Anda di halaman 1dari 35

EFISIENSI TEKNIS DAN EFISIENSI EKONOMIS FAKTOR-FAKTOR

PENGERINGAN KOMODITAS KAPULAGA SECARA MEKANIS DI


KABUPATEN LUMAJANG

PROPOSAL SKRIPSI

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Agribisnis (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Pertanian

Dosen Pembimbing :
Djoko Soejono, SP, MP

Oleh :
Indri Shofiana Sari
171510601149

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2024

i
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................3
1.1 Latar Belakang.............................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................................7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................8
2.1 Penelitian Terdahulu...................................................................................8
2.2 Landasan Teori...........................................................................................11
2.2.1 Komoditas Kapulaga (Amomum compactum Soland. Ex Maton).......11
2.2.2 Pasca Panen...........................................................................................12
2.2.3 Teori Efisiensi Teknis...........................................................................16
2.2.4 Teori Analisis Frontier..........................................................................17
2.3 Kerangka Pemikiran..................................................................................20
2.4 Hipotesis......................................................................................................24
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN.............................................................25
3.1. Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………… 25
3.2 Metode Penelitian.......................................................................................26
3.3 Metode Pengumpulan Data.......................................................................26
3.4.Metode Pengambilan Contoh....................................................................27
3.5 Analisis Data...............................................................................................29
3.6 Definisi Operasional...................................................................................31
3

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari empat subsektor yaitu tanaman
hortikultura, tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan tanaman kehutanan.
Sektor pertanian merupakan salah satu sumber mata pencaharian seorang petani
oleh karena itu sektor pertanian merupakan sektor yang diandalkan banyak
penduduk di Indonesia. Pertanian merupakan salah satu kegiatan untuk
pemanfaatan sumber daya alam hayati yang dilakukan manusia untuk
menghasilkan bahan pangan serta untuk mengelola lingkungannya
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi besar
terhadap sektor pertanian, mulai dari tanaman pangan, perkebunan, buah-buahan,
sayuran hingga tanaman biofarmaka. Komoditas kapulaga merupakan salah satu
tanaman biofarmaka atau tanaman obat-obatan yang berpotensi dibudidayakan di
beberapa daerah di Jawa Timur, Jawa Timur memiliki 37 daerah yang terdiri atas
28 kabupaten dan 9 kota, namun tidak semua daerah berpotensi baik untuk
budidaya kapulaga.
Tabel 1.1 Produksi Tanaman Biofarmaka Kapulaga, Menurut Kabupaten atau
Kota dan Jenis Tanaman di Provinsi Jawa Timur (kg), 2021 - 2022
No Kabupaten/Kota Kapulaga/Java
(Regency/Municipality) Cardamom
2021 2022
1 Lumajang 243,000 5,970,075
2 Malang 1,395,846 1,463,938
3 Banyuwangi 12,595 441,586
4 Jember 36,414 264,889
5 Trenggalek 329,703 197,404
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur 2022
Berdasarkan tabel 1.1 mengenai produksi tanaman biofarmaka kapulaga
Provinsi Jawa Timur tahun 2021-2022 menunjukkan 5 (lima) kabupaten atau kota
yang memiliki produksi tanaman biofarmaka terbesar di Jawa Timur, yaitu
Lumajang, Malang, Banyuwangi, Jember dan Trenggalek. Kelima kabupaten
tersebut memiliki jumlah produksi tanaman biofarmaka yang berbeda-beda. Tabel
4

menunjukan bahwa Lumajang menduduki posisi pertama sebagai penghasil


produksi tanaman biofarmaka di Jawa Timur.
Tabel 1.2 Produksi Tanaman Biofarmaka Menurut Kecamatan dan Jenis Tanaman
di Kabupaten Lumajang (kg), 2021 dan 2022
Kapulaga
No Kecamatan (Java Cardamom)
(Subdistrict) 2021 2022
1 Senduro - 5,843,285
2 Pronojiwo 156,000 84,000
3 Pasrujambe 37,000 25,540
4 Klakah 50,000 17,000
5 Pasirian - 250
Kabupaten Lumajang 243,000 5,970,075
Sumber : Lumajang Dalam Angka 2023
Berdasarkan Tabel 1.2 dapat diketahui bahwa peringkat pertama untuk
jumlah produksi tanaman kapulaga terbesar di Lumajang pada tahun 2022 ada
pada Kecamatan Senduro dengan jumlah total produksi kapulaga sebesar
5,843,285kg, selanjutnya pada peringkat kedua ada pada Kecamatan Pronojiwo
dengan jumlah total produksi kapulaga sebesar 84,000Kg, selanjutnya pada
peringkat ke 3 ada pada Kecamatan Pasrujambe dengan total produksi kapulaga
sebesar 25,540Kg, selanjutnya pada posisi ke 4 ada pada Kecamatan Klakah
dengan jumlah produksi kapulaga sebesar 17,000Kg dan pada posisi terakhir ada
pada Kecamatan Pasirian dengan jumlah produksi kapulaga sebesar 250kg.
Komoditas kapulaga sangat berpotensi dikembangkan di Lumajang ,
komoditas kapulaga merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap sinar matahari
langsung, oleh karena itu komoditas kapulaga membutuhkan tanaman pelindung
sebagai tanaman naungan nya, tanaman naungan yang disarankan untuk
komoditas kapulaga yaitu tanaman pohon yang bisa untuk dipanen seperti sengon,
damar, kopi, pisang dan lain sebagainya. Harga jual dan perawatan selama masa
tanam yang mudah membuat banyak masyarakat menanam rempah ini di
perkebunannya. khususnya di daerah Senduro dan Pasrujambe karena di desa
Burno Kecamatan Senduro dan di desa Kertosari Kecamatan Pasrujambe
5

merupakan daerah yang memiliki hutan rakyat yang dimanfaatkan oleh


masyarakat sekitar untuk menanam komoditas kapulaga, Pola tanam di Desa
Burno dan Kertosari umumnya menggunakan pola tanam Agroforesty atau
tumpangsari, Pola agroforestry yang saat ini dikembangkan di Kabupaten
Lumajang yaitu penanaman agroforestri yang menempatkan tanaman pohon dan
tanaman pertanian secara berselang seling, dengan jenis tanaman sengon dan
kapulaga.
Petani biasanya menjual kapulaga dalam keadaan kering karena harga
kapulaga kering lebih tinggi daripada kapulaga basah, kadar air buah kapulaga
kering yang diinginkan pembeli adalah sekitar 12%-15%, umur panen kapulaga
juga mempengaruhi hasil akhir dari kapulaga kering, jika petani memanen
kapulaga pada umur 3 bulan maka untuk menghasilkan 1kg kapulaga kering
membutuhkan 7kg kapulaga basah, dan jika petani memanen kapulaga pada umur
5 bulan maka untuk mendapatkan 1kg kapulaga kering hanya diperlukan 3kg
kapulaga basah. Pada dasarnya para petani dalam melakukan penanganan pasca
panen pengeringan kapulaga menginginkan proses yang lebih cepat dan tepat
tanpa harus merusak mutu dari kapulaga tersebut, karena pada masa panen
kapulaga menyebabkan penimbunan kapulaga yang terlalu lama dan air yang
terkandung di dalamnya dapat merusak buah kapulaga.hal ini harapkan para
petani karena jika pengeringan dilakukan dengan cepat maka mutu kapulaga lebih
terjaga dan lebih cepat pula para petani mendapatkan uang dari hasil penjualan
kapulaga kering.
Kegiatan pasca panen pengeringan yang dilakukan oleh petani ada 2
macam yaitu pengeringan secara manual (tradisional) dan pengeringan secara
mekanis yaitu dengan cara menggunakan mesin oven, pada saat ini mayoritas
petani kapulaga masih melakukan teknik pengeringan secara manual (tradisional)
yang prosesnya membutuhkan waktu 4-10 hari penjemuran untuk mendapatkan
buah kapulaga yang kering maksimal. Pada teknik manual, kapulaga dijemur
langsung di bawah terik matahari tanpa melalui perlakuan lainnya. Selama proses
pengeringan, kapulaga dibolak-balik dengan tangan menggunakan sarung tangan
yang bersih, atau ada juga yang menggunakan alat terbuat dari kayu yang
6

biasanya disebut dengan garukan atau garu sampai diperoleh buah kapulaga
kering dengan kadar air maksimal 12% dengan ciri bila buah kapulaga ditekan
dengan 2 jari akan pecah dan buahnya terpisah-pisah.
Penanganan pasca panen selanjutnya yaitu penanganan pasca panen secara
mekanis atau menggunakan mesin oven, seiring dengan berkembangnya
teknologi, beberapa petani sudah melakukan pengeringan secara mekanis yaitu
dengan cara menggunakan mesin oven dalam mengeringkan buah kapulaganya.
Mesin oven ini lebih praktis karena para petani hanya perlu menuang kapulaga
basah kedalam oven lalu membolak balik buah kapulaga dalam oven selama 1 jam
sekali supaya buah kapulaga kerig merata, oven ini menggunakan energi panas
dari gas lpg dengan kapasitas 120kg dalam sekali proses pengeringan, mesin oven
ini dapat menghasilkan buah kapulaga kering hanya dengan kisaran waktu 8 jam
saja . beberapa mesin oven ini sudah saya temukan ada di Desa Burno Kecamatan
Senduro.

1.2 Rumusan Masalah


Pada masa panen kapulaga menyebabkan penimbunan kapulaga yang terlalu
lama dan air yang terkandung di dalamnya dapat merusak buah kapulaga. Oleh
karena itu pengeringan kapulaga merupakan salah satu masalah yang harus diatasi
dengan baik dan benar agar tidak mempengaruhi kualitas mutu kapulaga.
Pengeringan kapulaga menggunakan sistem manual atau menggunakan sinar
matahari membutuhkan waktu yang lama sekitar 4-10 hari proses penjemuran
tergantung dengan intensitas panas dari matahari, sedangkan pada penanganan
pasca panen secara mekanik dengan oven hanya membutuhkan waktu 8 jam saja
untuk mengeringkan 120kg kapulaga. Maka dari itu proses penanganan pasca
panen secara mekanis menggunakan oven akan mempercepat proses pengeringan.
Hal tersebut dirasa lebih efisien karena tidak membutuhkan waktu yang lama pada
proses pengeringan. Pada fenomena yang sudah saya uraikan diatas itulah yang
mendasari peneliti untuk melakukan penelitian ini. Adapun perumusan masalah
dari penjelasan diatas yakni:
7

1. Bagaimanakah efisiensi teknis Penanganan Pasca Panen Komoditas Kapulaga


secara manual dan mekanis di Kabupaten Lumajang?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui efisiensi teknis Penanganan Pasca Panen Komoditas
Kapulaga secara manual dan mekanis di Kabupaten Lumajang

1.3.2 Manfaat Penelitian


1. Bagi Pemerintah, dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat kebijakan
dalam bidang pertanian.
2. Bagi Masyarakat, dapat digunakan sebagai informasi tambahan terkait
usahatani kapulaga.
3. Bagi petani, dapat digunakan sebagai acuan dalam hal pelaksanaan usahatani
kapulaga di masa mendatang.
4. Bagi peneliti, dapat dijadikan referensi penelitian dalam melakukan penelitian
selanjutnya.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Untuk mendekati permasalahan terkait dengan efisiensi teknis penanganan
pasca panen komoditas kapulaga, peneliti menggunakan 3 literatur pada penelitian
terdahulu. Penelitian pertama dilakukan oleh Lestari et al. (2020) dengan judul
penelitian “Kinerja Cabinet Dryer pada Pengeringan Jahe Merah dengan
Memanfaatkan Panas Terbuang Kondensor Pendingin Udara”. Tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mengkaji kinerja cabinet dryer dengan sumber
pemanas berasal dari panas terbuang kondensor AC, pada pengeringan jahe
merah, dan dengan beberapa tingkat beban pengeringan yang berbeda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah bahan yang dikeringkan,
maka akan semakin tinggi efisiensi pengeringannya, begitu sebaliknya. Pada
pengujian ini menunjukkan bahwa efisiensi pengeringan tergolong rendah yang
disebabkan karena input energi yang tinggi sedangkan jumlah bahan yang
dikeringkan terlalu sedikit.
Penelitian kedua juga dilakukan oleh Destryana & Pramasari (2021)
dengan judul penelitian “Peningkatan Produktivitas Lengkuas melalui Teknologi
Tepat Guna bagi Kelompok Tani Amanah di Desa Matanir Jawa Timur”. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan produktivitas lengkuas segar bersih
dalam proses penanganan pasca panen melalui pemberdayaan masyarakat dalam
penggunaan mesin pencuci lengkuas pada Kelompok Tani Amanah di Desa
Matanir, Jawa Timur. Kegiatan ini terdiri dari 2 metode pendekatan yaitu melalui
pelatihan dan pendampingan penggunaan teknologi tepat guna mesin pencuci
lengkuas. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
kuantitas hasil produksi lengkuas segar bersih dengan efisiensi waktu 28% jika
dibandingkan dengan proses pencucian manual. Tidak hanya itu, metode tersebut
mampu mengurangi biaya operasional tenaga kerja. Hal tersebut dapat berdampak
kepatta kelompok tani mitra seara ekonomi dan sosial pada peningkatan
kesejahteraan petani dan peningkatan pengetahuan masyarakat sebesar 60-80%
terhadap teknologi tepat guna yang digunakan pada bidang pertanian.

i
9

Penelitian ketiga dilakukan oleh Wardhani et al. (2023) dengan judul


penelitian “Pengaruh Perendaman, Waktu dan Ketebalan pada Pengeringan Jahe
Putih (Zingiber officinale var. Amarum) Menggunakan Tray Dryer dan Solar
Dryer.” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perendaman
terhadap kadar air, pengaruh waktu dan dimensi ketebalan jahe terhadap laju
pengeringan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pengeringan tray dryer dan pengeringan tradisional menggunakan sinar matahari
(solar dryer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas jahe terbaik
didapatkan pada pengeringan menggunakan tray dryer dibandingkan dengan
solar dryer. Hal tersebut ditandai dengan laju pengeringan optimum
menggunakan tray dryer diperoleh pada waktu 60 menit dengan ketebalan 2 mm
sebesar 0,433 g/menit. Sedangkan laju pengeringan optimum menggunakan solar
dryer diperoleh waktu 90 menit dengan ketebalan 2 mm sebesar 0,133 g/menit.
Dengan demikian, pengeringan menggunakan tray dryer dapat menjadi solusi
untuk mengoptimalkan proses pengeringan jahe agar lebih efisien.
Penelitian keempat dilakukan oleh Samudra & Rofi (2023) dengan judul
penelitian “Kinerja Alat Pegering Kunyit Bersumber Panas Hair Dryer”. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja alat pengering kunyit degan
menggunakan oven yang mendapatkan sumber panas hair dryer. Jenis penelitian
ini merupakan penelitian eksperimen murni menggunakan sampel kunyit dengan
berat 200 gram dan menggunakan 3 varian waktu yaitu 30, 60 dan 90 menit. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengeringan terbaik dengan suhu yang sama yaitu
55°C didapatkan pada waktu 90 menit dibandingkan pada waktu 30 dan 60 menit.
Pada waktu 90 menit dengan berat awal 200 gram menjadi 118 gram. Sedangkan
pada wkatu 30 menit beratnya menjadi 168 gram dan pada wkatu 60 menit
beratnya menjadi 152 gram. Dengan demikian, semakin lama waktu pengeringan
maka semakin besar pula jumlah penyusutannya. Sehingga metode ini dinilai
lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan pengeringan secara manual
menggunakan panas sinar matahari saja.
Penelitian kelima dilakukan oleh Elfiana et al. (2021) dengan judul
penelitian “Desiminasi Oven Drying Vacuum (ODV) untuk Pengeringan Rempah
10

Bandrek Siap Saji di Desa Kumbang Kecamatan Syamtalira Aron Kabupaten


Aceh Utara”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas
rempah kering bubuk bandrek siap saji dengan mendesiminasikan teknologi
pengeringan vakum mesin Oven Drying Vacuum (ODV). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa teknik pengeringan dengan menggunakan mesin Oven
Drying Vacuum (ODV) memakan waktu pengeringan 2-4 jam dengan kualitas
bubuk rempah memenuhi standar SNI 01-3709-1995 dengan kadar air sebesar
5,86% dan kadar abu sebesar 7,77%. Jika dibandingkan dengan proses
pengeringan tradisional menggunakan sinar matahari yang membutuhkan waktu
pengeringan sekitar 2-7 hari, proses pengeringan menggunakan Oven Drying
Vacuum (ODV) dinilai lebih efektif karena dapat dioperasikan setiap waktu
sehingga dapat meningkatkan produktifitas bandrek siap saji.
Penelitian ke enam dilakukan oleh Elfiana et al. (2020) dengan judul
penelitian “Peningkatan Kualitas Bandrek Celup menggunakan Teknologi
Dehidrator pada Usaha Bubuk Bandrek Kumbang Pase Kecamatan Syamtalira
Aron Kabupaten Aceh Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan
kualitas rempah kering bubuk bandrek dengan menerapkan teknologi dehidrator
pengganti proses pengeringan secara tradisional. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa proses pengeringan dengan menggunakan teknologi dehidrator
membutuhkan waktu yang lebih singkat yaitu 4-6 jam sedangkan pengeringan
secara tradisional membutuhkan ± 5-9 hari. Sehingga pengeringan menggunakan
mesin dehidrator dinilai lebih efisien jika dibangingkan dengan pengeringan
menggunakan metode tradisional.
Penelitian ke tujuh dilakukan oleh Mandal et al. (2018) dengan judul penelitian
“Development of Low Cost Portable Biomass Fired Dryer for Cardamom Drying
in Hilly Areas”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan
pengering kapulaga (Amomum subulatum Roxburgh) berbahan bakar biomassa
portable dengan biaya rendah di daerah perbukitan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengeringan menggunakan bahan bakar biomassa portable membutuhkan
waktu pengeringan selama 14 jam dengan muatan kapulaga sebesar 20 kg dan 19
jam untuk muatan kapulaga sebesar 30 kg. proses tersebut jauh lebih singkat jika
11

dibandingkan dengan sistem pengeringan tradisional yang dapat membutuhkan


waktu antara 25-40 jam.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Komoditas Kapulaga (Amomum compactum Soland. Ex Maton)


Tanaman ini sangat dikenal sebagai tanaman rempah yang digunakan untuk
bumbu berbagai makanan dan minuman, namun digunakan juga sebagai bahan
ramuan obat tradisional. Kapulaga merupakan nama umum untuk tanaman dari
marga Zingiberaceae yang diambil buahnya sebagai produk komersial. Buah
kapulaga dihasilkan dari genus Elettaria, Amomum, dan Aframomum. Buah
kapulaga yang paling komersial (true cardamom) adalah kapulaga sebrang
(Elettaria cardamomum var. cardamomum) yang mempunyai beberapa ras seperti
ras Malabar dan ras Mysore yang merupakan tumbuhan asli India Selatan dan
Srilanka. Jenis kapulaga lokal yang asli Indonesia adalah Amomum cardamomum
yang memiliki kandungan minyak atsiri lebih rendah (false cardamon) dan
merupakan substitusi kapulaga dengan harga yang lebih rendah. Baik kapulaga
sebrang maupun kapulaga lokal dibudidayakan di Indonesia. Kapulaga dari genus
Aframomum dibudidayakan di Afrika misalnya Aframomum melegueta Rosc. juga
merupakan substitusi bagi true cardamom. Berikut akan dijelaskan klasifikasi
ilmiah tanaman kapulaga:
Kingdom (Kerajaan) : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Division (Divisi) : Magnoliophyta
Class (Kelas) : Liliopsida
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae (suku jahe-jahean)
Genus : Amomum
Spesies : Amomum compactum soland ex Maton
12

Ciri-ciri kapulaga sebrang memiliki batang robus yang mencapai tinggi 2-


4m, batangnya berbalut pelepah daun yang berwarna hijau muda, pangkal dan
ujung daun berbentuk runcing. Bunga majemuk kapulaga tersusun dalam tandan
yang tumbuh dari dalam tanah bertangkai panjang dan manjelar di permukaan
tanah, buah kapulaga ini berwarna hijau, buahnya berbentu seperti telur, bersegi 3
dan kalau buah kapulaga ini sudah masak akan pecah. Buah kapulaga kering
mengandung 5-8% minyak atsiri. Sedangkan untuk kapulaga lokal mempunyai
habitus yang lebih kecil dari kapulaga sebrang, tinggi batang 1-2,5m, pangkal
batang berwarna hijau kemerahan. Bentuk daun lanset, ujung daun dan pangkal
daun tidak terlalu runcing, bunga berbentuk bonggol yang bertangkai pendek,
tumbuh dari dalam tanah warna buah hijau kemerahan, bentuknya bundar agak
pipih dan buah keringnya mengandung lebih sedikit minyak atsiri yaitu sekitar 2-
3,5% (Evizal, 2013).

2.2.2 Pasca Panen


Menurut Damardjati, D.S. (1979) Penanganan pasca panen merupakan
upaya sangat strategis dalam rangka mendukung peningkatan produksi.
Konstribusi penanganan pasca panen terhadap peningkatan produksi dapat
tercermin dari penurunan kehilangan hasil dan tercapainya mutu sesuai
persyaratan mutu.
Menurut Mutiarawati (2009) dalam bidang pertanian istilah pasca panen
diartikan sebagai berbagai tindakan atau perlakuan yang diberikan pada hasil
pertanian setelah panen sampai komoditas berada di tangan konsumen.
Penanganan pasca panen memiliki tujuan agar hasil tanaman tersebut dalam
kondisi baik dan sesuai untuk dapat segera dikonsumsi atau untuk bahan baku
pengolahan. Pada penanganan hasil tanaman ada beberapa tindakan yang harus
dilakukan segera setelah panen. Tindakan tersebut bila tidak dilakukan segera,
akan menurunkan kualitas dan mempercepat kerusakan sehingga komoditas tidak
tahan lama disimpan. Perlakuan pasca panen berbeda-beda untuk berbagai bidang
kajian antara lain:
13

1. Pengeringan (drying) bertujuan mengurangi kadar air dari komoditas. Pada


buah-buahan pengeringan dilakukan sampai kadar air tertentu agar dapat
disimpan lama.
2. Pendinginan pendahuluan (precooling) untuk buah-buahan dan sayuran buah.
Buah setelah dipanen segera disimpan di tempat yang dingin atau sejuk, tidak
terkena sinar matahari, agar panas yang terbawa dari kebun dapat segera
didinginkan dan mengurangi penguapan, sehingga kesegaran buah dapat
bertahan lebih lama. Bila fasilitas tersedia, precooling ini sebaiknya dilakukan
pada temperatur rendah (sekitar 10°C) dalam waktu 1 – 2 jam.
3. Pemulihan (curing) untuk ubi, umbi dan rhizom. Pada bawang merah, jahe
dan kentang dilakukan pemulihan dengan cara dijemur selama 1 – 2 jam
sampai tanah yang menempel pada umbi kering dan mudah
dilepaskanatauumbi dibersihkan, setelah itu segera disimpan di tempat yang
dinginatausejuk dan kering.
4. Pengikatan (bunching) dilakukan pada sayuran daun, umbi akar (wortel) dan
pada buah yang bertangkai seperti rambutan, lengkeng dll. Pengikatan
dilakukan untuk memudahkan penanganan dan mengurangi kerusakan.
5. Pencucian (washing) dilakukan pada sayuran daun yang tumbuh dekat tanah
untuk membersihkan kotoran yang menempel dan memberi kesegaran.
Pencucian juga dapat mengurangi residu pestisida dan hama penyakit yang
terbawa. Pada proses ini disarankan menggunakan air yang bersih,
penggunaan desinfektan pada air pencuci sangat dianjurkan.
6. Pembersihan (cleaning, trimming) yaitu membersihkan dari kotoran atau
benda asing lain, mengambil bagian-bagian yang tidak dikehendaki seperti
daun, tangkai atau akar yang tidak dikehendaki.
7. Sortasi yaitu pemisahan komoditas yang layak pasar (marketable) dengan
yang tidak layak pasar, terutama yang cacat dan terkena hama atau penyakit
agar tidak menular pada yang sehat.
Pengeringan merupakan salah satu tahapan yang penting pada penanganan
pasca panen. Juliana (2008) mengatakan bahwa pengeringan merupakan suatu
metode untuk mengeluarkan sebagian besar air dari suatu bahan melalui
14

penerapan energi panas. Pengeringan dapat dilakukan dengan memanfaatkan sinar


matahari (pengeringan alami) dan dapat juga dilakukan dengan menggunakan
peralatan khusus yang digerakkan oleh tenaga listrik. Proses pengeringan bahan
pangan dipengaruhi oleh luas permukaan bahan pangan, suhu pengeringan, aliran
udara, tekanan uap air dan sumber energi yang digunakan serta jenis bahan yang
akan dikeringkan.
Pengeringan merupakan proses penghilangan sejumlah air dari material.
Dalam pengeringan, air dihilangkan dengan prinsip perbedaan kelembaban antara
udara pengering dengan bahan makanan yang dikeringkan. Bahan biasanya
dikeringkan, dalam proses ini terjadi perpindahan massa air dari bahan ke udara
pengering (Rohman, 2008). Pengeringan akan menyebabkan tejadinya perubahan
warna, tekstur dan aroma bahan pangan. Pada umumnya bahan pangan yang
dikeringkan akan mengalami pencoklatan (browning) yang disebabkan oleh
reaksi-reaksi nonenzimatik. Pengeringan menyebabkan kadar air bahan pangan
menjadi rendah yang juga akan menyebabkan zat-zat yang terdapat pada bahan
pangan seperti protein, lemak, karbohidrat dan mineral akan lebih terkonsentrasi.
Proses pengeringan yang berlangsung pada suhu yang sangat tinggi akan
menyebabkan terjadinya case hardening, yaitu bagian permukaan bahan pangan
sudah kering sekali bahkan mengeras sedangkan bagian dalamnya masih basah.
Menurut Taib et al. (1987), selama proses pengeringan berlangsung terjadi
dua peristiwa penting, yaitu: proses perpindahan panas dan proses perpindahan
massa. Proses perpindahan panas terjadi karena suhu bahan lebih rendah
dibandingkan suhu udara yang dialirkan di sekeliling bahan. Panas yang diberikan
akan meningkat suhu bahan dan menyebabkan tekanan uap air dari bahan ke
udara merupakan perpindahan massa. Selanjutnya Earle (1969) dalam Taib et al.
(1987) menjelaskan bahwa mekanisme perpindahan panas terjadi secara
pemancaranatauradiasi, konduksi dan konveksi. Pada proses pengeringan harus
diperhatikan suhu udara pengering. Semakin besar perbedaan antara suhu media
pemanas dengan bahan yang dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah
panas ke dalam bahan pangan, sehingga penguapan air dari bahan akan lebih
banyak dan cepat (Taib et al., 1987)
15

Pengeringan di Indonesia sendiri terbagi menjadi 2 macam yaitu


pengeringan secara manual dan pengeringan secara mekanis, Pengeringan di
tingkat petani Indonesia sebagian besar dilakukan dengan sinar matahari dan
hanya sebagian kecil petani yang melakukan pengeringan dengan mesin
pengering. Pengeringan dengan sinar matahari dapat dilakukan dengan mudah
terutama di daerah-daerah tropis seperti Indonesia. Akan tetapi di Indonesia
musim panen umumnya jatuh pada musim hujan sehingga pengeringan menjadi
masalah (Suparyono dan Setyono, 1993). Menurut Esmay dan Soemangat (1973),
pengeringan alami yang sederhana adalah dengan menggunakan sinar matahari
langsung atau tidak langsung. Menurut Taib dkk, (1988), pengeringan alamiah
memanfaatkan radiasi surya, suhu dan kelembaban udara sekitar serta kecepatan
angin untuk proses pengeringan. Pengeringan dengan cara penjemuran ini
mempunyai beberapa kelemahan antara lain tergantung cuaca, sukar dikontrol,
memerlukan tempat penjemuran yang luas, mudah terkontaminasi dan
memerlukan waktu yang lama.
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), karena banyaknya kelemahan
pengeringan alami, maka manusia telah mencoba membuat peralatan untuk
memperoleh hasil yang lebih baik dengan cara yang lebih efisien. Alat pengering
mekanis berupa suatu ruang dengan udara panas yang ada di dalamnya. Hal pokok
yang menyebabkan pengeringan mekanis ini lebih baik dibandingkan pengeringan
alami yaitu: suhu, kelembaban, dan kecepatan angin dapat diukur dan higien dapat
lebih mudah dikendalikan. Pengeringan oven merupakan alat pengering yang
menggunakan pemanas koil uap dengan permukaan luas. Pengering ini terdiri dari
struktur rangka dimana dinding, atas dan atap diisolasi untuk mencegah
kehilangan panas dan dilengkapi dengan kipas angin internal untuk menggerakkan
medium pengering melalui system pemanas dan mendistribusikan secara merata
(Subarna et al., 1992 dalam Sudaryati et al., 2013). Oven adalah salah satu alat
pengeringan bahan pangan yang menggunakan panas dalam ruangan tertutup.
Pengeringan oven bertujuan untuk menurunkan kadar air suatu bahan hasil
pertanian. Pengeringan dengan oven juga bertujuan untuk mempermudah
16

penanganan, transportasi, pengepakan dan lain-lain (Susanto, 1985 dalam


Sudaryati et al., 2013)

2.2.3 Teori Efisiensi Teknis


Efisiensi merupakan sebuah konsep ekonomi yang digunakan dalam
mengukur sejauh mana kinerja ekonomi pada suatu unit produksi dalam upaya
peningkatan produksi, pendapatan atau pengembangan suatu teknologi (Nurhapsa,
2013). Efisiensi dibagai menjadi 3 kategori yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif
dan efisiensi ekonomi. Pada penelitian ini, akan membahas terkait efisiensi teknis.
Efisiensi teknis merupakan kemampuan seorang produsen untuk dapat
menghasilkan output tertinggi atau maksimum dengan menggunakan sejumlah
input tertentu.
Menurut Soekartawi dalam Putranto (2007) efisiensi teknis adalah besaran
yang menunjukkan perbandingan antara produksi sebenarnya dengan produksi
maksimum. Pengukuran efisiensi teknis dapat dilakukan dengan menggunakan
Stochastic Frontier Analysis (SFA), metode ini menggunakan estimasi frontier
(batas), bahwa setiap input yang digunakan dalam mempunyai kapasitas
maksimum dan optimal. Pengukuran proses produksi efisiensi melalui pendekatan
analisis Stochastic Frontier menggunakan metode ekonometrika (Tasman, 2010).
Menurut (Coelli et al., 2005) efisiensi teknis adalah suatu perbandingan
antara produksi usahatani yang diobservasi dengan produksi frontier. Secara
sistematis, efisiensi teknis dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y
ET =
Y'
Keterangan :
Y : Produksi Aktual
Y ' : Produksi Potensial
Nilai efisiensi teknis berkisar dari 0 hingga 1. Semakin mendekati angka 1
maka usaha tani dapat dikatakan semakin efisien secara teknis. Sebaliknya,
apabila nilai efisiensi teknis semakin mendekati angka 0 maka usaha tani dapat
dikatakan semakin inefisien secara teknis.
17

2.2.4 Teori Analisis Frontier


Analisis fungsi stochastic frontier dapat digunakan untuk mengukur
efisiensi teknis dari sisi output dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Secara
umum, adapun pengukuran fungsi produksi frontier dibagi menjadi 4 cara antara
lain deterministic nonparametric frontier, deterministic parametric frontier,
deterministic statistical frontier dan stochastic statistical frontier (stochastic
frontier). Model stochastic frontier merupakan model pengukuran paling baik dari
keempat model pengukuran fungsi produksi. Hal ini disebabkan karena model
stochastic frontier dapat mengukur efek-efek tak terduga pada fungsi produksi
frontier. Namun, model stochastic frontier memiliki kelemahan bahwa model ini
belum mengetahui bentuk penyebaran pasti dari variabel-variabel u I bentuk
distribusi setengah normal dan eksponensial merupakan bentuk distribusi yang
selama ini dipilih. Kedua bentuk distribusi tersebut cenderung bernilai nol.
Akibatnya, kemungkian besar efek efisiensi yang dicapat juga akan mendekati
angka nol (Coelli et al., 2005).
Frontier adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat
efisiensi dari suatu produksi. Adapun metode ini berfokus kepada seluruh
pengamatan serta pembentukan garis batas depan atau disebut frontier dari efisien
yang berdasarkan terhadap optimasi tunggal melalui statistik. Stochastic Frontier
Analysis merupakan suatu metode ekonometrika yang dikembangkan dengan
tujuan untuk mengestimasi pembatas produksi, biaya dan keuntungan. Metode
tersebut juga dapat digunakan untuk mengestimasi efisiensi teknis maupun
efisiensi ekonomis pada suatu perusahaan berdasarkan pembatas tertentu
(Kumbhakar dkk., 2015: 311). Metode Stochastic Frontier Analysis dapat
menunjukkan informasi mengenai faktor inefisiensi yang merupakan variabel
penjelas bahwa output yang dihasilkan tidak selalu sama dengan produksi
frontier-nya. Metode Stochastic Frontier Analysis juga dapat memperkirakan data
yang ditujukan untuk mengukur tingkat efisiensi baik di tingkat responden hingga
tingkat efisiensi antar waktu (Sharma dkk., dalam Saeri, 2018: 87).
Adapun model persamaan Stochastic Frontier adalah sebagai berikut
(Coelli et al., 2005) :
18

β1 β 2 (v i+u i)
Y i= AX 1 i X 2i e ………………………………………..(1)
Apabila fungsi produksi tersebut dilogaritmakan maka persamaannya akan
menjadi sebagai berikut :
(vi+ui)
ln Y i= β0 + β 1 ln X 1 i+ β 2 ln X 2 i +lne ……………….(2)
Keterangan :
Yi = output;
X1,2 = faktor input;
A = intersep fungsi produksi;
β0 = konstanta (lnA);
β 1 ,2 = parameter dari setiao faktor produksi ke-1 dan 2 yang digunakan;
vi = variabel penyusun error term (ε) disebut sebagai noise;
ui = variabel penyusun error term (ε) sebagai efek inefisiensi;
i = responden ke 1,…,n.
Model persamaan di atas dapat dijabarkan seperti pada gambar 2.1 sumbu
horizontal (X) merepresentasikan penggunaan input. Sedangkan sumbu vertikal
(Y) merepresentasikan penggunaan output. Komponen dari frontier pada model
deterministic frontier = exp (β0 + βIlnXI) digambarkan dengan asumsi memiliki
karakteristik skala kenaikan yang menurun. Pada gambar 2 menggambarkan
input-input dan output dari dua petani. Petani menggunakan input sebesar X 1
dengan output yang didapatkan adalah sebesar Y 1. Namun, pada petani 1 output
batasnya adalah Y1*. Nilai tersebut mampu melampaui nilai optimal pada fungsi
produksi yaitu Y1 = exp(β0 + βIlnXI). Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti kondisi yang menguntungkan seperti cuaca yang baik, penggunaan
input yang efisien dan lain-lain. Pada petani 2 menggunakan input sebesar X 2
dengan hasil sebesar Y2 yang berada di bawah batas fungsi produksi yaitu Y1 =
exp(β0 + βIlnXI) sehingga vi memiliki nilai yang negatif. hal tersebut dapat
diakibatkan oleh kondisi yang kurang menguntungkan seperti serangan hama dan
penyakit, bencana alam dan lain-lain.
19

Gambar 2.1 Fungsi Stochastic Production Frontier


Fungsi produksi frontier diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglass.
Adapun model persamaan Stochastic Frontier Cobb-Douglass adalah sebagai
berikut :
β1 β2
Ŷ i= AX 1 i X 2i
Apabila fungsi produksi tersebut dilogaritmakan maka persamaannya akan
menjadi sebagai berikut :
ln Ŷ i= β0 + β 1 ln X 1 i+ β 2 ln X 2 i …………………………….(3)
Berdasrkan gambar di atas, pada petani 1 dengan penggunaan satu faktor
input, maka exp (vi) akan dijabarkan menjadi persamaan sebagai berikut :
ln Y i= β0 + β 1 ln X 1 i+ β 2 ln X 2 i + v i−ui…………………..(4)
Y i=exp ⁡(β 0 + β 1 ln X 1 i+ β 2 ln X 2 i +v i−ui)……………….(5)
Y i=exp exp ( β 0+ β1 ln X 1 i + β 2 ln X 2i ) x exp ( v i ) x exp ⁡(−u i)….(6)
Keterangan :
Ŷ = output observasi (aktual);
exp(β0+β1lnX1i+β2lnX2i) = komponen deterministic;
exp(vi) = noise;
exp(-ui) = inefficiency.
Pengukuran efisiensi teknis dapat dilakukan melalui pendekatan dari sisi
output dan sisi input. Analisis efisiensi teknis dengan pendekatan dari sisi input
20

(input-oriented measures) disebut juga sebagai indeks efisiensi. Adapun analisis


efisiensi teknis dengan pendekatan dari sisi output (output-oriented measures)
disebut juga sebagai indeks efisiensi Timmer. Efisiensi teknis dengan pendekatan
dari sisi output merupakan rasio antara produksi riil dengan garis pembatas
(deterministik). Efisiensi teknis dengan pendekatan sisi output digunakan sebagai
pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis pada metode Stochastic Frontier
Analysis. Yi*
Berdasarkan Gambar 2.1, efisiensi teknis secara matematis dapat diukur
melalui persamaan sebagai berikut :
exp exp ( β 0 + β 1 ln X 1i + β 2 ln X 2 i ) xexp ( v i ) x exp ⁡(−ui )
ETi =
exp exp ( β 0+ β 1 ln X 1 i + β 2 ln X 2i ) x exp ( v i )
= exp(-ui) ………………………………………………..(7)
Yi
ETi = = e-ui………………………………………………...(8)
Y i∗¿ ¿

2.2.5 Teori Efisiensi Ekonomis


efisiensi ekonomis menurut (Partini, 2018) merupakan analisis yang dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara keuntungan dengan keuntungan maksimalnya.
Efisiensi ini terjadi ketika nilai produk marginal (NPM) sama dengan harga pada
setiap input yang digunakan
2.3 Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan negara agraris dengan sebagian besar sumber daya
alam ini digunakan dalam bentuk pertanian. Sektor ini merupakan salah satu
penyumbang devisa terbesar. Sebesar 70% penduduk Indonesia bekerja sebagai
petani. Oleh karena itu, pembangunan dalam bidang ekonomi yang dititik
beratkan pada sektor pertania dalam upaya peningkatan pendapatan.
Pertanian adalah kegiatan produksi berdasarkan proses budidaya tanaman
dan hewan. Dalam arti sempit, pertanian adalah pengelolaan tumbuhan dan
lingkungannya untuk menghasilkan suatu produk. Sedangkan dalam arti luas,
pertanian adalah pengolahan tanaman, ternak, dan ikan untuk menghasilkan suatu
produk. Pertanian yang baik adalah pertanian yang dapat menghasilkan produk
21

yang jauh lebih baik jika tanaman, ternak atau ikan dibiarkan hidup secara alami
(Soetriono et al, 2002). Pertanian terdiri dari sektor pangan, hortikultura,
kehutanan, perikanan dan peternakan.
Kapulaga adalah produk hortikultura yang berdaya saing. Komoditas ini
termasuk dalam famili jahe-jahean (Zingiberaceae) yang terdiri dari empat genus
yaitu Amomum, Elettaria, Aframomum dan Zingiber (Indo, 1989). Kapulaga
digunakan dalam industri farmasi dan sebagai bahan masakan. Kapulaga
mengandung minyak atsiri, cineole, terpineol, borneol, protein, gula, lemak,
silikat, beta-kamper, sebin, mycene, myrtenal, carvone, terpinyl acetate. Dari
kandungan tersebut, kapulaga memiliki khasiat sebagai obat batuk. Kapulaga juga
memiliki sifat pencegah tulang keropos. Kapulaga memiliki aroma yang
menyenangkan yang berasal dari minyak esensial kapulaga, komoditas kapulaga
merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap sinar matahari langsung, oleh
karena itu komoditas kapulaga sering kali disebut dengan tanaman sela karena
komoditas kapulaga membutuhkan tanaman pelindung sebagai tanaman naungan
nya, tanaman naungan yang disarankan untuk komoditas kapulaga yaitu tanaman
pohon yang bisa untuk dipanen seperti sengon, damar, kopi, pisang dan lain
sebagainya
Petani biasanya menjual kapulaga dalam bentuk basah maupun kering.
Kapulaga kering memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapulaga
basah bahkan kapulaga kering pernah menyentuh diharga Rp 270.000/Kg. Dalam
penanganan pasca panen, mayoritas petani masih melakukan teknik pengeringan
secara manual (tradisional) dan belum memperhatikan persyaratan mutu. Pada
teknik manual, kapulaga dijemur langsung di bawah terik matahari tanpa melalui
perlakuan lainnya. Selama proses pengeringan, kapulaga dibolak-balik dengan
tangan menggunakan sarung tangan yang bersih sampai diperoleh buah kapulaga
kering dengan kadar air maksimal 12% dengan ciri bila ditekan dengan 2 jari akan
pecah dan buahnya terpisah-pisah.
Cara manual memang murah dan praktis, namun memiliki beberapa
kelemahan. Lahan luas yang digunakan memungkinkan terjadinya kontaminasi
oleh debu, kotoran dan polusi kendaraan. Selain itu, waktu pengeringan yang lama
22

(7-10 hari) akan menghasilkan mutu yang jelek karena kulit banyak yang pecah,
buah banyak yang keluar, warna kulit tidak bagus dan mudah terserang jamur
dalam penyimpanannya (Sigit, 2019). Cara ini juga bergantung pada kondisi
cuaca dan memerlukan tambahan tenaga kerja untuk melakukan pengeringan.
Sebagian petani kapulaga yang tidak mempunyai cukup tenaga kerja rumah
tangga perlu mencari tenaga kerja untuk membantu proses penjemuran yang
berdampak pada penambahan biaya. Hal ini menyebabkan bagi sebagian petani
lebih memilih menjual buah kapulaga dalam kondisi basah.
Seiring dengan berkembangnya teknologi, beberapa petani sudah
mengadopsi teknologi untuk mengeringkan kapulaga. Teknologi tersebut berupa
mesin oven dengan menggunakan energi panas dari gas lpg. Teknik tersebut
merupakan teknik pengeringan secara mekanis. Pada masa panen kapulaga
menyebabkan penimbunan kapulaga yang terlalu lama dan air yang terkandung di
dalamnya dapat merusak buah kapulaga. Oleh karena itu pengeringan kapulaga
merupakan salah satu masalah yang harus diatasi dengan baik dan benar agar
tidak mempengaruhi kualitas mutu kapulaga. Pengeringan kapulaga menggunakan
sistem mekanik dengan oven akan mempercepat proses pengeringan. Hal tersebut
dirasa lebih efisien karena tidak membutuhkan waktu yang lama pada proses
pengeringan. Fenomena tersebut yang mendasari peneliti untuk melakukan
penelitian ini. Adapun rumusan masalah yang ditetapkan pada penelitian ini
adalah bagaimana efisiensi teknis penanganan pasca panen komoditas kapulaga di
Kabupaten Lumajang.
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi
teknis penanganan pasca panen komoditas kapulaga di Kabupaten Lumajang.
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wardhani et al. (2023)
menjelaskan bahwa dibandingkan menggunakan metode tradisional, pengeringan
menggunakan tray dryer dapat menjadi solusi untuk mengoptimalkan proses
pengeringan jahe agar lebih efisien. Samudra & Rofi (2023) juga melakukan
penelitian yang menjelaskan bahwa pengeringan kunyit dengan menggunakan
oven yang mendapatkan sumber panas dari hair dryer dinilai lebih efektif dan
efisien dibandingkan pengeringan secara manual menggunakan panas sinar
23

matahari. Penelitian lain yang dilakukan oleh Elfiana et al. (2020) juga
membuktikan bahwa pengeringan bandrek menggunakan mesin dehidrator dinilai
lebih efisien jika dibandingkan dengan pengeringan menggunakan metode
tradisional.
Guna mencapai tujuan penelitian untuk mengetahui efisiensi teknis
penanganan pasca panen komoditas kapulaga di Kabupaten Lumajang, maka
dalam penelitian ini menggunakan analisis Stochastic Frontier Analysis (SFA).
Analisis tersebut digunakan peneliti untuk mendapatkan tujuan akhir yaitu
menganalisis efisiensi usaha pengeringan kapulaga secara manual dan mekanis di
Desa Kertosari Kecamatan Pasrujambe dan Desa Burno Kecamatan Senduro
Kabupaten Lumajang.

• Tanaman Sayur
Hortikultura • Tanaman Buah
• Tanaman Hias
• Tanaman Biofarmaka

Komoditas kapulaga merupakan


tanaman yang potensial di Kabupaten Fenomena :
Lumajang karena tanaman kapulaga Teknik penanganan pasca panen
merupakan tanaman sela dan harga pengeringan Kapulaga secara
kapulaga kering tinggi bisa mencapai Manual dan Mekanis
harga Rp 270.000 / kg
1. Pengeringan kapulaga secara
Manual menggunakan tenaga panas
Efisiensi Teknis Penanganan Pasca Panen matahari
Kapulaga secara Manual dan Mekanis 2. Pengeringan kapulaga secara
Mekanis menggunakan mesin oven
yang memanfaatkan tenaga panas
dari gas LPG
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pengeringan kapulaga:
• Intensitas Cahaya
• Suhu
• Lahan untuk penjemuran Efisiensi Teknis (ET)
• Tenaga kerja Stochastic Frontier Analysis
• Laju aliran udara
• Kelembaban udara
24

Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran

2.4 Hipotesis
1. Diduga penggunaan teknik penanganan pasca panen kapulaga secara mekanis
telah efisien secara teknis.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian


Daerah penelitian ditentukan dengan menggunakan metode purposive
method atau secara sengaja. Daerah yang digunakan sebagai daerah penelitian
adalah Desa Burno Kecamatan Senduro dan Desa Kertosari Kecamatan
Pasrujambe Kabupaten Lumajang, sebagai daerah lokasi yang diteliti dengan
beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut berupa potensi yang terdapat pada
lokasi penelitian meliputi:
a) Kabupaten Lumajang sebagai daerah sentra penghasil kapulaga terbesar
pertama di Provinsi Jawa Timur dengan jumlah produksi sebesar 5,970,075Kg
pada tahun 2022
b) Kecamatan Senduro merupakan salah satu Kecamatan Sentra produksi
kapulaga di Kabupaten Lumajang yang berada pada tingkat pertama dengan
jumlah produksi sebesar 5,843,285Kg pada tahun 2022. Kecamatan Senduro
adalah satu-satunya Kecamatan yang melakukan penanganan pasca panen
pengeringan kapulaga secara Mekanis atau menggunakan mesin oven.
c) Kecamatan Pasrujambe merupakan salah satu Kecamatan Sentra produksi
kapulaga di Kabupaten Lumajang yang berada pada posisi ke 3 dengan jumlah
produksi sebesar 25,540Kg pada tahun 2022. Kecamatan Pasrujambe
merupakan kecamatan yang masih tertinggal dalam adopsi teknologi untuk
melakukan kegiatan pasca panen pengeringan kapulaga karena masih
menggunakan sistem Manual yang mengandalkan energi panas matahari.
Mayoritas penduduk Kecamatan Senduro dan Kecamatan Pasrujambe
adalah petani kapulaga oleh karena itu, peneliti cukup terbantu untuk memperoleh
informasi terkait penanganan pasca panen kapulaga khususnya pada teknik
pengeringan. Waktu penelitian dilakukan dalam kurun waktu selama satu bulan
atau 30 hari yakni pada bulan Maret-April 2024

i
26

3.2 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
deskriptif dan metode analitik. Metode deskriptif merupakan suatu metode yang
digunakan untuk menggambarkan sebuah fenomena. Penggunaan metode
deskriptif yaitu untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai fakta-fakta dan
hubungan antar fenomena yang diselidiki dan disusun secara sistematis dan akurat
(Hamdi dan Bahruddin, 2014: 5). Metode analitik merupakan metode yang
ditujukan untuk menguji hipotesis-hipotesis dan mengadakan interpretasi yang
lebih mendalam terhadap hasil analisa yang telah dilakukan (Nazir,2005). pada
seorang petani kapulaga di Desa Burno, Kecamatan Senduro Kabupaten
Lumajang. Penggunaan metode analitik bertujuan untuk menjelaskan efisiensi
teknik pengeringan kapulaga secara manual dan mekanis.

3.3 Metode Pengumpulan Data


Jenis data yang di gunakan adalah data Sekunder dan Primer. Sumber data
dari penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder dan data primer.
data sekunder merupakan berbagai informasi yang telah ada sebelumnya dan
dengan sengaja dikumpulkan oleh peneliti yang digunakan untuk melengkapi
kebutuhan data penelitian, data sekunder diperoleh dari data pemerintahan
maupun data penelitian perseorangan. Sedangkan data primer di peroleh dari data
yang berupa hasil pengamatan langsung dan wawancara langsung adapun teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan
pengamatan langsung ke lapangan penelitian. Data yang diperoleh dari
kegiatan observasi merupakan data primer yang dibutuhkan selama kegiatan
penelitian (Rukajat, 2018: 21). Peneliti melakukan observasi secara langsung
dengan mengamati dan mencatat segala informasi yang berhubungan dengan
penanganan pasca panen kapulaga secara manual dan mekanis di Kabupaten
Lumajang.
2. Wawancara terstruktur, Wawancara merupakan suatu kegiatan yang bertujuan
untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penelitian (Rukajat,
27

2018: 24). Data yang akan diperoleh dari kegiatan wawancara yaitu data
primer mengenai tahapan penanganan pasca panen kapulaga secara manual
dan mekanis di Kabuaten Lumajang.
3. Dokumetasi, Studi dokumentasi merupakan sumber penjelasan data dari hasil
penelitian yang berupa foto maupun dokumen. Data yang diperoleh dari studi
dokumentasi berupa data sekunder yang dibutuhkan selama kegiatan
penelitian (Rukajat, 2018: 26). pengumpulan data melalui keterangan secara
tertulis yang merupakan dokumen-dokumen atau catatan resmi yang
berhubungan dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian dan dokumentasi
mesin serta alat- alat yang digunakan dalam proses penanganan pasca panen
kapulaga secara manual dan mekanis di Kabupaten Lumajang

3.4.Metode Pengambilan Contoh


Metode pengambilan contoh adalah proses pemilihan sejumlah elemen
dari populasi yang akan dijadikan sebagai sampel (Sekaran, 2006 : 87). Metode
pengambilan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah Proportionate
Stratified Random Sampling. Proportionate Stratified Random Sampling
dilakukan dengan membagi populasi ke dalam sub populasi atau strata secara
proporsional dan dilakukan secara acak (Sekaran, 2006 : 87).
Teknik pengambilan sampel dengan Proportionate Stratified Random
Sampling dilakukan dengan mengumpulkan data jumlah anggota kelompok tani
hutan yang menanam kapulaga dari Kecamatan Senduro dan Kecamatan
Pasrujambe, kemudian ditentukan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk masing-
masing bagian.
Untuk menentukan jumlah sampel yang dibutuhkan dari populasi sejumlah
184 digunakan rumus slovin sebagai berikut :
N
n=
1+ Ne ²
Dimana : n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
28

e = kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel


sebesar 20%
Berdasarkan rumus, maka sampel yang diperlukan sejumlah :

184
n= =22,009
1+184 (0.2)²
= 22,009 ≈ 22
Jadi ukuran sampel yang diperlukan dalam penelitian ini sebanyak 22 responden
Menurut Natsir (2004 : 3) rumus untuk jumlah sampel masing-masing
bagian dengan teknik Proportionate Stratified Random Sampling adalah sebagai
berikut :
JumlahPopulasi
Jumlah Sampel= X Jumlah Sampel yang diperlukan
Jumlah Populasi

Tabel 3.1 Jumlah anggota kelompok tani di KTH Margomulyo Senduro


dan di KT Wono Asri Pasrujambe
Nama Kelompok Jumlah Jumlah
Tani Anggota Sampel
KTH Margomulyo 128 15
Senduro
Kelompok Tani 56 7
Wono Asri
Pasrujambe
Jumlah 184 22
Sumber: data primer, KTH (Kelompok Tani Hutan) Margo Mulyo Senduro dan KT
(Kelompok Tani) Wono Asri Pasrujambe, 2023

Berdasarkan Tabel tersebut, maka pengambilan sampel menurut bagiannya dapat


dibuat gambaran statistik teknik penarikan sampel sebagai berikut :
128
KTH Margomulyo ( Senduro )= x 22=15 , 3 dibulatkan menjadi15
184
56
KT Wono Asri ( Pasrujambe )= x 22=6 , 69 dibulatkan menjadi7
184
Keterangan : KTH = Kelompok Tani Hutan
29

KT = Kelompok Tani
3.5 Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah Stochastic
Frontier Analysis (SFA) yang digunakan untuk mengukur efisiensi teknis
pengeringan kapulaga secara manual dan mekanis. Analisis data pada penelitian
ini menggunakan bantuan aplikasi Microsoft Excel dan Frontier 4.1c. analisis
fungsi produksi stochastic frontier digunakan untuk mengukur efisiensi teknis
dari sisi utput dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada penelitian ini,
bentuk fungsi yang digunakan dalam analisis stochastic frontier adalah fungsi
produksi Cobb-Douglas. Penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah
berdasarkan pertimbangan bahwa bentuk fungsi ini dapat mengurangi terjadinya
multikolinearitas, perhitungannya sederhana, dapat dibuat dalam bentuk fungsi
linear dan banyak digunakan pada penelitian khususnya penelitian di bidang
pertanian.
Fungsi produksi ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor produksi
yang diduga berpengaruh terhadap volume kapulaga kering menggunakan teknik
manual dan mekanis. Berdasarkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini,
dijelaskan bahwa terdapat faktor yang digunakan dalam kegiatan pengeringan
kapulaga yang berpengaruh terhadap volume kapulaga kering antara lain periode
(lama) pengeringan dan tenaga kerja. Fungsi produksi Stochastic Frontier secara
sistematis dapat dituliskan sebagai berikut :
Y = β0 +X1β1X2β2e(vi-ui)
Jika dilogaritmakan, persamaan di atas akan menjadi bentuk persamaan
sebagai berikut :
LnYi = Lnβ0 + β1LnX1 + β2LnX2 + lnevi-ui
Keterangan :
Y = Jumlah volume kapulaga kering (kg)
X1 = lama pengeringan (jam)
X2 = jumlah tenaga kerja (HOK)
e = bilangan logaritma natural
β0 = konstanta
30

β1-i = parameter masing-masing variabel


vi = kesalahan acak model
ui = efek inefisiensi teknis
i = menunjukkan petani ke-i
Selanjutnya yaitu melakukan estimasi parameter-parameter pada model
persamaan fungsi produksi frontier untuk teknik pengeringan kapulaga. Estimasi
dilakukan dengan menggunakan estimator Maximum Likelihood Estimation
(MLE). Metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) merupakan metode yang
digunakan untuk menaksir parameter pada model persamaan fungsi produksi
stochastic frontier tanpa memperhatikan bentuk distribusi error (Efendi dkk.,
2020). Nilai estimasi parameter-paramater yang ditafsir menggunakan Metode
Maximum Likelihood Estimation (MLE) untuk suatu sampel observasi akan
memaksimumkan kemungkinan sampel observasi tersebut untuk masuk dalam
observasi (Arief, 1993; Sutanto, 2021: 30). Sehingga berdasarkan persamaan
logaritmas diatas, efisiensi teknis pengeringan kapulaga dapat diukur melalui
persamaan berikut :
exp exp ( β 0+ β1 ln X 1 + β 2 ln X 2 ) x exp exp ( v i ) x exp exp (−u i )
ETi=
exp exp ( β 0+ β1 ln X 1 + β 2 ln X 2 ) x exp exp ( v i )
= exp (-ui)
Yi
=
Y ¿i
Keterangan :
ET = Efisiensi teknis petani ke-I (0ET i 1)
Exp (-ui) = nilai harapan (mean) dari ui

Adapun kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut (Coelli, 1998);


1. Jika nilai efisiensi teknis <0,70 maka teknik penanganan pasca panen
kapulaga belum efisien secara teknis
2. Jika nilai efisiensi teknis >0,70 maka teknik penanganan pasca panen
kapulaga telah efisien secara teknis.
31

3.6 Definisi Operasional


1. Komoditas yang digunakan pada penelitian ini merupakan komoditas
kapulaga.
2. Efisiensi teknis adalah kemampuan seorang produsen untuk dapat
menghasilkan output tertinggi atau maksimum dengan menggunakan
sejumlah input tertentu.
3. Pengeringan (drying) adalah salah satu tahapan pada pasca panen bertujuan
mengurangi kadar air dari komoditas kapulaga.
4. Teknik pengeringan kapulaga secara manual adalah teknik dimana kapulaga
dikeringkan secara langsung di bawah terik matahari tanpa melalui perlakuan
lainnya.
5. Teknik pengeringan kapulaga secara meknis adalah teknik dimana kapulaga
dikeringkan dengan menggunakan teknologi berupa mesin oven dengan
menggunakan energi panas dari gas lpg.
6. Fungsi produksi Cobb-Douglass adalah suatu fungsi atau persamaan yang
melibatkan dua atau lebih variabel independen dan variabel dependen.
7. Variabel independen yang dimaksud pada penelitian ini adalah input.
8. Variabel dependen yang dimaksud pada penelitian ini adalah output.
9. Frontier adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat
efisiensi dari suatu produksi.
10. Stochastic Frontier Analysis adalah suatu metode ekonometrika yang
dikembangkan dengan tujuan untuk mengestimasi pembatas produksi, biaya
dan keuntungan.
11. Sampel adalah beberapa individu dari kumpulan petani yang
membudidayakan komoditas kapulaga.
12. Kriteria penentuan sampel adalah suatu kriteria yang ditetapkan oleh peneliti
terhadap responden petani kapulaga.
13. KTH atau Kelompok Tani Hutan kumpulan petani warga negara Indonesia
yang mengelola usaha di bidang kehutanan di dalam dan di luar kawasan
Hutan
32

14. Suhu merupakan ukuran kuantitatif terhadap temperatur panas dan dingin,
diukur dengan termometer
15. Suhu ukuran kuantitatif terhadap temperatur panas dan dingin, diukur dengan
termometer
16. Lahan untuk penjemuran merupakan tanah kosong yang digunakan untuk
menjemur
17. Tenaga kerja merupakan setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
yang menghasilkan barang atau jasa yang berguna bagi dirinya sendiri
ataupun masyarakat secara umum
18. Laju aliran udara adalah pergerakan udara
19. Kelembaban udara merupakan ukuran kadar uap air yang berada dalam
bentuk gas di udara
20. Penjemuran merupakan proses pengeringan gabah basah dengan
memanfaatkan panas sinar matahari
DAFTAR PUSTAKA

Coelli, T. J., Prasada Rao, D. S., O’Donnell, C. J., & Battese, G. E. (2005). An
Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. In An Introduction to
Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publisher : USA.

Coelli, T.J., Rao, D.S.P. and Battese, G.E. (1998), An Introduction to Efficiency
and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publishe : Boston

Destryana, R. A., & Pramasari, I. F. (2021). Peningkatan Produktivitas Lengkuas


Melalui Teknologi Tepat Guna Bagi Kelompok Tani Amanah Di Desa
Matanair Jawa Timur. Jmm (Jurnal Masyarakat Mandiri), 5(1), 24–33.

Elfiana, Ridwan, Intan, S. K., & Rahmahwati, C. A. (2020). Peningkatan Kualitas


Bandrek Celup Menggunakan Teknologi Dehidrator Pada Usaha Bubuk
Bandrek Kumbang Pase Kecamatan Syamtalira Aron Kabupaten Aceh Utara.
Prosiding Seminar Nasional Politeknik Negeri Lhokseumawe, 4(1), 74–78.

Elfiana, Usman, Sami, M., Ridwan, Intan, S. K., Rahmawati, C. A., Salmiyah, &
Pardi. (2021). Desiminasi Oven Drying Vacuum (ODV) Untuk Pengeringan
Rempah Bandrek Siap Saji Di Desa Kumbang Kecamatan Syamtalira Aron
Kabupaten Aceh Utara. Prosiding Seminar Nasional Politeknik Negeri
Lhokseumawe, 5(1), 147–154.

Evizal, R. (2013). Tanaman Rempah dan FITOFARMAKA. Lembaga Penelitian


Universitas Lampung.

Hamdi, A. S., dan E. Baharuddin. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif dan


Aplikasi dalam Pendidikan. Yogyakarta: Deepublish.

Harahap, N. S. (2021). Gambaran Konsumsi Herbal Tradisional Dalam


Meningkatkan Imunitas Di Masa Pandemi COVID-19 Pada Masyarakat
Kecamatan Medan Johor SKRIPSI.

Lestari, N., Samsuar, S., Novitasari, E., & Rahman, K. (2020). Kinerja Cabinet
Dryer pada Pengeringan Jahe Merah dengan Memanfaatkan Panas Terbuang

i
34

Kondensor Pendingin Udara. Jurnal Agritechno, 13(1), 57–70.

Mandal, S., Tanna, H. R., Nath, A., Singh, R. K., & Kumar, A. (2018).
Development of Low Cost Portable Biomass Fired Dryer for Cardamom
Drying in Hilly Areas. 39(September), 923–929.

Natsir, S. 2004, Ringkasan Disertasi: Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap


Perilaku Kerjadan Kinerja Karyawan Perbankan di Sulawesi Tengah,
Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya.

Nurhapsa. (2013). Analisis Efisiensi Teknis dan Perilaku Risiko Petani Serta
Pengaruhnya Terhadap Penerapan Varietas Unggul Pada Usahatani
Kentang di Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan. Institut
Pertanian Bogor (IPB).

Partini, P. (2018). Analisis Efisiensi Usahatani Padi di Kecamatan Keritang


Kabupaten Indragiri Hilir. Jurnal Agribisnis, 7(2), 25–35

S Zamroni & M Ernawati. (2017). Delivering the vision. In Badan Pengkajian


dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik
Indonesia (Vol. 5, Issue 4).

Samudra, A., & Rofi, F. (2023). Kinerja Alat Pengering Kunyit Bersumber Panas
Hair Dryer. Steam Engineering, 4(2), 139–145.

Uma Sekaran, 2006. Metode Penelitiaan Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.

Susilo, A., Rumende, C. M., Pitoyo, C. W., Santoso, W. D., Yulianti, M.,
Herikurniawan, H., Sinto, R., Singh, G., Nainggolan, L., Nelwan, E. J.,
Chen, L. K., Widhani, A., Wijaya, E., Wicaksana, B., Maksum, M., Annisa,
F., Jasirwan, C. O. M., & Yunihastuti, E. (2020). Coronavirus Disease 2019:
Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(1), 45.

Wardhani, M. T., Fadilah, S. N., Prastika, A., Arimbawa, I. M., Khamil, A. I.,
Darmayanti, R. F., & Muharja, M. (2023). Pengaruh Perendaman, Waktu
dan Ketebalan pada Pengeringan Jahe Putih (Zingiber officinale var.
Amarum) Menggunakan Tray Dryer dan Solar Dryer. 9(1), 1–10.
35

Anda mungkin juga menyukai