Anda di halaman 1dari 112

ANALISIS PERAMALAN TINGKAT PRODUKSI DAN

KONSUMSI GULA INDONESIA DALAM MENCAPAI


SWASEMBADA GULA NASIONAL

OLEH
NINDYA HERNANDA
H14070088

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

NINDYA HERNANDA. Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi


Gula dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional (dibimbing oleh SRI
MULATSIH)

Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian


Indonesia, karena gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang
dikonsumsi masyarakat. Produksi industri gula yang semakin menurun dari tahun
ke tahun mengakibatkan adanya kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula
nasional. Perubahan dalam produksi, konsumsi, harga dan pemasaran gula dapat
mengundang timbulnya bermacam gejolak dalam masyarakat baik ekonomis
maupun politis yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk meredamnya.
Tahun 2003 pemerintah kembali mencanangkan program swasembada gula. Salah
satu cara untuk mengetahui kemampuan Indonesia dalam swasembada gula
adalah dengan melakukan peramalan produksi dan konsumsi gula. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis pencapaian swasembada gula 2014 dan
menganalisis upaya yang dilakukan melalui skenario peningkatan luas areal,
produktivitas dan rendemen tanpa kebijakan penambahan pabrik gula baru dan
dengan kenijakan penambahan pabrik gula baru yang diterapkan oleh pemerintah.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
time series tahun 1980-2010 yang berasal dari berbagai instansi yang terkait
dengan industri gula di Indonesia. Pengolahan data dilakukan menggunakan
software Minitab version 14 dengan metode ARIMA untuk meramalkan data
produksi dan konsumsi gula nasional. Selain itu digunakan pula software Eviews
version 6 untuk melakukan analisis regresi sehingga memperoleh persamaan yang
mampu menggambarkan hubungan antara variabel dependen (produksi gula)
dengan variabel independen (luas areal, produktivitas dan rendemen).
Hasil analisis dengan menggunakan model ARIMA memperlihatkan
model ARIMA terbaik yang dapat menggambarkan keragaan produksi gula
adalah model ARIMA (2,1,2) dan untuk menggambarkan keragaan konsumsi gula
menggunakan model ARIMA (1,1,3). Dari hasil peramalan dengan menggunakan
model ARIMA diperoleh data bahwa pada tahun 2011-2014 masih terdapat defisit
neraca gula sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia belum
mampu mencapai swasembada gula nasional. Hasil tersebut tidak jauh berbeda
dengan hasil proyeksi yang dilakukan oleh pemerintah yang juga menunjukkan
bahwa pada tahun 2014 Indonesia belum mampu mencapai swasembada gula
nasional.
Pemerintah melakukan upaya untuk mendorong pertumbuhan industri gula
melalui kebijakan penambahan pabrik gula baru yang tertuang dalam roadmap
swasembada gula. Dalam penelitian ini dilakukan dua skenario penerapan
kombinasi kebijakan dalam upaya pencapaian swasembada gula yaitu (1) skenario
1: Kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen tanpa kebijakan
penambahan pabrik gula baru, dan (2) skenario 2: kombinasi peningkatan luas
areal, produktivitas dan rendemen dengan kebijakan penambahan pabrik gula
baru. Hasil analisis menunjukkan untuk mencapai swasembada gula nasional, luas
areal yang harus dicapai pada tahun 2014 dengan menggunakan skenario 1
sebesar 259.577 hektar, lebih kecil dibandingkan dengan skenario 2 yaitu sebesar
267.612 hektar. Produktivitas dan rendemen yang harus dicapai pada skenario 1
adalah sebesar 89,4 ton per hektar dan 9,1 persen. Pada skenario 2, produktivitas
dan rendemen yang harus dicapai sebesar 89,4 ton per hektar dan 8,6 persen
dengan penambahan pabrik gula baru sesuai alternatif dari pemerintah yaitu (1) 10
unit PG berkapasitas 15.000 TCD, (2) 15 Unit PG berkapasitas 10.000 TCD, atau
(3) 25 unit PG berkapasitas 6.000 TCD.
Upaya untuk meningkatkan luas areal adalah dengan membuka lahan
perkebunan tebu di daerah yang berpotensi di luar pulau Jawa seperti Sumatera,
Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Upaya untuk meningkatkan produktivitas
tebu salah satunya dengan pemilihan bibit dan sistem budidaya tebu yang tepat.
Pemilihan bibit dan budidaya tebu yang tepat juga dapat membantu meningkatkan
persentase rendemen, serta dengan adanya teknologi yang baru diharapkan dapat
membantu meningkatkan persentase rendemen. Selain itu, pemerintah juga perlu
menciptakan iklim investasi yang kondusif guna menarik investor untuk
bergabung dalam industri gula di Indonesia.
ANALISIS PERAMALAN TINGKAT PRODUKSI DAN
KONSUMSI GULA INDONESIA DALAM MENCAPAI
SWASEMBADA GULA NASIONAL

Oleh

NINDYA HERNANDA
H14070088

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Nindya Hernanda
Nomor Registrasi Pokok : H14070088
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan
Konsumsi Gula Indonesia dalam Mencapai
Swasembada Gula Nasional

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.

Menyetujui,
Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr


NIP. 19640529 198903 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec


NIP. 19641022 198903 1 003

Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH


BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2011

Nindya Hernanda
H14070088
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Nindya Hernanda lahir pada tanggal 12 April 1989 di


Cirebon, sebuah kota kecil yang berada di perbatasan antara Provinsi Jawa Barat
dengan Provinsi Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara, dari pasangan Herman dan Endang Karyani. Jenjang pendidikan
penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN 1
Mertapada Kulon, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Lemahabang dan
lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 1
Lemahabang dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan
penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan
pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan kota
Cirebon tercinta. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada
Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif
sebagai bagian dari kepanitiaan diberbagai kegiatan kampus seperti Economic
Contest 2009, Hipotex-Revolution 2008 dan 2009, Politik Ceria 2009, dan turut
menjadi bagian dari kepengurusan Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan
Kekeluargaan Cirebon. Selain itu penulis juga merupakan salah satu Entrepreuner
muda yang menjadi pemenang ‘Program Mahasiswa Wirausaha IPB 2010’
dengan usaha Batik Kontemporer yang digelutinya semenjak duduk dibangku
semester lima.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul
Skripsi ini adalah “Analisis Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula
Indonesia dalam Mencapai Swasembada Gula Nasional”. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, diantaranya:
1. Kedua orang tua, Bapak Herman dan Ibu Endang Karyani, Kakak
Ditto Hernanda dan Adik Norma Trisna Hernanda yang selalu
memberikan perhatian, semangat, motivasi, dukungan baik moral
maupun material serta doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
2. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril
dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan
dengan baik.
3. M. Parulian Hutagaol, Ph.D dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si
sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan untuk
menyempurnakan skripsi ini.
4. Obi Ichwan Herdayanto atas perhatian, semangat, motivasi dan kasih
sayang serta bantuan yang telah diberikan.
5. Ajeng Endartrianti, Abdul Aziz dan Marthasari Nuringati Agustya
sebagai teman satu bimbingan atas bantuan dan kerjasamanya.
6. Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 atas kebersamaan dan
persahabatan selama 4 tahun ini.
7. Teman-teman Wisma Pinky, Adiz, Dewi, Keristina, Norita, Bapak dan
Ibu Kos serta Fazrandy yang menemani melewati hari-hari yang penuh
dengan pengalaman.
8. Rani, Suhaila, Anggi, Indah, Rini, Fery, Yoga, Ida, Riri, Delta
terimakasih atas persahabatan yang menyenangkan.
9. Sahabat-sahabat IKC atas kehangatan keluarga selama ini.
10. Seluruh dosen dan staf departemen Ilmu Ekonomi atas bantuan dan
kerjasamanya.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi
ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini.


Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikan kedepannya.

Bogor, Mei 2011

Nindya Hernanda
H14070088
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. i
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 7
1.3 Tujuan ............................................................................................ 10
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 12
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Karakteristik Tebu .......................................................................... 14
2.2 Konsumsi dan Produksi Gula ......................................................... 17
2.3 Swasembada Gula ........................................................................... 19
2.4 Teori Peramalan .............................................................................. 21
2.5 Metode Peramalan Time Series ...................................................... 23
A. Metode Naive ........................................................................... 25
B. Metode Smoothing ................................................................... 25
B.1 Metode Rata-rata .............................................................. 26
B.1.1 Metode Rata-rata Sederhana (Simple Average) ....... 26
B.1.2 Metode Rata-rata Bergerak Sederhana (Simple
Moving Average) ..................................................... 26
B.2 Metode Eksponensial ......................................................... 27
B.2.1 Metode Pemulusan Eksponensial Tunggal (Single
Exponential Smoothing)........................................... 27
B.2.2 Metode Pemulusan Eksponensial Ganda Holt (Holt’s
Double Exponential Smoothing) ................................ 28

B.2.3 Metode Pemulusan Eksponensial Ganda Winters


(Winters’s Double Exponential Smoothing) ............ 29
C. Metode Box-Jenkins (ARIMA) ................................................ 30
2.6 Metode Regresi Berganda ............................................................. 33
2.7 Tinjauan Penelitian Empirik ........................................................... 34
2.8 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 36
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 38
3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data .......................................... 38
3.2.1 Metode Box-Jenkins (ARIMA) ............................................ 38
3.2.2 Metode Regresi Berganda .................................................... 46
IV. PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA DI INDONESIA ............ 51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Model ARIMA untuk Produksi dan Konsumsi Gula Nasional ..... 55
5.1.1 Penstasioneran Data ............................................................. 55
5.1.2 Identifikasi Model Sementara .............................................. 59
5.1.3 Estimasi dan Diagnostic Checking ...................................... 61
5.1.4 Peramalan Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia ............ 63
5.2 Implikasi Hasil Peramalan Terhadap Pencapaian Swasembada
Gula Nasional ................................................................................. 64
5.3 Perbandingan Hasil Peramalan dengan Proyeksi Pemerintah ...... 67
5.4 Alternatif Kebijakan untuk Mencapai Swasembada Gula
Tahun 2014 .................................................................................... 71
5.4.1 Skenario 1: Kombinasi Peningkatan Luas Areal, Produktivitas
dan Rendemen Tanpa Kebijakan Penambahan Pabrik Gula
Baru ..................................................................................... 73
5.4.2 Skenario 2: Kombinasi Peningkatan Luas Areal, Produktivitas
dan Rendemen Dengan Kebijakan Penambahan Pabrik Gula
Baru ....................................................................................... 75
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 80
6.2 Saran .............................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 84
LAMPIRAN ................................................................................................. 86
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1.1 Jumlah Pabrik Gula dan Kapasitas Giling Pabrik Gula di
Indonesia Tahun 2010 ........................................................................ 3
1.2 Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun
2000-2010 ........................................................................................... 4
1.3 Jumlah Impor Gula Indonesia Tahun 2003-2010 ............................... 5
3.1 Pola ACF dan PACF pada Model ARIMA ........................................ 41
5.1 Model ARIMA (2,1,2) untuk Data Produksi Gula Nasional .............. 62
5.2 Model ARIMA (1,1,3) untuk Data Konsumsi Gula Nasional ............ 63
5.3 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Gula dalam Bentuk
Logaritma Natural (ln)......................................................................... 64
5.4 Hasil Peramalan Model ARIMA (2,1,2) Untuk Produksi dan
ARIMA (1,1,3) Untuk Konsumsi Gula Nasional (diolah) ................. 64
5.5 Sasaran Swasembada Gula Pada Tahun 2014 ................................... 68
5.6 Proyeksi Pencapaian Swasembada Gula Nasional Oleh Pemerintah
Setelah Dicanangkan Program Swasembada Gula Nasional Tahun
2014 ................................................................................................... 69
5.7 Hasil Peramalan dengan model ARIMA dan Proyeksi Pemerintah
Terhadap Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Nasional padaTahun
2011-2014 ........................................................................................... 70
5.8 Hasil Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula dengan Model
ARIMA untuk tahun 2011-2025......................................................... 70
5.9 Skenario 1: Upaya Pencapaian Swasembada Gula Melalui
Peningkatan Luas Areal, Produktivitas Tebu dan Rendemen ............ 71
5.10 Skenario 2: Upaya Pencapaian Swasembada Gula Melalui
Program Penambahan Pabrik Gula Baru ............................................ 73
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1.1 Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Tahun 2000-2010 ............... 8
2.1 Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula .............................................. 16
2.2 Diagram Pohon Industri dari Tebu ..................................................... 19
2.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 37
5.1 Perkembangan Produksi Gula di Indonesia (diolah) .......................... 56
5.2 Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia (diolah) ........................ 58
5.3 Plot ACF dan PACF Data Produksi (diolah) ...................................... 60
5.4 Plot ACF dan PACF data konsumsi (diolah) ..................................... 60
5.5 Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Serta Hasil
Peramalan Tahun 2000-2014 ............................................................. 65
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Produksi, Konsumsi, Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen
Gula Tahun 1980-2010 ...................................................................... 86
2. Nilai Logaritma Natural (ln) Produksi, Konsumsi, Luas Areal,
Produktivitas dan Rendemen Gula Tahun 1980-2010 ....................... 87
3. Grafik Plot Data dan Uji Statisitk ADF Pada Level Untuk Data
ln Produksi Gula Tahun 1980-2010 ................................................... 88
4. Grafik Plot Data dan Uji Statisitk ADF Pada First Difference
Untuk Data ln Produksi Gula Tahun 1980-2010 ............................... 89
5. Uji ACF Data ln Produksi Gula Pada First Difference ..................... 90
6. Uji PACF Data ln Produksi Gula Pada First Difference ................... 90
7. Hasil Evaluasi Model ARIMA Terbaik Untuk Produksi Gula .......... 91
8. Hasil Peramalan Produksi Gula Tahun 2011-2014 Dalam Bentuk
Logaritma Natural (ln) ....................................................................... 91
9. Grafik Plot Data dan Uji Statisitk ADF Pada Level Untuk Data ln
Konsumsi Gula Tahun 1980-2010 ..................................................... 92
10. Grafik Plot Data dan Uji Statisitk ADF Pada First Difference
Untuk Data ln Konsumsi Gula Tahun 1980-2010 ............................. 93
11. Uji ACF Data ln Konsumsi Gula Pada First Difference ................... 94
12. Uji ACF Data ln Konsumsi Gula Pada First Difference ................... 94
13. Hasil Evaluasi Model ARIMA Terbaik Untuk Konsumsi Gula ........ 95
14. Hasil Peramalan Konsumsi Gula Tahun 2011-2014 Dalam Bentuk
Logaritma Natural (ln) ....................................................................... 95
15. Uji Regresi Berganda ........................................................................ 96
16. Uji Multikolinearitas ......................................................................... 96
17. Uji Heteroskedastisitas ...................................................................... 97
18. Uji Autokorelasi ................................................................................ 97
19. Uji Kenormalan ................................................................................. 97
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian

Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang

dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar gula dikonsumsi oleh

masyarakat sebagai sumber energi, pemberi cita rasa, dan sebagian lagi digunakan

sebagai bahan baku industri makanan dan minuman (Purwanto, 2006). Gula juga

merupakan komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang berbeda

dengan komoditi strategis lainnya seperti beras. Di satu sisi gula merupakan salah

satu bahan kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat secara luas. Akan tetapi

di sisi lain gula juga termasuk ke dalam komoditi yang masih terkena cukai

(Amang, 1993). Keadaan ini memengaruhi kebijakan dan sistem pergulaan yang

terjadi baik dari segi konsumsi, pengolahan dan pemasarannya. Posisinya yang

strategis menjadikan harga gula sangat sensitif, fluktuasi yang tidak stabil dapat

mengganggu perekonomian nasional.

Gula memegang peranan penting (setelah beras) dalam sistem ekonomi

pangan Indonesia karena menyentuh kebutuhan hidup rakyat banyak. Perubahan

dalam produksi, konsumsi, harga dan pemasaran gula dapat mengundang

timbulnya bermacam gejolak dalam masyarakat baik dalam hal ekonomi maupun

politik yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya (Hasan,

1983). Kebijakan pergulaan yang dilakukan oleh pemerintah pada prinsipnya


mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya gula secara berkelanjutan, kapan

saja dan dimana saja serta berupaya untuk menghemat devisa.

Produksi gula nasional relatif berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kadangkala

produksinya meningkat dan sering juga menunjukkan gejala yang menurun karena

berbagai sebab. Akibat produksi gula pasir yang relatif tidak stabil, menimbulkan

masalah resiko dan ketidakpastian dalam persediaan gula di Indonesia. Pada tahun

2010 jumlah pabrik gula di Indonesia mencapai 62 unit (Tabel 1.1). Namun

produksi total dan hasil per hektar telah merosot dibandingkan dengan keadaan

pada tahun 1930-an dimana industri gula mengalami masa kejayaan. Pada tahun-

tahun tersebut, Indonesia dikenal sebagai negara yang melakukan ekspor gula

terbesar kedua setelah Cuba. Namun keadaan tersebut semakin menurun. Sejak

tahun 1966 ekspor sama sekali terhenti dan dalam jumlah tertentu gula telah

diimpor (Mubyarto, 1984).

Semenjak tahun 2008, kinerja industri gula memang mengalami

peningkatan, namun secara agregat kinerja pabrik gula saat ini masih jauh

dibandingkan dengan kinerja pabrik gula pada tahun 1930-an dimana industri gula

sempat berjaya dibawah pemerintahan Hindia-Belanda. Penyebab utama

penurunan industri gula Indonesia adalah kapasitas dan efisiensi pabrik gula (PG)

yang sangat rendah dibandingkan dengan industri gula di negara-negara penghasil

gula lainnya. Selain itu, inefisiensi di tingkat usaha tani di Indonesia dan

perdagangan gula di pasar Internasional yang sangat fluktuatif juga turut

memperburuk kondisi industri gula Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah


dan regulasi juga dianggap masih kurang efektif untuk dapat mendorong

pertumbuhan industri gula.

Tabel 1.1 Jumlah Pabrik Gula dan Kapasitas Giling Pabrik Gula di Indonesia
Tahun 2010
Jumlah PG Kapasitas Giling
No. Perusahaan / PT. PG
(Unit) (Ton/Hari)
Jawa:
1 PTPN IX 8 17.707
2 PTPN X 11 39.942
3 PTPN XI 16 39.201
4 PT Rajawali I 2 19.750
5 PT Rajawali II 5 14.000
6 PT Candi 1 2.750
7 PT Madu Baru 1 3.300
8 PT Kebon Agung 2 12.360
9 PT Industri Gula Indonesia 1 1.800
10 PT Pakis Baru 1 4.000
Jumlah Pulau Jawa 48

Luar Jawa:
1 PTPN II 2 7.162
2 PTPN VII 2 10.986
3 PTPN XIV 3 6.840
4 PT Gunung Madu Plantation 1 12.473
5 PT Sugar Group 3 27.000
6 PT PG Gorontalo 1 8.500
7 PT Pemuka Sakti Manis Indah 1 5.500
8 PT Laju Perdana Indah 1 -
Jumlah Luar Jawa 14
Jumlah Indonesia 62
Sumber : Dewan Gula Indonesia (2011)

Kondisi industri gula yang semakin menurun dari tahun ke tahun

mengakibatkan adanya kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula nasional.

Disisi produksi, terjadi inefisiensi dari sektor on farm hingga off farm yang

mengakibatkan penurunan jumlah produksi gula. Disisi konsumsi, dengan

meningkatnya jumlah penduduk, bertambahnya pendapatan per kapita, dan

pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman serta perubahan yang


terjadi pada pola konsumsi masyarakat, maka pada tahun-tahun mendatang dapat

dipastikan bahwa jumlah konsumsi gula akan terus meningkat. Keterbatasan

kapasitas produksi akan mengakibatkan selisih antara produksi dan konsumsi

selalu negatif (Tabel 1.2).

Tabel 1.2 Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 2000-2010
Tahun Produksi Gula (ton) Konsumsi Gula (ton) Defisit (ton)
2000 1.690.004 2.989.170 -1.299.166
2001 1.725.467 3.085.820 -1.360.353
2002 1.755.434 3.190.540 -1.435.106
2003 1.631.919 3.301.872 -1.669.953
2004 2.051.643 3.402.429 -1.350.786
2005 2.241.742 3.436.623 -1.194.881
2006 2.307.027 4.252.793 -1.945.766
2007 2.448.143 4.703.434 -2.255.291
2008 2.668.428 4.341.114 -1.672.686
2009 2.299.504 5.292.110 -2.992.606
2010 2.214.488 4.757.383 -2.542.895
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2011)

Kenaikan konsumsi gula yang lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan

produksi gula, mengakibatkan perlunya impor gula (Tabel 1.3). Ketimpangan ini

perlu segera diakhiri karena mengakibatkan penggunaan devisa negara untuk

membeli gula di pasaran dunia yang seharusnya masih dapat dicukupi oleh

produksi dalam negeri. Harga gula baik domestik maupun Internasional tidak

hanya dipengaruhi oleh komoditi gula tersebut namun juga dipengaruhi oleh

kekuatan-kekuatan politik para pemangku kekuasaan, hal ini dikarenakan

komoditi gula merupakan salah satu komoditi strategis dan sangat fluktuatif

perubahan harganya sehingga peningkatan penggunaan devisa guna memenuhi

kebutuhan gula nasional akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian

nasional.
Pasar gula dunia hanya dikuasai oleh sejumlah kecil negara produsen

utama dan pedagang besar. Hal ini menunjukkan struktur pasar yang oligopolistik.

Lebih jauh lagi harga gula internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi

karena telah terdistorsi oleh berbagai bantuan atau subsidi domestik, pembatasan

akses pasar serta subsidi ekspor. Kebijakan pembatasan impor tidak saja

dilakukan oleh negara pengimpor tapi juga negara pengekspor (Subari, 2009).

Tabel 1.3 Jumlah Impor Gula Indonesia Tahun 2003-2010


Impor (Ton)
Tahun
Gula Putih Raw Sugar Total
2003 647.908 673.399 1.321.307
2004 256.589 475.493 732.082
2005 453.160 771.555 1.224.715
2006 216.490 462.741 679.231
2007 448.681 865.746 1.314.427
2008 49.025 489.290 538.315
2009 13.000 254.230 267.230
2010 423.092 308.277 731.369
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2011)
Ket: Raw Sugar= bahan baku gula rafinasi untuk industri

Harga gula impor yang lebih murah dengan kualitas yang tidak jauh

berbeda dengan gula lokal semakin mempersulit industri gula dalam negeri untuk

bersaing. Kesulitan tersebut semakin rumit dengan kurangnya perhatian dari

pemerintah terhadap perkembangan industri gula dalam negeri. Impor gula tidak

saja merugikan para pelaku di industri gula namun juga mengancam ketahanan

pangan nasional. Semakin tinggi tingkat impor maka semakin tinggi pula

ketergantungan terhadap negara lain yang berperan sebagai negara pengimpor.

Pemerintah memiliki kekhawatiran yang besar atas tingginya volume

impor gula karena dapat mengancam ketahanan pangan. Ketahanan pangan seperti
yang tercantum dalam UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan

yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Ketahanan pangan (food security) sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial

(socio security), stabilitas ekonomi, politik, keamanan dan ketahanan nasional.

Ketahanan pangan merupakan hal penting bagi negara berkembang yang

memiliki banyak penduduk namun daya belinya rendah seperti Indonesia (Subari,

2009). Salah satu upaya pemerintah untuk dapat menjaga ketahanan pangan

nasional adalah dengan mencanangkan program swasembada bahan makanan

pokok yang salah satunya adalah swasembada gula.

Swasembada dicanangkan guna mencapai kemandirian pangan mengingat

kondisi di pasar pangan dunia menunjukkan lonjakan harga yang luar biasa. Hal

tersebut merupakan dampak dari tindakan defensif dan protektif dari negara-

negara produsen utama yang mulai membatasi supply untuk pasar dunia sejak

adanya isu pemanasan global. Selain itu, fenomena peralihan bahan bakar fosil

menjadi bahan bakar nabati pun ternyata turut menggerek harga beberapa

komoditi pangan yang juga merupakan bahan bakar nabati seperti tebu. Faktor

lain yang juga turut melejitkan harga pangan dunia adalah terjadinya spekulasi di

pasar uang Amerika. Prospek investasi di bidang properti yang memburuk akibat

tersandung kredit macet membuat para investor berbondong masuk dalam bisnis

komoditas pangan akibatnya terjadilah spekulasi harga pangan. Stok yang menipis

dan harga yang melejit mau tidak mau membuat negara importir pangan seperti

Indonesia harus mandiri (Rahman, 2008).


Dengan menilik sejarah mengenai perkembangan industri gula, Indonesia

sangat berpotensi untuk dapat mengembangkan industri gula sehingga mampu

mencapai kejayaannya kembali. Sebagai upaya mendukung pengembangan

industri gula dalam negeri, pemerintah menetapkan program pencapaian

swasembada gula nasional pada tahun 2014 mendatang. Kebijakan tersebut

sebagai upaya pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan nasional mengingat

gula merupakan salah satu komoditi strategis dalam perekonomian Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Peningkatan kebutuhan gula nasional masih belum dapat terpenuhi hanya

dengan mengandalkan produksi dalam negeri (Gambar 1.1). Oleh sebab itu,

pemerintah masih melakukan impor guna memenuhi permintaan gula dalam

negeri yang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan konsumsi gula

sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk dan konsumsi gula per

kapita serta perkembangan industri makanan, minuman dan farmasi yang

menggunakan gula sebagai inputnya. Sedangkan perkembangan produksi tidak

lepas dari perkembangan luas areal perkebunan, produktivitas tebu dan tingkat

rendemennya. Besarnya konsumsi gula per kapita tahun 2010 mencapai 12 kg per

kapita per tahun dan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,49 persen per tahun

(BPS, 2010).
6000

5000

4000
Ribu Ton
3000
Produksi
2000 Konsumsi
1000

0 2001
2000

2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 1.1 Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Tahun 2000-2010

Industri gula Indonesia dimasa yang akan datang akan menghadapi

perubahan lingkungan yang berbeda dan dinamis baik dari sisi eksternal maupun

internal. Dari sisi eksternal yang ditandai dengan adanya liberalisasi perdagangan

dunia, sedangkan dari sisi internal mulai dari kurang efisiennya industri gula

dalam negeri, tuntutan konsumen yang menginginkan harga yang rendah serta

tuntutan petani tebu untuk meningkatkan kesejahteraannya (Hafsah, 2003).

Menurut Hafsah (2003) kemampuan Indonesia dalam mengelola industri

gula dan menjadi produsen gula telah diperhitungkan dunia karena: (1) telah

dibuktikan oleh sejarah masa lalu, Indonesia sebagai salah satu eksportir gula

dunia, (2) potensi sumberdaya alam berupa tanah, agroekologi cukup tersedia, (3)

sumberdaya manusia disamping cukup juga telah berpengalaman dalam usaha

tani, pengolahan dan tataniaga gula, (4) potensi pasar dalam negeri cukup tinggi

dan (5) teknologi terutama kultur teknis cukup tersedia. Salah satu cara untuk

mengetahui kemampuan Indonesia dalam memproduksi gula dan tingkat


konsumsinya adalah dengan melakukan peramalan produksi dan konsumsi gula

untuk beberapa tahun yang akan datang.

Pemerintah mencanangkan pencapaian program swasembada gula nasional

pada tahun 2014. Selain merencanakan program tersebut, pemerintah juga

menetapkan sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam setiap tahunnya dan

melakukan proyeksi serta peramalan untuk melihat kemungkinan pencapaian

sasaran-sasaran tersebut. Dalam melakukan peramalan, pemerintah menggunakan

asumsi-asumsi yang berkaitan erat dengan kondisi masyarakat yaitu laju

peningkatan jumlah penduduk, laju peningkatan daya beli masyarakat, besarnya

konsumsi gula per kapita per tahun dan laju peningkatan konsumsi gula untuk

industri. Seluruh kebijakan dan langkah-langkah untuk mewujudkan swasembada

gula nasional tertuang dalam roadmap swasembada gula.

Peramalan yang dilakukan oleh pemerintah yang didasari oleh berbagai

asumsi mempunyai keterbatasan salah satunya adalah perbedaan antara asumsi

yang digunakan dengan kenyataan di lapangan yang sering terjadi sehingga

menyebabkan adanya bias pada hasil peramalan yang dilakukan. Selain itu, hasil

peramalan tidak mampu memperlihatkan pola fluktuasi produksi dan konsumsi

gula, sehingga diperlukan peramalan dengan memanfaatkan pola yang terjadi

pada data produksi dan konsumsi gula untuk mendapatkan hasil peramalan dari

sudut pandang lain.

Sesuai dengan program pemerintah mewujudkan swasembada gula

nasional pada tahun 2014 maka peramalan dilakukan untuk empat tahun yang

akan datang. Peramalan dilakukan sebagai informasi dasar untuk menyusun


perencanaan dan pengambilan keputusan di masa mendatang. Diperlukan

rumusan kebijakan menyangkut seluruh aspek sosial ekonomi dan teknis

pergulaan agar pembangunan industri gula dan perkembangannya dapat terwujud

sehingga dapat menempatkan posisi Indonesia sebagai produsen gula terkemuka

di dunia. Adanya ketidakpastian dalam produksi dan konsumsi gula yang

disebabkan oleh berbagai faktor mengindikasikan bahwa peramalan memang

penting dilakukan. Dengan adanya peramalan maka dapat diketahui target

produksi gula yang harus dicapai agar pencapaian swasembada gula dapat

diupayakan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dibahas,

diantaranya:

1. Bagaimana tingkat produksi dan konsumsi gula di Indonesia, apakah

target swasembada gula nasional pada tahun 2014 dapat tercapai ?

2. Alternatif upaya apa yang harus dilakukan untuk mencapai swasembada

gula nasional pada tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan melihat

bagaimana kondisi tingkat produksi dan konsumsi gula di Indonesia hingga tahun

2014 dan gambaran pencapaian swasembada gula nasional melalui skenario

kebijakan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh pemerintah. Secara

khusus tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Menganalisis perkembangan tingkat produksi dan konsumsi gula

nasional hingga tahun 2014.

2. Menganalisis upaya yang dapat dijadikan alternatif dalam mendorong

pencapaian swasembada gula nasional pada tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara umum hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

gambaran mengenai kondisi industri gula di Indonesia dan kemungkinan

pencapaian swasembada gula nasional pada tahun 2014. Dengan mengetahui

kondisi industri gula di Indonesia diharapkan mampu memberikan informasi

kepada pemerintah, para pengusaha dan investor di bidang pergulaan serta

masyarakat untuk dapat mengambil langkah-langkah tepat guna mendukung

perkembangan industri gula Indonesia.

Secara khusus manfaat dari hasil penelitian ini adalah:

1. Bagi pemerintah sebagai pembuat dan pengambil kebijakan, penelitian ini

berguna sebagai gambaran keadaan industri gula di Indonesia meliputi

kapasitas produksi, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia, dan pengaruh

perluasan area serta produktivitas yang dapat dijadikan bahan acuan dalam

perumusan kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan yang tepat dan

mampu mendorong pertumbuhan industri gula di Indonesia.

2. Bagi para pelaku usaha, penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran

kondisi industri gula Indonesia saat ini sehingga para pelaku usaha mampu
mengambil langkah-langkah yang tepat guna mengembangkan usahanya

dalam menghadapi persaingan global.

3. Bagi penulis, penulisan ini berguna sebagai sarana menambah

pengetahuan tentang kondisi industri gula Indonesia pada saat ini dan

permasalahan serta kendala yang dihadapinya sehingga mampu menjawab

tantangan-tantangan yang ada dihadapannya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis mengenai tingkat produksi

dan tingkat konsumsi gula di Indonesia sehingga dapat melihat dampaknya

terhadap pencapaian target swasembada gula di tahun 2014. Analisis diawali

dengan melihat pola pergerakan produksi dan konsumsi gula di Indonesia

kemudian membuat model yang paling tepat untuk menggambarkan pergerakan

tingkat produksi dan konsumsi sehingga dapat dilakukan peramalan apakah pada

tahun 2014 dapat dicapai swasembada gula nasional. Selain itu, penelitian ini juga

melihat bagaimana kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen

tanpa kebijakan penambahan pabrik gula baru dan dengan kebijakan penambahan

pabrik gula baru yang dicanangkan oleh pemerintah sebagai upaya pencapaian

swasembada gula nasional 2014.

Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:

1. Data yang digunakan adalah data tahunan (1980-2010) sehingga model

yang dihasilkan tidak mampu menggambarkan fluktuasi bulanan maupun

musiman.
2. Adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang

sebenarnya mampu menjelaskan permasalahan seputar industri gula tidak

termasuk ke dalam variabel yang dijelaskan dalam penelitian ini. Sehingga

kebijakan pemerintah diasumsikan ceteris paribus.


II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Karakteristik Produksi Tebu

Tebu (Sacharum officanarum) merupakan bahan baku utama produksi

gula. Oleh karena itu, peningkatan produksi gula sangat erat kaitannya dengan

pengembangan tanaman tebu. Mengetahui karakteristik produksi dan komoditi

tebu sangat penting untuk dapat meningkatkan produktivitas dan produksi tebu.

Komoditi tebu dihasilkan dalam jumlah yang besar yang tidak dapat disimpan

lama (Mochtar, 1982).

Penanaman tebu dilakukan pada bulan-bulan tertentu dengan

mempertimbangkan kesesuaian iklim atau lingkungan yang tepat pada masa giling

pabrik. Tebu biasanya ditanam pada akhir musim kemarau setelah panen padi

musim hujan. Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap mutu tebu

khususnya kondisi lahan dan curah hujan. Tanaman tebu membutuhkan banyak

air pada masa vegetatif dan membutuhkan lingkungan yang kering pada saat

proses pemasakannya. Apabila masa tanam tidak sesuai dengan jadwal tanam

yang telah direncanakan, maka kemungkinan akan terjadi resiko keterlambatan

tebang atau tebang lebih awal, sehingga tingkat rendemen tebu yang dicapai tidak

optimal. Tanaman tebu ditebang pada umur rata-rata 12-14 bulan untuk mencapai

kadar sukrosa 10 persen. Semakin lama masa panennya, kadar sukrosa bisa

meningkat 14 sampai 15 persen (Mubyarto, 1984). Setelah dipanen sekali, tebu

bisa dibiarkan tumbuh kembali untuk dipanen kedua kalinya dengan rumpun

tanaman yang sama (rattooning).


Pemanenan tebu merupakan serangkaian kegiatan penebangan dan

pengangkutan dari kebun ke pabrik. Dalam pelaksanaannya memerlukan

perencanaan yang matang dan koordinasi yang baik untuk mencapai hasil yang

maksimal. Penebangan adalah kegiatan penyiapan tebu untuk diangkut ke pabrik,

dimana kegiatannya sendiri terdiri dari penebangan, pembersihan dari segala

kotoran dan penyiapan tebu ke pengangkutan. Tebu ditebang jika telah masak dan

memiliki rendemen cukup tinggi. Kegiatan pengangkutan tebu harus dilakukan

dengan cepat dan aman dalam arti tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan

nira pada tebu selama pengangkutan, memenuhi target giling setiap harinya, tidak

merusak lingkungan dan dalam jangkauan biaya (Mochtar, 1982)

Tebu memerlukan pengangkutan yang cepat agar segera dapat digiling.

Sifatnya yang tak tahan lama ini berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas gula

yang dihasilkan. Tebu yang telah dipotong harus segera sampai di pabrik untuk

diproses. Keterlambatan akan mengakibatkan sulitnya kristalisasi atau

pembusukan dan pengasaman tebu (Mubyarto, 1984). Proses tebang, muat, dan

angkut dapat mengakibatkan susut rendemen gula yang dihasilkan. Notojoewono

(1984) menyatakan bahwa kehilangan gula dari saat tebang sampai akhir

pengolahan dapat mencapai 35 persen. Kehilangan yang terjadi pada saat tebang

sampai giling berkisar 5 sampai 25 persen. Kehilangan ini terutama disebabkan

keterlambatan giling sehingga tebu menjadi rusak. Kerusakan tebu tidak hanya

menyebabkan kehilangan gula, tetapi juga menyebabkan pengolahan tebu menjadi

lebih sulit.
Menggiling tebu merupakan kegiatan musiman, dimulai bulan Mei atau

Juni dan diteruskan sampai September atau Oktober, tetapi beberapa pabrik hanya

menggiling beberapa saat saja selama musim giling. Industri gula merupakan

industri yang menggunakan labor intensif. Namun kebutuhan tenaga kerjanya

terpusat hanya dalam periode tertentu dan jangka waktu yang pendek. Selama

masa giling, penanaman dan pemungutan hasil semuanya dikerjakan oleh

manusia, hanya sedikit yang menggunakan mesin. Tebu diproses melalui

beberapa tahap untuk menghasilkan gula (Gambar 2.1). Akibat pengolahan ini

identitas tebu hilang. Kualitas gula yang dihasilkan relatif berbeda antara satu

pabrik dengan pabrik lain.

Sumber: Soekartawi (2006)


Gambar 2.1 Proses Pengolahan Tebu Menjadi Gula
2.2 Konsumsi dan Produksi Gula

Dalam sistem pergulaan nasional kebutuhan gula dibagi dua yaitu untuk

konsumsi langsung (rumahtangga) dengan kualitas gula kristal putih (GKP) dan

kebutuhan tidak langsung untuk industri makanan, minuman dan farmasi dengan

kualitas gula kristal rafinasi (GKR). Konsumsi langsung dapat diartikan bahwa

masyarakat mengkonsumsi langsung dalam bentuk gula pasir untuk menu

makanan atau minuman sehari-hari, sedangkan konsumsi tidak langsung

merupakan konsumsi gula yang dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk

makanan atau minuman (produk olahan) yang menggunakan gula pasir atau

turunannya sebagai pemanis atau pengawet (Dewan Gula Indonesia, 2006).

Kebudayaan mengkonsumsi gula di Indonesia sudah berjalan seiring

dengan tumbuhnya budaya bangsa Indonesia. Tinjauan dari aspek perkembangan

konsumsi gula pasir di Indonesia sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat

yang sangat menentukan keputusan dalam mengkonsumsi gula. Gula pasir

merupakan sumber energi karena gula merupakan salah satu dari kelompok

karbohidrat yang dapat menghasilkan energi bagi tubuh. Posisi gula pasir sebagai

pemanis yang dikonsumsi oleh masyarakat sulit digantikan dengan bahan pemanis

alami lainnya yang berasal dari buah-buahan. Selain persepsi masyarakat, jumlah

penduduk dan banyaknya industri yang menggunakan gula sebagai bahan

bakunya juga sangat memengaruhi tingkat konsumsi gula nasional.

Dalam perindustrian gula yang mengolah bahan baku (raw material) tebu

menjadi gula pasir akan sangat tergantung pada beberapa faktor. Secara garis

besar terdapat dua faktor yang memengaruhi hasil produksi gula (rendemen) yang
akan dihasilkan. Besarnya rendemen 75 persen tergantung dari faktor luar pabrik

dan 25 persen tergantung faktor dalam pabrik. Rendemen tebu merupakan nilai

persentase kadar gula yang terkandung dalam satu satuan unit berat tebu. Faktor

luar pabrik terkait dengan tanaman tebu yaitu kandungan sukrosa, sabut maupun

kadar nira dalam tebu pada saat ditebang. Faktor ini merupakan tugas dari bidang

tanaman yang meliputi pemilihan varietas tebu dan teknik budidaya tebu yang

menyangkut jenis tanah dan cara pengolahannya, masa tanam, pemupukan,

pengairan, perlindungan tanaman, masalah panen dan pascapanen. Faktor dalam

pabrik, yaitu faktor yang memengaruhi tinggi rendahnya hasil gula yang dicapai

mulai dari menggiling tebu, kemudian mengolah nira mentah yang diperoleh

sampai menjadi gula (Sumarno, 1996).

Komoditi gula mempunyai karakteristik yang unik. Gula (hablur) yang

dihasilkan sangat tergantung pada kualitas tebu yang ditanam. Hal inilah yang

menyulitkan pemasaran. Selain itu, produk gula juga sangat dipengaruhi oleh

musim, sehingga produksi tidak merata sepanjang tahun. Sifat komoditinya relatif

homogen perbedaan hanya pada kualitasnya. Akibatnya harga harus identik

dengan kualitas sehingga masalah kualitas sangat menentukan dalam pemasaran

(Hasan, 1983).

Selain menjadi gula, tebu juga menghasilkan hasil sampingan lainnya

(Gambar 2.2). Hasil sampingan dari pengolahan tebu tersebut beberapa

diantaranya merupakan input bagi industri lain seperti industri makanan ternak.

Hal tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara industri tebu dengan

industri-industri lainnya.
Sumber: Ditjen Perkebunan (1980)
Gambar 2.2 Diagram Pohon Industri dari Tebu

2.3 Swasembada Gula

Pengertian umum swasembada untuk suatu produk di suatu negara akan

tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90

persen dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk memenuhi konsumsi

rumahtangga, industri maupun neraca perdagangan nasional. Dengan pengertian

tersebut yang dimaksud swasembada gula adalah produksi gula berbasis tebu
dalam negeri telah mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional baik konsumsi

langsung maupun konsumsi tidak langsung dan memenuhi neraca gula nasional

(Ditjen Perkebunan, 2006).

Pemerintah berupaya untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia

dengan sasaran:

(a) Jangka Pendek (2010–2014)

1. Tercapainya swasembada gula nasional tahun 2014 (Gula Kristal Putih,

Gula Kristal Rafinasi dan Raw Sugar).

2. Berhasilnya revitalisasi program pabrik gula melalui peningkatan mutu

dan volume produksi gula kristal putih.

3. Meningkatnya produksi raw sugar dalam negeri.

4. Memberlakukan SNI wajib gula putih.

(b) Jangka Menengah (2015–2020)

1. Pemenuhan berbagai jenis gula dari produksi dalam negeri

2. Ekspor gula setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi

3. Restrukturisasi teknologi proses pada Industri gula sesuai

perkembangan yang terjadi.

4. Penghapusan dekotomi pasar gula rafinasi yang dapat pula dijual ke

konsumen langsung.

(c) Jangka Panjang (2020–2025): Indonesia menjadi negara produsen gula

yang mampu memasok kebutuhan gula negara-negara lain di Asia Pasifik.


Tujuan Program Swasembada Gula

1. Memenuhi kebutuhan gula nasional secara keseluruhan, baik untuk

konsumsi langsung maupun industri;

2. Mendayagunakan sumberdaya/aset secara optimal berdasarkan prinsip

keunggulan kompetitif wilayah dan efisiensi secara nasional;

3. Meningkatkan kesejahteraan petani/ produsen dan stakeholder lainnya;

4. Memperluas kesempatan kerja dan peluang berusaha dikawasan pedesaan,

sehingga secara nyata berdampak positif terhadap pemberantasan

kemiskinan (Ditjen Perkebunan, 2006).

2.4 Teori Peramalan

Peramalan merupakan dasar untuk penyusunan rencana yang digunakan

untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

Peramalan dilakukan dengan menggunakan berbagai metode sesuai dengan tujuan

yang ingin dicapai. Peramalan diperlukan karena adanya perbedaan waktu antara

kesadaran akan dibutuhkannya suatu kebijakan baru dengan waktu pelaksanaan

kebijakan tersebut. Jadi, dalam menentukan kebijakan perlu diperkirakan

kesempatan atau peluang yang ada dan ancaman yang mungkin terjadi. Efektif

atau tidaknya suatu rencana yang telah disusun sangat ditentukan oleh

kemampuan para penyusunnya untuk meramalkan situasi dan kondisi pada saat

rencana tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, peramalan sangat diperlukan guna

memberi gambaran pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan yang efektif

dan efisien (Assauri, 1984).


Dilihat dari sifat penyusunannya, peramalan dapat dibedakan menjadi:

(1) Peramalan subjektif, yaitu peramalan yang didasarkan atas perasaan atau

intuisi dari orang yang menyusunnya. Dalam hal ini pandangan dari

penyusun sangat menentukan baik atau tidaknya hasil peramalan tersebut.

(2) Peramalan objektif, merupakan peramalan yang didasarkan atas data yang

relevan pada masa lalu, dengan menggunakan teknik-teknik dan metode-

metode dalam penganalisaan data tersebut.

Jika dilihat dari jangka waktu ramalan yang disusun, peramalan dapat dibedakan

menjadi:

a. Peramalan jangka panjang, yaitu penyusunan hasil peramalan yang jangka

waktunya lebih dari satu setengah tahun atau tiga semester. Misalnya,

penyusunan rencana pembangunan suatu negara atau daerah.

b. Peramalan jangka pendek, yaitu penyusunan hasil peramalan dengan

jangka waktu yang kurang dari satu setengah tahun atau tiga semester.

Misalnya, rencana kerja operasional dan anggaran yang disusun sebagai

rencana tahunan.

Berdasarkan sifat peramalan yang disusun, peramalan dapat dibedakan menjadi:

1) Peramalan kualitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas hasil

penyelidikan dari data kualitatif pada masa lalu. Hasil peramalan akan

sangat tergantung pada pemikiran para penyusunnya yang bersifat intuisi,

judgement atau pendapat dan pengetahuan serta pengalaman dari

penyusunnya.
2) Peramalan kuantitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data

kuantitatif pada masa lalu. Hasil peramalan sangat tergantung pada metode

yang digunakan dalam peramalan tersebut. Hal yang harus diperhatikan

adalah baik atau tidaknya metode yang digunakan.

Peramalan kuantitatif hanya dapat digunakan apabila terdapat tiga kondisi

seperti (Assauri, 1984):

a. Adanya informasi tentang keadaan yang lain

b. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data

c. Dapat diasumsikan bahwa pola yang lalu akan berkelanjutan pada

masa yang akan datang.

2.5 Metode Peramalan Time Series

Metode peramalan adalah cara memperkirakan secara kuantitatif apa yang

akan terjadi pada masa depan berdasarkan data yang relevan pada masa lalu

(Assauri, 1984). Metode time series ini merupakan suatu metode yang

mengasumsikan nilai dari suatu peubah pada masa yang akan datang mengikuti

pola data peubah tersebut pada waktu sebelumnya. Keberhasilan dari suatu

peramalan sangat ditentukan oleh (1) pengetahuan tentang informasi data masa

lalu yang dibutuhkan, informasi ini bersifat kuantitatif, (2) teknik dan metode

peramalan (Assauri, 1984)

Langkah pertama yang dilakukan dalam metode peramalan adalah

menentukan jenis data. Jenis pola data dapat dilihat dengan melakukan

identifikasi plot data. Hal ini sangat penting dilakukan agar dapat menentukan
metode yang paling tepat untuk menganalisa data tersebut. Penggunaan metode

analisis yang tepat akan dapat menjadikan hasil dari analisis akurat dan lebih

mudah diinterpretasikan.

Plot data dibuat dengan tujuan melihat:

a. Keragaan fluktuasi produksi dan konsumsi sebagai pertimbangan awal

yang membantu dalam pemilihan metode peramalan kuantitatif didalam

pengolahan selanjutnya.

b. Membantu melihat pencilan-pencilan data yang disebabkan oleh aspek

human error dalam database serial produksi dan konsumsi.

Plot data dapat dibedakan menjadi 4 jenis siklis dan trend, yaitu:

a. Pola horizontal, terjadi bila nilai data berfluktuasi disekitar nilai rata-rata

yang konstan atau stasioner terhadap nilai rata-ratanya.

b. Pola musiman, terjadi bila suatu deret data dipengaruhi oleh faktor

musiman misalnya kuartalan tahun tertentu, bulanan, atau hari-hari pada

minggu tertentu.

c. Pola siklis, terjadi bila data dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi jangka

panjang seperti yang berhubungan dengan siklus bisnis.

d. Pola trend, terjadi bila terdapat kenaikan atau penurunan sekuler jangka

panjang dalam data.

Setelah menentukan jenis pola data dari data yang akan dianalisa, maka dapat

ditentukan model peramalan yang paling tepat digunakan sehingga mampu

menghasilkan output yang berkualitas.


Pada dasarnya metode peramalan time series terdiri dari:

A. Metode Naive

Menurut Mulyono (2000) dalam model naive keadaan sekarang

merupakan penjelas yang baik untuk masa yang akan datang. Metode ini

menganggap bahwa di masa depan suatu sistem cenderung mempertahankan

momentum (enggan berubah dari) masa silam. Model naive merupakan metode

yang paling sederhana dan mudah digunakan tanpa bantuan komputer. Pada

model naive, nilai data aktual terakhir dijadikan dasar peramalan untuk periode

berikutnya. Metode ini cocok untuk pola data horizontal dan relatif konstan dan

hanya mampu menghasilkan ramalan satu periode ke depan.

Bentuk persamaan umum dari model naive adalah (Hanke, 2005):


(2.1)
dimana:

: nilai ramalan untuk periode satu periode ke depan

Yt : nilai aktual pada waktu ke-t

B. Metode Smoothing

Metode smoothing atau pemulusan digunakan untuk mengurangi

ketidakteraturan musiman dari data yang lalu maupun keduanya dengan membuat

rata-rata tertimbang dari sederetan data yang lalu. Metode ini lebih tepat jika

diterapkan dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang menjadi

kurang tepat. Data yang dibutuhkan untuk menggunakan metode ini adalah

minimum dua tahun atau dua periode waktu. Contoh kasus yang dapat

menggunakan peramamalan metode smoothing adalah perencanaan pengendalian


produk dan keuangan. Metode smoothing terdiri dari metode rata-rata dan metode

smoothing eksponensial.

B.1 Metode Rata-rata

Metode ini menetapkan bahwa rata-rata pada sekelompok data pada masa

lalu dapat dijadikan acuan dalam peramalan periode mendatang. Metode ini dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

B.1.1 Metode Rata-rata Sederhana (Simple Average)

Metode ini memakai nilai rata-rata dari seluruh nilai ramalan periode

berikutnya. Jika data yang digunakan telah berkisar pada nilai tengahnya atau

stasioner, dengan cara tersebut nilai ramalan akan lebih akurat. Metode ini tidak

memperhitungkan trend dan musiman, dan hanya mampu memberikan ramalan

untuk satu periode ke depan serta tidak praktis karena peramal harus menyimpan

semua data historis nilai rata-rata data secara keseluruhan ramalan untuk periode

berikutnya.

Bentuk umum persamaan metode Simple Average, yaitu:


(2.2)

dimana : = nilai ramalan untuk satu periode ke depan

Yt = nilai aktual pada waktu ke-t

B.1.2 Metode Rata-rata Bergerak Sederhana (Simple Moving Average)

Mulyono (2000) menjelaskan bahwa metode simple moving average

digunakan dengan memodifikasi pengaruh data masa lalu terhadap nilai rata-rata

untuk menetapkan seberapa banyak observasi terakhir yang diikutsertakan dalam


peramalan. Jika terdapat observasi baru, maka rata-rata yang baru dapat dihitung

dengan menghilangkan data terlama dan menggantinya dengan data terbaru.

Persamaan umum untuk metode rata-rata bergerak sederhana adalah:


(2.3)

dimana:

= nilai ramalan untuk satu periode ke depan

Yt = nilai aktual pada waktu ke-t

k = ordo dari rata-rata bergerak

Yt - k+1 = nilai pada waktu sebelum t dengan ordo selanjutnya (k+1)

B.2 Metode Eksponensial

Metode ini dilakukan dengan merevisi nilai ramalan secara terus menerus

dengan mempertimbangkan fluktuasi data terakhir untuk dapat menghilangkan

komponen random dari data tersebut. Kelebihan metode ini adalah lebih akurat

untuk peramalan dalam jangka pendek, lebih mudah dalam penyiapan peramalan,

tidak membutuhkan data historis yang besar, dan peramalan untuk periode

berikutnya mudah dihitung. Namun, pada tahap awal membutuhkan waktu untuk

mendapatkan pembobot yang optimal dan nilai tersebut harus selalu dimonitor.

Metode peramalan ini terdiri dari dua kelompok, yaitu:

B.2.1 Metode Pemulusan Eksponensial Tunggal (Single Exponential

Smoothing)

Metode ini cocok digunakan untuk peramalan jangka pendek dengan

memanfaatkan data time series tanpa trend. Metode ini memiliki keunggulan yaitu

kemudahan penyimpanan data. Kelemahannya terletak pada penentuan nilai


koefisien pemulusan (α) yang optimal. Penentuan tersebut dengan cara melakukan

coba-coba secara berulang sampai menemukan koefisien yang optimal. Hal

tersebut menjadikan metode ini cukup menyita waktu.

Bentuk persamaan umum dari metode eksponensial tunggal adalah:

(2.4)
dimana:

= nilai ramalan untuk satu periode ke depan

= nilai ramalan pada waktu ke-t

α = koefisien pemulusan (0 < α < 1)

= nilai aktual pada periode ke-t

B.2.2 Metode Pemulusan Eksponensial Ganda Holt (Holt’s Double

Exponential Smoothing)

Dalam metode eksponensial berganda Holt, peramalan tidak menggunakan

perhitungan pemulusan berganda secara langsung, menghaluskan nilai trend

dengan konstanta yang berbeda dari konstanta yang digunakan pada serial data

merupakan cara peramalannya. Persamaan yang digunakan dalam metode ini

terdiri dari tiga persamaan yaitu persamaan perhitungan untuk smoothing

eksponensial data, trend dugaan dan peramalan periode mendatang. Tingkat

kerumitan dalam penggunaan metode ini cukup tinggi dimana peramal harus

menemukan dua parameter yaitu koefisien pemulusan (α) dan koefisien estimasi

trend () yang optimal. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara coba-coba.
Tiga bentuk umum persamaan eksponensial ganda Holt yang digunakan,
yaitu:
1. Pemulusan eksponensial:
(2.5)
2. Estimasi trend
(2.6)
3. Peramalan periode ke-p
(2.7)
dimana:

= nilai pemulusan aktual (estimasi level saat ini)

= koefisien pemulusan pada level (0 < < 1)

= nilai aktual pada periode ke-t

= koefisien estimasi trend (0 < < 1)

= estimasi trend

= periode peramalan di masa yang akan datang

= peramalan untuk periode ke- pada waktu yang akan datang

B.2.3 Metode Eksponensial Ganda Winters (Winters’s Double Exponential

Smoothing)

Metode ini memperhitungkan adanya trend dan pola musiman. Persamaan

yang digunakan dalam metode ini terdiri dari empat persamaan yaitu persamaan

perhitungan untuk pemulusan eksponensial data, estimasi trend, estimasi musiman

dan peramalan periode mendatang. Dalam metode ini juga diperlukan koefisien

untuk pemulusan eksponensial data (α), koefisien untuk estimasi trend () dan

koefisien untuk estimasi musiman (). Koefisien-koefisien tersebut ditentukan


dengan cara coba-coba sampai menemukan koefisien yang optimal yang mampu

mewakili variabelnya.

Empat persamaan yang digunakan dalam metode Winters’, yaitu:

1. Exponentially smoothed series


(2.8)

2. Estimasi trend
(2.9)
3. Estimasi musiman
(2.10)

4. Peramalan untuk periode ke-p


(2.11)
dimana:

= nilai pemulusan aktual


= koefisien pemulusan untuk level
= nilai aktual pada periode ke-t
= koefisien pemulusan untuk estimasi trend
= estimasi trend
= koefisien pemulusan untuk estimasi musiman
= estimasi musiman
= periode peramalan di masa yang akan datang
= panjang musim
= peramalan untuk periode ke-p

C. Metode Box-Jenkins (ARIMA)

Metode Box-Jenkins atau ARIMA merupakan metode yang menggunakan

dasar deret waktu dengan model matematis, dengan tujuan agar kesalahan yang

terjadi dapat sekecil mungkin. Oleh karena itu, penggunaan metode ini
membutuhkan identifikasi model dan estimasi parameternya. Metode ini sangat

baik digunakan dalam peramalan jangka pendek. Metode Box Jenkins atau

Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) merupakan gabungan dari

model Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA). Model ARIMA

memperlihatkan variabel dependen yang dipengaruhi oleh variabel dependen itu

sendiri pada periode-periode sebelumnya. Yang membedakan model AR dan MA

adalah pada jenis variabel independennya. Variabel independen pada model AR

adalah nilai sebelumnya (lag) dari variabel dependen (Yt) itu sendiri. Sedangkan

pada model MA, variabel independennya adalah nilai residual pada periode

sebelumnya.

Hanke (2005) menjelaskan alasan penggunaan metode ARIMA yaitu:

1. Metode tersebut dapat menghasilkan ramalan akurat berdasarkan uraian

pola data historis dibandingkan dengan metode peramalan time series

lainnya.

2. Model ARIMA merupakan gabungan autoregressive (AR) dengan moving

average (MA) sehingga model ini lebih lengkap dibandingkan dengan

metode peramalan time series lainnya. Model ARIMA adalah jenis model

linear yang mampu mewakili deret waktu yang stasioner maupun

nonstasioner.

3. Dalam peramalan ini tidak mengikutsertakan variabel bebas, seperti harga,

produktivitas, daya beli konsumen, dan sebagainya, sehingga model

ARIMA hanya menggunakan informasi dalam deret itu sendiri untuk

menghasilkan ramalan. Dalam penelitian ini, data konsumsi dan produksi


gula nasional tahunan (1980-2010) akan meramalkan konsumsi dan

produksi gula nasional di tahun-tahun yang akan datang (2011-2014).

4. Time series yang memiliki trend sebaiknya menggunakan teknik-teknik

peramalan seperti rata-rata bergerak (moving average), exponential

smoothing Holt, exponential smoothing Winter’s, regresi linear sederhana,

dan ARIMA. Namun, karena rata-rata bergerak hanya dapat meramalkan

satu periode ke depan, exponential smoothing tipe Holt lebih cocok untuk

data yang stasioner, regresi linear sederhana dapat digunakan jika terdapat

variabel bebas, sehingga yang paling tepat dari teknik-teknik peramalan

yang ditawarkan untuk data time series dalam penelitian ini adalah model

ARIMA.

Pendekatan model ARIMA memiliki keunggulan yaitu merupakan alat

yang sangat kuat dalam menyediakan peramalan jangka pendek. Model ARIMA

agak fleksibel dan dapat mewakili rentang yang lebar dari karakteristik deret

waktu yang terjadi dalam prakteknya. Selain memiliki keunggulan, metode

ARIMA juga memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Adapun beberapa

kekurangan yang dimiliki oleh model ARIMA adalah:

1. Diperlukan data dalam jumlah yang besar. Untk data nonmusiman

dibutuhkan sekitar 30 atau lebih pengamatan. Sementara untuk data

musiman diperlukan sekitar 6 atau 10 tahun data, tergantung dari

panjangnya periode musim untuk membentuk model ARIMA.


2. Tidak terdapat cara yang mudah untuk memperbaharui model ARIMA

begitu data baru tersedia. Model harus secara berkala disesuaikan kembali

secara menyeluruh dan kadang model baru harus dikembangkan.

2.6 Metode Regresi Berganda

Metode regresi berganda digunakan untuk mengestimasi model yang dapat

diguunakan untuk menggambarkan pengaruh variabel independen (luas areal,

produktivitas dan rendemen) terhadap variabel dependen (produksi gula). Hasil

estimasi model tersebut kemudian diuji melalui uji kriteria ekonometrika untuk

mengetahui apakah ada multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi dan

normalitas yang dapat memengaruhi interpretasi dari hasil analisis yang diperoleh.

Uji kriteria ekonometrika terdiri dari empat uji, yaitu:

1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas mengacu pada kondisi dimana terdapat korelasi linear

diantara variabel bebas sebuah model. Jika dalam sebuah model terdapat

multikolinearitas maka akan menyebabkan nilai R-square yang tinggi dan variabel

bebas yang tidak signifikan akan lebih banyak dibandingkan dengan yang

signifikan mempengaruhi model.

2. Uji Heteroskedastisitas

Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi

dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari

variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik

adalah mempunyai varian yang sama (konstan) atau homoskedastisitas. Pengujian


masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan White

Heteroscedasticity Test.

3. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang

diurutkan menurut waktu dan ruang. Masalah autokorelasi dapat diketahui dengan

menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test.

4. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30

observasi. Pengujian ini dilakukan untuk melihat error term apakah terdistribusi

secara normal. Uji ini disebut juga dengan Jarque-bera Test.

2.7 Tinjauan Penelitian Empirik

Purwanto (2006) melakukan analisis mengenai peramalan konsumsi dan

produksi gula serta implikasinya terhadap pencapaian swasembada gula di

Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa Indonesia belum

mampu melaksanakan swasembada gula pada tahun 2014. Penelitian memberikan

gambaran mengenai kombinasi kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan untuk

mendorong perkembangan industri gula dalam negeri sehingga mampu mencapai

target swasembada nasional. Kebijakan tersebut terdiri dari perluasan lahan tanpa

penambahan pabrik gula dan perluasan lahan dengan penambahan pabrik gula.

Agustina (2010) melakukan analisis mengenai pola distribusi dan integrasi

pasar gula pasir di Indonesia dengan menggunakan model IMC. Hasil dari

penelitian menunjukkan adanya integrasi yang lemah baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang yang terjadi antara 11 provinsi yaitu Sumatera Utara,

Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa

Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara

dengan pasar acuan yaitu Jawa Timur.

Nugroho (2008) melakukan analisis mengenai faktor-faktor yang

memengaruhi impor gula di Indonesia dengan menggunakan analisis deskriptif

untuk melihat perkembangan impor gula, luas lahan, produktivitas perkebunan

tebu, produksi gula, konsumsi gula dan harga gula. Dari analisis tersebut

diperoleh kesimpulan bahwa ketika terjadi peningkatan pada produksi gula, harga

gula lokal dan harga gula Internasional maka akan berdampak pada penurunan

impor gula. Sedangkan ketika konsumsi gula meningkat maka akan terjadi

peningkatan pula pada impor gula Indonesia.

Farihah (2005) meneliti tentang analisis peramalan produksi dan konsumsi

serta implikasinya terhadap pencapaian swasembada beras di Indonesia dengan

menggunakan metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average).

Penelitian ini membandingkan antara hasil penelitian BPS dengan hasil penelitian

peneliti. Hasil yang diperoleh menunjukkan menurut hasil ramalan BPS,

Indonesia dapat mencapai swasembada beras dalam enam tahun yang akan

datang. Sedangkan menurut hasil ramalan peneliti dengan menggunakan data

produksi dan konsumsi modifikasi menunjukkan bahwa Indonesia masih belum

mampu mencapai swasembada beras dalam enam tahun mendatang.


PERBEDAAN PENELITIAN DENGAN PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian

sebelumnya. Data yang digunakan merupakan data deret waktu dengan rentang

waktu dari tahun 1980 hingga 2010. Pada tahap peramalan, metode yang

digunakan adalah ARIMA dengan menggunakan software Minitab version 14

untuk mencari model ARIMA yang paling baik dan menggunakan software

Eviews version 6 untuk melakukan analisis regresi berganda sehingga dapat

melihat luas areal, produktivitas dan tingkat rendemen yang harus dipenuhi pada

pencapaian swasembada gula nasional tahun 2014. Penelitian ini juga

memberikan gambaran kepada pemerintah untuk dapat merumuskan kebijakan

yang tepat guna membantu mendorong perkembangan industri gula sehingga

mampu mencapai target swasembada gula nasional pada tahun 2014.

2.8 Kerangka Pemikiran

Industri gula merupakan industri yang memiliki daya saing kuat di pasar

Internasional. Hal ini disebabkan karena posisi gula sebagai komoditas agribisnis

strategis, baik dari dimensi ekonomi, sosial maupun politik (Agustina, 2010).

Diakui atau tidak, ketidakberdayaan dan kehancuran pertanian lebih banyak

bersumber pada ketidakjelasan arah politik negara. Hampir semua komoditas

pertanian yang sebenarnya dapat diupayakan mencapai peringkat swasembada

bahkan ekspor terpaksa berstatus impor. Upaya sistematis memproteksi petani

pada kenyataannya belum mampu mendorong perkembanga pertanian selama ini.


Gula merupakan salah satu komoditi
strategis bagi perekonomian Indonesia

Peningkatan konsumsi gula

Pemenuhan konsumsi gula

Impor gula Produksi gula dalam negeri

Peramalan Tingkat Produksi dan


Konsumsi Gula Dalam Negeri

Dampaknya terhadap pencapaian


swasembada gula Indonesia

Ket:
---- = tidak dibahas dalam penelitian

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran


III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini mengkaji keragaan industri gula secara nasional. Data yang

digunakan adalah data sekunder yang berasal dari instansi-instansi yang terkait

dengan industri gula Indonesia seperti Direktorat Jenderal Perkebunan, Dewan

Gula Indonesia, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian serta data yang

berasal dari artikel berbagai media yang terkait dengan penelitian. Data yang

dikumpulkan berupa data time series dengan rentang waktu tahun 1980-2010.

3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan menggunakan software Minitab version 14

untuk meramalkan data produksi dan konsumsi gula nasional. Model peramalan

yang digunakan adalah ARIMA. Dari model tersebut didapat hasil peramalan

produksi dan konsumsi gula nasional hingga tahun 2014. Selain itu digunakan

pula software Eviews version 6 dalam melakukan analisis regresi untuk

mendapatkan persamaan regresi yang tepat sehingga mampu menjelaskan dampak

fluktuasi produksi dan konsumsi gula nasional terhadap pencapaian swasembada

gula nasional tahun 2014.

3.2.1 Metode Box-Jenkins (ARIMA)

Metode peramalan Box-Jenkins adalah suatu metode yang sangat tepat

untuk menangani atau mengatasi kerumitan deret waktu dan situasi peramalan
lainnya (Assauri, 1984). Kerumitan itu terjadi karena terdapat variasi pada pola

data yang ada. Dalam metode Box-Jenkins tidak dibutuhkan adanya asumsi

tentang suatu pola yang tetap, yang menjadikan metode ini berbeda dengan

metode-metode lainnya..

Model Box-Jenkins atau ARIMA memfokuskan pada prinsip-prinsip

regresi dan metode pemulusan (smoothing). Model ARIMA merupakan gabungan

dari model Autoregressive (AR) dan Moving Average (MA). ARIMA sangat

bermanfaat dalam peramalan jangka pendek.

Syarat penting agar suatu data dapat dimodelkan pada metode deret waktu

ARIMA adalah kestasioneran data. Kestasioneran diperlukan untuk

mempermudah dalam identifikasi dan penarikan kesimpulan. Data deret waktu

dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke

waktu. Data yang tidak stasioner pada nilai tengah dapat diatasi dengan

melakukan pembedaan atau diferensiasi derajat (d) pertama atau kedua. Sesuai

dengan diferensiasi derajat berapa data tersebut mencapai kestasioneran.

Sedangkan data yang tidak stasioner pada varian diatasi dengan melakukan

transformasi.

Pendekatan Box-Jenkins ini memberikan informasi secara eksplisit untuk

memungkinkan memikirkan atau memutuskan apakah pola yang diasumsikan

tersebut adalah tepat atau benar untuk keadaan atau situasi yang telah terjadi.

Proses yang dilakukan berulang memungkinkan kita untuk sampai pada suatu

model peramalan yang memberikan keoptimisan dalam ukuran pola dasar dan

meminimalkan kemungkinan kesalahan.


Dalam peramalannya, ARIMA menggunakan informasi dari variabelnya

sendiri karena tidak mengikutsertakan variabel bebas dalam pembentukan

modelnya. Peramalan model Autoregressive (AR) didasarkan pada fungsi dari

nilai pengamatan masa lalu dalam jumlah terbatas. Sedangkan peramalan model

rata-rata bergerak (MA) berdasarkan kombinasi linear galat masa lalu dalam

jumlah terbatas pula.

Gabungan dari Autoregressive (p) dan Moving Average (q) akan

membentuk model ARIMA (p,d,q) dimana p adalah ordo dari AR, d merupakan

ordo dari integrasi dan q adalah ordo dari MA. Bentuk dasar dari model ARIMA

adalah (Hanke, 2005):

Model Autoregressive (AR):

(3.1)

Model Moving Average (MA):

(3.2)

Model ARMA (p, q) :

(3.3)
Dimana:
: variabel dependen pada waktu ke-t
, , ... , : variabel time lag
, , ,...., : koefisien yang diestimasi

: error term pada periode ke-t


: konstanta
, ,..., : koefisien yang diestimasi
, ,..., : error dari time lag
Model ARIMA dibentuk melalui rangkaian tahapan sebagai berikut:

1. Identifikasi model

Dilakukan dengan menentukan kestasioneran data. Deret waktu

nonstasioner terindikasi apabila deret muncul dengan pertumbuhan atau

penurunan sepanjang waktu dan autokorelasi sampel tidak dapat menghilang

dengan cepat. Deret nonstasioner dapat diubah menjadi deret stasioner melalui

proses differencing yaitu dengan mengganti deret asli menjadi deret selisih.

Kestasioneran data dapat dilihat dari uji Augmented Dicky Fuller (ADF) melalui

pengamatan pola ACF dan PACF.

Tabel 3.1 Pola ACF dan PACF pada Model ARIMA


Model ACF PACF
Terpotong (cut off) setelah lag q Perlahan-lahan
MA (q)
(q=1 atau q=2) menghilang (dies down)
Perlahan-lahan menghilang (dies Terpotong (cut off)
AR (p)
down) setelh lag q (q=1 atau 2)
Perlahan-lahan menghilang (dies Perlahan-lahan
ARMA (p,q)
down) menghilang (dies down)
Sumber: Hanke (2005)

Apabila data yang menjadi input model tidak stasioner, perlu dilakukan

modifikasi untuk menghasilkan data yang stasioner. Salah satu metode yang

digunakan adalah metode differencing. Second order difference dilakukan apabila

pada first order difference data belum juga stasioner (Firdaus, 2006).

First order difference : (3.4)

Second order difference :

(3.5)
2. Estimasi Parameter Model

Setelah melalui proses identifikasi model melalui uji ADF, dilakukan

estimasi parameter model dengan menentukan terlebih dahulu ordo maksimum

dari AR dan MA dengan melihat ACF untuk ordo MA (q) dan PACF untuk ordo

AR (p). Ordo dari integrasi (d) juga harus ditentukan. Ada dua cara mendasar

yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi terhadap parameter-parameter

tersebut, yaitu:

a. Dengan cara mencoba-coba (trial and error)

Melakukan pengujian terhadap beberapa nilai yang berbeda dan

memilih diantaranya yang memiliki jumlah kuadrat nilai sisa (galat)

yang minimum (sum of squared residuals).

b. Perbaikan secara iteratif (pengulangan)

Cara ini dilakukan dengan memilih nilai taksiran awal dan membiarkan

program komputer untuk memperhalus penaksiran dengan cara iteratif

(berulang). Metode ini lebih banyak dilakukan dan telah tersedia

algoritma (proses komputer) yang kuat dan dapat digunakan.

3. Pengujian Parameter Model

Sebelum menggunakan model untuk peramalan, model hendaknya

diperiksa terlebih dahulu kecukupannya. Pengujian dilakukan dengan

menggunakan model-model yang telah diestimasi pada tahap sebelumnya, sesuai

dengan kombinasi model ARIMA.

Pengujian parameter model terdiri dari:

a. Pengujian masing-masing parameter model secara parsial


b. Pengujian model secara keseluruhan

4. Pemilihan model terbaik

Model harus memenuhi beberapa kriteria untuk dapat menjadi model yang

terbaik, yaitu (Firdaus, 2006):

a) Residual bersifat acak dan tersebar normal

Model yang sesuai dengan data dapat diindikasikan oleh error yang

bersifat acak yang ditunjukkan dengan ACF dan PACF dari residual

secara statistik harus sama dengan nol. Untuk menguji autokorelasi

residual dapat menggunakan uji statistik Ljung Box (Q).

Hipotesis:

H0: 1 = 2 = ..... = m = 0

H1: 1 2 ...... m  0

Statistik uji:

Q= (3.6)

Dimana:

n = jumlah observasi

k = selang waktu

m = jumlah selang waktu diuji

rk = fungsi autokorelasi sampel dari residual berselang k

kesimpulan:

bila Q>2α(m-p-q) (disimpulkan tolak H0). Atau apabila nilai p (p-value)

terkait dengan statistik Q kecil (misalkan : P < 0,05), maka tolak H0

dan model dipertimbangkan tidak memadai.


b) Berlaku prinsip parsimonious

Model yang dipilih merupakan model yang paling sederhana, yang

memiliki jumlah parameter terkecil.

c) Semua parameter estimasi harus berbeda nyata dari nol

Dengan menggunakan t-ratio.

Hipotesis:

H0 : tidak terdapat autokorelasi pada deret waktu (H0 : k = 0)

H1 : terdapat autokorelasi yang nyata pada selang ke-k (H1: 1 0)

Statistik uji:


t= , atau sama dengan t = (3.7)

dimana:

k= lag atau selang

n= jumlah observasi

kriteria uji:

Statistik H0 menyebar dengan derajat bebas (n-1). Untuk α tertentu dari

tabel Tα/2 (n-1) atau pada tingkat signifikan 0,05. Berdasarkan

pengalaman dapat menggunakan t-table = 2 sebagai nilai kritis untuk

menguji k

Kesimpulan:

Bila t hitung > Tα/2 (n-1) (disimpulkan tolak H0) atau jika nilai absolut

dari t hitung < 2 berarti tidak ada autokorelasi.


d) Harus memenuhi kondisi invertibilitas dan stasioneritas

Zt adalah fungsi linier dari data stasioner yang lampau (Zt-1, Zt-2, ....).

dengan mengaplikasikan analisis regresi pada nilai lag deret stasioner,

maka dapat diperoleh autoregresi karena komponen trend sudah

dihilangkan. Data stasioner Zt saat ini adalah fungsi linear dari galat

masa kini dan masa lampau.

(3.8)

Jumlah koefisien MA harus kurang dari 1

Θ1+ Θ2+...+ Θq < 1 (kondisi invertibiliti) (3.9)

Zt = δ + Θ1 Zt-1 – Θ2 Zt-2+..+εt (3.10)

Jumlah koefisien AR harus selalu kurang dari 1

1 + 2 +....+ p < 1 (kondisi stasioner) (3.11)

e) Proses iterasi harus konvergen

Prosesnya harus terhenti ketika telah menghasilkan nilai parameter

dengan SSE terkecil. Jika telah memenuhi syarat tersebut maka pada

session akan terdapat pernyataan relative change in each estimate less

than 0,0010.

f) Nilai MSE model harus kecil

MSE = (3.12)

Semakin kecil nilai MSE, menunjukkan model secara keseluruhan

lebih baik.

Suatu model dikatakan baik apabila model tersebut memenuhi kriteria-

kriteria yang telah diuraikan. Model tersebut dianggap sebagai model terbaik yang
mampu menggambarkan hubungan antar variabelnya baik variabel dependen

dengan variabel independen maupun hubungan antar variabel independen.

5. Peramalan

Proses peramalan dilakukan dengan menggunakan model terbaik yang

memenuhi kriteria pada poin 4 untuk menjadi model terbaik. Peramalan dilakukan

untuk mengetahui nilai pada masa yang akan datang sehingga membantu memberi

gambaran keadaan pada masa yang akan datang yang berguna dalam

merencanakan suatu kebijakan atau perencanaan.

3.2.2 Metode Regresi Berganda

Metode ini merupakan suatu teknik dengan menggunakan analisis

hubungan antara variabel yang dicari atau yang diramalakan dengan satu atau

lebih variabel bebas yang memengaruhinya. Metode regresi berganda dapat

melihat faktor-faktor apa saja yang memiliki pengaruh nyata dan tidak nyata pada

produksi dan konsumsi gula. Metode ini digunakan untuk menganalisis

pencapaian swasembada gula.

Dalam metode regresi berganda, yang digunakan sebagai variabel

dependen adalah produksi dan variabel independennya adalah luas areal,

produktivitas dan rendemen. Pencapaian swasembada gula dapat diketahui dengan

memasukkan hasil dari ramalan konsumsi gula sebagai pengganti nilai produksi

pada persamaan regresi. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan minimal

swasembada dapat tercapai yaitu jika produksi gula dalam negeri mampu
mencukupi 90 persen dari kebutuhan gula baik gula konsumsi langsung (GKP)

maupun gula rafinasi (GKR).

Ramalan didasarkan pada penggunaan analisis hubungan sebab akibat

yang bersifat konstan antara variabel yang akan diramal dengan satu atau

beberapa variabel lain yang memengaruhinya. Metode regresi bertujuan untuk

menemukan bentuk hubungan tersebut dan menggunakannya untuk meramalkan

nilai mendatang dari variabel tak bebas.

Persamaan umum untuk metode regresi linear berganda produksi gula

adalah:

(3.13)

Dimana:

Y : Produksi Gula (ton)

: Intersep

X1 : Luas Areal (ha)

X2 : Produktivitas (ton/ha)

X3 : Rendemen (%)

1, 2, 3: koefisien variabel bebas

Model yang baik merupakan model yang memenuhi asumsi klasik yaitu

tidak ada multikolinearitas, homoskedastisitas, tidak ada autokorelasi dan error

term menyebar normal. Pengujian untuk memastikan model tersebut memenuhi

asumsi klasik dilakukan melalui pengujian ekonometrika yang terdiri dari:


1. Uji Multikolinearitas

Menurut Gujarati (2003) masalah multikolinearitas dapat terlihat dari

correlation matrix dengan uji akar unit sesama variabel bebas dimana batas tidak

terjadi korelasi sesama variabel yaitu tidak lebih dari . Melalui correlation

matrix ini dapat pula digunakan uji Klein dalam mendeteksi multikolinearitas.

Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih dari , maka menurut uji Klein

multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi

nilai R-squared (adj) atau R-squared-nya. Multikolinearitas juga dapat dideteksi

dengan melihat nilai VIF (variance inflation factor) antar variabel bebasnya.

2. Uji Heteroskedastisitas

Pengujian heteroskedastisitas salah satunya dapat dilakukan dengan

menggunakan White Heteroscedasticity Test. Penentuannya dilakukan dengan

cara melihat probabilitas Obs*R-squared-nya.

Hipotesis:

H0: δ=0

H1: δ0

Kriteria uji:

Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H0

Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka tolak H0

Jika hasil menunjukkan tolak H0 maka persamaan tersebut tidak mengalami gejala

heteroskedastisitas. Sedangkan jika hasil menunjukkan terima H0 maka persamaan

tersebut mengalami gejala heteroskedastisitas.


3. Uji Autokorelasi

Masalah autokorelasi dapat diidentifikasi dengan menggunakan Breusch-

Godfrey Serial Correlation Test. Autokorelasi menyebabkan regresi semu yang

dapat mengakibatkan kesalahan dalam interpretasi hasil regresi.

Hipotesis:

H0 : 0

H1 : 0

Kriteria uji:

Probability Obs*R-squared < taraf nyata (α), maka terima H0

Probability Obs*R-squared > taraf nyata (α), maka tolak H0

Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata

tertentu (tolak H0), maka persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi. Bila

nilai Obs*R-squared-nya lebih kecil dari taraf nyata tertentu (terima H 0) maka

persamaan tersebut mengalami autokorelasi.

4. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk melihat distribusi dari error term.

Hipotesis:

H0: error term terdistribusi normal

H1: error term tidak terdistribusi normal

Kriteria uji:

Probability (P-value) < taraf nyata (α) maka tolak H0.

Probability (P-value) > taraf nyata (α) maka terima H0.


Jika terima H0 maka persamaan tersebut memiliki error term yang terdistribusi

normal, sedangkan jika tolak H0 maka persamaan tersebut memiliki error term

yang tidak terdistribusi normal.

Untuk mengetahui bagaimana pencapaian swasembada gula dilakukan

analisis kombinasi skenario kebijakan yang dapat diterapkan guna membantu

pencapaian swasembada gula nasional. Terdapat dua skenario yang akan dibahas

yaitu: (1) tanpa penambahan pabrik gula, dan (2) dengan penambahan pabrik gula.

Dari kedua skenario tersebut, akan dianalisis hasil peramalan terhadap upaya

pencapaian swasembada gula nasional dengan melihat kemungkinan luas areal,

produkktivita tebu, rendemen dan penambahan pabrik gula yang dapat dilakukan

guna mencapai tingkat produksi dan konsumsi yang tepat.

Dalam menyatakan keakuratan hasil ramalan pencapaian swasembada gula

digunakan dua kriteria yaitu nilai koefisisen determinasi (R-squared) dan nilai

MSE terkecil. Koefisien determinasi adalah proporsi ragam pada variabel

dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Semakin besar nilai

R-squared berarti model semakin akurat dalam meramalkan dan semakin baik

suatu model digunakan.


IV. PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA DI INDONESIA

Perkebunan sebagai bagian atau subsektor dari pertanian mempunyai

peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Usaha perkebunan di Indonesia

sangat berkaitan langsung dengan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam

aspek ekonomi, usaha perkebunan telah memberikan peranan dalam penerimaan

devisa negara, sumber ekonomi wilayah serta sumber pendapatan masyarakat.

Dalam aspek sosial, telah mampu menyerap tenaga kerja yang besar baik sebagai

petani maupun sebagai tenaga kerja. Sedangkan dalam aspek ekologi dengan sifat

tanaman yang bersifat pohon, usaha perkebunan mendukung pelestarian

sumberdaya alam dan lingkungan hidup seperti sumberdaya air, penyedia oksigen

dan mengurangi degradasi lahan. Komoditi perkebunan merupakan salah satu

komoditi di luar minyak dan gas alam yang mempunyai potensi dan prospek baik

di pasar dunia. Salah satu komoditi perkebunan yang berpotensi untuk

dikembangkan di Indonesia adalah tebu.

Perkebunan tebu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tebu berpengairan

dan tebu tanpa pengairan atau tebu tegalan. Tebu berpengairan terutama

diusahakan orang di lahan sawah yang berpengairan teknis atau semi teknis. Tebu

tegalan diusahakan di lahan-lahan kering tanpa pengairan (tadah hujan). Tanaman

tebu merupakan bahan baku utama bagi industri gula, sehingga perkembangan

industri tersebut sangat erat kaitannya dengan kualitas tanaman tebu.

Industri gula di Indonesia telah lahir dan berkembang sebagai bagian dari

sejarah kolonialisme, dengan berbagai kekuatan perlawanan yang ditimbulkannya


dalam satu jalinan proses kelahiran dan pertumbuhan bangsa Indonesia. Selama

bertahun-tahun sebelum perang dunia II, industri gula merupakan salah satu

industri terpenting di Indonesia. Pada tahun 1928 menghasilkan tiga perempat dari

ekspor Jawa keseluruhan dan industri itu telah menyumbang seperempat dari

seluruh penerimaan pemerintah Hindia-Belanda. Pada masa itu terdapat 178

pabrik gula yang mengusahakan perkebunan-perkebunan di Jawa dengan luas

areal tebu yang dipanen kira-kira 200.000 hektar dan menghasilkan hampir 3 juta

ton gula dimana hampir separuhnya di ekspor. Ketika itu Jawa merupakan

eksportir kedua terbesar di dunia yang hanya kalah oleh Cuba (Mubyarto, 1984).

Berbagai masalah dialami oleh industri gula di Indonesia. Disamping

terbatasnya areal lahan, tersedianya irigasi, melimpahnya tenaga kerja telah

melahirkan sistem industri gula yang unik. Karakteristik lain yang melekat pada

produksi gula di Indonesia adalah umur tanaman yang relatif panjang, sehingga

produksi relatif kurang cepat tanggap terhadap harga.selain itu, karena gula tidak

dapat langsung dikonsumsi petani, maka hampir 100 persen gula pasir yang

diproduksi masuk ke pasaran (BPPP, 2005).

Selain masalah keterbatasan areal, irigasi dan tenaga kerja, produktivitas

tebu juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri gula. Faktor yang

memengaruhi rendahnya produktivitas tebu antara lain adalah perubahan lahan,

banyaknya penggunaan teknik keprasan, mutu bibit, teknis dan budidaya,

pengaruh iklim serta tebu tidak dipanen pada saat umur optimal. Perubahan lahan

yang dimaksud adalah perubahan dari lahan sawah menjadi tegalan. Semakin

banyak tebu dikepras, semakin sedikit tebu yang dihasilkan per satu hektar lahan.
Teknis dan budidaya tebu yang berpengaruh adalah kesesuaian porsi pemupukan

dan kecukupan air. Iklim berpengaruh pada fase pertumbuhan tebu dan

pemanenan yang tidak sesuai umur optimal akan menghasilkan kadar gula yang

rendah.

Sampai dengan tahun 2008, pemerintah pernah menerapkan berbagai

kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap

industri gula Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang

cukup luas dari kebijakan input dan produksi, distribusi serta harga. Diantara

berbagai kebijakan produksi dan input, kebijakan yang paling melandasi

perubahan dalam industri gula dalam negeri adalah kebijakan TRI (Tebu Rakyat

Intensifikasi) yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975 yang disahkan pada tanggal

22 April 1975 yang bertujuan meningkatkan produksi gula serta pendapatan

petani tebu. Kebijakan tersebut bermaksud menjadikan petani sebagai manajer

pada lahannya sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas,

bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD serta

menciptakan hubungan kerjasama antara petani tebu dengan pabrik gula (Hapsari,

2008).

Selain kebijakan mengenai input dan produksi gula, pemerintah juga

menetapkan kebijakan dalam rangka memperbaiki tataniaga impor gula.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep//9/2002

yang ditetapkan pada tanggal 23 September 2002 mengenai pembatasan pelaku

impor gula hanya pada importir gula produsen dan importir gula terdaftar dengan

tujuan melindungi produsen dalam negeri dan meningkatkan pendapatan petani.


Kebijakan tersebut kemudian disempurnakan dengan Kepmenperindag No.

527/MPP/Kep/9/2004 mengenai pengawasan terhadap gula impor ilegal,

pembatasan importir gula, ketentuan jenis gula dan peruntukannya berdasarkan

batasan icumsa (ukuran kristal gula). Keputusan menteri tersebut juga

mewajibkan importir terdaftar menyangga harga pada tingkat tertentu untuk

melindungi harga gula domestik dipasaran.

Selama ini gula rafinasi bukannya tidak boleh dijual bebas, namun

pemasarannya masih diatur oleh Surat keputusan (SK) Menperindag, karena

peruntukan gula olahan itu untuk industri makanan dan minuman, penjualannya

dibatasi dengan kemasan 50 kilogram. Pemerintah menjamin tidak adanya

kebocoran gula rafinasi ke pasaran melalui SK Mendag No.357/2008 tentang

penarikan gula rafinasi di pasar tradisional, pasar modern maupun minimarket.

Hal tersebut dilakukan guna melindungi produsen gula putih dan harga gula di

pasaran.

Pada tahun 2008, Kementerian Perindustrian mengeluarkan kebijakan

berupa peraturan yang membantu menopang program revitalisasi industri gula

dalam rangka mewujudkan swasembada gula nasional. Kebijakan Nomor 91/M-

IND/PER/11/2008 yang disahkan pada tanggal 21 Nopember 2008 tersebut berisi

tentang keringanan pembiayaan restrukturisasi mesin pada pabrik gula.

Keringanan tersebut diberikan dengan mengarahkan penggunaan atau penggantian

mesin dengan memanfaatkan mesin hasil buatan dalam negeri. Sehingga selain

dapat menopang langkah revitalisasi pabrik gula, dapat pula membantu

mendorong pertumbuhan industri permesinan dalam negeri.


V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Model ARIMA untuk Produksi dan Konsumsi Gula Nasional

5.1.1 Penstasioneran Data

Identifikasi data dilakukan dengan cara plot data historis dengan

menggunakan software Minitab versi 14. Data produksi dan konsumsi

menunjukkan angka yang cukup tinggi maka untuk mempermudah pemodelan,

data terlebih dahulu dibuat dalam nilai logaritma natural (ln) dari satuan ton.

Perubahan data ke dalam bentuk logaritma natural dipilih karena nilai logaritma

natural mempunyai rentang yang lebih kecil namun tetap dapat memperlihatkan

fluktuasi data sehingga tidak memengaruhi terhadap pemodelan dan hasil

analisisnya.

a. Produksi Gula

Grafik plot data dari produksi gula nasional tahun 1980-2010

menunjukkan pola trend yang meningkat meskipun terjadi penurunan yang cukup

besar pada tahun 1998 dan 2003 (Gambar 5.1). Data produksi tersebut sangat

berfluktuasi dan memiliki trend yang semakin meningkat sehingga termasuk ke

dalam data nonstasioner. Data nonstasioner harus distasionerkan terlebih dahulu

dengan pembeda satu kali atau first difference untuk memudahkan dalam

pemodelan. Dari hasil first difference dapat dilihat bahwa data sudah stasioner

yang ditunjukkan pada Lampiran 4.


Produksi Gula di Indonesia
3000000
2500000
2000000
1500000
1000000 Produksi

500000
0
1992
1980
1982
1984
1986
1988
1990

1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
Gambar 5.1 Perkembangan Produksi Gula di Indonesia Tahun 1980-2010
(diolah)

Data produksi gula menunjukkan adanya fluktuasi dan trend. Penurunan

produksi gula dalam negeri yang cukup tajam terjadi pada tahun 1998 dan 2003

diakibatkan oleh beberapa masalah yang terjadi pada industri gula. Pada tahun

1998 produksi gula mengalami penurunan sebesar 32,34 persen dari tahun

sebelumnya. Pada tahun 1997 produksi gula mencapai 2.189.967 ton dan pada

tahun 1998 menjadi 1.481.685 ton. Hal ini dikarenakan adanya penghapusan

Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Peraturan

tersebut diganti dengan Inpres No. 5 Tahun 1998 yang intinya memberikan

kebebasan kepada petani untuk menanam komoditas apa saja (tidak lagi terikat

TRI) yang memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan

pendapatan. Dengan adanya penghapusan peraturan tersebut, masyarakat dapat

bebas memilih komoditi yang akan dibudidayakan yang dapat mendatangkan

keuntungan maksimal, tidak ada paksaan dari pemerintah untuk menanam tebu.

Petani menganggap komoditi tebu tidak menguntungkan bagi mereka, meskipun


harga gula pada saat itu tergolong cukup tinggi. Hal ini berdampak pada

kurangnya pasokan tebu ke pabrik gula sehingga produksi gula menurun tajam.

Pada tahun 2002, Departemen Pertanian menetapkan program akselerasi

peningkatan produktivitas gula nasional yang meliputi program rehabilitasi atau

peremajaan perkebunan tebu (bongkar ratoon) guna memperbaiki komposisi

tanaman dan varietas sehingga produktivitasnya mendekati produktivitas

potensial. Selain itu, pemerintah mulai menata ulang kebijakan tata niaga dalam

negeri termasuk kebijakan mengenai sistem pergulaan nasional. Kebijakan

mengenai bea masuk dan importir gula mulai diterapkan. Hal ini dilakukan demi

melindungi industri gula dalam negeri yang kondisinya kian terpuruk. Dengan

pemberlakuan peraturan mengenai impor gula tersebut, pada tahun 2004 industri

gula dalam negeri mulai tumbuh dan berkembang. Hal ini terlihat dari adanya

peningkatan produksi gula dari tahun ke tahun secara signifikan.

b. Konsumsi Gula

Grafik plot data konsumsi gula nasional tahun 1980-2010 menunjukkan

trend yang meningkat (Gambar 5.2). Pada tahun 1998-2005 produksi gula

cenderung stabil namun trend yang terjadi tetap meningkat. Data konsumsi gula

tersebut merupakan data yang nonstasioner, sehingga perlu dilakukan tahap

penstasioneran data. Tahap ini dilakukan dengan melakukan pembeda pertama

atau first difference pada data tersebut, dan hasilnya data sudah stasioner pada

first difference yang dapat dilihat pada lampiran 10.


Konsumsi Gula di Indonesia
6000000
5000000
4000000
3000000
2000000 Konsumsi
1000000
0
1990
1980
1982
1984
1986
1988

1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
Gambar 5.2 Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 1980-2010
(diolah)

Peningkatan konsumsi gula nasional terjadi seiring dengan semakin

meningkatnya jumlah penduduk dan perkembangan industri makanan dan

minuman yang menggunakan gula sebagai inputnya. Beberapa faktor yang terkait

dengan konsumsi gula diantaranya (Dewan Gula Indonesia, 2006): (1) Harga gula,

dimana harga gula dalam negeri dipengaruhi oleh harga gula Internasional, (2)

Pendapatan per kapita yang merupakan salah satu parameter kesejahteraan

masyarakat dan sangat erat kaitannya dengan daya beli masyarakat, (3) jumlah

penduduk yang merupakan faktor penting dalam analisis konsumsi karena

konsumsi gula akan semakin meningkat jika jumlah penduduk semakin meningkat

terutama kaitannya dengan konsumsi langsung, (4) harga barang lain terutama

kebutuhan pokok, (5) faktor kesehatan, (6) perubahan selera dan sebagainya.

Selain faktor-faktor tersebut, perkembangan industri makanan, minuman dan

farmasi yang menggunakan gula sebagai inputnya juga ikut memengaruhi

fluktuasi konsumsi gula dalam negeri.


5.1.2 Identifikasi Model Sementara

Model ARIMA merupakan model yang terdiri dari Autoregressive (p),

Moving Average (q) dan differencing (d) yang menentukan kombinasi dari model

ARIMA tersebut. Identifikasi model sementara dilakukan dengan menganalisis

fungsi autokorelasi (ACF) dan fungsi parsial autokorelasi (PACF) untuk

menentukan ordo dari AR dan MA. Ordo AR dapat dilihat dengan menganalisis

parsial autocorelation function (PACF), sedangkan untuk mengetahui ordo MA

optimum dapat dilihat dari autocorelation function (ACF).

a. Produksi Gula

Pada langkah sebelumnya telah dilakukan plot data produksi gula nasional.

Hasil dari analisis tersebut menunjukkan bahwa data stasioner pada first

difference yang menunjukkan nilai d adalah 1 (Lampiran 4). Analisis selanjutnya

meliputi analisis plot pada Auto Correlation Function (ACF) dan Partial Auto

Correlation Function (PACF) dari data yang hasil analisisnya dapat dilihat pada

Lampiran 5 dan 6 (Gambar 5.3).

Analisis ACF dan PACF menunjukkan model ARIMA optimum untuk

data produksi gula nasional yaitu model ARIMA (3,1,3). Penentuan model

ARIMA optimum diperlukan untuk memudahkan mencari kombinasi dari model

yang akan dipilih. Model ARIMA yang akan dipilih merupakan salah satu dari

kombinasi model pada lag optimum yang memenuhi syarat sebagai model yang

mampu memberikan gambaran yang mewakili pergerakan data produksi gula di

Indonesia.
Autocorrelation Function for Dproduksi Partial Autocorrelation Function for Dproduksi
(with 5% significance limits for the autocorrelations) (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

1.0 1.0
0.8 0.8
0.6 0.6

Partial A utocorrelation
0.4 0.4
A utocorrelation

0.2 0.2
0.0 0.0
-0.2 -0.2
-0.4 -0.4
-0.6 -0.6
-0.8 -0.8
-1.0 -1.0

1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Lag Lag

Gambar 5.3 Plot ACF dan PACF Data Produksi (diolah)

b. Konsumsi Gula

Identifikasi model sementarma dilakukan dengan cara melihat autokorelasi

data baik fungsi autokorelasi (ACF) maupun fungsi parsial autokorelasi (PACF).

Hasil dari analisis ACF dan PACF dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12. Hasil

tersebut menunjukkan model ARIMA optimal yaitu model ARIMA (1,1,3).

Autocorrelation Function for DLNKONSUMSI Partial Autocorrelation Function for DLNKONSUMSI


(with 5% significance limits for the autocorrelations) (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

1,0 1,0

0,8 0,8

0,6 0,6
Partial A utocorrelation

0,4 0,4
A utocorrelation

0,2 0,2
0,0 0,0
-0,2 -0,2
-0,4 -0,4
-0,6 -0,6
-0,8 -0,8
-1,0 -1,0
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Lag Lag

Gambar 5.4 Plot ACF dan PACF Data Konsumsi (diolah)


5.1.3 Estimasi dari Diagnostic Checking

Model ARIMA terdiri dari berbagai macam kombinasi p, d, q, yang

merupakan simbol dari AR, MA dan differencing sehingga perlu dilakukan

diagnostic checking dengan cara mencoba berbagai macam kombinasi p, d, q, dari

model ARIMA untuk mendapatkan model yang terbaik yang memenuhi beberapa

kriteria evaluasi model Box-Jenkins berikut (Firdaus, 2006):

a) Residual bersifat acak dan tersebar normal

Model yang sesuai dengan data dapat diindikasikan oleh error yang

bersifat acak yang ditunjukkan dengan ACF dan PACF dari residual

secara statistik harus sama dengan nol. Untuk menguji autokorelasi

residual dapat menggunakan uji statistik Ljung Box (Q).

b) Berlaku prinsip parsimonious

Model yang dipilih merupakan model yang paling sederhana, yang

memiliki jumlah parameter terkecil.

c) Semua parameter estimasi harus berbeda nyata dari nol. Hal ini dapat

diamati dengan melihat nilai P-value koefisien yang nilainya harus

kurang dari 0,05.

d) Harus memenuhi kondisi invertibilitas dan stasioneritas. Hal tersebut

dapat terlihat dengan mengamati jumlah koefisien MA atau AR yang

masing-masing harus kurang dari 1.

e) Proses iterasi harus konvergen

Prosesnya harus terhenti ketika telah menghasilkan nilai parameter

dengan SSE terkecil. Jika telah memenuhi syarat tersebut maka pada
session akan terdapat pernyataan relative change in each estimate less

than 0,0010.

f) Nilai MSE model harus kecil

Semakin kecil nilai MSE, menunjukkan model secara keseluruhan

lebih baik.

a. Produksi Gula

Dari hasil evaluasi model didapat bahwa model yang memiliki kriteria

paling baik adalah model ARIMA (2,1,2) dengan nilai SS = 0,280198 yang dapat

dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Model ARIMA (2,1,2) untuk Data Produksi Gula Nasional
Tipe Koefisien SE Koefisien T P
AR 1 -0,3425 0,0228 -15,00 0,000
AR 2 -0,9954 0,0294 -33,87 0,000
MA 1 -0,3464 0,2079 - 1,67 0,108
MA 2 -0,9341 0,2188 - 4,27 0,000
Const 0,04132 0,04417 0,94 0,358

Persamaan model ARIMA (2,1,2) untuk produksi gula adalah:

(5.1)

b. Konsumsi Gula

Evaluasi terhadap beberapa model menghasilkan model terbaik untuk

menggambarkan pola konsumsi gula di Indonesia adalah model ARIMA (1,1,3)

dengan nilai SS = 0,153592 yang dapat dilihat pada tabel 5.2.


Tabel 5.2 Model ARIMA (1,1,3) untuk Data Konsumsi Gula Nasional
Tipe Koefisien SE Koefisien T P
AR 1 0,3248 0,2807 1,16 0,258
MA 1 1,0724 0,2524 4,25 0,000
MA 2 - 0,9108 0,1993 - 4,57 0,000
MA 3 0,7535 0,1861 4,05 0,000
Const 0,024278 0,002618 9,27 0,000

Persamaan model ARIMA (1,1,3) untuk konsumsi gula adalah:

(5.2)

5.1.4 Peramalan Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia

Hasil pengujian model menunjukkan model terbaik untuk produksi

ARIMA (2,1,2) dan konsumsi gula ARIMA (1,1,3). Setelah dilakukan pemilihan

model terbaik yang dapat mewakili keragaan produksi dan konsumsi gula,

langkah selanjutnya adalah melakukan peramalan guna mengetahui tingkat

produksi dan konsumsi dimasa yang akan datang dan implikasinya terhadap

pencapaian swasembada gula yang telah direncanakan pemerintah.

Hasil peramalan model ARIMA (2,1,2) untuk produksi ditunjukkan pada

Lampiran 8 dan model ARIMA (1,1,3) untuk konsumsi ditunjukkan pada

Lampiran 14. Nilai pada hasil peramalan tersebut masih dalam bentuk logaritma

natural (Tabel 5.3).


Tabel 5.3 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Gula dalam bentuk logaritma
natural (ln).
Tahun Produksi Gula Konsumsi Gula
2011 14,7253 15,4259
2012 14,7399 15,4864
2013 14,6614 15,4979
2014 14,7151 15,5258

5.2 Implikasi Hasil Peramalan Terhadap Pencapaian Swasembada Gula

Nasional

Dari hasil peramalan yang dilakukan pada analisis sebelumnya diperoleh

tingkat produksi dan konsumsi gula nasional pada tahun 2011-2014. Nilai hasil

peramalan tersebut masih dalam bentuk logaritma natural (ln) sehingga diperlukan

perubahan ke dalam bentuk eksponensial untuk mengetahui nilai peramalan yang

sesungguhnya (Tabel 5.4)

Tabel 5.4 Hasil Peramalan Model ARIMA (2,1,2) Untuk Produksi dan ARIMA
(1,1,3) Untuk Konsumsi Gula Nasional (diolah)
Peramalan
Tahun Defisit
Produksi Gula (ton) Konsumsi Gula (ton)
2011 2.483.799 5.022.810 - 2.539.011
2012 2.520.329 5.316.895 - 2.796.566
2013 2.330.049 5.378.392 - 3.048.343
2014 2.458.594 5.530.562 - 3.071.968

Dari hasil peramalan tingkat produksi dengan menggunakan model

ARIMA (2,1,2) menunjukkan bahwa produksi gula nasional tahun 2011-2014

sangat berfluktuasi. Pada tahun 2012 diperkirakan terjadi peningkatan produksi

dibandingkan dengan tahun 2011. Kenaikan tersebut sebesar 1,47 persen atau

36.530 ton. Namun pada tahun 2013 diperkirakan akan terjadi penurunan tingkat
produksi sebesar 7,55 persen atau sebesar 190.280 ton dan kembali meningkat

pada tahun 2014 sebesar 5,52 persen yaitu sebesar 128.545 ton.

Peramalan untuk tingkat konsumsi dengan menggunakan model ARIMA

(1,1,3) menunjukkan bahwa tingkat konsumsi mengalami peningkatan setiap

tahunnya. Peningkatan tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah

penduduk yang sangat memengaruhi tingkat konsumsi langsung dan semakin

meningkatnya perkembangan industri yang menggunakan gula sebagai inputnya

seperti industri makanan, minuman dan farmasi.

Dari hasil peramalan menunjukkan bahwa pada tahun 2014 Indonesia

belum mampu mencapai swasembada gula. hal tersebut terlihat dari masih

terdapat kesenjangan antara produksi dan konsumsi gula nasional (Gambar 5.5).

Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa swasembada gula adalah terpenuhinya

konsumsi gula domestik oleh produksi dalam negeri, baik konsumsi langsung oleh

rumahtangga maupun konsumsi untuk industri serta menutupi neraca gula.

6000000
5000000
4000000
3000000
produksi
2000000
konsumsi
1000000
0

Gambar 5.5 Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia Serta Hasil
Peramalan Tahun 2000-2014
Peramalan konsumsi gula menunjukkan data dengan trend yang cenderung

mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi dapat diakibatkan oleh berbagai

faktor diantaranya adalah jumlah penduduk, pendapatan per kapita, dan harga

gula. Pendapatan dan jumlah penduduk memengaruhi tingkat konsumsi gula

nasional. Pendapatan memengaruhi daya beli masyarakat, sedangkan jumlah

penduduk memengaruhi jumlah gula yang dikonsumsi secara langsung. Adanya

peningkatan kedua faktor tersebut akan memengaruhi fluktuasi konsumsi gula

nasional.

Harga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi seberapa besar

konsumsi suatu barang yang dilakukan oleh masyarakat. Pada barang normal,

semakin tinggi harga barang tersebut maka konsumsi masyarakat terhadap barang

tersebut menjadi menurun atau dengan kata lain harga berkorelasi negatif dengan

tingkat konsumsi. Hal ini hampir tidak berlaku pada komoditi gula. Posisi gula

yang merupakan salah satu kebutuhan pokok mengakibatkan pola yang unik. Pada

saat harga meningkat, masyarakat cenderung tidak mengurangi konsumsi secara

signifikan karena gula merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari.

Harga gula di Indonesia tidak hanya memperlihatkan kekuatan tawar menawar

yang terjadi namun juga dipengaruhi oleh harga gula dunia, terlebih lagi Indonesia

merupakan salah satu negara pengimpor gula sehingga tidak bisa menghindari

pengaruh harga gula internasional.

Peramalan produksi gula menunjukkan adanya fluktuasi peningkatan dan

penurunan. Fluktuasi tersebut menunjukkan bahwa kondisi industri gula dalam

negeri sangat tidak stabil. Adanya peran pemerintah yang semakin nyata dalam
menangani permasalahan di industri gula akan sangat membantu dalam

menstabilkan kondisi industri gula. Program revitalisasi baik pada sektor on farm

maupun off farm yang dilakukan oleh pemerintah dapat mendorong pertumbuhan

dan perkembangan industri gula nasional. Revitalisasi pada sektor on farm

meliputi perluasan area dan peningkatan produktivitas. Sedangkan revitalisasi

yang dapat dilakukan di sektor off farm adalah dengan rehabilitasi, peningkatan

kapasitas giling, peningkatan efisiensi pabrik gula dan peningkatan kualitas gula.

Selain itu, pemerintah juga berencana akan membangun pabrik gula baru yang

diharapkan mampu meningkatkan produksi gula dalam negeri. Pemberdayaan

penelitian, pengembangan gula dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di

bidang gula juga merupakan langkah-langkah yang dapat mendorong peningkatan

produksi gula dalam negeri.

5.3 Perbandingan Hasil Peramalan dengan Proyeksi Pemerintah

Swasembada gula nasional adalah suatu keadaan dimana jumlah produksi

dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan konsumsi, baik konsumsi langsung

oleh rumahtangga maupun oleh industri. Swasembada sangat erat kaitannya

dengan ketahanan pangan suatu negara sehingga pemerintah bertanggungjawab

terhadap pelaksanaan dan pencapaiannya. Pemerintah telah menetapkan sasaran

yang akan dicapai dalam swasembada gula nasional agar mempermudah

penetapan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung pencapaian swasembada

gula (Tabel 5.5).


Tabel 5.5 Sasaran Swasembada Gula Pada Tahun 2014
Kondisi 2014
No Uraian Satuan
2010 Target Tambahan
1. Jumlah pabrik Gula Unit 62 71-86 9-24
2. Luas Areal Ha 418.259 685.871 267.612
3. Produktivitas Tebu Ton/Ha 81,8 89,4 7,6
4. Rendemen Persen 6,5 8,6 2,1
5. Produksi Gula Ton 2.214.488 5.700.264 3.485.776
6. Hari Giling Hari 150 160 10
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2009)

Selain melakukan penetapan sasaran, pemerintah juga melakukan proyeksi

pencapaian swasembada gula nasional pada tahun 2014 mendatang dengan

melihat kondisi yang terjadi saat ini. Beberapa asumsi yang mendasari proyeksi

pencapaian swasembada gula nasional yang dilakukan oleh pemerintah adalah

sebagai berikut (Ditjen Perkebunan, 2009):

a) Pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,23 persen per tahun sehingga

jumlah penduduk pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 250 juta jiwa.

b) Peningkatan daya beli masyarakat diasumsikan sebesar 0,6 persen.

c) Konsumsi gula per kapita sampai dengan 2014 diproyeksikan 12 kg per

kapita per tahun.

d) Konsumsi gula untuk industri meningkat dengan laju rata-rata 5 persen per

tahun.

Berdasarkan asumsi tersebut maka konsumsi gula oleh rumahtangga dan

industri sampai tahun 2014 mencapai 5.700.264 ton (Tabel 5.6). Salah satu

kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menambah pabrik gula guna

meningkatkan produksi secara signifikan. Pemerintah menyiapkan tiga alternatif

kebutuhan pembangunan pabrik gula baru guna mendorong perkembangan


industri gula sebagai upaya untuk mencapai swasembada gula yaitu (1) Pabrik

gula dengan kapasitas 15.000 TCD sebanyak 10 unit, (2) Pabrik gula dengan

kapasitas 10.000 TCD sebanyak 15 unit, atau (3) Pabrik gula dengan kapasitas

6.000 TCD sebanyak 25 unit.

Tabel 5.6 Proyeksi Pencapaian Swasembada Gula Nasional Oleh Pemerintah


Setelah Dicanangkan Program Swasembada Gula Nasional Tahun
2014
Variabel Tahun 2011 2012 2013 2014
GKP 3.125.000 3.250.000 3.350.000 3.540.272
Produksi Gula
(Ton) GKR*) 2.094.750 2.199.488 2.309.462 2.424.935
Total 5.219.750 5.449.488 5.659.462 5.965.207
GKP 2.799.724 2.850.959 2.903.132 2.956.259
Konsumsi Gula
(Ton) GKR*) 2.370.375 2.488.894 2.613.338 2.744.005
Total 5.170.099 5.339.853 5.516.470 5.700.264
Luas Areal (Ha) 462.309 467.126 472.326 475.514
Produktivitas
tebu (Ton/Ha) 85,73 88,08 88,62 89,41
Rendemen (%) 8,1 8,2 8,4 8,6
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan (2009)
*) Bahan baku impor

Dari hasil peramalan pemerintah terlihat bahwa pada tahun 2014 Indonesia

masih belum mampu mencukupi kebutuhan gula dalam negeri yang berarti bahwa

rencana pemerintah mencapai swasembada gula pada tahun 2014 tidak tercapai.

Hasil Proyeksi tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil peramalan dengan

menggunakan model ARIMA yang menunjukkan masih belum tercapainya

swasembada gula pada tahun 2014 (Tabel 5.7).


Tabel 5.7 Hasil Peramalan dengan model ARIMA dan Proyeksi Pemerintah
Terhadap Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula Nasional pada Tahun
2011-2014.
Peramalan Model ARIMA Proyeksi Pemerintah
Tahun Produksi Konsumsi Defisit
Produksi Konsumsi
Defisit
Gula Gula Gula Gula
Gula (Ton) Gula (Ton)
(ton) (ton) (Ton) (Ton)
2011 2.483.799 5.022.810 -2.539.011 3.125.000 5.170.099 -2.045.099
2012 2.520.329 5.316.895 -2.796.566 3.250.000 5.339.853 -2.089.853
2013 2.330.049 5.378.392 -3.048.343 3.350.000 5.516.470 -2.166.470
2014 2.458.594 5.530.562 -3.071.968 3.540.272 5.700.264 -2.159.992

Dari hasil peramalan tersebut terlihat masih adanya defisit pada neraca

gula yang semakin meningkat dari tahun 2011-2014 begitu pula dengan tahun-

tahun selanjutnya (Tabel 5.8). Hal tersebut mengindikasikan bahwa target

pemerintah dalam mencapai swasembada gula nasional pada tahun 2014 belum

mampu terpenuhi bahkan hingga 15 tahun mendatang.

Tabel 5.8 Hasil Peramalan Tingkat Produksi dan Konsumsi Gula dengan Model
ARIMA untuk tahun 2011-2025.
Tahun Produksi (Ton) Konsumsi (Ton) Defisit (Ton)
2011 2.483.799 5.022.810 -2.539.011
2012 2.520.329 5.316.895 -2.796.566
2013 2.330.049 5.378.392 -3.048.343
2014 2.458.594 5.530.562 -3.071.968
2015 2.719.885 5.718.402 -2.998.517
2016 2.595.786 5.922.682 -3.326.896
2017 2.486.036 6.137.942 -3.651.906
2018 2.754.647 6.362.297 -3.607.650
2019 2.893.565 6.594.853 -3.701.288
2020 2.677.248 6.835.909 -4.158.661
2021 2.728.602 7.086.485 -4.357.883
2022 3.052.282 7.346.246 -4.293.964
2023 3.004.134 7.614.767 -4.610.633
2024 2.815.358 7.893.893 -5.078.535
2025 3.048.316 8.182.432 -5.134.116
5.4 Alternatif Kebijakan untuk Mencapai Swasembada Gula Tahun 2014

Dari hasil peramalan dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih belum

mencapai swasembada gula pada tahun 2014 yang terlihat dari selisih antara

tingkat produksi dan konsumsi yang tinggi. Produksi gula dalam negeri belum

mampu mencukupi kebutuhan gula nasional. Untuk dapat mencapai swasembada

diperlukan adanya proyeksi atau target dengan tujuan meningkatkan volume

produksi untuk dapat memenuhi tingkat konsumsi. Diperlukan berbagai alternatif

kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan industri gula agar mampu

memenuhi kebutuhan gula nasional. Dalam penelitian ini, kebijakan-kebijakan

yang dianalisis merupakan kebijakan yang terkait dengan peningkatan produksi

yaitu kombinasi dari peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen baik

tanpa penambahan pabrik gula (skenario 1) maupun dengan penambahan pabrik

gula (skenario 2) yang disesuaikan dengan sasaran yang diargetkan oleh

pemerintah dalam roadmap swasembada gula nasional.

Swasembada gula diartikan sebagai kemampuan produksi dalam negeri

untuk dapat memenuhi kebutuhan gula nasional. Dengan melihat hasil peramalan

pada analisis sebelumnya maka minimal produksi dalam negeri harus sama

dengan tingkat konsumsinya yaitu sebesar 5.530.562 ton.

Dengan menggunakan analisis regresi berganda dapat dilihat hubungan

antara variabel dependen (produksi gula) dengan variabel independennya yaitu

luas areal, Produktivitas dan Rendemen (Lampiran 15). Hal tersebut dilakukan

untuk dapat melihat kombinasi peningkatan variabel yang dapat dijadikan


alternatif kebijakan yang dapat mendorong pencapaian swasembada gula tahun

2014 . Dari hasil regresi, bentuk persamaan untuk produksi gula menjadi:

Ln Yt = -4.594885 + 0.999686 ln LA + 0.998800 ln P + 0.999500 ln R (5.3)

Dimana: Ln Yt = logaritma natural produksi gula

ln LA = logaritma natural dari luas areal

ln P = logaritma natural dari produktivitas

ln R = logaritma natural dari rendemen

Pengujian terhadap model dilakukan melalui uji ekonometrika yang terdiri dari:

1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas dalam model dapat diidentifikasi melalui correlation

matrix. Dari hasil uji multikolinearitas (Lampiran 16) terlihat bahwa tidak

terdapat multikolinearitas dalam model. Hal ini ditunjukkan dengan nilai korelasi

antar variabel tidak ada yang tinggi.

2. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas merupakan keadaan dimana nilai varian dari variabel

bebas yang berbeda. Hal ini merupakan penyimpangan dari asumsi klasik yang

harus dipenuhi oleh suatu model agar model tersebut mudah diinterpretasikan.

Asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik adalah mempunyai varian yang sama

(konstan) atau homoskedastisitas.

Dari hasil uji heteroskedastisitas melalui White Heteroscedasticity Test

(Lampiran 17) menunjukkan bahwa asumsi homoskedastisitas sudah terpenuhi

dengan melihat nilai probabilitas menunjukkan nilai yang lebih dari taraf nyata 5

persen.
3. Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test merupakan uji yang

dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat autokorelasi dalam suatu model.

Dari hasil uji terlihat bahwa tidak ada autokorelasi (Lampiran 18).

4. Uji Normalitas

Salah satu asumsi klasik yang juga harus dipenuhi oleh suatu model adalah

galat atau error menyebar normal. Dari hasil pengujian, terlihat bahwa galat

menyebar normal sehingga model dapat menggambarkan hubungan antar variabel

dependen dan independen (Lampiran 19).

Dari hasil uji ekonometrika terlihat bahwa model telah memenuhi asumsi

klasik untuk dapat menjadi model yang terbaik yang dapat menggambarkan

hubungan antar variabel didalamnya. Asumsi tersebut diantaranya adalah tidak

terdapat multikolinearitas, homoskedastisitas, tidak terdapat autokorelasi dan galat

menyebar normal sehingga model tersebut layak untuk digunakan.

5.4.1 Skenario 1: Kombinasi Peningkatan Luas Areal, Produktivitas dan

Rendemen Tanpa Kebijakan Penambahan Pabrik Gula Baru

Upaya pencapaian swasembada gula dapat optimal dengan melihat

berbagai kondisi yang turut mendukung perkembangan industri gula. Faktor-

faktor yang sangat mempengaruhi hasil produksi gula diantaranya adalah luas

areal, produktivitas dan rendemen. Dengan melihat lonjakan peningkatan yang

cukup tajam antara tingkat produksi pada tahun 2010 dengan tingkat produksi

yang harus dicapai pada tahun 2014 guna memenuhi kebutuhan gula nasional
pada tahun tersebut. Tingkat produksi gula pada tahun 2010 sebesar 2.214.488 ton

dan pada tahun 2014 produksi gula harus mencapai 5.530.562 ton guna memenuhi

tingkat konsumsi pada tahun tersebut, maka peningkatan secara bersama-sama

terhadap variabel-variabel yang memengaruhi tingkat produksi akan lebih

memungkinkan untuk membantu pencapaian target tersebut.

Melihat data historis yang ada tahun 1980-2010, Indonesia pernah

mencapai tingkat produktivitas tebu sebesar 81,8 ton per hektar pada tahun 2010

dan tingkat rendemen sebesar 9,1 persen pada tahun 1980 dan 1982, maka bukan

tidak mungkin Indonesia akan dapat kembali mencapainya pada tahun 2014.

Dengan memasukkan nilai ramalan konsumsi sebesar 5.530.562 ton, produktivitas

tebu 89,4 ton per hektar dan rendemen 9,1 persen pada persamaan regresi,

didapatkan jumlah luas lahan yang harus dicapai yaitu sebesar 677.836 ha.

Luas lahan pada tahun 2010 sebesar 418.259 ha dan luas lahan yang harus

dicapai pada tahun 2014 sebesar 677.836 ha. Berarti ada penambahan sebesar

259.577 ha selama kurun waktu antara 2011-2014. Dengan demikian pemerintah

harus menambah luas areal tebu sebesar 64.894 ha setiap tahun untuk mencapai

swasembada gula.

Produktivitas tebu pada tahun 2010 mencapai 81,8 ton per hektar dan

produktivitas tebu yang harus dicapai pada tahun 2014 sebesar 89,4 ton per

hektar. Berarti ada penambahan sebesar 7,6 ton per hektar selama kurun waktu

antara 2011-2014. Dengan demikian pemerintah harus mewujudkan penambahan

produktivitas tebu sebesar 1,9 ton per hektar per tahun untuk mencapai

swasembada gula nasional.


Rendemen pada thun 2010 sebesar 6,5 persen dan rendemen yang harus

dicapai pada tahun 2014 sebesar 9,1 persen. Berarti ada penambahan sebesar 2,6

persen selama kurun waktu antara 2011-2014. Dengan demikian pemerintah harus

mewujudkan pertambahan rendemen sebesar 0,65 persen per tahun untuk

mencapai swasembada gula nasional. Kombinasi peningkatan luas areal,

produktivitas tebu dan rendemen yang dapat dijadikan alternatif kebijakan oleh

pemerintah dapat dilihat pada Tabel 5.9.

Tabel 5.9 Skenario 1: Upaya Pencapaian Swasembada Gula Melalui Peningkatan


Luas Areal, Produktivitas Tebu dan Rendemen.
Luas Areal Produktivitas Rendemen Produksi Konsumsi
Tahun
(ha) tebu (ton/ha) (%) Gula (ton) Gula (ton)
2010 418.259 81,8 6,5 2.214.488 4.757.383
2011 483.153 83,7 7,2 3.018.455 5.022.810
2012 548.048 85,6 7,8 3.822.423 5.316.895
2013 612.942 87,5 8,5 4.626.390 5.378.392
2014 677.836 89,4 9,1 5.530.562 5.530.562

Pada skenario ini, pemerintah dapat mengupayakan kombinasi

peningkatan luas areal, produktivitas tebu dan rendemen secara bersama-sama.

Hasil pada tabel tersebut merupakan salah satu kombinasi yang dapat dilakukan

oleh pemerintah.

5.4.2 Skenario 2: Kombinasi Peningkatan Luas Areal, Produktivitas dan

Rendemen Dengan Kebijakan Penambahan Pabrik Gula Baru

Industri gula di Indonesia menghadapi berbagai masalah. Salah satu

masalah yang terjadi adalah rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula. Inefisiensi
pabrik gula tersebut dikarenakan usia pabrik gula yang sudah tua sehingga

kemampuan produksinya menjadi rendah. Upaya yang dilakukan pemerintah

untuk mengatasi inefisiensi pabrik gula adalah dengan melakukan revitalisasi

pabrik gula baik perbaikan fasilitas pabrik gula maupun menambah pabrik gula

baru guna meningkatkan produksi secara signifikan. Revitalisasi pabrik gula yang

dilakukan pemerintah meliputi beberapa tahap dari mulai on farm, off farm,

peningkatan peran industri permesinan, penelitian dan pengembangan serta sarana

pendukung lainnya.

Alternatif lain yang dapat dilakukan dalam upaya pencapaian swasembada

gula nasional adalah mengkombinasikan peningkatan luas areal, produktivitas

tebu, rendemen dan penambahan pabrik gula baru. Salah satu upaya pemerintah

untuk program revitalisasi pabrik gula adalah menyiapkan tiga alternatif

kebutuhan pembangunan pabrik gula baru yaitu (1) Pabrik gula dengan kapasitas

15.000 TCD sebanyak 10 unit, (2) Pabrik gula dengan kapasitas 10.000 TCD

sebanyak 15 unit, atau (3) Pabrik gula dengan kapasitas 6.000 TCD sebanyak 25

unit. Berdasarkan hasil analisis menggunakan persamaan regresi, diperoleh

kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen. Kekurangan

produksi dipenuhi oleh pembangunan pabrik gula baru. Pemerintah menetapkan

sasaran penambahan luas areal sebesar 267.162 hektar. Dengan penambahan luas

areal tersebut, alternatif kebutuhan pembangunan pabrik gula baru yang disiapkan

oleh pemerintah dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan produksi gula yang

terjadi (Tabel 5.10).


Tabel 5.10 Skenario 2: Upaya Pencapaian Swasembada Gula Melalui Program
Penambahan Pabrik Gula Baru
Luas Produktivitas Produksi Tambahan Konsumsi
Rendemen
Tahun Areal Tebu Gula Produksi Gula
(%)
(Ha) (Ton/Ha) (Ton) (Ton) (Ton)
2010 418.259 81,8 6,5 2.214.488 4.757.383
2011 485.162 82,8 7,0 2.811.722 5.022.810
2012 552.065 83,8 7,6 3.515.308 5.316.895
2013 618.968 84,8 8,1 4.250.392 5.378.392
2014 685.871 89,4 8,6 5.271.131 259.431 5.530.562

Pada skenario kedua, kebutuhan peningkatan luas areal menjadi lebih

tinggi dibandingkan dengan skenario kebijakan tanpa penambahan pabrik gula.

Dalam skenario ini selain adanya peningkatan luas areal, produktivitas dan

rendemen, juga dilakukan upaya pembangunan pabrik gula baru untuk menutupi

defiisit gula yang terjadi. Penambahan pabrik gula tersebut dapat melalui tiga

alternatif yaitu pembangunan 10 unit pabrik gula dengan kapasitas 15.000 TCD,

pembangunan 15 unit pabrik gula dengan kapasitas 10.000 TCD atau dengan

pembangunan 25 unit pabrik gula baru dengan kapasitas 6.000 TCD.

Pembangunan pabrik gula baru membutuhkan investasi yang cukup besar. Selain

penambahan lahan tanam, juga dibutuhkan dana untuk pembangunannya.

Pembangunan pabrik gula dengan kapasitas 6.000 TCD membutuhkan dana Rp

0,6 trilyun, pabrik gula berkapasitas 10.000 TCD membutuhkan dana sebesar Rp

1 Trilyun dan pabrik gula dengan kapasitas 15.000 TCD membutuhkan investasi

sebesar Rp 1,5 trilyun. Sehingga jika dijumlahkan, dari masing-masing alternatif

yang disiapkan pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 15 trilyun (Ditjen

Perkebunan, 2006).
Dari hasil kombinasi pada dua skenario dapat disimpulkan bahwa

penambahan luas areal, peningkatan produktivitas dan tingkat rendemen cukup

tinggi, sedangkan waktu pencapaian swasembada sangat pendek yaitu hanya

empat tahun yang akan datang sehingga kombinasi peningkatan tersebut cukup

sulit untuk dapat diterapkan. Peningkatan lahan akan terkendala pada sistem

birokrasi dan pembebasan tanah. Penetapan lahan yang tepat untuk

pengembangan tanaman tebu pun membutuhkan waktu. Selain itu penggunaan

lahan hutan atau sawah sebagai upaya perluasan areal akan mengakibatkan

terganggunya pasokan komoditi lain.

Peningkatan produktivitas terkendala pada penelitian mengenai bibit

unggul yang membutuhkan waktu. Teknik mekanisasi pada sektor on farm

mungkin saja dilakukan namun hal tersebut akan berpengaruh pada penyerapan

tenaga kerja pada industri gula. Industri gula merupakan industri yang labor

intensif, penggunaan mesin akan mengurangi penggunaan tenaga kerja manusia

yang mengakibatkan pada peningkatan pengangguran terutama di pedesaan.

Kondisi pabrik gula yang sudah sangat tua menjadi kendala pada upaya

peningkatan tingkat rendemen gula. Lonjakan teknologi sangat dibutuhkan untuk

meningkatkan rendemen. Selain itu pemilihan bibit dan teknik panen baik pra

panen maupun pascapanen juga perlu diperhatikan. Penambahan pabrik gula yang

direncanakan oleh pemerintah membutuhkan dana yang cukup banyak sehingga

pemerintah harus mencari cara untuk mendapatkan dana tersebut salah satunya

adalah dengan menggandeng investor. Penciptaan iklim investasi yang baik

diperlukan guna menarik minat investor untuk bergabung. Pemerintah harus


menyiapkan iklim tersebut salah satunya adalah dengan menyediakan fasilitas dan

kemudahan dalam melakukan izin usaha.

Pencapaian swasembada yang diprogramkan pemerintah mempunyai

banyak kendala, sehingga diperlukan kebijakan-kebijakan yang tepat dan

kerjasama antara pemerintah dengan investor dan pemerintah dengan berbagai

instansi yang terkait untuk dapat berkoordinasi dengan baik sehingga mampu

mewujudkan swasembada gula nasional pada tahun 2014.


VI. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian

Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang

dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Perubahan dalam produksi, konsumsi,

harga dan pemasaran gula dapat mengundang timbulnya bermacam gejolak dalam

masyarakat baik ekonomis maupun politis yang merupakan tanggung jawab

pemerintah untuk mengatasinya.

Peramalan konsumsi gula menunjukkan data dengan trend yang cenderung

mengalami peningkatan sedangkan produksi gula dalam negeri cenderung

berfluktuasi yang menunjukkan bahwa kondisi industri gula dalam negeri tidak

stabil.

Hasil peramalan produksi dan konsumsi untuk tahun 2011-2014 masih

memperlihatkan adanya defisit sehingga dapat disimpulkan bahwa swasembada

gula belum mampu tercapai pada tahun 2014 dengan asumsi ceteris paribus.

Defisit antara produksi dan konsumsi gula pada tahun 2014 dari hasil peramalan

sebesar 3.071.968 ton. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil proyeksi

pemerintah yang masih memperlihatkan adanya defisit antara produksi dan

konsumsi gula sebesar 2.159.992 ton. Dengan belum tercapainya swasembada

gula pada tahun 2014, perlu adanya upaya untuk dapat membantu mendorong

perkembangan industri gula. Upaya tersebut tertuang dalam dua skenario yaitu

(1) kombinasi peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen tanpa


kebijakan penambahan pabrik gula baru, dan (2) kombinasi peningkatan luas

areal, produktivitas dan rendemen dengan penambahan pabrik gula baru.

Dari hasil analisis skenario peningkatan luas areal, produktivitas dan

rendemen tanpa kebijakan penambahan pabrik gula baru, diperoleh data bahwa

dibutuhkan peningkatan luas areal sebesar 259.577 hektar, produktivitas tebu

sebesar 7,6 ton per hektar dan peningkatan rendemen sebesar 2,6 persen selama

kurun waktu 2011-2014 untuk dapat mencapai swasembada gula nasional dengan

asumsi produksi sama dengan konsumsi.

Hasil dari analisis skenario peningkatan luas areal, produktivitas dan

rendemen dengan kebijakan penambahan pabrik gula baru menunjukkan

kebutuhan peningkatan luas areal pada tahun 2014 sebesar 267.162 hektar,

produktivitas yang harus dicapai sebesar 89,4 ton per hektar dan persentase

rendemen sebesar 8,6 persen sesuai dengan sasaran pemerintah dalam roadmap

swasembada gula serta penambahan pabrik gula baru dengan pilihan alternatif

sebanyak 25 PG dengan kapasitas 6.000 TCD, 15 PG dengan kapasitas 10.000

TCD atau 10 PG dengan kapasitas 15.000 TCD. Pembangunan pabrik gula baru

membutuhkan investasi yang cukup besar baik untuk lahan tanam maupun

pembangunan pabrik gula baru tersebut. Alternatif jumlah pabrik gula yang telah

disiapkan oleh pemerintah rata-rata membutuhkan investasi sebesar Rp 15 trilyun

(Ditjen Perkebunan, 2006).


6.2 Saran

Pemerintah perlu memberikan perhatian yang cukup besar untuk dapat

mewujudkan swasembada gula nasional pada tahun 2014. Pemerintah harus

berupaya keras untuk mewujudkan program yang telah dicanangkan dengan

melihat target produksi yang harus dicapai sangat tinggi. Dari skenario yang

dianalisis, dibutuhkan adanya peningkatan luas areal, produktivitas dan rendemen

untuk dapat mendorong perkembangan industri gula dalam mencapai swasembada

gula nasional.

Upaya untuk meningkatkan luas areal adalah dengan membuka lahan

perkebunan tebu di luar pulau Jawa karena di pulau Jawa sudah tidak

memungkinkan mengingat semakin padatnya populasi di Pulau Jawa. Daerah-

daerah lain di luar Pulau Jawa yang berpotensi untuk penambahan luas areal

perkebunan tebu adalah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan Barat dan Papua.

Upaya untuk meningkatkan produktivitas tebu salah satunya dengan

pemilihan bibit dan sistem budidaya tebu yang tepat. Hal ini karena produktivitas

tebu sangat tergantung pada kualitas bibit, pengelolaan lahan, pengairan,

pemeliharaan tanaman dan manajemen panen.

Sebagian besar pabrik gula di Indonesia dibangun pada masa penjajahan

Belanda, sehingga teknologi yang digunakan sudah sangat jauh tertinggal

dibandingkan dengan teknologi yang ada pada saat ini. Kondisi mesin-mesin yang

ada di pabrik gula tersebut sudah sangat tua dan kemampuannya dalam mengolah

tebu menjadi gula sudah sangat berkurang dibandingkan dengan mesin-mesin

yang baru. Dengan melihat adanya permasalahan pabrik gula tersebut, pemerintah
perlu melakukan revitalisasi atau pembangunan pabrik gula baru sehingga terjadi

transfer teknologi. Dengan adanya teknologi yang baru diharapkan dapat

membantu meningkatkan persentase rendemen. Selain itu, pemilihan bibit dan

budidaya tebu yang tepat juga dapat membantu meningkatkan persentase

rendemen.

Salah satu alternatif kebijakan yang ditawarkan pemerintah adalah dengan

penambahan pabrik gula baru. Melihat besarnya dana yang dibutuhkan untuk

membangun pabrik gula baru, perlu adanya keterlibatan investor baik dari dalam

maupun luar negeri dan dukungan pendanaan jangka panjang dari kredit

perbankan. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan iklim investasi yang

kondusif guna menarik investor untuk bergabung. Upaya penciptaan iklim

investasi yang kondusif dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap

kebijakan pemerintah sehingga dapat memberikan kemudahan dan jaminan

kepastian hukum, perlindungan terhadap penjarahan, pola pengembangan yang

jelas, dukungan sarana dan prasarana serta konsistensi dari kebijakan fiskal dan

moneter agar tercipta keadaan ekonomi yang stabil dan terus tumbuh positif.

.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, V. 2010. Pola Distribusi dan Integrasi Pasar Gula Pasir di Indonesia
[Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor:
Bogor.

Amang, Beddu. 1993. Kebijaksanaan Pemasaran Gula di Indonesia. PT Dharma


Karsa Utama: Jakarta.

Assauri,Sofjan. 1984. Teknik dan Metoda Peramalan: Penerapannya Dalam


Ekonomi dan Dunia Usaha, Edisi Satu. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan


Pengembangan Agribisnis Tebu. Departemen Pertanian: Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia 2010. Jakarta

Dewan Gula Indonesia. 2006. Neraca Gula Indonesia. Jakarta.

. 2011. Swasembada Gula Indonesia. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 1980. Pedoman Pelaksanaan Proyek


Peningkatan Produksi Perkebunan. Jakarta
. 2009. Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula
2010-2014. Jakarta.

. 2006. Roadmap Swasembada Gula Nasional.


Jakarta.

Farihah, S. S. 2005. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Beras Serta


Implikasinya Terhadap Pencapaian Swasembada Beras di Indonesia
[Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Firdaus, M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam. IPB Press: Bogor.

Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics Fourth Edition. McGraw-Hill: New


York.

Hanke, J.E dan Wichern, D.W. 2005. Business Forecasting, Eighth Edition.
Pearson Education: New Jersey.

Hafsah, M. J. 2003. Bisnis Gula di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.


Hapsari, N.T. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Volume Impor
Gula Indonesia Periode 1983-2006. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Hasan, I. dan Anas ,R. 1983. Pemasaran Gula di Indonesia. Di dalam :Sigit
Sunarto. Perkebunan Indonesia Di Masa Depan; Jakarta, 29 September-01
Oktober 1983. Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika. Hal 221.

Mochtar, H. 1982. Permasalahan Kualitas Tebu Sebagai Bahan Dasar Pabrik


Sehubungan dengan Teknik Pemanenan, Angkutan, dll. Dewan Gula
Indonesia: Jakarta.

Mubyarto. 1984. Masalah Industri Gula di Indonesia. BPFE: Yogyakarta.

Mulyono, S. 2000. Peramalan Bisnis dan Ekonometrika Edisi ke-1. Badan


Penerbit Fakultas Ekonomi Yogyakarta: Yogyakarta.

Notojoewono. 1984. Tebu Rakyat Intensifikasi dan Koperasi Unit Desa. BP3G:
Pasuruan.

Nugroho, H. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Gula di


Indonesia Periode 1985-2006 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Purwanto, E. B. 2006. Analisis Peramalan Konsumsi dan Produksi Gula Serta


Implikasinya Terhadap Pencapaian Swasembada Gula di Indonesia
[Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Rahman, A.E. 2008. Pangan yang Membuat Gundah. Jurnal Agro Observer, 18 :
15-16

Soekartawi. 2006. Agroindustri dalam Perspektif Sosial Ekonomi. PT. Raja


Grafindo Persada: Jakarta.

Subari, S. 2009. Politik Pertanian Menakar Peran Pemerintah Dalam Era


Globalisasi. Lembaga Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya: Malang.

Sumarno. 1996. Pedoman Teknis Penentuan Faktor Rendemen dan Rendemen


Metode Djombang. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia:
Pasuruan.
Lampiran 1. Produksi, Konsumsi, Luas Areal, Produktivitas dan Rendemen
Gula Tahun 1980-2010.

Produksi Konsumsi Luas Produktivitas Rendemen


Tahun
(ton) (ton) Areal (ha) (ton/ha) (%)
1980 1.249.946 1.621.777 188.769 72,8 9,1
1981 1.250.117 1.748.026 193.148 73,8 8,8
1982 1.627.545 1.635.585 257.556 69,7 9,1
1983 1.647.071 1.992.975 293.719 75,5 7,4
1984 1.707.315 1.702.407 285.563 73,9 8,1
1985 1.725.179 1.889.340 277.615 76,3 8,1
1986 2.024.171 1.983.633 317.090 79,3 8,1
1987 2.130.611 2.093.242 337.146 77,1 8,2
1988 1.917.709 2.298.898 329.611 76,6 7,6
1989 2.047.191 2.256.009 339.943 78,9 7,6
1990 2.119.509 2.389.222 364.977 76,9 7,6
1991 2.252.666 2.526.490 386.384 72,9 8,0
1992 2.307.602 2.440.913 404.381 79,2 7,2
1993 2.482.107 2.723.989 420.687 89,4 6,6
1994 2.448.833 2.941.217 428.726 71,2 8,0
1995 2.096.472 3.343.058 420.630 71,5 7,0
1996 2.094.195 3.073.765 403.266 70,9 7,3
1997 2.189.967 3.366.940 385.669 72,5 7,8
1998 1.481.685 2.724.950 378.293 71,8 5,5
1999 1.494.333 2.889.170 340.800 62,8 7,0
2000 1.690.004 2.989.170 340.660 70,5 7,0
2001 1.725.467 3.085.820 344.441 73,1 6,9
2002 1.755.434 3.190.540 350.723 72,8 6,9
2003 1.631.919 3.301.872 335.725 67,4 7,2
2004 2.051.643 3.402.429 344.793 77,6 7,7
2005 2.241.742 3.436.623 381.786 81,6 7,2
2006 2.307.027 4.252.793 378.441 79,9 7,6
2007 2.448.143 4.703.434 428.401 77,7 7,4
2008 2.668.428 4.341.114 436.516 75,5 8,1
2009 2.299.504 5.292.110 419.130 73,0 7,5
2010 2.214.488 4.757.383 418.259 81,8 6,5
Lampiran 2. Nilai Logaritma Natural (ln) Produksi, Konsumsi, Luas Areal,
Produktivitas dan Rendemen Gula Tahun 1980-2010.

ln ln ln Luas ln ln
Tahun
Produksi Konsumsi Areal Produktivitas Rendemen
1980 14,04 14,30 12,15 4,29 2,21
1981 14,04 14,37 12,17 4,30 2,17
1982 14,30 14,31 12,46 4,24 2,20
1983 14,31 14,51 12,59 4,32 2,00
1984 14,35 14,35 12,56 4,30 2,09
1985 14,36 14,45 12,53 4,33 2,10
1986 14,52 14,50 12,67 4,37 2,09
1987 14,57 14,55 12,73 4,35 2,10
1988 14,47 14,65 12,71 4,34 2,03
1989 14,53 14,63 12,74 4,37 2,03
1990 14,57 14,69 12,81 4,34 2,02
1991 14,63 14,74 12,86 4,29 2,08
1992 14,65 14,71 12,91 4,37 1,98
1993 14,72 14,82 12,95 4,36 2,01
1994 14,71 14,89 12,97 4,27 2,08
1995 14,56 15,02 12,95 4,27 1,94
1996 14,55 14,94 12,91 4,26 1,99
1997 14,60 15,03 12,86 4,28 2,06
1998 14,21 14,82 12,89 4,23 1,70
1999 14,22 14,88 12,74 4,14 1,94
2000 14,34 14,91 12,74 4,26 1,95
2001 14,36 14,94 12,75 4,29 1,92
2002 14,38 14,98 12,77 4,29 1,93
2003 14,31 15,01 12,72 4,21 1,98
2004 14,53 15,04 12,75 4,35 2,04
2005 14,62 15,05 12,85 4,40 1,97
2006 14,65 15,26 12,84 4,38 2,03
2007 14,71 15,36 12,97 4,35 1,99
2008 14,80 15,28 12,99 4,32 2,09
2009 14,65 15,48 12,95 4,29 2,02
2010 14,61 15,38 12,94 4,40 1,87
Lampiran 3. Grafik Plot Data dan Uji Statistik ADF Pada Level Untuk Data
ln Produksi Gula Tahun 1980-2010

Time Series Plot of LNPRODUKSI

14,8

14,7

14,6
LNPRODUKSI

14,5

14,4

14,3

14,2

14,1

14,0
1983 1988 1993 1998 2003 2008
Tahun

Hasil Uji Unit Root Data ln Produksi Gula Pada Level

Null Hypothesis: LNPRODUKSI has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.354103 0.3943


Test critical values: 1% level -4.296729
5% level -3.568379
10% level -3.218382

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


Lampiran 4. Grafik Plot Data dan Uji Statistik ADF Pada First Difference
Untuk Data ln Produksi Gula Tahun 1980-2010

Time Series Plot of DLNPRODUKSI


0,3

0,2

0,1
DLNPRODUKSI

0,0

-0,1

-0,2

-0,3

-0,4
1983 1988 1993 1998 2003 2008
Tahun

Hasil Uji Unit Root Data ln Produksi Gula Pada First Difference

Null Hypothesis: D(LNPRODUKSI) has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.428418 0.0007


Test critical values: 1% level -4.309824
5% level -3.574244
10% level -3.221728

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


Lampiran 5. Uji ACF Data ln Produksi Gula Pada First Difference

Autocorrelation Function for Dproduksi


(with 5% significance limits for the autocorrelations)

1.0
0.8
0.6
0.4
Autocorrelation

0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3 4 5 6 7 8
Lag

Lampiran 6. Uji PACF Data ln Produksi Gula Pada First Difference

Partial Autocorrelation Function for Dproduksi


(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

1.0
0.8
0.6
Partial Autocorrelation

0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0

1 2 3 4 5 6 7 8
Lag
Lampiran 7. Hasil Evaluasi Model ARIMA Terbaik Untuk Produksi Gula

ARIMA (2,1,2)
Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P


AR 1 -0.3425 0.0228 -15.00 0.000
AR 2 -0.9954 0.0294 -33.87 0.000
MA 1 -0.3464 0.2079 -1.67 0.108
MA 2 -0.9341 0.2188 -4.27 0.000
Constant 0.04132 0.04417 0.94 0.358

Differencing: 1 regular difference


Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 0.280198 (backforecasts excluded)
MS = 0.011208 DF = 25

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48
Chi-Square 8.7 18.4 * *
DF 7 19 * *
P-Value 0.272 0.497 * *

Lampiran 8. Hasil Peramalan Produksi Gula Tahun 2011-2014 Dalam


Bentuk Logaritma Natural (ln)

Forecasts from period 31

95 Percent
Limits

Period Forecast Lower Upper


2011 14,7253 14,5177 14,9328
2012 14,7399 14,4458 15,0339
2013 14,6614 14,3084 15,0145
2014 14,7151 14,3099 15,1204
Lampiran 9. Grafik Plot Data dan Uji Statistik ADF Pada Level Untuk Data
ln Konsumsi Gula Tahun 1980-2010

Time Series Plot of LNKONSUMSI


15,6

15,4

15,2
LNKONSUMSI

15,0

14,8

14,6

14,4

14,2
1983 1988 1993 1998 2003 2008
Tahun

Hasil Uji Unit Root Data ln Konsumsi Gula pada Level

Null Hypothesis: LNKONSUMSI has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.403976 0.0698


Test critical values: 1% level -4.296729
5% level -3.568379
10% level -3.218382

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


Lampiran 10. Grafik Plot Data dan Uji Statistik ADF Pada First Difference
Untuk Data ln Konsumsi Gula Tahun 1980-2010

Time Series Plot of DLNKONSUMSI

0,2

0,1
DLNKONSUMSI

0,0

-0,1

-0,2

1983 1988 1993 1998 2003 2008


Tahun

Hasil Uji Unit Root Data ln Konsumsi Gula pada First Difference

Null Hypothesis: D(LNPRODUKSI) has a unit root


Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=7)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.428418 0.0007


Test critical values: 1% level -4.309824
5% level -3.574244
10% level -3.221728

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.


Lampiran 11. Uji ACF Data ln Konsumsi Gula Pada First Difference

Autocorrelation Function for DLNKONSUMSI


(with 5% significance limits for the autocorrelations)

1,0
0,8
0,6
0,4
Autocorrelation

0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0

1 2 3 4 5 6 7 8
Lag

Lampiran 12. Uji ACF Data ln Konsumsi Gula Pada First Difference

Partial Autocorrelation Function for DLNKONSUMSI


(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

1,0
0,8
0,6
Partial Autocorrelation

0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0

1 2 3 4 5 6 7 8
Lag
Lampiran 13. Hasil Evaluasi Model ARIMA Terbaik Untuk Konsumsi Gula

ARIMA(1,1,3)
Final Estimates of Parameters

Type Coef SE Coef T P


AR 1 0.3248 0.2807 1.16 0.258
MA 1 1.0724 0.2524 4.25 0.000
MA 2 -0.9108 0.1993 -4.57 0.000
MA 3 0.7535 0.1861 4.05 0.000
Constant 0.024278 0.002618 9.27 0.000

Differencing: 1 regular difference


Number of observations: Original series 31, after differencing 30
Residuals: SS = 0.153592 (backforecasts excluded)
MS = 0.006144 DF = 25

Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic

Lag 12 24 36 48
Chi-Square 7.5 13.7 * *
DF 7 19 * *
P-Value 0.376 0.801 * *

Lampiran 14. Hasil Peramalan Konsumsi Gula Tahun 2011-2014 Dalam


Bentuk Logaritma Natural (ln)

Forecasts from period 31

95 Percent
Limits

Period Forecast Lower Upper


2011 15,4259 15,2758 15,5832
2012 15,4864 15,3279 15,6449
2013 15,4979 15,2954 15,7103
2014 15,5258 15,3054 15,7463
Lampiran 15. Uji Regresi Berganda

Dependent Variable: LNPRODUKSI


Method: Least Squares
Date: 03/18/11 Time: 22:32
Sample: 1980 2010
Included observations: 31
White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNLA 0.999686 0.000595 1681.545 0.0000


LNPRODUKTIVITAS 0.998800 0.001610 620.4060 0.0000
LNRENDEMEN 0.999500 0.001186 843.0665 0.0000
C -4.594885 0.009392 -489.2352 0.0000

R-squared 0.999991 Mean dependent var 14.47981


Adjusted R-squared 0.999990 S.D. dependent var 0.196560
S.E. of regression 0.000615 Akaike info criterion -11.83144
Sum squared resid 1.02E-05 Schwarz criterion -11.64641
Log likelihood 187.3873 Hannan-Quinn criter. -11.77112
F-statistic 1022980. Durbin-Watson stat 2.366680
Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 16. Uji Multikolinearitas

Covariance Analysis: Ordinary


Date: 03/22/11 Time: 09:25
Sample: 1980 2010
Included observations: 31

Correlation
LNPRODUKTIV LNRENDEM
Probability LNPRODUKSI LNLA ITAS EN
LNPRODUKSI 1.000000
-----

LNLA 0.821168 1.000000


0.0000 -----

LNPRODUKTIVITAS 0.513001 0.140228 1.000000


0.0032 0.4518 -----

LNRENDEMEN -0.061955 -0.568488 0.122024 1.000000


0.7406 0.0008 0.5132 -----
Lampiran 17. Uji Heteroskedastisitas

Hipotesis:
H0: Homoskedastisitas
H1: Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 0.574789 Prob. F(9,21) 0.8026


Obs*R-squared 6.127132 Prob. Chi-Square(9) 0.7271
Scaled explained SS 2.388327 Prob. Chi-Square(9) 0.9837

Lampiran 18. Uji Autokorelasi

Hipotesis:
H0: Tidak Ada Autokorelasi
H1 : Ada Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.455506 Prob. F(2,25) 0.2524


Obs*R-squared 3.233182 Prob. Chi-Square(2) 0.1986

Lampiran 19. Uji Kenormalan

Hipotesis:
H0: Galat Menyebar Normal
H1: Galat Menyebar Tidak Normal

8
Series: Residuals
7 Sample 1980 2010
Observations 31
6
Mean -8.31e-16
5 Median -2.23e-05
Maximum 0.001012
4 Minimum -0.001066
Std. Dev. 0.000583
3
Skewness -0.061409
Kurtosis 2.027690
2

Jarque-Bera 1.240607
1
Probability 0.537781
0
-0.0010 -0.0005 0.0000 0.0005 0.0010

Anda mungkin juga menyukai