Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN
2.1.Definisi
Sindrom Steven Jhonson atau dalam bahasa inggris Stevens-Johnson sindrom (SJS) adalah
suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain :
sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa,
sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Selain nama sindrom Steven Johnson, ada
TEN (Toksic Epidermal Necrolisys) dimana ketika lesi kulit kurang dari 10% total dari tubuh
disebut Sindrom Stevens Johnsons, 10-30% kerusakan kulit disebut transisi, sementara jika lebih
dari 30% disebut TEN

Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu sindrom (kumpulan gejala) langka yang terjadi
karena kulit dan membran mukosa menimbulkan reaksi berlebihan terhadap suatu obat atau
infeksi. Membran mukosa adalah lapisan kulit dalam yang melapisi berbagai rongga tubuh yang
memiliki kontak dengan lingkungan luar dan organ internal tubuh. Di beberapa bagian tubuh,
membran mukosa menyatu dengan kulit, misalnya pada lubang hidung, bibir, pipi dalam, telinga,
daerah kemaluan, dan anus.

Stevens Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi
kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini diperkirakan
oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun
pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari pengobatan,
infeksi dan terkadang keganasan. (Amin Huda Nurarif 2015).

Sindrom Stevens- Johnsons merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir
diorifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Arif Muttaqin, 2012).

Sindrom Steven Johnson Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium
dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari ringan sampai berat kelainan pada kulit berupa
eritema vesikel / bula, dapat disertai purpura. ( Djuanda, 2000).
Sindrom Steven-Johnson adalah kelainan langka dan serius pada kulit serta selaput lendir.
Kondisi ini sering kali merupakan reaksi saat Anda menggunakan obat atau mengalami infeksi.
Gejala paling umum yang muncul pada seseorang dengan orang yang mengalami sindrom Steven-
Johnson menyerupai gejala flu disertai ruam berwarna merah atau keunguan yang terasa sakit yang
menyebar dan melepuh. Lapisan atas kulit yang melepuh itu kemudian akan akan mati dan
mengelupas. Steven-Johnson syndrome adalah kondisi darurat medis yang biasanya memerlukan
rawat inap.

2.2.Etilogi

Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik
(mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat antinyeri, termasuk yang dijual
tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, penyebab SJS yang paling umum adalah nevirapine
(hingga 1,5% penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai
obat, biasanya dalam 2-3 minggu. Walaupun abacavir dapat menyebabkan reaksi gawat pada kulit,
reaksi ini tidak terkait dengan SJS. Eritema multiforme dapat disebabkan oleh herpes simpleks
(Lembaran Informasi (LI) 519), tetapi penyakit ini jarang menjadi gawat.

Beberapa penyebab Sindrom Stevens Johnson :

1)Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza,
gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya).

2).Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin,


penicillin, barbiturat, sulfanomide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin,
ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin).

3).Keganasan (karsinoma dan limfoma).

4).Faktor idiopatik (hingga 50%).

5).Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang jarang
dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin
disebabkan oleh karena penggunaan kokain.

6).Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat terhadap
pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole.
Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis,
sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfanomide (antibiotik), penisilin
(antibiotic), berbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin-dilantin
(antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari
terjadinya SJS.

2.3.Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi tipe
III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi yang membentuk mikropresitipasi
sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV
terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama,
kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3,
dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten akan
berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk
kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,
partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses
metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta
menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.

Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa
dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya
reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan
kerusakan epidermis.
2.4.Pathway

Obat-obatan, infeksi virus, Kelainan hipersensitifitas


keganasan

Hipersensitifitas tipe IV Hipersensitifitas tipe III

Limfosit T tersintesisasi Antigen antibody


terbentuk terperangkap
dalam jaringan kapiler
Pengaktifan sel T

Aktivasi S. komplemen
Melepaskan limfokin/
sitotoksik
Degranulasi sel mast
Penghancuran sel-sel
Akumulasi netrofil
memfagositosis sel rusak
Reaksi peradangan

Melepas sel yang rusak


Nyeri Hipertermi

Kerusakan jaringan

Triase gangguan pada


kulit, mukosa dan mata

Kerusakan integritas
jaringan

Respon lokal : eritema, Respon inflamasi sistemik Respon psikologis


vesikel dan bula

Respon inflamasi sistemik Kondisi kerusakan


Port de entree jaringan kulit

Gangguan gastrointestinal
Resiko infeksi demam, malaise Ansietas

- Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
- Deficit perawatan diri
2.5.Komplikasi.

Sindrom Steven Johnsons sering sering menimbulkan komplikasi, antara lain :

1).Kehilangan cairan dan darah.

2).Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock.

3).Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan.

4).Gastroenterologi – Esophageal strictures.

5).Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina.

6).Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia.

7).Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder.

8).Infeksi sitemik, sepsis.

2.6.Pemeriksaan penunjang

1)Laboratorium : biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya


infeksi dapat dilakukan kultur darah.

2)Histopatologi : kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenarasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.

3)Imunologi : dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat
komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

2.7.Pengobatan

Pertolongan pertama untuk mengatasi alergi obat pada sindrome Stevens-Johnson adalah
menghentikan konsumsi obat yang memicu alergi. Selanjutnya, penderita sindrom Steve Johnson
harus dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.

Beberapa obat yang biasanya diberikan dokter untuk mengatasi sindrom Steven-Johnson
adalah memberikan obat antialergi (antihistamin) untuk meredakan gejala, atau kortikosteroid
untuk mengontrol peradangan yang terjadi jika gejalanya cukup parah.
Selain itu, terapi penunjang yang diberikan di rumah sakit meliputi rehidrasi atau
penggantian cairan tubuh yang hilang dengan menggunakan infus. Jika terjadi luka, lapisan kulit
mati harus dibersihkan kemudian lukanya ditutup dengan perban supaya tidak terjadi infeksi.

Penderita sindrom Stevens-Johnson perlu ditangani secara intensif di rumah sakit. Apabila
pasien sedang mengonsumsi obat-obatan, maka langkah pertama yang dilakukan dokter adalah
menghentikan konsumsi obat tersebut.

Kemudian, dokter dapat memberikan obat-obatan untuk meredakan gejala yang dialami
pasien, seperti:

1).Obat pereda nyeri untuk meredakan rasa perih.

2).Obat kumur dengan kandungan obat bius dan antiseptik, untuk membuat mulut mati rasa dalam
waktu sementara agar pasien dapat menelan makanan lebih mudah.
3).Antibiotik, pada pasien yang mengalami infeksi bakteri.
4).Obat antiradang jenis kortikosteroid, yang dioles atau diminum untuk mengurangi peradangan
pada area yang terkena.

Untuk membantu proses penyembuhan, dokter juga akan menjalankan beberapa langkah
pendukung, seperti:

1).Memberi pengganti nutrisi dan cairan tubuh melalui selang makan, yang dimasukkan melalui
hidung hingga ke lambung. Langkah ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan cairan nutrisi
yang hilang akibat luruhnya lapisan kulit.

2).Mengompres luka dengan kain basah guna meredakan nyeri pada lepuh saat proses
penyembuhan.

3). Mengangkat kulit mati dan mengoleskan petroleum jelly ke area kulit yang mengalami lepuh.

4). Pemeriksaan mata, dan memberikan obat tetes mata jika diperlukan.
2.8.Pencegahan

Untuk mencegah serangan sindrom Stevens-Johnson, hindari konsumsi obat-obatan yang


dapat memicunya, terutama jika Anda atau keluarga memiliki riwayat penyakit ini. Bila
diperlukan, tes genetik dapat dilakukan sebelum mengonsumsi obat-obatan tersebut.

Ada beberapa langkah yang bisa Anda lakukan untuk mencegah sindrom langka ini, yaitu:

Umumnya bagi masyarakat Asia, dianjurkan untuk melakukan uji genetika sebelum mengonsumsi
obat-obatan tertentu seperti :

1). carbamzepine.

2).Konsultasikan ke dokter jika Anda memang memiliki riwayat penyakit ini.

3). Hindari mengonsumsi obat-obatan yang bisa memicu kekambuhan jika sebelumnya Anda
pernah mengalami sindrom Steven-Johnson.

2.9.Penataklasanaan

1).Kortikosteroid

Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada sindrom stevens


johnson yang ringan cukup diobati dengan prednison dengan dosis 30 - 40 mg/hari. Pada bentuk
yang berat, ditandai dengan kesadaran yang menurun dan kelainan yang menyeluruh, digunakan
dexametason intravena dengan dosis awal 4 – 6 x 5mg/hari.

Setelah beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis telah
teratasi), ditandai dengan keadaan umum yang membaik, lesi kulit yang baru tidak timbul
sedangkan lesi yang lama mengalami involusi. Pada saat ini dosis dexametason diturunkan secara
cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5mg. Setelah dosis mencapai 5mg sehari lalu diganti dengan
tablet prednison yang diberikan pada keesokan harinya dengan dosis 20mg sehari. Pada hari
berikutnya dosis diturunkan menjadi 10mg, kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama
pengobtan kira-kira 10 hari.
2).Antibiotika

Penggunaan antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat efek


imunosupresif kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinnggi. Antibiotika yang dipilih hendaknya
yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal. Dahulu biasa
digunakan gentamisin dengan dosis 2 x 60-80 mg/hari. Sekarang dipakai netilmisin sulfat dengan
dosis 6 mg/kg BB/hari, dosis dibagi dua. Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus
mulai resisten terhadap gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan
gentamisin.

3).Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi

Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan ditenggorokan serta kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat
diberikan infus yang berupa glukosa 5% atau larutan darrow. Pada pemberian kortikosteroid terjadi
retensi natrium , kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu
diberikan diet tinggi protein dan rendah garam, KCl 3x500mg/hari dan obat-obat anabolik. Untuk
mencegah penekanan korteks kelenjar adrenal diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis
1mg/hari setiap minggu dimulai setelah pemberian kortikosteroid.

4).Transfusi Darah

Bila dengan terapi di atas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat
diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2 hari berturut-turut. Tujuan
pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan umum dan menggantikan kehilangan darah pada
kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus purpura yang luas dapat ditambahkan vitamin C 500
mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-obat hemostatik.

5).Perawatan Topikal

Untuk lesi kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle yang bersifat sebagai protektif dan
antiseptic atau krem sulfadiazin perak. Sedangkan untuk lesi dimulut/bibir dapat diolesi dengan
kenalog in obrase. Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada beberapa bagian yaitu
ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada kelainan difaring, karena kadang-kadang terbentuk
pseudomembran yang dapat menyulitkan penderita bernafas.
2.10.Pemeriksaan Penunjang

1)Laboratorium : biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya


infeksi dapat dilakukan kultur darah.

2)Histopatologi : kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenarasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di
epidermis.

3)Imunologi : dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat
komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA

2.11.Anatomi Fisiologi

Kulit mempunyai susunan serabut saraf yang teranyam sangat halus, berfungsi merasakan
sentuhan atau sebagai alat peraba. Kulit merupakan organ yang sangat luas sebagai pelindung
tubuh terhadap bahaya bahan kimia, cahaya matahari, mikroorganisme dan menjaga keseimbangan
tubuh dengan lingkungan. Kulit merupakan indikator untuk memperoleh kesan umum, dengan
melihat perubahan yang terjadi pada kulit misalnya pucat, kekuning-kuningan, kemerah-merahan.

Kulit merupakan organ hidup yang mempunyai ketebalan yang sangat bervariasi. Bagian
yang sangat tipis terdapat di sekitar mata dan yang paling tebal pada telapak kaki dan telapak
tangan yang mempunyai ciri khas (dermatoglipic pattern) yang berbeda pada setiap orang yaitu
berupa garis lengkung dan berbelok-belok, hal ini berguna untuk mengidentifikasi seseorang.

Dua sel yang ditemukan dalam epitel kulit :

1)Sel utama (terang), merupakan sel serosa yang menempati bagian tengah sel. Sitoplasmanya
mengandung bintik lemak dan granula pigmen. Sel ini mengeluarkan getah encer mengandung
bahan pelarut.

2).Sel-sel musigen (gelap), bertebaran di antara sel-sel serosa yang mempunyai reticulum
endoplasma granular dan granula sekretori basofil, manghasilkan glikoprotein mukoid.
Kontraksi sel ini membantu pengosongan getah kelenjar dan berfungsi sebagai bangun
penyangga menahan perubahan tekanan osmotik yang memungkinkan bahaya pada keutuhan
susunan kanalikuli intersel.
Kulit dapat dibedakan menjadi dua lapisan utama yaitu kulit ari (epidermis) dan kulit jangat
(dermis/kutis). Kedua lapisan ini berhubungan dengan lapisan yang ada di bawahnya dengan
perantaraan jaringan ikat bawah kulit (hipodrmis/subkutis). Dermis atau kulit mempunyai alat
tambahan atau pelengkap kulit yang terdiri dari rambut dan kuku.

1).Edpidermis

Kulit ari atau epidermis adalah lapisan paling luar yang terdiri dari lapisan epitel gepeng
unsur utamanya adalah sel-sel tanduk (keratinosit) dan sel melanosit. Lapisan epidermis tumbuh
terus karena lapisan sel induk yang berada di lapisan bawah bermitosis terus, lapisan paling luar
epidermis akan terkelupas atau gugur. Epidermis tersusun oleh sel-sel epidermis terutama serat-
serat kolagen dan sedikit serat elastis. Kulit ari (epidermis) terdiri dari beberapa lapis sel. Sel-sel
ini berbeda dalam beberapa tingkat pembelahan sel secara mitosis. Lapisan permukaan dianggap
sebagai akhir keaktifan sel lapisan tersebut, terdiri dari lima lapis yaitu :

2).Stratum korneum

Terdiri dari banyak lapisan sel tanduk (keritinasi), gepeng, kering, dan tidak berinti.
Sitoplasma diisi dengan serat keratin, makin keluar letak sel makin gepeng seperti sisik lalu
terkelupas dari tubuh, yang terkelupas digantikan oleh sel yang lain. Zat tanduk merupakan keratin
lunak yang susunan kimianya berada dalam sel-sel keratin keras. Lapisan tanduk hampir tidak
mengandung air karena adanya penguapan air, elastisnya kecil dan sangat efektif untuk
pencegahan penguapan air dari lapisan yang lebih dalam.

3).Stratum lusidum

Terdiri dari beberapa lapis sel yang sangat gepeng dan bening. Sulit melihat membran yang
membatasi sel-sel itu sehingga lapisannya secara keseluruhan tampak seperti kesatuan yan bening.
Lapisan ini ditemukan pada daerah tubuh yang berkulit tebal.

4).Stratum granulosum

Terdiri dari 2-3 lapis sel poligonal yang agak gepeng, inti di tengah, dan sitoplasma berisi
butiran granula keratohialin atau gabungan keratin dengan hialin. Lapisan ini menghalangi
masuknya benda asing, kuman, dan bahan kimia ke dalam tubuh.
5).Stratum spinosum .

Terdiri dari banyak lapisan sel berbentuk kubus dan poligonal, inti terdapat di tengah dan
sitoplasmanya berisi berkas-berkas serat yang terpaut pada desmosom (jembatan sel) seluruh sel
terikat rapat lewat serat-serat itu sehingga secara keseluruhan lapisan sel-selnya berduri. Lapisan
ini untuk menahan gesekan dan tekanan dari luar, sehingga harus tebal dan terdapat di daerah tubuh
yang banyak bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti tumit dan pangkal telapak kaki.

6).Stratum malfighi

Unsur-unsur lapis taju yang mempunyai susunan kimia yang khas, inti bagian basal lapis
taju mengandung kolesterol dan asam-asam amino. Stratum malfighi lapisan terdalam dari
epidermis berbatasan dengan dermis di bawah, terdiri dari selapis sel berbentuk kubus (batang).

a. Gabungan stratum malfighi dan stratum spinosum disebut startum germinatifum.

Gabungan ini terletak bergelombang karena lapisan dermis di bawahnya membentuk


tonjolan yang disebut papila. Batas germinatifum dengan dermis di bawahnya berupa lapisan tipis
jaringan pengikat yang disebut lamina basalis. Pada stratum malfighi, di antara sel epidermis
terdapat melanosit yaitu sel yang berisi pigmen melanin yang berwarna cokelat dan sedikit kuning.
Pada orang berkulit hitam, melanosit menerobos sampai ke dermis, melanosit ini mempunyai
tonjolan banyak, panjang, dan halus menyelusup di antara sel-sel epidermis stratum germinatifum.

b. Dermis

Batas dermis (kulit jangat) yang pasti sukar ditentukan karena menyatu dengan lapisan
subkutis (hipodermis). Ketebalannya antara 0,5 – 3 mm. Beberapa kali lebih tebal dari epidermis
dibentuk dari komponen jaringan pengikat. Derivat (turunan) dermis terdiri dari bulu, kelenjar
minyak, kelenjar lendir, dan kelenjar keringat yang membenam jauh ke dalam dermis.

Lapisan dermis terdiri dari :

1).Lapisan papila, mengandung lekuk-lekuk papila sehingga stratum malfighi juga ikut berlekuk.
Lapisan ini mengandung lapisan pengikat pengikat longgar membentuk lapisan bunga
karang disebut lapisan stratum spongeosum. Lapisan papila terdiri dari serat kolagen halus, alastin,
dan retikulin yang tersusun membentuk jaring halus terdapat di bawah epidermis. Lapisan ini
memegang peranan penting dalam peremajaan dan penggandaan unsur-unsur kulit.
2) Lapisan retikulosa, mengandung jaringan pengikat rapat dan serat kolagen.

Sebagian besar lapisan ini tersusun bergelombang, sedikit serat retikulin, dan banyak serat
elastin. Sesuai dengan arah jalan serat-serat tersebut terbentuk garis ketegangan kulit. Bahan dasar
dermis merupakan bahan matrik amorf yang membenam pada serat kolagen, elastin, dan turunan
kulit.Unsur utama sel dermis adalah fibroblas dan makrofag, juga terdapat sel lemak yang
berkelompok. Di samping itu juga sel jaringan ikat bercabang, berpigmen pada lingkungan
epidermis yang banyak mengandung pigmen (mis. Areola mamae dan sekitar anus).

c. Hipodermis

Lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) terdiri dari jaringan pengikat longgar.
Komponennya serat longgar, elastis, dan sel lemak. Pada lapisan adiposa terdapat susunan lapisan
subkutan yang menentukan mobilitas kulit di atasnya. Bila terdapat lobulus lemak yang merata di
hipodermis membentuk bantalan lemak yang disebut panikulus adiposus. Pada daerah perut,
lapisan ini dapat mencapai ketebalan 3 cm. Pada kelopak mata, penis, dan skrotum lapisan
subkutan tidak mengandun lemak. Bagian superfisial hipodermis mengandung kelenjar keringat
dan folikel rambut.

Dalam lapisan hipodermis terdapat anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena, anyaman
saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit di bawah dermis. Lapisan ini mempunyai
ketebalan bervariasi dan mengikat kulit secara longgar terhadap jaringan di bawahnya.

2.12.Klasifikasi

Terdapat 3 derajat klasifikasi Sindrom Stevens Johnsons :

1).Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%.

2).Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%.

3).Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%


2.13.Masalah yang lazim muncul

1).Hipertermia b.d proses penyakit (infeksi).

2).Nyeri akut b.d adanya bula.

3).Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi kurang, gangguan
gastrointestinal, disfagia.

4).Defisit perawatan diri b.d nyeri pada jaringan kulit, mukosa dan mata.

5).Kerusakan integritas jaringan b.d bula yang mudah pecah.

6).Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi.

7).Resiko infeksi b.d efek samping terpasangnya infus dan terapis steroid.

8).Ansietas b.d ancaman pada status kesehatan, pola interaksi (kondisi kerusakan jaringan kulit
/muncul kelainan pada kulit).

2.14.Discharge Planning

1).Terapkan kebersihan personal.

2).Mandilah setidaknya sekali sehari dan keringkan kulit hingga benar-benar kering.

3).Jangan menggosok atau menyentuh mata sehabis menyentuh lepuhan karena dapat
menyebabkan penyebaran virus ke kornea yang mengakibatkan kebutaan.

4).Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi.
Rasional : menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat.

5).Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut. Rasional : menurunkan iritasi garis jahitan
dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses
penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi.

6).Perbanyak minum air putih.

7).Jaga kebersihan alat tenun. Rasional : untuk menghindari infeksi.

Anda mungkin juga menyukai