Fase Pembangunan Pertanian, Paradigma Pembangunan Pertanian dan Agribisnis 1
1. FASE PEMBANGUNAN PERTANIAN, PARADIGMA PEMBANGUNAN PERTANIAN
DAN AGRIBISNIS
1.1 Fase Pembangunan Pertanian
Dalam perjalanan Indonesia merdeka, sektor pertanian pernah tercatat menjadi primadona atau leading sector dalam perekonomian yang menyumbang sekitar 70% lebih dari PDRB dan penciptaan lapangan kerja sekitar 52 % sekitar tahun 1980-an. Kesemrawutan dan tak adanya visi jangka panjang pembangunan ekonomi di negara ini membuat pertanian kemudian terpuruk dan peran sektor pertanian dalam perekonomian tak lebih dari sekadar pengganjal atau pelengkap bagi sektor lain (adjusting atau following sektor). Jatuh bangun sektor pertanian sangat terkait erat dengan berbagai faktor, seperti sistem nilai, kemajuan ilmu pengetahuan, perubahan teknologi, kebijakan ekonomi makro, dan strategi pembangunan ekonomi yang diterapkan pemerintah. Setelah mengalami fase-fase kritis masa revolusi hingga pertengahan tahun 1960-an, menurut beberapa pakar pertanian, Indonesia sebenarnya cukup berhasil memba-ngun fondasi atau basis pertumbuhan ekonomi yang baik pada tahun 1970-an, dengan terintegrasinya pemba-ngunan pertanian dalam kebijakan ekonomi makro. Salah satu indikator yang dirasakan langsung oleh masyarakat banyak adalah tercapainya swasembada beras tahun 1980-an. Namun, kondisi kondusif bagi pertanian itu ber-akhir tragis pada akhir 1980-an dan 1990-an, dengan terjadinya fase dekonstruktif sektor pertanian karena proteksi berlebihan terhadap industri yang mengorbankan pertanian. Pembangunan pertanian Indonesia bisa dibagi dalam enam fase, yaitu: 1. Fase Revolusi (1945-1965) Pada Fase ini merupakan langkah awal Pemerintah membangun pertanian adalah melakukan nasionalisasi perkebunan dan perusahaan milik eks-pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Pertanian pangan belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat hingga akhir tahun 1950-an. Produksi dan produktivitas padi baru meningkat setelah gerakan intensifikasi dibakukan menjadi Bimbingan Massal pada awal tahun 1960-an. Gerakan intensifikasi baru menemukan momentum dengan adanya Demonstrasi Massal berupa plot-plot percontohan dari para peneliti/mahasiswa tingkat akhir IPB pada lahan petani di pantai utara Jawa. Apalagi, pada saat yang sama juga bermunculan berbagai varietas unggul baru padi, gandum, jagung, dan tanaman biji-bijian lainnya.
2. Fase Konsolidasi (1967-1978)
Pada fase ini, sektor pertanian tumbuh 3,39 persen. Pertum-buhan ini terutama disumbangkan oleh subsektor tanaman pangan dan perkebunan yang tumbuh 3,58 persen dan 4,53 persen. Produksi beras mencapai di atas 2 juta ton pada tahun 1970-an dan produktivitas berhasil ditingkatkan menjadi dua kali lipat dari tahun 1963, yakni menjadi 2,5-3 ton per hektar. Tiga kebijakan penting pertanian diterapkan pada masa ini, yakni intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi, yang didu-kung kemampuan meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Fondasi kokoh untuk terjadinya pertumbuhan tinggi sektor pertanian pada periode berikutnya juga berhasil diciptakan pada fase ini. Perhatian besar ditunjukkan oleh pemerintah pada upaya menggenjot pembangunan sarana/infrastruktur vital pertanian, seperti sarana irigasi, jalan, dan industri pendukung, seperti semen dan pupuk. Selain itu juga dilakukan berbagai pembenahan institusi ekonomi, seperti konsolidasi kelompoktani hamparan, koperasi unit desa dan koperasi Laboratorium Manajemen Agribisnis Fase Pembangunan Pertanian, Paradigma Pembangunan Pertanian dan Agribisnis 2 pertanian lainnya, terobosan skema pendanaan, serta sistem latihan dan kunjungan sebagai andalan sistem penyuluhan. Peranan kredit pertanian (bersubsidi), keterjang- kauan akses finansial hingga pelosok pedesaan yang terjadi pada masa tersebut, dinilai seba gai reformasi spektakuler bidang ekonomi yang tidak bisa ditandingi oleh negara berkembang mana pun.
3. Tumbuh Tinggi (1978-1986)
Fase ini cukup penting bagi ekonomi pertanian Indonesia. Sektor pertanian tumbuh di atas 5,7% karena strategi pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian. Produksi pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan meningkat, dengan pertumbuhan 6,8%. Lonjakan kinerja produksi, terutama pa-ngan, seperti beras, jagung, dan biji-bijian lainnya ini, terutama disebabkan oleh mening katnya peran riset atau iptek dalam sektor pertanian. Program Revolusi Hijau dan revolusi teknologi pangan berhasil meningkatkan produktivitas pangan hingga 5,6% dan memungkinkan tercapainya swasembada pangan pada tahun 1984. Ketika itu, daerah produksi padi identik dengan kesejahteraan pedesaan. Kelemahan: Revolusi Hijau melalui sistem monokultur yang dipaksa di semua wilayah yang secara geografis sangat beragam dan secara tradisional selama ini mampu sub sisten dengan bahan makanan pokok lain, seperti jagung, ubi, dan sagu menyebabkan ketahanan pangan sangat rentan terhadap perubahan iklim dan mengakibatkan ekologi memburuk. Revolusi Hijau juga memunculkan ketergan-tungan petani kecil dan buruh tani pada tuan tanah dan pada input pertanian yang mahal dari luar, seperti bibit, pupuk, dan pestisida.
4. Fase Dekonstruksi (1986-1997)
Akibat kebijakan yang diterapkan sebelum dan selama periode ini, sektor pertanian mengalami kontraksi pertumbuhan hingga di bawah 3,4 persen per tahun. Para perumus kebijakan dan ekonom mengacuhkan sektor ini sehingga pertanian terbengkalai. Anggapan telah dicapainya keberhasilan swasembada pangan telah memunculkan persepsi bahwa pembangun an pertanian akan bergulir dengan sendirinya (taken for granted) dan melupakan prasyarat pemihakan dan kerja keras seperti yang dilakukan pada periode sebelumnya. Masa gelap pertanian semakin kental dengan adanya kebijakan teknokratik pembangunan ekonomi yang mengarah pada strategi industrialisasi footloose secara besar-besaran pada awal tahun 1990-an. Sejak 1980-an, berbagai komponen proteksi untuk sektor industri diberikan sehingga industri dan manufaktur tumbuh di atas dua digit per tahun. Saat itu muncul keyakinan Indonesia telah mampu bertransformasi dari negara agraris menjadi negara industri. Kebijakan yang diterapkan pemerintah diarahkan untuk menyedot seluruh sumberdaya dari sektor pertanian ke industri karena proyek-proyek pertanian dianggap tak bisa mendatangkan hasil secepat industri/investasi di perkotaan. Kebijakan pangan murah yang ada didesain untuk mensub sidi industri dengan cara menjaga harga barang-barang tetap terjangkau oleh upah para pekerja di perkotaan. Upaya proteksi besar-besaran secara sistematis terhadap industri itu membuat profitabilitas usaha pertanian tergero-goti, memicu kemerosotan investasi dan produktivitas di sektor pertanian, serta merapuhkan basis pertanian di tingkat yang paling dasar atau petani di pedesaan. Laboratorium Manajemen Agribisnis Fase Pembangunan Pertanian, Paradigma Pembangunan Pertanian dan Agribisnis 3 Kebijakan pertanian yang sangat distortif sehingga meresah kan masyarakat. contoh, upaya memangkas rantai tata niaga komoditas dengan mendirikan lembaga pemasaran baru yang kental dengan aroma perburuan rente oleh pelaku ekonomi dan birokrasi yang sangat sentralistik. Kebijakan ini mengakibatkan ambruknya kesejahteraan petani dan melencengnya pembangunan di Indonesia.
5. Fase Krisis (1997-2001)
Pada fase ini, sektor pertanian yang sudah babak belur harus menanggung dampak krisis, yakni menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal dan perkotaan, dan harus menjadi penyelamat ekonomi Indonesia. Ketergantungan petani pada input produksi mahal dari luar akibat kebijakan di masa lalu, menjadi bumerang pada saat panen gagal akibat kekeringan atau saat krisis ketika keran impor ditutup untuk menghemat devisa, subsidi pupuk dicabut dan invasi beras dari luar menyerbu pasar domestik, baik dalam bentuk bantuan pangan murah, beras selun-dupan maupun impor.
6. Fase Transisi dan Desentralisasi (2001-sekarang)
Fase transisi dan desentralisasi (2001-sekarang). Ini fase yang serba tidak jelas bagi para pelaku ekonomi dan bagi sektor pertanian Indonesia. Pembangunan pertanian pada era desentralisasi, yang mestinya diterjemahkan menjadi peningkatan basis kemandirian daerah dan wewenang daerah untuk lebih leluasa melakukan kombinasi strategi pemanfaatan keunggulan komparatif dan kompetitif, ternyata tidak berjalan.
1.2 Agribisnis dan Pembangunan Pertanian
Pembangunan berkelanjutan di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan di dalam negeri saja tetapi juga berkaitan dengan hubungan internasional, kondisi lingkungan, semakin berkurangnya luas hutan, keanekaragaman hayati di daratan maupun di laut, serta angka kepunahan sumberdaya hayati yang tinggi. Dengan demikian, pembangunan yang terjadi pada saat ini perlu diperkuat dengan komitmen pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan penyediaan sarana dan prasarana pertanian agar kebijakan pembangunan mengedepankan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan secara imbang. Pembangunan pertanian harus ditujukan untuk mewujudkan pertanian yang bermartabat, meliputi petani dan usahataninya. a. Pertanian yang bermartabat Negara berkewajiban untuk menjamin kedaulatan petani dalam mengelola usahanya serta memberikan perlindungan dan pemberdayaan sehingga berusahatani merupakan pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan dan dapat menjamin penghidupan yang sejahtera bagi seluruh keluarga petani. b. Pertanian mandiri Kemandirian dan kedaulatan di bidang pertanian mampu menempatkan bangsa dan negara Indonesia memiliki posisi penting dan memiliki tingkat kesejahteraan yang sejajar dengan bangsa lain pada umumnya dan memiliki pengaruh dan memiliki kemampuan memimpin perkembangan dunia ke arah yang lebih sejahtera, adil dan berkelanjutan. c. Pertanian maju tercermin dalam penerapan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang paling baru pada masanya, dari hulu sampai hilir, yang memiliki keunggulan dibandingkan bangsa lain khususnya di bidang pertanian tropika. d. Pertanian yang adil berkaitan dengan pemerataan dan keseimbangan kesempatan berusahatani, politik, dan jaminan penghidupan baik secara horizontal antar petani Laboratorium Manajemen Agribisnis Fase Pembangunan Pertanian, Paradigma Pembangunan Pertanian dan Agribisnis 4 maupun antar petani-non petani, secara spasial (desa-kota, antar pulau, antar kawasan), secara sektoral dan antar bidang pekerjaan, maupun secara sosial (gender, bentuk usaha, kepemilikan asset). e. Pertanian yang makmur dicirikan oleh kehidupan seluruh petani yang serba berkecukupan terbebas dari ancaman rawan pangan dan kemiskinan. Pertanian yang makmur merupakan resultante dari pertanian yang bermartabat, mandiri, maju, dan adil.
Tantangan utama pembangunan pertanian di masa datang mencakup:
1. Perubahan iklim global akan mengurangi kapasitas produksi pertanian. 2. Peningkatan kelangkaan ketersediaan dan persaingan pemanfaatan lahan dan air. 3. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasai akan meningkatkan kebutuhan bahan pangan, air dan energi. 4. Inovasi IPTEK semakin kompleks dan kepemilikannya eksklusif. 5. Industri dan perdagangan sarana dan hasil pertanian global semakin dikuasai oleh perusahaan multinasional. 6. Meningkatnya permintaan terhadap jaminan atribut mutu produk. 7. Tuntutan desentralisasi dan reformasi pemerintahan serta partisipasi masyarakat dapat menghambat pembangunan pertanian bila tidak dikelola dengan baik. Kemampuan untuk menjadikan tantangan eksternal merupakan kunci keberhasilan pembangunan pertanian Indonesia di masa datang. Peluang tersebut meliputi: 1. Pemanfaatan sumberdaya insani demikian besar termasuk pelaksana penggerak proses produksi (SDM) dan pengembangan rantai nilai. 2. Pemanfaatan keunggulan komparatif Indonesia sebagai negara tropis dan maritim, yang secara alami merupakan kawasan produktivitas tinggi. 3. Pemanfaatan peningkatan permintaan terhadap pangan, pakan, bioenergi dan bioproduk ramah lingkungan dengan mengembangkan bioindustri. 4. Pemanfaatan penghargaan atas jasa lingkungan sebagai peluang untuk mengembangkan pertanian agroekologis. 5. Pemanfaatan kemajuan IPTEK global untuk pengembangan inovasi pertanian dan bioindustri spesifik lokasi melalui pengembangan sistem inovasi. 6. Pemanfaatan secara bijaksana potensi sumberdaya lahan dan air yang masih tersedia cukup besar di Indonesia, khususnya di luar Jawa. 7. Pemanfaatan desentralisasi dan reformasi pemerintahan serta partisipasi masyarakat untuk pengembangan sistem politik pertanian. Paradigma pertanian untuk pembangunan berbeda dari pandangan tradisional yaitu pertanian hanya dari segi sumbangan langsung dalam penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi dan penerimaan devisa yang menurun seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi, sehingga salah menyimpulkan bahwa pertanian tidak layak dijadikan motor penggerak dan prioritas pembangunan. Paradigma Pertanian untuk Pembangunan menekankan fungsi ganda pertanian dan pembangunan pertanian dilaksanakan secara terpadu dan berdasarkan pada tahapan transformasi perekonomian nasional. Sektor pertanian diarahkan untuk mengemban 10 fungsi strategis dalam pembangunan nasional: a. Pengembangan sumberdaya insani; b. Ketahanan pangan; c. Penguatan ketahanan penghidupan keluarga; Laboratorium Manajemen Agribisnis Fase Pembangunan Pertanian, Paradigma Pembangunan Pertanian dan Agribisnis 5 d. Basis (potensial) untuk ketahanan energi (pengembangan bioenergi); e. Pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan; f. Jasa lingkungan alam (ekosistem), amenity dan kultural; g. Basis (potensial) untuk pengembangan bioindustri; h. Penciptaan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan; i. Penguatan daya tahan perekonomian nasional; j. Sumber pertumbuhan berkualitas. Paradigma Pertanian untuk Pembangunan berpandangan bahwa tahapan pencapaian dan peta jalan transformasi struktural merupakan landasan untuk menetapkan posisi sektor pertanian dalam pembangunan nasional, sebagai landasan untuk menetapkan strategi, kebijakan dan program pembangunan pertanian. Transformasi yang esensial dalam mendesain rancana jangka panjang pembangunan pertanian mencakup lima proses transformasi, yakni: transformasi demografi, transformasi ekonomi, transformasi spasial, transformasi institutional, transformasi tatakelola pembangunan dan transformasi pertanian. Transformasi berimbang hanya dapat diwujudkan bila kelima transformasi lainnya berlangsung secara bertahap dan harmonis bertumpu pada transformasi pertanian.
Gambar 1.1 Transformasi Pertanian sebagai Poros Transformasi
Pembangunan Nasional Sumber: Simantupang, 2013 Sesuai dengan paradigma Pertanian untuk Pembangunan, transformasi pertanian merupakan poros penggerak transformasi pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan paradigma ini, proses transformasi pembangunan nasional dikelola sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung dengan terpadu, sinergis, selaras dan berimbang dengan proses transformasi pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Simatupang, Pantjar, dkk. 2013. Konsep Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013-2045. Jakarta: Biro Perencanaan Kementerian Pertanian.