Anda di halaman 1dari 9

KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI

SURABAYA, JAWA TIMUR

Nama Penyusun

ABSTRAK
Perikanan tangkap di Surabaya sangat penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat lokal yang mengandalkan hasil
tangkapan nelayan Surabaya dalam bidang pengolahan produk perikanan yang menjadi ciri khas masyarakat lokal.
Nelayan Surabaya masih menggunakan perahu berukuran kurang dari 5 GT, sesuai dengan daerah penangkapan
ikan sekarang. Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan Surabaya adalah jaring klitik, trammel net dan
pancing rawai dasar. Permasalahan perikanan tangkap di Surabaya yaitu konflik nelayan lokal dengan nelayan luar,
degradasi lingkungan, tidak akuratnya data perikanan, minimnya sumber daya manusia, mahalnya harga BBM dan
akses bantuan yang tidak merata. Keadaan internal perikanan tangkap di Surabaya dapat mengatasi berbagai
kelemahan yang ada, namun kurang mampu memanfaatkan peluang yang ada untuk merespons kondisi
perkembangan perikanan tangkap di Surabaya. Rumusan strategi berdasarkan urutan prioritas untuk mengelola
perikanan yang berbasis di Kenjeran adalah:, (1) meningkatkan kualitas sumber daya manusia, (2) mengembangkan
kelembagaan dan organisasi pengelolaan perikanan tangkap, (3) meningkatkan sarana dan prasarana yang
mendukung kegiatan perikanan tangkap, (4) membuat kebijakan untuk pengaturan pengelolaan perikanan
tangkap, (5) meningkatkan pengawasan kegiatan penangkapan ikan, (6) meningkatkan pengawasan daerah pesisir
dan (7) mengendalikan armada perikanan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan.

Kata kunci : Permasalahan, perikanan, strategi pengembangan, Surabaya


PENDAHULUAN
Basis kegiatan penangkapan ikan di Indonesia saat ini tidak hanya di tempat-tempat terpencil yang jauh dari perkotaan
dimana biasa terdapat pusat-pusat pemerintahan, bisnis ataupun pemukiman. Hal ini dapat dijumpai di beberapa kota,
seperti Cirebon (Keristina 2011), Yogyakarta (Nadeak 2009) dan Pekalongan (Liswardana 2011). Adanya basis
penangkapan ikan di kota-kota tersebut biasanya disebabkan kegiatan perikanan telah ada jauh sebelum tempat-tempat
tersebut tumbuh menjadi kota-kota seperti saat ini. Adanya basis-basis tersebut sekaligus juga menunjukkan bahwa
kegiatan perikanan dapat bertahan sementara kota-kota tersebut cenderung mengembangkan sektor ekonomi secara
konvensionil, yaitu mengandalkan sektor bisnis jasa dan perdagangan sebagai andalan utama. Kota-kota tersebut masih
dapat mengakomodasi kegiatan ekonomi masyarakat yang mengandalkan sumber daya alam (resource-based), dalam hal
ini sumber daya ikan. Sejalan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah (Kabupaten/Kota/Provinsi) untuk
mengelola sumber daya alam yang berada dalam wilayah sesuai undang-undang yang berlaku, tentu pemerintah daerah
memiliki kebijakan yang dapat menjaga pembangunan perikanan secara berkelanjutan.

Surabaya adalah sebuah kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia dengan penduduk sebanyak 4.389.140 jiwa (Dis-
penduk 2010). Kota ini berfungsi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jawa Timur, Pemerintahan Kota Surabaya, dan
pusat bisnis jasa yang sangat signifikan dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Jawa Timur. Kota ini memiliki ka-
wasan pesisir yang telah dimanfaatkan untuk berbagai fungsi, terutama dalam kegiatan bisnis perdagangan. Saat ini, Su-
rabaya memiliki sembilan kecamatan yang berbatasan langsung dengan pesisir dan terdapat perikanan tangkap. Kesem-
bilan kecamatan tersebut adalah Kecamatan Kenjeran, Kecamatan Gununganyar, Kecamatan Rungkut, Kecamatan
Mulyorejo, Kecamatan Bulak, Kecamatan Asemrowo, Kecamatan Benowo, Kecamatan Krembangan dan Kecamatan Suko-
lilo (Lampiran 1). Penelitian ini difokuskan pada perikanan di Kecamatan Bulak dan Kenjeran karena kedua kecamatan
tersebut dianggap dapat mewakili keadaan perikanan tangkap di Surabaya dengan hasil laut paling baik, sarana prasarana
yang memadai dan mewakili alat tangkap yang digunakan oleh nelayan-nelayan di Surabaya. Secara sepintas, dari aspek
sosial-ekonomi, kehidupan nelayan di pesisir Surabaya masuk dalam kategori menengah ke bawah (Pristyandana 2010).
Potensi perikanan yang dimanfaatkan oleh nelayan Surabaya tampaknya tidak terbatas pada perairan pesisir Surabaya.
Selat Madura dengan perairan pesisir utara Jawa Timur dan pesisir selatan Madura adalah perairan potensial yang telah
dimanfaatkan oleh nelayan Surabaya. Masyarakat nelayan Surabaya memproduksi hasil laut yang kemudian dijual dalam
bentuk ikan segar atau diolah menjadi bahan makanan, seperti kerupuk, terasi, ikan asin dan ikan asap. Anggota
masyarakat yang bukan nelayan namun memiliki keterampilan dapat memanfaatkan hasil laut dalam bentuk lain, seperti
memanfaatkan cangkang kerang, pecahan terumbu karang dan kulit kerang sebagai bahan baku untuk membuat kerajinan
suvenir atau cinderamata. Banyak masyarakat di pesisir Surabaya yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut tersebut.
Keberadaan para nelayan di kawasan perkotaan sangat menarik untuk diteliti mengingat kondisi lingkungan, termasuk
lingkungan perairan, dari suatu kota industri biasanya tergolong tidak sehat karena sudah tercemar logam berat sehingga
habitat yang sehat untuk kehidupan ikan dan biota air lainnya mungkin sudah sangat terbatas atau bahkan tidak ada lagi.
Dalam kondisi lingkungan seperti itu, tentu nelayan tersebut memiliki cara yang berbeda dari nelayan di tempat lain yang
ikannya masih melimpah dan lingkungan perairannya masih sehat atau mendukung.

Penelitian ini menyangkut kebijakan perikanan tangkap Kota Surabaya terhadap masyarakat nelayan di pesisir Surabaya.
Penelitian ini dilandasi kenyataan bahwa nelayan dan kegiatan perikanan tetap ada meskipun kota Surabaya telah
berkembang menjadi pusat pemerintahan dan bisnis jasa. Sumber daya ikan di perairan yang menjadi kewenangan
pengelolaan Pemerintah Kota setempat sangat terbatas sehingga nelayan harus beroperasi juga di tempat lain. Meskipun
kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kota Surabaya rendah (kurang dari 5%), namun perikanan tangkap berperan
besar terhadap sumber kehidupan ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat lokal bergantung penuh terhadap kegiatan
perikanan tangkap, terutama sebagai sumber bahan baku pembuatan produk ikan yang menjadi ciri khas masyarakat lokal.
Produk ikan lokal tersebut di antaranya adalah ikan asap dan keripik maupun kerupuk yang berbahan dasar dari hasil
tangkapan nelayan lokal. Memperhatikan potensi dampak pembangunan ke depan dan agar kegiatan perikanan yang
penting tersebut dapat terus berjalan dengan baik maka diperlukan suatu kebijakan yang efektif dalam rangka mengelola
sumberdaya ikan yang ada. Pengambilan dan pelaksanaan kebijakan yang tepat merupakan langkah awal untuk
mengembangkan perikanan tangkap guna meningkatkan perekonomian daerah, khususnya kesejahteraan masyarakat
pesisir yang mengandalkan penangkapan ikan sebagai sumber utama pendapatan keluarganya.

PERTANYAAN PENELITIAN

Kuisioner untuk nelayan


1. Identitas Responden

1. Nama :
2. Umur :
3. Asal :
4. Status Nelayan :
5. Lama Tinggal :
6. Pendapatan :
7. Pendidikan Terakhir :
1. Tingkat partisipasi nelayan
1) Bagaimana kondisi perikanan tangkap di daerah Anda?
2) Apa permasalahan yang sering dihadapi?
3) Langkah apa yang ditempuh masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut?
4) Apakah anda sering dilibatkan untuk membahas permasalahan tersebut oleh pemerintah daerah setempat ?
5) Apakah anda turut serta dalam menyusun keputusan untuk mengembangkan perikanan tangkap?
6) Apakah anda ikut dalam pelaksanaan keputusan yang diambil?
7) Usulan apakah yang Anda inginkan guna mengembangkan perikanan tangkap di daerah anda?

Kuisioner untuk Subdinas Perikanan dan Kelautan


1. Identitas Responden
1. Nama :
2. Umur :
3. Asal :
4. Pekerjaan :
5. Lama Bekerja :
6. Jabatan :
7. Pendapatan :
8. Pendidikan Terakhir :

2. Program Pengembangan Perikanan Tangkap


1) Bagaimanakah kondisi perikanan tangkap secara umum?
2) Bagaimana kondisi nelayan di Surabaya?
3) Apakah permasalahan yang sering dikeluhkan nelayan mengenai operasi penangkapan dan fasilitas yang ada?
4) Hal-hal apa saja yang mendukung/menghambat dalam pengembangan perikanan tangkap?
5) Apa rencana pembangunan jangka pendek?
6) Apa rencana pembangunan jangka panjang?
7) Program apa saja yang telah terlaksana?kapan pelasanaannya?
8) Bagaimana tanggapan masyarakat mengenai program tersebut?
9) Apa saja kendala dalam menjalani suatu kegiatan?
10) Program apa saja yang belum terlaksana? Kapan pelaksanaannya?

11) Dari mana asal dana untuk menjalani program-program tersebut?


12) Siapa saja yang dilibatkan untuk mengambil keputusan mengenai kebijakan pengembangan perikanan tangkap?
13) Alasan apa yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan perikanan tangkap?
14) Daerah manakah yang menjadi prioritas untuk di kembangkan? Mengapa?
15) Apakah selama ini kebijakan terlaksana dengan baik?
16) Bagaimana peluang perikanan tangkap kedepan?
17) Adakah ancaman/dampak dari pelaksanaan kebijakan perikanan tangkap?
18) Kebutuhan perundang-undangan?

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Survei dilakukan untuk mengumpulkan data
inventarisasi kegiatan-kegiatan produktif perikanan tangkap, unit penangkapan ikan, kinerja usaha perikanan dan
produktivitas perikanan tangkap di pantai Kenjeran, Surabaya.

Analisis Data

Analisis secara deskriptif digunakan untuk mengkaji keragaan teknis unit penangkapan ikan di Surabaya dan
kegiatan operasi penangkapan ikan. Analisis ini meliputi kapal, alat tangkap, nelayan dan metode pengoperasian
penangkapan ikan. Analisis deskriptif juga digunakan untuk menjabarkan permasalahan perikanan tangkap di Sura-
baya. Informasi yang digunakan berasal dari wawancara mendalan (in-depth interview).
Penentuan kebijakan alternatif dianalisis menggunakan SWOT. Tahap pertama dalam analisis ini adalah pembuatan
tabel internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (ancaman dan peluang) yang mempengaruhi kebijakan
pengelolaan perikanan tangkap. Faktor-faktor yang akan diisi pada tabel internal dan eksternal didasarkan pada kon-
disi sebenarnya yang diupayakan sekuantitatif mungkin. Informasi yang dipakai dalam melakukan analisis SWOT
berasal dari kuisoner, in-depth interview, dan data sekunder. Tahap kedua yaitu pembuatan matriks Faktor Strategi
Internal (IFAS) dan eksternal (EFAS). Pada analisis SWOT, semakin tinggi nilai total (bobot x rating) yang di-
peroleh maka kebijakan yang ditetapkan semakin baik. Hal ini memberikan pengertian bahwa kebijakan tersebut
dapat mengatasi adanya kelemahan dan ancaman yang ada. Sebaliknya, bila semakin kecil nilai totalnya, maka ke-
bijakan yang dilaksanakan kemungkinan besar akan memberikan dampak yang tidak memuaskan bagi objek yang
menjadi sasaran pelaksanaan kebijakan.

Hasil dan Diskusi


Unit penangkapan ikan di Surabaya terdiri dari tiga alat tangkap utama yaitu jaring klitik, trammel net dan pancing.
Masing-masing daerah pada umumnya hanya menggunakan salah satu dari ketiga jenis alat tangkap tersebut.
Jaring klitik
Jaring klitik merupakan salah satu alat tangkap di Surabaya yang digunakan nelayan untuk menangkap rajungan di
laut. Berdasarkan cara pengoperasiannya, jaring klitik termasuk kedalam klasifikasi jaring klitik (Shrimp entangle
gillnet). Secara umum, desain dan kontruksi jaring klitik yang dioperasikan di Surabaya terdiri atas badan jaring, ba-
dan jaring klitik yang dioperasikan di Surabaya umumnya terbuat dari PA monofilament berwarna putih transparan
dan memiliki diameter benang sebesar 0,3 mm. Ukuran mata jaring yang digunakan untuk menangkap rajungan ini
sebesar 4 inchi. Jaring ini dapat menangkap rajungan, udang dan ikan-ikan demersal lainnya.
Nelayan yang mengoperasikan jaring klitik di Surabaya umumnya adalah nelayan penuh, dimana seluruh waktu ker-
janya adalah sebagai nelayan. Nelayan jaring klitik berjumlah dua orang dan pada umumnya masih merupakan satu
anggota keluarga. Satu orang bertugas sebagai juru mudi dan satu orang sebagai ABK. Nelayan jaring klitik men-
goperasikan alat tangkap selama setahun penuh. Hal ini dikarenakan daerah penangkapan ikan nelayan jaring klitik
terlindung yaitu di sekitar selat madura.
Operasi penangkapan ikan nelayan jaring klitik umumnya one day fishing. Berangkat pada dini sekitar pukul 03.00
dan pulang pada siang hari sekitar pukul 14.00. Pengopeasian jaring klitik terbagi menjadi lima tahap yaitu tahap
persiapan, tahap pemasangan jaring (setting), tahap perendaman (soaking), tahap penarikan jaring (hauling) dan
tahap pelepasan hasil tangkapan.
Trammel net
Salah satu alat tangkap yang digunakan nelayan Surabaya adalah trammel net dalam bahasa lokal disebut dengan
jaring gadang. Panjang jaring yang biasa dioperasikan nelayan setempat yaitu 30 piece, setiap piece memiliki pan-
jang 15 meter.
Nelayan trammel net umumnya merupakan nelayan penuh yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melaut.
Nelayan Surabaya yang mengoperasikan trammel net berjumlah dua orang dan pada umumnya masih satu anggota
keluarga. Satu orang nelayan sebagai juru mudi dan satu orang lagi sebagai ABK. Namun, dalam pengoperasiannya
juru mudi juga membantu dalam penarikan maupun penurunan jaring.
Nelayan yang menggunakan alat tangkap trammel net di Surabaya biasanya menangkap ikan mulai pukul 04.00
hingga pukul 14.00. Metode operasi penangkapan nelayan trammel net terdiri dari tahap persiapan, tahap penurunan
jaring, tahap perendaman, tahap penarikan jaring.

Pancing rawai dasar


Pancing rawai dasar dalam bahasa lokal disebut dengan pancing rawih. Ukuran mata pancing yang digunakan ne-
layan pancing rawai dasar yaitu mata pancing dengan nomor 14. Bagian-bagian dari rawai dasar terdiri pelampung
tanda yang terbuat dari styrofoam, tali pelampung terbuat dari Poly Etilene (PE), tali utama yang terbuat dari Poly
Etilene (PE), tali cabang yang terbuat dari PA monofilamen, swivel terbuat dari stainless steel, snap terbuat dari
stainless steel, mata pancing terbuat dari stainless steel, tali pancing terbuat dari PA monofilamen, dan pemberat dari
timah hitam dan jangkar yang terbuat dari batu.
Nelayan yang mengoperasikan rawai dasar di Surabaya umumnya adalah nelayan penuh, dimana seluruh waktu ker-
janya adalah sebagai nelayan. Nelayan rawai dasar berjumlah satu hingga dua orang dan pada umumnya masih
merupakan satu anggota keluarga. Satu orang bertugas sebagai juru mudi dan satu orang sebagai ABK.
Operasi penangkapan rawai dasar dimulai dengan tahap persiapan seperti perbekalan, bahan bakar dan pemeriksaan
kondisi perahu serta pemasangan umpan runcah. Pemasangan umpan ini biasanya dilakukan oleh kaum ibu-ibu.
Setelah semua tahap persiapan telah dilakukan, tahap berikutnya yaitu pencarian daerah hasil tangkapan. Pencarian
daerah hasil tangkapan didasarkan pada operasi penangkapan sebelumnya atau juga dengan cacara mencoba-coba.
Namun daerah penangkapan berjarak tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Hal ini dikarenakan keterbatasan
kemampuan armada penangkapan.
Permasalahan Perikanan Tangkap di Surabaya
Permasalahan-permasalahan perikanan tangkap di Surabaya :
1. Konflik nelayan
Konflik nelayan masih sering terjadi di wilayah perairan Surabaya. Konflik yang terjadi merupakan konflik antara
nelayan lokal dengan nelayan dari daerah-daerah yang berdekatan dengan Surabaya seperti Pasuruan. Nelayan yang
berasal dari Pasuruan cenderung menangkap ikan dengan alat tangkap aktif yaitu trawl yang dapat merusak ling-
kungan. Sementara nelayan Surabaya cenderung menggunakan alat tangkap pasif seperti jaring klitik, trammel net
dan rawai dasar. Tentunya, selain merusak lingkungan, alat tangkap trawl juga cenderung menangkap ikan lebih ban-
yak dibanding dengan alat tangkap pasif yang digunakan oleh nelayan lokal. Hal ini menimbulkan kecemburuan so-
sial dalam hal hasil tangkapan. Oleh karena itu, konflik kerap terjadi antara nelayan Surabaya dengan nelayan dari
daerah lain terutama di wilayah selat Madura.
2. Degradasi lingkungan
Kota Surabaya yang terkenal dengan kota industri dan perdagangan bukan berarti bebas dari degradasi lingkungan.
Wilayah-wilayah Surabaya, terutama pesisir Surabaya sudah banyak mengalami kerusakan lingkungan akibat rekla-
masi pantai secara besar-besaran dengan didirikannya perumahan-perumahan elit dengan view pemandangan pantai
dan juga hotel-hotel yang berdiri disepanjang pesisir Surabaya. Degradasi lingkungan ini, sangat dirasakan akibatnya
oleh nelayan-nelayan pengumpul kerang. Wilayah pesisir Surabaya yang terkenal dengan sate kerangnya, saat ini
semakin mengalami kesulitan dalam hal bahan baku pembuatan sate kerang. Tentunya banyak nelayan yang menge-
luhkan hal ini dikarenakan pendapatannya yang semakin menurun.
3. Keakuratan data perikanan
Data perikanan yang akurat sangat dibutuhkan dalam pembuatan kebijakan pengelolaan perikanan. Data yang akurat
akan menghasilkan suatu kebijakan yang tepat, sebaliknya jika data perikanan tidak akurat maka akan timbul bias
dalam pembuatan kebijakan perikanan. Data perikanan di Surabaya belum akurat. Hal ini dapat dilihat pada data-
data yang ada di Surabaya dalam angka ( Tabel 7,8,9,10). Banyak sekali data-data yang kosong dan menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan dikarenakan penurunan yang sangat jauh maupun kenaikan yang sangat jauh di tahun beri-
kutnya. Ketiadaan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) juga sangat mempengaruhi pendataan hasil tangkapan. Hal ter-
sebut dapat menghambat pihak pencatat hasil tangkapan ikan dalam melakukan pendataan dikarenakan setiap ne-
layan langsung mendaratkan hasil tangkapannya di tepi-tepi rumah mereka yang bersebelahan dengan laut. Apabila
ada sarana PPI tentunya pihak pencatat hasil tangkapa akan lebih mudah dan fokus dalam melakukan pendataan.
4. Krisis Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia sangat berperan penting dalam pengelolaan perikanan. Minimnya sumberdaya manusia dalam
mengelola perikanan di Surabaya, membuat perikanan di Surabaya tidak terlalu berkembang dengan baik. Nelayan
pun kurang mampu dibimbing untuk menggunakan alat tangkap yang lebih efektif dalam hal teknologi.
5. BBM yang mahal
Ketiadaan SPBU disekitar pesisir Surabaya, mengakibatkan mahalnya bahan bakar yang digunakan nelayan untuk
melaut. Nelayan harus mengeluarkan uang Rp 6.000,-/liter. Harga solar di SPBU sebenarnya hanyalah Rp 4.500,-
/liter. Selisih angka Rp 1.500,- tentunya sangat berharga bagi nelayan dan cukup mencekik pengeluaran operasional
penangkapan. Jauhnya sarana pengisian bahan bakar memaksa nelayan untuk tetap membeli bahan bakar di toko-
toko bahan bakar dengan selisih harga yang cukup jauh dibandingkan membeli langsung di SPBU. Sedangkan, ne-
layan tidak hanya menggunakan satu liter dalam sekali operasi penangkapan. Umumnya, nelayan menggunakan 5-6
liter dalam sekali trip.
6. Akses terhadap bantuan yang tidak merata
Pemerintah Surabaya telah beberapa kali memberikan bantuan kepada nelayan Surabaya, seperti pada tahun 2008
ada bantuan alat tangkap dan perahu, pada tahun 2009 ada bantuan subsidi BBM dan oli. Namun, sangat disa-
yangkan bantuan tersebut tidak dapat dinikmati oleh semua nelayan di Surabaya. Sistem pemberian bantuan dengan
cara mengirimkan proposal dan memberikan kupon ternyata tidak cukup baik. Bantuan-bantuan tersebut hanya dapat
dinikmati oleh keluarga dekat ketua nelayan ataupun orang yang mengirimkan proposal dengan mengatasnamakan
seluruh nelayan diwilayahnya.
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman pada Perikanan Surabaya
Faktor internal (kekuatan) :
1. Hubungan kekerabatan yang erat antar nelayan lokal
Hubungan kekerabatan yang erat antar nelayan merupakan suatu kekuatan bagi perikanan tangkap di Surabaya. Ne-
layan di Surabaya pada umumnya masih memiliki hubungan kekeluargaan. Dengan hubungan kekerabatan tersebut,
maka dapat menimbulkan pengelolaan yang berbasis masyarakat dengan mengandalkan keeratan hubungan antar
nelayan.

2. Adanya kelompok nelayan yang aktif


Nelayan Surabaya memiliki kelompok nelayan di tiap-tiap daerahnya. Terutama nelayan di daerah Kedung Cowek.
Kelompok nelayan ini memiliki pengaturan organisasi yang baik dengan dibuatnya jadwal piket dan tugas beserta
sanksi apabila melanggarnya

3. Motivasi melaut tinggi


Kondisi perairan laut Selat Madura yang terbilang tenang, menyebabkan nelayan Surabaya selalu berani untuk pergi
melaut demi mendapatkan hasil tangkapan. Kegiatan melaut yang dilakukan nelayan di Surabaya hampir sepanjang
tahun. Produksi perikanan yang meningkat menunjukkan bahwa motivasi melaut nelayan Surabaya tinggi.
4. Daerah penangkapan yang terlindung
Daerah penangkapan ikan Selat Madura, terlindungi dari berbagai gangguan alam. Selat Madura terlindungi oleh
Pulau Madura yang berada di sebelah utara Pulau madura. Hal ini membuat kegiatan penangkapan ikan dapat ber-
langsung sepanjang tahun
5. Terdapat sentra pengolahan dan pemasaran hasil laut
Sentra pengolahan dan pemasaran hasil laut dapat mengangkat derajat perekonomian masyarakat pesisir Surabaya.
Lokasinya yang berdekatan dengan objek wisata membuat olahan hasil laut selalu digemari dan dicari untuk dijadi-
kan oleh-oleh
Faktor internal (kelemahan) :
1. Sistem pencatatan data perikanan laut di Surabaya kurang baik

Sistem pencatatan data hasil tangkapan yang kurang baik mengakibatkan tidak efektifnya pengelolaan perikanan
laut di Surabaya.

2. Armada perikanan yang digunakan masih berukuran kecil


Armada perikanan tangkap di Surabaya masih disominasi oleh kapal, motor tempel dengan ukuran 5 GT. Kondisi ini
menunjukkan bahwa jangkauan penangkapan ikan msih terbatas pada perairan Selat Madura dan sekitarnya.
3. Tidak adanya Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)

Ketiadaan Pangkalan pendaratan Ikan di Surabaya menyebabkan terhambatnya kelancaran pembangunan perikanan
di Surabaya, terutama dalam hal mempermudah usaha perikanan rakyat dalam mendaratkan ikan-ikan hasil tangka-
pan dan pembinaan mutu serta kelancaran pemasaran hasil tangkapan.
4. Tidak adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI)

Selama ini nelayan Surabaya menjual ikan-ikan hasil tangkapannya kepada pengumpul, dimana harga telah
ditetapkan sebelumnya oleh pengumpul. Keberadaan tempat pelelangan ikan dapat meningkatkan pendapatan
nelayan dengan harga jual yang lebih baik.

5. Penanganan ikan yang kurang diperhatikan oleh nelayan Surabaya


Nelayan tidak membawa es curah maupun garam pada saat operasi penangkapan. Hal ini dapat menyebabkan
turunnya nilai ekonomis dari hasil tangkapan.
6. Tidak adanya kebijakan khusus dalam pengelolaan perikanan tangkap

Belum adanya pengaturan pengelolaan yang dibuat oleh pihak dinas terkait, menyebabkan lemahnya pengelolaan
perikanan tangkap di Surabaya.
7. Tingkat pendidikan nelayan rendah

Rata-rata nelayan pesisir Surabaya berpendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Faktor eksternal (Peluang) :
1. Potensi SDI belum dimanfaatkan secara optimal

Keterbatasan armada penangkapan ikan menyebabkan rendahnya eksploitasi terhadap Sumber Daya Perikanan.
Jumlah nilai produksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa perairan Selat Madura masih
produktif untuk operasi penangkapan ikan

2. Peluang pasar yang baik


Perikanan tangkap di pesisir Surabaya masih sedikit, namun potensi konsumen untuk membeli hasil tangkapan dari
laut cukup besar. Masyarakat Surabaya sangat menggemari makanan hasil laut. Makanan hasil laut selalu dicari oleh
masyarakat Surabaya dan juga pendatang terutama ikan asap dan berbagai macam olahan keripik hasil laut.
3. Adanya peluang kesempatan bekerja di bidang perikanan
Kegiatan penangkapan ikan di Surabaya yang terus berkembang sepanjang tahun, memberikan peluang untuk mem-
buka lapangan pekerjaan yang baru seperti bidang pengolahan hasil tangkapan.
4. Peluang wisata bahari

Surabaya memiliki objek wisata Taman Hiburan Pantai Kenjeran dan berdekatan dengan Jembatan Suramadu. Setiap
sore, akhir pekan maupun musim liburan, kawasan pesisir Surabaya ini ramai dikunjungi wisatawan yang sekedar
menikmati suasana pantai dan kerlap-kerlip lampu Jembatan Suramadu maupun sekedar melakukan sport fishing.
Faktor eksternal (ancaman) :
1. Pemanfaatan SDI oleh nelayan luar daerah (konflik antar nelayan)

Potensi SDI yang amsih belum tereksploitasi dengan baik menyebabkan nelayan dari luar daerah melakukan aktivi-
tas penangkapan di perairan Selat Madura dengan armada yang lebih besar daripada nelayan pesisir Surabaya.
2. Reklamasi pantai secara besar-besaran

Reklamasi pantai secara besar-besaran dapat merusak ekosistem perairan serta memaksa nelayan untuk alih profesi
menjadi tenaga kuli bangunan.
3. Penyerapan SDM Subdinas Perikanan dan Kelautan berlatar belakang perikanan tangkap masih minim

Kurangnya sumber daya manusia yang berlatar belakang perikanan tangkap, membuat pengaturan pengelolaan
perikanan tangkap kurang optimal.

Simpulan dan Saran Kebijakan


Kesimpulan
1) Nelayan Surabaya umumnya memiliki hubungan kekeluargaan dan menggunakan alat tangkap homogen di setiap
lokasi pemukiman yang menjadi sentra perikanan. Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan Surabaya
adalah jaring klitik, trammel net dan pancing rawai dasar. Perikanan tangkap di Surabaya masih menggunakan ar-
mada perikanan skala kecil dan tradisional dengan perahu berukuran kurang dari 5 GT. Hasil tangkapan nelayan lo-
kal merupakan sumber utama bahan baku dalam pengolahan hasil perikanan lokal seperti ikan asap, keripik maupun
kerupuk yang berbahan dasar ikan. Beberapa bahan baku lain untuk industri pengolahan ikan dipasok dari daerah
Probolinggo, Brondong dan Lamongan.
2) Permasalahan-permasalahan perikanan tangkap di Surabaya yaitu: (1) konflik nelayan; (2) degradasi lingkungan;
(3) tidak akuratnya data perikanan; (4) minimnya sumberdaya manusia; (5) mahalnya harga BBM; dan (6) Akses
bantuan yang tidak merata.
3) Keadaan internal perikanan tangkap di Surabaya dapat mengatasi berbagai kelemahan yang ada, namun kurang
mampu memanfaatkan peluang yang ada untuk merespon kondisi perkembangan perikanan tangkap di Surabaya.
Rumusan strategi berdasarkan urutan prioritas untuk mengelola perikanan yang berbasis di Kenjeran adalah: (1)
meningkatkan kualitas sumber daya manusia; (2) mengembangkan kelembagaan dan organisasi pengelolaan peri-
kanan tangkap; (3) meningkatkan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan perikanan tangkap; (4) membuat
kebijakan untuk pengaturan pengelolaan perikanan tangkap; (5) meningkatkan pengawasan kegiatan penangkapan
ikan, (6) meningkatkan pengawasan daerah pesisir; dan (7) mengendalikan armada perikanan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya ikan.
Saran
Upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya (Pemkot) dalam pengembangan usaha perikanan
di Surabaya yaitu :
1) Membuat kebijakan mengenai pengelolaan perikanan tangkap guna membenahi permasalahan-permasalahan peri-
kanan laut di Surabaya;
2) Menambah tenaga ahli di bidang perikanan tangkap untuk mengelola perikanan tangkap di Surabaya; dan
3) Bekerjasama dengan dinas pariwisata untuk meningkatkan promosi wisata bahari guna menarik wisatawan datang
ke pesisir Surabaya.

Daftar Pustaka
[1] J.S. Bridle, “Probabilistic Interpretation of Feedforward Classification Network Outputs, with Relationships to Statistical Pattern Recognition,” Neurocomputing—Algorithms,
Architectures and Applications, F. Fogelman-Soulie and J. Herault, eds., NATO ASI Series F68, Berlin: Springer-Verlag, pp. 227-236, 1989. (Book style with paper title and editor)

[2] W.-K. Chen, Linear Networks and Systems. Belmont, Calif.: Wadsworth, pp. 123-135, 1993. (Book style)

[3] H. Poor, “A Hypertext History of Multiuser Dimensions,” MUD History, http://www.ccs.neu.edu/home/pb/mud-history.html. 1986. (URL link *include year)

[4] K. Elissa, “An Overview of Decision Theory," unpublished. (Unplublished manuscript)

[5] R. Nicole, "The Last Word on Decision Theory," J. Computer Vision, submitted for publication. (Pending publication)

[6] C. J. Kaufman, Rocky Mountain Research Laboratories, Boulder, Colo., personal communication, 1992. (Personal communication)

[7] D.S. Coming and O.G. Staadt, "Velocity-Aligned Discrete Oriented Polytopes for Dynamic Collision Detection," IEEE Trans. Visualization and Computer Graphics,
vol. 14, no. 1, pp. 1-12, Jan/Feb 2008, doi:10.1109/TVCG.2007.70405. (IEEE Transactions )

[8] S.P. Bingulac, “On the Compatibility of Adaptive Controllers,” Proc. Fourth Ann. Allerton Conf. Circuits and Systems Theory, pp. 8-16, 1994. (Conference
proceedings)

[9] H. Goto, Y. Hasegawa, and M. Tanaka, “Efficient Scheduling Focusing on the Duality of MPL Representation,” Proc. IEEE Symp. Computational Intelligence in
Scheduling (SCIS ’07), pp. 57-64, Apr. 2007, doi:10.1109/SCIS.2007.367670. (Conference proceedings)

[10] J. Williams, “Narrow-Band Analyzer,” PhD dissertation, Dept. of Electrical Eng., Harvard Univ., Cambridge, Mass., 1993. (Thesis or dissertation)

[11] E.E. Reber, R.L. Michell, and C.J. Carter, “Oxygen Absorption in the Earth’s Atmosphere,” Technical Report TR-0200 (420-46)-3, Aerospace Corp., Los Angeles,
Calif., Nov. 1988. (Technical report with report number)

[12] L. Hubert and P. Arabie, “Comparing Partitions,” J. Classification, vol. 2, no. 4, pp. 193-218, Apr. 1985. (Journal or magazine citation)

[13] R.J. Vidmar, “On the Use of Atmospheric Plasmas as Electromagnetic Reflectors,” IEEE Trans. Plasma Science, vol. 21, no. 3, pp. 876-880, available at
http://www.halcyon.com/pub/journals/21ps03-vidmar, Aug. 1992. (URL for Transaction, journal, or magzine)

[14] J.M.P. Martinez, R.B. Llavori, M.J.A. Cabo, and T.B. Pedersen, "Integrating Data Warehouses with Web Data: A Survey," IEEE Trans. Knowledge and
Data Eng., preprint, 21 Dec. 2007, doi:10.1109/TKDE.2007.190746.(PrePrint)

Anda mungkin juga menyukai