Anda di halaman 1dari 12

Sabtu, 02 Juli 2016

KAJIAN TERHADAHAP ANATOMI KEMATIAN


IBU DAN BAYI DI INDONESIA
ANATOMI KEMATIAN IBU DAN BAYI DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Secara umum, sampai pada tahun 2015 Indonesia telah mampu menekan kematian ibu dan
bayi, namun masih jauh dari target MDGs tahun 2015 (RENSTRA KEMENKES, 2015-2019).
Peristiwa kematian ibu dan bayi baru lahir banyak terjadi ketika persalinan, pasca persalinan dan
hari-hari awal kehidupan bayi merupakan tragedy yang terus terjadi di Indonesia. Hal ini tentunya
memerlukan berbagai upaya dengan inovasi baru untuk meminimalkan peristiwa tersebut
(DEPKES-RAN-PP-AKI, 2013-2015).
Salah satu cara untuk menurunkan AKI di Indonesia adalah dengan persalinan ditolong
oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan melakukan persalinan difasilitas pelayanan kesehatan.
Tenaga kesehatan terlatih yaitu dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG), dokter umum,
dan bidan. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan secara nasional pada tahun 2013 adalah sebesar 90,88%.
Cakupan ini terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu jika dilihat dari cakupan
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih menurut provinsi di Indonesia pada
tahun 2013, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi adalah provinsi Jawa Tengah dengan cakupan
99,89%, Sulawesi Selatan 99,78%, dan Sulawesi Utara 99,59%. Tiga provinsi dengan cakupan
terendah adalah Papua 33,31%, Papua Barat (73,20%) dan NTT (74,08%).
Angka kematian ibu di Propinsi NTT pada tahun 2014 mengalami penurunan drastis
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 tergolong tinggi di Indonesia yaitu
mencapai 330 orang namun pada 2014 turun menjadi 159 orang per 1.000 kelahiran. Penurunan
drastis ini karena program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dioperasionalkan dengan misi agar
indikator angka kematian di NTT pada 2008-2014 sama dengan pencapaian secara nasional atau
satu digit di bawahnya. Penurunan drastis dialami karena pada 2014 sudah 87 persen ibu hamil
(bumil) melahirkan di fasilitas kesehatan. Sementara pada 2007, masih 77,7 persen ibu hamil
melahirkan di rumah dengan dibantu dukun kampong (Profil Dinas Kesehatan NTT, 2014).
Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur mengklaim revolusi kesehatan ibu dan anak di
NTT sudah berhasil. Ukurannya makin banyak ibu hamil yang melahirkan di fasilitas kesehatan.
Program ini, diluncurkan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi yang sangat tinggi saat itu.
Angka kematian ibu di NTT sudah bisa ditekan, namun angka kematian bayi belum bisa ditekan.
Tahun 2010, angka kematian bayi NTT, lebih dari seribu seratus bayi. Tahun 2011, lebih dari 1200
Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
bayi dan tahun 2012, bayi di NTT yang meninggal mencapai 1450 bayi (Profil Dinas Kesehatan
NTT, 2014).
Selain itu usaha yang dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB adalah memberi
pelayanan pada ibu hamil dan ibu bersalin secara cermat dan tepat. Dalam upaya menurunkan
angka kematian ibu, pemerintah menerapkan strategi Making Pregnancy Safer (MPS) yang
dimulai pada tahun 2000. MPS mempunyai visi agar kehamilan dan persalinan di Indonesia
berlangsung aman dan bayi yang dilahirkan hidup dan sehat (Prawirohardjo, 2009).

B. Kematian Ibu
Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan
pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang
akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ resiko jumlah kematian ibu. Dari
hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun
demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan
komitmen dan usaha keras yang terus menerus.

a. Jumlah Kematian Ibu di Indonesia


Jumlah angka kematian ibu antara tahun 1991 sampai dengan tahun 2012 dapat di lihat pada
gambar 1.

Gambar 1. Angka kematian ibu di indonesia tahun 1991 – 2012


(Sumber: BPS, SDKI 1991-2012)

Dari Gambar 1 tersebut dapat dilihat bahwa AKI di Indonesia sejak tahun 1991 hingga
2007 mengalami penurunan dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Sejak tahun 1990

Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
pemerintah telah melakukan upaya strategis dalam upaya menekan AKI dengan pendekatan safe
motherhood yaitu memastikan semua wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga
selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya. Di Indonesia, Safe Motherhood
Initiative ditindaklanjuti dengan peluncuran program Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh
presiden yang melibatkan berbagai sektor pemerintahan disamping sektor kesehatan.
Salah satu program utama yang ditujukan untuk mengatasi masalah kematian ibu adalah
penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat. Pada tahun 2000 Kementerian
Kesehatan RI memperkuat strategi intervensi sektor kesehatan untuk mengatasi kematian ibu
dengan mencanangkan strategi Making Pregnancy Safer (Profil Kesehatan RI, 2014).

Namun, pada tahun 2012 SDKI kembali mencatat kenaikan AKI yang signifikan, yakni
dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Oleh karena itu, pada tahun 2012
Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal
Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%.
Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal
yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi
Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian
ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka
kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di
Indonesia secara signifikan (Profil Kesehatan RI, 2014). Untuk mencapai MDG-5 Indonesia 2015
maka diperlukan pencegahan terhadap kematian ibu (gambar 2).

Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
Gambar 2. Kematian ibu yang harus dicegah untuk mencapai MDG-5 2015

b. Determinan Kematian Ibu


Kematian ibu merupakan peristiwa kompleks yang disebabkan oleh berbagai penyebab
yang dapat dibedakan atas determinan dekat, antara, dan jauh. Determinan dekat berupa
gangguan obstetrik seperti perdarahan, preeklamsi/eklamsi, dan infeksi atau penyakit yang
diderita ibu sebelum atau selama kehamilan yang dapat memperburuk kondisi kehamilan seperti
jantung, malaria, tuberkulosis, ginjal, dan acquired mmunodeficiency syndrome. Determinan
antara berhubungan dengan faktor kesehatan, seperti status kesehatan ibu, status reproduksi,
akses terhadap pelayanan kesehatan, dan perilaku penggunaan fasilitas kesehatan sedangkan
determinan jauh berhubungan dengan faktor demografi dan sosiokultural (McCharty dan Maine,
1992).
Kesadaran masyarakat yang rendah tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan
perempuan yang tidak maksimal, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan
masyarakat dan politik, serta kebijakan secara tidak langsung ikut berperan dalam meningkatkan
kematian ibu (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2011). AKI yang tinggi di suatu
wilayah pada dasarnya menggambarkan derajat kesehatan masyarakat yang rendah dan berpotensi
menyebabkan kemunduran ekonomi dan sosial di level rumah tangga, komunitas, dan nasional.

c. Penyebab Langsung Kematian Ibu di Indonesia


Penyebab kematian langsung merupakan akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau
masa nifas, dan segala intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian
ibu langsung mencakup kematian ibu akibat penyulit obstetri pada kehamilan, persalinan, atau
masa nifas, dan akibat dari intervensi, kelalaian, kesalahan terapi, atau rangkaian kejadian yang
Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. Contohnya adalah kematian ibu akibat perdarahan karena
ruptur uteri (Cunningham, 2005).

d. Penyebab Tidak Langsung Kematian Ibu di Indonesia


Kematian ibu tidak langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit
yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia,
HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular (Prawirohardjo, 2008). Kematian ibu tidak langsung
mencakup kematian ibu yang tidak secara langsung disebabkan oleh kausa obstetri, melainkan
akibat penyakit yang sudah ada sebelumnya, atau suatu penyakit yang timbul saat hamil,
melahirkan, atau masa nifas, tetapi diperberat oleh adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilannya.
Contohnya adalah kematian ibu akibat penyulit stenosis mitral (Cunningham, 2005).

C. Kematian Bayi
a. Kematian Neotanal Bayi
Sebagian besar umur Neonatal kurang dari 10 hari. Berat badan neonatal pada saat lahir
kurang dari 2500 gram. Berdasarkan Neonatal meninggal disebabkan berat badan lahir rendah.
Sebagian besar kematian Neonatal karena infeksi banyak dipengaruhi pada saat kehamilan ibu
(antenatal). Sebagian besar kematian Neonatal karena Asfiksia banyak pada tingkat asfiksia berat
(Wati, 2013).

b. Penyebab Kematian Neotanal Bayi


Kematian neonatus terjadi karena neonatus komplikasi. Neonatus komplikasiadalah
neonatus dengan penyakit dan atau kelainan yang didapat menyebabkan kecacatan dan atau
kematian, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir,
BBLR (Berat lahir < 2500 gram), sindrom gangguan pernapasan, dan kelainan kongenital (WHO,
2012). Determinan kematian neonatus menurut WHO pada tahun 2012 yaitu Permaturitas dan
BBLR (30%), Infeksi neonatus (25%), Asfiksia dan trauma lahir (23%), Kelainan kongenital (7%),
Tetanus Neonatorum (3%), Diare (3%), dan penyebab lain (9%).

Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
Gambar 3. Kecenderungan kematian bayi di Indonesia (Depkes)

c. Angka Kematian Bayi Indonesia

Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate merupakan indikator yang lazim
digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat, baik pada tatanan provinsi maupun
nasional. AKB merujuk pada jumlah bayi yang meninggal pada fase antara kelahiran hingga bayi
belum mencapai umur 1 tahun per 1.000 kelahiran hidup. Saat ini Angka Kematian Bayi (AKB)
di Indonesia adalah tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia 34
per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2009). Bila dirincikan 157.000 bayi meninggal dunia per tahun
atau 430 bayi meninggal dunia per hari.

Gambar 3. Kecenderungan kematian bayi di Indonesia (Depkes)


Dalam Millenium Development Goals (MDGS), Indonesia menargetkan pada tahun 2015 Angka
Kematian Bayi (AKB) menurun menjadi 17 bayi per 1000 kelahiran. Penyebab kematian bayi
baru lahir salah satunya disebabkan oleh asfiksia (27%) (SKRT, 2007) yang merupakan
penyebab kedua kematian bayi baru lahir setelah BBLR (Departemen Kesehatan RI, 2008). Pada
tahun 2009 angka terjadinya asfiksia di dunia menurut World Health Organization (WHO)
adalah 19%. Kecenderungan kematian bayi dan balita dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.

Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
Gambar 3. Kecenderungan kematian bayi di Indonesia (Depkes)

D. Beberapa Upaya Untuk Menurunkan Kematian Ibu dan Bayi


a. Penguatan Pelayanan KB Pasca Persalinan
Pelayanan KB pasca persalinan merupakan strategi yang penting dari kesehatan
masyarakat dengan keuntungan yang signifikan terhadap ibu dan bayinya. Idealnya pemilihan
kontrasepsi pasca persalinan, telah diperkenalkan pada saat kehamilan agar tidak terlambat untuk
mendapatkannya karena pada umumnya wanita mulai menggunakan kontrasepsi pada minggu
keenam pasca persalinan. Pelayanan KB Pasca Persalinan merupakan salah satu program strategis
untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan
KEMENKES, 2013).
Seorang ibu yang baru melahirkan bayi biasanya lebih mudah untuk diajak menggunakan
kontrasepsi, sehingga waktu setelah melahirkan adalah waktu yang paling tepat untuk mengajak
seorang ibu menggunakan kontrasepsi. Tujuan pelayanan KB Pasca Persalinan adalah untuk
mengatur jarak kehamilan/kelahiran, dan menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga
setiap keluarga dapat merencanakan kehamilan yang aman dan sehat.
Pelayanan KB pasca persalinan dimulai dengan pemberian informasi dan konseling yang
sudah dimulai sejak masa kehamilan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan memegang
peranan penting dalam memberikan informasi dan konseling KB pasca persalinan kepada calon
peserta KB (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan KEMENKES, 2013).

Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
KB Pasca Persalinan dilaksanakan pada periode menyusui. Rekomendasi Hasil
Kajian Health Technology Assesment (HTA) Indonesia, tahun 2009, tentang KB pada Periode
Menyusui adalah sebagai berikut:
1. Wanita pada periode menyusui direkomendasikan untuk menggunakan kontrasepsi KB sebelum
terjadi ovulasi pertama kali sekitar 155 ± 45 hari.
2. Bahwa Pemberian ASI Eksklusif menunda terjadinya ovulasi.
3. Metode kontrasepsi progestin tidak mengganggu volume dan kandungan nutrisi Air Susu Ibu.
4. Kontrasepsi pil progestin (progestin-only minipills) dapat mulai diberikan dalam 6 minggu
pertama pasca persalinan. Namun, bagi wanita yang mengalami keterbatasan akses terhadap
pelayanan kesehatan, minipil dapat segera digunakan dalam beberapa hari (setelah 3 hari) pasca
persalinan.
5. Kontrasepsi suntikan progestin/ Depo Medroxy Progesteron Acetat (DMPA) pada minggu
pertama (7 hari) atau minggu keenam (42 hari) pasca persalinan terbukti tidak menimbulkan efek
negatif terhadap menyusui maupun perkembangan bayi.
6. Penggunaan DMPA jangka panjang (> 2 tahun) terbukti menurunkan densitas mineral tulang
sebesar 5-10% pertahun. Namun, WHO merekomendasikan tidak adanya pembatasan lama
penggunaan DMPA bagi wanita usia 18-45 tahun.
7. Tidak terdapat hubungan antara durasi penggunaan DMPA dengan peningkatan risiko kanker
payudara.
8. Kontrasepsi implan merupakan pilihan bagi wanita menyusui dan aman digunakan selama masa
laktasi, minimal 4 minggu pasca persalinan.
9. AKDR pasca plasenta aman dan efektif, tetapi tingkat ekspulsinya lebih tinggi dibandingkan
ekspulsi ≥ 4 minggu pasca persalinan. Ekspulsi dapat diturunkan dengan cara melakukan insersi
AKDR dalam 10 menit setelah ekspulsi plasenta, memastikan insersi mencapai fundus uterus, dan
dikerjakan oleh tenaga medis dan paramedis yang terlatih dan berpengalaman.
10. Jika 48 jam pasca persalinan telah lewat, insersi AKDR ditunda sampai 4 minggu atau lebih pasca
persalinan
11. AKDR 4 minggu pasca persalinan aman dengan menggunakan AKDR copper T, sedangkan
jenis non copper memerlukan penundaan sampai 6 minggu pasca persalinan.
12. Penggunaan kontrasepsi kombinasi oral dalam 6 bulan pasca persalinan dapat menurunkan
volume ASI pada wanita menyusui.
13. Pada negara-negara dengan keterbatasan akses terhadap kontrasepsi, MAL dapat
direkomendasikan untuk digunakan.
14. Metode Amenore Laktasi (MAL) efektif mencegah kehamilan pada wanita menyusui pasca
persalinan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: amenorea, pemberian ASI eksklusif, proteksi

Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
terbatas pada 6 bulan pertama. MAL dapat dipertimbangkan penggunaannya pada daerah dengan
keterbatasan akses terhadap kontrasepsi.
Mengacu pada rekomendasi HTA tersebut, semua metode baik hormonal maupun non
hormonal dapat digunakan sebagai metode dalam pelayanan KB Pasca Persalinan. Metode tersebut
meliputi:

a. Non hormonal
1. Metode Amenore Laktasi (MAL).
2. Kondom.
3. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).
4. Abstinensia (Kalender).
5. Kontrasepsi Mantap (Tubektomi dan Vasektomi).
b. Hormonal
1. Progestin: pil, injeksi dan implan.
2. Kombinasi: pil dan injeksi.

b. Penguatan Konseling KB Pasca Persalinan


Dalam pelayanan KB pasca persalinan, sebelum mendapatkan pelayanan kontrasepsi, klien
dan pasangannya harus mendapat informasi dari petugas kesehatan secara lengkap, jelas dan benar
agar dapat menentukan pilihannya dengan tepat. Pelayanan KB pasca persalinan akan berjalan
dengan baik bila didahului dengan konseling yang baik, dimana klien berada dalam kondisi yang
sehat, sadar, dan tidak di bawah tekanan ataupun tidak dalam keadaan kesakitan (Mujianti dalam
data dan informasi kesehatan KEMENKES, 2013).
Konseling pelayanan KB pasca persalinan dapat menggunakan media lembar balik Alat
Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) ber-KB. Konseling KB pasca persalinan ini dapat
dilaksanakan pada waktu pemeriksaan kehamilan, saat mengisi amanat persalinan dalam P4K dan
saat mengikuti kelas ibu hamil, selama proses persalinan, pasca persalinan, dan sebelum/sesudah
pelayanan kontrasepsi. Setelah dilakukan konseling pada klien dan sudah ditentukan metode
kontrasepsi yang dipilih, klien memberikan persetujuannya berupa tanda tangan pada lembar
persetujuan tindakan medis (informed consent) untuk metode KB AKDR, implan serta kontrasepsi
mantap (tubektomi dan vasektomi) (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan KEMENKES,
2013)

c. Pencatatan dan Pelaporan KB Pasca Persalinan


Secara sederhana, jumlah target atau sasaran peserta KB Pasca Persalinan adalah pasangan usia
subur yang isterinya sedang dalam kondisi masa nifas (sampai 42 hari pasca persalinan). Agar hasil
Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
pelayanan KB Pasca Persalinan dapat menggambarkan kinerja seorang tenaga kesehatan maka semua
kegiatan pelayanan KB pasca persalinan yang dilaksanakan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
harus dicatat dalam format yang ada (kohort KB, kohort Nifas, kartu status peserta KB/K4, dan F2
KB) dan kemudian dilaporkan kepada Dinas (Mujianti dalam data dan informasi kesehatan
KEMENKES, 2013).

E. Kesimpulan
Angka Kematian Ibu (AKI) terjadi akibat komplikasi pada saat persalinan sehingga dapat
menimbulkan konsekuensi yang sangat serius. Selain itu, penyebab langsung kematian maternal
yang paling umum di Indonesia adalah pendarahan, eklamasi, dan infeksi. Persalinan di Indonesia
masih ada yang dilakukan di rumah tanpa bantuan seorang tenaga persalinan terlatih. Hal tersebut
terjadi karena harganya lebih murah dan mereka lebih nyaman dengan seseorang yang mereka
kenal dan percaya atau karena masih belum memadainya pelayanan kesehatan dan tenaga
kesehatan sehingga masyarakat tidak dapat menjangkaunya, terutama di pedesaan. Sebenarnya,
masalah tersebut dapat dicegah dengan pemakaian alat kontrasepsi. Namun, alat kontrasepsi tidak
mudah dijangkau oleh masyarakat sehingga mengakibatkan meningkatnya AKI (SDKI, 2012 ;
Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) diperlukan strategi yang efektif yaitu
meningkatkan upaya kesehatan. Upaya kesehatan yang dapat diberikan adalah dengan asuhan
persalinan normal dengan paradigma baru yaitu dari sikap menunggu dan menangani komplikasi
menjadi mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan
mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya. Penempatan bidan
harus adil dan merata sehingga tidak ada kesenjangan penempatan bidan baik di perkotaan maupun
di pedesaan. Dalam upaya tersebut harus bersifat non-diskriminatif dimana setiap ibu yang
membutuhkan pertolongan bidan wajib memperoleh pelayanan tersebut. Selain itu, ketersediaan
pelayanan kebidanan harus berkualitas, terjamin keamanannya, efektif dan sesuai serta
pembiayaan pelayanan kesehatan harus terjangkau oleh ibu yang membutuhkannya (SDKI, 2012
; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Masih mahalnya pembiayaan pelayanan kebidanan bagi ibu di kalangan miskin dapat
diatasi dengan adanya asuransi bagi ibu hamil dimana asuransi tersebut merupakan tanggung
jawab dari pemerintah, masyarakat dan swasta. Asuransi tersebut harus bersifat efektif, efisien,
adil dan transparan. Jadi, pemerintah harus menjangkau pembiayaan persalinan secara efektif dan
efisien serta adil dan transparan bagi ibu hamil. Sebenarnya, AKI dapat dicegah dengan pemakaian
alat kontrasepsi. Namun, alat kontrasepsi masih sulit dijangkau oleh ibu-ibu di kalangan miskin.
Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah menyediakan alat kontrasepsi yang aman, berkhasiat,
bermanfaat dan bermutu dimana alat kontrasepsi tersebut tersedia secara merata dan terjangkau.
Selain itu, masyarakat juga harus mendapatkan informasi yang benar, lengkap dan tidak
menyesatkan tentang alat kontrasepsi dari produsen, distributor maupun pelaku pelayanan
kesehatan (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Semua program yang diimplementasikan pemerintah kepada ibu-ibu tidak akan berjalan
optimal tanpa adanya perubahan perilaku dari ibu-ibu. Oleh karena itu, perlu adanya
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan, serta menjadi penggerak dalam menurunkan AKI. Pemberdayaan masyarakat
dilakukan dengan kemitraan berbagai pihak, dimana pemerintah berperan untuk membuka akses
informasi dan dialog, menyiapkan regulasi dan menyiapkan masyarakat dengan membekalinya
dengan pengetahuan dan ketrampilan bagi ibu-ibu maupun masyarakat dan ibu-ibu maupun
masyarakat dapat berpartisipasi dengan memberikan kritikan yang membangun untuk menurunkan
AKI (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI, 2009).
Angka Kematian Bayi (AKB) terjadi akibat BBLR, asfiksia lahir ataupun dipengaruhi oleh
kondisi ibu saat melahirkan. Selain itu, kematian perinatal dapat dipengaruhi oleh status ekonomi
(kemiskinan) sehingga menyebabkan bayi berpotensi memiliki gizi buruk dan status kesehatan
yang buruk pula. Dalam menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) diperlukan strategi yang
efektif yaitu meningkatkan upaya kesehatan. Upaya kesehatan yang dapat diberikan adalah dengan
asuhan persalinan normal dengan paradigma baru yaitu dari sikap menunggu dan menangani
komplikasi menjadi mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Hal tersebut dapat menurunkan
AKB karena bayi dilahirkan dengan selamat pada saat persalinan. Selain itu, pemerintah juga
memberikan makanan dan/atau minuman khusus ibu hamil secara gratis kepada ibu hamil seperti
susu khusus ibu hamil dan biscuit khusus ibu hamil. Hal tersebut dilakukan setiap seminggu sekali
sehingga ibu-ibu hamil di Indonesia dapat memperoleh nutrisi dan upaya tersebut harus dilakukan
secara adil dan merata baik di perkotaan maupun pedesaan. Selain itu, ketersediaan nutrisi tersebut
harus berkualitas, terjamin keamanannya, efektif dan sesuai (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan
KEMENKES RI, 2009, 2014).
Pemerintah harus mampu menciptakan nutrisi untuk ibu-ibu hamil baik dalam berupa
makanan atau minuman atau inovasi yang lainnya dimana nutrisi tersebut memberikan tambahan
nutrisi untuk ibu-ibu hamil sehingga anak yang akan dilahirkan selamat baik secara fisik maupun
kecerdasannya. Nutrisi tersebut harus diberikan secara gratis kepada ibu-ibu hamil secara merata
baik di perkotaan maupun di pedesaan. Bahan baku dari nutrisi tersebut harus bersumber dari
dalam negeri. Selain itu, pemerintah harus mampu menciptakan imunasi yang lebih efektif
daripada imunisasi sebelumnya melalui inovasi/kreatifitas yang dikelola secara profesional,
sistematis dan berkesinambungan sehingga tidak terdapat lagi anak-anak Indonesia yang

Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html
menderita polio dan menyebabkan kelumpuhan (SDKI, 2012 ; Profil Kesehatan KEMENKES RI,
2009, 2014).
Program pemerintah yang diimplementasikan untuk menurunkan AKB akan berjalan
optimal apabila pemerintah memberdayakan masyarakat untuk ikut andil dalam program yang
diimplementasikan. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan kemitraan berbagai pihak,
dimana pemerintah berperan untuk membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan regulasi dan
menyiapkan masyarakat dengan membekalinya dengan pengetahuan dan ketrampilan bagi ibu-ibu,
orang tua maupun masyarakat dan ibu-ibu, orang tua maupun masyarakat dapat berpartisipasi
dengan memberikan kritikan yang membangun untuk menurunkan AKB (SDKI, 2012 ; Profil
Kesehatan KEMENKES RI, 2009, 2014).

Sumber, http://yostanabsalominfo.blogspot.com/2016/07/kajian-terhadahap-anatomi-kematian-
ibu.html

Anda mungkin juga menyukai