PENDAHULUAN FARMAKOLOGI I
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Farmakologi
Dosen Pengampu :
Arista Wahyu N, S.Farm., M.Si., Apt
Disusun Oleh:
1. Abid Ikhlas Attohir (16020200001)
2. Ega Nur Afifa (17020200017)
3. Ella Kusuma Wardhani (17020200019)
4. Milenia Rahmandani (18020200004)
5. Ghina Malikah (18020200005)
1.2 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu dapat lebih memahami
tentang pendahuluan farmakologi, rute pemakaian obat, bentuk sediaan,
proses farmakokinetika yang mencakup proses ADME dimana proses itu
menjelaskan tentang absorbsi, distribusi, metabolisme, serta ekskresi obat
dalam tubuh.
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi
tentang pendahuluan farmakologi, rute pemakaian obat, bentuk sediaan,
proses farmakokinetika yang mencakup proses ADME dimana proses itu
menjelaskan tentang absorbsi, distribusi, metabolisme, serta ekskresi obat
dalam tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.4 Absorpsi
Absorpsi adalah proses transportasi obat dari tempat pemberian ke
dalam sirkulasi darah, menyangkut juga kelengkapan dan kecepatan
proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen (%) dari jumlah
obat yang diberikan. Kecepatan dan efisiensi absorpsi tergantung pada
cara pemberian tetapi secara klinik yang lebih penting adalah ketersediaan
hayati (bioavailabilitas). Bioavailabilitas secara definitif menyatakan
jumlah obat dalam persen (%) dari dosis yang mencapai sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh atau aktif terhadap dosis obat yang diberikan selain
pemberian intravena. Pada pemberian obat secara intravena absorpsi
terjadi secara sempurna yaitu dosis total obat seluruhnya yang diberikan
akan mencapai sirkulasi sitemik. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus
halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Jika sebagian dari
vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari usus halus, maka
absorpsi juga berkurang.
Obat-obat yang mempunyai dasar protein, seperti insulin dan
hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-enzim
pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan
dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Dengan proses difusi, obat
tidak memerlukan energi untuk menembus membrane. Absorpsi aktif
membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan
konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat
menembus membran. Pinositosis berarti membawa obat menembus
membran dengan prosen menelan.
Absorpsi paling banyak jumlahnya melalui mukosa usus halus
yang ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Cara pemberian obat
Cara pemberian obat, akan menentukan tempat terjadinya absorpsi dan
selanjtnya akan menentukan kapasitas dan intensitas absorpsi.
2. Bentuk obat
Bentuk obat akan menentukan kecepatan absorpsi. Dengan demikian,
bentuk obat yang secara fisik besar memerlukan waktu disintegrasi
lebih lama dibandingkan dengan obat yang berukuran lebih kecil yang
memiliki sifat yang sama.
3. Sifat obat
Sifat obat yang bersifat lipofilik akan lebih mudah diserap dari saluran
cerna melalui membran biologik, dibandingkan dengan obat yang
bersifat hidrofilik. Demikian obat yang lipofilik juga akan lebih mudah
diserap oleh sel saraf dibandingkan dengan obat yang bersifat
hidrofilik.
4. Kondisi tempat absorpsi
Kondisi tempat absorpsi obat, sangat berpengaruh pada intensitas
maupun kapasitas absorpsi.
5. Luas permukaan absorpsi
Luas permukaan absorpsi sama halnya dengan kondisi tempat
absorpsi, sangat mempengaruhi intensitas maupun kapasitas absorpsi,
luas permukaan absorpsi berbanding lurus dengan intensitas dan
kapasitas absorpsi. Makin luas permukaan absorpsi akan makin baik
dan makin tinggi intensitas dan kapasitas absorpsi.
6. Sirkulasi
Aktivitas sirkulasi memengaruhi kecepatan, kontinuitas serta kapasitas
absorpsi obat. Sirkulasi berperan dalam transportasi obat, cairan darah
yang kurang akan memperlambat absorpsi obat dari tempat pemberian.
Selain itu, absorpsi dapat dipengaruhi juga oleh aliran darah, rasa
nyeri, stress, kelaparan, makanan dan pH. Rasa nyeri, stress, dan makanan
yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan
lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung.
Beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik
setelah absorpsi tetapi melewati lumen usus masuk ke dalam hati, melalui
vena porta. Di dalam hati, kebanyakan obat di metabolisasi menjadi
bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan, sehingga mengurangi jumlah
obat yang aktif. Proses ini dimana obat melewati hati terlebih dahulu
disebut sebagai efek first-pass, atau first-pass hepatic. Contoh-contoh
obat dengan metabolisme first-pass adalah warfarin (Coumadin) dan
morfin. Lidokain dan nitrogliserin tidak diberikan secara oral karena
kedua obat ini mengalami metabolisme first-pass yang luas, sehingga
sebagian besar dari dosis yang diberikan akan dihancurkan.
2.7 Ekskresi
Ekskresi adalah proses pengeluaran obat dari dalam tubuh. Obat
dieliminasi dari dalam tubuh dalam bentuk molekul utuh atau bentuk
metabolitnya melalui proses ekskresi. Obat dieliminasi melalui berbagai
organ atau cairan tubuh yaitu ginjal, empedu, paru-paru, kelenjar air mata,
kelenjar keringat, air susu sedangkan ginjal merupakan organ ekskresi
utama.
Ekskresi obat dan metabolitnya melalui urin berlangsung dalam
tiga tahap, yaitu filtrasi glomerulus, sekresi aktif melalui tubulus dan
reabsorpsi pasif di tubulus ginjal. Adanya gangguan pada fungsi ginjal
akan berpengaruh pada ketiga proses tersebut. pH urin mempengaruhi
ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang asam
meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin,
suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin basa. Jika
seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat
dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa.
1. Eliminasi obat melalui ginjal
Eliminasi obat melalui ginjal terbagi melalui 3 tahap proses, yaitu:
a. Filtrasi Glomeruli
Obat masuk ke dalam ginjal melalui arteria renalis yang terdapat
pada kedua ginjal. Kemudian masuk ke dalam tapsula Bowman
yang terbentuk dari anyaman kapiler dalam glomeruli. Obat
bebas mengalir melalui celah kapiler ke dalam ruang Bowman
sebagai filtrat glomeruli. Kecepatan filtrasi glomeruli = 125 ml
per menit dan ini merupakan 20% dari aliran plasma ginjal (600-
750 ml/menit).
b. Sekresi Tubuli Proksimal
Obat yang tidak ditransfer ke dalam filtrat glomeruli
meninggalkan glomeruli melalui arterion eferen yang membagi
diri membentuk suatu anyaman kapiler yang mengelilingi lumen
nefron di tubulus proksimal. Sekresi terutama terjadi di tubuli
proksimal oleh dua sistem transport aktif yang membutuhkan
energi, satu untuk transport anion-anion (misalnya bentuk asam-
asam lemah diprotonasi) dan satu untuk kation-kation (bentuk
basa lemah terprotonasi). Setiap sistem transport ini
menunjukkan suatu spesivitas yang rendah dan dapat menjadi
transport banyak persenyawaan. Jadi kompetisi diantara obat-
obat untuk mengikat karier dapat etrjadi di dalam setiap sistem
transport tersebut.
c. Reabsorpsi Tubuli Distal
Begitu suatu obat bergerak menuju tubuli distalis konsentrasinya
meningkat dan melampaui konsentrasi di luar perivaskuler. Obat
tersebut jika tidak bermuatan bias berdifusi ke luar lumen
kembali ke dalam sirkulasi sistemik. Manipulasi pH urin untuk
meningkatkan ionisasi obat dalam lumen bisa digunakan untuk
mengurangi jumlah obat yang berdifusi kembali ke sirkulasi
sistemik dan karenanya meningkatkan bersihan obat yang tidak
diinginkan.
2. Peranan metabolisme obat terhadap eliminasi obat
Untuk meminimalkan reabsorpsi obat diubah oleh tubuh menjadi
lebih polar dengan menggunakan dua jenis reaksi:
a. Reaksi fase I, yang melibatkan penambahan gugusan hidroksil atau
menghilangkan gugusan-gugusan hidroksil, karboksil atau amino.
b. Reaksi fase II, yang menggunakan konjugasi dengan sulfat, glisin,
atau asam glukoronat untuk meningkatkan polaritas obat. Konjugat-
konjugat yang dihasilkan adalah molekul-molekul yang terionisasi
dan bermuatan listrik dan tidak dapat berdifusi ke luar lumen ginjal.
3. Ekskresi ginjal
Ekskresi obat melalui ginjal termasuk ke dalamnya proses filtrasi dan
sekresi. Filtrasi terjadi pada glomerulus ginjal, sekresi terjadi
sepanjang nefron. Proses ekskresi beberapa obat akan menurun jika
terjadi gangguan fungsi ginjal. Ekskresi pada ginjal dari kebanyakan
obat akan berhubungan dengan kemampuan ginjal dalam
mengekskresi kreatinin.
Peningkatan volume urin juga dapat meningkatkan pengeluaran (obat)
melalui ginjal disebabkan waktu kontak dengan permukaan lumen
tubuli ginjal menurun karena itu mengurangi waktu reabsorpsi dari
molekul yang tidak terionisasi.
4. Ekskresi saluran pencernaan
Melalui sistem transportasi yang mirip ginjal, obat dan metablitnya
diekskresikan ke dalam empedu, sekresi ini berlangsung melalui aliran
darah ke lumen usus dan terjadi proses daur ulang enteropatik yang
dapat memperpanjang keberadaan dan efek obat dalam tubuh sebelum
dieliminasi melalui jalur lain.
5. Ekskresi paru-paru
Obat yang mudah menguap akan diekskresi melalui paru-paru. Jalur
ini adalah jalur utama untuk anestesi yang terdapat pada fase gas atau
uap. Beberapa zat anestetik diberikan dan meninggalkan tubuh melalui
paru-paru, memudahkan zat anestetik terkontrol dengan mudah dengan
mengatur konsentrasi zat anestetik yang terdapat dalam campuran
udara inhalasi. Ekskresi zat yang melalui paru-paru, dapat
memudahkan pengawasan kadar tidal-volume yang terdapat dalam
udara ekspirasi sebagai indeks tingkat anesthesia. Etanol diekskresi
dalam jumlah kecil melalui paru-paru. Namun demikian, secara
kuantitatif rute ekskresi ini tidak memiliki nilai penting, karena itu
bukan merupakan metode yang tepat untuk menentukan kadar etanol
untuk tujuan yang dikaitkan dengan masalah hukum.
KESIMPULAN