Anda di halaman 1dari 33

. Ir.

Sony Suwasono

LAPORAN AKHIR
HIBAH PENGABDIAN DESA BINAAN

Judul Kegiatan

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS DAN NILAI EKONOMI BIJI KAKAO RAKYAT


JAMBEWANGI DAN SEMU-BANYUWANGI DENGAN PENGGUNAAN
SEMI-AUTOMATIC FERMENTOR DAN STARTER KOMERSIAL

KELOMPOK RISET-DIMAS
COCOA INNOVATION AND DEVELOPMENT (COINDEV)

PENELITI
Dr. Ir. Sony Suwasono, M.App.Sc. Ketua
Dyah Ayu Savitri, STP., M.Agr. Anggota 1
Rena Yunita Rhman, SP., MSi. Anggota 2

Level Keris-Dimas Universitas


Universitas Jember
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi
Desember 2022

1
2
RINGKASAN

Kabupaten Banyuwangi memiliki potensi pertanian, perkebunan dan perikanan yang


sangat besar, sehingga secara ekonomi bisa menopang kehidupan nasyarakatnya dengan baik.
Pada sektor perkebunan, Banyuwangi terhampar perkebunan kakao dengan luas 482 Ha
(2019) dan 443 Ha (2020). Perkebunan kakao terluas ada di Kecamatan Sempu 318 Ha
(2019) dan 279 Ha (2020). Dengan produksi kakao Banyuwangi 372 ton (2019) dan 343 ton
(2020), dimana 245 ton (2019) dan 216 ton (2020) berasal dari Kecamatan Sempu
menjadikan Sempu menjadi kecamatan dengan luas lahan dan produksi kakao tertinggi di
Banyuwangi. Jika melihat data khusus Kecamatan Sempu, Banyuwang, perkembangan luas
lahan tanaman dan produksi kakao meningkat dari 279 Ha (2018) menjadi 318 Ha (2019)
dan 279 Ha (2020), dengan produksi 222 ton pada tahun 2018 menjadi 245 ton (2019) dan
216 ton (2020). Produksi kakao dari tahun 2018-2020 mengalami peningkatan, karena luas
tanam dan luas panen mengalami peningkatan dengan banyak memanfaatkan lahan hutan.
Desa Jambewangi menjadi penyumbang kakao terbesar di Kecamatan Sempu dan Kabupaten
Banyuwangi. Luas lahan kakao di Jambewangi pada tahun 2018 adalah 246 Ha, dan pada
tahun 2019 sebesar 217 Ha. Hal ini didukung dengan adanya Proyek Gerakan Nasional
Kakao tahun 2011 – 2014 dari Kementerian Pertanian – RI dimana banyak kelompok tani
yang mendapatkan bantuan tanaman kakao baru. Sementara produksi kakao masih 19,5 ton
(2018) dan meningkat menjadi 167,5 ton (2019).
Berdasarkan analisis situasi terkait dengan produktivitas perkebunan dan kualitas kakao
di Desa Jambewangi, pengusul dan mitra telah menemukan permasalahan utama terkait
keberadaan luas lahan kakao, produksi kakao, dan kualitas biji kakao yang dihasilkan. Data
lahan kakao tampak luas karena semua tanah pekarangan masyarakat yang ada tanaman
kakao ikut terhitung, walaupun pekarangan itu ditanami oleh tanaman selain kakao.
Selanjutnya produksi kakao juga sangat rendah karena usia tanaman kakao yang sudah tua,
tanaman belum menghasilkan, adanya jamur busuk buah dan penyakit penggerek buah kakao.
Kualitas biji kakao yang masih rendah akibat belum adanya proses pengolahan primer biji
kakao melalui teknologi fermentasi biji kakao. Permalahan ini menyebabkan harga kakao
sangat rendah.
Teknologi tepat guna yang punya peluang besar untuk diterapkan adalah teknologi
fermentasi yang sangat mudah, efektif dan cepat. Teknologi ini harus mudah dan memberikan
kualitas biji kakao yang baik agar dapat memberikan harga yang lebih baik. Teknologi tepat
guna (TTG) yang sederhana diperlukan untuk mendukung kegiatan teknologi pengolahan
hulu melalui teknologi fermentasi biji kakao dengan starter komersial dalam semi automatic
fermentor terbuat dari kayu. Starter komersial yang digunakan adalah ragi roti
Saccharomyces cerevisiae dan bakteri asam laktat Lactobacillus casei strain Shirota dari
minuman yakult. Teknologi yang diterapkan sangat sederhana dan mudah dipahami untuk
diterapkan. Fermentasi dilakukan selama 4 hari saja sesuai dengan prosedur standar
fermentasi biji kakao yang dilakukan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, dan
PTPN XII Kebun Banyuwangi. Teknologi fermentasi menggunakan starter komersial dalam
semi automatic fermentor ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas biji kakao, sehingga
mendapatkan harga ekonomi yang tinggi di pasaran biji kakao regional dan nasional.

3
DAFTAR ISI

Hal
Halaman Judul ………………………………………………………………………. 1
Halaman Pengesahan ………………………………………………………………... 2
Ringkasan ……………………………………………………………………………. 3
Daftar Isi …………………………………………………………………………….. 4
BAB 1. Pendahuluan ………………………………………………………………… 5
A. Latar Beakang …………………………………………………………… 5
B. Usulan Penyelesaian Masalah dan Target Luaran ………………………. 6
C. Tujuan dan Manfaat ……………………………………………………... 6
BAB 2. Metode Pelaksanaan Pengabdian …………………………………………… 9
BAB 3. Hasil Yang Dicapai …………………………………………………………. 13
A. Pelatihan Teori dan Praktek Tentang Teknologi Pengolahan Hulu Biji Kakao 13
B. Fermentasi Kakao dalam Besek Bambu …………………………………….. 13
C. Fermentasi Kakao dalam Semi-Automatic Fermentor ……………………… 15
D. Pengeringan Biji Kakao ……………………………………………………... 16
E. Pelatihan Teori dan Praktek Proses Pengujian Biji Kakao Kering …………. 17
F. Pelatihan Teori dan Praktek Kelembagaan Poktan dan Perencanaan Bisnis 19
Biji Kakao ……………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….. 20
LAMPIRAN …………………………………………………………………………. 21

4
BAB 1. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kecamatan Sempu menjadi kecamatan dengan luas lahan dan produksi kakao tertinggi
di Banyuwangi. Jika melihat data khusus Kecamatan Sempu, Banyuwangi, perkembangan
luas lahan tanaman dan produksi kakao berfluktuasi dari 318 Ha dan 245 ton tahun 2019
menjadi 279 Ha dan 216 ton pada tahun 2020. Produksi kakao dari tahun 2017-2018
mengalami peningkatan, karena luas tanam dan luas panen mengalami peningkatan dengan
banyak memanfaatkan lahan hutan (Badan Pusat Statistik Banyuwangi, 2020). Desa
Jambewangi menjadi penyumbang kakao terbesar di Kecamatan Sempu dan Kabupaten
Banyuwangi.
Perkebunan kakao di Desa Jambewangi menempati lahan pekarangan masyarakat dan
lahan hutan, dimana tanaman kakao di hutan ditanam oleh masyarakat yang bekerja pada
Perhutani sebaga penderes getah. Lahan di gunung yang diberi nama Watu Gedhek tersebut
merupakan lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang diberikan untuk di kelola oleh masyarakat
sekitar. Lahan milik petani yang banyak dimiliki berkisar 0,125 sampai 0,25 Ha. Untuk lahan
1 – 2 Ha hanya dimiliki beberapa orang saja. Lahan Perhutani ini sudah ditanami kakao turun
temurun, sehingga banyak dijumpai tanaman dengan usia lebih dari 20 tahun dengan tingkat
produktivitas yang rendah. Selain itu, tanaman kakao ini tidak mengalami perawatan on farm
seperti pemupukan, pembuatan rorak, pemangkasan ranting, maupun peremajaan tanaman.
Salah satu permasalahan kakao Indonesia adalah rendahnya mutu biji kakao yang
dihasilkan seperti biji kakao yang tidak difermentasi. Pada tingkat nasional, produksi kakao
fermentasi hanya sekitar 15% dari total produksi. Jumlah tersebut hanya mampu memenuhi
sekitar 60% kebutuhan industri (Muttaqin, 2011). Sebagian besar ekspor biji kakao Indonesia
adalah biji kakao non fermentasi, berbanding terbalik dengan Pantai Gading dan Ghana
(Rifin, 2013). Padahal, proses fermentasi merupakan salah satu faktor kunci dari
pengembangan kakao (Camu et al., 2008). Teknologi fermentasi kakao memiliki peranan
yang sangat penting untuk menghasilkan mutu cokelat yang tinggi, baik cita rasa maupun
aroma serta penampilannya (Beckett, 2008; Camu et al., 2008; Widyotomo, 2008; Owosu,
2010; Lima et al., 2011; Misnawi dan Ariza, 2011). Selanjutnya dikemukakan juga bahwa
penerapan teknologi fermentasi akan menghasilkan mutu fisik dan kimia biji yang baik,
demikian juga dengan produk turunannya (Towaha et al., 2012 dan Hayati et al., 2011).
Masyarakat melakukan panen kakao dan mengeringkan bijinya tanpa melalui proses
fermentasi yang terstandar, sehingga dihasilkan biji kakao yang rendah mutunya. Buah kakao

5
hasil panen dipisahkan dulu antara buah yang masih bagus atau segar dengan buah yang
sudah terkena jamur dan penyakit. Buah kakao yang masih baik akan dibelah dan biji kakao
basah langsung dijemur di atas terpal plastik. Setelah pengeringan sinar matahari selama 10 –
14 hari, biji kakao rakyat yang bersifat non-fermented cocoa bean (NFCB) dijual kepada
pembeli atau pengepul biji kakao dengan harga Rp. 23.000 – 25.000,- per kg. Petani kakao
tidak pernah melakukan fermentasi karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
fermentasi dan juga membutuhkan tenaga kerja.
Setelah melakukan diskusi bersama antara pengusul LP2M-Universitas Jember, Kepala
Desa, Kelompok Masyarakat, dan Kelompok Tani, maka permasalahan yang terkait dengan
adanya produksi dan kualitas biji kakao ini perlu diberikan prioritas untuk pemecahannya
dengan menggunakan teknologi tepat guna yang sederhana dan mampu digunakan dengan
cepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Teknologi tepat guna yang punya peluang besar
untuk diterapkan adalah teknologi fermentasi yang sangat mudah, efektif dan cepat.
Teknologi ini harus mudah dan memberikan kualitas biji kakao yang baik agar dapat
memberikan harga yang lebih baik. Harga kakao yang lebih tinggi akan mampu menarik
minat masyarakat untuk melakukan peremajaan tanaman kakao, memelihara tanaman kakao,
dan melakukan proses fermentasi biji kakao

B. USULAN PENYELESAIAN MASALAH DAN TARGET LUARAN

Berdasarkan hasil survey awal dan diskusi pihak pengusul dari LP2M-Universitas
Jember dan pihak kantor Kecamatan Sempu dan Desa Jambewangi, permasalahan utama
yang ditemukan adalah kualitas biji kakao yang rendah dan harga kakao yang rendah.
Oleh karena itu diperlukan pemecahan masalah atau solusi terhadap kualitas biji kakao yang
rendah dengan kadar air tinggi dan berjamur serta berwarna hitam. Solusi yang ditawarkan
untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi adalah :

a) mengedukasi masyarakat tentang sortasi buah kakao segar, buah kakao terkena jamur
Phytophthora palmivora , dan buah terkena penyakit Conopomorpha cramerella.
b) mengedukasi masyarakat tentang teknologi tepat guna dalam produksi biji kakao
berkualitas melalui fermentasi,
c) mengedukasi masyarakat tentang teknologi fermentasi dalam tas plastik, kotak
sterofoam, kotak kayu, dan semi automatic fermentor,
d) mengedukasi masyarakat tentang pengujian kualitas biji kakao (uji kadar air, uji belah,
uji jumlah biji per 100 g),

6
e) melakukan praktek bersama dalam sortasi dan teknologi fermentasi biji kakao di
beberapa kelompok masyarakat,
f) mengedukasi dan melakukan praktek bersama dalam pengujian kualitas biji kakao,
g) mengedukasi masyarakat untuk perhitungan agribisnis dan pemasaran biji kakao
kering.
Melalui solusi yang dipaparkan tersebut di atas, masyarakat diharapkan dapat lebih
berdaya dalam peningkatan nilai ekonomi dari produksi biji kakao kering premium di Desa
Jambewangi. Dengan demikian, seiring dengan waktu secara perlahan-lahan masyarakat juga
akan mampu meningkatkan jumlah tanaman kakao, memelihara tanaman kakao, dan
melakukan fermentasi kakao.
Luaran dari kegiatan ini diharapkan dapat terukur atau dikuantitatifkan, sehingga
dapat menjadi pedoman untuk pemberdayaan masyarakat di kelompok tani kakao untuk
kegiatan yang serupa. Rencana target dan capaian luaran dari kegiatan ini tertera pada Tabel
1. Masyarakat yang diharapkan terlibat dalam kegiatan ini adalah adalah kelompok petani
(poktan), dan kelompok masyarakat (pokmas) seperti PKK, Karang Taruna, dan Posdaya.
Minimal dari masing-masing kelompok ada peserta 5-10 orang. Dari kegiatan ini diharapkan
terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas biji kakao yang terfermentasi menjadi biji kakao
berkualitas premium dengan harga jual yang tinggi.
Dengan kegiatan PKM ini, masyarakat Kecamatan Sempu umumnya dan Desa
Jambewangi khususnya akan lebih berdaya dalam peningkatan nilai ekonomi dari produk biji
kakao kering berkualitas premium dan memenuhi standari SNI. Produk biji kakao ini dapat
dipasarkan sendiri di Jember atau dikirimkan ke pedagang besar di Bali. Guna menunjang
pemasaran produk tersebut kepada semua kelompok akan diajarkan teknik pembuatan
rencana bisnis (Bussiness Plan) agar dapat dipahami cara menghitung biaya produksi,
penentuan harga jual, keuntungan dan Break Event Point.
Tabel 1 . Rencana Target Capaian Luaran
No Jenis Luaran Indikator Capaian
Publikasi pada Jurnal/Warta Pengabdian-
1 Published 1 kali - Desember 2022
Universitas Jember ISSN-1410-2161
2 Jurnal Pengabdian Masyarakat Published 1 kali – Januari 2023
3 Publikasi media masa Jawa Pos Radar Jember Terbit 1 berita pelatihan/produksi
4 Peningkatan peran iptek/TTG di masyarakat Ada produk dan penerapan
5 Partisipasi aktif dari masyarakat ( kelompok) Ada min 3 kelompok masyarakat
Peningkatan pemahaman dan ketrampilan
6 Ada 75% dari seluruh peserta
masyarakat (% dari peserta dalam kelompok)
Penurunan jumlah Non Fermented Cocoa Bean (% Ada penurunan 75% dari total biji
7
dari total biji kakao) kakao
8 Peningkatan kuantitas dan kualitas produk Ada peningkatan 75% dari total

7
Fermented Cocoa Bean (% dari total produk) produk
Penggunaan dan pemasaran produk biji kakao ( Ada di semua dusun di Desa
9
dusun) Jambewangi
10 Pemahaman pada manajemen agribisnis Ada produk Bussiness Plan

C. TUJUAN DAN MANFAAT KEGIATAN


Tujuan dari kegiatan ini adalah :
1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang teknologi fermentasi kakao.
2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penggunaan starter dan Semi
Automatic Fermentor untuk fermentasi biji kakao.
3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya kelembagaan kelompok tani
dan perencanaan bisnis pertanian.
Manfaat dari kegiatan ini adalah :
1. Meningkatkan kualitas biji kakao kering.
2. Meningkatkan nilai jual biji kakao kering

8
BAB 2. METODE PELAKSANAAN PENGABDIAN

Untuk memberdayakan masyarakat di Desa Jambewangi, khususnya Kelompok Tani


Manggar Kencono yang berdekatan dengan lahan Perhutani, maka perlu langkah-langkah
terpadu dari para pelaku kebijakan di wilayah tersebut. Starter komersial yang digunakan
adalah ragi roti Saccharomyces cerevisiae dan bakteri asam laktat Lactobacillus casei strain
Shirota dari minuman yakult. Teknologi yang diterapkan sangat sederhana dan mudah
dipahami untuk diterapkan. Fermentasi dilakukan selama 4 hari saja sesuai dengan prosedur
standar fermentasi biji kakao yang dilakukan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia,
dan PTPN XII Kebun Kali Sepanjang Banyuwangi.
Kegiatan ini terkait dengan upaya pengembangan wilayah Kecamatan Sempu di
Kabupaten Banyuwangi menjadi penghela biji kakao rakyat yang berkualitas dan bercitarasa
tinggi (fine, specialty, organic) di Jawa Timur bahkan Indonesia yang akan melibatkan
konsorsium antara Universitas Jember, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Dinas Pertanian-
Kabupaten Banyuwangi, Perhutani KPH Banyuwangi, Asosiasi Pedagang Kakao, dan
Perbankan di Banyuwangi.
Menurut Sigg dan Effendi dalam Mulato dkk. (1994), citarasa dan mutu rendah kakao
Indonesia biasanya identik dengan kakao rakyat. Beberapa ciri yang umum adalah fermentasi
kurang sempurna, rasa asam yang kuat dan terserang jamur. (Mulato dkk, 2005). Kualitas biji
kakao yang telah terfermentasi menghasilkan biji kakao yang memiliki citarasa dan aroma
yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa fermentasi. Hal ini dikarenakan dalam proses
fermentasi timbul rasa dan aroma pada biji kakao sebagai akibat dari berbagai reaksi kimia
dan biokimia selama fermentasi tersebut (Haryadi dan Supryanto, 1991). Oleh sebab itu, biji
kakao yang terfermentasi akan memiliki nilai ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan
biji kakao yang tidak terfermentasi.
Kegiatan pengabdian masyarakat ini merupakan aplikasi teknis dari salah satu tahapan
penelitian yang sedang dikembangkan pelaksana dalam Research Group Cocoa Innovation
and Development (Coindev) untuk kelompok petani kakao, yaitu teknologi fermentasi
menggunakan Semi Automatic Fermentor (Gambar 2.1).

9
Buah Kakao Masak

Pengupasan kulit buah Kulit buah

Biji kakao
basah
PKM 2022
Homogenisasi

Tanpa Fermentasi Heap Fermentation Wooden box Fermentation Semi-automatic Fermentation

10 kg biji basah 10 kg biji basah 40 kg biji basah 40 kg biji basah


Disebar pada terpal Disebar pada daun dalam kotak kayu, dalam siliner kayu
plastik pisang dan ditutup ditutup karung goni berlapis daun pisang
dengan daun pisang bagian dalam

Pengadukan 24 jam/kali Pengadukan 24 jam/kali Pengadukan 24 jam/kali

Penjemuran sinar matahari 7 – 10 hari


Kadar air 7%

Biji kakao
kering

Gambar 2.1. Diagram Alir Teknologi Fermentasi Kakao Rakyat yang Dikembangkan
oleh Research Group Cocoa Innovation Development – Universitas Jember

Teknologi fermentasi kakao rakyat ini terdiri dari 3 tahap yaitu (1) tahap fermentasi
biji kakao basah menggunakan semi-automatic fermentor yang ditambah starter khamir S.
cerevisiae dan bakteri asam laktat L. casei strain Shirota ; (2) tahap pengeringan biji kakao
terfermentasi dengan penjemuran selama 7-10 hari; dan (3) tahap pengujian mutu fisik biji
kakao kering. Alat semi automatic fermentor tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Fermentasi Kakao dalam Semi Automatic Fermentor

10
No Nama Pekerjaan Program
1 Pelatihan teori tentang a) persiapan buah, sortasi buah, pemecahan buah,
teknologi pengolahan b) pembuatan starter ragi roti S. cerevisiae dan bakteri L.
hulu biji kakao casei strain Shirota
c) penempatan biji kakao basah dalam semi automatic
fermentor ¾ volume,
a) aplikasi starter sebanyak 2,5 – 5% jumlah biji kakao
basah
b) fermentasi 4 hari,
f) pengeringan dengan sinar matahari.
2 Pelatihan teori proses a) uji jumlah biji per 100 gr
pengujian biji kakao b) jumlah biji cacat
kering c) uji belah
d) kadar air
3 Pelatihan teori a) kelembagaan pertanian di kelompok tani Manggar
kelembagaan kelompok Kencono
tani dan perencanaan b) pembuatan rencana bisnis biji kakao.
bisnis biji kakao
4 Praktek lapang tentang a) persiapan buah, sortasi buah, pemecahan buah,
teknologi pengolahan b) pembuatan starter ragi roti S. cerevisiae dan bakteri L.
hulu biji kakao casei strain Shirota
c) penempatan biji kakao basah dalam semi automatic
fermentor ¾ volume,
c) aplikasi starter sebanyak 2,5 – 5% jumlah biji kakao
basah
d) fermentasi 4 hari,
f) pengeringan dengan sinar matahari.
5 Praktek lapang proses a) uji jumlah biji per 100 gr
pengujian biji kakao b) jumlah biji cacat
kering c) uji belah
d) kadar air
6 Praktek lapang a) kelembagaan pertanian di kelompok tani Manggar
kelembagaan kelompok Kencono
tani dan perencanaan b) pembuatan rencana bisnis biji kakao.
bisnis biji kakao
Aplikasi teknologi fermentasi dengan semi-automatic fermentor merupakan teknologi
tepat guna (TTG) yang sederhana dengan penambahan starter komersial. Teknologi ini bisa
dikembangkan pada setiap keluarga atau kelompok masayarakat yang memiliki tanaman
kakao dan bisa menggunakan 10-15 kg biji kakao basah atau setara 100 – 150 buah kakao per

11
minggu untuk fermentasi skala kecil. Masyarakat juga bisa menggunakan alat tersebut secara
bergantian, karena alat tersebut ringan dan mudah dipindahkan. Teknologi TTG ini
merupakan upaya pemecahan masalah dari keenganan masyarakat untuk melakukan
fermentasi kakao, dan mengupayakan kualitas biji kakao asalan menjadi biji kakao premium.
Untuk meningkatkan nilai ekonominya, masyarakat Desa Jambewangi dapat menjual
produknya di Banyuwangi atau di Bali dengan rencana agribisnis sederhana.

12
BAB 3. HASIL YANG DICAPAI

A. Pelatihan Teori dan Praktek Tentang Teknologi Pengolahan Hulu Biji Kakao

Buah kakao yang dipetik adalah buah kakao yang matang, berwarna kulit kuning atau
oranye (Gambar 3.1). Panen buah yang terlalu matang harus dihindari guna mencegah biji
kakao berkecambah dan rendah lemak. Buah yang terlalu muda juga kurang baik untuk
dipanen karena buah tersebut memiliki rendemen lemak yang rendah, kadar pulp yang rendah
dan bisa menghasilkan citarasa coklat yang kurang baik nantinya.
Setiap buah kakao memiliki berat antara 250 – 350 gr, dimana jumlah biji basah di
dalamnya sekitar 30 – 33 biji dengan total berat sekitar 100 gr. Biji basah yang baik akan
diselimuti lender (pulp) tebal yang merupakan senyawa pektin dan sukrosa.

Gambar 3.1. Buah Kakao Masak


Selanjutnya buah yang sudah dipanen harus segera dikupas agar tidak terjadi pra-
fermentasi dalam buah. Buah dikupas dengan cara dipukul menggunakan pemukul kayu atau
menumbukan dua buah kakao dengan kuat, sehingga biji kakao basah yang masih diselimuti
pulp keluar (Gambar 3.2). Biji basah ditampung dalam ember sebelum dituangkan dalam
wadah besek atau Semi Automatic Fermentor. Biji basah harus segera dituangkan dalam
wadah fermentor agar tidak terjadi pra-fermentasi dalam ember.

B. Fermentasi Kakao dalam Besek Bambu


Besek atau keranjang bambu kerap digunakan sebagai wadah fermentasi biji kakao.
Besek terbuat dari anyaman bambu tidak akan berkarat karena asam dan dapat
mempertahankan panas serta aerasi cukup baik. Biji kakao basah dimasukkan ke dalam
besek dan permukaannya ditutup dengan daun pisang untuk menjaga panas. fermentasi dalam
13
besek juga membutuhkan pengadukan untuk aerasi yang baik. Selain pengadukan,
pemindahan ke besek lain juga dapat dilakukan. Setelah pengadukan biji kembali ditutup
dengan daun pisang atau daun jati.

Gambar 3.2. Biji Kakao Basah Dengan Pulp

Fermentasi dilakukan di Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Kabupaten


Banyuwangi. Tahap pertama yaitu dilakukan fermentasi selama 0 - 96 jam menggunakan 4
buah besek bamboo ukuran 45 cm x 45 cm x 25 cm. Setiap besek bambu berisikan 5 -10 kg
biji kakao basah dengan penambahan masing-masing starter 1% b/b dari berat biji basah
(Gambar 3.3). Masing-masing starter diberikan pada awal fermentasi. Penambahan starter
dilakukan secara bergantian untuk sampel ScLc dimana starter S. cerevisiae diberikan pada
hari pertama dan starter L. casei diberikan pada hari kedua fermentasi. Selama fermentasi
berlangsung dilakukan pengadukan dengan membolak-balikkan biji kakao basah di
dalamnya secara berkala setiap 24 jam. Biji kakao dikeringkan di bawah sinar matahari
hingga kering.

14
Gambar 3.3. Fermentasi Kakao dalam Besek

C. Fermentasi Kakao dalam Semi-Automatic Fermentor


Pada proses fermentasi berikutnya digunakan alat semi-automatic fermentor yang
mempunyai ukuran panjang 70 cm dan diameter 43 cm dengan ketebalan 3 cm berbentuk
tabung berbahan kayu. Lubang aerasi terdapat pada bagian kanan dan kiri alat dengan
diameter sekitar 1 cm, jarak antar lubang aerasi berkisar 3 – 4 cm, dengan kapasitas 15 kg per
ruang. Fermentasi dilakukan selama masing-masing 4 hari dan dilakukan pengadukan selama
24 jam sekali agar fermentasi merata.
Wadah fermentor terdiri dari 2 bilik yang masing-masing bilik bisa menampung 15-20
kg biji basah. Sebanyak 15 kg biji basah dapat dituangkan ke dalam kedua bilik secara
merata. Selanjutnya starter komersial berupa ragi roti Saccharomyces cerevisiae dan cairan
probiotik Lactobacillus casei dapat dituangkan ke dalam tumpukan biji basah (Gambar 3.4).
Adapun variasi starter yang ditambahkan adalah kontrol, penambahan 1% S. cerevisiae
komersial, 1% L. casei komersial, dan penambahan 0,5% S. cerevisiae komersial + 0,5% L.
casei komersial (b/b). Pada taraf terakhir dilakukan penambahan S. cerevisiae komersil pada
jam ke 0, kemudian ditambahkan L. casei komersil pada jam ke 24.

15
Gambar 3.4. Semi Automatic Fermentor dan Proses Peragian Biji Kakao Basah

D. Pengeringan Biji Kakao


Pengeringan biji kakao dilakukan dengan cara mengambil biji kakao basah akhir
fermentasi dan dikeringkan selama 5 hari untuk mendapatkan biji kakao kering (Gambar
3.5). Pengeringan dilakukan menggunakan sinar matahari langsung dengan keranjang plastik
berlubang. Biji kakao diaduk dan dibalik agar kering merata. Penjemuran diakhiri ketika biji
kakao bisa dipatahkan, kulit tanduk mengelupas dan biji kakao terlihat berwarna cokelat atau
cokelat merah.

Gambar 3.5. Pengeringan Biji Kakao Dalam Wadah Keranjang Plastik

16
E. Pelatihan Teori dan Praktek Proses Pengujian Biji Kakao Kering
Pengujian cut test dilakukan dengan cara mengamati secara subjektif perubahan warna
menggunakan indra penglihatan (Gambar 3.6). Sampel yang digunakan merupakan biji
kakao kering utuh sebanyak 50 biji. Biji kakao dibelah menggunakan cutter membujur tepat
dibagian tengah sama besar. Biji yang sudah dibelah kemudian diamati satu persatu keping
untuk dibedakan berdasarkan klasifikasinya. Terdapat tiga klasifikasi yaitu biji non-
fermented, under fermented, dan fermented. Biji non-fermented ditandai dengan biji berwarna
abu-abu keunguan, biji under-fermented ditandai dengan biji slaty berwarna ungu kecoklatan,
dan biji fermented ditandai dengan biji berwarna coklat dominan. Hasil dari pengujian
dihitung persentasenya berdasarkan rumus berikut. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali.

% Biji non-fermented = Σ

%Biji under fermented =Σ

%Biji fermented =Σ

Gambar 3.6. Pengujian Cut Test (Uji Belah) Biji Kakao Kering

E. Pelatihan Pengujian Mutu Fisik Biji Kakao Kering


1. Jumlah Biji Kakao Kering per 100 gram (SNI 2323: 2008)
Penimbangan biji kakao kering sebanyak 100 gram. Jumlah biji dalam 100 gram
tersebut kemudian dihitung. Hasil uji dinyatakan sesuai dengan jumlah biji yang
dihitung dalam 100 gram, contoh uji sebagai berikut:
- AA = jumlah biji sampai dengan 85 biji
- A = jumlah biji 86 - 100 biji
- B = jumlah biji 101 - 110 biji
- C = jumlah biji 111 - 120 biji
- S = jumlah biji > 120 biji

17
Penggolongan mutu biji kakao kering berdasarkan SNI 2323:2008 terdapat 3 (tiga)
yaitu, berdasarkan jenis tanaman; ukuran biji per 100 gram dan kelas mutu. Menurut
ukuran berat biji kakao diklasifikasikan dalam 5 golongan, penentuan ukuran ini
berdasarkan pada SNI 2323:2008 yang dinyatakan dengan perhitungan jumlah biji per
100 gram. Biji kakao kering dari hasil fermentasi selama 4 hari (96 jam) ditimbang
sebanyak 100 gram dan kemudian dihitung jumlah bijinya. Setelah dilakukan pengujian
terhadap jumlah biji per 100 gram, maka didapatkan hasil seperti terlihat pada Tabel 3.1.
Menurut Standar Nasional Indonesia (2008) golongan biji kakao yang memenuhi kriteria
standar ekspor adalah golongan AA, A, dan B.

Tabel 3.1. Jumlah Biji Kakao per 100 gram

Wadah Penambahan Jumlah Rata-Rata


Golongan
Fermentasi Starter biji / 100 gram
Fermentor Kontrol 109 B
Sc+Lc 104 B
Besek Kontrol 105 B
Sc+Lc 103 B

2. Bentuk Biji Kakao Kering (SNI 2323: 2008)


Penentuan bentuk biji dilakukan dengan cara pengamatan secara visual. Biji kakao
ditimbang sebanyak 100 gram kemudian diamati secara visual kenampakanya.
Klasifikasi biji dibagi menjadi biji utuh, biji tidak utuh, biji berplasenta, biji dempet, biji
pipih, dan biji pecah. Hasil masing-masing uji kemudian dihitung persentasenya (BSN,
2008). Salah satu indikator untuk mengetahui baik tidaknya mutu biji kakao kering
secara fisik dapat diketahui dari karakteristik bentuk bijinya. Penentuan karakteristik
bentuk biji kakao dilakukan dengan menghitung persentase dari biji utuh, biji pipih, biji
dempet, biji pecah dan biji berplasenta secara visual dalam 100 gram biji kakao kering.
Hasil pengamatan secara visual bentuk biji kakao kering terfermentasi selama 4 hari
dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Jumlah Biji Kakao per 100 gram


Wadah Penambahan Biji Biji Biji Biji Biji
Fermentasi Starter Utuh Pipih Dempet Pecah Plasenta
Fermentor Kontrol 84,11% 9,73% 0,72% 0,00% 5,44%
Sc + Lc 95,92% 2,72% 0,00% 0,00% 1,35%
Besek Kontrol 83,42% 8,08% 3,07% 0,00% 5,43%
Sc = Lc 92,97% 4,50% 0,00% 0,00% 1,83%

18
F. Pelatihan Teori dan Praktek Kelembagaan Poktan Dan Perencanaan Bisnis Biji
Kakao
Pada saat ini ada tiga kelompok tani yang bergerak dalam pengembangan biji kakao,
yaitu kelompok Agung Wilis, Manggar Kencono, dan Sidomulyo. Ketiga kelompok ini
tersebar di Desa Sempu dan Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu (Gambar 3.7). Kelompok
yang paling aktif adalah kelompok Manggar Kencono, dimana Manggar Kencono
mengumpulkan semua buah kakao yang ditanam oleh semua anggota kelompok dan
selanjutnya mengolahnya menjadi biji kering dengan variasi olahan tanpa fermentasi dan
fermentasi.

Gambar 3.7. Pengembangan Kelembagaan Kelompok Tani

G. STATUS LUARAN KEGIATAN


Luaran dari kegiatan ini diharapkan berupa
1. Publikasi pada Media Jawa Pos Radar Banyuwangi sebanyak satu kali dengan topik
Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengembangan Biji Kakao Rakyat
Terfementasi di Kecamatan Sempu.
2. Publikasi pada Jurnal Abdimas dengan judul Perbaikan Kualitas Biji Kakao Rakyat
Banyuwangi dengan Aplikasi Starter dan Semi Automatic Fermentor.
3. Video pada Youtube Aplikasi Teknis Semi Automatic Fermentor dan Starter
Komersial pada Fermentasi Kakao Rakyat Banyuwangi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Banyuwangi. 2019. Kecamatan Sempu Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik, Banyuwangi.
Badan Pusat Statistik Banyuwangi. 2020. Kabupaten Banyuwangi Dalam Angka. Badan
Pusat Statistik, Banyuwangi.
Beckett, S. T. 2008. The Science of Chocolate. 2nd Edition. The Royal Society of
Chemistry, Thomas Graham House, Science Park, Milton Road. Cambridge CB4 OWF,
United Kingdom
Camu, N., T. D. Winter, S. K. Addo, J. S. Takrama, H. Bernart, and L.D. Vuyst. 2008.
Fermentation of cocoa beans: Influence of microbial activities and polyphenol
concentrations on the flavour of chocolate. Journal of the Science of Food and
Agriculture 88: 2288-2297
Haryadi & Supriyanto, 1991. Bahan Ajaran Pengolahan Kakao Menjadi Bahan. Pangan.
Yogyakarta : Pau Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada.
Hayati, R., Yusmanizar, dan H. Fauzi. 2011. Pengaruh fermentasi dan suhu pengeringan
pada mutu biji kakao (Theobroma cacao L). Jurnal Ekonomi dan Pembangunan 2 (1):
25–32.
Lima, L. J. R., M. H. Almeida, M. J. R. Nout, and M. H. Zwietering. 2011. Theobroma
cacao L., the food of the Gods: quality determinants of commercial cocoa beans, with
particular reference to the impact of fermentation. Critical Reviews in Food Science
and Nutrition 51: 731-761.
Misnawi and B. T. S. Ariza. 2011. Use of gas chromatography-olfactometry in combination
with solid phase micro extraction for cocoa liquor aroma analysis. International Food
Research Journal 18: 829-835.
Mulato, S., S. Widyotomo, Misnawi dan E. Suharyanto. 2005. Petunjuk Teknis Pengolahan
Produk Primer dan Sekunder Kakao. Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan
Kopi dan Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember
Muttaqin, Z. 2011a. Ekspor Kakao Olahan Terhambat Bea Masuk.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read /3350/Ekspor-Kakao-Olahan-Terhambat-
Bea-Masuk- [15 September 2011].
Owosu, M. 2010. Influence of raw material and processing on aroma in chocolate. Ph.D.
Thesis Faculty of Life Science, University of Copenhagen. Denmark.
Rifin, A. 2013. Competitiveness of Indonesia’s cocoa beans export in the world market.
International Journal of Trade, Economics and Finance 4 (5): 279–281.
Towaha, J., D. A. Anggreini, dan Rubiyo. 2012. Keragaan mutu biji kakao dan produk
turunannya pada berbagai tingkat fermentasi: Studi kasus di Tabanan, Bali. Pelita
Perkebunan 28 (3): 166-183.
Widyotomo, S. 2008. Teknologi fermentasi dan diversifikasi pulpa kakao menjadi produk
yang bermutu dan bernilai tambah. Warta Review Penelitian Kopi dan Kakao 24: 65-
82.

20
LAMPIRAN

GAMBARAN IPTEK

1. Teknologi Non - Fermentasi


Pada proses tanpa fermentasi, buah kakao dipecah untuk mengeluarkan 10 kg biji
basah, yang selanjutnya disebar tanpa fermentasi pada alas terpal plastik atau rak pengeringan
dan langsung dilakukan penjemuran sinar matahari selama 7 hari (Gambar 5). Selama
penjemuran dilakukan pembalikan agar kering merata, dalam kondisi cuaca panas terik,
kering dan tidak lembab. Penjemuran diupayakan untuk mencapai kadar air biji kakao kering
+ 7%.

Gambar 1. Pengeringan kakao non fermentasi di terpal plastik (Cendana News, 2015)

2. Teknologi Fermentasi Dalam Kotak Kayu (Wooden Box Fermentation)


Fermentasi ini melibatkan penggunaan kotak kayu yang kuat (P 40 x L 40 x T 40 cm)
dan dilengkapi dengan lubang-lubang di dasar kotaknya digunakan sebagai pembuangan
cairan fermentasi atau lubang untuk keluar masuknya udara (aerasi) (Gambar 6). Sebanyak
40 kg biji kakao dimasukkan ke dalam kotak fermentasi dan ditutup karung goni. Pengadukan
biji kakao basah dilakukan setiap 24 jam selama proses fermentasi berlangsung (4-6 hari).

21
Gambar 2. Fermentasi biji kakao pada kotak kayu (BTPP, 2013)

1. Fermentasi Dalam Semi-automatic Fermentor (SA fermentation)


Fermentasi ini melibatkan penggunaan wadah silinder kayu yang kuat (P 50 x D 40 cm)
dan dilengkapi dengan sela-sela kecil di kotaknya digunakan sebagai pembuangan cairan
fermentasi atau lubang untuk kelua r masuknya udara (aerasi) (Gambar 7). Daun pisang
digunakan sebagai pelapis bagian dalam silinder, dan sebanyak 40 kg biji kakao dimasukkan
ke dalam silinder fermentasi dan ditutup daun pisang. Pengadukan biji kakao basah dilakukan
setiap 24 jam selama proses fermentasi berlangsung (4 hari).

Gambar 3. Fermentasi biji kakao dalam silinder kayu (koleksi Coindev)

22
PETA LOKASI MITRA SASARAN

Jarak Universitas Jember


– Kec. Tempurejo = 45 km


Peta Kabupaten Banyuwangi

Peta Geografi Desa di Kecamatan Sempu - Banyuwangi

23
Peta dari Google Map Jarak 72,2 km antara Universitas Jember dan Desa Jambewangi
di Kecamatan Sempu – Banyuwangi

24
MOU UNIVERSITAS JEMBER – PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI 1

25
MOU UNIVERSITAS JEMBER – PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI 2

26
MOU UNIVERSITAS JEMBER – PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI 3

27
MOU UNIVERSITAS JEMBER – PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI 4

28
MOU UNIVERSITAS JEMBER – PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI 5

29
MOU UNIVERSITAS JEMBER – PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI 6

30
MOU UNIVERSITAS JEMBER – PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI 7

31
SURAT PERNYATAAN MITRA PKM

32
33

Anda mungkin juga menyukai