua
diformulasikan khusus demi tercapainya efek terapi yang diinginkan.
Berikut beberapa bentuk sediaan obat, yaitu:
1. Aerosol adalah bentuk sediaan yang diberi tekanan, mengandung satu
atau lebih bahan aktif (terapeutik) bila diaktifkan pada saat sistem
katup yang sesuai akan memancarkan butiran-butiran cairan dan atau
bahan padat dalam media gas. Sediaan ini digunakan untuk
pemakaian topical pada kulit dan juga untuk pemakaian lokal pada
hidung (aerosol nasal), mulut (aerosol lingual), atau paru-paru
(aerosol inhalasi).
2. Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang
keras atau lunak yang dapat larut. Digunakan untuk pemakaian secara
oral. Umumnya dibuat dari gelatin.
3. Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan
atau tanpa bahan pengisi.
a. Tablet kempa: paling banyak digunakan, ukuran dapat bervariasi,
bentuk serta penandannya tergantung desain cetakan.
b. Tablet cetak: dibuat dengan cara memberikan tekanan rendah
pada massa lembab dalam lubang cetakan.
c. Tablet trikurat: tablet kempa atau cetak bentuk kecil umumnya
silindris, sudah jarang ditemukan.
d. Tablet hipodermik: dibuat dari bahan mudah larut atau melarut
sempurna dalam air. Dulu untuk membuat sediaan injeksi
hipodermik, sekarang diberikan secara oral.
e. Tablet sublingual: dikehendaki efek cepat (tidak lewat hati).
Digunakan dengan meletakkan tablet dibawah lidah.
f. Tablet buccal: digunakan dengan meletakkan diantara pipi dan
gusi.
g. Tablet effervescent: tablet larut dalam air, harus dikemas dalam
wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada etiket
tertulis “tidak untuk langsung ditelan”
h. Tablet kunyah: cara penggunannya dikunyah. Meninggalkan rasa
enak dirongga mulut, mudah ditelan, tidak meninggalkan rasa
pahit atau tidak enak.
4. Krim adalah sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih
bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.
5. Pil (pilulae) adalah bentuk sediaan padat bundar dan kecil
mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemkaian oral.
6. Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian
topikal pada kulit atau selaput lendir.
7. Emulsi adalah system dua fase yang salah satu cairannya terdispersi
dalam cairan lain dalam bentuk tetesan kecil.
8. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia hewani atau tumbuhan dengan menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hamper semua pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat baku yang ditetapkan.
9. Gel (jeli) adalah sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat
dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,
terpenetrasi oleh suatu cairan.
10. Imunoserum adalah sediaan yang mengandung
immunoglobulin khas yang diperoleh dari serum hewan dengan
pemurnian.
11. Implant atau pellet adalah sediaan dengan massa padat steril
berukuran kecil, berisi obat dengan kemurnian tinggi (dengan atau
tanpa eksipien), dibuat dengan cara penempaan atau pencetakan.
Implant atau pellet digunakan dengan cara ditanam di dalam tubuh
(biasanya ditanam secar asubkutan) dengan tujuan untuk
memperoleh pelepasan obat secara berkesinambungan dalam jangka
waktu lama.
12. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekskresi
simplisia nabati dengan air pada suhu 90C selama 15 menit.
13. Inhalasi adalah sediaan obat atau larutan atau suspensi yang terdiri
atas satu atau lebih bahan yang diberikan melalui saluran nafas
(hidung) atau mulut untuk memperoleh efek lokal atau sistemik.
14. Injeksi arti luas adalah sediaan obat steril bebas pirogen dengan
tujuan diberikan secara parenteral.
15. Irigasi adalah larutan steril yang digunakan untuk mencuci atau
membersihkan luka terbuka atau rongga-rongga tubuh secara topical.
16. Lozenges atau tablet hisap adalah sediaan padat mengandung satu
atau lebih bahan obat, umumnya dengan bahan dasar beraroma dan
manis yang dapat membuat tablet melarut atau hancur perlahan
dalam rongga mulut.
17. Sediaan obat mata
a. Salep mata adalah salep steril yang digunakan pada mata.
b. Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing yang
merupakan sediaan dibuat dan dikemas sedemikian rupa sehingga
sesuai untuk digunakan pada mata.
18. Pasta adalah sediaan semi padat yang mengandung satu atau lebih
bahan obat yang ditujukan untuk pemakaian topikal.
19. Plester adalah bahan yang digunakan untuk pemakaian luar terbuat
dari bahan yang dapat melekat pada kulit dan menempel pada
pembalut.
20. Serbuk adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang
dihaluskan, berupa serbuk yang tak terbagi (pulvis).
21. Solution atau larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau
lebih zat kimia yang terlarut. Jenis larutan: larutan oral adalah sediaan
cair yang digunakan untuk pemberian oral, yang termasuk dalam
larutan oral, yaitu:
a. Sirup adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain
kadar tinggi
b. Eliksir adalah larutan oral yang mengandung etanol sebagai
pelarut.
c. Larutan topikal yaitu sediaan cair yang dibuat dan disediakan
untuk penggunaan topikal pada kulit atau mukosa.
d. Larutan otik adalah sediaan cair yang dibuat untuk penggunaan
pada telinga.
e. Larutan optalmik adalah sediaan cair yang digunakan pada mata.
f. Spirit adalah larutan mengandung etanol atau zat yang mudah
menguap, umumnya merupakan larutan tunggal atau campuran
bahan.
g. Tingtur adalah larutan mengandung etanol atau hidroalkohol
dibuat dari tumbuhan atau senyawa kimia.
22. Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk
yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh,
melunak atau melarut pada suhu tubuh.
23. Obat tetes (guttae) adalah sediaan cair berupa larutan, emulsi atau
suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau luar. Sediaan obat tetes
dapat berupa antara lain: guttae (obat dalam), guttae oris (tetes
mulut), guttae auriculares (tetes telinga), guttae nasales (tetes
hidung), dan guttae opthalmicae (tetes mata).

2.3 Farmakokinetika (ADME)


Farmakokinetik adalah suatu proses yang dialami obat sejak
pemberian sampai obat dikeluarkan dari dalam tubuh. Studi
farmakokinetik obat diperlukan dalam menilai keamanan dan
kemanjuran. Bidang utama yang dipertimbangkan adalah absorpsi,
distribusi, metabolism dan ekskresi. Obat yang masuk kedalam tubuh
melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi,
distribusi dan pengikatan oleh protein plasma sebelum sampai ke tempat
kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan satu atau tanpa proses
biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh, melalui organ
ekskresi.
Dalam praktek terapeutik, suatu obat harus dapat mencapai tempat
kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan jalur yang terbaik.
Dalam beberapa hal, obat dapat diberikan langsung pada tempatnya
bekerja, seperti pemberian topikal obat anti–inflamasi pada kulit atau
membrane mukosa yang radang. Lebih umum lagi, obat diberikan ke
dalam kompartemen tubuh, misalnya, usus dan mesti berpindah ke
tempatnya bekerja yaitu kompartemen yang lain misalnya otak. Dalam
hal ini obat harus di absorpsi ke dalam darah dari tempat pemberiannya
dan didistribusikan ke tempatnya bekerja, melalui permeasi berbagai
penghambat yang memisahkan kompartemen ini. Obat yang diberikan per
oral untuk mendapatkan efek di sususan saraf pusat, perlu melewati sawar
seperti jaringan dinding usus dan “sawar otak darah” yaitu dinding kapiler
yang mengaliri otak. Akhirnya, sesudah memberikan efek, obat harus
dikeluarkan dengan kecepatan tertentu melalui inaktifasi metabolic,
melalui ekskresi dari tubuh atau gabungan kedua proses ini.

2.4 Absorpsi
Absorpsi adalah proses transportasi obat dari tempat pemberian ke
dalam sirkulasi darah, menyangkut juga kelengkapan dan kecepatan
proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen (%) dari jumlah
obat yang diberikan. Kecepatan dan efisiensi absorpsi tergantung pada
cara pemberian tetapi secara klinik yang lebih penting adalah ketersediaan
hayati (bioavailabilitas). Bioavailabilitas secara definitif menyatakan
jumlah obat dalam persen (%) dari dosis yang mencapai sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh atau aktif terhadap dosis obat yang diberikan selain
pemberian intravena. Pada pemberian obat secara intravena absorpsi
terjadi secara sempurna yaitu dosis total obat seluruhnya yang diberikan
akan mencapai sirkulasi sitemik. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus
halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari
vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka
absorpsi juga berkurang.
Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan
hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim
pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan
dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat
tidak memerlukan energi untuk menembus membrane. Absorpsi aktif
membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan
konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat
menembus membran. Pinositosis berarti membawa obat menembus
membran dengan prosen menelan.
Absorpsi paling banyak jumlahnya melalui mukosa usus halus
yang ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Cara pemberian obat
Cara pemberian obat, akan menentukan tempat terjadinya absorpsi dan
selanjtnya akan menentukan kapasitas dan intensitas absorpsi.
2. Bentuk obat
Bentuk obat akan menentukan kecepatan absorpsi. Dengan demikian,
bentuk obat yang secara fisik besar memerlukan waktu disintegrasi
lebih lama dibandingkan dengan obat yang berukuran lebih kecil yang
memiliki sifat yang sama.
3. Sifat obat
Sifat obat yang bersifat lipofilik akan lebih mudah diserap dari saluran
cerna melalui membran biologik, dibandingkan dengan obat yang
bersifat hidrofilik. Demikian obat yang lipofilik juga akan lebih mudah
diserap oleh sel saraf dibandingkan dengan obat yang bersifat
hidrofilik.
4. Kondisi tempat absorpsi
Kondisi tempat absorpsi obat, sangat berpengaruh pada intensitas
maupun kapasitas absorpsi.
5. Luas permukaan absorpsi
Luas permukaan absorpsi sama halnya dengan kondisi tempat
absorpsi, sangat mempengaruhi intensitas maupun kapasitas absorpsi,
luas permukaan absorpsi berbanding lurus dengan intensitas dan
kapasitas absorpsi. Makin luas permukaan absorpsi akan makin baik
dan makin tinggi intensitas dan kapasitas absorpsi.

6. Sirkulasi
Aktivitas sirkulasi memengaruhi kecepatan, kontinuitas serta kapasitas
absorpsi obat. Sirkulasi berperan dalam transportasi obat, cairan darah
yang kurang akan memperlambat absorpsi obat dari tempat pemberian.
Selain itu, absorpsi dapat dipengaruhi juga oleh aliran darah, rasa
nyeri, stress, kelaparan, makanan dan pH. Rasa nyeri, stress, dan makanan
yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan
lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung.
Beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik
setelah absorpsi tetapi melewati lumen usus masuk ke dalam hati, melalui
vena porta. Di dalam hati, kebanyakan obat di metabolisasi menjadi
bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah
obat yang aktif. Proses ini dimana obat melewati hati terlebih dahulu
disebut sebagai efek first-pass, atau first-pass hepatic. Contoh-contoh
obat dengan metabolisme first-pass adalah warfarin (Coumadin) dan
morfin. Lidokain dan nitrogliserin tidak diberikan secara oral karena
kedua obat ini mengalami metabolisme first-pass yang luas, sehingga
sebagian besar dari dosis yang diberikan akan dihancurkan.

2.5 Proses Distribusi


Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh
melalui sirkulasi darah. Distribusi adalah proses penyampaian obat ke
tempat kerjanya. Kecepatan obat terdistribusi dipengaruhi oleh aliran
darah, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek
pengikatan dengan protein. Distribusi obat dibedakan atas dua fase
berdasarkan penyebarannya dalam tubuh, yaitu:
1. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke
dalam organ yang perfusinya sangat baik. Misalnya jantung, hati,
ginjal, dan otak.
2. Distribusi fase kedua yang jauh lebih luas, yaitu mencakup jaringan
yang perfusinya tidak sebaik organ diatas misalnya otot, visera, kulit
dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah
mencapai waktu yang relatif lama.
Aliran darah berperan dalam distribusi obat karena setelah
terjadinya proses absorpsi, distribusi obat akan terganggu. Jika terjadi
gangguan dalam sirkulasi darah. Obat yang terikat dengan zat-zat tertentu
misalnya protein plasma albumin maupun globulin akan terhambat
distribusinya untuk menuju ke jaringan atau sel.
Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan
protein yang bersifat aktif dan dapat menimbulkan respons farmakologik.
Dengan menurunnya kadar obat bebas dalam jaringan, maka lebih banyak
obat yang berada dalam ikatan dibebaskan dari iktannya dnegan protein
untuk menjaga keseimbangan dari obat yang dalam bentuk bebas.
Jika ada dua obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan
bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat
pengikatan dengan protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang
dilepaskan ke dalam sirkulasi. Demikian pula, kadar protein yang rendah
menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga
meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam
hal ini kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat
berdasarkan persentase dimana obat itu berikatan dengan protein.
2.6 Biotransformasi (Metabolisme Obat)
Metabolisme atau biotransformasi adalah proses yang menjadikan
metabolit obat menjadi lebih polar, inaktif dan siap diekskresikan. Pada
proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya menjadi lebih
mudah larut dalam air dan lebih kurang larut dalam lemak sehingga lebih
mudah diekskresi melalui ginjal. Metabolisme obat dikategorikan ke
dalam atau menjadi dua fase:
1. Fase 1, disebut fase fungsional, terdiri dari oksidasi dan reduksi dan
reaksi hidrolisis yang melibatkan gugus kimia obat, yang
mengakibatkan peningkatan polaritas (kelarutan dalam air). Beberapa
gugus fungsional juga menyediakan tempat untuk reaksi fase 2.
2. Fase 2 merupakan reaksi biosintesis atau konjugasi.
Fase 1 merupakan fase pemasukan gugus fungsi pada molekul induk.
Reaksi ini menghilangkan aktivitas farmakologis obat, namun ada juga
yang tetap memperlihatkan aktivitas atau peningkatan aktivitas. Reaksi
fase 2 meyebabkan pembentukan ikatan kovalen antara gugus fungsi
pada senyawa metabolit atau fase 1 dengan turunan endogen asam
glukoronat, sulfat, glutation, asam amino, atau asam asetat. Konjugat
yang sangat polar ini umumnya tidak efektif dan dengan cepat
diekskresi melalui urin dan feses. Contoh metabolit aktif adalah
metabolit morfin yaitu 6-glukoronida yang memiliki efek analgesik
melebihi kekuatan induknya. Proses reaksi fase 2 juga biasanya
meningkatkan kelarutan obat dalam air dan memudahkan ekskresinya
dari tubuh.
Klasifikasi yang lain, metabolisme terdiri atas:
1. Oksidasi
Merupakan reaksi yang paling sering terjadi pada metabolisme.
Oksidasi adalah proses penambahan oksigen dan penghalangan
hydrogen dari obat. Oksidasi terbagi atas oksidasi mikrosomal dan
oksidasi non-mikrosomal.
a. Oksidasi Mikrosomal
Melibatkan enzim pada membran (membrane associated enzyme)
yang terletak pada retikulum endoplasma yang terdapat pada
berbagai organ terutama hati dan bertanggung jawab terhadap
proses oksidasi obat. Contoh : oksidasi atau hidrolisis karbon dari
senyawa alifatik dan aromatik.
b. Oksidasi Non-Mikrosomal
Enzim yang larut dalam sitosol atau mitokondria bertanggung
jawab terhadap metabolisme, beberapa senyawa enzim ini yang
aktif sangat penting perannya. Contoh : Monoamino oxide yang
berperan penting pada metabolisme katekolamin dan serotonin.
2. Reduksi
Reduksi terjadi baik pada sistem metabolisme mikrosomal maupun
metabolisme non-mikrosomal. Reaksi reduksi lebih jarang terjadi
dibandingkan oksidasi. Contoh : reduksi gugus nitro dan azide.
3. Hidrolisis
Hidrolisis non-mikrosomal terjadi pada berbagai sistem tubuh
termasuk di dalam plasma dan telah diidentifikasi. Contoh :
peptidisasi, fosfatisasi, amidasi beberapa obat seperti prokainamid dan
nikotinamid.
4. Konjugasi
Konjugasi adalah proses pengikatan obat atau metabolitnya dengan
substrat endogen umumnya sifat anorganik, gugus metil, asam amino
atau karbohidrat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat sebagai berikut:
a. Faktor sifat kimia
Obat dapat mengalami metabolisme dengan cepat atau lambat.
Beberapa preparat obat yang berasal dari satu golongan
dimetabolisme dengan menghasilkan metabolit yang sama akan tetapi
beberapa preparat yang lain untuk menghasilkan metabolit yang sama
harus melalui reaksi antara sehingga memperlambat proses
metabolisme.
b. Cara pemberian obat
Pemakaian obat secara oral dapat meningkatkan metabolisme obat di
dalam hati misalnya beberapa jenis obat yang mengalami
metabolisme lintas pertama.
c. Faktor genetik
Beberapa perbedaan dalam metabolisme telah ditunjukkan pada
kelompok orang yang mmeiliki faktor genetic yang berbeda.
Perbedaan ini kadang kala perlu diperhitungkan pada pengobatan grup
pasien tertentu.
d. Diet
Kelaparan dapat menurunkan persediaan glisin dan meningkatkan
konjugasi glisin.
e. Kandungan obat atau senyawa obat
Kandungan obat atau senyawa obat sangat berpengaruh terhadap
proses metabolisme obat tertentu. Ada obat yang sangat cepat
mengalami metabolisme sementara obat lain lebih lambat karena
mengalami metabolisme.
f. Dosis
Dosis toksis dapat menurunkan kebutuhan enzim untuk terjadinya
reaksi detoksifikasi.
g. Usia
Pada fetus dan bayi prematur enzim metabolisme di hati kurang.
Enzim-enzim metabolisme obat juga kurang dibandingkan dengan
bayi cukup umur (full term). Karena itu terapi pada bayi prematur sulit
terutama bila harus diberikan obat multi drug therapy. Bayi tidak
mendetoksifikasi obat-obat tertentu seperti kloramfenikol, tidak
seperti halnya yang terjadi pada orang dewasa. Sebagai tambahan
fungsi ginjal belum sepenuhnya berkembang pada bayi sehingga
mengakibatkan eliminasi obat melalui ginjal sering mengalami
gangguan. Beberapa pertimbangan yang perlu pada pemberian obat
pada pasien usia lanjut.
 Penyakit kronis, yang sering kali mengundang penggunaan obat
yang majemuk (multiple drug). Akibatnya terjadi kompetisi
terhadap enzim cytochrome-P450.
 Kadar protein plasma (albumin) menurun pada usia lanjut,
menyebabkan penurunan ikatan protein, sedangkan obat bebas
meningkat dalam darah.
 Massa tubuh berkurang sehingga volume distribusi obat akan
berubah.
 Penurunan berat hati sehingga eliminasi pre sistemik obat akan
berkurang.
h. Interaksi obat
Pemberian obat-obat yang diberikan secara bersamaan dapat
menguntungkan atau merugikan dan dalam istilah farmakologi
disebut dengan interaksi obat.
i. Jenis kelamin
Contoh pengaruh jenis kelamin yaitu pada kaum laki-laki muda efek
sedasi oleh barbiturat lebih nyata, disbanding kaum perempuan.
j. Penyakit
Kondisi organ tempat metabolisme berlangsung sangat memengaruhi
proses metabolisme. Seperti diketahui bahwa hati merupakan organ
utama yang berperan pada metabolisme sehingga gangguan fungsi
hati akan menurunkan kemampuan metabolisme obat dan dapat
meningkatkan kadar obat dalam darah.
k. Spesies
Penentuan hasil percobaan hewan tidak selalu sesuai dengan yang
terjadi pada manusia.
l. Ritme sirkadian
Pada tikus dan mencit kecepatan metabolisme beberapa obat
mengikuti ritme diurnal. Hal ini mungkin terjadi seperti yang terjadi
pada manusia. Beberapa jenis obat memiliki sifat yang sulit untuk
mengalami metabolisme.

2.7 Ekskresi
Ekskresi adalah proses pengeluaran obat dari dalam tubuh. Obat
dieliminasi dari dalam tubuh dalam bentuk molekul utuh atau bentuk
metabolitnya melalui proses ekskresi. Obat dieliminasi melalui berbagai
organ atau cairan tubuh yaitu ginjal, empedu, paru-paru, kelenjar air mata,
kelenjar keringat, air susu sedangkan ginjal merupakan organ ekskresi
utama.
Ekskresi obat dan metabolitnya melalui urin berlangsung dalam
tiga tahap, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif melalui tubulus dan
reabsorpsi pasif di tubulus ginjal. Adanya gangguan pada fungsi ginjal
akan berpengaruh pada ketiga proses tersebut. pH urin mempengaruhi
ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang asam
meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin,
suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin basa. Jika
seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat
dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa.
1. Eliminasi obat melalui ginjal
Eliminasi obat melalui ginjal terbagi melalui 3 tahap proses, yaitu:
a. Filtrasi Glomeruli
Obat masuk ke dalam ginjal melalui arteria renalis yang terdapat
pada kedua ginjal. Kemudian masuk ke dalam tapsula Bowman
yang terbentuk dari anyaman kapiler dalam glomeruli. Obat
bebas mengalir melalui celah kapiler ke dalam ruang Bowman
sebagai filtrat glomeruli. Kecepatan filtrasi glomeruli = 125 ml
per menit dan ini merupakan 20% dari aliran plasma ginjal (600-
750 ml/menit).
b. Sekresi Tubuli Proksimal
Obat yang tidak ditransfer ke dalam filtrat glomeruli
meninggalkan glomeruli melalui arterion eferen yang membagi
diri membentuk suatu anyaman kapiler yang mengelilingi lumen
nefron di tubulus proksimal. Sekresi terutama terjadi di tubuli
proksimal oleh dua sistem transport aktif yang membutuhkan
energi, satu untuk transport anion-anion (misalnya bentuk asam-
asam lemah diprotonasi) dan satu untuk kation-kation (bentuk
basa lemah terprotonasi). Setiap sistem transport ini
menunjukkan suatu spesivitas yang rendah dan dapat menjadi
transport banyak persenyawaan. Jadi kompetisi diantara obat-
obat untuk mengikat karier dapat etrjadi di dalam setiap sistem
transport tersebut.
c. Reabsorpsi Tubuli Distal
Begitu suatu obat bergerak menuju tubuli distalis konsentrasinya
meningkat dan melampaui konsentrasi di luar perivaskuler. Obat
tersebut jika tidak bermuatan bias berdifusi ke luar lumen
kembali ke dalam sirkulasi sistemik. Manipulasi pH urin untuk
meningkatkan ionisasi obat dalam lumen bisa digunakan untuk
mengurangi jumlah obat yang berdifusi kembali ke sirkulasi
sistemik dan karenanya meningkatkan bersihan obat yang tidak
diinginkan.
2. Peranan metabolisme obat terhadap eliminasi obat
Untuk meminimalkan reabsorpsi obat diubah oleh tubuh menjadi
lebih polar dengan menggunakan dua jenis reaksi:
a. Reaksi fase I, yang melibatkan penambahan gugusan hidroksil atau
menghilangkan gugusan-gugusan hidroksil, karboksil atau amino.
b. Reaksi fase II, yang menggunakan konjugasi dengan sulfat, glisin,
atau asam glukoronat untuk meningkatkan polaritas obat. Konjugat-
konjugat yang dihasilkan adalah molekul-molekul yang terionisasi
dan bermuatan listrik dan tidak dapat berdifusi ke luar lumen ginjal.
3. Ekskresi ginjal
Ekskresi obat melalui ginjal termasuk ke dalamnya proses filtrasi dan
sekresi. Filtrasi terjadi pada glomerulus ginjal, sekresi terjadi
sepanjang nefron. Proses ekskresi beberapa obat akan menurun jika
terjadi gangguan fungsi ginjal. Ekskresi pada ginjal dari kebanyakan
obat akan berhubungan dengan kemampuan ginjal dalam
mengekskresi kreatinin.
Peningkatan volume urin juga dapat meningkatkan pengeluaran (obat)
melalui ginjal disebabkan waktu kontak dengan permukaan lumen
tubuli ginjal menurun karena itu mengurangi waktu reabsorpsi dari
molekul yang tidak terionisasi.
4. Ekskresi saluran pencernaan
Melalui sistem transportasi yang mirip ginjal, obat dan metablitnya
diekskresikan ke dalam empedu, sekresi ini berlangsung melalui aliran
darah ke lumen usus dan terjadi proses daur ulang enteropatik yang
dapat memperpanjang keberadaan dan efek obat dalam tubuh sebelum
dieliminasi melalui jalur lain.
5. Ekskresi paru-paru
Obat yang mudah menguap akan diekskresi melalui paru-paru. Jalur
ini adalah jalur utama untuk anestesi yang terdapat pada fase gas atau
uap. Beberapa zat anestetik diberikan dan meninggalkan tubuh melalui
paru-paru, memudahkan zat anestetik terkontrol dengan mudah dengan
mengatur konsentrasi zat anestetik yang terdapat dalam campuran
udara inhalasi. Ekskresi zat yang melalui paru-paru, dapat
memudahkan pengawasan kadar tidal-volume yang terdapat dalam
udara ekspirasi sebagai indeks tingkat anesthesia. Etanol diekskresi
dalam jumlah kecil melalui paru-paru. Namun demikian, secara
kuantitatif rute ekskresi ini tidak memiliki nilai penting, karena itu
bukan merupakan metode yang tepat untuk menentukan kadar etanol
untuk tujuan yang dikaitkan dengan masalah hukum.
KESIMPULAN

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Farmakologi berhubungan dengan


efek obat terhadap sistem tubuh dan komponennya seperti sel, membran sel,
organel-organel sel, dan enzim, bahkan DNA.
Studi farmakokinetik obat diperlukan dalam menilai keamanan dan
kemanjuran. Bidang utama yang dipertimbangkan adalah absorpsi, distribusi,
metabolism dan ekskresi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Cabang Farmakologi dan Sejarah Farmakologi Secara


Lengkap, https://duniapendidikan.co.id/farmakologi-cabang-
farmakologi-dan-sejarah-farmakologi-secara-lengkap/, diakses 12
Oktober 2019
Anonim, 2018, Rute-Rute Pemberian Obat Kepada Pasien,
https://biasamembaca.blogspot.com/2018/07/rute-rute-pemberian-
obat-kepada-pasien.html, diakses 12 Oktober 2019
Anonim, 2016, Macam-Macam Obat dan Tujuan Penggunaannya,
https://dinkes.bantulkab.go.id/berita/463-macam-macam-obat-dan-
tujuan-penggunaannya, diakses 12 Oktober 2019
dr. M. Djamaludin, MG., Sp.Fk., M.Kes., 2017. Pengantar
Farmakologi. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Prof. Dr. H. Azwar Agoes. 1995. Farmakologi Dasar Dan Klinik.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Joyce L.Kee, Evelyn R. Hayes. 1994. Farmakologi Pendekatan Proses
Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Putri, Y.K.,& Rusdiana, T. 2016. Perbandingan Berbagai Interaksi
Obat Denagn Herbal: Article Review. Jurnal Farmaka Volume 14
Nomor 1:207.
Riyanti, S., S.Si., M.Pd., Apt., dkk. 2012. Farmakologi Kelas X. Divisi
Buku Pendidikan: Jakarta Timur.
Wulandari, D., S.Farm., Apt. 2016. Farmakologi Jilid I. Divisi Buku
Pendidikan: Jakarta Timur.
Wulandari, D., S.Farm., Apt. 2016. Farmakologi Jilid II. Divisi Buku
Pendidikan: Jakarta Timur.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai